Ceritasilat Novel Online

Durjana Dan Ksatria 3

Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 3


habis ucapannya sudah dilihat mereka di depan sana
ada sebuah ruang bawah tanah dan kelihatan ada cahaya
lampu, bahkan mulai terdengar suara bicara orang.
Sungguh kejut sekali Nyo Yam demi mengenali suara orang,
ternyata dia adalah murid buncit ayahnya, yaitu Oh Lian-kui.
Ia tambah terkejut demi mendengar percakapan orang.
"Huh, tampaknya engkau ini orang jujur, ternyata jadi
mata-mata musuh," demikian terdengar lagi suara seorang
lain yang dikenali adalah suara Bin Sing-liong. Padahal Bin
Sing liong diketahuinya sudah terpukul mati oleh ayahnya,
kenapa bisa hidup lagi"
Terdengar Se-kiat berbisik lagi padanya, "Justru karena
kulihat Oh Lian kui di-giring ke lorong bawah tanah ini oleh Bin
Sing-liong, maka dapat kutemukan pesawat rahasia di atas
tadi." Lamat-lamat Nyo Yam merasa di balik ini pasti ada intrik
keji tertentu dan ayahnya sangat mungkin adalah perencana
intrik ini dan Bing Sing-liong berkomplot dengan ayahnya
untuk menipunya,
Ia menahan perasaannya dan coba mendengarkan lagi,
terdengar Oh Lian kui sedang berseru penasaran, "Kau bilang
aku mata-mata musuh, memang mata-mata musuh siapa?"
Bin Sing-liong tidak langsung menanggapi, katanya pula,
"Baik, akan kutanya padamu. Song Peng-ki datang
bersamamu, kenapa setelah kalian tahu aku berada di sini dan
segera Peng-ki lari pulang?"
"Suheng." kata Lian-kui, "bukankah sudah kukatakan
padamu, sebabnya kami dapat mencari ke tempat Suhu ini
justru atas permintaan anakmu."
"Lantas kenapa jika begitu?" kata Sing-liong.
"Waktu anakmu minta kami menyampaikan berita ke sini
tidak kami ketahui engkau berada di sini dengan selamat,
sebab itulah Song-suheng buru-buru pulang ke sana untuk
menyampaikan kabar baik kepada anakmu."
Padahal Song Peng-ki pulang ke piaukiok dan bukan
kembali ke rumah Bin Sing-liong, Oh Lian-kui sengaja
mengarang alasan agar tidak dianiaya.
Bin Sing-liong mendengus, "Hm, jadi engkau masih jujur
terhadap Suhu. Ya, memang seharusnya begitu, nasib hari
depanmu terletak di tangan Suhu, adalah pantas jika engkau
setia kepada beliau. Baik, kupercaya padamu. Dan untuk lebih
membuktikan kesetiaanmu, atas nama Suhu ingin kusuruh kau
lakukan sesuatu."
"Silakan Suheng memberi petunjuk," jawab Lian-kui dengan
perasaan tidak tentram, karena tidak tahu persoalan sulit apa
yang harus dilakukannya.
"Kutahu Sukoh agak sayang kepadamu dan Peng-ki, tentu
dia takkan mencurigai kalian, maka ketiba kembali di piaukiok
hendaknya kau cari kesempatan untuk menaruh setitik Soh
kut-san dalam air minumnya."
"Wah. aku . . . aku tidak berani," ucap Lian-kui dengan
tarkejut. "Hin, kau bilang jujur terhadap Suhu, kenyataannya engkau
tidak mau bekerja bagi Suhu. memangnya engkau lebih dekat
dengan Sukoh?" jengek Sing-liong.
"Suhu dan Sukoh kan bersaudara, sungguh aku tidak
mengerti arti ucapan Suheng?" kata Lian-kui.
"Hm, tidak perlu berlagak bodoh," jengek Sing-liong.
"Kedatangan Sukoh ke kotaraja ini jelas hendak mencari
perkara kepada Suhu, hal ini sudah terus terang dikatakannya
di rumahku, masa tidak kau dengar" Hm, waktu itu engkau
berlagak membantuku, mungkin juga cuma sandiwara belaka."
"Tapi. . tapi apakah benar Suhu menyuruhku berbuat
demikian terhadap Sukoh?" tanya Lian-kui.
"Memangnya kau kira aku memalsukan perintah Suhu?"
kata Sing liong dengan gusar.
"Mana kuberani menuduh begitu kepada Suheng," ucap
Lian-kui. "Cuma kuingin bertemu dengan Suhu, entah boleh
tidak?" Baru bicara sampai di sini, tertampak sebuah daun pintu
rahasia terbuka dan muncul satu orang, siapa lagi kalau bukan
gurunya, Nyo Bok.
"Sing-liong, sudah kau jelaskan belum kepada Lian-kui?"
tanya Nyo Bok. "Sudah," jawab Sing-liong dengan hormat. "Tapi dia masih
sangsi." "Apa yang dikatakan Lian-kui tadi sudah kudengar semua,"
ujar Nyo Bok. "Kupikir engkau belum cukup memberi
penjelasan kepadanya. Aku hanya mempunyai seorang taci
kandung, tidak heran jika dia sangsi."
Mendengar ini, Nyo Yam yang mencuri dengar di luar
merasa ada harapan lagi semoga sang ayah tidak sebusuk
sebagaimana di-sangkanya.
Tapi perasaan Lian kui justru tambah tertekan, katanya,
"Suhu, jadi engkau benar menyuruhku mengerjai sukoh
dengan Soh-kut-san?"
"Betul, itu memang kehendakku," kata Nyo Bok. "Itu pun
demi kebaikan Sukohmu. Dia kan satu satunya Ciciku, dengan
sendirinya takkan kubikin susah dia. Tapi dia ada hubungan
dengan orang di Cadam, sekali ini ia pun datang ke Cin-wanpiaukiok
dan ikut campur urusan Han Wi-bu, kukuatir dia akan
tertimpa bahaya. maka sengaja kugunakan cara licik ini untuk
mengirim dia pulang ke rumah. Nah, paham tidak sekarang?"
"Watak Sukoh sangat keras, mungkin beliau tidak mau
pulang, lantas bagaimana nanti?" tanya Lian-kui.
"Makanya kusuruh menggunakan Soh-kut-san untuk
membuat ilmu silatnya lenyap sementara, selain itu juga
membuatnya tak sadar dan baru akan siuman kembali dua
hari kemudian, tatkala mana kaupun sudah dapat pulang ke
Poting." "Tapi bila sadar kembali tentu Sukoh akan marah padaku,
bisa jadi aku akan dilabraknya," ucap Lian-kui.
"Sesudah sadar, sedikitnya tiga hari kemudian baru
kekuatannya akan pulih," tutur Nyo Pok. "Jika kau katakan apa
yang kupesan dan membujuk dia jangan ikut campur urusan
orang lain lagi. Tentu juga kukenal wataknya, bila dia tetap
tidak mau menurut, maka boleh . . . boleh . . . . "
"Boleh apa?" tanya Lian-kui.
"Ya, apa boleh buat, tidak ada jalan lain, terpaksa membuat
kungfunya hilang untuk selamanya," sambung Nyo Bok
dengan menyesal.
Lian-kui terkejut, "Hah, maksud Suhu hendak memunahkan
ilmu silat Sukoh?"
"Ya, terpaksa," kata Nyo Bok. "Kuberi jarum berbisa ini, bila
dia tidak mau menurut bujukanmu, boleh kau tusuk dengan
jarum ini. Katakan padanya, akulah yang memberi perintah,
jika dia marah dan menyesal, biarlah dia marah padaku saja."
"Tapi Suhu .... "
"Ada apa lagi" Apakah tidak mau menurut perintahku?"
tanya Nyo Bok. Lian-kui tidak berani bicara lagi, ia pikir paling penting
sekarang harus cari selamat lebih dulu, terpaksa katanya,
"Baik, tentu saja murid laksanakan sesuai perintah Suhu. Kuharap
Sukoh akan menurut kepada nasihat Suhu."
"Jika begitu boleh simpan Soh-kut san dan jarum ini," kata
Nyo Bok. "Ingin kuperingatkan. jika di luar kau tunduk, tapi di
dalam hati membangkang, maka akibatnya kau tahu sendiri."
"Tecu tidak berani," jawab Lian-kui gemetar.
Nyo Yam yang mendengarkan di luar terlebih gemetar
daripada Oh Lian-kui.
Selang sejenak, terdengar Nyo Bok menyambung pula,
"Sing-liong, sebentar kau antar Sute ke luar. Tentang urusan
itu apakah sudah kau bicarakan dengan Congkoan."
" O, ini . . . ini . . . . " Sing liong tergagap.
"Lian-kui bukan orang luar, boleh kau-bicara saja," ujar Nyo
Bok. "Sudah Tecu bicarakan dengan beliau, Congkoan sangat
senang." demikian tutur Bing Sing-liong. "Congkoan sudah
berjanji akan menyampaikan barang itu kepada Hongsiang, ia
bilang kalau ada hadiah tentu akan dibagi sama rata dengan
Suhu. Selain itu Cin wan piaukiok akan diserahkan seluruhnya
kepada Suhu. Ia suruh kutanya kepada Suhu apa puas tidak
dengan keputusannya?"
Oh Lian kui tidak mengerti apa yang dibicarakan mereka,
tapi Nyo Yam paham. "Barang" yang dimaksudkan Bin Singliong
itu jelas adalah surat wasiat kaisar Khong-hi yang
diserahkannya kepada sang ayah itu.
Terdengar Nyo Bok mendengus, "Hm, jasa ini diperolehnya
tanpa keluar tenaga, dengan sendirinya dia yang kegirangan.
Cuma kalau tidak melalui dia, mungkin sukar bagiku menemui
Hongsiang secara langsung. Umpama dapat menemui
Hongsiang juga rahasia ini akhirnya akan diketahui juga
olehnya. Jika demikian jadinya, bukan mustahil akan
mendatangkan bahaya maut malah bagiku. Sing-liong, ingin
kuajarkan kuncinya untuk menjadi pembesar. Jika ada jasa
harus kau persembahkan dulu kepada atasanmu dan jangan
berusaha hendak melangkahinya, untuk mencapai kedudukan
lebih tinggi, harus tunggu bilamana pondasinya sudah
terpupuk kuat barulah kau singkirkan dia dan gantikan
kedudukannya. Nah, mengerti?"
"Banyak terima kasih atas petunjuk Suhu, sungguh sangat
berguna bagi bekal hidup Tecu selanjutnya," jawab Sing-liong.
Sungguh tidak kepalang rasa gusar Nyo Yam, diam diam ia
mencaci maki kerendahan jiwa sang ayah, tahu begini lebih
baik tidak punya ayah, sungguh ia menyesal atas
perjalanannya ini.
Terdengar Nyo Bok berkata pula, "Boleh katakan kepada
Congkoan bahwa aku sangat puas, bahkan sangat terima
kasih kepada beliau."
"Suhu, tidak perlu kusampaikan lagi kepadanya," tutur Singliong.
"Congkoan sudah berjanji akan bertemu dengan Suhu di
rumah Wi-hu congkoan (wakil congkoan)."
"O, kenapa dia terburu-buru begitu?" ujar Nyo Bok. "Kapan
dia akan berada di sana."
"Semalam beliau dinas piket, katanya setelah lepas dinas
segera akan menuju ke rumah Wi-hu congkoan," tutur Sing
liong. "Jika begitu mungkin pada waktu pagi nanti," kata Nyo Bok.
"Baiklah, aku akan pergi sekarang. Nah, kaupun antar Lian-kui
keluar melalui pintu belakang, sekalian katakan kepada Ong
cilik, kalau di tanya anak Yam, katakan aku belum bangun
tidur." Ong cilik yang dimaksud adalah pelayan kepercayaan Nyo
Bok. Habis memberi pesan Nyo Bok lantai membuka sebuah
pintu rahasia dan masuk ke sana, itulah jalan keluar pada
ujung lain lorong bawah tanah.
Melihat semuanya sudah pergi, Se-kiat berbisik kepada Nyo
Yam, "Sabar, jangan beraksi dulu, tunggu sampai di luar
nanti." Tengah bicara Bin Sing-liong dan Oh Lian-kui sudah keluar,
dengan menahan napas mereka sembunyi di belakang pilar.
Terlihat Sing-liong menyulut obor kecil dan diberikan
kepada Lian-kui dan menyuruh sute itu berjalan di depan.
Rupanya ia kuatir saudara seperguruan itu akan
menyergapnya dari belakang.
Lian-kui tahu maksud orang, ia sengaja berkata, "Suheng,
sungguh kukuatir di sini tersembunyi musuh, obor ini tidak
cukup terang, hendaknya Suheng waspada."
"Di tempat ini masa bisa dimasuki musuh, jangan berpikir
macam-macam," ujar Sing-liong.
"Betul juga ucapan Suheng, jika sembarangan curiga, apa
artinya hidup baginya," kata Lian-kui.
Sing-liong tahu sute ini sengaja menyindirnya secara tidak
langsung, ia hanya mendengus saja tanpa menanggapi,
namun dalam hati ia pikir, "Saat ini Suhu masih perlu
memperalat dirimu, sebentar bila perempuan tua itu sudah
dienyahkan baru kubikin kau tahu rasa akan kelihaianku."
Setiba di ujung lorong, Sing-liong membuka pesawat
rahasia, terdengar suara krek krek beberapa kali, batu di atas
bergeser dan terlihat sebuah lubang.
Diam-diam Nyo Yam berpikir untung Bin Sing-liong
menunjuk jalan baginya. jika tidak, tentu sukar baginya untuk
keluar lagi. Sesudah Sing-liong dan Lian-kui menerobos keluar lubang
lorong dan berada di dalam gardu, sebelum meja batu itu
berputar kembali, ketika melihat catur di atas meja, seketika
air muka Bin Sing-liong berubah dan bersuara heran.
"Ada apa SuhengT" tanya Lian-kui. "Seperti ada orang
datang kemari," ucap Sing-liong.
Rupanya meski Nyo Yam telah mengatur kembali biji catur
yang bergeser, tapi waktu mereka turun ke bawah, karena
tidak tahu harus berbuat lagi sesuatu sehingga ada dua-tiga
biji catur yang belum kembali lagi ke tempatnya semula.
Segera Lian-kui berkata, "Suheng, tadi engkau bilang
jangan sembarangan curiga, kenapa sekarang Suheng sendiri
curiga macam-macam?"
Sing-Hong masih sangsi. katanya, "Kan ada baiknya berhati
hati"!"
Selagi ia hendak berseru memanggil orang, mendadak
terdengar suara angin berkesiur, tahu-tahu di dalam gardu
sudah bertambah dua orang.
Nyata Nyo Yam dan Se kiat telah menerobos keluar. Begitu
mereka berdiri tegak dan batu penutup itu pun tepat merapat.
"Eh, Bin-suko, engkau memang tidak salah duga. memang
sejak tadi kami berada di sini," sapa Nyo Yam dengan tertawa.
Bin Sing-liong menyadari gelagat tidak enak, seketika timbul
niat jahatnya. Ia tahu kelihaian Ce Se kiat, jika Kwantang
taihiap Utti Keng yang lihai itu pun tidak mampu mengalahkan
anak muda itu, apalagi dirinya, jelas selisih sangat jauh. meski
ia pun tahu Nyo Yam pernah belajar kungfu di Thian-san, tapi
usia Nyo Yam baru 17-18 tahun, ia menduga betapa tinggi
kungfunya tentu juga terbatas. Maka ia memutuskan akan
memilih lawan yang empuk saja, mendadak ia turun tangan
dan mencengkeram hiat-to di dada Nyo Yam.
Tak diketahuinya bahwa meski usia Nyo Yam masih muda
belia, namun kungfunya justru terlebih tinggi daripada Ce Sekiat.
Selagi ia bergirang dapat mencengkeram dada Nyo Yam,
tiba-tiba dirasakan tenaga sendiri serupa batu kecemplung ke
laut, sukar digunakan. Yang terpegang olehnya terasa seperti


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segumpal kapas yang lunak, bahkan timbul semacam daya
isap yang kuat, seketika tangannya melengket dan sukar
ditarik kembali
"Hehe, Bin Sing-liong, mau apa" Apa memijat tubuhku?"
ejek Nyo Yam. Keruan kejut Sing-liong tak terkatakan, sukmanya seakan
akan terbang meninggalkan raganya saking kagetnya,
serunya, "Ampun Sute, mengingat ayahmu sudilah
mengampuniku!"
"Betul, engkau ini memang murid paling setia terhadap
Suhu," ucap Nyo Yam dengan dingin.
Timbul setitik cahaya harapan Sing-liong, dengan cepat
serunya, "Betul, meski pernah kudustai mu, tapi hal itu atas
perintah Suhu sendiri dan sebenarnya juga demi kebaikanmu."
"Tidak perlu banyak bicara," jengek Nyo Yam. "Pembicaraan
kalian di kamar rahasia itu sudah kudengar seluruhnya."
Seketika Bin Sing-liong menggigil ketakutan.
"Oh-suheng, silakan pulang dulu dan katakan kepada bibi
agar jangan kuatir bagiku," kata Nyo Yam kepada Oh Lian-kui.
Sesudah Lian-kui pergi barulah Nyo Yam melepaskan
tangan Bin Sing-liong yang melengket pada tubuhnya itu.
Sing-liong lantas berlutut dan memohon "O, Sute, sudilah
engkau mengampuni diriku."
"Bukankah sudah kulepaskanmu, kalau engkau tidak mau
pergi kan urusanmu," kata Nyo Yam.
Hampir Sing-liong tidak percaya kepada telinga sendiri, ia
pikir masa urusan bisa beres begini saja" Ia coba berdiri
dengan tubuh gemetar dan menyurut mundur selangkah demi
selangkah. Ia kuatir kalau Nyo Yam mendadak menyerangnya
dan sengaja mempermainkannya kerupa kucing menangkap
tikus. "Bin Sing-liong," kata Nyo Yam mendadak, "memang
sepantasnya kau pergi pelahan begini, bila terlampau cepat
memang tidak menguntungkanmu, tahu?"
Sing-hong melengak, katanya, "Berjalan cepat juga ada
bahayanya, sungguh aku tidak mengerti, dapatkah kuminta
penjelasanya?"
"Coba engkau bernapas agak keras, jika Soan-ki hiat tidak
terasa sakit berarti tidak berhalangan bagimu," ucap Nyo Yam.
Segera Bin Sing-liong bernapas sesuai perkataan Nyo Yam
seketika ia merasa Soan-ki-hiat bagian dada serupa dicocok
jarum, sakitnya tidak kepalang setengah badan bagian atas
serasa kaku seluruhnya.
Keruan ia terkejut, serunya, "Hei, Sute, ken . . . . "
"Hm, siapa mengaku sebagai sutemu?" jengek Nyo Yam.
"Bukankah tadi kau tutuk diri-ku dan sekarang kubalas tutuk
dirimu dengan cara yang sama. Cuma caraku menutuk
berlainan denganmu, aku hanya mengerahkan tenaga dalam
untuk mengatasi setiap hiat-to yang kutuju, atau dengan lain
perkataan, hiat-to-mu tersumbat oleh tenaga dalamku."
Bin Sing-liong lagi kesakitan setengah mati, mana dia
sempat mendengarkan uraian Nyo Yam itu, yang ingin
diketahuinya adalah bagaimana akibatuya bila hiat-to tertutuk.
Agaknya Nyo Yam juga tahu isi hatinya, segera ia berkata
pula, "Cuma kaupun tidak perlu terlalu sedih, jiwamu takkan
segera amblas. Hanya pada bulan pertama nanti, setiap hari
hiat-to yang tertutuk itu akan kambuh rasa sakitnya, dalam
bulan kedua setiap hari akan kambuh dua kali dan bulan
ketiga setiap hari kambuh tiga kali, makin lama makin sakit.
Setelah genap tiga bulan, seluruh otot tulang tubuhmu akan
berubah lunak, dan akhirnya mengkeret dan mati. Selama
waktu tiga bulan engkau tidak boleh terlampau menggunakan
tenaga supaya penyakitmu tidak bekerja terlebih cepat.
Makanya kusuruh jalanmu jangan terlampau cepat, maksudku
supaya engkau tidak mati lebih cepat. Nah. jelas sekarang?"
Sungguh tidak kepalang rasa takut Bin Sing-liong, kaki pun
terasa lemas dan tanpa kuasa terus berlutut dan menyembah.
katanya, "O. Su .... ah, tidak, Nyo-kongcu, Nyo-siau-hiap,
ampun, aku memang sudah bermaksud menyergap dirimu,
aku pantas mampus. Mohon belas kasihanmu, ampun,
selanjutnya aku tidak berani lagi."
"Hm, keji amat caramu terhadap saudara seperguruan,
mengapa kau minta orang kasihan padamu!" jengek Nyo Yam.
"Pula, aku pun tidak berani mengharapkan engkau akan
memperbaiki diri, mengapa harus kuampunimu?"
Bin Sing liong merasa ucapan orang ada tanda boleh tawar
menawar, cepat ia berkata, "Nyo-siauhiap, engkau
menghendaki apa, asalkan dapat kulakukan tentu akan
kuturuti keinginanmu"
"Boleh juga jawabanmu," kata Nyo Yam. "Baik, sekarang
boleh kita bicara bisnis. Coba katakan di mana tempat tinggal
We-hucongkoan?"
Sembari bicara ia terus tepuk pelahan di tubuh Sing-liong,
rasa sakitnya seketika berhenti.
Sing liong menghela napas lega, ia pikir kebetulan jika
mereka mau masuk jaring sendiri ke sana, maka ia menjawab,
"Rumah terbesar di sebelah timur jalan ini ialah tempat
kediaman We-hucongkoan. Mohon Nyo-siau-hiap suka
mengobati lukaku."
"Boleh juga, akan kusembuhkan sebagian, sebagian lagi
harus tunggu sampai aku kembali lagi ke sini," kata Nyo Yam
sembari memencet dagu Bin Sing-liong sehingga mengap
mulutnya, lalu dijejalkan sebiji pil ke dalam mulutnya.
Sing-liong masih sangsi, tanyanya, "Apakah pil ini dapat
menyembuhkan sebagian racun dalam tubuhku?"
"Ya, pil ini akan mengurangi sebagian penderitaanmu dan
memperpanjang jarak waktu kambuhnya," kata Nyo Yam.
"Wah. lantas bagaimana jika . . . jika engkau tidak . . . tidak
kembali," karena kuatir tanpa pikir ia menegas.
"Makanya harus kau doakan aku pulang dengan selamat,"
ujar Nyo Yam dengan tertawa.
"Berdoa juga tidak ada gunanya, bilamana di rumah Wehucongkoan
kita juga penuh pesawat rahasia dan alat
perangkap, maka besar kemungkinan engkau takkan dapat
kembali lagi ke sini," demikian Se kiat menimbrung dengan
tertawa. "Betul juga, semoga nasib kita tidak seburuk ini," ujar Nyo
Yam. Kedua orang tanya jawab seperti main sandiwara, biarpun
orang bodoh juga akan tahu. apalagi Bin Sing-liong yang licik
dan licin. Cuma dalam keadaan begini ia tidak berani bertindak jahat,
katanya, "Di rumah We-hucongkoan tidak ada jalan di bawah
tanah, biasanya beliau suka menerima tamu di ruang depan
sebuah gedung di tengah taman, di bawah gedung susun itu
memang ada pesawat rahasia, untuk menghindari perangkap
di situ dapat kuberitahu kepada kalian, sebab pernah juga
kupergi ke sana."
"Meski pernah kau tipu aku satu kali, tapi sekali ini
kupercaya penuh padamu," ucap Nyo Yam dengan tertawa.
"Maka bolehlah kau bicara sejelasnya, kalau bisa coba lukiskan
sebuah peta."
Sing-liong menurut saja. ia dapatkan sepotong ranting kayu
dan dilukisnya sebuah peta di atas tanah.
Sesudah orang memberi penjelasan barulah Nyo Yam
berucap dengan tertawa, "Bagus, sekarang ingin kucoba
secara untung-untungan, boleh kau tunggu saja di sini."
Cahaya rembulan sudah redup, malam sudah hampir lalu,
fajar selekasnya akan tiba.
Namun hati Nyo Yam justru terasa gelap dan tenggelam
serupa malam larut.
Meski apa yang terjadi sebenarnya sudah mulai timbul di
badapannya, namun apa yang muncul itu bukan cahaya
terang baginya melainkan kegelapan belaka.
Hubungan keluarga yang erat tiada yang melebihi anak dan
ayah, tapi kalau sang ayah saja menipunya, bahkan hendak
mencelakainya, lalu ke mana lagi dia akan mendapatkan
cahaya terang"
Untung sekarang dia didampingi seorang Ce Se- kiat.
Se kiat seperti tahu perasaannya, ia genggam erat tangan
Nyo Yam, katanya, "Jangan lupa engkau masih mempunyai
Leng-cici, masih ada ayah angkat, juga masih ada nona Liong.
Mereka semua sayang padamu dengan sepenuh hati.
Memang, di dunia ini terlampau banyak orang busuk, tapi
engkau harus percaya, orang baik terlebih banyak daripada
orang jahat. Sebentar tidak peduli kejadian menakutkan apa
pun yang kau lihat, hendaknya engkau jangan putus asa.
Manusia harus tetap hidup, ingatlah kepada sanak kerabat
yang, benar-benar kasih sayang kepadamu itu."
Nyo Yam menarik napas panjang, katanya, "Betul, demi
Leng-cici, demi nona Liong dan demi ayah angkat, akan
kuhadapi apa pun dengan tabah. Cuma engkau kurang
menyebut satu orang. seorang yang telah menuntun aku
keluar dari jalan sesat."
"Siapa?" tanya Se-kiat.
"Ialah engkau sendiri," kata Nyo Yam-"Engkau adalah
Piaukoku, juga sahabatku. Malahan pernah kusakiti hatimu,
apakah Piauko tidak marah padaku?"
Dalam hati Se-kiat tertawa getir, jawabnya, "Engkau tidak
berbuat sesuatu yang salah padaku, apa yang sudah lalu
jangan kau sebut lagi. Yang penting sekarang, kuharap apa
yang telah kau katakan dapat kau laksanakan."
"Aku tidak berani bilang takkan berduka, tapi aku berjanji
pasti akan bertahan hidup dengan kukuh," kata Nyo Yam
sambil menggenggam erat tangan Se kiat, dirasakannya sinar
mata Ce Se-kiat penuh mengandung kekuatan mendorong.
Entah mengapa, tiba tiba teringat olehnya akan Beng Goanciau.
Beng Goan ciau tidak pernah memberi ajaran apa pun
kepadanya, tapi sejak dia gagal membunuh Beng Goan-ciau
dahulu ia mendapatkan dorongan semangat tak terhingga dari
Beng Goan ciau walaupun tidak diucapknnnya secara jelas.
Tiba tiba timbul semacam pikiran yang aneh, "Sayang Beng
Goan ciau bukan ayahnya."
Namun orang yang bukan ayahnya ini bukankah terlebih
pantas menjadi ayahnya dari pada ayah kandungnya yang
sebenarnya"
Cuma sekarang ia tidak sempat benyak pikir lagi, sebab
mereka sudah sampai di depan rumah We hucongkoan.
Sementara itu Nyo Bok memang sudah berada di rumah
keluarga We, cuma dia tidak bertemu dengan Wehucongkoan.
Di suatu kamar rahasia ia hanya bertemu dengan Tai-lwecongkoan
Ustai, kepala rumah tangga istana.
Kejut dan girang Nyo Bok. cepat ia memberi hormat,
"Hamba datang terlambat. mohon Congkoan-taijin
memaafkan."
Ustai tertawa, "Bukan kau datang terlambat melainkan
terlalu dini kudatang kemari. Kukuatirkan urusanmu, terpaksa
berangkat lebih dini dengan risiko akan didamperat
Hongsiang. Cuma, kukira Hongsiang takkan tahu
kedatanganku ini."
Nyo Bok memperlihatkan sikap sangat berterima kasih,
katanya, "Congkoan-taijin sedemikian menghargai diriku,
biarpun hancur lebur pun sukar kubalas budimu."
"Ah, kita kan saudara sendiri, buat apa bicara sungkan,"
ujar Ustai. "Kau tahu sebab apa kuingin cepat bertemu
denganmu?"
"Mohon Taijin memberi petunjuk," jawab Nyo Bok.
"Yaitu mengenai surat wasiat yang dapat kau temukan bagi
Hongsiang itu," tutur Ustai, "Hongsiang sangat senang,
bahkan beliau akan tambah gembira bilamana engkau dapat
menyelesaikan suatu urusan lain dengan baik, untuk jasamu
itu tentu Hongsiang akan menganugrahimu dengan pangkat
sedikitnya wakil komandan Han lim-kun."
Tergelitik hati Nyo Bok oleh janji ini. katanya, "Silakan
Congkoan memberi pesan, biarpun terjun ke lautan api juga
takkan kutolak."
"Urusan ini dikatakan sulit juga tidak sulit, dibilang
gampang juga tidak gampang," tutur Ustai. "Maksudku hendak
menyuruhmu menangkap satu orang."
Kebat-kebit juga perasaan Nyo Bok, ia pikir jangan-jangan
orang yang dimaksud adalah anak Yam. Ia coba tanya, "Entah
siapa yang dimaksudkan Taijin?"
"Kabarnya anakmu datang ke kotaraja bersama seorang
anak perempuan, surat wasiat itu juga berasal dari anak
perempuan itu?"
"Betul, apakah orang yang hendak ditangkap Taijin ialah
anak dara itu?" tanya Nyo Bok.
Ustai tidak segera menjawab, tapi berkata pula, "Kau tahu
siapa dia?"
"Dia she Liong, di dunia kangouw terkenal sebagai Siau
yau-li," jawab Nyo Dok.
Ustai tertawa, "Jika demikian, tampaknya pengetahuanmu
terhadapnya tidak lebih banyak daripadaku. Hanya sebagian
saja tepat ucapanmu. Dia memang betul Siau-yau-li yang
akhir-akhir ini membuat onar dimana-mana. Tapi
sesungguhnya tidak she Liong melainkan she Lian, dia adalah
keturunan Lian Keng-hiau."
(Kisah tentang Lian keng-hiau yang jenius itu dapat dibaca
dalam cerita "Tiga Dara Pendekar" " Gan K. L )
"Oo, dia keturunan Lian Keng-hiau?" Nyo Bok terkejut, baru
sekarang ia mengerti duduknya perkara, katanya pula, "Pantas
dia menyimpan surat wasiat kaisar."
"Dahulu Lian Keng hiau bersalah terhadap kaisar Yong-cing
dan dihukum mati beserta segenap anggota keluarganya,
namun ada seorang putranya berhasil melarikan diri. Namun
begitu titah raja pada 70 tahun yang lalu itu tetap berlaku
sampai sekarang. Artinya asalkan keturunan Lian Keng-hiau
tetap akan dihukum mati oleh kaisar sekarang."
Mendengar sampai di sini, diam diam Nyo Yam merasa
ngeri, ia pikir kiranya mereka hendak meneelakai adik Lengcu.
padahal urusan sudah 70 tahun yang lalu dan mereka
tetap hendak membabat rumput sampai akar-akarnya,
sungguh keji, dan entah ayah akan menuruti permintaannya
atau tidak"
Terdengar Nyo Bok berkata pula, "Kabarnya Ubun-sancu
dari Pek-to-san juga ada sengketa dengan Siau-yau-li itu."
Ustai tertawa, "Berita yang kau terima ternyata juga luas.
Betul, memang ada maksudku sekaligus membalaskan sakit
hati sahabatku terhadap Siau-yau-li itu. Engkau berjuang bagi
Hongsiang sama juga membantuku. tentu aku pun takkan


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melupakan jasamu kepadaku."
"Ah, mana berani kuharapkan apa-apa dari Taijin." ucap
Nyo Bok dengan tertawa. "Asalkan Congkoan-taijin mau
mengerjakanku sudah suatu kehormatan bagiku. Apalagi
urusan ini demi kepentingan Hongsiang."
"Bagus, jadi kau terima tugas ini?" tanya Ustai.
"Urusan ini sudah kulaksanakan, apakah belum dilaporkan
oleh We-hu congkoan?" jawab Nyo Bok.
"O, kau laksanakan, memangnya apa yang telah kau
lakukan?" tanya Ustai.
"Dari keterangan anakku sudah kuketahui jejak Siau-yau-li
itu," tutur Nyo Bok. "Jadi sudah kulaporkan kepada Wehucongkoan
agar mengirim orang untuk menangkapnya.
Kukira pagi nanti Siau-yau-li dapat dibawa ke sini."
Mendadak Ustai menarik muka, jengeknya, "Hm. Siau-yau-li
takkan diantar ke sini, bukan saja dia takkan datang, malahan
ketiga orang yang kau kirim itu pun takkan kembali untuk
selamanya."
Nyo Bok terperanjat, serunya, "Hah. apakah mereka ter . . .
terbunuh seluruhnya oleh Siau-yau-li itu?"
"Aku tidak tahu mereka terbunuh oleh siapa, pendek kata
mereka sudah binasa seluruhnya."
"O. jadi Congkoan-taijin sudah mengirim orang ke sana dan
telah melihat mayat mereka?" tanya Nyo Bok dengan suara
gemetar. "Tampaknya kau sangsikan kebenarannya bukan?" jengek
Ustai. "Hm, adalah pantas kalau We-hu congkoan tidak tahu
betapa tinggi kepandaian Siau-yau-li itu. tapi dia adalah kawan
baik anakmu, masakah kaupun tidak jelas seluk-beluknya?"
Sungguh sukar bagi Nyo Bok untuk menuturkan, padahal
siapa namanya saja tidak pernah didengarnya dari Nyo Yam,
dari mana dapat diketahui betapa tinggi kepandaian anak dara
itu" "Tampaknya antara anakmu dan dirimu belum ada
kesatuan pikiran, agaknya masih banyak urusannya tidak
dibicarakan terus terang kepadamu," kata Ustai dengan
dingin. Dengan gugup Nyo Bok menjawab, "Harap Taijin maklum,
sejak keeil hamba sudah berpisah dengan anak sehingga tak
berani kujamin dia takkan bergaul dengan orang jahat. Cuma
setelah urusan ini selesai, sedapatnya tentu akan kunasihati
dia ..." Air muka Ustai mendadak berubah ramah lagi, ucapnya
dengan tertawa, "Engkau tidak perlu memberi penjelasan
padaku. Urusan mengenai anakmu mungkin kutahu lebih
banyak daripadamu. Dengan sendirinya kutahu juga engkau
memang setia mengabdi kepada Hongsiang sehingga sengaja
kau dustai anakmu agar bekerja bagi kerajaan."
Dari kuatir Nyo Bok berubah senang, jawabnya cepat,
"Banyak terima kasih jika Taijin maklum akan hal ini."
Tubuh Nyo Yam yang mencuri dengar di luar bergemetar
saking gusarnya.
Terdengar Ustai lagi beikata, "Tapi kalian tidak seharusnya
menyingkap rumput mengejutkan ular dan sembarangan
mengirim orang untuk menangkap Siau-yau-li itu. Memang,
begitu menerima laporan We-hucongkoan segera kukirim bala
bantuan ke tempat itu, akibatnya ternyata cocok dengan
dugaanku, orang yang kukirim ke sana hanya menemukan tiga
sosok mayat dan Siau-yau-li itu sudah menghilang entah ke
mana." Nyata Ustai sangat cerdik, sekaligus ia menggunakan cara
halus dan keras sehingga Nyo Bok dibuat sebentar takut dan
sebentar senang. Sekarang hatinya kembali kebat-kebit.
Terdengar Ustai mendengus dan menyambung, "Nyo-heng,
jasamu sekali ini sebenarnya tidak kecil, cuma sayang buronan
kerajaan berhasil lolos, bilamana Siau-yau-li itu tidak
tertangkap, jasamu mungkin akan berubah sia-sia belaka.
Mendingan tidak jadi berjasa, bilamana Hongsiang mengusut
perkara ini. ai, sukar bagiku untuk menguraikan bagaimana
akibatnya nanti."
Seketika Nyo Bok seperti kejeblos kedalam liang es, dengan
suara gemetar ia berkata.
"Mungkin... mungkin hamba masih ada jalan lain."
"Jalan lain apa?" tanya Ustai.
"Sudah disepakati aku dan anakku akan pulang kampung
halaman, biarlah jalan ini kutempuh dan begitu ada
kesempatan dapat kutawan Siau-yau li itu dengan
menggunakan Soh-kut-san."
"Apakah putramu setuju tindakanmu ini?" jengek Ustai.
Dengan nekat Nyo Bok menjawab, "Kalau perlu akan
kukerjai juga binatang kecil itu supaya tidak sadar. Hanya
mohon Taijin suka memberi kelonggaran hukuman padanya,
nanti akan kubawa pulang untuk mendidiknya lebih lanjut"
"Baik mengingat jasamu, tentu saja dapat kuberi
kelonggaran kepada anakmu." kata Ustai. "Cuma, cara
bagaimana hukuman baginya belum dapat kukatakan.
Menurut pendapatku, caramu ini mungkin juga sukar
terlaksana."
Ia berhenti sejenak, lalu berkata pula, "Kesalahanmu
terletak pada tindakanmu yang telah mengejutkan Siau-yau-li
itu, dia bukan orang bodoh, tentu saja terpikir olehnya
anakmu yang memberitahukan tempat pondokannya
kepadamu sehingga orang datang menangkapnya. Jika dia
bertemu dengan anakmu dan menyingkap apa yang terjadi,
kukira anakmu juga takkan percaya lagi kepadamu."
Nyo Bok juga menyadari urusan kurang sempurna, tapi
sekadar mengulur waktu, terpaksa ia berkata, "Biarlah hamba
pikirkan lagi, mungkin dapat kukarang cerita yang dapat
dipercaya mereka."
"Hm, jangan kau kira usia mereka masih muda dan dapat
kau tipu, aku tidak suka bertindak jika tidak nyata akan
berhasil," ujar Ustai.
Dipandang orang dengan tajam, Nyo Bok rada gugup,
katanya, "Jika begitu, mohon Taijin memberi petunjuk, apa
yang harus kulakukan tentu akan kulaksanakan."
"Baik," terdengar Ustai berkata, menyusul Nyo Bok lantas
menjerit "Aduh!"
Keruan hal ini sangat diluar dugaan Nyo Yam dan Co Se-kiat
yang mencuri dengar di luar. Terlebih Nyo Yam, disangkanya
sang ayah telah dikerjai Ustai secara keji.
Meski dia malu untuk mengaku ayah lagi padanya, tapi
hubungan ayah dan anak adalah naluri manusia, dalam
sekejap itu hampir saja ia menerjang ke dalam tanpa pikir.
Syukurlah Se-kiat sempat mencegahnya sambil berbisik,
"Jangan emosi, dia takkan membunuh ayahmu, tentu ada tipu
musnhat tertentu."
Dugaan Se-kiat memang tepat. Belum selesai ucapannya
sudah terdengar Nyo Bok sedang berseru, "Ampun Congkoan
taijin, selama ini aku selalu setia kepadamu, umpama anak-ku
bersalah. dapat juga kuserahkan dia kepadamu."
Ustai terbahak, "Hahaha, kutahu kesetiaanmu, tidak ada
maksudku hendak membikin susah padamu."
"Habis mengapa Congkoan-taijin menutuk hiat-toku?" tanya
Nyo Bok dengan ragu.
Kiranya Ustai hanya menutuk hiat-to kelumpuhannya saja
dan tidak membahayakan jiwanya, suaranya tetap biasa saja.
Cuma hiat-to mendadak tertutuk, dengan sendirinya Nyo Bok
kaget. "Maaf, Nyo-heng, terpaksa bikin susah padamu sedikit,"
ucap Ustai kemudian. "Tiada maksud lain kututuk hiat-tomu,
hanya untuk mengurangi sedikit penderitaanmu saja."
Nyo Bok merasa bingung, pikirnya, "Aku menderita apa,
masa perlu ditutuk segala?"
Walaupun sangsi, ia tidak berani sembarangan tanya.
Dilihatnya Ustai menanggalkan sebatang ruyung lemas yang
tergantung di dinding, katanya, "Maafkan saja, sandiwara
harus dimainkan seperti sungguhan. Hendaknya Nyo-heng
tahan sedikit, mungkin akan kuhajarmu hingga babak-belur.
Cuma hiat-tomu sudah tertutuk, tentu takkan terasa terlampau
sakit." Ruyung itu berbentuk sisik ikan. kalau dihajar oleh ruyung
seperti ini pasti terluka parah dan sukar disembuhkan, meski
diberi obat luka dan takkan sampai cacat, namun lukanya
takkan sembuh dalam waktu singkat. Apalagi Ustai sudah
menyatakan akan menghajarnya hingga babak-belur,
Dengan suara gemetar Nyo Bok memohon, "Ampun
Congkoan-taijin, sesungguhnya apa kesalahan hamba
sehingga harus dihajar seberat ini?"
"Eh, biasanya engkau cerdik, kenapa jadi linglung
sekarang?" ucap Ustai. "Kan gudah kukatakan. kuhajarmu
bukan lantaran engkau berbuat salah melainkan cuma
sandiwara belaka. Masa belum paham?"
Nyo Bok sudah dapat menduga beberapa bagian, dengan
gugup ia tanya pula. "Maafkan kebodohan hamba, mohon
Taijin suka memberi penjelasan."
"Baiklah, jika benar engkau tidak paham, boleh kukatakan
padamu," tutur Ustai dengan pelahan. "Maksudku akan
kugunakan dirimu menukar Siau-yau-li itu."
"Wah. ini ... ini ..." Nyo Bok kelabakan setengah mati.
"Masa kau takut?" tanya Ustai. "Kau takut kuhajarmu
hingga cacat atau kuatir anakmu tidak mau memikirkan
hubungan ayah dan anak, lalu tidak pedulikan dirimu lagi?"
"Demi Hongsiang, biarpun jiwa hamba harus melayang juga
rela," ujar Nyo Bok. "Cuma, anak hamba sudah terpikat oleh
Siau-yau-li itu hingga lupa daratan, mungkin dia tidak .... tidak
mau mengadakan tukar menukar."
"Hm, sedikitnya cara ini kan lebih baik daripada gagasanmu
tadi," ucap Ustai. "Apa pun juga dia adalah putra kandungmu.
Sebab itulah aku juga harus berbuat seperti sungguhan, biar
dia melihat lukamu yang babak-belur ini. Asalkan dia masih
mempunyai perasaan seorang anak terhadap orang tua,
kuyakin dia takkan melihat engkau tersiksa tanpa peduli.
Apalagi di dunia ini masih banyak anak perempuan cantik,
masa tukar menukar cara demikian takkan diterimanya" Pula
engkau sudah rela berkorban bagi Hongsiang, umpama gagal
caraku ini juga tidak menjadi soal."
Karena hiat-to tertutuk, Nyo Bok tak bisa berkutik, ketika
ruyung orang mulai menyabet, cepat ia berteriak, "Nanti dulu
Taijin, akan kupikirkan lagi upaya yang lebih bagus."
Ustai tertawa, "Kukira tidak perlu pikir lagi, sudah kusuruh
We-hu congkoan pergi mencari anakmu. Kukuatir bila cari
jalan lain, nanti Siau-yau-li itu keburu kabur. Maka jangan
Nyo-heng takut, cara hajarku tentu pakai takaran, takkan
membuat cacat padamu."
"Brak", segera ruyungnya yang bersisik itu menghajar sekali
di punggung Nyo Bok.
Meski hiat-to tertutuk, tidak urung punggung Nyo Bok
terasa sakit pedal, bahkan rasa takutnya melebihi rasa sakit
fisiknya, seketika ia melolong.
Nyo Yam tidak tega mendengarkan lagi, segera ia
melangkah balik.
Semula ada maksudnya hendak menerjang ke dalam untuk
menghentikan keganasan Ustai, tapi segera terpikir olehnya
pesawat rahasia di situ tak mungkin dapat dibobolnya,
sedangkan ayahnya sudah rela menjadi budak kerajaan
musuh, jika dia menderita juga boleh dikatakan ganjaran yang
setimpal. Kini hanya ada suatu pikirannya, yaitu selekasnya pulang
untuk mencari Liong Leng-cu, tentang ayah kandungnya itu
akan dianggapnya sebagai sudah mati.
Sayang ia tidak tahu bahwa pada saat itu Liong Leng-cu
sudah berada di rumah ayahnya.
Tempat tinggal Nyo Bok dan rumah Ustai terletak di suatu
jalan yang sama, hanya terpisah beberapa rumah saja,
Maka ketika mereka keluar dari gang itu, Se-kiat lantas
berkata, "Adik Yam, apakah kau mau pulang dulu?"
"Pulang?" Nyo Yam menegas. "Pulang ke mana"
"Ke rumah Kuku," kata Se-kiat. Ia tidak bilang ayah Nyo
Yam melainkan mengatakan Kuku atau paman, hal ini
disebabkan ia dapat memahami perasaan Nyo Yam saat itu
agar tidak menyinggungnya.
Kening Nyo Yam bekerenyit, katanya, "Urusan sudah
selesai, untuk apa kupulang ke sana" Tempat yang kau
maksudkan ini adalah tempat yang paling memuakkan bagiku,
selamanya aku takkan pulang lagi ke sana."
"Kukira urusan belum lagi selesai," ujar Se-kiat. "Meski kau
muak terhadap tempat itu, tapi di sana mungkin ada seorang
yang ingin kau temui."
Karena pikiran lagi kacau, seketika Nyo Yam tidak dapat
menangkap arti ucapan Se-kiat, disangkanya yang
dimaksudkan ialah Bin Sing liong.
"Hiat-to Bin Sing-liong tidak perlu kubuka sendiri, apa yang
kukatakan itu hanya untuk menggertaknya saja," katanya
kemudian. "Pil yang kucekoki dia juga cuma daki yang kupelintir
dari tubuhku untuk menipunya, tidak nanti dia mati"
Se-kiat tertawa, "Haha, bagus sekali caramu menakuti dia.
sebelum mendapatkan obat penawar darimu, selama tiga
bulan ini dia pasti tak bisa tidur nyenyak dan makan enak.
Cuma .... "
"Cuma apa?" tanya Nyo Yam.
"Cuma yang kumaksudkan bukan dia," kata Se-kiat.
Selagi Nyo Yam hendak tanya siapa yang ,
dimaksudkannya. tiba-tiba dilihatnya langkah Se-kiat
dipercepat dan sekaligus berlari ke depan rumah ayahnya
serta menggapai padanya sembari memberi tanda lagi agar
jangan bersuara, lalu mendahului masuk ke sana dengan
melintasi pagar tembok.
---ooo0dw0ooo--Jilid ke 5 Kiranya sayup-sayup Se-kiat mendengar di dalam rumah itu
ada suara teriakan dan bentakan, jelas itu suara pertempuran.
Dalam keadaan pikiran kacau, sudah berada di depan rumah
pun Nyo Yam belum lagi mendengar.
Rupanya karena gertakan Nyo Yam itu. Sing-liong benarbenar
ketakutan dan tidak berani sembarangan bergerak,
terpaksa ia duduk bersila menunggu di gardu itu.
Dalam keadaan begitulah tiba-tiba ia dengar seorang
bersuara heran, "He. Bin Sing-liong. apa yang sedang kau
lakukan" Berlatih Iwekang kan bukan di sini tempatnya?"
Waktu Sing-liong berpaling, terkejut dan bergirang. Kiranya


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pendatang ini adalah We-Tiang jing, Hucongkoan atau wakil
komandan pasukan pengawal istana.
Cepat Sing-liong memberi hormat sambil menyapa, "Maaf,
tidak kusambut kedatangan We-taijin. Guruku sudah
berkunjung ke tempat Taijin."
"Kedatanganku bukan untuk mencari gurumu melainkan
ingin kucari anaknya," kata We-Tiang jing.
Karuan Sing-liong terkejut, "Hei, apakah . . . apakah We
Taijin hendak menangkap Nyo Yam?"
Ia membatin apakah bocah itu telah membuat onar di
rumahnya dan tidak tertangkap di sana, maka sekarang We
Tiang-jing menyusulnya ke sini.
"Betul," demikian terdengar We Tiang-jing menjawab.
"Aneh juga, dari mana kau-tahu aku ingin menangkap dia?"
Sing-liong merasa lega, dari ucapan orang dapat diduga
Nyo Yam belum lagi kepergok, cepat ia menjawab pula, "Ai,
lantaran sejak kecil kurang terdidik sehingga kelakuan suteku
itu tidak benar, semoga dia tidak sampai berbuat sesuatu yang
melampaui batas."
"Engkau salah dengar, tapi tidak salah duga, aku memang
hendak membekuknya,"
kata We Tiang-jing dengan tertawa. "Hehe, jangan gugup,
meski tindak-tanduk Sutemu itu tidak benar, tapi bukan
hendak kubekuk dia untuk dihukum melainkan Congkoan-taijin
ingin mencari dia untuk memainkan sesuatu peranan."
Sebentar bilang hendak membekuknya, sebentar lagi
mengatakan mencarinya, Bin Sing-liong menjadi bingung
dibuatnya. Ia terdiam sejenak, lalu berkata, "Sungguh hamba
tidak mengerti, memainkan peranan urusan apa maksudnya?"
We Tiang-jing tahu Bin Sing liong bisa dipercaya, maka
terus terang ia beriiahukan tipu muslihat yang telah diatur
Ostai itu, lalu ditambahkannya. "Ini berarti pura-pura menjudi
sungguhan, paham tidak" Dengan sendirinya skenario
sandiwara ini tidak boleh diketahui Nyo Yam, juga dia tidak
harus dibekuk benar-benar. Nah, urusan ini sudah kujelaskan
padamu, hendaknya segera kau pergi mencarinya. Bisa jadi
aku akan bergebrak dengan dia setengah pura-pura dan
setengah sungguhan, habis itu segera kau datang untuk
melawak denganku."
Sampai di sini mau-tak-mau Bin-Sing-liong harus bicara
terus terang, katanya, "Tai jin, sayang kedatanganmu agak
terlambat, sebab Nyo Yam itu sudah . . . . "
"Kenapa dengan dia?" tanya We Tiang-jing cepat.
"Dia . . . dia sudah kabur," tutur Sing-liong.
Keruan We Tiang jing terkejut, "Hah, kenapa sampai dia
kabur" Kan tidak nanti dia menaruh curiga bahwa ayahnya
hendak bertindak sesuatu padanya?"
"Hamba tidak tahu sebab apakah dia kabur," jawab Singliong.
"Cuma hamba sudah berusaha merintanginya
sekuatnya, tapi .... tapi hamba sendiri kena ditutuknya."
Dengan sendirinya ia tidak berani mengaku terus terang
melainkan mengarang cerita yang membesarkan jasa sendiri.
"O. kiranya begitu, pantas kau duduk saja di sini sejak tadi
tanpa bergerak," kata We Tiang jing. "Hiat-to bagian mana
yang ditutuknya?"
"Kungfu hamba terlampau rendah sehingga tidak tahu jelas
hiat-to mana yang ditutuknya." jawab Sin-liong. "Hamba cuma
tahu bagian yang tertutuk itu dalam tiga bulan akan kambuh
penyakitnya, dan bila kambuh jiwa hamba selalu terancam."
"Oo. masa begitu lihai" Coba kulihat!" kata We Tiang-jing,
lalu ia memeriksn nadi Bin Sin.-liong dan memeriksa
penyakitnya dengan teliti.
Habis memeriksa, tersembul senyum pada wajahnya.
Dengan sendirinya hati Bin Sing-liong kebat kebit, cepat ia
tanya, "We-taijin, apakah jiwa hamba . . . ."
Pelahan We Tiang jing menepuk pundak orang, katanya,
"Jangan gelisah, coba kau tarik napas panjang."
Sing-liong menurut dan tarik napas, dirasakan Gi-hai-hiat
bagian perut rada perih serupa ditusuk jarum, bahkan dalam
sekejap, saja setengah badan atas terasa kaku.
Sungguh kejut Sing-liong tak terperikan, serunya. "Hah,
setelah bangsat cilik itu menutukku, ia juga menyuruhku
menarik napas dan rasanya serupa sekarang ini. Hanya bagian
hiat-to tidak sama."
Diam diam We Tiang jing merasa geli karena Bin Sing-liong
tidak menyadari telah tertipu oleh Nyo Yam.
Kiranya ilmu silat We Tiang-jing cukup tinggi, malahan
boleh dikatakan masih di atas Ostai. Cuma dia bangsa Han,
maka dia diperbantukan kepada Ostai.
Rupanya We liang-jing juga dapat menguji Bin Sing Liong
memang pernah ditutuk orang dengan lwekang yang lihai,
cuma hiat-to itu sudah lancar kembali, cara menutuk hiat-to
Nyo Yam memang berbeda dengan cara We Tiang-jing sendiri,
namun pada dasarnya tidak mungkin mengakibatkan kematian
dalam waktu tiga bulan.
Mestinya ia hendak bicara terus terang kepada Bin Sinliong,
tapi setelah dipikir lagi, rasanya lebih baik jika hal ini
tidak dikatakan, maka ia berlagak ragu sejenak dengan
prihatin. Tentu saja Bin Sing-liong merasa kebat-kebit, ia coba tanya
lagi, "Bagaimana, We-taijin, mohon memberi penjelasan terus
terang." Karena didesak barulah We Tiang-jing menjawab, "Ai, cara
menutuk hiat-to bangsat cilik itu memang sangat lihai, dalam
waktu tiga bulan jiwamu memang terancam bahaya, cuma . . .
. " "Cuma apa?" cepat Sing-liong tenya lagi.
"Jangan gelisah," ujar We Tiang-jing, "betapapun aku masih
sanggup menyembuhkan penyakitmu. Cuma tenagaku harus
terkuras cukup banyak. Jangan kuatir, dalam beberapa hari ini
penyakit itu takkan bekerja. Nanti kalau pekerjaan kita sudah
beres baru akan kuiembuhkan dirimu."
Bin Sing liong kegirangan, cepat ia memberi hormat dan
mengucapkan terima kasih.
Diam-diam We Tiang jing merasa geli, pikirnya, "Jika bocah
she Nyo itu dapat menipu dia, kenapa aku tidak boleh
membohonginya. Hehe, aku dianggapnya sebagai tuan
penolongnya, masa dia berani membangkang setiap
perintahku?"
Maka ia sengaja bergelak tertawa, katanya,
"Ah. orang sendiri, jangan sungkan. Kubantu kesulitanmu,
tentu jupa berharap kau bantu kesukaranku."
"Silakan We-taijin bicara saja," cepat Sing liong berseru.
"Begini," desis We-Tiang jing dengan suara tertahan,
"Sekarang juga ada kesempatanmu untuk berjasa".
Sing-liong bergirang dan juga berduka, tak diketahuinya
urusan apa yang We Tiang jing hendak menyuruhnya berbuat.
Ia pikir berjasa memang baik, kalau harus menjual nyawa,
inilah yang tidak klop.
Dalam keadaan serba susah, terpaksa ia berlagak menurut
dan berucap, "Silakan We-taijin memberi petunjuk
seperlunya."
"Meski bocah Nyo Yam itu sudah kabur, tapi Siau-yau-li itu
.... " bicara sampai di sini We Tiang-jing sengaja berhenti dan
memperlihatkan rasa sangsi.
Selagi Bin Sing-liong hendak bertanya, mendadak We Tiang
jing memberi tanda agar jangan bersuara, lalu ia menuding
meja batu di dalam gardu tadi dan memberi isyarat pula agar
dia membuka pesawat rahasianya untuk memancing musuh
masuk perangkap.
Bin Sing-liong dapat menangkap maksud isyaratnya tapi
tidak mendengar sesuatu suara tentang kedatangan musuh. Ia
tidak mengerti mengapa We Tiang-jing tampak tegang dan
menyuruhnya berbuat demikian, ia pikir apakah mungkin
orang memperhitungkan Nyo Yam akan kembali lagi ke sini"
Belum selesai berpikir, dilihatnya We Tiang-jing telah
bersembunyi ke balik gardu.
Dan baru saja We Tiang-jing bersembunyi di depan Bin Sing
liong lantas muncul satu orang. Seorang gadis muda belia,
usianya paling-paling baru 17-18 tahun.
Kiranya Liong Leng cu adanya.
Setelah menerjang ke dalam rumah Nyo liok, Leng-cu
mengira pasti akan mengalami pertempuran sengit, siapa tahu
keadaan justru sunyi senyap.
Sepanjang jalan tiada rintangan apa pun. Dilihatnya centing
keluarga Nyo sama tertutuk kaku. Ia tidak tahu semua ini
perbuatan Ce Se-kiat, disangkanya perbuatan Nyo Yam
sehingga menimbulkan rasa ragu dan sangsinya.
Sampai di gardu pemandangan inilah baru ditemukannya
seorang yang dapat bergerak, yaitu Bin Sing liong.
Meski Sing-liong tidak pernah melihat Leng-cu dan Leng-cu
juga tidak pernah melihat Sing-liong, tapi begitu bertemu
keduanya lantas tahu tiapa pihak lain.
Segera Leng-cu membentak, "Kutahu kamu ini Bin Sinliong,
murid pertama Nyo Bok, aku juga tahu kamu ini orang
maha busuk, tapi aku tidak takut kau main gila di hadapanku.
Ingin kutanya padamu, harus kau jawab sejujurnya."
Karena Bin Sing liong bermuka burik, sebelumnya Leng cu
sudah diberitahu oleh Nyo Yam, maka sekali lihat saja lantas
dikenalinya. Dengan sendirinya Bin Sing liong juga lantas menduga si
nona pastilah "Siau-yau-li" itu. Cuma melihat usia Liong Leng
cu masih semuda ini mau tak mau ia rada meremehkannya.
Maka ia lantas balas mendengus, "Hm, cuma seorang Siauyau
li macam kau juga berani .. . auhh . . . . "
Belum habis ucapannya segera ia melancarkan puaulan,
tapi sebelum tangan menyentuh tubuh Liong Leng-cu tahutahu
tangan sudah terpegang dulu oleh si nona, hanya
menggunakan sebagian tenaga saja Leng-cu meremas tangan
Bin Sing-liong dan membuatnya menjerit kesakitan.
"Hm, melulu sedikit kepandaianmu ini juga berani
melawanku?" jengek Leng-cu. "Kau minta mampus atau ingin
hidup?" Sing-liong kesakitan atau meratap, "Oo, ampun nona, aku
tidak berani lagi."
"Baik, sekarang hendaknya mengaku terus terang, kalau
tidak, jangan menyesal jika aku tidak kenal ampun lagi," kata
Leng-cu sambil melepaskan pegangannya.
Setelah jiwa selamat, cepat Sing-liong menjawab, "Nona
ingin tanya apa, silakan bicara saja, apa yang kutahu pasti
akan kukatakan."
"Hm, masakah kau berani dusta," jengek Leng-cu. "Ayo
lekas katakan, Nyo Yam berada di mana sekarang" Hm, dia
mengampuni jiwamu, tentu karena dia ingin kau insaf
kembali." Leng-cu pernah saling belajar lwekang dengan Nyo Yam,
maka kepandaian Nyo Yam cukup dikenalnya, meski Bin Sing
liong hanya ditutuk satu kali oleh Nyo Yam, tapi akibat tutukan
itu dapat diketahui oleh Leng cu.
Ucapan Leng-cu hanya karena dia ingin tahu di mana
beradanya Nyo Yam, tapi justru menimbulkan sangsi Bin Sing
liong terhadap janji wo Tiang-jing yang menyatakan akan
menyembuhkan penyakitnya. Cuma We Tiang-jing masih
sembunyi di situ, betapapun ia tidak berani mengaku terus
terang bsgitu saja kepada Liong Leng-cu.
Karena keraguannya, Leng-cu tidak sabar menunggu lagi,
bentaknya, "Bin Sing-liong, kau mau mengaku atau tidak?"
Sing-liong pikir "jika tidak menurut perintah We Tiang jing,
setelah Siau-yau-li ini pergi tentu aku akan dibunuhnya. Tapi
kalau ku bantu dia menangkap Siau-yau-li ini, mana mungkin
Nyo Yam akan memberi obat penawar padaku" Ah . . . ada
akalku." Dalam keadaan kepepet timbul akalnya, segera in memberi
isyarat kedipan mata kepada Liong Leng-ou dan berkata,
"Tentang Nyo-sute, dia . . . dia . . . . "
Dengan sendirinya Leng-cu merasa heran apa maksud
orang memberi isyarat.
"Dia kenapa?" bentaknya pula.
"Setelah dia menutuk hiat toku segera ia turun ke bawah,"
sambung Sing liong.
"Turun ke bawah, apa maksudmu?" desak Leng- cu.
"Maksudku, dia turun ke bawah gardu ini," sembari bieara
Sing-liong lantas menekan tombol pesawat rahasia sehingga
meja balu itu pelahan bergeser dan terlihatlah lubang manuk
ke bawah tanah.
"Apa itu di bawah" . . . . "
"Lorong bawah tanah," tutur Sing-liong. "Di situ ada sebuah
kamar rahasia guruku. Nyo-sute sudah mencurigai ayahnya
sendiri, maka aku ditutuknya dan dipaksa mengaku tempat
rahasia ini, katanya Nyo-sute ingin tanya langsung kepada
ayahnya." Diam-diam Leng cu terkejut, pikirnya, " Rupanya Nyo-toako
masih ingin memberi nasihat kepada ayahnya untuk terakhir
kalinya. Ai, kan mimpi belaka. Semoga Nyo Bok masih
mempunyai perasaan dan tidak membikin celaka kepada anak
sendiri." "Di bawah lubang ini ada perangkap apa?" tanyanya
kemudian. "Tidak . . . tidak ada, benar tidak ada," jawab Sing-liong.
Padahal tujuan We Tiang jing justiu ingin memancing Liong
Leng-cu ke dalam lorong untuk menjebaknya. Paling sedikit
dapat mengurungnya beberapa hari di situ dan membuatnya
kelaparan, dengan begitu baru kemudian akan dibekuknya.
Cuma cara bicara Bin Sing liong yang berlebihan itu justru
menimbulkan curiga Leng-cu.
"Benar perkataanmu?" si nona menegasi.
Sing-liong kuatir si nona tidak tahu maksudnya, ia coba
berkata pula, "Mana kuberani dusta, silakan turun saja dan
segera dapat menemukan Nyo Yam."
Sembari bicara jarinya menggores huruf "lari" di udara, ia
pikir gerak tangannya itu pasti takkan dilihat jelas oleh We
Tiang-jing, namun ia pun tidak tahu apakah Liong Leng-cu
paham maksudnya atau tidak.
Dilihatnya Leng-cu tidak pergi, sebaliknya malah mendekati
lubang itu, tampaknya masih ragu.
Tentu laju hati Bin Sing-liong tambah kebat-kebit dan serba
salah, serunya pula. "Percayalah padaku, tidak nanti
kudustaimu."
Ia menandaskan kata "percayalah padaku" dengan harapan
Leng-cu paham maksudnya.


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Belum lenyap suaranya, mendadak terdengar deru angin,
sesosok bayangan serupa burung terbang melayang tiba,
belum sampai orangnya segera melancarkan pukulan lebih
dulu, tenaga pukulan yang dahsyat menyambar ke arah Liong
Leng-cu. Orang yang menyergap secara mendadak ini tak-lain- takbukan
ialah We Tiang-jing.
Ia lihat Leng-cu hanya melongok lubang bawah tanah itu,
seperti mau melompat ke bawah, tapi urung. Ia kuatir
kehilangan kesempatan baik, maka segera melompat keluar
dan menyergap si nona.
Tak tahunya Leng-cu sudah siap sedia, dia memang
sengaja memancing keluarnya musuh.
Meski tidak tahu ada lawan tangguh bersembunyi di sekitar
situ, tapi dari gerak tangan dan cara bicara Bin Sing-liong itu
depat diduganya pasti ada sesuatu yang tidak beres, sebab
itulah ia sengaja berlagak sangsi dan berdiri di depan lubang
gua itu untuk menunggu perkembangan selanjutnya.
Meski mendadak sergapan We Tiang-jing itu, namun juga
sudah dalam dugaannya. Begitu terasa angin menyambar tiba,
cepat ia ayun tangannya ke belakang, tiga buah Tau-kui-ting
(paku penembus tulang) yang sudah disiapkannya terus
disambitkan. "Tring-ting", dua paku itu tersampuk jatuh oleh angin
pukulan, paku ketiga agak mencong dan mengenai bahu We
Tiang-jing. Meski We Tiang-jing menguasai kungfu Tiat-poh-gam.
semacam lwekang kelas tinggi yang kebal senjata, tidak urung
terasa sakit juga, namun paku itu tetap tergetar mencelat oleh
tenaga dalamnya.
Walaupun terkejut, namun lega juga perasaan We Tiangjing,
ia pikir Siau~yau-li yang terkenal lihai ini ternyata juga
cuma begini saja.
Dalam pada itu Liong Leng-cu juga sudah berputar, tahutahu
ia sudah mengeluarkan senjatanya berwujud ruyung
lemas, bentaknya, ?"Kalian mengapakan Nyo Yam" Kalau tidak
serahkan dia dengan baik, jiwamu akan kucabut sebagai
gantinya!"
"Haha, ikut saja padaku, aku berbalik tidak menghendaki
nyawamu," jawab We Tiang-jing dengan tergelak, berbareng
ia melompat maju. dengan jurus "Eng-kik-ting kong" atau
elang menyambar dari udara, krdua tangannya segera
mencengkeram sekaligus.
"Cret", ruyung lemas Liong Leng-cu terjepit oleh jarinya dan
putus sebagian, sebaliknya betisnya juga tersabet oleh ruyung,
meski tidak terluka, kesakitan juga.
"Kurang ajar! Lihat senjataku!" bentak We Tiang-jing
dengan gusar, segera ia pun mengeluarkan senjatanya
sepasang Poan-koan pit, ditempurnya Liong Leng-cu dengan
sengit. Bin Sing-liong tidak menyangka akan menimbulkan akibat
demikian, ia menjadi gugup, serunya, "We-taijin, tahan dulu
sementara, akan kupanggilkan bala bantuan!"
Ia menggunakan alasan untuk menyingkir. Cuma sayang
sudah terlambat.
Ketika itu We Tiang-jing sedang menubruk maju dan tepat
melayang di depan Bin Sing-liong, mendidik ia membentak,
"Bin Sing-liong, jangan main gila di hadapanku!"
Berbareng We Tiang-jing terus mendepak sehingga Bin
Sing-liong terpental.
Rupanya meski We Tiang-jing tidak tahu isyarat apa yang
diberikan oleh Bin Sing-liong kepada Liong Leng-cu, tapi jalan
pikiran Sing-liong sudah dapat diterkanya.
Leng-cu tidak suka kepada Sing liong, tapi sekarang ia tidak
tega menyaksikan orang mati lantaran dirinya. Pada saat
hampir sama ketika We Tiang-jing mendepak tadi, ruyungnya
juga lantas menyabet.
Ginkang Leng-cu terlebih hebat daripada We Tiang-jing,
mestinya dia sempat kabur kalau mau, tapi karena
serangannya ini, ia sendiri lantas terhalang malah, ruyung
yang bermaksud melilit kaki lawan berbalik membelit Poankoanpit. "Kembali!" bentak We Tiang jing sambil membetot.
Tenaga Leng-cu memang kalah kuat, ia terseret dua
langkah lebih dekat dan "plok", ruyung lemas yang terbuat
dari benang perak itu putus bagian tengah.
Tapi karena tindakennya itulah jiwa Bin Sing-liong tertolong.
Depakan We Tiang-jing menjadi berkurang kerasnya, Bin Singlioug
terpental serupa bola dan tepat jatuh ke dalam lubang.
Meski terbanting hingga kepala pusing tujuh keliling, isi perut
pun terasa berjungkir balik, namun jiwa selamat.
Terdengarlah suara gemuruh, meja batu berputar kembali
ke tempat semula sehingga lubang rahasia itu tertutup rapat.
We Tiang-jing tidak lagi menghiraukan mati hidup Bin Singliong,
ia tarik kembali Poan-koan-pit dan digabung pada
tangan kanan, dengan tangan kiri ia lancarkan pukulan pula
untuk mengurung Liong Leng-cu.
Kungfu We Tiang-jing memang tinggi, ditambah lagi
berpengalaman luas, hanya bergebrak beberapa jurus saja
sudah diketahuinya kekuatan lawan. Segera ia ganti cara
bertempur, di tengah serangan Poan-koan-pit disertai pula
pukulan dahsyat. Seketika Leng-cu terkurung dengan rapat di
bawah bayangan Poan koan-pit dan angin pukulan.
Terpaksa Leng-cu lolos pedangnya, tapi karena kehilangan
ruyung, daya tempurnya jauh berkurang sehingga agak
kewalahan menghadapi lawan.
Di tengah pertarungan sengit, mendadak Leng-cu
melancarkan serangan berbahaya, ia menubruk maju dengan
nekat. Diam-diam We Tiang jing bergirang, pikirnya, "Jika engkau
tidak nekat begini mungkin dapat bertahan lebih lama, d?ngan
cara begini engkau akan mati lebih cepat."
Tak terduga tindakan Liong Leng-cu itu justru memang
disengaja, menyerang untuk mundur.
Ketika We Tiang-jing menyambut tubrukan Leng-cu itu
dengan suatu cengkeraman maut, tahu-tahu nona itu
melompat mundur malah lebih setombak jauhnya. Gerak
perubahan si nona yang cepat dan gesit itu sungguh di luar
dugaan We Tiang jing.
Cuma sayang juga jurus Liong Leng-cu ini juga agak
terlambat. Bilamana siasat ini dikeluarkan sejak tadi tentu dia
masih cukup tenaga untuk kabur. Sekarang keadaannya sudah
agak lemah, ginkangnya tidak dapat melebihi We Tiang-jing
lagi. "Ingin lari ke mana, Siau yau-li?" bentak We Tiang-jing
sambil mengejar. Baru melintasi sebuah gunung-gunungan,
beberapa kali lompatan lagi ia sudah menyusul sampai di
belakang Leng-cu.
Campaknya si nona segera akan kena di-cengkcramnya dari
belakang. Syukurlah pada detik itu juga tiba tiba seseorang
membentak, "Mau lari ke mana, Siau-yau-li!"
Mendengar suara ini, seketika Leng-cu rnelenggong malah.
Hal ini sama sekali di luar dugaannya. Sebab orang yang
membentaknya bukan lain daripada Nyo Yam.
Dengan sendirinya Leng-cu tidak percaya Nyo Yam, hendak
memusuhinya, tapi bentakan "Siau yau-li?" itu benar-benar
keluar dari mulut Nyo Yam, sebab itulah ia melengong.
Kejadian terlebih cepat daripada diceritakan, pada saat itu
dia sudah terpegang oleh We Tiang jing.
Tiba-tiba Nyo Yam melayang tiba secepat terbang sambil
berteriak, "Hei, siapa kau, lekas serahkan Siau yau-li ini
kepadaku?"
"Kenapa harus kuserahkan padamu?" tanya We Tiang-jing.
Dengan marah Nyo Yam menjawab, "Akan kugunakan dia
untuk menyelamatkan jiwa ayahku! Kau tangkap dia di rumah
ayahku, tentu kau pun sahabat ayah. Ayolah lekas kau
serahkan dia kepadaku!"
We Tiang-jing menghela napas lega, pikirnya, "Kiranya
bocah ini telah tertipu oleh Congkoan-tiaijin. Tentu dia baru
pulang dari rumahku dan sudah menyaksikan ayahnya sedang
dirangket di sana."
Tipu daya Ostai yang sengaja menyiksa Nyo Bok untuk
mengancam Nyo Yam menyerahkan "Siau-yau-li" memang
adalah hasil rundingannya dengan We Tiang-jing.
Maka tertawalah We Tiang-jing, "Haha, Hiantit tidak perlu
susah payah lagi, aku inilah We Tiang jing, wakil Congkoan
jago pengawal istana, biarlah Siau-yau-li ini akan kuserahkan
sendiri kepada Congkoan taijin."
Tapi Nyo Yam lantas menggeleng, katanya, "Peduli siapa
engkau, pokoknya Siau-yau-li ini harus kuserahkan langsung
kepada Cong-koan-taijin dan urusan beres."
"Maksudmu ini harus dipuji, cuma . . . ."
Belum lanjut ucapan We Tiang-jing, tahu-tahu Nyo Yam
sudah menerjangnya sambil membentak, "Tidak perlu banyak
omong, kalau tidak kau serahkan dia kepadaku, biar kuadu
jiwa denganmu."
"Hei, jangan ngacau, masa jiwa Siau-yau-li ini tidak kau
pikirkan lagiT" seru We Tiang-jing"Mati atau hidup tak kupeduli, Congkoan-taijin kan tidak
menyatakan harus kuserahkan dia dengan hidup," bentak Nyo
Yam. Liong Leng-cu adalah buronan kerajaan, dengan sendirinya
We liang-jing ingin mendapat jasa besar dan hendak
menangkap si nona dengan hidup. Maka ia sendiri berbalik
kuatir kalau Nyo Yam mencelakai "Siau-yau-li" ini.
"He, jangan ngawur!" bentaknya pula, sambil memeluk
Liong Leng cu, dengan tangan lain ia hadapi serangan Nyo
Yam. Kungfu We Tiang-jing sembabat dengan Nyo Yam, tapi
sekarang dia harus "membela" Liong Leng-cu, jadinya sukar
menandingi Nyo Yam malah.
Tiba tiba Leng-cu berteriak, "Betul, engkoh Yam, aku lebih
suka mati di tanganmu daripada jatuh dalam cengkeraman
musuh. Asalkan kalian ayah dan anak dapat berkumpul, mati
pun aku rela!!"
Ucapan Leng-cu ini sebenarnya semacam pelampaisan rasa
dongkolnya saja. Tapi demi mendengar teriakan si nona, hati
We Tiang-jing lantas tergerak malah, timbul pikirannya untuk
mengujinya. Segera ia gunakan Leng-cu sebagai tameng
untuk menangkis pukulan Nyo Yam.
Tak terduga pukulan Nyo Yam benar-benar dihantamkan ke
tubuh Liong Leng-cu.
Kontan tangan We Tiang-jing tergetar, dada juga
terguncang keras, tanpa terasa ia melemparkan Liong Leng
cu. "Haha, engkau tertipu!" Nyo Yam terbahak-bahak sembari
berputar, secepat terbang ia memburu ke sana dan tepat
menangkap tubuh Liong Leng-cu sebelum jatuh ke tanah,
segera pula ia buka hiat to si nona yang tertutuk.
Sedikitpun Leng-cu tidak terluka, dengan girang ia
mendekap Nyo Yam, katanya, "Engkoh Yam, tipu seranganmu
tadi harus kau ajarkan kepadaku."
Kiranya kungfu yang digunakan Nyo Yam tadi disebut "Kehsantah-gu" atau memukul kerbau dari balik gunung, yaitu
semacam lwekang tinggi yang dapat menghantam musuh
melalui saluran benda lain.
Dengan kungfu khas ini, biarpun benda yang dijadikan
jembatan itu adalah tubuh orang ketiga juga takkan menjadi
soal. Sebau itulah meski pukulan Nyo Yarn tadi disalurkan
melalui tubuh Ling Leng-ru, namun Sasarannya adalah We
Tiang-jing dan Leng-cu tidak mengalami cedera apa pun.
Maklumlah, dalam keadaan gawat tadi jelas Liong Leng-cu
sukar lolos dari cengkeraman We Tiang-jing. Terpaksa Nyo
Yam mengambil risiko dan pura-pura hendak minta Liong
Leng-cu untuk digunakan menukar jiwa ayahnya, bahkan
nadanya seakan-akan tidak segan mengorbankan nyawa Lengcu.
Sebab kalau dia tidak bicara demikian, tentu We Tiang jing
akan menggunakan Liong Leng-cu sebagai sandera untuk
mengancam Nyo Yam sendiri.
Begitulah setelah menyadari dirinya tertipu, sungguh gusar
We Tiang jing tak terlukiskan, segera ia membentak, "Bangsat
cilik, biar kuadu jiwa denganmu. Jangan kau mimpi akan lari
bersama Siau~yau-li itu."
Dalam pada itu hiat-to Leng-cu baru saja dilancarkan oleh
Nyo Yam, tenaganya belum lagi pulih. We Tiang-jing menaksir
dirinya cukup kuat menandingi Nyo Yam, sedangkan orang di
sekitar ramah Nyo Bok adalah begundalnya, asalkan dia
bersuara tentu akan datang bala bantuan dengan segera.
Tak tahunya, belum lagi bala bantuannya datang, tahu-tahu
bala bantuan Nyo Yam yang tiba lebih dulu.
Kiranya sejak tadi Ce Se-kiat sudah masuk ke taman itu dan
baru sekarang ia menampakkan diri.
Waktu We Tiang-jing memburu maju, saat itulah Ce Se-kiat
melompat keluar dari semak-semak dan membentak, "Hendak
kau bikin susah mereka" Hm, kaupun jangan mimpi!"
"Keparat dari mana, berani temberang di sini"!" bentak We
Tiang-jing dengan gusar. Ia lihat Ce Se-kiat juga masih muda
belia, disangkanya kaum kroco yang tidak berarti, maka ia
yakin serangannya yang dahsyat pasti akan merobohkan
lawan dengan mudah.
Tapi lawan yang disangkanya kaum kroco ini telah
membuatnya terkejut. Ce Se-kiat hanya membuat suatu gerak
tangkisan dan tangan didorong dengan perlahan, tampaknya
tak bertenaga, tapi sebenarnya mengandung enam gerakan
yang tidak sama.
Segera terjadi adu tenaga pukulan, "blang". Ce Se-kiat juga
tergeliat sedikit, sebaliknya We Tiang jing tergetar mundur
dua langkah, bahkan tenaga pukulan Ce Se-kiat terus berubah
menjadi tenaga tabasan ke bawah sehingga ujung lengan baju
We Tiang-jing terbatas robek sebagian.
We Tiang-jing kenal jurus serangan Ce Se-kiat ini adalah
Liok-yang-jiu keluarga Nyo, keruan ia terkejut, cepat ia
membentak, "Ada hubungan apa antara Nyo Toa-koh
denganmu?"
Melihat orang mengenali kungfunya, terus terang Se-kiat
menjawab, "Beliau ibuku!"
We Tiang-jing tambah terkejut, "Hah, jadi engkau ini Ce Sekiat"!"
Ia pikir pantas bocah ini konon dapat menandingi Utti Keng
dengan sama kuatnya, ternyata memang betul begini lihai.
Jelas Liok-yang jiu bocah ini terlebih hebat daripada Nyo Bok,


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

malahan tenaga dalamnya juga lebih tinggi daripada Nyo Yam.
Padahal soal tenaga dalam antara Nyo Yam dan Se-kiat
boleh dikatakan setingkat, cuma lantaran We Tiang-jing habis
menempur Nyo Yam tenaganya sudah banyak terkuras,
dengan sendirinya Cc Se- kiat dirasakan lebih sukar dihadapi.
Begitulah Se-kiat pun menjawab. "Betul, akulah Ce Se-kiat,
mau apa?" "Nyo Bok adalah pamanmu, dia telah dibikin susah oleh
Siau yau-li ini, jika Siau-yau-li ini tidak tertangkap, jiwa
pamanmu itu tentu akan melayang. Nah, coba, akan kau-bela
pamanmu atau membela Siau-yau li ini?"
"Hm, aku tidak peduli perkataanmu betul atau tidak, yang
jelas bagiku tidak nanti ku-bantu antek kerajaan musuh
semacam dirimu ini?" jengek Se kiat, berbareng ia
menghantam pula, sekali ini dengan ilmu pukulan Liong-siangkang
tingkat delapan yang dahsyat.
"Biang", kembali beradu tangan dan sekali ini We Tiang-jing
terpental hingga tujuh delapan tangkah jauhnya baru dapat
menahan diri. Se-kiat sendiri juga merasakan darah bergolak dalam dada
dan harus mengatur pernapasan sejenak baru bisa tenang
kembali. Namun begitu jelas keadaan We Tiang-jing terlebih payah,
pikirnya, "Tampaknya Se-kiat terlebih kuat daripada Nyo Yam,
jika mereka bergabung tentu aku bisa celaka, kalau tidak lekas
lari tentu aku bisa mati konyol."
Segera ia bersuit dan hendak kabur.
Dalam pada itu Nyo Yam telah bantu mengurut tubuh Leng
cu yang tertutuk sehingga darah sudah lancar kembali, tenaga
pun mulai pulih.
Si nona masih gemas oleh hinaan We Tiang jing tadi,
segera ia berteriak, "Engkoh Yam, keparat itu mau lari, lekas
kau balaskau dendam bagiku."
"Baik, akan kutahan dia, cara bagaimana engkau akan
membalas dendam boleh silakan sesukamu," kata Nyo Yam
dengan tertawa.
Berbareng ia melompat ke sana dan menghadang di depan
We Tiang-jing. Cepat We Tiang-jing menghantam, tapi Nyo Yam juga
menyambut dengan Liong-jiau-kang ajaran kakek Liong Lengcu.
Sekali cengkeram dapatlah Nyo Yam mematahkan
serangan lawan, sebaliknya gerak lari We Tiang-jing tertahan
oleh tenaga cengkeraman Nyo Yam itu.
Keruan Tiang-jing kaget dan gusar, bentaknya, "Biarlah
kuadu jiwa denganmu!"
Karena dia baru saja mengadu tenaga pukulan dengan Ce
Se-kiat, dengan sendirinya dia rada kewalahan, namun begitu
dapat juga dia menahan dua tiga kali serangan Nyo Yam,
cuma tetap sukar menerjang lewat ke sana.
Saat itu Liong Leng-cu sudah jemput kembali ruyungnya
yang putus sebagian dan memburu maju, jengeknya, "Hm,
coba berani lagi kau hina diriku"!"
Kontan ruyungnya menyabat dua tiga kali dengan keras.
Karena harus melayani Nyo Yam, We Tiang-jing tidak
sampai menghindari sabetan ruyung Liong Leng-cu, namun
untung juga baginya, lantaran Nyo Yam sengaja membiarkan
si nona melampiaskan gemasnya, maka daya serangannya
dilancarkan tidak sepenuhnya, hal ini dimanfaatkan oleh We
Tiang jing untuk menerjang lewat ke sana dengan menahan
rasa sakit sabetan ruyung Leng cu.
"Engkoh Yam, adakah urusanmu yang belum beres?" seru
Leng cu. "Tidak ada," jawab Nyo Yam. "Marilah Leng-cu, kita pulang
saja mengawasi kakekmu di rumah, aku tidak biasa hidup di
tempat semacam ini."
Mereka tidak ingin mengejar We Tiang-jing, tapi ketika
mendengar suara langkah orang di belakang. We Tiang-jing
ketakutan setengah mati, sembari lari ia terus berteriak minta
bala bantuan. Tetangga Nyo Bok kebanyakan juga orang yang
berkedudukan serupa Nyo Bok, segera ada dua orang berlari
keluar. Yang seorang ialah perwira Han lim kun, namanya Loh Su,
seorang lagi jago pengawal istana bernama Ciu Pa. Mereka
terkejut ketika melihat We Tiang jing lari terbirit-birit serupa
dikejar setan. Biasanya kedua orang ini hanya tunduk kepada komandan
masing masing dan mengira kepandaian teman sejawat yang
lain tidak ada yang lebih tinggi dari pada mereka termasuk We
Tiang-jing, apalagi sekarang terlihat yang mengejar We Tiangjing
adalah dua anak muda, tentu saja mereka meremehkan
lawan, segera mereka melompat maju sambil membentak.
"Enyah!!" bentak Se-kiat, ia tidak ingin membunuh orang
yang tak bersalah.
Tapi Ciu Pa tidak tahu diri, ia memakai senjata ruyung baja,
kontan ia menyabet kepala lawan. Se-kiat tetap bertangan
kosong dan menggunakan ilmu pukulan Liong-siang-kang
untuk menahan senjata musuh.
Betapa tangkas Ciu Pa juga tidak dapat menahan Liongsiangkang yang ampuh itu. begitu ruyung tersampuk tangan
Se-kiat, seketika tangan Ciu Pa tcigetar lecet,, ruyung pun
mencelat ke udara.
Loh Su lebih licin dan tidak gegabah, melihat kawannya
kecundang, cepat ia urungkan maksudnya untuk menyerang.
Akan tetapi Nyo Yam tidak suka banyak omong lagi,
bentaknya segera, "Pergi!"
Berbareng Liong jiu-kang terus dikeluarkan Cuma dia tidak
mencengkeram melainkan hanya mendorong saja sehingga
Loh Su terlempar oleh tenaga yang tidak kelihatan dan tepat
jatuh terguling di depan rumah sendiri.
Kebetulan saat itu We Tiang-jing baru lari sampai di situ
juga, dia terluka pukulan Liong siang kang dan tumpah darah.
Cepat Loh Su merangkak bangun dan menyeret We Tiang jing
ke dalam rumah.
Beberapa penghuni rumah juga isma melongok keluar,
melihat Ciu Pa dan Loh Su kecundang, semuanya ketakutan
dan cepat menutup pintu pula.
"Haha. sebaiknya kalian menjadi kura-kura saja," seru Nyo
Yam dengan terbahak. "Aku memakai patokan, orang tidak
menggangguku, aku pun tidak mengganggu orang. Jika aku
diganggu, kontan akupun balas mengganggu."
Belum lenyap suaranya, mendadak seorang membentak,
"Hm, jangan temberang, anak muda yang suka omong besar!"
Tahu-tahu seorang telah muncul di depan Nyo Yam, meski
Nyo Yam segera mencengkeram dengan Liong-jiau-kang, tapi
luput. Malahan pendatang ini kontan balas mencengkeram
juga.. Nyo Yam sempat mengelak, tapi Liong Leng-cu yang
ikut di belakangnya cepat melompat mundur.
Pada saat lain barulah Nyo Yam dapat melihat jelas
pendatang ini tak lain tak-bukan ialah Tai-lwe-congkoan Ostai
adanya. Nyo Yam tahu menghadapi lawan tangguh, jengeknya,
"Baik, ini berarti lebih dulu kau ganggu diriku, apa yang
kukatakan selalu kupenuhi."
Cepat ia melolos pedang, sambil membentak, pedang
berkelebat terus menuiuk.
"Hm, anak muda yang tidak tahu diri," jengek Oitai, kedua
tangan bergerak, jari serupa kait, langsung ia hendak
merampas pedang Nyo Yam.
Ia tahu Nyo Yam tidak lemah, tapi ia menaksir anak muda
itu tetap bukan tandingannya, ia pikir dalam dua-tiga
gebrakan Nyo Yam dapat ditawannya, paling tidak pedang
orang akan direbutnya.
Siapa tahu apa yang terjadi tidak semudah dugaannya.
Justru di tengah jalan serangan Nyo Yam telah berubah dan
tahu-tahu menusuk dari arah yang tak tersangka.
Di tengah sambaran angin pukulan dan bayangan pedang,
terdengar suara "cring" sekali, segera bayangan orang dan
cahaya pedang sirna, kedua orang sama molompat mundur,
tangan Nyo Yam terasa kaku pegal, kulit kepala Ostai juga
terasa dingin. Kiranya pada detik berbahaya itu kedua pihak sama
mengeluarkan kemahiran masing-masing, dengan tangkas
Ostai menggunakan tenaga jari untuk menjentik batang
pedang Nyo Yam, walaupun serangan maut anak muda itu
dapat dihindarkan, tidak urung secomot rambutnya terpapas
juga. Diam diam Nyo Yam juga terkejut, Tui-hong-kiam-hoat
(ilmu pedang pemburu angin) adalah ilmu pedang Thian sanpai
yang ampuh, tapi hasilnya cuma memapas secomot
rambut lawan, malahan pedang sendiri hampir terlepas kena
selentikan jari musuh.
Dengan sendirinya Ostai terlebih terkejut, ia pikir pantas
Pek toh-sancu juga gentar terhadap anak muda ini. rupanya
kungfu bocah ini memang jauh lebih tinggi daripada ayahnya.
"We Tiang-jing sudah terluka, pembantu ku terkuat sudah
tidak ada, mungkin bocah ini sukar kubekuk sekarang, semoga
tipu akal Nyo Bok yang menyiksa diri itu akan berhasil."
Selagi berpikir, tahu-tahu Ce Se-kiat sudah menerjang tiba
pula. "Bagus, kaupun berani main gila padaku"!" bentak Ostai
gusar. Begitu beradu tangan, kedua orsng sama tergetar mundur,
sekalian Ostai lantas melompat mundur tambil berteriak, "Nyo
Yam, apa jiwa ayahmu tidak kau pikirkan lagi" Tinggalkan Siau
yau li itu dan akan kulepaskan kau pergi, ayahmu juga dapat
diampuni" Pada saat itu juga terlihat dua Busu menggusur Nyo Bok
muncul di ujung jalan sana.
"Anak Yam," segera Nyo Bok berseru dengan suara parau,
"tolanglah aku, anak Yam, tolong!"
Bajunya kelihatan robek dan punggung pun babak-belur
bekas dirangket.
Nyo Yam mcngertak gigi, ia berpaling ke sini dan tidak
memandang sang ayah.
"Hm, manusia bukan binatang. Nyo Yam, masa ayah pun
tidak kau pikir lagi?" jengek Ostai.
"Kau sendiri binatang!" bentak Nyo Yam dengan murka.
"Hajar," segera 0stai memberi perintah.
Salah seorang Busu itu segera menghajar Nyo Bok lagi
dengan cambuknya sehingga Nyo Bok melolong kesakitan,
teriaknya dengan serak "Anak Yam. masa kau tega
menyaksikan ayah menderita" Anak Yam, tolonglah,
selamatkan jiwaku!"
Liong Leng-cu merasa tidak tega, katanya, "Engkoh Yam,
gara-garaku sehingga membuat, ayahmu . . . . "
"Tidak, bukan urusanmu," kata Nyo Yam.
"Kita tolong dia dan menerjang musuh mati matian," kata
Leng-cu. Meski pelahan pembicaraan mereka, namun dapatlah
didengar Ostai, segera ia menjengek, "Hm, jangan mimpi
kalian hendak merampas orang dariku. Sekali kalian bergerak
segera kubunuh Nyo Bok. Jika kalian minta kulepaskan dia
juga boleh asalkan Siau yau-li itu kau tinggalkan di sini."
"Bagaimana, Engkoh Yam?" tanya Leng-cu.
Tapi Nyo Yam lantas membentak, "Ostai, dengarkan! Aku
takkan menolong orang melainkan ingin membunuh orang.
Anak buahmu hendak kau bunuh adalah urusanmu sendiri.
Tapi jika hal ini kau lakukan, kelak pasti ku-bunuhmu untuk
menuntut balas bagi dia."
Ucapan ini ditujukan kepada Ostai, tapi juga
diperdengarkan kepada Nya Bok. Ia tidak sudi lagi memanggil
Nyo Bok sebagai ayah melainkan menggunakan kata ganti
"dia".
Dia bicara dengan rasa duka. jelas masih ada jalinan
perasaan antara anak dan ayah.
Betapapun hati Nyo Bok tergetar, pikirnya, "Apapun juga
dia masih mau menuntut balas bagiku. Cuma sayang tuntut
balas yang di-katakannya berbeda dengan tuntut balas yang
kumaksudkan."
Setelah bicara tadi segera Nyo Yam menarik Liong Leng-cu
dan mengajaknya pergi. Keduanya pernah berlatih ginkang
bersama, dengan tangan bergandeng tangan mereka dapat
berlari lebih cepat. Mereka melompat ke atas wuwungan
rumah penduduk, hanya sekejap saja beberapa rumah sudah
dilintasi mereka Dengan sendirinya Ce Se-kiat ikut pergi
bersama mereka.
Karena ginkangnya memang tak dapat menandingi mereka,
pula tiada pembantu yang dapat diandalkan, terpaksa Ostai
menyaksikan mereka kabur begitu saja.
Tanpa terasa mereka sudah lari sampai di tempat yang
sepi, sementara itu hari masih belum terang.
Leng-cu menghela napas lega dan memperlambat larinya,
katanya dengan tertawa, "Sungguh aku sangat senang, kakak
Yam, engkau sangat baik padaku."
Nona ini memang polos, apa yang terpikir itu pula yang
dikatakannya. Nyo Yam rnelengak, "Apa kebaikanku kepadamu" Engkau
yang telah membantuku, sebaliknya aku hampir membikin
susah padamu."
"Engkau tidak mau menggunakan diriku untuk menukar
ayahmu, coba, kan harus kuterima kasih padamu?"
"Hal ini jangan kau singgung lagi, pendek kata tidak ada
sesuatu di dunia ini yang berharga kutukar dengan dirimu,"
ucap Nyo Yam dengan tersenyum getir. Rasa dukanya belum
lagi hilang, bicaranya menjadi rada tersendat.
"Ai, kita ini memang sama bernasib malang, penderitaan
masa lampau juga sangat banyak, apa yang sudah lalu
memang tidak perlu kita singgung lagi," ujar Long cu,
Nyo Yam sudah putus asa, katanya, "Apa yang sudah
kusanggupi padamu pasti takkan berubah. Apa yang kau
janjikan padaku juga hendaknya kau patuhi. Kakek sedang
menantikan kepulangan kita, marilah kita segera berangkat
pulang saja."
"Masa sekarang juga hendak pulang?"" tanya Leng-cu.
"Memangnya masih ada urusan apa?" kata Nyo Yam.
"Engkau tidak ingin menemui dulu bibimu" Co toako kan
juga tidak dapat pergi begitu saja" ujar Leng-cu.
Baru sekarang Nyo Yam menyadari kecerobohannya yang
selalu memikirkan urusan sendiri tanpa memikirkan


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepentingan orang lain.
Didengarnya Se kiat telah mendesis, "Bila engkau tidak suka
menemui ibuku, silakan kalian berangkat lebih dulu."
Leng-cu tertawa "Dia mau kembali ke Cin-wu-piaukiok atau
tidak adalah urusannya, aku justru ingin pergi ke sana untuk
menemui bibi."
Se-kiat tahu antara ibunya dan Leng-cu ada sengketa,
dengan sendirinya ucapan si nona membuatnya melenggong
malah. "Nona Liong," katanya kemudian, "akhir-akhir ini perangai
ibuku rada kasar. Bahwa engkau sudi menemui ibu tanpa
memikirkan urusan dahulu, biarlah aku mengucapkan terima
kasih saja di sini."
Leng cu tertawa, "Mungkin engkau sendiri belum bertemu
dengan ibumu?"
"Dan mana kau tahu?" tanya Se-kiat.
"Sebabnya dapat kutemukan kakak Yam justru atas
petunjuk ibumu," tutur Leng-cu. "Bicara terus terang, dahulu
aku memang kurang jenang terhadap ibumu, tapi sekarang
kutahu beliau ternyata tidak sejelek apa yang pernah
kubayangkan. Salah paham yang sudah sudah sebenarnya
juga sebagian salahku."
"Baik juga, mumpung Ostai belum sempat mengusut ke
piaukiok sana, marilah lekas kita pergi, apa yang baru terjadi
juga perlu diberitahukan kepada Han-congpiauthau," seru Nyo
Yam. Setelah tenang kembali barulah teringat olehnya perlu
tanya Ce Se-kiat, "Kabarnya engkau telah mengunjungi
Cadam, apakah engkau baru pulang dari sana?"
"Betul." jawab Se-kiat.
"Engkau bertemu dengan Ling-cici?" tanya Nyo Yam pula.
"Bertemu," kata Se kiat.
Kejadian lalu terasa serupa impian, Nyo Yam merasa
hampa. Ia sangat borharap mengetahui hal-hal mengenai Ling
Peng ji, tapi entah cara bagaimana mengemukakannya.
Sekilas pandang Leng-cu seperti sedang menatapnya, muka
Nyo Yam menjadi panas, ia coba tanya Se-kiat, "Bagaimana
dengan Ling-cici, baik-baikkah dia?"
"Baik, dia sangat baik," jawab Se-kiat dengan hambar.
"Seharusnya Piauko mendampingi dia di Cadam. mengapa
engkau lari ke sini?" tanya Nyo Yam pula.
"Kedatanganku ini justru lantaran dia," ujar Se kiat.
"Kenapa bisa begitu?" melengak juga Nyo Yam.
"Apa yang terjadi sekarang memang sudah dalam
dugaannya," tutur Se kiat. "Ia sangat menguatirkan
keselamatanmu yang mungkin akan tertipu di kotaraja, namun
dia tidak dapat datang sendiri."
Nyo Yam diam saja tanpa bersuara lagi.
Leng-cu tertawa, "Ai. Engkoh yang bodoh, masa engkau
belum lagi paham" Kedatangan Ce-toako ini adalah untuk
menjaga dirimu."
Padahal tanpa dibumbui Liong Leng cu juga Nyo Yam sudah
mengerti, lantaran ucapnya ini, ada kata lain membuat Nyo
Yam dan Se-kiat tidak enak untuk menguraikannya.
Tapi ada satu hal akhirnya dikatakan juga oleh Se-kiat,
"Sesungguhnya saat ini Peng-ji tidak berada lagi di Cadam."
"Hah, dia ke mana?" tanya Nyo Yam dengan melengak.
"Pada waktu kuberangkat, dia bilang dalam waktu singkat
akan pulang ke Thian-san," tutur Se-kiat.
"Benar ... . benar Ling-cici hendak pulang ke Thian-san?"
Nyo Yam menegas dengan terkejut.
"Betul, dia hendak membelamu," kata Se-kiat.
"Tapi mungkin orang di sana tidak mau percaya kepada
keterangannya. Ciok Thian-heng dan lain-lain menganggap
aku sebagai pengkhianat yang tak terampunkan, apa Ling-cici
takkan ikut susah jika membela diriku."
"Hal ini pun sudah terpikir olehnya, namun dia rela
menerima akibatnya," kata Se-kiat.
Mau-tak-mau Nyo Yam menjadi gelisah, katanya, "Tapi
tidak dapat kubikin susah padanya."
"Syukurlah ayah-angkatmu pergi bersama dia, kukira takkan
sampai terjadi keributan yang melampaui batas."
"Eh, bukankah kakak Yam ingin pulang keThian-san dulu?"
tanya Leng-cu tiba tiba.
Cepat Se kiat menyela. "Jika sekarang kau pulang ke Thianian
tentu urusan akau tambah runyam, menurut pendapat
ayah-angkat-mu, untuk sementara sabaiknya engkau jangan
pulang ke sana."
Pikiran Nyo Yam menjadi kusut, ia menunduk dan tidak
bicara lagi. Leng-cu juga tidak dapat bersenyum lagi. hati pun diliputi
bayangan gelap.
Mereka mempercepat langkah, ketika hari baru terang
mereka sudah sampai di Tin-wan-piaukiok.
Melihat putranya pulang bersama Nyo Yam, tentu saja Nyo
Toa koh sangat girang dan juga heran.
Setelah memanggil "bibi", Nyo Yam dan Nyo Toa-koh tanpa
terasa sama mencucurkan air mata.
"Kemenakan yang baik, sudah kau temui ayahmu?" tanya
Toa-koh. Air muka Nyo Yam seketika berubah kelam, katanya, "Sejak
kecil aku yatim piatu, sekarang juga begitu, aku tidak punya
ayah." Hati Tao-koh serupa disayat-sayat, Ucapnya, "Nyo Bok
memang tidak berharga menjadi ayahmu Aku ... aku juga
salah padamu " Karena ucapan Nyo Yam yang menyatakan
"yatim piatu sejak kecil," seketika teringat olehnya meski ibu
Nyo Yam bukan dicelakai olehnya, tapi boleh dikatakan dia
yang harus bertanggung jawab atas kematiannya, mau-takmau
ia merasa pedih.
Nyo Yam menahan air matanya dan berkata, "Tidak, meski
aku tidak punya ayah, namun aku tetap she Nyo."
Yang selalu menekan pikiran Nyo Toa-koh adalah
kekuatirannya keluarga Nyo akan putus turunan, maka ia
merasa lega mendengar pernyataan Nyo Yam itu, katanya,
"Anak Yam, asalkan engkau mengaku sebagai anak-cucu
keluarga Nyo Kiat, maka biarpun engkau tidak mengaku bibi
padaku dapatlah tentram hatiku."
"Tidak, bibi cukup baik padaku, kutahu hal ini," kata Nyo
Yam. "Setiap orang tentu pernah berbuat salah. Dulu aku pun
pernah bersalah kepada bibi. Asal bibi mau mengakui aku
sebagai kemenakanmu, mana bisa tidak kuakui engkau
sebagai bibi."
Air mata Nyo Toa-koh berlinang disertai tertawa senang, ia
genggam tangan Nyo Yam dan berkata, "Kemenakan yang
baik, terima kasih padamu- Coba katakan, selama dua hari ini
engkau berada di mana" Cera bagaimana dapat bertemu
dengan Piaukomu dan apa . . apa yang terjadi?"
Padahal sudah diketahuinya Nyo Yam berada di rumah
ayahnya, tapi supaya tidak menusuk perasaan kemenakan itu.
terpaksa ia bertanya secara tidak langsung.
"Kukira Piauko saja yang bercerita," kata Nyo Yam.
Se-Kiat lantas menuturkan pengalaman mereka, katanya,
"Maafkan kecerobohan kami, Ibu, karena tidak menurut
pesanmu sehingga menimbulkan kesukaran bagimu."
"Tidak, aku tidak mrnyalahkanmu, kalian tidak bersalah,"
kata Toa-koh dengan muram. "Kalsu ada yang salah, maka
akulah yang salah. Ai, sungguh aku sangat menyesal."
Apakah ia menyesal dahulu terlampau sayang dan
memanjakan adiknya, atau menyesal caranya menyelesaikan
urusan sekarang ini yang salah seluruhnya, semuanya tidak
dijelaskannya. Namun betapa berat perasaannya jelas
kelihatan dari nada luapannya.
"Marilah kita pergi bersama, Ibu," kata Se kiat.
"Pergi ke mana?" tanya Toa koh.
"Dunia seluas ini, masakah tidak ada tempat bernaung?"
ujar Se-kiat. Mestinya ia hendak membujuk sang ibu agar ikut pergi ke
Cadam, namun ia tahu dendam sang ibu terhadap Beng Coan
ciau belum lagi lenyap, maka yang utama ia hanya berharap
ibunya mau ikut meninggalkan kotaraja saja.
Nyo Toa koh kelihatan murung, mendadak ia berucap
dengan tegas, "Kalian boleh pergi saja, aku tetap tinggal di
sini." Se-kiat terkejut, tanyanya cepat, "Kenapa ibu tidak pergi
saja" "
"Akulah yang mendidik pamanmu sejak kecil selaku kakak
merangkap tugas ibu," kata Toa-koh "Maka betapapun
pribadinya dia tetap adikku. Terhadapnya aku tetap harus
menunaikan setitik tugasku yang terakhir."
"Ibu sudah menderita selama hidup bagi Kuku, mungkin
Kuku tidak ingat lagi akan hubungan persaudaraan
denganmu," kata Se-kiat.
"Bila dia sampai hati membikin celaka padaku, biarlah
anggap saja itu ganjaran yang pantas kuterima," kata Toa-koh
dengan ihklas. Terangsang juga emosi Nyo Yam. katanya, "Bibi akulah
yang berdosa, apa yang hendak kau kerjakan biarlah
kuwakilkan dirimu untuk melakukannya."
"Tidak, engkau tidak berdosa, engkau meninggalkan
keluarga Nyo sebelum kau lahir," kata Tom-koh. "Maka
kesalahan ayahmu dan kesalahanku tidak boleh dibebankan
kepada mu."
Ia berhenti sejenak, lalu menyambung, "Pula, meski sudah
sekian tahun aku mengasingkan diri, baik atau jelek aku tetap
tokoh terkemuka dunia kangouw, kaum kita paling
mengutamakan janji, kan sudah kusanggupi kepada Hancongpiauthau
akan berusaha mempertahankan Cin wanpiaukiok,
mana boleh aku ingkar janji."
Baru bicara sampai di sini, tertampak Han Wi bu melangkah
masuk. "Ai, Lotoaci, kuterima maksud baikmu di dalam hati saja,"
kata jago tua itu.
"Sebaiknya engkau menyingkir saja dari sini, apakah Cinwanpiaukiok dapat diselamatkan atau tidak biarlah kuterima
naiib saja."
Mendadak Nyo Toa koh tergelak, katanya. "Haha, kutahu
sahabat kangouw sama memberi nama poyokau Loa-jiu-koanim
kepadaku, dengan julukanku itu masakah aku takut
menghadapi urusan" Mungkin kau, Han tua. engkau yang
kuatir aku membikin susah padamu."
Han Wi-hu terpancing jiwa ksatrianya oleh ucapan Nyo Toakoh,
serunya," Baik, kalau Lotoaci tidak takut urusan, masakah
aku harus takut ini dan gentar itu" Biarlah kupertaruhkan
jiwaku yang tua ini untuk menghadapi mereka. Nah, Lotoaci,
marilah kita bekerja sama."
"Kata pribahasa, miskin jangan bertengkar dengan kaya,
yang kaya jangan bermusuhan dengan pembesar. Kutahu
sebuah piaukiok kecil serupa Cin-wan-piaukiok ini tak mungkin
dapat melawan mereka. Cuma segala urusan pasti juga takkan
terlepas dari keadilan, bila mana mereka sengaja memfitnah
dan hendak sembarangan menuduhku, kuyakin masih ada
manusia yang akan bicara dan membela keadilan bagiku."
Serentak Toa-koh tersadar, serunya, "Betul, piaukiok adalah
perusahaan umum dan tidak boleh mencari tahu asal-usul
orang yang memberi order pekerjaan. Sekalipun ada patriot
yang pernah berhubungan dengan piaukiok dan kemudian
ditangkap mereka, hal ini pun tidak dapat dijadikan saksi
untuk menuduh piiukiok ikut tersangkut dalam sesuatu
pergerakan. Apalagi pada hakikatnya mereka pun tidak punya
bukti. Jika mereka berani sembarangan menuduh, tentu saja
engkau dapat mengirim kartu undangan kepada para ksatria di
kotaraja untuk menuntut keadilaan kepada, mereka. Kuyakin
apa pun juga mereka harus menimbang segala kemungkinan
ini." "Esok lusa adalah hari pengunduan diriku! sudah
kusebarkan kartu undangan untuk minta kehadiran para
sahabat Bu-lim. biarlah undanganku itu kuanggap sebagai
undangan kepada para ksatria untuk memberi keadilan," kata
Han Wi bu. "Menurut aturan, umpama Anak Kiat dan anak Yam
dicurigai ada kontak dengan kaum pengkhianat toh kesalahan
mereka tidak perlu merembet sampai dengan sanak
kaluarganya" kata Toa-koh. "Cumi, memang juga ada baiknya
berhati-hati sedikit. Nah, anak Kiat dan anak Yam, kalian dan
nona Liong janganlah tinggal di piaukiok, minta saja Han tua
mencarikan pondokan lain bagi kalian."
"Tidak perlu membikin repot Han-lopiau hau, kami sudah
ada tempat tujuan yang dapat dipercaya," kata Se-kiat.
Sebagai orang tua yang berpengalaman, Han Wi-bu tidak
tanya lebih lanjut tempat yang dimaksudkan Se kiat itu
"Eh. Han tua, ada suatu kejadian yang tidak kau ketahui,
hal ini rada mengantungkan pihak piaukiokmu," kata Toa-koh
tiba tiba. "Urusan apa?" tanya Han Wi bu.
"Bin Sing-liong terpukul luka parah oleh We Tiang jing.
adikku yang murtad itu pun dirangket berpuluh kali aleh Ostai,
kukira selama beberapa hari dia perlu merawat dulu lukanya."
"He, kenapa bisa terjadi begitu?" Hau Wi-bu merasa heran.
"Ostai dan We Tiang-jing adalah kepala dan wakil Congkoan
istana. juga atasan adikmu, biasanya adikmu cukup setia
kepada mereka, apalagi Bin Sing liong. Kenapa mereka
menghajar orangnya sendiri?"
"Kalau diceritakan, hal ini termasuk kualat bagi mereka,"
kata Toa-koh, lalu ia menuturkan secara ringkas apa yang
didengarnya dari Se-kiat tadi.
Tanpa terasa hari sudah terang benderang, Se-kiat lantas
mohon diri, "Sekarang kami akan berangkat, harap ibu
menjaga diri dengan baik."
"Kalian tidak perlu cari berita lagi ke sini," ujar Toa koh.
"Hari lusa boleh juga kalian datang dengan mencampurkan diri
di antara tetamu. Kalau kalian dapat menyamar tentu saja
terlebih baik lagi."
"Ya, anak paham," kata Se-kiat.
Han Wi-bu lantas memberikan alamat penghubung kepada
mereka, lalu mereka pun pamit dan berangkat.
"Biar kuantar kalian keluar," kata Wi-bu.
Tiba-tiba Se-kiat ingat sesuatu, tanyanya, "Bagaimana
keadaan luka Song-suheng?"
Selama dia berada di piaukiok tidak dilihatnya Song Peng-ki
dan Oh Lian-kui, maka ia tanya.


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Luka Pengki agak parah, untunglah tidak membahayakan
jiwanya," tutur Wi bu. "Lian-kui juga terluka oleh cambukan
Bin Sing-liong, cuma terluka luar saja. Saat ini dia yang
sedang merawat Suhengnya."
"Ada pribahasa yang sangat tepat, yaitu orang jahat pasti
terima ganjaran jahat," ujar Se kiat dengan gegetun. "Secara
kejam Bin Sing liong menghajar Sute sendiri, sekataeg kontan
dia mendapatkan ganjarannya."
Han Wi-bu juga teringat sesuatu, katanya, "Jika mereka
mau menggeledah piaukiok, saat ini tentu sudah datang.
Namun sepanjang jalan tidak kelihatan ada pemeriksaan,
agaknya mereka tidak berani bertidak terlampau kasar."
Begitulah rombongan mereka terus berangkat. Se-kiat di
depan dan membawa mereka keluar kota dari gerbang barai.
Nyo Yam merasa ragu, cuma di tengah jalan yang cukup ramai
tidak leluasa untuk bertanya.
Setiba di tempat sepi di luar kota, Nyo Yam merasa lega, ia
coba tanya, "Piauko, spakah sahabatmu tinggal di luar kota?"
"Aku pun tidak tahu tempat tinggal mereka, yang pasti,
cuma kutahu ke mana harus mencari mereka," jawab Se-kiat.
"Siapakah kawanmu, apakah dapat dipercayai" tanya Nyo
Yan pula. "Sangat dapat dipercaya," jawab Se-kiat, "Kalau
dibicarakan, kaupun kenal mereka, bahkan pernah kau
selamatkan jiwa mereka."
Nyo Yam menyadari siapa yang dimaksud, katanya, "Ah,
kutahu, agaknya yang kau makdudkan ialah Pui Liang den
Hoen Gui berdua."
"Betul, dan harus ditambah lagi Kai Hong," kata Se-kiat.
Leng-cu tahu Pui Liang dan Hoan Gui adalah murid Nyo
Bok, ia tanya, "Siapakah Kai Hong itu?"
Se-kiat menjawab, "Kai Hong adalah orang yang ditugaskan
oleh pasukan pemberontak di Cadam untuk membeli obatobatan
di kota-raja. Pui Liang dan Hoan Gui adalah
pembantunya."
Kiranya dua bulan yang lalu Kai Hong bertiga pernah
ditawan pihak Kerajaan, tapi berhasil diselamatkan oleh Nyo
Yam, hal ini diceritakan Se kiat kepada leng cu.
"Ah, jangan kau taruh semua jasa itu kepadaku," kata Nyo
Yam. "Padahal waktu itu bila tidak kau bantu secara diamdiam
tentu tiada seorang pun dari mereka dapat
kuselamatkan."
"Jika begitu, jelas mereka dapat dipercaya," kata Leng-cu.
"Engkoh Yam, kenapa kejadian itu tidak pernah kau ceritakan
padaku." "Kukuatir diomelimu bahwa aku suka campur urusan
orang," jawab Nyo Yam tertawa.
"Aku sendirikan juga paling suka ikut campur urusan orang
lain!!" kata Leng cu.
"Tapi urusan yang kuikut campur ini sedikit banyak berbeda
dengan urusan orang lain," kata Nyo Yam
Leng-cu sangat cerdik, sekali dengar ia tahu makna di balik
ucapan orang. Urusan orang lain yang dimaksud jelas
menyangkut pasukan pemberontak di Cadam itu, sekali sudah
tersangkut, mungkin akan mendatangkan bahaya di kemudian
hari yang tak terkirakan.
Dengan ikhlas ia lantas berkata, "Engkoh Yam, urusan apa
pun yang kau maksudkan, asalkan kau berani mengurusnya,
tentu aku akan membantumu."
Nyo Yam tertawa, katanya kepada Se-kiat, " Piauko, belum
lagi kau katakan padaku, sesungguhnya Kai Hong bertiga
berada di mana."
"Aku pun belum tahu dengan pasti di mana mereka berada,
yang jelas dapat kita cari kabar tentang mereka di
pegunungan ini," tutur Se-kiat. "Markas cabang Kai pang di
Peking terletak di kaki sebuah tebing gunung di lereng Se-san
ini. Umpama mereka tidak tinggal di markas Kai-pang, kuyakin
anggota Kai-pang pasti tahu di mana mereka."
"Aha, dari mana kau tahu sejelas ini?" seru Nyo Yam girang.
"Masa kau lupa aku pun pernah pergi ke Cadam?" ujar Sekiat
dengan tertawa. "Paman Ling Peng ji, Ling Tai-jiau, yang
memberitahukan padaku. Cuma aku sendiri belum pernah
mengunjungi Se-san, meski Ling Thi-jiau sangat jelas memberi
keterangan padaku, mungkin perlu kita cari dulu sekian
lamanya." "Jika begitu marilah lekas kita cari." kata Nyo Yam.
Se san atau gunung barat yang dimaksud sebenarnya terdiri
dari gabungan tiga bukit yang terletak di barat kota Peking,
sambil bicara saat itu mereka sudah mendaki salah satu bukit
Jui wi san yan" berpemandangan indah dan terkenal dengan
kuil Tiang an si.
Ketika mereka lewat di kuil itu, tiba-tiba beberapa orang
hwesio memburu keluar sambil membentak "Kurang ajar.
berani kau datang mencuri ke tempat suci ini?"
Waktu Nyo Yam memandang ke sana, dilihatnya seorang
yang dikejar itu berlari dengan kencang menuju ke lereng
bukit. Mestinya Nyo Yam tidak berniat ikut campur urusan kecil,
tapi dilihatnya lari "maling" itu sedemikian cepatnya, tergerak
juga hatinya, jelas orang ini pernah berlatih ginkang, masa
mau menjadi maling kecil begini"
Benar juga. segera terdengar "maling" itu menjawab,
"Omong kosong! Siapa yang mencuri barang di kuil kalian"
Jangan sembarangan memfitnah, kalau sampai aku gemas,
bisa kubakar ludes kuil bobrok kalian ini."
Kawanan hwesio itu lantas memaki, "Baik, jika bukan
maling, untuk apa kau masuk ke ruangan belakang, kenapa
menyusup ke dalam ruangan perpustakaan kami yang dilarang
untuk umum itu?"
Salah seorang hwesio yang menguasai ginkang lebih tinggi
daripada si "maling" sudah dapat menyusulnya. Mendadak si
"maling" menyambitkan sepotong batu ke belakang sambil
membentak, "Dalam kuil kaliankan tidak menyembunyikan
orang perempuan, masa takut kuintip?"
Ilmu silat si hwesio tidak lemah, tapi sama sekali tidak
berpengalaman tempur, maka dengan tepat ia tertimpuk oleh
batu itu, kontan ia jatuh tersungkur, meski tidak parah
lukanya, seketika tak sanggup merangkak bangun.
"Maling" itu terbahak-hahak, "Haha, coba keledai gundul
kalian berani lagi sembarangan memfitnah orang atau tidak?"
Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong sesosok
bayangan melayang tiba secepat kilat dan sekali cengkeram
segera tulang pundaknya kena terpegang.
Pendatang ini tak lain-tak-bukan ialah Nyo Yam.
"Lepas, lepaskan!" teriak "maling" i!u. "Aku bukan maling,
kenapa kaum hwesio yang suka mengaku welas-asih sekarang
hendak menangkap orang untuk disiksa?"
Kurnya kedatangan Nyo Yam itu terlampau cepat dan
mencengkeramnya dari belakang sehingga dia tidak tahu jelas
wajah Nyo Yam. Tentu saja Nyo Yam merasa geli, katanya dengan tertawa,
"Coba lihat yang jelas, aku ini bukan hwesio. tapi aku tidak
suka kepada perbuatanmu, mau-tak mau aku harus ikut
campur urusan ini."
"Dari mana kau tahu aku yang salah?" jawab orang itu.
"Baik, jika benar engkau tidak bersalah, coba katakan apa
yang kau lakukan, mereka menuduh kau masuk ke ruangan
belakang kuil mereka dan menyusup ke ruangan yang
terlarang," kata Nyo Yam.
"Apakah engkau hakim" Aku tidak mau diadili olehmu," seru
orang itu. "Setiap orang yang berbuat salah harus memberi
penjelasan," kata Nyo Yam. "Tapi engkau justru bicara kasar
terhadap pihak yang dirugikan olehmu, malahan
menyerangnya. Apapun juga engkau tetap bersalah. Nah. jika
engkau tidak memberi keterangan yang jelas, hm, terpaksa
aku bertindak kepadamu."
Dan sedikit mencengkeram, seketika orang itu menjerit
kesakitan serupa babi hendak disembelih.
Pada saat itulah tiba tiba terdengar suara "Omitohud",
setelah menyebut nama Budha, lalu orang itu berkata, "Harap
Sicu mengampuni dia saja."
Waktu Nyo Yam berpaling, dilihatnya seorang hwesio tua
sedang mendekatinya. "Taisu ini .... "
"Ketua kuil ini," tukas hwesio tua itu.
"Orang ini mencuri barang di kuil kalian, tapi engkau malah
mintakan ampun baginya?" tanya Nyo Yam.
"Sudah kuperiksa, syukur tidak kehilangan sesuatu apa
pun." kata si hwesio tua.
"Nah, ketua pimpinan kalian yang bicara sendiri, sekarang
tentu kalian mau percaya bahwa aku bukanlah maling
sebagaimana kalian menuduhku." jengek orang tadi.
Nyo Yam menjadi sangsi, ia coba tanya si hwesio tua,
"Diam-diam orang ini menyusup ke ruangan terlarang dalam
kuil kalian, betulkah terjadi demikian?"
"Betul. dia masuk ke sana tanpa izin," kata hwesio tua.
"Cuma dia memang juga tidak melakukan pencurian, maka
aku tidak ingin mengusutnya lebih lanjut."
"Apakah tidak perlu ditanyai dulu dia berasal dari mana dan
untuk apa berbuat begitu?" tanya Nyo Yam.
"Perbuatan yang tidak baik ini kan sudah diberi hukuman
oleh Sicu," kata hwesio tua. "Jika dia tidak suka bicara, kukira
biarkan saja."
Kalau menuruti watak Nyo Yam, tentu dia ingin tanya
sejelasnya duduknya perkara. Tapi sekarang hari sudah dekat
petang, ia masih harus mencari markas Kai-pang, urusan
cukup penting, terpaksa ia tidak sempat tanya sejelasnya.
Segera ia berkata, "Lohwesio, engkau adalah orang yang
berkepentingan, jika engkau tidak mau mengusut lebih lanjut
perkara ini boleh terserah padamu. Nah, maling cilik, untung
bagimu, lekas enyah!"
Setelah melepaskan orang itu, Nyo Yam lantas hendak
melangkah pergi.
"Sicu, engkau suka membela keadilan, sungguh aku sangat
berterima kasih padamu,"
kata si hwesio tua. "Kalau sudi, silakan bersama kawan
kalian mampir sebentar dan minum teh dulu dalam kuil kami."
"Terima kasih, biarlah lain kali saja," kata Nyo Yam. "Cuma,
maafkan jika aku bicara terus terang. Lohwesio memang
berhati welas asih, tapi perlu juga hati-hati terhadap manusia
yang sukar disadarkan dan tetap jahat."
"Terima kasih atas nasihat Sicu," kata si hwesio tua.
Setelah melampiaskan isi hatinya, Nyo Yarn mempercepat
langkah menyusul Se-kiat dan Leng-cu yang sudah
mendahului jalan di depan.
---ooo0dw0ooo--Jilid ke - 6 "Engkoh Yam, tak tersangka engkau juga 1 orang yang
sangat suka ikut campur urusan," kita Leng-cu dengan
tertawa. "Padahal persoalan kecil begitu buat apa diurus?"
"Maling cilik itu jelas bukan pencuri biasa," tutur Nyo Yam.
"Dia menyusup ke dalam kuil dan tidak mencuri sesuatu
barang, jelas sangat mencurigakan. Tapi hwesio tua itu pun
aneh, tidak tahu maksud baik orang."
"Apa yang terpikir olehmu tentu juga terpikir oleh hwesio
tua itu," ujar Se-kiat. "Justru orang itu bukan pencuri biasa,
maka si hwesio tua tidak ingin cari penyakit."
"Piauko, pengalamanmu jauh lebih luas daripadaku,
menurut pendapatmu, apakah pencuri itu . . . . "
"kukira maksud kedatangannya ke Se-san sini serupa juga
dengan kita," kata Se-kiat.
Nyo Yam baru sadar persoalannya, katanya, "Maksudmu
tujuan pencuri itu masuk ke kuil itu adalah untuk mencari tahu
apakah ada orang bersembunyi di situ?"
"Itu cuma dugaanku saja, semoga meleset perkiraanku ini,"
ujar Se-kiat. "Aku justru berharap dugaanmu tepat kena sasarannya,"
kata Nyo Yam. "Sebab apa?" tanya Leng cu.
"Terus terang, bilamana benar dugaan Piauko. orang yang
hendak dicarinya mungkin sekali adalah Kai Hong dan kedua
Pui dan Hoan-suheng. Dan kalau mereka masih terus dicari
oleh kawanan anjing pemburu kerajaan, ini menandakan
sampai saat ini mereka masih dalam keadaan selamat."
"Sudahlah, kita tidak perlu banyak menduga ini dan itu, toh
setiba di atas gunung segalanya akan menjadi jelas." ujar
Leng-cu. Setelah melintasi Cui-wi-san. keadaan pun sunyi sepi tiada
kelihatan bayangan manusia, mereka tidak pantang lagi dan
segera mengeluarkan ginkang masing-masing, tidak lama
sampailah mereka di Loh-su-san.
Meski Se-kiat tahu markas cabang Kai-pang berada di
bawah Pit-mo-kai atau "tebing iblis gaib" di pegunungan LohTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
su-san, juga keadaan Pit-mo-kai pernah didengarnya dari
Beng Goan-ciau, namun dia tidak pernah mendatangi tempat
tersebut, jadi untuk menemukan tebing itu di pegunungan
yang luas ini masih perlu buang tenaga dan waktu lagi.
Selagi mereka berusaha mencari tempat yang dituju, tibatiba
terdengar suara percakapan dua orang.
Seorang sedang berkata, "Mereka bilang markas cabang
Kui-pang terletak di Se-san, padahal Se-san ini meliputi tiga
puncak gunung, entah di mana letak markas kaum pengemis
itu. Padahal kita sudah menjelajahi hampir seluruh puncak
gunung di sini dan tidak kelihatan bayangan seorang pengemis
pun, rasanya berita itu tidak seluruhnya benar."
Lalu seorang menanggapi, "Tapi Congkoan menugaskan
kita menyelidiki urusan ini dan sedapatnya harus menemukan
sesuatu berita. Walaupun pegunungan ini sudah hampir rata
kita jelajahi, tapi sebenarnya cuma sambil lalu belaka "
Kedua orang Ini bicara di balik pengkolan sana. sama sekali
mereka tidak menyangka ada orang mendengar kata kata
mereka. Diam-diam Nyo Yam membatin, "Dugaan Piauko ternyata
tidak salah, anak buah Ostai yang dikirim ke sini untuk
menyelidiki Kai Hong ternyata tidak cuma satu kelompok saja."
Terdengar orang pertama tadi berkata pula, "Tampaknya
engkau memang sangat setia terhadap Congkoan-taijin, cuma,
apakah pernah kau pikirkan satu hal?"
"Hal apa?" tanya kawannya.


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pertama, markas cabang Kai-pang belum pasti berada di
Se san sini," kata orang pertama. "Kedua, seumpama betul
berada di sini, setelah kita temukan, lalu mau apa" Bilamana
menimbulkan curiga mereka, lantas bagaimana" Padahal
meski kepandaianmu lebih hebat daripadaku mungkin juga
bukan tandingan kawanan pengemis itu?"
Kawannya menjawab, "Ya, dengan sendirinya kedatangan
kita jangan sampai diketahui mereka, bilamana kepergok, apa
boleh buat, rasanya kita masih ada cara menghadapi mereka."
"Cara apa?" tanya orang pertama.
"Bicara terus terang saja siapa kita," tutur kawannya.
"Rasanya kawanan pengemis itu toh tidak berani bermusuhan
dengan jago pengawal istana seperti kita ini."
"Hm, kukira engkau mempunyai cara yang bagus, tak
tahunya hanya cara main gertak saja," jengek orang tadi. "Ya,
memang, kawanan pengemis itu mungkin dapat kau gertak
mundur, tapi engkau kan juga melanggar pantangan, masa
kau lupa apa yang Congkoan-taijin pesan kepada kita?"
"Ya, Congkoan-taijin menyuruh kita sebaiknya menyelidiki
secara diam-diam dan jangan tanya secara terang-terangan.."
"Itu dia! Kalau bertanya secara terang-terangan saja tidak
boleh. lalu apa boleh kau katakan terus terang siapa dan apa
kedudukan dirimu?"
"Kan sudah kukatakan, hal ini kita lakukan jika terpaksa,"
ujar kawannya. "Atau terlebih jelas, jimat penyelamat ini
hanya kita keluarkan bilamana keselamat
Hati Budha Tangan Berbisa 4 Bara Naga Karya Yin Yong Pendekar Pemetik Harpa 29

Cari Blog Ini