Ceritasilat Novel Online

Pedang Ular Merah 15


Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 15




Apalagi sekarang keadaan Tiong Kiat amat kuat. Selain telah menjadi seorang perwira yang dilindungi oleh undang-undang dan tidak boleh diserang oleh orang biasa, juga disamping itu masih ada lagi orang-orang pandai seperti lima orang pendeta itu di dalam benteng yang selalu akan membantu Tiong Kiat. Bagaimana ia akan dapat menunaikan tugasnya? Bagaimana ia akan bisa menangkan Tiong Kiat?

Tiong Han benar-benar merasa bingung dan serba salah. Kalau ia nekad menyerbu lagi untuk menghadapi Tiong Kiat akan merupakan usaha yang sia-sia belaka, bahkan ia akan mendapat malu lagi. Untuk kembali kepada suhunya, ia tidak berani.

Ketika ia sedang berjalan dengan tubuh terasa lemas dan pikiran melayang jauh, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

"Bangsat muda, bagus sekali kau datang mengantarkan nyawa!"

Tiong Han terkejut sekali dan cepat mengangkat muka. Ternyata dihadapannya telah berdiri seorang nenek tua yang memandangnya dengan mata merah sekali. Nenek ini rambutnya telah putih, digelung ke belakang dan mukanya kelihatan galak sekali, apa lagi sepasang matanya yang mengeluarkan sinar berapi itu. Pakaiannya seperti pakaian pertapa dari kain putih yang kasar. Nenek ini berdiri dan memegang sebatang tongkat yang bengkak-bengkok dan kepalanya berbentuk aneh seperti kepala naga.

Tiong Han tidak mengenal nenek ini, akan tetapi melihat sikap dan pandang mata nenek yang luar biasa itu, ia dapat menduga bahwa ia tentu berhadapan dengan seorang yang pandai. Cepat pemuda ini lalu mengangkat kedua tangannya memberi hormat sambil berkata,

"Maafkan teecu kalau teecu tidak tahu dengan siapakah teecu berhadapan? Dan kesaIahan apa pulakah yang teecu lakukan sehingga membikin marah kepada suthay?"

Mendengar ucapan yang sopan dan sikap yang ramah ini, nenek itu menjadi makin marah.

"Bangsat bermulut manis! Dengan wajahmu yang tampan dan mulutmu yang manis itu agaknya kau telah menipu dan membujuk banyak wanita! Kedosaanmu telah bertumpuk-tumpuk, dan manusia macam kau ini amat berbahaya! Tidak saja kau telah melempari nama perguruanmu dengan kotoran, bahkan kau juga membawa-bawa nama pemilik pedang Hui liong kiam yang telah kaucemarkan! Hayo kaukeluarkan Hui liong kiam dan kaukembalikan kepadaku!"

"Suthai"maaf........teecu tidak membawa Hui-liong kiam"sudah teecu berikan"..." Tiong Han berkata gagap dan ia menjadi bingung sekali. Tak dapat ia menceritakan bahwa Hui-liong kiam telah ia berikan kepada Tiong Kiat, dan iapun dapat menduga bahwa kembali nenek ini salah lihat disangkanya ia adalah Tiong Kiat. Akan tetapi anehnya, mengapa nenek ini tahu bahwa dia telah menerima pedang Hui liong kiam yang sudah lama diberikannya kepada Tiong Kiat? Siapakah nenek ini? Tiba-tiba teringatlah ia dan mukanya menjadi berseri.

"Ah, pernah Lui piauwsu bercerita tentang dia"" pikirnya, kemudian ia menjura lagi sambil berkata.

"Apakah teecu bukannya berhadapan dengan Pat jiu Toanio Li Bie Hong yang ternama?"

Tiba-tiba nenek itu tertawa dan suara ketawanya merdu dan nyaring seperti suara ketawa seorang gadis muda. Akan tetapi tiba-tiba ia berkata dengan suara bentakan marah sekali.

"Orang jahat, jangan coba berpura-pura. Dulu aku masih memberi ampun kepadamu akan tetapi sekarang jangan harap lagi!" Dan sebelum Tiong Han dapat berjaga diri tahu-tahu tongkat yang panjang itu melayang dan menyambar ke arah kepalanya!

Tiong Han terkejut sekali. Sambaran tongkat itu biarpun masih jauh telah mendatangkan angin pukulan yang hebat sekali. Maklumlah dia bahwa sekali saja kepalanya terkena pukulan tongkat ini, nyawanya takkan dapat tertolong lagi. Ia cepat membuang diri ke belakang dan kemudian melompat menjauhkan diri. Akan tetapi ternyata bahwa Pat jiu Toanio telah berada dihadapannya tanpa ia ketahui kapan bergeraknya. Sekali lagi tongkat nyonya tua itu bergerak, kini menotok ke arah dadanya.

Tiong Han benar-benar merasa bingung, ia tidak mempunyai pedang lagi. Sedangkan seandainya Ang-coa kiam berada di tangannya juga tak mungkin ia dapat menangkan nenek yang gerakan tongkatnya luar biasa sekali ini, apalagi kini ia bertangan kosong. Menghadapi serangan tongkat kedua ini kembali ia mengelak ke kiri akan tetapi sungguh tak disangka sama sekali karena tongkat itu tiba-tiba diputar dan kini yang berbentuk kepala naga itu menyerangnya dengan kecepatan yang tak dapat diduga. Sebelum Tiong Han dapat mengelak, tongkat itu telah mengenai bajunya. Akan tetapi Tiong Han bukanlah seorang pemuda yang hanya memiliki ilmu silat biasa saja. la telah digembleng hebat oleh Lui Thian Sianjin. Cepat ia mengumpulkan tenaga Iweekangnya ke arah paha kanannya yang disambar tongkat sambil membarengi menggunakan kedua tangan menyampok tongkat itu. Ketika tongkat itu mengenai paha, tongkat itu membal kembali karena paha Tiong Han telah menjadi keras dan kuat seperti karet dan dibantu oleh sampokannya, tongkat itu terpental.

"Bagus, kepandaianmu tidak jelek, sayang watakmu kotor sekali!" Setelah berkata demikian Pat jiu toanio lalu memutar tongkatnya dengan cepat sekali. Berkali-kali Tiong Han minta agar supaya nenek itu suka mendengarkan bicaranya akan tetapi semua kata-katanya tidak diperdulikan, bahkan didengarpun tidak oleh nenek yang sudah marah ini.

Pat jiu toanio memang mempunyai watak keras dan aneh dan penjahat penjahat ia tidak mengenal ampun. Apalagi terhadap penjahat muda yang disangkanya Sim Tiong Kiat ini. Ia sengaja mencari-cari Tiong Kiat untuk diberi hukuman. Kemarahannya terhadap Tiong Kiat memuncak ketika ia bertemu dengan Lui Thian Sianjin dan mendengar keluh kesah orang tua ini, lalu mendengar sepak terjang Tiong Kiat yang jahat. Apalagi akhir-akhir ini ia mendengar betapa pemuda ini telab melakukan kejahatan dengan menggunakan pedang Hui liong-kiam! Ia merasa bertanggung jawab kalau pedang Hui-liong kiam sampai jatuh ke tangan penjahat.

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, setelah merampas pedang Hui liong-kiam dari tangan penjahat Sin-kiam Koai-jin Ang Kun, murid murtad dari Lui-kong-jiu Kong Kin Tosu, Pat jiu Toanio lalu memberikan pedang itu kepada seorang piauwsu yang gagah, yakni Lui Siong Te. Kemudian Lui-piauwsu ini yang tertolong oleh Tiong Han, lalu memberikan pedang itu kepada Tiong Han yang kemudian memberikannya pula kepada Tiong Kiat sebagai penukar pedang Ang coa kiam.

Pat jiu Toanio ketika mendengar bahwa pedang Hui liong-kiam dipergunakan oleh penjahat, cepat mendatangi Lui piauwsu dan marah sekali. Kemudian ia mendengar bahwa pedang itu oleh Lui piauwsu diberikan kepada seorang muda she Sim yang gagah perkasa. Maka nenek ini lalu mengejar ke utara untuk mencari penjahat yang telah memakai pedang itu dan untuk berbuat jahat dan tak disangka-sangka ia bertemu dengan Tiong Han.

Betapapun tinggi kepandaian Tiong Han, menghadapi Pat-jiu Toanio yang kepandaiannya masih mengatasi Lui Thian Sianjin apa lagi bertangan kosong, tentu saja pemuda itu menjadi sibuk sekali. la hanya dapat menghindarkan diri dari serangan nenek itu selama dua puluh jurus saja dan pada jurut ke dua puluh satu, Pat jiu Toanio berhasil menotok pundaknya dan robohlah Tiong Han tanpa dapat bergerak lagi. Ia telah kena ditotok jalan darahnya dengan ilmu totok satu jari yang luar biasa dan lemaslah semua tubugnya seperti telah diloloskan semua urat-uratnya.

Pat jiu Toanio tertawa lagi. la pukul-pukulkan tongkatnya di atas tanah dekat kepala Tiong Han sehingga debu mengebul ke atas.

"Hm, ingin sekali aku menghancurkan kepalamu dengan tongkat ini. Akan tetapi kau harus membuat pengakuan lebih dahulu di depan meja sembahyang, agar dosa-dosamu tidak terlalu berat dan rohmu tidak terlalu tersiksa."

Tanpa menanti jawaban, nenek ini lalu mengempit tubuh pemuda itu dengan tangan kirinya dan berlarilah ia secepat angin menuju ke dalam hutan. Setelah tiba di sebuah bio (kuil) kecil dan rusak, ia segera masuk dan melemparkan tubuh Tiong Han ke depan meja sembahyang yang telah dibersihkan orang dan telah dipasangi hio dan lilin. Dengan menepuk pundak dan punggung Tiong Han, Pat jiu Toanio membebaskan pemuda ini. Tiong Han bangun dengan tubuh lemas.

"Hayo berlutut di depan meja sembahyang!" bentak Pat-jiu Toanio dengan suara keras dan bengis. Tiong Han hanya tersenyum lalu bangkit berdiri sambil berkata,

"Pai jiu Toanio, biarpun aku telah kau kalahkan dan berada di dalam kekuasaanmu jangan harap untuk membuat aku menjadi ketakutan dan menurut saja sekehendakmu. Aku Sim Tiong Han tidak takut mati!"

"Bangsat sombong, berlutut kau!" kaki dari nenek ini dengan cara cepat dan luar biasa sekali bergerak melakukan tendangan berantai yang tepat mengenai belakang lutut Tiong Han. Pemuda ini merasa betapa tenaga kakinya lenyap dan terpaksa ia jatuh berlutut di depan meja sembahyang!

"Bangsat muda, jangan kau berani main-main di depan Pat jiu Toanio! Kau tidak tahu bahwa perbuatan ini kulakukan untuk menolong rohmu yang tersesat! Kalau aku tidak mengingat bahwa kau adalah murid Kim liong pai, apakah kau kira aku akan sudi melelahkan diri seperti ini? Kupecahkan saja kepalamu di dalam hutan dan habis perkara! Hayo sekarang kau mengakui semua perbuatanmu yang jahat, semenjak kau melarikan diri bersama sumoimu dari Liong san sampai sekarang. Setelah itu kau harus minta ampun di depan meja sembahyang ini kepada Thian sehingga rohmu takkan terlalu disiksa di neraka! Aku tidak menghendaki kau mati penasaran, lebih baik kau mati dengan penuh kesadaran bahwa kematianmu ini untuk menebus dosa!"

Akan tetapi biarpun tahu bahwa ia takkan terhindar dari kematian di tangan nenek yeng lihai dan galak ini, Tiong Han tetap tersenyum ketika berkata,

"Pat jiu Toanio, apakah kau menghendaki aku mengakui kebohongan di depan meja sembahyang? lngat, kaulah yang berdosa kalau membohong, karena kau yang memaksaku!"

"Apa maksudmu?" tanya nenek itu dengan sikap mengancam.

"Aku memang benar murid dari Kim liong pai, akan tetapi aku tidak pernah melakukan dosa-dosa yang kau sebutkan tadi."

"Bangsat, berani benar kau membohong! Pengecut kau, berani berbuat tak berani bertanggung jawab? Manusia seperti engkau ini sudah seharusnya dibikin mampus!" Setelah berkata demikian, Pat jiu Toanio lalu mengangkat tongkatnya hendak dipukulkan ke arah kepala pemuda itu, adapun Tiong Han yang merasa bahwa melawan tiada gunanya lagi, hanya meramkan kedua matanya.

"Li suthai...." tunggu"!" Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan dari dalam kuil bobrok itu muncullah seorang pendeta wanita yang masih muda dan berwajah cantik.

Pat jiu Toanio menahan tongkatnya dan Tiong Han cepat menengok. Pemuda ini membelalakkan kedua matanya memandang kepada pendeta wanita yang baru muncul itu. Hatinya berdebar keras karena pada penglihatan pertama ia mengira bahwa pendeta wanita yang muda dan jelita ini adalah Suma Eng! Akan tetapi setelah bertemu pandang, tahulah ia bahwa biarpun pendeta wanita ini cantik dan memiliki air muka hampir sama dengan Eng Eng, sesungguhnya bukan gadis gagah itu.

"Li Lan, mengapa kau menahanku membikin mampus penjahat ini?" tanya Pat-jiu Toanio dengan pandang mata tajam penuh tanya.

"Apakah bimbinganku selama ini sia-sia belaka dan hatimu masih terisi oleh manusia jahanam ini?"

"Ah, tidak, tidak! Harap jangan salah sangka, Li suthai! Teecu hanya ingin mencegah pembunuhan yang salah alamat. Ketahuilah, pemuda ini sama sekali bukan Sim Tiong Kiat!"

Pendeta wanita ini memang Li Lan, bekas kekasih Tiong Kiat yang disia-siakan dan kemudian dipungut murid oleh Pat jiu Toanio, Kalau lain orang dapat salah lihat dan mengira Tiong Han orang lain, tidak demikian dengan Li Lan. Wanita ini pernah mencinta Tiong Kiat dengan seluruh jiwa raganya, maka sekali lihat saja ia akan mengenal apakah pemuda itu Tiong Kiat atau bukan. Tadi ia sedang berlatih diri dan bersamadhi di dalam kamar di kuil itu, akan tetapi ketika mendengar bentakan bentakan Pat-jiu Toanio dan jawaban lemah dari Tiong Han, hatinya tertarik lalu ia melompat keluar.

Sekali pandang saja biarpun tadinya ia tertegun dan terkejut melihat persamaan rupa pemuda ini dengan bekas kekasihnya, ia tahu bahwa pemuda ini bukan Tiong Kiat dan bahwa gurunya telah salah lihat.

Pat-jiu Toanio menjadi terkejut, lalu marah ketika mendengar seruan Li Lan tadi.

"Li Lan, jangan kau mencoba untuk menolong pengecut ini dari kematian. Mataku belum buta dan sekali mau melihat orang, aku takkan melupakannya lagi."

"Sungguh Li suthai, pemuda ini bukan Tiong Kiat!" kata Li Lan yang segera menghampiri Tiong Han sambil berkata,"Tiong Kiat pernah bercerita kepadaku bahwa ia mempunyai seorang saudara kembar, bukankah kau ini orangnya?"

Tiong Han masih saja tersenyum sedih dan biarpun ia tidak tahu siapa adanya gadis yang mukanya seperti Eng Eng ini ia dapat menduga bahwa gadis inipun tentu seorang bekas korban kebiadaban adiknya yang jahat.

"Kauwnio mengapa kau datang menghalangi Pat jiu Toanio yang hendak membunuhku? Biarlah ia membunuhku kalau memang dia percaya bahwa aku adalah orang yang dicari-carinya."

Pat jiu Toanio melompat dengan muka pucat.

"Apa?? Betulkah kau bukan Sim Tiong Kiat yang jahat itu?"

"Pat jiu Toanio, tadi aku pernah menyebut namaku, akan tetapi agaknya kau terlalu marah sehingga tidak memperhatikan. Aku adalah Sim Tiong Han, kakak dari Sim Tiong Kiat yang kau cari-cari itu. Ketahuilah bukan hanya kau yang marah kepada adikku itu, bahkan aku sendiri telah lama mencari-carinya akan tetapi akhirnya bahkan menerima kekalahan dan hinaan daripadanya." Pemuda ini menarik napas panjang dengan muka muram.

Dengan tergopoh-gopoh, Pat-jiu Toanio lalu mengetuk kedua lutut Tiong Han untuk menyembuhkan pemuda itu.

"Aduh, maafkan aku yang sudah tua, anak muda! Jadi kau ini murid Lui Thian Sianjin yang mendapat tugas mencari murid murtad itu? Ada juga Lui Thian bercerita kepadaku, akan tetapi dia tidak mengatakan bahwa kau adalah kakak dari sikhianat itu dan bahwa mukamu sama benar dengan penjahat muda itu."

"Toanio, kami adalah saudara kembar, salahkah aku kalau muka kami bersamaan?"

Pat jiu Toanio menghela napas berkali-kali,

"Jadi kau telah bertemu dengan dia dan dikalahkan? Karena itukah maka kau seperti orang nekad dan rela mati di bawah tongkatku? Apakah kau sudah putus asa?"

"Benar, Toanio. Tidak saja aku kalah, bahkan pedang pusaka Ang-coa kiam yang kubawa terampas pula dan agaknya selama hidupku aku takkan dapat menunaikan tugas yang dipercayakan oleh suhu kepadaku. Karena penjahat yang dikejar-kejar adalah adik kembarku sendiri bukankah hal ini akan menimbulkan anggapan bahwa aku sengaja tidak mau menyerang adikku? Bahwa aku sengaja melindunginya?"

"Hm, jangan gelisah dan kuatir, orang muda. Aku sudah sampai di sini, tunjukkan saja di mana adanya adikmu yang jahanam itu. Aku yang akan menamatkan riwayatnya!"

"Tidak ada gunanya, Toanio. Tetap saja orang akan mengira bahwa aku melindungi adikku sendiri. Pula, penangkapan atas diri Tiong Kiat harus kulakukan sendiri, tidak boleh orang Iain. Betapapun juga, dia adalah adik kandungku, dan aku tidak rela melihat dia binasa di tangan orang lain."

Pat-jiu Toanio menggeleng-geleng kepalanya.

"Kau orang muda yang aneh tapi jujur dan berbudi mulia. Sim Tiong Han, kalau kau ingin mengalahkan adikmu mengapa kau tidak minta belajar silat dari aku?"

Tiong Han tertegun. Tak disangkanya bahwa nenek yang galak ini akan mau memberi pelajaran ilmu kepandaian kepadanya. Tentu saja ia menjadi girang dan cepat menjatuhkan diri berlutut.

"Kalau suthai sudi menolong teecu, tentu saja teecu akan merasa girang dan bersukur sekali."

Terdengar suara ketawa yang merdu dari nenek ini.

"Anak lucu! Kalau gurumu melihat, tentu kau akan ditegur mengapa tidak dari tadi tadi minta belajar ilmu silat dari padaku. Dulu ketika aku masih seringkali mengadakan pertemuan dan mengobrol dengan gurumu tentang ilmu silat pernah kami mencoba kelihaian Ang coa kiamsut yang menjadi kepandaian pusaka dari Kim-liong pai. Pada waktu itu kira-kira dua puluh tahun yang lalu memang aku tidak dapat memecahkan bagian-bagian terakhir dari Ang coa-kiamsut yang lihai. Pada waktu itu, selain Hek-sin-mo orang aneh itu dan Lui-kong jin Keng Kin tosu tokoh dari Hongsan, tak seorangpun dapat mengalahkan atau memecahkan Ang-coa-kiamsut.

Akan tetapi, selama ini aku mencari-cari dan akhirnya aku dapat menciptakan ilmu silat tangan kosong yang terdiri hanya dari dua belas jurus yang kunamai Kong jiu cap ji kun [Silat Tangan Kosong Dua Belas Macam). Biarpun hanya dua belas jurus, akan tetapi kalau kau dapat mempelajarinya dengan baik kurasa dengan tangan kosong kau akan sanggup menghadapi pedang di tangan adikmu itu!"

Tiong Han merasa girang sekali dan mulai saat itu juga ia mempelajari ilmu silat itu di kuil bobrok. Ternyata bahwa dua belas jurus pukulan itu ternyata mempunyai perkembangan yang Iuas sekali dan Tiong Han harus akui kehebatan ilmu silat ini. Selain ilmu silat ini, iapun menerima petunjuk-petunjuk tentang ginkang dari nenek itu sehingga ilmu meringankan tubuh dari Tiong Han makin maju saja.

Selama lima hari, terus menerus ia berlatih diri dan karena ia memang berbakat, dan telah memiliki dasar ilmu silat tinggi, dalam waktu Iima hari saja ia telah dapat mainkan Kong jiu cap ji-kun dengan amat baiknya.

Pada senja hari kelima, Pat jiu Toanio Li Bie Hong sengaja minta pemuda itu memperlihatkan ilmu silat yang baru dipelajarinya itu, ditonton pula oleh Li Lan yang sementara itu telah kenal baik dengan Tiong Han. Pendeta wanita ini amat suka kepada Tiong Han yang halus dan sopan santun dan diam-diam ia mengakui betapa jauh perbedaan antara Tiong Han dan Tiong Kiat. Tiong Han memenuhi permintaan gurunya yang baru dan ia berniat dengan bersungguh-sungguh, mengeluarkan segala gerak tipu dari dua belas jurus ilmu silat itu.

"Bagus, bagus, suci Bie Hong! Kong-jiu cap ji-kun yang kauciptakan ini benar-benar hebat dan kau mempunyai ahli waris yang benar benar cocok dan pantas mewarisi ilmu silat ini!" Ucapan ini dikeluarkan dan terdengar jelas, akan tetapi orangnya tidak kelihatan dan baru setelah gema suaranya lenyap, berkelebatlah bayangan hitam dan tahu-tahu di depan mereka berdiri seorang kate yang bermuka aneh dan berpakaian hitam seluruhnya!

IniIah Lui kong jiu Keng Kin Tosu, tokoh di Heng san yang berkepandaian tinggi sehingga mendapat julukan Lui kong jiu atau Si Tangan Geledek! Usia orang ini sudah tua, akan tetapi wajahnya nampak berseri, tanda bahwa ia adalah seorang yang berwatak gembira. Semenjak dahulu ia memang menganggap Pat jiu Toanio sebagal saudara tua, bahkan ia selalu memanggil "enci" kepada nenek itu.

"Aha, Keng Kin Tosu, baru sekarang kau muncul! Kukira kau akan bersembunyi di dalam gua menanti kematianmu setelah kau kecewa karena salah menerima murid." kata Pat-jiu Toanio yang kemudian berkata kepada Tiong Han dan Li Lan.

"Berilah hormat kepada susiok kalian. Dia ini jelek-jelek adalah Lui-kong Jiu Keng Kin Tosu, orang nomor satu dari Heng san yang mempunyai kepandaian jauh lebih tinggi dari pada aku sendiri!"

Li Lan tentu saja belum pernah mendengar nama ini, dan ia memberi hormat karena gurunya yang memperkenalkan. Akan tetapi Tiong Han sudah seringkali mendengar suhunya di Liong-san menyebut-nyebut dan memuji setinggi langit nama Keng Kin Tosu ini, maka dengan girang ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan tosu kate itu.

Keng Kin Tosu mengangguk-angguk. Dengan tangan kiri ia menjambret baju pada pundak Li Lan dan sekali ia menarik, pendeta wanita muda ini tak terasa lagi terangkat bangun karena ada tenaga raksasa terasa olehnya menarik tubuhnya ke atas. Dengan tangan kanannya, tosu itu melakukan haI yang sama kepada Tiong Han, akan tetapi pemuda ini yang maklum bahwa susiok yang aneh ini sedang mengujinya, lalu mengerahkan tenaganya, maka segera terdengar suara kain robek. Ternyata bahwa bajunya bagian pundak itu yang tidak dapat bertahan dan menjadi robek terbawa oleh jepitan dua jari kakek itu.

Keng Kin Tosu tersenyum dan kini ia tidak menggunakan jari tangan menjepit baju melainkan menggunakan semua jari jari tangan kanannya untuk memegang pundak Tiong Han dan ditariknya pemuda itu bangun. Kembali Tlong Han terkejut. Kalau tadi ia merasa tenaga raksasa menarik bajunya, sekarang ia merasa betapa tangan susioknya itu dingin seperti salju yang menempel dan menyedot pundaknya sehingga ia merasa pundaknya membeku! Cepat-cepat ia mengerahkan sinkangnya yang disalurkan ke arah pundak kanannya dan ketika ia merasa betapa tangan susioknya itu merupakan jepitan yang mencengkeram pundaknya dan menariknya ke atas dengan tenaga yang tak terkira besarnya, ia cepat mempergunakan tenaga Thi su-cui (Tenaga Gunung Baja) untuk memberatkan tubuh sehingga kedua kakinya seakan-akan berakar pada tanah!

Ketika tosu itu nampaknya tertegun dan menahan kembali tenaganya mengangkat, Tiong Han cepat mengalirkan Iweekangnya sehingga pundaknya yang masih tersentuh oleh jari tangan Keng Kin Tosu itu tiba-tiba menjadi lemas seperti kapas!

"Ha, ha, ha, bagus, bagus!" kata Keng Kin Tosu dan tiba-tiba sekali dua buah jari tangannya menekan, disusul pula oleh jari tangan kiri yang kini memegang pundak pemuda itu.

"Bangunlah, anak muda yang gagah!" bentaknya.

Tiong Han terkejut sekali karena
betapapun ia mengerahkan lweekang, tetap saja jari-jari tangan kakek itu dapat menembus pertahanannya, dan sedlkit pencetan saja pada jalan darah di pundaknya, seketika itu juga buyarlah semua tenaganya dan dengan mudah tubuhnya terangkat ke atas! Namun karena Tiong Han memang sudah berjaga-jaga dan terlatih baik, tubuhnya yang terangkat itu masih tetap berada dalam keadaan berlutut! Lagi-lagi Keng Kin Tosu memuji.

"Bagus sekali, sekarang awaslah tubuhmu akan terbanting!"

Sambil berkata demikian, orang tua ini menggerakkan kedua tangannya dan tubuh Tiong Han mencelat ke atas sampai dua tombak lebih! Tiong Han terkejut sekali dan cepat ia mengerahkan ginkangnya, menggerakkan pinggang, dibantu oleh kaki tangannya, sehingga tubuhnya yang tadinya terlempar ke atas dengan kepala di bawah dan kaki di atas, kini dapat berjungkir balik dan ketika ia turun ke bawah, kedua kakinya seakan-akan tidak mengeluarkan suara sedikitpun juga!

"Ha, ha, ha, enci Bie Hong! Ternyata kau pun telah memberikan ilmu Teng-peng touw itu kepada pemuda ini. Muridmu benar-benar hebat, enci!"

"Keng Kin, sayangnya dia bukan muridku yang betul." kata Pat-jiu Toanio sambil menghela napas,

"aku hanya menyerobotnya saja dan memberi tambahan ilmu silat karena merasa kasihan kepadanya. Dia ini sebetulnya adalah murid pertama dari Lui Thian Sianjin, si tua bangka dari Liong-san itu."

Sepasang alis yang masih hitam dari Keng Kin Tosu Si Tangan Geledek itu terangkat naik.

"Aku mendengar tentang murid Lui Thian yang tersesat dan murtad, seperti halnya muridku si Ang Kun! Bukan yang inikah?"

"Bukan, bukan, Keng Kin. Bukan yang ini melainkan adiknya. Kalau dia ini murid murtad yang kau maksudkan itu tentu dia sudah binasa di tanganku seperti yang terjadi dengan muridmu itu, Keng Kin!"

Tosu itu tersenyum pahit.

"Memang tanganmu keras sekali terhadap orang-orang muda yang sesat, enci Bie Hong. Akan tetapi memang baik sekali. Siapakah pemuda ini dan bagaimana bisa kejatuhan bintang, menerima warisan ilmu darimu?"

Dengan singkat Pat jiu Toanio Li Bie Hong lalu menceritakan riwayat Tiong Han dan tentang kegagalannya menangkap Tiong Kiat adiknya yang murtad itu. Mendengar penuturan ini Keng Kin Tosu tergerak hatinya.

"Kasihan Lui Thian Sianjin, mengalami nasib yang lebih buruk dari padaku. Muridnya tidak saja jahat, bahkan mencemarkan nama baik Kim liong-pai yang telah diangkat tinggi oleb locianpwe Bu Beng Siansu. Lebih kasihan lagi pemuda ini yang harus menjadi algojo dari adik kembarnya sendiri. Memang begitulah kehidupan di atas dunia, anak muda isinya hanya penderitaan belaka. Akan tetapi kalau kau kuat imanmu, segala macam cobaan dan penderitaan itu sesungguhnya ada manfaatnya. Aku kasihan kepadamu dan merasa sudah menjadi kewajibanku untuk membantumu mengalahkan adikmu yang jahat itu. Agaknya akupun mempunyai beberapa macam kepandaian yang masih dapat menambah pengertianmu."

Tiong Han menjadi girang sekali dan cepat cepat ia menjatuhkan dirinya berlutut lagi di depan tosu kate yang aneh ini.

"Banyak terima kasih teecu ucapkan atas kemuliaan buat suhu. Tentu saja teecu akan menerima petunjuk-petunjuk suhu dengan segala perhatian dan rasa sukur."

Demikianlah, kembali dengan tekunnya Tiong Han menerima latihan-latihan beberapa macam ilmu silat dari Keng Kin Tosu, dan seperti juga Pat jiu Toanio, Keng Kin Tosu memberi pelajaran dari ilmu silatnya yang paling tinggi. Pemuda itu menerima dua macam ilmu, yakni ilmu pukulan tangan kosong yang di sebut Pek Iui kong cianghwat (Ilmu Silat Sinar Geledek Putih) dan ilmu pedang yang disebut Kim kong.kiamsut (Ilmu Pedang Sinar Emas). Juga dua macam ilmu silat ini dapat dimainkan dengan baik sekali oleh Tiong Han setelah melatih diri selama tiga pekan saja!

Keng Kin Tosu menjadi amat girang dan setelah melihat pemuda itu menamatkan pelajarannya, ia segera memanggil Tiong Han dan di depan Pat jiu Toanio, ia berkata.

"Enci Bie Hong, ternyata murid kita ini tidak mengecewakan. Sebetulnya kedatanganku ini membawa berita yang amat penting, yang merupakan panggilan bagi kita untuk turun tangan. Akan tetapi setelah melihat murid kita ini, aku mendapat pikiran baik sekali. Sudah sepatutnya kalau dia yang mewakili kita untuk tugas penting ini."

"Keng Kin. jangan bicara seperti orang rahasia. Omonganmu seperti teka teki saja. Hayo jelaskan, apakah itu yang kau maksudkan dengan tugas penting?" Pat jiu Toanio mendesak dengan tak sabar lagi.

"Aku mendengar berita dari seorang perwira bahwa kini terdapat panglima dengan barisannya yang amat besar jumlahnya sedang merencanakan pemberontakan! Hal ini berbahaya sekali karena pemberontak-pemberontak itu kabarnya bersekutu dengan orang-orang Mongol di utara. Jendral Gak yang gagah perkasa itu kini memimpin pasukannya untuk menggempur dan mencegah pemberontak-pemberontak itu melakukan rencana mereka yang busuk. Oleh karena itu, kita harus membantunya dan sekarang tidak ada jalan yang lebih tepat selain menyuruh Tiong Han mewakili kita."

Pat jiu Toanio mengerutkan keningnya,

"Sungguh menjemukan sekali penghianat itu. Siapakah gerangan panglima pemberontak itu? Bagaimana dia bisa bersekutu dengan bangsa asing untuk mencelakai negara sendiri? Sungguh tak tahu malu!"

"Aku tidak mendengar siapa namanya, hanya menurut berita, ada orang-orang Pek Iian kauw yang ikut menyokong gerakan itu."

"Apa! Jahanam Pek-lian kauw berani mengacau lagi! Ah, kalau begitu Tiong Han harus pergi. Mereka harus dibasmi!" kata-kata Pat jiu Toanio ini amat bersemangat sehingga diam diam Tiong Han menjadi kagum melihat betapa dua orang tua ini masih demikian gagah dan bersemangat membela negara.

"Tentu saja teecu bersedia untuk pergi melakukan tugas yang diperintahkan oleh jiwi suhu." kata Tiong Han.

"Memang seharusnya begitu, Tiong Han, jadi tidak percuma aku dan enci Bie Hong mewariskan kepandaian kami kepadamu. Soal adikmu itu biarlah ditunda dulu saja. Pertama karena adikmu adalah seorang perwira dan pada masa ini kita amat membutuhkan tenaga perwira-perwira pembela negara. Kedua, tugasmu pergi membantu Jenderal Gak ini jauh lebih penting daripada urusan pribadi. Setelah tugas ini selesai, barulah kau selesaikan urusan dengan adikmu yang jahat itu."

Tiong Han tidak berani membantah dan ia lalu mendengarkan perintah suhu kate yang lihai ini. la diharuskan menyusul barisan Jenderal Gak dan menawarkan bantuannya untuk menghancurkan barisan pemberontak dan menyampaikan pesan bahwa Lui kong jiu Keng Kin Tosu dan Pat jiu Toanio Li Bie Hong selalu memperhatikan perjuangan menghancurkan pemberontak ini dan siap untuk turun tangan sendiri apabila perlu!

Setelah menerima banyak nasihat, berangkatlah Tiong Han mencari Jenderal Gak dan barisannya. Mudah saja untuk mencari barisan jenderal Gak yang amat terkenal ini, dan beberapa hari kemudian ia disambut oleh jenderal Gak sendiri yang berkedudukan di lembkah Sungai Sungari.

"Kebetulan sekali, saudara Sim, memang kami membutuhkan tenaga bantuan orang-orang gagah seperti kau ini. Aku girang sekali bahwa yang menyuruh kau datang membantu adalah Lui-kong jiu Keng Kin Tosu dan Pat-jiu Toanio yang sudah kukenal baik. Bahkan akupun mengenal baik suhumu Lui Thian Sianjin. pihak musuh mempunyai banyak sekali pembantu yang pandai dan kedudukan mereka amat kuat. Susahnya, dalam waktu kacau ini, ada saja yang menjadi gangguan. Orang orang jahat pada muncul dan memancing ikan di air keruh. seperti halnya gerombolan Sorban Merah yang bersembunyi di dalam hutan sebelah barat itu. Benar-benar menjemukan! Mereka itu memang benar melakukan penyerbuan secara diam-diam terhadap fihak pemberontak, akan tetapi aku paling tidak suka dengan bantuan pasukan liar itu. Tanpa dipimpin, mereka itu bukan merupakan bantuan, bahkan mengacaukan rencanaku."

Tiong Han mendengarkan dengan sabar jenderal tua yang pandai bicara ini. Atau tetapi mendengar disebutnya Sorban Merah ia menjadi tertarik sekali.

"Siapakah yang menjadi kepala Sorban Merah ini, goanswe?"

"Siapa tahu? Gerombolan liar ini macam itu siapa yang perduli? Akan tetapi mereka itu benar-benar mengacaukan rencanaku. Sebetulnya aku memang sengaja memancing pasukan pemberontak agar terus bergerak ke selatan tanpa diganggu. Kalau mereka sudah menyeberangi Sungai Sungari barulah aku akan memotong jalan pulang mereka sehingga dengan leluasa kita boleh membasminya. Siapa tahu Sorban Merah gerombolan liar itu merusak rencana, melakukan serbuan-serbuan sendiri yang tidak berarti sehingga menimbulkau kecurigaan barisan pemberontak yang hendak bergerak ke selatan!"

"Mengapa tidak membubarkan mereka saja?"" tanya Tiong Han.

"Itulah sukarnya. Biarpun jumlah mereka tidak banyak namun ternyata rata-rata mereka memiliki ilmu golok yang lihai dan kalau digunakan kekerasan, amat tidak baik. Mereka bukan musuh dan kalau sampai terjadi pertempuran berarti kita mencari musuh baru. Ini tidak bijaksana sekali."

"Goanswe, maafkan kalau aku lancang. Akan tetapi, aku bersedia untuk menemui kepala mereka dan membujuknya agar supaya tidak bertindak menurut kehendak sendiri." Gak goanswe memandang tajam.

"Kau sanggup?"

Tiong Han tersenyum.

"Tentu saja, goanswe. Malahan, kalau tidak salah aku tahu siapa orang yang menjadi pemimpin mereka. Biarlah aku berangkat besok pagi-pagi dan dalam sehari saja aku akan sanggup membuat laporan yang memuaskan. Kedua orang guruku tidak percuma mengirim aku ke sini, Goanswe."

Jenderal itu tidak tersenyum, akan tetapi wajahnya yang nampak keren dan galak itu berseri,

"Baiklah, besok pagi kau pergi dan sekarang mengasolah!"

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Tiong Han sudah masuk ke dalam hutan sebelah barat perbentengan bala tentara jenderal Gak. Benar saja seperti keterangan yang ia dengar sebelumnya, hutan itu amat luas dan liar di sana sini nampak gunung-gunung kecil yang menjadi benteng di pinggir Sungai Sungari yang lebar.

Beberapa kali Tiong Han melihat bayangan orang berkelebat di balik pohon yang besar-besar, akan tetapi ditunggu-tunggu tak seorangpun nampak muncul. Tiong Han tersenyum dan melanjutkan perjalanan, masuk makin dalam di hutan itu, bayangan-bayangan orang makin banyak, akan tetapi tetap saja tidak ada orang muncul. Matanya yang tajam dapat melihat betapa bayangan-bayangan itu benar-benar mengenakan Sorban Merah yakni ikat kepala terbuat daripada kain merah, dan pada pinggang mereka tergantung golok. Biarpun bayangan-bayangan itu berkelebat cepat dan ia hanya melihat sekejap mata saja namun ia telah dapat melihat dengan jelas. Hatinya makin berdebar.

Tak salah lagi, melihat pakaian dan ikat kepala mereka orang-orang ini adalah anak buah dari sumoinya! Bagaimanakah mereka yang dulu tinggal di Heng-yang ini bisa sampai di tempat ini? Dan bukankah sumoinya yakni Can Kui Hwa, dan suaminya, Siok Un Leng telah pindah ke kota raja? Karena orang-orang itu main bersembunyi saja, dan ditunggu-tunggu tak juga ada yang muncul akhirnya Tiong Han menjadi hilang sabar.

"Perkumpulan Sorban Merah yang pernah kukenal biasanya terdiri dari orang-orang gagah. Akan tetapi yang sekarang berada di hutan ini mengapa begini pengecut tidak berani bertemu dengan orang? Apakah yang sekarang ini Sorban Merah palsu?"

Baru saja ia menutup mulutnya, dari depan, belakang, kanan dan kiri bersiutan bunyi anak panah yang menyambarnya dari balik pohon-pohon. Tiong Han menggeser kakinya sehingga keadaan tubuhnya berubah. Dengan gerakan ini ia dapat mengelakkan diri dari sambaran panah dari belakang dan depan. Adapun dua batang anak panah dari kanan kiri, dengan cara yang amat mengagumkan dapat ditangkapnya dengan kedua tangan! Tiong Han mempergunakan tenaga jari-jari tangannya mematahkan dua batang anak panah itu yang lalu dilemparkannya ke atas tanah kemudian ia berseru Iagi.

"Aku datang untuk bertemu dengan pemimpin Sorban Merah, bukan untuk mencari permusuhan! Beginikah caranya Sorban Merah menyambut datangnya tamu? Hayo keluarlah pemimpin Sorban Merah ataukah kalian menghendaki aku turun tangan?" Ucapan ini sekaligus merupakan sesalan, bujukan, dan juga ancaman.

Tiba-tiba terdengar seruan keras dan sesosok bayangan hitam melompat keluar dari balik sebatang pohon besar. Setelah bayangan ini berada di depan Tiong Han, pemuda itu meIihat bahwa di depannya telah berdiri seorang laki-laki setengah tua yang berwajah galak dan gagah sekali. Orang ini berpakaian ringkas berwarna hitam dengan sorban warna merah darah dan golok besarnya tergantung di pinggang.

"Pemuda liar dari manakah berani sekali memasuki wilayah kami dan mengeluarkan omongan besar?" bentak orang bersorban merah ini.

Tiong Han tersenyum dan cepat memberi hormat sambil menjura.


Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Sahabat, aku adalah seorang utusan dari benteng Gak goanswe. Aku datang untuk bertemu dengan pemimpin dari Sorban Merah."

Orang itu memandang dengan mata curiga dan mulutnya menyeringai dengan mengejek. Ternyata ia tidak mau percaya akan keterangan Tiong Han.

"Kau? Utusan dari Jenderal Gak? Siapa mau percaya obrolanmu ini? Pakaianmu bukan seperti seorang perwira atau perajurit. Jangan kau mencoba membohongi aku!" Kemudian dengan sikap mengancam ia memandang tajam dan berkata,

"Lebih baik kau mengaku bahwa kau adalah seorang mata-mata dari barisan pemberontak!"

"Kau benar-benar galak, sahabat. Sebaliknya, kau ini siapakah? Apakah kau juga seorang anggaota Sorban Merah?" tanya Tiong Han sambil memandang ke arah sorban yang berwarna merah darah itu.

Sepasang mata yang lebar dari orang itu terputar merah.

"Anggauta biasa? Dengar, pemuda bermata buta, aku adalah pemimpin pasukan Sorban Merah yang pada saat ini telah mengurungmu! Aku adalah Louw Tek si Kerbau Besi, orang yang telah menewaskan banyak sekali anggaota pemberontak. Hayo lekas berlutut kurantai dan kubawa menghadap kepada ketua kami!"

Tiba-tiba Tiong Han tertawa geli.

"Kukira pemimpin seluruh kesatuan Sorban Merah tidak tahunya hanya pemimpin pasukan kecil saja. Eh, Low twako, aku bukan seorang taklukan. Aku adalah utusan dari Jenderal Gak. Hayo jangan kau main-main dan lekas antarkan aku kepada ketuamu."

"Orang yang tidak mempunyai kepandaian tidak boleh dipercaya menjadi utusan Jenderal Gak dan sama sekali tidak patut menghadap ketua kami sebagai tamu. Kalau kau dapat menahan kedua kepalan tanganku, baru kau boleh menghadap sebagai tamu ketua kami."

Sambil berkata demikian, Louw Tek memperlihatkan sepasang tinjunya yang besar dan kuat. Tiong Han tersenyum,

"Begitukah? Baiklah kau boleh mempergunakan kepalanmu yang seperti tahu lunaknya itu untuk memukulku sampai dua kali pukulan, akan tetapi kaupun harus dapat mempertahankan diri dari pukulan balasanku."

"Boleh!" Si Kerbau Besi menantang.

"Siapa yang roboh, dia kalah!" Memang Louw Tek ini selain kasar dan jujur, juga mempunyai kesukaan berkelahi dengan siapa saja yang ditemuinya, dan sebelum dikalahkan, ia tidak akan dapat merobah sikapnya yang memandang ringan.

Tiong Han berdiri tegak dan mengangkat dada.

"Pukullah sesuka hatimu!"

Sebelum memukul, Louw Tek memandang ke sekeliling lalu berkata dengan suara keras,"Kawan-kawan perhatikan baik-baik, kalian menjadi saksi. Kalau orang ini bermain curang, tentu dia mata-mata pemberontak dan lekas hujani anak panah!"

Kemudian ia menghadapi Tiong Han, memasang kuda-kuda dan berseru keras,"Awas pukulan!" Kedua lengannya bergerak cepat dan "buk! Buk!!" dua kali kepalan tangannya bergantian jatuh di dada Tiong Han. Akan tetapi pemuda ini hanya tersenyum saja, sama sekali tidak mengejapkan mata menerima pukulan-pukulan itu. Tentu saja Si Kerbau Besi menjadi heran sekali.

"Sudah kaupukulkah? Ah, aku tidak merasa sama sekali."

"Pemuda sombong, coba kurasakan pukulan tanganmu yang seperti bubur itu!" kata Louw Tek dengan muka merah dan ia memperteguh kuda-kudanya, melambungkan perut dan dadanya sambil menahan napas!

Tiong Han menjadi geli sekali.

"Kau benar-benar seperti kerbau, bukan kerbau besi, melainkan kerbau tanah lempung! Awas, rebahlah!" Sambil berkata demikian, Tiong Han mendorong dada orang itu dengan kedua tangannya sambil mengerahkan sedikit tenaga dalamnya. Louw Tek mempertahankan diri, akan tetapi sia-sia saja. Ia merasa seakan-akan diseruduk seekor gajah dan tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terpelanting ke belakang seperti sehelai daun kering tertiup angin!

Terdengar seruan marah dan dari balik pepohonan berlompatan keluar orang-orang bersorban merah yang jumlahnya tiga puluh orang lebih. Mereka ini mengurung Tiong Han dengan sikap mengancam, bahkan ada beberapa orang telah menghunus golok. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

"Mundur semua!"

Hebat sekali pengaruh bentakan ini, karena bagaikan disengat ular berbisa, orang-orang itu melompat ke belakang dengan terkejut, lalu berdiri dengan tegak dan sikap menghormat. Bahkan Louw Tek yang masih meringis-ringis kesakitan sambil mengurut pantatnya yang menimpa batu ketika terjatuh tadi, kini sudah berdiri tegak dengan sikap hormat.

Tiong Han menengok dan alangkah girangnya ketika ia melihat Kui Hwa dan Un Leng berlari mendatangi sambil tertawa-tawa. Di belakang mereka berlari pula sepasukan Sorban Merah yang diantaranya banyak sudah mengenal Tiong Han.

"Suheng"!" Kui Hwa girang sekali dan berlari-lari menghampiri kakak seperguruannya. Juga Un Leng menghampiri Tiong Han sambi1 tersenyum girang.

"Sumoi! Saudara Un Leng! Sudah kuduga akan melihat kalian di sini." kata Tiong Han dengan girang sambil memegang tangan Kui Hwa dan Un Leng.

Louw Tek dan kawan-kawannya berdiri bengong dan menjadi pucat, akan tetapi Tiong Han yang melirik ke arah mereka berkata kepada suami istri pemimpin pasukan Sorban Merah itu.

"Sumoi, anak buahmu benar-benar teliti sekali. Tidak mudah bagiku untuk meyakinkan mereka bahwa aku tidak bermaksud buruk. Benar-benar kau mempunyai pasukan yang berdisiplin, sumoi."

Bukan main girang dan bersukurnya hati Louw Tek dan anak buahnya mendengar ucapan Tiong Han ini.

"Pangcu (ketua), enghiong (orang gagah) ini adalah utusan dari Jenderal Gak!" kata Louw Tek kepada Kui Hwa.

"Akan tetapi sebelum mempercayainya dengan membuta, saya telah mencobanya dulu, tidak tahu bahwa dia adalah suheng dari pangcu. Mohon maaf."

"Tidak apa, tidak apa. Lekas atur penjagaan dan biarkan kami bertiga bercakap-cakap di sini."

Setelah semua orang pergi, Kui Hwa lalu menuturkan kepada Tiong Han bahwa dia dan suaminya, Un Leng, telah pindah ke kota raja. Akan tetapi, ketika mereka mendengar bahwa ada barisan penjaga tapal batas utara memberontak, ia lalu bersama suaminya mengumpulkan semua bekas anggauta Sorban Merah dan membentuk pasukan untuk melakukan perang gerilya dan mengganggu barisan pemberontak itu.

"Dengan jalan ini aku hendak menebus semua kesalahan-kesalahanku yang dahulu twa-suheng." kata Kui Hwa.

"Bukan itu saja, memang sudah menjadi kewajiban kita sebagai putera ibu pertiwi untuk mengabdi dan membela tanah air, mengusir pengacau-pengacau yang hendak merusak keamanan negara dan bangsa." kata Un Leng.

Tiong Han menjadi terharu sekali.

"Kalian memang orang-orang yang baik dan pantas sekali menjadi suami istri. Akan tetapi, sumoi, mengapa kau dan suamimu tidak mau menggabungkan pasukanmu dengan pasukan pemerintah di bawah pimpinan Jenderal Gak? Bukankah dengan persatuan, maka kekuatan akan menjadi lebih besar?"

"Siapa yang dapat mempercayai barisan pemerintah, suheng? Barisan pemberontak yang bergerak dari utarapun tadinya barisan pemerintah. Sesungguhnya, pada waktu sekarang ini sukar sekali untuk membedakan mana pemberontak dan mana pengawal negara yang setia!"

Tiong Han menghela napas, kemudian berkata,"Kata-katamu memang merupakan kenyataan yang amat pahit, sumoi. Akan tetapi, percayalah kepadaku bahwa Jendral Gak benar-benar adalah seorang panglima yang berjiwa besar dan setia kepada negara. Kalau tidak, masa kedua orang guruku menyuruh aku datang kepadanya?" Setelah Tiong Han menuturkan riwayatnya secara singkat, Kui Hwa dan suaminya tidak membantah lagi dan berbondong-bondonglah anggauta Sorban Merah yang jumlahnya lima puluh orang lebih itu berbaris mengikuti Tiong Han, Kui Hwa, dan Un Leng menuju ke benteng tentara pemerintah.

Tentu saja Jenderal Gak menjadi tertegun melihat betapa pemuda itu benar telah kembali pada senja harinya sambil membawa serta semua anggauta Sorban Merah. Akan tetapi ketika ia mendengar bahwa pemimpin pasukan gerilya ini bukan lain adalah sumoi sendiri dari Tiong Han, ia tertawa bergelak.

"Memang murid-murid dari Lui Thian Sianjin di Kim liong-pai ternyata gagah perkasa dan berjiwa patriot sejati. Hanya sayangnya aku mendengar bahwa ada juga murid dari orang tua itu yang murtad dan sesat."

"Murid itu adalah adik kembarku, Goanswe!" kata Tiong Han.

Jenderal Gak memandang tajam sekali dengan pandang mata penuh selidik, kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata,

"Sesungguhnya aku sudah tahu akan hal itu, saudara Sim yang baik. Jawabmu yang singkat tadi, yang menyatakan pengakuanmu, sekarang melenyapkan keraguan hatiku. Tadinya aku curiga dan sangsi sebagaimana yang harus kulakukan sebagai seorang petugas yang berhati-hati. Aku curiga kepadamu, karena siapa tahu kalau-kalau kau tidak memihak kepada adik kandungmu sendiri? Nah sekarang kujelaskan bahwa adikmu yang jahat itu sekarang bahkan menjadi tangan kanan dari pemimpin pemberontak."

Hal ini sama sekali tidak pernah diduga-duga oleh Tiong Han, maka mendengar keterangan ini hampir saja ia melompat.

"Apa? Dan belum lama ini aku bertemu dengan dia dibenteng panglima Oei!"

"Justru Oei ciangkun atau Oei Sun itulah pemberontaknya! Dia adalah bekas pemimpin Pek-lian kauw, sekarang mengadakan pemberontakan dengan bantuan Go bi Ngo-koai tung yang sesungguhnya dahulu adalah tokoh-tokoh Pek lian-kauw yang dikejar-kejar oleh pemerintah. Dan celakanya, sekarang adikmu sendiri, Ang coa kiam yang namanya terkenal itu menjadi pembantunya pula."

Ketika Tiong Han mengerling ke arah Kui Hwa, ia melihat adik seperguruannya ini hanya duduk mendengarkan sambil menundukkan mukanya.

Jenderal Gak yang banyak pengalaman dalam hal peperangan dan memiliki siasat yang lihai, sengaja melakukan gerakan memancing yang disebut "memancing serigala memasuki perangkap". Ia hanya melakukan perlawanan kecil-kecilan saja terhadap barisan Oei Sun, dan pasukan-pasukan kecil inipun dipimpin oleh perwira-perwira rendahan, pertempuran dilakukan sambil mundur sehingga Oei Sun makin besar hati dan mengejar terus ke selatan. Bahkan dengan sengaja Jenderal Gak lalu membuat pertahanan yang amat lemah di sebelah utara Sungai Sungari hanya terdiri dari seribu orang tentara. Di tempat itu, Jenderal Gak menyuruh orang-orangnya membuat perahu sebanyak-banyaknya untuk memancing Oei Sun. Ternyata pancingannya ini berhasil dan Oei Sun yang mendengar tentang pembuatan perahu ini, diam-diam merasa girang sekali.

"Jenderal Gak ternyata seorang yang bodoh." katanya sambil tertawa,

"kita ingin menyeberang dan sekarang dia yang membuatkan perahu. Ha, ha, ha!" Juga Go bi Ngo koai tung tidak mempunyai dugaan buruk.

"Biarkan mereka membuat perahu sampai banyak dan cukup, baru kita datang merampasnya." kata Thian It Tosu.

Tentu saja percakapan mereka ini terjadi di luar tahunya Tiong Kiat yang masih belum sadar bahwa ia telah salah memilih tempat. Pemuda ini kurang memperhatikan keadaan kawan-kawannya, bahkan ia tidak memperdulikannya lagi. Yang penting baginya ialah bermain dengan Ang Hwa, memburu binatang bersenda gurau atau bermain pedang! Kurang lebih tiga pekan kemudian, ketika perahu-perahu yang dibuat oleh orang-orang jenderal Gak sudah banyak, menyerbulah barisan yang dipimpin oleh Oei Sun sendiri.

Karena barisan ini jauh lebih besar jumlahnya, juga karena barisan jenderal Gak sudah dipesan lebih dulu agar jangan banyak melakukan perlawanan dan mengundurkan diri melalui darat di sepanjang lembah Sungai Sungari sambil meninggalkan semua perahu, maka pertempuran tidak berjalan lama dan semua perahu telah dapat terampas oleh Oei Sun! Korban yang jatuh tidak banyak, karena memang pasukan-pasukan pembuat perahu itu tidak melakukan perlawanan gigih.

Demikianlah, dengan girang sekali pasukan-pasukan Oei Sun lalu mempergunakan perahu-perahu itu untuk menyeberangi sungai dan mendaratlah mereka semua di pantai selatan dengan selamat. Dengan semangat penuh dan harapan besar Oei Sun lalu menggerakkan barisannya maju ke selatan! Sama sekali Oei Sun tidak menduga tidak lama setelah barisannya menyeberangi Sungai Sungari, nampak pasukan-pasukan lain yang besar jumlahnya berkumpul dan membuat pertahanan di tepi sungai sebelah selatan.

Inilah barisan-barisan yang sengaja disediakan oleh Jenderal Gak untuk menghadang jalan pulang dari barisan pemberontak itu apabila kelak dipukul mundur! Tiga hari kemudian, barulah barisan pemberontak yang jumlahnya telah meliputi sepuluh ribu orang itu menghadapi perlawanan hebat dari Jenderal Gak! Nampak puluhan ribu tentara kerajaan berbaris menghadang perjalanan di sebelah selatan. Bendera kerajaan berkibar-kibar dan bendera besar yang bertuliskan huruf "Gak", amat megahnya berkibar di mana-mana, tanda bahwa barisan-barisan itu berada di bawah pimpinan Jenderal Gak.

Melihat besarnya barisan musuh Oei Sun lalu membuat aba-aba berhenti dan pasukannya lalu diatur membuat pertahanan yang kuat. Akan tetapi tiba-tiba datang beberapa orang perajurit penyelidik yang dengan wajah pucat membuat laporan bahwa terdapat banyak sekali tentara musuh di belakang, di kanan dan di kiri. Pendeknya, secara tidak terduga sekali barisan mereka telah terkepung oleh barisan-barisan yang besar jumlahnya dari tentara kerajaan yang mengibarkan bendera Gak!

"Jahanam besar! Jenderal Gak telah memancing dan memperdayai! Kita harus melawan mati-matian dan memerintahkan membuat tenda-tenda dan sekitar tempat itu dikurung oleh penjaga-penjaga yang merupakan benteng penjagaan amat kuat.

Sementara itu, Tiong Han yang menyaksikan kelihaian siasat dari Jenderal Gak ini, merasa amat kagum. Ia mengerti bahwa memang dalam sebuah perang besar, tidak boleh terlalu menurutkan perasaan sendiri atau dipengaruhi oleh urusan pribadi. Kalau tadinya ia berlaku nekad dan menerjang benteng musuh untuk mencari adiknya, tentu siasat dari Jenderal Gak ini akan terancam bahaya dan musuh mungkin akan merasa curiga. Setelah keadaan musuh terkurung, ia lalu menghadap Jenderal Gak dan bertanya.

"Gak goanswe, mengapa tidak terus memukul hancur mereka saja? Mau menanti apa lagi? Aku sudah tidak sabar untuk segera membekuk adikku yang jahat!"

Gak goanswe tersenyum,

"Saudara Sim, Pasukan-pasukan yang kita kurung itu tadinya adalah anak buah dari barisan kerajaan sendiri, jadi kawan-kawanku juga. Sekarang mereka diselewengkan oleh Oei Sun, mungkin dalam keadaan tidak sadar, atau dalam keadaan terpaksa. Mengapa mesti membasmi mereka semua? Barisan-barisan itu merupakan tubuh dan ekor dari seekor ular. Ke mana saja kepalanya bergerak, tubuh dan ekor akan mengikutinya. Kalau yang menjadi biangkeladinya dapat dibasmi kurasa semua prajurit itu akan dapat diinsafkan dari kesesatan mereka. Buat apa harus bunuh-membunuh antara saudara dan kawan-kawan sendiri?"

"Habis apakah yang akan dilakukan sekarang? Apakah menanti sampai mereka mencari jalan keluar dengan kekerasan?"

Jenderal itu menggeleng-geleng kepalanya.

"Kita kurung mereka dengan rapat sampai mereka kehabisan ransum. Kalau mereka mencari jalan keluar, kita pukul mereka kembali lagi di dalam kurungan. Kita akan mengurung terus sampai mereka menyerah, yakni Oei Sun dan kaki tangannya."

"Jadi kita memberi syarat, yakni penyerahan diri dari Oei Sun dan kaki tangannya?"

Jenderal tua itu mengangguk.

"Dan kaulah yang akan menjadi utusanku!"

"Aku?"

"Ya, kaulah orangnya saudara Sim. Tidak ada utusan yang lebih baik daripada engkau sendiri. Kau pandai menjaga diri dan kalau seandainya mereka mengganggumu dan menahanmu, barulah aku akan turun tangan. Akan tetapi kurasa Oei Sun takkan begitu bodoh mengorbankan keselamatannya untuk mengganggumu seorang."

"Baik, Gak-goanswe. Akan tetapi"."

"Tentang adikmu?"

"Ya, bagaimanakah kalau aku bertemu dengan dia? Bolehkah aku turun tangan?"

Gak-goanswe menggelengkan kepalanya.

"Jangan saudara Sim. Hal itu hanya akan mengakibatkan pertempuran dan kedudukanmu sebagai utusan terancam. Utusan tidak boleh diserang dan juga tidak boleh menyerang fihak tuan rumah. Ingat, kita dalam keadaan perang, tidak boleh menurutkan nafsu hati mengurus urusan pribadi."

Tiong Han menarik napas panjang,

"Baiklah, akan kuperhatikan baik-baik."

Demikianlah, setelah menerima pesanan-pesanan dari Gak-goanswe bagaimana harus bicara terhadap Oei Sun, pada pagi hari keesokan harinya Tiong Han berangkat. Ia mengenakan pakaian ringkas warna putih dengan leher baju biru, ikat kepala hijau muda. Ia tidak membawa senjata karena memang semenjak menerima gemblengan ilmu silat dari Pat jiu Toanio dan Lui kong-jiu tak perlu lagi ia mengandalkan bantuan senjata! Yang dibekalnya hanyalah sehelai bendera putih yang bertuliskan huruf GAK dan dibawahnya bertuliskan huruf UTUSAN.

Dengan gerakan kaki ringan dan cepat sekali Tiong Han memasuki daerah terkepung. Markas dari Oei Sun terletak sedikitnya lima lie dari tempat kepungan dan untuk menuju ke markas kepala pemberontak itu, Tiong Han harus melalui daerah berhutan yang cukup liar. la berjalan sambil membayangkan bagaimana nanti penerimaan Tiong Kiat kalau bertemu dengannya. la masih sukar untuk dapat percaya bahwa adiknya itu kini telah menjadi pembantu kepala pemberontak.

Ia dapat mengenal watak Tiong Kiat. Memang benar semenjak kecil adiknya ini nakal, mudah marah, akan tetapi gembira dan tidak licik. Harus diakui bahwa setelah dewasa Tiong Kiat mempunyai watak buruk dan mata keranjang akan tetapi adiknya itu diam-diam masih menjunjung tinggi ayah mereka. Sejak kecil Tiong Kiat begitu bangga nampaknya apabila membicarakan ayah mereka yang kabarnya dahulu menjadi panglima gagah! "Tiong Kiat, Tiong Kiat"sekali ini aku tidak dapat mengampunimu"" keluhnya.

Ia maklum bahwa kalau sekali lagi bertanding, ia pasti akan dapat memukul mati adiknya itu, karena ilmu-ilmu silat tangan kosong yang ia pelajari dari kedua orang gurunya yang baru memang khusus untuk memecahkan Ang-coa kiam. la tahu dengan baik bagaimana harus mengalahkan Tiong Kiat, dan pukulan-pukulan yang dipelajarinya bukanlah pukulan biasa-biasa, melainkan pukulan-pukuIan maut yang takkan dapat ditahan pula oleh Tiong Kiat!

Ketika ia telah tiba di pinggir hutan dan puncak-puncak tenda barisan pemberontak telah nampak samar-samar, tiba-tiba ia mendengar suara orang berkelahi. Cepat Tiong Han lari ke tempat itu dan alangkah terkejut dan herannya ketika ia melihat tiga orang sedang berhadapan, yakni Eng Eng, Tiong Kiat, dan seorang nyonya cantik yang tidak dikenalnya! Bagaimana Eng Eng bisa sampai di tempat itu?

Marilah kita mengikuti sebentar perjalanan Eng Eng sebelum tiba di tempat itu yang membuat Tiong Han berdiri di belakang pohon sambil berdiri bengong saking herannya. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan Eng Eng bersama ayah angkatnya, yakni Piloko kepala suku bangsa Cou, turun dari gunung di mana seluruh keluarga Cou bertahan dari serangan orang-orang Ouigour dan lain-lain. Piloko mengajak anak angkatnya menuju ke kota raja untuk menghadap kaisar dan menyampaikan protes tentang bantuan tentara kerajaan yang menyerang orang-orang Cou membantu orang Ouigour bertindak sewenang-wenang.

Tanpa banyak halangan kedua orang ini tiba di kota raja dan dengan mudah Piloko yang sudah dikenal itu diterima oleh Kaisar Tai Cung sendiri. Sebagai anak angkat Piloko, Eng Eng juga diperkenankan masuk menghadap kaisar sehingga gadis ini menjadi bingung dan sungkan-sungkan memasuki ruangan yang indah dan menghadapi keagungan kaisar itu. Akan tetapi, apa yang mereka dengar dari kaisar benar-benar merupakan guntur di siang hari. Dari kaisar, Piloko dan Eng Eng mendengar tentang pemberontakan Oei Sun dan bahwa tentara kerajaan yang membela Huayen-khan itu sebetulnya adalah pemberontak-pemberontak yang bersama Huayen-khan merencanakan penyerbuan ke kota raja!

Akan tetapi kaisar menghibur mereka sambil menyatakan bahwa kini barisan besar yang dipimpin oleh Gak goanswe telah mulai bergerak untuk menghancurkan pemberontak itu berikut tentera yang dipimpin oleh Huayen-khan. Bahkan dianjurkan kepada Piloko untuk menggabungkan anak buahnya dengan Gak goanswe untuk bersama-sama memerangi para pemberontak dan orang orang Ouigour.

Cari Blog Ini