Ceritasilat Novel Online

Pedang Ular Merah 12


Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 12




Mendengar uraian panjang lebar yang tidak dimengerti betul itu, Eng Eng menjadi bingung. Akan tetapi melihat wajah orang tua ini yang amat berduka dan tampak bersungguh-sungguh, ia tidak berani main-main. Ia melempar golok rampasannya tadi dan membalas penghormatan Piloko.

"Aku adalah seorang perantau yang sama sekali tidak mengerti semua itu. Sebenarnya siapakah saudara dan mengapa pula rombongan saudara tiba di tempat yang miskin ini?"

"Aku bernama Piloko, dan semua ini adalah orang-orangku, yakni suku bangsa Cou yang amat menderita. Sebelum aku melanjutkan penuturanku, sudilah kiranya lihiap memperkenalkan diri. Siapakah lihiap, datang dari mana dan benarkah lihiap tidak mempunyai hubungan dengan benteng tentara kerajaan yang dipimpin oleh Oei-ciangkun?"

"Sudah kukatakan tadi, aku adalah seorang perantau bernama Suma Eng. Pekerjaanku hanya membasmi orang jahat dan menolong orang yang tertindas, bagaimana aku dapat terikat oleh hubungan dengan sepihak? Ceritakanlah kesusahanmu, saudara Piloko, mungkin aku dapat membantumu."

Bukan main girangnya hati Piloko mendengar ucapan ini. Lagi pula diam-diam ia telah menyaksikan kepandaian Eng Eng yang dengan demikian mudahnya mempermainkan dua orang pembantunya. Ia maklum bahwa kepandaiannya sendiri masih jauh untuk dapat melawan kepandaian nona ini, maka kalau saja ia dapat menarik tenaga nona ini untuk membantunya hal itu tentu amat baiknya.

Pada saat itu terdengar seruan perlahan dari seorang wanita. Para perajurit yang duduk memberi jalan dan nampaklah seorang wanita setengah tua datang membawa sebatang pedang telanjang di tangannya. Wajahnya nampak berduka dan juga gelisah, akan tetapi ketika ia melihat Piloko berdiri berhadapan dengan Eng Eng dan bercakap-cakap dalam suasana damai, ia menjadi lega kembali dan pedangnya cepat ia sarungkan di pinggang.

"Nona Suma Eng, ini adalah Yamani isteriku yang setia. Lihat biarpun ia tidak memiliki kepandaian, namun mendengar aku datang ke sini menghadapi orang yang disangka lawan berbahaya, ia lupa kebodohannya dan datang membawa-bawa pedang!" kata Piloko memperkenalkan istrinya kepada Eng Eng, lalu disambungnya ketika ia memperkenalkan Eng Eng kepada istrinya.

"Yamani, jangan kau gelisah. Lihiap ini adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, yang mungkin belum pernah kau jumpai di alam mimpi sekalipun! Lihiap ini bernama Suma Eng dan kepandaiannya mungkin sepuluh kali lebih lihai dari pada kepandaianku."

Dengan singkat, Piloko lalu menceritakan kepada istrinya tentang kegagahan Eng Eng yang dikeroyok dua oleh pembantunya yang disebutnya kasar dan lancang tidak bisa mengenal orang. Mendengar cerita suaminya ini, Yamani lalu menghampiri Eng Eng dan memegang lengannya.

"Ah, lihiap, sungguh berbahagia sekali rasanya dapat bertemu dengan seorang pendekar wanita yang sudah lama menjadi buah mimpi padaku. Aku seringkali mendengar cerita tentang pendekar-pendekar wanita, akan tetapi belum pernah bertemu dengan seorangpun, harap kau mau memaafkan semua kesalahan kawan-kawan kami dan marilah kita bercakap-cakap di dalam kendaraanku yang biarpun kecil akan tetapi lebih enak dari pada di sini." Sambil berkata demikian, dengan amat ramah tamah, Yamani lalu menarik lengan Eng Eng. Gadis ini tak dapat menolak karena semenjak bertemu, ia telah merasa suka kepada nyonya bangsa Cou ini yang selain ramah tamah, juga amat manis mukanya.

Setelah duduk berhadapan di dalam kendaraan sambil makan hidangan yang disuguhkan oleh Yamanl yang ramah tamah, Eng Eng lalu mendengar penuturan sepasang suami istri kepala suku bangsa Cou ini. Ia mendengar betapa suku bangsa Cou selalu mendapat perlakuan kejam dan hinaan daripada suku bangsa Ouigour dan Mongol, dan betapa akhir-akhir ini tentara kerajaan nampaknya bahkan memusuhi mereka dan membantu orang-orang Ouigour yang menahan suku bangsa Cou yang kecil jumlahnya.

"Perkampungan kami yang terakhir kemarin telah diserang pula oleh Huayen khan dibantu oleh pasukan dari Oei ciangkun. Terpaksa kami sekarang mengungsi dan mau tidak mau harus menetap di daerah yang tandus dan tidak subur ini." kata Piloko sambil menghela napas.

"Bagi kami sih tidak begitu berat karena kami berdua tidak mempunyai anak." sambung Yamani dengan suara mengharukan.

"Akan tetapi kalau kuingat keadaan bangsaku"lihatlah mereka yang mempunyai anak-anak kecil, ah... bagaimana akan jadinya dengan kami...?" Menangislah Yamani dengan sedihnya.

"Diam kau!" Piloko tiba-tiba membentak dengan muka merah.

"Apa artinya tangis saja dalam keadaan seperti ini!"

Istrinya terdiam dan dengan wajah pucat dan sepasang mata terbelalak ia memandang kepada suaminya. Semenjak mereka kawin puluhan tahun yang lalu, baru kali ini Piloko membentaknya sedemikian kasarnya.

Melihat pandang mata isterinya, luluhlah kemarahan Piloko dan ia ingat bahwa ia tadi telah bersikap terlalu kasar, apa lagi di depan seorang tamu ia cepat memegang kedua tangan isterinya dan berkata,

"Yamani maafkan suamimu....... aku terlampau tertindih oleh kedukaan sehingga lupa diri. Maafkanlah......"

Yamani hanya mengangguk-angguk karena tidak kuasa mengeluarkan kata-kata dari kerongkongan yang telah penuh oleh sedu sedan yang ditahan-tahannya. Melihat keadaan mereka ini, bukan main terharunya hati Eng Eng. Ia merasa penasaran dan marah sekali kepada orang-orang Ouigour yang sewenang-wenang. Terutama sekali ia merasa penasaran dan kecewa mendengar betapa pasukan kerajaan dari Oei-ciangkun membantu pekerjaan terkutuk dari pasukan Ouigour itu.

Mendengar betapa orang-orang lelaki dan anak-anak bangsa Cou dibunuh dan orang-orang wanita yang muda-muda diculik secara kurang ajar, darah dalam tubuh Eng Eng sudah bergolak saking marahnya. Ia berdiri dari bangkunya, dan berkata.

"Saudara Piloko, jangan khawatir. Aku akan membantumu dan biarlah aku memberi latihan ilmu golok kepada pasukanmu, kemudian mari kita menyerbu dan membalas kejahatan orang-orang Ouigour itu!"

Mendengar ucapan ini, Piloko dan Yamani segera menjatuhkan diri berlutut di depan gadis gagah itu saking girang dan bersyukurnya. Eng Eng cepat membangunkan mereka dan berkata.

"Aku adalah seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalku. Biarlah untuk sementara aku ikut dengan kalian sampai kalian dapat merampas kembali kampung yang diserobot oleh bangsa Ouigour!"

Demikianlah, untuk beberapa pekan lamanya, di daerah tandus itu, Eng Eng melatih ilmu golok kepada anak buah Piloko. Bahkan Piloko sendiri, juga Yamani dan banyak lagi wanita-wanita bangsa Cou yang kebanyakan manis-manis dan cekatan, ikut pula belajar golok yang diajarkan oleh pendekar wanita itu.

Sementara itu, Piloko menyuruh penyelidik-penyelidiknya untuk menyelidiki keadaan bekas kampung mereka yang telah dirampas oleh orang-orang Ouigour.

Pada suatu hari ia mendengar kabar bahwa kampung itu telah ditinggalkan oleh tentara kerajaan dan juga oleh pasukan-pasukan yang dipimpin sendiri oleh Huayen-khan, dan hanya terjaga oleh sepasukan orang Ouigour yang tak berapa kuat.

"Lihiap, kampung kita tidak terjaga kuat. Sekarang besar sekali kesempatan kita untuk menyerbu dan merampasnya kembali."

Eng Eng setuju, maka berangkatlah pasukan Cou dipimpin oleh Eng Eng dan Piloko. Adapun rombongan keluarganya tidak berangkat bersama pasukan ini, melainkan menanti di tempat itu sampai kampung mereka dapat terampas kembali. Kini keluarga ini tidak begitu takut lagi ditinggal seorang diri oleh suaminya dan ayah mereka itu sedikit-sedikit telah mempelajari ilmu silat.

Karena perjalanan dilakukan cepat dan tidak membawa keluarga seperti ketika mereka pergi mengungsi, dalam waktu sehari semalam saja sampailah pasukan ini di kampung tempat tinggal mereka.

Terjadilah perang tanding yang hebat dan ramai. Akan tetapi, jangankan baru pasukan Ouigour yang hanya terdiri dari seratus orang lebih, biarpun di situ ada pasukan induk yang dipimpin oleh Huayen-khan sendiri, belum tentu akan dapat mengalahkan dengan mudah pasukan yang dipimpin oleh Eng Eng ini!

Terutama sekali sepak terjang Eng Eng mengerikan hati orang-orang Ouigour, maka dalam pertempuran yang tak berapa lama, kocar-kacirlah orang-orang Ouigour ini, meninggalkan kawan-kawan yang tewas maupun yang terluka. Dengan mendapat kemenangan besar, orang-orang Cou lalu masuk ke dalam kampung mereka dan menduduki kampung sendiri. Mereka segera turun tangan memperbaiki rumah-rumah yang dulu dirusak, kemudian mereka beristirahat.

Pada keesokan harinya, Eng Eng dan Piloko naik kuda untuk menjemput keluarga Cou. Pasukan kuda mereka ditinggalkan dan diharuskan menjaga kampung itu dengan kuat sedangkan sebagian pula melanjutkan usaha memperbaiki rumah-rumah yang rusak. Eng Eng merasa gembira sekali. Baru sekarang ia merasa bahwa hidupnya tidak percuma. Ia mempunyai tugas dan usaha untuk menuntun dan menolong kehidupan ratusan orang Cou yang ternyata benar-benar jujur dan baik itu.

Melakukan perjalanan bersama Piloko sambil bercakap-cakap, mendengar ucapan yang ramah dan hormat, melihat pandangan mata yang penuh rasa terima kasih itu, ah, Eng Eng merasa seakan-akan berjalan dengan seorang paman atau ayah sendiri!

Bodoh sekali dia, pikirnya, mengapa tidak dari dulu menghubungi masyarakat ramai dan melakukan sesuatu demi kebaikan orang-orang itu? Sesungguhnya banyak sekali yang harus dilakukan, karena di dunia ini penuh dengan hal-hal yang amat ganjil, penuh dengan penindasan dan kekejaman, penuh dengan orang-orang yang patut dikasihani dan ditolong serta juga orang-orang yang patut dibasmi karena jahatnya!

"Suma lihiap, jasamu amat besar dan budimu terhadap bangsaku takkan dapat kami lupakan selamanya." kata Piloko.

"Ah, saudara Piloko apa perlunya segala ucapan sungkan ini. Aku suka membantumu dan membantu bangsamu yang tertindas."

"Ah, alangkah akan bahagia hatiku kalau saja aku dapat mempunyai seorang anak perempuan seperti kau!"

"Kau tidak punya anak, saudara Piloko?" Kepala suku bangsa Cou itu menghela napas.

"Dulu punya seorang anak perempuan akan tetapi ia meninggal dunia karena penyakit demam. Semenjak itu, aku dan isteriku menganggap semua anak buahku sebagai anak kami dan yang harus kami jaga dengan segenap nyawa dan raga."

Eng Eng tidak menjawab, akan tetapi diam-diam ia juga berpikir. Alangkah senangnya kalau dia masih mempunyai ayah ibu pula, biarpun ayah ibu bangsa Cou seperti Piloko dan Yamani! Semenjak kecil ia merindukan cinta kasih ayah bunda yang tak pernah dirasakannya. Ingin sekali ia berkata kepada Piloko bahwa ia suka menjadi anak orang ini akan tetapi ia tidak dapat mengucapkannya dan hanya diam saja sambil menarik napas panjang. Ketika mereka tiba di perkampungan baru di daerah tandus itu, senja telah mulai mendatang. Mereka memasuki kampung, dan dengan amat heran mereka melihat tempat itu sunyi saja tidak kelihatan seorangpun! Piloko menjadi pucat menyangka bahwa kampung ini tentulah mengalami malapetaka sewaktu ditinggal pergi.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara-suara orang seperti dikeluarkan oleh orang-orang yang sedang bertempur. Eng Eng melompat turun dari kudanya dan berlari cepat ke arah suara itu yang datang dari luar dusun sebelah barat.

Ketika ia tiba di situ, ia menjadi marah bukan main melihat Yamani dan beberapa orang wanita lain dengan mati-matian sedang mengeroyok seorang laki-laki yang melayani mereka sambil tertawa-tawa mengejek. Sambil mengelak dari serangan golok para wanita itu, laki laki ini menowel sana mencolek sini, memilih wanita-wanita muda dengan cara yang amat kurang ajar.

"Bangsat Ban Hwa Yong!" Eng Eng memaki marah.

"Kau benar-benar harus dibikin mampus!"

Sambil berkata demikian, Eng Eng minta golok dari seorang wanita yang tadi ikut mengeroyok penjahat itu dan sambil melompat cepat ia menerjang penjahat cabul itu. Gadis ini makin lama makin merasa sayang kepada pedangnya, maka ia tidak mau mengotori pedangnya dengan darah bangsat yang dibencinya ini. Pula ia merasa yakin bahwa dengan sebatang golokpun ia akan dapat mengalahkan Ban Hwa Yong.

Sementara itu, Ban Hwa Yong menjadi kaget setengah mati ketika melihat Eng Eng, gadis yang pernah dirasai kelihaiannya dan yang telah menewaskan kedua suhengnya. Ban Im Hosiang dan Ban Yang Tojin. Ia menjadi jerih dan juga marah sekali terhadap gadis ini, maka sambil berseru keras ia mencabut sepasang senjata kaitannya dan memutar sepasang senjata ini bagaikan kitiran cepatnya.

Yamani dan teman-temannya ketika melihat penjahat yang lihai itu menggunakan senjata dan melihat datangnya Eng Eng cepat-cepat mengundurkan diri dan menonton sambil berdiri di tempat yang cukup jauh agar jangan mengganggu Eng Eng dan jangan sampai terkena sambaran senjata penjahat yang lihai itu.

Bahkan Piloko sendiri tidak berani turun tangan karena ia tidak berani mengganggu Eng Eng yang nampaknya sudah kenal penjahat ini dan belum pernah Piloko melihat nona pendekar itu demikian marah. Ia lalu didekati oleh istrinya yang menceritakan dengan singkat bahwa sebelum Piloko dan Eng Eng pulang, penjahat ini datang memasuki kampung dan melihat betapa penduduk kampung itu hanya wanita-wanita saja. Ban Hwa Yong lalu hendak berlaku kurang ajar. Ia hendak mengangkat diri menjadi pemimpin orang-orang itu dan memilih gadis-gadis yang tercantik untuk melayaninya.

Tentu saja orang-orang wanita Cou itu menjadi marah sekali lalu beramai-ramai mengeroyoknya. Akan tetapi tentu saja mereka ini bukan lawan Ban Hwa Yong yang kosen. Biarpun penjahat itu dikeroyok oleh beberapa orang wanita yang dipimpin oleh Yamani namun dengan tangan kosong ia menghadapi keroyokan golok itu dengan amat mudahnya bahkan ia masih dapat mengganggu para pengeroyoknya!

Memang agaknya dosa Ban Hwa Yong sudah terlampau bertumpuk-tumpuk sehingga dusun yang nampaknya tenang dan penuh wanita sehingga ia merasa aman dan gembira itu, tidak tahunya adalah tempat tinggal dari Suma Eng, gadis yang dibencinya dan juga amat ditakutinya. Kini Eng Eng telah maju dengan amat marah.

Gadis ini menggerakkan goloknya dengan sekuat tenaga, dibacokkan ke arah kepala Ban Hwa Yong sambil mengerahkan lweekangnya. Ban Hwa Yong menangkis dan mencoba untuk membalas dengan serangan balasan yang hebat. Akan tetapi, baru tangkisannya saja sudah membuat ia merasa makin jerih.

Ketika ia menangkis tadi, ia merasa betapa tangannya yang memegang kaitan yang ditangkiskan menjadi kesemutan dan pedas sekali. la masih mempertahankan diri sampai dua puluh jurus dengan harapan bahwa karena gadis itu memegang golok, tentu tidak berapa lihai. Tidak tahunya, rangsekan gadis itu makin hebat saja dan golok yang dimainkan seolah-olah telah berobah menjadi lima batang!

Akhirnya Ban Hwa Yong tak kuat menahan dan sambil berseru keras ia lalu melepaskan beberapa batang jarum rahasia yang dijemputnya dengan tangan kiri dari saku bajunya akan tetapi Eng Eng dengan amat mudahnya mengelakkan diri. Ketika gadis ini hendak menyerang lagi, Ban Hwa Yong melompat jauh dan melarikan diri. Akan tetapi mana Eng Eng mau melepaskan penjahat ini?

"Bangsat cabul, kau hendak lari ke mana?" serunya dan secepat burung melayang, tubuhnya berkelebat mengejar. Sebentar saja dua orang ini sudah lenyap dari pandangan mata semua orang yang menonton pertempuran itu.

"Lekas, kejar mereka dan bantu Suma lihiap!" kata Yamani kepada suaminya dengan gelisah.

Akan tetapi Piloko yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari isterinya, tersenyum.

"Kau jangan kuatir, lihiap takkan apa-apa. Bangsat itu pasti akan mampus di tangan Suma lihiap.""

Memang ramalan Piloko ini tidak kosong belaka. Biarpun Ban Hwa Yong memiliki ginkang yang tinggi dan pandai menggunakan ilmu lari cepat Co sang-hui (Terbang di Atas Rumput). Namun sebentar saja Eng Eng telah dapat mengejarnya!

Terpaksa Ban Hwa Yong memutar tubuhnya dan bersiap sedia dengan kaitannya,

"Bangsat rendah, mampuslah kau!" seru Eng Eng dan cepat gadis ini menyerang dengan goloknya, menggunakan golok di tangan kanan untuk membacok ke arah leher sedangkan tangan kirinya siap untuk mengirim pukulan susulan.

Ban Hwa Yong makin gugup. Tak terasa keringat dingin mengalir turun dari balik bajunya. Ia menangkis bacokan itu dengan kaitan di tangan kanan sambil menggeser kaki kanan, kaitan kirinya menyambar ke arah perut Eng Eng! Akan tetapi, gadis yang sudah sangat marahnya ini lalu menggerakkan kaki kiri menendang tepat mengenai pergelangan tangan kiri Ban Hwa Yong.

"Krek!"

Ban Hwa Yong menjerit ketika tulang pergelangan tangannya patah terkena tendangan Eng Eng yang mengerahkan tenaga luar biasa itu! Kaitan kiri terlepas dan terlempar jauh. Sebelum kaitan kanannya dapat sempat bergerak, golok Eng Eng sudah menyambar dan tanpa dapat berteriak lagi. Ban Hwa Yong manusia durhaka dan keji itu telah roboh dengan kepala terpisah dari tubuh!

"Ting twako, harap kau sekeluarga dapat puas dan tenang. Musuh-musuhmu telah tewas semua!" kata Eng Eng sambil memandang ke angkasa, seolah-olah ia bicara dengan arwah dari Ting Kwan Ek, piauwsu yang terbunuh sekeluarganya oleh Thian-te Sam kui yang kini telah ditewaskannya semua itu!

Kemudian Eng Eng lalu melempar goloknya dan melompat kembali ke arah dusun, piloko dan orang-orang perempuan di situ menyambutnya dengan amat lega dan gembira apalagi ketika mendengar bahwa penjahat itu telah dapat ditewaskan. Eng Eng menceritakan siapa adanya penjahat itu, maka semua orang menjadi kagum mendengar ini, lebih-lebih ketika mendengar bahwa penjahat itu adalah seorang di antara Thian te Sam kui yang pernah didengar namanya oleh Piloko.

Kemudian pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan keluarga yang semua berwajah girang dan berseri ini lalu berangkat kembali ke kampung mereka yang telah dapat dirampas kembali dari tangan orang-orang Ouigour. Kedatangan keluarga dalam keadaan selamat ini menambah kegembiraan orang-orang Cou yang sedang membangun kembali dusun mereka, dan menambah pula rasa terima kasih mereka kepada Suma Eng yang mereka beri nama julukan "Bunga Dewa "!

Dikalangan orang Cou ini dahulu memang terdapat kepercayaan tentang adanya bunga dewa yang sakti sekali yang sering kali diturunkan oleh dewata untuk menolong manusia. Bunga dewa yang diturunkan ke dunia oleh dewa ini sering kali menjelma menjadi manusia gagah atau menjelma menjadi pertapa-pertapa. Dengan diberi nama julukan bunga dewa berarti bahwa orang-orang Cou merasa amat berterima kasih dan amat menjunjung tinggi gadis ini! Setelah suku bangsa Cou bisa merampas kembali kampung mereka dan memperbaiki rumah-rumah di kampung itu. Eng Eng merasa bahwa tugasnya menolong orang ini sudah selesai. Akan tetapi, sebelum ia berpamit untuk meninggalkan Piloko dan anak buahnya, kepala suku bangsa Cou itu bersama istrinya berkata kepadanya dengan suara mengandung permohonan.

"Lihiap, kami mengharap dengan sangat sukalah lihiap tinggal bersama kami, tidak saja untuk melanjutkan latihan ilmu golok kepada kami, akan tetapi terutama sekali untuk menakuti orang-orang Ouigour. Kalau tiada lihiap di sini kami pasti akan diserangnya lagi dan sekali ini mereka tentu akan membuat pembalasan hebat. Bagaimana kami dapat melawan mereka kalau sampai tentara Han membantu mereka?"

Eng Eng berpikir bahwa kekuatiran ini beralasan juga.

"Biarkan mereka datang, saudara Piloko, akan kubasmi mereka semua, kalau mereka berani datang mengganggu lagi. Baiklah aku akan tinggal untuk sementara di sini, akan tetapi sesungguhnya aku mempunyai tugas amat penting yakni mencari seorang musuh besarku. Kalau aku tinggal di sini, berarti hbal itu kutunda-tunda. Maka tolonglah menyuruh beberapa orangmu untuk membantuku dan mewakili aku menyelidiki di mana adanya orang yang kucari-cari itu." ia lalu memberi keterangan tentang Sim Tiong Kiat yang berjuluk Ang coa kiam, dan memberi gambaran pula tentang bentuk muka dan tubuh pemuda musuh besarnya itu. Piloko dengan girang lalu menyanggupi, bahkan segera memilih kawan-kawannya yang pandai sebanyak lima orang untuk disuruh menyelidiki di mana adanya Sim Tiong Kiat itu.

Eng Eng tinggal serumah dengan Piloko dan Yamani dan hubungannya dengan nyonya rumah ini makin erat saja seperti enci adik atau bahkan seperti ibu dan anak. Dari Yamani Eng Eng mempelajari banyak sekali kepandaian bahasa Cou, kerajinan tangan dan juga menerima nasihat-nasihat tentang kehidupan dari nyonya yang sudah banyak pengalaman hidup ini.

Tepat seperti yang dikuatirkan oleh Piloko, dua pekan kemudian datanglah serbuan yang sangat besar-besaran dari pasukan Ouigour yang dipimpin sendiri oleh Huayen khan dan Ang Hwa!

Ketika itu Eng Eng dan Piloko yang ditemani oleh Yamani sedang duduk di belakang rumah menyaksikan latihan ilmu golok yang dilakukan oleh belasan orang pemimpin pasukan. Tiba-tiba seorang penjaga dengan napas terengah-engah datang melaporkan.

"Dari balik bukit di timur datang pasukan Ouigour yang jumlahnya kurang lebih dua ratus orang, dikepalai sendiri oleh Huayen khan dan seorang wanita muda yang cantik berpakaian merah."

"Ang Hwa si perempuan lacur!" kata Piloko dan Yamani hampir berbareng dengan muka kaget.

"Siapkan barisan, perkuat penjagaan di empat pintu gerbang dan sisa barisan semua bersiap di pintu timur!" Piloko memberi perintah kepada para pembantunya yang sedang berlatih golok itu. Pemimpin-pemimpin pasukan itu cepat pergi untuk mengatur pasukan masing-masing dan Piloko lalu berkata kepada Eng Eng!

"Nah, Suma-lihiap sekaranglah saatnya kami mohon bantuanmu karena tanpa bantuanmu kami semua pasti akan celaka ditangan Huayen khan dan Ang Hwa. Selain jumlahnya pasukan mereka lebih besar, juga Huayen khan dan Ang Hwa amat lihai."

Akan tetapi dengan tenang Eng Eng lalu mengajak kepala suku bangsa Cou itu dan istrinya untuk segera keluar dan ikut menjaga di pintu gerbang sebelah timur.

"Siapakah orang yang kau sebut Ang Hwa itu?" tanyanya ketika mereka telah tiba di tempat yang dituju di mana para perajurit Cou telah siap sedia dengan golok di tangan.

"Ang Hwa adalah puteri seorang ahli silat Kun Iun pai yang telah menjadi isteri dari Huayen-khan. Mungkin kepandaiannya tidak kalah oleh Huayen khan, terutama sekali pedangnya yang amat ganas." Jawab Piloko.

Mendengar ini, Eng Eng menjadi tertarik sekali. Ingin ia menyaksikan sampai di mana kelihaian Huayen khan, terutama orang yang bernama Ang Hwa itu. Sambil menanti kedatangan tentara musuh, Eng Eng mendengar keterangan Piloko tentang kejahatan dan kecabulan Ang Hwa yang biarpun sudah menjadi istri Huayen khan, namun masih suka bermain gila dengan laki laki lain setahu suaminya! Tentu saja Eng Eng menjadi sebal mendengar ini dan timbullah rasa benci dalam hatinya terhadap Ang Hwa yang dianggapnya tidak tahu malu.

Sebelum kelihatan barisan Ouigour itu, sudah nampak debu mengebul dan suara sorakan mereka, Eng Eng berpesan kepada Piloko,

"Jangan bergerak dulu. lihat apa yang hendak mereka lakukan. Kalau memang betul Huayen khan dan Ang Hwa berniat buruk, biar aku merobohkan mereka dulu agar semangat barisannya menjadi patah."

Piloko menurut dan memberi perintah kepada para pembantunya, akan tetapi di dalam hatinya diam-diam ia merasa ragu-ragu apakah mungkin Eng Eng dapat merobohkan Huayen-khan dan Ang Hwa seorang diri saja.

Ia telah maklum bahwa ilmu kepandaian Huayen khan sendiri jauh lebih tinggi dari pada ilmu kepandaiannya, apa lagi Ang Hwa yang disohorkan orang amat ganas dan kejam itu. Biarpun ia telah menyaksikan kelihaian Eng Eng, namun sukarlah dapat dipercaya adanya seorang gadis yang dapat menghadapi Huayen-khan dan Ang Hwa!

Tak lama kemudian dari sebuah tikungan di luar dusun, nampaklah barisan Ouigour itu muncul dengan segala kegagahan. Huayen-khan sendiri naik kuda abu-abu disamping kuda putih yang dinaiki Ang Hwa dan kedua orang ini nampak gagah dan keren. Melihat dua orang musuh besar ini, Piloko merasa marah dan juga gentar. Telah berkali-kali ia merasai kelihaian Huayen khan, biarpun ia mengeroyok orang ini, selalu ia menderita kekalahan.

Sementara itu, Huayen-khan memandang kepada Piloko dengan muka merah dan menudingkan golok besarnya sambil berkata,

"Piloko, manusia tak tahu malu! Apakah kau telah bosan hidup maka kau telah berani sekali berlaku curang dan menyerang pasukanku selagi aku tidak ada? Ketika kami merampas kampungmu, kami masih berlaku murah tidak membunuhmu. Akan tetapi kau melepaskan kesempatan dan kekuatan tentara yang lebih besar jumlahnya untuk menyerang kembali kampungmu. Sungguh hal ini aku tak dapat membiarkan saja dan hari ini aku harus dapat memenggal lehermu dengan golokku."

Ucapan ini dikeluarkan dalam bahasa Cou yang kaku. Eng Eng yang sudah mempelajari bahasa ini, dapat mengerti maksudnya, maka ia mendengarkan dengan penuh perhatian, akan tetapi tetap waspada.

"Huayen khan, bisa saja kau memutar balikkan duduknya perkara. Sudah kau katakan juga bahwa kau telah merampas kampungku mau bicara apa lagi? Kau telah mengaku dan memperdengarkan kejahatanmu sendiri. Kau selalu menindas dan memusuhi bangsaku yang lebih kecil jumlahnya, sedangkan seekor semutpun kalau diinjak-injak sarangnya akan mengamuk dan melawan seekor gajah, apalagi pula seorang manusia? Kami merampas kembali kampung kami sendiri, dipandang dari sudut keadilan siapapun juga, ini sudah menjadi hak kami dan kau boleh mengatakan apa juga, namun tetap kampung ini adalah tempat tinggal kami."

Tiba-tiba terdengar suara tertawa mengejek. Ternyata yang tertawa adalah wanita cantik yang berkuda putih di samping Huayen-khan, yakni Ang Hwa.

"He, he, sekarang Piloko berani membuka mulut besar, agaknya burung walet yang sudah habis bulunya itu kini telah tumbuh sayap."

"Ha, ha, ha!!" Huayen-khan tertawa bergelak mendengar ejekan isterinya ini.

"Kau betul sekali, manis. Biar aku putuskan lagi sayapnya yang baru tumbuh itu. Ha ha, ha!" Sambil berkata demikian, tangannya bergerak cepat dan tahu-tahu sebatang anak panah telah terlepas dari busurnya, menyambar Piloko!

Memang Huayen khan adalah seorang ahli main panah. Akan tetapi piloko yang mendapat julukan Yan ong (Raja WaIet) memiliki ginkang yang sudah cukup tinggi. Begitu melihat berkelebatnya anak panah yang menyambar, lebih dulu ia telah dapat melompat ke kiri. Anak panah itu lewat di samping tubuhnya dan menancap ke atas tanah sampai ke gagangnya. Akan tetapi, dengan amat cepatnya, tiga batang anak panah menyambar lagi, kini ketiga bagian tubuh Piloko!

"Manusia curang!" tiba-tiba berkelebat bayangan tubuh yang amat langsing dan tahu-tahu tiga batang anak panah itu telah kena ditendang runtuh oleh Eng Eng yang tahu-tahu telah berdiri di depan Piloko dan menghadapi Huayen khan dengan mata bersinar marah.

"Ha, ha, ha, pantas saja Piloko berani berlagak, tidak tahunya ia telah mempunyai seorang selir yang cantik dan gagah perkasa. Eh, kau nona yang cantik dan gagah, mengapa kau begitu merendahkan diri ikut pada Piloko yang miskin?"

Bukan main marahnya hati Eng Eng mendengar hinaan ini. Akan tetapi ia teringat akan penuturan PiIoko tentang Huayen-khan dan istrinya yang ternyata masih muda, cantik yang jelas berasal dari selatan itu, maka katanya dalam bahasa Han sambil tersenyum mengejek.

"Huayen khan, aku adalah seorang gadis kang ouw pembasmi orang-orang jahat seperti kau mana bisa dibandingkan dengan isterimu? Agaknya kau selalu memandang rendah kepada setiap orang wanita, karena mengingat akan istrimu sendiri yang kau biarkan bermain dengan laki laki lain!"

Biarpun omongan yang dikeluarkan oleh Eng Eng ini disertai senyum simpul, akan tetapi tajamnya melebihi ujung pedang yang menikam dada Huayen khan dan Ang Hwa. Dua orang ini belum pernah dihina orang seperti ini, tentu saja mereka menjadi marah sekali. Huayen khan saking marahnya tidak dapat berkata sesuatu, hanya kedua tangannya saja yang bergerak secepat kilat dan lima batang anak panah melayang ke arah tubuh Eng Eng! Gadis ini memperlihatkan kepandaiannya yang benar-benar mengagumkan sekali.

Bagi orang lain, anak-anak panah itu datangnya amat cepat dan sukar sekali diikuti oleh pandangan mata sehingga amat sukar dilihat. Akan tetapi bagi Eng Eng, ia dapat melihat jelas datangnya anak panah ini. Dua batang melayang agak rendah, mengarah perut dari kanan kiri. Dua lagi mengarah dada dari kanan kiri dan sebatang lagi menuju ke arah kepalanya! Karena anak-anak panah ini datangnya berbareng maka Eng Eng lalu mengeluarkan suara keras dan tubuhnya bergerak amat mengagumkan dan mengherankan.

Sekali bergerak saja, kedua kakinya dengan tendangan berantai telah memukul runtuh dua batang anak panah, dan lagi yang menuju ke arah dadanya dapat ditangkap oleh kedua tangannya dan yang menuju ke kepalanya dapat dielakkan sambil menundukkan mukanya! Selagi semua orang terheran-heran, Eng Eng berseru lagi dengan nyaring,

"Keledai tua, kau makanlah sendiri anak panahmu!" sambil berkata demikian, dua tangannya terayun ke depan dan dua batang anak panah yang tadi ditangkap dengan tangannya kini melayang bagaikan kilat menyambar ke arah pemiliknya.

Huayen-khan masih bengong menyaksikan kelihaian Eng Eng menghindarkan diri dari serangan lima batang anak panahnya. Kini melihat sinar terang menyambar ke arah perutnya, ia kaget sekali dan cepat ia lalu melompat turun dari kudanya karena tidak ada jalan untuk menangkis atau mengelak lagi. Ia selamat dari tusukan anak panahnya, akan tetapi kudanya yang berbulu abu-abu meringkik keras lalu roboh, keempat kakinya berkelojotan lalu diam!

Ternyata bahwa Eng Eng melepaskan dua batang anak panah yang disambitkannya itu kedua jurusan, sebatang ke arah Huayen khan dan yang kedua ke arah kuda itu yang tepat mengenai dada dan menembus jantung! Bukan main marahnya Huayen khan melihat kejadian ini. Saking marahnya, ia sampai menjadi lupa mempergunakan pikiran sehat lagi. Bila ia tidak begitu marah, tentu ia dapat mengetahui bahwa gadis di depannya ini sama sekali tidak boleh dibuat permainan dan tentu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Akan tetapi ia sedang marah sekali dan nama Huayen-khan bukanlah nama yang baru saja muncul. Dia adalah seorang tokoh yang amat terkenal, bahkan bangsa Mongol dan Tartar sendiri merasa keder mendengar nama ini.

Orang-orang Mongol memberi julukan "Panah setan" kepadanya, sedangkan orang-orang Tartar memberi nama poyokan "Golok Peminum darah".

Tentu saja kini baru bertemu pertama kali sudah diperhina dan dipermainkan oleh seorang gadis muda, kemarahannya memuncak. Ia mencabut golok besarnya dan menerjang maju sambil berseru keras. Dalam kemarahan dan juga kesombongannya ia memandang ringan kepada lawan ini, sehingga ia lupa memberi aba-aba kepada pasukannya untuk menyerbu.

Oleh karena semua anggauta pasukannya amat takut dan taat kepada Huayen-khan yang galak dan keras, maka mereka tidak ada yang berani turun tangan dan hanya menanti sampai kepala mereka merobohkan gadis fihak musuh yang lancang dan berani itu. Akan tetapi ternyata kali ini Huayen khan kecele besar sekali. Baru saja goloknya menyambar, tiba-tiba berkelebat sinar merah dan ia merasa seakan-akan pangkal lengannya akan copot dari pundaknya!

Lengannya tergetar hebat dan matanya menjadi silau oleh cahaya api yang berpijar keluar dari goloknya yang beradu dengan pedang merah di tangan nona itu. Ketika ia cepat menarik kembali golok besarnya, ternyata golok besarnya itu rompal sedikit karena beradu dengan pedang itu. Bukan main kagetnya hati Huayen-khan. Golok besarnya adalah sebuah golok pusaka yang ampuh dan keras, bagaimana sekarang sampai dapat gempal sedikit ketika beradu dengan pedang nona yang nampaknya amat tipis dan tidak kuat itu? Akan tetapi Eng Eng tidak memberi kesempatan kepadanya untuk banyak melamun, karena segera pedang merah di tangannya itu berobah menjadi segulung sinar merah yang bergulung-gulung bagaikan seekor naga merah mengamuk!

Huayen khan bukan anak kemarin sore yang baru kali ini menghadapi lawan tangguh, maka ia cepat memutar goloknya, mengimbangi kecepatan gerakan lawan dan sambil menangkis dan mengelak, iapun membalas dengan serangan-serangan kilat yang tak kalah berbahayanya. Akan tetapi, baru bertempur lima belas jurus saja, seperti orang-orang lain yang pernah menghadapi Eng Eng dalam pertempuran, kepala Huayen-khan telah menjadi pening dan pandangan matanya kabur.

Ia menjadi bingung sekali karena sesungguhnya gerakan pedang dari gadis ini luar biasa anehnya. Tampaknya demikian kacaunya seperti orang mabok memutar pedang, tetapi di dalam kekacaubalauan ini tersembunyi daya tempur yang luar biasa kuatnya, gerakannya kacau, akan tetapi setiap serangan amat cepat dan berbahaya sedangkan ilmu silat pedang yang nampak kacau balau itu ternyata amat sukar untuk dipecahkan dan amat sukar untuk diserang.

Setelah ia dapat mempertahankan diri sampai dua puluh jurus, Ang Hwa yang melihat keadaan suaminya mulai terdesak hebat dan bingung oleh sinar pedang yang merah itu, menjadi tidak sabar. Sambil mengeluarkan suara keras ia lalu melompat turun dari kudanya, menghunus pedangnya dan menyerbu. Melihat betapa Eng Eng dikeroyok, piloko hendak turun tangan. Akan tetapi, Eng Eng berseru.

"Saudara Piloko, biarlah dua ekor anjing ini kau serahkan kepadaku. Lebih baik kau pimpin kawan-kawan untuk mengusir musuh-musuhmu itu!"

Piloko tidak berani membantah, maka ia lalu memberi isyarat kepada kawan-kawannya. Mulailah orang orang Cou itu bersorak sambil menyerbu orang-orang Ouigour yang tidak menyangka-nyangka sama sekali. Terjadilah perang tanding yang amat ramai dan hebat, perang tanding yang kacau balau di luar pintu gerbang dusun itu. Piloko dan isterinya mengamuk hebat, memimpin kawan-kawan mereka menyerbu musuh yang menjadi kacau karena tidak mendapat pimpinan dari kepala mereka. Adapun Huayen-khan dan Ang Hwa yang mengeroyok Eng Eng, tiba-tiba menjadi terkejut sekali ketika Eng Eng mengeluarkan pekik yang nyaring dan gerakan pedang merahnya makin hebat saja.

Sekali sabet sambil mengerahkan tenaga, golok di tangan Huayen khan patah sampai di gagangnya dan ketika kakinya terayun ke arah Ang Hwa, nyonya muda ini menjerit ngeri dan tubuhnya terpental sampai tiga tombak jauhnya. Baiknya Ang Hwa pernah mendapat latihan ilmu Iweekang yang cukup tinggi dari cabang persilatan Kun-lun pai, maka biarpun ia menderita luka di dalam lambung dan mulutnya mengeluarkan darah, namun ketika tertendang tadi ia masih sempat mengerahkan tenaga penolakan hingga lukanya tidak membahayakan nyawanya. Akan tetapi, sepak terjang Eng Eng ini sudah cukup membuat hati mereka menjadi gentar sekali.

"Serang dia!" seru Huayen khan kepada para pembantunya yang segera menyerbu dan mengeroyok Eng Eng. Sebentar saja Eng Eng dikeroyok oleh sepuluh orang Ouigour yang terkenal memiliki kepandaian lumayan.

Akan tetapi, begitu pedang Eng Eng menyambar-nyambar di sana-sini terdengar seruan kesakitan, disusul robohnya orang-orang yang mengeroyoknya. Dalam beberapa gebrakan saja Eng Eng telah membabat roboh lima orang pengeroyok dengan cara sama mudahnya dengan orang membabat rumput saja!

Huayen khan yang pergi menolong istrinya menjadi makin gelisah melihat betapa orang-orangnya banyak yang menjadi korban dan tewas dalam pertempuran itu. la segera memondong tubuh Ang Hwa yang masih pingsan dan melompat ke atas kuda putih, kuda tunggangan Ang Hwa yang terkenal baik dan cepat sekali larinya, lalu berseru.

"Mundur semua!"

Setelah memberi aba-aba mundur ini, Huayen-khan lalu membalapkan kudanya lari dari tempat itu. Piloko dan Yamani tidak berani mengejar, adapun Eng Eng yang tadinya ingin mengejar dan menewaskan dua orang itu, tidak mempunyai kesempatan karena ia masih dikeroyok dan dikurung oleh orang orang Ouigour. Ketika ia berhasil merobohkan tiga orang pengeroyok dengan sekali serangan sehingga yang lain menjadi jerih dan mundur, ternyata kuda putih yang ditunggangi oleh Huayen-Khan telah lenyap dari situ, hanya suara derap kakinya saja terdengar sudah amat jauh.

Orang-orang Ouigour ketika mendengar aba-aba yang dikeluarkan oleh Huayen-khan tidak mau membuang banyak waktu lagi, lalu melarikan diri meninggalkan mereka yang tewas dan terluka.

Pertempuran kali ini adalah pertempuran pertama yang mendatangkan kemenangan besar sekali bagi fihak bangsa Cou, maka tentu saja mereka menjadi amat gembira. Makin kagumlah semua orang terhadap Eng Eng, bahkan malam itu lalu diadakan perayaan untuk merayakan kemenangan itu serta untuk menghormati Eng Eng. Dalam perayaan ini, Piloko dan Yamani mengajukan usul, yakni mengangkat Eng Eng sebagai kepala suku bangsa Cou!

Akan tetapi Eng Eng cepat menolak dengan manis sambil berkata,

"Kalian ini sungguh keterlaluan. Bagaimana seorang gadis muda yang bodoh seperti aku hendak dijadikan kepala suku bangsa? Memang tak perlu kusangkal lagi bahwa mungkin dalam ilmu silat, aku mempunyai kepandaian paling tinggi diantara kalian semua. Akan tetapi, kepandaian silat saja masih belum bisa membikin orang menjadi seorang kepala suku bangsa! Bagaimana aku berani menerimanya? Untuk mengatur diriku sendiri yang sebatang kara ini saja bagiku masih amat membingungkan, bagaimana aku harus mengatur penghidupan ratusan orang? Ah, tidak, saudara piloko, maafkan saja, pengangkatan ini aku sama sekali tidak berani terima."

Tiba-tiba Piloko menangis sambil berkata dengan perlahan, akan tetapi terdengar oleh semua orang yang berkumpul di situ.

Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



"Ah, memang nasib bangsaku amat buruk. Agaknya sudah menjadi takdir bahwa suku bangsa Cou harus lenyap dari muka bumi ini. Tadinya kita mengira bahwa Bunga Dewa akan membebaskan kita dari penderitaan dan kehancuran, akan tetapi setelah dia menolak, sama artinya dengan keputusan dari langit bahwa bangsa Cou harus lenyap. Kalau Suma Iihiap tidak mau memimpin kita, akhirnya tentu kita akan ditinggalkan dan..... kalau sampai terjadi hal demikian, lalu bangsa Ouigour atau bangsa lain menyerang kita, apa yang dapat kita lakukan? Sudahlah"memang sudah nasib kita yang amat buruk, keselamatan kita hanya tergantung kepada Suma lihiap saja dan sekarang dia tidak mau menerima permintaan kita""

Ucapan ini dikeluarkan dengan suara terisak-isak tertahan sehingga semua orang menjadi terharu dan di sana-sini terdengar suara tangis orang-orang perempuan, termasuk Yamani. Eng Eng menarik napas panjang.

"Saudara Piloko, kau tidak adil! Dengan omonganmu ini, bukankah berarti bahwa kalian hendak mengikat diriku disini? Aku sendiri sudah cukup menderita, hidup sebatang kara, tidak tentu tujuan, tidak tahu apakah yang akan terjadi dengan diriku, ditambah kalian hendak mengikat aku di sini, lalu apakah aku tidak berhak pula untuk mencari kebahagiaan hidup? Semenjak kecil aku sudah hidup penuh kepahitan, kegetiran, kesengsaraan dan sekarang"setelah aku berjasa.... ah, masihkah aku harus menambah beban hidupku dengan memikirkan kehidupan ratusan orang bangsamu"?"

Bicara sampai di sini, Eng Eng teringat akan keadaannya sendiri dan karena terharunya, menangislah gadis pendekar ini! Ia menubruk dan merangkul Yamani, lalu menangis tersedu-sedu, belum pernah ia menangis sesedih itu.

Gadis perkasa ini memang selamanya belum pernah menjadi demikian sedihnya, dan baru kali ini, di tengah orang-orang yang bersimpati kepadanya, yang memilihnya sebagai kepala, ia demikian terharu sehingga ia menangis dengan hati terasa bagai diremas-remas! "Diamlah, nak. Maafkan kami yang terlalu mengingat keadaan sendiri. Diamlah, anakku yang baik, kau memang pantas dikasihani." kata Yamani sambil mendekap kepala gadis itu. Eng Eng makin merasa terharu dan mendengar hiburan ini, tangisnya makin menjadi. Ia merasa betapa suara Yamani itu penuh dengan kasih sayang, dan ia yang selama ini merasa rindu akan kasih sayang seorang ibu, kini tiba-tiba merasa bahwa alangkah baiknya dan senangnya kalau Yamani menjadi ibunya!

"Tidak, tidak. Kalian tidak salah apa-apa, memang sudah seharusnya aku melindungi dan membantu kalian orang-orang baik dan tertindas ini. Biarlah aku menjadi anakmu, biarpun aku tidak menjadi kepala, akan tetapi sebagai anakmu aku akan membelamu. Siapa saja yang berani mengganggu ayah bundaku juga bangsaku, akan kuhajar habis-habisan!"

Ucapan ini dikeluarkan dalam bahasa Cou maka semua orang dapat mendengar dan mengerti artinya. Bukan main girangnya semua orang, terutama sekali Piloko dan Yamani sendiri. Mereka saling pandang dan hampir tak dapat mempercayai pendengaran mereka. Yamani lalu memeluk Eng Eng sambil berkata.

"Anakku... Eng Eng anakku sayang""

"Aku... dan juga kau, ayah. Jangan khawatir, aku akan memberi latihan ilmu silat kepada kawan-kawan kita. Sebelum keadaan kawan-kawan kuat dan boleh diandalkan, aku takkan meninggalkan kalian semua."

Bukan main girangnya Piloko mendengar betapa gadis pendekar ini menyebutnya ayah. Wajahnya berseri-seri. la merasa seakan-akan anaknya yang dulu telah meninggal dunia karena sakit kini telah hidup kembali. Matanya yang biasanya bermuram ini kini menitikkan dua butir air mata.

"Anakku, kau baik sekali. Terima kasih kepada Dewa yang agung yang telah mengirim bunga dewa kepadaku. Alangkah besar kehormatan yang kunikmati dapat menjadi ayah dari bunga dewa!"

Setelah berkata demikian, Piloko lalu berlutut dengan kedua tangan terangkat ke atas sebagai penghormatan dan pernyataan terima kasih kepada penghuni langit! Melihat hal ini, Yamani dan semua orang yang berada di situ, lalu ikut pula berlutut seperti yang dilakukan oleh Piloko.

Melihat kesungguhan wajah dan sikap mereka, Eng Eng merasa betapa tulang rusuknya menjadi dingin, maka iapun lalu ikut berlutut seperti yang dilakukan oleh ayah dan Ibu angkatnya serta sekalian orang Cou yang berada di situ.

Mulai hari itu, Eng Eng mulai melatih ilmu silat lebih lanjut kepada orang-orang Cou yang belajar makin giat dan rajin lagi sehingga mereka mendapat kemajuan pesat. Selama itu tidak nampak gangguan lagi dari fihak Ouigour sehingga orang orang Cou hidup dengan aman dan tenteram, menyangka bahwa Huayen-khan telah mendapat hajaran dan tidak berani muncul lagi. Akan tetapi dugaan mereka ini sebetulnya salah sekali, karena orang seperti Huayen-khan tak mungkin dapat mengalah begitu saja.

Baiknya hal ini dapat diduga oleh Eng Eng yang sengaja untuk sementara waktu tidak mau meninggalkan Piloko dan anak buahnya. Sementara itu, para penyelidik yang disuruh oleh Piloko untuk mencari jejak Sim Tiong Kiat seperti yang dikehendaki oleh Eng Eng ternyata kembali nihil. Mereka telah merantau ke selatan sampai ke kota raja, akan tetapi tidak dapat mencari pemuda itu di kota raja atau kota-kota lain.

Hal ini tentu saja amat mengecewakan hati Eng Eng dan membuat dia makin malas untuk mencari Tiong Kiat, karena setelah lima orang penyelidik itu merantau ke selatan dan mencari-cari tidak juga berhasil dia sendiri yang tak begitu mengenal daerah ini, harus mencari ke manakah? Akan tetapi ia tidak putus asa karena nama Ang.coa kiam Sim Tiong Kiat adalah nama yang mulai terkenal di kalangan kang ouw sedangkan anak buah Piloko telah minta pertolongan orang orang gagah di kalangan kang-ouw untuk memberi berita ke utara apa bila sewaktu-waktu mendengar tentang penjahat muda itu.

Eng Eng merasa yakin bahwa sekali waktu ia pasti akan berhadapan muka dengan pemuda musuh besarnya itu!

Sama sekali ia tidak pernah mengimpi bahwa pada waktu itu, Tiong Kiat tidak berada di tempat jauh, bahkan sama sekali tak pernah menduga bahwa tak lama lagi ia akan berhadapan muka sama muka dengan pemuda itu dalam keadaan yang amat tak tersangka! Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, dalam rencana dan usaha mereka untuk berkhianat, Oei Sun atau Oei ciangkun bersama Go bi Ngo-koai tung, diam-diam mengadakan pesekutuan rahasia dengan Huayen-khan pemimpin suku bangsa Ouigour dan juga diam-diam telah mengadakan perjanjian dengan bangsa Mongol di utara.

Huayen-khan dan Ang Hwa yang menderita kekalahan hebat dari Piloko yang dibantu Eng Eng, menjadi amat sakit hati dan mereka teringat kepada Oei-ciangkun. Setelah mengadakan perundingan mereka itu lalu membawa sisa pasukan menuju ke benteng di lereng bukit dekat kota Hong-bun.

Kedatangan mereka diterima dengan baik oleh Oei-ciangkun dan Gobi Ngo koai-tung akan tetapi Sim Tiong Kiat merasa tidak enak juga ketika ia melihat kedatangan Huayen-khan dan Ang Hwa yang pernah bertempur dengan dia. Sebaliknya kepala suku bangsa Ouigour itu menjadi kaget sekali melihat Sim Tiong Kiat berada di dalam benteng ikut pula menyambutnya, bahkan telah mengenakan pakaian sebagai seorang perwira! Akan tetapi Ang Hwa memandang dengan wajah berseri lalu berkata girang.

"Ah, tidak tahunya Sim taihiap sudah berada di sini pula! Sungguh menggirangkan sekali. Kalau aku tahu sudah dulu-dulu aku datang ke sini. Mengapa kau tidak memberi kabar tentang adanya Sim-taihiap di sini, Oei ciangkun?" katanya kemudian sambil mengerIing tajam ke arah Oei-ciangkun.

Oei Sun tertegun. Panglima ini dapat menduga bahwa tentu dahulu pernah terjadi sesuatu antara Sim Tiong Kiat dan nyonya yang cabul ini.

"Siapa tahu bahwa kalian sudah saling mengenal?" tanyanya menggoda.

"Kami sudah saling mengenal dengan baik sekali!" jawab Ang Hwa sambil menyambar Tiong Kiat dengan sinar matanya yang tajam.

Ketika Oei Sun menengok ke arah Huayen khan, orang tua ini mengangguk dan berkata,

"Kenalan lama, kenalan baik!" Kemudian ia lalu menarik tangan Oei ciangkun diajak masuk ke dalam, meninggalkan isterinya bersama Tiong Kiat. Setelah berada di dalam, ia berbisik kepada Oei Sun.

"Oei ciangkun, bagaimana pemuda itu bisa menjadi seorang perwiramu? Kenal betulkah kau kepadanya? Setahuku, ia amat setia kepada kaisar!" Dengan singkat dan cepat Huayen khan lalu menuturkan peristiwa keributan di dalam tendanya dahulu, di mana Tiong Kiat menyatakan tetap setia kepada kaisar sehingga menolak tawaran Huayen-khan yang memberikan istrinya untuk melayaninya!

Oei Sun mengangguk-angguk.

"Aku sudah menduga demikian, akan tetapi belum tentu ia betul-betul bersetia. Orang yang sudah menjadi jai-hwa-cat dan sudah suka menjalani jalan hek.to (jalan hitam, penjahat) tak mungkin dapat mempunyai hati setia. Aku amat sayang akan kepandaiannya yang tinggi dan perlahan-lahan aku sedang menarik dan membujuknya. Kalau sampai dia bisa berobah sikap dan membantu kita, bukankah dia merupakan tenaga yang amat baiknya?"

Huayen-khan mengangguk-angguk.

"Memang demikianlah kehendakku dahulu, akan tetapi Ang Hwa tidak berhasil sehingga diantara dia dan kami bahkan timbul pertempuran hebat. Terus terang saja, akupun merasa kagum sekali melihat ilmu silatnya." Oei Sun memandang keluar di mana Ang Hwa dengan sikap yang genit dan menarik sedang bercakap-cakap dengan Tiong Kiat. Tak dapat disangkal lagi dan amat mudah dilihat betapa pemuda itu memandang kepada Ang Hwa dengan mata amat tertarik. Oei ciangkun tersenyum dan berkata,
"Kurasa Ang Hwa bukannya tidak berhasil sama sekali. Kau lihat saja bukankah ikan emas itu sudah masuk dalam perangkapnya?"

Huayen khan juga memandang keluar dan iapun dapat melihat betapa sesungguhnya Tiong Kiat amat tertarik oleh Ang Hwa dan sedang memandang kepada nyonya muda itu dengan mesra.

"Huayen-khan sebetulnya apakah keperluanmu datang ke benteng? Melihat wajahmu dan semua orang orangmu agaknya kau telah mengalami kekecewaan besar."

"Kekecewaan? Bukan hanya kecewa, bahkan aku telah mengalami kekalahan besar, banyak orangku tewas bahkan Ang Hwa sendiri hampir saja tewas dalam peperangan itu."

Oei ciangkun terkejut.

"Apa katamu? Apakah rombonganmu telah bertemu dengan pasukan dari kota raja?"

"Kami telah dipukul habis-habisan oleh orang-orang Cou."

"Apa? Piloko? Tak mungkin, bagaimana dia bisa memukul pasukanmu?"

"Inilah yang amat menyebalkan! Kalau pasukan kota raja yang mengalahkan pasukanku itu sih tidak berapa menjengkelkan. Akan tetapi pasukan Cou! Ah, sungguh bisa bikin orang mati karena gemas. Pasukan Cou sekarang rata-rata memiliki kepandaian yang tinggi dan diantara mereka terdapat seorang gadis Han yang luar biasa lihainya sehingga aku dan Ang Hwa hampir saja celaka di dalam tangannya." Huayen khan lalu menceritakan tentang pertempuran itu.

Oei-ciangkun makin terheran.

"Apakah gadis itu masih muda, cantik dan langsing, berpedang merah?"

Kini Huayen-khan yang terkejut.

"Bagaimana kau bisa tahu? Betul, memang gadis itu cantik jelita, tidak kalah oleh Ang Hwa dan pedang merahnya lihai sekali."

Oei-ciangkun tak perlu menceritakan kepada Huayen-khan tentang Eng Eng yang pernah tertawan olehnya, hanya berkata setelah berpikir sebentar.

"Bagus sekali, aku mempunyai pikiran yang amat baik. Mengapa kita tidak mengadukan Sim ciangkun dengan gadis pembela Piloko itu? Dengan jalan demikian, bukankah sekali tepuk mendapat dua ekor burung? Di satu fihak kita dapat menguji kesetiaan Sim-ciangkun kepadaku, dan kedua kita dapat pula membalaskan sakit hatimu terhadap orang-orang Cou. Juga mereka itu perlu dibasmi karena kalau tidak akan mendatangkan bahaya di hari kemudian bagi rencana kita!"

Akan tetapi, ketika Oei-ciangkun dan Huayen-khan mengadakan perundingan dengan Go-bi Ngo koai-tung, pada saat itu juga Ang Hwa sendiri telah berhasil menawan hati Tiong Kiat untuk kedua kalinya dan nyonya muda ini dengan sikap yang amat menarik menuturkan bahwa ia dihina oleh Piloko sehingga hampir saja nyawanya melayang. Tiong Kiat yang mulai mabok oleh kecantikan dan gaya Ang Hwa, tanpa disadarinya telah memberi kesanggupan bahwa ia tak akan membiarkan sakit hati itu dan akan membunuh Piloko. Tiong Kiat mengeluarkan janji ini karena ia telah mendengar dari Oei ciangkun betapa Piloko adalah kepala suku bangsa Cou yang hendak memberontak dan membikin kekacauan hingga sudah patut dibasmi.

Go-bi Ngo-koai-tung menganggap usul Oei ciangkun untuk menyuruh Tiong Kiat membantu orang-orang Ouigour membasmi Piloko dan anak buahnya amat baik. Demikianlah, beramai-ramai mereka lalu mendatangi Tiong Kiat yang sedang bercakap-cakap dengan amat asyiknya dengan Ang Hwa.

"Sim ciangkun." Oei Sun mulai berkata dengan muka sungguh-sungguh,"seperti pernah kukatakan kepadamu, orang orang Cou yang dikepalai oleh Piloko amat jahat dan berbahaya. Sekarang Piloko telah melatih orang-orangnya dan baru saja ia telah menyerang Huayen khan dan menimbulkan banyak kematian dan kerusakan. Kalau tidak lekas-lekas dibasmi, tentu kelak orang-orang Cou itu akan berani menyerang benteng kita, bahkan mungkin sekali akan berani memasuki tembok besar dan mengganggu rakyat. Oleh karena itu, aku harap kau suka memimpin sepasukan perajurit, bersama-sama dengan pasukan Ouigour yang menjadi penunjuk jalan, menggempur orang-orang Cou itu. Kalau mungkin bunuh atau tawan Piloko atau setidaknya biarlah merasai kelihaian kita."

Sambil mengerling ke arah Ang Hwa, Tiong Kiat menjawab.

"Baiklah, Oei ciangkun. Urusan orang-orang Cou ini mudah saja, biarlah aku yang akan membikin beres. Bilakah aku berangkat?"

Hampir berbareng Huayen-khan dan Oei ciangkun berkata.

"Sekarang juga, lebih cepat lebih baik."

Akan tetapi tiba-tiba Ang Hwa berkata,"Lebih baik besok pagi saja, karena pasukan kita perlu beristirahat. Lagi pula, akupun akan ikut sendiri untuk membalas dendam!"

Kerling mata yang penuh arti dari nyonya muda ini ke arah suaminya membuat Huayen-khan diam-diam menghela napas. Ia maklum bahwa isterinya telah jatuh hati kepada pemuda she Sim ini dan iapun tahu sepenuhnya bahwa istrinya menghendaki agar diperbolehkan berdekatan dengan Sim Tiong Kiat!

"Memang betul juga," akhirnya Huayen-khan, suami tua bangka ini berkata,

"pasukan kami yang telah terpukul itu amat lelah dan perlu beristirahat."

Demikianlah, selanjutnya dapat diduga bahwa Tiong Kiat telah terjerumus dalam perangkap yang di pasang oleh Huayen khan dan Ang Hwa. Pemuda itu tergila-gila kepada Ang Hwa yang sengaja bersikap amat manis kepadanya. Kini Tiong Kiat tidak menolak seperti dulu, karena kalau dulu ia anggap sikap manis Ang Hwa itu untuk menyeretnya ke jurang penghianatan terhadap kaisarnya, kini nyonya muda yang cantik ini bersikap manis karena memang suka kepadanya, dan karena mengharapkan bantuannya untuk membalas dendam kepada bangsa Cou. Dan menurut anggapan Tiong Kiat, Piloko dan pasukannya memang pantas digempur da dibinasakan agar jangan mengganggu dan mengacau rakyat!

Pada keesokan harinya, berangkatlah Tiong Kiat memimpin sepasukan perajurit yang berjumlah dua ratus orang, didahului oleh sepasukan kecil perajurit Ouigour sebagai penunjuk jalan. Ang Hwa tetap berada di dekatnya. Hal ini disetujui oleh Huayen khan dan Oei ciangkun, karena diam-diam Ang Hwa merupakan seorang penilik untuk menyaksikan bagaimana sikap pemuda itu dalam menghadapi Piloko dan gadis pendekar yang membelanya.

Mereka tiba di hutan dekat dengan dusun yang menjadi tempat tinggal orang-orang Cou dan di situ mereka berhenti. Tiong Kiat mengadakan perundingan dengan Ang Hwa dan orang-orang Ouigour yang menjadi pembantu Huayen khan.

"Lebih baik kita serbu mereka malam hari ini juga." usul Ang Hwa yang sudah tak sabar lagi menanti lebih lama.

"Hal itu berbahaya sekali." kata Tiong Kiat yang biarpun belum mempunyai pengalaman dalam perang, namun sudah mempelajari siasat-siasat peperangan dari Oei ciangkun.

"Mereka lebih faham tentang keadaan daerah ini. Pertempuran di malam hari yang gelap di tempat yang belum kita ketahui baik keadaannya, amat berbahaya bagi pasukan kita. Lebih baik kita menanti di hutan ini sampai besok pagi baru menyerang."

"Apa sukarnya?" Ang Hwa berkata dengan bibir cemberut dan pandangan mata mengejek.

Cari Blog Ini