Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Naga 8


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 8




"Tapi yang pasti ialah bahwa waktu ini Cin Cin Hoatsu telah pergi ke Tibet!" Sin Wan dan Giok Ciu menghaturkan terima kasih dan mereka segera meninggalkan tempat itu untuk menyusul ke Tibet! Giok Ciu sangat bernafsu untuk lekas-lekas bertemu dengan musuh besarnya itu hingga ia medesak Sin Wan untuk terus-menerus melakukan perjalanan cepat! Pada suatu hari mereka melepaskan lelah di dalam sebuah hutan yang lebat dan penuh dengan pohon-pohon besar dan bunga-bunga indah. Mereka duduk di dekat serumpun tanaman bunga yang sedang mekar kembangnya dan menyebar bau harum menyedapkan.

"Giok Ciu, ketika kita bertempur membinasakan Siauw-San Ngo-Sinto dulu, ternyata bahwa ilmu pedangmu sangat hebat dan maju sekali," Sin Wan menyatakan pendapatnya memuji. Tapi Giok Ciu memandangnya tak puas,

"Aah, dikata majupun susah, engko Sin Wan. Buktinya masih belum melebihi kemajuanmu, kau berhasil pula membunuh dua orang musuh dan yang seorang terakhir mati di tangan kedua pokiam kita!" Sin Wan memandang gadis itu dengan heran,

"Itu bukan berarti bahwa kau masih kalah olehku, moi-moi. Kita seri, sama-sama kuat hingga seorang berhasil menewaskan dua setengah orang musuh!" Mendengar kelakar Sin Wan ini, Giok Ciu tersenyum,

"Giok Ciu," kata Sin Wan pula dengan suara halus sambal memandang wajah gadis yang manis itu, "Kalau kita dapat bertemu dengan Cin Cin Hoatsu, pasti kau dan aku akan dapat membunuhnya."
Giok Ciu menghela napas.

"Mudah-mudahan kita akan lekas bertemu dengan bangsat tua itu, kalau aku belum membunuh mati orang tua itu, selamanya hatiku dan pikiranku takkan tenteram dan tenang."

"Jangan kau kuatir, moi-moi, bukankah ada aku yang selalu akan berada disampingmu dan membelamu?" kata Sin Wan mengulurkan tangan dan memegang tangan gadis itu. Giok Ciu diam saja dan tidak menarik tangannya karena tempat yang indah itu dengan hawanya yang nyaman rupanya juga mempengaruhi hatinya, maka ia hanya memandang saja wajah Sin Wan yang tampan dan terkasih itu dengan lirikan mesra. Keduanya diam tak bergerak hanya merasakan nikmat dan bahagia ayunan asmara melalui denyutan tangan mereka yang saling berpegang dan melalui pandang mata mereka yang menyampaikan seribu satu kalimat bisu yang mesra! Akhirnya terdengar elahan napas perlahan Sin Wan,

"Giok Ciu, setelah kita berhasil membalas sakit hati dan menewaskan Cin Cin Hoatsu, kita" kita akan kemanakah?" Untuk beberapa saat Giok Ciu tak dapat menjawab, hanya menekan tangan Sin Wan dengan erat dan penuh arti.

"Aku" aku hanya menurut saja padamu, Koko." Sin Wan menjadi girang sekali dan menarik tubuh Giok Ciu hingga kepala gadis dengan rambutnya yang harum itu bersandar di dada Sin Wan yang bidang.

"Benarkah? Kalau begitu, setelah kita berhasil, kau" Kita" akan" kawin?" Merahlah wajah Giok Ciu, tapi ia hanya meramkan mata dan berbisik,

"Terserahlah, Koko, bukankah aku memang calon jodohmu"?" Giok Ciu yang bersandar di dada Sin Wan tiba-tiba merasa sesuatu mengganjal kepalanya. Segera ia mengangkat kepalanya yang bersandar dan memandang Sin Wan karena teringat sesuatu,

"Koko, apakah" Sepatuku dulu itu masih tergantung di lehermu?" Sin Wan tersenyum malu dan ia mengeluarkan sepatu kecil itu.

"Tentu saja!" jawab Sin Wan pasti.

"Koko, kau simpan baik-baik sepatu itu dan belum pernah terpisah dari tubuhmu. Kalau" Kalau kita sudah suami isteri, apakah kau juga masih akan menyimpan terus sepatu itu?"

"Tentu saja!" jawab Si Wan pasti. "Untuk" untuk dipakai oleh kaki kecil kelak!" Gok Ciu masih belum mengerti.

"Kaki kecil? Kaki siapa, Koko?" di dalam suaranya terdengar cemburu. Sin Wan tertawa besar.

"Kaki siapa lagi? Kaki anak kita, tentu!"

"Ah, kau ceriwis!" kata Giok Ciu sambil mencubit lengan pemuda itu, tapi Sin Wan hanya tertawa saja.

"Dan sulingku itu kau kemanakan, moi-moi?" Giok Ciu mencabut suling itu dari ikat pinggang.

"Apakah hanya kau yang bisa berlaku setia?" katanya. Sin Wan mengambil suling itu dan segera mainkan dengan tiupannya yang merayu. Tapi kali ini ia meniup lagu gembira yang menyatakan betapa bahagia rasa hatinya saat itu, sedangkan Giok Ciu lalu menyandarkan kepalanya di dada itu lagi, karena dalam bersandar ini ia merasa seakan-akan dirinya aman sentausa dan mendapat sandaran yang teguh kuat hingga mengamankan hatinya. Memang ia menganggap pemuda itu sebagai tiang sandaran hidup yang selamanya akan melindunginya! Pada saat kedua anak muda itu dimabuk anggur asmara, tiba-tiba terdengar suara tertawa menghina di belakang mereka! Karena asyik mendengar suling yang ditiup oleh Sin Wan, maka keduanya sampai tidak mendengar bahwa di belakang mereka berdiri dua orang Kakek!

Sin Wan dan Giok Ciu mencelat bangun dengan muka merah karena malu. Tapi setelah melihat siapa adanya kedua orang yang menertawakan mereka itu, terkejutlah mereka, berbareng merasa marah sekali. Ternyata bahwa yang datang adalah Kwi Kai Hoatsu dan Keng Kong Tosu, dua pertapa lihai yang pernah bertempur dengan mereka! Diam-diam kedua anak muda itu terkejut juga melihat betapa dua orang saudara dari Cin Cin Hoatsu berdiri di depan mereka dengan sikap mengancam. Untuk Keng Kong Tosu mereka tak perlu takut, walaupun Tosu itupun memiliki kepandaian yang tidak boleh dipandang ringan, tapi karena disitu terdapat Kwi Kai Hoatsu yang telah mereka ketahui memiliki kepandaian jauh lebih tinggi daripada Keng Kong Tosu,

Maka kali ini mereka berdua benar-benar merupakan lawan yang jauh lebih berat daripada Siauw-San Ngo-Sinto! Ternyata bahwa ketika dikalahkan oleh Sin Wan, Keng Kong Tosu lalu ke kota raja dan menemui Kwi Kai Hoatsu. Tapi kebetulan sekai, mereka bertemu di jalan, karena Kwi Kai Hoatsu juga sedang menuju ke Siauw-San untuk membela kelima Tosu ini dari pembalasan musuh-musuhnya yang ia dapat menduga pasti akan mengunjungi Siauw-San pula. Kwi Kai Hoatsu terkejut sekali ketika mendengar bahwa ia terlambat dan bahwa kedua anak muda yang lihat itu telah datang ke Siauw-San bahkan telah mengalahkan Keng Kong Tosu. Ia segera mengajak Keng Kong Tosu cepat-cepat ke Siauw-San, tapi disitu ia hanya menemui makam kelima golok sakti itu yang ternyata telah terbunuh oleh Sin Wan dan Giok Ciu!

Marahlah Kwi Kai Hoatsu dan ia melakukan pengejaran dengan Keng Kong Tosu. Karena kepandaian mereka memang tinggi, pula mereka tiada hentinya melakukan pengejaran, mereka dapat menyusul kedua anak muda itu. Kedua pertapa itu merasa sakit hati sekali karena telah dikalahkan hingga mendapat malu oleh sepasang anak muda itu, maka alangkah girang hati mereka dapat menyusul Sin Wan dan Giok Ciu. Mereka yakin bahwa dengan maju berdua, pasti sakit hati itu dapat terbalas. Pula mereka telah mendengar bahwa kedua anak muda itu adalah musuh-musuh Suheng mereka, ialah Cin Cin Hoatsu! Sebenarnya, ketiga pertapa ini bukanlah saudara seperguruan, tapi ketiganya telah merupakan persekutuan pemimpin paderi Lama di Tibet, yakni sekumpulan paderi yang memberontak dan mengingkari hak kekuasaan pemerintah Lama pusat di Tibet.

Karena sikap memberontak ini, maka terjadi pertempuran dan perebutan kekuasaan di Tibet dan ternyata dalam pertempuran hebat itu, Cin Cin Hoatsu, Kwi Kai Hoatsu dan Keng Kong Tosu dapat dikalahkan dan diusir dari Tibet dan lari ke Tiong-Gwan. Dalam hal tingkat ilmu silat dan ilmu sihir, Cin Cin Hoatsu dan Kwi Kai Hoatsu menduduki tingkat ketiga, hingga dapat diduga betapa tinggi kepandaian mereka. Tingkat kepandaian Cin Cin Hoatsu dan Kwi Kai Hoatsu hampir sama, hanya mereka memiliki ke istimewaan masing-masing. Memang senjata Kwi Kai Hoatsu berupa kebutan dan tongkat ular itu lebih menyeramkan dan lebih berbahaya, karena kedua senjata itu dapat menyemburkan senjata-senjata rahasia yang tak terduga datangnya dan lihai sekali.

Tapi dalam hal kepandaian lweekang, agaknya Cin Cin Hoatsu lebih lihai, sedangkan dalam pertempuran, selalu Cin Cin Hoatsu menggunakan ujung lengan baju yang tidak kalah berbahayanya dengan senjata tajam yang bagaimanapun juga. Keng Kong Tosu sebenarnya adalah seorang murid dari Cin-San-Pai yang sesat jalan dan sudah lama mengekor saja kepada kedua Pendeta berilmu tinggi itu, bahkan mempelajari ilmu hitam dan ilmu sihir dari mereka. Keng Kong Tosu mempunyai semacam penyakit, yakni ia tidak boleh melihat wanita cantik. Maka, sekali bertemu dan melihat Giok Ciu yang cantik jelita, timbullah niat jahat didalam batinnya yang kotor. Kini, setelah melihat betapa mesra hubungan antara gadis itu dengan Sin Wan, cemburulah hatinya.

"Bangsat kecil tak tahu malu!" ia memaki hudtimnya lalu menyerang Giok Ciu! Ia terlalu cerdik untuk menyerang Sin Wan yang pernah merobohkannya, maka ia hendak menyerahkan pemuda yang lihai itu kepada Suhengnya saja, sedangkan ia sendiri ingin menghadapi Giok Ciu yang jelita! Tidak disangka sedikitpun olehnya, ketika Giok Ciu berseru nyaring dan mencabut Ouw Liong Pokiam dan menangkisnya, ternyata pedang pendeknya terpental karena tenaga lweekang gadis itupun luar biasa sekali! Ia lalu berlaku hati-hati dan melempar semua pikiran-pikiran yang nyeleweng untuk dapat memusatkan perhatian dan kepandaian gadis yang ternyata merupakan lawan yang tangguh ini.
Sementara itu, dengan senyum menyindir Kwi Kai Hoatsu berkata kepada Sin Wan,

"Kau hendak mencari dan membunuh Cin Cin Hoatsu? Ha, jangan kau mimpi terlalu jauh, anak muda. Untuk menghadapi kami saja tak mungkin kau menang, apalagi jika ada saudaraku itu disini! Bersiaplah kau menerima pembalasanku terhadap hinaanmu yang melukai kulit pundakku dulu!" Sambil berkata demikian, Pendeta itu lalu mencabut keluar kebutan hudtim dan tongkat ularnya yang lihai telah siap di tangan! Sin Wan tahu benar bahwa lawan ini adalah sangat tangguh dan kepandaiannya masih lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri, maka ia tidak mau didahului, lalu berkelebat dan menyerang hebat dengan Pek Liong Pokiam!

"Bagus!" Kwi Kai Hoatsu berseru menyindir dan iapun menggerakkan tongkatnya di tangan kanan yang diputarnya sedemikian rupa hingga merupakan sinar bundar yang hitam warnanya dan mengeluarkan hawa dingin dan bau amis. Ular yang telah kering dan menjadi tongkat itu kini seolah-olah hidup lagi dalam tangan Pendeta itu hingga Sin Wan harus berlaku hati-hati sekali dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya dan Pek Liong Kiam-Sut untuk melayaninya.

Memang dalam hal lweekang, Sin Wan masih kalah jauh jika dibandingkan dengan Kwi Kai Hoatsu yang telah berpengalaman dan telah memiliki tenaga batin yang kuat, biarpun tenaga itu berasal dari ilmu hitam. Baiknya ilmu Pedang Naga Putih yang dimainkan oleh pemuda itu adalah semacam ilmu yang jarang bandingannya di permukaan bumi, hingga ia masih dapat melayani Pendeta lihai itu dengan ulet. Sebaliknya permainan Ouw Liong Kiam-Sut dari Giok Ciu juga telah membuat Keng Kong Tosu repot sekali dan hanya dapat menangkis saja. Tosu ini dalam sibuknya lalu memusatkan tenaga batinnya dan mulutnya berkemak-kemik membaca mantera, kemudian ia mengeluarkan suara siulan keras sekali hingga Giok Ciu merasa jantungnya berdebar dan merasa ada hawa yang dingin menyerangnya dari depan.

Dalam pandangan matanya, tiba-tiba Tosu itu telah berubah menjadi pucat sekali bagaikan seorang mayat hidup yang mengerikan hingga ia menjadi terkejut sekali. Baiknya ia masih dapat teringat bahwa Tosu ini pandai ilmu siluman dan tentu ini adalah sebuah dari pada ilmu hitamnya itu, maka cepat sekali gadis itu lalu mengumpulkan lweekangnya dan meloncat keatas sambil mementang kedua tangannya dan mengeluarkan siulan-siulan tinggi dan nyaring sekali. Inilah Sin-Tiauw Kiam-Hwat Ilmu Pedang Rajawali Sakti, kepandaian tunggal dari Ayahnya yang telah dipelajari baik-baik. Memang ilmu ini gerakan-gerakannya mengandung tenaga lweekang tinggi dan gerakan-gerakan tangannya mempunyai pengaruh untuk memunahkan segala cengkeraman ilmu sihir dan ilmu hitam.

Biarpun dalam hal ilmu lweekang, gadis itu masih kalah sedikit jika dibandingkan dengan Keng Kong Tosu, namun berkat ilmu pedangnya yang luar biasa dan keteguhan hatinya yang membaja, ia tak usah menyerah kalah terhadap seorang Pendeta ilmu hitam semacam Keng Kong Tosu saja! Keng Kong Tosu terkejut sekali karena setelah berkali-kali gadis itu menyerang dari atas dengan gerakan-gerakan aneh dibarengi siulan-siulan nyaring, maka buyarlah semua tenaga yang dipusatkan, bahkan ia lalu terhuyung-huyung kebelakang. Dengan gemas ia lalu mengebutkan lengan bajunya dan dari situ mengebul keluar asap tebal warna hijau! Giok Ciu dapat menduga bahwa itu tentu semacam racun yang berbahaya sekali,

Maka cepat ia meloncat mundur menjauhinya, lalu menggunakan ginkangnya meloncat tinggi sekali di atas asap itu dan menyerang lawannya dari atas! Gerakannya bagaikan seekor naga sakti terjun dari awan dan terdengarlah teriakan ngeri karena ujung Ouw Liong Pokiam berhasil melukai pundak Keng Kong Tosu! Baiknya Tosu ini mempunyai ilmu kebal, yakni yang disebut "Kim-Ciong-Ko" hingga pedang yang seharusnya membinasakannya itu, hanya melukai pundaknya saja. Tapi ini cukup membuat ia gugup dan jerih sekali. Sedangkan Kwi Kai Hoatsu mendengar teriakan ini lalu menengok. Marahlah ia setelah melihat bahwa kawannya telah terluka. Ia sendiri, biarpun dengan tongkat ular dan kebutan hudtimnya dapat melayani Sin Wan dengan baik, namun ternyata bahwa pemuda itu benar-benar tangkas dan gagah perkasa.

Sin Wan telah mainkan Pek Liong Pokiam sedemikian sempurnanya, hingga sinar putih dari pedangnya merupakan gelombang ombak yang kuat dan besar sekali dan menahan segala serangan kedua senjata lawannya. Namun lawan ini terlalu tangguh hingga ia tidak dapat balas menyerang, biarpun sebaliknya Kwi Kai Hoatsu sendiripun tidak berdaya untuk melukai lawannya yang masih muda itu! Kini marahlah Kwi Hoatsu. Kalau tadi ia masih merasa malu untuk mengeluarkan ilmu hitamnya, kini terpaksa ia gunakan. Diam-diam ia menyimpan kebutannya dan kini tangan kirinya telah memegang segulung tali sutera hitam yang dibuat dari semacam ular. Sin Wan tidak mengerti apa maksud lawannya itu dan senjata apakah yang dipegangnya, maka berlaku sangat hati-hati. Pada saat itu, Kwi Kai Hoatsu membentak,

"Awas jarum!" Dulu pernah Sin Wan menghadapi serangan jarum Pendeta ini dan maklum betapa bahayanya serangan itu, maka ia berlaku waspada. Dari mulut tongkat ular itu menyembur benda warna hitam dan tahu-tahu benda itu terpecah menjadi puluhan jarum-jarum kecil sekali yang menyambar ke seluruh tubuhnya dari mata sampai ke kaki! Karena menyambarnya jarum ini cepat sekali, maka sukar untuk dikelit, juga kalau ditangkis dengan pedang, mungkin tidak semuanya akan tertangkis. Terpaksa Sin Wan lalu jengkangkan tubuh ke belakang dan setelah tubuhnya menyentuh tanah, ia bergulingan pergi cepat sekali!

Maka selamatlah ia, karena jarum-jarum kecil berwarna hitam yang menyambarnya tadi semua adalah jarum berbisa yang luar biasa berbahayanya. Tapi pada saat itu ia menjadi terkejut sekali. Ternyata setelah melihat Sin Wan bergulingan dan untuk sementara waktu tidak berdaya, Kwi Kai Hoatsu lalu meloncat ke arah Giok Ciu yang masih mendesak Keng Kong Tosu dan sambil mengeluarkan bentakan keras, Kwi Kai Hoatsu menggerakkan tangan kirinya. Sinar hitam panjang menyambar bagaikan ular hidup dan tahu-tahu sutera hitam panjang yang lemas itu telah membelit pedang dan tangan Giok Ciu! Gadis itu terkejut sekali karena benda yang halus lemas itu datangnya tidak mengeluarkan suara apa-apa dan tahu-tahu pedangnya telah dibelit, sedangkan tangannya yang terbelit benda hitam itu merasa kesemutan dan tak berdaya.

Juga dari sutera hitam itu keluarlah bau wangi sekali yang menusuk hidungnya dan membuat kepalanya terasa pening hingga ia tidak dapat menguasai tenaga lweekangnya lagi untuk mempertahankan ketika sabuk sutera itu disendal! Pedangnya Ouw Liong Pokiam kena terampas dan kini terpegang oleh Kwi Kai Hoatsu yang tertawa bergelak-gelak! Sin Wan terkejut dan marah sekali. Sambil berseru nyaring ia meloncat menerjang Kwi Kai Hoatsu, tapi pada saat itu Keng Kong Tosu berseru sambil mengeluarkan asap hijaunya ke arah Sin Wan, sedangkan Kwi Kai Hoatsu meloncat ke samping dan kembali menggerakkan tangan kirinya dan pedang Sin Wan seperti halnya pedang Giok Ciu tadi, kini kena terampas pula! Sin Wan terpaksa melepaskan Pek Liong Pokiam, karena ia tahu akan hebatnya racun asap hijau yang mengancamnya, maka ia meloncat pergi sambil melepaskan pedangnya.

"Ha, ha, ha! Kalian seperti harimau-harimau muda kehilangan kuku dan gigi! Mau ke mana lagi?" Kwi Kai Hoatsu mengejek dan mengirim serangan dengan tongkatnya. Juga Keng Kong Tosu segera menyerang Giok Ciu yang kini bertangan kosong! Memang tadi kedua anak muda itu dapat melawan dengan baik dan berada di pihak penyerang karena mereka mengandalkan pokiam dan permaian pedang mereka yang hebat. Tapi kini, bertangan kosog saja menghadapi dua lawan yang sedemikian tangguhnya, membuat mereka sibuk sekali dan harus berkelit ke sana kemari!

"Mari kita pergi, moi-moi!" Sin Wan berteriak. Mereka lalu menggunakan ginkang mereka yang tinggi untuk meloncat jauh dan lari. Tapi mereka menahan kaki mereka karena ternyata kedua Pendeta itu tidak mengejar, hanya tertawa bergelak-gelak sambil memandang.

Sin Wan dan Giok Ciu saling pandang dan kertak gigi karena marah dan gemas, tapi apa yang dapat mereka lakukan? Melawan dengan nekad berarti mengantarkan nyawa sia-sia belaka, sedangkan musuh besar mereka belum juga dapat dibalas! Dengan hati hancur mereka melihat betapa kedua orang tua itu sambil tertawa-tawa membawa pedang mereka meninggalkan tempat itu. Memang Kwi Kai Hoatsu maklum akan kelihaian ginkang kedua anak muda itu hingga kalau ia memaksa mengejar, takkan berhasil dan berarti mencapaikan diri dengan sia-sia. Melihat betapa pedangnya dibawa pergi, tiba-tiba Giok Ciu menangis sambil menutup mukanya dengan tangan. Ia menangis karena gemas dan penasaran sekali dan karena tidak berdaya. Tapi tiba-tiba Sin Wan memegang tangannya dan berbisik,

"Moi-moi, kau lihat disana itu!" Giok Ciu mengangkat muka dan memandang dan iapun terbelalak heran dan mereka lalu tak merasa pula gerakkan kaki dan perlahan-lahan menghampiri kedua musuh mereka.

Sebenarnya apakah yang telah terjadi? Ketika kedua pertapa itu sambil tertawa-tawa membawa pedang rampasan meninggalkan tempat itu dan belum jauh pergi dengan heran mereka tiba-tiba melihat seorang pengemis tua yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam sedang tidur melintang di tengah jalan di depan mereka. Pengemis itu sudah tua dan hampir telanjang, karena pakaiannya compang-camping, rambutnya panjang, hingga dengan mukanya yang hitam itu ia tampak bagaikan setan berkeliaran! Mukanya kurus penuh keriput menandakan usia tua, tapi rambutnya yang panjang itu masih hitam mulus. Ia tiduran di jalan kecil itu hingga sama sekali menghalangi jalan yang hendak dilewati kedua pertapa. Melihat si jembel itu, Keng Kong Tosu membentak,

"Hei, pengemis tua! Pergilah jangan menghalangi jalan kami." Mendengar bentakan ini, pengemis jembel itu memalingkan mukanya yang tadi sebagian tertutup tangan dan lengannya, dan terkejutlah Keng Kong Tosu melihat wajah itu, karena benar-benar menyerupai setan! Matanya lebar memandangnya dan sepasang mata itu berputar-putar aneh mengerikan, sedangkan mulutnya yang berbibir merah sekali itu menyeringai menakutkan. Ini bukanlah wajah seorang biasa yang sehat! Kwi Kai Tosu dapa menduga bahwa jembel tua yang tinggi besar itu tentu berotak miring, karena sinar mata orang waras tidak demikian! Makai a mencegah Keng Kong Tosu mengganggu orang itu lebih jauh.

"Kita lompati saja dia!" katanya Tapi kata-katanya ini bahkan membuat orang gila itu menjadi marah, walaupun ia sama sekali tidak bergerak untuk bangun, hanya tubuhnya yang tadinya miring kini menjadi telentang memandang ke langit dengan matanya yang merah jelalatan. Bibirnya masih tetap menyeringai, tapi sama sekali ia tidak melihat kepada dua Tosu itu. Kini tangan kanannya mengambil batu-batu kecil dan ia bawa batu-batu itu di depan matanya, dipandangi sambil tertawa ha-ha hi-hi, lalu batu-batu itu diciuminya! Kwi Kai Hoatsu tertawa geli dan berkata,

"Kau tidak mau pergi, baiklah, kami pergi!" Ia lalu menggerakkan tubuh hendak meloncati gembel gila itu. Tapi tiba-tiba si jembel menggerakkan kakinya yang panjang dan ia melonjorkan kedua kakinya ke udara sambil tertawa ha-ha hi-hi!

Gerakan ini seperti tidak disengaja, tapi kebetulan sekali ujung kakinya bergerak sedemikian rupa merupakan tendangan-tendangan mau ke arah perut dan dada Kwi Kai Hoatsu yang sedang meloncat, hingga Pendeta itu terkejut sekali lalu meloncat kembali ke tempat semula! Ia hendak marah, tapi melihat betapa si jembel itu mempermainkan kedua kakinya ke atas bagaikan laku seorang kanak-kanak sambil tertawa, ia mengurungkan marahnya karena tahu bahwa orang gila itu tidak sengaja menggunakan kaki untuk menghalang-halanginya ketika meloncat tadi. Setelah memandang kepada Keng Kong Tosu sambil tersenyum untuk menghilangkan kekesalan hatinya, Kwi Kai Hoatsu kembali meloncat, kini tinggi sekali agar jangan sampai melanggar kedua kaki orang gila itu. Tapi tiba-tiba orang gila itu berseru girang,

"Ada burung besar! Ada burung besar!" Suaranya serak dan besar sekali, sedangkan tangannya lalu melempar batu-batu kecl itu ke atas! Kwi Kai Hoatsu yang sedang melayang diatas terkejut sekali karena batu-batu kecil itu menyambar ke arah jalan-jalan darah di kedua kaki dan kedua pundaknya! Cepat sekali ia poksai berjumpalitan untuk menghindarkan batu-batu itu dan kembali meloncat turun di sebelah Keng Kong Tosu. Kini wajahnya berubah merah dan ia marah sekali karena tahu bahwa orang gila itu sengaja mempermainkannya.

"Bangsat gila, bangun kau!" Bentaknya, tapi orang gila itu tikka mengindahkannya dan tertawa ha-ha hi-hi sambil bergulingan di atas tanah.

"Coba lihat, kau mau bangun tidak!" kata Kwi Kai Hoatsu sambil menggunakan ujung kaki mengorek-ngorek tanah hingga debu tebal mengepul ke arah muka dan tubuh, orang gila itu tetap tidak mau bangun dan membiarkan muka dan tubuhnya berleporan debu tebal dan kotor. Tiba-tiba kedua mata yang merah dari si jembel itu memandang ke arah sepasang pedang Pek Liong Pokiam dan Ouw Liong Pokiam yang dipegang oleh kedua Tosu itu, dan matanya memancarkan sinar yang ganjil dan terkejut. Sejak melihat kedua pedang itu, ia tidak mau melepaskan pandangan matanya dari kedua pedang itu lagi. Kemudian ia bangun berdiri dan tubuhnya benar-benar tinggi besar hingga kedua Tosu itu hanya sampai dibawah lehernya. Urat-urat di tubuhnya melingkar-lingkar bagaikan belut dan rambutnya yang panjang terurai ke depan dan belakang. Sungguh ia mengerikan sekali.

"Kau manusia kurang ajar! Siapakah kau yang berani mengganggu kami?" Kwi Kai Hoatsu menahan napsu marahnya dan bertanya, karena ia kuatir kalau-kalau orang ini adalah tokoh kang-ouw yang ternama dan tidak ia kenal. Si gila itu tertawa bekakakan.

"Aku siapa! Siapa aku... Coba kau katakan aku siapa? Aku sendiri sering bertanya-tanya siapakah aku ini! Aku adalah aku dan habis perkara. Kau sudah tahu bahwa aku ini aku, mengapa pakai bertanya-tanya lagi?" Dan ia lalu tertawa ha-ha hi-hi tak karuan. Kwi Kai Hoatsu dan Keng Kong Tosu kini percaya betul bahwa mereka sedang menghadapi orang gila.

"Kau pergilah dan jangan mengganggu kami. Ketahuilah, aku adalah Kwi Kai Hoatsu dan tidak boleh dibuat permainan. Kau pergilah!" Suara Kwi Kai Hoatsu berpengaruh sekali ketika ia memerintah ini.
Aneh sekali, tiba-tiba sikap si gila itu menjadi penurut. Ia menundukkan kepala sebagai seorang kanak-kanak yang ketakutan sekali mendengar perintah ini, lalu keluar jawaban dari mulutnya,

"Aku tidak kenal segala Hoatsu, tapi baiklah aku akan pergi, jangan kau ganggu aku. Tapi" tapi" kedua pedang itu" berikan padaku!"

"Kurang ajar! Pedang ini pedang kami, kau tidak boleh memintanya!"

"Bohong!" tiba-tiba terdengar teriakan Sin Wan yang sementara itu sudah datang mendekat. "Pedang itu pedang kami yang mereka rampas!" Orang gila itu tertawa keras.

"Nah, nah! Kalau begitu harus dikembalikan kepada orang-orang muda ini. Kembalikanlah dulu, nanti aku pergi!" Ia mendesak Kwi Kai Hoatsu yang kini sudah habis sabarnya lagi. Ia maju dan mengirim pukulan keras ke dada orang gila itu untuk mendorongnya ke pinggir. Pukulan itu mengenai dada si gila dengan tepat sekali, tapi aneh sekali, si otak miring itu tidak roboh, bahkan menyeringai sambil berkata berkali-kali,

"Jangan pukul aku... jangan pukul aku...!" kemudian terdengar pula suara ketawanya yang menggema di hutan itu. Bukan main terkejutnya Kwi Kai Hoatsu. Dorongannya tadi sedikitnya mengandung tenaga lima ratus kati, tapi si gila itu tidak terpental bahkan sedikitpun tidak memperlihatkan rasa sakit! Juga Keng Kong Tosu dan kedua anak muda yang berdiri di situ menjadi bengong terheran.

"Kau ingin mampus!" teriak Kwi Kai Hoatsu yang segera mengayun hudtimnya menyambar ke arah leher si gila itu. Ujung hudtim itu menotok ke arah leher dan tepat mengenai jalan darah, tapi lagi-lagi Kwi Kai Hoatsu terkejut sampai pucat mukanya, karena jangankan roboh, berkejab mata juga tidak si gila yang aneh itu. Hanya kali ini ia memandang Kwi Kai Hoatsu dengan mata heran dan berkata,

"Kenapa berkali-kali kau pukul aku?" Kwi Kai Hoatsu tidak menjawab, tapi dengan gemas sekali lalu pencet tekanan di gagang hudtimnya dan dari tengah bulu hudtim itu melayang keluar tujuh buah jarum kecil yang menyambar ke arah leher dan dada si gila!

Giok Ciu hampir berteriak ngeri karena merasa bahwa kali ini si gila pasti akan mampus! Juga Sin Wan merasa kuatir sekali. Tapi si jembel gila itu tidak menjadi gugup. Ia moncongkan bibirnya yang merah seperti darah itu lalu meniup dan sekalian jarum-jarum kecil yang terkenal kelihaiannya itu runtuh ke bawah semua tak berdaya! Kini Kwi Kai Hoatsu benar-benar terkejut dan maklum bahwa gila atau tidak, orang tinggi besar di depan ini bukanlah sembarang orang dan memiliki ilmu yang tinggi! Ia lalu berkemak-kemik dan menggunakan ilmu sihirnya, karena tak mungkin orang ini dapat bertahan menghadapi ilmu hoatlek. Setelah tenaganya terkumpul, ia menggerakkan kedua tangan ke depan dan dengan suara yang sangat berpengaruh ia membentak,

"Kau rebahlah!" Si jembel itu cepat membarengi bentakan Kwi Kai Hoatsu dan berseru lebih keras lagi dengan suaranya yang serak dan besar,

"Mari kita sama-sama rebah!" dan aneh sekali Kwi Kai Hoatsu tak dapat mempertahankan tenaga gaib yang memaksanya untuk menggulingkan diri, hingga lalu rebah di tanah! Kwi Kai Hoatsu jengkel dan marah mendengar betapa Sin Wan dan Giok Ciu terkekeh melihat pemandangan lucu itu, bahkan Keng Kong Tosu sendiri yang menganggap kawannya sedang main gila, berkata,

"Suheng, apa penyakit otak si gila itu menular padamu?" Tapi Kwi Kai Hoatsu juga berbareng merasa terkejut dan jerih, karena entah dengan ilmu apa, si gila telah berhasil menampar kembali tenaga gaibnya hingga senjata makan tuan! Melihat Kwi Kai Hoatsu bangun si gila juga ikut bangun sambil tertawa menyeringai.

"Sobat, sebenarnya kau siapakah dan apa maksudmu menggangu kami?" Kwi Kai Hoatsu bertanya,

"Kau sudah tahu, aku ya aku, dan siapa menganggu kalian? Kaulah yang mengganggu mereka, maka pulangkanlah pedang mereka itu!"

"Kau sungguh keterlaluan!" Keng Kong Tosu membentak marah dan ia lalu menggerakkan pedang pendeknya untuk menyerang. Tapi tiba-tiba ia terkejut sekali karena sekali berkelebat saja si gila itu telah lenyap dari pandangannya dan tahu-tahu suara ketawanya yang ha-ha hi-hi telah terdengar di belakang telinganya! Ia membalikkan tubuh dan menyerang lagi bertubi-tubi, tapi sia-sia, karena gerakan si gila yang tak teratur itu sungguh cepat sekali dan membingungkannya.
(Lanjut ke Jilid 08)

Kisah Sepasang Naga/Ji Liong Jio Cu (Seri ke 02 - Serial Jago Pedang Tak Bernama)
Karya : Asmarainan S. Kho Ping Hoo

Jilid 08
Melihat kawannya dipermainkan, Kwi Kai Hoatsu juga lalu menggerakkan tongkat dan kebutan hudtimnya untuk menyerang, hingga sebentar saja orang gila itu dikeroyok oleh kedua Tosu yang bersenjata dan lihai itu. Tapi kesudahannya sungguh-sungguh membuat Sin Wan dan Giok Ciu diam-diam dan tak terasa saling berpegangan tangan dan menahan napas! Dengan tangan kosong, orang gila itu melayani kedua Tosu itu dan saban-saban ada kesempatan, ia menggunakan kedua telapak tangannya yang kotor dan bau itu untuk diusapkan di muka kedua lawannya, hingga setelah kena diusap beberapa kali, muka Kwi Kai Hoatsu dan Kang Keng Tosu menjadi kotor dan hitam! Tentu saja perbuatan si gila ini tampak lucu sekali dan merupakan hal yang sangat menghina kedua tokoh itu. Ah, kalau saja ada kawan-kawan mereka melihat hal ini, alangkah akan malunya!

Dipermainkan sedemikian rupa oleh seorang gila yang bertangan kosong, sedangkan mereka mengeroyok berdua! Sebaliknya Sin Wan dan Giok Ciu merasa kagum karena tak mereka sangka di dunia ini banyak sekali orang-orang pandai. Mereka taksir bahwa kepandaian orang yang seperti gila itu setidak-tidaknya setingkat dengan kepandaian guru mereka, Bu Beng Sianjin! Maka timbul harapan di dalam hati mereka, karena agaknya orang gila itu membantu mereka untuk merampas kembali kedua pokiam mereka. Sementara itu, karena makin lama makin sering tangan si gila itu mengusap muka mereka, Kwi Kai Hoatsu dan Keng Kong Tosu merasa geli dan ngeri. Kalau saja si gila ini bermaksud jahat, tentu sudah tadi-tadi mereka menjadi mayat! Maka mereka lalu meloncat pergi dengan maksud kabur. Tapi alangkah terkejut mereka ketika tahu-tahu si gila telah menghadang di depan pula!

"Sebenarnya kau mau apakah?" teriak Kwi Kai Hoatsu dengan gemas sekali.

"Pedang mereka... pedang mereka... kembalikan!" kata si gila sambil melanjutkan gerakan-gerakan silatnya yang luar biasa anehnya dan yang selama hidupnya belum pernah dilihat oleh kedua Tosu itu.

"Kau mau pedang ini? Nah, terimalah!" Kwi Kai Hoatsu lalu sambitkan Pek Liong Pokiam ke arah si gila itu yang disambut dengan mudahnya oleh orang gembel itu. Juga Keng Kong Tosu lalu sambitkan Ouw Liong Pokiam ke arah lawannya. Kini si gila itu menggunakan Pek Liong Pokiam untuk menerima luncuran Ouw Liong Pokiam. Ketika pedang hitam itu meluncur dan hendak menancap di dadanya, ia menggunakan pedang putih untuk menempel pedang hitam hingga kedua pedang menempel lalu diputar sedemikian rupa dengan cepat sekali hingga pedang hitam terputar-putar di sekeliling pedang putih dengan ujung saling tempel!

"Bukankah itu gerakan Naga Sakti Putar Ekor yang diajarkan oleh Suhu?" Tiba-tiba Giok Ciu berbisik sambil menekan tangan Sin Wan.

"Memang betul, agaknya orang itupun kenal ilmu silat kita. Mari kita hampiri dia." Si Gila itu masih memutar-mutar pedang itu ketika Sin Wan dan Giok Ciu tiba di situ dan kedua anak muda itu tanpa ragu-ragu lagi lalu menjatuhkan diri berlutut di depan orang itu. Si gila sambil memutar-mutar pedang melihat ke arah depan di mana Kwi Kai Hoatsu dan Keng Kong Tosu berlari-lari cepat meninggalkan orang yang aneh dan membuat mereka jerih dan ketakutan itu, karena selama hidup belum pernah mereka bertemu denga orang yang seaneh dan sehebat itu kepandaiannya! Mereka merasa beruntung tidak terbunuh olehnya.

"Mereka itu kutu-kutu busuk!" si gila berkata berulang-ulang. Kemudian ia melihat kedua anak muda yang berlutut di depannya, maka iapun berlutut dan melihat-lihat tanah di depan Sin Wan dan Giok Ciu.

"Eh, eh, kalian sedang mencari apakah? Apa sedang mengintai jangkerik?" maka iapun lalu mencari-cari dan menyingkap-nyingkap rumput di situ! Sin Wan dan Giok Ciu saling melirik.

"Lo-Cianpwe, teecu berdua menghaturkan banyak-banyak terima Kasih atas pertolongan Lo-Cianpwe kepada kami," kata Sin Wan dengan suara menghormat. Orang aneh itu bangun berdiri dan sekali sentak dengan sebelah tangannya, tubuh Sin Wan terangkat naik hingga anak muda itu terpaksa berdiri.

"Kau berdirilah, tak enak bicara sambil berlutut!" katanya kepada Giok Ciu yang segera berdiri. Mereka berdua berdiri dengan sikap hormat sekali.

"Siapakah yang tolong siapa? Mereka merampas pedangmu dan aku ambilkan itu dari mereka untukmu!"

"Lo-Cianpwe sudilah kiranya memberitahukan teecu berdua nama yang mulia dari Lo-Cianpwe agar teecu berdua tak mudah melupakan budi Lo-Cianpwe ini."

"Bicaramu sulit dimengerti," kata si gila setelah memeras otak memikir-mikir untuk memahami kata-kata Sin Wan.

"Namaku ya aku, dan nama kalian siapa akupun tak perlu tahu. Nah, ini terima pedangmu!" Dengan tak acuh ia angsurkan kedua pedang itu yang disambut oleh Sin Wan dan Giok Ciu dengan girang sekali dan membungkukkan tubuh.

"Pedang ini baik sekali, sayang kalau terjatuh di tangan mereka. Lain kali jangan sampai kena dirampas orang pula!" Tiba-tiba saja suara si gila ini terdengar terang dan waras.

"Mohon petunjuk dari Lo-Cianpwe, karena teecu berdua memang masih dangkal pengetahuan," kata Sin Wan. Orang tinggi besar itu tertawa lalu tiba-tiba ia berjungkir balik, kedua tangannya di bawah dan kedua kaki di atas! Dalam keadaan begini, agaknya orang itu meraa lebih enak, lalu tertawa ha-ha hi-hi dan berkata.

"Petunjuk apakah? Kalau kalian bisa meniru kepandaianku ini, tak mungkin dua imam itu mampu merampas pedangmu!" Hampir saja Giok Ciu tertawa geli, karena apakah susahnya untuk berdiri dengan kaki di atas seperti itu? Jangankan dengan kedua tangan, biar dengan sebelah tanganpun ia sanggup melakukannya dengan mudah sekali. Tapi Sin Wan segera berkata.

"Lo-Cianpwe, kenalkah Lo-Cianpwe kepada Suhu kami? Suhu disebut Bu Beng Sianjin! Kenalkah Lo-Cianpwe padanya?" Sepasang mata yang berada di bawah itu berputar-putar cepat, tanda bahwa otaknya yang telah hampir beku itu dikerjakan keras.

"Bu Beng...? Bu beng...? Ah, aku kenal... aku kenal...!" Tiba-tiba ia berseru keras sekali.

"Heh...!" dan tahu-tahu tubuhnya yang tadi berdiri terbalik itu membal ke atas tinggi sekali! Di atas masih terdengar suaranya "Bu... Beng"?" Dan sekali lagi di atas ia berseru "Heh...!" Tahu-tahu tubuh yang masih berada di atas itu mencelat jauh dan lenyap dari pandangan mata kedua anak muda itu. Sin Wan dan Giok Ciu bengong Mereka terkejut, heran, dan kagum sekali melihat kehebatan orang gila itu! Sin Wan menghela napas dan berkata,

"Ah, sungguh di dunia ini banyak orang-orang berilmu tinggi, hingga jika dibandingkan, kita ini bukan apa-apa."

"Tadi ketika ia berdiri jungkir balik, ia bilang bahwa kalau kita bisa menirunya, maka kedua Tosu itu takkan mungkin dapat merampas pedang kita. Apakah maksudnya, koko? Apakah artinya kepandaian jungkir balik macam itu?"

"Aku juga sedang memikirkan itu, moi-moi. Memang kelihatannya itu bukan kepandaian yang berarti, tapi kau ingatkah ketika ia meloncat ke atas tadi? Ia mempergunakan bentakan dalam dada dan tahu-tahu tubuhnya telah mumbul ke atas tinggi sekali, bahkan di ataspun ia dapat gunakan tenaga mujijat itu untuk melesat pergi jauh sekali! Kurasa ia melatih lweekang dan ginkang yang tinggi dengan cara bersamadhi sambil berdiri jungkir balik!" Giok Ciu mengangguk-angguk.

"Mungkin juga, bukankah Suhu juga sering bersamadhi dengan cara yang aneh-aneh?" Maka teringatlah Sin Wan.

"Agaknya orang aneh tadi kenal kepada Suhu, tapi mungkin juga tidak, karena sikapnya sungguh-sungguh aneh hingga aku hampir percaya bahwa ia benar-benar gila! Giok Ciu, kita harus akui bahwa kepandaian kita masih dangkal sekali. Baru menghadapi dua orang saudara Cin Cin Hoatsu saja kita hampir mengalami bencana, apalagi kalau harus menghadapi Cin Cin Hoatsu yang lihai. Memang sebenarnya pelajaran kita belum tamat dan dahulu kita terpaksa berpisah dari Suhu. Kurasa lebih sempurna lagi kalau kita sekarang kembali dulu dan mohon kepada Suhu untuk memberi pelajaran selanjutnya kepada kita sampai tamat. Setelah itu, barulah kita berdua pergi mencari Cin Cin Hoatsu. Bagaimana pendapatmu, moi-moi?" Sebenarnya, gadis itu ingin lekas-lekas mencari musuh besarnya dan membalas dendam, tapi setelah dipikir-pikir bahwa kata-kata Sin Wan betul, pula mengingat betapa baru saja mereka gagal melawan Kwi Kai Hoatsu dan Keng Kong Tosu ia lalu menyetujui ajakan Sin Wan.

Maka mereka lalu kembali dan menuju ke Kam-Hong-San untuk mencari Suhu mereka dan minta pimpinan lebih jauh. Ketika mereka tiba di kaki bukit Kam-Hong-San, Sin Wan tidak lupa untuk mampir di kampungnya. Penduduk kampung dengan gembira ria menyambut pemuda pemudi itu dan memaksa mereka bermalam di situ. Sin Wan didesak untuk menceritakan pengalamannya dan ketika mendengar bahwa pembunuh-pembunuh Kang Lam Ciuhiap dan Ibu Sin Wan telah dapat terbalas dan dibinasakan, mereka bersorak-sorak girn dan merasa puas sekali, karena ini berarti bukan hanya pembalasan sakit hati kedua orang itu, tapi juga pembalasan sakit hati para orang-orang yang dulu dengan gagah menolong Kang Lam Ciuhiap tapi juga terbunuh oleh para kaki tangan Kaisar itu.

Pada keesokan harinya Sin Wan dan Giok Ciu menengok makam Kang Lam Ciuhiap dan Ibu Sin Wan, dimana pemuda itu bersembahyang dengan hati terharu. Ia merasa berterima Kasih kepada orang-orang kampung yang ternyata merawat makam itu dengan baik-baik hingga rumputnya terbabat rapih dan tampaknya bersih. Kemudia mereka berdua mendaki bukit Kam-Hong-San untuk mencari Suhu mereka. Di sepanjang jalan, pemandangan-pemandangan di gunung yang telah mereka kenal baik itu membuat mereka terharu dan membongkar kenangan-kenangan lama. Ketika mereka tiba di sumur naga tempat pertapaan Suhu mereka, dari jauh mereka sudah melihat Bu Beng Sianjin duduk di pinggir sumur seorang diri! Alangkah girang hati mereka dan cepat-cepat mereka berlari lalu menjatuhkan diri berlutut sambil menyebut,

"Suhu...!"

"Kalian sudah kembali? Berhasilkah usahamu?" kakek yang kurus kerig dengan rambut putih panjang terurai ke belakang itu bertanya halus. Sin Wan dan Giok Ciu lalu menuturkan pengalaman mereka bergantian, betapa mereka telah berhasil membunuh Suma-Cianbu dan Siauw-San Ngo-Sinto, tapi betapa mereka hampir celaka di tangan Kwi Kai Hoatsu dan Keng Kong Tosu kalau saja tidak ditolong oleh seorang aneh yang adatnya seperti orang gila. Bu Beng Sianjin mendengarkan dengan penuh perhatian dan ketika mendengar tentang orang-orang aneh itu, ia tertarik sekali.

"Coba ceritakan, bagaimana rupa orang itu?" Sin Wan lalu melukiskan keadaan orang gila yang sakti itu sedapat mungkin. Kakek itu mengangguk-angguk.

"Hem, hm, tinggi sekali dan besar, rambut hitam, mukanya hitam, matanya bundar dan besar? Ya, ya, tak salah lagi, dialah itu""

"Siapakah orang itu, Suhu? Ketika teecu menanyakan namanya, ia hanya menjawab bahwa dia adalah dia, sama sekali tidak menyebut nama, entah lupa entah memang tidak punya nama. Ketika teecu menyebut nama Suhu, ia kelihatan seperti orang mengingat-ingat dan lalu pergi."

"Muridku, dia tidak mau dikenal untuk apa pusing-pusing dan memaksa-maksa? Dia adalah seorang gagah perkasa yang beradat keras dan jujur, tapi malang sekali ia menerima ilmu silat dari mahluk-mahluk halus, ia berguru kepada iblis sendiri, maka ilmu silatnya demikian lihai, tapi untuk kepandaian itu ia harus mengorbankan jiwanya karena ia menjadi gila! Maka muridku, sekarang tidak boleh terlalu mengandalkan kepandaian lahir untuk berlaku sewenang-wenang atau menyombong. Ketahuilah bahwa segala kepandaian itu hanya milik pinjaman saja dan akan lenyap dan musnah bersama raga kita. Maka selagi masih hidup harus dapat mempergunakan segala macam kepandaian yang dimiliki untuk mengerjakan sesuatu yang berguna bagi orang-orang lain, melakukan perbuatan-perbuatan baik demi perikemanusian dan dengan demikian maka takkan percumalah orang mengejar ilmu. Kalau mengejar ilmu dengan susah payah untuk kemudian dipergunakan hanya untuk kepentingan diri sendiri saja, untuk menyenangkan diri sendiri tanpa memikirkan kesulitan dan kesengsaraan orang lain, maka kau berarti lebih gila daripada orangyang sebenar-benarnya gila! Mengertikah kalian?" Sin Wan dan Giok Ciu mengangguk-angguk menyatakan bahwa mereka mengerti akan petuah ini.

"Kalian tadi mengatakan bahwa kalian dikalahkan oleh dua orang Tosu yang memiliki hoatsut? Apakah sebenarnya hoatsut? Bukan kepandaian yang mengherankan, karena sebenarnya orang yang menggunakan ilmu sihir bukanlah karena mereka memang mempunyai tenaga yang berlebihan, tapi mereka justeru menggunakan kelemahan lawan untuk menjatuhkannya. Ketahuilah bahwa alam ini digerakkan oleh kesatuan tenaga maha hebat dan di dalam tiap tubuh manusia terdapat sebagian daripada kesatuan tenaga dan dengan tenaga inilah maka segala hal mungkin dilakukan oleh manusia. Galilah dan carilah tenaga ini, maka kalian akan kuat menghadapi segala macam hoatsut dari orang-orang jahat!"

Demikianlah, semenjak saat itu Sin Wan dan Giok Ciu mendapat gemblengan ilmu batin yang hebat dari Suhu mereka dan mendapat latihan lweekang yang lebih tinggi. Juga di bawah pimpinan orang tua yang aneh itu mereka menyempurnakan latihan mereka dalam hal ilmu pedang Pek-Liong Kiam-Sut dan Ouw-Liong Kiam-Sut. Tapi berbeda dengan dulu, kini mereka berlatih di udara terbuka, karena Bu Beng Lojin bersamadhi diluar sumur dan berkata untuk berlatih lweekang yang tinggi dan berlatih napas, maka lebih baik bagi kedua orang murid itu untuk bersamadhi di udara terbuka.

Setahun telah berlalu dengan cepat sekali semenjak Sin Wan dan Giok Ciu kembali ke Kam-Hong-San untuk mempertinggi ilmu silat mereka. Di dalam waktu setahun itu, mereka mendapat kemajuan pesat sekali. Hubungan mereka tetap mesra dan saling cinta, walaupun kini mereka dasarkan cinta mereka lebih mendalam, tanpa dikotori napsu. Namun, betapapun mereka telah menerima gemblengan ilmu batin, jiwa muda mereka selalu dipanaskan oleh darah muda hingga mereka tetap bersemangat dan penuh hasrat hidup yang bernyala-nyala. Suhu mereka juga tahu akan eratnya hubungan kedua muridnya dan kakek yang aneh ini sering kali diam-diam menghela napas seakan-akan menderita sesuatu yang menyedihkan. Ia pernah panggil menghadap kedua muridnya dan berkata dengan perlahan dan tenang, tapi cukup mengejutkan hati kedua anak muda itu.

"Sin Wan dan Giok Ciu! Aku telah maklum sedalam-dalamnya apa yang terkandung dalam hatimu berdua, memang demikianlah seharusnya perasaan dua orang yang sudah terikat jodoh. Hanya pesanku, murid-muridku, jika kalian telah berhasil membalas sakit hati orang tuamu, maka sebelum kalian menjadi suami isteri, kalian harus membawa kembali kedua pokiam itu dan menyimpannya kembali ke dalam gua naga di dalam sumur. Karena kedua pokiam itu sudah cukup membersihkan karat mereka dengan darah orang-orang jahat, dan adalah menjadi pantangan besar bagi kedua pedang pusaka itu untuk dimiliki oleh sepasang suami isteri!" Tentu saja Sin Wan dan Giok Ciu saling pandang dengan muka berubah karena hati mereka terguncang, tapi mereka tak berani membantah, hanya berlutut dan menyanggupi kehendak Suhu mereka. Bu Beng Lojin menghela napas lagi dan berkata,

"Sin Wan dan Giok Ciu, hal jodoh adalah kehendak Tuhan, asal saja kalian selalu ingat bahwa sepasang suami isteri sama sekali tidak boleh memiliki kedua pedang itu!" Pada suatu pagi, Sin Wan dan Giok Ciu berjalan-jalan di lereng-lereng bukit Kam-Hong-San. Mereka menikmati tamasya alam yang indah dan yang membuat mereka teringat akan peristiwa-peristiwa dulu. Bagi mereka, tempat ini merupakan tempat takkan dapat dilupa seumur hidup, karena disinilah mereka pertama kali bertemu.

"Koko, kurasa sekarang sudah tiba waktunya bagi kita untuk berpamit kepada Suhu dan pergi mencari musuh besarku," kata Giok Ciu.

"Kurasakan begitu, moi-moi. Baiklah kita tanyakan saja kepada Suhu, karena Suhu sakti dan waspada." Tiba-tiba Giok Ciu menunding ke bawah bukit dan berseru,

"Koko, lihat!" Dari bawah lereng tampak bayangan orang berlari-lari cepat sekali ke atas bukit, dan ternyata ilmu lari cepat orang itu boleh juga, hingga sebentar saja ia telah datang dekat dengan kedua anak muda itu.

"Gak Bin Tong!" Giok Ciu berseru heran. Juga Sin Wan heran melihat datanya pemuda muka putih yang berlari-lari ke atas dengan wajah ketakutan itu.

"Aduh, kebetulan sekali, tolonglah aku, saudara Bun! Kwie Lihiap, tolonglah aku!"

"Ada apakah, saudara Gak?" Sin Wan bertanya dengan heran, tapi jawaban pertanyaannya itu terdengar olehnya ketika dari bawah muncul bayangan banyak orang yang berlari-lari cepat sekali mengejar ke atas.

"Siapakah mereka yang mengejarmu?" tanya Sin Wan.

"Siapa lagi kalau bukan anjing-anjing istana!" jawab Gak Bin Tong. "Mereka hendak membunuhku. Tolonglah, saudara Sin Wan yang baik!" Setelah berkata demikian, orang she Gak itu lalu melarikan diri di belakang Sin Wan dan Giok Ciu, agaknya ia takut sekali. Giok Ciu yang masih merasa marah karena sikap Gak Bin Tong yang dulu telah mengacaukan perhubungannya dengan Sin Wan, berkata kurang senang.

"Bukankah kau seorang gagah yang memiliki kepandaian tinggi? Mengapa harus berlari-lari terhadap mereka? Mengapa tak kau lawan dengan pedangmu?" kata-kata ini jelas sekali menyatakan bahwa ia enggan untuk membantu, tapi Gak Bin Tong berkata dengan suara memohon.

"Kwie Lihiap, mereka lihai sekali, bukan lawanku!" Giok Ciu memandang Sin Wan dan berkata perlahan,

"Koko, kurasa tak baik kita ikut campur urusan ini. Bukan urusan kita dan tidak ada sangkut pautnya dengan kita."

"Bukan demikian, moi-moi. Biarpun andaikata kita tidak membantu saudara Gak, sudah sepatutnya kita halau pergi pahlawan-pahlawan Kaisar itu. Mereka bukanlah manusia-manusia baik dan perlu diusir. Pula, saudara Gak pernah melepas budi kepada kita, masakan sekarang kita tidak mau menolongnya? Jangankan dia sendiri, bahkan siapa saja yang dikejar-kejar pengawal kraton dan hendak dibunuhnya, harus kita tolong bukan?" Alasan-alasan yang dimajukan Sin Wan ini kuat sekali hingga Giok Ciu tak dapat membantah lagi sementara itu, pengejar-pengejar Gak Bin Tong telah tiba di situ dan ternyata mereka terdiri dari tujuh orang pahlawan-pahlawan kelas satu. Di antara mereka terdapat orang-orang yang pernah mengeroyok sin Wan dan Giok Ciu, maka begitu melihat kedua orang muda itu, mereka berteriak.

"Betul saja, binatang she Gak itu telah bersekutu dengan orang pemberontak ini. Hayo tangkap ketiga-tiganya!" Mereka itu menjadi tabah karena di antara mereka terdapat jagoan-jagoan yang berilmu tinggi, maka segera mereka mengurung dan menyerbu dengan senjata di tangan. Gak Bin Tong menangkis serangan seorang pengawal dengan pedangnya dan Sin Wan bersama Giok Ciu memutar sepasang pokiam mereka melayani pengeroyok yang lain. Sin Wan dan Giok Ciu pada saat itu bukanlah Sin Wan dan Giok Ciu pada waktu setahun yang lalu. Kepandaian mereka telah maju pesat dan didorong oleh tenaga batin dan lweekang mereka yang tinggi, otomatis ilmu pedang mereka juga maju hebat.

Dulu ketika ilmu pedang mereka belum matang saja sudah sukar sekali dilawan, maka kini setelah kepandaian mereka matang dan mendekati kesempurnaan, tak dapat ditaksir kelihaiannya. Para pengeroyok itu hanya melihat sinar panjang hitam dan putih berputar-putar mengelilingi mereka dan mendengar sambaran pedang itu tapi hampir tak dapat mengikuti gerakan kedua anak muda yang menyambar-nyambar bagaikan sepasang naga sakti. Baru beberapa gebrakan saja terdengar jeritan-jeritan mengaduh dari para pengeroyok yang kena pukul atau tendang. Masih untung bagi mereka bahwa Sin Wan dan Giok Ciu tidak mau menewaskan jiwa orang, maka mereka hanya kena pukulan yang biarpun cukup hebat hingga membuat mereka tak berdaya, namun tak sampai membahayakan keselamatan jiwa mereka. Setelah masing-masing menjatuhkan dua orang, Sin Wan membentak,

"Hayo pergilah kalian kalau sayang jiwa!" Para pengeroyok yang belum terluka mendengar bentakan ini segera menarik kembali senjata mereka dan sambil membantu kawan-kawan yang terluka, mereka meninggalkan lereng itu dengan jalan terpincang-pincang, Gak Bin Tong menjura kepada dua orang anak muda itu,

"Terima Kasih banyak atas pertolongan jiwi. Kalau tidak tertolong oleh kalian, tentu Gak Bin Tong hari ini tinggal namanya saja. Sungguh merasa kagum sekali melihat kehebatan kalian, baru beberapa bulan saja berpisah. Sungguh membuat aku takluk dan tunduk" Sambil tiada habisnya memuji-muji, pemuda muka putih itu menjura dengan hormatnya. Terpaksa Sin Wan balas menjura, sedangkan Giok Ciu memalingkan muka tak mengacuhkannya.

"Sudahlah, saudara Gak. Sebetulnya, mengapakah kau dikejar-kejar oleh mereka itu?" tanya Sin Wan. Gak Bin Tong menghela napas panjang sebelum menjawab.

"Kau tahu sendiri, saudara Sin Wan, bahwa biarpun aku tinggal di kota raja dan menjadi keluarga pembesar, namun aku berbeda dengan mereka. Aku bukanlah seorang pengawal, dan aku tidak mencampuri urusan mereka. Karena itulah maka mereka itu diam-diam membenciku. Kemudian datanglah hari celaka bagiku, ketika ada seorang membuka rahasiaku dan mengatakan bahwa dulu aku pernah menolong kalian!" Terkejutlah Sin Wan mendengar ini.

Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



"Heran sekali, siapa yang dapat mengetahui hal itu?"

"Siapa lagi kalau bukan... Suma Siocia!" Mendengar nama ini disebut-sebut sepasang mata Giok Ciu memancarkan sinar ketika ia memandang kepada pemuda muka putih itu.

"Jangan kau sebut-sebut nama orang itu disini!" bentaknya dengan tiba-tiba dan marah hingga tidak hanya Gak Bin Tong, tapi juga Sin Wan juga merasa terkejut dan heran. Tapi gadis itu tanpa perdulikan mereka, lalu memutar tubuhnya dan pergi dari situ.

"Saudara Gak, sekarang keadaan sudah aman dan kau boleh pergi tanpa kuatir lagi," kata Sin Wan yang sebenarnya bermaksud mengusir dengan halus, karena sesungguhnya, iapun tidak suka kepada pemuda ini. Gak Bin Tong memandangnya dengan wajah kaget.

"Pergi? Kemana, saudara Bun? Lindungilah aku dan tolonglah untuk dua atau tiga hari lagi. Aku tahu bahwa mereka itu masih penasaran dan mereka tidak mengejarku hanya karena ada kau dan Kwie Lihiap di sini. Mereka tentu menanti di kaki bukit dan kalau melihat aku turun seorang diri, celakalah aku!"

"Habis, apa yang kau kehendaki, saudara Gak?"

"Ijinkanlah aku tinggal di tempatmu barang tiga hari. Biarlah, aku akan tidur di atas tanah saja, asal dekat dengan engkau hingga anjing-anjing itu takkan dapat menggangguku." Sin Wan ragu-ragu.

"Tapi Suhu telah pesan bahwa orang luar tidak boleh memasuki dan tinggal di puncak dimana kami bertiga tinggal," katanya.

"Suhumu?" mata pemuda muka putih itu berseri-seri, "Biarkan aku memohon padanya, biarlah kalau beliau marah, aku yang bertanggung jawab dan sedia dihukum." Setelah didesak-desak dengan alasan bahwa kalau dipaksa turun tentu akan mati terbunuh oleh pahlawan-pahlawan Kaisar, akhirnya Sin Wan dengan apa boleh buat mengabulkan permintaan Gak Bin Tong dan membawa pemuda itu kepada Suhunya. Bu Beng Lojin sedang duduk seorang diri di atas sebuah batu ketika Sin Wan menghadap diikuti oleh Gak Bin Tong di belakangnya. Giok Ciu tidak tampak di situ. Sin Wan berlutut di depan Suhunya dan Gak Bin Tong dengan hormat sekali juga berlutut.

"Suhu!" Sin Wan memanggil karena kakek tua itu diam saja seolah-olah tidak melihat mereka. Mendengar panggilan muridnya, ia menggerakkan kepala memandang dengan matanya yang tua.

Cari Blog Ini