Elang Pemburu Karya Gu Long Bagian 2
da Lenghou Put heng
keras-keras. Entah sejak kapan dan memakal gerakan apa, tahu tahu Lenghou Put heng yang
semula masih duduk bersila di atas pembaringan, kini sudah berdiri
menghadang persis di depan Im hweesio.
"Bluuukkk ... !" jotosan Hong Poo kak seketika menghantam telak di atas dada
lelaki bercambang itu.
Hong Toa tauke tiba tiba merasa terkesiap. Ternyata ia seperti menghantam
sebuah orang-orangan yang terbuat dari rumput. Bukan musuhnya yang
mencelat, justru dia sendiri yang merasakan getaran yang maha dahsyat
menghantam badannya. Tak tahan ia mundur beberapa langkah dengan
sempoyongan sebelum berhasil berdiri tegak.
Paras muka Lenghou Put heng sama sekali tak berubah. la masih berdiri dengan
sikap hambar dan tanpa perasaan, golok lengkungnya masih tergantung di
pinggangnya, sama sekali tak disentuh.
Dalam pada itu Hong Poo kak telah merogoh ke dalam sakunya dan cabut keluar
sebilah golok lemas yang selama ini disembunyikan di balik jubah lebarnya.
Sinar mata berapi memancar keluar dari balik matanya.
"Cabut golokmu!'.' Hardiknya penuh emosi.
"Tidak bisa."
"Kenapa tidak bisa?"
"Tempat ini bukan tempat untuk membunuh orang."
Hong Poo kak membentak gusar, cahaya golok berkilauan bagaikan bianglala
senja, begitu tajam sinarnya hingga menyilaukan mata.
"Golok bagus!" puji Im taysu dari sisi arena.
Belum selesai pujian itu dilontarkan, tiba tiba terdengar suara gemerincing
bergema di udara, tahu tahu golok tipis itu udah patah menjadi enam tujuh
bagian. Sama sekali tak terlihat gerakan apa yang digunakan Lenghou Put-heng untuk
mamatahkan senjata lawan. Orang cuma melihat berkelebatnya cahaya merah
kehitam hitaman membelah angkasa, disusul kemudian suara dentingan nyaring
bergema susul menyusul, ke enam tujuh bagian golok yang patah itu sudah
berhamburan di seluruh lantai.
"Hong toa tauke," terdengar Im taysu berseru, "padahal di antara kita berdua tak
usah saling berebut. Toh masih ada satu tamu lagi yang bakal datang, Leng
kongcu. Rasanya tak berguna kita bersaing duluan. Apalagi kehadiran pinceng
hari ini hanya kepingin menikmati hidangan lezat dari nona Ang, lain tidak."
Padri gadungan ini betul betul hebat dan menyenangkan, padahal untuk bisa
makan minum sepuasnya di hadapan perempuan cantik sudah merupakan satu
kejadian yang langka dan tak gampang.
Leng Giok hong hanya menonton di tepi arena dengan pandangan dingin, dalam
waktu singkat ia sudah ambil dua keputusan penting dalam hatinya.
Pertama, selidiki asal usul Im hweesio. Tempat lahirnya, tempat asalnya,
keluarganya, pengalaman di masa lampau, aliran ilmu silat yang dimiliki, titik
kelemahan yang di miliki, kekasihnya, sanak keluarganya. Semuanya harus
sudah diketahui menjelang malam nanti.
Kedua. Golok milik Lenghou Put heng. Golok yang berada di tangannya apa
benar golok iblis seperti yang tersiar dalam dunia persilatan" Seberapa cepat
serangan yang dimiliki" Apa benar dia adalah jagoan golok nomor dua di dunia
kangouw, Lenghou Wan"
" Siapa yang bernama Leng Giok hong, Leng kongcu?"
Orang yang bertanya kali ini bukan Lenghou Put heng, melainkan si nona kecil
yang bermata besar, berwajah bulat dan sewaktu tertawa mempunyai dua lesung
pipit yang kecil bulat.
"Ya, aku orangnya!"
Dengan sepasang matanya yang bulat kecil Wan wan mengawasi pemuda itu dari
atas hingga ke bawah, sinar gembira terpancar dari balik matanya.
"Kado yang dibawa Leng kongcu telah diterima nona kami. Harap Leng kongcu
bersedia untuk bicara di halaman belakang selesai santap malam nanti."
Diiringi suara tertawa yang merdu, nona kecil itu lari masuk ke dalam. Dari
sakunya jatuh selembar kartu, itulah catatan kado yang dikirim Leng Giok hong.
Im hweesio segera memungutnya dan mulai dibaca, "Kado ada empat macam,
satu kotak kueh manis lapis madu, satu kotak jeruk manis, dua kati arak wangi,
sepasang anting perak seberat dua tahil."
Sambil berpaling ke arah Leng Giok hong, tiba tiba tanyanya, "Jadi inilah kado
mu?" "Benar."
Bila kado tersebut dibanding?kan dengan dua kado yang lain, nilai barang
tersebut mungkin hanya sepersekiannya saja. Tapi orang yang terpilih justru
pemuda itu. Im hweesio segera tertawa, tertawa tergelak, "Ternyata bila satu orang dibanding
bandingkan dengan orang yang lain, kejadian ini cukup bikin jengkel hati...
XII. Jago Tangguh yang Tersembunyi
Di belakang warung bakmi di mana Thia Siau cing pernah bersantap terdapat
sebuah loteng tiga tingkat. Dulu tempat itu digunakan seorang hartawan untuk
menemani istrinya menikmati bulan pumama, tapi sekarang tempat itu telah
dipakai oleh Phoa tayjin, Phoa Ki seng, pejabat eselon empat dari kota Chi lam.
Di atas loteng itu terdapat empat buah jendela besar yang luas sekali
pemandangannya. Saat itu suasana hening telah menyelimuti malam yang
semakin kelam, Phoa tayjin seorang diri duduk di tepi jendela, mengawasi rumah
rumah penduduk yang penghuninya mulai terlelap tidur.
Membayangkan suka duka yang dialami setiap keluarga dalam kota itu, ia tak
tahu bagaimana harus mengungkap perasaan tersebut.
Paling tidak saat ini dia tidak akan merasakan sesuatu, karena seluruh pikiran
dan perhatiannya sedang tertuju ke tubuh seseorang; Leng Giok hong yang telah
memasuki gedung besar di seberang sana seorang diri.
Esok pagi apakah Leng Giok hong juga akan keluar dari gedung itu lewat pintu
belakang yang sempit lagi jelek itu, seperti juga halnya dengan apa yang dialami
Chee Gwat sian" Apakah pembunuh itu juga akan menanti kedatangannya
seperti apa yang telah diduganya semula"
Ketika Phoa tayjin, pembesar negara yang mempunyai jabatan tinggi ini sedang
menghela napas seorang diri, tiba tiba dari luar jendela terdengar ada seseorang
melayang turun dari atap rumah, lalu sambil mendekap di lantai dia ikut
menghela napas juga, meski suaranya lebih kecil.
"Hamba Ni Siau cong menghadap Phoa tayjin," katanya.
Phoa Ki seng tidak menjadi terkejut atau terkesiap lantaran kehadirannya yang
tiba tiba itu. Tak bisa disangkal, kehadiran Ni Siau cong memang sudah diatur
sebelumnya. Kemudian dengan sikap dan suara yang lembut dia ajukan banyak pertanyaan,
sedang Ni Siau-cong dengan seksama menjawab setiap pertanyaan yang
diajukan. "Siapa nama asli Ang ang?"
"Dia bernama Lie Lam ang, berasal dari kota Tay goan propinsi Shansi. Keluarga
Lie dari Tay goan maupun keluarga Thia dari Kwan-say, semuanya adalah sukusuku
kenamaan di daerah setempat.
"Jadi dia memang kenal dengan Thia Siau cing?"
"Mereka sudah kenal semenjak masih kecil, boleh dibilang mereka tumbuh
dewasa bersama. Kalau bukan lantaran Lie Lam ang sudah dijodohkan sejak
lama, mungkin mereka sudah menjadi suami istri yang bahagia sekarang."
"Maksudmu sebenarnya secara diam diam mereka berdua sudah saling
mencinta?"
"Benar."
"Kemudian Lie Lam ang kawin dengan siapa?"
"Dia kawin dengan Pek Sian kui, keturunan dari Kou siok sam yu (tiga kawanan
dari Kou siok). Tapi kemudian keluarga Pek dibantai orang hingga semua
keluarganya ludas terbunuh. yang tersisa tinggal Lie Lam ang seorang yang
berhasil meloloskan diri dari pembantaian. Sejak itu dia kabur balik ke rumah
keluarganya di kota Tay goan."
"Siapa musuh besar mereka" Mengapa mereka turun tangan sekejam itu?"
"Tidak jelas," jawab Ni Siau cong, "kematian tragis keluarga Pek hingga kini
masih menjadi teka teki yang sukar dijawab."
Phoa tayjin berkerut kening, diteguknya air teh satu tegukan. Ia tak teringat
siapa yang menjadi wali kota Kou siok waktu itu.
Terdengar Ni Siau cong kembali berkata, "Setelah pulang ke rumah, nona Lie
baru tahu kalau Thia Siau cing ternyata masih mencintainya, bahkan rasa
cintanya terhadap nona itu tak pernah luntur. Nona Lie sangat iba melihat
kejadian itu, tanpa disadari rasa haru membangkitkan kembali rasa cintanya
kepada pemuda itu."
Orang kangauw kalau sedang bicara selalu ceplas ceplos tanpa tedeng aling
aling, biasanya mereka hanya bicara secara garis besar dan tak suka mendetil.
"Nona Lie masih muda sudah menjanda, sedang Thia kongcu masih membujang,
sebetulnya jodoh di antara mereka berdua masih punya harapan dan bisa
dilangsungkan. Sayang sekali Kwan sam kou nay nay, ibu kandung Thia Siau
cing bersikukuh menentang perkawinan ini, bahkan berhasil membujuk kakak
keduanya, Kwan Giok bun, untuk memisahkan sepasang kekasih ini secara
paksa." Tampaknya Ni Siau cong merupakan seorang dunia persilatan yang sensitif
emosinya. Ketika bercerita tentang kisah percintaan kedua orang itu, ia bisa
melukiskan bagaikan seorang pencerita ulung.
Phoa tayjin tidak tertawa, dengan wajah serius katanya, "Tak heran kalau Thia
Siau cing begitu acuh sikapnya sewaktu bertemu engkit nya, seolah olah tidak
saling mengenal saja. Tak heran juga kenapa Lie Lam ang bisa nekad menjalani
profesi seperti ini, kadangkala kehidupan seorang pelacur tak ada bedanya
dengan kehidupan seorang padri."
"Betul juga perkataan tayjin."
"Sayang sekali Thia Siau cing masih tak bisa menahan emosinya. Lantaran dia
tak mampu mencegah Lie Lam ang menjalani profesi sebagai pelacur tingkat
tinggi, terpaksa ia lampiaskan rasa dendam dan sakit hatinya kepada tamu tamu
yang pernah menginap bersama nona itu."
Setelah menghela napas panjang, tambahnya, "Kadangkala kata "cinta" memang
sangat menakutkan!"
Ni Siau cong tidak menjawab, namun dari kerutan alisnya tiba-tiba terbesit
perasaan sedih yang tak terlukiskan dengan kata.
Mungkinkah dia pun mempunyai kisah masa lalu yang sama sedih dan pedihnya
seperti kisah cinta Lie Lam ang" Mungkinkah kisah sedih itu tak pernah
diceritakan kepada orang lain"
Tapi, sesungguhnya siapakah orang di dunia ini yang benar benar dapat lolos
dari perangkap "cinta?"
Lewat berapa saat kemudian Phoa Ki seng baru buka mulut. Dengan
menggunakan sikap yang serius dan sungguh sungguh dia berkata kepada Ni
Siau cong. "Biarpun aku bekerja sebagai pejabat tinggi kerajaan, sedikit banyak
masalah dunia persilatan cukup kupahami," katanya. "Aku pernah mendengar
cerita orang, katanya walaupun kau hidup di kalangan ok pa namun tak pernah
melakukan kejahatan serius. Bila kau bersedia, aku bisa angkat kau sebagai
komandan polisi menggantikan posisi Komandan Sin yang sedang kosong."
"Lapor tayjin, hamba Cuma pingin melakukan pekerjaan yang bisa menghasilkan
uang banyak. Asal ada keuntungan yang bisa kuperoleh, apapun pekerjaan itu
pasti akan kulaksanakan. Hanya satu pekerjaan yang tak akan kulakukan."
Pekerjaan apa yang dimaksudkan" Tentu saja bekerja sebagai hamba negara.
Hanya saja perkataan itu. tak sampai diucapkan, dan dia memang tak perlu
mengucapkannya keluar.
Kembali Phoa Ki seng menghela napas. "Orang yang terbiasa hidup di sungai
telaga memang tak suka melakukan pekerjaan yang mengikat, aku paham
dengan perasaanmu. "
Setelah menghela napas, kembali lanjutnya, "Padahal walaupun bekerja sebagai
hamba negara, kita masih bisa bebas pergi ke mana pun kita mau. . . "
Kedua orang itu saling berpandangan dan tidak bicara lagi. Keheningan segera
mencekam sekeliling tempat itu.
Dalam pada itu malam hari telah mencapai ujungnya, setitik cahaya merah
mulai nampak di ufuk timur.
Baru saja Ni Siau cong akan pergi dari situ, tiba tiba dari balik langit yang
berwarna kelabu muncul asap yang tebal, asap berwarna ungu.
Dari mana asap ungu itu"
Baik, Phoa tayjin maupun Ni Siau-cong dapat melihat dengan jelas sekali.
Tempat di mana muncuInya asap ungu itu tak lain adalah di tengah gedung
berpekarangan tinggi yang berada persis di hadapan mereka.
Ni Siau cong terkesiap. Ia terkejut bukan lantaran munculnya asap ungu itu. Dia
terperanjat karena sama sekali tak menyangka Phoa Ki seng, Phoa tayjin yang
selama ini dianggap sebagai seorang pejabat negara yang lemah, ternyata adalah
seorang jagoan yang berilmu tinggi, seorang jago tangguh yang selama ini selalu
menyembunyikan identitas sendiri.
Bersamaan dengan munculnya asap ungu itu, Phoa tayjin segera mengebaskan
ujung bajunya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya dengan jurus
mendorong jendela melihat rembulan, langsung meleset keluar lewat daun
jendela, Ujung kakinya segera menutul di atas pagar loteng kemudian menutul
ranting pohon di luar pagar. Dengan gerakan Yancu sam Cau Sui (burung walet
menyambar air) ia sudah menerobos tembok pekarangan rumah seberang yang
tinggi itu. Dalam waktu sekejap bayangan tubuhnya sudah lenyap dari
pandangan. Ni Siau Cong tertegun, Untuk berapa saat lamanya ia cuma berdiri termangu,
tak tahu apa yang mesti dilakukan.
Bagaimana pun juga dia adalah manusia, punya rasa ingin tahu. Sebetulnya dia
pun ingin menyusul ke situ untuk ikut melihat keramaian, tapi kasus
pembunuhan ini terlalu besar dan menyangkut banyak orang kenamaan. Dapat
dipastikan situasinya sangat berbahaya. la kuatir bila terlibat kelewat dalam
maka setiap saat mungkin akan mengundang datangnya kematian bagi diri
sendiri. Yang lebih menakutkan lagi adalah semua tokoh yang terlibat dalam kasus
pembunuhan ini bukan orang orang biasa. Phoa Kiseng, Leng Giok hong, hampir
setiap orang seperti menyembunyikan banyak rahasia, bahkan rahasia itu
adalah rahasia yang menakutkan. Terbukti jagoan ampuh macam Komandan Sin
pun tak luput dari kematiannya gara-gara kasus tersebut.
Pertimbangan itulah yang membuat Ni Siau cong jadi sangsi, ragu ragu untuk
melanjutkan niatnya.
Belum sempat dia mengambil keputusan, tiba tiba terdengar jeritan ngeri yang
memilukan hati bergema memecahkan keheningan. Jeritan itu mirip ringkikan
seekor keledai yang terbunuh, ringkikan yang mengandung rasa takut
menghadapi maut, terkandung juga perasaan kecewa serta putus asanya
menghadapi kehidupan.
Jerit kematian itu berasal dari balik gedung di seberang sana. Ketika Phoa Kiseng
mendengar suara jeritan ngeri itu, dia pun melihat Leng Giok-hong. Waktu
itu Leng Giok-hong sedang berdiri di tempat asal munculnya asap berwarna
ungu itu. XIII. Tertangkapnya Si Pembunuh
Di balik halaman kecil di bagian belakang gedung megah itu terdapat sebuah
bangunan kecil tempat untuk menyimpan kayu bakar. Dalam ruang yang kecil
itu terdapat sebuah cerobong asap yang besar sekali.
Dari cerobong asap itulah asap berwarna ungu berasal. Ketika Phoa Ki seng tiba
di situ, Leng Giok-hong telah berdiri di bawah cerobong asap.
Siapa yang membakar asap ungu itu" Mungkinkah Leng Giok-hong"
Tentu saja bukan.
Leng Giok hong bisa menyusul kesitu justru karena melihat munculnya asap
berwarna ungu itu. Ketika ia tiba di tempat kejadian, orang yang membakar asap
ungu itu sudah pergi dari situ.
Apa yang telah dilakukan Leng Giok hong semalaman" Apakah ia berhasil
menemukan sesuatu keganjilan atau keanehan di tempat itu"
Belum sempat Phoa Ki seng mengajukan pertanyaan, mereka sudah mendengar
suara jeritan ngeri seperti apa yang terdengar oleh Ni Siau cong tadi.
Tiba tiba paras muka Leng Giok hong berubah hebat.
"Aaah... Ang ang ... ! Itu suara Ang ang!"
Dugaannya sangat tepat, jeritan itu berasal dari Ang ang.
Tubuh Ang ang sudah roboh terkulai di atas genangan darah, mulut luka yang
mematikan berada di atas hatinya. Senjata pembunuh adalah sebilah pisau
pendek, tetesan darah masih nampak meleleh keluar lewat ujung pisau itu,
pisau yang masih tergenggam di tangan seseorang.
Jari tangan yang digunakan orang itu untuk menggengam pisau belati sudah
tampak memutih, putih karena ia menggenggam kelewat bertenaga. Paras
mukanya yang pucat pasi kini berubah menghijau, rasa kaget dan ngeri tampak
menghiasi wajahnya. Dia seperti tidak percaya kalau dirinya dapat melakukan
perbuatan semacam ini.
Elang Pemburu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang itu tak lain adalah Thia Siau cing. Hampir pada saat yang bersamaan
Phoa Ki seng dan Leng Giok hong tiba di tempat kejadian. Peristiwa tragis yang
terbentang di depan mata tidak sampai membuat kedua orang itu mengumbar
emosi. Bukan saja mereka tidak menegur, tidak menghardik bahkan turun
tangan pun tidak. Paras muka mereka sama sekali tidak berubah banyak.
Satu satunya tindakan yang mereka lakukan hanya berdiri berpisah, seakan
akan suatu tindakan yang tidak disengaja, kedua orang itu masing masing
berdiri di depan pintu, jalan mundur dari kamar di mana Lie Lam ang tergeletak.
Pada saat itulah mereka berdua lagi lagi saling bertukar pandangan, seakan
akan baru sekarang mereka tahu bahwa lawannya mempunyai banyak
kemiripan dengan diri sendiri.
... Pembesar eselon empat dari ibu kota ini bukan cuma memiliki ilmu silat yang
luar biasa, ternyata dia pun pandai mengendalikan diri dan tetap bersikap
tenang dalam situasi apa pun. Asal usul serta latar belakangnya hingga kini
masih merupakan tanda tanya besar bagi Leng Giok hong.
Mungkinkah dia mampu mengungkap teka teki seputar dirinya dalam waktu
singkat" Thia Siau cing masih berdiri pada posisi semula, sama sekali tak bergerak. Leng
Giok hong maupun Phoa Ki seng juga tidak bergerak, seakan akan mereka ingin
memberi peluang untuk lawannya mengendalikan gejolak emosi dalam hatinya.
Mereka tak ingin merangsang lawannya untuk melakukan pertarungan nekad
karena menganggap posisinya sudah terdesak.
Mereka bisa menahan diri, sayang ada orang lain yang tak mampu
mengendalikan emosinya dan sudah turun tangan duluan. Terdengar suara
sambaran golok membelah angkasa, sekilas cahaya golok berwarna merah
kehitam hitaman telah menerobos masuk lewat jendela. Setelah berputar satu
lingkaran di udara, lingkaran cahaya tersebut makin lama makin mengecil dan
segera menggorok leher Thia Siau cing.
Mendadak terdengar suara bentakan keras bergema memecahkan keheningan.
"Blummm!" daun jendela hancur berhamburan ke empat penjuru menyusul
tibanya sesosok bayangan manusia menerjang masuk ke dalam lingkaran
cahaya golok itu.
Ilmu silat yang digunakan orang itu adalah ilmu Kin na jiu tingkat tinggi yang
disebut ilmu "Hun kong po im" (membelah cahaya memukul bayangan), ilmu ini
konon diciptakan seorang pendeta dari gunung Hong san.
Dengan sepasang tangan kosong bayangan manusia itu menerobos ke dalam
lingkaran cahaya golok musuh yang meng?gidikan hati, kemudian bagaikan
cakar elang tiba tiba mencengkeram senjata golok lawan.
Mendadak cahaya golok yang berkilauan seperti sambaran halilintar itu lenyap
tak berbekas. Sebilah golok lengkung berwarna merah kehitam hitaman kini
sudah berada dalam cengkeraman orang itu.
Hampir pada saat yang bersamaan kembali terlihat sesosok bayangan manusia
yang tinggi besar menerobos masuk lewat jendela. Setelah berputar selingkaran
di udara bagai burung rajawali raksasa, ia menyambar ke bawah sembari
menghantam jalan darah Tay yang hiat di kennig orang itu.
"Blam, blaam, blaaam . . ." tigabelas kali benturan dahsyat menggelegar di
angkasa. Dalam waktu sekejap mata dua orang itu sudah saling menyerang
sebanyak tigabelas pukulan.
Orang yang berdiri di atas tanah tak lain adalah Kwan Giok bun, Kwan ji dari
propinsi Kwan an, sementara orang yang masih melayang di udara adalah
Lenghou Put heng.
Selewat tigabelas gebrakan yang seru itu, kini tubuh Lenghou Put heng sudah
mencelat balik ke belakang. Namun golok lengkung yang semula berhasil
dirampas Kwan Giok bun, kini sudah direbut kembali oleh Lenghou Put heng.
Biarpun pertarungan antar dua orang jagoan tangguh ini hanya berlangsung
sekejap, namun cukup membuat orang yang menonton jadi berdebar hati tidak
tenteram. Kwan Giok bun dengan tubuhnya yang kurus kering masih berdiri tegak di posisi
semula. Walapun bajunya yang lebar berkibar kencang terhembus angin getaran,
tianitm ja tak mundur walau setengah langkah Pun! Dengan sinar mata yang
memancarkan cahaya tajam, bentaknya, "Cayhe Kwan Giok bun adalah Keluarga
dari orang she Thia itu. Urusan yang menyangkut keluarga Kwan biar kami
keluarga Kwan yang selesaikan. Sekalipun dia telah melakukan kesalahan, biar
kami sendiri yang menghukumnya dengan aturan keluarga. Hmmm! jika ada
orang luar pingin ikut campur, jangan salahkan kalau aku orang she Kwan
bertindak kejam!"
Selesai bicara, tanpa menunggu reaksi orang lain dia segera menyambar lengan
Thia Siau cing dan menariknya untuk diajak pergi.
"Ayoh, ikut aku pulang!"
Thia Siau cing seperti tak ingin pergi bersamanya, dia seperti ingin berkelit dari
tarikan itu. Namum Kwan Giok bun bukan jago sembarangan. Cahaya golok
yang sedang melancarkan serangan maut saja berhasil dia rampas, apalagi
hanya sebuah pergelangan tangan yang sedang berdiam kaku.
Begitu pergelangannya tertangkap oleh sepasang tangan yang mempunyai
kekuatan dahsyat itu, pemuda tersebut tak sanggup lagi untuk meronta dan
melepaskan diri. Thia Siau cing sangat gusar, dengan mata melotot penuh
amarah dan kebencian dia pelototi orang itu sekejap, kemudian teriaknya
dengan Suara parau, "Lepaskan aku!"
"Ibumu masih menunggu kau, ayo pulang bersama aku!"
"Kalau aku tak mau pulang?"
"Tidak mau pulang pun tetap harus pulang!"
Thia Siau cing tertawa dingin. "Biar harus pulang pun aku tetap tak pulang!"
balasnya. Cengkeraman Kwan Giok bun semakin mengencang. Siapa yang bisa
melepaskan cengkeramannya dalam keadaan begini"
Thia Siau cing masih tertawa dingin, mendadak pisau belati yang tergenggam di
tangan kanannya diayunkan ke bawah, langsung memotong pergelangan tangan
sendiri yang masih dicengkeram kuat kuat oleh Kwan Giok bun.
Muncratan darah segar segera menyembur mengotori wajah Kwan Ji, tak tahan
ia mundur tiga langkah dari posisi semula. Sekarang ia baru sadar apa yang
telah terjadi, tapi sayang keadaan sudah terlambat.
Walaupun sampai sekarang dia masih menggenggam pergelangan tangan
pemuda itu kuat kuat, tapi kini pergelangan tangan itu tinggal kutungan
pergelangan tangan keponakannya yang masih berlumuran darah. Noda darah
yang berceceran mengotori juga baju serta sepatunya.
Thia Siau cing sendiri ikut mundur dengan sempoyongan. Peluh sebesar kacang
kedele membasahi jidat serta wajahnya, tapi dia masih berusaha mempertahan
diri, katanya sambit menggigit bibir, "Aku telah membunuh orang, aku harus
bayar hutang nyawa ini, kau tak usah mencampuri urusanku, kau tak usah ikut
urusan. . ."
"Jadi kau benar benar telah membunuhnya?" tanya Kwan ji dengan perasaan
pedih. Sambil menggigit bibir Thia Siau cing mengangguk. Dia seperti ingin mengatakan
sesuatu, sayang sebelum kata kata itu sempat diucapkan ia sudah roboh tak
sadarkan diri. Dengan wajah sangat mengenaskan Kwan Ji memandang Phoa Ki seng sekejap,
kemudian memandang juga Leng Giok hong. Tiba tiba ia mendongakkan
kepalanya dan tertawa panjang.
Daun kering masih berguguran di luar jendela karena hembusan angin pagi,
suara ayam berkokok mulai kedengaran dari empat penjuru. Kwan ji tidak bicara
lagi. Tiba tiba ia melejit ke udara lalu menerobos keluar dari ruangan itu lewat
jendela, sekejap kemudian bayangan tubuhnya sudah tak nampak dari
pandangan. Menyusul di belakang Kwan ji tadi, terlihat sesosok bayangan manusia melompat
juga meninggalkan ruangan itu, dia adalah Lenghou Put heng.
Dari kejauhan terdengar Kwan Ji berseru, "Leng Giok hong, kuserahkan Thia
Siau cing kepadamu. Tapi ingat, kau harus mengadilinya secara jujur! Kalau
tidak, aku akan datang lagi untuk mencabut nyawamu!"
Hukuman yang pantas untuk seorang pembunuh adalah hukuman mati. Hukum
negara tetap merupakan hukum yang harus dipatuhi. Jangankan rakyat biasa,
seorang raja atau seorang pembesar tinggi pun tak akan bisa lolos dari hukum.
Sejak dulu hingga sekarang hukum tetap tak berubah, dan tak seorang pun bisa
menghindar dari jeratan hukum.
Thia Siau cing terbukti melakukan serangkaian pembunuhan berdarah.
Hukuman yang dijatuhkan kepadanya adalah hukuman mati, hukum penggal
kepala akan dilaksanakan selewat musim gugur tahun ini.
XIV. Catatan akhir
Musim gugur telah tiba, inilah saat bunga. seruni mulai berbunga. Arak merah
yang harum mulai dihidangkan, memenuhi cawan di atas meja.
Phoa Ki seng sudah meneguk tiga cawan besar.
"Leng Kongcu, silahkan!" katanya. Leng Giok hong juga telah meneguk habis tiga
cawan arak. "Silahkan Phoa tayjin!"
Mereka berdua sama sama angkat kepala saling memandang, empat mata saling
beradu sampai lama tanpa berkedip. Tampaknya banyak sekali persoalan yang
ingin dibicarakan, namun tak sepatah kata pun yang terucap keluar.
Yang terdengar saat ini hanya suara dedaunan yang saling bergesek tertiup
angin, seekor burung camar terbang melintas di udara meninggalkan suara
pekikan yang panjang dan nyaring.
KAWANAN SERIGALA
I. Dua Sisi Uang Logam
Pedang mestika mempunyai dua mata pedang yang tajam. Uang tembaga juga
mempunyai dua sisi. Tidak demikian dengan golok.
Bila kau periksa dua sisi dari uang tembaga tersebut, dari sisi mana pun kau
periksa, kecuali gambar yang berbeda hampir semuanya berbentuk sama.
Begitu juga dengan dua mata pedang dari pedang mestika. Dari sudut mana pun
kau periksa, mata pedang tetap terasa dingin dan tajam.
Tapi bagaimana dengan golok" jika kau periksa dari sudut mata golok,
bentuknya pasti setipis kertas. Kau akan merasa seperti berada di ujung
kematian. Sebaliknya bila kau pandang dari sudut punggung golok, maka kau
tak akan merasakan datangnya ancaman yang bisa membahayakan jiwamu.
Bahkan untuk melukai tangan pun tak mungkin.
Oleh karena itu meski golok tidak setajam pedang, lebih lamban ketimbang gerak
pedang, namun dalam kenyataan golok masih memiliki keistimewaan lain,
kelicikan serta kepandaian untuk menyembunyikan identitas sendiri. Dan di
dunia ini agaknya terdapat sejenis manusia yang mempunyai sifat persis seperti
itu. Kisah yang akan diceritakan berikut adalah kisah dari manusia jenis itu.
Semua orang tahu perjudian adalah satu organisasi yang maha besar dan sangat
rahasia sepak terjangnya. Bahkan belakangan ini perkembangan perjudian
sudah mencapai pada masa yang paling gemilang. Organisasi ini telah
berkembang melampaui perkembangan partai maupun perguruan mana pun di
dunia persilatan. Tapi tak ada yang tahu kepedihan serta kesulitan mereka.
Penderitaan terbesar dari seorang bandar judi adalah harus terus berjudi. Di
saat kau tak ingin berjudi pun kau tetap harus berjudi. Selama ada orang
memasang taruhan maka kau harus menerima taruhan tersebut, kendati pun
kau tahu kalau pertaruhan itu berat sebelah, tak adil dan pihaknya pasti akan
mengalami kekalahan.
Dalam keadaan ini, taruhan toh tetap harus berlangsung, judi tetap harus
dilaksanakan. Paling banter kau hanya bisa berusaha untuk memperkecil
kekalahan yang diderita.
Itu semua dikarenakan kau adalah "Tempat Perjudian." Tempat perjudian yang
tak berjudi sama artinya seperti rumah pelacur yang tidak menyediakan pelacur.
"Hanya bicara tanpa pelaksanaan," "hanya memukul genderang tanpa menjual
minyak," semuanya merupakan pantangan terbesar bagi orang persilatan.
Taruhan yang harus dilaksanakan dalam perjudian kali ini. merupakan satu
taruhan yang sangat tidak adil. Datanya adalah sebagai berikut:
Tanggal pelaksanan : Bulan sembilan tanggal sembilan.
Tempat pelaksanaan : Tebing naga Ciong liong leng di puncak gunung Hoa san.
Sistim pertaruhan : Tiga lawan satu.
Peserta taruhan : Tong Ci, Ni Siau ciok.
Acara taruhan : Ilmu meringankan tubuh.
II. Terbang Ke Gunung Hoa san
Musim gugur di bulan sembilan tanggal sembilan, matahari bersinar terang di
tengah udara. Angin yang berhembus di atas gunung sangat kencang, kabut tebal hampir
menyelimuti seluruh permukaan. Gunung Hoa san dengan anak bukitnya
sepanjang tiga li membentang bagai seekor naga sedang tidur. Tebing tebing
yang curam setinggi ribuan kaki tampak dari kejauhan bagai sebilah golok yang
sangat tajam, menancap dari balik awan putih.
Orang bilang Hoa san adalah gunung tercuram di kolong langit. Tempat ini
adalah tempat tercuram dari bagian gunung Hoa san. Di antara tebing tebing
curam yang terjal itulah kini sudah terbentang selembar karpet bulu kambing
dari Persia yang berwarna hijau tua, sehijau tanah lapang berumput yang subur.
Tiga orang manusia sedang duduk di atas karpet itu, mengelilingi sebuah meja
pendek, sebuah khim kuno dan sepoci air teh pahit.
Kabut tebal berwarna putih bagai susu kambing menyelimuti permukaan,
mengitari ketiga or?ang itu; seorang hwesio, seorang tosu dan seorang preman.
Sang padri adalah seorang pendeta berjubah putih, berwajah kuning pucat,
tampangnya seperti orang penyakitan seakan akan sudah banyak tahun tidak
melihat cahaya matahari dan lagi kekurangan gizi.
Si tosu berwajah angker dan sangat berwibawa, wajahnya mirip sekali dengan
cousuya mereka Lou Cu. Selain pakaiannya rapi dan bersih, tubuhnya pun
tegap. Sebilah pedang tersoren di punggungnya, pita kuning di ujung gagang
pedangnya terlihat menari kian kemari terhembus angin.
Si orang preman adalah seorang kakek berambut putih yang memakai jubah
berwarna merah. Sebetulnya dia punya perawakan badan tinggi besar. Tapi
sekarang walaupun sudah agak bungkuk seperti udang yang digoreng, namun
masih, menimbulkan satu kesan yang aneh bagi yang melihatnya, seakan akan
secara mendadak mereka berjumpa dengan sejenis makhluk aneh yang sangat
langka. Walaupun tahu kalau dia tak akan melukai dirimu, tapi tetap
mendatangkan kesan aneh, misterius dan seram yang sulit dilukiskan dengan
kata kata. Si baju hijau pemusnah sukma, si jubah merah pembetot nyawa.
KaIau orang ini adalah It kiamto mia (Pedang sakti pembetot nyawa) Toa li si
jubah merah, lalu siapa pula tosu dan padri itu"
Dalam dunia persilatan saat ini sudah tak banyak orang yang bisa duduk sejajar
dengan kakek berjubah merah itu. Kebanyakan mereka sudah pada mati atau
tak tahu kabar beritanya lagi.
Yang tersisa berapa orang pun kalau bukan seorang sesepuh perguruan besar,
dia pasti seorang bulim cianpwee yang sangat tinggi dan terhormat
kedudukannya. Tentu saja orang orang semacam itu bukan orang goblok, Tapi apa yang sedang
mereka lakukan" Kenapa mereka jauh-jauh datang ke puncak gunung Hoa san
hanya untuk duduk, seperti orang goblok"
Selisih tak jauh dari mereka bertiga tumbuh sebuah pohon cernara kuno. Pohon
itu tumbuh persis di samping sebuah tebing karang yang curam, akar pohon
yang besar tampak mencengkeram permukaan tanah kuat kuat.
Sesosok manusia terlihat berdiri bersandar pada batang pohon itu. Dia
mengenakan jubah berwarna hitam, bertelanjang kaki dan menggantungkan
sepasang sepatu berwarna kuning emas yang berbentuk aneh dan terbuat dari
karung jerami di lehernya, sementara di tangannya memegang sebuah kantung
arak terbuat dari kulit kambing yang biasa dipakai para petemak di luar
perbatasan. Waktu itu, orang berbaju hitam tersebut sedang meneguk arak dengan lahapnya.
Arak putih seperti susu kambing, manis rasanya tapi begitu sampai dalam perut
segera akan berubah jadi gumpalan api yang panas sekali.
"Putra sulung harus ternama, arak harus memabukkan."
"Lantunan setelah mabuk, pasti kata kata yang jujur!"
Irama nyanyian itu kedengaran sangat memilukan, selain terkandung juga
gejolak perasaan yang tak terlukis dengan kata. Dia seolah olah menganggap
dahan pohon yang kecil itu sebagai sebuah dataran yang sangat luas. Angin
lembut menggoyang rerumputan, dia seakan akan melihat gerombolan domba
dan kerbau sedang berlarian di padang rumput yang luas.
Si pelantun lagu seperti sedang membayangkan kembali tempat kelahirannya,
tempat yang tak mungkin bisa dikunjungi lagi.
Po Ing. Dari atas dahan pohon yang lebih tinggi, tiba tiba terjulur sebuah tangan yang
putih mulus. Dengan lima jari tangannya yang lembut sedang menggenggam
serenteng anggur, buah yang tak mungkin bisa terlihat dalam situasi dan
Elang Pemburu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kondisi seperti ini; anggur hijau yang kelihatan begitu segar penuh cairan, tapi
mirip juga dengan anggur tiruan.
Orang itu pun kelihatan seperti orang tiruan, dia memiliki rambut panjang yang
hitam pekat terurai di sepasang bahunya.
Dia pun mengenakan satu stel jubah berwarna hitam, satu-satunya bagian yang
berbeda dengan jubah yang dikenakan Po Ing adalah pada ujung bajunya.
Ujung baju yang dia kenakan dipenuhi dengan sulaman bunga, Sulaman bunga
dari benang berwarna emas.
Buas bagai harimau Kwan Giok-bun, ringan bagai walet Oh Kim siu!
Setiap orang yang hidup dalam dunia persilatan pasti akan tahu kalau dia
adalah satu-satunya kekasih dari Po Ing, sang bandar judi nomor wahid di
kolong langit. Memang tidak banyak lagi perempuan di dunia ini yang mampu
bertahan berpacaran selama tiga hari dengan Po Ing.
Sebenarnya kemampuan Oh Kim siu yang lebih hebat sehingga dapat
menaklukan Po Ing, atau sebalikriya, kemampuan Po Ing yang jauh lebili hebat
sehingga bisa menaklukan Oh Kim siu"
Tak seorang pun yang bisa menjawab persoalan ini.
Ketika buah anggur jatuh ke dalam mulut Po Ing, suara Oh Kim siu kedengaran
somakin merdu, merdu bagai suara keleningan.
"Wah, tampaknya perjudian yang diadakan kali ini betul-betul sangat ramai!
Coba lihat, si jubah merah u dan si jubah kuning Tu sampai ikut datang untuk
ikut memeriahkan pertaruhan ini!"
"Mereka bukan datang untuk ikut memeriahkan keramaian ini, sahut Po Ing.
"Mereka khusus diundang pihak keluarga Tong dengan biaya tinggi untuk
bertindak sebagai juri."
Setelah menghela napas panjang, kembali tambahnya, "Coba kau bayangkan
sendiri, kalau tidak dibayar dengan uang perak dalam jumlah besar, mana
mungkin si setan tua berjubah merah itu mau mengejakan?"
"LaIu siapakah padri itu?"
"Dia adalah seorang tokoh persilatan yang punya nama besar," jawab Po Ing, "Cia
gu hwesio yang tinggal di biara Gu-ciok sie, hutan Gu ciok lim lautan timur,
adalah dirinya!"
"Waaah... kedengarannya Cia-gu hwesio betul betul seorang padri yang cia gu
(makan kesengsaraan)," desis Oh Kim Siu sambil menghela napas.
Po Ing segera tertawa.
"Padalial di Tong hay (samudra timur) sama sekali tak ada daerah yang bernama
Hutan Gu-ciok lim. Sekalipun ada, hwesio gundul itu juga tak pernah
mendatangi karena semua nama julukan itu tak lebih hanya karangan dia
sendiri!" Setelah tertawa ringan, kembali Lanjutnya, "Dan satu hal lagi, menurut apa yang
kuketahui hwesio ini cia (makan) apa saia, namun ada satu yang tidak di cia
yaitu cia gu alias makan kesengsaraan."
Oh Kim siu tertawa geli.
"Padahal manusia semacam itu bukan cuma dia! Banyak sekali orang, di dunia
ini yang berbuat persis seperti dia. Saban hari di mulut berkaok kaok bilang
dirinya cia gu, padahal orang yang benar benar cia gu itu orang lain, sedang diri
sendiri tak pernah merasakan."
Persoalan yang mereka bahas saat ini kelewat dalam dan mengandung kritikan
yang kelewat tajam, sangat gampang menyinggung perasaan orang lain. Tentu
saia Po Ing dan Oh Kim siu tak mau berbuat begitu. Sekarang mereka sedang
gembira, karena itu pokok pembicaraan segera dialihkan ke persoalan lain.
"Menurut dugaanmu, siapa yang bakal keluar sebagai pemenang dalam
pertaruhan kali ini?"
"Menurut kau?" Po Ing balik bertanya. "Nona besar Oh yang bisa terbang
seringan burung walet merupakan seorang jago paling tangguh dalam soal ilmu
meringankan tubuh. Semestinya perkiraanmu jauh lebih akurat ketimbang
dugaanku."
Oh Kim siu memang sangat yakin kalau ilmu meringankan tubuh yang
dimilikinya sangat hebat dan tiada tandingan. Tanpa berpikir lagi ia segera
menjawab, "Walaupun keluarga Tong dari jwan pak dan keluarga Tong dari jwan
tiong punya hubungan sebagai saudara Tong, tapi andalan ilmu silat kedua
keluarga ini sangat berbecda."
Dalam masalah ini kebanyakan orang persilatan sudah tahu dengan jelas bila
keluarga Tong dari wilavah tengah sangat mengandalkan senjata amgi yang
beracun. Asal orang sudah melihat kantung senjata rahasia milik khas keluarga
Tong beserta sarung tangan kulit menjangannya, kebanyakan orang persilatan
akan mengambil langkah seribu untuk menyingkir jauh jauh.
Sebaliknya keluarga Tong yang berasal dari utara lebih mengandalkan ilmu
meringankan tubuh. Mereka sangat menguasai ilmu ginkang dan seringkali
menggunakan ilmu kuno yang sudah lama punah dari dunia persilatan.
"Yang lebih penting lagi adalah setiap anggota keluarga Tong dari utara memiliki
kesabaran yang luar biasa. Apalagi mereka sudah terbiasa hidup di daerah
pegunungan, tentu saja sifat tersebut berhubungan sangat erat dengan kondisi
tempat kelahiranya."
"Betul, jalanan di wilavah Yunnan sangat sulit dilewati, sulit seperti jalan
menuju langit," imbuh Po Ing cepat. "Karenanya orang orang di wilayah itu
sangat kuat dalam berjalan kaki."
"Tapi aku dengar orang yang dikirim keluarga Tong dari Utara kali ini adalah
Tong Ci. Konon dia merupakan jago paling tangguh dari angkatan ke dua
perguruan itu. Wajahnya sangat ganteng. Orang memanggilnya si macan
kumbang kemala."
Po Ing tertawa.
"Jika seorang pria berwajah tampan, maka apa pun yang dia lakukan, dalam
pandangan kaum wanita dia selalu tampak lebih hebat dan luar biasa," katanya.
"Bagaimana dengan kau sendiri" Masa kau tidak menjagoi Ni Siau ciok, si
burung gereja dari keluarga Ni?"
"Apa salahnya jika kujagoi Ni Siau ciok?"
"Keluarga Ni terkenal sebagai satu keluarga maling. Biarpun ilmu meringankan
tubuh yang dimiliki kaum maling selalu hebat, tapi tak bagus dalam prakteknya.
Bila aku mesti bertaruh, tak bakalan aku menjagoinya."
"Bukan cuma kau yang tidak pegang dia. Orang lain pun tak ada yang
menjagoinya," Ujar Po Ing sambil menghela napas. "Dalam kenyataan, tidak
seorang manusia pun yang mau membeli dia."
"Cuma kau seorang?"
Kembali Po Ing menghela napas panjang.
"Yah, apa boleh buat" Kalau semua orang pegang Tong Cu dan aku pun
memegang dia, lantas pertaruhan ini mana bisa jalan?"
"Tanpa taruhan berarti tak ada arena perjudian."
"Betul!"
"Kalau mau buka arena perjudian berarti kau harus terima taruhan dari orang
lain. Tong Ci telah memenangkan angka taruhan ini."
"Betul."
"Kau sudah terima berapa banyak uang taruhan?"
"Kurang lebih delapanratus ribu tahil."
"Emas atau perak?"
"Kali ini perak. Kalau tidak, mungkin kau sudah kalah habis-habisan sampai
mesti menjual rumah untuk nombok!"
"Siapa bilang aku pasti kalah?"
"Memangnya kau masih punya harapan untuk menang?"
"Paling tidak harapan tetap ada, meski sedikit," sahut Po Ing tertawa. "Kalau
dagang potong kepala saja ada yang mau kerjakan, masa kau mau melakukan
pekerjaan yang pasti merugi" jika taruhan ini betul betul bakal kalah dan tak
ada harapan lagi untuk menang, biar kau potong kepalaku pun aku tak bakal
akan mengerjakannya! "
III. Siasat Jitu
Sistim pertaruhan yang berlaku dalam perjudian kali ini adalah kee tiga, atau
tiga lawan satu. Artinya bila kau ingin memegang Tong Ci, maka jika Tong Ci
kalah kau mesti bayar tiga tahil, sebaliknya jika menang hanya menang satu
tahil. Biarpun begitu, ternyata masih banyak orang yang membeli Tong Ci, sebab
semua orang menganggap Ni Siau ciok sama sekali tak punya peluang untuk
menangkan pertaruhan kali ini. Biar mesti kee tiga, dapat dipastikan si bandar
judi bakal kalah habis-habisan hingga mesti jual celana sendiri.
Yang menjadi bandar dalam perjudian kali ini adalah Po Ing.
Si bandar judi segera akan menjadi seorang pecundang, tapi sekarang dia
nampak masih berdiri santai bahkan senyumannya masih begitu lepas dan
ringan. Di bawah pohon cernara, di atas permadani, hampir semua orang yang berada di
situ termasuk tiga orang yang duduk mengelilingi meja kecil sedang berbicara
seputar taruhan yang diadakan kali ini. Semua orang tak pernah lepas
membicarakan nama kedua orang tersebut.
"Sungguh tak nyana Po Ing berani mengadakan pertaruhan ini dengan sistim kee
tiga. Mungkin dia masih punya keyaknian untuk bisa menangkan taruhan ini,"
kata si baju kuning Tu sambil berkerut kening. "Tapi aku betul betul tak habis
mengerti, dengan cara apa Ni Siau ciok bisa menangkan Tong Ci?"
"Banyak sekali cara untuk membuat seseorang menderita kekalahan," jawab Cia
gu hwesio perlahan. "Siapa tahu dia sudah mencampuri obat racun ke dalam
arak yang diminum Tong Ci, sehingga sepanjang jalan Tong Ci mesti berak berak
sampai tujuh delapan kali. Bisa juga dia telah kirim seorang wanita cantik ke
ranjang Tong Ci dan semalam perempuan itu sudah menguras habis semua
tenaga dan energi yang dipunyai Tong Ci."
"Aku benar benar tak habis pikir," Tu berjubah kuning tertawa getir. "Bagaimana
mungkin seorang hwesio macam kau bisa berpikir sejauh itu?"
Cia gu hwesio tetap santai, setelah meneguk araknya satu tegukan, lanjutnya
"Aku si hwesio saja bisa berpikir sampai ke situ, masa Po Ing tak bisa berpikir
begitu?" "Tapi aku yakin dia tak bakal berbuat begitu."
"Kenapa?"
"Po Ing bukan manusia macam itu, sedang Tong Ci juga bukan seorang tolol.
Setolol-tololnya Tong Ci, anggota keluarga Tong yang lain pasti tak akan
membiarkan dia masuk perangkap dengan begitu gampang."
Cia gu hwesio tidak bicara lagi, dia menghirup cawannya dengan amat santai,
seolah olah dia memang seorang padri yang Saleh.
"Bagaimana dengan orang-orang keluarga Ni" Masa mereka rela membiarkan si
burung gereja kecil itu kalah habis habisan di tangan orang lain?"
Si jubah merah Li melirik hwesio itu sekejap, tiba tiba timbrungnya, "Kalau kau
si hwesio adalah anggota keluarga Ni, aku rasa memang sudah tak punya cara
apa apa lagi."
"Ya, kalau aku memang tak punya cara lain, tapi secara kebetulan aku tahu
kalau Ni Siau?-ciok sesungguhnya punya saudara. kembar, saudara kembamya
bernama Siau cong, jika sebelum pertandingan dimulai Siau cong sudah
sembunyi di sisi lain dari gunung ini, kemudian ketika si burung gereja mulai
bertanding dan sembunyikan diri lalu Siau-cong munculkan diri dan mulai
memetik khim di sini, aku pikir si pemenang pastilah keluarga Ni!"
"Ehm, memang satu muslihat yang jitu!" kata si jubah merah Li dingin. "Cuma
ada satu yang perlu disayangkan."
"Apa?"
"KaIau kau saja tahu jika Ni Siau ciok punya saudara kembar, memangnya
orang orang dari keluarga Tong tidak mengetahui juga rahasia ini?"
Cia gu hwesio baru saja meneguk habis isi cawannya, mendengar perkataan
tersebut ia jadi sangat mendongkol hingga sepasang matanya mendelik besar.
Di sisi lain, Po Ing yang berada di bawah pohon sudah tertawa terbahak bahak
saking gelinya, sehingga arak yang ada di dalam mulut nyaris tersembur keluar.
Tentu saja keluarga Tong sudah memperhitungkan sampai di situ, bahkan
sudah tahu kalau belakangan ini Ni Siau cong selalu berada di daerah Chi lam.
Bahkan tahu juga kalau mereka telah berjanji akan bertemu di loteng Im bun lo
di kota Chi lam pada bulan sembilan tanggal sembilan fajar. Bila sampai
waktunya Siau-cong tidak datang, keluarga Ni pasti akan menelan kekalahan
dalam pertandingan kali ini.
"Cara kerja keluarga Tong dari Yunnan selalu teliti bagai air dalam tempayan,
tak mungkin akan terjadi kebocoran di sana-sini," Oh Kim siu menyela sambil
tertawa. "Sungguh tak disangka si keledai gundul itu bisa berpikir sampai ke
situ." Po Ing ikut tersenyum, satu senyuman yang mengandung sesuatu maksud
tertentu. Orang lain tak akan tahu apa arti dari senyuman itu, tapi bagi Oh
Khim-siu, hanya sekali kerlingan mata saja ia sudah memahami apa yang dipikir
kekasihnya. "Apa yang sedang kau tertawakan?" tegumya. "Rencana busuk apa lagi yang
sedang kau persiapkan?"
"Aku cuma menemukan sesuatu secara tiba tiba. Ternyata perhitungan yang
dilakukan orrang dari perguruan yang kenamaan tak bisa menangkan
perhitungan dari kaum maling (Ngo bun)!"
"Maksudmu?"
"Sekalipun cara kerja keluarga Tong sangat teliti dan tak ada bocornya, pihak
yang benar benar meraih keuntungan tetap adalah keluarga Ni," jelas Po Ing.
"Kedatangan Ni Siau cong ke kota Chi lam kali ini, terlepas apa yang hendak dia
lakukan, yang pasti dia bisa mencapai keberhasilan dan pulang dengan
selamat." "Kenapa?"
"Sebab kali ini dia berhasil menemukan sebuah tulang punggung yang sangat
kuat dan tak mungkin meleset. Dijamin dunia pasti aman dan tenteram."
Akhimya Oh Khim-su mengerti juga apa yang dia katakan.
"Demi pertaruhan kali ini, orang yang diutus keluarga Tong ke kota Chi lam pasti
seorang jagoan yang sangat tangguh dan setiap saat setiap detik pasti akan
selalu mengawasi gerak gerik Ni Siau-cong. Orang lain yang tidak mengetahui
duduk perkara tentu masih mengira Ni Siau cong berhasil mengundang seorang
jagoan tangguh dari keluarga Tong untuk menjadi pengawalnya. Dalam keadaan
demikian, siapa lagi yang berani mengganggunya?"
Setelah tertawa cekikikan, kembali Oh Kim siu melanjutkan, "Tampaknya si ulat
kecil dan si burung gereja kecil dari keluarga Ni bukan lentera yang kehabisan
minyak." Tiba tiba Po Ing bertanya, "Tahukah kau dari lima partai yang dianggap sembilan
tianglo dari dunia persilatan di masa lalu sebagai kelompok maling, kini tinggal
berapa partai?"
"Masa tinggal partai dari keluarga Ni?"
"Tepat sekali! Yang tersisa cuma aliran partai mereka," Po Ing menghela napas
panjang. "Bila sebuah aliran partai sudah dicap sebagai kelompok maling,,,
maka urusan untuk melanjutkan hidup akan berubah menjadi satu pekerjaan
yang tak gampang. Coba bila kesembilan orang tianglo tersebut bisa berpikir
akan hal ini tempo dulu, mungkin mereka tak akan menuduh satu aliran partai
sebagai kelompok maling hanya gara gara aliran tersebut bisa menggunakan
dupa pemabok Kie ming ngo ku huan-hun hio (dupa wangi pembalik, sukma
yang memabukkan hingga fajar.)"
Nada suaranya masih kedengaran sangat dingin dan tawar, terusnya, "Padahal
kalau mau bicara jujur, banyak sekali aliran partai yang tak pandai
menggunakan dupa pemabuk, tapi perbuatan serta sepak terjangnya justru jauh
lebih busuk dan memuakkan ketimbang aliran aliran yang dicap sebagai
kelompok maling."
"Aku tahu kalau selama ini kau amat bersimpatik terhadap mereka," kata Oh
Kim siu sambil menatap wajahnya lekat lekat. "Sayang sekali... keluarga Ni tetap
akan menjadi pihak pecundang dalam pertaruhan kali ini."
"Hmmm, aku rasa belum tentu," sahut Po Ing sambil tertawa dingin.
Pada saat itulah tiba tiba terlihat sesosok bayangan manusia meluncur datang
dari balik tebing karang di puncak naga. Gerak geriknya amat lincah bagai
monyet yang berlompatan, dengan empat lima kali salto ia sudah melayang
turun dengan kecepatan tinggi.
Tiba tiba gerak monyet yang gesit berubah jadi gerakan burung walet yang
sangat ringan. Dengan gerakan "dada mungil menembus awan" ia melayang di
udara lalu meluncur turun persis di atas permadani berwarna hijau itu, dengan
setengah berlutut dia raih khim kuno di meja.
"Cring... cring. . .," dentingan nyaring bergema membelah angkasa dan mengema
hingga menembus jauh ke atas awan, ini membuktikan bahwa jari tangan yang
memainkan senar khim itu mengandung tenaga dalam yang luar biasa.
Orang itu bertubuh ramping, berwajah kurus dan mimik mukanya seperti orang
yang hidup dalam ketakutan. Hanya sepasang matanya yang memancarkan
sinar tajam, membuktikan kalau dia adalah seorang yang cerdas.
"Aaah, rupanya dia!" Oh Kim-siu berseru tertahan.
"Yaa, memang dia, memang dialah orangnya. Ni Siau ciok, si burung gereja
kecil!" sahut Po Ing dengan suara dingin. "Kali ini kelompok maling yang berhasil
memenangkan pertarungan ini!"
Elang Pemburu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hingga berapa tahun kemudian setelah peristiwa itu, setiap kali Po Ing bercerita
tentang hal tersebut ia selalu berkata bahwa ada satu kejadian yang tak akan
terlupakan olehnya, yaitu secara tiba tiba si Li berjubah merah bangkit berdiri,
berjalan ke hadapannya lalu dengan wajah yang serius dan sikap yang sangat
menghormat, berkata kepadanya, "Tuan Po, kau memang luar biasa. Aku kagum
kepadamu!"
Po Ing bercerita pula, "Dalam tiga puluhan tahun dia mengembara di dalam
sungai telaga, mungkin baru pertama kali itu Li berjubah merah menyebut orang
lain sebagai Tuan. Mungkin kali itu adalah kali pertama juga merupakan kali
terakhir dia berkata begitu."
"Kemudian" Bagaimana ceritanya setelah itu?" ada orang bertanya kepada Po
Ing. "Kemudian, tentu saja aku dan Ni Siau ciok pergi minum arak kemenangan,"
jawab Po Ing sambil tertawa. "Sewaktu kami pergi dari situ, orang orang dari
keluarga Tong terus menerus mengawasi aku, jika sorot mata orang orang
keluarga Tong itu sama beracunnya dengan senjata rahasia yang mereka miliki,
mungkin hari itu aku sudah mati keracunan!"
Oh Kim siu menghela napas panjang dan ikut menimbrung, "Waktu itu,
sejujurnya aku agak menaruh simpati terhadap mereka, sebab mereka sama
seperti aku. Sampai kejadian telah berakhir pun masih belum mengerti dari
mana Po Ing bisa menduga kalau Ni Siau ciok lah yang bakal memenangkan
pertarunan itu."
Di kemudian hari ada orang yang sempat bertanya kepada Ni Siau ciok, "Kalau
mesti menjawab secara jujur, ilmu meringankan tubuh siapa yang lebih tangguh,
kau atau Tong Ci?"
"Tentu saja dia lebih tangguh!"
"Siapa yang lebih besar kemungkinannya untuk menang?"
"Tentu saja peluang dia lebih besar."
"Tapi kau berhasil menangkan pertarungan itu?"
"Rasanya memang begitu."
"Ilmu meringankan tubuhnya lebih tangguh ketimbang kau, kemungkinan
menang juga dia lebih besar, lantas kenapa justru kau yang keluar sebagai
pemenang?"
Ni Siau ciok tidak menjawab, dia hanya tertawa, tertawanya sama sekali tidak
mirip seekor burung gereja. Senyuman itu lebih mirip seekor rase kecil, penuh
kelicikan. IV. Arak Kemenangan
Pada malam hari tanggal sembilan bulan sembilan, di kaki bukit Hoa san telah
didirikan sebuah tenda panjang. Aneka ragam lentera menyinari setiap sudut
tenda, belasan meja perjamuan juga telah dipersiapkan. Perjamuan ini
sebetulnya dipersiapkan untuk merayakan kemenangan Tong Ci serta para
petaruh yang memegang Tong Ci.
Sejak tengah hari, para enghiong hohan yang datang dari pelbagai sudut sungai
telaga sudah mulai minum arak di dalam tenda itu. Sambil minum mereka
menunggu, menunggu datangnya kabar gembira.
Apa mau dikata, berita yang datang dari puncak gunung ternyata sangat tidak
menyenangkan; Ni Siau ciok yang berhasil naik ke puncak gunung duluan
sambil memetik khim. Mana mungkin bisa terjadi hal demikian"
Meskipun para petaruh yang berkumpul di dalam tenda mulai merasa kikuk,
tapi semua orang masih setengah percaya setengah tidak.
Sampai kemudian Tong Ting, jago tangguh dari keluarga Tong yang khusuIs
datang dari utara guna menyelenggarakan pertarungan ini turun dari gunung,
berita burung itu baru mendapat kepastian.
"Tong Ci betul betul sudah kalah, bahkan hingga sekarang masih belum
ketahuan ke mana dia telah pergi."
Meskipun paras Muka Tong Ting telah berubah sangat berat dan serius, namun
punggungnya masih berdiri tegak, setegak sebatang tombak.
Memang beginilah sikap kebanyakan jago tangguh dari keluarga Tong. Sewaktu
menang sikapnya begini, sewaktu kalah pun mereka tetap bersikap demikian.
Tidak banyak anggota keluarga Tong yang bersikap macam Tong Ci, ketika
menderita kekalahan langsung melenyapkan diri dari hadapan orang lain.
Seperti juga apa yang pernah dikatakan Coh Liu hiang, "Semakin hebat
seseorang mempelajari ilmu meringankan tubuh, semakin lemah perasaan orang
itu. Mungkin hal ini disebabkan reaksi yang timbul dalam perasaan orang
semacam ini jauh lebih cepat daripada orang lain."
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Coh Liu hiang terhitung nomor satu di
kolong langit. Tentu saja apa yang ia jelaskan dalam masalah ini sangat masuk
di akal dan mempunyai dasar serta fakta yang kuat.
Apalagi pada dasamya dia memang termasuk seseorang yang sangat lemah dan
sensitif dalam berperasaan. Ketika Tong Ting tiba di kaki gunung, dengan cepat
ia telah membuktikan akan dua hal. Tong Ci memang kalah dalam pertarungan
ini, dia ketinggalan tigaratus jari dari Ni Siau ciok.
Satu sentilan jari dianggap sebagai "satu jari," maka tigaratus jari berarti satu
jarak waktu yang panjang sekali. Konon sistim menghitung waktu macam ini
diciptakan oleh Coh Liu hiang di masa Iafu. 'Sekalipun tak diakui oleh
masyarakat umum, namun orang persilatan telah menggunakan sistim
perhitungan seperti ini.
... Ni Siau cong masih tetap berada di kota Chi lam, pagi tadi Tong Ting baru saja
menerima surat yang dikirim lewat merpati pos oleh anak buahnya yang
ditugaskan di kota Chi lam. Bahkan dalam surat itu ditulis juga bahwa
belakangan di kota Chi-lam telah terjadi serangkaian pembunuhan berantai yang
amat misterius dan pembunuhan itu ada sangkut pautnya dengan Ni Siaucong.
Maka untuk sementara waktu Orang itu tak bisa pergi meninggalkan kota.
Meskipun berita buruk yang disampaikan Tong Ting ini sangat melukai selera
makan para petaruh yang memegang Tong Ci, tapi karena koki sudah datang,
perjamuan pun telah dipersiapkan, mau tak mau hidangan tetap harus
dimakan. Cuma saja mereka harus menyantap hidangan itu tanpa mengerti
bagaimana rasa hidangan tersebut.
Sepanjang perjamuan kemenangan itu berlangsung, si pemenang yang
sesungguhnya serta si pecundang sama sama tak diketahui kabar beritanya.
Bahkan bayangan tubuh mereka pun tidak kelihatan.
Ke mana mereka telah pergi"
Dalam pertaruhan kali ini, si pemenang yang sesungguhnya tentu saja bukan
hanya Po Ing seorang. Kim si burung elang tersebut sedang mengajak si burung
gereja memasuki sebuah lorong kecil. Di tengah lorong sempit itu terdapat
sebuah warung kecil. Sebuah tirai kain yang tebal dan sudah menghitam terkena
asap minyak terbentang di depan pintu.
Oh Kim siu, si nona besar yang pada hari hari biasa suka akan kebersihan, kini
ikut hadir juga dalam warung tersebut. Belakangan ini dia seperti tak bisa
meng?ambil keputusan sendiri, selalu mengekor di belakang Po Ing.
Seorang perempuan yang telah berusia tigapuluhan tahun bisa mengambil
keputusan macam ini, rasanya keputusan tersebut bukan hal yang keliru.
Di dalam warung hanya terdapat tiga buah meja persegi yang sudah berubah
warna. Suara pisau di dapur yang sedang mencincang daging terdengar
memecahkan keheningan. Hidangan sudah Mulai dimasak.
Po Ing periksa empat penjuru sekejap, melihat tak ada tamu lain ia segera
bertanya, "Hanya dia seorang sedang memasak?" Ni Siau ciok tertawa sambil
mengangguk. "Tampaknya ia sedang gembira hari ini. Dia bersikeras ingin turun tangan
sendiri untuk mempersiapkan hidangan," katanya.
Po Ing segera tertawa, wajahnya berseri seri. Kelihatannya ia sedang gembira
sekali, lebih gembira daripada berhasil memenangkan taruhan sebesar
delapanratus ribu tahil perak, "Bagus, bagus sekali. . ," serunya pelan.
Kemudian setelah tarik napas panjang, lanjutnya, "Masakan apa yang dia
hidangkan pertama nanti" Dadar telur?"
"Ya, yaaa. . ., dadar telur," si burung gereja tertawa. "Dadar telur adalah aturan
kunonya. Kalau pingin minum arak, mesti makan dadar telur lebih dulu!"
Po Ing tertawa tergelak, sebaliknya Oh Kim siu gelengkan kepalanya berulang
kali. Dia tak tahu siapakah "dia" yang sedang memasak dadar telur itu"
Mungkinkah orang itu bisa memasak sepiring dadar telur yang luar biasa"
Konon bila usia seseorang bertambah tua maka mulutnya akan berubah makin
rakus. usia Po Ing memang sudah tak muda, tak heran kalau belakangan ini dia
seperti makin menjaga jarak dengan dirinya.
Sementara Oh Kim siu masih melamun, dadar telur telah dihidangkan; sepiring
dadaran telur berwarria kuning tua dengan rajangan daun brambang disebar di
atasnya. Selain wangi, juga empuk, lembut dan sangat menggiurkan hati.
Sebenarnya Oh Kim siu hanya pingin mencicipi satu sumpitan. Tapi begitu telur
dadar dicicipi, mata dan sumpitnya seakan akan tak bisa meninggalkan
hidangan itu lagi.
Menyusul kemudian dihidangkan terong masak pedas, hati sapi masak kecap,
tahu masak udang cacah, misoa masak gambas dan lainnya. Walaupun
semuanya terdiri dari hidangan sehari hari, tapi hidangan yang dimasak seorang
ahli mendatangkan kelezatan yang jauh berbeda; bikin napsu makan orang
bertambah saja.
Sekarang, mau tak mau Oh Kim siu harus mengakui juga akan kehebatan sang
"koki" itu.
Tapi siapakah "koki" itu" Kenapa Po Ing tampak begitu misterius dan sangat
mencurigakan gerak geriknya ketika menyinggung soal "orang" itu"
Sampai ketika "dia" selesai cuci tangan, cuci muka dan berjalan keluar dari
dapur sambil tertawa, Oh Kim siu baru betul betul terperanjat.
"Koki" yang masak telur dadar di dapur bukan Ni Siau ciok, siapakah dia"
V. Rahasia Bagaimana pun juga, dalam dunia ini cuma ada satu orang yang benama Ni Siau
ciok. Kalau dibilang orang yang memasak telur dadar adalah Ni Siau ciok, lalu
siapakah orang yang memetik khim di puncak gunung Hoa san kemudian diajak
datang ke warung itu oleh Po Ing"
Dengan pandangan melongo Oh Kim siu mengawasi orang itu tanpa berkedip,
lalu memandang pula orang yang berada di sampingnya lekat lekat.
"Kau pastilah Ni Siau cong!
Ternyata secara diam diam kau telah tinggalkan kota Chi lam dan menyusup
kemari!" katanya.
"Bukan, aku bukan Ni Siau cong.
Siau cong masih berada di kota Chi lam," jawab orang itu polos. "Aku bernama
Siau bu." "Siau bu?"
"Betul, Siau bu," jawab orang itu. "Bu artinya tidak ada."
"Tidak ada apa?"
"Tidak ada aku," sahut orang itu. "Di dunia ini cuma ada Siau-ciok dan Siau
cong, tak pernah ada Siau bu!"
"Tidak ada Siau bu artinya tidak ada kau?"
"Betul!"
"Kalau tak ada kau, lantas siapakah kau?"
"Aku tak lebih hanya seseorang yang sama sekali tak ada."
Bukan saja ia tak nampak sedih, malahan sambil tertawa gembira terusnya,
"Orang lain pun tak ada yang tahu kalau di dunia saat ini masih ada seseorang
macam aku." Makin berkata, ucapannya semakin membingungkan. Oh Kim siu
benar benar tak habis mengerti.
Rupanya keluarga Ni mempunyai "kembar tiga." Siau-ciok si burung gereja, Siau
cong si ulat kecil dan Siau bu si tak ada. Tapi orang persilatan hanya tahu dua
di antaranya, sementara Siau-bu belum pernah tampil di depan umum. Hingga
detik terakhir di mana kehadirannya sangat dibutuhkan ia baru munculkan diri.
Menggunakan kesempatan orang lain belum tahu apa yang sebenarnya telah
terjadi, ia kacaukan pertaruhan itu dan selesaikan persoalan pelik yang
membelenggu keluarganya.
Padahal mereka sendiri pun kadang kadang tak bisa membedakan secara jelas
mana yang Siau bu, mana yang Siau-cong dan mana si burung gereja.
Oh Kim siu menghela napas panjang, gumamnya, "Po Ing, sekarang aku benar
benar merasa kagum kepadamu. Rupanya sedari awal kau sudah tahu kalau
dalam pertaruhan kali ini mereka tak bakal kalah."
Po Ing tersenyum.
"Aku toh sudah berkata kepadamu; jika tahu pasti kalah dan tak punya peluang
untuk menang, biar mesti potong kepala pun aku tak bakal menerima
pertaruhan ini."
"Tidak mungkin. Kau masih tetap akan pergi bertaruh karena kau memang
sorang penjudi sejati," ujar Oh Kim-siu dengan nada sedih. "Jika seseorang baru
akan bertaruh bila yakin seratus persen akan menang, dia tak bisa dianggap
seorang penjudi sejati."
Ni Siau-ciok si burung gereja ikut menghela napas panjang.
"Perkataan semacam ini benar-benar merupakan kata yang tak pernah berubah
sejak jaman kuno; siapa pun yang pernah mendengar pasti akan selalu
mengingatnya di dalam hati."
"Padahal aku belum pantas disebut sorang penjudi sejati, karena kemampuanku
belum mencapai taraf itu," kata Po Ing tertawa.
"Kalau kau tidak pantas, siapa yang pantas?"
"Kwan Ji, Kwan Giok-bun. Padahal aku mengira dia pasti akan datang kali ini."
Asal ada kesempatan untuk bisa bertaruh dengan Po Ing, Kwan Ji memang
selalu tak akan melewatkan peluang itu, hanya sayang".
"Kwan Ji masih berada di kota Chi-lam saat ini. Seperti halnya Siau-cong, ia
sedang terlibat dalam satu kasus pembunuhan berantai yang sangat
menghebohkan, " jelas Ni Siau-ciok. "Tapi semalam aku telah menerima surat
yang dikirim Siau-cong lewat burung merpati, konon si pembunuh sudah
tertangkap. Ternyata orang itu adalah keponakan Kwan Ji-ya, putra tunggal dari
nyonya muda ke-tiga keluarga Kwan yang bernama Thia Siau-cing."
"Thia Siau-cing?" Po Ing mengerutkan dahinya. "Masa Thia Siau-cing bisa bunuh
orang" Aku tidak percaya!"
"Kabarnya dia bukan hanya bunuh satu orang saja, bahkan ketika ditangkap ia
masih berada di tempat kejadian," jelas si burung gereja. "Malahan
kedengarannya orang yang berhasil membongkar kasis pembunuhan ini adalah
seorang jago nomor wahid dari Lak-san-bun, kepala kejaksaan Leng Giok-hong."
Po Ing mengerutkan dahinya semakin kencang. Setelah termenung sesaat ia
baru bertanya lagi, "Bukankah penguasa kota Chi-lam adalah seorang bermarga
Phoa?" "Mungkin saja. Konon dulunya dia adalah seorang pembesar tinggi pemerintahan
yang bertugas mengontrol sembilan propinsi dan mempunyai pedang Sio-hong
pokiam hadiah dari kaisar. Dia punya wewenang untuk menghukum mati orang
terlebih dulu sebelum membuat laporan."
"Berarti dia sudah menghukum mati Thia Siau-cing?"
"Sementara ini belum, tapi hukuman akan segera dilaksanakan secepatnya."
"Ayoh berangkat!" tiba-tiba Po Ing bangkit berdiri, "kita berangkat dulu ke Chilam,
di situ sedang berlangsung satu pertunjukkan menarik, kita tak boleh
sampai ketinggalan kereta."
Ni Siau-bu yang selama ini jarang berbicara tiba-tiba menyela sambil tertawa,
"Kakak Ing, bila kau cuma pingin bertemu Kwan Ji-ya, rasanya tak perlu jauhjauh
pergi ke kota Chi-lam."
Waktu itu Kwan Ji sudah tiba di gunung Hoa-san, ia sedang duduk di dalam
tenda panjang di kaki bukit sambil minum arak. Arak yang diminum jauh lebih
banyak dari hidangan yang disantap.
VI. Rekor Yang Spektakuler
Keluarga Ni memang merupakan sebuah keluarga yang penuh misteri. Mereka
seringkali menggunakan cara yang aneh dan penuh misteri untuk melakukan
sesuatu perbuatan atau pekeraan yang tak bakal dipahami dan dimengerti orang
lain. Urusan yang menyangkut Kwan Ji merupakan satu contoh yang paling bagus. Po
Ing pernah bertanya kepada Siau bu, "Kau bilang Kwan ji sudah datang" Kapan
datangnya?"
"Barusan!"
"Barusan kapan?"
"Sewaktu kau menyinggung masalah Phoa tayjin."
"Waktu itu ada orang memberi kabar kepadamu?"
"Benar!"
Po Ing segera tertawa.
"Biarpun mataku kurang jelas, paling tidak aku belum buta. Biar telingaku
kurang bagus, aku belum sampai tuli. Kalau waktu itu ada orang menyampaikan
berita kepadamu, kenapa aku tidak tahu?"
Tentu saja dia tidak buta tidak tuli. Dia mempunyai sepasang mata yang lebih
tajam dari mata elang, punya pendengaran yang lebih peka dari pendengaran
harimau, bahkan mempunyai indera ke enam seperti seekor serigala. Tapi waktu
itu, ia sama sekali tidak melihat, tidak mendengar dan tidak merasakan apa apa.
Namun dia pun tahu Ni Siau-bu bukan seseorang yang suka berbohong. Maka
dia lebih tercengang, lebih keheranan, lebih tak habis mengerti. Itulah sebabnya
Elang Pemburu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ia mendesak terus.
"Kenapa" Kenapa aku sama sekali tak tahu?"
Akhimya Ni Siau bu menjawab, jawaban yang amat jitu, katanya, "Tentu saja
kakak Ing tidak tahu, sebab kakak Ing bukan anggota keluarga Ni. Keluarga Ni
masih mempunyai banyak kemampuan yang sangat aneh. Mungkin masih
banyak yang kakak Ing tak ketahui."
Setelah berhenti sebentar, kembali ia menambahkan, "Tegasnya, persoalan yang
menyangkut keluarga Ni tak akan diketahui siapa pun di dunia ini. Bahkan
termasuk juga kami tiga bersaudara."
Kembali Po Ing tertawa. Kali ini dia benar benar tertawa, suara tertawanya pulih
kembali seperti semula, nyaring dan lantang.
"Bagaimana pun juga, aku merasa sudah lebih dari cukup asal tahu akan satu
hal," ia mem?beri penjelasan untuk diri sendiri. "Asal aku tahu kalau tiga
bersaudara dari keluarga Ni adalah sahabatku, biar lagi tidur di tengah malam
pun aku bisa merasa sangat lega."
Bagaimana dengan Kwan ji"
Waktu itu, Kwan ji betul betul sudah berada di seputar gunung Hoa san. Di
manakah dia saat itu" "Kalian tiga bersaudara adalah satu jenis manusia, tapi
Kwan ji merupakan jenis manusia yang lain," ujar Po Ing.
"Jenis manusia macam apa?"
"Di dunia saat ini masih ada sejenis manusia di mana jika dia adalah sahabatmu
maka jangan harap kau bisa tidur nyenyak di malam hari," jelas Po Ing. "Hal ini.
bukan lantaran kau bisa dicelakai sewaktu sedang tidur, melainkan kau harus
menguatirkan dia setiap saat setiap waktu, takut kalau dia bisa melakukan satu
perbuatan yang bodoh dan memusingkan kepala."
"Masa Kwan Ji ya adalah jenis orang yang selalu membuat sahabatnya
menguatirkan keselamatan jiwanya?"
"Ya, tepat sekali!"
Setelah menghela napas panjang, lanjutnya, "Orang ini sudah tersohor ketika
masih berusia belasan tahun. Dengan mengandalkan ilmu pukulan baja serta
kekuatan saktinya ia malang melintang di sungai telaga hampir puluhan tahun
lamanya. Konon sepanjang hidup belum pernah ketemu tandingan. Anehnya
orang semacam dia ternyata kalau bekerja sangat ngawur dan berangasan
seperti tingkah laku anak muda saja."
"Ing toako adalah sahabatnya?"
"Bukan, aku bukan sahabatnya. Aku tak lebih hanya tempat penampungan
baginya." "Tempat penampungan" Tempat penampungan apa?"
"Tempat penampungan ada banyak macam. Kalau pingin minum kau harus
punya tempat penampungan untuk peminum. 'Mau kongkouw, kau harus punya
tempat penampungan untuk kongkouw. Bahkan kalau pingin berjudi pun kau
harus punya tempat penampungan bagi kaum penjudi. Bila seseorang ingin
hidup senang di dunja ini maka sebuah tempat penampungan yang bagus tak
boleh tak ada!"
"Sayang sekali mencari sebuah tempat penampungan yang baik jauh lebih susah
ketimbang mencari seorang bini yang baik!" "Ya, memang jauh lebih susah!"
"Oleh sebab itu kakak Ing tak mau membuat dia menderita dan bersedih hati.
Lebih lebih tak ingin dia mengalami satu peristiwa di luar dugaan, bukan
begitu?" tanya Ni Siau ciok.
"Betul, tepat sekali perkataanmu itu!"
"Berarti kakak Ing pasti sudah tahu juga dia berada di mana sekarang?" lanjut
Ni Siau ciok sambil tersenyum. "Jika kakak Ing tidak tahu, berarti kau bukan
satu tempat penampungan yang baik baginya."
Tiba tiba Ni Siau bu menghela napas sambil menyela, "Sayang untuk menjadi
satu tempat penampungan bagi orang mati bukanlah satu pekerjaan yang
menggembirakan!"
"Untung saja untuk satu dua jam ke depan, dia belum bakal mati."
Ni Siau bu ikut tertawa.
"Ya, bila seseorang sudah mempunyai tempat penampungan macam kakak Ing,
pingin mati pun rasanya tak bakal mati!"
Saat ini Kwan Ji memang benar benar punya keinginan untuk segera mati,
sebab hampir semua Jagoan tangguh yang paling susah dihadapi di dunia
persilatan saat ini telah menjadi musuhnya semua.
Memang bukan satu pekerjaan yang gampang untuk menjalin permusuhan
dengan begitu banyak orang dalam waktu teramat singkat. Tapi Kwan Ji telah
melakukannya. Dalam bidang ini, tampaknya dia memang ahlniya. Dan mungkin tak ada orang
kedua yang bisa mengunggulinya dalam melakukan tugas sejenjs ini.
Menurut perhitungan orang tani, hanya dalam sehari, semalaman ini, dalam
waktu yang relatif amat singkat bahkan sesingkat orang lain belum selesai
menghabiskan secawan air teh, dia telah menjungkir balikkan tujuhbelas buah
meja, menghancurkan tujuhpuluh mangkuk besar, dua ratus tiga buah
mangkuk kecil, duaratus dua puluh satu buah cawan arak, tigaratus tujuh buah
piring, ditambah lagi merusak empat puluh dua buah bangku dan tigabelas
buah meja bulat besar.
Selain itu, dia masih sempat sempatnya menjotos gepeng hidung duapuluh
sembilan orang dan merompalkan gigi tigapuluh empat orang. Bila semua gigi
yang rontok ke lantai dijumlah semuanya, maka akan diperoleh seratus
enampuluh lima biji potongan gigi.
Rekor yang ia buat saat ini bukan saja spektakuler dan belum pernah dibuat
sebelumnya, bahkan orang macam Po Ing pun mau tak mau harus ikut merasa
kagum. "Kadangkala aku merasa orang ini seolah olah mempunyai tujuh delapanbelas
pasang tangan Saja," kata Po Ing. "Coba lihat sewaktu dia makan sesuatu, orang
itu seperti mempunyai tujuh-delapanbelas buah mulut dan tujuh delapanbelas
lambung!" Takaran makan Kwan Ji memang seakan akan tak ada habisnya. Walaupun
berhadapan dengan sekelompok manusia yang baru saja dihajar hingga kocarkacir,
nafsu makannya masih tetap sama besamya seperti semula.
Setelah memecahkan rekor spektakuler seperti yang tercatat di atas tadi, ia
sudah menghabiskan seekor ayam panggang utuh, seekor bebek panggang utuh,
dua mangkuk besar sup bibir ikan, semangkuk nasi delapan warna serta
duapuluh delapan biji mantao.
Padahal saat itu dia sedang berhadapan dengan sekelompok jagoan tangguh.
Dari kelompok itu paling tidak terdapat duapuluhan orang yang mampu
membunuh seseorang dalam sekejap mata.
Di atas tebing bukit di sisi seberang sana masih ada tiga orang sedang duduk di
atas permadani berwarna hijau rumput sambil mengelilingi sebuah meja kecil;
seorang padri, seorang tosu, seorang preman, sepoci air teh, seguci arak dan
sekeranjang bua?-buahan. Sebuah perpaduan lukisan yang sangat indah.
Di belakang bukit, di tempat kegelapan yang tak tembus oleh cahaya bintang
dan lentera, terlihat pula sesosok bayangan manusia sedang berdiri seorang diri
di atas batu cadas. Yang terlihat hanya sepasang matanya yang tajam, sepasang
lengannya yang kuat bagai baja, sepuluh jari tangan yang satu kali lipat lebih
besar dari jari tangan biasa serta sebuah kantung arak terbuat dari kulit
kambing yang tergantung di pinggangnya.
Dipandang dari balik kege?lapan malam yang mencekam, ia mirip sckali dengan
malaikat bengis yang datang dari langit.
... Masih untung tak ada yang melihat goloknya, golok itu tersoren di
pinggangnya. Tentu saja para kawanan jago tangguh yang bisa bunuh orang dalam sekejap
mata juga membawa senjata. Aneka ragam senjata yang mereka gunakan rata
rata tergantung di pinggang mereka.
Bagian pinggang yang ramping memang seringkali digunakan jago jago kalangan
persilatan untuk menyembunyikan senjata yang dibawa. Karena itu pinggang
orang persilatan rata rata membesar bagai ular.
Orang biasa menyebutnya "Pinggang ular."
Tiba tiba Kwan Ji mengalihkan pandangan matanya dari cawan berisi arak ke
wajah seorang lelaki setengah umur yang punya bahu lebar dan pinggang
gemuk. Lalu dengan mata melotot bentaknya, "Si pinggang ular Ting Jin cun
mahir dalam jarum, beracun, ilmu lembek, menyusut tulang dan Kin na jiu.
Konon ilmu silatnya hebat dan merupakan satu di antara tiga jagoan tangguh
dari gerombolan perampok asal gunung Ing san. Apa kau adalah Ting Jin cun?"
"Benar!" jawab Ting Jin cun lantang. Bukan cuma mengakui nama sendiri,
balikan tambahnya, "padahal julukanku yang sebenarnya adalah Si Pinggang
ular Bersisik Merah."
Walaupun ular bersisik merah belum terhitung sebagai ular yang paling
beracun, paling tidak ular jenis Itu merupakan salah satu dari ular beracun yang
punya nama. Kata Ting Jin cun lagi dengan pongah, "Tidak lucu kalau aku dipanggil orang si
pinggang ular sanca. . ."
"Bagus, bagus sekali! Si ping?gang ular bersisik merah, nama ini memang cocok
untukmu! Coba kalau dipanggil si pinggang ular sanca, jelas sangat tidak bagus.
. ." Ting Jin cun tertawa terkekeh-kekeh. Kwan Giok bun ikut tertawa tergelak juga.
Mereka berdua saling tertawa keras; satu keras, satu lunak, membuat yang
mendengar jadi bergidik, peluh dingin pada bercucuran dan bulu kuduk pada
bangkit berdiri.
Untung saja gelak tawa Kwan Ji segera berhenti. Kembati tanyanya kepada Ting
Jin cun, ?"Kau pernah bunuh orang?"
"Tentu saja!"
"Sudah bunuh berapa orang?"
"Tiga orang!" jawab Ting Jin-cun sambil tertawa seram. "Setiap hari tak lebih dari
tiga orang!"
Sekali lagi Kwan Ji menatapnya tajam tajam. Sesaat kemudian ia baru
mendongakkan kepalanya dan tertawa keras.
"Bagus, satu kebiasaan yang sangat bagus! Tiap hari hanya membunuh tiga
orang, rasanya satu jumlah yang tidak kelewat banyak, juga tak terlalu sedikit."
"Kadangkala aku bisa melanggar kebiasaan, bisa membunuh hingga tujuh
delapan-sembilan orang!"
"Kalau begitu jumlah orang yang telah kau bunuh sudah mencapai seratus
duaratus orang?"
"Bisa lebih, mustahil kurang!"
"Bagaimana dengan kau sendiri" Sudah mati belum?"
"Rasanya aku sih masih hidup," sahut Ting Jin cun. "Setahuku, orang yang
sudah mati tak bisa berbicara lagi."
Dia masih tertawa, tertawa dengan suara yang menyeramkan karena dia belum
melihat kalau mimik wajah Kwan ji telah berubah. Kwan ji seolah olah sudah
berubah menjadi orang lain, otot otot hijau sudah mulai menongol pada
lengannya, garis-garis darah pun mulai terlihat dari kelopak matanya.
Inilah pertanda awal Kwan ji sebelum membunuh orang. Dia selalu berubah jadi
macam begini tiap kali sebelum membunuh banyak orang.
Sebetulnya jarak Kwan ji dengan Ting Jin cun masih ada sekitar dua kaki lebih,
bahkan terhalang sebuah meja bundar. Tapi sekarang tangannya tiba tiba
menjulur ke depan, terdengar suara "kroook, kroook, kroook," bagai suara
rentetan mercon bambu. Terlihat sesosok bayangan manusia melambung ke
udara lalu berhembus segulung angin keras yang tajam sekali. Ketika menengok
lagi ke arah Kwan ji, ternyata dia sudah balik ke tempat duduknya semula.
Hanya kali ini dia tidak duduk melainkan masih berdiri dengan satu kaki
menempel di tanah, kaki yang lain menginjak di atas bangku. Di tangan sebelah
dia masih memegang paha ayam goreng, sementara di tangan yang lain
memegang sebuah lengan.
Itulah lengan milik Ting jincun.
Si pinggang ular bersisik merah yang nampak sangat menyeramkan bagai wajah
setan iblis itu, kini sudah berkerut seperti ular yang sedang melingkar.
Tubuhnya tertelungkup di atas meja bundar di depan Kwan ji, sebelah
tangannya mulai pangkal lengan sudah terbetot kutung oleh serangan Kwan ji
tadi. "Hmm, orang ini betul betul bedebah," katanya dengan suara parau. "Sudah
bunuh ratusan orang, bukan saja masih bisa hidup bebas dan jauh dari
jangkauan hukum, sekarang malah berani memamerkan keberingasannya!"
Suaranya makin lama semakin parau dan penuh kepedihan, lanjutnya, "Padahal
ada orang yang cuma membunuh tiga lima orang, tapi sekarang terancam
hukuman mati. Setiap saat jiwanya bakal melayang, benar benar tidak adil",
sangat tidak adil. . ."
Setelah tarik napas panjang, teriaknya lebih lanjut, "Coba kalian jawab, apakah
ini adil?"
Tak ada yang menjawab, tak seorang pun berani buka suara. Lewat lama
kemudian dari atas tebing di seberang sana baru kedengaran seseorang
menghela napas panjang.
"Hai... tahun ini lohu sudah mencapai usia delapanpuluh tiga tahun, tapi baru
sekarang aku memahami akan satu hal."
Suaranya lemah seperti seseorang yang tak bertenaga, dia memakai jubah
berwarna merah cerah, warna kegemaran gadis muda belia. Wajahnya kurus
kering dan pucat kekuning-kuningan, malahan ia seperti memakai pupur di
wajahnya yang berkerut itu.
"Hei setan tua berjubah merah, apa yang sedang kau katakan?" bentak Kwan Ji.
"Apa yang telah kau pahami?"
"Akhirnya aku benar benar paham bahwa di kolong langit ini benar benar
terdapat banyak orang bloon macam kau," ujar kakek Li berjubah merah itu
perlahan. "Sebab hanya orang bloon macam kau yang bisa menuntut keadilan di
dunia macam begini!"
"Apakah di dalam dunia saat ini betul betul sudah tak ada keadilan?"
"Ada sih tetap ada, seperti misaInya kejadian yang barusan kau bicarakan itu.
Rasanya kejadian itu sedikit lebih adil daripada kejadian lainnya."
"Kejadian apa yang kau maksud" tanya Kwan ji, satu pertanyaan yang sedikit
bodoh. Tapi dalam keadaan seperti ini mau tak mau harus ditanyakan juga.
"Setelah membunuh ratusan orang, Ting si ular bersisik merah masih bisa hidup
segar bugar dan bersombong ria dengan bangganya, sedangkan keponakanmu
Thia Siau cing, gara gara membunuh tiga sampai lima orang, bahkan masih
belum pasti apakah benar dia yang membunuh semua orang itu, sudah dijatuhi
hukuman mati selepas musim gugur nanti dan sekarang harus membersihkan
tengkuknya setiap hari dalam penjara sambil menunggu mati!"
Sambil berpaling ke arah Kwan Ji, terusnya, "Bukankah kau anggap kejadian ini
sangat tidak adil?"
Tidak menanti Kwan ji buka suara, kembali dia melanjutkan sambit menghela
napas panjang. "Padahal kejadian ini adil sekali!"
Kwan ji sangat gusar, tak tahan teriaknya, "Atas dasar apa kau mengatakan
kejadian ini sangat adil?"
"Karena keponakanmu pingin mati, dia sendiri yang ingin mati! Jika seseorang
sudah mengambil keputusan untuk mati, apa lagi yang bisa dikatakan orang
lain" Buat apa lagi kita berbicara soal adil atau tidak?"
"Darimana kau tahu kalau dia sendiri yang pingin mati?"
Kakek Li berjubah merah tersenyum.
"Bila ia sendiri tak ingin mati, dengan kau berada di sampingnya, siapa yang
bisa membuat dia mati?"
Kwan ji tertegun, ia tak bisa menjawab lagi.
VII. Taruhan Kepala
Kwan ji tak mampu menjawab, tapi dari kejauhan ada seseorang yang
menjawab. "Aaah, belum tentu begitu," jawaban orang itu penuh mengandung daya pikat
yang sangat kuat. "Secara kebetulan aku tahu masih ada seorang lagi yang bisa
menolong jiwanya.".
"Siapa?"
"Aku"!"
"Po Ing!" seru kakek Li berjubah merah sambil tertawa licik. "Sudah kuduga kau
pasti akan muncul di sini. Aku selalu menunggu kehadiranmu."
"Mau apa menunggu aku?"
"Bukan menunggu kau, tapi menunggu sekian juta tahil perak yang berhasil kau
raih belakangan ini."
Po Ing tertawa tergelak.
Dengan langkah lebar ia muncul dari balik kerumunan orang banyak. Kepalanya
yang botak memantulkan cahaya terang ketika tertimpa cahaya lentera, Persis
seperti pasir kuning di tepi sungai, memantulkan cahaya keemas emasan.
"Kau keliru besar, uang yang berhasil kuraih belakangan ini tak lebih dari sekian
ratus ribu tahil. Sayang sekali, bukan pekerjaan yang gampang bila ada orang
ingin mengambilnya, biar cuma satu dua tahil perak!"
Suara tertawa kakek Li berjubah merah semakin nyaring, wajahnya kelihatan
semaki licik. Selanya, "Kebetulan sekali aku telah menemukan satu cara yang
Elang Pemburu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sangat hagus."
"Cira apa?"
"Berjudi!"
Po Ing segera merasa semangatnya bangkit kembali. Setiap kali mendengar kata
"judi," semangatnya selalu berkobar dan meningkat tajam.
"Kau ingin bertaruh denganku?" tanya Po Ing.
"Benar!"
"Apa taruhannya?"
"Taruhannya" Kau pun tak mampu menolong Thia Siau-cing!"
"Baru bertaruh berapa banyak?"
Sepasang mata Kakek Li berjubah merah yang selama ini seperti orang
mengantuk tiba tiba memancarkan cahaya tajam.
"Aku tahu kau adalah seorang kaya raya, bahkan makin lama semakin berduit.
Tapi aku tak ingin menangkan terlalu banyak."
Setelah berhenti sejenak, dengan mata melotot kakek Li berjubah merah
melanjutkan, "Bagaimana kalau kita bertaruh satu juta limaratus ribu tahil
saja?" Suasana gempar segera menyelimuti hadirin yang berada di seputar arena.
Sebaliknya Po Ing menghela napas panjang.
"Angka satu juta limaratus ribu tahil hanya diucapkan begitu mudah dan santai,
kau anggap sedang dagang kueh talam atau gimana?" kata Po Ing sambil
gelengkan kepalanya dan menghela napas panjang. "Kelihatannya orang ini sama
sekali tak punya gambaran tentang satu angka yang menyangkut masalah duit. .
." "Kau anggap jumlah itu kelewat banyak?"
"Tidak, tidak banyak," Po Ing menggeteng. "Dalam bertaruh uang aku selalu
anggap jumlah segitu adalah jumlah yang sangat kurang. Tidak, tidak banyak.
Justru makin besar angka taruhannya semakin asyik rasanyal"
"Kalau begitu bagus sekali!"
Tiba tiba terdengar Kwan ji berteriak keras, "Po Ing, kenapa kau mesti bertaruh
denganya" Apakah kau hendak pakai alasan itu untuk menolong Thia Siau?cing?" "Dengan Thia Siau cing, aku sama sekali tak kenal. Sanak ?keluarga pun bukan.
Kenapa aku mesti menolongnya?" sahut Po Ing santai. "Aku hanya ingin
menangkan sedikit tahil perak milik tua bangka berbaju merah itu."
Setelah tersenyum, tambahnya, "Aku tahu dia pun termasuk seseorang yang
berduit banyak. Bila dia kalah taruhan kali ini, mungkin kekayaannya akan
berkurang sedikit."
VIII. Muncul Tersangka Baru
Suara roda ketera Yang bergelinding di atas jalan berbatu menggema memenuhi
angkasa. Kereta yang ditarik kuda jempolan itu berlari sangat kencang,
tujuannya adalah kota Chi lam.
Soal kuda, Po Ing sama sekali tak tertarik. Berminat pun tidak. Tapi Oh Kim siu
adalah pakarnya. Kuda hasil pilihannya bukan cuma dari ras kenamaan, bahkan
selalu merupakan kuda jempolan kelas atas. Bedanya, dia memilih kuda
jempolan hanya untuk menarik kereta. Tapi setelah dilatih secara ketat, keempat
ekor kuda dengan enambelas buah kakinya bisa berlari dengan satu gerakan
Yang sama. Kereta itu berlari sangat stabil, demikian stabilnya sampai arak dalam cawan
yang berada dalam genggaman Po Ing pun tak sampai tertumpah keluar biar
hanya setetes pun.
Dia sedang duduk bersandar dalam ruang kereta, sepasang kakinya yang cuma
memakai kaus kaki itu diangkatnya tinggi tinggi. Untung saja dia tak punya bau
kaki yang kurang sedap; dan lagi belum pernah ada orang yang menuduh
kakinya sangat bau.
Oh Kim siu sudah setengah harian melototi wajahnya tanpa bicara. Tapi
akhimya ia tak tahan, tiba tiba ujarnya, "Aku sama sekali tidak menduga kalau
kau akan bertaruh denganya. Kau yakin bisa menang?"
"Tidak," sahut Po Ing sambil tertawa santai. "KaIau yakin menang, aku tak perlu
bertaruh lagi."
... Tepat sekali perkataan itu. Bila yakin pasti menang, pertaruhan itu jadi tak
menarik lagi. Bila tak ada daya tariknya lagi, buat apa mesti bertaruh"
Ada sementara orang tak pernah akan melakukan pekerajan yang tidak yakin
akan keberhasilannya. Tapi seorang penjudi sejati tak pernah akan melakukan
pertaruhan yang diyakini pasti menang. Teori semacam ini sangat dipahami oleh
Oh Kim siu. "Tapi yang kau pertaruhan kali ini adalah Thia Siau cing! " seru Oh Kim siu.
"Aku saja ikut jadi beriba hati setelah melihat mimik muka Kwan ji. Aku yakin
dia tak pernah begitu emosi, terharu dan berterima kasih kepada seseorang
selama ini!"
"Kau anggap dia emosi dan terharu lantaran aku?"
"Tentu saja!"
"Jadi kau anggap aku bertaruh dengan kakek Li berjubah merah lantaran aku
benar benar ingin selamatkan jiwa Thia Siau cing?"
"Betul!"
"Jadi kau mengira aku menolong Thia Siau cing hanya demi Kwan ji?"
"Betul!"
"Betul, betul. . . betul kentut?mul" seru Po Ing sambil tertawa dingin. "Kwan ji
tak lebih hanya tempat penampungan bagiku untuk berjudi. Dan lagi dia adalah
tempat penampungan yang sangat baik bagiku. Selain berani bertaruh, berani
juga menerima kekalahan, bahkan sanggup membayar untuk kekalahannya.
Selain itu memangnya aku punya hubungan kentut anjing dengannya" Kenapa
aku mesti menolong keponakannya?"
Oh Kim siu tertawa lebar hingga terlihat dua baris giginya yang putih bersih.
Entah ia betul-betul sedang tertawa atau hanya pura pura tertawa.
"Memang paling baik begitu. Kalau tidak, aku masih menduga dia adalah
sahabat karibmu," kata Oh Kim siu sambil tertawa paksa. "Bila seorang penjudi
menganggap lawan tandingnya adalah seorang sahabat, sudah pasti pertaruhan
ini jadi sama sekali tidak menarik!"
Sebetulnya dia sudah mengupas sebuah jeruk untuk diberikan kepada Po Ing,
tapi sekarang, ia kirim jeruk yang telah dikupas itu ke dalam mulut sendiri.
Dia seakan akan beranggapan bahwa seseorang yang tidak punya teman, tidak
pantas untuk makan biar cuma sebiji jeruk pun. Karena itu tanyanya lagi, 'Lalu
dengan cara apa kau hendak menangkan pertaruhan ini?"
"Bila ingin menangkan pertaruhan ini, maka kita mesti menolong Thia Siau cing
lebih dahulu." jawab Po Ing. Dan untuk berhasil menolong Thia Siau cing maka
kita mesti pecahkan dulu kasus pembunuhan ini."
"Membongkar kasus pembunuhan" Kau anggap kasus pembunuhan ini belum
terbongkar?"
"Tentu saja belum!"
"Jadi Thia Siau cing bukan pembunuh sesungguhnya?"
"Pasti bukan?"
"Kenapa dia mengaku dirinya sebagai pembunuh?"
"Mungkin lantaran dia melihat kekasihnya sudah mati, hingga secara tiba tiba
merasa kecewa dan putus asa, maka dia anggap mati lebih baik ketimbang
hidup." jelas Po Ing. "Seringkali di dunia ini memang terdapat satu jenis manusia
bloon semacam ini."
"Atas dasar apa kau berpendapat demikian?"
"Walaupun kelihatannya kasus pembunuhan ini telah terbongkar tuntas,
padahal masih terdapat banyak hal yang sangat mencurigakan."
"Apa saja?"
"Kecurigaan terbesar adalah dalam kasus ini; kelebihan satu orang yang tidak
seharusnya ada di kejadian ini, dan kekurangan satu orang yang seharusnya
ada dalam kasus ini."
"Siapa yang kau maksud dengan kelebihan satu orang yang tidak seharusnya
ada di kejadian ini?"
"Phoa tayjin dari kota Chi-lam!"
"Lantas, siapa pula kekurangan satu orang yang seharusnya ada dalam kasus
ini" Apa Wan wan?" tanya Oh Kim siu.
"Tepat sekali jawabanmu!"
Wan wan adalah dayang kepercayaan nona Ang. Setiap kali Ang ang
mengadakan perjamuan, dia selalu berada di samping majikannya serta
melayani semua kebutuhannya. Sekalipun ketika mengajak tamu naik ranjang,
dia hanya kebagian berdiri di luar pintu kamar. Tapi sesaat sebelum dan sesaat
setelah kematian Ang ang, dia sama sekali tak terlihat batang hidungnya.
"Terus terang saja, hingga kini aku masih belum begitu jelas tentang kasus ini,"
ujar Oh Kim siu. "Maukah kau mengulang sekali lagi cerita tentang kasus
pembunuhan ini?"
IX. Kisah Di Balik Asap Berwarna ungu
Untuk bercerita tentang kasus ini maka kita harus berbicara dari dua hal.
Pertama tentu saja menyangkut masalah asap berwarna ungu.
Bulan lalu, di kota Chi lam setiap fajar selama beberapa hari di udara di kota itu
selalu tampak asap berwarna ungu yang muncul secara tiba tiba.
Kejadian semacam ini total terjadi sebanyak enam kali. Setiap kali sumber
muncuinya asap berwarna ungu itu selalu berbeda, dan tiap kali asap berwarna
ungu sudah muncul maka ada seorang kenamaan di kota Chi lam yang mati
terbunuh. Antara korban yang satu dengan lainnya sama sekali tak ada sangkut
paut atau hubungan khusus apa pun.
Tapi di antara para korban mempunyai satu kesamaan yaitu sehari menjelang
munculnya asap berwarna ungu itu, mereka pernah dijamu dan menginap
dengan seorang pelacur kenamaan dari kota Chi lam yang bernama Ang-ang.
Bahkan mereka semua selalu mati dibunuh oleh seorang pembunuh gelap
bertangan kidal. Kematian dalam satu serangan, bersih, cepat dan tidak
meninggalkan jejak.
Masalah kedua adalah kisah asmara yang melibatkan Tlna Siau cing dengan Ang
ang. Percintaan mereka mendapat halangan. Sejak Ang ang kawin dengan orang lain,
lalu kembali, ke rumah orang tuanya dengan predikat janda, perempuan itu tak
pernah berhasil mengikat tali perkawinan dengan Thia Siau cing.
Dalam keputus asaan dan kekecewaan yang berat, perempuan itu bukannya
masuk biara menjadi nikoh, ia justru menempuh jalan yang radikal yaitu
menjadi seorang pelacur tingkat tinggi; satu tindakan menghancurkan diri
sendiri. Tampaknya dia ingin mencari pelepasan dengan melakukan tindakan
menghancurkan diri.
Melihat kekasihnya jadi pelacur, tentu saja Thia Siau cing sakit hati. Apa mau
dikata, dia sendiri pun tak sanggup mencegah niat bekas kekasihnya itu karena
penghalang utama bagi perkawinan mereka justru terletak pada diri ibu
kandung pemuda itu, yakni adik perempuan Kwan ji, Kwan Giok bun. Orang
persilatan mengenalinya sebagai nyonya muda ke tiga dari keluarga Kwan,
Oleh sebab itulah, dia melampiaskan semua kemarahan dan sakit hatinya
kepada para tamu yang telah meniduri Ang-ang. Oleh sebab itulah di kota Chilam
terjadi serentetan pembunuhan berantai yang sangat menghebohkan.
Semua korban pembunuhan adalah orang orang kenamaan, bahkan semuanya
kaya raya. Karena menyangkut banyak orang kenamaan, kasus ini pun jadi satu
kasus pembunuhan yang menggemparkan.
Untuk membongkar kasus pembunuhan yang menggemparkan ini, pihak
pengadilan khusus mengutus seorang jagoan yang sudah amat tersohor di
kalangan Lak san bun sebagai penyelidiki nomor wahid saat itu, Leng Giok-hong,
untuk melakukan penyelidikan.
Dengan sistim kerja yang teliti dan cermat, Leng Giok hong berhasil mengungkap
banyak bukti seperti yang diceritakan di atas. Bahkan berkat jasa Ni Siau-cong
yang bertindak sebagai perantara, dia berhasil menjadi tamu agung dari Ang
ang. Malam itu, ketika Phoa Kiseng, Phoa tayjin dari kota Chi lam sedang bercakap
cakap dengan Ni Siau cong, tiba tiba dari tengah bangunan rumah yang dihuni
Ang ang kembali muncul asap berwarna ungu.
Pada saat itulah Phoa tayjin yang dikenal orang sebagai seorang sarjana yang
lemah lembut ternyata menggunakan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi
untuk meluncur ke arah sumber asap ungu itu dengan kecepatan tinggi, disusul
kemudian oleh Leng Giok hong dan Ni Siau Cong
Saat itulah mereka kembali mendengar jeritan ngeri dari Ang-ang, dan ketika
mereka menyusul ke dalam kamar tidurnya, tampak nona Ang yang cantik jelita
itu sudah tergeletak mati di atas ranjangnya. Mati dibunuh seseorang.
Ada satu orang masih berdiri di tepi ranjang sambil memegang pisau yang penuh
noda darah. Orang itu ternyata tak lain adalah Thia Siau cing.
Yang aneh, pada waktu itu dayang kesayangan Ang ang, yaitu Wan wan, sama
sekali tak kelihatan batang hidungnya.
"Apa mungkin ini yang dikatakan orang lantaran cinta kembali jadi kebencian?"
ujar Oh Kim siu sedih. "Orang kuno sering berkata, batasan antara cinta dan
benci itu mirip sekali dengan mata pisau, dan batasan seperti inilah yang paling
sukar dipertahankan secara baik."
Setelah tertawa lebar, terusnya lagi sembari melirik ke arah Po Ing, "Maka dari
itu kau mesti hati-hati, siapa tahu suatu hari nanti aku pun bakal bunuh kau"!"
"Tapi pembunuh yang menghabis
Jodoh Rajawali 20 Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama