Ceritasilat Novel Online

Pedang Pusaka Naga Putih 1


Pedang Pusaka Naga Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 1



Pedang Pusaka Naga Putih (Seri 04 - Serial Jago Pedang Tak Bernama)

Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

Jilid 01

Pada suatu pagi, ketika fajar tengah menyingsing dan dari sana sini terdengar ayam hutan berkokok nyaring, di halaman depan sebuah pondok bambu di puncak bukit Kam-hong-san, tampak sesosok bayangan putih berkelebat kesana kemari di antara bayang-bayang pohon yang gelap. Ia adalah seorang pemuda baju putih yang sedang berlatih silat. Gerakan tubuhnya demikian cepat hingga seolah-olah ia bertangan enam berkepala tiga ketika ia bersilat ilmu pukulan Ouw-Wan-Cianghoat (Silat Monyet Hitam). Sambaran kepalan tangannya sampai menggetarkan daun-daun pohon jauh di depan sehingga mutiara-mutiara air di ujung daun-daun itu jatuh berhamburan bagaikan hujan gerimis.

Kakinya demikian ringan meloncat kesana kemari seakan-akan ia tak menginjak tanah! Tiba-tiba di atas pohon terdengar suara sayap bergerak. Anak muda itu menengok sedikit ke atas, kemudian sekali mengayun kakinya, tubuhnya melayang ke atas menuju ke sebuah dahan di mana seekor ayam hutan sedang bertengger. Ayam itu terkejut sekali dan ketika tangan anak muda itu hendak menangkapnya, dengan gesit ayam itu terbang ke bawah. Anak muda itu tak kehabisan akal, ia tadinya telah berdiri di atas sebuah dahan, ketika melihat ayam itu terbang ke bawah, ia segera menjatuhkan dirinya pula ke bawah, tapi kedua kakinya mengait dahan hingga kepalanya menukik ke bawah. Secepat kilat tanggannya terulur dan ia berhasil menangkap ayam hutan. Ayam itu bergerak-gerak hendak melepaskan diri, tapi tak berhasil, kemudian dengan tertawa riang pemuda itu lompat turun.

"Ah, engkau kurus benar," katanya kepada ayam yang menggelepar-gelepar di tangannya itu.

"Bibi tentu akan mengatakan aku bodoh, karena ayam ini hanya berisi tulang belaka, buat apa. Nah, pergilah kau. Kelak kalau sudah gemuk boleh kutangkap lagi!" ia melepaskan ayam itu, yang segera terbang dengan terkeok-keok. Pemuda itu berusia lebih kurang lima belas tahun, berwajah putih, cakap, dengan sepasang mata bersinar tajam, tapi lembut dan dihiasi sepasang alis tebal hitam yang panjang.

Tubuhnya yang sedang besar dan tingginya itu mengenakan pakaian serba putih dengan angkin kuning kepalanya bertopi kuning pula. Di pinggangnya agak di belakang tergantung sekantong kim-chie-piao (senjata rahasia mata uang). Tadi ia telah melatih ilmu silatnya dengan tangan kosong. Kini ia berdiri di bawah pohon itu tertawa-tawa seorang diri karena geli melihat laku ayam hutan tadi. Kemudian ia memungut sebatang dahan kering berwarna hijau di tanah dan segera memulai melatih dirinya lagi. Dahan kering itu dipermainkannya seperti sebilah golok. Sungguhpun yang diayunkan dan digerakkannya itu hanya sebatang dahan, namun sambaran anginnya bersiutan dan dahan itu sendiri tak tampak lagi, hanya kelihatan bayangan putih kehijau-hijauan berputar-putar kesana kemari. Setelah ia bersilat beberapa puluh jurus tiba-tiba terdengar suara pujian,

"Bagus!!" dan tahu-tahu bayangan hitam seorang tinggi besar menerjangnya!

"Lihat pedangku!" bentak bayangan itu sambil menyerang dengan tipu Hui-eng-bok-thou (Biang Terbang Menyambar Kelinci). Ia agak terkejut akan serangan orang yang tiba-tiba tanpa sebab itu, namun pemuda baju putih itu tak kurang waspada. Ia berkelit ke samping, tapi lawannya melanjutkan serangannya dengan tipu Liong-ting-ti-cu (Mengambil Mutiara di Atas Kepala Naga) Pedangnya berpusing-pusing seperti alap-alap menyambar dari atas. Serangan ini sangat cepat hingga pemuda itu tak sempat mengelak lagi, maka terpaksa ia gunakan dahan kering yang masih dipegangnya untuk menangkis.

"Prak!" terdengar suara dahan itu beradu dengan pedang. Pemuda itu merasa telapak tangannya perih. Ia kagum akan tenaga penyerangnya. Tapi biarpun demikian pedang yang tertahan oleh dahannya itu terpental juga.

"Hai, mengapa kau menyerangku? Aku Si Han Liong belum pernah punya musuh!" Ia menegur keren, tapi yang ditegurnya tak berkata apa-apa hanya kini berserak kembali menyerangnya dengan hebat!

Pedangnya bergerak seperti baling-baling dan dengan tidak disadarinya ujungnya meluncur ke arah pinggang kanan Han Liong. Anak muda itu masih saja berkelit ke sana sini dengan gesit sampai tujuh jurus. Akhirnya ia merasa bahwa penyerangnya yang berkedok hitam itu bukanlah lawan yang ringan. Segera aa balas menyerang. Saling serang antara pedang dan dahan kering terjadi dengan serunya sampai tiga puluh jurus lebih. Makin lama Han Liong makin merasa heran, karena lawannya itu menggunakan ilmu golok Oei-liong-coan-sin (Naga Kuning Memutar Tubuh) kemudian terdapat pula jurus-jurus ilmu gabungan golok dan pedang ciptaan Bie Kong Hosiang, gurunya sendiri! Ia terkejut, karena ilmu ini menurut gurunya itu tak pernah diturunkan kepada lain orang, tapi mengapa orang ini dapat menggunakan demikian mahirnya! Tak terasa ia berseru,

"Tahan!" Tapi lawannya tak memberi kesempatan padanya dan terus menyerang makin sengit, Han Liong terpaksa menghadapinya pula beberapa puluh jurus dan selama itu ia dapat melayaninya dengan baik.

Semua serangan yang dikenalnya tipu-tipunya itu dapat dipecahkan, malah kalau ia mau, ia bisa menggunakan kegesitan tubuhnya yang melebihi lawannya itu untuk balas menyerang dengan ilmu-ilmu berbahaya. Tapi Han Liong tidak mau melakukan serangan yang mematikan karena ia tak suka mencelakakan lawan yang belum diketahui sebab-sebab memusuhinya ini. Tiba-tiba ia teringat sesuatu setelah mengamat-amati tubuh dan gerakan orang itu, lagi pula keadaan cuaca kini telah agak terang. Ketika lawannya menusuk dengan tipu Raja Naga Menyerbu Goa, sebuah tipu silat gabungan golok pedang yang sangat berbahaya dan banyak perpecahannya, Han Liong menyontak tanah dan melayang jauh ke belakang sampai tiga tombak. Lalu ia melemparkan dahan keringnya dan segera berlutut.

"Suhu (guru)!" teriaknya. Lawannya berdiri, melempar pedangnya, dan sambil tertawa ia membuka kedoknya,

"Ha, ha, ha! Anak baik, muridku yang baik!" Bie Kong Hosiang tertawa lagi dengan gembira lalu menghampiri dan mengangkat bangun Han Liong yang segera dipeluknya. Kemudian ia memegang kedua pundak anak muda itu dan dipandangnya baik-baik.

"Lima tahun kita tak berjumpa dan engkau sudah banyak maju! Bagus sekali, muridku."

"Sungguh berbahaya, suhu. Kalau suhu tidak menyerang dengan tipu terakhir itu, teecu (murid) takkan mengira bahwa suhu sedang mencoba kebisaanku!" jawab Han Liong.

"Aku hanya ingin tahu kemajuanmu." berkata Kim-too Bie Cong Hosiang si Golok Emas.

"He, hwesio (pendeta) tua! Enak saja engkau memuji murid kami sesukamu. Berilah waktu padaku untuk mengujinya juga!" tiba-tiba terdengar seruan dari atas pohon, dan segera pembicaranya tampak melayang ke bawah. Han Liong segera berlutut dan berseru dengan girang,

"Hee-suhu, selamat datang, teecu menghaturkan hormat!" Bie Kong Hosiang juga merangkapkan kedua tangannya memberi hormat dan berkata,

"Omitohud, kebetulan sekali engkau telah datang. Selamat bertemu, selamat datang!" Hee Ban Kiat membalas hormatnya dengan tertawa, kemudian ia menyuruh muridnya bangun berdiri,

"Han Liong, sudah tiba masanya kini aku harus mengujimu. Ayoh, bersiaplah."

"Teecu tak berani melawan suhu."

"Apa katamu? Siapa bilang melawan? Ini hanya latihan, anak bodoh!" Kemudian secepat kilat ia menyerang. Han Liong sangat kagetnya dan merasa bahwa ia bersalah dalam jawabannya. Bukanlah lima atau enam tahun yang lalu ia selalu berlatih dan harus melawan bersilat dengan gurunya ini? Segera ia melompat mundur menghindarkan serangan itu dan memasang kuda-kuda menjaga serangan seterusnya.

"Jangan terlalu seeji (segan-segan)!" tegur gurunya yang segera menggeser kakinya maju sambil menyerang dengan tipu Kim-liong tam-jiauw (Naga Mas Mengulur Kuku).

Dengan berturut-turut kedua lengannya meluncur ke arah dada muridnya. Menghadapi serangan hebat ini, Han Liong jungkir balik menghindarinya dengan tipu Koai-bong houn-sin. Demikianlah selanjutnya, Siauw-Io ong Hee Ban Kiat si Giam lo-ong kecil bermata satu itu menyerang muridnya dengan tipu-tipu silat Thai Kek Touw, Kiauw-ta-sin-na dan Ouw-wan-ciang-hoat diselang-seling. Han Liong melayaninya dengan sangat baik hingga tak pernah tampah terdesak. Hanya ia masih ragu-ragu untuk balas menyerang, sehingga kebanyakan ia hanya bertahan saja. Kelincahan dan keringanan tubuh dan kaki tangannya banyak menolong dirinya, karena ternyata gerakannya lebih gesit dari pada gurunya itu! Akhirnya ia menarik nafas lega dan tertawa gembira, karena gurunya menghentikan serangannya,

"Bagus, bagus. Tak percuma aku si tua bangka mengajarimu. Eh, bagaimana pendapatmu, Hong Losuhu dan Pouw Losuhu!" tanyanya menoleh ke belakang, matanya yang hanya tinggal sebuah itu bercahaya girang dan bangga.

"Memang bagus, Hee Koanjin (orang aneh)." menjawab Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan dan Pauw Kim Kong si Malaikat Rambut Putih dengan mengangguk-angguk girang. Han Liong tercengang melihat bahwa kedua gurunya itupun telah berada di situ dan juga ie-ienya (bibi) yang tadi turun gunung membeli barang-barang keperluan mereka telah pula berada di situ. Dalam kebingungannya menghadapi serangan-serangan gurunya tadi, ia tak sempat memperhatikan keadaan di sekitarnya. Segera ia berlutut dan menunjukkan hormatnya kepada kedua gurunya yang datang belakangan itu.

"Kami juga datang hendak melihat kemajuanmu, Liong," kata Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan,

"Nah, cobalah kejar aku seperti permainan kita dahulu." Tubuh Han Liong segera bergerak ke depan dan dengan gembira mengejar gurunya itu. Sekejab kemudian mereka hanya merupakan dua Sosok bayangan, yang kuning di depan dan yang putih di belakang kejar-mengejar sehingga tak lama kemudian hanya tampak dua titik kecil yang makin jauh.

Tak lama antaranya, segera tampak dua orang guru dan murid itu melayang-layang mendekat. Sebuah bayangan kuning gurunya, Si Iblis Daratan berputar cepat dan tiba-tiba berdiri dan beberapa puluh detik kemudian sebuah bayangan putih Han Liong berkelebat dan telah tiba pula menyusul gurunya. Liok-tee Sin-mo Hong In segera melompat ke arah dahan sebuah pohon, ketika Han Liong menyusul, ia telah meloncat pula ke atas dahan yang lebih tinggi dan segera disusul pula oleh Han Liong. Demikianlah gurunya meloncat-loncat ke atas puncak pohon sebagai seekor kupu-kupu kuning disusul oleh Han Liong dengan cepatnya. Akhirnya sang guru melayang turun dan kakinya menyentuh tanah dengan ringan seperti sehelai daun kering jatuh. Perbuatannya ini ditiru oleh Han Liong dengan gerakan serupa pula.

"Cukup muridku, engkau sudah hampir dapat melebihiku." Tapi diam-diam Han Liong maklum bahwa ia masih kalah setingkat. Kemudian oleh gurunya itu Han Liong disuruh mendemonstrasikan kepandaiannya menggunakan kim-cie-piaow. Liok-tee Sin-mo melempar dengan uang logamnya ke arah sebatang pohon yang jauhnya kira-kira lima tombak lebih. Berturut-turut ia melempar sampai lima kali, kemudian ia menyuruh muridnya menyusul lemparannya itu. Han Liong mengerti maksudnya. Segera dilakukannya dengan sebuah piao. Ketika tangannya terayun, terdengar bunyi nyaring lima kali di batang pohon itu. Ketika diperiksa, ternyata piao sang guru yang tertanam di dalam pohon kena dihantam oleh piao muridnya, sehingga keluar menembus pohon itu. Sang guru tersenyum memuji.

"Eh, aku jangan ditinggalkan!" seru Pauw Kim Kong si Malaikat Rambut Putih.

"Kemarilah, Liong, dan pegang bambu ini." Han Liong menghampiri gurunya yang berdiri lurus sambil memegang tongkat bambu itu dan diacungkannya ke depan. Han Liong segera memegang ujung tongkat itu, sehingga mereka masing-masing memegang kedua ujungnya.

"Nah, kerahkan tenagamu menahan, karena aku hendak mengangkatmu!" Han Liong segera mengumpulkan tenaga dalam, memasang bhesinya (kuda-kudanya) dengan kuat sehingga kedua kakinya seakan-akan berakar ke dalam tanah. Tiba-tiba ia merasa ujung bambu itu seakan-akan tergetar dan aliran tenaga gurunya telah menyentuhnya. Bambu itu kini makin bergetar ketika dua tenaga dalam itu bertanding mengadu kekuatan.

"Naik!" Si Malaikat Rambut Putih berseru dan Han Liong merasa betapa tenaga gurunya dengan hebat menggempur pertahanannya hingga bhesinya terasa lemah dan untuk sesaat kedua kakinya terangkat dari tanah kira-kira satu setengah dim! Namun ia masin tetap dalam keadaan memasang kuda-kuda dan memegang ujung bambu itu dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka mengembang di atas kepalanya, sehingga ia merupakan sebuah patung kayu!

Ia mengerahkan tenaganya dan perlahan-lahan ia dapat turun kembali. Kini tangan kiri gurunya turun ke bawah, suatu tanda bahwa ia kini yang harus menyerang. Dengan penuh semangat ia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk mengangkat gurunya. Ternyata ia berhasil membuat gurunya menggeserkan kaki depannya yang berarti bahwa ia telah berhasil menggempur bhesi gurunya! Kendatipun ia belum dapat mengangkat si Malaikat Rambut Putih itu ke atas, tapi ia telah memperoleh banyak kemajuan. Ia mengerahkan pula tenaganya dan ditahan oleh gurunya. Dua tenaga dalam bertemu dengan kerasnya dan "brak!!" bambu itu pecah berkeping-keping! Kedua-duanya mundur dan sama-sama memeramkan mata mengatur nafas sebentar,

"Engkau sudah banyak maju, Liong. Ketika latihan yang terakhir beberapa tahun yang lalu, kau masih dapat kuangkat setinggi dua kaki! Kini engkau sudah bisa menggempur kedudukan kakiku. Berlatihlah terus, muridku." Kemudian ia minta muridnya memperlihatkan pelajaran Sin-kut-hoat yakni ilmu melepas tulang yang segera diturut pula oleh Han Liong. Merela memilih sebuah pohon yang banyak dahannya dan di situ Han Liong memperlihatkan kemahirannya. Ia melayang ke atas dan menerobos diantara dahan-dahan dan cabang-cabang yang demikian rapatnya sehingga tubuhnya seakan-akan melilit-lilit dahan seperti seekor ular besar! Keempat gurunya bukan main girang melihat kemajuan murid mereka itu. Mereka puas dan gembira sekali, lebih-lebih Pauw Kim Kong yang tiada hentinya menepuk-nepuk pundak muridnya dengan kasih sayang.

"O ya, dan bagaimana pelajaranmu dalam ilmu surat? Kami ingin sekali tahu," kata Pauw Kim Kong sambil melirik ke arah Yo Leng In.

"Ah, teecu sangat bodoh dan hanya dapat menulis beberapa patah kata dan beberapa buah huruf saja, suhu," jawab Han Liong malu.

"Eh, jangan membuat malu aku yang mendidikmu, Liong," sela bibinya, Yo Leng In.

"Yo Toanio benar, Liong. Di depan orang lain kau boleh merendah, tapi karena hari ini adalah hari ujianmu, kau tak boleh malu-malu. Ayoh perlihatkan kepandaianmu menulis, agar kami puas." Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat si mata satu mendesak. Dengan terpaksa Han Liong lari mengambil alat tulis dan kertas dari dalam pondok, lalu menulis di atas sebuah batu yang rata, dilihat oleh keempat guru dan bibinya. Setelah selesai, ia perlihatkan tulisannya itu. Semua orang-orang tua itu memuji, kecuali Liok-tee Sin-mo yang berkata sambil tertawa,

"Aku orang tua tak berguna yang harus malu! Setua ini tapi satu huruf pun aku tidak kenal. Coba tolong bacakan tulisan Han Liong itu Yo Toanio!" Yo Leng In mengambil kertas itu lalu membacanya. Ternyata tulisan Han Liong itu berbentuk sajak berbunyi demikian :

Kecil lemah tak berdaya
Yatim piatu menderita sengsara
Hidup terancam bahaya gelap gulita
Untung datang lima bintang bercahaya
Aku orang sengsara tiada guna ini
Sampai mati tak mungkin membalas budi
Hanya berjanji mengorbankan nyawa
Menjunjung tinggi nama lima bintang dengan Setia!

Yo Leng In membaca dengan suara merayu, dan semua pendengarnya maklum bahwa yang dimaksud dengan lima bintang itu ialah keempat gurunya dan seorang bibinya yang telah menolong dan mendidiknya. Kemudian, dengan huruf-huruf kecil yang ditulis dengan tangan gemetar, terdapat dua baris syair demikian,

Sebatang kara, yatim piatu
Siapa ayah, siapa ibu??

Dua baris tulisan ini seakan-akan teriakan jiwa anak muda itu yang ingin sekali mengetahui di mana dan siapakah orang tuanya, tapi ia tak berani bertanya, karena dahulu tiap kali ia bertanya, selalu ia dilarang karena belum waktunya. Tulisannya ini membuat keempat guru dan bibinya sangat terbaru, sehingga dikedua pipi bibinya yang membaca sajaknya itu mengalir air mata! Pauw Kim Kong menghela nafas, dan ketika ia memandang Han Liong, ternyata kedua mata pemuda itupun mengeluarkan dua butir air mata.

"Hm, sudahlah jangan bersedih. Mari kita masuk ke dalam pondok, dan di situ nanti akan kami ceritakan padamu sebenarnya tentang engkau dan orang tuamu. Karena hari ini engkau telah tamat belajar, maka sudah sepatutnya pula kalau kau ketahui akan hal Itu." Semua orang memasuki pondok kecil itu dan di situ Han Liong untuk pertama kalinya mendengar cerita mengenal orang tuanya dan tentang dirinya seperti berikut. Si Han Liong adalah putera tunggal dari Si Enghiong (orang gagah she Si) atau Si Cin Hai yang tak lain adalah seorang siucai (sasterawan) muda patriot sejati yang diangkat menjadi kepala daripada banyak kaum kang-ouw dan liok-lim (kalangan persilatan dan jagoan-jagoan). Si Cin Hai ini adalah putera seorang bekas menteri pemerintah Beng Tiauw bernama Si Kim Pau dan tadinya menjadi kawan baik Gouw Sam Kwie yang ternama itu.

Pada masa Si Kim Pau masih menjadi menteri, kerajaan Beng Tiauw kacau-balau karena ancaman pemberontak Lie Cu Seng. Gouw Sam Kwie yang melihat bahaya ini lalu minta pertolongan serdadu-serdadu Boan dari Mancuria untuk memasuki tembok besar dan membantu usaha menindas kaum pemberontak. Hal ini tidak disetujui oleh Menteri Si Kim Pau dan ia berkata bahwa usaha itu seakan-akan "mengusir serigala dan mendatangkan harimau". Gouw Sam Kwie yang biasanya menghargai pendapat Si kim Pau, ketika itu karena sedang bingung melihat ancaman dan desakan Lie Cu Seng, tidak memperdulikan nasihat Si Kim Pau sehingga mereka berdua berselisih paham. Akhirnya serdadu-serdadu Boan betul berhasil juga menindas pemberontakan Lie Cu Seng. Namun, setelah melihat keindahan dan kekayaan bumi Tiongkok,

Orang Boan itu menjadi keenakan dan tak mau meninggalkan Tiongkok, bahkan lalu berbalik memukul hancur dan menjatuhkan pemerintah Beng Tiauw, dan semenjak itu bangsa Boan Ciu berkuasa di Tiongkok dan mendirikan pemerintah Ceng Tiauw. Si Kim Pau melihat keadaan menjadi begitu hebat, hatinya bersedih dan menyesal sekali, ia seorang menteri yang setia dan berjiwa patriot, maka karena diri sendiri tidak berdaya, ia mengambil keputusan untuk mengorbankan nyawanya sebagai pernyataan bakti kepada negara dengan membunuh diri. Tapi, ketika ia menghunus pedangnya dan hendak menusuk lehernya sendiri, tiba-tiba sepucuk sinar putih berkelebat, serta merta pedangnya terpotong menjadi dua dan di depannya berdiri seorang tua berjubah putih dan rambut serta jambangnya yang panjang sampai kepinggang semuanya putih melepak!

Ia merasa seakan-akan bermimpi, tapi sebagai seorang yang waspada ia segera maklum bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang suci. Tanpa perdulikan, pangkat dan kedudukan, ia segera berlutut. Orang tua itu mengaku bernama Kam Hong Siansu, seorang suci setengah dewa yang mengasingkan diri di bukit Kam-hong-san. Kam Hong Siansu menyatakan bahwa Si Kim Pau berbakat untuk menjadi seorang pertapa, lalu dengan samar-samar ia meramalkan bahwa untuk sementara ini pemerintah Ceng Tiauw tak dapat dirobohkan, karena sudah takdirnya demikian. Dengan pertolongan Kam Hong Siansu yang menggunakan ilmunya, sekaligus Si Kim Pau, isterinya, dan Si Cin Hai, puteranya yang berusia sembilan belas tahun, dibawa ke puncak Gunung Kam hong-san.

Atas petunjuk Kam Hong Siansu, Si Kim Pau bertapa di situ sambil mendidik puteranya dalam ilmu-ilmu ketatanegaraan dan kesusasteraan. Namun darah patriot yang mengalir dalam tubuh Si Cin Hai membuat ia tak betah tinggal di atas gunung dan tanpa dapat dicegah ia pergi turun gunung. Ibunya sangat sedih karena hal ini lalu jatuh sakit dan meninggal dunia. Si Kim Pau yang ditinggal seorang diri di puncak gunung melanjutkan pertapaannya tanpa memperdulikan urusan dunia. Kadang-kadang, Kam Hong Siansu, entah dari mana datangnya, datang mengunjunginya dan memberi wejangan-wejangan ilmu batin. Si Cin Hai turun dari Kam hong san dan membuat hubungan dengan Enghiong (orang gagah) berjiwa patriot dari seluruh tempat untuk berusaha merobohkan pemerintoh Ceng Tiauw dan mengusir orang-orang Boan, penjajah angkara itu dari permukaan bumi Tiongkok.

Iapun berhubungan pula dengan Gouw Sam Kwie yang bergerak dari Propinsi Hun Lam. Karena ternyata Si Cin Hai seorang terpelajar yang cerdik pandai dan seorang patriot sejati, walaupun ia masih muda dan tak pandai ilmu silat, ia diangkat menjadi Bengcu oleh semua Enghiong dan disebut Si-Enghiong. Sementara itu, ia kawin dengan Yo Lu Hwa, puteri dari Yo Beng Kiat seorang piauwsu (tukang pengantar barang ekspedisi) ternama di kota Liok-cu. Yo Lu Hwa lalu ikut aktip dalam perjuangan suaminya. Pada permulaan tahun Kong Hie ke empat belas, ketika Raja kedua dari pemerintah Ceng Tiauw mulai bertahta, Si Cin Hai bersamaan dengan Gouw Sam Kwie dari daerah lain, mulai bergerak untuk menggulingkan pemerintah musuh. Tapi sayang, karena Gouw Sam Kwie kurang berhati-hati, maka rahasia pergerakan itu bocor,

dan mereka dipukul oleh Pemerintah Ceng Tiauw sebelum mereka sempat bergerak, sehingga banyak kawan-kawan seperjuangannya yang tewas. Ternyata pemerintah penjajah mempunyai banyak panglima jagoan, diantaranya ialah Coan Eng, Ta Hai dan Lie Ban si Naga Tanduk Besi. Di antara para patriot yang gugur, termasuk juga Si Cin Hai dan Ong Kee Lin suami Yo Leng In. Yo Leng In ini adalah adik kandung Yo Lu Hwa. Yo Lu Hwa sendiri tertawan oleh Tiat-kak-liong Lie Ban si Naga Tanduk Besi! Sebetulnya Yo Lu Hwa ingin mengamuk sampai titik darah penghabisan setelah melihat suaminya gugur, tapi apa daya, ia terpaksa menyerah untuk melindungi puteranya dari bahaya maut! Demikianlah, ia dan Han Liong, puteranya yang baru berusia lima bulan itu ditawan musuh. Masih bergema di telinganya pesan suaminya yang terakhir.

"Peliharalah Han Liong baik-baik dan teruskanlah perjuangan kita!" Pesan pertama untuk memelihara Han Liong telah dilaksanakan dengan pengorbanan menyerah kepada musuh, tetapi pesan kedua takkan mungkin dapat ia lakukan. Tiat-kak-liong Lie Ban yang baru setahun kematian isterinya, sangat tertarik melihat kecantikan dan kegagahan Yo Lu Hwa, maka ia sengaja menawannya dengan anaknya.

Kemudian, ia membujuk-bujuk agar nyonya muda itu suka menjadi isterinya. Tentu saja Yo Lu Hwa tidak sudi dan memaki-makinya sebagai seorang tak tahu malu dan rendah budi. Tapi setelah Lie Ban mengancam akan membunuh Han Liong jika ia tidak mau menjadi isterinya, dengan hati hancur luluh nyonya muda itu terpaksa menurut. Ia mau berkorban apa saja asal anaknya terluput dari bahaya maut. Hal ini sangat menyakitkan hati kawan-kawan di kalangan kang ouw dan liok-lim. Mereka anggap bahwa penyerahan Yo Lu Hwa itu sangat memalukan dan merendahkan nama para patriot, terutama nama Si-Enghiong yang mereka hormati. Teristimewa Yo Leng In yang telah menjadi janda pula, ia merasa sangat malu dan telah berkali-kali dicobanya memasuki gedang Lie Ban untuk menculik Han Liong dan kalau mungkin membunuh Lie Ban serta encinya!

Tapi Tiat kak-liong Lie Ban bukan anak kemarin sore. Ia tahu betul bahwa Yo Lu Hwa mau menjadi isterinya karena menjaga keselamatan Han Liong. Kalau Han Liong sampai terculik hilang, tentu isterinya yang baru itu takkan sudi lagi mendekatinya, bahkan mungkin akan menimbulkan keributan! Maka, ia menjaga Han Liong dengan sangat hati-hati, bahkan sengaja ia mendatangkan beberapa orang kawan-kawannya yang juga ahli-ahli silat kelas satu untuk menjaga gedungnya. Karena itu, segala daya upaya Yo Leng In menjadi gagal sama sekali, bahkan beberapa orang kawannya mendapat luka berat di dalam percobaan menculik Han Liong itu. Demikianlah tujuh bulan telah lampau. Peristiwa tewasnya Si-Enghiong dan dirampasnya Yo Lu Hwa oleh Lie Ban telah terdengar oleh semua kawan-kawan di kalangan kang-ouw dan menggerakkan hati para hohan (kesatria) di seluruh pelosok.

Di antara mereka yang tergerak hatinya adalah Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan. Ia meninggalkan guanya di Gunung Kwan lim-san dan memberi kabar kepada beberapa orang sahabatnya untuk mengadakan penemuan di Kam hong-san pada permulaan musim Chun (musim semi)! la sendiri langsung menggunakan ilmunya berlari cepat menuju ke gedung Tiat-kak-liong Lie Ban yang dijaga kuat itu. Malam itu, tidak seperti biasanya, di rumah Lie Ban agak sunyi. Biasanya Tiat-kak-liong Lie Ban dengan ditemani oleh tiga orang kawannya, ialah Oei-kak-liong Lie Kong si Naga Tanduk Kuning adiknya sendiri, dan berdua saudara Beng Liok Hui dan Beng Liok Houw yang dijuluki orang Sankang Jie-pa-cu (Dua Macan Tutul dari Sankang), minum arak atau main maciok sampai tengah malam.

Tapi malam itu Lie Kong dan kedua saudara Beng telah masuk ke kamar masing-masing, sedangkan Tiat-kak-Liong Lie Ban berada di kamar isterinya. Di antara bayang.bayang daun pohon yang ditimpa sinar bulan, berkelebat seSosok bayangan tubuh manusia di atas genteng gedung itu. Gerakannya demikian enteng dan gesit sehingga gerakan seekor kucingpun kalah olehnya! Dengan ilmu meringankan tubuh Keng-kong-tee-sut-hoat ia berlari-lari ke sana ke mari di atas genteng mencari-cari. Tiba-tiba ia berhenti di atas kamar Lie Ban dan kakinya bergerak dalam tipu Ouw liong coan-tah (Naga Hitam Menembus Menara) ia melompat turun ke bawah tanpa bersuara sedikitpun. Kemudian dengan langkah ringan sekali ia menghampiri jendela dan memasang telinga.

"Isteriku, janganlah engkau terlampau makan hati. Kurang apakah engkau jadi isteriku? Aku cinta padamu, hormat padamu, dan menjaga Han Liong seperti anakku sendiri. Bergembiralah isteriku, dan ingat akan kandunganmu," terdengar suara seorang laki-laki halus membujuk. Lalu terdengar helaan nafas seorang perempuan,

"Memang nasibku yang buruk... nasibku yang sial... ahh..." terdengar isak perlahan.

"Sudahlah, bukankah engkau cinta kepada Han Liong? Dan bukankah aku berlaku baik padamu? Jangan bersedih, supaya lekas sembuh."

"Memang engkau baik padaku dan Han Liong... dan sekarang aku mengandung pula... mengandung anakmu..."

"Bukankah itu baik sekali?" tiba-tiba suaranya terdiam dan dengan gerakan Ouw-liong-chut-tong (Naga Hitam Keluar Gua) ia meloncat keluar pintu dan masih sempat melihat sekelebat bayangan hitam melayang ke atas genteng.

"Bangsat, jangan lari!" la berseru dan mengayun tubuhnya ke atas genteng, mengejar. Tapi ketika kakinya menginjak wuwungan rumahnya dan matanya mencari-cari ke sana ke mari, ia tak melihat sesuatu kecuali bayangan daun-daun pohon yang bermain di atas genteng. Heran, pikirnya, apakah aku tadi melihat kucing? Ia langsung menuju ke kamar adiknya dan kedua saudara Beng. Ternyata mereka sudah tidur, maka segera ia kembali ke kamar isterinya. Alangkah kagetnya ketika ia mendengar Yo Lu Hwa menjerit-jerit.

"Jangan... jangan ambil anakku...!!" Cepat ia meloncat masuk melalui pintu dan melihat seorang laki-laki tua yang mukanya bagian bawah tertutup jambang dan jenggot putih, berpakaian kuning tua. Orang tua itu telah memondong Han Liong, Sedangkan isterinya berusaha merebutnya. Tapi gerakan orang tua itu cepat benar dan isterinya yang sedang sakit tak dapat berbuat apa-apa. Lie Ban amat marah.

"Bangsat tua! Kau berani bermain-main di depan tuanmu! Lepaskan anak itu!"

"Ha, ha! Lie Ban orang rendah! Anak ini bukan anakmu, ada hak apakah kau melarang aku membawanya pergi?"

"Kurang ajar!" Dengan kemarahan yang meluap-luap, Tiat-kak liong Lie Ban menyerbu dengan gerakan Go-yang-pok-sit (Kambing Kelaparan Tubruk Makanan) dan mencengkeram ke arah dada orang tua itu. Ketika cengkeramannya ditangkis lawan, Lie Ban merubah serangannya dengan Kim-liong-tam-jiauw (Naga Emas Mengulur Cakar), kedua tangannya maju serentak, yang kanan memukul ke arah muka lawan dan yang kiri mencengkeram hendak merampas Han Liong. Tapi ternyata lawannya lebih tinggi kepandaiannya. Ia meloncat ke sana ke mari sambil ketawa mengejek.

Orang tua itu adalah Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan, menggunakan ilmu silat Jiauw-pouw-poan-toan (Tindakan Mengitar Berputar-putaran), berkelit kian ke mari dan sekali lompat saja ke arah pintu, ia terus menghilang ke atas genteng! Anak yang didukungnya berteriak-teriak menangis hingga membangunkan Lie Kong dan kedua Macan Tutul dari Sankang. Dengan susul-menyusul mereka bertiga memburu ke atas genteng. Si Iblis Daratan yang sedang meloncat dengan tipu Tiang-hong-koan-jit (Bianglala Melintang Langit), tiba-tiba merasa sambaran angin keras ke arah kakinya. Ia tak heran lagi, dan terus menahan kakinya yang hendak turun, lalu berpoksai (jungkir balik) di udara dengan gerak tipu Koai-bong-hoan-sin (Siluman Ular Berputar Balik) ia meloncat secepat kilat ke belakang. Ternyata serangan itu adalah sebuah toya yang menyambar kakinya.

"Penculik hina jangan lari!" teriak penyerangnya yang bukan lain adalah Oei-kak-liong Lie Kong. Kemudian dengan tipu Hok houw-kun hoat atau Ilmu Toya Penakluk Harimau, Lie Kong menyerang dengan buasnya, tak peduli lagi bahwa pukulan-pukulannya bisa mencelakakan Han Liong yang berada dalam dukungan orang tua itu.

Namun dengan masih tertawa-tawa kecil orang tua yang bertubuh ringan lincah itu yang sangat mahir dalam berkelit, berpusing-pusing ke sana ke mari di antara sambaran toya. Lie Ban yang tadinya menolong isterinya yang sedang jatuh pingsan, kini tiba-tiba mengejar dan menyerang dengan goloknya. Serangannya ini sangat hebatnya, karena dilakukannya dalam keadaan marah yang sangat memuncak. Lie Ban menyerang dengan ilmunya yang paling diandalkan, ialah Ilmu golok Ngo-houw-bun to atau Lima Harimau Mencegat Pintu. Goloknya yang berat berkeredepan di bawah sinar bulan dan menyerang ke arah tenggorokan lawannya dengan mengeluarkan angin dingin yang berciutan. Karena di dalam hatinya terasa takkan baik jadinya jika menghadapi Kedua bersaudara yang tak boleh diabaikan itu, ia segera meng gunakan ilmunya berlari cepat sambil berkata,

"Lie Ban, aku tak sempat melayanimu lebih lama. Selamat tinggal!" Tetapi dua bersaudara itu lompat mengejar lagi. Ketika Liok-tee Sin-mo Hong In sudah melalui dua wuwungan, tiba-tiba dari depan terlihat dua bayangan orang menghadang. Mereka ternyata adalah dua saudara Beng yang berdiri menanti dengan pedang di tangan!

"Berhenti, bangsat tua bangka!"

Mereka menyerang serentak dengan menggunakan tipu silat pedang mereka yang terkenal yakni Jie-pa-cu Siang-Kiam Hoat (Ilmu Silat Pedang Sepasang Macan Tutul) yang mereka ciptakan berdua. Ilmu ini hebat sekali, teristimewa kalau dilakukan di dalam penyerangan bersama, seakan-akan mereka berdua itu hanya seorang dengan empat tangan dan empat pedang! Belum pernah selama hidupnya Liok-tee Sin- mo Hong In menyaksikan ilmu pedang sebaik ini. Ia merasa kagum serta gembira, kalau saja ia tidak sedang mendukung Han Liong, tentu ia ingin sekali mencoba ilmu pedang istimewa ini. Ia tak usah takut, karena dengan, mengandalkan kelincahan dan ilmu meringankan tubuh yang tinggi, belum tentu dua pasang pedang itu akan dapat melukainya. Tapi kini ia tiada waktu untuk melayani kedua macan tutul itu, maka ia meloncat pergi melayang ke atas pohon dan berkata.

"Bagus benar permainan pedang kalian!" Kedua saudara Lie Ban dan Lie Kong yang mengejar sudah sampai pula di situ, dan mereka berempat ternyata tak mampu mengejar si Iblis Daratan.

Tiba-tiba Beng Liok Hui mengayunkan kedua tangannya dan dua buah benda hitam melayang menyambar ke arah punggung dan pinggang Liok-tee Sin-mo Hong In yang baru saja menurunkan sebelah kakinya di atas cabang pohon yang tertinggi. Baru saja angin senjata rahasia itu terasa olehnya, dengan cepat ia jungkir balik ke bawah pohon, dan benda itu menyambar dengan cepat sekali sehingga terasa dingin sambaran anginnya, Mau tak mau si Iblis Daratan terkejut! Ia maklum kelihaian penyambit piauw tadi, karena sambaran anginnya menunjukkan tenaga dalam yang hebat! Maka segera ia menggunakan ilmu Keng-sin-sut hingga tubuhnya bagaikan melayang-layang di atas rumput, sekejap saja sudah berada jauh dan lenyap dari pandangan mata musuh-musuhnya! Gunung Kam-hong-san yang dikelilingi bukit-bukit kecil berjejer-jejer merupakan seorang jenderal perang yang mengepalai barisan pejuang.

Gunung itu berdiri di tengah-tengah, puncaknya menjulang tinggi menembus awan, bukit-bukit yang mengelilinginya hijau gelap penuh hutan liar. Pada waktu pagi, keadaan di sekitar lereng gunung ini sungguh indah. Bumi yang naik turun tak rata itu dihiasi rumput hijau muda yang membentang luas bagaikan kain beludru menutupi seluruh gunung. Di sana sini tumbuh bunga-bunga hutan beraneka warna dan ragam, bagaikan sulaman-sulaman indah di permukaan beludru hijau itu, menebarkan bau semerbak harum. Hutan-hutan yang penuh dengan pohon Liu, Siong, dipayungi cabang-cabang beberapa pohon raksasa yang telah ribuan tahun usianya. Matahari bersinar merah di timur, menerjang halimun menimbulkan cahaya pelangi beraneka warna yang indah sekali.

Suara burung-burung beraneka macam berkicau dan berdendang melakukan puja-puji kepada tamasya alam, suara mereka nyaring merdu diiringi suara anak sungai gemercik tiada berkeputusan menambah sedap pemandangan dan pendengaran. Jika di Sorga terdapat taman, agaknya seperti inilah macamnya! Dari dalam hutan, sayup-sampai terdengar suara geraman binatang buas, yang dibalas oleh auman di lain hutan, sehingga suara gerengan susul menyusul bersahut-sahutan, menggelegar bagaikan bunyi tambur besar yang dipukul riuh rendah menggetarkan ujung-ujung daun yang dihias butiran-butiran air embun. Sungguh benar kata orang bahwa di tempat yang indah merupakan sorga dunia itu ternyata tersembunyi bayangan-bayangan maut yang mengintai mangsanya!

Maka tak heran bila belum pernah ada yang berani menjelajahi tempat yang indah itu, karena semua orang kampung yang tinggal puluhan li dari kaki gunung tahu akan bahayanya memasuki hutan-hutan yang penuh binatang liar itu. Namun, pada pagi hari di permulaan musim Chun, di kala hawa udara sangat sejuknya dan segala taman-tamanan sedang semi berkembang, ketika angin gunung sedang berdesir perlahan menghalau halimun ke arah timur, dari bukit yang terdekat dengan Gunung Kam-hong-san, tampak seSosok bayangan terbang melayang-layang di atas rumput-rumput hijau. Dilihat dari jauh, bayangan itu mungkin akan disangka setan penjaga gunung. Tapi, ketika bayangan itu sampai ke tempat yang agak terang, maka ternyatalah bahwa ia adalah seorang tua yang sedang berlari sangat cepatnya sehingga seakan-akan melayang.

Memang ia sedang berlari menggunakan ilmu lari cepat Keng-sin-sut yang telah sempurna diyakininya. Yang mengherankan, adalah kepandaiannya meringankan tubuh. Rumput-rumput yang terinjak oleh kakinya hanya bergerak-gerak sedikit seakan-akan hanya dihinggapi sepasang kupu-kupu. Ujung-ujung rumput rebah sedikit dan segera bangkit kembali setelah kakinya berlalu. Ini menandakan bahwa ilmu meringankan tubuh "Co-siang-hui" dari orang tua itu sudah hampir mencapai puncak kesempurnaannya. Kakak itu berwajah kurus, berusia kira-kira enam puluh tahun. Mukanya hanya kelihatan dari batas hidung ke atas, karena dari hidung ke bawah tertutup oleh jambang dan jenggot putih melepak yang berkilauan laksana benang perak.

Rambutnya yang putih lebat digelung ke atas. Pakaiannya berwarna kuning tua, telah robek dan compang-camping. Leher dan lengan bajunya lebar, berkibar-kibar ditiup angin ketika ia lari. Sepasang kakinya berkasut jerami. Ia menggendong seorang anak kecil dalam lengan kirinya, anak yang berusia kira-kira setahun. Karena kecepatan larinya, sebelum matahari selesai mengusir semua embun di lereng gunung, orang tua itu telah sampai di dekat puncak Kam hong-san dan memasuki sebuah hutan yang besar di puncak. Hutan itu penuh dengan pohon yang aneh-aneh dan jarang terdapat di hutan lain. Ia langsung menuju ke sebuah pondok bambu di tengah-tengah hutan, dan kedatangannya disambut oleh tiga orang kakek lain.

"Ha, ha, Hong Losuhu, bagus benar! Kulihat engkau telah berhasil," kata seorang dari mereka yang matanya buta sebelah. Anak kecil itu lalu didukung bergantian oleh mereka dengan wajah girang dan kagum. Siapakah mereka itu? Anak itu adalah Han Liong dan pendukungnya bukan lain Ialah Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan yang telah berhasil menculik Han Liong. Tiga orang kakek itu ialah kawan-kawan si Iblis Daratan yang ia beri kabar dan diminta datang berkumpul di Kam-hong-san pada permulaan musim Chun. Yang bermata sebelah adalah Siauw- lo-ong Hee Ban Kiat, yang di kalangan kangouw dikenal sebagai Giam lo-ong kecil bermata satu. Tubuhnya kecil kurus kering seperti cecak mati, tetapi matanya yang hanya sebelah kanan itu bersinar-sinar seperti bintang pagi. Rambut dan jambangnya telah berwarna dua, kasar dan kaku, kacau balau tak teratur.

Orang ketiga adalah seorang hwesio (pendeta) gundul bertubuh tinggi besar. Sepasang matanya besar bundar dilindungi alis tebal hitam, tapi mukanya licin seperti kepalanya. Ia adalah Kim-to Bie Kong Hosiang si Golok Emas, ketua kelenteng Kim kee-tang di bukit, Hun-tian-si, seorang ahli silat golok yang kenamaan. Orang keempat adalah seorang tosu (pertapa atau imam). Usianya juga sebaya dengan yang lain, kurang lebih enam puluh tahun, tapi berbeda dengan kawan-kawannya yang sudah tampak tua itu, ia sendiri mempunyai muka seperti kanak-kanak, walaupun rambutnya sudah putih seperti salju, panjangnya sampai ke punggung, diikat menjadi satu. Wajahnya kemerah-merahan dan nampak sehat sekali. Ini adalah Beng-san Tojin Pauw Kim Kong yang dijuluki orang si Malaikat Rambut Putih. Keempat orang tua itu berganti-ganti memegang dan memandang anak kecil itu sambil berkali-kali menyebut,

"Anak baik. Tampang luar biasa. Tulang suci," dan lain pujian lagi.

"Hong Losuhu," kata Hee Ban Kiat si mata satu,

"sebagai orang tua kali ini kau harus mengalah padaku. Anak ini serahkan saja padaku untuk kudidik. Dengan mempunyai murid seperti ini aku akan dapat mati tenteram!"

"Eh, Hee-koaijin!" bantah Hong In si Iblis Daratan, ia sudah biasa menyebut si mata satu "koaijin" (orang aneh).

"Engkau mau enaknya saja. Aku yang memeras keringat engkau yang menjadi tukang tadah. Ini tak mungkin!"

"Jiwi losuhu. Kelentengku kosong. Pinceng si tua bangka belum pernah punya murid. Keadaan pinceng ini cocok dengan anak ini. Memang kedatangan pinceng ke sini hendak menyambut keturunan Si-Enghiong ini untuk diwarisi sedikit kemampuan yang ada pada pincang," menyambung Bie Kong Hosiang dengan senyum memohon.

"Hm, saudara-saudara, jangan berebut," sela Pauw Kim Kong yang mempunyai suara halus seperti wanita.

"Baiknya diatur begini. Karena semua ingin mewariskan kepandaiannya kepada anak ini yang memang sudah sepatutnya, maka baiklah sekarang diadakan sayembara. Siapa diantara kita yang berkepandaian paling tinggi, dialah yang berhak menjadi guru anak ini!"

"Eh, eh! Pauw Toheng (saudara Pauw) hendak menguji kita semua?" tanya si mata satu, matanya yang tunggal memancarkan cahaya kilat. Beng-san Tojin Pauw Kim Kong mengangkat lengan kanannya yang terbungkus baju putih panjang,

"Jangan keliru sangka kawan. Maksudku hanya untuk memperlihatkan kepunsuan (kepandaian) masing-masing. Yang dianggap paling tinggi kepandaiannya dialah yang menang." Semua setuju mendengar usul ini.

"Nah, Pauw Toheng, karena kau yang mengusulkan, sudah sepantasnya kalau engkau pula yang membuka pertunjukan sayembara ini dengan mengeluarkan kepandaianmu untuk menambah pengertian kita." Pauw Kim Kong tidak ragu-ragu lagi. Ia menuju ke lapangan rumput di depan pondok itu dan semua orang mengikutinya. Kemudian, dengan sekali lompat, ia melayang dengan menggunakan gerakan Hui-niauw-coan-in (Burung Terbang Menerjang Mega), dengan gesit dan ringan kakinya turun dan berdiri di tengah-tengah lapangan. Kemudian sambil menghadapi kawan-kawannya, ia mengangkat kedua kepalan tangan di atas dada memberi hormat, dan berkata.

"Aku si tua bangka yang tak tahu diri mohon maaf. Karena tulang-tulangku yang tua sudah lemah, dagingku sudah loyo, maka aku tak mempunyai apa-apa yang patut disajikan. Sekarang aku sudah tak berani menghadapi musuh dan menjadi orang penakut. Paling-paling- aku hanya berani melawan pohon yang tak bisa membalas memukul. Maka, cu-wi (saudara-saudara sekalian) maafkanlah, aku mau main-main dengan pohon sion g tua ini."

Pauw Kim Kong si Malaikat Rambut Putih lalu menghampiri sebatang pohon siong sebesar pelukan lengan. Ia berdiri sejauh dua langkah dari pohon itu, memasang bhesi dengan kaki terpentang merupakan segi tiga, kedua tangan terjulur ke depan, kepala tunduk. Ternyata ia sedang mengumpulkan tenaga dalam dan memusatkan nuitungnya ke dalam lengan. Kini kedua lengan bajunya tampak tergetar-getar dan ia menegakkan kepalanya, lurus memandang sebatang pohon. Kedua lengannya bergerak-gerak bagaikan mendorong, dan... segera datang hujan daun pohon itu yang rontok berhamburan melayang-layang ke bawah, pada hal pohonnya tak bergerak sedikitpun.

"Bagus!" memuji tiga orang kawannya dengan kagum melihat tenaga dalam yang istimewa itu" Pauw Kim Kong segera memberi hormat dan merendah,

"Sepertl tadi telah kukatakan, aku sekarang takut berkelahi, maka aku mengandalkan ilmuku melarikan diri! Janganlah cuwi menertawakanku, tapi kalau untuk meloloskan diri dari musuh saja, aku setua ini masih sanggup. Persilakan cuwi menyaksikan aku yang penakut kalau lari dari muiuh." Ia berdongak memandang ke atas, dan di antara cabang pohon siong yang sekarang telah menjadi setengah gundul itu, terdapat banyak cabang-cabang besar. Renggang di antara cabang-cabang itu kira-kira hanya setengah kaki lebih, dan terhalang oleh cabang-cabang yang bersimpang siur itu. Si Malaikat Rambut Putih lalu membuka baju luarnya yang lebar dan panjang itu, dan kini hanya memakai baju dalam yang pendek ringkas. Lalu ia menjejakkan kaki ke tanah, dan tubuhnya segera melayang ke atas, tak dinyana telah berdiri di kedua cabang terendah.

Kemudian, setelah sekali lagi bersoja ke arah kawan-kawannya, ia segera meluncur menerobos renggangan-renggangan di antara cabang-cabang itu. Gerakannya demikian bagus, tubuhnya demikian licin den lemas pula, sehingga seakan-akan merupakan seekor ular yang berbelit-belit, meluncur di antara cabang-cabang pohon. Dengan menggunakan ilmu Sin-kut-hoat (Melepas Tulang), ia berhasil membuat tubuhnya seakan-akan tak bertulang dan berhasil lolos dari renggangan-renggangan yang kecil dan sempit itu! Sekali lagi kawan-kawannya memuji. Setelah menyatakan kebodohannya sendiri dengan ucapan-ucapan merendah, Pauw Kim Kong lalu mempersilakan yang lain memperlihatkan kepandaiannya. Bie Kong Hosiang segera maju ke depan. Ia merangkapkan kedua tangan di dada dan berkata kepada Pauw Kim Kong,

"Omitohud! Kepandaian seperti Toheng ini sungguh jarang tolok bandingannya. Pinceng benar-benar menyerah dan memang pantas kalau anak ini kau bawa ke Gunung Beng-san untuk kau didik. Tapi pinceng akan memperlihatkan juga sedikit pertunjukan golok yang tak berarti, kiranya boleh juga diwariskan kepada anak ini. Maafkan pincang."

Hwesio itu dengan sigap lalu loncat ke lapangan sambil menggerakkan tangan kanannya ke arah punggung. Ia melompat dengan gerakan Ang-liong-coan-lah (Naga Merah Menembus Menara). Gerakannya tak kalah lincah dari pada si Malaikat, dan tahu-tahu tangan kanannya telah memegang sebatang golok bergagang emas yang berkilauan hijau karena tajamnya. Ternyata golok itu sangat tipis dan diselipkan di bawah baju belakang, sehingga tersembunyi. Dengan sekali putar, jari-jarinya menyembunyikan golok itu dibelakang lengan dan setelah memberi hormat kepada kawan-kawannya ia segera mulai bersilat. Ia membuka pertunjukannya dengan Ilmu golok Ngo-houw-toan-bun-to (Lima Harimau Memegat Pintu).

Gerakannya mula-mula perlahan, kakinya berkisar ke sana ke mari, kuda-kudanya sangat teguh dan tubuhnya yang tinggi besar itu sangat lemas gerakannya. Goloknya menari-nari dan berputar makin cepat dan akhirnya ketika ia bersilat dengan gerak tipu Ui-liong-coan sin (Naga Kuning Memutar Tubuh), maka bayangan goloknya merupakan bundaran putih yang melindungi tubuhnya! Bayangan tubuhnya lenyap dari pandangan mata, hanya bundaran putih terdiri dari ribuan ujung golok berputar-putar dan orang hanya dapat tahu bahwa di dalam lingkaran mata golok itu terdapat orang yang memainkannya karena kadang-kadang kelihatan sepatu hitam hwesio itu menginjak tanah! Setelah Bie Kong Hosiang berhenti bersilat. Dengan tenang tanpa kelihatan lelah sedikitpun menghampiri kawan-kawannya dan memberi hormat, semua orang memuji.

"Waah, Losuhu terlalu merendahkan diri," memuji Pauw Kim Kong.

"Silat golok seperti yang baru saja kulihat, aku orang she Pauw tak dapat menandinginya!" Ketika Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat si mata satu diberi giliran. Ia segera ayunkan tubuhnya dengan gerakan Yan-cu sip pat-sian-hoan (Burung Walet Terbang Jungkir Balik), dengan indah, tubuhnya berpoksai atau berputar-putar beberapa kali di udara dan turun di tengah-tengah lapangan.

"Cuwi, selama berpuluh tahun berkeliaran di dunia, aku hanya mengharapkan kekuatan kedua tanganku yang tua ini. Karena kepandaianku yang lain tidak ada, terpaksa juga aku mempertunjukkan sedikit kebisaan lenganku yang kurus kering ini untuk diwariskan kepada putera Si Enghiong." Setelah memberi hormat, ia segera bersilat dengan tangan kosong yang menjadi jaminan hidupnya selama ini di kalangan kang-ouw. Pertama-tama ia bersilat Ouw-wan-ciang-hoat (Ilmu Silat Tangan Lutung Hitam) yang mempunyai tiga puluh enam jalan,

tiap gerakan mempunyai tiga jurus hingga seluruhnya berjumlah seratus delapan jurus, tetapi ia hanya mengeluarkan sepertiganya saja, kemudian mengganti gerakannya dengan tipu-tipu Pat-kwa-mui yang tak kalah hebatnya! Bagi orang biasa, gerakan-gerakannya biasa saja, bahkan agak lambat tak bertenaga, tapi bagi ketiga orang yang melihatnya ketika itu, mau tidak mau mereka harus memuji karena maklum akan luar biasanya kedua lengan tangan itu. Di dalam tiap-tiap tipu dan gerakan berganti-ganti menggunakan tenaga nui-kang dan nge-kang hingga dapat mengimbangi musuh yang bagaimanapun. Bahkan belakangan, si mata satu itu mengeluarkan kepandaiannya menotok dengan jari menurut gerakan Su-sat-chiu yang terkenal kesaktiannya. Jika mempunyai ilmu ini sampai mahir, maka biarpun bertangan kosong, tidak khawatir rasanya menghadapi lawan yang bersenjata!

Tentu saja setelah ia akhiri pertunjukannya, semua kawannya memujinya. Kini tiba giliran Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan. Seperti ketiga orang kawannya, iapun merendah dan kemudian mengeluarkan kepandaiannya yang mengagumkan. Si Iblis Daratan memang terkenal dengan ilmunya meringankan tubuh dan kepandaian melempar dengan kim-chie-piao (senjata rahasia uang logam). Pertama-tama ia keluarkan ilmunya meringankan tubuh Too-tiam-leng-po-pou sehingga tubuhnya bagaikan melayang-layang ketika ia melompat-lompat di antara puncak-puncak pohon. Dari bawah ia kelihatan seperti seekor burung garuda yang bermain-main dengan puncak pohon, membuat setiap ujung daun pohon bagian atas bergerak-gerak, sebentar di pohon ini, sebentar di pohon itu dengan gerakan secepat kilat.

Ia menggunakan gerakan Kim-hong-hi-lui (Tawon Gula Bermain di Tangkai Bunga). Kemudian ia mendemonstrasikan ketangkasannya melempar dengan kim-chie-piao. Kedua tangannya masing-masing memegang sepuluh buah uang logam. Ia melemparkan kim-chie-piao itu ke arah batang pohon dengan gerakan bermacam-macam. Langsung, miring, dari bawah lengan, dengan membelakangi, bahkan dengan mendekam di tanah. Gerakan tangannya terus menerus tiada hentinya sampai semua kim-chie itu menyambar ke arah batang pohon. Ketika mereka semua menghampiri batang pohon siong itu, maka terlihat dua puluh buah uang logam itu semua telah memasuki tubuh pohon itu dengan berjajar-jajar rapi bagaikan diatur! Semua uang itu masuk miring dan dalam sekali.

"Dalam hal mengentengkan tubuh dan melempar piao, engkau pasti paling unggul, Hong Losu!" memuji si mata satu.

"Nah, sekarang bagaimana?" kata Hong In,

"Ternyata melihat jalannya sayembara, kita masing-masing mempunyai kemampuan tersendiri hingga sukar untuk menentukan siapa di antara kita yang tertinggi ilmunya. Bagaimanakah baiknya ini?"

Sedang empat orang tua itu bingung dan saling pandang, tiba-tiba di atas udara terdengar suara tertawa yang merdu dan halus, suara tertawa itu dari perlahan lalu makin nyaring dan susul-menyusul hingga bergema di seluruh hutan seakan-akan di semua penjuru ada orang yang sedang tertawa! Keempat orang kakek itu maklum bahwa ada seorang wanita yang sedang menunjukkan iweekangnya. Suara ketawa itu digerakkan oleh sebuah tenaga yang keluar dari Tan-tian sehingga dapat dikirim ke tempat jauh dan bergema dengan nyaringnya. Dari suara ini saja seorang ahli dapat mengukur ketinggian ilmu orang. Diantara keempat kakek itu, Pauw Kim Kong yang tertinggi ilmu tenaga dalamnya, maka segera ia dapat menduga di mana adanya orang yang tertawa tadi. Ia menghampiri sebuah pohon besar di samping pondok, dan memberi hormat ke arah daun-daun pohon sambil berkata.

"Li Enghiong, silakan turun. Kami merasa terhormat sekali mendapat kunjunganmu yang mulia." Dari dalam pohon itu segera melayang turun seSosok bayangan hitam dan seorang wanita muda yang cantik tapi berwajah duka dan berpakaian serba hitam berdiri di hadapan mereka sambil mengangkat tangan memberi hormat berulang-ulang.

"Maaf sebanyak-banyaknya. Saya yang tidak tahu diri dan rendah telah mengganggu losuhu sekalian. Sebenarnya telah sejak tadi saya datang, tapi tak berani turun karena khawatir mengganggu permainan losuhu sekalian. Kemudian karena mendengar tentang hasil sayembara itu, dengan lancang saya telah melepaskan tertawa, mohon Losuhu sekalian sudi memaafkan. Sebetulnya kedatangan saya Ini tak lain juga berhubungan pula dengan puter" almarhum Si-Enghiong dan ingin sekali mendidiknya sekadar membaktikan sedikit tenagaku untuk negara." Mendengar kata-kata yang bersifat patriotik ini, Hong In bertanya dengan hormat,

"Maaf, Toanio, bolehkah kiranya kami mengetahui namamu yang terhormat?"

"Saya yang rendah adalah Yo Leng In, dan Si-Enghiong almarhum adalah cihuku (kakak Ipar), dan anak ini adalah keponakanku sendiri," jawab nyonya muda itu.

"Saya datang terlambat dan mendengar bahwa keponakanku telah dibawa kemari, maka saya segera menyusulnya." Keempat kakek itu kini tahu bahwa mereka sedang berhadapan dengan janda almarhum Ong Kee In, kawan seperjuangan Si-Enghiong yang gugur pula dalam usaha mereka meruntuhkan kekuasaan Boan. Maka segera mereka menunjukkan hormat kepada wanita patriot itu.

"Losuhu sekalian," berkata Yo Leng ln pula,

"saya tadi telah mendengar akan kecintaan hati Losuhu untuk mendidik Han Liong. Saya merata terharu dan berterima kasih. Tak perlu kiranya Losuhu sekalian berebut. Karena pondok di Kam-hong-san ini memang kosong dan tadinya hanya dipakai sebagai tempat pertemuan rahasia dari Si-Enghiong dan kawan-kawan lain, apakah salahnya kalau Losuhu dengan bergiliran datang ke sini untuk mendidik Han Liong? Saya sendiri akan merawatnya di sini, karena anak ini harus dididik ilmu surat pula, agar kelak setelah dewasa dapat melanjutkan cita-cita kita semua, menjadi orang Bun-bu-Enghiong (ksatria gagah dan pandai), mewakili kita orang-orang tua menggerakkan sekalian orang gagah membela negara dan bangsa. Bagaimana, Losuhu, dapatkah usulku ini diterima!" Empat orang kakek itu saling pandang dengan tertawa ditahan, kemudian mereka serentak menyatakan setuju sambil menyatakan kebodohan mereka sendiri-sendiri yang sudah berebut dengan kacau balau tak keruan! Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat si mata satu tertawa terbahak-bahak.


Pedang Pusaka Naga Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Yo toanio, maafkanlah kami berempat orang, orang kasar yang tolol ini! Baiknya toanio segera datang dengan cepat, kalau tidak, mungkin kami akan tersesat makin jauh. Usulmu baik sekali. Aku yang bodoh setuju sepenuhnya! He, bagaimana pendapat kalian?" tegurnya kepada kawan-kawannya.

Cari Blog Ini