Ceritasilat Novel Online

Pedang Pusaka Naga Putih 2


Pedang Pusaka Naga Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 2




"Hee Koanjin bicara betul. Kami setuju. Memang usul Toanio itu wajar sekali," kata Hong In si Iblis Daratan.

"Nah, marilah kita rayakan hari gemilang ini. Tadi sambil menantikan kembalinya Hong Losuhu, kami bertiga sudah menyediakan arak tua dan makanan. Pinceng sudah merasa lapar sekali!" kata Bie Kong Hosiang si Golok Emas dengan senyum lebar. Bersama-sama mereka melangkah memasuki pondok, didahului oleh Yo Leng In yang mendukung Han Liong. Di tengah-tengah pondok terdapat sebuah meja kayu bundar besar dan dua losin bangku yang mengelilingi meja itu. Memang tempat ini biasanya digunakan untuk rapat para Hohan (orang gagah) dari kalangan kang-ouw dan liok-lim yang berjiwa patriot dari segala pelosok, yang dipimpin oleh Si-Enghiong. Tentang halnya bekas menteri Si Kim Pau, ayah mendiang Si-Enghiong, tak seorangpun tahu di mana tempat tinggalnya kini, bahkan sebelum Si Enghiong gugur, iapun tak pernah berjumpa dengan ayahnya.

Agaknya Si Kim Pau telah pergi mengikuti Kam-hong Siansu, Entahlah! Gua bekas tempat ia bertapapun telah lama sekali kosong. Karena di dalam pondok itu telah tersedia lilin, maka Yo Leng In segera mengatur meja sembahyang, dan kemudian dengan disaksikan oleh keempat Losuhu, ia mengajak Han Liong bersembahyang minta izin roh ayah anak itu, Si-Enghiong, untuk berguru kepada keempat Losuhu yang pandai-pandai itu! Setelah itu, Yo Toanio dengan memangku Han Liong, mengajak anak itu bersama-sama berlutut kepada mereka bergiliran. Keempat orang kakek itu sangat gembira. Lebih-lebih setelah Han Liong diberi makan oleh bibinya, tampak kemungilannya. Ia tertawa-tawa dengan girang sekali, pipinya kemerah-merahan, sepasang matanya yang jeli memandang kepada guru-gurunya dengan bersinar-sinar. Tak sedikitpun tampak takut.

"Anak baik!" memuji guru-gurunya dengan rasa kasih sayang. Semenjak terculik oleh Liok-tee Sin-mo Hong In dibawa ke puncak Gunung Kam-hong-san dan dapat pula kata sepakat antara keempat orang kakek yang kini menjadi gurunya, Han Liong lalu diserahkan dalam asuhan Yo Leng In. Bibinya ini selain tangkas dalam ilmu silat, iapun ahli pula dalam kesusasteraan, pandai menulis sajak-sajak dan pernah membaca habis kitab-kitab kuno. Yo Toanio yang baik ini tiap hari memelihara Han Liong dengan penuh kasih sayang, mengajar anak itu bercakap-cakap.

Tiap pagi dan sore ia melatih tubuh anak itu, memukulinya dari perlahan sampai keras dengan kulit bambu dan rotan sambil memandikannya dalam air tercampur arak hangat dengan ramuan obat buatan Beng-san Tojin Pauw Kim Kong yang pandai pula dalam ilmu pengobatan. Dengan rawatan luar biasa ini, kulit dan daging anak itu tumbuh dengan baik dan mempunyai kekuatan dan keuletan yang sempurna, namun kulitnya tetap lemas halus karena tiap habis mandi, Yo Toanio menggosok seluruh tubuhnya dengan bedak batu kuning yang terdapat di atas Gunung Kam-hong-san. Ketika Han Liong telah berusia empat tahun, ia mulai menerima pelajaran-pelajaran pokok dalam ilmu silat dari bibinya, Yo Toanio mengajar dengan cara halus dan sewajarnya, tidak dengan paksaan. Ajaib sekail, anak kecil itu seakan-akan senang sekali mempelajari kuda-kuda atau bhesi dan mencontoh gerakan-gerakan kaki bibinya dengan gembira.

Alangkah heran dan senang hati nyonya muda itu karena dalam beberapa bulan saja Han Liong telah dapat menirunya dalam gerakan-gerakan bhesi Thiao Ma, Peng Ma dan lain-lain pasangan kuda-kuda yang sulit dengan sempurna! Setahun kemudian, dalam usia kurang lebih lima tahun, Han Liong telah pandai bergerak ke sana ke mari dengan lincah dan sigap dalam segala macam bentuk "pou" gerakan perubahan kaki) yang baik. Selain itu, ia telah hafal dan faham benar akan segala cara menggunakan tangan dan jari dalam ilmu pukulan seperti Houw Jiauw Ciu (gerakan jari telunjuk dan tengah untuk menyodok atau tiam) Yang Ciu, Sam Ciat Ciu dan lain-lain. Pandai pula menggunakan tendangan kaki Heng Tui dan lain-lain, menggunakan siku seperti Teng Tun, In Tun dan sebagainya, dan ia mengerti pula cara yang bermacam-macam dari kepalan tangan (koan).

Sampai sebegitu jauh maka selesailah tugas Yo Toanio membimbingnya dalam pokok dasar ilmu silat dan kini mulai mengajarnya dalam ilmu surat (bun) saja. Juga dalam mata pelajaran ini, Han Liong ternyata sangat cerdas. Tiap harinya ia dapat menghafal lebih dari dua puluh huruf. Anehnya, sekali menghapal, seperti huruf-huruf itu sudah tercetak dalam ingatannya hingga tak bisa lupa lagi! Setelah Han Liong paham benar akan dasar-dasar ilmu silat dan selanjutnya untuk mendapatkan pendidikan
(Lanjut ke Jilid 02)

Pedang Pusaka Naga Putih (Seri 04 - Serial Jago Pedang Tak Bernama)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

Jilid 02
yang lebih tinggi agar menjadi seorang ahli silat yang sempurna, maka Yo Leng ln menyerahkannya kepada Liok-tee Sin-mo Hong In, karena ilmu silatnya jauh lebih tinggi dari pada ilmu silat Yo Leng In sendiri, seperti yang sudah diajarkannya kepada Han Liong.

Si Iblis Daratan Hong In mulai mengajar Han Liong dari latihan napas (khikang) sampai kepada ilmu meringankan tubuh dan lari cepat. Dasar ia memang berbakat pendekar, dalam setahun saja berlatih siang malam, ia telah mewarisi seluruh dasar-dasar kepandaian Liok tee Sin-mo Hong In, dan setengah tahun kemudian, kepandaian dasar menggunakan dan menyambit Kim-chie-piao telah ia pahami pula. Tentu saja baru dasar-dasarnya dan tinggal meyakinkannya dengan latihan-latihan praktek. Karena masih ada tiga orang guru lainnya, si Iblis Daratan setelah merasa bahwa Han Liong sudah mewarisi seluruh pokok dasar kepandaiannya, lalu menyerahkan anak itu ke dalam asuhan Pauw Kim Kong si Malaikat Rambut Putih. Beng-san Tojin Pouw Kim Kong menerima tugas ini dengan gembira dan segera melatih Han Liong dalam ilmu silat berdasarkan tenaga dalam dan melemaskan tulang.

Ia mendidik anak itu memperkuat tenaga dalamnya dan mengajarnya ilmu le Kin Keng dan cara bagaimana untuk Siulian (semadhi) memperkuat ketabahan batin. Kemudian, selang setahun lebih, Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat mengajarnya ilmu silat tangan kosong yang cekatan. Selama satu tahun, ilmu silat Ouw-wan cianghoat (Ilmu Silat Tangan Lutung Hitam) yang berjumlah seratus delapan jurus, Thai Kek Touw dan seratus dua puluh jurus Kiauw-ta-sin-na ialah gabungan Kim-na-hoat dari Siauw-lim dan Bu-tong pai telah dipelajarinya dengan baik. Gurunya yang terakhir ialah Bie Kong Hosiang) yang mewariskan ilmu goloknya yang tiada taranya itu. Selain ilmu golok, hwesio tinggi besar itu mengajarnya pula ilmu ciptaannya sendiri, ialah gabungan permainan golok dan pedang.

Ilmu ini dapat digunakan baik dengan golok maupun dengan pedang dan gerakan-gerakannya sulit sekali. Sementara itu, Han Liong masih tetap melanjutkan pelajarannya dalam ilmu surat menyurat dengan rajin di bawah bimbingan Yo Leng In seperti sediakala. Keempat orang gurunya masih terus memberi petunjuk-petunjuk berganti-ganti sehingga ketika ia berusia lima belas tahun, Han Liong yang digembleng oleh empat orang ahli itu mewaiisl kepandaian silat campuran yang sangat hebat. Demikianlah penuturan dari guru-gurunya yang didengarkan oleh Han Liong dengan bercucuran air mata. Lebih-lebih ketika ia mendengar tentang kematian ayahnya dan nasib ibunya. Ia menjatuhkan diri dan hampir pingsan karena duka. Baiknya guru-gurunya pandai menghibur, dan di depan guru-gurunya ia bersumpah untuk melanjutkan cita-cita ayahnya dan membalaskan sakit hati orang tuanya.

"Han Liong," berkata Pauw Kim Kong,

"biarpun kini engkau sudah memiliki kepandaian yang lumayan, tapi janganlah sekali-kali engkau takabur dan menganggap dirimu sendiri yang terpandai di dunia Ini. Di dalam dunia masih banyak terdapat orang-orang pandai. Jika kau menyombongkan kepandaianmu, maka engkau akan terjeblos!"

"Lagi, jangan sekali-kali menggunakan kepandaian untuk menindas kaum yang lemah, Liong. Ingatlah selalu bahwa kami memberi pelajaran padamu ialah untuk digunakan menolong sesama hidup yang tertindas, untuk membela negara dan membasmi penjahat. Kalau kau tersesat dan menggunakan kepandaianmu untuk keuntungan sendiri, maka kau tak akan selamat," sambung Siauw lo-ong Hee Ban Kiat.

"Pesanku padamu ialah, jangan terlampau mudah membunub orang, muridku. Jauhkanlah golok dan pedangmu sedapat mungkin dari pertumpahan darah. Kalau tidak sangat terpaksa, janganlah membunuh orang secara serampangan," ujar Bie Kong Hosiang.

"Dan berlakulah sebagai orang gagah yang kenal pribudi. Harus selalu merendahkan diri dan rajin menambah pengetahuan. Ingat, Liong, sepanjang pengalamanku, yang tidak boleh dipandang ringan adalah orang-orang yang kelihatan paling lemah, misalnya kaum wanita, orang-orang tua, pengemis-pengemis, dan orang-orang lain yang kelihatan sangat lemah. Biasanya lawan yang sangat berbahaya itu aalah mereka yang kelihatan lemah itu, tapi di dalamnya tersembunyi kekuatan dan kepandaian tinggi. Karena tampaknya dari luar lemah, maka orang mudah sekali memandang sepi. Tapi kau jangan sekali-kali memandang rendah orang-orang lemah itu, Liong. Kepandaian orang tak tampak di luar tubuhnya," kata Hong In si Iblis Daratan. Han Liong menghaturkan terima kasih atas nasehat-nasehat keempat gurunya itu dan berjanji akan memperhatikannya sungguh-sungguh. Kemudian bibinya bicara.

"Han Liong anakku, kami berlima sudah bersepakat untuk menyuruh engkau turun gunung hari ini juga. Kau perlu mencari pengalaman di luar, nak. Dan kau boleh mencari ibumu. Tentang sakit hati terhadap Tiat-Kak-liong Lie Ban terserah padamu. Itu adalah soal pribadimu, kami hanya memesan agar segala sepak terjangmu dilakukan atas dasar prikebenaran yang layak. Engkau sudah tahu ke mana harus mencari ibumu. Tapi, sekali lagi kuulangi nasehat-nasehat guru-gurumu, yaitu engkau jangan mengambil jalan salah karena kalau engkau kelak dikemudian hari ternyata berobah menjadi anak durhaka dan murid yang mencemarkan nama baik guru-gurumu, maka kami berlima tentu akan mencarimu!" Pada saat itu tiba-tiba terdengar bunyi guntur keras menggelegar dan satu tenaga besar menggetarkan bumi yang mereka injak sehingga mereka berenam walaupun memiliki kepandaian tinggi, jadi sempoyongan dan terhuyung-huyung. Semua orang heran karena hari itu langit bersih dan tiada tanda-tanda kemungkinan ada guntur. Kemudian terdengar ledakan keras dan tahulah mereka bahwa suara gemuruh itu bukan sekali-kali suara guntur, tapi adalah suara tanah yang gugur dari pinggir gunung.

Suara "krek-krek" terdengar dan keenam orang itu segera berlompatan keluar pondok. Ternyata pondok itu menjadi miring dan belum lama mereka berada di luar, pondok itu roboh dengan mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Di luar mereka lihat debu mengepul di sebelah kiri bukit dan Pauw Kim Kong segera maklum apa yang telah terjadi. Ketika tanah yang mereka injak tadi tergetar membuat mereka terhuyung-huyung berkali-kali, kenyataan sebenarnya ialah gempa bumi besar di gunung sehingga pondok mereka juga roboh karenanya. Dan suara hebat tadi tentu tanah dan batu-batu gunung yang gugur karena gempa bumi itu dan jatuh ke dalam jurang. Debunya masih tampak hebat! Tanpa mufakat lebih dulu mereka berenam serentak berlari-lari menuju ke kiri di mana nampak debu mengepul tinggi.

"Hati-hati!" Hee Ban Kiat memesan dan betul saja, ketika sampai di sebuah tikungan, dari atas turun menimpa beberapa buah batu besar yang rupanya terlepas dari sandarannya di atas puncak dan berguling-guling ke bawah.

Untungnya mereka telah waspada dan segera meloncat ke belakang menjauhi tempat bencana itu. Betapapun tinggi kepandaian mereka, kalau sampai, tertimpa batu-batu yang berpuluh ribu kati beratnya itu, pasti akan tamatlah riwayat mereka! Han Liong yang belum banyak pengalaman dan ingin sekali melihat sesuatu yang masih asing baginya, tak terasa maju mendekati tempat di mana batu-batu tadi jatuh. Tiba-tiba ia melihat sebuah benda pulih berkilau-kilauan yang bergerak gerak diantara tumpukan batu. Ia heran dan maju mendekat. Tiba-tiba benda panjang itu melayang menyambarnya. Han Liong terkejut dan serangan benda itu demikian cepatnya hingga tak mungkin pula dikelit olehnya. Maka terpaksa ia mengibaskan tangan kirinya untuk menangkis. Alangkah terkejutnya ketika benda itu tidak terlempar, tapi menempel di jari tangan kirinya dan terus menggigit.

"Aduh!" hanya itulah yang dapat diteriakkannya dan ia roboh pingsan. Guru-gurunya dan bibinya dengan terkejut lari memburu. Bukan main khawatir mereka melihat keadaan anak muda itu. Seekor ular berkulit putih berkilau seumpama perak digosok menempel di jari telunjuk tangan kirinya, giginya masih tertanam di jari Han Liong. Yang sangat mencemaskan adalah keadaan tubuh anak muda itu. Seluruh tubuhnya tampak hitam semu hijau. Mulutnya terkancing, matanya tertutup dan nafasnya sengal-sengal, tinggal satu-satu! Yo Toanio tak dapat menahan getaran hatinya. Ia tubruk keponakannya sambil menjerit-jerit! Guru-guru Han Liong pun menjadi bingung, hanya Pauw Kim Kong yang agak tenang. Tapi setelah memeriksa keadaan muridnya dan melihat ular yang masih menggerak-gerakkan ekornya itu, ia menjadi lebih sedih daripada yang lain-lain.

"Bagaimana, Pauw-suhu?" tanya Bie Kong Hosian ketika melihat Pauw Kim Kong berdiri putus asa dan menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela nafas.
"Ular berbisa. Bisanya sangat berbahaya. Belum pernah kulihat racun ular demikian luar biasa!" Sambil menangis keras Yo Toanio mencabut pedangnya dan dengan gemas membacok ular yang masih menempel di tangan Han Liong. Sekali bacok uiar itu putus kepalanya dan Yo Leng In agaknya masih belum puas. Dibacoknya tubuh ular itu berkali-kali hingga hancur menjadi berpotong-potong! Kemudian, setelah menubruk dan menangisi keponakannya sekali lagi, ia mengangkat pedangnya dan ditusukkan ke lehernya sendiri! Untunglah Hee Ban Kiat berada di dekatnya dan dengan cepat memegang pergelangan Yo Toanio yang memegang pedang hingga sesaat kemudian pedang itu sudah berpindah tangan!

"Sabar, Toanio. Jangan putus harapan. Han Liong belum mati," kata Hee Ban Kiat menghibur.

"Belum mati? Lihatlah... lihatlah! Mukanya sudah hitam semua. Siapa bisa memberi obat? Kan, bertahun-tahun kita didik ia, darl anak-anak sampai dewasa. Pengharapan kita semua digantungkan kepadanya... tapi... tapi justeru hari ini,saat ia harus mulai menunaikan kewajibannya... saat seperti ini... ia... ia berangkat mati...". Dimanakah keadilan Thian (Tuhan)??" Tiba-tiba, bagaikan menjawab keluhan nyonya yang bersedih hati itu, terdengar desis keras di dekat mereka. Mereka terkejut dan menengok ke arah suara itu. Alangkah terperanjat dan marahnya mereka ketika melihat seekor ular lain menggeleser-geleser mendekati tubuh Han Liong! Ular itu sangat hitamnya, dengan belang-belang kuning emas pada kepala dan ekornya. Kelihatannya ganas benar dan beracun pula!

"Kau... binatang!! Siluman!! Engkau mau ganggu anakku juga???" Yo Leng In dalam kemurkaannya menyambar pedang yang sudah diletakkan di tanah oleh Hee Ban Kiat, lalu melompat ke arah ular hitam itu. Heran sekali, ular itu berhenti dan menanti serangan Yo Toanio dengan berdiri di atas ekornya, seperti ular sen duk, tapi lebih tinggi lagi! Kedua matanya mencorong dan lidahnya yang merah menjilat-jilat. Yo Leng ln mengayunkan pedangnya memancung ke arah kepala ular itu, tapi kenyataannya ular itu bukan main gesitnya dan dapat mengelak,

Yo Leng In makin marah dan dengan nafas sesak ia memancung berulang ulang, tapi sekalipun serangannya tak mengenai sasaran. Bie Kong Hosiang berseru keras dan setelah mencabut goloknya ia membantu Yo Toanio untuk membinasakan ular itu, sungguh aneh, bacokan-bacokan Bie Kong Hosiang yang tak mudah dielakkan oleh seorang ahli silat ternyata dapat dihindarkan oleh ular itu, hingga tiada lama kemudian Hong In, Pauw Kim Kong, dan Hee Ban Kiat terpaksa turun tangan mengeroyok ular kecil itu! Karena dikeroyok lima orang ahli silat yang hebat itu ular itu sudah dapat dipastikan nasibnya. Dapat dibayangkan bahwa sebentar lagi ia tentu akan hancur menjadi berpotong-potong, kalau tidak, hancur sama sekali! Tapi, tiba-tiba terdengar deruan angin dan disusul suara yang angker,

"Siancai, siancai Cuwi yang terhormat, hentikan segera serangan itu!" Suara itu sangat berpengaruh dan kelima orang itu segera melompat mundur, sedangkan ular itu berlenggak-lenggok, rupanya sangat kelelahan membela diri, mengelak ke sana ke mari di antara hujan senjata tadi! Suara yang berpengaruh itu disusul dengan munculnya seorang tua berjubah putih dan bertubuh kurus tinggi. Wajahnya kelihatan alim sekali, tapi sepasang matanya yang lembut mengeluarkan cahaya tajam berkilauan. Tampaknya ia berjalan perlahan saja dengan tenangnya, tapi tiba-tiba ia telah berada di depan mereka sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat.

"Cuwi yang terhormat maafkan pinto datang mengganggu." Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi ia menghampiri tubuh Han Liong yang masih rebah tak bergerak itu, diikuti oleh kelima orang itu dengan was-was dan khawatir. Setelah dekat dengan tubuh Han Liong, ia berjongkok lalu tiba-tiba memberi tanda supaya semua orang mundur. Sepasang matanya dengan tajam memandang ke arah ular hitam tadi. Yo Toanio dan kawan-kawannya menengok dan dengan hati berdebar-debar mereka lihat ular itu bergerak cepat menghampiri tubuh Han Liong.

Tiba-tiba ular hitam itu melihat atau mencium bau darah ular putih yang telah hancur tubuhnya. Ia berdiri di atas ekornya, mendesis-desis mengeluarkan lidah dan ajaib sekali, dari kedua matanya yang merah itu menitik keluar dua butir air mata. Sikapnya jadi makin galak, kepalanya digerakkan ke kanan dan ke kiri seakan-akan mencari orangnya yang membunuh ular putih itu. Ketika sinar matanya beradu dengan sinar mata orang tua yang masih jongkok di dekat tubuh Han Liong, tiba-tiba ia bergerak mundur lalu membalikkan tubuh hendak pergi. Tiba-tiba orang tua itu cepat mengulurkan kedua tangannya dan mengangkat tubuh Han Liong dan dengan sekali lompat ia telah berada di depan ular hitam, mencegat dan jongkok pula sambil memondong tubuh Han Liong. Ular itu segera membalikkan tubuh lagi, tapi orang tua itu segera mengejar dan melompatinya lalu menghadang di depannya.

Setelah hal ini terjadi berkali-kali, ular hitam itu rupa-rupanya menjadi marah dan ia berdiri di atas ekornya sambil menjulurkan lidahnya yang merah. Desisnya keras dan tajam menyakitkan telinga. Kemudian setelah menurunkan kepalanya ke bawah untuk mengumpulkan tenaga, ular itu melompat, meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya menuju ke arah leher orang tua itu. Yang diserang tenang saja dan memegang tangan kanan Han Liong dan menggunakan tangan anak muda itu untuk menangkis, dengan gerakan yang sama benar dengan gerakan anak muda itu ketika menangkis serangan ular putih tadi. Yo Toanlo yang dari tadi terheran-heran dan tidak mengerti, kini sangat terkejut melihat betapa ular hitam itu menggigit jari tangan kanan Han Liong dan menempel di situ tidak mau melepaskannya! Yo Toanio tak dapat menahan gelora kemarahan hatinya,

"Siluman tua, apa yang kau lakukan?" Dengan penuh kebencian ia memungut pedang yang diletakkan di atas tanah lalu melemparkan pedang itu dengan sekuat tenaganya.

Ketika itu orang tua yang aneh itu tengah menggunakan tangan kirinya memijit-mijit ubun-ubun Han Liong dan tangan kanannnya memegang leher ular hitam. Agaknya ia sama sekali tidak ambil perduli akan datangnya pedang yang melayang ke arah dadanya! Yo Toanio dengan jelas sekali melihat betapa pedang itu tepat menancap di dada orang tua itu, tapi ajaib, orang tua itu seolah-olah tidak merasa apa-apa, dan melanjutkan pekerjaannya memijit-mijit ubun-ubun Han Liong dan mencekik-leher ular! Sejenak kemudian ia berdiri dan ular hitam itu malah dipegangnya, karena itu dengan mudah saja ia mencabut gigitan ular ular itu dari jari Han Liong. Baru sekarang ia memandang mereka berlima itu dengan sebuah senyum manis tersungging di bibirnya.

"Siancai, siancai! Berkat kemurahan Thian Yang Agung, cucuku Han Liong tertolong jiwanya." Kemudian ia memandang ular hitam yang di tangannya.

"Maafkan pinto, Kim-Ouw-Coa (ular emas hitam), terpaksa pinto melakukan dosa besar. Engkau telah menolong jiwa orang, tapi kau sendiri harus dibalas dengan kematian." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Alangkah kejamnya, tapi apa boleh buat, jiwa cucuku lebih penting dari pada jiwamu. Nah, mengalahlah kali ini, Ouw-Coa biarlah di lain penjelmaan pinto balas budimu dan menebus dosa!"

Kemudian dengan perlahan ia mencabut pedang yang masih menancap di dadanya dan sekali pancung saja maka putuslah leher ular hitam itu! Yo Toanio dengan kawan-kawannya terheran-heran melihat kelakuan orang tua itu, lebih-lebih ketika mereka melihat bahwa bekas tusukan pedang di dadanya ternyata tidak mengeluarkan darah, seolah-olah dadanya itu belum tertusuk pedang. Mereka memandang ke arah tubuh Han Liong, dan alangkah girang hati mereka melihat Han Liong bergerak-gerak perlahan-lahan, lalu bangun dan menggosok-gosok matanya seakan-akan baru bangun tidur! Segera mereka berebut menghampiri Han Liong dan serentak bagaikan mendapat komando, mereka berlima menjatuhkan diri berlutut di depan orang tua itu.

"Ah, cuwi, jangan lakukan peradatan tak berarti ini. Silahkan bangun, pinto tak layak menerima kehormatan ini." Kata-kata ini diucapkan dengan suara demikian halus dan sopan oleh orang tua itu, hingga mereka segera berdiri dan mengangkat tangan memberi hormat!

"Maafkan kami yang buta tak mengenal orang pandai," kata Pauw Kim Kong mewakili kawan-kawannya bicara,

"Dan maafkanlah perbuatan Yo Toanio tadi yang dilakukan terdorong karena kebingungan hatinya melihat keadaan keponakannya. Mohon tanya siapakah toheng yang mulia?"

"Ah, pinto sendiri sudah hampir lupa akan nama pinto. Dan lagi, apakah artinya nama? Diberi tahu juga, cuwi takkan mengenalnya. Rasanya sudah cukup bila pinto katakan bahwa pinto adalah orang yang mengasingkan diri dan menerima berkah dari Kam Hong Siansu. Kedatangan pinto inipun bukannya bermaksud untuk mencampuri urusan cuwi. Tapi tak lain karena menerima perintah dari Siansu untuk membawa cucuku ini. Ketahuilah cuwi, bahwa Han Liong berjodoh untuk berjumpa dengian Kam Hong Siansu. Adapun kedua ular ini, bukannya kebetulan saja mereka datang menggigit Han Liong. Agaknya sudah kehendak Thian bahwa anak ini menerima karunia yang luar biasa. Ketahuilah, racun ular putih yang penuh dengan hawa Yang dapat mematikan seratus orang dengan bisanya. Tidak ada obat di dunia ini yang dapat menyembuhkan pengaruh bisanya yang hebat itu. Sebaliknya, ular hitam inipun penuh dengan racun yang mengandung sari hawa Im, maka apabila ia menggigit orang yang menjadi korban gigitan ular putih, racunnya menjadi saling tolak dan saling memunahkan, bahkan kedua racun yang mengandung hawa Yang dan Im itu kalau bercampur di dalam tubuh menjadi obat yang mempunyai daya luar biasa, memperkuat tubuh dan memperbesar daya tan tian. Dapat cuwi bayangkan betapa beruntungnya Han Liong karena tergigit oleh kedua ular ini." Tak perlu dikatakan betapa senangnya hati keempat guru itu dan Yo Toanio mendengar keterangan ini, dan pula saat itu Han Liong sudah sadar benar. Segera Yo Toanio memerintahkan keponakannya untuk mengucapkan terima kasih. Han Liong segera berlutut.

"Nah, cuwi, kini perkenankanlah pinto membawa Han Liong kepada Siansu. Bangkai kedua ular ini pinto bawa karena merupakan obat untuk anak ini. Musim Chun tahun depan cuwi boleh menanti di sini untuk menyambut Han Liong kembali." Dengan tenang ia pungut dua bangkai ular itu dan memegang lengan Han Liong. Yo Toanio penasaran.

"Maaf, suhu. Bukannya saya tidak percaya padamu, tapi Han Liong adalah keponakanku yang kudidik semenjak kecil. Maka perkenankanlah saya mengetahui nama suhu dan ke mana suhu akan membawa Han Liong agar hatiku menjadi tenteram."

"Ha, ha! Memang wanita selalu ingin tahu segala hal! Nah. ketahuilah, aku adalah ayah iparmu Si Cin Hai, jadi Han Liong ini adalah cucuku sendiri. Kemana aku hendak bawa anak ini, tak seorangpun boleh tahu, pendeknya, ke tempat Kam Hong Siansu. Nah, selamat tinggal!" Sebelum mereka dapat berkata sesuatu, orang tua itu segera menarik lengan Han Liong dan membawa pemuda itu lompat ke jurang di mana batu-batu besar tadi berjatuhan! Yo Toanio hendak mengejar, tapi dicegah oleh Pauw Kim Kong.

"Jangan, toanio. Kulihat ia bukan orang sembarangan. Dan lagi, bukankah ayah Si Enghiong itu Menteri Si Kim Pauw yang dulu dikabarkan lenyap setelah bertapa di gunung ini?" Yo Toanio mulai sadar,

"Si Kim Pauw! Betul, betul dia. Biarpun aku belum pernah bertemu denganya, tapi wajahnya serupa benar dengan Si Enghiong. Ya Tuhan, syukur kalau begitu. Han Liong berada di tangan kakeknya sendiri dan pasti sekali Kam Hong Siansu adalah seorang luar biasa dan pandai!" Semua menyatakan kegirangan mereka karena kenyataan itu dan Hee Ban Kiat berkata.

"Kalau bukan Yo Toanio sudah yakin bahwa orang itu adalah kakek Han Liong sendiri, aku masih saja merasa khawatir, karena orang tua itu seperti bukan manusia. Kusangka tadi ia siluman gunung ini."

"Jangan gegabah, Hee Koanjin," tegur Hong In.

"Orang tua itu sudah tinggi sekali ilmu batinnya. Tidakkah kau lihat betapa tadi ia menerima tusukan pedang yang dilemparkan Yo Toanio? Ia dapat mematikan rasa, dan ilmunya yang sempurna telah dapat menahan jalan darahnya hingga tusukan pedang itu sama sekali tidak dirasanya dan tidak dapat melukainya. Bagi kita yang masih suka berada di tengah-tengah kekotoran dunia ini, jangan harap akan mencapai tingkat setinggi itu."

Kemudian mereka bermufakat untuk berkumpul kembali pada musim Chun tahun depan seperti yang telah dijanjikan oleh Si Kim Pauw itu. Setelah itu, mereka berpisah dan kembali ke tempat masing-masing. Sekarang marilah kita ikuti perjalanan Si Han Liong yang dibawa oleh kakeknya. Ketika ia dibawa oleh kakeknya melompat ke dalam jurang, diam-diam hatinya cemas karena kakinya menginjak tempat kosong dan mereka berdua meluncur ke bawah dengan amat cepatnya! Ketika memandang ke bawah, terpaksa Han Liong menutup matanya, karena jurang itu seakan-akan tak berdasar karena dalamnya! Tiba-tiba kakeknya memperkuat pegangannya pada pergelangan lengannya dan berbisik,

"Pegang dahan pohon di bawah itu!" Han Liong waspada, ia menggunakan ilmunya meringankan tubuh dengan kegesitannya. Pohon di bawah itu seperti melayang naik menuju dirinya, pada hal tubuhnya sendirilah yang sedang melayang turun dengan cepatnya.

Bagaikan bersayap, kaketnya dapat menggerakkan tubuh hingga mereka meluncur ke samping pohon. Orang tua itu mengulurkan lengan dan tangannya berhasil memegang cabang pohon. Han Liong memperlihatkan pula kegesitannya, ia sambar ujung ranting pohon itu, tapi malang baginya ranting itu patah. Tapi sedikitnya kelajuan luncuran tubuhnya telah tertahan dan dengan gerakan mementangkan kedua kakinya, ia dapat bergerak ke arah cabang rendah dan berhasil memegangnya! Keringat dingin keluar dari keningnya ketika ia duduk di dahan pohon dan memandang ke bawah. Ternyata jurang itu sangat dalam dan tak mungkin orang akan dapat hidup jika jatuh ke bawah. Pohon yang didudukinya itu tumbuh miring. Akar-akarnya berada di tanah gunung yang curam.

"Lompat ke situ!" kakeknya berkata sambil menunjuk ke kiri. Ketika Han Liong memandang, ternyata kira-kira empat tombak dari pohon itu terdapat sebuah gua besar yang hitam dan gelap, bentuknya bagaikan mulut naga sedang menganga dengan batu-batu tajam di atasnya bergantungan ke bawah merupakan taring dan gigi naga. Kakeknya mendahului lompat dan lapun segara mengerahkan tenaganya terjun menyusul dan tiba di mulut gua dengan selamat. Han Liong mengikuti kakeknya memasuki gua itu yang ternyata panjang berliku-liku. Di dalam gua itu tampak sinar terang, dan ketika mereka sampai di situ, ternyata bahwa di atas gua itu ada sebuah lobang yang memasukkan sinar matahari dan menerangi gua itu.

Di sebelah kanan ada pula lobang besar merupakan jendela. Ketika Han Liong menghampiri jendela itu dan memandang. Ia menjadi sangat kagum. Bukan main indahnya pemandangan yang nampak di luar jendela! Tamasya alam yang belum pernah dilihatnya seumur hidupnya. Daun-daun liu di hutan-hutan berkelompok-kelompok, beberapa anak sungai yang berkelak kelok bagaikan ular ular kecil, bukit-bukit yang berjajar-jajar rapi seakan-akan diatur oleh tangan seorang ahli, dihiasi dengan batu batu bundar besar berwarna hijau dan biru karena tertutup lumut, dan warna warni merah, kuning, biru dari bunga-bunga gunung merupakan hiasan terakhir dan terindah. Ia terpesona sejenak oleh lukisan alam yang luar biasa itu. Pikirannya menjadi tenang, tubuhnya terasa segar dan sedap.

"Han Liong, jangan melamun. Menghormatlah kepada Siansu," kata kakeknya tiba-tiba. Han Liong terkejut dan segera menengok. Terlihat olehnya seorang tinggi besar berjubah putih, berkumis dan berjenggot putih yang panjangnya sampai ke perut. Wajahnya yang tua nampak amat agung, dan entah kapan ia masuk ke situ, karena serta merta ia telah duduk bersila di atas sebuah batu hitam berbentuk pat-kwa (segi delapan). Wajah yang agung itu menjadikan Han Liong merasa dirinya sangat kecil tak beiarti. Dengan penuh khidmat ia maju berlutut. Mulutnya berkata perlahan-lahan dengan penuh hormat,

"Teccu menghaturkan hormat." Kam Hong Siansu membuka kedua matanya yang ternyata sangat bening seperti mata kanak-kanak.

"Anak baik, beristirahatlah dulu untuk mengembalikan tenagamu. Mulai besok sampai setahun penuh, kau akan sibuk belajar menambah pengetahuanmu." Han Liong memberi hormat sekali lagi, kemudian ikut kakeknya ke ruangan dalam di mana tersedia sebuah kamar tanah kira-kira dua meter persegi,

Di mana tersedia sebuah batu yang rata untuk duduk. Kakeknya memberitahu bahwa ia hanya boleh mengaso atau tidur sambil bersila di atas batu itu! Demikianlah, tiap hari Han Liong menghadap Kam Hong Siansu di mana ia diperintahkan bersilat memperlihatkan segala macam kepandaian yang telah dipelajarinya dari keempat gurunya yang lalu. Untuk tiap ilmu pukulan maupun permainan senjata, selalu Kam Hong Siansu memberi petunjuk-petunjuk yang membuat gerakannya menjadi luar biasa, hingga ilmu silat pemuda itu mengalami perobahan penuh rahasia dan tak terduga. Petunjuk-petunjuk yang diberikan secara sabar dengan suara lemah lembut itu meresap betul ke dalam hati dan pikiran Han Liong hingga ia mendapat kemajuan sangat pesat.

Kam Hong Siansu sangat sayang kepadanya hingga orang tua pertapa yang berilmu tinggi itu turun tangan, menciptakan ilmu silat tangan kosong yang dipetiknya dari semua pelajaran yang diperoleh anak muda itu. Ilmu pukulan ini dinamakannya Ilmu Silat Empat Bintang dan di dalam gerakan-gerakannya terkandung sari-sari pelajaran yang dipelajari Han Liong dari keempat suhunya. Selain dari itu, anak muda ini menerima pelajaran-pelajaran dasar ilmu batin yang tinggi, hingga batinnya menjadi kuat dan tenaga dalamnya mencapai tingkat tinggi. Pada suatu hari Kam Hong Siansu mengeluarkan sebilah pedang mustika yang terbuat dari logam putih laksana perak dan pedang itu ternyata lemas sekali hingga dapat dililitkan di pinggang merupakan ikat pinggang. Ia serahkan pedang itu kepada Han Liong sambil berkata,

"Anakku, kau berjodoh untuk memiliki pedang ini. Pokiam ini disebut Pek Liong Pokiam (Pedang Pusaka Naga Putih). Karena pokiam ini adalah barang pusaka yang suci, maka untuk memilikinya, orang harus terlebih dahulu dikuatkan tubuhnya oleh racun ouw-pek-coa (ular hitam dan putih) serta ia harus bersumpah dulu." Dengan sangat hormat Han Liong menerima pedang itu lalu bersumpah.

"Teecu akan menjunjung tinggi prikebenaran, dan pokiam ini hanya akan teecu gunakan untuk membela yang lemah dan menindas yang jahat. Jika teecu gunakan pokiam ini untuk maktud-maksud tidak baik atau hanya untuk keuntungan diri teecu sendiri, biarlah teecu mati mendadak di bawah mata pedang ini sendiri!" Kam Hong Siansu tersenyum puas mendengar sumpah pemuda itu.

"Han Liong, ketahuilah olehmu, pokiam ini kudapat dari suhuku, dan suhu juga menerima dari gurunya. Maka setelah kau menerima pokiam ini, boleh dikata bahwa kaupun menjadi muridku." Han Liong segera berlutut dan menyebut.

"Suhu!"

"Muridku, di dunia ini hanya ada dua bilah pokiam yang paling tua dan sempurna, ialah Pek-Liong-pokiam yang kau pegang itu dan yang kedua ialah Ouw-liong pokiam (Pedang Pusaka Naga Hitam). Pek-liong pokiam ini mengandung sari hawa Yang, sebaliknya Ouw-liong pokiam mengandung sari hawa Im. Selain merupakan senjata yang tajam dan ampuh, kedua pokiam itu juga dapat mengobati korban-korban racun jahat. Jika seorang terkena racun hingga mukanya berobah hitam, maka air yang dicelupi Pek-liong pokiam akan dapat menyembuhkannya dengan segera. Sebaliknya, jika racun itu membuat korbannya menjadi pucat seperti mayat, air yang dicelupi Ouw-liong-pokiam akan menjadi obatnya."

"Bolehkah teecu bertanya, suhu. Di manakah adanya Ouw-liong pokiam itu dan siapa pula yang memilikinya?" tanya Han Liong.

"Ouw liong-pokiam berada dalam tangan sumoiku yang bertapa di Gunung Heng san. Nah, sekarang bersiaplah, muridku. Aku akan memberi pelajaran Pek-liong-kiamsut padamu. Belajarlah dengan rajin, karena ilmu pedang ini walaupun nampaknya mudah, namun jika tidak dipelajari dengan tekun dan sepenuh hati, takkan ada manfaatnya. Tapi bila kau sudah mencapai kesempurnaan dalam ilmu ini, kukira, takkan mudah lain ilmu dapat mengalahkannya. Hanya Ouw liong-kiam-sut saja yang barangkali dapat menandingi!" Han Liong yang masih berlutut mengangguk-anggukkan kepala sambil menghaturkan terima kasih. Demikianlah, untuk beberapa bulan ia mempelajari Ilmu Pedang Naga Putih dengan giatnya hingga tak terasa musim Chun telah tiba pula. Pagi hari di musim Chun itu, ketika Han Liong masuk ke kamar Kam Hong Siansu, ternyata pertapa itu tidak ada dalam kamarnya. Yang ada di situ hanya kakeknya, Si Kim Pauw. Han Liong segera memberi hormat dan bertanya ke mana kakek selama setahun ini pergi hingga tak pernah ia melihatnya.

"Aku bertapa di lain bukit, cucuku. Sungguh kau beruntung, Liong, karena Pek-liong-pokiam menjadi milikmu. Dulu aku pernah mendengar sebuah dongeng tentang pokiam itu. Ribuan tahun yang lalu, di Gunung Kam-hong-san ini bertapa dua ekor naga sakti, seekor jantan berkulit putih dan seekor betina berkulit hitam. Kedua ekor naga sakti itu bertapa dan membersihkan diri untuk menjadi dewa. Hal ini menimbulkan rasa iri hati seorang pertapa yang juga bertapa di gunung itu. Ia merasa iri hati karena ia sendiri gagal dalam pertapaannya dan hatinya mengiri sekali melihat dua ekor naga itu nampak makin hari makin bercahaya karena sudah mendekati kesempurnaannya. Maka rasa iri hatinya menimbulkan pikiran jahat. Dilemparnya dua naga itu, tapi ia tak berhasil karena ternyata dua ekor naga itu amat sakti. Si pertapa menjadi sakit hati dan akhirnya ia berhasil mendapat semacam obat yang jahat dan manjur sekali. Ia masuk dengan diam-diam ke ruang pertapaan kedua naga itu dan menyemburkan obat beracun itu ke arah hidung kedua naga itu. Ketika kedua naga itu mencium bau harum dan tersadar dari samadhi mereka, racun jahat itu telah bekerja. Hebat sekali jalannya racun itu hingga batin kedua naga yang sudah kuat itu tidak tahan menindas pengaruhnya. Mereka berdua dipengaruhi rasa nafsu berahi besar dan keduanya lalu bercampur. Setelah sadar mereka merasa sangat menyesal dan segera mengejar pertapa itu, lalu membunuhnya. Kemudian mereka bertapa kembali dengan hati sedih, tapi karena dosa yang telah mereka perbuat, pertapaan mereka gagal. Maka putuslah harapan mereka, lalu beribu tahun kemudian mereka menjelma menjadi sepasang pedang pusaka dan berniat menebus dosa dengan menjadi pedang guna membantu orang-orang gagah membela keadilan dan kebenaran. Nah, pedang Pek liong-pokiam inilah penjelmaan dari naga putih itu dan naga hitam menjelma menjadi Ouw liong-Pokiam."

"Kongkong (kakek), benar-benar adakah dongeng itu, maksudku, benarkah terjadi peristiwa aneh itu?" Kakeknya tertawa.

"Aku tadi kan mengatakan bahwa semua itu hanya dongeng. Benar atau tidaknya, siapakah yang dapat menentukan? Kalau benar-benar ada, peristiwa itu telah terjadi ribuan tahun yang lalu. Dan siapakah orangnya di jaman ini dapat mengetahui apa yang terjadi pada waktu itu? Ini hanya dongeng, Liong, namun, sungguhpun hanya dongeng, di dalamnya terkandung arti dan nasehat yang sangat berguna. Maka, kau yang memiliki Pek-liong-pokiam, hati-hatilah dan waspadalah terhadap godaan dari musuh yang tak nampak di mata, musuh yang jauh lebih jahat dan pada musuh yang berupa manusia, yang bagaimanapun buasnya ialah nafsu sendiri! Kuatkanlah batinmu untuk mengalahkan musuh yang seperti ini. Nah, mari kuantarkan kau keluar, karena Kam Hong Siansu kini sedang pergi keluar gunung dengan meninggalkan pesan bahwa hari ini adalah hari terakhir bagimu tinggal di tempat ini. Kau diharuskan keluar gua, turun gunung mulai dengan kewajibanmu."

Han Liong berlutut memberi hormat ke arah tempat duduk Kam Hong Siansu dengan dilihat oleh kakeknya yang mengangguk-anggukkan kepala memuji kesopanan cucunya. Kemudian mereka keluar gua, melompat ke pohon di depan gua, lalu menggunakan kekuatan mereka melayang ke atas, tiba di tebing jurang dengan selamat. Ternyata keempat suhunya dan ie ienya sudah menanti di situ. Yo Toanio memeluk keponakannya dengan mengeluarkan air mata karena suka cita. Si Kim Pauw tidak lama di situ, setelah minta diri ia lalu terjun ke jurang kembali. Tapi ia tidak lupa untuk memberi nasehat-nasehat terakhir kepada cucunya yang tersayang itu. Han Liong dihujani pertanyaan-pertanyaan oleh kelima orang tua itu. Ia menceritakan pengalamannya dengan ringkas hingga mereka menjadi girang sekali. Pauw Kim Kong menghela napas.

"Tidak percuma Si Kim Pauw lo Enghiong menjadi menteri setia dan Si-Enghiong menjadi seorang patriot yang mengorbankan nyawanya demi tanah air dan bangsa.

Ternyata keturunan mereka telah menjadi orang pandai dan beruntung. Han Liong, kami hanya mempunyai satu keinginan, yakni melihat kau melanjutkan usaha ayahmu dan berbakti kepada bangsa. Negara sekarang sedang kacau, para durna memegang tampuk kekuasaan. Pembesar-pembesar rakus merajalela di kota, menindas rakyat sesuka hatinya. Di mana-mana berlaku hukum rimba, yang kuat menindas yang lemah, yang kaya menghisap yang miskin. Kasihan rakyat kecil yang tertindas, tiada pembela. Maka sudah menjadi kewajibanmu untuk membantu mereka yang tertindas yang butuh pertolongan. Kami sudah tua, tenaga kami tak seberapa, usia kami tak lama lagi. Maka, berilah kami kebahagiaan terakhir, yaitu, melihat kau yang menjadi murid kami melakukan tugas mulia mewakili kami."

"Betul kata Pauw suhu, Liong," menyambung Hong In sambil mengelus jenggotnya yang panjang.

"Hanya saja, sebagai tanda peringatan bagi kami, cobalah kau perlihatkan Ilmu Silat Empat Bintang ciptaan Kam Hong Siansu itu, kami ingin sekali melihatnya."

Dengan segera Han Liong menyanggupi, lalu mulai bersilat. Mula-mula gerakannya lambat, indah dan menarik, makin lama makin cepat hingga tubuhnya tak tampak lagi, hanya kelihatan gundukan putih bergerak-gerak ke sana ke mari dengan cepatnya. Tidak sedikitpun debu mengepul dari bawah kakinya, namun kelima orang tua itu merasa betapa angin pukulan yang dingin membuat jubah mereka bergerak-gerak, bagaikan tertiup angin gunung! Empat orang guru itu dengan tegas sekali melihat betapa ilmu-ilmu pukulan mereka digerakkan dalam cio-hwat Han Liong, tapi pecahan-pecahannya demikian ganjil dan cepat hingga mereka merasa betapa sukarnya menandingi seorang yang bersilat dengan cara demikian sulit. Sertamerta mereka bertepuk tangan setelah Han Liong menghentikan gerakannya. Dengan merendah Han Liong berlutut sambil berkata.

"Semua ini berkat didikan suhu sekalian dan ie ie. Teccu tak tahu bagaimana harus membalasnya!"

"Anak baik," kata Yo Toanio,

"Asal engkau menjadi seorang yang kenal pribudi kebaikan dan pembela kebenaran, maka itu sudah merupakan pembalasan budi yang besar terhadap kami." Kemudian Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan memberitahu kepada Han Liong bahwa ia mempunyai dua orang murid bernama Bhok Kian Eng dan Lie Kiam yang kedua-duanya kini berada di kota Tong hai. Lain orang murid Pauw Kim Kong adalah Bie Cauw Giok yang berada di kota Lam chiu. Kedua guru ini berpesan agar Han Liong dalam perjalanannya menemui mereka itu. Lain-laln guru tidak mempunyai murid lain kecuali Han Liong. Setelah menerima nasehat-nasehat penting, Han Liong berangkat merantau, menggendong bungkusan kuning pemberian bibinya yang berisi dua pasang pakaian dan beberapa potong perak dan emas. Keempat suhunya serta bibinya melihat ia pergi dengan hati terharu.

Si Han Liong yang sudah mendapat petunjuk dari bibinya, langsung menuju ke kota Lam-ciu di mana ibunya dan musuh besarnya tinggal! Tapi alangkah kecewa hatinya ketika tiba di kota itu ia mendapat keterangan bahwa Tiat-kak-liong Lie Ban telah beberapa bulan yang lalu pindah ke kota Hong-lung-cian beserta keluarganya. Kota ini jauhnya ratusan li dari Lam-ciu dan jika ditempuh jalan darat berkuda kira-kira sepuluh hari baru sampai. Ada jalan yang lebih dekat, yaitu jalan air sepanjang Sungai Lien-ho dengan naik perahu. Karena memang maksudnya pergi merantau meluaskan pengalaman, maka ketika mendengar bahwa jalan melalui sungai lebih indah pemandangannya, Han Liong mengambil keputusan menyewa perahu. Maka pergilah ia ke perkampungan nelayan yang tinggal di dekat Sungai Lien ho,

Perkampungan itu besar juga, dan penduduknya hidup dari hasil ikan sungai dan ada pula yang khusus berpenghasilan dari menyewakan perahu, baik untuk berpesiar maupun untuk menyeberang sungai yang lebar itu.

"Kalau tuan mau pelesir, sekarang ini musimnya baik sekali, air sungai tenang dan jernih. Jika sedang banjir, ah, jangan harap berpelesir naik perahu," kata seorang nelayan tua sambil menawarkan perahunya.

"Tuan hendak pesiar ke mana?" Han Liong tersenyum.

"Aku tidak hendak pesiar, tapi hendak menyewa perahu untuk membawaku ke kota Hong-lung cian. Berapakah sewanya?"

"Ke kota Hong-lung cian?" Nelayan tua itu geleng-geleng kepala.

"Ah, lebih baik jangan tuan."

"He, apa maksudmu? Kenapa?" tanya Han Liong.

"Dengar tuan muda. Aku adalah nelayan tertua di kampung ini, dan aku memiliki perahu yang terkuat. Naik perahu Lo Sam sama dengan rasa tidur di ranjang, demikian orang-orang kota di sini berkata. Bukan aku hendak menyombong, tapi selama pekerjaanku mengantar orang-orang dengan perahuku dalam tiga puluhan tahun ini, belum pernah aku mengalami kecelakaan, kecuali ketika bajak sungai Hek Sam Ong mencegatku. Ke mana saja tuan akan kuantarkan dengan jaminan keselamatan penuh, tapi ke Hong-lung-cian? Tidak, tuan muda, aku tak berani."

"Mengapa? Ada apakah di Hong-lung cian?" tanya Han Liong.

"Di Hong-lung-cian sendiri tidak ada apa-apa!" jawab kakek itu,

"Tapi perjalanan dari sini ke Hong-lung-cian harus melalui Gunung Hek-houw-san yang penuh dengan rimba raya. Sungai Lien-ho ini di daerah itu memasuki hutan lebat sejauh sepuluh li lebih, dan tempat itulah yang ditakuti oleh para nelayan dan pelancong, karena penuh dengan bajak-bajak sungai. Di mulut hutan depan terjaga oleh bajak laut gerombolan Hek Sam Ong dan di mulut belakang dijaga oleh Oei-Coa Tai-Ong dengan gerombolannya. Kedua bajak ini sudah terkenal kekejaman dan kejahatannya. Andaikata kita bisa melewati Hek Sam Ong dengan selamat, tapi tak mungkin kita bisa keluar dari hutan itu dan melewati Oei-Coa Tai-Ong si Ular Kuning. Sudahlah, tuan muda batalkan sajalah niat tuan muda itu kalau masih ingin hidup." Mendengar keterangan ini, Han Liong menjadi gembira. Tugasku pertama untuk menghalau bahaya rakyat ini, pikirnya.

"Lopek yang baik," katanya tertawa,

"kiranya daerah itu aman, bisakah kau antar aku aku ke Hong-lung-cian?"

"Tentu saja bisa."

"Dan berapa biayanya?"

"Hm, paling sedikit tujuh tail perak." Han Liong merogoh buntalannya dan ia mengeluarkan sepuluh tail perak.

"Nah, ambilah uang ini kalau kau mau membawa aku ke sana. Dan sesampainya di sana nanti aku tambah satu tail lagi." sambung Han Liong.

"Eh, eh, lupakah kau, tuan muda? Tadi sudah kuceritakan bahwa di daerah Hek-houw-san..."

"Aku sudah tahu, lopek. Tapi aku tidak takut, dan aku berjanji bahwa bajak-bajak itupun takkan mungkin berani mengganggumu seujung rambutpun!" Kakek nelayan itu memandangnya dengan tak percaya, maka Han Liong segera menghampiri sebuah batu kali yang besar dan hitam di dekat itu, ia menggunakan sepuluh jari tangannya menyodok batu itu.

"Nah lihatlah, lopek. Bukan aku hendak memamerkan tenaga, tapi apakah kiranya batok kepala kedua raja bajak itu lebih keras dari batu ini?" Lo Sam tak mengerti maksud pemuda itu lalu datang mendekati Han Liong. Ia sangat kagum dan heran sekali melihat batu hitam yang keras itu berlobang-lobang karena tusukan jari anak muda itu! Ia mengangguk-angguk tapi masih agak sangsi.

"Kau rupanya seorang gagah, tuan muda, tapi jangan lupa, kawan-kawan mereka sangat banyak."

"Jangan khawatir, Lopek yang baik." Akhirnya Lo Sam terima juga tawaran Han Liong dan mereka berangkat. Perahu Lo Sam walaupun sudah tua, tapi masih cukup kuat dan atapnyapun baru saja diganti hingga jika turun hujan tidak bocor. Betul sebagaimana kata orang, pemandangan di sepanjang jalan sangat indah, hawapun sejuk sekali hingga Han Liong merasa sangat gembira. Apalagi Lo Sam ternyata pandai bicara dan banyak dongengnya, maka pemuda Itu tidak merasa kesepian. Setelah perahu melaju sepanjang tepi sungai sehari semalam lamanya, pada hari kedua pagi-pagi mereka melihat bahwa, sungai itu berbelok memasuki hutan. Di depan mereka nampak gunung kecil tinggi, penuh pohon-pohon belukar.

"Hati-hatilah, kongcu, bukit itu ialah Hek-houw san..." Belum habis Lo Sam bicara, tiba-tiba terdengar suara bersiutnya sebatang anak panah ke atas kepala mereka!

"Celaka, kongcu!!" Lo Sam mengeluh, tapi Han Liong yang sedang membaca buku yang dibelinya di kota Lam-ciu, hanya tersenyum saja sambil melanjutkan bacaannya dengan suara keras. Perahu terus didayung maju menambah kecepatannya hanyut terbawa air sungai. Kedua kali panah melayang di atas kepala mereka, kini lebih rendah.

"Bagaimana baiknya, kongcu?" Lo Sam mulai gemetar dan ketakutan.

"Kayuhlah perahu ke tengah," berkata Han Liong yang masih tenang. Perahu didayung ke tengah, tapi dari arah gerombolan pohon di tepi sungai melayang tiga batang anak panah menuju ke arah mereka! Han Liong menggunakan bukunya mengebut dan angin kebutannya membuat anak-anak panah itu mencong ke samping dan masuk ke air. Gerakannya ini, demikian sewajarnya, seakan-akan tak disengaja hingga Lo Sam sama sekali tidak tahu bahwa pemuda itulah yang membuat anak-anak panah itu tidak mengenai sasarannya. Maka ia menjadi gemetar ketakutan hingga kedua tangannya tak kuat mendayung lagi.

"Masuklah saja, lopek, biar aku yang ganti mengemudikan perahu," kata Han Liong. Tawaran ini ditolak keras oleh Lo Sam,

"Apa kongcu kira aku ini orang yang serendah-rendahnya? Biar usiaku sudah tua, biar tenagaku sudah lenyap, biarpun telah kukatakan terus terang bahwa aku tangat ketakutan, tani aku tidak sudi meninggalkan kewajibanku!" Dan ia terus mendayung, kini ia mulai berani, agaknya diperkuat oleh pernyataannya yang bersemangat itu. Kemudian dari arah pantai tampak tiga buah perahu dangan sangat laju mengejar mereka. Ketiga perahu itu bercat hitam dan bergambar ular dan kepala perahunyapun merupakan kepala ular yang sedang membuka lebar mulutnya. Dengan cepatnya perahu itu dapat mengejar perahu Lo Sam, dan sekarang terlihat bahwa di tiap perahu duduk tiga orang tinggi besar memegang golok. Perahu pertama berada paling dekat dan di situ berdiri seorang berpakaian hijau membolak-balikkan goloknya.

"He, perahu di depan, ayoh berhenti dan ke pinggir! Tinggalkan dulu barang-barangmu," teriak bajak itu.

"Yang ada hanya barangku sendiri, kenapa harus ditinggalkan? Kami kan tidak punya hutang padamu." jawab Han Liong.

"Jangan banyak mulut kau, anjing kecil," bajak itu mengancam.

"Mulutku hanya satu, anjing besar." Han Liong mempermainkan bajak itu, hingga ia menjadi marah. Karena perahu mereka kini hanya terpisah paling jauh satu tombak, bajak itu mengayun kakinya meloncat ke arah perahu Han Liong sambil mengangkat goloknya! Han Liong tekankan tangan kirinya pada kepala perahunya yang segera meluncur ke samping seakan-akan terdorong dari sisi oleh tenaga yang kuat sekali. Tidak heran bahwa ketika kaki bajak yang melompat itu turun, ia mencebur ke dalam air karena perahu itu seakan-akan berkelit! Kawan-kawan bajak itu merasa heran, bahkan ada beberapa orang diantara mereka melihat pemimpin mereka begitu bodoh hingga melompat ke perahu begitu dekatpun tidak becus! Sama sekali mereka tidak sangka bahwa bukan pemimpin mereka yang tak dapat melompat, tapi adalah tenaga Han Liong yang kuat telah membuat perahu seakan-akan menyingkir.

"Ayoh serbu!" teriak seorang bajak lain yang segera meloncat pula ke arah perahu Han Liong. Tapi kembali ia menginjak tempat kosong dan mencebur juga ke dalam air. Sementara itu Lo Sam terheran heran dan berkaki-kali berteriak,

"Eh, eh, eh!!" dikala perahunya kelihatan seperti berjiwa dan dapat bergerak ke sana ke mari berkelit menghindarkan kaki para bajak yang melompat. Akhirnya semua bajak yang berjumlah sembilan orang itu masuk ke dalam air.

"Teruskan dayung, Lo Sam." kata Han Liong, tapi di saat itu pemimpin bajak sambil menggigit goloknya telah berenang mendekat dan hendak menggunakan tangannya memegang pinggiran perahu. Lo Sam melihat ini segera mengangkat dayungnya dan memukul tangan yang memegang pinggiran perahunya itu, hingga si bajak menjerit kesakitan karena jari-jari tangannya dipukul keras!

"Bagus, Lo Sam, kau sungguh gagah," Han Liong memuji dan Lo Sam dengan wajah bangga segera mendayung perahunya laju ke depan, meninggalkan para bajak itu berenang kembali ke arah perahu mereka dan segera mengejar kembali dengan secepat mungkin.

"Cepat, Lo Sam, gunakan seluruh tenagamu. Mereka datang mengejar!" kata Han Liong yang lalu mengambil dayung cadangan yang kecil dari dalam perahu dan mulai membantu dengan perlahan.

"Ayoh bantu, jangan perlahan begitu, kuat-kuat!" teriak Lo Sam yang sibuk juga melihat bajak-bajak dengan pakaian basah kuyup itu membalapkan perahu mereka mengejar.

"Aku tidak biasa, kaulah yang harus mendayung kuat-kuat," jawab Han Liong, tapi sementara itu ia mengerahkan tenaganya. Lo Sam juga menggunakan seluruh kepandaian dan tenaganya yang sudah tua untuk membuat perahu mereka meluncur cepat. Sebentar saja perahu mereka dengan laju dan cepat maju ke muka, dan meninggalkan para bajak itu berteriak-teriak.

"Kau kuat sekali, Lo Sam," Han Liong memuji dan kendurkan tenaganya. Perahu menjadi perlahan majunya dan Lo Sam mengaso dengan napas terengah-engah.

"Kalau cuma bajak-bajak kecil itu saja mana bisa mengejarku," katanya sombong.

"He, Lo Sam, mengapa bajak-bajak itu berhenti mengejar?" tiba-tiba Han Liong bertanya. Lo Sam menengok ke belakang, tapi matanya yang tua hanya melihat titik-titik hitam jauh di belakang.

"Kau tidak tahu, kongcu, sekarang kita sudah memasuki daerah yang dikuasai Oei-Coa Tai-Ong, maka kita harus hati-hati. Bajak-bajak yang tadi adalah anak buah Hek Sam Ong." Betul saja, ketika perahu mereka sampai di sebuah tikungan, ternyata di depan telah menghadang sepuluh buah perahu besar yang memenuhi sungai. Tiap perahu memuat lebih kurang dua kelas orang berpakaian kuning yang semuanya memegang senjata tajam. Yang terdepan adalah sebuah perahu besar warna kuning pula, di mana berdiri seorang pendek gemuk yang berwajah seperti kanak-kanak. Di pinggang orang ini tergantung pedang.

"Awas, itu dia Oei-Tai-Ong sendiri mencegat kita," Lo Sam berbisik dengan suara gemetar. Han Liong melihat bahwa perahunya tak mungkin lewat, bangun berdiri lalu menjura kepada kepala bajak itu.



Pedang Pusaka Naga Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cari Blog Ini