Ceritasilat Novel Online

Elang Terbang Di Dataran Luas 1

Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id Bagian 1


"ElangTerbangDiDataranLuas
Saduran : Tjan ID
PEMBUKAAN Angin topan berhembus kencang, suara menderu
menerbangkan pasir kuning dan debu.
Betapa kencangnya angin bertiup, pasir dan debu tak
mampu menembus tenda raksasa yang terbuat dari kulit
kerbau, Thiat Gi sedang duduk di bawah lentera minyak
yang bercahaya redup, sedang menggosok tombak baja
miliknya. Sudah delapan hari angin puyuh yang menakutkan
melanda tempat itu, sudah delapan hari pula rombongan
onta mereka terjebak di tempat itu. Demikian sengsara
hidup saat itu, sampai onta yang terkuat pun mulai loyo.
Tapi Thiat Gi seperti tombaknya, sadis, tajam, kaku,
bersih, dan mengkilap.
Dia berharap Thiat-hiat-sah-cap-lak-ki (Tiga puluh enam
penunggang darah besi) pun seperti dia, tidak terpengaruh
oleh keadaan, tidak takluk dengan situasi terburuk
sekalipun, selalu patuh, taat, disiplin, dan selalu waspada.
Mereka pernah mengalami pendidikan ketat selama tiga
belas tahun, jiwa mereka sudah ditempa hingga lebih keras
dari baja. Sekarang mereka sedang melakukan patroli, yang tiap
hari mereka lakukan selama tiga belas tahun. Biarpun angin
puyuh berhembus kencang, namun mereka tak pernah
melepas kebiasaan itu.
Tuntutan kali ini jauh lebih ketat, lebih keras, sebab
barang yang mereka kawal adalah benda yang paling
merangsang napsu manusia, merangsang ketamakan
manusia sejak zaman bahuela... lantakan emas murni.
Tiga puluh laksa tahil emas murni!
Harta karun yang fantastik, yang cukup untuk
mengundang kehadiran seluruh begal, perampok ulung
yang ada di kolong langit untuk berbondong-bondong
mendatangi gurun pasir yang kejam ini.
Mau tak mau dia harus lebih waspada, lebih berhati-hati.
Angin puyuh masih berhembus kencang di luar tenda,
pasir dan kerikil yang beterbangan menghantam tenda kulit,
suaranya persis butiran es batu yang disambitkan dari
angkasa. Thiat Gi bangkit, tubuhnya yang kurus kering masih
tetap tegak bagai sebatang pit.
Dua puluh tahun berselang, dengan mengandalkan
tombak baja hitamnya ini, ia pernah menyapu tiga puluh
dua Hohan dari delapan benteng Liok-lim, kemudian ketika
bertarung di tepi sungai Yong-teng, dengan tombaknya dia
mengobrak-abrik telaga harimau. Hingga kini kekuatan
maupun ilmu silatnya sama sekali tak pernah surut.
Terhadap diri sendiri maupun terhadap pasukannya,
ketiga puluh enam orang pasukan kuda bajanya, dia
menaruh rasa percaya diri yang tinggi.
Pada saat itulah, mendadak terdengar suara pekikan
lengking berkumandang dari balik hembusan angin
kencang, suara pekikan itu berasal dari Ma-luk, orang Tibet
yang bertugas jaga kawanan onta.
"Semi kolarkolo!"
Biarpun Thiat Gi tidak mengerti apa yang sedang
diteriakkan, namun ia bisa menangkap rasa ngeri, rasa takut
yang begitu hebat, perasaan horor yang merasuk ke dalam
tulang sumsum orang itu.
Hampir bersamaan, tenda kulit kerbau yang begitu
kokoh, mendadak retak, lalu pecah menjadi bubuk halus.
Dalam waktu singkat, pecahan tenda sudah lenyap
tergulung oleh hembusan angin puyuh yang keras.
Ketika pasir tajam menghantam wajah Thiat Gi,
parasnya sama sekali tak berubah. Dia masih berdiri tegar
di situ bagai sebatang tongkat.
Angin bercampur pasir yang beterbangan di depan
matanya bagaikan selapis dinding tinggi yang terjatuh dari
langit, membuat orang awam tak mampu melihat
pemandangan di sekelilingnya, bahkan tenda yang berada
sepuluh langkah di hadapannya pun tak terlihat.
Tapi sayang dia bukan orang awam, dia bukan manusia
biasa. Sepasang matanya yang sudah terlatih lama telah
melihat kehadiran ketiga puluh enam orang anak buahnya,
berdiri berjajar di hadapannya seperti tiga baris tombak.
Betapa pun kencangnya angin bercampur pasir, betapa pun
menakutkan perubahan yang terjadi, mereka tetap dapat
menjaga ketenangan.
Di saat bencana menjelang tiba, di saat pertarungan
antara mati dan hidup, "Tenang" merupakan semacam
senjata paling mustajab.
Apalagi mereka terhitung jago kelas satu dalam dunia
persilatan, dalam soal ilmu silat, senjata rahasia maupun
senjata tajam, latihan yang mereka lakukan jauh lebih
tekun, lebih gigih ketimbang siapa pun.
Dia percaya, betapa pun menakutkannya musuh yang
datang kali ini, mereka masih sanggup menghadapinya
dengan sepenuh tenaga.
Dia pribadi sudah berpengalaman dalam menghadapi
ratusan pertarungan baik besar maupun kecil. Selama ini
tak sekali pun ia pernah mundur, apalagi merasa takut
menghadapi seseorang.
Tapi entah mengapa pada detik yang amat singkat kali
ini, tiba-tiba muncul semacam rasa takut, rasa ngeri yang
tak terlukiskan dengan kata-kata.
Semacam perasaan horor yang merasuk hingga jauh ke
dalam tulang sumsumnya.
Jeritan keras yang memilukan sudah lenyap tertelan oleh
gulungan angin puyuh, di tengah gulungan angin dan pasir
mendadak muncul seseorang.
Sejujurnya, yang terlihat oleh Thiat Gi waktu itu
bukanlah sesosok manusia, lebih tepat dibilang hanya
sesosok bayangan abu-abu gelap yang mirip sukma
gentayangan. Bagian kepala bayangan itu seolah memiliki sepasang
tanduk, tanduk macam telinga kucing, tanduk macam hasil
sulapan. Tiba-tiba Thiat Gi merasa tenggorokannya seolah dijejali
dengan segumpal bola salju yang membawa bau anyir
darah. "Siapa kau?" hardiknya.
Tiba-tiba bayangan manusia itu memperdengarkan suara
tawanya yang tinggi melengking seperti jeritan kucing, dia
hanya mengucapkan enam patah kata, "Semi kolarkolo!"
Itulah keenam kata yang diteriakkan Ma-luk tadi,
sesungguhnya apa arti keenam patah kata itu" Kenapa
begitu menakutkan" Kenapa terdengar seperti mantera yang
mampu membetot sukma manusia"
Sambil menggerakkan tombaknya memberi tanda kepada
anak buahnya, Thiat Gi berseru, "Tangkap dia!"
Perintahnya selalu dipatuhi anak buahnya, belum pernah
ada anggota pasukannya yang berani membangkang, tapi
kali ini... ternyata tak ada yang bereaksi, bahkan tak
seorang pun yang bergerak.
Kembali bayangan manusia bertanduk
memperdengarkan suara tawanya yang seperti kucing,
sepasang tangannya bergerak tiada henti.
Tiga puluh enam jagoan yang berdiri tegak bagaikan
tombak itu mendadak roboh ke tanah, satu per satu roboh
terjungkal, keadaan mereka tak ubahnya seperti boneka
kayu yang diikat dengan rangkaian tali dan kini talinya
telah ditarik. Dengan satu gerakan cepat Thiat Gi menerjang maju ke
muka, kini ia baru tahu bahwa ketiga puluh enam orang
anak buahnya telah berhenti bernapas, bahkan tubuh
mereka telah berubah jadi dingin dan kaku.
Rupanya sejak tadi mereka tidak roboh karena ada
sebatang tombak yang mengganjal di punggung setiap
orang, di balik tombak itu, masing-masing bersembunyi
seseorang, seseorang dengan kepala bertanduk telinga
kucing. Napas Thiat Gi nyaris terhenti secara tiba-tiba,
mendadak dia melejit ke tengah udara, tombak bajanya
bagaikan seekor ular berbisa langsung menusuk ke depan.
Tusukan tombak ini jauh lebih beracun dari pagutan ular
berbisa, lebih cepat dari sambaran petir.
Dalam tusukan maut ini, Thiat-tan-sin-jiong (Nyali baja
tombak sakti) telah menyertakan segenap kekuatan inti
yang dimilikinya, tapi sayang, di saat tusukan maut itu
dilontarkan, tahu-tahu bayangan manusia yang berada di
hadapannya telah melambung ke udara, kemudian
mengikuti gulungan angin puyuh yang berpusing di udara,
ia berputar tiada hentinya.
Dalam waktu singkat bayangan manusia itu telah
berubah jadi segulung angin berpusing.
Angin tak mungkin terbunuh, tak mungkin tertusuk,
apalagi mati. Sekonyong-konyong Thiat Gi merasa ada segulung angin
berpusing menyapu wajahnya, mendadak ada beribu butir
pasir lembut yang tajam bagaikan jarum menusuk sepasang
matanya, lalu dia tak bisa merasakan apa-apa lagi.
Ooo)dw(ooO Hari ini adalah bulan sembilan tanggal tiga belas. Bulan
sembilan tanggal lima belas, akhirnya badai angin puyuh
berhenti bertiup.
Angin puyuh yang melanda wilayah gurun pasir ibarat
anak panah yang dilepas pemanah sakti, bagai sabetan
golok seorang pembunuh bayaran, datang begitu tiba-tiba,
pergi pun begitu mendadak.
Wi Thian-bong melarikan kudanya dengan kencang.
Di sisi pelananya tergantung sebuah wadah anak panah,
di pinggangnya tersoreng sebilah golok.
Golok maupun anak panah sama menakutkan seperti
hembusan angin puyuh di gurun pasir.
Dia datang karena mendapat tugas menjemput Thiat Gi.
Bagaimana pun tiga puluh laksa emas murni merupakan
sebuah umpan yang susah ditampik oleh siapa pun.
Apalagi sahabat dari kalangan hitam, tak seorang pun
dari mereka yang bisa mengekang godaan itu.
Dia maupun Thiat Gi merupakan orang dari rombongan
yang sama, mereka tak akan membiarkan uang emas yang
begitu banyak jumlahnya terjatuh ke tangan orang lain.
Yang ikut serta dalam rombongannya kali ini selain anak
buahnya, Sian-hong-sah-cap-lak-pa-to (Tiga puluh enam
batang golok angin berpusing), dia pun membawa seorang
petunjuk jalan, So-ma namanya.
Andaikata perjalanannya tidak terhadang oleh angin
topan yang melanda gurun pasir, sekarang niscaya dia
sudah bergabung dengan Thiat Gi.
So-ma adalah saudara sesuku Ma-luk, kemampuan
mereka dalam mengenali situasi di gurun pasir pada
hakikatnya jauh lebih hebat dibanding kemampuan mereka
mengingat celana dalam perempuan.
Dia sudah tahu jalan mana yang akan ditempuh Ma-luk.
Tentu saja dia pun sanggup menemukan rombongan
onta yang dibawa Ma-luk.
Tapi sayang, ketika ia menemukan Ma-luk, yang
dijumpai hanya jenazah rekannya yang sudah mengering
seperti ikan teri.
Dia pun menemukan Thiat Gi beserta ketiga puluh enam
orang pasukannya.
Jenazah mereka ditemukan tak jauh dari jenazah Maluk,
namun kondisi tubuh mereka sama persis jenazah para
Lhama yang hidup di wilayah sana, sebagian besar tubuh
sudah habis dilalap burung pemakan bangkai, mereka telah
menerima kehormatan dikubur secara alami.
Masih untung ada sebagian jenazah yang telah terkubur
di balik pasir, terkubur di bawah lapisan pasir yang tak
mungkin terpanik oleh tajamnya paruh burung pemakan
bangkai. Wi Thian-bong berhasil menemukan jenazah Thiat Gi,
dia pun berhasil menemukan sebab kematiannya yang
tragis. Kondisi jenazahnya tak jauh berbeda dengan kondisi
ketiga belas jenazah lainnya yang tertimbun di bawah pasir,
tidak ditemukan luka yang jelas di tubuh mereka, tapi pada
wajah setiap orang terdapat tiga buah bekas cakar berdarah,
bekas luka seperti dicakar seekor kucing liar.
Mimik muka mereka menunjukkan rasa ketakutan yang
luar biasa, rasa ngeri, rasa horor yang jauh lebih
menakutkan ketimbang 'kematian' itu sendiri.
Begitu menyaksikan ketiga bekas cakar berdarah itu, tibatiba
paras Su-ma menunjukkan rasa ketakutan yang luar
biasa, tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut, lalu sambil
menyembah berulang kali menghadap langit, ia menjerit.
Biarpun Wi Thian-bong tidak mengerti apa yang dia
katakan, namun enam patah kata yang selalu diulang-ulang
dapat didengarnya dengan sangat jelas.
"Semi kolarkolo!"
Saat itulah dari balik langit yang biru kembali terbang
mendekat segerombolan burung elang.
Segerombolan burung elang pemakan bangkai!
Ooo)dw(ooO BAB 1. BURUNG PEMAKAN BANGKAI
Burung elang sedang berputar, berputar di bawah langit
nan biru, berputar sambil menunggu saat untuk melahap
bangkai tubuhnya. Hingga kini dia belum mati. Dia sendiri
pun ingin melahap burung elang itu. Seperti burung-burung
itu, dia pun kelaparan, kelaparan setengah mati.
Ketika kehidupan sudah mendapat ancaman, ketika
ancaman sudah mencapai satu taraf tertentu, seorang tak
jauh berbeda dengan seekor burung elang, mereka samasama
berusaha mencelakai lawan demi mempertahankan
hidup sendiri. Dia ingin sekali melompat bangun dan menangkap
burung elang itu, ingin mencari sebuah batu untuk
menimpuk burung elang itu. Kalau di hari biasa, hal itu


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat mudah dilakukan, tapi sekarang dia sudah kehabisan
tenaga, jangankan menimpuk, mengangkat tangan sendiri
pun sudah sulit.
Dia sudah mendekati ajal.
Bila sobat-sobat dunia persilatan tahu dia hampir mati,
pasti ada banyak orang yang merasa tercengang, banyak
yang sedih, banyak yang kecewa, tapi pasi juga ada banyak
orang yang merasa gembira.
Dia bermarga Hong, bernama Wi, tetapi kebanyakan
orang memanggilnya "Siau-hong", Siau-hong yang 'tak
takut mati'. Terkadang dia sendiri pun merasa dirinya memang
seorang yang tak takut mati, tak takut mati yang aneh
sekali. Dia telah melakukan perjalanan selama belasan hari di
tanah luas yang tak ada air, tanah kering-kerontang yang
tak ada kehidupan, ransum, serta air persediaannya telah
lenyap sewaktu terjadi badai gurun tempo hari.
Kini pada tubuhnya hanya tersisa sebilah pedang
sepanjang tiga kaki tujuh inci serta sebuah mulut luka
selebar tiga inci tujuh hun. Satu-satunya kehidupan yang
menemaninya sekarang hanyalah "Ci-hu" (Anjing merah).
"Ci hu" adalah seekor kuda, kuda pemberian Be Siauhong.
Be Siau-hong adalah pemilik peternakan kuda Lok-jit-becong
di wilayah Kwan-tong. Pengetahuannya tentang kuda
jauh lebih mendalam daripada pengetahuan seorang hidung
belang terhadap perempuan. Sekalipun seekor kuda yang
paling liar pun begitu terjatuh ke tangannya, pasti dapat
dilatihnya menjadi seekor kuda jempolan.
Semua kuda yang ia hadiahkan untuk teman-temannya
adalah kuda jempolan, tapi sekarang kuda jempolan yang
paling hebat pun sudah hampir roboh ke tanah.
Siau-hong menepuk pelan punggung kudanya, sekulum
senyuman seolah tersungging dari balik bibirnya yang
merekah. "Kau tak boleh mati, aku pun tak boleh mati, kita belum
lagi berbini, mana boleh mati begitu saja?"
Teriknya matahari ibarat kobaran api yang membara,
membakar seluruh permukaan bumi di seputar sana,
membuat seluruh kehidupan yang ada hangus terbakar,
beberapa ratus li di seputar sana sama sekali tak nampak
jejak manusia. Tapi... tiba-tiba ia merasa ada seseorang sedang
mengikuti dari belakang tubuhnya.
Dia sama sekali tidak melihat orang itu, juga tidak
mendengar suara langkah kakinya, namun ia dapat
merasakan, merasakan dengan instingnya yang tajam bagai
seekor hewan liar.
Kadangkala dia merasa orang itu seolah sudah berada
sangat dekat dengannya, dia pun segera berhenti untuk
menanti. Entah berapa besar harapannya saat itu agar bisa
bertemu dengan seseorang yang lain, sayang harapan itu
sia-sia. Setiap kali dia menghentikan langkahnya, orang itu pun
seakan segera ikut berhenti.
Dia adalah orang persilatan, punya banyak teman, punya
banyak musuh, bukan satu-dua orang saja yang berharap
dapat memenggal batok kepalanya.
Tapi siapakah orang itu" Mengapa selalu mengikutinya"
Apakah dia hendak memenggal batok kepalanya di saat ia
sudah kehabisan tenaga dan tak berdaya melawan" Lalu
mengapa hingga sekarang belum juga turun tangan"
Apakah orang itu masih was-was dengan pedang yang
tersoreng di pinggangnya"
Ia tak sempat berpikir lebih lanjut, apalagi
memikirkannya dengan seksama.
Terkadang meski kelaparan dapat membuat akal pikiran
orang lebih tajam dan lincah, tapi sekarang ia sudah
sedemikian laparnya hingga kekuatan untuk
mengumpulkan pikiran pun tak ada.
Kembali ia bergerak maju, bergerak dengan susah payah
sebelum akhirnya berhasil menemukan sebuah gundukan
pasir yang dapat dipakai untuk menahan sinar matahari.
Ia berbaring di balik bayangan gelap di belakang
gundukan pasir, kini elang itu terbang semakin rendah,
seolah dia sudah dianggapnya orang mati.
Dia masih belum ingin mampus, dia masih ingin berduel
melawan elang itu, bertarung sambil beradu akal, sayang
sepasang matanya makin lama semakin tak sanggup
dipentang lagi, bahkan pemandangan di depan mata pun
telah berubah jadi buram dan kabur.
Pada saat itulah dia menyaksikan seseorang.
Konon berada di tengah gurun pasir, orang seringkali
akan melihat gedung bertingkat dan hidangan yang lezat,
orang sekarang bilang fatamorgana, seseorang yang hampir
mendekati ajal pun katanya akan merasakan juga khayalan
semacam ini. Tapi apa yang dilihatnya sekarang bukan khayalan,
bukan fatamorgana, ia benar-benar telah menyaksikan
seseorang. Seorang bertubuh kecil dan kurus, mengenakan jubah
putih yang sangat lebar dengan kepala bersorban putih,
kemudian ditutup dengan sebuah topi bambu yang sangat
lebar. Di bawah bayangan topinya yang lebar, tampak bentuk
wajahnya yang kurus tajam dihiasi sebuah mulut yang lebar
dan sepasang mata setajam elang botak.
Siau-hong mengucek matanya berulang kali, meyakinkan
diri kalau apa yang terlihat tak salah.
Di tengah gurun pasir yang kejam tak berperasaan, dapat
bertemu dengan makhluk sejenis memang merupakan satu
kejadian yang patut digembirakan.
Ia segera bangkit untuk duduk, kemudian mengulum
senyuman yang kering.
Orang itu tampak menghela napas panjang, kelihatannya
ia merasa amat kecewa.
Melihat itu, tak tahan Siau-hong menegur, "Kesedihan
apa yang sedang mengganjal hatimu?"
"Tidak ada!"
"Mengapa menghela napas?"
"Karena aku tak menyangka ternyata kau masih bisa
tertawa," jawab orang berjubah putih itu sambil menghela
napas. Jarang ada orang kecewa dan menghela napas hanya
dikarenakan alasan semacam ini.
"Apa salahnya kalau aku masih bisa tertawa?" tak tahan
kembali Siau-hong bertanya.
"Hanya ada satu hal yang tak bagus," sahut orang itu,
"Orang yang masih sanggup tertawa berarti tak mungkin
cepat mati!"
"Jadi kau berharap aku secepatnya mati?"
"Betul, makin cepat makin baik."
"Oh, jadi selama ini kau menguntit terus karena berharap
aku segera mati?" seru Siau-hong, kemudian setelah
berhenti sejenak lanjutnya, "Kini, kau seharusnya sudah
tahu kalau sedikit tenaga pun tak kumiliki lagi, kenapa kau
tidak segera membunuhku!"
"Aku tak punya dendam tak punya permusuhan
denganmu, kenapa harus membunuhmu?"
"Kalau memang tak ada dendam maupun permusuhan,
kenapa kau berharap aku cepat mati?"
"Karena cepat atau lambat kau bakal mati, bukan hanya
aku saja yang berharap kau cepat mati, elang itu pun pasti
berharap kau cepat mati!"
Elang itu memang masih terbang berkeliling di atas
kepala mereka. "Jadi kau pun seperti burung elang itu, menunggu untuk
melahap daging badanku?" tegur Siau-hong.
"Setelah kau mati, cepat atau lambat jenazahmu tetap
akan membusuk dan hancur. Sekalipun dimakan elang itu,
bagimu toh sama sekali tak ada ruginya."
"Bagaimana dengan kau sendiri?"
"Aku tak ingin melahapmu, aku hanya menginginkan
pedang di sampingmu itu."
"Bagaimana pun setelah mati aku tak bisa membawa
pedang itu, kau ambil atau tidak, bagiku sama sekali tak
rugi apa-apa."
"Tepat sekali."
"Walaupun kau berharap aku cepat mati, namun tak
bakal turun tangan membunuhku."
"Aku memang tak pernah membunuh."
"Tapi bila orang itu pasti akan mati dan kenyataan ini tak
terbantahkan, maka setelah dia mati, bagi siapa saja yang
mengambil barang miliknya, hal ini sama sekali tak akan
merugikan."
Kembali orang itu menghela napas panjang, "Ai, sangat
jarang ada orang bisa memahami teori semacam ini, tak
kusangka ternyata kau memahaminya."
Siau-hong tersenyum, "Justru karena banyak teori yang
tak dimengerti orang lain baru dapat kupahami, maka
selama ini hidupku selalu gembira dan riang."
Tiba-tiba ia melepas pedang yang tergantung di
pinggangnya, kemudian sekuat tenaga dilemparkan ke
hadapan orang itu.
"Apa yang kau lakukan?" sedikit di luar dugaan orang itu
bertanya dengan tercengang.
"Aku ingin menghadiahkan pedang ini untukmu."
"Tapi pedang itu ternama dan mahal harganya."
"Ternyata ketajaman matamu sungguh mengagumkan."
"Kau belum mati, kenapa kau hadiahkan pedang itu
untukku?" "Karena di saat aku hidup dengan penuh kegembiraan,
aku pun berharap orang lain ikut gembira."
Sewaktu tertawa dia memang tampak sangat gembira.
"Bagaimana pun aku sudah hampir mati, cepat atau
lambat pedang ini tetap akan jadi milikmu, kenapa aku
tidak menghadiahkan lebih cepat kepadamu agar kau pun
ikut gembira?"
"Aku dapat menunggu," kata orang itu.
"Menunggu kematian bukan pekerjaan yang
menyenangkan, terlepas sedang menunggu kematian sendiri
atau menunggu kematian orang, keduanya sama-sama tak
menyenangkan. Aku tak pernah mau melakukan perbuatan
yang tak menyenangkan, aku pun tak ingin orang lain...."
Orang itu menatapnya dengan sepasang mata elangnya
yang tajam, tiba-tiba dia ikut menghela napas.
"Ternyata kau adalah manusia yang sangat aneh, aneh
setengah mati."
"Tepat sekali pernyataanmu itu," sahut Siau-hong sambil
tertawa. "Tapi bila kau ingin menggunakan cara ini untuk
mengetuk hatiku, agar aku menolongmu, maka
pemikiranmu itu keliru besar, selama hidup belum pernah
hatiku terketuk oleh siapa pun."
"Aku dapat melihatnya."
Sekali lagi orang itu mengawasinya dengan mata
melotot, tiba-tiba serunya, "Sampai berjumpa lagi!"
Seringkali arti kata "sampai berjumpa lagi" bukan berarti
masih ingin bertemu lagi lain waktu, tapi selamanya tak
akan berjumpa lagi.
Gerakan tubuhnya tidak terlampau cepat, dia tak akan
menghamburkan sedikit tenaga pun dalam keadaan yang
tak perlu. Sementara pedang itu masih tertinggal di atas tanah.
"Kau telah melupakan pedangmu," seru Siau-hong cepat.
"Tidak, sama sekali tidak melupakan."
"Mengapa kau tidak membawa pergi pedang itu?"
"Bila kau sudah mati, aku pasti akan membawa pergi
pedang itu," jawab orang itu.
"Bukankah pedang itu telah kuhadiahkan kepadamu"
Masa kau menampiknya?"
"Selama hidup aku belum pernah mau barang milik
orang hidup," kata orang itu cepat, kemudian lanjutnya,
"Dan sekarang kau masih hidup."
"Jadi kau tak mau semua barang milik orang hidup?"
"Tidak mau."
"Tapi ada berapa jenis barang yang tak mungkin dimiliki
orang mati, seperti misalnya persahabatan."
Orang itu memandangnya dengan sinar dingin, seakan
belum pernah mendengar kata "persahabatan".
"Kau belum pernah memiliki sahabat?" tanya Siau-hong.
"Tidak!" jawaban orang itu singkat dan tegas.
Dia mulai berjalan lagi ke depan, tapi hanya selangkah
kemudian berhenti lagi, karena secara tiba-tiba ia
mendengar berkumandangnya suara derap kaki kuda yang
amat ramai dari kejauhan, suara itu gemuruh seperti suara
genderang perang, penuh diliputi hawa pembunuhan yang
kental. Kemudian ia menyaksikan debu beterbangan dari
belakang gundukan pasir, ternyata yang datang bukan
hanya seekor kuda seorang.
Parasnya yang kurus seketika terlintas perubahan mimik
yang sangat aneh, tiba-tiba ia berbaring, berbaring di bawah
bayang- bayang gundukan pasir, mengawasi elang
pemangsa yang terbang berputar makin lama semakin
rendah. Suara derap kaki kuda semakin mendekat. Pada saat
itulah, tiba-tiba terdengar desingan angin tajam bergema
membelah angkasa dan melesat ke tengah udara.
Tampaknya sang elang memiliki firasat yang tajam, dia
seakan sudah merasakan gejala yang tidak menguntungkan
bagi dirinya, ia siap terbang melesat ke tengah angkasa.
Sayang gerakannya terlambat selangkah, di mana angin
tajam menyambar, tiba-tiba tubuhnya menggelepar di
tengah angkasa, kemudian rontok jatuh ke bawah,
meluncur jatuh disertai sebatang anak panah.
Sebatang anak panah berbulu sepanjang tiga kaki
menerjang dari bawah sayap kirinya langsung tembus ke
punggung kanannya, membuat tubuh elang itu meluncur


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jatuh dan tak pernah bergerak lagi.
Padahal waktu itu si pemanah masih berjarak tiga puluh
tombak dari tempat itu, namun anak panah yang dilepas
olehnya dapat menembus tubuh elang itu secara telak.
Sambil menghela napas gumam Siau-hong, "Terlepas
siapa pun orang itu, aku berharap dia datang bukan
lantaran sedang mencari aku."
Suasana terasa begitu hening, sepi, langit nan biru serasa
makin suram, suara derap kaki kuda telah berhenti di
kejauhan sana, debu dan pasir yang beterbangan pun telah
mereda. Elang kelaparan yang sedang menanti untuk makan
daging jenazah pun kini hanya bisa menunggu orang lain
melahap daging tubuhnya.
Semua irama kehidupan seolah terhenti pada detik itu,
namun kehidupan tetap harus berlanjut, suasana hening
seperti ini tak mungkin berlangsung terlalu lama.
Tak selang beberapa saat kemudian, suara derap kaki
kuda kembali berkumandang, tiga ekor kuda secepat anak
panah terlepas dari busur berlari mengitari gundukan pasir
dan bergerak mendekat, orang pertama adalah seorang
lelaki bermantel hitam dengan ikat pinggang berwarna
merah, di sisi pelana tergantung anak panah, dalam
genggamannya memegang gendawa, sedang sebilah golok
tergantung di pinggangnya.
Baru saja kuda itu berhenti, dia telah berdiri di depan
kudanya, manusia dan kuda sama-sama cekatan, yang luar
biasa adalah sinar matanya yang tajam menggidikkan,
membuat siapa pun tak berani menatapnya kelewat lama.
"Aku bernama Wi Thian-bong."
Suara itu rendah dan berat, penuh keangkeran dan
keangkuhan. Dia hanya menyebut nama sendiri, seolah
nama itu sudah cukup menerangkan segala sesuatunya,
karena setiap orang seharusnya pernah mendengar
namanya dan siapa pun yang pernah mendengar nama itu
seharusnya bersikap hormat dan patuh kepadanya.
Tapi dua orang yang sedang terkapar di hadapannya
sama sekali tak bergerak, sedikit reaksi pun tak ada.
Sinar mata Wi Thian-bong yang tajam bagai mata golok
sedang mengawasi wajah Siau-hong tanpa berkedip,
mendadak tegurnya, "Tampaknya kau sudah berjalan
banyak hari di tengah gurun pasir, pasti telah bertemu
dengan badai pasir itu."
Siau-hong tidak menjawab, dia hanya tertawa getir.
Baginya badai itu pada hakikatnya bagaikan sebuah
impian yang sangat buruk.
"Dalam dua hari belakangan, apakah kau telah
menjumpai seseorang yang mencurigakan?" kembali Wi
Thian-bong bertanya.
"Ya, aku telah bertemu seseorang," jawab Siau-hong.
"Siapa?"
"Aku!"
Kontan Wi Thian-bong menarik wajahnya, dia paling
tak suka gurauan semacam ini, tegurnya ketus, "Bila
bertemu orang yang mencurigakan, aku hanya mempunyai
satu cara untuk menghadapinya."
"Aku tahu."
"Apa yang kau ketahui?"
"Bila bertemu orang yang mencurigakan, kau pasti akan
memotong hidungnya, lalu memotong sebuah telinganya,
memaksa dia mengakui asal-usul serta identitasnya,
kemudian sekali bacok kau habisi nyawanya."
"Apakah kau akan mengatakan juga bahwa dirimu
adalah orang yang mencurigakan?" ejek Wi Thian-bong
dingin. Siau-hong menghela napas panjang.
"Mau mengatakan atau tidak sama saja hasilnya. Bila
manusia seperti aku bukan orang yang mencurigakan, siapa
lagi yang pantas dicurigai?"
"Kau ingin aku menggunakan cara itu untuk
menghadapimu?"
"Bagaimana pun juga aku toh sudah hampir mati,
terserah cara apa yang hendak kau gunakan untuk
menghadapiku, karena tak masalah lagi untukku."
"Tapi kau bisa saja tak usah mati, asal ada sekantung air
sekerat daging, maka nyawamu pasti akan terselamatkan."
"Aku tahu."
"Aku punya air, aku pun punya daging," kembali Wi
Thian-bong berkata.
"Aku mengerti."
"Mengapa kau tidak memohon kepadaku?"
"Kenapa aku harus memohon kepadamu?"
"Karena aku dapat menyelamatkan jiwamu!"
Siau-hong segera tertawa. "Bila kau bersedia
menolongku, tak perlu aku memohon kepadamu. Bila kau
enggan menolongku, memohon pun tak ada gunanya."
Wi Thian-bong menatapnya tajam, menatap tubuhnya
dari atas hingga ke bawah, tapi secara tiba-tiba gendawanya
sudah ditarik kencang, anak panah telah terpasang di atas
busur dan... "Sreeeet!", sebatang anak panah telah
dilepaskan. Siau-hong tetap tak bergerak, bahkan mata pun tak
berkedip, sebab dia sudah melihat sasaran anak panah itu
bukan tertuju ke arah dirinya.
Anak panah itu dibidikkan ke arah orang berjubah putih
bermata elang, yang diarah pun bagian tubuh yang
mematikan. Selama ini Wi Thian-bong seakan tak pernah menengok
ke arahnya, walau sekejap pun, tapi panah yang dilepaskan
tepat mengancam tenggorokannya.
Wi Thian-bong berjuluk Nu-ciam-sin-kiong (Panah
amarah gendawa sakti) selalu tepat sasaran, tak sekali pun
meleset dari targetnya.
Tapi kali ini ada pengecualian.
Orang berjubah putih itu hanya menggerakkan kedua jari
tangannya, tahu-tahu anak panah yang dilepas itu sudah
terjepit di antara jari tangannya.
Biji mata Wi Thian-bong segera berputar, cahaya setajam
sinar golok pun memancar keluar dari balik matanya.
Menyusul dua orang pemuda berpakaian ketat yang
berada di sisinya telah mencabut golok Sian-hong-to
mereka. Tiba-tiba Wi Thian-bong mengayunkan tangan, dengan
gagang busurnya yang terbuat dari baja, dia pukul golok di
tangan mereka hingga rontok.
Kedua orang pemuda itu melengak.
"Tahukah kalian, siapakah orang itu?" kata Wi Thianbong
sambil tertawa dingin, "Hmm, hanya mengandalkan
kemampuan kalian berdua, berani mencabut golok?"
Kemudian perlahan-lahan ia membalikkan badan,
menghadap ke arah orang berjubah putih itu dan lanjutnya
ketus, "Bila kau menyangka dengan berlagak tidur di atas
tanah pura-pura mampus, lantas aku tak mengenal dirimu
lagi, maka kau keliru besar."
"Jadi kau kenal dia" Siapa dia?" tak tahan Siau-hong
bertanya. "Dia adalah Po Eng!"
"Po Eng!"
Siau-hong membelalakkan sepasang matanya lebar-lebar.
Siapa pun itu orangnya, bila bertemu orang ini, sepasang
mata mereka pasti akan terbelalak lebar, karena di dunia
persilatan nyaris tiada orang kedua yang lebih misterius
daripada orang ini.
Dalam perjalanan hidupnya yang hingar-bingar terdapat
banyak kisah cerita, dan setiap kisahnya selalu dipenuhi
dengan misteri.
Siau-hong menghembuskan napas panjang, gumamnya,
"Sungguh tak kusangka, akhirnya pada hari ini aku dapat
berjumpa dengan Po Eng!"
"Aku pun tak menyangka," sambung Wi Thian-bong.
"Kau punya dendam dengannya?"
"Tak ada."
"Mengapa kau ingin membunuhnya?"
"Karena aku ingin menjajal, benarkah dia adalah Po
Eng." "Kalau dia adalah Po Eng, tak mungkin ia mati
tersambar panahmu. Bila dia mati, berarti orang itu bukan
Po Eng." "Tepat sekali."
"Bila ia mati, yang mati tak lebih hanya seorang yang tak
tahu diri. Nu-ciam-sin-kiong-can-kui-to (Panah amarah
busur sakti golok pemenggal setan) sudah lama malangmelintang
di dunia persilatan, meski salah membunuh
orang bukanlah sesuatu hal yang luar biasa."
"Benar, bukan hal yang luar biasa," Wi Thian-bong
membenarkan, kemudian setelah berhenti sejenak,
lanjutnya dingin, "Demi uang emas sebanyak tiga puluh
laksa tahil, biarpun salah membunuh tiga sampai lima ratus
orang lagi pun bukan masalah."
"Tiga puluh laksa tahil emas" Dari mana datangnya tiga
puluh laksa tahil emas?" tanya Siau-hong keheranan.
"Aku tahu dari mana uang itu berasal, tapi tak tahu ke
mana uang itu lari."
Hari ini adalah bulan sembilan tanggal enam belas,
selisih dari hari kematian Thiat Gi yang mengenaskan serta
terbegalnya uang emas baru tiga-empat hari. Kasus
perampokan yang sangat menggemparkan dunia persilatan
ini belum ketahuan orang persilatan.
"Apakah kau menyangka dia pasti tahu?" kembali Siauhong
bertanya. Wi Thian-bong tertawa dingin.
"Po-toakongcu sangat terhormat, kalau bukan lantaran
tiga puluh laksa tahil emas, buat apa dia mesti bersusahpayah
datang ke tempat gersang yang jauh dari arak wangi
dan perempuan cantik?"
Ooo)d*w(ooO BAB 2. PANAH AMARAH
"Benar!" Siau-hong manggut-manggut.
"Po-toakongcu sekali keluar uang, ribuan tahil bisa
melayang, selama ini memandang harta bagaikan tahi
kerbau, kalau bukan lantaran seringkali memperoleh
tambahan dari luar. Dari mana dia peroleh begitu banyak
uang yang bisa dihamburkan semau sendiri?"
"Benar," sekali lagi Siau-hong mengangguk, namun
setelah dipikir sejenak, tiba-tiba ujarnya, "Hanya ada satu
hal yang kurang tepat."
"Hal apa?"
"Seberapa banyak uang emas tiga puluh laksa tahil" Aku
tak tahu karena belum pernah kulihat emas sebanyak itu,
aku hanya tahu sekalipun ada orang menghadiahkan emas
sebanyak tiga puluh laksa tahil kepadaku pun belum tentu
aku sanggup mengangkutnya."
Kemudian setelah tertawa, kembali ujarnya, "Kau
anggap Po-toakongcu seorang diri sanggup mengangkut
emas sebesar tiga puluh laksa tahil?"
"Dari mana kau tahu kalau dia hanya sendirian?" jengek
Wi Thian-bong dingin.
"Aku memang datang lantaran persoalan ini!" tiba-tiba
Po Eng buka suara.
Sekali lagi biji mata Wi Thian-bong berkerut kencang.
"Pengeluaranku memang amat besar," kembali Po Eng
berkata, "Jadi emas itu memang tepat untuk menutup
semua ongkos dan pengeluaranku."
"Tiga puluh laksa tahil emas bukan jumlah yang sedikit,"
seru Wi Thian-bong.
Ternyata Po Eng tidak menyangkal, "Betul, memang
bukan jumlah yang kecil."
"Oleh karena itu uang emas sebanyak itu teramat susah
disembunyikan walau terjatuh ke tangan siapa pun."
"Memang susah sekali."
"Kalau memang susah disembunyikan, berarti lebih
susah lagi untuk mengangkutnya pergi."
Tiga hari setelah kejadian perampokan itu, seluruh
kawasan di seputar sana telah dikelilingi para pemburu
emas, memang tidak mudah untuk mengangkut tiga puluh
laksa tahil emas dari tempat itu tanpa diketahui orang lain.
Wi Thian-bong menatap tajam wajah Po Eng, katanya
lagi dengan ketus, "Oleh karena itu kuanjurkan, lebih baik
serahkan semua emas itu kepadaku."
Tiba-tiba Po Eng menutup wajahnya dengan topi yang
dikenakan, sama sekali tak menggubris dirinya lagi.
"Dari mana kau bisa tahu kalau emas itu jatuh ke
tangannya?" tak tahan Siau-hong bertanya lagi.
"Jago yang mengawal emas murni itu adalah Thiat Gi."
"Thiat-tan-sin-jiong (Peluru baja tombak sakti) Thiat Gi?"
Wi Thian-bong manggut-manggut, balik tanyanya, "Ada
berapa banyak jago dalam dunia persilatan yang mampu
membunuhnya?"
"Tidak banyak."
"Tahukah kau, di saat emas itu dirampok, Thiat Gi
beserta ketiga puluh enam jago thiat-hiatnya mati dalam
keadaan mengenaskan?"
"Tidak tahu."
"Dari mana Po-toakongcu bisa tahu?" Siau-hong tidak
bicara lagi. Wi Thian-bong dengan tangan sebelah memegang busur,
tangan yang lain sudah mulai menggenggam gagang golok
yang tersoreng di pinggangnya.
Biarpun goloknya belum dicabut dari dalam sarungnya,
dari balik matanya telah terpancar napsu membunuh yang
jauh lebih menakutkan daripada mata golok.
Kalau bisa Siau-hong ingin sekali menyingkap topi yang
menutupi wajah Po Eng, agar dia dapat melihat sorot mata
lawan yang menakutkan itu.
Bila golok sudah dilolos dari sarungnya, setan pun dapat
ditebas Wi Thian-bong dengan sekali bacokan, apalagi
hanya seorang yang menutupi wajahnya dengan topi.
Apalagi dalam kantung kulitnya masih terdapat anak
panah, panah amarah yang lebih dahsyat dari guntur, lebih
cepat daripada kilat.
Topi itu masih menutupi wajahnya, golok pun masih


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berada dalam sarung.
Tiba-tiba dari balik gundukan pasir berkumandang suara
jeritan ngeri yang memilukan. "Semi kolarkolo!"
Tentu saja Siau-hong tidak mengerti apa arti teriakan itu,
namun ia dapat mendengar jeritan itu dicekam perasaan
takut yang luar biasa, rasa takut, ngeri seakan ada seseorang
hendak mencabik-cabik tubuhnya.
Ketika ia mendengar jeritan ngeri itu, Wi Thian-bong
bagai panah yang terlepas dari busur telah melejit ke depan,
melewati gundukan pasir.
Sebetulnya ia sudah tak memiliki kekuatan tubuh lagi,
jangankan berdiri, bergerak pun sudah tak sanggup lagi, tapi
ia termasuk pemuda yang rasa ingin tahunya sangat kuat,
kadang kala rasa ingin tahu merupakan salah satu
penggerak kekuatan yang dimiliki manusia, menggerakkan
kekuatan terpendam yang paling purba dari makhluk
manusia. Ternyata dia ikut melompat bangun, mengikut di
belakang Po Eng, melewati gundukan pasir itu.
Begitu keluar dari gundukan pasir, dia pun menyaksikan
sebuah pemandangan seram yang selama hidup tak
mungkin akan terlupakan.
Coba kalau lambungnya saat ini tidak berada dalam
keadaan kosong, kemungkinan besar ia sudah
memuntahkan seluruh isi perutnya.
Kuda masih berlari kalap, namun tubuh manusia telah
terkapar tumpang tindih.
Tiga puluh enam jago pedang kilat angin puyuh anak
buah Wi Thian-bong, sudah ada tiga puluh empat orang
yang roboh bersimbah darah.
Golok mereka rata-rata belum sempat dicabut dari
sarungnya. Padahal kawanan jago itu merupakan jago
golok kilat yang amat tersohor dalam dunia persilatan,
namun belum sempat mereka melolos senjata, nyawa
mereka sudah melayang di tangan orang.
Kematian orang-orang itu tidak mirip mati di tangan
orang lain, tapi mati karena dicakar seekor kucing, sebab
pada wajah setiap orang tertinggal tiga buah bekas cakaran
kucing yang masih mengeluarkan darah.
Seorang berpakaian Tibet, dengan wajah luyuh dan sayu
kini mengejang karena takut dan ngeri yang mencekam,
sedang berlutut di atas tanah, mengangkat tinggi-tinggi
sepasang tangannya dan berteriak berulang kali ke atas
langit, "Semi kolarkolo!"
Tahun ini Su-ma berusia lima puluh satu tahun, sejak
umur tiga puluh empat tahun ia sudah bekerja sebagai
penunjuk jalan bagi bangsa Han, kecuali Ma-luk, saudara
satu sukunya, jarang ada yang hapal wilayah gurun pasir
sehapal dirinya.
Gurun pasir yang tak berperasaan, bagaikan sebuah
impian buruk yang menakutkan, walaupun terkadang bisa
muncul pemandangan indah yang bisa membuat orang
kalap dan gila, namun pada akhirnya hanya kematian yang
datang menghampiri.
Baginya kematian sudah bukan merupakan suatu
kejadian yang menakutkan, ia sudah terlalu sering
menyaksikan tulang-belulang manusia yang mati tercecer di
tengah gurun. Selama hidup belum pernah juga terlihat ia begitu
ketakutan, sedemikian takutnya hingga tubuhnya
mengejang keras.
Ketakutan pun merupakan semacam penyakit yang
sangat menular, seperti penyakit menular yang mematikan,
melihat orang lain ketakutan, terkadang diri sendiri pun jadi
ikut takut, ketakutan yang membingungkan.
Apalagi tiga puluh enam golok kilat angin puyuh yang
nama besarnya telah menggetarkan sungai telaga, ternyata
dalam waktu singkat nyaris mati mengenaskan secara
bersamaan, peristiwa ini sendiri pun sudah merupakan
sesuatu yang amat menakutkan.
Tiba-tiba saja Siau-hong merasakan kaki tangannya ikut
dingin, dingin sebeku salju, peluh dingin bercucuran
membasahi tubuhnya, meleleh melalui ujung hidungnya.
Sewaktu ia melompat bangun tadi, Po Eng masih
berbaring, wajahnya masih tertutup topi, tapi ketika ia
berputar ke balik gundukan pasir, ternyata Po Eng telah
berdiri di situ.
Po Eng berdiri dengan wajah hambar, sama sekali tak
nampak perubahan mimik mukanya.
Yang mengalir dalam tubuh Po Eng seakan bukan darah
yang panas, melainkan air salju, air yang dingin.
Namun Siau-hong seolah mendengar mulutnya sedang
menggumam lirih, mengulang mantra menakutkan yang
didengarnya berulang kali.
"Semi kolarkolo!"
"Apakah kau mengerti apa arti mantra itu?" Siau-hong
segera bertanya.
"Aku mengerti."
"Apakah kau bersedia memberitahukan kepadaku?"
"Bersedia."
"Apakah semi artinya beras yang terbuat dari batu
kerikil?" kembali Siau-hong bertanya.
"Bukan, batu kerikil bukan beras, batu kerikil tak bisa
jadi beras, batu kerikil tak bisa dimakan, bila batu kerikil
bisa dimakan, tak ada orang yang mati kelaparan di dunia
ini." "Tapi aku seperti mendengar orang itu menyebut semi
dan kau pun sempat mengulangnya."
"Itu bahasa Tibet!"
"Apa maksud semi dalam bahasa Tibet?"
"Kucing!"
"Kucing?"
"Ya, kucing!"
Kucing adalah sejenis binatang yang sangat penurut,
binatang yang sering dijumpai dalam kehidupan manusia,
jangankan orang dewasa, nona kecil berusia enam-tujuh
tahun pun berani membopong kucing dalam pelukannya.
Kucing suka makan ikan.
Manusia pun suka makan ikan, makan lebih banyak ikan
daripada kucing.
Kucing suka makan tikus.
Banyak orang takut tikus, namun jarang yang takut
kucing. "Apa seramnya seekor kucing" Ikan saja tak takut
kucing, ikan hanya takut manusia, manusia yang
menangkap ikan."
"Betul."
"Hanya tikus yang takut kucing."
"Tepat sekali!"
Tiba-tiba sinar mata elangnya memancarkan cahaya
yang sangat aneh, seakan dia sedang mengawasi sebuah
tempat menakutkan di kejauhan yang penuh diliputi
kemisteriusan dan keanehan.
Tampaknya Siau-hong pun seakan terbius, terpengaruh
oleh situasi penuh misteri ini, ternyata ia tidak bertanya
lebih jauh. Wi Thian-bong masih berusaha keras memulihkan
kembali ketenangan Su-ma, minta dia untuk bercerita
kembali kisah yang baru saja dialaminya, tapi sayang, orang
Tibet yang paling gemar minum arak Cing-ko-ciu (arak dari
sorgum) ini masih tetap tak mampu menenangkan hatinya.
Lewat lama kemudian Po Eng dengan nada perlahan
baru berkata lebih jauh, "Konon di ujung dunia terdapat
sebuah puncak gunung yang lebih tinggi dari langit, bukan
saja puncak gunung itu diselimuti salju abadi yang tak
terhingga tebalnya, bahkan di sana pun hidup siluman iblis
yang jauh lebih menakutkan dari setan mana pun..."
"Apakah kau maksudkan puncak Cu-mu-lang-ma
(Himalaya)?" tanya Siau-hong.
Po Eng manggut-manggut.
"Siluman iblis yang kumaksud adalah kucing," katanya,
"Walaupun tubuhnya berwujud manusia, namun kepalanya
masih tetap berupa kucing."
" Kolarkolo apa artinya?"
"Penyamun, bandit, rampok, semacam rampok yang
sangat ganas dan jahat, bukan saja merampok harta
kekayaan manusia, dia pun makan daging dan mengisap
darah manusia."
Setelah berhenti sejenak, kembali lanjutnya,
"Kebanyakan mereka adalah orang-orang suku Gorlo yang
hidup jauh di perbatasan Tibet, cara mereka hidup, budaya
serta dialek bicara jauh berbeda dengan orang lain, bahkan
sifat mereka buas, ganas dan barbar, jauh lebih buas dan
kejam daripada orang-orang suku Kazak."
Akhirnya dia menambahkan lagi, "Gorlo dalam bahasa
Sansekerta masih memiliki arti lain"
"Apa artinya?"
"Kepala siluman." Siau-hong menghela napas panjang.
"Ai, siluman iblis bertubuh manusia berkepala kucing,
bandit berkepala siluman yang buas, ganas dan barbar...."
Dia pandang Su-ma sekejap, kemudian melanjutkan,
"Tak aneh orang ini ketakutan setengah mati, bahkan
sekarang aku pun mulai merasa sedikit takut."
Mendadak Wi Thian-bong menarik tangan Su-ma yang
tiada hentinya mengejang keras, jari tangannya satu demi
satu dipentangkan dengan paksa.
Ternyata dia menggenggam sebuah panji kecil, di atas
panji kecil itu tampak sebuah sulaman yang
menggambarkan siluman iblis bertubuh manusia berkepala
kucing. Lagi-lagi Su-ma berlutut di tanah, dia menyembah panji
kecil itu berulang kali, sementara mulutnya komat-kamit
membaca mantera, setiap kata yang dikatakan tak jauh dari
"Semi kolarkolo!".
Kini Siau-hong sudah memahami arti perkataan itu,
bandit berkepala kucing!
Akhirnya Su-ma berhasil menenangkan hatinya, dia pun
mulai menceritakan semua peristiwa yang disaksikannya
barusan. Ketiga puluh empat orang golok kilat angin puyuh
ternyata tewas di tangan bandit berkepala kucing ini.
Mereka muncul secara tiba-tiba bagaikan setan
gentayangan, tubuh mereka berwujud manusia tapi
berkepala kucing, di atas jidat masing-masing tumbuh
telinga kucing yang menyerupai tanduk.
Mereka benar-benar memiliki daya pengaruh iblis yang
aneh tapi mematikan, karena itu kawanan jago golok kilat
yang sudah lama berlatih diri pun tewas secara
mengenaskan di tangan mereka, mereka tak sempat
mencabut senjata masing-masing.
Mereka sengaja membiarkan Su-ma tetap hidup, karena
mereka ingin orang Tibet ini menyampaikan pesan kepada
Wi Thian-bong. Merekalah yang telah merampok emas itu dan
membunuh orang, barang siapa berani melacak dan
menyelidiki peristiwa ini, dia bakal mati secara
mengenaskan, setelah mati sukmanya akan dibekuk dan
dimasukkan ke penjara salju abadi di puncak gunung Cumulang-ma hingga sepanjang masa tersiksa oleh dinginnya
salju dan tak pernah bisa reinkarnasi kembali.
Langit lambat-laun semakin gelap, seluruh jagat raya
seolah secara tiba-tiba diselimuti hawa dingin yang
menyayat dan penuh hawa pembunuhan.
Siau-hong ingin sekali mencari arak Cing-ko-ciu untuk
menghangatkan tubuh.
Di setiap saku kawanan jago golok kilat angin puyuh itu,
meski tidak membawa arak, paling tidak mereka membawa
air, sekarang air itu sudah tak berguna lagi bagi mereka.
Tapi para begal kucing bukan saja telah merenggut
nyawa mereka, bahkan kantung kulit kambing berisi air
yang mereka gembol pun ikut dirampas.
Dengan tenang Wi Thian-bong mendengarkan
penuturan Su-ma hingga selesai, tiba-tiba ia membalikkan
badan, lalu sambil menatap Po Eng tanyanya, "Kau percaya
perkataannya?"
"Tidak kutemukan alasan mengapa dia harus
berbohong," jawab Po Eng tenang.
"Jadi kau percaya kalau di dunia ini benar-benar terdapat
makhluk siluman bertubuh manusia berkepala kucing?"
dengus Wi Thian-bong sambil tertawa dingin.
"Kau tidak percaya?"
"Aku pun tidak percaya," tiba-tiba Siau-hong menyela,
"Tapi aku percaya kalau tiga puluh laksa tahil emas itu pasti
dirampok kawanan begal kucing."
"Siapa pun itu orangnya, asal dia mengenakan topeng
berwajah kucing, maka dia pun bisa menyebut diri sebagai
begal kucing," kata Wi Thian-bong.
"Siapa mampu berbuat begitu?" tanya Siau-hong seolaholah
menegaskan, "Siapa orangnya yang dapat membunuh
tiga puluh empat orang jago golok kilat angin puyuh dalam
sekejap mata" Siapa pula orang yang sanggup menghabisi
nyawa Peluru baja tombak sakti beserta ketiga puluh enam
orang darah bajanya?"
Wi Thian-bong terbungkam, ia tak mampu bicara lagi.
Sekalipun begal kucing bukan siluman iblis tapi manusia,
dia pastilah manusia yang sangat menakutkan.
Bukan saja sepak-terjang mereka tak menentu, bahkan
pasti memiliki ilmu silat yang penuh misteri dan hebat.
"Aku hanya percaya satu hal," tiba-tiba Po Eng menyela.
"Soal apa?"
"Bila mereka ingin membunuh seseorang, pastilah hal ini
bukan suatu pekerjaan yang terlalu sulit."
Berubah paras Wi Thian-bong.
Ditatapnya wajah orang itu dengan pandangan dingin,
kemudian Po Eng berkata lagi, "Ada satu hal lagi harus kau
pahami." "Katakan!"
"Jika aku adalah begal kucing, sekarang kau sudah
menjadi orang mati."
Wi Thian-bong tidak bicara lagi, dia membalikkan tubuh


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langsung pergi meninggalkan tempat itu.
Sesaat sebelum meninggalkan tempat itu, Siau-hong
mengira dia bakal turun tangan.
Tangan yang digunakan untuk menggenggam golok telah
berubah mengejang, setiap ruas, setiap otot jari tangannya
telah memutih karena genggamannya yang sangat kuat.
Ilmu goloknya dapat dipastikan berada pada deretan
sepuluh besar di antara ilmu golok tersohor lainnya di
kolong langit, Golok Pemenggal setannya tajam dan berat,
bahkan istimewa panjangnya. Perawakan tubuhnya pun
jauh lebih tinggi besar bila dibandingkan Po Eng.
Sebaliknya Po Eng kelihatan kecil dan lemah, kecuali
sepasang matanya yang tajam bagai mata elang, bagian
tubuh lainnya kelihatan sangat lemah, khususnya sepasang
tangannya itu, jauh lebih halus dan lembut daripada tangan
seorang wanita.
Bahkan Siau-hong pun tidak percaya kalau dia sanggup
menghadapi Panah amarah busur sakti golok pemenggal
setan yang namanya telah menggetarkan kolong langit ini.
Tapi jalan pikiran Wi Thian-bong justru bertolak
belakang. Oleh karena itulah dia pergi, pergi dengan mengajak
serta dua orang pengawalnya yang tersisa dari tiga puluh
enam golok kilat angin puyuh, berlalu tanpa mengucapkan
separah kata pun.
Tak dapat disangkal Wi Thian-bong memang seorang
jago yang pandai mengendalikan diri, dia banyak
pengalaman dan luas pengetahuannya, bahkan sikapnya
dingin dan sadis, pandai melihat gelagat.
Sewaktu berlalu, dia bahkan tidak memandang lagi
mayat-mayat yang berserakan di atas pasir, walau sekejap
pun, meski mereka adalah anak muridnya, tapi sekarang
sama sekali tak berguna.
Siau-hong tak kuasa menahan diri, dia segera bertanya,
"Kenapa kau tidak mengubur mereka terlebih dulu sebelum
pergi?" Jawaban yang diberikan Wi Thian-bong seperti sikapnya
sewaktu melakukan pekerjaan lain, membuat orang
tercengang dan tanpa kompromi.
"Aku telah mengubur mereka secara massal," katanya,
"Mengubur secara alami!"
Po Eng belum beranjak pergi.
Lagi-lagi dia membaringkan diri, berbaring di belakang
gundukan pasir tempat yang ideal untuk berteduh dari
hembusan angin, bahkan menggunakan jubah putihnya
yang lebar untuk membungkus tubuhnya.
Gurun pasir tak ubahnya bagaikan seorang wanita yang
banyak bertingkah, sewaktu panas, dia dapat membakar
tubuhmu, tapi ketika dingin, ia dapat membuat peredaran
darahmu membeku.
Begitu menjelang malam, gurun pasir yang semula panas
gersang bagai api membara akan berubah jadi dingin
membekukan badan, ditambah lagi dengan kegelapan yang
tiada bertepian, tanpa berisik tanpa menimbulkan suara,
seakan telah membinasakan seluruh kehidupan di dunia ini.
Tiada seorang pun bersedia menyerempet bahaya
semacam ini. Kini langit baru saja menjadi gelap, jelas Po Eng
berencana untuk tetap tinggal di sana melewatkan malam
panjang yang tak berperasaan.
Siau-hong duduk di sampingnya, tiba-tiba ujarnya sambil
tertawa, "Benar-benar minta maaf."
"Kenapa harus minta maaf?"
"Karena ketika mendusin esok pagi, aku pasti masih
hidup, bila kau ingin menunggu kematianku, pasti harus
menunggu lama sekali."
Dia telah menemukan bangkai elang yang siang tadi
ingin melahap tubuhnya, sekarang ia sedang bersiap
melahap bangkai elang itu.
Kembali ujarnya sambil menghela napas, "Sekarang aku
baru tahu, ketika berada dalam keadaan terdesak, seorang
akan berubah tak bedanya dengan seekor elang pemakan
bangkai." "Di saat biasa pun mereka tak ada bedanya...." sela Po
Eng. "O, ya?"
"Setiap hari kau makan daging sapi?"
"Ya, makan!"
"Bukankah daging sapi yang kau makan berasal dari
bangkai sapi."
Siau-hong tertawa getir.
Dia memang hanya bisa tertawa getir, walaupun
perkataan Po Eng tajam, sadis tanpa perasaan, namun
perkataannya sukar terbantahkan. Hingga kini "Ci-hu"
belum roboh. Ia bisa bertahan sampai sekarang karena Siau-hong telah
memberi sisa air terakhir yang dimilikinya untuk kuda itu,
meski kuda tergolong binatang namun sifat binatang kuda
sangat tipis dibandingkan manusia, paling tidak ia tak
doyan anyirnya darah. Dia pun bukan pemakan bangkai.
Tiba-tiba Po Eng berkata lagi, "Kau bukan saja
mempunyai pedang yang bagus, ternyata mempunyai kuda
yang hebat pula."
"Sayangnya aku adalah manusia yang tak terhitung
orang baik," sahut Siau-hong sambil tertawa getir.
"Oleh karena itulah orang lain menjulukimu Siau-hong
yang tak mau nyawa sendiri."
"Hah, jadi kau tahu?" seru Siau-hong agak terperanjat.
Kini langit sudah semakin gelap, susah untuk melihat
perubahan mimik wajahnya, namun suaranya masih
dipenuhi rasa terkejut bercampur keheranan. "Dari mana
kau bisa tahu?" teriaknya lagi.
"Hanya sedikit yang tidak kuketahui."
"Apa lagi yang kau ketahui?"
"Kau memang seorang pemuda yang benar-benar tak
mau nyawa sendiri, watak keras luar biasa, tulang keras luar
biasa, terkadang royal setengah mati, terkadang juga miskin
bukan kepalang, ada kalanya menginginkan nyawa orang
lain, ada kalanya juga orang lain menginginkan nyawamu."
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya dengan hambar,
"Kini paling tidak ada tiga belas orang sedang
menguntitmu, menginginkan nyawamu."
Bukannya takut, Siau-hong malah tertawa lebar.
"Hahaha, cuma tiga belas orang?" katanya, "Aku malah
menyangka masih ada lebih banyak lagi."
"Padahal tak perlu tiga belas orang datang semua, asal
dua orang di antaranya muncul di sini pun sudah lebih dari
cukup." "Dua orang yang mana?"
"Siu-hun-jiu (Tangan maut pencabut nyawa) dan Sui-gin
(Air raksa)"
"Air raksa?"
"Kau belum pernah mendengar nama orang ini?"
"Siapa Sui-gin itu" Manusia macam apa dia?"
"Tak seorang pun tahu manusia macam apakah dia,
bahkan laki perempuan pun tak ada yang tahu. Aku hanya
tahu dia adalah seorang pembunuh, seseorang yang hidup
sebagai pembunuh."
"Bukan hanya dia seorang yang hidup sebagai
pembunuh."
"Tapi paling tidak harga yang dia minta untuk satu
nyawa sepuluh kali lipat lebih mahal dari tawaran orang
lain, sebab belum pernah korbannya berhasil lolos dari
tangannya."
"Aku sangat berharap dia adalah seorang wanita, seorang
nona cilik yang cantik dan menawan. Bila aku harus mati,
mati di tangan seorang gadis cantik jauh lebih nyaman dan
menyenangkan."
"Mungkin saja dia seorang wanita, mungkin seorang
nona kecil yang cantik jelita, tapi mungkin juga dia adalah
seorang kakek bangkotan, bahkan seorang nenek peyot."
"Mungkin juga dirimu!" Siau-hong menambahkan.
Po Eng tidak langsung menjawab, ia termenung dulu,
lewat lama kemudian baru jawabnya, "Mungkin juga aku!"
Angin berhembus makin dingin, kegelapan malam
semakin mencengkeram seluruh jagat, dua orang itu
berbaring tenang di tengah kegelapan malam, masingmasing
tak dapat melihat perubahan mimik muka
lawannya. Kembali lewat lama sekali, tiba-tiba Siau-hong berkata
lagi sambil tertawa, "Aku tidak sepatutnya mencurigai
dirimu." "O, ya?"
"Kalau kau adalah Air raksa, sekarang aku pasti sudah
menjadi orang mati!"
"Aku belum membunuhmu, mungkin saja karena aku
memang tak perlu terburu napsu," kata Po Eng dingin.
"Mungkin."
"Oleh karena itu, begitu ada kesempatan, kau seharusnya
segera berusaha membunuhku."
"Kalau kau bukan Air raksa?"
"Lebih baik salah bunuh daripada dibunuh orang."
"Aku pernah membunuh orang, tapi belum pernah salah
membunuh orang baik."
"Berarti semua yang kau bunuh adalah orang yang
pantas mati?"
"Tepat sekali."
"Tapi aku tahu, paling tidak kau telah salah membunuh
seseorang."
"Siapa?"
"Lu Thian-po"
Setelah berhenti sejenak, kembali Po Eng melanjutkan,
"Padahal kau tahu, dia adalah putra tunggal Hok-kui-sinsian
(Dewa kaya dan terhormat), kau pun sudah tahu bila
membunuh Lu Thian-po, maka dia tak bakal melepaskan
dirimu. Tentu kau juga tahu banyak orang persilatan yang
bersedia menjual nyawa untuknya."
"Aku tahu."
"Mengapa kau harus membunuhnya?"
"Karena dia pantas mati, pantas dibunuh."
"Tapi setelah berhasil membunuhnya, kau sendiri pun
tak bisa hidup lebih lama lagi."
"Sekalipun setelah membunuhnya aku segera bakal mati,
aku tetap harus membunuhnya."
Tiba-tiba suaranya penuh diliputi hawa amarah yang
kental, terusnya, "Sekalipun tubuhku bakal dicincang orang
hingga hancur berkeping-keping, meski sukmaku bakal
dijebloskan ke neraka delapan belas tingkat, aku tetap akan
membunuhnya, dia tetap harus mati."
"Asal kau menganggap orang itu pantas dibunuh, apakah
kau tetap akan membunuhnya, terlepas siapakah dirinya,
semuanya sama saja?"
"Betul, biarpun dia kaisar yang memerintah negeri ini
pun aku tetap akan membunuhnya."
Tiba-tiba Po Eng menghela napas, ujarnya, "Ai, maka
saat ini kau hanya menunggu orang lain datang mencabut
nyawamu!" "Aku selalu menunggu, setiap saat setiap detik selalu
menunggu."
"Kau tak bakal menunggu terlalu lama," kata Po Eng
dengan nada berat dan dalam.
Kegelapan yang tak bertepian, keheningan bagai
semuanya telah mati, tiada cahaya, tiada suara, tiada
kehidupan. Siau-hong sendiri pun tahu, dia tak perlu menunggu
terlalu lama, dari hati kecilnya telah timbul semacam firasat
tak baik. Air raksa adalah cairan yang dapat menyusup setiap
lubang pori, dia tak akan melepaskan setiap kesempatan
yang dijumpai. Air raksa ketika bergerak sama sekali tidak menimbulkan
suara. Asal kau biarkan setetes air raksa mengalir masuk ke
dalam tubuhmu, dia akan mengelupas seluruh kulit
tubuhmu. Bila seseorang sampai disebut Sui-gin, air raksa, tentu
saja dia mempunyai sebab-musababnya.
Siau-hong sendiri pun tahu, dia pastilah seseorang yang
teramat menakutkan!
Luka yang dideritanya tidak terhitung ringan, mulut luka
sudah mulai membusuk, darah dan daging seekor elang
belum cukup untuk memulihkan kekuatan tubuhnya,
berada dalam keadaan seperti ini tampaknya dia hanya bisa
menanti datangnya saat kematian.
Menunggu saat ajal sesungguhnya merupakan satu
kejadian yang menakutkan, bahkan jauh lebih menakutkan
dari 'kematian' itu sendiri.
Tiba-tiba Po Eng bertanya lagi, "Tahukah kau manusia
macam apakah Siu-hun-jiu, si Tangan maut pencabut
nyawa?" "Aku tahu!"
Siu-hun-jiu, si Tangan maut pencabut nyawa berasal dari
marga Han, bernama Cang.
Orang ini tidak terlalu sering berkelana dalam dunia
persilatan, tapi namanya sangat tersohor, karena dia adalah
salah satu dari empat jagoan yang dipelihara Hok-kui-sinsian.
Senjata andalannya adalah sebuah senjata khas yang
disebut Tangan maut pencabut nyawa, sudah lama punah
dari kalangan dunia persilatan. Bukan saja jurus
serangannya ganas, keji dan mematikan, entah berapa
banyak nyawa sudah lenyap di ujung senjata itu.
"Tapi ada satu hal kau pasti tak tahu," ucap Po Eng.
"Soal apa?"
"Dia masih mempunyai julukan lain, semua
sahabatnya memanggilnya dengan sebutan itu."
"Apa julukannya?"
"Si buta!"
Buta bukanlah sesuatu yang menakutkan.
Tapi begitu mendengar julukan itu, Siau-hong segera
merasakan hatinya seolah tenggelam ke dasar samudra.


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang buta tak bisa melihat apa-apa, ketika seorang buta
hendak membunuh seseorang, dia tak perlu melihat
korbannya karena dia tetap dapat menghabisi nyawanya.
Di tengah kegelapan malam seperti ini pun seorang buta
tetap dapat membunuh lawannya.
Tiada cahaya bintang, tiada cahaya rembulan, di tengah
kegelapan malam yang mudah membuat orang lain putus
asa, sepasang mata si buta justru jauh lebih tajam dan lebih
menakutkan. "Sesungguhnya dia sama sekali tak buta seratus persen,
tapi tak ada bedanya dengan orang buta lainnya, beberapa
tahun berselang sepasang matanya pernah terluka,
bahkan...."
Ia tidak melanjutkan kata-katanya, ucapan itu seakan
terbabat putus secara tiba-tiba oleh tebasan sebuah golok
tajam. Dalam waktu sekejap Siau-hong merasakan bulu
kuduknya berdiri, rasa seram dan ngeri yang luar biasa
membuatnya bergidik.
Dia tahu apa sebabnya Po Eng tiba-tiba tutup mulut,
karena dia pun telah mendengar suatu suara yang aneh,
bukan suara langkah kaki, bukan pula suara dengusan
napas, melainkan sejenis suara lain yang aneh.
Semacam suara yang tak bisa didengar dengan telinga,
suara yang tak akan bisa ditangkap dengan telinga,
semacam suara yang hanya bisa dirasakan dengan insting
seekor binatang liar.
Seseorang telah muncul di sana! Seseorang yang datang
untuk mencabut nyawanya!
Dia tak dapat melihat kehadiran orang itu, bahkan
bayangannya pun tak tampak, tapi ia dapat merasakan
kehadirannya, jarak mereka kian lama kian bertambah
dekat. Jagat raya yang begitu dingin membeku, butiran pasir
yang dingin membeku, mata pedang yang dingin membeku.
Siau-hong telah menggenggam pedangnya,
menggenggam sangat kencang.
Dia masih belum dapat melihat kehadiran orang itu,
bahkan bayangan pun tak tampak.
Tapi ia dapat merasakan semacam hawa pembunuhan
yang membetot sukma.
Tiba-tiba ia ia menggelinding ke arah Po Eng berada.
Tadi jelas sekali Po Eng masih berbaring di sana, tidak
jauh dari tubuhnya, tapi sekarang ia sudah tak berada di
sana. Tapi di sisi lain pasti telah muncul seseorang, orang itu
berada dekat dengannya, sedang siap menanti merenggut
nyawanya. Ia tak berani bergerak lagi, tak berani mengeluarkan
sedikit suara pun, tubuhnya seolah makin lama semakin
bertambah membeku, makin kaku.
Sekonyong-konyong dia mendengar lagi suara desingan
angin tajam yang membelah udara.
Dia sudah mulai mengembara dalam dunia persilatan
sejak usia empat belas tahun, selama ini dia mengembara
dalam dunia Kangouw bagaikan seekor serigala liar.
Sudah terlampau sering dia merasakan sodokan tinju,
pernah ditampar orang, pernah kena bacokan, pernah
ditusuk pedang, bahkan pernah mencicipi hajaran berbagai
senjata dan Am-gi.
Kini ia dapat mendengar suara desingan angin tajam itu
berasal dari sejenis senjata rahasia yang membelah angkasa,
sejenis Am-gi yang kecil dan lembut sekali bentuknya.
Biasanya senjata rahasia tajam dan lembut semacam ini
ditembakkan dari sebuah alat penembak yang dilengkapi
pegas berkekuatan tinggi, bahkan sangat beracun dan
mematikan. Dia tidak berkelit, sama sekali tak bergerak. Sebab bila
bergerak, dia pasti akan mati!
Senjata rahasia itu sudah meluncur tiba, menghajar di
atas butiran pasir di samping tubuhnya.
Orang itu sudah memperkirakan ia pasti akan
menghindar, pasti akan bergerak, maka senjata rahasia itu
bukan diarahkan ke tubuh korbannya, melainkan
menghajar jalan mundurnya, ke mana pun dia menghindar,
asal bergerak berarti pasti akan mampus.
Untungnya dia tak bergerak, sama sekali tak
menghindar. Ia dapat menangkap suara desingan angin tajam itu
bukan ditujukan langsung ke tubuhnya, dia telah
memperhitungkan secara tepat maksud dan tujuan orang
itu. Tentu saja dia tidak yakin seratus persen, dalam
menghadapi kejadian seperti ini siapa pun tak nanti
memiliki keyakinan seratus persen.
Dalam situasi yang kritis seperti ini, dia memang tak
punya waktu untuk banyak berpikir.
Sekalipun begitu dia tetap harus bertaruh, menggunakan
nyawa sendiri sebagai barang taruhan, menggunakan
analisa sendiri sebagai modal taruhan.
Dalam taruhan kali ini, ia berhasil memenangkannya.
Ooo)d*w(ooO BAB 3. SI BUTA Namun taruhan ini belum selesai, dia harus bertaruh
lebih jauh, pihak lawan pasti tak akan melepaskan dirinya
begitu saja. Walaupun kali ini dia menang, tidak menjamin
berikutnya akan menang lagi, setiap saat kemungkinan
besar dia akan kalah, kalau sampai kalah berarti nyawa
harus digadaikan.
Malah kemungkinan besar sebelum sempat melihat jelas
tampang lawannya, ia sudah harus menggadaikan
nyawanya karena kalah.
Sebetulnya dia sudah siap menghadapi kematian, namun
mati dengan cara begini membuatnya tak puas, merasa
tidak rela. Tiba-tiba ia mulai terbatuk-batuk.
Kalau orang batuk tentu akan menimbulkan suara, kalau
ada suara berarti ada target, dia telah menelanjangi posisi
sembunyi sendiri kepada pihak lawan.
Dengan cepat ia mendengar lagi suara deru angin tajam,
segulung angin tajam yang seakan hendak mencabik-cabik
tubuhnya. Dengan satu gerakan cepat dia menerobos maju,
menggunakan segenap kekuatan tersembunyi yang
dimilikinya untuk menyusup keluar, menyusup keluar dari
bawah desingan angin tajam itu.
Tiba-tiba terlihat kilatan cahaya pedang di tengah
kegelapan. Rupanya di saat ia terbatuk lagi, pedangnya telah dilolos
dari sarungnya, salah satu di antara tujuh bilah pedang
paling tajam di kolong langit.
Di antara kilatan cahaya pedang, terdengar... "Triiing!",
lalu terdengar sebuah benda logam terjatuh ke atas pasir.
Setelah suara itu, suasana kembali dicekam dalam
keheningan yang luar biasa.
Siau-hong tidak bergerak lagi, sampai napas pun seolah
ikut berhenti, satu-satunya yang bisa dia rasakan sekarang
hanya peluh dingin yang meleleh ke bawah melalui ujung
hidungnya. Entah berapa lama sudah lewat, tapi yang pasti masa
yang begitu panjang dan lama yang pernah dia alami
selama ini, sebelum akhirnya terdengar lagi semacam suara
lain. Suara yang sedang ia nantikan selama ini.
Begitu mendengar suara itu, sekujur tubuhnya seketika
terasa bagaikan dilolos dari kulitnya, perlahan-lahan ia
roboh terjungkal ke tanah.
Suara yang didengar Siau-hong adalalah suara rintihan
yang amat lemah dan lirih serta suara dengusan napas
memburu. Hanya manusia dalam keadaan kesakitan setengah mati
hingga tak mampu mengendalikan dirilah yang bakal
mengeluarkan suara semacam ini.
Ia tahu dalam pertempuran ini, lagi-lagi ia telah
memperoleh kemenangan, meskipun kemenangan itu diraih
dengan susah-payah dan mengenaskan, namun dia tetap
berhasil memenangkannya.
Ia pernah menang, sering menang, itulah sebabnya dia
masih hidup hingga sekarang.
Ia selalu berpendapat, bagaimana pun menang dan tetap
hidup, paling tidak jauh lebih baik daripada kalah dan
menghadapi kematian.
Tapi kali ini dia nyaris tak bisa membedakan bagaimana
rasanya meraih kemenangan, sekujur tubuhnya secara tibatiba
jadi lemas, seluruh tulangnya seakan dilolos, ia
merasakan semacam kelemasan yang luar biasa karena
seluruh otot dan syarafnya mengendor.
Empat penjuru masih diliputi kegelapan luar biasa,
kegelapan tanpa tepian, kegelapan yang gampang membuat
orang putus asa.
Menang atau kalah seakan sama sekali tak ada bedanya,
membuka mata atau memejamkan mata pun sama sekali
tak ada bedanya.
Lambat-laun kelopak matanya terasa makin berat,
seakan ingin terpejam rapat, dia tak sanggup
mempertahankan diri lagi, karena hidup dan mati seakan
sudah tak ada perbedaan pula.
Kau tak boleh mati!
Selama masih ada secercah kesempatan dan harapan,
kau tak boleh melepaskannya begitu saja.
Hanya lelaki bermental tempe, lelaki lemah yang akan
melepaskan kesempatan untuk tetap hidup.
Tiba-tiba Siau-hong tersentak kaget, mendusin dari rasa
kantuk dan melompat bangun.
Entah sejak kapan dari balik kegelapan tiba-tiba terlihat
cahaya. Cahaya terang pun seperti kegelapan, selalu datang
secara tiba-tiba, tak pernah jelas dia akan muncul di saat
kapan, tapi kau harus merasa yakin, cepat atau lambat sinar
terang pasti akan datang juga.
Akhirnya dia dapat melihat orang itu, seseorang yang
selama ini berusaha merenggut nyawanya.
Orang itu pun belum mati.
Dia masih meronta, masih bergerak, bergerak dengan
susah payah dan lambat, seperti seekor ikan sekarat yang
terkurung di tengah gundukan pasir panas.
Baru saja dia mengambil semacam barang.
Tiba-tiba Siau-hong menerkam ke depan, menerkam
dengan sekuat tenaga, karena ia telah melihat barang apa
yang berada dalam genggaman orang itu, sebuah kantung
terbuat dari kulit kambing yang berisi air.
Berada di sini, air adalah nyawa, setiap orang hanya
memiliki selembar nyawa.
Tangan Siau-hong mulai gemetar keras lantaran gembira,
ia menerkam ke depan bagaikan binatang buas,
menggunakan cara dan gerakan binatang liar untuk
merampas kantung air itu.
Air dalam kantung tidak tersisa terlalu banyak, tapi asal
masih ada setetes saja, mungkin dapat memperpanjang
masa hidupnya. Setiap orang hanya memiliki selembar nyawa, nyawa
yang begitu berharga, nyawa yang patut disayang dan
dilindungi. Siau-hong menggunakan tangan yang gemetar untuk
membuka penutup kantung air itu, bibirnya yang kering
nyaris pecah segera merasakan segarnya air, segarnya
kehidupan, dia sudah bersiap menikmati setiap tetes air
yang berada dalam kantung itu, meneguknya perlahanlahan.
Dia akan menikmatinya perlahan-lahan, menikmati
segarnya air, menikmati kehidupan ini.
Pada saat itulah dia menyaksikan sorot mata orang itu.
Sepasang sorot mata penuh penderitaan, putus asa,
dan permohonan, sepasang mata sayu orang yang sudah
sekarat. Luka yang diderita orang ini jauh lebih parah ketimbang
lukanya, dia lebih membutuhkan air itu daripada dirinya.
Tanpa air, orang itu pasti akan mati jauh lebih cepat.
Sekalipun kedatangan orang itu hendak membunuhnya,
namun dalam waktu sekejap, dia seolah telah melupakan
hal ini. Sebab dia adalah manusia, bukan binatang buas, juga
bukan burung pemakan bangkai.
Tiba-tiba ia menemukan seorang dan seekor burung
pemakan bangkai, berada dalam kondisi dan situasi seperti
apa pun, tetap terdapat perbedaan yang besar.
Harga diri seorang, hati nurani seorang serta rasa
simpatik selalu amat sulit untuk ditinggalkan, sukar untuk
dilupakan begitu saja.
Dia pun mengembalikan kantong berisi air itu kepada
orang itu, orang yang selama ini berusaha merenggut
nyawanya. Walaupun dia pun pernah berniat mencabut nyawa
orang ini, namun dalam detik yang singkat, di saat sifat
kemanusiaannya menghadapi tantangan yang tak
berperasaan, terpaksa dia pun melakukan hal itu.
Dia tidak sepantasnya merampas kantung berisi air itu
dari tangan seseorang yang hampir menghadapi ajal,
terlepas siapa pun orangnya.
Ternyata orang itu adalah seorang wanita, menanti dia
menyingkap kain kerudung hitamnya untuk meneguk air,
Siau-hong baru mengetahui bahwa pihak lawan adalah
seorang wanita, seorang wanita yang amat cantik,
kendatipun ia tampak pucat-pasi dan layu, namun semua
itu justru menambah kecantikan dan lemah-lembutnya.
Seorang wanita semacam ini, kenapa bisa muncul
seorang diri di tengah gurun pasir yang begitu menakutkan,
hanya untuk membunuh seseorang"
Dia telah meneguk habis air dalam kantung kulit
kambing itu, sedang melirik secara diam-diam ke arah Siauhong,


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sorot matanya seakan terselip perasaan minta maaf.
"Seharusnya kutinggalkan setengah untukmu," katanya
sambil membuang kantung kosong itu ke tanah dan
menghela napas, "Sayang air dalam kantung itu kelewat
sedikit!" Siau-hong tertawa, dia hanya tertawa saja menghadapi
ucapan itu, kemudian baru tak tahan tanyanya, "Kau si
Buta atau si Air raksa?"
"Semestinya kau bisa melihat sendiri kalau aku tidak
buta!" Setelah dibasahi oleh segarnya air, sinar matanya yang
sejak semula memang cantik, kini nampak lebih cerah dan
menawan. "Jadi kau pun bukan Air raksa?" desak Siau-hong lebih
lanjut. "Aku hanya pernah mendengar nama ini, namun tak
pernah tahu manusia macam apakah dia," perempuan itu
menghela napas pula, "Padahal aku sendiri pun tidak tahu
manusia semacam apakah dirimu, aku hanya tahu kau
bermarga Pui (Hong) bernama Wi!"
"Tapi kau datang untuk membunuhku!"
"Aku harus datang untuk membunuhmu, dengan
kematianmu, aku baru bisa hidup terus."
"Kenapa?"
"Karena air, berada di tempat seperti ini, tanpa air berarti
tak bisa hidup melebihi tiga hari," dia memandang sekejap
kantung air di atas tanah, "Mereka baru bersedia memberi
aku air minum bila aku berhasil membunuhmu, kalau tidak,
inilah untuk terakhir kalinya aku minum air."
Suaranya penuh diliputi perasaan ngeri dan takut.
"Suatu ketika, aku nyaris mati kehausan karena mereka
tidak memberi air kepadaku, selama hidup aku tak pernah
akan melupakan perasaan dan siksaan itu. Kali ini,
kendatipun aku dapat pulang dalam keadaan hidup, asal
mereka tahu kau belum mati, maka mereka pasti tak akan
memberi setetes air lagi kepadaku."
Siau-hong tertawa.
"Apakah kau minta aku merelakan batok kepalaku ini
agar kau tebas, agar bisa dibawa pulang untuk ditukar
dengan air?"
Ternyata perempuan itu ikut tertawa, tertawa dengan
lembut tapi mengenaskan.
"Aku pun manusia, bukan binatang, kau bersikap begitu
baik kepadaku, tentu saja aku lebih suka mati daripada
mencelakaimu lagi."
Siau-hong tidak berkata apa pun, dia pun tak bertanya
kepadanya, "siapa mereka?", dia memang tak perlu
menanyakan hal ini.
Tentu saja mereka adalah orang-orang yang dikirim Hokkuisin-sian untuk membunuhnya, kemungkinan besar
mereka saat ini sudah berada di sekeliling tempat ini. Po
Eng telah pergi!
Orang ini tak bedanya dengan angin ribut di tengah
gurun pasir, sewaktu datang, tak seorang pun bisa
menghalanginya, sewaktu akan pergi, siapa pun tak dapat
mencegahnya. Selamanya kau tak pernah bisa menebak
kapan dia akan datang, terlebih menduga kapan dia akan
pergi. Akan tetapi "Ci-hu" masih berada di situ.
Matahari sudah mulai muncul dari ufuk timur, akhirnya
Siau-hong buka suara.
"Kau tak boleh tetap berada di sini," tiba-tiba ujarnya,
"Apapun yang bakal terjadi, kau harus tetap kembali kepada
mereka." "Kenapa?"
"Karena bila matahari telah terbit, maka dalam radius
seribu li di sekeliling tempat ini akan berubah menjadi bara
api, sisa air yang kau minum tadi dengan cepat akan
terpanggang kering dan menguap."
"Aku tahu, tetap tinggal di sini berarti aku bakal mati
kehausan, akan tetapi...."
"Akan tetapi aku tak ingin melihat kau mati, juga tak
ingin kau melihat aku mati," tukas Siau-hong cepat.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun perempuan itu
manggut-manggut dan berdiri, tapi baru bangkit, dia sudah
roboh kembali. Luka yang dideritanya memang cukup parah.
Tusukan pedang Siau-hong tadi dengan telak
menghujam di dadanya, hanya selisih dua inci dari letak
jantungnya. Sekarang ia sudah susah berjalan, tenaga untuk berdiri
pun tak mampu, bagaimana bisa pulang sendiri"
Mendadak Siau-hong kembali berkata, "Aku mempunyai
seorang teman yang bisa mengantarmu pulang."
Perempuan itu tidak melihat ada teman lain di tempat
itu. "Rasanya di sini hanya ada kau seorang!"
"Yang disebut teman belum tentu harus manusia, aku
pun tahu ada banyak manusia yang belum tentu pantas
disebut teman."
Perlahan-lahan ia berjalan menghampiri Ci-hu, lalu
sambil membelai bulunya ia berkata lebih jauh, "Aku pun
pernah bertemu dengan banyak manusia yang kau anggap
sebagai teman, padahal semuanya bukan manusia."
"Oh, jadi temanmu adalah kuda ini?" agak terkejut
perempuan itu berseru, "Kau telah menganggap seekor
kuda sebagai sahabatmu?"
Kembali Siau-hong tertawa.
"Mengapa aku tak boleh menganggap seekor kuda
sebagai sahabatku?" senyumannya tampak sangat ewa dan
pedih, "Selama ini aku hidup bergelandangan, tiada sanak
tiada keluarga, hanya dia yang selalu mengikutiku,
bersamaku, mati hidup selalu bersama, bahkan sampai saat
ajal menjelang pun dia tak mau meninggalkan aku, ada
berapa banyak sahabat di dunia ini yang lebih setia
daripadanya?"
Perempuan itu tertunduk lesu, lewat lama kemudian ia
baru bertanya, "Sekarang, mengapa kau minta dia berpisah
denganmu" Minta dia mengantarku pulang?"
"Karena aku pun tak ingin dia menemani aku mati di
sini!" Ditepuknya punggung "Ci-hu" perlahan, kemudian
terusnya, "Dia adalah seekor kuda jempolan, mereka tak
akan membiarkan dia mampus. Sedang kau pun seorang
perempuan yang sangat menarik, mereka pun tak akan
benar-benar membuat kau mati kehausan. Dengan
membiarkan ia membawamu pulang, maka inilah satusatunya
jalan kehidupan untuk kalian."
Perempuan itu mendongakkan kepalanya, menatap kuda
itu sekejap, lama kemudian ia baru bertanya lagi,
"Pernahkah kau berpikir untuk dirimu sendiri" Mengapa
kau tak pernah berpikir, apa yang harus dirimu lakukan
agar bisa hidup lebih lanjut?"
Siau-hong tidak menjawab, dia hanya tertawa lebar.
Ada sementara pertanyaan memang tak dapat dijawab
dan tak perlu dijawab.
Tak tahan perempuan itu menghela napas panjang,
menghela napas sambil mengemukakan pendapatnya
tentang anak muda itu, "Kau memang manusia aneh, aneh
setengah mati!"
"Memang begitulah aku!"
Matahari telah terbit di angkasa.
Jagat raya tak berperasaan, segala sesuatunya telah
berubah jadi bara api, seluruh kehidupan seolah sedang
terbakar, terbakar hingga punah, musnah, dan akhirnya
mati. Siau-hong telah roboh terkapar di tengah bara api.
"Ci-hu" pun telah pergi, pergi sambil membawa
perempuan yang dipaksa datang untuk membunuhnya.
Mungkin dia tak ingin berpisah dengan Siau-hong, tapi ia
tak mungkin bisa membangkang perintahnya, karena
bagaimana pun dia tak lebih hanya seekor kuda.
Di seputar tempat itu sudah tak nampak lagi kehidupan
lain, Siau-hong telah terkapar di atas butiran pasir yang
membara, berusaha mempertahankan diri, agar matanya
tak terpejam. Namun dalam pandangan matanya sekarang seluruh
jagat raya seolah telah berubah menjadi segumpal bara api.
Dia sadar, kali ini dirinya benar-benar akan mati, karena
dia telah menyaksikan khayalan yang hanya bisa dilihat
oleh mereka yang hampir sekarat, tiba-tiba ia saksikan ada
satu rombongan kuda dan kereta indah bergerak mendekat,
muncul di bawah teriknya cahaya matahari yang berwarna
kekuning-kuningan.
Setiap orang yang berada dalam rombongan itu seakanakan
memancarkan sinar keemasan seperti cahaya emas
murni, tangan mereka membawa kantung emas berisi air,
dalam kantung bukan hanya tersedia air, bahkan ada pula
arak wangi yang lezat.
Kalau apa yang disaksikan bukan fatamorgana, bukan
ilusi yang diciptakan langit untuk menghibur mereka yang
sekarat, sudah pasti merekalah urusan yang dikirim akhirat
untuk menjemputnya pulang.
Perlahan-lahan dia memejamkan mata, memejamkan
matanya yang semakin berat, ia merasa biar harus mati
pun, harus mati dengan pasrah.
Hari ini waktu menunjukkan bulan sembilan tanggal
enam belas. Ketika tersadar kembali, Siau-hong segera
memastikan dua hal. Pertama, dia belum mati.
Kedua, dia berada dalam keadaan telanjang bulat.
Berbaring di atas ranjang berlapiskan kulit macan tutul
dalam keadaan telanjang bulat.
Ranjang empuk itu berada di sudut sebuah tenda yang
maha besar dan indah, di sampingnya terdapat sebuah meja
kayu, di atas meja terdapat sebuah baskom yang terbuat
dari emas, dalam baskom emas berisikan air yang nilainya
jauh lebih mahal dari emas.
Seorang gadis berkerudung sutera bertubuh langsing dan
mengenakan baju orang Han, sedang menggunakan
selembar handuk yang lembut membasuh tubuhnya
memakai air dalam baskom emas.
Tangannya lembut, halus dan indah, gerak-geriknya
penuh kelembutan dan teliti, seakan sedang membersihkan
sebuah benda antik yang baru dikeluarkan dari gudang
rahasia, dia membasuh tubuh pemuda itu dari alis mata,
mata, wajah, bibir, badan hingga ke ujung kaki, bahkan
semua debu yang menempel pada kuku kaki pun dicuci dan
dibersihkan hingga betul-betul bersih.
Seseorang yang baru saja lolos dari lubang kematian,
baru saja mengalami berbagai penderitaan karena siksaan
tubuh dan cuaca, tiba-tiba menjumpai dirinya berada dalam
kondisi seperti ini, bisa dibayangkan betapa terperangah,
kaget, keheranan, dan gembiranya pemuda ini.
Perasaan pertama yang dirasakan Siau-hong adalah
seolah dirinya telah melakukan satu hal yang amat berdosa.
Di tengah gurun pasir, ternyata ada orang menggunakan
air yang lebih berharga dari emas untuk memandikan
tubuhnya, kejadian semacam ini bukan saja telah
menghambur-hamburkan barang berharga, pada hakikatnya
sudah tergotong satu perbuatan dosa besar.
Siapakah tuan rumah di sini" Siapa yang telah
menyelamatkan dirinya"
Dia ingin sekali menanyakan hal ini.
Namun sayang, sekujur tubuhnya terasa lemah tak
bertenaga, bahkan tenggorokan pun tetap terasa kering,
dahaga nyaris merobek tenggorokannya, mulutnya tetap
getir, malah lidahnya pun terasa merekah seperti mau
robek. Perempuan berkerudung asing itu meski telah
membersihkan tubuhnya dengan air bersih, namun tak
pernah memberinya minum, walau hanya setetes air.
Oleh karena itu perasaan kedua yang timbul dalam
hatinya bukan gembira, melainkan rasa gusar yang meluap.
Akan tetapi hawa amarahnya sama sekali tak
dilampiaskan, sebab secara tiba-tiba ia menjumpai lagi
bahwa di dalam tenda mewah itu bukan hanya ada mereka
berdua, masih ada seorang lagi berdiri tenang di sudut
tenda, sedang mengawasinya dengan tenang.
Seorang lelaki yang mempunyai harga diri, di bawah
tatapan dan pengawasan orang lain ternyata berbaring
telanjang bulat, bahkan bagaikan seorang bayi, sedang
dimandikan seorang wanita yang teramat asing baginya.
Bisa dibayangkan bagaimanakah perasaannya saat itu"
Siapa pula yang dapat menghadapinya"
Kini perempuan itu mulai menggosok dan memegang
bagian tubuhnya yang paling sensitif. Coba andaikata dia
bukan kelewat lelah, dahaga dan lapar, kemungkinan besar
napsu birahinya akan terangsang dan terpancing bangkit.
Keadaan semacam ini terlebih lagi membuat orang susah
untuk mengendalikan diri.
Sekuat tenaga Siau-hong mendorong tangan perempuan
itu, meronta sekuat tenaga untuk duduk, dia ingin sekali
meneguk air di dalam baskom emas.
Dia harus minum sedikit air, dengan minum air dia baru
bertenaga, sekalipun air dalam baskom itu adalah air bekas
mencuci kaki bau, dia tetap akan meneguknya.
Sayang sekali gerakan perempuan itu jauh lebih cepat
daripada gerakan tubuhnya, tiba-tiba dia sambar air dalam
baskom itu, lalu sambil tertawa cekikikan menyelinap
keluar dari tenda.
Siau-hong tak punya kekuatan untuk mengejar, dia pun
tak mampu melakukan pengejaran. Kini dia masih berada
dalam keadaan telanjang bulat, lelaki asing yang berdiri di
hadapannya pun masih mengawasi gerak-geriknya.
Sekarang dia baru dapat melihat jelas tampang orang itu.
Dulu ia belum pernah berjumpa dengan manusia
semacam ini, di kemudian hari pun mungkin dia tak pernah
akan bertemu lagi.
Di sudut tenda sebelah depan sana terdapat sebuah
bangku yang amat lebar, besar, dan nyaman, orang itu


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdiri persis di depan bangku itu namun tidak pernah
menempatinya. Sekilas pandang, orang yang berdiri di tempat itu sama
sekali tak ada bedanya dengan orang lain.
Tapi bila kau perhatikan beberapa kejap lagi, maka
segera akan ketahuan bila gayanya sewaktu berdiri ternyata
jauh berbeda dengan orang mana pun.
Tapi di manakah letak perbedaan itu" Tak seorang pun
dapat menerangkan.
Walaupun dengan jelas ia berdiri di tempat itu, namun
justru memberi kesan susah bagi orang lain untuk
mengetahui keberadaannya, sebab orang itu seakan telah
menyatu dengan bangku di belakang tubuhnya, tenda di
atas kepalanya serta permukaan tanah di bawah kakinya.
Peduli di mana pun ia berdiri, seakan tubuhnya selalu
menyatu dengan benda dan alam yang berada di
sekelilingnya. Bila kau melihat pada pandangan pertama, dia seakan
sama sekali tak bergerak, anggota badannya, tubuhnya,
bulunya, setiap bagian tubuhnya dari atas hingga ke bawah,
tak satu pun yang bergerak, bahkan detak jantung pun
seolah ikut berhenti.
Tapi bila kau perhatikan beberapa kejap lagi, maka akan
kau jumpai tubuhnya, setiap bagian organ tubuhnya seakan
sedang bergerak bahkan tiada hentinya bergerak.
Bila kau lepaskan sebuah pukulan ke arah tubuhnya,
peduli bagian mana pun dari tubuhnya yang kau incar,
kemungkinan besar segera akan memperoleh reaksi balasan
yang amat menakutkan.
Parasnya pun sama sekali tidak menunjukkan perubahan
apa pun. Biarpun dengan jelas ia sedang menatapmu, namun sinar
matanya sama sekali tidak menunjukkan perubahan apaapa,
seperti benda apa pun tak terlihat olehnya.
Dalam genggaman orang itu terdapat sebilah pedang,
sebilah pedang bersarung hitam yang sempit dan panjang.
Pedang itu masih berada dalam sarungnya.
Akan tetapi asal kau memandang sekejap saja, segera
akan kau rasakan semacam hawa pedang yang amat
menyesakkan napas.
Tangannya meski belum mencabut pedangnya, namun
seakan sudah berada di depan tenggorokanmu.
Siau-hong benar-benar tak ingin memandang orang itu
lebih lama, apa mau dikata dia justru tak tahan untuk
melihatnya lagi. Orang itu sama sekali tidak bereaksi.
Ketika sedang menatap orang lain, dia seakan sama
sekali tak punya perasaan. Ketika orang lain sedang
memandangnya, dia pun seolah sama sekali tak tahu.
Dia seakan-akan sama sekali tak peduli terhadap semua
kehidupan yang ada di langit dan bumi, dia pun tak peduli
atas sikap pandangan orang terhadap dirinya.
Karena yang dia perhatikan hanya satu hal....
Pedang miliknya!
Tiba-tiba Siau-hong merasakan telapak tangannya telah
basah oleh keringat dingin.
Hanya di saat sedang menghadapi duel maut yang
menentukan mati hidup, telapak tangannya baru akan
basah oleh keringat dingin.
Kini dia tak lebih hanya mengawasi orang itu beberapa
kejap, orang itu pun tidak bergerak, sama sekali tidak
menunjukkan sikap bermusuhan, mengapa dirinya bisa
timbul reaksi seperti ini"
Apakah sejak dilahirkan mereka sudah ditakdirkan harus
berhadapan sebagai musuh" Cepat atau lambat, suatu saat
salah seorang di antara mereka harus tewas di tangan
lawan" Tentu saja kalau bisa peristiwa semacam ini jangan
sampai terjadi. Di antara mereka berdua sama sekali tak
terikat dendam atau sakit hati, mengapa harus saling
berhadapan sebagai musuh bebuyutan"
Anehnya dari dasar lubuk hati Siau-hong justru muncul
semacam firasat yang tak menguntungkan, dia seakan
melihat ada seorang di antara mereka berdua yang roboh
terkapar di tanah, roboh terkena tusukan pedang lawannya,
terkapar di tengah genangan darah.
Sayang ia tak dapat melihat siapa di antara mereka
berdua yang bakal terkapar.
Suara tawa yang merdu bagai keleningan kembali
berkumandang. Perempuan berkerudung itu muncul
kembali dari balik tenda, kali ini dia muncul sambil
membawa lagi baskom emas yang tadi.
Suara tawanya indah, merdu dan manis, bukan saja
menunjukkan rasa gembiranya, dia pun membuat orang
lain ikut gembira.
Sayang Siau-hong tidak gembira. Dia pun tak habis
mengerti mengapa perempuan itu bisa tertawa dengan
begitu gembira.
Tak tahan ia pun menegur, "Dapatkah kau memberi
sedikit air minum untukku?"
"Tidak," perempuan itu menggeleng sambil tertawa, "Air
dalam baskom sudah kotor, tak bisa diminum."
"Air kotor pun tetap air, asal ada air, dahagaku pasti
hilang." "Aku tetap tak bisa memberi air untukmu."
"Mengapa?"
"Karena air dalam baskom ini memang bukan diberikan
untuk menghilangkan dahagamu."
Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya sambil
tertawa, "Kau seharusnya tahu, air adalah benda yang
sangat berharga di wilayah gurun pasir, air ini milikku,
kenapa harus kuberikan kepadamu?"
"Jadi kau lebih rela air dalam baskom itu dipakai untuk
memandikan aku daripada menghilangkan rasa dahagaku?"
"Itu dua masalah yang berbeda."
Mengapa berbeda" Siau-hong sama sekali tak mengerti,
semua perkataannya benar-benar membuat orang sukar
untuk memahaminya.
Untung saja perempuan itu segera memberi penjelasan.
"Memandikan dirimu merupakan kenikmatan bagiku."
"Kenikmatan bagimu" Kenikmatan apa?" tanya Siauhong
semakin tak mengerti.
"Kau adalah seorang pemuda yang memiliki perawakan
tubuh sangat bagus, pertumbuhan badanmu dari ujung
kepala hingga ujung kaki sangat bagus, memandikan
tubuhmu akan membuat hatiku sangat gembira. Bila
membiarkan kau meminumnya, jelas hal ini merupakan
masalah lain."
Dia tertawa semakin manis, tambahnya, "Sekarang
apakah kau sudah memahami maksud hatiku?"
Siau-hong ingin sekali tertawa kepadanya, sayang ia tak
mampu tertawa. Kini walaupun dia sudah memahami maksud
perkataannya, namun ia tetap tak paham, bagaimana
mungkin perempuan itu bisa mengucapkan perkataan
semacam ini. Pada hakikatnya ucapannya itu tak mirip perkataan
manusia. Tapi perempuan itu seakan menganggap apa yang
dikatakan sangat masuk akal.
"Air ini milikku, terserah mau kuapakan air ini, karena
sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan dirimu. Jika
kau ingin minum air, cobalah mencari akal sendiri."
Sewaktu tertawa, sepasang matanya kelihatan amat sipit
bagaikan sepasang bulan sabit, mirip juga mata kail, hanya
saja siapa pun dapat melihat kalau yang ingin dia kail
bukanlah ikan, melainkan manusia.
"Bila kau tak berhasil menemukan cara yang baik, kami
dapat memberi sebuah petunjuk jalan untukmu."
Kali ini dia berbicara dengan bahasa manusia, karena
ucapannya bisa dipahami.
"Dengan cara apa aku dapat menemukan air" Ke mana
aku harus mencarinya?" Siau-hong segera bertanya.
Tiba-tiba perempuan itu mengangkat jari tangannya yang
putih lembut dan menuding ke arah belakang tubuh Siauhong,
katanya, "Asalkan berpaling, kau segera akan
mengetahuinya."
Siau-hong pun segera berpaling.
Entah sejak kapan, ternyata sudah ada seseorang berjalan
masuk ke dalam tenda.
Pada hari biasa, sekalipun hanya seekor kucing yang
menyelinap masuk, dia pasti akan segera mengetahuinya,
tapi sekarang dia kelewat lelah, dahaga, ingin minum air,
menanti berpaling ke belakang, dia baru melihat kehadiran
orang itu. Ternyata yang dia jumpai adalah Wi Thian-bong.
Wi Thian-bong dengan perawakan tubuhnya yang tinggi
besar, bersikap serius, berpakaian rapi, senyuman selalu
menghiasi ujung bibirnya, sepasang mata penuh dengan
tekad yang bulat, tekad yang susah dibelokkan.
Berada pada saat apa pun, tempat mana pun, dia selalu
dapat memaksa orang lain selalu bersikap hormat dan
kagum terhadapnya.
Di hari biasa, semua sepak terjang, semua perbuatan
yang dilakukan pun cukup mengundang rasa hormat dan
kagum orang lain.
Tahun ini dia berusia lima puluh tiga tahun. Sejak usia
dua puluh satu tahun, ia sudah menjadi Congpiauthau
sebuah perusahaan ekspedisi terbesar di wilayah Kwantong,
dalam perjalanan kariernya selama tiga puluhan
tahun, semua usahanya berjalan lancar, belum pernah
mengalami masalah dan musibah yang kelewat besar.
Hingga kemarin malam, untuk pertama kalinya dia telah
menghadapinya. Lenyapnya emas lantakan menjadi bagian tanggungjawabnya,
seluruh anak murid kepercayaannya pun nyaris
tewas secara mendadak dalam keadaan mengenaskan.
Sekalipun begitu, dia tetap tampil penuh wibawa dan
gagah, pukulan yang begitu menakutkan ternyata sama
sekali tidak mengubah sikap maupun penampilannya.
Siau-hong segera menggunakan kulit macan tutul untuk
menutupi bagian tubuhnya yang paling vital, kemudian
baru mendongakkan kepala menghadap Wi Thian-bong.
"Tak nyana ternyata kau telah menyelamatkan aku."
"Aku tidak menyelamatkan kau," jawab Wi Thian-bong,
"Tak seorang pun dapat menolongmu, hanya kau sendiri
yang dapat menyelamatkan dirimu sendiri."
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Kau
telah menghabisi nyawa putra tunggal Hok-kui-sin-sian,
seharusnya kau mesti menggantinya dengan nyawamu."
"Dan sekarang?"
"Sekarang seharusnya kau telah tewas di tengah gurun
pasir, tewas di tangannya."
Yang dia maksudkan "nya" tak lain adalah perempuan
berkerudung hitam itu.
"Tahukah kau siapa dia?" tiba-tiba Wi Thian-bong
bertanya lagi. "Aku tahu," sahut Siau-hong sambil tertawa, "Dia pasti
menyangka aku tidak mengenalnya lagi, karena waktu aku
bertemunya pagi tadi, dia masih merupakan seorang
perempuan mengenaskan yang hampir mati, dia dipaksa
orang untuk membunuhku, tapi sebaliknya malah termakan
sebuah tusukan pedangku, sementara air dalam kantungnya
hanya tersisa dua tegukan."
Setelah menghela napas, lanjurnya, "Karena dia tahu
belum tentu usaha pembunuhannya akan berhasil
menghabisi nyawaku, maka jauh sebelumnya ia telah
menyiapkan jalan mundur, tentu saja dia tak boleh
membawa terlalu banyak air di dalam kantungnya,
daripada terampas olehku pada akhirnya. Selain itu dia pun
harus berlagak sangat mengenaskan, agar hatiku iba dan
terenyuh dibuatnya."
Selama ini perempuan berkerudung itu hanya
mendengarkan, mendengarkan sambil selalu tertawa, tentu
saja suara tawanya jauh lebih riang ketimbang tadi.
"Sejak perjumpaan kali pertama, kau tidak seharusnya
mempercayai aku, hanya sayang hatimu kelewat lembek,"
katanya. "Sayangnya, hati dia tak pernah lembek!" tiba-tiba Wi
Thian-bong buka suara lagi.
Sui-gin, si Air raksa, ketika membunuh korbannya, ia tak
pernah lembek hatinya, tak pernah lembek serangannya.
"Perempuan ini tak lain adalah Air raksa, air raksa yang
tiada pori yang tak dapat ditembusi!"
Ternyata Siau-hong sama sekali tak merasa di luar
dugaan. Kembali Wi Thian-bong bertanya, "Tahukah kau,
mengapa hingga sekarang dia belum membunuhmu?"
Siau-hong menggeleng, dia memang tak tahu.
"Karena Lu Thian-po telah mati, sementara tiga puluh
laksa tahil emas masih tetap ada wujudnya," sahut Wi
Thian-bong. "Apa hubungan Lu thian-po dengan tiga puluh laksa
tahil emas?"
"Hanya ada satu hubungan, emas senilai tiga puluh laksa
tahil itu milik Hok-kui-sin-sian Lu-sam-ya."
"Peduli siapa pun yang mati, setelah mampus, dia tak
lebih hanya sesosok mayat," kata Sui-gin pula, "Dalam
pandangan Lu-sam-ya, tentu saja sesosok mayat tak akan
mengungguli emas sebanyak tiga puluh laksa tahil."
Setelah tertawa cekikikan, tambahnya, "Kalau bukan
begitu, mana mungkin dia bisa kaya?"
"Oleh karena itu asal kau dapat membantuku
menemukan kembali emas lantakan senilai tiga puluh laksa
tahil itu, kujamin dia tak bakal mencarimu lagi untuk
menuntut balas" sambung Wi Thian-bong.
"Wah, kedengarannya sebuah transaksi yang sangat
menarik," teriak Siau-hong.
"Memang sangat menarik!" senyuman Sui-gin semakin
memikat. "Kalian selalu menaruh curiga kalau emas itu telah


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirampok Po Eng, kebetulan aku kenal, aku segera akan
membantu kalian untuk menyelidiki persoalan ini."
"Ternyata kau memang tak bodoh," seru Sui-gin sambil
tertawa. "Asal kau bersedia," ujar Wi Thian-bong pula, "Apa pun
yang kau butuhkan, kami pasti akan menyediakannya
untukmu." "Dari mana aku bisa tahu saat ini Po Eng berada di
mana?" kata Siau-hong lagi.
"Kami dapat membantumu untuk menemukan jejaknya."
Siau-hong kembali termenung, kemudian ujarnya
perlahan, "Po Eng sama sekali tidak menganggapku sebagai
sahabat. Membantu para Piausu menangkap perampok pun
bukan termasuk pekerjaan yang memalukan."
"Betul."
"Bila aku tak bersedia menerima tawaran ini, sekalipun
kalian tidak membunuhku pun aku tetap akan mati karena
kehausan." Sui-gin menghela napas panjang.
"Benar, siksaan semacam ini pasti teramat tak enak,"
katanya. "Maka dari itu rasanya aku harus menerima
tawaran kalian ini."
"Betul, kau memang sudah tak ada pilihan lain lagi," Suigin
membenarkan dengan suara lembut.
Kembali Siau-hong menghela napas.
"Ai, rasanya aku memang harus berbuat begitu."
"Dan kau sudah menyanggupinya?"
"Masih belum."
"Apa lagi yang sedang kau pertimbangkan?"
Ooo)d*w(ooO BAB 4. ANTARA HIDUP DAN MATI
"Tak ada lagi yang kupertimbangkan."
"Sebenarnya kau menyanggupi atau tidak?" desak Wi
Thian-bong. "Tidak!"
Jawabannya langsung, singkat, dan terus terang,
singkatnya setengah mati.
Paras Wi Thian-bong sama sekali tak berubah, namun
daging di sekitar kelopak matanya mulai mengejang keras,
pupil matanya ikut berkerut kencang.
Sebaliknya sorot mata Sui-gin justru menampilkan
perubahan yang rumit dan aneh, dia seakan terperangah,
seakan juga merasa sangat kagum, sangat menarik hatinya.
"Dapatkah kau beritahu kepadaku, mengapa kau
menolak?" tanyanya kemudian lembut.
"Karena aku tak suka!" jawab Siau-hong santai, ternyata
dia masih sanggup tertawa.
Alasan ini bukan saja tak cukup baik, pada hakikatnya
tak bisa dibilang sebagai sebuah alasan. Lantas apa alasan
yang sebenarnya" Siau-hong tak ingin mengutarakannya,
selama ini dia selalu bertindak sesuai dengan prinsip yang
dianutnya, biasanya sulit bagi orang lain memahaminya,
dia pun tak ingin orang lain berusaha memahaminya.
Dalam melakukan pekerjaan apa pun, dia merasa sudah
lebih dari cukup asal dia tidak mengingkari prinsip dan
keyakinan sendiri.
Sui-gin menghela napas panjang, "Wi Thian-bong tak
nanti membunuhmu, dia tak pernah memaksa orang lain
untuk melakukan pekerjaan apapun."
"Kebiasaan semacam ini cukup positif," kata Siau-hong
sambil tersenyum, "Sungguh tak kusangka ternyata dia bisa
memiliki kebiasaan sebagus ini."
"Aku pun tak bakal membunuhmu, karena aku telah
berjanji tak akan mencelakaimu lagi."
Setelah tertawa, katanya lebih jauh, "Pegang janji pun
merupakan sebuah kebiasaan yang baik, kau pasti tak akan
menyangka bukan kalau aku pun memiliki kebiasaan baik
semacam ini?"
"Memang tak banyak perempuan yang memiliki
kebiasaan baik semacam ini," Siau-hong mengakui.
"Kami tak lebih hanya ingin mengantarmu balik ke
tempat semula, agar kau bisa berbaring seorang diri sambil
menanti datangnya kematian dengan perasaan tenang."
Menunggu mati jauh lebih menderita daripada kematian
itu sendiri, jauh lebih tersiksa.
Namun Siau-hong tak peduli.
"Sebenarnya aku memang sedang menunggu mati, apa
salahnya kalau sekarang menunggu lagi."
"Maka kau masih tetap menolak?"
"Benar!"
Jawabannya masih tetap begitu sederhana, sederhana
setengah mati. Angin puyuh kembali melanda di luar tenda,
menerbangkan pasir dan bebatuan. Dalam waktu singkat,
senja akan berlalu dan kegelapan yang membawa
datangnya kematian segera akan menyelimuti seluruh jagat.
Di tengah dataran luas yang tak berperasaan ini, nilai
sebuah kehidupan memang berubah jadi begitu kecil,
rendah dan tak berarti, kalau masih bisa hidup tentu saja
harus hidup lebih jauh, kalau tak mampu hidup lagi, apa
salahnya mati"
Kembali Siau-hong membaringkan diri, dia seolah sudah
bersiap untuk diantar kembali ke tengah terpaan pasir dan
menanti datangnya ajal.
Pada saat dia hampir memejamkan mata itulah
mendadak terdengar seseorang dengan suara dingin, kaku,
dan sangat aneh, bertanya kepadanya, "Kau benar-benar tak
takut mati?"
Tak usah membuka mata pun dia sudah tahu siapakah
orang itu. Selama ini orang itu hanya berdiri tenang di sana,
memandangnya dengan tenang. Sinar matanya tak pernah
bergeser sekejap pun ke arah lain, sorot matanya pun tidak
memperlihatkan perubahan apa pun.
Sewaktu orang itu memandang Siau-hong, dia seolah
seekor kucing yang sedang mengawasi seekor serangga yang
sudah terjebak dalam jaring laba-laba.
Mereka bukanlah berasal dari jenis yang sama.
Sesungguhnya kehidupan memang begitu rendah,
pergulatan antara mati dan hidup pun tentu saja berubah
jadi begitu bodoh dan menggelikan.
Sudah barang tentu perasaannya tak akan tergerak.
Tapi sekarang secara tiba-tiba ia bertanya kepada Siauhong,
"Kau benar-benar tak takut mati?"
Apakah pertanyaan ini diajukan karena selama hidup ia
belum pernah bersua dengan orang yang benar-benar tak
takut mati"
Siau-hong menampik menjawab pertanyaan itu.
Karena dia sendiri tak yakin dengan jawaban pertanyaan
itu. Namun ia telah berbuat begitu, telah menunjukkan harga
diri dan keberanian yang dipilihnya di saat manusia
dihadapkan pada dua pilihan yang menentukan, hidup atau
mati. Terkadang memang ada beberapa persoalan yang tak
mungkin bisa dijawab dengan perkataan, dan bukan
perkataan yang bisa menjawabnya.
Ternyata orang itu dapat memahaminya.
Maka dia tidak bertanya lagi, perlahan-lahan berjalan
mendekat, caranya berjalannya ternyata sama anehnya
dengan sikapnya sewaktu berdiri.
Orang lain sama sekali tak dapat melihat bagaimana dia
bergerak, tapi secara tiba-tiba ia sudah berdiri persis di
depan ranjang, ranjang di mana Siau-hong sedang
membaringkan diri.
Pedang milik Siau-hong tergeletak di atas meja kayu di
samping ranjang.
Tiba-tiba ia bertanya lagi, "Ini pedang milikmu?"
Pertanyaan ini tak susah untuk dijawab dan tak perlu
menampik untuk menjawabnya.
"Benar, itu memang pedangku."
"Jadi kau menggunakan pedang?"
"Benar!"
Tiba-tiba cahaya pedang berkelebat, secercah sinar
bianglala menyebar bagai halilintar.
Siapa pun tak ada yang melihat bagaimana orang itu
mengulurkan tangan mengambil pedang dan mencabutnya,
tapi pedang yang tergeletak di atas meja tahu-tahu sudah
berpindah ke tangannya.
Bahkan pedang itu pun telah dicabut dari sarungnya.
Ketika pedang yang telah lolos dari sarungnya itu berada
di tangannya, penampilan orang itu pun ikut berubah,
berubah seperti pedang yang berada dalam genggamannya,
memancarkan pula cahaya bianglala yang amat
menyilaukan mata.
Cahaya bianglala yang menyilaukan mata itu hanya
berlangsung singkat untuk kemudian lenyap tak berbekas,
karena pedang yang berada dalam genggamannya tiba-tiba
disarungkan kembali.
Penampilan orang itu pun seketika berubah tenang
kembali,-lewat lama kemudian sepatah demi sepatah dia
berkata, "Orang di dunia ini menempa berjuta bilah pedang,
namun hanya dua-tiga di antaranya yang pantas disebut
senjata tajam."
"Pedang mestika, kuda jempolan hanya bisa ditemukan
tak dapat dicari, di antara sekian juta paling hanya ada satu,
dan itu pun sudah terhitung cukup banyak."
"Pedangmu sangat tajam."
"Sorot matamu pun amat tajam," sahut Siau-hong
tersenyum. "Kau pernah menggunakan pedang ini untuk
membunuh orang?"
"Pedang itu hanya membunuh mereka yang memang
pantas untuk dibunuh."
"Hanya mereka yang pandai menggunakan senjata
tajam, ia dapat membunuh orang tanpa dibunuh, ilmu
pedangmu pasti lumayan."
"Masih terhitung lumayan juga."
Kembali orang itu termenung cukup lama, katanya lagi,
"Kalau begitu kau masih tersedia sebuah jalan lain."
"Jalan yang mana" Bagaimana harus kulewati?" tak
tahan Siau-hong bertanya.
"Gunakan pedangmu untuk membunuh aku," suara
orang itu tetap hambar, "Asal dapat membunuhku, kau
boleh tak usah mati."
"Kalau Amarah Pedang Bunga Iblis 8 Bara Naga Karya Yin Yong Hati Budha Tangan Berbisa 7

Cari Blog Ini