Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 7
an Siau-yauli itu, kenapa tidak terlihat orangnya di sini?"
Karena kena dicambuk sekali dan sang guru tidak
membelanya, segera Liok Kam-tong tahu gelagat tidak enak.
Apalagi didengarnya pula ucapan Bok Him-him sekasar itu dan
sang guru kelihatan lesu serupa jago aduan yang keok, betapa
bodohnya segera ia tahu juga gurunya berada dalam
cengkeraman musuh.
Ia tidak tahu bahwa tidak cuma ia sendiri yang cemas,
gurunya justru jauh lebih terkejut daripada dia. Soalnya ia
lihat anaknya yang gagu itu penuh berlepotan darah.
"Anak Coan," segera Thian-hing berteriak, "Engkau
kenapa?" Dengan sendirinya ia tahu anaknya tak dapat menjawab,
tapi saking gugupnya tanpa terasa ia berseru begitu.
Baru saja ia hendak menerjang ke sana untuk memeriksa
keadaan anaknya, mendadak cambuk Bok Him-him berputar
dan membelit lengannya terus diseret kembali.
"Ingat, kedatanganku bukan untuk urusan anakmu," jengek
Bok Him-him. "Lekas kau serahkan Siau-yau-li itu kepada
kami." "Tidakkah kaulihat anakku terluka parah dan entah hidup
atau mati," teriak Ciok Thian-hing. "Kuharap boleh kuperiksa
keadaannya dulu."
"Anakmu sudah mampus atau masih hidup aku tidak
peduli," jengek Bok Him-him. "Yang jelas kamu sudah berjanji
akan menyerahkan Siau-yau-li itu kepadaku, jika orangnya
tidak kau serahkan, hm, jangan menyesal bila aku bertindak
kasar padamu."
Sembari meronta Thian-hing berteriak pula, "Terserah apa
kehendakmu, memangnya aku tidak ingin hidup lagi!"
Ubun Lui berlagak baik hati, ia mendekati Ciok Jing-coan
dan memeriksanya, lalu berkata, "Ciok-tianglo, anakmu takkan
mati. Cuma lukanya memang tidak ringan, caramu bergembargembor
begitu kukira takkan bermanfaat bagi anak mestikamu
ini." Sedapatnya Ciok Thian-hing menenangkan diri, gumamnya,
"Apa betul dia masih hidup?"
Dengan nanar ia pandang sang sute.
"Lapor Suhu, sudah kububuhi obat luka pada suheng,
keadaan. suheng memang tidak berbahaya lagi," tutur Liok
Kam-tong. Ubun Lui menyela, "Bibi cilik, biarkan dia melihatnya
sejenak, supaya hatinya tentram."
Tadi Bok Him-him kuatir anak orang sudah mati, maka
melarangnya mendekatinya. Setelah tahu keadaan Ciok Jingcoan
tidak gawat, ia tidak merintangi lagi.
Setelah Ciok Thian-hing memeriksa denyut nadi putranya,
meski keadaannya lemah, namun tidak gawat, barulah hatinya
merasa lega, cuma pedih perasaannya ketika melihat luka
anaknya begitu berat.
"Siapa yang melukai suhengmu?" tanya Thian hicg kepada
Liok Kam-tong. Belum lagi Kam-tong menjawab, segera Bok Him-him
menyeret Ciok Thian-hing ke sana, katanya, "Aku tidak peduli
mengapa anakmu terluka segala, juga tidak ada waktu untuk
mengikuti obrolan kalian guru dan murid. Setelah jelas
anakmu tidak mati, sekarang lekas kau selesaikan janjimu
kepadaku. Di mana Siau-yau-li itu?"
"Aku pun tidak tahu," kata Thian-hing. "Silakan tanya saja
kepada muridku itu."
"Lapor Suhu, Siau-yau-li itu sudah kabur," belum di tanya
segera Liok Kam-toag melapor.
Keruan Bok Him-him dan Thian-hing sama terkejut dan
menegas, "Kabur katamu?"
"Ya, dia sudah kabur sejak tadi," tutur Kam tong pula.
"Justru suheng dilukai oleh Siau-yau-li itu."
Mendadak Ubun Lui menjengek, "Ciok-tianglo, jika berani
kau serahkan Siau-yau-li itu di bawah penjagaan anakmu.
kukira sebelumnya tentu kau tutuk dia."
"Betul," kata Thian-hing.
"Jika begitu, masakah dia mampu kabur, betapa tinggi
kepandaiannya aku cukup tahu," kata Ubun Lui. "Hehe,
memangnya kau sangka kami dapat kau tipu begitu saja?"
"Untuk apa kutipu kalian?" jawab Thian hing penasaran.
"Sebelum ini kan tidak pernah terduga kalian akan memergoki
kami, apalagi sama sekali, hehe, tak kusangka kungfu Pektohsan kalian memang lain daripada yang lain!"
Di balik ucapannya jelas ingin menyindir lawan yang
menggunakan cara licik dengan membius mereka.
Dengan sendirinya Bok Him-him paham maksudnya, setelah
dipikir, memang betul juga ucapan Ciok Thian-hing itu, apalagi
anaknya memang betul terluka parah, jelas tidak dusta.
Namun apa yang terjadi juga sangat mencurigakan.
Segera ia mendengus lagi, "Ciok tua, asal kau tahu
kedudukanmu sekarang, maka hendaknya suruh muridmu
bicara sejujurnya."
"Apa yang kukatakan memang benar-benar terjadi," tukas
Liok Kam-tong. "Baik sekarang ku minta kau beri penjelasan, cara
bagaimana Siau-yau-li itu dapat melukai su-hengmu?"
Dengan sendirinya Liok Kam-tong tidak berani bicara terus
terang, dalam keadaan mendadak sukar juga baginya untuk
mengarang cerita yang tidak betul tapi masuk di akal.
Selagi ragu, dilihatnya Bok Him-him berlagak hendak
menggampar Ciok Thian-hing, katanya, "Jika kamu tidak mau
bicara sejujurnya. terpaksa kuhajar dulu gurumu!"
Walaupun pribadi Liok Kam-tong juga ada cacatnya, namun
kesetiaannya kepada sang guru harus dipuji. Jika cuma ia
sendiri yang terancam mungkin dia takkan menyerah begitu
saja. Tapi sekarang musuh hendak menganiaya dan menghina
sang guru di depannya, mau-tak-mau ia harus menimbangnya.
Maka cepat ia menjawab, "Baik, akan kukatakan terus
terang, memang betul, kalau melulu kepandaian Siau-yau-li itu
saja takkan melukai suheng, tapi karena dia dibantu Kang
Siang-hun, keadaan tentu saja lain."
Keterangan ini tidak hanya mengherankan Bok Him-him dan
Ubun Lui, juga membuat Ciok Thian-hing terkejut.
"Apa katamu" Kang Siang-hun maksudmu?" Thian-hing
menegas tanpa terasa.
"Betul, Kang Siang-hun yang memukul roboh suheng,
kesempatan itulah digunakan Siau-yau-li itu untuk melukai
suheng," tutur Liok Kam-tong.
Sebenarnya Ciok Thian-hing hendak tanya sebab apa Kang
Siang-hun memukul roboh putranya, tapi sebagai ayah dia
cukup kenal pribadi anak sendiri, segera terpikir olehnya tentu
ada sesuatu perbuatan anaknya yang tidak pantas dan terlihat
oleh Kang Siang-hun. Karena itulah ia cuma ternganga saja
dan tidak sanggup bicara lagi.
Di sebelah sana Ubun Lui juga ingin tahu, segera ia
menggantikan Thian-hing bertanya kepada Liok Kam-tong.
"Kang Siang-hun yang kau maksudkan itu apakah putra Kang
Hai-thian?"
"Betul, putra kedua Kang Hai-thian," jawab Kam-tong.
"Huh, kukira kamu sembarangan mengoceh, kalau mau
bohong hendaknya belajar lebih dulu." jengek Ubun Lui. "Masa
caramu dusta ini dapat dipercaya orang?"
"Aku bicara dengan sesungguhnya, bila engkau tidak
percaya, apa boleh buat!" ujar Liok Kam-tong,
"Ya, dengan kepandaian Kang Siang-hun memang dengan
mudah dapat menyelamatkan Siau-yau-li itu, sekali pukul ia
pun sanggup merobohkan suhengmu," kata Ubun Lui. "Cuma
sayang. dia kan putra Kang Hai-thian"!"
"Jika dia putra Kang Hai-thian lantas kenapa?" Bok Him-him
sengaja menanggapi.
"Kalau benar dia putra Kang Hai-thian menjadi tidak masuk
akal," ucap Ubun Lui. "Masa bibi cilik tidak tahu hubungan
antara keluarga Kang dan Thian-san-pai?"
"Ya, rasanya pernah kudengar cerita pamanniu, aku
menjadi ingat sekarang," ujar Bok Him-him. "Katanya mereka
ada hubungan baik turun temurun, guru Kang Hai-thian, yaitu
Kim Se-ih, mempunyai hubungan sangat erat dengan ketua
Thian san-pai dua angkatan yang lalu, yaitu Tong Hiau-lan.
Konon hubungan mereka berdiri di antara guru dan sahabat.
Bahwa ilmu silat Kang Hai-thian sekarang dapat disebut nomor
satu di dunia, walau pun kenyataannva belum tentu begitu,
tapi sebabnya dia dapat mencapai tingkatan sctinggi sekarang
kabarnya lantaran Kim Se-ih dahulu pernah mendapat
petunjuk dari Tong Hiau-lan, lalu oleh Tong Hiau-lan diajarkan
kepada Kang Hai-thian."
"Betul," kata Ubun Lui. "Nah, kalau begitu lantas mengapa
putra Kang Hai-thian berbalik membantu musuh Thian-san-pai
dan menghantam putra sesepuh Thian-san-pai malah?"
Kembali Bok Him-him angkat sebelah tangannya
mengancam pula, jengeknya, "Nah, Ciok-tianglo, muridmu
berani berdusta padaku, seharus kugampar mulutnya. tapi dia
adalah murid didikmu. kau pun tak terlepas dari tanggung
jawah. Maaf, harus kutempeleng dulu padamu sebagai
hukuman percobaan."
Dengan gugup Liok Kam-tong berteriak, "Jangan kau hina
guruku, kalian cuma tahu satu dan tidak tahu dua."
Bok Him-him menurunkan tangannya dan ber tanya,
"Hanya tahu satu tidak tahu dua bagaimana, coba lekas
ceritakan."
Dengan sendirinya Liok Kam-tong tidak berani berkisah
tentang maksud sang suheng hendak memperkosa Liong
Leng-cu dan dipergoki Kang Siang-hun segala, tiba-tiba ia
msndapat akal dan dapat mengarang ccrita bohong, katanya,
"Kalian memang cuma tahu yang satu dan tidak tahu yang
kedua. Memang betul keluarga Kang ada hubungan erat
dengan Thian-san-pai kami, tapi apakah kalian tahu antara
Kang Siang-hun ada perselisihan paham dengan seorang
murid Thian-san" Bahkan boleh dikatakan bermusuhan.
Malahan murid Thian-san itu bukan murid biasa."
"Oo, siapakah dia?" tanya Bok Him-him.
"Dia adalah murid tidak resmi Thian-san-pai, yaitu Beng
Hoa," tutur Liok Kam-tong, "Meski dia tidak terhitung sesepuh,
namun tingkatannya cukup untuk berdiri sama tinggi dan
duduk sama rendah dengan ketua perguruan kami."
"Dengan sendirinya kutahu Beng Hoa," ujar Ubun Lui. "Dia
kan ada hubungan famili dengan keluarga Kang?"
"Betul," jawab Kam-tong. "Istri Beng Hoa adalah putra Kim
Tiok-liu yang terkenal sebagai jago pedang nomor satu di
dunia itu, sedang kim Tiok-liu adalah sute Kang-hai-thian."
"Jika begitu seharusnya Beng Hoa menyebut Kang Sian-hun
sebagai suheng, mengapa bisa terjadi permusuhan antara
mereka?" tanya Ubun Lui.
"Betul, Kang Siang-bun adalah suheng Kim-Pek-ki yang
diperistri oleh Beng Hoa." tutur Kam tong. "Menurut aturan,
seharusnya antara mereka adalah serupa saudara sekandung.
Sayangnya justru lantaran Kim Pek-ki itulah timbul
permusuhan antara mereka.?"
"Oo. lantaran Kim Pek-ki" Memangnya sebab apa?" tanya
Ubun Lui pula. "Sebab tadinya Kim Pek-ki adalah calon istri Kang Sianghun."
sahut Liok Kam-tong.
---ooo0dw0ooo--Jilid ke- 11 "Ya, pernah juga kudengar kejadian itu," kata Hok Him-him.
"Kabarnya semula Kim Tiok-liu bermaksud menjodohkan
putrinya kepada Kang Siang-Hun. tapi belum dibicarakan
secara resmi."
"Apakah dibicarakan secara resmi atau tidak, namun
kenyataannya Kang Siang-hun cinta sepihak terhadap
Sumoaynya memang bukan rahasia lagi," kata Liok Kam-tong.
"Engkau banyak mengetahui urusan keluarga Kang dan
Kim, tapi ada suatu hal mungkin belum kau ketahui."
"Hal apa?" tanya Him-him.
"Yaitu tentang Kang Siang-hun pernah bertanding pedang
dengan Beng Hoa dan dikalahkan oleh Beng Hoa, lantaran itu
pula sekali pukul Beng Hoa menarik tiga keuntungan," tutur
Ciok Kam-tong. "Sekali pukul tiga keuntungan apa?" tanya Ubun Lui.
"Pertama, karena kemenangannya Kang Siang-hun telah
membuat namanya terkenal dan mendapat julukan sebagai
jago pedang nomor salu di dunia. Kedua, mendapat perhatian
si cantik, dan ketiga, ia jadi disukai oleh Kim Tiok-liu."
Padahal, sekali pukul tiga keuntungan segala adalah
pendapat pribadi Liok Kam-tong sendiri. Tentang bertanding
antara Kang Siang-hun dan Beng Hoa memang benar terjadi,
Kim Pik-ih sebenarnya memang juga jatuh cinta terhadap
Beng Hoa dan disukainya Beng Hoa oleh Kim Tiok-liu juga
terjadi pada sebelum pertandingan itu.
Cuma bualannya itu membuat Bok Him-him percaya penuh,
katanya, "Ya, kutahu kejadian itu, kabarnya kekalahan Kang
Siang-hun itu cukup mengenaskan, sampai pedang juga kena
dirampas Beng Hoa. Pertandingan mereka itu karena saling
cemburu, hal ini kupercaya. Hanya saja cemburu mereka masa
ada sangkut-pautnya dengan urusan hari ini?"
"Kan Kang Siang-hun menganggap kekalahannya itu
sebagai suatu penghinaan besar," kata Liok Kam-tong. "Meski
dia tidak berani menuntut balas secara terang-terangan, tentu
ingin juga membalas dendam secara diam-diam, betul tidak?"
"Ya, cuma untuk apa Kang Siang-hun membantu Siau-yau-li
itu menccderai Suhengmu" Apakah cara ini dapat dianggap
sebagai balas dendam kepada Beng Hoa?" tanya Bok Him-him.
"Memang bukan balas dendam secara langsung, tapi-kan
juga terhitung balas dendam secara tidak langsung," ujar Liok
Kam-tong. "Apa artinya?" tanya Him-him.
"Soalnya Nyo Yam dan Beng Hoa adalah saudara satu ibu
lain ayah," tutur Liok Kam-tong. "Namun Berg Hoa tidak
memikirkan hubungan persaudaraan mereka, ia pernah
menawan adik sendiri di Ki-lian-san dan hendak membawa
Nyo Yam ke Cadam. Kemudian berkat pertolongan Siau-yau-li
itulah Nyo Yam dapat dibebaskan."
"Jadi maksudmu lantaran Kang Siang-hun dendam kepada
Beng Hoa, maka dia sengaja membantu Nyo Yam yang juga
berlawanan dengan Beng Hoa itu?" tanya Him-him.
"Ya, tidak cuma begitu saja, sebab sendirian Nyo Yam
Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bukan tandingan Beng Hoa, tapi bila bergabung dengan Siauyauli mereka justru merupakan maut bagi Beng Hoa. Pernah
Beug Hoa dikalahkan mereka, hal ini diketahui orang banyak."
"Ah, tahulah aku sekarang," kata Him-him. "Sebabnya dia
merampas Siau-yau-li itu bukanlah karena dia menyukainya
melainkan ingin tetap mempertahankan seteru targguh bagi
Beng Hoa "
"Betul, kecuali itu juga masih ada suatu alasan lain," kata
Kam-tong. "Masih ada alasan lain?" Bok Him-him menegas.
"Yaitu, agar bisa mendapatkan nama, tentang pembersihan
perguruan kami sekali ini seluruhnya telah ditugaskan kepada
Beng Hoa. Sekarang Kang Siang-hun membawa lari Siau-yauli,
secara tidak langsung berarti suatu pukulan bagi Beng Hoa."
"Uraianmu rasanya masuk diakal, cuma bila kupikirkan lagi,
ada juga bagian yang tidak dapat dimengerti," kata Bok Himhim.
"Apakah Kang Siang-hun tidak kuatir ketua Thian-san
menegur-nya atas perbuatannya membantu Siau-yau-li dan
melukai Suhengmu?"
"Dia kan dapat pakai alasan tidak kenal siapa Siau-yau-li
itu?" ujar Liok Kam-tong. "Sebab Suhengku seorang bisu. Ia
juga dapat memfitnah Ciok-suheng telah merampas gadis,
bahkan menuduhnya dengan perbuatan yang tidak senonoh.
Dia dan Ciok-suheng agakuya belum kenal sebelum ini."
Ia sengaja menutupi perbuatan busuk sang suheng di
depan gurunya sehingga uraiannya itu membuat Ciok Thianhing
mempercayainya, juga berulang Ciok Thian-hing
mengangguk dan berkata, "Ya, betul, tentu begitulah!"
Lalu ia menyambung pula, "Sekarang Siau-yau-li itu sudah
direbut oleh Kang Siang-hun, maafkan, tak dapat lagi
kuserahkan dia kepada kalian. Sekarang bolehlah kita
berangkat saja."
Di depan muridnya tak enak baginya ia memohon Bok Himhim
membebaskannya, ia berharap Him-him mau memberi
obat penawar dan menjaga beberapa bagian kehormatannya.
Bok Him-him lantas tanya Ubun Lui, "Eh, Titsiauya,
bagaimana pendapatmu?"
"Aku cuma setengah percaya kepada keterangan mereka,"
kata Ubun Lui. "Cuma, biarpun Siau-yau-li itu telah digondol
Kang Siang-hun, betapa pun kita tetap akan minta
pertanggungan jawab mereka ini."
"Betul, setuju," kata Him-him. "Nah, Ciok tianglo, harap
engkau ikut kami pulang ke Pek to-san, kapan-kapan kalau
muridmu menggiring Siau-yau-li itu ke tempat kami, segera
juga kami akan membebaskanmu."
"Siau-yau-li berada di tangan Kang Siang-hun melulu
kepandaianku mana bisa merebutnya kembali?" cepat Liok
Kam-tong menukas.
"Semua itu adalah urusanmu, kami tidak peduli," ujar Himhim.
"Jika kau tahu kepandaianmu tidak becus, boleh kau
minta bantuan sesama saudara seperguruanmu. Pendek kata,
kami tidak urus cara apa yang akan kau gunakan. Yang
penting Siau-yau-li itu dibawa kepada kami. Maksudku satu
tukar satu."
"Mana ada aturan begitu," teriak Ciok Thian-hing. "Masa
kalian hendak menggunakan diriku sebagai sandera?"
"Memangnya kau kira kamu ini apa?" jengek Him-hirn.
"Kalau bukan sandera, memangnya masih tetap Tianglo?"
Sedih dan gemas Ciok Thian-hing tak terhingga, teriaknya
dengan suara parau, "Kam-tong, harus kau lakukan sesuatu
bagi gurumu."
"Silakan Suhu bicara," jawab Liok Kam-tong
"Lekas lolos pedangmu dan bunuhlah aku!" teriak Thianhing.
Liok Kam-tong melenggong, belum lagi ia lolos pedang,
tahu-tahu ia sudah dicengkeram Ubun Lui dan dilempar hingga
jauh. "Hm, sudah jelas kau tahu murid mustikamu iiu tidak becus
menolongmu, buat apa kau bikin main dia?" ejek Bok Himhim.
"Hehe, dia kan sengaja berlagak supaya dilihat muridnya,"
Ubun Lui ikut berolok-olok. "Jika dia diam saja dan ikut pergi
bersama kita, mungkin murid sendiri pun akan memandang
hina padanya. Demi menjaga gengsi seorang guru, mau-takmau
dia harus berlagak berani mati."
"Haha, bagus, Ciok-tianglo, kamu ingin jaga gengsi, aku
justru tidak jual muka kepadamu," seru Him-him dengan
tertawa, "Nah, lekas merangkak!"
Mendadak Ting Tiau-min berteriak, "Lepaskan Suhengku,
biarlah aku saja yang menjadi sandera bagi kalian."
Tadi hiat-to bisunya tertutuk, karena sudah 12 jam, meski
masih kaku, namun kini sudah bisa bersuara.
"Ting Tiau-min," jengek Bok Him-him, "ku kira tulangmu
cukup keras, rupanya ada kalanya kamu memohon juga
padaku." "Aku tidak memohon, tapi satu tukar satu, hal ini kau
katakan sendiri tadi," jawab Ting Tiau-min dengan gusar.
"Betul. tadi kukatakan boleh satu tukar satu, tapi tidak
kukatakan orang mati boleh tukar orang hidup," ujar Him-him
dengan tertawa.
"Apa maksudmu?" bentak Tiau-min.
"Kamu benar tidak mengerti atau berlagak bodoh?" tanya
Him-him. "Baiklah, jika kamu memang tidak tahu, biar
kukatakan terus terang. Soalnya watakmu terlebih buruk
daripada Ciok Thian-hing, kutahu pula kamu terlampau benci
padaku, bila kamu dibiarkan hidup, tentu akan kau tuntut
balas padaku. Maka sudah kuputuskan takkan memberi hidup
padamu." "Hahahaha! Bagus sekali!" Tian-min bergelak tertawa.
"Justru itulah yang kuminta. Nah, boleh lekas kau turun
tangan." "Nanti dulu," kata Him-him dengan tertawa. Soalnya
sekarang timbul pula belas kasihanku aku tidak ingin bertindak
melampaui batas. Untuk membuatmu tidak dapat menuntut
balas kan masih bauyak cara lain. Nah, Titsiauya, hendaknya
kau-hancurkan tulang pundaknya saja."
"Betul, musnahkan llmu silatnya, tentu dia tidak mampu
bertingkah lagi selama hidup," ucap Ubun Lui dengan tertawa.
Selagi Ubun Lui mendekati Ting Tiau-min dan Bok Him-him
juga mengangkat tangannya hendak menggampar Ciok Thianhing
sambil membentak, "Apakah tidak kau dengar ucapanku
tadi, lekas merangkak ke bawah gunung!"
Namun sebelum gamparannya mengenai muka Ciok Thianhing,
sekonyong-konyong suara raungan dahsyat membuatnya
tergetar. "Di tengah siang bolong, kawanan tikus dan mana berani
berbuat malang melintang di sini?"
Belum kelihatan orangnya, suara bentakan menggelegar itu
sudah cukup membuat pecah nyali musuh yang
mendengarnya. Suara gertakan dahsyat itu membuat perasaan Bok Himhim
berdebar, cepat ia tenangkan diri, ia tidak sempat lagi
menggampar Ciok Thian-hing.
Lwekang Ubun Lui lebih tinggi, tapi di bawah gertakan
dahsyat itu jantungnya juga berdetak tenaga pun sukar
dikeluarkan. Kiranya pendatang ini tak-lain-tak-bukan adalah tokoh yang
ditakuti mereka, yaitu Beng Hoa yang di Ki-lian-san dahulu
pernah mengalahkan Ubun Lui.
Suara raungan Beng Hoa itu disebut Sai-cu hung atau
auman singa, semacam kungfu kaum budha yang dulu
dipelajarinya dari Yu~in Taisu dari negeri Thian-tiok (India),
setelah berlalu belasan tahun. baru pertama kali ia
pergunakan kungfu ini, suaranya ternyata maha dahsyat dan
mengguncang sukma.
Apalagi Ubun Lui adalah bekas jago yang sudah keok di
tangan Beng Hoa, dengan sendirinya suara Beng Hoa ini
raembuatnya gugup dan bingung.
Saat itu Ting Tiau-min sudah hampir terpegang olehnya,
tahu-tahu dengan cepat luar biasa Beng Hoa sudah muncul
dan langsung menghantamnya.
Ubun Lui kenal kelihaian lawan, cepat ia mengegos ke
samping dan balas menyerang sembari berjaga.
Namun Beng Hoa tidak menyerang lebih lanjut begitu lawan
didesak mundur, segera ia menarik Ting Tiau-min ke samping,
Dan begitu membalik tubuh, dengan cepat ia menyerang
Bok Him-him. Setelah menenangkan diri, Him-him tahu pen-datang ini
adalah Beng Hoa, jengeknya, "Beng Hoa, orang lain takut
padamu, tidak nanti nyonya besar takut padamu!"
Dengan lagu lama, kembali ia mengebaskan lengan baju
untuk menyebarkan dupa bius.
Tak terpikir olehnya tenaga pukulan Beng Hoa sudah
membanjir tiba sedahsyat gugur gunung, dupa bius pelemas
tulang andalannya sama sekali tidak dapat mengganggu Beng
Hoa. Sebaliknya sambaran angin pukulan Beng Hoa telah
merobek lengan baju Bok Him-him sehingga kelihatan kulit
badannya yang putih bersih.
Him-him kaget dan malu, cepat ia melompat mundur,
untung juga ginkangnya tidak lemah sehingga terluput dari
cengkeraman Beng-hoa.
Namun karena guncangan angin pukulan, dupa. bius itu
lantas menyebar, Sikong Ciau dan Buyung Sui yang agak
lemah Iwekangnya dan kebetulan berdiri di arah angin,
mereka langsung terkena bisa itu, "bluk-bluk" kontan mereka
jatuh tersungkur, tenaga hilang, merangkak bangun pun tidak
sanggup. Beng Hoa lantas menarik Ciok Thian-hing kesana dan
diserahkan di bawah penjagaan liok Kam-tong. Lalu ia putar
tubuh dan dilihatnya Ubun Lui hendak kabur.
Untuk menjaga pamor, Bok Him menjengek, "Beng Hoa,
memangnya apa gunanya kau rebut kembali dua orang
cacat?" Beng Hoa tidak menghiraukannya, belum lenyap suara
orang ia sudah melompat ke sana dan menggadang di depan
Ubun Lui. "Mau lari ke mana?" bentak Beng Hoa. "Ayolah kita cobacoba
lagi! Sekali ini cukup lima jurus saja!"
Habis berkata, kontan ia menghantam dengan pukulan Simiciang, jurus kedua menggunakan jari sebagai pedang dan
menyerang dengan jurus llmu pedang Kong-tong-pai. Jurus
ketiga ia gunakan pukulan sakti Tiam-jong-pai ajaran gurunya
yang pertama, yaitu Toan Se-siu.
Hanya tiga jurus itu saja langsung Ubun Lui kena
dibekuknya. "Hm, apakah cuma kalian saja yang mampu menawan
sandera dan aku tidak bisa?" ejek Beng Hoa.
Cepat Ubun Lui memohon, "Ada urusan apa boleh
dirundingkan dengan baik-baik, apa kehendakmu, Bengtaihiap?"
"Tidak menghendaki apa-apa, aku cuma ingin mengadakan
jual-beli dengan kalian," jawab Beng Hoa.
"Jual-beli bagaimana?" tanya Ubun Lui. "Suruh bibi kecilmu
memberikan dua biji obat penawar dan segera
kulepaskanmu," kata Beng Hoa.
Maka cepat Ubun Lui memohon kepada Bok Him-him, "Bibi
cilik, tolonglah diriku!"
Bok Him-him berhenti agak jauh di sebelah sana dengan
lagak seperti sangsi dan tidak segera menjawab.
"Aku tidak dapat menunggu, kalau obat penawar tidak kau
serahkan, terpaksa kupunahkan dulu kungfu Siausancu
kalian," ancam Beng Hoa.
Ubun Lui ketakutan, cepat ia memohon pula, "Bibi cilik,
hendaknya mengingat hubungan baik kita, tolonglah jiwaku!"
Kiranya antara Ubun Lui dan Bok Him-him ada hubungan
gelap. hal ini diketahui oleh Buyung Sui dan Sikong Ciau,
hanya Pek-toh-sancu saja yang terkelabui.
Keruan Bok Him-him malu. omelnya, "Kenapa berteriakteriak"
Mau jual-beli kan harus cocok dulu harganya. Dagang
yang merugikan tidak nanti kulakukan."
Beng Hoa menjengek, "Hm, dua biji obat tukar satu orang
hidup, jual beli yang menguntungkan. seperti ini ke mana lagi
akan kau cari." Nah. terserah padamu, mau atau tidak, kalau
tidak. ya sudah!"
"Untuk apa terburu-buru?" kata Him-him. "Kamu sudah
buka harga, aku kan belum menawar?"
"Hargaku itu harga mati, tidak ada korting dan tidak boleh
ditawar," jawab Beng Hoa ketus.
"Aku tidak minta korting, hanya jual-beli ini harus adil," kata
Him-him. "Akan kuberi obat penawarnya kepadamu, tapi
kalian tidak boleh lagi mengusik kami seujung rambut pun."'
"Baik, kuterima," kata Beng Hoa.
"Hanya engkau terima, dan bagaimana dengan mereka
berdua" Kau tahu, setelah minum obat penawar segera tenaga
mereka akan pulih."
Ting Tiau-min menjadi gusar, teriaknya, "Hari ini takkan
kubikin susah padamu, tapi kelak kami pasti akan mencari dan
bikin perhitungan padamu."
"Apakah Ciok-tianglo juga berpendirian demikian?" tanya
Him-him. Ciok Thian-hing tidak enak hati untuk bicara, dengan muka
masam ia cuma mengangguk saja.
"Nah, urusan hari ini memang lain dengan urusan esok,"
kata Him-him dengan tertawa. "Selewatnya hari ini, umpama
kalian tidak mencari padaku, tentu juga suamiku akan mencari
dim membikin perhitungan dengan kalian. Baiklah, ku terima
tawaranmu, kuserahkan barang dan kalian pun serahkan
orang." Segera ia menyodorkan dua biji obat kepada Beng Hoa.
Beng Hoa juga lantas melepaskan Ubun Lui-selagi ia hendak
membuka hiat-to kelumpuhannya. tiba-tiba Ciok Thian-hing
berkata, "Tidak boleh segera dibebaskan!"
Meski tidak dapat bergerak, namun Ubun Lui dapat bicara,
ia terkejut dan berseru, "Kalian bicara tentang kepercayaan
tidak" Apakah ucapan kalian seperti kentut belaka?"
"Dari mana kutahu obatmu ini tulen atau palsu" Harus
tunggu setelah terbukti obat ini manjur baru kau dilepaskan,"
kata Thian-hing.
"Kami tidak percaya padaku, memangnya ku percaya
padamu?" ucap Him-him. "Tapi aku percaya penuh kepada
Beng-taihiap. Nah, Beng-taihiap, terimalah obatku."
Beng Hoa terima kedua biji obat itu dan dibagikan kepada
Thian-hing dar Tiau-min, sekalian ia bantu mereka dengan
Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tenaga dalam sendiri.
Selang tidak lama, mendadak Ciok Thian-hing melompat
bangun dan kontan ia hantam Ubun Lui
"Hei, kau mau apa?" bentak Bok Him-him.
Terlihat pukulan Ciok Thian-hing mendadak beralih ke
samping sehingga sebatang pohon di sebelah Ubun Lui
terpukul patah dahannya. Barulah Bok Him-him tahu maksud
Ciok Thian-hing hanya untuk mencoba kekuatan apakah sudah
pulih atau belum.
"Nah, obat penawar sudah terbukti tidak palsu, sekarang
kami boleh pergi bukan?" tanya Ubun Lui setelah Beng Hoa
membuka hiat-to kelumpuhannya.
Teringat pada penghinaan waktu tertawa tadi, sungguh
Ciok Thian-hing sangat mendongkol, tapi apa boleh buat,
terpaksa ia hanya membentak, "Untung bagimu, lekas enyah!"
Sesudah rombongan Ubun Lui pergi, berkata lah Ciok
Thian-hing, "Terima kasih atas pertolonganmu, Beng-hiantit.
Dari mana kautahu kami berada di sini?"
"Sebenarnya aku diperintahkan ketua untuk menyampaikan
selamat kepada Kui-taihiap di Hwe in-ceng," tutur Beng Hoa.
"Dalam pesta sana ku-dengar cerita orang bahwa ada yang
melihat rombonganmu dalam perjalanan, kukira selekasnya
kalian pun akan sampai di Hwe-in-ceng. Siapa tahu sampai
hari sudah gelap belum kelihatan kalian muncul. Kukuatir
terjadi sesuatu, maka cepat mohon diri kepada Kui-taihiap dan
ingin mencari kalian. Semula aku salah jurusan, kemudian kutemukan
kode yang kalian tinggalkan sehingga terlamlat
sampai di sini."
Ting Tiau-min juga bertutur, "Sebenarnya kami pun akan
mengunjungi Kui-taihiap untuk mengucapkan selamat
padanya, justru di tempat lima li sebelum Hwe-in-ceng kami
disergap aleh perempuan siluman itu."
"Sudahlah, tidak perlu banyak omong lagi, yang penting,
tentang pengalaman kami yang penasaran ini, diharap Benghiantit
suka bicara sejujurnya bagi kami," kata Ciok Thianhing.
"Kawanan siluman dari Pek-toh-sau itu tidak nanti
kudiamkan," ujar Beng Hoa.
"Maksudku bukan kawanan siluman dari Pek-toh-san itu,
tapi tentang dilukuinya Jing-coan, dia bukan dilukai oleh
kawanan siluman Pek-toh-san. Ai, sungguh aku tidak tahu cara
bagaimana harus bicara. Kejadian ini pun tidak pernah kusangka.
Coba kau terka siapakah orang yang membantu Siauyauli she Liong itu mencelakai Jing-coan" Dia . ."
Belum lagi Ciok Thian-hing menyebut nama Kang Sianghun,
tiba-tiba Beng Hoa memotong, "Aku tidak percaya hal itu
dilakukan Kang Siang-hun,"
Thian-hing melenggong, ucapnya, "O, jadi Beng-hiantit
sudah tahu?"
"Aku tidak tahu, aku cuma mendengarnva saja," kata Beng
Hoa. "Liok-suheng, apa yang kau katakan kepada siluman Pektohsan itu apakah benar?"
Liok Kam-tong menjadi gugup terpandang oleh sorot mata
Beng Hoa yang tajam, terpaksa ia menjawab, "Apa yang
kukatakan itu juga di dengar oleh Suhu dan Susiok, masa aku
berani berdusta."
Baru sekarang Ting liau-min ikut bicara, "Liok-sutit, bukan
maksudku menuduh kamu dusta, cuma bicara tentang prilaku
Kang Siang-hun, aku pun tidak begitu percaya bahwa dia
dapat berbuat demikian."
Diam-diam Ciok Thian-hing mendongkol, pikirnya, "Kiranya
sejak tadi Beng Hoa sudah datang tapi sengaja sembunyi di
samping untuk mendengarkan. dan membiarkan aku dihina
musuh." Tak terpikir olehnya bahwa Beng Hoa justru ingin tahu
duduknya perkara karena tadi Liok Kam-tong menyebut
namanya dan bilang perkara ini berawal dari dia, dengan
sendirinya ia ingin mendengarkan urusan apa sebenarnya.
Apalagi pada waktu ia dengar suara Liok Kam-tong tadi juga
masih berjarak sekian jauhnya, mana bisa memburu tiba
secepat itu"
Meski mendongkol, tapi lantaran Thian-hing ingin bantuan
Beng Hoa, terpaksa tidak dapat mengumbar perasaannya,
hanya sang sute yang dijadikan alat pelampias. segera ia
menjengek, "Hm, bagaima ia dengan prilaku Kang Siang-hun"
Memangnya aku tidak tahu dia" Hanya karena dia panya
seorang ayah yang tokoh nomor satu di dunia, lalu sombong
dan sok menang sendiri, siapa pun tak terpandang olehnya,
bilakah dia tahu oraog tua seperti kita ini" Dia berjiwa sempit,
contohnya ketika dahulu dia mencari Beng-hiantit dan
mengajaknya bertanding."
Dengan sendirinya Beng Hoa dapat menangkap maksud
ucapan orang ditujukan kepadanya, segera ia menanggapi,
"Kang Siang-hun memang pernah berselisih paham denganku.
Tentang pribadinya, ya, memang sedikit angkuh, tapi setiap
tindak-tanduk-nya cukup terpuji."
"Kam-tong adalah mundku, biarpun dia tidak becus, tapi
ada suatu segi baiknya yang cukup kukenal, yaitu dia sangat
setia kepada perguruan, selama ini tidak pernah berdusta
padaku," kata Thian-hing dengan ketus.
"Maksudku bukan tidak percaya kepada ucapan Lioksuheng,"
tukas Beng Hoa tertawa. "Namun sejak bertanding
denganku dahulu, seterusnya salah paham antara aku dan
Kang Siang-hun sudah selesai, sebab itulah aku tidak percaya
dia masih dendam padaku."
"Kenal orangnya, kenal mukanya, tidak kenal hatinya. Masa
Beng-hiantit lupa pada pepatah ini?" ujar Thian-hing. "Juga
ada pepatah yang bilang sakit hati sukar disembuhkan. Kukira
engkau juga tahu artinya."
Meski tidak jelas diungkapkan, namun Beng Hoa tahu yang
dimaksudkan orang adalah mengenai perebutan Kim Pik-ih
antara Kang Siang-liun dengan dia.
Beng Hoa tidak ingin bertengkar, ia hanya diam saja.
Liok Kam-tong yang panik oleh tatapan Beng Hoa yang
tajam itu serupa maling yang kuatir terbongkar perbuatannya,
supaya terhindar dari pertanyaan, tiba-tiba ia teringat sesuatu
dan berkata, "Beng-suheng, supaya eagkau percaya, sekarang
juga dapat kuberi bukti nyata."
"Oo, bukti nyata apa?" tanya Beng Hoa.
"Yakni, sebelum Ciok-suheng dilukai Siau-yau-li itu, lebih
dulu dia dipukul sekali oleh Kang Siang-hun, pada tubuh Cioksuheng
saat ini masih ada bekas luka pukulan," tutur Liok
Kam-tong: "Memang betul, Beng-hiantit," tukas Thian hing. "Terhadap
kungfu keluarga Kang tentu Beng-hiantit terlebih paham
daripada kami. Caranya Kang Siang-hun melukai orang tentu
juga dapat kau bedakan, untuk itu boleh kau periksa sendiri."
Sesudah Beng Hoa memeriksa dengan teliti luka Ciok Jingcoan,
katanya kemudian dengan mengangguk, "Ya, betul, luka
Ciok-suheng ini memang berasal dari pukulan keluarga Kang,
bila Kang Siang-hun memukul sekuatnya mungkin jiwa Cioksuheng
sukar dipertahankan. Sekarang cuma sebuah tulang
iganya yang patah, kukira tidak terlalu parah, asalkan ditaburi
obat luka selekasnya akan sembuh."
"Hm, jika begitu, agaknya aku barus berterima kasih malah
atas kemurahan hati Kang Siang-hun?" jengek Ciok Thianhing.
"Yang jelas jika sudah terbukti Kang Siang-hun yang
berbuat, maka apa yang dikatakan muridku ini bukanlah
dusta." Karena Beng Hoa tidak ingin berdebat dengan Ciok Thianhing,
pula tindakan Kang Siang-hun melukai Ciok Jing-coan
dan membawa lari Liong Leng-cu memang juga fakta nyata.
betapa-pun ia tidak sangsi lagi.
"Aku sendiri tidak mengerti mengapa Kang Siang-hun
bertindak demikian," katanya kemudian, "tapi aku tidak pcduli
apakah aku yang menjadi tujuannya atau bukan, pokoknya
urusan ini pasti juga akan kuusut hitigga jelas."
Dari marah barulah Ciok Thian-hing berubah gembira,
katanya, "Padahal, fakta nyata sudah terpampang di depan
mata, kan tidak perlu diusut lagi. Yang kukuatirkan adalah,
bila Ciangbuniin (ketua) rikuh kepada ayahnya, mungkin tidak
mau ikut campur urusan ini."
"Tentang ini, kukira Ciok-susiok tidak perlu kuatir," kata
Beng Hoa. "Biarpun Ciangbun rikuh terhadap Kang-taihiap,
namun Kang-taihiap sendiri pasti bukan orang yang suka
membiarkan anak sendiri berbuat sewenang-wenang. Urusan
ini boleh kau serahkan padaku. Sudah berapa lama Kang
Siang-hun pergi dari sini?"
"Kira-kira setengah hari," jawab Liok Kiam-tong.
"Baik, segera kususul mereka," kata Beng Hoa. "Jika tidak
dapat kususul, biar langsung kupulang dan lapor kepada
Ciangbun "
Maklumlah, Ciok Jing-coan terluka, jika Beng Hoa berjalan
bersama mereka tentu akan banyak terhambat.
"Begitu pun baik," kata Ciok Thian-hing. "Meski aku
sesepuh perguruan kita, tapi di hadapan Ciangbujin kukira
ucapanmu akan lebih berbobot dari padaku. Nah. bolehlah
kuberangkat dulu."
-ooo0dw0ooo- Dalam pada itu Kang Siang-hun dan Liong Leng-cu sedang
memacu kuda masing-masing secepat terbang, mereka jauh
tcrgesa-gesa daripada Beng Hoa dan ingin lekas-lekas sampai
di Thian-san. Karena perjalanan cepat itu, tidak sampai sebulan mereka
sudah keluar Giok-bun-koan (ger bang tembok besar di ujung
barat) dan memasuki wilayah Sin kiang.
Hari ini selagi mereka melanjutkan perjalanan, tiba-tiba
pandangan di depan terbeliak, tertampak sebuah danau es di
depan, gumpalan es mengambang di permukaan danau
serupa batu permata dan saling bentur serta menerbitkan
suara nyaring. Bagian yang beku tampak putih bagai kemalu, di bawah
sinar matahari memantulkan cahaya yang menyilaukan mata.
Dari pinggang gunung hingga kaki gunung diliputi
pepohonan yang hijau sehingga sampai tepi danau,
pemandangan indah permai dan sukar dilukiskan.
"Ah, indah benar pemandangan di sini, sayang kita harus
meneruskan perjalanan," ucap Leng-cu.
"Tempat ini bemama Wana, suku Wana terhitung salah satu
suku kelompok Kazak. Kepala suku mereka bernama Lohai,
kukenal dia. Jika tidak terburu-buru ingin lekas sampai di
Thian-san, memang seharusnya kita mampir ke tempatnya,"
tutur Kang Siau-hun.
"Bukankah kepala suku Lohai mempunyai seorang putri
bernama Romana?" tanya Leng-cu.
"Benar. Romana adalah gadis tercantik di wilayah Sinkiang
ini. Kau kenal dia?"
"Selain kenal, malahan pernah bercanda dengan dia," tutur
Leng cu. "Perkenalanku dengan Nyo Yam justru berawal dari
mereka ayah dan anak. Waktu itu Nyo Yam menyaru sebagai
pengemis cilik dan kugoda dia, siapa tahu aku berbalik dipermainkan
olehnya." Lalu Leng-cu menuturkan secara ringkas pengalamannya
dulu. "Haha, jika begitu, psrkenalan kalian justru dimulai dari
perkelahian dulu," .kata Kang Siang-hun dengan tertawa.
"Memang," kata Leng-cu. "Perkenalanku dengan Romana
juga begitu. Kulihat dia sangat cantik, timbul pikirauku seperti
anak kecil, kugoda dia. Waktu itu hampir saja aku disangka
orang jahat oleh Nyo Yam. Untung kemudian kubantu Lohai
mengalahkan musuh yaug mengejar mereka, lantaran itulah
Nyo Yam jadi baik padaku."
Setelah kejadian itu apakah kau lihat lagi Lohai dan
putrinya?" tanya kang Siang-hun. "Kabarnya Lohai sudah
diangkat sebagai pemimpin gabungan suku bangsu kazuk"
"Kutahu kejadian itu," jawab Leng-cu "Waktu itu Lohai
sedang menuju ke Lugan untuk menunaikan jabatannya itu.
Cuma aku tidak bertemu dengan dia, terhadap putrinya juga
aku belum sempat minta maaf."
"Baik, bila pulang nanti biarlah kita dan Nyo Yam bersama
mengunjungi mereka," kata Kang Siang-hun.
"Semoga terlaksana seperti janjimu ini," tukas Leng-cu.
Bila teringat olehnya saat ini Nyo Yam sedang menghadapi
bahaya di Thian-san. biarpun sekarang Kang Siang-hun akan
mintakan ampun kepada ketua Thian-san-pai, mungkin sukar
juga mendapatkan pengertian saudara seperguruannya yang
tidak sedikit itu. Sedangkan kepulangan Nyo Yam ke Thian-san
kali ini adalah lantaran Leng Ping-ji, hal ini pun membuat
Leng-cu merasa sedih.
Kang Siang-hun seperti tahu pikirannya, katanya, "Meski
aku tidak yakin akan dapat membebaskan Nyo Yam dari
kesukaran, tapi sekarang kupegang surat pengakuan dosa
Ciok Jing-coan, betapapun bertambah besar harapanku. Maka
jangan sembarangan berpikir, cepat melanjutkan perjalanan
saja." Tengah bicara. tiba-tiba tampak debu mengepul di depan,
beribu pasukan berkuda tampak muncul berbondong-bondong
dan sangat menakutkan.
Siang-hun terkejut, katanya heran, "Yang datang ini
tampaknya pasukan kerajaan Jing!"
Sementara itu pasukan berkuda itu sudah dekat, ternyata
benar, dari panji pengenalnya jelas terlihat pasukan Boan jing.
"Jangan sampai keterjang mereka, lekas lari!" seru Sianghun.
Di tengah pasukan itu terlihat ada seorang yang berdandan
sebagai susing atau terpelajar yang sangat menyolok, kudanya
lari berjajar dengan seorang perwira.
Sekilas pandang Leng-cu merasa orang seperti sudah
dikenalnya, tapi di bawah kepulan debu tebal tak terlihat
dengan jelas. Dalam pada itu pasukan itu sudah melihat mereka juga, ada
yang berteriak. "He di depan ada seorang perempuan cantik?"
"Hah cepat amat lari kudanya, tampaknya kuda jenis
istimewa!"
"Bu -ciangkun, bagaimana kalau kita menangkapnya?"
Semula perwira itu membentak, "Kita ada tugas, setelah
menduduki Lugan, masakah di sana kekurangan gadis"
Dilarang . ."
Belum lanjut ucapannya ia sendiri sudah mendekat dan
tiba-tiba ia pun bersuara heran, "Eh, kukira siapa, kiranya
Siau-yau-li she Liong ini?"
Dan begitu ia bersuara segera Liong Leng-cu mengenalnya.
Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perwira ini tahun yang lalu ketika berada di Cadam pernah
bertempur dengan Ce Se-kiat, namanya Bu Ek. Waktu itu
Leng-cu sendiri hadir. Cuma ketika itu Bu Ek berdandan
sebagai pengemis dan bukan pakai seragam perwira.
Sementara itu susing tadi juga sudah menyusul tiba, kuda
tunggangnya juga kuda bagus, maka dalam sekejap ia malah
sudah mendahului di depan Bu Ek.
"Aha. sungguh orang hidup selalu berjampa di mana-mana,
tak tersangka kita bertemu lagi di sini, nona Liong," seru
susing itu. "Hah, mengapa engkau ikut lelaki lain lagi, apakah
engkau sudah di-buang oleh si bocah Nyo Yam itu?"
Dia bicara dengan cengar-cengir dengan kata-kata yang
menusuk perasaan, kiranya dia ini Toan Kiam-jing yang kosen
itu. Sembari berkata ia terus menghamburkan segengam mata
uang. Ia menguasai Liong-siang-kiang (ilmu naga dan gajah)
yang sempurna, biarpun daun dan bunga yang dipetiknya
seketika juga dapat digunakan sebagai senjata rahasia.
Dengan sendirinya mata uang yang dihamburkan ini tidak
kalah dahsyatnya daripada hujan anak panah.
Cepat Leng-cu lolos cambuknya dan diputar dengan
kencang. Terdengar suara denting nyaring yang riuh, berpuluh
mata uang itu kena disampuknya jatuh.
Toan Kiam-jing terkejut, pikirnya, "Hanya dalam waktu
setahun ini kepandaian Siau-yau-li ini sudah maju sepesat ini,
agaknya tidak boleh di remehkan lagi."
Ia tidak tahu bahwa Liong Leng-cu juga mengeluh tak
terkatakan, meski mata uang lawan kena disapu rontok
semua, namun tangannya juga tergetar sakit. Betapapun
kemajuan ilmu silatnya selama setahun ini dan banyak
mendapat petunjuk dari Nyo Yam sehingga dia masih mampu
menyapu rontok senjata rahasia orang, namun kalau di
bandingkan Toan Kiam-jing sesungguhnya memang masih
selisih jauh. Begitulah karena terhalang oleh hamburan senjata rahasia
mata uang, dia dapat disusul oleh Toan Kiam-jing.
Melihat gelagat jelek, Kang Siang-hun terkejut, cepat ia
memburu maju. Beberapa perajurit musuh bermaksud merintanginya,
namun Kang Siang-hun tidak berhenti, hanya pedangnya
berputar, kontan dua-tiga orang lawan tertusuk roboh.
"Thian-san-kiam-hoat yang hebat!" mendadak ada orang
berteriak. "Biar kubelajar kenal beberapa jurus denganmu."
Begitu terdengar suaranya, pada saat yang hampir sama
orangnya juga sudah menerjang tiba, tongkat terus menyabat
ke arah Kang Siang-hun.
Terdengarlah suara trang-tring nyaring memekak telinga
disertai muncratnya lelatu api. Dalam sekejap itu tongkat dan
pedang telah beradu belasan kali.
Kang Siang-hun ternyata sukar menyerang dengan leluasa,
apalagi pedang lebih pendek dari pada tongkat, dalam hal
senjata lebih dulu ia sudah kalah. Untung pedang Kang Sianghun
adalah gemblengan baja murni sehingga tidak sampai
terbentur patah oleh tongkat lawan.
Setelah benerapa gebrakan, diam-diam Kang Siang-hun
terkesiap, pikirnya, "Tak terduga di tengah pasukan Boanjing
selain Toan Kiam-jing terdapat pula jago selihai ini. Sungguh
aneh, mengapa ia mahir memainkan Hang-liong-tiang-hoat
(permainan tongkat penakluk naga) dari Kai-pang?"
Kiranya perwira bersenjata tongkat ini bukan lain daripada
Bu Ek. Pada 30 tahun yang lalu ikut gurunya kabur ke daerah
utara. Guru Bu Ek bernama Tiong Bu-yong, putra tunggal Tiong
Tiang-thong, ketua Kai-pang sekte selatan. Lantaran dendam
karena ayahnya tidak mewariskan kedudukan Pangcu
padanya, dengan marah Tiong Bu-yong minggat jauh ke
daerah Sinkiang. Bu Ek adalah murid kesayangannya yang
telah mendapatkan ajaran segenap kepandaiannya.
Kalau bicara kungfu sejati sebenarnya Bu Fk bukan
tandingan Kang Siang-hun, tapi bertempur dengan naik kuda,
ia menarik keuntungan dari senjatanya yang lebih panjang dan
berat, maka posisi menjadi sama kuat sekarang.
Di sebelah sana Liong Leng-cu juga sudah dapat disusul
oleh Toan Kiam-jing.
"Haha, kita terhitung juga sahabat lama, mengapa engkau
terburu-buru tanpa tegur sapa, apakah tidak kenal lagi," ejek
Toan Kiam-jing.
Tidak kepalang gusar Liong Leng-cu, tapi ia kenal kelihaian
orang dan tidak berani gegabah, dengan pedang dan cambuk
ia melawan mati matian. Tapi cuma belasan jurus saja dia
sudah kewalahan, sekali jari Toan Kiam-jing terjulur dan tepat
menjepit ujung cambuknya.
"Nona Liong, marilah kita bicara dulu untuk mengenang
masa. lalu, sebaiknya kamu tahu gelagat," ujar Toan Kiam-jing
dengan tertawa, sekali tarik, Liong Leng-cu bersama kudanya
tidak dapat bergerak lagi.
Nyata Toan Kiam-jing telah mengeluarkan tenaga sakti
Liong-siang-kang, bila Leng-cu membuang cambuknya, bisa
jadi orang dan kudanya akan terluka parah tergetar tenaga
saktinya. Di sebelah sana Kang Siang-hun menjadi gelisah karena
tidak dapat menerjang maju, mendadak ia keluarkan jurus
serangan mati-matian, ia melompat dari kudanya, dengan
gerakan menubruk langsung ia tusuk batok kepala Bu Ek.
Tentu saja Bu Ek terkejut, cepat ia memberosot ke samping
pelana sambil angkat pedangnya, "trang", serangan Kang
Siang-hun ditangkis-nya. Tapi tubrukan Kang Siang-hun itu
sekaligus mengincar kudanya, Bu Ek tidak berani melawannya
dengan nekat, terpaksa ia menjatuhkan diri ke bawah. Maka
kudanya dapat dirampas Kang Siang-hun yang terus memburu
ke sana. Kedatangannya tepat pada waktunya Liong Leng-cu
terancam bahaya, terpaksa Toan Kiam-jing melepaskan nona
itu dan menghadapi serangan Kang Siang-hun.
Waktu kedua pedang beradu, Kang Siang-hun merasakan
ujung pedang lawan membawa semacam daya lengket yang
tidak kelihatan, ia menerjang lewat sekuatnya sehingga
serangannya tidak mencapai sasaranuya.
"Haha, kungfu keluarga Kang memang tidak bernama
kosong," kata Toan Kiam-jing. "Sungguh beruntung sekarang
dapat berjumpa. maka ingin kucoba lagi beberapa jurus."
Kuda Kang Siang-hun semuia sudah diberikan kepada liong
Leng-cu, kuda rampasannya ini juga kuda pilihan, namun
kalah tangkas bila dibandingkan kuda Toan Kiam-jing, maka
dalam sekejap saja ia dapat tersusul lagi.
Cepat Kang Siang-hun berteriak, "Nona Liong lekas lari,
jangan tunggu diriku!"
Dalam pada itu pasukan sudah membanjir tiba, terpaksa
Liong Leng-cu mendahului kabur sekencangnya.
Kang Siang-hun menyerang dengan pedang dan pukulan
dari jauh, beberapa perwira musuh yang memburu tiba dapat
dirobohkannya. "Kalau menerima tanpa memberi adalah kurang sopan, biar
kaupun berkenalan dengan pukulanku jarak jauh!" bentak
Toan Kiam-jing.
Liong-siang-Ciangnya sudah terlatih hingga tingkat
kedelapan (tinggat tertinggi adalah tingkat ke-sembilan),
tenaga pukulannya yang dahsyat membawa suara gemuruh
serupa guntur mejen.
Kang Siang-hun tahu kelihaian pukulan lawan, ia
menyambutnya dengan Si-mi-ciang yang lunak. tenaga
pukulannya yang hebat tidak membawa sesuatu suara, tapi
tubuh Toan Kiam-jing tampak tergeliat dua-tiga kali, akhirnya
baru dapat duduk tegak lagi di atas kudanya.
Sebaliknya Kang Siang-hun tidak tergetar. namun kudanya
yang tidak tahan dan langsung roboh terkapar.
Kiranya tenaga pukulan kedua orang mempunyai
keunggulan masing-masing, meski Kang Siang-hun sendiri
sanggup menahan tenaga Liong-siang-kang tingkat kedelapan,
namun kudanya tidak tahan.
Pada saat kudanya hampir roboh itulah Kang Siang-hun
sempat melompat ke atas dan merampas pula kuda seorang
perwira musuh, sebelum Toan Kiam-jing memburu maju lagi ia
terus menerjang pergi.
Toan Kiam-jing sendiii merasa darah dalam rongga dada
bergolak dengan hebat dan hampir tidak sanggup duduk tegak
di atas kudanya. Cepat ia mengerahkan tenaga dalam untuk
mcngatur napasnya yang sesak. Baru sekarang ia merasakan
tenaga pukulan Si-mi-eiang dari Thian-san-pai itu memang
tidak dapat diremahkan. Waktu tenaganya sudah pulih,
dilihatnya Kang Siang-hun sedang menerjang keluar
kepungan. "Lepas panah!" bentak Toan Kiam-jing.
Seketika terjadi hujan panah, kontan kuda Kang Siang-hun
menjadi sasaran panah dan berubah serupa landak serta
roboh binasa. Kang Siang-hun sempat melompat lagi ke atas dan
terbanting jatuh.
Dengan girang loan Kiam-jing berteriak, "Aha, dia terkena
panah!" Tempat terpanahnya kuda Kang Siang-hun itu sudah dekat
kaki gunung. maka begitu jatuh segera ia merangkak bangun
dau lari secepatnya ke atas gunung. Sesudah manjat ke atas,
betapa kuatnya panah sukar mencapainya. Maka cuma
sebentar saja bayangannya sudah menghilang di tengah
pepohonan lebat.
Karena tadi dikalahkan Kang Siang-hun. Bu Ek sangat
penasaran, katanya, "Keparat itu sudah terkena panah,
betapapun dia takkan lari jauh apakah perlu kubekuk dia?"
Toan Kiam-jing menjawab setelah berpikir, "Meski terkena
panah, namun hutan cukup tebal untuk menemukan dia
rasanya tidak mudah. Apa lagi kita masih ada tugas penting
untuk menyerang Lugan, bila terlambat lama mungkin bisa
bikin runyam urusan."
"Untung bagi bocah she Kang itu," omel Bu Ek dengan
mendongkol. "Boleh juga kau suruh muridmu membawa empat jago
panah untuk mencarinya ke dalam hutan dan tidak perlu diberi
batas waktu." kata Toan Kiam-jing.
"Boleh juga gagasan Toan-kongcu," kata Bu Ek. "Dengan
begini perjalanan pasukan kita tak kan terhambat, keparat itu
tentu juga dapat di-bekuk."
Segera ia panggil muridnya dan memberi pesan, "Lwekang
Kang Siang-hun tidak dapat di-remehkan, jika kalian
menemukan dia harus memanahnya dari jauh dan jangan
mendekat. Hati-hati jika dia mengadakan perlawanan nekat.
Pendek kata, kalau tidak dapat menawannya hiddp boleh juga
menangkapnya dalam keadaan mati."
Muridnya bernama Eng Gui-goan, kungfunya sudah
mewarisi setengah kepandaiannya. Ia pikir Kang Siang-hun
sudah terluka parah dan manjat gunung pula, biarpun
tubuhnya gemblengan baja juga takkan tahan sekarang. Maka
untuk membunuh Kang Siang-hun dengan panah rasanya
tidak sulit, asal saja jangan menempurnya dari dekat
Dugaannya ternyata tidak salah, keadaan Kang Siang-hun
sekarang memang sudah kempas-kempis, bahkan lebih gawat
daripada perkiraan Bu Ek.
Dia mendaki gunung sekuatnya karena menghadapi detik
antara mati dan hidup. Setiba di atas gunung, melihat pasukan
musuh tidak mengejar, hati merasa lega dan seketika ia pun
roboh terkulai.
Ia terpanah yang menancap cukup dalam, dengan menahan
sakit ia cabut panah itu dan sekuatnya membubuhi obat iuka,
darah pada luka itu tidak dapat segera berhenti. tenaga pun
habis dan tidak dapat berkutik lagi.
Dalam keadaan sadar-tak-sadar tiba-tiba terdengar suara
langkah orang mendekat, terdengar seorang berucap, "He,
parah juga luka orang ini, tapi bukan serdadu Boanjing, juga
bukan bangsa Han penduduk sekitar sini. Adakah yang tahu
siapakah dia?"
Yang diucapkan, adalah bahasa Wana. Kang Siang-hun
hanya paham sebagian, bagian lain hanya dapat diraba artinya
saja. Namun suara orang yang bicara itu rasanya sudah
dikenalnya. Mendadak terdengar orang itu berteriak, "Hei, bukankah ini
Kang-ji kongcu" Aku Sindal. Apakah engkau masih ingat
padaku?" Sindal adalah suami Romana, pada mereka menikah Kang
Siang-hun tidak sempat hadir, tapi ia tahu tentang perkawinan
mereka. Tentu saja ia girang dan kuatir, girangnya karena ketemu
penolong. Kuatirnya mengapa Sindal muncul dipegunungan
sepi ini, mungkin juga bukan untuk urusan yang baik.
Sebisanya Kang Siang-hun menenangkan pikiran, tanyanya
kemudian, "Apakah ayah mertua-mu berada di sini?"
"Ayah mertuaku dan Romana berada di Lugan, baru
kemarin dulu kupulang kemari sendirian karena ada urusan,"
tutur Sindul. "Kang-jikongcu, tampaknya lukamu .... "
"Jangan urus lukaku," kata Siang-hun, "lekas kau pulang
dan laporkan situasi di sini, pasukan ini hendak menyerang
Lugan." "Jangan kuatir, Kang-kongcu," ujar Sindal. "Berita tentang
akan diserangnya negeri ini oleh kerajian Boanjing sudah kami
terima sebelumnya Pimpinan juga sudah menerima kabar itu,
maka aku mendapat perintah untuk menyampaikan pesan
pimpinan agar segenap suku bangsa di sini berjaga-jaga
segala kemungkinan."
Hati Kang Siang-hun merasa lega, katanya "Meski pihak
kalian sudah siap siaga, tapi tidak ada buruknya lekas kau
laporkaa situasi yang gawat ini agar pihak kalian tidak
disergap oleh musuh."
"Di atas bukit di depan sana juga terdapat pos pengintai
kami," tutur Sindal. "Sebelumnya sudah kupesan mereka, bila
melihat pasukan musuh harus segera membakar kotoran kuda
di puncak gunung, dari asap tebal yang mengepul tinggi
sebagai kode berita dapat diteruskan satu pos demi satu pos."
"Rapi juga cara pengaturan kalian," kata Siang-hun.
"Sayang aku terluka, selain tidak dapat membantu kalian,
sebaliknya malah merepotkan saja."
"Kang-kongcu telah melabrak mereka hingga terluka. sedikit
Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
banyak kemajuan pasukan musuh sudah terhambat, hal ini
pun berarti banyak membantu kami," ujar Sindal. "Dan entah
ada urusan lain lagi yang perlu kukerjakan atau tidak?"
Dari nada ucapan Kang Siang-hun itu dapat ditebaknya
orang seperti masih ingin minta bantuannya mengerjakan
sesuatu, ia tahu watak Kang Siang-hun tidak nanti minta
bantuan demi untuk keselamatan sendiri, tapi pasti ada urusan
penting lain. Kang Siang-hun ragu sejenak, katanya kemudian,
"Sekarang tentu banyak urusan penting yang harus dikerjakah
kalian, aku ."
"Suku bangsaku sekarang sama berkumpul di atas gunung
sini, kalau ditarik beberapa orang untuk bekerja kukira takkan
beralangan" ujar Sindal dengan tertawa.
"Oo, suku bangsa kalian berkumpul di sini?" Siang-hun
menegas. "Betul. Kami sengaja menyingkir ke sini untuk menghindari
pasukan musuh. Lantaran pasukan musuh belum pergi jauh
mereka tidak berani keluar."
"Kudatang bersama seorang nona Liong," tutur Siang-hun.
"Mungkin kaupun kenal nona Liong ini, namanya Liong Lengcu."
"Oya, kutahu. Ada seorang nona Liong yang berperangai
aneh, tapi dia pernah membantu kami," tukas Sindal. "Ada
apakah dengan nona Liong?"
Selagi Kang Siang-hun hendak bicara lagi, tiba-tiba
terdengar orang berseru, "He, lihat bekas darah ini! Bocah she
Kang itu pasti bersembunyi di sekitar sini."
Kiranya Eng Gui-goan dan keempat pemanah tadi telah
menyusul tiba. Dari suara orang segera Siang-hun tahu lwekang Eng Guigoan
cukup lihai, ia terkejut, cepat ia mendesis, "Awas, orang
ini bukan jago silat rendahan. Jangan urus diriku, lekas kau
pergi dari sini dan bersembunyi saja."
Tak terduga Sindal lantas melompat ke atas sepotong batu
karang, dari ketinggian ia pun berteriak, "Betul, Kang-kongcu
berada di sini bersama-ku, ayolah kalian kemari!"
Melihat Sindal cuma seorang Kazak yang masih muda, Eng
Gui-goan tidak memandang sebelah mata padanya, dengan
girang ia berkata pula. "Aha, bocah she Kang itu pasti terluka
dan tidak dapat bergerak lagi. Hendaknya kalian panah
mampus dulu keparat ini."
Keempat pemanah itu memang sudah menyiapkan busur
dan panahnya, begitu Eng Gui goan memberi perintah,
serentak panah mereka bidikkan.
"Bagus, boleh kita coba bertanding ilmu memanah!" bentak
Sindal. Terdengarlah suara jepretan ramai, kontan Sindal juga
melepaskan empat anak panah lawan yang menyambar tiba.
Seketika kedelapan panah sama jatuh ke tanah.
Keempat serdadu itu meski terkenal sebagai ahli panah
dalam pasukan Boanjing, namun belum pernah mereka
melihat cara memanah selihai Sindal, seketika mereka
melongo kaget. "Kalau menerima tanpa memberikan kurang sopan, ini, biar
kalian juga merasakan kelihaian ku!" bentak Sindal.
Berulang ia melepaskan beberapa panah lagi. Keempat
pemanah musuh cepat menjatuhkan diri dan menggelinding
ke bawah bukit. Begitu mendengar suara bidikan busur
seketika mereka menjatuhkan diri dan menggelinding ke
bawah, meski cara kabur mereka agak runyam dan pasti akan
babak belur, namun terhindarlah daripada mati tertembus
panah. Padahal Sindal sudah menduga mereka pasti akan lari,
panah berantai itu diarahkan kepada Eng Gui-goan. Umpama
mereka tidak lari juga tidak perlu kuatir jiwa akan melayang.
Cuma tentu saja mereka tidak berani bergurau dengan jiwa
sendiri, kalau sempat kabur tentu mencari selamat lebih dulu.
Eng Gui-goan terus putar goloknya untuk melindungi tubuh,
begitu rapat berlahannya juga cuma tiga datang panah saja
dapat disampuknya, panah keempat menyerempet lewat kulit
kepalanya, saking kagetnya cepat ia pun lari sipat kuping.
Senang sekali Kang Siang-hun menyaksikan kejadian itu.
semangatnya terbangkit, serunya dengan tertawa, "Sindal,
sungguh aku sudah linglung, sampai lupa engkau ini seorang
ahli panah tiada bandingan!"
"Ucapanmu tadi temyata benar, perwira musuh itu memang
sangat lihai," kata sindal. "Untung nusih berjarak sejauh ini
sehingga dapat kugunakan panahku. Bilamana dia sempat
menerjang tiba tentu keadaan berbahaya. Eh, Kang-kongcu,
tadi kau sebut nona Liong, kenapa dengan dia?"
"Dia tadi bersamaku dan kepergok pasukan mu;uh ini,
kudanya berlari cepat dan mendahului kabur," tutur Sianghun.
"Cuma tidak kuketahui apakah dia terluka atau tidak"
Sebelum meiihat kemunculanku, entah dia akan menungguku
di tengah jalan?"
"Kami utang budi kepada nona Liong, biar-lah kucari
keterangan tentang keadaannya," kata Sindal. "Akan kuambil
jalan pintas yang singkat untuk mendahului di depannya.
Umpama dia tidak menunggumu di depan, tentu dia akan
kami pergoki nanti."
"Aku pun berpikir demikian," kata Siang-hun. "Saat ini
Lugan diliputi suasana perang, jika dia langsung menuju ke
depan pasti akan bertemu dengan kalian. Asalkan dia bicara
terus terang. kukira takkan timbul salah paham. Sebab itulah
ingin kuminta bantuanmu membawa berita lisan kepadanya
bila dia sudah selamat sampai di Lugan."
"Baiklah, silakan bicara, tentu akan kusampaikan padanya,"
kata Sindal. "Kuminta dia menungguku di Lugan," tutur Siang-hun. "Jika
dia tidak mau menunggu disitu . - . . "
"Engkau terluka lantaran dia, masa dia tanpa menunggumu
terus pergi begitu saja?" ujar Sindal.
"Soalnya dia harus cepat pergi menolong seorang," kata
Siang-hun. "Jika dia tidak tahu aku telah lolos dengan selamat,
mungkin dia akan menungguku. Dan kalau dia menerima
berita keselamatanku, tentu dia tidak perlu kuatir lagi- dan
akan buru-buru berangkat ke tempat tujuan untuk menolong
orang." "Apakah kepergiannya itu akan menyerempet bahaya
besar?" tanya Sindal.
"Betul, maka kukuatirkan kepergiannya itu," jawab Sianghun.
"Tapi kalau dia berkeras mau pergi, seyogianya aku pun
tidak dapat mencegahnya. Sebab orang yang ingin
ditolongnya itu adalah kekasihnya."
"Baik, jika begitu boleh kau katakan padaku. apa yang
harus kulakukan?" tanya Sindal.
"Begini," tutur Siang-hun. "Bila dia berkeras akan pergi.
boleh kau serahkan barang ini kepadanya."
Yang dimaksudkan adalah "surat pengakuan dosa" Ciok
Jing-coan itu, di situ ada tanda tangan Ciok Jing-coan dan Liok
Kam-tong sebagai saksi.
"Surat pengakuan dosa" ini ditulis dengan darah dan
menggunakan kain robekan baju Ciok Jing-coan. Ketua ThianTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
san-pai sekarang. yaitu Tong Ka-goan, cukup kenal tulisan
tangan Ciok Jing-coan, apalagi di situ juga ada tanda tangan
Liok Kam-tong. Sebab itulah kalau Leng-cu menyerahkan
"Surat pengakuan dosa" itu kepada Tong Ka-goan, tentu ketua
Thian-san pai itu akan percaya kepada keterangannya.
"Barang ini sangat penting bagi nona Liong, hcndaknya kau
pesan supaya disimpan dengan baik dan jangan sampai
diketahui orang lain." demikian berulang Kang Siang-hun
memberi pesan. "Jangan kuatir, Kang-kongcu." ucap Sindal. "Barang ini pasti
akan kuserahkan dengan baik. Hendaknya engkau istirahat
saja di sini, beberapa hari lagi akan kukembali ke sini untuk
memberi kabar padamu."
Habis berkata, sekali bersuit hanya sebentar saja dua
pemuda Kazak sudah muncul di depannya. Setelah menitipkan
Kang Siang-hun untuk dirawat anak buahnya, Sindal lantas
berangkat dengan perasaan lega.
Sindal menggunakan kuda tangkas pilihan dan mengambil
jalan lintas yang singkat. Hari pertama tidak kepergok pasukan
musuh, juga tidak menemukan Liong Leng-cu.
Hari kedua ia sedang melarikan kudanya dengan cepat di
padang rumput, tiba tiba dilihatnya di depan juga ada seekor
kuda sedang membedal secepat terbang, penunggangnya
adalah seorang perempuan. Dipandang dari potongan
tubuhnya yang ramping, sekali pandang saja dapat diduga
pasti seorang nona bangsa Han.
Di tengah padang rumput seluas ini dan dalam keadaan
tidak aman, seorang nona bangsa Han berani berkeliaran
sendirian di sini, siapa lagi dia kalau bukan Liong Leng-cu.
Karena pikiran demikian, segera ia berseru memanggil,
"Hai. nona di depan itu, harap tunggu!"
Mendadak perempuan itu menahan kudanya dan menoleh,
jawabnya, "Apakah Toako ini memanggilku" Ada urusan apa .
. ." Terlihat perempuan ini bersolek dengan sangat berlebihan,
namun kerut pada ujung matanya sukar ditutupi, jelas usianya
sudah lebih dari 30 tahun, dengan sendirinya dia bukan Liong
Leng-cu. Sindal menjadi kikuk, diam-diam ia bersyukur tidak
memanggil nama Liong Leng-cu. maka jawabnya dengan rada
gelagapan, "Oo, aku . . aku tidak maksudkan nona."
Perempuan itu tertawa, katanya, "Kau panggil nona di
depan itu, padahal di depan sanakan tidak ada nona lain,
bahkan bayangan orang lain pun tiada satu pun. Lantas
memanggil siapa kalau bukan diriku" Eh, anak muda, jangan
malu, memang sudah kurasakan engkau sedang menguntit
diriku." Muka Sindal menjadi merah, jawabnya, "O. maaf, aku salah
lihat. Mohon aku boleh lewat ke sana."
"Eh, kiranya engkau mencari seorang nona lain?" tanya
perempuan itu. "Apakah boleh beri tahukan padaku siapa
nona itu?"
Sembari bicara pandangannya tiada hentinya mengamatamati
Sindal. Sindal menjawab, "Kukatakan juga tidak kau kenal. Maaf,
aku terburu-buru hendak meneruskan perjalanan, takdapat
kubicara iseng denganmu."
"Ah, tidak kau katakan juga kutahu," kata perempuan itu
tiba-tiba. "Bukankah nona yang kaucari itu she Liong?"
Sindal terkejut, ia menegas, "Dari mana kau tahu?"
"Aku adalah sahabat karibnya," jawab perempuan itu.
"Belum lama berselang kami baru saja berada bersama. Tentu
saja kutahu segala urusan-nya."
"Apakah benar engkau sahabatnya?" Sindal menegas.
"Dia she Liong bernama Leng-cu, betul tidak?" tanya
perempuan itu. "Usianya antara 18-19 tahun, mukanya
berbentuk bulat telur, cukup cantik, betul tidak" Sebenarnya
dia berada bersama seorang lelaki she Kang, kemudian
mereka terpencar karena diterjang pasukan, benar tidak?"
Berulang tiga kali ia tanya "benar tidak" sehingga berulang
pula Sindal mengangguk.
"Nah, dengan demikian tentu kau percaya aku tidak dusta
bukan?" ucap perempuan itu dengan tertawa, diam-diam ia
bersyukur penegasan yang terakhir itu ternyata tepat juga.
Kiranya perempuan setengah baya ini bukan lain daripada
bini muda Pek-toh-sancu, yaitu Bok Him-him.
Di tengah ialan ia mendapat kabar tentang masuknya
pasukan Boanjing ke wilayah Sinkiang, ia lantas menyuruh
Ubun Lui mengantar pulang dulu Buyung Sui dan Sikong Ciau
yang terluka. Lalu ia sendiri mendatangi pasukan Boanjing, sebab ia
mempunyai seorang kenalan lama seorang perwira, teman
sejawat Bu Ek, ia menduga bekas pacar ini mungkin juga
berada di tengah pasukan.
Pula ia juga kenal Bu Ek.
Maksudnya ingin miuta bantuan pasukan Boan-jing untuk
merebut kembali Liong Leng-cu, tak terduga di sini ia
kepergok Sindal yang juga hendak mencari Leng-cu.
Karena Leng-cu pernah menjadi tawanannya, dengan
sendirinya ia apal akan bentuk wajah nona itu. Bahwa Kang
Siang-hun telah menolong Leng-cu, .hal ini juga sudah
didengarnya dari Liok Kam-tong. Hanya tentang terpencarnya
Leng-cu dan Kang Siang-hun adalah perkiraannya saja. tak
terduga juga cocok dengan kejadiannya.
Melihat Sindal manggut-manggut percaya kepada
keterangannya, tiba-tiba timbul lagi akal licik nya.
Namun Sindal juga tidak lupa pada pesan Kang Siang-hun
yang wanti-wanti, meski ia percaya kepada keterangan orang,
namun belum berani bicara terus terang padanya, ia hanya
berkata, "Ku-percaya engkau adalah sahabat nona.Liong, tapi
dari mana pula kau tahu aku adalah sahabatnya?"
"Bahwa engkau hendak mencari dia, dengan sendirinya
kalian bersahabat, masa hal ini tidak dapat kuterka?" ujar Bok
Him-him dengan tertawa"Tapi hal ini tidak kukatakan padamu melainkan kau terka
sendiri," kata Sindal.
"Betul, kamu tidak katakan padaku, namun dandanan dan
logat bicaramu telah memberitahu-kan padaku."
Sindal melengak, "Apa artinya ini?"
"Kamu suku Wana bukan?" tanya Him-him.
"Tempat ini memang wilayah suku Wana kami, tidak perlu
melihat dandananku juga dapat kau terka aku orang Wana."
"Nona Liong bilang padaku, dia dan suku Wana kalian
adalah sahabat," kata Him-him. "Terus terang, dia yang minta
kucarikan sahabatnya dari suku Wana. Maka ketika kulihat
kamu orang Wana dan juga terburu-buru ingin mencari
seorang nona, kan terlampau bodoh jika aku tidak dapat
menerka siapa engkau."
Sampai di sini Sindal percaya seluruh ucapannya, cepat ia
tanya pula, "Saat ini nona Liong berada di mana" Mengapa
pula dia menyuruhmu mencari suku Wana kami?"
Bok Him-him berbalik berlagak tidak dapat percaya
sepenuhnya kepada Sindal, katanya, "Hendaknya Kau katakan
lebih dulu, mengapa kamu terburu-buru mencari dia" Siapa
yang bilang padamu dia mengalami sesuatu urusan?"
"Oo, terjadi apa atas dirinya?" tanya Sindal terkejut.
Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jawab dulu pertanyaanku," kata Him-him.
"Biarlah aku pun bicara sejujurnya padamu," kata Sindal.
"Kang-kongcu yang datang bersama dia itu terluka, dia yang
minta kucari kabar nona Liong, tapi belum diketahui dia
mengalami sesuatu. Apa yang terjadi atas dia, apakah dia
tertawan pasukan musuh?"
Him-him sengaja menghela napas, katanya "Sungguh
malang tidak sendiri-sendiri, dia juga terluka serupa Kangkongcu
itu." "Parah tidak lukanya?" tanya Sindal cepat.
"Tidak terlalu parah, tapi juga tidak ringan," ujar Him-him.
"Dia terluka tiga panah, sudah ku-bubuhi obat luka, kuharap
dia tahan satu-dua hari."
"Wah, begitu parah lukanya?" seru Sindal kaget. "Lantas
Siapa yang menjaga dia setelah kau-tinggalkan dia?"
"Bilamana ada orang menjaganya tentu aku tidak perlu
keluar mencari kalian," ujar Him-him.
"Cara bagaimana dapat kau tinggalkan dia sendirian di
pegunungan sunyi?" kata Sindal.
"Engkau tidak memikirkan keadaan kami, sebaliknya malah
menyalahkan aku," ujar Him-him. "Coba kau pikir sendiri,
lukanya begitu parah, sekalipun dirawat oleh tabib pandai juga
diperlukan sebulan dua baru dapat sembuh. Apakah mungkin
lukanya dapat disembuhkan di pegunungan sunyi" Perbekalan
kami paling lama juga cuma tahan dua hari saja jika aku tidak
keluar mencari pertolongan, apakah aku takkan ikut mati
kelaparan bersama dia" Apalagi kami juga harus berjaga-jaga
kalau kepergok pasukan musuh."
"Engkau jangan marah," kata Sindal cepat "Akulah yang
salah omong. Dia berada di mana sekarang" Harap
kaubawaku mencarinya sekarang."
"Dia berada di atas gunung sana, telah ku-tinggalkan dia di
sebuah gua yang tiba cukup untuk berteduh."
Meski pegunungan itu kelihatan jelas, namun jaraknya ada
empat atau lima puluh li jauhnya. karena pegunungan itu jauh
daripada jalan lintas pasukan, maka di sana tidak diadakan
pos pengintai. Meski Sindal rada sangsi masakah Liong Leng-cu yang
terluka itu bawa lari ke atas gunung, tapi mengingat mungkin
si nona kebingungan dan tidak kenal jalan di sini, maka
sembarangan lari asalkan selamat sehingga kesasar ke atas
gunung. Begitulah Him-him lantas membawa Sindal ke arah yang
dimaksud. Ia sengaja berlagak lelah, lari sebentar mengaso
sejenak, beberapa kali berhenti dan lari lagi, jarak 40-50 li itu
ditempuhnya lebih satu jam. Tentu saja Sindal sangat gelisah,
tapi tak dapat berbuat apa-apa.
Setiba di tempat tujuan, mereka menyusuri hutan, tiba-tiba
Him-him melompat turun dan berkata, "Kita harus mendaki
gunung yang curam, kuda harus ditinggalkan di sini. Marilah
kita mengaso sebentar baru berangkat lagi."
Karena harus minta petunjuk jalan padanya dengan
sendirinya Sindal menurut saja.
"Kubawa arak dan sedikit dendeng, silakan minum sedikit
untuk menambah tenaga," kata Him-him.
"Aku sendiri membawa kantung air, biarlah kuminum air
saja," jawab Sindal.
"Ini arak susu kuda buatan suku kalian, tentu sudah biasa
kau minum, air kan tidak sebaik arak?" ujar Him-him.
Sindal teringat kepada pesan Kang Siang-hun agar berlaku
hati-hati, maka meski ia percaya kepada Bok Him-him toh dia
tetap menolak, "Aku masih segar, silakan kau minum sendiri
saja." Him-him berlagak kurang senang, katanya, "Memangnya
kau takut kutaruh racun dalam arak" Nah, biar kau lihat, akan
kuminum dulu, jika engkau tidak mau minum berarti
memandang hina padaku"
Suku Kazak adalah bangsa yang suka bersahabat, terutama
sangat menghormati tamunya, bila menolak suguhan arak
tuan rumah dianggap sikap yang tidak sopan
Sejak kecil Sindal terpengaruh oleh adat kebiasaan ini,
sekarang setelah melihat Bok Him-him sudah minum lebih
dulu, ia pikir bila dirinya tetap menolak kan berarti curiga dan
kurang sopan pula. Terpaksa ia terima kantung arak Bok Himhim
dan menghabiskan sisa arak susu kuda itu.
Rasa arak itu kecut dan sepat, tidak ada bedanya seperti
arak susu kuda yang biasa di-minumnya. Tapi tidak seberapa
lama habis minum tiba-tiba dirasakan ruas tulang seakan-akan
sama longgar, tubuh pun terasa enteng.
Rasa enteng dan seperti mau terbang itu makin menjadi,
Sindal mulai merasakan hal ini tidak beres. Mestinya ia
bermaksud segera berangkat habis minum arak, ternyata
sekarang ia merasa malas untuk berdiri.
"Wah, arakmu ini seperti ada . . . ." belum lanjut
ucapannya, baru saja ia berdiri, mendadak ia sempoyongan.
"Ada apa?" tanya Him-him.
"Aku . . aku merasa pusing dan . . . ."
"Ah, kiranya kamu memang benar tidak biasa minum arak.
Kamu mabuk!" kata Him-him.
Sindal masih sadar beberapa bagian, katanya, "Tidak,
biasanya kusanggup minum satu kantung penuh."
"Oo, kalau begitu mungkin kamu terlalu cape-, boleh
mengaso saja sebentar," kata Him-him pula.
Dengan lidah agak kaku Sindal berkata, "O, mengaso . . .
ya, baik juga ... Tapi, ah, tidak, aku tidak boleh mengaso,
harus kutemukan dulu nona Liong itu."
Meski pikirannya sudah mulai kabur, namun dia masih
belum melupakan pesan Kang Siang-hun.
Sekuatnya ia bertahan, namun tenaga sukar dikerahkan,
badan terasa lemas dan ingin tidur, namun selalu teringat
olehnya tugas yang harus dilaksanakannya, karena itulah
sebagian kesadaran-nya masih terus bertahan.
Kiranya di luar tahu orang Bok Him-him telah menaruh
sebiji Sin-sian-wan di dalam arak, ia sendiri sudah minum obat
penawar sebelumnya. Diam-diam ia heran melihat Sindal
sanggup bertahan sekian lamanya dan belum terpengaruh
sama sekali oleh obat bius itu.
Ia tatap mata Sindal. ucapnya lembut, "Kamu terlampau
lelah, silakan mengaso saja dulu. Tempat berada nona Liong
sudah tidak jauh lagi dari sini, biarlah kusampaikan dulu kabar
baik padanya. Oya, pesan apa dari Kang-taihiap yang harus
disampaikan padanya, boleh kau katakan padaku dan akan
kusampaikan padanya kan sama saja."
Begitu sorot matanya kebentrok sinar mata Him-him, tanpa
terasa Sindal terpikat, tapi ia masih menjawab, "O, tidak,
pesan Kang-taihiap agar jangan kukatakan kepada orang lain."
Walaupun rahasia tidak dibocorkannya, namun ucapannya
ini seakan akan mengakui bahwa dia memang membawa
pesan Kng Siang-hun.
Him-him tertawa, katanya "Coba mendongak, pandanglah
Aku. Akukan sahabat nona Liong, juga sahabatmu. mamasa
kau anggap aku sebagai orang luar?"
Sindal seperti tersihir, ia ikut bicara, "Betul. engkau bukan
orang luar. Engkau sahabat nona Liong. Betul, sahabat nona
Liong juga sahabatku."
Kiranya Bok Him-him telah menggunakan "Bi-hun-sut" atau
ilmu pengabur sukma, yaitu sejenis ilmu hipnotisme jaman
kini. Ilmu ini digunakan mempengaruhi pikiran orang lain
dengan kekuatan batin, bila mana bertemu dengan orang
yang berpikiran kuat kebanyakan ilmu ini takkan manjur, tapi
bila orang yang dihipnotis tidak teguh pikirannya, maka
dengan sangat mudah akan ditundukkan dan akan melakukan
apa pun menurut perintah lawan.
Sebenarnya Sindal bukan orang yang berpikiran lemah,
apalagi pesan Kang Siang-hun sudah sangat mendalam terukir
dalam benaknya, seyogianya tidak gampang terpengaruh oleh
ilmu hitam Bok Him-him. Cuma sayang, lebih dulu ia terbius
racun dalam arak yang mempengaruhi pikirannya, ditambah
lagi kekuatan sihir Him-him se-hingga bobol daya tahannya.
Dengan suara lembut Him-him berkata pula, Ehm, betul.
asal kau tahu saja. Hendaknya kau-bicara terus terang
padaku, apa pesan Kang Siang-hun padamu?"
"Oa suruh kusampaikan pesan kepada nona Liong agar
menunggu sampai sembuh lukanya baru berangkat bersama,"
tutur Sindal tanpa sadar.
"Dan bila nona Liong tidak mau menunggunya?" tanya Himhim
"Ia suruh aku ..." hanya sampai di sini saja ia lantas ragu
dan tidak melanjutkan.
"Dia suruh kau apa" Aku kan sahabatmu, beritahukan
padaku!" Tak terduga Sindal seperti tambah sadar malah,
gumamnya, " Tidak, tidak dapat kukatakan padamu."
"Mengapa tidak" Kan sudah jelas aku ini sahabatniu?"
"Dengan wanti-wanti Kang-kongcu sudah pesan padaku
jangan dikatakan kepada siapa pun. Dia tidak bilang kepada
sahabat boleh diberitahu-kan."
"Mengapa sahabat baik pun tidak boleh di-beritahukan?"
ujar Him-him dengan tertawa. "Cukup asalkan kau katakan
Sebabnya dan takkan kutanya lebih lanjut."
Tanpa terasa Sindal terpikat oleh pancingannya, katanya,
"Kang-kongcu bilang barang itu sangat penting bagi nona
Liong, maka tidak boleh diketahui orang luar."
Him-him menatap matanya, mendadak membentak dengan
nada memerintah, "Barang apa" Lekas mengaku!"
Sindal seperti orang serba susah karena pengaruh dua
macam kekuatan, dengan muram ia menjawab, "Ah, jangan
kau paksa diriku. tidak tidak dapat kukatakan!"
Dia kelihatan tegang dan tanpa terasa tangan meremas
ujung jaket kulitnya.
"Baiklah, tak apa jika tidak mau kaukatakan," kata Him-him.
"Ai, kamu terlampau lelah. ayolah tidur saja sayang!"
Sindal tampak mengembus napas lega. ia rebah dan
tertidur pulas.
Him-him lantas menyingkap jaketnya dan menemukan
"surat pengakuan dosa" itu.
Rupanya kuatir hilang, Sindal sengaja menyembunyikan
surat itu dalam lapisan jaketnya.
Setelah membaca surat itu dengan teliti, Him-him sangat
girang. serunya dengan tergelak "Haha, pantas Kang Sianghun
melukai Ciok Jing coan. Kiranya begini duduknya perkara.
He-he, dengan surat pengakuan ini, Ciok Thian-hing yang sok
gengsi itu mustahil takkan tunduk padaku jika dia tidak ingin
kubeberkan perbuatan busuk anaknya nanti.. Dan karena
kehilangan surat ini kepergian Siau Yau li ke Thian-san berarti
antar kematian belaka."
Ia simpan baik "Surat pengakuan dosa" itu, dipandangnya
Sindal yang tidur pulas itu. ia masukkan lagi pedang sudah
dilolosnya sebagian. malahan muka Sindal diciumnya sekali,
Katanya dengan tertawa "Mimpi pun anak muda ini mungkin
tidak mengira dia sudah hampir menuju ke gerbang Akhirat.
Baiklah, silakan tidur yang nyenyak. Nonyamu bermurah hati
dan mengampunimu."
Rupanya semula Him-him bermaksud membunuh Sindal
untuk menghilangkan saksi, tapi dia mempunyai semacam
hobi, yaitu suka memikat anak muda yang cakap. Meski
sekarang ia tidak sempat melaksanakan kesukaannya
terhadap Sindal, Ia merasa tidak tega juga untuk
membunuhnya. -ooo0dw0ooo- Entah berselang berapa lama lagi, akhirnya Sindal siuman
Ia lihat bulan sabit menghias cakrawala, ia merasa dirinya
menggeletak sendirian di padang luas, ia sangsi apakah
dirinya bukan berada di alam mimpi.
"Ke mana perginya perempuan yang mengaku sebagai
sahabat nona Liong itu" Kuingat waktu bertemu dengan dia
tepat waktu siang hari, sekarang bulan sudah di tengah langit,
umpama benar dia pergi mencari nona Liong, saat ini
seharusnya sudah kembali lagi ke sini. Mengapa tanpa terasa
aku tidur sekian lama di sini. apakah memang masih dalam
mimpi?" Dengan sendirinya segera ia merasakan bukan dalam
mimpi. Sesudah mendusin, yang segera teringat olehnya
adalah "surat pengakuan dosa" itu, waktu ia periksa jaketnya,
bagian ujung jaket itu sudah robek, surat itu sudah hilang.
Keruan ia terkejut, cepat ia membalik jaket kian kemari dan
tetap tidak menemukan surat itu.
Angin malam mendesir membawa hawa yang dingin. Bukan
lantaran tubuhnya tidak tahan dingin. soalnya hatinya sudah
kedinginan mengingat kepada apa yang terjadi.
---ooo0dw0ooo--jilid ke - 12 Setelah menenangkan pikiran, lambat-laun teringat olehnya
sedikit kejadian sebelum pingsan, akhirnya jernih seluruh
pikirannya. Nyata ia telah tertipu oleh perempuan itu. surat
penting telah dicuri dan dibawa lari.
Sampai sekian lama ia termenung, mendadak ia melompat
bangun dan berteriak sambil memukuli dada sendiri, "Aku
berdosa terhadap Kang-kongcu, aku membikin susah nona
Liong. Manusianya hidup barangnya utuh, manusianya gugur
barangnya runtuh. Ini sudah kunyatakan dengan tegas. Lalu
apa gunanya lagi kuhidup di dunia ini?"
Terdorong oleh rasa menyesal dan putus asa, mendadak ia
lolos golok terus menikam dada sendiri.
Syukurlah entah darimana datangnya, tahu tahu batu
menyambar tiba.
"Trang"
Golok terpuluk jatuh, suara seorang seperti sudah
dikenalnya menegur "Sindal, inilah sahabat lama sudah
datang. Jika ingin mati, seharusma kau bicara dulu dengan
sahabat lama."
Sindal terkejut, waktu ia mengawasi, terlihat seorang anak
muda yang rasanya telah dikenalnya sudah beradanya di
depannya dan sedang menjemput goloknya yang jatuh itu.
"Apakah kamu sudah pangling padaku, Sindal?" tanya anak
muda itu. "Golok ini harus kau-gunakan untuk membunuh
musuh, mana boleh dipakai membunuh diri. Ayolah, lekas
disimpan saja."
Sembari bicara, dengan tertawa anak muda itu
menggantungkan golok itu di pinggang Sindal.
Sampat sekian lama Sindal melenggong, katanya kemudian,
Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jadi engkau . . engkau ini si pengemis itu" . . . . "
Kiranya anak muda yaag menyelamatkan jiwa-nya ini taklaintak-bukan adalah Nyo Yam.
Meski berangkat dua hari lebih dulu dari kotaraja daripada
Liong Leng-cu, tapi lantaran kuda tunggangan Nyo Yam kalah
cepat daripada kuda merah Leng-cu, di tengah jalan ia
kepergok pula pasukan Boanjing, maka perjalanannya agak
terganggu dan baru sekarang sampai di sini.
Nyo Yam terbahak-bahak, "Haha, mendingan kamu masih
kenal kepada sahabat lama. Tempo hari kalian telah sudi
menerima pengemis cilik macam diriku ini, sekarang kamu ada
kesulitan, kan pantas juga kubalas membatumu. Lekas
katakan padaku, sesungguhnya apa yang terjadi?"
Sindal merasa ragu, ia pikir tempo hari pengemis cilik itu
pergi bersama nona Liong, tampaknya dari berkelahi mereka
lantas menjadi sahabat baik. Apapun juga pengemis cilik ini
memang lebih dapat dipercaya daripada perempuan siluman
tadi. Tapi aku sudah tertipu satu kali, selanjutnya aku harus
lebih hati-hati.
Seketika ia menjadi sangsi dan tidak tahu apa harus bicara
terus terang kepada pengemis cilik ini atau tidak.
Nyo Yam meajadi tidak sabar, ia coba tanya lagi, "Tadi kau
bilang telah bikin susah nona Liong, sesungguhnya apa yang
terjadi?" "Oo, jadi engkau sudah mendengar?" tanya Sindal.
"Betul, apa yang kaukatakan sebelum bunuh diri telah
kudengar semua," jawab Nyo Yam. "Apakah benar nona Liong
mendapat halangan?"
Melihat kecemasan anak muda itu, Sindal menduga orang
tidak bermaksud jahat, segera ia menutur, "Tidak perlu kuatir,
nona Liong tidak mengalami kesusahan. Hanya saja aku yang
telah berbuat salah sehingga tidak menguntungkan dia. bukan
mustahil lantaran itulah akan membikin celaka padanya."
"Apakah maksudmu telah kehilangan sesuatu barang titipan
orang lain yang harus kau serahkan kepada nona Liong?"
tanya Nyo Yam. "Eh, dari mana kautahu?" tanya Sindal. Tapi segera teringat
olehnya apa yang diucapkan ketika mau bunuh diri tadi
tentang "manusianya hidup barangnya utuh, manusianya
gugur barangnya hancur", tentu kata-kata itu telah didengar
oleh "pengemis cilik" ini.
"Dari ucapan itu dapat kau terka, jika barangnya sudah
hihng, maka kaupun tidak perlu kuatir akan kutipu barangmu
itu, mengapa engkau tetap tidak berani memberitahukan
duduknya perkara kepadaku?"
Sindal pikir beralasan juga ucapan Nyo Yam itu, segera ia
tanya, "Siapakah namamu, sampai sekarang belum kuketahui.
Mengapa engkau sedemikian memperhatikan urusan nona
Liong?" "Sejak kejadian dahulu, kamu tidak pernah bertemu dengan
nona Liong bukan?"
"Betul, dari mana kau tahu?" tanya Sindal.
"Jika sudah kautemui dia, tentu kau tahu siapa diriku," kata
Nyo Yam. "Biarlah kukatakan terus terang, namaku Nyo Yam,
semula anak murid Thian-san-pai. Sebulan yang lalu nona
Liong masih berada bersamaku. Cuma aku tidak mau pulang
ke Thian-san bersama dia, maka kami lantas berpisah.
Menurut taksiranku, kedatangannya ke wilayah barat sekali ini
tentu juga hendak mencari diriku ke Thian-san."
"Kepergianmu ke Thian-san ini apakah akan menghadapi
bahaya besar?"
"Betul, bahkan boleh dikatakan mungkin akan menghadapi
bahaya yang menyangkut keselamatan jiwaku."
"Oo, kiranya engkau inilah buah hatinya yang hendak
ditolongnya," tukas Sindal.
Sekali ini giliran Nyo Yam yang menyatakan rasa herannya,
tanyanya. "Siapa yang bilang pada mu bahwa aku . . . aku .
..." Ia tidak enak untuk menyatakan dirinya adalah "buah hati"
yang dimaksud Liong Leng-cu.
Sampai di sini Sindal tidak sangii lagi, katanya, "Kangjikongcu
yang bilang padaku."
"Kang-jikongcu yang mana?" tanya Nyo Yam heran. "Dari
mana pula ia tahu urusanku dengan nona Liong?"
"Di dunia ini mana ada Kang-jikongcu lebih dari satu,
dengan sendirinya dia adalah putra kedua Kang Hai-thian,
Kang-taihiap. Kabarnya Kang-taihiap adalah jago nomor satu
di antara bangsa Han kalian, tentu kau kenal dia?"
Nyo Yam mengangguk, "Ya, kutahu. Cuma aku tidak tahu
dia dan nona Liong juga bersahabat."
"Beberapa hari yang lalu mereka bertemu, pantas engkau
tidak tahu," lalu Sindal menceritakan cara bagaimana Kang
Siang-hun dan Liong Leng-cu terpencar keterjang pasukan
Boanjing dan Kang Siang-hun terluka, dia diminta mencari
Liong Leng-cu dan seterusnya.
Kejut dan girang pula Nyo Yam, katanya, "Secarik kain
pemberian Kang-jikongcu kepada-mu itu kau bilang ada bekas
darah, apa yang tertulis
"Aku tidak tahu," tuka? Sindal. "Kang-jikongcu cuma bilang
padaku bahwa barang itu sangat penting bagi nona Liong, dari
nada ucapannya agaknya dengan membawa tulisan berdarah
itu nona Liong pasti akan dapat menyelamatkan kekasihnya.
Ahi, betul, engkaulah kekasih yang di-katakannya, coba kau
renungkan lagi, mungkin engkau akan paham persoalannya."
Mana ia tahu bahwa hal ini pun sukar di-mengerti Nyo Yam.
Cuma meski Nyo Yam merasa bingung, tapi mengingat barang
itu direbut orang, tentu sesuatu barang penting.
Dari cerita Sindal tentang caranya diberjai oleh perempuan
siluman itu, agaknya yang digunakan adalah racun sebangsa
Sin-sian-wan, Nyo Yam pikir jangan-jangan perempuan
siluman yang dimaksud itu berasal dari Pek-toh-san"
"Baiklah, boleh kau pulang saja," kata Nyo Yam kemudian.
"Kedua urusan ini boleh serahkan saja kepadaku."
"Kedua urusan yang kau maksudkan?"
"Pertama tangkap perempuan silumm itu dan rebut kembali
barang yang dibawa lari olehnya itu. Kedua, mencari nona
Liong, setelah bertemu segera kami berangkat ke Thian-san
bersama. Demi kepentinganku sendiri kukerjakan kedua
urusan ini, tentu kau percaya akan ketulusan hatiku."
"Ya, kupercaya," jawab Sindal. "Urusan kedua takkan
kupersoalkan. Tapi urusan pertama mestinya harus
kukerjakan."
"Antara sahabat kan harus saling membantu bukan?" ujar
Nyo Yam. "Umpama Kang-jikongcu, kepandaiannya begitu
tinggi, tapi dia terluka dan perlu mendapat pertolonganmu.
Pula, maaf jika kukatakan terus terang, biarpun kamu dapat
menyusul perempuan siluman itu, toh tak dapat kau lawan
dia." "Ya, perempuan siluman itu seperti pandai ilmu sihir, aku
memang tidak rnampu menghadapinya, maka ku . . "
"Makanya kau mau bunuh diri bukan?" potong Nyo Yam.
"Mestinva kau pikirkan, apa pengaruhnya kematianmu
terhadap perempuan siluman itu" Jika perbuatan busuknya
tidak di ketahui orang lain, kan untung baginyn"'"
Sindal menunduk dan diam saja.
"Dengan semacam obat bius yang sangat lihai kamu telah
dikerjai perempuan itu " sambung Nyo Yam. "Terang di luar
kelompotan mereka, hanya aku saja yang mampu
memunahkan obat bius andalannya itu.Ilmu silat Kang Sianghun
mungkin lebih tinggi daripadaku, tapi bicara soal
menghadapi perempuan siluman itu, mungkin dia tidak dapat
melebihiku. Jika kau- sampaikan apa yang kukatakan ini
kepadanya, tentu dia dapat menerima."
"Kupercaya kepada ucapanmu, cuma aku malu untuk
menemui Kang-jikongcu," ujar Sindal dengan menghela napas.
"Apakah perlu kuulangi lagi keteranganku?" kata Nyo Yam
pelahan. "Ingat, golokmu harus digunakan untuk membunuh
musuh, bukan untuk membunuh diri. Kamu telah dikerjai
musuh, engkau sendiri tidak salah. Maka jangan berpikir yang
tidak-tidak, lekas pulang saja."
"Betul, golokku ini harus kusimpan untuk membunuh
musuh," gamara Sindal, pikirannya terbuka, ia mengucapkan
terima kasih kepada Nyo Yam, lalu pergi menuju ke arah
datangnya tadi.
Legalah hati Nyo Yam setelah dapat menyadarkan Sindal,
tapi satu soal pelik lantas timbul lagi. Ia tidak tahu harus mulai
dari mana untuk menyelesaikan kedua urusan yang harus
dikerjakan itu.
Perempuan siluman itu entah menuju ke mana, malahan
Liong Leng-cu juga entah berada di mana"
Tapi kalau dibandingkan, masih ada jalan untuk mencari
Liong Leng-cu. Ia tahu Lohai berada di ibukota Lodan, ia pikir
umpama Liong Leng-cu tidak pergi ke Lodan untuk mencari
Lohai, dalam perjalanan nanti tentu juga akan bertemu
dengan anak buahnya. Dan bila bertemu dengan Lohai, dari
dia akan kudapatkan berita tentang Leng-cu.
Begitulah ia ambil keputusan akan menuju ke ibukota Lodan
dulu Perkiraan Nyo Yam memang tidak meleset, namun urusan
seringkali tidak cocok seperti apa yang diharapkannya. Secara
kebetulan, Liong Leng-cu justru mengambil suatu jalan yang
lain. Tempo hari, berkat kudanya dapatlah Leng-cu menerjang
keluar kepungan musuh, ia terus melarikan kudanya dengan
cepat dan meninggalkan pasukan musuh jauh di belakang.
Cuma, meski musuh sudah ditinggalkannya, sahabatnya
justru terpencar.
Sesuai juga dugaan Sindal dan Nyo Yam, meski sudah
ditunggu dan dinanti, tetap tidak terlihat Kang Siang-hun
menyusulnya. Maka ia pun mengambil keputusan akan menuju
ke ibukota Lodan dahulu.
Sekian jauh ia melanjutkan perjalanan, tertampak di atas
bukit depan mengepul asap tebal.
Tempat itu sebenarnya pos pengintai anak buah Lohai, asap
itu berasal dari onggokan kotoran kuda kering yang dibakar
dan digunakan sebagai isyarat.
Akan tetapi Liong Leng-cu tidak kenal cara saling memberi
kabar antara suku Kazak itu, di sangkanya pasukan Roanjing
sudah menduduki bukit itu dan asap itu berasal dari dapur
umum pasukan. Untuk menghindari kepergok lagi dengan pasukan musuh,
terpaksa ia mengitari jalan lain untuk menuju ke Lodan.
Sebuah jalan setapak sunyi yang dipilihnya.
Tanpa terasa hari sudah mulai gelap, sesudah bertempur
sengit dan menempuh perjalanan jauh pula, selain orangnya
lelah, kudanya juga letib, perut pun kelaparan. Rupanya
rangsum kering yang dibawa. oleh Kang Siang-hun yang
tergantung di pelana kuda Leng-cu hanya setengah kantung
air minum saja.
Air hanya dapat menghilangkan dahaga dan tak dapat
mencegah lapar. Maka ia pikir perlu mencari makanan.
Ia menemukan rumah penduduk di atas gunung, tapi tidak
ada penghuninya. Untung juga.
meski rumah itu tidak ada penghuni, tapi terdapat beberapa
potong ubi. Leng-cu pikir mungkin penghuni rumah ini terburu-buru lari
karena kedatangan pasukan Bean-ling. Akan kutinggalkan
sepotong uang perak di sini setelah kumakan ubi mereka.
Segera ia mengumpulkan kayu bakar dan membuat api
untak membakar ubi.
Baru saja ia mulai menikmati ubi bakar, tiba-tiba terdengar
seorang berseru, "Aha, sedap amat bau ubi bakar, bagi satu
untukku, boleh bukan?"
Waktu Leng-cu menengadah, tertampak masuk-lah seorang
perwira. Karena kagetnya sampai ubi bakar yang dipegangnya
terjatuh. Dia terkejut bukan karena yang datang ini perwira musuh
melainkan karena perwira ini bukanlah perwira biasa.
Perwira ini tak-lain-tak-bukan adalah orang yang pernah
menawan Nyo Yam waktu kecil itu. Kemudian kakek Nyo Yam
telah menyelamatkan anak muda itu, perwira ini pun sempat
kabur. Jadi perwira ini boleh dikatakan merupakan musuh pertama
Nyo Yam. Sejak Nyo Yam mulai berkecimpung di dunia kangouw,
pernah juga ia bermaksud mencarinya untuk menuntut balas.
Cuma sayang ia tidak tahu siapa nama musuhnya dan asalusulnya.
Sampai tahun yang lalu barulah musuh itu kepergok lagi di
Cadam, tapi kembali Nyo Yam kena dikerjai pula oleh musuh
itu, untung dapat ditolong oleh Liong Leng-cu, dengan tenaga
gabungan dua orang barulah musuh dapat dikalahkan. Juga
dari cerita Nyo Yam baru Leng-cu tahu perwira ini pun pernah
bersengketa dengan kakak Leng-cu sendiri.
"Haha, sekarang dapat kau kenali diriku bukan?" demikian
perwira itu tergelak. "Tapi jangan takut, meski pernah kau
bantu si bocah she Nyo itu mengeroyok diriku, sekarang
takkan kubikin susah padamu. Kebetulan . bertemu, biarlah
kita mengobrol saja."
Diam-diam Leng-cu berpikir dirinya jelas bukan tandingan
orang, terpaksa harus pakai jalan mengulur waktu untuk
mencari akal lain.
Maka ia berlagak kegirangan dan bersciu, "Hah, memang
betul. Taijin ini memang orang bijaksana, syukurlah jika
engkau tidak berniat membikin susah padaku."
"Hm, membikin susah padamu juga perlu lihat dulu apakah
kau mau bicara sejujurnya tidak kepadaku," jengek perwira
itu. "Apa yang ingin kau ketahui?" tanya Leng-cu.
"Di mana bocah she Nyo itu?" tanya perwira itu.
"Terus terang, sebulan yang lalu kami memang berada
bersama di kotaraja," tutur Leng-cu. "Tapi sudah lama kami
berpisah, sekarang dia berada di mana tidak kuketahui."
"Asal-usulmu sudah kuketahui," kata perwira itu. "Tapi
apakah kau tahu kakekmu juga pernah ada hubungan
denganku?"
"Apa betul?" tanya Leng-cu. "Tapi itu adalah urusan kakek
dan tidak ada sangkut-pautnya denganku."
"Apakah kakekmu masih berada di Leng-ciu hong?" tanya
perwira itu. "Apakah dia baik-baik saja?"
"Banyak terima kasih atas perhatianmu terhadap kakekku,"
Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kata Leng-cu. "Tapi sejak lahir aku sendiri tidak pernah
melihat kakek, apakah sekarang dia masih hidup atau sudah
mati sama sekali tidak kuketahui."
"Apa yang kau katakan tidak dapat kupercaya," jengek
perwira itu. "Tapi yang kukatakan ini adalah sesungguhnya, bila perlu
aku berani sumpah," kata Leng-cu.
"Tidak perlu pakai sumpah segala. Pendek kata, apakah
keteranganmu benar atau dusta, vang jelas kamu karus
kubawa pergi." ,
"Kenapa perlu kau bawa diriku" Kan sudah kau katakan
takkan membikin susah padaku?"
"Aku tidak akan membikin susah padamu," ucap perwira itu.
"Cuma, terus terang saja, lantaran aku pernah dibikin susah
oleh kakekmu, maka dendam ini akan kulampiaskan atas
dirimu." "Itu kan sama dengan aku akan dijadikan sasaran balas
dendam olehmu?"
"Bukan, kedua hal itu tidak sama. Jika aku mau balas
dendam atas dirimu, sekarang juga sekali hantam dapat
kubinasakanmu."
"Jika begitu. untuk apa kau bawaku pergi," tanya Leng-cu.
"Supaya kakekmu nanti minta maaf padaku dan mintakan
ampun bagimu, dengan demikian dendamku dapat
terlampias," jawab perwira itu. "Sebelum ini sudah kuselidiki
dengan jelas. Kakekmu cuma mempunyai seorang sanak
keluarga saja, yaitu dirimu. Mau-tak-mau dia menuruti
kehendak-ku. Maka kaupun jangan kuatir akan kubikin susah."
"Urusan orang tua seperti kalian kenapa aku ikut
disangkutkan, kan aneh," ujar Leng-cu. "Jika engkau memang
seorang gagah ksatria . ..."
"Aku bukan ksatria, tidak perlu dinilai oleh-mu," seru
perwira itu dengan gusar. "Kesabaranku terhadapmu sudah
melampaui batas. Jika kamu tidak ikut pergi bersamaku
dengan menurut, jangan menyesal jika aku bertindak tegas
padamu." Leng-cu mengikik tawa, katanya, "Hihi, kenapa engkau jadi
tergesa gesa, masa lupa kepada apa yang kau katakan
sendiri?" "Oo, aku berkata apa?" tanya perwira itu. Ia sangka nona
itu hendak mempersoalkan lagi tentang orang tua membikin
susah orang muda segala.
Sembari menguliti sepotong ubi bakar, Leng-cu berkata
pula dengan tertawa, "Begitu masuk kemari, bukankah engkau
lantas berkaok-kaok minta bagian ubi bakar?"
"Sekarang aku tidak ingin makan lagi," kata perwira itu.
"Engkau tidak mau makan, aku sendiri belum kenyang,
tentunya boleh tunggu sampai kumakan kenyang baru
berangkat bersamamu."
"O, jadi kamu mau ikut pergi bersamaku?"
"Kepandaianmu jauh di atasku, apa mungkin aku
membangkang kehendakmu?" jawab Liong Leng-cu. "Padahal
asalkan aku tidak dibikin susah, biarlah kau minta kulayani
juga kumau."
Perwira itu pikir seorang anak dara saja mampu berbuat
apa" Maka dengan tertawa ia berkata, "Ehm, mulutmu
memang manis, lalu apa yang dapat kau kerjakan bagiku?"
"Banyak urusan yang dapat kukerjakan, aku mahir
menjahit, pintar masak, cuma sayang, di sini hanya ada ubi.
Namun boleh coba kau cicipi, bukankah ubi bakar ini juga
sangat lezat, sebab ku-bakar dengan cara yang khas."
"Baik, akan kucoba makan sepotong, kuminta yang kau
pegang ini," kata si perwira.
Ubi yang telah dikuliti oleh Leng-cu ini sedianya akan
dimakan sendiri, menurut jalan pikiran perwira itu, ubi yang
hendak dimakan si nona sendiri tentu tidak perlu dikuatirkan.
Leng-cu tertawa, katanya, "Wah, tampaknya engkau ingin
ubi yang tinggal dimakan saja. Baiklah, kuberi!"
Sembari makan perwira itu memuji, "Ehm, anak perempuan
memang boleh juga, ubi bakar ini memang harum dan enak."
"Apakah perlu tambah satu lagi?" tanya Leng-cu.
Air muka si perwira berubah mendadak dan membentak,
"Hei, kenapa rasa lezat ubi ini ada kelainan?"
Leng-cu menjawab dengan tertawa, "Engkau jarang makan
barang kasar semacam ini, tentu saja tidak kenal rasanya yang
asli." "Ah, tidak benar!" mendadak perwira itu melompat bangun
dan membentak. "Dari mana kau-peroleh Sin-sian-wan
beluaran Pek-toh-san" Berani kau gunakan obat ini untuk
meracuni aku?"
Kiranya dalam keadaan kepepet mendadak Leng-cu
mendapat akal, diam-diam ia meremas se-biji Sin-sian-wan
sehingga menjadi bubuk, pada waktu perwira itu tidak
menaruh perhatian, ketika ia menguliti ubi bakar itu, diamdiam
bubuk Sin-sian-wan ditaburkan pada ubi itu. Dengan
cepat bubuk halus itu cair oleh panas ubi bakar sehingga tidak
kelihatan sesuatu bekasnya.
Sia-siau-wan itu dahulu diperoleh Leng-cu dari Nyo Yam,
waktu itu lantaran tertarik saja, ia minta satu biji untuk
mainan. Siapa tahu- sekarang kebetulan dapat dimanfaatkan.
"Sin-sian-wan apa?" tanya Leng-cu berlagak pilon.
"Hm, masa perlu kamu pura-pura bodoh?"
sembari membentak perwira itu terus mencengkeram
dengan telapak tangannya yang lebar.
Cepat Leng-cu berkelit, ucapnya dengan tertawa, "Aku tidak
tahu Sin-sian-wan apa segala, jika engkau ingin naik surga
dan menjadi dewa memang dapat kubantu!"
Segera ia lolos pedangnya terus menikam dada musuh.
Terdengar suara "creng" sekali, sambil mengegos perwira
itu menyelentik batang pedang dengan jarinya sehingga
menceng ke samping, akan tetapi berbareng juga terdengar
"bret" sekali, saking cepat serangan Leng-cu sehingga lengan
baju perwira itu terobek.
Bahwa perwira itu sudah keracunan Sin-sian-wan, tapi
masih mampu menggunakan tenaga jari sakti selihai itu,
sungguh kejut Leng-cu tak ter-katakan.
Ia tidak tahu bahwa pihak lawan juga tidak kurang
kejutnya. Perwira itu mengira dengan gampang Leng-cu dapat
ditawannya, tak terduga ia sendiri hampir tertusuk malah, ia
heran cuma berpisah setengah tahun saja kepandaian Leng-cu
sudah maju sepesat ini. Ia pikir harus cepat menawan nona itu
sebelum racun bekerja lebih meluas, kalau tidak tentu diri
sendiri yang akan celaka.
Maka begitu cengkeramannya lupat, serentak ia melolos
goloknya yang berbentuk melengkung sambil membentak,
"Siau-yau-li, masa kamu dapat kabur?"
Segera ia melancarkan serangan lihai. Sembari lari Leng-cu
terus menaburkan segenggam jarum ke belakang, serunya
dengan tertawa, "Kamu sudah makan Sin-sian-wan, kenapa
tidak tiduran saja untuk menikmati hidup sebagai dewa yang
naik surga" Untuk apa kau recoki diriku, barang-kali kamu
ingin cepat bertemu dengan nenek moyangmu?"
Sekali berputar goloknya, segera terdengar suara
gemerincing nyaring, hujan jarum itu tersampuk jatuh semua,
bentaknya, "Huh, hanya sebiji Sin-sian-wan saja bisa
mengapakan diriku" Boleh lihat saja apakah kamu yang
menuju ke akhirat atau aku yang akan naik surga?"
la terus mengejar. Ginkang Liong Leng-cu sebenarnya tidak
lemah, tapi hanya beberapa kali lompatan saja sudah dapat
disusulnya. ia menggigit ujung lidah untuk menyadarkan
pikirannya yang mengantuk akibat pengaruh Sin-sian-wan, ia
keluarkan segenap kemahirannya dan mengurung Leng-cu di
tengah cahaya goloknya.
Untung Liong Leng-cu sekarang tidak seperti dulu lagi,
sedangban pengaruh Sin sian-wan masih tetap bekerja meski
perwira itu sekuatnya bertahan dengan lwekangnya yang
tinggi. Karena itulah seketika perwira itu pun tidak mampu
mengalahkan si nona.
Mau-tak-mau Leng-cu menjadi gentar juga oleh serangan
lawan yang gencar, disangkanya lwekang orang sudah
mencapai tingkatan paling sempurna sehingga tidak
terpengaruh oleh racnn Sin-sian-wan. Ia pikir jalan paling
selamat adalah kabur saja.
Dengan susah payah akhirnya ia mendapat kesempatan
ketika serangan lawan agak kendur, secepat kilat ia melompat
keluar dari lingkaran sinar golok musuh.
Entah karena gugupnya atau karena terburu-buru, setelah
melompat scjauh dua tiga tombak ke sana, berdirinya kurang
mantap sehingga jatuh terjerembab.
"Haha, kan sudah kukatakan masakah kamu mampu lolos
dari tanganku, lihat " belum lanjut ucapan perwira itu, tahu
tahu nona itu sudah melompat bangun.
"Hm, belum tentu dapat kau bekuk diriku!" ejek Leng-cu,
berbareng ia menghamburkan lagi segenggam jarum
bercampur pasir.
"Hm, sudah kepepet masih berani main gila!" jengek
perwira itu, golok berputar sehingga jarum sama rontok,
namun tidak urung dahinya keciprat beberapa butir pasir.
"Hihi, sungguh orang goblok yang tidak bisa lihat gelagat!"
ejek Leng-cu pula dengan terkikik.
"Kematianmu sudah di depan mata, masih berani
sembarang mengoceh!" bentak perwira itu dengan murka.
"Siapa yang akan mati, masa kamu sendiri tidak tahu?" ejek
Leng-cu. "Tunggu lagi sebentar setelah pasir perenggut
nyawaku yang baru saja mengenai tubuhmu itu."
"Pasir perenggut nyawa apa?" bentak perwira itu dengan
melengak. Sembari lari Leng-cu menjawab, "Pasir perenggut nyawa
yang baru kuhamburkan itu direndam dengan tujuh macam
racun yang paling jahat, barang siapa terkena sebiji saja
segera akan mampus. Meski Iwekangmu cukup hebat, paling
lama juga cuma tahan satu jam saja. malahan seharusnya
tidak boleh keluar tenaga terlalu banyak jika tidak ingin mati
terlebih cepat."
Karena orang bicara tentang pasir maut, tanpa terasa
timbul juga rasa gtal pada dahi perwira itu, dengan sangsi ia
membentak pula, "Kurang ajar! Kamu sengaja hendak
menakuti diriku supaya kamu bisa kabur" Huh. jangan mimpi!"
"Jika tidak percaya, boleh saja kau kejar lagi diriku!" kata
Leng-cu dengan tertawa.
Tengah bicara, jarak kedua orang sudah semakin jauh.
Diam-diam perwira itu terkejut karena kenyataan dirinya
memang tidak mampu menyusul si noha.
Pudahal apa yang dirasakan perwira itu sebenarnya adalah
akibat bekerjanya Sin-sian-wan. Pasir maut yang dikatakan
Leng-cu itu tidak lain hanya pasir yang dirraupnya sekalian
pada waktu ia jatuh tadi.
Karena tidak mampu menyusul Leng-cu, tidak lama nona itu
pun menghilang, perwira itu mulai merasakan kepalang pusing
dan mata berkunang-kunang, tenaga pun mulai lenyap, ia
menjadi sangsi apakah pasir maut itu memang benar atau
cuma gertakan belaka, namun pengaruh racun Sin-sian-wan
jelas tidak boleh diremehkan.
Segera ia duduk bersila, kembali ia gigit ujung lidah sendiri
untuk membangkitkan semangat, sekuatnya ia membuka
kelopak matanya lebar-lcbar supaya tidak sampai tertidur.
Dalam keadaan demikian ia berharap Lioug Leng-cu tidak
berani putar balik dan hal ini pun beruntung baginya. mana ia
berani berpikir akan mengejar lagi.
Entah berselang berapa lama pula, selagi pikirannya
melayang-layang di antara sadar-tak-sadar, tiba-tiba terdengar
suara detak kuda lari. Dipandang dari jauh samar-samar
terlihat penunggang kuda itu seperti seorang perempuan. Ia
sangka Liong Leng-cu telah putar balik untuk melihat apakah
ia mati atau tidak, ia terkejut sehingga pikirannya berubah
sadar malah. Dalam pada itu penunggang kuda itu dengan cepat sudah
mendekat Terdengar seruan seorang, "Aha, kafeak Yung, ternyata
benar engkau adanya. Eh, kenapa engkau jadi begini" Apakah
terluka?" Demikian perempuan penunggang kuda itu melompat turun
sambil bertanva dengan kejut dan girang.
Perwira ini juga tidak kepalang girangnya.
cepat ia berteriak, "Him-him, jangan tanya lagi, lekas kau
punahkan racun Sin-sian-wan yang kuminum!"
Kiranya perempuan ini tak-lain-tak-bukan adalah Bok Himhjm,
bini muda Pek-toh-sancu yang genit itu.
Sembari memberi obat penawar kepada perwira itu ia
berkata pula, "Mengapa engkau salah minum Sin-sian-wan"
Siapa pula yang memberikan pil itu kepadamu?"
Perwira itu merasa lega setelah minum obat penawar,
katanya, "Jangan kau tanya dulu, hendaknya kau periksa lagi
diriku, apakah aku terkena pasir perenggut nyawa yang
berbisa itu?"
Bok Him-him melengak, "Pasir perenggut nyawa apa" Tidak
pernah kutahu ada senjata rahasia semacam ini."
Perwira itu tambah terkejut, "Hah, sampai engkau juga
tidak tahu" Tapi engkau kan ahli pemakai racun, akan
kukatakan dan berharap dapat kau tolong diriku. Konon pasir
peranggut nyawa itu dibuat dengan pasir yang direndam
dengan tujuh jenis racun ."
Daya ingatnya ternyata tidak jelek, ia dapat mengulangi apa
yang diucapkan Liong Leng-cu tanpa salah.
Selesai ia menutur, Bok Him-him pun sudah memeriksa
denyut nadinya serta memeriksa dengan teliti apakah dia
terluka, setelah jelas keadaannya, ia tertawa geli.
"Apa yang kau tertawakan?" tanya perwira itu dengan
sangsi. "Kutertawa karena kamu tertipu," tutur Bok Him-him,
"Kekuatan Sin-sian-wan itu sekarang sudah punah, tubuhmu
juga tidak ada tanda keracunan atau terluka."
"Sungguh kurangajar Siau-yau-li itu," damperat perwira itu.
Terbeliak Bok Him-him, tanyanya. "Apakah yang kau
maksudkan adalah Siau-yau-li she Liong itu" Aku justru
sedang mencari jejaknya, di mana kau pergoki dia?"
"Betul, kupergoki dia," jawab si perwira dengan marahmarah.
"Justru hendak kutanya padamu, apakah dia telah kau
terima sebagai murid?"
"Masa kau tanya demikian" Mana mungkin kuterima dia
Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebagai murid?" jawab Him-him.
"Habis dari mana ia memperoleh Sin-sian-wan dari Pek-tohsan
kalian?" "Ah, kiranya kamu tertipu oleh Siau-yau-li itu," kata Himhim.
"Kuingat, dulu Nyo Yam pernah mendapatkan sebotol
Sin-sian-wan dari orang yang jual-beli dengan Pek-toh-san
kami. Tentu Siau-yau-li itu mendapatkan Sin-sian-wan dari
orang she Nyo itu."
"Apakah kaupun bermusuhan dengan Siau yau-li itu?" tanya
si perwira. "Bukan aku yang bermusuhan dengan dia, tapi lakiku yang
bermusuhan dengan mendiang ayahnya," tutur Him-him.
"Lakiku itu ingin membabat rumput sampai akar-akarnya,
maka aku diperintahnya menangkap Siau-yau-li itu,"
"Dan cara bagaimana kau datang ke sini?"
"Apalagi jika bukan lantaran dirimu," jawab Him-him
dengan tertawa. "Kutahu kau bawa pasukan menyerang
wilayah Sinkiang ini, maka sementara ini kutunda
k Pendekar Kembar 14 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Istana Pulau Es 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama