Ceritasilat Novel Online

Pedang Ular Merah 10


Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 10




"Anjing bermulut lancang!" Kui Hwa tak dapat menahan marahnya lagi dan cepat goloknya bergerak membacok kepala Ban Hwa Yong. Akan tetapi, sambil tersenyum-senyum Ban Hwa Yong mengelak dan bertempurlah kedua orang ini dengan ramainya.

Ban Hwa Yong terkejut juga melihat permainan golok nona itu karena benar-benar kuat dan berbahaya. Akan tetapi, sepasang kaitannya digerakkan secara luar biasa sekali sehingga Kui Hwa segera terdesak hebat, kalau saja gadis itu memegang pedang dan tidak berada dalam keadaan semarah itu, takkan mudah bagi Ban Hwa Yong untuk mengalahkannya. Akan tetapi dalam keadaan semarah itu Kui Hwa kehilangan kewaspadaannya dan sama sekali tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya lawannya ini lihai sekali dan tidak boleh dipandang ringan.

Golok di tangannya diputar sedemikian rupa dan hanya satu saja kehendaknya yakni membunuh manusia kurang ajar ini. Akan tetapi dengan kaitannya yang lihai Ban Hwa Yong dapat menahan golok Kui Hwa dan pada satu saat yang baik ketika kaitannya dapat membuat golok gadis itu belum sampai menyerang lagi, tiba-tiba kaitan di tangan kanannya bergerak cepat ke arah dada Kui Hwa dan,

"bret!" terkaitlah baju gadis itu pada bagian dada dan terbawa kain robek itu dikaitan sehingga nampak sebagian dada gadis ini!

Bukan main terkejutnya hati Kui Hwa. Ia menjerit perlahan dan mukanya menjadi malu sekali, sesaat kemudian mukanya berubah merah sampai ke telinganya ketika ia mendengar betapa Ban Hwa Yong tertawa terkekeh-kekeh!

Pada saat itu terjadilah hal aneh yang sedetikpun tak pernah disangka oleh Kui Hwa. Terdengar bentakan nyaring dan bayangan yang cukup gesit melompat dari belakangnya dan menyerang Ban Hwa Yong dengan sebatang golok! Orang ini bukan lain adalah Un Leng! Ternyata bahwa pemuda ini marah sekali melihat Kui Hwa dipermainkan dan dihina oleh Ban Hwa Yong. Ia cepat berlari menghampiri kudanya dan dari balik pelana kuda dikeluarkannya sebatang golok besar yang tajam sekali dan ketika ia melihat betapa baju Kui Hwa terkait robek, kemarahannya memuncak.

Ia lalu menyerang hebat yang segera ditangkis pula oleh Ban Hwa Yong. Penjahat inipun tertegun sebentar karena tak disangkanya bahwa pemuda yang nampak Iemah ini ternyata pandai juga mainkan golok. Biarpun terheran-heran, Kui Hwa cepat melompat ke belakang dan membalikkan tubuhnya. Dilepasnya kain pengikat rambutnya disambung dengan saputangan lebar dan dilibatkannya kain itu pada dadanya untuk menutupi bagian tubuh yang telanjang itu. Kemudian ia cepat menengok dan melihat betapa Un Leng mempertahankan diri mati-matian dari desakan sepasang kaitan di tangan Ban Hwa Yong yang lihai.

Berdebar aneh dada Kui Hwa ketika ia menyaksikan bahwa betapapun juga, pemuda sasterawan yang disangkanya hanya seorang kutu buku yang lemah itu ternyata memiliki ilmu silat yang tidak rendah! Akan tetapi senjata di tangan penjahat itu benar-benar berbahaya sekali dan keadaan Un Leng juga sudah mulai terdesak, maka Kui Hwa lalu melompat maju dan kini goloknya menyambar-nyambar bagaikan setan maut mengancam nyawa Ban Hwa Yong. Penjahat ini sekarang tak dapat tertawa lagi. Menghadapi dua orang ini, benar-benar ia merasa kewalahan dan setelah melawan sampai empat puluh jurus dalam waktu mana keselamatannya terancam hebat ia lalu melompat dan melarikan diri. Kui Hwa yang marah sekali hendak mengejar akan tetapi Un Leng berkata.

"Tak usah dikejar lawan yang sudah kalah dan ketakutan!"

Kui Hwa tidak jadi mengejar Ban Hwa Yong dan memandang kepada Un Leng dengan pandang mata kagum. Un Leng menyimpan kembali goloknya di bawah sela di atas kudanya kemudian ketika ia kembali kepada Kui Hwa ia berkata,

"Maaf bahwa aku terpaksa memperlihatkan kebodohanku nona."

"Saudara Siok Un Leng, mengapa kau selama ini berpura-pura tidak mengerti ilmu silat? Kepandaianmu cukup baik dan.......mengapa kau menyembunyikan kepandaian itu padaku?"

Un Leng tersenyum.

"Tak ingatkah betapa aku tidak suka akan kekerasan? Aku mempelajari ilmu silat hanya untuk penjagaan diri seperti yang tadi telah kulakukan menghadapi penjahat itu, bukan sekali-kali untuk kusombongkan dan kujadikan alat mencari permusuhan. Tidak nona, aku lebih suka menggerakkan tangkai pena daripada menggerakkan golok yang mengerikan itu!"

Kui Hwa memandang kagum dan hatinya merasa girang sekali. Inilah pemuda yang patut dipercayainya dan yang akan dapat melindunginya selama hidupnya.

"Saudara Un Leng....... kalau aku tahu......"

"Nona, setelah sekarang kau mengetahui keadaanku, biarlah di sini kuulangi pinanganku dahulu. Bagaimana? Sudikah kau menerimaku sebagai suamimu? Kita menjauhkan diri dari segala urusan dunia, kita pindah ke tempat aman, mendirikan rumah tangga yang aman dan damai, tidak mengenal tajamnya senjata. Sudikah kau...?" Sambil berkata demikian dengan mesra dan halus, pemuda itu melangkah maju dan memegang tangan Kui Hwa. Untuk sesaat gadis itu memandang mesra. Akan tetapi tiba-tiba ia teringat kepada Tiong Kiat.

Direnggutnya tangannya dan ia berkata,

"Tidak........ tidak! Jangan dekati aku Un Leng ...... aku....... aku tidak berharga......!" ia lalu menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis!

"Nona apakah kau akan maksudkan kepergianmu dari Kim liong.pai, minggat bersama dengan ji-suhengmu (kakak seperguruan kedua)? Itukah yang kauanggap bahwa kau tidak berharga lagi?"

Kui Hwa terkejut dan memandang dengan mata basah!

"Apa ....? Kau sudah tahu akan hal itu?"

Un Leng mengangguk,

"Sebelum kembali ke Heng-yang di kota raja aku telah mendengar akan hal itu. Peristiwa yang terjadi di Gunung Liong-san, mengenai diri anak-anak murid Kim liong-pai yang terkenal tentu saja mudah tersiar di kalangan kang-ouw. Aku teIah mendengarnya semua, nona, tak perlu kau menuturkannya lagi."

"Kau........ kau sudah tahu selama ini . .dan kau ....... tidak memandang rendah dan hina kepadaku........?"

Un Leng tersenyum.

"Kalau aku memandang rendah, apakah aku mau mendekatimu, menyuruh ibuku meminangmu sebagai istriku?"

Makin deras air mata mengalir dari mata Kui Hwa,"Saudara Siok...... aku bukan seorang baik-baik, aku telah menjalankan kesesatan bersama manusia jahanam yang menjadi suhengku itu, aku telah meninggalkan suhu meninggalkan ayah, membatalkan pertunanganku dengan twa suheng secara paksa ....aku gadis tak tahu malu, yang sudah melanggar kesusilaan, aku tak berharga lagi. ...tahukan kau akan semua ini?"

Un Leng berkata sungguh-sungguh.

"Aku sudah tahu, nona, akan tetapi aku tidak menganggap kau tidak berharga. Seorang yang sudah sadar dari pada kesesatannya adalah seorang bijaksana. Aku mengagumimu dan aku" aku tertarik dan cinta padamu."

Saking terharunya Kui Hwa lalu menubruk kaki Un Leng, berlutut sambil menangis. Ia berterima kasih sekali, juga terharu dan girang karena selama berkenalan, ia maklum bahwa hatinya telah jatuh pula terhadap pemuda ini. Un Leng menarik napas panjang dan mengelus-elus rambut Kui Hwa, membiarkan kekasihnya melepaskan tekanan batin dengan air matanya.

Ketika mereka kembali ke kota Heng yang dengan wajah gembira dan penuh bahagia, keduanya lalu menuju ke rumah perkumpulan Sorban Merah. Kui Hwa telah bermufakat untuk menerima pinangan Nyonya Siok untuk yang kedua kalinya dan telah setuju pula bahwa dia akan ikut suaminya dan mertuanya untuk pindah ke kota raja di mana suaminya akan mencari pekerjaan. Ia telah mengambil keputusan pula untuk meletakkan jabatannya sebagai ketua perkumpulan Sorban Merah.

Akan tetapi, ketika ia dan Un Leng berjalan memasuki pekarangan rumah perkumpulan itu, ia melihat seorang pemuda bangkit berdiri dari bangku di ruang depan dan kini pemuda itu berdiri menanti kedatangan mereka dengan wajah tenang. Pucatlah wajah Kui Hwa ketika ia memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak dan tak terasa pula ia menahan tindakan kakinya. Ia melihat betapa pemuda itu memandang kepadanya dengan senyum tenang dan sama sekali tidak kelihatan marah atau membenci. Terharulah hati Kui Hwa dan tak terasa lagi ia lalu berlari ke depan dan menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu! Un Leng hanya memandang heran dan mengerutkan kening, karena ia tidak mengenal pemuda itu, cepat memegang kedua pundak Kui Hwa, membangunkannya sambil berkata.

"Eh, sumoi mengapa kau begini? Berdirilah dan mari kita bicara dengan baik."

Kui Hwa tak dapat menahan berlinangnya air matanya, ia tidak berani menentang pandang mata pemuda yang bukan lain adalah Tiong Han ini. Ia merasa malu sekali kepada bekas tunangan dan suhengnya ini, yang selalu bersikap baik terhadapnya.

"Twa suheng...... kau...... kau dapat memaafkan aku? Kau tidak marah dan tidak benci kepadaku?"

Tiong Han menggeleng kepalanya dan tersenyum tenang, sungguhpun senyumnya bukanlah senyum gembira.

"Mengapa aku harus benci dan marah kepadamu, sumoi? Kau adalah adikku, adikku yang kusayang semenjak kita masih anak-anak. Aku hanya kasihan melihatmu, sumoi." Kemudian barulah Tiong Han merasa bahwa mereka tidak patut bicara urusan pribadi mereka di depan seorang pemuda tampan yang tidak dikenalnya. Ia lalu mengangkat muka memandang kepada Un Leng yang sudah menghampirinya dengan senyum dan pandang mata kagum. Un Leng menjura dan cepat dibalas oleh Tiong Han.

"Ah tidak tahunya kau adalah Sim Tiong Han, orang gagah dari Kim-liong pai. Aku ini Un Leng, adalah seorang yang bodoh." Seru pemuda sasterawan ini dengan sikap hormat.

Melihat sikap dan kesederhanaan pemuda ini, Tiong Han merasa suka dan cocok, hanya ia belum mengerti apakah hubungan antara pemuda ini dan sumoinya. Akan tetapi Kui Hwa segera menjelaskan,

"Suheng, dia ini adalah....sahabatku, seorang yang jujur dan banyak berjasa terhadap diriku yang hancur dan perasaanku yang luka oleh kejahatan ji suheng."

Tiong Han menghela napas dan keningnya berkerut.

"Sumoi terus terang saja, aku sudah bertemu dengan Tiong Kiat dan aku datang ini hanya hendak bertanya kepadamu mengapa kau meninggalkan Tiong Kiat dan membiarkan dia tersesat sedemikian jauhnya!"

Mendengar nada suara Tiong Han, diam-diam Kui Hwa terkejut sekali. Dari suara pemuda ini, ia dapat menduga bahwa suhengnya ini biarpun tidak menaruh hati dendam kepadanya, namun merasa tidak senang mengapa dia berpisah dari Tiong Kiat dan tentu menyangka yang bukan-bukan. Maka ia cepat menuturkan pengalamannya dengan Tiong Kiat, betapa Tiong Kiat telah melakukan perbuatan rendah terhadap seorang gadis yang ditolongnya sehingga mereka menjadi berselisih dan bertempur. Kemudian diceritakannya bahwa Tiong Kiatlah yang pergi meninggalkannya dan betapa ia lalu menjadi ketua dari Perkumpulan sorban Merah.

Mendengar semua penuturan ini, kembali Tiong Han menarik napas panjang berkali-kali.

"Ah, sumoi, kalau begitu adikku itulah yang jahat dan tersesat. Kasihan sekali nasibmu yang buruk." Dan diam-diam pemuda ini makin terheran melihat betapa Kui Hwa dapat menuturkan semua pengalamannya ini di depan Un Leng, seakan-akan di antara mereka tidak terdapat rahasia lagi. Ia menduga-duga dan ketika Kui Hwa memaksanya untuk bermalam di situ menikmati hidangan yang dikeluarkan dibantu pula oleh Un Leng, terpaksa ia menerimanya. Ia kagum juga melihat betapa kuat dan teratur perkumpulan yang dipimpin oleh sumoinya dan betapa semua anggauta Sorban Merah amat tunduk dan taat kepadanya.

Di dalam kesempatan itu, Un Leng mendapat pikiran yang amat baik. Diam-diam ia memberitahukan pikirannya ini kepada Kui Hwa dan gadis ini dengan muka kemerah-merahan hanya menganggukkan kepala dan kemudian ia sengaja meninggalkan ruangan dimana Tiong Han berada untuk memberi kesempatan kepada Un Leng untuk bicara berdua saja dengan suhengnya.

"Sim taihiap" kata Un Leng ketika mereka selesai makan dan duduk menghadapi meja dengan cawan terisi arak.

"Sebelumnya kuharap kau sudi memaafkan aku apabila kau anggap aku berlaku lancang. Telah kuceritakan kepadamu bahwa aku adalah murid dari Kim-l-sin-kai (Pengemis Sakti Baju Kembang) di kota raja yang juga kau tahu telah kenal baik dengan suhumu. Biarpun aku hanya mengerti sedikit ilmu silat, akan tetapi seperti juga suhu, aku benci akan perkelahian dan permusuhan. Aku lebih suka hidup damai dan tenteram dengan penaku. Nah, kau telah mengetahui keadaan sumoimu.

Seperti juga kau, aku kasihan sekali kepadanya. Akan tetapi kalau kau berkasihan sebagai seorang suheng terhadap sumoinya, adalah aku berkasihan kepadanya sebagai seorang pemuda terhadap seorang gadis yang telah merebut hatiku! Ya terus terang saja, taihiap, diantara sumoimu dan aku telah ada persesuaian paham dan kami telah bermupakat untuk menjadi suami-istri! Oleh karena itu, mengingat bahwa Hwa moi jauh dari orang tua, maka kiranya kau menjadi wakilnya! Kepadamulah sebagai wali Hwa-moi kuajukan pinanganku harap saja kau sudi menolong kami."

Tiong Han tersenyum dan memandang tajam.

"Saudara Siok bukan main girangnya hatiku mendengar ucapan yang terus terang ini! Sebelum kau menceritakan kepadaku, aku sudah dapat menduga lebih dulu, dan pengakuanmu ini menandakan bahwa kau memang jujur dan bersifat jantan. Kau telah mendengar tentang riwayat sumoi dengan adikku, namun kau dapat memaafkan dan masih dapat menghargainya, ini menandakan bahwa cintamu terhadapnya suci dan tulus. Akan tetapi, aku hanya menjadi suhengnya bagaimana aku berani berlaku lancang bertindak sebagai walinya?"

Un Leng berbangkit dari bangkunya dan menjura kepada Tiong Han yang dibalas cepat-cepat oleh pemuda ini.

"Terima kasih banyak, taihiap. Sungguh pun benar pula ucapanmu tadi agaknya kau lupa bahwa Hwa moi sesungguhnya telah diberikan kepadamu oleh orang tuanya sebagai calon jodohmu. Kau berhak penuh atas dirinya dan berhak pula menjadi walinya. Kalau kau sudi menerima permohonanku, berarti kau telah melepas budi besar terhadap kami."

Terpaksa Tiong Han menerimanya dengan hati girang. Kui Hwa lalu dipanggil dan dengan muka kemerah-merahan gadis ini lalu menjura kepada suhengnya yang kini menjadi walinya itu. Para anggauta Sorban Merah lalu dikumpulkan dan setelah Tiong Han diperkenalkan sebagai suheng dan wali dari Kui Hwa, Tiong Han lalu mengumumkan dengan suara lantang tentang perjodohan antara kedua orang muda itu. Semua anggauta Sorban Merah menerima berita ini dengan girang sekali. Akan tetapi kegirangan ini segera terganti kekecewaan ketika Kui Hwa menyatakan bahwa setelah menikah, terpaksa meninggalkan perkumpulannya dan menyerahkan perkumpulannya ini kepada beberapa orang thauwbak yang paling tua dan cukup bijaksana.

Dengan disaksikan oleh Tiong Han, beberapa hari kemudian dilangsungkanlah pernikahan sepasang orang muda itu dengan sangat sederhana, akan tetapi cukup meriah karena diramaikan dan dihadiri oleh anggauta Sorban Merah dan para sahabat-sahabat di kota Heng-yang.

Setelah itu, pada keesokan harinya, Tiong Han minta diri dari sepasang suami-istri ini untuk melanjutkan perjalanannya mencari adiknya. Kui Hwa mengantarkan kepergiaan suhengnya ini dengan air mata berIinang. Ia kini mendapat kenyataan betapa bijaksana dan mulia hati twa suhengnya ini dan diam-diam ia menyumpahi dirinya yang telah terpikat oleh bujukan-bujukan iblis dari mulut ji-suhengnya.

Pada waktu itu, pemerintah kerajaan Tang mempunyai hubungan baik sekali dengan suku bangsa Ouigour, yakni nenek moyang suku bangsa mongol. Raja bangsa Ouigour ini bernama Huayen khan, seorang yang sudah mempelajari kebudayaan Tiongkok dan selain pandai menulis huruf Tiongkok juga terkenal sekali dengan ilmu silat dan ilmu memanahnya yang tinggi.

Huayen-khan mengadakan hubungan dagang dengan kerajaan Tang, menukar kulit binatang dan bulu binatang dengan gula dan kain sutera. Pernah dua kali Huayen-khan datang mengunjungi kaisar Tang yang bernama Tai Cong, dan di kota raja kepala suku bangsa Ouigour ini disambut dengan segala kehormatan, bahkan Kaisar Tai Cong lalu mengadakan perayaan pesta untuk menghormati kunjungan Huayen khan ini. Di dalam pesta ini, setelah Huayen-khan minum banyak arak wangi yang dihidangkan dan kepalanya telah menjadi agak ringan dan kegembiraannya membesar, ia berkata kepada Kaisar Tai Cung,

"Saya lihat pengawal-pengawal paduka membawa busur dan anak panah. Agaknya ilmu panah dari kerajaan paduka amat maju dan hebat!" Kepala suku bangsa Ouigour ini lalu tertawa bergelak.

Kaisar Tai Cung terkenal sebagai seorang yang amat bijaksana, pandai memerintah, dicinta oleh rakyat karena adilnya dan selain itu iapun amat cerdik. Mendengar ucapan Huayen-khan ini, Kaisar Tai Cung sudah tahu akan maksudnya, karena iapun maklum akan kepandaian Huayen-khan dalam ilmu panah. Sambil tersenyum ia berkata.

"Betapapun pandainya para pengawalku, agaknya masih harus mendapat banyak petunjuk dari padamu, khan yang baik."

Huayen-khan tertawa bergelak sambil menenggak cawan araknya yang segera diisi pula sampai penuh oleh seorang dayang pelayan.

"Paduka pandai sekali merendahkan diri. Kita sedang bergembira, apa salahnya bermain-main sedikit dengan ilmu panah? Harap paduka tidak berlaku sungkan dan sudi memanggil seorang ahli panah terpandai dari dalam tembok besar."

Sambil tertawa juga, Kaisar Tai Cong lalu menyuruh seorang pengawal memanggil kepala pengawal yang bernama Ciok Kwan. Tak lama kemudian, Ciok Kwan datang menghadap. Huayen-khan memandang kepada perwira ini dengan kagum. Ciok Kwan adalah seorang perwira yang masih muda, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berpakaian rapi dan nampak gagah sekali karena potongan tubuhnya memang tegap dan besar. Sebagai seorang kepala pengawal bagian panah, di punggungnya tergantung busur besar dan anak-anak panah dengan bulu warna merah."Seorang perwira yang gagah!" Huayen Khan berkata memuji sehingga Tai Cong tersenyum girang.

"Ciok ciangkun." kata kaisar,

"tamu agung kita Huayen-khan ini ingin sekali menyaksikan kepandaian memanah darimu, maka cobalah kau memperlihatkan kepandaianmu. Huayen-Khan sendiri adalah seorang ahli panah yang terkenal, maka permainan ini tentu takkan merugikanmu, bahkan kau tentu akan mendapat petunjuk-petunjuk yang baik dari padanya."

Tentu saja Ciok Kwan tidak berani membantah dan ia mengerling ke arah kepala suku bangsa Ouigour itu. Ia telah mendengar nama besar Huayen-khan akan tetapi melihat orangnya, timbul keraguannya. Raja bangsa Ouigour ini nampak kasar, bercambang bauk dan agaknya telah mabok arak mana dapat memberi petunjuk tentang ilmu panah? Kaisar dan tamunya lalu keluar dari ruangan dalam, menuju ke taman bunga di sebelah kanan istana, diikuti oleh para pengawal dan pelayan. Dengan sikapnya yang sopan, Ciok Kwan lalu menuju ke tempat terbuka dan berpikir-pikir cara bagaimana ia akan memperlihatkan kemahirannya mainkan panah.

la memandang ke kanan ke kiri dan berdongak pula memandang ke atas. Tiba-tiba Huayen khan tertawa berkata,

"Ciok-ciangkun, apakah kau mencari-cari matahari untuk menjadi sasaran anak panahmu? Ha, ha, ha!"

Huayen khan adalah seorang kasar dan kata-katanya ini hanya kelakar belaka. Kaisar Tai Cung mengerti akan hal ini, maka sambil tertawa kaisar ini berkata juga.

"Huayen khan yang gagah, apa kaukira sekarang ini masih ada orang-orang sakti seperti Panglima Po Gwan?" Panglima Po Gwan adalah seorang tokoh dalam dongeng Tiong kok yang demikian tinggi ilmu panahnya sehingga dikabarkan orang bahwa panglima ini pandai memanah bintang di langit!"

Huayen-khan juga tertawa mendengar ucapan kaisar ini, tanda bahwa kepala suku bangsa Ouigour ini tidak asing akan dongeng-dongeng dan sejarah purba dari Tiongkok. Akan tetapi, sebaliknya, Ciok Kwan yang semenjak kecil mempelajari bu (lima silat) dan sama sekali tidak pernah mempelajari bun (ilmu surat) merah kedua telinganya mendengar percakapan orang-orang besar ini. la mengira bahwa Huayen khan mengejeknya dan diam-diam iapun merasa gemas sekali mengapa kaisar bahkan membumbui ejekan tamu, orang yang dianggapnya kasar dan biadab ini!

"Hamba adalah seorang yang bodoh dan anak panah hamba hanya dapat dipergunakan untuk menangkap burung di atas itu!" kata Ciok Kwan sambil menudingkan telunjuknya ke atas. Semua orang melihat ke atas dan ternyata sekawanan burung terbang tinggi sekali di udara.

"Hamba akan menurunkan burung ketiga dari depan! seru Ciok Kwan dan seruannya itu dibarengi oleh menjepretnya tali busurnya. Sebatang anak panah dengan cepat sekali mendesing ke udara dan tak lama kemudian betul saja, burung yang terbang di barisan ketiga dari depan nampak terkulai kepalanya dan jatuh ke bawah bagaikan sepotong batu. Ketika dilihat, burung itu telah tertembus dadanya oleh anak panah tadi, Semua pengawal berseru gembira menyaksikan ketangkasan kepala mereka ini. Kaisar Tai Cung mengangguk girang, akan tetapi Huayen-khan berkata.

"Memanah burung yang besar itu benar-benar mengagumkan orang!" Sambil berkata demikian, ia mengulur tangan ke belakang dan seorang di antara para pengawalnya lalu memberikan busur dan sebatang anak panah.

"Aku hanya dapat memanah binatang yang kecil-kecil saja." Ucapan ini seperti diucapkan untuk dirinya sendiri dan pujian itu sama sekali tidak cocok dengan tarikan wajahnya yang memandang rendah.

"Kalau paduka membolehkan saja ingin mencabut ekor burung kecil warna hitam yang sedang terbang itu!"

"Kaisar Tai Cung menengok ke arah yang ditunjuk oleh Huayen khan dan ia terkejut sekali. Yang dituding oleh tamunya adalah seekor burung walet yang beterbangan di udara gesit sekali. Bagaimana orang dapat memanah burung yang terkenal amat gesit dan tangkas ini? Apa lagi hanya membobolkan ekornya,jauh lebih sukar dari pada kalau memanah jatuh burung itu.

Tentu saja kami tidak melarangnya, hanya, dapatkah burung segesit itu dipanah jatuh ekornya saja?"

Huayen-khan tertawa bergelak, membidikkan anak panahnya, menanti sampai burung walet itu terbang mendekat, kemudian terdengar anak panahnya meluncur cepat sekali merupakan sinar hitam karena anak panahnya ini belakangnya memakai ronce-ronce warna hitam. Semua orang menahan napas dan Ciok Kwan sendiri berdebar hati, karena iapun tidak percaya bahwa Huayen-khan akan berhasil. Akan tetapi, terdengar sorak-sorai dari para pengawal dan pengiring kepala suku bangsa Ouigour ini ketika terdengar burung walet menjerit lalu terbang cepat sekali tanpa ekor! Beberapa helai bulu ekornya itu telah copot dan bodol terbabat oleh anak panah yang dilepas oleh Huayen-khan!

"Bagus, hebat sekali ilmu panahan khan yang baik!" Kaisar itu memuji dan diam-diam ia bersukur bahwa kerajaannya tidak bermusuhan dengan Huayen-khan yang pandai sekaIi mainkan anak panah ini.

Huayen-khan tertawa bergelak.

"Walet hitam sekecil itu perlu apa dibunuh? Dicabut ekornya saja ia akan menjerit ketakutan dan lari secepatnya. Ha, ha, ha!"

Kaisar Tai Cung juga tersenyum karena ia maklum akan maksud kata-kata Huayen khan yang lihai ini. Memang, pada waktu itu, terdapat suku bangsa Cou yang dipimpin oleh Piloko, seorang yang terkenal juga dalam ilmu silat sehingga ia mendapat julukan Yan-ong (Raja Burung Walet). Juga Piloko dan suku bangsanya bersahabat dengan pemerintah Tang tetapi di dalam perdagangannya dengan pemerintah Tang, Piloko mendapat saingan keras sekali dari Huayen-khan sehingga dua orang pemimpin suku bangsa ini menjadi saling benci dan timbul permusuhan di antara mereka! Oleh karena itu, ucapan Huayen-khan ini tentu saja menyinggung diri Piloko yang dianggapnya burung walet tadi. Inipun agak tepat, karena di dalam peperangan pernah pasukan Piloko terpukul mundur oleh Huayen-khan dan terpaksa melarikan diri. Hanya berkat kebijaksanaan campur tangan Kaisar Tai Cung saja maka peperangan tidak dilanjutkan dan tidak menghebat, akan tetapi di dalam hati masing-masing masih terdapat dendam dan kebencian.

Setelah menerima hadiah-hadiah dari kaisar, Huayen khan lalu mengundurkan diri, diiringkan oleh sekalian pengawalnya, keluar dari istana hendak kembali ke tempat tinggalnya sendiri, yakni di lembah Sungai Salenga di utara.
Kaisar Tai Cung memberi perintah kepada Ciok Kwan untuk membawa sepasukan pengawal, mengiringkan perjalanan Huayen-khan sampai keluar ibu kota.

Pada saat rombongan ini tiba di luar tembok ibu kota, tiba-tiba sepasukan orang-orang tinggi besar yang bertopi putih sambil berseru keras datang menyerbu! Jumlah mereka banyak sekali dan ternyata bahwa mereka ini adalah pasukan suku bangsa Cou yang dipimpin oleh Piloko! Mereka telah menanti saat yang baik untuk melakukan pembalasan dan karena dendam mereka sudah memuncak, maka mereka tidak segan-segan lagi untuk menyerang Huayen-khan di Iuar tembok ibu kota kerajaan Tang!

"Atas nama kaisar, harap jangan mengganggu tamu agung kami!" Ciok Kwan berulang-ulang memberi peringatan dan berseru keras, akan tetapi Piloko tidak memperdulikan seruan itu bahkan segera berteriak.

"Ciok ciangkun! Harap kau menarik kembali pasukanmu dan masuk ke dalam kota. Kami tidak ada persoalan dengan kau dan pasukanmu dan biarkan kami membereskan urusan lama dengan Huayen khan!"

Setelah berkata demikian Piloko memberi aba-aba dan menyerbulah anak buahnya, menyerang Huayen khan yang hanya dikawal oleh dua puluh orang anak buahnya. Pertempuran hebat terjadi ramai sekali Ciok Kwan menjadi ragu-ragu karena selain ia merasa mendongkol kepada Huayen khan, juga ia gentar menghadapi Piloko dengan anak buahnya yang sedikitnya ada lima puluh orang itu! Maka ia berdiri diam saja di pinggir dan hal ini tentu saja diturut oleh pasukannya yang tidak berani lancang turun tangan tanpa aba-aba dari pemimpinnya.

Betapapun juga, Ciok Kwan lalu menyuruh dua orang anak buahnya untuk melaporkan peristiwa ini kepada kaisar dan minta putusan kaisar. Celakalah keadaan Huayen-khan. Biarpun ia sendiri gagah perkasa, namun pada saat itu ia masih setengah mabok dan anak buahnya yang hanya dua puluh orang itu tentu saja tidak dapat menandingi sepak terjang lima puluh orang anak buah Piloko yang pilihan! Seorang demi seorang anak boah Huayen-khan roboh mandi darah dan Huayen khan sendiri sudah terkurung rapat. Namun kepala suku bangsa Ouigour ini memang mengagumkan. Dalam keadaanmterjepit seperti itu, ia sama sekali tidak mau berseru minta tolong kepada Ciok Kwan. Juga ia melakukan perlawanan dengan gigih sekali, memainkan goloknya yang diputar dengan hebatnya.

Pembantu Piloko tentu saja takkan berdaya menghadapi Huayen khan yang kosen kalau di situ tidak ada Piloko yang mengeroyoknya pula. Kepandaian silat Piloko tinggi juga dan permainan sepasang tombak pendek di tangannya cukup cepat dan kuat. Namun ia harus mengakui bahwa ia masih kalah jauh oleh Huayen-khan dan setelah mengeroyok dengan lima orang kawan-kawannya saja baru ia dapat mengimbangi permainan golok dari orang kasar bangsa Ouigour ini! Golok Huayen-khan telah berlumur darah, karena banyaklah sudah musuh yang roboh di tangannya. Akan tetapi sekarang ia telah merasa lelah perlahan-lahan ia terdesak hebat dan kurungan yang kini terdiri dari sepuluh orang itu makin merapat!

Adapun Ciok Kwan masih sedia berdiri di situ menjadi penonton. Ia mengagumi kegagahan Huayen-khan akan tetapi ketika ia melihat gerakan sepasang tombak Piloko, ia menjadi gentar juga. Baiknya utusan-utusannya belum juga kembali, sehingga ia mendapat alasan cukup kuat untuk tinggal menjadi penonton dan belum membantu Huayen khan. Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan Huayen-khan, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan berkelebatlah sinar putih yang menyilaukan mata. Segebrakan saja terguling dua orang pengeroyok Huayen khan oleh sinar putih yang ternyata adalah sinar pedang yang amat cepat gerakannya itu!

Huayen khan mengerling dan giranglah ia ketika melihat bahwa penolongnya bukanlah Ciok Kwan melainkan seorang pemuda bukan perajurit yang berpakaian biru dan berwajah tampan dan gagah sekali.

"Ha, ha. ha! Orang muda yang gagah, mari kita basmi tikus-tikus busuk ini!" Dalam keadaan seperti itu, Huayen-khan masih dapat tertawa, sungguh mengagumkan hati pemuda ini yang bukan lain adalah Sim Tiong Kiat adanya!

Di dalam perantauannya, tibalah Tiong Kiat di luar tembok kota raja sehingga ia melihat pertempuran itu. Ia melihat betapa seorang tua tinggi besar bercambang bauk yang hebat juga ilmu goloknya, dikeroyok oleh orang-orang suku bangsa Cou yang banyak jumlahnya. Di sana sini nampak banyak mayat bertumpuk-tumpuk bahkan masih terjadi pertempuran hebat sekali oleh kedua fihak yang tidak berimbang jumlahnya itu. Ketika Tiong Kiat melihat Ciok Kwan dan pasukannya yang berpakaian mewah akan tetapi tidak berbuat sesuatu menghadapi pertempuran hebat itu, ia menjadi sebal sekali. Memang telah lama Tiong Kiat membenci para perajurit pemerintah yang lagaknya sombong itu. Melihat ilmu golok Huayen-khan dan kegagahan kepala suku bangsa Ouigour ini, timbul simpatinya dan segera ia mengambil keputusan untuk membelanya.

Di dalam dada pemuda ini memang masih ada keadilan dan tentu saja menghadapi dua pihak yang bertempur, tanpa mengetahui sebabnya, ia akan berpihak pada yang Iemah. Pihak Huayen-han jauh lebih sedikit jumlahnya, maka lalu ia membela pihak ini.

Ketika mendengar ucapan Huayen khan, Tiong kiat menjadi gembira dan cepat ia mainkan pedangnya. Melihat betapa diantara para pengeroyok, sepasang tombak pendek Piloko paling lihai, Tiong Kiat lalu menyerang orang ini. Piloko menjadi marah sekali dan cepat ia menangkis sekuat tenaga dengan tombak kirinya.

"Trang!" dan putuslah tombak kiri di tangan Piloko itu, yang membuatnya menjadi terkejut sekali sehingga wajahnya berubah pucat.

"Ha, ha, ha!" Huayen-khan tertawa bergelak. Setelah kini menghadapi pengeroyok kawan-kawan musuhnya, ia mengganda dengan tertawa saja. Ia menjadi geli melihat betapa tombak Piloko terbabat buntung oleh pedang pemuda gagah itu.

"Walet hitam yang tadi ekornya telah buntung, sekarang sayapnya brondol lagi. Ha, ha, ha, kau tidak lekas terbang minggat?"

Piloko menjadi jerih sekali melihat kegagahan Tiong kiat, maka ia segera berseru keras dalam bahasa Cou, mengajak pergi kawan-kawannya, ia sendiri lalu mendahului melompat pergi dan berlari cepat, diikuti oleh kawan-kawannya yang hanya tinggal tiga puluh orang lebih lagi.

Baru saja rombongan Piloko melarikan diri, datanglah pasukan dari dalam kota yang mendapat perintah dari kaisar untuk memisahkan pertempuran itu dan membujuk kedua pihak supaya berdamai, biarpun harus dengan kekuatan senjata, Huayen-khan tidak memperdulikan Ciok Kwan dan pasukannya, bahkan tidak memperdulikan lagi anak buahnya yang menjadi korban, melainkan memeluk bahu Tiong Kiat sambil tertawa bergelak.

"Ha, ha, ha, dibandingkan dengan kau, semua orang ini hanya kecoa-kecoa pemakan bangkai belaka. Orang seperti kau inilah yang sepantasnya duduk di sebelah kananku. Orang muda yang gagah, maukah kau pergi bersama Huayen-khan ke utara dan duduk makan minum dengan aku?"

Melihat sikap yang kasar ini, Tiong Kiat makin tertarik. Orang ini gagah dan jujur dan juga mendengar nama Huayen-khan, tahulah ia bahwa ini adalah kepala suku bangsa Ouigour yang gagah berani. Maka timbul hati sukanya dan iapun lalu menurut saja ketika tangannya digandeng oleh Huayen-khan dan diajak naik kuda yang sudah disediakan oleh anak buahnya. Ketika rombongan orang Ouigour ini hendak berangkat Huayen khan menoleh dari kudanya, memandang kepada Ciok Kwan sambil tersenyum mengejek.

"Ciok-ciangkun, benar saja seperti pengakuanmu tadi. Anak panahmu hanya dapat dipergunakan untuk menjatuhkan seekor burung besar yang lambat terbangnya. Akan tetapi menghadapi seekor burung walet yang kecil dan gesit, anak panahmu menjadi tumpul. Ha, ha, ha!" la lalu menarik kendali kudanya dan mengajak Tiong Kiat mengaburkan kuda mereka pergi dari situ.

Ciok Kwan mendongkol sekali akan tetapi apakah yang dapat ia lakukan? Untuk menyerang dan menyergap orang-orang ini tentu saja ia tidak berani karena tidak ada perintah dari kaisar. Untuk bertindak seorang diri terhadap kepala suku bangsa Ouigour ini lebih jerih karena maklum bahwa kepandaiannya takkan dapat menangkan orang kasar itu. Dengan marah dan mendongkol ia Ialu memimpin pasukannya untuk kembali ke kota raja untuk membuat laporan kepada kaisar. Huayen-khan ternyata merasa suka sekali kepada Tiong Kiat. Ia mengajak pemuda ini ke utara dengan segala kehormatan dan di sepanjang jalan pemuda ini diperlakukan sebagai orang setingkat dengannya!

Ketika mereka tiba di tempat perkemahan suku bangsa Ouigour, Tiong Kiat menjadi kagum sekali melihat betapa suku bangsa ini menempati perkemahan yang baik dan mempunyai anggauta yang banyak sekali jumlahnya. Lagi pula, setiap orang laki-laki bertubuh tinggi besar dan tegap, selalu membawa senjata tajam dan nampaknya mengerti ilmu silat. Sungguh merupakan pasukan yang kuat dan baik. Akan tetapi yang lebih menyenangkan hatinya adalah ketika ia melihat wanita-wanita yang berada di situ. Berbeda dengan yang laki-laki para wanita Ouigour rata-rata berkulit bersih, bermata bening dan berhidung mancung, pendek kata cantik-cantik!

Rombongan Huayen khan berjalan perlahan dan pemimpin besar itu menjalankan kudanya perlahan-lahan sambil mengangkat tangan ke kanan ke kiri membalas penghormatan semua anak buahnya yang menyambutnya sepanjang jalan. Tiong Kiat yang menjalankan kudanya di sebelah Huayen-khan, menjadi berdebar bangga karena seakan-akan juga menerima penghormatan besar itu.

Tiba-tiba dari jurusan depan nampak seorang penunggang kuda yang membalapkan kudanya sehingga debu mengebul tinggi, kuda itu berlari cepat sekali dan Tiong Kiat memandang bagaikan terpesona. Memang hebat sekali pemandangan yang nampak di depan matanya itu. Kuda itu berbulu kemerah-merahan, sedangkan penunggangnya adalah seorang gadis yang berpakaian merah lagi sehingga kuda dan penunggangnya itu nampaknya seperti api yang bernyala-nyala. Yang membuat Tiong Kiat merasa kaget adalah kecepatan larinya kuda itu sehingga ia merasa kuatir kalau kuda ini menubruk kudanya dan kuda yang ditunggangi oleh Huayen khan.

Akan tetapi, Huayen-khan memandang dengan tertawa lebar saja dan ketika kuda merah itu sudab tiba di depan Huayen khan tanpa mengurangi kecepatan larinya tiba-tiba saja gadis baju merah itu menahan kendali kuda dan menjepit perut kudanya dengan kedua kakinya dan... mendadak kuda itu berhenti berlari! Kuda itu meringkik seakan-akan kegirangan dan Tiong Kiat sukar untuk dapat mempercayai apa yang dipandangnya dihadapan itu. Ia merasa terheran-heran dan kagum. Tidak saja kagum melihat kecantikan gadis baju merah ini, akan tetapi juga heran melihat cara gadis itu menghentikan kudanya.

Tidak sembarang orang dapat menghentikan larinya kuda yang secepat itu dalam cara demikian mendadak. Kalau gadis itu tidak memiliki tenaga besar dan kepandaian naik kuda yang luar biasa, tak mungkin ia akan dapat menghentikan kudanya secara itu! Gadis itu sama sekali tidak menghormat Huayen-khan, bahkan datang-datang ia lalu menegur Huayen khan.

"Kau membawa benda apakah untukku?"

Huayen khan tertawa bergelak.

"Ang Hwa (bunga Merah) kaukira aku akan lupa kepadamu?"

Huayen khan mengeluarkan sebuah kotak berukir dari dalam bungkusan di atas sela kudanya dan melemparkannya kepada wanita itu. Lemparan ini keras dan cepat akan tetapi gadis itu menangkap peti kecil ini dengan gerakan yang Iihai sekali sehingga kembaIi Tiong Kiat memujinya.

"Bagus!" katanya tak terasa lagi.

Ang Hwa sedang membuka peti itu dan ketika ia mendengar pujian ini, ia menutup petinya dan memandang ke arah Tiong Kiat. Ia nampak tercengang seakan-akan baru sekarang ia melihat pemuda ini.

"Ha, ha, ha!" Huayen-khan tertawa pula.

"Ang Hwa, kau lihat Sim enghiong ini. Bukankah ia gagah dan tampan sekali."

Akan tetapi sambil merengut, Ang Hwa menegurnya,

"mengapa kau membawa seorang Han ke sini?"

"Ang Hwa, jangan terburu-buru memandang rendah! Pemuda Han ini bukanlah sembarang pemuda dan kalau tidak ada dia, belum tentu hari ini aku dapat pulang!"

Kemudian Huayen-khan lalu menceritakan tentang penyerbuan Piloko di luar tembok kota.

"Ha, ha, ha! Ang Hwa, kalau kau melihat betapa seorang panglima kerajaan Tang she Ciok itu berdiri seperti patung, sungguh menyebalkan. Sayang kau tidak ikut dalam rombonganku. Kalau kau ikut, tentu akan kau lihat betapa Piloko si walet itu diusir tunggang langgang oleh Sim-enghiong yang gagah perkasa ini! Ha, ha, ha!"


Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Ang Hwa mengerutkan kening.

"Kau diserbu oleh Piloko di luar tembok kota raja dan kau tidak mendapat bantuan dari kaisar Tang? Hm, siapa tahu kalau hal itu adalah siasat kaisar sendiri membiarkan serigala dan harimau berkelahi sambil bersembunyi dan kalau keduanya sudah lelah dan terluka lalu muncul untuk menangkap mereka?"

Tiong Kiat merasa tak senang mendengar betapa kaisarnya dituduh berlaku curang, akan tetapi ia makin kagum saja karena ternyata bahwa selain cantik jelita dan berkepandaian cukup tinggi, gadis inipun ahli dalam siasat peperangan dan berotak cerdik pula. Siapakah gadis ini, pikirnya. Tentu setidaknya puteri dari Huayen-khan!

"Aku mendengar bahwa Piloko memang bermusuhan dengan suku bangsamu, maka tanpa dibujuk oleh orang lain, ia akan menyerang rombongan Huayen-khan di manapun juga." kata Tiong Kiat tanpa membela langsung kepada kaisar bangsanya.

Ang Hwa memandang tajam kepadanya, kemudian melirik ke arah pedang yang tergantung di pinggang Tiong Kiat.

"Hm, kau membawa-bawa pedang dan kau telah membantu rombongan kami. Akan tetapi aku belum menyaksikan ilmu pedangmu. Malam nanti terang bulan, aku ingin sekali menyaksikan sampai di mana kehebatan ilmu pedangmu!" Sambil berkata demikian, ia lalu memutar kudanya dan membalapkan kudanya dan mendahului rombongan Huayen khan! Huayen khan tertawa bergelak dengan gembira sekali "Ha, ha sim-enghiong, dia memang keras kepala. Kau harus melayaninya malam nanti!"

"Akan tetapi. Huayen khan, aku tidak suka mainkan pedang untuk ditonton," jawab Tiong Kiat.

"siapa yang mau menonton ilmu pedang? Dia mengajakmu mengadu ilmu kepandaian karena dia sendiripun seorang ahli pedang."

Tiong Kiat tertegun, akan tetapi Huayen-khan tidak memberi kesempatan padanya untuk bicara lagi, karena dia telah majukan kudanya sehingga rombongan itu maju terus menuju perkemahan besar di depan.

Setelah memasuki perkemahan, kembali Tiong Kiat tertegun ketika melihat banyaknya gadis-gadis pelayan yang cantik menyambut Huayen-khan, bahkan di antara mereka ini banyak sekali yang datang dari pedalaman, yakni gadis gadis bangsa Han!

"Bersenanglah dan anggap saja ini sebagai rumahmu sendiri!" kata Huayen-khan.Tiong Kiat mendapat tempat di sebuah kemah yang cukup besar, dilayani oleh belasan orang gadis pelayan yang cantik-cantik. Tentu saja pemuda mata keranjang ini merasa gembira sekali dan merasa seakan-akan telah memasuki kahyangan yang penuh dengan bidadari-bidadari.

Malam harinya setelah bulan muncul, Huayen khan datang memasuki kemahnya dan mengajaknya keluar menikmati pemandangan di kebun kembang yang terdapat di tepi sungai. Ketika mereka tiba di tempat itu, benar saja pemandangan amat indahnya. Bunga bunga telah mekar dan di bawah sinar bulan purnama, keadaan di situ nampak indah menyenangkan sekali. Ketika Tiong Kiat melihat bayangan merah berdiri di tempat itu, dikelilingi oleh para pelayan, teringatlah ia akan janji Ang Hwa yang hendak mencoba ilmu pedangnya, diam-diam Tiong Kiat menggigit bibirnya. Ia akan memperlihatkan kepandaiannya agar dapat dikagumi oleh Ang Hwa yang cantik jeIita dan oleh para pelayan itu.

Memang benar seperti yang dikatakan oleh Huayen-khan tadi, karena begitu ia mengajak Tiong Kiat duduk di atas bangku-bangku batu yang telah disediakan di tempat itu, Ang Hwa lalu menghampiri mereka dan berkata kepada Tiong Kiat,

"Sim enghiong, harap kau suka memperlihatkan kepandaianmu agar hati kami tidak ragu-ragu lagi bahwa tamu kami bukanlah seorang pemuda Han yang lemah dan tiada guna belaka!" Gemaslah hati Tiong Kiat, bukan saja gemas melihat sikap gadis cantik yang memandang rendah ini, akan tetapi gemas pula melihat gadis yang benar-benar jelita dan menarik hati ini. Kalau saja ia tidak mengira bahwa gadis ini putri dari Huayen khan, tentu telah dipeluknya dan dibawa Iari ke dalam kemahnya!

"la bangkit berdiri dan berkata dengan senyum.

"Nona sudah menjadi kebiasaanku sekali aku mencabut pedang, aku tentu harus memperoleh hasil. Menghadapi seorang musuh, darah musuh pada pedangku adalah hasil pencabutan pedangku. Oleh karena terhadapmu aku tak dapat berIaku demikian maka apakah hadiahnya apabila aku mendapat kemenangan?"

Ang Hwa memandangnya dengan matanya yang indah, sungguhpun matanya nampak berseri, namun bibirnya tetap memperlihatkan kekerasan hati dan kesombongannya.

"Katakan dulu, bagaimana kalau kau kalah? Pembayaran apakah yang akan kau pertaruhkan?"

Tiong Kiat tertegun. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis ini sedemikian sombongnya, seakan-akan sudah yakin akan kemenangannya sehingga berani mengajaknya bertaruh!

"Darahku yang kupertaruhkan." kata Tiong Kiat.

"Biarlah aku terluka oleh pedangmu kalau ilmu pedangku terlalu rendah untuk menghadapi ilmu pedangmu."

Tiba-tiba Huayen khan tertawa bergelak.

"Ang Hwa, kau terlalu sombong! Mana bisa kau menangkan Sim enghiong? Sim-enghiong, biarlah aku mewakilinya menjawab. Kalau kau menang, aku akan menyerahkannya kepadamu semalam penuh dan ia harus menurut!"

Kali ini benar-benar Tiong Kiat terkejut dan mukanya menjadi marah sekali. Bagaimana Huayen khan dapat menawarkan anaknya seperti itu? Benar ia tidak mengerti akan sikap dan watak orang orang Ouigour ini! Akan tetapi ia masih penasaran dan bertanyalah ia kepada Ang Hwa,

"Nona ucapan tadi dikeluarkan oleh Huayen-khan, bukan olehku."

"Sekali kata-kata sudah diucapkan, takkan ditarik kembali. Aku bersedia menurut perintah kalau aku kalah olehmu!" jawab Ang Hwa dengan singkat, dan gadis ini lalu mencabut sebatang pedang yang mengkilap dan melompat ke tengah pelataran.

Bukan main girangnya hati Tiong Kiat mendengar ini. Gilakah orang-orang ini? Dengan terang-terangan Huayen khan mempertaruhkan kehormatan puterinya sedangkan Ang Hwa sendiri dengan terang-terangan bersedia mentaati perintah itu! Ia lalu mencabut pedangnya dan dengan lompatan ringan sekali ia telah berada di depan Ang Hwa,

"Nona, silakan kau mulai lebih dulu menyerangku!" tantangnya. la mengira bahwa biarpun kepandaian menunggang kuda nona ini hebat, namun ilmu pedangnya tentu tidak berapa berbahaya. Akan tetapi ia kecele kalau berpikir demikian, karena begitu gadis itu menggerakkan pedangnya, Tiong Kiat merasa terkejut sekali.

Gerakan pedang gadis itu sama sekali tak boleh disebut lemah! Bukan main bahkan pedangnyapun bukan pedang biasa, melainkan pokiam (pedang pusaka) yang kuat sehingga ketika beradu dengan Hui Iiong kiam, hanya bunga-bunga api yang berpijar sedangkan pedang gadis itu sama sekali tidak menjadi rusak! Timbul kegembiraan di hati Tiong Kiat dan berbareng ia merasa tertarik dan suka kepada gadis ini. Sukarlah menjumpai gadis yang keras hati, cantik, tinggi kepandaiannya seperti Ang Hwa. Apalagi di tempat ini, dalam lingkungan orang-orang Ouigour yang kasar.

Pada waktu itu, Tiong Kiat telah menamatkan pelajaran Ang-coa kiam dari kitab Ang coa kiam coansi yang dirampasnya dari tangan Tiong Han. maka tingkat ilmu pedangnya sudah mencapai tingkat yang tinggi sekali. Bahkan Tiong Han sendiri belum tentu sekarang dapat melawan pemuda ini yang telah berhasil mewarisi seluruh ilmu pedang Ang coa-kiam-sut, kepandaian ilmu pedang pusaka dari Kim-liong pai!

Tadinya Tiong Kiat hanya mempermainkan Ang Hwa dan mainkan ilmu pedangnya untuk bertahan saja. Ia bertambah heran ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang gadis itu adalah ilmu pedang yang mirip sekali dengan Kun lun kiamhwat! Bagaimana seorang gadis Ouigour dapat mempelajari ilmu pedang dari Kun lun-pai? la ingin cepat-cepat menyelesaikan pibu ini agar dapat bicara berdua dengan gadis yang menarik hatinya ini.

Cepat ia merubah gerakan pedangnya dan sebentar saja terdengar Ang Hwa berseru terkejut. Pedang di tangan pemuda ini tiba-tiba lenyap menjadi segulung sinar putih yang gerakannya aneh dan gesit sekali seperti seekor naga bermain di angkasa. Betapapun Ang Hwa memutar pedangnya dan mengerahkan seluruh kepandaiannya, tetap saja gulungan sinar pedang itu mengurung dirinya, membuat pandangan matanya kabur dan kepalanya pening!

Baru sekarang ia percaya akan kehebatan ilmu pedang Tiong Kiat. Tiba-tiba ia merasa sampokan hebat sekali yang membuat pedangnya terlepas dari tangan dan ketika sinar pedang lawannya itu lenyap, ternyata Tiong Kiat telah berdiri di hadapannya dengan pedangnya yang terlepas dan berada di tangan kiri pemuda itu! Tiong Kiat tersenyum dan mengembalikan pedang itu kepada Ang Hwa yang menerimanya dengan muka merah. Huayen khan menghampiri mereka sambil tersenyum-senyum.

"Bagus, bagus Sim-enghiong. Malam ini kau telah dapat menundukkan bunga merah sungai Selonga! Aku rela memberikannya semalam kepadamu, kau gagah dan cukup berharga untuk itu. Ha, ha, ha! bawalah, bawalah dia ke kemahmu, Sim-enghiong!" Setelah berkata demikian, kepala suku bangsa Ouigour ini lalu meninggalkan mereka, Tiong Kiat berdiri bengong dengan muka merah dan juga merasa terheran-heran. Akan tetapi ketika ia melihat betapa gadis itu memandangnya dengan mesra dan bibirnya tersenyum. Ketika melihat betapa Tiong Kiat menatap wajahnya gadis ini menjadi merah mukanya dan menundukkan muka dengan kemalu-maluan, akan tetapi matanya mengerling dan menyambar dari pinggir, membuat pemuda itu menjadi runtuh betul imannya. Dengan girang Tiong Kiat lalu memegang tangan Ang Hwa dan diajaknya masuk ke dalam kemahnya.

Setelah tiba di dalam kemahnya, mereka duduk berhadapan dan Tiong Kiat yang merasa Iebih terheran-heran dari pada gembira itu Ialu bertanya. Nona, sungguh aku heran sekali melihat kau. Ilmu silatmu tadi sudah terang berasal dari Kun-lun-pai dan melihat wajah dan juga bicaramu kau Iebih pantas menjadi gadis bangsa Han dari pada menjadi seorang gadis Ouigour. Sesungguhnya, bagaimana kau sampai bisa berada di tempat ini? Ang Hwa tersenyum dan memandang kepada Tiong Kiat dengan kagum.

"Sim enghiong, kau gagah sekali dan ilmu pedangmu saja sudah cukup menundukkan hatiku. Oleh karena itu, tiada salahnya aku menceritakan riwayatku dan percayalah hanya kepadamu saja aku mau bercerita."

Ang Hwa adalah puteri tunggal seorang guru silat bangsa Han, anak murid Kun-lun-pai. Ayahnya telah membunuh seorang Pembesar tinggi karena istrinya bermain gila dengan pembesar itu. Tentu saja ia menjadi orang buruan pemerintah dan guru silat she Ang ini melarikan diri bersama anaknya ke utara. Akhirnya ayahnya bertemu dengan Huayen khan dan menjadi pembantunya. Akan tetapi, ketika Ang Hwa berusia lima belas tahun, ayahnya telah meninggal dan ia terserang penyakit berat, sehingga akhirnya gadis ini menjadi yatim piatu dan ikut dengan Huayen khan yang amat mengasihinya.

"Demikianlah, Sim-enghiong, maka sampai sekarang aku berada di sini. Cita-citaku hanya untuk membalas dendam, tidak kepada pembesar tinggi yang sudah terbunuh oleh ayahku akan tetapi kepada pemerintahan Tang terutama kaisarnya yang telah membuat ayah menderita sengsara di tempat asing ini."

"Akan tetapi, bukankah suku bangsa Ouigour bersahabat dengan pemerintah Tang?" tanya Tiong Kiat.

"Benar, akan tetapi itu hanya siasat belaka, keadaan kami belum kuat benar untuk melakukan penyerangan dan jalan terbaik adalah bersahabat dengan kaisar kerajaan Tang."

Tiong Kiat berpikir bahwa tentu Ang Hwa kini diaku anak oleh Huayen-khan. Kalau ia dapat menikah dengan gadis ini dan menjadi menantu Huayen khan, tentu pengaruhnya akan besar dan kelak ia akan mendapat kesempatan menggantikan kedudukan Huayen khan! Alangkah senangnya menjadi raja dari suku bangsa ini. Akan tetapi, ia tidak senang mendengar betapa Huayen-khan diam-diam hendak menyerang dan menggulingkan kerajaan Tang. Betapapun juga, Tiong Kiat masih mempunyai darah pahlawan. Ia maklum akan kebijaksanaan Kaisar Tai Cung, dan biarpun ia tidak mundur untuk melakukan pekerjaan rendah seperti jai-hwa cat dan pencuri, namun untuk menghianati Kaisar Tai Cung, ia tidak sudi! Kalau aku dapat menikah dengan gadis ini dan menjadi mantu dari Huayen-khan, aku akan dapat membujuknya dan mempengaruhinya sehingga selamanya suku bangsa ini akan menjadi sahabat baik dari pemerintahan Tang, pikirnya.

la memandang gadis itu yang makin lama nampak makin cantik menarik. Tak terasa lagi ia mengulurkan tangan memegang lengan gadis itu dan Ang Hwa mendiamkan saja, bahkan tersenyum menantang!

"Alangkah bahagiaku dapat menerima kehormatan ini," kata Tiong Kiat sambil mengagumi mata yang bening itu.

"Akan tetapi aku benar-benar masih merasa heran mengapa Huayen khan suka menyerahkan puterinya kepada seorang asing seperti aku. Bukankah ini agak terlalu".terlalu mudah? Aku ingin menikah dengan kau secara resmi, Ang Hwa, kau cukup pantas menjadi istriku yang tercinta."

Kini Ang Hwa memandang dengan mata terbelalak.

"Puterinya? Puterinya yang mana maksudmu, Sim-enghiong?"

"Eh, bukankah kau menjadi puteri Huayen-khan?"

Ang Hwa menggeleng kepalanya.

"Aku bukan puterinya, juga tidak diaku anak olehnya. Aku" aku telah menjadi isterinya."

Bagaikan disengat ular berbisa, Tiong Kiat menarik kembali tangannya yang memegang lengan Ang Hwa. Pemuda ini kalau sudah tertarik hatinya oleh seorang wanita, ia tidak akan memperdulikan apakah wanita itu anak orang ataupun puteri orang. Akan tetapi menghadapi Huayen khan yang menyerahkan istri sendiri kepadanya ini baginya merupakan haI yang aneh dan hebat sekali, yang membuatnya menjadi ngeri juga.

"Apa.....?? Kau istrinya? Mengapa... mengapa ia memberikan kau kepadaku untuk melayaniku malam ini? Bagaimana mungkin ada perbuatan yang gila ini?"

Ang Hwa tersenyum menarik dan kini dialah yang menghampiri Tiong Kiat dengan sikap menarik sekali.

"Pemuda bodoh. Apa salahnya hal itu kami lakukan? Biarpun aku menjadi isterinya, akan tetapi dia telah berjanji takkan mengikatku. Aku boleh bebas sesuka hatiku. Aku ....... aku dengan suka sendiri melayanimu dan dia....ah, bukankah dia mengharapkan bantuanmu untuk mengguIingkan kaisar Tang? Kau suka kepadaku, aku sendiripun kagum melihatmu dan suamiku itu ingin menarik tenagamu. bukankah kita bertiga sudah merupakan tiga serangkai yang cocok sekali?"

Pucatlah muka Tiong Kiat mendengar ini. Ia menjadi marah sekali Jadi orang telah sengaja menggunakan istri sendiri sebagai umpan agar ia mau berlaku khianat terhadap kaisarnya?

"Tidak, tidak! Kalian sudah gila! Jangan harap akan dapat menarikku melakukan penghianatan! Kalau Huayen-khan hendak menyerang negaraku, lebih dulu dia akan berhadapan dengan aku sebagai musuhnya!"

Ang Hwa menjadi pucat. Senyumnya masih mengembang di bibir, akan tetapi sepasang matanya yang bening kini bernyala-nyala.

"Bagus sekali! Kau tidak dapat menerima kebaikan orang!" Setelah berkata demikian, Ang Hwa melompat keluar dari tenda.

Tiong Kiat merasa curiga, cepat ia mengambil bungkusan pakaiannya dan hendak keluar dari tenda akan tetapi di luar tenda itu ternyata telah terkurung oleh pasukan Ouigour yang dipimpin oleh Huayen khan sendiri bersama istrinya. Ang Hwa!

"Orang she Sim!" kata Huayen-khan dengan suara besar.

"Kau telah menghina isteriku dan menolak kebaikanku. Kau tidak mau membantu kami? Baik, jangan harap akan dapat keluar dari sini dalam keadaan bernyawa!" Sambil berkata demikian, Huayen khan telah menodongnya dengan anak panahnya yang lihai.

Akan tetapi Tiong Kiat tidak menjadi gentar. Ia tersenyum pahit dan berkata,"Kukira aku telah membantu seekor domba yang patut dibela, tidak tahunya di balik kedok domba itu tersembunyi muka serigala yang jahat! Huayen-khan, betapapun juga, aku Sim Tiong Kiat masih tetap seorang Han yang tidak nanti mau melakukan pengkhianatan terhadap negara dan bangsa sendiri!" SambiI berkata demikian Tiong Kiat cepat mencabut pedangnya.

Baiknya ia berlaku cepat, karena belum habis ucapannya keluar dari mulut, tiga batang anak panah yang dilepas sekaligus oleh Huayen-khan telah menyambar ke arahnya! la cepat memutar pedangnya dan dengan menerbitkan suara nyaring, tiga batang anak panah itu dapat dipukul jatuh semua.

Huayen khan terkejut sekali. Belum pernah ia melihat ada orang yang dapat menangkis tiga anak panahnya secara demikian mudahnya, maka ia lalu cepat memberi aba-aba kepada para anak buahnya. Tiong Kiat mendahuluinya dan cepat menerjang dari samping kiri. Ia maklum bahwa untuk melakukan perlawanan dan menghadapi Huayen khan, Ang Hwa dan sekian banyaknya pasukan Ouigour, adalah hal yang tidak mungkin dan betapapun tingginya ilmu silatnya, kalau ia melawan ribuan orang ini, akan sama halnya dengan membunuh diri.

Maka ia lalu menerjang ke kiri untuk menjauhi Huayen khan dan Ang Hwa. Begitu ia menerjang, pedangnya telah menjatuhkan tiga orang perwira Ouigour sehingga para pengepung di bagian ini menjadi jerih dan mundur. Tiong Kiat melompat ke dalam gelap dan mengamuk serta merobohkan para penghadangnya! Keadaan menjadi geger dan di mana saja pemuda itu lari dan dihadang, pasti robohlah beberapa orang!

Akhirnya setelah merobohkan dua puluh orang penghadang lebih, pemuda ini dapat membobolkan pengepungan dan melarikan diri di dalam gelap! Terdengar teriakan-teriakan di belakangnya dari mereka yang mengejarnya, akan tetapi siapakah yang dapat menyusul pemuda yang memiliki ilmu berlari cepat ini? Sebentar saja, suara yang mengejarnya makin lemah dan tak terdengar lagi.

Cari Blog Ini