Amanat Marga Karya Khu Lung Bagian 6
elum lanjut jengekan Cian Tong-lai, sekonyongkonyong
berkumandang suara orang ramai dari
halaman sana. Tiba-tiba elang yang terluka tadi
pentang sayap hendak terbang ke udara, tapi
sekali tangan Cian Tong-lai menuding "crit",
kontang elang yang baru melayang setinggi
manusia itu jatuh lagi ke lantai.
"Khikang yang hebat!" seru Giok-he memuji
sambil melirik Ciok Tim, tertampak air mukanya
berubah. Sungguh tak tersangka anak muda yang
congkak itu memiliki kungfu selihai ini, agaknya
lebih hebat dari pada ketua Kun-lun-pai sendiri.
Pada saat itulah dari balik gunung-gunungan
halaman sana bergema bentakan seorang,
menyusul sesosok bayangan tinggi besar melayang
tiba, ia berjongkok dan menjemput bangkai elang
tadi, di bawah sinar sang surya kelihatan
rambutnya yang putih dan sorot matanya yang
guram, orang tua yang tinggi besar dengan baju
perlente ini kelihatan sedih sehingga tangan yang
memegang bangkai elang rada gemetar.
Ia berdiri termangu sejenak, lalu bergumam
seperti mau menangis, "O, siauang........
kau.......kau mati!......"
Dari balik gunung-gunungan sana lantas
muncul pula enam kakek berjenggot dan rambut
ubanan, semua dengan baju perlente, namun dari
gerak geriknya tidak terlihat ketuaan mereka.
Muka kcenam kakek ini tidak sama, dandanan
mereka serupa, hanya pinggang masing-masing
terikat tali sutera berlainan wama.
Seorang diantaranya berwajah putih bermata
tajam dan selalu tersenyum, tali pinggangnyya
berwama putih, muncul diapit oleh Wiki dan Yim
hong-peng. Ketika melihat si kakek bertali
pinggang merah lagi berduka memegangi bangakai
elang, segera kakek muka putih bertanya, "Ada
pada, Jit-te" Apakah siau-ang terluka?"
"Mati.......bahkan sudah mati......"gumam si
kakek tali merah, mendaak ia berteriak murka,
"Siapa yang membunuhnya.....siapa........."
Suaranya keras mendengung memekak telinga.
Tanpa terasa si kacung yang bemama Giok-ji
tergetar mundur setindak.
Mendadak si kakek bertali merah berpaling,
sorot matanya terpancar tajam, sambil memegang
bangkai elang ia terus menubruk maju, sebelah
tangannya segera meraih pundak si kacung.
Giok-ji seperti tertegun oleh keberingasan orang,
ingin mengelak, tapi tidak keburu lagi, pundak
terasa kencang dicengkram tangan si kakek.
"Siau-ang terbunuh olehmu bukan?" bentak si
kakek. Kacung itu terkesiap, tapi tangan kanan
mendadak bekerja, hiat-to bagian iga si kakek
hendak ditutuknya.
Terkejut juga si kakek oleh serangan ini, sedikit
menggeliat dapatlah ia menghindar, tak tersangka
kaki kiri si kacung juga lantas melayang ke depan,
mengarah selakangan si kakek.
Dalam keadaan demikian bila si kakek tidak
lepas tangan, seketika dia bisa menggeletak binasa.
Terpaksa si kakek menyelamatkan diri lebih
dulu, ia melompat mundur.
Tak terduga pundak segera terasa kesemutan,
tahu-tahu dicengkram orang, suara orang yang
ketus bergema di samping telinganya, "Akulah yang
membunuh binatang piaraanmu itu."
Kejadian ini berlangsung dengan cepat dan
membuat semua orang melenggong. Dengan kuatir
cepat Wiki berseru, "He, Cian siau-hiap........Ang
jitya, ada urusan apa marilah bicara secara baikbaik!"
Serentak kcenam kakek berbaju perlente juga
memencarkan diri dan mengepung Cian Tong-lai
dan kedua kacungnya di tengah.
Namun Cian Tong-lai menghadapi mereka
dengan santai saja, ia tetap mencengkram pundak
si kakek bertali merah, dengan tak acuh ia
pandang kcenam kakek itu satu persatu, sama
sekali tidak gentar terhadap ketujuh kakek yang
terkenal sebagai Thian-hong-jit-eng (tuju elang
menembus langit) Ketujuh piaokiok (perusahaan
pengawalan) yang termashur sejak 30 tahun yang
lampau. Si kakek bertali merah tidak dapat berkutik,
hanya mata mendelik dan jenggot scakan-akan
menegak, bahkan juga tidak berani bersuara.
Sebab dirasakan ada arus tenaga kuat tersalur dari
Koh-cing-hiat di bagian pundak menembus ke
dalam tubuh, bilamana tubuh sendiri sedikit
meronta, bukan mustahil tenaga tidak kelihatan
itu akan bekerja keras dan menggetar putus urat
nadi jantungnya.
Kcenam kakek berbaju perlente dari Thian-hongjiteng itu sangat gusar, tapi tidak berani
sembarang bertindak mengingat kawan sendiri
berada dalam cengkraman musuh.
Giok-he mengerling sekejap, dilihatnya wajah
Wiki menampilkan rasa cemas dan kuatir,
sedangkan Yim hong peng tetap tenang saja. Kedua
kacung tadi sedang mengawasi kcenam kakek
dengan was-was, kcenam ekor elang tadi kembali
terbang mengitar di udara tepat di atas kepala Cian
Tong-lai scakan-akan mengetahui bahaya yang
sedang mengancam si kakek bertali merah.
Sekonyong-konyong kcenam ekor elang sama
berbunyi dan menubruk ke bawah, sekaligus
mematuk kepala Cian Tong-lai. Berbareng itu
kcenam kakek juga membentak dan serentak
menerjang maju.
Alis Cian Tong-lai menegak mendadak, sebelah
tangannya menampar ke atas, kontan kcenam ekor
elang terdampar oleh angin pukulan dasyat
sehingga tertahan dan tidak mampu menembus
angin pukulan. Kesempatan itu segera digunakan si kakek
bertali merah untuk mendak ke bawah terus
hendak memberosot ke samping.
"Hm, ingin lari!" jengek Cian Tong-lai.
Saat itu juga seorang kakek bertali pinggang
wama putih sempat melompat tiba lebih dulu,
segera ia menarik kakek bertali pingggang merah
dan tak sempat menyerang Cian Tong-lai.
Kedua kacung tadi tidak tinggal diam, mereka
songsong si kakek bertali ungu dan kuning,
walaupun usai kedua kacung ini masih muda
belia, tapi mereka tidak gentar menghadapi lawan
tangguh. Si kakek bertali ungu dan kuning saling
pandang sekejap, lengan baju mereka mengebas
dan keduanya sama menyurut mundur, betapapun
tokoh Jit-eng-tong yang termashur tidak sudi
bergebrak dengan dua anak ingusan.
Dan karena daya tubrukan kawanan elang tadi
tertahan oleh angin pukulan Cian Tong-lai, setelah
merandek, segera menubruk lagi ke bawah, Saat
itu juga Cian Tong-lai sudah terkepung oleh ketiga
kakek yang bertali pinggang berwama hijau, hitam,
biru, sekali bergerak, kembali ia desak mundur
ketiga kakek itu, lalu mnejengek, "huh, main
kerubut, dibantu pula kawanan hewan, kiranya
beginilah jago silat daerah Tionggoan."
Muka si kakek bertali hitam tampak dingin.
Mendadak si kakek bertali biru bersuit pelahan
sambil menggeser ke samping kawannya, kawanan
elang yang sedang menubruk ke bawah mendadak
terbang lagi ke atas.
Si kakek bertali hijau berseru, "Lakte, mundur
dulu, biar kubelajar kenal dengan orang angkuh
ini!" Segera ia melancarkan beberapa pukulan dasyat,
meski perawakannya paling kecil, tapi
kekuatannya sangat mengejutkan.
Si kakek bertali putih sempat menarik kakek
bertali merah ke pinggir kalangan dan kebetulan di
samping Giok-he berdiri. Dengan simpatik Giok he
bertanya, "Tampaknya tidak ringan luka Locianpwe
ini, kubawa obat luka dalam jika sekiranya perlu
pakai. Si kakek bertali putih tersenyum, katanya,
"Terima kasih, cuma saudaraku ini hanya tertutuk
Hiat-to kelumpuhannya saja, sebentar lagi dapat
bergerak lagi dengan bebas."
Dalam pada itu si kakek bertali hijau sudah
bergebrak beberapa jurus dengan Cian Tong-lai,
keduanya sama bergerak dengan cepat, namun
tenaga pukulan si kakek bertali hijau ternyata
tidak tahan lama, sudah mulai lelah.
Si kakek bertali kuning bergeser ke sisi Giok-he
dan bertanya dengan suara tertahan, "Apakah
anak muda ini sekomplotan denganmu?"
"Jika kami sekomplotan, tentu dia takkan
berbuat sekasar itu kepada para Locianpwe" jawab
Giok he dengan menyesal.
Sementara itu si kakek bertali putih sedang
menguruti tubuh si kakek bertali merah, tanpa
menoleh ia menukas, "Pemuda itu adalah anak
murid Kun-lun-san, ilmu silatnya tidak rendah,
hendaknya Lak-te disuruh jangan gegabah."
Si kakek bertali kuning termenung sejenak lalu
ia mendekati Wiki.
Saai itu Wiki juga merasa serba susah dan tidak
tahu cara bagaimana harus melarai.
Tiba-tiba si kake bertali kuning menghampiri
Wiki dan mendengus,"Hm, tak terduga orang Conglampai bisa ada hubungan dengan murid Kunlunpai." Selagi Wiki melenggak dan belum sempat
menjawab, si kakek bertali kuning berkata pula,
"Sebenarnya kedatangan kami tidak bemiat jahat
melainkan ingin mencari murid seorang sahabat
lama dan minta WI cengeu suka membnatu, siapa
tahu cara demikianlah sambutan disini........."
Si kakek bertali kuning ini sudah tua, tapi
wataknya tetap sangat keras, habis bicara segera
melancarkan pukulan.
Di sebelah sana si kakek bertali ungu bemama
Tong-jit-thian dan si biru bemama Na Lok-thian
sekaligus lantas menerjang juga ke arah Cian
Tong-lai. Kakek bertali hijau yang sedang menempur Cian
Tong-lai itu bemama Leng Cin-thian, dahulu di
terkenal dengan Tai-li-kim-kong-jiu, pukulan
bertenaga raksasa, tapi sekarang dia ternyata
bukan tandingan pemuda she Cian yang sombong
ini. Diam-diam Giok he dan Ciok Tim terkesiap
menyaksikan ketangkasan Cian Tong-lai.
Begitu pula Yim hong-peng juga menampilkan
rasa kagum serupa pertama kalinya melihat
Lamkiong Peng dahulu.
Kedua kacung segera bergerak juga hendak
mengadang Tong-jit-thian dan Na Lok-thian, tapi
mendadak bayangan hitam berkelebat, seorang
kakek kurus tinggi dengan muka kaku dingin
berdiri di depan mereka, sorot matanya tajam
menimbulkan rasa ngeri orang.
Pelahan si kakek bertali hitam mengangkat
tangannya, kedua kacung itu terkesiap dan tanpa
terasa menyurut mundur setindak, sorot mata
mereka sama menatap tangan si kakek kurus
kering dan hitam ini.
Tak terduga tangan si kakek hanya terangkat
saja dan tidak bergerak lagi. Wajahnya juga tetap
kaku tanpa memperlihatkan sesuatu perasaan,
hanya sorot matanya yang mencorong tajam tetap
menatap kedua kacung itu. Sorot matanya seperti
membawa semacam daya gaib yang sukar
dilukiskan sekalipun Yim hong-peng juga terkesiap
demi beradu pandang dengan sorot mata aneh itu,
diam-diam ia heran, "Aneh apakah sorot matanya
itu pun mengandung semacam kungfu mujizat?"
Tiba-tiba teringat olehnya ada semacam kungfu
istimewa sudah lama menjadi dongeng di dunia
kangouw, tanpa terasa ia memendang ke sana,
dilihatnya muka kedua kacung itu pucat pasi,
keempat biji matanya yang besar terbelalak lebar,
tapi kaku tak bergerak melainkan Cuma menatap
telapak tangan si kakek yang hitam itu. Setiap kali
si kakek melangkah maju setindak, seperti kena
sihir, setiap kali pula kedua kacung itu pun
menyurut mundur setindak.
Berulang si kakek mendesak maju tiga tindak
dan kacung itu pun mundur tiga tindak, dengan
suara aneh si kakek berkata pelahan, "Berdiri saja
di sini dan jangan bergerak."
Benar juga, kedua kacung itu lantas berdiri
termenung tanpa bergerak, hanya mata melotot
dan muka bertambah pucat.
"Hari sudah hampir gelap, tidurlah!" ucap pula si
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kakek. Serentak kedua kacung itu berbaring di tanah
dan memejamkan mata, seperti tidur benar-benar.
Lalu si kakek bertali hitam membalik tubuh,
sorot matanya mendadak tertuju ke muka Yim
hong-peng. Yim hong-peng cukup cerdik, cepat ia menunduk
dan berucap, "Lihai benar kungfu Locianpwe."
"Ah, kan kedua anak kecil ini memang penurut,
terhitung kungfu apa?" ujar si kakek ketus. Kedua
matanya meram melek dan tidak kelihatan hendak
bertindak sesuatu.
Diam-diam Yim hong-peng membatin, "Sudah
lama tersiar di dunia kangouw tentang kawanan
elang ini, katanya elang hitam dingin, elang hijau
sombong, elang biru bicara lembut, elang merah
pemarah, elang kuning dan ungu latah dan
nyentrik, bila melihat elang putih kawanan elang
sama tertawa. Tampaknya elang hitam ini memang
betul dingin luar biasa sesuai namanya Leng Yathian
(malam sedingin)
Dalam pada itu tiba-tiba terlihat asap putih tipis
merembes keluar dari permukaan bumi dan
melingkar di sekitar kaki semua orang, lambat laun
asap putih ini buyar ke berbagai penjuru. Seketika
terbeliak matanya, tersembul semacam senyuman
aneh pada ujung mulutnya. Waktu ia memandang
ke sana, pertarungan di halaman sana telah
bertambah sengit.
Kelihatan elang kuning Wi leng-thian bergerak
kian kemari dnegan ilmu pukulan yang kuat
sehingga si gelang terbang Wiki tampak
kewalahan.. Meski ilmu silat Wiki tergolong jago kelas satu
dunia kangouw, tapi sekarang dia harus
memikirkan akibat lebih lanjut dari pertarungan
ini, sebab itulah dia tidak berani menyerang
sepenuh tenaga sehingga dia lebih banyak
bertahan daripada menyerang.
Dalam sekejap saja belasan jurus sudah
berlangsung pula, dia mulai kepayahan, ia
membentak, "Sesungguhnya ada urusan apa Bohliongceng dan Jit-eng-tong kalian, kenapa kalian
mendesak orang secara keterlaluan?"
Elang kuning mendengus, "Hm, Jit-te kami
terluka di tempatmu, Lamkiong Peng diuber-uber
kalian, apakah semua ini bukan permusuhan?"
Air muka Wiki berubah, cepat ia berputar
menghindarkan sekali pukulan, lalu ia balas
menghantam untuk mendesak mundur lawan
sambil membentak, "Kau bilang Lamkiong
peng"........Jadi kedatangan kawanan elang ke
wilayah berat sekali ini adalah karena Lamkiong
Peng?" "Betul," jengek elang kuning sambil mengelak,
mendadak sebelah kakinya menendang ke perut
lawan. Namun telapak tangan Wiki lantas memotong ke
bawah untuk menabas pergelangan kaki musuh,
meski dia enggan bermusuhan dengan kawanan
elang dari Jit-eng-tong, tapi timbullnya juga rasa
gemasnya setelah berulang di desak, gerak
serangannya sekarang pun tidak kenal ampun lagi.
Namun elang kuning segera berputar lagi ke
samping, telapak tangan lantas menabas iganya.
Serangan ini sangat cepat dan tampaknya sukar
dihindari, Wiki menjadi nekat, berbareng ia pun
menghantam perut elang kuning, pukulan dasyat
dan sama cepatnya, tampaknya kedua orang akan
sama-sama roboh.
Melihat itu elang hitam Leng Ya-thian terkesiap,
cepat ia memburu maju, tapi Yim hong-peng sudah
mendahuluinya melompat maju, kedua tangannya
bekerja sekaligus sehingga kedua orang tertolak
mundur. Berbareng elang kuning Wi leng-thian dan si
gelang terbang Wiki tergetar mundur beberapa
langkah. Cara melerai Yim hong-peng ternyata
tidak pilih kasih.
Elang hitam Leng Ya-thian melenggong dan tidak
jadi turun tangan. Mestinya ia siap menghantam
punggung Yim hong-peng, sebab disangkanya cara
orang memisah pasti tidak adil. Tapi dia ternyata
salah duga, untung di sempat mengurungkan
serangannya. Dilihatnya Yim hong-peng lagi melirik padanya
dan berkata, "Cayhe juga Cuma menjadi tamu Bohliongceng saja."
"Oo!".........Leng ya-thian melenggak, meski air
mukanya tetap kaku dingin, namun sikapnya
sudah lain. Sementara itu pertarungan elang kuning dan
Wiki tetap berlangsung dengan sengitnya. Kcenam
ekor elang yang mengitar di udara tadi kini sudah
hinggap di pendopo dengan sayap terpentang dan
kelihatan gagah sekali.
Giok he berdiri dekat serambi, ia coba melirik
elang putih Pek Kui-thian yang asyik mengurut si
elang merah, katanya dengan gegetun, "Ai, Ban-liliuhiang Yim tai-hiap ini memang seorang tokoh
cerdik, dia selalu nongkrong di atas pagar dan
mengikuti arah angin, selamanya tidak mau rugi."
Maski tidak keras suaranya, tapi cukup jelas
didengar Pek Kui-thian.
Tiba-tiba Ciok Tim ikut bicara, "Tak tersangka
orang she Cian ini memiliki ilmu silat setinggi ini,
padahal usianya juga baru 20-an........Ai, tak
terduga di dunia persilatan memang ada jalan
cepat untuk mencapai tingkatan yang sempuma."
Giok he tersenyum, ia melirik lagi ke arah Cian
Tong-lai, dilihatnya pemuda yang datang dari
puncak tertinggi Kun-lun-san itu sedang berputar
di sekitar elang biru Na Lok-thian dan elang ungu
Tong jit-thian serta elang hitam Leng Cin-thian,
sampai sekarang belum nampak dia akan kalah
meski satu melawan tiga."
Padahal nama Jit-eng-tong menggetarkan dunia
kangouw dan disegani baik kalangan pek-to
maupun golongan hek-to, kawanan elang sudah
tentu mempunyai kungfu andalan yang lain
daripada yang lain.
Meski sejak tujuh tahun yang lalu kawanan
elang itu sudah cuci tangan dan mengasingkan
diri, segenap cabang perusahaan pengawalan yang
tersebar di berbagai propinsi itu serentak dikukut
kembali ke kantor pusat Jit-eng-tong di
Kanglenghu, sejak itu tidak pemah lagi kelihatan
kawanan elang itu berkecimpung di dunia
kangouw. Tapi sekarang ketujuh bersaudara elang ini
mendadak muncul di sini, kepandaian mereka
ternyata belum lapuh mengikuti usia mereka yang
tambah lanjut. Bahkan watak berangasan sebagian
elang itu pun tidak berubah.
Begitulah Cian Tong-lai sendirian melawan
ketiga ekor elang dan tetap tidak kelihatan bakal
kecundang, bayang pukulannya menyambar kian
kemari, sekilas pandang seolah-olah mempunyai
berpuluh tangan. Tampaknya dia menghantam
elang biru,tahu-tahu pukulannya berbalik menuju
si elang hijau. Dan selagi elang biru merasa
longgar, tahu-tahu angin pukulan yang dasyat
menyambar ke arahnya lgi.
Meski ilmu pukulan sakti Kun-lun-pai sudah
lama termashur di dunia persilatan, tapi jurus
pukulan yang digunakan Cian Tong-lai sekarang
jelas bukan ilmu pukulan Kun-lun-pai biarpun
yang hadir sekarang rata-rata adalah tokoh Bulim
terkemuka, namun tiada seorang pun kenal asal
usul ilmu pukulannya.
Tiba-tiba Giok he bersuara terkejut pelahan
dengan alis bekernyit. Waktu elang putih Pek Kuithian
meliriknya dan melihat air muka orang yang
terkejut itu, seketika timbul rasa curiganya.
Sementara itu diantara pepohonan di dalam
halaman entah mulai kapan telah timbul lagi kabut
remang putih sehingga cahaya matahari scakanakan
menjadi guram. Si elang kuning Wi Leng thian dan Wiki entah
mulai kapan sudah mengendur gerakannya,
agaknya terasa tenaga dalam sendiri sudah
kewalahan. Di tengah kabut tebal wajah Leng Ya-thian
tampak kelam dan dingin, kedua kacung masih
menggeletak diam di tanah, hanya Yim hong-peng
saja yang kelihatan tenang, seperti sudah
mempunyai pendirian terhadap segala kejadian ini.
Sebagai kepala Thian-hong-jit-eng, Pek-kui-thian
membawa elang merah Ang-hau-thian ke dekat
Kwe giok-he dan minta dijaga untuk sementara,
lalu ia menuju ke tengah kalangan untuk
mengemati-amati gerak langkah Cian Tong-lai yang
aneh itu. Dilihatnya elang biru, elang ungu dan elang
hijau bertiga terdesak kacau hingga tidak sanggup
balas menyerang lagi. Hanya karena pengalaman
mereka dan tenaga dalam yang kuat sehingga
masih bertahan sebisanya.
Dengan kening bekernyit elang putih Pek-kuithian
berkata kepada elang hitam, "Lakte, apakah
dapat kaulihat ciri gerak langkah pemuda ini?"
"Langkah anak muda ini memang sangat ajaib,
tapi sukar kupecahkan di mana letak ciri
langkahnya yang hebat ini," jawab elang hitam
Leng Ya-thian. Mendadak Pek kui-thian berseru, "Berhenti, Longo!"
Elang kuning terkejut, ia menghantam sekali
terus melompat mundur ke samping Pek-kui-thian
dengan nafas terengah.
Wiki juga kelihatan tersengal-sengal.
"Wi-heng," kata Yim hong-peng,"tampaknya
tidak sedikit kerepotan yang akan kauhadapi
nanti." "Ai, ada apa semua ini, sungguh aku tidak
mengerti........" Wiki menghela nafas.
Yim hong-peng mendengus, "Kawanan elang ini
datang ke daerah barat sini, tujuan mereka ialah
Lamkiong Peng, apabila Lamkiong Peng
menghilang, betapapun Wi-heng sukar memberi
penjelasan dan mungkin Boh-liong-ceng yang
harus menanggung akibatnya."
Air muka Wiki agak berubah, ia termenung
memandang kabut yang mengambang di udara.
Dalam pada itu terdengar si elang putih Pek-kuithian
lagi berkata, "Tampaknya Lo-ji berdua tidak
sanggup bertahan lagi, agaknya aku perlu turun
tangan sendiri."
Segera ia melangkah maju, kedua tangan
bergerak, serentak ia menghantam dengan dasyat.
Elang putih kelihatan lemah lembut, tapi sekali
bergebrak ternyata sangat tangkas.
Dengan sendirinya elang kuning dan elang hitam
tidak tinggal diam, segera mereka pun ikut
menerjang musuh.
Tapi mendadak Pek-kui-thian memberi tanda
sambil membentak, "Pencarkan diri!"
Segera kelima elang lain sama menyingkir, tapi
cepat menubruk meju ke arah Cian Tong-lai secara
serentak. Dengan kerubutan lima orang, hanya
beberapa jurus saja kelihatan mulai kewalahan.
Dengan sinis Yim hong-peng berolok-olok pula,
"Thian-hong-jit-eng memang hebat, tampaknya
beberapa gebrakan lagi murid Kun-lun-pai ini
akan........"
Mendadak Wiki menghela nafas, ucapnya
dengan menunduk, "Sekalipun kumasuk
kcanggotaan Pang kalian juga tiada gunanya,
kenapa kau mendesak orang sedemikan rupa?"
"Siapa yang mendesakmu?" ucap Yim hong-peng
dengan menarik muka.
"Apa pun yang akan terjadi, jiwa dan harta
bendaku jelas sukar diselamatkan lagi, ai aku......."
Selagi Wiki berkeluh kesah di sebelah sana Giok
he juga sedang bicara dengan Ciok Tim, katanya,
"Adik Tim, coba lihat wajah Wiki yang muram durja
itu dan sikap Yim hong-peng yang senang itu,
dapatkah kau terka apa yang terjadi di antara
mereka?" "Apa yang terjadi di Boh-liong-ceng ini, siapa
pun yang akan menang, bagi Wiki tetap sukar
terlepas dari tanggung jawab," ujar Ciok Tim.
"Lantas apa lagi?"
"Ada apa lagi?" Sahut Ciok Tim bingung.
"Keruwetan hari ini ternyata tidak dapat
kaulihat," kata Giok he. "Tadi waktu ita masuk
Boh-liong-ceng, sikap Wiki terhadap Yim Hongpeng
kelihatan kikuk, tingkah laku Yim hong-peng
juga tidak mirip seorang tamu. Kedatangan orang
ini ke daerah pedalaman sekali ini pasti membawa
intrik yang tersembunyi, dia bahkan memaksa Wiki
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masuk kedalam kompoltan mereka, padahal usia
Wiki sudah lanjut, berkeluarga pula, semangatnya
sudah luntur, jelas ia tidak suka kepada kehendak
Yim hong-peng itu. Tapi dia juga jeri untuk
menolaknya, hanya seluk beluk urusan ini pun
tidak jelas kuketahui."
Ia tersenyum, lalu menyambung, "Cian-Tong-lai
ini menguasai kepandaian tinggi, dia baru
berkecimpung di dunia kangouw, kecuali ingin
mencari Boh-in-jiu, dengan sendirinya juga ingin
menggunakan kesempatan ini untuk mencari
nama, sebab itulah dia sengaja berlagak congkak
dan mencari perkara kepada Thian-hong-jit-eng.
Dia memang memandang rendah kaum piasu,
apalagi kawanan elang itu pun sudah tua. Siapa
tahu apa yang terjadi justru jauh di luar
dugaannya, bukan saja ia gagal menonjolkan diri,
bahkan bikin serba susah kepada Wiki sebagai
tuan rumah, sebaliknya Yim hong-peng yang
menarik kcuntungan dari kanan-kiri, tentu saja dia
sangat senang."
Baru selesai ucapannya, sekonyong-konyong
terdengar di belakang ada orang tertawa pelahan
dan berkata, "Cara nyonya memandang orang dan
menilai persoalan ternyata sangat jitu, sungguh
sangat mengagumkan ."
Suaranya jelas, serupa timbul di tepi telinganya.
Keruan Giokhe terkejut, cepat ia menoleh,
dilihatnya asap masih mengembang memenuhi
ruangan, si elang merah Ang-hau-thian masih
duduk di tempatnya, selain dia tiasda bayangan
orang lain lagi.
Tentu saja Giok-he terkesiap, tanpa terasa ia
bertanya, "Siapa?"
Dengan bingung Ciok Tim berpaling, "Ada apa?"
"Suara tadi, masa tidak kau dengar?" ujar Giokhe.
"Suara apa?" Ciok Tim tambah bingung.
Berdebar hati Giok he, ia menggeleng dan
berpaliang, "jangan-jangan ilmu Toan-im-jip-bit
(ilmu mengirimkan gelombang suara) yang
digunakan orang tidak kelihatan itu?"
Ia coba melirik sekeliling orang yang hadir, ia
heran siapakah diantaranya yang menguasai ilmu
gaib itu. Tiba-tiba suara tadi mendengung pula di
telinganya, "Sejak kumasuk ke pedalaman, apa
yang kudengar dan kulihat, etrnyata Cuma nyonya
saja yang terhitung ksatria sejati, bilaman nyonya
mau bekerjasama denganku, tentu segala urusan
besar dapat disukseskan. Jika nyonya setuju
bekerja sama denganku, harap nyonya
mengangguk pelahan tiga kali."
Saat itu Ciok Tim legi memandang Giok-he
menunnduk dengan mata terpejam, seperti lagi
mendengarkan sesuatu, lalu manggut-manggut
dan tersenyum, kemudai membuka mata dan
memancarkan cahaya cemerlang.
Saking herannya Ciok Tim coba bertanya,
"Ada........ada apa, Toaso?"
"Oo, tidak ada apa-apa," sahut Giok-he dengan
tersenyum sambil menuding ke dapan.
Waktu Ciok Tim memandang ke sana , dilihatnya
gerak langkah Cian-tong-lai semakin kuat, bahkan
kelihatan semakin lesu dan loyo, serupa orang
kurang tidur atau terlalu letih.
Kabut semakin tebal, tiba-tiba Ciok Tim
merasakan kabut putih itu sangat aneh datangnya,
lambat laun sukar membedakan lagi keadaan
ruangan, wajah orang yang hadir disitu pun mulai
sukar dibedakan.
Segera timbul rasa letih dan mengantuk, Ciok
Tim merasa nafasnya juga tambah sesak, kelopak
mata melambai, bayangan orang mulai kabur dan
akhirnya.........
Begitu cepat datangnya rasa letih dan kantuk,
sekuatnya ia coba memandang Giok-he yang
berdiri di sampingnya dirasakan sperti mendadak
berjarak sangat jauh, ia berteriak,
"Toaso........toaso.........."
Sekonyong-konyong dirasakan nafs sendiri juga
sedemikian jauh, ia membusungkan dada dan
bermaksud lari keluar tapi kabut putih itu serasa
menindihnya dengan berat sehingga sukar
melangkah, baru saja satu-dua tindak segera ia
jatuh tertunduk.
Samar-samar dirasakan bayangan orang dan
pepohonan di taman di telan seluruhnya oleh
kabut tebal, semua orang tidak terlihat lagi.
Tiba-tiba di dengarnya suara olrang melangkah
keluar ruang pendopo itu, ia coba menoleh, tahutahu
suara langkah itu sudah sampai
disampingnya, hanya dapat dilihatnya sepasang
sepatu yang mengkilat bergeser pelahan di tengah
kabut. Lalu terdengar suara tertawa mengejek bergema
di tepi telinganya, "Huh, thian-hong-jit-eng apa
segala, setiba disini juga patah sayapnya. Hm anak
murid Kun-lun apa, kedatangannya juga rontok
sama sekali........"
Habis itu lantas bergema suara tertawa senang,
rasanya seperti suara Yim hong-peng.
Lalu segalanya kembli menjadi sunyi.
Di tengah kesunyian itulah Ciok Tim terpulas
dan ditelan kegelapan.
********* Kegelapan yang tak berujung, kesunyian yang
tak berpangkal.
Pelahan Lamkiong Peng siuman kembali, waktu
ia membuka mata, tidak terdengar sesuatu suara,
juga tidak terlihat apa-apa, ia menghela nafas dan
membatin, "Apakah aku sudah mati?"
Mati ternyata tidak menakutkan sebagai mana
dibayangkan, namun jauh lebih kesepian daripada
perkiraannya. Ia coba mengucek mata, tapi tidak
terlihat telapak tangan sendiri, apa pun tidak
terlihat. Dalam sekejap itu segala kejadian selama
hidupnya seolah-olah terbayang kembali, setelah
dipikirnya dan ditimbang, ia merasa selama
hidupnya begitu-begitu saja, tidak penah timbul
pikiran membikin susah orang lain, baik terhadap
ayah bunda, guru maupun sahabat, selalu
dihadapinya secara jujur tulus, tidak pemah
terpikir olehnya perbuatan yang licik dan munafik.
Ia tersenyum sendiri, ia pikir bilamana cerita
tentang surga dan neraka benar ada, sesudah mati
mungkin dirinya tidak perlu diputus masuk
neraka. Dalam kesepian, sekonyong-konyong di
dengarnya sayup-sayup, suara musik
berkumandang dari kegelapan sana, lagunya
begitu sedih mengharukan, serupa tangisan
kawanan setan. Di tengah suara musik yang sayup-sayup itu
mendadak bergema teriakan,
"Lam........kiong........peng......Hahaha, kau sudah
datang?" Lalu terdengar serentetan suara tertawa tajam
mengerikan. Lamkiong Peng mengusap dahinya yang
berkeringat dan membentak, "Siapa kau" Manusia
atau setan" Hm, biarpun setan juga aku tidak
takut! Tidak perlu kaumain sembunyi!"
"Hahaha," suara tertawa yang seram itu berubah
menjadi tertawa latah yang lantang, "Aku Cuma
menghendaki kaurasakan bagaimana orang mati,
agar kautahu mati bukan tindakan yang enak,
supaya kaukenal berharganya kehidupan."
Dengan geram Lamkiong Peng menghantam ke
arah suara itu, diam-diam ia bersyukur tenaga
sendiri belum lenyap. Siapa tahu pukulannya yang
keras itu seperti batu tenggelam dalam lautan,
menghilang dalam kegelapan.
Suara tertawa latah itu bergema pula, "Haha,
meski tempat ini bukan neraka, tapi jaraknya tidak
jauh lagi, meski kau tidak jadi mati, bila mau
sudah belasan kali dapat kumampuskan
kau.........."
"Kenapa tidak kau bunuh diriku" Apakah kau
ingin memeras diriku, supaya kutunduk padamu?"
Sela Lamkiong Peng sambil tertawa.
"Ya, memang begitulah maksudku," kata suara
itu dalam kegelapan.
"Haha, jika aku sudah pemah mati sekali, apa
alangannya mati sekali lagi," seru Lamkiong Peng
dengan terbahak, "Bila kau ingin kutunduk
kepadamu, huh, jangan mimpi!"
Lalu ia duduk bersila dan mengheningkan cipta,
tiba-tiba pikiran terang dan lapang dada.
Dalam kegelapan, sang waktu dirasakan lalu
dengan sanagt lambat, tapi rasa lapar justru
datang dengan sangat cepat.
Lamkiong Peng duduk bersila, perut mulai lapar
sekali dan sukar ditahan. Segera timbul pula
macam-macam pikiran. Ia berdiri dan coba meraba
sekitarnya, baru sekarang diketahuinya dirinya
berada di dalm sebuah gua yangs eram serupa
neraka dan tiada terdapat sesuatu benda apa pun.
Walaupun kelaparan, kesepian dan kegelapan
yang mencekam, namun semua itu tak dapat
menggoyahkan pendiriannya.
Entah berselang berapa lama lagi, tiba-tiba
Lamkiong Peng mencium bau sedap daging dan
arak, ia menelan air liur, biji lehernya naik turun,
rasa laparnya tambah sukar ditahan.
Sejak kecil baru sekarang untuk pertama kalinya
ia rasakan betapa susahnya orang kelaparan.
Ia memejamkan mata dan menggerutu, "Sialan,
aku hendak dipancingnya dengan makanan!"
Bau sedap semakin keras, mau tak mau ia harus
mengakui pancingan ini mempunyai daya tarik
yang amat kuat.
Selagi ia berusaha memancarkan perhatiannya
atas bau sedap makanan itu, tiba-tiba terdengar
suara orang mendengus di atas, "Hm, lamkiongkongeu
tentu tidak enak bukan kelaparan?"
Dengan gusar Lamkiong Peng menjawab,
"Tekadku sudah bulat, betapapun kau imingi
diriku juga tiada gunanya, tidak perlu banyak
omong." "Sekarang juga sudah kukerek dua ekor ayam
panggang lezat tepat di depnmu, boleh coba kau
cicipi." Kata suara itu.
Meski teguh pendirian Lamkiong Peng, tapi
kebutuhan biologis membuatnya tidak tahan,
waktu ia mengendusnya, abu sedap itu tambah
merangsang. Dalam kegelapan suara itu bergema pula, "Di
antara kedua ekor ayam panggang ini, seekor di
antaranya dilumuri dengan obat bius, bilaman kau
makan, akan hilang kesadaranmu yang asli dan
seluruhnya engkau akan tunduk kepada
perintahku. Sebaliknya seekor ayam panggang
yang lain tidak diberi racun apapun, bila
kauberani, boleh silakan bertaruh dengan
nasibmu!" Tanpa terasa Lamkiong Peng menjulurkan
tangan, betul juga, ujung jarinya lantas menyentuh
sesuatu yang kenyal. Sungguh hatinya tergelitik.
Akan tetapi segera ia memejamkan mata dan
menarik kembali tangannya sambil membentak,
"Tidak, mana boleh untuk sekadar makan ini aku
harus bertaruh dengan nasibku sendiri."
Terdengar suara terloroh dalam kegelapan
sejenak kemudian mendadak ia menghela nafas
dan berucap, "Ai, tokoh semacam anda sungguh
sayang tidak suka bekerja sama denganku.
Betapapun kuhormati engkau sebagi seorang
jantan sejati, aku tidak tega membunuhmu, juga
tidak tega membiusmu dan menganiayamu,
makanya kuberi hidup sampai sekarang. Tapi bila
kubebaskan dirimu, jadinya tiada ubahnya seperti
melepaskan harimau kembali ke gunung, pada
suatu hari kelak biasa jadi usaha yang telah
kupupuk selama bertahun-tahun akan hancur di
tanganmu."
Ia menghela nafas, lalu menyambung, "Kutahan
dirimu di sini sesungguhnya karena terpaksa,
hendaknya jangan kau sesalkan diriku bila kau
mati, aku berjanji akan menguburmu dengan baikbaik."
Dalam kegelapan ada cahaya mengkilat
berkelbat, terdengar suara "trang" jatuh di samping
Lamkiong Peng, lalu suara itu berucap lagi,
"Sekaranag kulemparkan sebilah belati itu untuk
membunuh diri. Apabila pikiranmu berubah cukup
kau berteriak dan segera ku datang
membebaskanmu. "Supaya kautahu, tinggi gua ini lebih dari enam
tombak, dinding sekeliingnya terbuat dari baja,
hanya bagian atas saja dapat keluar masuk, boleh
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
juga kaucoba, jika kurang tenaga, silahkan makan
kedua ekor ayam panggang itu, tidak ada yang
diberi racun, jangan kuatir mungkin akan
menambah tenagamu."
Dia bicara dengan tulus, serupa sahabatb yang
memberi nasehat.
Pada saat itulah sayup-sayup terdengar suara
omag yang ebrucap dengan lirih, suara halus
merdu, "Eh cara bicara serupa dua sahabat yang
akan berpisah, kau tahu......." sampai disini tidak
terdengar lagi apa yang diucapkannya.
Suara itu bagi Lamkiong Peng sudah sangat
dikenal, hatinya tergetar, ia heran siapakah itu"
Didengarnya suara tadi berkata pula,"Bila kita
bertemu sepuluh tahun yang lalu, kuyakin kita
pasti dapat terikat menjadi sahabat karib, sayang
sekarang aajalmu sudah dekat...... sebelum kau
mati, jika ada sesuatu permintaanmu, tentu akan
kulakukan bagimu."
Lamkiong Pengsedang memikirkan suara merdu
tadi, tanpa pikir ia menjawab, "Siapakah suara
orang perempuan tadi" Boleh kau perlihatkan dia
kepadaku sekejap saja."
Suara itu terdiam, sejenak kemudian baru
berkata pula, "Hanya ini permintaanmu?"
Lamkiong Peng mengiakan.
"Masa tidak ada pesan akan kau tinggalkan bagi
orangtua atau sahabatmu?" tanya suara itu. "Masa
sama sekali tidak ada urusanmu yang perlu
kuselesaikan bagimu" Tidakkah perlu kaulihat
sesungguhnya siapa yang mengakibatkan
kematianmu ini?"
Lamkiong Peng melenggong, tiba-tiba timbul
rasa duka yang tak terkatakan, kalau dipikir,
sesungguhnya teramat banyak urusannya yang
belum lagi selesai.
Seketika ia merasa putus asa, ia menunduk dan
tidak bicara lagi.
"Bagaimana dengan orang yang ingin
kaulihat........."
"Tidak perlu kulihat lagi." Kata Lamkiong Peng.
"Tapi sudah kusanggupi padamu, maka boleh
coba kaupandang ke atas," kata suara itu.
Mata Lamkiong Peng lantas terbeliak, ia tahu
tutup lubang gua itu telah dibuka. Namun di tetap
duduk termenung, meski diragukannya perempuan
itu pasti seoarang yang ada hubungan erat dengan
dirinya, namun dia tidak ingin memandangnya
lagi, ia tidak mau meninggalkan rasa penyesalan
sesudah mati. Keadan sunyi sejenak, "brak", tutup lubang
dirapatkan lagi. Dalam kegelapan lantas bergema
suara musik yang memilukan, suara yang
misterius tadi lagi berdendang dan mengucapkan
selamat tinggal.
Suara musik itu memepengaruhi juga rasa duka
Lamkiong Peng, tanpa terasa air matanya meleleh.
Dalam dukanya tiba-tiba timbul semacam
keberanian untuk mencari hidup, ia coba meraba
belati yang dimaksudkan orang tadi, pelahan ia
mendekati dinding, sekuatnya ia tusuk dengan
belati itu. Seketika tangan tergetar kesakitan, dinding
sekeliling memang benar terbuat dari baja, ia
menghela nafas duka dan bersandar di ujung
dinding, ia merasa segalanya sudah tamat, sama
seklai tidak ada harapan lagi.
Namun titik akhir kehidupan tetap sangat
panjang, ia tidak ingin merusak tubuh pemberian
orang tuaaa, tapi juga tidak tahan oleh derita batin
selama menunggu ajal ini.
Entah berselang lama lagi, mendadak dirasakan
dinding tempatnya bersandar bisa bergerak, ketika
cahaya membuat matanya terasa silau, berbareng
tubuhnya lantas roboh terjengkang.
Ia terkejut dan cepat melompat bangun.
Waktu ia memandang ke depan, dilihatnya
seorang tua telah berdiri di situ dengna wajah
prihatin, tangan memegang obor. Ketika si kakek
mendorong lagi dengan sebelah tangan, pintu
rahasia gua itu lantas menutup kembali.
Lamkiong Peng tercengang, baru sekarang
dirasakan dirinya telah terbebas dari bayangan
maut. Sungguh tidak kepalang rasa girangnya,
seketika ia berdiri melongo dan tidak tahu apa
yang mesti diperbuatnya.
Orang tua yang membawa obor ini ternyata
bukan lain daripada si gelang terbang Wiki ,
pemilik Boh-liong-ceng.
Kening si kakek tampak terkerut rapat, jelas
menanggung tekanan batin. Ia memberi tanda
kepada Lamkiong Peng , lalu mendahului
melangkah keluar ke sana.
DI bawah cahaya obor kelihatan lorong di bawah
tanah ini penuh sarang laba-laba atau galgasi,
setiap langkah selalu menimbulkan debu, jelas
jalan ini sangat jarang dilalui orang. Namun lorong
itu berliku-liku, bangunannya juga ajaib dan
mengagumkan. Memandangi bayangan orang yang tinggi besar,
hatinya penuh rasa terimakasih. Selama hidupnya
belum pemah dirangsang perasaan semacam
ini,maklumlah, soalnya dia baru saja menghadapi
"kematian" yang membuatnya derita batin dan
putus asa. Ia berdehem, tenggorokan serasa tersumbat, ia
coba bertanya, "Locianpwe......."
"Ssst, diam!" desis Wiki tanpa menoleh.
Setelah membelok satu tikungan, mendadak
Wiki menekan pada ujung dindidng, terdengar
suara "kriaat", dinding di situ lantas menyurut
mundur dua-tiga kaki lebarnya.
Cepat Wiki menyelinap masuk ke situ sambil
bergumam, "O, jit-eng , jangan menyesal jika tidak
dapat kuselamatkan kalian, aku telah berusaha
sepenuh tenaga............."
Selagi Lamkiong Peng merasa bingung, terlihat
Wiki sudah melompat keluar lagi dengan
mengempit seorang pemuda berbaju perlente
dalam keadaan pengsan.
"Gendong dia!" kata Wiki dengan suara tertahan.
Lamkiong Peng menurut, diangkatnya pemuda
itu dengan tidak mengerti apa maksud Wiki.
Setelah merepatkan pintu dinding. Wiki
mendahului berjalan lagi ke depan dengan langkah
berat dan kening bekernyit.
"Loc........" Lamkiong Peng ingin tanya pula.
Tapi Wiki lantas memotong, "Tidak perlu
kauterimakasih padaku."
"Tapi.......... sebenarnya........."
"Dunia persilatan segera akan timbul peristiwa
besar, kawanan perusuh dari Kwan gwa sudah
masuk ke daerah Tionggoan, aku berada di bawah
ancaman mereka, harta bendaku yang kudapatkan
dari jerih payahku selama berpuluh tahun
tampaknya akan hanyut ludes."
Tentu saja Lamkiong Peng tidak paham.
Selagi ia hendak tanya, Wiki telah menyambung
pula, "Pemuda yang kau gendong ini memiliki
kepandaian mengejutkan, dia adalh murid Kunlunpai, namanya Cian-tong-lai. Dia terkena
semacam kabut bius yang istimewa dan tidak
dapat kutolong, harus selang sekian lama baru dia
akan siuman dengan sendirinya. Kalian berdua
sama pemuda gagah, hari depan kalian tak
terbatas, semoga kalian dapat lari meninggalkan
temapat ini dan mencari kesempatan untuk
bertindak di kemudian hari, janganlah gembong
iblis itu berhasil merajai dunia."
Dia bicara dengan sedih dan penasaran.
Dengan alis menegak Lamkiong Peng bertanya,
"Siapa yang kaumaksudkan" Masa dia........."
"Kepandaian orang ini sukar dijajaki, potong
Wiki pula. "Dia mahir menggunakan berbagai
senjata rahasia yang aneh dan dupa bius yang
mujizat, bahkan banyak anak buahnya yang serba
pandai sehingga makin menambah kejahatan yang
diperbuatnya. Ada anak buahnya yang berjuluk
Toat-beng-jiang (tombak pencabut nyawa) dan Tuihunkiam (pedang sambar nyawa), kungfu kedua
orang ini sungguh sangat mengejutkan, kita sama
sekali bukan tandingannya."
Tergerak pikiran Lamkiong Peng, katanya,
"Apakah gembong iblis yang kaumaksudkan itu
ialah Swe thiam-beng?"
Melenggak juga Wiki, seperti heran mengapa
Lamkiong Peng juga kenal nama itu, sambil
menekan lagi pojok dinding ia menjawab, "Ya, Swe
thian-beng."
Baru lenyap ucapannya, tertampaklah cahaya
udara. Ternyata mereka sudah berada di pintu
keluar lorong. Terdengar Wiki lagi bergumam dengan pedih, "Di
Boh liong-ceng kami sekarang entah terkurung
berapa orang, dengan kekuatanku hanya dapat
kuselamatkan kalian berdua, hendaklah lekas
kalian pergi slekasnya, ingatlah selalu pesanku,
ilmu silat orang ini sukar dijajaki, janganlah kalian
sembarangan bertindak.
"Locianpwe......."
Belum lanjut ucapan Lamkiong Peng, tahu-tahu
Wiki mendorongnya keluar sambil bergumam,
"Naga melahirkan sembilan anak, setiap anak
berbeda-beda, biarpun sesama saudara
seperguruan, terdapat juga serigala dan harimau
diantaranya........."
Terdengar suara keriat-keriut, pintu lorong
rahasia itu telah rapat kembali.
Lamkiong Peng berdiri termenung dengan
terharu. Waktu ia menengadah, cuaca remang-remang,
malam sudah larut, ketika ia periksa keadaan Cian
Tong-lai, muka anak muda itu pucat pasi, namun
tidak mengurangi wajahnya yang cakap.
Ia coba membedakan arah, lalu membawa Cian
Tong-lai berlari ke arah barat daya, teringatnya
Bwe kiamsoat yang berjanji menunggu kembalinya
itu, seketika bergejolak perasaannya yang tertekan
itu. Tapi bila teringat Tik Yang yang sekarat,
seketika ia menghentikan langkahnya.
Terjadi lagi pertentangan batin. Jika dia kembali
dengan tangan hampa, maka segala langkah
usahanya akan berubah juga tdiak ada artinya
sama sekali, mana boleh ia menyaksikan Tik Yang
yang telah membantunya itu mati keracunan
begitu saja"
Selagi bingung dan serba salah, menddak
dirasakannya sebuah tangan pelahan menekan
Leng-thai-hiat pada punggungnya, Ling-thai-hiat
adalah salah satu hiat-to penting yang
berhubungan erat dengan jantung, bilamana
tergetar dengan keras, seketika binasa.
Akan tetapi Lamkiong Peng hanya terkejut
sekejap saja, habis itu lantas tenang malah, ia pikir
dalam keadaan serba susah, bila mati akan
merupakan pelepasan malah baginya, lepas dari
segala siksa derita.
Karena itulah ia tetap berdiri diam saja dan
tidak memberi rcaksi apa pun, dengan tenang ia
menantikan ajal.
Siapa tahu, sampai sekian lamanya tangan itu
tetap tidak bergerak lagi.
Bekernyit kening Lamkiong Peng dengusnya,
"Kenapa sahabat tidak lekas turun tangan?"
Di bawah kerlip bintang bayangan orang
dibelakangnya tampak bergerak mendoyong ke
depan, agaknya orang merasa heran terhadap
sikap Lamkiong Peng yang tak gentar itu.
Segera terdengarlah suara tertawa ngikik nyaring
di belakang, katanya, "Lo-ngo, apakah engkau
benar-benar tidak takut mati?"
Suara ini hampir serupa dengan suara yang
didengarnya di tempat tahanan yang gelap itu,
suara yang sudah dikenalnya.
Tergetar hati Lamkiong Peng, serentak ia
membalik tubuh dan berseru, "He, toaso!"
Di tengah remang malam Giok-he kelihatan lagi
tersenyum riang.
"Kenapa Toaso juga datang ke sini?" tanya
Lamkiong Peng Giok he tidak menjawab, sebaliknya ia membuka
sebelah tangannya dan berseru, "Coba lihat, apa
yang kupegang ini?"
Tergerak hati Lamkiong Peng, tanpa terasa ia
berseru, "He, obat penawar" Apakah obat
penawar?" "Kau memang cerdik, yang kupegang itu
memang obat penawar," ujar Giok he sambil
membuka lebar telapak tangannya sehingga
kelihatan sebiji pil merah. "Ku tahu demi untuk
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendapatkan obat penawar ini, kau tidak sayang
menyerempet bahaya dengan taruhan nyawa
sendiri. Tapi obat ini tetap tidak kauperoleh, begitu
bukan?" Lamkiong Peng menghela nafas menyesal sambil
menunduk, seperti mau bicara, tapi urung.
"Setiba di Boh-liong-ceng," demikian Giok he
bicara pula, "Hatiku ikut sedih demi mendengar
urusanmu. Betapapun kau adalah suteku dan
harus kubela."
Dia bicara dengan tulus penuh perhatian, tapi
sinar matanya gemerdep dengan maksud yang
sukar diraba, dengan semdirinya hal ini tidak
dilihat oleh Lamkiong Peng.
"Sebab itulah aku berusaha memperdayai Yim
hongpeng yang munafik itu, akhirnya dapat kutipu
obat penawar ini dari dia, " demikian Giok he
bertutur pula."Tapi ketika kupancing dia
membawaku ke tempat tahananmu dan ingin
menolongmu keluar, siapa tahu engkau sudah
berhasil kabur lebih dulu. Sungguh aku bergirang
bagimu dan juga sedih. Tanpa obat penawar,
menuruti watakmu yang keras, tidak nanti kau
mau pulang ke sana, sebab itulah tanpa
menghiraukan bahaya segera kususulmu ke sini."
Terharu Lamkiong Peng dan juga merasa malu
diri, ia pikir betapapun Toaso tetap baik padaku,
hampir saja aku salah menilainya.
Ia mengadah, dilihatnya Giok-he sedang
memandangnya, tiba-tiba Lamkiong Peng merasa
Liong-hui sesungguhnya adalah lelaki yang
beruntung. Dengan tersenyum Giok-he berkata pula, "toako
dan Sumoay mendampingiku, tapi dia seorang
yang kaku dan pendiam, seharian paling bicara
dua tiga kata denganku. Entah bagaimana dengan
toakomu, ai, sungguh kukuatir........."
"Toaso, kukira Toako sudah pulang ke Ji-hausanceng, bila........bila urusan disini selesai segera
kita pun dapat pulang, " kata Lamkiong Peng.
Kata Giokhe dengan hampa, "Betapapun aku
hanya seorang perempuan. Losam selalu acuh tak
acuh, alangkah baiknya jika dapat berada
bersamamu, tentu aku tidak perlu repot....."
"Meski siaute tidak dapat menjaga Toaso
sepanjang jalan, tapi........." tiba-tiba ia
mengeluarkan sepotong kemala putih dan
diberikan kepada Giok he, sambungnya, "dengan,
membawa kemala ini, kemana pun dapat Toaso
memperoleh bantuan pada setiap cabang
perusahaan setempat usaha keluarga kami."
Ia tidak memandang langsung kepada Giok he
sehingga tidak diketahui betapa senang hati
nyonya muda itu, hanya dirasakan sebuah tangan
halus memegang tangannya, hatinya tergetar dan
menyurut mundur setindak, pil merah oleh Giokhe
telah ditaruh pada tangannya sambil berkata,
"Gote, selesai urusanmu di sini hendaknya segera
kaupulang, bila bertemu dengan toako juga
membujuknya supaya lekas pulang."
Dia bicara agak tersendat sehingga Lamkiong
Peng tambah rikuh untuk memandangnya, ia cuma
mengangguk saja sambil menunduk.
"Toaso telah banyak membelamu, entah kaupun
sudi bekerja sesuatu bagiku atau tidak?" kata giokhe
pula. "Orang yang dalam gendonganmu ini adalah
murid Kun-lun dan merupakan musuh kita,
kungfunya sangat tinggi, mungkin kita bukan
tandingannya, demi menghilangkan bahaya di
kemudian hari, hendaknya kau tutuk Hiat-to cacat
bagian punggungnya."
Lamkiong Peng mendongak dengan tercengang,
jawabnya kemudian, "Apabila orang ini berbuat
sesuatu kesalahan kepada Toaso, setelah dia
siuman nanti pasti akan kulabrak dia mati-matian.
Tapi sekarang di dalam keadaan pingsan, orang
menyerahkan dia dalam tanggung jawabku pula,
apaun juga tidak dapat kuganggu dia dalam
keadaan demikian."
Giok he tampak kurang senang, jengeknya,
"Baru saja kauterima obat penawar dariku dan
segera kaubangkang kehendakku, apapula yang
dapat kuharapkan darimu kelak?"
"Tapi aku.......aku.........."mendadak Lamkiong
Peng mengembalikan pil merah itu kepada Giok he
dan menambahkan, "Lebih baik kukembalikan
obat ini daripada berbuat pengecut yang melanggar
hati nuraniku."
Selagi ia hendak berpaling dan tiingal pergi,
sekonyong-konyong Giok-he mengikik tawa,
katanya, "Ah, aku Cuma menguji kejujuranmu saja
apakah engkau masih ingat kepada ajaran suhu
atau tidak, mengapa kau jadi serius terhadap
Toaso?" Sembari berkata ia serahkan pula pil merah itu
kepada Lamkiong Peng .
Hati Lamkiong Peng menjadi lunak lagi,
ucapnya, "Asalkan bukan tindakan seperti ini,
terjun ke lautan api sekalipun akan kulakukan
bagi toaso dan toako."
"Apa tidak ada perbedaan antara toako dan
toaso dalam pandanganmu?" tanya Giok-he.
Kembali Lamkiong Peng melenggong bingung.
Didengarnya Giok he berucap pula, "Asalkan
pandanganmu terhadap toako dan toaso tidak ada
perbedaan, maka senanglah hatiku."
Tiba-tiba ia menjulurkan sebelah tangannya dan
berkata pula, "Untuk memastikan apa yang
kaukatakan barusan ini, sudilah kaujabat tangan
toaso." Sekilas pandang Lamkiong Peng merasa tangan
orang yang putih bersh itu emnimbulkan rasa waswas
yang sukar diceritakan.
"Kenapa, apakah tangan Toaso kotor?" kata Giok
he melihat anak muda itu ragu-ragu.
Pelahan Lamkiong Peng mengangsurkan
tangannya untuk menjabat tangan Giokhe, baru
saja ia hendak menarik kembali tangannya,
mendadak genggaman Giok-he mengerat, hawa
hangat harum tersalur dari telapak tangan ke
lubuk hatinya. "Gote," terdengar Giok-he berucap dengan
lembut, "hendaknya jangan melupakan malam
ini............."
Tergetar hati Lamkiong Peng, sebelum selesai
ucapan orang segera ia menarik tangan dan berlari
pergi. Gemerdep sinar mata Giokhe memandang
bayangan anak muda yang menghilang dalam
kegelapan itu, tersembul senyuman aneh pada
ujung bibirnya.
Tiba-tiba dari kegelapan muncul lagi sesosok
bayangan dan melayang capat ke arah Giokhe serta
memegang tangannya, "Jangan melupakan malam
ini apa?" Setelah merandek, segera ia membentak pula,
"Barang apa yang kaupegang ini?"
Suaranya mengandung rasa gusar dan cemburu,
tidak perlu ditanya lagi jelas orang ini ialah Ciok
Tim. Dengan ketus Giokhe mengipatkan tangannya
dan mendengus, "Hm, kau ini apaku" Kau ingin
memerintahku?"
Berubah juga air muka Ciok Tim,
Kau.....kau..........Ai, terhadap
Toako..........aku.........."
Sambil mendengus Giok membuka telapak
tangannya dan berkata, "Kemala ini pemberian
Gote padaku, dengan kepingan kemala ini, dalam
sehari saja bila perlu dapat kutarik berpuluh laksa
tahil perak, apakah kaupun dapat menyediakan?"
Ciok Tim tercenagang, rasa gusar membuat air
mukanya berubah menjadi malu, ia meremas
tangan sendiri dengan pedih, mendadak ia
membentak dan mencengkram pundak Giok-he
dengan keras scakan-akan ingin merobek
tubuhnya yang bemas itu, seolah-olah ingin
mengorek hatinya yang dingin itu.
Berubah juga air muka Giok-he, jari tangan
kanan terjulur dan bermaksud menutuk iga anak
muda itu, tapi baru menyentuh bajunya, nafsu
membunuhnya mendadak berubah lunak, tiba-tiba
ia tertawa menggiurkan, "Eh, ada apa kau"
Lepaskan, aku kesakitan!"
Suaranya menggetarkan kalbu membuat tangan
Ciok Tim agak gemetar, akhirnya ia menghela
nafas panjang, melepaskan tangan dan menunduk.
Pelahan Giok he memijat pundak sendiri dan
berkata, "Oo, sakit sekali cengkraman mu, lekas
urut bagiku."
Tanpa terasa Ciok Tim menjulurkan tangannya
dan meraba bagian yang dimaksud. Giok he
memejamkan mata seperti menikmati, rabaan anak
muda itu. Jari Ciok Tim tambah beraksi dengan cepat dan
mulai menurun ke bawah.......sorot matanya
memancarkan cahaya kerakusan seperti binatang
liar yang kelaparan.........
Pelahan tubuh Giok he menggeliat, ia berucap
seperti orang mengigau, "Sungguh bodoh kau,
memang kaukira aku ada berbuat apa terhadap Longo"
Hm, aku kan Cuma........Cuma ingin
memperalat dia saja.......Oo, kau mau apa?"
Mendadak ia berteriak sambil memberosot lepas
dari pegangan Ciok Tim.
Keruan anak muda itu melenggong, serupa
kucing liar yang sedang berahi mendadak disiram
air dingin. Giok he memandangnya dengan senang, ia tahu
anak muda ini seluruhnya telah jatuh dalam
cengkramannya, sudah masuk dalam perangkap
yang diaturnya, telah menjadi budaknya.
Dengan lembut ia lantas berkata, "Adik Tim,
etntunya kau tahu betapa hatiku terhadapmu
asalkan kauturut apa yang telah kuatur, segala
hasil usahaku kelak adalah milikmu. Cuma
kaupun perlu tahu, meski kusuka padamu, namun
banyak urusan yang tdiak adapat kutinggalkan
hanya lantaran dirimu. Banyak persoalan dunia
persilatan yang tidak kaupahami, demi hari depan
kita, mau tidak mau harus kukerjakan hal-hal
yang sukar kaubayangkan, untuk ini hendaknya
kaumaklum."
Dengan bimbang Ciok Tim mengangguk.
Maka Giok he menyambung lagi, "Maka apapun
tindakanku selanjutnya jangan kau ganggu. Jika
kau terima permintaanku ini selamanya tentu
kaudapat berada bersamaku, kalau tidak......."
sampai disini ia tidak meneruskan lagi melainkan
terus membalik tubuh dan melangkah ke sana.
Ciok Tim berdiri melongo di tempatnya,, ia
merasa pedih dan juga mendongkol, sungguh ia
tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.
Pada saat itulah Giok-he berpaling dan berseru,
"He, untuk apa berdiri di situ" Ayolah kemari........"
Tanpa terasa Ciok Tim ikut melangkah ke sana,
dalam kegelapan terdengar pula suara tertawa
yang menggiurkan........
Kegelapan memang telah banyak
menyembunyikan berbagai rahasia dan dosa
manusia sehingga dunia ini kelihatan terlebih
indah. Dalam pandangan Lamkiong Peng saat itu,
dunia ini menag kelihatan indah dan penuh
harapan. Ia merasa dunia ini ada orang jahat, tapi orang
baik terlebih banyak lagi. Hasratnya ingin lekas
menolong sahabatnya memebutanya lupa letih dan
lapar. Dengan penuh semangat ia berlari dalam
kegelapan malam.
Dengan hati-hati ia telah menyimpan pil merah
itu dalam sebuah kantung sutera kecil, kantung
yang serupa dompet itu adalah pintalan sang ibu
sebelum dia meninggalkan rumah. Pada waktu
kesepian ia suka meraba kantung sutera itu. Dia
seorang kastria muda, dia tidak pemah melupakan
kasih ibunda. Ia berlari dengan cepat, tidak lama ia sudah
berada di luar kota Se-an, suasana sunyi senyap,
ia coba memeriksa keadaan sekeliling, akan tetapi
tidak terlihat bayangan Bwe kiam soat.
IA menjadi kuatir, "Apakah dia sudah pergi?"
Ia coba memanggil, "Nona Bwe......nona Bwe ..."
Namun suasana tetap sunyi senyap, dimanapun
Bwe kiam soat berbunyi seharusnya mendengar
suaranya. Nafas Lamkiong Peng terasa sesak, pikirnya,
"Kenapa tidak menunggu disini" Kenapa dia ingkar
janji" Tik Yang keracunan, apakah juga dibawanya
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pergi, kan obat penawar yang kubawa ini menjadi
sia-sia........."
Ia menghela nafas dan tidak ingin berpikir lagi,
ia melangkah ke sana dengan limbung. Awan
tersimak, cahaya bulan menembus langsung
menyinari sesosok bayangan manusia di balik
semak sana, terlihat mukanya, siapa lagi dia kalau
bukan Bwe kiam soat.
Dengan girang Lamkiong Peng berseru, "Hei
nona Bwe, kiranya engkau berada disini!"
Selagi dia hendak memburu kesana, dilihatnya
muka Bwe kiam soat yang pucat itu kaku dingin,
melenggong seperti orang linglung, sorot matanya
buram, air mukanya kaku tanpa memperlihatkan
sesuatu perasaan, serupa orang yang hiat-tonya
tertutuk, seperti juga orang yang tersihir.
Tergetar hati Lamkiong Peng , ia tahu pasti
terjadi sesuatu. Cepat ia memburu maju sambil
menegur dengan suara gemetar, "Kenapa......."
Belum lanjut ucapannya, dilihatnya mata Bwe
kiam soat melirik ke samping depan sana tanpa
bersuara. Tanpa terasa Lamkiong Peng ikut memandang ke
sana, di bawah pohon duduk sesosok bayangan
orang lagi, duduk kaku tanpa bergerak seperti
patung, hanya sinar matanya kelihatan gemerdep
dalam kegelapan.
Waktu diperhatikan, kembali hati Lamkiong
Peng berdebar, tanpa terasa ia berseru, "Hei, nona
Yap, kenapa engkau pun berada disini"!"
Sungguh tak terpikir olehnya bahwa bayangan
yang duduk di bawah pohon itu adalah murid Tanhong
Yap jiu-pek, Yap man-jing yang cantik dan
juga pongah itu.
Siapa tahu, meski mendengar seruannya,
namun Yap manjing tetap diam saja, seperti tidak
mendengar dan juga tidak melihat, ia msih duduk
di tempatnya. Tentu saja Lamkiong Peng terheran-heran, ia
menaruh Cin tong-lai di tanah, lalu dihampirinya
nona yang jelita dan seperti linglung itu.
"Nona Yap," tegurnya sesudah dekat, "Apakah
terjadi sesuatu disini?"
Terlihat senyuman Yap manjing yang hambar,
namun tetap duduk saja tanpa menjawab.
Mengamat-amati lebih teliti, dilihatnya si nona
tetap memakai baju hijau, mata alisnya tetap
menampilkan sikap angkuh, sama sekali tidak ada
tanda hit-to tertutuk dan sebagainya.
Lamkiong Peng tambah heran, ia coba mendekati
Bwe kiam soat, dilihatnya Kiam soat melototinya
sekejap, seperti tidak senang dia memperhatikan
orang lain "Sesungguhnya apa yang terjadi?" tanya
Lamkiong Peng dengan gelisah.
Namun Bwe kiam soat juga tidak bergerak dan
juga tidak menjawab, seperti orang bisu dan tuli.
"Bagaimana dengan Tik Yang " Dimana dia!"
serunya pula kuatir sambil memandang kian
kemari. Bwe kiam soat Cuma memandang Yap man-jing
tanpa berkedip, sebaliknya Yap manjing juga
menatap Bwe kiam soat, kedua nona itu sama
sekali tidak memandang lagi kepada Lamkiong
Peng, seperti dia tidak hadir di situ.
Seketika Lamkiong Peng celingukan kian kemari
dengan bingung.
Sekilas pandang mendadak dilihatnya di semak
rumput sana merayap keluar seekor ular hijau
sepanjang satu kaki, dengan cepat ular itu
merayap ke samping dengkul Yap manjing.
Meski sorot mata Yap manjing menampilkan
rasa ngeri, namun tubuhnya tetap tidak bergerak
sama sekali. Biasanya di tengah semak rumput memang
banyak ular berbisa.
Tentu saja Lamkiong Peng kuatir, cepat ia
melompat maju, sekali raih ekor ular itu segera
dipegangnya. Ular itu lantas melingkar ke atas, lidah ular yang
merah terjulur, secepat kilat hendak memagut urat
nadi Lamkiong Peng.
Meski mahir ilmu silat, namun Lamkiong Peng
sama sekali asing terhadap ular. Ia terkejut dan
membuang ulat itu kebelakang, tapi ketika ia
berpaling mengikuti temapt jatuhnya ular, kembali
ia terkejut, sebab ular itu dengan tepat terlempar
ke atas tubuh Bwe kiam soat.
Lekas Lamkiong Peng memburu lagi ke sana.
Ular itu pun seperti terkejut, hanya sejenak
berhenti di atas tubuh Bwe kiam soat, lalu
merayap ke bagian lehernya.
Air muka Bwe kiam soat tampak pucat
ketakutan, kulit dagingnya merinding dan
berkerut-kerut, dengan cemas ia memandang lidah
ular yang sebentar-bentar terjulur itu, butiran
keringat dingin merembes keluar di dahinya,
namun tubuhnya tetap tidak bergeming.
Orang perempuan pada umumnya takut kepada
tikus dan ular, betapa tabah hati seorang
perempuan juga akan menjerit kelabakan bila
melihat mahluk melata tersebut, apalgi sekarang
tubuh Bwe kiam soat dirayapi ular, betapa
cemasnya sukar dilukiskan.
Ketika Lamkiong Peng memburu tiba, segera ia
hendak mencengkram kepala ular. Karena
pengalaman tadi, ia pikir sekali pencet akan
membinasakan binatang melatah ini.
Tak terduga belum lagi tangannya bergerak,
tiba-tiba seorang membentak di belakangnya,
"Jangan!"
Dengan terkejut Lamkiong Peng menoleh,
dilihatnya Ban tat berlari datang dari kejauhan
sana, dengan nafas tersengal ia menatap ular hijau
itu dengan was-was, berbareng ia menarik
Lamkiong Peng mundur ke belakangnya.
Dengan heran Lamkiong Peng bertanya,
"Apa..........."
Pelahan Ban tat memberi tanda supaya jangan
bicara, lalu ia melangkah maju dengan prihatin
serupa seorang jago dunia persilatan menghadapi
lawan yang paling tangguh.
Melihat ketegangan orang tua ini, Lamkiong Peng
tahu ular hiaju ini pasti bukan sembarangan ular
berbisa bilamana cengkramannya tadi tidak
berhasil sekali pegang, buka mustahil jiwa Bwe
kiam soat melayang.
Suasana berubah sunyi mencekam, jantung
sama berdebar. Tubuh ular hijau yang jelek dan bersisik itu
sudah mulai merayapi pundak Bwe kiam soat
dengan lidahnya yang mersah menjulur dan
hampir menjilat wajah Bwe kiam soat yang pucat.
Sampai Yap manjing yang duduk di seberangnya
juga menampilkan rasa kuatir dan ngeri.
Langkah Bantat sangat pelahan dan sangat hatihati.
Lamkiong Peng mengepal tinju dengan
menahan nafas, butiran keringat mengucur dari
dahinya. Mendadak terlihat lidah ular berkelebat lagi.
Secepat kilat Ban Tat turun tangan dengan tiga jari
ia cengkeram leher ular, beberapa senti dibawah
kepala, menyusul dibantingnya dengan keras ke
tanah, kontan ular itu mati kaku dan tidak
berkutik lagi. Gerak tangannya cepat lagi jitu, baru sekarang
Lamkiong menghela napas lega. Selagi dia hendak
mengucapkan terima kasih, dilihatnya Ban Tat
masih prihatin, mendadak ia melolos sebilah belati
tajam, sekali injak dengan kaki kiri, kontan tubuh
ular itu dipotongnya.
"Gret" menyusul belati itu lantas ditancapnya
diatas kepala ular, darah segar pun munerat
menyebabkan menyebarkan bau anyir busuk.
Sampai disini baru Ban Tat menarik napas lega,
tampa terasa juga Lamikiong Peng mengusap
keringatnya. Namun Bwe Kim Soat dan Yap Manjing
masih tetap duduk kaku di tempatnya.
Kejadian yang mendebarkan tadi scakan " akan
terjadi atas diri mereka.
"Sungguh berbahaya...." guman Ban Tat.
Sebenarnya apa yang terjadi ini" tanya Lamkiong
Peng. "Ular ini tidak terdapat di daerah Tionggoan,
tapi jenis ular paling berbisa yang cuma terdapat di
daerah gurun. Bisa ular ini sangat jahat, sekali
tergigit dalam sekejap korbannya akan mati sesak
napas. Sungguh tak terduga ular semacam ini bisa
muncul disini."
Diam " diam Lamkiong Peng bersyukur terhindar
dari maut, untung kedatangan penolong yang ahli,
kalau tidak urusan ini bisa runyam. "Yang
kutanyakan bukan Cuma sola ular, tapi mereka....
sesungguhnya apa yang terjadi?" Katanya pula
menunding Bwe dan Yap berdua. "Kenapa mereka
begitu" Dan kemana perginya Tik-heng?"
Ban Tat mengeluarkan sepotong kain putih,
dengan hati " hati ia membungkus tangkai belati
lalu menggali sebuah liang disamping bangkai ular,
katanya dengan gegetun. "Aku dan nona Bwe
menunggumu disini, lambat laun fajarpun
menyingsing, sedangkan kedaan sahabat She Tik
itu semakin parah dan menguatirkan, berulang dia
mengigau, tubuh pun mengejang. Mestinya nona
Bwe hendak menutuk hiat " to untuk mengurangi
penderitaannya, tapi kuatir racun sudah masuk
darahnya, bila hiat-to ditutuk bisa jadi racun akan
mengumpul dan tidak dapat mengalir, hal ini tentu
akan tambah bahaya."
Ia berhenti sejenak sambil melirik Bwe Kim-soat
sekejap, lalu bertutur pula, "Waktu itu mestinya
ingin kucari suatu tempat yang sejuk untuk
bersembunyi dan menunggu kepulanganmu, tapi
nona Bwe menolak, ia bilang sudah berjanji
menunggumu disini, biarpun langit ambruk dan
bumi ambles juga tetap akan menunggumu disini."
Terharu sekali hati Lamkiong Peng, tampa terasa
ia memandang Bwe Kim-soat sekejap, kebetulan
Kim-soat juga lagi melirik ke arahnya. Bentrokan
pandangan ini membuat jantung anak muda itu
berdebur. "Kemudian lantas bagaimana" " tanyanya
kepada Ban-tat.
Menjelang magrib, kupergi mencari makanan
dan air minum, siapa tahu sedikitpun nona Bwe
tidak mau makan, dia Cuma minum dua ceguk air
dingin sambil memandang ke arah kepergianmu
dengan cemas. Meski dia tidak omong juga dapat
kuselami betapa rasa kuatirnya bagimu. Setelah
hari gelap ingin kucari lagi kayu bakar untuk
membuat api unggun....."
Kembali ia merandek sambil memandang Ke
arah Yap manjing, sambungnya, "pada saat itulah
nona Yap ini mendengar suara igauan Tik yang dan
mencari ke arah suara sini..." mendadak ia
memandang kian kemari sambil menahan
suaranya, "kedatangan nona Yap ini seprti juga
lantaran dirimu, sekali dia melihat nona Bwe,
seketika air mukanya berubah dan bertanya,
"Apakah Lamkiong Peng juga
terluka".........Agaknya dia dapat menerka siapa
nona Bwe, juga orang yang berada bersama nona
Bwe pasti dirimu."
Diam-diam Lamkiong Peng menghela nafas,
entah merasa hangat atau bingung, sedapatnya ia
menahan kcinginannya memandang Yap manjing,
akan tetapi toh tidak tahan dan akhirnya melirik
juga sekejap, kembali keduanya beradu pandang.
Jantung Lamkiong Peng berdebur lagi, cepat ia
tanya Ban Tat, "Dan kemudian bagaimana?"
"Kemudian......." Bantat berdehem dulu, lalu
menyambung, "Kemudian nona Bwe menjengek
dan menegur siapakah nona Yap" Dan...dan
keduanya lantas terlibat dalam pertengkaran........"
Agaknya ia sungkan menceritakan pertengkaran
kedua nona yang berpangkal atas diri Lamkiong
Peng itu, ia cuma berkata, "pembicaraan kedua
nona itu tentu saja tidak dapat ku ikut campur,
namun akhirnya kudengar.....kudengar nona Bwe
berkata, "Ya usiaku sudah 40-an, dengna
sendirinya memenuhi syarat untuk menjadi
angkatan yang lebih tua, maka sekarang hendak
kuberi hajaran kepada kaum muda yang tidak
sopan seperti kau ini."
Kening Lamkiong Peng bekernyit, pikirnya," Jika
demikian, jelas Yap Manjing telah menyebut nona
Bwe sebagai Locianpwe, mengapa dia menganggap
nona Yap tidak sopan?"
Betapa pintarnya Lamkiong Peng tetap tidak
dapt memahami perasaaan anak perempuan. Ia
tidak tahu bahwa Yap manjing sengaja menyebut
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
usia Bwe kiam soat untuk mengingatkan dia hanya
sesuai menjadi "Locianpwe", atau kaum tua
Lamkiong Peng, artinya tidak cocok untuk menjadi
pacarnya. Dengan sendirinya hal ini membuat Bwe
kiam soat menjadi marah.
Didengarnya Ban tat berkata pula, "maka nona
Yap lantas marah jugga, pada waktu itu Tik Yang
lagi meronta-ronta, kudekati dia untuk
merawatnya. Ketika keadaannya agak baikan,
kudengar kedua nona ribut mulut lagi, akhirnya
nona Yap menjengek, "Hm, orang kangouw sama
menyebut dirimu sebagi Leng hiat-huicu, tentu
karena tabiatmu yang dingin dan tenang. Maka
sekarang juga boleh kita beradu kesabaran
berduduk semedi, tidak peduli menghadapi
kejadian apapun dilarang bergerak, barangsiapa
bergerak lebih dulu dianggap kalah."
Etrgerak hati Lamkiong Peng , pikirnya nona Yap
ini sungguh pintar, dia hidup bersama Yap jiu-pek
di puncak Hoa-san yang dingin dan sepi itu selama
berpuluh tahun, dalam hal duduk menyepi dengan
sabar, tentu jauh lebih tahan daripada orang lain."
Berpikir demikan, tanpa terasa ia memandang
Bwe kiam soat sekejap, lalu bertanya pelahan,
"Dan dia menerima tantangan itu?"
"Masa dia menolak?" ujar Ban tat.
Tapi segera teringat oleh Lamkiong Peng , Bwe
kiam soat pemah tersekap belasan tahuan di dalam
peti mati yang sempit dan gelap itu, penderitaaan
selama itu memerlukan kesabaran yang tak
terhingga untuk mengatasinya, jika urusan duduk
diam saja pasti tidak menajdi soal baginya.
Berpikir demikian, tanpa terasa ia menyapu
pandang sekejap kepada Bwe kiam saot dan Yap
manjing berdua, ia pikir, pengalaman dan watak
kedua orang perempuan ini memang lain daripada
yang lain, tampaknya dalam waktu singkat mereka
pasti sanggup bertahan untuk tidak bergerak sama
sekali. Melihat perubahan air muka Lamkiong Peng
yangs sebentar kuatir dan sebentar girang, lain
saat kagum, segera merasa sedih lagi, tentu saja
Ban tat juga terheran-heran.
"Pertandingan mereka ini entah akan berakhir
kapan," gumam Lamkiong Peng dengan gegetun.
Mendadak ia bertanya, "Dan kemana perginya Tikheng?"
"Racun yang digunakan Yim hong-peng memang
sangat lihai, selain bisa membunuh, juga dapat
membuat pikiran sehat orang terbius. Sahabat she
Tik itu selama seharian tampak seperti orang
sinting, pada waktu malam bahkan kumat gilanya,
aku harus mengawasi keadaan nona Bwe, juga
perlu menjaga dia, memangnya kau susah
kerepotan, kedatangn nona Yap segera pula
menantang bertanding lagi kepada nona Bwe,
selagi aku agak meleng, sahabat she Tik itu terus
melepaskan peganganku dan berlari secepat
terbang ke tempat gelap.
"Dan tidak kalian susul?" tanya Lamkiong Peng
kuatir. "Nona Bwe dan nona Yap waktu sudah mulai
bertanding berduduk dan tidak dapat bergerak lagi,
dengan sendirinya tak dapat menyusulnya, " tutur
Ban tat. "Dan kau sendiri?" tanya Lamkiong Peng .
"Aku sendiri segera mengejarnya, ujar Ban Tat
dengan gegetun, "Siapa tahu, meski sahabat Tik itu
keracunan, tapi ginkangnya tetap sangat
mengejutkan, meski sudah kusul dengan sekuat
tenaga, namu tidak seberapa lama aku kehilangan
jejaknya dalam kegelapan."
"Dan karena tidak dapat kau susul dia, lantas
kembali lagi kesini?" tanay Lamkiong Peng dengan
mendongkol. "Ya, aku memang tidak berdaya, setiba
kembaliku kesini, kebetulan kulihat ular hijau
tadi," tutur Ban Tat dengan menyesal.
"Dia lari ke arah mana?"
Ban Tat menuding ke arah barat.
"Coba bawaku kesana," seru Lamkiong Peng
sambil menarik tangan Ban Tat dan diajak berlari
pergi. Tanpa kuasa Ban Tat terseret lari secepat
terbang, diam-diam ia mebtin, "Berpisah belum ada
setahun, tak tersangka kungfunya sudah maju
secepat ini.........."
********** Malam semakin sunyi, Bwe kiam soat dan
Yapmanjing hanya sempat melirik ke arah
menghilangnya bayangan Lamkiong Peng di
kegelapan sana, segera mereka memusatkan
perhatian dan saling tatap pula.
Meski diluar kedua orang kelihatan tenang, tapi
dalam hati sama bergejolak.
Angin meniup dingin, tanah kosong di tengah
kedua orang yang duduk saling pandang itu
menggeletak Cian Tong-lai yang sejak tadi tak
sadarkan diri. Mendadak anak muda ini mulai
bergeliat dan membalik tubuh miring ke samping.
Bwe kiam soat dan Yap manjing sama tidak tahu
siapakah pemuda berbaju perlente ini. Apakah
orang ini sakit atau terluka. Apakah musuh
Lamkiong Peng atau sahabatnya.
Tertampak anak muda itu membalik dua tiga
kali, mendadak melompat bangun serupa seekor
kelinci yang terkejut terkena panah, dengan
tercengang ia kucek-kucek matanya, lalu
memandang Bwe kiam soat dan Yap Manjing
dengan terbelalak.
"He, tempat apakah ini" Kenapa aku berada di
sini?" tanyanya bingung.
Bahwa setelah siuman, mendadak diketahui
dirinya berada di tempat sepi dan disampingnya
berduduk dua peermpuan maha cantik tanpa
bergerak, betapa tabahnya tidak urung juga rada
sangsi dan ngeri.
Setelah tercengang sejenak, mendadak ia
berpaling, "Giok-ji.....Tanji........"
Lalu ia mneghadapi lagi ke arah Bwe dan Yap
berdua, bentaknya, "Sesungguhnya tempat apakah
ini" Mengapa aku sampai di sini?"
Namun kedua perempuan maha cantik ini tetap
tidak bergerak sedikitpun, bahkan meliriknya pun
tidak. Timbul juga rasa ngeri Cian tong-lai, pikirnya,
"Jangan-jangan aku ketemukan setan" Kalau
tidak, mengapa tanpa sebab dari Boh-liong-ceng
aku bisa berada di sini?"
Mendadak ia melayang pergi secepat terbang.
Hati Bwe kiam soat dan Yap berdua sama
tergetar, diam-diam mereka memuji kehebatan
ginkang anak muda itu. Mereka pun geli teringat
kepada kelakuan Cian Tong-lai yang bingung tadi.
Siapa tahu, sejenak kemudian, mendadak
terdengar suara orang berdehem, pemuda berbaju
perlente muncul kembali, dengan langkah santai ia
mendekati kedua peermpuan cantik itu, lebih dulu
ia mengamat-amati Bwe kiam soat beberapa kejap,
lalu mengawasi Yap Manjing dengan cermat,
kemudian menuju ke samping Kim soat serta
mendekatkan kepalanya ke muka orang dan
menegur, "He, he, kau dengar ucapanku tidak?"
Tapi Bwe kiam soat tetap diam saja, tidak
bergerak, juga tidak berkedip.
Cian Tong-lai menggeleng kepala, ia coba
mendekati Yap manjing dan berjongkok di
sampingnya serta menegur, "He.....he....."
Namun Yap manjing
Juga diam saja tanpa bergeming, malahan sorot
mata mereka tampak menampilkan rasa gusar atas
tingkah lakunya yang kasar itu.
Mendadak Cian tong-lai membentak, "Hai..."
Bentakan ini keras luar biasa scakan-akan genta
yang dibunyikan di tepi telinga, hati Bwe dan Yap
tergetar, betapapun tenangnya mereka tidak urung
berkedip juga. "Haha, kiranya kalian bukan orang tuli," seru
Cian tong-lai dengan tertawa. "Semula kusangka
kalian orang bisu tuli, eh kiranya kalian juga
dengar suaraku. Padahal kalian masih muda jelita,
jika benar bisu-tuli kan sayang!"
Mendadak ia berhenti tertawa dan menarik
muka, jengeknya, "Hm, jika kalian buka orang
bisu-tuli, kenapa kalian tidak menggubris
pertanyaanku tadi" Apakah kalian menghina
diriku" Bwe dan Yap merasa selain kungfu anak muda
ini sangat tinggi, orangnya juga cakap, Cuma tutur
katannya yang kelewat congkak dan menjemukan,
namun meski hati mendongkol mereka tetap tidak
bergerak. Cian tong-lai bersimpuh tangan dan berjalan
mondar-mandir, dipandangnya Bwe kiam soat, lalu
memandang Yap manjing lagi, sejenak kemudian
kembali ia menengadah dan bergelak tertawa,
"Hahaha, bagus, tahulah aku! Mungkin thian
kasihan padaku karan kesepian, maka sengaja
memberikan dua teman jelita kepadaku."
"Betul tidak?" demikian ia pandang Kiam soat
dan bertanya, lalu berpaling dan tanya Yap
manjing pula, "Betul tidak?"
Lalu ia terbahak-bahak dan menambahkan pula,
"Aha, rasanya memang betul begitu, bukankah
kalian telah mengaku secara diam-diam"!"
Sedapatnya Bwe kiam soat emnahan rasa gusar,
dia berharap Yap manjing tidak tahan oelh godaan
anak muda itu dan mendahului bergerak, dengan
begitu di akan segera melompat bangun untuk
memberi hajaran setimpal kepada pemuda
sombong dan bangor ini.
Sebaliknya Yap manjing juga tetap diam saja, ia
pun berharap Bwe kiam soat bergeral lebih dahulu.
Jadinya kedua orang tetap saling pandang, dada
serasa mau meledak saking gemasnya, namun
tetap tidak ada yang bergerak lebih dulu.
Mendadak Cian tong-lai menepuk dahi sendiri
dan berhenti tertawa,a lisnya bekernyit, ucapnya
dengan masgul, "O, thian, meski engkau
memperlakukanku dengan amat baik, tapi rasanya
juga keterlaluan. Kedua anak perempuan ini sama
cantiknya, lantas cara bagaimana harus kuambil
keputusan" Padahal aku cuma ada satu tubuh,
terpaksa mereka harus kujadikan istri tua dan istri
muda. Lantas siapakah di anatar mereka yang
berhak menjadi istri tua dan yang mana istri
muda?" Dia sengaja berlagak seperti seorang yang
kebingungan, ia mendekati Yap manjing dan
meraba pipinya yang halus itu, katanya dengan
menyesal, "Ai, muda jelita seperti ini mana sampai
hati kujadikan dirimu sebagai istri muda?"
Lalu dengan lagak kasihan ia pun mendekati
Bwe kiam soat dan mencolek dagunya serta
berkata, "Dan ini kan juga tidak kalah cantiknya,
sungguh sayang bila disuruh antri dari belakang."
Mata Bwe dan Yap serasa mau menyemburkan
api saking gusarnya. Tapi tiada seorang pun
memandang Cian tong-lai, keduanya tetap saling
pandang dengan melotot dengan harapan semoga
pihak lawan mau bergerak lebih dulu.
************* Kembali tadi, Lamkiong peng yang cemas dan
gemas serta kuatir itu sedang berlari menyeret Ban
Tat, gerundelnya, "Kenapa dia begitu ceroboh dan
membiarkan Tik-heng pergi begitu saja. Padahal
dia tahu jelas Tik-heng keracunan parah dan
kupergi mencari obat penawar dengan
menyerempet bahaya. Ai jika.........jika Tik heng
tidak dapat kutemukan, bukankah........bukankah
berarti jiwanya melayang akibat perbuatan
mereka?" Dia berlari semakin cepat dan gelisah.
"Lamkiong-kongeu," kata Ban Tat. "Kedua nona
itu berduduk diam di sana, bukan.........bukan
mustahil akan timbul bahaya."
Lari Lamkiong-peng agak diperlambat ucapnya
dengan mendongkol, "Lantas bagaimana dengan
jiwa Tik-heng?"
"Ai, alangkah bahagianya setiap orang yang
dapat bersahabat denganmu," ucap Ban Tat
dengan gegetun.
"Tik-heng keracunan lantaran membela diriku,
tapi sekarang.......ai, sungguh aku........"
Lamkiong Peng tidak sanggup melanjutkan
karena sejauh itu bayangan Tik Yang tetap tidak
kelihatan. Segera ia berteriak, "Tik-heng, Tik
yang.......dapatlah kaudengar suaraku?"
"Dia dalam keadaan tidak sadar, biarpun kau
panggil di telinganya juga tidak dipahaminya," ujar
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ban Tat. "Apalagi dalam keadaan gelap begitu,
kemana akan kaucari dia" Meski dia keracunan
parah, tapi sudah kusalurkan tenaga mumiku
untuk memperkuat jantungnya, kukira dalam
sehari atau setengah hari saja takkan beralangan
bagi jiwanya. Akan lebih baik sekarang kita
kembali ke sana untuk membujuk kedua nonna itu
agar berhenti bertanding. Mereka Sebenarnya tidak
bermusuhan, bujukanmu mungkin akan diturut
mereka. Besok pagi setelah terang tanah barulah
kita berempat mencari sahabat she Tik itu.
Lamkiong Peng menjadi ragu dan mengendurkan
langkahnya, "Tapi.........tapi........"
Belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong
jauh dari belakang sana berkumandang suara
bentakan orang yang tersiar terbawa angin. Jelas
orang yang membentak itu memiliki tenaga dalam
yang kuat. "Siapa itu?" Lamkiong Peng melengak dan saling
pandang dengan Ban tat.
Tanpa pikir lagi segera kedua orang berlari
kembali ke arah datangnya tadi. Tidak jauh mereka
berlari, kembali terdengar suara gelak tertawa
orang terbawa angin.
"Ternyata tidak salah dugaanmu, mereka
mengalami sesuatu," kata Lamkiong Peng.
"Kedua nona itu sama menguasai kepandaian
tinggi, bila menghadapi kejadian di luar dugaan,
mustahil mereka tetap duduk diam saja hanya
untuk berebut kemanangan yang tidak ada artinya
itu?" ujar Ban Tat.
"Tapi watak kedua orang itu terkadang memang
sukar dimengerti..........."
Belum habis ucapan Lamkiong Peng,sekonyongkonyong
berkumandang lagi suara tertawa keras
orang. "Biar kupergi dulu!" seru Lamkiong Peng
sambilmendahului berlari secepat terbang.
Hanya sekejap saja ia sudah lari sampai di
tempat duduk Bwe dan Yap berdua, dilihatnya
pemuda perlente Cian Tong-lai yang dibawanya
dari Boh-liong-ceng itu sekarang sudah berdiri di
depan Bwe kiam soat dan sedang membelai
rambutnya dengan tertawa dan berkata, "Ehm,
halus dan lemas benar rambutmu, selicin sutera
rasanya, sungguh beruntung aku........."
"Dari jauh segera Lamkiong Peng
membentak,"Berhenti, cian tong lai!"
Saat itu Cian tong-lai lagi tergiur, dirasakan
sorot mata kedua nona yang gusar itu semakin
menambah daya pikat mereka. Ia pikir bilamana
mereka benar benci kepadanya, mengapa mereka
tidak segera melabraknya, tapi tetap duduk diam
saja tanpa peduli mereka dicolek dan diraba.
Bentakan Lamkiong Peng membuatnya terkejut,
cepat ia berpaling, dilihatnya seorang pemuda tak
dikenal sedang memburu tiba dengan cepat. Ia
heran dan juga mendongkol, segera ia balas
membentak, "Siapa kau?" Dari mana kau kenal
namaku?" Lamkiong Peng berhenti di depannya, dengan
sorot mata tajam ia menjawab, "Aku yang
membawamu ke sini dari Boh-liong-ceng, dengan
sendirinya kutahu namamu."
Tentu saja Cian Tong-lai melenggak, "Engkau
yang memebawaku ke sini".........
"Ya, kau tidak sadar karena terbius, jika tidak
ditolong oleh Wiki, saat ini nasibmu pun sukar
diramalkan," tutur Lamkiong Peng.
"Aku tak sadar........terbius"...........Wiki yang
menolongku"......." demikian Cian tong-lai
bergumam dengan terheran-heran.
"Ya, baru saja kau bebas dari bahaya, kenapa
lantas berlaku tidak senonoh terhadap kaum
wanita?" damprat Lamkiong Peng.
"E-eh, nanti dulu!" ujar Cian tong-lai sambil
menggoyangkan tangannya. "Urusan ini rada
membingungkan. Tampaknya kedua nona itu
seperti kenalanmu?"
"Memang betul," jawab Lamkiong Peng.
"Haha, pantas kau kelihatan cemas begini," ujar
Cian tong-lai dengan tertawa. "Cuma, jangan kau
kuatir. Biasanya aku pun tahu baik dan jelek. Kau
bilang telah membantuku, kau pun mengatakan
mereka adalah sahabatmu, maka bolehlah kita
bagi rata saja seorang dapat satu, urusan lain
boleh kita bicarakan nanti."
Mendongkol hati Lamkiong Peng oleh ucapan
orang yang tidak pantas itu, dengan menggereget ia
mendamprat, "Kurang ajar! Sungguh tak tersangka
kau dapat bicara seperti ini. Tampaknya perlu
kuberi hajar adat padamu."
Cian tong-lai mendelik, jengeknya,"Hajar adat
padaku" Haha, bagus......."
"Bagus apa?" bentak Lamkiong Peng sambil
menampar muka orang.
Tamparannya ini tidak pakai jurus serangan
melainkan serupa orang tua menghajar anak nakal
saja. Namun Cian Tong-lai menghadapinya dengan
tertawa, sikapnya pongah, tamparan orang
dianggapnya sepele, sekenanya ia hendak mengkis
sambil mengejek, "Hm, hanya begini saja......."
Belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong
dirasakan tenaga tamparan orang sangat kuat,
tangan sendiri yang menagkis terasa kaku
kesemutan, tanpa kuasa ia tergetar mundur
beberapa tindak.
Sesuai dengan pesan si gelang terbang Wiki,
mestinya Lamkiong Peng tidak bermaksud melukai
Cian tong-lai, tapi sikap orang yang congkak dan
ucapannya yang menghina memnuatnya tidak
tahan. Sambil membentak segera ia menubruk
maju, sekaligus ia menghantam dua-tiga kali,
selalu mengincar beberapa hiat-to penting di
bagian iga lawan.
Meski lengan Cian tong-lai masih terasa kemeng,
namun gerakannya tidak kurang gesitnya, dengan
cepat ia mengindar dan balas menyerang beberapa
kali. Keduannya sama terkesiap oleh ketangkasan
lawan dan tidak berani lagi saling meremehkan.
Dalam pada itu Ban Tat telahmemburu tiba, ia
pun terkejut melihat pertarunagn sengit kedua
orang itu. Apalagi dilihatnya air muka Bwe kiam
soat danYap manjing juga menunjuk rasa cemas,
mau-tak mau ia ikut prihatin.
Mendadak terdengar suitan Lamkiong Peng,
kedua tangan menghantam susul menyusul
dengan jurus "Ciam-liong-sing-thian" atau naga
sembunyi melambung ke langit.
Diam-diam Ban Tat bergirang, ia pikir sekali
anak muda itu mengeluarkan jurus serangan
andalan perguruannya, kemenangan tentu tidak
perlu diragukan lagi.
Tak tersangka Bwe kiam soat dan Yap manjing
justru sama menjerit kuatir, berbareng mereka pun
menubruk maju. Kiranya selama beberapa hari ini Lamkiong Peng
sudah terlampau letih, ia sudah kehabisan tenaga
sehingga gerak-geriknya mulai lamban, jurus
Ciam-liong-sing-thian itu dilancarkannya dengan
terpaksa, tujuannya hanya untuk gugur bersama
musuh. Namun Bwe kiam soat dan Yap manjing yang
menyaksikan di samping jauh lebih jelas, mereka
tahu tenaga mumi Lamkiong Peng sudah habis,
dengan melancarkan serangan maut itu keadaan
anak muda itu justru lebih celaka daripada
selamatnya. Maka mereka terus menubruk maju
untuk membantu.
Cian tonng-lai mendengus sembari menggeser ke
samping, ketika Lamkiong Peng yang melambung
keatas itu mulai turun, segera ia pun bersuit dan
bermaksud melompat untuk menyongsong lawan.
Pada saat itulah tiba-tiba dari kanan-kiri
menubruk tiba dua sosok bayangn orang dengan
angin pukulan dasyat. Ia terkejut, cepat ia
berputar melepaskan diri dari gencetan itu.
Sementara Lamkiong Peng sudah melayang
turun, karen sasarannya keburu menggeser, cepat
gunakan gerakan "Sin-liong-hi-in" atau naga sakti
memainkan awan, dengan berjumpalitan ia
tancapkan kakinya di tanah dengan enteng.
Sempat dilihatnya Bwe kiam soat dan yap
manjing sama meliriknya sekejap, habis itu mereka
terus menerjang lagi ke arah Cian tong-lai, dari
lirikan mereka itu jelas kelihatan perhatian mereka
terhadap keselamatan Lamkiong Peng.
Tergetar hati Lamkiong Peng. Ban Tat juga
gegetun dan diam-diam ikut merasa bahagia bagi
anak muda itu. Akan tetapi sebagai orang tua yang
sudah kenyang asam garam kehidupan, rasanya di
balik kebahagiaan itu seperti ada sesuatu yang
mengkuatirkan. "Haha, tampaknya kedua nona benar-benar
ingin belajar kenal dengan kepandaianku, baiklah
kuperlihatkan sejurus dua jurus istimewa, supaya
kalian tahu siapa tahu diriku," seru Cian tong-lai
dengan tertawa, akan tetapi ketika selesai
ucapannya, dia tidak sanggup tertawa lagi.
Mendadak Bwe kiam soat menutuk empat kali
ke beberapa hiat-to mematikan di tubuh Cian
Tong-lai, meski keempat hiat-to itu tersebar di
bagian yang berbeda, namun gerak serangan Bwe
kiam soat itu scakan-akan dilancarkan secara
serentak. Terpaksa Cian tong-lai melompat mundur dan
tergencang oleh serangan maut lawan itu.
Tiba " tiba Bwe kim"soat tersenyum kepadaYap
man"jing dan berkata, "yap moaymoay, boleh kau
mundur saja, biar kulayani dia sendiri"
Akan tetapi alis Yap Man-jing seolah-olah
menegak tanpa bersuara ia pun menubruk maju
dan melancarkan beberapa kali serangan kilat
sehingga terpaksa Cian tong-lai melayani dengan
sama cepatnya. "Haha, serngan bagus, kungfu lihai!" seru Bwe
kiam soat dengan tertawa, "Adik yang baik, bukan
maksudku bilang kepandaian mu renadah, Cuma,
untuk mengalahkan kungfu Tiau-thian-kiong dari
Kun-lun-san ini bagimu masih belum ukurannya,
maka lebih baik kauturut kepada ucapanku dan
mundur saja."
Akan tetapi Yap manjing tetap tidak menjawab
melainkan melancarkan serangan terlebih cepat.
Diam-diam Cian tong-lai juga terkesiap oleh
serangan si nona di samping heran asal usulnya
dapat dikenali Bwe kiam soat.
"Adik yang baik, jika tidak mau kauturt
perkataanku, biarlah cici saja yang menyingkir?"
kata Kiam soat pula sembari menyurut mundur.
"He, apa maksudmu ini?" tanya Lamkiong Peng
dengan bingung.
"Dua mengeroyok satu kan tidak pantas, biarlah
dia mencoba sendiri, masa kau kuatir?" sahut
Kiam soat. Air muka Lamkiong Peng tampak masam dan
tidak menghirukannya lagi, ia coba mengikuti
gerakan Cian Tong-lai yang aneh itu. Dilihatnya
Yap manjing sekarang berbalik telah terkurung di
bawah pukulannya yang lihai.
Namun Yap manjing masih dapat balas
menyerang dengan sama gesitnya, meski agak
terdesak dibawah angin, tapi belum ada tanda
akan kalah. Dengan tertawa Bwe Kiam soat berolok pula,
"Wah rupanya Yap jiu pek memang mengajarkan
sejurus kungfu sakti kepada murid
kesayanagnnya, Cuma tak diduganya kungfu ini
tidak digunakannya untuk menghadapi murid Sinliong,
tapi murid Kun-lun-pai yang justru
dilabraknya."
Lamkiong Peng mendengus saja. Sedang Ban Tat
lantas mendekatinya dan berkata, "Tampaknya
nona Yap tidak........."
"Meski dua mengerubut satu, terpaksa harus
kubantu dia," kata Lamkiong Peng.
Tiba-tiba terdengar Bwe kiam soat berucap
dengan hampa, "Jangan kau kuatir, biar ku........."
Serentak ia melompat maju dan melancarkan
pukulan dasyat.
Terpaksa Cian tong-lai menarik serangannya
terhadap Yap manjing untuk melayani Bwe kiam
soat, dengan demikian Yap manjing jadi bebas
tekanan. IA menghela nafas dan menyingkir ke
pinggir kalangan.
Ban Tat merasa lega, ucapnya, "Pantas nama
Kongjiok Huicu termashur, ternyata benar....."
Jelas dia sangat kagum terhadap kelihaian
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kungfu Bwe kiam soat.
Setelah termenung sejenak memandang
bayangan Cian Tong-lai, Yap manjing menghela
nafas, lalu menunduk dan pelahan membalik
tubuh dan melangkah pergi.
"He nona Yap..........." seru Lamkiong Peng
sambil melompat ke samping gadis itu, "Masa
engkau hendak pergi?"
Manjing tetap menunduk, jawabnya pelahan,
"Ya, kupergi........."
"Tapi guruku.........."
Belum lanjut ucapan Lamkiong Peng, mendaak
terdengar bentakan Bwe kiam soat, "Berhenti
dulu!" Lamkiong Peng dan Yap manjing sama berpaling,
dilihatnya Cian tong-lai sedang menyerang, karena
bentakan Bwe kiam soat itu ia lantas menahan
serangan dan menegur, "Ada apa?"
Dengan lagak menggiurkan Bwe kiam soat
berucap dengan tersenyum,"Selamanya kita tidak
ada permusuhan apapun, untuk apa kita saling
labrak mati-matian?"
Cian tong-lai memandangnya dengan
tercengang, sahutnya kemudian dengan ragu, "Ya,
memangnya tiada permusuhan apa pun antara
kita, buat apa kita mengadu jiwa?"
"Malahan sebenarnya kita dapat saling tukar
kepandaian sejurus dua, dengan begitu siapa pula
tokoh kangouw jaman ini yang mampu menandingi
kita?" kata Kiam soat pula.
Cian tong-lai tertawa senang, "Benar, bilamana
kita saling mengajar sejurus dua, haha bagus
sekali........"
"Tutup mulut!" bentak Lamkiong Peng
mendadak. "Kau mau apa?" jengek Kiam soat dengan muka
dingin. "Aku............." Lamkiong Peng gelagapan.
"Jangan urus dia," ucap Kiam soat kepada Cian
Tong-lai. Lalu ia pandang Lamkiong Peng dengan
tajam dan berkata pula, "Aku bukan sanak
kandungmu, urusanku tidak perlu kau turut
campur. Soal pesan tinggalan Liong po si juga tidak
ada sangkut pautnya denganku, boleh silahkan
kau bawa nona Yap itu untuk melaksanakan pesan
tinggalan gurumu."
Seketika Lamkiong Peng berdiri terkesima.
Bwe kiam soat tersenyum kepada Cian tong-lai,
katanya, "mArilah kita pergi dan mencari tempat
bersantap, perutku lapar."
Dengan tersenyum Cian tong-lai mengangguk,
serentak keduanya melayang kesana.
Cian tong lai sempatmenoleh dan berteriak
kepada Lamkiong Peng,"jika kau ingin bertanding
denganku, silahkan pulang berlatih lagi tiga tahun
dan boleh coba mencariku lagi."
Habis berucap bayangannyya pun sudahh jauh,
hanya suara tertawa pongahnya berkumandang
dalam kegelapan.
Lamkiong Peng berdiri terpaku, suara tertawa
orang terasa menusuk perasaan, sambil mengepal
erat tinjunya, ia membatin, "Bwe Kiam soat, Bwe
leng hiat, sungguh memnag berdarah dingin...."
Menyaksikan kepregian Bwe kiam soatmendaak
Yap manjing mendengus, "Kenapa tidak kau susul
dia?" Lamkiong Peng menghela nafas, jawabnya,
"Kenapa harus kususul dia?"
"Hm, dasar tidak punya perasaan," jengek
manjing sambil melengos.
Tentu saja Lamkiong Peng melenggong pikirnya,
"Masa aku tidak berperasaan, dia bersikap begitu
padaku, masa aku yang tidak berperasaan"......."
Tiba-tiba Manjing berpaling dan berkata
padanya, "Dia sangat baik padamu, masa engkau
tidak tahu dan tidak menghiraukannya?"
Lamkiong Peng tambah melenggak,
"Masa..........masa dia bermaksud baik padaku?"
"Jika dia tidak baik padamu, mana bisa dia
menaruh perhatian terhadap keselamatanmu."
"Tapi....tapi dia.........telah pergi bersama.........."
"Dia berbuat begitu justru lantaran cemburunya
ketika ada anak perempuan lain mencarimu, maka
dia.........." tiba-tiba Manjing menambahkan dengan
serius, "Ia tidak tahu maksudku mencarimu adalah
untuk memenuhi janjiku terhadap gurumu."
Bingung juga Lamkiong Peng memikirkan
perasaan anak perempuan yang sukar dimengerti
itu. Katanya kemudian, "Meski nnona Bwe telah
pergi, hal itu disebabkan rasa gusar yang timbul
seketika, nantii dia pasti akan...." sampai disini,
mendadak dia teringat sesuatu, teriaknya," Hei,
dimana Yap-siang-jiu-loh?"
"Yap-siang-jiu-loh apa?" tanya Ban Tat dengan
bingung. "Yaitu pedang pusaka tinggalan guruku, senjata
itu tadi kutaruh di samping Tik Yang," seru
Lamkiong Peng. Ban Tat melenggong, "Tapi pada waktu Tik Yang
berlari pergi, tampaknya dia tidak membawa
sesuatu." "Ayo aku harus........"
"Kau mau kemana?" tanya Manjing, "Apakah
engaku tidakingin membaca dulu surat wasiat
tinggalan gurumu?"
"O. Apakah surat wasiat guruku berada pada
nona" Tanya Lamkiong Peng.
Pelahan Manjing mengeluarkana sepucuk surat
sambil melirik sekejap, lalu surat disodorkannya.
Lamkiong Peng menerima surat itu dan
berkayta, "Tapi menurut perintah suhu, tiga hari
kemudian.........."
"Jika engkau tidak pulang ke ji-hau-san-ceng,
apa alangannya bila kau baca saja surat ini. Kalau
tiga urusan yang ditentukan oleh gurumu
memerlukan bantuanku, maka birlah kita lekas
menyelesaikannya, dengan begitu selekasnya aku
pun cepat melepaskan dari persoalanmu."
Pelahan Lamkiong Peng membuka sampul surat,
tulisan tangan yang cukup dikenalnya segra
terpajang di depan mata.
Isi surat itu berbunyi :
Anak Peng, Aku sudah tua dan mendahului pergi, Ji-hausanceng buknlah tempat kediamanmu yang abadi,
perusahaan orang tuamu juga perlu pimpinan mu.
Kau lahir dari keluarga temama, bakatmu pun
tidak terbatas, hari depanmu sungguh gilang
gemilang dan tak terbatas.
Seorang lelaki sejati memerlukan pembantu
rumah tangga yang bijaksana, untuk ini perlu kau
dapatkan istri yang baik.
Nona Yap Manjing pintar lagi cerdas, dia gadis
pilihan yang cocok untuk mendampingi hidupmu,
inilah pesanku yang pertama.
Sayang sekali Liong-hui tidak punya keturunan,
karena itulah kuharap bila anakmu lebih dari satu,
hendaknya seorang kauberikan she Liong untuk
menyambung keturunan keluarga Liong.
Inilah pesanku yang kedua........"
Membaca sampai disini, muka Lamkiong Peng
menjadi merah. Sungguh tak terduga olehnya
pesan tinggalan sang guru justru menyangkut
perjodohan dengan Yap manjing.
Ia membaca lagi"
Selain itu selama ini di dunia persilatan tersiar
berita misterius bahwa tempat suci dunia
persilatan bukanlah Siong-san Siau-lim-si juga
bukan Kun-lun atau Bu-tong-san melainkan
terletak di suatu istana dan suatu pulau. Pulau itu
bemama "Cu-sin" (para dewa). Diaman letak
tempatnya sukar ditemukan. Konon Kun-Mo-To
adalah pulau kediaman manusia jahat dan keji di
dunia ini, sedangkan istana para dewata dihuni
oleh manusia bajik dan bijak. Akan tetapi jika tidak
menguasai ilmu silat maha tinggi, siapa pun sukar
memasuki istana dan pulau itu selangkah pun.
Tergetar juga hati Lamkiong Peng membaca
samapi disini, ia merasa urusan ini benar-benar
misterius dan penuh teka-teki.
Ia coba membaca lagi :
Pada waktu masih muda sudah kudengar ceruta
tentang istana dan pulau misterius ini. Akan tetapi
orang yang bereerita selalu memperingatkan
padaku agar selama hidup hanya boleh
meneruskan kisah ini satu kali dan kepada seorang
saja. Selama hidupku telah berkelana menjelajahui
dunia, namun kedua tempat itu tetap tidak dapat
kutemukan. Sekarang ku pergi dan cerita ini
kusampaikan kepadamu dan Manjing, tentu saja
kalian tidak boleh sembarangan diceritakan lagi
kepada orang lain, hal ini perlu diperhatikan. Jika
kalian ada jodoh, mungkin sekali kalian akan
mampu menemukan kedua tempat misterius itu
untuk menyelesaikan cita-citaku yang belum
terlakasana."
Sekaligus Lamkiong Peng membaca habis surat
ini, lalu ia memejamkan mata dalam benaknya
terbayang dua lukisan, yang satu istana megah
serupa kediaman malaikat dewata.
Tempat yang lain adalah sebuah pulau dengan
gunung di kejauhan diliputi kabut tebal, suasana
seram dan mengerikan dengan binatang buas dan
mahluk berbisa.
Melihat anak muda itu termangu-mangu dengan
air muka berubah tidak menetu, Yap Manjing pun
merasa heran, tegurnya, "Sudah selesai kau baca?"
Terkejut Lamkiong Peng dan tersadar dari
lamunannya, jawabnya sambil menyembunyikan
surat itu di punggung, "O, sudah habis kubaca."
"Hm, memangnya kaukira aku ingin tahu isi
surat gurumu?" jengek Manjing. "Aku Cuma ingin
tanya, apakah ketiga pesan gurumu itu ada
sangkut pautnya dengan diriku?"
Lamkiong Peng berdehem pelahan, jawabnya
dengan tergagap, "O, Tentang ini.......ini........."
Dengan sendirinyua ia rikuh untuk menjelaskan
bahwa buka Cuma ada sangkut pautnya tapi
justru sangat berkepentingan.
Alis Manjing menegak, katanya pula, "Baiklah,
jika tidak ada sangkut pautnya denagn ku, biarlah
ku pergi saja."
"Nona Yap......."
"Ada apa lagi?"
"Ini....ini.........." Lamkiong Peng menjadi
bingung, meski sang guru memberi pesan, tapi
urusan ini mana bisa dilakukannya.
Dalam pada itu Yap manjiing telah melangkah
lewat disampingnya dan mendadak merampas
surat itu sambil mengomel, "Gurumu menyuruh
kau baca surat ini bersamaku, kenapa engkau
Cuma membaca sendiri, sebaiknya kulaksanakan
pesan beliau........."
Sembari bicara ia terus membaca isi surat itu,
seketika mukanya yang dingin itu berubah merah
sambil mendekap mulut dengan suara agak
gemetar, O, kau......."
Lamkiong Peng juga serba salah dan tidak tahu
apa yang harus dilakukannya.
Tiba-tiba Manjing menjerit terus berlari ke
depan. Tapi baru beberapa langkah, sekonyong-konyong
di tengah malam yang sunyi timbul suara yang
aneh, suara gemeresak serupa hutan bambu
tertiup angin, dari jauh mendekat.
Baik Lamkiong Peng maupun Yap manjing sama
terkejut, serentak si nona melompat kembali ke
samping Lamkiong Peng sambil bertanya,
"Ap........apakah ini?"
Suara gemeresak itu sungguh sangat
mengerikan, Lamkiong Peng juga bingung dan coba
memandang ke arah Ban Tat. Orang tua itu
kelihatan pucat juga dan sedang menatap ke depan
denagn kedua tangan merogoh saku seperti hendak
mengambil sesuatu, jarang jago tua ini
memperlihatkan rasa prihatin seperti ini.
Lamkiong Peng sendiri juga terkesiap, namun ia
coba menghibur Manjing, "Tak apa-apa, jangan
kuatir....."
Belum habis ucapannya, dai depan sudah
muncul sesosok bayangan orang yang berjalan
mundur ke belakang, agaknya didepannya terjadi
sesuatu yang mengerikan sehingga membuatnya
tidak berani membalik tubuh dan lari.
Suara gemersak itu semakin keras, sebaliknya
langkah mundur orang ini tambah lambat agaknya
kaki menjadi lemas saking ketakutan.
"Sahabat........." baru saja Lamkiong Peng
hendak menegur, sekonyong-konyong orang ini
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjerit kaget sambil membalik tubuh.
Maka tertampaklah wajahnya yang kurus
dengan sinar mata buram, kepala botak,
pakaiannya juga sangat aneh, serupa sebuah
karung dimasukkan pada tubuhnya begitu saja.
Lamkiong Peng melenggong, ia coba menegur
lagi, "Sahabat ini.........."
Mendadak orang berteriak pula terus
bersembuyi di belakangnya, mungkin saking
ngerinya sehingga tidak sanggup bersuara.
Waktu manjing memandang ke sana,
tertampaklah dari kegelapan membanjir keluar
berpuluh ular hijau berbisa. Kiranya suara
gemersak tadi berasal dari kawanan ular ini.
Tanpa terasa ia menjerit kaget dan menubruk ke
dalam rangkulan Lamkiong Peng.
Mendadak Ban Tat membentak, kedua tangan
bergerak, segera selapis kabut kuning bertebaran
dan jatuh lima enam kaki di depan mereka.
Suara gemersik tadi mulai mereda, tertampak di
belakang kawanan ular itu mengikut pula
serombongan pengemis denagn baju compang
camping dan rambut semerawut. Perawakan
kawanan pengemis ini juga tidak sama dengan
bemtuk yang aneh, namun wajah mereka sama
kelihatan kelam seram dan tahu-tahu muncul dari
kegelapan sana seperti sekawanan setan yang
membanjir keluar dari neraka.
Yap manjing merangkul Lamkiong Peng dengan
erat. Mendadak dirasakan tubuh anak muda itu
bergemetar. Tentu saja ia heran, sekilas lirik baru
diketahuinya orang botak aneh itu juga telah
merangkul pinggang Lamkiong Peng dari belakang,
karena dia gemetar ketakutan sehingga tubuh
Lamkiong Peng ketularan dan ikut berguncang.
Ular hijau yang berbentuk jelek dengan sinar
mata gemerdep itu sedang merayap di tanah becek
sana, tampaknya lambat, sebenarnya sangat cepat,
hanya seekejap saja kawanan ular sudah merayap
sampai di depan garis kuning yang ditebarkan oleh
Ban tat tadi. Dengan was-was Ban Tat memandangi
kawanana ular yang merayap-rayap itu, ada yang
melingkar dan ada yang mendesis dengan
menjulurkan lidahnya yang merah, namun tiada
seekor pun yang berani mendekati garis kuning.
Sekilas pandang saja Lamkiong Peng dapat
menghitung kawanan pengemis ini terdiri dari
tujuh belas orang, semuanya berwajah
bengis,namun di mulut mereka justru sedang
memohon, "Kasihan Tuan, sudilah memberi sedikit
sedekah dari isi saku tuan."
Suara minta-minta itu terus diulang, seorang
disusul yang lain dan terus menerus oleh ketujuh
belas mulut. Tentu saja Lamkiong Peng heran dan bingung, ia
coba memandang si orang aneh botak tadi,
dilihatnya pakaiannya juga compang-camping,
jelas tidak membawa sesuatu benda berharga,
namun sebuah karung goni justru dirangkulnya
dengan erat, tampaknya karung itu pun kosong
tanpa sesuatu isi yang berharga untuk di minta.
Lamkiong Peng tidak mengerti apa yang terjadi
ini, tapi jiwa ksatria yang mengharuskan dia
membela keadilan dan membantu kaum lemah
membuatnya menaruh simapatik terhadap orang
tua yang rudin di belakangnya ini.
Sekonyong-konyong dilihatnya Ban Tat
menggeser kesana, agaknya hendak
menyembunyikan ekor ular yang dibunuhnya tadi
supaya tidak dilihat oleh kawanan pengemis aneh
itu. Suara mendengus tadi sudah berhenti,
sebaliknya suara mohon kasihan bertambah ramai.
Jika tidak melihat wajah kawanan pengemis itu,
suara minta-minta mereka sungguh menimbulkan
rasa iba orang. Tapi wajah mereka yang seram
penuh nafsu membunuh itu membuat suara
minta-minta mereka terasa seram.
Mendadak Ban Tat membentak, "Apakah kawankawan
ini datang dari "nerakanya neraka" di kawan
gwa?" Suara minta-minta tadi serentak berhenti,
ketujuh belas pasang mata sama menatap Ban Tat.
Seorang pemgemis bertubuh jangkung dan
kurus kering, tapi mata bersinar tajam dengan
wajah pucat pasi pelahan melangkah maju,
langakhnya enteng mengambang, seperti setiap
saat bisa kabur tertiup angin. Baju compangcamping
yang dipakainya sangat longgar sehingga
menggembung tertiup angin.
Serupa badan halus saja ia melayang lewat garis
kuning itu, ia tersenyum seram terhadap Ban Tat,
lalu berucap, "Kau kenal padaku?"
Biarpun Ban tat sudah berpengalam luas,
menghadapi pengemis aneh ini timbul juga rasa
seramnya, jawabnya denagn suara agak gemetar,
"Apakah sahabat ini adalah Yu-leng-kun-kai
(kawanan pengemis badan halus) yang tersiar di
dunia kangouw itu?"
Pengemis aneh yang serupa badan halus ini
mendengus, "Betul, nerakanya neraka, pengemis
badan halus, setan jahat, arwah miskin, minta
sedekah denagn paksa.....Hehe, tampaknya belum
pemah kau masuk neraka, dari mana kau kenal
kawanan setan jahat seperti kami ini?"
Dia bicara seperti bertembang, lalu disusul
suara kawanan pengemis aneh yang menirukkan
tembangnya sehingga di dengar di tengah malam
gelap scakan- akan jeritan setan.
Tanpa terasa Ban Tat mnyurut mundur, katanya
pula, "Yu-leng-kun-kai, biasanya tidak mau minta
emas di bawah sribu tail atau perak kurang dari
selaksa tail, padahal kami tidak membawa sesuatu
benda berharga, jangan-jangan sahabat salah
alamat minta sedekah pada kami?"
Tergerak juga hati Lamkiong Peng, segera ia
teringat kepada asal usul kawanan pengemis aneh
ini, pikirnya, "Biasanya kawanan pengemis setan
kelaparan ini tidak pemah masuk ke pedalaman
sini, apakah mungkin kedatangan mereka ini
hanya karena menyusul seorang tua aneh yang
serupa pengemis ini?"
Terdengar pengemis jangkung tadi mendengus,
"Yang hendak kami cari tentu saja bukan dirimu,
memangnya sengaja kau cari gara-gara kepada
kawanan setan?"
Mendadak ia melompat ke depan Lamkiong Peng
dan menjengek pula,"Anak muda terlebih jangan
cari perkara kepada setan, juga jangan merintangi
jalan lalu setan, tentu kau tahu."
"Anda ini Ih pangeu atau Song pangeu Song
cing?" jawab Lamkiong Peng denagn lantang dan
tenang, tidak kejut juga tidakjeri.
Gemerdep sinar mata pengemis jangkung ini, ia
tertawa ngekek, katanya, "Meski setan ganas Song
cing tidak hadir, kedatanganku Ih Hong si arwah
rudin tetap sanggup mengakhiri riwayat sesorang.
Jika kau tahu asal usul kawanan setan di sini,
apakh minta dilalap oleh kawanan setan?"
Serentak kawanan pengemis bersorak, "Lalap
saja, lalap saja!"
Sementara itu Yap manjing sudah menenangkan
diri, jengeknya, "Huh,main setan-setanan untuk
menkuti orang, sungguh konyol!"
Ih Hong menyeringai, "Hehe, nona manis 18-19
tahun berangkulan denagn pemuda di depan
umum dan berani pula usil mulut di neraka sana
juga tidak mau menerima setan perempuan yang
tidak tahu malu serupa dirimu."
Muka Manjing menjadi merah, segera ia
membentak, "Keparat!"
Selagi ia hendak melancarkan pukulan,
mendadak Lamkiong Peng menrik lengan bajunya
dan mendesis, "SSt, tahan dulu!"
"Kawanan jembel ini berlagak setan segala dan
minta secara paksa, untuk apa banyak bicara
dengan mereka?" ujar Manjing dengan
mendongkol. Tapi Lamkiong Peng bicara dengan serius,
"Sebagai pengemis, adalah jamak mereka mintaminta.
Orang kangouw umumnya suka pakai nama
atau julukan yang aneh, bahwa mereka menamai
diri sendiri sebagai setan juga bukan sesuatu
kejahatan. Orang tidak bermaksud jahat kepada
kita melainkan Cuma minta kita memberi jalan
padanya, mana boleh kita sembarangan
menyerangnya?"
Si arwah rudin Ih Hong mestinya akan
mendamprat demi mendengar komentar Lamkiong
Peng itu, ia tercengang. Baru sekarang sejak tampil
di dunia kangouw ada orang memberi penilaian
demikian padanya?"
Yap manjing juga tercengang dan tidak jadi
bertindak. Entah mengapa, anak perempuan yang
dingin dan angkuh ini sekarang berubah lembut.
Sedangkan si kakek botak aneh tadi lantas
berseru kuatir,"He, masa.....masa akan kaubiarkan
kawanan setan kelaparan ini merampas barang
seorang kakek rudin seperti diriku ini?"
Lamkiong Peng tersenyum, serunya, "Sudah
lama kudengar kawanan pengemis badan halus
suka berkeliaran di dunia ramai, bilamana mintaminta
juga tidak melampaui separoh milik orang.
Malahan juga sering merampas yang kaya untuk
menolong yang miskin, hal ini sudah lama
kukagumi. Tapi sekarang rombongan kalian justru
mengejar dan mendesak terhadap seorang tua
lemah begini, sungguh membuatku sangat heran."
Dia bicara dengan lugas dan terus terang,
sedikitpun tidak berlagak.
Ih Hong tertawa, "Haha, tak tersangka annak
muda belia seperti kau ini jjuga tahu sejelas ini
mengenai kawanan setan lapar kami."
Tertawanya sekarang seperti timbul dari lubuk
hati yang bersih sehingga sama sekali tidak berbau
setan lagi. Diam-diam Ban Tat membatin"Sudah lama
kuberitahukan kepadanya tentang kawawan setan
lapar ini, tak terduga dia masih ingat sejelas ini."
Terdengar Ih Hong berhenti tertawa dan
berkata,"Dan bila kau tahu sejelas ini mengenai
kami, tentu kaupun tahu kawanan setan sekali
sudah keluar tentu takkan pulang denagn tangan
hampa. Maka sebaiknya engkau jangan ikut
campur urusan ini."
Sekali berkelebat mendadak ia melompat ke
belakang Lamkiong Peng.
"tolooong!" cepat si kakek botak berteriak.
Tapi Lamkiong Peng lantas mengadang di depan
Ih Hong, ucapnya, "Apabila anda bertindak
terhadap seorang kakek rudin seperti ini dan
mendesaknya, sungguh aku harus menyatakan
rasa kecewa kepada nama baik kalian."
Ih Hong berhenti di tempatnya, jengeknya
mendadak, "Kakek rudin" Hm, kaubilang dia kakek
rudin" Jika di tidak kaya raya melebihimu dan
tidak berbudi, masa kawanan setan samapai turun
tangan padanya?"
Lamkiong Peng melenggong bingung.
Si kakek botak lantas berteriak, "Jangan kau
percaya kepada ocehannya, mana bisa aku
kaya........"
"orang she Ih," sela Manjing mendadak, "Kau
bilang dia kaya raya?"
"Ya,"jawab Ih Hong ketus.
"Apa buktinya" Jika salah, lantas bagaimana"
Tanya Manjing. "Kawanan pengemis setan bermata setajam sinar
kilat dan tidak pemah salah lihat, apabila salah
lihhat, kami rela kelaparan sepuluh tahun dan
segera pulang kandang.........."
"Betul?" Manjing menegas.
"Anak perempuan ingusan kau tahu apa?"
jengek Ih Hong. "Meski Lo-lo-si itu tampaknya
rudin, padahal dia kaya raya, yang kami minta
sekarang tidak lebih hanya separoh barang yang
berada dalam karungnya itu, yang kami minta kan
cukup pantas. Kawanan pengemis setan biasanya
tidak suka mengganggu orang miskin, kalau tidak,
mana bisa budak ingusan seperti dirimu dibiarkan
ikut bicara."
"Hm, kau tahu siapa dia?" jengek Manjing sambil
memandang Lamkiong Peng.
Ih Hong juga memandang anak muda itu dari
kaki ke kepala, lalu ia putar ke kanan dan balik
lagi ke kiri. Dengan kening bekernyit Lamkiong Peng ikut
berputar ke sana-sini dan tetap mengadang di
depannya.
Amanat Marga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"hm, tampaknya serupa putra keluarga
hartawan," jengek Ih hOng kemudian. Cuma
sayang, dalam sakumu jugatidak banyak isinya."
"Memangnya pada baju orang tua ini banyak
isinya?" tanya Manjing.
"Yang kontan memang tidak ada, tapi Gin bio
(sejenis cek) tidak sedikit yang dibawanya, namun
yang kuminta juga bukan ginbio melainkan........"
Belum habis ucapan Ih Hong, mendadak si
akkae botak membalik tubuh terus berlari.
"Memangnya dapat kau lari"!" jengek Ih Hong.
Ucapannya sangat manjur, emndadak si kakek
botak alias Lo-Lo-si berhenti berlari dan menyurut
mundur dengan takut. Kiranya di depannya
kembali mengadang beberapa ekor ular hijau.
"Nah, nona cilik, tidak perlu banyak omong lagi,
kecuali putra keluarga hartawan Lamkiong di
daerah Kanglam, di dunia kangouw tidak ada
orang lain yang lebih kaya daripada Lo-lo-si ini,
kenapa kalian berdua suka ikut campur urusan"
Untung aku yang kalian hadapi, jika ketemu setan
ganas Song Cing, bis
Petualang Asmara 18 Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong Istana Pulau Es 21
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama