Kisah Si Bangau Putih Bu Kek Sian Su 14 Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
dapat saling menangkap lengan masing-masing! Mereka kebingungan, akan tetapi Sin-kiam Mo-li dapat melihat dengan jelas betapa gadis cantik itu tadi ketika ditubruk dari empat penjuru, telah meloncat dengan gerakan seperti seekor burung walet cepatnya, sehingga luput dari tubrukan itu dan tubuhnya sudah melayang keluar dari pintu pondok. Ia terkejut dan sekali melompat ia pun sudah meluncur keluar pondok dan menghadang di depan gadis itu.
"Berhenti!" bentaknya.
Lima orang perwira itu kini berlarian keluar dan mereka memandang kepada Li Sian penuh kagum. Baru kini mereka mengerti bahwa Li Sian bukanlah seorang gadis biasa, melainkan seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi!
Sin-kiam Mo-li kini berhadapan dengan Li Sian. Gadis ini mengerutkan alisnya, merasa semakin tidak senang. Kenapa ia dianggap musuh dan hendak ditangkap, pikirnya penuh dengan perasaan yang penasaran.
"Hemmm, Ciangkun, apa kesalahanku maka engkau agaknya hendak memaksa dan menangkap aku" tanyanya, kini sepasang matanya yang biasanya bersinar halus penuh kesabaran itu mencorong. Melihat sinar mata ini, Sin-kiam Moli juga terkejut dan tahulah ia bahwa gadis ini benar-benar hebat, seorang yang berilmu tinggi, hal yang sama sekali tidak pernah diduganya. Apakah kekasih Toat-beng Kiam-ong" Agaknya bukan, pikirnya dan biarpun ia tidak merasa cemburu lagi, namun ia merasa penasaran. Alangkah akan malunya kalau tersiar kemudian bahwa ia, sebagai komandan pasukan yang mempertahankan benteng, tidak mampu menahan seorang wanita asing yang kesalahan masuk ke tempat itu! Kemudian ia teringat akan sesuatu! Ketika dirayakan ulang tahun Siangkoan Lohan, terjadi keributan di tempat ini dan belasan orang tamu, yaitu para pendekar yang tidak sudi menggabungkan diri, telah dibunuh. Jangan-jangan gadis ini mempunyai seorang kakak yang ikut pula terbunuh di waktu itu dan kini ia datang untuk mencari dan menyelidiki!
"Bocah yang tak tahu diri!" bentak Sin-kiam Mo-li sambil menuding dengan telunjuknya ke arah wajah Li Sian. "Engkau seorang asing berani datang ke wilayah kami tanpa ijin, dan kami masih menerimamu dengan baik-baik dan hanya akan menahanmu menanti sampai para pimpinan berkumpul untuk menentukan keputusan atas dirimu, dan engkau berani memamerkan kepandaian di depanku"
Wajah Li Sian berubah merah. Baru kini ia melihat bahwa wanita cantik ini sama sekali tidak mengagumkan sikapnya, walaupun ia menjadi seorang panglima wanita. Isteri gurunya tentu tidak seperti ini sikapnya, tinggi hati dan memandang rendah orang lain.
"Ciangkun, aku datang bukan untuk berkelahi, aku datang dengan baik-baik akan tetapi disambut dengan kekerasan. Sudah menjadi hak setiap orang untuk membela diri. Aku sudah banyak mengalah dan hendak pergi saja, kenapa engkau masih juga berkeras hendak menghalangi aku"
Sin-kiam Mo-li tersenyum mengejek. Memang cantik sekali kalau ia tersenyum, akan tetapi kecantikan yang membayangkan kekejaman. "Engkau masih muda sudah lihai mulutmu dan ilmumu, coba aku ingin melihat apakah engkau akan mampu melawan aku." Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban Li Sian, Sin-kiam Mo-li sudah menyerang gadis itu dengan cepat dan ganas sekali. Sin-kiam Mo-li adalah seorang datuk sesat yang sudah tinggi ilmu silatnya, amat lihai. Banyak ilmu silat kaum sesat ia kuasai, akan tetapi selain kebutan gagang emas dan pedang yang keduanya beracun, ia pun memiliki ilmu silat tangan kosong yang ampuh karena kedua tangannya berubah kehitaman dan terutama sekali ujung kuku jari-jari tangannya berubah hitam sekali dan mengandung racun jahat. Sekali tergores kuku saja sudah cukup membuat kulit yang terluka menjadi bengkak, apalagi kalau sampai terkena tamparan tangan yang penuh mengandung hawa beracun itu. Ilmunya ini diberi nama Hek-tok-ciang dan kini, begitu maju menyerang, ia sudah mengerahkan Hek-tok-ciang!
Li Sian memang belum berpengalaman dalam hal perkelahian. Namun, gadis ini sejak berusia dua belas tahun telah digembleng dengan hebat dan tekun oleh seorang sakti dan mewarisi ilmu-ilmu silat yang hebat-hebat selain juga telah berhasil menghimpun tenaga sin-kang yang tinggi seperti Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang dari keluarga Pulau Es, juga tenaga Inti Bumi yang luar biasa kuatnya. Pula, ia sudah banyak mendengar nasihat kakek Gak Bun Beng tentang jahatnya ilmu-ilmu yang dikuasai para datuk sesat, maka kini melihat betapa kedua tangan wanita itu berubah kehitaman, ia pun dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan lawan dari golongan hitam yang memiliki ilmu pukulan sesat dan curang. Ia pun berlaku hati-hati dan cepat menggeser kakinya untuk mengelak, tidak berani sembarangan menangkis.
Sin-kiam Mo-li merasa penasaran sekali ketika serangannya yang dilakukan dengan cepat dan kuat itu dengan amat mudahnya dielakkan oleh gadis muda itu. Ia mengeluarkan suara melengking dan kini tubuhnya bergerak cepat sekali, menghujankan serangan secara bertubi-tubi dan setiap serangan, mengarah bagian yang berbahaya dari tubuh lawan. Diam-diam Li Sian menjadi marah sekali. Tak disangkanya bahwa wanita cantik ini, yang semula disangkanya gagah perkasa seperti mendiang isteri gurunya, ternyata hanya seorang wanita yang berhati kejam dan serangannya itu ganas sekali, juga jelas menunjukkan gejala bahwa wanita ini adalah dari golongan sesat! Maka, ia pun cepat memainkan Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun yang sudah dilatihnya dengan baik. Ilmu Silat Lothian Sin-kun (Silat Sakti Pengacau Langit) adalah ilmu silat yang memiliki kecepatan, juga didukung tenaga Inti Bumi, maka kini ia berani untuk menangkal dan balas menyerang. Ketika sebuah cengkeraman kuku dan tangan menghitam itu menyambar ke arah dadanya, Li Sian menangkisnya dengan memutar lengannya dari samping.
"Dukkk!" Keduanya tergetar dan melangkah mundur. Sin-kiam Mo-li terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa gadis itu sedemikian lihai dan kuatnya sehingga mampu menangkis serangan pukulan Hek-tok-ciang, bahkan membuat lengannya tergetar hebat! Ia menyerang lagi, namun kini Li Sian bukan hanya menjaga diri, melainkan juga membalas dengan tamparan dan totokan dari ilmu silat Lo-thian Sin-kun, karena ia pun maklum akan kelihaian lawan sehingga kalau saja ia hanya membiarkan diri diserang terus dan hanya bertahan, besar kemungkinan ia akan celaka dan terkena tangan hitam yang jahat itu. Serang-menyerang terjadi dengan hebatnya sampai dua puluh jurus lebih, dan hal ini dianggap keterlaluan oleh Sin-kiam Mo-li. Menghadapi seorang gadis muda, sampai dua puluh jurus Hek-tok-ciang kedua tangannya tidak mampu merobohkannya, jangankan merobohkan, baru mendesak pun tidak mampu. Padahal di situ telah berkumpul belasan orang perwira atau anggauta Tiat-liong-pang yang sudah tinggi tingkatnya menjadi saksi. Sin-kiam Mo-li yang selalu membanggakan kepandaiannya itu merasa malu sekali dan kemarahannya pun berkobar. Kalau tadi ia hanya menggertak dan hendak membuat gadis itu menyerahkan diri, maka kini timbul niatnya untuk merobohkan, kalau perlu membunuh gadis muda yang dianggapnya telah membuat malu ini.
"Keparat, engkau tidak boleh dikasih hati!" bentaknya dan tiba-tiba saja kedua tangannya sudah mengeluarkan sepasang senjatanya yang ampuh. Tangan kiri sudah memegang sebuah kebutan berbulu merah bergagang emas, dan tangan kanannya memegang sebatang pedang. Inilah sepasang senjatanya yang amat ampuh, dan selain ia ahli bersilat pedang sehingga mendapat julukan Sin-kiam Mo-li (Iblis Betina Pedang Sakti), juga kebutannya itu tidak kalah berbahaya daripada pedangnya karena bulu-bulu kebutan berwarna merah itu mengandung racun yang jahat.
Setelah membentak demikian, tanpa malu-malu lagi melihat bahwa gadis muda yang diserangnya itu bertangan kosong, Sin-kiam Mo-li sudah menggerakkan kedua senjatanya, menyerang dengan dahsyatnya. Melihat ini, Li Sian terkejut. Namun, gadis ini memang memiliki ketenangan luar biasa dan ia pun tahu apa yang harus dilakukannya. Cepat ia memainkan Ilmu San-po Cin-keng, yaitu ilmu langkah ajaib dan bersilat dengan Kong-jiu Jip-tin (Dengan Tangan Kosong Memasuki Barisan). Langkah-langkah atau geseran-geseran kedua kakinya dengan indah dan lembutnya membuat tubuhnya berkelebatan seperti bayangan yang sukar diserang! Biarpun pedang dan kebutan itu mengepung dan menyambarnya dari semua jurusan, namun Li Sian tetap saja dapat menghindarkan diri dengan langkah ajaibnya! Namun, melihat kehebatan lawan, kalau hanya terus mengelak pun ia masih terancam bahaya, maka kedua tangannya tidak tinggal diam, kadangkadang ia pun melayangkan tamparan yang mengandung Hui-yang Sin-kang di tangan kanan dan Swat-im Sin-kang di tangan kiri.
Kembali Sin-kiam Mo-li terkejut bukan main. Sambaran tangan kanan yang mengandung hawa panas dan tangan kiri mengandung hawa dingin itu amat mengejutkannya.
"Bocah setan! Apakah engkau murid Pulau Es" bentaknya tanpa mengurangi serangannya, kebutannya membabat ke arah muka sedangkan pedangnya menusuk dada. Li Sian menggeser kaki memutar tubuh sehingga kedua serangan itu luput dan ia pun mendorong dengan tangan kanannya sambil mengerahkan Hui-yang Sin-kang. Hawa panas menyambar ke arah dada Sin-kiam Mo-li yang terpaksa harus meloncat ke samping untuk menghindarkan diri dari serangan yang cukup berbahaya itu.
"Tidak ada hubungannya denganmu!" jawab Li Sian dan gadis ini melihat sebatang ranting tak jauh dari situ, maka cepat kakinya membuat langkah-langkah aneh dan ia sudah berhasil menyambar ranting itu. Sebatang ranting kayu sebesar ibu jari kaki yang panjangnya kurang lebih empat kaki, tepat sekali untuk dipakai sebagai pengganti pedang dan ia pun kini memutar ranting itu sambil memainkan Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut, menghadapi sepasang senjata lawan! Kini lebih mudah bagi Li Sian untuk melindungi dirinya, akan tetapi karena maklum akan lihainya sepasang senjata lawan, tetap saja ia mengandalkan langkah-langkah ajaib San-po Cin-keng untuk mengelak dan membalas dengan tusukan ranting yang dimainkan sebagai pedang!
Terjadilah perkelahian yang amat seru. Gerakan mereka itu cepat dan aneh sehingga para murid Tiat-liong-pang menjadi penonton, memandang dengan mata kabur dan kepala pening. Mereka tidak berani turun tangan membantu tanpa diperintah karena hal ini tentu akan membuat Sin-kiam Mo-li marah.
Tiba-tiba terdengar suara orang melerai. "Tahan senjata!" Mendengar suara Siangkoan Lohan ini, terpaksa Sin-kiam Mo-li menahan serangannya, Li Sian juga melompat mundur dan mengangkat muka memandang. Ia melihat munculnya seorang laki-laki yang usianya sekitar enam puluh tahun, tinggi kurus dengan muka merah dan jenggot panjang sampai ke dada. Yang seorang lagi adalah seorang pemuda tampan yang berpakaian indah seperti seorang pelajar kaya raya atau seorang pemuda bangsawan. Melihat kakek itu, hatinya berdebar girang karena ia masih mengenal bahwa kakek ini adalah Siangkoan Lohan yang pernah dilihatnya belasan tahun yang lalu.
"Apakah yang telah terjadi di sini" tanya Siangkoan Lohan, diam-diam kagum sekali melihat betapa seorang gadis muda, dengan hanya sebatang ranting di tangan, mampu menandingi Sin-kiam Mo-li yang mempergunakan sepasang senjatanya.
"Ia datang secara mencurigakan sekali, tentu ia seorang mata-mata pihak musuh!" kata Sin-kiam Mo-li kepada Siangkoan Lohan, agak malu karena tuan rumah dan puteranya itu melihat betapa ia tadi belum mampu merobohkan seorang gadis yang hanya bersenjata ranting.
Kini Siangkoan Lohan menghadapi gadis itu, memandang penuh perhatian, lalu bertanya, "Nona, siapakah engkau dan apa maksudmu datang ke wilayah kami"
Li Sian melangkah maju menghampiri kakek itu, memberi hormat setelah melepaskan ranting dari tangannya dan berkata, "Bukankah saya berhadapan dengan paman Siangkoan Tek, pangcu dari Tiat-liong-pang"
Siangkoan Lohan memandang semakin tajam, akan tetapi betapapun dia mengingat-ingat, dia tidak dapat mengingat siapa adanya gadis yang cantik manis dengan tahi lalat di dagunya ini.
"Maaf, Nona, mungkin penglihatanku sudah tidak terang lagi. Aku memang benar Siangkoan Tek, akan tetapi siapakah engkau"
"Paman Siangkoan, lupakah engkau kepada saya" Saya bernama Pouw Li Sian. Pernah belasan tahun yang lalu saya bersama ayah datang berkunjung ke sini!"
"Pouw...." Siangkoan Lohan mengulang nama keturunan itu dengan heran.
"Benar, Paman. Mendiang ayahku adalah Pouw Tong Ki."
"Ahhhhh....! Ayahmu dahulu Menteri Pendapatan, seorang sahabatku itu" Dan engkau puterinya" Bukankah seluruh keluarga Pouw sudah...."
"Tidak semua binasa, Paman. Ketika rumah kami diserbu, saya sempat melarikan diri. Sekarang, setelah saya menjadi dewasa, saya ke kota raja dan menyelidiki keadaan keluarga saya. Empat orang kakak saya ditahan, tiga orang tewas dan saya mendapat kabar bahwa kakak sulung saya, Pouw Ciang Hin, diampuni bahkan sekarang menjadi seorang perwira yang bertugas di tapal batas utara. Oleh karena itulah, saya menyusul ke utara dan teringat kepada Paman, saya berkunjung ke sini untuk minta bantuan Paman. Siapa tahu Paman dapat memberitahu di mana adanya kakak sulung saya itu. Akan tetapi, ketika tiba di sini, saya ditahan dan hendak ditangkap, terpaksa saya melawan dan maafkan saya Paman."
Siangkoan Lohan memandang penuh kagum. "Ah sekarang aku ingat. Engkau adalah nona kecil yang pernah ikut dengan Pouw Tai-jin dahulu itu. Aih, sungguh penasaran sekali. Ayahmu adalah seorang pejabat yang baik dan setia, akan tetapi, keluarganya kena fitnah karena dia berani menentang pembesar laknat Hou Seng. Kerajaan Mancu memang tidak mengenal budi!" Siangkoan Lohan mengepal tinju lalu berkata kepada Sin-kiam Mo-li, "Mo-li, Nona ini adalah orang sendiri, keluarganya terbasmi oleh kerajaan penjajah! Dan nona Pouw, ini adalah Sin-kiam Mo-li, seorang di antara kawan-kawan kita yang siap untuk menentang pemerintah penjajah!"
Biarpun di dalam hatinya merasa penasaran karena tadi belum dapat mengalahkan gadis ini, terpaksa Sin-kiam Mo-li tersenyum, menyimpan sepasang senjatanya dan ia mengangguk-angguk, "Engkau masih begini muda akan tetapi sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, nona Pouw. Engkau tadi mempergunakan sin-kang panas dan dingin, mengingatkan aku akan ilmu dari Pulau Es. Apakah engkau murid dari keluarga Pulau Es"
"Mendiang guruku adalah mantu dari sucouw Pendekar Super Sakti Pulau Es," jawab Li Sian sejujurnya. Mendengar ini terkejutlah semua orang, termasuk Siangkoan Lohan. Pantas gadis ini demikian lihainya. Akan tetapi diam-diam dia pun girang sekali. Bagaimanapun juga, gadis ini telah disudutkan oleh kerajaan, menjadi musuh kerajaan karena keluarganya dibasmi oleh kerajaan sehingga dapat diharapkan gadis ini akan suka membantunya.
"Mari kita bicara di dalam, nona Pouw. Ah, ya, apakah engkau lupa kepada anakku ini" Bukankah ketika engkau bersama ayahmu dahulu berkunjung ke sini, kalian sudah saling berkenalan" Ini adalah Siangkoan Liong. Anakku, apakah engkau sudah lupa kepada nona Pouw"
Mereka saling pandang dan Li Sian merasa kagum. Pemuda ini tampan dan halus, nampak ramah sekali dan juga sopan ketika menjura dengan hormat kepadanya. "Tentu saja aku tidak lupa kepada nona Pouw Li Sian, biarpun dahulu hanya menjadi tamu beberapa hari saja di sini," katanya.
Li Sian juga teringat, walaupun hanya samar-samar bahwa Siangkoan Lohan dahulu memang mempunyai seorang anak laki-laki yang sebaya dengannya. Ia pun balas menjura. "Aku pun masih ingat kepadamu, saudara Siangkoan Liong."
Mereka lalu masuk ke dalam rumah. Sin-kiam Mo-li tidak ikut masuk, namun diam-diam ia merasa tidak enak. Gadis itu lihai, dan agaknya pihak tuan rumah menghormatinya. Kenyataan bahwa gadis itu masih keturunan murid keluarga Pulau Es, membuat hatinya merasa tidak enak. Gadis itu berbahaya, pikirnya, kecuali kalausinar matanya mencorong gembira, benar. Itulah satu-satunya jalan. Gadis itu harus dapat ditaklukkan oleh Siangkoan Liong, menjadi kekasihnya atau isterinya, barulah diharapkan gadis itu akan benar-benar setia membantu gerakan persekutuan mereka! Ia akan membicarakan hal ini dengan Siangkoan Liong dan dengan bantuannya, mustahil gadis itu tidak akan dapat ditundukan oleh Siangkoan Liong!
Sementara itu, Li Sian diajak bercakap-cakap di sebelah dalam, diterima dengan ramah dan hormat oleh Siangkoan Lohan dan puteranya, dijamu dan di dalam percakapan itu, pihak tuan rumah mulai menanamkan rasa permusuhan dan sakit hati terhadap Kerajaan Mancu yang telah membasmi keluarga Pouw.
"Kaum penjajah Mancu memang keterlaluan sekali," antara lain Siangkoan. Lohan berkata, "Bayangkan saja. Pihak kami, Tiat-liong-pang, kurang bagaimana dahulu membantu mereka dan kami telah mengorbankan segalanya untuk membantu mereka. Akan tetapi ternyata mereka itu merupakan bangsa yang tidak mengenal budi dan mudah merupakan jasa orang. Ayahmu sendiri, nona Pouw, adalah seorang di antara pembesar tinggi yang setia dan baik. Akan tetapi apa jadinya" Keluarga ayahmu dibasmi, hanya karena ayahmu berani menentang Hou Seng, padahal ayahmu menentang Hou Seng justeru untuk menyelamatkan negara dan kerajaan!"
Sedikit demi sedikit, hati Li Sian dibakar. Akan tetapi gadis ini masih ragu-ragu. Gurunya selalu memberi wejangan agar ia tidak menyimpan dendam terhadap siapapun juga, dan hidup sebagai seorang pendekar harus bebas dari api dendam karena dendam akan melenyapkan pertimbangan adil. Seorang pendekar haruslah bertindak adil, membela kebenaran dan keadilan tanpa memilih bulu. Sebaliknya dendam membutakan mata akan kebenaran dan keadilan, semata-mata hanya untuk melampiaskan nafsu dendam saja.
"Saya masih bingung, Paman. Saya ingin sekali berjumpa dengan kakak sulung saya, oleh karena itu saya mohon bantuan Paman, sukalah membantu saya mencari di mana adanya kakak saya itu bertugas agar saya dapat bertemu dengan anggauta keluarga yang tinggal satu-satunya itu."
"Tentu, tentu sekali, Nona, kami akan membantumu dan sementara ini, tinggallah di sini sebagai tamu kehormatan, ah, tidak, sebagai anggauta keluarga kami sendiri, sebagai keponakanku!" kata Siangkoan Lohan dengan ramah sekali.
Li Sian merasa terharu. Kakek ini dan puteranya sungguh baik, menerimanya sedemikian ramahnya, bahkan menganggapnya sebagai anggauta keluarga. Ia pun bangkit berdiri dan memberi hormat.
"Paman sungguh melimpahkan budi kebaikan kepada saya, entah bagaimana saya akan mampu membalasnya. Akan tetapi, harap Paman jangan menyebut saya nona, membuat saya merasa kikuk saja, Paman."
Siangkoan Lohan tertawa. "Ha-ha-ha, baiklah, Li Sian, baiklah. Engkau kuanggap keponakanku sendiri, karena mendiang ayahmu dahulu amat cocok denganku, seperti saudara pula. Nah, anak Liong, engkau mendengar sendiri. Sekarang, erigkau harus bersikap seperti seorang kakak terhadap Li Sian."
Siangkoan Liong bangkit berdiri dan Siangkoan Liong bangkit berdiri dan membalas penghormatan Li Sian sambil tersenyum. "Aku merasa girang sekali dapat menjadi kakak misanmu, Sian-moi (adik Sian)."
Kedua pipi Li Sian berubah agak merah mendengar sebutan Sian-moi itu, akan tetapi, kalau ia dianggap sebagai keponakan dari Siangkoan Lohan, sudah sepatutnya pemuda itu menyebutnya adik. "Terima kasih atas kebaikanmu, Liong-toako (kakak Liong)," jawabnya. Mereka lalu duduk kembali dan melanjutkan makan minum. Semenjak hari itu, Li Sian memperoleh sebuah kamar di rumah besar itu, diperlakukan sebagai seorang tamu terhormat. Bahkan ketika ia diperkenalkan kepada para murid Tiat-liong-pang, juga kepada Sin-kiam Mo-li, semua orang tidak berani bersikap kurang ajar kepadanya, maklum bahwa gadis itu selain lihai sekali, juga diterima sebagai keponakan Siangkoan Lohan. Bahkan Li Sian ikut pula. dalam latihan perang-perangan itu, membantu Sin-kiam Mo-li untuk mempertahankan "benteng kota raja" yang diserbu oleh pasukan yang dipimpin oleh Toat-beng Kiam-ong.
Setelah latihan itu selesai, Li Sian diperkenalkan kepada para sekutu yang lain, kepada Toat-beng Kiam-ong, juga kepada Agakai kepala suku Mongol, dan kepada Song Ciangkun, tangan kanan Coa Tai-ciangkun yang menjadi komandan pasukan pemerintah yang bertugas jaga di utara. Song Ciangkun inilah yang berjanji kepadanya untuk menyelidiki di mana adanya Pouw Ciang Hin, kakak sulung Li Sian sehingga gadis ini merasa gembira sekali. Hubungannya dengan Siangkoan Liong juga akrab sekali karena pemuda itu memang pandai mengambil hati, ramah, sopan dan memiliki pengertian yang mendalam tentang sastra dan silat. Bahkan pemuda itu, untuk melakukan penyelidikan, beberapa kali mengajak gadis itu berlatih silat dan dengan lega dia mendapat kenyataan bahwa betapapun lihai Li Sian, namun dia mampu mengatasi gadis itu walaupun selisihnya tidak berapa jauh! Sebaliknya, Li Sian kagum sekali akan pengertian pemuda itu tentang sastra, dan tentang pengetahuan lain yang membuat ia merasa bodoh ketinggalan dan ia dapat banyak belajar dari pemuda itu. Dalam hal ilmu silat, ia pun dapat melihat bahwa Siangkoan Liong ini bahkan jauh lebih lihai dari Sin-kiam Mo-li dan sungguhpun belum pernah mereka mengadu ilmu untuk menentukan siapa yang lebih unggul, namun ia sendiri merasa bahwa agaknya tidak akan mudah baginya untuk dapat menang menandingi ilmu kepandaian pemuda yang tampan itu. Tidaklah mengherankan kalau hati Li Sian mulai terpikat!
*** Kita tinggalkan dulu Pouw Li Sian yang tanpa disadarinya telah terjatuh ke tempat yang amat berbahaya baginya, dan mari kita melihat keadaan Suma Lian. Gadis ini setelah pulang ke rumah orang tuanya, segera menambah kepandaiannya dengan gemblengan ayah ibunya. Dari ayahnya, Suma Ceng Liong, ia tekun berlatih Ilmu Coa-kun-ci, semacam ilmu totokan yang ampuh sekali karena jari tangannya yang sudah dilatih secara istimewa itu bukan hanya mampu menotok jalan darah dan menghentikan aliran darah, bahkan dapat menembus tulang sesuai dengan namanya, yaitu Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang)! Ilmu ini memang mengerikan dan agak kejam, karena ayahnya dahulu menerimanya dari seorang datuk sesat yang bernama Hek I Mo-ong (Raja Iblis Baju Hitam). Adapun dari ibunya, Kam Bi Eng, Suma Lian menerima ilmu yang hebat, yaitu ilmu pedang gabungan yang dimainkan dengan sebatang suling, diberi nama Koai-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Siluman), gabungan dari Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman). Kini ia sudah memiliki sebuah suling emas yang dapat dimainkan dengan hebatnya sehingga suling emas itu bagaikan sebatang pedang saja dapat bergulung-gulung dengan hebatnya sambil mengeluarkan suara melengking-lengking. Hanya karena ia sudah memiliki dasar yang amat kuat berkat gemblengan mendiang, kakek Gak Bun Beng atau Bu Beng Lokai, maka gadis ini mampu mempelajari kedua ilmu yang hebat itu dalam waktu yang tidak berapa lama. Ayah bundanya gembira sekali melihat kemajuan puteri mereka. Akan tetapi, ada suatu hal yang membuat suami isteri ini agak gelisah, yaitu melihat betapa puteri mereka kini telah berusia dua puluh tahun lebih, hampir dua puluh satu dan puterinya itu bertunangan pun belum! Semenjak puteri mereka pulang, suami isteri itu hampir setiap malam membicarakan hal ini, akan tetapi mereka merasa ragu untuk mengajak puteri mereka bicara karena melihat betapa puteri mereka memiliki watak keras, dan puteri mereka demikian lincah jenaka dan gembira. Mereka khawatir kalau-kalau usul mereka akan diterima dengan hati yang tidak senang dan membuat puteri mereka menjadi murung.
"Bagaimanapun juga, kita harus memberitahunya, isteriku," kata Suma Ceng Liong. "Usia dua puluh tahun lebih sudah terlalu dewasa untuk seorang gadis! Sampai kapan kita harus menanti untuk menikahkan anak kita yang tunggal itu" Biarpun untuk gadis kang-ouw,, urusan pernikahan tidak boleh disamakan dengan gadis biasa, akan tetapi bagaimanapun juga, seorang wanita haruslah membentuk rumah tangga dan mempunyai keturunan hidup sebagai seorang isteri atau ibu yang berbahagia. Dan kita menjadi kakek dan nenek yang bahagia pula."
"Baiklah, besok akan kuajak ia bicara. Mudah-mudahan saja, selama ini sudah ada pemuda yang menjadi pilihan hatinya."
"Aku meragukan hal itu. Bukankah baru saja ia meninggalkan tempat tinggal paman Gak Bun Beng setelah orang tua itu meninggal dunia" Aku jadi teringat akan cerita kakak Suma Ciang Bun dulu itu...."
"Hemmm, tentang muridnya, Gu Hong Beng itu" tanya Kam Bi Eng. Memang, Suma Ciang Bun pernah berterus terang kepada mereka bahwa ketika nenek Teng Siang In, ibu Suma Ceng Liong, akan meninggal dunia, ditunggu oleh Gu Hong Beng, nenek itu pernah minta Hong Beng berjanji agar kelak menjadi suami Suma Lian dan karena permintaan itu merupakan permintaan atau pesan terakhir seorang yang akan mati, pemuda itu tentu saja tidak sampai hati untuk menolaknya. Baru setelah nenek itu meninggal, Gu Hong Beng menjadi bingung dan tidak berani mengaku kepada Suma Ceng Liong dan isterinya, hanya berani menceritakannya kepada gurunya, yaitu Suma Ciang Bun. Gurunya inilah yang kemudian memberitahukannya kepada Suma Ceng Liong berdua. Akan tetapi ketika itu, Suma Lian sedang belajar silat kepada kakek Gak Bun Beng dan baru berusia tiga belas tahun, oleh karena itu ayah ibunya menjawab bahwa karena anak itu masih belum dewasa, maka urusan pernikahan ini sebaiknya ditunda pembicaraannya dan kelak akan diserahkan kepada Suma Lian sendiri. Mereka memberi tahu kepada Suma Ciang Bun bahwa tentang perjodohan puteri mereka, mereka menyerahkan kepada, pilihan Suma Lian sendiri dan kalau kelak Suma Lian suka menjadi jodoh Gu Hong Beng seperti yang diusulkan oleh mendiang nenek Teng Siang In, tentu mereka pun tidak berkeberatan."
Kini, setelah puteri mereka dewasa dan mereka memikirkan perjodohan puteri mereka, tentu saja suami isteri itu teringat kepada Gu Hong Beng! Sudah lama sekali mereka tidak pernah bertemu dengan Gu Hong Beng atau pun gurunya, Suma Ciang Bun. Akan tetapi mereka pernah mendengar bahwa kakak mereka itu kini tinggal sebagai pertapa di lereng Gunung Tapa-san, di dekat sumber air Sungai Han-sui di Propinsi Shensi.
"Hemmm, entah berapa usianya sekarang. Kalau tidak keliru kakak Ciang Bun membicarakan urusan perjodohan itu, Hong Beng berusia sembilan belas tahun dan Lian-ji baru berusia tiga belas tahun. Kalau sekarang Lian-ji berusia dua puluh tahun, berarti Hong Beng sudah berusia dua puluh enam tahun," kata Suma Ceng Liong mengingat-ingat. "Pemuda itu cukup baik, gagah perkasa dan sederhana dan tentang ilmunya, walaupun mungkin tidak setinggi yang dikuasai Lian-ji, namun tentu selama ini dia telah memperoleh. banyak pengalaman dan kemajuan."
"Hanya kita tidak tahu apakah dia masih belum memperoleh jodoh, dan kita lebih tidak tahu lagi keadaan anak kita sendiri. Sebaiknya, biarlah besok kutanyai Lian-ji, apakah selama ini ia sudah bertemu dengan seorang pemuda yang cocok untuk menjadi calon suaminya."
"Kalau sudah ada" tanya suaminya.
"Kita desak ia agar segera diadakan kontak dan kita sebagai orang tua akan membicarakan dengan pihak sana."
"Bagaimana kalau ia belum mempunyai pandangan"
"Wah, kalau begitu aku sendiri pun bingung," kata Kam Bi Eng.
"Begini saja, kalau memang benar ia masih bebas, kita suruh saja ia pergi berkunjung ke tempat pertapaan kakak Suma Ciang Bun. Kasihan Bun-toako, hidup seorang diri. Biarlah Lian-ji berkunjung ke sana dan menyampaikan permintaan kita agar Bun-toako suka tinggal bersama kita di sini. Dengan demikian, memberi kesempatan kepadanya untuk bertemu dengan Hong Beng dan kita nanti bicarakan urusan jodoh itu, kalaukalau Lian-ji menyetujuinya."
Kam Bi Eng menyetujui usul suaminya. Bagaimanapun juga, sebagai seorang ibu tentu saja ia pun ingin sekali melihat puterinya menikah dan biarpun usianya baru empat puluh tahun, karena tidak mempunyai anak lain kecuali Suma Lian, maka Kam Bi Eng juga mendambakan adanya seorang cucu yang mungil.
Demikianlah, pada keesokan harinya, Kam Bi Eng mengajak puterinya bercakap-cakap. Dipancingnya puterinya itu tentang pembicaraan mengenai perjodohan, Suma Lian tersenyum memandang ibunya.
"Aih, Ibu ini! Pagi-pagi bicara tentang perjodohan! Siapa sih yang memikirkan soal jodoh" katanya sambil tertawa.
Kam Bi Eng adalah seorang yang juga berwatak lincah jenaka, akan tetapi ia memiliki ketegasan. "Hentikan main-main itu, anakku. Ingat, berapa usiamu sekarang"
"Berapa, ya" Dua puluh tahun lebih kukira."
"Nah, biasanya, seorang wanita berusia dua puluh tahun lebih sudah menggendong seorang anak. Apakah engkau sama sekali belum memikirkan urusan perjodohan" Ayahmu dan aku menyerahkan pemilihan calon suami kepadamu, maka aku ingin sekali tahu apakah selama ini engkau sudah bertemu dengan seorang pria yang kauanggap cocok untuk menjadi calon suamimu"
"Wah, Ibu ini ada-ada saja. Selama ini aku tekun berlatih silat, mana ada kesempatan untuk memikirkan soal itu" Tidak, Ibu, aku belum mempunyai pilihan siapapun juga."
"Sudahlah kalau begitu. Sekarang, ayahmu dan aku minta agar engkau suka mengundang paman tuamu Suma Ciang Bun. Kasihan dia, hidup seorang diri dan mengasingkan diri. Engkau kunjungi dia dan atas nama kami, undanglah dia ke sini. Sebentar, kupanggil ayahmu!" Kam Bi Eng lalu memanggil suaminya yang berada di ruangan belakang. Suma Ceng Liong datang dan dia pun membenarkan apa yang dikatakan isterinya.
"Benar, Lian-ji. Kami merasa kasihan kepada Bun-toako. Engkau pergilah ke sana dan katakan bahwa kami mengundang ia untuk datang dan tinggal di sini bersama kita."
"Akan tetapi, di manakah paman Ciang Bun tinggal"
"Dia bertapa di lereng Pegunungan Tapa-san, di dekat sumber air Sungai Han Sui, di Propinsi Shensi. Carilah dia sampai dapat, anakku, dan bujuklah dia agar suka ikut bersamamu ke sini. Kami sudah rindu padanya dan katakan bahwa kami ingin sekali agar dia tinggal bersama kami di sini, sedikitnya untuk beberapa waktu lamanya, syukur kalau dapat selamanya. Dia tidak mempunyai siapa-siapa lagi, Lian-ji."
Suma Lian mengangguk. Memang tidak enak rasanya tinggal di rumah saja, dan ia pun tidak mengira sama sekali bahwa selain mengundang paman tuanya, juga kedua orang tuanya itu mengharapkan ia bertemu dengan Gu Hong Beng yang sudah ditunangkan dengannya secara diam-diam oleh mendiang neneknya!
Beberapa hari kemudian, setelah membawa bekal pakaian dan uang secukupnya, berangkatlah Suma Lian meninggalkan rumah orang tuanya. Kini ia sudah berbeda lagi dengan ketika ia pulang, karena ia sudah dibekali dua macam ilmu yang membuat dirinya menjadi semakin lihai. Dan di pinggangnya kini terselip sebatang suling emas! Seperti juga sumoinya, Li Sian, ia mampu mempergunakan setiap ranting kayu untuk menjadi pedang dan memainkan ilmu Lo-thian Kiam-sut, akan tetapi dengan suling emas itu, ia merasa lebih mantap dan lebih percaya akan kemampuan diri sendiri.
Perjalanan yang dilakukan Suma Lian cukup jauh, menuju ke barat melalui Propinsi Honan dan Shensi. Kalau pulangnya, akan lebih mudah mengambil jalan air, yaitu naik perahu mengikuti aliran Sungai Kuning, akan tetapi berangkatnya, ia mengambil jalan darat. Namun, bagi seorang gadis perkasa seperti Suma Lian, perjalanan itu bahkan amat menggembirakan dan ia sama sekali tidak khawatir akan adanya gangguan di dalam perjalanan karena ia sudah membawa bekal ilmu kepandaian yang tinggi.
Akan tetapi, baru beberapa hari ia meninggalkan Cin-an dan tiba di perbatasan Propinsi Hopei karena dara ini mengambil jalan lurus ke barat, ia memasuki sebuah kota kecil, di perbatasan itu dan karena hari sudah mulai gelap, ia mengambil keputusan untuk bermalam di kota itu dan tidak disangkanya, di tempat itu ia bertemu dengan pengalaman yang berbahaya!
Sore hari itu, setelah memasuki kota Bun-koan yang tidak berapa besar, Suma Lian segera menoleh ke kanan kiri untuk mencari rumah penginapan. Hari itu ia melakukan perjalanan sehari penuh melalui jalan berdebu dan ia merasa tubuhnya lelah, panas dan kotor. Ia ingin mandi, lalu mencari makan malam yang enak sebelum beristirahat semalam suntuk agar tenaganya pulih kembali dan besok dapat melanjutkan perjalanan pagi-pagi dengan tubuh segar.
Kota itu tidak besar dan ternyata hanya mempunyai sebuah rumah penginapan yang tidak berapa besar. Keadaan rumah penginapan itu terlalu kotor bagi Suma Lian, akan tetapi, gadis ini pernah hidup dalam keadaan yang serba sederhana bahkan sangat kekurangan ketika ia mengikuti gurunya hidup sebagai orang yang miskin, maka ia tidak dapat terlalu banyak memilih dan tidak pula merasa jijik ketika ia akhirnya memperoleh sebuah kamar yang tidak besar dan agaknya jarang dibersihkan. Ia hanya minta agar kain alas tempat tidur dan bantalnya diganti dengan yang bersih, dan untuk itu ia harus mengeluarkan beberapa uang kecil untuk pelayan.
Hanya dengan mengeluarkan uang persenan tambahan pula maka ia akhirnya bisa memperoleh cukup air untuk mandi. Tubuhnya terasa segar dan nikmat setelah mandi bersih dan mengenakan pakaian pengganti, dan atas petunjuk pelayan yang sudah dua kali menerima hadiah uang kecil darinya itu, ia memperoleh keterangan di mana ia dapat membeli makan malam yang enak.
Benar saja, restoran kecil itu ternyata dapat menyuguhkan makanan yang cukup lezat, terutama sekali masakan udang kegemarannya. Dan harganya pun tidak mahal. Dengan puas Suma Lian kembali ke kamar di rumah penginapannya, siap untuk tidur.
Selagi ia berjalan melalui lorong menuju ke kamarnya, tiba-tiba ia mendengar suara anak laki-laki yang merengek, datangnya dari kamar di sebelahnya.
"Aku mau pulang! Ah, antarkan aku pulang, atau aku mau pulang sendiri. Aku tidak mau lagi melanjutkan perjalanan dan ikut denganmu!" Suara itu jelas suara seorang anak laki-laki dan suaranya terdengar seperti anak yang ketakutan. Karena tertarik, dan lorong di mana kamar-kamar berjajar itu sepi, Suma Lian menghentikan langkahnya dan mendengarkan.
"Hushhhhh, jangan ribut-ribut." terdengar suara seorang laki-lagi, suaranya membujuk. "Kalau sampai terdengar olehnya dan ia menyusul ke sini, tentu kita akan dibunuh, terutama sekali engkau."
"Ah, kenapa wanita itu hendak membunuh aku" Kenapa" Anak itu membentak.
"Settt, ia adalah musuh ibumu. Dan hanya ibumu yang dapat melawannya, dapat melindungimu, karena itu aku akan mengantar pada ibumu, ia berada di kota So-tung, tak jauh dari sini. Besok pagi-pagi kita ke sana dan sekarang diamlah, kita sembunyi di sini...."
Anak itu tidak terdengar merengek lagi. Suma Lian tentu saja merasa heran mendengar ucapan laki-laki itu. Siapakah yang ingin membunuh seorang anak kecil dan mengapa" Akan tetapi, jangan-jangan laki-laki itu hanya menakut-nakuti saja dan karena bukan urusannya, maka ia pun melangkah menuju ke kamarnya dan merebahkan diri setelah membuka sepatunya. Akan tetapi, percakapan di kamar sebelah itu membuat ia tidak mudah untuk pulas. Perhatiannya tetap saja tertuju ke kamar sebelah dan kewaspadaannya tetap berjaga-jaga, siap untuk turun tangan menolong kalau-kalau benar ada bahaya mengancam anak di sebelah itu!
Akhirnya, karena tidak terjadi sesuatu sampai jauh hampir tengah malam, Suma Lian mulai mengantuk. Ketika ia hampir tertidur, tiba-tiba saja telinganya yang masih dalam keadaan waspada, menangkap sesuatu yang mencurigakan, Suara gerakan di atas genteng! Sedikit suara ini saja sudah cukup baginya untuk terbangun. Cepat disambarnya sepatunya, dipakainya dan ia pun membuka daun jendela, lalu tubuhnya sudah meluncur keluar dari jendela kamarnya. Pada saat itu, dia melihat seorang laki-laki yang menggendong seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tujuh tahun, juga melompat keluar dari jendela kemudian melarikan diri. Itulah orang yang tinggal di kamar sebelah, pikirnya. Agaknya lakilaki itu pun sudah mendengar akan suara mencurigakan di atas genteng dan dia mengajak anak itu melarikan diri. Dan benar saja, pada saat itu, dari atas genteng menyambar turun bayangan orang yang berseru dengan halus.
"Hemmm, engkau hendak lari ke mana"
Mendengar ini laki-laki yang menggendong anak itu mempercepat larinya dan terkejutlah Suma Lian melihat bahwa laki-laki itu ternyata dapat berlari cepat sekali, bukan larinya orang sembarang melainkan larinya orang yang menguasai ilmu berlari cepat dengan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang cukup hebat! Akan tetapi wanita itu, bayangan yang membentak tadi, juga dapat berlari cepat melakukan pengejaran. Melihat ini, Suma Lian juga mengerahkan tenaganya dan mengejar pula. Untung baginya bahwa malam itu bulan bersinar terang sehingga ia dapat melihat jelas dua bayangan yang saling berkejaran itu. Laki-laki yang menggendong anak itu dapat berlari cepat sekali, akan tetapi pengejarnya agaknya lebih lihai lagi sehingga jarak di antara mereka menjedi semakin dekat. Suma Lian yang khawatir kalau-kalau dua orang itu terkejar dan terbunuh, mempercepat larinya dan ketika laki-laki itu menghilang ke dalam sebuah hutan kecil, pengejarnya meragu dan berhenti sebentar di luar hutan. Kesempatan ini dipergunakan oleh Suma Lian untuk mempercepat larinya dan membentak,
"Hai, engkau yang berniat jahat, tunggu dulu!" bentakannya nyaring dan membuat wanita yang tadi melakukan pengejaran itu terkejut, lalu membalikkan tubuhnya.
Kini mereka berdiri berhadapan, dalam jarak antara dua meter. Sinar bulan cukup terang sehingga walaupun tidak sangat jelas, mereka dapat saling melihat dan keduanya diam-diam merasa heran. Suma Lian melihat bahwa wanita itu sama sekali bukan nampak seperti seorang penjahat. Sebaliknya malah ia seorang wanita muda, seorang gadis yang cantik jelita, matanya lebar dan sikapnya gagah sekali. Akan tetapi, wanita itu agaknya marah oleh gangguannya dan begitu mereka berhadapan, ia menegur Suma Lian, suaranya nyaring dan ketus.
"Siapakah engkau yang berani mencampuri urusan orang lain dengan lancang" Mau apa engkau mengejar aku"
Suma Lian tidak marah, hanya ia merasa heran mengapa ada seorang gadis secantik dan segagah ini berhati kejam hendak membunuh seorang anak kecil. "Aku mengejar untuk mencegah engkau melakukan suatu kejahatan, Sobat! Mengapa pula engkau mengejar orang yang membawa seorang anak kecil tadi" Tak usah kaulanjutkan niatmu yang jahat itu...."
"Lancang kau! Kalau aku mengejar mereka, engkau mau apa" Apamukah laki-laki itu"
"Bukan apa-apa, aku kebetulan bermalam di kamar dekat kamar mereka dan mendengar bahwa mereka takut kepadamu yang hendak membunuh, maka aku lalu ikut pula mengejar. Kalau engkau lanjutkan pengejaranmu, terpaksa aku turun tangan menghalangimu."
"Hemm, manusia sombong dan lancang yang hendak mencampuri urusan orang! Atau mungkin engkau kaki tangannya, ya" Kalau begitu perlu kuhajar dulu engkau!" Gadis itu sudah menerjang dengan tamparan ke arah muka Suma Lian. Tentu saja Suma Lian cepat mengelak dan balas menyerang dengan tak kalah cepatnya. Namun, gadis itu meloncat ke samping dan kini ia menerjang lagi sambil menghujankan serangan dengan kaki tangannya, seolah-olah ingin cepat merobohkan Suma Lian agar ia dapat cepat melakukan pengejaran terhadap laki-laki yang melarikan bocah tadi. Menghadapi serangan yang luar biasa cepatnya ini, Suma Lian terkejut. Tak disangkanya bahwa gadis yang menjadi lawannya ini benar-benar lihai sekali. Serangannya bukan saja amat cepat, akan tetapi juga hawa pukulan yang keluar dari gerakan kaki tangannya amat kuat, tanda bahwa gadis itu memiliki sin-kang yang sudah tinggi tingkatnya. ia pun melindungi dirinya dengan langkah-langkah ajaib Sam-po Cin-keng sehingga dengan mudah ia dapat menghindarkan semua serangan lawan.
Gadis itu menjadi semakin penasaran. "Hemmm, kiranya engkau memiliki sedikit kepandaian, ya" bentaknya. "Nah, terimalah ini!" tangan kanannya menyambar cepat dan ada hawa yang panas sekali menyambar dari tangan kanannya itu, dan kehebatan serangan ini sukar untuk dielakkan lagi oleh Suma Lian. Ia terkejut, maklum akan hebatnya pukulan lawan, maka ia pun menggerakkan tangan kirinya sambil mengerakkan tenaga Swat-im Sin-kang untuk menyambut pukulan yang mengandung hawa panas itu.
"Dukkk!" Dua lengan yang berkulit putih halus itu saling bertemu dan keduanya terdorong ke belakang dan keduanya memandang dengan mata terbelalak.
"Swat-im Sin-kang....!" teriak gadis yang menyerang itu.
"Hui-yang Sin-kang....!" Suma Lian juga berseru heran.
Gadis itu memandang marah, lalu menudingkan telunjuk ke arah muka Suma Lian. "Engkau dari mana mencuri ilmu dari Pulau Es" bentaknya.
Suma Lian tersenyum mengejek. "Sobat, engkaulah yang mencuri ilmu dari keluargaku. Aku bernama Suma Lian, keturunan langsung dari penghuni Pulau Es!"
"Aihhhhh....!" Gadis itu berseru dan memandang dengan mata terbelalak.
"Kaukau.... Suma Lian, puteri dari paman Suma Ceng Liong"
"Benar, dan siapakah engkau"
"Aku Kao Hong Li...."
"Aihhh....! Engkau puteri bibi Suma Hui...." seru Suma Lian dan mereka maju saling berangkulan. "Enci Hong Li, maafkan aku, maafkan kelancanganku tadi.
"Sudahlah, adik Lian. Sering aku datang berkunjung ke rumah paman Suma Ceng Liong, akan tetapi engkau belum juga pulang. Tentu ada sebabnya mengapa engkau tadi mencegah aku mengejar orang yang menculik anak itu."
Suma Lian merasa kaget setengah mati. "Apa" Dia.... dia itu menculik anak itu" Wah, kalau begitu aku yang bersalah, enci Hong Li." Lalu ia menceritakan bahwa tadi ia mendengar anak itu merengek minta pulang, dan laki-laki itu mengatakan bahwa mereka harus melarikan diri darimu yang hendak membunuh mereka, terutama membunuh anak itu. Maka, ketika melihat betapa mereka melarikan diri dan engkau mengejarnya, aku pun langsung saja turun tangan mencegahmu. Maafkan aku...."
"Hemmm, penculik itu telah menipu si anak dan engkau pun ikut pula tertipu, adik Lian. Aku melihat dia melarikan anak laki-laki itu yang berteriak minta dilepaskan dan minta dipulangkan, maka aku melakukan pengejaran sejak kemarin. Aku kehilangan jejaknya dan baru aku temukan mereka di rumah penginapan ini."
"Akan tetapi siapakah dia, Enci" Dan mengapa pula dia menculik anak laki-laki itu" Siapa pula anak laki-laki itu"
"Aku juga tidak tahu siapa mereka dan mengapa pula dia menculik anak itu. Ketahuilah, adik Lian, aku sedang melakukan perjalanan menuju ke rumah orang tuamu, untuk memberi kabar tentang meninggalnya kakek dan nenek di gurun pasir...."
"Ahhh! Penghuni Gurun Pasir...."
"Benar, kakek dan nenekku tewas setelah istana itu diserbu banyak datuk sesat, dan setelah memberitahukan kepada orang tuamu, aku akan pergi mencari siapa para datuk yang pernah menyerbu ke sana. Dan engkau sendiri, engkau sudah berapa lama pulang dan sekarang hendak ke mana"
"Aku diutus oleh orang tuaku untuk mengundang paman tua Suma Ciang Bun agar suka datang ke rumah kami."
"Aih, paman Suma Ciang Bun" Dia bertapa di Tapa-san dan agaknya sudah tidak mau lagi mencampuri dunia ramai. Aku pernah beberapa kali berkunjung ke sana. Ah, sungguh tidak kusangka kita akan saling bertemu seperti ini, adik Lian!"
"Aku pun girang sekali dapat bertemu denganmu, enci Hong Li. Akan tetapi, setelah mendengar keteranganmu tentang laki-laki yang bercaping lebar tadi bahwa dia menculik anak itu, biarlah aku akan melakukan pengejaran dan menolong anak itu!"
"Tapi, ke mana engkau akan mencarinya, adik Lian" Dan aku pun belum yakin benar, baru mencurigainya menculik anak, belum ada bukti nyata, bahkan aku tidak tahu siapa dia dan siapa anak itu."
"Biarlah, Enci. Aku akan menyelidiki. Terpaksa kita berpisah di sini, Enci. Engkau melanjutkan perjalanan ke rumah orang tuaku menyampaikan berita duka itu, dan aku akan pergi berkunjung kepada paman Suma Ciang Bun setelah menyelidiki penculik itu."
Kao Hong Li merangkul lagi, merasa sayang untuk saling berpisah. "Aih, kita baru saja bertemu secara tidak sengaja. Kalau kita tidak sama-sama menggunakan Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang, entah bagaimana jadinya dengan kita yang saling hantam sendiri. Akan kuceritakan ini kepada orang tuamu. Ah, aku masih ingin sekali bersamamu dan bercakap-cakap lama, adik Lian."
"Aku pun begitu, Enci. Akan tetapi karena kita berdua sama-sama mempunyai tugas, biarlah lain kali masih banyak kesempatan bagi kita untuk saling berjumpa dan bercakap-cakap sepuasnya."
"Baiklah, adik Lian. Nah, selamat berpisah. Akan tetapi kalau engkau mengejar orang bercaping lebar itu, berhati-hatilah. Melihat gerakannya ketika lari, kurasa dia bukanlah seorang yang lemah."
"Engkau benar, enci Hong Li. Akan tetapi aku pun belum yakin benar bahwa dia seorang penjahat yang menculik anak itu. Mungkin hanya timbul kesalahpahaman saja antara dia dan engkau. Aku tahu ke mana harus mencarinya karena ketika dia bicara dengan anak itu di dalam kamarnya, dia ada menyebutkan bahwa mereka akan pergi ke kota So-tung. Aku akan menyusul ke sana."
"Aku tidak khawatir, engkau tentu akan mampu mengatasinya, Lian-moi."
Kedua orang gadis itu yang masih saudara misan, saling peluk lagi kemudian Kao Hong Li meninggalkan tempat itu, berkelebat lenyap di kegelapan bayangan pohon. Suma Lian juga cepat masuk kembali ke dalam kamarnya dan setelah menggendong buntalan pakaiannya, ia pun meninggalkan kamar rumah penginapan itu tanpa pamit karena ia sudah membayar sewa kamar itu sore tadi.
Tidak sukar bagi Suma Lian untuk menemukan kota So-tung yang letaknya kurang lebih tiga puluh li dari kota di mana ia bermalam itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi ia telah memasuki kota So-tung. Sayang ia tertinggal jauh sehingga ia tidak lagi melihat bayangan laki-laki bercaping lebar bersama anak laki-laki itu. Namun, Suma Lian tidak putus asa dan ia pun segera berputar-putar melakukan penyelidikan di seluruh kota. Ketekunannya berhasil baik. Ketika ia berjalan tiba di dekat pintu gerbang barat, ia melihat bayangan orang berkelebat dan ternyata bayangan itu adalah laki-laki berpakaian serba hijau yang mengenakan caping lebar, yang semalam melarikan diri bersama anak laki-laki yang dikejar oleh Kao Hong Li itu! Akan tetapi, kini laki-laki itu berjalan seorang diri tanpa menggendong anak laki-laki dan nampaknya tergesa-gesa hendak keluar dari kota melalui pintu gerbang barat.
Melihat ini, Suma Lian juga mempercepat langkahnya keluar dari pintu gerbang itu. Pagi itu masih sunyi sekali, belum nampak seorang pun manusia di luar pintu gerbang dan Suma Lian melihat betapa laki-laki bercaping itu menoleh, kemudian melarikan diri!
"Hei, tunggu....!" Suma Lian berseru dan ia pun mempergunakan ilmu berlari cepat melakukan pengejaran. Melihat gadis itu melakukan pengejaran, laki-laki itu mempercepat larinya. Hal ini membuat Suma Lian semakin curiga dan ia pun mengerahkan seluruh kepandaiannya sehingga tak lama kemudian ia dapat menyusul dan bahkan mendahului, lalu membalik dan menghadang.
"Tunggu dulu!" bentaknya lagi. Laki-laki itu terkejut bukan main, akan tetapi, ketika melihat bahwa gadis yang larinya melebihi kijang cepatnya ini bukanlah gadis yangkemarin membayanginya, wajahnya menjadi agak lega.
"Ah, kukira tadinya engkau adalah orang yang jahat itu, Nona," katanya, dan sepasang matanya mengamati wajah Suma Lian penuh perhatian, dan penuh kagum pula. Sebaliknya, Suma Lian juga memperhatikan orang ini. Seorang laki-laki muda, usianya tentu paling banyak tiga puluh tahun, agak kurus dan kedua pipinya nampak peyot seperti orang yang pemadatan, akan tetapi sepasang matanya tajam mencorong menandakan bahwa dia seorang yang "berisi", dan sinar mata itu tajam, juga mengandung kekejaman dan kelicikan. Mulutnya tersenyum dan nampak giginya yang agak menghitam karena banyak yang sudah rusak. Wajah yang sebetulnya tampan itu nampak tidak menarik lagi ketika dia tersenyum dan diam-diam Suma Lian bersikap waspada. Orang seperti ini tidak boleh dipercaya, demikian bisik hatinya. Sementara itu, pria yang kurus itu ketika melihat bahwa yang mengejarnya seorang gadis yang teramat cantik menarik, memperlebar senyumnya dan melangkah maju sambil menjura dengan sikap sopan.
"Aih, ada urusan apakah engkau mengejar dan menahan aku, Nona" Siapakah nama Nona dan ada keperluan apakah dengan aku"
Suma Lian mengerutkan alisnya. Orang ini biasa mempergunakan topi caping lebar untuk menyembunyikan mukanya, akan tetapi sekarang dia mengangkat topi itu tinggi-tinggi sehingga nampak wajahnya yang sebenarnya tampan namun kurus sekali itu.
Dan sepasang mata yang tajam itu, selain mengandung kelicikan dan kekejaman, juga Suma Lian merasakan adanya kekuatan yang tidak wajar, seperti dimiliki orang yang biasa mempergunakan ilmu sihir. Hal ini diketahuinya semenjak ia dilatih ilmu sihir oleh ayahnya, sepulangnya dari perguruan. Oleh karena itu, ia pun bersikap hatihati.
"Tidak ada urusan antara kita, dan tidak ada perlunya aku memperkenalkan nama. Akan tetapi, semalam aku melihat engkau melarikan seorang anak laki-laki sehingga timbul keinginan tahuku apa yang terjadi dengan anak itu" Di mana adanya anak laki-laki itu sekarang dan mengapa engkau melarikannya malam-malam dari rumah penginapan itu"
Pria itu terbelalak. "Tapi.... tapi.... kulihat engkau bukanlah wanita yang membayangi dan mengejarku kemarin...."
"Memang bukan! Aku yang bermalam di kamar sebelah dan mendengarmu melarikan diri. Hayo katakan, siapakah anak itu dan mengapa pula engkau melarikannya dan di mana dia sekarang"
"Bukan urusamu, Nona, dan kunasihatkan agar engkau tidak mencampuri urusanku yang sama sekali tidak ada sangkutpautnya dengan dirimu."
"Hemmm, setiap kali hidungku mencium sesuatu yang busuk, tak mungkin aku tinggal diam begitu saja sebelum aku tahu betul bahwa tidak ada kejahatan dilakukan orang! Bawa aku pada anak itu agar aku dapat bicara sendiri dengan dia baru aku percaya bahwa engkau tidak melakukan sesuatu yang jahat terhadap dia!"
Laki-laki ini mengerutkan alisnya dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat. "Nona, engkau masih muda dan cantik, akan tetapi sombong amat. Engkau tidak memandang sebelah mata kepada orang lain, agaknya engkau belum mengenal siapa diriku. Aku Liok Cit tidak percuma mempunyai julukan Tokciang Hui-moko (Iblis Terbang Bertangan Racun), dan tidak biasa aku diperintah orang lain! Pergilah sebelum terlambat!"
Suma Lian belum pernah mendengar nama julukan itu dan ia tersenyum. Ia seorang gadis yang lincah jenaka dan pemberani, maka mendengar nama julukan itu ia merasa geli. "Wah-wah, julukanmu demikian hebatnya, seolah-olah engkau pandai terbang dan seolah-olah tanganmu beracun. Kulihat mungkin hanya hatimu saja yang beracun, mukamu seperti orang berpenyakit keracunan yang sudah mendekati liang kubur. Kalau engkau tidak mau membawaku kepada anak itu, sekali dorong engkau tentu akan masuk liang kubur!"
"Bocah sombong!" Liok Cit, laki-laki itu, memaki dan tiba-tiba dia pun menyerang dengan terkaman tangan kanan ke arah pundak Suma Lian, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah perut. Serangan ini ganas dan berbahaya sekali, namun dengan mudahnya Suma Lian mengelak sambil mundur dan kakinya mencuat dengan tendangan menyamping, mengarah lambung lawan.
"Dukkk!" Liok Cit menangkis tendangan itu dan balas menyerang dengan lebih dahsyat lagi, tubuhnya mendoyong ke depan, kedua tangannya terbuka dan dipergunakan sebagai golok, yang kanan membacok leher, yang kiri menusuk ke arah dada.
Melihat gerakan orang, Suma Lian maklum bahwa lawan ini memang bukan orang sembarangan, memiliki gerakan yang cepat dan dari sambaran kedua lengannya pun dapat dilihat bahwa dia memiliki tenaga sinkang yang kuat. Akan tetapi ia tidak takut. Ia melindungi kedua tangannya dengan tenaga Inti Bumi yang dapat menolak semua hawa beracun, dan menangkis sambil mengerahkan Swat-im Sin-kang.
"Plak! Plak!" Kedua pasang lengan bertemu dan tubuh Liok Cit terdorong ke belakang dan dia agak menggigil karena ketika lengannya bertemu dengan lengan gadis itu, ada hawa dingin melebihi salju menyusup ke tubuhnya melalui lengan yang beradu dengan lengan gadis itu.
"Ihhhhh....!" Dia mengguncang tubuhnya untuk mengusir hawa dingin dan pada saat itu, Suma Lian sudah datang menyerangnya dengan totokan ke arah pundaknya. Cepat sekali gerakan gadis itu, akan tetapi lebih cepat lagi gerakan Si Iblis Terbang, karena tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat jauh ke belakang. Suma Lian terkejut dan maklum bahwa orang ini memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang istimewa dan kiranya pantas memakai julukan Iblis Terbang. Ia mendesak lagi dengan serangan-serangannya, untuk memaksa orang itu agar membawanya ke tempat anak yang semalam dibawanya pergi. Kini ia percaya akan keterangen Hong Li. Orang ini tentulah seorang penjahat lihai yang melakukan penculikan terhadap anak itu. Buktinya anak itu merengek minta pulang dan tentu kini disembunyikan di suatu tempat.
Liok Cit mengelak sambil berloncatan ke sana-sini dan mempergunakan kecepatan gerakannya, namun dia tidak mampu melepaskan diri dari desakan Suma Lian. Hanya dengan cara berloncatan yang amat cepat dia selalu dapat menjauh lagi setiap kali sudah terdesak hebat.
"Engkau masih tidak mau menyerah dan membawaku kepada anak itu" bentak Suma Lian dan tiba-tiba ia menotok dengan ilmu totok Coan-kut-ci yang baru saja dipelajarinya dari ayahnya. Ilmu totokan ini adalah ilmu yang berasal dari golongan hitam, merupakan ilmu yang keji dan dahsyat bukan main. Baru hawa totokannya saja sudah terasa oleh lawan dan Liok Cit juga merasa terkejut. Tadi ketika gadis itu menggunakan tenaga yang berhawa dingin, dia sudah terkejut dan jerih, kini gadis itu menyerangnya dengan totokan yang demikian dahsyatnya. Kembali dia menyelamatkan diri dengan ilmu ginkangnya, tubuhnya terjengkang ke belakang seperti dilemparkan akan tetapi dia selamat dari totokan yang amat dahsyat itu. Tahulah dia bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya dia akan celaka, akan tetapi susahnya, kalau hendak melarikan diri pun pasti dapat dikejar karena ilmu berlari cepat gadis itu pun hebat sekali. Diam-diam dia berkeringat dingin, menduga-duga siapa adanya gadis muda yang demikian lihainya.
Sementara itu, Suma Lian sendiri juga menjadi penasaran. Jelaslah bahwa dalam hal ilmu silat, ia tidak kalah oleh si baju hijau ini, akan tetapi orang ini sungguh licin bagaikan belut, dan memiliki gin-kang yang istimewa sehingga selalu dapat menghindarkan diri pada detik terakhir kalau serangannya sudah hampir mengenai sasaran. Dengan marah ia lalu mencabut suling emas dari ikat pinggangnya dan menyerang dengan suling emasnya yang diputar dengan cepat. Suling itu mengeluarkan gaung merdu seperti ditiup dan berubah menjadi gulungan sinar emas yang menyilaukan mata, menyambar-nyambar ke arah Liok Cit. Orang ini pun cepat mencabut pedangnya dan melihat gulungan sinar emas menyambar-nyambar, dengan gugup dia lalu menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga sekuatnya.
"Cringgg...." Pedang itu seperti terlibat gulungan sinar dan Liok Cit tidak mampu mempertahankan pegangan gagang pedangnya yang terlepas dari tangannya. Mana dia mampu menandingi Ilmu Koai-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Siluman) yang baru saja dipelajari gadis itu dari ibunya. Akan tetapi begitu sinar emas menyambar ke arah dadanya, sambil mengeluarkan teriakan melengking tahu-tahu tubuh Liok Cit sudah mencelat ke atas sebatang pohon tak jauh dari situ. Hebat memang gerakan ini, cepat seperti setan terbang saja!
Suma Lian menudingkan sulingnya ke arah lawan yang berada di puncak pohon itu. "Engkau masih belum mau menyerah" Biar engkau melarikan diri ke neraka sekali pun, jangan harap dapat terlepas dari sulingku ini! Cepat turun dan tunjukkan aku di mana adanya anak itu!"
Tok-ciang Hui-moko Liok Cit menghela napas panjang. Dia maklum bahwa dia kalah, akan tetapi dia masih mempunyai suatu andalan untuk menundukkan gadis ini. Dia adalah seorang yang lama berkecimpung di dunia hitam dan menjadi sahabat baik dari para tosu Pek-lian-kauw sehingga pernah dia mempelajari ilmu sihir. Tentu saja ilmu ini selalu dipergunakannya untuk melakukan kejahatan dan kini dia hendak mempergunakan ilmu ini untuk menundukkan gadis yang membahayakan dirinya itu.
"Baiklah, Nona aku menyerah kalah. Aku bukan musuhmu, bukan orang jahat dan tidak bermaksud jahat kepadamu. Biarkan aku turun dan mari kita bicara baik-baik, Nona."
"Turunlah. Tak usah banyak bicara, asal engkau membawa aku kepada anak itu dan membiarkan aku bicara sendiri dengan dia, cukuplah. Kalau memang engkau tidak melakukan kejahatan, aku pun tidak suka mengganggu orang yang tidak berdosa," kata Suma Lian sambil menyimpan kembali suling emasnya di ikat pinggang, tertutup bajunya.
Dengan gerakan seperti seekor burung melayang turun, Liok Cit meloncat turun dari atas puncak pohon itu dan berdiri di depan Suma Lian. Diam-diam gadis ini kagum dan memujinya. Gin-kang orang ini memang hebat, pikirnya, dan ia sendiri masih kalah setingkat dalam hal meringankan tubuh. Untunglah bahwa dalam hal ilmu silat dan tenaga, ia masih menang jauh sehingga tadi ia mampu membuat orang ini tidak berdaya.
Akan tetapi, kini Liok Cit merangkapkan kedua tangannya seperti orang menyembah di depan dadanya, matanya memandang tajam penuh wibawa dan suaranya terdengar halus, namun mendesis dan mengandung pengaruh yang kuat pula. "Aku seorang sahabat, Nona, bukan musuh. Aku bermaksud baik kepadamu. Lihat, mukamu penuh keringat, usaplah dulu keringatmu baru kita bicara."
Otomatis, Suma Lian mengusap sedikit keringat di dahinya dengan ujung lengan baju dan tiba-tiba saja gadis ini maklum. Keparat, pikirnya di dalam hati, orang ini mempergunakan kekuatan sihir! Tentu saja ia mengerti dan dapat merasakan karena bukankah baru saja ia dilatih ilmu sihir oleh ayahnya sendiri" Tadi pun, dari pandang mata Liok Cit, ia sudah menduga bahwa orang ini. menguasai kekuatan sihir dan sekarang agaknya hendak mempengaruhinya dengan sihir. Diam-diam gadis ini tersenyum geli di dalam hatinya. Baiklah, pikirnya, kalau ia tidak dapat menundukkannya karena orang ini terlalu cepat mengelak, ia akan pura-pura tersihir agar dapat dibawa ke tempat anak itu. Akan tetapi, diam-diam ia mengerahkan tenaga batinnya, bukan hanya untuk melawan ilmu sihir lawan, melainkan juga untuk mempengaruhi Liok Cit sehingga Liok Cit percaya bahwa ia yang tersihir!
Liok Cit tersenyum girang melihat gadis itu mengusap keringat di dahi dengan ujung lengan baju. Hal itu baginya menjadi tanda bahwa dia telah berhasil menguasai kemauan gadis itu! "Mari kubantu menghapus keringatmu, nona man...."
Dia hendak mengatakan kata "manis" akan tetapi tiba-tiba saja dia merasa takut dan tidak sepatutnya mengatakan itu, juga tidak sepatutnya dia menjamah muka gadis itu, maka dia pun menarik kembali tangannya dan berkata, "Ah, mana aku berani" Maafkan aku, Nona...." Sama sekali Liok Cit tidak tahu bahwa perasaan takut dan mengundurkan diri ini berarti bahwa dialah yang terpengaruh oleh kekuatan kemauan sihir dari nona itu! Dia percaya bahwa dia telah berhasil menyihir Suma Lian, padahal sebetulnya, kepercayaan itu adalah hasil tanaman kekuatan sihir Suma Lian kepadanya!
"Marilah, Nona, mari ikut bersamaku!" katanya dengan ramah dan dengan hati gembira karena dia telah dapat menangkap gadis itu dengan pengaruh sihirnya.
"Kau akan membawa aku bertemu dengan anak laki-laki semalam" Suma Lian bertanya, masih mengendalikan lawannya itu.
"Tentu, tentu...., ha-ha-ha, marilah ikut denganku!" kata pula Liok Cit, agak tergesa-gesa karena dia khawatir kalau sampai kekuatan sihirnya lenyap kekuatannya. Dia mulai ragu-ragu, akan tetapi melihat betapa lawan yang tadinya galak itu kini menjadi "jinak", dia masih yakin bahwa sihirnya yang menang.
Suma Lian memang belum yakin siapa orang ini dan apa yang telah dilakukan orang ini terhadap anak laki-laki itu, dan siapa pula anak laki-laki itu. Kao Hong Li sendiri pun hanya menyangka saja bahwa orang ini telah menculik anak itu tanpa ada keterangan yang jelas. Oleh karena itu, ia tidak mau turun tangan sebelum ia bertemu dengan anak itu dan mendengar sendiri dari anak itu apa yang sebenarnya yang telah terjadi dan apa yang telah dilakukan orang ini terhadap dirinya.
Tok-ciang Hui-moko Liok Cit berjalan cepat memasuki sebuah hutan di bukit kecil yang sunyi. Suma Lian juga mengerahkan ilmunya berlari cepat, mengikutinya dari belakang. Kadang-kadang laki-laki itu memperlambat larinya dan menoleh, memerintahkan sesuatu yang selalu diturut oleh Suma Lian! Disuruh berlari lambat, ia menurut, disuruh cepat, ia pun cepat. Hal ini semakin memperbesar keyakinan diri Liok Cit bahwa gadis itu masih berada dalam kekuasaan sihirnya, padahal justeru sebaliknya.
Akhirnya, tibalah mereka di depan sebuah pondok kecil yang nampak masih baru. Dan di belakang pondok itu nampak banyak sekali pondok-pondok lain yang amat sederhana, agaknya dibuat secara darurat untuk menjadi tempat tinggal banyak sekali orang. Di sebelah kanan pondok terdapat sebuah kereta dengan empat ekor kuda dan selanjutnya sunyi, tidak nampak ada orang di luar pondok. Suma Lian bersikap waspada, dapat menduga bahwa agaknya ia diajak ke tempat sarang yang berbahaya di mana tinggal banyak orang yang tentu menjadi teman-teman dari Tok-ciang Hui-moko Liok Cit ini!
Suma Lian sama sekali tidak tahu bahwa biarpun ia sudah berhasil menguasai Liok Cit sehingga laki-laki itu membawanya ke tempat di mana adanya anak laki-laki itu, sebenarnya ia dibawa ke tempat yang amat berbahaya. Tempat apakah pondok-pondok baru di tengah hutan di bukit yang sunyi itu" Kiranya itu adalah sarang sementara yang dipergunakan oleh Sin-kiam Mo-li yang mulai menghimpun kekuatan dari golongan sesat untuk memperkuat pasukan yang sedang dibentuk dan dibangun oleh Tiat-liong-pang di bawah pimpinan Siangkoan Lohan! Sin-kiam Mo-li berhasil mengumpulkan sisa orang-orang Ang-i Mo-pang (Perkumpulan Iblis Baju Merah) yang dulu pernah merajalela. Perkumpulan ini dahulunya bekas anak buah dari Iblis Baju Hitam yang membentuk Hek-i Mo-pang, akan tetapi kemudian sisa-sisanya, di bawah pimpinan seorang datuk sesat bernama Tee Kok, memimpin orang-orang yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi itu dan mengubah pakaian mereka menjadi merah dan menamakan perkumpulan itu Ang-i Mo-pang. Kemudian, perkumpulan ini takluk kepada Bi-kwi atau yang bernama Ciong Biu Kwi, murid dari Sam Kwi. Setelah Bi-kwi mengundurkan diri dari dunia sesat, bahkan menikah dan menjadi orang biasa yang hidup melalui jalan yang benar, perkumpulan itu pun ditinggalkannya dan menjadi liar!
Kini, karena mendapat tugas mengumpulkan kekuatan dari golongan hitam, Sin-kiam Mo-li berhasil menghubungi dan menghimpun mereka. Dengan kepandaiannya yang tinggi, mudah saja baginya untuk menguasai mereka dan kini ada kurang, lebih lima puluh orang sudah siap di bawah perintahnya, dan untuk sementara, Sin-kiam Mo-li membangun sarang sementara di bukit itu karena ia ingin mengumpulkan tenaga-tenaga yang kuat sebelum membawa mereka semua kepada Siangkoan Lohan.
Tok-ciang Hui-moko Liok Cit adalah seorang pembantu Sin-kiam Mo-li, karena Toat-beng Kiam-ong bertugas di lain tempat, juga bertugas menghimpun para tokoh persilatan untuk bersekutu dengan Tiat-liong-pang. Liok Cit merupakan pembantu yang amat baik, karena selain pemuda ini cukup lihai ilmu silatnya, walaupun tidak selihai Toat-beng Kiam-ong, namun pemuda ini memiliki dua keistimewaan, yaitu dia seorang ahli gin-kang yang sukar dicari bandingannya dan dia pandai pula ilmu sihir yang dipelajarinya dari para tosu Pek-lian-kauw. Sin-kiam Mo-li yang cerdik itu kini memberi sebuah tugas istimewa kepada Liok Cit, yaitu menculik seorang anak laki-laki yang tinggal di sebuah dusun yang aman dan kecil. Putera sebuah keluarga petani biasa! Memang aneh bagi orang lain, akan tetapi Sin-kiam Mo-li adalah seorang wanita yang cerdik sekali. Ia teringat akan seorang yang tenaganya sangat boleh diandalkan untuk membantu persekutuan mereka. Orang itu bukan lain adalah seorang wanita yang dulu bernama Ciong Siu Kwi yang berjuluk Bi-kwi (Setan Cantik), seorang datuk sesat yang luar biasa lihainya, murid terkasih dari Sam Kwi (Tiga Setan). Kalau saja ia mampu membujuk atau memaksa Bi-kwi menjadi sekutu, tentu Siangkoan Lohan akan girang sekali dan persekutuan mereka akan menjadi kuat. Bi-kwi selain lihai juga amat cerdik. Seperti telah diceritakan dalam kisah Suling Naga, Bi-kwi telah bertaubat setelah ia bertemu jodohnya, yaitu seorang pemuda petani biasa bernama Yo Jin. Demi cintanya, Bi-kwi rela meninggalkan kehidupannya sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, menjadi isteri Yo Jin dan hidup sebagai petani di dusun itu, sama sekali tidak pernah mau mencampuri urusan dunia persilatan. Bahkan ia selalu bersikap wajar sehingga semua penghuni dusun itu tidak seorang pun mengetahui bahwa isteri Yo Jin adalah seorang wanita yang lihai bukan main! Bahkan setelah mereka mempunyai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Yo Han, anak ini sama sekali tidak pernah dilatih silat oleh ibunya, sesuai dengan keinginan ayahnya.
Nama Bi-kwi sudah dilupakan oleh dunia persilatan, bahkan para pendekar pun tidak ada yang mengetahuinya, walaupun pada akhir kehidupannya sebagai seorang ahli silat, Bi-kwi telah menebus dosa-dosanya dengan jasa yang besar, yaitu menyelamatkan Kao Hong Li dari tangan Sin-kiam Mo-li (baca kisah Suling Naga). Bi-kwi dianggap sudah menghilang dari dunia persilatan!
Akan tetapi, tidaklah demikian bagi Sin-kiam Mo-li! Wanita ini tak pernah lupa bahwa Bi-kwi pernah menggagalkan usahanya, dan diam-diam ia pun menyebar orang-orangnya untuk melakukan penyelidikan di mana adanya wanita bekas musuhnya itu. Dan orang-orang yang disebarnya untuk melakukan penyelidikan justeru orang-orang bekas anak buah Ang-i Mo-pang! Setiap orang Ang-i Mo-pang tentu saja mengenal Bi-kwi yang pernah menaklukkan mereka sehingga akhirnya, seorang di antara mereka berhasil menemukan Bi-kwi yang telah menjadi seorang isteri dan ibu rumah tangga keluarga petani Yo Jin di dusun itu. Setelah tempat tinggal Bi-kwi ditemukan, tibalah giliran Tok-ciang Hui-moko Liok Cit! Jagoan ini sudah dipesan dengan teliti oleh Sin-kiam Mo-li agar tidak menggunakan kekerasan di depan Bikwi, karena kalau hal itu terjadi, takkan mungkin dia akan berhasil menculik anak keluarga itu. Maka, Liok Cit mempergunakan kesempatan selagi Yo Jin dan isterinya, Ciok Siu Kwi, sibuk menuai gandum di sawah, mengajak pergi anak mereka yang hanya seorang, yaitu seorang anak laki-laki bernama Yo Han. Dengan kepandaian sihirnya, dengan mudah Liok Cit membuat Yo Han menurut saja diajak pergi dari dusun itu tanpa ada yang melihatnya.
Setelah tiba di luar dusun, karena masih ngeri membayangkan keterangan Sin-kiam Mo-li bahwa ibu anak itu adalah seorang wanita yang berilmu tinggi, bekas murid terkasih dari Sam Kwi, maka Liok Cit lalu menggendongnya dan berlari cepat. Larinya yang cepat menarik perhatian Kao Hong Li dan gadis perkasa itu lalu membayanginya sampai pada malam hari itu ia bertemu dengan Suma Lian.
Demikianlah, tanpa diketahuinya, Suma Lian oleh Liok Cit diajak masuk ke sarang di mana tinggal Sin-kiam Mo-li dan lima puluh lebih anggauta Angi Mo-pang, juga para pembantunya yang rata-rata memiliki ilmu yang tinggi! Dan memang Yo Han, anak laki-laki itu, berada di situ, di dalam kamar dalam keadaan baik-baik saja dan dijaga oleh beberapa orang anggauta Ang-i Mo-pang, diperlakukan dengan baik. Hal ini adalah karena maksud Sin-kiam Mo-li menculik Yo Han bukanlah untuk mencelakainya, melainkan untuk memaksa ibu anak itu agar mau bersekutu dan membantu Siangkoan Lohan!
Setelah tiba di depan pondok itu, Suma Lian memperkuat pengaruh sihirnya sehingga dengan penuh kepercayaan Liok Cit lalu berteriak ke arah dalam pondok dengan nada suara girang, "Mo-li, keluarlah dan lihatlah siapa yang sudah berhasil kutuntun datang seperti seekor domba ke sini!"
Tadi pun melalui para penjaga, Sin-kiam Mo-li sudah diberi tahu akan datangnya Liok Cit bersama seorang gadis cantik yang gagah perkasa, maka ia pun sudah siap siaga dan menyuruh semua anak buah untuk bersembunyi dan siap menanti komando. Ketika ia mendengar seruan Liok Cit, hati Sin-kiam Mo-li menjadi gembira dan diam-diam ia mengagumi pembantunya itu. Kiranya gadis itu sudah berada di bawah pengaruh sihir Lok Cit, maka pembantunya itu berani berucap demikian.
Ia pun segera meloncat keluar dari dalam pondok itu sambil tersenyum. Akan tetapi, begitu tiba di luar pondok, senyumnya menghilang dan matanya terbelalak. Sin-kiam Mo-li sendiri seorang yang pandai ilmu sihir, maka ia pun segera dapat melihat keadaan yang aneh pada diri Liok Cit itu. Tadi Liok Cit meneriakkan bahwa ia telah menuntun seekor domba akan tetapi setelah tiba di luar, ia melihat Liok Cit berdiri tanpa daya, dengan mata kosong, dan di belakangnya berdiri seorang gadis cantik manis dan gagah yang tersenyum penuh kemenangan. Bukan gadis itu yang berada di bawah pengaruh sihir, melainkan Liok Cit yang kelihatannya kehilangan pengaruh sama sekali!
"Liok Cit, mengapa engkau" Sin-kiam Mo-li membentak sambil mengerahkan tenaga dalamnya. Liok Cit teringat dan dia pun sadar akan tetapi menjadi bingung karena tiba-tiba jari tangan Suma Lian telah menempel di tengkuknya.
"Aku.... aku...." katanya gagap dan bingung, tidak tahu apa yang telah terjadi pada dirinya, hanya menyadari bahwa jari tangan di tengkuknya itu sekali bergerak dapat saja membuat nyawanya melayang meninggalkan tubuhnya.
"Hayo cepat suruh anak itu datang ke sini dan bicara denganku!" Suma Lian membentak sambil menggerakkan jari tangannya yang menempel di tengkuk Liok Cit.
Diam-diam Sin-kiam Mo-li terkejut. Kiranya gadis ini datang untuk membebaskan anak itu! Ia merasa heran karena belum pernah mengenal gadis itu. Kenapa bukan Bi-kwi yang muncul" Ia lalu melangkah maju dan tersenyum kepada Suma Lian.
"Adik yang manis," katanya sambil tersenyum dan dengan sikap ramah. "Apakah engkau diutus oleh Bi-kwi Ciong Siu Kwi untuk datang menjemput Yo Han"
Suma Lian memandang bingung tidak tahu apa arti ucapan itu karena memang ia tidak mengenal nama-nama yang disebutkan tadi. "Aku datang untuk bicara dengan anak laki-laki yang telah dilarikan oleh orang ini. Suruh dia keluar, aku tidak mempunyai urusan lain dengan siapapun juga."
Sin-kiam Mo-li tersenyum lebar dan diam-diam ia pun terkejut. Ia tadi telah mengerahkan kekuatan sihirnya untuk mempengaruhi gadis ini, akan tetapi merasa betapa ada kekuatan yang membuat pengaruh sihirnya itu membalik!
"Ah, kiranya begitu, adik yang baik. Agaknya engkau telah salah paham dengan Liok Cit. Anak itu adalah keponakanku dan dia kuajak ke sini untuk berlibur. Ibunya akan datang menjemputnya. Anak itu baik-baik saja, kalau engkau tidak percaya, tunggulah sebentar, akan kusuruh dia keluar."
Sin-kiam Mo-li masuk ke dalam pondoknya, diam-diam memberi perintah kepada anak buahnya, kemudian menuntun seorang anak laki-laki keluar pondok. Suma Lian memandang penuh perhatian. Seorang anak laki-laki yang usianya sekitar tujuh tahun. Pakaiannya agaknya baru diganti, masih bersih dan baru. Anak yang tubuhnya sedang, wajahnya tampan dan sepasang matanya tajam, akan tetapi pada saat itu, pandang matanya kosong.
"Nah, inilah dia Yo Han, keponakanku. Anak Han, cici di sana itu mengira bahwa engkau dipaksa datang ke sini. Katakan bahwa engkau mengunjungi bibi tuamu ini dan menanti jemputan ibumu dan bahwa engkau senang berada di sini," kata Sin-kiam Mo-li.
Anak itu memandang kepada Suma Lian dengan bingung, lalu menoleh ke arah Sin-kiam Mo-li yang menggandeng tangannya, dan dia pun bicara dengan suara gagap, "Aku.... aku senang di sini...."
Suma Lian dapat mencium sesuatu yang tidak beres. Ia sudah tahu bahwa Liok Cit adalah seorang yang lihai dan pandai ilmu sihir, dan agaknya penculik anak ini membawanya menghadap kepada wanita cantik itu yang tentu saja sebagai pemimpinnya lebih lihai lagi. Ada sesuatu yang tidak beres pada anak itu. Matanya demikian tajam dan membayangkan kecerdikan, akan tetapi kehilangan cahayanya. Diam-diam ia pun mengerahkan tenaga batinnya seperti yang dia jarkan ayahnya baru-baru ini, memandang ke arah anak lak-laki itu di antara kedua matanya dan suaranya terdengar lantang penuh wibawa,
"Anak baik, engkau meninggalkan ibumu tanpa pamit! Engkau dibawa pergi laki-laki ini di luar kehendakmu dan engkau ingin bertemu dengan ibumu, ingin pulang. Katakan, apa yang telah terjadi"
Tiba-tiba anak itu terbelalak dan seolah-olah dia baru teringat akan keadaan dirinya! Dengan kaget dia memandang ke arah Liok Cit, lalu menoleh kepada Sin-kiam Mo-li dan dia pun berteriak. "Ibu! Mana ibuku! Katanya di sini....!" Dan anak itu berusaha melepaskan pegangan tangan Sin-kiam Mo-li untuk melarikan diri. Akan tetapi, sekali menggerakkan tangan, Sin-kiam Mo-li sudah menangkap anak itu kembali. Kini marahlah Sin-kiam Mo-li dan dengan mata mencorong ia memandang kepada Suma Lian.
"Hemmm, siapakah engkau yang hendak mencampuri urusan kami"
"Tidak perlu dikatakan aku siapa, akan tetapi kembalikanlah anak itu, lepaskan biar kubawa dia kembali kepada orang tuanya," kata Suma Lian.
"Hemmm, kalau aku menolak" tantang Sin-kiam Mo-li.
"Terpaksa akan kurobohkan penculik ini lebih dulu sebelum aku merampas kembali anak itu dengan kekerasan!" Suma Lian menjawab tenang, jari tangannya siap menotok tengkuk dan Liok Cit menjadi pucat wajahnya, tengkuknya terasa dingin seperti terkena es!
Sin-kiam Mo-li yang tadi sudah membuat persiapan tetap tersenyum. Wanita ini memang memiliki pembawaan tenang, penuh kepercayaan akan kemampuan dirinya dan hal ini yang membuat ia semakin berbahaya.
"Nona, tidak perlu engkau menggunakan kekerasan. Anak ini adalah keponakanku sendiri, kami tidak ingin menyusahkan dia. Kalau memang engkau ingin membawa dia pulang ke rumah ibunya, silakan, akan tetapi harap kaubebaskan dulu Liok Cit. Dia tidak berdosa, dia hanya kusuruh jemput anak ini saja."
Suma Lian juga tersenyum. Ia seorang gadis yang lincah jenaka dan pintar bukan main. Mana mau dikelabuhi begitu saja" "Hemmm, agaknya engkau mengajak tukar. Baiklah, lepaskan anak itu dan berikan kepadaku, baru aku akan melepaskan tikus ini!"
Diam-diam Sin-kiam Mo-li mendongkol juga terheran. Ia tahu akan kemampuan Liok Cit. Tidak sembarang orang mampu mengalahkannya, akan tetapi mengapa kini di tangan gadis yang masih amat muda itu, Liok Cit menjadi seperti seekor tikus saja yang sama sekali tidak berdaya" Demikian lihaikah gadis ini"
"Nah, ambillah keponakanku ini kalau memang dia ingin pulang," katanya sambil melepaskan pegangannya pada lengan Yo Han. Entah mengapa, begitu terlepas, Yo Han lalu berlari menghampiri Suma Lian. Ada sesuatu pada diri gadis itu yang menimbulkan kepercayaan dalam hatinya.
"Enci, benarkah engkau hendak mengantarkan aku pulang ke rumah ayah ibuku" tanyanya sambil memegang ujung baju gadis itu.
"Jangan khawatir, aku pasti akan membawamu pulang," kata Suma Lian dan dia pun melepaskan tangannya dari tengkuk Liok Cit. Orang ini seperti seekor tikus yang baru saja terlepas dari kurungan, cepat lari ke depan menghampiri Sin-kiam Mo-li.
"Jangan lepaskan, ia berbahaya sekali!" katanya.
Sin-kiam Mo-li tertawa. "Heh-heh-heh, siapa yang begitu bodoh hendak melepaskannya" Engkaulah yang tolol, tidak mampu mengatasi seorang ingusan!" Sin-kiam Mo-li mengeluarkan suara melengking dan Suma Lian cepat menoleh ke kanan kiri mendengar ada gerakan di sekelilingnya. Kiranya tempat itu telah terkepung oleh puluhan orang yang memakai pakaian serba merah, menyeramkan sekali!
"Hemmm, sudah kuduga bahwa kalian bukanlah orang baik-baik!" kata Suma Lian marah, akan tetapi sikapnya tetap tenang. "Akan tetapi jangan dikira bahwa aku takut menghadapi badut-badut ini!" Padahal diam-diam ada suatu hal yang dikhawatirkan Suma Lian, yaitu anak itu. Bagaimana mungkin ia dapat melindungi anak itu kalau ia harus menghadapi pengeroyokan begitu banyak orang!
"Yo Han, dengar baik-baik. Kalau nanti aku berkelahi dengan mereka berusahalah untuk melarikan diri dari sini!" bisiknya kepada anak itu yang hanya dapat mengangguk, akan tetapi mata anak itu memandang ke sekeliling di mana orang-orang berpakaian serba merah telah bergerak maju mengepung. Dia memang sudah melihat orang-orang itu ketika dibawa pergi ke sini dan dia tidak tahu siapa mereka, apa pula maksud wanita cantik yang menahannya.
"Adik manis," kata Sin-kiam Mo-li yang dapat menduga bahwa gadis itu tentu lihai dan ia justeru bertugas untuk menghimpun orang-orang lihai. Mengapa tidak dicobanya mendekati gadis ini dan membujuknya untuk bersahabat dan bersekutu" "Di antara kita tidak ada permusuhan apa pun dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kami tidak berniat buruk terhadap Yo Han. Kalau kami berniat buruk, tentu dia tidak selamat sampai sekarang. Nah, setelah engkau datang memintanya, kami telah memberikan dengan suka rela. Apakah engkau tidak mau menghargai sikap persahabatan ini" Mari kita bersahabat dan siapa tahu di antara kita dapat bekerja sama!"
Suma Lian semakin waspada. Wanita ini mempunyai niat tertentu,pikirnya. Ia tersenyum. Orang itu menyebut adik, maka biarpun ia tahu bahwa usia wanita itu lebih tua dari ibunya, ia menyebutnya enci.
"Enci, aku adalah seorang yang suka hidup mengembara, seorang diri dan tidak ingin mengikatkan diri dengan kerja sama dengan orang lain. Dan masih banyak urusan yang harus kuselesaikan. Kalau kalian memang berniat baik dan mengembalikan anak ini kepadaku, terima kasih dan biarlah aku membawa Yo Han pulang ke rumahnya. Nah, selamat tinggal! Mari, Yo Han, kita pergi!"
Akan tetapi, tiba-tiba Sin-kiam Moli berseru marah. "Tahan! Hemmm, engkau ini masih muda akan tetapi sungguh tinggi hati sekali. Engkau datang tanpa kami undang, engkau menggunakan kekerasan terhadap pembantu kami, dan sekarang hendak pergi begitu saja" Tidak mungkin! Engkau harus berjanji membantu kami, mau atau tidak. Kalau melawan celaka. Liok Cit, pergunakan pasukan tangkap gadis ini!"
Biarpun Liok Cit sudah merasa jerih terhadap gadis ini, namun kini di situ ada Sin-kiam Mo-li dan ada puluhan orang anak buah Ang-i Mo-pang, maka tentu nyalinya menjadi besar. Pula dengan gin-kangnya yang istimewa, dia masih mampu menyelamatkan diri kalau sampai gadis ini mengamuk.
"Kepung ia, tangkap!" teriaknya dan belasan orang anggauta Ang-i Mo-pang yang belum mengenal Suma Lian dan memandang rendah, lalu mengurungnya dan serentak mereka itu menubruk hendak menangkap, seperti sekawanan serigala memperebutkan kelinci yang muda dan segar dagingnya. Mereka berlumba untuk dapat merangkul dan memeluk gadis yang cantik itu. Menghadapi sergapan mereka, Suma Lian memutar tubuhnya sambil menggerakkan kedua tangannya dan terjadilah hal yang membuat Sin-kiam Mo-li terkejut bukan main. Belasan orang itu seperti disambar halilintar, atau seperti sekumpulan daun kering diterjang angin keras. Mereka terpelanting dan terbanting jatuh sebelum dapat menyentuh tubuh gadis itu!
Tentu saja Sin-kiam Mo-li terkejut. Belasan orang anggauta Ang-i Mo-pang itu bukanlah orang-orang lemah! Akan tetapi, bahwa hawa pukulan yang keluar dari kedua tangan gadis itu, juga gerakan memutar tubuh itu, menunjukkan ilmu yang tinggi tingkatnya! Tahulah ia kini mengapa Liok Cit menjadi seperti tikus yang tidak berdaya menghadapi gadis ini.
"Pergunakan senjata!" bentaknya dengan penasaran. Belasan orang anggauta Ang-i Mo-pang yang lain, yang marah melihat teman-teman mereka berpelantingan, sudah mencabut pedangnya. Juga Tok-ciang Hui-moko Liok Cit mencabut pedang. Kini, dibantu oleh belasan orang, timbul keberaniannya, bahkan dia bernafsu untuk membalas kekalahannya tadi ketika melawan Suma Lian.
Melihat belasan orang mengepungnya dengan pedang telanjang di tangan, Suma Lian tersenyum mengejek. "Orang yang suka mempergunakan kekerasan, akan menjadi korban kekerasannya sendiri. Kalian membawa pedang, nah, biarlah kalian rasakan bagaimana terluka oleh senjata itu!" Dan ia pun mencabut suling emasnya dari pinggang. Melihat suling emas ini, Sin-kiam Mo-li terkejut sekali.
"Suling Emas...." serunya kaget. Pernah ia dahulu melawan seorang pendekar yang amat lihai, yang juga mempergunakan sebatang suling, yaitu pendekar Sim Houw, suami dari Can Bi Lan. Pendekar itu hebat sekali ilmunya dan harus diakuinya bahwa melawan pendekar itu, ia tidak dapat menang. Dan kini, gadis ini mengeluarkan pula sebatang suling emas, walaupun tidak sepanjang suling naga di tangan pendekar Sim Houw itu.
Akan, tetapi, Liok Cit dan belasan orang anak buah Ang-i Mo-pang sudah menerjang dan mengeroyok Suma Lian. Sin-kiam Mo-li hanya nonton saja sambil memperhatikan gadis yang bersenjata suling emas itu. Ia melihat betapa suling itu digerakkan dan lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar emas yang mengeluarkan suara berdengung seolah-olah suling itu ditiup orang. Dan kini, gulungan sinar emas itu menyambar-nyambar ke sekeliling, menyambut pengeroyokan belasan orang yang mulai menyerangnya.
Terdengar suara nyaring berdencing berulang kali dan beberapa orang pengeroyokterdorong ke belakang, bahkan ada dua batang pedang yang terlempar dan terlepas dari pegangan. Demikian hebatnya kekuatan gulungan sinar keemasan itu. Liok Cit menusukkan pedangnya dari belakang, mengarah punggung Suma Lian, akan tetapi dengan amat mudahnya gadis itu menggeser kedua kakinya dan kini hujan senjata pedang itu dielakkannya dengan gerakan langkah-langkah ajaibnya. Dengan mengandalkan San-po Cin-keng, biarpun dikeroyok orang yang jauh lebih banyak lagi, Suma Lian akan mampu menyelamatkan dirinya. Yang membuat ia sibuk adalah memikirkan Yo Han. Anak itu masih berada di pinggiran, agaknya masih mencari-cari kesempatan untuk melarikan diri karena tempat itu masih terkepung-banyak orang berpakaian merah
Agaknya Yo Han kini menjadi nekat. Melihat betapa gadis penolongnya itu masih dikeroyok dan kini lebih banyak lagi orang berpakaian merah mencabut pedang hendak maju mengeroyok, tiba-tiba dia melarikan diri hendak menerobos keluar. Akan tetapi, tiba-tiba Sin-kiam Mo-li meloncat dan sekali menotok, tubuh anak itu pun terjungkal dan tidak mampu bergerak lagi!
Sin-kiam Mo-li menjadi marah. "Hemm, kiranya engkau memiliki juga sedikit ilmu kepandaian!" katanya dan ia pun sudah mengeluarkan sepasang senjatanya, yaitu kebutan merah bergagang emas dan pedang di tangan kanan. Dengan sepasang senjatanya ini, Sin-kiam Mo-li meloncat ke depan dan seperti seekor burung saja, tubuhnya melayang ke atas, lalu menukik ke bawah, kebutan berbulu merah itu menotok ke arah ubun-ubun kepala Suma Lian sedangkan pedangnya membabat ke arah leher. Serangan ini cepat, kuat dan tidak terduga datangnya.
"Ihhh!" Suma Lian terkejut juga. Tak disangkanya bahwa wanita cantik itu sedemikian lihainya. Cepat ia mengelak dengan geseran kaki ke kiri dan sulingnya diangkat untuk menangkis kebutan yang datang dari atas, berusaha untuk membabat bulu kebutan merah yang menotok ke arah ubun-ubun kepalanya!
Patut diketahui bahwa biarpun senjata yang berada di tangan Suma Lian itu sebatang suling emas yang tentu saja tidak setajam seperti pedang, namun karena ilmu yang dimainkan itu adalah ilmu pedang gabungan yang amat lihai, maka sinar suling itu saja sudah mengandung hawa kuat dan ketajaman seperti pedang! Sin-kiam Mo-li juga bukan seorang bodoh yang memandang rendah lawan. Ia tadi sudah tahu bahwa gadis yang memegang suling emas ini lihai bukan main dan suling itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Maka, melihat betapa sinar emas yang menyilaukan mata itu menyambar ke arah kebutannya, ia merasa khawatir kalau kebutannya rusak atau rontok bulunya. Cepat ia mengerahkan tenaganya dan dengan tenaga sin-kang ini ia membuat bulu-bulu kebutannya itu berubah kaku seperti kawat baja.
"Traaanggg....!" Bunga api berpijar dan kembali Sin-kiam Mo-li terkejut karena tangan yang memegang gagang kebutan itu tergetar hebat dan ada hawa dingin sekali menyusup melalui tangannya sampai ke siku lengan!
"Ihhhhh...." Cepat ia mengerahkan sin-kang untuk melawan dan mendorong hawa dingin itu agar keluar kembali karena kalau dibiarkan, hawa dingin itu akan terus memasuki tubuhya dan ia bisa celaka. Wajahnya berubah agak pucat karena hawa dingin itu mengingatkan ia akan keluarga para pendekar Pulau Es. Ia melompat ke belakang dan membiarkan orang-orangnya yang berpakaian merah untuk terus melakukan pengepungan dan pengeroyokan. Akan tetapi, orang-orang Ang-i Mo-pang juga merasa jerih dan mereka hanya mengurung sambil berputaran saja. Liok Cit sendiri pun belum berani menyerang lagi. Melihat betapa Sin-kiam Mo-li saja yang mempergunakan pedang dan kebutannya kini meloncat mundur dengan kaget, apalagi dia!
Sementara itu, Sin-kiam Mo-li yang meloncat mundur kini memandang tajam, karena ia teringat akan gadis yang bernama Pouw Li Sian itu, yang ternyata adalah murid mantu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Dan kini tiba-tiba saja muncul seorang gadis lain yang mempergunakan sin-kang yang mengandung hawa dingin pula.
"Kau.... kau murid keluarga Pulau Es" tanyanya, agak gagap karena bagaimanapun juga, ia merasa jerih berhadapan dengan orang-orang Pulau Es.
Melihat betapa wanita cantik yang lihai itu meloncat mundur, namun bagaimanapun juga tadi dapat menahan Swat-im Sin-kang yang ia pergunakan untuk menangkis kebutan, dan bulu kebutan itu pun berubah menjadi kaku seperti kawat baja, bahkan kini dapat mengenal sin-kangnya sehingga dapat menduga bahwa ia murid keluarga Pulau Es, diam-diam Suma Lian merasa kagum. Wanita ini jelas bukan orang sembarangan saja. Kalau saja ia dapat lebih lama bercakap-cakap dengan Kao Hong Li dan mendengar bahwa seorang di antara para pembunuh penghuni Istana Gurun Pasir adalah Sin-kiam Mo-li, wanita ini, tentu akan lain lagi sikapnya!
Mendengar pertanyaan wanita itu, Suma Lian tersenyum. Ia tahu bahwa lawan ini lihai sekali, dan dibantu oleh demikian banyaknya anak buah yang juga tidak boleh dipandang ringan, kalau ia dikeroyok, keadaannya cukup berbahaya. Apalagi mengingat akan anak laki-laki yang kini sudah tertawan kembali dan tertotok oleh wanita itu bahkan kini telah dijaga oleh dua orang berpakaian merah, ia tahu bahwa pihaknya berada dalam keadaan yang lemah. Sebaliknya kalau ia dapat minta anak itu. secara damai. Ia sendiri tidak khawatir akan keselamatan dirinya karena ia yakin akan mampu membela diri, akan tetapi bagaimana dengan anak laki-laki itu" Maka ia pun tersenyum dan menjawab terus terang untuk mempergunakan nama besar keluarganya agar wanita itu tunduk.
"Enci, engkau sendiri seorang yang berilmu tinggi. Ketahuilah, namaku Suma Lian, aku cucu buyut dalam dari penghuni Istana Pulau Es. Dan siapakah engkau, dan kuharap engkau suka menyerahkan anak itu kepadaku agar dapat kuantar pulang ke rumah orang tuanya."
Akan tetapi, begitu mendengar pengakuan gadis itu bahwa ia adalah cucu Pendekar Super Sakti, Sin-kiam Mo-li terkejut dan cepat memberi aba-aba kepada anak buahnya. "Serang dan tangkap gadis ini, kalau perlu bunuh!"
Tentu saja Suma Lian terkejut mendengar ini dan ia pun marah. Mukanya menjadi merah dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong. "Bagus! Kaukira aku takut menghadapi pengeroyokan kalian" Majulah kalau kalian semua sudah bosan hidup!"
Mendengar perintah Sin-kiam Mo-li, Tok-ciang Hui-moko Liok Cit lalu memberi aba-aba rahasia kepada para anak buah Ang-i Mo-pang. Dua puluh empat orang membuat lingkaran mengepung Suma Lian dan mereka berlari-lari mengelilingi gadis itu. Suma Lian maklum bahwa mereka itu mempergunakan barisan yang teratur dan kalau ia terpengaruh oleh gerakan mereka yang berlari-larian mengelilingi, sedikitnya ia akan merasa pening. Oleh karena itu, ia tidak mempedulikan gerakan mereka yang berlarian mengelilinginya itu. Ia melihat pula betapa di luar barisan pertama yang berlarian mengelilinginya searah jarum jam itu, terdapat pula belasan orang berpakaian merah yang juga berlarian, akan tetapi dengan arah yang berlawanan dari barisan pertama yang berada di sebelah dalam. Ia tidak membiarkan dirinya terpengaruh. Sebagai puteri Suma Ceng Liong yang sudah digembleng oleh ayahnya dalam ilmu sihir, Suma Lian maklum bahwa dalam barisan ini pun ada unsur kekuatan sihirnya, maka ia pun tidak mau terpengaruh, melainkan berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, tangan kanan memegang suling emas yang dilintangkan di depan dada, tangan kiri digantung di pinggang. Biarpun ia nampak santai saja, namun sesungguhnya ia telah siap siaga dan seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah siap menghadapi serangan.
Terdengar Liok Cit memberi aba-aba dan mulailah barisan sebelah dalam yang terdiri dari dua puluh empat orang yang mengelilinginya itu mempersempit lingkaran, terpecah menjadi tiga kelompok dan kini delapan orang yang mengepungnya, dua masing-masing di depan belakang dan kanan kiri dan delapan orang ini sudah menyerangnya dalam saat yang bersamaan, mempergunakan pedang mereka. Adapun sisanya, dua kelompok lagi dari masing-masing delapan orang siap menjadi pasukan lapis ke dua dan ke tiga, dan masih ada lagi lapisan di sebelah luarnya!
Diserang oleh delapan orang dari delapan penjuru, Suma Lian tidak merasa gentar. Ia seorang gadis yang cerdik dan ia tidak sudi membiarkan dirinya dikepung oleh barisan berlapis-lapis itu. Kalau ia melayani mereka, tentu akan habis tenaganya dan agaknya inilah yang akan dilakukan mereka. Maka, melihat dirinya diserang dari delapan penjuru, ia malah menubruk ke depan, memutar sulingnya dan dua orang penyerang di depannya terjungkal dan ia pun terus menerobos keluar kepungan itu karena serangan enam orang lainnya tidak mengenai sasaran dan kepungan itu pun bobol dengan robohnya dua orang di depannya. Ia sudah dihadang oleh barisan lapis ke dua, juga berjumlah delapan orang yang kiri langsung menyerangnya sambil lari berputar. Agaknya Liok Cit cukup pandai sehingga melihat cara Suma Lian membobolkan kepungan lapisan pertama, dia lalu memerintahkan lapisan kedua untuk menyerang sambil bergerak memutari gadis itu agar gadis itu tidak mampu membobol satu bagian saja seperti yang dilakukannya tadi.
Akan tetapi, Liok Cit terlalu memandang rendah gadis itu kalau dia mengharapkan akalnya berhasil. Kalau ia menghendaki, sekali memutar sulingnya, tentu saja Suma Lian akan mampu merobohkan delapan orang penyerangnya itu, sekaligus membunuh mereka. Akan tetapi, ia seorang pendekar wanita yang pantang membunuh sembarangan saja. Ia tahu bahwa orang-orang yang berpakaian serba merah itu hanyalah anak buah yang mentaati perintah atasan. Mereka itu tidak bermusuhan dengannya. Yang harus dirobohkan adalah Liok Cit dan pemimpinnya, yaitu wanita cantik itu. Kalau ia berhasil merobohkan mereka, tentu akan mudah baginya untuk menyelamatkan anak laki-laki yang mereka culik dan tawan.
Dengan langkah ajaib San-po Cin-keng dan Ilmu Silat Kong-jiu Jip-tin (Tangan Kosong Memasuki Barisan) mudah saja baginya untuk melangkah dan mengelak dari sambaran delapan batang pedang itu dan tiba-tiba delapan orang itu menjadi terkejut dan bingung karena tiba-tiba saja ada bayangan berkelebat dan mereka tidak lagi melihat gadis itu, seolah-olah gadis itu dapat menghilang dari depan mata mereka. Padahal, Suma Lian tadi mempergunakan ginkangnya dan ia sudah mencelat ke atas, melampaui kepala delapan orang itu dan dari atas ia melihat betapa Liok Cit memberi aba-aba sambil berdiri di atas gundukan tanah yang tinggi. Maka, sekali meloncat, kini tubuhnya sudah meluncur ke arah orang itu!
Tentu saja Liok Cit kaget setengah mati ketika melihat gadis itu kini meloncat ke arahnya dan menyerang dengan suling yang berubah menjadi gulungan sinar emas itu. Dia sendiri seorang ahli gin-kang yang bahkan lebih lihai dari gadis itu, akan tetapi karena serangan yang dilakukan Suma Lian itu tiba-tiba sekali datangnya dan tidak terduga lebih dahulu, dia pun tidak sempat untuk mengelak dan terpaksa mempergunakan pedangnya menangkis sinar emas yang menyambar ke arah dadanya.
"Tranggg....!" Sungguh hebat pertemuan antara suling dan pedang itu dan akibatnya, pedang di tangan Liok Cit terlepas dan orang ini lalu menyelamatkan diri dengan melempar tubuh ke belakang, bergulingan di atas tanah! Suma Lian mengejar dan siap untuk menotok dengan sulingnya, akan tetapi, sebatang pedang menangkisnya.
"Cringgg....!" Kiranya yang menangkis adalah Sin-kiam Mo-li dan wanita ini merasa kagum bukan main, juga kaget. Sungguh hebat ilmu kepandaian cucu buyut penghuni Istana Pulau Es ini. Sementara itu, melihat betapa pedang yang menangkisnya tadi berada di tangan wanita itu yang agaknya mulai turun tangan sendiri membantu anak buahnya, Suma Lian menjadi girang. Memang inilah yang diharapkan, yaitu langsung bertanding melawan wanita itu dan Liok Cit! Ia sudah siap menyerang wanita itu, akan tetapi tiba-tiba ia menghentikan gerakannya dan berdiri terpukau melihat betapa sambil tersenyum licik wanita itu menodongkan pedangnya ke dada anak laki-laki yang dicengkeram pundaknya!
"Suma Lian, menyerahlah atau terpaksa aku akan menusuk dada anak ini dengan pedangku, baru akan mengeroyokmu sampai engkau tertawan, hidup atau mati!"
Tentu saja Suma Lian menjadi bingung. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa wanita yang cantik dan berkepandaian tinggi itu akan melakukan muslihat yang demikan curang, tanpa malu-malu melakukan siasat licik ini. Ia terlibat dengan mereka hanya untuk menyelamatkan anak laki-laki itu, apa artinya kalau sampai anak itu terbunuh karena ia mengamuk" Dan wanita itu bukan orang yang bodoh, agaknya tidak akan segan lagi membunuh anak itu untuk memaksakan kemauannya, untuk membuat ia tidak berdaya. Akan tetapi, meninggalkan anak itu begitu saja pun ia tidak tega. Ia pun menjadi bingung dan meragu, dan pada saat itu terdengar suara anak laki-laki itu, lantang dan penuh keberanian.
"Enci, jangan dengarkan gertak kosong iblis ini! Di antara kita tidak ada hubungan apa pun, kalau ia membunuhku pun, Enci tidak akan rugi apa-apa. Jangan mau diancam dan digertak. Kalau ia mau membunuhku, boleh bunuh, siapa sih yang takut mati" Akan tetapi, Enci sebagai pendekar harus menentangnya dan membunuh iblis jahat ini berikut anak buahnya!"
Suma Lian terbelalak memandang anak laki-laki itu. Tidak kelirukah pendengarannya" Anak itu baru berusia kurang lebih tujuh tahun! Akan tetapi ketika mengeluarkan kata-kata tadi, berdirinya tegak, matanya mencorong dan suaranya lantang, pantasnya diucapkan oleh seorang laki-laki dewasa yang gagah perkasa, yang sedikit pun tidak takut mati! Jelas bahwa anak ini pun bukan bocah sembarangan saja, tentu keturunan orang tua pendekar!
Mendengar ucapan itu, Suma Lian tersenyum lebar bahkantertawa. Ia pun mengerti bahwa sikap dan ucapan anak itu sekaligus menghantam dan menghancurkan siasat wanita itu untuk memaksanya dengan cara mengancam hendak membunuh anak itu. Anak itu benar! Kalau ia merasa khawatir akan keselamatan anak itu, tentu saja hal ini merupakan senjata ampuh bagi lawan, dan lawan dapat memaksakan kehendaknya dengan mengancam anak itu, melakukan pemerasan kepadanya. Sebaliknya, kalau lawan mengetahui bahwa ia tidak peduli akan keselamatan anak itu, tentu lawan merasa percuma mempergunakan siasat seperti itu, dan tidak mau membunuh anak itu dengan sia-sia, apalagi agaknya anak itu penting bagi mereka.
"Hemmm, iblis betina, engkau sudah mendengar sendiri ucapan bocah yang gagah perkasa itu! Dia bukan apa-apaku, mau kaubunuh atau kauapakan terserah, akan tetapi ketahuilah bahwa setelah aku mengetahui akan kejahatan kalian, aku pasti tidak akan tinggal diam sebelum membasmi kalian dengan sulingku ini!"
Sin-kiam Mo-li merasa mendongkol bukan main kepada Yo Han. Tak disangkanya anak itu sedemikian nekat dan beraninya, mengeluarkan kata-kata seperti itu sehingga gagallah semua siasatnya terhadap Suma Lian. Ia merasa gemas dan ingin sekali ia sekali tusuk dengan pedangnya menembusi dada anak itu. Akan tetapi ia masih membutuhkannya, untuk memancing datangnya ibu anak ini dan memaksa ibunya untuk membantu gerakan persekutuannya. Kalau kini ia membunuh anak ini, selain Suma Lian akan menentangnya mati-matian, juga kalau ibunya mengetahui, tentu ia mendapat tambahan musuh yang berbahaya juga. Ibu anak ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan, walaupun ia percaya bahwa dengan ilmu kepandaiannya, ia mampu mengalahkan Bi-kwi (Setan Cantik) Ciong Siu Kwi itu.
"Hemmm, kaukira aku hanya gertak kosong belaka" Lihat, anak ini tidak akan kubunuh memang, belum lagi, akan tetapi aku dapat menyiksanya!" katanya sambil menggerakkan kebutannya ke atas kepala anak itu yang memandang tanpa berkedip, penuh keberanian dan ketabahan. Suma Lian memandang dengan menahan napas penuh kekhawatiran yang disimpannya saja di dalam hatinya. Ia khawatir kalau-kalau iblis betina itu benar-benar menyiksa anak itu, karena bagaimana pun juga, walaupun anak itu bukan apa-apanya, tentu saja ia tidak rela kalau anak itu disiksa atau dibunuh!
Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring, "Sin-kiam Mo-li, berani engkau hendak menyiksa anakku" Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan di situ telah berdiri seorang wanita. Suma Lian memandang penuh perhatian. Wanita itu usianya kurang lebih empat puluh tahun, pakaiannya sederhana sekali dari kain kasar yang kuat, jelas pakaian seorang petani seperti yang biasa dipakai wanita petani, wajahnya pun tidak memakai alat kecantikan, namun harus diakui bahwa wajahnya itu cantik menarik, dan tubuhnya pun masih padat dan langsing, kulit mukanya, leher dan tangannya nampak kecoklatan, tanda bahwa ia biasa bekerja di sawah ladang dan terbiasa setiap hari dibakar matahari. Seorang wanita dusun biasa saja, akan tetapi ada sesuatu yang luar biasa, yaitu pada sinar matanya yang mengeluarkan sinar tajam sekali.
"Ibu....!" Tiba-tiba Yo Han, anak itu, berseru. "Aku diculik oleh laki-laki kurus di sana itu, atas perintah iblis wanita ini!"
Wanita itu memandang kepada puteranya, tersenyum dan berkata, "Tenanglah, anakku." Kemudian ia pun memandang kepada Sin-kiam Mo-li. Sesaat kedua orang wanita ini saling pandang, seperti hendak menjenguk isi hati masing-masing, kemudian wanita dusun itu berkata,
"Sin-kiam Mo-li, engkau tahu bahwa sejak dahulu aku tidak pernah lagi mencampuri dunia kang-ouw. Aku hidup di dusun bersama suamiku dan puteraku, hidup bersih sebagai petani. Mengapa sekarang tiba-tiba engkau masih mengganggu kami dan menculik anakku" Kalau engkau hendak menggunakan anakku sebagai sandera untuk memaksaku melakukan sesuatu, ingatlah bahwa biar engkau membunuh kami sekeluarga, aku tidak akan sudi membantu engkau melakukan kejahatan, Sin-kiam Mo-li!"
Sin-kiam Mo-li yang masih mengamati wanita itu, tiba-tiba tertawa. "Hiik-hi-hi, sungguh mati, hampir aku tidak dapat mengenalmu lagi, Bi-kwi! Engkau, yang dahulu cantik jelita, gagah perkasa dan cerdik sekali, murid tersayang dari Sam Kwi, sekarang telah menjadi seorang wanita dusun yang kotor, dungu dan berbau pupuk tahi kerbau! Heh-heh-hi-hi-hik, alangkah lucunya. Akan tetapi, jangan salah sangka, Bi-kwi. Kalau engkau dapat berubah, kaukira aku tidak dapat" Aku pun sudah meninggalkan dunia hitam dan kini aku bahkan sedang bergerak bersama para pendekar dan patriot untuk membebaskan bangsa kita dari cengkeraman penjajah Mancu!"
Kisah Si Bangau Putih Bu Kek Sian Su 14 Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bi-kwi, yaitu julukan dari Ciong Siu Kwi, wanita itu, memandang terbelalak tidak percaya, akan tetapi sinar matanya memandang penuh selidik kepada wanita yang dikenalnya sebagai wanita iblis yang pernah dimusuhinya beberapa tahun yang lalu. Ia maklum betapa cerdik dan liciknya wanita yang berjuluk Sin-kiam Moli ini, maka ia pun tahu bahwa nyawa puteranya berada di tangan wanita iblis itu, dan bahwa ia sama sekali tidak boleh bersikap lengah. Ia harus berhati-hati sekali berurusan dengan iblis betina ini.
Sementara itu, Suma Lian kini teringat. Ayah ibunya banyak bercerita kepadanya tentang tokoh-tokoh di dunia persilatan dan pernah ayahnya bercerita tentang Sam Kwi, tentang dua orang murid Sam Kwi. Yang seorang bernama Can Bi Lan dan kini menjadi isteri dari Pendekar Suling Naga Sim Houw, yaitu suheng dari ibunya. Can Bi Lan mempunyai seorang suci (kakak seperguruan perempuan) yang tadinya merupakan seorang tokoh sesat yang amat terkenal dengan julukannya Bi-kwi, bernama Ciong Siu Kwi yang menurut ayah ibunya, kini tokoh sesat itu telah sadar, bahkan telah melakukan perbuatan-perbuatan gagah perkasa membela para pendekar. Menurut ayahnya, tokoh itu telah menikah dengan seorang pemuda petani yang berjiwa gagah perkasa walaupun tidak paham ilmu silat, dan kini kabarnya telah mengundurkan diri dan hidup sebagai petani, entah di mana karena keluarga itu tidak pernah menghubungi teman-teman lagi, bahkan tidak pernah mencampuri urusan dunia persilatan. Tadinya, cerita tentang wanita itu tidak begitu menarik perhatiannya, akan tetapi kini, secara aneh dan kebetulan, ia dihadapkan dengan tokoh itu! Maka, tentu saja ia merasa amat tertarik dan ingin sekali ia melihat apa yang akan terjadi antara bekas tokoh sesat itu dan wanita lihai yang berjuluk Sin-kiam Mo-li ini. Kini ia pun mengerti mengapa anak kecil berusia tujuh tahun itu memiliki. sikap seorang jantan, seorang pendekar. Kiranya dia putera bekas tokoh sesat yang pernah dipuji-puji oleh orang tuanya itu!
Memang tidak bohong kalau Ciong Siu Kwi mengatakan kepada Sin-kiam Mo-li bahwa sudah lama sekali ia tidak pernah lagi mencampuri dunia persilatan. Jangankan dunia persilatan, bahkan selama ini ia belum pernah memperlihatkan ilmu silatnya sehingga kecuali suaminya sendiri, tak seorang pun di dalam dusun mereka atau di dusun-dusun sekitar tempat tinggal mereka tahu bahwa nyonya Yo Jin yang setiap hari bekerja seperti wanita petani biasa itu sebetulnya adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian silat yang amat tinggi! Bahkan Yo Han sendiri pun tidak tahu! Yo Jin ayah anak itu, melarang isterinya untuk melatih putera mereka dengan ilmu silat.
"Ilmu silat tak terpisahkan dari kekerasan," demikian suami itu berkata. "Dan kekerasan selalu mendatangkan permusuhan, dendam, kebencian dan kekejaman. Kita tidak boleh membiarkan putera kita menjadi seorang yang banyak musuh dan akhirnya menjadi seorang manusia yang berhati keras dan kejam."
"Kurasa tidak selalu harus begitu, karena ilmu silat selain menjadi ilmu bela diri, juga merupakan olah raga yang menyehatkan badan dan batin, juga merupakan kesenian yang indah, bahkan kalau tidak keliru penggunaannya, dapat membuat orang menjadi seorang pendekar yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan.
"Hemmm, bagaimanapun juga alasannya tetap saja akhirnya dia akan mempergunakan kepandaiannya, yaitu ilmu memukul roboh, melukai dan membunuh orang lain, untuk mempertahankan apa yang dinamakannya kebenaran dan keadilan itu," kata Yo Jin. "Tidak perlu melihat terlalu jauh atau mencari contoh yang terlalu jauh, ingat saja pengalamanmu sendiri. Ketika engkau masih berkecimpung di dunia persilatan, dengan modal kepandaian silatmu, bagaimana keadaan dirimu" Kemudian, lihat keadaanmu sekarang, sejak kita menikah, sejak engkau meninggalkan dunia persilatan, sejak engkau tak pernah
Seruling Samber Nyawa 2 Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Pendekar Kelana 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama