Kisah Sepasang Naga 4
Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
Dan kedatangan mereka kebetulan sekali tepat pada waktu Suma Cianbu sedang menjamu beberapa orang gagah, termasuk Siauw-San Ngo-Sinto. Dengan demikian, maka lengkaplah orang-orang yang dicari oleh Sin Wan. Ia selalu menganggap bahwa pembunuh Kakek dan Ibunya adalah Sum-Cianbu dan kelima Tosu itu, maka alangkah girangnya mendengar bahwa keenam musuhnya berkumpul di tempat itu. Tapi kabar ini tidak menggirangkan hati Kwie Cu Ek, bahkan ia mengerutkan kening ketika diketahui bahwa selain Lima Golok Sakti dari Siauw-San itu, ada pula orang-orang gagah dari utara, diantaranya Phang Bu yang terkenal dengan ilmu tombaknya yang menggemparkan! Maka ia berpesan kepada Sin Wan dan Giok Ciu yang nampaknya gembira seakan-akan hendak pergi bertemu dan kawan-kawan lama yang telah lama dirindukan!
"SinWan, dan kau juga Giok Ciu. Kalian tahu bahwa aku bukan seorang penakut, tapi kali ini kita benar-benar menghadapi urusan besar dan kita benar-benar menghadapi urusan besar dan kita harus berlaku hati-hati sekali. Ternyata di kota ini berkumpul orang-orang kuat yang tak mudah dilawan. Kebetulan sekali, tadi telah kuselidiki dan pada malam ini Suma Cianbu hendak menjamu para tamunya di gedungnya. Karena malam ini gelap, maka baik sekali bagi kita untuk menyelidiki keadaan mereka. Tapi ingat, jangalah turun tangan dulu sebelum aku tahu jelas keadaan mereka. Aku ingin tahu, siapakah orang-orang yang berada disana agar aku dapat mengukur tenaga kita." Sin Wan dan Giok Ciu mengangguk-angguk tapi di dalam hati mereka, terutama Sin Wan tidak setuju melihat sikap hati-hati yang agaknya berlebihan ini.
Mereka bertiga dan dengan tenaga mereka bertiga, apalagi yang ditakuti? Demikian Sin Wan dan Giok Ciu berpikir bagaikan dua ekor anak burung baru belajar terbang dan tidak takut akan apa saja yang dihadapinya! Malam hari itu, digedung Suma Cianbu ramai sekali. Di ruang belakang duduk Suma Cianbu yang memakai pakaian kapten hingga tampak gagah sekali. Pakaian perangnya bersisik dan warnanya putih bagaikan perak, disana-sini terhias ronce-ronce merah. Pedangnya tergantung di pinggang dan ia tampak girang dan gembira. Topi pangkatnya di lepas dan ditaruh diatas meja yang penuh arak dan masakan. Meja yang bundar dan lebar itu dikelilingi kira-kira dua belas orang yang kesemuanya tampak gagah dan garang. Di antara mereka itu terdapat pula lima orang Tosu, yakni Siauw-San Ngo-Sinto.
Tapi yang paling menarik perhatian Kwie Cu Ek adalah hadirnya seorang Pendeta yang berjubah merah. Pendeta itu memelihara rambut yang digelungnya keatas dan diikat dengan gelas emas, sedangkan serenteng tasbeh gading tergantung di lehernya. Orangnya tinggi besar dan matanya bulat menakutkan. Kwie Cu Ek terkejut dan heran sekali, karena melihat pakaian dan potongan orang, ia dapat menduga bahwa Pendeta ini adalah seorang tokoh kenamaan di kalangan kang-ouw, termasuk seorang cianpwe yang memiliki kepandaian dari tingkat teratas! Mengapa Pendeta ini juga hadir di tempat para anjing Kaisar berkumpul? Apakah Pendeta inipun sudah terbujuk? Kwie Cu Ek dan kedua muridnya dengan hati-hati sekali mengintai dari atas wuwungan rumah dan mendekam di tempat gelap. Biarpun agak jauh dari tempat duduk orang-orang yang diintainya, mereka dapat melihat jelas.
"Lihatlah baik-baik, Sin Wan dan Giok Ciu", bisiknya. "Itu yang berpakaian baju perang adalah Kapten Suma, nama lengkapnya adalah Suma Kan Hu! Ia adalah ahli main sepasang pedang yang disebut Hong-Twi Siang-Kiam. Kepandaiannya cukup lihai. Dan lihatlah lima orang Tosu yang berpakaian kuning itu. Merekalah yang disebut Siauw-San Ngo-Sinto. Lima Golok Sakti dari Siauw-San. Kalau maju satu-satu, mereka tidak berbahaya, tapi bila kelimanya maju, mereka merupakan Ngo-Heng-Tin atau Barisan Ngo-Heng yang kuat karena permaianan golok mereka yang disebut Ngo-Heng To-Hwat." Kedua muridnya mendengar penuh perhatian.
"Yang lain-lain tak perlu dibicarakan, hanya perapa jubah mereha itu harus diperhatikan. Ia"" Tapi pada saat itu Sin Wan sudah tak sanggup menahan kesabarannya lagi. Melihat betapa musuh-musuhnya dan pembunuh-pembunuh Ibu dan Kakeknya berada disitu, hatinya telah terbakar hebat. Dengan melupakan segala, pemuda itu mencabut pedangnya dan meloncat ke bawah sambil berseru,
"Pembunuh-pembunuh kejam dan rendah, terimalah pembalasanku!" Terkejutlah semua orang ketika tiba-tiba dari atas wuwungan melayang turun seorang pemuda dengan pedang di tangan. Suma Cianbu melihat bahwa yang turun hanya seorang pemuda yang masih hijau dan seorang diri pula, segera memandang rendah dan membentak,
"Bangsat kecil berani mati! Siapa kau dan apa maksudmu mengacau disini?" Kapten ini dengan wajah keren meloncat menyambut dengan sepasang pedang melintang.
Sin Wan memandang musuh-musuhnya dengan mata bernyala.
"Orang she Suma! Jangan kau menjual lagak lagi, malam ini nyawamu akan kukirim ke alam baka untuk menghadap almarhum Kang Lam Ciuhiap!" Sehabis berkata demikian, Sin Wan maju menubruk dengan pedangnya dan mengirim serangan kilat. Mendengar kata-kata anak muda itu, Suma Cianbu terkejut dan ia segera menangkis dengan kedua pedangnya membuat gerakan memotong dari kanan kiri dengan maksud merampas senjata lawan dalam sekali gebrakan. Tapi alangkah terkejutnya ketika bahwa anak muda itu selain bertenaga besar, juga gerakan pedangnya istimewa karena begitu pedangnya terjepit, ia telah membikin pedang itu menyusup ke bawah dan tahu-tahu menusuk perut Suma Cianbu! Kapten ini cepat meloncat mundur dan membentak untuk menghilangkan rasa kagetnya,
"Eh, binatang kecil! Kau pernah apakah dengan orang she Bun yang telah mampus itu?"
"Kapten pengecut! Lihat mukamu telah memucat. Kau mau tahu aku siapa? Dengarlah, aku Bun Sin Wan malam ini datang membalaskan sakit hati Ibu dan Kakekku yang telah kau bunuh secara kejam! Bersedialah untuk mampus!" Sebagai penutup kata-katanya ini, kembali Sin Wan meloncat maju dan menyerang dengan pedangnya.
"Saudara-saudara, lihatlah! Ini adalah putera pemberontak dan cucu penjahat besar bernama Bun Gwat Kong yang telah kita bunuh. Penjahat kecil ini agaknya tidak lebih baik daripada Ayah dan Kakeknya. Mari kita tangkap dia." Sin Wan menggerakkan pedangnya, tapi tiba-tiba dari samping pedang itu tertangkis oleh golok yang digerakkan secara istimewa dan lihai. Ternyata kelima Tosu yang dulu ikut menjadi pembunuh Kang Lam Ciuhiap, ketika mendengar bahwa Sin Wan datang menuntut balas, segera maju mengeroyok untuk cepat merobohkan musuh ini. Tapi Sin Wan memutar-mutar pedangnya dengan gerakan hebat sekali sehingga sebentar saja ia berhasil mendesak Suma Cianbu. Meliha kegagahan pemuda itu, kelima Tosu serempak maju mengepung dengan menggunakan barisan Ngo-Heng mereka yang lihai. Tapi pada saat itu, dari udara terdengar bentakan merdu,
"Koko Sin Wan, jangan takut aku datang membantu!." Dan seorang gadis cantik dan gagah memutar-mutar pedangnya sambil meloncat turun dan menerjang para pengeroyok itu. Gerakannya demikian licah dan cepat hingga untuk sesaat para pengeroyok itu kena terdesak mundur. Melihat bahwa Giok Ciu sudah terjun ke dalam medan pertempuran. Sin Wan makin besar hati dan ia mengamuk bagaikan seekor naga muda. Ilmu pedang sepasang anak muda ini memang bukan sembarang ilmu, hingga gerakan-gerakannya memang hebat.
Apalagi Sin Wan dan Giok Ciu memiliki tenaga lweekang dan ginkang yang mengagumkan, maka tidak heran bahwa mereka dapat mendesak Suma Han dan kelima Tosu yang mengeroyok mereka. Melihat betapa enam orang itu tak dapat mengalahkan dara dan aruna itu, semua tamu segera mencabut senjata masing-masing dan maju mengepung, kecuali si pertapa jubah mereah yang masih duduk minum arak sambil mementang lebar sepasang matanya. Agaknya ia tertarik sekali melihat permainan pedang Sin Wan dan Giok Ciu. Kini dikeroyok belasan orang, Sin Wan dan Giok Ciu merasa sibuk juga. Pengeroyoknya terdiri dari orang-orang yang memiliki keistimewaan dan kepandaian tinggi, ditambah dengan tekanan-tekanan yang dilancarkan oleh Suma Cianbu dan Siauw-San Ngo-Sinto, kedua anak muda itu terdesak mundur.
"Ha, ha, anak-anak kecil yang masih bau pupuk, kalian hendak lari kemana?" Sum Cianbu tertawa menyindir. Tapi pada saat itu dari atas menyambar turun seorang tua dengan pedang di tangan sambil membentak keras,
"Anjing-anjing penjilat jangan jual lagak!" Pedangnya lalu diputar cepat dan segerakan saja seorang pengeroyok kena dirobohkan! Suma Cianbu mundur dengan kaget karena ilmu silat orang tua ini lihai sekali. Melihat kedatangan Kwie Cu Ek si Harimau Terbang, pertapa berjubah merah yang semenjak tadi duduk saja, lalu berdiri dan sekali gebrakan tubuh, maka ia telah melayang memapaki Kwie Cu Ek,
"Tidak tahunya Hui-Houw Kwie Cu Ek yang mempeloporinya, pantas saja, anak-anak itu demikian lihai," katanya dengan tersenyum menyindir. Kwie Cu Ek menjura.
"Bukankah siauwte berhadapan dengan Cin Cin Hoatsu dari Tibet?" tegurnya hormat.
"Ha, ha, kau juga bermata awas dan dapat mengenal Pinto. Aku pernah kenal dengan gurumu dan dari gerakanmu tadi tahulah aku bahwa kau tentu si Harimau Terbang. Bukankah kau memiliki kepandaian ilmu silat Rajawali Sakti? Hayo keluarkanlah, Pinto ingin melihatnya!"
"Lo-Cianpwe apakah sengaja menggabung kepada mereka yang tersesat ini?" tanya Kwie Cu Ek.
"Bukan urusanmu untuk mengetahui hal ini. Kalau aku menggabung, kau mau apa?" tantang Cin Cin Hoatsu, bekas Pendeta Lama itu.
"Kalau begitu percuma saja kau mengenakan jubah Pendeta!" kata Kwie Cu Ek dengan berani.
"Ah,orang tak tahu diri! Kematian sudah didepan mata masih berani membuka mulut besar." Dengan memandang rendah sekali Cin Cin Hoatsu maju dan mengebutkan ujung lengan bajunya ke arah Kwie Cu Ek yang terpaksa berkelit mundur dengan cepat karena dari ujung baju itu menyambar keluar angin pukulan yang berbahaya.
(Lanjut ke Jilid 04)
Kisah Sepasang Naga/Ji Liong Jio Cu (Seri ke 02 - Serial Jago Pedang Tak Bernama)
Karya : Asmarainan S. Kho Ping Hoo
Jilid 04
"Ha, ha, ha, tak berapa hebat kepandaianmu!" Cin Cin Hoatsu menyindir dan terus maju menyerang. Kwie Cu Ek terpaksa melayani dan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Ia mengeluarkan pula Sin-Tiauw Kiam-Sut yakni ilmu pedang Rajawali Sakti, sambil menyerang ia bersuit nyaring bagaikan seekor burung rajawali.
Tapi kini ia berhadapan dengan seorang tokoh besar dari Tibet yang tidak saja tinggi ilmu silatnya, juga memiliki macam-macam ilmu gaib dan ilmu sihir. Pertapa ini menggunakan ujung lengan bajunya untuk menyerang dan tiada hentinya mengeluarkan suara tertawa aneh dan menyeramkan. Baru beberapa puluh jurus saja Kwie Cu Ek telah terdesak hebat oleh pukulan-pukulan ujung lengan baju yang mantap dan luar biasa. Sementara itu, Sin Wan dan Giok Ciu juga terkepung hebat dan berada dalam keadaan berbahaya sekali karena lawan mereka yang berjumlah banyak tidak mau memberi kelonggaran dan terus merangsek hebat. Kwie Cu Ek menyesal telah berlaku semberono hingga membahayakan jiwa Sin Wan dan Giok Ciu. Ia menjadi bingung karena pasti mereka bertiga akan segera dirobohkan. Tiba-tiba ia berteriak keras,
"Sin Wan dan Giok Ciu, larilah! Biar aku menjaga mereka!" Mendengar perintah ini, Sin Wan dan Giok Ciu menurut. Segera pedang mereka diputar hebat dalam gerakan ilmu pedang Sin-Tiauw Kiam-Sut hingga mereka dapat menahan desakan senjata-senjata pengeroyok mereka, kemudian dengan cepat tubuh mereka melayang ke atas genteng! Tapi pada saat itu mereka mendengar suara Kwie Cu Ek berseru keras dengan marah bagaikan seekor harimau terluka dan ketika kedua anak muda itu memandang ke bawah,
Tak terasa pula mereka menjerit karena melihat betapa Kwie Cu Ek kena dihantam oleh ujung lengan baju Cin Cin Hoatsu yang hebat gerakannya itu! Kwie Cu Ek terlempar beberapa kaki jauhnya tapi si Harimau Terbang yang gagah itu biarpun telah mendapat luka hebat di dalam dadanya, pedang di tangannya masih terpegang erat-erat dan ketika tubuhnya jatuh menimpa tanah. Ia menggerakkan tangannya dan pedang itu secepat kilat meluncur ke arah tenggorokan Cin Cin Hoatsu! Inilah gerakan yang dinamai Rajawali Sakti Mengejar Maut, gerak tipu terakhir dari Sin-Tiauw Kiam-Sut yang hebat luar biasa itu. Kalau saja yang diserang bukan Cin Cin Hoatsu, orang berilmu tinggi dari Tibet yang selain berkepandaian tinggi, juga memiliki ketenangan luar biasa, tentu akan putuslah lehernya. Tapi Cin Cin Hoatsu dalam keadaan berbahaya itu masih sempat menyabet dengan ujung lengan bajunya.
"Sret!" Putuslah ujung lenngan baju itu, tapi pedang Kwie Cu Ek melayang kesamping dan terus menancap sampai menembus dada pengeroyok yang tidak ada kesempatan berkeliat lagi. Orang itu berteriak ngeri dan terdengarlah suara Kwie Cu Ek tertawa menyeramkan, menertawakan korbannya dan juga menertawakan Cin Cin Hoatsu yang terpotong ujung lengan bajunya. Pertapa tua dari Tibet ini merasa gemas dan marah sekali. Ia meloncat ke tempat Kwie Cu Ek dan dengan sekali tendang saja putuslah nyawa Kwie Cu Ek tanpa dapat berteriak lagi. Kwie Giok Ciu memekik ngeri dan ia meloncat terjun dengan maksud hendak berkelahi dengan nekad dan mati-matian. Tapi Sin Wan cepat menyambarnya dan menariknya kembali ke atas genteng.
"Koko, lepaskan! Lepaskan aku!!" Giok Ciu menjerit-jerit dengan air mata bercucuran, tapi Sin Wan tetap tidak mau melepaskannya. Pada saat itu dari belakang mendatangi tiga bayangan orang yang cepat gerakannya dan terdengar suara orang berkata,
"Jiwi Enghiong, lekas lari, biar kami yang menahan mereka." Sin Wan melihat wajah seorang setengah tua dan dua orang lain adalah orang-orang tua yang gagah. Ia tahu itu tentu orang-orang gagah yang sering memusuhi para durna dan kaki tangannya, maka ia segera betot tangan Giok Ciu.
"Moi-moi, hayo kita pergi. Mudah lain kali kita datang membalas sakit hati."
"Tidak! Tidak! Biarkan aku mati bersama Ayah!"
"Giok moi jangan bodoh! Mereka bukan lawan kita." Tiba-tiba Giok Ciu merenggut tangannya hingga terlepas dari pegangan Sin Wan.
"Kau" kau... takut?? Kau hendak membiarkan dan meninggalkan Ayah yang mengorbankan jiwanya untukmu??" Sin Wan mengertakan gigi dan memandang dengan mata bersinar.
"Giok Ciu, kau anggap aku seorang macam apakah? Aku mengajak kau pergi bukan karena takut, tapi karena memenuhi kehendak dan maksud Ayahmu. Tadi kita telah berlaku sembrono sekali. Musuh terlampau kuat, untuk apa kita korbankan diri dengan sia-sia? Untuk apa kita mati kalau belum dapat membalas dendam? Lebih baik kita mencari daya upaya lain."
"Tapi aah""
"Sudahlah! Kalau kau ingin mati bersama, hayo kita turun lagi!" Akhirnya Sin Wan berlaku nekad juga dan hendak terjun. Tapi kini datang lebih banyak orang gagah yang mencegah mereka.
"Lie Enghiong, kawanmu ini berkata benar! Pihak mereka kuat sekali, kita bukan lawan mereka. Soal jenasah Ayahmu itu, biarlah kami yang akan mengurusinya dan akan berusaha mengambilnya. Karena sedih, marah, bingung dan tak berdaya, Giok Ciu menjerit keras dan jatuh pingsan dalam pelukan Sin Wan. Pada saat itu dari bawah melayang naik orang-orang dengan senjata di tangan dan sebentar lagi terjadi pertempuran seru di antara mereka dengan para Ho-han yang menyerbu. Tapi karena Cin Cin Hoatsu berada disana, para penyerbu itu terpaksa lari lagi setelah berhasil membawa serta jenasah Kwie Cu Ek.
Sin Wan yang memondong tubuh Giok Ciu, lari cepat keluar dari kota itu menuju ke Kam-Hong-San kembali. Setelah sadar, Giok Ciu menangis tersedu-sedu sambil berlutut di atas tanah dan memanggil-manggil nama Ayahnya. Sin Wan hanya dapat menghiburnya, tapi tak terasa ia sendiri mengalirkan air mata. Di samping merasa bersedih ia mengertakan giginya karena gemas dan marahnya. Alangkah besarnya sakit hati ini. Kematian Ibu dan Kakeknya belum juga terbalas, kini ditambah lagi dengan kematian Kwie Cu Ek yang menjadi pembela, guru dan juga calon mertuanya! Dan musuhnya telah bertambah satu orang lagi, yaitu Cin Cin Hoatsu yang konsen dan sakti. Bagaimana juga pada suatu waktu, aku harus dapat membasmi mereka itu, demikian Sin Wan mengambil keputusan.
"Moi-moi, sudahlah jangan kau terlalu bersedih. Mari kita kembali ke tempat tinggal kita untuk memperdalam ilmu silat dan untuk mencari jalan bagaimana kita dapat membalas dendam ini." Tapi Giok Ciu makin hebat tangisnya.
"Aku" Aku kini... sebatang kara..." Karena terharu, Sin Wan tak terasa lagi memegang pundak Giok Ciu dan menghibur.
"Moi-moi, bukankah masih ada aku? Aku juga sebatang kara, hidupku seorang diri di dunia ini, tapi aku masih merasa bahagia karena... Ada engkau, Giok Ciu. Bukankah kita masih bersama-sama...?"
Dalam usahanya menghibur Giok Ciu, Sin Wan berlutut di samping gadis itu dan Giok Ciu memandang wajah Sin Wan melalui air matanya, kemudian tak terasa lagi gadis itu perdengarkan sedu sedan dan menubruk Sin Wan. Mereka dalam keharuan hati masing-masing lalu saling peluk karena merasa betapa di dalam di dunia ini hanya ada seorang yang dapat diandalkan dan dapat ditumpangi diri, yakni orang yang dipeluknya. Tapi setelah gelora keharuan hatinya mereda, Giok Ciu teringat bahwa ia sedang saling peluk dengan Sin Wan, maka buru-buru ia dorong tubuh pemuda itu hingga hampir jatuh terjengkang! Dengan muka merah karena jengah, Giok Ciu memandang wajah Sin Wan dan ketika melihat pandang mata pemuda itu juga menatapnya. Ia buru-buru tundukkan muka dengan rasa malu sekali. Kemudian ia mengangkat kaki dan meloncat jauh sambil berkata,
"Hayo kita melanjutkan perjalanan kita." Sin Wan maklum akan keadaan gadis itu, maka iapun tidak mau mengganggunya lagi, hanya meloncat mengejar dan mereka cepat sekali lari menuju Kam-Hong-San.
Sin Wan mengajak Giok Ciu singgah di kampungnya untuk bersembahyang di depan makam Ibu dan Kakeknya. Disitu kedua anak muda itu kembali ulangi sumpah mereka untuk berusaha membelas dendam. Kemudian Sin Wan mengajak Giok Coi menemui orang-orang kampung yang menyambut Sin Wan yang telah menjadi seorang pemuda tampan dan gagah dan mereka makin kagum melihat kawannya yang cantik jelita dan bersikap gagah pula. Karena merasa senang bertemu dengan kawan-kawan lama, Sin Wan dan Giok Ciu bermalam disitu. Sin Wan menceritakan tentang usahanya membalas dendam yang gagal bahkan telah kehilangan pula Ayah Giok Ciu. Orang-orang kampung mendengar penuturannya ini dengan gemas, sementara Giok Ciu menahan-nahan kesedihannya dengan menggigit bibir.
Gadis ini selalu membayangkan keadaannya dan memikirkannya tiada habisnya, dimanakah makam Ayahnya. Kalau menurutkan kata hatinya, ingin sekali ia menari dan kembali ke kota Wie-Kwan, tapi ia tahu bahwa hal itu tidak ada gunanya, karena selain sia-sia dan belum tentu dapat menemukan apa yang dicarinya, juga sangat berbahaya bagi keselamatan dirinya karena kota itu penuh dengan kaki tangan dan mata-mata Suma-Cianbu yang telah mengenalnya. Karena itulah maka ia bersabar dan mengambil keputusan untuk mempergiat pelajaran silatnya hingga beberapa lama lagi, setelah mendapat kemajuan pesat, bersama Sin Wan pergi membalas dendam. Masih banyak ilmu silat yang mereka telah pelajari tapi belum dilatih masak-masak,
Bahkan ilmu pedang Sin-Tiauw Kiam-Sut yang belum lama dipelajari juga belum dikuasai baik-baik dan perlu latihan yang lama dan rajin. Setelah tinggal tiga hari di kampung itu, Sin Wan dan Giok Ciu lalu meninggalkan kampung itu dan menuju ke tempat tinggal Giok Ciu, karena mereka menganggap tempat itu lebih aman dan tersembunyi sehingga mereka dapat melatih silat tanpa menderita gangguan. Ketika mereka sedang berjalan perlahan mendaki bukit, tiba-tiba terdengar seruan orang dari belakang. Mereka menahan tindakan kaki mereka dan berpaling. Alangkah terkejut mereka ketika melihat bahwa dengan cepat sekali, dari bawah bukit lari mengejar Cin Cin Hoatsu, Suma-Cianbu dan Siauw-San Ngo-Sinto! Mereka itu mengejar sambil berteriak-terik dan Cin Cin Hoatsu telah berada dekat karena Pendeta Tibet ini larinya cepat sekali.
"Celaka, moi-moi. Kita lari saja, percuma melawan. Hayo kita lari cepat." Kedua anak muda itu lari secepat mungkin ke atas puncak, tetapi karena kepandaian ilmu lari cepat mereka masih kalah jika dibanding dengan Cin Cin Hoatsu, makin lama pengejar itu makin dekat jaraknya. Karena gugup dan bingung, Sin Wan dan Giok Ciu tanpa sengaja tiba di tempat yang selalu menjadi kenangan mereka, yaitu di dekat Sumur Naga dimana mereka dulu terjatuh.
"Mari kita masuk saja!" Sin Wan mengajak dan tanpa ragu-ragu lagi keduanya meloncat ke dalam sumur yang tertutup kabut tebal itu! Mereka turun dengan selamat dan kaki mereka menyentuh pasir. Ternyata, keadaan sumur itu tidak berubah, dan ketika mereka berpaling, ternyata batu-batu cadas yang berbentuk kepala naga itu masih tetap ada. Tetapi alangkah terkejut mereka ketika mereka tiba-tiba melihat bahwa di sudut dekat batu naga itu terdapat seorang Kakek yang tua sekali duduk bersila di atas pasir sambil meramkan mata. Kakek tua itu tubuhnya kurus kering bagaikan tengkorak hidup, rambutnya putih panjang terurai ke belakang punggungnya yang telanjang.
Tubuh bagian bawah tertutup celana pendek yang lebar dan Kakek itu bersila dengan cara yang aneh. Kaki dan tubuhnya bersila seperti biasa dengan telapak kaki menghadap ke atas dan tertumpang di kedua paha, tetapi anehnya ia tidak duduk seperti biasa. Tubuhnya tidak terletak di atas tanah, karena tangan kirinya melalui renggang kakinya ditekannya ke atas pasir sehingga mengganjal tubuhnya yang terkatung-katung tidak menempel tanah sedikitpun. Tangan Kakek itu diletakkan di atas pangkuan. Dapat dibayangkan kekuatan tangan kirinya yang menahan tubuh itu tanpa bergerak sedikitpun, seakan-akan tangan dan lengan itu berubah menjadi benda mati yang didudukinya. Karena maklum bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang berilmu tinggi, Sin Wan dan Giok Ciu segera berlutut di hadapan Kakek itu sambil berkata,
"Mohon beribu maaf bahwa tanpa disengaja teecu berdua telah berani mengganggu kepada Lo-Cianpwe." Tapi Kakek itu sedikitpun tidak bergerak dan tidak menjawab. Ketika Sin Wan dan Giok Ciu memandang, mereka kaget sekali karena Kakek itu tiada ubahnya seperti patung batu mati. Bahkan pada perut dan dadanya yang telajang itu tiada tampak tanda-tanda pernapasan! Sudah mati dan membatukah tubuh Kakek ini? Pada saat mereka masih ragu-ragu, tiba-tiba dari atas sumur itu terdengar bentakan Cin Cin Hoatsu,
"He, pemberontak-pemberontak muda, masih hidupkah kalian? Kalau masih hidup, naiklah dengan damai dan Pinto takkan membunuhmu!" Sin Wan dan Giok Ciu terkejut sekali karena tempat persembunyiannya ditemukan oleh pengejar-pengejar mereka, tapi mereka diam saja dan tetap berlutut di depan Kakek itu. Terdengar makian di atas sumur dan kini terdengar suara Suma-Cianbu.
"Binatang-binatang yang berada di dalam sumur. Lekas keluar, kalau tidak kami akan menghujani batu dan anak panah!" Sin Wan dan Giok Ciu kuatir sekali kalau-kalau ancaman ini dijalankan. Tetapi tiba-tiba Kakek yang disangkanya patung mati itu bergerak dan membuka matanya. Sin Wan dan Giok Ciu makin heran karena ketika terbuka, kedua mata itu hampir seluruhnya putih dan hanya sedikit hitamnya di tengah-tengah. Kakek itu masih menahan tubuhnya, lalau terdengar ia berkata perlahan,
"Kalian sudah lama datang? Sukur, memang aku telah menantimu." Pada saat itu dari atas sumur orang melempar batu kebawah yang hampir saja menimpa kepala Sin Wan, tapi pemuda itu menggunakan tangan menyabet sehingga batu itu terlempar disampingnya.
"Ah orang-orang itu sungguh-sungguh tak tahu aturan," kata Kakek itu yang lalu menggerak-gerakkan tangan kanannya ke atas. Sin Wan dan Giok Ciu kaget sekali dan cepat menggeser tubuh mereka minggir karena dari tangan Kakek itu keluarlah angin pukuan yang berputar-putar naik ke atas sumur!
Tiba-tiba diatas sumur terdengar jeritan ngeri karena batu-batu dan anak-anak panah yang dilepas ke bawah, secara ajaib sekali tiba-tiba terbang kembali dan menghantam mereka yang tidak keburu berkelit! Beberapa orang anak buah Suma-Cianbu terkena batu dan anak panah mereka sendiri sehingga terluka dan berteriak-teriak kesakitan. Cin Cin Hoatsu heran melihat keganjilan ini. Ia lalu menggunakan kedua lengan bajunya mengebut-ngebut ke dalam sumur sambil mengerahkan tenaga lweekangnya yang hebat. Dulu ketika melatih lweekang, ia menggunakan sumur untuk mencoba kekuatannya dan kalau ia menggerak-gerakkan tangannya ke dalam sumur, maka air di dalam sumur akan berombak dan bergolak makin keras sampai memercik keluar!
Kini menduga bahwa di dalam sumur ada apa-apa yang tidak beres, ia menggunakan tenaga lweekangnya iu untuk memukul ke bawah. Tetapi hampir saja ia berteriak karena kaget dan heran ketika merasa betapa tenaganya itu sebelum membentur dasar sumur, telah terpental kembali. Ia menarik kedua tangannya dan meloncat jauh agar tidak menjadi korban pukulannya sendiri! Wajahnya menjadi pucat, karena ia menyangka bahwa di dalam sumur itu tentu ada setannya karena mana mungkin ada orang yang dapat mengembalikan tenagan pukulannya secara demikian mudah dan luar biasa. Melihat tiba-tiba Pendeta Tibet itu menjauhi sumur dengan wajah pucat, Suma-Cianbu bertanya,
"Ada apakah, Lo-Suhu?" Cin Cin Hoatsu malu untuk mengaku, maka ia hanya berkata,
"Mari kita tinggalkan tempat ini. Kedua binatang kecil itu tentu telah mampus, karena sumur ini mengandung hawa beracun!" Maka semua pengejar itu lalu kembali turun gunung dengan hati puas, karena mereka menyangka bahwa kini semua pengacau dan pemberontak berbahaya telah dapat ditumpas habis, Sin Wan dan Giok Ciu yang berada di dalam sumur dapat mendengar semua percakapan di atas itu sehingga merasa kagum atas kesaktian Kakek aneh ini. Karena yakin bahwa yang berada di hadapan mereka tentu orang suci yang berilmu tinggi, maka Sin Wan menarik tangan Giok Ciu untuk maju dihadapan Kakek itu dan berlutut sambil mengangguk-angguk kepala. Tiba-tiba Kakek itu tertawa, suaranya nyaring tinggi seperti suara wanita tertawa tapi ketika ia bicara, suaranya berubah besar dan parau,
"Kalian yang dulu masuk ke sini dan makan buah-buah itu sampai habis, bukan?" Sin Wan menjawab,
"Betul Lo-Cianpwe, mohon maaf jika teecu berdua mengganggu."
"Kalian dikejar-kejar orang, sedangkan kepandaianmu cukup baik, mengapa tidak kalian lawan saja? Lari pergi tanpa melawan adalah kelakuan pengecut."
"Teecu berdua tidak sanggup melawan mereka, Lo-Cianpwe. Kepandaian teecu masih terlampau rendah. Mohon petunjuk dari Lo-Cianpwe yang mulia," kata Sin Wan.
"Jika Lo-Cianpwe sudi, teecu mohon diterima menjadi murid." Kata Giok-Ciu dengan langsung karena ia telah yakin benar bahwa Kakek ini memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Kakek itu tertawa lagi dan mengangguk-angguk, tiba-tiba ia meloncat dan tahu-tahu ia sudah berada di dinding batu yang tingginya tidak kurang dari tiga tombak dengan punggung menempel di batu!
"Bagus, bagus memang kalian yang berjodoh dengan aku. Memang kalian yang berjodoh dengan sepasang naga itu." Sin Wan terkejut mendengar ucapan ini. Sepasang naga yang mana? Agaknya dari atas, Kakek aneh itu dapat melihat keraguan dan keheranannya, maka ia segera meloncat turun dan berdiri di depan mereka.
"Kalian berdirilah!" Ketika Sin Wan dan Giok Ciu berdiri, mereka melihat betapa tubuh Kakek itu sebenarnya tinggi besar, hanya karena tubuhnya sama sekali tidak berdaging, maka tampak kurus kering. Yang mengherankan ialah warna segar kemerah-merahan pada kulit pipinya yang kurus itu dan biarpun manik matanya yang hitam itu kecil sekali, namun kalau bertemu pandang, Sin Wan dan Giok Ciu merasa betapa dari sepasang mata itu memancar dua sinar tajam dan berpengaruh.
"Mari kita masuk," kata Kakek itu.
Berbeda dengan Sin Wan dan Giok Ciu yang dulu membuka pintu batu kepala naga itu dengan memutar-mutar kedua matanya, kini Kakek itu hanya menepuk sekali pada dinding itu. Tenaga tepukan itu biarpun hanya perlahan saja namun telah membuat dinding itu tergetar sehingga batu yang merupakan kedua mata naga itu bergerak-gerak dan pintu yang merupakan mulut naga itu terbukalah! Ketika kedua orang muda itu mengikuti dan masuk, ternyata dua rangka ular yang besar itu tidak ada disitu pula, sebaliknya di pinggir dinding terdapat batu-batu yang bentuknya bundar dan licin. Kakek itu, segera menghampiri sebuah batu terbesar tapi yang paling kasar dan permukaannya tajam-tajam lalu ia duduk di atasnya dengan enak. Agaknya tubuh yang tak berdaging itu tidak merasa pula tusukan-tusukan batu yang kasar dan runcing.
"Nah, sekarang kalian boleh mengangkat guru padaku!" Sin dan Giok Ciu saling pandang, kemudian keduanya maju berlutut sambil menyebut,
"Suhu...!"
"Hai, tidak semudah ini! Berdirilah!" Dan kedua anak muda itu merasa betapa tubuh mereka disendal ke atas sehingga terlempar tinggi, maka terpaka mereka menggunakan kepandaian mereka untuk turun dengan hati-hati dan berdiri memandang Kakek itu dengan terheran. Mereka lebih heran dan terkejut sekali ketika ternyata bahwa gerakan melempar Kakek tadi telah memberi kesempatan kepadanya untuk mengambil pedang mereka yang tergantung di punggung. Kini Kakek itu memegang kedua pedang itu di tangannya, melihatnya dengan mulut mengejek dan berkata,
"Pedang buruk, pedang buruk." Sebelum mengerti harus berbuat apa, Kakek itu berkata kepada mereka.
"Ulur tangan kananmu!" Sin Wan dan Giok Ciu mengulurkan tangan kanan dengan patuh. Tiba-tiba Kakek yang luar biasa itu lalu menggunakan pedang di tangan kiri kanannya untuk menusuk tangan Sin Wan dan Giok Ciu yang diulurkan. Kedua anak muda itu terperanjat sekali, tetapi mereka dapat menetapkan hati dan menaruh kepercayaan penuh kepada calon guru mereka, maka mereka melihat pedang itu dengan mata tak berkedip! Ujung pedang itu walaupun di tusukkan dengan cepat dan kencang, ternyata hanya menusuk kulit tangan kedua anak muda itu sedikit saja, lalu cepat ditarik kembali. Di ujung kedua pedang tampak tanda merah yang ternyata adalah darah kedua anak muda itu. Juga di tangan mereka terdapat luka yang kecil sekali dan mengeluarkan sedikit darah. Jadi Kakek aneh itu ingin mengambil sedikit darah mereka diujung pedang masing-masing.
"Nah, sekarang dengan disaksikan oleh darahmu di ujung pedang, kalian harus bersumpah, yaitu jika kalian mempergunakann kepandaian yang kuajarkan untuk kejahatan, kalian akan binasa di ujung pedang!" Sehabis berkata demikian, Kakek itu menyodorkan kedua pedang kepada Sin Wan dan Giok Ciu yang menerimanya dengan hormat. Kemudian, kedua anak muda itu sambil memegang pedang dengan kedua tangan dan ujung pedang mengacung ke atas, berlutut dan bersumpah. Sin Wan mengucapkan sumpah dengan suara nyaring, diikuti oleh Giok Ciu.
"Kami berdua, Bun Sin Wan dan Giok Ciu, hari ini telah diterima menjadi murid dan kami bersumpah jika kelak kami berani menggunakan kepandaian yang kami terima, untuk berbuat jahat kami akan binasa di ujung pedang yang tajam!" Suara Sin Wan keras dan nyaring sehingga gemanya terdengar di empat penjuru dalam gua yang lebar itu. Kakek itu tertawa girang,
"Nah kau boleh ke sini sekarang, murid-muridku." Ketika Sin Wan dan Giok Ciu hendak berlutut, Kakek itu berkata,
"Kalian duduklah saja, Sin Wan di sebelah kananku dan Giok Ciu di sebelah kiri. Batu bundar hitam itulah tempat duduk kalian." Sin Wan dan Giok Ciu duduk di atas batu yang diperuntukkan mereka.
"Nah, sekarang kenalilah gurumu. Aku disebut orang Bu Beng Lojin, si Kakek Tak Bernama. Aku tidak mempunyai riwayat yang perlu diketahui, katakan saja bahwa aku datang dari tiada dan akan kembali kepada tiada pula jika sudah waktuku. Aku bukan ahli dari sesuatu cabang ternama atau tertentu, tapi aku mempunyai semacam permaianan pedang yang kusebut Sin-Liong Kiam-Sut, yakni ilmu Pedang Naga Sakti. Nah, ilmu pedang inilah yang hendak kuajarkan kepada kalian. Sin Wan, coba kau angkat batu di ujung kiri yang berwarna putih itu, di bawahnya ada sebuah peti dalam lubang. Ambillah itu kemari." Sin Wan melakukan perintah gurunya. Di sudut ruang itu sebelah kiri terdapat batu putih yang beratnya ratusan kati. Sin Wan mengerahkan tenaganya dan menggulingkan batu itu. Benar saja, di bawah batu terdapat lubang dan tampak sebuah peti kayu yang panjang. Ia mengeluarkan peti itu dan membawanya kepada Suhunya, lalu dengan hormat ia meletakkan peti di depan Suhunya.
"Kau, Giok Ciu, kau ambil peti yang di bawah batu hitam di ujung kanan itu." Bu Beng Lojin menyuruh murid perempuannya. Giok Ciu juga melakukan perintah itu seperti yang dikerjakan oleh Sin Wan. Kini dua buah peti itu telah berada di depan Bu Beng Lojin. Bu Beng Lojin membuka peti-peti itu dan mengeluarkan dua macam pedang yang luar biasa. Ketika ia mencabut pedang yang diambil oleh Sin Wan maka di dalam gua itu lalu terlihat sinar putih berkilauan dan kedua anak muda itu merasakan hawa dingin yang menyeramkan keluar dari pedang itu. Pedang berwarna putih berkilauan bagaikan perak dan gagangnya berukiran kepada naga bersisik putih.
"Inilah pedang pusaka keramat yang disebut Pek Liong Pokiam, Pedang Pusaka Naga Putih. Dan pedang ini berjodoh dengan Sin Wan." Anak muda itu menerima pemberian Suhunya dengan khidmat dan girang sekali. Ia cepat berlutut dari tempat duduknya dan menghaturkan terima kasih, lalu memasukkan kembali pedang itu ke dalam sarungnya yang berukiran naga putih indah sekali. Bu Beng Lojin lalu mencabut pedang kedua dan tiba-tiba dalam kamar itu tampak cahaya kehitam-hitaman yang sangat menyeramkan, juga dari pedang ini memancar hawa yang panas dan aneh. Pedang ini berwarna hitam mulus dan mengkilap sedangkan gagangnya berukiran kepala naga bersisik hitam.
"Inilah pedang pusaka yang tidak kalah saktinya, yang disebut Ouw Liong Pokiam. Pedang Pusaka Naga Hitam. Pedang ini berjodoh padamu, Giok Ciu." Gadis itupun menerima hadiah gurunya dengan penuh hormat dan menghaturkan terima kasih pula. Sin Wan teringat akan dongeng Kakeknya dulu tentang dua ekor naga yang menjelma menjadi sepasang pedang. Inikah pedang-pedang itu? Ia ingin sekali bertanya kepada Suhunya, tetapi tidak berani, karena bukankah Kakeknya dulu bilang bahwa itu hanya dongeng belaka. Bu Beng Lojin dapat melihat keraguan Sin Wan, maka katanya dengan sabar,
"Sin Wan, kau ingin bertanya sesuatu. Katakanlah, tak perlu ragu-ragu karena sudah menjadi hak seorang murid untuk bertanya dan sudah menjadi kewajiban seorang guru untuk menjawabnya."
"Suhu, dulu teecu pernah mendengar dari mendiang engkong tentang dongeng sepasang naga putih dan hitam. Apakah dongeng itu" ada hubungannya dengan kedua pedang ini?" Bu Beng Lojin tersenyum.
"Engkongmu adalah Kang-Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong, bukan? Ia orang gagah yang patut dikagumi. Dongeng tinggal dongeng muridku, boleh dipercaya dan boleh juga tidak. Hal ini aku tidak berhak memecahkan. Nah, sekarang mari kita bicarakan hal yang penting. Kalian telah mendapat didikan silat dari orang-orang pandai sehingga aku tak perlu bersusah payah lagi. Juga kalian telah makan buah dewa sehingga tubuhmu cukup bersih dan kuat. Tapi jangan kau kira bahwa sedikit ilmu yang akan kuberikan kepada kalian akan mudah saja kalian pelajari secara mudah dan cepat. Pertama-tama aku akan memberi pelajaran silat pedang yang disebut Sin-Liong Kiam-Sut. Tetapi karena pedang yang kalian pergunakan berbeda sifatnya maka ilmu pedang ini akan kupecah menjadi dua, sesuai dengan keadaanmu masing-masing. Untuk Sin Wan akan kuberi ilmu pedang Pek Liong Kiam-Sut dan untuk Giok Ciu ilmu pedang Ouw Liong Kiam-Sut. Tapi terlebih dulu kalian harus mengetahui dan hafal benar rahasia-rahasia dari Sin-Liong Kiam-Sut." Kemudian Bu Beng Lojin lalu memberi pelajaran-pelajaran pertama dari Ilmu Pedang naga Sakti yang hebat itu. Karena dorongan hasrat ingin memiliki kepandaian tinggi dan melakukan balas dendam, ditambah memang berbakat baik dana berotak cerdas,
Kedua anak muda itu cepat sekali dapat menguasai pelajaran-pelajaran pertama yang diajarkan oleh Suhu mereka. Tetapi ketika mereka mulai dengan pelajaran praktek, terasalah kesukarannya. Gerakan Sin-Liong Kiam-Sut benar-benar ganjil dan sukar, setiap gerakan pedang mempunyai rahasia-rahasia tersendiri yang takkan terduga oleh lawan. Juga setiap gerakan pedang dari ilmu ini selalu dirangkai dengan keterangan-keterangan bahwa gerakan ini ialah untuk memunahkan serangan senjata pedang dari cabang lain. Oleh karena ini, tiap kali mempelajari satu macam tipu dari Sin-Liong Kiam sut, maka berarti mereka harus mengetahui pula tiga atau empat macam tipu serangan dari cabang-cabang lain. Misalnya Kun-Lun-Pai, Go-Bi-Pai, Bu-Tong-Pai, dan Siauw-Lim-Pai!
Untung sekali bahwa sebelum mempelajari Sin-Liong Kiam-Sut yang hebat ini, mereka telah mendapat latihan-latihan teliti dan keras dari Kwie Cu Ek, maka tipu-tipu silat dari lain cabang sudah mereka sudah banyak mengerti. Tidak saja setiap gerakan dari Sin-Liong Kiam-Sut mempunyai rangkain yang panjang bagaikan mata rantai dengan cabang lain, juga untuk menggerakkan pedag pusaka mereka bukanlah hal yang mudah. Pedang itu mempunyai ukuran dan timbangan yang tepat dan khusus, sehingga untuk menggerakkan mereka harus menggunakan takaran tenaga yang sempurna pula, untuk tusukan, sabetan, putaran, harus digunakan tenaga yang sesuai, tidak boleh terlalu besar, juga tidak boleh terlalu kecil. Maka tidak heran bahwa untuk mempelajari satu dua macam gerakan saja membutuhkan waktu sepekan lebih baru dapat dilakukan dengan baik!
Cara yang aneh dari Bu Beng Lojin dalam mengajar murid-muridnya ialah ia jarang sekali menyaksikan murid-muridnya belajar. Jika Sin Wan dan Giok Ciu menggerak-gerakkan pedang dan melatih gerakan-gerakan baru yang sedang dipejari, Kakek tua itu duduk bersemedhi dengan sikapnya yang aneh itu dan meramkan matanya. Tetapi yang mengherankan, tiap kali Sin Wan dan Giok Ciu membuat gerakan salah, biarpun hanya salah sedikit saja, Kakek itu tanpa membuka matanya lalu menegur! Bu Beng Lojin melarang keras kedua muridnya itu keluar dari gua naga dan menyuruh mereka siang dan malam tekun melatih diri. Untuk makan mereka cukup dengan menangkap binatang-binatang dan burung yang lewat di atas gua, dan cara menangkap binatang inipun merupakan pelajaran yang baik bagi mereka.
Jika ada burung yang terbang, atu ada binatang lewat di atas sumur, biarpun tidak tampak dari bawah, namun gerakan binatang yang meloncati sumur dapat tertangkap oleh telinga mereka yang tajam. Maka sekali sambit saja dengan batu, binatang itu akan terjungkal dan jatuh masuk ke dalam sumur dan menjadi mangsa mereka! Sungguh suatu cara mencari makan yang aneh sekali. Kalau tidak karena dorongan semangat yang membaja, Sin Wan dan terutama Giok Ciu pasti takkan kuat menahan diri hidup seperti itu. Tetapi mereka heran sekali melihat Suhu mereka, karena orang tua yang aneh jarang sekali mau makan daging binatang tangkapan mereka, hanya kadang-kadang saja, ia minta hati binatang yang masih segar untuk dimakan begitu saja tanpa dibakar api dulu, atau makan buah-buah yang didapat dari balik jurang di mana dulu Sin Wan dan Giok Ciu dulu jatuh.
Memang, ditempat kedua anak muda itu dulu terjatuh, terdapat lereng yang sangat curam menurun dan tak terkira dalamnya, dan di atas lereng tumbuhlah banyak pohon yang menghasilkan buah-buah. Hanya saja untuk mengambil buah-buah itu bukanlah pekerjaan mudah, karena lereng yang curam itu tak mungkin dituruni begitu saja tanpa bahaya tergelincir mengancam jiwa, dan sekali tergelincir, jangan harap akan tinggal hidup. Lereng itu tidak tampak dasarnya karena dalam dan panjangnya! Tapi Sin Wan dan Giok Ciu cerdik dan tabah. Dari rumput alang-alang yang panjang dan kuat, Giok Ciu berhasil membuat pintalan tambang yang panjang lagi kuat. Kemudian Sin Wan menggunakan tambang yang dipegang Giok Ciu dari atas, untuk menuruni tebing itu dan memetik buah-buah mana saja yang disukainya. Dengan cara inilah maka mereka dapat makan buah-buah segar dan lezat setiap hari.
Demikianlah, dengan sangat tekun dan tak kenal lelah di bawah gemblengan Kakek yang luar biasa itu, Sin Wan dan Giok Ciu melatih diri dan mempelajari Sin-Liong Kiam-Sut. Setelah mempelajari ilmu pedang gaib ini selama dua tahun lebih, barulah mereka pahami seluruhnya! Kemudian datanglah giliran mempelajari ilmu lweekang yang tinggi dan untuk mempelajari ini, mereka harus tekun bersemedhi dan mempelajari peraturan napas yang berat sekali. Cara-cara semedhi dan menahan napas seperti yang pernah mereka pelajari di bawah pimpinan Kwie Cu Ek dulu sangatlah ringan dan mudah jika dibandingkan cara-cara yang diberikan oleh Suhu mereka ini. Ada kalanya mereka diharuskan bersemedhi dengan jungkir balik yakni kepala di atas lantai dan kaki di atas dan mereka harus mempertahankan tubuh dalam keadaan ini sampai setengah hari!
Ada kalanya mereka harus menahan tubuh dengan sebelah tangan di atas tanah dan menggunakan tangan ini mengganjal tubuh sampai setengah hari lamanya. Dan banyak lagi macam cara bersemedhi yang aneh-aneh juga mereka diajar menahan jalan pernapasan mereka sedemikian rupa sehingga napas yang tersedot itu dapat dijalarkan ke bagian tubuh yang mereka kehendaki sehingga di bagian itu tampak hawa itu bergerak-gerak di bawah kulit seakan-akan ada seekor tikus yang bergerak-gerak dan berjalan di dalam tubuh mereka. Latihan-latihan ini mendatangkan kemajuan besar sekali, baik dalam lweekang maupun ginkang mereka, juga membuat mereka menjadi tenang dan bersemangat. Pada suatu hari, ketika Sin Wan dan Giok Ciu asik mengintai lewatnya binatang di atas sumur, tiba-tiba terdengar derap kaki binatang yang ringan sekali mendatang.
"Seekor kijang!" Sin Wan berkata gembira dan mempersiapkan sebuah batu tajam di tangannya. Sudah lama sekali ia tidak makan daging kijang yang manis dan sedap. Ketika binatang itu datang dekat dengan loncatan kilat meloncati sumur itu, Sin Wan mengayunkan tangannya. Ia menanti jatuhanya korban itu ke dalam sumur. Tapi alangkah herannya ketika ditunggu-tunggu badan binatang itu tidak juga jatuh ke dalam sumur, padahal ia merasa pasti bahwa sambitannya tadi tentu mengenai sasaran.
"Sungguh heran dan aneh," katanya kepada Giok Ciu.
"Kita harus melihat ke atas," kata Giok Ciu. Karena terheran dan merasa penasaran, pula karena menyangka bahwa binatang itu tentu mati di pinggir tebing sumur dan perlu diambil, mereka sekali saja menggenjot tubuh,
Keduanya melayang ke atas dengan berbareng dan sesaat kemudian mereka telah menembus halimun yang menutup sumur itu dan keduanya berada di atas tanah di pinggir sumur. Untuk sejenak mereka agak silau melihat dunia luar, tetapi tiba-tiba mereka melihat bahwa di sekeliling sumur itu terdapat belasan orang yang berpakaian seragam dan bertopi runcing. Tentara Kaisar! Keduanya segera mengenal mereka dan Sin Wan hendak buru-buru terjun kembali ke dalam sumur, tetapi ia melihat kijang besar dan muda berada di dekat orang-orang itu. Sementara itu, belasan tentara Kaisar itu ketika tiba-tiba melihat ada seorang pemuda tampan dan seorang gadis jelita melayang keluar dari sumur, menjadi demikian terkejut dan heran hingga mereka memandang kedua anak muda itu dengan mata terbelalak heran.
"Tuan-tuan, harap kalian kembalikan hasil buruanku itu." Kata Sin Wan dengan tenang sambil menunjuk ke arah bangkai kijang. Diantara pahlawan Kaisar itu terdapat seorang yang sombong dan suka mengagulkan kegagahannya. Ia adalah Song Tat Kin, murid dari Cin Cin Hoat-su si Pendeta tibet, maka kepandaiannya memang cukup tinggi. Apalagi pada saat itu ia bersama tiga belas orang kawannya yang kesemuanya adalah pahlawan-pahlawan dari keraton Kaisar dan kesemuanya memiliki silat yang cukup lihai. Bahkan diantaranya terdapat Sim Kwie si Walet Terbang yang mempunyai ginkang luar biasa sekali.
Tadipun Sim Kwie telah mendemontrasikan kepandaiannya dan mengejar binatang kijang itu. Tepat di atas sumur ia dapat mengejar dan pada saat ia hendak meloncati sumur, tiba-tiba ia melihat binatang itu seperti terpukul sesuatu dari bawah dan tubuh binatang itu terpental ke atas. Tetapi sebelum tubuh binatang itu terjatuh ke dalam sumur, Sin Kwie dengan cepat telah menyautnya dan membawa loncat ke pinggir sumur. Sambil memeriksa luka di dada binatang itu, Sim Kwie dan kawan-kawannya memandang ke dalam sumur dengan terheran-heran dan saling menduga-duga dan mempercakapkan hal yang ganjil ini. Kini melihat bahwa yang melukai kijang hanya seorang pemuda dan seorang gadis cantik, Song Tat Kin segera bertindak maju dan bertolak pinggang lalu berkata,
"Kau orang liar dari mana begitu berani mengaku-aku kijang ini? Yang menangkap adalah kami dan dagingnya adalah bagian kami pula. Kau orang hutan hayo pergi jangan mengganggu kami." Mendengar ucapan orang yang sangat kasar dan menghina ini, Sin Wan masih dapat menahan sabarnya, tetapi Giok Ciu yang lebih keras wataknya segera maju sambil menuding dengan telunjuknya yang runcing dan membentak nyaring,
"Laki-laki kasar yang tidak mengenal aturan! Kau bilang kijang itu kalian yang menangkap, mana buktinya? Tidak tahu malu merampas hak milik orang lain!" Giok Ciu memang memiliki wajah yang cantik jelita dan potongan tubuh yang langsing berisi. Bagaikan bunga, dara yang berusia tujuh belas tahun ini, sedang harum-harumnya dan sedang indah menariknya, maka biarpun sederhana sekali pakaiannya, ia bahkan tampak makin jelita dan menarik. Kini ia sedang marah, sepasang matanya berapi-api dan kedua pipinya kemerah-merahan, maka ia lebih manis pula. Song Tat Kin melihat dara itu marah-marah sambil menunjuk-nunjuk padanya, tidak menjadi marah bahkan tertawa bergelak lalu berkata kepada kawan-kawannya.
"He, kawan-kawan lihatlah. Kuda betina gunung ini tampaknya liar sekali! Tapi, alangkah indah bentuk badannya. Lihat matanya, jelita dan bersih bagaikan mata burung Hong, dan pipinya itu, ah segar kemerah-merahan." Kawan-kawannya tersenyum dan ada yang tertawa girang, lalu terdengar ucapan,
"Song Twako, kau penjinak kuda betina liar, agaknya yang seekor ini cukup bagus untuk kau bikin jinak!" Mendengar kata-kata mereka ini, Giok Ciu yang masih hijau tidak mengerti bahwa yang dimaksudkan kuda betina liar adalah dirinya, maka ia memandang ke kanan-kiri dan mengganggap pembicaraan mereka itu tidak karuan. Tetapi Sin Wan mengerti maksud kata-kata mereka yang kotor dan sangat menghina itu, maka kini lenyaplah kesabarannya. Ia maju dengan mata berkilat,
"Tuan-tuan harap jaga mulut dan jangan bicara sembarangan!" Ia memperingatkan mereka. Orang tinggi besar muka hitam yang tadi memuji-muji Song Tat Kin segera berkata dengan tertawa lebar,
"Song Twako lekas, kau bikin jinak kuda liar ini, biar aku yang mengusir anjing yang pandai menggonggong ini!" Sehabis berkata demikian, si Tinggi Besar lalu mengayun kepalan tangganya yang sebesar kepala orang biasa itu ke arah dada Sin Wan dalam gerak tipu Pai-San To-Hai atau Dorong Gunung Uruk Laut. Gerakan ini dilakukan dengan tenaga ratusan kati beratnya karena maksudnya sekali dorong saja membuat Sin Wan terlempar jauh atau kalau mungkin terdorong masuk ke dalam sumur kembali. Tetapi Sin Wan cepat miringkan tubuh dan berkelit sambil berkata,
"Jangan kalian mendesak, kami tidak mencari permusuhan!" Tetapi si Tinggi Besar yang merasa terhina karena serangannya tidak mengenai sasaran dan karena kata-kata Sin Wan itu dianggap sebagai pernyataan takut, lalu menyerang makin hebat dengan tipu Hek-Houw To-Sim atau Macan Hitam Sambar Hati. Pukulannya berat dan keras, tanda bahwa ia adalah seorang ahli gwakang yang pandai, juga ilmu silatnya tidak lemah dan gerakkannya tetap. Sekali lagi Sin Wan berkelit lincah. Sementara itu, Song Tat Kin yang melihat betapa kawannya telah menyeran Sin Wan yang agaknya jerih, lalu maju ke arah Giok Ciu dengan sikap yang sangat menjemukan.
"Nona, jangan kau marah-marah. Marilah ikut aku ke kota, untuk apa tinggal di tempat seperti ini? Di kota kau akan hidup mewah dan senang!" Ia melihat betapa kulit muka Giok-Ciu yang halus lemas itu perlahan-lahan berubah merah dan menganggap bahwa gadis itu malu-malu, sama sekali ia tidak menyangka bahwa hawa marah Giok Ciu sedang berkobar dan seakan-akan mulai membakar gadis itu. Setelah Song Tat Kin menutup mulutnya, Giok Ciu berseru keras untuk melepas hawa marah yang mendesak dadanya, dan sebelum semua orang tahu apa yang telah terjadi, tahu-tahu Giok Ciu lenyap dan berubah bayangan putih berkelebat cepat ke arah Song Tat Kin dan tahu-tahu orang she Song itu terlempar jauh sekali dan roboh dengan pingsan dan mata terbalik!
Ternyata dara itu karena marahnya yang tak dapat ditahan lagi telah mempergunakan Tipu Cio-Po Thian-Keng atau Batu Meledak Langit Gempar dibarengi ginkangnya yang luar biasa, sekali menyerang tepat menghantam dada Song Tat Kin sehingga mendapat luka di dalam! Kini terkejutlah semua orang, terutama Sim Kwie si Walet Terbang, karena barusan ia telah menyaksikan sendiri bahwa ginkang gadis itu jauh lebih hebat dari ginkangnya sendiri yang telah cukup tinggi dan membuat ia dijuluki si Walet Terbang! Maklumlah ia menghadapi orang berilmu tinggi dan ia tahu bahwa kepandaian Song Tat Kin setingkat dengan kepandaiannya, maka tidak mungkin bisa menang kalau melawan gadis itu seorang diri. Ia lalu berseru,
"Kawan-kawan, serbu!" Maka belasan orang itu lalu menyerang Giok Ciu! Mereka menyangka bahwa yang tinggi ilmu kepandaiannya hanyalah Giok Ciu saja, sedangkan Sin Wan cukuplah dilawan oleh si tinggi besar itu. Tidak tahunya, ketika melihat betapa Giok Ciu timbul marahnya dan kini dikeroyok oleh belasan pahlawan Kaisar itu, Sin Wan lalu berseru,
"Pergilah kau!" dan tahu tahu si tinggi besar yang bermuka hitam itu terlempar jauh dan tak dapat bangun lagi. Paniklah kini para penyerbu dan sebagian lari mengeroyok Sin Wan. Enam orang termasuk Sin Kwie yang lihai mengeroyok Giok Ciu dan enam orang pula mengeroyok Sin Wan. Dan karena ternyata bahwa kedua anak muda itu benar-benar sangat lihai, mereka tidak sungkan-sungkan lagi dan semua mencabut senjata masing-masing.
Dua belas orang yang mengeroyok Sin Wan dan Giok Ciu adalah pahlawan-pahlawan Kaisar kelas tiga yang memiliki kepandaian tinggi juga, maka setelah semua menggunakan senjata, mau tidak mau Sin Wan dan Giok Ciu menjadi terdesak. Baiknya kedua anak muda ini memiliki ginkang yang sempurna, sehingga mereka dapat menghindarkan diri dari semua serangan senjata tajam yang menghujani mereka. Kalau saja pada saat itu mereka memegang pedang pusaka mereka, tentu sebentar saja semua lawannya akan mudah dirobohkan tetapi justru pada saat itu mereka tidak membawa pedang. Tiba-tiba Sin Wan teringat ajaran Kakeknya untuk menggunakan suara suling membikin kalut musuh, maka ia segera berkata kepada Giok Ciu sambil berkelit,
"Masih adakah suling kecilku dulu padamu?" Mendengar ini, Giok Ciu diam-diam mengomel. Mengapa dalam keadaan terdesak dan berbahaya seperti ini tiba-tiba membicarakan tentang hal itu? Tetapi ia menjawab juga,
"Tentu saja ada. Ada apakah?"
"Kau dapat mengeluarkan itu? Coba beri aku pinjam sebentar!" Kini tahulah Giok Ciu akan maksud pemuda itu. Ia menggunakan kepandaiannya meringankan tubuh untuk meloncat jauh dari musuh-musuhnya, lalu cepat sekali merogoh ke dalam bajunya untuk mengambil suling kecil yang ia selipkan di ikat pinggangnya sebelah dalam. Sebenarnya suling itu ia telah memberi ikatan dan selalu diikatkan dengan pinggang sehinnga suling itu takkan terlepas jatuh, maka karena keadaan mendesak, ia mencabut saja suling itu hingga tali ikatannya putus. Ia meloncat lagi ke dekat Sin Wan dan melempar suling itu padanya.