Ceritasilat Novel Online

Pedang Ular Merah 11


Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 11




Tiong Kiat melarikan diri terus ke selatan. Tujuan perjalanannya adalah kota raja, karena sebelum bertemu dengan Huayen-khan, ia pun ingin sekali melihat kota raja. Hatinya merasa kecewa dan timbullah kedukaan di dalam dadanya. Teringat ia kepada Suma Eng, nona yang sampai pada saat itu juga masih selalu ia kenangkan dengan penuh kerinduan hati. Betapapun banyaknya wanita yang dijumpainya, tak seorangpun di antara mereka yang dapat dibandingkan dengan Suma Eng. Ia merasa menyesal sekali mengapa ia dahulu telah mengganggu Suma Eng, karena kalau tidak, tentu nona itu tidak akan memusuhinya dan mungkin sekali ia akan dapat menjadi sahabat baik nona itu. Gemas ia kalau teringat kepada Ang Hwa, gadis yang ternyata menjadi isteri Huayen khan yang amat tidak tahu malu itu.

Ia ingin masuk ke kota raja dan kalau mungkin, akan memberitahukan kepada pemerintah akan maksud Huayen khan yang hendak memberontak itu. Teringat kepada Eng Eng dan Ang Hwa, hatinya menjadi kesal dan ia tidak tertarik oleh gadis-gadis yang dijumpainya di dalam perjalanannya.

Pada suatu hari ia tiba di kota Hong-bun, sebuah kota kecil di sebelah kota raja. Ketika ia sedang berjalan memasuki kota itu ia melihat Iima orang tosu jubah kuning berjalan cepat bersama seorang panglima bertubuh tinggi besar dan nampak gagah sekali. Melihat lima orang tosu ini, terkejutlah hati Tiong Kiat. Sungguhpun ia belum pernah melihat lima tosu ini namun melihat pakaian mereka yang berwarna kuning dan melihat pula tongkat bambu yang berada di tangan mereka, dengan mudah ia menduga bahwa mereka ini tentulah Go bi Ngo koat-tung (Lima Tongkat Aneh dari Go-bi) yang telah amat terkenal namanya karena ilmu silat mereka yang amat tinggi. Juga hatinya tertarik sekali ketika melihat panglima yang gagah itu.

Timbullah dalam hati Tiong Kiat ingin mengetahui apakah yang hendak dilakukan oleh lima orang tosu itu. Maka diam-diam ia lalu mengikuti mereka dari jauh. Ternyata bahwa enam orang itu menuju keluar dari kota dan akhirnya mereka menuju ke barat melewati sebuah hutan kecil dan masuk ke dalam dusun di kaki gunung keciI. Di luar dusun ini terdapat sebuah benteng besar, dan temboknya sudah nampak menjulang tinggi dari jauh.

Panglima itu dan lima tosu baju kuning tadi lalu memasuki pintu benteng yang dijaga oleh belasan orang perajurit. Terpaksa Tiong Kiat bersembunyi di balik pohon karena tentu saja ia tidak dapat masuk. Hatinya makin terheran-heran. Terang sudah panglima tadi adalah Panglima kerajaan, mengapa lima orang tosu ini ikut masuk ke dalam benteng? Ada keperluan apakah para pendeta itu memasuki benteng yang penuh dengan perajurit? Tiong Kiat adalah seorang perantau yang tidak tentu tujuannya, maka setiap kali melihat kejadian yang ganjil, ia takkan puas sebelum dapat mengetahui sebab-sebabnya. Ia lalu mencari jalan masuk dan berjalan sambil bersembunyi di balik pepohonan mengitari tembok benteng itu. Seperti biasa pada waktu negara tidak sedang mengalami perang, penjagaan tembok benteng tidak dilakukan dengan keras dan akhirnya, di sebelah belakang benteng itu Tiong Kiat melihat tembok yang tidak terjaga dan nampaknya sunyi saja. Ia lalu mengeluarkan kepandaiannya, melompat dengan gesit ke atas tembok yang tinggi itu.

Setelah mendekam di atas tembok beberapa lama sambil mengintai ke dalam ia melihat bahwa di bagian belakang itu hanya lapangan rumput yang agaknya dipergunakan sebagai tempat latihan perang-perangan, maka ia lalu melompat ke dalam dengan gerakan amat ringan. Tiba-tiba ia mendengar suara orang dan cepat ia bersembunyi di belakang kandang kuda yang penuh dengan kuda-kuda tinggi besar. Dua orang nampak mendatangi sambil membawa rumput makanan kuda.

"Sungguh aneh sekali Oei ciangkun itu," terdengar seorang diantara kedua orang penjaga itu berkata.

"biasanya kalau ada orang tertangkap lalu dihukum mati atau dikirim ke kota raja untuk diadili. Akan tetapi siluman wanita itu bahkan diharuskan mendapat perlakuan yang baik."

"Lo Siang, kau tahu apa?" kata orang kedua.

"Siluman wanita itu demikian cantik jelita, masih muda pula. Takkan lebih dari dua puluh tahun, bagaikan kembang sedang mekarnya. Siapa yang tega untuk membunuhnya? Lagi pula ilmu silatnya demikian lihai sehingga kalau tidak ada lima orang tosu Gobi Ngo-koai tung itu, siapa yang mampu menangkapnya? Dan Oei ciangkun sendlri masih muda, belum beristeri.... hem! Siapa tahu?"

"Apa maksudmu, Lo Siang?"

"Oei ciangkun gagah perkasa, tawanan ini seorang gadis cantik jelita, apalagi? sudahlah, Lo Kui, kita menanti saja dibagikannya arak wangi! Ha, ha. ha!"

Tiba-tiba ada angin menyambar dan tahu-tahu seorang pemuda entah dari mana datangnya, telah berdiri di depan mereka! Sebelum mereka sempat membuka suara kedua tangan Tiong Kiat menyambar jalan darah mereka di bagian ya-hu hiat dan lemaslah tubuh mereka, sedangkan ketika mereka menggerakkan mulut untuk berteriak minta pertolongan kepada kawan-kawan ternyata tak ada sedikitpun suara dapat keluar dari tenggorokan mereka.

Tiong Kiat tidak mau mengganggu atau melukai kedua penjaga ini, karena sesungguhnya ia masuk ke benteng ini hanya untuk memuaskan ingin tahunya saja, dan tidak ada permusuhan sesuatu antara dia dan tentara kerajaan. Akan tetapi, ketika ia mendengar percakapan antara kedua orang penjaga ini, hatinya tertarik sekali. Jadi lima orang tosu itu betuI adalah Gobi Ngo-koai tung? Tiong Kiat makin tertarik ketika mendengar tentang ditangkapnya seorang gadis cantik yang berkepandaian tinggi. Ia ingin sekali melihat gadis ini!

Dengan hati-hati sekali ia lalu menyeret kedua orang penjaga itu dan menyembunyikan mereka di dalam kandang kuda, kemudian ia lalu melanjutkan pemeriksaannya dan berindap-indap menghampiri bangunan besar yang berada di tengah benteng. Ketika terdengar suara riuh dan tindakan kaki banyak orang, ia cepat bersembunyi lagi. Sebentar kemudian muncullah tiga barisan yang dengan gagahnya menuju ke lapangan rumput di belakang itu. Mereka ini hendak mulai dengan latihan mereka, dipimpin beberapa perwira.

Setelah barisan-barisan itu lewat, Tiong Kiat menyelinap ke belakang bangunan besar, sekali ia enjotkan tubuhnya ia telah berada di atas genteng, bersembunyi di wuwungan yang tinggi. Kemudian setelah maju lagi beberapa jauhnya, ia mendengar suara seorang wanita berseru nyaring.

"Aku sudah kalah tertangkap, mau apa lagi? Kalau kau mau membunuhku, bunuhlah siapa takut mati? Hanya sayang sekali bahwa kalian ini orang-orang gagah ternyata hanyalah pengecut-pengecut besar yang melakukan pengeroyokan atas diri seorang wanita untuk memperoleh kemenangan!"

"Nona yang baik," terdengar suara yang tenang dan besar," mengapa kau berkeras hendak memusuhi kami? Kami tidak mempunyai maksud buruk terhadap kau dan apakah kesalahan beberapa anggauta kami itu tak dapat kau maafkan? Kalau saja kau suka membantu pekerjaan kami, bukankah hal ini bagus sekali dan kau berarti akan dapat berbakti kepada negara?"

Tiong Kiat makin tertarik dan hatinya berdebar-debar. Ia seperti pernah mendengar suara wanita yang nyaring dan keras ini. Cepat ia lalu menghampiri ke arah suara itu dan membuka genteng mengintai ke dalam. Hampir saja ia mengeluarkan seruan kaget ketika ia menjenguk ke bawah. Ternyata bahwa wanita itu benar-benar adalah Suma Eng! Nona yang siang malam menjadi buah kenangannya ini duduk di atas bangku dengan sikap marah, sedangkan di sekelilingnya, seakan-akan mengurungnya, duduk panglima yang dilihatnya tadi bersama kelima Gobi Ngo-koai tung!

Bagaimanakah Eng Eng sampai terjatuh ke dalam tangan mereka ini? Baiklah kita mengikuti pengalamannya secara singkat melanjutkan penuturan ini. Setelah Eng Eng berpisah dengan Tiong Han untuk mencari jalan masing-masing dalam usaha mereka berdulu-duluan mencari Tiong Kiat, gadis ini langsung menuju ke kota raja. Ia pikir bahwa seorang pemuda jahat seperti Tiong Kiat tentu akan memilih tempat yang ramai dan indah, maka ia lalu menuju ke kota raja untuk mencari jejak pemuda yang dibencinya itu.

Karena ia belum pernah pergi ke kota raja dan Eng Eng merasa tertarik sekali oleh pemandangan di sebelah barat Propinsi Hopak yang bertapal batas dengan Propinsi Shansi di sebelah barat dan dengan Mongolia di sebelah utara, maka ia telah salah jalan bukannya langsung ke kota raja, akan tetapi lewat di sebelah barat kota raja dan terus ke utara! tanpa disadarinya ia telah melewati kota raja dan kini berada di sebelah utaranya!

Demikianlah, maka pada suatu hari tibalah ia di kota Hong-bun, kota yang jauh letaknya dari benteng itu. Ketika ia sedang berjalan sambil melihat-lihat, tiba-tiba dari depan mendatangi lima orang tentara kerajaan yang berjalan saling bergandengan dan melihbat jalan mereka yang terhuyung-huyung itu, mudah diduga mereka berada dalam keadaan mabok, Eng Eng tidak memperdulikan mereka, akan tetapi sebaliknya lima orang tentara itu ketika melihat Eng Eng dan ketika gadis itu hendak mengelak ke kiri, mereka sengaja bergerak ke kiri pula dan dengan sengaja menghadang perjalanan gadis ini. Marahlah Eng Eng dan dengan muka merah ia membentak.

"Kawanan anjing, apakah kau mau mengganggu orang di tengah jalan? Minggir! Akan tetapi sambil tertawa-tawa, lima orang tentara itu lalu berebut maju untuk memeluk atau meraba tubuh gadis yang cantik jelita ini. Akan tetapi, bukan main hebatnya akibatnya kekurang-ajaran mereka ini. Terdengar suara bak bik buk, disusul oleh pekik mereka dan tubuh mereka terlempar ke kanan kiri terkena tendangan kedua kaki Eng Eng! Bagaikan babi-babi disembelih, kelima orang kurang ajar ini mengaduh-aduh dan tak dapat bangun lagi.

Pada hari itu, memang banyak anak buah tentara dalam benteng diberi kesempatan keluar dari benteng dan jumlah mereka ini ada puluhan orang. Ketika mendengar suara ribut-ribut dan melihat lima orang tentara dipukul oleh seorang gadis cantik, kawan-kawan mereka yang berada di kota itu, menjadi marah sekali dan sebentar saja Eng Eng dikurung oleh puluhan orang anggauta tentara. Mereka ini mula-mula mempergunakan tangan kosong hendak menangkap gadis ini dan menawannya, akan tetapi apakah artinya keroyokan orang-orang yang hanya kuat tenaga akan tetapi tidak memiliki ilmu kepandaian berarti itu terhadap Eng Eng? Gadis ini menggerakkan kaki tangannya seperti kitiran cepatnya dan bagaikan rumput dibabat, robohlah para pengeroyoknya.

Hal ini membuat para tentara menjadi marah sekali. Mulailah mereka mencabut golok mereka.

"Gadis liar! Menyerahlah sebelum kami melukaimu!" teriak seorang perwira.

"Bangsat pengecut! Kalian yang mencari perkara, mengapa aku harus menyerah? Siapa takut kepada golokmu yang tumpul itu?" Eng Eng membentak.

Maka menyerbulah para pengeroyoknya, kini dengan senjata tajam di tangan. Namun, tetap saja mereka bukanlah lawan Eng Eng. Gadis ini mencabut pedangnya dan ketika sinar merah dari pedangnya berkelebat, terdengar suara keras dan golok-golok di tangan para pengeroyoknya terbabat putus, runtuh bagaikan daun bambu jatuh berhamburan!

Tentu saja para tentara ini menjadi terkejut sekali. beberapa orang di antaranya cepat melarikan diri ke benteng untuk memberi laporan kepada Oei-ciangkun, panglima yang menjadi komandan di dalam benteng itu. Pada waktu itu, Oei-ciangkun sedang menerima kedatangan kawan-kawan baiknya, yakni Gobi Ngo koai-tung yang bernama Iucu, karena mereka sesungguhnya telah membuang nama asal dan memakai nama yang sederhana saja yakni Thian It Tosu, Thian ji Tosu, Thian Sam Tosu, Thian Si Tosu dan Thian Go Tosu. Kelima orang tosu dari Go bi-san ini memang pendeta-pendeta yang berilmu tinggi dan penggantian nama mereka ini sesungguhnya ada alasan yang amat kuat bagi mereka.

Dahulu, sebelum perkumpulan agama yang disebut Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) belum lenyap dan belum dihancurkan oleh Kaisar Tai Cung yang melihat gejala gejala tidak baik dalam perkumpulan agama ini. Kelima orang pendeta ini sebetulnya menjadi pengurus-pengurus terkemuka dari Pek-lian-kauw. Oleh karena Pek-lian kauw sudah hancur dan musnah, maka untuk melindungi dirinya, mereka melarikan diri ke Go bi san dan menukar nama, sehingga kini terkenal sebagai Gobi Ngo-koai-tung yang amat lihai.

Adapun Oei-ciangkun ini sebenarnya, bernama Ui Sun dan ia dulu secara bersembunyi adalah seorang pemeluk agama Pek lian-kauw. Ketua pendeta wanita yang masih muda dan cantik sekali bagaikan bunga teratai, sesungguhnya diam-diam mengadakan perhubungan dengannya dan menjadi kekasihnya. Akan tetapi Oei Sun pandai sekali menyembunyikan dirinya dan berlindung di balik kedudukannya sebagai panglima yang memimpin puluhan ribu tentara, Setelah kekasihnya itu tewas dalam pembasmian Pek lian-kauw dan perkumpulan ini bubar, diam-diam Oei Sun masih mengadakan perhubungan dengan Gobi Ngo koai-tung yang bersembunyi di pegunungan Go-bi-san.

Demikianlah antara Oei ciangkun dan Gobi Ngo-koai-tung terdapat hubungan yang erat sekali, maka tidak mengherankan apabila pada hari itu mereka berlima datang mengunjungi Oei ciangkun di dalam bentengnya. Gobi Ngo-koai tung telah membuat nama besar maka selain Oei ciangkun boleh dibilang tidak ada orang lain yang mengetahui bahwa mereka adalah bekas-bekas pemimpin Pek lian kauw.

Oei ciangkun dan kelima orang tamunya sedang bercakap-cakap ketika datang laporan tentang seorang gadis yang mengamuk hebat di kota Hong-bun. Panglima ini menjadi marah dan bersama Go bi Ngo koai-tung ia cepat naik kuda menuju ke Hong bun. Di situ benar saja ia melihat seorang gadis muda yang cantik sekali tengah mainkan pedangnya yang mengeluarkan cahaya merah membabat putus setiap golok yang menghadangnya sehingga tempat pertempuran itu telah penuh dengan potongan golok dan tubuh para tentara yang terluka! Biarpun tak seorang di antara para pengeroyok ini ditewaskan oleh Eng Eng, namun pemandangan ini cukup hebat dan mengerikan.

"Gadis liar dari manakah berani melawan tentara pemerintah?" bentak Oei ciangkun yang telah mencabut golok besarnya dan menyerbu ke arah tempat pertempuran itu. Melihat majunya Oei ciangkun, semua tentara lalu mengundurkan diri, hanya mengurung tempat itu dari jauh, memberi tempat yang cukup luas bagi pemimpin. Semua tentara kini telah menjadi gembira untuk menonton pertempuran yang pasti akan menarik hati ini! Eng Eng menengok dan memandang kepada panglima yang baru datang.

la melihat seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, berpakaian indah dan gagah sekali, keningnya lebar, matanya tajam dan goloknya yang dipegangnya besar dan nampak berat sekali, ia dapat menduga bahwa orang ini tentulah komandan dari pasukan kerajaan, maka sebagai seorang gadis yang telah tahu akan artinya perbuatan yang melawan alat pemerintah, ia tidak mau menyerang panglima itu. Ia tahu bahwa ia dapat dianggap sebagai seorang pemberontak yang berdosa besar, maka sebelum ia menyerang, ia hendak melihat dulu bagaimana sikapnya panglima ini.

"Aku bukan melawan tentara pemerintah, akan tetapi membela diri. Kalau anak buahmu maju hendak menggangguku, apakah aku harus berdiam diri saja tidak melawan? Lima orang anak buahmu dalam keadaan mabok telah menggangguku di jalan, dan aku hanya memberi hadiah tendangan perlahan saja kepada mereka. Akan tetapi semua orang-orangmu secara tak tahu malu sekali lalu maju mengeroyokku. Siapa mau dipegang oleh tangan-tangan mereka yang kotor dan bau? Aku melawan dan akhirnya terjadi pertempuran ini. Nah, kau boleh pikir sendiri, siapa yang salah?"

Oei ciangkun tertegun. Belum pernah ia melihat seorang gadis sehebat ini! Bahkan kekasihnya yang dulu, yakni pemimpin Pek lian-kauw yang cantik bagaikan dewi kahyangan itu, kalau dibandingkan dengan nona ini, masih belum dapat dikata melebihi! "Nona, betapapun juga, kau telah merobohkan banyak anggautaku dan kau telah melakukan perlawanan. Tahukah kau bahwa untuk dosa ini saja kau dapat dijatuhi hukuman mati? Lebih baik kau menyerah dan mari ikut dengan kami ke benteng untuk diperiksa perkaranyalebih lanjut."

"Kau ini siapakah maka berani memerintah kepadaku? Kalau kau menginsafi kesalahan anak buahmu, seharusnya kau yang minta maaf kepadaku, baru aku mau menghabiskan perkara sampai di sini saja."

"Nona, kau sombong sekali. Kau berhadapan dengan seorang panglima kerajaan, dan untuk kebaikanmu sendiri, kau harus tunduk kepadaku."

Eng Eng yang berwatak keras itu makin marah.

"Panglima kerajaan? Jangankan baru itu, biar kau menjadi panglima langit sekalipun, aku takkan mau tunduk begitu saja kalau aku tidak bersalah. Mengerti?"

"Bagus, hendak kulihat sampai di mana sih kepandaianmu maka kau berani bersombong di depanku?" Oei Sun yang segera menggerakkan golok besarnya, melakukan serangan ancaman kepada Eng Eng. Gadis ini dengan sengaja lalu menyambut datangnya golok ini dengan pedangnya.

Terdengar suara keras sekali dan bunga api berpijar ke atas. Akan tetapi keduanya menjadi terkejut. Oei Sun terkejut karena biarpun ia telah menggunakan seluruh tenaganya yang besar namun tidak nampak gadis itu terpengaruh bahkan ia merasa tangannya tergetar. Sebaliknya Eng Eng terkejut karena melihat betapa golok itu tidak menjadi rusak oleh bacokan pedang merahnya.

Karena maklum atas ketangguhan lawan masing-masing, keduanya lalu maju dan terjadilah pertempuran yang hebat sekali, Oei Sun bertenaga besar sedangkan goloknya yang besar itu berat sekali, maka gerakannya menimbulkan angin yang bersuitan. Goloknya diputar dan menyambar antep membuat pakaian Eng Eng berkibar karena angin sambarannya. Akan tetapi gadis itu bagaikan seekor burung walet lincahnya, bergerak demikian cepat sehingga ia nampak seperti beterbangan diantara sambaran golok. Bahkan pembalasan yang dilakukan oleh serangan pedang Eng Eng, sebentar saja membuat Oei San menjadi sibuk sekali.

Belum juga tiga puluh jurus mereka bertempur, Oei Sun sudah menjadi kewalahan terdesak hebat dan hanya dapat menangkis dan melindungi tubuhnya dengan putaran goloknya. Sesungguhnya, kalau Eng Eng mau gadis ini pasti akan dapat merobohkan Oei Sun. Akan tetapi selama perantauannya di dunia kang.ouw, gadis ini telah mendapat banyak pengalaman dan telah mendengar banyak urusan, sehingga ia maklum bahwa sekali-kali ia tidak boleh melukai atau menewaskan seorang panglima kerajaan.

Kalau para anggauta tentara yang menonton pertempuran itu tidak mengerti bahwa gadis yang lihai itu telah mengalah dan tidak mau mendesak lawannya, adalah Go bi Ngo-koai-tung yang merasa terkejut sekali. Mereka ini cukup maklum akan kelihaian Oei Sun, akan tetapi sekarang menghadapi gadis pedang merah ini ternyata sahabat mereka ini kalah jauh. Thian it Tosu, yang tertua di antara mereka dan yang selalu menjadi pemimpin, tiba-tiba mendapat pikiran yang amat baik. la mendekati adik-adiknya dan membisikkan sesuatu.

"Dia Iihai sekali, alangkah baiknya kalau dapat membantu kita." Setelah berkata demikian, ia dan keempat orang adiknya lalu melompat ke medan pertempuran sambil berkata,

"Lihiap (nona gagah) harap suka melihat muka kami dan hentikanlah pertempuran ini. Kami adalah Go-bi Ngo-koai tung, dan Oei-ciangkun ini adalah sahabat baik kami." sambil berkata demikian Thian it Tosu lalu mengebutkan lengan bajunya sebelah kiri untuk menangkis pedang merah Eng Eng.

Ketika ujung lengan baju itu mengenai ujung pedang, Eng Eng merasa tangannya tergetar, maka tahulah ia bahwa ia menghadapi seorang lawan yang tangguh. Akan tetapi, di dalam kepala gadis ini tidak ada kata-kata takut, maka ia lalu menjawab,

"Aku yang muda dan bodoh tidak kenal dengan Go-bi Ngo koai tung sungguhpun aku mendengar nama mereka yang besar. Soalnya bukan kenal atau tidak, akan tetapi dalam pertempuran ini soalnya adalah salah dan benar. Aku tidak merasa bersalah, dan kalau ciangkun ini mau menghabiskan urusan sampai di sini, minggirlah dan biarkan kupergi."

"Tidak bisa begtu mudah, lihiap." kata pula Thian It Tosu,

"Siapapun juga yang salah, kau telah melakukan perlawanan terhadap tentara negeri, ini sudah menjadi satu dosa yang besar sekali. Kalau kau suka ikut ke benteng, biarlah kami berlima yang akan membujuk kepada sahabat kami Oei ciangkun untuk memaafkanmu."

"Aku tidak mengemis maaf!" teriak Eng Eng marah karena kini jelaslah baginya bahwa lima orang tosu ini terang-terangan berpihak pada Oei ciangkun,"Di dalam kebenaran, aku tidak takut kepada siapapun juga!"

"Ngowi totiang, tolong dan bantulah aku menangkap gadis liar ini!" seru Oei Sun dengan marah dan ia lalu menggerakkan goloknya lagi.

Eng Eng menangkis dan kini gadis inipun menjadi marah sekali. Kalau tadi Eng Eng hanya ingin mempermainkan saja kepada lawannya ini, sekarang ia membalas dengan serangan maut yang amat berbahaya.

Oei Sun terkejut sekali dan agaknya ia takkan dapat menangkis atau mengelak lagi, akan tetapi tiba-tiba meluncur dua buah tongkat bambu yang menangkis pedang Eng Eng.Gadis ini melompat mundur dan segera memutar pedangnya menghadapi keroyokan Oei Sun dan Go bi Ngo-koai tung itu. Ternyata bahwa nama besar Go-bi Ngo koai-tung bukanlah nama kosong belaka.

Ilmu tongkat mereka luar biasa sekali gerakannya dan tongkat bambu di tangan mereka merupakan senjata penotok yang amat hebat. Kalau hanya menghadapi mereka seorang, agaknya Eng Eng masih akan dapat menandingi mereka, akan tetapi kini ia menghadapi lima orang sekaligus, masih ditambah pula oleh Oei Sun yang kepandaiannyapun tidak rendah. Maka Eng Eng menjadi terdesak hebat.

Sungguhpun ia menggigit bibir dan melakukan perlawanan sekuat tenaga, namun dalam jurus ke tiga puluh, tiba-tiba pedangnya terjepit oleh empat batang tongkat dan tongkat kelima menyambar tangan kanannya! Terpaksa untuk menolong tangannya, Eng Eng melepaskan pedang itu yang segera dirampas oleh Thian It Tosu! Gadis ini terkurung di tengah-tengah dan tidak bersenjata lagi.

"Bagaimana, lihiap, apakah kau tidak mau ikut kami ke benteng untuk bicara secara baik?" tanya Thian it Tosu.

Eng Eng bukanlah orang bodoh yang menurutkan nafsu hati atau kemarahan. la tahu sepenuhnya bahwa kalau ia melawan terus dengan tangan kosong, ia akan mati konyol. Tentu saja ia tidak mau hal ini terjadi. Ia ingin melihat perkembangan selanjutnya dan baru berlaku nekad kalau sudah tidak ada jalan keluar lagi. Pula, mereka ini agaknya tidak berniat buruk terhadap dirinya. Maka ia lalu menganggukkan kepala dan demikianlah, mereka semua lalu menuju ke dalam benteng. Oei Sun minta kepada Eng Eng untuk berangkat lebih dulu. diiringi oleh semua perwira dan pasukannya, dengan alasan bahwa ia dan Go-bi Ngo koai tung mempunyai urusan di kota Hong-bun.

Padahal sebenarnya ia dan kelima kawannya hendak mencari keterangan di kota itu tentang diri Eng Eng, kuatir kalau-kalau nona gagah itu mempunyai kawan-kawan yang lain. Akan tetapi ketika mereka mendapat kepastian bahwa nona itu tidak mempunyai kawan lain, mereka lalu cepat kembali ke benteng. Dan tanpa mereka ketahui, dalam perjalanan ke benteng inilah Tiong Kiat melihat lalu mengikuti mereka dengan sembunyi.

Akan tetapi, Oei Sun dan lima orang tosu itu kecewa hatinya, mereka ternyata tak berhasil membujuk Eng Eng. Gadis ini tetap tidak mau menurut, dan tidak mau membantu mereka.

"Aku adalah seorang perantau, untuk apa aku ikut-ikut dengan urusan ketentaraan? Aku tidak sudi membantu pekerjaan orang lain, apalagi pekerjaan dalam ketentaraan yang tidak kumengerti sama sekali."

"Nona Suma " kata Oei Sun,

"kuharap kau suka berlaku bijaksana dalam hal ini. Kau tahu bahwa kami telah berlaku murah kepadamu dan kami takkan melanjutkan urusan kesalahanmu yang telah melawan dan melukai anggauta ketentaraan kami dan sebagai gantinya, kami hanya ingin kau tinggal di sini dan membantu apabila kami mengadakan pertempuran melawan musuh-musuh kami. Kau tak perlu ikut memikirkan persoalannya, hanya kami kekurangan tenaga yang cukup untuk menghadapi musuh. Percayalah bahwa kami hendak berjuang untuk maksud yang suci buktinya kelima orang pendeta inipun telah membantu kami! Tinggal kau pilih saja membantu kami dan terbebas dari tuntutan kami atas kesalahanmu tadi!"

"Sesukamulah, akupun hanya mengajukan dua buah usul. Melepaskan aku pergi atau membunuhku, terserah!" jawab Eng Eng dengan berani.

Untuk beberapa lama keenam orang itu saling pandang dengan putus asa. Kemudian Thian It Tosu berbangkit dari tempat duduknya dan tersenyum.

"Suma lihiap, pinto (aku) kagum sekali melihat keberanianmu. Biarlah, kalau kau tidak mau membantu, kami akan melepaskanmu. Terimalah pedangmu kembali. Hanya saja, pinto percaya penuh bahwa kelak apabila kau melihat kami membutuhkan bantuan, pasti kau akan membantu tanpa diminta lagi seperti watak seorang gagah."

Eng Eng terheran-heran dan juga terharu. Ia menerima pedang itu, dililitkan pada pinggangnya karena pedang merah ini amat tipis dan dapat digulung.

"Totiang, ucapanmu ini lebih jujur dan gagah. Tentang bantuan itu tentu saja tak usah dikatakan lagi. Aku bukanlah seorang yang tidak ingat akan kebaikan orang. Hanya aku tidak mau terikat di tempat ini, karena aku suka bebas seperti burung di udara,"

Setelah berkata demikian, Eng Eng lalu menjura dan bertindak keluar dengan tindakan gagah, tanpa memperdulikan wajah Oei ciangkun yang nampak kecewa dan muram. Panglima ini memang kalah pengaruh dengan Thian it Tosu dan ia maklum bahwa tindakan Thian it Tosu itu mengandung sesuatu maksud tersembunyi.

Tiba-tiba masuk seorang penjaga yang melaporkan bahwa dua orang penjaga ditemukan dalam keadaan tertotok di kandang kuda. Oei ciangkun dan kelima orang tosu itu terkejut sekali. Akan tetapi sebelum mereka keluar dari ruangan itu, tiba-tiba terdengar suara orang dan atas,
"Maafkan siauwte yang berlaku lancang, datang tanpa diundang!" Dan melayanglah tubuh Tiong Kiat bagaikan seekor burung ke dalam ruangan itu. la menjura kepada Oei-ciangkun dan Go-bi Ngo-koai-tung, lalu berkata.

"Siauwte Sim Tiong Kiat dari Kim liong pai telah mendengar tentang penawaran yang ditolak oleh nona Suma tadi. Kalau ciangkun percaya kepadaku berilah kesempatan kepadaku untuk berbakti kepada negara!"

Oei Sun masih memandang penuh curiga akan tetapi kelima Gobi Ngo koai tung itu dengan girang lalu menjura kepada Tiong Kiat.

"Ah, tidak tahunya Sim-taihiap yang datang. Duduklah"!"

Memang Tiong Kiat ingin sekali menebus semua dosa-dosanya dengan menjadi seorang perajurit yang berbakti kepada negara. Selain ini ia tadi telah melihat Eng Eng dan biarpun ia merasa rindu sekali kepada gadis ini, namun ia maklum bahwa Eng Eng amat benci kepadanya dan apabila bertemu, pasti akan berusaha untuk membunuhnya.

Tadi ia melihat betapa Eng Eng tidak sanggup melawan Gobi Ngo koai tung, buktinya gadis itu tertawan dan pedangnya terampas, maka kalau ia dapat bersahabat dengan orang-orang gagah ini, tidak saja ia akan terlindung dari pada pembalasan Eng Eng, bahkan ia juga akan terlindung dari pada kejaran orang-orang Kun Iun-pai, dari kejaran Tiong Han dan juga suhunya.

Kalau ia sudah dapat menjadi seorang panglima perang kerajaan, siapakah yang berani mengganggunya? Pula, tadi Eng Eng sudah berjanji hendak membantu Oei ciangkun dan kelima Gobi Ngo-koai-tung, maka kalau ia berada disitu, bukanlah banyak harapan kelak Eng Eng akan bertemu dengannya dalam keadaan bersahabat?

Sementara itu, Go-bi Ngo koai tung sudah mendengar tentang pemuda ini karena sebagai orang-orang kang-ouw, mereka mendengar juga peristiwa yang terjadi pada Kim-liong-pai. Orang-orang yang "nyeleweng" akan tetapi berkepandaian tinggi macam Tiong Kiat inilah yang mereka butuhkan! Mereka membutuhkan orang macam ini karena memang sebetulnya Oei ciangkun dan Gobi Ngo koai-tung ini merencanakan sebuah pemberontakan!

Sebagaimana telah disebutkan di depan Oei ciangkun yang bernama Oei Sun adalah seorang penganut agama Pek lian-kauw yang dahulu ketika perkumpulan agama ini belum dibasmi oleh pemerintah, Oei Sun telah menjadi kekasih pemimpin Pek-lian-kauw yang cantik dan genit. Adapun Go bi Ngo koai-tung yang kini membantunya juga dahulunya merupakan pendeta-pendeta Pek-lian-kauw yang berpengaruh.

Kelima orang pendeta ini sekarang telah mendapat nama besar sebagai pendeta-pendeta berkepandaian tinggi yang bertapa di Pegunungan Go bi-san, maka tak seorangpun dapat menduga bahwa mereka ini adaIah bekas-bekas pengurus Pek-lian-kauw yang berbahaya. Siapa pula yang dapat menyangka bahwa Oei Sun, panglima tentara kerajaan yang amat gagah dan sudah banyak jasanya itu sebetulnya adalah penganut agama Pek-lian kauw yang jahat?

Oei Sun bersama kelima orang kawannya, yakni Go bi Ngo koai-tung, diam-diam merencanakan pemberontakan terhadap kaisar sebagai pembalasan atas pembasmian Pek lian kauw, juga dengan tujuan terutama membangun kembali agama Pek lian kauw. Tentu saja mereka tidak berani berterang membangun kembali Pek lian kauw. Rencana mereka amat besar. Karena kebetulan sekali Oei-ciangkun mendapat tugas menjaga di tapal batas utara dan mengepalai sepuluh ribu orang tentara, maka diam-diam Oei Sun mengadakan hubungan dengan Huayen-khan, kepala bangsa Ouigour yang hendak memberontak itu.

Di samping hubungan rahasia ini Oei Sun juga melakukan siasat yang amat cerdik. Ia bersekongkol dengan Huayen-khan yang menyuruh orang-orangnya mengadakan kekacauan di sana sini, yang kemudian ditindas oleh Oei Sun dengan amat mudah. Hal ini lalu dibesar-besarkan, dijadikan berita hebat dan ia membuat laporan-laporan ke kota raja bahwa orang-orang jahat dan Mongol tengah mengadakan kekacauan akan tetapi telah dapat dibasminya. Dan untuk memperkuat pertahanan, Oei Sun mengajukan permohonan untuk minta tambah barisan dan ransum dan juga uang untuk biaya-biaya barisan.

Tentu saja karena ia telah berjasa membasmi pengacau-pengacau yang sesungguhnya pengacau palsu dan buatan Oei Sun bersama Huayen khan, kaisar di kota raja merasa amat suka kepadanya dan percaya penuh. Dalam waktu beberapa bulan saja, barisan di bawah pengawasan Oei Sun sudah meningkat sampai seratus ribu orang! Diam-diam Oei Sun dan Go-bi Ngo koai-tung lalu mengumpulkan dan memanggil bekas anggaota Pek Iian-kauw yang sudah tersebar dan kocar-kacir. Mereka ini rata-rata memiliki kepandaian yang lumayan juga.

Oei Sun lalu mengangkat orang-orang Pek-lian kauw yang jumlahnya empat puluh orang lebih ini menjadi perwira-perwira pembantunya dan bekerja di dalam barisannya sebagai pemimpin-pemimpin! Di samping itu, juga Oei Sun dan lima orang pendeta-pendeta itu mencari-cari kawan, orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi di kalangan Iiok-lim. tentu saja mereka memilih orang-orang yang mengambil jalan hek to (jalan hitam, yakni penjahat-penjahat). Orang-orang inipun diangkat menjadi kepala-kepala barisan, diberi pangkat sesuai dengan kepandaian mereka. Sim Tiong Kiat telah kena tertipu oleh keadaan di dalam benteng itu, oleh sikap Oei Sun yang ramah-tamah dan oleh kelima orang pendeta yang semuanya memperlihatkan sikap seolah-olah mereka ini adalah orang-orang gagah pembela negara!

Hati pemuda ini merasa girang sekali, karena ia ingin menunjukkan kepada orang-orang terutama kepada Eng Eng kedua kalinya kepada kakaknya, kepada semua orang, kepada dunia, bahwa dirinya adalah seorang patriot sejati. Bahwa Sim Tiong Kiat pada hakekatnya adalah seorang gagah yang patut dihormati.

Apalagi setelah Oei Sun mencoba kepandaiannya, dicobanya sendiri, kemudian bahkan dicoba pula oleh Thian It Tosu, orang pertama dari Go bi Ngo.koai tung, dan berakhir dengan kemenangan Tiong Kiat dengan ilmu pedangnya Ang coa kiamsut yang luar biasa, Tiong Kiat lalu dipeluk dengan penuh rasa bangga oleh Oei Sun.

"Saudara Sim yang gagah, sungguh aku merasa seakan-akan kejatuhan bulan purnama dapat bertemu dengan kau! Kaulah yang akan merupakan bantuan terutama ke arah tercapainya cita-cita kita bersama."

"Cita-cita? Cita cita apakah, Oei ciang-kun?" Tanya Sim Tiong Kiat tak mengerti.

Oei Sun menjadi merah mukanya. Ia merasa telah terlanjur bicaranya, akan tetapi Thian lt Tosu yang amat cerdik segera menolongnya.

"Tentu saja cita-cita kita untuk membersihkan negara dari para pengacau dari utara dan memenangkan semua pertempuran!"

"Setuju, setuju!" empat orang pendeta yang lain berseru girang dan pelayan lalu dipanggil untuk menambah arak dan daging. Oei Sun mengerti akan maksud suhengnya itu. Memang mereka sudah mendengar tentang Ang-coa-kiam Sim Tiong Kiat, murid dari Kim-liong-pai yang tersesat dan melakukan perbuatan jahat sebagai jai hwa-cat dan pencuri. Akan tetapi mereka belum yakin benar apakah pemuda ini mau diajak untuk memberontak terhadap pemerintah kaisar.

"Saudara Sim, apakah kau tidak ada keinginan untuk menjadi seorang perwira? Kepandaianmu cukup hebat dan kau cukup patut untuk menjadi seorang panglima yang lebih tinggi pangkatnya dari padaku sendiri."

Mendengar kata-kata Oei Sun ini merahlah wajah Tiong Kiat, bukan hanya karena jengah, akan tetapi terutama sekali karena bangga dan senang.

"Ah, Oei ciangkun, mana orang seperti aku dapat menjadi panglima? Aku hanya mengerti sedikit ilmu silat kasar mana aku dapat memimpin pasukan? Aku dapat diterima membantu di sini saja sudah cukup menyenangkan hatiku."

"Ah, kau terlampau merendahkan dirimu sendiri, saudara Sim. Apakah susahnya ilmu peperangan? Kalan kau mau memberi petunjuk kepadaku tentang ilmu pedang, apa susahnya mempelajari ilmu peperangan diriku? Bukankah baik sekali kita saling menukar ilmu kepandaian kita, saudara Sim?"

"Bagus sekali, kalau Oei ciangkun sudi memimpin aku yang bodoh, aku Sim Tiong Kiat akan mengerahkan seluruh tenagaku untuk membantu."

"Baik, Sim ciangkun! Sekarang juga kau menjadi perwira pembantuku!" Berdebar hati Tiong Kiat mendengar ini, apa lagi ketika panglima itu menyuruh seorang perajurit mengambilkan seperangkat pakaian perwira yang indah untuknya. Ah, dia telah menjadi perwira, telah disebut Sim ciangkun oleh panglima itu sendiri! Bukan main senangnya hati pemuda yang masih hijau ini.

Setelah mengenakan pakaian perwira, Sim Tiong Kiat benar-benar nampak gagah dan tampan sekali. Oei Sun lalu memperkenalkan perwira baru ini kepada semua perajurit yang disuruhnya berbaris. Kemudian ia menjamu perwira baru ini dengan segala kemewahan, di mana Tiong kiat sempat berkenalan dengan banyak perwira yang gagah perkasa. Tadinya ia merasa amat heran bertemu dengan orang-orang kang-ouw yang telah menjadi perwira akan tetapi setelah mendengar bahwa orang orang gagah ini sengaja datang membantu Oei Sun untuk mengusir pengacau, hatinya menjadi makin girang.

Demikianlah, semenjak hari itu, Tiong Kiat berdiam di dalam benteng, menjadi seorang perwira yang paling disayang oleh Oei ciangkun, menjadi seorang di antara pemberontak-pemberontak itu, atau lebih tepat lagi, calon-calon pemberontak. Melihat betapa sikap Tiong Kiat amat patriotis dan kata-katanya menunjukkan betapa bersemangat adanya pemuda ini Oei Sun dan kawan-kawannya belum berani berterus terang kepada Tiong Kiat.

"Oei-ciangkun," kata tiong Kiat dengan suara bersungguh-sungguh kepada Oei Sun,

"aku mempunyai suatu rahasia yang amat penting. Tadinya aku berniat untuk membuka rahasia ini dihadapan kaisar, akan tetapi oleh karena sekarang aku menjadi perwira di benteng ini dan kau adalah komandanku, hal ini lebih baik kuberitahukan kepadamu saja."

"Rahasia apakah itu, Sim ciangkun?" tanya Oei Sun memandang tajam.

"Ketahuilah Oei ciangkun, bahwa sebetulnya Huayen-khan, kepala bangsa Ouigour yang berpura-pura baik dengan Hong-siang (kaisar) sebenarnya mempunyai rencana jahat dan bersiap-siap hendak menyerbu ke selatan!"

Oei ciangkun nampak terkejut. Tentu saja Tiong Kiat tidak pernah menyangka bahwa kekagetan panglima ini bukan karena mendengar berita itu, melainkan karena tak dikiranya Tiong Kiat sudah mengetahui akan hal ini! Akan tetapi Oei ciangkun juga bukan seorang yang bodoh. Ia dapat menetapkan hatinya dan bersikap seakan-akan berita ini bukan hal yang amat berat.

"Bagaimana kau bisa tahu, Sim ciangkun? Hal seperti ini memerlukan ketelitian, tidak boleh menuduh secara sembrono saja. Apakah kau mempunyai bukti-buktinya?"

"Tentu saja, Oei ciangkun." Dan Sim Tiong Kiat lalu menceritakan pengalamannya ketika ia menolong Huayen khan dari keroyokan Piloko, kepala suku bangsa Cou dan anak buahnya hingga ia dibawa ke perkemahan Huayen khan dan dapat mengetahui rahasia itu karena pengakuan Ang Hwa dan Huayen khan sendiri. Oei ciangkun mengangguk-angguk. Tentu saja ia telah mengerti akan hal ini semua, bahkan ia sendiripun terhitung seorang diantara mereka yang pernah menerima "kebaikan hati" Huayen khan untuk dilayani oleh Ang Hwa, istri kepala suku bangsa Ouigour itu! Akan tetapi Oei ciangkun memang cerdik, apa lagi setelah ia berkumpul dengan lima orang suhengnya, ia mendapat tambahan pengalaman dan akal.

"Sim ciangkun, sesungguhnya kami semua di sini telah mengetahui akan hal ini. Tadi aku berpura-pura tidak tahu untuk mencobamu saja. Ternyata kau seorang laki laki sejati. Akan tetapi, sayang sekali kau belum tahu tentang siasat-siasat peperangan, maka kau berlaku keras. Sungguhpun aku telah mengetahui rahasia Huayen khan itu, akan tetapi aku bahkan mendekatinya dan memperlakukannya dengan baik dan manis, sesuai dengan sikap kaisar kita pula."

Tiong Kiat mengerutkan keningnya.

"Mengapa begitu Oei-ciangkun?"

Panglima she Oei itu tertawa bergolak.

"Sim ciangkun, karena kau baru kuberi pelajaran ilmu perang bagian mengatur barisan, dan tata tertib barisan, belum sampai kepada siasat-siasat peperangan, maka tentu saja kau belum dapat mengerti tentang siasat perang yang kami jalankan.

Ketahuilah bahwa dalam ilmu perang, siasat yang dilakukan oleh Huayen-khan adalah siasat Bertopeng Kulit Domba, yakni pada luarnya ia kelihatan lunak, akan tetapi disebelah dalamnya sebetulnya ia amat berbahaya.

Akan tetapi untuk menghadapi siasat ini, kitapun mempergunakan siasat yang hampir sama sifatnya, yakni siasat yang kunamakan membawa pedang di dalam selimut, yang artinya, pada luarnya kita pura-pura tidak melihat rencananya dan tidak berjaga-jaga padahal sebetulnya diam-diam kita sudah siap sedia untuk menumpasnya pada saat srigala itu muncul dari balik topeng kulit domba, mengertikah kau, Sim ciangkun?"

Tentu saja Tiong Kiat mengerti baik akal sederhana yang disebut siasat oleh Oei ciangkun ini, akan tetapi ia belum merasa puas.

"Oei ciangkun, mungkin kalau menghadapi lawan yang besar dan berat, kita perlu menggunakan siasat seperti itu. Akan tetapi apakah bahayanya Huayen-khan dan anak buahnya? Kalau kau mau, sekali pukul saja dengan bala tentara kita, mereka akan kocar-kacir dan dapat dihancurkan bukan?"

"Kau tidak tahu Sim-ciangkun. Kita tidak menghadapi bangsa Ouigour saja, masih banyak sukubangsa yang memberontak. Misalnya bangsa Cou yang dipimpin oleh Pikolo, mereka itupun diam-diam bahkan lebih jahat dari pada bangsa Ouigour. Kalau ada kesempatan, bangsa Cou inilah yang hendak memberontak lebih dulu. Akan tetapi, semua ini tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan bangsa Monggol yang merupakan bahaya paling besar dari utara, karena bangsa Monggol mempunyai bala tentara yang amat kuat dan besar jumlahnya. Betapapun juga adalah suatu kesalahan dan kepicikan besar apabila kita selalu memperhatikan batu batu besar di waktu kita berjalan dan mengabaikan batu-batu kecil. Karena kalau kita berbuat begini, akhirnya kita akan jatuh tersandung oleh batu kecil yang tidak kita sangka akan menjatuhkan kita! Kalau tidak ada ancaman dari fihak Mongol yang kuat, kita tak perlu berpayah payah memperlihatkan muka manis kepada orang-orang seperti Huayen-khan atau Pikolo. Akan tetapi, pada saat kita menghadapi lawan berat seperti barisan Mongol, biarpun hanya rombongan-rombongan kecil seperti orang-orang Ouigour dan Cou, cukup merupakan kawan yang membesarkan hati."

Kini baru Tiong Kiat merasa amat kagum mendengar uraian yang amat luas den mendalam ini. Ia yang masih hijau dalam soal siasat peperangan tentu saja menganggap panglima she Oei ini benar benar amat pandai dan luas pengetahuannya. Semenjak hari itu ia lebih tekun mempelajari siasat-siasat peperangan dari Oei ciangkun, sebaliknya tidak ragu-ragu untuk memberi petunjuk dan pelajaran ilmu silat dan pedang kepada panglima yang sudah memiliki kepandaian tinggi itu.

Kita tinggalkan dulu Tiong Kiat yang telah masuk perangkap dan tidak sadar bahwa sesungguhnya ia bahkan membantu gerakan calon-calon pemberontak Pek-lian-kauw yang amat berbahaya itu. Marilah kita mengikuti perjalanan Suma Eng atau Eng Eng yang meninggalkan benteng di mana tadinya ia tertawan oleh Oei Sun dan Go-bi Ngo-koai tung. Juga gadis ini tidak mengira bahwa baru saja ia terlepas dari tangan orang orang Pek-lian-kauw, dan mengira bahwa Oei Sun benar benar seorang panglima yang jujur dan gagah, dan Gobi Ngo koai-tung adalah tokoh-tokoh dari Go-bi-san yang selain berkepandaian tinggl juga telah berlaku baik kepadanya hingga mau melepaskannya.

Setelah melakukan perjalanan beberapa hari, barulah Eng Eng mendengar dari seorang penduduk dusun bahwa ia telah salah jalan, maka ia lalu mengambil jalan memutar dan kini menuju ke selatan, untuk pergi ke kota raja dalam usahanya mencari Tiong Kiat. Akan tetapi ketika ia melewati sebuah daerah yang kering dan tandus, di mana tanahnya tidak subur karena banyak tertutup salju, tiba-tiba ia bertemu dengan serombongan orang yang bertubuh tinggi besar dan bersikap galak. Orang orang ini bersenjata golok besar dan jumlah rombongan yang merupakan barisan ini tidak kurang dari delapan puluh orang. Di belakang pasukan ini masih terdapat rombongan Iain yang lebih besar, yang membawa kereta dan keledai, agaknya keluarga dari rombongan yang di depan.

"Berhenti!" seru dua orang yang mengepalai pasukan itu, dua orang yang bertubuh tinggi besar, bersenjata golok dan mukanya hampir sama.

"Nona yang kelihatan gagah berani melakukan perjalanan seorang diri di tempat ini, kau tentu mempunyai hubungan dengan benteng Oei-ciangkun!"

Eng Eng mengerutkan keningnya,

"Kalau ada hubungan bagaimana dan kalau tidak ada hubungan kalian perduli apa?" tanyanya sambil tersenyum mengejek. Ia merasa lucu sekali mengapa dua orang laki laki tinggi besar ini yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya, begitu bertemu telah memperlihatkan sikap membenci.

"Kawan Oei ciangkun atau bukan, terang dia adalah seorang nona Han, tangkap saja jadikan bujang, habis perkara, twako!" seru seorang lain yang berdiri di belakang.


Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Orang-orang Han telah memperlihatkan sikap palsu terhadap kita, untuk apa kita berlaku sungkan lagi?"

Ucapan ini dikeluarkan dengan sengaja dalam bahasa Han agar Eng Eng dapat mengerti maksudnya, akan tetapi suaranya kaku dan janggal, hingga Eng Eng yang mendengarnya menjadi makin geli.

"Kalian ini orang apa begini galak-galak?" tanyanya.

"Kami adalah orang-orang suku bangsa Cou yang telah dikhianati dan dicurigai oleh orang-orang Han yang tadinya kami anggap sahabat-sahabat baik."

"Eh, eh, nanti dulu kawan. Orang orang Han itu bermacam macam, jangan disamaratakan. Tidak semua orang Han berwatak khianat dan curang. Akan tetapi sudahlah, aku tidak mempunyai urusan dengan kalian. Minggirlah dan jangan mencari perkara dengan aku."

"Enak saja kaubicara. Apa kaukira kau dapat melepaskan diri dari kami begitu saja? Jangan kau main-main, nona. Kami orang-orang suku bangsa Cou tidak boleh dipermainkan oleh kamu orang-orang Han seperti suku bangsa Ouigour!"

Akan tetapi Eng Eng tetap melayani kedua orang kepala pasukan yang galak ini sambil tersenyum-senyum.

"Eh, eh. kalian benar-benar galak. Dengan cara bagaimanakah kalian hendak menghalangi aku? Coba, aku ingin sekali menyaksikannya."

Kedua orang ini saling pandang, karena betapapun juga, kalau gadis Han yang cantik dan tabah ini melawan, mereka merasa tidak enak untuk melayani seorang gadis muda. Akan tetapi, seorang perajurit yang bertubuh tinggi kurus dan bermata seperti burung segera melompat maju dan berkata.

"Biarlah aku yang menangkap gadis liar ini!" katanya dan dengan cepat ia menubruk maju sambil mengeluarkan kedua tangannya hendak mencengkeram pundak Eng Eng.

Eng Eng melihat bahwa cengkeraman ini adalah semacam ilmu silat utara yang mengutamakan sergapan dan cengkeraman atau cekikan, maka sambil mengeluarkan suara ejekan, tubuhnya tiba-tiba melejit dan bagaikan angin lalu ia telah dapat membuat si mata burung itu menangkap angin!

Dan sebelum si mata burung dapat mengetahui bagaimana cara gadis itu bergerak, tiba-tiba terdengar suara keras dan dagunya telah kena digaplok oleh Eng Eng! Orang itu merasa seakan akan dunia hendak kiamat! Bumi yang dipijaknya serasa terputar-putar, pohon-pohon di sekelilingnya seakan-akan hendak roboh menimpanya dan matahari di angkasa menjadi dua berkejar-kejaran.

Akan tetapi dia adalah seorang perwira bangsa Cou yang telah melatih diri bertahun tahun maka ia dapat mengerahkan tenaga dan mengatur rasa pening pada kepalanya dan rasa berdenyut perih pada dagunya yang membengkak terkena tamparan Eng Eng tadi.

"Perempuan liar, rasakan pembalasanku!" katanya dan tangannya meraba pinggang mencari goloknya. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika goloknya telah lenyap dari pinggangnya dan ketika ia memandang ke depan, bukan main herannya. Ternyata bahwa goloknya telah berada di tangan gadis yang lihai itu yang telah merampas goloknya dan kini sambil menodongkan ujung golok pada dada si mata burung, Eng Eng tersenyum menantang.

"Hayo balaslah! Hendak kulihat bagaimana hebatnya pembalasanmu!"

Tentu saja si mata burung tak dapat berkata sesuatu dan tak dapat berbuat sesuatu, hanya memandang dengan mulut celangap!

Dua orang pemimpin pasukan yang tadi menegur Eng Eng adalah tangan kanan dari Piloko sendiri. Mereka ini adalah kakak beradik yang ahli sekali dalam permainan golok selain tenaga mereka yang besar juga ilmu golok mereka amat disegani kawan-kawannya maupun lawannya. Kini melihat betapa dengan segebrakan saja seorang gadis cantik dan muda ini dapai mengalahkan si mata burung, bahkan dapat merampas goloknya dengan mudah dan cepat, mereka menjadi heran dan marah.

"Hem, tentu kau adalah seorang wanita di kalangan kang ouw yang membantu Oei ciangkun. Nona, menyerahlah sebelum golokku bicara!" mengancam orang pertama.

"Jangan ngimpi!" Eng Eng mengejek.

"Kita melakukan perjalanan masing-masing tak saling kenal tidak saling perduli. Mengapa tahu-tahu kalian memusuhi dan hendak menggangguku? Ketahuilah, jangankan baru kalian berdua biar puluhan orang pasukanmu ini maju, jangan harap akan dapat mengalahkan aku!"

"Sombong!" teriak orang termuda diantara dua pemimpin ini.

Tubuhnya bergerak cepat dan tahu-tahu ia telah mencabut golok dan menyerang Eng Eng. Gadis ini tadi memegang golok rampasannya di tangan kiri dengan sikap acuh tak acuh dan sembarangan sekali. Akan tetapi ketika golok lawannya menyambar, tangan kirinya bergerak dan goIok rampasannya berubah menjadi sinar putih yang membentur golok lawannya itu sehingga hampir saja golok lawannya terpental dan terlepas dari pegangan! Tentu saja orang ini terkejut sekali dan mukanya menjadi merah ketika Eng Eng tersenyum mengejek.

"Apa kataku? Kau terlalu lemah, kawan! Sebaliknya kalian berdua maju berbareng atau kerahkan pasukanmu untuk mengeroyokku!"

Bukan main marahnya dua orang pemimpin pasukan Cou ini. Sambil berseru garang, keduanya lalu mengayun golok dan menyerang Eng Eng dari kanan kiri. Akan tetapi, mana bisa dua orang kasar ini menghadapi Eng Eng yang memiliki kepandaian tinggi? Biarpun gerakan mereka cukup cepat dan kuat namun sambil tersenyum-senyum dan mengeluarkan suara ketawa mengejek, Eng Eng dengan amat mudahnya dapat menghindarkan diri dari serbuan mereka. Kadang-kadang ia menggunakan golok di tangan kirinya untuk menangkis akan tetapi lebih sering ia mempergunakan ginkangnya yang luar biasa itu untuk mengelak dari serangan-serangan kedua lawannya. Tubuhnya lenyap merupakan bayangan yang membingungkan kedua orang lawannya. Pada waktu itu Eng Eng menggunakan baju putih dengan pinggiran merah, juga saputangan yang mengikat rambutnya berwarna merah, demikian pula celananya, berwarna merah hingga ia nampak manis dan cantik sekali.

Orang-orang bangsa Cou memiliki watak yang jujur dan tidak curang. Para perajurit yang tadinya masih merupakan barisan, kini setelah melihat betapa dua orang pemimpin mereka bertempur melawan seorang gadis Han yang cantik jelita dan lihai sekali, mereka lalu mengurung dan duduk berjongkok sambil tertawa-tawa dengan senangnya seakan-akan mereka sedang menonton pertunjukan yang amat menarik tanpa bayar! Ketika mereka melihat betapa Eng Eng berkelebatan bagaikan seekor kupu-kupu yang cepat dan ringan sekali beterbangan diantara sambaran dua batang golok dari kedua orang pemimpin mereka, terdengarlah pujian pujian dan sorakan-sorakan riuh rendah.

"Lihai sekali!"

"Bukan main hebatnya!"

Dan masih banyak lagi kata-kata pujian dalam bahasa Cou yang tidak dimengerti oleh Eng Eng, Akan tetapi sikap mereka ini benar-benar menggembirakan hati Eng Eng, sehingga timbullah kesan baik di dalam hati gadis ini terhadap orang-orang Cou yang jujur itu. Ia menjadi tidak tega untuk melukai dua orang pengeroyoknya ini, dan hanya mempermainkan mereka saja sambil tersenyum-senyum manis. Entah mengapa semenjak pertemuannya dengan Tiong Han dan mendapat kenyataan bahwa Tiong Han bukanlah pemuda yang dibencinya, ia menjadi amat tertarik kepada pemuda itu dan kalau tadinya ia memandang penghidupan ini nampak gelap dan menyedihkan, kini seakan-akan di dalam kegelapan itu timbul cahaya terang dan di dalam kesedihan itu nampak sesuatu yang membesarkan harapan dan menimbulkan kegembiraannya.

Dulu cita-cita hidupnya hanya satu, yakni membunuh Tiong Kiat dan mencari Thian te Sam kui untuk membalas dendam. Kalau cita-cita ini sudah tercapai, agaknya ia takkan suka hidup lagi! Akan tetapi sekarang, entah mengapa, bayangan Tiong Han, pemuda yang lemah-lembut sopan santun, berbudi mulia, dan berkepandaian tinggi itu selalu nampak di depan matanya dan menimbulkan harapan serta pegangan hidup. Kini sering kali Eng Eng merasa demikian gembira sehingga bunga-bunga seakan-akan tersenyum kepadanya, daun-daun hijau seakan akan melambai-lambai dengan ramahnya.

Kini menghadapi kedua orang lawannya iapun sedang bergembira, maka tidak henti-hentinya ia tersenyum hingga menambahkan kekaguman bagi semua orang Cou yang menonton pertempuran itu. Gadis lihai itu tidak saja dapat mempermainkan dan melayani dua orang pemimpin mereka dengan golok di tangan kiri bahkan masih mempunyai kesempatan untuk tersenyum-senyum! Lima puluh jurus telah lewat dan selama itu, jangankan melukai gadis aneh itu, menyentuh ujung bajunya saja kedua orang pemimpin rombongan bangsa Cou itu tidak sanggup.

Sebaliknya Eng Eng juga tidak pernah membalas serangan mereka. Kini Eng Eng telah merasa cukup dan mulai menjadi bosan. Pada saat itu, dari kanan kirinya, kedua orang lawannya mengangkat golok dengan cepat dan kuatnya lalu diayun ke arah kepala gadis itu! Akan tetapi Eng Eng masih dapat tertawa dan berkata,

"Perlahan dulu, sahabat!" Gadis ini dengan gerakan yang amat lemas dan gaya yang amat manis lalu mainkan gerak tipu yang disebut Burung Hong Membuka Sayap. Kaki kirinya diangkat ke atas kaki kanan berdiri di atas ujung sepatunya. Tangan kiri yang memegang golok diayun ke kiri dengan gerakan cepat untuk menangkis serangan golok dari kiri, adapun tangan kanannya berbareng dengan tangan kiri, bergerak pula ke kanan dengan jari-jari terbuka, dan sebelum lawannya yang berada di kanannya tahu apa yang terjadi, ia telah mengeluh dan goloknya terlepas dari pegangan!

Juga goloknya, tidak dapat menahan tenaga tangkisan Eng Eng dan goloknya terlempar jauh! Orang di sebelah kanan tadi kini meringis-ringis sambil memegangi siku kanannya yang telah terkena bacokan tangan Eng Eng sehingga ia merasa lengannya sakit sekali dan lumpuh! Adapun orang di sebelah kirinya kini berdiri dengan mata terbelalak, penuh keheranan dan juga kekagetan melihat betapa goloknya tadi terdorong sedemikian hebatnya oleh golok lawannya!

"Hayo maju ........ tangkap dan keroyok!"

Orang yang sikunya lumpuh itu mengeluarkan aba-aba, akan tetapi para perajurit Cou ragu-ragu untuk maju melawan gadis yang sedemikian lihainya itu.

"Mundur semua, jangan berlaku kurang ajar!" tiba-tiba terdengar suara orang yang amat berpengaruh dan dari belakang para perajurit itu melompatlah seorang yang tinggi, melompati kepala para perajurit itu dan dengan ringan sekali ia turun di depan Eng Eng. Gadit ini memandang dan diam-diam ia mengakui bahwa ginkang dari orang yang baru datang ini cukup lumayan. Ia bersiap sedia, karena maklum bahwa kepandaian orang yang baru datang ini, apabila dibandingkan dengan kepandaian dua orang pengeroyoknya tadi, amat jauh lebih pandai!

Akan tetapi, ia menjadi terheran ketika melihat betapa orang tinggi yang sudah setengah tua ini menjura dengan penuh hormat kepadanya, lalu berkata dalam bahasa Han yang ramah tamah dan lancar sekali,

"Lihiap, mohon kau sudi memaafkan kelancangan dan kekasaran orang orangku yang tidak tahu aturan. Maklumlah bahwa orang-orang yang telah disakiti hatinya oleh orang orang lain yang tadinya dipandang sebagai sahabat-sahabat baik, tentu saja mudah marah. Terus terang saja kami, suku bangsa Cou amat kecewa dan penasaran melihat sikap bangsamu, orang-orang Han. Kami telah dikhianati, orang-orang Han tanpa melihat keadaan dan tanpa alasan yang kuat, telah memilih dan memihak kepada orang-orang Ouigour yang selalu mengganggu kami. Banyak saudara-saudara kami yang tewas oleh pasukan Oei-ciangkun yang kuat, semua ini hanya karena hasutan dari Huayen-khan, pemimpin suku Ouigour yang membenci kami itu!"

Cari Blog Ini