Ceritasilat Novel Online

Cinta Bernoda Darah 5

Cinta Bernoda Darah Serial Bu Kek Sian Su 3 Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


n aneh sekali. Mendadak saja kemarahan Sian Eng lenyap dan ia merasa seakan-akan sudah lama mengenal orang ini, sudah sering kali bertemu. Hal yang tidak mungkin. Barangkali bertemu dalam alam mimpi!
"Dan kenapa kau menolongku, menolong Sin-ko"
"Siapa menolong siapa" Aku tidak menolong siapa-siapa, hanya melakukan kewajiban sebagai manusia. Kesembronoan kalian bertiga sudah membawa korban. Adikmu yang paling kecil itu hilang, kaubilang tadi ia meninggalkan surat dan menyatakan bahwa ia dibawa pergi Kim-lun Seng-jin" Untung bertemu dengan Kim-lun Seng-jin. Kalau yang membawa itu seorang di antara Thian-te Liok-koai (Enam Setan), apakah tidak celaka sekali"
Sian Eng memandang heran. Orang ini tidak mau disebut menolong, sikapnya acuh tak acuh, tidak peduli, akan tetapi kadang-kadang bisa marah-marah. Memang aneh sekali, membuat ia bingung. Ah, kalau saja ada Lin Lin di sini, pikirnya, tentu kau akan tahu rasa. Lin Lin wataknya tidak kalah anehnya, dan adiknya itu pandai sekali bicara, pandai berdebat dan andaikata di situ ada Lin Lin, agaknya keadaannya akan berubah. Suling Emas ini tentu akan menjadi gelagapan dan gagap gugup menghadapi serangan bicara Lin Lin.
"Tak perlu kau marah-marah kepadaku," akhirnya ia berkata, "kau mau menolong atau tidak, terserah. Juga kau mau memberi tahu kepadaku, kalau kau mengetahuinya, siapa adanya pembunuh ayah bundaku dan di mana pula adanya kakakku Bu Song, terserah."
Suling Emas kembali membuang muka memandang api unggun. Wajahnya yang tadi agak berseri dan tampak sekali ketampanannya, sekarang kembali menjadi suram-muram seperti wajah patung mati. Setelah menarik napas beberapa kali dan menambah ranting pada api, ia berkata.
"Siapa yang membunuh ayah bundamu, aku tidak tahu. Terang bukanlah aku. Akan tetapi karena kau dan saudara-saudaramu menuduhku, aku akan berusaha mendapatkan siapa pembunuh itu. Tentang pelajar bernama Bu Song itu, setahuku dia sudah mampus!"
Kaget sekali hati Sian Eng mendengar berita terakhir ini, apalagi Suling Emas kelihatannya tidak senang ketika bicara tentang kakaknya, Bu Song.
"Bagaimana kau bisa tahu" Kenalkah kau dengan kakakku Bu Song" Bagaimana matinya" Harap kau suka bercerita kepadaku."
Suling Emas menggeleng kepalanya. "Tidak ada yang dapat diceritakan tentang diri pemuda tolol itu. Kenyataan bahwa dia meninggalkan ayahnya dan tak pernah kembali atau memberi kabar membuktikan bahwa dia tidak berharga untuk dipikirkan lagi. Mengapa kau bersama saudara-saudaramu bersitegang hendak mencarinya"
Sian Eng tidak menjawab dan mendengar bahwa kakak sulung yang sedang dicari-cari itu telah meninggal dunia, tak dapat ditahannya lagi ia menangis terisak-isak. Suling Emas membiarkan ia menangis sampai lama. Baru kemudian terdengar ia berkata.
"Sudahlah, ditangisi air mata darah sekalipun tiada gunanya. Lebih baik kau memikirkan keadaan saudara-saudaramu yang masih ada. Kakakmu Bu Sin selamat dan tentu berada di tempat tidak jauh dari kota raja. Besok kita pergi ke sana dan aku akan mengantarmu sampai di kota raja. Kemudian, kalau aku dapat bertemu dengan orang aneh Kim-lun Seng-jin, akan kupesan agar dia mengembalikan adikmu yang bernama Lin Lin itu. Kemudian kalian bertiga lebih baik pulang ke Ting-chun di kaki Gunung Cin-ling-san. Sekarang kau tidurlah." Setelah berkata demikian, Suling Emas duduk menjauhi Sian Eng, kembali merenung dekat api unggun.
Sian Eng maklum bahwa percuma mengajak bicara orang aneh ini, maka ia pun membaringkan tubuh. Sampai jauh malam masih terdengar beberapa kali ia mengisak. Akan tetapi kelelahan dan kedukaan membuat ia tertidur.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Eng sudah terbangun dan alangkah herannya ketika ia melihat pakaian terletak di dekatnya. Ia cepat bangkit duduk. Suling Emas telah menggosok-gosok tubuh kudanya dan tak jauh dari situ terdapat api unggun. Sian Eng tertegun memandang. Orang aneh yang telah menolongnya itu sedang bersenandung. Entah apa yang dinyanyikannya karena terlalu periahan untuk dapat ditangkap pendengarannya, akan tetapi Sian Eng mendengar suara yang menggetar penuh perasaan dalam lagu sedih yang disenandungkan itu. Bau hangus membuat ia cepat memandang api unggun dan kiranya di atas api itu terpanggang sepotong besar daging.
"Daging hangus....!" Otomatis Sian Eng melompat, menutupkan jubah hitam yang terbuka di bagian dada, lari menghampiri daging itu dan membaliknya.
Suara senandung menghilang. "Wah, aku lupa....! Rusakkah dagingnya" Suling Emas sudah mendekat.
"Tidak, hanya hangus sedikit. Pakaian itu.... punya siapa"
"Kaupakailah. Malam tadi kudapatkan dari dusun di sana."
Setelah berkata demikian, Suling Emas meninggalkan Sian Eng, kembali pada kudanya dan melanjutkan menggosok-gosok tubuh kudanya, berdiri membelakangi gadis itu. Sian Eng memandang wajahnya agak merah, dadanya berdegup aneh. Orang yang selama ini disangkanya musuh besar pembunuh ayah bundanya, kiranya seorang penolong dan seorang yang amat baik, orang yang menarik hatinya. Tak mungkin, Sian Eng membantah di dalam hatinya, dia jauh lebih tua dariku, dia orang aneh. Gadis ini mengusir perasaan tertarik di hatinya, bersembunyi di belakang sebatang pohon besar untuk mengganti pakaian. Beberapa menit kemudian ia telah bersalin pakaian. Jubah hitam milik Suling Emas ia lipat baik-baik, kemudian ia menghampiri daging panggang yang sudah masak.
"Dagingnya sudah matang!" ia berteriak pada punggung yang lebar itu.
Suling Emas membalikkan tubuhnya, memandang dan tersenyum sedikit melihat Sian Eng telah berganti pakaian. Sian Eng yang mengharapkan datangnya ucapan pujian dari mulut Suling Emas, kecewa karena orang itu tidak berkata sesuatu.
"Ini jubahmu, terima kasih," Sian Eng mengembalikan lipatan jubah hitam. Suling Emas menerimanya tanpa berkata sesuatu, terus jubah itu dipakainya.
"Kita sarapan daging panggang lalu berangkat ke kota raja," katanya singkat. Sian Eng hanya mengangguk dan keduanya lalu makan daging panggang dan kue kering yang menjadi bekal Suling Emas.
Setelah selesai makan, Suling Emas berkata, suaranya serius, "Jangan menyangka yang bukan-bukan. Kau harus membonceng kuda di depanku agar perjalanan dapat dilakukan lebih cepat. Mudah-mudahan sesampainya di kota raja, kau akan dapat bertemu dengan kakakmu Bu Sin. Silakan!"
Kalau saja kata-kata itu tidak diucapkan demikian serius dan wajah Suling Emas yang tampan itu kelihatan angker, tentu Sian Eng akan menjadi malu dan mungkin tak sudi ia berboncengan di atas seekor kuda dengan orang ini. Akan tetapi karena ia ingin segera bertemu kembali dengan saudaranya, ia tidak mau membantah. Dengan ringan ia bergerak, tubuhnya meloncat ke atas punggung kuda. Tiba-tiba kuda itu melonjak dan berlari cepat sekali seperti terbang. Sian Eng terkejut. Di mana Suling Emas" Apakah ia dibawa kabur kuda dan Suling Emas tertinggal di belakang" Dalam gugupnya ia menengok dan.... hampir saja dia beradu hidung dengan orang yang duduk di belakangnya! Kiranya Suling Emas sudah duduk di belakangnya, agak di belakang sehingga tubuh mereka tidak bersentuhan. Agaknya orang ini demikian ringan gerakannya sehingga ia sama sekali tidak tahu bahwa dia sudah berada di belakangnya tadi. Cepat Sian Eng membalikkan mukanya yang menjadi merah sekali dan diam-diam ia amat kagum akan kehebatan kepandaian orang ini, juga kagum akan kesopanannya. Biarpun ia duduk berboncengan seperti itu, namun ia tidak merasa kikuk karena Suling Emas benar-benar berlaku sopan, duduknya agak jauh di belakang.
Memang benar ucapan Suling Emas. Kuda itu luar biasa larinya, cepat seperti terbang dan andaikata mereka melakukan perjalanan tanpa kuda, tentu akan lebih melelahkan, juga lambat. Suling Emas melakukan perjalanan cepat dan terus-menerus, hanya berhenti dua kali sehari. Bahkan kadang-kadang di malam hari mereka melanjutkan perjalanan.
Makin lama, makin percaya Sian Eng kepada orang aneh ini. Di dekat Suling Emas, ia merasa aman tenteram, kecurigaannya lenyap sama sekali dan ia memandang orang ini sebagai seorang pendekar besar yang amat mengagumkan. Yang ia sayangkan, Suling Emas orangnya pendiam, tak pernah mau bicara kalau tidak ditanya. Menjawab pertanyaan pun hanya singkat-singkat seperlunya saja. Hal ini mengecewakan hati Sian Eng karena gadis ini ingin sekali mendengar riwayat hidup orang aneh yang mengagumkan hatinya ini.
Ketika memasuki pintu gerbang kota raja pagi hari itu, banyak orang memandang mereka dengan kagum dan heran. Kagum karena melihat kuda besar bagus ditunggangi sepasang orang muda yang elok dan gagah. Agaknya Suling Emas hendak menyembunyikan dirinya karena ia telah menggunakan sehelai saputangan untuk menutupi gambar suling di dadanya. Namun telinga Sian Eng masih dapat menangkap beberapa orang di pinggir jalan berbisik, "Dia.... Suling Emas...."
Suling Emas menghentikan kudanya di dalam pekarangan lebar sebuah kelenteng, mengajak Sian Eng turun. Di ruangan depan mereka disambut oleh beberapa orang hwesio (pendeta Buddha) yang segera memberi hormat kepada Suling Emas.
"Harap para Losuhu (Bapak Pendeta) sudi menerima Nona Kam ini sebagai tamu terhormat dan membantunya dalam usahanya menjumpai saudaranya di kota raja."
"Omitohud.... tentu saja, Taihiap (Pendekar Besar)! Silakan masuk, Nona.... dan anggaplah di sini sebagai tempait tinggalmu sendiri," kata hwesio tua itu dengan ramah tamah. "Apakah Taihiap tidak keberatan untuk singgah dulu dan minum teh"
Suling Emas menggelengkan kepalanya. "Terima kasih, Losuhu. Saya masih mempunyai banyak urusan." Kemudian ia menoleh kepada San Eng dan berkata. "Di kelenteng ini, kau berada di tempat yang aman, dan dengan bantuan para Losuhu di sini, kalau saudaramu berada di kota raja, tentu kau dapat bertemu dengannya. Ingat, kalau kalian bertiga sudah saling bertemu dan berkumpul, satu-satunya hal terbaik bagi kalian adalah kembali ke Ting-chun. Nah, selamat berpisah." Suling Emas memberi hormat kepada pendeta kepala, lalu meloncat di atas punggung kudanya yang lari cepat meninggalkan tempat itu.
Sian Eng berdiri bengong, tak dapat berkata sesuatu. Apa yang dapat ia katakan" Berkumpul dengan orang itu, melakukan perjalanan bersama beberapa hari, telah membuktikan keluhuran budi Suling Emas, kesopanannya, akan tetapi juga keanehannya. Agaknya ada sesuatu yang menekan perasaan orang itu, ada sesuatu yang dideritanya di dalam batin, yang membuatnya tampak pendiam, tidak pedulian, dan wajahnya yang tampan selalu muram seperti matahari yang selalu tertutup mendung di musim hujan. Tiba-tiba ia menoleh kepada pendeta kepala hwesio yang gendut peramah itu.
"Losuhu, dia itu.... Suling Emas itu.... orang macam apakah dia" pertanyaan yang aneh ini keluar begitu saja dari mulut Sian Eng, langsung sebagai peluapan hatinya. Untung yang diajak bicara adalah seorang hwesio tua, kalau orang lain tentu akan memalukan sekali. Hwesio itu hanya tertawa, kemudian menjawab.
"Bukan hanya kau yang mengajukan pertanyaan seperti ini, Nona. Banyak orang, di antaranya pinceng (aku) sendiri! Tapi, siapa dapat menjawab" Kalau pinceng yang menjawab hanya begini: dia itu seorang pendekar besar yang berwatak aneh, kalau sedang menolong orang bijaksana seperti dewa, kalau menghadapi lawan ganas seperti iblis. Itulah Suling Emas, dan tidak pernah ada orang yang dapat menceritakan siapa dia. Tapi bagi kami, sudah cukup kalau mengetahui bahwa dia itu seorang yang baik, selalu berfihak kepada yang benar biarpun kadang-kadang amat sulit untuk dimengerti, Nona, kami menerima perintahnya, harus kami kerjakan baik-baik. Silakan masuk, Nona, ada sebuah kamar yang bersih untukmu. Tentang saudaramu, nanti kita bicarakan dan tentu para murid di sini siap untuk membantumu mencarinya, kalau betul dia itu berada di dalam kota raja."
Lega hati Sian Eng, sungguhpun keterangan tentang diri Suling Emas itu membuat hatinya makin penasaran dan ingin tahu. Ia memasuki kelenteng dan memang benar, para hwesio melayaninya penuh penghormatan dan kesopanan sehingga Sian Eng tidak ragu-ragu untuk mengajak mereka itu merundingkan tentang kedua saudaranya yang berpisah darinya. Ia memberi gambaran tentang diri Bu Sin dan Lin Lin dan memesan agar para hwesio yang melihat kedua orang ini di kota raja, segera memberi tahu kepadanya. Para hwesio itu tampak bersemangat sekali membantu Sian Eng, dan gadis ini maklum bahwa semangat ini timbul karena keyakinan bahwa membantu Sian Eng berarti membantu Suling Emas dengan melaksanakan perintahnya! Makin kagumlah hatinya terhadap orang rahasia yang sanggup membikin orang-orang alim seperti hwesio-hwesio ini demikian tunduk dan setia. Tentu saja dia tidak tahu bahwa para hwesio itu, juga banyak sekali orang-orang di kota raja, telah berhutang budi besar kepada Suling Emas.
Di bagian depan telah kita ketahui bahwa Lin Lin yang ditemani Lie Bok Liong, dengan penuh harapan melakukan perjalanan ke kota raja. Hatinya girang sekali karena memang amat ingin ia bertemu dengan Suling Emas yang disangka menjadi pembunuh dari Jenderal Kam Si Ek dan isterinya. Untung ia mendengar percakapan antara Suma-kongcu dan para tokoh pengemis yang menyatakan bahwa Suling Emas berada di gedung perpustakaan istana. Kita ikuti kembali perjalanan mereka berdua.
Mereka telah berhasil melarikan diri dari gedung keluarga Suma di An-sui sebelah barat kota raja, dan melanjutkan perjalanan di malam hari terang bulan. Mereka berjalan seenaknya, bercakap-cakap gembira. Begitu gembira, begitu aman seakan-akan tidak ada bahaya sesuatu yang mengintai.
Memang Lin Lin seorang gadis remaja yang gembira dan masih belum berpengalaman, maka ia pun enak saja melakukan perjalanan dan bercakap-cakap bersama Lie Bok Liong. Gadis yang masih hijau ini sama sekali tidak tahu akan bahaya yang mengancam. Adapun Lie Bok Liong, dia adalah seorang pendekar muda yang sudah kenyang pengalaman, biasanya amat hati-hati, waspada dan berpandangan luas dan jauh, berwatak jujur dan berhati mulia. Akan tetap pada malam hari itu, hatinya rusak, kacau-balau oleh juita di sampingnya. Sudah dua kali ia menempiling jidatnya sendiri karena timbul pikiran yang bukan-bukan terhadap Lin Lin. Malam terlalu indah, bulan terlalu terang, dan gadis di sampingnya terlalu cantik jelita. Bok Liong berjalan di samping Lin Lin dengan hati dan perasaan mawut (berantakan), maka ia pun tidak dapat terlalu disalahkan kalau dia sendiri menjadi kurang hati-hati, hilang kewaspadaannya. Di samping Lin Lin, dunia menjadi terlampau indah baginya sehingga sementara itu ia lupa akan bahaya-bahaya yang mengancam kehidupan dari segenap penjuru.
Biarpun Suma Boan atau Suma-kongcu tidak mengejar sendiri karena ia maklum bahwa menghadapi dua orang muda yang lihai itu seorang diri saja ia tidak akan menang, namun sudah tentu saja Suma-kongcu tidak membiarkan penghinaan terjadi di rumahnya begitu saja. Ia diam-diam menitah seorang pengawal untuk menghubungi para ketua kai-pang dan tak lama kemudian, para tokoh perkumpulan pengemis yang kebetulan berada di situ dan dapat dihubungi sudah mengatur rencana penghadangan terhadap Lin Lin dan Bok Liong. Ada tiga orang pengemis lihai yang kebetulan dapat dihubungi Suma-kongcu dan yang segera membawa teman-temannya melakukan pengejaran.
Yang pertama adalah ketua dari perkumpulan pengemis Hui-houw-kai-pang (Harimau Terbang). Hui-houw-pangcu ini sudah tua, usianya kurang lebih enam puluh tahun, rambutnya sudah putih semua dan senjatanya sebatang tongkat baja. Selain lihai sekali ilmu tongkatnya, juga ia amat terkenal dengan senjata rahasia yang ia sebut bulu harimau. Sebetulnya senjata ini adalah jarum-jarum halus yang diberi racun, siapa terkena akan menjadi gatal-gatal yahg menjalar ke seluruh tubuh dan berakhir dengan kematian yang mengerikan. Hui-houw-pangcu pergi melakukan pengejaran bersama barisannya yang paling ia banggakan, yaitu Hui-houw-tin (Barisan Macan Terbang). Barisan ini terdiri dari tiga belas orang tokoh pengemis yang berkepandaian tinggi dan yang khusus dilatih untuk membentuk Hui-houw-tin. Besarlah hati Hui-houw-pangcu mengajak barisannya ini, biarpun ia mendengar dari Suma-kongcu bahwa dua orang muda itu lihai, namun ia yakin bahwa Hui-houw-tin akan dapat mengalahkan mereka dan dapat menawan mereka seperti yang diminta oleh Suma-kongcu.
Lewat tengah malam, Lin Lin dan Bok Liong menunda perjalanan karena mereka merasa lelah dan mengantuk. Bok Liong yang sudah beberapa kali melakukan perjalanan lewat daerah ini, tahu bahwa di luar hutan terdapat sebuah kuil kuno yang kosong dan tidak terpakai lagi. Mereka lalu menuju ke kuil itu dan girang hati Lin Lin dapat mengaso di tempat yang terlindung sehingga hawa tidak terlalu dingin. Bok Liong segera membuat api unggun dan mereka duduk di ruangan depan yang agak bersih setelah keduanya menyapu lantai dengan daun-daun kering.
"Kau mengaso dan tidurlah, Lin-moi, biar aku menjaga di sini."
"Mana bisa aku tidur kalau dijaga orang" Twako, jangan kira aku seorang yang mau enak sendiri, tidur pulas membiarkan kau digigiti nyamuk dan mengantuk. Tidak, kalau kau tidak tidur, aku pun tidak mau tidur."
Bok Liong tersenyum lebar, dalam hati amat bersyukur bahwa gadis ini memiliki watak yang demikian baik. Memang, kalau orang sedang bercinta, segala yang dilakukan orang yang dicintanya selalu baik, setiap gerak-gerik menyenangkan. Ia maklum bahwa kalau ia bersitegang, gadis yang keras hati ini tentu betul-betul tidak mau tidur.
"Baiklah, aku pun akan tidur di sini, kau tidur di situ. Besok pagi-pagi kita bangun melanjutkan perjalanan ke kota raja."
"Nah, begitu baru adil namanya," kata Lin Lin melihat pemuda itu merebahkan diri telentang dekat api unggun. Ia pun lalu merebahkan diri miring, membelakangi api unggun yang menyilaukan mata, berbantal tangan. Melihat ini, Bok Liong lalu melempar bungkusan pakaiannya.
"Nih, pakailah untuk bantal, lumayan."
Lin Lin tidak membantah, memberi hadiah senyum terima kasih lalu meramkan matanya. Bok Liong tentu saja tidak mau tidur, maklum bahwa kalau tertidur keduanya di tempat itu, akan berbahaya sekali. Yang paling berbahaya adalah ular, karena ada beberapa macam ular yang tidak takut akan api. Juga, kalau api unggun padam tidak ada yang tahu. Ia tadi merebahkan diri hanya untuk memanaskan hati Lin Lin agar nona itu mau tidur. Karena gadis itu rebah membelakanginya, dengan leluasa ia dapat memandang belakang tubuh Lin Lin dan pikirannya melamun jauh, mata dan bibirnya membayangkan gelora hati yang penuh kasih dan rindu. Inilah yang menjauhkannya daripada kewaspadaan. Ia tidak tahu bahwa belasan pasang mata sedang mengintai dari tempat gelap!
Tiba-tiba, selagi Bok Liong melamun muluk-muluk, tampak sinar-sinar kecil berwarna putih berkelebatan menyambar. Bok Liong, seorang pendekar muda yang terlatih dan sudah banyak makan asam garamnya pengalaman dunia kang-ouw, terkejut bukan main. Bukan sinar-sinar putih yang menyambar ke arah dirinya yang ia kejutkan, melainkan sinar yang menyambar ke arah diri Lin Lin yang sudah pulas! Tanpa berpikir panjang lagi, semata-mata untuk melindungi diri gadis itu daripada bahaya maut, ia membuang dirinya ke depan Lin Lin sambil mengebutkan kedua lengan bajunya. Cepat sekali gerakannya sehingga gerakan ini membuat beberapa batang jarum halus yang tadinya menyambar ke arahnya, terbang lewat dan menancap ke dalam dinding. Ia berhasil pula menyelamatkan Lin Lin, akan tetapi dua batang jarum tak berhasil dikebut runtuh dan langsung menancap pada pangkal lengannya sebelah kiri.
"Twako.... ada apa...." Lin Lin melompat bangun dan secepat kilat ia melompat lagi mendahului Bok Liong. Sebagai seorang ahil silat tinggi, begitu sadar daripada tidurnya Lin Lin sudah berada dalam keadaan siap siaga dan sedetik ia mengira bahwa Bok Liong secara kurang ajar telah mendekatinya. Selagi ia hendak memaki sambil mencabut pedangnya tiba-tiba ia melihat Bok Liong merintih-rintih dan menggaruk-garuk pangkal lengan kirinya. Pada saat itu tampak sinar putih menyambar-nyambar pula. Maklumlah Lin Lin bahwa mereka diserang oleh lawan dengan senjata rahasia, maka cepat ia memutar pedangnya, melompat ke depan Bok Liong dan sinar kuning pedangnya merupakan gulungan yang memukul runtuh sinar-sinar putih bersambaran itu.
"Jangan gerak, cabut jarum gosokkan ini!" tiba-tiba terdengar suara dari jauh, hanya gemanya saja yang terdengar, akan tetapi tahu-tahu ada sebuah benda kecil melayang jatuh dekat Bok Liong. Ternyata benda itu adalah sebuah bungkusan kecil. Bok Liong tadinya merasa gatal-gatal bukan main pada pangkal lengannya sehingga biarpun ia tahu bahwa menggaruknya merupakan pantangan yang berbahaya, namun ia tidak kuat menahan.
Mendengar suara itu ia terkejut, akan tetapi juga girang melihat datangnya bungkusan. Apalagi melihat bahwa Lin Lin tidak terluka, bahkan gadis ini sekarang berdiri melindunginya. Cepat ia merobek bajunya pada lengan tangan, menggunakan penerangan api unggun yang masih bernyala besar untuk mencabut keluar dua batang jarum yang hampir amblas semua ke dalam daging. Bungkusan itu ia buka, ternyata isinya bubuk berwarna kuning. Tanpa ragu-ragu lagi Bok Liong menggosok-gosokkan bubuk kuning ini pada kedua luka kecil di pangkal lengan kiri. Hebat! Seketika lenyap rasa gatal-gatal. Dengan kemarahan meluap Bok Liong mencabut pedangnya, melompat berdiri di samping Lin Lin dan berseru.
"Penjahat berhati binatang berwatak pengecut! Kalau memang ada kepandaian, keluarlah dan mari kita bertempur secara orang gagah!"
Terdengar suara ketawa mengejek. "Sudah lama kami berada di sini, buka matamu baik-baik, pemuda sombong!"
Bok Liong dan Lin Lin membalikkan tubuh. Kiranya penyerang gelap itu telah berpindah tempat, kini berada di belakang mereka. Meremang bulu tengkuk mereka memikirkan betapa bahayanya keadaan mereka tadi. Kalau penyerang gelap ini menyerang dengan jarum-jarum halus lagi dari belakang, bukankah amat berbahaya" Jarum-jarum itu demikian halusnya sehingga tidak terdengar sambarannya. Hanya berkat sinar api unggun maka jarum-jarum putih itu kelihatan berkelebat sehingga mereka tadi dapat menyampok runtuh. Kiranya yang berada di situ bukan hanya seorang saja, melainkan empat belas orang yang kesemuanya berpakaian pengemis. Tahulah mereka bahwa hal ini tentu ada hubungannya dengan tiga orang yang dirobohkan Lin Lin di gedung Suma-kongcu.
"Hemmm, kiranya kalian adalah ahli-ahli pula dalam senjata rahasia. Aku kagum dan mengaku kalah dalam hal ilmu senjata rahasia. Akan tetapi, kami tantang kalian untuk menghadapi Barisan Macan Terbang (Hui-houw-tin). Kalau tidak berani, lebih baik kalian menyerah untuk kami tawan. Kalau kalian dapat menangkan Hui-houw-tin, barulah aku Hui-houw-pangcu mengaku kalah."
Diam-diam Bok Liong dan Lin Lin terkejut dan heran sekali. Bagaimana pengemis tua ini bicara begitu aneh, menyatakan kagum dan mengaku kalah dalam ilmu senjata rahasia" Padahal, mereka itu sama sekali tidak melepaskan senjata, juga dalam menghadapi penyerangan jarum-jarum tadi, biarpun Bok Liong berhasil menyampok runtuh dan Lin Lin juga berhasil menggunakan pedang menggagalkan penyerangan ke dua, namun Bok Liong telah terluka. Hal ini tentu saja sama sekali tak boleh dianggap bahwa mereka berdua telah menang bertanding senjata rahasia! Tentu saja kedua orang ini tidak tahu bahwa di dalam gelap tadi, setelah Lin Lin memutar pedang menyampok runtuh jarum-jarum itu, masih beterbangan lagi jarum-jarum bertubi-tubi dan susul-menyusul dengan cara berpindah-pindah dari pelbagai jurusan, sering kali dari arah belakang kedua orang muda itu. Ini adalah akal Hui-houw-pangcu yang menyerang mereka dari tempat gelap secara berpindah-pindah. Akan tetapi, semua jarum-jarum yang menyambar dari tempat tersembunyi itu runtuh semua bertemu dengan benda-benda kecil yang melayang-layang dari segala jurusan dan ternyata bahwa yang meruntuhkan jarum-jarum itu adalah daun-daunan, bunga dan buah-buahan kecil yang secara aneh datang dari jurusan yang berlawanan sehingga Hui-houw-pangcu tentu saja mengira bahwa benda-benda itu dilepas oleh dua orang muda yang diserangnya! Akan tetapi, sudah tentu Bok Liong dan Lin Lin tidak mau menyatakan keheranan ini. Dengan marah mereka lalu melangkah maju menghadapi barisan yang sudah tersusun di depan kuil kuno yang ruangan depannya terbuka itu. Tiga belas orang pengemis dengan tongkat-tongkat baja di tangan, telah memasang Barisan Harimau Terbang. Tiga orang sebagai kepala, masing-masing dua orang sebagai sayap kanan kiri, empat orang sebagai empat buah kaki dan dua orang sebagai ekor.
Bok Liong dan Lin Lin yang memiliki kepandaian tinggi, tentu saja tidak merasa gentar. "Saling membelakangi menghadapi mereka mencegah penyerangan gelap dari belakang," bisik Bok Liong. Lin Lin kagum dan segera menurut nasihat ini karena memang itulah cara terbaik bagi mereka sehingga dalam pengeroyokan mereka dapat mengerahkan seluruh perhatian ke depan tanpa takut penyergapan gelap.
Akan tetapi, dugaan ini keliru dan terpaksa rencana Bok Liong ini tak mungkin dipertahankan. Kiranya tiga belas orang itu sama sekali tidak mengurung mereka sebagaimana biasanya barisan kalau mengepung lawan yang sedikit jumlahnya. Mereka itu langsung menerjang dari depan dengan teratur seperti gerakan seekor harimau terbang sehingga ketika mereka menerjang maju, hanya Lin Lin yang dihujani serangan sedangkan Bok Liong tidak menghadapi seorang pun lawan.
Lin Lin tidak gentar dan cepat memutar Pedang Besi Kuning di tangannya, akan tetapi ia kaget sekali karena senjata tongkat lawan yang terbuat dari baja tulen itu datangnya susul-menyusul dengan teratur, sehingga ia sama sekali tidak sempat melakukan serangan balasan karena repot melayani datangnya bayangan tongkat yang seperti hujan menimpanya dari atas, kanan, kiri dan bawah!
Melihat cara penyerangan mereka ini, tentu saja Bok Liong khawatir kalau-kalau Lin Lin celaka di tangan barisan aneh itu. Apa lagi hatinya amat tidak enak kalau barisan itu hanya menerjang Lin Lin dan membiarkan ia menganggur menjadi penjaga punggung Lin Lin belaka. Ia berseru keras dan membalik lalu menerjang, membantu Lin Lin. Akan tetapi ia masih tetap waspada, menjaga agar mereka jangan terlena dan tertipu.
Memang Bok Liong sudah banyak pengalamannya dalam pertempuran. Ia cukup maklum akan kelihaian pedang Lin Lin, juga ia mengerti bahwa gadis ini kalau marah kepada lawan bisa menjadi ganas sekali. Secara langsung mereka berdua tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan para pengemis, maka ia pun menganggap tiada perlunya menurunkan tangan besi kepada mereka.
"Lin-moi, kau menahan serangan mereka, biarkan aku yang membalas!"
"Baik!" jawab Lin Lin, kembali kagum karena maklum bahwa hanya cara itulah yang memungkinkan mereka dapat balas menyerang, yaitu yang seorang bertahan, yang seorang pula menyerang. Segera ia memutar pedangnya menjadi segulung sinar kuning yang berkilauan membungkus dirinya dan di lain fihak Bok Liong melompat ke belakang Lin Lin membiarkan semua tongkat menyerang gadis itu, kemudian dari samping ia menerjang. Hasilnya baik sekali, terdengar teriakan kesakitan dan seorang di antara tiga orang yang merupakan bagian kepala, roboh terguling terluka pahanya oleh ujung pedang Bok Liong. Akan tetapi tiba-tiba pada saat itu, sinar putih bersambaran dari belakang. Inilah yang dikhawatirkan Bok Liong. Baiknya pemuda ini sudah waspada sejak tadi. Melihat sinar putih menyambar, cepat ia memutar pedang sambil melompat ke belakang Lin Lin dan runtuhlah semua jarum tersampok sinar pedangnya. Hati Bok Liong menjadi khawatir juga. Kalau begini caranya mereka melakukan pengeroyokan, berabe juga. Ia melirik dan melihat betapa pertahanan Lin Lin amat kuat dan kokoh seperti benteng baja, biarpun gadis itu tidak akan mendapat kesempatan untuk balas menyerang, namun dengan pertahanan macam itu, biar ada dua barisan Hui-houw-tin, kiranya belum tentu akan dapat membobolkan pertahanannya dalam waktu satu dua jam!
"Lin-moi, tahan terus, aku menangkap kepalanya!" bisiknya kembali.
Lin Lin sudah percaya betul akan kecerdikan kawannya. "Baik," jawabnya tanpa ragu-ragu lagi. Bok Liong melompat dengan tiba-tiba, gerakannya cepat sekali. Dengan hanya beberapa lompatan ia sudah tiba di balik gerombolan pohon dari mana jarum-jarum itu tadi menyambar. Dan.... apa yang dilihatnya" Ia berdiri bengong memandang Hui-houw-pangcu yang roboh terlentang dengan tubuh kaku, kedua tangan masih menggenggam jarum-jarum beracun! Ternyata pengemis tua ini telah ditotok jalan darahnya yang membuat tubuhnya kaku tak dapat bergerak untuk beberapa jam lamanya. Siapa yang melakukan hal ini" Tak salah lagi, pikir Bok Liong, tentu dia yang tadi telah menolongnya dengan pemberian obat pemunah racun! Akan tetapi ia tidak ada waktu untuk mengherankan soal ini karena di sana Lin Lin masih menghadapi pengeroyokan barisan Hui-houw-tin yang biarpun sudah roboh seorang, masih amat kuat dan cukup berbahaya. Hatinya lega, karena dengan robohnya ketua Hui-houw-pang yang suka main jarum beracun ini, ia tidak khawatir lagi akan serangan gelap dari belakang. Cepat ia membalikkan tubuh dan melompat ke tempat pertempuran, serta merta menerjang dari samping. Karena kegembiraan dan kelegaan hati melihat penyerang gelap itu tak berdaya lagi, pemuda ini menyerang penuh semangat dan pedangnya merobohkan dua orang pengeroyok!
Akan tetapi, biarpun berkurang tiga orang, ternyata barisan Hui-houw-tin ini malah mengamuk lebih hebat. Inilah keistimewaan Hui-houw-tin, seperti seekor harimau kalau terluka akan lebih hebat sepak terjangnya. Hal ini adalah karena kalau barisan itu masih lengkap tiga belas orang, ruang gerak penyerangan mereka amat sempit dan terbatas. Makin berkurang jumlahnya, makin leluasa mereka bergerak sehingga tampaknya makin buas. Namun, malang bagi mereka, kini yang mereka keroyok adalah murid-murid orang sakti yang telah mewarisi ilmu kepandaian yang amat tinggi, jauh melebihi tingkat mereka.
Setelah kini merasa yakin bahwa dari belakang takkan ada yang menyerang dengan senjata rahasia, dengan enaknya Bok Liong membabati lawan seorang demi seorang secara cepat sehingga tak sampai seperempat jam, para pengeroyok itu tinggal empat orang lagi yang cepat melempar tongkat dan berlutut mohon diampuni! Lin Lin gemas sekali, lengannya bergerak hendak membabat dengan pedangnya, akan tetapi lengannya disentuh Bok Liong.
"Sudahlah, Lin-moi. Mereka hanya menjalankan perintah. Kita tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan mereka. Mari kita pergi!"
Pengalaman dalam pertempuran ini membuka mata Lin Lin bahwa kawannya adalah seorang pemuda yang selain lihai ilmu silatnya, juga cerdik dan berpengalaman. Kalau saja ia tadi seorang diri menghadapi para pengemis ini, agaknya ia akan terancam bahaya hebat. Mengingat ini, biarpun hatinya tidak puas karena tidak boleh membunuh para pengeroyoknya, namun ia tidak membantah dan bersama Bok Liong mereka melompat pergi dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Bulan purnama sudah condong ke barat, akan tetapi sinarnya masih menerangi jagat. Peristiwa tadi mengusir kantuk dan mereka berjalan terus memasuki hutan.
Malam telah menjelang fajar ketika bulan yang sudah turun itu tertutup puncak gunung dan sinarnya menjadi suram. Keadaan yang gelap ditambah hawa yang amat dingin memaksa dua orang muda itu kembali berhenti di dalam hutan, memilih tempat terbuka di antara pohon-pohon besar dan mereka berjongkok menghadapi api unggun yang mendatangkan hawa hangat nyaman.
"Liok-twako, kau tadi meninggalkan aku untuk menangkap Hui-houw-pangcu, bagaimana hasilnya" Belum kauceritakan padaku."
Bok Liong menarik napas panjang. Tadi ia memang sengaja tidak bercerita, karena khawatir kalau-kalau gadis yang aneh ini bersikeras hendak mencari penolong itu. Seorang penolong yang tidak mau memperlihatkan diri tak perlu dipaksa muncul, dan biasanya hanya orang-orang sakti yang bersikap seperti itu.
"Lin-moi, dalam pertempuran tadi, kita berdua hanya dapat keluar dengan selamat berkat pertolongan seorang sakti."
Lin Lin mengangguk-angguk. "Sudah kuduga, malah tadinya kusangka gurumu yang melempar obat kepadamu, Twako."
"Bukan Suhu, melainkan orang lain, entah siapa. Obatnya pemunah racun amat manjur, dan ilmu kepandaiannya hebat sekali."
"Bagaimana kau bisa tahu, Twako"
"Tak ingatkah kau akan ucapan Hui-houw-pangcu yang mengaku kalah bertanding senjata rahasia dengan kita" Padahal kita sama sekali tidak pernah melepaskan senjata rahasia. Bagaimana dia bisa mengaku kalah bertanding am-gi (senjata gelap)" Tidak bisa lain, tentu penolong kita yang telah menundukkanya, mungkin dengan cara menggempur jarum-jarumnya dengan am-gi lain yang amat lihai. Dan tahukah kau apa yang terjadi ketika aku meninggalkanmu untuk menghajar ketua Hui-houw-pang yang curang itu" Ia telah roboh kaku, siapa lagi kalau bukan penolong kita yang menotoknya. Di kedua tangannya masih penuh jarum-jarum beracun yang belum sempat ia sambitkan kepada kita."
Benar saja, Lin Lin amat tertarik hatinya. "Siapakah dia Twako" Ah, setelah ia menolong kita, kenapa tadi kau diam saja" Mengapa tidak memanggil-manggil supaya dia muncul" Aku ingin sekali berkenalan dengan dia, Twako, ingin...."
"Ingin apa" Bok Liong sendiri terheran mendengar suaranya yang berbeda dari biasa, den lebih heran lagi merasa betapa dadanya sesak dan perasaannya tidak senang. Cemburu! Tapi ia tidak sadar akan hal ini.
"Ingin mengajak ia bertanding, menguji kepandaiannya!"
Jawaban ini membuat Bok Liong melengak heran, akhirnya ia tertawa. Gadis pujaan hatinya ini benar-benar aneh, lucu, manis danhebat!
"Lin-moi, kalau seorang sakti tidak menghendaki dilihat orang, jangan harap akan dapat bertemu dengannya. Terang bahwa dia membantu kita dengan sembunyi, itu hanya berarti bahwa dia tidak mau kita melihatnya, maka jalan terbaik hanya membiarkan dia melanjutkan sikap itu. Memaksa dia muncul sama dengan menentang kehendaknya den ini bukanlah pernyataan terima kasih yang baik."
Lin Lin tidak suka akan keangkuhan. "Huh, siapa memaksa dia menolong kita" Aku sendiri sih tidak butuh akan pertolongannya. Kalau memang dia merasa diri begitu tinggi den begitu mulia sehingga menganggap tidak berharga mengadakan pertemuan dengan kita, mengapa dia menolong kita tanpa kita minta" Uh, aku belum percaya apakah benar-benar dia itu seorang sakti, lebih tidak percaya lagi apakah dia bermaksud baik dengan pertolongannya itu."
"Ssstttt.... Lin-moi, kenapa kaubilang begitu...."
Lin Lin melompat berdiri. "Biar! Aku tetap tidak percaya bahwa dia bermaksud baik. Kau boleh takut kepadanya, Liong-twako, akan tetapi aku tidak takut. Kalau dia betul orang baik-baik, kenapa main rahasia-rahasiaan" Siapa sudi main kucing-kucingan dengan orang yang tidak kita kenal" Orang begitu hanya menonjolkan keangkuhan dan kesombongannya, merasa lebih tinggi daripada orang lain!"
Bok Liong kebat-kebit hatinya. Celaka, pikirnya. Gadis ini sudah kumat, dan ia dapat menyelami perasaan gadis ini yang membuatnya mau tak mau hanya makin mengaguminya. Terang bahwa Lin Lin wataknya aneh, tapi polos, tidak takut kepada siapa pun juga, tidak suka akan orang yang plin-plan dan palsu-palsuan. Akan tetapi betapapun juga, hatinya merasa amat tidak enak terhadap penolongnya. Bagaimana kalau penolong itu mendengar ucapan Lin Lin ini"
"Ahhhhhh....!"
Bok Liong melompat bangun, memandang ke kanan kiri.
"Eh, kau mengapa, Twako"
"Lin-moi, apakah kau tidak mendengar tadi" Terang ada orang yang menghela napas panjang, dekat sekali...."
Lin Lin ikut memandang ke kanan kiri, terheran-heran. "Aku tidak mendengar apa-apa. Ah, Twako, kau jadi seperti anak kecil mendengar dongeng mengerikan sehingga menjadi ketakutan dan di mana-mana kelihatan setan. Hi-hik!"
Merah muka Bok Liong, lalu ia duduk kembali. "Lin-moi, belum lama kau terjun di dunia kang-ouw, kau belum tahu banyak tentang orang-orang sakti...."
Sebelum Lin Lin sempat menjawab, tiba-tiba terdengar desis keras dan Lin Lin menjerit, "Ular....!" Ia seperti sebagian banyak wanita, merasa jijik dan geli melihat ular, akan tetapi, sebagai seorang pendekar wanita, tentu saja ia tidak takut. Cepat sinar kuning berkelebat dan di lain saat tubuh ular telah buntung menjadi dua potong!
Mata Bok Liong terbelalak ketika ia memandang bangkai ular itu. "Wah, celaka, kita agaknya berhenti di daerah ular api! Ular macam ini tidak takut api dan amat beracun. Racunnya panas dan membuat tubuh korbannya hangus seperti dimakan api, maka ia disebut ular api. Eh.... awas Lin-moi....!" Bok Liong sudah mencabut pedangnya, dua kali ia mengelebatkan pedangnya dan dua ekor ular roboh dengan leher putus. Ternyata itu adalah dua ekor ular yang menyambar dari atas ke arah Lin Lin!
"Wah.... ular api tak mungkin dapat melayang tentu ada yang melemparkannya....! Lin-moi, awas, agaknya ada musuh menyerang...."
"Aku tidak takut! Segala pengecut curang, kalau berani muncul akan kupenggal batang lehernya!" teriak Lin Lin dengan marah sekali karena semalam itu selalu diganggu orang-orang yang tidak mau menyerang atau membantu dengan terang-terangan.
Jawaban teriakan Lin Lin ini adalah suara ketawa yang disusul munculnya seorang laki-laki tua berpakaian pengemis. Kaki kiri kakek pengemis ini buntung, sebagai penggantinya ia memegang sebatang tongkat panjang, tongkat yang bengkak-bengkok seperti tubuh ular. Pakaiannya yang penuh tambalan itu serba lorek dan belang-belang seperti kulit ular. Ketika Lin Lin memandang penuh perhatian, baginya muka orang itu pun mirip muka ular!
"Hemmm, kiranya Sin-coa-kai (Pengemis Ular Sakti) yang main-main dengan kami!" kata Bok Liong dengan suara mengejek. Ia sudah mendengar tentang pengemis ini yang merupakan kepala atau pimpinan dari serombongan pengemis yang suka mengumpulkan racun ular den menjualnya pada toko-toko obat. Sebagai ahli menangkap ular berbisa, tentu saja pengemis ini amat lihai, malah julukannya juga Pengemis Ular Sakti! Akan tetapi, ia pun sudah mendengar akan praktek-praktek jahat yang dilakukan pengemis ini dan rombongannya, yaitu menjual racun-racun ular pada penjahat-penjahat untuk maksud-maksud keji. Maka ia memandang rendah dan mengejek.
Pengemis buntung itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, orang muda bermata tajam, kiranya mengenal pula Sin-coa-kai! Ha-ha, kalau sudah mengenal nama dan mengetahui kelihaianku, lebih baik menyerah agar kuserahkan kalian kepada Suma-kongcu. Heh, pantas saja Suma-kongcu berusaha keras untuk menangkap kalian, kiranya ada bidadari ini yang begini denok dan can...."
"Swinggggg....!" Pengemis itu berteriak kaget dan menjatuhkan diri bergulingan ke atas tanah ketika tiba-tiba pedang di tangan Lin Lin menyambar, merupakan sinar kuning yang secepat kilat menerima leher pengemis itu.
"Lin-moi, awas belakang....!" Bok Liong memperingatkan, khawatir kalau gadis itu terlalu bernafsu dan marah mengejar Si Pengemis Buntung. Betul saja dugaannya, Si Buntung itu tidak datang sendiri, melainkan bersama tujuh orang pembantunya. Pada saat itu, dari tempat-tempat gelap melompat bayangan orang dan terdengar suara mendesis-desis dari semua penjuru. Lin Lin kaget dan terpaksa menunda pengejarannya kepada Sin-coa-kai. Sepasang matanya yang tajam itu terbelalak ketika melihat puluhan ekor ular api merayap datang dari depan dan belakang, digiring oleh Sin-coa-kai dan teman-temannya.
"Lin-moi, serbu....!" Bok Liong sambil memutar pedangnya dan menerjang maju. Lin Lin mengikuti sepak terjang Bok Liong dan dua orang muda itu dengan gagah menghadapi ular-ular yang telah menjadi nekat karena telah diberi obat perangsang oleh Sin-coa-kai. Dalam beberapa detik saja bangkai ular bergelimpangan diterjang pedang Lin Lin dan Bok Liong.
Akan tetapi kini Sin-coa-kai dan teman-temannya mulai menyerang dari lain jurusan, menggunakan tongkat-tongkat ular yang panjang seperti toya. Lin Lin dan Bok Liong tentu saja tidak gentar, melawan dengan hebat. Akan tetapi mereka menjadi sibuk juga karena ular-ular itu kini menjadi makin banyak, merayap-rayap mengerikan.
"Lin-moi, ikuti aku, ke atas pohon!" kembali Bok Liong memberi tahu temannya. Sambil memutar pedang untuk menjaga diri dari sambaran tongkat lawan, mereka mengerahkan gin-kang dan melayang ke atas pohon. Akan tetapi terdengar suara ketawa Sin-coa-kai disusul teriakan kaget kedua orang muda itu yang cepat-cepat melayang turun kembali karena pohon itu pun penuh dengan ular hijau yaitu ular daun yang biarpun tidak beracun namun cukup menjijikkan dan galak!
"Ha-ha-ha-ha, apakah kalian tidak menyerah saja"
"Menyerah kakimu!" bentak Lin Lin sambil menerjang penuh amarah. Terjangannya hebat sekali, biarpun Si Buntung berhasil menghindarkan bahaya dengan jalan menggulingkan diri, namun seorang pembantunya terbabat pedang sehingga putus lengan kirinya!
Sin-coa-kai memaki marah, lalu bersuit keras. Hebat akibatnya. Ular-ular itu seperti menjadi gila mendengar suitan ini dan menyerbu lebih ganas daripada tadi. Kewalahan juga Lin Lin dan Bok Liong menghadapi ular-ular kalap itu, apalagi tongkat-tongkat para pengemis masih selalu mengancam dan mencari kesempatan baik.
Pada saat itu, tampak asap tipis dan tercium bau yang pedas. Seketika kedua mata Lin Lin dan Bok Liong mengeluarkan air mata! Inilah semacam asap beracun yang dilepas oleh Sin-coa-kai! Terbuat daripada daun-daun dicampur racun ular lalu dibakar. Asap daripada ramuan ini merupakan asap beracun yang akan membuat setiap orang lawan mengeluarkan air mata, semacam "gas air mata" model kuno! Para pengemis sendiri tentu saja sudah memakai obat pemunah sehingga mereka tidak terpengaruh.
"Celaka....!" teriak Bok Liong. "Lin-moi, kita membuka jalan mata!"
Mereka berusaha sedapat mungkin untuk membuka kedua mata yang terus bercucuran air mata, pedang di tangan mereka gerakkan otomatis menjaga tubuh. Akan tetapi, teringat akan ular-ular yang menyerang kaki mereka, kedua orang muda itu menjadi bingung, tidak berani melangkah keluar dari tempat itu.
Tiba-tiba terdengar pekik Sin-coa-kai marah, "Heeeiiiii, bedebah! Siapa berani main-main dengan ular-ularku" Akan tetapi bentakan ini disusul rintihan Si Buntung itu. Asap yang memerihkan mata juga tidak menyerang lagi.
Lin Lin dan Bok Liong masih terus memutar pedang menjaga diri. Setelah mata mereka tidak pedas lagi dan dapat dibuka, barulah mereka mendapat kenyataan bahwa keadaan mereka itu amat lucu. Di depan tidak ada musuh, bangkai ular bertumpuk-tumpuk di sana-sini, dan mereka tadi masih terus bersilat memutar pedang!
Muka Bok Liong menjadi merah sekali. "Wah, alangkah tolol kita. Sudah ada orang sakti menolong, ular-ular mati dan semua pengemis diusir pergi, dan kita masih terus main pedang seperti wayang tanpa penonton!"
Lin Lin membanting-banting kakinya. "Lagi-lagi penolong tak diundang! Kalau memang sudah menolong, kenapa tidak mau memberi tahu sehingga kita menjadi tontonan yang mentertawakan" Benar-benar dia memandang rendah!"
"Eh, Lin-moi. Berkali-kali dia menyelamatkan nyawa kita, kenapa kau malah marah-marah" Mana bisa kita menjadi tontonan kalau di sini tidak ada siapa-siapa yang akan menonton kita" Sebaliknya kita harus berterima kasih kepada pendekar sakti dan menol...."
"Siapa bilang tidak ada penonton" Apa kaukira dia itu tidak sedang terkekeh-kekeh mentertawakan kita yang bersilat sendiri melawan angin" Benar-benar kau tolol dan dapat dipermainkan orang, Twako!"
Bok Liong tersenyum. Baru berkenalan sebentar saja, sikap gadis ini sudah amat intim, tidak ragu-ragu mengecapnya tolol segala! "Jadi kau tidak berterima kasih kepadanya, Moi-moi"
"Tidak! Aku tidak minta dia tolong, perlu apa berterima kasih"
"Habis, andaikata dia muncul di depanmu, kau mau apa terhadapnya"
"Mau apa" Menebus penghinaan ini di ujung pedang, apa lagi"
"Penghinaan"
"Dia menolong tanpa diundang, bergerak secara sembunyi, ini berarti mempermainkan kita dan amat memandang rendah, apakah yang begini masih belum patut dikatakan penghinaan"
Tiba-tiba Bok Liong meloncat ke kiri, menyingkap alang-alang sambil berseru, "Harap Locianpwe (Orang Tua Gagah) sudi menjumpai kami....!" Akan tetapi ia kecewa karena di belakang alang-alang itu tidak ada siapa-siapa.
"Eh, apa kau masih terus bermain sandiwara setelah bertanding pedang angin tadi, Twako" Siapa yang kauajak bicara"
Bok Liong menggeleng-gelengkann kepalanya. "Jelas benar tadi kulihat bayangan orang di sini! Malah ketika aku melompat sampai di sini, masih kudengar elahan napasnya! Heran benar...."
"Sudahlah, Twako. Kau lagi-lagi melihat serta mendengar setan."
"Benar, Lin-moi. Kalau dia tidak mau menemui kita, dicari juga sia-sia. Mari kita lanjutkan perjalanan, siapa tahu Suma-kongcu masih mempunyai banyak kaki tangan yang hanya akan mengganggu kita. Lebih cepat sampai di kota raja lebih baik. Kota raja sudah dekat dan sekarang pagi."
Keduanya lalu berlari meninggalkah tempat itu. Lin Lin bergidik melihat bangkai banyak ular menggeletak di sana-sini, anehnya, sebagaian besar bangkai-bangkai itu pecah kepalanya. Padahal ia tahu benar bahwa pedangnya dan pedang Bok Liong tak mungkin bisa membikin kepala ular remuk, paling-paling membuntungi leher. Diam-diam ia kagum juga akan kepandaian orang yang telah menolong mereka, akan tetapi hatinya tetap tidak puas. Orang itu sombong, pikirnya.
Dugaan Bok Liong memang benar. Yang memenuhi permintaan Suma Boan untuk mencoba menangkap dua orang muda itu ada tiga rombongan. Pertama adalah rombongan Hui-houw-kai-pang, rombongan ke dua adalah rombongan Sin-coa-kai-pang. Adapun ke tiga hanya terdiri dari seorang saja. Orang ini adalah seorang tokoh perkumpulan pengemis dari daerah barat yang bemama Hek-i Lo-kai (Pengemis Tua Baju Hitam). Kepandaian ilmu silatnya tidaklah terlalu tinggi biarpun ia cukup lihai dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain, akan tetapi yang membuat ia amat terkenal adalah kelicikan dan kecurangannya. Ia pandai bicara, pandai bersandiwara dan selain ini ia pun memiliki kepandaian membuat obat peledak yang sukar dapat dilawan oleh seorang ahli silat tinggi sekali pun. Obat peledak itu mengandung racun dan pecahan-pecahan besi berkarat yang amat berbahaya. Semacam granat model kuno! Mengandalkan kecerdikannya, Hek-i Lo-kai ini beroperasi sendirian saja, tidak suka ramai-ramai main keroyokan. Ketika mendengar perintah Suma Boan, ia tergesa-gesa melakukan pengejaran. Karena mendengar bahwa dua orang muda itu lihai dan sedang menuju ke kota raja, ia tidak mau berlaku sembrono seperti dua rombongan yang telah gagal itu, melainkan mendahului pergi ke kota raja dan menanti di luar tembok kota raja.
Demikianlah, ketika Lin Lin dan Bok Liong tiba di luar kota raja, hari telah menjelang siang. Di luar pintu gerbang mereka melihat seorang kakek pengemis duduk bersila di alas tanah di dekat jalan raya, matanya yang meram terus itu agaknya buta, kedua tangannya ditelentangkan di depan dada dan mulutnya tiada hentinya minta-minta kepada orang yang lewat di jalan itu. Beberapa potong uang tembaga telah diperolehnya, bertebaran di depannya.
Melihat seorang pengemis, Bok Liong curiga. Ia menyentuh tangan Lin Lin dan memberi isyarat dengan matanya. Lin Lin menoleh dan tersenyum. "Twako, kau benar-benar seperti seekor burung yang hampir terkena anak panah, menjadi ketakutan pada bayangan sendiri. Masa setelah gangguan para pengemis itu, sekarang kalau melihat setiap orang pengemis kau lalu mencurigainya" Hi-hik, lucu! Dia itu benar-benar seorang jembel. Lihat, dia betul-betul minta-minta, wajahnya pucat matanya buta. Eh.... lihat.... dia sakit, Twako....!"
Benar kata-kata Lin Lin itu. Pengemis tua berbaju hitam kotor itu merintih-rintih, memegangi perutnya, mukanya menjadi pucat sekali, matanya yang buta mendelik tampak putihnya saja. "Ahhh.... auuuhhhhh.... aduh, mati aku...." keluhnya perlahan, keringat besar-besar memenuhi mukanya.
Seorang pedagang tahu yang memikul tahang (keranjang kayu) yang sedang kosong dan sedang menuju pulang ke desanya di luar kota, berhenti di depan pengemis itu, memandang penuh iba. "Lopek, kau kenapakah"
Pengemis itu mengeluh dan meringis kesakitan, nyata amat sukar ia mengeluarkan suara menjawab. "Aduhhh.... napasku.... sesak.... terpukul.... kumat lagi.... sesak.... auuughhh!" Kakek pengemis itu muntahkan darah segar! Si penjual tahu kaget dan makin iba.
"Wah, kau sakit berat, Lopek. Ah, bagaimana baiknya" Beberapa orang yang kebetulan lewat, hanya menengok lalu melanjutkan perjalanan mereka. Siapa mau peduli akan nasib seorang jembel tua" Pedagang tahu itu merasa kasihan karena ia sendiri pun seorang miskin, tentu saja ia dapat merasai penderitaan jembel ini.
Sebagai ahli-ahli silat kelas tinggi, tentu saja Lin Lin dan Bok Liong maklum apa artinya keadaan kakek itu. Kakek itu menderita luka dalam dan keadaan amat berbahaya. Lukanya mengeluarkan darah dan tentu akan menutup pernapasannya kalau tidak dihentikan. Cara menghentikannya tentu dengan menotok jalan darah di punggung dan mengurut urat di dada dan leher.
Lin Lin adalah seorang gadis remaja yang wataknya polos dan juga aneh. Ia mudah tersinggung, perasaannya halus, mudah marah mudah gembira, mudah kasihan mudah membenci. Dengan langkah lebar ia menghampiri kakek itu, tidak peduli lagi akan pencegahan Bok Liong.
"Kakek, kau terluka di dalam, biar kutolong kau...." kata Lin Lin.
"Auhhhhh.... oohhh.... terima kasih...."
Lin Lin segera menghampiri punggung kakek itu, menotoknya dengan dua jari tangannya. Gerakannya gesit sekali dan kedua jarinya amat kuat sehingga sekali menotok saja ia berhasil. Kakek itu meringis kesakitan dan napasnya bertambah sengal-sengal. Lin Lin menjadi gugup, cepat ia mengulur tangan hendak meraba leher dan mengurut dada. Tiba-tiba tangan kakek itu yang tadinya menekan-nekan perutnya, bergerak cepat dan tampak sinar berkilat ketika tangan yang telah mencabut pedang pendek ini menusuk ke arah dada Lin Lin!
"Keparat!" Bok Liong yang sudah waspada cepat menerjang maju dan mengirim tendangan, sedangkan Lin Lin yang menjadi kaget sekali namun tak kehilangan akal segera membuang diri ke belakang sambil berjungkir-balik. Tendangan Bok Liong keras sekali, membuat tubuh kakek pengemis itu terpental dan bergulingan sampai sepuluh meter jauhnya, pedang pendeknya terlempar entah ke mana. Akan tetapi kakek pengemis yang sekarang sudah tidak buta lagi itu, mengeluarkan dua buah benda sebesar kepalan tangan.
Pada saat itu, dari barat datang seekor kuda membalap cepat. Penunggangnya seorang pemuda berpakaian hitam, jubah panjang berwarna hitam menutup celana sutera putih. Tepat sekali kudanya datang lewat ketika kakek pengemis yang bukan lain adalah Hek-i Lo-kai itu melontarkan dua buah granathya ke arah Lin Lin dan Bok Liong.
"Tiarap semua....!" Nyaring sekali suara ini dan tubuh jangkung di atas kuda itu menyambar ke arah dua buah alat peledak, sekali sambar dua buah benda berbahaya itu telah berhasil ia tangkap! Bukan main hebatnya gerakan ini, terlihat oleh Lin Lin dan Bok Liong yang otomatis sudah rebah di atas tanah. Kuda itu berhenti sebentar dan penunggangnya menoleh ke arah Hek-i Lo-kai yang berdiri dengan muka pucat dan kedua kaki menggigil.
"Am.... pun.... ampunkan...."
"Hek-i Lo-kai, kali ini tidak ada ampun!" Tampak sinar hitam dari cambuk di tangan penunggang kuda itu bergerak, terdengar suara "tar-tar-tar" tiga kali dan robohlah Hek-i Lo-kai! Penunggang kuda itu membedal kudanya, tanpa bicara sesuatu kudanya membalap memasuki pintu gerbang. Akan tetapi, setibanya di pintu gerbang, penunggangnya menoleh ke arah Lin Lin.
Lin Lin dan Bok Liong melompat bangun dan menghampiri Hek-i Lo-kai yang merintih-rintih dan mencoba bangun. Alangkah kaget dan ngeri hati Lin Lin dan Bok Liong melihat betapa punggung kakek itu telah melengkung dan di situ tampak tiga garis melintang berwarna hitam, menembus baju, kulit dan daging sampai tampak tulangnya!
"Aduh.... ampun.... Suling Emas...."
Mendengar ini, Lin Lin dan Bok Liong terkejut. Terutama Lin Lin. Jadi penunggang kuda yang gagah perkasa, seorang laki-laki yang belum tua, tampan dan gagah, dia tadi Suling Emas"
"Jembel tua jahat, kaubilang dia Suling Emas" Betulkah itu" Lin Lin bertanya.
"Sul.... Suling Emas.... tak kenal.... ampun...." Kakek ini roboh lagi, muntah darah dan tanpa berkelojotan lagi ia menghembuskan napas terakhir!
Melihat terjadi peristiwa pembunuhan, si pedagang tahu cepat-cepat mengangkat pikulannya dan pergi meninggalkan tempat itu juga mereka yang menyaksikan peristiwa itu segera pergi dari situ setelah mendengar disebutnya nama Suling Emas. Nama ini meyakinkan mereka bahwa kakek jembel yang tadi pura-pura buta dan mengemis, tentulah seorang penjahat besar.
"Berbahaya...." kata Bok Liong. "Dia ini kiranya Hek-i Lo-kai dan tentulah dua buah benda tadi adalah dua senjata peledak yang kalau tadi tidak disambar Suling Emas, tentu menghancurkan tubuh kita berdua. Hebat....!"
Tiba-tiba seorang hwesio muda menghampiri mereka dan memberi hormat. Hwesio muda inilah satu-satunya orang yang tidak pergi dan sejak tadi ia menatap wajah Lin Lin.
"Maaf kalau pinceng (aku) mengganggu. Apakah Lihiap (Pendekar Wanita) yang bernama Kam Lin Lin"
Lin Lin menengok, tercengang dan Bok Liong sudah mengerutkan kedua alisnya yang tebal, siap menghadapi segala kemungkinan. Dalam keadaan seperti itu, ia menaruh curiga kepada setiap orang.
"Maaf," kata hwesio itu lagi, "tentu Lihiap merasa heran, akan tetapi pinceng mencari Lihiap atas suruhan Nona Kam Sian Eng. Menurut gambarannya, Lihiap tentu yang bernama Kam Lin Lin, hanya entah, apakah Sicu ini yang bernama Kam Bu Sin...."
Lenyap kecurigaan kedua orang muda itu. Malah Lin Lin berjingkrak gembira sambil bertanya, "Di manakah Enci Siang Eng"
"Silakan Ji-wi ikut pinceng, dia berada di kelenteng kami."
"Bagaimana dia" Selamatkah" Dan di mana Sin-ko" Bagaimana Enci Sian Eng bisa berada di kelentengmu"
Diberondong pertanyaan-pertanyaan ini, hwesio itu hanya tersenyum, lalu menjawab.
"Tidak leluasa kita bicara di tengah jalan. Marilah, nanti di kelenteng tentu Ji-wi akan mendengar sejelasnya dari Nona Sian Eng sendiri."
Mereka bertiga segera memasuki kota raja dan menuju ke kelenteng. Lin Lin yang sudah tidak sabar itu lari saja memasuki kelenteng hampir menabrak seorang hwesio tua yang menyapu lantai sehingga hwesio itu menggeleng-geleng kepalanya dan mulutnya bersungut-sungut, "Omitohud.... cantik liar, jangan-jangan siluman musang....!"
Pada saat itu, Sian Eng keluar dari ruangan dalam. Melihat siapa orangnya yang berlari-lari datang dari luar, ia berteriak girang dan lari menyambutnya. Di lain saat enci adik itu sudah saling rangkul dan saling cium sambil tertawa-tawa gembira.
"Lin Lin, bocah nakal kau!" Siang Eng berseru sambil menciumi adiknya.
"Enci Eng, kau tahu siapa yang kutemui di jalan tadi" Sampai mati kau tentu tidak akan dapat menduga," bisik Lin Lin dengan wajah tegang, "dia bukan lain adalah Suling Emas!"
Akan tetapi Lin Lin keliru dan kecewa. Kiranya encinya sama sekali tidak kelihatan terkejut, hanya menggumam perlahan, "Hemmm, ya" kemudian Sian Eng melihat seorang pemuda berdiri termangu-mangu dan canggung menghadapi pertemuan enci adik yang mesra itu. "Lin Lin, kau maksudkan dia itukah Suling Emas" Tentu saja Saan Eng bertanya dengan suara berbisik agar tidak terdengar pemuda itu.
"Hi-hik, bukan.... bukan dia. Dia itu sahabat baikku, orangnya baik, kepandaiannya lihai, tapi dia bukan Suling Emas, dia Lie Bok Liong koko. Oya Liong-twako, mari sini! Mari kuperkenalkan dengan Enciku yang lihai dan cantik!" Bok Liong menjadi merah wajahnya, apalagi melihat betapa Sian Eng dan Lin Lin tadi kasak-kusuk dan sekarang enci itu mencubit adiknya yang tersenyum-senyum nakal. Akan tetapi karena Lin Lin melambaikan tangan memanggilnya dan enci adik itu memandang kepadanya, tidak enak kalau ia tidak menghampiri. Dengan jantung berdebar ia menghampiri mereka lalu mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil menundukkan muka, tidak berani menatap wajah Siang Eng karena merasa sungkan dan malu.
"Liong-twako, betul tidak kataku" Enciku cantik jelita dan.... aduhhh! Galaknya yang tidak nguati (tak tertahankan)!" Kemudian sambil tertawa ia berkata kepada Sian Eng, "Enci Eng, Liong-twako ini baik sekali, menemaniku sepanjang jalan, mengantarku sampai di sini, malah di jalan membantu aku menghadapi pengemis-pengemis jahat. Orangnya jujur, sopan, tidak kurang ajar, dan...."
"Hushhh, terlalu kau, Lin Lin!" Sian Eng membentak adiknya, lalu mengangkat kedua tangan di depan dada membalas penghormatan Bok Liong sambil berkata halus, "Harap Lie Bok Liong Taihiap (Pendekar Besar) sudi memaafkan adikku yang nakal dan suka menggoda orang ini. Terima kasih saya haturkan atas kebaikan Taihiap terhadap adikku...."
"Wah-wah-wah, apa-apaan ini" Taihiap-taihiapan segala macam! Aduh, bisa mekar hidung Liong-twako kausebut Taihiap. Sebut saja Twako, mengapa sih" Terhadap sahabat baik masih banyak sungkan dan peraturan, itu palsu namanya!"
"Eh.... oh.... maaf, Nona.... eh, saya...."
"Nah-nah-nah, Taihiap dan Nona, Tuan dan Nyonya, jemu aku mendengarnya! Liong-twako, dia ini Enci Siang Eng, Enciku sendiri, tahu kau" Kalau kau menyebut aku Lin-moi, Moi-moi, kadang-kadang Siauw-moi, mengapa kepada Enciku kau menyebut Nona" Kalau begitu kau pun harus menyebut aku Nona Besar dan aku akan menyebutmu Tuan Besar. Hayo, bagaimana"
Memang nakal sekali Lin Lin. Ia tidak peduli akan segala perasaan sungkan, bingung dan malu yang dirasakan oleh Bok Liong di saat itu. Sian Eng merasa kasihan terhadap korban kenakalan adiknya ini. Hemmm, pikirnya, pemuda ini agaknya pendiam dan baik, tentu saja bukan lawan Lin Lin. Teringat ia akan Suling Emas yang aneh wataknya dan tidak pedulian itu. Rasakan kau nanti Suling Emas, kalau sampai jumpa dengan adikku Lin Lin, bisa mati berdiri kau dipermainkan! Tiba-tiba ia teringat akan pemberitahuan Lin Lin tentang Suling Emas tadi, wajahnya berubah serius.
"Lin Lin, jangan mengganggu orang. Kita masih harus bicara banyak. Sin-ko sampai sekarang belum juga datang."
Lin Lin sadar lalu menoleh kepada Bok Liong. "Liong-twako, jangan marah, ya" Aku juga berterima kasih padamu, lho! Kau memang baik sekali kepadaku. Sekarang aku sudah bertemu dengan Enci Sian Eng, hanya tinggal kakakku Bu Sin yang masih belum kami ketahui berada di mana. Apakah kau suka menolongku mencarinya, Twako"
"Aku akan girang sekali kalau dapat membantumu mencari kakakmu, Lin-moi. Tentu akan kutanya-tanyakan kepada kenalanku, harap jangan khawatir."
"Kalau begitu, aku dan Enci Sian Eng akan menanti di sini beberapa hari, menanti berita darimu tentang Sin-ko."
"Lin Lin, Lie Bok Liong Ta...."
".... Twako....!" Lin Lin memotong.
Siang Eng merah mukanya dan memandang tamunya kebetulan Bok Liong juga memandang. Terpaksa dua orang muda yang menjadi malu dan jengah ini tersenyum dan seketika suasana menjadi lebih wajar, rasa malu menipis.
"Baiklah! Liong-twako masih lelah, baru saja datang masa sudah kauserahi tugas lagi. Jangan keterlaluan, dumeh (mentang-mentang) orang suka menolong kau lalu menekan."
"Ah, tidak.... sama sekali tidak!" Bok Liong cepat membantah. "Ji-wi Moi-moi (Adik Berdua) tak usah sungkan. Aku sudah mendengar semua dari Lin-moi dan aku pasti akan berusaha sedapat mungkin untuk mencari berita tentang kakak kalian. Harap saja dalam waktu dua pekan ini kalian tidak pergi dari tempat ini, atau andaikata pergi dan pindah juga, memberi tahu kepada para Losuhu di sini sehingga kalau aku datang, aku akan dapat tahu ke mana harus menjumpai kalian untuk menyampaikan hasil usahaku mencari kakak kalian, sekarang aku pamit dulu."
Melihat Bok Liong memberi hormat lalu mundur dan hendak pergi, Lin Lin cepat berseru. "Twako, nanti dulu!"
"Ada apa" Terlalu cepat Bok Liong membalikkan tubuh dan sinar yang memancarkan kasih mesra terlepas daripada pandang mata yang awas.
"Aku pesan.... kalau kau bertemu dengan jembel-jembel jahat itu...."
"Ya, lalu bagaimana"
"Aku titip tiga pukulan atau sekali tusukan pedang."
Bok Liong tertawa dan mengangguk-angguk.
"Dan jangan lupa, kalau kau berjumpa dia di jalan katakan...."
"Dia siapa"
"Siapa lagi kalau bukan Suling Emas" Katakan bahwa aku menanti di kelenteng ini dan sampaikan tantanganku kepadanya!"
Sian Eng terkejut bukan main akan tetapi ia masih sempat melihat betapa wajah pemuda itu membayangkan ketidaksenangan hati. Akan tetapi Bok Liong kembali mengangguk-angguk, lalu berkata, "Baiklah, Lin-moi, dan kau.... kau yang baik-baik menjaga diri.... selamat berbisah sampai jumpa lagi." Ia melompat dan pergi dari situ.
Sian Eng memperkenalkan Lin Lin kepada para hwesio kepala di kelenteng itu, kemudian mengajak adiknya masuk kamar untuk bercakap-cakap. Begitu memasuki kamar, Sian Eng menegur adiknya.
"Lin Lin, kau terlalu sekali terhadap pemuda itu. Tak tahukah kau betapa dia amat mencintamu" Tapi kau selalu mempermainkan dia. Terlalu!"
"Liong-ko" Mencintaku" Tentu saja! Aku pun mencintanya, dia seperti kakakku sendiri."
"Hush, bukan begitu. Dia mencintamu, hal ini kuyakini benar. Tapi kau.... ah, kau masih anak-anak, adikku. Sudahlah, kelak kau mengerti sendiri. Eh, kau tadi bilang bertemu dengan Suling Emas. Betulkah itu" Di mana"
"Di dekat pintu gerbang kota. Dia naik kuda, jubahnya hitam, orangnya tinggi besar, tampan dan gagah, tapi sombong!"
"Sombong"
"Ya, sombongnya setengah mati! Agaknya dia yang telah berkali-kali menolong aku dan Liong-twako, akan tetapi dengan sembunyi-sembunyi, tidak sudi menemui kami. Uhhhhh, sombong sekali agaknya mengandalkan kepandaian dan memamerkan tampannya!"
Tiba-tiba Siang Eng memegang lengan Lin Lin. "Adikku, kau bilang dia telah menolongmu berkali-kali akan tetapi kau memaki-maki dia dan kau malah menantangnya berkelahi" Adakah yang lebih gila dari ini" Jangan begitu, Lin Lin, pula.... kau menantang seorang yang berilmu tinggi seperti Suling Emas, apamukah yang kauandalkan" Lin-moi, ketahuilah, dahulu kita mengira bahwa kita sudah memiliki kepandaian silat, kiranya sekarang kenyataan membuktikan bahwa apa yang kita miliki tidak ada artinya sama sekali."
"Wah-wah, jangan merendah, Enci Eng! Aku tidak takut kepada Suling Emas. Ya, aku akan mencarinya, menantangnya berkelahi sampai seribu jurus. Aku tidak akan kalah. Lihat, Enci, aku bukanlah Lin Lin yang dahulu lagi!" Lin Lin menggerakkan tangan kirinya seperti melambai ke arah sebuah patung batu. Sebetulnya ia mengerahkan Khong-in-ban-kin dan melakukan jurus pukulan jarak jauh dan.... patung itu terjengkang ke belakang seperti didorong oleh tenaga raksasa yang tidak tampak.
"Lihat, Enci, apa kau bisa mengikuti gerakanku"
Sian Eng yang melongo menyaksikan adiknya merobohkan patung tanpa menyentuhnya, menjadi makin terheran-heran ketika melihat tubuh Lin Lin berkelebatan di dalam kamar yang luas itu, demikian cepat sehingga bayangannya lenyap terbungkus sinar kuning yang bergulung-gulung! Ia masih melongo dan tidak dapat mengucapkan kata-kata ketika Lin Lin sudah selesai bermain pedang dan berdiri di depan encinya sambil tersenyum bangga.
"Kaulihatlah, Enci. Adikmu ini sekarang tidak takut lagi menghadapi Suling Emas, biarpun ia berkepala tiga berlengan enam!"
"Astaga, Lin Lin, dari mana kau peroleh kepandaian itu"
Lin Lin merangkul encinya dan sambil duduk berendeng di atas pembaringan, berceritalah Lin Lin tentang pertemuannya dengan Kim-lun Seng-jin yang ia sebut si gundul pacul, kemudian tentang pertemuannya dengan Lie Bok Liong sampai akhirnya bertemu dengan Sian Eng di kota raja. Sian Eng mendengarkan dengan penuh kekaguman, kemudian merangkul Lin Lin sambil berkata.
"Ah, aku girang sekali, Lin-moi. Kiranya orang sakti yang menolongmu telah mewariskan ilmu kepandaianhebat kepadamu! Dan kau memperoleh pula seorang sahabat yang setia dan perkasa seperti Lie Bok Liong. Syukurlah. Akan tetapi, aku masih tidak setuju akan sikapmu terhadap Suling Emas. Ketahuilah, dia itu bukan musuh kita, bukan pembunuh ayah bunda kita, malah dialah yang telah menolong Sin-ko dan aku sendiri, bahkan menurut ceritamu, dia telah pula menolong engkau dan Liong-twako."
"Dia menolongmu dan Sin-ko" Bukan pembunuh ayah bunda kita" Coba ceritakan semua, Eng-cici!"
Sian Eng lalu menceritakan semua pengalamannya semenjak mereka berpisah di atas gedung Pangeran Suma. Lin Lin merasa ngeri ketika mendengar cicinya bercerita tentang Hek-giam-lo dan "istana" di bawah kuburan. Akan tetapi ia membelalakkan kedua matanya, wajahnya berubah dan meremang bulu tengkuknya ketika ia mendengar pengalaman Siang Eng di antara bangsa Khitan, betapa Sian Eng disangka Puteri Khitan. Jantungnya berdebar-debar dan tulang punggungnya terasa dingin.
"Apa yang kaualami di sana, Enci Eng" Ceritakanlah yang jelas!" desaknya dengan suara gemetar. Dan ia mendengar penuturan yang membuat degup jantungnya mengeras dan membuat hatinya yakin siapa sebetulnya dirinya, dan bahwa semua kata-kata Kim-lun Seng-jin adalah benar belaka.
"Mereka itu orang-orang yang kelihatan gagah perkasa, akan tetapi kasar dan liar, adikku. Dan anehnya.... banyak wanitanya, terutama yang berada di istana rajanya, mirip.... mirip dengan kau! Aku mereka sangka seorang Puteri Khitan dan.... dan aku ditelanjangi untuk diperiksa punggungku, katanya Puteri Khitan mpmpunyai tanda di pung..... astaga, Lin Lin!" Sian Eng menjadi pucat sekali dan melompat berdiri, memandang wajah adiknya dengan mata terbelalak. "Kau.... kau.... punggungmu...."
"Tenanglah, Enci Eng, dan duduklah. Kau berceritalah baik-baik dan sejelasnya. Memang ada tanda tahi lalat merah di punggungku, dan agaknya, memang akulah Puteri Khitan yang mereka cari-cari itu. Aku sudah mendengar dari Kim-lun Seng-jin, tadi sengaja tidak kuceritakan kepadamu akan hal ini karena kuanggap masih rahasia. Akan tetapi, setelah mendengar ceritamu, jelas siapa yang mereka maksudkan dengan Puteri Khitan. Agaknya dahulu Ayah memungutku dari keluarga Khitan, agaknya Ibuku, Puteri Mahkota Khitan, tewas dalam perang melawan Ayah, lalu aku dipungut anak. Nah, sederhana sekali, bukan" Lanjutkanlah."
Untuk beberapa lama Sian Eng tak dapat bicara. Dipandangnya wajah Lin Lin, kemudian dirangkul dan diciuminya adiknya itu sambil berlinang air mata.
"Kau bukan seorang di antara mereka. Kau adikku! Ah, mereka begitu kejam, begitu kasar dan liar...."
Lin Lin tertawa. "Kaulihat aku baik-baik. Aku memang berbeda denganmu, Cici. Aku juga kasar dan liar, seringkali kaukatakan begitu, akan tetapi aku tetap adikmu. Jangan khawatir dan teruskan ceritamu."
Sian Eng melanjutkan ceritanya sampai ia dikubur hidup-hidup sebatas leher dan ditolong oleh Suling Emas, melakukan perjalanan dengan Suling Emas sampai ke kelenteng di kota raja ini.
Lin Lin amat tertarik dan beberapa kali ia menarik napas panjang. "Ah, alangkah senangnya melakukan perjalanan bersama orang aneh itu. Dia orang macam apa, Enci Eng" Ramahkah dia" Atau galak" Sombongkah dia seperti yang kusangka" Dan kepandaiannya bagaimana"
Diam-diam Siang Eng terkejut. Nada suara adiknya ini demikian penuh perhatian. Ada apakah gerangan" Ia merasa khawatir kalau-kalau adiknya ini nekat saja menuduh Suling Emas membunuh ayah bunda mereka dan nekat mencari dan menentangnya bertempur.
"Dia memang orang aneh, Lin Lin. Aneh sekali tidak seperti manusia biasa sepak terjangnya. Kepandaiannya sukar diukur sampai di mana tingginya karena aku tidak dapat mengikuti gerak-geriknya. Ia pendiam, tak pernah bicara kalau tidak menjawab pertanyaan, itu pun singkat saja, hanya ya atau tidak. Wajahnya sering kaii suram-muram seperti ada sesuatu yang menekan batinnya, ia sama sekali tidak ramah. Tak pernah melihat ia tersenyum, apalagi tertawa. Ada satu kali dia bersenandung, suaranya cukup baik tapi menggetar penuh kesedihan. Ia tidak pernah mengajak aku bicara tentang dirinya, akan tetapi harus kunyatakan bahwa dia adalah sesopan-sopannya lelaki."
Lin Lin amat tertarik dan matanya sayu merenung, bibirnya bergerak seperti bicara kepada diri sendiri, "Wajahnya tampan dan gagah, sikapnya angkuh.... seperti raja saja dia...."
"Kau bilang apa, Lin Lin" Mengapa seperti raja"
Lin Lin sadar dan tersenyum, "Enci Eng, bagaimana tentang Sin-ko" Katanya juga ditolong Suling Emas, tapi mana Sin-ko sekarang"
"Menurut Suling Emas, Sin-ko berada dalam keadaan selamat, bebas dari tangan Suma Boan yang jahat. Katanya Sin-ko tentu akan ke kota raja, maka aku disuruh menanti di kelenteng ini. Tapi sampai sekarang Sin-ko belum juga muncul, malah kau yang muncul lebih dulu."
"Mudah-mudahan Sin-ko selamat dan kita bertiga dapat berkumpul pula. Eh, bagaimana tentang kakak sulung kita, Enci Eng" Apakah kau sudah mendengar tentang dia"
Sian Eng mengerutkan kening dan menarik napas panjang. "Berita yang kudengar tentang Kakak Bu Song tidak baik. Ketika aku dan Sin-ko diserang di rumah Suma Boan, putera pangeran itu agaknya dahulu bermusuhan dengan kakak sulung kita itu dan kemarahannya kepada kakak sulung kita ia tumpahkan kepada aku dan Sin-ko. Dan menurut Suling Emas, Kakak Bu Song itu sudah.... sudah mati, katanya. Akan tetapi ia pun tidak mau bicara dengan jelas, hanya ia kelihatan seperti seorang yang membenci Kakak Bu Song."
Lin Lin mengerutkan keningnya. "Hemm, pesan Ayah itu harus kita penuhi. Bagaimanapun juga kita harus dapat bertemu dengan Kakak Bu song. Kalau Suma Boan membenci kakak kita itu dan membalas dendam kepada kau dan Sin-ko, berarti dia tidak tahu di mana adanya Kakak Bu Song sekarang. Sebaliknya, Suling Emas bisa mengatakan bahwa kakak kita itu mati, berarti dia tahu di mana adanya Kakak Bu Song, atau kalau memang betul sudah mati, bagaimana matinya dan di mana kuburnya. Aku akan mencarinya dan bertanya tentang kakak kita, Enci Eng."
"Apa" Kau hendak menjumpai Suling Emas" Tak seorang pun, juga semua hwesio di sini yang memujanya, tak seorang pun tahu di mana adanya Suling Emas. Mana kau bisa mencarinya, Lin-moi" Dia seorang yang luar biasa sekali, kalau dia tidak menghendaki, tak seorang pun dapat menemuinya."
"Wah-wah, apa dia itu melebihi raja dan malaikat" Enci Eng, kita tidak boleh mendewa-dewakan siapa pun juga, biar seribu kali dia menolong kita kalau dia menghendaki dipuja-puja karena pertolongannya, aku tidak sudi ditolong. Kalau dia manusia biasa, kurasa aku akan dapat mencarinya!"
Sian Eng merasa khawatir sekali. Ia percaya bahwa adiknya ini sekarang telah memiliki kepandaian tinggi, jauh lebih tinggi daripada dia atau Bu Sin sekali pun, akan tetapi karena malam itu Lin Lin memaksa hendak pergi mencari Suling Emas, timbullah rasa khawatir di hatinya. Ia cukup mengenal watak Lin Lin yang aneh dan angin-anginan bagaimana kalau adiknya ini kambuh gilanya dan melakukan hal yang bukan-bukan andaikata benar dapat berjumpa dengan Suling Emas" Siapa tahu Lin Lin akan menantangnya, akan menghinanya! Akan tetapi, mencegah pun ia tahu akan sia-sia belaka, apalagi sekarang Lin Lin sudah demikian lihainya.
"Enci Eng, jangan gelisah. Aku tentu akan dapat bertemu dengannya. Kalau berjumpa, akan kusampaikan kepadanya betapa kau memuja-mujanya seperti dewa! Dan pesanku, kalau sebelum aku pulang Liong-twako datang berkunjung, sambutlah dia dan ajak ia bercakap-cakap. Dia baik sekali, Eng-cici, kiraku jauh lebih baik daripada Suling Emas."
"Ihhhhh, kau bicara apa itu, Lin-moi" Apa perlunya kau membanding-bandingkan dua orang laki-laki itu" Cih, tak bermalu!"
"Hik-hik, kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu! Tapi aku tahu, Enciku yang manis ayu, setiap detik kau membayangkan Suling Emas yang gagah perkasa!"
"Idihhhhh, genit kau!" Sian Eng mengejar hendak mencubit, akan tetapi sekali berkelebat Lin Lin lenyap di atas genteng. Hanya suaranya terdengar dari tempat gelap di atas.
"Enci Sian Eng, aku pergi dulu!"
Siang Eng menjatuhkan diri di atas pembaringan, duduk termenung. Ucapan Lin Lin yang menggodanya tadi menikam jantungnya. Benarkah bahwa dia memuja Suling Emas" Ah, bocah itu terlalu lancang, menduga yang bukan-bukan. Tentu saja ia amat kagum, dan bolehlah dikatakan ia setengah memujanya, akan tetapi hal ini adalah karena pengaruh pribadi Suling Emas yang memang hebat ditambah lagi karena ia melihat betapa seisi kelenteng memujanya. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa dia.... eh, tergila-gila kepada Suling Emas. Dan ia merasa betapa dalam godaan Lin Lin tadi, oleh adiknya itu ia dianggap tergila-gila dan jatuh cinta kepada Suling Emas. Gila benar! Bukan laki-laki luar biasa, aneh dan kadang-kadang menyeramkan itu yang menjadi pria idamannya. Suling Emas terlalu tinggi. seperti manusia setengah dewa, bukan.... bukan pria macam itu yang dapat merampas kasih sayangnya. Tiba-tiba muka Sian Eng menjadi merah sekali, kedua pipinya terasa panas. Pikirannya membayangkan adegan ketika ia bertemu dengan Suma Boan, ketika ia tertawan.... dan tiba-tiba Siang Eng menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menangis tersedu-sedu!
Kita tinggalkan Sian Eng yang menangis tergoda rahasia perasaannya sendiri dan mari kita ikuti Lin Lin yang lincah, jenaka, dan tak kenal arti takut itu. Siang tadi ia melihat Suling Emas menunggang kuda memasuki kota raja dan ia merasa yakin bahwa tentu Suling Emas berada di dalam gedung perpustakaan istana. seperti yang ia dengar dari percakapan Suma Boan dan kaki tangannya bahwa kalau berada di kota raja, Suling Emas biasanya bersembunyi di dalam gedung perpustakaan istana.
Pengalamannya dengan Kim-lun Seng-jin ketika memasuki istana menyerbu dapur dan gedung pusaka, merupakan pelajaran yang sekarang amat berguna bagi Lin Lin karena sekarang ia telah tahu jalan masuk yang paling aman, yaitu melalui pohon tinggi yang tumbuh di luar pagar tembok. Karena kini ia telah memperoleh kemajuan hebat semenjak ia menyerbu istana dengan Kim-lun Seng-jin, berkat latihan yang tak kenal lelah, dengan amat mudahnya Lin Lin melompati pagar tembok dan berada di daerah istana kaisar yang amat luas itu. Ia menyelinap di dalam gelap, lalu menyusup di antara bangunan-bangunan besar.
Beberapa lama ia berputaran di antara gedung-gedung besar dan ia menjadi bingung. Teringatlah ia bahwa ia sama sekali tidak tahu di mana adanya gedung perpustakaan. Kompleks istana ini begitu luasnya sehingga untuk mencari dapur dan gedung pusaka yang dahulu pernah ia kunjungi pun sekarang ia tak sanggup lagi, sudah lupa! Celaka, pikirnya. Mengapa begini luasnya dan begini banyaknya gedung-gedung besar" Tak mungkin ia harus memeriksa setiap gedung! Apalagi kalau diingat bahwa di daerah istana ini terdapat banyak sekali pengawal-pengawal yang berkepandaian tinggi seperti pernah ia dengar dari Kim-lun Seng-jin.
Karena kebingungan, akhirnya secara ngawur Lin Lin melompati sebuah pagar tembok yang tidak terlalu tinggi. Ketika ia tiba di sebelah dalam, kiranya di belakeng tembok itu merupakan sebuah taman bunga yang amat indah, di mana-mana tergantung lampu-lampu teng beraneka warna, seperti kalau orang merayakan hari raya musim semi saja. Taman yang penuh bunga beraneka warna, harum semerbak baunya dan lampu-lampu itu diatur secara nyeni (artistik) sekali. Ada yang menempel pada pohon, ada yang berbentuk burung hijau hinggap di atas cabang, ada yang seperti bulan sabit tergantung di awang-awang. Jumlahnya banyak sehingga taman itu tampak terang dan indah. Di tengah-tengah taman bunga terdapat sebuah kolam ikan yang dihias bunga teratai merah putih. Air yang menyembur keluar di tengah-tengah kolam itu pun seakan-akan berwarna karena tertimpa sinar dari sekelilingnya, sinar lampu warna pelangi!
Lin Lin berdiri terpaku di atas tanah, terbelalak kagum, merasa seakan-akan berada di alam mimpi. Melihat tanaman itu sunyi tak ada seorang pun manusia di situ, ia berjalan perlahan menoleh ke kanan kiri, mengagumi keindahan yang luar biasa ini. Setiap tanaman diatur baik-baik, bahkan batu-batu yang menghias jalan kecil di taman, semua merupakah hasil seni yang hebat. Menghadapi keindahan ini, Lin Lin lupa akan maksud kunjungannya ke kompleks istana, malah ia lalu duduk termenung menghadapi kolam ikan, terkikik-kikik ketawa sendirian melihat tingkah solah ikan-ikan yang ekornya mekar dan berenang dengan gerakan megal-megol lucu sekali. Ia melihat seekor ikan emas merah mengejar-ngejar seekor ikan emas betina berwarna kuning. Ke mana-mana dikejarnya dan mereka itu berkejaran dengan megal-megol.
"Hi-hik, renangmu begitu kaku, mana mampu menyusulnya" Ia tertawa-tawa menggunakan jari-jari tangannya yang runcing mungil untuk menggerak-gerakkan air sehingga bayangannya sendiri yang tampak di air menjadi kacau dan bergoyang-goyang. Pemandangan ini mendatangkan rasa geli di hatinya dan kembali ia tertawa.
"Kau.... siapakah"
Teguran ini halus, akan tetapi membuat Lin Lin terkejut bukan main. Ia melompat dan membalik. Seorang laki-laki yang berpakaian amat indah, berusia tiga puluh lebih, wajahnya tampan gerak-geriknya halus, berdiri di depannya sambil memandang penuh perhatian. Belum pernah selamanya Lin Lin melihat seorang pria berpakaian seindah ini. Bahkan Suma Boan putera pangeran itu pun tidak seindah ini pakaiannya, seperti pakaian anak wayang hendak main sandiwara di panggung. Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu dan wajahnya pucat, hatinya berdebar. Agaknya orang ini kaisar!
Laki-laki itu melihat Lin Lin berdiri dengan sepasang matanya yang lebar terbelalak, menjadi makin kagum, senyumnya melebar dan kembali ia bertanya.
"Kau siapakah" Belum pernah aku melihatmu. Apakah kau seorang dayang baru"
"Kau.... kau...." Lin Lin balas bertanya, gagap.
Laki-laki itu tertawa, suara ketawanya nyaring dan bening. "Bukan, aku bukan Kaisar, hanya Thaicu (Putera Mahkota)."
"Ahhhhh....!" Lin Lin mundur selangkah.


Cinta Bernoda Darah Serial Bu Kek Sian Su 3 Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa kaget" Kau siapa" kembali pangeran itu bertanya, kini perhatiannya makin terpikat karena gadis ini sama sekali tidak menjatuhkan diri berlutut setelah mendengar bahwa dia adalah putera mahkota. Ini benar-benar aneh sekali!
"Kau.... kau Pangeran yang kelak mengganti Kaisar" Kau calon Kaisar" Sepasang mata jeli itu menjadi bundar, bening mengeluarkan sinar seperti bintang timur. Pangeran itu tersenyum dan mengangguk, masih terheran-heran menyaksikan sikap gadis aneh ini.
"Ohhh....!"
"Kenapa" Hampir pangeran itu meledak ketawanya yang ditahan-tahan melihat sikap dan mendengar mulut kecil mungil itu ah-ah-oh-oh seperti itu.
"Aku.... aku salah masuk.... aku.... apakah aku harus berlutut di depanmu" Kalau diharuskan, lebih baik kau lekas minggir, biarkan aku pergi saja karena tidak biasa aku berlutut di depan orang lain kecuali ayah bundaku yang.... yang sudah tiada...."
Sepasang mata pangeran itu bersinar-sinar penuh kegembiraan. Baru kali ini selama hidupnya ada orang bersikap begini "biasa" kepadanya, dan hal ini menggembirakan sekali. Ia sudah jemu dan kadang-kadang muak akan sikap menjilat-jilat, sikap menghormat melewati batas yang setiap hari dilimpahkan terhadap dirinya. Sekarang menghadapi seorang gadis yang tak dikenalnya, gadis remaja cantik jelita dan betul-betul masih aseli belum bau kepalsuan tata kerama istana yang menjemukan, ia menjadi tertarik bukan main.
"Ah, tak usah berlutut. Kita sama-sama manusia, kan" Kau tadi bilang siapa namamu dari dan mana datangmu"
Lin Lin menggeleng-geleng kepalanya. "Aku belum pernah bilang tentang itu kepadamu."
Pangeran itu tersenyum geli. Cerdik juga bocah ini, pikirnya, tidak berhasil pancingannya. "Betul juga. Bolehkah aku mengetahui namamu"
"Namaku Lin Lin."
"Wah, nama yang indah sekali! Kau datang dari mana" Mencari siapa disini"
"Sebetulnya aku mau mencari gedung perpustakaan, tapi tidak tahu di mana adanya gedung itu, aku tersesat ke mari dan terpesona oleh keindahan taman ini. Apakah ini tamanmu, Pargeran"
Bukan main! Pangeran mahkota gembira sekali. Alangkah murni dan polosnya anak ini. Segar dan menyenangkan sekali. "Betul, ini memang tamanku. Kau senang melihat ikan emas" Yang di dalam pagoda itu lebih indah, di dalam bak kaca, kau dapat melihat ikan-ikan emas pilihan yang bermain-main di dalam air dengan jelas sekali. Mari, mau lihat"
Sikap dan suara pangeran itu amat ramah dan manis, lagi wajar sehingga Lin Lin yang masih mempunyai sifat kekanak-kanakan itu tidak dapat menahan keinginan hatinya. Akan tetapi kenyataan bahwa ia berhadapan dan bicara dengan putera mahkota calon kaisar masih membuat ia gugup, maka ia tidak menjawab hanya mengangguk.
Dengan langkah tenang perlahan seakan-akan berjalan di dalam taman bersama seorang gadis yang sama sekali tidak memperlakukannya sebagai pangeran mahkota ini merupakan hal biasa, seakan-akan Lin Lin memang merupakan sahabatnya yang bebas daripada segala aturan protokol, pangeran itu mengajak Lin Lin menuju ke sebuah bangunan pagoda yang kecil dan indah di sebelah kiri kolam ikan. Pangeran mahkota memang mempunyai "hobby" taman bunga yang indah berikut peliharaan ikan-ikan emasnya dan kalau ia berjalan-jalan menikmati keindahan taman, baik siang maupun malam, ia tidak mau diganggu oleh para pelayan. Peraturan ini ia jalankan keras sekali karena ia paling pantang diganggu ketenteramannya bersunyi diri dan minum arak atau menulis sajak di taman sehingga pada saat itu pun tak seorang pun pelayan berani muncul di taman itu.
Begitu memasuki pagoda yang oleh pangeran mahkota disebut "Pagoda Ikan", Lin Lin membelalakkan kedua matanya dan mulutnya tiada hentinya berseru kagum. Karena kekaguman gadis ini wajar dan sungguh-sungguh, sama sekali berbeda dengan kekaguman para tamu yang pernah diajak ke situ, yaitu kekaguman yang lebih banyak bersifat membangkitkan kesenangan dan kebanggaan hati pangeran mahkota, pangeran itu tersenyum gembira. Memang indah di dalam pagoda itu. Di sekelilingnya terdapat aquarium atau tempat-tempat ikan terbuat daripada kaca, di atas dan belakangnya diterangi lampu beraneka warna sehingga di dalam air itu berubah menjadi dunia mimpi yang luar biasa. Ada pondok kecilnya, ada rumpun bambu, ada alang-alang, bahkan ada patung kecil merupakan kakek-kakek yang sedang memancing ikan. Adapun ikan-ikan emas dengan sisik beraneka warna, hilir mudik bermain-main, sisik mereka berkilauan tertimpa sinar lampu. Lin Lin sampai ternganga memandangi itu semua. Pangeran itu menjatuhkan diri duduk di atas sebuah kursi di pojok dan ia pun menikmati pemandangan baru yang baginya tak kalah menariknya daripada ikan-ikan di dalam kaca yang setiap malam sudah dilihatnya itu. Ia melihat keadaan gadis remaja, masih murni dan bebas lepas setengah liar, gadis yang terpesona oleh keindahan isi pagoda, tanpa sadar bahwa dirinya sendiri merupakan keindahan tersendiri yang pada saatnya akan lebih menggairahkan daripada isi pagoda.
Setelah Lin Lin puas memandangi semua ikan, mengikuti gerak-gerik mereka sampai lebih dari satu jam lamanya, barulah ia berpaling kepada pangeran itu, menarik napas panjang melampiaskan kekagumannya dan berkata, "Hebat sekali! Aku merasa seakan-akan berada di dasar lautan!"
Pangeran itu tertawa. Perumpamaan yang tepat dan hebat. Bagus untuk permulaan sajak! Dan teringat akan pengakuan Lin Lin yang tadi hendak mencari gedung perpustakaan, tiba-tiba timbullah kecurigaan dan keheranannya. Dengan suara ramah ia bertanya, "Nona Lin Lin, kau tadi bilang bahwa kau hendak mencari gedung perpustakaan istana! Mau apakah kau mencari gedung itu" Apakah kau termasuk seorang kutu buku"
Lin Lin cemberut. "Kutu" Aku dianggap kutu" Kalau kutunya saja seperti aku besarnya, bukunya sebesar apa"
"Ha-ha-ha-ha-ha! Ah, Nona yang lucu, masa kau tidak tahu apa yang kumaksudkan" Kutu buku adalah sebutan bagi seorang yang hobbynya membaca buku. Jangan kau bilang bahwa kau buta huruf."
"Tentu saja aku bisa membaca dan menulis, akan tetapi aku tidak suka banyak baca. Terlalu lama membaca kepalaku pusing. Aku mencari perpustakaan bukan untuk membaca buku, melainkan...." Lin Lin menjadi ragu-ragu.
"Melainkan apa" Hendak mencari kitab rahasia"
Lin Lin menganggap putera mahkota ini amat baik orangnya, maka ia pikir tidak ada salahnya mengaku terus terang, sekalian melihat apa sikap putera kaisar ini kalau tahu bahwa Suling Emas suka bersembunyi di dalam gedung perpustakaan istana kalau berada di kota raja. "Bukan, Pangeran. Sebetulnya, aku hendak mencari Suling Emas yang kurasa berada di gedung perpustakaan istana."
Betul saja dugaan Lin Lin, pangeran itu terkejut. Akan tetapi bukan terkejut mendengar bahwa Suling Emas berada di istana, melainkan terkejut mendengar bahwa gadis ini mencari tokoh aneh itu. "Kau mencari.... dia" Ah, kiranya kau seorang gadis petualang dari dunia kang-ouw! Hemmm, betul juga, kau membawa pedang. Tentu kau lihai sekali, Nona, kalau kau mengenal Suling Emas. Ya, kiranya tak perlu diragukan lagi. Kau dapat memasuki istana ini saja sudah menjadi bukti akan kelihaianmu...."
Tiba-tiba terdengar bentakan keras, "Thiancu, saat kematianmu tiba!" tampak sinar menyilaukan mata menyambar ketika orang berpakaian hitam ini menerjang maju dengan pedang di tangan, langsung menyerang pangeran mahkota!
"Jangan, takut!" Lin Lin berseru dan sinar kuning bergulung-gulung menyambut pedang orang itu. Terdengar suara nyaring berkali-kali ketika kedua pedang bertemu dan orang itu memekik, pedangnya patah menjadi dua bertemu dengan Pedang Besi Kuning, disusul robohnya orang itu dengan dada tertembus pedang Lin Lin!
Pangeran itu membungkuk, memungut pedang buntung penyerangnya tadi sambil berkata perlahan, "Menjemukan benar...." Ia melangkah keluar dan tangannya bergerak, buntungan pedang itu meluncur ke dalam taman, lenyap di balik gerombolan bunga. Terdengar pekik kesakitan di tempat yang gelap itu. Lin Lin terkejut dan sekali melompat ia sudah sampai di tempat itu. Apa yang dilihatnya" Seorang laki-laki berpakaian hitam, agaknya teman penyerang tadi, sudah menggeletak tewas dengan tenggorokan ditembus buntungan pedang yang disambitkan oleh pangeran mahkota!
Ketika Lin Lin kembali ke dalam pagoda pangeran itu masih berdiri, keningnya berkerut. "Tidak enaknya menjadi keluarga istana," katanya ketika melihat Lin Lin kembali, "sejak jaman dahulu sampai kini, selalu terjadi perebutan kekuasaan, selalu muncul pengkhianat-pengkhianat, muncul pembunuh-pembunuh gelap macam ini. Uhhh, menjemukan sekali!"
"Tapi dengan kepandaian seperti yang kaumiliki, tak usah kau takut, Pangeran. Wah, kiranya kau pun amat lihai, sungguh tak kusangka!" Lin Lin memuji.
Pangeran mahkota memandang tajam. "Dan kiranya kau adalah gadis yang melakukan pencurian pedang di gedung pusaka, juga sama sekali tak kusangka!"
Lin Lin kaget. Pedang Besi Kuning yang belum ia sarungkan tadi digenggamnya erat-erat, dan ia menatap wajah pangeran itu penuh selidik. Pangeran itu tersenyum akan tetapi senyumnya mengandung kepahitan.
"Nona Lin Lin, terus terang saja, pertemuan ini mendatangkan kegembiraan besar yang belum pernah kurasai selama hidupku. Kau baik sekali, kau bagaikan bunga mawar hutan yang belum terjamah tangan dan masih segar oleh embun. Kalau saja kau dapat menjadi sahabatku selamanya. Tapi.... aaah, tak mungkin itu. Kalau kau berada di sini, tentu kau pun akan menjadi seperti mereka. Karena itu, lebih baik begini saja, kita asing satu kepada yang lain. Hanya harapanku, semoga kelak kita akan masih dapat bertemu seperti sekarang ini."
Lin Lin mendengarkan ucapan yang baginya tidak karuan ini dengan bingung. Ia tidak mengerti dan ia tidak ingin lebih lama lagi berada di tempat itu setelah pangeran itu berubah sikapnya. Ia mulai curiga.
"Lin Lin, pertemuan ini menjalin persahabatanmu yang akan sering kali mengenangmu, aku bebaskan kau. Apakah artinya sebuah pedang dibandingkan dengan persahabatan sejati" Kuhadiahkan pedang itu kepadamu! Akan tetapi, sebagai seorang Pangeran Mahkota yang harus menjaga kehormatannya, aku tidak dapat bertindak lebih jauh dan lebih banyak daripada ini. Kau harus dapat keluar sendiri dari lingkungan Istana dengan selamat. Akan tetapi jangan harap hal itu akan mudah karena kurasa para pengawal istana sekarang sudah tahu akan kehadiranmu. Nah, selamat malam."
"Tapi.... tapi.... aku hendak ke gedung perpustakaan. Di mana itu...."
Pangeran itu tersenyum. "Kau tidak takut" Benar-benar besar nyalimu. Gedung perpustakaan berada di sebelah kiri taman ini, melalul tiga bangunan. Atapnya dari kayu besi berwarna putih, kaucari saja tentu dapat."
Lin Lin menyarungkan pedangnya. "Pangeran, kau seorang yang baik sekali. Sekarang, berubah pendapatku bahwa semua pangeran adalah jahat belaka model Suma Boan...."
"Kau kenal Suma Boan"
"Pedangku yang akan mengenalnya, dia musuhku!"
Pangeran itu mengangguk-angguk dan memandang dengan termenung sampai bayangan Lin Lin lenyap di balik paga tembok. Ia lalu menoleh kepada ikan-ikannya dan berbisik.
"Mudah-mudahan ia selamat!" Pertemuan antara putera mahkota dan Lin Lin tanpa disengaja ini diceritakan di sini karena hal yang kelihatan remeh inilah yang menjadi sebab mengapa kelak setelah pangeran ini menjadi kaisar, permusuhan antara pemerintahnya dan Kerajaan Khitan berhenti dan berubah menjadi persahabatan!
Lin Lin melompati pagar tembok taman itu dan menyelinap ke dalam gelap. Ia segera mendekam di balik sebatang pohon ketika melihat berkelebatnya dua bayangan orang.
"Ke mana mereka...." bisik sesosok bayangan.
"Memasuki taman Putera Mahkota....!"
"Ha-ha, mereka mencari penyakit. Kepandaian mereka belum begitu tinggi, berani mengganggu Thaicu. Mari kita masuk untuk mengambil mayat mereka."
"Hush, jangan sembrono kau. Kalau belum ada tanda panggilan Thai-cu, siapa berani masuk taman" Minta mampus" Biar kita menanti di sini saja."
Lin Lin bergerak menjauhi dua orang pengawal itu. Hatinya kebat-kebit. Benar kata pangeran, banyak pengawal pandai di sini. Dua orang itu saja sudah tahu akan adanya dua orang pembunuh itu, dan agaknya mereka sengaja membiarkan dua orang penjahat memasuki gua harimau! Lin Lin bergerak ke kiri dan akhirnya ia melihat bangunan atap putih, hatinya berdebar. Apakah Suling Emas berada di dalam gedung ini" Kelihatannya gedung itu sunyi dan gelap. Ia mendekat lagi.
"Berhenti! Siapa kau berani mencuri masuk taman Thai-cu dan berkeliaran di istana" Hayo menyerah!"
Lin Lin sudah mendahului orang itu, menerjang dan berhasil mendorongnya roboh. Orang itu lihai dan cepat sudah melompat bangun. Tadi ia dapat dirobohkan karena sama sekali tidak mengira akan diserang, apalagi ketika ia terlongong keheranan melihat bahwa yang ditegurnya adalah seorang gadis remaja yang cantik dan cara gadis itu menerjang adalah luar biasa dahsyatnya. Hal ini tidak aneh karena memang Lin Lin tadi menggunakan tenaga Khong-in-ban-kin.
"Gadis liar, jangan lari!" Pengawal itu membentak dan menubruk. Akan tetapi cepat seperti seekor burung walet membalik, gadis itu sudah menyelinap ke kiri dan begitu tangannya bergerak, kembali orang itu roboh, kini robohnya malah dengan terhempas dan bergulingan. Barulah ia kaget setengah mati. Kakinya salah urat dan tanpa dapat bangun kembali ia hanya bisa bersuit keras memberi tanda bahaya.
Lin Lin cepat menjauhkan diri, melompat ke dekat gedung perpustakaan. Ia tidak ingin melibatkan diri ke dalam pertempuran dengan para pengawal sebelum ia bertemu dengan Suling Emas, karena memang itulah maksud kedatangannya. Akan tetapi, tiba-tiba berkelebatan bayangan orang dan di lain saat ia telah terkepung oleh lima orang pengawal istana yang berpakaian indah dan gagah, masing-masing memegang sebatang pedang dengan sikap mengancam. Di fihak para pengawal, mereka sejenak tercengang, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa mereka akan mengurung seorang gadis jelita! Tentu saja mereka menjadi ragu-ragu karena pengawal-pengawal istana yang gagah perkasa seperti mereka, masa harus mmgeroyok seorang gadis muda"
Melihat betapa lima orang pengawal itu memegang pedang dan sikap mereka mengancam, Lin Lin cepat mencabut pedangnya dan sinar kuning berkilau. Melihat ini, lima orang pengawal itu terkejut.
"Eh, kiranya kau pencuri pedang" Nona cilik, lebih baik kau menyerah saja daripada kami harus menggunakan kekerasan. Malu kami kalau harus...."
"Banyak cerewet!" Lin Lin sudah menerjang maju dan sinar pedangnya bergulung-gulung seperti awan kuning. Para pengawal kaget dan cepat menangkis. Di lain saat Lin Lin sudah dikurung. Maklum bahwa gadis ini berkepandaian tinggi, para pengawal itu tidak malu-malu lagi untuk mengeroyok, bahkan mereka terdesak hebat oleh pedang yang dimainkan secara dahsyat itu.
Khong-in-lui-san adalah ilmu silat yang sakti, apalagi sekarang dimainkan dengan menggunakan pedang pusaka yang ampuh. Hebatnya bukan main. Segera Lin Lin berhasil melukai leher seorang pengeroyok, akan tetapi pada saat seorang lawan ini roboh, terdengar suara berkali-kali dan dari jauh berdatangan pengawal-pengawal lain!
Lin Lin bingung juga. Harus ia akui bahwa kepandaian para pengawal ini tidak rendah, apalagi kalau mereka melakukan pengeroyokan. Bisa-bisa tenaganya dan akhirnya ia tentu akan tertawan. Ia pikir lebih baik melarikan diri dulu, keluar dari istana ini. Urusan dengan Suling Emas dapat dilakukan besok atau lusa malam. Ia berseru keras, pedangnya meluncur, merupakan sinar yang panjang mengancam. Empat orang lawannya kaget dan terpaksa menangkis sambil melompat ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Lin Lin untuk melompat jauh. Akan tetapi, kini para pengawal yang datang membanjiri tempat itu sudah tiba di situ dan kembali Lin Lin dihadang dan dikurung.
Gemaslah Lin Lin. Ia menggigit bibirnya lalu memaki. "Aku datang bukan bermaksud bikin kacau. Aku tidak ingin berkelahi. Kenapa kalian memaksa" Mundur semua, tinggalkan aku! Awas jangan bikin aku hilang sabar!"
Biarpun maklum akan kelihalan nona ini, namun mendengar kata-kata besar ini para pengawal tertawa. Gadis itu hanya seorang diri, dan sekarang di situ telah berkumpul belasan orang pengawal, bagaimana gadis liar ini masih berani membuka mulut besar"
"Dia pencuri pedang pusaka! Tangkap!"
Melihat dirinya dikurung rapat, Lin Lin tahu bahaya. Cepat ia mengerahkan tenaga, memutar pedangnya mendesak ke sebelah kiri. Pengurungan di sebelah ini segera terdesak mundur dan kesempatah ini ia pergunakan untuk melompat ke atas atap putih dari gedung perpustakaan. Akan tetapi pada saat ia melayang itu, seorang pengawal tua yang bertubuh tinggi kurus melontarkan sesuatu yang hanya tampak sebagai sinar hitam melayang-layang ke arah tubuh Lin Lin. Gadis ini kaget bukan main ketika melihat bahwa benda itu adalah sehelai tali yang dapat bergerak-gerak seperti ular hidup, mengancam hendak melibat tubuhnya! Ia maklum bahwa penggeraknya tentu bukan seorang biasa, maka ia segera membabat dengan pedangnya.
"Iiihhhhh!" Lin Lin berseru kaget. Pedangnya yang dipakai membacok malah terlibat tali hitam itu. Kalau ia mengerahkan tenaga menahan pedangnya, tubuhnya yang masih melayang di udara itu tentu akan jatuh ke bawah! Terpaksa, dengan hati bingung dan marah, ia melepaskan pedangnya sehingga tubuhnya dapat terus melayang ke atas gedung itu. Akan tetapi, begitu kakinya menginjak atap putih, tiba-tiba ia terjeblos dan tubuhnya melayang ke bawah, ke dalam gedung itu!
Para pengawal girang. Dipimpin oleh pengawal kurus yang lihai tadi, mereka melompat ke atas atap. Akan tetapi, tiba-tiba mereka berdiri tertegun dan tidak berani bergerak, memandang kepada sebuah saputangan hitam yang berkibar seperti bendera di ujung atap. Saputangan hitam yang ada gambarnya suling berwarna kuning!
"Dia.... dia di sini...." bisik seorang pengawal dan kini para pengawal itu memandang penuh pertanyaan, menanti komando pengawal kurus yang menjadi pimpinan pasukan.
"Dia di sini, tak boleh kita mengganggu. Mundur! Lakukan saja penjagaan sekeliling ini dan baru bergerak kalau gadis itu keluar, tangkap dia!"
Para pengawal melompat turun lagi, kemudian meninggalkan tempat itu yang menjadi sunyi kembali.
Kita tinggalkan dulu Lin Lin yang terjungkal ke sebelah dalam gedung perpustakaan. Agar jalannya cerita menjadi lancar, mari kita menengok keadaan Bu Sin yang sudah terlalu lama kita tinggalkan.
Telah kita ketahui betapa Bu Sin yang tadinya disiksa oleh Suma Boan dan digantung di atas kayu bersilang, dapat ditolong orang sakti yang tidak ia ketahui siapa adanya. Ia ditinggalkan di dalam hutan, luka di tubuhnya akibat anak panah Suma Boan telah sembuh sama sekali oleh obat ajaib yang tahu-tahu telah berada di luka-lukanya, tentu oleh penolongnya itu. Karena maklum bahwa kalau sampai tertawan lagi oleh Suma Boan ia akan celaka, Bu Sin lalu melarikan diri dari hutan itu dan beberapa hari lamanya ia terus menyusup-nyusup hutan, tidak berani menampakkan diri di tempat ramai.
Sepekan kemudian, menjelang senja, ia tiba di sebuah tanah kuburan yang amat sunyi menyeramkan. Ia tidak tahu bahwa ia berada di sebelah utara kota raja, dan juga tidak tahu bahwa penduduk sekitar tempat itu tidak berani mendekati kuburan ini di waktu malam, karena sudah terkenal bahwa kuburan itu berhantu! Akan tetapi Bu Sin yang berusaha sembunyi dari kejaran Suma Boan dan orang-orangnya, merasa aman berada di tempat sunyi itu. Ia segera mencari sebuah tempat yang enak, di bawah pohon besar, duduk termenung memikirkan nasibnya. Dari jauh terdengar kokok ayam hutan yang agaknya hendak mengantar kepergian matahari, hendak menyambut sang bulan"
Malam itu bulan purnama. Di tempat sunyi ini, sambil makan buah-buah yang tadi ia petik di tengah jalan dalam hutan, Bu Sin menikmati bulan yang muncul dari timur, tampak besar bundar kemerahan. amat indahnya. Akan tetapi ia tidak bergembira, ia malah berduka, teringat akan kedua orang adiknya yang masih belum ia ketahui bagaimana nasibnya. Juga kakaknya yang dicarinya. Kam Bu Song, amatlah tipis harapan untuk dapat dijumpainya, karena menurut pengakuan Suma Boan, agaknya kakaknya itu pun mengalami kesengsaraan dan sedikit saja harapan bahwa kakaknya itu masih hidup. Kakaknya seorang pelajar yang lemah, apa dayanya mempunyai musuh seperti Suma Boan yang lihai" Dia sendiri yang sejak kecil belajar ilmu silat, tidak berdaya menghadapi putera pangeran itu. Bu Sin makin sedih mengingat akan hal ini dan berkali-kali ia menarik napas panjang.
Tiba-tiba napasnya terhenti, wajahnya pucat dan matanya terbelalak memandang ke depan. Dikejap-kejapkannya kedua mata itu, kemudian digosok-gosoknya, akan tetapi tetap saja pemandangan di depan itu tidak bcrubah. Bulu tengkuknya berdiri satu-satu. Jantung berdebar-debar dan Bu Sin merasa ngeri. Dia bukanlah seorang penakut, bahkan ia terkenal tabah, akan tetapi siapa orangnya takkan merasa ngeri melihat betapa di sebuah kuburan sunyi, di dalam terang bulan, mendadak di depan batu nisan yang tua berdiri seorang wanita yang rambutnya panjang riap-riapan sampai ke kaki" Wanita itu berdiri membelakanginya, akan tetapi melihat bentuk tubuhnya yang langsing, kedua lengan yang diangkat ke atas itu dari jauh kelihatan halus putih dan jari-jarinya mungil, rambutnya pun hitam halus mengkilap, dapat diduga bahwa wanita itu masih muda. Dari mana dia datang" Mengapa Bu Sin tidak melihatnya ia datang" Dan apa yang dilakukannya di tempat itu"
Kuntilanak! Siluman! Tak salah lagi, pikir Bu Sin dengan jantung berdebar-debar. Otomatis tangannya meraba gagang pedang, dan ia tidak malu mendapat kenyataan bahwa tangannya menggigil. Ia membayangkan bahwa muka kuntilanak ini tentulah mengerikan, muka pucat seperti muka mayat, mata terbelalak tinggal putihnya saja, mulut bertaring. Iiihhhhh! Lebih baik ia pergi, menjauhi tempat setan ini, pikirnya dengan hati-hati dan perlahan-lahan Bu Sin bangkit berdiri lalu melangkah pergi dari tempat itu.
Akan tetapi baru lima enam langkah ia berjalan, tiba-tiba ada angin menyambar dan terdengar bentakan yang merdu, nyaring dan halus, "Berhenti! Siapa itu"
Tengkuk dan punggung Bu Sin serasa tebal saking ngerinya. Suara itu sudah berada tepat di belakang punggungnya, seakan-akan siluman itu telah hinggap di atas punggung. Ia mengeraskan hatinya dan sambil mengepal tinju ia membalik, siap menghadapi wajah yang mengerikan.
Ia membalik tiba-tiba dan.... Bu Sin ternganga menatap wajah yang cantik jelita, wajah yang amat manis dengan sepasang mata lebar bersinar-sinar, hidung kecil mancung dan mulut kecil dengan bibir merah yang selalu tersenyum mengejek. Bentuk tubuh langsing, padat, rambut yang hitam halus panjang terurai melalui punggung, pundak, dan dada. Lebih hebat lagi, bau yang amat harum semerbak menusuk hidung membuat Bu Sin terpesona. Sama sekali bukan siluman mengerikan. Andaikata siluman juga, inilah siluman cantik!
Siluman! Teringat akan ini, Bu Sin sadar dan kekagumannya akan kecantikan wajah wanita muda ini berubah menjadi kecurigaan dan otomatis ia meraba lagi gagang pedangnya.
Wanita itu tertawa, manis seperti madu bibirnya kalau tertawa, akan tetapi suara ketawanya mengerikan, hampir seperti tangis! "Hi-hik, kau tampan dan gagah. Siapa kau"
"Nama saya Bu Sin, Kam Bu Sin. Nona.... eh, Nyonyasiapakah"
Wanita itu tertawa, giginya berderet putih rapi, sama sekali tidak ada taringnya! "Bagus sekali! Kau she Kam" Suaramu seperti orang selatan. Apamukah Jenderal Kam Si Ek"
Bu Sin terkejut dan memandang heran. "Dia.... dia adalah mendiang Ayahku."
Sepasang mata yang indah lebar itu terbelalak, lalu wanita itu tertawa lagi.
"Hi-hi-hik, pantas saja tampan dan gagah. Betul, sekarang aku melihat persamaannya. Kau jauh lebih muda, lebih tampan. Hi-hik, kau tadi bertanya siapa aku" Aku Siang-mou Sin-ni, dahulu pernah menjadi sahabat baik Ayahmu. Karena kau puteranya, kau sekarang akan mampus di tanganku!"
Bu Sin makin kaget, dan kini ia menduga bahwa wanita ini tentulah miring otaknya. Kalau tidak gila, masa mengaku sahabat baik ayahnya tapi akan membunuh puteranya" Ia merasa tidak perlu banyak bertanya lagi, cepat tangannya bergerak mencabut pedangnya. Ia hendak menggertak dan mengusir wanita gila ini agar jangan mengganggunya lagi.
Akan tetapi, wanita itu tertawa dan tiba-tiba rambut panjang terurai itu bergerak, melibat pedang dan tubuhnya dan "krak! krak!" pedangnya tel
Bukit Pemakan Manusia 4 Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Jodoh Rajawali 31

Cari Blog Ini