Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id Bagian 11
ah kapak besar dengan empat kapak kecil.
Lelaki ketiga beralis tebal bermata besar, dagunya
dicukur klimis. Pada punggungnya tergantung sebilah
trisula baja yang lebih panjang dari perawakan tubuhnya, di
tangannya membawa tongkat iblis sementara di
pinggangnya terselip sebilah golok kepala setan yang amat
tebal. Senjata yang digunakan lelaki keempat tak lebih hanya
sebilah pedang biasa, meski perawakan tubuhnya tinggi
kekar, namun tampangnya bersih dan cukup tampan.
Lelaki kelima bertangan kosong, sepasang tangannya
nyaris mencapai lutut, bukan saja ukuran lengan itu
panjangnya istimewa, bahkan telapak tangannya lebih besar
satu kali lipat daripada telapak tangan orang biasa.
Walaupun dia tidak membawa senjata, namun pada ikat
pinggangnya penuh bergelantungan aneka macam barang
yang tak jelas benda apakah itu, tidak diketahui pula ada
berapa banyak jenis barang yang tergantung di situ,
sementara pada tengkuknya melingkar segulung tali
panjang begitu besar gulungan tali itu hingga kalau dilihat
dari kejauhan, seperti gerobak penjaja keliling yang menjual
aneka macam barang.
Kelima orang lelaki kekar itu tidak berteriak maupun
membentak, mereka pun tidak turun tangan, begitu tiba di
situ langsung berdiri siaga, gaya serta penampilan mereka
sangat menggetarkan hati setiap orang.
Begitu mereka tampil, suasana pun jadi hening seketika.
Tampak kelima orang itu saling bertukar pandang
sekejap, kemudian tampak lelaki pertama buka suara lebih
dulu. "Lotoa, beberapa manusia lilin itulah yang membuat
ulah, saudara- saudara dari Cing Siau-lin tewas di tangan
mereka." "Masakah manusia lilin pun bisa membunuh orang?"
sang Lotoa tertawa dingin, "Sialan, memang kau anggap
kita sudah bertemu setan?"
"Peduli mereka akan berubah jadi apa, lebih baik kita
hancurkan dulu patung-patung lilin itu."
"Ide bagus."
Lelaki bersenjata pedang itu meski berwajah paling
tampan, ternyata gerakan tubuhnya paling cepat, tahu-tahu
dia telah melolos pedangnya dan siap melakukan serangan.
Lelaki bersenjata kapak segera mencegah ulahnya.
"Tunggu sebentar!"
"Setelah tiba di sini, apa lagi yang harus kita tunggu?"
"Tunggu sejenak, lihat dulu kemampuanku!"
Lelaki bersenjata pedang itu tidak berebut lagi, sebab
Lotoa mereka pun menyetujuinya.
"Baik, kita saksikan dulu kebolehan Lo-ji."
Bukan mereka saja yang menyaksikan, orang lain pun
ikut menonton, semua orang ingin melihat dengan cara apa
Lo-ji mereka turun tangan.
Gerakan tubuh Lo-ji tidaklah terlalu cepat, mula-mula
dia maju dua langkah lebih dulu dengan gerakan lamban,
dari ikat pinggangnya ia meloloskan sebilah kapak yang
panjangnya hanya sepuluh inci, dengan ibu jarinya yang
dilumuri air ludah, dia basahi mata kapak... mendadak ia
bungkukkan badan sambil mengayunkan tangannya....
"Plaak!", desingan angin tajam membelah angkasa,
kapak kecil dalam genggamannya telah terlepas dari
tangannya dan membacok ke arah batok kepala
Pancapanah. Kungfu semacam ini teramat langka, jarang ada jago
persilatan yang mempelajari ilmu semacam ini, karena
kekuatan sebilah kapak jauh lebih besar daripada jenis Amgi
mana pun. Bukan hanya besar kekuatannya, kecepatan gerak pun
luar biasa, biar seekor harimau atau hewan buas pun tak
bakal tahan menghadapi ayunan kapak mautnya itu.
Pancapanah sama sekali tak bergerak.
Pancapanah itu tak lebih dari sebuah manusia lilin, tentu
saja ia tak mampu bergerak, akan tetapi ayunan kapak maut
itu pun sama sekali tidak mengenai batok kepalanya.
Kepandaian semacam ini seperti mempelajari ilmu pisau
terbang, yang paling susah dipelajari adalah menyerang
tepat sasaran. Ilmu itu baru dianggap berhasil apabila dari
jarak tiga puluh langkah, kau sanggup membelah sebiji
buah Tho dengan lemparan kapakmu.
Tak diragukan lagi, kungfu yang dimiliki lelaki itu telah
mencapai tingkatan seperti itu, bukan saja serangannya
cepat, bahkan tepat sasaran.
Setiap orang dapat menyaksikan dengan jelas, begitu
kapak itu dilontarkan, batok kepala manusia lilin itu pasti
akan terbelah jadi dua bagian.
Anehnya, lemparan kapak itu justru mengenai sasaran
kosong. Entah dikarenakan tenaga yang digunakan lelaki itu
kurang kuat ataukah disebabkan alasan lain, baru saja
lemparan kapak terbangnya tiba di atas kepala Pancapanah,
tiba-tiba saja dia kehilangan sasaran, lalu bagaikan sebuah
layang-layang yang putus tali, kapak terbang tadi mencelat
ke arah samping dan... "Praak!", menancap di atas meja
kasir. Berubah paras Lo-ji. Begitu pula dengan saudara angkat
lainnya. Berputar biji mata sang Lotoa, sengaja dia mengumpat
dengan kata-kata kotor, "Dasar bajingan tengik, makan
daging lebih banyak agar tanganmu lebih bertenaga,
maknya, kau justru pergi main nona, main sampai tangan
lemas kaki lemas, sialan, betul-betul memalukan."
Hijau membesi paras Loji, tidak menunggu hingga
umpatan sang Lotoa selesai, lagi-lagi dia melontarkan
sebilah kapak terbang.
Kali ini dia menyerang lebih cepat dan lebih tepat
sasaran, tenaga yang dipergunakan pun jauh lebih besar.
Kapak itu segera melesat membelah angkasa, di mana
desingan angin menyambar, tiba-tiba... "Buuk!", gagang
kapak tahu-tahu patah jadi dua bagian, begitu kehilangan
tenaga keseimbangan, kapak itu pun rontok ke tanah.
Lotoa masih mengumpat, kali ini dia mengumpat lebih
ganas dan kotor.
Namun sepasang matanya mengawasi terus sekeliling
tempat itu, sebab dia bersama saudara-saudaranya
memahami dua hal.
Sebilah kapak yang terbuat dari kayu kwalitas tinggi tak
mungkin patah jadi dua tanpa sebab.
Sampai di manakah kekuatan tenaga sambitan yang
dimiliki Lo-ji, tentu saja mereka tahu dengan sangat jelas,
kalau dibilang ia menyambit sasarannya sampai meleset,
pada hakikatnya keadaan itu bagaikan matahari terbit dari
langit barat. Tak mungkin tanpa sebab gagang kapaknya bisa patah
jadi dua, tak mungkin sambitan kapaknya meleset dari
sasaran, lalu apa yang sebenarnya telah terjadi"
Penjelasan yang paling masuk akal adalah hadirnya
seseorang. Ada seseorang, dari sebuah sudut yang tak gampang
terlihat orang lain, dengan sebuah ilmu yang tak gampang
diketahui orang, telah melepaskan sejenis senjata rahasia
yang tak mudah terlihat orang lain, sambitan senjata rahasia
itu memukul miring sambitan kapak pertama Lo-ji,
kemudian mematahkan gagang kapak pada sambitan yang
kedua. Tidak diragukan lagi orang itu pasti seorang jago
tangguh, jago daripada para jago.
Besar kemungkinan orang itulah yang telah meletakkan
manusia-manusia lilin itu di sana.
Walaupun kelima orang bersaudara itu berpikir
demikian, namun mereka sama sekali tidak bereaksi, karena
mereka tak dapat melihat kehadiran orang itu, tak melihat
pula senjata rahasia yang digunakan" Mereka hanya
melihat Siau-hong.
Siau-hong sendiri pun sedang mencari, mencari orang
yang berhasil mematahkan gagang kapak.
Belum lagi dia berhasil menemukan orang itu, orang lain
telah datang mencarinya.
Orang pertama yang datang menghampirinya adalah
pemuda berperawakan paling tinggi besar, berwajah
tampan, dan menggembol pedang itu.
Dia menatap Siau-hong beberapa saat, tiba-tiba tegurnya
sambil tertawa, "Baik-baikkah kau" Rasanya aku pernah
bertemu denganmu."
"O, ya?"
"Rasanya tadi aku telah bertemu dengan kau, bertemu
dengan dirimu di suatu tempat yang lain."
"O, ya?" tanya Siau-hong, "di mana kau pernah bertemu
aku?" "Di kantor dagang itu," kata pemuda berpedang itu
cepat, "Wajahmu mirip dengan wajah yang ada di sana...."
Siau-hong tertawa, sambil meraba wajah sendiri dia
tertawa. "Aku sendiri pun merasa agak mirip," kemudian
tanyanya kepada pemuda itu, "Siapa namamu?"
"Aku disebut Lo-su!"
"Lo-su?" kembali Siau-hong bertanya, "Lo-su siapa?"
"Lo-su dari Lotoa kami."
"Siapa pula Lotoa kalian?"
"Seseorang yang tak pandai membunuh orang," kata
Losu, "Dia hanya bisa menghajar orang seringkali tubuh
orang yang dihajarnya hancur-lebur jadi bubur daging."
Siau-hong menghela napas.
"Kalau begitu, dia pasti sangat lelah."
"Sangat lelah?"
"Siapa pun itu orangnya, menghajar tubuh orang lain
hingga hancur jadi bubur tentu membutuhkan tenaga
ekstra, masa dia tidak lelah?"
Losu tertawa dingin, mendadak tanyanya lagi kepada
Siau-hong, "Mana senjata rahasiamu?"
"Senjata rahasia apa?" Siau-hong balik bertanya.
"Senjata rahasia yang menghajar kapak tadi."
"Aku tidak mempunyai senjata rahasia," Siau-hong
masih tertawa, "Kalau aku memiliki senjata rahasia, bukan
kapak yang kusambit."
"Bukan menyambit kapak, lalu menyambit apa?"
"Menyambit manusia," Siau-hong tertawa gembira,
"Menyambit tubuh manusia pasti jauh lebih menarik
daripada menyambit kapak."
Lo-su pun tertawa.
Mereka berdua sama-sama tertawa, tapi siapa pun dapat
melihat mereka bukan benar-benar merasa geli.
Di saat sedang tertawa tergelak, tatapan mata mereka
tertuju pada tangan lawan.
Tangan yang menggenggam pedang.
Gelak tawa Lo-su jauh lebih keras daripada gelak tawa
Siau-hong mendadak tanyanya lagi, "Kau pun pandai
menggunakan pedang?"
"Bisa sedikit," sahut Siau-hong, "Hanya sedikit sekali."
"Bagus, kebetulan aku pun mengerti soal pedang, aku
pun hanya mengerti sedikit."
Begitu perkataan itu diucapkan, semua orang pun
memahami maksud ucapannya.
Lo-su telah memastikan kalau Siau-hong ada sangkutpautnya
dengan beberapa manusia lilin dalam kantor
dagang Eng-ki. Sekalipun dia bukan jagoan yang
merontokkan kapak terbang, paling tidak dari dirinya ia bisa
memaksa munculnya jagoan itu.
Siau-hong sama sekali tidak menyangkal, karena dia tahu
menyangkal pun tak ada gunanya.
Pedang berada dalam genggaman Lo-su, begitu pula
dengan Siau-hong.
Lo-su berencana hendak menggunakan pedangnya untuk
memaksa Siau-hong mengatakan rahasia itu.
Siau-hong pun tidak berusaha berkelit atau
menghindarkan diri.
Tinggi badan Lo-su tujuh kaki satu inci, kaki maupun
tangannya sangat besar, namun gerakan tubuhnya gesit dan
lincah, otot dan daging rubuhnya tampak sangat kenyal.
Sebaliknya Siau-hong bukan saja tampak pucat dan sayu,
bahkan kelihatan lemah sekali.
Siapa kuat siapa lemah sudah jelas terpampang di depan
mata, setiap orang berpendapat Siau-hong pasti akan
menderita kekalahan.
Terkecuali Che Siau-yan.
Hanya dia yang tahu kalau Lo-su tak bakal sanggup
menghadapi tiga jurus serangan Siau-hong.
Diiringi bentakan nyaring, tampak cahaya pedang
berkilauan di udara, dalam waktu singkat Lo-su telah
melancarkan delapan buah tusukan, di balik setiap jurus
serangan terselip jurus serangan lainnya yang terangkai
menjadi delapan buah serangan berantai, jurus serangan itu
tampak jauh lebih ganas dan dahsyat ketika digunakan
lelaki tinggi besar ini.
Tapi sayang, jangankan melukai tubuh lawan,
menyentuh ujung baju Siau-hong pun tak sanggup.
Siau-hong hanya melepaskan sebuah tusukan.
Dia memutar badan, mencabut pedang, dan melepaskan
sebuah tusukan, tahu-tahu serangannya sudah mengancam
tenggorokan Lo-su.
Lelaki tinggi besar itu harus mengerahkan seluruh
tenaganya sebelum berhasil menghindarkan diri dari
serangan itu. Ia melambung ke tengah udara dan berjumpalitan
beberapa kali, walaupun berhasil menghindari tusukan
maut itu, namun tak dapat memilih jalan mundur sesuai
dengan kehendak hati.
Sewaktu badannya melayang turun, ia telah berada
dalam kantor dagang Eng-ki.
Di dalam kantor dagang Eng-ki hanya ada beberapa
orang lilin yang tak bernyawa, tak punya perasaan, dan
Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sama sekali tak bisa bergerak.
Tapi begitu tubuhnya melayang turun, sinar matanya
segera memancarkan perasaan tercengang ngeri, dan takut
yang luar biasa, setiap bagian otot dan daging tubuhnya
mulai menyusut karena takut, mendadak kehilangan
kekenyalannya, berubah jadi kejang, kaku, dan layu.
"Lo-su, cepat mundur! Cepat mundur!" saudara-saudara
angkatnya serentak berteriak lantang.
Sebetulnya dia sendiri pun ingin mundur dari situ, hanya
sayang keadaan sudah terlambat.
Dia berusaha meronta, masih mencoba menerjang maju,
menggunakan pedang yang berada dalam genggamannya
untuk membacok dan menusuk manusia-manusia lilin tak
bernyawa itu. Tapi dalam waktu yang teramat singkat itulah seluruh
persendian, seluruh ruas tulang yang ada di tubuhnya
seolah kehilangan kendali, bukan hanya air mata dan ingus
yang meleleh, air seni dan kotoran pun ikut meleleh,
lambat-laun tubuhnya semakin berkerut dan akhirnya
menggumpal jadi sebuah bulatan.
Hanya saja dia belum tewas, masih tersisa sedikit napas
dalam dadanya, mendadak dia membentak keras, dengan
mengerahkan sisa kekuatan yang dimilikinya dia
melontarkan pedang dalam genggaman ke depan.
Tampak cahaya pedang berkelebat, "Bruk!", pedang itu
langsung menghujam di atas dada Po Eng, menusuk masuk
dari dada dan tembus di belakang punggungnya.
Sayangnya Po Eng yang terkena tusukan pedang tak
lebih hanya manusia yang terbuat dari lilin.
Dalam pada itu Lo-su sudah roboh ke tanah, tubuhnya
semakin menyusut, seorang lelaki yang dulunya tinggi
besar, dalam waktu sekejap telah berubah jadi sesosok
manusia kering, manusia yang kehabisan darah dan
kehilangan daging tubuh.
Oleh karena itu dia sudah tak dapat menyaksikan hasil
lemparan pedangnya itu.
Tapi saudara-saudaranya belum mati, tiba-tiba saja paras
mereka menampilkan perasaan ngeri, takut, seram, dan
tercengang yang aneh, sebab mereka telah menyaksikan
sesuatu. Setiap orang yang sepasang matanya masih bisa melihat,
segera memperlihatkan perubahan mimik muka yang sama,
bahkan tak terkecuali Siau-hong sendiri.
Karena dia pun seperti mereka, telah menyaksikan suatu
peristiwa yang meski telah disaksikan dengan mata kepala
sendiri, namun sukar dipercaya dengan akal sehat.
Mereka menyaksikan Po Eng sedang mengucurkan
darah segar! Bukankah Po Eng yang berada di sana hanyalah sebuah
manusia lilin yang tak bernyawa, tak berperasaan dan tak
punya darah" Mengapa dari tubuhnya bisa mengucurkan
darah segar"
Po Eng benar-benar sedang berdarah, darah segar!
Setetes demi setetes darah mengalir melewati ujung
pedang, lalu dari ujung pedang meleleh ke lantai.
Dia sama sekali tak bergerak, mimik mukanya tidak pula
menunjukkan perubahan apa pun.
Karena dia tak lebih hanya sebuah manusia lilin, paling
tidak dipandang dari luar, dia memang sesosok manusia
yang terbuat dari lilin.
Namun bila ditinjau dari sudut pandang lain, siapa pun
tahu, sesosok manusia lilin tak mungkin bisa mengucurkan
darah. Sama sekali tak mungkin, mustahil bisa terjadi! Lalu
dari mana datangnya darah"
Apakah manusia lilin itu hanya penampilannya saja
sebagai manusia lilin, padahal sesungguhnya bukan"
Kalau manusia lilin ini sesungguhnya bukan manusia
lilin, mengapa penampilannya justru sesosok manusia lilin"
Sebuah pertanyaan yang membingungkan, sebuah
pemikiran yang membingungkan juga, sedemikian
membingungkan sehingga terkesan menakutkan.
Tiba-tiba Siau-hong merasakan sekujur badannya
dibasahi keringat dingin, karena dari dalam hatinya muncul
pula sebuah pemikiran yang menakutkan dan
membingungkan. Tiba-tiba ia menerjang maju.
Dia ingin menerjang masuk ke dalam kantor dagang
Eng-ki untuk mencari jawaban dari pertanyaan ini.
Dia hanya ingin mencari jawaban dari persoalan ini dan
melupakan perkataan yang pernah disampaikan orang tua
itu padanya. Asal kau memasuki pintu gerbang Eng-ki, maka
nyawamu bakal melayang, peduli siapa pun itu orangnya.
Ucapan itu terdengar amat tak masuk akal, jarang ada
orang yang mempercayainya, tapi setelah menyaksikan
dengan mata kepala sendiri kematian Losu, siapa pun harus
mempercayai ucapan itu, siapa pula yang tak mau
mempercayainya"
Mimik wajah Lo-su menjelang kematian terlihat begitu
ketakutan dan ngeri, sebuah penampilan yang tak mungkin
bisa terlupakan untuk selamanya.
Sayang Siau-hong telah melupakannya.
Dalam waktu sekejap dia seolah telah melupakan
segalanya, semua kejadian yang membangkitkan rasa sedih,
gusar, ngeri, dan takut, sudah tak dapat lagi mempengaruhi
jalan pikirannya.
Dalam waktu sekejap dia hanya menguatirkan satu hal,
seseorang. Po Eng! Tengah malam yang sepi, dingin dan berkepanjangan di
tengah gurun, arak yang lebih keras daripada hembusan
angin gurun, persahabatan yang lebih kental dari arak,
semua itu tak akan terlupakan selamanya.
Seorang lelaki harus ternama.
Meneguk arak harus mabuk.
Berkeluh-kesah setelah mabuk, itulah ucapan paling
sejati. Po Eng di manakah kau sekarang" Masih hidupkah
kau" Ataukah telah mati"
Mengapa kau bisa mengucurkan darah" Siau-hong bukan
seorang Enghiong.
Jarang sekali ada orang menganggapnya sebagai
Enghiong, dia sendiri pun tak ingin menjadi seorang
Enghiong. Dia hanya berharap bisa menjadi seorang biasa,
melakukan pekerjaan biasa, melewati hari-hari dengan
kehidupan yang biasa.
Tapi dia memiliki jiwa pemberontak.
Setiap kali menyaksikan kejadian yang tak adil, melihat
tingkah laku manusia yang tak adil, dia akan berontak,
tanpa berpikir panjang dan tanpa peduli segala resiko dia
pasti akan berusaha membuat adil masalah yang terjadi di
depan mata, membuat orang-orang yang berbuat tak adil
bisa menerima keputusannya.
Siau-hong pun memiliki semangat, semangat yang
membuatnya tak pernah menyerah, tak pernah bertekuk
lutut. Jika orang lain tidak memaksanya, dia akan tampil
sebagai manusia damai, tak ingin ribut dengan orang, tak
ingin pula berebut dengan orang lain, dalam semua
masalah. Tapi bila ada yang memaksanya, semangat itu akan
muncul. Di saat semangat itu timbul, peduli orang lain sedang
merayunya atau sedang mengancamnya, dia tak peduli, biar
ada golok yang dipalangkan di atas tengkuknya pun dia tak
peduli. Belakangan sikap Siau-hong sudah jauh lebih tenang,
setiap orang yang pernah kenal dengannya berpendapat
bahwa dia jauh lebih tenang, jauh lebih pandai
mengendalikan diri.
Dia sendiri pun beranggapan dirinya jauh lebih tenang
sudah banyak belajar cara untuk mengendalikan diri.
Ada banyak kali dia selalu membuktikan akan hal itu,
tapi sekarang tiba-tiba saja ia kehilangan kendali, tiba-tiba
saja emosinya meledak-ledak. Dia seolah sudah melupakan
sama sekali peringatan yang selalu muncul di hati kecilnya,
seolah tak menggubris lagi kata nasehat hati sanubarinya.
Apabila dikarenakan urusan pribadi, belum tentu dia
akan bersikap seperti ini.
Tapi demi sahabat, demi Po Eng, setiap saat dia dapat
meninggalkan segalanya. Setiap saat ia dapat
menumbukkan kepala sendiri ke atas dinding biarpun di
atas dinding terdapat tiga ratus delapan puluh batang paku
yang tajam pun dia tak peduli, ia tetap akan menumbukkan
kepalanya ke dinding.
Karena begitulah wataknya, sejak lahir dia telah
mempunyai tabiat dan jiwa semacam itu, Siau-hong
memang selalu Siau-hong yang nekat, Siau-hong yang tak
takut mati. Mengapa manusia lilin dapat melelehkan darah"
Jawaban yang paling masuk akal hanyalah satu.
Di balik manusia lilin pasti terdapat seseorang, seorang
yang bisa berdarah, bukankah hanya manusia hidup yang
dapat melelehkan darah"
Ketika masih kecil dulu, Siau-hong pernah mendengar
sebuah cerita, sebuah cerita yang amat menakutkan.
Zaman dahulu, dahulu sekali, di dalam sebuah negeri
yang amat jauh, hidup seorang Taysu pembuat manusia
lilin, setiap manusia lilin hasil karyanya tak jauh berbeda
seperti manusia hidup, khususnya bila manusia lilin itu
berwajah seorang gadis, hampir setiap pria yang melihatnya
akan terpikat dan jatuh cinta.
Pada saat bersamaan, dari beberapa desa pelosok negeri
itu tersiar berita kalau seringkali ada sekawanan gadis yang
hilang secara misterius, opas paling tersohor dan paling
berpengalaman pun gagal menelusuri kasus ini serta
menemukan jejak kawanan gadis yang hilang itu.
Kasus yang penuh misteri itu akhirnya berhasil
dibongkar oleh seorang ibu yang sedang bersedih hati,
terbongkar tanpa sengaja.
Ibu ini nyaris jadi gila karena kehilangan anak gadisnya,
untuk menghibur hati istrinya yang sedih, sang suami pun
mengajaknya berjalan-jalan ke kota besar.
Di dalam kota besar itu hidup seorang familinya yang
berduit, kebetulan saudaranya kenal baik dengan Taysu
pembuat patung lilin itu, maka mereka pun diajak ke
bengkel kerjanya untuk menikmati hasil seninya yang maha
indah. Tatkala sang ibu melihat salah satu patung lilin yang
berjajar di sana, tiba-tiba ia jatuh tak sadarkan diri.
Karena mereka saksikan patung lilin itu persis sama
dengan wajah putrinya, bahkan di bawah remangremangnya
cahaya lentera, pada hakikatnya patung lilin itu
persis sama dengan putrinya.
Ketika tersadar kembali dari pingsannya, dia pun
memohon kepada Taysu itu agar menjual patung lilin itu
kepadanya, berapa pun harga yang diminta, sang ibu
bersedia membelinya, sekalipun dia harus menjual seluruh
harta kekayaan miliknya.
Tapi permintaan itu ditolak sang Taysu.
Hasil karya sang Taysu tak akan diberikan kepada siapa
pun dengan harga berapa pun.
Sang ibu yang sedih amat kecewa dan pedih, ketika
bersiap akan pergi meninggalkan tempat itu, mendadak satu
kejadian yang menakutkan berlangsung di depan mata.
Patung lilin bocah perempuan itu tiba-tiba melelehkan air
mata, air mata berwarna merah, air mata darah.
Ibu yang teramat sedih itu tak sanggup mengendalikan
diri lagi, tanpa pikir panjang ia menubruk ke muka,
memeluk patung lilin itu.
Tiba-tiba patung lilin hancur, lapisan luarnya retak
kemudian hancur, ternyata di dalamnya berisi sesosok
tubuh manusia, walaupun bukan manusia hidup, namun
sesosok manusia yang punya daging dan darah.
Dan orang yang berada dalam patung lilin itu tak lain
adalah putri sang ibu yang hilang.
Maka rahasia sang Taysu pun terbongkar, ternyata
semua hasil karyanya terbuat dari manusia hidup yang
diberi lapisan lilin.
Ketika masih sangat kecil dulu, Siau-hong pernah
mendengar sebuah cerita, sebuah cerita yang amat
menakutkan. Menurut cerita kuno, bila seseorang mati di negeri orang,
mati penasaran, sewaktu bertemu dengan sanak
keluarganya, dari tubuh jenazahnya akan mengalir keluar
darah, darah yang meleleh dari ke tujuh lubang inderanya.
Oleh sebab itu orang mati bukan berarti pasti tak akan
mengeluarkan darah lagi.
Kisah semacam ini sudah begitu mengakar dalam benak
Siau-hong, karena itu begitu melihat darah meleleh dari
patung lilin Po Eng, tiba-tiba saja dia teringat akan kisah
itu. Apakah patung lilin Po Eng pun dibuat dengan cara yang
sama dengan kisah cerita itu"
Benarkah di balik patung lilin itu adalah Po Eng asli"
Teringat akan hal ini, Siau-hong pun segera menerjang
maju. Dia harus menemukan jawaban dari pertanyaan ini,
bagaimana pun juga dan apa pun yang bakal terjadi, dia
harus menemukan jawabannya.
Tentang keselamatan sendiri, mengenai mati hidupnya,
pada hakikatnya dia sama sekali tak peduli.
Oleh sebab itu pada detik terakhir, dia telah melupakan
semua persoalan lain, dia telah membuang jauh semua
persoalan lain yang mengganjal hatinya selama ini.
Orang-orang yang berdiri di luar kantor dagang Eng-ki
sama sekali tak menyangka kalau Siau-hong bakal
menerjang masuk ke dalam kantor, meski dengan mata
kepala sendiri ia telah menyaksikan kematian Losu yang
tragis, termasuk Che Siau-yan.
Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi pemuda itu telah menerjang masuk ke dalam
gedung. Sungguh cepat gerakan tubuhnya, jauh lebih cepat dari
bayangan kebanyakan orang, tapi setelah menerjang ke
dalam, mendadak dia menghentikan gerakannya, seolaholah
terkena sihir secara tiba-tiba, badannya sama sekali
berhenti bergerak.
Target sasarannya selama ini adalah patung lilin Po Eng
yang mengeluarkan darah.
Tapi ketika badannya terhenyak dan berhenti secara tibatiba
tadi, sorot matanya justru berpaling mengawasi patung
lilin yang lain.
Di saat sepasang matanya menatap patung lilin itulah
tiba-tiba tubuhnya terhenyak lalu berhenti.
Setelah itu wajahnya menunjukkan mimik muka yang
sangat aneh, mimik muka seperti wajah Lo-su menjelang
kematiannya. Sorot matanya dipenuhi rasa ngeri dan kaget, otot dan
daging wajahnya mengejang, lalu seolah menyusut.
Apa yang telah dilihatnya"
Apa yang terlihat oleh Siau-hong, kecuali dia sendiri,
siapa pun tak akan percaya, bahkan dia sendiri pun sulit
untuk mempercayainya.
Tiba-tiba saja dia menyaksikan sepasang mata milik
sendiri. Dia pun telah melihat mimik muka dan sorot mata
sendiri yang tak mungkin bisa diceritakan dengan
perkataan. Semacam perasaan benci, dendam, dan penuh
cemoohan. Siapa yang dapat memandang dirinya menggunakan
sorot mata semacam ini"
Tentu saja yang dilihat Siau-hong bukan dirinya sendiri,
dia hanya menjumpai patung lilin yang nyaris tak jauh
berbeda dengan dirinya.
Tapi pada detik itu pula, dia benar-benar mempunyai
perasaan semacam itu, benar-benar merasa dia sedang
menatap diri sendiri, seolah secara tiba-tiba dirinya terbelah
jadi dua orang.
Suatu kejadian yang mustahil, tak mungkin terjadi.
Ooo)d*w(ooO BAB 35. BUKAN ANAKMU
Sekalipun kau sedang bercermin pun, seharusnya kau
tahu kalau orang yang berada di balik cermin bukanlah
dirimu yang sesungguhnya, bayangan di balik cermin hanya
sebuah bayangan, sebuah ilusi.
Peristiwa semacam ini hanya bisa terjadi dalam impian,
bahkan biasanya adalah impian buruk.
Sekarang Siau-hong bukan sedang bermimpi.
Dia tak ingin memandang diri sendiri.
Tapi tubuhnya telah terhenti, sinar matanya telah
terhisap oleh kemunculan dirinya yang lain.
Tiba-tiba saja muncul perasaan ngeri dan seram yang
luar biasa, dia ingin secepatnya melarikan diri, kabur
meninggalkan tempat itu.
Tapi tubuhnya sudah tak mampu bergerak lagi, sinar
matanya sudah tak sanggup bergeser lagi.
Saat itulah tiba-tiba ia merasakan matanya sakit sekali,
seperti ada sebatang jarum yang menusuk matanya,
membuat seluruh badannya terpantek mati di atas tanah.
Ia merasa sekujur badannya seolah-olah sakit sekali, linu,
kaku, dan mati rasa, ia dapat merasakan semua siksaan itu.
Tapi sayang ia sudah sama sekali kehilangan kekuatan
dan kemampuan untuk bergerak.
Apakah begini pula perasaan Lo-su menjelang
kematiannya"
Dia seolah mendengar Che Siau-yan sedang berteriak
memanggil, suaranya dipenuhi rasa panik, gelisah, cemas,
dan perhatian. Tapi ia sudah tak dapat mendengar lebih jelas lagi.
Biarpun tangannya masih menggenggam pedang Mogan,
namun tidak memiliki kekuatan untuk melepaskan
tusukan. Karena dia sudah sama sekali dikuasai sepasang mata
dirinya yang lain, ia sudah melihat neraka dari balik mata
itu. Bara api masih menyala dengan garangnya, nyala api
seolah muncul dari empat penjuru.
Langit runtuh tanah merekah, batu pasir beterbangan di
seluruh angkasa.
Semua patung lilin yang tak bernyawa itu mendadak
memperoleh kehidupan di tengah baranya api, tiba-tiba
mereka melompat bangun dan berlompatan menuju ke arah
kerumunan manusia.
Suasana jadi panik, kegaduhan terjadi di mana-mana,
menyusul terdengar jeritan ngeri yang memilukan
berkumandang silih berganti.
Cahaya darah mulai memercik di tengah jilatan api.
Tempat ini bukan neraka, juga bukan khayalan dari balik
neraka. Siau-hong tahu semuanya bukan suatu kenyataan.
Tapi dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri.
Setelah menyaksikan pemandangan yang sangat
menakutkan, dia pun jatuh tak sadarkan diri, sebelum
mengetahui dengan jelas apa gerangan yang sebenarnya
terjadi, ia sudah jatuh tak sadarkan diri.
Ooo)d*w(ooO Samudra nan biru. Gulungan ombak nan biru.
Matahari bersinar cerah, memantul di atas permukaan
air laut yang tenang. Di bawah cahaya sang surya, gulungan
riak kecil lembut dan hangat bagaikan kerlingan mata
seorang kekasih.
Kerlingan mata kekasih pun lembut dan hangat,
selembut gulungan riak nan biru.
Semua ini bukan ilusi, bukan khayalan, Siau-hong
menyaksikan dengan mata kepala sendiri.
Sewaktu tersabar kembali, yang terlihat olehnya hanya
warna serba biru, begitu biru, begitu indah, begitu lembut.
Di tempat ini sama sekali tak ada lautan, yang dia
saksikan pun bukan riak ombak.
Ia menjumpai cahaya matahari, cahaya matahari
berwarna biru. Ketika tersadar, Siau-hong melihat Yang-kong sedang
menatap ke arahnya, menatap begitu halus dan lembut
bagaikan riak ombak.
Benarkah semua ini" Benarkah bukan ilusi" Bukan
khayalan" Yang-kong, mengapa kau bisa berada di sini" Siau-hong
tidak percaya. Jangan-jangan tempat ini adalah neraka" Mungkinkah
aku telah sampai di neraka"
Bukankah dalam neraka pun terkadang akan muncul
suatu pemandangan indah" Seperti fatamorgana yang
dilihat mereka yang tersesat di tengah gurun pasir"
Ingin sekali Siau-hong mengulur tangan untuk mengucek
mata. Tapi tangannya terasa lemas, sedemikian lemasnya
hingga sama sekali tak bertenaga.
Tangannya kemudian dapat terangkat, ini dikarenakan
Yang-kong telah menggenggam tangannya.
Tangan yang dingin, air mata yang dingin.
Air mata telah meleleh, membasahi wajah Yang-kong.
Dalam waktu sesaat itu, dia seakan tak pernah akan
melepaskan kembali genggamannya pada tangan Siauhong.
Tapi apa mau dikata, ia justru dengan cepat
melepaskannya kembali.
Sebab selain mereka berdua, di dalam ruangan yang
lembut dan hangat itu masih hadir tiga orang lainnya.
Akhirnya Siau-hong dapat menyaksikan kehadiran ketiga
orang itu. Dua orang dewasa dan seorang anak-anak.
Orang yang berdiri di ujung ranjang Siau-hong adalah
Che Siau-yan. Dia hanya berdiri tenang di tempat itu, berdiri sambil
mengawasi Siau-hong dan Yang-kong, mengawasi setiap
gerak-gerik, perubahan mimik muka mereka berdua.
Sementara dia sendiri sama sekali tak memperlihatkan
perubahan apa pun, dia seolah sudah kaku, sudah mati
rasa. Apa yang bisa ia perbuat" Apa yang bisa dia katakan"
Selain dia masih hadir seorang yang lain, berdiri jauh di
sudut ruangan, ia berdiri sambil membopong seorang
bocah. Perempuan itu mengenakan baju berwarna abu-abu
muda, wajahnya yang putih sama sekali tidak berbedak,
rambutnya yang hitam digulung jadi sebuah sanggul,
sepasang matanya yang indah memancarkan perasaan duka
yang tawar dan apa boleh buat.
Dalam gendongannya terlihat seorang bocah yang
mengenakan baju warna merah.
Soso! Ternyata Soso pun hadir di sana.
Tak diragukan, bocah yang berada dalam bopongannya
tak lain adalah putra Siau-hong.
Siau-hong merasakan hatinya sakit, sakit seperti ditusuk
jarum tajam. Mengapa Soso berada di situ" Mengapa Yang-kong
berada di situ" Di manakah ia sekarang" Mengapa ia bisa
berada di situ"
Apakah semua kejadian yang dilihatnya di kantor
dagang Eng-ki hanya sebuah ilusi" Atau mungkin kejadian
sungguhan" Apa yang sebenarnya telah terjadi"
Ke mana perginya patung-patung lilin yang misterius dan
menakutkan itu"
Yang paling membuat Siau-hong tak dapat melupakan
tentu saja sepasang mata itu, sepasang mata penuh
kebencian. Dia tidak menanyakan semua persoalan itu, sebab dia
sama sekali tak tahu pertanyaan itu harus ditujukan kepada
siapa. Ranjang yang lembut, seprei yang bersih, ingin sekali
berbaring terus di sana, berbaring sepanjang hidup.
Tapi mau tak mau dia harus bangkit....
Akhirnya dia meronta bangkit, mengulurkan sepasang
lengannya, seolah ingin memeluk salah seorang di
antaranya. Di situ hadir tiga orang wanita.
Tiga orang wanita yang pernah mempengaruhi jalan
hidupnya, yang membuat dia tak pernah dapat melupakan
untuk selamanya.
Ketiga orang wanita itu pun pernah menjalin hubungan
dan perasaan yang aneh, kacau dan mendalam dengan
dirinya. Lalu siapa yang akan dirangkulnya saat ini"
Siau-yan mengharapkan pelukan dari Siau-hong.
Soso pun mendambakan pelukan Siau-hong. Tapi Siauhong
menubruk ke arah Soso.
Yang dia rangkul dan peluk bukan Soso, melainkan
bocah yang berada dalam gendongan Soso.
Dia peluk bocah yang belum pernah dilihat sebelumnya
itu kencang-kencang.
Air mata, tentu saja air mata jatuh berlinang membasahi
wajah Siau-hong.
Bukankah seorang Enghiong pantang melelehkan air
mata" Siau-hong melelehkan air mata, apakah dikarenakan dia
bukan seorang Enghiong"
Siau-hong mencintai Soso, tapi mereka telah berpisah
dalam waktu yang amat panjang.
Siau-hong mencintai Siau-yan, tapi semacam perasaan
lain selalu tumbuh di dasar hatinya, suatu saat mereka pasti
akan berpisah. Satu-satunya hubungan yang terjalin, khususnya terjalin
dari sedarah sedaging hanya anak dia sendiri.
Anak dia bersama Soso, anak yang berada dalam
gendongannya. Tiba-tiba ia merasakan, perasaannya terhadap bocah
yang berada dalam rangkulannya itu kacau dan mendalam.
Cinta kasih bukan berarti tak akan menipis dan
menghilang, tapi cinta yang selama hidup tak pernah
menipis, tak pernah menghilang justru jarang sekali.
Cinta kasih gampang sekali memudar lalu menghilang,
lenyap tak berbekas.
Dipisahkan oleh gunung nan tinggi, sungai nan panjang
dan jurang nan lebar, cinta kasih seseorang akan memudar
secara lambat, kemudian lenyap di tengah dunia yang keji.
Sorot mata Siau-hong, sorot mata yang lembut, kini
semuanya ditumpahkan ke wajah bocah itu.
Si bocah dengan membelalakkan matanya yang bening
balas menatapnya dengan polos.
Tiba-tiba Siau-hong merasakan hatinya amat sakit, sakit
sekali seperti ditusuk jarum.
Karena secara tiba-tiba bocah itu mengulum tertawa,
tawa bocah itu seperti senyuman Soso.
Sekali lagi Siau-hong memeluk bocah itu dan mendekap
di dalam pelukannya.
Siau-hong memandang Siau-yan sekejap, lalu
memandang pula Soso.
Di dalam benaknya segera terlintas bayangan di sana ia
hidup berbahagia bersama kedua orang perempuan itu.
Semua kegembiraan, kesenangan, tak pernah akan
terlupakan sepanjang masa.
Perasaan cintanya terhadap kedua orang perempuan itu
pun kalut tapi mendalam.
Che Siau-yan menggunakan sorot mata yang aneh
mengawasi wajah Siau-hong tanpa berkedip.
Tidak demikian dengan sorot mata Soso, tak ada
keanehan ataupun rasa tercengang, karena dia sangat
memahami perasaan Siau-hong.
Karena dia adalah ibu dari anak itu, Siau-hong adalah
ayah dari anak itu, cinta seorang ibu terhadap putranya
Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperti seorang ayah mencintai anaknya.
Di tengah kesulitan, setelah lolos dari musibah, ketika
tiba-tiba ia menjumpai dirinya sudah mempunyai anak, lalu
ketika secara tiba-tiba bersua dengan bocah itu,. Semua
pukulan batin serasa datang saling menyusul dan langsung
menyentuh kantung air matanya.
Dengan pandangan penuh perasaan cinta, Soso
memandang sekejap Siau-hong serta bocah yang berada
dalam pelukannya, tiba-tiba perempuan itu merasakan
segumpal aliran hangat muncul dalam lubuk hatinya.
Dia selamanya tak pernah menduga kalau kasih sayang
seorang ayah pun begitu mendalam, begitu mengharukan.
Selama ini dia hanya tahu kasih seorang ibu.
Cinta seorang ibu itu alami, sejak hamil, sejak jabang
bayi terbentuk dalam rahimnya, akan muncul semacam
perasaan yang aneh dan khas dalam tubuh sang ibu dan
perasaan itu dengan cepat akan berubah menjadi cinta
kasih. Sebelum sang bayi dilahirkan ke dunia ini, dia telah
memperoleh kasih sayang dan perhatian penuh dari ibunya.
Berbeda sekali dengan kasih sayang seorang ayah.
Seorang ayah baru akan mencintai anaknya setelah dia
melihat sang jabang bayi lahir dari rahim ibunya, setelah
turun ke dunia ini.
Sejak pandangan pertama melihat putranya, saat itulah
cinta seorang ayah telah dimulai.
Cinta seorang ibu itu merupakan takdir, sementara cinta
seorang ayah harus dipupuk mengikuti berjalannya sang
waktu. Cinta seorang ayah kepada putranya merupakan
semacam cinta yang harus dipelajari.
Yang membuat Soso sangat terharu adalah setelah
menyaksikan betapa mendalamnya perasaan cinta Siauhong
terhadap putranya.
Tiba-tiba ia menerjang maju dan memeluk Siau-hong
serta bocah itu erat-erat.
Dengan lemah lembut Siau-hong mengalihkan tatapan
matanya ke wajah Soso, sinar matanya terlintas pula
perasaan terima kasihnya yang mendalam.
Berterima kasih kepada perempuan itu karena telah
memberi keturunan kepadanya.
Setelah mempunyai keturunan, biar mati pun dia tak
akan menyesal. Setelah mempunyai keturunan, perasaannya menjadi
lebih cerah, lebih terbuka.
Dia tak perlu takut lagi menghadapi kematian, dia pun
tak perlu takut menghadapi ancaman bahaya maut.
Setiap saat ia bisa saja pergi mati, demi Po Eng, demi
Soso, demi Yang-kong, demi Che Siau-yan.
Ketika baru mendusin dari pingsannya tadi, Siau-hong
mengira dirinya telah dijebloskan ke dalam neraka, tapi
sekarang dia tahu, dirinya sama sekali tidak masuk ke
dalam neraka. Orang yang masuk ke dalam neraka sudah pasti bukan
dirinya. Sekalipun masuk ke dalam neraka, yang dia masuki tak
lain adalah neraka "Kalau bukan aku yang masuk neraka,
siapa yang akan masuk neraka".
Sebab secara tiba-tiba ia bertekad untuk melakukan
"Kalau bukan aku yang masuk neraka, siapa yang akan
masuk neraka".
Dia bertekad akan menyelidiki dan mengungkap
peristiwa ini hingga jelas dan tuntas.
Sekalipun harus membayar mahal, sekalipun harus
berkorban dan kehilangan nyawa, dia tetap bertekad akan
menyelidiki peristiwa ini, mengungkap siapa dalang yang
menyiapkan semua intrik dan rencana busuk ini.
Dia tahu dan percaya, kasus ini pasti terungkap, sebab
dia sudah tak punya beban lagi, sudah tak ada yang
dirisaukan lagi.
Jalan pikirannya pun tak akan mengalami pukulan
hingga berantakan karena terancam oleh bayang-bayang
kematian. Bagi seseorang yang tak takut langit tak takut bumi, ilmu
pedangnya pasti dapat digunakan hingga mencapai
kemampuan seratus persen.
Dia tahu, sekarang adalah saatnya untuk mengajukan
pertanyaan. Tapi ia tidak bertanya apa-apa. Dia
membopong anaknya terlebih dahulu.
Siau-hong bukan nabi, dia tak akan bisa jadi seorang
nabi, dia pun tak ingin menjadi nabi.
Di sudut paling rahasia hati kecilnya, mungkin saja dia
ingin sekali memeluk Che Siau-yan terlebih dahulu.
Karena dia adalah lelaki pertama bagi gadis itu, dia telah
mempersembahkan keperawanan yang paling berharga,
kesuciannya untuk lelaki ini.
Dalam hal seperti ini, bukan saja sulit bagi seorang
wanita untuk melupakannya, begitu juga bagi seorang
lelaki. Di sudut lain yang paling rahasia dari hati kecil Siauhong
dia pun ingin memeluk Yang-kong.
Baginya Yang-kong adalah seorang gadis yang bukan
saja cantik jelita bahkan seorang gadis yang buta karena
cinta, dia tahu sepanjang hidup tak mungkin dia pernah
bisa memperoleh gadis ini secara utuh.
Tapi dia menyukai gadis itu, bukan hanya suka, bahkan
sangat menghormatinya.
Dia telah mencampur adukkan perasaan cintanya
terhadap Yang-kong dengan persahabatannya dengan Po
Eng. Siau-hong pun seorang lelaki.
Soso juga seorang wanita, seorang wanita yang sangat
feminim, bahkan boleh dibilang setiap inci tubuhnya, dari
ujung rambut hingga ujung kaki, semuanya kelewat berbau
wanita. Siau-hong tak mungkin bisa melupakan perempuan ini.
Perasaan cintanya, kelembutan hatinya, pelukan dan
rayuannya, tak mungkin bisa terlupakan oleh lelaki mana
pun. Jadi kalau ditanya sejujurnya, sesungguhnya orang yang
paling ingin dipeluknya saat ini adalah Soso.
Tapi kenyataan, dia memeluk dan menggendong
putranya terlebih dulu.
Hal ini bukan dikarenakan cinta seorang ayah, hubungan
perasaan seorang ayah dan anak harus dipupuk dan tumbuh
dari berjalannya sang waktu, butuh dipupuk dan dibina.
Dia memeluk bocah itu terlebih dulu mungkin karena dia
berharap adanya keseimbangan, semacam cinta kasih yang
seimbang, semacam keseimbangan yang dapat membuat
gejolak hatinya stabil dan memperoleh ketenangan.
Bagaimana pun juga dia telah melakukan hal ini.
Diam-diam Che Siau-yan mundur ke belakang, perlahanlahan
Yang-kong duduk kembali, duduk di atas bangku
dekat pembaringan.
Mendadak Soso tertawa, suara tawanya aneh sekali.
Di balik suara tawanya seakan terselip sindiran dan
cemoohan yang amat keji, seperti tatapan matanya saat itu.
Dia menatap Siau-hong sambil tertawa, mendadak
tanyanya, "Kau sangka bocah itu benar-benar adalah
putramu?" "Memangnya bukan?"
"Bukan," jawab Soso, "Tentu saja bukan."
Kemudian dengan suara dingin lanjutnya, "Kenapa kau
tidak mencoba untuk berpikir, mana mungkin Lu-sam akan
mengembalikan bocah ini kepadamu?"
Siau-hong tertegun, terperangah.
Dia tahu Soso bukan sedang berbohong tapi dia pun
tidak melepaskan bocah yang berada dalam bopongannya,
keadaannya seperti seorang yang kalap di air dan
memegang sebuah benda yang dia sendiri pun tahu kalau
benda itu bukan balok kayu yang bisa membuatnya
terapung, namun dia tetap tidak mau melepaskannya.
Senyuman yang menghiasi wajah Soso mendadak
berubah lagi seperti sedang mengenakan sebuah topeng.
"Lu-sam minta aku membawa bocah ini untuk berjumpa
dengan dirimu, dia minta aku memberitahukan kepadamu
kalau anakmu sudah tumbuh sebesar ini. Tumbuh sehat dan
menyenangkan seperti bocah ini."
Tangan Siau-hong mulai dingin, mulai kaku. Kembali
Soso tertawa dingin.
"Sebelum ini, pernahkah kau berjumpa dengan anakmu
itu?" tanyanya.
"Belum pernah!" jawab Siau-hong.
Dia adalah seorang jujur, mungkin belum bisa terhitung
orang baik, tapi dia sangat jujur.
Selama ini dia belum pernah berpikir tentang anaknya,
karena dia belum pernah berjumpa dengan anaknya itu.
Hubungan mereka sebagai ayah dan anak belum terjalin
perasaan cinta, rasa sayang belum tumbuh di antara mereka
berdua. "Kau tahu kalau aku telah mengandung anakmu,"
kembali Soso bertanya, "Tapi kau belum pernah
memikirkan tentang dirinya."
Siau-hong harus mengakui akan hal ini.
Tapi sekarang dia sudah mulai memikirkan dia, karena
terhadap bocah itu dia telah memiliki gambaran yang jelas
dan utuh. Begitulah sifat manusia.
Terlepas sifat manusia itu baik atau jahat, di balik sifat
manusia tentu terdapat titik kelemahan.
Tak diragukan Lu-sam telah memegang titik kelemahan
manusia. "Lu-sam minta aku memberitahukan kepadamu," ujar
Soso lagi, "Bila kau ingin berjumpa dengan anakmu, maka
kau harus melakukan satu pekerjaan dulu baginya."
"Pekerjaan apa?" mau tak mau Siau-hong harus
bertanya, "Dia minta aku melakukan pekerjaan apa?"
Sebelum Soso sempat buka suara, dari luar sudah
terdengar seseorang mewakilinya menjawab, "Dia minta
kau membantunya membunuh aku."
Suara Pancapanah!
Suara yang begitu tenang, juga begitu hangat, asal
mendengarnya sekali, tidak mudah bagimu untuk
melupakannya. Selamanya tak pernah ada yang tahu kapan dan dari
mana Pancapanah akan muncul.
Pancapanah selalu tampak masih muda.
"Muda" bukan melambangkan usianya, tapi
melambangkan semacam bentuk, semacam wujud.
Dia tampak begitu muda karena dia selalu tampak begitu
kokoh, kuat, dan bertenaga.
Peduli di mana pun, kapan pun, kemunculannya selalu
sama. Sekalipun dia baru merangkak keluar dari rawa-rawa
berlumpur pun dia selalu terlihat seperti sebilah pedang
yang baru keluar dari tungku api, kering, bersih, berkilat,
dan tajam. Sekalipun dia baru merangkak keluar dari tumpukan
mayat dan lumuran darah musuh, dia terlihat bersih dan
sama sekali tak berbau anyir darah.
Satu-satunya perbedaan yang dia tunjukkan kali ini
adalah dia membawa sekantung arak.
Sekantung kulit kambing arak wangi.
Dia berjalan mendekat, duduk di sebuah kursi dekat
sebuah meja kecil, kemudian sambil menatap Siau-hong
katanya, "Duduk!"
Siau-hong pun duduk. Dia serahkan bocah itu ke tangan
Soso sebelum duduk, duduk tepat di hadapannya.
Pancapanah meletakkan kantung berisi arak itu ke atas
meja kecil. "Arak ini bernama Ku-shia-sau," dia bertanya kepada
Siau-hong "Kau pernah meneguknya?"
"Pernah," sahut Siau-hong.
Tentu saja ia pernah minum arak itu, Po Eng paling suka
minum arak jenis ini.
Arak ini bila diteguk seperti darah panas yang mengalir
di tubuh lelaki sejati.
Dengan jari tangannya dia membuka penutup kantung
kulit kambing itu, kemudian meletakkan kantung tadi di
belakang tengkuk.
Pancapanah meneguknya lebih dulu satu tegukan besar,
kemudian baru menyerahkan kantung arak itu ke tangan
Siau-hong. "Kau minumlah!"
Siau-hong pun ikut meneguk satu tegukan besar, satu
tegukan yang amat besar, kemudian kembali lagi giliran
Pancapanah. Mereka sama sekali tidak memandang Soso maupun
Yang-kong, seakan-akan di dalam ruangan itu sama sekali
tak hadir orang ketiga.
"Kau pernah meneguk arak ini," kata Pancapanah,
"Tentu masih ingat dengan nyanyiannya, bukan?"
"Aku masih ingat."
"Kalau begitu kau nyanyi dulu kemudian baru aku."
Maka Siau-hong pun mulai bersenandung:
"... lelaki harus ternama,
Arak harus memabukkan.
Berbincang setelah mabuk,
Isi hati pun semua terpampang"
Lagu itu disenandungkan sekali demi sekali, selesai satu
tegukan arak, lagu pun dinyanyikan satu kali. Nyanyian
mereka sekental arak, arak yang mereka minum sekental
darah. Lagu bisa dinyanyikan tiada habisnya, tapi arak pada
akhirnya habis diteguk.
Mendadak Pancapanah menggebrak meja.
"Aku tahu," teriaknya sambil menatap Siau-hong, "Aku
tahu kau belum pernah menganggap aku sebagai
sahabatmu."
"Oh!"
"Kau selalu menganggap hanya Po Eng sahabat
karibmu?"
Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia memang sahabat karibku," sahut Siau-hong, "Bukan
saja dia adalah sahabatku, juga sahabat karibmu."
"Lalu mengapa selama ini dia tak pernah datang
mencarimu" Juga tidak mencari aku?" Pancapanah menatap
tajam wajah Siau-hong, "Tahukah kau mengapa begitu?"
Siau-hong mengambil kantung arak, lalu meneguknya
sampai puas. Ia tak dapat menjawab pertanyaan ini, kecuali Po Eng
pada hakikatnya tiada orang lain yang bisa menjawab
pertanyaan ini.
Dia sendiri pun sudah berulang kali mengajukan
pertanyaan yang sama, belakangan dia sudah tak pernah
bertanya lagi, karena persoalan itu selalu akan melukai
perasaan sendiri.
Pancapanah pun tidak bertanya lebih lanjut.
Dia mulai meneguk arak, yang dia teguk tidak lebih
sedikit daripada Siau-hong.
Siau-hong sama sekali tak menyangka Pancapanah yang
selalu tampil dingin, kaku bagaikan batu karang ternyata
pandai pula meneguk arak dalam takaran banyak.
Dia menggenggam kantung kulit kambing itu erat-erat,
tidak lagi memberi kesempatan kepada Pancapanah untuk
meneguknya, ada banyak persoalan harus dia tanyakan
dulu hingga jelas sebelum mereka berdua sama-sama
mabuk berat. Kembali terdengar Pancapanah bertanya lagi, "Apakah
kau telah melihat dengan jelas beberapa buah patung lilin
yang berada dalam kantor Eng-ki?"
Siau-hong memang sudah melihatnya dengan sangat
jelas. "Sebelum ini, pernahkah kau saksikan patung lilin yang
diciptakan begitu indah, hidup, dan mempesona?"
"Belum pernah."
"Tentu saja belum pernah!" kata Pancapanah, "Patung
lilin semacam ini pada hakikatnya belum pernah muncul di
daratan Tionggoan."
"Dari mana kau bisa tahu?"
"Karena di kolong langit dewasa ini hanya satu orang
yang bisa menciptakan patung lilin sedemikian
sempurnanya," kata Pancapanah lagi, "Pada hakikatnya
hanya satu orang."
"Siapakah orang itu?"
"Longhud Leadkin!"
Sebuah nama yang aneh dan istimewa, siapa pun yang
pernah mendengar nama aneh ini, pasti akan selalu
mengingatnya di dalam hati.
"Longhud Leadkin," sekali lagi Pancapanah mengulang
nama itu, "Aku yakin dan percaya kau pasti belum pernah
mendengar nama orang ini."
Siau-hong memang belum pernah mendengar nama itu.
"Dia bukan bangsa Han?"
"Bukan," Pancapanah menggeleng "Dia orang Persia,
tapi selama ini tinggal di sebuah negeri yang disebut
Inggris." "Inggris?" selama hidup belum pernah Siau-hong
mendengar nama negeri pulau itu, "Berada di manakah
negeri Inggris itu?"
"Di ujung langit, sudut samudra, sebuah tempat yang
belum pernah kita singgahi."
"Mengapa patung-patung lilin hasil karyanya bisa sampai
di sini?" "Karena orang yang disebut Longhud Leadkin sekarang
telah berada di sini," Pancapanah menerangkan.
"Bagaimana mungkin dia bisa sampai di sini?"
"Karena ada yang mengundang kedatangannya, dia
adalah seorang tokoh aneh, di kolong langit belum pernah
ada manusia kedua yang dapat menandingi kesempurnaan
hasil karyanya, tapi dia pun butuh penghasilan untuk
menunjang hidupnya, asal ada orang berani membayar
mahal, tempat mana pun akan dia kunjungi."
"Siapa yang mengundang kedatangannya?"
"Rasanya di kolong langit dewasa ini hanya satu orang
yang bisa mengundang kehadirannya," kata Pancapanah,
"Seharusnya kau bisa menebak sendiri, siapa orang yang
kumaksud."
Siau-hong telah menduga siapakah orang itu.
Di kolong langit dewasa ini, hanya satu orang yang
sanggup mengeluarkan biaya besar, dan hanya satu orang
yang bisa melakukan perbuatan semacam ini.
"Kau maksudkan Lu-sam?"
"Kecuali dia, siapa lagi?"
"Mengapa Lu-sam secara khusus mengundang kehadiran
Longhud Leadkin kemari?" kembali Siau-hong bertanya,
"Apakah hanya dikarenakan ingin membuat beberapa buah
patung lilin?"
"Benar."
"Mengapa Lu-sam harus berbuat begitu?"
"Karena berbagai alasan," ujar Pancapanah, "Tapi
tujuannya yang paling utama adalah dia ingin
menggunakan patung-patung lilin itu untuk membunuh
orang." "Membunuh siapa?"
Padahal pertanyaan itu tidak seharusnya ditanyakan dan
tak perlu ditanyakan, tapi Pancapanah tetap menjawabnya.
"Bunuh kau, bunuh aku, bunuh Po Eng!"
Beberapa buah patung lilin yang tak bernyawa, tak
punya darah daging, bahkan bergerak pun tak sanggup,
mana mungkin bisa membunuh orang"
Pancapanah segera menjelaskan, "Patung lilin itu kosong
semua, di dalam setiap patung bersembunyi satu orang, di
antaranya ada jagoan menggunakan racun, ada pula jagoan
senjata rahasia."
Racun yang mereka pergunakan tentu saja racun ganas
yang tak berwarna, tak berbau, agar siapa pun tidak
menyadarinya. Senjata rahasia yang mereka pergunakan pun merupakan
senjata rahasia yang dibidikkan dengan tabung jarum
berpegas tinggi, agar orang lain tidak melihat datangnya
ancaman. Dalam hal ini, Siau-hong telah menduganya.
"Oleh karena itu siapa pun yang berani memasuki pintu
gerbang Eng-ki, mereka bakal mati secara mendadak."
"Benar, siapa pun yang berani memasuki pintu gerbang
Eng-ki, mereka pasti akan tewas secara mengenaskan."
Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya, "Bila korban
yang berjatuhan semakin banyak, tentu saja kami pun akan
mendapat kabar, peduli berada di mana pun, kami pasti
akan mendengar berita ini."
Sambil manggut-manggut Siau-hong berkata pula, "Bila
kita mengetahui berita ini, tentu saja tak akan tahan untuk
tidak datang melihat."
"Jika kita belum mengetahui rahasia patung-patung lilin
itu, begitu masuk ke dalam gedung, nyawa kita pasti akan
melayang."
Siau-hong harus mengakui kebenaran hal ini, dia sendiri
nyaris sudah pernah mati satu kali.
"Untung kau dapat mengetahui rahasia itu."
"Benar, aku telah mengetahui rahasia itu," Pancapanah
membenarkan, "Oleh karena itu aku belum mati, kau pun
belum mati."
Siau-hong menghembuskan napas panjang, tak tahan
kembali tanyanya, "Masih ada satu hal yang tidak
kupahami."
"Soal apa?"
"Sepasang mata itu," Siau-hong teringat kembali dengan
ular berbisa itu, "Aku tak lebih hanya memandangnya
sekejap, mengapa tubuhku seolah sudah keracunan?"
"Oh, jadi masalah itu yang tidak kau pahami?"
"Ya, aku tidak mengerti."
"Padahal persoalan itu bukan sesuatu yang sulit
dijelaskan," tiba-tiba Pancapanah balik bertanya kepada
Siau-hong, "Kau pernah bertemu dengan orang yang
terkena penyakit mata?"
"Pernah."
"Pernah kau perhatikan mata mereka?"
"Terkadang aku pernah memandangnya beberapa
kejap." "Bagaimana perasaanmu setelah melihatnya?"
"Aku akan merasakan mataku ikut tak nyaman, seperti
ada ganjalan."
"Bila kau memandangnya lebih lama, bisa jadi dirimu
pun akan ikut terjangkit penyakit mata yang sama," kata
Pancapanah, "Bila kau pikirkan lebih seksama, pasti akan
kau menjumpai pengalaman semacam itu."
Siau-hong memang pernah mengalami hal seperti ini.
"Tapi aku tak habis mengerti, mengapa bisa begitu?"
"Ini dikarenakan kau telah keracunan."
"Keracunan?" gumam Siau-hong keheranan, "Dari mana
bisa keracunan?"
"Karena di dalam mata orang itu terdapat sejenis racun
yang bisa ditularkan kepada orang lain, paling tidak
terdapat dua tiga macam penyakit mata yang memiliki daya
tular sangat tinggi."
"Tapi aku tak lebih hanya memandangnya dua kejap."
"Memandang dua kejap sudah lebih dari cukup."
"Kenapa?"
Ooo)d*w(ooO BAB 36. SAATNYA MASUK NERAKA
"Karena racun semacam ini memang ditularkan melalui
mata, asal kau memandangnya sekejap, maka kau pun ikut
tertular," kata Pancapanah, "Di kolong langit masih
terdapat banyak macam racun penyakit (virus) yang dapat
menyebar dan menular pada orang lain. Asalkan kau
berada dalam satu ruangan dengan sang penderita, maka
besar kemungkinan kau bakal tertular juga penyakit yang
sama." Penjelasannya amat teliti dan jelas.
"Bila ada orang mampu menggunakan racun penyakit itu
dan menciptakannya menjadi semacam obat racun, maka
cukup kau pandang sekejap pun, dirimu sudah ikut
keracunan."
Kembali Pancapanah berkata, "Tentu saja hal ini bukan
sesuatu yang gampang dilakukan, tapi aku tahu memang
ada orang yang telah berhasil menciptakan obat racun
semacam ini."
Akhirnya Siau-hong mengerti.
Dia pernah menyaksikan orang-orang yang mati dalam
keadaan berlutut, sampai ajalnya tiba pun mereka masih
belum tahu bagaimana dirinya bisa keracunan.
Sebelum mendengar penjelasan dari Pancapanah, dia
pun seperti mereka, mimpi pun tak pernah menyangka
kalau di kolong langit bisa terdapat obat beracun yang
begitu menakutkan.
Mendadak Pancapanah bertanya lagi kepadanya, "Kau
masih ingat bocah perempuan yang senang membopong
anjing putih kecilnya?"
Tentu saja Siau-hong masih ingat.
"Dialah yang bersembunyi di dalam patung lilin itu,"
Pancapanah menerangkan, "Oleh sebab itu, walaupun kau
hanya memandangnya sekejap, namun sudah terkena
racunnya. Racun jahat tak berwarna, tak berwujud, dan tak
berbau." "Karena itu siapa pun yang berani memasuki pintu
kantor dagang Eng-ki, mereka segera mati secara
mengerikan?"
"Benar."
Dengan wajah serius dan bersungguh-sungguh
Pancapanah berkata pula, "Semua itu bukan ilmu sihir,
bukan ilmu tenung, tapi racun jahat yang berhasil diramu
setelah melakukan penelitian dan percobaan yang berat dan
sulit, untuk menghindari keracunan saja sudah teramat
sulit, apalagi berusaha memunahkannya."
"Tapi pada akhirnya kau berhasil juga mematahkan
serangan itu."
"Aku pun harus berpikir cukup lama, merencanakannya
cukup lama."
"Cara apa yang kau gunakan?"
"Menyerang dengan api!" kata Pancapanah, "Hanya
menyerang dengan api, mereka baru bisa dimusnahkan."
Kembali ia menjelaskan, "Aku sengaja merontokkan
kapak terbang Lo-ji karena kuatir kehadiran mereka akan
mempengaruhi rencanaku, tapi aku tidak menyangka kalau
kau akan menyerbu masuk tanpa memikirkan resikonya."
Ditatapnya Siau-hong sekejap.
"Semula kusangka kau adalah seorang yang tenang dan
pandai mengendalikan diri."
Siau-hong tertawa getir.
Sebetulnya dia sendiri pun mengira dirinya begitu.
Sekarang, tentu saja Siau-hong sudah mengerti, kobaran
api di dalam neraka yang dilihatnya bukan sebuah ilusi,
bukan sebuah khayalan.
Jilatan api telah melelehkan patung-patung lilin,
menghancurkan bangunan rumah, orang yang bersembunyi
di dalam patung lilin pun terpaksa harus melarikan diri.
Asal mereka kabur dari balik patung lilin, siapa pun
jangan harap bisa lolos dari bidikan panah sakti panca
bunga. "Aku masih mempunyai satu persoalan lagi yang tak
kupahami," tiba-tiba Siau-hong berkata lagi.
"Masalah apa?"
"Kalau kau memang sudah tahu di balik patung lilin ada
orang, mengapa kau tidak langsung menggunakan
panahmu untuk membidik mati mereka?"
Pancapanah menatap wajah Siau-hong, sinar matanya
dipenuhi cemoohan dan sindiran, tanyanya dingin,
"Tahukah kau siapa saja yang bersembunyi di balik patung
lilin itu?"
"Aku tidak tahu."
"Aku sendiri pun tidak tahu, oleh karena itu aku tak
berani berbuat begitu," kata Pancapanah, "Seandainya aku
Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melakukannya, bukan saja sepanjang hidup bakal menyesal,
kau pun akan membenciku sepanjang hidup."
"Kenapa?"
Pancapanah tidak langsung menjawab pertanyaan itu,
dia balik bertanya, "Tahukah kau siapa yang telah
bersembunyi di balik patung lilinnya Soso?"
"Tidak tahu."
"Orang itu adalah dia sendiri," Pancapanah menjelaskan,
"Lu-sam telah menyembunyikan dia beserta anaknya di
dalam patung lilin dia sendiri, tujuannya agar kita
membunuh mereka."
Kembali dia bertanya kepada Siau-hong, "Waktu itu kau
masih belum tahu apakah bocah ini anakmu atau bukan,
bila aku membunuh mereka ibu beranak dengan panahku,
apa yang bakal kau lakukan?"
Siau-hong melengak, tertegun, kaki dan tangannya terasa
dingin membeku.
Sebenarnya dia selalu menganggap dirinya telah belajar
banyak, sekarang ia baru tahu bahwa dirinya masih harus
belajar lebih banyak lagi.
Ia menatap orang di hadapannya yang hangat tapi kasar,
kejam, dan penuh persahabatan itu, tiba-tiba muncul
perasaan kagum dan hormat yang sebelumnya tak pernah
timbul dalam hatinya.
Pancapanah berkata lagi, "Jauh-jauh Lu-sam
mengundang kehadiran Longhud Leadkin untuk membuat
patung-patung lilin itu, tujuannya bukan saja ingin
memancing dan membunuh kita, Lu-sam pun tahu, kita
bukan orang yang gampang masuk perangkapnya."
"Jadi dia masih mempunyai tujuan lain?"
"Tentu saja," Pancapanah tertawa dingin, "Dia ingin
menciptakan kesalah-pahaman dan dendam kesumat di
antara kita."
Siau-hong tutup mulut, menunggu dia melanjutkan
perkataannya. "Po Eng adalah manusia hebat," ucap Pancapanah lebih
jauh, "Ilmu silatnya, kecerdasan otak, serta kemampuannya
mengendalikan anak buah, belum pernah tertandingi oleh
siapa pun, tapi secara tiba-tiba dia diserang orang hingga
mengalami kekalahan dan kehancuran, bukankah orang
lain mengira dia telah dikhianati, dijual oleh rekannya?"
"Benar!" Siau-hong mengakui.
"Orang lain pasti berpendapat, orang yang bisa
mengkhianatinya pastilah sahabatnya terdekat."
Pancapanah kembali meneguk arak.
"Padahal selama puluhan tahun terakhir, akulah satusatunya
sahabatnya yang paling dekat."
Kembali Siau-hong tutup mulut rapat rapat.
"Mungkin termasuk kau sendiri pun menaruh curiga
kalau akulah yang telah mengkhianatinya," ujar
Pancapanah lebih jauh, "Ada banyak jejak dan gejala yang
membuat kau berpikir begitu, yang lebih penting lagi tentu
menyangkut emas murni itu."
Siau-hong termenung, tidak menjawab.
Harus diakui, dia memang pernah berpikir begitu, hanya
tiga orang yang mengetahui tempat persembunyian emas
murni itu, kini emas itu lenyap, sementara dia sendiri belum
pernah menyentuh emas itu, sedang Po Eng pun tak nanti
akan mencuri emas milik sendiri, tentu saja orang yang
paling mencurigakan adalah Pancapanah.
"Andaikata Po Eng masih hidup, bisa jadi dia sendiri pun
berpendapat begitu," ujar Pancapanah, "Bila ada
kesempatan, mungkin saja dia akan membunuhku di ujung
pedangnya."
Sekali lagi dia mengangkat cawannya ke arah Siau-hong
dan berkata lebih jauh, "Sekalipun dia percaya kepadaku,
kau pun akan berpikir demikian, ketika kau menyaksikan
patung-patung lilin itu, mungkin kau sudah berpikir akan
hal ini." Siau-hong tak dapat menyangkal.
Sewaktu melihat patung lilin Po Eng yang sedang
menusuk patung lilin Pancapanah, bukan saja ia
berpendapat demikian, bahkan menaruh curiga bahwa
patung-patung lilin itu merupakan perencanaan Po Eng,
rencana untuk memancing kedatangan Pancapanah.
Pada saat yang bersamaan, dia pun pernah menaruh
curiga bahwa hal ini merupakan bagian dari perencanaan
Pancapanah untuk memancing kehadiran Po Eng, lalu
membunuhnya. Sebuah senja yang tenang dan indah, sebuah bilik
ruangan yang tenang dan senyap, dua orang perempuan
cantik, seorang bocah yang baru tertidur, dua buah lentera
yang baru disulut, sekantung arak yang hampir habis,
sebuah rahasia yang mengejutkan, semua ini menciptakan
suasana yang tak mungkin bisa diterima dan dipahami
orang lain. Berada dalam suasana seperti ini, Siau-hong sendiri pun
tak tahu apakah dia sedang sadar atau mabuk" Sedang
mabuk atau sadar"
Kembali Pancapanah bertanya kepadanya, "Sekarang
apakah kau sudah mengerti?"
"Sudah."
"Kau tahu, sekarang telah tiba saat apa?"
Siau-hong menggeleng, dia memang tak tahu, dia sama
sekali tidak paham apa maksud Pancapanah itu.
Maka Pancapanah pun memberitahukan kepadanya,
"Sekarang sudah saatnya untuk turun ke neraka."
"Turun ke neraka?" tanya Siau-hong, "Siapa yang akan
turun ke neraka?"
"Kau!" Pancapanah meneguk habis tetesan terakhir arak
dalam kantung, terusnya, "Kau yang akan turun ke neraka!"
Ooo)d*w(ooO Malam semakin kelam, cahaya lentera makin terang
malam semakin larut, sinar lentera semakin memancarkan
sinarnya menerangi seluruh sudut ruangan.
Ada banyak kejadian di dunia seperti keadaan itu.
Pancapanah mengeluarkan selembar peta dan diletakkan
di atas meja, selembar peta yang terbuat dari kulit kambing.
"Peta ini meliputi daerah Giok-bun-kwan dan sekitarnya,
termasuk gurun Gobi hingga puncak suci kota Lhasa,"
Pancapanah menerangkan, "Peta ini meliputi sebuah
wilayah yang sangat luas, kira-kira mencapai lima laksa,
lima ribu li."
Kembali dia berkata, "Namun di wilayah yang amat luas
ini, tidak banyak tempat yang berpenduduk dan ada
kehidupan."
Lukisan peta itu tidak terlalu detil, tidak ada gambar
sungai, telaga maupun pegunungan, yang ada hanya
lingkaran tinta merah yang menunjukkan kota atau desa
penting. Kembali Pancapanah bertanya kepada Siau-hong, "Coba
kau hitung, ada berapa lingkaran merah yang terdapat di
lembaran peta ini?"
Siau-hong telah menghitungnya, maka segera menjawab,
"Semuanya berjumlah seratus sembilan puluh satu."
Pancapanah manggut-manggut tanda benar. Kemudian
dia pun berkata lagi, "Keseratus sembilan puluh satu
lingkaran itu merupakan sarang rahasia Lu-sam."
Kemudian tambahnya pula, "Hingga kini walaupun kita
berhasil menemukan begitu banyak sarang rahasianya, tapi
aku percaya meski Lu-sam masih memiliki kantor cabang
atau sarang rahasia lainnya pun, jumlah itu sudah tidak
banyak lagi!"
"Aku percaya akan hal itu."
Sekarang dia sudah percaya seratus persen dengan
kemampuan yang dimiliki Pancapanah.
"Sekarang kita harus berhasil menemukan Lu-sam,
persoalan apa pun baru bisa diselesaikan apabila berhasil
menemukan dirinya."
"Betul!"
"Aku percaya kita pasti dapat menemukan dirinya di
tempat-tempat itu."
Siau-hong pun percaya, sayang tempat yang harus
mereka cari kelewat banyak.
"Tahukah kau, sebenarnya dia bersembunyi di sarang
rahasianya yang mana?" tanya Siau-hong.
"Tidak tahu, tak seorang pun tahu," Pancapanah
menggeleng. Siau-hong tertawa getir.
Seratus sembilan puluh satu desa dan kota yang tersebar
di wilayah begitu luas, bagaimana mungkin mereka dapat
menemukannya"
"Walaupun kita telah berhasil menyelidiki tempat di
mana Lu-sam mungkin bersembunyi, akan tetapi selama ini
kami tak pernah turun tangan pergi mencarinya," kata
Pancapanah. "Kenapa?"
"Sebab kami tahu tak akan berhasil menemukan dirinya!"
Pancapanah menjelaskan, "Kita tidak memiliki kekuatan
manusia sebanyak itu, kekuatan yang bisa terbagi menjadi
seratus sembilan puluh satu rombongan dan secara terpisah
pergi mencarinya, sekalipun kita berhasil menemukan
jejaknya, kekuatannya saat itu pasti kecil sekali."
Siau-hong setuju dengan pendapat itu.
"Tempat persembunyian Lu-sam pasti dilengkapi dengan
penjagaan yang amat ketat, biarpun ada orang kita berhasil
menemukan jejaknya, belum tentu mereka sanggup
memberi perlawanan," ujar Pancapanah lagi, "Sekali kita
gagal menggropyoknya, jangan harap kita bisa menemukan
lagi tempat persembunyiannya dengan gampang."
"Tepat sekali."
"Oleh karena itu kita tak boleh bertindak secara gegabah,
apalagi menggebuk rumput mengejutkan ular, kita tak boleh
melakukan perbuatan yang tidak yakin akan berhasil."
"Jadi sekarang kau sudah punya keyakinan?" tak tahan
Siau-hong bertanya.
"Saat ini paling tidak aku telah menemukan sebuah cara
untuk menghadapinya."
"Cara apa?"
"Sekarang walaupun kita masih belum berhasil
menemukan dia, namun kita bisa menggiring orang itu agar
menampakkan sendiri jejaknya."
"Kau benar-benar mempunyai keyakinan untuk
melakukannya?" tak tahan kembali Siau-hong bertanya.
Pancapanah manggut-manggut, sinar mata setajam elang
selicik rase segera terpancar dari tatapannya, dengan suara
dalam ia bertanya, "Inginkah kau mendengarkan
rencanaku?"
"Ingin, tentu saja ingin!" sahut Siau-hong.
"Pertama, kita harus menyiarkan berita agar Lu-sam tahu
bahwa kita telah berhasil melacak keseratus sembilan puluh
satu tempat persembunyiannya," kata Pancapanah,
"Bahkan tak ada salahnya kita sebar-luaskan gambar peta
ini, agar dia percaya bahwa kita benar-benar memiliki
kemampuan itu."
"Yang kedua?"
"Setelah menderita kekalahan total kali ini, dia pasti tak
akan berani memandang enteng kekuatan kita lagi."
"Aku percaya dia tak pernah memandang enteng
dirimu," kata Siau-hong, "Siapa pun tak ada yang berani
memandang enteng dirimu!"
"Ketika dia mengetahui kita sudah mulai bersiap
melakukan pergerakan, dia pasti akan memperketat
penjagaan," lanjut Pancapanah, "Peduli ke mana pun pergi,
dia pasti akan segera menghimpun seluruh jagoan anak
buahnya untuk mengintil di belakangnya."
Siau-hong segera memahami maksud tujuannya....
"Asalkan dia mulai menggerakkan anak buahnya, kita
pun segera akan berhasil melacak berada di manakah
dirinya." "Betul," sambil tersenyum Pancapanah manggutmanggut,
"Begitulah rencana yang kurancang."
Ditatapnya wajah Siau-hong lekat-lekat, kemudian
katanya lagi, "Hanya saja, pergerakan kita kali ini sangat
berbahaya, Lu-sam kaya raya dan luas pengaruhnya, jagoan
yang menjadi anak buahnya juga banyak sekali, kita masih
belum punya keyakinan untuk memenangkan pertarungan
ini." "Aku mengerti."
"Tapi kita tak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini,"
kata Pancapanah lagi, "Mungkin inilah kesempatan kita
untuk terakhir kalinya."
"Aku mengerti, walaupun tahu bakal masuk neraka, kita
tetap harus berangkat!"
"Betul!"
"Tapi kau tak boleh pergi," ujar Siau-hong, "Kau masih
ada tugas lain yang harus dikerjakan, kau tak boleh ikut
menyerempet bahaya ini!"
"Benar," Pancapanah mengakui secara gamblang "Maka
dari itu, aku hanya akan mengirim kau seorang."
Setelah menatap wajah Siau-hong lanjutnya, "Bila salah
satu di antara kita berdua harus mati, terpaksa aku biarkan
kau saja yang pergi mati."
Reaksi Siau-hong aneh sekali.
Dia tidak marah, tidak emosi, tidak pula membangkang,
atau membantah, katanya hambar, "Baik! Aku yang pergi."
Ooo)d*w(ooO Bangunan rumah berwarna kuning emas, dinding
berwarna kuning emas, lantai berwarna kuning emas, atap
rumah berwarna kuning emas.
Hampir setiap benda yang berada dalam bangunan
rumah itu berwarna kuning emas.
Kuningnya seratus persen kuning emas, sama dengan
warna emas murni, dijamin tak ada bedanya.
Karena bangunan rumah itu beserta keempat dinding
dan atapnya terbuat dari emas murni, permukaan tanah pun
dilapisi batu bata terbuat dari emas murni. Setiap benda
yang ada di sana, semuanya terbuat dari emas, bahkan meja
kursi sampai jendela pun terbuat dari lapisan emas murni.
Karena pemilik rumah ini amat menyukai emas murni.
Setiap orang pasti menyukai emas, tapi sedikit sekali
Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang yang bisa bertempat tinggal di rumah seperti ini.
Biarpun emas murni itu menyenangkan, namun kelewat
dingin, kelewat keras, kelewat tak berperasaan.
Kebanyakan orang lebih suka duduk di sebuah bangku
biasa, duduk di samping jendela kayu sambil minum arak
dengan cawan yang terbuat dari batu kristal.
Tapi tuan rumah pemilik bangunan ini amat menyukai
emas murni. Emas murni yang dimiliki pun paling banyak di kolong
langit, belum ada orang kedua yang dapat menandingi
jumlah emas miliknya.
Pemilik bangunan itu tak lain adalah Lu-sam.
Bangku yang terbuat dari emas murni meski terasa
dingin dan keras, namun Lu-sam duduk dengan begitu
nyaman, jauh lebih nyaman daripada duduk di atas kasur.
Seorang diri duduk dalam bangunan itu, menyaksikan
semua benda yang terbuat dari emas murni, melihat cahaya
emas yang berkilauan, biasanya merupakan saat yang
paling menggembirakan hatinya.
Dia suka sekali duduk seorang diri di sana, karena dia
tak ingin orang lain ikut menikmati kegembiraannya, seperti
dia tak ingin membagikan emas itu kepada siapa pun.
Maka teramat jarang ada orang berani memasuki rumah
itu, tidak terkecuali orang yang paling dekat pun.
Tapi hari ini ada pengecualian.
Kadar emas dari cawannya jelas lebih kental daripada
kadar alkohol dalam arak yang diteguknya.
Lu-sam perlahan-lahan meneguk arak dari cawannya,
kemudian meletakkan sepasang kakinya yang bersih dengan
kuku yang rapi di atas meja berlapiskan emas, ia
membiarkan tubuhnya berbaring santai, membiarkan
seluruh otot badannya mengendor.
Hanya di tempat ini dia baru bisa minum arak, karena
hanya orang yang paling dipercaya mengetahui letak tempat
ini, khususnya selagi minum arak, tak pernah ada orang
yang berani mengusiknya.
Tapi hari ini, ketika dia siap meneguk arak untuk cawan
kedua, tiba-tiba terdengar ada orang mengetuk pintu,
bahkan tanpa menunggu izin darinya, ia sudah membuka
pintu sambil melangkah masuk ke dalam.
Lu-sam amat tak suka, namun perasaan tak senangnya
itu sama sekali tak diperlihatkan pada wajahnya.
Hal ini bukan karena orang yang mengetuk pintu sambil
melangkah masuk adalah orang kepercayaannya, Biauswan.
Mimik mukanya sama sekali tak menunjukkan
perubahan apa pun, hal ini dikarenakan dia memang bukan
seseorang yang suka memperlihatkan rasa gusar, senang,
atau sedihnya kepada orang lain, bahkan sewaktu mendapat
kabar bahwa putra tunggalnya tewas di tangan Siau-hong
pun, parasnya sama sekali tidak memperlihatkan rasa sedih,
gusar, maupun dendam.
Dia memang tidak seperti Pancapanah.
Paras Pancapanah selalu tampil sekeras batu granit, tak
pernah memperlihatkan perasaan apa pun.
Wajah Lu-sam dihiasi perasaan, hanya saja perasaan
yang tampil di wajahnya seringkali tidak sama dengan apa
yang dipikirkan di dalam hati. Sekarang biarpun ia merasa
tak suka, namun wajahnya masih dihiasi senyuman penuh
kegembiraan. Sambil tersenyum dia bertanya kepada Biau Swan,
"Apakah kau pun ingin meneguk secawan arak" Ingin
duduk dulu sambil menemani aku minum secawan?"
"Tidak ingin," jawab Biau Swan, "Tidak mau!"
Dia tidak seperti tuannya, apa yang dipikir dalam hati
segera tampil dan tertera jelas di wajahnya.
Sekarang mimik mukanya seperti orang yang barusan
mengalami musibah, seperti melihat rumahnya kebakaran.
"Aku tak ingin minum arak, aku pun tak ingin minum,"
sahutnya, "Aku bukan datang lantaran ingin minum arak."
Lu-sam tertawa.
Dia suka orang yang polos dan selalu berterus terang,
walaupun dia sendiri bukan manusia semacam itu, tapi dia
suka dengan manusia seperti ini, karena dia selalu
beranggapan, manusia semacam ini paling gampang
dikendalikan. Oleh karena dia sendiri bukan manusia seperti ini, maka
dia angkat Biau Swan sebagai orang kepercayaan.
"Lalu karena urusan apa kau datang kemari?" tanyanya
kemudian. "Karena sebuah masalah besar," sahut Biau Swan,
"Karena manusia yang bernama Pancapanah." Lu-sam
masih tersenyum.
"Masalah yang menyangkut Pancapanah, tentulah
masalah besar." Dia tuding bangku di hadapannya,
"Duduklah dulu, bicaralah perlahan-lahan."
Kali ini Biau Swan tidak menuruti anjurannya, dia tidak
duduk di bangku yang ditunjuk.
"Pancapanah telah berhasil melacak keseratus sembilan
puluh satu kantor cabang kita, bahkan telah menurunkan
perintah untuk menghimpun seluruh kekuatan dan mulai
melancarkan serangan."
Bukan saja paras Lu-sam sama sekali tak berubah,
gayanya sewaktu duduk pun tidak berubah, hanya tanyanya
hambar, "Kapan dia siap melancarkan serangan?"
"Perintah Pancapanah selalu tersebar secepat angin!"
kata Biau Swan, "Kini dia telah menurunkan perintah,
berarti tak sampai sepuluh hari kemudian kita sudah akan
memperoleh jawaban."
Lu-sam harus mengakui hal ini.
"Benar, perintah dari orang ini bukan saja akan
menyebar secepat angin, bahkan perintahnya berbobot
melebihi bukit karang."
Kembali dia meneguk araknya, kemudian baru bertanya
kepada Biau Swan, "Menurut pendapatmu, apa yang harus
kita lakukan sekarang?"
Tanpa pikir panjang Biau Swan segera menjawab,
"Sekarang kita harus segera mengumpulkan seluruh
kekuatan yang dimiliki di tempat ini."
"O, ya?"
"Walaupun tak sedikit jagoan tangguh yang dimiliki
Pancapanah, tapi dia harus memecahnya menjadi seratus
sembilan puluh satu rombongan," kata Biau Swan, "Bila
kita bisa mengumpulkan semua jagoan paling tangguh di
tempat ini dan menanti kedatangan mereka, kali ini dia
bakal mampus."
Ketika mengucapkan perkataan itu, tak kuasa wajahnya
menampilkan perasaan bangga, karena dia beranggapan
idenya sangat bagus, bahkan percaya idenya terbagus.
Jalan pikiran kebanyakan orang seperti yang dia
pikirkan, semua orang pasti akan setuju dengan usulannya
itu. Lu-sam sama sekali tidak bereaksi.
Cahaya emas masih berkilauan, arak dalam cawan pun
memantulkan cahaya keemasan, ia memandang sekejap
cahaya emas dalam cawan araknya, lewat lama kemudian
baru mengucapkan perkataan yang sangat aneh.
Tiba-tiba ia bertanya kepada Biau Swan, "Sudah berapa
lama kau bekerja ikut aku?"
"Sepuluh tahun," walaupun Biau Swan tidak mengerti
apa sebabnya secara tiba-tiba Lu-sam menanyakan masalah
itu, namun dia menjawabnya juga dengan jujur, "Ya, genap
sepuluh tahun!"
Mendadak ia mengangkat wajah menatap orang itu,
mengawasi wajahnya yang jelek, polos, jujur, dan kaya
akan perubahan mimik muka itu.
Setelah menatapnya cukup lama, Lu-sam baru berkata
lagi, "Tidak benar."
"Tidak benar" Bagian mana yang tak benar?"
"Bukan sepuluh tahun," kata Lu-sam, "Seharusnya
sembilan tahun sebelas bulan, harus menunggu sampai
tanggal tiga belas bulan depan, kau baru genap sepuluh
tahun." Biau Swan menarik napas dingin, perasaan kagum
tampil di wajahnya.
Dia tahu, daya ingat Lu-sam memang selalu hebat,
namun dia tak menyangka kalau kehebatannya telah
mencapai tingkatan yang begitu mengejutkan.
Lu-sam menggoyang perlahan arak yang masih tersisa
dalam cawannya, membiarkan pantulan sinar emas lebih
berkilauan. "Peduli bagaimana pun, waktumu mengikuti aku sudah
terhitung cukup lama," kata Lu-sam, "Sudah sepantasnya
bila kau mengetahui manusia macam apakah diriku ini."
"Sedikit banyak aku memang tahu."
"Tahukah kau apa kelebihanku yang paling utama?"
tanya Lu-sam lagi.
Sementara Biau Swan masih mempertimbangkan, Lusam
telah menjawab lebih dulu, "Kelebihanku yang paling
utama adalah bersikap adil."
Kemudian katanya lagi, "Aku tak boleh bersikap tak adil,
orang yang bekerja ikut aku paling tidak ada delapansembilan
ribu orang, bila aku tak adil, bagaimana mungkin
orang lain mau tunduk kepadaku?"
Biau Swan harus mengakui hal ini, Lu-sam memang
orang yang sangat adil dalam melakukan pekerjaan apa
pun. Bahkan dia selalu membedakan secara jelas siapa yang
harus dihukum dan siapa yang harus mendapat
penghargaan. Tiba-tiba Lu-sam bertanya lagi, "Masih ingatkah kau apa
yang pernah kukatakan sewaktu akan masuk kemari?"
"Kau mengatakan, siapa pun dilarang memasuki pintu
rumah ini, peduli siapa pun orangnya."
"Apakah kau manusia atau bukan?"
"Aku manusia."
"Sekarang apakah kau telah masuk kemari?"
"Aku beda," kata Biau Swan panik, "Aku harus
menyampaikan urusan penting."
Lu-sam segera menarik wajahnya.
Di bawah pantulan cahaya keemasan, wajahnya seolaholah
berlapiskan juga emas murni.
"Aku hanya bertanya padamu, sekarang apakah kau
telah masuk kemari?"
"Benar," biarpun dalam hati merasa tak puas, namun
Biau Swan tak berani membantah.
Kembali Lu-sam bertanya, "Tadi apakah aku menyuruh
kau duduk menemani aku minum arak?"
"Benar."
"Apakah kau sudah duduk?"
"Belum!"
"Sudah menemani aku minum arak?"
"Belum!"
"Masih ingatkah aku pernah berkata, setiap perkataan
yang kuucapkan merupakan perintah?"
"Aku masih ingat."
"Tentunya kau pun masih ingat bukan, apa yang harus
dilakukan orang yang berani membangkang perintahku?"
Selesai mengucapkan perkataan itu, Lu-sam tak pernah
lagi memandang wajah Biau Swan yang polos, jujur tapi
jelek itu, seakan di dalam ruangan itu sudah tak ada lagi
manusia yang bernama Biau Swan.
Waktu itu paras Biau Swan telah berubah lebih putih
dari kertas, dia mengepal sepasang tinjunya kencangkencang
hingga semua otot hijaunya menonjol, kalau
dilihat dari tampangnya, kalau bisa dia ingin menonjok
hidung Lu-sam hingga berdarah.
Tapi ia tidak berbuat begitu, dia tak berani.
Dia tak berani bukan lantaran dia takut mati.
Dia tak berani karena sejak tiga tahun berselang dia telah
beristri, kini istrinya telah melahirkan seorang putra
untuknya. Seorang bocah yang putih, gemuk dan menyenangkan,
pagi tadi pun baru saja belajar memanggil "ayah"
kepadanya. Butiran keringat dingin sebesar kacang kedelai mulai
bercucuran membasahi wajah Biau Swan.
Dia menggunakan tangannya yang berotot hijau untuk
mencabut sebilah pisau belati dari sakunya, pisau yang tipis
tapi tajam, kemudian menghujamkan pisau itu ke hulu hati
sendiri. Seandainya peristiwa ini terjadi pada tiga tahun
berselang, dia pasti akan menggunakan pisau belati itu
untuk menusuk hulu hati Lu-sam, terlepas akan berhasil
atau tidak, ia tetap akan mencobanya.
Tapi sekarang ia tak berani, untuk mencoba pun tak
berani. Putranya yang menawan, senyumannya yang manis,
suara panggilan "ayah" yang lucu dan menggelikan.
Mendadak Biau Swan menusukkan pisau belatinya,
langsung menusuk hulu hati sendiri.
Ketika tubuhnya roboh terkapar, dalam pandangan
matanya seolah muncul sebuah pemandangan yang sangat
indah. Dia seolah menyaksikan putranya menginjak dewasa,
lalu tumbuh menjadi seorang pemuda yang sehat dan kekar.
Dia seolah menyaksikan istrinya yang meski tidak terlalu
cantik, tapi sangat lemah lembut itu sedang memilih calon
menantu untuk putra mereka.
Walaupun dia pun tahu, pemandangan semacam ini tak
lebih hanya ilusi menjelang kematiannya, namun dia justru
percaya bahwa apa yang dilihatnya bakal menjadi
kenyataan. Karena dia percaya "Lu-sam yang adil" pasti akan
merawat dan memperhatikan kehidupan mereka berdua.
Dia percaya kematiannya tak akan sia-sia, dia pasti
memperoleh imbalan yang setimpal.
Lu-sam masih belum mendongakkan kepala, bahkan dia
sama sekali tidak menengok ke arah pembantunya yang
setia. Hingga darah di ujung pisau yang menancap di hulu hati
Biau Swan mulai mengering, ia baru memanggil perlahan,
Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sah Peng."
Lewat beberapa saat kemudian dari luar pintu baru
terdengar seseorang menyahut, "Sah Peng menanti
perintah."
Biarpun jawabannya tidak terlalu cepat, juga tidak
terhitung lambat, sekalipun pintu dalam keadaan terbuka,
namun dia tak pernah melangkah masuk ke dalam.
Karena dia bukan Biau Swan.
Dibandingkan Biau Swan, dia adalah manusia yang
berbeda, setiap perkataan yang pernah diucapkan Lu-sam,
dia belum pernah melupakan sepatah kata pun, tak pernah
melupakan satu kali pun.
Sebelum Lu-sam memberi perintah kepadanya untuk
masuk, sampai mati pun dia tak bakal memasuki pintu
ruangan itu. Setiap orang menganggap ilmu silatnya tak mampu
menandingi kemampuan Biau Swan, dia pun tampak tidak
secerdas Biau Swan, perbuatan dan pekerjaan apa pun yang
dia lakukan juga tidak segairah, tidak sesetia Biau Swan.
Tapi dia selalu percaya, dirinya pasti dapat hidup lebih
lama ketimbang Biau Swan.
Tahun ini Sah Peng berusia empat puluh delapan tahun,
perawakan tubuhnya kecil kurus, wajahnya biasa saja,
dalam dunia persilatan pun sama sekali tak punya nama.
Karena pada hakikatnya dia memang tidak
menginginkan nama kosong dalam dunia persilatan, dia
selalu berpendapat "nama besar" hanya mendatangkan
kesulitan dan kemasgulan.
Ia tidak minum arak, tidak berjudi, hidangannya seharihari
sangat sederhana, pakaian yang dikenakan pun amat
bersahaja. Tapi dia mempunyai uang deposito sebesar lima puluh
laksa tahil yang disimpan di rumah uang Su-toa-che-ceng di
wilayah Sam-say.
Walaupun semua orang menganggap ilmu silatnya tak
mampu melebihi Biau Swan, namun Lu-sam tahu tenaga
dalam, ilmu pukulan maupun senjata rahasia yang dimiliki
orang ini sedikit pun tidak berada di bawah kemampuan
seorang jago kenamaan.
Hingga kini dia masih hidup membujang.
Karena dia berpendapat, sekalipun seorang tiap hari
harus makan telur ayam, bukan berarti di rumah harus
memelihara ayam sendiri.
Menanti Lu-sam memberikan perintah, Sah Peng baru
melangkah masuk ke dalam ruangan, langkahnya tidak
terlampau cepat, namun langkah kakinya tak bisa dianggap
sangat lambat. Setiap kali Lu-sam bertemu dengannya, dari balik
tatapan matanya selalu terlintas perasaan puas.
Siapa pun itu orangnya, bila memperoleh seorang anak
buah semacam ini, mau tak mau pasti akan merasa puas
sekali. Mereka sama sekali tidak menyinggung kematian Biau
Swan, seakan-akan di dunia ini sesungguhnya tak pernah
ada manusia semacam ini yang pernah hidup di situ.
Kembali Lu-sam bertanya kepada Sah Peng, "Tahukah
kau Pancapanah telah menurunkan perintah untuk
menyerang kita?"
"Aku tahu."
"Tahukah kau sekarang apa yang harus kita lakukan?"
"Tidak tahu."
Persoalan yang dia harus tahu, Sah Peng tak pernah
mengatakan tak tahu, persoalan yang tidak seharusnya
diketahui, dia pun tak akan mengatakan tahu.
Berada di hadapan Lu-sam, lebih baik jangan bersikap
kelewat bodoh, tapi jangan pula memperlihatkan amat
cerdas. "Apakah sekarang kita harus mengumpulkan semua
orang kita kemari?" lagi-lagi Lu-sam bertanya.
"Tidak!" jawab Sah Peng.
"Kenapa?"
"Sebab hingga sekarang Pancapanah masih belum tahu
di mana kau berada," sahut Sah Peng, "Bila kita tidak
memberitahukan kepadanya, selama hidup jangan harap
dia bisa tahu."
Kemudian tambahnya lagi, "Bila kita berbuat begitu,
sama artinya kita telah memberitahukan kepadanya."
Lu-sam tersenyum.
"Kalau soal semacam ini pun telah kau pahami,
seharusnya tahu juga bukan apa yang harus kita lakukan
sekarang."
"Aku tidak tahu," jawab Sah Peng "Aku telah berpikir,
tapi aku tak tahu harus berbuat apa agar tepat."
Ooo)d*w(ooO BAB 37. MENCIPTAKAN PERANGKAP
Tawa Lu-sam sangat riang.
"Tampaknya meski kau jauh lebih pintar ketimbang Biau
Swan, namun tak bisa dianggap kelewat pintar."
Sah Peng sangat setuju dengan pendapat itu.
Selama hidup dia memang tak pernah berniat menjadi
seorang pintar, paling tidak sejak berusia tiga belas tahun,
dia tak pernah mempunyai keinginan itu.
"Pancapanah sengaja mengumumkan rencana untuk
melakukan penyerbuan, tujuannya tak lain agar kita
membocorkan jejak kita sendiri," kata Lu-sam, "Oleh
karena itu kita tak boleh berbuat begitu, tak boleh
mengabulkan keinginannya."
"Benar."
"Tapi kita pun tak boleh melepaskan kesempatan baik
ini," kata Lu-sam lebih jauh, "Pancapanah adalah seekor
rase tua, untuk menangkap rase tua ini, kita tak boleh
melepaskan kesempatan ini."
"Benar."
"Oleh sebab itu kita harus menciptakan perangkap lain,
agar dia terjerumus sendiri ke dalamnya."
"Benar."
Arak di dalam cawan telah kosong, Lu-sam memenuhi
lagi cawannya dengan arak.
Dia tak pernah membiarkan orang lain menuangkan arak
baginya, arak yang dituangkan orang lain baginya belum
pernah diminumnya, biar seteguk pun.
"Biarpun anak buah Pancapanah hampir semuanya
merupakan pejuang yang terlatih, namun di antara sekian
banyak, tidak ada jagoan tangguh yang sesungguhnya,"
setelah termenung sejenak, Lu-sam menambahkan, "Hanya
satu orang terkecuali."
"Siapa?"
"Siau-hong," jawab Lu-sam, "Hong Wi!"
Kembali ujarnya, "Selama ini aku selalu memandang
rendah kemampuannya, tapi sekarang aku baru tahu, orang
ini bagaikan sebuah bola karet, bila kau tidak
menyentuhnya, dia seakan sama sekali tak berguna, bila
kau memukulnya satu kali, bisa jadi dia akan melompat
secara tiba-tiba, makin kuat kau memukulnya maka dia
akan melompat semakin tinggi, bisa jadi akhirnya dia akan
melompat naik ke atas kepalamu dan merenggut
nyawamu." "Benar," sahut Sah Peng, "Kelihatannya dia memang
manusia semacam ini, karena itulah orang lain
menyebutnya Siau-hong yang tak punya nyawa."
"Kau mengetahui jejaknya?"
"Aku tahu."
"Dalam dua hari belakangan dia berada di mana?"
"Di Lhasa, dalam gedung Hui-eng-lau, yaitu tempat yang
digunakan kantor dagang Eng-ki untuk menjamu tamunya."
Kembali Lu-sam mengawasi kilauan cahaya emas dalam
cawannya, lewat lama kemudian ia baru bertanya lagi,
"Tahukah kau nomor tiga, nomor tiga belas dan nomor dua
puluh tiga, selama berapa hari ini berada di mana?"
"Aku tahu."
"Dapatkah kau mencari mereka sampai ketemu?"
"Bisa!" jawab Sah Peng, "Dalam enam jam, aku pasti
telah menemukan mereka."
"Bagus sekali."
Sekali teguk Lu-sam menghabiskan isi cawannya.
"Begitu berhasil menemukan mereka, segera bawa
menghadapku di loteng Yan-cu-lau."
"Baik."
"Tahukah kau pekerjaan apa yang ingin kuminta kepada
mereka untuk lakukan?"
"Tidak tahu."
"Pergi membunuh Siau-hong, aku ingin mereka pergi
membunuh Siau-hong."
Setelah berhenti sejenak, perlahan-lahan lanjutnya, "Tapi
ada satu hal kau harus ingat, jangan biarkan mereka bertiga
turun tangan bersama."
Ketika Lu-sam ingin membunuh orang, dia selalu
melakukan dengan segala cara, jelas Siau-hong bukan
seorang jagoan yang gampang untuk dihadapi.
Bila mereka bertiga turun tangan bersama, tak diragukan
kekuatan itu jauh lebih kuat daripada kekuatan satu orang,
kesempatan untuk berhasil pun jauh lebih besar.
Tapi Lu-sam tidak ingin berbuat begitu.
Mengapa dia harus melakukan hal itu"
Sah Peng tidak bertanya.
Dia tak pernah bertanya mengapa, peduli seaneh apa
pun perintah yang diberikan Lu-sam, dia harus menurut,
taat, dan melaksanakannya.
"Nomor tiga", "Nomor tiga belas" dan "Nomor dua
puluh tiga" tentu saja bukan tiga buah angka, melainkan
tiga orang. Tiga orang pembunuh berilmu tinggi, setiap saat tugas
mereka hanya menanti perintah Lu-sam untuk melakukan
pembunuhan. Mereka hidup karena harus membunuh orang demi Lusam.
Mereka bisa hidup, karena mereka membantu Lu-sam
membunuh orang.
Di suatu tempat yang teramat rahasia, di dalam ruang
bawah tanah yang dibangun dari batu granit, di dalam
sebuah peti besi yang hanya bisa dibuka oleh Lu-sam,
terdapat sebuah kitab catatan. Kitab catatan itu tak pernah
disiarkan kepada umum. Dalam kitab catatan itu tertera
bahan dan data lengkap mengenai ketiga orang itu.
Nomor dua puluh tiga.
Nama: Oh Toa-leng.
Jenis kelamin: laki laki.
Usia: dua puluh satu.
Daerah asal: Cikang, Hangciu.
Orang tua: ayah, Oh Cu-jong. Ibu, Sun Yong.
Saudara kandung: tidak ada.
Anak istri: tidak ada. Begitulah data lengkap mengenai
manusia nomor dua puluh tiga.
Oh Toa-leng di dalam kitab catatan itu.
Orang-orang yang bekerja untuk Lu-sam selamanya
hanya memiliki data yang singkat dan sederhana.
Namun di dalam kitab catatan lain yang hanya bisa
dilihat Lu-sam, data mengenai manusia dua puluh tiga Oh
Toa-leng jauh berbeda.
Dalam kitab catatan khusus itu, semua detil tentang
manusia yang bernama Oh Toa-leng itu dijabarkan lebih
jelas dan lengkap.
Setiap orang pasti memiliki sisi lain, beginilah sisi lain
dari Oh Toa-leng.
Oh Toa-leng, lelaki, dua puluh tiga tahun. Ayahnya koki
dari perusahaan ekspedisi Yong-lip-piau-kiok, ibunya
seorang ibu susu dalam perusahaan ekspedisi Yong-lip-piaukiok.
Itulah data lengkap tentang Oh Toa-leng, sekalipun tidak
terhitung kelewat banyak, namun sudah lebih dari cukup.
Cukup artinya, bila kau adalah seorang yang cukup
cerdas dan cukup berpengalaman, tidak sulit bagimu untuk
mengorek lebih banyak lagi persoalan tentang orang itu dari
data yang tersedia.
Organisasi yang dipimpin Lu-sam besar, luas dan sangat
rahasia, tidak gampang untuk bergabung menjadi anggota
organisasi ini. Bila kau bisa masuk ke dalam organisasi itu
dan mendapat nomor rahasia, berarti ilmu silatmu pasti luar
biasa hebatnya.
Ketika berusia enam belas tahun, Oh Toa-leng sudah
menjadi seorang jago ampuh di antara jago lihai lainnya,
dengan mengandalkan sebilah pedang ia berhasil
mengalahkan jago-jago yang orang lain anggap tak
mungkin dia kalahkan.
Seorang anak koki dan ibu asuh ternyata pada usia enam
belas tahun telah berhasil menjadi seorang jago kelas wahid
dalam dunia persilatan, tentu saja banyak penderitaan yang
dia rasakan, telah melakukan banyak sekali pekerjaan yang
tak mungkin dilakukan orang lain dan tak akan dilakukan
orang lain, bahkan dia memiliki tekad pantang mundur.
Namun sejak bergabung ke dalam organisasi yang
dipimpin Lu-sam, dia telah berubah menjadi seorang tak
bernama, seorang yang hanya memiliki nomor rahasia.
Siapa pun itu orangnya, mereka pasti tak akan rela
meninggalkan nama dan kedudukan yang diperoleh dengan
cucuran air mata dan darah begitu saja, Oh Toa-leng bisa
berbuat begitu, tentu saja karena dia mempunyai kesulitan
yang terpaksa. Dia telah banyak membunuh orang yang tidak
seharusnya dibunuh, melakukan pekerjaan yang tidak
seharusnya dia kerjakan, karena bagaimana pun juga dia
tetap tak bisa melupakan bahwa dirinya hanya putra
seorang koki dan ibu asuh.
Justru karena dia tak pernah bisa melupakan asalusulnya
yang rendah dan hina, maka dia pun melakukan
banyak sekali perbuatan yang tidak seharusnya dia lakukan,
karena itulah dia baru bergabung ke dalam organisasi
pimpinan Lu-sam.
Banyak sekali kejadian di dunia ini berlangsung seperti
itu, karena ada sebab baru muncul akibat, ada akibat pasti
ada sebab. Oleh karena asal-usulnya sangat rendah dan hina, dia
Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
baru mati-matian berjuang untuk tampil lebih terhormat,
terhadap siapa pun dan persoalan apa pun jiwanya selalu
dikuasai sifat memberontak, membangkang sehingga di
dalam pandangan orang lain, dia dianggap seorang
pembangkang, seorang pemberontak.
Ilmu pedangnya seperti orangnya, temperamen,
berpandangan sempit, dan penuh sifat membangkang.
Berbeda halnya dengan keluarga Tu Yong, dia memiliki
latar belakang yang bertolak belakang dengan Oh Toa-leng.
Peduli berada dalam buku catatan mana pun, Tu Yong
selalu tampil sebagai manusia yang amat normal, latar
belakang keluarga, serta pendidikan dasar yang
diperolehnya sangat baik. Nomor tiga belas. Nama: Tu
Yong. Jenis kelamin: Lelaki. Usia: tiga puluh. Daerah asal:
Kamsiok, Siciu. Ayah: Tu An.
Ibu: Tan Siok-tin, telah meninggal. Istri: Cu Kui-hun.
Keturunan: seorang putra, seorang putri. Tu An, ayah Tu
Yong adalah seorang Piausu dan saudagar paling berhasil di
wilayah Kiang-pak, membangun usaha dari nol, ketika
berusia dua puluh tujuh tahun telah berhasil
mengumpulkan harta kekayaan berjuta tahil.
Ibu Tu Yong sudah lama meninggal, ayahnya tidak
pernah menikah lagi, bahkan tak pernah kendor mendidik
putranya. Di saat Tu Yong berusia tujuh tahun ayahnya
mengundang tiga orang sastrawan dan dua orang Bu-su,
serta seorang jago dari Bu-tong untuk mendidik dan melatih
ilmu silatnya, dia berharap di kemudian hari anaknya bisa
menjadi seorang pemuda Bun-bu-coan-cay.
Tu Yong tak pernah membuat ayahnya kecewa, sejak
muda dia sudah menguasai ilmu sastra, ilmu pedangnya
pun memperoleh didikan dari jago Bu-tong sehingga pada
akhirnya oleh umat persilatan ia disebut sebagai angkatan
muda Bu-tong-pay yang paling sukses.
Istri Tu Yong pun berasal dari keluarga persilatan, selain
cantik, orangnya halus, lembut dan saleh, pada saat masih
berusia lima belas tahun, ia telah kawin dengan Tu Yong
hingga dianggap orang sebagai wanita yang punya rezeki.
Putra Tu Yong cerdas dan berbakti, orangnya jujur dan
tahu aturan, belum pernah ia melakukan perbuatan yang
menimbulkan perasaan sedih bagi ayah ibunya.
Kalau benar Tu Yong memiliki keluarga yang begini
bahagia, mengapa dia melepaskan segala sesuatu yang
dimilikinya dan malah bergabung dengan organisasi di
bawah pimpinan Lu-sam"
Tentu saja ada orang pernah mengajukan pertanyaan ini
padanya, suatu kali di saat sedang mabuk berat ia sempat
menjawab, "Karena aku sudah tak sanggup menerima
semua itu."
Dengan kehidupan seperti ini, rumah tangga seperti ini
dan lingkungan semacam ini, apa lagi yang tak sanggup dia
terima" Bila kau memahami segala sesuatu tentang dirinya lebih
mendalam, kau segera akan mengerti apa sebetulnya yang
membuat dia tak tahan.
Ayahnya kelewat tangguh, kelewat mampu bekerja,
kelewat punya duit, dan kelewat ternama. Sejak berusia
belasan tahun, segala kebutuhan dan segala keinginannya
telah tersedia untuknya, tak ada lagi persoalan di dunia ini
yang dapat membuatnya risau atau kuatir.
Sejak kecil ia sudah terdidik menjadi seorang bocah yang
tahu aturan, dia pun belum pernah melakukan suatu
perbuatan yang membuat ayahnya kuatir atau bingung.
Kehidupan baginya seolah sudah ditentukan, ia sudah
diatur agar menjadi manusia bahagia, manusia yang
berhasil, memiliki keluarga bahagia, memiliki pekerjaan
yang sukses, punya kedudukan, punya nama.
Tapi semua itu dia peroleh bukan berkat perjuangan
sendiri, melainkan karena tergantung pada kehebatan
ayahnya. Banyak orang di dunia persilatan yang iri kepadanya,
banyak juga yang mengaguminya, tapi orang yang benarbenar
kagum dan menaruh hormat kepadanya tidak
banyak. Oleh sebab itulah dia ingin melakukan beberapa
perbuatan yang bisa menarik perhatian orang, agar
pandangan orang lain terhadap dirinya berubah.
Bila kau ingin melakukan perbuatan semacam ini dengan
tergesa-gesa, kau pasti akan melakukan kesalahan besar.
Tidak terkecuali Tu Yong.
Mungkin dia bukan benar-benar ingin melakukan
perbuatan semacam itu, tapi akhirnya dia tetap
melakukannya. Oleh sebab itu dia pun terpaksa harus bergabung dengan
organisasi pimpinan Lu-sam.
Ilmu pedangnya seperti orang lain, berasal dari
perguruan kenamaan, jarang melakukan kesalahan, tetapi
sekali berbuat salah akibatnya tak terselesaikan.
Tak diragukan Oh Toa-leng dan Tu Yong merupakan
dua jenis manusia dengan karakter yang berbeda, mengapa
sekarang mereka bisa bergabung dalam organisasi yang
sama, melakukan pekerjaan yang sama sifatnya"
Persoalan ini rasanya sulit untuk memperoleh jawaban
yang tepat. Mungkinkah ini yang disebut nasib" Kemauan takdir"
Terkadang kemauan takdir dapat membuat seseorang
mengalami kejadian aneh yang sukar diduga dan
diramalkan sebelumnya.
Kemauan takdir pun seringkali membuat seseorang
terjerumus ke dalam situasi yang memedihkan tapi juga
menggelikan, membuat orang sama sekali tak ada
kesempatan untuk memilih.
Namun orang yang benar-benar pemberani dan punya
nyali, selama hidup dia tak mau tunduk dan takluk pada
kemauan takdir.
Dari berbagai kesulitan yang dialami, mereka telah
belajar bersabar, belajar menahan diri, belajar menahan diri
dalam situasi yang paling pelik, begitu muncul kesempatan,
mereka segera akan membusungkan dada dan melanjutkan
perjuangannya untuk meronta dan memberontak.
Selama mereka belum mati, mereka akan menemukan
kesempatan untuk mendongakkan kepala.
Tak diragukan Lim Ceng-hiong termasuk jenis manusia
yang berbeda dari kedua rekannya.
Dia adalah orang Hokkian.
Di wilayah Hokkian, marga Lim adalah marga
mayoritas penduduk, Lim Ceng-hiong pun merupakan
nama yang sangat umum dan biasa, hampir di setiap kota,
setiap desa, setiap dusun pasti ada orang yang bernama Lim
Ceng-hiong. Ia dilahirkan di sebuah tempat dekat pesisir pantai
Hokkian, wilayah yang paling sering disatroni perompak
Jepun, konon di usianya yang keenam belas, dia pernah
membantai perompak Jepun sebanyak seratus tiga puluhan
orang dengan mengandalkan sebilah golok panjang.
Dalam bahasa Jepun, dia disebut sebagai "Masa", begitu
menyinggung nama "Masa", kawanan perompak dari Jepun
segera akan pecah nyali dan melarikan diri terbirit-birit.
Kemudian lambat-laun perompak Jepun berhasil
ditumpas, maka dia pun meninggalkan desa kelahirannya
dan mengembara ke seantero jagat.
Dalam dunia persilatan, ia tidak memperoleh hasil yang
terlalu membanggakan.
Ini disebabkan dia tidak memiliki latar belakang keluarga
yang baik, dia pun bukan berasal dari perguruan kenamaan,
ke mana pun dia pergi, pekerjaan apa pun yang dia lakukan,
selalu dicemooh dan tak bisa diterima di mana pun.
Maka beberapa tahun kemudian nama "Masa" pun
lenyap dari peredaran dunia persilatan, manusia yang
bernama Lim Ceng-hiong pun ikut lenyap tak berbekas.
Setelah itu di dunia persilatan muncul seorang
pembunuh bayaran yang kejam tak berperasaan, walaupun
bekerja sebagai pembunuh namun tidak pernah membunuh
orang untuk kesenangan.
Dalam buku catatan milik Lu-sam, dia tercatat dengan
nomor tiga, hal ini menunjukkan ia sudah lama sekali
bergabung dengan organisasi pimpinan Lu-sam ini.
Nomor tiga. Nama: Lim Ceng-hiong, julukan Masa. Jenis kelamin:
laki-laki. Umur: empat puluh tiga tahun. Asal: Hokkian.
Asal-usul keluarga: tak jelas. Sejak berusia dua puluh lima
tahun, Lim Ceng-hiong mulai menggunakan pedang.
Waktu itu dia sudah bukan seorang pemuda, sudah tidak
memiliki dorongan emosi dan kehausan untuk belajar
pedang. Tentu saja dia pun tidak memiliki bimbingan guru serta
sistim pendidikan yang penuh disiplin seperti yang dialami
Tu Yong, bisa jadi dia sama sekali tidak paham tentang
intisari sebuah ilmu pedang. Akan tetapi dia kaya akan
pengalaman. Pengalaman yang dimilikinya mungkin jauh lebih
banyak daripada pengalaman Oh Toa-leng digabungkan
dengan pengalaman Tu Yong sekalipun, bekas bacokan
yang menghiasi tubuhnya pun jauh lebih banyak daripada
gabungan bekas bacokan kedua orang itu.
Dari pengalamannya bertarung melawan perompak
Jepun di kala masih muda dulu, ia berhasil menciptakan
sebuah ilmu pedang khusus yang merupakan gabungan
ilmu pedang daratan Tionggoan dengan ilmu samurai dari
negeri Jepun. Biarpun ilmu pedangnya tidak banyak kembangannya,
perubahan pun tidak terlalu banyak, namun manfaatnya
luar biasa. Tak dapat diragukan lagi nomor tiga, nomor tiga belas,
dan nomor dua puluh tiga merupakan jago-jago lihai
andalan Lu-sam.
Ketiga orang itu melambangkan tiga jenis manusia
dengan perangai dan karakter yang berbeda, ilmu silat dan
ilmu pedang yang dimiliki ketiga orang itu pun sama sekali
tak sama. Dengan memberi perintah kepada mereka bertiga untuk
membunuh Siau-hong, tindakan Lu-sam ini boleh dibilang
tepat sekali. Perintah dari Lu-sam memang tak pernah tidak tepat.
Anehnya, mengapa ia tidak membiarkan mereka bertiga
turun tangan bersama" Bukankah bila mereka bertiga turun
tangan berbareng maka kesempatan menang jauh lebih
besar daripada bila menyerang satu per satu"
Di manakah letak maksud dan tujuannya"
Tak ada orang yang tahu apa maksud tujuannya, tak ada
yang tahu apa rencananya.
Tak ada yang tahu, tak ada yang berani bertanya.
Bukan saja Sah Peng tidak bertanya, Oh Toa-leng, Tu
Yong, serta Lim Ceng-hiong pun tidak bertanya.
Ketika Sah Peng berhasil menemui ketiga orang itu,
dengan perkataan yang paling sederhana ia sampaikan
perintah Lu-sam.
"Lopan perintahkan kalian untuk membunuh Hong Wi,"
ujar Sah Peng, "Minta kalian bertiga menyerangnya satu per
satu." Jawaban ketiga orang itu pun amat singkat.
"Baik!"
Kemudian dalam waktu yang paling singkat, mereka
berhasil menemukan Siau-hong.
Biarpun masih belum ada orang yang mengetahui
rencana Lu-sam, namun pergerakan telah dimulai.
Tak diragukan, anak buah Pancapanah pun sudah mulai
dengan pergerakan mereka.
Maka masa perenc
Pendekar Panji Sakti 15 Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Pendekar Panji Sakti 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama