Ceritasilat Novel Online

Cinta Bernoda Darah 8

Cinta Bernoda Darah Serial Bu Kek Sian Su 3 Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


gguh sukar dipercaya lukisan seindah itu dilukiskan hanya dengan coret-coret jari tangan dan semburan mulut saja!
Selagi orang-orang mengagumi kakek aneh itu dan lukisannya, tampak seorang pemuda melangkah maju. Dengan sikap angkuh ia memandang kepada Empek Gan, melirik sekilas pandang ke arah lukisan harimau, lalu ia menjura di depan Raja Nan-cao dan Ketua Beng-kauw.
"Hamba Suma Boan mewakili keluarga Suma di An-sui. Mengingat akan hubungan yang amat erat antara Kerajaan Nan-cao dan kerajaan besar Sung di utara, kami keluarga Suma yang masih terhitung keluarga Kaisar di Sung Utara, menghaturkan selamat kepada Agama Beng-kauw, terutama kepada Beng-kauwcu dan kepada Sri Baginda dengan harapan semoga hubungan antara selatan dan utara akan menjadi lebih erat lagi." Sampai di sini, Suma Boan berhenti sebentar dan banyak kepala para tamu mengangguk-angguk sebagai tanda setuju dan kagum akan kepandaian orang muda itu berpidato.
"Kami sekeluarga Suma di An-sui tidak memiliki sesuatu yang amat mahal harganya, melainkan hanya sebuah lukisan kuno yang selama puluhan tahun ini menjadi penghias rumah kami sebagai barang pusaka, sekarang dengan hati rela kami menghaturkan kepada Beng-kauwcu dan Sri Baginda agar menjadi kenang-kenangan." Dengan bangga Suma Boan membuka gulungan lukisan yang tadi dibawanya, memperlihatkan kepada tuan rumah.
"Wah, ini lukisan pelukis besar Yen Li Pun tiga ratus tahun yang lalu!" seru Raja Nan-cao.
Sambil tersenyum Suma Boan berkata, "Sri Baginda ternyata berpemandangan tajam sekali, dapat mengenal barang pusaka. Hal ini menandakan bahwa Sri Baginda memiliki pengetahuan yang amat tinggi tentang seni lukis. Untuk lukisan ini, hamba mempunyai sajak untuk menerangkannya, mohon supaya lukisan ini digantung di tempat yang layak."
Kini raja sendiri yang memberi perintah kepada dua orang pengawal untuk menggantungkan lukisan itu dan karena tempat yang paling baik adalah di dinding yang sekarang terhias lukisan harimau buatan Gan-lopek, terpaksa lukisan itu digantung di sebelah lukisan Gan-lopek. Setelah digantung, barulah para tamu dapat melihat lukisan itu dan semua orang berseru kagum. Lukisan itu melukiskan seekor kuda yang amat indah dan gagah, kuda yang berlari cepat sehingga bulu pada leher dan ekornya melambai-lambai indah sekali. Seakan-akan para tamu melihat keempat kaki kuda itu bergerak lari cepat dan telinga mendengar derap dari jauh!
Ukuran lukisan kuda ini lebih besar daripada lukisan harimau dan biarpun cara melukis harimau itu aneh sekali, akan tetapi dalam hal keindahan, kiranya sukar menandingi lukisan kuda ini yang menggunakan warna aseli. Dengan gaya angkuh dan mengejek Suma Boan mengerling ke arah Gan-lopek, lalu ia berkata.
"Perkenankan hamba mengucapkan sajak sebagai timpalan lukisan pusaka itu."
Raja yang suka akan lukisan dan sajak, segera berseru, "Silakan, orang muda yang pintar, silakan."
Suma Boan berdiri tegak, mengangkat dada, mengerling sejenak ke arah Lin Lin dan Sian Eng yang duduk dekat Suling Emas, lalu mengucapkan sajak dengan suara nyaring.
"Kuda sakti, lambang keindahan, kegagahan, dan kecepatan! Semoga Nan-cao di bawah bimbingan Beng-kauw, akan maju secepat larinya kuda sakti!"
"Bagus!" Raja bertepuk tangan memuji dan banyak di antara para tamu ikut pula memuji sambil bertepuk tangan, membuat Suma Boan makin bangga dan dadanya makin membusung. Ketika tepuk tangan sudah mereda, tiba-tiba terdengar suara keras dan nyaring. Semua orang menengok ke arah Gan-lopek karena tak salah lagi pendengaran mereka, itu adalah suara.... kentut! Ada yang sampai pucat mukanya mendengar ini, karena perbuatan Gan-lopek kali ini benar-benar merupakan sebuah kekurangajaran yang melewati batas! Suma Boan juga sampai pucat mukanya, bukan karena kaget melainkan karena marah. Ia merasa dihina bahwa sajak yang dideklamasikan tadi disambut denganbunyi kentut oleh Gan-lopek!
"Gan-lopek, apa kau memandang rendah kepada sajakku tadi" Suma Boan memancing kakek itu yang masih duduk di lantai. Kakek itu bangkit berdiri dan tersenyum lebar. Pemuda she Suma itu memang cerdik sekali, kata-katanya sengaja ia ucapkan untuk memancing. Sajaknya tadi merupakan pujian terhadap Nan-cao dan Beng-kauw, maka kalau kakek pendek ini berani memandang rendah, berarti Gan-lopek memandang rendah Nan-cao dan Beng-kauw pula dan ia pasti akan mempergunakannya untuk menekan kakek yang menyakitkan hatinya ini.
Gan-lopek tertawa bergelak. "Bocah, siapa memandang rendah" Kentutku tadi hanya memperingatkan bahwa begitu kau muncul dengan gambarmu, aku lalu dianggap seperti angin saja. Ha-ha-ha, kaulah orangnya yang menghina Nan-cao dan Beng-kauw dengan lukisan itu!" Ia menuding ke arah gambar kuda.
Beng-kauwcu Liu Mo memang sudah maklum bahwa di antara para tamunya terdapat pertentangan-pertentangan, akan tetapi ucapan Gan-lopek kali ini benar-benar membuat ia tidak mengerti.
"Gan-sicu, lukisan ini adalah lukisan aseli dari pelukis besar Yen Li Pun, merupakan pemberian yang amat bernilai, sama sekali tidak menghina kami!" Ketua Beng-kauw biarpun termasuk orang sakti yang aneh, namun sebagai kepala agama, tentu saja ia tidak berandalan dan ugal-ugalan, apalagi dibandingkan dengan Empek Gan yang aneh itu. Tadi mendengar Empek Gan menyambut sajak yang dideklamasikan oleh pemuda itu dengan bunyi kentut, ia merasa tak senang, sekarang mendengar kata-kata Empek Gan yang menuduh pemuda itu menghina Beng-kauw, tentu saja ia tidak setuju.
"Heh-heh-heh, penghinaan tidak langsung, tentu saja Kauwcu tidak tahu."
"Gan-lopek, jangan menuduh sembarangan! Kau yang membuang kentut di depan orang-orang terhormat, kaulah yang menghina semua orang, bagaimana kau bisa menyebar fitnah kepadaku" Suma Boan menudingkan telunjuknya.
"Melepas kentut apa salahnya" Ini tandanya jujur! Siapa di antara semua orang yang hadir di sini tak pernah kentut" Kalau angin sudah datang, tidak dilepas, bukankah mendatangkan perut kembung dan penyakit" Kalau dilepas perlahan-lahan agar jangan berbunyi dan jangan diketahui orang, itu pura-pura dan palsu namanya. Tidak ada bunyinya, tahu-tahu menyerang hidung orang lain sampai membikin hidung menjadi hijau! Orang kentut bukan menghina karena semua orang juga suka kentut. Tapi lukisanmu itu. Hemmm, Kauwcu, sama sekali bukan berarti bahwa aku memandang rendah lukisan Yen Li Pun. Aku kagum akan lukisannya dan dibandingkan dengan dia, aku bukan apa-apa. Akan tetapi kalau orang sudah menyamakan Nan-cao dan Beng-kauw seperti kuda, benar-benar membikin panas perutku! Kuda itu binatang apakah" Boleh liar ganas dan sakti, akhirnya hanya akan menjadi binatang tunggangan manusia! Dan senjatanya hanya pada kakinya yang dapat berlari cepat. Bukankah itu sifat pengecut yang hanya pandai lari karena tidak berani menentang lawan" Apakah Nan-cao boleh disamakan dengan kuda yang boleh ditunggangi orang lain dan akan lari tunggang-langgang dengan kecepatan kilat kalau diserang musuh"
Beng-kauwcu Liu Mo tertawa. Para tamu terheran karena tak pernah mengira bahwa wajah yang serius seperti patung itu dapat tertawa. "Gan-sicu, kau lucu sekali! Lucu dan berbahaya, akan tetapi kami sama sekali tidak menganggap Suma-kongcu ini menghina kami. Kau pandai memutarbalikkan arti sesuatu. Dan bagaimanakah artinya lukisanmu itu, kalau kami boleh mendengar keterangannya"
"Nan-cao dan Beng-kauw disamakan dengan binatang yang kejam dan ganas!" Suma Boan berseru, tak dapat menahan kemarahannya akan tetapi hatinya lega, juga mendengar kata-kata ketua Beng-kauw, karena tadinya ia sudah merasa bingung dan kaget mendengar tuduhan Gan-lopek yang hebat.
Kini Gan-lopek yang tersenyum-senyum, lalu berkata nyaring, "Harimau terkenal sebagai raja di antara sekalian binatang hutan! Terkenal akan keberaniannya, tak pernah mundur menghadapi siapa pun juga. Itulah sifat-sifat yang patut dimiliki oleh Nan-cao, biarpun besar tubuh harimau tidak sebesar kuda, namun kecil-kecil memiliki keberanian yang besar. Harimau siap menerjang lawan jahat di bawah naungan matahari yang terang benderang. Apakah yang lebih terang daripada matahari" Beng-kauw adalah Agama Terang, maka boleh diumpamakan Sang Matahari yang menaungi harimau Nan-cao. Nah, itulah arti lukisanku yang buruk, Kauwcu!"
Tepukan tangan menyambut keterangan ini, dilakukan oleh sementara tamu yang merasa kagum dan suka kepada Empek Gan. Akan tetapi Suma Boan makin mendongkol dan ia berkata mengejek. "Gan-lopek boleh jadi pandai dalam ilmu silat, boleh jadi pandai dalam hal melukis, akan tetapi tak mungkin ia lebih pandai dari mendiang Yen Li Pun pelukis besar, dan dalam hal sastra dan sajak, aku yang muda berani bertanding dengan dia!"
Inilah sebuah tantangan yang terang-terangan, dilakukan di depan Raja Nan-cao yang suka akan sajak dan di depan Beng-kauwcu pula! Bukan tantangan silat, melainkan tantangan mengadu kepandaian bun (sastra). Tentu saja Suma Boan seorang yang amat cerdik sudah cukup tahu bahwa biarpun pandai melukis, Empek Gan ini bukanlah seorang ahli sastra, apalagi ahli sajak!
Biarpun tantangan Suma Boan itu bukanlah tantangan mengadu ilmu silat, melainkan tantangan mengadu ilmu sastra, namun bahayanya tidak kalah hebat. Malah agaknya lebih hebat karena dalam mengadu ilmu silat, yang kalah mungkin akan tewas! Sebaliknya, dalam mengadu ilmu sastra, biarpun yang kalah tidak akan terluka apalagi mati, namun ia akan menjadi buah tertawaan dan nama besarnya akan dijadikan bahan ejekan.
Akan tetapi, Gan-lopek adalah seorang sakti yang aneh. Memang dalam hal ilmu sastra, biarpun pernah ia mempelajarinya, pengetahuannya tidaklah begitu mendalam seperti pengetahuannya tentang seni lukis. Namun ia memiliki kelebihan yang sering kali menguntungkan dirinya, yaitu di samping ilmu kepandaiannya yang tinggi, ia juga pandai sekali berkelakar dan pandai pula bicara. Dengan tiga ilmunya ini, di samping ilmu-ilmu yang lain, yaitu ilmu silat, ilmu seni lukis dan melawak, biasanya ia dapat menyelamatkan diri daripada ancaman bahaya. Kini menghadapi tantangan Suma Boan, tidak ada jalan lain baginya selain menerimanya. Menolak berarti kalah dan mengorbankan namanya sebagai pecundang, karena tentu seluruh dunia akan segera mendengar betapa Empek Gan yang terkenal pandai itu sekarang "mati kutu" terhadap Suma Boan!
"Ho-hah, omonganmu lebih jahat dari pada kentut! Terlalu keras dan bau! Bocah macam engkau ini menantang tua bangka macam aku mengadu kepandaian tentang sastra dan sajak" Ho-ho, biar semua gurumu kaupanggil ke sini, aku tidak takut menghadapi mereka. Kau ini apa" Kutanggung menulis pun belum jelas, apalagi merangkai kata-kata dalam kalimat atau sajak, pasti belum becus. Berani aku mempertaruhkan kepalaku yang lapuk ini kalau kau mampu merangkai empat buah huruf yang kupilih menjadi sebaris kalimat yang mempunyai arti dan mengandung kebenaran. Hayo, berani tidak kau"
Suma Boan bukanlah seorang pemuda bodoh. Pengertiannya tentang sastra dan sajak, sungguhpun belum boleh dibandingkan dengan sastrawan-sastrawan dan para penyair, namun ia yakin takkan kalah oleh Empek Gan ini. Apalagi merangkai empat buah huruf saja, menjadi sebaris kalimat, apa sukarnya" Empat buah huruf itu kalau diatur bergiliran letaknya, diubah-ubah, dapat menjadi dua puluh empat baris kalimat yang berlainan. Apakah sukarnya memilih di antara dua puluh empat baris kalimat itu yang merupakan kalimat paling berarti dan mengandung kebenaran" Segera ia menjura kepada Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao sambil berkata.
"Mohon maaf sebanyaknya, terpaksa hamba melayani kakek buta huruf yang pura-pura pintar ini." Kemudian setelah raja dan ketua Beng-kauw yang juga amat tertarik ingin menyaksikan pertandingan yang lucu dan tidak berbahaya ini mengangguk tanda setuju, Suma Boan lalu menoleh ke arah para tamu dan berkata nyaring. "Mohon Cu-wi sekalian sudi menjadi saksi. Gan-lopek yang terhormat ini mempertaruhkan kepalanya kalau siauwte dapat merangkai empat buah huruf yang ia pilih menjadi sebaris kalimat yang mempunyai arti dan mengandung kebenaran. Bukankah begitu, Gan-lopek"
"Betul, betul!" Gan-lopek mengangguk-angguk. "Kalau kau betul dapat dan kalimat itu oleh hadirin dianggap mengandung arti dan kebenaran, aku akan menyerahkan kepalaku agar kaupakai dalam sembahyangan roh leluhurmu!"
"Gan-lopek, mulailah! Keluarkan empat buah hurufmu itu yang merupakan empat buah kata-kata!" Suma Boan menantang.
Hening di tempat yang tadinya ramai itu. Tidak terdengar sedikit pun suara berisik. Suasana menjadi tegang karena semua orang, tiada kecuali, memasang telinga untuk mendengarkan baik-baik apakah empat buah kata-kata yang akan dikeluarkan oleh Gan-lopek. Juga Suling Emas, sebagai seorang ahli dalam hal bu dan bun (silat dan sastra), memandang penuh perhatian. Lin Lin merasa geli menyaksikan tingkah-polah dan sepak terjang Gan-lopek, akan tetapi juga agak khawatir karena ia pun merasa sangsi apakah kakek ini betul-betul akan dapat menandingi Suma Boan dalam hal ilmu sastra.
Karena keadaan yang hening itu, suara Gan-lopek terdengar lantang ketika ia berkata, "Bocah she Suma, enak saja kau mau menipu orang tua! Aku sudah mempertaruhkan kepalaku kau bisa memenuhi syaratku tadi, akan tetapi apa taruhanmu kalau kau kalah"
Suma Boan tersenyurn mengejek. "Kakek she Gan! Semua orang terhormat yang hadir di sini mendengar belaka bahwa kau sendirilah yang menjanjikan kepalamu, bukan aku yang minta. Akan tetapi, kalau sampai aku tidak bisa merangkai empat buah kata-katamu menjadi kalimat yang berarti dan benar, biarlah aku mengangkat kau sebagai guru!"
"Ho-hah, boleh.... boleh.... akan tetapi aku sangsi apakah aku akan cukup sabar mempunyai murid sastra yang tolol seperti engkau. Nah, buka telingamu baik-baik, Suma Boan, dan juga hadirin yang menjadi saksi. Huruf pertama yang kupilih adalah huruf TAHI!"
Pecah suara ketawa di sana-sini, bahkan ada yang terkekeh-kekeh. Akan tetapi banyak pula, terutama mereka yang mengerti tentang ilmu sastra, mengerutkan kening. Kakek she Gan ini benar-benar berani mati, di depan begitu banyaknya tokoh kang-ouw yang terhormat dan terhitung tokoh kelas atasan, berani main-main sampai begitu hebat. Semua ahli sastra itu tahu belaka bahwa huruf yang artinya kotor ini tak mungkin dirangkai menjadi sajak. Orang gila saja yang dapat memasukkan kata-kata "tahi" ke dalam sebuah sajak, tentu menjadi sajak orang gila! Akan tetapi Suma Boan tidak tampak khawatir. Dia cerdik dan dia sudah berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan, maklum bahwa kakek ini mempunyai banyak tipu muslihat dan akal. Biarpun ia sendiri takkan mampu merangkai huruf yang kotor ini ke dalam sajak, namun masih tidak sukar untuk menggunakan huruf ini untuk melengkapi sebuah kalimat.
Setelah suara ketawa mereda, Gan-lopek mengangkat tangan kanan, memperlihatkan dua buah jari tangan. "Sekarang huruf nomor dua, yaitu huruf MAKAN!"
Kembali orang-orang pada tertawa. Gila benar kakek ini. Masa merangkai huruf tahi dengan huruf makan" Satu-satunya rangkaian yang berarti hanya "makan tahi"! Benar-benar orang sinting dia! Juga Raja Nan-cao tersenyum-senyum tapi keningnya berkerut, seperti hainya Beng-kauwcu dan yang lain-lain, karena mereka sendiri merasakan keanehan Empek Gan ini. Hanya Suma Boan yang nampak tenang-tenang saja, akan tetapi diam-diam otaknya dikerjakan.
Setelah menanti sebentar, Empek Gan lalu berkata lantang, "Huruf nomor tiga adalah KUDA dan huruf nomor empat adalah HARIMAU. Nah, bocah she Suma, sekarang kauputar-putarlah otakmu, kaurangkai empat huruf itu menjadi sajak atau kalimat yang berarti dan mengandung kebenaran. Aku tunggu sampai kau menyatakan tidak sanggup, lalu berlutut di depan kakiku, mengangkat aku sebagai gurumu. Itu pun kalau aku mau menerimamu, hoh-hoh!"
Suma Boan tidak mempedulikan kelakar ini karena ia sudah memutar otak dan memikir-mikir. Ujian atau teka-teki yang gila, pikirnya. Keempat huruf itu adalah TAHI MAKAN KUDA HARIMAU yang harus dirangkai menjadi kalimat, biarpun dapat dibolak-balik sampai dua puluh empat macam kalimat, namun agaknya hanya ada dua macam kalimat yang berarti, yaitu pertama adalah KUDA MAKAN TAHI HARIMAU atau HARIMAU MAKAN TAHI KUDA. Selain dua ini, kalimat-kalimat lain tidak ada artinya. Alangkah mudahnya! Benar-benar kakek goblok yang miring otaknya. Belum sampai lima menit ia berpikir, ia sudah membolak-bolik empat huruf itu menjadi dua puluh empat kalimat dan hanya dua itulah yang ada artinya.
"Ha-ha, Empek Gan, kau benar-benar mencari mampus. Nah, siaplah untuk menyerahkan kepalamu karena aku sudah dapat menjawabnya!" seru Suma Boandan para tamu menjadi berisik karena mereka itu pun masing-masing ikut pula mencari jawabannya.
Empek Gan mengangkat kedua tangannya ke atas dan berseru. "Harap hadirin jangan berisik!" Suaranya perlahan saja, akan tetapi gemanya berdengung di ruangan itu, membuat semua orang kaget dan diam. Para locianpwe (orang tua jagoan) yang hadir di situ diam-diam mengangguk-angguk. Betapapun gila dan tololnya Empek Gan datam ilmu sastra, akan tetapi dalam ilmu silat agaknya merupakan lawan yang tak boleh dipandang ringan. Suaranya yang disertai tenaga khikang tadi saja sudah membuktikan kelihaiannya.
"Harap Cu-wi sekalian dengarkan jawaban orang muda ini sebagai saksi! Nah, bocah, bagimana jawabanmu"
Dengan suara nyaring Suma Boan menjawab, "Empek Gan, empat huruf yang kauajukan itu amatlah sederhana dan dari empat huruf itu aku dapat merangkai menjadi dua puluh empat macam kalimat." Semua orang yang hadir mengangguk-anggukkan kepala karena banyak diantara mereka yang berpikir demikian pula. Agaknya pemuda pangeran di utara ini akan menang, pikir mereka. "Akan tetapi, di antara yang dua puluh empat macam kalimat, hanya ada dua yang berarti, maka jawaban pertanyaanmu itu tentulah salah satu di antara yang dua ini. Pertama adalah HARIMAU MAKAN TAHI KUDA!" Hening di ruangan itu karena semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian, maka kini suara ketawa Empek Gan terdengar lantang memenuhi ruangan.
"Ha-ha-ha, kau benar-benar lucu. Yang ke dua bagaimana"
"Yang ke dua adalah KUDA MAKAN TAHI HARIMAU!"
Kini Empek Gak terpingkal-pingkal tertawa sambil memegangi perutnya. "Hoah-hah-hah, siapa pernah mendengar ada harimau makan tahi kuda" Dan ada kuda makan tahi harimau" Hoah-hah-hah, Suma Boan! Agaknya yang suka makan tahi harimau adalah kudamu itu!" Ia menudingkan telunjuknya ke arah gambar kuda sumbangan Suma Boan tadi. "Dan yang dimakan adalah tahi harimauku, kalau bukan kudamu mana suka makan tahi harimau" Hoa-ha-ha!"
"Empek Gan tidak perlu semua lelucon ini!" teriak Suma Boan. "Sudah jelas jawabanku betul, dan kau kalah. Semua yang hadir menjadi saksi!"
Empek Gan menyusut air matanya. Begitu keras ia tertawa sampai keluar air matanya. "Apa kau bilang" Betul" Eh, bocah, kau benar-benar melanggar aturan. Tadi sudah kukatakan bahwa empat buah huruf itu harus dirangkai merupakan kalimat yang berarti DAN MENGANDUNG KEBENARAN! Rangkaian kalimatmu itu biarpun kedua-keduanya ada artinya akan tetapi semua bohong, tidak benar sama sekali karena di dunia ini tidak ada kuda makan tahi harimau atau harimau makan tahi kuda. Hayo, di antara yang hadir siapa bisa bilang bahwa dua kalimat itu mengandung kebenaran" Empek Gan menoleh ke arah para hadirin dan kembali terdengar suara berisik karena para tamu itu saling bicara untuk mempersoalkan benar salahnya jawaban Suma Boan itu.
Tiba-tiba terdengar seruan nyaring, "Jawaban itu bohong!" Demikian nyaring tapi merdu suara ini sehingga semua orang berhenti bicara dan memandang. Kiranya Lin Lin yang berdiri dan menggerak-gerakkan tangan kanan ke atas minta perhatian. Sekali lagi ia berkata, suaranya merdu tapi nyaring sekali.
"Jawaban Suma Boan itu bohong semua! Kuda makanannya rumput, bukan tahi harimau, sedangkan harimau makanannya daging mentah, bukan tahi kuda! Siapa yang setuju, harap angkat telunjuk ke atas seperti saya ini!" Dengan wajah berseri dan bibir tersenyum manis Lin Lin mengangkat telunjuk kanannya ke atas. Serentak semua tamu, sebagian besar, mengangkat tangan ke atas, malah ada orang-orang muda yang mengangkat kedua tangan ke atas sambil berteriak-teriak gembira, "Betul....! Ucapan Nona betul!"
Memang sesungguhnya, siapa tidak tertarik melihat dara remaja yang jelita itu dengan jenaka bicara seperti itu dan mengajak mereka mendukung pernyataannya bahwa Suma Boan tidak benar dalam jawabannya" Apa pula kalau dipikir bahwa memang sesungguhnya, dua kalimat itu biarpun ada artinya, namun memang tidak benar.
Empek Gan berkata lagi setelah semua orang diam, "Nah, Suma Boan. Jelas bahwa kau yang kalah, karena jawabanmu tidak betul. Hayo kau berlutut dan mengangkat aku sebagai guru, tentu saja kalau aku mau menerimamu. Kita lihat saja nanti!"
Suma Boan melotot ke arah Lin Ling kemudian ia merengut dan menjawab.
"Empek Gan, kau orang tua penuh tipu muslihat! Kaukira aku mudah kautipu begitu saja" Terus terang saja kukatakan bahwa dari empat hurufmu itu, tak mungkin merangkai kalimat yang mengandung arti dan juga mengandung kebenaran! Aku tidak mau menerima kalah kalau kau sendiri belum memberi jawabannya. Tentu saja kau bisa mengemukakan pertanyaan yang tak dapat dijawab. Aku bisa! Misalnya, berapa banyaknya ikan di laut"
"Hoah! Pertanyaan begitu saja, apa sukarnya! Aku bisa menjawab! Ada lima juta kurang satu banyaknya ikan di laut. Hayo, mau apa kau" Tidak percaya" Boleh kau menyelam dan hitung sendiri!"
Meledak suara orang tertawa mendengar ucapan ini, dan wajah Suma Boan makin merah.
"Empek Gan, kau belum menjawab. Hayo kaurangkai kalimat dari empat hurufmu itu sendiri, kalau kau bisa melakukannya, baru aku mengaku kalah, tidak saja aku mengangkatmu sebagai guru, malah aku mau menyerahkan kepalaku kepadamu!" Saking marahnya, Suma Boan mengeluarkan ucapan ini. Akan tetapi bukan semata-mata karena marahnya, melainkan karena ia yakin bahwa kakek itu pun takkan mungkin merangkai kalimat yang berarti dan benar.
Kembali keadaan hening. Semua orang memasang telinga baik-baik, ingin mendengarkan jawaban Empek Gan. Tak seorang pun di situ merasa sanggup untuk menjawab, bahkan Suling Emas sendiri tampak berbisik-bisik kepada Beng-kauwcu yang mengerutkan kening dan menggeleng-geleng kepala. Raja Nan-cao juga menggeleng-geleng kepala sambil mengangkat pundak, tanda bahwa dia sendiri sebagai seorang jagoan sastra tidak sanggup pula.
"Betulkah" Dengar baik-baik kau, bocah ingusan! Juga para hadirin harap sudi mendengarkan penuh perhatian. Dari empat buah huruf itu aku dapat merangkai sebuah kalimat yang berarti dan juga yang mengandung kebenaran seribu prosen. Kalimat itu berbunyi begini...." Ia sengaja berhenti sebentar sehingga semua mata memandang ke arah bibirnya dan semua telinga memasang baik-baik, bahkan orang-orang itu tidak berani bernapas terlalu keras, takut mengganggu pendengaran.
"HARIMAU MAKAN KUDA!" Akhirnya Empek Gan berkata lantang, "Tentu saja harimauku itu dan yang dimakan kuda bocah ini, ha-ha-ha!" Ia berpaling kepada Suma Boan. "Nah, apanya yang salah dengan kalimat itu" HARIMAU MAKAN KUDA, artinya sudah betul, juga kenyataannya begitu, harimau memang suka makan binatang-binatang lemah, termasuk kuda!"
"Tidak betul!" Suma Boan berteriak-teriak marah sampai suaranya serak. "Belum lengkap itu! Huruf TAHI belum dimasukkan!"
"Sudah betul," kata Empek Gan. "HARIMAU MAKAN KUDA! Nah, tidak betulkah itu"
"TAHI-nya bagaimana" TAHI-nya kautinggalkan!"
Orang-orang berteriak-teriak, "Ya, TAHI-nya bagaimana"
Suma Boan mendengar banyak orang mendukungnya, tertawa-tawa dan berteriak-teriak mengejek, "Empek Gan orang tua tolol! HARIMAU MAKAN KUDA memang berarti dan benar, akan tetapi TAHI-nya kaulupakan. TAHI-nya bagaimana"
Empek Gan tertawa, "Cu-wi sekalian dengarlah! Dia bertanya tentang TAHI. Wah, dia ini, Suma Boan, di sini untuk apa" Harimauku makan kudanya, adapun TAHI-nya.... kuberikan kepadamu. Suma Boan. Kaumakanlah, itu bagianmu!"
Sejenak hening, banyak mata terbelalak. Kemudian bagaikan mendapat komando, meledaklah suara ketawa memenuhi ruangan itu. Lin Lin terpingkal-pingkal sampai jatuh terguling dari bangku, memegangi perutnya dan terus tertawa.
Sungguh tidak ada yang mengira bahwa akan begitulah jawaban Empek Gan. Suasana yang tadinya tegang, perhatian yang dicurahkan sepenuhnya, pada akhirnya hanya akan dihancurkan oleh sebuah kelakar yang sungguh-sungguh tidak nyaman rasanya bagi telinga yang bersangkutan. Ini bukanlah semata-mata lelucon, melainkan suatu kesengajaan yang dimaksudkan untuk mempermainkan Suma Boan. Tidaklah aneh kalau Suma Boan berdiri dengan muka pucat, kemudian merah sampai hampir hitam, tubuhnya bergoyang-goyang hampir tak kuat ia menahan kemarahannya. Suara ketawa yang memenuhi ruangan itu seakan-akan merupakan ribuan mata pedang yang menusuk-nusuk jantungnya. Saking tak dapat menahan kemarahannya lagi, Suma Boan menerjang Empek Gan dengan pedangnya. Hebat serangan ini, karena Empek Gan sedang tertawa-tawa sambil memandang ke atas, memegangi perutnya yang bundar kecil. Sedangkan penyerangan itu merupakan jurus berbahaya, pedang meluncur lurus mengarah dada dan melihat kedudukan kedua kaki pemuda itu, jelas bahwa jurus ini dapat segera diubah menjadi jurus apa saja, disesuaikan dengan cara kakek itu menghadapi jurus pertama. Orang-orang yang menyaksikan kedahsyatan serangan ini, menahan napas, apalagi kakek itu enak-enak saja seperti tidak melihat datangnya pedang yang siap mencokel pergi nyawanya dari badan!
Mendadak kakek itu membalikkan tubuhnya, membelakangi Suma Boan dan memandang ke arah Lin Lin. Alisnya bergerak-gerak dan matanya dipicingkan sebelah melihat Lin Lin tertawa-tawa terpingkal-pingkal. "Eh, Nona, jangan terlalu keras ketawa, perutmu bisa kaku nanti. Apakah kau sudah melihat tukang sate itu datang ke sini"
Lin Lin yang tadinya tertawa geli, kini memandang terbelalak. Tidak hanya Lin Lin, juga banyak tokoh-tokoh persilatan yang berada di situ memandang heran dan tak mengerti. Kakek ini membelakangi Suma Boan, pantatnya megal-megol seperti bebek berjalan, tanpa menggeser kaki hanya tubuh belakang itu saja yang menonjol ke kanan kiri, cepat dan lucu sekali. Dan hanya dengan gerakan ini saja, pedang di tangan Suma Boan tak pernah mengenai sasarannya! Mula-mula Lin Lin merasa ngeri menyaksikan pedang itu berkelebatan di sekeliling pantat Empek Gan. Sedikit saja menyerempet tentu akan merobek daging mengiris kulit daging kelebihan di belakang itu. Akan tetapi melihat cara Empek Gan mengegal-egolkan pantatnya secara lucu sekali, kembali Lin Lin tertawa. Juga orang-orang mulai tertawa lagi.
"Hi-hik, pantas saja Liong-twako juga megal-megol kalau main pedang!" Lin Lin berkata sambil memukul-mukul lengan Suling Emas saking geli hatinya.
Suling Emas juga tersenyum dan mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa justeru gerakan itulah yang menjadi keistimewaan ilmu silat Empek Gan ketika kakek ini dahulu merantau dan bertempat tinggal di sebuah pulau di sebelah selatan. Penduduk aseli pulau ini suka sekali akan tari-tarian, memiliki tari-tarian khas yang aneh dan juga menarik serta lucu karena semua penari, laki-laki maupun perempuan, dalam menari selalu menggerak-gerakkan tubuh belakang mereka (seperti tari Hula-hula)! Dan tari-tarian inilah yang dijadikan dasar keanehan ilmu silat yang diciptakan Empek Gan, karena dia sendiri pun menjadi pecandu tari-tarian itu. Sementara itu, ilmu silatnya hanya bisa dilakukan dengan sempurna kalau disertai pantat megal-megol!
Suma Boan penasaran bukan main. Sudah tujuh kali ia menikam dan menabas, namun setalu makan angin belaka. Tiba-tiba Empek Gan tertawa dan mundur, entah bagaimana, tahu-tahu Suma Boan tak dapat mengelak lagi dibentur pantat Empek Gan sehingga ia terlempar sampai lima meter lebih! Luar biasa sekali!
"Ho-ho, manusia she Gan! Apakah di sini kau mau memamerkan diri" tiba-tiba terdengar suara nyaring menggetarkan anak telinga, biarpun suara itu parau dan tak enak didengar.
"Heh-heh! It-gan Kai-ong, bukan aku memamerkan diri, melainkan bocah ini tak dapat menjaga baik nama gurunya, heh-heh-heh...." kata Empek Gan sambil memandang ke arah It-gan Kai-ong yang masih duduk di deretan bangku bagian kaum kehormatan.
Melihat bahwa suasana menjadi tegang, Beng-kauwcu Liu Mo memberi tanda dengan tongkatnya. Segera Kauw Bian Cinjin yang mewakili suhengnya, melangkah maju dan menjura sambil berkata, "Kauwcu mengharapkan dengan hormat agar keributan ini diakhiri untuk memberi kesempatan kepada tamu lain, tak lupa sekali lagi menghaturkan terima kasih kepada Gan-sicu dan Suma-kongcu atas ucapan selamat."
Empek Gan menyengir sambil memandang ke arah It-gan Kai-ong yang membalas dengan pandangan mengejek. Dengan langkah gontai dan pantat tetap megal-megol, Empek Gan lalu melangkah maju menghampiri Lin Lin, lalu tertawa!
"Wah, kau jempol sekali, Kakek Cebol!" Lin Lin menyambutnya dengan tertawa pula. "Pantas Lie Bok Liong twako kalau bersilat selalu megal-megol, kiranya gurunya pun begitu. Kakek gagah, apakah ilmu silatmu itu namanya ilmu silat bebek melenggang"
Empek Gan tertawa senang karena banyak tamu yang mendengar ini ikut tertawa. Dasar berjiwa badut, kalau ada orang mentertawakan kelucuannya, kakek ini merasa girang dan puas sekali!
Sementara itu, para tamu lain yang tadi sudah menanti-nanti tidak sabar karena mereka terhalang oleh keributan sehingga mereka tiada kesempatan memberi selamat dan sumbangan, kini mulai melangkah maju, menghampiri tempat duduk Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao. Antrian tamu itu cukup panjang dan para tamu yang sudah duduk merasa jemu menyaksikan upacara itu, mereka bercakap-cakap dengan teman masing-masing sambil mengganyang hidangan yang berada di atas meja.
Lin Lin setelah puas tertawa menyaksikan pertunjukkan yang lucu dari Empek Gan tadi, kini teringat akan janji Suling Emas. Ia menengok dan melihat betapa Suling Emas sudah bangkit dari bangkunya, berdiri bersedakap, seperti orang sedang menonton para tamu yang seorang demi seorang memberi selamat dan menyerahkan barang sumbangan. Lin Lin cepat melangkah maju menghampiri. Sejenak ia meragu, agak bingung. Perasaan ini selalu datang selama ini kalau ia hendak bicara kepada Suling Emas, karena sesungguhnya ia tidak tahu siapa nama pendekar itu. Tentu saja nama Suling Emas atau Kim-siauw-eng hanyalah julukan saja. Jarang ia memanggil, atau kalau terpaksa ia hanya menyebut "Suling Emas" begitu saja, sebutan yang sebetulnya kurang enak. Sejenak ia meragu, berdiri di belakang punggung yang bidang itu.
"Kim-siauw Koko (Kakak Suling Emas)...." akhirnya ia berkata perlahan.
Suling Emas terkejut seperti baru sadar daripada lamunannya, menengok ke belakang. "Kau" Kau bilang apa tadi"
Lin Lin tersenyum. "Tidak bilang apa-apa, belum lagi, baru memanggilmu. Susah memanggil karena tidak tahu siapa namamu, biar kusebut kau Kim-siauw Koko saja."
"Hemmm, ada apakah, Lin Lin"
"Aku menagih janji!"
"Janji apa"
"Ihhh, masa kau lupa lagi" Bukankah kau bilang bahwa kau hendak mencarikan musuh besarku dan Kakak Bu Song. Eh, kau sudah lupa atau pura-pura lupa" Seorang gagah takkan menjilat.... eh, kau melihat apa" Lin Lin gemas sekali melihat Suling Emas tidak mempedulikannya dan sedang memandang dengan kening berkerut ke arah kiri. Ia cepat menoleh dan sempat melihat seorang gadis cantik jelita memberi isyarat dengan tangan kepada Suling Emas dan gadis itu cepat membuang muka dan pura-pura tidak melihat ke arah mereka ketika Lin Lin memandang. Gadis itu bukan lain adalah gadis jelita penyambut tamu tadi, puteri ketua Beng-kauw yang bernama Liu Hwee. Entah mengapa ia sendiri tidak tahu, Lin Lin merasa dadanya panas seperti dibakar dan ingin ia meloncat dan menerjang gadis itu, menantangnya berkelahi sampai seribu jurus! Tanpa disadari lagi kedua kakinya melangkah menuju ke kiri, ke arah gadis puteri Beng-kauw itu.
"Lin-moi, ke sinilah....!"
Lin Lin tersentak dan sadar bahwa ia terlalu menuruti nafsu hati panas sehingga hampir saja ia menimbulkan keributan tanpa sebab. Panggilan Sian Eng ini menyadarkannya maka cepat ia menengok dan membalikkan tubuh lalu menghampiri encinya.
"Lin-moi, kau sudah tahu, kedatanganku ke sini adalah karena percaya akan penuturan Suma Boan bahwa di sini aku akan dapat bertemu dengan kakak kita Bu Song. Aku percaya akal hal itu, Lin-moi, karena itu aku ikut ke sini."
"Ah, orang macam itu kaupercaya, Enci Eng"
"Hush, bukan tak beralasan aku percaya dia!" jawab Sian Erg dengan muka agak panas. "Tak ingatkah kau akan penuturan sukouw (bibi guru) Kui Lan Nikouw" Ibu tiri kita, isteri pertama Ayah yang bernama Tok-siauw-kui Lui Lu Sian adalah puteri ketua Beng-kauw yang sudah meninggal dunia dan yang kematiannya diperingati ke seribu harinya sekarang ini. Dengan demikian, maka kakak kita Bu Song itu adalah cucu dari ketua Beng-kauw, atau cucu keponakan dari ketua Beng-kauw yang sekarang. Kalau dia menghilang, agaknya di sinilah tempat ia bersembunyi, di tempat ibunya!"
"Wah, betul juga Enci Eng. Sekarang aku ingat akan hal itu! Kalau begitu, biar aku tanya langsung saja kepada Beng-kauwcu...." Tiba-tiba Lin Lin menghentikan kata-katanya sambil menoleh ke kiri. Dilihatnya Suling Emas tidak berada di tempatnya lagi.
"Jangan, Lin-moi. Tidak baik begitu, lebih baik kutanyakan kepada Suma-kongcu, siapa tahu Kakak Bu Song sudah hadir sekarang.... eh, Lin-moi, kau ke mana...."
Kiranya Lin Lin sama sekali tidak mendengarkan ucapan saudaranya karena ia telah lari meninggalkan tempat itu ketika melihat bahwa selain Suling Emas, juga puteri ketua Beng-kauw tidak berada di tempatnya lagi. Entah apa yang menyebabkan Lin Lin pergi, mungkin ia sendiri tidak tahu karena ia hanya merasa bahwa ia harus pergi mencari Suling Emas yang tadi dilihatnya diberi isyarat oleh Liu Hwee puteri ketua Beng-kauw. Juga ia tidak tahu mengapa dadanya terasa makin panas!
Lin Lin keluar dari ruangan itu melalui pintu samping. Kiranya pintu itu menembus ke sebuah taman bunga yang lebar. Sunyi di situ karena semua orang mencurahkan perhatian ke ruangan tamu di mana sedang berlangsung upacara penyambutan tamu dan penerimaan ucapan selamat. Lin Lin berjalan terus, matanya memandang ke sana ke mari, mencari-cari. Tidak ada bayangan Suling Emas maupun Liu Hwee. Namun di ujung taman tampak beberapa buah pondok yang mungil, agaknya menjadi tempat peristirahatan, entah milik raja ataukah milik ketua Beng-kauw. Akan tetapi ada sesuatu yang menarik, mungkin dugaan bahwa Suling Emas berada di situ yang menarik hati Lin Lin, karena gadis ini terus berlari-lari ke arah tiga buah pondok itu.
Setelah dekat, ia jalan berindap-indap, perlahan dan hati-hati. Apalagi ketika ia melihat bayangan dua orang dan mendengar suara bisik-bisik yang dibawa angin lalu, cepat ia menyelinap dan mengintai dari balik pondok. Kiranya Suling Emas berada di belakang pondok ke dua.... dadanya makin panas seperti terbakar ketika, ia melihat Suling Emas berdiri berhadapan dengan Liu Hwee. Begitu dekat, dan keduanya berbisik-bisik! Lin Lin berusaha menangkap percakapan mereka, akan tetapi karena mereka bicara lirih sekali ia hanya dapat menangkap beberapa buah kata-kata saja yang tidak berarti. Akhirnya, ia mendengar ucapan Liu Hwee lapat-lapat.
".... ah, kau terlalu lemah...."
".... cintaku takkan kunodai darah...." terdengar jawaban Suling Emas kemudian mereka berjalan pergi meninggalkan tempat itu.
Dalam tempat persembunyiannya, Lin Lin tidak berani bergerak, tidak berani pula mengejar karena ia merasa malu kalau diketahui telah menjadi pengintai. Ucapan mereka yang ia dengar tadi merupakan teka-teki baginya, menambah rasa tidak enak di hatinya. Agaknya Suling Emas dan gadis jelita itu demikian rukun dan ia takkan salah menduga kalau di antara mereka tentu ada hubungan yang amat erat. Dan dia demikian dinginnya terhadap aku, pikirnya. Mendadak air matanya menitik. Lin Lin kaget, cepat mengusap empat butir air mata dari pipinya. Cintaku takkan kunodai darah, demikian jelas terdengar ucapan keluar dari mulut Suling Emas tadi. Apa artinya ini" Cintanya terhadap siapa" Ah, kiranya pendekar yang diam-diam dipujanya itu telah mencintai seseorang. Siapa gerangan" Puteri ketua Beng-kauw itu"
Setelah dua orang itu tidak kelihatan bayangannya lagi, Lin Lin menarik napas panjang, lalu membalikkan tubuh hendak pergi dari situ. Tiba-tiba ia tersentak kaget, matanya terbelalak lebar, dan hampir ia menjerit. Di depannya telah berdiri seorang.... iblis tengkorak berselubung hitam yang mengerikan! Akan tetapi Lin Lin memiliki dasar watak yang pemberani tak kenal takut. Hanya sebentar saja ia merasa ngeri saking kagetnya, akan tetapi segera ia mengenal manusia bertopeng tengkorak seperti iblis ini. Memang iblis, atau seorang di antara enam iblis. Biarpun baru sekarang ia berhadapan, ia dapat menduga bahwa orang atau mahluk ini tentulah Hek-giam-lo, yang pernah menawan encinya.
"Harap jangan berteriak...." suara serak mendesis itu keluar dari mulut tengkorak yang tidak bergerak.
"Hemmm, apa perlunya berteriak" Aku tidak takut padamu, Hek-giam-lo," kata Lin Lin, malah dagunya yang runcing itu ia angkat, bibirnya tersenyum mengejek.
"Kau kenal padaku...." Dalam suara yang menyeramkan itu terdengar bayangan heran.
"Siapa tidak mengenal Hek-giam-lo kaki tangan Kerajaan Khitan yang buas dan suka berlaku sewenang-wenang" Hemmm, agaknya tidak begitulah keadaan Khitan di waktu ibuku masih hidup, di waktu Raja Besar Kulukan masih berkuasa. Hek-giam-lo, kau secara sewenang-wenang telah mengubur hidup-hidup enci angkatku dan juga gadis-gadis lain. Hemm, kalau kakekku Raja Besar Kulukan masih hidup, apa kau berani berbuat seperti itu jahatnya"
Tercenganglah Hek-giam-lo, biarpun tidak dapat dilihat pada mukanya, namun melihat ia diam tak bergerak, jelas bahwa ia tertegun. "Kau.... kau.... betulkah kau orang yang kucari-cari...." Sudah berkali-kali aku keliru...."
"Hek-giam-lo, kau berhadapan dengan puteri keturunan langsung dari Kakek Kulukan. Ibuku adalah Puteri Mahkota Tayami yang gagah perkasa, dan aku adalah Puteri Yalin!" Tiba-tiba sikap Lin Lin berubah sama sekali, ia kelihatan agung dan angkuh, sikap seorang puteri raja aseli. Entah dari mana datangnya sikap ini, akan tetapi Lin Lin merasa bahwa sudah semestinya ia bersikap seperti ini, sikap seorang junjungan terhadap hamba sahayanya!
Seluruh tubuh Hek-giam-lo yang mengerikan itu tiba-tiba menggigil dan seperti orang yang tiba-tiba menjadi lemas, kedua kakinya ditekuk dan ia sudah berlutut! Akan tetapi suaranya masih membayangkan keraguan ketika ia berkata.
"Be.... betulkah ini...." Tidak tertipu lagikah.... tidak keliru lagikah...."
"Hek-giam-lo! Aku tahu kau orang kepercayaan paman tiriku, Kubukan Raja Khitan sekarang. Beranikah kau, yang hanya seorang hamba, tidak percaya kepada aku, puteri yang sebetulnya menjadi puteri mahkota" Apakah aku harus membuka bajuku memperlihatkan tanda merah pada punggungku kepadamu" Berani kau menghina aku seperti itu" Bukan main sikap Lin Lin ini. Agaknya darah ibunya yang membuat ia seperti itu dan sekiranya Bu Sin dan Sian Eng menyakslkan sikapnya dan mendengar kata-katanya ini, tentu kedua orang saudara angkat itu akan terheran-heran.
"Ampun, Tuan Puteri! Ampunkan hamba, Tuan Puteri Yalin yang mulia! Alangkah bahagia hati hamba telah dapat menemukan Tuan Puteri yang telah belasan tahun dicari-cari. Marilah hamba antarkan Tuan Puteri pulang kepada bangsa kita, menghadap paman Paduka."
Diam-diam Lin Lin terkejut juga. Dia seorang gadis yang cerdik sekali, dan maklumlah ia bahwa seorang aneh dan sakti seperti Hek-giam-lo ini, takn mungkin dapat ia pengaruhi hanya mempergunakan kedudukannya. Ia sudah mendengar cerita encinya tentang tokoh ini dan ia tahu bahwa mau ataupun tidak, ia pasti akan dibawa ke Khitan oleh si tengkorak hidup. Bukannya ia tidak suka, sebaliknya, ada sesuatu yang mendorong hatinya, yang membuat ia ingin sekali mengunjungi bangsa Khitan, seakan-akan ada panggilan darah yang secara gaib memanggil-manggilnya. Akan tetapi tidak sekarang, pula ia merasa berat untuk.... berpisah dari Suling Emas! Menolak permintaan Hek-giam-lo, berarti ia akan dibawa ke utara secara paksa dan hal ini amatlah tidak baik, berarti menghilangkan atau mengurangi sikap yang demikian tunduk dari tokoh ini terhadapnya.
"Tentu saja, Hek-giam-lo. Aku pun ingin sekali mengunjungi Pamanku, dan melihat kampung halaman serta keluarga Ibuku. Akan tetapi apa perlunya tergesa-gesa" Kelak kalau sudah selesai semua urusanku, aku pasti akan pergi ke utara bertemu Paman...."
"Tidak bisa, Tuan Puteri. Paman Paduka sudah amat mengharap-harap dan perintahnya, kapan saja hamba bertemu dengan Paduka, harus hamba ajak Paduka pulang. Karena itu, marilah sekarang juga kita berangkat."
Lin Lin berdebar jantungnya. Tak salah dugaannya, manusia iblis ini tentu akan memaksanya berangkat sekarang juga. Ia harus mencari akal....
"Sekarang" Tapi kita masih berada di sini sebagai tamu.... perayaan Beng-kauw masih belum habis...."
"Ampun, Tuan Puteri. Urusan kita jauh lebih penting daripada urusan negara Nan-cao dan Beng-kauw. Diketemukannya kembali Tuan Puteri merupakan kejadian yang maha penting bagi bangsa kita, hal-hal lain sama sekali tidak ada artinya, apalagi urusan negara lain...., marilah kita berangkat, Tuan Puteri Yalin!" Tubuh yang mengerikan itu bergerak maju. "Ijinkan hamba memondong Paduka agar perjalanan dapat dilakukan cepat, Tuan Puteri."
Lin Lin bergidik. Ia dapat merasa betapa di balik sikap dan kata-kata menghormat ini tersembunyi ancaman dan paksaan yang tak boleh dibantah lagi. Ia menjadi serba salah. Untuk melawan, berarti ia akan menghilangkan keagungan sebagai puteri mahkota, dan ia takkan senang juga kalau melihat tokoh aneh dan sakti ini kehilangan sikapnya yang begitu merendah dan menghormat terhadapnya.
"Hek-giam-lo, aku memang juga amat ingin segera bertemu dengan Paman dan semua keluargaku di Khitan. Akan tetapi, Hek-giam-lo, sebagai seorang Puteri Mahkota Khitan, mana bisa aku mendiamkan saja orang menghinaku tanpa membalas"
Sepasang mata di balik kedok tengkorak itu memancarkan cahaya yang membuat bulu tengkuk Lin Lin meremang. Seakan-akan ia melihat ada sinar api keluar dari situ.
"Tuan Puteri Yalin, siapakah gerangan berani menghina Paduka" Jangan khawatir, hamba Hek-giam-lo yang akan menghukumnya, sekarang juga! Harap Paduka sebutkan, siapa si bedebah itu"
"Ada dua orang yang telah menghinaku, Hek-giam-lo. Pertama adalah tuan rumah di Nan-cao ini. Kau tidak tahu, tadi ketika aku mengagumi permata ya-beng-cu yang berada di ujung tongkat ketua Beng-kauw, Raja Nan-cao menyatakan bahwa kalau aku mau tinggal di sini selamanya, aku akan diberi hadiah permata ya-beng-cu. Nah, kaupikir, apakah ini bukan penghinaan besar" Aku, Puteri Mahkota Khitan, pujaan bangsa Khitan yang terkenal gagah perkasa, disuruh tinggal di sini, selamanya" Bukankah itu berarti bahwa aku akan dijadikan budak atau selir" Hek-giam-lo, kaurampas tongkat Beng-kauw itu untukku. Dengan membawa tongkat itu, baru aku mau pergi ke Khitan dan hal ini selain akan memberi hajaran kepada Beng-kauwcu dan Nan-cao, juga akan membuka mata dunia akan kebesaran Khitan yang tak boleh dipermainkan bangsa lain."
"Tongkat Beng-kauwcu...." Terang bahwa Hek-giam-lo, biarpun dia seorang tokoh besar malah seorang di antara enam iblis, kaget juga mendengar perintah ini.
"Kenapa" Apakah kau takut" Ihhh, jagoan Khitan takut terhadap ketua Bengkauw"
"Hamba tidak takut terhadap siapapun juga. Akan tetapi tongkat itu adalah lambang kekuasaan ketua Beng-kauw, juga sekaligus merupakan barang keramat dari Kerajaan Nan-cao. Kalau kita ambil, bukankah hal itu akan menimbulkan sengketa antara Khitan dan Nan-cao"
"Khitan tidak bermaksud bermusuhan dengan negeri lain, akan tetapi juga tidak sudi menelan penghinaan begitu saja! Tongkat itu hanya kita pinjam dan kita bawa ke Khitan. Kalau Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao sudah menginsyafi kesalahan mereka yang menghinaku, baru kita kembalikan dan kita juga menyatakan maaf. Dengan demikian, baru kejayaan negara dapat dipertahankan. Kalau tidak, bagaimana kelak rendahnya nama Khitan kalau terdengar bahwa Raja Nan-cao pernah membujuk Puteri Mahkota Khitan menjadi bujang atau selir"
Kena juga akhirnya tokoh iblis ini "dibakar" oleh Lin Lin yang memang semenjak kecil pandai sekali bicara. Tampak si kedok tengkorak itu mengangguk-angguk, kemudian berkata singkat. "Tuan Puteri betul, hamba menurut, tongkat akan hamba curi."
"Bagus! Sekarang musuhku yang ke dua, Hek-giam-lo. Kau tahu, aku sedang mencari seorang musuh besarku, yaitu pembunuh ayah bunda angkatku di kaki Gunung Cin-ling-san tahun yang lalu. Menurut persangkaanku, pembunuhnya tentulah Suling Emas, biarpun ia menyangkal. Kautangkap dia, jadikan tawanan dan kita bawa bersama ke Khitan."
Suara ah-uh-ah-uh yang keluar dari mulut di balik tengkorak itu menyetop kata-kata Lin Lin lebih lanjut.
"Kenapa, Hek-giam-lo" Kau takut kepada Suling Emas ini" Aku sih tidak takut!"
"Hamba juga tidak takut, akan tetapi.... urusan ini.... tidaklah begitu mudah, malah agaknya lebih sukar daripada mengambil tongkat Beng-kauwcu. Siapakah ayah pungut Paduka yang terbunuh itu"
"Ayah angkatku adalah Jenderal Kam Si Ek di...."
Tiba-tiba tubuh berselubung hitam itu bergoyang-goyang, entah bagaimana tarikan muka di belakang kedok itu, akan tetapi yang terang kata-katanya terdengar amat ketus, "Kam Si Ek" Musuh besar kita itu! Tuan Puteri Yalin, Kam Si Ek itulah pembunuh banyak bangsa kita. Dialah musuh besar orang Khitan!"
Sejenak Lin Lin bingung, akan tetapi gadis yang cerdik ini teringat akan cerita yang pernah ia dengar, baik dari bibi gurunya maupun dari kakek Kim-lun Seng-jin, betapa mendiang ayah angkatnya itu dahulu memimpin pasukan menggempur bangsa Khitan dan bahwa dia sendiri mungkin sekali dipungut anak dalam peperangan itu di mana ibunya gugur. Hanya sejenak ia bingung, kemudian berkata.
"Sudahlah kalau begitu, sekarang kau pergilah curi tongkat pusaka itu, aku akan menanti di sini." Tentu saja tiada niat di hati Lin Lin untuk menanti di tempat itu. Ia hanya ingin supaya mahluk yang mengerikan ini pergi meninggalkannya.
"Paduka akan berangkat sekarang juga...."
Ucapan Si Tengkorak Hitam itu benar-benar membuat wajah Lin Lin menjadi pucat.
"Apa kau bilang" Lebih dulu ambil tongkat...." Akan tetapi Hek-giam-lo tidak mempedulikannya. Tengkorak Hitam ini berdongak ke atas dan tiba-tiba terdengar suara yang amat tinggi, hampir tidak kedengaran, terdengar terus-menerus dan sambung-menyambung.
"Mau apa kau" Hek-giam-lo, apa yang kau lakukan ini...." berkali-kali Lin Lin bertanya. Akan tetapi Hek-giam-lo hanya mengangkat tangan kiri ke atas dan suara yang keluar dari balik kedoknya tak pernah berhenti. Lin Lin tiba-tiba merasa betapa jantungnya seperti berdetik, tubuhnya panas dingin dan kepalanya pening. Ia sudah bergoyang-goyang dan hampir terhuyung karena kedua kakinya juga menjadi lemas, telinganya seperti penuh dengan suara mendesis tinggi. Terkejutlah Lin Lin dan ia dapat menduga bahwa iblis di depannya ini tentulah mengeluarkan suara yang mengandung penuh tenaga khi-kang tinggi semacam ilmu ho-kang (auman) yang hanya dapat dilakukan oleh orang sakti yang amat tinggi ilmunya. Cepat Lin Lin meramkan kedua matanya dan menahan napas, memusatkan panca indera, mengerahkan sin-kang untuk diputar-putar di seluruh tubuh melindungi dirinya daripada serangan tak langsung tapi cukup hebat itu. Benar saja, segera semua rasa tidak enak tadi lenyap, tapi ia kini dapat mendengar suara mendesis tinggi yang bergema di seluruh penjuru, seakan-akan dunia ini penuh oleh suara itu. Dan lapat-lapat terdengar desis yang agak rendahan dari sebelah barat, seakan-akan ada yang menjawab suara Hek-giam-lo itu.
Lewat sepuluh menit kemudian, suara mendesis-desis itu berhenti. Lin Lin membuka kedua matanya dan.... bukan Hek-giam-lo yang kini berada di depannya, melainkan seorang kakek yang buntung kedua kakinya! Kakek ini usianya tentu lebih enam puluh tahun, wajahnya biasa saja, alisnya tebal kasar dan mulutnya selalu tersenyum mengejek. Kakek ini berdiri di atas kedua tongkatnya yang berfungsi sebagai pengganti kaki tongkat dari logam putih yang terkempit di kedua ketiaknya.
"Kau.... kau siapa" Lin Lin bertanya gugup dan memandang ke sana ke mari mencari Hek-giam-lo yang tiba-tiba lenyap. Apakah Hek-giam-lo membuang kedok dan selubung hitamnya dan menjadi kakek ini" "Mana Hek-giam-lo"
Kakek itu membungkukkan tubuhnya. "Tuan Puteri Yalin, hambamu ini adalah Pak-sin-tung (Tongkat Sakti Utara) yang bertugas mengantar Paduka kembali ke Khitan. Adapun Suheng (Kakak Seperguruan) Hek-giam-lo pergi untuk melaksanakan perintah Paduka. Marilah, Tuan Puteri, tak baik berlama-lama di sini, Suheng memesan agar supaya hamba mengajak Paduka sekarang juga."
Sejenak Lin Lin tertegun. Ah, kiranya suara mendesis-desis tadi adalah suara Hek-giam-lo memanggil sutenya ini untuk mewakilinya mengantar dia ke utara. Celaka, tak disangkanya Hek-giam-lo demikian cerdiknya dan mempunyai pembantu. Dengan sinar mata tajam penuh selidik Lin Lin menatap kakek di depannya itu. Seorang kakek yang kedua kakinya buntung, agaknya di ales lutut. Mengerikan dan juga menimbulkan kasihan. Kakek begini disuruh mengantarnya ke Khitan" Hemmm, apa susahnya memisahkan diri, meninggalkan kakek ini" Tentu sebagai sute dari Hek-giam-lo, Pak-sin-tung ini memiliki ilmu kepandaian pula, dan menilik julukannya, tentu ahli main tongkat. Namun, betapa seorang yang tidak mempunyai kaki dapat bersilat dengan baik" Agaknya terhadap orang ini tidak perlu dikhawatirkan.
"Baiklah, Pak-sin-tung. Mari kita berangkat." kata Lin Lin, di dalam hatinya mengambil keputusan kalau mereka sudah tiba di luar kota yang sunyi di mana tidak ada Hek-giam-lo yang akan merintanginya, ia akan melarikan diri dari pengawasan si buntung ini. Akan tetapi, melihat senyum mengejek pada wajah kakek ini, Lin Lin merasa tidak enak hati sekali.
"Mari, Tuan Puteri, hamba iringkan. Kita keluar dari pintu utara saja."
Berangkatlah kedua orang ini. Pintu gerbang kota raja sebelah utara ini memang sunyi, juga merupakan daerah pegunungan. Girang hati Lin Lin. Agaknya kakek ini menghendaki perjalanan yang paling pendek, akan tetapi sungguh kebetulan bagi Lin Lin yang menghendaki tempat sunyi di mana ia dapat melarikan diri tanpa ada yang menghalanginya. Akan tetapi, melihat betapa sepasang tongkat itu mewakili fungsi kaki demikian baiknya, malah lebih baik agaknya, begitu cepat dan ringan serta gesit, diam-diam Lin Lin merasa gelisah juga. Memang kakek itu "berjalan" agak terpincang-pincang dan terbongkok-bongkok, akan tetapi harus ia akui amat cepat. Setelah tiba di jalan sunyi Lin Lin sengaja mengerahkan kepandaiannya berlari cepat. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa kakek buntung itu dengan enak saja dapat bergerak cepat di belakangnya, sedikit pun tidak ketinggalan!
Ketika ia menoleh, kakek itu tersenyum lebar dan berkata, "Untung sekali Paduka dapat berlari secepat ini, kalau tidak, terpaksa hambamu ini akan menggendong Paduka agar perjalanan dilakukan lebih cepat."
Lin Lin tidak menjawab. Mereka melalui pintu gerbang yang dijaga oleh beberapa orang tentara Nan-cao. Karena hari itu adalah hari besar dan para penjaga maklum akan banyaknya tamu-tamu aneh dari luar kota, mereka tidak mengganggu Pak-sin-tung dan Lin Lin, akan tetapi tak dapat dicegah lagi pandang mata mereka melotot penuh kekaguman memandang Lin Lin yang cantik jelita. Agar tidak memancing keonaran, Lin Lin pura-pura tidak melihat pandang mata kurang ajar itu, malah ia melangkah makin cepat keluar dari Kota Raja Kerajaan Nan-cao.
Sebentar saja mereka sudah tiba di luar tembok kota dan Lin Lin segera mempergunakan ilmunya Khong-in-ban-kin untuk berlari cepat dengan maksud meninggalkan Pak-sin-tung.
"Heiiiii! Wah, ilmu lari cepat Paduka ini hebat sekali....!" seru si buntung kaki itu, akan tetapi alangkah kaget hati Lin Lin ketika melihat betapa kakek buntung itu tetap saja dapat mengikutinya.
"Pak-sin-tung, aku tidak mau berangkat sekarang!" Tiba-tiba Lin Lin berhenti berlari. Mereka sudah jauh dari tembok kota, akan tetapi tembok itu masih tampak dari situ.
"Apa maksud Paduka"
"Kau pergilah sendiri, aku tidak mau pergi ke Khitan sekarang. Aku masih banyak urusan yang harus kuselesaikan sendiri. Kelak saja aku pasti akan datang ke Khitan berkunjung kepada Paman Baginda."
Akan tetapi senyum mengejek itu tak pernah meninggalkan muka Pak-sin-tung, malah ia berkata dengan suara tenang. "Ampun Tuan Puteri. Hamba sudah menerima tugas, harus membawa Paduka ke Khitan, apa pun yang akan terjadi."
"Kalau aku tidak mau" bentak Lin Lin.
"Terpaksa akan hamba dukung sampai ke Khitan."
"Srattt!" Lin Lin sudah mencabut pedangnya yang tadi ia terima kembali dari tangan Suling Emas di tempat pesta. Pedangnya itu dahulu lenyap ketika ia bertanding melawan Toat-beng Koai-jin, akan tetapi ketika ia bertemu dengan Suling Emas, kiranya pedang itu dibawa oleh pendekar itu dan dikembalikan kepadanya.
"Pak-sin-tung, kau boleh coba kalau bisa!" Kini Lin Lin menantang.
"Pedang pusaka Besi Kuning....!" Pak-sin-tung meratap, wajahnya pucat dan kedua tongkatnya melangkah-langkah mundur. "Tidak.... hamba tidak berani.... tidak berani...."
Besar hati Lin Lin dan sekarang tahulah ia bahwa Kakek Kim-lun Seng-jin tidak bohong ketika berkata bahwa Pedang Besi Kuning itu dahulunya adalah pusaka Khitan. Agaknya kakek buntung ini mengenal pusaka itu dan karenanya menjadi ketakutan. Akan tetapi ia harus memperlihatkan kelihaiannya di samping pengaruh pedang pusaka itu, maka ia membentak.
"Kau masih berani membantah perintah junjunganmu" Rasakan ini!" Dengan gerakan cepat Lin Lin menerjang dengan pedangnya.
"Ti.... tidak, hamba tidak berani...." Kakek buntung itu meloncat ke atas, tongkatnya bergerak-gerak dan ke manapun juga pedang itu menerjang, selalu dapat dihalau tongkat. Hebat sekali kakek ini, biarpun kedua kakinya buntung, namun kelincahan gerakannya tidak kalah oleh orang yang berkaki utuh. Pertemuan senjata pedang dengan tongkat itu saja sudah membuktikan kepada Lin Lin bahwa kakek buntung ini benar-benar tak boleh dipandang rendah, karena setiap kali bertemu senjata, tangannya menjadi tergetar hebat, padahal ia sudah mengerahkan Khong-in-ban-kin!
"Ampun, Tuan Puteri, hamba percaya sekarang, harap jangan marah...."
Lin Lin seorang cerdik. Ia maklum bahwa kalau dilanjutkan mendesak kakek ini, dalam pertempuran sungguh-sungguh, belum tentu ia akan mampu menang, apalagi kalau datang jago-jago lain dari Khitan, siapa tahu" Orang-orang sakti yang begini lihai, sebaiknya ditarik menjadi kawan daripada didesak menjadi lawan. Ia membutuhkan bantuan mereka, terutama bantuan Hek-giam-lo, untuk.... menawan Suling Emas! Hasrat hati ini timbul ketika ia mulai merasa cemburu terhadap Liu Hwee dan sekaligus timbul bencinya terhadap Beng-kauw. Terhadap Suling Emas ia juga benci, bukan benci kepada orangnya, melainkan benci kalau mengingat betapa pendekar itu mencinta orang lain. Ia ingin memberi "hajaran" kepada Suling Emas, ingin menawannya, membawanya ke Khitan. Di samping ini, juga dengan bantuan jagoan-jagoan Khitan ini ia ingin menemukan dan menghukum pembunuh ayah bunda angkatnya, ingin pula menemukan kakak angkatnya, Kam Bu Song.
"Pak-sin-tung, kalau kau menurut perintahku dan tidak melawang aku pun mana suka bertentangan dengan orang sendiri" Percayalah, aku ingin sekali pergi menghadap Paman Baginda di Khitan. Akan tetapi, aku baru mau pergi setelah semua urusanku di sini selesai. Dan aku mengharapkan bantuanmu, bantuan Hek-giam-lo dan saudara-saudara lain lagi untuk menyelesaikan urusanku itu. Bagaimana" Apakah selain kau dan Hek-giam-lo, masih ada teman-teman lain yang dapat membantuku di sini"
Kini kakek buntung itu duduk di atas tanah, kedua tongkatnya dilonjorkan kanan kiri tubuhnya, matanya memandang takjub kepada Pedang Besi Kuning di tangan Lin Lin. "Ajaib...." katanya perlahan. ".... pedang pusaka Besi Kuning sudah berada di tangan Paduka pula.... ajaib.... agaknya inilah isyarat dan tanda dari langit...."
"Apa maksudmu" Pak-sin-tung, kau tidak menjawab pertanyaanku, bicara tidak karuan!"
"Maaf, Tuan Puteri. Hamba bersumpah akan membantu Paduka dengan setia, akan mentaati semua perintah Paduka. Sri Baginda telah mengutus Pek-bin-ciangkun (Perwira Muka Putih), mewakili Khitan memberi selamat kepada Nan-cao dan Beng-kauw sambil menyerahkan barang sumbangan. Hambamu ini dan Suheng Hek-giam-lo mengawal secara sembunyi. Juga seregu pasukan pendam terdiri dari dua losin orang perajurit pilihan mengawal secara berpencar dan sembunyi, semua siap mentaati perintah Paduka."
"Bagus! Panggil mereka berkumpul di sini, aku hendak memberi penjelasan tentang rencanaku, supaya jangan gagal."
Pak-sin-tung mengangguk-angguk, lalu mulutnya diruncingkan dan terdengarlah desis yang makin lama makin tajam sehingga kembali Lin Lin, seperti halnya ketika Hek-giam-lo tadi memanggil Pak-sin-tung, merasa dadanya sesak. Cepat gadis ini meramkan mata dan mengerahkan sin-kang untuk melawan getaran hebat itu. Ada seperempat jam suara itu mendesis-desis dan tiba-tiba terhenti. Lin Lin mendengar gerakan banyak orang dan ketika ia membuka matanya, kiranya di situ sudah berkumpul dua puluh empat orang laki-laki yang beraneka ragam pakaiannya. Ada yang berpakaian seperti pedagang, pengemis, pelajar, dan lain-lain, akan tetapi kesemuanya bersikap gagah perkasa dan kini mereka sudah berlutut dengan hormat di depannya dengan barisan berjajar di belakang Pak-sin-tung!
"Hamba sekali sudah berkumpul dan siap menanti perintah Tuan Puteri Yalin!" kata Pak-sin-tung. Tak dapat dicegah oleh Lin Lin rasa bangga dan mekar di dalam dadanya. Inilah hebat, pikirnya dan yang luar biasa adalah kenyataan bahwa tidak merasa hal ini aneh, malah seperti sudah sewajarnya dan sudah seharusnya demikian!
"Kalian semua dengarlah baik-baik," katanya sambil memasukkan Pedang Besi Kuning ke dalam sarungnya. "Untuk menjunjung nama besar Khitan dan memberi peringatan kepada Nan-cao negara kecil ini agar lain kali tidak berani memandang rendah kepada kita, aku telah memerintahkan Hek-giam-lo untuk mencuri atau merampas tongkat ya-beng-cu dari tangan Beng-kauwcu. Sekarang aku minta kalian membantuku untuk dua urusan lain, pertama, menangkap dan menawan Suling Emas hidup-hidup, kita bawa dia ke Khitan." Lin Lin tidak pedulikan betapa orang-orang itu saling pandang dengan muka kaget, malah ia melanjutkan kata-katanya, "Ke dua, kalian bantu aku menangkap Suma Boan putera pangeran dari Kerajaan Sung itu untuk dipaksa mengaku siapa sebetulnya orang yang bernama Kam Bu Song, dan di mana sekarang ia berada. Setelah ia menunjukkan di mana adanya Kam Bu Song, kalian boleh siksa ia sekedarnya tapi tak usah dibunuh, lalu dilepaskan dia kembali. Mengerti"
"Hamba mengerti, Tuan Puteri," jawab Pak-sin-tung mewakili anak buahnya. "Biarlah hamba yang menemani Paduka, adapun saudara-saudara ini siap secara bersembunyi, tentu sewaktu-waktu dapat datang jika hamba panggil."
"Baiklah, Pak-sin-tung. Dan mari kita kembali ke kota raja." Dua puluh empat orang itu tetap berlutut ketika Lin Lin dan Pak-sin-tung berangkat, kembali ke pintu gerbang dari mana tadi mereka keluar.
Kita tinggalkan dulu Lin Lin yang kini berubah menjadi seorang Puteri Khitan yang berpengaruh itu, untuk menengok keadaan Kam Bu Sin yang sudah terlalu lama kita tinggalkan. Kenapa Siang-mou Sin-ni muncul di Nan-cao seorang diri saja" Bukankah tadinya Bu Sin berada di dalam cengkeramannya dan pemuda itu menjadi seperti boneka hidup dan barang permainan Siang-mou Sin-ni setelah diminumi racun perampas semangat"
Memang demikianlah, Siang-mou Sin-ni yang merasa sayang akan ketampanan dan kegagahan Bu Sin, tidak membunuh pemuda ini seperti yang biasa ia lakukan, melainkan mengambil pemuda itu sebagai teman dan kekasihnya. Tadinya ia bermaksud membawa Bu Sin ikut dengannya ke Nan-cao dan di sana akan ia pergunakan sebagai bukti daripada kelihaiannya bahwa ia telah dapat menundukkan putera dari Jenderal Kam yang terkenal. Akan tetapi pada suatu hari ketika ia bersama Bu Sin berjalan melalui sebuah hutan di lereng Gunung Burung Dara, tiba-tiba ia mendengar suara alat musik khim. Ia kaget dan heran sekali, apalagi ketika mendadak Bu Sin roboh pingsan dan ia sendiri merasa dadanya tergetar hebat. Cepat Siang-mou Sin-ni mengeluarkan sebuah alat musik khim yang dulu ia rampas dari tangan Bu Kek Siansu, cepat ia duduk bersila dan mainkan alat musik yang diletakkan di depannya. Terdengar bunyi nyaring suara kawat-kawat khim itu dan terjadilah "perang" antara suara khim pertama dan suara khim yang dimainkan Siang-mou Sin-ni.
Iblis wanita rambut panjang ini ternyata dahulu tidak sia-sia belaka merampas khim dari Bu Kek Siansu. Karena ia seorang berilmu tinggi dan memiliki kecerdasan luar biasa, ia telah mempelajari alat musik ini dan menggabungkan kesaktiannya ke dalam permainannya sehingga alat yang sebetulnya merupakan alat kesenian untuk menghibur hati duka lara ini dapat ia pergunakan sebagai senjata yang ampuh sekali. Banyak sudah lawan-lawan lihai roboh oleh bunyi khimnya yang dapat dimainkan sedemikian rupa sehingga merupakan "jurus-jurus" yang dapat merusak semangat, membikin putus urat syaraf mengaduk berantakan isi perut dan menghancurkan isi dada lawan! Betullah kata-kata para budiman bahwasanya apa pun alat kebaikan atau pun kejahatan, tergantung daripada si pemakai.
Akan tetapi alangkah kaget hati Siang-mou Sin-ni ketika semua jurus suara khimnya yang menerjang dan menyerang ganas itu, mental kembali oleh suara khim yang halus lembut penuh damai dan yang suaranya mendatangkan ketenangan itu. Ia mengerahkan semangat dan sin-kang, menyentil kawat-kawat khimnya lebih tekun dan lebih keras. Akan tetapi tiba-tiba "cringgg!" sebatang kawat khimnya putus!
"Keparat....!" Siang-mou Sin-ni melompat dan bagaikan kilat menyambar tubuhnya melesat ke arah suara khim, rambutnya berkibar tertiup angin, siap untuk mencekik dan mencambuk lawan. Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti, tertegun berdiri dan mukanya berubah pucat. Kiranya yang duduk bersila di bawah pohon besar yang mainkan khim dengan tenang sambil menundukkan kepala, adalah Bu Kek Siansu! Bagaimanakah kakek yang dulu sudah terjerumus ke jurang itu dapat berada di sini" Siang-mou Sin-ni adalah seorang tokoh sakti, seorang yang dijuluki iblis wanita, akan tetapi sekarang ia menjadi pucat ketakutan.
"Kau.... kau.... setan....!" teriaknya, membalikkan tubuh dan.... lari meninggalkan kakek itu, kembali menuju ke tempatnya tadi. Tangan kirinya menyambar alat khimnya yang putus sehelai kawatnya, tangan kanan menyambar tubuh Bu Sin yang masih menggeletak pingsan. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara khim yang melengking tinggi dan.... Siang-mou Sin-ni terjungkal seperti didorong tenaga mujijat dari samping. Ia berteriak marah, menyimpan khim-nya, kemudian menubruk maju lagi untuk memondong tubuh Bu Sin. Untuk kedua kalinya terdengar suara khim melengking dan kembali ia roboh terjengkang.
"Kurang ajar....!" Siang-mou Sin-ni berteriak lagi dengan marah, kini ia meloncat bangun, rambutnya bergerak menyambar ke arah tubuh Bu Sin yang sudah bergerak-gerak siuman dari pingsannya. Kembali terdengar suara khim dan kini amat nyaring. Rambut panjang yang sudah menyambar ke depan untuk merenggut tubuh Bu Sin itu tiba-tiba seperti tertiup angin keras, berkibar dan membalik menyerang muka Siang-mou Sin-ni sendiri. Wanita ini menjerit kaget, cepat meloncat ke belakang berjungkir balik beberapa kali, kemudian sambil mengeluarkan suara melengking setengah tertawa setengah menangis seperti kuntilanak kesiangan, ia lari meninggalkan tempat itu!
Suara khim berhenti dan tubuh kakek tua renta Bu Kek Siansu nampak mendatangi, kedua kakinya melangkah perlahan menghampiri Bu Sin. Sebuah alat musik khim yang amat sederhana dan tua tersembul keluar dari balik punggungnya yang agak bongkok. Kemudian ia berdiri di dekat Bu Sin, memandang pemuda itu yang bergerak perlahan dan mulai bangkit. "Kasihan...." bibir itu berbisik, "anak baik, putera seorang patriot ternama, begini nasibnya...."
Bu Sin menengok, sepasang matanya yang sayu memandang, tidak mengenal kakek itu. "Mana.... mana dia...." bibirnya yang agak pucat bertanya, suaranya agak gemetar, mengandung takut dan mesra.
Bu Kek Siansu menggeleng-geleng kepala. Sekali pandang saja kakek sakti ini maklum sudah apa yang telah menimpa diri pemuda ini. Tangannya bergerak menyentuh tengkuk Bu Sin, menekan sebentar lalu berbisik lagi. "Belum terlambat.... anak baik, kauikutilah aku...."
Seperti linglung Bu Sin bangkit berdiri. Biarpun ia telah menjadi korban racun perampas semangat, namun sikap hormatnya terhadap seorang tua yang patut dihormat tetap ada padanya. Ia segera mengangkat tangan dan membungkuk sambil bertanya, "Bolehkah saya bertanya siapakah Locianpwe yang mulia" Dan saya berada di mana, apa yang telah terjadi" Ia mengerutkan keningnya, mengingat-ingat namun ia masih lupa segala. Sentuhan pada tengkuknya oleh Bu Kek Siansu tadi sudah banyak menolong, namun belum mampu menyembuhkannya sama sekali.
"Kau menjadi korban Siang-mou Sin-ni. Telanlah ini, kau akan dapat mengingat kembali." Kakek itu mengeluarkan sebutir obat bulat sebesar kacang tanah berwarna kuning.
Bu Sin menerimanya dan menelannya, terasa amat pahit, akan tetapi ia tetap menelannya. Tiba-tiba kepalanya menjadi pening, perutnya terasa panas seperti terbakar dan pemuda ini terhuyung-huyung lalu jatuh terduduk. Kepalanya terasa berputaran sehingga ia menggunakan kedua tangan memegangi kepalanya, bibirnya mengeluh. Entah berapa lamanya ia berhal seperti ini ia sendiri tidak tahu. Tiba-tiba ia melompat bangun dan berseru.
"Iblis betina, boleh kaubunuh aku, jangan harap aku sudi tunduk kepadamu!"
Akan tetapi terpaksa Bu Sin harus meramkan matanya karena kembali ia merasa pusing. Ketika ia membuka kedua matanya, ia melihat seorang kakek tua renta di depannya yang memandang dengan senyum penuh kesabaran. Teringatlah ia sekarang. Kakek ini telah memberi obat kepadanya, dan dia.... dia tadinya menjadi tawanan Siang-mou Sin-ni, disiksa hampir mati. Serta-merta ia menjatuhkan diri berlutut, dapat menduga bahwa tentu kakek ini yang telah menolongnya dari tangan Siang-mou Sin-ni, sungguhpun ia tidak tahu bagaimana caranya.
"Locianpwe tentu telah membebaskan teecu dari tangan Siang-mou Sin-ni. Teecu menghaturkan terima kasih...." Ia berhenti dan mengerang. Tubuhnya serasa lemas dan dadanya agak sakit.
"Anak baik, mari kau ikut denganku agar kesehatanmu pulih kembali." Kakek itu mengulurkan tangan dan di lain saat tubuh Bu Sin sudah ia bawa pergi dari situ. Bu Sin hanya merasa betapa tubuhnya seperti melayang cepat sekali, kedua telinganya mendengar suara angin dan matanya pedas, tak dapat dibuka, hidungnya sukar bernapas karena angin sehingga ia meramkan mata dan membalikkan muka agar dapat membelakangi angin.
"Kita sudah sampai!" Suara halus kakek itu menyadarkannya. Bu Sin merasa seperti baru bangun tidur dari mimpi. Ia membuka matanya dan kiranya ia sudah berdiri di depan air terjun yang amat bening dan air yang terjun itu seperti perak, putih berkilauan tertimpa sinar matahari. Kembali ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu yang kini ia tahu tentulah seorang tua yang memiliki kesaktian luar biasa.
"Locianpwe, teecu mengerti bahwa Locianpwe menolong teecu. Teecu sendiri tidak mengerti mengapa tubuh teecu terasa sakit-sakit dan lemas, dan mengapa pula Locianpwe membawa teecu ke tempat ini" Mohon petunjuk...."
"Orang muda, kau telah menjadi korban keganasan Siang-mou Sin-ni, kau diberi minum racun perampas semangat dan selama beberapa pekan kau menjadi barang permainannya. Baiknya di dalam sanubarimu sebelum kau minum racun kau telah mempunyai perasaan tidak suka dan membencinya, dan hatimu tidak dikotori nafsu, maka masih dapat tertolong. Hanya sin-kang di dalam tubuh yang menjadi lemah. Orang muda, sekarang katakan, apakah cita-cita yang terkandung dalam hatimu"
Bu Sin diam-diam terkejut sekali mendengar bahwa dia telah menjadi korban Siang-mou Sin-ni. Ia dapat menduga apa artinya "menjadi permainannya" dan ia merasa malu, juga gemas terhadap iblis wanita itu. "Locianpwe, mohon Locianpwe sudi menolong teecu. Teecu telah terpisah dari dua orang adik teecu yang masih belum teecu ketahui bagaimana nasibnya. Teecu masih belum dapat menemukan musuh besar yang telah membunuh ayah bunda teecu. Teecu juga masih belum berhasil mencari kakak teecu untuk memenuhi pesan Ayah. Sekarang ditambah lagi dengan perbuatan Siang-mou Sin-ni si iblis betina yang harus teecu balas! Akan tetapi teecu yang begini lemah dan bodoh, bagaimana akan dapat memenuhi tugas itu semua" Mohon Locianpwe sudi menolong."
Kakek itu menarik napas panjang. "Aku akan lebih suka kalau kau melepaskan semua itu dan ikut dengan aku ke puncak untuk menjadi seorang pertapa.
"Akan tetapi, hal demikian tak dapat dipaksa, harus keluar dari dalam sanubari sendiri. Orang muda, aku bersedia membantumu, akan tetapi berhasil atau tidaknya seluruhnya tergantung kepadamu sendiri. Kalau hatimu cukup kuat, kalau kemauanmu cukup keras, kalau kau tahan menderita dan tidak takut menghadapi maut dalam mengejar cita-cita, agaknya Tuhan pasti akan mengabulkannya. Nah, kau duduklah di atas batu itu, biarkan air terjun itu menimpa di atas kepalamu, duduk bersila dan curahkan perhatianmu kepada apa yang akan kuajarkan kepadamu. Mulailah!"
Bu Sin sudah membulatkan tekadnya. Ia maklum bahwa kakek ini bukan manusia biasa dan hanya dengan pertolongan kakek ini ia dapat mengharapkan semua cita-citanya tercapai. Hanya ada dua jalan terbuka baginya. Berhasil atau mati. Bukankah ia baru saja terbebas daripada kematian yang amat hebat di tangan Siang-mou Sin-ni" Apa artinya lagi kematian baginya" Tanpa ragu-ragu ia lalu melompat ke atas batu besar yang tengahnya menjadi berlobang karena terus menerus ditimpa air terjun. Lalu ia duduk bersila, menyatukan panca indera dan membuka telinganya untuk mendengarkan.
Akan tetapi, air yang menimpa kepalanya mendatangkan suara bergemuruh yang memekakkan kedua telinganya di samping mendatangkan rasa dingin yang menyusup ke tulang sumsum. Mula-mula memang terasa segar dan enak, akan tetapi lambat-laun rasa dingin hampir tak tertahankan lagi, kepalanya terasa sakit seperti ditimpa batu godam ratusan kati beratnya. Bu Sin meramkan matanya, wajahnya pucat sekali dan hampir ia tidak kuat menahan, tubuhnya sudah bergoncang.
Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ia mendengar suara kakek tadi, dekat sekali suara itu, berbisik-bisik di dekat telinganya, "Orang muda, kerahkan sisa tenaga dari pusar, biarkan berkumpul dan desak ke atas melalui dada, terus salurkan ke jalan darah tiong-cu-hiat."
Otomatis Bu Sin melakukan perintah ini, akan tetapi karena ia merasa amat lemah, sukar baginya untuk menyalurkan tenaga dalam ke arah jalan tiong-cu-hiat di belakang leher. Mendadak belakang lehernya itu seperti disentuh sesuatu dan aneh, dengan mudah kini tenaga dalamnya menjalar ke tiong-cu-hiat! Girang hatinya karena kakek sakti itu membantunya.
"Lindungi tiong-cu-hiat dengan sisa sin-kang itu agar kuat menahan serangan air. Kini mulailah mengatur pernapasan menurut aturan Im Yang, sedot masuk berikut hawa pukulan air, kumpul di dada, tekan ke pusar sambil keluarkan napas." Dengan kata-kata yang halus berbisik-bisik dan seperti diucapkan dekat kedua telinga Bu Sin, kakek itu mulai menurunkan ilmunya kepada Bu Sin yang mendengarkan dengan amat tekun.
Seluruh perhatiannya tercurah kepada semua kata-kata ini sehingga ia lupa akan segala hal lainnya, bahkan ia tidak tahu lagi di mana ia berada, apa yang terjadi dengannya, dan dia tidak lagi merasai pukulan air yang menimpa di atas kepalanya.
Begitu tekun Bu Sin mendengarkan wejangan kakek tua renta itu yang dengan sabar sekali mengulangi ajaran-ajarannya. Pemuda ini sampai tidak tahu lagi keadaan sekelilingnya, tidak tahu bahwa siang telah berganti malam dan malam berganti siang lagi. Tidak tahu bahwa kakek itu sudah tidak membisikkan pelajaran-pelajaran lagi, akan tetapi bahwa yang didengarnya sekarang hanyalah gema suara kakek itu yang seakan-akan masih terus berbisik-bisik di dekat telinganya mengulang pelajaran gaib tentang siulan dan membentuk sin-kang di tubuh, pelajaran yang sudah dihafalnya benar-benar.
Setelah suara itu makin menghilang, barulah perlahan-lahan ia sadar bahwa kakek itu tidak berbisik lagi dan mulailah ia sadar akan keadaan di sekelilingnya, akan keadaan dirinya. Akan tetapi, begitu panca inderanya buyar, hampir ia terjungkal karena kepalanya serasa pecah dan air yang menimpa kepalanya serasa bukan air lagi melainkan ratusan ribu batang jarum-jarum yang runcing! Cepat ia mengerahkan hawa dalam tubuh seperti tadi sebelum buyar dan lenyaplah rasa sakit di kepalanya. Akan tetapi kini rasa dingin yang amat hebat menyusup ke dalam tubuhnya. Ia menggigil kedinginan, giginya sampai berbunyi, perutnya serasa kaku dan mengkal. Cepat ia mengingat isi pelajarannya itu, ia berhasil mengatasi serangan hawa dingin. Akan tetapi karena belum pandai benar ia menjalankan ilmu itu, hawa dingin segera terganti hawa panas yang amat luar biasa. Dadanya serasa sesak, sukar bernapas, perutnya seperti dibakar api neraka, telinganya terngiang-ngiang dan kepalanya serasa hampir meledak. Kembali dengan mengingat pelajaran tadi, ia berhasil menundukkan rasa panas ini.
Bu Sin dengan kebulatan tekad yang luar biasa, terus melatih diri dengan ilmu yang ia terima dari kakek sakti. Entah berapa kali cuaca di balik pelupuk matanya menjadi gelap pekat dan terang kembali, ia tidak ingat lagi, juga tidak memperhatikan. Makin lama ia merasa tubuhnya makin nyaman dan ringan, ingatannya menjadi terang, dadanya lapang dan ia merasa bahwa tenaga di dalam tubuhnya pulih kembali, malah kini lebih kuat daripada biasa. Hanya kelemahan karena terlalu lama tidak mengisi perutnya yang terasa olehnya, kelemahan yang wajar. Karena khawatir kalau-kalau kelemahan ini akan membuatnya tidak kuat menahan, beberapa kali Bu Sin membuka mulutnya dan menerima percikan air memasuki mulutnya untuk diminum. Akan tetapi kebutuhan jasmaninya tidak dapat hanya ditutup oleh air tawar itu. Akhirnya ia membuka mata. Dari balik air yang muncrat setelah menyiram kepalanya, ia memandang. Tidak tampak bayangan kakek tua. Hati-hati ia membuka lipatan tangan dan kakinya. Kini tubuhnya gemetar, bukan main lemah dan lunglai tubuhnya akibat perut kosong berhari-hari. Baru kini terasa hebatnya badan menanggung kelaparan. Hampir saja ia dibuai oleh kelemahannya dan kalau ia tidak cepat-cepat membuang diri ke kanan lalu merangkak turun dari atas batu, kiranya ada bahayanya ia terjungkal ke kiri atau ke depan, ke dalam air!
Bu Sin bangkit berdiri dengan kedua kaki gemetar. Ia mengingat-ingat, memandang ke arah air terjun yang kini kembali menimpa batu yang tadi menjadi tempat duduknya. Mimpikah ia" Di mana adanya kakek itu" Tidak, ia tidak mimpi, pikirannya terang sekali. Ia ingat semuanya. Ingat bahwa ia tadinya menjadi tawanan Siang-mou Sin-ni, dan menurut kakek sakti itu, ia minum racun perampas semangat dan dijadikan permainan oleh si iblis betina. Untung ada kakek sakti itu yang menolongnya, kemudian kakek sakti itu yang menurunkan ilmu siulian yang ajaib sehingga ia tahan bersamadhi di bawah air terjun sampai berhari-hari lamanya. Entah berapa hari, ia tidak dapat menghitungnya karena ia tekun dalam bersamadhi sambil mencurahkan segala daya ingatannya untuk menghafal dan melatih diri dengan ilmu itu.
Tak perlu bersusah payah mencari kakek itu, pasti tidak akan dapat bertemu. Sayang ia tidak tahu nama kakek itu. Yang perlu sekarang mencari adik-adiknya. Ia sendiri tidak tahu di mana ia berada. Harus ia selidiki hal ini dan sekarang yang paling perlu adalah mencari pengisi perut atau kalau terlambat ia akan mati kelaparan. Hutan di depan itu penuh pohon, tentu ada bahan pengisi perut, buah-buahan, binatang hutan, atau setidaknya tentu ada daun-daun muda!
Tak lama kemudian, dengan hati lapang Bu Sin sudah menggerogoti buah-buah yang segar dan manis dan perutnya menerima dengan lahapnya, seakan-akan tidak mengenal kenyang. Agaknya akan berbahaya bagi Bu Sin kalau ia melanjutkan makannya, mengisi sepenuhnya perut yang sudah terlalu lama dikosongkan itu. Baiknya sebelum terlalu banyak ia makan, tiba-tiba ia mendengar auman yang menggetarkan hutan, disusul pekik kesakitan seorang manusia. Cepat reaksi Bu Sin. Buah di tangannya yang belum sempat digigit ia buang dan tubuhnya sudah berlari cepat sekali ke arah utara. Untung tidak terlalu jauh tempat itu, atau mungkin karena lari cepat Bu Sin kini memperoleh kemajuan secara menakjubkan dan tidak disadari oleh orangnya sendiri. Ia melihat seorang laki-laki berpakaian ringkas seperti seorang pemburu, sedang bergulat mati-matian melawan seekor harimau. Bukan bergulat dalam perkelahian lagi namanya, melainkan bergulat untuk memperpanjang hidupnya atau lebih tepat, untuk menahan mulut yang penuh taring meruncing itu merobek tubuhnya. Darah sudah memenuhi sekitar dada, pundak dan kedua lengan, namun pemburu itu dengan kedua tangannya mati-matian mendorong moncong harimau. Perlawanan yang sia-sia. Melihat sebatang tombak masih menancap di perut harimau, tahulah Bu Sin bahwa pemburu itu kurang tepat menombak harimau sehingga binatang itu tidak roboh, sebaliknya sempat menubruk dan agaknya si pemburulah yang akan tewas terlebih dahulu kalau ia tidak segera turun tangan.
Bu Sin melompat dekat, tangannya diayun dan.... "krakkk!" tubuh harimau terguling, kepalanya pecah. Laki-laki itu merangkak keluar dari bawah perut harimau, terbelalak keheranan. Juga Bu Sin berdiri terbelalak keheranan. Bagaimana mungkin dengan sekali pukul saja ia berhasil membunuh seekor harimau besar" Bukan hanya membunuh, lebih tak masuk di akal lagi, memecahkan kepalanya! Tiba-tiba pemuda ini menjatuhkan diri berlutut, menumbuk-numbukkan dahinya pada tanah sambil berkata berulang-ulang. "Locianpwe, beribu terima kasih atas kurnia Locianpwe...."
Si pemburu yang sudah bangkit duduk, makin melebarkan mata dan mulutnya. Akhirnya ia mengeluh dan roboh pingsan. Ia banyak kehilangan darah, lalu melihat munculnya seorang pemuda yang sekali pukul memecahkan kepala harimau, ditambah lagi melihat pemuda penolongnya itu tiba-tiba berlutut dan seakan-akan menghaturkan terima kasih kepadanya, atau kepada bangkai harimau. Hal ini terlalu banyak baginya, terlalu hebat, tak tertahankan sehingga ia roboh pingsan!
Bu Sin baru sadar akan terluapnya kegembiraan dan rasa syukurnya ketika mendengar pemburu itu mengeluh dan melihatnya roboh pingsan. Cepat ia bangkit dan menghampiri. Tidak hebat luka-luka itu, hanya di pundak kanan yang agak besar, akan tetapi darah keluar terlalu banyak. Bu Sin cepat merobek baju pemburu itu untuk membalut luka di pundak dan menotok jalan darah. Kemudian mencari air menyiram muka pemburu itu yang segera siuman kembali, menggosok-gosok mata sambil bangkit duduk, pandang matanya bertemu dengan bangkai harimau, bergidik dan menoleh memandang Bu Sin, matanya terbelalak dan agaknya ia akan roboh pingsan lagi kalau saja Bu Sin tidak segera memegang pundaknya dan berkata.
"Tidak ada bahaya lagi, sahabat. Tenanglah, harimau itu sudah mati."
"Kau.... kau.... manusiakah kau...."
Mau tidak mau Bu Sin tersenyum dan mengangguk-angguk. "Kau gagah sekali sobat. Sudah berada di ambang maut masih melakukan perlawanan hebat. Kau seorang pemburu, bukan" Kebetulan aku lewat dan sempat membantumu." kata Bu Sin merendah karena ia maklum betapa orang ini kagum kepadanya.
Pemburu itu segera menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Sin yang segera mengangkatnya bangun.
"Tak perlu segala kekosongan ini!" katanya. "Marilah kita bicara secara sewajarnya. Aku tidak akan lama mengganggumu, hanya ingin bertanya, tempat apakah ini" Hutan mana dan berada di daerah mana" Aku.... aku tersesat jalan, harap kau sudi memberi petunjuk."
Orang itu kelihatan tertegun. "Taihiap (Pendekar Besar) tentu hendak berkunjung ke kota raja untuk menghadiri pesta perayaan Beng-kauw, bukan" Wah, kalau tidak cepat-cepat, Taihiap bisa terlambat. Pesta dimulai esok hari dan, dari sini ke Kota Raja Nan-cao masih jauh, dua hari perjalanan!"
Kaget hati Bu Sin ia sudah berada di dekat Kota Raja Nan-cao di selatan" Hebat! Kiranya iblis betina itu membawanya ke Nan-cao! Tentu ada maksud tertentu. Lebih baik ia teruskan kunjungan ke Nan-cao. Ia mengangguk dan berkata.
"Betul, aku hendak ke Nan-cao. Masih dua hari perjalanan" Tolong kautunjukan jalannya agar aku tidak sesat lagi." Pemburu itu lalu memberi petunjuk, menggurat-gurat tanda gunung dan sungai di atas tanah.
"Terima kasih, sekarang juga aku akan berangkat agar tidak terlambat." Ia bangkit berdiri.
"Nanti dulu, Taihiap. Kau telah menolong nyawaku, bolehkah saya mengetahui nama besar Taihiap" Saya seorang pemburu, Lai Teng nama saya, dan...." akan tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya karena pemuda di depannya sudah berkelebat pergi dan sebentar saja sudah amat jauh. Ia hanya dapat memandang dengan mata terbelalak kagum sampai bayangan Bu Sin lenyap diantara pohon-pohon.
Bu Sin benar-benar merasa girang sekali ketika ia mendapat kenyataan bahwa keadaan dirinya jauh berbeda daripada dahulu. Kalau saja tadi ia tidak memukul kepala harimau, agaknya ia tidak atau belum dapat mengetahui perubahan ini. Sekarang, ia dapat berlari cepat, demikian ringan tubuhnya. Sebagai seorang yang cerdik dan memiliki darah pendekar, tentu saja ia tahu bahwa semua ini adalah hasil daripada ilmu siulian ajaib yang ia terima dari kakek tua renta tak bernama itu.
Dengan melakukan perjalanan cepat tiada pernah mengaso, pada keesokan harinya menjelang senja sampailah ia di perbatasan Nan-cao. Ia tidak mengenal jalan, maka tanpa ia sadari ia telah memasuki tanah kuburan yang amat luas, dengan kuburan yang angker dan indah-indah bangunan nisannya, malah ada yang dihias lukisan atau ukiran pada batu-batu nisan. Inilah tanah pekuburan para pembesar dan keluarga raja di Nan-cao.
Tiba-tiba Bu Sin menyelinap dan bersembunyi di balik sebuah kuburan besar yang letaknya di pinggir jalan. Dari depan ia melihat tiga orang laki-laki berjalan cepat sekali, kemudian setelah sampai di daerah kuburan, mereka memperlambat jalan dan bercakap-cakap. Seorang di antara mereka, yang kumisnya tipis panjang dan matanya juling, menggendong sebuah karung hitam di punggungnya, memegangi mulut karung yang diikat dengan kedua tangan, tampaknya berat isi karungnya itu. Yang dua orang lagi adalah orang-orang setengah tua yang wajahnya membayangkan kekejaman, apalagi orang ke tiga yang mukanya cacat, bolong-bolong oleh penyakit cacar. Orang ke dua kepalanya besar dan ada jendolan daging di atas dahinya. Yang menyolok adalah bawah ketiga orang laki-laki ini semua berpakaian pengemis.
"Ha di sinilah tempatnya. Pangcu (Ketua) berpesan agar kita menanti di sini sampai datang Suma-kongcu. Ihhh, memilih tempat saja di tanah kuburan. Ngeri juga!" kata orang bermata juling sambil menurunkan karung hitam dari punggung, meletakkahnya di atas tanah. Karung itu terguling akan tetapi isinya tidak keluar karena mulut karung diikat. Mereka lalu berjongkok dan menghapus peluh, agaknya mereka tadi telah berlari-lari cepat. Apalagi si penggendong karung peluhnya membasahi leher dan mukanya.
"Loheng (Kakak), tak enak menanti di tempat angker begini, tanpa ada pemandangan yang elok. Kita buka saja karung itu, agar mata kita dapat menikmati pemandangan yang menyegarkan semangat, heh-heh!" kata pengemis bermuka bopeng, yang paling muda di antara mereka.
"Sam-te, jangan main-main kau!" cela si kepala besar, "Kau tentu maklum apa maunya Suma-kongcu menculik si cantik ini. Kalau kau mengganggunya dan hendak mendahului Suma-kongu, apakah kau tidak takut kepalamu akan terpisah dari leher"
"Wah, Suheng (Kakak Seperguruan), aku bukan seorang tolol. Mana aku berani mengganggunya" Dia hidangan orang-orang seperti Suma-kongcu, mana cocok untukku" Paling-paling orang seperti kita ini mendapat sisanya. Hi-hi, pernah dulu aku diberi sisa oleh Suma-kongcu, anak dari Kiang-si itu. Wah.... berabe, baru tiga hari dia bunuh diri!" kata lagi si bopeng.
"Ha-ha, agaknya takut melihat bopengmu!" kata si juling.
"Loheng, kau sendiri apa mengira dirimu bagus" Matamu juling, mukamu pucat, kumismu seperti kumis monyet....!"
"Tapi tidak bolong-bolong seperti kulit mukamu yang dimakan rayap....!"
"Sttt, sudahlah!" tegur si kepala besar. "Kalian ini kalau ada perempuan cantik, selalu berebut tampan dan saling memburukkan. Sam-te, memang tidak baik membuka karung, biarpun aku sendiri tadi kagum menyaksikan nona yang begini jelita, akan tetapi jangan lupa bahwa dia pun lihai bukan main. Kalau tidak ada Pangcu, kurasa belum tentu kongcu mampu menawannya."
"Takut apa, Loheng" Biarpun dia lihai, akan tetapi ia sudah tertotok dan kaki tangannya terikat. Aku pun tidak hendak mengganggunya, hanya ingin melihatnya agar pemandangan buruk di kuburan ini agak kurang mengerikan. Biarlah kalau ada apa-apa, aku yang tanggung," Sambil berkata demikian, si bopeng menggerakkan tangan membuka tali pengikat mulut karung. "Pula, sudah terlalu lama ia dimasukkan karung, kalau ia tahu-tahu mati bagaimana" Kan malah celaka kita, mendapat marah dari Kongcu!" Kedua temannya yang tadinya hendak melarangnya, ketika mendengar ucapan terakhir ini saling pandang, kemudian mengangguk-angguk tanda setuju. Malah mereka membantu si bopeng mengeluarkan isi karung itu.
Apakah isinya" Bu Sin yang sudah dapat menduga-duga, tidak terkejut melihat mereka menarik keluar tubuh seorang gadis muda yang luar biasa cantiknya, gadis yang meramkan kedua matanya, agaknya pingsan. Muka yang putih halus dan kemerahan, rambut yang tebal hitam awut-awutan karena ikat kepalanya hampir terlepas, sebagian menutupi pipi kiri. Pakaian gadis ini agak aneh, terbuat dari kain sutera yang halus, akan tetapi warnanya lucu. Lengan kiri hitam lengan kanan putih, kaki celana kanan hitam dan yang kiri putih, demikian pula sepatunya. Akan tetapi keanehan pakaian ini tidak begitu menarik perhatian Bu Sin karena perhatiannya tercurah ke arah wajah yang ayu dan bentuk tubuh yang padat molek.
"Coba lihat, alangkah manisnya!" kata si juling.
"Hebat, memang patut menjadi puteri Beng-kauwcu," sambung si kepala besar.
"Suheng, suheng...., a.... aku.... kan boleh ya aku.... menciumnya satu kali saja" kata si bopeng, berkali-kali menelan ludah dan sepasang matanya bersinar-sinar menatap wajah yang cantik itu.
"Sam-te, jangan gila kau!" seru si kepala besar.
Si juling tertawa menyeringai. "Mencium sih tidak ada halangannya, biarpun kita bertiga melakukannya juga. Kongcu tidak akan tahu, dia ini pun tidak akan tahu. Kan dia belum sadar"
Bu Sin tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia melompat keluar dari tempat sembunyinya sambil membentak. "Buaya-buaya kaki dua! Di siang bolong menculik gadis, benar-benar sudah bosan hidup!"
Tiga orang itu kaget sekali dan dengan gerakan ahli mereka sudah melompat berdiri. Akan tetapi si mata juling kurang cepat bergerak dan pundaknya terkena tendangan kaki kiri Bu Sin! Ia roboh dan bergulingan, ketika dapat merangkak bangun, matanya menjadi makin juling karena menahan rasa nyeri, napasnya sesak dan ia terbatuk-batuk. Akan tetapi dua orang pengemis lain dapat menghindarkan diri dari terjangan Bu Sin dan sekarang mereka berdiri menghadapi pemuda itu si kepala besar sudah menyambar tongkatnya, sedangkan si bopeng sudah mengeluarkan sebatang golok.
"Bocah jahanam, siapakah kau berani main gila di depan Tiat-kak-cao (Ular Tanduk Besi)" seru si kepala besar yang mempunyai "tanduk" daging di jidatnya.
"Tak perlu tahu aku siapa, lekas kalian minggat dan tinggalkan nona ini sebelum kuantar kalian ke neraka!" bentak Bu Sin, hampir tidak kuat menahan kemarahannya.
Si kepala besar yang berjuluk Tiat-kak-coa itu mendengus marah, lalu berkata kepada temannya yang bermuka bopeng. "Sam-te, kaumasukkan lagi dia ke dalam karung agar leluasa kita memberi hajaran kepada bocah lancang ini." Setelah berkata demikian ia sendiri lalu menggerakkan tongkatnya, diputar cepat seperti kitiran helikopter menerjang Bu Sin yang segera mengelak.
Si muka bopeng yang sudah mencabut goloknya dan siap mengeroyok, mendengar perintah ini, mengayunkan goloknya lagi dan dengan mata berminyak dan mulut menyeringai ia menghampiri tubuh gadis yang masih pingsan, "Heh-heh.... pipimu begini halus....!" Ia pikir tidak ada salahnya melakukan niatnya tadi selagi ada kesempatan begini baik, maka ia menjulurkan leher mendekatkan mukanya pada muka gadis itu untuk memberi ciuman kurang ajar.
"Plakk! Ngekkk....!" Si muka bopeng memekik lemah dan roboh terguling pada saat gadis itu meronta dan melompat ke samping. Kiranya gadis yang mulai sadar dari pingsannya itu telah menggerakkan tangan menyodok ulu hati dan mengenjot leher sehingga si bopeng yang roboh kini berkelojotan tanpa dapat mengeluarkan suara, agaknya genjotan pada leher merusak alat suaranya!


Cinta Bernoda Darah Serial Bu Kek Sian Su 3 Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siluman betina, berani kau memukuli temanku" teriak si mata juling yang sekarang sudah mencabut sebatang pedang, langsung ia menusukkan senjatanya ke arah dada si gadis. Dengan gerakan masih lemah dan terhuyung-huyung, gadis itu menghindarkan diri, namun ia didesak terus oleh lawannya yang ternyata cukup lihai ilmu pedangnya. Gadis ini masih pening, masih lemah, dan sedapat mungkin ia mengelak sambil mencari kesempatan untuk membalas. Untung baginya bahwa si muka bopeng belum dapat mengeroyok biarpun si bopeng itu kini tidak berkelojotan lagi dan sudah bangkit duduk, tapi belum dapat berdiri, menekan ulu hati dan meraba lehernya sambil mengeluarkan suara ngorok seperti ayam diserang penyakit ayan!
Sementara itu, Bu Sin yang bertangan kosong pula menghadapi serangan Tiat-kak-coa dengan gerakan lincah sekali. Pemuda ini maklum bahwa si kepala besar ini tidak hanya besar kepala dan lebar mulut, akan tetapi juga memiliki kepandaian yang tinggi, ilmu tongkatnya ganas sekali, menyambar-nyambar amat cepatnya lagi kuat. Namun, dengan ilmunya yang baru, ia dapat menyalurkan hawa sakti di tubuhnya sedemikian rupa sehingga sekaligus gin-kangnya juga mengalami kemajuan pesat dan gerakannya menjadi amat ringan karenanya. Dengan gesit bagaikan seekor burung walet Bu Sin dapat berkelebatan di antara sinar tongkat. Hatinya girang sekali ketika mendapat kenyataan bahwa gadis jelita itu ternyata telah siuman dan sama sekali di luar dugaannya, gadis itu kiranya seorang yang berkepandaian tinggi pula. Hal ini menambah semangatnya dan dengan gerakan indah Bu Sin menyelinap di bawah sambaran tongkat, tangan kirinya menyambar ke atas, sedangkan tangan kanannya mengirim pukulan sambil melangkah lebar ke depan, kepalanya meluncur ke arah pusar lawan.
Melihat datangnya pukulan yang amat dahsyat ini, Tiat-kak-coa kaget dan cepat ia menggeser kaki ke kanan belakang. Akan tetapi kiranya pukulan dahsyat itu tidak dilanjutkan dan ternyata tangan kiri pemuda itulah yang betul-betul bekerja, yaitu pada saat Tiat-kak-coa sibuk menghindarkan diri dari pukulan tadi, cepat tangan kiri Bu Sin sudah mencengkeram tongkat lawan. Tiat-kak-coa cepat menggerakkan tenaga membetot untuk merampas kembali tongkatnya, akan tetapi Bu Sin melangkah maju setindak dan mengirim tendangan maut ke bawah pusar. Tiada jalan lain bagi Tiat-kak-coa untuk menyelamatkan diri kecuali meloncat mundur dan untuk melakukan hal ini terpaksa ia melepaskan tongkatnya yang kini pindah ke tangan Bu Sin!
Akan tetapi pada saat itu tampak bayangan hitam menyambar turun dari angkasa seperti seekor naga hitam yang amat dahsyat, didahului oleh kesiur angin keras, Bu Sin kaget bukan main, sedetik mengira bahwa benda itu betul-betul seekor naga atau ular besar. Cepat ia menangkis atau menyabet dengan tongkat rampasannya. "Dukkk!" pemuda ini melompat mundur, kaget setengah mati karena tongkat di tangannya hancur, tangannya pedas dan panas sekali, sebelum ia tahu apa yang terjadi, dua jalan darahnya telah tertotok dan ia roboh tak dapat berkutik lagi. Kekagetannya bertambag ketika ia mengenal wajah kakek berambut riap-riapan yang mukanya mengerikan dengan mata buta sebelah, bukan lain It-gan Kai-ong!
Gadis jelita itu masih terdesak hebat oleh lawannya, namun ia selalu dapat mengelak sambaran pedang.
"Bocah tiada guna, minggir!" tiba-tiba terdengar seruan dan si juling itu terlempar seperti seekor kucing ditendang saja, kemudian gadis itu melihat bayangan orang berkelebat. Ia dapat melihat jelas dan kalau saja ia tidak sedang pening dan lemas agaknya ia akan dapat menghindarkan diri dengan ilmunya yang tinggi. Namun, lawannya kini adalah seorang tokoh besar yang sakti, maka dalam sekejap mata saja gadis yang masih pening ini pun seperti Bu Sin, roboh oleh totokan tongkat kakek yang luar biasa.
"Huh, kalian ini tiga orang gentong kosong sungguh memalukan saja. Hayo bawa mereka dan ikuti aku!" kata It-gan Kai-ong. Tiga orang pengemis itu dengan muka ketakutan cepat-cepat mengangkat tubuh Bu Sin dan gadis itu yang sudah tak dapat bergerak lagi, lalu mengikuti It-gan Kai-ong. Kakek pengemis mata satu yang sekti ini berjalan dengan terbungkuk-bungkuk menghampiri tengah tanah pekuburan itu, berhenti di depan sebuah kuburan kuno. Tongkatnya menotok pinggir batu nisan dan.... tiba-tiba batu nisan itu terbuka. It-gan Kai-ong memasuki lubang kuburan, diikuti tiga orang anak buahnya atau murid-muridnya yang agaknya baru pertama kali memasuki tempat menyeramkan ini sehingga mereka saling pandang dan kelihatan ngeri. Setelah mereka semua memasuki lubang terowongan di bawah tanah, batu nisan itu tertutup kembali dari dalam. Kuburan itu menjadi sunyi kembali dan tak seorang pun manusia akan dapat menyangka bahwa kuburan kuno ini merupakan pintu terowongan jalan rahasia di bawah tanah.
Bu Sin dan gadis itu merasa terheran-heran akan tetapi juga ngeri. Terowongan di bawah tanah itu kiranya menembus di daerah pegunungan yang banyak terdapat gua-gua besar dan mereka akhirnya dibawa ke sebuah ruangan bawah tanah yang luasnya lebih dari lima meter persegi, Bu Sin dilempar ke sudut dan gadis itu tentu saja mendapat perlakukan yang lebih halus diletakkan di atas lantai ruangan kosong itu. Di pinggir kiri, menempel dinding, terdapat sebuah meja besar yang penuh dengan panci berisi roti kering dan beberapa guci terisi arak dan air.
"Kalian jaga baik-baik di luar, jangan biarkan seorang pun memasuki ruangan ini. Awasi nona ini, sekali-kali tidak boleh diganggu. Tahu" Terdengar It-gan Kai-ong meninggalkan pesan kepada anak buahnya ketika mereka meninggalkan ruangan itu.
Sunyi di ruangan bawah tanah. Bu Sin melihat gadis cantik itu masih terlentang di tengah ruangan, sedangkan dia rebah miring di sudut. Cepat ia mengatur pernapasan seperti yang ia pelajari dari kakek tua. Hawa murni mengalir di dalam tubuhnya dan setelah mencoba-coba, akhirnya hawa Im-kang dapat mengusir pengaruh totokan yang berdasarkan hawa panas. Perlahan-lahan jalan darahnya mengalir kembali. Ia segera bangkit duduk bersila dan melanjutkan usahanya memulihkan tenaga. Akan tetapi ketika ia membuka mata dan melompat berdiri, ia melihat gadis jelita itu pun sudah duduk bersiulian. Kagumlah ia, maklum bahwa gadis itu pun seorang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Gerakannya terdengar oleh gadis itu yang segera bangkit pula. Mereka berpandangan, gadis itu tersenyum manis dan dengan suara ramah dan halus ia berkata, "Terima kasih atas pertolonganmu...."
"Ah, tak perlu dibicarakan, Nona. Buktinya aku tidak dapat menolongmu, malah kita berdua sekarang pun entah bagaimana agar dapat membebaskan diri."
"Yang kunilai bukanlah hasilnya, melainkan sifat daripada perbuatan. Kau telah menolongku dan karenanya, berhasil maupun tidak, aku amat berterima kasih kepadamu. Bolehkah aku mengetahui siapa nama dan julukan saudara dan saudara ini seorang tamu dari golongan mana"
Bu Sin tidak menjawab karena dia sedang bengong melihat wajah jelita, terutama bibir manis yang bergerak-gerak, seakan-akan ia bergantung kepada bibir itu.
"Eh, bagaimana ini" Harap kau jawab pertanyaanku."
"Ehhhhh.... ap.... apa...." Bu Sin tergagap, mukanya menjadi merah sekali karena ia sadar akan sikapnya yang linglung.
Gadis itu tersenyum lebar. Deretan gigi yang putih bagaimana butir-butir mutiara tersusun rapi, berkilau menyambarnya, menyilaukan mata menggetarkan hati, sepasang mata yang bersinar-sinar dan lincah menambah kencang degup jantung, tak kuasa lagi Bu Sin menyentuh dadanya yang dirasa seperti hendak meletup.
"Kau pelamun benar. Aku bertanya, siapakah saudara ini, siapa nama dan julukan yang mulia dan termasuk tamu dari golongan terhormat yang mana"
"Oh.... aku.... namaku Kam Bu Sin, aku.... seperti yang Nona lihat sendiri, aku bukan tamu, aku.... aku masuk ke sini bukan atas kehendakku, aku tawanan bukan tamu dan tentang julukan dan golongan, aku tidak punya julukan, juga tidak mempunyai teman-teman seperjalanan kalau itu yang Nona maksudkan...."
Bu Sin berhenti bicara karena melihat betapa wajah yang manis itu kini menatapnya dengan mata bintang terbelalak dan mulut mungil agak terpentang. Aduh, bukan main manisnya, bisik hati Bu Sin.
"Kau.... namamu Kam Bu Sin" Putera mendiang Jenderal Kam Si Ek"
Kini giliran Bu Sin yang melengak kaget dan heran. "Nona, bagaimana kau bisa tahu" Kenalkah kau dengan mendiang Ayah"
Gadis itu tersenyum lagi dan kini wajahnya berubah girang. "Wah, kalau begitu, kita bukanlah orang lain! Kita masih ada hubungan.... eh, pertalian keluarga, biarpun amat jauh. Kau masih terhitung.... keponakanku!" Begitu terbuka dan jujur sikap gadis itu, mendatangkan rasa segar nyaman dalam hati Bu Sin yang tanpa disadarinya telah tertikam panah asmara yang berbisa!
"Ah, tidak mungkin!" Tanpa disengaja Bu Sin meneriakkan sangkalan karena tiba-tiba ia merasa kecewa mendengar bahwa ia adalah keponakan dara jelita ini! "Maaf, Nona, mana mungkin kau menjadi.... bibiku sedangkan usiamu paling banyak tentu baru dua puluh tahun"
"Sembilan belas!" Dara itu menjawab cepat, seakan-akan khawatir kalau dugaan tentang usia itu akan cepat membuatnya menjadi tua.
"Nah, sembilan betas malah! Aku yang sudah berusia dua puluh satu tahun, mana bisa menjadi keponakanmu"
Dara itu tertawa kecil sambil menutupi mulut dengan tangan kiri, geli hatinya menyaksikan sikap terheran-heran dan bersitegang, dari pemuda itu. "Keponakanku yang baik, dengarlah penjelasan bibimu. Aku mempunyai seorang keponakan, dan Ayahmu adalah ayah keponakanku itu, sedangkan ibu dari keponakanku itu adalah anak dari kakak Ayahku. Nah, kau yang tingkat susunan keluarganya sama dengan keponakanku, bukankah kau ini juga keponakanku dan aku bibimu"
Pening kepala Bu Sin mendengar penjelasan yang tidak jelas itu. "Mana bisa" Kalau Ayahku juga menjadi ayah keponakanmu, tentu keponakanmu itu Eng-moi atau...." Tiba-tiba wajah Bu Sin berubah dan ia menatap tajam. "Nona, apakah keponakanmu itu bernama Kam Bu Song"
Nona itu mengangguk-angguk sambil tersenyum. "Siapa lagi kalau bukan dia"
Dapat dibayangkan betapa kaget, heran dan girangnya hati Bu Sin mendengar ucapan ini. Sudah berbulan-bulan lamanya ia mencari-cari kakaknya ini, dan karena mencari kakak tirinya itulah, di samping menyelidiki tentang musuh besar yang membunuh orang tuanya, ia sampai di tempat ini, bersama kedua orang adiknya, mengalami suka duka dan terancam maut dan malapetaka, bahkan sampai saat itu pun ia berpisah dari kedua orang adiknya. Maka dapat dibayangkan betapa gembiranya mendengar itu. Diluapkan oleh rasa gembira yang meledak di dalam hatinya, ia melangkah maju, memegang kedua pundak nona itu, mengguncang-guncangnya perlahan sambil berkata penuh gairah.
"Di mana dia" Di mana kakakku itu" Mana Kakak Kam Bu Song"
Mula-mula gadis itu mengerutkan alisnya melihat perbuatan ini, tubuhnya terguncang-guncang, wajahnya, terutama di kedua pipinya, menjadi merah sekali. Akan tetapi dengan pandang mata maklum dan bibir manis tersenyum ia berkata, malah setengah menggoda.
"Kau perintah siapa" Mohon kepada bibimu ini dengan hormat, baru aku mau bicara!"
Mendengar ini Bu Sin sadar dan cepat-cepat ia melepaskan kedua tangannya, wajahnya juga menjadi merah dan ia cepat-cepat memberi hormat. "Maaf.... maklumlah, selamanya aku belum pernah bertemu dengan Kakak Kam Bu Song dan justeru kepergianku dari kampung halaman adalah untuk mencarinya. Maka, mendengar bahwa dia itu keponakanmu.... aku mengharapkan dapat bertemu dengannya."
"Sebut dulu bibi, dia itu keponakanku dan kau yang menjadi adik tirinya berarti keponakanku juga."
Bu Sin maklum bahwa gadis ini tidak mengejek atau menghina, hanya menggodanya, maka ia tidak marah. "Nona, kau lebih muda dariku. Biarpun Kakak Bu Song adalah keponakanmu, akan tetapi karena yang menjadi keluargamu adalah ibunya sedangkan aku bukan apa-apa, maka tak berani aku menganggap kau sebagai bibi. Karena kau lebih muda, kusebut kau adik saja, bagaimana" Ia tersenyum dan memandang tajam.
Gadis itu pun memandang, dua pasang mata bertemu pandang dan keduanya merasa jengah di samping jantung berdebar tidak karuan, "Kalau begitu, aku akan menyebutmu koko, Bu Sin koko."
Bu Sin tertawa. "Adikku yang manis, enak saja kau ini, menyebut-nyebut namaku sedangkan aku sama sekali belum mengetahui namamu."
"Aku she Liu, namaku Hwee. Ayahku adalah ketua Beng-kauw...."
"Ah, benar-benar aku lancang dan kurang ajar! Maaf kalau aku berlaku kurang hormat karena tidak tahu, kiranya Nona adalah puteri Beng-kauwcu yang terhormat dan...."
"Hishhh, apa-apaan ini" Bu Sin koko, kau tadi menyebut adik sekarang tiada hujan tiada angin berbalik menjadi nona-nonaan dan bicara sung
Istana Pulau Es 5 Bara Naga Karya Yin Yong Dendam Iblis Seribu Wajah 21

Cari Blog Ini