Ceritasilat Novel Online

Pedang Pusaka Naga Putih 9


Pedang Pusaka Naga Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 9




Surat-surat rencana pemberontakan Co Thaikam juga diserahkan Kepada Un Kiong untuk diberikan dan disimpan selanjutnya di tangan Tan Cianbu sebagai bukti dan nanti pada saatnya diperlihatkan kepada kaisar. Mereka mengatur rencana untuk menyerbu istana putih pada malam hari, dan tugas-tugas telah dibagi-bagi. Pada malam hari kedua, belum juga Un Kiong meninggalkan tempat itu. Ia agaknya tiada sampai hati untuk meninggalkan tempat itu dan ia tampak banyak mengobrol dengan Hong Ing. Kedua teruna remaja ini nampak demikian rukun dan mesra sehingga diam-diam Kouw Sin Ek, Han Liong dan Pauw Lian dapat menduga apa yang terkandung dalam hati Hong Ing dan Un Kiong. Ketika Khouw Sin Ek hendak meninggalkan Gunung Beng-san dan kembali ke tempatnya sendiri, ia memanggil muridnya itu dan dengan wajah berseri-seri ia berkata,

"Un Kiong, agaknya sudah tiba masanya kau mengikat janji dengan seorang wanita untuk sehidup semati!."

"Eh. ah, apa maksud suhu?" pemuda itu terbelalak heran.

"Kau selalu pandai bersandiwara, muridku. Kau kira aku yang sudah mengenalmu luar dalam ini tak mengerti akan sikapmu terhadap nona Hong Ing?" Disebutnya nama ini membuat wajah Un Kiong tiba-tiba saja menjadi merah dan ia terpaksa menundukkan mukanya karena rahasianya telah diterka oleh gurunya sendiri.

"Bagaimana kalau aku memberitahu pada ayahmu dan juga menanyakan pendapat Si Bengcu? Karena dia inilah yang berhak memutuskan nasib adiknya." Terpaksa Un Kiong hanya mengangguk perlahan,

"Terserah kepada suhu sajalah." Dan gurunya tertawa terbahak-bahak. Sementara itu, Hong Ing yang hendak membuktikan ancamannya untuk membalas godaan Han Liong ketika ia membela Un Kiong dulu itu, sedang menjalankan rencananya. Ia tampak bicara berdua dengan Han Liong di pekarangan belakang.

"Han-ko, aku kagum sekali melihat kepandaian cici Pauw Lian. Kurasa mencari seorang gadis sepandai dia itu di atas dunia ini sukar didapat keduanya" Hong Ing mulai dengan muslihatnya. Karena gadis itu bicara dengan suara sungguh-sungguh, Han Liong mengangguk membenarkan.

"Memang, kepandaian ilmu pedang Pauw sumoi sudah mencapai tingkat tinggi. Lebih-lebih gin-kangnya, ia sudah boleh dibilang mendekati kesempurnaan."

"Selain kepandaiannya yang sangat lihai, iapun berbudi halus dan baik hati sekali."

"Hm, hal ini aku tak tahu benar," jawab Han Liong sederhana, tapi diam-diam dalam hatinya mempertimbangkan ucapan Hong Ing ini.

"Ya, ia memang seorang gadis yang baik dan sukar dicari bandingnya. Pula, ia cantik jelita." Han Liong mengerling ke arah adiknya karena dalam suara gadis itu ia menangkap sesuatu yang tak wajar yang menjadi tanda tanya. Hendak kemanakah tujuannya Hong Ing dengan ucapannya itu, pikirnya. Tapi ia tidak menjawab.

"Ci-ci Pauw Lian cantik jelita, berhati baik, berkepandaian tinggi, benar-benar seorang siocia yang patut dikagumi, bukankah demikian, koko?"

"Hm, barangkali... ya mungkin benar kata-katamu itu. Ia patut dikagumi," jawabnya perlahan.

"Dan... dan pantas pula dicinta, bukan, koko?" Tiba-tiba Han Liong menatap wajahnya. Ah, kesanakah arah tujuannya?

"Adik Ing, apa hubungannya keadaan Pauw sumoi dengan aku? Apa maksudmu menceritakan kesemuanya itu padaku? Ia boleh jadi cantik, pandai, tapi hal itu tiada sangkut-pautnya dengan aku." Han Liong lalu memalingkan mukanya karena ia tidak mau menjadi korban godaan Hong Ing lebih lanjut. Hong Ing masih memuji-muji kecantikan Pauw Lian, dan memancing-mancing agar Han Liong mau membuka "rahasia hatinya", supaya ia mendapat giliran untuk menggodanya, tapi Han Liong yang sudah maklum akan maksud adiknya yang nakal ini pura-pura tak mendengarnya dan sikapnya dingin saja seakan-akan ia betul-betul tidak memperdulikan sedikit jua akan hal Pauw Lian yang dipuji-pujinya itu. Sikapnya ini membuat Hong Ing kewalahan dan ia mulai putar-putar otak mencari siasat baru.
"Tapi Han-ko." Demikian gadis yang cerdik ini merobah siasatnya,

"Ada sebuah hal pada diri cici Pauw Lian yang membuat hatiku tidak puas, bahkan selalu terasa di hatiku. Dan hampir-hampir aku benci kalau mengenangkan hal ini." Hong Ing telah dapat mengatur suaranya demikian rupa hingga mau tak mau Han Liong merasa tertarik. Tak terasa lagi pemuda ini cepat-cepat bertanya.

"Apa? Apakah Cacatnya maka kau merasa penasaran?" Suaranya mengandung keinginan tahu besar sekali hingga diam-diam Honi Ing hatinya merasa geli. Baru dicela sedikit saja Han Liong sudah bingung tak karuan!

"Cacatnya ialah kesombongannya. Agaknya kecantikan dan kepandaiannya membuat ia sombong dan tak tahu diri!"

"Hm, benarkah begitu?" Han Liong masih ragu-ragu akan kebenaran kata-kata adiknya ini.

"Ah, tentu kau tak mau percaya, koko, karena kau sudah... anggap dia seorang dewi yang tiada Cacat!" selanya lagi.

"Eh, eh, jangan main-main, adik Ing. Sebenarnya, mengapa kau katakan dia sombong dan tak tahu diri?"

"Tidak, ah. Kau nanti marah." Han Liong makin bernafsu, ingin tahu.

"Aku berjanji takkan marah."

"Kau berjanji? Bagus kalau begitu. Nah, tahukah kau apa katanya padaku setelah kau dan menyerbu menyerbu barisan Ngo-heng-tin fa bilang bahwa jika ia maju seorang diri menggunakan Ouw-liong Pokiamnya, tentu dengan mudah ia dapat memukul pecah barisan itu, tapi karena ada kau, maka ia menjadi canggung, karena gerakannya kacau oleh permainmu!" Han Liong tiba-tiba mengerutkan keningnya.

"Betul dia berkata begitu"" suaranya mengandung ketidakpercayaan.

"Kau tidak percaya bukan? Biarlah, masa bodoh kau mau percaya atau tidak, tapi tahukah kau apa jawabnya ketika kutanya apakah dia telah bertunangan? Ia jawab bahwa agaknya ia takkan kawin selama hidupnya karena ia telah bersumpah bahwa ia hanya mau kawin dengan seorang pemuda yang dapat mengalahkan Ilmu pedangnya! Yang membuat hatiku lebih panas lagi ialah ketika kukatakan padanya bahwa ilmu pedangmu juga lihai dan tinggi, tapi la menjawab dengan suara dingin bahwa biarpun Pek-liong Pokiam juga sebuah pedang pusaka yang baik dan setara dengan pedangnya, namun ilmu pedangmu hanya indah dilihat saja, tapi isinya kurang dan masih kalah jauh jika dibandingkan dengan Ouw-liong Kiamsut!" Hio Liong merasa mukanya panas dan ia tidak tahu bahwa kulit mukanya menjadi merah, tanda bahwa hatinya telah berubah menjadi kayu kering yang dimakan oleh api yang dilepas Hong Ing. Tapi ia masih dapat menekan perasaan dan penasarannya, dan mencoba membantah keterangan adiknya ini dengan jawaban.

"Benar-benarkah ia berkata begitu?" Hong Ing menghela nafas panjang.

"Ah, sudahlah. Kau mana mau percaya! Rupanya kau telah jatuh hati betul-betul padanya! Agaknya kau takkan percaya juga jika kukatakan bahwa cici Pauw Lian telah mengundang kau untuk mencoba ilmu pedang di sini pada malam ini jam dua belas tengah malam nanti?" Han Liong lompat berdiri.

"Apa katamu?" Hong Ing juga lompat berdiri dan bertolak pinggang.

"Kataku, nanti jam dua belas tengah malam, cici Pauw Lian akan datang di sini antuk mencoba ilmu pedangmu, yakni kalau kau berani!"

"Kalau aku berani?" jawab Han Liong marah.

"Mengapa aku takkan berani? Tapi, benar-benarkah demikian besar hasrat Pauw sumoi itu?"

"Buktikan saja malam ini. Tapi jangan lupa, kau harus pakai kedok sapu tangan."

"Eh, ada apa lagi ini? Harus pakai kedok? Mengapa?"

"Begitulah kehendak Pauw ciei! Dia sendiri juga pakai kedok, agaknya ia malu bertemu muka denganmu tanpa kedok!" Habis berkata begini, Hong Ing pergi, tak perduli akan panggilan Han Liong yang masih hendak bertanya. Pemuda ini merasa heran sekali. Benar-benarkah semua keterangan Hong Ing tadi? Mustahil Pauw Lian demikian sombong! Tapi, biar demikian Hong Ing tak pernah membohong, sekalipun ia amat nakal. Ah, biarlah, ia akan menanti sampai tiba saatnya tengah malam! Hong Ing langsung menuju ke kamar Pauw Lian yang memang mendapat kamar bersama-sama dia. Pauw Lian sedang duduk seorang diri membereskan rambutnya yang hitam dan panjang itu. Hong Ing tak berkata sesuatu, hanya dengan muka asam terus saja membanting diri di atas pembaringan dan rebah telentang.

"Ea, kau kenapa, Ing moi! Kenapa mukamu merah padam seperti orang marah? Apakah kau ribut mulut dengan Tan Kongcu?" Hong Ing gigit bibirnya karena datang-datang ia diganggu oleh Pauw Lian yang jenaka. Awas, pikirnya. Awas pembalasanku!

"Memang aku baru saja ribut mulut. Tapi bukan dengan pemuda she Tan itu, dan aku bertengkar karena membelamu, cici. Sebaliknya yang dibela tidak mengerti, bahkan datang-datang menggoda, Ah, memang dunia ini tidak adil!" Pauw Lian mendekati dan memegang lengannya.

"Kau membelaku sampai bertengkar dengan orang lain? Ah, maaf, adikku yang manis. Kenapa kau bertengkar dan dengan siapa?"

"Ah, aku tak berani memberi tahu, takut kau akan menjadi marah." Tentu saja kata-kata ini membuat Pauw Lian makin ingin tahu dan ia mendesak.

"Aku takkan marah, adik Ing, katakanlah."

"Aku bertengkar dengan Han-ko karena dia mencelamu!"

"Sie suheng? Dia mencelaku? Biarlah, itu hal yang lumrah, mengapa kau harus membelaku?"

"Hm, hm, rupa-rupanya ada apa-apa dalam dadamu, cici, hingga kau menerima saja dicela dan dipandang ringan olehnya, sedangkan aku yang mendengarnya saja menjadi panas hati."

"Tapi... benar benarkah Sie suheng mencela dan memandang ringan padaku? Agaknya... ha! Itu tak boleh jadi. Tak mungkin dia berwatak demikian."

"Nah, nah, itulah kalau orang sudah tertawan! Kau baru saja bertemu padanya, sedangkan aku sudah bertahun-tahun kumpul dengannya, siapakah yang tidak tahu akan wataknya?"

"Ya sudahlah, kau yang benar. Tapi ia mencela dalam hal apakah?"

"Ia mencela ilmu pedangmu! Ia katakan bahwa ilmu pedangmu masih mentah dan lemah dan bahwa hanya di luarnya saja tampak bagus dipandang, tapi kalau dipakai bertempur tidak berarti banyak! Tentu oaja hal ini kubantah karena aku tak senang melihat kesombongannya, tapi kalau kau tidak percaya dan masih penasaran, malam ini jam dua belas tengah malam nanti, ia menanti di dalam kebun belakang untuk mencoba dan mengukur Ilmu Pedang Ouw-liong Kiam-sut!"

Siapa orangnya yang takkan merasa panas hati mendengar kata-kata yang membakar yang keluar dari mulut kecil mungil dengan bibirnya yang manis dan wajah yang bersungguh-sungguh itu? Pauw Lian biarpun orangnya jenaka dan cukup mendapat didikan ilmu batin dari gurunya, namun pada hakekatnya ia memang mudah juga menjadi marah seperti Hong Ing, mana ia dapat menahan hatinya? Warna merah mulai menjalar di kulit muka sampai ke telinganya. Kepalanya yang cantik bergerak-gerak hingga sepasang anting-anting di kedua telinganya berbunyi kelentang-kelenting. Melihat sinar mata yang berapi itu terkejutlah hati Hong In dan ia merasa telah membakar terlampau panas. Segera ia berkata.

"Tapi, cici jangan marah kepada Han-ko. Sebenarnya dia bilang demikian itu karena sedang bertengkar denganku, hingga karena marah ia lalu bicara demikian. Tentu saja dia tidak sengaja bermaksud memandang rendah padamu. Tapi aku ada jalan yang baik, Cici. Bagaimana kalau kau layani dia dengan pakai kedok saputangan? Kau tak usah banyak cakap, begitu datang berhadapan terus saja menggunakan pedangmu, agar dia bisa membuktikan, sampai di mana kelihaianmu. Kita kaum wanita janganlah mudah dipandang ringan oleh pria, cici! Tak perlu kita harus kalah terhadap pria, biar pria itu setampan dan segagah Han-ko sekalipun!" Karena pandainya Hong Ing membujuk dan membakar hati, maka tak heran bila pada waktu Han Liong dengan hati penasaran menunggu di dalam kebun, tiba-tiba tampak berkelebat bayangan hitam dan sinar hitam dari Ouw-liong Pokiam menyambarnya diikuti bentakan.

"Rasakan tajamnya Ouw-liong Pokiam!" Baiknya Han Liong sudah siap dan waspada, maka cepat ia berkelit dan mencabut Pek-Liong Pokiam. Ia melihat bahwa penyerangnya adalah seorang gadis berkedok saputangan merah dan ia maklum siapakah gadis ini. Sebaiknya Pauw Lian melihat bahwa Han Liong juga memakai kedok saputangan kuning hingga ia kini percaya apa yang diucapkan Hong Ing tadi.

"Sumoi, tahan! Kenapa kau begini keterlaluan?" Kalau tadi hati Pauw Lian sudah terbakar, kini makin berkobar mendengar dirinya disebut keterlaluan!

"Kau yang sombong. Kau kira Pek-liong Pokiam-mu yang tertajam di dunia ini?" Kembali ia menyerang, kini dengan hebat karena ia memakai gerakan Ouw-liong-pok-sai atau Naga Hitam Sambar Air. Pedang hitamnya berkelebat laksana seekor naga hitam terjun, mengerikan. Dalam keheranan dan penasarannya, Han Liong menangkis serangan itu dengan gerakan Pek-liong-hian-bwee atau Naga Putih Perlihatkan Ekor. Demikianlah, sebentar saja mereka saling menyerang dengan hebat sehingga Hong Ing yang bersembunyi di balik pohon dan mengintai, kini menonton dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.

Hebat sekali pertarungan itu, merupakan dua sinar hitam dan putih saling belit membelit dengan gerakan cepat. Diam-diam Hong Ing merata gemetar dan hatinya berdebar. Ia mengkhawatirkan keselamatan kedua orang itu, terutama keselamatan Han Liong. Walaupun ia tak dapat mengikuti benar-benar gerakan kedua pedang naga itu, namun ia maklum bahwa pertempuran kali ini jauh lebih hebat dari pada yang sudah-sudah! Han Liong dan Pauw Lian diam-diam mengeluh. Memang kepandaian ilmu pedang mereka seimbang dan memang Ouw-liong Kiamsut sama lihainya dengan Pek-liong Kiam-sut. Hanya bedanya, Han Liong lebih tinggi ilmu lweekangnya atau tubuhnya lebih kuat sehingga tiap kali kedua pokiam beradu, Ouw-liong Pokiam-lah yang lebih banyak mengeluarkan bunga api dan lengan Pauw Lian tergetar.

Tetapi kekalahan ini dapat ditutup pula oleh kemenangan Pauw Lian dalam hal ilmu ginkang atau meringankan tubuh, sehingga ia dapat menghindarkan benturan senjata dengan mengharapkan kegesitannya. Ratusan jurus terlewat sudah dan macam-macam tipu simpanan telah dikeluarkan, namun belum juga ada yang tampak terdesak. Hong Ing sudah merasa lemas. Sejam lebih kedua orang ita beradu pedang dan Hong Ing tak berdaya apa-apa. Maksud hatinya hendak memilah tapi ia tak berani sembarangan maju. Maka diam-diam ia mulai merasa menyesal akan perbuatannya dan dengan tak disengaja dari kedua matanya mengalir air mata yang membanjiri kedua pipinya. Tiba-tiba ia merasa sebuah tangan yang kuat meraba lengannya dengan sentuhan halus dan terdengar suara beibisik.

"Cici Hong Ing kenapa menangis? Mereka tak bertempur sungguh-sungguh, jangan kau khawatir." Mendengar kata-kata ini. Hong Ing menjadi demikian girang hingga ia lupa untuk mengherankan Un Kiong yang tiba-tiba itu. Ia pegang lengan pemuda itu dengan keras.

"Benar-benarkah mereka berkelahi tidak sungguh-sungguh!" Senyum manis terbayang di wajah Un Kiong yang tampan itu.

"Mereka hanya bermain- main!" Setelah hatinya tenang kembali, barulah Hong Ing ingat betapa mesranya ia saling berpegangan lengan dengan Un Kiong. Cepat-cepat ia melepaskan tangannya dan mundur dua langkah lalu tunduk kemalu-maluan. Memang Un Kiong berkata benar. Biarpun keduanya merasa penasaran dan ingin sekali menang, namun mereka menjaga benar agar pedang mereka jangan sampai saling melukai. Pernah ujung pedang Pek-Liong Pokiam menyambar leher Pauw Lian yang halus, tapi sebelum menyentuh kulitnya, pedang itu telah dirobah gerakannya ke atas hingga sebaliknya hanya merobek kain pengikat rambut saja.

Sedangkan ketika ujung Ouw-liong Pokiam menyambar dan hampir menembus jantung dalam dada kiri Han Liong, pedang itu ditahan demikian rupa oleh Pauw Lian hingga akibatnya hanya merobek baju Han Liong di bagian bahu kiri saja. Un Kiong yang sejak tadi dengan diam-diam menonton pula, dapat melihat hal ini. Kemudian ia melihat betapa Hong Ing tiba-tiba menangis. Biarpun tadinya ia merasa malu bertemu dengan gadis itu karena kata-kata gurunya tadi, namun melihat gadis yang telah mencuri hantinya itu menangis, ia tak dapat menahan hatinya dan datang menghampiri lalu menghiburnya! Pada saat itu, tiba-tiba dari bawah Gunung Beng-san terdengar suara hiruk-pikuk dari kaki kuda dan teriakan-teriakan orang banyak. Mendadak Un Kiong melihat suhunya, Khouw Sin Ek melayang turun dari scbuah pohon dan berkata.

"Un Kiong, hati-hatilah, rombongan pahlawan kaisar dan penghuni Istana putih datang menyerbu!" Kemudian Khouw Sin Ek melompat pergi ke arah tempat bermalam para tamu. Un Kiong terkejut.

"Cepat! Suruh mereka berhenti bertempur," katanya kepada Hong Ing. Hong Ing melompat ke dekat dua gulungan sinar yang masih saling belit-membelit itu dan berteriak,

"Pauw cici! Han-ko! Berhentilah! Musuh datang menyerbu!" tapi Han Liong dan Pauw Lian tak memperdulikannya hingga Hong Ing menjadi bingung sampai membanting-bantingkan kakinya karena suara gemuruh dari bawah makin keras. Terpaksa ia lari dan menarik-narik lengan Un Kiong,

"Wan Kongcu, tolonglah, kau pisahkan mereka!"

"Mudah saja, tapi kau harus penuhi permintaanku."

"Baik-baik, lekas katakan," kata Hong Ing tak sabar.

"Yaitu, jangan kau sebut aku kongcu."

"Habis bagaimana?"

"Sebut aku koko."

"Aduh! Ya, apa boleh buat," jawab Hong Ing yang pikirnya bahwa pada saat seperti itu ia tak perlu banyak berbantah.

"Koko, lekas kau pisahkan mereka. Musuh sudah dekat!"

"Baik." Tapi sebelum Un Kiong bergerak, dari balik sebuah pohoh lain keluarlah bayangan seorang orang tua dengan gesitnya.

"Han Liong! Pauw Lian! Cukuplah main-main ini! Berhentilah kailan!" Seruan ini nyaring dan berpengaruh, hingga Han Liong dan Pauw Lian tak berani membantahnya. Mereka melompat mundur dan menyimpan pedang serta membuka kedok masing-masing.

"Maaf suhu!" kata Han Liong dan menjura kepada orang tua yang ternyata bukan lain adalah Pauw Kim Kong sendiri!

"Siokhu!" kata Pauw Lian kemalu-maluan.

"Musuh datang menyerbu, kalian enak-enak dan main-main saja!" guru dan paman itu menegur, tapi mulutnya tersenyum maklum hingga Pauw Lian makin memerah mukanya.

"Siaplah kalian semua. Tempat kita diserbu lawan. Aku hendak membuat persiapan di dalam." Dan pergilah orang tua itu. Han Liong lebih banyak memikirkan keadaan Pauw Lian dari pada keadaan musuh yang datang menyerbu. Melihat Hong Ing dan Un Kiong berdiri di situ, ia membentak adiknya.

"Ing-mol! Sakarang akuilah terus terang, semua ini adalah gara-garamu, bukan?" Hong Ing tertawa.

"Kau tidak kuat menahan godaan? Jangan marah, siapa suruh kau dulu menggodaku?" Kemudian ia menghampiri Pauw L"an dan memeluknya,

"Cici, memang aku telah membohong, Han-ko tidak pernah bilang apa-apa. Ia tidak sombong, cuma-cuma..."

"Cuma apa!" bentak Han Liong gemas.

"Cuma sekarang agak... agak galak! Jangan galak-galak, Han-ko, kau bikin takut Soso (kakak ipar) saja!"

"Ada-ada saja! Soso yang mana?" teriak Han Liong marah.

"Yang mana lagi? Tentu yang akan datang. Eh, ya sekarang aku mengaku terus terang, cici Pauw Lian tak pernah bilang apa-apa padaku!"

"Sudah kuduga, Kau pikir semua orang senakal engkau?"

"Adik Ing, kenapa kau suka menggoda orang saja?" Pauw Lian ikut menegur.

"Aduh, sekarang aku dikeroyok dua! Cici, sebenarnya aku ingin sekali lagi melihat Ilmu pedang kalian, maka aku gunakan akal ini. Juga sekalian aku hendak membalas godaan kalian padaku dulu."

"Godaan? Siapa yang menggoda?" tanya Pauw Lian yang kini hendak membalas pula,

"memang kau dan Tan Kongcu cocok benar, selalu bersama dan tampak rukun sekali. Aku bukannya menggoda sembarangan, tapi ini kenyataan." Han Liong tertawa.

"Nah, itu baru betul!" Kini Un Kiong tampil ke depan.

"Saudara Han Liong dan Pauw Siocia. Kalian menggoda Hong Ing cici boleh saja, tapi aku jangan dibawa-bawa!" Han Liong dan Pauw Lian saling pandang dan tertawa mendengar lagak dan seruan Un Kiong yang seperti kanak-kanak, karena Un Kiong yang sengaja berlagak seperti ketika ia menjadi pemuda tolol, hingga Hong Ing mendengar dan melihat lagaknya jadi teringat lagi akan Un Kiong si tolo1 dulu, maka ia tak dapat menahan gelinya.

"Karena kalian sebut-sebut namaku, terpaksa akupun hendak membalas. Hong Ing cici, aku buka rahasia mereka sekarang. Tadi mereka bertempur biar kelihatan sengit, sebenarnya mereka saling sayang menyayangi dan menjaga jangan sampai saling luka melukai!" Kini Hong Ing dan Ui Kiong yang menertawakan mereka, sedangkan Pauw Lian dan Han Liong yang terbuka rahasianya hanya menundukkan muka kemaluan.

Pada saat itu musuh telah menyerbu naik, dan di pintu gerbang yang dipasang di depan telah penuh dengan musuh yang bertemu dengan pihak tuan rumah. Han Liong mengajak kawan-kawannya menyusul ke sana. Ketika melihat rombongan yang datang itu, Un Kiong merasa terkejut sekali karena romborgan itu dipimpin oleh orang-orang kepercayaan Co Thaikam dan para pahlawan kaisar, termasuk ayahnya sendiri! Yang membuat ia heran adalah kedua golongan ini yang sekarang dapat bekerja sama. Ini sungguh hebat dan berbahaya. Melihat Un Kiong berada di situ, untuk sesaat mata Tan Cianbu memandang penuh kagum dan sayang, tapi ia segera membuang muka dan tak mau memandangnya. Tapi Kui Lan, murid Loh-san sam-moli, yang genit dan memang "Ada hati" terhadap pemuda tolol itu, segera maju menghampiri dan berkata,

"Eh, Tan Siangkong, kau berada di sini? Apa kau diculik oleh gerombolan pengacau ini? Biar, nanti aku balaskan sakit hatiumu. Mari, ikut dengan kami!" Berkata begini, Kui Lan si muka hitam itu ulurkan tangannya dengan lemah lembut untuk menarik tangan Un Kiong. Tapi ternyata ia rasakan tangan Un Kiong keras dan tak dapat disentakkan! Ia mengerahkan tenaga, namun tetap tak dapat ia menarik pemuda itu. Sementara itu, dengan hati sebal Un Kiong mengerahkan tenaganya dan berseru,

"Pergi kau!" Tangannya disentakkannya dan Kui Lan terlempar ke atas setinggi setombak lebih dan kalau tidak Biauw Niang-niang segera mengulurkan tangan menangkapnya, tentu ia akan terbanting kebawah. Semua orang yang kenai Un Kiong, kecuali ayahnya sendiri kini sudah tahu akan rahasia anaknya, merasa sangat heran melihat ketangkasan dan kepandaian pemuda tolol itu. Pauw Kim Kong, sebagai tuan rumah, melangkah maju dan menjura kepada para pemimpin rombongan sambil berkata,

"Selamat datang, cuwi Enghiong. Sungguh merupakan satu kehormatan besar sekali bahwa cuwi sudi menginjak tempat tinggalku yang buruk dan kotor ini." Rombongan itu terdiri dari dua golongan. Golongan pertama terdiri dari tiga puluh lebih pahlawan kaisar yang dipimpin oleh Tan Cianbu serta empat orang kawannya, yakni pahlawan-pahlawan pilihan yang kepandaian silatnya sama lihainya dengan Tan Cianbu. Sedangkan tiga puluh orang kawannyapun terdiri dari pahlawan-pahlawan jagoan dari Istana kaisar!

Golongan kedua tak kalah hebatnya, bahkan lebih lihai! Golongan ini yang terdiri dari orang-orang kepercayaan dan kaki tangan Co Thaikam, si pembesar kebiri yang jahat, sebagian besar terdiri dari penghuni istana putih. Golongan ini dipimpin oleh orang-orang yang begitu dilibat membuat Pan Kim Kong dan orang-orang lain yang telah mengenalnya menjadi terkejut sekali. Selain Loh-san Sam-moli si Tiga Iblis Wanita dari Loh-san di situ ada pula Kek Kong Tojin si Toya Aneh Kepala Ular, saikong yang kosen itu! Tapi ini masih belum berapa hebat karena dua orang tua yang kelihatan alim dan yang berdiri di dekat Kek Kong Tojin agaknya bukan orang-orang lemah dan Kek Kong Tojin sendiri tampak sangat hormat pada mereka. Pihak tuan rumah merasa agak cemas ketika Khouw Sin Ek maju menjura kepada Kek Kong Tojin dan dua orang tua itu sambil tertawa gelak-gelak.

"Pantas bulan menjadi suram, rupanya kalian orang-orang tua yang sakti ikut datang menengok kami!" Kemudian Sin-chiu Tai-hiap Khouw Sin Ek berpaling kepada semua kawannya.

"Saudara-saudara, jangan berlaku kurang hormat kepada ketiga tamu agung ini. Ini adalah Ngo-lian-posat Ang Gwat Niang-Niang, yang tengah ini bukan lain adalah Lo Thong Sianjin, sedangkan yang ketiga adalah Kek Kong Tojin! Mereka bertiga adalah tokoh-tokoh dan pendiri dari Ngo-lian-pai yang tersohor!"

"Ha, ha! Kiranya disini ada Khouw Lojin! Pantas Gunung Beng-san menjadi makin tinggi saja." Kek Kong Tajin balas mengejek. Sebenarnya diantara semau orang yang berada di situ, baik dari pihak penyerang dan pihak yang hendak diserang, hanya ketiga pendiri Ngo-lian-pan dan Khouw Sin Ek saja yang boleh dibilang setingkat dan menduduki tempat tertinggi. Maka kini melihat ketiga orang tua itu datang semua, diam-diam Khouw Sin Ek merasa khawatir juga. Tapi ia seorang cerdik dan banyak pengalaman, maka tidak kentara kecemasannya. Lagi pula, dengan adanya Han Liong dan Panw Lian di situ, ia mempunyai dua orang pembantu yang kiranya takkan mengecewakan.

"Khouw Toyu! Kalau telingaku yang tua tak salah dengar, kau bukanlah termasuk golongan pengacau dan pemberontak, juga kau tak pernah ikut campur urusan pemerinrahan. Maka kau bukanlah musuh kami. Karena itu. pandanglah mukaku dan tinggalkanlah gunung ini dengan damai," kota Lo Thong Sianjin.

"Ha, ha! Kau orang tua enak saja bicara. Memang aku biasanya tak suka campur urusan segala macam yang tidak penting. Tapi kalau tidak salah, kalian orang orang tua juga biasanya jarang turun gunung kalau tidak ada hal yang penting sekali. Kini aku berada di sini sebagai tamu si Malaikat Rambut Putih, maka apa yang akan terjadi kepada tuan rumah sekalian akan terjadi padaku sendiri."

"Hm, bagus! Biarlah, ikut atau tidaknya Khouw Lo-Enghiong tak menjadi soal," tiba-tiba Ang Gwat Niang-niang berkata, suaranya merdu dan nyaring.

"Pauw Kim Kong! Kau telah bersekongkol dengan pemberontak, mencuri surat-surat penting, dan bersiap hendak memberontak. Maka, untuk menebus dosamu itu, serahkan kepada kami beberapa orang pemberontak dengan damai."

"Hm, mudah sekali kau bicara. Siapa yang harus diserahkan?" tanya Pauw Kim Kong dengan suara mengejek. Ang Gwat Niang-niang memberi tanda kepada Biauw Niang-niang yang segera maju dan menunjuk dengan jarinya.

"Mereka ini!" Dan yang ditunjuknya ialah Han Liong, Hong Ing, Lie Bun Tek, Pauw Lian, Siok Houw Sianseng, dan keempat guru Han Liong!
(Lanjut ke Jilid 09 - Tamat)

Pedang Pusaka Naga Putih (Seri 04 - Serial Jago Pedang Tak Bernama)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

Jilid 09 (Tamat)
"Eh, eh, kenapa tidak kau tunjuk semua saja berikut aku juga?" terdengar Khouw Sin Ek mengejek.

"Itu lebih baik lagi, memang seharusnya semua karena tak seorangpun diantara kalian yang bukan pemberontak!" Kek Kong Tojin berseru dan tiba-tiba ia berkata.

"Ayoh tangkap, serbu!" Ia mendahului dengan toyanya memukul kepala Khouw Sin Ek. Tapi Sin-chiu Taihiap tertawa keras.

"Lie Bun Tek Enghiong dan Un Kiong, kalian lawan yang ini!" Kedua orang itu segera maju dengan senjata masing-masing, Un Kiong dengan pokiamnya dan Lie Bun Tek dengan joan-piannya. Kedua senjata segera bergerak melawan toya kepala ular yang lihai dari saikong itu. Ang Gwat Niang-niang mencabut pedang dan hudtimnya.

"Khouw Lojin pin-ni terpaksa melanggar larangan membunuh!" Kedua senjatanya mengeluarkan angin dingin ketika menyambar ke arah Khouw Sin Ek, tapi si Kapalan Dewa ini kembali berkelit dan melompat sambil berteriak. Ouw-liong dan Pek-liong, kalian tidak lekas turun tangan mau tunggu apa lagi?" Mendengar perintah lucu ini, Han Liong dan Pauw Lian mencabut pokiam mereka dan lompat ke depan menyambut serangan Ang Gwat Niang-niang yang gerakan-gerakannya luar biasa dan lihai sekali. Khouw Sin Ek segera melompat menghadapi Lo Thong Sianjin.

"Kau juga hendak turun tangan? Silakan, biar tua sama tua!" Lo Thong Sianjin yang sudah lama sekali tidak pernah berkelahi, kini melihat orang-orang bertempur segera timbul kegembiraanya. Lagi pula, ia memang sudah lama mendengar nama Sin-chiu Taihiap, maka ia yang berwatak tak mau kalah itu, ingin sekali mencoba kepandaian Khouw Sin Ek.

"Marilah pinto melayanimu barang seratus jurus," katanya dan mereka berdua lalu saling serang dengan hebat.

Sebenarnya, Lo Thong Sianjin biasa menggunakan senjata rantai, tetapi melihat Khouw Sin Ek hanya bertangan kosong, maka ia yang tak mau kalah itu tak sudi merendahkan diri melawannya dengan menggunakan senjata. Kedua jago cabang atas yang tinggi ilmunya itu dan yang pada jaman itu sudah termasuk tingkat tertinggi, berkelahi dengan luar biasa serunya sehingga debu dan pasir di dekat kaki mereka berhamburan mengepul ke atas! Memang Khouw Sia Ek sangat cerdik, ia tahu bahwa diantara ketiga tokoh Ngo-lian-pai itu, yang paling rendah kepandaiannya adalah Kek Kong Tojin, sedangkan yang terlihai ilmu pedangnya adalah Ang Owat Niang-niang. Maka ia memerintahkan Lie Bun Tek dan muridnya, Un Kiong, untuk melayani Kek Kong Tojin, sedangkan untuk melayani ilmu pedang dan hudtim yang lihai dari Ang Gwat Niang-niang, ia tugaskan kepada Han Liong dan Pauw Lian!

Ia maklum pula betapa tinggi ilmu silat dan lweekang dari Lo Thong Sianjin, tokoh tertua dari Ngo-lian-pai itu, maka ia sendirilah yang melawannya! Sementara itu, semua pahlawan dan Loh-san Sam-moli serta kawan-kawannya telah bertempur melawan Pauw Kim Kong dan semua kawannya yang juga terdiri dari jagoan-jagoan lihai. Maka Sam-moli dan Tan Cianbu serta kawan-kawannya yang menjadi pemimpin rombongan dan berkepandaian tinggi segera berhadapan dengan Pauw Kim Kong, Liok-tee Sin-mo Hong In, Hee Ban Kiat, Bie Kong Hosiang, Ngo-Lohiap dari Kengciu, Souw Kwan Pek si Toya Ular Dewa, Lok Twie Hwesio wakil Siauw-lim, Pek Ciok Tojin ahli Kun-lun, Khu Bu Houw, Beng Hwa Suthai, Kok Tiang Lojin dan lain-lain yang menjadi tamu di Beng-san. Maka ramailah pertempuran terjadi di puncak Gunung Beng-san.

Suara senjata beradu disertai bentakan-bentakan marah dan teriakan-teriakan kesakitan memenuhi udara. Kek Kong Tojin menggunakan tongkat kepala ularnya yang sakti untuk mengalahkan lawannya, tapi Un Kiogn dan Lie Bun Tek bukanlah lawan-lawan lemah. Ketangguhan kedua orang ini pernah diuji oleh Kek Kong Tojun di atas genteng istana putih. Kini setelah, mereka bertempur dengan menggunakan senjata, sekali lagi Kek Kong Tojin terpaksa harus mengakui kehebatan lawan yang masih muda ini. Dari gerakan-gerakannya, Kek Kong Tojin tahu bahwa si kedok hitam dahulu bukan lain adalah Un Kiong yang kini menggerakkan pokiamnya dengan begitu gesit dan berbahaya. Maka ia makin marah dan memutar toyanya sehingga merupakan dinding baja yang sukar ditembus!

Namun pedang Un Kiong bukanlah pedang biasa, juga joan-pian Lie Bun Tek adalah sebuah senjata pusaka yang kuat dan terbuat dari pada logam mujijat. Lagi pula, ilmu silat kedua orang ini yang memang sudah tinggi, kini tergabung menjadi satu, maka mereka merupakan lawan yang sangat tangguh dan berat. Setelah lewat tiga ratus jurus, Kek Kong yang sudah tua dan yang terlampau banyak menghamburkan tenaga menuruti hawa nafsunya, mulai tampak lelah dan terdesak. Yang paling indah dilihat adalah pertempuran antara Ngo-lain Posat Ang Gwat Niang-niang melawan Han Liong dan Pauw Lian. Kalau gerakan-gerakan pedang dan hudtim wanita tua merupakan awan hitam bergulung-gulung naik turun dan menyelubungi kedua anak muda itu, maka Pek-liong Pokiam dan Ouw-liong Pokiam merupakan dua naga sakti hitam-putih yang terbang berkejar-kejaran di antara awan hitam itu.

Angin pedang mereka bertiga bersiutan sampai tiga tombak lebih di sekeliling mereka hingga daun-daun pohon bergerak-gerak bagaikan tertiup angin. Tubuh ketiganya telah lenyap dari pandangan mata. Maka dapat dibayangkan betapa sengit dan mati-matian pertempuran ini. Diam-diam Ang Gwat Niang-niang terkejut melihat ilmu pedang yang luar biasa dari kedua anak muda itu. Ia akui bahwa jika ia tidak memiliki pengalaman luas dan kalau ia tidak sudah meyakinkan Ngo-lian Kiamsut sampai semasak-masaknya, tentu ia takkan kuat menahan kedua pedang Naga ini. Sebaliknya Han Liong dan Pauw Lian merasa gembira sekali karena mereka diberi kesempatan untuk main pedang bersama lagi, maka diam-diam mereka berterima kasih kepada Khouw Sin Ek.

Kali ini, mereka lebih meresa betapa cocok kedua ilmu pedang mereka digabungkan untuk menggempur Ngo-lian kiamsut yang mempunyai banyak tipu kejam dan licin sekali itu. Sementara itu, keadaan Khouw Sin Ek dan Lo Thong Sianjin ternyata seimbang. Lo Thong Sianjin lihai karena ilmu toloknya, sedangkan Khouw Sin Ek terkenal karena ilmu tendangannya yang berbahaya. Maka keduanya berlaku hati-hati sekali dan sedikitpun tak mau mengalah. Diam-diam mereka juga saling mengagumi. Pekik kesakitan makin sering dan makin banyak terdengar, tanda bahwa yang mendapat luka dalam pertempuran itu makin banyak. Kui Lan telah rebah dengan luka berat di pundaknya terkena tusukan golok Bie Kong Hosiang, sedangkan banyak pahlawan menderita luka-luka berat.

Di fihak tuan rumah, beberapa orang juga mendapat luka dan sudah diangkat ke dalam untuk diobati. Hong Ing tidak ikut bertempur karena diam-diam Un liong telah memesan padanya agar jangan ikut bertempur dan bahkan surat-surat penting yang dapat dirampasnya di istana putih dulu, kini ia berikan kepada gadis itu untuk disimpan! Juga Han Liong pesan kepadanya agar jangan ikut bertempur karena musuh terdiri dari orang-orang sangat lihai. Biarpun merasa girang melihat perhatian mereka terutama melihat Un Kiong mengkhawatirkan keselamatannya, namun diam-diam Hong Ing mendongkol karena merasa di pandang rendah. Tapi ia merata terhibur setelah mendapat kepercayaan dari Un Kiong untuk menyimpan dan menjaga surat-surat penting itu merasa bahwa tugas menjaga surat-surat itu bahkan lebih penting dari pada ikut bertempur melawan musuh.

Maka ia berdiam di tempat aman sambil menonton pertempuran hebat itu. Akan tetapi, lambat-laun ia merasa khawatir dan ngeri juga melihat betapa fihaknya terdesak dan banyak korban yang telah jatuh. Pikirannya bekerja cepat dan ia segera masuk ke dalam kamarnya. Di situ ia buka gulungan kertas-kertas penting itu dan setelah cepat mencari, ia mendapatkan surat rencana pemberontakan Co Thaikam. Surat ini ia bawa lari keluar dan matanya mencari-cari Tan Cianbu. Akhirnya ia mendapatkan kapten Tan itu sedang bertempur mati-matian, dikeroyok dua oleh Bie Cauw Giok murid Pauw Kim Kong dan Bhok Kian Eng murid Liok-te Sin-mo! Permainan golok Tan Cianbu cukup lihai dan tenaganya yang besar membuat dua orang pengeroyoknya tak dapat mendesaknya. Hong Ing mendekati mereka dan dengan suara keras ia berkata,

"Bie toako dan Bhok toako, silakan berhenti sebentar! Aku ada urusan penting, biar aku yang menghadapi Tan Cianbo ini!" Meskipun terheran mendengar permintaan Hong Ing, kedua jago muda itu melompat mundur dan membiarkan Hong Ing menghadapi Tan Cianbu. Kapten itu mengenal wajah Hong Ing sebagai gadis yang memasuki tamannya dulu, bersama dengan Un Kiong. Maka ia tahan goloknya dan membentak.

"Kau mau apa?"

"Tan Lo-Enghiong jangan marah dan terburu nafsu. Saya datang bukan untuk bertempur, tapi hendak memberitahukan sesuatu yang penting sekali. Dulu saudara Un Kiong berhasil mencuri surat-surat penting dari istana putih dan tahukah lo-Enghiong apakah yang didapatnya? Ini silakan lo-Enghiong baca sendiri!" Dengan heran Tan-Cianbu menyambut surat itu dan membacanya cepat. Mukanya menjadi pucat dan ia hampir tak percaya kepada matanya sendiri. Ia baca lagi dan tiba-tiba ia berteriak keras.

"Semua pahlawan tahan senjata!" Berulang ia berteriak demikian hingga semua kawan-kawannya segera lompat mundur dan menahan serangan mereka. Juga pihak kaki tangan Co Thaikam dengan sendirinya mundur hingga sebentar saja semua orang yang sedang bertempur menghentikan perkelahian. Tidak hanya fihak penyerbu, fihak tuan rumah juga merasa heran. Bahkan ketiga tokoh Ngo-lianpai juga menghentikan serangan masing-masing. Dengan surat di tangan dan tindakan kaki tetap dan sikap mengancam Tan Cianbu menghampiri ketiga tokoh Ngo-lian-pai.

Pedang Pusaka Naga Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



"Cuwi silakan baca ini dan lihat betapa jahat dan palsunya orang-orang yang cuwi bela!" Lo Thong mengambil surat itu dan sehabis membacanya ia memberikan surat itu kepada Ang Gwat Niang-niang dengan wajah merah padam. Pertapa wanita itu membaca dengan tenang tapi sehabis membaca surat itu ia berpaling kepada ketiga muridnya dengan mata berapi.

"Biauw Niang, apa artinya ini? Kalian hendak memberontak dan membantu perbuatan terkutuk? Jadi kau sudah tipu gurumu sendiri untuk memusuhi para hohan ini?" suara ini merdu dan nyaring tapi di dalamnya mengandung kebengisan hebat hingga Biauw Niang menjadi gemetar ketakutan.

"Subo... teecu tidak...tidak berani berbuat begitu. Yang membawa rencana dan berhubungan langsung dengan Co Taijin adalah Kek Kong susiok!" Ang Gwat Niang-niang memandang Kek Kong Tojin dengan mata mengandung pertanyaan dan tuntutan. Tapi yang dipandang hanya tertawa lalu berkata,

"Suci, apakah suci takut menghadapi penjahat-penjahat ini? Kalau takut dan tidak mau membantu, silakan suci dan suheng pulang kembali ke gunung saja, biar aku menghadapinya sendiri!"

"Kek Kong, kau tersesat!" Lo Thong Sianjin membentak.

"Biauw Niang, kalian bertiga membuat malu gurumu. Mulai saat ini kalian bukanlah anak murid Ngo-lian-pai lagi!"

"Cuwi, maafkan pin-ni yang tertipu," kata Ang Owat Niang-niang sambil menjura kepada pihak tuan rumah, kemudian ia tersenyum kepada Han Liong dan Pauw Lian,

"Kalian Pek Liong dan Ouw-Liong sungguh gagah. Giok Ciu dan Sin Wan beruntung sekali bisa mendapat murid seperti kailan. Kalau bertemu kedua guru kalian, sampaikan salamku kepada mereka!" Kemudian sekali berkelebat, Ang Gwat Niang-niang lenyap dari pandangan, hanya masih terdengar suaranya memanggil,

"Ayoh, suheng!" Lo Thong tertawa sambil menjura kepada Khouw Sin Ek dan berkata dengan suara tak puas.

"Aku telah berkenalan dengan kepalan dewa, tapi sayang belum kenyang kita mengadu kepalan terpaksa harus berakhir sampai disini. Khouw Lojin, kalau ada kesempatan jangan lupa padaku untuk mencoba dan melanjutkan pertempuran ini."

"Ha, ha, Lo Thong toyu, kau serakah sekali. Baik-baik! Lain kali kalau ada kegembiraan pasti aku mengunjungi gunungmu." Lo Thong menjura lagi lalu melompat pergi menyusul sumoinya. Sementara itu, karena tidak dapat menahan marahnya lagi, Tan Cianbu berteriak memerintahkan kawan-kawannya,

"Serbu pemberontak dan penghianat-penghianat ini!" Goloknya terayun membacok Kek Kong Tojin yang menangkisnya dengan toyanya. Un Kiong melompat mendekati ayahnya.

"Ayah biarkanlah aku menghajar imam yang jahat ini!" Tan Cianbu maklum bahwa anaknya mempunyai kepandaian yang lebih tinggi darinya, maka ia tertawa dan berkata,

"Hati-hati, Un Kiong!" Lalu ia pimpin kawan-kawannya berbalik menghantam Cek Kong Tojin dan kawan-kawannya! Sebaliknya, pihak Han Liong dan kawan-kawannya menjadi bingung karena musuh telah saling gempur sesamanya. Tapi tiba-tiba Han Liong berkata,

"Telah diputuskan untuk membasmi para durna dulu. Nah, mereka inilah kaki tangan durna. Ayoh bantu Tan Cianbu!" Lie Bun Tek segera terjun lagi dalam pertempuran, membantu Un Kiong, sedangkan Han Liong dan Pauw Lian menyerang ketiga siluman wanita dengan sengit. Juga Hong Ing tidak mau tinggal diam. Ia memutar siang-kiamnya dan maju melabrak musuh. Tetapi beberapa orang dari fihak tuan rumah yang tidak mau ikut campur urusan orang lain tinggal diam saja menjadi penonton. Keadaan kedua fthak tidak seimbang maka sebentar saja korban yang berjatuhan di fihat Kek Kong Tojin memenuhi tempat itu. Pek-liong Pokiam dan Ouw-liong Pokiam mengamuk dengan hebatnya dan di mana saja pedang warna hitam dan putih berkelebat, maka pasti ada yang korban jatuh tanpa dapat menjerit lagi.

Ketika Han Liong dan Pausw Lian sedang mengamuk hebat dan merasa gembira melihat hasilnya, tiba-tiba ada angin bertiup keras dan Han Liong dan Pauw Lian merasa ada tenaga raksasa yang menahan pedang mereka! Mereka terkejut sekali tetapi tak dapat menahan tarikan itu sehingga dalam sekejap mata kedua pokiam itu terlepas dari tangan dan terbang entah ke mana! Selagi mereka terheran-heran, dari atas melayang sehelai kertas putih. Han Liong segera memungutnya dan bersama Pauw Lian membacanya. Alangkah terkejut mereka dan tiba-tiba saja mereka merasakan seluruh muka panas karena malu. Han Liong dan Pauw Lian memandang sekeliling. Juga mereka yang sedang bertempur, semua berdiri terheran-heran dengan mulut ternganga karena semua senjata mereka dengan tiba-tiba saja lenyap dari tangan mereka tanpa mereka ketahui siapa yang merampasnya! Hanya Khouw Sin Ek saja yang menjura ke arah barat dan berkata keras,

"Siansu dan Suthai, terima kasih atas bantuan kalian. Silakan singgah di tempat kami yang kotor!" Tiba-tiba dari jauh terdengar suara yang keras bergema,

"Khouw Toyu, ada kau orang tua, kami tak perlu khawatir, semua pasti selesai. Maafkan kami mengganggu dan tak dapat mampir. Selamat tinggal!" Khouw Sin Ek hanya geleng-geleng kepala dan menghela napas! Han Liong dan Pauw Lian berlutut dan menyebut,

"Suhu!" Hanya Khouw Sin Ek saja yang dapat melihat gerakan Kam Hong Siansu dan Kui Giok Cu Suthai yang datang berdua dan merampas semua senjata dari mereka yang sedang bertempur. Bahkan Kam Hong Siansu telah meninggalkan sepucuk surat kepada Han Liong dan Pauw Lian! Melihat hal itu, Khouw Sin Ek menghampiri kedua anak muda itu dan bertanya.

"Surat apakah yang kalian terima? Pesanan Siansu?" Sambil menundukkan kepala Han Liong memberikan surat kepada Khouw Sin Ek yang membacanya :

Han Liong,

Sudah terlampau banyak darah mengalir. Hentikanlah pertempuran. Belum waktunya menggulingkan kekuasaan yang memerintah. Tiba saatnya akan runtuh sendiri. Pek Liong sudah bertemu Ouw Liong, maka kami minta kembali. Sebagai gantinya kau mendapat Pauw Lian dan dia mendapat kau. Kami memberi doa restu, jadilah kalian suami isteri yang bahagia dan bijaksana. Terima kasih kepada Khouw toyu yang telah sudi menjadi perantara!

Tertanda
Kam Hong Siansu

Kui Giok Ciu Suthai. Khouw Sin Ek tertawa geli tiada terhingga.

"Ah, sungguh pintar orang tua itu!" Kemudian ia berpaling kepada semua orang.

"Hai, cuwi yang terhormat. Kami sebagal tuan rumah di gunung ini mengharap hendaknya agar cuwi jangan membikin kotor tempat ini dengan pertumpahan darah selanjutnya! Para Enghiong yang merasa tertipu oleh biang keladi pemberontakan dan sudah menjadi sadar, harap kembali ke tempat masing-masing dan mengubah kekeliruan masing-masing. Para pahlawan yang setia kepada negara harap mengurus hal ini melalui saluran tertentu. Dan kau, Kek Kong, dengan ketiga muridmu, kalau ingin selamat hentikanlah kesesatanmu, karena kalau tidak, biar kali ini lolos dari bencana, pasti lain kali akan mengalami mala petaka!"

"Kau sombong, Khouw lojin. Memang, kuakui bahwa kali ini kami kalah. Orangmu telah dapat merampas senjata kami. Tapi lain kali tentu aku hendak membalas hormat padamu!" Kemudian saikong itu menggandeng tangan ketiga keponakan muridnya itu dan membawa mereka lari turun gunung. Semua orang bubar sambil membava kawan-kawan mereka yang terluka dan terbinasa. Tapi Khouw Sin Ek menahan Tan Cianbu yang memang telah dikenalnya baik.

"Khouw lo-Enghiong, Sekarang aku mengerti mengapa Un Kiong berlaku demikian ketolol-tololan, tentu ini adalah kau orang tua yang mengajarnya!" kata Tan Cianbu sambil tertawa. Khouw Sin Ek tertawa.

"Tapi, bagaimana pendapatmu tentang puteramu? Puaskah kau melihatnya?"

"Terima kasih atas didikanmu kepadanya, Khouw lo-Enghiong," jawab Tan Cianbu.

"Tidak cukup dengan terima kasih saja, Cianbu. Sekarang aku hendak memajukan diri menjadi perantara untuk perjodohan Un Kiong."

"Perjodohan? Ia masih sangat muda!"

"Tidak terlalu muda untuk mendapat jodoh yang cocok dan baik."

"Siapakah nona yang kau puji-puji itu?"

"Bukan lain ialah nona Lie Hong Ing yang memberimu surat tanda pemberontakan tadi."

"O dia...??" Memang semenjak bertemu di taman dan melihat kegagahan sikap gadit itu dan kecantikannya, Tan Cianbu sudah merasa suka, maka ia segera menyatakan persetujuannya hingga Khouw Sin Ek menjadi girang sekali. Han Liong segera ditemui dan ketika diminta pendapatnya, Han Liong hanya mengangguk sambil tersenyum girang.

"Memang mereka berdua itu jodoh masing-masing. Kalau bukan saudara Un Kiong, siapa lagi yang sanggup menundukkan Hong Ing?" Ketika Hong Ing diberitahu oleh Pauw Lian yang mendapat tugas menyampaikan kepada gadis ini, Hong Ing menghujani tubuh Pauw Lian dengan cubitan sehingga Pauw Lian mengaduh-aduh dan lari. Hong Ing mengejarnya, tapi Pauw Lian berteriak,

"Tan Kongcu... Tan Kongcu... tolong aku, Ing-moi nakal sekali...!" Terpaksa Hong Ing cepat-cepat bersembunyi di dalam kamar sendiri, takut kalau-kalau Un Kiong benar-benar muncul pada saat itu!

Sementara itu, perjodohan antara Han Liong dan Pauw Lian tak menemui kesulitan. Kedua guru masing-masing sudah setuju, kedua orang yang bersangkutan juga setuju, sedangkan pada waktu itu, semua guru dan bibi Han Liong pun berada di situ pula dan mereka bahkan menerima warta ini dengan girang sekali. Adapun Pauw Lian, karena ia yatim piatu, maka cukup diwakili oleh Pauw Kim Kong yang menjadi keluarga satu-satunya. Demikianlah, sebulan kemudian, di Beng-san dilangsungkan perkawinan dua pasang mempelai, Tan Un Kiong dengan Lie Hong Ing, dan Si Han Liong dengan Pauw Lian. Ketika upacara dilangsungkan, tiada hentinya mereka berempat saling goda sehingga menambah keramaian dan kemesraan pesta itu.

Selanjutnya, Hong Ing tinggal dengan suaminya di rumah mertuanya yang telah meletakkan jabatan dan pulang ke kampung, sedangkan Han Liong dan isterinya tinggal di Kam hong-san atas permintaan guru-guru dan bibinya. Biarpun kedua pokiam telah ditarik kembali oleh gurunya masing-masing, namun mereka berdua terus berlatih ilmu pedang Pek liong Kiamsut dan Ouw-Liong Kiamsut, bahkan mereka berusaha menggabungkan kedua ilmu pedang ini. Hidup mereka penuh kebahagiaan karena sebagai Bengcu Han Liong dikenal oleh seluruh hohan di kalangan kang-ouw yang datang mengunjungi, juga mereka sering turun gunung untuk mengunjungi sahabat-sahabatnya. Hong Ing pun hidup bahagia dengan suaminya yang sangat menyintainya, dan dari Un Kiong, Hong Ing mendapat bimbingan ilmu silat tinggi sehingga ia memperoleh kemajuan pesat sekali.

Seperti juga Han Liong suami isteri, Un Kiong suami isteri ini juga sering melakukan perjalanan mengunjungi sahabat-sahabat untuk meluaskan pengalaman dan dimana saja mereka tak pernah lupa mengeluarkan tangan dan menggunakan kepandaian mereka untuk membantu fihak lemah yang tertindas dan membasmi orang-orang jahat yang mengacaukan rakyat jelata. Sesuai dengan petunjuk Kam Hong Siansu, untuk sementara Han Liong dan kawan-kawannya menghentikan gerakan mereka sambil menanti suasana melihat keadaan pemerintah. Yo Leng In atau Yo Toanio, bibi Han Liong, ikut keponakannya tinggal di Kam-hong-san dan janda ini melawati sisa hidupnya dengan menumpang dan ikut merasakan kebahagiaan hidup Han Liong dan Pauw Lian.

Hampir sebulan sekail atau lebih sering lagi, kalau tidak Han Liong dan isterinya mengunjungi kampung Un Kiong yang tidak jauh dari Kam hong-san, tentu Un Kiong dan Hong Ing yang naik ke Kam-hong-san untuk mengunjungi kakaknya yang tercinta itu, di mana pada tiap pertemuan mereka mengobrol dengan gembira-ria!

T A M A T

Yoza UPK


Cari Blog Ini