Amanat Marga Karya Khu Lung Bagian 4
memandangi cahaya bintang di
langit, termenung sampai sekian lamanya,
mendadak ia menatap Lamkiong Peng dengan
tersenyum, semacam senyuman yang sukar
dimengerti maknanya.
"Tapi apakah ... apakah kau tahu ... apakah kau
tahu" ...." dengan tersenyum berapa kali ia
mengulangi perkataannya.
Dengan bingung Lamkiong Peng menegas, "Tahu
apa?" Bwe Kim-soat menatapnya lekat-lekat, katanya
perlahan, "Apa yang tidak dilaksanakan gurumu
bagiku itu kini telah kau lakukan, dengan
telingaku sendiri kudengar percakapanmu dengan
dia, juga kudengar sendiri jeritannya ketika dia
terluka oleh pedangmu."
"Hah, jadi ... jadi Tojin itulah Kongeu-kiamkhek?"
seketika Lamkiong Peng menjadi gelagapan.
"Tojin" ...." jengek Bwe Kim-soat dengan penuh
benci. "Dia sudah menjadi Tojin" Huh, meski aku
tidak tahu saat ini dia telah berubah bagaimana
bentuknya, tapi suaranya, sampai mati pun aku
tidak lupa pada suaranya."
Meski biasanya Lamkiong Peng dapat bersikap
tenang, tidak urung sekarang ia pun kelihatan
terkejut, sungguh tak tersangka bahwa pendekar
pedang yang termasyhur pada angkatan yang lalu
bisa mati di bawah pedangnya. Namun apa pun
juga rasa malu dan menyesal atas kematian Tojin
itu kini menjadi tersapu bersih.
Didengarnya Bwe Kim-soat berkata pula, "Inilah
suka-duka antara gurumu dan diriku, juga apa
yang ingin kau ketahui tapi tidak berani kau
tanyakan tadi. Engkau telah membalaskan sakit
hatiku, maka perlu kuberi tahukan padamu bahwa
kematian orang itu adalah setimpal. Selama sekian
tahun aku tersekap di dalam peti mati, tidak ada
harapanku yang lain kecuali selekasnya pulih
sedikit tenagaku dan dapat menuntut balas
padanya. Sebab itulah ketika kudengar suara
jeritannya, meski merasa senang, tapi juga rada
kecewa dan benci juga, malahan terpikir olehku
bila dapat kulompat keluar, lebih dulu akan
kubinasakan orang yang membunuh dia itu."
Terkesiap hati Lamkiong Peng, dilihatnya pada
ujung mulut Bwe Kim-soat tersembul secercah
senyuman. "Tapi, entah mengapa ...." dengan tersenyum
Kim-soat meneruskan, "bisa jadi keadaan sekian
tahun telah membuat hatiku banyak berubah, aku
tidak ingin lagi membunuhmu, malah berterima
kasih padamu, sebab engkau telah mengurangi
kesempatan bagiku untuk berlepotan darah lagi.
Bilamana tangan seorang tidak banyak berlepotan
darah kan jadi lebih baik."
Lamkiong Peng tercengang, tak terduga olehnya
perempuan yang disebut orang sebagai "berdarah
dingin" ini sekarang dapat bicara demikian.
Ia terdiam sejenak, kemudian berkata di bawah
sadar, "Setelah tenagamu buyar, kenapa sekarang
mendadak bisa pulih kembali, sungguh kejadian
aneh." Bwe Kim-soat tersenyum misterius, ucapnya,
"Engkau merasa heran" ...."
Ia tidak meneruskan, Lamkiong Peng juga tidak
dapat menerka makna ucapannya itu. Tiba-tiba
teringat olehnya ucapan Bwe Kim-soat tadi, "Tanpa
menghiraukan apa pun berusaha memulihkan
tenaga ...."
Jangan-jangan caranya memulihkan tenaga ini
telah menggunakan sesuatu jalan yang tidak wajar.
Selagi dia hendak bertanya, tiba-tiba terdengar
Bwe Kim-soat menghela napas dan berucap pula,
"Sungguh aneh juga, meski saat ini Kungfuku
sudah pulih kembali, tapi kurasakan tidak ada
gunanya sama sekali. Sekarang aku tidak
mempunyai sesuatu hubungan budi dan benci lagi.
Ai, sungguh hal ini jauh lebih baik daripada hati
penuh diliputi dendam dan benci."
Dia sebentar gemas, sebentar sedih, lain saat
bersemangat, lalu murung lagi, sekarang dia lantas
bersandar di pohon dengan tenang, sembari
membelai rambutnya yang panjang bahkan ia
lantas bernyanyi kecil dengan senyum yang
lembut. Melihat keadaannya yang adem ayem itu,
agaknya dia sedang mengenang masa lampau,
masa remaja yang bahagia.
Karena kelelahan terpengaruh pula oleh suara
nyanyi orang yang merdu, Lamkiong Peng merasa
mengantuk .... Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar
orang mendengus, Lamkiong Peng tersentak sadar,
waktu ia memandang ke sana, dari luar hutan
mendadak muncul sesosok bayangan orang.
Serentak Bwe Kim-soat juga berhenti bernyanyi.
"Siapa?" bentak Lamkiong Peng.
Sekali berkelebat, dalam sekejap saja seorang
pemuda berbaju kelabu sudah berada di depan
mereka. Pemuda yang gagah tapi tampak bersikap
angkuh dan lagi tertawa dingin dan memandang
hina terhadap Lamkiong Peng.
Tentu saja Lamkiong Peng mendongkol, tegurnya
pula, "Siapa kau" Mau apa datang kemari?"
Dengan sorot mata tajam kembali pemuda baju
kelabu mengamat-amati Lamkiong Peng, lalu
menjengek, "Hm, bagus sekali! Murid kesayangan
sang Suhu, Sute yang selalu menjadi pujian
Suhengnya ternyata orang begini, selagi nasib
mati-hidup sang guru belum diketahui, bisa juga
iseng mendengarkan perempuan bernyanyi di sini,
sungguh hebat!"
"Memangnya ada sangkut paut apa denganmu?"
jawab Lamkiong Peng ketus.
Pemuda berbaju kelabu itu terbahak-bahak,
"Haha, engkau masih berani bersikap keras, masa
engkau tidak mengaku salah?"
"Hm, memangnya siapa kau dan apa maksud
kedatanganmu?" jengek Lamkiong Peng.
Pemuda baju kelabu melirik sekejap Bwe Kimsoat
yang masih bersandar pohon itu, mendadak ia
tertawa pula daun berkata, "Kau ingin tahu siapa
aku dan apa maksud kedatanganku" .... Hahaha,
untuk itu harus kutahu dulu apakah kau mau
mengaku salah atau tidak"!"
"Hm," jengek Lamkiong Peng. "Jika
kedatanganmu ini ingin mencari perkara, ayolah
lolos senjatamu dan tidak perlu banyak omong
lagi." Bwe Kim-soat tampak tersenyum, agaknya dia
dapat membenarkan sikap tegas Lamkiong Peng
ini. Suara tertawa pemuda baju kelabu serentak
berhenti, dengusnya, "Hm, memang kedatanganku
adalah untuk mencari perkara!"
Sekali ia berputar, waktu berhadapan lagi
tangannya sudah memegang sebatang tombak
bertangkai lemas.
Pedang Lamkiong Peng terselip pada tali
pinggangnya, sarung pedang sudah hilang jatuh ke
jurang, maka pedang pemberian gurunya ini selalu
dijaganya dengan baik.
Ia tersenyum dan menjawab, "Jika engkau
memang sengaja mau mencari perkara, terpaksa
kulayani beberapa gebrakan."
Perlahan ia lantas melolos pedangnya, dia tetap
bersikap tenang, tapi mantap, emosinya tidak
mudah terpancing, ia angkat pedang sebatas dada
dan siap tempur.
"Silakan!" katanya. Agaknya sekarang dapat
dilihatnya pemuda baju kelabu itu sebenarnya
tidak bermaksud jahat melainkan cuma terdorong
oleh rasa dongkol dan sengaja merecokinya, maka
dalam tutur kata dan tindakan dilayaninya dengan
agak sungkan. Segera pemuda baju kelabu memutar tombaknya
sehingga menimbulkan sejalur cahaya perak.
Diam-diam Lamkiong Peng memuji kecepatan
tombak lawan. Segera pedangnya juga berputar.
Sekonyong-konyong pemuda baju kelabu bersuit
terus mengapung ke udara. Cahaya perak ikut
mengambang ke atas.
Cepat Lamkiong Peng menyurut mundur
setindak, ujung pedang menyungkit ke atas.
Tubuh si pemuda baju kelabu menikung di
udara, tombak perak menusuk ke bawah secepat
kilat serupa bangau kelabu menerkam mangsa di
daratan. Hati Lamkiong Peng tergerak, "Thian-san-jit-kimsinhoat!" Cepat ia menggeser ke samping, berbareng
pedang lantas menebas ke atas. Sinar hijau
menahan cahaya perak tombak lawan, tapi ujung
tombak pemuda baju kelabu lantas menutul
perlahan pada ujung pedang, "tring", dengan daya
pental itu ia melayang lagi ke udara.
Lamkiong Peng menatap tajam lawannya dan
tidak memburunya melainkan menunggu orang
melayang turun ke bawah.
Padahal kalau dia mau melancarkan serangan
susulan tentu lebih untung daripada lawan yang
terapung di udara. Namun dia tidak berbuat
demikian melainkan berdiri tegak saja.
Ketika pemuda baju kelabu melayang turun,
perawakannya yang kekar berdiri tegak tanpa
bergerak, hanya tombak perak yang dipegangnya
tampak bergetar.
Pemuda baju kelabu ini tak lain tak bukan ialah
Tik Yang, sesudah mengubur mayat di rumah
gubuk itu, ia lantas memburu ke bawah gunung, ia
ingin tahu tokoh macam apakah "Gote" yang
menjadi sanjungan Liong Hui itu.
Dia berwatak lugu dan terbuka, tidak menaruh
perhatian atas curiga orang lain kepadanya. Tapi
setiap pemuda umumnya tentu mempunyai sifat
kcangkuhan sendiri, maka begitu berhadapan
dengan Lamkiong Peng lantas timbul hasratnya
untuk menguji kepandaiannya. Selain itu ia pun
rada heran mengapa orang bisa iseng
mendengarkan nyanyian seorang perempuan
cantik di sini.
Setelah berhadapan dengan Lamkiong Peng
sekarang, timbul juga rasa sukanya, keduanya
berdiri berhadapan dan saling pandang.
Mendadak terdengar Bwe Kim-soat bersuara,
"Eh, kenapa kalian berhenti"!"
Tanpa terasa pandangan kedua pemuda itu
beralih ke arahnya.
Perlahan Bwe Kim-soat lagi berbangkit dengan
gaya yang memikat. Dengan langkah gemulai ia
mendekati Tik Yang, lalu menegur, "Apakah
engkau ini keturunan mendiang Kiu-ih-sin-eng Tiklocianpwe
dari Thian-san?"
Baru sekarang Tik Yang memerhatikan
kecantikan orang yang luar biasa itu, ia merasa
silau sehingga seketika tidak mampu bersuara
melainkan cuma mengangguk perlahan saja.
Bee Kim-soat tertawa, katanya pula, "Tadi tentu
engkau telah bertemu dengan Suhengnya?"
Kembali Tik Yang melengak dan mengangguk
lagi. Tentu saja Lamkiong Peng sangat heran dari
mana orang mengetahui hal ini.
Siapa tahu Bwe Kim-soat lantas berkata pula
dengan tersenyum, "Tentu disebabkan Suhengnya
memuji dia di hadapanmu, karena penasaran,
maka kau susul kemari untuk mengujinya, betul
tidak?" Terbelalak mata Tik Yang, dengan heran ia
mengangguk lagi.
Berturut ia tanya tiga kali dan setiap kali selalu
tepat, hal ini membuat Tik Yang selain terkesima
atas kecantikannya, juga tercengang oleh
kecerdasannya. "Betul," akhirnya ia menjawab juga, "Memang
betul tadi aku bertemu dengan Suhengnya. Saat ini
dia masih di atas sana."
"Anda ini ...."
Belum lanjut ucapan Lamkiong Peng, dengan
tertawa Tik Yang berseru pula, "Cayhe Tik Yang,
sungguh sangat menyenangkan dapat bertemu
denganmu. Maaf atas tindakanku yang kasar tadi,
kumohon diri sekarang, sampai berjumpa lagi
kelak." Begitu kata terakhir itu terucapkan, serentak ia
pun sudah melayang pergi.
"Cepat amat!" gumam Lamkiong Peng
memandangi bayangan orang yang cuma sekejap
saja lantas menghilang di luar hutan sana.
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba Bwe Kim-soat tertawa dan berkata,
"Apakah kau tahu sebab apa dia pergi dengan
tergesa-gesa?"
Belum lagi Lamkiong Peng menjawab segera ia
menyambung lagi, "Sebab dia tidak berani
memandang lagi padaku."
Mendadak Lamkiong Peng membantah, "Engkau
selalu memandang buruk sifat orang lain.
Sebaiknya kau ikut bersamaku untuk menemui
Suhengku, nanti baru engkau tahu di dunia ini
masih ada lelaki sejati yang tidak mudah
terpengaruh oleh kecantikanmu."
Habis berkata Lamkiong Peng lantas
mengangkat peti mati dan mendahului melangkah
ke sana. Sejenak Bwe Kim-soat tertegun, tanpa terasa ia
ikut melangkah ke sana dan berseru, "Hei ...."
"Ada apa?" tanya Lamkiong Peng tanpa menoleh,
juga tanpa berhenti.
"Kan gurumu menyuruhmu mengikut dan
membela diriku, kenapa sekarang kau tinggalkan
aku dan pergi sendiri?"
Terpaksa Lamkiong Peng berhenti dan menoleh,
"Bukankah kau pun ikut kemari, kenapa bilang
kupergi sendiri?"
"Aku ... aku ...." mendadak Bwe Kim-soat
mengentak kaki dan berteriak, "Tidak, aku tidak
mau ikut ke atas lagi."
"Jika engkau tidak mau ikut, harap tunggu
sementara di sini, peti ini juga kutaruh dulu di
sini," kata Lamkiong Peng dengan tersenyum.
"Siapa bilang akan kutunggumu di sini?" jengek
Kim-soat. "Wah, jika begitu, lantas ... lantas bagaimana
baiknya?" "Kau yang ikut aku turun ke bawah gunung ...."
"Tentu saja aku akan ikut turun, cuma
hendaknya engkau ikut ke atas dulu."
Bwe Kim-soat tampak mendongkol, katanya
dengan gusar, "Kau ...."
Tapi Lamkiong Peng lantas memotong, "Sudah
sekian ribu hari engkau tersekap di dalam peti
mati ini, sekarang engkau harus menghirup udara
segar. Lihatlah, cuaca cerah, pemandangan indah,
betapa menyenangkan bila dapat pesiar ke puncak
Hoa-san yang termasyhur ini?"
Bwe Kim-soat termenung sejenak, mendadak ia
melayang lewat ke sana dan hinggap di depan
Lamkiong Peng, serunya, "Baik, ikut padaku!"
Akhirnya ia naik juga ke atas gunung.
Memandangi rambut orang yang panjang terurai
dan kelakuannya yang kekanak-kanakan itu,
hampir saja Lamkiong Peng tertawa geli.
Siapa tahu lantas terdengar Bwe Kim-soat
mengikik tawa di depan, katanya, "Sekali tempo
menurut perkataan orang terasa menarik juga,
cuma ...." mendadak ia menoleh dan menegaskan,
"Cuma satu kali saja."
"Baik cuma satu kali saja," kata Lamkiong Peng
sambil menahan rasa gelinya.
Sang surya baru saja terbit, puncak Hoa-san
gilang-gemilang oleh sinar matahari pagi itu,
sampai rumah gubuk itu pun kelihatan kemilauan
tersorot oleh sinar sang surya.
Karena ingin lekas mengetahui keadaan di atas,
langsung Lamkiong Peng menuju ke rumah gubuk
ini, namun di sini tiada terdapat seorang pun.
"Mereka sudah pergi semua ...." ucapnya dengan
kecewa. "Nah, kan sia-sia kedatanganmu ini," ujar Bwe
Kim-soat. "Juga belum tentu," seru Lamkiong Peng,
mendadak ia menyodorkan peti mati kepada Bwe
Kim-soat, tanpa sempat berpikir Kim-soat
menerima peti itu, segera pula Lamkiong Peng
melompat ke sana, disingkapnya kasuran tua itu.
