Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Naga 9


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 9




"Eh, Sin Wan, kau datang dengan siapakah?" Gak Bin Tong buru-buru mengangguk-angguk kepala lalu berkata,

"Mohon beribu ampun, Lo-Cianpwe, teecu Gak Bin Tong datang menghadap. Karena di kejar-kejar dan hendak di bunuh oleh pengawal Kaisar, maka teecu lari ke sini dan mohon perlindungan Lo-Cianpwe yang mulia." Bu Beng Lojin mengerutkan alisnya lalu berkata dengan suara yang berpengaruh,

"Coba kau angkat mukamu!" Gak Bin Tong tak dapat membantah, lalu angkat mukanya dan memandang kepada kakek tua yang aneh itu. Bu Beng Lojin ketika melihat wajah Gak Bin Tong tiba-tiba entah mengapa, menjadi berubah mukanya dan ia mengangguk-angguk dan menghela napas, panjang berulang-ulang. Mendengar ini, sin Wan memandang gurunya dan kagetlah ia karena gurunya tampak seakan-akan bersedih sekali.

"Sin Wan, kaukah yang membawanya masuk ke tempat kita?"

"Benar, Suhu, karena tak dapat teecu biarkan saja dia terancam maut kalau turun gunung."

"Lo-Cianpwe, mohon jangan persalahkan saudara Sin Wan, sebenarnya teecu lah yang mendesaknya dan..."

"Sudahlah, sudahlah... kau, orang she Gak, kau pergilah ke rimba itu, aku ingin bicara berdua dengan Sin Wan." Gak Bin Tong dengan takut-takut mengundurkan diri dan pergi ke rimba yang berada tak jauh dari situ, lalu duduk dibawah sebatang pohon besar sambil termenung memikirkan nasibnya.

"Sin Wan, kau panggil Giok Ciu ke sini," kata Bu Beng Lojin. Sin Wan lalu berdiri dan setelah menahan napas, ia segera memanggil,

"Giok Ciu"!" Suaranya ini tidak keras, tapi nyaring sekali. Anehnya, biarpun ia memanggil tidak keras, suaranya seakan-akan memenuhi dan menjalar-jalar di seluruh pucak, hingga terdengar sampai dimana-mana, bahkan Gak Bin Tong yang duduk jauh di dalam rimba itu juga mendengarnya! Sin Wan lalu berlutut kembali dan tak lama kemudian, benar saja, sesosok bayangan berkelebat cepat dan tahu-tahu Giok Ciu telah berada disitu dan berlutut di depan Suhunya.

"Sin Wan dan Giok Ciu, kini sudah tiba saatnya bahwa aku harus berpisah dengan kalian. Kalau ada jodoh, sepuluh tahun kemudian kita bertiga dapat bertemu pula di puncak ini. Sekarang kepandaian kalian sudah cukup tinggi hingga aku tidak usah merasa ragu-ragu melepaskan kalian. Asal kalian mempergunakan kepandaian itu dengan benar, maka agaknya di dunia ini hanya ada beberapa orang saja yang dapat menandingi kalian. Murid-muridku, harapanku tak lain mudah-mudahan segala petuahku selama kalian berada di sini takkan kalian lupakan. Pula, pesanku terakhir ini supaya diingat benar-benar, yakni sekali lagi kutegaskan: Pedang pusaka Pek Liong Pokiam dan Ouw Liong Pokiam tak boleh dimiliki oleh sepasang suami isteri, maka jika kalian melangsungkan perjodohan, kedua pusaka itu harus disimpan kembali ke dalam gua naga. Ingatlah benar-benar ini, karena kalau tidak, kalian akan mendapat bencana besar. Nah sekarang aku mau pergi."

"Suhu, tunggu!" tiba-tiba Giok Ciu berseru dengan suara terharu. Entah mengapa, gadis ini merasa terharu sekali pada saat Suhunya hendak meninggalkannya.

"ada apakah, Giok Ciu?" tanyanya dengan suara mengandung iba.

"Suhu..." gadis itu menahan isaknya, "teecu... mohon doa restu agar... Teguh iman dan kuat hati, Suhu..." Bu Beng Lojin tersenyum. Ia menggerakkan tangannya dan menaruh telapak tangannya di atas kepala Giok Ciu, mengusap rambut muridnya lalu berkata bagaikan seorang kakek kepada cucunya,

"Giok Ciu, segala apa akan berjalan baik asalkan kau ingat selalu bahwa kebahagiaan itu letaknya di dalam diri sendiri. Alangkah mudahnya mencari kebahagiaan asal kau telah mengenal diri sendiri dan dapat melihat betapa kebahagiaan menanti-nantimu di situ. Selanjutnya... terserah kepadamu sendiri, muridku. Nah, Giok Ciu, Sin Wan, selamat berpisah!" Baru saja habis kata-katanya ini, tubuhnya telah melayang ke bawah gunung, diikuti oleh pandang mata Sin Wan yang mengerutkan pelupuk mata dan Giok Ciu yang mengalirkan air mata. Setelah agak lama Suhunya pergi, Sin Wa memandang Giok Ciu yang masih berdiri bengong ke arah ke mana Suhunya turun gunung tadi. Pipi gadis itu masih basah air mata sedangkan wajahnya agak kepucat-pucatan, maka terbitlah hati yang sangat iba dan sayang dalam dada Sin Wan. Ia dekati kekasihnya itu dan memegang kedua pundaknya dari belakang dengan mesra.

"Giok Ciu, jangan kau bersedih. Bukankah masih ada aku di sampingmu?" Giok Ciu merasa terhibur juga, ia memalingkan muka memandang kepada Sin Wan dan wajahnya mulai berseri kembali, dan bibirnya tersenyum, seakan-akan matahari mulai terbit mengusir kabut di waktu pagi.

"Koko di manakah perginya manusia she Gak itu?" Sin Wan tersenyum.

"Mengapa kau agaknya benci sekali padanya, moi-moi?"

"Ah, ia bukan orang baik-baik. Jika dekat dengan ia, aku merasa seakan-akan dekat dengan seekor serigala berkedok muka domba."

"Sudahlah jangan pikirkan soal dia. Dia tadi disuruh pergi ke rimba itu oleh Suhu, biarlah ia berlindung di tempat kita untuk beberapa hari lamanya. Kitapun harus menyelesaikan latihan lweekang yang terakhir, moi-moi, sesuai dengan perintah Suhu. Kurasa dalam tiga empat hari lagi aku akan berhasil. Bagaimana dengan kau, moi-moi?"

"Akupun sudah mendekati hasil baik. Api dalam tubuh terasa makin hangat dan gerakan-gerakan tenaga dalam tubuh makin besar hingga dapat kugerakkan ke seluruh bagian tubuh."

"Bagus sekali kalau begitu. Biarlah kita berlatih tiga hari lagi, kemudian kita turun gunung melakukan tugas kita. Jangan ambil peduli orang she Gak itu."

Mereka lalu pergi melatih diri, pertama-tama bersama-sama melatih ilmu silat, kemudian mereka bersamadhi di tempat masing-masing. Seperti biasa, semenjak mendapat latihan di udara terbuka oleh Suhu mereka, masing-masing telah memilih tempat latihan sendiri, Sin Wan memilih tempat di bawah sebatang pohon liu dimana terdapat sebuah batu hitam besar yang dipakai sebagai tempat duduk bersamadhi sedangkan Giok Ciu memilih tempat di dalam hutan pohon siong yang banyak ditumbuhi kembang-kembang yang harum baunya. Ia selalu merasa tenteram jika bersamadhi di situ, karena selain bau bunga dan rumput menyegarkan pernapasannya, juga suara burung-burung di atas pohon merupakan nyanyian indah yang tambah menyempurnakan samadhinya.

Ketika hari telah menjelang senja, Giok Ciu masih tenggelam dalam samadhinya. Tubuhnya bersila di atas rumput, diam tak bergerak sedikitpun bagaikan patung seorang dewi. Wajahnya yang cantik jelita tampak bercahaya dan bibirnya serta kedua pipinya berwarna kemerah-merahan. Pada saat demikian itu ia tidak hanya tampak cantik, tapi juga agung sekali. Tiba-tiba Giok Ciu merasa seakan-akan tersendal turun dari atas dan ia sadar kembali. Otomatis sepasang matanya menatap ke depan dan bertemu pandanglah ia dengan sepasang mata yang telah lama sekali memandangnya dengan kagum dan terpesona. Agaknya pandangan mata inilah yang membuat ia terganggu dari samadhinya. Ketika gadis itu memperhatikan ternyata bahwa yang memandanginya itu adalah mata Gak Bin Tong yang duduk di depannya sambil tersenyum-senyum mengambil hati!

"Kwie Siocia, alangkah suci, agung dan cantik jelita kau! Melihat kau bersamadhi seperti ini, aku teringat akan patung Dewi Kwan Im di See-Coan, Kwie-Siocia..." Giok Ciu merasa tidak senang sekali dan memandang tajam.

"Sudah lamakah kau duduk di sini?" tanyanya dengan suara dingin.

"Sudah sejak tadi, Siocia aku mengagumi kecantikanmu, keindahan bentuk tubuhmu, keagungan yang bersinar keluar dari wajahmu..."

"Tutup mulut! Orang she Gak, kau sungguh kurang ajar sekali. Apa perlumu datang kesini menggangu samadhiku?" Tiba-tiba Gak Bin Tong berlutut! Ya pemuda muka putih itu berlutut di depan Giok Ciu hingga gadis itu tercengang sekali dan heran. Ia tidak tahu harus berbuat apa dan menyangka bahwa tiba-tiba pemuda itu menjadi gila. Memang pada saat itu Gak Bin Tong telah gila, gila asmara! Ia berlutut di depan kaki Giok Ciu yang masih bersih sambil berkata dengan suara merayu,

"Kwie-Siocia, tidak tahukah kau... aku... aku mengagumimu, aku... ah, kau kuanggap sebagai seorang dewi yang suci murni, dewi pujaan hatiku. Siocia, aku" aku cinta padamu, dengan sepenuh jiwa dan hatiku." Giok Ciu menjerit kecil dan tiba-tiba ia meloncat dan bangun berdiri. Ia marah dan malu sekali mendengar ucapan itu hingga ia merasa betapa kedua tangannya menggigil dan dadanya berdebar.

"Orang she Gak! Kau benar-benar tak tahu diri dan kurang ajar sekali! Kau... kau telah menghinaku dengan pernyatamu itu...!" karena marahnya, gadis itu tak dapat melanjutkan kata-katanya, bahkan dari kedua matanya mengalirlah air mata! Gak Bin Tong dengan nekad melanjutkan kata-katanya,

"Nona Giok Ciu... aku... aku cinta padamu! Aku tahu bahwa kau mempunyai hubungan yang erat dengan saudara Sin Wan, tapi... tapi tidak tahukah kau bahwa saudara Sin Wan itu telah menjadi... suami yang tidak syah dari nona Suma Li Lian?" Terbelalak mata Giok Ciu yang bening itu mendengar kata-kata ini.

"Bangsat bermulut jahat! Kau harus dibasmi dari muka bumi ini!" Giok Ciu mencabut Ouw Liong Pokiam dan menyerang pemuda itu yang segera meloncat dan berkelit cepat.

"Nona Giok Ciu... Percayalah padaku..."

"Bangsat keji!" Giok Ciu makin marah dan mengirim serangan-serangan maut. Kalau bukan Gak Bin Tong yang di serang seperti itu, tentu sukar untuk menyelamatkan diri, tapi pemuda she Gak inipun memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, maka dalam tiga empat jurus saja Giok Ciu yang sedang marah itu belum dapat merobohkannya. Akan tetapi, segera keadaan pemuda itu berbahaya sekali karena Giok Ciu dapat mengendalikan marahnya dan menggerakkan pedangnya secara lihai sekali! Pada saat yang sangat berbahaya, tiba-tiba Sin Wan muncul dan berseru,

"Moi-moi, tahan pedangmu!" Tapi Giok Ciu tidak memperdulikan seruan Sin Wan, bahkan memperhebat serangannya hingga Gak Bin Tong sibuk sekali berloncatan menghindarkan diri.

"Moi-moi, segala hal bisa diurus, jangan menggunakan kekerasan." Tapi tetap saja gadis yang sudah panas dan naik darah itu tidak mau menghentikan serangannya hingga Sin Wan terpaksa mencabut Pek Liong Pokiamnya dan menangkis sebuah tusukan Giok Ciu yang mengarah tenggorokan Gak Bin Tong yang sudah kepepet sekali keadaannya.

"Kau mau membela dia?" kata Giok Ciu gemas sekali dan dengan ganasnya ia mengirim serangan lagi ke arah Gak Bin Tong. Sin Wan menangkiskan lagi dan berserulah dia.

"Moi-moi, lupakah kau akan pesan Suhu? Jangan sembarangan membunuh orang!" Lemaslah tangan Giok Ciu mendengar peringatan ini. Ia memandang kepada Sin Wan dengan gemas, kemudia ia membentak kepada Gak Bin Tong.

"Bangsat rendah, kau tidak lekas pergi?" Gak Bin Tong menjura kepada mereka, lalu meloncat pergi sambil berkata,

"Lihatlah saja, kelak akan terbuka matamu." Dan secepat mungkin ia lari turun gunung, diikuti pandang mata marah dari Giok Ciu dan keheranan dari Sin Wan.

"Moi-moi apakah salahnya maka kau hendak membunuhnya?" tanya Sin Wan.

"Dia... Dia..." Giok Ciu hendak mengatakan bahwa pemuda muka putih itu menuduh Sin Wan menjadi suami tidak syah dari Suma Li Lian, tapi kata-kata ini ditelannya kembali, sebaliknya ia berkata, "Dia datang dan mengganggu ketika sedang bersamadhi, bahkan ia berkata kurang ajar!" Sin Wan menghela napas karena ia dapat menduga bahwa pemuda itu tentu lupa akan kesopanan melihat Giok Ciu duduk bersamadhi karena ia sendiripun pernah melihat betapa ayu dan agung gadis itu tampaknya jika sedang bersamadhi. Maka ia menghela napas panjang.

"Sudahlah, moi-moi, untuk apa memperdulikan orang seperti dia? Dia sekarang sudah pergi, lebih baik kita mencurahkan perhatian kita kepada latihan-latihan kita, karena kita menghadapi urusan besar."

"Siapa memperhatikan dia?" jawab Giok Ciu karena sesungguhnya ia sama sekali tidak perhatikan Gak Bin Tong, tapi yang mengganggu pikirannya ialah kata-kata pemuda muka putih tadi.

Ia yakin dan pasti bahwa orang she Gak itu tentu membohong, namun masih saja ada rasa tidak enak dan tidak senang di dalam hatinya. Selama tiga hari semenjak peristiwa itu, di tempat terpisah, Giok Ciu dan Sin Wan mengerahkan seluruh perhatian untuk berlatih hingga pelajaran latihan lweekang terakhir telah mereka lalui dengan hasil baik. Pada hari keempatnya, Giok Ciu berdiri dari tempat siulian di bawah pohon siong itu, dan melemaskan kedua kaki dengan berjalan-jalan ke lereng puncak. Kedua kakinya terasa agak kaku dan perutnya lapar sekali. Ia tahu bahwa di sebuah hutan terdapat pohon-pohon buah yang lezat buahnya dan tempat ini telah merupakan "Gudang makanan" bagi kedua anak muda itu serta guru mereka.

ketika Giok Ciu tengah makan buah yang baru saja dipetiknya dan rasanya segar dan enak sekali, tiba-tiba ia menunda makannya karena pada saat itu ia mendengar suara wanita menangis dan memaki-maki. Ia segera meloncat dan lari cepat menuju ke arah suara itu yang ternyata datang dari arah bawah. Ia menuruni lereng itu dengan cepatnya dan alangkah marahnya ketika melihat betapa empat orang laki-laki menarik-narik seorang wanita muda keluar dari sebuah tandu! Ia tidak melihat jelas wajah wanita itu, hanya tahu bahwa wanita itu menggendong seorang anak kecil yang menangis keras. Agaknya keempat orang laki-laki itu tadinya adalah tukang-tukang pikul tandu yang kini hendak berbuat jahat.

"Bangsat-bangsat keji!" Giok Ciu berseru keras dan tahu-tahu keempat laki-laki tiggi besar dan bertubuh kuat itu melihat bayangan berkelebat cepat dan sebelum mereka dapat melihat tegas,

Bayangan itu telah tiba dan tahu-tahu seorang demi seorang, mereka terlempar ke dalam jurang yang sangat curam di dekat situ! Keempat orang itu mengalami kematian tanpa mengetahui siapa yang membunuh mereka dan dengan cara bagaimana. Setelah menggunakan kegesitan dan ketangkasannya melempar-lempar keempat orang itu bagaikan melemparkan rumput-rumput saja, Giok Ciu lalu bertindak maju dan menyingkap kain sutera penutup tandu. Tiba-tiba tangannya yang pegang tandu itu gemetar dan dadanya berdebar keras, karena wanita muda yang ditolongnya itu bukan lain ialah nona Suma Li Lian! Suma Li Lian ketika melihat bahwa yang menolongnya adalah Kwi Giok Ciu, gadis pendekar yang perkasa dan yang pernah dilihatnya dulu, tampak gembira sekali dan segera ia keluar dari tandu sambil memondong anak kecil itu.

"Kwie Lihiap! Kaukah itu? Sukurlah dan banyak-banyak terima kasih, Lihiap, karena kau ternyata telah menolong jiwaku dari ancaman empat binatang keparat tadi." Giok Ciu terima pernyataan terima kasih itu dengan senyum dingin saja.

"Siapakah mereka itu dan hendak kemanakah kau sampai tersesat di gunung ini?" tanyanya.

"Kwie Lihiap, aku sengaja menyewa tandu ini untuk mendaki bukit ini. Aku telah membayar mahal sekali kepada empat orang itu. Siapa tahu, sampai ditempat ini mereka agaknya mengandung maksud buruk terhadap diriku. Untung sekali kau keburu datang!"

"Hmm, dengan maksud apakah kau mendaki bukit ini?" tanya Giok Ciu dengan sikapnya yang masih dingin. Tiba-tiba Li Lian menangis sambil mendekap anak perempuan yang usianya kurang lebih enam bulan itu di dadanya!

"Eh, mengapa tiba-tiba kau menangis?" tanya Giok Ciu.

"Lihiap, kau... kau tolonglah, Lihiap. Aku sedang mencari Ayah anak ini, dan dia dulu pernah memberi tahu padaku bahwa jika aku hendak mencari padanya aku harus mendaki bukit Kam-Hong-San ini..." Makin keras debar jantung Giok Ciu dan ia kini merasa betapa kedua kakinya menggigil, tapi sedapat mungkin ia menahan dan menindas perasaan ini.

"Siapa... siapakah Ayah anak ini dan... Dan ini anak siapakah...?" Tanyanya gagap.

"Ini adalah anakku, Lihiap, dan Ayahnya... Adalah Bun Sin Wan..." Biarpun tadi dengan kuatir sekali di dalam dada Giok Ciu telah ada yang menduga akan hal ini, namun keluarnya pernyataan dari bibir Suma Li Lian sendiri itu membuat ia merasa seakan-akan bumi yang dipinjaknya bergoyang-goyang hingga kedua matanya menjadi gelap dan kepalanya pening. Ia terhuyung-huyung, tapi segera ia mengerahkan tenaga batinnya untuk menekan perasaannya. Setelah mengatur napas beberapa lama, barulah ia tenang kembali dan kegelapan yang menyelimuti dirinya berangsur-angsur lenyap. Ia lalu memandang wajah yang cantik tapi agak pucat dihadapannya itu, dan sedapat mungkin ia menekan suaranya hingga tidak terdengar ketus.

"Nona Suma, tidak salahkan pendengaranku tadi bahwa Ayah anakmu ini adalah Bun Sin Wan?" tanyanya. Suma Li Lian memandang Giok Ciu dengan sinar mata penasaran hingga mata yang bening bagaikan mata burung Hong itu memancarkan cahaya.

"Kwie Lihiap, biarpun aku bukan seorang wanita gagah seperti engkau, namun tetap mempunyai kesetiaan dan kejujuran dalam hal ini. Kalau bukan kanda Sin Wan yang menjadi suamiku, untuk apakah aku mengatakan bahwa dia adalah Ayah anakku ini?" Dan setelah berkata demikian ia memandang Giok Ciu dengan sikap menantang.

"Kau bohong!" teriak Giok Ciu marah sekali. "Kau sengaja memfitnah orang! Kau perempuan hina yang harus mampus!" Dengan pedang terhunus di tangan, Giok Ciu mengancam. Tapi Suma Li Lian tidak takut, bahkan tetap tersenyum tenang,

"Kwie Lihiap, mungkin kau mencinta kanda Sin Wan dan karenanya menjadi sakit hati kepadaku. Tapi jangan kau sebut aku pembohong karena aku sama sekali tidak bohong padamu. Anak ini adalah anak kanda Sin Wan dan aku! Kalau kau tidak percaya, tanyakan saja hal ini kepadanya sendiri. Bukankah ia ada di sini?"

"Suma Li Lian! Kalau kau memfitnah, jangan anggap aku keterlaluan kalau aku akan cincang hancur tubuhmu! Bun Sin Wan selalu bersamaku dan kami tak pernah berpisah. Bagaimana kau dapat berkata bahwa anak ini adalah anaknya?" Kini Giok Ciu berubah pucat sekali dan bibirnya terasa kering. Sinar matanya seakan-akan memohon kepada Li Lian supaya menarik kembali kata-kata tuduhan tadi. Tapi kata-kata yang keluar dari mulut Li Lian yang tenang itu bagaikan sebilah pisau berbisa yang mengiris-iris jantungnya.

"Kwie Lihiap, memang benar kata-katamu itu, dan akupun hanya sekali saja bertemu dengan kanda Sin Wan. Tapi pertemuan yang sekali itu telah mengikat kami menjadi suami isteri dan bukti yang terutama ialah anak kami ini. Ingatkah kau ketika Sin Wan pergi seorang diri hendak mencegat Ayahku? Bukankah waktu itu kau tidak ikut dan tinggal di dalam Kelenteng? Nah, pada waktu itu, larut tengah malam menjelang fajar, pada waktu itulah kami bertemu, atau lebih tepat, kanda Sin Wan menemuiku. Ia memasuki kamarku dan menyatakan cintanya padaku. Pada saat itulah kami menjadi suami isteri." Giok Ciu maju dan memegang erat lengan Li Lian.

"Kau... kau... katakanlah sebetulnya, apakah kau tidak bohong? Apakah hal ini terjadi betul-betul? Mengapa kau tidak berteriak pada waktu itu?" Suma Li Lian menundukkan muka dengan wajah memerah,

"Aku tidak membohong, Lihiap. Demi kehormatanku, demi Thian Yang Maha Kuasa, aku tidak membohong. Biarpun aku tidak dapat melihat wajahnya pada waktu itu dan keadaan gelap, namun aku dapat mengenal suaranya dan iapun mengaku bahwa ia adalah kanda Sin Wan sendiri. Dan aku... aku tentu akan berteriak minta tolong, kalau saja dia bukan kanda Sin Wan... aku, aku cinta padanya, Lihiap. Aku cinta kepada musuh Ayahku!! Sekarang, sekarang... aku merasa malu dan hina sekali, tapi apa boleh buat... anak ini telah terlahir dan perlu bertemu dengan Ayahnya..." Maka menangislah Li Lian tersedu-sedu dan Giok Ciu melepaskan pegangannya pada lengan tangan Ibu muda itu, dan gadis itu berdiri termenung seakan-akan semangatnya telah meninggalkan tubuhnya. Ia tidak measa betapa air matanya mengalir turun dari sepasang matanya yang suram, tidak tahu betapa wajahnya pada saat itu lebih menyerupai seorang mayat hidup! Kemudian ia teringat sesuatu.

"Benarkah kau telah mengkhianati seorang she Gak dan mengatakan kepada para pahlawan bahwa dia ini mempunyai hubungan dengan kami?"

"Benar, Lihiap. Aku benci sekali kepadanya. Telah beberapa kali ia bersikap tak patut terhadapku, maka aku segera mengadukan dia dan sepanjang yang kudengar, ia dikejar-kejar oleh para pengawal Kaisar. Lihiap, sekarang kau tolonglah aku, dimanakah adanya kanda Sin Wan?"

"Kau hendak bertemu padanya? Boleh! Memang kau harus bertemu padanya, kau harus bertemu sekarang juga! Hayo, kuantar kau!!"" Kemudian Giok Ciu mengajak Suma Li Lian naik ke lereng bukit itu. Ibu muda itu naik dengan sukar sekali, tapi Giok Ciu tidak memperdulikannya, bahkan berjalan mendahuluinya dengan tindakan bagaikan orang mabok. Sin Wan yang baru saja sadar dari siulian, menyambut kedatangan Giok Ciu dengan senyum gembira. Tapi ia kaget sekali melihat wajah gadis itu. Ia segera maju hendak memegang tangan Giok Ciu, tapi gadis itu berkelit cepat dan memandangnya penuh kebencian. Nyata sekali betapa Giok Ciu menahan-nahan nafsunya hendak menyerang Sin Wan.

"Moi-moi... Kau kenapakah??" Sin Wan cemas sekali melihat keadaan Giok Ciu yang disangkanya sakit atau telah terjadi hal yang hebat. Tapi Giok Ciu hanya menggigit bibir dan memandangnya dengan mata yang kini mulai digenangi air mata! Pada saat itu terdengar suara kaki orang menaiki jalan naik itu dengan susah payah. Sin Wan cepat memandang dan terkejutlah ia ketika melihat betapa Suma Li Lian sambil menggendong anak kecil sedang mendaki dengan napas terengah-engah karena sangat kelelahan! Sebagai seorang berbudi halus, melihat keadaan Li Lian, Sin Wan tidak tega mendiamkannya saja, maka cepat ia maju dan mengulurkan tanggannya untuk membantu gadis itu menaiki sebuah batu. Tapi tak disangkanya sama sekali, ketika Suma Li Lian telah berdiri tetap didepannya, wanita itu segera menubruk dan memeluknya sambil berbisik tercampur isak.

"Kanda Sin Wan... alangkah banyak derita kualami dalam mencari engkau"" maka terdengarlah tangis mengharukan dibarengi dengan pekik tangis bayi dalam gendongan ibunya itu. Sin Wan mendengar sebutan Li Lian padanya itu menjadi heran sekali. Ia mengangkat-angkat kedua alis matanya dan memandang dengan muka bodoh. Tak dapat ia berlaku kasar untuk mencegah pelukan Li Lian, karena ia tahu betapa gadis itu sangat lelah dan juga ia takut kalau-kalau anak dalam gendongan itu akan terjatuh.

"Suma-Siocia, kau tenanglah, jangan peluk-peluk aku seperti ini. Duduklah dan mari kita bicara baik-baik," katanya dengan halus.

"Koko... kenapa kau masih sebut aku Siocia? Lihat... lihatlah! Ini adalah anakmu! Anak kami, terlahir lima bulan yang lalu! Koko... ternyata jodoh kita tak dapat direnggut putus demikian saja, lihat anak ini belum kuberi nama, sengaja kubawa kepadamu, kepada Ayahnya untuk menimangnya dan memberinya nama." Kalau ada geledek menyambar barangkali Sin Wan takkan sekaget ketika mendengar kata-kata Suma Li Lian ini. Ia merasa seakan-akan seluruh rambut dikepala dan tubuhnya berdiri dan meremang. Ia takut kalau-kalau wanita ini telah menjadi gila! Tak terasa pula ia mundur beberapa langkah dengan napas terengah-engah, lalu katanya,

"Suma-Siocia, apakah yang kau maksudkan dengan semua ini? Kau telah menjadi gila atau akukah yang sedang mimpi?" Kemudia Sin Wan berpaling kepada Giok Ciu yang masih memandangnya seperti tadi, bahkan kini di sudut bibir gadis itu membayang senyum menghina.

"Moi-moi, agaknya kau lebih tahu tentang hal ini. Coba terangkan, apakah artinya semua ini? Mengapa kau bawa Suma-Siocia ke sini dan anak ini anak siapakah?" Tiba-tiba Giok Ciu menggunakan jari telunjuk menunding mukanya.

"Siapa sudi kau sebut moi-moi? Laki-laki rendah, laki-laki hina, laki-laki pengecut! Tak tahu malu, sudah berani berbuat tidak berani bertanggung jawab, bahkan masih berpura-pura bodoh pula sekarang! Sungguh tak kusangka sama sekali! Kau... orang yang tadinya kuanggap semulia-mulianya orang, yang kusangka sejantan-jantannya diantara sekalian yang jantan, tak tahunya hanyalah seorang hina dina!"

"Moi-moi tahan mulutmu!" bentak Sin Wan dengan marah sekali dan wajahnya memucat.

"Tidak! Aku hendak bicara terus, kau mau apa? Lihat, mulai saat ini aku Kwie Giok Ciu tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan seorang rendah bernama Bun Sin Wan!" Sambil berkata demikian gadis itu mencabut suling pemberian Sin Wan dulu dan mematahkan suling itu ke dalam tangan, lalu dua potong patahan suling itu ia remas-remas sampai hancur lebur sambil tertawa bekakakan.

"Moi-moi, diamlah!" Sin Wan membentak lagi dengan keras sekali karena ia merasa ngeri melihat betapa gadis itu berdongak sambil tertawa yang sangat aneh bunyinya dan pada saat itu ia tampak seperti mayat sedang tertawa menyeramkan. Giok Ciu melempar-lemparkan hancuran suling itu ke atas dan angin gunung membawa bubukan itu bertebaran ke mana-mana,

"Ha, ha, ha! Lihatlah, lihatlah, hai bunga dan pohon! Lihatlah betapa cita-cita itu telah lebur, telah cerai berai dan musnah terbawa angin. Lihatlah betapa semua telah hancur, telah hancur... sekarang tidak ada apa-apa lagi... hancur lebur... habis..." Dan kembali ia tertawa menyeramkan, tapi suara ketawanya itu berangsur-angsur menjadi isak tangis sedih. Lalu Giok Ciu lari dari situ dengan cepat sekali sambil membawa suara tangisnya makin menjauh.

"Moi-moi...!" Sin Wan juga lari mengejar, tapi tiba-tiba Giok Ciu mencabut pedang Ouw Liong Pokiam dan membalikkan tubuh dengan pedang hitam itu melintang di dada. Sikapnya garang sekali dan ia membentak,

"Bangsat rendah! Kau mau apa? Jangan halang-halangi pergiku, kembalilah kepada isteri dan anakmu! Awas, satu tindak saja kau melangkah maju, aku akan mengadu jiwa denganmu!" Tadinya Sin Wan hendak nekad maju, tapi ia pikir lagi bahwa Giok Ciu sedang panas hati dan mata gelap, maka tidak baik kalau dipaksa dan mungkin akan terjadi pertempuran mati-matian dan ia anggap ini bukanlah penyelesaian yang baik. Maka ia hanya memandang gadis itu dengan wajah sedih, lalu berkata,

"Baiklah, moi-moi. Kau menuduh aku yang bukan-bukan tanpa memberi kesempatan dan ketika kepadaku untuk membela diri!" Tapi Giok Ciu tidak memberi kesempatan kepadanya untuk bicara terus karena gadis itu telah membalikkan tubuhnya dan lari ke bawah gunung dengan cepat sekali dan Ouw Liong Pokiam di tangannya berkilau-kilau ditimpa sinar matahari!

Akhirnya Sin Wan membalikkan tubuhnya setelah bayangan gadis itu tidak tampak lagi dan ia teringat kembali akan Suma Li Lian, maka dengan kertak gigi karena gemas, ia lari kembali ke tempat gadis bangsawan itu. Ia melihat betapa gadis itu berdiri sambil menyusui anak itu, maka wajah Sin Wan memerah. Ia memalingkan mukanya dan dalam keadaan malu dan jengah melihat betapa Li Lian di hadapannya tanpa malu-malu menyusui anak itu, timbullah keheranan besar dalam hati Sin Wan. Li Lian telah mempunyai anak dan mengaku bahwa anak itu adalah anaknya pula! Li Lian mengaku bahwa dia adalah suaminya! Sungguh gila, gila dan lucu. Sambil berdiri membelakangi Li Lian, Sin Wan berkata,

"Suma-Siocia, kalau kau sudah selesai menyusui anak itu, katakanlah agar kita bisa bicara dengan baik." Beberapa lamanya mereka berdiri dalam keadaan demikian. Li Lian berdiri menyusui anaknya sambil memandang tubuh belakang Sin Wan dengan mata sayu dan agak terheran melihat sikap pemuda itu, sedangkan Sin Wan berdiri memangku kedua lengan sambil memeras otaknya mengapa timbul perkara aneh dan gila ini! Tak lama kemudian terdengar Li Lian berkata kepadanya,

"Kanda Sin Wan, sungguh aku tidak mengerti akan sikapmu. Kau adalah seorang pemuda gagah perkasa dan berbudi tinggi. Benar-benarkah kau tidak mau mempertanggung jawabkan perbuatanmu sendiri?" Sin Wan kertak giginya dengan marah dan gemas sekali.

"Sudah selesaikah kau menyusui anakmu?" bentaknya.

"Sudah, biarpun aku tidak mengerti mengapa kau pura-pura tidak bisa melihat anakmu sendiri menyusu di dada ibunya!" jawab Li Lian penasaran. Bagaikan kilat cepatnya Sin Wan meloncat sambil membalikkan tubuh dan ia berdiri di depan Li Lian. Gatal-gatal tangannya hendak menampar perempuan ini, tapi melihat betapa sepasang mata yang bening dan wajah yang ayu itu tampak sangat agung memandangnya tanpa rasa takut sedikitpun juga, ia menjadi lemas.

"Nona Suma, sekarang kau katakanlah yang sebenarnya. Mengapa kau lakukan hal keedan-edanan ini? Apakah salahku kepadamu maka kau memfitnah padaku?" Tiba-tiba Sin Wan menjadi pucat dan kedua matanya bersinar-sinar. Ia lalu tertawa dan berkata kepada Li Lian yang terheran-heran.

"Ha, ha, ha! Kau perempuan licin! Sungguh kau cerdik dan lihai! Kini aku tahu, tentu kau lakukan ini untuk membalas dendammu karena aku telah membunuh Ayahmu bukan? Ha, ha, ha! Benar-benar kau hebat dan lihai! Dengan tenaga kau tak mungkin dapat membalas, kini kau membalas, dengan akal jahatmu. Tapi hasil muslihatmu ini ternyata lebih hebat dan sakit rasanya daripada kalau kau membalas dengan pukulan maut! Ah, mengapa Giok Ciu tidak menginsafi hal ini...?"

"Koko Sin Wan! Jangan kau ngaco belo tidak karuan..." Dan tiba-tiba Li Lian menangis sedih. "Aku... mengapa pula aku harus membalas dendam? Bukankah aku sudah menjadi isterimu? Koko, biarpun kau hendak berlaku pengecut dan mengingkari janji dan membodohi semua orang, tapi kau tidak dapat menipu Thian Yang Maha Agung! Inilah buktinya! Lihatlah anak ini, inilah hasil pertemuan kita dulu! Atau kau pura-pura lupa ketika kau memasuki kamarku pada pagi hari dulu itu? Koko, kau tahu bahwa aku... aku mencinta padamu, kalau tidak demikian halnya, mungkinkah aku sudi melayanimu sedangkan aku tahu bahwa kau adalah musuh Ayahku? Aku telah korbankan Ayahku, korbankan namaku, korbankan perasaanku untuk membalas cintamu, tapi mungkinkah seorang pemuda gagah perkasa dan berbudi seperti engkau ini mempunyai hati palsu? Ah, tak mungkin! Aku takkan percaya! Wajahmu tak mungkin palsu tapi... mengapa sikapmu begini terhadapku, koko..." dan dengan sangat sedihnya Li Lian menangis dan menutupi mukanya sehingga ia tidak melihat betapa Sin Wan mendengarkan ucapannya dengan wajah makin terheran dan mata makin lebar terbelalak. Sin Wan benar-benar tak berdaya karena herannya. Setelah menggunakan lidahnya membasahi bibirnya yang kering, ia akhirnya berkata dengan halus,

"Nanti dulu, nona, tenanglah dulu. Coba kau ceritakan padaku tentang pagi hari itu, pada waktu mana kau bilang aku memasuki kamarmu. Coba ceritakanlah hal itu dengan terus terang." Suma Li Lian memandangnya heran dan seakan-akan tak percaya akan apa yang didengarnya dari mulut pemuda itu. Akhirnya ia menghela napas dan berkata,

"Baiklah kalau kau kehendaki itu. Dulu ketika mendengar bahwa kau mencari-cari Ayahku untuk kau bunuh, hatiku hancur dan sedih sekali, karena sesungguhnya aku tidak suka melihat kau membunuh Ayah. Pertama-tama memang sebagai seorang anak tentu saja aku tidak rela kalau Ayah dibunuh orang, kedua, di lubuk hatiku aku sangat tertarik dan suka kepadamu yang biarpun menjadi musuh Ayahku, namun kau telah berlaku sopan dan jujur terhadapku, bahkan kau telah membela aku dari kemarahan Kwie Lihiap. Semenjak itulah maka timbul rasa cinta di dalam hatiku. Malam ketika kau pergi itu aku tak dapat tidur. Menjelang fajar, aku melihat bayangan orang memasuki kamarku dari jendela. Karena lampu telah padam, maka aku tak dapat mengenal mukamu, hanya dapat menduga karena potongan tubuhmu kukenal baik dan bayangan itu potongan tubuhnya memang sama dengan engkau. Kemudian kau membuka suara memanggilku, maka aku tidak ragu-ragu lagi bahwa kaulah yang datang. Kau menyatakan cintamu tanpa banyak kata dan aku... aku tak berdaya menolakmu karena... memang aku cinta padamu...! Ah, kanda Sin Wan, perlukah hal ini disebut-sebut lagi? Atau apakah ketika itu kau hanya pura-pura saja dan sengaja mempermainkan aku?" Tiba-tiba Sin Wan mengangkat tangan dan meramkan mata karena ia sedang memikir keras.

"Nanti dulu... ketika hal itu terjadi, yakni ketika bayangan itu memasuki kamarmu, apakah waktu itu sudah terdengar ayam berkokok?" Suma Li Lian mengingat-ingat lalu berkata tetap,

"Belum koko, karena aku ingat betul bahwa setelah kau pergi meninggalkan aku, barulah aku mendengar suara ayam berkokok memasuki jendela kamarku yang terbuka karena kau agaknya lupa menutup kembali." Sin Wan mengangguk-angguk,

"Hmm, aku tahu sekarang mengapa kau dulu ketika hendak berpisah dengan aku, mengucapkan kata-kata yang tak kumengerti sama sekali, yakni kau sesalkan aku yang tidak ingat akan kejadian pagi itu. Kini aku mengerti. Ketahuilah, Suma-Siocia, Pada saat itu aku masih belum kembali ke Kelenteng, dan datangku ke Kelenteng adalah pada waktu matahari telah naik tinggi! Pada saat ada orang memasuki kamarmu itu aku tengah mencegat seorang diri di hutan, mencegat kendaraan Ayahmu!"
(Lanjut ke Jilid 09)

Kisah Sepasang Naga/Ji Liong Jio Cu (Seri ke 02 - Serial Jago Pedang Tak Bernama)
Karya : Asmarainan S. Kho Ping Hoo

Jilid 09
Kini wajah suma Li Lian menjadi pucat sekali, dan ia lalu berkata dengan suara yang hampir tidak kedengaran,

"Apa...? Kalau begitu... siapakah... siapakah...?" ia lalu menggunakan kedua tangan menutupi mukanya yang pucat dan terlihat oleh Sin Wan betapa sepuluh jari itu menggigil hingga timbul hati iba di dalam hatinya terhadap nasib gadis yang malang ini.

"Siocia, biarpun tidak ada bukti, namun aku berani pastikan bahwa yang menganggu engkau tentu bukan lain orang ialah Gak Bin Tong!"

"Apa katamu?" Li Lian berteriak keras. Sin Wang mengangguk-angguk,

"Kau tentu tidak mengetahui bahwa pada malam itu, pemuda muka putih itu bermalam di Kelenteng. Ia memiliki ilmu silat yang tinggi juga dan tentang potongan tubuh, memang ia sama dengan aku agaknya. Pula, ia memang terkenal sangat cerdik dan licin, juga aku tahu bahwa ia mempunyai adat yang buruk, maka sudah pasti ia meniru-niru suaraku untuk mengelabui engkau!"

Mendengar kata-kata ini, tiba-tiba Li Lian berteriak dan roboh pingsan! Sin Wan cepat sekali menyambar tubuh nona itu, lalu mengambil anak kecil dari gendongan Li Lian dan merebahkan tubuh itu perlahan di atas rumput. Anak itu menangis keras dan Sin Wan terpaksa gendong anak itu sambil mengayun-ayunnya di dalam lengannya. Ia merasa kasihan sekali melihat Li Lian dan di dalam hati ia bersumpah hendak membunuh Gak Bin Tong manusia keparat itu! Ketika Li Lian sadar dari pingsannya, ia menangis menggerung-gerung dan memukul-mukul kepala sendiri. Rambutnya menjadi awut-awutan dan berkali-kali ia mengeluh,

"Ya Tahun, Engkau tidak adil! Sungguh tidak adil!! Mengapa aku harus menderita semua ini? Koko Sin Wan, biarpun perbuatanku itu rendah dan hina, tapi agaknya aku masih sanggup mempertahankan hidupku bahkan sanggup mencapai kebahagiaan jika kiranya engkaulah orang itu! Tidak kusangka... dia itu... Gak Bin Tong keparat, manusia iblis terkutuk... aduh, aduh... nasib diriku... dosa apakah yang telah kuperbuat maka terhukum sehebat ini...? Gak Bin Tong, kau... kau... bangsat!! Tunggu, aku harus bunuh kau untuk perbuatanmu yang terkutuk itu!"

Tiba-tiba Suma Li Lian, gadis bangsawan cantik jelita yang biasanya halus itu, menjadi liar dan ganas. Rambutnya awut-awutan, matanya yang bening terputar-putar dan mulutnya mengeluarkan busa! Ia lalu lari turun gunung, tersaruk-saruk, jatuh dan bangun lagi, terus lari sambil memaki-maki nama Gak Bin Tong seakan-akan pemuda muka putih itu telah berada di depannya dan sedang dikejar-kejarnya untuk dibunuh!

Sin Wan kaget melihat bahwa Suma Li Lian agaknya telah berubah pikiran dan menjadi gila! Ia hendak mengejar, tapi tiba-tiba anak perempuan yang baru berusia lima bulan dan berada di dalam gendongannya itu menangis keras! Ia menjadi serba salah, karena dengan cara kikuk dan kaku sekali ia menggendong anak kecil itu dan tidak berani lari sambil menggendong. Untuk tinggalkan anak itu iapun tidak tega. Lagi pula, untuk apa ia mengejar Li Lian? Maka akhirnya ia hanya berdiri bingung sambil memandang anak yang menangis keras di dalam pelukannya itu. Setelah ditimang-timang beberapa lama tapi anak itu tidak juga mau diam seakan-akan menangisi ibunya yang lari pergi meninggalkannya, Sin Wan menjadi bingung sekali.

Kemudia ia meletakkan anak itu di atas rumput kering, lalu ia meloncat memetik buah yang telah masak. Setelah ia memberi makan anak itu dengan buah, diamlah tangis anak itu hingga Sin Wan yang tadinya bingung sekali sampai mengeluarkan peluh dingin di dahinya, kini tersenyum girang karena anak itu makan buah sambil tertawa-tawa lucu! Sin Wan memutar-mutar otaknya. Mengapa ia harus mengalami peristiwa yang aneh dan membingungkan ini? Kala teringat kepada Giok Ciu, ia merasa sedih sekali dan hatinya terasa perih, apalagi kalau mengingat betapa gadis kekasihnya itu telah menghancurkan suling pengikat jodoh mereka! Kalau teringat kepada Li Lian, hatinya terharu dan ia merasa kasihan sekali akan nasib gadis cantik itu.

Ayahnya telah terbunuh olehnya, sedangkan ia sendiri mengalami nasib memalukan dan yang menghancurkan namanya dan nama keluarganya. Teringat akah hal ini, memuncaklah kegemasan Sin Wan kepada Gak Bin Tong! Kemudia ia teringat kembali kepada anak Li Lian yag ditinggalkan oleh ibunya ini. Apa yang harus ia lakukan? Memelihara anak ini? Ah, ia tak sanggup dan juga tidak mau. Habis bagaimana? Tiba-tiba ia teringat akan kampung ibunya. Wajahnya menjadi terang, dan ia lalu angkat anak itu dalam dukungannya dan berangkatlah ia turun gunung menuju ke perkampungan Ibu dan kakeknya. Kedatangannya disambut girang oleh para penduduk kampung, tapi alangkah heran mereka ketika melihat bahwa pemuda pahlawan mereka itu datang sambil mendukung seorang anak perempuan yang masih bayi!

Dengan singkat Sin Wan menuturkan riwayat anak kecil itu, tentu saja tanpa membongkar-bongkar rahasia Ibu anak itu, kemudian ia menyerahkan anak itu kepada seorang janda she Thio untuk dirawat. Kepada janda itu Sin Wan memberi beberapa potong emas sebagai bekal membiayai pemeliharaan anak itu. Kemudian, ia pun pergi hendak mencari Giok Ciu. Ia pikir bahwa gadis itu tentu pergi mencari musuh besarnya, yakni Cin Cin Hoatsu. Asal saja ia pergi mencari Pendeta Tibet itu, banyak harapan ia akan bertemu dengan Giok Ciu. Ia ingin sekali segera bertemu dengan gadis itu menjelaskan segala hal tapi apa boleh buat, ia harus bersabar, karena ia tak tahu jurusan mana yang diambil oleh gadis itu! Beberapa hari kemudian ketika Sin Wan tiba di luar sebuah kampung, ia melihat bayangan seorang yang dikenalnya baik, karena dari belakang ia kenal bahwa orang itu adalah Kwi Kai Hoatsu!

Pertapa lihai itu sedang keluar dari kampung itu dan berlari keras sekali. Sin Wan juga merasa penasaran dan marah karena pernah terjatuh dalam tangan imam dari Tibet ini segera mengejar. Juga, selain hendak membalas kekalahan dulu, iapun tahu bahwa ini adalah saudara seperguruan dari Cin Cin Hoatsu, maka kalau mungkin ia hendak mendapat keterangan tentang musuh besar itu dari Kwi Kai Hoatsu. Karena kepandaiannya memang tinggi, Kwi Kai Hoatsu segera tahu bahwa dirinya dikejar orang, maka segera ia "Tancap Gas" dan membalap sekerasnya! Tapi Sin Wan telah mempunyai ginkang yang mendekati puncak kesempurnaan, maka ia tidak tertinggal, bahkan lambat laun tapi pasti, ia makin dekat dengan Pendeta yang dikejarnya itu.

Diam-diam ketika menengok, Kwi Kai Hoatsu terkejut sekali melihat betapa orang yang mengejarnya itu makin dekat. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa pengejarnya demikian lihai. Tadinya ia menyangka bahwa yang mengejarnya hanyalah orang biasa saja, maka ia hendak mempermainkannya, tidak tahunya, setelah mengerahkan tenaga larinya, ternyata jarak antara ia dan pengejarnya itu makin dekat saja. Karena marah dan penasaran, ketika tiba di tempat sunyi dan kanan kiri hanya terdapat sawah kosong, ia berhenti dan menanti dengan mata melotot. Tapi ketika pengejarnya dengan cepat sekali telah tiba di depannya, ia memandang pemuda tampan yang sedang tersenyum di depannya itu dengan heran, karena ia mengenal pemuda ini.

"Eh, ternyata engkaukah ini?" katanya dengan senyum sindir karena ia hendak tetapkan hati sendiri dengan memandang rendah pemuda itu. Tak mungkin pemuda ini dapat memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya karena biarpun andaikata pemuda ini belajar lagi, namun waktunya hanya setahun dan dalam masa waktu sependek itu tak mungkin pemuda ini akan dapat melawan kepandaian lweekang dan hoatsut yang telah dipelajarinya berpuluh tahun lamanya. Sin Wan menjawab dengan tenang,

"Ya, akulah!" Pertapa itu memandang ke kanan kiri, seakan-akan hendak mencari-cari apakah pemuda ini berteman, karena kalau gadis yang lihai dulu itu ikut datang, maka mereka berdua merupakan lawan yang berat juga. Hatinya merasa lega ketika mendapat kenyataan bahwa Sin Wan memang hanya seorang diri saja.

"Anak muda, apa maksudmu mengejarku? Apakah pelajaran yang kau terima dulu itu belum membikin kau merasa kapok?" Sin Wan tersenyum mengejek.

"Maksudmu, engkau atau akukah yang menerima pelajaran dan merasa kapok? Kwi Kai Hoatsu, sesungguhnya antara kita tidak terdapat sesuatu permusuhan yang menyebabkan kita saling membenci, kecuali barangkali sifat-sifat sombong dan tidak mau kalah dari kita masing-masing. Aku mengejarmu bukanlah dengan niat hendak mengajak kau bertempur, kecuali kalau kau sendiri yang memaksaku!" Kwi Kat Hoatsu memandang kepada Sin Wan dengan heran.

"Kalau bukan untuk bertempur, mengapa kau mengejarku?" Sin Wan tersenyum sabar.

"Aku hanya ingin bertanya di manakah gerangan adanya Cin Cin Hoatsu pada waktu ini?" Tiba-tiba Kwi Kai Hoatsu tertawa besar.

"Enak saja kau bicara. Kau mencari saudaraku itu untuk mengajak berkelahi dan mengadu jiwa, bukan? Dan kau katakan bahwa kita tidak ada permusuhan?"

"Memang saudaramu itu musuh besarku. Ia telah membunuh mati Suhuku, yakni Hui-Houw Kwie Cu Ek, maka aku harus membalas dendam ini. Bukankah ini suatu hal yang lajim dan pantas?"

"Anak muda, jangan banyak ribut. Dengan kepandaianmu serendah ini mana kau dapat melawan Cin Cin Hoatsu? Kau boleh mencoba-coba kepandaianmu padaku, coba kulihat apakah kau cukup pantas untuk bertanding melawan saudaraku itu!"

Sambil berkata demikian Kwi Kai Hoatsu mencabut keluar tongkar ular dan hudtimnya yang terkenal lihai itu dan mendahului menyerang. Sin Wan juga telah mencabut keluar Pek Liong Pokiam dan melayani Tosu itu. Ketika tongkat ularnya beradu dengan pedang pusaka berwarna putih itu, terkejutlah si Tosu, karena dari bentrokan kedua senjata ini saja ia tahu betapa hebat tenaga lweekang pemuda itu! Sungguh luar biasa betapa dalam waktu setahun saja tenaga lweekang pemuda itu yang dulu jauh dibawahnya, kini boleh dikata telah mencapai kedudukan setingkat dengan dia, kalau tidak lebih tinggi malah! Karena inilah maka ia menjadi jerih. Memang, dalam hal ilmu silat, setahun yang lalupun ilmu pedang Pek-Liong Kiam-Sut telah membuat Tosu itu sibuk,

Hanya pada waktu itu lweekangnya masih menang jauh hingga ia berhasil merobohkan Sin Wan. Maka, kini setelah pemuda itu mendapat gemblengan khusus dari Bu Beng Lojin dalam hal tenaga lweekang dan batin, tentu saja kepandaian pemuda itu jauh lebih hebat lagi. Sin Wan juga merasa betapa sampokan-sampokan senjata lawannya tak terasa berat lagi baginya, hingga ia menjadi girang dan mendesak hebat dengan sinar pedang. Dulu ia merasa betapa dari tongkat ular itu keluar bau amis yang memuakkan, tapi sekarang ia dapat melawan hawa itu dengan mengatur napasnya dan mengusir hawa jahat yang menyerang mulut dan hidungnya dengan tiupan napas. Setelah bertempur tiga puluh jurus lebih. Ia berhasil membabat putus kebutan lawannya hingga Tosu itu berseru kaget.

Kalau saja Sin Wan berlaku kejam, agaknya ia akan berhasil membunuh Kwi Kai Hoatsu, tapi pemuda itu tidak bermaksud membunuhnya, hanya ingin mengalahkannya saja sebagai pembalasan tahun lalu. Maka cepat sekali pedangnya mengurung dan maksudnya hendak membuat senjata lawan terlepas dari pegangan. Kwi Kai Hoatsu yang tidak tahu akan kehendak pemuda itu dan menyangka bahwa Sin Wan tentu akan mendesak dan membunuhnya, menjadi sibuk sekali dan tiba-tiba ia berseru keras sambil mencabut keluar sabuk sutera hitam yang dulu digunakan untuk merampas pedang Sin Wan. Kini agaknya iapun hendak menggunakan lagi senjata luar biasa itu. Sambil membentak keras dan mengerahkan tenaga ilmu hitamnya, ia menggerakkan tangan kiri dan sutera hitam itu bagaikan ular yang hidup menyambar pedang Sin Wan.

Pemuda ini girang sekali melihat senjata aneh ini dikeluarkan, karena ia memang hendak mencoba kelihaian senjata yang dulu pernah merampas pedangnya. Ia berlaku tabah dan bahkan membiarkan senjatanya dibelit benda itu. Setelah ujung Pek Liong Pokiam terlibat erat, ia lalu mengerahkan tenaga dalamnya untuk menolak serangan pengaruh bentakan lawan dan membarengi menggunakan lweekangnya untuk menggerakkan pedang itu. Terdengarlah suara kain robek dan ternyata sutera hitam yang sangat diandalkan oleh Kwi Kai Hoatsu telah terputus oleh pedang Pek Liong Pokiam! Kwi Kai Hoatsu menjerit kaget karena ia tahu bahwa kini ia akan tewas dalam tangan pemuda yang kosen ini, maka tanpa malu-malu lagi ia lalu meloncat jauh untuk melarikan diri. Tapi Sin Wan segera meloncat pula mengejar sambil berseru.

"Kwi Kai Hoatsu! Nanti dulu, jangan kau pergi sebelum memberi tahu padaku tempat tinggal Cin Cin Hoatsu!" tapi Tosu tidak memperdulikan teriakannya dan lari makin cepat. Sin Wan terus saja mengejar dengan lebih cepat.

Biarpun ilmu lari cepat dari Tosu itu sudah cukup tinggi, tapi mana ia dapat melawan Sin Wan yang selain mendapat didikan seorang suci dan berilmu tinggi, juga ia telah makan buah-buah mujijat yang membersihkan darahnya dan membuat tubuhnya menjadi ringan. Lambat laun jarak antara mereka makin dekat. Tapi, ketika Kwi Kai Hoatsu tiba di dalam sebuah hutan dan Sin Wan telah dekat benar dengannya, tiba-tiba Tosu itu mengeluarkan sebuah benda dan membantingnya ke belakang. Benda itu pecah dan mengeluarkan asap hitam tebal bergulung-gulung di belakangnya dan membuat ia lenyap dari pandangan mata pengejarnya. Sin Wan merasa terkejut dan cepat ia membelokkan arah jalannya agar jangan sampai menerjang asap hitam itu karena ia menduga tentu asap itu adalah asap berbisa yang berbahaya.

Tapi, ternyata Tosu itu telah dapat melenyapkan diri di belakang tabir asap itu karena tanpa diketahui oleh Sin Wan ke mana arah yang ditempuh imam itu. Sin Wan merasa penasaran dan kecewa sekali mengapa tidak ia robohkan saja imam jahat itu tadi agar dapat ia paksa untuk mengaku dimana tempat tinggal Cin Cin Hoatsu. Kini ia kehilangan pegangan dan tidak tahu harus mencari kemana. Tapi ia pikir bahwa keadaan Giok Ciu juga sama dengan dia sendiri yakni tidak mempunyai tujuan yang tetap dalam mencari musuh besarnya. Maka besar kemungkinan gadis itu akan mencari di kota raja, karena di situlah pusat para pembatu Kaisar berkumpul dan disitu pula akan dapat dicari keterangan tentang musuh besar itu. Karena pikiran ini, maka Sin Wan segera menuju ke kota raja. Pikiran Sin Wan yang berotak cerdas ini memang tidak keliru.


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Giok Ciu dengan hati sedih dan kalbu hancur lari turun dari Kam-Hong-San. Gadis itu berlari-lari sambil tiada hentinya menangis. Kini ia tidak pedulikan segala apa dan tujuan hidupnya hanya satu, yakni mencari Cin Cin Hoatsu dan membunuh orang yang telah membunuh Ayahnya itu. Ia merasa bingung sekali karena tidak tahu harus mencari kemana, maka ia lalu menuju ke kotaraja, karena teringat bahwa selain dari tempat itu, agaknya sukar untuk mencari tahu tempat tinggal Pendeta Tibet itu.

Karena sedihnya, ia tidak mau berhenti berlari dan lupa makan lupa tidur. Setelah sehari semalam lari cepat tanpa berhenti sedikitpun, ia tiba di kota Ang-Len dan karena merasa kepalanya pening sekali dan tubuhnya panas, terpaksa ia mencari sebuah rumah penginapan dan minta sebuah kamar. Begitu tutup pintu kamar dan merebahkan diri di atas pembaringan, ia jatuh pingsan. Ternyata karena mendapat serangan dari dalam dan luar, gadis itu tidak kuat menahan lagi. Dari dalam ia mendapat pukulan hebat sekali karena hatinya merasa hancur dikecewakan oleh kenyataan betapa Sin Wan, pemuda kekasihnya dan orang satu-satunya di dunia ini yang dicintanya dan dijadikan sandaran hidupnya telah mencemarkan kesucian ikatan jodoh mereka.

Dan ternyata pemuda itu telah melakukan perbuatan yang hina dina dan yang tak mungkin dapat ia maafkan lagi. Dari luar ia mendapat serangan penyakit panas yang tentu akan dapat dilawan oleh kekuatan tubuhnya kalau saja ia tidak memaksa tubuhnya berlari terus-menerus sehari semalam tanpa mengaso dan tanpa makan. Akhirnya tubuhnya tak kuat bertahan lagi dan jatuh sakit! Setelah sadar dari pingsannya, Giok Ciu merasakan tubuhnya sangat lemah dan kepalanya pusing sekali. Juga tubuhnya terasa panas seakan-akan ada api yang membakar tubuhnya dari dalam. Ia maklum bahwa gangguan kesehatan ini terjadi karena kesalahannya sendiri, terjadi karena kacaunya keadaan hati dan pikirannya, juga karena ia tidak memperhatikan pemeliharaan tubuhnya. Ia teringat betapa Suhunya, Bu Beng Lojin yang sakti itu, pernah berkata demikian,

"Alam telah mempunyai hukum-hukum tertentu dan siapa saja yang tidak menyesuaikan dirinya dengan hukum alam, pasti akan mengalami bencana dan hukuman. Siapa yang melanggar hukum alam, pasti akan terhukum dan menderita, sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum alam itu sendiri. Sebagai contoh, sebuah daripada hukum-hukum alam itu ialah hukum kesehatan, misalnya ketentuan bahwa manusia harus makan pada saat tubuhnya membutuhkan makanan, harus beristirahat pada waktu tubuh lelah dan membutuhkan istirahat. Kalau kita paksakan diri dan melanggar ketentuan hukum ini, tak dapat tidak pasti akan menderita hukumannya, yakni mendapat sakit! Penyakit bukan datang dari luar, tapi terjadi karena pelanggaran hukum itu tadilah! Demikian pula dengan hukuman-hukuman yang lain, yang kesemuanya terjadi karena pelanggaran-pelanggaran hukum alam yang kita lakukan sendiri, bagaimana macamnya hukuman dan penderitaan itu. Maka hati-hatilah menghadapi percobaan dalam hidupmu, karena sekali kau salah tindak, bukan orang lain yang akan menerima hukumannya tapi kau sendiri. Inilah keadilan alam!" Mengingat akan semua nasihat-nasihat dan petuah-petuah Suhunya yang sangat berharga, agak terobatlah luka di hati Giok Ciu. Ia menjadi tenang, walaupun rasa bencinya kepada Sin Wan masih menghebat.

Ia lalu turun dari pembaringan dengan perlahan dan memanggil pelayan. Ketika pelayan datang, ia minta dibelikan makanan dan makan dengan hati-hati, kemudian ia memerintahkan pelayan untuk membeli obat pelawan panas dan setelah merawat diri baik-baik dan membantu pekerjaan obat itu dengan bersamadhi dan mengatur napas, maka dua hari kemudian sembuhlah ia. Setelah merasa sembuh betul, barulah ia melanjutkan perjalanannya. Malam hari berikutnya ia bermalam di sebuah kota kecil, di dalam sebuah hotel. Menjelang tengah malam, ia terjaga dari tidurnya oleh suara kaki orang yang dengan hati-hati sekali berjalan di atas hotel itu! Giok Ciu dengan telinga terlatih dan tajam, dapat menduga bahwa yang berjalan di atas genteng itu hanyalah seorang yang memiliki kepandaian yang tidak seberapa tinggi.

Namun tindakan orang itu cukup mencurigakan dan karena menduga akan terjadinya kejahatan, Giok Ciu segera berganti pakaian dan meloncat keluar dari jendela, terus melayang naik ke wuwungan rumah. Ia melihat bayangan hitam meloncat dan berlari-lari di atas genteng rumah di depan maka ia segera mengejarnya. Giok Ciu sengaja mengikuti orang itu untuk melihat apakah yang hendak dilakukan olehnya. Ternyata setelah berputar-putar di atas rumah-rumah orang, bayangan hitam itu meloncat turun ke dalam sebuah rumah. Giok Ciu cepat mengejar dan meloncat turun pula. Ia melihat betapa bayangan hitam itu menggunakan goloknya membuka jendela sebuah kamar dan meloncat masuk. Terdengar teriakan tertahan dan suara laki-laki yang kasar membentak,

Cari Blog Ini