Ceritasilat Novel Online

Elang Terbang Di Dataran Luas 4

Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id Bagian 4


Siau-hong belum pernah mendengar nama orang ini,
maka segera tanyanya, "Pova" Siapakah orang itu?"
Tiba-tiba mimik muka Pancapanah berubah jadi sangat
sedih. "Bila kau ingin memahami tentang manusia yang
bernama Pova, dengarkan dulu sebuah kisah yang tragis."
Ternyata kisah yang akan disampaikan adalah sebuah
kisah tragis, kisah yang memedihkan hati.
Pova adalah seorang perempuan, ia dilahirkan di puncak
bukit Cu-mu-lang-ma sebelah utara pada ratusan tahun
berselang, dia merupakan seorang wanita suci yang
disembah dan dipuja orang-orang suku Gurkha. Demi
menyelamatkan etniknya, dia telah mengorbankan diri
sendiri. Ketika etnik Ni-co yang ganas, buas dan tak tahu malu
menyerbu ke dalam desa etnik Gurkha, anggota sukunya
tak mampu melawan serbuan itu hingga menderita
kekalahan fatal.
Lambang suku Ni-co adalah "merah", "merah" yang
membawa anyirnya darah, mereka memang menyukai
anyirnya darah dan warna merahnya darah.
Kepala suku Ni-co berhasil menangkap Pova hiduphidup,
lalu merogolnya secara brutal.
Perempuan itu tetap menahan diri, menerima setiap
siksaan dan penderitaan yang menimpa dirinya, karena ia
ingin balas dendam.
Dengan gigi membalas gigi, dengan darah membalas
darah, suatu saat akhirnya ia berhasil mendapatkan
kesempatan itu. Bukan saja berhasil menolong kepala suku
yang tertawan, dia pun berhasil menyelamatkan seluruh
anggota sukunya yang masih hidup.
Tetapi dia harus mengorbankan diri, menyumbangkan
selembar jiwanya.
Menanti rakyat etniknya berhasil membawa pasukan
besar dan menyerbu masuk ke perkemahan tempat tinggal
kepala suku Ni-co, ia ditemukan sudah dalam keadaan tak
bernyawa. Dia mati sebagai pahlawan, bukan hanya pahlawan
etniknya, pahlawan bangsanya.
Di saat ajal menjelang tiba, dalam genggamannya dia
masih memegang selembar kertas yang ditulisnya
menjelang ajal untuk sang kekasih, sebuah bait lagu yang
berjudul "Kokang".
"Kokang Yang kucinta, kau harus hidup terus.
Kau harus hidup, harus waspada,
setiap saat waspada, selalu teringat, teringat orang-orang
yang suka anyirnya darah.
Mereka gemar membunuh.
Jangan kau ampuni bila bertemu, usir mereka, usir
mereka. Usir sampai ujung samudra, usir sampai ujung gurun,
bangunlah kembali negerimu tercinta
Biarpun negeri sudah tenggelam, biar sawah ladang
telantar. Asal kau rajin berjuang, negeri kita pasti berjaya, sawah
ladang kita pasti subur sentosa."
Kekasihnya tidak mengecewakan harapannya, seluruh
anggota sukunya tak pernah mengecewakan dirinya.
Negeri yang nyaris musnah kembali berjaya, kembali
sentosa, dan makin berkembang.
Untuk memperingatkan pengorbanannya, tulangbelulang
serta kertas berisi bait lagu itu dikubur di kuil
Pova, di bawah pagoda putih.
Arwahnya selalu dihormati orang, dipuja setiap orang,
dan disanjung di mana-mana.
Kisah ini memang sebuah kisah yang tragis, bukan cerita
heroik, sebuah cerita yang patut dikenang dan diingat
generasi mendatang.
Setiap anak bangsa yang dilahirkan ribuan tahun
kemudian, harus selalu ingat, mengenang, dan mewaspadai
kisah tragisnya.
Sebab walaupun aturan selalu berlaku, walau kesetiakawanan
selalu timbul, namun dunia tak pernah akan
terbebas dari manusia-manusia yang haus darah, setiap
orang sudah seharusnya meniru cara Pova, tak segan
mengorbankan diri demi melenyapkan mereka.
Kini Pancapanah telah menyelesaikan kisahnya.
Siau-hong sama sekali tidak melelehkan air mata.
Bila darah panas telah bergelora di dalam dada
seseorang, bagaimana mungkin dia akan melelehkan air
mata" Namun dia tetap bertanya lagi, "Kalau memang tulangbelulangnya
sudah terkubur di bawah pagoda putih, lalu
siapa pula Pova yang kalian maksudkan sekarang?"
Jawaban Pancapanah kembali membuat tercengang,
terperangah. "Pova yang kami maksud tak lain adalah perempuan
yang selama ini kau anggap sebagai Sui-gin si Air raksa."
Siau-hong tertegun.
Pancapanah tampak makin pedih dan berduka, katanya
lebih jauh, "Dia adalah anggota suku kami, ia tahu selama
ini Lu-sam berniat menindas kami, seperti suku Ni-co yang
keji dan berlumuran darah ingin menindas suku Pova, oleh
sebab itu dia tak segan untuk mengorbankan diri demi
kesejahteraan sukunya."
Tiba-tiba Po Eng menyela, "Karena dia bukan saja
merupakan anggota sukunya, bahkan merupakan kekasih
hatinya, dia rela mengorbankan diri dengan menyusup
masuk ke lingkungan musuh sebagai mata-mata, bahkan
berusaha menyelidiki kekuatan musuh dan menyelidiki
kabar tentang mereka."
Pancapanah segera menggenggam tangan Siau-hong
erat-erat, katanya perlahan, "Aku pun tahu semua yang
telah dia lakukan terhadap dirimu, tapi aku jamin dia pasti
dipaksa untuk melakukan semua itu, demi aku, demi semua
anggota suku kami, mau tak mau dia harus melakukannya."
Siau-hong dapat memahami hal itu, dia balas
menggenggam tangan Pancapanah erat-erat dan berkata,
"Aku tidak menyalahkan dia, seandainya aku jadi dia, aku
pun akan melakukan hal yang sama."
"Tapi kini rahasianya sudah terbongkar, pihak lawan
sudah tahu bahwa dia adalah orang yang kukirim untuk
menyusup ke sana," ujar Pancapanah lagi dengan tangan
yang dingin bagaikan es.
"Oleh karena itu mereka mengirim seseorang untuk
membawanya kemari," kembali Po Eng menambahkan, "Ia
duduk di dalam tandu itu bersama seseorang, mereka
berencana ketika sudah mencapai saat terakhir, dia akan
dipergunakan untuk mengancam dan memaksa kita
menuruti semua kemauannya."
"Namun mereka pun tidak menyangka bakal menderita
kekalahan secepat itu, bahkan kalah secara tragis, oleh
karena itu semua perubahan yang terjadi membuat mereka
gelagapan dan untuk sesaat tak tahu harus berbuat
bagaimana," ujar Pancapanah sambil menahan sedih dan
emosi, "Sekalipun begitu, dia tetap merupakan senjata
pamungkas mereka yang terakhir, maka aku tak boleh
bertemu dengannya, aku tak boleh membiarkan mereka
menggunakan dia sebagai barang ancaman kepadaku."
Itulah sebabnya terpaksa dia harus bertindak tegas,
bertindak sebelum mereka sempat berbuat sesuatu!
Bila ada orang membiarkan dia bertemu dengan
perempuan itu, dapat dipastikan dia akan membunuh orang
itu! Dalam hal ini, semua orang yakin dan percaya bahwa
dia tega untuk melakukannya.
"Mereka pun tak berani bertindak sembarangan,
kemungkinan besar di kemudian hari mereka masih dapat
memperalat dirinya, maka mereka pasti akan berusaha agar
dia tetap hidup," ujar Pancapanah lebih jauh, "Oleh sebab
itu pula, terpaksa aku pun membiarkan mereka menggotong
pergi tandu itu secara utuh tanpa tersentuh."
Di dalam tandu itu masih duduk seorang wanita lain,
dialah satu-satunya orang yang bisa membongkar rahasia
ini. "Dia pun berada di dalam tandu itu," kata Po Eng
kemudian, "Ia sadar, keselamatan jiwanya seratus persen
terjamin, maka ia terlebih tak mau bertindak secara
gegabah." "Sejak semula aku sudah mengenalinya," ujar
Pancapanah, "Tapi aku sama sekali tak mengira kalau dia
adalah seorang wanita yang begitu menakutkan."
Tak ada yang menerangkan siapakah "dia" itu.
Siau-hong pun tidak bertanya.
Dia tak ingin bertanya, tak berani bertanya dan tak usah
bertanya. Ia sadar, mereka tidak akan mengatakannya karena
mereka tak bisa menyebut nama orang itu, tak tega
mengatakannya dan tak perlu menyebut namanya.
Mereka tak ingin melukai perasaan Siau-hong.
Dalam hati mereka seolah terdapat sebuah "sumbatan
leher", sebuah sumbatan yang sulit untuk ditembus dan
dilalui. Bila kau bersikeras ingin menembusnya, sudah pasti kau
akan melukai perasaan orang itu.
Pova, benarkah kau adalah manusia semacam ini"
Mengapa Pova harus mengorbankan diri"
Apa yang diperolehnya dengan pengorbanan yang begitu
besar dan luar biasa"
Rahasia apa yang akan diselidikinya" Apakah ada
hubungan dan sangkut-pautnya dengan emas murni yang
hilang terbegal"
Rombongan ini sebetulnya merupakan rombongan
saudagar biasa, belum pernah ada seorang pun di antara
mereka yang memperlihatkan ilmu silat, mengapa dalam
waktu singkat mereka sanggup menguasai tujuh puluh
orang petarung yang kenyang akan pengalaman"
Song-lohucu serta Gan Tin-kong pun bukan jago-jago
hebat berilmu tinggi, mengapa mereka harus
menyembunyikan kepandaian kungfunya"
Sebenarnya bagaimana asal-usul mereka" Rahasia apa di
balik semua itu"
Siau-hong tidak menanyakan semua persoalan itu, ia
merasa apa yang diketahui sudah terlalu banyak.
Emas murni tidak berada di dalam bungkusan barang
dagangan yang dibawa rombongan saudagar ini.
Sementara Po Eng adalah sahabatnya.
Baginya, urusan emas murni sama sekali tak penting, dia
pun enggan menaruh perhatian pada masalah itu. Asal dia
tahu ada orang telah menganggapnya sebagai sahabat, hal
ini sudah lebih dari cukup.
Bagi seorang gelandangan macam dia, nilai seorang
sahabat sejati tak tertandingi oleh benda apa pun.
Fajar telah menyingsing.
Matahari pagi telah muncul di ufuk timur, sejauh mata
memandang hanya pasir berwarna keemas-emasan yang
menyelimuti seluruh jagat.
Tanah dataran luas yang tak berperasaan, gersang,
kejam, dingin yang menggigilkan, panas yang menyengat...
meski begitu, di dataran luas yang tak berperasaan ini pun
terdapat bagian yang menawan, seperti kehidupan manusia.
Walaupun dalam sejarah kehidupan manusia sering
bertemu dengan peristiwa yang tak berkenan di hati,
menghadapi banyak masalah yang susah diurai dan
diselesaikan secara baik, namun kehidupan manusia tetap
menawan. Siau-hong dan Po Eng berdiri bersanding di depan
perkemahan, mengawasi cahaya matahari yang sedang
menyinari dataran luas.
Tiba-tiba Po Eng bertanya, "Apakah ada suatu tempat
istimewa yang hendak kau datangi?"
"Tidak ada," Siau-hong menggeleng, "Aku bisa pergi ke
tempat mana pun, aku pun bisa tidak pergi ke tempat mana
pun." "Pernah berkunjung ke tempat suci orang Tibet?"
"Belum."
"Kau ingin ke sana?"
Jawaban Siau-hong segera memunculkan kembali
senyuman di balik sorot mata Po Eng yang tajam.
"Aku bisa saja pergi ke tempat yang ingin kudatangi,"
ucap Siau-hong, "Aku pun bisa pergi ke tempat yang tidak
ingin kudatangi."
"Semisal aku minta kau ke sana, apakah kau akan pergi?"
"Ya, aku pasti pergi."
Rombongan besar pun kembali melanjutkan perjalanan.
Jago-jago yang mampu menaklukkan musuh dalam waktu
sekejap kini berubah lagi jadi para saudagar yang sangat
sederhana dan bersahaja.
Di antara sepasang punuk onta yang tinggi terdapat
sebuah pelana yang terbuat dari kulit kerbau, Po Eng duduk
di atas pelana sambil mengawasi Siau-hong yang berada di
punggung onta lain, katanya, "Setelah berjalan satu jam,
kita akan tiba di tempat itu."
"Tempat mana?"
"Sumbatan leher!"
Tebing karang menjulang tinggi ke angkasa, dinding
karang yang rata dan curam serasa menembus langit nan
biru, jalan penghubung yang terbentang di antara sela
karang terasa sempit dan kecil bagaikan usus kambing.
Di ujung jalan usus kambing yang sempit, menjulang
tebing karang berbentuk aneh, seperti gigi taring seekor
serigala lapar, ke arah tebing itulah jalanan sempit tadi
terbentang. Mereka telah tiba di sumbatan leher.
Rombongan bergerak makin lambat, mau tak mau
mereka memang harus memperlambat gerakan, dinding
karang yang curam, terjal dan menjulang tinggi ke angkasa
seakan gerombolan serigala lapar yang siap menerkam
mereka. Siapa pun yang tiba di tempat ini, mereka pasti akan
merasakan hatinya bergidik, jantungnya berdebar dan bulu


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuduk berdiri. Detak jatung Siau-hong pun seolah berdebar lebih keras
dan cepat, sedemikian kerasnya hingga Po Eng seakan
dapat mendengar suara detak jantungnya sendiri.
"Kini kau tentu sudah paham, bukan" Mengapa aku
harus bertindak keji dan tegas," ujar Po Eng kemudian,
"Bila aku tidak meminta sebelah tangan mereka, seandainya
orang-orang itu balik lagi ke sini dan menghadang di tempat
ini, maka jalanan ini akan menjadi jalan kematian buat kita,
jalan menuju kematian buat orang-orang kita!"
Sumbatan leher, tanah kematian, jalan kematian!
Tiba-tiba Siau-hong merasakan keringat dingin
membasahi telapak tangannya.
"Dari mana kau tahu mereka tidak menyiapkan orang
lain di tempat ini?" tanyanya.
"Tak mungkin mereka masih mempunyai kekuatan lain
di tempat ini. Bukan pekerjaan mudah untuk
mengumpulkan kekuatan di tengah gurun pasir,
Pancapanah telah melacak dan menyelidiki dengan jelas
semua gerak-gerik kekuatan mereka, apalagi...."
Ia tidak menyelesaikan perkataan itu karena secara tibatiba
ia merasa peluh dingin telah membasahi telapak
tangannya. Tampaknya dia mulai sadar, ternyata di sumbatan leher,
di jalan menuju kematian, di tanah kematian ini masih ada
orang lain sedang menanti kedatangan rombongan mereka.
Suatu kejadian yang mustahil terjadi, terkadang pun ada
kemungkinan bisa terjadi.
Bila dalam hati muncul sumbatan, hati pun akan sedih....
Bila manusia berada di sumbatan, dia pun bakal merasa
berduka. Orang yang sedang berduka terkadang ingin mati, tapi
orang yang telah mati tak bakal berduka lagi, hanya orang
mati yang tak pernah akan berduka lagi.
Bila di tempat ini masih terdapat kekuatan lain yang
tersembunyi, berarti rombongan mereka mirip seseorang
yang telah dikalungi seutas tali simpul mati. Asal mereka
muncul dari tempat persembunyian sambil melancarkan
sergapan, mereka pun akan tergantung, terjirat lehernya dan
mampus. Tengkuk akan patah, napas akan putus, nyawa pun bakal
melayang... itulah sumbatan leher.
Di balik sumbatan leher dapat dipastikan ada orang
sedang bersembunyi siap melancarkan sergapan, tak
disangkal mereka telah menapak di jalan kematian,
memasuki tanah kematian.
Po Eng yakin apa yang didengarnya tak bakal salah.
Pancapanah pun telah mendengar suara yang didengar
rekannya. Suara tarikan napas orang, detak jantungnya, dengus
napas, dengus napas kuda. Suara mendesis....
Suara itu berasal dari tempat yang tak jauh di hadapan
mereka. Mungkin saja orang lain belum mendengarnya, tapi
mereka telah mendengar dengan jelas.
Karena selama dua puluh tahun mereka telah berjuang
untuk mempertahankan hidup di tengah gurun pasir yang
tak punya perasaan, tak punya rasa iba, tak ada air, tiada
kehidupan dan setiap saat dapat merenggut kehidupan
mereka. Bila mereka pun tak dapat mendengar suara yang tak
bisa didengar orang lain, paling tidak mereka telah mati dua
puluh kali. Tak ada yang mampu mati sebanyak dua puluh kali,
sama sekali tak ada.
Bagi seseorang, jangankan mati dua puluh kali, mati satu
kali pun tak boleh.
Bila ada orang mengatakan cinta sejati hanya akan
datang satu kali, tak mungkin ada keduanya, maka apa
yang dikatakan sesungguhnya tak bisa dianggap perkataan
yang benar. Sebab sifat perasaan cinta itu mudah berubah, berubah
jadi cinta seorang sahabat, cinta seorang sanak, berubah jadi
manja, bahkan bisa berubah jadi benci dan dendam.
Apa yang dapat berubah tentu mudah untuk dilupakan.
Ketika sifat cinta pertama mulai berubah dan memudar,
seringkali akan datang cinta kedua, kemudian cinta kedua
pun akan berubah seperti cinta pertama, cinta yang begitu
tulus, begitu dalam, begitu manis dan begitu menderita.
Tapi kematian hanya satu kali, tak mungkin ada kedua
kalinya. Seluruh persoalan manusia baru akan berakhir setelah
kematian menjelang tiba, karena dengan kematian tak akan
muncul persoalan untuk kedua kalinya.
Manusia, kuda, onta, satu per satu berjalan menelusuri
jalan setapak itu, mereka bergerak sangat lamban bagaikan
seekor ular. Posisi Pancapanah dalam rombongan ini persis
merupakan posisi tujuh inci dari seekor ular, posisi yang
paling strategis.
Po Eng dan Siau-hong bergerak paling belakang.
Ooo)d*w(ooO BAB 11. CAHAYA MATAHARI BERWARNA BIRU
Mereka telah menyaksikan Pancapanah mencemplak
kudanya bergerak mendekat, di tengah derap kaki kuda
yang ringan, sekilas perasaan gugup dan panik terlintas di
wajahnya yang tampan dan tenang itu.
"Ada orang," ia berbisik lirih, "Di depan sana adalah
jalan keluar, di kedua sisi tebing semuanya ada orang
bersembunyi."
Tempat ini merupakan simpul mati dari saluran
tenggorokan. Bila sampai terjadi serangan, sudah pasti
akibatnya akan sangat mematikan.
Orang yang mengambil keputusan tetap Po Eng, maka
lagi-lagi Pancapanah bertanya, "Kita akan mundur ataukah
harus menyerbu maju?"
Mendadak otot hijau menonjol di jidat Po Eng, otot
hijau itu berdenyut tiada hentinya.
Setiap kali menghadapi situasi tegang, otot hijaunya
selalu berdenyut tiada hentinya.
Belum lagi dia mengambil keputusan, dari belakang
sebuah batu karang di tebing sebelah depan tiba-tiba muncul
seseorang. Seorang bocah perempuan yang sangat muda,
mengenakan pakaian berwarna lebih biru dari langit, lebih
biru dari air laut.
Bagaikan burung walet yang terbang di udara dia
melompat naik ke atas batu tebing, sambil berdiri di bawah
sinar matahari, serunya sembari menggapai ke arah mereka,
"Po Eng, aku rindu padamu, Pancapanah, aku kangen
padamu, Song-lothau, aku pun rindu padamu."
Suaranya riang dan gembira, kembali teriaknya, "Aku
rindu sekali kepada kalian."
Bertemu gadis cilik ini, dari balik mata Po Eng seakan
memancar pula secercah cahaya sang surya.
Belum pernah Siau-hong menyaksikan matanya seterang
sekarang, juga belum pernah melihat dia segembira hari ini.
Gadis cilik itu sendiri pada hakikatnya seperti cahaya
matahari, cahaya yang mendatangkan kehangatan,
kebahagiaan dan kegembiraan bagi setiap orang.
"Siapakah dia?" tak tahan Siau-hong bertanya.
Po Eng tersenyum, Pancapanah pun ikut tersenyum,
semua kepanikan, rasa tegang yang mencekam perasaan
kini telah berubah jadi kegembiraan dan keriangan.
"Dia she Lan," ujar Po Eng menjelaskan, "Namanya
adalah Yang-kong (Cahaya matahari)."
Setelah melalui sumbatan leher, kini terbentang padang
datar yang sangat luas dan subur, jaraknya dengan kota suci
Lhasa sudah tak jauh.
Kembali rombongan menghentikan perjalanan dan
mendirikan perkemahan di sana.
Setiap orang tampak gembira dan riang, Yang-Kong si
Cahaya matahari yang membawa keriangan bagi mereka.
Mereka berteriak dan memuji gadis itu dengan bahasa
Tibet, semua orang menyebutnya "Cahaya matahari biru".
Rupanya gadis cilik ini memang khusus datang untuk
menyambut kedatangan mereka.
"Akan tetapi aku pun ingin menakut-nakuti kalian,"
ternyata suara gadis ini secerah sinar sang surya, "Tapi aku
pun tak ingin menakuti kalian hingga ketakutan setengah
mati." Setelah memeluk Po Eng erat-erat, terusnya, "Di kolong
langit tak akan ditemukan orang kedua semacam dirimu,
apa jadinya kalau kau mati karena kaget dan ketakutan?"
Siau-hong tersenyum.
Dia pun belum pernah berjumpa gadis secerah ini, gadis
yang begitu menawan hati, mendatangkan kegembiraan dan
keriangan bagi siapa pun yang menemuinya.
Sebetulnya nona ini belum bisa dianggap seorang
perempuan cantik yang seratus persen sempurna, bentuk
hidungnya agak bengkok, mirip bentuk hidung Po Eng yang
menyerupai paruh elang.
Akan tetapi dia memiliki sepasang biji mata yang jeli dan
bening, kulit tubuhnya putih bersih dan licin bagaikan serat
sutera. Terutama ketika ia sedang tertawa, hidungnya yang
sedikit bengkok itu kelihatan agak berkerut, cacat kecil yang
muncul justru membuat gadis itu tampil jauh lebih cantik
dan menawan. Mendadak Siau-hong menjumpai Po Eng suka sekali
memencet hidung gadis itu.
Kini dia sedang memencet hidung si nona sambil
berkata, "Kau telah berjanji, kali ini tak bakal keluar secara
sembarangan, mengapa lagi-lagi kau datang kemari?"
Dengan cekatan Yang-kong menghindari pertanyaan itu,
tegurnya, "Kenapa kau selalu suka memencet hidungku"
Apakah kau ingin memencet hidungku hingga bengkok
macam hidungmu?"
Siau-hong tertawa tergelak.
Tiba-tiba Yang-kong berpaling, tanyanya sambil menatap
tajam anak muda itu, "Siapakah dia?"
"Dia bernama Siau-hong, Siau-hong yang setengah
mati," Po Eng menjelaskan.
"Kenapa dia disebut Siau-hong setengah mati?"
"Karena terkadang dia pun setengah mati macam kau,
ada kalanya membikin orang mendongkol setengah mati,
ada kalanya juga membikin orang ketakutan setengah
mati." Senyuman kembali melintas di balik mata Po Eng,
terusnya, "Apa mau dikata dia sendiri pun termasuk orang
yang setengah mati, karena selalu tidak memikirkan nyawa
sendiri." Sekali lagi Yang-kong menatap tajam Siau-hong.
"Aku paling suka lelaki setengah mati macam dia,"
kembali dia tertawa lebar, "Sekarang aku mulai sedikit
merasa suka dirimu."
Seperti waktu dia peluk Po Eng, kali ini dia peluk Siauhong
erat-erat, bahkan mencium keningnya sambil berseru,
"Sahabat dari Toakoku berarti sahabatku juga, orang yang
dia sukai berarti aku pun akan menyukainya."
Paras Siau-hong sama sekali tidak berubah merah,
karena wajah si nona pun tidak berubah jadi merah.
Sewaktu ia memeluk pemuda itu, wajahnya seperti sinar
matahari yang menyinari dataran luas, begitu cerah, begitu
alami.... Siau-hong bukan termasuk lelaki yang suka menyimpan
perasaan, jarang sekali ada persoalan yang tidak
dikemukakan secara terus terang.
"Aku pun menyukaimu," katanya kemudian, "Benarbenar
menyukaimu!"
Langit telah gelap.
Suara nyanyian keras dan gembira kembali
berkumandang dari balik perkemahan, kali ini suara
nyanyian yang bergema kedengaran lebih nyaring dan
gembira. Karena di antara suara nyanyian itu, kini telah
bertambah pula dengan suara nyanyian merdu dari puluhan
gadis muda. Mereka datang karena diajak Yang-kong, semuanya
gadis-gadis lincah yang cerah dan hangat bagaikan cahaya
matahari. Mereka pun seakan merupakan saudara semua orang,
seperti terhadap sang kekasih, ada yang menunggang kuda,
minum arak keras, memainkan golok tajam.
Ketika mulai mabuk, ketika lelah meneguk arak, mereka
pun seperti jago-jago lain, berbaring di atas tanah sambil
menghitung bintang.
Bagi seseorang yang sama sekali tak dipengaruhi pikiran
sesat, kejadian sesat apa pula yang ada di dunia ini"
Pancapanah yang di waktu biasa jarang minum arak,
hari ini ikut minum dalam jumlah banyak.
Dia mengiringi Po Eng, bertepuk tangan sambil
bersenandung perlahan:
Manusia harus ternama, arak harus memabukkan.
Berbincang saat mabuk, semuanya melupakan ganjalan
hati.... Di balik suara nyanyian mereka, lamat-lamat terkandung
nada pedih yang hambar, nada perpisahan yang tipis....
Tiba-tiba Pancapanah bangkit sambil berkata, "Kau
hampir tiba di rumah, aku pun sudah saatnya untuk pergi."
Po Eng mengangguk perlahan.
"Aku tahu," sahutnya sedih, "Aku pulang ke rumah,
sementara kau pergi dari sini."
Pancapanah tidak berkata-kata lagi, dia hanya
menggenggam tangannya kuat-kuat, kemudian
membalikkan badan berlalu dari sana.
Di luar perkemahan telah disiapkan dua ekor kuda,
seekor kuda putih untuknya dan seekor lagi untuk
membawa semua perbekalan yang dibutuhkannya.
Begitu melompat naik ke atas pelana, dia pun


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencemplak kudanya dan berlalu dari sana.
Hingga lenyap di ujung langit sana, ia tak pernah
berpaling lagi.
Ooo)d*w(ooO Langit belum lagi terang, hanya secercah sinar fajar
muncul di ufuk timur.
Jagat raya tetap dingin, sepi, dan sunyi.
Dengan melawan hembusan angin fajar ia bergerak
menuju ke dataran luas yang tak bertepi, tak berperasaan, di
sana ada kepedihan dan kesepian yang tiada tara sedang
menanti kedatangannya.
Tiba-tiba saja Siau-hong merasakan kesedihan yang tak
terlukiskan dengan kata timbul di hati kecilnya, tak tahan ia
bertanya, "Mengapa ia tidak pergi bersamamu" Mengapa
dia harus pergi seorang diri?"
Lewat lama sekali Po Eng baru menjawab, "Karena sejak
lahir dia memang seseorang yang hidup sebatang-kara,
sejak lahir sudah senang hidup seorang diri."
Setelah berhenti sejenak, perlahan-lahan terusnya, "Di
dalam sejarah hidupnya, sebagian besar kehidupannya
dilewatkan dalam keheningan, kesepian, dan kesendirian."
"Tahukah kau, hendak ke mana dia?"
"Tidak, tak seorang pun yang tahu."
Dalam pada itu hari sudah mulai terang tanah, akhirnya
matahari muncul dari kaki langit, secercah sinar terang
memancar ke udara, menyinari langit nan biru, menyinari
pula Yang-kong yang biru.
"Aku tak suka hidup dalam kesendirian," seru gadis itu
sambil menarik tangan Po Eng, "Mari kita pulang ke
rumah." Mimpi pun Siau-hong tidak menyangka kalau Po Eng
punya rumah. Benarkah Po Eng memiliki rumah tinggal"
Rumah Po Eng berada di Lhasa, kota yang dianggap suci
oleh bangsa Tibet, rumahnya merupakan tempat suci pula
bagi rekan-rekan seperjuangannya.
Dia bukan saja mempunyai rumah, bahkan jauh lebih
lebar dan megah daripada bangunan rumah lainnya.
Setelah melewati istana Potala tempat tinggal Buddha
hidup, di sebelah depan terdapat sebuah bukit hijau dengan
hamparan sebuah telaga dengan airnya yang tenang.
Rumahnya berada di kaki bukit, sebuah bukit yang
dikelilingi pepohonan rindang, di kejauhan sana lamatlamat
terlihat bentuk istana Potala yang merah.
Siau-hong sama sekali tak menyangka di luar perbatasan
ternyata terdapat tempat seindah ini, begitu megah, indah
dan penuh diliputi misteri, indah yang memabukkan, indah
yang membikin hati terpesona.
Barang dagangan harus segera dihitung, pembagian
keuntungan pun harus segera dibagikan, agar mereka dapat
menikmati kegembiraan dan keindahan alam di sana.
Po Eng seakan telah menyerahkan Yang-kong kepada
Siau-hong. Mereka berdua sama-sama masih muda, sama-sama
dapat saling menghibur, Po Eng berharap Yang-kong dapat
menyinari bayangan gelap yang menyelimuti hati Siauhong.
Bayangan gelap yang ditinggalkan Pova.
Di saat matahari baru terbit, mereka berjalan santai
menelusuri tanah perbukitan, bangunan megah milik Po
Eng berada di kaki bukit sana, persis di tepi telaga yang
indah, sementara di kejauhan tampak bayangan samar
istana suci. "Kau suka tempat ini?" tanya Yang-kong kepada Siauhong.
Perlahan Siau-hong mengangguk, dia hanya bisa
mengangguk. Tak seorang pun yang tidak menyukai tempat
semacam ini. "Sebelum ini, apakah kau pernah datang kemari?"
kembali Yang-kong bertanya.
Siau-hong menggeleng.
Dahulu dia belum pernah datang kemari, seandainya
pernah, kemungkinan besar dia tak akan pergi dari sana.
Yang-kong menarik tangan Siau-hong, seperti ketika dia
menarik tangan Po Eng.
"Ayo, ikut aku pergi berpesiar," kata si nona lebih jauh,
"Biarkan mereka berdagang sementara kita pergi bermain."
"Mau pergi ke mana?"
"Kita berkunjung dulu ke istana Potala."
Dinding benteng yang tersusun dari batu cadas
membentang dari istana Potala hingga Bukit Cagopoli,
pintu gerbang kota berada di bawah pagoda sana, konon di
dalam pagoda itu tersimpan tulang-belulang Buddha serta
banyak dongeng indah yang penuh misteri.
Sesudah melewati pintu berbentuk bulat, kuil Ta-cau-si
muncul di sisi kanan mereka.
Bangunan istana berdiri kekar dengan dinding benteng di
atas sepanjang tebing karang.
Kuil antik dan kuno, ruang pendeta, prasasti, bangunan
loteng semuanya tampak indah dan penuh daya tarik, tak
ubahnya seperti sebuah dongeng.
Siau-hong seolah terkesima oleh semua itu.
Bagaimana dengan Pova"
Bagaimana bila orang yang berada di sisinya adalah
Pova" Mengapa di saat perasaan seseorang sedang terbuai
"kecantikan" seringkali justru susah untuk melupakan orang
yang berusaha ingin dilupakan"
Kenapa orang selalu sulit melupakan persoalan yang
seharusnya dilupakan"
Cahaya mentari menyinari tubuhnya, Yang-kong
mengamati pula dirinya, Yang-kong tampak cantik dan
cerah. Bagaimana pula dengan Pova"
Pova tidak mirip salju, Pova lebih mirip air hujan, hujan
musim semi yang lembut tiada putus, mirip kemasgulan
yang tak terputus oleh gunting, mirip cucuran air hujan
yang tak terputus oleh gunting....
"Ayo kita ke kuil Ta-cau-si," tiba-tiba Siau-hong
mengajak. Dia tahu jalan yang mengelilingi kuil Ta-cau-si adalah
Pat-kak-ke, merupakan tempat paling ramai di kota itu,
hampir semua toko dan pusat perdagangan kenamaan
berada di tempat ini.
"Eng-ki" pusat dagang milik Po Eng pun berada di jalan
raya ini. Siau-hong berharap "keramaian" dapat membuat dia
"lupa", sekalipun hanya lupa untuk sementara waktu.
Kuil Ta-cau-si konon didirikan oleh Bun-seng Kongcu
dari dinasti Tong.
Pada masa itu Tibet masih disebut Turfan, sementara
kota Lhasa masih disebut kota Lo-si.
Tahun Tin-koan, tahun keempat belas pada masa Tong,
perdana menteri negeri Turfan, Tong-jin dengan membawa
berbagai permata dan uang emas lima ribu tahil berangkat
ke kota Tiang-an dan membawa pulang keponakan
perempuan kaisar, Bun-seng Kongcu kembali ke negerinya.
Di kemudian hari Bun-seng Kongcu menikah dengan
Jin-bo, generasi ketujuh, Tong-jin Gan-bo.
Sebagai rasa cintanya yang tulus dan untuk memuji
kecantikan wajah istrinya, raja negeri Turfan ini pun
membangun sebuah kuil yang disebut kuil Ta-cau-si.
Namun jalanan kota di luar halaman biara merupakan
sisi lain kota itu.
Bentuk sebuah kota memang ibarat selembar kulit, ada
satu sisi yang berkilap dan indah, namun ada pula sisi lain
yang kasar dan jelek.
Ada jalanan yang indah, megah dan cemerlang, ada pula
jalanan yang kotor oleh tumpukan sampah, kerumunan
pengemis tua dengan pakaian dekil, bertelanjang kaki,
berkepala gundul, lalu sambil berkomat-kamit membaca
doa, menunggu belas kasihan para peziarah.
Sewaktu di tengah gurun pasir, di tengah badai angin
yang kencang, Siau-hong telah kehilangan air minum dan
rangsumnya, tapi sama sekali tidak kehilangan uangnya.
Dia dermakan seluruh isi kantong yang dimilikinya
kepada mereka, bukan karena rasa simpatik dan iba, tapi
seolah terpengaruh oleh semacam kekuatan aneh yang
membuatnya melakukan hal itu tanpa sadar.
"Aku tidak seharusnya pergi ke kuil Ta-cau-si," Siauhong
sendiri pun tidak tahu apa sebabnya dia bisa
merasakan perubahan seaneh itu, "Bolehkah kita pergi ke
kantor perdagangan kalian?"
"Tentu saja boleh," sahut Yang-kong, "Kau adalah
sahabat Toako, ke mana pun kau ingin pergi, aku akan
membawamu ke sana."
Sekulum senyuman secerah sang surya tersungging di
wajahnya, kembali ia berkata, "Setelah sampai di sana, aku
akan membawamu pergi menjumpai seseorang, kau pasti
akan menganggapnya sebagai sahabat pula."
Orang yang dia maksudkan bernama Cu Im.
Cu Im adalah Tayciangkwe toko "Eng-ki", yang
dimaksudkan Tayciangkwe adalah seorang Congkoan,
pengurus rumah tangga.
Tahun ini Cu Im berusia dua puluh delapan tahun, sejak
tiga tahun berselang Po Eng telah menyerahkan urusan
perdagangan "Eng-ki" kepadanya.
Bukan satu pekerjaan yang gampang bagi seorang
pemuda berusia dua puluh lima tahun untuk memangku
kedudukan sedemikian tinggi, juga bukan suatu
keberuntungan yang kebetulan.
Dia muda, jujur, hidup sederhana, pandai membawa
diri, perkataannya berbobot, meskipun masih jomblo,
belum pernah main perempuan atau suka minum arak.
Po Eng menaruh kepercayaan kepadanya, semua anak
buahnya menaruh hormat kepadanya, dia pun belum
pernah membuat orang lain kecewa.
Dia pun tidak membuat Siau-hong kecewa.
Dengan sikap tulus dan bersungguh-sungguh dia
persilakan Siau-hong menikmati air teh lemak, caranya
berdagang memang sederhana, pakai aturan dan semuanya
terbuka. Kepada Siau-hong katanya, "Aku tinggal di belakang
sana. Asal kau menjumpai masalah, setiap saat datanglah
mencari aku."
Setelah berhenti sejenak, ia menambahkan, "Setiap hari
aku selalu ada, siang maupun malam selalu ada."
Yang-kong menarik tangannya.
"Biasanya dia tidak minum arak, tapi bila kau memaksa
dia untuk minum, dia tak bakal mabuk lebih dulu daripada
dirimu," senyumannya tetap lebih cerah dari sinar matahari,
"Tapi bila kau ingin mencari perempuan, dia pasti akan
kehabisan akal."
Dia sama sekali tidak menganggap "mencari perempuan"
merupakan satu hal yang memalukan.
Sambil menuding ke arah hidung sendiri yang meski
agak bengkok namun masih kelihatan cantik, katanya, "Jika
kau ingin mencari perempuan, mohonlah kepadaku,
kujamin perempuan yang bakal kucarikan untukmu jauh
lebih lembut dan hangat daripada perempuan mana pun
yang pernah kau jumpai."
Dia bukan perempuan, bukan termasuk semacam
perempuan. Dia adalah Yang-kong.
Yang-kong atau sinar matahari menjadi milik semua
orang, siapa pun tak bisa mengangkanginya seorang diri.
Tapi bagaimana dengan Pova"
Mendadak Siau-hong bangkit dan bertanya, "Dapatkah
sekarang juga kau ajak aku pergi mencarinya?"
"Sekarang?" Yang-kong nampak agak tercengang,
"Sekarang juga kau akan pergi mencari perempuan?"
"Bukan hanya mencari perempuan, aku ingin minum
arak." Tempat ini merupakan tanah suci, tanah suci jelas
berbeda dengan tempat lain, banyak larangan berlaku di
tempat ini, karenanya hanya di tempat gelap baru akan
ditemukan arak dan perempuan.
Siau-hong menjumpai perempuan ini mirip Pova,
seorang wanita kurus, lemah, dan tenang.
Saat ini dia sudah mabuk berat.
Mabuk di tanah suci memang tak beda jauh dengan
mabuk di tempat lain.
Pagi hari. Siau-hong berjalan keluar dari balik lorong kecil dan
sempit, dia merasakan kepalanya pening, kerongkongannya
haus, dan tubuhnya lunglai. Perasaan yang dialami pun
tidak jauh berbeda dengan perasaan yang dia alami di
tempat lain, sehabis sadar dari mabuk.
Cahaya matahari sedang menyoroti di atas sebuah
dinding, cahaya matahari berwarna kuning keemas-emasan,
bukan cahaya berwarna biru.
Seorang bocah berpakaian lusuh, berambut kusut, dan
berwajah busam, dengan membawa sebuah kaleng besi
sedang berjongkok di bawah dinding, ia menundukkan
kepala sambil mengamati kalengnya, memandangnya
dengan terpesona, seakan-akan di dunia ini tak ada benda
lain yang lebih menarik daripada barang dalam kaleng itu.
Di dunia yang begini lebar, banyak terdapat kejadian
iseng, seperti isengnya perasaan Siau-hong saat ini.
Seseorang yang iseng, sehabis melakukan perbuatan
iseng hampir semalaman perasaannya selalu begitu.
Tiba-tiba muncul keisengan di hati kecilnya, dia ingin
melihat apa isi kaleng di tangan bocah itu.
Ternyata kaleng itu berisikan ulat, penuh dengan
berbagai ulat kecil yang sedang bergerak.
"Ulat apa itu?" tanya Siau-hong.
"Bukan ulat."
"Kalau bukan ulat, lalu apa?" tanya Siau-hong
membelalakkan mata keheranan.
"Walaupun dalam pandanganmu mereka adalah ulat,
namun dalam pandangan mata sahabatku, mereka adalah
santapan yang paling lezat."
Ia mengangkat wajah menatap Siau-hong, walaupun


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wajahnya bau setengah mati, namun dia memiliki sepasang
mata yang besar dan bersinar, jelas pancaran mata seorang
bocah cerdas. "Karena sahabatku bukan manusia, melainkan burung,"
ia menambahkan.
Siau-hong segera tertawa, tiba-tiba ia merasa bocah ini
menarik sekali, ucapannya penuh bermakna, maka sengaja
tanyanya, "Sudah jelas kau adalah manusia, mengapa harus
bersahabat dengan burung?"
"Karena tak ada orang bersedia menjadi sahabatku,
hanya burung yang bersedia menjadi temanku. Ada teman
rasanya jauh lebih baik daripada sama sekali tak berteman."
Sudah jelas dia adalah seorang bocah, namun apa yang
dia ucapkan seakan bukan perkataan yang muncul dari
mulut seorang bocah.
Perkataannya ini segera menyentuh hati kecil Siau-hong,
membuatnya terperana.
"Betul, punya teman memang jauh lebih baik daripada
tak berteman," Siau-hong menghela napas panjang,
"Terkadang bersahabat dengan burung jauh lebih baik
daripada bersahabat dengan manusia."
"Mengapa?"
"Karena manusia dapat berbohong, dapat menipu,
mencelakai, sebaliknya burung tidak."
Siau-hong sudah siap meninggalkan tempat itu, dia tak
ingin bocah kecil yang masih polos ini ternoda karena
kelewat banyak tahu kelicikan dan kebusukan hati orang
dewasa. Tiba-tiba bocah itu bertanya lagi, "Bagaimana dengan
kau sendiri" Baikkah sikapmu terhadap temanmu?"
Pertanyaannya kedengaran sangat aneh, ia bertanya lagi,
"Bila kau mempunyai seorang sahabat yang membutuhkan
bantuanmu, berharap kau pergi menengoknya, apakah kau
bersedia mengunjunginya?"
Siau-hong segera berpaling, tanyanya sambil menatap
wajah bocah itu, "Kalau aku bersedia lantas kenapa?"
"Kalau kau bersedia, sekarang juga ikutilah aku."
"Ikut kau?" tanya Siau-hong, "Kenapa harus mengikuti
kau?" "Karena aku adalah orang yang dikirim sahabatmu itu
untuk mencarimu," sahut si bocah, "Aku sudah semalam
suntuk menunggumu di sini."
"Jadi kau tahu siapakah aku?" Siau-hong semakin
terperangah. "Tentu saja tahu, kau she Hong, orang lain
memanggilmu Siau-hong setengah mati."
"Lantas siapakah sahabatku itu?"
"Aku tak boleh menyebut namanya."
"Kenapa?"
"Karena dia minta aku menjaga rahasia, aku telah
menyanggupi. Sekalipun kau membunuhku, aku tak bakal
mengatakannya."
Tak bisa disangkal lagi rasa ingin tahu Siau-hong telah
terpancing oleh kejadian ini.
Sekaleng ulat, seorang bocah, seorang sahabat yang
butuh bantuannya dan sebuah rahasia yang sampai mati
pun tak akan diucapkan.
Dia sama sekali tak menyangka kalau semua kejadian itu
dapat dirangkai menjadi satu, namun dia tak habis mengerti
apa sangkut-paut dan hubungannya semua ini.
"Baik," akhirnya Siau-hong mengambil keputusan, "Aku
akan pergi bersamamu, sekarang juga berangkat."
Si bocah cilik itu tidak langsung berangkat, ia justru
menggunakan sepasang matanya yang bulat besar untuk
menatap wajahnya lekat-lekat.
"Aku dapat menyimpan rahasia sahabatmu, bagaimana
dengan kau?" ia bertanya, "Apakah kau pun dapat
menyimpan rahasia sahabatmu?"
Siau-hong manggut-manggut.
Tiba-tiba bocah itu merangkak bangun, menggunakan
tangannya yang dekil ia menarik tangan Siau-hong seraya
berseru, "Kalau begitu, ikutlah aku!"
Dari kejauhan terdengar suara genta yang dibunyikan
bertalu-talu, menyusul terdengar suara pembacaan doa yang
berkumandang mengikuti hembusan angin, puncak pagoda
tampak membiaskan cahaya keemasan ketika tertimpa sinar
matahari. Semua ini menambah keangkeran dan keseriusan
suasana di kota suci ini.
Di sisi lain, dalam lorong kecil yang kotor dan gelap,
hidup berdesakan kaum papa yang miskin, berstatus sosial
rendah serta aneka macam manusia lainnya, dewa mereka
seolah tak menggubris doa permohonan yang mereka
panjatkan, seolah segan mengulurkan tangannya merawat
dan memperhatikan kehidupan mereka.
Sekalipun begitu, orang-orang itu tak pernah
menggerutu, tak pernah mengeluh.
Si bocah dengan menarik tangan Siau-hong, menelusuri
kerumunan orang banyak, menembus lorong sempit dan
tiba di depan sebuah biara yang besar dan megah.
"Tempat manakah ini?"
"Biara Ta-cau-si!"
Mau apa dia mendatangi biara Ta-cau-si" Apakah teman
yang misterius itu sedang menanti kedatangannya di kuil
Ta-cau-si"
Tampaknya bocah itu sengaja tidak memberi kesempatan
kepada Siau-hong untuk banyak bertanya, dengan cepat dia
menarik tangannya dan menerobos masuk di antara para
peziarah yang sedang berdoa.
Biarpun dia hanya seorang bocah, namun apa yang dia
lakukan sama sekali tak mirip perbuatan seorang bocah.
Biara yang nampak megah dan mentereng itu justru
disinari cahaya yang redup, cahaya api yang terpancar dari
beribu batang lilin raksasa serta lentera tembaga yang
berminyak sapi, bergoyang tak hentinya ketika terhembus
angin. Di atas dinding biara yang tinggi terukir beberapa puluh
patung dewa, sementara patung raksasa yang berada di
bagian tengah altar berwajah mengerikan dengan tujuh
warna yang berbeda. Ketika terbias cahaya lilin, patung itu
terasa lebih menyeramkan dan penuh diliputi misteri.
Mungkin kekuatan itulah membuat konsentrasi orang
nyaris terenggut, membuat setiap orang serasa lupa diri,
bahkan ada di antara peziarah yang memborgol kakinya
dengan rantai besi sambil merangkak di dalam ruang
utama. Siau-hong dapat memahami makna semua kelakuan
yang mereka lakukan, memang banyak manusia di dunia
ini yang berharap dengan penyiksaan tubuh sendiri, mereka
dapat menghilangkan semua dosa dan kesalahan yang
pernah dilakukannya.
Bahkan dia sendiri pun seolah ikut terhanyut dan
tenggelam ke dalam perasaan yang seolah nyata tapi seolah
khayal ini, suatu perasaan yang aneh dan penuh misteri.
Tiba-tiba saja dia memahami betapa agung dan besarnya
kekuatan suatu ajaran agama.
Udara terasa dipenuhi bau kecutnya susu dan harumnya
dupa, hembusan angin serasa mengalunkan suara genta
yang berbunyi lirih, di balik bayangan kegelapan semu
terbias cahaya lilin yang bergoyang terhembus angin....
Tiba-tiba bocah itu berhenti, persis di depan sebuah liang
batu di sudut dinding kanan yang berbentuk cekung.
Di dalam liang batu itu tergantung sebuah lukisan
dinding yang menyeramkan, lukisan itu menggambarkan
setan wanita berwajah menyeramkan yang sedang mengisap
isi otak seseorang.
Gambar itu dilukis amat teliti dan sempurna hingga
tampak begitu hidup, sekalipun Siau-hong tahu setan
wanita itu hanya berupa sebuah lukisan, entah mengapa
hatinya terasa sangat tidak nyaman.
Mendadak bocah itu bertanya, "Tahukah kau siapakah
orang ini" Mengapa setan wanita itu harus menghisap isi
otaknya?" Tentu saja Siau-hong tidak tahu.
"Karena dia adalah seorang yang ingkar janji," bocah itu
menerangkan, "Karena ia berjanji akan menyimpan rahasia
sahabatnya, namun tak pernah dia lakukan."
"Tampaknya kau tidak begitu mempercayai aku?" sela
Siau-hong sambil tertawa getir.
"Sekarang kita masih bukan teman, tentu saja aku tak
bisa mempercayai dirimu."
Dari balik matanya yang bulat besar, terbesit sinar
kelicikan dari mata bocah itu, ujarnya lebih jauh, "Bila ingin
kuajak ke sana, kau harus bersumpah lebih dulu, bila kau
mengingkari sumpahmu, selama hidup akan seperti nasib
orang itu, sepanjang masa disiksa dan didera kekejian setan
wanita ini."
Sebenarnya siapakah sahabat bocah itu" Mengapa
jejaknya begitu rahasia dan misterius"
Siau-hong pun bersumpah.
Dia tak takut pembalasan dari dewa atau setan, namun
selama hidup belum pernah mengkhianati orang lain. Satusatunya
orang yang ia merasa bersalah padanya hanyalah
pada diri sendiri.
Bocah itu tertawa, tertawa senang.
"Ternyata kau memang orang baik," kembali dia menarik
tangan Siau-hong, "Sekarang aku benar-benar akan
membawamu ke sana."
"Ke mana?"
"Ke rumah burung! Temanmu maupun temanku
semuanya berada di sana!"
Rumah burung adalah sebuah rumah kayu yang
berbentuk sangat aneh, rumah itu dibangun di atas sebuah
tebing karang yang menonjol ke atas, rumah kayu yang
berada di antara kerumunan beberapa batang pohon besar.
Rumah itu dikelilingi pagar kayu, di atas wuwungan
rumah penuh tergantung sangkar burung.
Sangkar itu dibuat sangat bagus dan berseni, kicauan
aneka burung terdengar begitu merdu merayu, bahkan ada
beberapa jenis burung yang bukan saja tak diketahui
namanya, bahkan Siau-hong belum pernah melihatnya.
"Semua sangkar burung itu adalah hasil karyaku."
Berkilat sinar terang dari balik mata bocah itu,
tampaknya dia merasa bangga atas kemampuannya itu.
"Dapatkah kau lihat apa keistimewaan sangkar-sangkar
itu?" Tanpa diberitahupun Siau-hong telah melihatnya,
walaupun semua sangkar itu berpintu, namun seluruh pintu
sangkar berada dalam keadaan terbuka.
"Aku tak ingin mengurung mereka di dalam sangkar
bagaikan tawanan saja, asal mereka senang, setiap saat
mereka bisa terbang pergi dari sini," kata bocah itu, "Akan
tetapi biarpun mereka telah terbang pergi, kadangkala akan
balik lagi."
Senyuman cerah kembali menghiasi wajahnya yang
dekil. "Karena mereka tahu bahwa aku adalah sahabat
mereka." "Di manakah sahabatku itu?" tak tahan Siau-hong
bertanya. Sambil menuding sebuah pintu kayu yang teramat
sempit, sahut bocah itu, "Temanmu berada di dalam sana."
Di balik rumah kayu itu lebar dan luas, dinding yang
terbuat dari kayu tampak sudah dimakan usia, bahkan di
sana sini ada yang mulai retak dan berlubang, tak disangkal
bangunan tua ini sudah dibangun sangat lama, jauh
sebelum kelahiran bocah cilik itu.
Di dalam ruang kayu yang luas, terdapat sebuah meja
kayu yang rendah dan pendek, sebuah tungku api yang
amat besar serta seseorang.
Di atas tungku api itu berjajar rak besi yang dipakai
untuk membakar makanan, sementara orang itu duduk di
lantai membelakangi pintu.
Dia sama sekali tidak berpaling ketika Siau-hong berjalan
masuk, dia pun tidak menegur.
Bayangan punggung orang itu amat kurus, sepasang
bahunya agak miring ke bawah dan mencerminkan
kesepian yang tak terlukiskan dengan perkataan, seolah di
dunia ini jarang ada orang yang bisa mengusiknya,
memancing perhatian darinya.
Andaikata kau pun seorang jago persilatan yang kaya
akan pengalaman, maka dari bayangan punggung
seseorang, kau dapat melihat banyak sekali persoalan yang
terjadi. Pengalaman Siau-hong sendiri meski belum terhitung
banyak, tapi begitu menyaksikan bayangan punggung orang
itu, dia pun segera mengambil satu kesimpulan....
Dia belum pernah bertemu orang ini, apalagi kenal orang
itu. Asal dia kenal seseorang, cukup melihat bayangan
punggungnya pun ia pasti dapat mengenalinya.
Oleh karena itu dia sangat yakin orang ini bukan
sahabatnya. Tentu saja siapa pun tak akan bersahabat dengan
seseorang yang selama hidup belum pernah ditemuinya.
Lalu siapakah orang ini" Mengapa harus mengaku
sebagai sahabat Siau-hong" Mengapa dia meminta seorang
bocah untuk mengajak Siau-hong datang menemuinya"
Siau-hong segera berhenti tak bergerak.
Sewaktu berjalan, dia lincah dan gesit, tapi begitu
berhenti bergerak, ia berdiri sangat mantap, seakan sebatang
paku raksasa yang menancap di atas permukaan tanah.
Ooo)d*w(ooO BAB 12. MISTERI DALAM RUMAH BURUNG
Dia telah membuat persiapan, persiapan untuk
menghadapi segala kemungkinan yang terjadi, termasuk
sergapan kilat yang dilancarkan secara tiba-tiba.
Ia sama sekali tidak bergerak, ia merasa orang ini bukan
seseorang yang berbahaya.
"Akulah Siau-hong, aku telah datang," ujarnya
kemudian.

Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang itu belum juga berpaling, sampai lama kemudian
perlahan-lahan baru mengangkat tangan kanannya,
menunjuk meja di depannya dan menyahut lirih, "Duduk!"
Suaranya lemah dan lirih, tangannya dibalut kain putih,
bahkan lamat-lamat masih kelihatan darah yang meleleh.
Tak disangkal lagi orang ini terluka, bahkan tidak ringan
luka yang dideritanya.
Siau-hong semakin yakin kalau dia tak pernah kenal
orang ini, namun pemuda itu tetap berjalan
menghampirinya.
Jelas orang ini bukan tandingannya, serta-merta
kesiagaannya menghadapi bahaya pun berangsur
mengendor. Setelah melewati meja pendek, ia berjalan menuju ke
hadapan orang itu.
Sesaat setelah dia menjumpai wajah orang itu, tiba-tiba
saja perasaannya serasa tenggelam, rasa dingin yang
menggidikkan tiba-tiba tenggelam hingga merasuk ke dasar
telapak kakinya.
Ternyata Siau-hong pernah bertemu orang ini, tentu saja
kenal pula orang ini.
Sekalipun orang ini adalah musuh tangguh Siau-hong,
namun andaikata dia ingin menganggap dia sebagai
sahabatnya, Siau-hong pun pasti tak akan menolak.
Ada semacam manusia memang selalu berada pada
posisi antara teman dan musuh, seorang musuh yang patut
dihormati, bahkan terkadang jauh lebih sulit diperoleh
daripada menemukan seorang sahabat sejati.
Siau-hong selalu menghormati manusia semacam ini.
Tadi dia tak dapat mengenali orang ini karena orang itu
telah mengalami perubahan total, berubah jadi amat
memilukan tapi sangat menakutkan.
Seorang wanita yang maha cantik tiba-tiba berubah jadi
nenek jelek, sebilah senjata mestika mendadak berubah jadi
besi rongsokan.
Sekalipun kehendak takdir sukar diramalkan, walaupun
kejadian di dunia mudah berubah, namun perubahan yang
terjadi atas diri orang ini tak urung menimbulkan juga
perasaan sedih dan iba yang mendalam.
Siau-hong sama sekali tak mengira seorang jago pedang
yang luar biasa, kini telah berubah jadi begini rupa.
Ternyata orang ini tak lain adalah Tokko Ci.
Siau-hong betul-betul menjadi setengah gila.
Bukan gila karena pedang, tapi gila oleh gejolak
perasaan. Seorang yang gila pedang selamanya tak akan bisa
memahami kepedihan yang dialami seorang gila karena
perasaan, tapi seorang yang betul-betul gila karena perasaan
pasti dapat memahami penderitaan karena kesepian,
kesendirian yang dialami seorang yang gila pedang.
Seorang jago pedang tak ternama karena dia sudah
tergila-gila oleh pedang, bila seorang gila pedang tiba-tiba
kehilangan pedangnya, bagaimana tersiksa dan
menderitanya perasaan orang itu"
Bila dia telah kehilangan pedang yang digenggamnya,
perasaan apa pula yang mencekam hatinya saat itu"
Akhirnya Siau-hong mengambil tempat duduk.
"Rupanya kau!" ia berbisik.
"Ya, memang aku," jawaban Tokko Ci tenang tapi
lemah, "Kau tentu tak menyangka bukan kalau aku yang
datang mencarimu."
"Benar, aku sama sekali tak menyangka."
"Aku mencarimu karena aku tak punya teman.
Meskipun kau pun bukan temanku, namun aku tahu kau
pasti akan datang." Siau-hong tidak berkata lagi.
Ada banyak persoalan dapat dia tahan untuk tidak
ditanyakan, namun dia tak dapat mengendalikan
keinginannya untuk memandang tangannya.
Tangan yang selama ini hanya digunakan untuk
menggenggam pedang, kini sudah berubah menjadi sebuah
tangan yang dibalut dengan kain putih.
Tokko Ci sendiri pun tidak berkata apa-apa, tiba-tiba saja
dia melepas kain putih yang membalut tangannya.
Tulang tangannya telah hancur hingga berubah bentuk,
nyaris setiap kerat tulangnya telah retak atau hancur.
Padahal pedang adalah nyawanya dan sekarang dia telah
kehilangan tangan yang menggenggam pedang itu... ibarat
penyair kehilangan kata indah, wanita cantik berubah
tinggal kerangka, kuda jempolan tak mampu lari dan
pedang emas terkubur dalam tanah.
Tiba-tiba saja muncul perasaan kecut di hati kecil Siauhong,
suatu perasaan yang tak terlukiskan dengan kata-kata,
semacam rasa linu karena tusukan jarum yang menyentuh
hingga ke tulang.
Tokko Ci telah berubah, berubah jadi begitu lemah dan
layu, berubah jadi tak bersinar, berubah begitu
mengenaskan hingga membuat yang melihat jadi iba dan
sedih. Hanya ada satu hal yang sama sekali tak berubah.
Dia masih sangat tenang, tenteram, tenang bagai batu
karang, tenteram bagai jagat raya.
Jago pedang tak berperasaan, jago pedang tak ternama,
jago pedang pun tak akan meneteskan air mata.
Bahkan sorot mata Tokko Ci sama sekali tiada
perubahan perasaan atau emosi, dia hanya mengawasi
tangannya yang telah hancur itu dengan pandangan tenang.
"Kau seharusnya dapat melihat, bukan" Tulang tanganku
telah hancur," katanya, "Hanya satu orang yang dapat
menghancurkan tanganku."
Hanya satu orang, memang hanya ada satu orang, Siauhong
percaya akan hal itu, Siau-hong pun tahu siapa orang
yang dimaksud. Tokko Ci sadar pemuda itu pun tahu.
"Po Eng bukan jago pedang, bukan pendekar, juga bukan
seorang Enghiong, sama sekali bukan."
"Lantas siapakah dia?" tanya Siau-hong.
"Po Eng adalah manusia luar biasa," sikap Tokko Ci
tetap sangat tenang, "Dalam hatinya hanya ada
kemenangan, tak ada kalah, hanya boleh menang, tak boleh
kalah. Untuk memperoleh kemenangan, dia tak segan
mengorbankan segalanya."
Siau-hong mengakui hal ini, mau tak mau harus
mengakui. "Dia sendiri pun tahu dirinya bukan tandinganku," ujar
Tokko Ci lebih lanjut, "Sewaktu dia datang menantangku
berduel pun, aku juga tahu dia pasti kalah."
"Tapi kenyataan dia tidak kalah."
"Dia tidak kalah, meskipun tidak menang, namun dia
pun tidak kalah, manusia semacam dia selamanya memang
tak bakal kalah," sekali lagi Tokko Ci mengulangi katakatanya,
"Karena dia tak segan untuk mengorbankan
segalanya."
"Apa yang dia korbankan?" mau tak mau Siau-hong
bertanya, "Bagaimana caranya berkorban?"
"Dia sengaja membiarkan aku menusuk dadanya,"
Tokko Ci menerangkan, "Di saat ujung pedangku menusuk
dadanya itulah tiba-tiba ia mencengkeram tanganku,
menghancurkan tulang tanganku ini."
Ternyata suaranya masih sangat tenang, "Waktu itu aku
yakin pasti menang, kenyataan memang menang. Saat itu
seluruh pikiran dan ujung pedangku telah terjadi kontak
langsung dengan darah dagingnya, hawa pedangku telah
melemah, pedang pun telah terhadang oleh darah
dagingnya, saat seperti ini merupakan saat paling lemah
bagiku." Siau-hong mendengarkan dengan tenang, mau tak mau
harus mendengar, dia pun tak berpikir untuk tidak
mendengar. Tokko Ci jarang sekali berbicara selama ini,
mendengarkan perkataannya seperti mendengar seorang
pelacur kenamaan sedang membicarakan soal cinta, seperti
seorang pendeta agung sedang membicarakan keagamaan.
"Semuanya hanya terjadi dalam sekejap, tahukah kau
berapa lama waktu sekejap itu?" tiba-tiba Tokko Ci
bertanya. Tentu saja Siau-hong mengerti.
Dia tahu, waktu "sekejap" itu sangat pendek,
dibandingkan "berkelebatnya kuda jempolan" jauh lebih
pendek lagi. "Waktu sekejap adalah ungkapan kaum Buddha," Tokko
Ci menerangkan, "Waktu dalam satu sentilan jari itu berarti
enam puluh tahun."
Perlahan-lahan dia melanjutkan, "Saat itu adalah saat
penentuan antara hidup dan mati, menang dan kalah. Pada
hakikatnya memang hanya bisa dilukiskan sebagai waktu
sekejap, Po Eng memanfaatkan baik-baik waktu sekejap itu,
karenanya dia tak akan terkalahkan!"
Dalam waktu sekejap itulah mati hidup, menang kalah
telah ditentukan, dalam waktu sekejap itu pula nasib
kehidupan seseorang akan berubah, berubah untuk
selamanya. Waktu yang sekejap itu benar-benar menakutkan,
menggetarkan sukma dan mengerikan!
Akan tetapi Tokko Ci masih tetap menjaga
ketenangannya sewaktu membicarakan soal waktu sekejap,
dia masih dapat mempertahankan ketenteraman hatinya.
Dalam hal ini mau tak mau Siau-hong harus
mengaguminya. Tokko Ci bukan pelacur kenamaan, bukan pendeta
agung, yang dibicarakan bukan masalah cinta, juga bukan
masalah agama. Yang dia singgung adalah masalah pedang, teori ilmu
pedang. Namun yang dikagumi Siau-hong bukan hal itu, Tokko
Ci memang seharusnya berbicara soal pedang, karena dia
sudah dibuat tergila-gila karena pedang. Yang dikagumi
Siau-hong adalah ketenangan hatinya.
Jarang sekali ada orang yang masih dapat menjaga
ketenangan hatinya dalam situasi seperti ini, termasuk Siauhong
sendiri. Kelihatannya Tokko Ci dapat menembusi jalan
pikirannya. "Aku telah mempersembahkan seluruh hidupku demi
pedang, tapi mulai sekarang kemungkinan besar aku sudah
tak dapat menggenggam pedang lagi, tapi aku tak menjadi
gila karena kejadian ini, semangatku pun tak akan runtuh
karena hal ini."
Kemudian ia bertanya kepada Siau-hong, "Apakah kau
merasa sangat heran?"
Mau tak mau Siau-hong harus mengakuinya.
Kembali Tokko Ci bertanya, "Inginkah kau mengetahui
apa sebabnya aku masih belum roboh?"
Tanpa menunggu jawaban Siau-hong, dia telah
mengatakan sendiri jawabannya.
"Karena Po Eng meski berhasil menghancurkan tangan
yang kugunakan untuk menggenggam pedang, namun dia
tak pernah mampu menghancurkan niat pedang yang
tertanam di hatiku. Sekalipun dalam tanganku sudah tiada
pedang, akan tetapi dalam hatiku masih terdapat sebilah
pedang." "Pedang dalam hati?"
"Betul, pedang dalam hati itu tidak kosong, bukan semu,
dan bukan ilusi."
Sikap dan suaranya tiba-tiba berubah jadi serius dan
bersungguh-sungguh.
"Biarpun dalam genggamanmu terdapat pedang tajam
yang mampu memutus bulu dan rambut, namun selama di
hatimu tiada pedang, maka pedang yang berada dalam
genggamanmu tak lebih hanya sebilah pedang rongsok,
sebilah pedang yang sama sekali tak berguna, selama hidup
kau tak pernah akan mampu menjadi seorang pendekar
pedang sejati."
Dengan hati menggerakkan pedang, dengan niat melukai
musuh, inilah teori ilmu pedang tingkat tinggi.
Walaupun Siau-hong belum dapat memahami inti
perkataan itu, namun dia sendiri pun tahu, untuk menjadi
seorang jago pedang sejati, hati dan pedang harus dapat
dilebur menjadi satu.
Bila hati dan pedang telah terlebur menjadi satu,
mengendalikan gerak pedang dengan pikiran pun bukan
suatu dongeng belaka.
Melebur pedang dengan hati merupakan tingkat paling
tinggi yang harus bisa dicapai setiap jago pedang. Kalau
tidak, pada hakikatnya dia tak pernah akan mampu menjadi
seorang jago pedang sejati.
Kembali Tokko Ci berkata, "Biarpun Po Eng tidak kalah,
namun dia pun tidak menang. Sekalipun dia berhasil
menghancurkan tanganku, meski dia berhasil memaksa aku
tak bisa menggenggam pedang lagi, namun aku masih tetap
bisa membunuhnya, membunuhnya di ujung pedangku."
"Lantas mengapa kau tidak membunuhnya?"
"Karena dalam hatiku tetap masih ada pedang, aku pun
seperti dia, di dalam hati kami tiada kata mati atau hidup,
yang ada hanya menang atau kalah. Yang kami
perjuangkan bukanlah kehidupan melainkan kemenangan,
benar-benar mengalahkan dia, menghancurkan dirinya."
Siau-hong memandang tangannya sekejap, kemudian
bertanya, "Jadi kau masih mempunyai kesempatan untuk
mengalahkan dirinya?"
"Aku pasti dapat mengalahkan dia!" jawaban Tokko Ci
penuh dengan niat serta rasa percaya diri.
Akhirnya Siau-hong mengerti, justru karena dia masih
memiliki niat dan rasa percaya diri, maka sikapnya masih
dapat tenang dan tenteram.
Kembali Tokko Ci berkata, "Oleh karena aku harus
dapat mengalahkan dia, maka kucari dirimu. Aku tak dapat
mencari orang lain, karenanya terpaksa mencarimu."
Setelah menatap tajam Siau-hong, kembali terusnya,
"Inilah rahasia di antara kita berdua, kau tak boleh
membocorkan rahasiaku ini, kalau tidak, aku pasti mati."
"Kau pasti mati" Kau anggap Po Eng bakal datang


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membunuhmu?"
"Bukan Po Eng, melainkan Wi Thian-bong sekalian."
Setelah menatap sekejap tangan sendiri, kembali Tokko
Ci meneruskan, "Mereka menganggap aku adalah orang
cacat yang tak berguna. Asal mengetahui jejakku, mereka
pasti tak akan melepaskan aku, karena rahasia yang
kuketahui kelewat banyak, bahkan belum pernah
memandang sebelah mata terhadap mereka."
"Oleh sebab itu mereka membencimu?" kata Siau-hong,
"Aku pun dapat melihat semua membencimu, selain benci
juga takut, sekarang kau sudah tidak memiliki kemampuan
yang bisa membuat mereka takut, tentu saja mereka akan
datang membunuhmu."
"Itulah sebabnya aku mencarimu," sela Tokko Ci, "Aku
berharap kau dapat melakukan dua hal untukku."
"Katakan."
"Aku butuh uang, setiap sepuluh hari satu kali kau
bawakan dua ratus tahil perak untukku, sewaktu kemari
jangan sampai jejakmu ketahuan oleh siapa pun."
Tokko Ci tidak menjelaskan untuk apa uang sebanyak
itu, Siau-hong sendiri pun tidak bertanya.
"Aku pun minta kau membantuku pergi membunuh
seseorang."
Ternyata dia minta Siau-hong mewakilinya membunuh
seseorang! "Kita bukan teman. Sebagai jago pedang, bukan saja
tiada perasaan, tiada nama, tiada air mata, juga tiada
sahabat," ucap Tokko Ci, "Sejak dilahirkan, kita sudah
ditakdirkan bermusuhan, karena kau pun belajar pedang,
aku pun ingin mengalahkan kau, terlepas apa pun yang
pernah kau lakukan untukku. Aku tetap akan mengalahkan
kau." Setelah berhenti sejenak, perlahan-lahan lanjutnya, "Kau
pun seharusnya tahu, bila kalah di ujung pedangku berarti
mati." Tentu saja Siau-hong tahu.
"Oleh sebab itu kau boleh menampik permintaanku dan
aku tak akan membencimu," kata Tokko Ci lagi, "Apalagi
pekerjaan yang ingin kuserahkan kepadamu bukanlah
pekerjaan gampang."
Kedua permintaannya memang bukan pekerjaan
gampang. Setiap sepuluh hari mengirim dua ratus tahil perak,
sebuah jumlah yang tidak terhitung kecil, Siau-hong bukan
orang berduit, kenyataan saat ini dia memang sama sekali
tak berduit, kantongnya bersih bagaikan baru keluar dari
cucian. Siau-hong terlebih tak ingin sembarangan membunuh
orang. Dia seharusnya menampik permintaan Tokko Ci, karena
pada hakikatnya mereka bukan sahabat, melainkan musuh.
Kemungkinan besar suatu saat nanti dia bakal mati di
ujung pedang Tokko Ci. Sejak perjumpaan pertama, dia
sudah merasakan semacam firasat yang tidak
menguntungkan. Namun dia tak dapat menampik permintaannya.
Dia tak bisa menampik permintaan dari seorang musuh
yang masih mempercayainya seratus persen kendati dia
sedang menghadapi ancaman bahaya.
"Boleh saja aku menerima permintaanmu," kata Siauhong,
"Namun aku harus bertanya lebih dulu tentang dua
hal itu." Pertanyaan pertama yang ingin dia tanyakan adalah,
"Kau yakin orang lain tak bakal menemukan tempat ini?"
Meskipun tempat itu sangat rahasia letaknya, bukan
berarti tempat yang susah untuk ditemukan.
Jawaban Tokko Ci ternyata sangat meyakinkan, "Dulu
tempat ini ditinggali seorang pertapa, dia pun seorang jago
pedang, semua anggota sukunya sangat menaruh hormat
kepadanya, belum pernah ada orang berani datang
mengusiknya. Jadi orang lain tak akan menyangka kalau
aku pun bisa datang ke tempat ini."
"Kenapa?"
"Karena jago pedang itu sudah mati di ujung pedangku,"
ucap Tokko Ci, "Dua bulan berselang, aku baru tiba di sini
dan membunuhnya di bawah pohon kuno di luar sana."
Siau-hong menarik napas dalam, lalu menghembuskan
perlahan-lahan, tanyanya kemudian, "Apakah bocah itu
adalah putranya?"
"Benar!"
"Kau telah membunuh ayahnya, bersembunyi di sini,
dan minta dia menampungmu, menjaga rahasia
untukmu...."
"Aku tahu dia pasti akan menyimpan rahasia untukku,
karena dia ingin balas dendam, karena itu dia tak akan
membiarkan aku mati di tangan orang lain, di kolong langit
saat ini, hanya aku yang bisa mengajarkan ilmu pedang
kepadanya, ilmu pedang yang mampu mengalahkan aku."
"Kau bersedia mewariskan ilmu pedang kepadanya?"
"Aku telah menyanggupi permintaannya," kata Tokko Ci
hambar, "Aku berharap dia pun dapat membalas dendam
ayahnya, mencabut nyawaku di ujung pedangnya."
Siau-hong merasakan jari tangannya dingin kaku.
Dia bukannya tak dapat memahami perasaan semacam
ini, di balik watak manusia, sesungguhnya memang
dipenuhi pertentangan batin yang memilukan, justru karena
dia memahami perasaan semacam ini maka hatinya merasa
amat ketakutan.
Tokko Ci pasti akan pegang janji, di kemudian hari besar
kemungkinan bocah itu akan berubah menjadi seorang jago
pedang yang lebih tak berperasaan, cepat atau lambat, suatu
saat dia pun akan membunuh Tokko Ci, kemudian
menunggu kedatangan jago pedang tak berperasaan lain
yang akan mengakhiri hidupnya.
Bagi orang-orang semacam mereka, kehidupan tidaklah
terlalu penting, baik kehidupan orang lain maupun
kehidupan diri sendiri, bagi mereka hal itu sama saja.
Mereka hidup karena untuk menyelesaikan sebuah
persoalan, mencapai sebuah tujuan tertentu, di luar itu
semua, tak satu pun masalah yang akan mereka pikirkan.
Cahaya matahari di luar pintu telah menyinari seluruh
permukaan bumi, kicau burung di bawah wuwungan rumah
pun terdengar riuh dan berisik.
Padahal kehidupan itu sangat indah dan menawan,
mengapa justru ada manusia yang memandang ringan hal
itu, menganggap suatu kehidupan begitu tak berharga.
Perlahan-lahan Siau-hong bangkit, kini dia tinggal
mempunyai satu pertanyaan yang ingin ditanyakan, satu
pertanyaan untuk dua persoalan.
"Mengapa kau minta aku pergi membunuh seseorang?"
tanyanya, "Siapa yang harus kubunuh?"
"Karena kalau dia tidak mati duluan, maka selamanya
aku tak pernah dapat melakukan pekerjaan yang ingin
kulakukan," Tokko Ci menjawab pertanyaannya pertama,
"Hanya Po Eng yang dapat menghancurkan tanganku yang
menggenggam pedang, tapi orang ini dapat mematahkan
pedang yang berada dalam hatiku."
Dalam hati sebetulnya tak ada pedang, kalau pedang
berada di dalam hati, siapa yang dapat mematahkannya"
Bila ingin mematahkan pedang dalam hati seseorang, dia
harus menghancurkan hati orang itu terlebih dulu, mana
mungkin seorang jago pedang yang tak berperasaan, tak
ternama, tak punya air mata bisa hancur perasaannya"
Dari balik mata Tokko Ci yang dingin dan hambar tibatiba
terjadi perubahan yang sangat aneh, seakan sebilah
senjata tajam yang telah berulang kali membunuh orang
tiba-tiba diceburkan kembali ke dalam kobaran api yang
membara. Siapa pun tak menyangka kalau dari balik matanya bisa
muncul perubahan mimik muka yang begitu menderita dan
tersiksa. "Dia adalah seorang wanita, seorang iblis wanita, setiap
kali bertemu dengannya, aku tak sanggup mengendalikan
diriku. Biarpun aku tahu perempuan macam apakah
dirinya, namun tak mampu melepaskan diri dari jeratnya.
Selama dia belum mati, sepanjang hidup aku harus tersiksa,
menjadi budaknya, menjadi pelayannya."
Siau-hong tidak bertanya siapakah perempuan itu.
Dia tak berani bertanya. Tiba-tiba dari dasar hati
kecilnya muncul sebuah pikiran yang membuat dia sendiri
pun merasa ketakutan setengah mati.
Tiba-tiba saja dia teringat lukisan dinding yang
dilihatnya dalam kuil kuno, wajah perempuan iblis yang
sedang mengisap otak seseorang, wajahnya yang jelek, buas
dan menakutkan seakan-akan berubah secara tiba-tiba
menjadi selembar wajah perempuan.
Sebuah wajah perempuan yang amat cantik.
Tokko Ci berkata lebih lanjut, "Aku tahu, dia pasti
berada pula di Lhasa, sebab dia tak akan melepaskan Po
Eng, juga tak akan melepaskan diriku."
"Kenapa?" tanya Siau-hong.
"Karena Po Eng adalah begal kucing, dialah si begal
kucing," kata Tokko Ci, "Dia pasti mengikuti Po Eng
datang ke Lhasa, dia pun memiliki sebuah tempat
persembunyian yang amat rahasia di kota Lhasa ini."
"Di mana?"
"Di pusat istana Potala, di sisi istana merah, tempat
Dalai Lhama melewatkan musim dinginnya, dalam sebuah
ruang pendeta yang amat kecil dan sempit," kata Tokko ci,
"Hanya dia yang sanggup menyusup ke pusat istana Potala,
karena Lhama pun lelaki, tak ada lelaki yang bisa menolak
permintaannya."
Siau-hong tidak menunggu lebih lama, dia sudah
berjalan keluar dari tempat itu.
Dia tak ingin mendengarnya lagi, tak ingin mendengar
Tokko Ci menyebut nama perempuan itu.
Tapi Tokko Ci telah menyebut nama perempuan itu.
"Dia bernama Pova," suaranya dipenuhi penderitaan dan
siksaan, "Karena kau telah menyanggupi permintaanku,
sekarang pergilah mencari dia, bunuhlah dia mewakili aku."
Di luar pintu rumah, cahaya matahari masih memancar
menyinari seluruh jagat, burung masih berkicau dari bawah
wuwungan rumah, tapi bagaimana dengan kehidupan"
Benarkah kehidupan itu begitu indah dan menawan"
Mengapa di dalam perjalanan hidup selalu muncul begitu
banyak penderitaan dan pertentangan batin yang sulit
dihindari"
Perlahan-lahan Siau-hong berjalan keluar.
Bocah itu masih berdiri di bawah wuwungan rumah,
berdiri kesemsem sambil mengawasi sebuah sangkar dengan
seekor burung, entah burung jalak atau burung huabi"
"Dia adalah sahabatku," bocah itu berkata tanpa
berpaling, tapi jelas perkataan itu ditujukan kepada Siauhong.
"Aku tahu," jawab Siau-hong, "Mereka adalah
sahabatmu."
Tiba-tiba bocah itu menghela napas panjang, dari balik
matanya yang bening tiba-tiba terlintas perasaan murung
yang sangat mendalam, perasaan murung seorang dewasa.
"Tapi aku merasa bersalah terhadap mereka."
"Kenapa?"
"Karena aku tahu, cepat atau lambat, suatu hari nanti
mereka pasti akan tewas di ujung pedang Tokko Ci," kata
bocah itu perlahan, "Asal tangannya mampu menggenggam
pedang, dia pasti akan menggunakan mereka sebagai
sasaran pedangnya."
"Dari mana kau bisa tahu?"
"Karena ayahku memelihara burung-burung ini untuk
digunakan sebagai sasaran pedangnya," ujar bocah itu lagi,
"Suatu kali dia pernah membunuh tiga belas ekor burung
dalam sekali tebasan pedang. Tapi malamnya dia sendiri
tewas di ujung pedang Tokko Ci."
Biarpun dia hanya seorang bocah, namun suaranya
menampilkan semacam perasaan sedih dan tak berdaya
yang sangat mendalam.
Apakah hal ini dikarenakan ia sudah paham bahwa
dengan kematian segala permasalahan akan berakhir"
Puncak gunung kadangkala merupakan titik akhir dari
sebuah perjalanan, ketika seorang jago pedang telah
mencapai puncaknya, seringkali kehidupannya akan ikut
berakhir pula. Apakah hal ini merupakan keberuntungannya ataukah
justru merupakan ketidak beruntungannya"
Angin berhembus menggoyangkan ranting pohon,
manusia itu masih berdiri di bawah pohon.
Sampai lama sekali Siau-hong termenung, kemudian
baru perlahan-lahan berkata, "Walaupun mereka adalah
sahabatmu, kemungkinan besar suatu ketika nanti kau pun
akan menggunakan mereka sebagai sasaran pedangmu."
Bocah itu termenung cukup lama, ternyata dia
mengangguk juga perlahan, "Betul, kemungkinan besar aku
pun akan menggunakan mereka sebagai sasaran pedangku."
"Dengan mata kepala sendiri kau saksikan dia telah
membunuh ayahmu, tapi kau tetap menerima dan
menampungnya."
"Karena aku pun ingin menjadi seorang jago pedang
seperti mereka."
"Suatu hari kelak, kau pun pasti akan menjadi seorang
jago pedang seperti mereka."
"Bagaimana dengan kau sendiri?" tiba-tiba bocah itu
berpaling dan menatap Siau-hong lekat-lekat.
Siau-hong tidak menjawab.
Dia telah berjalan keluar dari rimbunnya dedaunan dan
berjalan menuju ke bawah sinar sang surya, dia berjalan
terus ke depan, berjalan tanpa berpaling lagi, karena pada
hakikatnya dia sendiri pun tak mampu menjawab
pertanyaan itu.
Di sepanjang jalan raya Pat-ka-ke di luar biara Ta-cau-si
berderet aneka macam pertokoan.
Di dalam toko-toko yang sudah gelap karena lama
terkena uap minyak, bertumpuk aneka macam barang


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dagangan yang berasal dari empat penjuru.
Kulit macan tutul, kulit harimau, kulit macan kumbang,
kulit kucing hutan, aneka warna "Kari" dan kain sutera
tergantung berjajar di atas rak tinggi, permadani dan kain
yang berasal dari negeri Persia atau negeri Thian-tok (india)
memenuhi seluruh rak dalam ruangan.
Daun teh yang datang dari Da-cin bertumpuk bagai
bukit, dupa wangi yang datang dari timur Tibet, bahan
penyedap, batu manik, mutiara, perkakas tembaga yang
datang dari Nepal, barang porselen, batu Manau, sulaman,
beras yang datang dari dataran Tionggoan, bahan kulit yang
datang dari Mongol, hampir semuanya tersedia di tempat
itu. Tak dapat disangkal toko "Eng-Ki" merupakan kantor
perdagangan terbesar di tempat itu.
Benarkah Po Eng adalah begal kucing" Sudah pasti betul.
Pova adalah iblis wanita! Belum pernah ada seorang
lelaki pun yang menolak permintaannya!
Kalau kau sudah menyanggupi permintaanku, sekarang
pergi dan bunuhlah dia!
Siau-hong tak mau berpikir, sama sekali tak ingin
berpikir. Dia tak dapat menanyakan persoalan ini kepada Po Eng,
juga tak tahu harus menggunakan cara apa untuk memasuki
istana merah, istana musim dingin Dalai Lhama yang
berada di pusat istana Potala.
Dalam keadaan begini terpaksa dia harus balik dulu ke
"Eng-Ki", dia ingin meminjam tiga ratus tahil perak dari Cu
Im. Dia percaya Cu Im tak akan menampik permintaannya.
Namun sebelum dia sempat buka suara, Cu Im sudah
berkata lebih dulu, "Ada seseorang sedang menunggumu,
sudah menunggu lama sekali."
"Siapa?" tanya Siau-hong, "Di mana?"
"Ada di sini!"
Siau-hong pun segera melihat orang itu.
Seorang lelaki yang masih sangat muda, walaupun
wajahnya nampak agak kusut namun dandanannya indah,
mewah dan terhormat, sikapnya serius, tak dapat disangkal
status sosialnya di antara kalangan etniknya jauh lebih
tinggi dari siapa pun.
Dia adalah orang Tibet dengan logat bahasa Han yang
kaku dan garing, setiap kali Siau-hong mengajukan satu
pertanyaan, dia baru menjawab sepatah kata.
"Aku she Hong, akulah Siau-hong, apakah kau datang
mencari aku?"
"Benar."
"Tapi aku tidak mengenalmu."
"Aku pun tidak mengenalmu," sahut orang itu sambil
menatap tajam wajah Siau-hong.
"Kau pun tidak kenal padaku" Lalu mau apa kau datang
mencariku?" tanya Siau-hong lagi.
Tiba-tiba orang itu bangkit dan berjalan keluar dari "EngKi", setelah berada di luar pintu ia baru berpaling sembari
berkata, "Bila ingin tahu mengapa aku datang mencarimu,
ikutlah diriku."
Setelah ia bangkit, Siau-hong baru menemukan bahwa
dia berperawakan tinggi besar, jauh lebih tinggi daripada
kebanyakan orang.
Di luar pintu merupakan jalan raya paling ramai di kota
Lhasa, berbagai lapisan masyarakat berlalu-lalang di sana.
Ketika berada di tengah jalan raya, orang itu ibarat
seekor bangau yang berjalan di antara kerumunan ayam.
Ada banyak orang setelah memandang ke arahnya, mimik
muka mereka segera menunjukkan perubahan yang sangat
aneh, bahkan segera membungkukkan badan memberi
hormat. Bahkan tak sedikit di antara mereka yang segera berlutut
dan mencium kakinya.
Orang itu sama sekali tidak bereaksi, seolah dia sudah
terbiasa menerima penghormatan semacam ini dari orang
lain. Sebenarnya siapakah orang ini"
Siau-hong mengikut di belakangnya, baru saja ia tiba di
depan warung penjual susu lemak, baru saja ia mengendus
bau aneh yang entah harum atau bau, tapi yang pasti bau
itu tak akan membangkitkan selera makan, sudah ada duatiga
puluh jenis senjata rahasia yang dilontarkan ke arah
bagian tubuhnya yang sangat mematikan!
Yang benar ada dua puluh enam jenis senjata rahasia,
namun hanya terdengar sekali desingan angin tajam dan
terlihat tiga kilatan cahaya berkilauan.
Dua puluh enam jenis senjata rahasia secara terpisah
mengancam tiga bagian tubuh Siau-hong yang sangat
mematikan, tenggorokan, hulu hati, dan ginjal.
Senjata rahasia yang amat beracun, serangan yang
dilancarkan pun jauh lebih beracun.
Dua puluh enam jenis senjata rahasia datang dari satu
arah yang sama, yaitu muncul dari hadapan Siau-hong,
datang dari tangan pemuda berbaju anggun, perlente dan
sangat dihormati setiap orang itu.
Seseorang dengan status sosial yang begitu tinggi dan
terhormat, mengapa harus menggunakan cara yang begitu
keji, begitu licik untuk membokong seorang asing yang
sama sekali tak dikenalnya"
Siau-hong tidak bertanya, dia pun tidak roboh terkena
sambitan senjata rahasia itu.
Sudah terlalu banyak ancaman bahaya yang pernah dia
hadapi, sudah kelewat banyak senjata rahasia yang
disambitkan ke arahnya, karena itu setiap saat dia harus
selalu waspada, selalu meningkatkan kesiagaannya untuk
menghadapi segala sesuatu.
Begitu senjata rahasia itu disambitkan ke arahnya,
dengan cepat ia sudah menyambar selembar permadani
Persia yang tergantung di depan sebuah toko.
Dua puluh enam jenis senjata rahasia hampir semuanya
menancap di atas permadani yang terbuat dari sulaman
halus itu, namun tak satu pun yang dapat menembusnya.
Pemuda yang berjalan di depan Siau-hong itu sama
sekali tak berpaling, dia pun sama sekali tidak
menghentikan langkahnya.
Ooo)d*w(ooO BAB 13. PERTARUHAN SEORANG PENDETA
AGUNG Siau-hong pun sama sekali tidak bereaksi, dia
membalikkan badan sambil menggantungkan kembali
permadani itu di tempat semula, kemudian mengikuti
kembali di belakang orang itu.
Mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan, seakan
tak pernah terjadi suatu peristiwa pun di sana.
Biarpun penampilan Siau-hong tetap tenang, bukan
berarti perasaannya bisa tenang, karena dia sudah melihat
kalau orang itu adalah seorang jago lihai, kemungkinan
besar dia adalah musuh paling menakutkan pertama yang
dijumpainya sejak memasuki wilayah Tibet, bahkan jauh
lebih menakutkan daripada Wi Thian-bong.
Biarpun golok milik Wi Thian-bong menakutkan,
walaupun kecepatan geraknya sewaktu mencabut golok luar
biasa kilatnya, namun sewaktu dia meloloskan senjatanya,
sedikit banyak bahu kanannya tentu akan bergerak terlebih
dahulu. Walaupun panahnya menakutkan, namun sebelum dia
membidikkan anak panahnya, tentu akan menarik dulu
gendawanya. Sekalipun jago-jago paling lihai dalam dunia persilatan,
sesaat sebelum mereka lancarkan serangan yang paling
mematikan, biasanya mereka akan melakukan gerak
persiapan yang dapat terlihat dan terpantau orang lain.
Namun orang ini sama sekali tak ada.
Sewaktu melepaskan dua puluh enam jenis senjata
rahasia yang mematikan, bukan saja kepalanya tidak
berpaling, bahunya tidak bergerak, bahkan tangan pun tak
nampak diayunkan.
Persendian tulang lengannya maupun persendian tulang
pergelangannya seakan dapat ditekuk dan digerakkan
sekehendak hati, dapat muncul dari posisi yang sama sekali
tak terduga oleh siapa pun, menggunakan tenaga yang
siapa pun tak bisa mengerahkan, melancarkan serangan
mematikan yang membuat orang lain sama sekali tidak
menduganya. Langit bersih dan biru, di kejauhan sana tampak puncak
berlapis salju muncul di balik langit yang bersih, mereka
sudah meninggalkan jalan raya yang ramai dan memasuki
daerah pinggiran yang sepi.
Berdiri dari posisi di mana Siau-hong berdiri sekarang, ia
tak dapat melihat orang lain, juga tak dapat mendengar
sedikit suara pun.
Satu-satunya orang yang dapat dilihat Siau-hong adalah
orang yang berada di depannya, kini orang itu telah
berhenti berjalan, membalikkan badan dan saling
berhadapan muka dengannya.
Saat itu dia sedang mengawasi Siau-hong dengan
sepasang mata penuh rasa benci dan dendam yang
mendalam. Terhadap seorang asing yang sama sekali tak
dikenalnya, tidak seharusnya dia memperlihatkan sorot
mata semacam ini.
"Aku bernama Bu-siong," tiba-tiba orang itu
memperkenalkan namanya, Siau-hong belum pernah
mendengar nama orang ini.
Perkataan kedua yang diucapkan Bu-siong lebih
mengejutkan lagi.
"Aku datang mencarimu karena aku menginginkan kau
mati!" katanya.
Dia berbicara dengan logat Han yang sangat kaku, tapi
kata "mati" yang diucapkan dengan logat kaku itu justru
kedengaran lebih bertenaga, lebih mengerikan hati, lebih
menakutkan, dan lebih menandaskan kebulatan tekadnya.
Siau-hong menghela napas panjang, ujarnya, "Aku tahu,
kau menghendaki aku mati, tadi hampir saja aku tewas oleh
sambitan senjata rahasiamu."
"Kau adalah seorang jago pedang, sudah seharusnya
memahami hal ini," kata Bu-siong, "Pekerjaan seorang jago
pedang adalah membunuh, yang penting bagaimana agar
sasarannya mati, terserah cara apa yang akam digunakan!"
Lalu dengan nada yang semakin aneh lanjutnya, "Kau
adalah seorang jago pedang, setiap saat bisa membunuh
orang, setiap saat pula dapat mati dibunuh orang. Setelah
membunuh orang, kau tak pernah menyalahkan diri sendiri,
maka bila kau terbunuh, jangan pula menyalahkan orang
lain." Siau-hong tertawa getir.
"Dari mana kau tahu kalau aku adalah jago pedang?"
"Aku tidak kenal kau, tapi pernah mendengar orang lain
membicarakan tentang dirimu, kau adalah seorang jago
pedang kenamaan dari daratan Tionggoan!"
Sikap Bu-siong amat serius, sama sekali tak bernada
menyindir atau mengejek.
Perlahan-lahan ujarnya lebih jauh, "Kau adalah jago
pedang, pedang dari seorang jago pedang tak beda dengan
tangan manusia. Tangan setiap orang seharusnya berada di
tempatnya, begitu pula dengan pedang milik seorang jago
pedang, seharusnya pedang itu selalu berada di tubuhmu,
tapi kau tidak."
Pedang dari seorang jago pedang ibarat tangan dari
seseorang. Biarpun perkataan Bu-siong susah dipahami, namun
siapa pun harus mengakui bahwa apa yang dia katakan
memang benar dan sangat masuk akal.
"Yang kau latih adalah pedang, senjata yang kau
gunakan untuk membunuh pun pedang," kata Bu-siong
lebih jauh, "Aku tidak berlatih pedang, aku pun tidak
membunuh menggunakan pedang, aku membunuh orang
dengan menggunakan tanganku."
Dia mulai mengulurkan tangannya.
Sewaktu tangannya dijulurkan, tangan itu masih sangat
biasa dan umum, tiada sesuatu yang aneh, namun dalam
waktu singkat telapak tangannya telah berubah menjadi
merah membara, merah bagai cahaya matahari, merah
bagaikan darah, merah bagaikan jilatan api.
Perlahan-lahan Bu-siong berkata lebih jauh, "Aku masih
memiliki - tangan, sedang kau tidak memiliki pedang,
karena itu aku tak akan mati, kau yang bakal mati!"
Belum pernah Siau-hong mendengar kata "mati" yang
diucapkan begitu tajam, sadis, dan penuh perasaan dendam.
Apakah hal ini dikarenakan dalam hati kecilnya telah
muncul bayangan kematian"
Mengapa dia ingin membunuh Siau-hong"
Dia sendiri yang berniat membunuh Siau-hong ataukah
orang lain yang mengirimnya ke sana"
Dilihat dari kemampuan silat yang dimiliki serta
penampilannya, dapat dipastikan dia bukanlah anak buah
Wi Thian-bong. Dia sendiri sama sekali tak pernah berjumpa Siau-hong,
jadi tak mungkin mempunyai dendam kesumat atau
perselisihan yang hanya bisa diselesaikan lewat "kematian".
Siau-hong tak habis mengerti, dia benar-benar tak dapat
memahami semua persoalan itu. Tapi ada satu hal yang
dapat dilihat olehnya.
Kekuatan pukulan orang ini kuat dan sesat, sekalipun
bukan termasuk ilmu sakti Mi-tiong-toa-jiu-eng, sudah pasti
kemampuannya mirip dengan aliran pukulan itu.
Tenaga pukulan ini dapat dipastikan tak mampu
dihadapi Siau-hong hanya dengan mengandalkan pukulan
tangan kosong. Sementara pedangnya tidak berada dalam tubuhnya,
karena dia tak menyangka di tempat yang serba asing ini,
dia membutuhkan pedang untuk menghadapi situasi sepelik
ini. Lalu apa yang harus dia gunakan untuk menghadapi
pukulan telapak berdarah Bu-siong"


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di tengah sorotan cahaya matahari yang menerangi
seluruh jagat, tiba-tiba hawa pembunuhan menyelimuti
seluruh angkasa. Di bawah bayang-bayang maut dan
kematian, cahaya matahari pun terasa berubah jadi suram
dan menggidikkan.
Selangkah demi selangkah Bu-siong berjalan
menghampiri Siau-hong, langkah kakinya perlahan dan
berat. Ada sejenis manusia, bila ia sudah mengambil keputusan
untuk mulai melakukan gerakan, maka tak seorang pun di
dunia ini yang dapat menghentikannya lagi.
Tak disangkal Bu-siong termasuk manusia semacam ini.
Dia telah mengambil keputusan, dia bertekad akan
menghabisi nyawa Siau-hong di ujung pukulannya,
bayangan gelap yang menyelimuti hatinya hanya bisa
terusir dan buyar karena "kematian".
Selangkah demi selangkah Siau-hong bergerak mundur.
Dia tak mampu menghadapi sepasang telapak tangan
Bu-siong, karena itu tubuhnya hanya bisa mundur, mundur
sampai tak dapat mundur lagi.
Kini dia sudah mundur hingga tak dapat mundur lagi.
Dia telah mundur hingga ke bawah sebatang pohon
kering, pohon lapuk yang tumbang telah menghadang jalan
mundurnya. Pohon tua, lapuk dan mati, begitu juga dengan
manusia. Pada saat yang amat kritis itulah, tiba-tiba terlintas satu
ingatan di dalam benaknya, sesaat menjelang tibanya mati
dan hidup, terkadang merupakan saat pikiran manusia
paling jeli dan tajam.
Pedang hati. Tiba-tiba saja ia teringat perkataan Tokko Ci.
Biarpun dalam genggamanmu terdapat pedang tajam
yang mampu memutuskan bulu dan rambut, namun selama
hatimu tiada pedang, maka pedang yang berada dalam
genggamanmu tak lebih hanya sebilah pedang rongsok.
Inilah teori ilmu pedang tingkat tinggi, bila teori ini
diurai dengan menggunakan cara lain maka maknanya
tetap akan sama.
Biarpun dalam genggamanmu tak terdapat pedang,
namun bila dalam hatimu terdapat pedang, biar sebuah besi
rongsok pun sama saja dapat berubah menjadi senjata tajam
yang mematikan.
Dalam pada itu pihak lawan telah berjalan makin dekat.
Tiba-tiba Bu-siong mengeluarkan bunyi raungan singa
yang rendah tapi berat, mendadak pakaian yang dikenakan
mulai bergoyang dan bergetar keras walau tidak terhembus
angin. Dia telah mengerahkan segenap tenaga yang dimilikinya
dan siap melancarkan gempuran yang mematikan.
Kini telapak tangan darahnya telah melancarkan
gempuran maha dahsyat.
Pada saat bersamaan tiba-tiba Siau-hong membalikkan
tangan mematahkan sebatang ranting kayu, perlahan-lahan
ditusukkan ke depan.
Dalam sekejap ranting kayu itu sudah bukan ranting
kayu biasa, ranting itu telah berubah menjadi sebilah
pedang. Sebilah pedang tajam yang dapat mencabut nyawa siapa
pun. Karena di dalam hati dia sudah tidak menganggap
ranting kayu itu sebagai sebatang ranting, melainkan telah
menganggapnya sebagai sebilah pedang, dan seluruh
pikiran serta niatnya telah menganggap ranting itu sebagai
pedang, seluruh tenaga dan kekuatan yang dimilikinya telah
disalurkan ke atas "pedang" itu.
Biarpun "pedang" itu tampak kosong dan maya, akan
tetapi begitu "pedang" itu ditusukkan ke depan, telapak
tangan darah Bu-siong segera tertusuk tembus hingga
muncul lubang luka yang besar.
Menggunakan kesempatan itu, lagi-lagi tangannya
menyerong ke samping sambil melepaskan sebuah tusukan
lagi, kali ini "pedang"nya menusuk mata Bu-siong.
Dalam sekejap telapak tangan darah Bu-siong telah
tertancap menjadi satu dengan matanya, terpaku oleh
tusukan batang ranting itu.
Darah segar segera berhamburan ke mana-mana,
tubuhnya roboh terkapar, roboh untuk tak bergerak lagi.
Menanti ada angin berhembus, Siau-hong baru merasa
pakaian yang dikenakannya telah basah kuyup oleh
keringat. Dia sendiri pun tidak menyangka kalau "pedang" itu
memiliki daya kekuatan yang luar biasa, karena "pedang"
itu bukan ditusuk menggunakan tangannya, melainkan
ditusuk dengan menggunakan hati.
Di saat "pedang" itu menusuk ke depan, pikiran,
perasaan, tangan maupun tubuhnya telah terlebur jadi satu
dengan "pedang" itu.
Pada detik itulah seluruh tenaga murni yang dimilikinya
telah disalurkan, pikiran dan tubuh telah menyatu,
memanfaatkan peluang sesaat inilah dia melepaskan sebuah
tusukan "pedang" yang pasti akan mencabut nyawa musuh,
tusukan yang pasti menghasilkan kemenangan.
Inilah intisari "pedang hati"
Ternyata Bu-siong belum mati.
Tiba-tiba Siau-hong mendengar ia bergumam seorang
diri, seolah sedang memanggil nama seseorang, "Pova...
Pova...." Perasaan Siau-hong mengejang keras, segera dia
membungkukkan badan, lalu mencengkeram baju Bu-siong
kuat-kuat, tanyanya, "Apakah Pova yang mengirim kau
untuk membunuhku?"
Suaranya berubah jadi sangat parau, "Benarkah begitu?"
Pandangan mata Bu-siong mulai sayu dan kosong,
kembali dia bergumam, "Dia minta aku membawamu pergi
menjumpainya. Aku tak bisa membawamu untuk
menemuinya, aku lebih suka mati."
Logat bicaranya memang kaku, namun kata-katanya
sekarang jauh lebih susah dicerna, "Aku tak ingin kau mati,
maka biarlah aku yang mati. Setelah aku mati, kau baru
boleh pergi menjumpainya. Selama aku masih hidup, siapa
pun tak boleh merebutnya dari tanganku."
Siau-hong segera mengendorkan cengkeramannya.
Tiba-tiba saja dia menjadi paham, mengapa dalam hati
Bu-siong bisa muncul bayangan kegelapan, dia mulai sadar
dari mana datangnya bayangan kegelapan itu.
Hanya cinta yang diperoleh dengan menahan
penderitaanlah akan mewujudkan bayangan gelap yang
begitu suram. Penderitaan yang sama, perasaan cinta yang sama, cinta
yang sama mendalamnya, membuat Siau-hong secara tibatiba
merasakan suatu kepedihan yang tak terlukiskan
terhadap kehidupan manusia.
Tiba-tiba Bu-siong menghembuskan napasnya dalamdalam
dan berkata, "Aku sudah hampir mati, kau boleh
pergi!" Dia meronta, menarik bajunya yang baru saja
dikendorkan Siau-hong dan memperlihatkan pakaian
kasanya yang berwarna kuning.
Baru sekarang Siau-hong tahu lawannya ternyata adalah
seorang pendeta.
Dari lagak serta sikap orang lain yang menaruh begitu
hormat terhadapnya, tak dapat disangkal lagi orang ini
adalah seorang Lhama yang berkedudukan sangat tinggi.
Namun kenyataan dia seperti orang awam pada
umumnya, rela mengorbankan nyawa demi seorang wanita.
Dia bukan seorang wanita, dia seorang iblis wanita, tak
seorang lelaki pun yang akan menampik kehadirannya.
Siau-hong merasakan hatinya amat sakit, jauh lebih sakit
daripada tertusuk pedang.
"Kau minta aku datang ke mana?"
Dari balik kasanya Bu-siong mengeluarkan sebuah
patung Buddha emas kecil seraya berkata, "Datanglah ke
istawa Potala, bawa serta Buddha pelindung tubuhku dan
pergilah menjumpai Galun Lhama (Galun atau Gapulun
adalah nama jabatan penting dalam pemerintahan Tibet),
katakan kepadanya kalau aku... aku telah mendapat
kebebasan."
Inilah perkataan terakhir yang dia ucapkan.
Bayangan hitam di dalam hatinya hanya bisa
terbuyarkan karena kematian, seluruh siksaan batin serta
penderitaannya pun baru terbebaskan setelah datangnya
kematian. Tapi benarkah dia telah memperoleh kebebasan"
Sewaktu kematian datang menjelang, benarkah
perasaannya telah pulih kembali dalam ketenangan seperti
di masa lampau"
Tak seorang pun dapat menjawab pertanyaan ini.
Dia telah meninggalkan pertanyaan itu untuk Siau-hong.
Galun Lhama menerima Siau-hong di dalam sebuah
bilik yang gelap di tengah istana Potala yang indah dan
megah. Di dalam kebudayaan keagamaan yang tua dan penuh
misteri ini, seorang Galun Lhama bukan saja merupakan
seorang pendeta tinggi yang sangat menguasai ilmu agama
Buddha, dia pun seorang pejabat tinggi yang mengatur
pemerintahan serta kesejahteraan rakyat banyak,
kedudukannya begitu tinggi dan terhormat hanya terpaut
setingkat bila dibandingkan Dalai Lhama.
Biarpun posisinya sangat terhormat dan tinggi, namun
orangnya justru seperti bilik tempat tinggalnya, begitu tua,
rentan, gelap, dan diselimuti hawa sesak.
Siau-hong sama sekali tak mengira dia dapat
menjumpainya dengan begitu mudah, terlebih tak
menyangka dia ternyata adalah orang semacam ini.
Dia duduk bersila di atas sebuah ranjang tua yang sudah
jelek bentuknya, menerima patung Buddha emas yang
disodorkan Siau-hong tanpa bicara dan mendengarkan
maksud kedatangan pemuda itu tanpa komentar, raut muka
kurusnya yang penuh keriput selalu menunjukkan sikap
seolah dia sedang berpikir sangat dalam, seolah sama sekali
tak ada perasaan, karena pikirannya sudah tak dapat
menggerakkan perasaannya lagi.
"Aku memahami maksud kedatanganmu," tanpa
menanti Siau-hong berkata, Galun Lhama berbicara, "Aku
tahu, penderitaan yang dialami Bu-siong hanya bisa dilepas
dengan kematian."
Suaranya lemah dan sangat lamban, ia berbicara
menggunakan dialek bahasa Han yang lancar dan tepat,
"Aku hanya ingin bertanya satu hal kepadamu, benarkah
kau yang telah membunuhnya?"
"Benar," Siau-hong mengakui, "Aku terpaksa harus
membunuh karena saat itu tiada pilihan lain bagiku, bila dia
tak mati maka akulah yang bakal mati."
"Aku percaya karena aku dapat melihat kau adalah
seorang yang jujur," Galun Lhama manggut-manggut, "Kau
masih sangat muda, tentu saja tak ingin cepat mati...."
Dengan matanya yang berwarna abu-abu, ditatapnya
Siau-hong sekejap, kemudian melanjutkan, "Oleh karena
itu, kau tidak seharusnya datang kemari."
"Kenapa?" tak tahan Siau-hong bertanya.
"Tahukah kau mengapa Bu-siong minta kau datang
mencariku?"
"Dia minta aku datang bertemu Pova."
"Keliru besar," tukas Galun Lhama hambar, "Peraturan
yang berlaku dalam agama kami jauh berbeda dengan
aturan yang berlaku di daratan Tionggoan, kami tidak
pantang membunuh, karena kalau tidak membunuh, kami
tak dapat menaklukkan iblis. Cara kami menghadapi
siluman iblis seperti cara kami menghadapi musuh besar
atau murid pengkhianat, sebuah cara yang sama."
"Cara apa?"
"Dengan mata membayar mata, dengan gigi membayar
gigi!" sikap Galun Lhama masih tetap amat tenang, "Kami
percaya inilah cara yang paling tepat, sejak zaman dulu
hingga sekarang hanya ada cara ini saja."
Setelah berhenti sejenak, perlahan-lahan tambahnya,
"Maka dari itu sekarang kau seharusnya sudah mengerti,
Bu-siong minta kau datang kemari tak lain karena dia tahu
aku pasti akan membunuhmu untuk membalaskan dendam
sakit hatinya."
Siau-hong terbungkam dalam seribu bahasa.
Tiba-tiba dia memahami satu hal, baik dalam keadaan
hidup maupun berada dalam keadaan mati, Bu-siong tak
rela membiarkan dia pergi menjumpai Pova.
Galun Lhama masih tetap menatapnya, sorot mata
pendeta tua itu tetap lembut dan hangat. Namun tiba-tiba
saja dia mengucapkan sepatah kata yang jauh lebih tajam
daripada mata golok.
Mendadak tanyanya kepada Siau-hong, "Percayakah
kau, dalam sekali ayunan tangan aku dapat
membunuhmu?"
Siau-hong menampik untuk menjawab.
Dia tidak percaya, akan tetapi dia sudah terlalu banyak
menjumpai kejadian yang tak masuk akal.
Di negeri asing yang penuh misteri, di dalam istana yang
megah dan penuh rahasia, berhadapan dengan seorang
pendeta sakti yang misterius. Ada banyak persoalan yang
sebelumnya tak mungkin dia percaya, tapi sekarang mau
tak mau harus mempercayainya.
Terdengar Galun Lhama kembali berkata, "Di atas
dinding ada pedang, ambillah!"
Siau-hong berpaling, dia lihat di atas dinding tergantung
sebilah pedang kuno yang sudah lama dan dilapisi sarang
laba-laba. Dia telah melolos pedang itu.
Sebilah pedang kuno dan aneh bentuknya, senjata yang
berat dengan gagang terbuat dari tembaga, sarung pedang
bersulamkan benang hijau, sekilas tak mirip sebilah senjata
tajam. "Mengapa kau tidak melolosnya?" Galun Lhama


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertanya. Siau-hong segera mencabut pedang itu.
Tampaknya tubuh pedang sudah melekat pada
sarungnya karena karat, pertama kali mencabut ternyata ia
gagal melolosnya, baru pada kali kedua ia berhasil melolos
senjata itu dari sarungnya.
"Criing...!", diiringi suara dengungan nyaring, pedang itu
tercabut dari sarungnya, dalam waktu singkat hawa pedang
yang dingin memancar ke seluruh ruangan, begitu dingin
membuat alis mata Galun Lhama pun ikut berubah jadi
hijau. "Pedang bagus!" tak tahan Siau-hong berseru memuji.
"Memang sebilah pedang bagus," sahut Galun Lhama,
"Kau mampu membunuh Bu-siong berarti paling tidak
sudah sepuluh tahun lebih berlatih pedang, seharusnya
dapat kau kenali pedang apakah ini."
Pedang ini memang sebilah pedang yang sangat aneh.
Kalau pada mulanya senjata itu terasa sangat berat, maka
setelah dilolos dari sarung dan tergenggam di tangan,
mendadak pedang itu seakan-akan berubah jadi sangat
ringan, mata senjata yang semula berwarna coklat bagaikan
batang pohon Siong kini justru memancarkan cahaya
berwarna kehijauan, seperti daun Siong yang hijau pupus.
"Bukankah pedang ini adalah pedang pribadi Ci Siongcu,
jago lihai zaman Cun-ciu Can-kok?" tanya Siau-hong
menyelidik. "Benar, pedang ini adalah Ci-siong," Galun Lhama
manggut-manggut, "Walaupun tidak termasuk dalam
deretan tujuh pedang tersohor, namun hal ini disebabkan
kebanyakan orang mengira senjata ini sudah lama
terpendam di dalam tanah."
"Konon pedang Ci-siong memiliki warna merah darah
bagaikan cahaya matahari senja, mengapa sekarang
berubah jadi hijau?"
"Karena senjata ini sudah sembilan belas tahun tak
pernah menghirup darah manusia."
Setelah berhenti sejenak, kembali pendeta itu
melanjutkan, "Senjata tajam yang seringkali membunuh
orang, bila sudah banyak tahun tidak menghirup darah
manusia, maka bukan saja cahayanya akan berubah warna
bahkan lambat-laun akan kehilangan sinar ketajamannya,
bahkan lama kelamaan akan berubah menjadi besi
rongsokan."
"Apakah sekarang sudah saatnya pedang itu menghirup
darah manusia?" tanya Siau-hong.
"Benar."
"Menghirup darah siapa?" tanya Siau-hong sambil
menggenggam kencang gagang pedangnya.
"Darahku! Kalau Hud-co bisa mengorbankan tubuhnya
untuk memberi makan burung elang demi senjata mestika
ini kenapa pula aku tak boleh meninggalkan tubuh kasarku
yang bau ini?"
Suara maupun sikapnya sama sekali tak berubah, ia
masih tampak begitu lemah lembut dan tenang.
"Kau ingin aku menggunakan pedang ini untuk
membunuhmu?" tanya Siau-hong kembali mengendorkan
genggamannya. "Benar."
"Bukankah kau yang berniat membunuhku" Kenapa
sekarang minta aku yang membunuhmu?"
"Aku sudah terlalu tua, sudah lama memandang hambar
masalah mati hidup. Bila aku membunuhmu, tak nanti aku
akan sedih karena kematianmu. Seandainya kau yang
membunuhku, aku pun tak akan menyalahkan dirimu."
Tampaknya di balik perkataannya itu terkandung
maksud yang sangat mendalam.
"Oleh sebab itu tak ada salahnya aku mencoba
membunuhmu dan kau pun mencoba membunuhku."
"Jadi maksudmu, bila aku mampu membunuhmu,
bunuhlah sebisanya, kalau tak berhasil berarti aku akan
mati di tanganmu?" kembali Siau-hong bertanya.
Galun Lhama tidak menjawab, pertanyaan semacam ini
memang tak perlu dijawab.
Sekali lagi Siau-hong menggenggam pedangnya kuatkuat.
Tiba-tiba Galun Lhama menghela napas, gumamnya,
"Kalau kesempatan emas berlalu, selamanya tak akan
kembali lagi, bila ingin berbalik arah, kau harus membayar
mahal." Habis berkata, kembali ia pejamkan matanya, melihat
Siau-hong sekejap pun tidak.
Namun bagi Siau-hong, mau tak mau dia harus
mengawasi ketat pendeta tua itu.
Dia memang seorang kakek tua, memang sudah tidak
memikirkan mati hidup di dalam hati. Baginya kematian
sudah bukan sesuatu yang tragis, karena di dunia sudah
tiada masalah yang dapat mencelakainya, bahkan kematian
sekali pun. Perlahan-lahan Siau-hong menghembuskan napas
panjang, lalu sebuah tusukan dilontarkan.
Tusukan ini langsung tertuju ke arah hulu hatinya!
Siau-hong yakin dan percaya bahwa serangannya selalu
tepat sasaran, sasaran yang ditusuk pun merupakan bagian
tubuh yang dalam waktu singkat dapat mengakhiri
hidupnya, dia tak ingin pendeta agung ini menderita siksaan
dan penderitaan menjelang ajalnya tiba.
Siapa sangka tusukan pedangnya ternyata menusuk
tempat kosong. Padahal dengan sangat jelas ia melihat Galun Lhama
duduk tenang di tempat itu, jelas tak mungkin bisa
menghindarkan diri dari tusukan pedangnya itu.
Apa mau dikata ternyata tusukan pedangnya mengenai
sasaran kosong.
Galun Lhama memang sama sekali tak bergerak, sedikit
pun tidak bergeser dari posisinya.
Ia masih tetap duduk di tempat semula, sepasang
kakinya masih bersila di atas ranjang, wajahnya masih
diliputi bayangan gelap, sepasang matanya pun masih
terpejam rapat.
Tapi pada saat mata pedang menusuk datang itulah
mendadak posisi jantungnya bergeser ke samping.
Seluruh badannya sama sekali tak bergerak, hanya
bagian itu saja yang tiba-tiba bergeser.
Dalam waktu yang amat singkat itulah bagian tubuhnya
itu seakan-akan berpisah secara tiba-tiba dari tubuhnya.
Mata pedang itu hanya selisih setengah inci dari letak
jantung di tubuhnya, namun setengah inci itu justru seakan
terpisah sangat jauh, begitu jauh seperti langit dan bumi,
seperti mati dan hidup, walaupun hanya setengah inci
namun lebih jauh dari ribuan li, seperti melihat puncak
bukit di balik awan.
Begitu tusukan pedangnya mengenai sasaran kosong,
perasaan Siau-hong pun seakan secara tiba-tiba menginjak
tempat kosong, seperti terjerumus ke dalam jurang yang
ratusan kaki dalamnya.
Dalam pada itu Galun Lhama telah menggerakkan
tangannya, dengan ibu jari menekan jari tengah, dia sentil
mata pedang itu perlahan.
"Criing!", diiringi dentingan nyaring, tampak bunga api
memercik ke empat penjuru.
Siau-hong segera merasakan pergelangan tangannya
bergetar sangat keras, tahu-tahu pedangnya sudah terlepas
dan... "Duuuk!", menancap di atap ruangan.
Dari atap ruangan segera berhamburan debu dan pasir
yang menghantam tubuhnya, pemuda itu merasakan setiap
debu yang menimpa kulitnya seakan martil besi yang
menghantam tubuhnya.
Begitu keras dan kuat hantaman itu membuat tubuhnya
sama sekali tak mampu bergerak.
Akhirnya Galun Lhama membuka mata dan menatap
wajah anak muda itu, sorot matanya masih tetap begitu
hangat, begitu gelap.
Kembali dia bertanya kepada Siau-hong, "Sekarang
apakah kau sudah percaya jika dalam sekali gerakan aku
dapat membunuhmu?"
Siau-hong sudah tak bisa untuk tidak percaya.
Dia telah menemukan bahwa pendeta tua yang lemah ini
justru merupakan jago paling tangguh yang pernah
dijumpai sepanjang hidupnya, bukan saja dapat
mengendalikan kekuatan inti yang dimiliki sekehendak hati,
bahkan setiap inci otot tubuhnya, setiap bagian ruas
badannya dapat dikendalikan dan diubah sekehendak hati.
Bahkan Siau-hong sendiri pun tidak tahu dirinya telah
dikalahkan oleh jenis ilmu silat seperti apa.
Rakyat yang penuh misteri, agama yang penuh misteri,
ilmu silat yang penuh
Bentrok Rimba Persilatan 9 Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Pendekar Panji Sakti 14

Cari Blog Ini