Bwe Kim-soat tidak melihat sehelai kertas
kuning yang terselip di bawah kasuran, sambil
mengangkat peti ia menjengek, "Hm, memangnya
di bawah kasur itu ada pusakanya?"
"Memang betul," kata Lamkiong Peng sambil
membalik tubuh perlahan, di tangannya tampak
memegang sehelai kertas kuning, dengan cermat ia
membacanya, perlahan air mukanya menampilkan
rasa lega, tapi juga mengandung rasa heran. Lalu
kertas surat itu disimpan dalam baju.
Dengan sendirinya Bwe Kim-soat tidak dapat
melihatnya, ia berseru, "Hai!"
"Ada apa?" Lamkiong Peng berlagak bsingung.
Kim-soat mendengus, peti mati disodorkan
kembali kepada Lamkiong Peng, setelah diterima
anak muda itu, serentak ia melompat keluar
rumah gubuk. Karena mendongkol, ia tidak
menggubris Lamkiong Peng, tapi belum seberapa
jauh tanpa terasa ia menoleh.
Dilihatnya anak muda itu mengikut kemari
setelah memandang lukisan yang terukir di batu
karang sana. Sesudah agak dekat, dengan gemas Bwe Kimsoat
berkata, "Kau mau bicara atau tidak?"
"Bicara apa?" tanya Lamkiong Peng.
"Apa yang tertulis pada kertas kuning itu?"
teriak Kim-soat.
"O, kiranya kau pun ingin membaca surat ini,
kenapa tidak kau katakan sejak tadi, tanpa bicara
mana kutahu?" ujar Lamkiong Peng dengan
tersenyum. Dengan tangan kanan mengangkat peti, tangan
kiri mengeluarkan surat tadi dan disodorkan
padanya. Segera Bwe Kim-soat mengambil surat itu dan
dibaca, ternyata isi surat hanya terdiri dari delapan
huruf yang berbunyi: "Pesan dari Thian-te, Sinliong
sehat walafiat!"
"Sin-liong sehat walafiat"!" Kim-soat berseru
heran, "Masa Put-si-sin-liong belum mati?"
"Tak mungkin mati," ujar Lamkiong Peng dengan
tersenyum. Bwe Kim-soat memandang anak muda itu
sekejap, katanya kemudian setelah berpikir,
"Lantas apa artinya istilah Thian-te ini?"
"Tentu nama seorang Bu-lim-cianpwe (tokoh
angkatan tua dunia persilatan), kecuali ini tidak
mungkin ...."
"Memangnya siapa?" Pemah kau dengar ada
tokoh Bu-lim yang disebut Thian-te" Bisa jadi ...."
mestinya Kim-soat hendak bilang Thian-te (Tuhan
Allah) tentu sinonim dengan "Surgaloka", jadi cuma
istilah olok-olok pihak musuh, atau mungkin juga
untuk menipu mereka.
Ia urung meneruskan ketika melihat Lamkiong
Peng agak cemas, akhirnya ia menambahkan,
"Thian-te ... kenapa sebelum ini tidak pemah
kudengar nama ini?"
Lamkiong Peng diam saja tanpa bicara.
Setelah berjalan lagi sebentar, tiba-tiba Kim-soat
berkata, "Marilah kita menyusuri jalan kecil saja."
"Kenapa?" tanya Lamkiong Peng.
"Begini dandananku kan malu dilihat orang,"
ujar Kim-soat sambil membetulkan rambutnya.
Lamkiong Peng meliriknya dua kejap, kelihaian
rambutnya yang panjang indah, mukanya putih
bersih dengan baju yang putih mulus, sungguh
luar biasa cantiknya, masa malu dilihat orang,
sungguh aneh. Tapi ia pun tidak membantah dan mengikuti
kemauannya, menjelang senja, sampailah mereka
di Limcong, sebuah kota besar temama di daerah
barat laut. Limcong memang kota yang ramai, dekat magrib,
cahaya lampu sudah menyala di seluruh pelosok
kota. Seorang pemuda gagah cakap membawa sebuah
peti mati diiringi seorang perempuan mahacantik
dengan dandanan yang khas berjalan berendeng di
tengah kota yang ramai ini, kecuali orang yang
berlalu-lalang ini orang buta semua, kalau tidak
mustahil mereka tidak menarik perhatian khalayak
ramai. Dengan sendirinya Lamkiong Peng serbakikuk,
ia menunduk dan menggerundel, "Coba kalau kita
melalui jalan besar, mungkin di tengah jalan sudah
dapat menyewa kereta."
Namun Bwe Kim-soat tetap tenang saja,
katanya, "Jika kau takut dipandang orang,
bolehlah kita mencari tempat berhenti ...."
"Betul juga," kata Lamkiong Peng sambil
memandang ke kanan dan ke kiri, dilihatnya di
samping sana ada sebuah restoran paling besar,
papan mereknya tertulis lima huruf besar dan
berbunyi "Peng-ki-koai-cip-lau", artinya restoran
makan gembira. Restoran ini memang mentereng dan berbeda
daripada restoran ini, tapi langsung ia menuju ke
situ. Namun sebelum tiba di depan pintu, seorang
pelayan tinggi kurus keburu memapak kedatangan
mereka, bukan menyatakan selamat datang
melainkan merintangi jalan mereka.
"Ada apa?" tanya Lamkiong Peng dengan
melenggong. "Kau mau apa?" pelayan itu balas bertanya
dengan sikap sombong.
"Sudah barang tentu ingin makan minum,"
jawab Lamkiong Peng. "Memangnya restoran kalian
ini tidak terbuka untuk umum?"
Pelayan jangkung itu mendengus, "Dengan
sendirinya terbuka untuk umum, cuma tamu yang
berkunjung kemari dengan membawa peti mati,
jelas tidak kami terima."
Baru sekarang Lamkiong Peng tahu duduknya
perkara, ia tertawa dan berkata, "Tapi, peti ini
kosong, kalau tidak percaya biar kubuka ...."
Selagi ia hendak menaruh petinya, siapa tahu
pelayan itu lantas mendorongnya sambil
membentak, "Kosong juga tidak kami terima."
Meski kurus badannya, ternyata cukup
bertenaga juga, jelas pelayan ini bukan
sembarangan pelayan.
Karena ramai-ramai itu banyak orang lantas
berkerumun. Sedapatnya Lamkiong Peng menahan rasa
dongkolnya, ia coba menjelaskan, "Kukenal kuasa
kalian, bolehkah memberi bantuan, biarlah
kutaruh peti ini di luar ...."
"Kenal kuasa kami juga tidak boleh, lekas pergi,
lekas ...." seru si pelayan dengan gusar. Agaknya
Bwe Kim soat juga dapat melihat Lamkiong Peng
tidak mau menimbulkan perkara, maka ia menarik
lengan bajunya dan berkata, "Di sini tidak terima,
biarlah kita cari yang lain saja."
Tanpa rewel Lamkiong Peng meninggalkan
pelayan jangkung itu, didengarnya pelayan itu
masih mengomel, "Huh, tidak tanya-tanya dulu
tempat apa ini dan siapa yang membuka restoran
ini" Memangnya kau tahu siapa Kongeuya kami"
Kalau berani bikin onar, mustahil tidak patahkan
kakimu ...."
Kim-soat melirik sekejap, dilihatnya Lamkiong
Peng tetap tenang saja tanpa keki sedikit pun,
diam-diam ia merasa heran.
Siapa tahu, restoran berikutnya juga menolak
tamu yang tidak diterima oleh Koai-cip-lau,
berturut-turut tiga restoran lain bersikap sama.
Tentu saja Lamkiong Peng rada mendongkol,
terutama suara ejekan orang yang membuntutinya
untuk melihat keramaian.
Namun dia tetap tenang saja. Sesudah sampai di
suatu gang dan mendapatkan sebuah rumah
makan kecil yang mau menerima mereka, pemilik
rumah makan itu sudah tua, tanpa tenaga
pembantu, ia menyiapkan mangkuk piring sendiri
bagi tamunya sambil berkata, "Mestinya kami juga
tidak berani menerima tamu yang ditolak Koai-ciplau,
tapi, mengingat tuan tamu masih muda dan
membawa keluarga .... Ai, konon pemilik Koai-ciplau
mempunyai seorang Kongeuya yang berbudi
luhur dan suka menolong sesamanya, di segala
pelosok terdapat sahabatnya. Bisa jadi yang tuan
temui tadi ialah Yu-jiya yang kabarnya memang
lebih galak daripada kuasanya."
Begitulah sembari bicara, sebentar saja ia telah
menyiapkan santapan sekadarnya, tanpa banyak
omong Lamkiong Peng dan Bwe Kim-soat makan
minum secukupnya.
Kemudian Lamkiong Peng minta pinjam alat
tulis, ia tulis sepucuk surat ringkas dan dilipat
dengan baik, lalu menyuruh seorang anak penjual
kacang di tepi jalan, setelah diberi persen dan
pesan seperlunya, anak penjual kacang itu lantas
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berlalu. Bwe Kim-soat hanya tersenyum saja dan
memandangnya, ia tidak tanya apa yang
dilakukannya itu, seperti sudah menduga apa yang
bakal terjadi. Mereka melanjutkan bersantap dengan tenang.
Tidak lama kemudian, mendadak dari luar berlari
masuk seorang berbaju perlente, seorang lelaki
setengah umur dengan muka putih, begitu masuk
segera menjura kepada Lamkiong Peng.
Belum lagi orang ini sempat bicara, kembali dari
luar berlari masuk seorang lagi dan langsung
berlutut di depan Lamkiong Peng dan
menyembahnya tanpa berhenti. Nyata orang ini
"Yu-jiya", si pelayan jangkung Koai-cip-lau.
"Eh, ada apakah kalian ini?" ucap Lamkiong
Peng dengan tersenyum.
Keadaan "Yu-jiya" itu sekarang sungguh harus
dikasihani, berulang menyembah dan minta
ampun. Lelaki perlente setengah umur itu pun tampak
gugup, katanya, "Ampun, tak tersangka Kongeuya
bisa ... bisa berkunjung ke daerah barat laut sini."
Si kakek pemilik warung makan jadi melongo
juga, ia hampir tidak percaya kepada apa yang
terjadi. Maklumlah, keluarga hartawan Lamkiong turuntemurun
terkenal kaya raya, di mana-mana hampir
terdapat perusahaan mereka, pegawainya tidak
kurang dari puluhan ribu orang. Tapi tidak banyak
yang kenal majikan muda mereka, Lamkiong Peng.
Sekarang Lamkiong Peng hanya menulis secarik
kertas dan dibubuhi tanda tangan, lalu kuasa
Koai-cip-lau dan Yu-jiya tadi telah dibikin
kelabakan setengah mati dan tidak tahu apa yang
harus dikemukakan terhadap majikan muda dan
tidak tahu pula cara bagaimana harus minta
ampun. "Wah, tampaknya kita harus ganti tempat untuk
makan lebih enak," kata Bwe Kim-soat dengan
tersenyum Lamkiong Peng juga tersenyum, ucapnya,
"Bagaimana Yu-jiya, bolehkah kami membawa peti
ini ke sana."
Dengan sendirinya anak buahnya takkan
membiarkan sang majikan muda mengangkat peti
mati sendiri, segera kuasa Koai-cip-lau menyela,
"Silakan Kongeu pindah dulu ke tempat sendiri,
sebentar hamba akan menyuruh orang
mengangkat peti ke sana."
Diam-diam ia pun heran untuk apakah majikan
muda membawa sebuah peti mati kian kemari.
Dengan sendirinya ia tidak berani bertanya.
Lamkiong Peng tersenyum, ia mengeluarkan
sebuah kantung sutera kecil dan dilemparkan ke
atas meja, katanya kepada orang tua pemilik
warung, "Inilah uang makan kami .... Satu-dua
hari lagi tentu akan kuatur pekerjaan baik bagimu,
di bawah pimpinanmu, kuyakin Koai-cip-lau akan
melayani setiap pengunjungnya dengan lebih
ramah tamah."
Tanpa menunggu terima kasih si orang tua,
segera ia melangkah pergi bersama Bwe Kim-soat.
Dengan sendirinya orang yang berkerumun juga
lantas bubar. Orang tua ini berdiri melenggong di dekat pintu,
rasanya seperti habis mimpi saja.
Ia duduk di tepi meja dan membuka kantung
kecil itu, seketika cahaya gemerdep serupa sinar
matahari menyilaukan matanya. Isi kantung
adalah empat biji mutiara hampir sebesar jari.
Rezeki nomplok ini sungguh datangnya terlalu
mendadak, seketika ia terkesima.
Sekonyong-konyong terdengar suara keriatkeriut
yang perlahan, waktu ia menoleh, seketika
ia melongo, darah serasa membeku. Tanpa terasa
kantung sutera kecil itu tersampar jatuh ke lantai,
keempat biji mutiara pun menggelinding keluar
dan berhenti di samping peti mati yang tertaruh di
pojok sana. Suara keriat-keriut itu rupanya suara
terbukanya tutup peti mati, dilihatnya seorang
Tojin berjubah hijau dan berlumuran darah
merangkak keluar dari dalam peti.
Di bawah cahaya lampu yang guram muka si
Tojin kelihatan beringas menakutkan. Saking
ngerinya si kakek berdiri seperti patung dengan
kaki gemetar. Belum lagi dia sempat menjerit, tahu-tahu Tojin
berdarah itu menubruk tiba, jarinya yang kuat
serupa kaitan mencekik leher si kakek.
Hanya sempat terjadi rontakan sedikit, lalu
semuanya kembali sunyi lagi. Si kakek roboh
terkulai. Tojin itu celingukan kian kemari, untung di situ
tiada orang lain lagi, semuanya sudah ikut pergi
menyaksikan kegantengan Lamkiong-kongeu yang
termasyhur itu.
Ia menghela napas lega dan buru-buru naik ke
atas loteng, ia tukar pakaian milik si kakek, lalu
dengan langkah agak sempoyongan ia menyelinap
keluar warung makan itu meninggalkan si kakek
yang rebah di samping peti mati bersama empat
biji mutiara ....
***** "Putra pewaris keluarga Lamkiong datang ke
Limcong," berita ini telah menggemparkan segenap
lapisan masyarakat kota ini.
Di Koai-cip-lau diadakan pesta penyambutan
yang meriah, banyak tokoh dari berbagai golongan
sama mohon bertemu.
Tapi di tengah keramaian itu, diam-diam
pemuda itu mengeluyur keluar dari Koai-cip-lau
dan mendatangi lagi warung makan di gang kecil
itu. Ia menjadi heran juga setiba di gang itu, di situ
juga penuh berkerumun orang banyak. Cepat ia
memburu ke situ dan menyelinap di tengah
berjubel orang banyak untuk melongok apa yang
terjadi, dengan sendirinya terlihat olehnya adegan
yang mengenaskan itu.
Jika seekor burung mati saja dipendam dengan
baik oleh Lamkiong Peng, apalagi jenazah seorang
tua yang kematiannya dapat diduga karena
perbuatannya. Maka esoknya berlangsunglah upacara
penguburan yang ramai, iringan pelayat panjang
serupa barisan. Sudah barang tentu semua itu
berkat kehormatan Lamkiong-kongeu belaka,
kereta jenazah menuju ke tempat pemakaman di
Se-an, sebuah kota kuno di sebelah barat Limcong.
Tidak jauh iringan kereta jenazah keluar
Limcong, tiba-tiba dari depan berlari datang
seorang lelaki kekar dengan pakaian berkabung,
sesudah dekat dan melihat Lamkiong Peng berada
di samping kereta jenazah, langsung ia berlutut
dan menyembah. Selagi Lamkiong Peng merasa bingung, lelaki
berbaju putih itu sudah bertutur, "Hamba Gui
Sing-in, berkat bimbingan Kongeu, saat ini
memimpin perusahaan di Se-an ...."
"Baiklah, bicara saja nanti, saat ini bukan
waktunya untuk bicara urusan perusahaan," kata
Lamkiong Peng. Dengan gugup Gui Sing-in menyambung lagi,
"Tapi ... tapi hamba ingin melaporkan tentang
sesuatu peristiwa yang bersangkutan dengan
pemakaman ini ...."
Baru sekarang Lamkiong Peng tertarik, cepat ia
tanya, "Memangnya terjadi peristiwa apa?"
Maka Gui Sing-in melapor lagi, "Ketika hamba
kemarin mendapat kabar maksud Kongeu akan
mengadakan pemakaman ini, serentak hamba
menyiapkan sesajian yang diperlukan untuk
mengadakan sembahyangan di tengah jalan. Siapa
tahu secara kebetulan di Se-an juga ada peristiwa
pemakaman secara besar-besaran sehingga hampir
seluruh barang sembahyang sebangsa hiosoa, lilin,
kertas bakar dan sebagainya terborong habis,
untung dengan harga lipat barulah hamba
mendapatkan sedikit untuk keperluan
sekadarnya."
"Sekadarnya pun sudah cukup, bikin susah saja
kepada kalian," ujar Lamkiong Peng.
"Terima kasih atas kebijaksanaan Kongeu," kata
Gui Sing-in. "Karena khawatir kereta jenazah akan
lewat lebih dulu, maka semalam juga hamba sudah
siap di sini dengan meja sembahyang, menjelang
subuh tadi, mendadak debu mengepul di kejauhan,
hamba mengira kereta jenazah telah tiba, siapa
tahu yang muncul adalah beberapa penunggang
kuda yang semuanya memakai seragam hitam, ikat
kepala hitam, bahkan segala sesuatu yang mereka
bawa juga serbahitam. Kulihat pada pelana kuda
mereka membawa sebuah panji merah kecil,
semuanya kelihatan habis menempuh perjalanan
jauh, sikap mereka tampak gelisah dan tidak sabar
lagi." Lamkiong Peng terkesiap, pikirnya, "Mungkinkah
para penunggang kuda itu adalah anak buah Suma
Tiong-thian dari Ang-ki-piaukiok (perusahaan
pengawalan panji merah)?"
Didengarnya Gui Sing-in menyambung lagi
penuturannya, "Begitu hamba melihat dandanan
kawanan penunggang kuda itu, segera hamba tahu
mereka bukan orang baik-baik, maka sedapatnya
kami menghindarinya."
Diam-diam Lamkiong Peng merasa kurang
senang oleh komentar Gui Sing-in itu, jika benar
mereka orang dari Ang-ki-piaukiok, kenapa
disangka bukan orang baik-baik"
"Tak terduga," demikian Gui Sing-in
menyambung lagi, "begitu melihat rombongan
hamba, kawanan penunggang kuda itu lantas
melompat turun dan sama berlutut sambil berseru,
'Maaf, Loyacu, kami datang terlambat,' Malahan
ada di antaranya lantas menangis sedih."
Lamkiong Peng melenggong, ia heran apakah
dugaannya juga keliru"
Terdengar Gui Sing-in menutur pula, "Selagi
hamba terheran-heran dan ingin tanya mereka
datang melayat bagi siapa, tak tahunya kawanan
penunggang kuda itu pun sudah sempat melihat
tulisan pada meja sembahyang, mereka menjadi
gusar dan berbangkit, kontan mereka mencaci
maki." "Dengan sendirinya hamba tidak rela, kukatakan
kalian yang salah lihat, kenapa menyalahkan orang
lain. Rupanya mereka menjadi kalap, tanpa bicara
lantas menyerang, hamba sekalian tidak mampu
melawan mereka, sebagian saudara terhajar hingga
babak belur dan sudah dibawa pulang untuk
dirawat. Kawanan penunggang itu lantas pergi dan
beginilah, mohon Kongeu memaafkan."
Lamkiong Peng memandang sekejap ke meja
sembahyang yang berada di tepi jalan, beberapa
lelaki yang berlutut itu tampak benjut dan mata
biru, meski tidak parah, tapi cukup mengenaskan.
Lamkiong Peng tetap tenang saja, ia suruh Gui
Sing-in dan kawannya berbangkit dan sembahyang
penyambutan dilakukan dengan sederhana, lalu
iringan kereta jenazah meneruskan perjalanan.
Mendadak timbul pikiran Lamkiong Peng, "Angkipiaukiok itu adalah perusahaan tua dan cukup
terkenal di dunia persilatan, Thi-cian-ang-ki
(tombak baja panji merah) Suma Tiong-thian juga
terkenal luhur budi, setiap anak buahnya tidak
mungkin berbuat kasar begitu, mungkin telah
terjadi salah paham. Bukan mustahil pula
beberapa pegawaiku ini yang kurang sopan
sehingga membikin marah orang lain."
Dia memang pemuda bijaksana, segala sesuatu
selalu ditinjau secara adil, sebelum mencela orang
lain, periksa dulu kesalahan pihak sendiri.
Kota kuno Se-an semakin dekat, tiba-tiba timbul
lagi pikirannya, "Kawanan penunggang kuda
berpanji merah itu datang melayat secara terburuburu,
entah kaum Cianpwe siapa di daerah ini
yang wafat. Ai, akhir-akhir ini berturut-turut
beberapa jago tua telah meninggal dunia, dunia
persilatan semakin sedikit tokoh yang bijaksana,
bulan mustahil akan timbul lagi kekacauan di
dunia Kangouw."
Perasaannya menjadi tertekan dan masygul.
Selagi melamun, tiba-tiba terdengar suara
bentakan orang di depan sana, hanya sekejap saja
beberapa orang muncul dan berdiri sejajar
merintangi jalan kereta.
Seorang yang menjadi pemimpinnya berbaju
merah, tapi bermuka pucat, mata bersinar, ia tatap
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lamkiong Peng dan menegur, "Hendaknya saudara
berhenti dulu!"
Terpaksa iring-iringan kereta berhenti, hanya
suara musik yang sendu memilukan tetap
bergema. Lamkiong Peng memandang orang-orang itu
sekejap dan menjawab, "Ada petunjuk apa?"
Orang berbaju merah itu memandang sekejap
iringan kereta jenazah di belakang Lamkiong Peng,
lalu berkata pula, "Agaknya Anda inilah
penanggung jawab pada iringan ini?"
Lamkiong Peng mengiakan.
"Jika begitu, ingin kumohon sesuatu ...."
"Silakan bicara!"
"Yakni mengenai iringan kereta jenazah kalian
ini dapatlah memutar ke pintu gerbang barat saja?"
Lamkiong Peg terdiam sejenak, lalu berkata,
"Bukankah gerbang timur sudah dekat di depan?"
"Betul di depan adalah gerbang timur," jawab
orang itu, ujung mulutnya menampilkan senyuman
yang angkuh. "Tapi di gerbang timur sana saat ini
banyak kawan Kangouw sedang mengadakan
sembahyangan untuk menghormati seorang Bulimcianpwe, apabila saudara tidak berputar ke
gerbang barat, tentu tidak leluasa."
Kening Lamkiong Peng bekernyit, "Jika kuganti
arah jalan tentu juga akan kurang leluasa. Jalan
raya cukup lebar dan dapat dilalui siapa pun,
hendaknya maafkan tak dapat kuturut
permintaanmu."
Orang berbaju merah itu tampak kurang senang,
ia pandang Lamkiong Peng sekejap, lalu berucap
pula, "Aku sih tidak menjadi soal bila saudara
tidak mau berganti arah, tapi para sahabat yang di
sana itu rasanya sukar untuk diajak bicara ...."
Ia merandek sambil menengadah, tanpa
menunggu tanggapan Lamkiong Peng, ia
menyambung lagi, "Hendaknya kau pikir sendiri,
apabila yang meninggal itu bukan tokoh Kangouw
terkemuka, mustahil sahabat Kangouw mau
mengadakan upacara penghormatan terakhir
baginya di sini. Dan upacara besar-besar ini masa
boleh diganggu oleh iringan kereta jenazah lain.
Maka, kuharap sebaiknya saudara mengambil
jalan putar saja."
Diam-diam Lamkiong Peng kurang senang,
katanya, "Dunia persilatan mengutamakan
keluhuran budi dan setia kawan, apalagi membela
yang besar dan menindas yang kecil, tentu takkan
dibenarkan oleh mendiang tokoh besar yang kalian
puja itu. Apalagi, kalau bicara tentang nama dan
kedudukan, melulu peti mati di atas kereta kami
ini pun tidak perlu harus mengalah dan mengambil
jalan lain."
Orang berbaju merah itu menatap Lamkiong
Peng sejenak, mendadak ia tersenyum, katanya,
"Baiklah, jika Anda tidak mau terima nasihatku,
terpaksa aku tidak ikut campur lagi."
Segera ia membalik tubuh dan melangkah pergi.
Tak terduga seorang lelaki kekar di sampingnya
mendadak berteriak, "Yim-toako tidak mau ikut
campur, biarlah aku Sih Po-gi yang ikut campur.
Kubilang, wahai sahabat, putarlah ke arah lain!"
Berbareng itu sebelah tangannya terus
mendorong pundak Lamkiong Peng.
Air muka Lamkiong Peng berubah, dengan gesit
ia hindarkan tolakan orang, bentaknya,
"Selamanya kita tidak ada permusuhan, mengapa
kau main kekerasan?"
"Hahaha," lelaki itu terbahak. "Kubilang
sebaiknya kau putar ke jalan lain, sahabat cilik,
tentu paman Sih takkan membikin susah
padamu." Sembari bicara kembali dia mendesak maju,
tangannya meraih pula hendak memegang bahu
Lamkiong Peng. Namun anak muda itu mendadak mengegos,
secepat kilat sebelah tangannya balas meraih
pergelangan tangan lawan, sekali sengkelit kontan
Sih Po-gi terbanting roboh.
Tentu saja beberapa kawannya terkejut,
beramai-ramai mereka lantas menerjang maju.
Syukurlah pada saat itu juga si baju merah yang
disebut "Yim-toako" tadi muncul kembali bersama
dua orang tua berbaju hitam dan menyerukan agar
pertarungan dihentikan.
"Hm, main kerubut, apakah tidak kenal
peraturan Bu-lim lagi?" jengek Lamkiong Peng
terhadap si baju merah.
"Hebat juga kepandaian saudara cilik ini,
rupanya juga orang golongan kita." kata si baju
merah. "Jika begitu urusan menjadi mudah
dibicarakan. Kuperkenalkan lebih dulu kedua
tokoh kita ini ...."
Lalu ia tuding kakek baju hitam sebelah kiri
yang bertubuh lebih tinggi dan berkata pula,
"Inilah salah seorang dari Bin-san-ji-yu (dua
sahabat dari gunung Bin) yang dulu terkenal
sebagai Thi-ciang-kim-kiam (telapak besi pedang
emas sakti) Tiangsun Tan, Tiangsun-toasiansing."
Kakek baju hitam yang disebut itu berdiri diam
saja. Maka si baju merah menunjuk lagi kakek yang
lain, katanya, "Dan ini dengan sendirinya ialah
Keng-hun-siang-kiam (si pedang penggetar sukma)
Tiangsun Kong, Tiangsun-jisiansing."
Lamkiong Peng memberi hormat dan merasa
heran mengapa kedua pendekar pedang yang
terkenal berwatak nyentrik ini juga bisa muncul di
sini, untuk apa pula si baju merah menonjolkan
mereka kepadanya"
Didengarnya si baju merah berucap pula dengan
tersenyum, "Diriku memang kaum keroco yang
tidak bemama, tapi bila kedua Tiangsun-locianpwe
ini pun jauh-jauh datang melayat ke sini,
memangnya berapa orang Kangouw yang
mempunyai kehormatan sebesar ini, masakah
saudara cilik ini tidak dapat menerkanya?"
Pada saat itu juga sebuah kereta kuda putih
dengan tabir terurai telah melampaui iringan
pelayat dan berada tidak jauh di belakang
Lamkiong Peng, tapi anak muda itu belum lagi
mengetahui, ia sedang berpikir, "Ya, siapakah
tokoh besar yang mati ini, sampai Bin-san-ji-yu
juga datang melawat?"
Tanpa terasa ia tersenyum getir, lalu menjawab,
"Agaknya pengalamanku terlalu cetek sehingga
tidak dapat menerkanya, mohon Anda sudi
memberi penjelasan."
Mendadak air muka si baju merah berubah
serius dan khidmat, ucapnya dengan menyesal,
"Kematian tokoh ini bagi orang Kangouw serupa
meninggalnya orang tua mereka, setiap orang
merasa kehilangan sandaran. Beliau tak lain tak
bukan adalah jago yang terkenal dengan pedang
Yap-siang-jiu-loh, Put-si-sin-liong Liong-loyacu ....
Nah, sebagai sesama orang dunia persilatan,
sekarang tentu saudara takkan keberatan untuk
memutar ke jalan lain, bukan?"
Seketika Lamkiong Peng berdiri mematung dan
tidak sanggup bersuara.
Si baju merah merasa heran juga melihat sikap
Lamkiong Peng yang serupa orang linglung itu,
tegurnya, "Eh, apakah saudara juga kenal Liongloyacu
ini ...." Mendadak Lamkiong Peng menjura padanya,
habis ini mendadak ia berlari ke arah Se-an
secepat terbang.
Tentu saja Bin-san-ji-yu melengak, serentak
mereka pun hendak bergerak. Tapi si baju merah
lantas mencegahnya, "Tidak perlu mengejarnya.
Tampaknya perguruan anak muda ini pasti ada
sangkut pautnya dengan Put-si-sin-Liong,
kepergiannya tentu tidak bermaksud jahat, bisa
jadi akan ikut bersembahyang."
Dalam pada itu Lamkiong Peng sedang berlari ke
depan, hanya sekejap saja bayangan benteng kuno
sudah tertampak di sana, di kaki tembok benteng
tampak penuh berdiri orang berseragam hitam,
semuanya memegang dupa dan antre memberi
penghormatan terakhir pada meja sembahyang.
Seorang kakek tinggi besar tampak berdiri di
tengah orang banyak dengan sikap khidmat,
mendadak ia berteriak, "Selama hidup Put-si-sinliong
terkenal gagah perkasa, untuk
keperwiraannya, marilah kita bersorak lagi
baginya!" Dan serentak terdengar orang bersorak gemuruh
seperti suara yang didengar Lamkiong Peng dalam
perjalanan tadi.
Dada Lamkiong Peng terasa bergejolak, entah
duka atau gembira, tapi ia masih terus berlari
menuju ke depan.
Belasan orang merasa kaget ketika mendadak
seorang pemuda menyelinap lewat di antara
mereka, serentak mereka membentak dan ada yang
berusaha merintangi.
Namun segesit belut Lamkiong Peng terus
menyelinap maju.
"Kurang ajar!" gerutu si kakek tinggi besar tadi
demi melihat anak muda ini berani main terobos
begitu saja di tengah suasana khidmat ini.
Selagi dia hendak memerintahkan orang
membekuk Lamkiong Peng, tiba-tiba dua orang di
sampingnya memberi kisikan, seketika lenyaplah
rasa gusarnya. Dalam pada itu Lamkiong Peng sudah menerjang
sampai di depannya dan memberi hormat kepada
si kakek. Gemerdep sinar mata si kakek, tanyanya,
"Apakah kau ini murid kelima Put-si-sin-liong,
Lamkiong Peng?"
Suaranya lantang berkumandang sehingga dapat
didengar orang banyak. Tentu saja semua orang
melengak heran.
Maklumlah, selama Lamkiong Peng masuk ke
perguruan Put-si-sin-liong memang belum pemah
berkecimpung di dunia Kangouw, dengan
sendirinya para kesatria tidak mengenalnya. Meski
ada di antaranya yang mengetahui dia adalah
murid ahli waris Put-si-sin-liong.
Lamkiong Peng sendiri juga terheran-heran, dari
manakah kakek ini dapat mengenalnya, namun
lantas dijawabnya dengan hormat, "Wanpwe
memang Lamkiong Peng adanya!"
Alis si kakek menegak, katanya dengan bengis,
"Jika benar kau anak murid Sin-liong, masakah
tidak tahu kami sedang mengadakan upacara
sembahyang bagi arwah gurumu" Mengapa
sembarangan bertingkah di sini dan mengganggu
kekhidmatan suasana."
Dengan prihatin Lamkiong Peng memberi hormat
lagi, lalu berseru lantang, "Atas penghormatan para
Cianpwe terhadap guruku, sungguh Wanpwe
sangat berterima kasih dan takkan melupakan
budi kebaikan ini. Namun ...."
