Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 1
"Durjana dan Ksatria
(Jue Sai Zhuan Feng Lu)
~~Seri Thiansan~~
Karya : Liang Ie Shen
Saduran : Gan KL
Nyo Yam di seri lain adalah Nyo Yan
Ce Se-kiat di seri lain adalah Ki See-kiat
Jilid 1 Menjelang lohor, pada saat paling ramai di jalan Ong-huceh,
suatu jalan yang paling terkenal di kota Peking, muncul
seorang perempuan tua berwajah kurus. Usianya belum terlalu
tua, kira-kira baru 50-an lebih, namun wajahnya sudah penuh
diliputi keriput menandakan betapa kenyangnya mengenyam
asam-garam kehidupan ini.
Perempuan tua ini bukan nenek biasa melainkan sempat
termasyhur, bahkan pernah ditakuti orang kangouw, yaitu Lojiukoan-im. Nyo toa-koh, si Buddha Kwan-im bertangan
pedas. Putra Nyo Toa-toh, yakni Ce Se-kiat, seorang pendekar
muda yang paling menonjol di kalangan angkatan muda itu
dua tahun yang lalu telah pergi ke perbatasan utara dan
sejauh ini belum pulang.
Adik Nyo Toa-koh, yaitu Nyo Bok, adalah guru silat terkenal
di kota Poting, sekarang telah menjabat sebagai jago
pengawal istana kesayangan kaisar dan kini bermukim di
Peking. Tapi kedatangan Nyo Toa-koh kali ini bukan hendak
mencari adiknya si Nyo Bok. kunjungannya ini adalah atas
undangan Han Wi-bu, itu pemimpin umum perusahaan
pengawalan Cin-wan-piaukiok yang terkenal. Mereka adalah
sahabat kental sejak muda.
Begitu bertemu dengan Han Wi-bu, langsung Nyo Toa-koh
menegur, "Hai, Han tua, sesungguhnya ada permainan apa
kau panggil diriku kemari?"
Pertanyaan ini sangat kasar, meski Han Wi-bu sudah kenal
watak si nenek, tidak urung ia melenggong juga, jawabnya
kemudian dengan tertawa, "Memang sengaja kuundangmu
kemari, mengapa bagitu datang lantas mengomel" Di depan
bibi besar (Toa-koh) kita memangnya siapa yang berani main
gila?" "Baik, jika begitu coba katakan, kan undanganmu kepadaku
ini bukan untuk datang makin minum dan berfoya-foya
tentunya!!"
"Eh, Toaci yang baik, rupanya engkau marah karena tidak
kujelaskan maksud undanganku kepadamu," ucap Han Wi-bu
dengan tertawa.
"Bicara terus terang, aku memang ingin minta
pertolonganmu, untuk ini justru tidak leluasa disampaikan
melalui perantara, maka sengaja kuundang Toaci kemari."
"Mendingan engkau tidak bicara demikian, sekarang aku
ingin tanya lagi sesuatu padamu," kata Nyo Toa-koh.
"Silakan bicara," kata Wi-bu.
"Song Peng-ki dan Oh Lian-kui, kedua monyet itu apakah
kau tugaskan keluar, kenapa keduanya tidak kelihatan?" tanya
Toa-koh. Kedua orang yang disebut itu adalah Sutit atau murid
keponakan Nyo Toa-koh atau tegasnya murid Nyo Bok,
mereka bekerja sebagai tukang kawal di Cin-wan-piaukiok ini.
Maka Han Wi-bu lantas menjawab, "Tidak, keduanya tidak
kutugaskan keluar."
"Habis, apakah keduanya jatuh sakit?" tanya Toa-koh pula.
"Tidak, keduanya sehat sehat saja, masuk angin saja tidak
pernah." "Bagus, coba jawab lagi, tentunya kaupun tahu mereka
adalah Sutitku bukan?"
"Tentu saja kutahu, malahan kutahu juga mereka
dibesarkan di rumahmu."
"Nah, kalau mereka tidak dinas luar, juga tidak jatuh sakit,
mengapa tidak kau suruh mereka saja yang mengundang
diriku" Mereka kan bukan orang asing" Memangnya ada
urusan rahasia apa sehingga mereka pun tidak kau percayai
untuk menyampaikan undangan ini kepadaku?"
"Terus terang, pekerjaan lain tentu saja dapat kutugaskan
kepada mereka, hanya mengenai undangan kepada Toaci ke
kotaraja yang maha penting ini tidak berani kutugaskan
mereka." "Sebab apa?" tanya Nyo Toa-koh. "Sebab ada orang lagi
mengincar mereka," tutur Wi-bu.
"Memangnya apa kesalahan mereka?"
"Tidak ada."
"Oo, kukira mereka diintai petugas pemerintah. Jika tidak,
siapa pula yang berani mengutik mereka, sampai jago
pengawal piaukiok nomor satu di kotaraja ini tidak berani
meninggalkan tempat pekerjaannya?"
"Orang ini juga murid keponakanmu." kata Wi-bu
mendadak. Seketika berubah air muka Nyo Toa-koh. katanya, "Apa kau
maksudkan Bin Sing-liong?"
Bin Sing-liong adalah murid tertua Nyo Bok, sekarang
menjabat perwira menengah pasukan pengawal kotaraja.
"Betul," jawab Wi-bu dengan sinis. "Memang murid
keluarga Nyo kalian yang terhormat ini, Bin Sing-liong, tuan
besar Bin kita."
Dulu Bin Sing-liong juga pernah bekerja di Cin-wan piaukiok
dan menjabat wakil pemimpin umum. sekarang Han Wi-bu
menyebut wakilnya dulu itu dengan istilah "tuan besar," jelas
bukan sebutan menghormat melainkan sengaja mengejeknya
untuk melampiaskan rasa dongkolnya.
Namun bagi pendengaran Nyo Toa-koh, ucapan Han Wi-bu
ini membuatnya teringat pada urusan lain. Disangkanya Han
Wi-bu sengaja mengingatkan dia agar jangan lupa kepada
kedudukan Sutitnya yang kini sudah menjadi pembesar negeri
itu. Ia membatin, "Jangan-jangan apa yang dilakukan anak Kiat
di Poting itu telah diketahui oleh adik Bok. Karena hubungan
anak Kiat sangat baik dengan Peng-ki dan Lian-kui, maka adik
Bok menyuruh murid kepercayaannya ini untuk mengawasi
Peng-ki dan Lian-kui dan mencari rahasia perbuatan anak Kiat,
sekaligus juga menyelidiki gerak-gerik anak Kiat?" Maka ia
menjawab dengan mendengus, "Hm, kiranya Bin Sing-liong
hendak membikin susah kedua Sutenya sendiri, begitu"
Hendaknya kau katakan terus terang padaku, apakah dalam
hal ini masih menyangkut lagi urusan lain" Apakah lantaran
engkau merasa tidak berdaya membela mereka, maka
mengundangku ke sini?"
"Urusan lain memang juga ada," jawab Wi-bu. "Cuma
bukan lantaran Bin Sing-liong hendak membikin susah kedua
Sutenya, sebaliknya dia justru menyanggupi berbagai bantuan
kepada Peng-ki dan Lian kin."
"Hm, setelah berkecimpung sekian tahun di kalangan
pembesar, mungkin Sing-liong sekarang juga ketularan
penyakit main iicik dan licin," jengek Nyo Toa koh.
"Memangnya dia menyanggupi bantuan apa kepada Lian-kui
dan Pcng-ki?"
Mendengar nada ucapan Nyo Toa-koh yang tidak puas
terhadap tindak-tanduk Bin Sin liong itu, diam-diam Han Wi-bu
merasa senang, pikirnya, "Tampaknya langkahku ini kena
pada sasarannya. Lo toaci (kakak tua) ini meski terkenal
sebagai bertangan pedas, tapi juga tidak suka menangmenangan
sebagai-mana disangka orang. Bardasarkan
hubunganku dengan dia, sekalipun tidak berani kuharapkan
dia membantuku secara langsung, kalau ku-minta dia menjadi
juru damai kiranya akan diterimanya juga."
Maka dengan tertawa ia berkata, "Sudah kusuruh orang
memanggil kedua Sutitmu itu, janji apa yang disanggupi Bin
Sing-liong kepada mereka boleh kau tanya mereka. Dan
sebelum mereka tiba, biarlah kuberitahu apa yang kuharapkan
bantuanmu."
Nyo Toa-koh tahu urusan ini tidak ada sangkut-pautnya
dengan putranya, maka hati pun rada lega, katanya, "Han tua,
kau tahu pribadiku. Meski secara resmi aku tidak
mengumumkan mengundurkan diri dari dunia kangouw, tapi
selama sepuluh tahun terakhir ini pada hakikatnya aku sudah
mengundurkan diri. Maka urusan tetek-bengek dunia kangouw
aku tidak mau ikut campur lagi."
"Jangan kuatir, Lo toaci," kata Wi-bu dengan tertawa,
"bukan maksudku mengundangmu membantu berkelahi, aku
cuma ingin mohon pertolonganmu agar mencegah Bin Singliong
menghancurkan Cin-wan-piaukiok."
Seketika Nyo Toa-koh merasa gusar, katanya, "Apa" Masa
Sing-liong begitu berani dan hendak menghancurkan
piaukiokmu ini" Hm, hanya seorang perwira Han-lim-kun saja,
biarpun dia pejabat pemerintah juga tidak boleh berbuat
demikian."
"Dia tidak bermaksud menutup piaukiok ini, tapi ulahnya itu
sama dengan menghancurkan piaukiok ini," tutur Wi-bu. "Lo
toaci, jangan terburu-buru, dengarkan dulu ceritaku. Sudah
sekian puluh tahun aku membuka perusahaan ini, berkat
bantuan para kawan kangouw sehingga selama ini tidak
pernah terjadi sesuatu yang memalukan. maka merek
perusahaan Cin-wan-piaukiok ini dapat bertahan sekian puluh
tahun. Sekarang sudah kuputuskan akan mengundurkan diri
saja, bahkan keputusanku ini sudah kuberitahukan segenap
anggota piaukiok ini. Sudah kutetapkan pada hari ulang
tahunku yang ke-60 akan kuundang segenap sahabat yang
berada di kota ini dan secara resmi kutimbang-terimakan
jabatan Congpiauthau yang sudah kujabat sekian lama ini."
"Ah, jika tidak kau ceritakan aku menjadi lupa malah," seru
Toa-koh. "Memang betul, hari ulang tahunmu jatuh pada akhir
bulan ini bukan?"
"Betul, pada tanggal 28 bulan ini, lima hari lagi," jawab Wibu.
"Wah, jika begitu, kedatanganku ini sangat kebetulan, harus
kumakan dulu mi ulang tahunmu baru kupulang," kata Toakoh.
"Cuma, Han tua, badanmu cukup sehat, umur 60 tidak
terhitung loyo, kenapa engkau terburu-buru mengundurkan
diri?" "Manusia tidak selamanya sehat. bunga tidak senantiasa
mekar, Lo toaci tidak bekerja di bidang ini, tentu engkau tidak
merasakan suka dukanya," kata Wi-bu. "Kau tahu, pekerjaan
seperfi kami ini serupa halnya menjadi perampok,
kehidupannya selalu berkutetan di ujung golok. Malahan
kukira menjadi bandit akan lebih baik daripada kami."
Nyo Toa-koh tertawa, "Bekerja di bidang apa pun tentu ada
suka-dukanya, tapi kau-bandingkan Piausu (pengawal barang)
dengan bandit, sungguh baru pertama kali ini kudengar. Aku
jadi ingin tahu apa yang menjadi dasar pikiranmu ini."
"Kau tahu menjadi bandit melulu berdasarkan kekuatan dan
kekerasan saja, kalau kepandaian kalah tinggi, paling-paling
kepala terpenggal dan habis perkara," tutur Wi-bu.
"Sebaliknya menjadi Piausu selain harus berkepandaian cukup,
bahkan makan hati. Dia perlu mempunyai hubungan luas
dengan kalangan hitam maupun putih, harus bisa mengatur
segala sesuatu, bilamana hari raya atau tahun baru tidak
boleh lupa antar kado, kurang sedikit saja atau melupakan
satu orang pun bisa menimbulkan kesulitan. Sudah sekian
puluh tahun aku bekerja di bidang ini, banyak juga sengketa
yang kualami. sungguh boleh dikatakan sudah lelah lahir dan
batin. Selama beberapa tahun terakhir ini di dunia kangouw
muncul pula beberapa tokoh kelas tinggi kalangan hitam yang
buru-buru ingin mendapat nama, maka sering main sikat saja
tanpa pandang bulu."
"Tahun yang lalu aku mengawal sendiri satu partai barang
ke Sengtoh dan kepergok seorang bandit yang bekerja
seorang diri dan tidak kukenal asal-usulnya, hampir saja aku
terjungkal di tangannya. Setelah kupikir pergi-datang,
akhirnya kuputuskan sebelum terjungkal habis-habisan, lebih
baik kutiru seperti Lo toaci saja dan mengundur diri sebelum
kasip." "Caramu ini tampaknya cukup bijaksana, aku tidak berani
lagi mencegah niatmu," ujar Nyo Toa-koh dengan tertawa.
"Tapi entah calon penggantimu apakah sudah kau pilih atau
belum?" "Justru dalam hal inilah timbul kesulitan," kata Wi-bu.
"O kesulitan apa?" tanya Nyo Toa-koh.
"Kau tahu sejarah Cin-wan-piaukiok," tntur Wi-bu. "Pendiri
perusahaan ini semula terdiri dari dua pesero, seorang adalah
almarhum ayahku, seorang lagi adalah guru silat Te Kin. Kirakira
20 tahun yang lalu, To Kin tersangkut perkara kawanan
pemberontak di Siau-kim-joan dan menjadi buronan
pemerintah, untunglah di bawah pimpinan adikmu Cin-wanpiaukiok
tidak sampai tersangkut urusan itu."
"Ya, kutahu," kata Nyo Toa koh. "Justru pada waktu itulah
Bin Sing-liong diperkenalkan adikku dan dipekerjakan di
piaukiok ini."
"Sesudah Bin Sing-liong masuk perusahan ini, belum sampai
dua tahun kedudukannya sudah menanjak menjadi wakil
pemimpin umum dan sehagai wakilku," tutur Wi-bu. "Lo toaci.
tentunya engkau pun paham, hal ini bukan disebabkan ilmu
silatnya tinggi maka dipilih menjadi wakilku."
"Ya, kutahu urusan ini adalah karena tanda hormatmu
kepada adikku," kata Toa-koh.
"Engkau hanya menjawab tepat sebagian saja, Lo toaci,"
ujar Wi-bu. "Oo, apa masih ada alasan lain?" tanya Toa-koh.
"Soalnya Te Kin tersangkut perkara pemberontakan dan
buron, sejauh itu tidak ada kabar beritanya. Padahal Cin-wanpiaukiok
didirikan oleh keluarga Te dan Han, modal gabungan.
Dengan perginya Te Kin, andilnya dalam perusahan ini lantas
menjadi kehilangan pemiliknya," tutur Wi-bu.
Nyo Toa-koh sudah menduga apa maksud cerita orang, ia
sengaja tanya lagi, "Memangnya ada sangkut-paut apa
antaran urusan ini dengan kenaikan pangkat Bin Sing-liong?"
"Masa adikmu tidak pernah bercerifa padamu?" tanya Wibu.
"Kukira sudah lama kau tahu urusan ini."
"Tahu apa?" Toa-koh menegas. "Begitu Te Kin kabur,
adikmu lantas menjadi pesero terbesar Gin-wan-piaukiok ini,"
tutur Wi-bu. "Masa begitu?" heran juga Wi-bu. "Dia tidak pernah bicara
hal ini denganku. Memangnya cara bagaimana dia mewarisi
hak Te Kin itu?"
Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sesudah Te Kin buron, pihak pemerintah lantas
memutuskan dosanya yang berkomplot dengan kaum
pemberotak itu. Mestinya Cin-wan-piaukiak sukar terhindar
dari tuduhan semua itu. berkat usaha adikmu dengan pihak
yang berwajib sehingga perkara ini dibekukan dan tidak
diusut, maka piaukiok ini dapat bertahan sampai sekarang.
Tapi apa yang di katakan "dibekukan" hanya tuduhan
pemerintah kepada Te Kin tidak diumumkan saja secara
terbuka, sedangkan haknya sebagai pesero piaukiok ini harus
berganti tangan. Sebagai orang yang menyingkap perkara ini,
juga orang yang berusaha membebaskan piaukiok dari
pengusutan. maka sesudah urusan beres. secara otomatis dia
lantas menggantikan Te Kin sebagai pesero Piaukiok ini."
Toa-koh berkerut kening. katanya, "Jika demikian. jadi dia
mengangkangi hak Te Kin secara paksa, pantas dia tidak
berani memberitahukan hal ini kepadaku. Pada 20 tahun yang
lalu watakku jauh lebih keras daripada sekarang, bilamana
kutahu hal ini ketika itu pasti tidak kuizinkan dia berbuat
demikian."
Han Wi-bu tersenyum getir, katanya, "Malahan waktu itu
adikmu berlagak ogah ogahan, kami sampai memohonnya
dengan sangat baru dia mau menjadi pesero piaukiok ini.
Cuma urusan ini menyangkut perkembangan perusahan CinTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
wan piaukiok, maka kedudukan adikmu dalam perusahaan
sampai sekarang belum diketahui orang luar."
Toa-koh manggut-manggut, katanya, "Ya, kupaham,
bilamana diketahui orang kangouw bahwa seorang perwira
pasukan pengawal menjadi pesero besar Cin-wan-piaukiok,
mungkin perusahaan ini akan dipandang hina oleh orang
persilatan."
"Andil yang dikuasai adikmu tidak sedikit, seluruhnya ada
60 persen," tutur Wi-bu.
"Tadi kau bilang keluarga Te dan keluarga Han kalian
kongsi mendirikan piaukiok ini, dengan sendirinya andil kalian
separo-separo, lalu kelebihan satu bagian adikku itu diperoleh
dari siapa?" tanya Toa-koh.
Wi-bu tersenyum gctir, tuturnya, "Akulah yang memberikan
kepadanya sebagai tanda terima kasih atas bantuaunya yang
telah sudi menyelamatkan piaukiok ini dari pengusutan pihak
yang berwajib, jadi aku yang memberikan secara sukarela dan
bukan dia yang minta padaku, cuma aku pun mendapat
isyarat dari Pak kiong Bang yang menjadi komandan pasukan
pengawal kotaraja waktu itu dan kumohon adikmu sudi
menerima."
Ia merandek, lalu menyambung, "Selaku pemegang andil
terbesar Cin-wan-piaukiok, bila dia mengutus murid tertua Bin
Sing-long menjadi wakilku, hal ini sudah cukup menghormati
aku. Kalau tidak, umpama dia minta kuangkat Bin Sing-liong
sebagai Congpiauthau, terpaksa harus kuserahkan juga
kedudukanku ini kepadanya."
Nyo Toa-koh menghela napas, katanya, "Mempunyai adik
semacam itu, sungguh aku merasa malu. Cuma, sekarang Bin
Sing-liong sudah menjadi pembesar, urusan piaukiok tentu
boleh kau atur dengan kuasa penuh."
"Tidak," kata Wi-bu. "Sekarang dia ingin kembali ke
piaukiok lagi. Bahkan tidak cuma menghendaki wakil
Congpiauthau saja."
"Habis dia minta kedudukan apa?" tanya Nyo Toa-koh.
Bicara sampai disini kelihatan Song Peng-ki dan Oh Lian-kui
sudah datang. Segera Wi-bu berkata pula, "Nah, silakan Lo toaci tanya
sendiri kedua Sutitmu?"
Nyo Toa-koh lantas tanya, "Kabarnya beberapa hari yang
lalu kalian dicari Bin Sing liong dan kalian dijanjikan berbagai
fasilitas, memangnya fasilitas apa saja?"
"Bin-suko bilang, nanti kami akan diangkat menjadi wakil
Congpiauthau perusahaan ini," tutur Song Peng-ki.
"O, berdasarkin apa dia dapat mengangkat kalian sebagai
wakil Congpiauthau?" tanya Toa koh.
"Katanya tidak lama lagi dia akan bekerja lagi di piaukiok
dan menjadi Congpiauthau, diharap kami mendukungnya,"
tutur Oh Lian-kui.
"Kiranya dia menghendaki kalian menjadi begundalnya,"
kata Toa-koh, "Secara mendadak kalian akan diangkat menjadi
wakil pemimpin perusahaan pengawalan paling besar di
kotaraja ini, sungguh fasilitas yang diberikannya kepada kalian
memang tidak sedikit."
Cepat Peng-ki dan Lian-kui menjawab, "Sukoh (bibi guru),
berapa bobot kami tentu Sukoh sendiri cukup maklum. Mana
kami berani sembarangan menerima kebaikan Toa suko itu.
Bicara sejujurnya, kami pun penasaran bagi Congpiauthau
bilamana Toa suko jadi ambil alih tugas pimpinan Cin-wanpiaukiok.
hanya saja kami tidak berani ikut bicara."
"Mengapa tidak berani bicara?" tanya Toa-koh.
Peng-ki berdua menjawab dengan gelagapan, "mengenai
ini, sungguh kami .... kami tidak.."
"Ya, tahulah aku," kata Toa- koh. "Tentu Sin-Hong bilang
kepada kalian bahwa guru kalian yang mengambil keputusan
begitu, bukan?"
Peng-ki dan Lian-kui menunduk tanpa bersuara, diam
berarti membenarkan.
"Menurut kebiasaan perusahaan piaukiok besar, calon
Congpiauthau harus orang lama yang sudah berpuluh tahun
berkecimpung di bidangnya, selain ilmu silatnya harus tinggi,
juga diperlukan pergaulan yang luas," demikian tutur Han Wibu.
"Dengan begitu barulah akan mendapatkan dukungan
anak buah dan perusahaan dapat berkembang."
"Tapi sangat jauh bagi Bin Sing-liong untuk memenuhi
persyaratan itu," kata Toa-koh.
"Namun menurut peraturan, calon Congpiauthau selain
harus mendapat dukungan para kerabat perusahaan, yang
lebih penting calon itu harus disetujui dulu pihak pemegang
andil perusahaan, juga harus seorang tokoh yang terhormat di
dunia persilatan. Jelek-jelek Bin Sing-liong kan pernah
menjabat wakil Congpiauthau selama dua tahun di sini, jika
adikmu selaku pemegang saham mencalonkan dia untuk
menggantikan diriku kan tidak dapat kutolak dia?"
"Lantas maksudmu mengundangku ke sini, apakah ingin
minta bantuanku untuk mencegah pencalonan Bin Sing-liong
menjadi Congpiauthau di sini, begitu?"
"Bukan maksudku hendak menyatakan Sutitmu itu tidak
sesuai untuk menjabat Congpiauthau di sini, soalnya dia
sekarang adalah perwira Han-lim-kun, sekalipun dia
mengundurkan diri dari jabatannya, lalu pindah ke sini dan
memimpin perusahaan ini, namun bila hal ini diketahui kawan
kangouw, tentu piaukiok akan dipandang hina oleh mereka."
"Tidak perlu kau beri penjelasan padaku," kata Toa-koh.
"Biar kukatakan, bila kau jadikan Bin Sing-liong sebagai
penggantimu, maka engkau pun akan kupandang hina dina."
Wi-bu bergirang, "Ah Lo toaci, jadi engkau mau
membantuku mencegah adikmu melaksanakan kehendaknya
ini." "Bukannya aku tidak mau membantu, soalnya biarpun
kubicara dengan dia tetap tidak berguna." ujar Toa-koh.
"Ai, tentunya Lo toaci tidak sengaja menolak
permohonanku," kata Wi-bu. "Kakak perempuan serupa ibu,
apalagi adikmu memang dididik oleh kakaknya yang
merangkap menjadi kewajiban ibu, engkau yang telah
membesarkan dia, mustahil dia tidak tunduk kepada
ucapanmu. sedangkan Bin Sing-liong tidak lain hanya boneka
adikmu. asalkan adikmu menarik kembali keputusannya, mau
tak-mau Bin Sing-liong akan mundur teratur."
Nyo Toa-koh tidak ingin orang lain mengetahui perselisihan
antar anggota keluarganya, terpaksa ia menjawab, "Baiklah,
kuterima permintaanmu untuk ikut campur urusan ini, tapi
hendaknya jangan kau pedulikan cara bagaimana akan
kulakukan. Untuk itu aku ingin tahu dulu, apakah sekarang
engkau sendiri sudah mempunyai calon Congpiauthau pilihanmu?"
"Ini ... ini ...." Han Wi-bu tergagap.
"Aneh, kenapa begini caramu bicara, memangnya ada
sesuatu yang kau kuatirkan?" tanya Toa-koh.
"Sukoh," tiba-tiba Peng-ki menimbrungi "kami yang bekerja
di sini, kecuali terhadap Han-congpiauthau, orang yang paling
kami kagumi dan hormati sekarang ialah Hiu-hucong-piauthau,
bahwa Han congpiauthau bermaksud mengundurkan diri,
serentak kami mendukung Hiu hucong piauthau sebagai
penggantinya."
"Wakil Congpiauthau yang kaumaksudkan itu apakah Hiu
Thian-lan adanya?" tanya Nyo Toa-koh.
"Betul," jawab Peng-ki. "Hiu hucongpiauthau ini tak-laintakbukan juga menantu kesayangan Han-congpiauthau."
Nyo Toa-koh baru tahu duduknya perkara, ucapnya dengan
tertawa, "Ah, tahulah aku. Han tua, rupanya kau kuatir orang
menuduhmu mengangkat orang kepercayaan sendiri, begitu
bukan?" "Orang lain takkan punya anggapan begitu, jika ada tentu
datangnya dari Bik-suko," ujar Peng-ki.
"Sebenarnya jabatan wakil Congpiauthau saja tidak ingin
kuberikan kepada menantuku, tapi lantaran beberapa kali dia
berjasa bagi perusahaan, mau-tak-mau harus kuberi promosi
kepadanya," tutur Wi-bu. "Tapi bila sekarang kuangkat dia
sebagai penggantiku, mungkin adikmu akan menyangka aku
sengaja berebut kedudukan dan menarik keuntungan dengan
dia. Coba pikir, dia penujui muridnya untuk menggantikan
diriku, sekarang kupilih menantuku sendiri, kan lama
mementingkan pihak sendiri?"
"Tampaknya memang begitu, tapi sesungguhnya tidak
sama," ujar Toa-koh. "Ilmu silat dan kehormatan Bin Singliong
mana dapat di-bandingkan dengan Hiu Thian-lan."
"Apa pun juga kan lebih baik menghindari komentar orang
yang tidak-tidak," kata Wi-bu. "Maka menurut pandanganku
masih ada seorang calon lain, entah Lo toaci setuju atau
tidak?" "Aneh juga, calon pilihanmu untuk perusahaanmu sendiri,
kenapa perlu minta persetujuanku?" tanya Toa-koh dengan
tertawa. "Soalnya calon pilihanku ini perlu mendapatkan
anggukanmu." kata Wi-bu dengan tersenyum. "Dengan begitu
baru mungkin dia mau menjadi Congpiauthau kami. Bilamana
engkau tidak mengizinkan, kemungkinan yang kuharapkan
bisa jadi akan gagal sama sekali."
"Sesungguhnya siapa yang kau maksudkan?" tanya Toa-koh
dengan heran. "Ialah putramu!" kata Wi-bu.
"Ah, kenapa timbul pikiranmu yang lucu ini, mana Se-kiat
mampu memikul tugas berat ini?" kata Toa-koh.
"Aku justru menganggap cuma dia yang sanggup memikul
tugas perusahaan," ujar Han Wi-bu. "Putramu pernah
bertempur sama kuat dengan Kwan-tang-taihiap Utti Beng, hal
ini sudah tersiar luas di dunia kangouw, bicara tentang
kebesaran nama dia lebih dari cukup untuk menjabat
Congpiauthau sebuah piaukiok."
"Tapi Cin-wan-piaukiok bukanlah piaukiok biasa melainkan
piaukiok paling besar di kotaraja ini!" kata Toa-koh.
"Justru lantaran Cin-wan-piaukiok, maka baru cocok
Congpiauthaunya dijabat oleh putramu," kata Wi-bu mantap.
"Ya, kupaham maksudmu, tentu hal ini disebabkan
pemegang saham terbesar perusahaanmu ini adalah paman
Se-kiat, begitu bukan?"
"Memang, keponakan kan lebih dekat daripada murid,
ditambah lagi hal ini diusulkan olehmu sendiri kepada adikmu,
tentu dia sungkan untuk menolak. Dan bila jadi putramu
menjadi penggantiku, segalanya tidak perlu kukuatirkan lagi."
"Oo, memangnya kau percaya penuh se-kiat takkan
membantu pamannya mencaplok seluruh perusahaanmu ini,"
tanya Toa-koh. "Sedikit banyak cukup kukenal pribadi saudara Se-kiat,"
kata Wi-bu dengan tertawa. "Kuyakin dia tidak dapat
dipersamakan dengan Bin Sing-liong. Apalagi dia adalah anak
didikmu sendiri, ibu baik tentu mengeluarkan anak bagus, bila
tidak kupercayai dia kan sama saja aku tidak percaya
padamu" Dan kalau aku tidak percaya padamu, untuk apa
kuundang engkau datang kemari untuk memberi keadilan?"
"Huh, tidak perlu kau sanjung puji diriku," jawab Toa-koh
dengan tertawa. "Terus terang kukatakan padamu. Se kiat dan
pamannya tidak mungkin cocok. Se-kiat tidak akan
membonceng nama pamannya. sebaliknya pamannya juga
takkan percaya kepada Se-kiat."
"Jika engkau mengemukakan gagasan ini tentu adikmu
akan menurut," ujar Wi-bu.
"Tidak," kata Toa-koh. "Pertama sesuai dengan watakku
yang keras, jelas aku tidak suka kepada perbuatan adikku dan
dengan sendirinya takkan kuminta dia mengangkat anakku,
seumpama aku mau minta persetujuannya, Se-kiat juga
takkan datang kemari, sebab sudah sekian lamanya dia pergi,
aku sendiii tidak tahu saat ini berada di mana dan kapan akan
pulang." Wi-bu rada kecewa, katanya, "Jika demikian. terpaksa
usulku ini dianggap tidak pernah ada."
"Biarlah kugunakan caraku sendiri saja," ujar Toa-koh.
"Menurut pendapatku, sebaiknya menantumu saja diangkat
sebagai penggantimu. Bolehkah sekarang juga suruh dia
menemuiku?"
Selagi Han Wi-bu merasa ragu, tahu-tahu menantunya,
yaitu Hiu Thian-lan sudah datang tanpa dipanggil.
"Aha, sungguh kebetulan, baru disebut orangnya sudah
muncul," kata Toa-koh.
"Maaf jika wanpwe mengganggu," kata Hiu Thian-lan.
Han Wi-bu merasa heran juga Hiu Thian-lan datang tanpa
dipanggil, padahal ia sudah memberi pesan kepada penjaga
agar orang lain dilarang masuk tanpa izinnya. Tapi ia pun tidak
enak untuk menegur menantu sendiri, segera ia berkata.
"Boleh kau duduk, memang sedang hendak kupanggilmu."
Thian-lan melengak, tanyanya, "Suhu, apakah engkau
sudah tahu hal ini?"
Wi-bu menjadi heran juga, ia balas tanya,
"Hal apa?"
"Di luar ada seorang tamu yang minta kita mengawalkan
barangnya," tutur Hiu Thian-lan. "Tamu ini kelihatan rada
Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aneh." Baru sekarang Wi-bu dan Toa-koh tahu kedatangan Hiu
Thian-lan ini karena ada urusan lain, dengan kening bekernyit
Wi-bu berkata, "Urusan perusahaan boleh suruh Li-koansu
melayaninya."
"Justru Li koansu tidak tahu cara bagaimana melayani tamu
aneh itu, maka dia minta petunjuk kepada Congpiauthau,"
tutur Thian-lan.
"O, jika begitu coba jelaskan, syarat berat apa yang
dikehendaki tamu itu" tanya Wi-bu
"Syaratnya sih tidak berat, cuma rada aneh," lapor Thianlan,
"Dia tegas-tegas menyebut nama dua jago pengawal kita
dan minta mereka yang mengawalkan barangnya."
Menurut peraturan perusahaan pengawalan barang, setiap
tamu boleh menunjuk nama jago pengawalnya terkecuali
Congpiauthau sendiri.
Tamu demikian biasanya pasti sudah kenal seluk-beluk
piaukiok ini dan kenal jago pengawal mana yang
berkepandaian tinggi dan bergaul luas, demi keselamatan
barang kawalannya maka jago pengawal yang dikaguminya itu
diminta turun tangan sendiri.
Cuma meski berlaku peraturan begitu di perusahaan
pengawalan, nemun selama ini Cin-wan-piaukiok tidak pernah
menerima order pekerjaan begini. Hal ini disebabkan, pertama
Cin wan-piaukiok adalah perusahaan pengawalan nomor satu
di kotaraja, asalkan panji perusahaan sudah dipasang, setiap
jago pengawalnya dapat menjelajah kemana pun tanpa
gangguan. Selain itu, menurut peraturan, bilamana menunjuk
jago pengawal, biayanya harus bertambah lipat.
Maka Wi-bu lantas bertanya, "Kedua piausu siapa yang
ditunjuknya?"
"Ialah kedua adik Peng-ki dan Lian-kui," tutur Thian-lan.
Keterangan ini membuat Song Peng-ki dan Oh Lian-kui
sama terkejut, seru mereka, "Hah, jelas kedua tamu ini
sengaja mencari gara-gara kepada kami."
Hendaklah maklum. pengalaman Peng-ki dan Lian-kui
belum banyak, nama mereka belum terkenal, di dunia
perusahaan pengawalan juga termasuk orang baru, bicara
tentang ilmu silat dan nama jelas mereka tidak masuk
hitungan. "Pantas kau bilang kedua tamu itu rada aneh," kata Toakoh
kemudian. "Dan tampaknya memang rada aneh. Hm,
jangan-jangan tamu ini menghargai kalian lantaran mengingat
kepada gurumu."
"Sesungguhnya macam apa tamu itu" Dan barang apa yang
akan dikirim?" tanya Wi-bu.
"Dia berdandan sebagai Kongcu perlente, usianya masih
sangat muda, tampaknya belum ada 20," tutur Thian-lan.
"Barang yang di-tanggungkan kepada kita adalah barang
rahasia, yang penting dia bersedia memberi biaya seribu tahil
emas." Barang kawalan umumnya dibagi menjadi barang terang
dan barang gelap atau rahasia, artinya tidak dijelaskan barang
apa yang di tanggungkan itu.
Honorarium untuk barang kawalan terang tentu saja
menurut tarip umum yang berlaku sesuai jenis barangnya.
Sedangkan barang kawalan yang dirahasiakan pihak piaukiok
tidak perlu tahu apa jenis barang kawalannya, barang rahasia
itu terdiri dari benda mestika dan ditutup rapat serta disegel.
Biaya pengawalan ditentukan menurut perundingan, dan
srbagai harga tanggungan adalah satu banding srpuluh,
artinya bila biaya pengawalan seribu tahil emas. bila barang
dibegal dan hilang. maka pihak piaukiok harus ganti rugi
sepuluh kali Hpat, jadi sepuluh ribu tahil emas.
Keruan Han Wi-bu terkejut, katanya, "Sungguh luar biasa,
biarpun seluruh kekayaan Cin-wan-piaukiok juga tidak ada
sepuluh ribu tahil emas."
"Jika begitu, biarlah kujawab dia bahwa kita tidak menerima
barang kirimannya ini, begitu?" tanya Thian-lan.
Wi-bu menggeleng kepala, katanya, "Nanti dulu, selama ini
Cin-wan-piaukiok tidak pernah menolak rezeki yang
disodorkan kepadanya. Urusan ini bukan soal honorarium
melulu melainkan kita harus jaga gengsi, harus jaga nama
baik dan merek Cin-wan-piaukiok, paham tidak?"
"Ya, kupaham, justru lantaran malah Li-koansu dan aku
merasa serba sulit untuk menghadapi mereka," kata Thian-lan.
"Cuma, setelah dia menunjuk kedua adik Oh dan Song sebagai
pengawal, rasanya memang rada......."
"Tidak perlu bicara tergegap," kata Toa koh. "Padahal
bukan cuma kalian saja, aku sendiri pun tidak percaya
bilamana barang kawalan penting diserahkan kepada kedua
Sutitku." "Sudahkah Li-koansu berunding dengan dia dan minta dia
menunjuk piausu yang lain?" tanya Wi-bu.
"Sudah, malahan aku sendiri mendapat malu." tutur Thianlan.
"Mendapat malu bagaimana?" tanya Wi-bu pula.
"Li-koansu mengusulkan aku yang tampil sebagai pengawal
dan menjelaskan aku adalah wakil Congpiauthau perusahaan
ini," kata Thian lan. "Siapa tahu tamu itu malah berolok dan
menyindir."
"O, dia memandang rendah padamuf" tanya Wi bu, dari
ucapannya ini jelas ia sendiri cukup menghargai menantu
kesayanganuya ini. Thian-lan bertutur pula, "Ia menyatakan
bahwa yang diutamakannya bukan cuma nama kosong belaka
melainkan kepandaian sejati. Ia bilang wakil Congpiauthau di
sini mungkin bukan manusia yang cuma bernama kosong saja,
tapi sebelum dikenalnya, yang dipercaya hanya kedua piausu
yang telah ditunjuknya itu."
"Apakah kau hadir pada waktu dia bilang begitu?" tanya Wi
bu "Tidak, aku berada di ruang dalam. tapi semuanya
kudengar dengan jelas," jawab Thian-Lan.
"Mendergar itu, tentu saja engkau penasaran bukan?" tanya
Wi-bu dengan tertawa.
"Masa tidak"!" sahut Thian-lan. "Kemudian si koancu masuk
dan berunding denganku, ku bilang bilamana tidak ada
larangan piaukiok agar tidak boleh bertengkar dengan pihak
tamu, sungguh aku ingin mencobanya langsung. Tapi Likoansu
mencegah agar jangan sembarangan kucoba dia."
"Mengapa Li-koansu bicara begitu?"" tanya Wi-bu pula.
"Sebab dia bilang ilmu silat pemuda itu sukar diukur, selaku
wakil pemimpin umum perusahaan, bila kecundang, tentu
nama baik akan runtuh," tutur Thian-lan.
Tergerak hati Nyo Toa-koh, tanyanya, "Dari mana dia tahu
ilmu silat pemuda itu sukar diukur?"
"Meski kepandaian Li-koansu ksmi ini tidak tergolong kelas
satu, tapi pandangannya memang lain daripada yang lain,"
tutur Thian-lan.
Bicara sampai di sini, tiba-tiba di luar ada orang berseru,
"Congpiauthau, ada urusan hendak kulaporkan!"
Orang itu berseru di luar, namun suaranya seperti bergema
di tepi telinga setiap pendengarnya. Tentu saja Nyo Toa-koh
melengak, pikirnya. "Tidak lemah juga lwekang orang ini,
entah siapa dia?"
"Kembali datang lagi seorang yang baru di singgung dan
segera muncul orangnya," kata Wi-bu dengan tertawa, "Itu dia
Li-koansu- Silakan masuk Li-koansu!"
Maka terlihatlah masuk seorang lelaki bermuka burik, lebih
dulu ia memberi hormat kepada Nyo Toa-koh, lalu berkata,
"Sudah lama tidak berjumpa, Toa-koh, semoga engkau sehatsehat
saja." "Eh, Li burik, kiranya kau." Seru Toa-koh. "Mengapa engkau
tidak menjadi copet lagi, tapi menjadi pegawai piaukiok?"
Si burik she Li itu menyengir, jawabnya, "Habis menjadi
pencopet terlalu banyak saingan, terutama si Thio gembira
yang sukar di tandingi, terpaksa aku ganti profesi."
Kiranya Li burik ini adalah si copet sakti nomor dua di dunia
ini, sudah lama terkenal kepandaiannya merogoh saku orang
tanpa diketahui pemiliknya, dia juga mahir ilmu merias muka.
Belasan tahun yang lalu Li burik pernah berlomba dengan
Thio gembira, dalam hal kepandaian mencopet Li burik
memang kalah cekatan sedikit daripada Thio gembira, tapi
soal menyamar justru Li burik teerlebih hebat.
Kedua orang yang sama profesinya itu merasa sangat cocok
satu sama lain, mereka bertukar pikiran dan terikat menjadi
sahabat baik. Nyo Toa-koh sendiri dahulu pernah dipermainkan oleh Thio
gembira, waktu itu Li burik yang telah membantunya sehingga
mengurangi kesukarannya. Maka bibi besar kita ini berkesan
baik terhadap si burik.
"O, rupanya kalian sudah lama kenal," kata Han Wi-bu
kemudian. "Jika begitu urusan tambah lebih baik. Li-koansu,
tamu itu belum pergi bukan" Apakah perlu aku tampil sendiri
untuk melayani dia?"
Li burik menjawab, "Tamu itu masih menunggu di luar,
sementara ini sudah kusabarkan dia, mungkin takkan timbul
perkara. Maka ingin kulaporkan dulu suatu urusan penting
lain." "O, ada urusan lain apa lagi?" tanya Wi-bu.
"Bin Sing-liong mengirim orang kemari dan mengundang
Peng-ki dan Lian-kui ke rumahnya," tutur Li burik.
Dengan serba susah Peng-ki berkata, "Ai, entah soal sulit
apa pula yang hendak Toa-suko berikan kepada kami. Coba
Sukoh, kami harus penuhi panggilannya atau tidak?"
"pergi saja, kenapa tidak?" kata Toa-koh, "Biar kupergi
bersamamu."
"Tapi tamu itu minta mereka mengawal barangnya, lalu
cara bagaimana melayaninya?" ujar Thian-lan.
"Akan kuselesaikan dia." Kata Toa-koh. Lekas Wi-bu
menyela, "Maksud baik Lo toaci sungguh harus dipuji, Cuma
urusan piaukiok kami ini, kukira .... "
"O, engkau tidak ingin kuikut campur urusan piaukiok
kalian?" tanya Toa-koh.
"Harap Lo toaci jangan salah paham," kala Wi-bu. "Kami
hanya tidak ingin membikin marah tamu itu, kecuali dia
memang sengaja mencari perkara, tentu lain persoalannya."
"Keparat itu sengaja menunjuk piausu kroco tanpa
menghiraukan piausu lain yang sudah terkenal, jelas dia
sengaja mencari perkara, masa kau bilang tidak?"
"Ya, tujuannya memang harus diragukan," kata Wi-bu.
"Cuma dia menyewa jago pengawal kita menurut peraturan,
terpaksa kami harus meladeni menurut aturan juga, untuk itu
kami akan mencari akal untuk mengenyahkan dia."
Nyo Toa-koh merasa kurang senang, katanya, "Baik, jika
begitu silakan kau cari akal, namun kukira Bin Sing-liong tak
dapat menunggu lagi lebih lama."
Han Wi-bu berpaling dan tanya Li burik, "Li-koansu, apakah
sudah kau coba kepandaian tamu itu?"
"Mana kuberani melanggar peraturan piaukiok?" jawab Li
burik. "Menurut cerita Thian-lan, agaknya sudah kau ketahui
betapa kepandaiannya?" kata Wi-bu.
"Hanya berdasarkan penglihatanku saja, entah tepat tidak,
untuk itu diharap Congpiauthau sendiri yang menentukannya,"
jawab Li burik.
"Sebentar akan kutemui dia, coba uraikan dulu
pandanganmu," kata Wi-bu.
"menilai orang harus dimulai dari matanya," tutur Li burik.
"Sinar mata orang ini mencorong dan sangat berbeda daripada
orang biasa."
"Betul, setiap orang yang menguasai kungfu tinggi
kebanyakan bersinar mata tajam, tapi melulu ini saja tidak
dapat menentukan gegalanya," ujar Wi-bu.
"Tapi bila ditambah lagi sesuatu keistimewaannya rasanya
hampir dapat memastikan kehebatannya," tukas Li burik.
"Ada keistimewaan apa lagi?" tauya Wi-bu.
"Dia tidak menemui kita dengan wajah aslinya, untuk hal ini
aku yakin takkan keliru," tutur Li burik.
"Maksudrnu dia menyamar?" tanya Wi-bu. "Ya, engkau
adalah ahli rias, bila bocah itu main menyamar, tentu saja
sukar mengelabui pandanganmu."
"Menurut dugaanku, besar kemungkinan dia bukan kaum
kroco," kata Li burik. "Karena kuatir dikenali orang, maka dia
menyamar."
"Menurut pandanganmu, apakah usianya yang sebenarnya
jauh lebih tua daripada samarannya?" tanya Nyo Toa-koh tiba
tiba. "Menurut cerita Thian-lan tadi, usianya kira-kira Cuma
20-an." "Betul, bilamana benar dia tokoh yang sudah ternama,
tentu takkan berusia semuda itu," ujar Wi-bu.
Tak terduga Li burik lantas menjawab, "Menurut
pandanganku usianya justru lebih muda daripada samarannya,
mungkin sekali belum ada 20 tahun. Dan di sinilah letak
keanehan yang kuherankan. Bila tidak salah pandanganku,
tenaga dalamnya justru menyerupai tokoh yang mempunyai
latihan selama 30 tahunan."
"O, bisa terjadi begitu," kata Thian-lan dengan heran.
"Memangnya dia sudah berlatih kungfu sejak masih berada
dalam kandungan ibunya?"
"Tapi bisa jadi pandanganku keliru, untuk itu silakan
Congpiauthau menilainya sendiri," ujar Li burik.
Wi-bu berpikir sejenak, katanya kemudian, "Kupercaya
penuh kepada pandanganmu, jika demikian, maksud tujuan
kedatangan pemuda ini menjadi lebih sukar dijajaki. Begini
saja, Peng ki dan Lian kui tetap pergi menemui Toa suhengmu
tesuai rencana dan tamu muda ini biar kulayani sendiri."
Song Peng-ki dan Oh Lian-kui mengiakan, lalu mereka
tanya Nyo Toa-koh, "Sukoh, engkau akan pergi bersama kami
atau biarkan kami berangkat lebih dulu?"
"Aku justru menghendaki kalian tunggu sebentar lagi,"
jawab Toa koh mendadak. "Eh, Han tua, aku jadi ingin tahu
orang macam apakah anak muda itu, habis itu baru akan
kuputuskan tindakan selanjutnya. Adakah tempat yang dapat
kugunakan mengintip agar tidak diketahui bocah itu?"
"Ada siih ada, Cuma, apakah yang akan diputuskan oleh Lo
toaci?" tanya Wi-bu.
"Jangan kuatir " jawab Toa-koh dengan terfawa. "Tidak
nanti kubikin susah tamu kalian, jika sudah kuiihat, bisa jadi
akan kuizinkan krdua Sutitku ini menerima permintaannya
untuk mengawal barangnya."
Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wi-bu melengak, katanya, "Jadi maksud-mu, engkau
merasa yakin akan mampu melihat asal-usul bocah ini?"
"Aku tidak merasa pasti mampu, tapi aku pun tidak
bermaksud setelah mengetahui dengan pasti dia memang
orang baik, lalu kuizinkan Peng-ki dan Lian-kui mengawalkan
barangnya. Cuma saja kuminta engkau menyerahkan urusan
ini kepadaku untuk memutuskannya."
Wi-bu tidak tahu apa kehendak orang, tapi mengingat
meski julukan orang adalah Kwan-im bertangan pedas,
dengan pengalaman kangouw selama berpuluh tahun, rasanya
takkan sembarangan bertindak.
Setelah berpikir sejenak, lalu ia berkata, "Baiklah, nasib Cinwanpiaukiok selanjutnya kuserahkan kepada Lo toaci, cara
bagaimana baiknya urusan ini boleh kau kerjakan saja."
"Terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku," kata Toakoh.
"Sekarang boleh kita berunding dulu. Sebentar
hendaknya kau kerjakan menurut keputusanku."
Sesudah berunding, Nyo Toa-koh bersama Peng-ki dan
Lian-kui lantas bersembunyi di suatu ruangan belakang kamar
tamu, ruangan itu terletak di atas loteng yang dapat
memandang dengan jelas keadaan di kamar tamu, sebaliknya
sukar pihak tamu akan melihat mereka.
Han Wi-bu sendiri lantas menuju ke ruang tamu bersama Li
burik. Kongcu muda berdandan perlente itu tampaknya agak
gelisah menunggu, begitu melihat Li burik muncul, seketika ia
berkerut kening dan menegur, "Kenapa tidak mempertemukan
aku dengan Song dan Oh berdua piausu kalian?"
Dari ucapan orang, Wi-bu pikir jelas orang sudah kenal
Peng-ki dan Lian-kui. Namun ia berlagak tidak tahu dan diam
saja. Dengan tertawa Li burik lantas menjawab, "Kuperkenalkan
dulu, inilah Han-toaya, Congpiauthau kami."
Cin-wan-piaukiok adalah perusahaan pengawalan nomor
satu di kota raja, kedudukan Congpiauthau tentu sangat
terhormat, sekalipun ketua sesuatu golongan atau perguruan
ternama juga merasa segan bila berhadapan dengan Han Wibu.
Siapa tahu anak muda ini seperti tidak mengacuhkannya,
jawabnya dengan hambar, "Han-congpiauthau sendiri
menemuiku. Sungguh suatu kehormatan besar bagiku. Cuma
yang kuminta adalah pengawalan barangku oleh kedua piausu
kalian, tidak berani kuharapkan jasa Congpiauthau sendiri."
Meski dia bilang mendapat kehormatan besar, padahal
sikapnya justiu sangat kaku.
Diam-diam Han Wi-bu mendongkol juga, namun dia
sengaja tersenyum dan berucap, "O, apakah tidak boleh jika
kutampil sendiri mengawal barangmu?"
"Tidak berani kuharapkan jasa Congpiauthau, cukup
kuminta peraturan umum yang berlaku saja di dunia
perusahaan pengawalan," kata pemuda itu.
"Betul juga, menurut peraturan memang pemberi order
boleh menunjuk piausu yang dikehendaki, tapi kan juga bisa
dikecualikan."
"Kutahu, hanya dalam dua keadaan saja harus
dikecualikan," kata pemuda itu. "Pertama, kalau piausu yang
diminta itu tidak berada di tempat. Kedua, bila Congpiauthau
memutuskan mereka dilarang mengawal. Tapi bila disebabkan
keadaan kedua ini, Congpiauthau harus mengemukakan
alasan yang cukup melalui orang yang dapat dipercaya. Kalau
tidak, Congpiauthau dan piausu yang ditunjuk itu yang harus
meninggalkan kedudukannya."
"Tampaknya Anda memahami benar peraturan yang
berlaku di dunia piaukiok," kata Wi-bu.
"Dan Li-koansu kalian tadi sudah mengatakan padaku
bahwa Song dan Oh berdua piausu berada di sini," kata pula
pemuda perlente itu.
"Memang betul," jawab Wi-bu.
"Jika begitu, jadi engkau melarang mereka mengawal
barangku ini?"
"Aku tidak bicara demikian, Cuma . . . . "
"Bila Congpiauthau mengizinkan mereka, maka kuharap
tidak perlu buang-buang waktu lagi," kata pemuda itu.
"Kumohon mereka dipanggil kemari untuk berunding
denganku mengenai tugasnya dan tidak perlu lagi ini dan itu."
"Kukira Anda juga tidak perlu terburu-buru," ujar Wi-bu.
"Silakan duduk dan minum dulu, biar kuberitahukan dengan
pelahan." Sementara itu pelayan sudah membawakan teh panas, Wibu
mengangkat poci untuk menuang teh. Poci diangkatnya
tinggi-tinggi, katanya tanpa memandang cangkir, "Inilah teh
pilihan dari Kangsai, minum secangkir kecil saja dapat
menghilangkan dahaga."
Cangkir itu sudah tertuang penuh, tapi Wi-bu masih terus
menuang. Malahan air teh sudah meluber ke permukaan
cangkir, tapi aneh juga, setitik pun tidak tercecer.
Padahal air teh itu dituang dari ketinggian, bilamana tenaga
dalam Wi bu tidak terkuasai dengan benar, tentu air teh yang
meluber itu akan tumpah keluar cangkir.
Tapi sekarang setitik saja tidak tercecer, siapa pun dapat
melihatnya bahwa Han Wi-bu memang sengaja pamer
kekuatan, dengan alasan menyuguh teh hendak
memperlihatkan kehebatan lwekangnya.
Sebenarnya menurut peraturan, piaukiok dilarang keras
menguji kepandaian tamunya. Tapi pamer kekuatan sendiri,
hal ini tidak pernah dilarang secara tertulis, bahkan dalam
keadaan tertentu malahan dianjurkan. Sebab dengan cara
demikian hati pemberi order dapat dibuat mantap, jika tamu
percaya penuh barulah transaksi bisa terlaksana.
Namun tujuan Han Wi-bu pamer kepandaian jelas bukan
untuk terlaksananya transaksi. Sebaliknya maksud tujuannya
justru untuk menolak dan menyuruh anak muda itu mundur
teratur. Jika Li burik dapat melihat anak muda ini menguasai kungfu
yang tinggi, dengan sendirinya Han Wi-bu juga dapat
melihatnya. Meski dia tidak dapat memastikan betapa tinggi kepandaian
pemuda ini, namun dapat diperkirakan pasti jauh lebih tinggi
daripada Song Peng-ki dan Oh Lian-kui. Dari sini tentu saja
dapat ditarik kesimpulan kedatangan pemuda ini memang
sengaja hendak cari perkara. Kalau tidak untuk apa dia
menunjuk kedua piausu yang berkepandaian jauh lebih rendah
daripada dia ini.
Maka sekarang ia telah memperlihatkan lwekang sendiri
yang cukup sempurna, maksudnya supaya anak muda itu tahu
diri dan boleh coba mengukur kepandaian sendiri dan segala
kemungkinannya.
Begitulah terdengar Li burik berkata, "Cangkir sudah penuh.
Conspiauthau."
Baru sekarang Han Wi-bu berlagak menyadari hal itu,
serunya, "Wah, celaka, aku asyik bicara, sampai lupa isi
cangkir meluber. Awas, harap Tuan tamu menerima dengan
hati-hati."
Selagi ia hendak mengangkat cangkir itu dan diberikan
kepada tamunya, tahu-tahu pemuda itu sudah bergerak lebih
dulu, katanya, "Terima kasih!"
Berbareng kedua jarinya memegang cangkir dan diputar
sedikit, cangkir seperti lengket saja pada jarinya dan
terangkat. Han Wi-bu dan Li burik berpengalaman luas, tapi cara orang
memegang cangkir itu sungguh istimewa, tanpa terasa mereka
sama melongo. Ketika cangkir mendekat mulut, sebelum menempel bibir air
teh sudah terserot ke dalam mulut.
Pemuda itu hanya minum setengah cangkir saja, katanya.
"Ehm, teh sedap!"
Ia berkecap-kecap bibir, lalu berkata pula, "Pahit tanpa
getir, di tengah pahit terasa manis, sungguh teh bagus. Teh
bagus tidak boleh diminum ala kerbau, tapi harus dirasakan
dengan nikmat, sisa setengah cangkir biar kuminum dengan
pelahan." Jika pihak piaukiok dilarang menguji kepandaian pihak
tamu, tapi sekarang kungfu anak muda itu sudah teruji
dengan jelas. Terdengar pemuda itu berkata pula, "Terima kasih atas
hadiah teh sedap ini. Dan sekarang tentunya Congpiauthau
dapat memberitahukan padaku, alasan apa Song dan Oh
berdua piauthau tidak boleh mengawal barangku?"
"Mungkin mereka tidak dapat menerima pekerjaanmu ini,
sebab kebetulan hari ini mereka ada urusan lain dan entah
sampai kapan baru mereka dapat menyelesaikan tugasnya,"
tutur Wi-bu. Baru bicara, terlihat Song Peng-kui dan Oh Lian-kui
melangkah masuk.
"Aha, tentu keduanya inilah Song-piausu dan Oh-piausu,"
seru anak muda itu.
"Betul, urusan pekerjaanmu itu boleh kau rundingkan
dengan mereka langsung saja," kata Wi-bu.
Setelah diamati, Peng ki dan Lian-ki merasa sudah kenal
pemuda ini, Cuma di mana sesungguhnya pernah bertemu
sukar teringat.
Song Peng-ki adalah juheng, dia yang bicara lebih dulu,
"Maaf, kelambatan kedatangan kami. Siapakah nama Anda
yang mulia?"
"Aku she Tong." Jawab pemuda itu. Ia hanya menyebut she
saja tanpa menerangkan namanya, hal ini makin menambah
rasa sangsi Han Wi-bu, pikirnya, "Jangan-jangan dia anggota
keluarga Tong dari Sujoan?"
Keluarga Tong di propinsi Sujoan terkenal sebagai keluarga
persilatan yang dipandang misterius. Keluarga Tong mahir
membuat am-gi atau senjata rahasia yang direndam dengan
racun, ilmu silatnya juga sangaf aneh, biasanya anak murid
keluarga Tong suka pergi datang sendirian dan jarang
berhubungan dengan orang kangouw.
"Rasanya kami belum pernah kennl Tong-heng, entah
mengapa Tong-heng justru menaruh perhatian terhadap
kami?" tanya Song Peng-ki.
Pemuda yang mengaku she Tong itu menjawab, "Orang
terkenal namanya, pohon besar karena bayangannya.
Lantaran kagum kepada nama kebesaran kalian berdua, maka
sengaja kuminta kalian suka mengawal barangku."
Peng-ki menjawab, "Tong-heng sengaja menyanjung puji
diriku, tapi kulit muka kami rasanya tidak begitu tebal untuk
menerimanya. Terus terang, kedudukan kami dalam Cin wanpiaukiok
tidak lebih Cuma pegawai biasa saja dan belum
pernah memikul tugas yang berat. Piausu serupa kami ini
hanya terhitung Bu-beng-siau-cut (perajurit tak bernama atau
kroco) saja."
"Ah, aku tidak peduli kalian ini Bu-beng-siau-cut atau tokoh
terkenal, cukup asalkan aku menaruh kepercayaan kepada
kepandaianmu dan semuanya tidak perlu dipikirkan," kata
pemuda itu. "Tapi kepandaian kami sesungguhnya memang rendah,
apakah Tong-heng tidak salah informasi?" ujar Song Peng-ki.
Oh Lian-kui lebih muda, timbul rasa ingin tahunya, ia coba
tanya, "Selama ini kami tidak kenal Tong-heng, entah dari
mana engkau mengetahui kemampuan kami?"
"Kudatang untuk memberi pekerjaan dan bukan untuk
minta ditanya." Jawab pemuda itu. "Pendek kata, tidak perlu
kalian tanya dari mana kuterima informasi, aku Cuma ingin
tahu, kalian mau mengawal barang kirimanku atau tidak"
Kesudian biayanya senbu tahil emas."
"Anda sedemikian menghargai kami. Sepantasnya biarpun
terjun ke lautan api juga harus kami bekerja bagimu," jawab
Peng-ki. "Cuma sayang, hari ini kebetulan kami mempunyai tugas
lain dan segera harus berangkat, susahnya tidak tahu kapan
tugas kami ini akan selesai, maka maksud baik Anda terpaksa
tak-dapat kami terima."
"Dapatkah kau terangkan kalian ada urusan lain apa yang
lebih penting?" tanya pemuda itu.
"Boleh, soalnya kami dipanggil Toa suheng kami, katanya
ada urusan penting," tutur Peng-ki.
"Toa suheng kalian bernama Bin Sing-liong bukan?"
"Betul," jawab Peng-ki terus terang, jawaban lugu ini di luar
dugaan Han Wi-bu juga.
Terdengar Peng ki menyambung lagi, "Menurut peraturan
piaukiok, seharusnya tidak boleh kami tolak pekerjaan
langganan, tapi panggilan Suheng kami juga tidak dapat
dibantah, kepergian kami pun tidak tahu makan waktu berapa
lama, daripada mombikin runyam urusan Anda, maka lebih
baik silakan Anda mencari piausu lain saja."
"Niatku hanya memakai tenaga kalian saja, piausu lain pasti
aku tidak mau," kata pemuda itu setelah berpikir sejenak.
"Tapi kami memang serba susah," ujar Peng-ki, "Bilamana
Anda tetap menghendaki tenaga kami, maka silakan Anda
mencarikan akal yang baik bagi kami."
Pemuda itu minum habis sisa teh tadi, tiba-tiba ia berkata,
"Kutahu Suheng kalian adalah seorang pembesar, kata
pribahasa, orang miskin takkan bermusuhan dengan orang
kaya, orang kaya takkan bertengkar dengan pembesar. Nah,
baiklah, anggap aku yang lagi sial, urusanku ini kubatalkan."
Kata "batal" dari mulut pemuda itu sungguh di luar dugaan
Peng-ki berdua.
Rupanya tanya jawab mereka ini dilaksanakan menurut
petunjuk Nyo Toa-koh, menurut perkiraan Nyo Toa-koh
mungkin sekali pemuda itu masih akan ngotot minta
pengawalan Peng-ki berdua.
Dengan alasan Peng-ki tadi, mestinya pemuda itu dapat
mengusulkan, misalnya bersedia menunggu beberapa hari lagi
sesudah Song Peng-ki berdua menyelesaikan urupannya
dengan Suheng mereka, atau mereka berdua boleh
melaksanakan pekerjaan secara membagi tugas, yang seorang
memenuhi panggilan suhengnya, yang lain sementara tinggal
di sini untuk berunding dengan dia.
Bilamana pemuda itu ngotot minta mereka mengawal
barangnya cara begitu, maka Nyo Toa-koh sudah mengizinkan
mereka menerima tawarannya.
Tak terduga, hanya suara geledeknya saja yang keras, air
hujan ternyata Cuma menetes saja. Begitu mereka
menonjolkan nama Bin Sing-liong, anak muda itu kena
Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
digertak dan mundur teratur.
Tapi dengan mundurnya anak muda itu, Han Wi-bu berbalik
merasa terbebas dari beban berat.
Segera ia berdiri dan berkati, "Banyak terima kasih atas
penghargaan Anda terhadap piausu kami, walanpun transaksi
tidak jadi kami tetap berterima kasih."
Dia berdiri dengan lagak mengantar tamu.
Pemuda itu juga tidak rewel lagi, ia merogoh keluar
sepotong emas dan berkata, "Sayang tidak berhasil minta jasa
baik kedua piausu di sini dan telah banyak mengganggu waktu
kalian yang berharga. Lima puluh tahil emas ini bukanlah
hadiah melainkan sekadar tanda hormatku saja."
"Ah, mana boleh jadi," seru Peng-ki. "Kami tidak dapat
bekerja bagi Anda, tanpa berjasa mana boleh menerima
hadiah. Mohon Anda suka menerimanya kembali."
Pemuda itu tertawa, katanya, "Sedikitnya kalian sudah dua
tahun bekerja di sini bukan" Masa engkau belum lagi paham
peraturan piaukiok?"
"Biarpun menurut peraturan piaukiok juga tidak perlu bayar
sebanyak ini," tukas Han Wi-bu.
"Uang pemberian tidak pada tempatnya kami tidak mau
terima." Kiranya menurut peraturan kangouw, barang siapa minta
pengawalan dengan menunjuk nama piausu yang dikehendaki,
kalau urusan tidak jadi demi menghargai piausu yang
ditunjuknya itu, sedikit banyak si tamu harus membayar "uang
kopi" sekadarnya. Biasanya "uang kopi" ini kira-kira sama
dengan satu persen dari pada honor yang dijanjikannya. Maka
menurut perhitungan, pemuda itu cukup memberi sepuluh
tahil emas, padahal ini pun menurut kebiasaan saja dan bukan
peraturan tertulis.
Tak terduga, mendadak pemuda itu menjawab "Aku tidak
membawa uang receh, bila mana kalian mau pakai hitungan
begitu, maka bolehlah kalian memotong saja lantakan emas
ini." Terkesiap Wi-bu, pikirnya, "Rupanya dia hendak menguji
kepandaianku lagi."
Kiranya ketika pemuda itu menaruh lantakan emasnya di
atas meja, sekali gabruk emas itu lantas ambles dan terjepit
rata di permukaan meja.
Tidak sulit bagi Han Wi-bu untuk mengeluarkan lantakan
emas itu, tapi untuk itu diperlukan juga waktu, untuk
memotong lantakan emas itu begitu saja jelas tidak mungkin
terlaksana. "Wah, rasanya aku tidak sempat menunggu lagi, biarlah
sisanya kutitip saja di sini," ujar pemuda itu dengan tertawa.
"Ai, jadi manusia kan juga jangan terlalu serius dalam segala
hal." Lalu ia melangkah pergi.
Ketika Han Wi-bu menggabruk meja sehingga Kim goan po
atau lantakan emas itu mencelat keluar dan disambarnya,
cepat ia memburu ke luar, namun bayangan pemuda itu sudah
tidak kelihatan lagi.
Tertampak di luar berhenti sebuah kereta kuda,
menantunya, yaitu Hiu Thian-lan tampak berdiri di samping
kereta. Wi-bu kenal kereta itu milik piaukiok, sebuah kereta yang
diberi perlengkapan khusus. Tergerak hatinya, cepat ia tanya,
"Thian-lan, siapa yang menyuruhmu menyiapkan kereta ini?"
Belum lagi Thian-lan menjawab, Tampak Song Peng-ki dan
Oh Lian-kui juga ikut keluar. Mereka pun buru-buru tanya
Thian-lan, "Ke mana perginya Sukoh kami?"
"Dia sudah berangkat, ia suruh kalian jangan menunggunya
lagi, beliau yang menyuruh kusiapkan kereta ini bagi kalian,"
tutur Thian-lan.
"Buat apa kereta ini?" tanya Peng-ki.
"Untuk ditumpangi kalian ke tempat Bin Sing-liong," jawab
Thian-lan. "Aneh " Peng-ki mjlengik. "Kenapa perlu menumpang
kereta" "
Tempat tinggal Bin Sing-liong terletak di barat kota, suatu
kompleks perumahan orang gede, jaraknya dari piaukiok
antara tujuh-delapan li, jarak sejauh ini sebenarnya tidak perlu
menumpang kereta.
Maka Han Wi-bu juga merasa heran, pikirnya, "Jika ingin
memburu waktu, suruh mereka menunggang kudakan terlebih
cepat?" Terdengar Thian lan lagi menjawab, "Entah, aku pun tidak
tahu maksudnya. Aku Cuma menuruti pesan Sukoh kalian.
Boleh kau tanya dia nanti kalau bertemu."
Hati Wi- bu tergerak, segera ia tanya, "Apa pula yang
dikatakan Nyo Toa-koh?"
"Dia bilang asal-usul pemuda itu sudah dapat diterkanya
beberapa bagian, nanti bila beliau pulang kemari baru akan
bicara dengan Congpiauthau," tutur Thian-lan, "Selain itu
beliau juga menyuruhku menya,paikan pesannya kepada Song
dan Oh berdua, katanya apa pun yang kalian jumpai nanti
hendaknya jangan kuatir dan gugup. Kalau bertemu dengan
Bin Sing-Iiong hendaknya jangan bilang Sukoh kalian berada
di kotaraja sini."
Wi-bu tertawa, "Jika dia sudah memberi pesan begini.
Bolehlah kalian pergi dan tidak perlu kuatir, Eh, Thian-lan,
sekali ini mungkin kita pun membonceng kehormatan Nyo
Toa-koh sehingga mendapat rezeki tidak kecil."
Begitulah Peng ki dan Lian-kui terus berangkat dengan
menumpang kereta, tidak lama mereka sudah meninggalkan
pusat kota yang ramai dan sampai di bagian kota yang agak
sepi. Hari sudah dekat magrib, saat itu kereta melalui tepi
sebuah kolam, tidak jauh di samping kolam sana ada sebuah
gardu, itulah To yan-ting, sebuah gardu pemandangan yang
terkenal di kota Peking.
Pada saat itulah tampak dua orang muncul dari arah gardu
sana. Waktu Peng-ki memandang ke sana, tiba-tiba ia
menggeleng dan berucap, "Ah, tidak betul, tidak betul,"
"Tidak betul apa?" tanya Lian-kui.
"Keduanya adalah orang yang sudah berumur," kata Pengki.
Tengah bicara, kedua orang itu sudah pergi melalui jalan
kecil sana. Lian-kui lantas berkata pula "Pemuda itu mungkin benar
telah digertak lari oleh nama Bin suko, dugaan Sukoh sekali ini
tampaknya tidak tepat . . . . "
Belum habis ucapannya, sekonyong konyong bayangan
orang berkelebat dari balik gardu.
Peng ki tertawa, katanya, "Sute, sekali ini kukira engkau
yang salah duga."
Cepat amat kedatangan orang itu, baru saja Peng-ki
membelokkan keretanya dan mergitar ke samping gardu,
tahu-tahu orang itu sudah sampai di depan kereta, sekali
pegang seketika kereta itu dihentikan.
Meski sebelumnya Song Peng-ki sudah siap kiaga, tapi
lantaran belum jelas asal-usul orang, ia menjadi rada gugup
juga. Segera ia menghentikan keretanya, katanya dengan
tertawa, "Tong-heng, sesungguhnya kau datang untuk minta
dikawal atau hendak merampas, dalam keretaku ini tidak
terdapat barang berharga."
Pemuda itu tertawa, jawabnya dengan tertawa, "Terus
terang, kedatanganku bukan untuk minta dikawal juga tidak
ada maksud merampas. Cuma, ada suatu urusan justru ingin
kuminta bantuan kalian. Harap berhenti sebentar dan akan
kujelaskan."
Peng-ki berdua turun dari kereta, katanya, "Ilmu silat Anda
berpuluh kali lebih tinggi daripada kami, mana perlu bantuan
kami?" "Jangan kuatir, bukan maksudku minta bantuan kalian
untuk berkelahi," kata pemuda itu.
"Tapi selamanya kita tidak kenal . . . . "
"Haha," pemuda itu tergelak dan memotong ucapan Pengki,
"Tadi kudatang ke piaukiok dan mencari kalian, tentu kalian
terheran-heran dan sangsi bukan?"
"Ya, memang, kami heran dari mana engkau kenal kami
yang tergolong kaum kroco ini," ujar Oh Lian-kui.
Pemuda itu memandang mereka dengan geli, "Coba
pandang yang jelas, masa tidak pernah kau lihat diriku?"
"Rasanya tidak kenal," ujar Lian-kui. "Tapi, eh, seperti juga
sudah pernah melihatmu. Sesungguhnya engkau ini siapa?"
Pemuda itu menjawab dengan tertawa, "Apakah kalian
masih ingat pengemis kecil yang kalian lihat di kelenteng
malaikat gunung di daerah Hwe dulu?"
Serentak Peng-ki dan Lian-kui berseru, "Ah, kiranya engkau
adalah pengemis kecil itu" Jika begitu, jadi . . . jadi engkau ini
Siaute kami yang belum pernah saling kenal itu, Nyo Yam Nyo
sute?" "Betul, memang aku inilah Nyo Yam," jawab pemuda itu.
"Hanya sebelum ini kita memang tidak kenal."
Kiranya Nyo Yam ini adalah putra Nyo Bok, guru mereka.
Baru sekarang Lian-kui sadar duduknya perkara, katanya
dengan tertawa, "Ai, sungguh lucu, orang sendiri tidak saling
kenal. Cuma waktu itu kami pun sudah curiga dibantu olehmu,
Cuma kami tidak tahu mengapa engkau tidak mau
memberitahukan asal-usulmu. Engkau tidak tahu bahwa susah
payah bibimu mencarimu, kedatangannya ke daerah Hwe
dahulu juga khusus hendak mencarimu."
Dulu, di kelenteng gunung itu Peng-ki berdua kepergok
bandit bernama The Hiong-toh, selagi terancam bahaya, entah
mengapa mendadak The Hiong toh terjatuh, karena itulah
mereka sempat kabur dengan selamat. Kini setelah
dibicarakan baru diketahui waktu itu Nyo Yam yang telah
menolong mereka.
Kemudian Nyo Toa-koh datang dan membuat The Hiongtoh
kabur dengan terluka parah, hal itu disaksikan juga oleh
Nyo Yam, namun sejauh itu Nyo Yam yang menyamar sebagai
pengemis cilik tidak memperlihatkan asal-usulnya.
"Waktu itu kutahu bibi lagi mencariku." Tutur si pemuda
alias Nyo Yam. "Tapi urusan yang sudah lalu tidak ingin
kubicarakan lagi. Sekarang ada suatu urusan yang sangat
penting bagiku dan ingin kuminta bantuan kalian."
"Sute," jawab Peng-ki," engkau pernah menyelamatkan jiwa
kami, umpama bukan Sute sendiri juga kami wajib
membantumu, Silakan bicara saja, jangan sungkan "
"Soalnya aku ingin mencari guru kalian, kuharap kalian suka
mencarikan akal cara bagaimana supaya dapat kutemui dia?"
kata Nyo Yam. Hendaknya maklum, Nyo Bok adalah jago pengawal istana,
dia tinggal di dalam istana, meski di luar dia juga punya
tempat tinggal, namun tempat kediamannya tentu juga
dirahasiakan. Sekali ini Nyo Yam datang ke kota raja bersama kawan
perempuannya, yaitu Liong Leng-cu, untuk mencari ayahnya,
kesulitan pertama yang dihadapiuya adalah tidak tahu tempat
tinggal sang ayah.
Dan keterangan Ce Se-kiat diketahuinya bahwa Song Pengki
dan Oh Lian kui lebih dapat dipercaya. Sebab itulah setelah
dipikir ia lalu menempuh jalan ini dan berusaha menghubungi
kedua Suhengnya itu. Agar dapat digunakan alasan untuk
minta Peng-ki berdua menjadi pengawal barang kiriman
mereka, Nyo Yam dan Liong Leng-cu malahan sengaja
melakukan beberapa kali pencurian dan berhasil menyikat
berapa ribu tahil emas milik kaum pembesar korup.
Setelah mengctahui tujuan Nyo Yam mencari mereka
adalah karena anak muda itu ingin mencari guru mereka,
walaupun urusan ini sudah dalam dugaan, tapi juga rada di
luar dugaan. ---ooo0dw0ooo--Jilid 2 Maklumlah, guru mereka adalah juga ayah Nyo Yara.
Sekarang Nyo Yam tidak menyatakan hendak mencari ayah,
jelas karena sekarang dia belum sudi mengakui Nyo Bok
sebagai ayahnya.
Maka dalam hati Peng-ki berdua sama berpikir, "Dari nada
ucapan Nyo sute ini, bukan saja dia merasa sirik terhadap
Sukoh, tampaknya dia juga tidak puas terhadap ayahnya
sendiri. Cuma, apa pun juga adalah ayah dan anak, rasanya
dia takkan bertindak sesuatu yang tidak menguntungkan
ayahnya sendiri."
Walaupun tikak tahu apa maksud tujuan Nyo Yam sehingga
Peng-ki berdua merasa tidak tentram. Tapi sekarang mereka
berdiri satu garis dengan Sukoh sendiri yang hendak
membantu Han Wi-bu dan mencegah tindakan Bin Sing-Liong
yang bermaksud mengangkangi Ciri-wan-piaukiok sebagai
milik pribadinya. Sedangkan beking Bin Sing-liong tak lain-tak
bukan adalah guru mereka sendiri.
Sebab itulah bilamana Nyo Yam berjiwa sama dengan
ayahnya, hal ini tentu akan menimbulkan waswas mereka.
Tapi dengan ucapan Nyo Yam tadi dapatlah mereka merasa
lega dan benar benar menganggapnya sebagai "orang
sendiri". Begitulah setelah Peng-ki berpikir sejenak lalu ia berkata,
"Kami sendiri tidak mempunyai jabatan apa pun sehingga
tidak berani mencari beliau di kantornya. Terus terang, selama
dua tahun tinggal di kofaraja hanya dua kali saja kami
bertemu dengan Suhu di piaukiok."
Nyo Yam kelihatan kecewa, katanya. "Jika demikian, jadi
kalian juga tidak berdaya mencari dia?"
"Bukannya tidak berdaya sama sekali, soalnya cuma ...."
"Cuma apa?" tanya Nyo Yam.
Song Peng-ki tidak langsung menjawab, tapi katanya,
"Sute, tentunya kautahu kami hendak pergi ke rumah Binsuheng
atas panggilannya?"
Nyo Yam menjawab, "O, apa maksudmu kalian akan
membantuku mengadakan janji pertemuan dengan gurumu
melalui panggilan Bin Sing-liong kepada kalian ini?"
"Betul," jawab Peag-ki. "Toasuheng adalah perwira Han-limluin,
dia juga murid pewaris kesayangan Suhu, tentu saja
setiap saat dia boleh menemui Suhu."
"Terus terang, ketika kutahu kalian hendak pergi ke
rumahnya, pernah juga timbul pikiranku untuk menemuinya
dan minta bantuan padanya," kata Nyo Yam. "Tapi, aku tidak
percaya kepada pribadi Bin Sing-liong ini."
Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, yang kukuatitkan juga begitu," kata Peng-ki. "Bilp dia
tanya untuk apa kita mencari Suhu. apakah boleh kukatakan
mengenai pesanmu ini?"
"Tidak," jawab Nyo Yam
"Jika begitu terpaksa harus untung-untungan," ujar Peng-ki.
"Dalam piaukiok sekarang sedang menghadapi suat u urusan
besar, urusan ini dirancang oleh Suhu sendiri, yakni menyuruh
Bin-suheng tampil bekerja baginya. Bin-suheng lantas
menyuruh kami bekerja untuknya. Panggilannya kepada kami
ini bisa jadi akan membawa kami menghadap Suhu."
"Tapi aku tidak sabar menunggu kabar kalian." kata Nyo
Yam. "Biar begini saja, aku pun ikut kalian pergi ke tempat Bin
Sing-liong, aku akan bertindak menurut keadaan dan pasti
takkan membikin susah kalian."
"Tapi bila Sute tidak menjelaskan siapa dirimu, cara
bagaimana bisa masuk ke rumah Bin-suheng?" tanya Peng-ki.
"Biarlah aku dianggap sebagai seorang piausu yang ikut
pergi bersama kalian," ujar Nyo Yam.
"Tidak bisa jadi, Bin-suheng kenal setiap piausu Gin wanpiaukiok
ini," kata Peng-ki.
"Baik, jika begitu biarlah aku masuk sendiri ke rumahnya,
cukup kalian membawaku sampai di depan rumahnya saja,"
ucap Nyo Yam. Peng-ki menggeleng. "Kurasa tidak enak."
"Kurang enak apa*" tanya Nyo Yam.
"Meski jabatan Bin-suheng tidak tinggi, tapi dia r.dalah
perwira Han-Iim-kun yang cukup berkuasa, di rumahnya juga
banyak penjaga, bila engkau tidak mau memberi tahu apa
hubunganmu dengan Bin-suheng, jelas juga tidak dapat
menerjang masuk begitu saja. Pula umpama engkau dapat
menyusup ke dalam secara diam-diam, untuk dapat menemui
Bin-suheng juga perlu tanya kepada anak buahnya. Dan cara
bagaimana engkau akan menghadapi mereka?"
Nyo Yam menggeleng, "Aku tidak peduli bagaimana
caranya, biarlah nanti aku bertindak menurut keadaan bila
sudah masuk ke rumahnya."
Tiba-tiba Oh Lian-kui menimbrung, "Kalau cuma mau masuk
ke rumah Bin-suheng dan juga dapat bebas dari pertanyaan
penjaga, aku mempunyai suatu akal."
"Oo, engkau mendapat akal bagus apa?" tanya Peng-ki.
Hendaknya maklum, Oh Lian-kui adalah murid Nyo Bok
yang terkecil, biasanya tidak banyak bicara dan tidak
mempunyai sesuatu gagasan. Sekarang dia bicara dengan
penuh keyakinan, tentu saja Song Peng-ki merasa heran dan
ragu. Tapi Lian-kui lantas bertutur, "Sebenarnya akal ini pun
bukan berasal dari pikiranku sendiri. Cuma kupikir bila Sukoh
sengaja menyediakan kereta ini bagi kita, kuyakin pasti
mempunyai tujuan tertentu dan sangat mungkin sebelumnya
Sukoh sudah menduga akan kejadian ini."
Pengki merasa keterangan Lian-kui ini cakup beralasan,
segera ia berkata, "Betul juga. Ayolah Sute. silakan naik
kereta." Waktu itu cuaca tibe-tiba berubah mendung dan mulai hujin
gerimis. "Kebetulan bagiku, tidak sampai kehujanan," ucap Nyo Yam
dengan tertawa. "Sungguh rapi pemikiran Bibi bagi kalian."
"Meski kereta ini serupa kereta kuda umumnya, tapi
biasanya kereta ini kami gunakan juga dalam perjalanan
waktu mengawal barang, kegunaannya bukan cuma untuk
ber-teduh saja."
"Baik. aku jadi ingin tahu apa kegunaannya," kata Nyo Yam.
"Akal yang kumaksudkan justru hendak menggunakan
kereta ini," tutur Lian-kui.
"Cuma. untuk itu terpaksa harus membikin susah Sute
sebentar."
Waktu dia bicara, Song Peng-ki lantas membuka sepotong
papan, kiranya kereta ini memakai lapisan rangkap rahasia.
"Inilah tempat rahasia yang kami gunakan untuk
menyimpan barang berharga," tutur Peng-ki. "Di sini dipasang
pesawat rahasia yang di buat oleh ahli pesawat yang mahir,
orang awam tidak tahu di kereta ini ada lapisan rangkap.
Cuma luang lapisan rangkap ini sangat sempit, engkau harus
meringkuk di situ."
"Hanya tersiksa sebentar saja tidak menjadi soal, biarlah
kucatat atas utang Bin Sing-liong," kata Nyo Yam dengan
tertawa. ---ooo0dw0ooo--Saat itu Bin Sing-hong sedang menunggu kedatangan
kedua Sutenya di kamar rahasia.
Bilamana hari mendung, penyakit encok-nya selalu kumat,
mukanya juga suka gatal-gatal.
Apa yang dirasakan ini memang dua macam penyesalan
selama hidupnya. Kedua urusan ini ada sangkut-pautnya
dengan ibu gurunya dahulu, yaitu In Ci-lo.
Pertama, yaitu terjadi waktu dia masih muda. Meski dia
tidak terhitung pemuda cakap, tapi wajahnya cukup baik,
namun akhirnya berubah menjadi burik.
Buriknya itu bukan lantaran sakit cacar melainkan buatan
manusia. Waktu In Ci-lo diusir oleh Nyo Toa-koh, kebetulan waktu itu
Song Ting-siau diminta Beng Goan-ciau agar menjenguk In Cilo.
Antara ketiga orang itu memang bersahaba? karib.
Ketika datang, kebetulan pula Song Ting-siau menghadapi
peristiwa In Ci-lo diusir Nyo Toa-koh itu sehingga terjadi salah
paham dan Song Ting-siau bergebrak dengan Nyo Toa-koh'
Dalam pertarungan itu Nyo Toa-koh menghamburkan
segenggam Thi lian-ci atau biji teratai besi, tapi Song Ting siau
sempat menyampuknya dengan tenaga pukulan yang dahsyat,
biji teratai besi itu berhamburan dan sebagian menghujani
muka Bin Sing-liong yang sedang bersorak memberi semangat
kepada sang bibi guru.
Setelah biji teratai besi dikeluarkan, bekas luka itu lantas
berubah serupa sarang tawon yang menghiasi mukanya.
Berubih menjadi burik masih mendingan, ada urusan lain
yang membuatnya cedera bahkan hampir mengakibatkan dia
cacat selama hidup.
Peristiwa itu terjadi pada tahun meninggalnya In Ci-lo,
karena ada urusan waktu itu Bin Sing-liong pergi ke negeri
Taili. Dalam perjalanan perbatasan Inlam dia kepergok In Ci lo
dan Ki Tiang-hong.
Ki Tiang-hong benci kepada Bin Sing-liong karena berulang
kali dia membantu gurunya membikin susah In Ci-lo, terlebih
benci lagi karena Bin Sing-liong rela menjadi antek ke-rajaan
yang memusuhi kaum patriot, maka sekali serangan ia
bermaksuk meremukkan tulang pundak Bin Sing-liong,
bilamana In Ci-lo tidak mintakan ampun baginya, tentu waktu
itu juga Bin Sing-liong sudah CAcat selama hidip.
Tidak lama setelah kejadian itu, In Ci-lo lantas gugur dalam
suatu pertempuran di Siau-kim-joan.
Sepulangnya Bin Sing-liong di kotaraja, dengan berbagai
obat mujarab istana dapatlah dia menyembuhkan tulang
pundaknya yang patah sehingga terhindar dari cacat selama
hidup, walaupuu begitu kungfunya juga banyak terpengaruh.
Meski atas bantuan gurunya dia diangkat sebagai perwira Hanlimkun, tapi kalau kungfunya kurang becus tentu juga akan
berpengaruh kepada karirnya (kisah kejadian masa lampau itu
dapat dibaca dalam "Kelana Buana").
Adapun terhadap Ki Tiong-hong dan Song Tin-siau yang
lihai itu. biarpun gurunya juga bukan tandingannya, tentu saja
ia terlebih tidak mampu membalas dendam.
Sebab itulah meski In Ci-lo sudah mati tetap ia benci
kepadanye Terlebih pada waktu cuaca lembab, kalau muka
gatal dan encok kumat, selalu timbul rasa gemasnya terhadap
In Ci-lo yang dianggapnya sebagai pokok pangkal penyakitnya
itu. Hari ini rasa sakit encok itu terlebih berat daripada
biasanya, cuma untung ada suatu peristiwa menyenangkan
yang akan dihadapinya sehingga banyak mengurangi rasa
bencinya terhadap In Ci-lo.
"Selekasnya aku akan menjadi Conjjpiau-hau dari piaukiok
nomor satu di kotaraja ini, kedud'ikan ini jauh lebih
menyenangkan daripada menjadi perwira menengah."
demikian ia berpikir. "Bilamana aku dapat berbuat bebeiapa
hal yang menyenangkan hati Suhu, tentu kedudukanku akun
bertambah kukuh."
Begitulah selagi ia dibuai lamunan yang muluk-muluk, tibatiba
terdengar suara pinta diketuk, suara seorang anak muda
berkati?, "Ayah, paman Song dan Oh sudah datangi"
Pemuda ini adalah putra Bin Sing-liong, namanya Bin Tingkau.
Usianya tahun ini baru 20, jadi selisih tidak banyak
dengan usia Oh Lian-kui,
Segera Bin Sing-liong membuka pintu kamar dan berseru,
"Kedua Sute, sudah kutunggu kedatangan kalian."
Lalu ia memberi pesan kepada anaknya. Jaga di luar dan
awasi orang yang keluar masuk, siapa pun dilarang
menggangguku."
Segera ia menutup kamar dan menyilakan Peng-ki dan Liankui
duduk. "Entah ada urusan apa Suheng memanggil kami?" Peng ki
lantas tanya. "Sabar dulu," jawab Sing-liong dengan tertawa. "Aku justru
ingin tanya dulu kepada kalian, adakah akhir-akhir ini terjadi
sesuatu urusan istimewa di piaukiok kalian?"
'Tidak ada," jawab Peng-ki. "Kuharap Su-heng jangan
kuatir. Meski Han-congpiauthau sayang kepada anak
menantunya, tapi sampai saat ini belum pernah kami dengar
bahwa beliau hendak mengangkat menantunya untuk
menggantikan dia."
Inilah urusan yang paling diperhatikan Bin Sing-liong, dia
pernah pesan kepada Pengki dan Lian-kui agar mengawasi
gerak gerik setiap perubahan piaukiok, terutama mengenai
menejemennya, sebab itulah sebelum ditanya Peng-ki lantas
bertutur dulu. Tak terduga Bin Sing-liong lantas tertawa, katanya,
"Kausalah, Sute."
Peng-kijadi melengak, tanyanya dengan tidak enak hati,
"Aku salah omong apa, Suheng?"
Ia kuatir kalau Bin Sing-liong mengetahui dia lagi berdusta.
Maka Sing-liong berkata pula dengan tertawa, "Bukan itu
yang kutanyakan, jika Suhu menjadi bekingku, masakah cuma
jabatan Congpiauthau sebuah piaukiok saja tidakbisa
kupegang' Memangnya Hau Thian-lan itu berani berebut
denganku?"
Peng-ki merasa lega, katanya, "Ya, kiranya aku 3alah
tampa. Jadi urusan yang Suheng tanyakan .... "
"Urusan pertama yang ingin kuketahui adalah dua hari
terakhir ini apakah piaukiok ada kedatangan tamu yang tak
dikenal" Atau meski bukan orang asing, tapi terhitung tokoh
kangouw dari daerah lain?"
Pertayaan ini membuat hati Peng-ki berdua berdebur lagi,
mereka menjadi ragu apakah mungkin Bin Sing-liong sudah
tahu akan kedatangan Nyo Yam"
Cepat mereka menjawab, "Tidak, rasanya tidak ada'
"Etnah ada apa Suheng tanya urusan ini?" Peng-ki coba
menambahi bertanya.
"Masa kalian tidak tahu berita besar yang timbul di kotaraja
akhir-akhir ini?"
"Pergaulan kami kurang luas. apa yang terjadi di luar rumah
sangat sedikit yang kami katahaui. Memangnya ada berita
besar apa" Dapatkah Suheng memberitahu?" jawab Pengki.
"Akhir-akhir ini terjadi beberapa perkara pencurian yang
aneh," tutur Sing-licng. "Orang yang kehilangan kebanyakan
adalah pembesar dan bangsawan, antara lain adalah The kokkong.
ada lagi Su-silong dari kementerian kehakiman. Cukup
kusebut dua orang korban saja sudah dapat kaubayangkan
betapa brutalnya pencuri itu."
Peng-ki terkejut, katanya, "Kementrian Kehakiman bertugas
mengadili penjahat, Su-silong adalah orang kedua dari
kementerian itu, biasanya dikenal dengan julukan Hoat-giainlo
(raja akhirat hidup) yang suka menjatuhkan hukuman berat
bagi setiap penjahat. Bahwa dia sendiri kemalingan, ini
sungguh peristiwa luar biasa. Entah berapa banyak harta
bendanya yang hilang?"
'Tidak sedikit, tapi juga tidak terlalu banyak, beberapa
korban itu seluruhnya cuma kehilangan belasan laksa tahil
perak saja," tutur Sing-liong. '"Cuma, korban pencurian itu
kebanyakan adalah pembesar dan bangsawan, maka instansi
yang bertugas di bidang keamanan mau-tak-mau harus
berusaha membongkar kasus pencurian brutal ini. Meski
komandan Han-lim-kun kami tidak ditugaskan di bidang
pencurian, tapi kami pun diminta membantu instansi yang
bersangkutan untuk membongkar pencurian ini. Dan atas
perintah komandan, aku pun termasuk salah seorang yang
ikut menyelidiki kafus ini,"
"Memangnya ada sangkut-paut apa antara piaukiok dengan
kasus pencurian ini?" tanya Peng-ki. Ia benar benar rada
kuatir kalau Bin Sing-liong membikin susah Han Wi bu dengan
alasan kasus pencurian ini.
Tapi Bin Siog-liong lantas menjawab, "Aku pun tahu
piaukiok tidak ada sangkut-paut dengan urusan pencurian,
betapa berani Han Wi-bu juga tidak berani berkomplot dengan
kawanan bandit. Cuma, sudah berpuluh tahun ia menjadi
Congpiauthau, pergaulannya luas, bila ada orang ternama
datang ke kota-raja sangat mungkin diketahui olehnya.
Bahkan tokoh-tokoh itu mungkin akan berkunjung padanya.
Sebab itulah kuminta keterangan kepada kalian."
"Tidak ada, setahu kami selama dua hati terakhir ini
Congpiauthau tidak menerima tamu, dalam pembicaraan juga
tidak pernah menyinggung nama itu orang ternama yang
berkunjung ke kotaraja sini," tutur Pengki.
"Baiklah, jika begitu utusan ini boleh dikesampingkan
sementera." kata Sing-liong. 'Cuma tetap kuminta kalian
mengamati urusan ini bagiku."
"Tentu saja kami takkan melupakan pesan Toasuheng,"
jawab Peng-ki dan Lian-kui berbareng.
Bin Sing-liorg seperti dapat menyelami pikiran kedua
Sutenya, katanya pula, 'Aku cuma minta Han Wi bu
menyerahkan jabatan Congpiauthau kepadaku dan tidak perlu
ku-bikin susah dia dengan alasan berbagai perkara pencurian
Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini. Tapi bilamana dia tetap tidak tahu diri tentu akan lain
persoalannya."
Peng-ki berdua tidak berani menanggapi.
Maka Sing-liong menyambung lagi, "Mengenai beberapa
perkara pencurian itu, ada satu hal yang perlu diperhatikan
dan lupa kukatakan kepada kalian. "Bahwa beberapa perkara
pencurian itu dilakukan oleh satu orang yang sama, hal ini
dapat kutarik kesimpulan dari cara bekerjanya. Yang disukai
pencuri itu adalah Kirn-goan-po (lantakan emas), seperti
kejadian di istana pangeran The, banyak barang antik
berharga tidak disentuhnya, yang diambil cuma beberapa
puluh potong Kimgoan-pe. Untuk itu, orarg piaukiok kalian
tentu lebih tajam mata telinga kalian, maka kalau melihat atau
mendengar ada orang menghamburkan duit secara royal di
kota ini hendaknya segera aku diberi lapor."
Baru sekarang Peng-ki berdua tahu duduknya perkara,
mereka pikir kiranya si pencuri yang jahil ini adalah Nyo-sute.
Nyo Yam. Dengan sendirinya pikiran mereka itu tidak diutarakan,
mereka cuma mengiakan saja setiap pesan sang Suheng.
Terdengar Bin Sing-liong berkata lagi, "Perkara lain justru
lebih penting daripada beberapa perkara pencurian ini. Apakah
kalian tahu urusan yang diperbuat Se kiat Sute di Poting
tempo hari?"
Peng-ki menjawab, 'Konon di rumah Pui-suheng dia
mengalahkan bandit terkenal dari Kwantang, apakah
Toasuheng maksudkan kejadian ini?"
Urusan ini sudah lama tersiar luas di dunia kaugouw,
dengar, sendirinya Peng ki berdua tidak dapat berlagak tidak
tahu. "Ya," jawab Sing-liong. "Cuma, mungkin yang kalian ketahui
cuma serba sedikit daripada apa yang terjadi sesungguhnya."
"O, ada masalah apa lagi?" tanya Pengki.
"Meski dia pernah bergebrak dengan Utti Keng, tapi
sebenarnya mereka adalah satu komplotan," kata Sing-liong.
"Masa begitu?" Peng-ki terperanjat.
"Kau tidak percaya ucapanku?" tanya Sing- liong.
"Bukan tidak percaya, hanya saja entah Suheng
berdasarkan bukti apa?"
"Bukti nyata belum kupegang, hanya banyak tanda-tanda
yang mencurigakan. Untuk ini tidak ingin kubi arakan dengan
kalian, aku cuma minta kalian membantuku melakukan
sesuatu," "Silakan Suheng bicara," jawab Peng ki dengan sangsi.
"Sesudah kejadian di tempat keluarga Pui itu, tidak lama Ce
Se-kiat lantas menghilang," tutur Sing-liong. "Yang kami
ketahui hanya dia sudah meninggalkan kota Poting, tapi tidak
tahu ke mana perginya."
"Apakah Suhtng menghendaki kami menyelidiki jejaknya?"
tanya Peng ki. "Tapi sayang mungkin sementara ini kami
tidak dapat, meninggalkan piaukiok."
"Piaukiok memang lagi banyak urusan umpama kalian mau
pergi juga tidak kuizin-kan," ujar Sing-liong. "Cuma di antara
sesama saudara seperguruan hubungan kalian dengan Se-kiat
terhitung paling karib, maka kalian perlu bersiap-siap."
"Bersiap-siap bagaimana?" tanya Peng ki dengan tidak
enak. "Bila Se-kiat datang ke kotaraja, sangat mungkin diam-diam
akan menemui kalian," tutur Sing-liong.
"Apakah Ce-sute sudah datang kemari?" tanya P<-ng-ki.
"Aku tidak bilang dia sudah datang, tapi bukan mustahil dia
memang berada di sini. Pendek kata, kemungkinan
kedatangannya ke kotaraja ini sangat besar."
"Sebab apa?" tanya Peng ki dan Lian-kui berbareng.
"Kami meacurigai dia yang melakukan pembongkaran
penjara di Poting dahulu, orang yang membawa lari Pui Liang
di rumah Pui Ho itu juga dia .... "
Hubungan Oh Lian-kui cukup akrab dengan Ce Se-kiat,
tanpa terata ia membelanya, "Kukira tidak sampai terjadi
begitu. Dengan menyerempet bahaya waktu itu Ce-sute
bergebrak dengan Utti Keng, tujuannya justru membela Puijisuheng.
mana bisa diam-diam ia memusuhi Pui-jisuheng
malah" Apa!agi setahuku, Sukoh mendidiknya dengan keras,
mana dia berani membongkar penjara sehabis menolong Puisansuheng"
Mendingan kalau-dia cuma diam-diam memusuhi
Jisuheng, kalau membongkar penjara berarti melawan
pemerintah Padahal Suhu kita adalah orang kepercayaan Sri
Baginda sekarang, betapapun Sukoh takkan membiarkan putra
sendiri sem-barangan bertindak."
Bin Sing-liong kurang senang karena penuturannya
dipotong Lian kui jengeknya, "Sudah selesai belum
ocehanmu?"
"Maaf Suheng," kata Lian-kui "Siaute orang bodoh, ingin
omong apa lantas kukatakan begitu saja, bila ada yang keliru
mohon Suheng memberi petunjuk."
"Uraianmu memang beralasan, tapi apa yang terjadi justru
sering menyimpang dari kebiasaan." kata Sing-liong dengan
dingin. "Mengapa kita sampai mencurigai Se kiat, untuk
sementara tidak dapat kuberitahukan secara terperinci. Tapi
dapat kukatakan padamu, yang mencurigai dia bukan aku
melainkan juga Suhu kita."
Lian-kui terkejut, "Apa, Suhu juga mencurigai dia" Suhu kan
masih paman Se kiat sendiri?"
"Betul," kata Sing liong. "Justru Suhu menganggap
keponakan sendiri itu yang paling mencurigakan. Apakah
kalian merasa ragu terhadap pikiran Suhu"'
Lian-kui tidak berani bersuara lagi.
Sing-liong lantas bicara pula, "Kami sudah mendapatkan
info yang jelas, penjahat yang dibawanya lari dari penjara
Poting itu bernama Kai Hong, seorang mata mata yang dikirim
ke kotaraja oleh pemberontak Citamu. Sute kita yang murtad
Pui Liang dan Hoan Gui pembantunya Ketiga orang ini kuduga
s.id.ih masuk dulu ke kotaraja, tapi sekarang kami belum ingin
membekuknya kembali. Menurut perhitungan kami, sebabnya
Ce Se-kiat menghilang secara mendadak bisa jadi karena dia
ingin mengelabuhi ibunya dan diam diam menyusul
rombongan Kai Hong ke kotaraja sini untuk membantu
mereka. "Se-kiat tidak mempunyai kenalan lain di kotaraja. hanya
kalian saja adalah sahabatnya yang dibesarkan bersama sejak
kecil. Setiba di sini. tentu dia harus mencari kenalan yang
dapat dipercaya, maka bila dia mencari kalian kan tidak perlu
diherankan."
Peng-ki tidak berani mendebatnya, lcr-paksa ia coba
memancing, "Adalah pantas jika Toasuheng memikirkan halhal
demikian. Bilamana benar Ce-sute mencari kami nanti,
lantas apa yang harus kami lakukan?"
Sing-liong mengeluarkan sebuah botol kecil berisi semacam
obat bubuk warna jambon, kacanya. "Sudah kusiapkan bagi
kalian. Bila Se-kiat datang ke piaukiok kalian, cukup kalian
taruh setitik obat bubuk ini dalam minumannya dan semuanya
akan beres."
"Ini obat apa?" tanya Pengki.
"Obat pelemas tulang. Soh-kut-san namanya." tutur Sing
liong "Cukup dicukit setitik dengan kuku saja dan dapat
membuat seorang yang berkungfu tinggi mati kutu dan dapat
kauperbuat sesukamu. Tapi kalian jangan kuatir, Soh kui-san
ini tidak membahayakan jiwa manusia."
"Lalu bagaimana?" tanya Peng-ki.
"Sesudah dia pingsan, masukkan dia ke dalam karung dan
segera diantar kepadaku." kata Sing-liong. "Sudah kusediakan
juga bagi kalian sebuah kantung kulit yang sangat kuat."
Sambil bicara ia tuding sebuah kantung kulit yang dibuat
secara khusus dan tergantung di dinding
"Kemudian bagaimana?" tanya Lian-kui.
"Urusan selanjutnya tidak perlu kalian urus lagi," jawab
Sing-liong dengan kening bekernyit.
"Toasuheng." kata Lian-kui. "Mengingat urusannya cukup
penting, maafkan jika kutanya lagi. Apabila Ce-sute jadi kami
antar ke tempatmu, lalu apakah Toasuheng akan menjamin
keamanannya?"
"Bagaimana nasibnya nanti perlu dilihat dulu bagaimana
sikapnya nanti," jawab Sing-liong. "Kalau dia mau mengaku di
mana beradanya Kai Hong, Pui Liang dan begundalnya,
dengan sendirinya kami takkan membikin susah dia."
"Jika dia tidak mau mengaku, lalu bagaimana?" tanya Liankui.
"Kalau begitu, sulit kukatakan bagaimana jadinya."
"Wah, kan keselamatan Ge-sute harus di-kuatirkan kalau
begitu?" Sing-liong mendengus, "Hm, sesungguhnya kalian mau
setia padaku atau membela orang lain" Apakah kalian
berpihak pada bocah Se-kiat itu' Kalian harus tahu, dia juga
dicurigai berkomplot dengan kaum pemberontak."
Nyata nada bicaranya bertambah keras dan bengis.
Song Peng-ki lebih pintar melihat gelagat, cepat ia menyela,
"Kutahu maksud Oh-sute, bukan dia tidak mau bekerja bagi
Suheng melainkan karena takut terhadap Sukoh. Bilamana
urusan ini diketahui Sukoh, tentu kami bisa susah."
"Kita bertindak dengan rahasia, sekarang dia berada di
Poting, dari mana dia mendapat tahu?" ujar Sing-liong. "Pula,
umpama dia tahu juga ada orang akan tampil bertanggung
jawab, tidak perlu kita kuatir,"
Oh Lian-kui menggeleng, katanya. "Tapi Sukoh hanya
mempunyai seorang putra, guru kila juga cuma mempunyai
seorang taci, Suhu sendiri utang budi kepada taci yang telah
membesarkannya itu sehingga hubungan mereka tidak seperti
taci dan adik umumnya. Bilamana kita berbuat sesuatu yang
tidak baik terhadap Sukoh, mungkin Suhu juga takkan
membela kita."
Mendadak Bin Sing-liong bergelak tertawa .
Tentu saja Lian-kui merasa bingung, tanyanya, "Kau
tertawa apa, Toasuheng?"
"Kutertawai dirimu," jawab Sing-liong. "Meski sudah dua
tahun kau bekerja sebagai piausu, namun jalan pikiranmu
masih serupa anak kecil."
"Mohon Toasuheng memberi petunjuk," kata Lian-kui.
Dengan hambar Sing-liong berkata. "Apakah kau tahu siapa
yang memberi gagasan ini?"
Terkesiap hati Lian-kui, tanyanya, '"Memangnya bukan
gagasan Toasuheng"'
"Mana aku memenuhi syarat menggunakan cara seperti
ini?" ujar Sing-liong. "Coba kau terka lagi."
"Aku tidak tahu," jawab Lian-kui, namun dalam hati sudah
cukup jelas. Sing-liong terbahak, katanya, "Biar kukatakan terus terang,
gagasan ini datang dari Suhu sendiri. Kalau tidak, dari mana
kudapatkan Soh-kut-san yang cuma terdapat dalam istana
ini?" Meski ssbelumnya Oh Lian kui sudah menduga akan hal ini,
tapi dibuktikan langsung dari mulut orang, tidak urung
membuatnya terkejut juga. Katanya dengan tergegap, "Suhu
.. masa Suhu menyuruh kita memperlakukan keponakan
sendiri secara demikian?"
"Hahaha, makanya kubilang engkau masih anak kecil dan
tidak tahu urusan," seru Sing-liong dengan tertawa. "Di
kalangan pembesar, yang diutamakan adalah untung dan rugi,
apalagi Suhu adalah orang kepercayaan Hongsiang, mana
boleh membela sanak famili sendiri dan melanggar undangundang
ke-rajaan."
Muka Lian-kui menjadi pucat dan tidak herani bersuara lagi.
Bin Sing-liong sangat senang, katanya pula, "Jangankan Ce
Se-kiat ini cuma seorang keponakannya, sekalipun putra
kandungnya bila berbuat durhaka terhadap negara mungkin
Suhu juga akan menindaknya dengan cara yang sama."
Sedapatnya Song Peng-ki bersikap tenang, tapi tidak urung
juga kebat-kebit. Pikirnya, 'Siausute yang disinggungnya justru
jauh di ujung langit dan dekat berada di depan mata di luar
tahunya." Melihat Peng ki termenung, Sing-liong menyangka orang
meragukan ucapannya, dengan tertawa dingin ia berkata pula,
"Apa kalian tidak percaya kepada ucapanku" Hendaknya tahu,
aku tidak sembarangan bicara, biar kalian tahu, boleh kuberi
lagi sedikit info. Tentang perkara yang terjadi di Poting itu,
mungkin sekali Siausute kita yang belum pernah kita lihat itu
juga ambil bagian."
'Cuma, karena dia adalah satu satunya putra kandung
Suhu, dengan sendirinya Suhu berharap dia dapat kembali ke
jalan yang benar. Namun sejak kecil Siausute itu sudah ikut si
bangsat tua Ki Tiang-hong. Kata pribahasa, dekat dengan tinta
merah akan menjadi merah, dekat hitam akan menjadi hitam.
Maka menurut pandanganku, harapan Suhu atas diri Siausute
itu mungkin sangat tipis terkabul."
"Suhu sendiri juga memakai perhitungan bila terjadi yang
paling buruk, maka apa yang kukatakan tadi hanya ingin
menyadarkan kalian, yaitu bila benar Nyo Yam sampai di
kotaraja, untuk mencari ayahnya mungkin akan menemui
kalian lebih dulu. Dan kalian harus waspada, jangan sekali
bertemu lantas menganggapnya sebagai orang sendiri."
"Apakah kami juga perlu melayani dia dengan Soh-kutsan?"
tanya Peng-ki. 'Itu urusan nanti, kutaksir saat ini belum berada di kotaraja,
biarlah dua-tiga hari lagi kuberi petunjuk pula," kata Singliong.
"Cuma, untuk menjaga segala kemungkinan, bilamana
di luar dugaan dia sudah mencari kalian sebelum kuberi
petuujuk kepada kalian, maka bolehlah kalian melayani dia
dengan cara yang kalian harus mengerjai Ce Se-kiat. Tuh Sohkutsan yang kuberikan itu cukup untuk mengerjai belasan
tokoh yang paling lihai sekalipun Kalian jangan kuatir,
pekerjaan kalian ini sudah direstui Suhu, tidak nanti beliau
menyalahkan kalian. Jelas bukan?"
'Jelas," jawab Peng-ki. Dalam hati ia pikir tentu Siausute
yang sembunyi di luar pasti juga dapat mendengar dengan
jelas. Lalu Bin Sing-lir-ng beilata pula. 'Baiklah, sekarang siaplah
menghadapi Ce Se-kiat, sebab kami sudah mendapatkan
berita, dalam waktu satu-dua hari ini sangat mungkin dia akan
masuk kotaraja."
Peng-ki dan Lian-kui merasa seperti terbebas dari beban
yang berat. Selagi mereka hendak keluar, mendadak
terdengar suara 'pletak-pletok", suara serupa genteng pecah.
Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sing-liong terkejut, bentaknya, "Siapa?"
Belum lenyap suaranya tahu-tahu seorang menolak daun
pintu dan melangkah masuk.
"Aku!" jawab pendatang ini dengan dingin, ternyata Nyo
Toa-koh adanya.
Kiranya menurut perhitungan Nyo Toa-Loh pasti Nyo Yam
akan mendatangi Bin Sing-liong, maka lebih dulu ia sembunyi
di luar dan menunggu kedatangan kereta itu, lalu ia
menerjang masuk begitu saja.
Penjaga di luar selain tahu siapa sang bibi besar kita, juga
tehu dia adalah Kwan-im bertangan pedas yang tidak kenal
ampun, maka tidak seorang pun berani merintanginya.
Setiba di dalam rumah semula koarikeh atau kepala rumah
tangga bermaksud memanggil majikan muda untuk menemui
Nyo Toa-koh, tapi sang bibi besar lantas mendamperat-nya,
"Kau sendiri kenal siapa diriku, betapa tinggi kedudukan Bin
Sing-liong juga tetap berasal dari didikan keluarga Nyo kami,
memangnya dia berani berlagak padaku" Jika aku ingin
menemui dia. masakah perlu pakai laporan segala?"
Koankeh tidak mampu merintanginya, terpaksa membiarkan
Nyo Toa-koh menerjang ke ruangan dalam.
Setiba di ruang belakang, di situ dijaga sendiri oleh anak
Bin Sing liong yaitu Bin Ting-kau. Justru lantaran mengingat
majikan mudanya betjaga sendiri di situ, maka koankeh tadi
tidak rewel lagi.
Siapa tahu saat itu Bin Ting-kau juga sudah dikerjai orang
dan dilemparkan ke dalam selokan. Hal ini tidak diketahui
koankeh itu, bahkan Nyo Toa-koh juga tidak tahu.
Karena tidak ada rintangan lagi di dalam, langsung Nyo
Toa-koh sampai di luar kamar rahasia. Di situ dia tidak
menemukan Nyo Yam tapi kebetulan mendengar Bin Singliong
sedang memberi pesan kepada Peng-ki dan Lian-kui cara
bagaimana harus menghadapi Ce Se-kiat.
Walaupun watak Nyo Toa koh sekarang sudah jauh lebih
sabar daripada masa mudanya, tapi demi mendengar maksud
Bin Sing-liong hendak membikin celaka anaknya, rasa
gusarnya seketika berkobar dan meledak, pintu segera
didobraknya. Keruan Bin Sing-liong terperanjat, cepat ia menyapa
dengan tertawa, "Ah, kiranya Su-koh adanya, angin apakah
yang membawamu kemari?"
"Angin siluman yang kau terbitkan yang membawaku ke
sini," jengek Nyo Toa-koh.
"Ai, Sukoh, apakah arti ucapanmu ini?" tanya Sing-liong
berlagak bingung.
"Huh, tidak perlu berlagak pilon," jengek Nyo Toa-koh.
"Coba jawab, kenapa hendak kau bikin celaka anak Kiat?"
Diam-diam Sing-liong mengeluh bisa celaka, terpaksa ia
menjawab, "Ai, kenapa Sukoh bicara demikian" Tadi baru saja
kami memuji adik Se-kiat yang pernah mengalahkan Kwantangtai-hiap di rumah Pui Liang, kalau tidak percaya silakan
Sukoh tanya mereka."
Ia berharap Peng-ki berdua akan membantu dustanya itu,
maka berulang ia mengediti mereka.
Namun Pcng-ki dan Lian-kui berlagak tidak tahu.
Segera Toa-koh mendengus lagi, "Hm, apa yang
kaubicarakan tadi sudah kudengar semuanya. Pengki,
bukankah padamu sekarang terdapat sebotol Soh-kut-san?"
"Betul," jawab Peng ki sambil mengeluarkan botol kecil
pemberian Bin Sing-liong tadi.
"Kau terima dari siapa?" tanya Toa-koh.
"Dari Toasuheng," jawab Peng-ki.
"Untuk apa dia memberikan obat itu kepadamu?" tanya
Toa-koh pula. Sing-liong tahu sukar menyangkal lagi, sebelum Song Pengki
mengaku segera ia mendahului bicara, "Sukoh, jika engkau
sudah tahu, maka tidak seharusnya engkau menyalahkan
diriku. Suhu yang memberi gagasan hendak menangkap Sckiat,
jika mau malah silahkan Sukoh marah kepada adikmu."
"Aku tidak percaya adikku bisa lupa budi dan khianat seperti
ini?" ucap Nyo Toa-koh.
Padahal ia percaya, tetapi lantaran dia sedang marah dan
harus mencari sasaran pelampias, maka ia tidak membiarkan
Bin Sing-liong memindahkan semua tanggung jawab kepada
gurunya. Selain itu Toa koh juga ingin menjaga gengsi
keluarga Nyo sendiri, maka ia tidak mau membongkar
pertentangan di antara tici dan adik di depan kaum muda.
Apakah betul atau salah. Bin Sing-liong yang akan dijadikan
sasaran lebih dulu.
Dengan sendirinya Sing-liong tidak tahu pikiran Toa-koh, ia
cuma berseru penasaran, "Harap Sukoh maklum, tidak nanti
kuberani sembarangan memalsukan perintah Suhu. Kalau
tidak percaya, silakan Sukoh tanya sendiri padanya."
"Piok", kontan Sing-liong digampar oleh Nyo Toa-koh
sehingga pipi merah bengkak.
"Keparat," damprat Nyo Toa-koh. "Aku tidak peduli apakah
gurumu yang memberi perintah atau bukan. Yang jelas,
selama ini kupandang dirimu seperti anggota keluarga sendiri,
kenapa kau tega membikin susah putraku?"
Kuatir dihajar lagi, cepat Bin Sing-liong berlutut dan minta
ampun, "Maaf, Sukoh, kutahu kesalahanku. Mohon ampun!"
"Baik, jika minta kuampuni jiwamu, hendaknya segera kau
ikut pergi bersamaku," kata Toa-koh.
"Sukoh hendak . . . hendak kemana?" tanya Sing-liong
dengan suara gemetar.
"Akan kutemukan kalian guru dan murid untuk
membuktikan siapa yang salah," kata Toa-koh.
Kiranya pada kesempatan ini dia hendak bicara blak-blakan
dengan adiknya, ia ingin tahu apakah adiknya berani mengaku
terus terang atau tidak. Betapapun dia masih berilusi kalaukalau
adiknya akan mundur teratur dan tidak berani lagi
membikin susah Ce Se-kiat.
Bin Sing-liong memang cukup cerdik, apa yang terpikir oleh
Nyo Toa-koh tentu juga terpikir olehnya. Jika untuk urusan ini
Nyo Toa-koh tidak segan cekcok dengan adiknya sendiri, yaitu
Nyo Bok, maka apakah nanti gurunya akan mengakui
perbuatannya atau tidak, yang jelas, akhirnya yang ketimban
pulung pasti dirinya. Karena itulah dia tidak berani ikut Nyo
Toa-koh untuk dipertemukan dengan gurunya.
"Sukoh," ia coba mengulur waktu, "Semua ini sungguh
cuma salah paham saja. Harap sabar dan jangan marah dulu,
dengarkan penjelasanku ..."
"tutup mulut," bentak Toa-koh sebelum lanjut ucapannya.
"Aku tidak punya waktu untuk mendengarkan ocehanmu yang
bohong belaka, jika mau bicara boleh dikemukakan setelah
berhadapan dengan gurumu nanti."
"Jika begitu, kumohon izin berganti pakaian dulu," pinta
Sing liong dengan serba susah.
"Kan bukan hendak menghadiri pesta, untuk apa ganti
pakaian"'' ujar Toa koh.
"Ting-kau, Ting-kau'" Sing-liong berseru memanggil
anaknya. "Kau mau apa?" tanya Toa koh.
"Ada sedikit pekerjaan harus kuberi petunjuk padanya."
kata Sing-liong.
"Hm, hendak kau minta bantuan anakmu" Baik, biar kuseret
dia pergi sekalian'" jengek Toa-koh.
"Ah, mma kuberani, engkau terlampau banyak curiga,
Sukoh," kata Sing-liong. "Ting-kau, tidak perlu masuk kemari,
sediakan kereta saja bagiku. Cuma ada sedikit urusan harus
kau ...." Meski masih muda belia anaknya, namun Bin Ting-kau
sangat cerdik dan pintar melihat gelagat, dengan teriakannya
itu ia menduga putranya pasti dapat mengerti ayahnya lagi
terancam bahaya.
Meski tidak banyak bergundalnya, tapi di rumah Bin Sing
liong juga terdapat beberapa puluh tukang pukul, bila
semuanya teratur dengan baik, sukar juga bagi Nyo Toa-koh
untuk menerjang begitu saja dan hal ini berarti gagal untuk
membawa pergi Bin Sing-liong.
Tak terduga pada saat itu juga ada orang berteriak, "Wah,
celaka! Bagaimana Siauya ini'" Ayolah, lekas kalian kemari!"
Kiranya hiat-to Bin Ting-kau ditutuk Nyo Yam dan
dilemparkan ke selokan, baru sekarang in ditemukan anak
buahnya. Keruan kejut Bin Sing liong tak terperikan, segera ia hendak
lari keluar. Namun Toa-koh keburu membentak. "Keparat, kau mau
kabur" Memangnya begitu gampang"!"
Berbareng ia terus mencengkeramnya. Tampak Bin Singliong
pasti akan dibekuk kembali, mendadak dari jendela
menyambar tiba senjata rahasia, dari suara mendengingnya
yang keras dapat diketahui tenaga sambitan senjata rahasia
ini sangat lihai.
Toa-koh terkejut, ia tahu ketemu lawan tangguh.
Betapapun cepat gerak perubahan toh sukar mengelak.
Terdengar suara "crit-crit" yang keras, tiga mata uang yang
disambitkan orang itu, yang sebuah dapat dihindarkan Nyo
Toa-koh, yang kedua diselentik jatuh, mata uang ketiga tetap
mengenai sikunya. Seketika lengan kanan Toa-koh lantai
terkulai lemas "Bangsat kecil dari mana, berani menyergap bibimu'!"
bentak Toa-koh dengan murka.
Dalam pada itu dengan cepat luar biasa orang itu sudah
menerobos masuk melalui jendela. Belum lagi Toa-koh melihat
jelas siapa pendatang ini, tahu-tahu angin pukulan sudah
menyambar tiba.
"Biar kuadu jiwa denganmu, bangsat!" teriak Toa-koh,
berbareng ia sambut pukulan dengan pukulan yang dahsyat.
Meski ia Cuma menggunakan tangan kiri, tapi tenaga
pukulannya juga lihai sekali. Meski sasarannya bukan Bin Sing
liong, tapi karena getaran tenaga pukulan itu, dia yang kena
getahnya, kontan ia terpental jatuh.
Orang itu langsung diterjang pukulan Nyo Toa-koh. dia
tidak bergeming sedikit pun, ia seperti tak acuh dan
menangkis sekenanya, tahu-tahu pukulan Nyo Toa koh yang
lihat ini sudah dipatahkannya.
Pukulan Nyo Toa koh yang disebut Liok-yang jiu itu
mengandung enam macam perubahan, sudah dilatihnya
dengan sempurna, dalam keadaan murka ia menghantam
sekuatnya, boleh dikatakan dikeluarkan segenap
kemampuannya, setiap gerak tangkis lawan juga sudah
diperhitungkannya.
Tak terduga, tangkisan lawan sekenanya itu ternyata juga
bergaya Liok-yang jiu keluarga Nyo, bahkan tenaga dan
caranya seperti tidak kalah lihai dibandingkan Nyo Toa-koh,
Marasa tenaga pukulan sendiri tidak dapat mengenai lawan,
sebaliknya malah kena dikuasai, keruan Nyo Toa-koh
terkeuap. keluhnya, "Wah, tamatlah aku sekali ini!"
Siapa tahu, lawan hanya mematahkan tenaga pukulannya
dan tidak balas menyerang lagi Jelas lawan sengaja mengalah
dan tidak ingin melukai Nyo Toa-koh.
Setelah saling gebrak satu jurus, baru sekarang Toa-koh
dapat melihat jelas wajah lawan, serunya melenggong, "Hah,
kiranya..."
Belum sempat "kau" diucapkan, tahu-tahu hiat-so sudah
tertutuk lawan, meski masih sadar namun sudah tidak bisa
bicara dan tak dapat bergerak lagi.
Kiranya orang yang muncul mendadak ini tak-lain-tak-bukan
adalah pemuda yang dilihatnya di piaukiok tadi.
Hati Toa-koh terkesiap pikirnya, "Rasanya aku tidak salah
lihat lagi, dia pasti Nyo Yam adanya. Ai, betapapun hubungan
bibi dan keponakan memang lain daripada hubungan ayah dan
anak. Pada detik menentukan toh dia tetap membantu
ayahnya." Ia tidak tahu, memang betul pandangannya tidak salah,
pemuda ini memang Nyo Yam adanya. Tapi sebabnya Nyo
Yam menutuknya bukanlah sebagaimana disangkanya.
Jatuh Bin Sing liong tadi ternyata tidak enteng sehingga
saat itu belum lagi merangkak bangun. Namun Nyo Toa koh
ditundukkan Nyo Yam, hal ini dapat dilihatnya, walaupun tidak
diketahui dengan jelas bahwa Nyo Toa-koh tertutuk.
Dengan sendirinya ia kegirangan, disangkanya pemuda ini
adalah penyelamat jiwanya, segera ia berseru, "Wah,
perempuan tua ini terlampau lihai, lekas tambahi sekali pukul
padanya!" Selama hidupnya dia paling takut terhadap bibi guru yang
berjuluk Kwan-im bertangan pedas ini. karena melihat Nyo
Toa-koh belum lagi roboh, dengan kuatir ia menganjurkan Nyo
Yam lekas menambahi suatu pukulan lagi.
Nyo Yam memang segera menambahi pukulan lagi, tapi
bukan tertuju Nyo Toa-koh melainkan Bin Sing-liong yang
terus dicengkeramnya, pelahan ia hantam punggung Bin Singliong
dan membuatnya seketika pinggan.
Song Peng-ki dan Oh Lian-kui sama melongo oleh kejadian
yang mendadak ini, kini mereka pun dapat mengenali Nyo
Yam, maka rasa kaget mereka pun hilang.
Segera mereka berseru, "Su . . . . "
Tapi belum lanjut ucapan mereka, tahu-tahu "plak-plok",
mendadak mereka digampar oleh Nyo Yam, sekaligus hiat-to
pun tertutuk. Nyo Yam lantas mendengus. "Hrn, Suheng apa" Masih
berani kalian menjagoi Suheng lagi" Tapi sayang suheng
kalian ini cuma pandai berlagak sebagai pembesar,
kepandaian berkelahi ternyata tidak becus. Hehe, tentu
sekarang kalian kenal kelihaianku, biarpun kau panggil
Sukohmu juga tidak ada gunanya, apalagi hendak minta
tolong kepada suhengmu yang tak becus ini"!"
Sembari mendamperat, berbareng ia pun memberi tanda
kepada Peng-ki dan Lian-kui dengan main mata, malahan ia
terus mengobrak-abrik perabotan di dalam kamar,
Tadi Peng-ki dan Lian-kui mestinya hendak memanggi
"Sute" kepada Nyo Yam. namun oleh Nyo Yam telah diubah
seakan-akan mereka hendak memanggil Suheng, yaitu Bin
Sing-liong dan minta tolong padanya. Karena di dalam kamar
hanya ada seorang suhengnya, jelas yang dimaksud ialah Bin
Sing-liong. Dalam pada itu beberapa tukang pukul sewaan Bin Singliong
sudah ada yang mendekati kamar.
Peng-ki berdua bukan orang bodoh, segera, ia tahu maksud
Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nyo Yam supaya anak buah Bin Sing-liong itu tetap
menganggap mereka sebagai orang sendiri dan tidak
mencurigai mereka.
Nyo Yam lantas mengambil kantung kulit yang tergantung
di dinding itu, ucapnya dengan terbahak, "Haha, kantung ini
kebetulan cocok untuk kugunakan."
Segera Bin Sing-liong yang sudah ditutuk-nya dan tak sadar
itu dimasukannya ke dalam kantung kulit itu.
Sekilas pandang dilihatnya Song Peng ki masih memegangi
botol Soh-kut-san itu, segera ia mengambilnya dan berkata,
"Ini juga cocok untuk kupakai."
Menyusul ia tertawa panjang, katanya pula, "Maaf, akan
kubawa Suheng kalian. Rasanya kalian belum memenuhi
syarat untuk menjadi pendampingnya, maka boleh istirahat
saja sebentar di sini."
Habis berkata, kantung kulit itu dipanggulnya, "blang",
pintu kamar didepak terus menerjang keluar.
Saat itu beberapa tukang pukul baru memburu tiba, tapi
semuanya kena disapu terguling oleh kantung kulit yang
disabetkan Nyo Yam.
Di dalam Nyo Toa-koh hanya mendengar suara gedebukan
dan jeritan beberapa orang, sejenak kemudian baru suasana
tenang kembali.
Dapat dirasakan oleh Nyo Toa-koh bahwa Nyo Yam hanya
menutuknya dengan cara yang ringan, setelah dia
mengerahkan tenaga dalam, lambat laun hiat-to yang tertutuk
itu terbuka sendiri.
Tentu saja ia sangsi, diduganya
Petualang Asmara 10 Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Rahasia 180 Patung Mas 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama