Ceritasilat Novel Online

Elang Terbang Di Dataran Luas 8

Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id Bagian 8


akan, setiap rumah pasti punya
cerobong asap di bagian dapurnya, di atas atap rumah tentu
ada lubang cerobong.
Kini sudah tiba saatnya makan malam, cerobong asap di
atas setiap rumah seharusnya mengepulkan asap, asap dari
api untuk menanak nasi.
Matahari senja telah tenggelam di langit barat, bianglala
magrib telah menyelimuti seluruh angkasa, saat semacam
ini selalu merupakan saat yang paling indah.
Di sini ada penduduk, ada rumah penduduk, ada
cerobong asap di atap rumah mereka, kini sudah hampir
tiba saat bersantap malam.
Tapi aneh, tak nampak asap yang mengepul di cerobong
asap rumah-rumah penduduk.
Mungkinkah penduduk desa yang berada di seputar sana
adalah para dewa yang tidak memakan hidangan manusia"
Tiba-tiba Siau-hong bertanya pada Soso, "Sebelum ini
pernahkah kau berkunjung ke desa ini?"
"Pernah."
"Tahukah kau, kebiasaan penduduk tempat ini makan
apa?" "Apa yang dimakan orang lain, mereka pun makan
makanan yang sama," rupanya gadis ini merasa kalau
pertanyaan Siau-hong sangat aneh, maka dia pun balik
bertanya, "Apakah kau telah menjumpai suatu kejadian
aneh?" "Aku tidak melihat apa-apa, tak ada yang kutemukan,"
Siau-hong telah berpikir sampai ke situ, kecuali keluarga
tukang pencari kayu, sejak sampai di situ, dia memang tak
pernah berjumpa manusia lain.
"Aku akan keluar memeriksanya," pemuda itu
menambahkan. Seharusnya sejak tadi ia sudah melakukan pemeriksaan,
coba kalau Po Eng dan Pancapanah, mereka pasti sudah
menggeledah dan memeriksa setiap rumah penduduk itu
dengan seksama.
Bisa jadi "kelima" orang itu sudah bersembunyi di dalam
rumah penduduk di sekitar sana, kemungkinan besar Yangkong
tak pernah meninggalkan dusun itu.
Ternyata ia tak pernah berpikir ke situ, inilah
keteledorannya yang paling fatal.
Terciptanya sebuah kesalahan memang disebabkan oleh
banyak macam alasan, namun teledor adalah salah satu
alasan yang tak boleh dimaafkan, bahkan sebuah kesalahan
yang selamanya tak mungkin bisa diperbaiki.
Rumah batu milik tukang kayu yang mereka pinjam
berada di tepi jalan masuk menuju ke dusun, begitu masuk
ke lembah itu, rumah itulah yang pertama akan terlihat.
Di depan bangunan itu terbentang sebuah jalan setapak,
setelah ratusan langkah kemudian baru akan tiba di rumah
kedua. Rumah itu pun terbuat dari batu cadas, daun jendelanya
terbuat pula oleh kertas buram, kini dari balik rumah
memancar sinar lentera, lentera yang baru saja disulut.
Jendela dalam keadaan tertutup, begitu pula pintu
rumah. Siau-hong segera mengetuk pintu.
Sudah cukup lama dia mengetuk, namun tak seorang
pun yang menyahut atau membuka pintu.
Dalam rumah itu terdapat lentera, seharusnya ada
penghuninya. Ketika dia mulai mengetuk pintu, Soso ikut menyusul,
dia mengenakan pakaian kasar milik istri si tukang kayu,
ujung baju dilipat tinggi-tinggi hingga terlihat betisnya yang
putih bersih. "Dahulu pernahkan kau datang ke rumah ini?" tanya
Siau-hong. "Belum pernah," setelah berpikir sejenak, kembali Soso
berkata, "Tapi aku tahu siapa yang tinggal di rumah ini."
"Siapa?"
"Rumah ini didiami kakak misan si tukang kayu itu,"
Soso menerangkan, "ketika kami bertandang ke rumah
tukang kayu itu, mereka seluruh keluarga telah pindah ke
rumah milik kakak misannya ini...."
Dahulu dia pasti sering datang ke sana bersama Tio Kun,
tempat ini pastilah tempat mereka bertemu secara rahasia.
Bila dikatakan Siau-hong tak pernah berpikir ke situ,
jelas hal ini bohong. Kalau dibilang Siau-hong sama sekali
tidak merasakan apa-apa setelah ia berpikir akan hal itu, ini
pun merupakan pengakuan bohong.
Kembali Siau-hong mengetuk pintu.
Cukup lama dia mengetuk pintu, begitu keras suara
ketukannya sampai papan pintu pun bergetar keras,
sekalipun penghuni rumah itu tuli, seharusnya tahu ada
orang sedang mengetuk pintu.
Belum juga terlihat ada penghuni rumah yang membuka
pintu, karena rumah itu memang tak berpenghuni,
jangankan seorang, separoh bayangan pun tak ada.
Siau-hong telah membuktikan hal ini, karena dia telah
menjebol pintu rumah itu dengan tumbukan bahunya yang
kuat. Walaupun rumah itu tak berpenghuni, tapi lampu tetap
menyala. Sebuah lentera minyak yang amat sederhana dengan
sebuah rumah yang sederhana, perabot rumah tangga yang
sederhana pula.
Tapi begitu Siau-hong memasuki rumah itu, parasnya
segera berubah, berubah jadi begitu menakutkan, seolaholah
mendadak telah bertemu setan.
Setan itu tidak menakutkan, ada banyak orang yang
tidak takut setan, Siau-hong pun tidak takut, dia jauh lebih
tak takut bila dibandingkan kebanyakan orang.
Dalam rumah itu memang tak ada setan.
Setiap benda yang berada dalam rumah itu merupakan
perabot rumah tangga yang tentu dimiliki kebanyakan
penduduk, bahkan terkesan jauh lebih sederhana dan kasar
bila dibanding perabot orang lain.
Soso tak begitu memahami tentang Siau-hong, namun
dalam pergaulannya selama dua hari ini, dia dapat melihat
pemuda itu bukanlah termasuk seorang lelaki yang
gampang dibuat terperanjat.
Tapi sekarang dia bisa melihat Siau-hong terperangah,
tertegun saking kagetnya.
Dia tak perlu bertanya kepada Siau-hong "Apa yang
telah kau lihat?"
Sebab apa yang bisa dilihat Siau-hong dapat pula terlihat
olehnya, namun apa yang dia lihat tak sampai membuat
gadis ini ikut ketakutan.
Yang terlihat olehnya tak lebih hanya sebuah ranjang,
sebuah meja, beberapa kursi, sebuah meja rias, sebuah
almari baju, dan sebuah lentera minyak, setiap benda
terbuat dari bahan sederhana, bahkan sudah lapuk dan
kuno. Benda-benda itu pula yang terlihat oleh Siau-hong
sekarang, siapa pun tak akan menyangka, apa sebabnya dia
menjadi begitu ketakutan, takut setengah mati"
Sumbu lentera terbuat dari kapas, tampaknya belum
lama dinyalakan.
Ketika Siau-hong berdiri di samping jendela di rumahnya
tadi, lentera di dalam bangunan itu belum menyala.
Lampu baru dinyalakan sewaktu dia berjalan keluar tadi.
Tapi di manakah orang yang menyalakan lampu"
Siau-hong tidak lagi pergi mencari orang yang
menyalakan lentera, dia pun tidak mengunjungi rumah
penduduk lainnya.
Kini ia terduduk, terduduk di samping lentera.
Mimik mukanya tampak sangat jelek, seakan dia telah
bertemu setan, bahkan saat ini mimik mukanya justru lebih
jelek dan menyeramkan daripada wajah setan.
Mungkinkah di dalam rumah itu ada setan, terdapat
setan iblis gentayangan tak tembus pandangan mata orang
awam" Mungkin siapa pun yang memasuki rumah ini
segera akan dipengaruhinya"
Kalau benar begitu, mengapa Soso sama sekali tak
terpengaruh" Mengapa dia seperti tidak merasakan apa-apa"
Mungkinkah setan gentayangan yang berada dalam
rumah itu hanya mencari Siau-hong seorang" Sejujurnya
Soso ingin sekali bertanya kepadanya, mengapa ia berubah
seperti itu, namun gadis itu tak berani mengajukan
pertanyaannya. Tampang wajah Siau-hong benar-benar membuat orang
ketakutan. Kini Siau-hong telah duduk, duduk bersandar tembok,
duduk pada sebuah bangku bambu kuno.
Mimik mukanya sekarang telah berubah semakin kalut,
kecuali rasa takut, ngeri dan gusar, bahkan seolah-olah
terselip pula perasaan cinta dan rindu yang tak akan
tergunting setajam apa pun.
Mengapa dari dalam rumah sederhana itu dapat
menimbulkan pelbagai perubahan perasaan dalam hati
pemuda itu"
Kembali Soso ingin bertanya, namun ia tak berani
mengajukan pertanyaannya.
Tiba-tiba Siau-hong buka suara.
"Aku pun seperti orang lain, aku pun mempunyai ayah
dan ibu," katanya, "Ayahku adalah seorang Piausu, lima
belas tahun berselang dia mempunyai sedikit nama di
seputar Kang-lam."
Suaranya berubah jadi rendah, berat dan sedikit parau.
"Ibuku sangat lembut, setia dan bijaksana, tapi nyalinya
kecil, setiap kali ayahku bertugas mengawal barang, setiap
malam dia tak pernah bisa tidur nyenyak."
Yang-kong lenyap tak berbekas, Tio Kun tak pernah
muncul lagi, sang pembunuh telah melarikan diri, Tangan
emas telah muncul kembali. Dalam keadaan dan situasi
seperti ini, mengapa secara tiba-tiba Siau-hong malah
menyinggung tentang orang tuanya"
Kembali Soso ingin bertanya, tapi tak berani, lewat
beberapa saat kemudian Siau-hong berkata lebih jauh,
"Ketika aku berusia lima tahun, apa yang dikuatirkan ibuku
akhirnya terjadi juga."
"Tahun itu bulan ketiga, ayahku mengawal barang
menuju daratan Tionggoan, ketika tiba di atas bukit Tiongtiausan, barang kawalannya dibegal orang, sejak itu ayahku
tak pernah kembali ke rumah."
Suaranya makin rendah, parau dan berat.
"Gaji ayahku sebagai seorang Piausu tidak terlalu
banyak, lagi ayahku termasuk orang yang royal, sekalipun
kehidupan keluarga kami masih terhitung berkecukupan,
namun sama sekali tak punya uang tabungan. Setelah
terjadinya peristiwa itu, kehidupan kami ibu dan anak jadi
semakin susah dan sengsara."
Akhirnya Soso tak kuasa menahan diri, tanyanya,
"Bagaimana pertanggung-jawaban perusahaan ekspedisi itu"
Ayahmu mengorbankan nyawa demi perusahaan, masa
mereka sama sekali tidak menggubris kehidupan kalian
berdua?" "Gara-gara kehilangan barang kawalan, perusahaan itu
harus ganti rugi, mereka ikut bangkrut akibatnya, bahkan
pemilik perusahaan menggantung diri karena tak kuat
menghadapi percobaan."
Memang peristiwa ini merupakan sebuah kejadian tragis,
peristiwa menyedihkan yang setiap saat bisa terjadi dalam
dunia persilatan.
Orang persilatan yang hidup berlumuran darah di ujung
golok, hidup dalam budi dan dendam, ada berapa banyak
orang yang bisa memahami sisi gelap kehidupan mereka"
"Tapi kalian tetap harus hidup lebih jauh," kata Soso
sedih, kemudian tanyanya lagi kepada Siau-hong,
"Bagaimana cara kalian berdua mempertahankan hidup?"
"Bagaimana cara kami mempertahankan hidup"
Bagaimana cara kami mempertahankan hidup...?"
Siau-hong mengepal tinjunya, mimik mukanya
menampilkan penderitaan seakan tertusuk oleh pedang,
tertusuk tepat di hulu hatinya.
"Seorang wanita tanpa sanak, tanpa keluarga, tanpa
topangan hidup apa pun, dengan membawa seorang bocah
berusia lima tahun, apa yang harus dia lakukan agar dapat
hidup lebih jauh?"
Soso adalah seorang wanita, tentu saja dia memahami
maksud perkataan Siau-hong.
Seorang wanita tanpa sanak, tanpa keluarga, tanpa
topangan hidup, demi mendidik dan memelihara putranya,
perbuatan apa pun dapat ia lakukan, pengorbanan apa pun
dapat ia laksanakan.
Mau di rumah pelacuran, dalam kubangan api, dari dulu
hingga sekarang entah sudah berapa banyak wanita yang
melakukannya. Butir air mata hampir jatuh bercucuran membasahi mata
Soso. Tapi dia terlebih tak mengerti, dia tak paham kenapa
dalam keadaan dan situasi seperti ini, Siau-hong harus
menyinggung masalah itu di hadapannya.
Sebetulnya persoalan semacam ini tak nanti mau
disinggung seorang lelaki sejati di hadapan orang lain
kendati harus mati sekalipun.
Apa yang diucapkan Siau-hong selanjutnya semakin
membuatnya terkesiap.
"Ternyata ayahku tidak mati," Siau-hong berkata lebih
lanjut, "Tiga tahun kemudian tiba-tiba ia muncul kembali."
Soso menggenggam tangannya kencang-kencang, begitu
kencang hingga kuku jari menusuk ke dalam daging
tubuhnya. "Ayahmu muncul kembali?" suara perempuan itu
gemetar saking tegang dan cemasnya, "Jadi dia tak tahu apa
yang telah dilakukan ibumu?"
"Dia tahu."
"Dia... dia..." Soso menggigit bibirnya, "Apa yang
kemudian dia lakukan terhadap ibumu?"
Siau-hong tidak menjawab.
Kembali Soso berseru, "Kalau aku jadi dia, aku pasti


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan bersikap lebih hormat dan berterima kasih kepada
ibumu." "Sayang kau bukan dia," kata Siau-hong dingin, "Lagi
pula kau bukan lelaki!"
"Jadi... jadi dia tak mau ibumu lagi?" kembali Soso
bertanya. Begitu pertanyaan diucapkan, ia segera sadar pertanyaan
semacam ini tidak sepantasnya diucapkan, melihat mimik
muka sedih Siau-hong, ia sudah tahu apa jawaban dari
pertanyaannya. Seorang wanita, seorang bocah, suatu kehidupan, ada
berapa banyak kepedihan yang harus dialami manusia
dalam hidupnya"
Ada berapa banyak orang yang bisa memahami ketidak
berdayaan manusia dalam menghadapi tragedi dan
percobaan hidup semacam ini"
Siau-hong bangkit, berjalan mendekati jendela,
mendorongnya. Kegelapan malam di luar jendela terasa
hitam pekat. Sampai lama sekali pemuda itu mengawasi kegelapan
malam dimana bintang dan rembulan belum muncul,
kemudian ia baru bicara lagi.
"Aku memberitahukan persoalan ini kepadamu, tak lain
karena aku ingin kau tahu, aku memiliki seorang ibu
semacam ini."
"Di mana dia sekarang?" tanya Soso, "Apakah dia masih
hidup?" "Dia masih hidup," Siau-hong mengangguk perlahan,
"Waktu itu aku masih kecil, maka dia belum boleh mati."
Kembali lanjutnya dengan suara bercampur isak,
"Biarpun waktu itu usiaku masih kecil, tapi aku tahu dia
mengorbankan diri demi aku, karena itu aku pun
mengatakan kepadanya, jika dia mati, aku pun ikut mati."
"Sekarang kau telah tumbuh dewasa," kembali Soso
bertanya, "Di mana dia sekarang?"
"Tak seorang pun mengenalinya, juga tak seorang pun
tahu di mana ia berada, kini ia hidup dalam sebuah rumah
kayu kecil," Siau-hong menerangkan, "Dia melarang aku
sering menengoknya, bahkan tak ingin orang lain tahu
kalau dia adalah ibuku..."
Air matanya nyaris meleleh namun tak sampai
membasahi pipinya, hanya penderitaan dan siksaan yang
kelewat dalam akan membuat orang tak mudah melelehkan
air mata. "Dalam rumah kayu itu hanya ada sebuah ranjang,
sebuah meja, beberapa bangku, sebuah almari baju, dan
sebuah lentera minyak," ujar Siau-hong lebih lanjut,
"Biarpun dia melarangku sering menengoknya, aku tetap
sering ke sana, aku hapal sekali dengan setiap macam benda
yang berada dalam rumahnya."
Ia melototkan mata, melototi kegelapan malam yang
menyelimuti angkasa, tiba-tiba pandangannya seolah
melihat lembaran kosong, katanya lagi, "Semua benda yang
berada dalam rumah ini, hampir semuanya dipindah kemari
dari tempat tinggalnya."
Kini Soso mengerti apa sebabnya Siau-hong berubah jadi
begitu menakutkan setelah memasuki rumah ini.
Ternyata setiap benda yang berada dalam rumah ini,
dipindahkan dari tempat tinggal ibunya....
Siapa yang telah memindahkannya"
Tentu saja Lu-sam.
Tak dapat disangkal Lu-sam telah berhasil menemukan
ibunya, tak dapat disangkal pula kalau dia bersama Yangkong,
telah terjatuh pula ke dalam cengkeraman Lu-sam.
Soso menatap wajah Siau-hong, tiada air mata di wajah
pemuda itu, tapi air mata telah membasahi pipinya, karena
dia telah memahami hubungan perasaan antara ibu beranak
itu. "Kuajak kau ke sana," akhirnya Soso mengambil
keputusan, "Kuajak kau pergi mencari Lu-sam."
Sekalipun ia sadar kepergiannya bakal menuai kematian,
gadis ini tetap akan mengajaknya pergi ke sana, karena dia
tahu pemuda itu sudah tak punya jalan pilihan lain.
Ternyata Siau-hong menggeleng.
"Tidak usah," katanya.
"Tidak usah?"
"Kau tak usah mengajakku ke sana, kau tak perlu
menemani aku pergi mati," sahut Siau-hong, "Tapi tak ada
salahnya kau memberitahukan kepadaku, di manakah
tempat itu."
"Tidak, aku tak bisa berbuat begitu," Soso ikut
menggeleng, "Aku tak dapat memberitahukan kepadamu."
"Kenapa?"
"Karena aku sendiri pun tak tahu di manakah dia berada,
aku hanya bisa membawamu ke sana." Siau-hong tidak
mengerti. Segera Soso menjelaskan kembali, "Dia adalah seorang
penuh teka-teki, hampir di setiap sudut kota maupun ujung
desa terdapat bekas tempat tinggalnya, belum pernah ada
orang yang tahu tempat tinggal sesungguhnya."
Kemudian kembali ia menambahkan, "Aku pun tidak
tahu di mana ia berada, tapi aku mampu menemukan
jejaknya."
Siau-hong tidak bertanya lagi, ia telah bangkit seraya
berkata, "Kalau begitu kita segera pergi mencarinya."
"Mungkin kita harus mencarinya cukup lama, sebab
tempat singgahnya kelewat banyak."
"Asal dapat menemukannya, biar harus dicari lebih lama
pun tidak menjadi masalah."
Mereka pun mencarinya sangat lama, lama sekali....
Mereka gagal menemukannya. Gagal menemukan Yangkong,
gagal menemukan Tio Kun, mereka pun gagal
menemukan Lu-sam.
Ooo)d*w(ooO Bunga bwe merah membara, lapisan salju putih
bercahaya, daun jendela hijau lembayung.
Ayam panggang, ikan asin, daging asap.
Baju baru untuk anak-anak akan menjadi beban hutang
orang tua, sulaman kaum gadis, dan uang celengan para
nenek. Akhir tahun sudah makin mendekat, tahun baru pun
segera akan menjelang tiba.
Peduli kau sebagai orang suku Han, suku Biau, suku
Tibet ataukah suku Mongol, peduli kau berada di mana
pun, tahun baru tetap adalah tahun baru, karena semuanya
merupakan satu bangsa, anak keturunan kaisar Ui-te
bahkan merasa bangga karenanya.
Begitu pula semua orang yang berada di tempat ini.
Orang-orang di tempat ini pun akan merayakan tahun
baru, peduli kau miskin atau kaya, tua atau muda, pria atau
wanita, tahun baru tetap adalah tahun baru.
Betapa pun susahnya kehidupan sepanjang tahun, tahun
baru tetap harus dirayakan, setiap orang harus menikmati
tahun baru, begitu juga dengan Siau-hong serta Soso.
Sudah banyak tempat yang mereka telusuri, sudah
banyak kota yang mereka datangi.
Kini mereka telah tiba di sini, sekarang adalah saatnya
menjelang tahun baru, karena itulah mereka tetap tinggal di
sana untuk merayakan pergantian tahun.
Sebagian besar pelancong dan perantau yang mudik telah
tiba kembali di rumah masing-masing, kamar dalam
penginapan pun sembilan puluh persen dalam keadaan
kosong tanpa penghuni, ketika menengok dari balik jendela,
yang terlihat hanya bekas kaki kuda dan kereta yang
tertinggal di atas permukaan salju, di luar halaman.
Di atas meja berkaki delapan yang sudah kusam
warnanya, tersedia sepoci arak dan empat mangkuk
hidangan tahun baru, hidangan itu merupakan hidangan
khusus yang disediakan pemilik penginapan, bahkan di atas
mangkuk sayur tertera selembar kertas merah yang
bertuliskan, "Ki-siang-ji-gi, Kiong-hi-hoat-cay",
Semuanya selamat dan terkabul, semoga kaya raya, dan
banyak rezeki. Kehangatan memang selalu muncul di antara kehidupan
manusia, khususnya menjelang tahun baru seperti sekarang
setiap orang selalu berkeinginan untuk membagikan sedikit
kegembiraan dan rezeki yang dimilikinya untuk mereka
yang kesepian, kesendirian dan tidak beruntung.
Di sinilah letak semangat setiap orang dalam
mengartikan kata "Tahun baru", dan itu pula makna yang
sesungguhnya dari tahun baru. Mungkin karena inilah
maka kebiasaan merayakan tahun baru berlangsung terus
turun temurun. Soso telah menyiapkan dua perangkat mangkuk dan
sumpit, bahkan memenuhi cawan Siau-hong dengan arak
hangat. Dia memang seorang wanita baik, terhadap Siau-hong
dia telah melakukan setiap tugas yang harus dilakukan
seorang wanita terhadap seorang pria.
Setiap kali memandang wajah gadis itu, perasaan kecut
selalu timbul dari dasar hati Siau-hong, dia selalu tak kuasa
untuk bertanya pada diri sendiri, "Apa yang telah
kulakukan baginya?"
Tampaknya selama dua hari belakangan kesehatannya
kurang baik, ia tak pernah bisa tidur nyenyak, makanan
yang disantap pun tak banyak, terkadang secara diam-diam
dia mual dan muntah.
Siau-hong mengambil sebutir kuning telur dan
dimasukkan ke dalam mangkuknya, ia menelannya dengan
terpaksa, namun lagi-lagi segera muntah.
Andaikata Siau-hong adalah seorang lelaki yang
berpengalaman, dia seharusnya tahu mengapa gadis itu
berubah jadi begini rupa.
Sayang dia tak tahu, malah tanyanya, "Apakah kau
sakit?" Soso menggeleng tapi penampilannya memang mirip
seorang yang menderita sakit.
Maka Siau-hong pun kembali bertanya, "Kau tampaknya
sedikit tidak sehat, bagian tubuhmu yang mana terasa
kurang enak?"
Soso tertunduk rendah, wajahnya yang pucat tiba-tiba
bersemu merah, setelah lewat lama, dengan memberanikan
diri ia baru menjawab, "Kelihatannya aku... aku hamil."
Siau-hong tertegun, ia betul-betul terperangah, kaget
bercampur tidak percaya.
Secara diam-diam Soso sedang memperhatikan
wajahnya, menyaksikan perubahan mimik mukanya,
perasaan sedih yang luar biasa terpancar dari balik
matanya, ia gigit ujung bibirnya kuat-kuat, seperti kuatir
kalau dia mengucapkan kata-kata yang kurang patut.
Tapi akhirnya dia tak kuasa menahan diri dan bertanya,
"Apakah kau ingin bertanya kepadaku, anak yang berada
dalam perutku ini anakmu atau anak Tio Kun?"
Suaranya gemetar lantaran emosi yang menggelora,
terusnya, "Aku dapat memberitahukan kepadamu
sejujurnya, anak ini anakmu, karena Tio Kun tak bakal bisa
punya anak."
Sekuat tenaga ia berusaha mengendalikan diri, lanjutnya,
"Selama mengikuti rombongan saudagar yang dipimpin
Hoapula, kami selalu menginap di sebelah kamar kalian.
Suara desahan napas yang tiap malam kami perdengarkan
bukanlah berasal dari suara desahan karena kami suka
melakukan permainan ranjang."
"Lantas karena apa?"
"Kami sengaja berbuat begitu," sahut Soso, "Dengan
sengaja berbuat begitu, maka orang lain baru tak akan
mencurigai kami sebagai orang yang sedang dicari Lu-sam,
maka itulah orang lain baru mencurigai dirimu."
"Kenapa?" kembali Siau-hong bertanya.
"Karena anak buah Lu-sam sebagian besar adalah
sahabatnya, mereka tahu Tio Kun pada hakikatnya tak
mungkin mampu melakukan perbuatan semacam itu."
Suara Soso bertambah sedih dan tersiksa, "Karena sejak
lahir dia sudah dikebiri!"
Sekali lagi Siau-hong tertegun, kali ini benar-benar
terperangah. "Orang lain heran kepadaku, mengapa aku bisa
mencintai seorang lelaki yang pada hakikatnya bukan
lelaki." Air mata mulai membasahi mata Soso, "Sesungguhnya
mereka bisa keheranan karena tak pernah bisa memahami
perasaan cintaku terhadapnya, perasaan cinta yang
sesungguhnya."
Kembali dia melanjutkan, "Aku menyukainya karena
kekurangan dan kelemahannya itu, karena dia merupakan
satu-satunya lelaki yang pernah kujumpai sepanjang
hidupku, yang menyukai aku bukan karena tubuhku."
Perasaan cinta seorang wanita, rahasia seorang
perempuan, siapa yang dapat memahaminya"
Siau-hong sendiri pun tak mampu.
Soso menatapnya, kembali ia berkata, "Aku
memberitahukan semuanya kepadamu bukan karena
berharap kau bersedia mengakui anak ini sebagai anakmu,
kau tetap bisa menolak kehadirannya, setiap detik aku bisa
pergi dari sisimu."
Siau-hong mulai meneguk arak, minum dengan kepala
tertunduk, karena dia sudah tak berani menatap ke arahnya
lagi. Dia tahu apa yang dikatakan Soso adalah ucapan yang
sejujurnya, dia tak bisa tidak harus mengakui bahwa benih
itu adalah darah dagingnya, dia tak mungkin bisa
menyangkalnya. Bagaimana pun juga dia bukanlah seorang lelaki yang
sama sekali tak bertanggung jawab.
Hanya saja bagi seorang gelandangan tak berakar
semacam dirinya, datangnya peristiwa ini benar-benar
kelewat mendadak, sedemikian tiba-tiba hingga membuat
dia tak sanggup menghadapinya.
Ternyata dia sudah punya anak, punya anak dengan


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang perempuan yang sebenarnya bukan perempuan
miliknya. Siapa pula yang dapat menduga akan terjadinya
peristiwa semacam ini"
"Bagaimana pun juga di kemudian hari kita masih tetap
sahabat," sambil menyeka air mata, Soso mengangkat
cawan araknya, "Kuhormati secawan arak untukmu,
bersediakah kau meneguknya?"
Tentu saja Siau-hong harus meneguk arak itu. Menanti
dia mencari arak poci kedua, pemuda itu sadar, hari ini
dirinya bakal mabuk.
Dia benar-benar telah mabuk.
Saat itulah bunyi mercon mulai bergema di luar sana.
Tahun yang lama telah lewat, tahun yang baru dimulai.
Bulan satu tanggal satu, pagi.
Ooo)d*w(ooO BAB 25. BERPUTRA, SEMUA KEBUTUHAN
TERPENUHI Bocah-bocah dengan pakaian barunya sedang berlari di
atas permukaan salju, ucapan "Kiong-hi" berkumandang
dari sana-sini. Penjaja mainan anak-anak telah menyiapkan
barang dagangannya, siap menuai uang simpanan sang
nenek yang dibagikan kepada cucunya.
Hari ini, bulan satu tanggal satu, langit amat cerah.
Sudah cukup lama Siau-hong menelusuri jalan bersalju,
garis merah di balik matanya telah berkurang mabuk yang
dialaminya sejak semalam kini pun makin mendusin.
Di tempat ini tak ada tepi telaga dengan pohon Liu yang
melambai, tiada pula hembusan angin sepoi dengan
rembulan yang indah.
Sewaktu mendusin dari mabuknya, ia menjumpai dirinya
sedang berdiri di depan sebuah penjaja kaki lima yang
menjual mainan, menyaksikan seorang bapak kurus pendek
dengan membawa ketiga bocah gemuk membeli boneka
tanah liat. Menyaksikan wajah riang anak-anaknya, sang ayah yang
sepanjang tahun irit makan irit membeli pakaian jadi ikut
bangga, senyum keriangan menghiasi wajah kurusnya yang
kekurangan gizi.
"Berputra, semua kebutuhan terpenuhi", inilah ciri utama
orang Cina, justru karena itu pula orang Cina selamanya
berkembang. Mendadak Siau-hong merasakan matanya agak basah.
Sekarang dia pun telah berputra, dia pun seperti orang
lain, segera akan menjadi seorang ayah.
Sewaktu pertama kali mendengar kabar itu, dia memang
sempat terperanjat, terperangah, tapi sekarang lambat-laun
dia merasa kejadian semacam ini sesungguhnya bukan satu
kejadian aneh....
Setelah ia dapat menyadari hal ini, urusan lain pun
berubah seakan sama sekali tak penting lagi.
Dia pun membeli sebuah boneka tanah liat, boneka
berbaju merah yang sewaktu tertawa mirip Mi-lek-hud,
Buddha tertawa.
Namun ketika teringat anaknya belum lahir, entah harus
menunggu berapa lama lagi sebelum bisa bermain dengan
boneka itu, dia pun tertawa, tertawa geli.
Ia putuskan akan menceritakan kejadian ini kepada Soso,
bagaimana pun juga dia harus merawat baik-baik anak
mereka. Anak itu harus dilahirkan, kehidupannya harus
dilindungi, dia harus hidup seperti manusia lain.
Dalam perjalanan kembali ke rumah, berjalan sambil
membawa boneka yang baru dibelinya, Siau-hong
merasakan hatinya begitu cerah dan riang belum pernah ia
merasakan gembira seperti hari ini.
Tapi sayang ketika tiba di rumah, suasana dalam
ruangan kacau-balau tak keruan, poci arak, mangkuk sayur
semuanya hancur berantakan, serpihan mangkuk,
tumpahan sayur berhamburan di mana-mana, angsio
daging, ceceran saus berceceran membasahi dinding dan
lantai, seperti darah yang baru saja bercucuran.
Hati Siau-hong ikut berdarah, perasaannya seperti
disayat-sayat. Di tangannya masih menggenggam kencang boneka
tanah liat itu, seperti seorang ibu sedang menggendong
bayinya yang baru lahir.
"Prang!", boneka tanah liat dalam genggamannya hancur
berkeping. Harapan, cita-cita, perencanaan, semuanya serasa
hancur-lebur, seperti boneka yang hancur berkeping.
Kini apa yang harus dilakukan Siau-hong"
Pergi mencari Lu-sam" Tapi ke mana harus mencarinya"
Ibunya, sahabatnya, kekasihnya, putranya, kini mereka
telah terjatuh ke tangan Lu-sam.
Sekalipun berhasil menemukan Lu-sam, lalu apa yang
bisa dia lakukan"
Dengan sangat lamban, sangat perlahan Siau-hong
duduk, duduk di tanah di mana semula ia berdiri, duduk di
atas ceceran daging, kuah dan serpihan mangkuk.
Pecahan mangkuk yang tajam bagai mata golok
menusuk dan menembus tubuhnya.
Namun dia seakan tak merasakan, seolah tak peduli.
Dia hanya merasakan sepasang kakinya mendadak
berubah jadi lemah, lemah sekali, seluruh kekuatan dan
tenaga yang dimiliki seakan sudah terhisap habis, seolah dia
tak pernah mampu bangkit lagi untuk selamanya.
Pada saat itulah dia mendengar pemilik losmen yang
baik hati sedang menyampaikan selamat kepadanya,
"Selamat tahun baru, semoga selamat sepanjang tahun dan
terkabul semua keinginanmu."
Siau-hong tertawa, tertawanya seperti senyum orang
idiot. Hilang senyuman pemilik losmen setelah melihat
keadaan dalam ruangan, melihat tampang mukanya yang
kehilangan semangat, mana mungkin pemilik losmen itu
dapat tertawa lagi"
Tampaknya dia seperti mengucapkan lagi beberapa kata
hiburan, sayang tak sepotong perkataan pun yang terdengar
oleh Siau-hong.
Siau-hong sedang berkata kepada diri sendiri, tiada
hentinya mengingatkan diri sendiri.
Kau harus tetap sadar, pikiranmu harus tetap jernih,
tetap sabar dan pandai mengendalikan diri.
Tapi entah sejak kapan, tiba-tiba ia menjumpai dirinya
sedang minum arak, minum tiada hentinya.
Hanya seseorang yang kehidupannya betul-betul sudah
hancur dan musnah, baru tahu bahwa saat sadar
merupakan saat yang begitu menderita dan menakutkan.
Dia tahu minum arak tak akan menyelesaikan masalah,
mabuk tak mungkin bisa menghilangkan penderitaannya.
Namun di saat sadar, ia merasa jauh lebih menderita,
begitu tersiksa hingga setiap saat bisa gila.
Selama ini dia tak pernah berusaha melarikan diri dari
kenyataan, pukulan batin seberat apa pun selalu dihadapi
dengan gagah, tak pernah sudi menghindar, tapi sekarang...
ia sudah terpojok, sudah tak punya pilihan lain lagi yang
bisa dilalui. Saat itu dia mabuk dan mabuk terus, mabuk sampai tak
punya uang membayar ongkos arak dan akhirnya dihajar
oleh pemilik sebuah warung arak hingga patah dua kerat
tulang iganya dan dilemparkan ke dalam sebuah selokan
kotor. Namun ketika tersadar, tubuhnya sudah tak berada
dalam selokan yang kotor.
Ketika tersadar dari mabuknya, Siau-hong menemukan
tubuhnya sedang berbaring di atas sebuah ranjang.
Ranjang yang besar, lebar dan nyaman dengan seprei
putih bersih, sebersih kulit seorang gadis yang baru selesai
mandi. Seorang gadis bertubuh halus dan lembut bagai kain
sutera sedang berbaring di sisi tubuhnya, menggunakan
semua cara rangsangan yang bisa digunakan seorang wanita
untuk membangkitkan napsu birahi lelaki, sedang berusaha
menggodanya. Di saat seorang pemabuk belum seratus persen sadar,
saat itulah merupakan puncak dari napsu birahinya, lelaki
mana yang sanggup menghadapi godaan dan rangsangan
semacam ini"
Siau-hong adalah manusia, tentu saja dia pun tak
mampu menahan rangsangan itu.
Akhirnya dia melakukan perbuatan yang dirinya sendiri
pun tak dapat memaafkan, dia bahkan tidak tahu siapakah
perempuan yang telah disetubuhinya.
Tapi tak lama meniduri gadis itu, dia sudah mulai
muntah. Menanti ia selesai muntah, Siau-hong baru bertanya
kepada gadis itu, "Siapa kau" Mengapa tidur di
sampingku?"
"Aku bernama Bun-ciok."
Tampaknya perempuan itu tak peduli pemuda itu sedang
muntah, sikap serta penampilannya masih tetap lembut dan
hangat. "Temanmu yang minta aku datang menemanimu,"
katanya lebih jauh.
Temannya" Apakah saat ini dia masih punya teman"
"Siapakah temanku?"
"Lu-sam-ya!"
Hampir saja Siau-hong tak kuasa menahan rasa mualnya
dan nyaris muntah lagi.
Tapi dia tak sampai muntah, karena sudah tak ada lagi
yang bisa dimuntahkan dari lambungnya.
Bun-ciok kembali mulai dengan gerakannya, hanya
seorang pelacur berpengalaman yang mampu melakukan
gerak erotik semacam ini.
"Tempat ini adalah rumah milikku, semua ongkos dan
tagihan telah dibayar lunas."
Tangannya bergerak terus tiada hentinya.
"Di sini pun tersedia aneka arak," ujar Bun-Ciok lebih
jauh, "Ada arak Hoa-tiau, Mo-tay, Toa-ci, Tiok-yap-cing
kau boleh minum sepuasnya, mau pilih arak apa pun
tersedia, karena itu kau tak usah pergi dari sini."
Ternyata tempat itu merupakan dusun kelembutan,
dusun kenikmatan.
Di tempat ini tersedia arak kwalitas paling bagus,
tersedia perempuan paling hebat, semua yang tersedia di
sana sekarang merupakan apa yang paling dia butuhkan
saat ini. Segala sesuatu yang tersedia di tempat ini, tak mungkin
bisa dia peroleh begitu keluar dari tempat itu.
Luka di tubuh Siau-hong masih terasa sakit, begitu
bergerak langsung sakitnya luar biasa.
Maka dia pun berbaring di situ tanpa bergerak.
"Aku tahu, kau tak bakal pergi dari sini," ujar Bun-ciok
sambil tertawa, tawanya nampak begitu manis, "Lu-sam-ya
pun tahu, kau tak bakal pergi dari sini, dia...."
Ia tidak menyelesaikan perkataannya. Karena Siau-hong
sudah melompat bangun dan menerjang keluar dari situ.
Kini dia telah dimusnahkan, sudah tenggelam ke lembah
penderitaan, tapi dia masih memiliki harga diri, masih
memiliki sehembus napas.
Matahari teramat terik.
Begitu teriknya sang surya bagaikan bara api dalam
tungku, Siau-hong memang berada di tengah tungku yang
panas. Bibirnya telah merekah karena kering sakunya kosong
melompong, kepalanya sakit bagai ditusuk jarum,
lambungnya sakit bagai diremas-remas banyak tangan
raksasa, bahkan tubuhnya sangat bau seperti bangkai ikan
yang telah membusuk.
Bila seseorang berada dalam kondisi seperti ini, siapa
yang sudi menerimanya" Siapa yang sudi menampungnya"
Siau-hong sendiri pun tak tahu harus ke mana pergi,
namun dia berjalan dan berjalan terus. Kebab dia tak boleh
berbaring di tanah, tak bisa berbaring seperti seekor anjing,
tak boleh berbaring di tempat di mana sampai mati pun tak
bakal ada yang mengurus.
Dia ingin sekali membeli secawan arak. Siapa tahu baru
saja akan memasuki sebuah kedai penjual arak, dia telah
diusir keluar bagaikan seekor anjing liar.
Maka dia pun berkata kepada diri sendiri, "Siau-hong
wahai Siau-hong, habis sudah riwayatmu, daripada hidup
sia-sia mending pergi mampus saja."
Tapi dia pun tak rela berbuat begitu.
Pada saat itulah tiba-tiba ada sebuah tangan yang
menariknya dari arah belakang, sebuah tangan yang kuat
dan bertenaga. Begitu berpaling tak tahan dia pun berteriak, "Tio Kun!"
Ternyata orang yang menariknya dari belakang tak lain
adalah Tio Kun, Tio Kun yang pergi tanpa kabar.
Soso adalah perempuan milik Tio Kun, kini Soso telah
hamil, anak Soso adalah anaknya.
Hampir saja Siau-hong melarikan diri meninggalkan
rekannya itu. Tapi Tio Kun telah menariknya, sekarang dia tak akan
membiarkan pemuda itu pergi dari situ.
"Kau belum mati," seru Tio Kun terkejut bercampur
gembira, "Sungguh tak disangka kita belum mati."
Suaranya jadi parau karena luapan emosi, karena
terkejut bercampur gembira, "Waktu itu aku termakan oleh
bacokan goloknya, kusangka saat ajalku telah tiba, sungguh
tak disangka bacokan itu ternyata tidak mengenai bagian
tubuhku yang mematikan, namun di saat aku pergi mencari
kakian, ternyata kalian berdua sudah tidak berada di sana."
Setelah itu dia baru bertanya kepada Siau-hong,
mengajukan pertanyaan yang paling menakutkan bagi
dirinya. "Di mana Soso?" tanyanya, "mengapa Soso tidak berada
bersamamu?"


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siau-hong tak dapat menjawab pertanyaan ini, dia pun
tak bisa untuk tidak menjawab. Kalau sebelumnya dia ingin
sekali menemukan Tio Kun, maka sekarang dia hanya
berharap tidak pernah menjumpai orang ini untuk
selamanya. Dengan pandangan iba dan simpatik Tio Kun menatap
wajahnya. "Kau lelah, bahkan sepertinya sedang menderita sakit,"
katanya, "Selama berapa hari belakangan, pengalaman
pahit yang kau alami pasti menakutkan dan menyedihkan."
Siau-hong tak dapat menyangkal.
"Bagaimana pun juga, semua kejadian itu kini sudah
berlalu," sahutnya.
"Hari ini kebetulan aku telah mengundang banyak sekali
teman, teman-temanku itu pasti kenal pula dirimu," ujar
Tio Kun. Kemudian tambahnya, "Temanku adalah temanmu juga,
kau harus ikut aku ke sana."
Tempat itu merupakan sebuah kota kecil di pinggir
perbatasan, padahal Tio Kun adalah seorang pelarian, sama
sekali tak disangka ternyata dia masih mempunyai teman di
tempat ini. Yang lebih tak terduga lagi adalah teman-temannya
ternyata merupakan jago-jago persilatan yang punya nama
dan luas pergaulannya, beberapa orang di antaranya bahkan
merupakan tokoh persilatan dari suatu wilayah tertentu,
orang semacam ini seharusnya mustahil bisa muncul di kota
kecil di pinggir perbatasan, tapi sekarang ternyata mereka
bermunculan di situ.
Apakah mereka sedang merundingkan suatu masalah
besar di tempat ini"
Siau-hong tidak banyak bertanya, sebab Tio Kun telah
memperkenalkan dirinya kepada mereka.
"Kalian pasti pernah mendengar bukan bahwa di dunia
persilatan terdapat seorang yang disebut Siau-hong yang tak
punya nyawa."
Tampaknya Tio Kun ikut merasa bangga akan kehebatan
sahabatnya itu, "Temanku ini tak lain adalah Siau-hong si
tak punya nyawa, Siau-hong yang nekat!"
Kemudian sambil menepuk bahu Siau-hong, tambahnya,
"Aku berani menjamin kepada kalian semua, dia adalah
seorang sahabat sejati."
Ternyata reaksi para jago sangat antusias, serentak
mereka menghampiri sambil menghormati Siau-hong
dengan arak. Tentu saja Siau-hong tak bisa menampik, dia pun tak
ingin menampik.
Dia telah meneguk arak cukup banyak, jauh lebih banyak
daripada di hari-hari biasa, namun ia tak mabuk.
Tiba-tiba terdengar Tio Kun berkata lagi, "Sekarang tak
ada salahnya kubeberkan identitas dia yang sebenarnya,
akan kuberitahu seberapa baiknya sahabatku ini."
Perasaan Siau-hong mulai tenggelam, sebab dia sudah
tahu apa yang hendak disampaikan Tio Kun.
Ternyata yang dikatakan Tio Kun adalah masalah Soso
dan Yang-kong. "Po Eng adalah sahabat karibnya, begitu pula denganku,
kami pernah menyelamatkan dia," kata Tio Kun, "Kami
semua percaya kepadanya, bahkan menyerahkan pula calon
istri kami kepadanya."
Tiba-tiba suaranya berubah jadi sedih dan penuh
amarah, "Tapi sekarang istriku telah hamil, mengandung
benih anaknya."
Siau-hong hanya mendengarkan, sedikit pun tanpa
reaksi, seperti sedang mendengarkan sebuah cerita yang
sama sekali tak ada sangkut-paut dengan dirinya.
Kembali dia minum banyak, minum sampai tubuhnya
terasa kaku, kesemutan, dan mati rasa.
Tiba-tiba Tio Kun bertanya kepadanya, "Benarkah apa
yang telah kukatakan?"
"Benar."
"Jadi kau mengakui?"
"Aku mengakui."
Siau-hong masih meneguk arak tiada hentinya,
menghabiskan arak cawan demi cawan.
"Aku mengakui, aku mengakui...."
Dia merasa seakan ada orang menyiramkan arak ke
tubuhnya, ke wajahnya, ke atas kepalanya, tapi dia sama
sekali sudah tidak merasakan lagi.
Tempat di mana mereka minum arak adalah di sebuah
rumah makan yang cukup besar dan megah, araknya bagus,
hidangannya lezat, perabotnya indah, bahkan pelayanan
pun memuaskan. Memang bukan sesuatu yang gampang untuk
menemukan sebuah rumah makan semacam ini di sebuah
kota kecil pinggir perbatasan.
Di dalam rumah makan itulah Siau-hong meneguk
araknya, mabuk di hadapan Tio Kun.
Sewaktu tersadar dari mabuk, Siau-hong masih berada
dalam rumah makan itu, Tio Kun masih berada di
hadapannya, menatapnya dengan pandangan dingin.
Para jago telah bubar, lentera telah mengering. Namun
wajah Tio Kun masih hitam kelabu, segelap cuaca di luar
jendela sana. Siau-hong membuka matanya, dia seakan ingin melihat
jelas wajahnya, siapa sangka ia tetap tak dapat melihatnya
dengan jelas. Mengapa orang ini belum pergi" Mau apa dia tetap
tinggal di sini"
Apabila ingin balas dendam, mengapa dia tidak
menghadiahkan sebuah bacokan golok ke tubuhnya"
Siau-hong meronta untuk duduk, meski sudah terduduk
namun posisinya masih setengah lebih rendah daripada Tio
Kun. Ada sementara orang memang selalu lebih pendek
daripada sementara orang.
Meskipun kota kecil ini terletak di pinggir perbatasan,
namun masih terhitung sebuah kota yang ramai dan
makmur, tentu saja rumah makan itu berada di tepi jalan
teramai di kota itu.
Meskipun cuaca di luar jendela gelap kelabu, saat ini
masih tengah hari, saat orang bersantap siang. Betapa pun
jeleknya usaha dagang sebuah rumah makan, paling tidak
tentu ada beberapa orang tamu yang datang bertandang.
Rumah makan ini bukanlah rumah makan yang jelek
usaha dagangnya, semisal sepi langganan, mungkin sejak
dulu usaha rumah makan itu sudah gulung tikar.
Tapi kini di dalam rumah makan itu hanya ada mereka
berdua. Siau-hong menatap Tio Kun, Tio Kun pun menatap
Siau-hong, mereka berdua saling berpandangan, kecuali
kedua orang itu, siapa pun tak tahu apa yang sedang
dipikirkan. Kedua orang itu sama-sama membungkam, begitu
hening dan sepinya suasana sehingga dalam rumah makan
itu tak terdengar sedikit suara pun.
Yang terdengar hanya suara yang berasal dari jalan raya
di luar sana, ada suara manusia, suara kereta, suara ringkik
kuda, ada pula suara penjaja kaki lima yang sedang
menawarkan barang dagangannya.
Akhirnya Tio Kun buka suara, mengutarakan semua
persoalan yang mengganjal hatinya selama ini.
Tanyanya kepada Siau-hong, "Apa yang sedang kau
pikirkan" Apakah ada yang ingin kau sampaikan
kepadaku?"
"Tidak."
"Tidak?" tanya Tio Kun tercengang.
"Bukan aku yang ingin mengatakan sesuatu kepadamu,"
tukas Siau-hong, "Seharusnya kaulah yang ingin
mengucapkan sesuatu kepadaku."
"O, ya?"
"Ada suatu persoalan yang telah kau beritahukan
kepadaku sejak awal."
"Oh?"
"Masih ingat dengan penyanyi berbaju putih yang
minum arak sambil membawakan lagu sedih?" tanya Siauhong.
"Aku masih ingat," sahut Tio Kun, "Tentu saja aku
masih ingat."
"Ketika kami selesai mengubur jenazahnya, di saat Soso
sedang mengobati luka Yang-kong, ketika masih berada di
atas bukit, bukankah kau pernah berkata ada satu rahasia
besar yang hendak kau beritahukan kepadaku."
"Benar."
"Tapi hingga sekarang kau belum memberitahukan
kepadaku."
"Memang belum," Tio Kun manggut-manggut, "Aku
memang tak punya kesempatan untuk memberitahukan
kepadamu."
"Bagaimana kalau sekarang?" dengan tatapan aneh Siauhong
memandangnya. "Sekarang...."
Sebelum Tio Kun melanjutkan perkataannya, Siau-hong
kembali menukas, "Sekarang kau sudah tak perlu
mengatakan lagi"
"Kenapa?"
"Karena aku sudah tahu apa yang hendak kau katakan."
Bukan hanya tatapan mata Siau-hong yang aneh,
suaranya pun terdengar aneh sekali.
"Karena sekarang aku sudah tahu siapakah dirimu."
"Kau mengetahui siapakah aku?" Tio Kun balik bertanya
sambil tertawa, suara tawanya pun sama anehnya, "Coba
katakan, siapakah aku?"
Jawaban Siau-hong dapat membuat setiap orang
terperanjat, terperangah, paling tidak, kecuali mereka
berdua, setiap orang lain yang mendengar tentu akan sangat
terperanjat. "Kau adalah Lu-sam," ujar Siau-hong.
Kembali Tio Kun tertawa.
Ternyata dia tidak berusaha menyangkal, keinginan
untuk menyangkal pun tak ada, hanya tanyanya kepada
Siau-hong, "Dari mana kau bisa tahu kalau aku adalah Lusam?"
Pertanyaan itu sebenarnya merupakan jawaban, karena
dengan mengajukan pertanyaan semacam itu, sama halnya
dia telah mengakui bahwa dirinya adalah Lu-sam.
Maka dia pun menjawab sendiri pertanyaan itu,
"Padahal aku pun tahu, cepat atau lambat kau pasti akan
menduga ke situ, kau bukan termasuk orang bodoh dan
sekarang pun sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui
rahasia ini."
Ada banyak kejadian, ada banyak persoalan yang tak
mungkin bisa diperoleh jawaban yang pas andaikata dia
bukan Lu-sam. "Betul, aku memang Lu-sam."
Ternyata dia segera mengakuinya.
"Kau seharusnya sudah menduga sejak awal bahwa Tio
Kun adalah sebuah nama palsu, wajah ini pun wajah palsu,
oleh sebab itu meski sekarang kau tahu kalau aku adalah
Lu-sam, namun di saat bertemu Lu-sam lagi di kemudian
hari, belum tentu kau dapat mengenalinya."
"Apakah masih ada lain waktu?" tanya Siau-hong dingin,
"Bukankah kali ini merupakan terakhir kalinya?"
"Tidak, belum terakhir kalinya."
"Apakah kau tak ingin melihat aku mati kelewat cepat?"
"Benar," Lu-sam tersenyum, "Dari dulu hingga
sekarang, kematian hanya akan dialami satu kali, jadi siapa
pun tak ingin mati. Hanya saja terkadang hidup jauh lebih
sengsara daripada mati."
Dengan kematian maka semua urusan akan
terselesaikan, orang hidup baru akan merasakan
penderitaan dan siksaan.
"Aku percaya kau pasti mengetahui pula teori ini,"
kembali Lu-sam bertanya, "Tahukah kau mengapa aku
sengaja meninggalkan Soso untuk menemanimu?"
Kembali dia menjawab sendiri pertanyaan yang diajukan
itu, jawaban yang membuat siapa pun mendengarnya akan
merasa tersiksa dan menderita batinnya.
"Karena kau telah membunuh putraku, maka aku pun
ingin kau mengembalikan seorang putra untukku,
mengembalikan dengan putra kandungmu sendiri."
Terkadang ada kalanya seseorang dapat berubah jadi
kosong tubuh, otak, peredaran darah, semuanya berubah
jadi kosong, bahkan pikiran, perasaan, semangat, dan
tenaga pun hilang.
Bagi seseorang yang belum pernah mengalami kejadian
semacam ini, dia pasti tak akan percaya bila seseorang
betul-betul dapat berubah jadi begini rupa.
Tapi Siau-hong percaya, kini Siau-hong sedang
mengalami gejala semacam ini.
Dalam waktu singkat dia seolah jadi kosong, seolah
semua penderitaan dan siksaan hanya sebuah kenangan.
Terkadang waktu yang sesaat itu akan berubah jadi
abadi. Siau-hong seolah sedang mendengar Lu-sam berkata,
"Kau sudah habis, betul-betul sudah tamat riwayatmu."
Kelembutan dan kehangatan suara Lu-sam begitu
memuakkan, begitu menjijikkan, membuat ia jadi mual dan
ingin muntah. "Nama baikmu dalam dunia persilatan telah habis,
ibumu, sahabatmu, kekasihmu, putramu, semuanya sudah
terjatuh ke tanganku. Asal aku senang, setiap saat aku dapat
menggunakan berbagai cara untuk menyiksa mereka,
membuat mereka menderita."
Ia tertawa tergelak, "Sebaliknya kau... selama hidup
jangan harap bisa menduga cara apa yang akan kulakukan
terhadap mereka, oleh karena itu kau hanya bisa berpikir ke
arah yang paling buruk, semakin dipikir semakin menderita,
tidak dipikir pun tidak bisa...."
Apa yang dia katakan memang benar dan nyata.
Tak seorang pun dapat mengendalikan jalan pikiran
sendiri, persoalan yang semakin tak ingin dipikir, biasanya


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masalah itu akan semakin memenuhi benaknya.
Penderitaan dan siksaan semacam ini pada dasarnya
merupakan penderitaan yang paling menyiksa umat
manusia. Kembali Siau-hong mendengar seolah ia sedang berkata,
"Paling tidak aku belum mati, aku masih bisa bernapas."
"Kau belum mati, tak lain karena aku merasa kau sudah
tak perlu dibunuh lagi," kata Lu-sam dengan nada
mengejek, "Karena kehidupanmu sekarang jauh lebih
menderita dan tersiksa daripada mati."
Dengan senyuman yang lebih lembut dan hangat,
terusnya, "Bila kau mengira karena masih bisa bernapas,
maka mampu adu nyawa denganku, dugaanmu itu keliru
besar." Siau-hong sedang tertawa dingin, semacam tertawa
dingin yang dirinya sendiri pun dapat merasakan kalau
suara tawa itu penuh kepalsuan.
"Kau tidak percaya?" ejek Lu-sam, "Kalau begitu tak ada
salahnya kalau kuberi kesempatan kepadamu untuk
mencoba." Dia segera mengulap tangan, tiba-tiba dari sisi tubuhnya
muncul seorang asing.
Orang itu bertubuh pendek, kecil, dan mengenakan baju
warna hitam. Padahal di dalam rumah makan itu tak ada manusia
semacam dia, tapi begitu Lu-sam mengulap tangan, tahutahu
orang itu sudah muncul, bahkan Siau-hong sendiri pun
tak tahu dari mana munculnya orang itu.
Di tangan orang itu menggenggam sebilah pedang,
pedang yang sudah dilolos dari sarung, hawa pedang terasa
dingin menyayat, cahaya senjata bening seperti bermata
satu. Pedang mata iblis!
"Ini pedang milikmu," Lu-sam melempar pedang itu ke
samping kaki Siau-hong, "Pedang itu sebetulnya milikku
juga, sekarang kukembalikan kepadamu. Kalau memang
kau anggap masih punya napas, gunakan pedang itu untuk
bertarung melawanku."
Siau-hong sama sekali tak bergerak.
Cahaya pedang masih berkilat, "Mata iblis" seolah
sedang main mata dengannya, namun dia sama sekali tak
bergerak. Mengapa dia tidak menggerakkan tangannya untuk
mengambil pedang itu"
Lu-sam sedang memperhatikan tangan sendiri.
Tangan Lu-sam kering, bersih dan mantap, sementara
tangan Siau-hong gemetar, kukunya telah berubah jadi
hitam. Dengan sepasang tangan semacam ini, mana pantas dia
memegang pedang sebagus itu"
Kembali Lu-sam menghela napas.
"Padahal sudah kuduga, kau tak bakal meraih pedang
itu," katanya, "Karena kau sendiri pun tahu, asal kau raih
pedang itu maka nyawamu pasti melayang."
Suara helaan napasnya terdengar begitu memuakkan,
nyaris membuat orang muntah saking mualnya.
"Kini meski kau hidup dalam penderitaan, sayangnya
kau pun justru tak ingin mati," kata Lu-sam, "Bila kau mati
maka segala sesuatunya akan tamat, sekarang paling tidak
kau masih memiliki setitik harapan."
Masih ada harapan" Setelah seseorang terjerumus dalam
keadaan seperti ini, harapan apa lagi yang masih tersisa"
Kembali Lu-sam berkata, "Dalam hati kecilmu mungkin
kau masih berharap, siapa tahu Po Eng, Pancapanah, atau
jago lain bakal muncul di sini dan menyelamatkan jiwamu."
Setelah menghela napas, lanjutnya, "Sayang sekali,
sekalipun mereka benar-benar datang pun tetap tak ada
gunanya." Tiba-tiba ia berpaling ke arah manusia berbaju hitam
yang membawa pedang tadi, katanya sambil tertawa, "Tak
ada salahnya beritahu kepadanya, siapakah kau?"
Wajah manusia berbaju hitam itu mirip seekor burung,
bukan sebangsa burung elang atau rajawali.
Wajahnya kelihatan seperti seekor burung gereja yang
telah diolesi minyak dan kecap, lalu dipanggang hingga
kering. Dengan sangat tenang dia mengawasi Siau-hong,
menggunakan suara yang mendirikan bulu kuduk siapa pun
yang mendengar, dia berkata, "Aku bukan manusia, aku
hanya seekor burung."
Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya,
"Namaku Ma-ciok, si Burung gereja."
Jelas burung gereja bukan termasuk burung yang
menakutkan. Bila orang ini benar-benar hanya seekor burung, maka
dia sama sekali tidak menakutkan.
Peduli dia tampak seperti apa, peduli dia mengatakan
dirinya seperti apa, yang pasti dia adalah seorang.
Bila orang ini bernama Ma-ciok, si Burung gereja, maka
orang ini bisa dipastikan adalah seorang yang sangat
menakutkan. Banyak jago hebat dalam dunia persilatan yang
menggunakan nama unggas sebagai julukannya, seperti
Kim-ci-toa-bong (Rajawali raksasa bersayap emas), Tuihunyan-cu (Burung walet pengejar sukma), Eng-jiau-ong (si
Raja kuku garuda). Mereka dapat dipastikan merupakan
jago kelas satu dalam dunia persilatan.
Tapi di antara semuanya itu hanya satu orang yang
paling menakutkan, dia adalah Ma-ciok, si Burung gereja.
Karena si burung gereja ini bukan seekor burung,
melainkan seorang, bukan saja ilmu meringankan tubuhnya
sangat lihai, bahkan sangat pandai "mematuk" mata orang,
mematuk hulu hati dan jantungnya.
Bukan mematuk dengan mulutnya, bukan pula dengan
tangan, tapi menggunakan senjata andalannya, Kim-kongciok,
patukan Kim-kong yang sangat menakutkan.
Bila seseorang dapat menciptakan sejenis senjata
andalan, tak disangkal orang semacam ini tentu berotak
encer. Bila seseorang bukan saja berilmu silat tinggi bahkan
berotak encer, maka tak disangkal orang ini pastilah seorang
yang sangat menakutkan.
Lu-sam menggunakan sorot mata kagum mengawasi
wajah Ma-ciok yang sama sekali tak berharga untuk
dikagumi itu. Kemudian dengan sikap yang begitu lega dan seakan
sudah tahu dengan pasti jawabannya, ia bertanya lagi
kepada si burung gereja, "Apakah semua tugas yang
kuserahkan kepadamu telah kau selesaikan semua?"
"Sudah."
Lu-sam tersenyum, ia berjalan menghampiri jendela
kemudian baru berpaling dan ujarnya kepada Siau-hong,
"Coba kau pun kemari, mari kita buktikan apa benar dia
telah menyelesaikan tugasnya."
Sikapnya seperti seorang tuan rumah sedang
mempersilakan tamunya untuk pergi menonton sebuah
sandiwara yang menarik.
Tugas apa yang ia serahkan kepada Ma-ciok untuk
dilaksanakan"
Di luar jendela merupakan jalan utama kota kecil itu,
sepanjang jalan berjajar aneka toko dan warung, bukan saja
ada toko besar, ada pula pedagang kaki lima serta aneka
ragam manusia yang berlalu-lalang.
Seorang pedagang keliling sedang menggoyang
keleningan di depan sebuah toko penjual kue, sementara
seorang nenek berambut putih sedang berdiri di depan
gerobak siap membeli jarum jahit.
Seorang nona kecil berambut kepang berdiri di belakang
sang nenek sambil diam-diam memperhatikan minyak
wangi dan bedak yang dijajakan di atas gerobak dorong.
Seorang pelayan toko kue sedang berdiri pula di depan
pintu tokonya sambil memperhatikan si nona kecil dengan
pakaiannya yang ketat.
Di samping mereka adalah sebuah toko penjual
kebutuhan tahun baru, karena perayaan tahun baru telah
lewat, usaha dagangnya nampak sedikit sepi tanpa
pengunjung. Waktu itu Ciangkwe toko sedang terkantuk-kantuk di
belakang meja kasirnya, ketika dikejutkan suara mercon
yang dibunyikan toko cita di rumah sebelah, ia nampak
agak marah dan siap keluar dari warungnya untuk
mengumpat. Seorang kakek penjual kacang goreng sedang ribut
dengan seorang pemuda penjual kacang, tampaknya mereka
ribut karena saingan dagang.
Di depan pintu warung arak di seberang jalan tergeletak
seorang lelaki pemabuk yang berbaring sambil
membawakan lagu rakyat.
Beberapa orang pengemis sedang mengerumuni seorang
nyonya gemuk berbaju merah sambil minta sedekah.
Dua orang lelaki yang tampangnya sama sekali tak mirip
dewa rezeki sedang mengantar dewa rezeki di depan sebuah
tokoh penjual beras.
Di sebelah sana suara gembreng dan tambur dibunyikan
keras-keras, serombongan pemain liong sedang menarikan
naganya sambil berlenggak-lenggok.
Semua nyonya tua, nona kecil, nyonya gemuk, nona
dewasa, hampir semuanya mengalihkan pandangan
menonton datangnya keramaian permainan naga,
menyaksikan pemuda-pemuda bertelanjang dada di musim
salju yang begitu dingin sambil memamerkan otot-ototnya
yang kekar. Di saat mereka mengawasi, orang lain pun sedang
mengawasi mereka, memperhatikan wajah si nona kecil,
kaki gadis remaja, perhiasan nenek tua, dan pantat besar
nyonya gemuk. Bahkan ada beberapa orang pemuda yang tertawa
terkekeh sambil menuding pantat besar si nyonya gemuk
dan berbisik, "Wah, begitu gede pantatnya, mungkin cukup
sebagai alas bermain kartu."
Ooo)d*w(ooO BAB 26. IKAN SUCI
Walaupun tahun baru telah lewat, namun Cap-go-meh
belum lagi lewat, suasana tahun baru masih menyelimuti
seluruh jalan raya, suasana amat ramai, penuh
kegembiraan, baik yang berduit maupun yang hidup paspasan,
mereka seolah melupakan semua masalah dan
kerisauan yang melanda hati masing-masing.
Bagaimana dengan Siau-hong"
Jika kau adalah Siau-hong, berdiri di depan jendela,
berdiri di samping musuh besarmu yang telah merampas
ibumu, sahabatmu, kekasihmu, anakmu, dan nama baikmu,
menyaksikan keramaian di tengah jalan raya, menyaksikan
semua orang sedang bergembira ria, bagaimana
perasaanmu waktu itu"
"Mereka termasuk dalam rombongan ini," tiba-tiba Maciok
menerangkan. Ia menuding ke arah si pedagang keliling, pelayan
penjaga toko kue, Ciangkwe yang sedang mengantuk di
meja kasir, Ciangkwe toko cita yang membakar mercon,
kakek tua penjual kacang dan anak muda penjual kacang,
lelaki pemabuk dan pengemis, dewa rezeki dan rombongan
pemain liong, serta pemuda penjual barang keperluan kaum
wanita. Sambil menuding ke arah orang-orang itu, kembali Maciok
berkata kepada Lu-sam, "Mereka adalah orang-orang
yang kupersiapkan di tempat ini."
"Mereka?"
"Benar, setiap orang yang ada di sana."
"Berapa banyak orang yang kau persiapkan di situ?"
kembali Lu-sam bertanya.
"Seharusnya berjumlah empat puluh delapan orang,"
jawab Ma-ciok, "Tapi saat ini aku hanya melihat empat
puluh tujuh orang."
"Masih ada seorang lagi, ke mana dia pergi?"
"Aku sendiri pun tak tahu," sahut Ma-ciok, "Tapi aku
pasti dapat menemukannya."
Kemudian dengan nada hambar tambahnya, "Setelah
berhasil ditemukan, mulai saat itu orang tadi tak perlu pergi
ke mana-mana lagi."
Siau-hong tentu memahami maksudnya, hanya orang
mati yang tak perlu pergi ke mana-mana lagi.
Terdengar Lu-sam bertanya lagi kepada Ma-ciok, "Siapa
saja orang-orang yang kau persiapkan di sini?"
Dalam waktu sekejap Ma-ciok menyebutkan nama
keempat puluh delapan orang, di antaranya paling tidak ada
tiga puluhan orang yang namanya pernah didengar oleh
Siau-hong, bahkan nama-nama itu cukup mengejutkan hati
siapa pun yang mendengar.
Hanya nama orang yang pandai membunuh, bahkan
telah membunuh banyak orang, baru akan mengejutkan
hati siapa pun yang mendengar.
"Menurut pendapatmu, apakah orang-orang itu sudah
lebih dari cukup?" kembali Lu-sam bertanya.
"Pasti lebih dari cukup," jamin Ma-ciok, "Asal aku
turunkan perintah, dalam hitungan kedua puluh, mereka
sudah dapat menghabiskan semua nyawa yang berada di
sepanjang jalan ini, baik tua muda, laki perempuan, kucing
maupun anjing."
Lu-sam berlagak terperanjat, yang jelas terasa dibuatbuat,
ia tatap Ma-ciok lalu sengaja bertanya, "Tahukah kau,
ada berapa banyak manusia di sepanjang jalan ini?"
"Aku tidak tahu," mimik muka Ma-ciok masih tetap
tenang, "Aku hanya tahu berapa pun jumlah orang di sana,
sebetulnya sama saja buatku."
"Sekalipun ada orang lain yang bakal datang pun sama
saja?" "Benar, sama saja," jawab Ma-ciok, "Bahkan peduli siapa
pun yang datang, sekalipun Po Eng atau Pancapanah pun
sama saja."


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Asal kau menghitung sampai angka dua puluh, maka
mereka bakal mati terbunuh?"
"Ehm!"
"Cepatkah angka hitunganmu?"
"Tidak terlalu cepat, tapi tidak pula terlalu perlahan."
Lu-sam segera tertawa, menggeleng sambil tertawa.
"Siapa yang percaya dengan perkataanmu itu?" serunya.
"Siapa yang tidak percaya?" Ma-ciok balik bertanya sambil
tertawa dingin.
"Bila ada orang tidak percaya, apakah setiap saat kau
dapat membuktikannya?"
"Tentu saja," jawab Ma-ciok, "Setiap saat dapat
kubuktikan."
Kembali Lu-sam tertawa, berpaling sambil tertawa,
ditatapnya wajah Siau-hong kemudian dia bertanya,
"Percayakah kau?"
Siau-hong tidak menjawab, dia tutup mulutnya rapatrapat.
Bibirnya yang kering terasa merekah, ujung jarinya
dingin dan kaku, dia tak boleh menjawab pertanyaan ini,
dia pun tak dapat menjawabnya.
Sebab dia tahu, baik jawabannya "percaya" atau "tidak
percaya" akibat yang harus diterimanya sama saja, samasama
menakutkan. Dengan tenang Lu-sam mengawasi Siau-hong dengan
tenang menunggunya sampai lama sekali sebelum akhirnya
buka suara. "Padahal kau sama sekali tak perlu menjawab
pertanyaan ini, sementara aku pun pada hakikatnya tak
perlu bertanya kepadamu."
Senyuman liciknya seperti seekor rase yang berhasil
menangkap seekor kelinci.
"Aku sengaja bertanya kepadamu tak lebih hanya ingin
kau tahu, saat ini kau sama sekali sudah tak punya
kesempatan, sama sekali tak punya harapan lagi."
Tiba-tiba lenyap senyuman dari wajahnya, dengan
tatapan mata yang lebih dingin dan buas daripada seekor
serigala, terusnya, "Sebetulnya yang benar-benar ingin
kutanyakan kepadamu adalah sebuah persoalan lain."
"Soal apa?"
"Di mana Po Eng telah menyembunyikan emas lantakan
itu?"tanya Lu-sam, "Emas lantakan terakhir yang dia begal
dari tangan ThiatGi?"
Ditatapnya wajah Siau-hong lekat-lekat, terusnya, "Aku
percaya kau pasti mengetahui rahasia ini, kecuali Po Eng
sendiri dan Pancapanah, hanya kau seorang yang tahu."
Terlebih tentang persoalan ini, tak mungkin Siau-hong
bakal menjawabnya, biar mati pun tak mungkin dijawab.
Tiba-tiba ia balik bertanya, "Bila aku bersedia
mengatakannya, apakah kau pun bersedia melepas aku,
bahkan melepas juga ibu dan anakku?"
"Bisa kupertimbangkan," jawab Lu-sam.
"Aku pun dapat menunggu, menunggu sampai kau
selesai mengambil keputusan."
Berkilat sepasang mata Lu-sam.
"Kalau kukabulkan permintaanmu itu?" tanyanya.
"Kalau kau mengabulkan, maka aku pun jadi mengerti
akan sesuatu."
"Mengerti soal apa?"
"Mengerti kalau usahamu selama ini dengan melakukan
berbagai siasat untuk menghadapiku, tujuan yang
sebenarnya bukan untuk membalas dendam," kata Siauhong,
"Kau berbuat demikian tak lain karena kau ingin
memaksaku untuk mengatakan di mana emas itu
disembunyikan."
Ternyata Lu-sam tidak menyangkal, sekarang dia
memang tak perlu menyangkal lagi.
Kembali Siau-hong mengucapkan sebuah perkataan yang
aneh, "Kalau toh kau tidak menyangkal, aku pun jadi tidak
mengerti."
"Persoalan apa pula yang tidak kau pahami?"
"Tidak paham, mengapa kau harus berbuat begitu," sahut
Siau-hong, "Bagimu emas murni sebesar tiga puluh laksa
tahil tidak terhitung kelewat banyak, buat apa kau harus
mengorbankan banyak biaya dan tenaga untuk melakukan
semua ini."
Kembali Lu-sam menatapnya lama sekali, kemudian
setelah menghela napas panjang katanya, "Ternyata kau
adalah orang pintar, aku tak ingin membohongimu lagi."
"Bila ingin aku bicara jujur, lebih baik tak usah mencoba
mengelabui aku lagi."
"Bagiku tiga puluh laksa tahil emas murni memang tak
terhitung kelewat banyak," ujar Lu-sam kemudian, "Aku
berbuat begitu sesungguhnya memang bukan lantaran uang
emas itu."
"Lalu karena apa?"
"Untuk mengail seekor ikan," Lu-sam menegaskan,
"Seekor ikan emas!"
"Ikan emas?" perasaan terkejut dan heran yang
diperlihatkan Siau-hong bukan sengaja dia lakukan, "Jadi
kau mengorbankan begitu banyak tenaga dan pikiran hanya
demi mendapatkan seekor ikan emas?"
Lu-sam tidak menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba ia balik
bertanya, "Tahukah kau di tepi perbatasan Tibet terdapat
sebuah kota yang bernama Ghardu" Kau pernah ke sana?"
Siau-hong belum pernah ke sana, tapi dia mengetahui
tempat itu. Kota Ghardu berada di muara sungai Gangga, sungai
suci yang mengalir di negeri Thian-tok, letaknya di muara
sebelah barat dan berada di atas gunung yang tinggi, di saat
musim dingin tiba, udara di sana dingin menusuk tulang,
semua jalan terlapis salju yang tebal, di saat musim panas,
banyak saudagar yang berkumpul dan berdagang di sana.
Kembali Lu-sam bertanya kepada Siau-hong, "Tahukah
kau dalam sungai Gangga yang mengalir di dekat tempat
itu terdapat sejenis ikan" Sejenis ikan bersisik emas, ada
sisik, ada tulang, ada darah ada daging, sebetulnya ikan itu
dapat disantap."
"Dan sekarang?"
"Sekarang sudah tak ada lagi yang berani
menyantapnya."
"Kenapa?"
"Karena sekarang semua orang telah menganggap ikan
itu sebagai ikan suci, siapa berani menyantapnya, dia bakal
tertimpa bencana."
Setelah berhenti sebentar, terusnya, "Oleh karena itu
sekarang sudah tak ada orang yang berani menyantapnya
lagi." "Lalu apa sangkut-pautnya ikan itu dengan emas murni
milikmu yang dibegal?"
"Ada sedikit hubungannya."
Dari balik tatapan mata Lu-sam tiba-tiba muncul suatu
perasaan yang sangat aneh.
"Di dalam tumpukan emas murni itu terdapat seekor
ikan emas dari Ghardu!"
Sorot matanya mirip pandangan seorang gadis yang baru
pertama kali jatuh cinta, bukan hanya tatapannya yang
hangat dan penuh semangat, bahkan dengus napasnya pun
ikut berubah jadi kasar.
Siau-hong tidak bertanya mengapa dalam tumpukan
emas terdapat seekor ikan, dia pun tak bertanya mana
mungkin ikan bisa hidup dalam tumpukan emas murni.
Dia tahu Lu-sam pasti akan memberi penjelasan sendiri.
Benar saja, terdengar Lu-sam kembali berkata, "Karena
kau belum pernah melihat ikan itu, maka kau tak akan bisa
membayangkan betapa sakti, betapa indahnya ikan itu."
"Sakti?"
Belum pernah Siau-hong mendengar dari mulut siapa
pun seekor ikan bisa sakti, karena itu segera tanyanya, "Di
mana letak kesaktian ikan itu?"
"Ikan itu berhasil dipancing dari sungai Gangga oleh
Raja Ali yang maha sakti, maha bisa dan maha cerdas
sebelum menjadi dewa, setelah keluar dari air, seluruh sisik,
daging, darah dan tulangnya telah berubah menjadi emas
murni," Lu-sam menjelaskan, "Emas murni yang seratus
persen murni, di langit maupun di bumi tak mungkin akan
ditemukan lagi emas lain yang begitu indah dan murni,
namun ikan itu kelihatannya seperti ikan hidup, seakanakan
setiap saat akan berubah menjadi naga sakti dan
terbang tinggi ke angkasa."
Dia mulai terengah-engah, lewat lama kemudian baru
lanjutnya kembali, "Karena dia harus melindungi diri, tak
bisa membiarkan tubuhnya menjadi santapan umat
manusia, oleh karena itulah dia telah merubah darah,
daging, tulang, dan sisiknya menjadi emas murni."
Kembali terusnya, "Sejak itulah semua ikan sejenisnya
telah disembah umat manusia sebagai Sin-beng!"
Kisah ini terdengar penuh dengan daya tarik, semacam
daya tarik yang bisa menggetarkan hati, yang membuat
setiap pendengar menjadi percaya dan tertarik.
Kesimpulan cerita itu adalah ikan emas yang dipancing
Raja Ali telah berubah jadi dewa, ikan itu mengubah diri
menjadi ikan emas murni dan ikan itu terjatuh ke tangan
Lu-sam. Selesai mengisahkan cerita itu, sampai lama Lu-sam baru
berhasil meredakan gejolak perasaannya, pandangan
kepedihan kembali memancar dari matanya.
"Di atas langit maupun di dalam bumi, tak nanti akan
kau temukan ikan kedua semacam itu," gumamnya, "Oleh
karena itu aku harus menemukannya kembali, apa pun
yang harus kulakukan, aku tetap akan berusaha untuk
mendapatkannya kembali."
Manusia semacam Lu-sam, kenapa bisa mempercayai
dongeng omong kosong semacam itu"
Dengan menceritakan kisah itu, mungkinkah hal ini
disebabkan di balik cerita ikan emas itu masih terdapat
rahasia lain, rahasia yang tak boleh diberitahukan kepada
orang lain, karena itu dia gunakan kisah itu untuk
mengelabui orang"
Siau-hong tidak bertanya. Dia tahu, sekalipun ditanya
pun belum tentu Lu-sam akan memberitahukannya.
Kembali Lu-sam menatapnya cukup lama, kemudian
berkata, "Sekarang aku telah memberitahukan rahasiaku,
bagaimana dengan kau?"
Siau-hong balas menatap Lu-sam, sampai lama sekali
perlahan-lahan dia menjawab, "Aku tak percaya."
"Kau tak percaya?" tanya Lu-sam cepat, "Tidak percaya
dengan kisah ini?"
"Bukan cerita itu."
"Lalu apa yang tidak kau percayai?" kembali Lu-sam
bertanya, "Tidak percaya dengan perkataanku?"
"Bukan perkataanmu," Siau-hong segera menuding ke
arah Ma-ciok, "Tapi perkataannya."
Sambil berpaling menghadap Ma-ciok, lanjutnya, "Aku
tak percaya dengan setiap perkataan yang kau katakan
tadi." Paras Lu-sam berubah hebat.
Terlebih paras Ma-ciok, saat ini tampangnya mirip
panggang daging yang gosong hingga berubah jadi arang.
"Apa yang tidak kau percayai?" tanya Lu-sam dengan
suara parau, "Coba ulangi sekali lagi, apa yang tidak kau
percayai?"
"Apa yang telah dia katakan tadi?" dengan suara dingin
Siau-hong balik bertanya.
"Dia bilang, asal perintah diturunkan maka sebelum
hitungan kedua puluh dia dapat membunuh habis semua
kehidupan yang ada di jalan raya ini, baik tua muda, laki
perempuan, maupun binatang!"
"Aku tak percaya," dengus Siau-hong dingin, "Aku sama
sekali tak percaya ucapannya, tak sepatah pun yang
kupercaya."
Dengan terkejut Lu-sam menatapnya.
"Kau berani tak percaya?" tanyanya kepada Siau-hong,
"Tahukah kau apa akibatnya karena perkataanmu itu?"
"Aku tahu," mimik muka Siau-hong sama sekali tak
berubah, sama sekali tanpa emosi, "Aku tahu dengan
sejelas-jelasnya."
"Kau anggap dia tak berani membunuh orang?"
"Dia berani, aku percaya dia berani," Siau-hong
mengangguk, "Hanya saja orang yang berani membunuh
belum tentu sanggup membunuh."
"Apakah kau baru mau percaya setelah dia benarbenar
melakukannya?"
"Benar!"
Ujung mata Ma-ciok mulai berdenyut, ujung bibirnya
ikut berdenyut, ada banyak orang akan bertampang begini
di saat hendak melakukan pembunuhan.
"Apa kata sandi yang telah kalian sepakati?" tanya Lusam
kemudian. Biasanya kata sandi hanya terdiri dari dua huruf, asal
kata sandi itu diucapkan, maka banjir darah akan melanda
seluruh jalan raya itu.
Perlahan-lahan Ma-ciok berjalan mendekati jendela,
ditatapnya sekejap semua orang yang sedang berlalu-lalang
di jalan raya, mendadak hawa pembunuhan memancar
keluar dari matanya.
Akhirnya dia mengucapkan kedua kata sandi itu,
menggunakan suara yang begitu mengerikan dan
menggidikkan siapa pun yang mendengar, dia berteriak,
"Ikan mas!"
Mengapa Siau-hong harus melakukan perbuatan
semacam ini" Mengapa harus memaksanya pergi
membunuh orang, membunuh orang-orang yang tak
berdosa" Apakah hal ini dikarenakan dia pun berharap orang lain
ikut merasakan semua kepedihan dan penderitaan yang
dialami mereka" Ingin melihat ibu, sahabat, kekasih, dan
putra orang lain pun ikut tewas secara mengenaskan di
tangan Lu-sam"
Terlepas karena apa dia berbuat demikian, kini perintah
rahasia telah diturunkan, tiada orang lagi yang bisa menarik


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali perintah itu.
"Ikan Mas!"
Ma-ciok dengan nada menakutkan, mengulang perintah
rahasia mautnya, Ikan Mas!
Suasana jalan raya di luar jendela masih tetap ramai
seperti tadi, tetap dipenuhi berbagai penjual barang dan
pejalan kaki. Semua orang masih menampilkan mimik muka gembira,
siapa pun tak menyangka bencana maut segera akan
menimpa mereka.
Penjual kelontong masih tetap memarkirkan kereta
gerobaknya di depan toko penjual kue, nenek tua berambut
putih telah memutuskan akan membeli sedikit benang
warna dan siap membayar.
Si nona berkepang tidak jadi membeli pupur dan minyak
wangi, saat itu dia sedang berjalan masuk ke toko kue dan
berbincang dengan sang pelayan muda, tak ada yang
mendengar apa yang sedang dikatakan gadis itu.
Pemilik toko penjual keperluan tahun baru yang sedang
murung karena lesunya usaha perdagangan tentu tidak
marah lagi setelah tokonya dikunjungi si nyonya gemuk
yang siap membeli barang keperluan.
Si kakek penjual kacang tidak lagi ribut dengan rekannya
yang lebih muda, karena orang yang membeli dagangan
mereka makin banyak, semua mendapat bagian yang sama.
Si pemabuk yang berbaring di emperan rumah sudah
tertidur pulas, sang pengemis yang merecoki nyonya gemuk
pun kini ganti mengerubungi beberapa orang tamu yang
sedang mabuk. Orang yang mulai terpengaruh alkohol, biasanya lebih
royal dalam mengeluarkan duit. Tentu saja mereka pun
seperti si nyonya tua, si nyonya gemuk maupun si nona
berkepang, mimpi pun mereka tak menyangka kalau
sasaran yang sedang mereka hadapi sesungguhnya
merupakan pembawa bencana bagi mereka.
Pada saat itulah setiap orang yang berada di sepanjang
jalan raya itu mendengar suara teriakan yang menakutkan,
bahkan teriak yang diulang sampai dua kali.
"Ikan mas!"
"Ikan mas". Tentu saja orang lain tak tahu kalau kedua
patah kata itu merupakan perintah rahasia untuk
melakukan pembantaian, tanda perintah untuk mencabut
nyawa. Tapi ada yang tahu dengan jelas, paling tidak ada empat
puluh enam orang yang tahu dengan pasti.
Begitu perintah diturunkan, pedagang keliling itu telah
mencabut sebilah golok dari dalam gerobak dagangannya
dan siap membacok mati si nenek berambut putih yang
persis berdiri di hadapannya.
Pelayan muda dari toko kue sebenarnya sedang
mengawasi si nona sambil bergurau, tapi sekarang telah siap
mencekiknya. Ciangkwe penjual barang keperluan tahun baru telah
menyiapkan senjata maupun Am-gi dalam genggamannya,
mereka punya keyakinan mampu membantai si nyonya
gemuk sekalian hanya dalam dua puluh kali hitungan.
Khususnya Ciangkwe toko cita yang tadi membunyikan
mercon, senjata api bahan peledaknya berasal dari
perguruan Bi-lek yang amat tersohor di wilayah Kang-lam,
daya ledaknya sanggup membunuh orang dalam jumlah
banyak. Si pemabuk telah melompat bangun dari emperan toko,
kawanan pengemis pun sudah siap membantai para
penderma yang baru saja membagikan uang receh kepada
mereka. Si dewa rezeki pun sudah siap mengirim barang
bawaannya, bukan dewa rezeki melainkan malaikan
elmaut. Rombongan pemain liong serta para pemuda yang
menonton keramaian di tepi jalan pun serentak telah
melolos senjata masing-masing.
Setiap senjata yang tercabut merupakan senjata
mematikan, setiap orang merupakan jago-jago pembunuh
yang sangat terlatih.
Ma-ciok bukan saja punya otak, bahkan dia punya rasa
percaya diri. Dia yakin dan percaya, semua orang yang dipersiapkan
sanggup menyelesaikan tugas masing-masing dalam dua
puluh hitungan.
Sayangnya, dia pun mempunyai masalah yang sama
sekali tak terduga sebelumnya.
Di saat mulai menghitung angka satu, dia sudah
menyaksikan satu peristiwa yang mimpi pun tak pernah
diduga sebelumnya.
Dalam waktu yang teramat singkat, nenek berambut
putih yang kelihatan sangat ramah itu telah menusuk buta
sepasang mata pedagang keliling itu dengan jarum yang
baru saja dibelinya.
Si nona yang tampak malu-malu itu mendadak tubuhnya
sudah melambung ke udara sambil melancarkan tendangan
ke arah tenggorokan pelayan muda di toko penjual
kebutuhan tahun baru.
Si kakek dan pemuda penjual kacang goreng baru saja
melolos sebilah golok Yan-leng-to serta sepasang Go-bi-ci,
tahu-tahu tenggorokan mereka berdua telah dijirat orang
dengan tali baja.
Sementara si dewa rezeki dan pemain liong itu tiba-tiba
diterjang serombongan manusia, menanti rombongan itu
lewat, mereka berdua ditemukan telah tewas dengan
tenggorokan dipatahkan orang.
Kawanan pengemis ditemukan tewas di tangan tamu
yang sedang mabuk, jalan darah penting di tubuh mereka
terhajar beberapa biji mata uang tembaga yang sisinya telah
dipoles hingga tajam.
Sebetulnya mereka memang sedang minta sedekah uang
tembaga dari para penderma, tapi sekarang yang mereka
peroleh justru benda yang sedang didambakan.
Mereka sebenarnya ingin merenggut nyawa orang lain,
tapi sekarang nyawa mereka sendirilah yang telah direnggut
orang. Bukankah mereka telah kehilangan apa yang sebenarnya
mereka kehendaki"
Yang paling terkejut tentu saja Ciangpwe penjual cita
dan Ciangkwe penjual kebutuhan tahun baru, senjata
rahasia beracun dan senjata peledak yang mereka miliki
sebenarnya merupakan kekuatan inti dalam penyerangan
kali ini, tak disangka gerakan yang dilakukan nyonya
gemuk sekalian ternyata sepuluh kali lipat lebih cepat dari
siapa pun. Belum lagi senjata rahasia dilancarkan, pergelangan
tangan mereka telah dihancurkan orang terlebih dulu, baru
tubuh mereka melambung, sepasang kakinya telah dihajar
hingga kutung. Bahkan mereka sama sekali tak sempat
melihat jelas bagaimana lawan melancarkan serangannya.
Mendadak tubuh mereka bagaikan segumpal lumpur telah
roboh terjungkal ke tanah dan tak sanggup bergerak lagi.
Nyonya gemuk yang lamban dan bergerak sangat berat
mirip kuda nil itu ternyata begitu gesit, ganas, dan garang
sewaktu melancarkan serangan, jauh lebih gesit daripada
seekor macan tutul.
Waktu itu Ma-ciok telah menghitung sampai angka tiga
belas. Sewaktu menghitung sampai angka kelima tadi,
suaranya telah berubah jadi parau, ketika hitungannya
mencapai angka tiga belas, keempat puluh tujuh orang yang
berada di sepanjang jalan raya telah roboh terjungkal ke
tanah, sekalipun masih hidup, mereka hanya bisa berbaring
sambil merintih.
Tampaknya Lu-sam maupun Ma-ciok ikut mati kutu,
mereka merasakan setiap bagian ototnya, setiap bagian ruas
tulangnya seakan jadi kaku dan mati rasa.
Di antara kawanan pemabuk yang berjalan
sempoyongan itu tiba-tiba melompat keluar seseorang,
sambil melepas topinya, tersenyum dan memberi hormat,
dia memperlihatkan wajah hitamnya yang terlalu sering
tersengat sinar matahari serta sebaris giginya yang putih.
Siau-hong pun membalas hormat sambil tersenyum.
Pada saat itulah perlahan-lahan Lu-sam menghembuskan
napas panjang, sambil berpaling ke arah Siau-hong
tanyanya, "Siapakah orang ini?"
"Seseorang yang seharusnya sudah mati."
"Kau kenal dengan dirinya?"
"Tentu saja kenal" jawab Siau-hong, "Dia adalah
sahabatku, sahabat karibku."
Sejak Gharda mempersembahkan "Hata" kepadanya,
mereka sudah menjadi sahabat karib.
Kembali Lu-sam bertanya, "Jadi kau telah melihatnya
tadi, tahu mereka telah membuat persiapan, maka kau
sengaja memaksa Ma-ciok turun tangan?"
Siau-hong mengakui.
Dia bukan saja telah melihat kehadiran Gharda, dia pun
telah menyaksikan seseorang yang lain, seseorang yang
sangat dipercaya olehnya, seseorang yang banyak
pengalaman dan selalu memenangkan peperangan. Begitu
melihat kehadiran orang itu, dia tahu, Ma-ciok pasti akan
menderita kekalahan total.
Kini orang itu telah berjalan keluar dari kerumunan
orang banyak dan menuju ke dalam rumah makan, Siauhong
telah mendengar suara langkah kakinya sedang
menaiki tangga, suara langkah yang lambat dan berat,
seolah sengaja dilakukan agar bisa terdengar oleh Lu-sam.
Tentu saja Lu-sam maupun Ma-ciok dapat mendengar
dengan jelas, bahkan jelas sekali.
Hanya mereka berdua yang merencanakan pergerakan
kali ini, padahal mereka telah merencanakan dan
menghitung setiap hal, setiap segi secara sempurna dan
rapi. "Siapakah orang yang datang ini?" tanya Lu-sam,
"Pancapanah ataukah Po Eng?"
Jawaban Siau-hong seperti jawaban Lu-sam beberapa
saat berselang, dingin dan sadis.
"Peduli siapa pun yang datang, kali ini habis sudah
riwayatmu," kata Siau-hong, "Kini kau sudah habis
segalanya!"
Lu-sam menatapnya lekat-lekat, mendadak tatapan
matanya menampilkan perubahan yang sangat aneh,
tanyanya, "Tahukah kau, siapa aku" Apakah kau benarbenar
percaya kalau aku adalah Lu-sam?"
"Memangnya bukan kau?"
"Bukan, bukan aku!"
"Bukan" Siapa kau?"
"Dialah Lu-sam!" tiba-tiba Lu-sam mundur ke sudut
ruangan dan menunjuk ke arah Ma-ciok, teriaknya, "Dialah
Lu-sam yang sebenarnya, aku tak lebih hanya duplikatnya,
kalian jangan salah sasaran!"
Suara langkah kaki yang sedang menaiki tangga
mendadak terhenti, tubuh Ma-ciok bagaikan seekor burung
alap-alap tahu-tahu sudah melejit ke udara.
Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya memang
sangat hebat, nyaris tanpa melakukan gerak persiapan apa
pun, tahu-tahu badannya sudah melesat bagaikan seekor
burung dan menyusup keluar jendela.
Walaupun Siau-hong tahu dia akan pergi, namun tak
berdaya untuk mencegahnya.
Asalkan dia sudah melesat ke tengah udara, jarang sekali
orang di dunia ini yang mampu menghalanginya.
Jarang yang mampu menghalangi, bukan berarti sama
sekali tak ada yang mampu menghalangi.
Mendadak terdengar suara gendewa ditarik orang, lalu
terlihat cahaya emas berkelebat....
Cahaya emas yang menyilaukan mata melintas dari balik
mata Siau-hong kemudian dia pun mendengar suara jeritan
pilu yang menyayat hati.
Menanti pandangan matanya pulih seperti sedia kala,
Ma-ciok bagaikan seekor burung gereja yang telah
dipanggang terpantek di atas kayu jendela.
Tentu saja bukan bambu tusuk sate yang menancap di
atas tubuhnya, bukan tusuk sate yang biasa digunakan
untuk memanggang daging.
Benda yang menghujam di badannya tak lain adalah
lima batang anak panah berwarna emas.
Lima batang anak panah yang tajam bagai logam,
lembut bagai tiupan angin musim semi, genit bagaikan
senyuman, panas bagaikan sengatan api, tajam bagaikan
ujung gurdi. Di atas bulu anak panah terdapat perasaan pedih, di
ujung panah terdapat perasaan rindu yang mendalam,
sebuah bidikan yang tak pernah meleset dari sasarannya.
Inilah panah sakti panca bunga, Pancapanah lagi-lagi
telah menampakkan diri.
Belum pernah ada orang tahu kapan dia akan pergi,
belum pernah ada pula yang tahu kapan dia akan
menampakkan diri.
Panah sakti panca bunga bukan saja jauh lebih tepat
sasaran dan cepat daripada apa yang dibayangkan Siauhong,
bahkan jauh lebih miseterius dan menakutkan
daripada apa yang tersiar selama ini.
Tapi sayang, di saat anak panah saktinya melesat
meninggalkan gendala, orang yang bernama Lu-sam telah
lenyap. Lantai rumah makan itu terbuat dari papan kayu yang
kokoh dan kuat, waktu itu sebetulnya Lu-sam telah
menyusup ke sudut ruangan.
Pada saat anak panah terlepas dari busurnya, tiba-tiba
dasar lantai yang terbuat dari papan itu membalik ke atas
dan terbukalah sebuah lubang gua.
Tubuh Lu-sam pun terjatuh ke bawah lantai.
Begitu terjatuh, lantai papan itu merapat kembali.
Ternyata orang itulah Lu-sam yang sesungguhnya,
sementara Ma-ciok hanya setan tumbal kematiannya.


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siau-hong sama sekali tidak tertipu olehnya, begitu juga
dengan Pancapanah, tapi di saat yang teramat singkat tadi,
mereka berdua harus mengalihkan perhatiannya untuk
mengawasi gerak-gerik Ma-ciok.
Kesempatan yang sesaat itulah telah dimanfaatkan Lusam
dengan sebaik-baiknya.
Andaikata panah sakti panca bunga ditujukan ke
tubuhnya, belum tentu ia berhasil melarikan diri, tapi
rupanya dia telah memperhitungkan dengan tepat bahwa
orang yang menjadi sasaran pertama Pancapanah sudah
pasti bukanlah dirinya.
Ternyata perhitungannya sangat tepat.
Paras Pancapanah bukan saja tidak berubah, mata pun
sama sekali tak berkedip, sebab ia sudah memperhitungkan,
Lu-sam tak bakal bisa meloloskan diri.
Empat penjuru di sekeliling rumah makan itu sudah
terkepung olehnya, biarpun Lu-sam dapat lolos ke bawah
loteng, bukan berarti dia dapat menembus kepungannya.
Hanya sayang, terkadang orang ada saatnya salah
perhitungan. Bagaimana pun Pancapanah bukan dewa, bukan
malaikat, dia pun orang, ada kalanya dia pun salah, kali ini
dia telah melakukan kesalahan.
Kawanan jago yang dipersiapkan Pancapanah untuk
melakukan pengepungan di sekeliling jalan raya kali ini,
kecuali Gharda, Siau-hong belum pernah bertemu dengan
mereka. Kawanan jago itu jauh lebih ganas, jauh lebih buas, jauh
lebih sadis, jauh lebih pemberani, jauh lebih pandai
menyamar daripada kawanan jago perang di bawah
pimpinan Po Eng.
Siau-hong belum pernah berjumpa mereka, karena
orang-orang itu telah dilatih secara rahasia oleh
Pancapanah di suatu tempat yang sangat rahasia, dilatih
jauh lebih ketat, lebih tak berperasaan, lebih bermanfaat
daripada cara berlatih orang Gurkha ataupun orang Kazak.
Biarpun kawanan jago berani mati itu terdiri dari laki
perempuan, tua muda, gemuk kurus, namun mereka
memiliki beberapa persamaan.
Patuh pada komando.
Siap berkorban demi terlaksananya tugas.
Pandai memegang rahasia.
Tidak takut mati.
Mereka sebenarnya merupakan orang-orang yang
seharusnya sudah mati, yang kemudian dikumpulkan
Pancapanah dari berbagai daerah, setelah melewati
penyaringan dan pemeriksaan yang ketat dan berlapis, pada
akhirnya mereka ditampung dalam satu wadah.
Setelah melalui pendidikan yang ketat selama lima
tahun, setiap jago telah berubah jadi "lebih beracun dari ular
berbisa, lebih garang daripada macan kumbang, lebih licik
daripada rase dan lebih kejam daripada serigala".
Baik itu tua atau muda, lelaki atau wanita, gemuk atau
kurus, semuanya sama saja.
Pancapanah percaya penuh atas kemampuan dan
kesetiaannya. Bila ia sudah memberikan perintah untuk
tidak membiarkan seorang hidup keluar dari rumah makan
itu, maka dia yakin dan percaya, biar orang itu adalah ibu
kandungnya pun, jangan harap dia bisa keluar dari situ
dalam keadaan hidup.
Tak seorang pun dapat keluar dari rumah makan itu.
Pada hakikatnya tak ada orang yang bisa berjalan keluar
dari rumah makan. Jangankan seorang, biar seekor tikus
pun tak ada. Tapi sekarang Lu-sam sudah tak berada di rumah makan
itu lagi, Sejak kabur ke bawah loteng, dia seolah hilang
begitu saja. Seorang yang terdiri dari darah dan daging, mengapa
bisa lenyap secara tiba-tiba"
Menurut analisa Pancapanah, "Di bawah loteng pasti
ada lagi sebuah lantai yang berhubungan langsung dengan
lorong bawah tanah." Kali ini dugaannya tak salah.
Ooo)d*w(ooO BAB 27. MENGAPA TIDAK KEMBALI"
Dalam waktu singkat dia berhasil menemukan mulut
lorong rahasia itu, hanya sayang ketika ia berhasil
menemukan tempat itu, mendadak... "Blaam!", terdengar
suara ledakan keras yang diiringi percikan batu dan pasir
menyebar ke empat penjuru, tahu-tahu lorong rahasia itu
sudah tersumbat mati.
Beberapa saat kemudian semua orang telah
meninggalkan wilayah itu, mereka berangkat menuju ke
sebuah dusun yang sangat terpencil.
Rombongan pembunuh yang mampu menghabisi nyawa
orang tanpa berkedip ini dalam waktu singkat telah berubah
menjadi rakyat biasa yang sama sekali tak menyolok
perhatian, menjelang fajar orang-orang itu sudah
membubarkan diri seperti segenggam debu yang terhembus
angin, tiba-tiba saja lenyap secara misterius.
Siapa pun tak tahu apakah di kemudian hari masih dapat
bertemu mereka, siapa pun tak tahu bila bersua lagi di
kemudian hari apakah mereka masih dapat mengenali
orang-orang itu.
Padahal mereka memang rombongan manusia yang tak
ada "masa di kemudian hari", tak ada "masa kini", juga tak
memiliki "masa lalu".
Ooo)d*w(ooO Angin sedang berhembus di luar jendela.
Pasir kuning beterbangan terbawa angin, ketika
menghantam di atas jendela yang berlapis kertas tebal,
terdengar suara gemericik yang ramai.
Ada arak, arak berada dalam poci, ada orang duduk di
depan poci. Tapi Siau-hong tidak minum, setetes pun dia tidak
minum, begitu pula dengan Pancapanah.
Mereka harus berada dalam keadaan sadar, bahkan
berharap pihak lain pun tetap sadar. Sebab siapa pun di
antara mereka berdua, mempunyai banyak persoalan yang
hendak dibicarakan, mempunyai banyak masalah yang
harus diurai dan diberi penjelasan, bahkan pihak yang satu
harus mendengarkan dengan seksama.
Orang yang berbicara adalah Pancapanah, "Sejak awal
aku sudah tahu bahwa Hoapula serta si huncwe besar telah
disuap Lu-sam, karena itulah aku sengaja mengirim dirimu
ikut serta dalam rombongannya."
Ada sementara orang, kalau bicara tak suka berputarputar,
begitu buka suara langsung pada pokok persoalan.
Pancapanah adalah manusia jenis ini.
"Karena aku pun seperti kau, aku pun tak mampu
menemukan Lu-sam, tapi aku harus menemukan dirinya,"
Pancapanah menjelaskan lebih jauh, "Oleh karena itulah,
terpaksa aku memperalat dirimu untuk memancing
kemunculannya."
Dia dan Siau-hong terhitung sahabat, namun sewaktu
mengucapkan kata "memperalat", dia sama sekali tidak
merasa canggung ataupun merasa menyesal.
Siau-hong sendiri pun tidak menunjukkan perasaan sedih
dan gusar, hanya sahutnya hambar, "Dia memang berhasil
kupancing keluar, dalam hal ini perhitunganmu memang
tidak meleset."
"Dalam hal ini, aku memang jarang sekali salah
perhitungan."
Siau-hong mengulurkan tangannya menggenggam
kencang cawan araknya, tapi kemudian dilepas kembali,
tanyanya, "Di mana ia berada sekarang?"
Pertanyaan ini diajukan Siau-hong dengan berat hati,
sebab sesungguhnya dia tak ingin mengajukan pertanyaan
itu. "Sekarang ia telah melarikan diri," sahut Pancapanah
hambar. "Setelah kau peralat aku untuk memancing
kemunculannya satu kali, mungkinkah kau akan berhasil
menemukannya lagi di kemudian hari?" kembali Siau-hong
bertanya. "Tidak," Pancapanah menggeleng "Di kemudian hari aku
masih tetap tak mampu menemukannya."
"Oleh sebab itu persoalan ini boleh dibilang sedikit pun
tak ada gunanya."
"Tampaknya memang begitu."
Kembali Siau-hong menggenggam cawan araknya.
"Bagimu, mungkin kejadian ini hanya sebuah peristiwa
yang sama sekali tak berguna, tapi bagaimana dengan akii"
Tahukah kau, berapa besar pengorbanan yang harus
kubayar untuk peristiwa ini?"
Pertanyaan itu diajukan sangat berat, seolah dia harus
mengerahkan seluruh kekuatan yang dimilikinya untuk
mengajukan pertanyaan ini.
"Aku tahu!" jawaban Pancapanah amat singkat.
"Prak!", diiringi suara nyaring, cawan arak itu diremas
hancur, hancur berkeping.
Pancapanah masih menatap Siau-hong dengan tatapan
mata yang sama, dingin, hambar, sedikit pun tidak terselip
perasaan malu, menyesal atau iba.
"Aku tahu kau pasti akan membenciku. Demi
melaksanakan satu perbuatan yang aku sendiri pun tak
yakin akan berhasil, bukan saja telah membuat kau
menderita dan tersiksa, bahkan menyusahkan pula ibumu
serta Yang-kong."
Dengan nada dingin dan hambar, kembali ia
melanjutkan, "Tapi bila kau anggap aku bakal menyesal,
maka dugaanmu itu salah besar!"
Siau-hong meremas hancuran cawan itu makin kencang,
darah mulai meleleh dari telapak tangannya.
"Kau tidak menyesal?"
"Sedikit pun aku tak menyesal," Pancapanah
membenarkan, "Bila di kemudian hari masih ada
kesempatan semacam ini, aku tetap akan melakukannya
kembali." Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Asal
dapat menemukan Lu-sam, peduli apa pun yang harus
kulakukan, aku tetap akan melakukannya. Biar tubuhku
bakal terjerumus ke dalam neraka tingkat kedelapan belas
pun aku tak bakal mengernyitkan alis mata."
Siau-hong terbungkam.
Sambil menatap wajah pemuda itu, kembali Pancapanah
berkata, "Aku percaya kau pasti dapat memahami
maksudku, karena kau sendiri pun ada kalanya tak segan
terjun ke dalam neraka."
Siau-hong tak dapat menyangkal.
Walaupun dia tak memahami tingkah laku manusia yang
bernama Pancapanah serta semua hal yang dia lakukan,
namun dalam hal ini dia pun tak dapat menyangkal.
Siapa pun tak dapat menyangkal akan hal ini, setiap
orang pasti akan mengalami saat dimana dia rela masuk ke
dalam neraka sekalipun.
Cawan arak dalam genggamannya telah hancur, namun
di atas meja masih tersedia cawan dan arak, meski kau
kehilangan sanak keluarga dan kekasih, namun di dunia
masih terdapat sanak keluarga lain.
Siapa pun tak dapat menjamin di kemudian hari mereka
pun akan begitu akrab seperti sanak keluargamu yang telah
tiada. Oleh karena itu selama seseorang masih hidup, dia harus
berusaha untuk tetap hidup.
Kalau memang bertekad akan hidup terus, maka tak
perlu menggerutu, mengeluh atau menyalahkan orang lain.
Di atas meja masih tersedia cawan dan arak, Pancapanah
segera mengisi penuh cawan dengan arak lalu disodorkan
ke hadapan Siau-hong.
"Minumlah secawan lebih dulu, masih ada yang hendak
kusampaikan kepadamu."
"Sekarang apa masih ada yang perlu dibicarakan lagi?"
"Ada!"
"Baik, akan kuminum."
Dengan sekali tegukan Siau-hong menghabiskan isi
cawannya, kemudian berkata, "Sekarang kau boleh mulai
bicara." Tatapan mata Pancapanah sangat dalam, lebih dalam
daripada telaga dingin di bawah air terjun, siapa pun tak
dapat meraba apa yang sedang dipikirkannya pada saat ini.
"Sekarang apakah kau sudah memahami semua
maksudku?" tanyanya kepada Siau-hong.
"Benar."
Jawaban Siau-hong tegas, tandas, dan singkat. Siapa
tahu kembali Pancapanah menggeleng katanya, "Kau tidak
mengerti, paling tidak masih ada satu hal yang tidak kau
pahami." "Dalam hal apa?"
"Oleh karena aku hendak memperalat dirimu untuk
memancing Lu-sam muncul dari tempat
persembunyiannya, tentu saja aku selalu mengawasi semua
gerak-gerikmu," Pancapanah menerangkan, "Peduli Lu-sam
pergi ke mana pun, peduli kau berada di mana pun, aku
selalu mengawasi dan mengintil terus."
Siau-hong percaya akan hal ini.
Bila Pancapanah tidak mengawasi dan mengintil secara
ketat, mana mungkin Lu-sam bisa menderita kekalahan
total pada hari ini"
Paras Pancapanah pun menunjukkan mimik dingin,
sadis, dan hambar.
"Aku selalu menguntitmu, selalu mengawasi gerakgerikmu,
bagaimana mungkin aku bisa tak tahu berada di
manakah orang-orang terdekatmu?"
Kemudian sambil menatap Siau-hong dengan dingin dan
hambar, terusnya, "Coba jawab, mana mungkin aku bisa
tak tahu?"
Siau-hong selalu berharap dirinya pun bisa meniru
keadaan Po Eng maupun Pancapanah, berada dalam
kondisi dan situasi macam apa pun selalu dapat
mengendalikan ketenangan diri.


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi sekarang ia sama sekali tak sanggup mengendalikan
diri lagi, tubuhnya melompat bangun, saking paniknya
hampir dia membalikkan meja di depannya. Sambil
menggenggam lengan Pancapanah kuat-kuat, teriaknya,
"Jadi kau tahu" Tahu berada di manakah mereka sekarang?"
Perlahan-lahan Pancapanah mengangguk, "Sekarang
mereka telah berada di suatu tempat yang aman, tak
mungkin mengalami rasa takut atau gangguan apa pun."
"Mereka berada di mana?" desak Siau-hong, "Mengapa
kau tidak membiarkan aku pergi menjumpai mereka?"
Pancapanah mengawasi lengan kanannya yang
dicengkeram Siau-hong hingga pemuda itu melepaskan
genggamannya, ia baru menjawab, "Yang-kong telah
mengalami shok yang luar biasa, dia stress berat karena
ketakutan dan kaget, butuh istirahat cukup panjang,
sementara waktu lebih baik kau tak usah menjumpainya."
"Ini keinginannya atau keinginanmu?"
Siau-hong mulai emosi, hatinya mulai bergolak.
"Peduli keinginan siapa, hasilnya tetap sama, demi
kebaikan dirinya."
Setelah berhenti sejenak, kembali Pancapanah berkata,
"Bila dia berjumpa denganmu, sudah pasti perjumpaan ini
akan membangkitkan kembali kenangan yang memedihkan,
tak gampang untuk menenangkan dan menenteramkan
kembali gejolak perasaannya."
Dengan cara apa Lu-sam menyiksanya" Sehingga gadis
itu mengalami penderitaan yang luar biasa"
Siau-hong merasakan hatinya sakit bagaikan ditusuktusuk.
"Aku mengerti," sahurnya, "akulah yang telah
mencelakainya, bila tak bertemu denganku, hal ini justru
bermanfaat dan menguntungkan baginya."
Ternyata Pancapanah menyetujui perkataannya itu.
Apa yang dikatakan memang sebuah kenyataan,
kenyataan yang jauh lebih menyakitkan daripada tusukan
ujung jarum atau sayatan mata pisau.
Siau-hong mengepal sepasang tangannya, lewat lama
kemudian baru bertanya, "Tapi bagaimana dengan ibuku"
Apakah aku pun tidak seharusnya pergi menjumpainya?"
Kemudian dengan suara parau tanyanya lagi, "Apakah
kau pun kuatir aku melukai perasaannya?"
"Kau sudah seharusnya pergi menjumpai ibumu, hanya
saja...." Pancapanah bangkit, membiarkan hembusan angin
bercampur pasir menerpa wajahnya.
"Hanya saja kau selamanya tak bisa bertemu lagi
dengannya."
Siau-hong seakan ingin melompat, tapi sayang seluruh
ruas tulang tubuhnya, setiap otot dalam tubuhnya seolah
membeku dan mati rasa dalam waktu singkat.
"Lu-sam telah membunuhnya?" suara teriakannya parau
dan menyeramkan, "Benarkah perbuatan Lu-sam?"
"Perbuatan Lu-sam atau bukan, sama saja," sahut
Pancapanah, "Setiap orang tentu akan mengalami kematian
satu kali, bagi orang yang tersiksa dan hidup menderita,
kematian justru merupakan saat istirahat yang paling
abadi." Apa yang dia katakan pun merupakan kenyataan, hanya
saja cara penyampaiannya yang kelewat sadis.
Siau-hong benar-benar tak tahan, dia ingin menerkam ke
depan dan menghajar wajahnya yang kaku tanpa emosi itu
hingga babak belur.
Tapi dia benar-benar tidak salah, Siau-hong pun tahu
orang itu tidak salah.
Kembali Pancapanah berkata lebih lanjut, "Aku tahu kau
masih ingin bertemu seseorang lagi, tapi kau pun tak boleh
bertemu lagi dengan dirinya."
Yang dimaksud tentu saja Soso.
"Mengapa aku tak boleh bertemu dengannya?" teriak
Siau-hong, "Apakah dia pun sudah mati?"
"Dia belum mati," Pancapanah menggeleng, "Bila dia
mati, bagimu malah jauh lebih menguntungkan."
"Kenapa?"
"Karena dia adalah perempuan milik Lu-sam. Dia
berbuat begitu tak lebih karena ingin menuntut balik
seorang putra bagi Lu-sam."
Arak masih berada dalam poci, tapi bagaimana dengan
air mata" Tiada air mata!
Kalau darah pun telah mengering, dari mana datangnya
air mata" Siau-hong mengawasi cawan araknya yang telah kosong
dengan termangu, dia merasa dirinya seperti cawan kosong
itu, sama sekali tak berguna, sama sekali tak memiliki apa
pun. Apa yang dikatakan Pancapanah jelas merupakan sebuah
kenyataan, sekalipun apa yang diucapkan makin lama
semakin sadis tanpa perasaan, namun kenyataan memang
selamanya tak akan berubah.
"Banyak manusia di dunia ini yang mengalami nasib
seperti dirimu, demi orang tua, istri, sahabat dan sanak
keluarga, harus menahan penderitaan dan siksaan karena
pisah hidup maupun pisah mati!" kata Pancapanah lebih
jauh, "Hanya bedanya, ada sementara orang yang sanggup
mempertahankan diri, ada pula yang tak sanggup
melanjutkan hidup."
Dia awasi Siau-hong tiba-tiba tatapan matanya
menunjukkan kehangatan seperti ketika Lu-sam
membicarakan soal ikan mas Ghardu.
"Bila seseorang ingin mencapai sebuah target, sebuah
tujuan, ingin melakukan apa yang ingin dia lakukan, maka
harus mempertahankan diri, harus berjuang untuk tetap
hidup," katanya, "Terlepas seberapa besar penderitaan dan
siksaan yang harus dialaminya, terlepas seberapa besar
pengorbanan yang harus dia berikan, ia harus tetap hidup,
harus tetap mempertahankan diri."
Lalu apa targetnya" Apa tujuannya" Apa yang ingin dia
lakukan" Siau-hong tidak menanyakan hal hal itu, hanya tanyanya
kepada Pancapanah, "Apakah kau sanggup
mempertahankan diri?"
"Aku sanggup," jawaban Pancapanah begitu tegas dan
tandas, ibarat paku baja yang dipakukan ke atas batu cadas,
"Aku pasti akan mempertahankan diri! Harus hidup terus!"
Kemudian tambahnya, "Orang-orang yang ikut
bersamaku pasti akan menemani aku bertahan terus, tapi
kau...." Mendadak tanyanya kepada Siau-hong, "Mengapa kau
tidak balik saja ke wilayah Kang-lam?"
Kembali Siau-hong merasakan hatinya mulai sakit, sakit
bagaikan ditusuk jarum, pertanyaan Pancapanah kali ini
telah melukai hatinya.
"Kenapa kau minta aku kembali ke Kang-lam?" ia balik
bertanya, "Kau sangka aku tak punya kemampuan untuk
menemanimu bertahan hidup?"
Pancapanah tidak langsung menjawab pertanyaan itu,
hanya ujarnya dengan nada hambar, "Kau adalah orang
baik, karena itu sepantasnya balik ke Kang-lam."
Ia tidak memberi kesempatan kepada Siau-hong untuk
bertanya, tiba-tiba dengan suara seperti bongkahan salju
yang mencair, terusnya, "Karena Kang-lam pun merupakan
tempat yang indah, orang yang hidup di wilayah Kang-lam
yang banyak air dan banyak cinta, pasti jauh lebih lembut
dan romantis perjalanan hidupnya!"
Lalu dengan suara dingin tambahnya, "Tempat ini
merupakan dataran luas yang tak berperasaan, manusia
yang hidup di tempat ini pasti jauh lebih kejam, buas, dan
tak berperasaan daripada apa yang kau bayangkan. Kau tak
pernah dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan di tempat
ini, lagi pula di sini pun tak ada lagi tempat yang berharga
untuk kau kenang dan kau rindukan."
Sambil berpaling ke arah Siau-hong, desaknya,
"Mengapa kau tak mau kembali?"
Ooo)d*w(ooO Angin masih berhembus kencang di luar jendela.
Di wilayah Kang-lam tak akan ada hembusan angin
sekencang ini, angin kencang yang menerpa di atas badan
terasa bagaikan sayatan pisau.
Perkataan yang diucapkan Pancapanah pun setajam
hembusan angin.
Sepasang mata Siau-hong seakan tak sanggup dipentang
karena terhembus angin, tapi secara tiba-tiba ia bangkit.
Sekuat tenaga ia berusaha berdiri tegak, setegak tiang
bendera. "Aku akan pulang," katanya kemudian, "Tentu saja aku
harus pulang."
Ketika Siau-hong dengan menggembol pedang berjalan
keluar, Gharda telah menyiapkan kuda untuknya.
Pedangnya adalah Mo-gan miliknya, kudanya pun kuda Cihu
miliknya. Semua yang telah hilang kini muncul kembali dan balik
ke tangannya. Sewaktu datang, ia membawa pedang itu dan
menunggang kuda itu, dan sekarang dengan menggembol
pedang yang sama, kuda yang sama, ia siap berangkat
pulang. Biarpun dataran luas kejam tak berperasaan, namun dia
masih tetap hidup. Apakah dia sudah seharusnya merasa
gembira dan puas" Benarkah apa yang hilang, semuanya
telah kembali"
Siapa pula yang tahu apa yang sebenarnya hilang
darinya" Gharda menyerahkan tali les kuda ke tangannya,
memandang pemuda itu tanpa bicara, seolah ada banyak
perkataan yang hendak disampaikan, tapi akhirnya hanya
beberapa patah kata yang diucapkan.
"Kau tampak kurus," katanya.
Lama sekali Siau-hong termenung, kemudian baru
menjawab, "Benar, aku memang kurus!"
Selesai perkataan itu, mereka berdua sama-sama tidak
bicara lagi, Siau-hong segera melompat ke atas pelana
kudanya. Malam telah tiba, hembusan angin semakin kencang,
seluruh jagat raya diselimuti kegelapan yang pekat.
Sewaktu dia melompat ke atas pelana kuda, Gharda ikut
lenyap di balik kegelapan malam, yang tersisa hanya
bayangan punggungnya yang tipis, sepintas terlihat begitu
lemah, begitu letih.
Dia ingin sekali memberitahu kepadanya, "Kau pun
lebih kurus."
Tapi kuda Ci-hu telah meringkik panjang sambil
bergerak meninggalkan tempat itu, bagaikan segulung angin
kencang kuda itu menembus kegelapan malam yang tak
bertepian. Suara ringkikannya terdengar penuh keriang gembiraan,
sebab walaupun dia adalah seekor kuda jempolan,
bagaimana pun tetap hanya seekor kuda, kuda yang tak
akan memahami perasaan sedih, pedih dan kesepian yang
dirasakan manusia.
Selain itu, meski dia hanya seekor kuda, namun masih
belum melupakan budi kebaikan majikan lamanya
Jodoh Rajawali 5 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Istana Pulau Es 20

Cari Blog Ini