Kisah Si Bangau Putih Bu Kek Sian Su 14 Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
"Bu Kek Sian Su (14)
Kisah Si Bangau Putih
Bagimereka yang bukan pedagangkelilingdanyangtidakpernahmelakukanperjalanan melintasi TembokBesar, tentu mengira bahwa kekuasaanKerajaan Ceng yang dipegang oleh bangsa Mancu tentu berhenti sampai di TembokBesaritu.Padahal,sesungguhnya tidaklah demikian. Bangsa Mancu sendirimerupakan bangsa yang tinggal jauh di utarayangamatdingin, daerah yangkeras dan kejam, dan di luar TembokBesar masih terdapat daerah yang amatluas.Masih ada Propinsi Liaoning danJilinyangberbatasandenganKorea,daerah Mancuria sendiri yang luas, kemudian terdapat daerah Mongolia Dalamatau Mongol, dan daerah Mongolia yanglebih luas. Akan tetapi, setelah melewatiTembok Besar memang daerah yang liardan kejam, dengan tak terhitung banyaknyabukitdiantarapadangpasir yang luasdanmerupakanlautanpasir yangganas.
Padang pasirsepertiinimemangganasdankadang-kadangkejam sekali.Daritulang-tulang kuda, onta, bahkanmanusiayangterdapatberserakandisana-sini dapatdiketahuibahwa lautanpasiritusudahbanyak menelankorban.Mayat manusiadanbangkaibinatangyangtewasdalam perjalananmelintasilautanpasir, dibiarkansajaberserakan,membusukdimakanterikpanasmatahari,ataudigerogotianjing-anjing serigala danbinatang buas lainnya, dibiarkan tinggaltulang-tulangnyasajayang lama-lamamengering. Lautan pasir yang kelihatantak bertepi itu, memang kejam, juga me ngandung kesunyian yang mendatangkansuasana yang menyeramkan dan penuhkeajaiban. Bayangkan saja betapa nmengerikan tersesat di lautan pasir seperti itu,dimana tidak dapat ditemukan se tetes pun air, sebatang rumput pasirdan pasir di mana-mana, panas dan silau,tidak diketahui lagi mana utara mana selatan. Belum lagi kalau datang badaiyang membuat pasir bergulung-gulung danberombak seperti air di lautan, menelanapa saja yang menghalang di depan. Para pedagang, yangmelakukanperjalanankemudian tersesat, kehabisan air minum,kelelahandan terjebakdalamlautanpasir tanpa mengetahui ke arah manamereka harus menuju, saking takut danngerinya, banyak di antara mereka yangdapat melihat pemandangan-pemandangankhayal yang aneh-aneh. Ada yang melihat air terjun dengan air yang melimpah-limpah dan segar sejuk, akan tetapiketika mer ekamenghampiri, yang adahanya pasir belaka! Ada yang melihatanak sungai dengan airnya yang segar,atau melihat kebun dengan pohon-pohonmenghijaudan buah-buah yang sudah masak, dan sebagainya. Namun, semuaituhanyalahbayangan khayal belaka,yang timbul karena besarnya keinginanhatimerekamengharapkan air, pohondan sebagainya yang amat mereka butuhkan itu.
Di tengah-tengah satu di antara padang-padangpasiryangamatluasitu, terdapat sebuahgedungistanakuno,lengkapdengan perkebunanyangcukupluas,denganpohon-pohonbuahyangsubur,dansayur-sayuran,bahkantumbuhpulagandumdiladang.Terdapatpulasumber air tak jauh dari istana kuno itu.Sungguh merupakan suatu keadaan yangajaib, dan andaikata ada orang tersesatsampai ke daerah itu lalu melihat bangunan istana berikut perkebunannyayang subur itu, tentu dia akan mengirabahwa diapunhanyamelihatpemandangan khayal belaka.
Akantetapitidaklahdemikiansesungguhnya. Bangunan itu memang sebuahbangunan istana yang besar, pernah dijamandahulubangunaninimerupakanistana peristirahatan dari seorang rajadiraja, seorang kaisar besar yang bukanlainadalahKaisarJenghis KhandariKerajaanMongol!Akantetapi, puluhantahun yang lalu, istana itu dihuni olehseorang sakti yang aneh, yang di duniapersilatan tingkat tinggi dikenal sebagaitokoh dongeng yang bernama Dewa Bongkok. Nama Dewa Bongkok yang menjadipenghuniIstanaGurunPasirinitidakkalah terkenalnya dan dianggap sebagaisetengahdongengsaja,sepertihalnyaPendekar Super Sakti penghuni Pulau Es!Setelah Dewa Bongkok meninggal dunia,kini yang menjadi penghuni istana GurunPasir itu adalah muridnya yang bernamaKao Kok Cu, yang di dunia persilatan dikenalsebagaiPendekarNagaSaktiGurun Pasir!
Nama besar Pendekar Naga Sakti inipernah menggemparkan dunia persilatan, dan dia tidak kalah terkenalnya dibandingkan mendiang gurunya. Kini Kao Kok Cutelahmenjadi seorang kakekyang tuarenta, tinggal di dalam istana kuno ituberduasajadenganisterinya.Isterinyabukan wanitasembarangan,melainkenseorang pendekar wanita yang juga pernahmenggemparkanduniapersilatan.Namanya Wan Ceng, ketika kecil pernah tinggal di Kerajaan Bhutan, jauh di baratbahkanmenjadisaudaraangkat PuteriSyantiDewidariBhutan sehinggaiamemperoleh nama julukan Candra Dewi.Wan Cengjugamemiliki kesaktiandankini ia dalamusiatujuhpuluhduatahuntinggalbersamasuaminyadi IstanaGurunPasir.Merekaberduahidupdisitu tanpapelayanhanya berduasaja,mengerjakanladangdankebunsendiri yanghasilnyajauhlebihdaripadacukupuntukkebutuhan merekasehari-hari.Sebagian besardariwaktuluangmerekadipergunakanuntukbersamadhi dan bertapa.
Keadaansepasang suamiisteriinitidak dapat disamakan dengan keadaanpara pertapa yang sengaja mengasingkandiri dari dunia ramai, pergi bertapa dengan suatu pamrih tertentu. Orang pergimeninggalkan dunia ramai untuk bertapadi puncak bukit yang sunyi, di dalam guayang sederhana, hanya mengenakan cawatsaja,hanyamakan seadanya, menyiksadiri menahan haus dan lapar, tentu mempunyaisuatutujuantertentu.Tujuaninilah pamrih, dan semua pamrih, baikyang terbuka maupun terselubung, selalutentumenjangkau suatu keadaan yangmenyenangkan. Biarpun pamrih mendapatkan keadaan yang menyenangkan ini diperhalus dengan sebutan muluk tetap saja merupakan pamrih demi kesenangan diri. Mungkin dia akan mengatakan bahwadia bertapa untuk mencari kebahagiaan mencari kesempurnaan hidup, mencariTuhan, dan sebagainya lagi. Namun pencariannya itu sendiri membuktikan bahwa dia menginginkan sesuatu yang dianggapnya akan mendatangkan kesenangan dalam bentuk kedamaian, kebahagiaan, danlain sebutan lagi.
Sepasang suami isteri itu tidak mencariapa-apa.IstanaGurunPasiritumemang milik mereka, peninggalan dariDewa Bongkok kepada muridnya, yaitukakek Kao Kok Cu. Mereka berdua memang senang tinggal di tempatsunyi itu,bukan untuk mencari sesuatu atau menjadikan tempat yang sunyi itu sebagaipelarian dari dunia ramai. Sama sekalitidak.Merekamemang merasa senangtinggal di tempat yang penuh keheninganitu dan merasa berbahagia.
Akantetapi, pada hari itu,Istana Gurun Pasir tidaklah setenang biasanya.Dari dalam gedung istana tua itu kiniterdengar suaragelaktawadanpercakapanyangdiselingisuaraketawagembira.Kiranya suamiisterituaitu kedatanganseorangtamuyangsamasekali tidak pernah mereka sangka-sangka.Tamu itu bukan orang asing. Dia seoranghwesio yangbernama Tiong Khi Hwesio,usianya juga sudah tujuh puluh dua tahundan tentu saja kunjungan hwesio ini disambut gembira oleh kakek dan nenekitu,terutama sekali nenek itu karenahwesioini bukan lain adalah saudaratirinya sendiri, seayah berlainan ibu. Diwaktu mudanya, Tiong Khi Hwesio jugaseorang pendekar sakti yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw dengan juluk annya yang mengerikan, yaitu Si JariMaut! Dia menikah dengan Syanti Dewi, puteri Kerajaan Bhutan dan sampai tuadia tinggal di kerajaan kecil itu. Setelahisterinya meninggal dunia, dia hampirgila karena duka. Akan tetapi, pertemuannya dengan seorang pendeta tua menyadarkannya dan mulai saat itu, WanTek Hoat, demikian namanya, lalu menggundul rambut kepala dan mengenakanjubah, menjadi seorang hwesio yang berkelana.
Mereka bertiga bercakap-cakap sambilmakansederhana dengansayursegar yang dimasak sendiri oleh nenek WanCeng. Kemudian mereka bertiga keluar dari istana itu dan duduk di serambidepan sambil bercakap-cakap. Kao KokCu yang dahulu berjuluk Pendekar NagaSakti Gurun Pasir itu, biarpun usianyasudah hampir delapan puluh tahun masihnampak gagah penuh semangat. Lengankirinya yang buntung itu tidak membuatdia kelihatan mengerikan, bahkan membuatnya nampak lebih berwibawa. Wajahnya yang tampan membayangkan kelembutan, sinar matanya mencorong sepertimata naga namun juga membayangkankelembutan dan kesabaran. Melihat sepintas lalu, takkan ada orang mengirabahwa kakek tua renta yang lengan kirinya buntung ini memiliki kesaktian yang amat hebat. Dua macam ilmu simpanannya, yaitu Sin-liongHok-te,pasangankuda-kuda yang membuat tubuhnyasepertimendekam di atas tanah bagaikanseekornaga,kemudiandapatmenimbulkantenagadahsyat yangmujijat,danIlmuSilatSin-liongCiang-hoat,jarangdapatditandingididuniapersilatan. Isterinya,nenekWanCeng,biarpunusianyajuga sudahtuasekali,masihnampaksehat.Mukanyatidakpenuhkeriputdankulitmukaitumasihhaluskemerahansakingsehatnya,walaupungiginyatelahompongdanrambut di kepala telah putihsemua.Nenekinipunmemilikiilmusimpanan yang khas, yaitu Ban-tok-ciang,dan kalau ia sudah mengerahkan tenagamemainkan ilmu silat ini, kedua tangannya mengandung selaksa racun (ban-tok)yang amat dahsyat dan berbahaya bagilawan.Jugapedangnya,Ban-tok-kiam,merupakan pusaka yang mengerikan. Adapun tamu itu Tiong Khi Hwesio, biarpunsudah setua nenek itu, namun tubuhnyamasih tegap, jalannya masih tegak. Jubahnyakuningbersih,matanyatajamberkilat dan mulutnya selalu tersenyumsinis. Kakek yang pernah berjuluk Toat-beng-ci (Si Jari Maut) ini memiliki berbagai ilmu silat simpanan seperti Pat-mo Sin-kun, Pat-sian Sin-kun, dan memiliki ilmu sin-kang (tenaga sakti) yangdiberi nama Tenaga Inti Bumi. Juga pedangnya, Cui-beng-kiam, merupakan sebuah pedang pusaka yang ampuh sekali.
Sebetulnya baru beberapa bulan yanglalu, Tiong Khi Hwesio berjumpa dengankakek dan nenek itu ketika mereka semuamenghadiripernikahanPendekar Suling Naga, yang bernama Sim Houw,dengan Can Bi Lan, gadis yang pernahmendapatbimbinganilmusilatdalamwaktu singkat dari kakek dan nenek inisehingga dapat dibilang gadis itu muridmereka. Pernikahan itu diadakan di rumahPendekar Kao Cin Liong, puteratunggal suami isteri dari Istana GurunPasir ini. Akan tetapi karena pertemuanitu terjadi dalam sebuah pesta di mana hadir banyak tamu, mereka merasa kurang leluasa bercakap-cakap. Siapa kira,tahu-tahu kini hwesio tua itu muncul diistanamereka, tentusajakakekdannenek itu menjadi gembira bukan main.
"Tek Hoat, sungguh aku girang bukanmain bahwa engkau sudi datang berkunjungkepada kami.Pertemuandalamusiayangamattuainisungguh mendatangkan kenanganketikamasihmuda, danmenggembirakansekali. Terimakasih,TekHoat."Nenekitumemang selalumenyebutsaudaratirinya dengan nama kecilnyasaja, tidak peduli bahwa kini saudaratirinya itu telah menjadi seorang hwesiotua, seorang pendeta!
Tiong Khi Hwesio tertawa bergelak."Ha-ha-ha, bertemu dan bercakap-cakapdenganmu membuat orang sama sekalilupa bahwa dia telah menjadi tua bangka, Wan Ceng. Sikap dan kata-katamuseolah-olah tak pernah berubah, aku melihatmu seperti melihat engkau ketikamasih gadis, ha-ha-ha!"
KaoKokCu, jugaikuttersenyum kemudian dia yang biasa bersikap serius,berkata dengan halus namun meyakinkan,"Memang, waktu berjalan dengan cepatnya dan tahu-tahu kita semua telah menjadi tua, sudah masak untuk meninggalkan dunia ini. Akan tetapi, pernahkahkita menyelidiki pada diri sendiri, kebaikan dan kegunaan apa saja yang per nah kita lakukan untuk mengisi kehidupan kita yang tidak berapa panjang ini"
Ucapan ini membuat Wan Ceng danTiongKhiHwesiotermenungsampaibeberapalamanya.Merekaterbenamdalam lamunan masing-masing. KemudianTiong Khi Hwesio berkata. "OmitohudKao-taihap,ucapanmuitu menggugahsemua kenangan lama dan pinceng melihat betapa selama hidup pinceng itu,jauh lebih banyak dukanya daripada sukanya dan jauh lebih banyak buruknya daripada baiknya perbuatan pinceng. Perbuatanburukitupinceng lakukan karenadorongan nafsu, sedangkan perbuatan baikpunmenyembunyikan pamrih demi keuntungan diri pribadi. Omitohud, kalaudikaji benar, tidak ada baiknya perbuatanpinceng"
"Aih, jangan kau berkata demikian,Tek Hoat. Aku tahu bahwa apa pun yangterjadi, engkau berjiwa pendekar yanggagah perkasa.Kalautidakdemikian,mana mungkin enci Syanti Dewi sampaitergila-gila dan jatuh cinta kepadamu"Engkau terlalu merendahkan diri sendiri,"kataWanCeng."Banyaksudahkegagahankaulakukankarenamemangwatakmuyanggagahperkasa,sepertiseorang pendekarsejati,tanpapamrih."
"Tapi....tapi....kalaupincengingatsekarang,semuaperbuatan itupincenglakukandemicintapincengkepadamendiangisteriku,SyantiDewi.Andaikatatidakada SyantiDewi,tidakadacintakuterhadapnya....ah, tidaktahulahaku,apayangakanterjadidengandiriku...."Tiong KhiHwesionampaktermangu.
KaoKokCumenariknapaspanjang. "Memangdemikianlahkeadaannya.Kitatidakpernahbebas. Perbuatankitatidakpernahbebasdaripadapamrih.Karena ikatan-ikatanmakakita selaluberbuatdengan pamrihdibelakang perbuatanitu,membuatsemuaperbuatankitapalsuadanya.Betapapunbaiknyasuatuperbuatan itumenyembunyikanpamrih, makaperbuatanituadalahsuatukejahatanpula,karenaperbuatan ituhanyamenjadi semacamcarauntukmendapatkanhasilyangkitakehendaki."
TiongKhiHwesiojugamenariknapas panjang."Omitohud,bijaksana sekaliucapanmuitu,Kok-taihiap. Akantetapi,bagaimanamungkin perbuatan kitatidak menyembunyikanpamrih"
"Bukankahpamrihitumuncul dariikatan kepada sesuatu" Ikataninilahyangmenjadi pamrihdalamperbuatankita.Karenaitu,satu-satunyakebenaranadalahkebebasan!Sebelumbebasdarisemua ikatan, takmungkinperbuatan kitabenar, dalamarti yang sedalam-dalamnya.Kitaharusberanibebas,harusberanisendirian,karenabersendirianinimerupakankenyataanhidup.Masing-masingdarikita membawa kehidupan sendiri-sendiri dan akan mengakhiri kehidupanini sendiri-sendiri pula. Kita takut bersendirian, melihat kenyataan betapa kita ini masing-masing kosong, lemah tak berarti,maka timbullah rasa takut dan kita lalumencaripegangan, mencariikatan sebanyaknya agar si aku tidak kehilanganpijakan. Kita memperbanyak ikatan yangkita anggap mendatangkan kekuatan danmendatangkanhiburan,sepertiorangtakut terhadap setan lalu mencari banyakteman.Padahal, ikatan-ikatan inilah pangkal semua kesengsaraan."
Wan Ceng yang sejak tadi mendengarkan, mengerutkan alisnya. Sudah seringia bercakap-cakap dengan suaminya tentang hal ini, dan masih juga merasa sukaruntuk dapat menangkap maknanya yangtepat. Kini ada Tiong Khi Hwesio di situ,makaiamengajukan bantahannya lagiagar dapat lebih mudah menyelidiki danmengerti.
"Akan tetapi, kalau kita membiarkandiri bebas dari ikatan, lalu mana adacinta" Apakah kita harus bersikap tidakpeduli,apakahkitaharusmeniadakankewajiban-kewajibandanhidupdengansikap acuh dan masa bodoh"
Suaminya tersenyum, senyum penuhkasih yang selalu ditujukan kepada isterinya. Sudah sering isterinya membantah seperti ini, dan dia tahu bahwa isterinya masih belum mengerti benar dankini minta dukungan Tiong Khi Hwesioterhadap sanggahan atau bantahannya itu.
"Benarsekali,Kao-taihiap,sepertiapa yang dikemukakan isterimu. Agaknya, kebebasan seperti ini, seperti yang kaukatakan tadi berlawanan dengan tugas-tugas dalam kehidupan ini, seperti kewajiban terhadap keluarga, terhadap masyarakat,pemerintahdansebagainya.Bukankah kalau sudah bebas dari segalanya seperti itu, kita lalu menjadi acuhdan hidup seperti boneka saja"
Kao Kok Cu tersenyum dengan penuhkesabaran.Diatahubetapasukarnyamempelajari hidup, betapa sukarnya membuka mata melihat kenyataan hidup seperti apa adanya. Dia sendiri pun baru-baru saja, dalam usia tua renta, dapatmelihat kenyataan ini dengan waspada.
"Marilah kita selidiki bersama. Semuaperbuatan kita merupakan pencerminan dari keadaan batin, bukan" Kalau batin tidakbebas, perbuatan pun tidak akan bebasdari pamrih. Oleh karena itu, dimaksudkan dengan kebebasan di sini bukanlahkebebasan lahiriah. Lahiriah, kita tidak mungkin bebas. Kita adalah bagian dari masyarakat, bagian dari bangsa dan negara dengan segala macam adat istiadatdan hukumnya.Kita secara lahiriah tidakmungkinbebasdarisemuaitu, darikewajibanterhadap keluarga,terhadappe merintah,terhadap pekerjaan, terhadapteman,masyarakatdansebagainya.Akantetapi,haruskahbatinjugaterikat"Tak dapatkahsecara lahiriahkitamempunyai,akantetapi batintidakikutmemiliki"Hanyabatinyang bebassajayangakandapatmengenalcintakasih,bukancintanafsuyangmengikat."
TiongKhiHwesiodan Wan Cengmendengarkan,terdiamdansepertiterpesonakarenamerekapundapatmelihat kenyataanmelaluipetunjukini.
"Sekarangakumulaidapatmelihat,"kataWanCengmengangguk-angguk."Bebasbukanberartibebas semaugua,karena semauguamerupakantindakanlahiriah,tindakanbadanpenuhnafsu, tindakanpikiranyang selaluinginenaksendiri.Bebas batinmendatangkancintakasih,danperbuatanyangdidasaricintakasih tentutidakakan menyelewengdaripadakebenaran."
"Omitohud....!"TiongKhiHwesiomemuji sambilmerangkapkankeduatangandidepan dada."Betapabahagianya hati pinceng, betapaberuntungnya pincengdanpujisyukurkepadaTuhanYangMahaPengasihyang telahmenuntunpincenguntuk datangberkunjungsehingga sempat berbincang-bincangdengankalianberdua.Pincengsudah mengalami sendiriakanburuknyaikatan. Pincengterikatlahirbatindengan SyantiDewisehinggaketika isteriku itu meninggaldunia,pincengsepertioranggilakarena kehilangan!"
"Ikatanselalumendatangkandukadankehilangan. Yangdapatkehilanganhanyamerekayangmemiliki.Kalaubatintidakmemilikiapa-apa,bagaimanabisakehilangan"Itulahnamanyabebasbatiniah,walaupunlahiriahterikatkakitangandan lehernyaoleh segalamacamkewajiban hidup."
"Wah-wah,terimakasih!"TiongKhiHwesiobangkit denganwajahcerahdangembirasekali."Akan tetapi,mengapakitatenggelamke dalamhal-halyangbeginiserius" Pincengingin sekalimelihat-lihatlautanpasiryangmahaluasini.Kabarnyadi padang pasirseringterjadikeanehan-keanehan,nampakkekuasaanalamyangmahahebat.Maukahkalianmengantarpincengmelihat-lihatdanmenunjukkansegalakehebatanitukepada pinceng"
Kao Kok Cu dan Wan Ceng juga bangkit sambil tertawa dan mereka bertigalalu meninggalkan istana itu, menuju keselatan karena istana itu menghadap ketimur, ke arah Mongol dari mana Kaisar Jenghis Khan berasal.
*** Tiong Khi Hwesio kagum bukan mainketika suami isteri itu membawanya kebagian-bagian yang luar biasa dari padang pasir itu. Ada bagian di mana pasirnyabesar-besar dan agak hitam, adapulabagian dimana pasirnya lembutsekalidenganwarna putihberkilauanseperti bubuk perak. Ada yang permukaannya demikian halus seperti sutera, adapulayangmembentuk keriput-keriputsepertialunsamudera.Jugaterdapatbagian di mana terdapat batu-batu besarberbentukaneh-aneh karena permainanangin dan terpukul pasir-pasir yang diterbangkan angin. Luar biasa sekali melihat betapa ada permukaan pasir yangtidak pernah diam, seperti air di lautan,selalu berubah bentuknya karena pasir-pasir halus di permukaan itu terbawaangin membentuk garis-garis yang selaluberubah. Seolah-olah ada kehidupan yang tidak nampak di tempat yang teramatsunyi itu. Berkali-kali Tiong Khi Hwesio mengeluarkan suara pujian dengan penuh kagum dan heran.
Melihat kegembiraan saudara tirinya,WanCengmenjadiikutgembira danbangga."Engkaubelummelihatyangpaling hebat, Tek Hoat," katanya bangga.
"Wah"Masih ada yang lebih hebatdari ini" Bawa pinceng ke sana, pincengingin melihat yang paling hebat!"
"Bagian itu jauh di selatan, makanwaktu perjalanan hampir satu hari, disebut sebagai Lautan Maut. Di sana engkauakanmelihatbadailautanpasir,melihatpasir bagaikanairlautmenderu-d eru,denganombak yang setinggi rumah."
"Wah, hebat! Hayo kita ke sana!" ajakTiong KhiHwesio, tertarik sekali.Sebagai seorang bekas pendekar, tentu sajakeadaanbahayamerupakantantangan yang menggairahkan hatinya.
"Di sana berbahaya sekali," kata KaoKok Cu. "Bahkan rombongan onta denganorang-orang yangpaling berpengalamansekalipun menjauhi bagian itu dan lebihbaik melakukan perjalanan memutar yang lebihjauhdaripadaharusmenempuhLautan Maut itu."
"Akan tetapikitabukanlahorang-orang yang lemah seperti mereka!" kataWan Ceng kepada suaminya."Bukankahkita pernah beberapa kali ke sanadanmampu menahan serangan badai"
Kao Kok Cu tersenyum kepada isterinya. "Ha, agaknya engkau lupa bahwa halitu terjadi puluhan tahun yang lalu. Ketika itu usia kita belum lima puluh tahun."
"Apa bedanya" Kita masih kuat dan bahwa kita bertiga dapatmenguji diriapakahmasihadakemampuandalamtubuh yang tua ini."
"Cocok! Ha-ha-ha,Kao-taihiap, apakah engkau tidak ingin menggembirakanseorang sahabat seperti pinceng" Sebelummaut datang menjemput,pinceng inginsekalimelihatdanmerasakanbetapahebatnya badai di Lautan Maut itu."
Kao Kok Cu menarik napas panjang."Baiklah,tentu saja kita bertigaakandapat melindungi diri sendiri dari badai.Di sana terdapat banyak batu besar yangdapat dipergunakan sebagai tempat berlindung. Akan tetapi perjalanan itu tentu akan makan waktu dua hari pulang pergidan di sana tidak terdapat makanan atauminuman apa pun. Kita harus membawa bekal."
Mereka kembalike istana tua dan sibuklahmerekamembuatperbekalan untuk perjalanan besok. Mereka bergembira seperti tiga orang pemudaremajayang membuat persiapan untuk perbekalan perjalanan tamasya besok.
Dan pada keesokan harinya, pagi-pagisekalimerekabertigasudahberangkatmeninggalkanistanagurunpasir,menujukeselatan.Lewattengahharimerekatibadibagian lautan pasir yang dimaksudkan oleh Wan Ceng. Sebelum berangkat,KaoKokCu memperingatkan merekaagar berhati-hati.
"Sekarang musim yang paling ganas disana, di waktu badai sedang besarnyadenganadanya pemutaran angindariutara ke timur."
Dengan buntalan perbekalan di punggung mereka, tiga orang ini memasukidaerah Lautan Maut. Nampaknya memangtidak ada apa-apa dan Tiong Khi Hwesiomulaikecewa.Akantetapimakin keselatan, terasa angin semakin keras dan dibandingkan dengan pasir yang merekainjak, yang panas, angin itu terasa dingin sekali. Dan ketika mereka tiba di daerah yang berbatu-batu, tiba-tiba sajabadai datang mengamuk. Mula-mula, dariarah barat dan utara, nampak sepertiawan hitam dan debu angin tiba-tibaterhenti, akan tetapi tak lama kemudian,awan hitam dan debu yang ternyata gelombang pasir itu datang menerpa, didorong angin yang amat kuatnya.
Tiga orang gagah itu memasang kuda-kuda dan mengerahkan tenaga melawanhantaman pasir halus yang dibawa angin.Mereka seolah-olah masuk ke dalam tiraipasir yang mendorong kuat dari depan.Makin lama, semakin kuat saja hantamanpasir dan angin dan pertama-tama Wan Cengagakterhuyung.Cepatiaberpegangtangan dengansuaminyayangmembantunya, dan ketika akhirnya TiongKhi Hwesio juga terhuyung, Kao Kok Cuberteriak nyaring untuk mengatasi gemuruhsuara badai pasir.
"Cepat, kita berlindung di balik batudi sana itu!" Dia menunjuk ke arah sebuah batu karang yang besar dan kokohkuat. Memilih tempat berlindung ini punada bahayanya, karena kalau salah pilih,ada batu yang roboh dilanda badai sehingga menindih dan membunuh orang-orang yang berlindung di bawahnya.
WanCeng dan Tiong Khi Hwesio,sejakmudanyamemangmemiliki hatiyang pantang menyerah. Oleh karena itu,ajakanKaoKokCuituditerimadengangelengankepala,bahkanWanCeng sudahmelepaskan pegangan tangan suaminya,memasang kuda-kuda lagi dan mengerahkan tenaganya. Demikian pula Tiong KhiHwesio, agaknya tidak mau kalah oleh saudaratirinya!Melihatlagakkeduaorang ini, mau tidak mau Kao Kok Cutertawa geli dan gembira dan dia punlalu memasang kuda-kuda untuk melawanbadai yang semakin kuat datangnya itu.Akan tetapi beberapa menit kemudian,Wan Ceng dan Tiong Khi Hwesio terpaksa harus mengakui keunggulan badai karena mereka terdorong sampai roboh bergulingan! Terpaksa mereka membiarkandiri mereka diseret, Wan Ceng berpegangan tangan dengan Tiong Khi Hwesio danKao Kok Cu dengan satu tangan kanannyamemegang tangan hwesio itu dan menyeretnya di atas pasir menuju kebalikbatu besar dan barulah merekadapatbernapaslegakarenaterjanganbadai ditangkis oleh batu karang yang kokoh kuat itu.
Akan tetapi, kegembiraan mereka semakin menjadi. Setelah beristirahat dandapatmengumpulkantenagakembali,melihat betapa badai masih saja membesar Tiong Khi Hwesio lalu meloncatkeluar dari balik batu karang dan kini diabersilat menentang badai. Hebat memang kakekhwesio ini.Diaternyata telahmenggabungkan dua macam ilmu silatyang merupakan ilmu silat yang saling berlawanan, yaitu Pat-mo Sin-kun (SilatSaktiDelapan Iblis) dan Pat-sian Sinkun (Silat Sakti Delapan Dewa)! Tidak sajadiatelahmampumenggabungkandua aliran silat yang bertentangan ini,akantetapi juga dia mempergunakantenaga sakti yang hebat, yaitu Tenaga Inti Bumi. Biarpun usianya sudah tujuhpuluh dua tahun, namun gerakannya demikiangesitdanpukulan-pukulannyademikian kuat sehingga angin menderu-derudarikakitangannyamenentangbadai sehingga pasir-pasir yang diterbangkan badai itu membuyar terkena hantaman angin pukulan kaki tangannya! TiongKhi Hwesio bersilat terus sampai akhirnya diamelompat kembali ke balik batukarangdenganmukamerah,keringat membasahitubuhdannapasnyaterengah-engah,akantetapimatanyaberseridanmulutnyatertawa gembira.
Wan Ceng tidak mau kalah. Nenekyang usianya sebaya dengan saudara tirinya ini, juga meloncat keluar dan bersilat menentang badai. Ia nengeluarkanilmu silat simpanannya, yaituBan-tok-ciang dan nampak ada uap yang kadang-kadang berwarna hitam, lalu hijau ataubiru, berubah lagi kemerahan dari keduatelapaktangannya.Melihat ini,diam-diam Tiong Khi Hwesio bergidik karenadia tahu betapa ampuhnya pukulan-pukulan adik tirinya itu. Nenek ini pun bersilat sampai ia tidak kuat bertahan lagi dan terpaksa harus meloncat ke belakangbatu karang dengan tubuh basah keringatdan napasnya terengah-engah.
Melihat kegembiraan dua orang itu,Kao Kok Cu ketularan. Dia pun keluardan menentang badai, lalu bersilat, di tonton dengan penuh rasa kagum olehTiong Khi Hwesio. Dia melihat betapakakek berlengan sebelah ini bersilat secara aneh, dengan tubuh kadang-kadangmeluncur ke depan, seperti seekor naga,namun gerakannya membawa angin pukulan yang bercuitan dan kini dia melihatbetapa di bagian depan Kao Kok Cuseolah-olah ada dinding atau perisai yang tidak nampak, terbuat dari hawa pukulansehingga pasir yang terbang dari depanitu terhenti dan runtuh dengan sendirinya, seperti membentur batu karang! Dan kakekberlenganbuntung yang usianyasudahtujuhpuluhdelapantahunini,bersilat paling lama dibandingkan TiongKhi Hwesio atau Wan Ceng, akan tetapiketika akhirnya dia menghentikan gerakannyadankembalikebelakang batukarang,napasnyatidakmemburudanwajahnya biasa saja walaupun napas agakmemburu.
"Wah,usiatuamenggerogotidaridalam sehingga tenaga dan daya tahankubanyak berkurang," katanya sambil mengatur pernapasan.
"Kao-taihiap, engkauhebat!"TiongKhi Hwesio memuji. "Engkau yang palingtua diantara kita, namun ternyata tenagadandayatahanmupaling kuat.Sungguhmembuat aku takluk dan kagum sekali!"
Namun Kao Kok Cu tidak menjawabmelainkan menuding ke arah barat. "Lihat, bukankah itu suara onta yang datangdari arah sana"
Dua orang itu menoleh ke arah barat,akan tetapi tidak kelihatan sesuatu, hanyamemangmerekamendengaradasuaraonta.Suaranyamerintih sepertimenderita.
"Onta tidak pernah merintih kecualimenghadapi kematiannya dan di manaada binatang onta terancam maut, disitu tentu ada pula penunggangnya yangjugaterancammalapetaka,"sambungWan Ceng. "Mari kita lihat!"
Duaorangkakekitu mengangguksetuju dan mereka bertiga segera berlon catan keluar dari balik batu karang dan berlari cepat menuju ke barat, ke arah datangnya suara tadi. Tidakterlalu lamamereka mencari karena segera merekamelihat seekor onta yang dalam keadaansekarat, tergencet batu yang roboh menimpa dan menghimpitnya. Dan di dekatnya nampak seorang wanita yang telahtewas pula, sedangkan seorang anak laki- lakiberusia kurang lebih empat belastahun berlutut dan mengguncang-guncang tubuh wanita itu.
"Ibu....ibu....bangunlah, ibu....kuatkanlah, mari kugendong ibu pergi darisini...."kata anak itu dengan suara piludan gemetar. Dia lalu dengan susah payahmenarik tubuh ibunya yang keduakakinya terhimpit tubuh onta, kemudianmencobauntukmenggendongnya,akantetapi baru beberapa langkah saja anakitu berjalan, dia disambar hantaman badai dan dia pun terguling bersama mayatibunya, bergulingan.
"Ibuuuuu....!"Anak itu berteriak, danpada saat itu, Tiong Khi Hwesio telahmenyambar tubuhnya dan dibawa meloncat ke balik sebuah batu karang untukberlindung dari serangan badai. Wan Ceng juga sudah menyambar mayat wanita itudan membawanya ke tempat yang sama.
"Ibuuu....!Lepaskanibuku,jangangangguibuku....!"Tiba-tibaanakitumeronta dan saking marah dan khawatirnya, anak itu memiliki tenaga yang demikian hebatnya sehingga dia berhasilmelepaskan diri dari pegangan Tiong KhiHwesiodan kinidiamenyerangWanCeng yang masih memondong tubuh wanita yang telah mati itu. Anak laki-lakiitu menubruk, tangan kirinya mendorongke arah dada Wan Ceng, dan tangankanannya mencoba untuk merampas tubuhwanita itu gerakannya cepat dan jugamengandung tenaga yang kuat.
Wan Ceng tidak melawan, hanya menarik tubuh atas untuk mengelak daridorongan anak itu, dan ia membiarkananakitu merampas tubuh mayat itu.Anak laki-laki itu kini memandang mayatitu, menghadapi tiga orang tua itu dengan mata terbelalak. Mata itu liar danberingas, seperti mata seekor anak harimautersudut.Dia siap melawan tigaorang itu mati-matian untuk mempertahankan dan melindungi ibunya.
"Jangankalianmenggangguibuku!Akan kulawan sampai mati! Biarpun kalianDewa Kematian, DewaBadaidanDewa Padang Pasir, aku tidak takut!"
Diamenantangdansikapnyasungguhberani,sikapseorangyangsudahnekatkarena tidak melihat jalan lain.
Tiga orang tua renta itu sejenak terpesona,jugaterharu.Merekaadalahorang-orangsaktiyangsudahbanyakmakan garam, banyak pengalaman dan tahu saja artinya duka karena merekapun sudah kenyang mengalami duka dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu,mereka dapat menduga bahwa anak inimenjadi demikian nekat dan berani karena terhimpit duka yang bertubi-tubi danyangterakhirkalinyaagaknyakarenamelihat ibunya yang tercinta tewas. Ataumungkin saking bingung, khawatir dandukanya, dia sampai tidak sadar bahwaibunya telah kehilangan nyawanya danyang hendak dilindungi dan dipertahankanituadalahsesosokmayatyangtelahmulai menjadi dingin!
Dengan hati terharu penuh iba KaoKokCumelangkah maju. "Anak yangbaik,kamibukanlah dewa atau iblis,kami adalah orang-orang biasa yang datang ingin menolongmu. Tidak ada yangakan mengganggu ibumu lagi, Nak, karena ibumu telah meninggal dunia. Lihatlah baik-baik dan jangan keliru menyangka orang."
Suaraitu begitu halus, tenang dansabar dan suara itu saja sudah cukupmembuat anak itu percaya dan kini anakitumemandang wajah mayat yang dipeluknya.Wajahseorangwanitayangkurus pucat, dengan mata setengah terbuka, dengan pandang kosong tanpa cahayasamasekali,sepertimata sebuahpatung yang pernah dilihatnya. Dia mengangkat mayat itu mendekat dan dia merendahkanmukanyasampaimukanyadekat sekali dengan muka mayat itu.Tidak bernapas lagi hidung dan mulutibunya.
"Ibuuuuu....!"Dan untuk kedua kalinya dia pun terjungkal bersama mayatibunya, dan roboh pingsan di dekat mayat itu.
"Omitohud....!"TiongKhiHwesiomengeluh ketika dia melihat peristiwa ini.KaoKok Cumenarik napas danmenggeleng-geleng kepalanya sedangkanWanCenglalu mendekatianakitu,ber lututdanmengurut tengkuk dan dadanya.
Anak itu pun mengeluh, lalu membuka matanya. Dia segera mencari dengan pandang matanya dan ketika diamelihat tubuh ibunya menggeletak takjauh dari situ, dia pun bangkit dan menubrukmayat ibunya sambil menangis.Akan tetapi, anak itu agaknya memangmemiliki kekerasan dan ketabahan hati.Tidak lama dia menangis dan agaknyadia sudah teringat lagi akan tiga orangtua itu, maka dia lalu bangkit berdirimemandangnya, dia lalu menjatuhkan diriberlututmenghadapmereka,agaknyasama sekali tidak peduli akan luka-lukayang diderita tubuhnya, babak belur danlecet-lecet, juga kaki kanannya kehilangan sepatunya dan pergelangan kaki itumenggembung besar, tanda bahwa kakiitu salah urat.
"Harap Sam-wi Locianpwe (Tiga OrangTuaPerkasa)memberiampunkepadasayayangtadibersikap kurang ajar.Dalamkeadaan seperti ini, saya menjadibingungdanmengiraSam-wi(KalianBertiga) bukan manusia"
Tiga orang itu saling pandang dansependapat bahwa anak ini ternyata memiliki pendidikan yang baik dan mengenalaturan. Juga, mata mereka yang tajamdapat mengenal bahwa anak ini memilikinyali yang besar, sikap gagah dan jugabakat yang baik sekali untuk menjadiseorang pendekar.
"Anak baik, sekarang belum waktunyabanyakbicara.Apakah engkauhanyaberdua dengan ibumu ini" tanya KaoKok Cu. Anak itu mengangguk.
"Kalau begitu, yang terpenting sekarang, mari ikut bersama kami dan kamijuga akan membawa jenazah ibumu agarmendapatkan penguburan yang sepatutnyadi tempat kami."
"Baik,Locianpwe dan terima kasihatas perhatian Sam-wi." kata anak ituyang segera bangkit dan tanpa diperintahlagi dia menghampiri mayat ibunya, bermaksuduntukmemondongnya. Hal inisaja membuat tiga orang tua itu menjadikagum.Anakinitidakcengeng, tahudiri, cerdik dan tabah sekali.
"Biarkanpincengyangmembawajenazahibumu,anakbaik,"kataTiongKhiHwesiodansekalikedualengannyabergerak,mayatwanitaitutelahdipondongnya.Anakitu terbelalakdanmerasasepertimelihatsulapanatausihirsaja.Diahampirtidak melihathwesiotuaitumenyentuh mayatibunyaataumengulurkantangan,seolah-olah mayat ituyangterbangkedalampondonganhwesiotuaitu!
"Danengkaupuntidaksehatbenar, marilahengkaukugendong!"katapulaKaoKokCudananakitumenjadisemakinterkejutketikatiba-tibasaja tubuhnyamelayangnaikdantahu-tahudiatelahberadadiataspunggungkakek yanglengan kirinya buntung! Hampir dia menjeritketakutandan hampirkehilanganlagi kepercayaannya bahwa tiga orang ituadalahmanusia.Jangan-jangan merekaini benar-benariblis-iblisyang hendakmembawa pergi dia dan mayat ibunya!
Akan tetapi, nenek itu berkata, "Marikita pergi!" dan kini anak itu mengalamiperistiwa yang membuat dia takkan dapat melupakannya selama hidupnya.Diamerasa dibawa terbang oleh kakeklengan satu dan ketika dia melirik ke kanan, dia melihat hwesio itu pun seperti terbang membawa mayat ibunya, sedangkan nenek itu terbang paling depan. Badai masih mengamuk hebat, namun tigaorang ini dapat berlari secepat terbangmenempuhbadaiyang menyerang darisamping.Cepat sekali gerakanmerekadan berkali-kali dia harusmemejamkanmatanya saking ngeri. Dan ketika merekakeluar dari daerah badai, anak itumerasa betapa mereka berlari lebih cepatlagi. Kadang-kadang mereka itu melompati jurang-jurang seperti terbang, membuat dia merasa ngeri bukan main, danakhirnya diapunhanyamemejamkan mata agar tidak melihat betapa tubuhnya meluncur pesatdi atas pundakkakekyang terbang di atas pasir.
Setelah mereka berhenti, barulah anakitu membuka matanya dan dia pun menahan keinginannya untukberteriak saking herannya. Dia diturunkan,lalu digandeng masuk ke dalam sebuah istanabesaryangindahdanjugamenyeramkankarena istanaituberdirimegah ditengah-tengah gurun pasir, tidak mempunyaitetangga seorang pun! Jenazah ibunyajuga dibawa masuk dan nenek itu lalumerawat jenazah ibunya, diberi pakaian yang utuh,kemudian diadakan upacarasembahyangsekadarnyasehingga diasebagaiputeraibunyadapatmemberi hormatdan berkabungataskematianibunya. Dia pun menurut saja ketika tigaorang tua itu mengusulkan agar ibunyasegera dikubur pada hari itu juga. Mereka lalu menggali lubang di kebun bela kang dan mengubur jenazah itu tanpapeti.
Setelah penguburan selesai dan mereka semua kembali ke dalam istana, barulah anak itu yakin bahwa semua yangdialaminya bukanlah mimpi. Kemarin soredia dibawa oleh tiga orang tua ini, bersama jenazah ibunya, dengan cara luarbiasa,laribagaikanterbang,sehinggamalam-malam mereka tiba di istana ini.Hanya semalam ibunya yang telah menjadi jenazah itu dirawat dan pada keesokan harinya, penguburan ibunya telahdilakukan dengan baik dan selesai. Kinidiatelahmenjadi seorang anak yangkehilanganibu,tidaktahuberada ditempat apa, merasa berada di tempatyang aneh, bukan bagian dari dunia, bersama tiga orang manusia yang juga luarbiasa. Apakah dia masih hidup, ataukahsudah berada di akhirat" Akan tetapikalau dia sudah mati, tentu dia bertemudengan ibunya. Tidak, dia masih hidup!Ibunyalah yang telah mati, dan dia beradadi tempat tiga orang sakti. Sebagai putera seorang ahli silat, tentu saja diapernahmendengar tentang orang-orangtuayangsakti,akantetapi biasanya mereka itu adalah pertapa-pertapa ataupendeta-pendeta di kuil. Dan kini, tigaorang tua itu, biarpun yang seorang adalah hwesio, bukan tinggal di dalam gua,melainkan di dalam sebuah istana! Demikianlah anak itu membolak-balik pikirannya sendiri ketika dia berlutut di ataslantai, di depan tiga orang yang duduk dibangku rendah sambil bersila itu. Kemudiandia teringat betapa tiga orangtuainisudahmelimpahkankebaikan-kebaikankepadanya.Pertama,kalautidakadamerekayangdatang ketikadia diserangbadaidigurunpasiritu,tentudiasudahtewaspulabersamaibunyadan ontamereka.Kedua,merekapulayangmembawadiadanjenazahibunyakeistanaanehinidanketiga,merekatelahmengurus penguburanibunyasampaiselesai. Teringatakansemua ini,dia lalu memberihormatkepadamereka sampaidahinyaberkali-kalimenyentuhlantai.
"Sam-wi Locianpwetelah menyelamatkan saya dan telah mengurus pemakamanibu, sungguh budi kemuliaan ini sampai mati pun sayatidak akan melupakannya," demikian dia berkata berulang kalidan baru berhentisetelah kakek yanglengan kirinya buntung itu berkata dengan suara halus.
"Anak baik, duduklah yang benar, danceritakan denganjelas bagaimanaasalmulanya maka engkau bersama mendiangibumu dapat berada di tempat berbahaya itu dan terserang badai."
"Nanti dulu!" Tiba-tiba Wan Cengberkata. "Siapa tahu dia menderita luka berat. Mari, majulah ke dekatku ke sini,Nak, akan kuperiksa keadaanmu."
Mendengar ini, anak itu tidak beranimembantah dan dia pun merangkak danmendekati nenekitu. Wan Ceng cepatmemeriksa dan ternyata anak itu hanyamenderita lecet-lecetdan babak belur,luka di kulit saja, sedangkan pergelangankakinya yangmembengkakituadalah karena salahurat.Dengan cepat WanCeng mengurut kaki itu dan membetulkan kembali urat yang tertarik dan salahduduk, dan mengobati lecet-lecet denganobat luka.
Nah, engkau tidak apa-apa sekarang,ceritakanlah keadaanmu," kata Wan Ceng.
Anak itu lalu berlututkembali seperti tadi dan menceritakan riwayatnya.
"Nama saya Tan SinHong, tinggalbersama orang tua sayadi kota BangoandiselatanTembokBesar. Ayahsaya dikenalsebagai Tan-piauwsu(pengawal Tan) karena ayah saya membukaperusahaanpiauw-kiok(perusahaanpengawalan barang kiriman) yang mengawalbarang-barangdaganganyangdikirimdaridankeluar TembokBesar."Anakitu,yangbernama TanSin Hong,dengan lancarlalumenceritakansemuaperistiwayangbaru-baru inimenimpa keluarganya.
Padasuatuhari,Tan-piauwsu,ayahSinHong,menerimatugasmengawal barang-barangberhargauntuk diantarkekotaTuo-lun,sebuah kotayang terletakdidaerahMongol.Barang itu berupasebuah peti besar terisiemas permata yang amat berharga,karena itu, Tan-piauwsutidak beranimenyerahkan pengawalannya kepada anak buahnyasaja.Dia berangkat sendiri mengawal barangitu dan menyerahkan urusan perusahaankepadaTang-piauwsu,yaitu wakilnya.Sebulan kemudian, datang seorang utusanyang membawa pesan dari Tan-piauwsuagar isterinya dan puteranya menyusul kekota Tuo-lun untukdiajak nonton keramaian tradisionil yang diadakanolehsuku bangsa campuranMancu dan Mongol yang tinggal di sana.
Biarpun perjalanan itu jauh dan memakan waktu lama, namun Nyonya Tandan puteranya dengan girangmemenuhi pesan itu. Tang-piauwsu merasa khawatirdan dia sendiri yang rnelakukan pengawal an, memimpin dua belas orang anggauta piauw-kiok. Berangkatlahrombongan inikeluardariTembokBesarmenuju ke utara. Ketika mereka tiba di dekat kota Tuo-lun, di kaki bukit yang sunyi, tiba-tiba muncul gerombolan perampokbertopeng. yang jumlahnya dua puluh oranglebih. Gerombolan perampok inimenyerang dan tentu saja Tang-piauwsumemimpinanakbuahnyamelakukanperlawanan. Pertempuran hebat terjadi, akantetapi gerombolan perampok itu lihai dan dua kali lebihbesar jumlahnya,makapihak pengawal terdesak dan mulai adayang roboh. Melihat keadaan berbahaya ini, Tang-piauwsu lalu melarikan kereta yang membawa Nyonya Tan dan Sin Hong, melarikandiridaritempat itu. Akantetapi,setelahmerobohkan semuape ngawal, gerombolan perampok bertopengitu melakukan pengejaran.
Tang-piauwsu melarikan kereta tanpatujuan dan akhirnya mereka tiba di padangpasir.Melihatadaorangpendudukdaerahituyang membawagarammenunggang seekor onta, Tang-piauwsu lalu membeli onta itu dan menyuruh Nyonya Tan dan Sin Hong untuk melanjutkanlarinya dengan menunggang onta, sedangkan dia sendiri menanti di situ denganpedang di tangan untuk menahan gerombolan perampok yang tadi mengancamhendak menawan Nyonya Tan yang masihkelihatan muda dan cantik.
Karena ketakutan, Nyonya Tan danSin Hong lalu menunggang onta, membawa bekal seadanya saja dan onta itupun memasuki gurun pasir! Mereka tidaklagi melihat apa yang telah terjadi selanjutnya dengan Tang-piauwsu.
"Karenatakutditawangerombolanperampok yang kasar itu, yang agaknya,menurut perkiraan Tang-piauwsu, hendakmenangkap ibu dan saya untuk membalasdendam kepada ayah, ibu lalu melarikanonta itu tanpa tujuan, terus memasuki gurun pasir yang luas. Akhirnya kamitidak tahu jalan lagi, di mana-mana pasir belaka dan kami membiarkan saja ontaitu mengambil jalan sendiri. Entah berapa harikamimelakukanperjalananseperti itu, kehabisan bekal, bahkan kantung air yang banyak itu pun telah hampir habis.Kamimenderita sekali danakhirnya kami diserang badai. Kami berlindung di balik batu karang, akan tetapibatukarang itu runtuh dan menimpakami, dan selanjutnya....Sam-wi, telahmengetahui."
Setelah Sin Hong mengakhiri ceritanya, Tiong Khi Hwesio berseru. "Omitohud....permusuhan yang tiada hentinya antara yang untung dan yang rugi!Paraperampokmerasa dirugikan oleh para piauwsu, banyak bentrokan terjadiantaramereka yang hendak merampokdan mereka yang hendak melindungi barang kiriman!"
"Ada yang mencurigakan dalam urusanini," kata Kao Kok Cu, "Bagaimana seorang piauwsu yang berpengalaman begitusembronountukmemanggilisteridanputeranya menyuruh ke tempat yang demikianjauh,melaluiperjalananyangberbahaya."
"Memangmencurigakansekali.DanTang-piauwsuitumembiarkanibudananakitumelintasigurunpasir denganbinatangontatanpa pengawalan,sungguhgegabahsekali,"katapulaWanCeng.
"Biarlahpinceng(saya)yangakanpergikeTuo-lununtukmencariTan-piauwsu dan memberikabarkepadanyatentangisteridanputeranya.Sin Hong,engkautinggaldulusajadisini sampai pincengdapatmenemukanayahmudandapatmengetahuiapayangsebenarnyatelahterjadi."
TanSinHong mengangguk,"Baik,Locianpwe,sayaakanmenantiberitadarihasilpenyelidikanLocianpwe." Diamerasasukasekaliditempatyangindahitu,dan diaberhutang budi.Ingin diamembalasbudiitu,walaupunhanyadenganmembersihkantempatitu,istanatuaituyangnampaknyatidakbegituterawatdenganbaik.Apalagiketikadiamendapat kenyataanbahwadiistanatuaitutidakterdapat seorangpunpelayan.
Sambilmenanti kembalinyaTiong KhiHwesio,SinHong mendengarlebihbanyakdarinenekWanCeng tentangista natua itudankinidiatahubahwapenghuniIstanaGurunPasir ituadalahkakek danneneksheKao ini,sedangkanTiong KhiHwesioyang kini pergi mencari ayahnyaadalah seorangsahabatbaik dantamu kehormatan dari mereka.
Tiga hari kemudian, muncullah TiongKhiHwesio.Setelahminum air sejukjernih yang dihidangkan oleh SinHong,kakek ini menarik napas panjang.
"Omitohud....Tan Sin Hong, pincengsekali ini terpaksa membawa berita yangtidak menyenangkan untukmu." Dan diapun mengelus kepala anak itu yang sudahberlutut di depannya. Anak itu memangberhatitabah.Biarpunmukanyaagakpucat dan matanyamembayangkan kekhawatiran,namun suaranya masihtenang ketika dia berkata kepada hwesio tua itu.
"Locianpwe, apakah yang telah terjadidengan ayah saya"
Nenek Wan Ceng jugatidak sabar."Tek Hoat,apa yang telahterjadi disana"
Kakekyangmasihkelihatanlelahkarenahabismelakukanperjalananjauhitu,mengusap peluhdarileher dan mukanyamempergunakan sehelai saputanganlebar,kemudianmenghelanapas danmemandangkepadaSinHong dengansinar mata kasihan.
"Pinceng tiba di kota Tuo-lun danmelakukanpenyelidikan.Akantetapiternyata bahwa Tan-piauwsu tidak pernah sampai di kota itu...."
"Ayah....!" Sin Hong berseru dengansuara tertahan, matanya menatap wajahTiong Khi Hwesio, penuh pertanyaan dankekhawatiran.
"Di kota itu pinceng bertemu denganbeberapa orang sahabat baik Tan Piauwsukarena memang sudah beberapa kali Tanpiauwsu mengawal barang ke kota itu.Bersama mereka pinceng lalu menyelidikisepanjang jalan menuju ke kota itu dariselatan yang biasa diambil oleh rombongan piauw-kok dan di sebuah hutan pinceng menemukan mereka," Suara kakekini menurun dan Sin Hong kembali menatap dengan muka pucat.
"Locianpwemenemukanayah...."tanyanya, kini suaranya agak gemetar,jelas bahwa dia telah menduga buruk. Dan kakek itu mengangguk.
"Pinceng menemukan Tan-piauwsu dansepuluh orang anak buahnya, semua telahtewas terbunuh."
"Ayah....!Ibu....!"Teriakan Sin Hongini lirih saja, seperti keluhan dan dalamkeadaanberlutut diamenutupimukadengan kedua tangannya. Tiga orang tuaitu hanya memandang dan membiarkansaja. Sampai beberapa lamanya Sin Hongmenutupi mukanya, tidak mengeluarkansuara tangis, akan tetapi air mata mengalir dari celah-celah jari tangannya. Kemudian dia mengusap air matanya dengan kedua tangan, lalu dengan suaraagak parau dia bertanya kepada TiongKhi Hwesio.
"Locianpwe,siapayangmembunuhayah"
Tiong Khi Hwesio menggeleng kepala."Tidak ada yang tahu dan tidak ada tanda-tandanya. Mereka semua tewas dan agaknya dirampok karena tidak adabarangberhargalagidisana,kecualipakaian yangmenempelditubuhmereka."
"Ah,siapalagikalaubukanperampokbertopengitu"DanyangmengirimutusanmengundangnyonyaTandan SinHong tentujugaanggautaperampokbertopeng ituyang sengajamemandangdan menjebak,"katakakekKaoKokCu. "Agaknya mereka adalah gerombolan perampok yangmendendamkepadaTan-piauwsusehinggaselainmerampok,jugaingin membasmi keluarganya."
"Aku lebih condong mencurigai Tang-piauwsu itu!" Tiba-tibaWan Ceng berkata. "Mengawal barang yang amat berharga tentu amat dirahasiakan dankukira yang mengetahui hanyalah Tan-piauwsudanpembantunyaitu.Tidakakanmengherankan kalau kelak diketahui bahwa yangmengatursemuaperampokandan pembunuhan itu adalah Tang-piauwsu, oleh karena itu dia pula yang menyuruhnyonya Tan dan Sin Hong melarikan dirike gurun pasir, yang berarti sama dengan mengirim mereka ke lembah maut."
"Omitohudkita tidak bolehsembarangan sangka. Urusan ini adalah urusan Sin Hong dan biarlah dia saja yangkelakmelakukanpenyelidikan.Engkautenangkan hatimu Sin Hong. Teman-temanayahmu telah mengutus penguburan jenazah ayahmu dan anak buahnya, dan kalausuami isteri tua penghuni IstanaGurunPasirini tidakberkeberatan,pincengmengusulkan agar SinHong tinggal disini mempelajari ilmu dari kita bertiga."
Suamiisteri itu agakterkejut dan memandang wajah hwesio itu penuh perhatian. "Apa alasanmu berkata demikian,Tek Hoat" kata nenek Wan Ceng.
"Banyakperistiwa terjadididuniayang aneh-aneh dan biasanya kita anggapsebagai hal yang kebetulan saja.Akantetapi, bukankah dibalik peristiwa itu ada yang mengaturnya" Bukankah sudahmenjadikehendakTuhan YangMahaKuasa maka terjadi hal-hal yang kelihatan kebetulanitu"ContohnyaTan SinHong ini. Keluarganya tertimpa malapetaka, ibunya tewas, ayahnyatewas dan dia pun nyaris tewas. Coba lihat segalamacamkebetulanyangtelahterjadi!
Pertama-tama,kebetulansekalipincengmengunjungikaliandankemudiankebetulansekalikita bertigabermain-maindenganbadaigurunpasir!Kalautidakkebetulan pincengberkunjungtentukitatidak bermain-maindengan badaidankalautidak kebetulankitabermain-maindenganbadaitentukitatidakakanmelihatSinHong!Dankalaubegitu,apajadinya"Tentudiatelah tewaspula!Bukankahsemuakebetulan itusepertitelahdiaturolehThian (Tuhan)"Nah,kitajanganmenolakkehendakThiandanharusmenerimanya sebagaiperintahNya.Marikitaterimaanakini sebagaimuridkitayangterakhir,untukmenampungpeninggalanterakhirdarikita.Bagaimanapendapatkalian"
Suamiisteriitusalingpandang.Me rekatelah mewariskanilmu-ilmu merekakepada puteratunggal merekayangbernamaKaoCin Liongdan kinitinggal dikotaPao-tengdekat kotaraja,jugame reka mengajarkan beberapamacamilmukepadaCanBiLanyangkinimenjadinyonya Sim Houw.Apakahkini merekaharusmengambil seorangmuridlagiketikausia merekasudahamattua"Akantetapi,adabenarnyajugapendapatTiong KhiHwesiotadi tentangperistiwa kebetulanyangmerupakantandakekuasaan dankehendakThian. MerekamengangguksetujudanWanCengberkata sambil tersenyum.
"TekHoat,kalaubegituengkaujugaharustinggaldisiniuntukmewariskanilmumukepadanya."
"Ha-ha-ha,tentusaja!Pincengmemangsukasekalimenghabiskansisausiapincengdisini,kalaukaliantidakberkeberatan."
"Kenapakeberatan"Kamisukasekali!"katakakekKaoKokCu."Akantetapikitatidakbolehmelupakanhalyangterpenting,yaituapakahTanSinHongsukatinggaldisinisebagaimuridkita"
SinHongsejaktadimendengarkansajapercakapanitu.Diasedangtenggelamdalamlamunanpenuhduka.Ayahibunyatewas secaramendadakdandiatidakmemilikiapa-apalagi.Terutamasekali,diaterkesan sekali oleh percakapan tiga orang tua itu tentang kematianayahnya. Ayahnya dibunuh orang! Agaknya direncanakan. Tang-piauwsu mencurigakan, walaupun belum ada bukti. Dandialah yang kelak harus menyelidiki danmembuka rahasia itu, dia perlu memilikikepandaian yang tinggi. Ilmu silat yangpernah dipelajarinya dari ayahnya, tidakada artinya. Ayahnya sendiri pun tewasmelawan penjahat, apa lagi dia! Kini,mendengarpercakapantigaorangtuasakti itu yang ingin mengambilnya sebagai murid, dan mendengar kakek KaoKok Cu menyinggung apakah dia sukamenjadi murid mereka atau tidak, tanpaditanya lagi dia lalu menjatuhkan diribertiarap di atas lantai, menyentuh lantai dengan dahinya berulang kali.
"Sam-wiLocianpwe, teecu(murid)Tan Sin Hong bersumpah untuk menjadi muridyang baik kalau Sam-wi sudi mengambil teecu sebagai murid." Berulang-ulang dia berkata demikian.
Dengan suaranya yang lantang dantegas kakek Kao Kok Cu berkata, "TanSinHong,benarkahengkaubersediauntukmematuhisemuaperintahkamikalau engkaumenjadimuridkami"
"Teecubersumpahuntukmentaatidanmematuhisemua petunjukdanperintahSam-wiLocianpwe!"kataSinHongdengansetulushatinya.
"Danengkautidakakanmengeluhmenghadapilatihanyangamatberat"sambungTiongKhiHwesio.
"Biarsampaimatisekalipundalammentaati perintah,teecutidakakanmengeluh."
Tigaorangtuaitu diam-diammenjadigirangdanmulaihariitu,TanSinHongtinggaldi situ, bekerja keras sebagai pelayan, membersihkan istana dan bekerja di kebun, melayani semua kebutuhan tiga orang tua itu, akan tetapisebagai imbalannya,dia pun mulai digembleng oleh mereka bertiga! Menjadimurid seorang saja di antara tiga orangsakti ini sudah merupakan suatu keberuntungan besar, apalagi sekaligus menjadi murid mereka bertiga!
SinHong tidak menyia-nyiakankesempatan yang amat baik ini dan dia punbelajar dan berlatih dengan amat tekun nya, siang malamtak pernah berhentikecuali kalau sedang bekerja. Bahkan da lammelaksanakan pekerjaannyasekalipun, dia melatih diri sehingga dia mem peroleh kemajuanpesat, kalau malam,setelah lelah berlatih, dia mencurahkanpikirannya untuk mengingat semua pelajaran yang diterimanya dari tiga oranggurunya.
Tigaorangtua rentaitumaklumbahwa bagi seorangmurid seperti Sin Hong,takmungkin dapatmempelajarisemua ilmu mereka bertiga, akanmemakan waktu terlalu lama. Mereka sudahtuasekaliselain sudahmerasamalasuntuk banyak bergerak melatih ilmu silat,jugamaklumbahwaakan sayangkalau sampai mereka mati sebelum ilmumereka dapat diterima dengan baik olehmurid terakhir itu. Oleh karenaitulah,mereka masing-masing sengajamemilihkanilmu-ilmusimpananmerekasajauntuk diajarkan kepada Sin Hong, setelahmenggembleng pemuda ituuntuk menguasailangkah-langkahdangerakan-gerakandasardariilmumerekabertiga.KaoKokCumenurunkan IlmuSin-liongCiang-hoatdanbiarpun muridnyatidakberlenganbuntung,diamengajarkanjugacaramenghimpuntenagasaktimelaluiIlmuSin-liongHok-te.NenekWanCengjugamengajarkanIlmu Ban-tok-ciang danmelatih pemuda itu untuk menghimpuntenagaberacun agar dapat melakukanIlmu Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) dengan baik. Sementara itu TiongKhi Hwesio menurunkan gabungan IlmuPat-moSin-kundanPat-sianSin-kun,jugamelatih menghimpun tenaga saktilewat ilmu sinkang Tenaga Inti Bumi!
Tentusajauntukdapatmenguasaiilmu-ilmu yang sakti itu, Sin Hong harus berlatih mati-matian, menggembleng diri sehingga dia tumbuh menjadi seorang pemuda dewasa yang kurus saking bekerjakeras setiap hari dan malam untuk menguasai ilmu-ilmu itu! Dan sejak tinggaldi situ, dia hanya mau memakai pakaian serba putih untuk mengabungi ayah ibunya yang tewas secara menyedihkan.
Tiga tahun kemudian ketika dia berada di situ mempelajari ilmu, pada suatuhari datang berkunjung seorang laki-lakigagah perkasa yang berusia lima puluh tiga tahun. Dia ini bukan lain adalahKao Cin Liong, putera tunggal dari KaoKok Cu dan Wan Ceng, yang datang berkunjung dan membujuk ayah ibunya yangtelah tua itu untuk tinggal bersama dia di Pao-teng.
"Ayah dan ibu telah berusia lanjut,dansaya sekeluarga tinggal jauh di Pao-teng, sungguh tidak enak bagi saya kalaumengingat keadaan ayah dan ibu. Sebaiknya kalau ayah berdua tinggal bersamakami di Pao-teng agar kami dapat mengurus semua keperluan ayah berdua," demikian antara lain Kao Cin Liong membujuk orang tuanya.
Akan tetapi ayah ibunya tetap tidakmaumenurutipermintaan puteranya."Ketahuilah bahwa aku lebih suka tinggal di tempat yang sunyi ini bersama ayahmu,Cin Liong.Kami dapat mengurusdirisendiri dan andaikata kelak kamimeninggal dunia, kami dapat saling mengurusataumerawatdanadasatu diantara kamiyangmengabarimudiPao-teng," demikiannenekWanCengberkata.Puteranyatidakmerasaheranmendengaribunya sedemikianenaknyabicara tentangkematian.Diasudahmengenal watakibudanayahnyayangmenganggapkematiansebagaihalyang biasasaja.
"Pula, kami sekarang mempunyai seorang murid yang juga melayani semua keperluan kami. Inilah dia, namanya Tan Sin Hong." kata Kao Kok Cu. "Juga di sini tinggal pula Tiong Khi Hwesio yang menambah kegembiraan kami. Tidak perlu engkau memusingkan kami tiga orang-orang tua dan biarkan kami dalam kegembiraan kami sendiri." Dia lalu menceritakan tentang Sin Hong yang segera memberi hormat kepada Kao Cin Liong yang disebutnya "suheng" (kakak seperguruan). Diam-diam Cin Liong merasa heran dan kagum akan baiknya nasib anak itu yang secara tak terduga telah menjadi murid ayah ibunya dan juga Tiong Khi Hwesio!
Kao Cin Liong tinggal selama satu minggu di istana Gurun Pasir dan setelah dia meninggalkan tempat itu, pulang ke Pao-teng, kehidupan di situ menjadi seperti biasa lagi. Sin Hong tekun berlatih silat, dan tiga orang tua renta itu kadang-kadang masih suka berkeliaran di padang pasir, bahkan beberapa kali masih suka bermain-main dengan badai!
*** Sang waktu berjalan dengan amat cepatnya. Kalau kita masing-masing menengok ke belakang, kepada kehidupan kita di masa lalu di masa kanak-kanak, di masa muda dan selanjutnya, akan nampak betapa cepatnya waktu berjalan. Bagi seorang dewasa, masa kanak-kanak yang lewat belasan tahun yang lalu, hanya seolah-olah baru kemarin saja. Semua peristiwa di masa kanak-kanak nampak seperti baru terjadi kemarin dan kenangan pada masa lalu ini akan membuat setiap orang menyadari bahwa tahu-tahu dia telah menjadi tua! Demikian pendeknya kehidupan ini, mengapa waktu yang pendek itu tidak kita isi dengan langkah-langkah yang berguna, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain" Apa yang telah kita lakukan bagi manusia, bagi dunia, bagi Tuhan" Pertanyaan seperti ini sudah sepatutnya kita pertanyakan kepada diri sendiri masing-masing, dan bagi mereka yang belum pernah melakukan hal yang berguna atau merasa belum pernah, marilah mulai dari saat ini juga. Langkah hidup apakah yang berguna" Tentu bukan langkah hidup atau perbuatan yang mengandung pamrih bagi kepentingan diri sendiri, karena langkah seperti itu hanya akan menimbulkan konflik atau pertentangan. Langkah hidup yang benar dan berguna hanyalah langkah atau perbuatan yang didasari oleh cinta kasih. Karena itu, mengapa tidak membiarkan cinta kasih bersinar menerangi batin" Bukan dengan cara memupuk cinta kasih, karena hal ini tidak mungkin. Bukan dengan jalan mempraktekkan cinta kasih atau mengusahakan agar kita menjadi baik dan menjadi seorang pengasih. Sama sekali tidak mungkin. Kita hanya dapat menyingkirkan hal-hal yang memenuhi batin kita, hal-hal yang bukan cinta kasih, bahkan yang membuat batin tertutup bagi masuknya sinar cinta kasih. Kita harus menyingkirkan kebencian, iri hati, permusuhan, dendam, ambisi pribadi, pementingan diri dan segala macam keinginan yang didorong oleh nafsu. Kalau batin sudah bersih dari semua itu, tanpa kita panggil, tanpa kita cari, sinar cinta kasih akan menerangi batin, dan dalam keadaan demikian, semua perbuatan kita akan didasari cinta kasih, berarti hidup kita berguna, baik bagi manusia maupun bagi Tuhan!
Tanpa terasa lagi, sudah tujuh tahun Tan Sin Hong tinggal di Istana Gurun Pasir! Dan berkat ketekunannya, kerajinannya yang tak mengenal lelah, dalam usia dua puluh satu tahun, berhasillah dia menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan oleh tiga orang gurunya kepadanya.
Sementara itu, tiga orang tua yang tinggal di Istana Gurun Pasir, kini menjadi semakin tua! Tiong Khi Hwesio sudah berusia hampir delapan puluh tahun, demikian pula nenek Wan Ceng, sedangkan suaminya Kao Kok Cu, telah berusia delapan puluh lima tahun! Mereka merasa betapa tenaga mereka digerogoti usia dari dalam, daya tahan mereka berkurang, hanya penggunaan otak mereka yang belum mundur, bahkan mereka menjadi semakin waspada dan pandai. Karena merasa bahwa mereka bertiga sudah mendekati akhir usia, mereka bertiga ketika habis melakukan latihan samadhi bersama, mendapat kesempatan untuk bersama-sama menciptakan suatu ilmu yang khas untuk diwariskan kepada murid mereka yang baik itu. Selama tujuh tahun mereka melihat betapa Sin Hong adalah seorang yang selain tekun, tabah dan juga berkemauan keras, memiliki kesetiaan dan kebaktian terhadap mereka. Hal ini membuat mereka merasa suka dan sayang kepada Sin Hong. Mereka pun mulai menciptakan suatu ilmu bersama dan setelah mereka berhasil, mereka mengajarkan ilmu ini kepada Sin Hong. Ilmu ini diilhami oleh gerakan seekor burung bangau, walaupun intinya mengandung sari dari ilmu ketiga orang tua itu. Karena gerakannya, mereka memberi nama Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih) dan mengajarkannya kepada Sin Hong.
Akan tetapi, bukan mudah mempelajari ilmu silat yang didasari ilmu batin yang kuat ini. Sin Hong sendiri tertegun karena kaget mendengar pesan Kao Kok Cu yang mewakili mereka bertiga. "Sin Hong, ketahuilah bahwa ilmu yang akan kami berikan kepadamu ini bukan ilmu sembarangan, melainkan ilmu perahan dari kepandaian kami bertiga. Sin-kang yang dikandung ilmu silat ini merupakan sin-kang gabungan dari kami bertiga yang akan kami salurkan kepadamu pula. Untuk itu, sebelumnya engkau harus tahu bahwa setelah engkau menerima saluran sin-kang dari kami lalu mempelajari Pek-ho Sin-kun sampai tamat, engkau harus menghindarkan dirimu dari semua gerakan ilmu silat selama satu tahun penuh. Sanggupkah engkau"
Sambil berlutut Sin Hong bertanya. "Sebelum teecu menyatakan kesanggupan teecu, ingin teecu mengerti apa yang Suhu maksudkan dengan menghindarkan diri dari semua gerakan silat itu"
"Engkau tidak boleh bersilat walaupun menghadapi ancaman apa pun juga, dan sama sekali tidak boleh mengerahkan sin-kang. Setiap kali ada kesempatan, engkau harus bersamadhi dengan mengendurkan seluruh otot dan syaraf, meniadakan segala kemauan dan pikiran, agar tenaga yang kami salurkan kepadamu dapat mengendap dan menyesuaikan diri dengan tubuhmu. Kalau engkau melanggarnya, engkau akan celaka oleh tenagamu itu sendiri. Nah, syaratnya amat berat. Sanggupkah engkau"
Sin Hong berpikir dengan keras. Sungguh berat syarat itu. Bagaimana dia dapat membiarkan diri kosong seperti itu selama setahun" Berlatih silat pun tidak boleh! Akan tetapi, makin sukar syaratnya, tentu makin hebat ilmunya dan dia pun segera mengangguk.
"Teecu menerima syarat itu, Suhu. Akan tetapi teecu mohon keterangan lagi untuk dapat teecu mengerti benar dan agar tidak sampai teecu melakukan pelanggaran kelak. Bagaimana kalau ada orang yang mengancam dan menyerang teecu"
"Omitohudmengapa engkau dihantui rasa khawatir, Sin Hong" kata Tiong Khi Hwesio. "Biarpun ada yang menyerangmu, hendak membunuhmu sekalipun engkau tidak boleh menggerakkan ilmu silat yang akan menggerakkan pula tenaga sin-kang di tubuhmu."
"Jadi teecu sama sekali tidak boleh membela diri walaupun teecu tidak akan menentang"
"Tentu saja boleh berusaha menyelamatkan diri. Akan tetapi engkau hanya boleh menggunakan akal atau kalau terpaksa menggunakan tenaga juga, hanya tenaga otot biasa saja, bukan tenaga sin-kang. Sudah tentu engkau dapat terancam bahaya maut dengan syarat ini, akan tetapi itu sudah menjadi resikonya mempelajari ilmu yang dahsyat." kata Wan Ceng.
"Baik, teecu menerima syarat itu!" kata Sin Hong dengan suara tegas dan penuh semangat.
Mulailah dia mempelajari Ilmu Pek-ho Sin-kun. Karena dia sudah menguasai ilmu-ilmu simpanan dari tiga orang gurunya, maka ilmu gabungan ini dapat dikuasainya dalam waktu pendek saja. Kemudian, dia disuruh duduk bersila. Ketiga orang gurunya duduk bersila pula di belakangnya. Tiong Khi Hwesio lalu menempelkan telapak tangan kanan ke pundak kanannya, Kao Kok Cu menempelkan telapak tangan di punggungnya, dan Wan Ceng menempelkan tangan di pundak kirinya. Perlahan-lahan, setelah dia disuruh membuka dirinya tanpa melakukan perlawanan sedikit pun, Sin Hong merasa betapa hawa yang hangat mengalir ke dalam tubuhnya melalui tiga bagian tubuh yang ditempel telapak tangan itu. Makin lama hawa itu menjadi semakin banyak mengalir dan menjadi semakin panas, berputar di seluruh tubuhnya, kemudian perlahan-lahan berkumpul di pusarnya. Dia tahu betapa ada hawa sakti yang luar biasa kuatnya memasuki tubuhnya, maka dia pun hanya menerima saja tanpa melawan sedikit pun. Setelah tiga orang itu menghentikan penyaluran hawa sakti itu dan ketiganya menggeser duduk mereka ke belakang, Sin Hong merasa betapa ada hawa yang kuat sekali berpusing di dalam pusarnya. Dia membalik dan berlutut menghadap ketiga orang gurunya. Mereka itu agak pucat dan terengah, namun mereka tersenyum memandang kepadanya dengan pandang mata penuh kasih sayang. Hal ini membuat Sin Hong terharu bukan main dan dia pun bertiarap, menyentuh lantai di depan kaki mereka dengan dahinya berulang kali sambil menghaturkan terima kasih.
"Sekarang, sebaiknya engkau segera melakukan siu-lian (samadhi) di dalam kamarmu, Sin Hong. Boleh engkau melaksanakan pekerjaanmu, akan tetapi yang penting saja dan selebihnya dari waktumu, pergunakan untuk samadhi. Dan ingat pesan kami bertiga."
Sin Hong kembali menghaturkan terima kasih dan dia pun keluar dari ruangan itu, memasuki kamarnya dan cepat duduk bersila dan bersamadhi mengendurkan seluruh tubuhnya luar dalam dan membiarkan tenaga sakti yang berpusingan di dalam pusarnya itu bergerak-gerak seperti benda hidup di dalam tubuhnya!
Seperti biasa, dengan amat tekun Sin Hong kini mempergunakan kesempatan untuk bersamadhi. Dengan girang dia mendapat kenyataan betapa keliaran tenaga sakti yang dia terima dari tiga orang gurunya itu, semakin teratur dan bergerak mengelilingi semua bagian tubuhnya dengan lembut, tidak lagi liar seperti pada hari-hari pertama. Makin lama tenaga itu mengendap di pusarnya dan dia mendapat kenyataan betapa sedikit ketegangan saja sudah cukup untuk membuat tenaga itu bangkit dan berputaran di seluruh tubuhnya. Tahulah dia akan maksud guru-gurunya yang melarang dia mengerahkan sin-kang selama satu tahun. Kalau dia mengerahkan tenaga, maka tenaga sakti yang amat besar itu akan bangkit dan mengamuk, dan tentu tubuhnya bagian dalam tidak akan mampu menahannya karena tenaga sakti itu masih setengah liar dan belum dapat dikendalikannya.
Keadaan seperti itu berlangsung terus selama sepuluh bulan. Kini, semenjak mereka mengajarkan ilmu gabungan terakhir kepada Sin Hong, tiga orang tua itu banyak menganggur dan mereka lebih banyak bersamadhi. Mereka merasa betapa tenaga mereka semakin berkurang, bukan karena disalurkan kepada Sin Hong, melainkan karena dimakan usia tua.
Pada suatu pagi yang cerah, istana itu nampak sunyi sekali. Empat orang penghuninya semua masih duduk bersila, melakukan samadhi pagi yang amat baik karena pada saat itu, sinar matahari pagi merupakan sesuatu yang amat baik, mengandung kekuatan yang dahsyat dan dengan bersamadhi, mereka dapat menampung kekuatan ini, kekuatan yang menghidupkan.
Akan tetapi, tidak seperti biasanya, di tempat yang sunyi itu kini didatangi serombongan orang aneh-aneh. Tidak kurang dari tujuh belas orang yang perlahan-lahan menghampiri Istana Gurun Pasir. Mereka datang dari arah selatan dan sikap mereka amat berhati-hati, bahkan seperti orang-orang yang takut-takut, agaknya gentar karena mereka sudah mendengar akan kehebatan nama Istana Gurun Pasir ini. Mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw kenamaan, tentu saja mereka tahu bahwa penghuni Istana Gurun Pasir ini adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir yang sakti, bahkan isterinya juga seorang nenek yang sakti.
Di halaman depan istana itu, mereka berhenti. Enam orang di antara mereka, yang agaknya menjadi pemimpin, berbisik-bisik seperti merundingkan sesuatu dan sikap mereka jelas membayangkan perasaan gentar. Bagi orang yang biasa menjelajahi dunia kang-ouw, akan mengenal enam orang ini karena mereka, adalah tokoh-tokoh besar yang terkenal di dunia persilatan. Orang pertama adalah seorang wanita yang usianya sudah enam puluh tujuh tahun, akan tetapi masih nampak cantik karena ia pesolek, dan pakaiannya juga serba indah, sikapnya lemah lembut dan gerak-geriknya yang halus tidak menunjukkan bahwa ia sebenarnya adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan namanya ditakuti banyak orang di dunia persilatan. Tubuhnya tinggi ramping dengan pinggang yang lemas seperti batang pohon yang-liu. Inilah Sin-kiam Mo-li (Iblis Betina Pedang Sakti), seorang yang tidak saja memiliki ilmu pedang yang dahsyat, akan tetapi bahkan pandai pula ilmu sihir! Kini ia berdiri dengan tangan kanan memegang pedang dan tangan kiri memegang kebutan bergagang emas.
Orang ke dua adalah seorang laki-laki berusia lima puluh dua tahun, tubuhnya tinggi besar dan brewok. Dia juga bukan orang sembarangan karena dia terkenal sebagai seorang pencuri yang amat lihai, berjuluk Sai-cu Sin-touw (Maling Sakti Muka Singa), memiliki sepasang tangan yang bergerak cepat sekali sehingga dengan kedua tangan kosong saja dia berani menghadapi lawan tangguh yang bersenjata. Sai-cu Sin-touw ini merupakan seorang tangan kanan dan pembantu yang dipercaya oleh Sin-kiam Mo-li.
Orang ke tiga seorang kakek berusia tujuh puluh dua tahun, juga bertubuh tinggi besar dengan perut gendut sekali seperti karung beras, mengenakan jubah kuning yang di bagian dadanya bergambar pat-kwa. Dari jubahnya ini mudah dikenal bahwa dia adalah seorang tokoh Pat-kwa-kauw (Agama Segi Delapan) yang tinggi kedudukannya. Rambutnya yang sudah putih semua itu menutupi sebagian mukanya karena riap-riapan, muka pucat kekuningan seperti orang berpenyakitan. Akan tetapi Ok Cin Cu, kakek pendeta ini, lihai bukan main dengan tongkatnya yang berbentuk ular dan berwarna hitam.
Orang ke empat adalah suhengnya, bernama Thian Kong Cin-jin dan dia adalah wakil ketua Pat-kwa-kauw cabang utara. Usianya sudah tua sekali, tujuh puluh delapan tahun, rambut dan jenggotnya sudah putih, tubuhnya tinggi kurus namun berwibawa. Sikapnya halus lemah lembut dan dia membawa sebatang tongkat yang setinggi tubuhnya. Dibandingkan para pendeta lainnya, Thian Kong Cin-jin ini paling lihai dan tingkat kepandaiannya bahkan seimbang dengan Sin-kiam Mo-li yang dianggap pimpinan rombongan ini.
Orang ke lima juga sudah tua, tujuh puluh lima tahun usianya. Dia adalah Thian Kek Seng-jin dan melihat jubahnya yang bergambar bunga teratai di dadanya, dapat diketahui bahwa dia adalah seorang tokoh besar perkumpulan Pek-lian-kauw. Biarpun usianya sudah tua namun mukanya merah seperti darah, tubuhnya kurus kering dan dia memiliki sepasang mata seperti mata kucing. Dia juga membawa sebatang tongkat yang berbentuk ular berwarna hitam.
Orang ke enam dari kelompok pimpinan ini bernama Coa-ong Seng-jin, usianya tujuh puluh dua tahun dan dia juga tokoh Pek-lian-kauw, sute (adik seperguruan) dari Thian Kek Seng-jin. Tubuhnya kecil bongkok, mukanya buruk mirip muka monyet. Akan tetapi jangan dipandang rendah kakek kecil buruk ini, karena selain ilmu silat yang cukup lihai dengan tongkat ular hidup sepanjang lima kaki, dia juga ahli atau pawang ular yang dapat memanggil ular-ular berbisa untuk membantunya menghadapi lawan!
Enam orang ini bersatu dibawah pimpinan Sin-kiam Mo-li yang dianggap paling lihai. Hanya Sin-kiam Mo-li seorang yang tidak menjadi tokoh dari suatu perkumpulan agama sedangkan lima orang itu, yang seorang adalah pembantunya, sedangkan empat yang lain adalah para pendeta Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw. Bahkan sebelas orang yang menjadi anak buah mereka adalah para anggauta Pek-lian-kauw yang pilihan dan rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tinggi.
Apakah maksud kedatangan tujuh belas orang itu ke Istana Gurun Pasir" Para pendeta itu terkena hasutan Sin-kiam Mo-li yang menganggap dua keluarga dari Pulau Es dan Istana Gurun Pasir sebagai musuh-musuh besarnya. Dan karena dua perkumpulan itu, Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw juga merupakan perkumpulan pemberontak yang banyak melakukan penyelewengan dan kejahatan, maka sudah seringkali, mereka bentrok dengan anggauta keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Maka, ketika dihasut dan diajak oleh Sin-kiam Mo-li untuk menyerbu Istana Gurun Pasir, mereka pun menyambut dengan baik walaupun mereka masih ragu-ragu dan takut-takut.
Melihat betapa para pendeta itu kelihatan jerih sekali setibanya di pekarangan depan istana, Sin-kiam Mo-li, sambil berbisik-bisik, mengulangi bujukannya.
"Mengapa kalian tiba-tiba saja menjadi takut lagi" Sudah kukatakan berkali-kali, menurut perhitunganku, suami isteri itu telah menjadi kakek dan nenek yang tua sekali, jauh lebih tua daripada kalian semua. Tentu mereka telah menjadi kakek dan nenek. pikun yang akan mudah saja kita kalahkan. Apa yang perlu kita takuti" Kita semua berjumlah tujuh belas orang, dan mereka hanya berdua, seorang kakek dan seorang nenek yang mungkin sudah berpenyakitan. Dan ingat akan harta benda dan pusaka-pusaka yang tak ternilai harganya di dalam istana! Semua akan menjadi milik kita kalau sudah membunuh mereka."
"Tapi.... tapi.... bagaimana kalau putera mereka dan para pendekar lain berada di dalam istana itu" Kita semua akan mati konyol!" bantah Ok Cin Cu, tokoh Pat-kwa-kauw itu. Keraguannya ini disetujui oleh tiga orang pendeta lainnya karena mereka mengangguk-angguk membenarkan.
"Ah, kalian kira aku sudah bodoh" Sebelum berangkat, aku sudah melakukan penyelidikan ke Pao-teng dan Kao Cin Liong bersama keluarganya berada di rumah. Percayalah, di dalam istana tua ini hanya ada kakek dan nenek itu, dan aku yakin kita akan mampu mengalahkan mereka. Mari....!" Sin-kiam Mo-li melangkah maju terus menghampiri istana.
Keadaan istana yang amat sunyi itu membuat para pendeta menjadi berani dan mereka mulai percaya akan keterangan Sin-kiam Mo-li. Istana itu memang nampak sunyi saja, seperti tidak ada penghuninya saja atau kalau pun ada, tentu tidak banyak.
Rombongan penyerbu ini sama sekali tidak pernah mimpi bahwa barang-barang yang mereka sangat inginkan itu, terutama kitab-kitab ilmu, tidak akan mereka dapatkan di tempat itu. Tiga orang kakek itu, terutama Kao Kok Cu dan Wan Ceng sudah sejak lama membakar semua kitab pelajaran. Mereka berpendapat bahwa ilmu merupakan sesuatu yang amat berbahaya kalau sampai terjatuh ke tangan orang jahat. Oleh karena itu, setelah merasa bahwa mereka sudah tua dan setelah mereka mewariskan ilmu-ilmu mereka kepada murid terakhir, mereka lalu membakar semua kitab yang ada! Juga Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya sama sekali tidak tahu bahwa penghuni Istana Gurun Pasir biarpun sudah tua renta namun masih amat lihai dan cerdik sehingga kedatangan mereka itu sudah sejak tadi diketahui. Oleh karena itu, ketika mereka menyerbu ke serambi depan istana tua itu, tiba-tiba saja pintu depan terbuka dan mereka melihat tiga orang tua sedang duduk bersila di belakang ambang pintu depan, dengan sikap yang tenang, bahkan tersenyum menghadapi mereka!
Melihat ini, para pendeta itu hampir berteriak kaget dan kembali nyali mereka menjadi kecil, apalagi mereka melihat kenyataan bahwa suami isteri tua penghuni Istana Gurun Pasir itu ternyata ditemani oleh seorang hwesio yang mereka kenal sebagai Tiong Khi Hwesio yang lihai! Mereka tentu saja mengenal hwesio ini yang dahulunya adalah seorang pendekar dengan julukan Si Jari Maut!
"Celaka," pikir mereka. "Kiranya di samping Pendekar Naga Sakti dan isterinya, masih ada lagi Si Jari Maut!"
Akan tetapi, Sin-kiam Mo-li yang tadinya kaget juga melihat adanya Tiong Khi Hwesio di situ, membesarkan hati kawan-kawannya dan berkata, "Mari maju, mereka hanyalah tiga orang tua bangka yang sudah mau mampus!"
"Omitohud....!" Tiong Khi Hwesio berseru sambil tersenyum lebar. "Bukankah yang datang ini sahabat-sahabat lama, Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawan dari Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw"
Sin-kiam Mo-li, sudah bertahun-tahun" engkau agaknya belum juga mau bertobat" Mau apakah engkau dan teman-temanmu mengunjungi tempat sunyi ini"
Sin-kiam Mo-li memandang kepada hwesio itu dengan marah sekali. Tiong Khi Hwesio adalah musuh besarnya. Adalah hwesio ini yang dahulu memimpin para pendekar untuk menentang ibu angkatnya, yaitu mendiang Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama sehingga ibu angkatnya itu tewas (baca kisah SULING NAGA). Melihat kehadiran kakek ini di Istana Gurun Pasir, bukan saja mengejutkan hatinya, akan tetapi lebih lagi mendatangkan kemarahan dan kebencian mendalam. Ia tidak takut karena kini hwesio itu nampak sudah demikian tua!
"Tiong Khi Hwesio, tua bangka yang mau mampus. Kebetulan engkau berada di sini sehingga kami dapat membasmi sekalian!" bentaknya.
Selama beberapa tahun ini, Wan Ceng sudah dapat memenangkan diri sendiri. Ia yang dahulunya merupakan seorang wanita yang gagah perkasa, galak dan keras hati, kini menjadi seorang nenek yang berhati lembut. Biarpun ia tahu bahwa Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya itu adalah tokoh-tokoh sesat yang amat jahat, namun tidak timbul kebencian atau kemarahan dalam hatinya. Melihat kenyataan ini, bukan main girangnya rasa hati Wan Ceng. Inilah ujian terakhir baginya, ujian bagi keadaan batinnya apakah benar-benar ia telah bebas daripada kemarahan dan kebencian. Dan ia melihat kenyataan yang menggirangkan bahwa kemunculan orang-orang jahat yang berniat buruk ini pun kini tidak dapat mengusik dan memunculkan kemarahan atau kebencian dalam batinnya. Ia menoleh kepada suaminya dalam batinnya. Ia menoleh kepada suaminya yang nampak tenang saja seolah-olah tidak menghadapi ancaman, dan kepada Tiong Khi Hwesio yang tertawa-tawa. Hatinya terharu. Sungguh Wan Tek Hoat kini telah berubah sama sekali. Dahulu pernah dijuluki Si Jari Maut yang bersikap keras tanpa mengenal ampun kepada orang jahat atau musuhnya, akan tetapi kini telah menjadi seorang hwesio yang masih tertawa-tawa biarpun diancam dan dimaki.
Kakek Kao Kok Cu yang bersikap tenang itu bangkit berdiri, diikuti oleh isterinya dan Tiong Khi Hwesio, dan berkata dengan halus namun berwibawa sekali, "Kami penghuni Istana Gurun Pasir sudah puluhan tahun tidak pernah mempunyai urusan dengan siapapun juga, dan kami pun tidak mau bermusuhan dengan Cu-wi (Kalian). Harap kalian suka tinggalkan kami yang ingin hidup aman dan damai."
Melihat sikap Pendekar Naga Sakti yang mereka takuti demikian lunak, dan nampaknya sudah tua sekali, hati Sin-kiam Mo-li menjadi besar. "Hemmm, ingin kami melihat sampai di mana kebenaran nama besar Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Biarpun kalian tinggal diam di sini, namun keturunan dan murid-murid kalian bersama murid keluarga Pulau Es, selalu memusuhi kami. Karena itu hari ini kami sengaja datang untuk membunuh kalian karena kami berpendapat bahwa membunuh sebatang pohon haruslah membongkar akarnya dulu, baru seluruh pohonnya akan rontok."
"Omitohud....!" Tiong Khi Hwesio berseru. "Sin-kiam Mo-li dan para sobat dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw. Kebetulan bahwa musuh kalian yang paling besar adalah diri kalian sendiri! Tidak sadarkah kalian bahwa kalian banyak mendapat tentangan adalah akibat daripada tindakan kalian sendiri" Kalau kalian mengambil jalan yang benar, tidak pernah mengganggu orang baik-baik, pasti tidak akan ada yang menentang kalian. Dari pada membunuh kami bertiga orang tua yang tidak akan ada gunanya, lebih berguna kalau kalian mawas diri dan mengubah cara hidup kalian...."
"Tutup mulutmu, hwesio busuk!" bentak Sin-kiam Mo-li. "Kami datang bukan untuk mendengarkan khotbah atau ceramah. Hayo kalian bertiga keluarlah kalau memang berani, kami menunggu di luar!" Wanita ini menantang dan memberi isyarat kepada teman-temannya untuk mundur sampai ke pekarangan istana yang luas. Ia memang cerdik. Kalau ia dan kawan-kawannya menyerbu ke dalam, selain ruangan tidak begitu luas sehingga sukar melakukan pengepungan dan pengeroyokan, juga ia khawatir kalau-kalau istana tua itu mengandung jebakan-jebakan dan alat rahasia yang membahayakan. Kalau berkelahi di pekarangan ini, ia dapat mengerahkan semua temannya yang berjumlah tujuh belas orang untuk mengepung dan mengeroyok tiga orang tua itu.
Tiong Khi Hwesio sambil tertawa melangkah keluar. Kao Kok Cu saling pandang dengan Wan Ceng, keduanya tersenyum. "Suamiku, kalau Tuhan menghendaki, biarlah kita berpisah di dunia ini untuk bertemu di alam lain."
Kao Kok Cu mengangguk, tersenyum dan tangan mereka saling sentuh dengan mesra, penuh perasaan kasih sayang. "Selamat berpisah, isteriku." Mereka pun bergandeng tangan keluar mengikuti Tiong Khi Hwesio. Sejenak mereka berdua seolah-olah merasa sedang menjadi pengantin, melangkah perlahan di belakang seorang pendeta yang mengawinkan mereka, menuju ke tempat sembahyangan!
Setelah tiga orang tua ini tiba di pekarangan, Sin-kiam Mo-li segera memberi isyarat kepada semua temannya dan tujuh belas orang itu lalu mengepung tiga orang kakek yang berdiri saling membelakangi membentuk segi tiga.
"Bagaimana, Kao-taihiap" Apakah kita harus melayani mereka ini" terdengar Tiong Khi Hwesio bertanya, sambil tersenyum dan pertanyaan itu seolah-olah hendak menguji apakah jalan pikiran sahabatnya itu sama dengan pikirannya.
"Tentu saja," jawab Kao Kok Cu tenang.
"Omitohud! Untuk apa" Tiong Khi Hwesio mendesak.
"Pertama, sudah menjadi kewajiban kita untuk melindungi dan membela diri dari ancaman yang datang dari dalam maupun luar, dan ke dua, sudah menjadi kewajiban kita pula sebagai orang-orang yang pernah mempelajari ilmu untuk mencegah terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang sesat," kini yang menjawab adalah nenek Wan Ceng.
"Ha, ha, ha, bagus!" kata Tiong Khi Hwesio. "Akan tetapi, kita membela diri dan menghadapi mereka ini tanpa marah dan benci"
"Tanpa marah dan benci!" kata kakek Kao Kok Cu dengan suara tegas.
Sementara itu, mendengarkan tiga orang tua itu bercakap-cakap seenaknya, dengan sikap acuh seolah-olah mereka sedang bercengkerama, bukan sedang dikepung dan diancam musuh, Sin-kiam Mo-li menjadi marah sekali. Ia menganggap tiga orang tua itu memandang rendah kepadanya dan teman-temannya, maka ia pun berteriak dengan suara lantang sekali.
"Serbuuuuu! Bunuh mereka....!"
Sin-kiam Mo-li sendiri sudah menggerakkan sepasang senjatanya, yaitu pedang di tangan kanan dan kebutan di tangan kiri, menyerang kepada kakek Kao Kok Cu karena ia tahu bahwa Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir yang buntung lengan kirinya inilah yang paling tangguh, Sai-cu Sin-touw si Maling Sakti Muka Singa sudah cepat menyusulkan serangan pula dengan kedua tangannya, membantu Sin-kiam Mo-li. Namun dengan gerakan ringan dan halus, Kao Kok Cu dapat menghindarkan serangan mereka itu dengan elakan dan kebutan ujung lengan bajunya yang kiri dan kosong.
Ok Cin Cu dan Thian Kong Cin-jin, dua orang tokoh Pat-kwa-kauw itu, segera menerjang Tiong Khi Hwesio dengan tongkat mereka. Tiong Khi Hwesio bergelak tertawa dan dia pun mencabut Cui-beng-kiam yang tadi sudah dipersiapkannya ketika mereka bertiga bersila menyambut datangnya rombongan tamu tak diundang itu dan terjadilah perkelahian antara dia dan dua orang pengeroyoknya yang lihai.
Wan Ceng juga sudah mencabut Ban-tok-kiam untuk menghadapi terjangan dua orang kakek tokoh Pek-lian-kauw yaitu Thian Kek Seng-jin yang bersenjatakan tongkat naga hitam dan Coa-ong Seng-jin yang bersenjatakan seekor ular hidup dan dua orang ini menyerang dengan ganas. Akan tetapi nenek Wan Ceng menghadapi mereka dengan tenang dan pada wajahnya sedikit pun tidak terbayang kemarahan, sungguh jauh bedanya dengan wataknya di waktu yang lalu.
Sebelas orang anak buah Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw yang mengepung mereka juga sudah memegang senjata masing-masing. Seorang diantara mereka mengeluarkan sebongkok hio (dupa biting), membakar ujungnya sampai membara, kemudian membagi-bagikan hio itu, masing-masing mendapatkan tiga batang. Kemudian, tiga batang hio itu mereka pasang di kepala, diselipkan pada ikat kepala yang sudah mereka pakai. Kemudian, sebelas orang itu memakai dupa di kepalanya ini lalu berlari-lari mengelilingi pertempuran itu sambil membaca mantera. Kiranya, seperti yang sudah mereka rencanakan, dipimpin oleh seorang pendeta Pek-lian-kauw, mereka membentuk sebuah barisan siluman yang mempergunakan kekuatan mantera dan ilmu hitam dari Pek-lian-kauw! Barisan yang memupuk tenaga ilmu hitam ini berlari-larian, makin lama semakin cepat mengitari pertempuran itu, kemudian tiba-tiba membalik dan demikian berkali-kali sambil membaca mantera sampai muka mereka dipenuhi keringat dan kini ada sinar aneh pada pandang mata mereka seperti mata orang yang tidak sadar lagi, bahkan mulut mereka, yang masih berkemak-kemik itu kini mengeluarkan busa! Kiranya sebelas orang itu seperti dalam keadaan kesurupan dan mulailah mereka melakukan pengeroyokan kepada tiga orang tua dari Istana Gurun Pasir itu!
Ketika sebelas orang itu tadi berlari-lari membaca mantera, tiga orang tua sakti merasakan getaran aneh yang mengancam mereka, seolah-olah hendak melumpuhkan semangat mereka. Makin cepat barisan aneh itu berlari, semakin kacau pula perasaan mereka. Namun, berkat kekuatan batin yang hebat, mereka dapat menghalau semua pengaruh ilmu hitam itu. Bahkan ketika sebelas orang itu ikut mengeroyok, tiga orang tua ini melihat seolah-olah sebelas orang itu telah menjadi ratusan banyaknya! Namun, pengerahan sin-kang membuat mata mereka terbuka penuh kewaspadaan dan lenyaplah bayangan ratusan orang tua itu, dan yang nampak tetap saja sebelas orang yang seperti gila atau kesurupan!
Akan tetapi, sepak terjang sebelas orang itu ternyata lebih hebat daripada enam orang pemimpin mereka yang lihai. Kalau enam orang pemimpin mereka hanya mengandalkan kepandaian saja, sebelas orang itu selain kepandaian pribadi, juga mengandalkan kekuatan yang tidak lumrah manusia, dan kenekatan yang mengerikan!
Tiga orang tua yang dikeroyok itu sebentar saja terdesak hebat. Kalau dibuat perbandingan, tentu saja tingkat kepandaian kakek Kao Kok Cu yang paling tinggi di antara isterinya dan hwesio itu, juga tingkatnya masih lebih tinggi daripada Sin-kiam Mo-li sekalipun. Ketika dikeroyok dua oleh Sin-kiam Moli dan Sai-cu Sin-touw, dia masih dapat mengimbangi kekuatan mereka, bahkan membuat mereka kewalahan. Akan tetapi kini ditambah lima orang anak buah yang seperti kesurupan itu mengeroyok, kakek ini segera terdesak hebat dan beberapa kali tubuhnya sudah terkena tusukan pedang Sin-kiam Mo-li dan bacokan golok di tangan anak buah yang kesetanan itu. Namun, dengan sikap yang masih gagah dan tenang, kakek penghuni Istana Gurun Pasir itu terus membela diri dengan gigih dan sabetan ujung lengan baju kirinya, ketika dia mengerahkan tenaga Sinliong Hok-te, merobohkan dua orang anggauta pasukan yang kesetanan itu. Mereka tewas seketika dengan kepala retak! Namun, yang tiga orang lagi menyerang semakin nekat, juga Sin-kiam Mo-li dan Sai-cu Sin-touw memperhebat desakan mereka melihat betapa kakek berlengan tunggal itu sudah menderita luka-luka.
Keadaan nenek Wan Ceng lebih parah lagi daripada suaminya. Tingkat kepandaiannya hanya seimbang dibandingkan Coa-ong Seng-jin, bahkan masih kalah dibandingkan tingkat Thian Kek Seng-jin, tokoh besar Pek-lian-kauw itu. Dikeroyok dua saja ia sudah repot, hanya mengandalkan pedang Ban-tok-kiam yang ampuh itu sajalah ia masih dapat melindungi dirinya. Akan tetapi, ketika tiga orang yang kesetanan itu maju mengeroyok, ia pun tak dapat menghindarkan lagi senjata para pengeroyok sehingga menderita luka-luka, bahkan hantaman tongkat naga hitam di tangan Thian Kek Seng-jin yang mengenai pundak dekat leher membuat ia menderita luka dalam yang cukup parah. Namun, nenek ini memang hebat. Luka-luka di tubuhnya tetap saja tidak dapat membangkitkankemarahannya. Ia menahan rasa nyeri dan gerakan pedangnya tetap hebat sehingga ia pun berhasil menusuk roboh Coa-ong Seng-jin dengan pedangnya. Begitu tertusuk lambungnya oleh Ban-tok-kiam, Coa-ong Seng-jin menjerit dan roboh tak berkutik lagi, tubuhnya berubah menjadi kehitaman karena racun yang amat hebat dari pedang Ban-tok-kiam. Melihat betapa sutenya tewas, Thian Kek Seng-jin menjadi semakin marah dan mendesak sehingga tongkatnya kembali berhasil menghantam betis kanan nenek Wan Ceng sehingga roboh terguling!
Tiga orang yang kesetanan itu menubruk dengan golok mereka. Namun, Wan Ceng membabat dan dua orang roboh oleh Ban-tok-kiam dan tewas seketika. Wan Ceng berhasil melompat dan segera membuat pedangnya menghadapi pengeroyokan Thian Kek Seng-jin yang kini hanya dibantu oleh seorang anak buah yang masih nekat kesetanan. Namun, pengeroyokan dua orang ini cukup membuat Wan Ceng sempoyongan karena ia sudah menderita luka-luka parah.
Bagaimana dengan Tiong Khi Hwesio" Sama saja! Seperti halnya nenek Wan Ceng, tingkat kepandaian Tiong Khi Hwesio hanya menang sedikit dibanding Ok Cin Cu, seorang di antara pengeroyoknya, namun dia masih kalah dibandingkan dengan Thian Kong Cin-jin. Menghadapi pengeroyokan dua orang ini saja dia sudah kewalahan, apalagi dua orang itu dibantu oleh tiga orang anak buah yang seperti orang kesurupan itu. Biarpun kadang-kadang masih terdengar suara tertawanya, namun tubuh hwesio tua itu berkali-kali terkena hantaman tongkat dan serempetan golok sehingga dia menderita luka-luka. Namun, tidak percuma hwesio tua ini dahulu berjuluk Si Jari Maut, dan pedang Cui-beng-kiam di tangannya adalah sebatang pedang pusaka dari Pulau Neraka yang amat ampuh. Maka biarpun dia menderita luka-luka pula, dia berhasil membabat roboh tiga orang kesetanan itu dengan pedangnya walaupun dia pun roboh terguling karena pada saat itu, tongkat ular hitam di tangan Ok Cin Cu menghantam pahanya. Begitu roboh, sebuah tendangan kaki Thian Kong Cin-jin membuat tubuh Tiong Khi Hwesio bergulingan. Ok Cin Cu mengejar dan menubruk dengen tongkat hitamnya yang berbentuk ular. Tongkat itu menghantam ke arah kepala Tiong Khi Hwesio tanpa dapat dielakkannya lagi. Tiong Khi Hwesio yang sudah maklum bahwa dia tidak akan mampu bertahan lagi, menggunakan kesempatan terakhir untuk menusukkan pedang Cui-beng-kiam ke arah lawan yang menyerangnya.
"Krakkk!"
"Cappp....!"
Tiong Khi Hwesio terkulai dengan kepala retak, tewas seketika, akan tetapi juga tubuh Ok Cin Cu terguling dan tewas tak lama kemudian karena dadanya ditembus pedang Cui-beng-kiam! Thian Kong Cin-jin memandang dengan mata terbelalak, hampir tidak percaya melihat betapa hwesio itu berhasil membinasakan sutenya, juga merobohkan tiga orang anak buah pasukan iblis itu.
Pada saat yang hampir bersamaan, Wan Ceng roboh pula oleh hantaman tongkat naga di tangan Thian Kek Seng-jin, namun pada saat ia terguling karena batang lehernya patah terkena ayunan tongkat Wan Ceng melontarkan pedang Ban-tok-kiam yang mengenai perut anak buah pasukan iblis yang mengeroyoknya. Juga nenek ini, dalam pengeroyokan yang berat sebelah itu, berhasil membunuh Coa-ong Seng-jin dan tiga orang anak buah pasukan iblis.
Kakek Kao Kok Cu masih dikeroyok oleh Sin-kiam Mo-li, dan dua orang anak buah pasukan iblis karena dalam perkelahian selanjutnya tadi, Kao Kok Cu berhasil merobohkan Sai-cu Sin-touw ketika Maling Sakti ini berhasil menangkap ujung lengan bajunya yang kosong, yaitu yang kiri. Pada saat itu, Sin-kiam Mo-li menusukkan pedangnya yang mengenai pundak Kao Kok Cu, namun kakek sakti ini berhasil menampar dengan tangan kanannya, mengenai pelipis Saicu Sin-touw yang roboh dan tewas seketika. Pada saat tiga orang anak buah pasukan iblis menubruk, tendangan kakinya yang keras merobohkan seorang anak buah dan menewaskannya. Kini dia menghadapi pengeroyokan Sin-kiam Mo-li dan dua orang anak buahnya. Dia masih terus menggerakkan kedua kakinya dan sebelah tangannya untuk membela diri, namun gerakannya menjadi semakin lambat dan lemah karena banyak darah keluar dari tubuhnya yang sudah amat tua itu.
"Wuuuttttt....!" Tiba-tiba ujung kebutan di tangan kiri Sin-kiam Mo-li menyambar. Kao Kok Cu menggerakkan tangan kanan menangkap kebutan dan mengerahkan tenaganya.
"Brettt....!" Bulu kebutan itu putus seluruhnya dan kini bulu-bulu yang beracun itu berada di tangan Kao Kok Cu sedangkan yang tinggal di tangan Sin-kiam Mo-li hanya tinggal gagang emasnya saja.
"Cappppp....!" Dalam kemarahannya, Sin-kiam Mo-li membarengi tusukan pedangnya yang mengenai lambung Kao Kok Cu. Kakek ini sudah kehabisan tenaga, tak mungkin lagi melindungi tubuhnya dengan sin-kangnya, apalagi karena penyerangnya juga memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, maka pedang itu pun memasuki lambungnya.
Kao Kok Cu terhuyung dan tersenyum melirik ke arah tubuh isterinya dan tubuh Tiong Khi Hwesio yang sudah menggeletak tak bernyawa. Dia tiba-tiba menyambitkan bulu-bulu kebutan itu ke arah dua orang anak buah yang menyergapnya dari samping. Mereka itu roboh berkelojotan karena bulu-bulu itu menancap di muka dan dada mereka, sedangkan bulu kebutan itu mengandung racun yang amat kuat. Kao Kok Cu terhuyung menghampiri tempat di mana Wan Ceng roboh tadi, dan dia pun terkulai roboh di samping mayat isterinya, menghembuskan napas terakhir dengan tenang tanpa sekarat.
Sin-kiam Mo-li berdiri tertegun seperti dua orang temannya. Mereka termangu kagum dan juga kaget melihat kenyataan betapa hebatnya tiga orang tua, renta itu. Sudah begitu tua dan tenaganya sudah banyak berkurang, namun ternyata masih demikian hebatnya sehingga mereka yang datang berjumlah tujuh belas orang, kini hanya tinggal tiga orang saja yang masih hidup! Empat belas orang teman mereka telah tewas semua! Bahkan mereka bertiga, sisa dari tujuh belas orang itu yang masih hidup, juga tidak keluar dari pertempuran itu tanpa luka! Punggung Sin-kiam Mo-li masih biru dan nyeri karena tadi sempat tercium ujung lengan baju kiri kakek Kao Kok Cu, Thian Kong Cin-jin agak terpincang karena pahanya tadi tercium tendangan Tiong Khi Hwesio, sedangkan Thian Kek Seng-jin juga robek bajunya dan pundaknya luka terkena cengkeraman tangan kiri nenek Wan Ceng!
Sin-kiam Mo-li bergidik dan menoleh kepada dua orang temannya. Mereka pun berdiri termangu dan bergidik ngeri. Selama hidup mereka, tiga orang tokoh sesat ini baru sekarang menemukan tanding yang demikian lihainya, padahal tiga orang itu sudah amat tua dan mereka tadi sudah mempersiapkan segalanya, mengeroyok mereka dengan tujuh belas orang, bahkan sebelas orang anak buah mereka tadi mempergunakan pasukan iblis yang mengandung tenaga ilmu hitam!
Seorang pemuda berpakaian putih muncul dari ambang pintu depan. Tiga orang itu terkejut dan sudah memegang senjata masing-masing, siap untuk menyerang dan memandang kepada pemuda itu penuh rasa heran dan juga gelisah. Siapa tahu, pemuda itu adalah calon lawan yang amat tangguh, pikir mereka, juga merasa heran mengapa kalau memang masih ada penghuni di dalam istana tua itu, mereka tadi tidak keluar membantu tiga orang tua yang mereka keroyok.
Akan tetapi pemuda itu, yang bukan lain adalah Tan Sin Hong, tidak mempedulikan mereka, melainkan melangkah maju perlahan-lahan, menghampiri tiga mayat orang tua itu yang rebah berdekatan, apalagi Kao Kok Cu dan Wan Ceng yang rebah dekat sekali dan tangan kakek itu memegang tangan si nenek. Sin Hong lalu menjatuhkan diri berlutut, tanpa menangis tanpa mencucurkan air mata, namun dengan tubuh lemas, wajah pucat dan mata sayu, dia mencium ujung kaki ketiga orang gurunya yang sudah tak bernyawa lagi! Bagaimanapun juga hatinya penuh penyesalan. Kalau saja dia tidak terikat oleh janji dan sumpahnya, bahwa selama satu tahun dia tidak boleh melakukan gerakan silat dan tidak boleh mengerahkan tenaga sakti, kalau saja dia tadi dapat membantu tiga orang gurunya melawan pengeroyokan belasan orang jahat itu, belum tentu tiga orang gurunya tewas! Akan tetapi dia tidak boleh menurutkan perasaannya, bahkan dia dapat dengan segera melenyapkan segala penyesalan tadi. Ketika belasan orang itu datang, dia pun sudah tahu dan dialah yang memberi tahu mereka akan kedatangan belasan orang yang mencurigakan tadi. Akan tetapi, tiga orang gurunya bersikap tenang saja, bahkan lalu duduk bersila di balik pintu dan mereka memesan agar dia bersembunyi saja di dalam dan jangan memperlihatkan diri.
"Pesanku, Sin Hong, andaikata terjadi sesuatu dengan kami dan kami sampai tewas, hal yang lumrah saja bagi manusia karena ada kelahiran pasti ada kematian, maka kalau engkau mendapat kesempatan, bawalah mayat kami ke dalam istana lalu bakarlah istana ini," demikian pesan kakek Kao Kok Cu dan mereka tidak sempat bicara lebih panjang karena belasan orang itu telah tiba di luar pintu. Sin Hong lalu bersembunyi dan tiga orang tua itu membuka daun pintu mempergunakan alat rahasia yang terdapat di situ.
Setelah pertempuran selesai dan dia melihat betapa tiga orang gurunya tewas, barulah Sin Hong keluar dengan hati hancur. Tak mungkin dia menyembunyikan diri lagi seperti pesan guru-gurunya, walaupun dia keluar hanya untuk memberi hormat atas kepergian ketiga orang gurunya, bukan bermaksud melawan musuh.
Melihat munculnya seorang pemuda berpakaian putih yang berlutut dan mencium kaki tiga mayat kakek dan nenek penghuni Istana Gurun Pasir itu, Thian Kong Cin-jin dan Thian Kek Seng-jin yang sudah panik itu segera menggerakkan senjata untuk menyerangnya. Akan tewaslah Sin Hong kalau saja Sin-kiam Mo-li tidak menggerakkan pedangnya dan meloncat melindunginya, menangkis datangnya tongkat.
"Perlahan dulu, Totiang (Bapak Pendeta)!" kata wanita ini. Ia merasa tertarik melihat pemuda berpakaian putih ini, yang nampaknya halus dan mempunyai daya tarik besar itu. Sejak tadi ia mengamati dan siap menyerang pula, akan tetapi melihat sikap pemuda itu, ia melarang dua orang temannya untuk turun tangan menyerangnya. Seorang pemuda yang usianya baru sekitar dua puluh tahun mempunyai wajah yang sederhana saja, tidak dapat disebut tampan sekali, akan tetapi juga tidak buruk sekali. Bentuk wajahnya sederhana, seperti dapat ditemui pada pemuda-pemuda biasa, akan tetapi kulitnya bersih dan pandang mata yang lembut disertai mulut yang selalu membayangkan senyum ramah itu mempunyai daya tarik yang besar. Dan bagaimanapun juga, ditemukannya seorang pemuda di istana kuno ini, Istana Gurun Pasir milik Pendekar Naga Sakti, menunjukkan bahwa pemuda ini bukan pemuda biasa!
Dua orang pendeta itu menahan tongkat mereka dan memandang kepada Sin-kiam Mo-li dengan alis berkerut dan heran. Mengapa iblis betina ini mencegah mereka membunuh pemuda itu" Mereka sudah mengenal watak cabul Sin-kiam Mo-li, akan tetapi menurut penglihatan mereka, tidak ada apa-apanya pada pemuda ini yang dapat menggerakkan hati wanita cabul yang mata keranjang. Kalau saja pemuda ini memiliki wajah yang tampan sekali, atau tubuh yang berotot membayangkan kejantanan, mereka masih dapat mengerti. Akan tetapi pemuda ini biasa saja, di mana-mana dapat ditemukan pemuda macam ini"
"Orang muda, siapakah engkau" Sin-kiam Mo-li bertanya dengan pedang masih di tangan karena sekali saja pemuda itu membuat gerakan menyerang, tentu akan didahuluinya dengan pedangnya.
Tan Sin Hong bangkit berdiri dan membalikkan tubuh menghadapi wanita yang bertanya itu. "Namaku Tan Sin Hong," jawabnya singkat namun suaranya tetap halus, tidak memperlihatkan isi hatinya.
"Engkau masih ada hubungan apa dengan mereka bertiga itu" tanya pula Sin-kiam Mo-li sambil menuding ke arah tiga mayat itu.
"Aku adalah pelayan mereka," jawab pula Sin Hong, tenang saja.
Mendengar jawaban ini, Sin-kiam Mo-li bertukar pandang dengan kedua orang kawannya. Kini dua orang pendeta itu mengerti bahwa iblis betina itu tadi melarang mereka menyerang karena agaknya hendak menanyai pemuda ini dan memang hal ini penting sebelum mereka menyerbu masuk untuk mencari harta pusaka. Pedang Ban-tok-kiam dan pedang Cui-beng-kiam tadi telah dipungut oleh Sin-kiam Mo-li dan kini kedua pedang itu telah diikatkan di pinggangnya, di kanan dan kiri!
"Selain engkau dan mereka bertiga ini, siapa lagi yang tinggal di dalam istana kuno ini sekarang"
"Tidak ada lagi, hanya kami berempat," jawab Sin Hong.
"Ketika tadi tiga orang majikanmu ini bertempur melawan kami, apakah engkau mengetahui"
Tenang, tenanglah, bisik hati Sin Hong, kini tiba saatnya menghadapi kesukaran. "Aku tahu karena aku mengintai dari balik dinding itu." Dia menuding ke arah pintu depan dari mana dia tadi keluar.
"Kenapa engkau tidak muncul dan membantu tiga orang majikanmu" Sin-kiam Mo-li bertanya lagi, suaranya agak ketus dan sinar matanya mencorong penuh selidik memandang wajah yang nampak tidak begitu cerdik itu.
"Aku tidak bisa berkelahi, pula perkelahian itu bukan urusanku, mengapa aku harus membantu" katanya perlahan.
"Akan tetapi engkau berduka melihat mereka tewas"
"Tentu saja, mereka adalah orang-orang yang baik kepadaku."
"Engkau benar-benar tidak bisa berkelahi" Tidak pandai silat" tanya pula Sin-kiam Mo-li dengan suara mengancam.
Sin Hong menggeleng kepalanya, tanpa menjawab.
"Jawab! Bisa berkelahi atau tidak"
"Aku tidak bisa berkelahi," jawaban ini tidak berbohong karena pada saat itu dia memang tidak boleh dan tidak dapat berkelahi. Baru setengah tahun lewat, masih setengah tahun lagi dia harus menjadi orang yang lemah.
Tiba-tiba tangan kiri Sin-kiam Mo-li melayang ke arah mukanya. Tentu saja Sin Hong melihat ini dengan jelas dan kalau dia menghendaki, dengan amat mudah dia dapat menangkis atau mengelak. Akan tetapi, dia pura-pura tidak melihatnya.
"Plakkk!" tamparan itu keras sekali dan biarpun Sin-kiam Mo-li tidak mempergunakan tenaga sin-kang, melainkan tenaga otot lengannya saja, namun tubuh Sin Hong terpelanting dan pipi kanannya menjadi merah kebiruan dan membengkak. Dia bangkit berdiri dan memandang kepada Sin-kiam Mo-li dengan mata terbelalak.
"Kenapa engkau memukul aku" tanyanya, sikapnya masih tenang.
Sin-kiam Mo-li terheran-heran. Jelas bahwa pemuda ini tidak pandai silat, dan untung dia tidak menggunakan sin-kang karena kalau demikian, tentu tamparan tadi dapat membunuhnya. Akan tetapi, yang amat mengherankan adalah sikap pemuda itu. Kenapa dapat demikian tenang" Padahal tamparan tadi keras sekali dan pemuda lain yang tidak pandai ilmu silat tentu akan menjadi ketakutan dan mungkin menangis kesakitan dan minta ampun. Pemuda ini tenang saja, padahal pipi kanannya membengkak.
"Aku memukulmu karena engkau membohong! Engkau tentu pandai silat!" bentak lagi Sin-kiam Mo-li dan kini kakinya melayang, menendang ke arah bagian tubuh mematikan dari pemuda itu, di bawah pusar! Tendangan itu amat cepat dan kuat, dan kalau mengenai sasaran, tentu orangnya mati seketika. Sin Hong juga melihat ini, dan kalau dia mau, tentu dia dapat pula menghindarkan diri. Namun dia sudah nekat dan pasrah saja.
"Bukkk!" Kaki wanita itu diserongkan dan bukan bagian tubuh mematikan yang kena tendangan, melainkan paha kiri Sin Hong dan untuk kedua kalinya pemuda itu terlempar dan terbanting jatuh dengan kerasnya! Dia merangkak bangun dengan muka agak pucat karena menahan rasa nyeri, kemudian terpincang dia menghampiri Sin-kiam Mo-li.
"Engkau sungguh kejam! Engkau menyiksaku, mau bunuh pun aku tidak akan dapat melawanmu. Bunuhlah kalau memang itu yang kaukehendaki!"
Kisah Si Bangau Putih Bu Kek Sian Su 14 Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sin-kiam Mo-li mengeluarkan seruan kagum! Pemuda ini benar-benar tidak pandai ilmu silat, akan tetapi memiliki nyali yang lebih besar daripada pemuda yang pandai ilmu silat sekali pun! Ia merasa kagum sekali dan tahulah ia mengapa pemuda ini dipilih oleh Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir untuk menjadi pelayan di situ. Memang seorang pemuda pilihan, seorang pemuda aneh yang memiliki nyali naga! Agaknya ketabahan dan keuletannya itulah yang menjadi keanehannya karena sudah selayaknya kalau orang yang tinggal di tempat ini memiliki keistimewaan masing-masing.
Kembali tangan kiri Sin-kiam Moli bergerak dan tahu-tahu ia telah mencengkeram tengkuk Sin Hong. Jari-jari tangan wanita itu kecil mungil, akan tetapi dapat mencengkeram bagaikan jepitan baja dan begitu ia memperkuat cengkeramannya, Sin Hong merasa kenyerian yang menyusup sampai ke tulang punggungnya.
"Bawa kami ke dalam istana kuno itu, dan tunjukkan di mana kamar-kamarnya. Awas kalau sampai ada yang menyerang kami dan kalau engkau berbohong, aku akan membunuhmu lebih dulu. Hayo jalan!" Dengan tangan kiri masih mencengkeram tengkuk Sin Hong dan tangan kanan memegang pedang, Sin-kiam Mo-li mendorong pemuda itu menuju ke pintu depan. Sin Hong mengeluarkan keringat dingin saking nyerinya, dan terpincang-pincang dia melangkah. Pahanya yang tertendang tadi pun masih nyeri bukan main.
Dua orang pendeta sesat itu menyeringai, girang bahwa mereka tadi tidak sampai membunuh pemuda ini yang ternyata amat berguna bagi mereka dan diam-diam mereka kagum akan kecerdikan Sin-kiam Mo-li. Membayangkan bahwa mereka akan menemukan pusaka-pusaka berharga, terutama kitab-kitab ilmu yang tinggi dari Istana Gurun Pasir, terobatlah rasa kehilangan dan kedukaan mereka atas tewasnya sute mereka dan anak buah mereka.
Sin Hong membawa mereka memasuki seluruh kamar yang ada dan tiga orang itu Makin lama makin kecewa karena mereka tidak menemukan sesuatu seperti yang mereka harapkan semula! Yang ada hanyalah perabot-perabot rumah yang walaupun kuno, namun terlalu besar untuk dibawa menyeberangi gurun pasir dan juga tidak berharga. Tidak ada harta benda, tidak ada senjata pusaka kecuali kedua pedang yang dipergunakan Wan Ceng dan Tiong Khi Hwesio tadi, tidak ada sebuah pun kitab pelajaran ilmu silat atau sehelai pun catatan yang penting!
"Hayo tunjukkan di mana disimpannya pusaka mereka!" berkali-kali Sin-kiam Mo-li membentak dan memperkuat cengkeramannya pada tengkuk Sin Hong. Akan tetapi pemuda itu hanya menggeleng kepalanya.
"Tidak ada apa-apa di sini kecuali semua ini...."
"Desss....!" Saking marahnya, Sin-kiam Mo-li memukul punggung pemuda itu dan Sin Hong terlempar, jatuh bergulingan dan pingsan!
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 1 Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Rahasia 180 Patung Mas 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama