Ceritasilat Novel Online

Pedang Pusaka Naga Putih 4


Pedang Pusaka Naga Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 4




"Tapi... tapi..." ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu Pek liong pokiam telah menyambar ke arah lehernya! Namun Lie Ban bukanlah orang lemah. Ia bekas panglima yang berkepandaian tinggi, maka dengan melompat ke samping ia dapat mcnghindarkan dirinya dari tusukan walaupun keringat dingin mengucur dari jidatnya karena sinar Pek-liong pokiam yang begitu lebat dan mendatangkan angin dingin!

"Jangan banyak tingkah!" berteriak Lie Kong lalu menyerang dengan toyanya dengan ilmu toyanya yang hebat sekali, yaitu Hok-houw-kun-hoat atau Ilmu toya Penakluk Harimau. Toyanya yang berat itu dimainkan dengan cepat hingga anginnya bersuara. Dengan sengit Han Liong mengayun pokiamnya. Kembang api memancar ketika ujung toya itu terpotong karena tertebas Pek-liong-pokiam.

"Haya!" teriak Lie Kong dengan terkejut sekali. Kawan-kawannya melihat kehebatan pokiam lawan, segera memegang senjata masing-masing dan maju mengeroyok! Kedua saudara Beng dengan pedang di tangan memainkan ilmu Ji-pa-cu Siang-kiam-hoat atau ilmu Pedang Sepasang Dua Macan tutul yang bengis dan dulu dikagumi oleh Liok tee-sin-mo Hong In! Sedangkan Lie Ban sendiri segera mencabut goloknya dan kedua tamunya, yang seorang bernama Ma Kui si jagoan dari Sinkiang dan Ban Cat-lin si orang Tua Dewa Arak, masing-masing bersenjata tombak dan pian baja, maju pula menyerang Han Liong.

"Bagus!" teriak Han Liong dengan gagahnya, lalu Pek-liong-pokiam diputar begitu hebat sehingga tiba-tiba tubuhnya lenyap dari pandangan mata semua lawannya. Hanya cahaya pedang yang putih gemerlapan itu saja bergerak-gerak ke sana ke mari, sinarnya jauh dan panjang sampai tujuh kaki dan gerakan-gerakannya luar biasa sekali!

Baru berjalan belasan jurus saja, Lie Kong yang hanya bersenjatakan toya buntung itu berteriak lalu roboh mandi darah. Ternyata pundaknya luka karena sabetan ujung pokiam lawan! Permainan pedang dari Sepasang Macan Tutul memang hebat, karena pedang mereka juga pedang mustika yang tak mudah terputus oleh Pek-liong-pokiam, mereka memutar-mutar pedang dengan ilmu pedang pasangan hingga mereka merupakan hanya seorang yang memainkan empat pedang. Gerakan mereka demikian teratur, hampir menyerupai gerakan kedua saudara Sepasang Garuda Sungai Lien ho yang dulu dikalahkan oleh Han Liong, tapi Sepasang Macan Tutul ini ilmu pedangnya jauh lebih tinggi dari dua saudara Kong yang dulu itu! Sedangkan ilmu golok Lie Ban sendiri juga tak boleh dipandang ringan, apa lagi ilmu tombak dari Ma Kui dan pian baja dari Bun Cat-lin.

Sungguh kali ini Han Liong menghadapi lima orang lawan yang betul-betul berat dan tangguh. Namun, tak percuma Han Liong diasuh bertahun-tahun oleh empat orang gurunya dan ditambah dengan pengetahuan yang luar biasa dari Kam Hong Siansu. Gerakannya sangat lincah dan gesit berkat dari pimpinan si Iblis Daratan dan ilmu pedang yang ia mainkan tadi adalah Ilmu Pedang Empat Bintang! Tiba-tiba dari bawah tampak dua bayangan melompat naik. Mata Han Liong yang tajam segera dapat mengenali bahwa yang naik itu adalah Lie Hong Ing dan ibunya sendiri! Hong Ing kini bersenjatakan sepasang pedang baru dan ibunya sendiripun membawa-bawa pedang! Perih sekali rasa hati Han Liong melihat ibunya membawa pedang itu. Apakah ibunya sendiri, ibu kandung yang dirindukan bertahun-tahun itu kini hendak ikut mengeroyok dan membunuhnya?

Hatinya sakit sekali dan perasaan ini membuat gerakan pedangnya agak lambat. Tentu saja hal ini dapat dilihat nyata oleh semua pengeroyoknya yang terdiri dari jagoan-jagoan cabang atas yang segara menyerang lebih hebat lagi. Han Liong melihat Hong Ing yang segera ikut menyerbu membuat ia sibuk menangkis. Kini ia dikeroyok oleh enam orang dari segala jurusan. Tapi ibunya hanya berdiri memegang pedang sambil tangannya bergerak-gerak seakan-akan berbicara dan memberi isyarat supaya ia pergi! Hatinya menjadi sangat kecewa dan gerakannya tak keruan. Pada suatu saat ujung pian baja dari Bun Cat-lin si Dewa Arak, tepat mengenai pundak kiri Han Liong. Ia terhuyung-huyung ke belakang, tapi baiknya ilmu dalam dan tenaga tubuhnya sudah demikian kuat hingga pian itu yang bagi orang lain dapat memecah daging, meremukkan tulang, terhadapnya hanya mengakibatkan lecet saja.

Namun darahnya keluar juga membuat bajunya yang putih menjadi merah mengerikan. Han Liong mendengar ibunya mengeluarkan seruan tertahan. Ia menenangkan hatinya dan dengan memusatkan pikirannya, ia berkomat-kamit membaca doa kepada suhunya Kam Hong Siansu, minta ijin untuk menggunakan ilmu pedang Pek-liong Kiam-hoat. Tiba-tiba saja enam orang pengeroyoknya itu hampir semua berseru kaget, karena tiba-tiba saja Pek liong-pokiam mengeluarkan suara bercuitan dan gerakan-gerakannya begitu hebat sehingga dalam beberapa kali serangan saja empat pedang dari Sepasang Macan Tutul terpelanting ke udara, masing-masing terlepas dari pegangan kedua saudara Beng itu! Terpelantingnya pedang diikuti teriakan kedua orang itu yang roboh mandi darah, masing-masing tangan kirinya putus!

"Han Liong, tahan, nak!!" tiba-tiba terdengar jerit Yo Lu Hwa dengan sedih. Nyonya itu dengan nekad masuk ke lapangan pertempuran itu. Han Liong menahan pedangnya sambil memandang tajam,

"Ibu mau apa?" tanyanya ketus.

"Sudahilah pertumpahan darah ini, Liong."

"Tidak, ibu. Sebelum aku membunuh orang she Lie yang menjadi pembunuh ayahku ini, aku tidak mau berhenti. Biar aku mati di sini, tidak mengapa!" katanya gagah. Sementara itu Lie Hong Ing berdiri bingung keheran-heranan ketika mendengar pemuda itu menyebut ibunya sendiri "ibu". Belum pernah ibunya menceritakan bahwa ibunya mempunyai seorang anak lain! "Han Liong, dengarlah. Lie Ban tidak salah, akulah yang berdosa. Dan kalau ada sebutan membalas sakit hati, maka sebenarnya aku sendirilah yang mempunyai kewajiban itu, bukan kau! Tiba-tiba saja nyonya itu menggerakkan pedangnya secepat kilat. Karena ia juga serang ahli silat yang tidak lemah dan Lie Ban ketika itu sedang berdiri bingung, maka serangan tiba-tiba ini sama sekali tidak disangkanya dan tahu-tabu pedang isterinya sendiri sudah bersarang dalam dadanya!

"Ayah!!" Hong Ing berteriak ngeri dan menubruk ayahnya. Pada saat itu Yo Lu Hwa berseru,

"Ampuni aku, suamiku!" dan tiba-tiba pedangnya sendiri menancap ke dadanya dan iapun roboh mandi darah di samping suaminya!

"Ibu!!" Han Liong berteriak keras dan pilu lalu menubruk ibunya.

Ma Kui dan Bun Cat-lin yang hanya menjadi tamu dan sebenarnya tidak ada sangkut-paut dengan urusan itu, hanya berdiri saling pandang. Mereka adalah orang-orang ternama, dan baru saja mereka telah menyaksikan sendiri kehebatan kepandaian silat Han Liong yang ternyata dan jelas sekali berkepandaian jauh lebih tinggi dari merela, maka sebagai seorang panjang pikiran, mereka tidak melanjutkan ikut campur dalam hal ini, hanya menghela nafas dan menggeleng-geleng kepala. Hong Ing ketika mendengar teriakan Han Liong dan melihat ibunya rebah mandi darah dengan kepala di pangkuan pemuda itu, menjerit ngeri sambil menubruk ibunya. Mulutnya hanya dapat menangis dan berbisik sambil menyebut-nyebut dengan penuh kepiluan,

"Ayah... ibu... ayah... ibu...!" tangsnya makin sedih dan akhirnya iapun jatuh pingsan. Kedua orang tua she Ma dan Bun segera menolong gadis itu, dan segera Ma Kui memijit pundak gadis itu, dan dalam beberapa detik saja ia siuman kembali dan... menangis tersedu-sedu. Yo Lu Hwa membuka matanya dan tersenyum ketika melihat Han Liong memangku kepalanya.

"Han Liong... alangkah...alangkah rinduku padamu, nak... sudah besar dan gagah... seperti ayahmu..." Lalu matanya mengerling ke arah Hong Ing yang menangis sambil memegang tangannya.

"Hong Ing... kasihan kau, nak... kau terbawa-bawa... menanggung derita karena dosa ibu..."

"Liong... kau... kau keliru nak... tidak ada yang beraslah dalam hal ini... hanya akulah yang yang berdosa... tetapi aku terpaksa, Liong... Lie Ban benar membunuh ayahmu... tapi... ingat, hal itu terjadi dalam perang..." sampai di sini napasnya sangat memburu, maka Han Liong segera mengambil sebuah pil obat pemberian gurunya, Pauw Kim Kong. Ia memasukkan pil itu ke dalam mulut ibunya, yang segera ditelan oleh ibunya yang maklum akan maksud anaknya, setelah menelan pil penahan sakit itu Yo Lu Hwa tampak lebih tenang. Ia melanjutkan kata-katanya lagi dengan lebih nyata,

"Pembunuhan dalam perang bukan pembunuhan biasa lagi namanya, Liong. Salahnya ialah bahwa ia mengambil aku sebagai isteri, tapi ini juga karena ia sungguh-sungguh... cinta padaku, Liong. Dan aku... aku terpaksa menjalani karena untuk menjaga... menjaga kau, Liong. Ayahmu serang patriot sejati dan orang baik, Lie Ban hanya bersalah karena ia cinta padaku, dan... dan aku... aku seorang wanita yang berdosa, Liong. Ampuni ibumu, nak,..." Han Liong tak dapat menahan keharuan hatinya. Ia memeluk ibunya.

"Ibu... ibu... bertahun-tahun anakmu ini merindukan pangkuanmu... Hatiku selalu hancur dan iri hati bila melihat semua binatang di hutan mempunyai ayah ibu, tetapi aku sendiri tidak... Aku rindu kepada ibu, tapi sekarang,... sekarang, karena akulah maka ibu membunuh diri..."

"Tidak, Liong. Memang sejak dulu aku ingin menyusul ayahmu. Sekarang Lie Ban juga telah mati dalam tanganku. Aku puas nak, biarlah kami bertiga di alam baka membuat perhitungan masing-masing. Hanya..." ia memandang Hong Ing yang masih menangis.

"...pesanku, Liong... adikmu ini... Hong Ing... ia yatim piatu... terserah padamu, Liong... Ing... selamat tinggal..." Nyonya yang banyak mengalami kesengsaraan batin ini menghembuskan napas yang terakhir dalam pelukan kedua anaknya! Dalam beberapa hari Han Liong membantu mengurus pemakaman kedua jenazah ibu dan ayah tirinya. Hatinya sangat sedih setelah melihat kenyataan yang sudah terlambat. Ia benci akan sifat balas membalas ini yang sebenarnya tidak perlu, karena hanya menurutkan dengan nafsu saja. Dan Kam Hong Siansu dulu pernah berkata, bahwa segala nafsu itu selalu membuat orang menjadi buta akan segala kebenaran dan membuat orang kehilangan pertimbangan serta keadilan.

Kedua orang tua Ma Kui din Bun Cat-lin itu kembali ke kampung mssing-masing setelah membantu mengurus jenazah Lie Ban dan isterinya. Selama itu Hong Ing tak berani memandang muka Han Liong, dan tidak berbicara sepatahpun kepada pemuda itu, Han Liong mendapat perasaan bahwa adiknya itu benci padanya, tapi ia tidak menyalahkannya karena bukankah karenanya, maka gadis itu kehilangan ayah bundanya? Bukankah ia yang merusak penghidupan gadis itu, tadinya bahagia di bawah lindungan orang tua, kini tiba-tiba menjadi yatim piatu? Ia sendiri juga yatim piatu, tapi ia adalah serang laki-laki, tapi Hong Ing hanyalah seorang wanita. Apakah seorang gadis dapat berbuat sesuatu setelah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya? Setelah kedua jenazah orang tuanya dimakamkan, Hong Ing setelah menyapu air matanya, tiba-tiba Han Liong mendatanginya lalu berkata perlahan.

"...Adikku... aku... aku merasa sangat berdosa dan kasihan padamu..." Baru ia berkata sampai di sini. Hong Ing menangis lagi, entah dari mana datangnya air mata yang seolah-olah tidak mau kering itu. Han Liong menghela nafas,

"Ing... Ing-moi, aku tak dapat terus tinggal di sini, aku tak berumah tak berfamili yang lain, aku seorang kelana, maka sekarang aku harus pergi dari sini." Baru sekarang Hong Ing mengangkat mukanya dan memandang kakaknya. Pandangan matanya berbeda dari dulu, kini hilanglah pandangan yang menyatakan penyesalan dan kebencian,
(Lanjut ke Jilid 04)

Pedang Pusaka Naga Putih (Seri 04 - Serial Jago Pedang Tak Bernama)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

Jilid 04
"Koko... kau... kau tidak berdosa padaku. Kau hanya menjalankan kewajiban. Dan lagi... bukan pula kau yang membunuh ayahku. Kalau kau yang membunuh mereka, pasti aku akan benci padamu dan akan mengadu jiwa dengan kau. Tapi...kau kini adalah kakakku, keluarga satu-satunya di dunia ini..." kembali Hong Ing terisak-isak. Kemudian ia bertanya kembali,

"Kau... hendak pergi kemana, koko?"

"Kemana saja kakiku membawaku, adikku." Hong Ing mengangkat muka memandangnya dari balik air mata.

"Kalau kau pergi, habis aku bagaimana, koko??" Pertanyaan yang diucapkan seperti seorang anak kecil yang tak berdaya ini menusuk perasaan Han Liong. Ia memandang Hong Ing dengan terharu dan dari kedua matanya perlahan-lahan bertitik dua butir air mata. Kedua-duanya merasa betapa mereka hanya hidup berdua, kakak beradik, yatim piatu.

"Koko..."

"Moi-moi..." Dan keduanya saling menubruk dan saling berpelukan seperti lakunya dua anak kecil saja sambil mengalirkan air mata. Setelah agak reda perasaan mereka, Han Liong berkata,

"Sudahlah, dik. Tak perlu kita bersedih terus menerus, tiada gunanya. Kau jangan khawatir, pesan ibu masih berkumandang di telingaku. Kalau kau tidak keberatan, marilah ikut aku, adikku. Mari kita merantau berkelana, kita nikmati dunia yang lebar ini bersama-sama." Adiknya bernapas lega. Sekali lagi Hong Ing mendekap dan memeluk kakaknya dan berkata,

"Koko."

"Tapi karena kau seorang wanita, baiknya kau berpakaian laki-laki dan menyamar sebagai laki-laki saja, moi-moi, agar tidak mendatangkan prasangka orang." Timbul kegembirari hati Hong Ing.

"Pantaskah aku menjadi laki-laki?" wajahnya agak berseri sehingga mau tidak mau Han Liong tersenyum.

"Kau akan menjadi seorang pemuda cakap sekali," katanya.

"Lebih cakap dari kau berpakaian wanita."

"Tentu saja. Lihat saja nanti." Dan mereka berdua tersenyum gembira seolah-olah tidak terjadi peristiwa sedih atas diri mereka. Setelah beres semua harta yang akan ditinggalkan dalam pengawasan Lie Kong, yang kini sudah agak mulai sembuh dari lukanya atas rawatan Han Liong dan seorang tabib yang diundang, maka Han Liong dan Hong Ing mulai berkemas.

Tidak lupa mereka memberitahukan kepada kedua saudara Beng yang juga sedang dalam rawatan karena luka di tangan mereka di rumah itu. Han Liong minta maaf yang diterima dengan hati terbuka oleh kedua Macan Tutul itu. Kedua saudara Beng inipun mendapat bagian harta yang diberikan oleh Hong Ing sebagai pembalas budi. Kemudian Hong Ing menyamar sebagai seorang kongcu, menurut anjuran dan nasehat Han Liong. Mereka berkemas sambil bersendau gurau, kemudian dengan menggunakan dua ekor kuda yang dibeli Hong Ing dengan harga mahal, dan berbekalkan pakaian serta uang dalam bungkusan, kedua kakak beradik ini berangkat dan memulai pengembaraan mereka untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman baru.

Pada masa itu keadaan di Tingkok sungguh buruk sekali. Kaisar yang bertahta dan para menterinya yang memegang tampak kerajaan ternyata lalim dan hanya ingat kepentingan serta kemewahan diri sendiri saja. Kalau sebatang pohon sakit, maka cabang-cabang dan rantingnya juga tidak sehat dan daun-daunnya juga pada mati, demikian kata pepatah kuno. Pepatah ini menjadi sindiran, bahwa kalau rajanya lalim dan pembesqr-pembesar tinggi berlaku curang dan korup, maka pembesar-pembesar kecilpun juga tidak jujur dan rakyat kecilpun tentu hidup tertekan dan menderita sengsara. Di kota-kota siapa berpangkat dapat hidup senang karena dengan mengandalkan hartanya dapat menyogok para pembesar itu dan hidup aman.

Sebaliknya rakyat kecil yang miskin dan tidak mampu menggunakan uang untuk menyuap pembesar, hanya dapat menghela napas saja melihat ketidak-adilan yang ditekankan kepada mereka. Pajak diadakan semaunya dan undang-undang negeri seakan-akan dibuat sendiri oleh tiap pembesar setempat yang berwewenang. Lebih-lebih di kampung dan desa, keaadaannya lebih buruk lagi. Orang-orang kaya dan tuan-tuan tanah merupakan lintah-lintah darat yang sangat berpengaruh. Mereka ini dapat berbuat sesuka hatinya terhadap petani miskin. Mau menjadikan anak gadis orang untuk isteri muda, tinggal rampas saja. Mau memfitnah orang kecil, tinggal berkejap mata saja kepada pembesar yang berkuasa di situ. Bahkan orang-orang kaya itu hampir semua mempunyai barisan penjaga atau tukang pukul sendiri, mempunyai peraturan-peraturan sendiri untuk melindungi tanah mereka!

Pendeknya, bagi telinga seorang yang berjiwa patriot, ia tentu memperhatikan jerit-tangis dan keluh-kesah dari rakyat yang memuncak tinggi, tapi mereka atau orang-orang yangs berjiwa patriot itu tak berdaya sama sekali, karena penindasan dan hukum rimba itu yang berantai, dari pembesar terkecil terus sampai ke menteri bahkan sampai ke kaisar sendiri! Siapa berani menentang pembesar kecil maka ia akan berhadapan dengan pembesar tinggi dan pasti akan menemui kehancuran. Karenanya, jerit-tangis rakyat pada waktu itu seakan-akan keluh kesah seorang kehausan di tengah padang pasir, tiada yang mendengar, tiada yang perduli! Karena itu, banyak rakyat kecil yang karena menderita menjadi putus asa, sering mengeluh dan berkata, bahwa tuhan pada waktu itu melupakan manusia ciptaannya yang tengah menderita kesengsaraan!

Han Liong yang baru saja turun gunung, melihat keadaan itu Han Liong menjadi marah sekali. Di setiap tempat, bila menjumpai keadaan yang tidak adil, Han Liong pasti tidak tinggal diam berpeluk tangan. Hong Ing ternyata mewarisi sifat ibunya dan berjiwa patriot pula. Ia secara diam-diam sering menyesalkan perbuatan ayahnya yang telah menjual tenaga kepada pemerintah Ceng-tiauw, satu pemerintahan yang bagi para pahlawan bangsa dianggap pemerintah yang menjajah. Sebaliknya ia memuji sekali ayah Han Liong dan ia iri hati kepada kakaknya itu. Maka, untuk membalas dan menebus dosa ayahnya, ia mencurahkan semua tenaganya untuk menolong rakyat yang tertindas oleh pembesar-pembesar penjilat pemerintah asing itu.

Banyak sudah pembesar-pembesar yang mereka beri hajaran, bahkan ada beberapa pembesar yang mereka anggap terlampau jahat telah tewas dalam tangan mereka. Entah berapa banyak harta benda orang-orang hartawan mereka angkut dan bagi-bagikan kepada rakyat miskin. Baru saja beberapa bulan mereka berkelana, nama mereka menjadi harum dan terkenal sekali, bahkan orang-orang di kalangan kang-ouw menyebut mereka sebagai Thian-jiauw-siang-hiap atau Sepasang Pendekar Garuda Angkasa! Julukan ini diberikan kepada mereka berdua karena gerakan mereka yang datang menolong tak tersangka-sangka. Dan mereka sangat gesit tak ubahnya seperti sepasang garuda menyambar dari angkasa. Mereka disebut siang-hiap karena dalam setiap operasi, mereka selalu berpasangan.

Han Liong yang selalu berpakaian warna putih, disebut orang Pek i-hiap dan Hong Ing yang suka baju warna merah, disebut orang Ang-i-hiap yang artinya bagi Han Liong si Pendekar Btju Putih dan bagi Hong Ing si Pendekar Baju Merah! Tiada seorangpun tahu bahwa Hong Ing adalah seorang wanita. Pernah Han Liong bertanya kepada adiknya tentang pelajaran silatnya dan siapa gurunya. Sebelum menjawab, Hong Ing terlebih dulu minta diceritakan riwayat pelajaran silat Han Liong kepadanya. Ia mengalah dan bercerita lebih dulu. Hong Ing mendengarnya dengan penuh minat dan minta supaya kakaknya itu berjanji akan mengajarnya untuk menambah ilmu silatnya yang sudah ada. Kemudian gadis itu minta diperlihatkan macamnya Pek liong pokiam yang dulu telah ia rasakan sendiri ketajamannya yang luar biasa itu.

Setelah itu, barulah Hong Ing bercerita tentang dirinya sendiri. Ternyata Hong Ing mendapat latihan silat pertama-tama dari ayahnya sendiri, kemudian oleh ayahnya ia dikirim ke Bok sin-tang untuk berguru kepada seorang Nikouw atau pendeta Wanita bernama Seng Bouw Nikouw yang sebenarnya bibi gura dari Lie Ban. Dari pendeta perempuan inilah Hong Ing menerima pelajaran silat yang tinggi sehingga kepandaiannya kini boleh dikatakan setingkat dengan ayahnya sendiri, atau boleh dikata lebih tinggi, terutama dalam permainan siang kiamnya yang luar biasa. Selama lima tahun ia belajar silat dengan nikouw itu. Demikianlah, kedua kakak beradik itu melanjutkan perjalanan dengan penuh kegembiraan. Hong Ing telah lupa sama sekali akan kesedihannya, dan Han Liong juga merasa bahagia.

Sikap adiknya yang manja, nakal, suka menggoda, tapi penuh kejujuran dan keberanian itu membuat ia merasa senang sekali dan lama kelamaan pertalian darah mereka makin erat dan saling kasih mengasihi. Hong Ing pada waktu itu telah barusia enam kelas tahun dan Han Liong delapan belas. Pada satu hari Han Liong dan Hong Ing berkuda sepanjang jalan yang menuju ke kota Tong Hai. Pagi-pagi keduanya berkuda memasuki hutan pohon Liu yang menahan sinar matahari pagi sehingga sinar sang surya merupakan garis-garis kuning bersinar menyorot dari celah-celah daun pohon Liu merupakan pemandangan yang indah sekali. Mereka menjalankan kuda berendeng dan sambil naik kuda yang berjalan perlahan-lahan, mereka menikmati hawa hutan yang sejuk itu, mereka bicara dengan riang gembira.

"Koko, alangkah indahnya sinar matahari itu," kata Hong Ing sambil mendongak ke atas,

"Sungguh senang berada di luar, bebas lepas menyaingi burung-burung di udara. Aah, inilah hidup dan bahagia!"

"Adik Ing," jawab Han Liong yang sudah biasa menyebut adik saja atau "siauwte" artinya adik laki-laki, karena ia harus membiasakan sebutan ini di muka umum agar melengkapi penyamaran Hong Ing sebagai pria,

"Betapapun juga, segala sesuatu itu selalu harus mengalami perubahan. Kita tidak mungkin selamanya begini sampai..." di sini Han Liong menghela napas.

"Mengapa tidak, kakakku yang baik? Apa kau ada pikiran hendak meninggalkan aku?" tanya Hong Ing.

"Sekali-kali tidak. Tapi pada suatu waktu, kaulah sendiri rasanya yang akan meninggalkan aku, bahkan akan melupakan kakakmu ini."

"Eh, eh! Tiada hujan tiada angin kau bicara tidak keruan juntrungannya, koko. Siapa mau tinggal meninggalkan? Aneh benar bicaramu pagi ini. Dan kau kelihatan sangat muram seperti anak kecil tidak kebagian kue! Sungguh tidak sesuai dengan indahnya cuaca. Mengapakah, koko?" Han Liong memaksa tersenyum.

"Ah, tidak apa-apa, adik Ing." Hong Ing tiba-tiba menahan kudanya dan tidak mau maju. Han Liong menoleh kepadanya dan berkata,

"Ayoh jalankan kudamu." Tapi Hong Ing diam saja bahkan menggeleng-gelengkan kepala dengan mulut cemberut.

"Eh, eh. Ada apa, adik Ing?"

"Katakan dulu kenapa kau bermuram durja, baru aku mau maju lagi," kata Hong Ing dengan manja. Han Liong tertawa dan memajukan kudanya menghampiri.

"Jangan marah, adikku yang manis!" Tapi Hong Ing masih saja menggeleng-gelengkan kepala dan pundaknya.

"Ah, adik Ing, kalau kau sudah begini maka tidak pantas menjadi pemuda, lagakmu seperti seorang gadis benar-benar!" Hong Ing mengangkat cambuk kudanya hendak memukul kakaknya yang segera melarikan kudanya dan lalu dikejar oleh Hong Ing. Mereka segera saling kejar berputar-putaran di bawah pohon-pohon Liu.

"Sudah, sudah, adikku. Aku menyerah. Lihat kudaku sampai mengepulkan uap diri mulutnya karena lelah."

"Biar! Kau jawab pertanyaanku atau kupukul dengan cambuk ini." Hong Ing mengancam. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar bunyi kaki kuda berlari cepat. Dari sebuah tikungan tampak datang dua orang menunggang kuda yang dilarikan sangat kencang. Karena jalan itu kecil dan tidak cukup lebar untuk tiga atau empat kuda jalan berendeng, maka dari jauh mereka sudah berteriak-teriak,

"Minggir! Minggir!!" Han Liong segera meminggirkan kudanya di bawah pohon Liu. Tapi Hong Ing yang beradat keras dan pula sedang kesal kepada kakaknya, membiarkan kdanya melintang jalan dan memaksa kedua penunggang kuda itu harus berhenti! Kedua penunggang kuda itu segera menahan kuda mereka dengan cepat, kalau tidak mereka pasti akan berlanggar dengan kuda Hong Ing. Ternyata kedua-duanya adalah perempuan-perempuan muda yang cantik dan di pinggang mereka tergantung pedang.

"Eh, kurang ajar! Apa maksudmu sengaja menghalang-halangi jalan kami?" Seorang dari mereka yang lebih muda memaki. Hong Ing membalas makian ita dengan mata mendelik.

"Tuan, harap beri jalan kepada kami, karena kami ada urusan penting dan tergesa-gesa," kata yang seorang lagi.

"Hm, ini baru kata-kata sopan," jawab Hong Ing.

"Dari manakah datangnya orang yang seakan-akan merasa diri menjadi raja dan menganggap jalan ini seperti jalannya sendiri?" ia tujukan kata-katanya ini kepada gadis muda itu.

"Apa kau kira semua orang takut akan gertakanmu?"

"Sudah, jangan banyak cakap, awas jangan membuat aku menjadi hilang sabar!" Gadis muda itu berkata pula dengan marah.

"Pendeknya, lekas kau minggir!"

"Kalau aku tidak mau minggir, kau mau apa, nona galak?" kata Hong Ing dengan aksinya yang menimbulkan kemarahan orang. Bangsat kecil tak tahu diri! Tahukan kamu bahwa kamu berhadapan dengan siapa? Kami Shoatang Ji-Lihiap (Dua Pendekar Wanita dari Shoatang) enci dan aku tidak biasa menerima penghinaan dari siapapun saja, mengerti?" teriak gadis yang muda itu marah. Encinya yang agaknya lebih sabar menarik lengan adiknya, tapi tak diperdulikan oleh adiknya. Hong Ing mengeluarkan suara sumbang.

"Hm! Siapa perduli apakah kalian pendekar-pendekar dari Shoatang ataukah dari Neraka? Aku tidak kenal nama itu!" Mendengar ini, perempuan yang lebih tua merasa tak senang juga. Bukankah mereka berdua telah terkenal di kalangan kang-ouw? Mengapa pemuda kecil ini berani menghina?

"Tuan, jangn mencari perkara. Minggirlah dan kami akan lewat dengan baik-baik. Kami tidak ada waktu melayani segala orang seperti tuan!"

"Kami berdua juga mau pergi mau ke depan. Kalian boleh menjalankan kuda di belakang kami." Sementara itu Han Liong sudah menghampiri mereka.

"Bangsat kecil ingin celaka!" gadis yang termuda itu memaki sambil mencabut pedang dari pinggangnya. Hong Ing hanya tertawa menyindir dan mencabut pedangnya pula.

"Adik Ing sabar dulu," kata Han Liong untuk mencegah adiknya. Tetapi Hong Ing yang sedang jengkel kepadanya mana mau menurut perintahnya. Ia bahkan mengerling kepada Han Liong dengan marah dan berkata,

"Kalau kau mau membela perempuan-perempuan cantik ini, silakan. Boleh aku dikeroyok tiga!!" tantangnya dengan mata merah karena marah.

"Siapa mau mengeroyok, laki-laki tak tahu malu!" gadis muda itu berteriak marah,

"Aku sendiri sudah cukup untuk mengirim jiwamu ke akhirat." Sehabis berkata begini gadis itu majukan kudanya dan memberi sebuah tusukan berbahaya. Hong Ing menangkis dengan pedangnya yang kiri, lalu dengan pedang kanan balas menusuk. Mereka berdua bertempur di atas kuda, dan karena kuda mereka tidak biasa dipakai bertempur, maka kuda mereka melompat-lompat ketakutan sehingga mereka tidak dapat bersilat dengan leluasa. Hong Ing mendahului lawannya melompat turun dan menantang.

"Turunlah kalau kau benar-benar perempuan gagah!" Lawannya segera melompat turun juga dan mereka meneruskan pertempuran di atas tanah!

Ternyata tenaga dan kegesitan mereka berimbang, tapi karena Hong Ing menggunakan dua pedang dan ilmu pedangnya warisan dari Seng Bouw Nikouw memang lihai sekali, maka setelah mereka bertempur dua puluh jurus, gadis muda itu mulai terdesak. Encinya tidak tega melihat adiknya kewalahan, maka ia segera terjun ke tengah pertempuran itu. Ternyata gerakannya sangat kuat dan gesit sehingga benturan-benturan pedangnya dirasakan oleh Hong Ing sangat kuat dan membuat telapak tangannya panas. Ia mengharapkan bantuan Han Liong, tapi ternyata pemuda itu hanya turun dari kuda dan berdiri melihat jalannya pertempuran! Hong Ing lama-lama terdesak juga dan repot melayani dua lawannya yang ternyata berkepandaian tinggi, lebih-lebih yang lebih tua, pedangnya berputar-putar kuat dan ia pandai sekali. Karena gemas, maka sambil bertempur Hong Ing berteriak ke arah Han Liong.

"He, kenapa kau diam saja? Ayohlah bantu mereka ini, agar sekalian dapat kulayani!!"

Han Liong tersenyum geli. Ia memang sengaja membiarkan adiknya agar ia merasa bahwa ada juga orang yang lebih pandai darinya, juga ia melihat bahwa biarpun terdesak, namun siang kiam-hoat dari adiknya itu cukup ulet untuk dikalahkan begitu saja dalam waktu pendek. Selain itu, ia sesungguhnya sangat tertarik oleh gerakan-gerakan kedua nona itu. Kini setelah nendengar teriakan Hong Ing, ia segera meloncat ke tengah-tengah pertempuran dan menggunakan kedua tangannya bergerak-gerak di antara sinar pedang, lalu secepat kilat menahan dua tangan yang memegang pedang dari kedua lawan itu. Kedua nona dari Shoatang itu merasa tangan mereka tergetar dan alangkah terkejut mereka ketika diketahuinya pedang mereka telah pindah ke tangan pemuda itu di kanan kiri! Haa Liong memandang kedua nona itu dengan tajam dan bertanya dengan suara sungguh-sungguh.

"Adakah pertalian kalian dengan Lie Kiam si Angin Ribut?" Gadis yang lebih muda itu menjawab sengit.

"Apa perlunya kau tanya-tanya tentang supek kami?"

"Aha! Kalau begitu kalian adalah murid Bhok Kiam Eng si Garuda Putih? Hm, bagus, kalau aku ceritakan kepadanya akan kelakuanmu hari ini, kalian pasti akan kena marah!"

"He, siapakah kau? Dan apa maksudmu berkata begitu?" tanya gadis yang lebih tua.

"Lupakah kau akan ajaran suhumu? Bukankah suhumu sudah pesankan, bahwa kalian tidak boleh mencari-cari musuh jika tidak diserang orang? Mengapa kalian begitu berani dan sembarangan turun tangan karena urusan kecil saja, bahkan mau membunuh orang?"

"Terangkan dulu siapa kau, sebelum memberi nasehat kepada kami," kembali gadis yang lebih muda berkata dengan suara pedas.

"Ketahuilah, nona-nona, gurumu itu adalah suhengku, jadi kalian harus menyebutku paman guru!" Kedua gadis itu saling pandang dengan heran, kemudian gadis yang muda dan berani itu maju setindak dan memaki,

"Orang tak tahu adat! Sembarangan saja kau mengaku-aku guru kami sebagai suhengmu! Kami belum pernah mendengar bahwa suhu mempunyai adik seperguruan semuda kau! Pula, selain suhu dan Lie Kiam supek, sukong Liok-tee-sin-mo Hong In tidak mempunyai murid lagi. Jangan kau berani membohong!" Han Liong tersenyum. Ia tidak heran bahwa kedua murid suhengnya ini belum mengenalnya. Maka dengan masih tersenyum ia berkata,

"Hm, kalian tidak percaya? Ternyata selain berkepala batu, kalian juga kurang rajin mempelajari ilmu silatmu. Gerakanmu ketika menyerang dengan tipu Garuda Menyambar dari Pohon tadi kurang baik, seharusnya kau bertindak maju dengan berdiri di atas ujung kaki, karena bukankah gerakan itu mengutamakan keringanan tubuh dan kegesitan? Juga encimu tadi ketika menangkis dengan tipu Angin Barat Meniup Daun masih kurang sempurna, seharusnya kaki kiri ditekuk sedikit ke dalam agar mudah untuk diganti gerakan selanjutnya ialah tipu Angin Ribut Mengamuk untuk membalas menyerang!" Mendengar pemuda itu menerangkan semua tipu-tipu silat warisan mereka itu, kedua nona tadi agak heran. Han Liong melihat bahwa mereka masih saja kurang percaya, maka ia segera melemparkan dua pedang ke atas lalu menyambut meluncurnya pedang itu dengan memegang ujungnya. Kemudian ia menyerahkan pedang itu kembali kepada pemiliknya sambil berkata,

"Nah, kalau kalian masih tidak percaya, cobalah serang aku serentak. Aku akan menggunakan kegesitan tubuh menurut tipu-tipu ajaran gurumu untuk berkelit." Karena masih belum percaya dan penasaran karena pedang mereka tadi dirampas, Shoatang Ji-Lihiap maju bersama melakukan serangan!

"Bagus tipu Ular Melintas Sungai dan Harimau Menyabet Dengan Ekornya ini!" Han Liong berseru menyebut tipu-tipu mereka, lalu ia menggerakkan tubuhnya. Kedua nona itu melihat tubuh pemuda itu berkelebat di antara sambaran pedang mereka dan tahu-tahu pemuda itu lenyap dari penglihatan mereka. Mereka membalikkan tubuh dan ternyata Han Liong sudah berdiri di situ sambil tersenyum!

"Kenalkah kalian gerakanku tadi? Itu adalah lompatan Naga Sakti Mengejar Mustika, tentu kalian kenal, bukan? Nah, ayoh, jangan tertegun seranglah lagi!" Kedua kakak beradik itu menyerang dengan lebih hebat, tapi Han Liong dapat berkelit menggunakan kegesitan tubuhnya, sambil berkelit ia sebut tiap tipu kedua nona itu dan sekalian memperkenalkan gerakannya sendiri. Setelah kedua nona itu menyerang sepuluh jurus, maka heranlah mereka. Pemuda itu ternyata dapat menyebut tipu-tipu mereka dengan tepat dan gerakannya ketika berkelitpun adalah gerakan tipu silat guru mereka, namun ternyata pemuda itu jauh lebih gesit dan ringan badannya daripada guru mereka sendiri! Si enci dengan segera menjatuhkan diri berlutut,

"Susiok, ampunkanlah teecu yang berlaku kurang hormat karena tidak tahu." Si adik yang ternyata sifatnya memang angker dan keras, setelah berdiri ragu-ragu dan setelah encinya membelalakkan matanya, akhirnya ia berlutut juga dan menyebut,

"Susiok!" Han Liong tertawa dan menyuruh mereka bangun.

"Tidak apa, nona berdua bukannya sengaja melawan paman guru. Memang kalau tidak bertempur kita tidak akan berkenalan. Hanya pesanku, janganlah terlalu mudah mencari perselisihan dengan orang, karena hal itu hanya akan menimbulkan keributan yang tak perlu saja." Kemudian Han Liong memperkenalkan Hong Ing dengan kedua nona itu, yang ternyata bernama Bwee Lan dan Bwee Hwa.

"Kailan begitu tersesa-gesa, sebenarnya ada urusan apakah?" kemudian Han Liong bertanya. Bwee Lan berkata dengan sedih.

"Susiok, sebenarnya karena kami sedang menghadapi urusan hebat, maka berlaku sembrono dan adikku karena bingung dan sedih menjadi mudah naik darah. Teecu berdua sedang menuju ke kota Tong Hai mencari suhu untuk memohon pertolongannya."

"Ada apakah?" tanya Han Liong penuh perhatian.

"Celaka, susiok. Supek Lie Kiam telah dilukai orang dan puteranya yang baru berusia lima tahun diculik penjahat. Sampai di sini ia menangis, kemudian setelah reda lagi tangisnya, Bwee Lan menyambung ceritanya,

"Penjahat yang menculik itu memberi waktu sampai malam hari ini, jika tidak ada orang datang membawa uang tebusan lima ribu tali perak, maka anak supek itu akan dibunuh!"

"Berapa jauhkah tempat kediaman penculik itu?" tanya Han Liong.

"Ia berdiam di bukit Lui-san, kira-kira perjalanan setengah hari dari sini bila naik kuda cepat. Teecu khawatir terlambat."

"Hm, kalau begitu, biarlah aku mewakili suhumu dan mari kita segera berangkat saja menuju ke Lui san."

"Tapi... susiok," kata Bwee Hwa yang sejak tadi diam saja,

"Penculik itu adalah Ban Hok si Harimau Hitam. Ilmunya sangat tinggi, sedangkan supek sendiri terluka olehnya dalam pertempuran!" Dengan kata lain, Bwee Hwa sebenarnya merasa sangsi apakah susioknya yang muda itu akan dapat melawan Ban Hok.

"Dan lagi, uang tebusannya sangat banyak..."

"Jadi kalian ini pergi mencari Bhok suheng untuk minta diusahakan uang tebusan?" Kedua nona itu mengangguk.

"Apakah Bhok suheng itu orang kaya dan banyak uang?" Dua murid keponakannya iu menggeleng-geleng kepala.

"Habis, darimana suhu kalian bisa memperoleh uang itu?" tanya Han Liong pula.

"Maksud teecu hanya minta nasehat dan pikiran suhu, karena siapa lagi yang harus kami tangisi dan siapa lagi dapat menolong supek dan puteranya," jawab Bwee Lan.

"Nah. kalau begitu sama saja halnya. Suhumu tidak punya uang, sedangkan aku sendiri, terus terang saja juga tidak punya uang sedemikian banyak. Tapi mungkin dapat kuusahakan untuk menolong putera suheng Lie Kiam itu. Dan, kalau kita harus mencari Bhok suheng dulu, dikhawatirkan kita akan terlambat untuk menolong jiwa anak itu."

Bwee Lan dan adiknya tak dapat membantah legi, maka mereka segera berangkat membalapkan kudanya. Di sepanjang jalan, ternyata Bwee Hwa yang nakal dan suka bicara itu cepat sekali dapat menjadi akrab dengan Hong Ing yang tidak kalah cerewetnya! Kedua enci adik itu sedikitpun tidak menyangka bahwa Hong Ing adalah seorang wanita, karena Han Liong memperkenalkannya sebagai adiknya laki-laki! Tapi diam-diam Bwee Lan agak jemu melihat Hong Ing yang dianggapnya seperti lelaki ceriwis! Ia juga menyesalkan mengapa Bwee Hwa demikian rapat merendengkan kudanya sambil bicara dengan gembira dan diselingi senda gurau! Sebaliknya, melihat susioknya, ia merasa segan karena pemuda itu terlampau pendiam.

Kalau saja Han Liong itu bukan susioknya, demikian pikir Bwee Lan! Terhadap seorang paman guru tentu saja ia tidak berani memperlakukan sebagai seorang kawan, karena dalam tingkatan mereka, Han Liong adalah termasuk "golongan tua!" Ketika mereka tiba di kaki bukit Lui-san hari telah mulai gelap. Bwee Lan mengajak susioknya berhenti di depan sebuah rumah sederhana di kampung Lim-cun di dekat situ, di mana tinggal supeknya yang menderita luka. Kedatangan mereka disambut oleh seorang wanita yang masih merah matanya karena kebanyakan menangis. Ketika diperkenalkan, Han Liong tahu bahwa itu adalah isteri suhengnya, maka ia segara memberi hormat. Segera mereka diantarkan memasuki kamar Lie Kiam yang tampak berbaring di atas tempat tidur dengan wajah pucat.

"Suheng, sutemu datang terlambat sehingga suheng dilukai orang." Han Liong memberi hormat sambil memandang laki-laki yang sudah setengah tua yang masih tampak gagah itu. Dengan agak payah Lie Kiam bangkit duduk, lalu memandang wajah anak muda itu dengan agak heran.

"Aku telah mendengar dari Bhok suheng bahwa suhu telah mempunyai seoang murid baru, tapi tak kusangka bahwa ia masih semuda ini," katanya perlahan.

"Siokhu dipukul orang dan putera siokhu diculik, sebenarnya ada perkara apakah?" tiba-tiba Hong Ing yang kasihan melihat keadaan Lie Kiam itu bertanya. Han Liong mengerling adiknya, tapi Lie Kiam memandangnya lalu bertanya,

"Siapakah anak ini, sute?"

"Ia adalah adikku, suheng." Lie Kiam mengangguk-angguk, kemudian hendak mulai bercerita. Tapi Han Liong cepat berkata kepada Hong Ing.


Pedang Pusaka Naga Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Adik Ing, kau lihat suheng perlu mengaso, pula, cerita ita dapat ditunda kelak, Kini yang perlu ialah menolong puteranya." Mendengar orang menyebut puteranya, Lie Kiam timbul rasa khawatir dan sedihnya, maka tiba-tiba ia batuk-batuk dan dari mulutnya keluar darah! Han Liong segera menghampiri.

"Ah, suheng, kau terluka di dalam," katanya, lalu tanpa minta permisi lagi, ia membuka baju suhengnya dan memeriksa dadanya.

"Suheng, kau terpukul dan mendapat luka dalam yang berbahaya juga, selain itu jalan darah di bawah tulang iga kanan telah terotok. Maaf, suheng, biarlah sute mencoba memulihkan jalan darah itu." Ia segera menggunakan kedua jari tangan dan telunjuknya mengurut-urut dada di bawah iga lalu menepuk punggung suhengnya. Lie Kiam yang terheran-heran kini merasa sakit di dadanya agak berkurang.

"Nah, ini dua butir obat, harap suheng makan dua kali, malam ini dan besok pagi." Ia menyerahkan dua butir pil pemberian suhunya yang paham akan ilmu obat-obatan, ialah Pauw Kim Kong.

"Eh, sute, darimana kau peroleh kepandaian mengobati ini?" tanya Lie Kiam.

"Dari suhunya yang bernama Pauw Kim Kong!" Hong Ing menyahut. Lie Kiam terheran mendengar ini. Bukankah sutenya itu murid suhunya sendiri? Tapi Han Liong segera berkata.

"Biarlah besok saja kita bicara, suheng. Riwayat sutemu ini panjang untuk diceritakan seketika juga. Yang perlu sekarang adalah urusan anakmu. Biarlah kedua nona Bwee ini mengantarkan siauwte merampasnya kembali dari tangan Ban Hok."

"Jangan, sute, ia sangat berbahaya. Kau akan mendapat celaka." Han Liong tersenyum.

"Jangan khawatir, suheng, kurasa ada jalan untuk mengalahkannya. Pula, biar siauwte mendapat celaka sekalipun, siauwte tidak akan menyesal, karena siauwte telah memenuhi kewajiban sebagai saudara seperguruan."

"Tapi adikmu ini lebih baik tinggal di sini saja dan biar Bwee Lan saja mengantarkan kau. Bwee Hwa juga jangan ikut," kata Lie Kiam pula. Han Liong mengerling ke arah Hong Ing yang tampak merengut, maka dengan ketawa ia menjawab,

"Biarlah adikku ikut, suheng, karena iapun dapat menjaga dirinya sendiri." Dengan terpaksa Lie Kiam melepaskan mereka pergi. Hanya Bwee Hwa saja yang dilarangnya pergi, karena ia tahu akan tabiat anak itu dan khawatir akan keselamatannya. Untung saja Han Liong dan dua kawannya bahwa malam itu angkasa diterangi oleh ribuan bintang sehingga mereka dapat maju dengan cepat ke tempat kediaman Ban Hok si Harimau Hitam. Terbukti menurut penuturan Bwee Lan, penculik itu tinggal dalam sebuah kelenteng tua yang telah tak terpakai lagi. Ketika mereka sampai di depan kelenteng itu, Ban Hok telah kelihatan berdiri di depan bertolak pinggang. Tubuhnya tinggi besar dan kulitnya hitam, sehingga di tempat agak gelap itu hanya tampak putih mata dan giginya ketika ia menyeringai. Han Liong maju dan tunduk menghormat dan Ban Hok segera membalasnya.

"Apakah siauwte berhadapan dengan Ban-Enghiong?" tanya Han Liong dengan sopan.

"Betul. Dan saudara ini suruhan Lie Kiam si Angin Ribut?"

"Memang siauwte mewakili Lie Kiam suheng untuk menjumpaimu dan menjemput anaknya." jawab Han Liong.

"Ha, ha! Lie Kiam ternyata berpikiran luas juga. Baik, kau boleh mengambil anak itu, ia sehat dan selamat, tapi lebih dulu serahkan uangnya padaku!" Matanya berganti-ganti memandang tiga tamunya ingin tahu segera apakah mereka ini sudah membawa uang tebusan yang dimintanya.

"Perkara uang mudah, Ban-Enghiong. Tapi cobalah kau sebutkan alasan-alasanmu menggunakan cara penculikan dan minta tebusan ini. Karena caramu ini sungguh membikin aku kecewa. Tak kusangka bahwa namamu yang besar itu tak sesuai dengan perbuatanmu. Maka kuduga pasti ada apa-apanya di belakang perbuatanmu ini."

"Hm, kau masih muda tapi pandai bicara. Kau tadi bilang bahwa Lie Kiam itu suhengmu? Baik, dengarlah alasanku mengapa aku melakukan semua ini. Lima tahun yang lalu ketika aku mencegat seorang hartawan yang lewat di daerahku dan merampok uangnya sebanyak sepuluh ribu tail perak, Lie Kiam telah turut campur dan membela hartawan itu! Kami bertempur dan Lie Kiam telah memukulku sehingga aku hampir mati. Nah, aku lalu belajar silat lagi dan sekarang aku menagih hutang. Apakah ini perbuatan salah? Hutang uang membayar uang, hutang pukulan membalas pukulan, bukankah ini sudah adil namanya?"

"Hm, begitukah? Tapi kenapa kau masih menculik anaknya? Bukankah itu perbuatan rendah?" ujar Han Liong.

"Penculikan ini hanya untuk menagih uangku yang dulu. Lie Kiam telah merugikan aku sepuluh ribu tail, kini aku hanya minta lima ribu, ini masih murah sekali. Sudahlah, jangan banyak cakap, segera bayar uang itu dan anak Lie Kiam akan kuserahkan padamu."

"Tuan Ban! Kau telah menggunakan kepandaianmu untuk menjatuhkan suhengku dan menculik anaknya, maka bagaimana kalau sekarang suheng menggunakan kepandaian pula untuk mengalahkan kau dan minta kembali anaknya?"

"Boleh, boleh! Kalau ia masih tidak mau mengaku kalah dan ingin mengadu kepandaian, silahkan! Kalau aku salah, biarlah aku bersumpah takkan mengganggunya lagi dan anaknya akan kukembalikan dengan selamat."

"Bagaimana kalau adik seperguruannya mewakilinya berhadapan dengan kau dan mengadu tenaga?"

"Ha, ha! Sedangkan suhengmu saja tak mampu melawanku, apa lagi sutenya? Silahkan, siapakah yang akan mewakilinya melawan aku?" tanyanya sombong.

"Aku sendiri."

"Kau??" sepasang mata Ban Hok memandang Han Liong dengan tajam seakan-akan menaksir anak muda itu, tapi Han Liong hanya merupakan seorang pemuda yang halus kulitnya dan halus pula gerak-gerik serta tutur sapanya, maka ia sangat mengganggap enteng.

"Baik, datanglah besok pagi, kita mengukur kepandaian di waktu terang hari di depan kelenteng ini."

"Baik, tuan Ban, aku percaya bicaramu. Nah, sampai besok!" Walaupun Hong Ing dan Bwee Lan tidak setuju dengan perjanjian ini, namun Han Liong segera mengajak mereka pergi. Di tengah jalan Han Liong menerangkan kepada mereka bahwa sebagai seorang yang mengerti aturan, ia harus menerima permintaan Ban Hok untuk bertempur besok karena malam itu terlampau gelap untuk orang mengadu kepandaian secara jujur. Sesampainya di rumah Lie Kiam, ternyata suhengnya sedang tidur nyenyak.

"Setelah menelan sebutir pil, ia nampak agak lumayan dan dapat tidar enak" kata isterinya kepada Han Liong dengan pandangan berterima kasih. Maka Han Liong lalu beristirahat pula dalam sebuah kamar yang telah disediakan. Hong Ing pun pergi tidur dalam kamar lain. Ia mendapat kamar sendiri karena ia lebih dulu memajukan alasan bahwa ia tidak bisa tidur sekamar dengan lain orang, walaupun dengan kakaknya sendiri! Keesokan harinya, Han Liong mengajak Hong Ing berangkat. Kedua nona Bwee yang akan ikut, dilarang oleh Han Liong dengan alasan bahwa Ban Hok mungkin akan menganggap ia mengandalkan banyak orang untuk mengeroyok. Dengan cepat mereka tiba di kelenteng tua itu I Betul saja Ban Hok telah menanti kedatangan mereka. Kini mereka dapat melihat orang she Ban itu lebih nyata.

Ternyata ia adalah seorang berusia kira-kira empat puluh tahun, berkulit hitam dengan sepasang mata tajam. Kedua lengan tangannya yang hitam itu berkilap seakan-akan digosok minyak. Diam-diam Han Liong terkejut karena ia dapat menduga bahwa Harimau Hitam itu tentu seorang ahli tangan pasir, ialah ahli silat yang melatih tangannya dengan pasir dan bubuk besi hingga kedua lengan itu menjadi sangat berbahaya dan kuat. Pula tindakan kakinya ketika ia maju melangkah membayangkan sebuah tenaga Iweekang yang tinggi karena tindakan kakinya tetap dan berdirinya seakan-akan kedua kakinya berakar! Han Liong segera memberi hormat yang dibalas oleh Ban Hok. Sebaliknya Harimau Hitam ini diam-diam tidak berani memandang ringan kepada Han Liong ketika ia lihat betapa sepasang sinar mata pemuda itu menyambar-nyambar bagaikan sapasang mata seekor naga sakti!

"Anak muda, betulkah kau hendak mewakili suhengmu melawan aku!" tanyanya.

"Akan kucoba." jawab Han Liong.

"Dengan cara apa kau hendak melawanku? Tangan kosong atau bersenjata?"

"Kaulah yang berhak memilih, tuan Ban, karena kaulah tuan rumahnya. Aku sebagai tamu hanya menurut saja," kata Han Liong.

"Hm, kau masih muda, tapi tahu aturan. Siapakah namamu dan apa gelarmu?" tanya Ban Hok.

"Aku yang bodoh she Si bernama Han Liong, orang-orang kampung menyebut aku dan adikku ini Thian-jiauw-siang hiap."

"Eh, jadi adikmu ini juga ahli silat?" tanya Ban Hok dengan pandangan kagum.

"Kalau begitu, begini saja, anak muda. Jangan sampai kalangan kang-ouw menyebut aku sebagai orang tua hendak menghina yang muda. Karena suhengmn sendiri tak dapat melawan aku, maka keterlaluanlah kalau aku melawan kau yang menjadi sutenya. Baiknya kau majulah bersama-sama dengan adikmu ini, agar keadaan kita agak berimbang. Nah, marilah kita coba-coba, kepandaian kita, majulah kalian bersama-sama, kita bertempur dengan tangan kosong." Han Liong ragu-ragu, tapi Hong Ing yang merasa gemas melihat kesombongan orang yang memandang rendah mereka, berkata,

"Koko, biarlah aku maju dulu minta pengajaran dari Ban lo-Enghiong ini." Sebelum Han Liong sempat menjawabnya, Hong Ing sudah maju selangkah, memasang kuda-kuda dan berkata kepada Ban Hok.

"Nah, marilah aku yang muda minta pelajaran barang lima jurus darimu, lo Enghiong!" Sikap yang lucu dan berani dari Hong Ing ini nembuat Ban Hok tertawa lebar, kemudian melompat mendekati dan berkata,

"Baik, baik, seranglah, anak muda!" Hong Ing tanpa membuang tempo lagi, segera menggeser kakinya maju dan secepat kilat melayangkan kepalan kanannya memukul dada lawan dengan tipu Dewa Suguhkan Arak, Ban Hok yang memandang rendah lawannya, melihat datangnya pukulan yang cepat ini segera miringkan tubuh dan menggunakan telapak tangan kiri untuk memukul lengan lawan.

Tapi Hong Ing awas matanya dan cepat gerakannya. Sebelum tangannya terpukul ia robah gerakannya, menarik kembali kepalan tangan dan meloncat ke sebelah kanan musuh lalu melayangkan kepalan kiri dengan tipu Burung Kepinis Mematuk buah. Gerakannya yang sebat dan cepat sekali ini tidak terduga sedikit juga oleh Ban Hok sehingga hanya dengan melompat jungkir balik ke belakang saja, ia dapat menyelamatkan diri dari pukulan. Ia mulai hati-hati dan tidak berani memandang ringan lawannya yang kecil dan muda itu! Hong Ing terus mendesak maju dengan mengeluarkan tipu-tipu yang istimewa dari cabang Siauw-lim. Dikeluarkannya tipu-tipu silat yang berbahaya dan sepasang kepalan tangannya yang kecil meninju tempat-tempat berbahaya dari lawan.

Ban Hok tadinya hanya ingin mempermainkan lawannya saja, tapi melihat bahwa lawan kecil ini sedikitpun tak boleh dipandang ringan, maka ia merasa panas lalu mulai balas menyerang. Ternyata setelah bertempur lebih dari lima belas jurus, pukulan-pukulan silat biasa saja tak dapat mendesak Hong Ing. Ban Hok merasa malu sekali, lalu mulai mengeluarkan kepandaiannya yang ditakuti lawan, yaitu pukulan-pukulan tangan pasir. Ketika ia gerakkan kedua lengannya, terdengar suara berderak-derak dan kulit lengan yang sudah hitam itu kini bertambah-tambah hitam bersemu merah. Pukulannya berat dan mendatangkan angin dingin. Hong Ing sangat terkejut ketika ia berbalik ke samping mengelak, ternyata angin pukulan lawannya itu menyambar dan merasa pundaknya tertimpa tenaga kuat! Ia berhati-hati dan tidak mau menangkis lengan lawannya, tapi karena desakan-desakan Ban Hok yang gerakannya juga gesit sekali,

Hampir tiada ketika baginya untuk selalu mengelak saja. Han Liong melihat dengan khawatir. Ia maklum bahwa Jika Hong Ing menggunakan lengan untuk menangkis, maka sekali saja lengannya beradu dengan lengan lawan, dapat dipastikan ia akan mendapat luka berat, kalau tidak, patah lengannya! Maka pada saat Ban Hok melayangkan pukulan mautnya segera ia gerakkan tubuhnya untuk menangkis dengan tangannya karena Hong Ing sudah terdesak betul-betul sehingga itulah jalan satu-satunya, Han Liong menyambar tangan Hong Ing dan merenggutkannya. Gadis itu merasakan tubuhnya melayang ke atas bagaikan tertiup angin puyuh, tapi ia dapat turun ke tanah dengan selamat. Hampir saja gadis itu menegur kakaknya dengan marah, tapi ia sempat melihat Han Liong berkedip padanya dan Ban Hok berdiri sambil tertawa.

"Bagus sekali gerakanmu. Angin Puyuh Menyambar Pohon itu! Syukur adikmu tertolong oleh gerakanmu yang cepat dan tangkas!" ia memuji. Han Liong menjura.

"Adikku mengaku kalah, lo-Enghiong. Kini siauwte mohon pengajaranmu. Tapi sebelum kita bertanding ilmu silat, bagaimanakan perjanjian kita?"

"Haruskah dijelaskan lagi? Kalau kau kalah, maka kau harus penuhi permintaanku yaitu sediakan uang lima ribu tail perak untuk menebus anak Lie Kiam, sebaliknya kalau aku sampai kalah, kau boleh ambil kembali anak itu dan habis perkara!"

"Terima kasih, lo-Enghiong. Nah, silahkan!"

"Kaulah yang menyerang dulu, anak muda!"

Han Liong segera menggunakan tangan kanannya menyerang dengan gerakan sembarangan saja, tapi hal ini tidak membuat Ban Hok berlaku kurang waspada, karena orang gagah ini maklum bahwa kalau adiknya saja sudah demikian pandai, kakaknya tentu lebih pandai lagi. Maka, tanpa pikir panjang lagi ia menggunakan ilmu tangan pasir untuk melayani Han Liong. Pemuda ini sengaja tidak menangkis atau balas menyerang, tapi pergunakan seluruh kegesitan tubuhnya, warisan dari Liok-tee-sin-mo Hong In, untuk berkelit kesana kemari. Ban Hok diam-diam memuji ilmu meringankan tubuh anak muda itu yang bagaikan seekor burung kecil berkelebat ke sana ke mari menghindarkan segala serangannya. Tiga puluh jurus telah lewat tanpa ia mampu menowel ujung baju pemuda itu, hingga ia merasa sangat kesal dan berteriak,

"He, jangan licik! Tak beranikah kau menyambut tanganku?"

"Maaf, sekarang akan kusambut. Bersiaplah!" seru Han Liong dan ketika si Harimau Hitam kerahkan seluruh tenaga dalamnya di sepanjang lengan dan tangan kanannya sambil melayangkan pukulan ke arah dada Han Liong, anak muda itu mengerahkan seluruh kekuatannya dan gunakan tangan kiri dengan kepalan terbuka menumbuk kepalan lawan! Terdengar suara "buk" seakan-akan dua benda lunak tapi berat beradu! Han Liong yang sedang memasang kuda-kudanya merasa tergetar dan terpaksa menggerakkan kaki kirinya mundur setindak, tapi kesudahannya sungguh hebat di fihak Ban Hok.

Ia terpental ke belakang seolah-olah terdorong oleh tenaga yang luar biasa besarnya sehingga terhuyung-huyung dan hampir saja jatuh terjengkang setelah mundur lebih dari enam langkah! Baiknya Han Liong tidak hendak mencelakakannya dan hanya gunakan tenaga keras lawan keras untuk memunahkan tenaga lawan. Sesungguhnya dalam hal lweekang, anak muda itu jauh lebih tinggi tingkatnya daripada Ban Hok. Kalau saja Han Liong dalam pertumbukan tenaga itu mempergunakan lweekang lemas untuk membuat tenaga Ban Hok mental balik, akan celakalah Harimau Hitam itu. Pasti ia akan terpukul oleh tenaganya sendiri dan ia akan mendapat luka dalam yang dapat membuat jantungnya putus! Setelah Ban Hok dapat tetapkan kakinya, ia menghampiri anak muda itu dengan pandangan heran dan kagum.

Cari Blog Ini