Ceritasilat Novel Online

Elang Terbang Di Dataran Luas 10

Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id Bagian 10


g, begitu pula dengan pemuda itu.
Kini pemuda itu sudah pulih kembali dalam ketenangan,
telah mengendorkan seluruh otot tubuhnya, dia seolah telah
membaur dan menyatu dengan alam semesta.
Alam semesta itu abadi dan selamanya tak pernah
berubah, sementara orang itu pun seolah mendekati
keabadian, mendekati ketenangan, kedamaian yang abadi
dan tak pernah berubah.
Siau-yan ingin sekali memberitahu kepadanya,
"Sekarang ilmu pedangmu sudah benar-benar sempurna."
Tapi gadis itu tidak mengucapkannya, karena secara tibatiba
ia merasa air mata telah menggenang dalam kelopak
matanya dan nyaris meleleh membasahi pipinya.
Walaupun dia kalah, dia tahu dirinya selama hidup tak
pernah dapat mengalahkan Tokko Ci, selama hidup tak
bakal mencapai puncak kesempurnaan dalam ilmu
pedang.... Tapi dia telah membantu seorang lelaki melewati batasan
itu, membantunya mencapai puncak kesempurnaan.
Bahkan di dalam tubuhnya telah mengalir nyawa lelaki
itu, nyawa mereka berdua telah menyatu, telah membaur
menjadi satu. Kemenangannya berarti kemenangan dirinya pula.
Langit lambat-laun jadi terang, cahaya rembulan pun
makin lama semakin tawar.
Entah berapa lama telah lewat, gadis itu baru berbisik
lirih kepada Siau-hong, "Sekarang kau sudah dapat pergi
mencari Tokko Ci."
Siau-hong sama sekali tidak memberikan reaksi.
Gadis itu pun tak tahu apakah Siau-hong mendengar
kata-katanya, tapi yang pasti dia telah mendengar suara
ayam berkokok. Seperti tempo hari, begitu mendengar suara ayam
berkokok, tiba-tiba gadis itu melompat bangun, seperti setan
perempuan yang takut bertemu cahaya matahari, begitu
mendengar suara ayam berkokok, dia langsung melarikan
diri secara tiba-tiba dan lenyap di balik lapisan kabut yang
tebal. Kali ini Siau-hong tidak membiarkan gadis itu melarikan
diri, dengan cepat dia melakukan pengejaran.
Rupanya di saat ayam berkokok, saat itulah Tokko Ci
bangun dari tidurnya.
Setiap makhluk yang disebut manusia memang tak boleh
kurang tidur, dia pun manusia, meski sedang tertidur lelap
pun, setiap saat dia harus menjaga kesadarannya.
Tempatnya berbaring adalah sebuah pembaringan yang
terbuat dari batu, sempit, kecil, dingin dan keras, yang
dimakan pun hidangan yang sederhana dan murah.
Dia tak pernah mengizinkan tubuhnya hidup
berkecukupan dan menikmati kenyamanan.
Beginilah kehidupan seorang jago pedang sejati, jauh
lebih pahit, jauh lebih menderita daripada kehidupan
seorang pendeta yang hidup mengasingkan diri, kebiasaan
yang telah terjalin sangat lama membuat dia sudah terbiasa
dengan keadaan seperti ini.
Dia selalu berpendapat, bila kau ingin mendapatkan
semacam kehormatan dan kehebatan, maka kau harus
membayar dengan penderitaan, harus tiada hentinya
mencambuk diri.
Belum pernah ada orang tahu dengan cara apa dia
mempelajari ilmu pedangnya, dia sendiri pun enggan
menyinggung persoalan ini.
Tak dapat disangkal pengalamannya yang penuh derita
dan siksaan mengandung begitu banyak keringat, air mata,
dan darah. Sebab dia bukan murid perguruan kenamaan, dia pun tak
memiliki latar belakang keluarga persilatan, untuk
mencapai tingkatan yang luar biasa, dia harus membayar
dengan keringat, air mata dan darah.
Kini dia berhasil menguasai ilmu pedang. Dengan
mengandalkan sebilah pedang dia telah malang melintang
di wilayah utara maupun selatan dan selama ini belum
pernah bertemu tandingan.
Hingga akhirnya dia bersua Po Eng.
Po Eng, di mana kau sekarang"
Dengan tubuh telanjang bulat dia bangun terduduk di
atas ranjang, seperti sesosok mayat hidup yang tiba-tiba
bangkit dari dalam peti mati.
Parasnya pucat-pasi tanpa perubahan mimik, selama ini
kecuali dalam genggamannya terdapat pedang, orang ini tak
ubahnya sesosok mayat hidup, mayat sungguhan.
Inilah hasil dari puasanya selama banyak tahun, tak
pernah ada seorang pun yang lebih memahami bahwa
kejadian ini merupakan sebuah peristiwa yang amat
menyiksa, belum pernah ada manusia lain yang lebih
paham bahwa seseorang harus mengeluarkan tenaga yang
amat besar agar dapat mengendalikan gejolak perasaan
serta napsunya.
Suasana di luar jendela masih dicekam kegelapan,
kebanyakan umat manusia masih terlelap dalam tidurnya.
Tapi dia tahu, di saat ia berjalan keluar dari ruang
kamarnya, Siau-cong si ulat kecil pasti telah menunggunya
di depan pintu, siap melayani semua kebutuhannya.
Setiap pagi, dia selalu meminta si ulat kecil untuk
mencuci bersih seluruh bagian tubuhnya, membantu dia
mengenakan pakaian. Karena dia tahu, harapan terbesar
bocah ini adalah membunuh dia di ujung pedangnya! Dia
tak akan membiarkan peristiwa semacam ini terjadi.
Tapi dia pun membutuhkan kehadiran bocah ini untuk
mencambuknya, untuk merangsangnya, dia selalu
berpendapat, bila ingin menjadi yang tercepat maka dia
baru bisa berlari kencang bila ada sebuah cambuk.
Bocah ini adalah cambuknya!
Karena itu dia menahan bocah ini, tiada hentinya
menyiksa dia, mempermalukan dia, agar dia tak pernah
dapat mengangkat kepala di hadapannya, selama hidup tak
mampu mendongakkan kepala.
Ooo)d*w(ooO BAB 31. GILA PEDANG CINTA PUTUS
Bila setiap hari kau harus melayani seseorang bagaikan
seorang budak, maka dirimu sendiri pun akan merasa
selama hidup tak pernah bisa mengunggulinya.
Inilah jalan pikiran Tokko Ci, dan merupakan juga taktik
perangnya. Hingga hari ini, dia selalu beranggapan bahwa taktik
perangnya berhasil.
Hari ini, ketika ia keluar dari kamarnya, ternyata
budaknya tidak seperti hari-hari biasa, menantinya di depan
pintu. Dari kejauhan terdengar lagi suara ayam berkokok, jagat
raya tetap gelap gulita, angin yang meniup di atas tubuhnya
yang telanjang terasa dingin bagaikan disayat pisau.
Pedang telah berada dalam genggaman Tokko Ci.
Kini dia telah mengggenggam pedangnya, pedang itu
selalu terletak di tempat yang bisa diraihnya dalam sekali
sambaran tangan.
Hembusan dingin makin menyayat badan. Ia berdiri di
tengah hembusan angin dingin, hingga cahaya fajar mulai
membelah kegelapan malam, dia baru melihat seseorang
bergerak mendekat dengan kecepatan tinggi.
Dia segera mengenali ilmu meringankan tubuh yang
digunakan orang itu, namun dia tidak melihat bahwa orang
itu adalah si bocah cilik ingusan yang senang bermain ulat
kecil. Yang dilihatnya sekarang adalah seorang gadis, seorang
gadis cantik yang sudah lama tak pernah dilihatnya.
"Siapa kau?"
Begitu pertanyaan diajukan, dia pun segera mengenali
siapa gerangan gadis cantik itu.
Bila kau menemukan "Bocah" yang setiap hari
melayanimu bagaikan seorang budak tiba-tiba berubah
menjadi seorang gadis cantik, sementara kau pun masih
seperti dahulu, berdiri telanjang bulat di hadapannya,
bagaimanakah perasaanmu saat itu" Apa pula reaksimu"
Tokko Ci sama sekali tak beraksi.
Dia masih berdiri di sana dengan tenang, wajahnya sama
sekali tak menampilkan perubahan apa pun, hanya ujarnya
dingin, "Kau datang terlambat."
"Benar," jawaban Siau-yan pun dingin dan hambar,
"Hari ini aku datang terlambat."
Tokko Ci tidak berbicara lagi.
Setiap hari dia selalu menggunakan gaya yang sama,
berdiri di sana membiarkan "dia" memandikan dirinya, hari
ini gayanya tetap tidak berubah.
Siau-yan pun seperti dahulu, mengambil segantang air,
perlahan berjalan mendekat, matanya seperti dahulu,
menatapnya tanpa berkedip.
Satu-satunya perbedaan pada hari ini adalah di antara
mereka berdua telah bertambah lagi dengan kehadiran
orang lain. Tangannya yang dingin telah dicelupkan ke dalam air
dingin dalam gantang, ia telah mengeluarkan selembar kain
yang basah. Pada saat itulah Siau-hong telah muncul.
Baru saja Siau-yan menarik keluar tangannya dari dalam
air, tangan itu telah digenggam erat.
Tangan Siau-hong bergerak secepat pagutan ular berbisa,
sorot matanya agak bebal karena marah yang memuncak,
sinar mata itu jadi bebal.
Tegurnya kepada Siau-yan, "Jadi kau terburu-buru balik
kemari karena harus melakukan pekerjaan ini?"
"Benar," jawab Siau-yan, "Setiap hari aku harus
melakukan pekerjaan ini, setahun tiga ratus enam puluh
lima hari, terkadang dalam sehari harus melakukan dua
kali." "Mengapa kau harus melakukan pekerjaan ini?"
"Karena dia menyuruh aku melakukannya, karena dia
sengaja hendak menyiksaku, sengaja hendak
mempermalukan aku...."
Ia tidak melanjutkan kata-katanya, sebab suara gadis itu
sudah jadi parau, lambat-laun tak sanggup mengendalikan
diri lagi. Tokko Ci mengawasi mereka berdua, tiba-tiba beberapa
kerutan aneh timbul di atas wajahnya.
Dia sudah dapat melihat hubungan di antara mereka
berdua. Tiba-tiba saja parasnya berubah seperti sebuah topeng
putih yang mulai retak dan robek.
Apakah hal ini disebabkan dia merasa tertipu,
menyerahkan sesuatu yang seharusnya menjadi miliknya
kepada orang lain"
Perlahan-lahan Siau-hong berpaling, menatap tajam
wajahnya. Di antara mereka berdua seharusnya tiada ikatan
dendam maupun sakit hati, tapi sekarang dari balik mata
Siau-hong telah terpancar api amarah yang membara.
"Sejak pertama kali melihatmu, aku sudah tahu bahwa
salah satu di antara kita berdua bakal tewas di ujung pedang
lawan," ujar Siau-hong.
Ternyata Tokko Ci sependapat dengan perkataan itu, dia
mengangguk. "Aku pun sependapat, cepat atau lambat suatu hari hal
ini pasti akan terjadi."
"Pernahkah kau berpikir, kapan hal ini akan terjadi?"
"Sekarang," jawab Tokko Ci, "Tentu saja sekarang."
Kemudian dengan hambar lanjutnya, "Sekarang di
tanganmu ada pedang, begitu juga dengan aku."
Oleh karena di dalam genggamannya ada pedang,
walaupun dia berdiri dalam keadaan telanjang bulat, namun
mimik mukanya begitu angker dan serius seperti tampang
seorang panglima perang yang sudah siap maju ke garis
depan. Pupil mata Siau-hong pun mulai berkerut dan menyusut.
Mendadak Tokko Ci bertanya lagi, "Pernahkah kau
bayangkan, siapa di antara kita yang bakal mati?"
Tidak membiarkan Siau-hong buka suara, dia telah
menjawab pertanyaan itu terlebih dulu, "Kaulah yang bakal
mati! Pasti kau."
Retakan pada topeng berwarna putihnya telah hilang,
kini mimik mukanya kembali berubah jadi dingin tanpa
perasaan apa pun.
"Tapi kau tak boleh mati," kembali Tokko Ci
melanjutkan, "Kau masih harus mencari Yang-kong, harus
mencari Po Eng harus mencari Lu-sam, budi dendammu
belum selesai, tanggung jawabmu belum berakhir, mana
mungkin kau boleh mati!"
Suaranya makin dingin menggidikkan, "Oleh karena itu
aku yakin hari ini kau pasti tak akan turun tangan, kau pun
tak berani turun tangan."
Cahaya sang surya telah menembusi lapisan awan, di
bawah sorot sinar matahari paras Siau-hong seolah ikut
berubah seperti mengenakan topeng berwarna putih.
Sekarang telah tiba saat mereka untuk melakukan
pertarungan, pertempuran menentukan mati-hidup,
menang-kalah di antara mereka berdua, melarikan diri
sebelum bertempur tak mungkin dilakukan seorang lelaki
sejati. Tapi dia masih sempat mendengar dirinya sedang
berkata, "Betul, aku tak boleh mati."
Bahkan dia sendiri pun mendengar ucapannya itu seolah
datang dari tempat yang teramat jauh, "Bila aku tak yakin
bisa menghabisi nyawamu, aku tak boleh turun tangan
secara sembarangan."
"Apakah kau yakin bisa membunuh aku?" tanya Tokko
Ci. "Tidak," Siau-hong menggeleng, "Oleh karena itu, hari
ini aku memang tak boleh turun tangan."
Setelah mengucapkan perkataan itu, Siau-hong sendiri
pun merasa amat terperanjat.


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setahun yang lalu, sampai mati pun dia tak bakal
mengucapkan perkataan semacam itu, tapi sekarang dia
telah berubah. Bahkan dia sendiri pun menemukan kalau dirinya telah
berubah. Dengan terperanjat Siau-yan menatapnya, paras gadis ini
berubah pucat lantaran gusar yang meluap.
"Kau tak bisa turun tangan atau tidak berani?"
"Aku tidak bisa dan tidak berani."
Tiba-tiba Siau-yan menerjang ke muka, lalu
mengguyurkan air dingin ke atas kepalanya.
Siau-hong sama sekali tak bergerak, ia membiarkan
dirinya basah kuyup di sana.
Sambil menatap gusar, separah demi separah kembali
Siau-yan berteriak nyaring, "Kau manusia atau bukan?"
"Aku manusia," jawab Siau-hong, "Justru karena aku
manusia maka hari ini aku tak akan turun tangan."
Ternyata suaranya masih tetap tenang dan dingin,
"Karena setiap manusia hanya memiliki selembar nyawa,
begitu pula dengan aku."
Belum selesai dia mengucapkan kata-kata itu, sebuah
tempelengan keras Siau-yan telah bersarang di wajahnya.
Tapi dia tetap melanjutkan ucapannya, tatkala perkataan
itu selesai diutarakan, Siau-yan telah pergi, bagaikan seekor
burung walet yang terluka, gadis itu pergi dari situ dengan
gerakan cepat. Siau-hong masih juga tak bergerak.
Dengan dingin Tokko Ci menatap pemuda itu, tiba-tiba
tanyanya, "Mengapa kau tidak mengejarnya?"
"Dia toh akhirnya akan kembali ke sini, mengapa aku
harus mengejarnya?"
"Kau tahu kalau dia bakal kembali?"
"Aku tahu," suara Siau-hong tetap dingin dan tenang,
"Tentu saja aku tahu."
"Mengapa dia harus kembali?"
"Karena dia tak akan melepaskan dirimu, seperti kau tak
akan melepaskan aku serta Po Eng," jawab Siau-hong.
Setiap patah katanya diucapkan sangat lamban, sebab dia
harus berpikir lebih dulu bagaimana caranya
mengemukakan maksudnya, agar lawan bisa memahami
dengan jelas. "Takdir bagaikan sebuah rantai, ada kalanya akan
merantai orang-orang yang sebetulnya tak ada hubungan,"
Siau-hong menerangkan lebih lanjut, "Dan sekarang kita
telah dirantai menjadi satu."
"Kita?" tanya Tokko Ci, "Siapa yang kau maksudkan
sebagai kita?"
"Kau, aku, dia, Po Eng," sahut Siau-hong, "Mulai
sekarang, peduli ke mana pun kau pergi, aku pasti akan
muncul di sekitarmu."
"Mengapa?"
"Karena aku tahu kau pun seperti aku, hendak mencari
Po Eng" kata Siau-hong, "Karena itu aku percaya, ke mana
pun aku pergi, kau pun pasti berada di sekitarku."
Kemudian ia menambahkan lagi, "Asal kita berdua
belum mati, dia pasti akan datang mencari kita berdua."
Tiba-tiba Tokko Ci tertawa dingin. "Kau tidak kuatir aku
membunuhmu?" ejeknya. "Tidak, aku tidak takut," jawab
Siau-hong hambar, "Aku tahu, kau pun tak akan turun
tangan." "Kenapa?"
"Karena kau pun tak yakin bisa membunuhku!"
Matahari telah tinggi di angkasa, menyinari sepasang
mata Siau-hong, menyinari juga mata iblis pedangnya.
Tiba-tiba Tokko Ci menghela napas panjang gumamnya,
"Kau telah berubah."
"Benar, aku telah berubah."
"Dahulu aku belum pernah memandang kau sebagai
musuh tangguhku, tapi sekarang Tokko Ci seolah sedang
menghela napas, "Sekarang mungkin ada orang menyangka
kau telah berubah menjadi seorang lelaki lemah, tapi aku
justru menganggap dirimu telah menjadi seorang jago
pedang." Jago pedang tak berperasaan, juga tak ada air mata.
Siau-hong benar-benar telah menjadi manusia tak
berperasaan. Kembali Tokko Ci berkata, "Perkataanmu tak salah,
mulai sekarang mungkin kita benar-benar telah terantai jadi
satu, oleh karena itu kau harus lebih waspada."
"Aku harus lebih waspada?" tanya Siau-hong "Apa yang
harus kuwaspadai?"
"Mewaspadai aku," sahut Tokko Ci dingin, "Mulai
sekarang, begitu ada kesempatan aku pasti akan
membunuhmu."
Perkataannya bukan ancaman, juga bukan gertak
sambal. Dipandang dari sudut tertentu, pada hakikatnya ucapan
itu sudah terhitung semacam rasa hormat, semacam pujian.
Karena dia telah menganggap Siau-hong sebagai lawan
tangguh, musuh sejati, musuh yang mungkin akan
mengancam jiwanya. Memang bukan sesuatu yang mudah
untuk memaksa Tokko Ci mempunyai pandangan semacam
ini. Oleh karena itu secara tiba-tiba Siau-hong mengucapkan
sepatah kata yang meski dipahami mereka berdua, namun
orang lain pasti akan merasa perkataannya aneh sekali.
"Terima kasih!" katanya tiba-tiba.
Bila ada orang ingin membunuhmu, mungkinkah kau
akan mengucapkan terima kasih kepadanya" Tentu saja
tidak mungkin! Karena kau bukan Tokko Ci, kau pun bukan Siau-hong.
Semua perbuatan dan tingkah-laku mereka pada
hakikatnya memang tak mungkin bisa dipahami orang lain.
Sinar matahari telah memancar dari jendela.
Perlahan-lahan satu demi satu Tokko Ci mengenakan
pakaiannya. Selama ini Siau-hong hanya berdiri di muka pintu sambil
mengawasinya, setiap gerakannya ia saksikan dengan
seksama, seakan seorang pawang kuda sedang mengawasi
kudanya berlatih.
Sebaliknya Tokko Ci sama sekali tidak memperhatikan
dirinya. Ada sementara orang, walaupun sedang melakukan
perbuatan apa pun selalu menampilkan sikap serius, begitu
konsentrasi, dia seolah-olah tak peduli sikap orang lain.
Tokko Ci adalah manusia jenis ini.
Padahal semua perhatian, semua konsentrasinya tidak
seratus persen tertuju pada perbuatan yang sedang
dilakukan, ketika sedang mengenakan pakaian pun dia
masih memikirkan ilmu pedangnya.
Mungkin dari sebuah gerakan kecil ketika sedang
mengenakan pakaian, tiba-tiba ia dapat memahami sebuah
perubahan yang luar biasa hingga menciptakan satu
gerakan yang luar biasa.
Pedangnya persis berada di tempat di mana tangannya
dapat menjangkau setiap saat.
Selesai berpakaian Tokko Ci baru membalikkan badan
menghadap Siau-hong, katanya, "Aku sudah tak dapat
tinggal lagi di tempat ini."
"Aku tahu!"
"Sekarang aku akan pergi."
"Aku akan mengikutimu."
"Kau keliru," sela Tokko Ci, "Peduli ke mana pun kau
pergi, aku akan selalu mengikutimu."
Siau-hong tidak berbicara lagi, separah kata pun tidak
bicara. Ia membalikkan badan dan berjalan keluar dari pintu
ruangan, berjalan menuju ke bawah cahaya matahari.
Waktu itu cahaya sang surya telah menyinari seluruh
jagat raya. Bagaimana dengan Yang-kong" Bagaimana dengan Po
Eng" Apakah mereka masih dapat melihat sinar matahari,
masih dapat bernapas bebas di bawah sinar matahari"
"Kalau hendak mendongkel sebatang pohon, kita harus
mendongkelnya dari mana?"
"Tentu saja dari akarnya."
"Terlepas apa pun yang hendak kau dongkel, apakah
harus dimulai dari akarnya?"
"Benar!"
"Lalu di mana letak akar permasalahan kita?"
"Di mana tumpukan emas itu dibegal, di sanalah letak
akar semua permasalahan."
"Jadi emas lantakan itu adalah rahasia dari semua akar
permasalahan?"
"Benar."
Maka Siau-hong pun balik kembali ke gurun pasir,
kembali ke tanah daratan yang tak berperasaan.
Teriknya matahari, hembusan badai berpasir,
penderitaan, siksaan panas kembali menyiksanya seperti
dulu. Di tempat itu keringatnya pernah bercucuran, darahnya
pernah berceceran, bahkan selembar jiwanya nyaris
terkubur di tempat ini.
Dia sangat membenci tempat ini, bukan hanya benci
bahkan merasa takut, merasa ngeri, anehnya dia justru
menaruh perasaan yang begitu kental, perasaan yang
bahkan dia sendiri pun tak dapat menjelaskan.
Sebab tempat ini meski jelek, sadis dan tak berperasaan,
namun justru meninggalkan banyak kenangan yang
menyedihkan dan indah, bukan saja membuat dia tak dapat
melupakannya seumur hidup bahkan telah mengubah
sejarah kehidupannya.
Selama ini Tokko Ci selalu mengintil di belakangnya,
mereka berdua selalu menjaga jarak tertentu, jarak di mana
kedua belah pihak dapat saling melihat dan memandang.
Namun mereka berdua jarang sekali berbicara.
Makan minum mereka amat sederhana, tidurnya amat
jarang, terkadang dalam dua tiga hari belum tentu mereka
saling bersapa, belum tentu mengucapkan sepatah kata pun.
Sehari setelah memasuki wilayah gurun pasir, Tokko Ci
baru bertanya kepada Siau-hong, "Tahukah kau di mana
emas itu berada?"
"Aku tahu," jawab Siau-hong singkat.
Hingga sore hari kedua, Siau-hong baru bertanya kepada
Tokko Ci, "Masih ingatkah kau tempat di mana kita
berjumpa untuk pertama kalinya?"
"Aku masih ingat."
"Emas lantakan itu berada di sini."
Selesai mengucapkan perkataan itu, mereka berdua tidak
buka suara lagi, seolah mereka berpendapat perkataan yang
diucapkan sehari ini sudah kelewat banyak.
Tapi pada pagi hari ketiga, kembali Tokko Ci bertanya
kepada Siau-hong "Apakah kau masih belum berhasil
menemukan tempat itu?"
Atas pertanyaan ini, Siau-hong sama sekali tidak
menjawab, memasuki hari keempat, ketika mereka tiba di
bawah sebuah tebing karang pelindung angin, anak muda
itu baru buka mulut.
Sambil menuding batu karang yang menonjol tinggi
bagaikan pagoda runcing, tanyanya kepada Tokko Ci, "Kau
masih ingat dengan batu cadas itu?"
"Aku masih ingat."
Maka Siau-hong pun menghentikan perjalanannya,
mencari sebuah tempat di belakang batu cadas yang
terlindung dari terpaan angin dan mulai melahap hidangan
pertamanya untuk hari ini.
Kembali lewat lama kemudian Tokko Ci baru bertanya
lagi, "Apakah emas itu berada di bawah sini?"
"Tidak."
"Mengapa kau berhenti di sini?"
Perlahan-lahan Siau-hong menghabiskan sepotong kue,
kemudian baru jawabnya, "Emas murni itu disembunyikan
Po Eng dan Pancapanah, seharusnya hanya mereka berdua
yang mengetahui rahasia ini."
"Tapi sekarang kau pun tahu."
"Karena Po Eng pernah mengajakku pergi ke tempat di
mana ia menyembunyikan emas lantakan itu," jawab Siauhong,
"Ketika ia mengajakku ke sana, waktu itu malam
sudah tiba, padahal waktu berangkat hari masih terang
tanah." Ia mendongakkan kepala dan memandang sekejap batu
tajam yang runcing itu, kemudian melanjutkan, "Waktu itu
matahari baru terbit, bayangan batu cadas itu menyinari
tempat di mana emas itu tersimpan."
Tokko Ci tidak buka mulut lagi.
Dia tahu Siau-hong sengaja berhenti di sana karena
tujuannya adalah menunggu terbitnya sang surya esok pagi.
Kini dia sudah tak perlu bertanya apa-apa lagi.
Sementara Siau-hong tak tahan mulai bertanya pada diri
sendiri, "Mengapa aku harus memberitahukan rahasia ini
kepadanya"
Sebetulnya pertanyaan ini merupakan satu persoalan
yang sukar untuk dijawab, tapi dengan cepat Siau-hong
telah menemukan jawaban untuk pertanyaannya sendiri.
Dia memberitahukan rahasia ini kepada Tokko Ci bukan
saja karena dia percaya Tokko Ci bukanlah seorang yang
kemaruk harta, bukan orang yang gampang tergiur karena
melihat emas murni.
Alasan yang paling utama adalah dia menganggap emas
lantakan itu sudah tidak berada di tempat di mana Po Eng
menyimpannya. Siapa pun tak tahu dari mana datangnya jalan pikiran
seperti itu, tapi dia percaya dan sangat yakin kalau
dugaannya tak bakal salah.
Matahari senja telah tenggelam di langit barat, malam
panjang yang sepi dan dingin segera akan menyelimuti
dataran luas yang tak berperasaan.
Mereka membuat api unggun dan masing-masing duduk
bersila di sudut yang berseberangan, duduk mengawasi


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jilatan api yang membara sambil menunggu terbitnya sang
surya. Tak disangkal, malam ini merupakan malam yang
terpanjang terdingin dan paling susah dilewati ketimbang
malam mana pun di tengah gurun yang pernah mereka
alami, mereka berdua sama-sama terasa penat.
Pada saat Siau-hong hampir memejamkan matanya,
mendadak terdengar suara desingan angin yang tajam dan
pendek bergema lewat di tengah udara.
Kemudian dia pun menyaksikan munculnya cahaya
matahari berwarna kuning di tengah jilatan api, cahaya itu
dari kuning berubah jadi merah, lalu dari merah berubah
jadi hijau menyeramkan.
Di tengah cahaya api berwarna hijau itu, seakan-akan
terdapat beberapa bayangan hijau yang sedang bergerak
kian kemari, lalu secara tiba-tiba berubah jadi asap ringan
dan menyebar ke empat penjuru.
Menanti asap tipis itu lenyap, jilatan api telah padam,
jagat raya hanya tersisa kegelapan pekat yang tiada batasan,
seolah-olah tak pernah lagi muncul cahaya terang.
Siau-hong tidak bergerak, begitu pula dengan Tokko Ci.
Bagi pandangan mereka, menyaksikan perubahan yang
muncul secara tiba-tiba dan mengejutkan itu seolah
merupakan kejadian yang sudah biasa dan bisa muncul
setiap saat, sama sekali tak ada yang aneh.
Lewat lama kemudian tumpukan api unggun yang
semula telah padam itu mendadak meletupkan kembali
cahaya api yang terang benderang.
Menanti cahaya api dari warna kuning emas berubah
jadi warna hijau menyeramkan, dari tengah jilatan api
seakan muncul sesosok bayangan manusia yang
membumbung tinggi ke angkasa, tapi begitu mencapai
ketinggian tertentu, lagi-lagi bayangan itu berubah jadi asap
tipis. Asap itu menyebar ke empat penjuru menyusul cahaya
api pun padam, mendadak dari balik kegelapan terdengar
seseorang berbicara.
Suara itu mengalun di udara, seakan ada seakan tiada,
seperti suara manusia, seperti juga suara setan.
"Hong Wi, Tokko Ci, kalian pergilah!" demikian suara
itu, "Lebih baik cepatlah pergi, makin cepat makin baik."
Tokko Ci masih belum ada reaksi, tidak demikian
dengan Siau-hong.
"Siapa kalian?" tanyanya santai, "Kenapa kami harus
pergi?" Baru habis dia bertanya, segera terdengar seseorang
menjawab, "Kami bukan manusia."
Jawaban pertama berasal dari sisi barat, suara yang
menggaung di angkasa, seperti suara manusia seperti juga
bukan. Kemudian dari arah timur kembali berkumandang suara
yang sama, "Sejak Chi-yu mati dalam peperangan dan harta
karun digali keluar dari tempat penyimpanannya, setiap
harta karun yang ada di dunia ini selalu dijaga sukma
gentayangan dan malaikat iblis."
Dari arah selatan bergema pula suara yang sama, hanya
kali ini suaranya terdengar berasal dari tempat yang lebih
jauh. "Kami adalah sukma gentayangan yang membantu Po
Eng menjaga harta karun emas murni ini."
Suara yang berada di sebelah utara segera menyambung,
"Kami semua adalah orang-orang yang tewas dalam
pertempuran demi membela Po Eng, sewaktu hidup kami
adalah pasukan berani mati, setelah mati pun jadi setan
ganas, kami tak akan mengizinkan siapa pun mengusik
harta karun emas murninya."
"Kalau kami tak pergi dari sini?" kembali Siau-hong
bertanya dengan hambar.
"Kalau begitu kalian akan mati di sini," jawab suara yang
di sebelah barat, "Bahkan mati dalam keadaan
mengenaskan."
"Aku memahami maksudmu," sahut Siau-hong,
"Sayangnya aku tak percaya dengan semua perkataan
kalian, biar hanya sepatah kata pun."
Dari empat penjuru tak terdengar lagi suara manusia
berbicara... peduli yang bicara itu manusia atau setan, tak
satu pun yang buka suara lagi.
Api unggun yang sebelumnya telah padam, kini berkobar
lagi jilatan cahaya apinya.
Baru saja sinar api berwarna kuning emas itu berkilauan,
mendadak dari balik kegelapan bermunculan enam-delapan
belas sosok bayangan manusia.
Menanti cahaya api itu berubah jadi semu merah,
bayangan manusia itu sudah melayang turun di atas tanah,
ada bayangan yang mengeluarkan bunyi gemeratak sewaktu
menginjak tanah, ada pula yang menimbulkan suara seperti
tulang-belulang retak.
Karena bayangan manusia yang bermunculan itu meski
berbentuk manusia, tapi sekarang ada di antaranya yang
telah berubah jadi dingin kaku, ada pula yang telah berubah
jadi tulang-belulang, begitu terjatuh ke tanah, tulangbelulang
itu pun berantakan.
Terdengar suara yang mengalun dari sebelah barat itu
bergema lagi, "Kalian tidak percaya perkataan kami?"
"Aku tidak percaya," jawab Siau-hong cepat, "Sepatah
kata pun aku tak percaya!"
"Kalau begitu tak ada salahnya kau lihat dulu kawanan
manusia itu," ujar orang yang di sebelah selatan, "Karena
dengan cepat dirimu akan berubah menjadi seperti mereka,
mereka pun...."
Perkataan itu tak sampai diselesaikan karena Tokko Ci
yang selama ini tak ada reaksi, kini sudah mulai
menunjukkan reaksinya.
Semacam reaksi yang membuat siapa pun yang
melihatnya pasti akan merasa sangat terperanjat.
Pada saat itulah tiba-tiba tubuhnya melambung ke
tengah udara, lalu bagaikan sebatang anak panah melesat ke
depan dan meluncur ke arah selatan, arah di mana
munculnya suara itu.
Sebelah selatan hanya tampak kegelapan yang pekat.
Bersamaan dengan lenyapnya bayangan tubuh Tokko Ci
di balik kegelapan, terdengarlah jeritan ngeri bergema dari
arah selatan. Saat itulah Siau-hong ikut bergerak cepat, seperti pula
sebatang anak panah, dia melesat ke depan.
Ketika dari arah selatan berkumandang jerit kesakitan,
tubuhnya telah tiba di atas sebuah batu cadas di sisi barat.
Sebelah barat pun merupakan kegelapan yang pekat,
mendadak terlihat cahaya golok berkelebat dari balik
kegelapan, lalu secepat kilat membacok kaki Siau-hong.
Siau-hong tidak menangkis, tidak menghindar,
pedangnya diayunkan cepat, mata pedang menempel di
mata golok musuh, begitu berhasil mematahkan gagang
golok, dia pun membabat pula tangan yang menggenggam
golok hingga putus jadi dua.
Seketika itu juga dari balik kegelapan di sisi barat
berkumandang suara jerit kesakitan, begitu menjerit suara
itu berhenti seketika.
Ternyata ujung pedang telah menembus jantung musuh.
Begitu jeritan itu berhenti, Siau-hong segera mendengar
Tokko Ci sedang bersorak dengan nada dingin, "Tusukan
pedang yang cepat, serangan yang sangat keji!"
"Sama-sama!" jawaban Siau-hong tepat sekali.
"Tapi aku tak habis mengerti mengapa kau harus turun
tangan sekeji itu," tanya Tokko Ci, "Apakah kau tahu dia
bukan anak buah Po Eng?"
"Aku tahu."
"Dari mana kau tahu?"
"Anak buah Po Eng tak pernah ada yang berani
memanggil namanya," Siau-hong menerangkan, "Semua
memanggilnya engkoh Eng."
"Tak kusangka kau begitu teliti."
Di balik ucapan Tokko Ci sama sekali tidak terselip nada
menyindir, "Bagi manusia semacam kita, teliti merupakan
satu kewajiban, dengan begitu hidup kita baru bisa lebih
lama." Mereka berdua sama-sama termasuk manusia yang tak
senang bicara, perkataan semacam itu pun bukan
sepatutnya dibicarakan dalam situasi dan kondisi seperti ini.
Langit gelap bagaikan tinta bak, siapa yang berbicara
maka dia pula yang jejaknya segera ketahuan, kemungkinan
besar berbagai jenis senjata dan Am-gi akan datang
menyerang dari berbagai arah.
Setiap serangan yang dilancarkan, kemungkinan besar
akan merupakan gempuran yang sangat mematikan.
Berada dalam kondisi dan situasi semacam ini, orang
yang berpengalaman akan menutup mulut rapat-rapat,
mereka baru turun tangan setelah pihak lawan tak dapat
mengendalikan diri.
Siau-hong maupun Tokko Ci merupakan orang-orang
yang berpengalaman. Mereka sudah beratus kali
menghadapi pertarungan, sudah terbiasa keluar masuk
antara mati dan hidup, pengalaman yang mereka miliki
boleh dibilang jauh lebih luas ketimbang siapa pun.
Kalau memang begitu, mengapa dalam kondisi seperti
ini mereka justru membicarakan persoalan yang tidak
seharusnya disinggung saat ini"
Sebenarnya pertanyaan ini pun merupakan persoalan
yang susah untuk dijawab, namun jawabannya sederhana
sekali. Mereka sengaja membocorkan sasaran dengan bersuara
tak lain karena mereka berharap pihak lawan akan turun
tangan melancarkan serangan.
Langit begitu gelap bagaikan tinta, musuh tangguh pun
berada di sekeliling tempat itu, bila musuh tidak
melancarkan serangan lebih dahulu, bagaimana mungkin
mereka bisa tahu di mana pihak musuh menyembunyikan
diri" Sebenarnya apa yang mereka lakukan sekarang
merupakan salah satu taktik untuk memancing musuh
masuk perangkap.
Kali ini siasat perang yang mereka lakukan membuahkan
hasil. Baru selesai mereka berbicara, serangan lawan telah
dimulai. Serangan pertama datang dari arah utara.
Jika Siau-hong bukan Siau-hong, dia sudah mampus
dalam serangan ini!
Tapi sayang dia adalah Siau-hong.
Dia sudah punya pengalaman sebanyak sembilan belas
kali menghadapi ancaman jiwa, bila reaksinya sedikit lebih
lambat, ia sudah mati sembilan belas kali.
Dia belum mati karena itu dia mendengar desingan angin
itu, sekilas suara angin yang perlahan, lembut tapi sangat
tajam. Sekilas suara angin yang sangat cepat datang dari arah
utara dan mengancam bagian tubuh pentingnya, bagian
tubuh yang sangat mematikan.
Siau-hong segera menggerakkan pedang, seketika
meletup tujuh titik cahaya bintang dari ujung pedang.
Di saat pedangnya berhasil merontokkan serangan
ketujuh jenis senjata rahasia itu, kembali muncul segulung
angin tajam menusuk ke arah pinggangnya.
Serangan yang menusuk tiba bukan berasal dari Am-gi,
melainkan tombak, sebilah tombak panjang yang paling
tidak berbobot tiga-empat puluh kati, menusuk tanpa
menimbulkan sedikit suara pun dari balik kegelapan, ketika
mencapai satu depa dari pinggang Siau-hong, mendadak
gerak serangannya menjadi sangat cepat.
Tatkala Siau-hong merasakan datangnya desingan angin
tajam dari ujung tombak, mati hidup sudah tinggal sekali
tarikan napas. Cepat dia menarik napas dalam-dalam, tubuhnya
mendadak melejit ke tengah udara.
Ujung pedang telah merobek pakaiannya, sambil
berjumpalitan di tengah udara, pedang panjangnya segera
menciptakan bianglala cahaya.
Dan saat itulah dia menyaksikan wajah seseorang.
Cahaya pedang yang dingin menyinari wajah orang itu,
wajah persegi penuh cambang yang mengejang kuat karena
rasa takut dan ngeri yang luar biasa, sepintas wajah itu
mirip sebuah lukisan yang berkerut nyaris robek.
Tatkala cahaya pedang kembali berkilat, wajah itu sudah
tak terlihat lagi, sejak itu lenyaplah orang itu dari muka
bumi. Di tengah kilauan cahaya pedang dan tombak, selembar
nyawa lenyap begitu saja seakan nyawa seekor lalat atau
seekor nyamuk di bawah tepukan tangan, lenyap untuk
selamanya. Bila kau tidak mempunyai pengalaman menghadapi
kejadian seperti ini, selamanya kau tak bakal menyangka
bahwa nyawa manusia terkadang bisa berubah jadi begitu
rendah dan sama sekali tak ada nilainya.
Serangan pertama belum selesai, serangan kedua telah
dimulai, ketika serangan kedua kembali menemui
kegagalan, masih ada serangan ketiga.
Gempuran yang datang bagaikan gulungan ombak
samudra, sekali demi sekali menggulung tiba tiada
habisnya, seakan-akan gempuran itu tak pernah akan
berakhir. Setiap kali gempuran datang, kemungkinan besar ada
nyawa yang bakal melayang, setiap kali serangan
kemungkinan besar akan menjadi serangannya yang
terakhir kali. Ooo)d*w(ooO BAB 32. BADAI PASIR
Ujung mata Siau-hong sudah mulai terasa pedih dan
sakit, karena peluh telah meleleh masuk ke dalam matanya.
Dia ingin sekali mengusap air mata itu, tapi sayang tak
bisa.

Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setiap gerakan yang tidak perlu, kemungkinan besar
dapat menciptakan keteledoran dan kesalahan yang fatal,
kesalahan yang menyebabkan hilangnya selembar nyawa.
Kecuali melancarkan serangan, menangkis atau
menghindar, gerakan lainnya sama sekali tak perlu dan tak
penting. Setiap jengkal otot di tubuh Siau-hong mulai terasa linu
dan sakit, seakan-akan semua ototnya telah menegang
bagaikan senar busur yang dipentang lebar-lebar.
Ia sadar, situasi semacam ini tidak baik, sedikit pun tidak
menguntungkan, dia ingin sekali mengendorkan syarafnya.
Sayang pemuda itu tak dapat melakukannya.
Mengendor sesaat kemungkinan besar akan
mendatangkan kemusnahan abadi.
Sesungguhnya ada berapa banyak pembunuh yang
bersembunyi di balik kegelapan" Sampai kapan gempuran
mereka baru akan berhenti"
Sekonyong-konyong serangan berhenti sama sekali.
Siapa pun tidak tahu sejak kapan serangan itu berhenti,
seperti siapa pun tak bisa memastikan kapan tetesan hujan
terakhir akan jatuh ke bumi.
Udara serasa dicekam bau anyir darah yang
menggidikkan dan memualkan perut siapa pun, jagat raya
telah pulih kembali dalam keheningan dan kesunyian.
Napas Siau-hong terasa tersengal-sengal.
Ketika mendongakkan kepala, fajar mulai menyingsing
di ufuk timur, kabut pagi yang putih bagaikan susu terlihat
menyelimuti permukaan tanah, secara lamat-lamat ia dapat
menyaksikan mayat yang membujur kaku di antara batuan
cadas, mayat itu membujur seperti sebuah boneka yang
hancur dan retak.
Gempuran telah berakhir, mara bahaya telah lewat,
langit pun segera akan terang tanah.
Rasa letih yang disebabkan mengendornya seluruh otot
dan syaraf tubuh, tiba-tiba saja membelenggu dan
memeluknya bagaikan rangkulan tangan iblis.
Ia merasakan seluruh badannya seolah dilolos. Tapi
pemuda itu tak roboh, karena cahaya sang surya telah
muncul dari balik awan di ufuk timur, memancarkan
sinarnya yang keemas-emasan, menyinari batu cadas,
menyinari bebatuan yang tinggi, memantulkan bayangan
puncak tebing itu ke atas permukaan tanah.
Siau-hong berlarian ke depan, sekuat tenaga dia
melontarkan pedangnya ke atas ujung batuan cadas itu.
Ujung pedang segera menghujam di atas batu, begitu
keras membuat gagang pedang bergoyang tiada hentinya.
"Di sini!" teriak Siau-hong dengan suara parau karena
gembira, "Emas murni itu berada di sini!"
Emas murni itu berada di sini.
Di sinilah akar rahasia dari semua persoalan.
Setelah berada dalam keadaan dan situasi seperti ini,
siapa pun pasti tak akan bisa mengendalikan gejolak emosi
dan kegembiraannya.
Tiba-tiba saja seluruh ototnya mengejang keras, keringat
dingin membasahi telapak tangannya, pupil matanya tibatiba
menyusut karena ngeri dan seram.
Tokko Ci berdiri tepat di hadapannya, mengawasi
dengan pandangan dingin, ujung pedang dalam
genggamannya persis akan menembus jantungnya bila ia
melancarkan serangan.
Lambat-laun matahari semakin meninggi ke angkasa,
tapi perasaan Siau-hong justru semakin tenggelam.
Dia belum melupakan ucapan Tokko Ci.
Asal ada kesempatan, aku akan membunuhmu.
Sekarang kesempatan emas baginya telah datang!
Tentu saja Tokko Ci pun tahu, begitu juga dengan Siauhong.
Asal Tokko Ci menyodokkan pedangnya ke depan, dia
nyaris tak bisa menangkis maupun menghindar.
Dalam genggaman Tokko Ci masih ada pedang, noda
darah di ujung senjatanya belum mengering, otot hijau di
tangannya yang menggenggam pedang terlihat menonjol.
Akankah dia melancarkan tusukan mematikan itu"
Pedang milik Siau-hong pun berada di tempat di mana
tangannya dapat meraih, tapi dia tidak meraihnya.
Pemuda itu tahu, asal tangannya meraih pedang itu,
niscaya dia akan tewas di ujung pedang Tokko Ci.
Namun bila ia tidak meraihnya, mungkin nasib akhir
yang dialami pun akan sama saja.
"Bila aku jadi kau, sekarang aku pasti akan turun
tangan," tiba-tiba Siau-hong berkata, "Maka dari itu,
seandainya kau membunuhku, aku pun akan mati tanpa
menyesal."
Tokko Ci tidak buka suara, dia pun tidak bereaksi.
Orang yang akan membunuh biasanya memang tak akan
banyak berbicara.
Berbeda keadaannya bagi orang yang setiap saat bakal
mati dibunuh orang lain.
Bila dapat berbicara lebih banyak sepatah kata saja, dia
pasti akan berusaha untuk mengutarakannya, sekalipun
sebagai taruhan nyawanya hanya bisa hidup sebentar saja.
"Tapi aku berharap kau mau menunggu sebentar
sebelum turun tangan."
Tokko Ci tidak bertanya kepadanya, "Kenapa?"
Karena Siau-hong telah menjelaskan sendiri. "Karena
aku masih ingin mengetahui satu hal," katanya, "Bila aku
bisa mati setelah selesai menyelidiki persoalan ini, biar mati
pun aku akan mati dengan hati lega dan mata meram."
Setelah termenung lagi cukup lama, Tokko Ci baru buka
suara. "Untuk mati dengan perasaan lega pun sudah susah,
apalagi bisa mati dengan mata meram, benar-benar tidak
gampang." "Aku mengerti."
"Tapi memang tidak banyak orang yang pantas mati di
tanganku," ujar Tokko Ci, "Oleh karena itu, kukabulkan
permintaanmu."
Tiba-tiba tanyanya lagi kepada Siau-hong, "Persoalan
apa yang ingin kau ketahui?"
"Aku hanya ingin tahu apakah emas murni itu benarbenar
berada di sini," sahut Siau-hong, "Kalau tidak, aku
benar-benar tak bisa mati dengan mata meram."
"Apakah kau yakin tumpukan emas murni itu
sebenarnya memang berada di sini?"
"Aku yakin, karena dengan mata kepala sendiri aku
melihatnya, bila kau menggali dari sini, pasti dapat kau
jumpai tumpukan emas itu."
Kembali Tokko Ci menatapnya sangat lama.
"Baik! Galilah!"
"Gali?" kembali Siau-hong bertanya, "Gali pakai apa?"
"Gunakan pedangmu," suara Tokko Ci dingin bagaikan
salju, "Kalau kau tak ingin menggunakan pedangmu,
gunakan tanganmu!" Sekali lagi perasaan Siau-hong
tenggelam. Emas itu terkubur sangat dalam, mau digali pakai tangan
ataupun menggali dengan menggunakan pedang
dibutuhkan tenaga yang sangat besar untuk mencapai
tempat di mana emas itu terkubur.
Kini tenaganya hampir ludas, bila dia kehilangan lagi
satu bagian kekuatan tubuhnya, berarti kesempatan untuk
hidup akan berkurang lagi satu bagian.
Sayang saat ini dia sudah tidak memiliki pilihan lain lagi.
Siau-hong mencabut pedangnya. Tokko Ci berdiri persis
di hadapannya, dalam waktu sekejap itu semisal dia
melancarkan tusukan, bisa jadi pedangnya akan segera
menembusi jantung Tokko Ci.
Tapi dia tidak berbuat begitu.
Pedangnya langsung ditusukkan ke atas tanah.
Di dalam tanah tak ada emas, jangankan setumpuk
emas, biar setahil pun tak ada. Ternyata Siau-hong sama
sekali tak nampak terkejut atau keheranan, seakan-akan
persoalan ini sudah dalam dugaannya.
Tokko Ci menatapnya dingin, lalu tanyanya sedingin
salju, "Kau tidak salah ingat tempatnya?"
"Tidak mungkin," jawaban Siau-hong sangat yakin, "Aku
tak bakal salah ingat."
"Jadi sebetulnya tumpukan emas itu memang berada di
sini?" "Seratus persen berada di sini."
"Ada berapa orang yang tahu tempat penyimpanan emas
murni ini?"
"Tiga orang."
"Kecuali kau dan Po Eng, siapakah orang ketiga?"
"Pancapanah!"
Pancapanah, seorang pertapa yang kesepian, seorang
Enghiong sejati yang sangat dicintai anak bangsa, seorang
pengembara yang kesepian, seorang pembela bangsa yang
sangat cinta tanah air, seorang pembunuh berdarah dingin,
seorang yang tak pernah akan dipahami siapa pun, kecuali
dia, tak bakal ada manusia kedua yang memiliki campuran
watak yang saling bertentangan seperti ini.
Belum pernah ada yang tahu di manakah dia" Bakal
muncul dari mana" Akan pergi ke mana" Juga tak ada yang
tahu apa yang sedang dia pikirkan"
Terlebih lagi tak ada yang bisa menduga perbuatan apa
yang bakal dia lakukan"
Begitu mendengar namanya, paras Tokko Ci pun tampak
sedikit berubah, lewat lama kemudian baru ia bertanya
kepada Siau-hong, "Sejak awal kau sudah tahu emas itu
disembunyikan di sini?"
"Benar!"
"Apakah kau yang merampok emas murni itu?"
"Bukan."
"Mungkinkah emas murni sebanyak tiga puluh laksa
tahil dapat melenyapkan diri?"
"Tidak mungkin."
"Lalu ke mana larinya tumpukan emas murni itu?"
"Tidak tahu."
Tiba-tiba Tokko Ci tertawa dingin. "Padahal seharusnya
dia tahu," katanya. "Mengapa?"
"Sebab hanya satu orang yang bisa mencuri tumpukan
emas murni itu."
"Siapa?"
"Pancapanah," sahut Tokko Ci, "Hanya Pancapanah
yang dapat melakukan semua ini."
Sebenarnya kesimpulan ini sangat cocok dan masuk akal,
tapi Siau-hong tidak setuju dengan pendapat itu.
"Kau keliru."
"O, ya?"
"Orang yang bisa memindahkan tumpukan emas murni
itu selain Pancapanah masih ada seorang lainnya."
"Siapa?"
"Po Eng," kata Siau-hong, "Kecuali Pancapanah masih
ada Po Eng."
"Jadi kau berpendapat Po Eng telah mencuri tumpukan
emas murni itu?"
"Bukan mencuri, tapi mengangkutnya pergi."
"Mengapa harus mengangkutnya pergi?" kembali Tokko
Ci bertanya. "Karena dia tak ingin tumpukan emas murni itu terjatuh
ke tangan orang lain," jawab Siau-hong, "Karena dia sendiri
pun membutuhkan emas murni itu untuk biaya membalas
dendam." "Kini tumpukan emas itu telah diangkut pergi, apakah
kejadian ini mengartikan kalau dia belum mati?"
"Benar."
Sepasang mata Siau-hong berkilauan seperti cahaya sang
surya. "Sejak awal telah kuduga tumpukan emas murni itu tak
bakal berada di sini, sebab Po Eng tak bakal mati, tidak
gampang bagi siapa pun untuk mencabut nyawanya."
"Tampaknya mengangkut emas murni sebanyak tiga
puluh laksa tahil bukanlah satu pekerjaan gampang."
"Tentu saja tak gampang," Siau-hong membenarkan,
"Untungnya di dunia ini masih ada sejumlah orang yang
selalu dapat melakukan perbuatan yang tak dapat dilakukan
orang lain."
"Menurut kau, Po Eng adalah manusia macam itu?"
"Dia memang manusia seperti itu," setelah berhenti
sejenak, lanjutnya, "Walau dalam keadaan dan situasi apa
pun, dia selalu dapat menemukan orang yang amat setia
kepadanya, sedemikian setia hingga tak segan
mengorbankan nyawa sendiri baginya."
"Bagaimana dengan kau?" tanya Tokko Ci, "Apakah kau
pun bersedia mati demi dia?"
"Aku pun begitu." Tiba-tiba Tokko Ci tertawa dingin.
"Kalau memang begitu, aku jadi tak habis mengerti,"
katanya. "Kau tak habis mengerti," Siau-hong balik bertanya,
"Apa yang tidak kau pahami?"
"Hanya ada satu hal yang tidak kupahami," di balik
ucapan Tokko Ci, terselip nada sindiran yang tajam
bagaikan ujung jarum, "Kalau memang kau pun bersedia
mati demi dirinya, mengapa dia tidak datang mencarimu?"
Perasaan Siau-hong tidak terluka oleh tusukan itu.
"Karena aku telah meninggalkan dia," sahut Siau-hong,
"Dia tidak datang mencariku karena dia tak ingin menyeret
aku lagi hingga tergulung ke dalam pusingan masalah rumit
ini." "Karena itu kau sama sekali tidak menyalahkan dia?"
"Tentu saja tidak menyalahkan dia."
"Bila dia datang lagi mencarimu, apakah kau tetap masih
bersedia mati demi dirinya?"
"Benar," tanpa berpikir panjang Siau-hong menyahut,
"Tentu saja!"
Matahari sudah terbit, makin lama bergerak semakin
tinggi, bayangan runcing batu cadas pun makin lama
menyusut makin pendek.
Tiada cahaya matahari berarti tiada bayangan, ketika
tengah hari menjelang tiba, bayangan itu malah lenyap tak
kelihatan.

Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ada banyak kejadian di dunia ini seperti keadaan itu.
Tiba-tiba Tokko Ci menghela napas panjang, suara
helaan napasnya bagaikan angin dingin yang berhembus
datang dari bukit nun jauh di depan sana dan
menggoyangkan dedaunan.
"Po Eng memang seorang luar biasa."
"Dia memang luar biasa."
"Rasanya bukan pekerjaan gampang buat menghabisi
nyawanya."
"Tentu saja tidak gampang."
"Bagaimana kalau membunuhmu?" tiba-tiba Tokko Ci
bertanya kepada Siau-hong, "Gampangkah kalau ingin
membunuhmu?"
Dia menatap Siau-hong Siau-hong pun menatapnya,
lewat lama kemudian baru sahutnya, "Itu harus diperiksa
dulu." "Diperiksa?" tanya Tokko Ci, "Apa lagi yang harus
diperiksa?"
"Harus diperiksa dulu, siapa yang akan membunuhku"
Kapan hendak membunuhku?"
"Kalau aku yang akan membunuhmu, dan sekarang juga
akan kulakukan," tanya Tokko Ci kemudian, "Apakah hal
ini pun sangat gampang?"
Jarang sekali ada orang yang bersedia menjawab
pertanyaan semacam ini, tapi dengan cepat Siau-hong telah
menjawabnya. "Benar, memang gampang sekali."
Matahari bergeser makin lama semakin meninggi, tapi di
dataran luas yang tak berperasaan, di tempat yang tak
begitu luas, di antara Siau-hong dan Tokko Ci, hawa panas
yang dipancarkan sang surya seakan sama sekali tak
berguna. Siau-hong merasa kedinginan, makin lama makin
bertambah dingin, sampai keringat dingin pun tak mampu
meleleh. Paras Tokko Ci pun lebih dingin dari bongkahan salju.
"Kau sangka aku tak akan membunuhmu?" tiba-tiba ia
bertanya lagi kepada Siau-hong.
"Aku tahu, kau tak akan membunuhku," jawab Siauhong,
"Kau pernah berkata, asal muncul kesempatan, kau
akan membunuhku."
"Kau belum melupakan perkataan ini?"
"Mana mungkin perkataan semacam ini dapat
dilupakan?" Siau-hong menatap sekejap tangan Tokko Ci
yang menggenggam pedang, "Kau adalah seorang pendekar
pedang, kini dalam genggamanmu ada pedang, pedang tak
berperasaan, jago pedang lebih tak berperasaan, bila
sekarang kau membunuhku, bukan saja aku akan mati tak
sedih, bahkan aku akan mati dengan perasaan lega."
Dalam genggamannya pun ada pedang, tapi tangan yang
menggenggam pedang itu telah mengendor.
Matahari telah terbit di langit timur, Tokko Ci berdiri
dengan membelakangi arah timur, jago pedang yang
berpengalaman tak akan berdiri menghadap ke arah sinar
matahari, apalagi berada di hadapan musuh tangguhnya.
Sekarang dia telah berdiri di posisi yang sangat
menguntungkan, telah mendesak Siau-hong berdiri pada
posisi yang terjelek.
Siau-hong tetap berusaha keras untuk tidak membiarkan
dirinya berdiri persis menghadap ke arah terbitnya
matahari, oleh karena itu dia masih dapat mengawasi wajah
Tokko Ci. Saat itu paras Tokko Ci masih kaku dan keras bagaikan
batu karang dingin dan keras, tapi sedikit perubahan sudah
mulai menghiasi mimiknya.
Semacam perubahan yang bercampur aduk. Perasaan
girang terbesit dari balik matanya.
Peduli siapa pun orang itu, dia akan berubah seperti ini
sebelum melakukan pembunuhan, apalagi jika orang yang
hendak dibunuhnya adalah musuh tangguh yang jarang
ditemui sepanjang hidupnya.
Biarpun pancaran matanya terbesit cahaya hangat karena
gembira, tak urung lekukan sedih dan apa boleh buat
muncul juga di ujung matanya.
Menggunakan kesempatan dalam kesempitan jelas bukan
suatu tindakan yang patut dibanggakan, tapi dia tetap
memaksakan diri untuk berbuat begitu.
Bila kesempatan emas lewat, selamanya tak akan
kembali lagi, sekalipun pada dasarnya dia enggan
membunuh Siau-hong, namun kesempatan emas sebagus
ini tak boleh dibiarkan begitu saja.
Siau-hong sangat memahami perasaannya.
Siau-hong tahu, ia bersiap melancarkan serangan
mematikan. Di saat yang kritis dan menegangkan inilah, tiba-tiba
paras Tokko Ci kembali mengalami perubahan.
Tiba-tiba parasnya berubah kembali, sama sekali tak
berperasaan, sama sekali tak ada luapan emosi.
Dan pada saat bersamaan, perasaan Siau-hong pun
seolah ikut berkerut, secara tiba-tiba ia merasa ada
seseorang telah menyelinap ke belakang tubuhnya.
Siapakah pendatang itu"
Siau-hong tidak berpaling, dia tak berani berpaling.
Sepasang matanya masih menatap tajam wajah Tokko Ci,
tiba-tiba ia menjumpai sorot mata lawannya itu
memancarkan perasaan gusar dan penderitaan yang tak
dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Kemudian dia pun merasa ada sebuah tangan yang
halus, lembut dan hangat menggenggam tangannya yang
telah mendingin dan basah oleh keringat dingin.
Tangan siapakah itu"
Siapakah yang telah berdiri di sisinya, persis saat dia
paling menderita, saat dia paling kritis dan menggenggam
tangannya"
Sudah banyak orang yang dia bayangkan... Yang-kong,
Pova, Soso. Ooo)d*w(ooO Mereka telah menjalin hubungan perasaan dengan
dirinya, tak mungkin mereka akan berdiri menjauh dan
menyaksikan dia tewas di ujung pedang orang lain.
Tapi dia tahu dan yakin, yang datang bukanlah mereka.
Sebab dia tahu, walaupun gadis gadis itu baik
kepadanya, tapi dia bukanlah satu-satunya orang yang
paling penting dalam pandangan hidupnya.
Dalam hati kecil Yang-kong masih ada Po Eng, dalam
hati kecil Pova masih ada Pancapanah, dan dalam hati kecil
Soso masih ada Lu-sam.
Betapa pun baiknya dia kepada mereka, betapa pun
banyaknya perbuatan yang telah dia lakukan untuk mereka,
namun setelah berada dalam situasi tertentu, gadis-gadis itu
tetap akan kabur meninggalkan dirinya.
Sebab pada dasarnya mereka memang bukan miliknya.
Tapi beda untuk Siau-yan.
Peduli dia membencinya ataukah mencintainya, paling
tidak dalam lembar kehidupannya belum pernah ternoda
oleh lelaki lain kecuali dirinya.
Sebenarnya pemuda ini tak pernah mementingkan hal
semacam ini, namun berada dalam keadaan yang begini
kritis, ia baru merasa kalau hal semacam ini sebenarnya
sangat penting.
"Kau telah datang?" tanyanya lirih.
"Tentu saja aku yang datang!"
Walaupun suaranya terdengar sangat dingin, namun di
balik semua itu terselip suatu perasaan yang tak mungkin
bisa dipercaya, tak mungkin bisa dipahami kecuali oleh
"mereka".
"Mereka" sudah bukan berdua lagi, melainkan bertiga.
Tokko Ci pun memahami perasaan semacam ini, namun
tak tahan ia bertanya juga, "Mau apa kau kemari" Apakah
datang untuk menemaninya pergi mampus?"
"Belum saatnya!" dengus Che Siau-yan dingin, "Pada
hakikatnya dia tak akan mati, kenapa aku harus
menemaninya pergi mati!"
"Dia tak bakal mati?"
"Tak bakal," Siau-yan menegaskan, "Karena sekarang
kami sudah berdua, kau sudah tak punya keyakinan untuk
menghadapi kami berdua, karena itu kau tak bakal berani
melancarkan serangan."
Tokko Ci tidak buka suara lagi. Dia pun tidak
melancarkan serangan.
Ia tahu, apa yang diucapkan gadis itu memang
kenyataan, orang semacam dia tak pernah akan berdebat
dengan suatu kenyataan, terlebih turun tangan secara
gegabah. Tapi dia tak pernah mengendorkan kewaspadaan sendiri.
Dia masih tetap berada dalam posisi siap menyerang,
setiap saat dia dapat melepaskan sebuah serangan
mematikan. Oleh karena itu dia tidak bergerak, Siau-hong dan Siauyan
pun tak berani bergerak.
Tangan mereka saling berpegangan kencang, peluh yang
muncul dari telapak tangan Siau-hong mengalir ke telapak
tangan Siau-yan. Mereka berdua seolah telah menyatu,
seperti darah yang menyatu.
Siapa pun tak tahu situasi kaku semacam ini akan
bertahan hingga kapan.
Matahari sudah jauh di atas angkasa, tiba-tiba cuaca
berubah jadi gelap, gelap yang tak masuk akal, gelap yang
menakutkan. Tiba-tiba peluh dingin yang lebih banyak meleleh dari
telapak tangan Siau-hong, karena tiba-tiba ia merasakan
angin yang berhembus di tubuhnya berubah jadi semakin
dingin. Di tengah gurun pasir yang panas menyengat, tidak
seharusnya berhembus angin yang begini dingin.
Terhadap segala sesuatu yang berlaku di dataran luas
yang tak berperasaan ini, dia sudah sangat hapal, pada
setahun berselang, di tengah udara siang yang begitu panas,
dia pun pernah mengalami pengalaman seperti hari ini,
tiba-tiba langit berubah gelap, hembusan angin berubah jadi
dingin. Kemudian terjadilah badai pasir yang dahsyat dan
menakutkan, tak pernah ada seorang pun yang sanggup
melawan, tak seorang pun mampu menghindarkan diri.
Sekarang tak disangkal bakal terjadi badai pasir yang
menakutkan, badai segera akan tiba.
Dia masih tetap tak berani bergerak.
Asalkan bergerak sedikit saja, kemungkinan besar akan
tercipta keteledoran yang berakibat kematian fatal.
Pedang milik Tokko Ci jauh lebih dekat jaraknya
daripada datangnya badai pasir, jauh lebih menakutkan.
Oleh karena itu dia hanya berdiri menanti, menanti
datangnya badai pasir, sekalipun dia sadar, bila badai pasir
melanda tiba, kemungkinan besar mereka akan mati di situ.
Karena dia tak punya pilihan lain, dia pun tak dapat
menghindarkan diri.
Badai pasir ternyata benar-benar melanda tiba.
Hembusan angin makin lama makin kencang, angin
kencang membuat pasir beterbangan di angkasa, ketika
menghantam di atas badan, terasa bagaikan terbidik beriburibu
batang panah. Ketika badai dengan membawa pasir melanda tiba, Siauhong
tahu riwayatnya bakal berakhir.
Walaupun setiap hal telah ia pertimbangkan masakmasak,
namun dia tetap tak berani ceroboh, tak berani
gegabah. Setiap kecerobohan sekecil apa pun dapat menciptakan
kesalahan yang mendatangkan kematian.
Dia seperti lupa bahwa dirinya sedang berdiri
menyongsong datangnya angin topan, badai pasir yang
menyapu datang tepat sekali menghajar wajahnya.
Menanti dia teringat akan hal ini, kesalahan besar telah
dilakukan dan kesalahan itu tak mungkin bisa dibenahi lagi.
Pedang Tokko Ci bagaikan seekor ular berbisa telah
menusuk ke depan, dia hanya menyaksikan berkelebatnya
cahaya pedang, kemudian matanya tak sanggup dibuka
kembali, bahkan tusukan itu telah melukai bagian tubuhnya
yang mana pun dia sudah tak dapat merasakannya.
Ketika tubuhnya roboh ke tanah, dia masih mendengar
teriakan Che siau-yan, kemudian tak ada suara yang bisa
didengar lagi. Angin masih berhembus kencang pasir kuning masih
menari di tengah angkasa.
Siau-hong seolah mendengar lagi suara teriakan Siauyan,
teriakan penuh penderitaan, seolah sedang berteriak
minta tolong. Dia pun seolah melihat Tokko Ci sedang
mencabik-cabik pakaian gadis itu.
Padahal dia tidak mendengar apa-apa, tidak melihat apaapa.
Ketika tersadar kembali dari mimpi buruknya, keringat
dingin telah membasahi pakaiannya, pemandangan yang
terbentang di depan hanyalah lapisan pasir berwarna
kuning. Ternyata dia belum mati.
Apa yang ia dengar, apa yang dia lihat tadi tak lebih
hanya ilusi, hanya khayalan dalam mimpinya.
Tapi Che Siau-yan entah sudah pergi ke mana, Tokko Ci
pun tak tahu telah pergi ke mana.
Apa yang terjadi dalam mimpinya tadi, kemungkinan
besar dapat terjadi dalam kehidupan nyata.
Membayangkan kembali tubuh Tokko Ci yang telanjang
bulat berdiri di tengah hembusan angin dingin,
menyaksikan bagaimana Siau-yan sedang membasuh tubuh
yang bugil itu, tiba-tiba muncul perasaan sakit dan sedih
dari dalam hati Siau-hong, perasaan pedih yang belum
pernah dirasakan sebelumnya.
Dia harus pergi mencari mereka, harus mencegah
terjadinya peristiwa yang tak diinginkan.
Dia ingin meronta untuk bangkit.
Tapi pinggangnya terasa sakit bagaikan disayat pisau....
Entah keberuntungan baginya ataukah ketidak
beruntungan" Ternyata bacokan maut Tokko Ci tak sampai


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menusuk bagian tubuhnya yang mematikan.
Kini dia masih hidup, tapi dia sendiri pun tak tahu
seberapa lama lagi dia masih bisa hidup.
Badai pasir belum lagi lewat, dari mulut lukanya pun
darah mulai bercucuran, bibirnya terasa kering, otot dan
tubuhnya terasa linu bahkan sakit sekali.
Rangsum serta airnya telah terbang terhembus badai,
perempuan yang mati hidup bersamanya mungkin saat ini
sedang dipermalukan dan dilecehkan orang lain.
Tubuh luarnya, jiwanya, hampir semuanya merasakan
siksaan dan penderitaan yang tak mungkin tertahankan oleh
siapa pun. Dalam keadaan begini, bagaimana mungkin dia dapat
hidup terus"
Hanya orang yang pernah mengalami sendiri peristiwa
tragis itu baru tahu bahwa untuk bertahan hidup di tengah
hembusan badai pasir di wilayah gurun pasir merupakan
satu peristiwa yang sulit dan berat.
Siau-hong pernah mempunyai pengalaman semacam ini.
Tempo hari dia nyaris mati di situ, dan kali ini situasi
yang dihadapinya jauh lebih runyam daripada keadaan
waktu itu. Jika dia bukan Siau-hong, mungkin dia sendiri pun tak
ingin hidup lebih lanjut.
Jika seseorang telah kehilangan keberanian serta
semangat juang untuk mempertahankan hidup, siapa lagi
yang bisa membiarkan dia hidup lebih lanjut"
Dia adalah Siau-hong.
Tak hentinya dia memberitahu diri sendiri.
Dia harus hidup terus, harus hidup terus!
Seluruh jagat terlapis pasir berwarna kuning, siapa pun
tak dapat membedakan saat itu sebenarnya sedang pagi hari
atau sudah malam hari"
Siau-hong berbaring di atas butiran pasir yang dingin
membeku, badai pasir nyaris mengubur tubuhnya.
Dia benar-benar kelewat lelah, dia kelewat banyak
kehilangan darah, kalau bisa, dia ingin sekali memejamkan
mata dan tidur sejenak.
Kegelapan yang hangat dan lembut, mimpi yang indah
dan manis, betapa indahnya tempat itu!
Mendadak Siau-hong membuka matanya, sekuat tenaga
dia menggeliat sambil merangkak, dengan jidatnya sekuat
tenaga ia gesek pasir-pasir yang kasar, membuat ia tersadar
kembali karena rasa sakit yang menyusup hingga ke lubuk
hati. Sebab dia tahu, bila ia sampai tertidur, kemungkinan
besar dia akan mati terkubur di bawah gundukan pasir
kuning! Ia tak sampai tertidur.
Darah bercucuran dari jidatnya yang terluka, darah
meleleh pula dari mulut lukanya di pinggang, tapi ia sudah
tersadar kembali, sadar sesadar-sadarnya....
Asal menemukan setitik air, dia pasti dapat hidup lebih
jauh. Di tengah gurun pasir yang tak berperasaan, di tengah
badai pasir yang begini dahsyat, kemana dia harus pergi
menemukan air"
Tiba-tiba Siau-hong melompat bangun, sekuat tenaga dia
berjalan maju beberapa langkah, ketika tubuhnya sekali lagi
roboh ke tanah, dia pun merangkak maju bagaikan seekor
cecak. Karena dia telah menemukan lagi secercah harapan
untuk mempertahankan hidupnya.
Mendadak ia teringat kembali kawanan manusia yang
semalam tewas di ujung pedangnya serta ujung pedang
Tokko Ci. Orang-orang itu sudah berjaga lebih dari sehari di tempat
itu, dapat dipastikan mereka membekal air dan rangsum.
Ketika ingatan itu melintas bagaikan aliran listrik, tibatiba
pemuda itu merasakan timbulnya satu kekuatan dari
dasar badannya.
Benar saja, dengan cepat ia berhasil menemukan sesosok
mayat dan menemukan kantung yang terikat di pinggang
mayat itu. Di dalam kantung itu terdapat tiga keping uang perak
yang sangat berat serta hancuran perak.
Selain uang, dalam kantung itu pun ditemukan sebuah
Tangan emas, tangan emas yang digunakan Lu-sam untuk
memberi perintah kepada anak buahnya.
Lu-sam! Lagi-lagi Lu-sam, Hok-kui-sin-sian Lu-sam!
Musuh besar yang dendamnya lebih dalam dari samudra,
musuh tangguh yang harus dibantai dan dicincang hingga
hancur berkeping.
Tapi saat ini Siau-hong seolah sudah melupakan sebuah
dendam kesumat, karena pikiran dan perasaannya telah
dikuasai oleh perasaan lain yang jauh lebih kuat.
Harapan untuk hidup terus memang selalu menjadi
keinginan nomor satu bagi seluruh umat manusia.
Di dalam kantung kulit itu tak ditemukan air.
Kantong air lainnya ditemukan telah robek tertusuk
pedang, orang yang merobek kantung air itu kemungkinan
besar adalah Siau-hong sendiri.
Peristiwa ini benar-benar merupakan sebuah sindiran
yang amat memilukan.
Tapi Siau-hong tidak berpikir ke situ. Dia tak berani
untuk berpikir.
Karena dia tahu, bila seseorang berpikir terlalu banyak,
mungkin makna yang muncul akan membuat dia menilai
lain tentang suatu kehidupan.
Baginya, dalam saat dan keadaan seperti ini, selembar
nyawa sesungguhnya sama sekali tak ternilai harganya,
selamanya tak bisa digantikan oleh benda apa pun.
Maka dia pun mulai merangkak lagi.
Tiba-tiba jantungnya berdebar keras, sebab bukan saja
dia telah menemukan lagi sesosok mayat yang lain, bahkan
dia pun telah meraba kantung kulit berisi air yang
tergantung di pinggangnya.
Kantung air itu penuh dan padat, sepadat payudara
seorang gadis perawan.
Siau-hong tahu, dia sudah tertolong.
Pemuda itu mulai menjulurkan tangannya yang dingin
dan gemetar, ingin melepaskan kantung kulit itu, tapi pada
saat bersamaan, dia kembali mendengar suara lain.
Tiba-tiba ia mendengar suara debaran jantung seseorang
debaran jantung yang cepat.
Ternyata jantung orang itu masih berdetak, ternyata
orang itu belum mati.
Siau-hong segera menghentikan tangannya, tangan itu
seolah-olah membeku dan kaku secara tiba-tiba.
Mengambil kantung air dari tubuh sesosok mayat demi
menyelamatkan nyawa sendiri, hal semacam ini bukanlah
suatu perbuatan yang memalukan.
Tapi merampas kantung air dari seorang hidup yang
sedang sekarat dan sama sekali kehilangan kekuatan untuk
melawan, jelas hal ini merupakan satu masalah lain.
Siau-hong masih tetap Siau-hong.
Peduli berada dalam situasi dan kondisi seperti apa pun,
dia selalu menjadi dirinya sendiri, karena dia selamanya tak
akan kehilangan jati diri... tak akan kehilangan hati nurani,
dia pun tak pernah akan merubah prinsip hidupnya, apalagi
melakukan perbuatan yang jelas memalukan dan tak bisa
dimaafkan. "Orang mati" yang belum mati itu mendadak bertanya
kepadanya dengan suara yang aneh dan sangat lemah, "Di
dalam kantung kulitku masih ada air, mengapa kau tidak
mengambilnya?"
"Karena kau belum mati," jawab Siau-hong, "Kau pun
membutuhkan air itu!"
"Betul! Aku belum mati, tapi asal kau hadiahkan sebuah
tusukan lagi, aku pun akan jadi orang mati."
Lalu tanyanya lagi kepada Siau-hong, "Kalau memang
kau menginginkan air milikku, mengapa tidak kau bunuh
aku?" Siau-hong menghela napas panjang.
"Aku tak boleh membunuhmu, aku tak boleh membunuh
orang hanya dikarenakan alasan semacam ini!"
"Tapi sebetulnya kau memang ingin membunuhku," kata
orang itu, "Seharusnya aku telah mati di tanganmu."
Ooo)d*w(ooO BAB 33. KASUS ANEH PAT KA-KEH (JALAN
DELAPAN SUDUT) "Waktu itu kau hendak membunuhku, tentu saja aku
akan membunuhmu," sahut Siau-hong, "Tapi sekarang
"Kenapa sekarang?"
"Sekarang bukan saja aku tak bisa membunuhmu,
bahkan akan menyelamatkan jiwamu."
"Kenapa?"
"Karena kau sudah menjadi seorang yang hampir mati,
sudah sama sekali kehilangan kekuatan untuk melawan,"
kata Siau-hong, "Bila aku membunuhmu, sekalipun aku
bisa hidup terus, aku akan hidup dengan perasaan tak
tenang." "Jadi sekarang hidupmu sangat tenteram?"
"Hidupku selalu tenteram," jawab Siau-hong, "Karena
aku sadar bahwa diriku tidak berhutang kepada siapa pun,
tidak menyalahi siapa pun."
"Jadi kau lebih suka mati daripada melakukan perbuatan
yang tak bisa dimaafkan orang lain?"
"Perbuatan yang tak bisa kumaafkan pun, tak bakal
kulakukan."
Orang itu terengah-engah, napasnya memburu, tiba-tiba
ia memperdengarkan suara rintihan keputus-asaan, suara
erangannya seperti seekor hewan buas yang menjumpai
dirinya terperosok ke dalam perangkap yang dalam.
"Aku salah!" rintihnya, "Aku telah melakukan
kesalahan."
"Kesalahan apa yang telah kau lakukan?"
Orang itu tidak menjawab pertanyaan itu, hanya tiada
hentinya berbisik, "Kau masih belum berubah, kau masih
Siau-hong yang dulu, aku tidak sepantasnya... tidak
sepantasnya...."
Suara rintihannya makin lama semakin rendah, makin
lama semakin lemah dan lirih.
"Dari mana kau bisa tahu kalau aku adalah Siau-hong"
Dari mana bisa tahu kalau aku belum berubah?" tanya Siauhong,
"Kau tidak sepantasnya kenapa?"
Orang itu sudah tak mampu menjawab pertanyaannya
lagi. Dengus napasnya yang kian melemah, dia semakin
terengah-engah, bahkan mulai batuk tiada hentinya.
Siau-hong segera melepaskan kantong air milik orang itu,
dia ingin memberinya air minum, sayang napasnya yang
terengah dan batuknya yang keras membuat orang itu tak
mampu meneguk air yang disuapkan ke mulutnya.
Langit semakin gelap, dengan menggerayang dia
mengeluarkan secarik kain dari sakunya, lalu dibasahi kain
tadi dan perlahan ia teteskan air itu di atas bibirnya yang
mengering. Akhirnya orang itu dapat berbicara lagi.
"Aku telah berbuat salah kepadamu," katanya, "Aku pun
telah melakukan kesalahan terhadap engkoh Eng."
Perkataan yang dia ucapkan membuat Siau-hong
terperangah, terkejut, hingga lama sekali tak mampu
berkata-kata. Lewat lama kemudian ia baru bertanya, "Jadi kau pun
kenal Po Eng" Kesalahan apa yang telah kau lakukan"
Siapakah kau?"
Tiada jawaban, tiada reaksi dari orang itu.
Ternyata ketika Siau-hong mengajukan pertanyaan itu,
napas dan detak jantungnya telah berhenti, orang itu telah
menyelesaikan perjalanan hidupnya.
Perlahan Siau-hong membentangkan kain yang telah
dibasahi tadi dan ditutupkan ke atas wajah orang itu.
Sekarang dia sudah tahu orang ini pasti mempunyai
hubungan yang dalam dengan dirinya, mempunyai
hubungan yang mendalam dengan Po Eng.
Tapi sayang ia tak dapat mengingat siapakah orang itu"
Deru angin badai masih berhembus kencang, dia sudah
tak mendengar lagi suara bisikan orang itu.
Langit bertambah gelap.
Harus menanti sampai kapan langit baru terang kembali,
badai pasir baru berhenti"
Siau-hong mengambil kantung air itu, kemudian
meminumnya dua teguk.
Sesungguhnya dia bukan benar-benar ingin minum air
dalam kantung itu, di saat meneguk air, dia sama sekali tak
berpikir perbuatan apa yang sedang dilakukannya.
Dia minum air dalam kantung kulit itu tak lebih hanya
sebuah reaksi yang lumrah, karena dia harus hidup lebih
jauh. Kemungkinan besar orang itu adalah sahabatnya, bahkan
baru saja tewas di tangannya.
Bila dia terbayang akan hal ini, bila dia tahu siapakah
orang itu, mungkin ia rela mati kehausan daripada meneguk
air di dalam kantung kulit itu.
Biarpun saat itu langit bertambah gelap, bukankah sesaat
sebelum terbitnya sang surya merupakan saat yang paling
gelap" Kini langit sudah mulai terang, deru angin pun sudah
semakin mereda.
Tiba-tiba saja Siau-hong dapat melihat wajah orang itu,
kain yang menutupi wajahnya telah terbang terhembus
angin, kini terpampanglah sebuah wajah yang penuh
penderitaan, siksaan dan penyesalan.
Seketika itu juga Siau-hong merasakan hatinya
tenggelam, darah yang mengalir di tubuhnya seolah jadi
dingin dan membeku.
Ternyata orang itu tak lain adalah Gharda.
Di saat ia dicurigai orang hingga nyaris tak ada jalan
keluar, dialah satu-satunya orang yang masih menganggap


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirinya sebagai sahabat.
Kain yang dia pergunakan untuk menutupi wajah orang
itu tak lain adalah "Hata" yang dipersembahkan orang ini
kepadanya sambil berlutut, "Hata" yang melambangkan
persahabatan abadi serta rasa hormat yang tinggi.
Kini orang itu telah mati di ujung pedangnya, ternyata
dia masih meneguk habis air dalam kantung kulit miliknya.
Kenapa Gharda belum mati" Kenapa ia bisa muncul di
sini" Kenapa bisa bergabung menjadi anak buah Lu-sam"
Kenapa ia menuduh dirinya bersalah" Kenapa dia pun
berkata kalau telah melakukan kesalahan terhadap Siauhong
dan Po Eng"
Tak satu pun persoalan itu yang dipikirkan Siau-hong.
Persoalan yang terpikirkan olehnya saat ini adalah
mimik muka yang tulus dari Gharda ketika
mempersembahkan satu-satunya sepatu laras kulit
kesayangannya dalam tenda yang sempit dan memintanya
untuk melarikan diri.
Bila saat ini ada orang yang sempat melihat wajah Siauhong,
dia pasti akan sangat terperanjat.
Karena raut wajahnya saat ini nyaris telah berubah
seperti wajah sesosok mayat.
Karena parasnya pun diliputi perasaan sedih, menderita,
dan penyesalan.
inikah yang disebut kehendak takdir"
Mengapa kehendak takdir selalu memojokkan orang ke
dalam jalan buntu yang penuh ketidak-berdayaan"
Mengapa selalu mempermainkan umat manusia agar
melakukan perbuatan yang sebenarnya biar mati pun tak
bakal dilakukan"
Badai telah mereda, jenazah pun telah dikubur.
Bagi Siau-hong, kejadian ini bukan merupakan
pengalamannya yang pertama, ia pernah mengalami
serangan badai, dia pun pernah mengubur jenazah lawan,
satu-satunya perbedaan kali ini adalah jenazah yang dia
kubur bukan jenazah musuhnya, melainkan mayat dari
seorang sahabatnya.
Seorang sahabat yang tewas di ujung pedangnya.
Dengan menggunakan pedang sebagai tongkat, Siauhong
berusaha menempuh perjalanan.
Sejujurnya dia sendiri pun tak tahu kemana harus pergi,
karena dia tak punya tujuan, tak tahu harus ke mana,
terlebih lagi dia pun tak tahu sampai kapan dia bisa
bertahan. Tiada air, tiada rangsum, tiada tenaga, apa pun tak
dimiliki, bahkan niat untuk mempertahankan hidup yang
sangat penting pun ikut lenyap karena perasaan sesal yang
mendalam, setiap saat kemungkinan dia akan roboh, bila
roboh maka selama hidup jangan harap bisa bangkit lagi.
Mengapa dia masih berjalan terus ke depan"
Karena Siau-yan. Dia seolah-olah mendengar suara Siauyan,
suara rintihan yang penuh penderitaan dan kepedihan.
Kali ini pun dia masih belum dapat memastikan apakah
suara yang didengarnya itu benar atau hanya ilusi" Maka
dari itu selama masih memiliki satu bagian kekuatan,
selama masih bisa melangkah maju, dia tak pernah akan
menghentikan langkahnya.
Dia harus menemukan jawaban yang pasti.
Akhirnya dia pun berhasil menemukannya.
Di saat dia nyaris roboh untuk selamanya tak mampu
bangkit lagi, dia telah melihat Che Siau-yan.
Matahari kembali muncul di tengah angkasa, dataran
luas pun berubah jadi panas membara bagaikan sebuah
tungku api. Tiba-tiba Siau-hong menjumpai gadis itu sedang berjalan
menuju ke arahnya, sambil bertelanjang kaki ia berjalan di
atas pasir yang membara, seluruh pakaian yang dikenakan
telah tercabik-cabik robek. Rambutnya yang hitam terurai
lepas, wajahnya yang cantik pucat-pias dan membengkak
karena pukulan, air mata membasahi mata dan pipinya.
Ketika memandang lagi ke depan, dia pun dapat
menyaksikan Tokko Ci.
Ia berdiri dalam keadaan telanjang bulat, berbaring di
bawah teriknya matahari, pedangnya terlepas pada jarak
yang dapat diraih oleh tangannya.
Dia kelihatan begitu lepas dan kendor, kendor karena
kepuasan. Siapa pun yang menyaksikan keadaan itu pasti dapat
membayangkan peristiwa apa yang barusan terjadi di situ.
Apa yang disaksikan Siau-hong dalam mimpi buruknya
ternyata telah terjadi dalam kehidupan nyata.
Kemungkinan besar peristiwanya jauh lebih menakutkan,
jauh lebih tragis, jauh lebih meremukkan hati daripada apa
yang dilihatnya dalam mimpi buruknya tadi.
Siapakah yang dapat melukiskan, bagaimana perasaan
seseorang ketika hatinya betul-betul sedang hancur dan
remuk" Siau-hong pun tak dapat melukiskan, tapi dia telah
merasakan. Siau-yan berjalan menuju ke hadapannya, menatapnya
dengan termangu, di balik matanya yang basah oleh air
mata, terselip pula perasaan yang siapa pun tak dapat
melukiskan, tapi siapa saja ikut merasa remuk-redam
setelah melihatnya.
Tiba-tiba Siau-hong menerkam ke muka.
Siau-yan merentangkan sepasang tangannya menyambut
pelukan pemuda itu, tapi Siau-hong hanya menerjang lewat
dari hadapannya, dia langsung menerkam ke arah Tokko
Ci. Tentu saja dia bukan ingin merangkul dan memeluk
Tokko Ci. Ia menerjang ke depan karena dalam genggamannya ada
pedang, dia ingin sekali menusuk leher Tokko Ci yang
berbaring telanjang dan mengakhiri kehidupannya.
Kepedihan, gusar dan benci telah merangsang setiap
bagian tubuhnya, karena itulah dia masih memiliki cukup
kekuatan untuk menghujamkan pedangnya.
Namun dia sendiri pun tahu, sisa tenaga yang
dimilikinya sudah tidak terlalu banyak.
Pedang Tokko Ci masih tergeletak di tempat yang dapat
diraihnya. Ketika tusukan pedangnya gagal menembus
tenggorokan lawan, kemungkinan besar pedang Tokko Ci
akan menembus dadanya.
Ia tahu akan hal itu, tapi dia tak peduli, sedikit pun tak
peduli. Tusukan pedang Siau-hong tidak menembus
tenggorokan lawan, bukan karena Tokko Ci telah meraih
pedangnya dan menghujamkan pedangnya lebih dulu di
atas dadanya. Tusukan itu tidak dilanjutkan karena dia merasa sangat
keheranan. Arah yang ditusuk pedangnya adalah bagian dada Tokko
Ci, bagian mematikan yang akan merenggut nyawanya jika
tertusuk. Tapi sewaktu pedangnya menusuk ke bawah, ternyata
Tokko Ci tidak berusaha meraih pedangnya, bahkan dia
sama sekali tak bergerak, parasnya sama sekali tak berubah.
Jangankan berubah, sedikit perubahan mimik muka pun
tak ada, dia seolah mayat yang telah mengering.
Sebuah peristiwa yang sangat aneh!
Paras Tokko Ci memang selalu tanpa emosi, selalu tidak
menunjukkan perubahan apa pun.
Tapi anehnya, mimik muka yang kaku tanpa perasaan
saat ini, terasa berbeda sekali dengan mimik muka tanpa
perasaan yang diperlihatkan di masa lampau.
Karena di saat tanpa perasaan pun tetap ada penampilan,
bahkan dapat memberi kesan kuat bagi siapa pun yang
melihat. Dulu, wajah Tokko Ci yang tanpa perasaan itu selalu
menimbulkan kesan menakutkan dan menyeramkan bagi
siapa pun yang melihatnya.
Tapi sekarang, kesan yang tampil di wajahnya sama
sekali berbeda.
Kini paras tanpa perasaannya hanya memberi kesan
penderitaan dan tersiksa bagi siapa pun yang melihatnya,
semacam penderitaan yang hanya muncul di saat seseorang
merasakan kegagalan, kekalahan dan keputus asaan.
Dia adalah pemenang, dia terkuat, dia yang menguasai
segalanya, merampas semuanya.
Sebagai seorang pemenang, mengapa dia tampilkan
penderitaan dan siksaan seperti ini"
Siau-hong tidak habis mengerti, itulah sebabnya dia tidak
melanjutkan tusukan itu. Walaupun belum ditusukkan lebih
jauh, setiap saat dia dapat melanjutkan tusukan pedangnya.
Ujung pedang miliknya telah berada di atas tenggorokan
Tokko Ci, selisih jaraknya dengan tenggorokan Tokko Ci
paling hanya satu inci.
Paras Tokko Ci masih menambilkan mimik keputusasaan
dan penderitaan, bahkan memberi kesan seolah dia
sangat berharap tusukan pedang Siau-hong dapat segera
menembus tenggorokannya, agar dia tewas di bawah
teriknya matahari.
Apakah dia ingin mati"
Hanya seorang pecundang, seorang yang kalah dalam
segalanya, baru ingin mati, mengapa dia ingin mati"
Siau-yan pun sedang mengawasi Tokko Ci.
Pakaian yang dikenakan gadis itu sudah tercabik-cabik,
wajahnya sembab karena pukulan, tapi sewaktu menatap
orang itu, tiada perasaan marah dan kebencian di balik
matanya, sebaliknya ia justru memperlihatkan ejekan,
cemoohan, dan rasa iba.
Tiba-tiba gadis itu maju, menarik tangan Siau-hong yang
menggenggam pedang dan berkata, "Mari kita pergi dari
sini! Orang ini sudah tak berguna, kau tak perlu lagi
membunuhnya."
"Tidak berguna?" Siau-hong tidak mengerti, "Kenapa
tidak berguna?"
"Karena dia sudah bukan seorang lelaki," suara Siau-yan
penuh ejekan dan cemoohan, "Dia ingin memperkosa aku,
sayangnya dia tak mampu, dia sudah tak berguna."
Tokko Ci masih berbaring di sana, berbaring di atas
butiran pasir yang membara, berbaring di bawah teriknya
matahari. Siau-hong telah pergi, meninggalkan musuhnya begitu
saja di tengah gurun.
Seorang lelaki yang sudah tak berguna, seorang lelaki
yang sudah bukan lelaki, memang tak berharga untuk
dibunuh orang lain.
Sekalipun mereka juga tahu, membiarkan dia berbaring
seperti itu akan membuat seluruh badannya terbakar jadi
arang membuat dagingnya terpanggang di saat matahari
tenggelam sore nanti.
Mereka tetap pergi dari situ, kecuali dia sendiri, di dunia
ini sudah tak ada orang lain yang dapat menyelamatkan
jiwanya. Che Siau-yan menerima satu stel pakaian yang diberikan
Siau-hong kepadanya, lalu dikenakan untuk menutupi
tubuhnya yang nyaris telanjang.
Biarpun kondisinya tampak mengenaskan, namun
sikapnya jauh lebih tenang daripada Siau-hong.
"Sekarang kita akan pergi ke mana?" tanyanya.
Siau-hong termenung dia mengawasi sekejap dataran
luas yang panas membara, lalu mengawasi pula sepasang
tangannya yang kosong.
Lewat lama kemudian dia baru bertanya, "Sekarang kita
akan pergi ke mana?"
"Ke mana kau ingin pergi, ke sana kita akan pergi,"
jawaban Siau-yan begitu ringan dan santai, seolah dia tak
tahu kalau saat itu mereka sudah tidak memiliki segalanya,
setiap saat kemungkinan besar akan roboh ke tanah.
Kembali termenung sampai lama, Siau-hong baru
berkata, "Aku ingin kembali ke Lhasa."
"Kalau begitu, kita kembali ke Lhasa," jawaban Siau-yan
masih enteng sekali, "Sekarang juga kita kembali."
Siau-hong menatapnya, tiba-tiba ia tertawa, tertawa getir.
"Dengan cara apa kita kembali?" dia bertanya,
"Merangkak"
Ataukah digotong orang?"
Ternyata Siau-yan ikut tertawa, tawanya terasa sangat
misterius. Siau-hong benar-benar tidak habis mengerti, dalam
keadaan seperti ini kenapa dia masih bisa tertawa, namun
dengan cepat dia jadi paham.
Sebab saat itu Siau-yan telah memindahkan sebuah batu
cadas besar, seperti seorang pemain sulap, dari bawah batu
cadas itu terdapat sebuah lubang gua, dari dalam liang dia
mengeluarkan tiga buah kantung kulit yang sangat besar,
sekantung rangsum, satu stel pakaian, dan sekantong air.
Dengan terkejut Siau-hong memandang ke arahnya, tibatiba
ia menghela napas panjang.
"Tiba-tiba saja aku merasa kau mirip seseorang,"
katanya, "Ada banyak hal yang mirip."
"Kau mengatakan aku mirip siapa?"
"Pancapanah," sahut Siau-hong, "Enghiong Hohan
nomor wahid di gurun pasir, Pancapanah yang selamanya
tak pernah diduga dan diraba sepak terjangnya oleh siapa
pun." "Masa aku mirip dia?"
"Karena kau pun seperti dia, mau pergi ke mana pun,
selalu menyiapkan jalan mundur bagi diri sendiri," Siauhong
menerangkan, "Oleh sebab itu, selamanya kalian tak
bakal bisa dipojokkan orang lain hingga kehabisan jalan."
Che Siau-yan ikut tertawa, entah sejak kapan tiba-tiba
dia berubah menjadi lebih mirip Yang-kong, berubah jadi
seorang bocah perempuan yang gemar tertawa.
Sambil tertawa tanyanya kepada Siau-hong, "Sekarang
apakah kita sudah boleh berangkat ke kota Lhasa?"
"Benar," Siau-hong mengangguk, "Sekarang kita boleh
berangkat."
Ooo)d*w(ooO

Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lhasa masih tetap Lhasa yang dulu.
Seperti kota kuno lain yang mempunyai sejarah panjang,
gerusan sang waktu, puing akibat peperangan, perubahan
dan peristiwa besar, tak satu pun dapat mengubah kota
besar yang kuno ini.
Benteng batu yang membentang dari istana Potala
hingga bukit Chagebu dipenuhi bangunan loteng, ruang
semadi, halaman kuil dan batu prasasti, sebuah
pemandangan kota yang sangat menawan.
Lorong dan jalanan di dalam kota masih penuh berjejal
manusia yang berlalu-lalang, kawanan pengemis tua yang
lemah masih bertebaran mencari sedekah, sambil membaca
doa mohon kemurahan hati dari para peziarah.
Sampah-sampah pun masih menumpuk di sepanjang
jalan, tapi kotornya jalan tak sampai mempengaruhi
keindahan kota.
Balik ke kota itu, Siau-hong merasa seolah dia kembali
ke desa kelahirannya, wilayah Kang-lam.
"Sekarang kita akan ke mana?" Siau-yan bertanya lagi.
"Kita pergi ke jalan Pat-ka-keh!"
Jalan Pat-ka-keh (Sudut delapan) merupakan pusat
perdagangan kota, hampir semua kantor dagang besar
berkumpul di tempat ini, mau membeli barang apa pun, kau
bisa mendapatkannya di situ.
"Mau beli apa kau ke situ?" kembali Siau-yan bertanya.
"Tidak membeli apa-apa."
"Kalau tidak membeli apa-apa, mau apa ke sana?"
"Mengunjungi sebuah kongsi perdagangan," jawab Siauhong,
"Kantor dagang Eng-ki."
"Eng-ki" Bukankah kantor dagang milik Po Eng?"
"Dulu miliknya."
"Dan sekarang?"
"Sekarang sudah bukan menjadi miliknya."
"Kalau sekarang sudah bukan menjadi miliknya, mau
apa kau ke sana?" tampaknya Siau-yan sudah bertekad
mencari tahu hingga jelas.
"Pergi mencari seseorang," jawab Siau-hong perlahan,
"Bertanya tentang beberapa masalah."
Kemudian sambil menatap wajah Siau-yan terusnya,
"Bila kau enggan ke sana, tunggulah aku di sini."
Tentu saja tak mungkin dia tidak ikut pergi.
Maka mereka pun menelusuri jalan raya yang sangat
ramai itu, dari kedua sisi jalan terendus bau asam susu yang
pekat, sedemikian pekatnya nyaris membuat orang susah
bernapas, cahaya matahari yang menyilaukan mata
ditambah hembusan angin berpasir, nyaris membuat
sepasang mata mereka sukar dipentang lebar.
Aneka ragam barang dagangan dijual di pasar, dari daun
teh sampai dupa wangi.
Satu-satunya yang berbeda di sana adalah orang yang
berlalu-lalang di jalanan itu seakan telah berubah.
Jalan raya ini pun tak jauh berbeda seperti jalan raya
lain, orang yang berlalu-lalang di sana secara garis besar
terbagi jadi dua bagian, bagian pertama adalah orang yang
bertempat tinggal di sana dan bagian kedua adalah orang
yang datang dari luar daerah.
Dulu, Siau-hong pernah melewati jalanan ini, dia selalu
merasa wajah setiap orang di sana selalu memancarkan
kegembiraan, kecukupan dan kebahagiaan, menunjukkan
kehidupan maupun usaha dagang mereka sangat
memuaskan dan kehidupan mereka pun selalu dipenuhi
rasa percaya diri.
Tapi hari ini, penampilan mereka sama sekali berubah,
berubah jadi sedikit ketakutan, sedikit kasak-kusuk, sewaktu
memandang ke mata orang lain, mereka selalu
menunjukkan sikap curiga dan waspada, bahkan setiap
orang tampak amat ketakutan.
Semua kantor dan toko di sepanjang jalan ini merupakan
kantor perdagangan kaya, kehidupan orang-orang itu pun
selama ini makmur tanpa masalah apa pun.
Lalu apa sebabnya mereka ketakutan" Apa yang mereka
takuti" Sewaktu Siau-hong merasakan hal ini, Siau-yan pun
merasakan hal yang sama.
Dia menarik ujung baju Siau-hong, lalu bisiknya lirih,
"Pasti sudah terjadi suatu peristiwa di jalanan ini, pasti
sebuah peristiwa yang amat menakutkan."
Kemudian tanyanya lagi, "Apakah kau memperhatikan
mimik muka orang lain sewaktu memandang dirimu?"
Tentu saja Siau-hong pun memperhatikan hal ini.
Mimik orang lain ketika memandang ke arahnya, seperti
memandang dewa penyakit yang setiap saat
mungkin akan menyebarkan penyakit lepra ke seluruh
penduduk kota. Suasana ramah, rezeki baru tumbuh. Sebagai pedagang,
tidak seharusnya mereka mempergunakan sorot mata
semacam ini untuk menatap orang lain.
Peristiwa apa lagi yang telah terjadi di sana" Apakah ada
hubungannya dengan Siau-hong"
Perasaan Siau-hong saat itu kembali tenggelam.
Mendadak ia terbayang peristiwa kebakaran yang
melanda tempat tinggal Po Eng, kemudian kantor dagang
Eng-ki berganti pemilik, sewaktu dia bersama Yang-kong
melalui jalanan itu, orang lain pun menggunakan sorot
mata semacam ini memandang mereka.
Mungkinkah kali ini terjadi lagi suatu peristiwa besar di
kantor dagang Eng-ki"
Apakah orang-orang itu masih mengenalinya, masih
ingat kalau dia adalah sahabat Po Eng"
Mungkinkah Po Eng telah kembali ke sana dan
melakukan pembalasan yang adil tapi kejam terhadap
musuh besarnya"
Peristiwa semacam ini bukannya tidak mungkin terjadi.
Apa yang hendak dilakukan Po Eng sesungguhnya
memang tak pernah bisa diduga siapa pun.
Seandainya Siau-hong tiba kembali di kantor dagang
Eng-ki dan menyaksikan Po Eng telah duduk di belakang
meja kasir, saat itu Siau-hong pasti tak akan merasa kelewat
terkejut. Dia selalu berpendapat, tiada perbuatan di dunia ini yang
tak mungkin bisa dilakukan Po Eng.
Siau-hong segera mempercepat langkahnya, detak
jantungnya ikut berdebar kencang. Kalau bisa, dia ingin
dalam sekali langkah telah tiba di pintu gerbang kantor Engki.
Jika dia tahu peristiwa apa yang telah terjadi di kantor
dagang Eng-ki, biar kau gotong dia dengan tandu, melecuti
dia dengan cambuk pun belum tentu dia mau masuk ke
kantor itu. Pintu gerbang kantor Eng-ki berada dalam keadaan
terbuka, dari kejauhan orang sudah dapat melihat situasi di
dalam toko. Dalam toko itu ada lima orang, mereka sedang
melakukan satu perbuatan.
Selama ini kantor dagang Eng-ki adalah sebuah kantor
dagang yang termasyhur dan ramai transaksi dagangnya,
tentu saja semua pegawai toko pandai bekerja dan harus
selalu bekerja.
Kelima orang itu sedang bekerja, suatu kejadian yang tak
aneh, kalau mereka tidak sedang bekerja, itu baru aneh
namanya. Namun ketika Siau-hong coba memperhatikan, ternyata
ia tak berhasil menyaksikan pekerjaan apa yang sedang
mereka lakukan, siapa pun itu orangnya, tak mungkin
mereka dapat mengetahui pekerjaan apa yang sedang
dilakukan orang-orang itu, apalagi hanya memandang
dalam sekejap. Sebab pekerjaan yang mereka sedang lakukan sangat
aneh, bukan saja dalam situasi seperti apa pun tak akan
dilakukan orang bahkan boleh dibilang dalam sejarah hidup
sulit bagi siapa pun untuk menyaksikan kejadian itu.
Oleh karena itu sekalipun kau telah menyaksikan apa
yang sedang mereka lakukan, belum tentu percaya kalau
mereka sedang melakukan perbuatan itu.
Mereka sedang membantai orang!
Di tengah hari bolong, di sebuah jalan raya yang ramai
dilewati orang, di dalam sebuah kantor dagang yang
terbuka lebar pintu gerbangnya, ternyata mereka sedang
membunuh orang.
Siapa sedang membunuh siapa"
Ada dua orang sedang membunuh dua orang lainnya.
Kemudian masih ada seseorang lagi berdiri di sisi arena,
menyaksikan mereka membunuh orang.
Siau-hong segera menerjang ke depan, tapi sebelum
memasuki pintu gerbang ia sudah dibuat tertegun, melongo.
Karena orang pertama yang dilihatnya ternyata adalah
dia sendiri. Kecuali sedang berdiri di depan cermin, kali ini dia
benar-benar telah melihatnya, bahkan melihat dengan jelas
sekali. Ternyata Siau-hong telah melihat diri sendiri, seseorang
yang wajah dan potongan badannya seperti diri sendiri.
Waktu itu Siau-hong masih berdiri di depan pintu
gerbang Eng-ki, tapi di dalam kantor ternyata ada seorang
Siau-hong lagi yang berdiri di depan meja kasir sambil
menyaksikan orang lain membunuh orang.
Siau-hong bukan anak kembar, dia pun tak punya
saudara, darimana datangnya Siau-hong kedua"
Tak disangkal Che Siau-yan pun merasa amat
terperanjat. Ketika Siau-hong terperangah, dia pun ikut terperangah,
sekuat tenaga gadis itu menarik tangan Siau-hong sambil
berseru, "Aku telah melihatmu!"
"O, ya?"
"Aku melihat kau berada di kantor dagang di seberang
sana." "O, ya?"
"Tapi sudah jelas kau berada di sampingku, kenapa bisa
muncul di kantor dagang itu?" tanya Siau-yan kepada Siauhong,
"Masa kau seorang dapat berubah jadi dua orang?"
Siau-hong tertawa getir, hanya tertawa getir.
Siapa pun itu orangnya, mereka pasti hanya bisa tertawa
getir setelah mendengar pertanyaan itu, sebab persoalan ini
kelewat aneh, kelewat fantastik, kelewat tak masuk akal.
Namun ketika Siau-hong dapat melihat dengan jelas
orang yang terbunuh dan orang yang membunuh,
jangankan bicara, ingin tertawa getir pun sudah tak mampu.
Mimik mukanya menunjukkan seolah badannya dibacok
orang secara tiba-tiba, dan bagian tubuh yang dibacok
adalah ruas tulangnya yang paling sensitip.
Yang melakukan pembunuhan ada dua orang, seorang
pria, seorang wanita.
Orang yang mereka bunuh pun ada dua orang, mereka
pun seorang pria dan seorang wanita.
Lelaki sang pembunuh ternyata bukan lain adalah "Po
Eng". Perempuan sang pembunuh ternyata adalah Yang-kong.
Orang yang sedang dibunuh Po Eng adalah Pancapanah!
Sedangkan orang yang dibunuh Yang-kong adalah Pova.
Seorang lain, Siau-hong sedang mengawasi Po Eng dan
Yang-kong membunuh Pancapanah dan Pova, tiada kesan
atau niat orang itu untuk mencegah terjadinya pembunuhan
itu. Apa yang sebenarnya telah terjadi" Siapa yang tahu
kejadian apakah itu"
Sesungguhnya kejadian itu adalah sebuah peristiwa yang
amat sederhana.
Di dunia ini ada banyak sekali kejadian yang dalam
penampilan tampak sangat rumit dan misterius, padahal
amat sederhana.
Terkadang sedemikian sederhananya hingga sangat
menggelikan. Mengapa bisa muncul dua orang Siau-hong"
Karena Siau-hong lain yang berada dalam kantor dagang
itu adalah manusia lilin, manusia yang terbuat dari lilin.
Mengapa Po Eng akan membunuh Pancapanah"
Mengapa Yang-kong akan membunuh Pova"
Karena mereka pun manusia lilin.
Lima orang yang berada dalam kantor dagang itu
semuanya merupakan manusia yang terbuat dari lilin,
biarpun bentuknya sangat hidup dan sempurna, namun
semuanya palsu.
Semua persoalan yang membingungkan akhirnya
memperoleh penjelasan, biarpun jawabannya amat
sederhana, namun sama sekali tidak menggelikan.
Karena Siau-hong segera teringat persoalan yang jauh
lebih banyak. Siapa yang telah membuat manusia lilin itu" Mengapa
harus melakukan perbuatan semacam ini" Apa maksud dan
tujuannya"
Selama ini dalam kantor dagang Eng-ki selalu banyak
pegawai dan pekerja, mengapa sekarang hanya tersisa lima
orang gadungan yang terbuat dari lilin" Ke mana perginya
yang lain"
Siau-hong melanjutkan langkahnya ke depan, kembali
dia menyaksikan tiga orang.
Ketiga orang itu berdiri agak jauh, di sudut ruangan,
seorang pria, seorang wanita dan seorang bocah.
Yang pria adalah Lu-sam, yang perempuan Soso, bocah
kecil itu berada dalam gendongan Soso.
Lu-sam berwajah tampan, Soso berwajah cantik bak
bidadari, bocah yang berada dalam pelukan perempuan itu
mengenakan pakaian kembang-kembang, mengenakan topi
merah, meski baru berumur dua-tiga bulanan, tubuhnya
cukup gemuk dengan telinga lebar, sangat menawan.
Tentu saja ketiga orang itu pun manusia gadungan,
manusia yang terbuat dari lilin.
Sekalipun mereka bukan terbuat dari lilin, semisal Lusam
benar-benar berdiri di tempat itu, Siau-hong tetap tak
berani menerjang masuk ke dalam.
Karena dia sama sekali tidak lupa kepada peristiwa yang
terjadi dalam rumah batu di dusun terpencil tempo hari.


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak diragukan bocah yang sedang digendong Soso
adalah anaknya, darah dagingnya, darah yang mengalir
dalam tubuh bocah itu berasal dari darah dalam tubuh
sendiri. Sekalipun apa yang dilihatnya sekarang hanya seorang
bocah yang terbuat dari lilin, namun raut muka bocah itu
pasti mirip dengan wajah asli bocah itu.
Seorang bocah yang sangat menawan, Siau-hong sangat
berharap dapat maju dan memeluknya.
Bila peristiwa ini terjadi pada dua tahun berselang peduli
Lu-sam itu asli atau palsu, peduli bocah itu asli atau palsu,
Siau-hong pasti sudah menerjang masuk ke dalam.
Tapi Siau-hong yang sekarang sudah bukan Siau-hong
dua tahun berselang.
Ia telah belajar bersabar.
Dia harus sabar, harus berpikiran dingin, karena
beberapa patung lilin itu bukan hanya melulu manusia lilin,
di balik semua itu pasti masih tersimpan rahasia dan intrik
lain yang menakutkan.
Persoalan yang paling penting adalah, "Siapa yang telah
membuat manusia lilin itu" Mengapa manusia lilin itu harus
diletakkan dan dipamerkan di sana?"
Siau-hong berusaha menenangkan diri, berusaha
mendinginkan otak dan perasaannya, maka dia pun mulai
memperhatikan beberapa persoalan lainnya.
Sebetulnya Eng-ki seperti kantor dagang lainnya, di
depan pintu kantor selalu berkerumun para penjaja keliling
serta pengemis, ditambah di dalam kantor berjajar beberapa
orang lilin dengan pakaiannya yang menyolok serta tingkah
laku yang menyeramkan, seharusnya tontonan semacam ini
akan semakin menarik perhatian banyak orang.
Tapi kini dalam radius beberapa tombak di sekeliling
kantor itu tak nampak seorang pun, semua orang begitu tiba
di sekitar sana, segera berusaha menghindar, bahkan
menyingkir jauh-jauh, tingkah-laku mereka seolah kuatir,
bila salah melangkah ke tempat yang sial itu maka bencana
besar segera akan menimpa mereka.
Tapi setiap orang memperhatikan semua gerak-gerik
yang terjadi dalam kantor dagang itu, mengawasi dari
kejauhan, semua orang melirik ke arah manusia lilin dalam
kantor dengan sorot mata ngeri, takut, kaget dan penuh
curiga, seakan-akan semua orang telah menganggap bendabenda
itu sebagai manusia hidup yang punya darah dan
daging yang setiap saat bisa menggunakan pedang lilinnya
untuk menusuk tenggorokan orang menghujam jantung
orang dan merenggut nyawa mereka.
Siau-hong pun diam-diam menarik ujung baju Siau-yan,
menariknya mundur dari situ, mundur hingga ke dalam
kerumunan manusia.
Lagi-lagi kerumunan manusia membubarkan diri,
menghindar, menjauh, peduli kemana pun mereka pergi,
kerumunan manusia selalu menghindar dan menjauh.
Mendadak Siau-yan bertanya kepada Siau-hong,
"Tahukah kau, mengapa semua orang berusaha
menghindari dirimu?"
Sebelum pemuda itu menjawab, gadis itu telah
menjawab sendiri pertanyaannya, "Karena di dalam kantor
dagang itu terdapat juga patung lilin yang berwajah dirimu."
Kesimpulannya adalah, "Karena orang yang membuat
manusia lilin itu bisa menciptakan karya seninya seperti
wajahmu, sudah pasti dia adalah orang yang sangat kau
kenal." Maka dia pun bertanya lagi kepada Siau-hong,
"Dapatkah kau terka, kira-kira siapakah dia?"
Siau-hong tidak menerka. Dia seakan sama sekali tak
terpikir akan hal itu.
Seorang lelaki berjubah Persia, berwajah hitam yang
berdagang bahan wangi-wangian segera menghindar jauhjauh
begitu melihat Siau-hong berjalan menuju ke arahnya.
Mendadak Siau-hong menarik tangannya dan menegur
dengan suara rendah, "Aku kenal kau, masa kau tidak kenal
aku?" Orang tua itu terperanjat, sekuat tenaga ia menggeleng,
sahutnya dengan logat Han yang kaku, "Tidak kenal, sama
sekali tak kenal."
Siau-hong tertawa dingin.
"Sekalipun kau tidak kenal aku pun tidak masalah, asal
kau bisa memahami perkataanku, peduli kau kenal aku atau
tidak, bagiku sama saja."
Dia genggam lengan orang tua itu kuat-kuat, kemudian
melanjutkan, "Dengarkan baik-baik, ada beberapa
pertanyaan akan kuajukan kepadamu, bila kau bersedia
menjawab, ada uang perak untukmu, tapi kalau kau enggan
menjawab, akan kupatahkan lenganmu itu."
Ooo)d*w(ooO BAB 34. MANUSIA LILIN
Dua cara yang dia gunakan untuk menghadapi orang tua
itu merupakan cara yang paling bermanfaat sejak zaman
dahulu kala. Peluh dingin telah membasahi jidat orang tua itu saking
sakitnya, sepasang mata yang mulai rabun pun sudah
melihat cahaya perak.
Berada dalam situasi seperti ini, jarang sekali ada orang
yang masih menutup mulutnya.
Siau-hong menarik orang tua itu keluar dari kerumunan
manusia, menyeretnya ke sebuah sudut lorong yang sempit
dan sepi, kemudian dengan suara berat ia bertanya, "Dari
mana datangnya manusia-manusia lilin dalam kantor
dagang Eng-ki?"
"Tidak tahu."
Siau-hong mencengkeram lengan orang tua itu lebih
keras, kontan kakek itu kesakitan, saking sakitnya nyaris air
mata jatuh bercucuran.
"Aku betul-betul tak tahu," kembali orang tua itu berkata,
"Kemarin pagi, begitu pintu gerbang Eng-ki dibuka,
manusia-manusia lilin itu sudah berada di sana."
Siau-hong menatapnya tajam, sampai dia yakin kalau
jawaban orang tua itu sejujurnya, ia baru mengendorkan
gencetan tangannya.
"Ke mana perginya para pegawai Eng-ki?"
"Entahlah," sahut si kakek, "Sejak kemarin pagi, aku
sudah tidak melihat mereka."
"Seorang pun tak terlihat?"
"Ya, seorang pun tak terlihat."
"Jadi sejak kemarin pagi, di dalam kantor dagang Eng-ki
hanya ada beberapa sosok manusia lilin itu?" tanya Siauhong,
"Tak seorang hidup pun yang terlihat?"
"Tidak ada," jawaban orang tua itu sangat meyakinkan,
"Sama sekali tidak ada!"
Organisasi Eng-ki berjalan sangat rahasia dengan
jangkauan yang amat luas, kecuali pejuang berani mati di
bawah asuhan Po Eng yang menyamar jadi pegawai kantor,
orang yang sering berada di kantor untuk melakukan
transaksi dagang dan jual beli pun paling tidak mencapai
ratusan orang. Seratusan orang hidup yang punya darah dan daging,
tentu saja tak mungkin lenyap hanya dalam satu malam
saja. Lalu ke mana perginya mereka"
Siau-hong kembali berpikir, setelah itu dia ulangi
kembali pertanyaannya yang mungkin sudah diulang
beberapa kali. "Jadi maksudmu, sejak kemarin pagi hingga sekarang,
hanya beberapa orang lilin itu yang berada dalam kantor
dagang Eng-ki?"
"Rasanya memang begitu."
Sesudah berpikir pula beberapa saat, kakek itu baru
berkata lebih lanjut, "Karena sejak kemarin pagi hingga
sekarang, kecuali beberapa orang lilin itu, siapa pun tak
pernah melihat ada manusia hidup yang berjalan di dalam
kantor dagang Eng-ki."
Kembali Siau-hong bertanya, "Tahukah kau, di dalam
kantor dagang Eng-ki seringkali terdapat banyak sekali
barang dagangan yang mahal harganya?"
"Aku tahu," kakek itu mengangguk, "Semua orang juga
tahu." "Kalau memang di dalam kantor hanya ada beberapa
orang lilin yang berjaga, memangnya tak ada orang yang
punya pikiran jahat untuk menyatroni barang berharga
dalam gedung itu?"
"Pernah ada yang berpikiran begitu," sahut si kakek,
"Sejak kemarin pagi hingga sekarang, paling tidak sudah
ada lima-enam rombongan manusia yang mencoba
menyatroni."
"Lalu ke mana perginya orang-orang itu?" tanya Siauhong
keheranan. "Mereka sudah mampus," kakek itu segera menarik
tengkuk sendiri, "Baru saja memasuki pintu gerbang Eng-ki,
mereka telah mampus."
"Asal ada orang memasuki pintu gerbang itu?" ulang
Siau-hong tercengang, "Peduli siapa pun orang itu?"
Si kakek manggut-manggut, dari setiap kerutan di wajah
tuanya seolah keringat bercucuran, keringat dingin.
Tanpa terasa tangan Siau-hong mulai meraba gagang
pedangnya, ia merasa dari belakang punggungnya seolah
ada angin dingin yang mendesir.
Sejujurnya dia tak percaya dengan kejadian ini, namun
mau tak mau dia harus mempercayainya, maka kembali
pemuda itu bertanya, "Apa yang menyebabkan kematian
orang-orang itu" Kini jenazahnya berada di mana?"
Kakek itu tidak menjawab pertanyaan itu, dia pun tak
perlu menjawab, sebab pada saat itu di jalan Pat ka-keh
kembali terjadi suatu peristiwa yang amat menakutkan.
Dari kerumunan manusia di kejauhan sana mendadak
terjadi kegaduhan yang luar biasa. Lima orang lelaki kekar
bertelanjang dada dan mengenakan kulit kambing untuk
melindungi bagian vitalnya berjalan mendekat dengan
langkah lebar. Lima orang lelaki kekar dengan sebelas macam senjata
yang luar biasa.
Lelaki pertama berdada lapang berperut buncit,
tangannya membawa sebuah lencana baja yang beratnya
mencapai lima puluhan kati. Wajahnya hijau dengan
cambang memenuhi dagunya, dia memiliki sepasang lengan
yang besar, kekar, dan berotot.
Lelaki kedua berpundak lebar berpinggang ramping.
Pada pinggangnya terlilit sabuk kulit selebar telapak tangan
dengan lima buah kampak tersoreng di sana, sebil
Jodoh Rajawali 25 Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Kisah Sepasang Rajawali 25

Cari Blog Ini