Mendadak ia menyapu pandang para hadirin,
lalu berteriak terlebih lantang, "Ketahuilah bahwa
sesungguhnya guruku belum meninggal ...."
Belum habis ucapannya terdengarlah pekik
orang banyak. Dengan melotot si kakek tinggi besar juga
melengak, katanya, "Put-si-sin-liong belum mati
katamu?" mendadak ia membalik tubuh dan
berteriak, "Li Sing, Ong Pun, kemari sini!"
Waktu Lamkiong Peng memandang ke sana,
tertampaklah dari belakang si kakek muncul dua
orang berbaju hitam dengan perawakan kekar,
ternyata kedua orang ini adalah penggotong peti
mati dari Ci-hau-san-ceng itu.
Rupanya sejak Lamkiong Peng meninggalkan
mereka untuk mengikuti jejak si Tojin, Liong Hui,
Ciok Tim, Kwe Giok-he dan Koh Ih-hong juga naik
lagi ke puncak Hoa-san untuk mencari sang guru,
karena menunggu sekian lama tidak ada sesuatu
kabar berita, kedua orang ini lantas turun sendiri
ke bawah gunung.
Karena mengambil jalan besar, ketika sampai di
kaki gunung, tertampaklah berbagai jago silat
sama menunggu di situ. Rupanya berita tentang
pertandingan antara Put-si-sin-liong dan Put-lotanhong di puncak Hoa-san telah tersiar sehingga
menarik perhatian kawanan jago silat itu untuk
menyusul kemari dan ingin mengetahui hasil
pertandingan itu. Cuma mereka pun kenal watak
Put-si-sin-liong maka tidak ada seorang pun berani
sembarangan naik ke atas.
Karena itulah berita yang dibawa kedua orang
penggotong peti mati itu sangat menggemparkan
kawanan jago Bu-lim itu,
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Berita itu adalah Tan-hong sudah mati, Put-sisinliong juga terjebak oleh tipu muslihat murid
Tan-hong dan meninggalkan surat wasiat. Kini
anak murid Sin-liong juga sudah tercerai-berai.
Meski berita tidak benar dan juga agak dilebihlebihkan,
namun dengan cepat lantas tersiar dan
menggemparkan dunia persilatan, terutama
beberapa propinsi di sekitar tempat kejadian.
Di daerah barat laut ini ada seorang gembong
persilatan dan juga kaya raya, namanya Wi Ki
berjuluk Hui-goan atau si gelang terbang, karena
pengaruhnya yang besar di wilayah ini, dia juga
terkenal sebagai Sai-pak-sin-liong atau si naga
sakti daerah barat laut. Orang Kangouw yang jail
ada juga yang menyindirnya sebagai "naga
gadungan", tapi Wi Ki tidak ambil pusing, ia sendiri
sangat kagum dan hormat terhadap Put-si-sinliong.
Maka berita kemalangan Liong Po-si itu juga
sangat mengejutkan dia. Segera ia mengumpulkan
para ago silat untuk mengadakan sembahyang bagi
arwah Put-si-sin-liong di kota kuno Se-an ini.
Setiap jago silat yang mendengar berita itu
serentak juga ikut menyusul ke sini. Yang
menambah semarak upacara ini adalah hadirnya
tokoh-tokoh yang biasanya cuma terdengar tapi
jarang kelihatan, yaitu Ban-li-liu-hiang Yim Hongpeng
bersama Bin-san-ji-yu, ketiganya juga ikut
hadir. Begitulah demi melihat kedua penggotong peti
mati dari Ci-hau-san-ceng barulah Lamkiong Peng
tahu duduk perkara, rupanya memang telah terjadi
salah paham, pikirnya, "Pantas berita kematian
Suhu diketahuinya, pantas juga dia tahu namaku,
kiranya atas keterangan kedua orang ini."
Dalam pada itu dengan gusar Wi Ki lagi
membentak terhadap Li Sing dan Ong Pun, "Berita
tentang meninggalnya Put-si-sin-liong berasal dari
kalian, bukan"
Li Sing dan Ong Pun mengiakan sambil
menunduk. "Tapi mengapa Go-kongeu kalian menyatakan
Sin-liong belum lagi meninggal?" teriak Wi Ki.
Li Sing saling pandang sekejap dengan Ong Pun
dan tidak dapat menjawab.
"Apakah kalian menyaksikan sendiri Sin-liong
sudah mati?" desak Wi Ki.
Kepala kedua orang itu tertunduk lebih rendah,
dengan takut dan gelagapan Li Sing menjawab,
"Hamba ... hamba ... tidak ...."
"Budak kurang ajar!" bentak Wi Ki dengan gusar.
"Kalau tidak melihat sendiri, kenapa berani
sembarangan omong sehingga membikin malu
padaku seperti sekarang ini?"
Saking gusarnya, sebelah tangannya menyapu
sehingga macam-macam barang sembahyang
tersampar jatuh.
Li Sing dan Ong Pun tetap menunduk dengan
muka pucat. "Locianpwe jangan marah dulu," seru Lamkiong
Peng, "hal ini juga tidak dapat menyalahkan
mereka ...."
"Bukan mereka yang disalahkan, memangnya
salahku?" kata Wi Ki dengan gusar. "Bila Put-sisinliong datang nanti, bukankah aku yang akan
dituduh sengaja mengutuki dia supaya lekas
mati"!"
Meski kakek ini sudah lanjut usia, tapi wataknya
masih keras dan pemberang, baru sekarang
Lamkiong Peng tahu kiranya orang tua inilah si
gelang terbang Wi Ki, tampaknya memang rada
mirip gurunya, pantas orang Kangouw memberi
julukan sebagai si naga sakti dari barat laut, hanya
saja perangainya tidak sehalus sang guru.
Maka ia berkata pula, "Peristiwa ini agak
panjang untuk diceritakan, sama sekali tidak ada
maksud Wanpwe akan menyesali tindakan
Locianpwe ini, sebaliknya Wanpwe merasa
berterima kasih atas maksud baik Locianpwe."
Wi Ki mengelus jenggotnya, dipandangnya
Lamkiong Peng sejenak, lalu ia berpaling kepada
Ong Pun berdua, serunya sambil memberi tanda,
"Baiklah, boleh kalian pergi!"
Cepat kedua orang itu memberi hormat, lalu
mengundurkan diri.
Selagi Lamkiong Peng hendak bicara pula,
sekonyong-konyong dari belakang sana bergema
suara orang tertawa, "Haha, kiranya saudara ini
adalah murid kesayangan Sin-liong, sungguh
beruntung sekali begitu menginjak daerah
Tionggoan segera dapat bertemu dengan kesatria
muda perkasa seperti ini ...."
Lamkion Peng terkejut dan berpaling, terlihatlah
si baju merah tadi telah muncul pula dengan
memegang sebuah kipas lempit, yang datang
bersamanya bukan lagi Bin-san-ji-yu melainkan
dua orang muda-mudi, ternyata Toaso dan
Samsuheng sendiri, yaitu Kwe Giok-he dan Ciok
Tim. Sambil menggoyangkan kipasnya si baju merah
berkata pula dengan tertawa, "Yang lebih
menggembirakan orang she Yim ternyata secara
tidak sengaja dapat kutemui pula kedua murid
kesayangan Sin-liong yang lain. Nah, inilah, siapa
mereka berdua, ini tentu kalian sudah tahu!"
Munculnya Kwe Giok-he dan Ciok Tim dengan
sendirinya menimbulkan kegemparan pula.
Wi Ki lantas menyapa juga, "Aha, tak tersangka
Yim-tayhiap membawa datang lagi dua orang
murid kesayangan Sin-liong .... Ah, kalian tentulah
Ci-hau-siang-kiam yang akhir-akhir ini sangat
terkenal di dunia persilatan."
Ciok Tim tampak kikuk, sedangkan Giok-he
lantas memberi hormat dan menjawab, "Terima
kasih atas pujian Locianpwe ...."
Dalam pada itu Lamkiong Peng lantas ikut
bicara, "Inilah Toaso kami dan yang itu
Samsuheng, Ciok-suheng."
"O, rupanya inilah nyonya si lelaki baja yang
termasyhur itu," seru Wi Ki dengan tertawa. "Nyata
setiap anak murid Sin-liong memang lain daripada
yang lain."
"Ah, betapa pun kami tidak dapat membandingi
Lamkiong-sute," ujar Giok-he dengan tersenyum..
Lamkiong Peng lagi heran mengapa hanya Giokhe
dan Ciok Tim saja yang muncul di sini, lalu ke
mana perginya Liong Hui dan So-so"
Belum sempat dia mengajukan pertanyaan Wi Ki
berkata pula dengan terbahak, "Baiklah sekarang
ingin kutanya kepada kalian, jika Sin-liong belum
meninggal, ke mana perginya beliau sekarang?"
Lamkiong Peng termenung dan berusaha
mencari alasan untuk menjawab, tiba-tiba Kwe
Giok-he mendahului bicara, "Suhu memang sangat
mungkin masih hidup dengan baik, cuma di mana
jejak beliau sekarang kami pun tidak tahu."
Wi Ki terbelalak heran.
Didengarnya Giok-he berkata pula, "Semalam
kami sibuk mencari jejak Suhu di atas gunung,
kami juga mengkhawatirkan keselamatan Gosute
...." "O, jadi dia tidak berada bersama kalian?" tanya
Wi Ki dengan kening bekernyit.
Giok-he mengiakan dengan menghela napas
perlahan. Wi Ki tampak kurang senang, tegurnya kepada
Lamkiong Peng, "Jika jejak gurumu belum lagi
diketahui, bukannya kau cari tahu
keselamatannya, sebaliknya kau sibuk mengurusi
orang mati di sini, hm, murid macam apakah kau
ini?" Lamkiong Peng melenggong, seketika memang
sukar baginya untuk memberi penjelasan,
terutama hal-hal yang menyangkut nama baik
sang guru, mana dapat diuraikan begitu saja.
Tapi Giok-he lantas berkata, "Usia Gosute masih
muda, pula ...." ia menghela napas seperti merasa
dapat memaklumi apa yang dilakukan sang Sute.
Wi Ki mendengus dan tidak memandang
Lamkiong Peng lagi, katanya pula, "Si lelaki baja
Liong Hui pun sudah lama kudengar namanya,
mengapa tidak kelihatan juga?"
Karena merasa tidak bersalah, maka dada
Lamkiong Peng cukup lapang, ia tidak
menghiraukan sikap Wi Ki dan ucapan Kwe Giokhe
yang bersifat negatif itu, ia pikir, "Memang ingin
kutanya keadaan Liong-toako, kebetulan sekarang
orang tua ini telah mendahului bertanya bagiku."
Melihat kecanggungan di antara anak murid Putsisin-liong itu, diam-diam tokoh kosen dari luar
perbatasan, Ban-li-liu-hiang (meninggalkan nama
harum beribu li) Yim Hong-peng, menaruh
perhatian, ia pikir apakah di antara anak murid
Sin-liong ini terjadi pertentangan atau persaingan,
mengapa ketiganya tidak ada kesatuan ucapan dan
perbuatan"
Dalam pada itu Giok-he telah menjawab dengan
menghela napas, "Toako bersama Sumoay berjalan
di belakang, kukira sebentar ... sebentar dapat
menyusul kemari."
Sudah tentu apa yang dikatakan Giok-he ini
hampir tidak pemah terjadi sebelum ini, dengan
sendirinya Lamkiong Peng merasa heran dan
sangsi. Dengan kening bekernyit Wi Ki hendak bertanya
lagi, pada saat itulah sebuah kereta kuda kecil
bertabir kain putih tampak muncul di tengah
kerumunan orang banyak.
Penumpang kereta tidak kelihatan, hanya
sebuah tangan putih halus terjulur keluar dari
balik tabir memegangi tali kendali.
Air muka Lamkiong Peng agak berubah.
Giok-he memandangnya sekejap, lalu berucap
dengan tersenyum, "Eh, adik keluarga manakah
penumpang kereta ini, apakah Gote kenal dia?"
Belum habis ucapannya, tabir kereta mendadak
tersingkap, tertampaklah seorang perempuan
mahacantik berduduk di dalam kereta, ia menyapu
pandang sekejap semua orang, lalu menatap
Lamkiong Peng dan bertanya, "Hei, sudah selesai
belum percakapan kalian?"
Tentu saja semua silau oleh kecantikan
perempuan penumpang kereta ini, seketika beratus
pasang nyata sama terpusat ke arahnya.
"Ah, tadi kukira Gote pergi ke mana, kiranya ...."
Giok-he tersenyum, lalu menyambung lagi, "Wah,
alangkah cantiknya adik ini. Sungguh engkau
sangat hebat, Gote, baru satu hari saja sudah
berkenalan dengan seorang nona secantik bidadari,
tampaknya kalian sudah sedemikian mesranya."
Tiba-tiba Wi Ki mendengus, "Yim-tayhiap, Cioksiauhiap,
hendaknya nanti kalian sudi mampir ke
kediamanku untuk sekadar berbincang-bincang
lagi, sementara ini kumohon diri lebih dulu."
Lalu ia pun memberi hormat kepada para
hadirin dan berseru lantang, "Atas kesudian para
hadirin berkunjung kemari dari jauh, marilah suka
mampir juga ke dalam kota untuk minum beberapa
cawan sekadar pelepas lelah."
Habis bicara ia lantas melangkah pergi di tengah
berjubelnya orang banyak.
Para hadirin juga lantas ikut bubar dan beramairamai
masuk ke kota Se-an.
Menghadapi sikap dingin orang, hati Lamkiong
Peng rada penasaran, cuma sukar untuk memberi
penjelasan. Giok-he tersenyum senang, setelah Wi Ki pergi
jauh, perlahan ia mendekati kereta, sapanya,
"Siapakah nama adik yang terhormat ini" Ada
keperluan apa kiranya engkau mencari Gote
kami?" Bwe Kim-soat duduk diam saja di tempatnya dan
memandangnya dengan tak acuh, sama sekali
tidak menghiraukan pertanyaannya.
Cepat Lamkiong Peng mendekati dan
memperkenalkan mereka, "Inilah Toaso kami dan
nona Bwe ini ...." dengan sendirinya ia tidak dapat
menjelaskan asal-usul Bwe Kim-soat.
"O, kiranya nona Bwe, sungguh kami ikat
bergembira Gote dapat berkenalan dengan nona
Bwe," kata Giok-he dengan tersenyum.
Tiba-tiba Kim-soat mendengus, "Hm, si kakek
pergi begitu saja, tentu kau sangat senang?"
Giok-he jadi melengak.
Betapa pun Lamkiong Peng tetap menghormati
sang Toaso, ia pun tahu watak Bwe Kim-soat,
maka ia menjadi serbasalah melihat di antara
keduanya tidak ada kecocokan, cepat ia menyela
dengan urusan lain, tanyanya "Toaso, di mana
Toako?" Mendadak Giok-he melengos dan menjawab
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketus, "Tanyakan saja kepada Sumoay."
Lamkiong Peng jadi melenggong, ia heran
mengapa orang menjawab cara begitu.
Pada saat itu juga mendadak dua sosok
bayangan orang melayang tiba dan berhenti di
depan kereta, kiranya kedua jago pedang Kongtongpay, Bin-san-ji-yu.
Dengan sorot mata tajam mereka mengawasi
Bwe Kim-soat, sampai sekian lama barulah
Tiangsun Kong berucap, "Sudah belasan tahun, tak
tersangka sekarang dapat melihat lagi seraut wajah
ini." Tiangsun Tan lantas bertanya, "Apakah nona she
Bwe?" Terkesiap Lamkiong Peng, ia heran mengapa
orang dapat mengenal Bwe Kim-soat. Dan ternyata
Kim-soat lantas mengangguk.
Air muka kedua saudara Tiangsun berubah
masam, dengan jari agak gemetar Tiangsun Kong
menuding dan membentak, "Bwe ... Bwe Kim-soat
.... Turun sini!"
Giok-he terkejut, ia berpaling memandang
Lamkiong Peng dan bertanya, "Masa dia Leng-hiat
Huicu Bwe Kim-soat"
Dengan sendirinya Lamkiong Peng menjadi
gugup, belum lagi dia bersuara, dilihatnya Bwe
Kim-soat telah menjawab dengan santai, "Siapa
Bwe Kim-soat dan Bwe Kim-soat itu siapa?"
Kedua Tiangsun bersaudara saling pandang
sekejap, timbul rasa ragu mereka. Belasan tahun
yang lalu mereka berdua pemah dihina dan
dipermainkan Leng-hiat Huicu Bwe Kim-soat,
dendam itu sampai kini belum lagi lenyap. Tapi
setelah belasan tahun, mustahil wajah Bwe Kimsoat
sama sekali berubah"
Tiba-tiba Yim Hong-peng menyela dengan
tersenyum, "Kong-jiok Huicu sudah termasyhur
sejak belasan tahun yang lalu, sedangkan nona ini
paling banyak baru berusia 20-an, apakah kedua
Tiangsun-heng tidak salah mengenalnya?"
Bekernyit juga kening kedua Tiangsun
bersaudara, kata Tiangsun Kong dengan tergagap,
"Ya, kami pun mendengar Bwe Kim-soat sudah
mati di bawah pedang Put-si-sin-liong, soalnya
orang ini ... orang ini mengaku she Bwe, wajahnya
juga mirip ...."
Tiangsun Tan lantas menegas lagi, "Kau pun she
Bwe, apakah tidak ada hubungan dengan Bwe
Kim-soat?"
"Di dunia ini ada berjuta orang she Bwe, apakah
semua orang she Bwe pasti ada sangkut pautnya
dengan dia?" jawab Kim-soat dengan tak acuh.
Melihat kedua Tiangsun bersaudara dalam
keadaan salah, cepat Yim Hong-peng menimbrung
lagi, "Di dunia ini memang banyak orang yang she
sama dan juga bermuka mirip, pantas juga bila
kedua Tiangsun-heng salah mengenal nona, harap
nona jangan marah."
"Ah, mana kuberani marah kepada kaum
kesatria besar, pendekar pedang temama seperti
kalian ini?" jawab Kim-soat ketus.
Yim Hong-peng jadi melongo kikuk. Dalam pada
itu Bwe Kim-soat telah menurunkan tabir kereta.
Diam-diam Giok-he merasa sirik melihat
kecantikan Bwe Kim-soat dan ketajaman
mulutnya, mendadak ia tanya Lamkiong Peng,
"Gote, apakah sekarang engkau akan pulang ke Cihausan-ceng?"
"Tentu saja, bila urusan di sini sudah beres ...."
tiba-tiba Lamkiong Peng teringat pada janji tiga
bulan lagi masih harus bertemu dengan Yap Manjing
di Hoa-san untuk menunaikan tugas yang
belum selesai bagi Suhu, juga segera teringat
kepada Bwe Kim-soat yang perlu "perlindungan",
seketika ia menjadi ragu.
"Toako belum kelihatan menyusul tiba, akan
lebih baik bila kau ikut dalam perjalanan kita,"
ujar Giok-he. "Tapi ... tapi tiga bulan lagi ...."
Belum lanjut ucapan Lamkiong Peng, tiba-tiba
suara Bwe Kim-soat yang ketus menegurnya, "He,
lekas kau selesaikan urusan pemakaman orang tua
itu, aku masih harus pesiar ke Kanglam ...."
Giok-he mendengus, "Kau mau pergi ke Kanglam
boleh silakan ...."
"Tapi mungkin aku pun perlu pergi ke sana,"
tukas Lamkiong Peng.
"Apa katamu" Masakah tidak kau turut kataku,
Toako tidak di sini, akulah Toasomu," omel Giok-he
dengan kurang senang.
Dia sirik terhadap kecantikan dan kecerdasan
Bwe Kim-soat, sungguh ia khawatir Lamkiong Peng
didampingi oleh seorang perempuan begini, sebab
hal ini tentu akan memengaruhi rencananya,
bahkan akan ketahuan rahasia pribadinya, maka
sedapatnya ia hendak menahan anak muda itu
supaya berada bersamanya.
Lamkiong Peng menjadi serbasusah, "Kehendak
Toaso seharusnya kuturut, cuma ...."
Pada saat itulah seorang lelaki berbaju hitam
berlari tiba dan minta petunjuk, "Kongeu, apakah
kereta jenazah langsung menuju ke makam?"
Lamkiong Peng mengiakan, kesempatan ini
lantas digunakannya sebagai alasan, katanya
kepada Giok-he, "Siaute perlu mengurus pelayatan
lebih dulu, biarlah nanti kita berunding lagi."
Lalu ia memberi hormat dan mohon diri kepada
Yim Hong-peng dan segera berlari pergi bersama si
baju hitam. Yim Hong-peng dan Bin-san-ji-yu juga lantas
menuju ke Se-an. Sedangkan kereta kecil yang
ditumpangi Bwe Kim-soat lantas mengikut ke arah
Lamkiong Peng. "Toaso, marilah kita mencari ... mencari Toaso
dulu," kata Ciok Tim mendadak.
"Hah, barangkali kau rindu kepada Sumoay?"
jengek Giok-he, "Anak baik, turutlah padaku,
Sekarang kita mampir dulu ke tempat Wi-jitya tadi,
kukira Gote nanti juga akan pergi ke sana."
"Tapi ...." Ciok Tim tergagap, tapi akhirnya
mereka pun menuju ke Se-an.
Dalam pada itu cuaca telah mendung, hujan
gerimis mulai turun.
Sayup-sayup terdengar suara musik yang sendu
di kejauhan ....
***** Se-an, kota kuno yang sekelilingnya cuma gurun
tandus belaka memang jarang kejatuhan hujan.
Tapi di bawah hujan kota kuno ini pun tidak
tampak kesuraman, sebaliknya menimbulkan
gairah hidup. Bekas kota raja memang sudah tinggal bekasbekasnya
saja, terutama bangunan megahnya
sudah banyak yang berubah tumpukan puing,
hanya kedua menara yang disebut Tai-gan dari
Siau-gan (menara belibis besar dan kecil) masih
berdiri tegak di bagian barat kota seolah-olah tetap
memamerkan kejayaan masa lampaunya.
Tidak jauh dari Tai-gan terdapat perkampungan
yang menghijau permai, itulah tempat kediaman
Sai-pak-sin-liong Wi-jitya, Wi Ki. Selewatnya
perkampungan ini, tidak sampai satu li akan
sampailah di jalan raya berbatu yang menembus ke
gerbang timur kota.
Di bawah hujan rintik-rintik, tiba-tiba dari luar
kota berlari datang sebuah kereta dan lima
penunggang kuda. Tabir kereta tertutup.
Penunggang kudanya adalah kawanan Tojin (imam
agama To) yang rambut disanggul di atas kepala
dan diberi tusuk kundai hitam, berjubah kelabu
dengan lengan jubah yang longgar.
Keempat penunggang kuda yang mengawal di
samping kereta adalah Tojin setengah umur
bermuka pucat meski mata bersinar tajam, pedang
tergantung di pinggang, kawanan Tojin ini
mungkin jarang bertemu dengan sinar matahari, di
antara mata alisnya menampilkan rasa
keprihatinan. Seorang lagi yang di depan kereta berwajah
kurus kering, rambut ubanan, tidak membawa
senjata, baju longgar, tangan yang memegang tali
kendali justru putih bersih serupa tangan orang
perempuan. Begitu masuk kota, kelima penunggang kuda
dan keretanya langsung lantas menuju ke Bo-liongceng,
perkampungan naga sakti tempat kediaman
Wi Ki. Melihat gelagatnya rombongan orang ini
seperti ada keperluan mendesak.
Sementara itu suasana Bo-liong-ceng yang
dikelilingi pepohonan itu tampak sangat ramai. Di
halaman depan yang biasanya digunakan sebagai
lapangan latihan penuh berderet ratusan meja,
hampir setiap meja sudah siap beberapa macam
santapan lezat sebangsa babi panggang, kambing
guling, angsa bakar, itik dan ayam panggang,
sudah barang tentu tidak ketinggalan berpuluh
guci arak tersedia.
Di atas meja berserakan ratusan pisau belati
yang gemilapan di samping mangkuk piring.
Sedangkan tetamu sama bergerombol di sana sini
asyik mengobrol.
Sai-pak-sin-liong Wi-jitya muncul dari ruangan
tengah, ia berdiri di atas undak-undakan dan
berseru lantang, "Banyak terima kasih atas
kesudian para hadirin mengunjungi tempatku yang
bobrok ini, orang she Wi tidak dapat melayani satu
per satu, terpaksa sekadar menghidangkan apa
yang terdapat di sini, hendaknya hadirin makan
minum dengan bebas dan santai, tidak perlu
sungkan, anggap saja seperti di rumah saudara
sendiri. Ayolah silakan!"
Di tengah sorak gemuruh orang banyak Wi Ki
mendahului menghampiri meja, disambarnya
sebilah belati mengilat, segera ia merobek paha
kambing guling dan diiris sepotong dan ditadah
dengan sebuah piring.
Serentak tamu yang lain antre menirukan cara
bersantap secara bebas dan santai ini.
Di antara tetamu tampak Ban-li-liu-hiang Yim
Hong-peng tetap dengan kipas lempitnya, di
depannya berdiri Kwe Giok-he dan Ciok Tim.
Dengan membawa guci arak Wi Ki mendekati
Yim Hong-peng, sapanya dengan tertawa, "Yimtayhiap,
agaknya tamu dari jauh yang langka
sebagai dirimu ini harus minum sampai mabuk
denganku."
Yim Hong-peng mengucapkan terima kasih,
jawabnya sambil mengernyitkan dahi, "Nanti dulu!
Tamu dari jauh yang langka kukira bukan cuma
diriku saja, agaknya kita harus menunggu sebentar
lagi." "Memangnya ...." selagi Wi Ki menyatakan
keheranannya, mendadak Yim Hong Peng
menyurut mundur beberapa tindak.
Pada saat itulah dari luar pagar halaman tibatiba
melayang turun sesosok bayangan kelabu,
muncul seorang Tojin berambut putih dan
berwajah kurus, berjubah kelabu longgar.
Serentak Wi Ki berseru kaget, "He, Sisuheng
(kakak seperguruan keempat), mengapa engkau
datang juga"!"
Dengan sorot matanya yang tajam Tojin ubanan
itu menatap Yim Hong-peng, ucapnya "Lihai benar
mata-telinga sahabat ini!"
"Haha, bagus sekali atas kedatangan Sisuheng
ini, suasana pasti akan tambah meriah," kata Wi Ki
dengan tertawa. "Agaknya Sisuheng belum kenal
pendekar dari luar perbatasan kita Ban-li-liu-hiang
Yim Hong-peng."
"O, kiranya Yim-tayhiap," ucap si Tojin dengan
dingin, Hati Giok-he tergetar juga, ia tahu Tojin ini
adalah pejabat ketua Cong-lam-pay.
Dengan tertawa Yim Hong-peng lantas menjura,
sapanya, "Ah sungguh beruntung sekali hari ini
dapat bertemu dengan Cong-lam-kiam-khek Lulocianpwe."
Tojin ini memang betul ketua Cong-lam-pay,
namanya Lu Thian-an.
Sejak Cong-lam-sam-gan (ketiga belibis dari
Cong-lam-san) gugur dalam pertandingan di Wisan,
murid keempat angkatan ketujuh Cong-lampay
ini lantas diangkat sebagai pejabat ketua. Wi Ki
sendiri adalah murid ketujuh, sebab itulah orang
Kangouw suka menyebutnya sebagai Wi-jitya atau
tuan ketujuh. Sudah sekian tahun Thian-an Totiang tidak
meninggalkan Cong-lam-san, sekarang dapat
berjumpa, tentu saja Wi Ki sangat senang, serunya.
"Sisuheng, sungguh sangat kebetulan
kedatanganmu ini, di sini saat ini hadir sekian
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
banyak kesatria, inilah dua pendekar muda, nona
Kwe dan Ciok-siauhiap, keduanya adalah murid
kesayangan Put-si-sin-liong."
Giok-he dan Ciok Tim memberi hormat,
sebaliknya Giok-jiu-sun-yang Thian-an Totiang
hanya memberi salam dengan mengangkat sebelah
tangannya. Melihat tangan orang yang putih seperti pualam
itu, diam-diam Giok-he membatin, "Pantas dia
berjuluk Giok-jiu-sun-yang (si imam sakti
bertangan kemala)."
Sedangkan Ciok Tim juga berpikir Tojin ini
bersikap terlalu angkuh.
Selagi Giok-he hendak menyapa pula, mendadak
Thian-an Tojin membalik ke sana dan menarik
tangan Wi Ki yang hendak melangkah keluar, "He,
kau mau ke mana?"
"Hendak kupermaklumkan kepada hadirin yang
lain bahwa Ciangbun Suheng hadir juga di sini."
"Nanti dulu," ujar Thian-an.
"Memangnya ada apa?" tanya Wi Ki heran.
"Apakah kau tahu sebab apa mendadak
kutinggalkan Cong-lam-san dan buru-buru menuju
ke sini, tanpa memberi tahu pula lantas masuk ke
sini dengan melintas tembok belakang?"
Tergerak hati Wi Ki oleh ucapan Thian-an ini,
"Ya, karena bergembira atas kedatangan Suheng
sehingga tidak kupikirkan hal-hal ini."
"Ai, usiamu makin tambah tua, tapi sifatmu
yang ceroboh tampaknya belum lagi berubah," ujar
Thian-san dengan menghela napas. Mendadak
nada bicaranya berubah prihatin, "Apakah kau
tahu bahwa saat ini diketahui Leng-hiat Huicu
masih hidup di dunia ini dan kini mungkin sudah
berada di kota Se-an."
Terkesiap hati Wi Ki, air mukanya berubah, guci
arak yang dipegangnya terlepas dan pecah
berantakan dengan arak munerat mengotori
jubahnya. Hati Ciok Tim dan Giok-he juga terperanjat.
Meski Yim Hong-peng kelihatan tenang saja, tidak
urung sorot matanya menampilkan rasa kejut juga.
"Dari mana Suheng memperoleh berita ini"
Apakah kabar ini dapat dipercaya?" tanya Wi Ki.
Thian-an Tojin berpaling dan tanpa bicara ia
menuding ke sana. Waktu semua orang ikut
memandang ke arah sana, tertampaklah empat
Tojin berjubah kelabu memapah seorang lelaki
yang berwajah pucat serupa orang yang habis sakit
parah, dibantu oleh dua centeng sedang masuk
dengan pelarian.
"Siapa orang ini?" tanya Wi Ki dengan kening
bekernyit. Giok-he dan Ciok Tim sama terkejut melihat
orang ini, diam-diam keduanya saling lirik sekejap.
Kiranya orang yang kelihatan sakit parah ini
adalah si Tojin misterius yang merampas peti mati
kayu cendana di puncak Hoa-san itu.
"Siapa orang ini, masa tidak kau kenal lagi?"
kata Thian-an yang aslinya she Lu.
Wi Ki coba mengamati lebih jelas, sesudah dekat,
mendadak ia menjerit, "Hei, Yap ...Yap Liu-ko! ...."
Memang benar Tojin jubah hijau alias Kiamkhekkongeu ini asalnya bemama Yap Liu-ko,
saudara sepupu Yap Jiu-pek. Dengan langkah
terhuyung, ia berlari dan menubruk ke dalam
rangkulan Wi Ki sambil berseru, "O, Jitko, sungguh
seperti ... seperti dalam mimpi saja Siaute dapat
bertemu pula denganmu."
Baru berucap sampai di sini, langsung ia jatuh
pingsan. Seketika para hadirin sama melenggong.
Dengan mata melotot Wi Ki berseru, "Se ...
sesungguhnya apa yang terjadi" Liu-ko, kenapa
kau berubah begini, hampir tidak kukenal lagi."
Lu Thian-an menghela napas, "Memang sudah
ada sepuluh tahun kita tidak bertemu dengan dia.
Sampai lohor kemarin, mendadak ia lari ke atas
gunung dengan berlumuran darah, dari ceritanya
baru kutahu Leng-hiat Huicu belum mati, bahkan
dia ...." Ia melirik Ciok Tim dan Giok-he sekejap, lalu
menyambung, "Dia tertusuk oleh pedang murid
Put-si-sin-liong, untung diberi pertolongan oleh
orang kosen, kalau tidak saat ini mungkin
mayatnya sudah membusuk di puncak Hoa-san
dan rahasia dunia persilatan ini pun tak diketahui
lagi oleh orang,"
Wi Ki tampak bingung, tanyanya sambil
memandang tajam ke arah Giok-he, "Mengapa dia
dilukai murid Put-si-sin-liong?"
Giok-he berlagak berpikir dengan heran, sejenak
kemudian baru ia bergumam, "Apakah mungkin
perbuatan Gote" Sungguh tak tersangka dia dapat
berbuat seceroboh ini."
"Gote siapa, sekarang dia berada di mana?"
tanya Lu Thian-an.
"Ya, pasti dia, Lamkiong Peng," ucap Wi Ki
dengan gemas. "Ai, tak tersangka murid
kesayangan Put-si-sin-liong bisa bertindak
demikian."
"Kami pun tidak tahu seluk-beluknya, cuma
kami tahu Gote berada bersama seorang
perempuan she Bwe, juga Bin-san-siang-hiap telah
...." Belum lanjut ucapan Giok-he, segera Wi Ki
memotong, "Jadi perempuan di dalam kereta itulah
maksudmu" Ah, kenapa tidak sempat kulihat jelas
dia ...." "Menurut pendapatku, mungkin dia memang
menguasai ilmu awet muda," ujar Giok-he.
"Wah, tentu juga Kungfunya telah maju lebih
pesat," tergetar juga hati Wi Ki. Mendadak ia
berseru, "Eh, di mana kedua Tiangsun bersaudara"
Yim-tayhiap, ke mana Tiangsun-siang-hiap?"
Yim Hong-peng sedang termenung, ia angkat
kepala dan menjawab dengan bimbang, "Tadi
masih di sini, entah ke mana sekarang?"
Tampaknya dia juga menyembunyikan sesuatu
perasaan, dengan sendirinya orang lain sukar
mengetahuinya. Wi Ki menghela napas menyesal, ucapan,
"Sungguh sayang, baru saja Sin-liong menghilang,
dunia Kangouw lantas kacau lagi."
"Semoga Sin-liong belum mati ...." seru Lu
Thian-an mendadak dengan nada sinis.
Wi Ki tidak merasakan nada sinis ucapan sang
Suheng, ia membangunkan Yap Liu-ko dan diajak
berdiri di depan hadirin yang sudah berkerumun
itu, diumumkannya tentang muncul kembalinya
iblis perempuan Leng-hiat Huicu serta murid
murtad Put-si-sin-liong yang membantu kejahatan
iblis perempuan berdarah dingin itu.
Serentak orang banyak bersorak mendukung
usaha penumpasan yang diprakarsai Wi Ki itu.
Kening Yim Hong-peng bekernyit melihat
gerakan yang dikobarkan Wi Ki itu. Diam-diam ia
pun merancang tindakan apa yang harus
dilakukannya, ia pikir kesempatan baik ini akan
dipergunakannya untuk mencari pengaruh.
***** Saat itu Bin-san-ji-yu diam-diam sedang
menguntit jejak Lamkiong Peng, dilihatnya sesudah
anak muda itu menyelesaikan pemakaman, lalu
bersama kereta kuda kecil itu masuk ke kota Se-an
dan langsung masuk ke sebuah toko hasil bumi
yang besar. Tiangsun Kong berdua berdiri jauh di bawah
emper rumah seberang, diam-diam mereka saling
bertanya, "Jika perempuan ini bukan Bwe Kimsoat,
untuk apa dia menyuruh, kita berdua
menguntitnya?"
Begitulah dengan bimbang mereka menunggu
sekian lama di situ, tiba-tiba dari seberang datang
seorang membawakan secarik surat dan
diangsurkan kepada Tiangsun Tan dengan hormat,
lalu tinggal pergi lagi.
Bin-san-ji-yu sama melengak, mereka membuka
surat itu dan dibaca, ternyata surat dari Lamkiong
Peng yang minta Bin-san-ji-yu suka mampir untuk
mengobrol. Rupanya penguntitan mereka telah diketahui
dengan baik oleh Lamkiong Peng. Mereka saling
pandang sekejap, waktu memandang lagi ke
seberang, Lamkiong Peng terlihat berdiri ke depan
pintu sana dan sedang memberi salam dari
kejauhan. Meski kedua orang ini sudah cukup
berpengalaman, bingung juga menghadapi adegan
demikian, dengan kikuk mereka berseru dari jauh,
"Terima kasih atas maksud baikmu, sampai
berjumpa lain kali saja!"
Habis itu cepat mereka melangkah pergi dan
tidak berani menoleh lagi.
Lamkiong Peng menyaksikan kepergian mereka,
senyum yang menghiasi wajahnya mendadak
lenyap, ia menghela napas dan masuk ke dalam.
Nyata anak muda ini sedang dirundung
kemurungan, meski Kungfunya tinggi dan
keluarganya kaya, tapi ada juga urusan yang
menekan perasaannya tanpa bisa diselesaikannya.
Saat itu Bwe Kim-soat lagi duduk memandangi
lampu, di atas meja tersedia macam-macam buah
segar sebangsa anggur, apel, jeruk dan lain-lain,
tapi tiada satu pun yang menarik perhatiannya, dia
tetap termenung memandang lampu, entah apa
yang sedang dipikirnya.
Langkah kaki Lamkiang Peng yang berat
ternyata tidak mengganggu lamunannya, bahkan
dia tidak memandangnya sekejap pun, wajahnya
yang agak putih mulus kelihatan serupa batu
kemala. Sampai lama sekali, akhirnya Bwe Kim-soat
menghela napas perlahan dan bertanya, "Mereka
sudah pergi?"
"Sudah," jawab Lamkiong Peng, "Entah untuk
apa mereka menguntit kemari" Memangnya
mereka benar telah mengenali dirimu?"
"Apakah kau khawatir?" tanya Kim-soat.
"Khawatir apa?"
"Mungkin kau pikir bila diriku dikenal orang,
tentu akan tidak menguntungkanmu dan bisa jadi
engkau takkan ... takkan mengurus diriku lagi,
sebab aku kan seorang iblis yang dikutuk orang
persilatan, jika kau bantu diriku, tentu engkau
juga akan dituduh sebagai sampah masyarakat
persilatan. Apalagi engkau adalah anak murid guru
temama, murid Put-si-sin-liong mana boleh
membantu iblis perempuan yang jahat ini."
Lamkiong Peng diam saja tanpa memberi
komentar. "Padahal moral dunia persilatan hanya hak
khusus bagi beberapa orang tertentu saja,
bilamana ada sepuluh orang tokoh Bu-lim
menganggap engkau adalah orang jahat, maka
engkau sudah dipastikan akan menjadi orang
mahajahat, sebab setiap perbuatanmu tetap akan
dianggap salah, bahkan anak murid Sin-liong yang
terhormat pun tidak berani bicara keadilan, sebab
orang lain pun belum tentu mau percaya biarpun
kau katakan apa yang kau ketahui sebenarnya."
Gemerdep sinar mata Lamkiong Peng, tapi tetap
diam saja. Mendadak Bwe Kim-soat tertawa, katanya pula,
"Tapi engkau jangan khawatir, di dunia persilatan
sekarang, kecuali kita berdua tiada orang ketiga
yang berani memastikan aku ...."
Sampai di sini, mendadak ucapannya terputus,
sebab di luar telah bergema gelak tertawa seorang
dan berkata, "Sekali ini engkau keliru, Kong-jiok
Huicu!" Air muka Lamkiong Peng berubah, bentaknya,
"Siapa?"
Segera ia memburu ke depan jendela.
Ketika daun jendela terbuka, dengar enteng
melayang masuk seorang, lebih dulu ia menjura,
lalu berkata dengan tersenyum "Karena keadaan
luar biasa, demi menghindarkan mata-telinga
orang, terpaksa masuk dengan menerobos jendela,
mohon maaf."
Suaranya lantang, sikapnya gagah, orang ini
ternyata pendekar di luar perbatasan Ban-li-liuhiang
Yim Hong-peng. Tercengang Lamkiong Peng, muka Bwe Kim-soat
yang putih pucat menampilkan semacam perasaan
aneh. Dengan gemulai ia berbangkit, katanya, "Kau
bilang apa?"
Tapi Yim Hong-peng lantas mengalihkan
pembicaraannya terhadap Lamkiong Peng,
"Keluarga Lamkiong memang kaya raya merajai
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kolong langit ini, tak tersangka jauh di kota Se-an
ini Lamkiong-heng juga mempunyai tempat tinggal
semewah ini."
Lamkiong Peng cuma tersenyum dan balas
menghormat. "Kau dengar tidak ucapanku?" kembali Bwe Kimsoat
menegur. Yim Hong-peng tertawa, katanya, "Nama Kongjiok
Huicu mengguncangkan dunia Kangouw, mana
berani kulewatkan setiap kata nona ...."
"Hm, mungkin agak terlalu banyak apa yang kau
dengar ...." mendadak Bwe Kim-soat menarik muka
sambil meluncur maju, sebelah tangannya segera
terjulur ke depan.
Namun Yim Hong-peng tetap diam saja, dengan
tersenyum ditatapnya telapak tangan Bwe Kimsoat,
padahal sekali tersentuh oleh tangan putih
mulus itu seketika jiwa bisa melayang.
Selagi Lamkiong Peng memburu maju dilihatnya
tangan Bwe Kim-soat sudah diturunkan.
Mendadak Yim Hong-peng bergelak tertawa,
katanya, "Haha, sungguh hebat, sungguh kagum,
Kong jiok Huicu memang benar burung hong di
tengah manusia .... Tapi bilamana pukulan nona
Bwe tadi dilanjutkan, predikat ini pun tidak tepat
kau terima lagi."
"Sebelum kau bicara lebih jelas, dengan
sendirinya tak dapat kubinasakan kau ...."
"O, jadi kala, selesai kubicara, segera nona akan
membunuhku?"
"Orang yang tahu terlalu banyak, setiap saat
pasti ada kemungkinan tertimpa maut."
"Ah, jadi aku mengetahui terlalu banyak"!" Yim
Hong-peng menegas.
"Betul," kata Bwe Kim-soat, pandangannya tidak
pemah meninggalkan wajah Yim Hong-peng. Ia
tidak berani lagi meremehkan orang. Bilamana
seorang tidak menghiraukan sebuah tangan yang
setiap saat mungkin dapat merenggut nyawanya,
maka orang ini jelas lain daripada yang lain.
Tiba-tiba Yim Hong-peng berhenti tertawa dan
berkata dengan serius, "Apabila yang kuketahui
terlalu sedikit, maka orang yang tahu terlalu
banyak di kota Se-an saat ini sedikitnya ada seribu
orang." Kim-soat melengak, "Apa arti ucapanmu ini?"
Perlahan Yim Hong-peng menggeser ke depan
jendela, lalu berkata, "Nona Bwe memang awet
muda dan pandai merawat diri, di dunia ini
mestinya tiada lagi yang tahu nona Bwe yang
kelihatan berusia 20-an ini adalah mendiang Kongjiok
Huicu dahulu. Namun ... siapa duga ada
arwah gentayangan yang lolos dari bawah pedang
Lamkiong-heng justru muncul di tempat Wi Ki ...."
"Arwah gentayangan yang lolos dari pedangku"
...." gumam Lamkiong Peng dengan bingung.
Setelah berpikir sejenak, tiba-tiba Bwe Kim-soat
berkata, "Jangan-jangan si Yap ... Yap Liu-ko itu
belum mati?"
Yim Hong-peng mengangguk, "Ya, dia terluka
parah, tapi belum mati."
"Ah, kiranya dia tidak mati," tukas Lamkiong
Peng dengan melenggong, meski nadanya terkejut,
tapi juga membawa rasa bersyukur.
Dengan keheranan Yim Hong-peng
memandangnya sekejap dan merasa tidak mengerti
akan jalan pikiran anak muda itu.
"Meski Yap Liu-ko cuma terluka parah dan
belum mati, sekarang Lu Thian-an telah
meninggalkan Cong-lam-san dan berkumpul di
tempat Jitsutenya, yaitu Wi Ki. Segenap kekuatan
yang berada di Se-an sekarang sedang dikerahkan
untuk mencari kalian berdua," demikian tutur Yim
Hong-peng. "Aku merasa tidak mampu memberi
bantuan apa-apa, tapi juga tidak tega duduk
berpeluk tangan tanpa ikut campur, maka sengaja
kususul kemari .... Lamkiong-kongeu, apa pun
kalian cuma berdua, dua tangan sukar melawan
empat kepalan. Apalagi Suheng dan Susomu juga
berada di sana, tampaknya mereka pun tidak
dapat membenarkan tindakanmu, maka menurut
pendapatku ...."
Ia merandek, dilihatnya Bwe Kim-soat sedang
menatapnya dengan tajam.
"Maksudmu agar sementara ini kami menyingkir
dulu?" tanya Lamkiong Peng.
Belum lagi Yim Hong-peng menjawab, mendadak
Bwe Kim-soat menyela, "Tidak, salah!"
"Sebenarnya memang begitulah maksudku,
kenapa nona bilang salah?" tanya Yim Hong-peng.
"Jika aku menjadi dirimu, tentu akan kubujuk
dia agar tidak mencari gara-gara," kata Kim-soat.
"Sebab mestinya dia tahu, barang siapa memusuhi
Bwe Kim-soat, akibatnya dapat dibayangkan
sendiri." Mendadak ia berpaling ke arah Lamkiong Peng
dan berkata pula, "Dan bila kujadi dirimu, segera
aku akan pergi jauh, atau segera kudatangi Wi Ki
dan memberitahukan padanya bahwa antara
dirimu dan Bwe Kim-soat sama sekali tidak ada
sangkut paut apa pun ...."
Sampai di sini mendadak ia tertawa latah sambil
berteriak, "Wahai Bwe Kim-soat ... engkau sungguh
orang yang malang dan juga bodoh. Sudah jelas
kau tahu orang persilatan takkan melepaskan
dirimu, sebab engkau ini bukan golongan
pendekar, bukan orang berbudi luhur, sebab kau
jahat .... Tapi semua itu pun cukup dibuat bangga
olehmu, hanya untuk menghadapi seorang
perempuan seperti dirimu, kawanan manusia yang
menamakan dirinya kaum pendekar itu telah
mengerahkan segenap tenaga sekota."
Lamkiong Peng diam saja tanpa memberi
komentar. Yim Hong-peng menjadi heran, pikirnya, "Kedua
muda-mudi ini tidak serupa kekasih, juga tidak
mirip sahabat, entah ada hubungan apa antara
mereka berdua?"
Ia memandang Lamkiong Peng sekejap, lalu
bertanya, "Urusan cukup gawat, hendaknya
Lamkiong-heng menentukan langkah."
"Terima kasih atas maksud baik Yim-tayhiap,
cuma ...."
"Jumlah lawan terlalu banyak, menghindar
untuk sementara adalah cara paling baik," kata
Yim Hong-peng pula.
"Jumlah lawan terlalu banyak .... Tapi Cong-lampay
terkenal sebagai suatu aliran terpuji, tentunya
takkan menuduh orang secara tidak semena dan
tidak memberi kesempatan bagi orang lain untuk
memberi penjelasan."
Diam-diam Yim Hong-peng merasa gegetun, ia
pikir nama busuk Leng-hiat Huicu diketahui siapa
pun, masa perlu penjelasan apa segala.
Belum lagi dia bicara, tiba-tiba Bwe Kim-soat
menjengek, "Hm, tampaknya kau ini pemuda
pintar, kenyataannya engkau sedemikian bodoh.
Bagi orang-orang yang menamakan dirinya
pendekar budiman dan penegak keadilan itu,
sudah lama aku dibenci hingga merasuk tulang,
masa aku akan diberi kesempatan untuk memberi
penjelasan segala?"
Yim Hong-peng pikir perempuan berdarah dingin
ini ternyata cukup tahu diri juga, dilihatnya
Lamkiong Peng tetap tenang saja meski diolok-olok,
diam-diam ia pun heran mengapa pemuda yang
kelihatan halus di luar dan keras di dalam ini bisa
bersabar terhadapnya.
Pada saat itulah tiba-tiba ada orang berdehem di
luar, Gui Seng-in tampak muncul. Agaknya ia
merasa heran ketika diketahui di dalam rumah
mendadak bertambah satu orang. Tapi sebagai
orang yang sudah cukup makan asam-garam, rasa
heran itu sekilas saja lantas lenyap dari wajahnya.
Dengan tersenyum hormat ia berkata, "Mestinya
hamba tidak berani mengganggu Kongeu, soalnya
... para saudagar di Se-an mendengar kedatangan
Kongeu ini, mereka sama ingin bercengkerama
dengan Kongeu serta akan mengadakan perjamuan
sekadarnya di Thian-tiang-lau untuk menyambut
kedatangan Kongeu dan nona ini, entah bagaimana
pendapat Kongeu, apakah sudi hadir tidak?"
Lamkiong Peng berpikir sejenak, dipandangnya
Bwe Kim-soat sekejap.
Alis Kim-soat tampak bergerak, tapi tidak bicara.
Agaknya tanpa bicara pun sudah jelas maksudnya.
Tak terduga Lamkiong Peng lantas berkata,
"Apakah sekarang?"
"Jika Kongeu ada waktu ...."
"Baik, berangkat!" kata Lamkiong Peng.
Tentu saja Gui Seng-in kegirangan, cepat ia
mengucapkan terima kasih dan mendahului
melangkah keluar sebagai penunjuk jalan.
Yim Hong-peng melenggong atas tindakan anak
muda itu, saat ini seluruh kota sedang gempar,
para kesatria yang berkumpul di Se-an sibuk
mencari mereka berdua, sungguh sukar dimengerti
Lamkiong Peng malah menerima undangan
perjamuan itu dan sengaja memperlihatkan diri di
depan umum. Agaknya Lamkiong Peng dapat meraba jalan
pikiran orang, dengan tersenyum ia berkata,
"Apakah Yim-tayhiap juga akan ikut hadir untuk
minum secawan?"
"Terima kasih," jawab Yim Hong-peng sambil
memberi hormat. "Sungguh aku tidak mengerti ...."
"Soalnya cukup sederhana," potong Lamkiong
Peng, "Urusan sudah telanjur begini, daripada
menghindar akan lebih baik disongsong sekalian.
Anak murid Sin-liong selamanya tidak kenal istilah
lari." Yim Hong-peng mengangguk, katanya, "Murid
Sin-liong memang gagah perkasa dan pantas
dipuji." "Sekali lagi terima kasih atas maksud baik Yimtayhiap,
bila berjumpa pula kelak kita harus bicara
lagi lebih asyik," ujar Lamkiong Peng.
"Sejak kumasuk daerah Tionggoan, hanya
Lamkiong-heng saja yang kupandang sebagai
pendekar muda yang akan mengembangkan
kejayaan dunia persilatan umumnya, sayang kita
belum sempat berkumpul lebih lama, sampai
berjumpa lagi."
Habis berkata Yim Hong-peng melayang pergi
melalui jendela.
"Lugas juga tampaknya orang ini!" gumam
Lamkiong Peng memandangi bayangan orang yang
menghilang di luar.
"Hm, apa betul?" jengek Bwe Kim-soat. Lalu ia
tanya pula, "Eh, apakah benar kau terima
undangan perjamuannya ...."
"Bila engkau tidak ingin ikut ...."
"Jika kau mau pergi, masa aku takut?" sela Bwe
Kim-soat, segera ia berbangkit dan ikut melangkah
keluar. ***** Hujan gerimis baru berhenti.
Pasar malam kota Se-an cukup ramai. Akan
tetapi malam ini lebih banyak orang berkelompokkelompok,
kebanyakan orang itu pun bersenjata,
semuanya orang persilatan dengan wajah prihatin
dan sikap tegang.
Ketika mendadak tampak muncul dua mudamudi,
yang pemuda gagah dan cakap, yang
perempuan cantik luar biasa, seketika berjangkit
suara desas-desis di sana-sini.
"Ssst, itu dia Lamkiong Peng!"
"Ssst, itu dia Leng-hiat Huicu!"
Seketika terjadi kegemparan, tapi segera pula
suasana berubah menjadi sunyi. Semuanya tidak
bersuara, sama terpukau oleh kegagahan dan
kecantikan kedua muda-mudi ini.
Sejenak kemudian, ada yang meraba senjata dan
bermaksud turun tangan, tapi ketika terlihat
senyuman Bwe Kim-soat yang manis dan lirikan
menggiurkan, tanpa terasa tangan yang meraba
senjata menjadi lemas.
Dan begitulah berpuluh pasang mata
menyaksikan kedua muda-mudi itu berlalu di
depan mereka, sesudah lewat agak jauh baru
gerombolan orang itu mengikuti mereka dari jauh.
Thian-tiang-lau tergolong restoran terbesar di
kota ini, dengan sendirinya segala sesuatunya
sudah disiapkan secara semarak, terutama wajah
pemilik restoran itu juga bercahaya semarak, sebab
hari ini dia mendapat kehormatan dapat menerima
kunjungan "tuan muda" keluarga Lamkiong yang
mahakaya raya itu.
Lamkiong Peng dan Bwe Kim-soat masak ke
restoran Thian-tiang-lau!
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan sendirinya berita ini dengan cepat tersiar
dan dalam sekejap saja laporan sudah diterima
Thian-an Tojin dan Wi Ki.
"Kabarnya Lamkiong Peng ini ahli waris keluarga
Lamkiong yang kaya raya dari daerah Kanglam
itu?" di tengah jalan Thian-an mencari keterangan
kepada Wi Ki. "Ya, dia masih muda, selain ahli waris keluarga
mahakaya itu, dia juga terkenal sebagai murid
kesayangan Put-si-sin-liong, tak tersangka dia
terbujuk oleh Leng-hiat Huicu sehingga tersesat,"
ujar Wi Ki. "Hm, anak muda yang tidak menuju ke jalan
yang benar, biarpun saudara seperguruan sendiri
juga malu untuk membelanya," jengek Lu Thianan.
"Tapi apa pun juga tindakan kita ini menjadikan
Leng-hiat Huicu sebagai sasaran, mengenai
Lamkiong Peng, sedikit banyak harus kita ingat
akan kehormatan Put-si-sin-liong."
"Itu bergantung bagaimana hubungannya
dengan Bwe Kim-soat," kata Thian-an.
Hanya sebentar saja rombongan raksasa itu
sudah berada di luar Thian-tiang-lau, restoran itu
segera terkepung dengan rapat. Dengan sendirinya
kejadian ini mengguncangkan segenap penduduk
kota, disangkanya terjadi kerusuhan apa. Tapi
setelah mengetahui persoalan bunuh-membunuh
orang Kangouw, kebanyakan penduduk cepat
menutup pintu dan tidak berani keluar.
Menghadapi persoalan orang Kangouw seperti
ini, biasanya petugas keamanan pemerintah
setempat juga tidak dapat berbuat banyak, yang
mereka jaga hanya urusan tidak sampai menjalar
menjadi gangguan umum.
Sungguh tidak ada yang menyangka bahwa
kconaran yang timbul ini tak lain tak bukan hanya
gara-gara munculnya seorang perempuan cantik,
yaitu Leng-hiat Huicu.
Akan tetapi di dalam restoran, di bawah cahaya
lampu yang terang benderang, Bwe Kin-soat
tampak duduk tenang dan anggun.
Sudah barang tentu geger di luar restoran juga
membikin panik para saudagar besar yang
berkumpul di atas restoran itu. Mereka sama
bertanya-tanya ada kejadian apa dan apa yang
akan terjadi" Namun di hadapan Lamkiong-kongeu
yang terhormat, betapa pun mereka tidak berani
sembarangan bergerak, sampai sekarang tiada
seorang pun berani melongok ke luar jendela.
Sekonyong-konyong di bawah terdengar suara
bentakan, suara menyuruh memberi jalan.
Lamkiong Peng tahu apa artinya itu, perlahan ia
berbangkit, ia menuju ke ujung tangga, serupa
seorang tuan rumah yang siap menyambut
kedatangan tetamunya.
Akhirnya berdetaklah suara tangga, terlihat Lu
Thian-an dan Wi Ki berturut-turut, naik ke atas
loteng dengan wajah kelam.
Dengan tersenyum Lamkiong Peng menghormat,
sapanya, "Terima kasih atas kunjungan kedua
Cianpwe, maaf jika tidak kusambut jauh di
bawah." Lu Thian-an hanya mengangguk perlahan saja,
langsung ia mendekati Bwe Kim-soat, ia duduk di
depannya, tanpa bicara ia angkat secawan arak
dan dikecupnya seceguk.
Sejak awal ia tetap tidak memandang Bwe Kimsoat,
hanya menatap tangan sendiri yang putih
mulus, lalu berucap, "Malam sudah larut,
bilamana hadirin merasa sudah cukup makan
minum, sudah saatnya untuk pulang saja
sekarang. Segera terjadi kesibukan, para saudagar itu
dapat melihat gelagat tidak enak, beramai-ramai
mereka berebut meninggalkan restoran ini, mereka
tidak ingat lagi akan sopan santun terhadap
Lamkiong-kongeu segala.
Ruang restoran yang semula ramai dan agak
berjubel sekarang berubah menjadi lengang.
Mendadak Wi Ki melangkah ke samping Lu
Thian-an, ia pun berduduk di situ, diraihnya poci
arak terbuat dari timbel, langsung ia menuangkan
arak dari corong poci ke mulut dan minum
beberapa ceguk.
"Sepuluh tahun tidak bertemu, tampaknya
kekuatanmu minum arak telah tambah maju,"
ucap Bwe Kim-soat dengan tersenyum.
Mendadak Wi Ki membanting poci itu ke atas
meja. Dengan muka kelam Lu Thian-an berkata,
"Nona, sudah hampir 30 tahun engkau malangmelintang
di dunia Kangouw dan entah berapa
banyak orang telah menjadi korbanmu, kukira saat
ini pun sudah lebih dari cukup hidupmu."
"Totiang sendiri sudah ubanan, tentu lebih-lebih
cukup hidup, bila hidup lebih lama lagi, bisa jadi
orang akan menyebutmu tua bangka," jawab Kimsoat
dengan tajam. "Hm, tampaknya kedatangan
kalian sengaja hendak mencari perkara padaku."
"Ah, masa perlu dijelaskan lagi, kami hanya
berharap nona mau membereskan diri sendiri
saja," jengek Thian-an.
"Membereskan diri sendiri" Kau suruh aku
membunuh diri" Haha, memangnya kenapa?"
"Kukira tidak perlu banyak omong, supaya aku
tidak perlu melanggar pantangan membunuh."
"Wah, jika begitu, lekas kau turun tangan saja
sebelum kubicara lebih banyak dan mungkin akan
membongkar rahasiamu!" kata Kim-soat dengan
tersenyum. Air muka Thian-an Tojin yang kelam itu seketika
berubah. "Kan sudah kukatakan tidak perlu banyak
bicara dengan dia," ujar Wi Ki, "creng", segera ia
mengeluarkan senjata andalannya, Liong-hongsianggoan, sepasang gelang baja.
"Nanti dulu!" mendadak Lamkiong Peng
melompat maju. "Apakah kau pun ingin mengiringi
kematiannya?" jengek Wi Ki sambil
mendomplangkan meja. Keruan mangkuk piring
berhamburan. Lamkiong Peng mengebaskan lengan bajunya
sehingga meja itu tertahan dan meluncur ke
sebelahnya dan menumbuk dinding.
"Tanpa alasan kalian datang kemari dan hendak
membunuh orang, berdasarkan apa kalian
bertindak demikian?" tanya Lamkiong Peng dengan
tidak senang. "Segala urusan harus diselesaikan
menurut keadilan, sekarang kalian menghendaki
nyawa kami berdua, sedikitnya kalian harus
memberi keterangan kepada setiap orang
persilatan yang hadir di sini, apa dasarnya?"
Kawanan orang persilatan sebagian sudah ikut
menerjang ke atas restoran dari siap bertindak,
demi mendengar uraian Lamkiong Peng yang tegas
dan jujur ini, diam-diam banyak di antaranya
mengangguk dan bersimpati kepadanya.
Lu Thian-an memandang sekejap kepada orang
banyak, air mukanya tampak rada berubah.
"Hah, tentunya sekarang engkau merasa
menyesal telah banyak bicara denganku, mestinya
begitu datang segera kalian membunuhku, begitu
bukan?" kata Bwe Kim-soat dengan tertawa merdu.
Suaranya lantang berkumandang sehingga dapat
didengar oleh orang yang berkerumun di luar.
"Apakah ucapanmu sengaja diperdengarkan
kepada kawan Bu-lim di sekeliling sini?" jengek
Thian-an Tojin.
"Betul, kecuali dunia persilatan sudah tidak ada
keadilan lagi, kalau tidak, biarpun engkau adalah
Bu-lim-bengeu (ketua persekutuan orang
persilatan) juga tidak boleh meremehkan nyawa
orang lain."
Gemerdep sinar mata Wi Ki, mendadak ia
tergelak, serunya, "Jika orang lain, ucapanmu ini
tentu akan menimbulkan rasa curiga orang banyak
terhadap tindakan kami ini. Tapi kau, perempuan
yang berdarah dingin, biarpun kau omong seribu
kali lagi, meski engkau mengoceh panjang lebar,
aku Wi Ki tetap akan menumpaskan bencana bagi
dunia persilatan."
Lalu ia memandang Lamkiong Peng dan
bertanya, "Jika kau tahu dia ini Leng-hiat Huicu,
mengapa kau bela dia" Melulu kesalahanmu ini
saja pantas dihukum mati. Tapi mengingat
gurumu, lekas kau pergi saja, lekas!"
"Sedemikian keras kau bela dia, memangnya di
antara kalian ada hubungan sesuatu yang tidak
boleh diketahui orang?" ejek Lu Thian-an.
Mau tak mau Lamkiong Peng menjadi gusar,
semula ia percaya ketua Cong-lam-pay dan Wi Ki
ini adalah kaum pendekar yang berbudi luhur,
siapa tahu tindak dan kata mereka sedemikian
kasar, tiba-tiba terpikir olehnya di balik urusan ini
pasti ada sesuatu yang janggal.
Kawanan jago persilatan dapat menerima
pendirian Wi Ki itu, nama Leng-hiat Huicu sudah
terkenal busuk sejak belasan tahun yang lalu,
sekarang pemuda ini membelanya mati-matian,
tentu anak muda ini juga bukan orang baik-baik.
Padahal tiada seorang pun antara jago persilatan
ini yang pemah melihat Bwe Kim-soat sebelum ini,
mereka kebanyakan cuma membeo belaka. Tadi
mereka menaruh simpati kepada Lamkiong Peng,
sekarang berubah pikiran lagi. Memang
demikianlah sifat manusia pada umumnya.
Diam-diam Lamkiong Peng menghela napas, ia
tahu urusan hari ini tidak mungkin diselesaikan
begitu saja, ia coba melirik Bwe Kim-soat,
dilihatnya orang tetap tersenyum dengan tenang.
Dalam pada itu orang banyak lantas berteriakteriak,
"Buat apa banyak bicara, bekuk dulu
keduanya."
"Nah, kau minta keadilan dunia persilatan,
sekarang bolehlah kita selesaikan mendasarkan
pendapat umum," jengek Lu Thian-an.
Wi Ki juga tidak sabar lagi, segera ia putar kedua
gelang baja sambil membentak, "Minggir!"
Bwe Kim-soat tetap tenang saja, ucapnya, "Kau
maju sendirian?"
Terkesiap juga Wi Ki, tiba-tiba teringat olehnya
Kungfu Leng-hiat Huicu yang menakutkan itu,
seketika ia tertegun dan tidak berani bergerak lagi.
"Haha, kiranya orang Kangouw kebanyakan
adalah manusia yang suka mengekor belaka ...."
belum lanjut ucapan Lamkiong Peng, serentak
terdengar suara caci maki di sana sini.
Nyata ucapannya telah menimbulkan kegusaran
orang banyak. "Ikut terjang keluar bersamaku?" bisik Bwe Kimsoat
kepada Lamkiong Peng. Diam-diam ia siap
bertindak. Meski pihak lawan berjumlah banyak,
tapi ia yakin pasti mampu menerjang keluar.
Siapa tahu Lamkiong Peng tetap diam saja di
tempatnya dengan pongahnya, mendadak ia
membentak, "Diam!"
Bentakan yang menggelegar ini memekakkan
anak telinga, seketika semua orang tergetar diam.
Dengan tajam Lamkiong Peng menatap Lu
Thian-an, teriaknya, "Segala urusan tentu tidak
terlepas dari keadilan dan kebenaran, justru
kepada seorang Cianpwe serupa dirimu ingin
kuminta keadilan. Sesungguhnya apa dosa Bwe
Kim-soat, apa kesalahannya, bilakah dia berbuat
kejahatan sehingga memerlukan tindakanmu ini."
Lu Thian-an jadi melengak, tak tersangka
olehnya anak muda ini dapat bertanya demikian.
Dengan kereng Lamkiong Peng berteriak pula,
"Jika engkau tidak dapat menjawab, berdasarkan
apa pula engkau bertindak atas nama dunia
persilatan" Berdasarkan apa pula bicara tentang
keadilan dunia persilatan! Bila soalnya cuma
mengenai permusuhan pribadimu dengan dia,
mengingat kedudukanmu sebagai seorang
pemimpin suatu perguruan terkemuka, tentu juga
harus kau bereskan urusan ini langsung dengan
dia sendiri, andaikan dapat kau cencang dia juga
aku takkan ikut campur. Tapi bila engkau
mengatasnamakan umum bagi kepentingan pribadi
dan membual tentang keadilan, betapa pun aku
Lamkiong Peng tidak dapat menerima dan akulah
yang pertama-tama ingin minta pengajaran dulu
padamu." Dia bicara tegas dan berani, mau tak mau
semua orang sama melenggong.
Air muka Wi Ki berubah, Lu Thian-an juga tidak
tahan, jengeknya, "Rupanya kau menantang, anak
muda!" "Apa boleh buat," ujar Lamkiong Peng lantang.
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seorang pemuda hijau pelonco berani
menantang seorang guru besar dari suatu aliran
pedang terkemuka, sungguh hal ini cukup
menggemparkan, keruan semua orang sama heran
dan juga terkejut.
"Hm, tampaknya sombong benar kau, anak
muda, terpaksa aku mesti memberi hajaran
padamu," jengek Lu Thian-an.
Lamkiong Peng hanya mendengus dan tetap
berdiri tegak. Perlahan Lu Thian-an berbangkit, sedangkan Wi
Ki menyurut mundur ke samping.
"Aha, menarik, rasanya tempat ini kurang luas,
biarlah kusingkirkan lagi meja kursi yang
memenuhi tempat ini," ucap Bwe Kim-soat seperti
apa yang akan terjadi ini sama sekali tidak ada
sangkut pautnya dengan dia.
Lamkiong Peng tahu wataknya memang begitu,
maka tidak heran. Sebaliknya orang lain sama
terkesiap, diam-diam ada yang menggerutu,
"Perempuan ini memang benar berdarah dingin."
Setelah ruangan dikosongkan, kini Lu Thian-an
berdiri berhadapan dengan Lamkiong Peng,
katanya, "Silakan mulai!"
Nyata ia menjaga gengsi sebagai orang lebih tua
dan memberi kesempatan menyerang lebih dulu.
Namun Lamkiong Peng justru tetap diam saja,
jawabnya, "Silakan Locianpwe dulu!"
Wi Ki menjadi gusar, "Siko, untuk apa bicara
tentang peraturan dengan sampah masyarakat
persilatan seperti ini!"
"Benar!" kata Thian-an, berbareng ia melompat
maju dan menghantam batok kepala lawan tanpa
kenal ampun. Melihat serangan Lu Thian-an itu, ada juga di
antara penonton yang merasa penasaran, sebagai
seorang tokoh terkemuka, menyerang lebih dulu,
tapi sekeji ini serangannya.
Namun Lamkiong Peng bukan lawan empuk
baginya, sedikit dia menggeser ke samping,
berbareng itu sebelah tangannya balas menyodok
ke perut Thian-an.
Terkejut juga Lu Thian-an oleh kecepatan lawan,
sembari mengelak, tangan lantas memotong ke
bawah, tangannya tampak putih mulus seperti
tangan orang perempuan, tapi membawa tenaga
dalam yang dahsyat ....
Begitulah serang-menyerang terus berlangsung,
diam-diam para penonton sama memuji anak
murid Put-si-sin-liong memang tidak boleh
dipandang enteng.
Namun apa pun juga Lu Thian-an memang lebih
ulet, setelah belasan jurus, lambat-laun ia berada
lagi di atas angin. Padahal kelihatannya Lamkiong
Peng agak terdesak, sebenarnya dia belum
mengeluarkan segenap tenaganya.
Saat itu kedua tangan Lu Thian-an bekerja
sekaligus dan menghantam, mendadak Lamkiong
Peng bersuit panjang sambil melompat ke atas.
Terkejut Lu Thian-an, dirasakan angin keras
membura dari atas, ke mana pun dia mengelak
rasanya tetap akan terserang. Bila dia tetap diam
di tempat, sedangkan lawan telah menubruk dari
atas, ini berarti dia akan tetap berada di pihak
terserang belaka.
Semua orang sama kaget, Wi Ki juga berseru,
"Thian-liong-cap-jit-sik!"
Rupanya inilah Thian-liong-cap-jit-sik atau 17
jurus serangan naga terbang, Kungfu andalan Putsisin-liong. Serangan ini dilancarkan pada waktu
tubuh terapung, setiap jurus serangan pasti
memaksa lawan harus menyelamatkan diri lebih
dulu, atau membuntu jalan mundur musuh,
serangan berantai susul-menyusul, sebab itulah
Thian-liong-cap-jit-sik tak dapat dibandingi oleh
ilmu pukulan dari aliran lain.
Sekarang yang dilancarkan Lamkiong Peng
adalah jurus pertama yang disebut "Tit-siang-kiusiau"
atau langsung menjulang ke langit, selagi
tubuh mengapung, tangan dan kaki terus
menyerang untuk mengurung segenap jalan
mundur Lu Thian-an
Habis itu sambil meluncur turun, kesepuluh jari
berubah menjadi cakar untuk mencengkeram
muka lawan. Dia sudah siap serang sejak tadi, sekali turun
tangan harus berhasil. Tentu saja semua orang
menjerit kaget melihat Lu Thian-an terancam
bahaya. Siapa tahu sebagai seorang ketua suatu aliran
terkemuka, dengan sendirinya Giok-jiu-sun-yang
juga bukan lawan empuk, dia kelihatan diam saja,
tapi ketika serangan Lamkiong Peng sudah dekat
mendadak kedua tangannya membalik dan
menangkis ke atas.
Terdengar suara "plak" yang keras serupa
menghantam kulit kering keempat tangan beradu,
kedua puluh jari saling meremas dengan erat.
Adu pukulan ini membikin para penonton sama
melongo. Tertampak Lamkiong Peng menjungkir di
udara dengan tangan berpegangan tangan lawan,
tubuhnya menurun perlahan, namun empat
tangan tetap melengket menjadi satu.
Dan begitu kaki Lamkiong Peng menyentuh
tanah, segera pula Lu Thian-an menyurut mundur
dua langkah, lalu keduanya sama berdiri seperti
terpantek di tanah dan saling melotot.
Nyata telah terjadi adu tenaga dalam dengan
antara keduanya, ini berarti pertaruhan dengan
nyawa masing-masing.
Seketika suasana sunyi senyap, semua orang
sama ikut tegang, sama menahan napas. Bukan
cuma yang berkerumun di atas loteng sama tegang,
yang berada di bawah loteng juga sama tegangnya
dan bertanya-tanya apa yang terjadi karena tidak
terdengar sesuatu suara.
Di tengah kesunyian tiba-tiba terdengar suara
keriat-keriut papan loteng, dahi kedua orang
tampak berhias butiran keringat, Betapa hebat
jurus serangan Lamkiong Peng tetap tidak dapat
membandingi keuletan latihan Lu Thian-an selama
berpuluh. Lambat-laun anak muda itu kelihatan
tidak tahan lagi.
Diam-diam Wi Ki bergirang, sebaliknya air muka
Bwe Kim-soat tampak prihatin.
Selagi suasana semakin mencekam, sekonyongkonyong
di bawah loteng berjangkit jeritan kaget, di
tengah malam kelam tiba-tiba timbul gelombang
hawa panas yang menyengat, bukan saja yang
bertempur itu berkeringat, para penonton juga
berkeringat kegerahan.
Sejenak kemudian lantas terdengar bunyi bende
bertalu-talu, menyusul suara melengking orang
menjerit, "Api ... api .... Kebakaran ... kebakaran!"
Keruan suasana menjadi kacau, orang-orang
yang berkerumun di jalan raya pun panik, lidah api
tampak menjilat-jilat dan mendadak menyambar
ke atas loteng restoran.
Para jago silat itu tidak sempat lagi memikirkan
pertarungan maut itu, beramai-ramai sama
mencari selamat sendiri, ada yang melompat turun
melalui tangga dengan desak-mendesak, ada yang
terjun begitu saja.
Meski ada juga orang berusaha memadamkan
api, tapi kobaran api ini tampaknya sangat aneh,
lidah api yang ganas itu dalam sekejap saja sudah
menelan seluruh ciu lau atas restoran itu.
Para penonton sudah kabur mencari selamat, di
atas loteng tertinggal Lamkiong Peng yang tetap
beradu tenaga dengan Lu Thian-an dan ditunggui
oleh Wi Ki dan Bwe Kim-soat.
Api berkobar terlebih hebat, tampaknya sebentar
lagi mereka pasti akan terkubur di tengah api.
Napas mereka sudah sesak oleh asap, keringat
memenuhi kepala Wi Ki, matanya membara.
Mendadak ia angkat gelang bajanya dan segera
bermaksud melompat keluar. Tak terduga
mendadak bayangan orang berkelebat, tahu-tahu
Bwe Kim-soat sudah mengadang di depannya.
Saking cemas dan gugupnya, tanpa pikir ia
membentak, gelang naga sebelah kanan segera
menghantam muka Bwe Kim-soat, sedangkan
gelang hong sebelah kiri terus dilemparkan dengan
membawa angin tajam mengancam iga Lamkiong
Peng. Saat itu Lamkiong Peng pun dalam keadaan
payah, jangankan diserang oleh gelang baja yang
dahsyat ini, sekalipun pukulan orang biasa cukup
membuatnya roboh binasa.
Terdengar Bwe Kim-soat mendengus, mendadak
ia mendoyongkan kepala ke belakang, berbareng
itu sebelah tangan meraih ke depan, dengan tepat
gelang baja lawan terpegang olehnya, sekali betot
terus dilemparkan ke arah Lu Thian-an.
Selagi Lamkiong Peng terkejut karena sambaran
gelang baja musuh yang sukar dielakkan itu,
mendadak dilihatnya Lu Thian-an juga terkesiap
oleh ancaman yang sama, Lamkiong Peng
bergirang, sepenuh sisa tenaga ia mendesak lebih
kuat. Kim-soat tersenyum dan berolok, "Hah, ini
namanya senjata makan ...."
Belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong
gelang yang menyambar Lamkiong Peng itu
memutar balik dan membentur gelang yang
mengancam Lu Thian-an, menyusul bahkan terus
menghantam belakang punggung Bwe Kim-soat.
"Bagus, kiranya gelangmu berantai," seru Kimsoat
sambil memutar sebelah tangannya, kontan
gelang berantai itu dipegangnya.
Maklumlah, selama sepuluh tahun dia berbaring
di dalam peti mati, kesempatan itu digunakannya
untuk merenungkan intisari ilmu silat yang paling
tinggi, maka ketajaman mata telinganya sekarang
hampir tidak ada bandingannya, sekalipun sebiji
pasir menyambar dari belakang pun dapat
dirasakannya dan juga dapat ditangkapnya.
Tentu saja Wi Ki terkejut, cepat ia mendoyong ke
belakang untuk membetot gelangnya agar tidak
sampai dirampas musuh.
Rupanya pada gelang bajanya terikat seutas
rantai emas hitam yang lembut, namun cukup ulet
dan kuat, golok atau pedang biasa pun sukar
memotongnya. Tak tersangka mendadak Bwe Kim-soat menebas
dengan telapak tangannya, kontan rantai emas
terpotong putus. Karena kehilangan imbangan
badan, kontan Wi Ki terhuyung-huyung dan
hampir saja jatuh terjengkang.
Sementara itu api sudah membakar kosen
jendela sekeliling loteng dan menimbulkan suara
gemertak yang riuh, hawa panas membuat
Lamkiong Peng, Lu Thian-an dan Wi Ki merasa
seperti terpanggang, baju basah kuyup oleh air
keringat, tidak terkecuali pula Bwe Kim-soat.
Mendadak daun jendela sebelah selatan terlepas
dan jatuh ke atas meja di dekatnya, segera meja
kursi di situ ikut terjilat api.
Lambat-laun atap rumah juga mulai terbakar,
tiba-tiba sepotong kayu hangus jatuh di samping
Bwe Kim-soat, saat itu dia sedang menggeser
menghindari tendangan Wi Ki, segera sebelah
kakinya menyungkit kayu hangus itu dan
meluncur ke arah Wi Ki.
Sambil meraung tangan kiri Wi Ki menyampuk
sehingga kayu hangus itu terpental keluar jendela,
tapi ia lupa tangannya masih memegangi rantai
gelang yang putus tadi, karena sampukan itu,
rantai membalik menghantam kuduk sendiri.
Biarpun kecil, rantai emas hitam sangat keras,
tambah lagi tenaga sampukan sendiri, keruan ia
meringis kesakitan dan kuduknya berdarah.
Dengan meraung murka Wi Ki membuang sisa
rantai itu. "Haha, serangan bagus, itu namanya jurus 'Kaubwecu-piau' (ekor anjing menyabat tubuh
sendiri)!" ejek Bwe Kim-soat dengan tertawa.
Sembari berolok-olok, segera pula ia menggeser
ke samping Lu Thian-an. Saat itu Lamkiong Peng
masih saling tolak bersama Lu Thian-an, hatinya
terhibur ketika dilihatnya Bwe Kim-soat masih
berada di situ. Tapi ketika dilihatnya sebelah
tangan Kim-soat menghantam punggung Lu Thianan
cepat ia bersuara mencegah sambil menarik ke
samping. Karena tarikan ini, ia dan Lu Thian-an
sama jatuh terguling.
Kim-soat berteriak khawatir dan melompat ke
samping Lamkiong Peng, cepat Wi Ki jaga
memburu tiba untuk menjaga Lu Thian-an. Waktu
diperhatikan, ternyata napas kedua orang itu sama
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terengah, agaknya sama-sama kehabisan tenaga,
namun jelas tidak terluka dalam, keduanya sedang
saling pandang dengan tercengang.
Rupanya setelah saling mengadu tenaga dalam,
keadaan mereka sudah payah, walaupun keempat
tangan masih saling genggam, tapi sebenarnya
sudah kehabisan tenaga. Dasar Lamkiong Peng
memang berjiwa luhur, ia tidak ingin lawan
disergap Bwe Kim-soat selagi orang mengadu
tenaga dengannya, lekas ia menarik orang ke
samping. Tak diduganya keduanya sebenarnya
sama payahnya, maka begitu terseret segera
keduanya jatuh terguling bersama. Lantaran itulah
mereka saling pandang dengan melenggong.
Pada saat itulah tiba-tiba di bawah loteng ada
orang berteriak, "Wi-jitya, Lu-totiang ...."
Ada semprotan air dari sebelah selatan,
menyusul sinar pedang berkelebat, empat sosok
bayangan kelabu menerjang masuk. Kiranya
keempat Tojin anak buah Lu Thian-an.
Bwe Kim-soat terkesiap melihat pihak lawan
kedatangan bala bantuan, serunya dengar suara
tertahan kepada Lamkiong Peng, "Ayo pergi!"
Semangat Lu Thian-an berbangkit karena
kedatangan anak buahnya, melihat Bwe Kim-soat
bermaksud mengajak lari Lamkiong Peng cepat ia
membentak, "Lamkiong Peng, kalah menang belum
jelas, bukan lelaki bila lari!"
Tentu saja Lamkiong Peng sangat gusar, ia
melompat bangun.
Sementara itu Lu Thian-an sudah menubruk
tiba, tanpa bicara lagi ia hantam dada anak muda
itu. Cepat Lamkiong Peng mengegos, berbareng
telapak tangan menebas iga lawan.
Tiba-tiba beberapa potong kayu hangus jatuh
lagi dari atas. Terpaksa mereka harus melompat
kian kemari untuk menghindari api.
Dalam pada itu keempat Tojin berjubah kelabu
lantas menerjang maju, mereka adalah murid
utama ketu Istana Pulau Es 16 Kekaisaran Rajawali Emas Pendekar 4 Alis I Karya Khu Lung Dewi Ular 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama