Ceritasilat Novel Online

Pendekar Super Sakti 22

Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo Bagian 22


an Han. Bukankah kedua orang nenek dan kakek itu merupakan orang-orang terakhir di dunia ini yang masih "berbay" keluarga nenek moyangnya sendiri" Merupakan orang-orang yang masih ada hubungan dengan keluarga Suma yang terkenal jahat di masa lalu" Teringatlah ia akan cerita yang didengarnya dari mulut Ma-bin Lo-mo sendiri ketika ia masih menjadi murid In-kok-san di Pegunungan Tai-hang-san ini. Arca yang dipuja di In-kok-san adalah arca Suma Kiat, guru Ma-bin Lo-mo atau ayah dari Suma Hoat Si Dewa Cabul atau kong-kongnya sendiri! Jadi Ma-bin Lo-mo adalah murid dari kakek buyutnya. Adapun nenek iblis Toat-beng Ciu-sian-li adalah seorang selir dari kakek buyutnya itu! Hemmm, baru murid dan selir saja sudah merupakan dua orang iblis yang kejahatannya sukar dicari bandingnya! Dapat dibayangkan betapa luar biasa jahat dan kejinya keluarga Suma itu sendiri! Pantaslah kalau dia, sebagai keturunan keluarga Suma, kini selalu hidup merana dan menderita sengsara, agaknya Thian telah menghukumnya atas dosa-dosa yang dilakukan nenek moyangnya!
Setelah Han Han tiba di puncak Tai-hang-san, di lembah In-kok-san, dari jauh ia sudah melihat banyaknya orang yang berkumpul di situ. Ia cepat menyelinap dan berindap-indap mendekati pekarangan lebar di mana berkumpul banyak orang yang duduk di bangku-bangku membentuk lingkaran. Mereka itu terdiri dari orang-orang yang sudah tua dan bersikap penuh wibawa. Para tamu itu menghadapi fihak tuan rumah yang merupakan rombongan yang duduk di atas bangku-bangku di depan pondok dan mereka ini adalah Puteri Nirahai sendiri yang ditemani oleh Ma-bin Lo-mo sebagai pemilik In-kok-san tempat mereka mengadakan pertemuan, Toat-beng Ciu-sian-li, Kang-thouw-kwi Gak Liat, dan kedua orang pendeta Lama dari Tibet yang lihai, Thian Tok Lama dan Thian Li Lama!
Han Han yang bersembunyi dekat tempat itu dapat melihat jelas dan sebagian di antara para tamu ada yang telah dikenalnya. Dari fihak Siauw-lim-pai hadir Ceng To Hwesio penjaga kuil Siauw-lim-si yang menjadi sute Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai ditemani dua orang kakek yang setelah Han Han ingat-ingat ternyata ia mengenalnya sebagai dua orang di antara Kang-lam Sam-eng (Tiga Pendekar Kang-lam). Dahulunya tiga pendekar itu adalah Khu Ceng Tiam kakek yang pendek kecil itu, Liem Sian yang tinggi besar, dan orang ke tiga adalah seorang wanita cantik Bhok Khim yang telah diperkosa Gak Liat Si Setan Botak dan bahkan yang terakhir bertemu dengan Han Han ketika wanita yang menjadi gila itu membobol kamar penyiksa diri di Siauw-lim-pai dan melarikan diri membawa anaknya. Han Han merasa heran mengapa dalam pertemuan penting ini, hanya Ceng To Hwesio dan dua orang tokoh Siauw-lim-pai bukan pendeta ini yang hadir. Mengapa lima orang tokoh Siauw-lim Chit-kiam tidak hadir pula"
Han Han memperhatikan terus para tokoh yang hadir sebagai tamu. Ia melihat pula tokoh-tokoh Hoa-san-pai yang merupakan tosu-tosu tingkat tiga, tiga orang tosu galak yang pernah bentrok dengan dia dahulu, yaitu Lok Seng Cu dan Bhok Seng Cu, agaknya tiga orang kakek ini mewakili guru mereka, ketua Hoa-san-pai untuk hadir di In-kok-san ini.
Selain kedua rombongan wakil Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, masih banyak terdapat wakil-wakil dari partai-partai persilatan lain, bahkan di antara mereka pula orang-orang dari Pek-lian Kai-pang, dan tokoh-tokoh pejuang yang pernah ia jumpai di Se-cuan. Kini dia memperhatikan Nirahai dan makin kagumlah hati Han Han. Benar-benar ampt hebat gadis itu.
Masih amat muda, wajahnya cantik jelita seperti bidadari, kadang-kadang demikian lembut seperti setangkai mawar yang bergoyang-goyang perlahan terhembus angin, kadang-kadang membayangkan kekerasan yang melebihi baja pilihan. Semuda dan secantik itu telah menjadi seorang pemimpin besar, bahkan kini mengumpulkan para tokoh perjuangan dan para wakil-wakil partai persilatan yang jelas merupakan musuh-musuh besarnya. Demikian beraninya gadis ini! Apa kehendaknya mengumpulkan para pejuang yang bagi puteri itu tentu dianggap pemberontak-pemberontak ini" Diam-diam Han Han merasa khawatir. Puteri ini terkenal cerdik sekali dan ahli siasat yang pandai mengatur tipu-tipu muslihat. Jangan-jangan setelah dikumpulkan di sini, para pejuang dan tokoh partai-partai besar ini akan dibasmi! Han Han berlaku waspada dan siap sedia. Kalau benar seperti itu siasat Nirahai, biarpun dia sendiri tidak peduli lagi akan perang, terpaksa dia akan turun tangan menentang kecurangan besar ini!
Pada saat itu, agaknya semua tamu telah mengambil tempat duduk dan terdengarlah suara lantang akan tetapi merdu dari mulut Puteri Nirahai. Han Han memandang penuh perhatian dan mendengarkan dari tempat sembunyi. Ia menjadi heran mendengar suara gadis jelita itu, karena biarpun gadis itu bukan berbangsa Han, akan tetapi suaranya sama sekali tidak kaku, bahkan kata-katanya teratur dengan rapi, tanda bahwa gadis itu memiliki pengertian yang baik tentang kesusastraan.
"Atas nama Kerajaan Ceng-tiauw yang jaya, kami yang bertugas sebagai wakil kaisar dalam hal ini, menghaturkan banyak terima kasih kepada para locianpwe dan para enghiong yang telah sudi memenuhi undangan kami untuk datang berkumpul dan bersama-sama menciptakan perdamaian, persahabatan dan kerja sama demi kesejahteraan rakyat jelata!"
Han Han mendengarkan dengan kagum. Puteri itu benar hebat. Selain kata-katanya terdengar rapi teratur, juga nadanya membujuk dan memuji-muji orang gagah, suaranya mengandung dasar ketenangan sehingga amat menarik perhatian mereka yang mendengarnya. Selanjutnya, secara singkat namun padat dan dengan kata-kata teratur baik, puteri itu menjelaskan mengapa pemerintah Kerajaan Mancu mengulurkan tangan untuk mengajak damai dengan para orang gagah, terutama dengan partai-partai besar. Rakyat sudah terlalu lama hidup tertekan dan menderita sengsara akibat perang, katanya. Karena itu, mengapa perang yang menyengsarakan itu dilanjut-lanjutkan" Lebih baik semua tenaga rakyat dikerahkan untuk membangun demi kesejahteraaan hidup rakyat, di bawah pimpinan pemerintah Ceng yang jaya dan yang memang sudah ditentukan oleh Thian untuk memimpin rakyat jelata mencapai kemakmuran.
Sejam lebih puteri itu bicara dengan lancar dan tidak membosankan para pendengarnya. Wajah itu demikian cantik jelita seperti setangkai mawar sedang mekar dengan segarnya, siapakah yang tidak terpikat dan siapakah yang akan bosan memandang" Sepasang mata itu berkilat-kilat penuh semangat dan gairah hidup, bibir yang bergerak-gerak ketika bicara itu demikian manis, semanis kata-kata yang keluar secara teratur dan indah, seolah-olah gadis itu bukan sedang berpidato melainkan sedang mendeklamasikan sajak-sajak indah!
Tubuhnya agak bergoyang, sesuai dengan sikap kewanitaannya, mengingatkan para pemandangnya akan batang pohon yang-liu terhembus angin musim semi, meliak-liuk dengan lemas dan indahnya. Setelah membeberkan rencana kerja pemerintah dan memberikan janji dengan sumpah bahwa pemerintah tidak akan mengganggu hak milik para tuan tanah dan tidak akan mengganggu milik rakyat, tidak akan memeras rakyat dengan pajak berat seperti yang sudah-sudah dilakukan oleh kaisar-kaisar dahulu, berjanji pula akan menumpas semua kejahatan yang menghimpit penghidupan rakyat, menumpas para pencopet, pencuri, perampok dan mereka yang masih memberontak, terdengar puteri jelita itu berkata.
"Hendaknya cu-wi sekalian tidak membesar-besarkan perbedaan suku bangsa. Kita seluruhnya merupakan bangsa yang besar, dan jangan terpengaruh oleh perpecahan-perpecahan yang ditimbulkan oleh para pemberontak. Kita semenjak dahulu merupakan kesatuan suku bangsa-suku bangsa yang menjadi bangsa besar. Tentu cu-wi sekalian masih ingat akan nama seorang pahlawan dan pendekar yang tiada bandingnya selama sejarah berkembang. Siapa yang tidak pernah mendengar nama julukan pendekar besar Suling Emas" Siapa pula yang tidak tahu akan sepak terjangnya, yang tidak memperbedakan bangsa, yang bahkan menjadi suami Ratu Khitan dan mempersatukan suku bangsa-suku bangsa menjadi bangsa yang besar" Bahkan sesungguhnya bangsa-bangsa pun hanya merupakan perpecahan yang dibuat-buat oleh manusia sendiri karena sesungguhnya, tanpa adanya pemecahan bangsa-bangsa, semua manusia di empat penjuru lautan adalah saudara, seperti yang telah diajarkan oleh Nabi Kong Hu Cu bahwa "Su-hai-ci-lwe-kai-heng-te-ya!" (Di Empat Penjuru Lautan Adalah Saudara). Nah, cu-wi sekalian, hendaknya cu-wi percaya bahwa andaikata Pendekar Sakti Suling Emas sekarang masih hidup, beliau tentu akan menyetujui persatuan di antara kita, dan sebagai buktinya bahwa saya, Puteri Nirahai, tidak membohong dan masih mempunyai hubungan dengan keluarga Suling Emas, hendaknya cu-wi sekalian suka memandang pusaka ini!" Tangan Puteri Nirahai bergerak dan berkelebatlah sinar kuning emas yang menyilaukan mata. Ternyata sebatang suling emas telah berada di tangan kanannya dan diangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala.
"Suling Emas....!" Banyak mulut mengucapkan kata-kata ini penuh takjub dan hormat, dan mereka yang tadinya masih ragu-ragu, baru setengah tunduk oleh bujukan kata-kata Puteri Nirahai, kini menjadi tunduk benar ketika menyaksikan senjata pusaka keramat itu berada di tangan sang puteri. Biarpun orangnya sudah puluhan, bahkan ratusan tahun tidak ada, namun nama besar Suling Emas dikenal oleh semua orang gagah di dunia kang-ouw, dan karenanya, melihat senjata keramat ini semua orang menjadi kagum dan tunduk.
Puteri jelita itu tersenyum girang menyaksikan sikap para orang gagah itu dan ia melanjutkan.
"Selain memiliki pusaka keramat ini, juga terus terang saja tanpa maksud membanggakan dan menyombongkan diri, saya berani mengaku bahwa saya adalah seorang yang mewarisi ilmu dari pendekar wanita perkasa Mutiara Hitam. Melihat hubungan saya dengan Suling Emas dan Mutiara Hitam, masih perlukah diragukan bahwa saya tidak mempunyai niat buruk terhadap cu-wi sekalian, orang-orang gagah di dunia kang-ouw"
Semua orang makin tunduk dan keadaan sejenak menjadi hening. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara Ceng To Hwesio wakil Siauw-lim-pai, suaranya tenang namun mengandung wibawa dan suara itu menggetarkan jantung karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khi-kang, "Omitohud....! Apa yang diucapkan oleh Kouwnio amat benar dan melihat senjata keramat itu, siapakah yang tidak akan tunduk" Siapakah pula orangnya di dunia ini yang menghendaki perang yang hanya akan menimbulkan kesengsaraan kepada rakyat jelata" Akan tetapi, Kouwnio, pinceng ingin sekali mengetahui, kalau benar Kouwnio tidak mempunyai niat buruk terhadap kami, mengapakah dua orang murid Siauw-lim-pai, yaitu Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek, dua di antara Siauw-lim Chit-kiam, telah dibunuh"
Semua orang menjadi tegang hatinya mendengar ini, apalagi ketika Lok Seng Cu, orang pertama dari tiga orang tokoh Hoa-san-pai, berkata nyaring.
"Tepat sekali apa yang diucapkan oleh Ceng To Hwesio. Kalau tidak mempunyai niat buruk, mengapa tokoh besar Siauw-lim-pai dibunuh kemudian kesalahannya ditimpakan kepada Hoa-san-pai dengan jalan melemparkan fitnah"
Suasana menjadi makin tegang. Apalagi bagi Han Han yang mengintai dari tempat persembunyiannya, karena dia sebagai orang luar mengetahui benar akan fitnah itu yang menjadi siasat licin Nirahai, bahkan dia terlibat dalam urusan itu. Maka pemuda buntung ini mendengarkan penuh perhatian dan seperti orang-orang yang hadir di situ, ia pun memandang ke arah Puteri Nirahai, ingin tahu apa yang akan menjadi jawaban puteri itu.
Semua orang tercengang dan terheran melihat puteri cantik itu tetap tenang, bahkan kini tersenyum manis, sedikit pun tidak menjadi gugup menghadapi pertanyaan dari fihak Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai yang merupakan serangan hebat itu. Puteri itu memandang tajam ke arah Ceng To Hwesio, kemudian menjura dan berkata, suaranya tetap merdu dan tenang.
"Maaf, Losuhu. Sebelum saya menjawab pertanyaanmu, juga pertanyaan dari Totiang wakil Hoa-san-pai yang sifatnya sama, lebih dulu saya hendak mengajukan pertanyaan dengan harapan agar Losuhu sudi menjawab secara sejujurnya. Pertama, dalam pertandingan perorangan terdapat istilah curang kalau orang itu menggunakan cara-cara yang melanggar ketentuan pertandingan. Akan tetapi, di dalam keadaan perang, terdapat istilah siasat, dan apakah seorang panglima yang menggunakan siasat dalam perang untuk menjebak fihak musuh dapat disebut curang pula"
"Siasat dalam perang bukahlah kecurangan," jawab Ceng To Hwesio dan semua orang mengangguk karena siapakah yang akan dapat mengatakan bahwa siasat dalam perang itu curang"
"Terima kasih," kata Nirahai sambil tersenyum. "Pertanyaan ke dua, kalau seorang perajurit dalam perang membunuh lawan, tanpa peduli siapa lawan yang berada di fihak musuh itu, apakah dia dianggap bersalah dan menjadi seorang pembunuh keji"
"Tentu saja tidak," jaweb pula Ceng To Hwesio. "Membunuh musuh dalam perang merupakan pelaksanaan tugasnya."
Kini Nirahai tersenyum manis sekali, sepasang matanya berseri-seri dan suaranya merdu dan nyaring, "Terima kasih Losuhu. Jawaban-jawaban Losuhu memang tepat sekali dan tidak dapat dibantah oleh siapa pun juga. Nah, sekarang terjawablah pertanyaan-pertanyaan Losuhu sebagai wakil Siauw-lim-pai dan Totiang sebagai wakil Hoa-san-pai. Sesungguhnya, saya yang kini mendapat kehormatan memegang pusaka keramat dari pendekar sakti Suling Emas, dan mengaku sebagai ahli waris ilmu-ilmu pusaka Mutiara Hitam, seujung rambut pun tidak mempunyai rasa permusuhan, apalagi kebencian terhadap para orang gagah di dunia kang-ouw. Sebaliknya, saya bahkan menaruh hormat dan kagum. Akan tetapi mengapa saya membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai" Karena tugas saya, tugas seorang perajurit kerajaan Ayahanda Kaisar! Dan mengapa pula saya menggunakan fitnah kepada Hoa-san-pai, menggunakan siasat untuk mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai" Karena tugas saya sebagai panglima dalam perang! Semua yang saya lakukan itu demi tugas dan terjadi dalam perang. Permusuhan dalam perang bukanlah permusuhan pribadi, karena kalau peristiwa yang timbul sebagai akibat perang lalu dijadikan dendam pribadi, saya kira di dunia ini akan terjadi dendam-mendendam yang tiada habisnya! Saya harap saja Losuhu wakil Siauw-lim-pai dan Totiang wakil Hoa-san-pai dapat menerima penjelasan saya ini yang keluar dari hati, bukan sekedar alasan kosong untuk menghindarkan diri dari kesalahan."
Semua orang yang mendengar ucapan puteri itu diam-diam terpaksa harus membenarkannya. Akan tetapi tiba-tiba seorang kakek yang berpakaian pengemis bangkit berdiri. Han Han dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang anggauta Pek-lian Kai-pang, yang dengan sikap gagah berkala lantang.
"Semua uraian Kouwnio memang tepat dan sebagai orang-orang gagah kita harus dapat menangkap kebenarannya. Sudah menjadi hak dan kewajiban Kouwnio untuk bertugas membela bangsa dalam perang, dan hal ini memanglah kewajiban suci orang gagah. Akan tetapi, kami pun, orang-orang gagah yang menjunjung tinggi kepahlawanan, kami berkewajiban pula untuk membela negara dan bangsa, menentang penjajah tanah air dari bangsa asing! Kalau sekarang kami menyetujui uluran tangan pemerintah Mancu untuk bekerja sama, bukankah hal itu berarti hendak menyeret kami patriot-patriot gagah menjadi pengkhianat-pengkhianat bangsa yang rendah dan hina"
Semua mata orang gagah yang hadir di situ mengeluarkan sinar bersemangat, dan Han Han makin tertarik, ingin sekali mendengar bagaimana tangkisan puteri yang cerdik itu terhadap serangan yang amat hebat ini. Akan tetapi puteri itu tersenyum dan tetap tenang saja. Setelah memandang ke arah penyerangnya dengan sinar mata tajam, ia lalu menjawab.
"Pertanyaan Lo-enghiong mengandung beberapa hal yang perlu saya jawab satu demi satu. Pertama, Lo-enghieng menyatakan bahwa tanah air dijajah oleh bangsa asing! Manakah bangsa asing" Bangsa kita yang besar mempunyai puluhan suku bangsa, di antaranya suku bangsa Khitan, Mongol, Mancu dan lain-lain suku bangsa yang tersebar di daerah utara dan barat di tanah air kita yang luas. Jadi kalau sekarang negara berada di dalam bimbingan tangan suku bangsa Mancu, tidak dapat dikatakan bahwa tanah air dijajah bangsa asing! Di dalam catatan sejarah masih dapat diperiksa betapa eratnya hubungan antara suku bangsa-suku bangsa ini. Kalau suku bangsa Mancu dianggap bangsa asing, bagaimana dengan suku bangsa Khitan" Kalau Khitan merupakan bangsa asing, apakah cu-wi sekalian hendak mengatakan bahwa pendekar sakti Suling Emas memperisteri wanita asing" Apakah pendekar wanita Mutiara Hitam juga berdarah bangsa asing, dan sekarang tidak tepat kalau dikatakan bahwa kaisar yang bersuku bangsa Mancu merupakan kaisar asing yang menjajah! Lebih tepat dikatakan bahwa Ayahanda Kaisar telah berhasil menghalau kaisar lalim dan membebaskan rakyat jelata daripada penindasan!"
Semua orang saling pandang dan kembali uralan itu sukar mereka jawab secara tepat karena memang mereka tidak dapat memastikan benar apakah bangsa Mancu termasuk bangsa asing ataukah hanya suku bangsa mereka yang besar!
"Sekarang hal ke dua. Tadi Lo-enghiong mengatakan bahwa sudah menjadi tugas kewajiban seorang patriot untuk membela bangsanya. Tepat sekali! Memang tugas seorang gagah perkasa, seorang patriot untuk membela bangsanya yang tertindas, akan tetapi bukan sekali-kali berarti bahwa seorang gagah harus membela kaisarnya yang lalim dan menindas rakyat, bukan" Buktinya, jauh sebelum suku bangsa Mancu berhasil menumbangkan Kerajaan Beng-tiauw yang bobrok, telah banyak terjadi pemberontakan-pemberontakan yang sebetulnya merupakan usaha dan perjuangan para orang gagah untuk membela rakyat yang tertindas dan mengenyahkan kaisar dan antek-anteknya yang lalim. Lo-enghlong sendiri kalau saya tidak salah duga, tentulah anggauta Pek-lian Kai-pang dan apakah Pek-lian Kai-pang itu" Bukankah perkumpulan orang gagah ini merupakan kelanjutan daripada Pek-lian-kauw, perkumpulan yang dahulu tak pernah berhenti berusaha menggulingkan kaisar lalim dari Kerajaan Beng-tiauw" Nah, dengan demikian, bukankah usaha suku bangsa Mancu pun merupakan perjuangan untuk membebaskan rakyat dari kesengsaraan akibat penindasan Kerajaan Beng-tiauw yang tidak becus" Dengan demikian, antara kami dengan cu-wi sekalian terdapat cita-cita yang sama, yaitu membebaskan rakyat dari penindasan. Kita sama-sama pejuang dan karenanya sudah sepatutnya kalau kita bergandengan tangan, bekerja sama untuk mengangkat rakyat yang sudah ratusan tahun ditindas itu agar mereka hidup makmur!"
Han Han memandang dengan mata terbelalak. Kagum bukan main hatinya. Wanita ini benar-benar luar biasa, pikirnya dan jantungnya berdebar-debar ketika ia memandang wajah yang cantik itu. Getaran yang aneh seperti terpancar keluar dari wajah itu dan menyentuh lubuk hatinya, membuat ia kagum dan terpesona.
Biarpun semua orang kini tak mampu lagi berkutik, kakek pengemis yang berhati keras itu masih tidak mau menyerah kalah. "Kouwnio, kalau benar bahwa kerajaan yang baru ini mengulurkan tangan kepada para patriot, mengapa sampai sekarang Se-cuan diserang terus" Bukankah Bu-ongya juga seorang patriot besar yang mengorbankan segalanya untuk mempertahahkan nusa bangsanya"
Wajah puteri itu yang tadinya berseri dan tersenyum-senyum, kini berubah keras, matanya bersinar tajam berwibawa, dan suaranya nyaring berkata, "Bu Sam Kwi sama sekali bukan seorang pejuang yang membela rakyat! Dia berjuang untuk kepentingan sendiri, untuk menjadi raja! Lebih buruk lagi, dia adalah pengkhianat yang bermuka dua!"
Semua orang terkejut mendengar ini dan ada yang mengeluarkan seruan-seruan marah dan penasaran. Melihat ini, Nirahai cepat menyambung, "Hendaknya cu-wi sekalian jangan silau oleh tipuan pengkhianat licik itu dan marilah kita ikuti riwayatnya! Bu Sam Kwi dahulunya siapa" Dia seorang panglima Kerajaan Beng-tiauw. Dan dia telah memberontak terhadap Kerajaan Beng-tiauw! Dengan dalih hendak membasmi Kaisar Beng-tiauw yang lemah dan lalim, dia mengajak suku bangsa Mancu yang pada waktu itu dipimpin oleh Paman Pangeran Dorgan untuk bersekutu. Setelah kami berhasil menyerbu ke selatan, Bu Sam Kwi memperlihatkan muka ke dua dan memusuhi kami! Dia tidak hanya berkhianat terhadap Beng-tiauw, akan tetapi berkhianat pula terhadap kerajaan baru! Orang macam itu mana ada harganya" Dia melawan kerajaan baru semata-mata karena hendak mengangkangi kerajaan dan hendak mengangkat diri sendiri menjadi raja, sama sekali bukan hendak membela rakyat! Hal ini diketahui baik oleh Pangeran Kiu yang bijaksana sehingga kini Pangeran Kiu yang diwakili oleh kedua orang pendeta Lama yang terhormat ini, Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, bersama-sama suku bangsa Tibet menerima uluran tangan kami. Bu Sam Kwi mengobar-ngobarkan perang, membuat rakyat makin sengsara. Akan tetapi, dia hanya tinggal menanti saatnya untuk kami hancurkan. Sekali lagi, harap cu-wi tidak tertipu oleh kepalsuan orang yang bermuka dua itu!"
Hening sampai lama sekali setelah Nirahai mengeluarkan ucapan yang penuh semangat ini. Kakek pengemis mengeritkan keningnya, berpikir dan menjadi ragu-ragu akan pendiriannya semula. Tiba-tiba terdengar Ceng To Hwesio berkata.
"Bagaimana kami dapat mengetahui bahwa pemerintah baru ini tidak sama buruknya dengan yang lama" Apakah buktinya bahwa suku bangsa Mancu yang telah berhasil memegang pimpinan ini mempunyai niat yang mulia terhadap rakyat"
Kembali Nirahai tersenyum. "Pertanyaan yang tepat dan penting, Losuhu dan jawabannya tentu saja memerlukan bukti! Saya tidak akan membujuk cu-wi sekalian orang-orang gagah untuk percaya begitu saja. Akan tetapi marilah kita sama-sama membuktikan sendiri! Saya pun mempunyai darah keturunan keluarga Suling Emas, tanpa malu-malu saya pun menggolongkan diri sebagai orang gagah. Andaikata kelak ternyata bahwa kaisar kita lalim, biarpun kaisar itu Ayah saya sendiri, apakah saya akan tinggal diam" Tidak, saya tetap akan bergandeng tangan dengan cu-wi untuk menentang kelaliman dan membela rakyat yang tertindas!"
Terdengar sorakan gembira menyambut ucapan ini dan Han Han menarik napas panjang. Wanita hebat! Sukar dicari keduanya! Cantik jelita, lihai ilmunya dan cerdik bukan main, akan tetapi juga gagah perkasa. Dia mau percaya bahwa seorang seperti Puteri Nirahai itu tentu akan memegang janjinya.
"Baiklah, Kouwnio. Pinceng sebagai wakil Siauw-lim-pai berjanji akin menarik semua murid Siauw-lim-pai, tidak akan mencampuri urusan perang. Akan tetapi jangan dikira bahwa kami akan menjadi penonton yang hanya berpeluk tangan saja. Kalau kelak ternyata bahwa pemerintah ini sama buruknya dengan yang lalu, tentu kami akan mencabut senjata lagi melakukan pembalasan terhadap rakyat yang tertindas!"
"Kami juga berjanji!"
"Kami juga!"
"Kami juga!"
Ramailah para tamu yang hadir itu membuka suara, dan biarpun ada yang hanya tinggal diam, namun jelas bahwa yang setuju untuk berdamai jauh lebih besar jumlahnya, sedangkan yang membantah tidak ada seorang pun. Setelah semua diam terdengar Ceng To Hwesio berkata, suaranya keren.
"Kouwnio, ada sebuah hal yang dapat kita pergunakan untuk membuktikan sampai di mana iktikad baik pemerintah baru."
"Harap Losuhu katakan tanpa ragu-ragu. Hal apakah itu" Nirahai bertanya ramah.
"Pemerintah yang baik tidak akan mempergunakan kaki tangan yang jahat, dan kalau memang pemerintah menghargai orang-orang gagah, tentu tidak akan melindungi orang jahat pula."
"Maksud Losuhu bagaimana"
"Terus terang saja, biarpun kini urusan pemerintah telah dapat diselesalkan dengan damai dan tidak mencampuri perang, akan tetapi bagaimana dengan permusuhan pribadi"
Sepasang mata itu dengan tajamnya menyambar dan menentang wajah hwesio tua itu. "Maksud Losuhu" Ingat bahwa semua yang saya lakukan dahulu adalah sebagai lawan dalam perang!"
Hwesio itu tertawa. "Kouwnio agaknya salah mengerti. Dengar Kouwnio, sungguhpun Kouwnio telah membunuh dua orangn murid Siauw-lim-pai, akan tetapi persoalan itu telah beres oleh penjelasan Kouwnio tadi. Yang pinceng maksudkan adalah Kang-thouw-kwi Gak Liat yang kini menjadi pembantu Kouwnio!"
Nirahai melirik ke arah Gak Liat lalu berkata sambil lalu, "Losuhu maksudkan bahwa antara Losuhu dan Gak-locianpwe terdapat urusan pribadi"
"Benar, Kouwnio. Urusan pribadi yang tidak ada sangkut-pangkutnya dengan urusan perang, kejahatan Kang-thouw-kwi terhadap murid Siauw-lim-pai yang hanya dapat ditebus dengan nyawa!"
Nirahai mengerutkan keningnya, kemudian menggerakkan kedua pundak mengembangkan kedua lengan sambil berkata, "Kita berada di antara para orang gagah. Pemerintah berpendirian untuk membasmi kejahatan, untuk melindungi rakyat. Apabila di antara para orang gagah ada dendam pribadi, tentu saja pemerintah mempersilakan mereka untuk menyelesaikan urusan mereka tanpa campur tangan, bahkan kami berjanji untuk menjadi saksinya agar penyelesaian urusan pribadi itu dilakukan dengan seadil-adilnya, tidak ada pengeroyokan, tidak ada kecurangan!"
"Ha-ha-ha-ha! Bagus sekali! Sang Puteri benar-benar telah bersikap adil. Nah, orang-orang Siauw-lim-pai! Kalau memang kalian mempunyai dendam terhadap diriku, mari kita bereskan sekarang juga!" Kang-thouw-kwi Gak Liat sudah meloncat ke depan dan dengan sikap menantang memandang kepada Ceng To Hwesio.
Ceng To Hwesio menggerakkan lengan bajunya yang lebar. "Omitohud! Kang-thouw-kwi Gak Liat yang terkenal sebagai seorang datuk kaum sesat, tentu tidak akan bersikap pengecut dan berani mempertanggungjawabkan kedosaannya! Apakah engkau sudah merasa akan dosamu terhadap Siauw-lim-pai"
"Ha-ha-ha-ha! Dosa" Dosa itu apakah" Kaumaksudkan murid wanita, seorang di antara Kang-lam Sam-eng itu" Ha-ha! Itu kauanggap dosa"
"Gak Liat, manusia berwatak binatang! Siaplah engkau menghadapi pinceng! Sekaranglah, di depan para orang gagah, kita membuat perhitungan!" Sambil berkata demikian, Ceng To Hwesio melolos sabuknya dan sekali ia menggerakkan tangan, sabuk kain berwarna kuning itu menjadi kaku seperti baja! Hal ini membuktikan betapa kuat sin-kang dari hwesio tua ini dan semua tamu memandang dengan hati tegang.
Akan tetapi Gak Liat tertawa bergelak, kemudian suara ketawanya itu tiba-tiba terhenti, matanya melotot memandang hwesio itu dan terdengar suaranya bernada sombong.
"Hwesio bosan hidup! Engkau siapakah" Kalau hendak membalas dendam, kenapa tidak Ceng San Hwesio ketuamu saja yang maju menghadapi aku"
"Tidak perlu ketua kami! Untuk menghajar seekor anjing perlu apa menggunakan penggebuk besar" Pinceng Ceng To Hwesio mewakili suheng untuk membalas dendam terhadap kebiadabanmu! Majulah, Kang-thouw-kwi!"
"Susiok-couw (Paman Kakek Guru), karena dia berdosa terhadap sumoi, biarkan teecu yang melayaninya!" Khu Cen Tiam, orang tertua dari Kang-lam Sam-eng, menggerakkan cambuk besinya meloncat maju. Orang yang pendek kecil ini merasa sakit hati sekali terhadap Gak Liat yang telah memperkosa Bhok Khim, sumoinya yang tersayang sehingga ia lupa diri dan hendak nekat mengadu nyawa. Akan tetapi Ceng To Hwesio yang maklum bahwa cucu keponakan ini masih jauh untuk dapat melawan datuk kaum sesat itu, membentaknya dan menyuruhnya minggir. Kemudian Ceng To Hwesio menghadapi Gak Liat sambil melintangkan sabuknya dan menantang.
"Mari, Kang-thouw-kwi. Kita tua sama tua mengakhiri perhitungan kita di sini!"
"Ha-ha-ha, aku telah siap sejak tadi. Kalau kau memang sudah bosan hidup, maju dan seranglah, Ceng To Hwesio!"
"Omitohud, ijinkan hamba membasmi manusia iblis ini, bukan karena benci, melainkan untuk menyelamatkan manusia-manusia lain!" Ceng To Hwesio berkata lirih seperti berdoa, kemudian tubuhnya bergerak dan ia sudah menerjang maju, sabuknya menyambar ke arah muka Gak Liat.
Setan Botak ini tertawa, melangkah mundur dan membiarkan sabuk lewat di depan mukanya, tangan kirinya sudah diluncurkan ke depan mencengkeram ke arah pusar lawan. Gerakannya cepat dan mengandung tenaga yang hebat bukan main. Semua penonton, termasuk Han Han, memandang penuh ketegangan.
Ceng To Hwesio adalah sute dari ketua Siauw-lim-pai. Ilmu kepandaiannya biarpun belum dapat disejajarkan dengan Ceng San Hwesio, namun sudah cukup tinggi, bahkan lebih tinggi setingkat kalau dibandingkan dengan seorang di antara Siauw-lim Chit-kiam. Juga hwesio tua ini telah berpuluh tahun hidup bersih sehingga ia telah berhasil menghimpun tenaga dalam yang kuat di tubuhnya. Namun, menghadapi Gak Liat yang tingkatnya sebanding dengan ketua Siauw-lim-pai, ia masih kalah jauh. Betapapun juga, hwesio yang berkemauan keras untuk menyingkirkan lawan yang dianggapnya amat jahat seperti iblis ini, tidak jerih dan cengkeraman itu dapat ia elakkan dengan meloncat ke samping dan dari pinggir ini, sabuknya yang telah ia gerakkan menjadi kaku itu menyodok ke arah perut Setan Botak. Namun datuk kaum sesat ini tertawa dan sengaja menerima sodokan itu dengan memasang perutnya menyambut.
"Dukkk! Wuuuttttt!"
"Aihhh....!"
Ceng To Hwesio mploncat tinggi ke belakang dan hampir saja ia celaka. Ketika sabuknya yang menjadi kaku menyodok perut, ia merasa betapa senjatanya itu membalik, bertemu dengan benda yang seperti karet, dan tangan Gak Liat sudah melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang mengandung hawa panas melebihi api. Biarpun hwesio Siauw-lim-pai ini sudah meloncat dan menghindar, pundaknya kena diserempet hawa pukulan dan terasa panas sekali, bahkan bajunya robek dan kulitnya gosong menghitam!
"Ha-ha-ha-ha! Begitu saja kepandaianmu, Ceng To Hwesio" Gak Liat tertawa bergelak.
Nirahai mengerutkan keningnya. Dia maklum bahwa hwesio Siauw-lim-pai itu bukanlah lawan Gak Liat yang lihai. Dia tidak memihak Gak Liat, sebaliknya malah hatinya condong memihak kepada hwesio Siauw-lim-pai karena dia dapat menduga apa yang telah terjadi atas diri murid wanita Siauw-lim-pai itu. Akan tetapi, dia pun masih membutuhkan tenaga bantuan seorang lihai seperti Gak Liat. Biarlah, pikirnya, makin banyak permusuhan diselesaikan makin baik agar pemerintah tidak banyak pusing menghadapi permusuhan-permusuhan pribadi antara tokoh-tokoh kang-ouw ini. Kalau saja hwesio Siauw-lim-pai itu tahu diri, pikirnya, dan mengaku kalah, maka permusuhan itu akan dihabiskan dan dia dapat menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya untuk mencegah Gak Liat melakukan pembunuhan.
Adapun Han Han yang menonton dari tempat sembunyinya, dia tahu benar apa yang menyebabkan permusuhan itu. Ingin ia membantu Ceng To Hwesio menghadapi Gak Liat, akan tetapi dia tahu bahwa pertandingan itu dilakukan secara adil dan bahkan kalau dia turun tangan, maka dia hanya akan mengacaukan maksud baik Puteri Nirahai. Maka ia hanya menonton dan berkali-kali menarik napas panjang, maklum bahwa hwesio Siauw-lim-pai yang nekat itu hanya akan membunuh diri melawan Gak Liat yang amat lihai pukulan Hwi-yang Sin-ciangnya itu.
Ceng To Hwesio benar-benar nekat. Dia sudah menerjang maju lagi, kini sabuknya ia putar-putar dengan tangan kanan melakukan totokan-totokan ke arah jalan darah dan bagian tubuh yang berbahaya, sedangkan tangan kirinya menggunakan Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Garuda) untuk menyerang. Betapapun kebal tubuh lawan, kalau terkena cengkeramannya ini agaknya akan celaka!
Gak Liat yang amat lihai dan banyak pengalamannya itu pun maklum bahwa biarpun tingkatnya jauh lebih tinggi, namun dia pun tidak boleh memandang rendah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang terkenal memiliki ilmu silat yang kuat sekali. Dia cepat menggerakkan kedua tangan menangkis, dan ada kalanya harus mengelak sambil menanti saat baik. Ketika sabuk itu menyambar ke arah lehernya, secepat kilat ia menangkap sabuk itu, membiarkan cengkeraman tangan kiri hwesio ke arah leher itu mengenai pundaknya dengan jalan miringkan tubuh. Pada saat tangan kiri Ceng To Hwesio mencengkeram pundaknya, tangan kanan Gak Liat menghantam dengan telapak tangan terbuka ke arah dada lawan.
"Brettt.... desssss!"
Baju di pundak Gak Liat robek, akan tetapi tubuh Ceng To Hwesio terlempar ke belakang dan terbanting roboh dalam keadaan tak bernyawa lagi karena seluruh dada dan perutnya berubah menjadi hitam seperti terbakar!
"Manusia iblis....!" Khu Cen Tiam dan Liem Sian, dua orang di antara Kang-lam Sam-eng meloncat maju. Khu Cen Tiam menyerang dengan cambuk besinya, sedangkan Liem Sian yang tinggi besar sudah menggunakan sin-pan, yaitu toya kuningan yang amat berat.
"Cring-tranggg....!" Dua orang murid Siauw-lim-pai ini meloncat mundur karena kaget ketika senjata-senjata mereka ditangkis dan tangan mereka tergetar. Yang menangkisnya adalah Puteri Nirahai, menggunakan pedang payungnya. Puteri itu berdiri dengan keren dan berkata.
"Ji-wi Lo-enghiong harap suka memenuhi janji. Losuhu ini telah kalah dan mati dalam pertandingan adalah yang lumrah. Lebih baik mati dalam pertandingan yang adil daripada berlaku curang yang hanya akan merendahkan nama besar Siauw-lim-pai! Lebih baik ji-wi membawa jenazah Losuhu ini dan tidak perlu memperbesar permusuhan karena sudah terang bahwa fihak Siauw-lim-pai telah kalah dalam pertandingan yang syah dan adil."
Dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu menghela napas, menyimpan senjata mereka lalu mengangkat jenazah Ceng To Hwesio. Sebelum pergi, Khu Cen Tiam berkata kepada Gak Liat, "Kang-thouw-kwi, urusan di antara kita masih belum habis. Tunggulah kami melaporkan hal ini kepada ketua kami."
"Ha-ha-ha-ha, sudah kukatakan tadi, lebih baik ketua Siauw-lim-pai sendiri yang maju, barulah ramai! Aku akan selalu menanti, ha-ha-ha!"
Akan tetapi, sebelum dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu pergi, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan terdengar bentakan nyaring, "Setan Botak, nyawamu sudah berada di tanganku dan engkau masih bicara sombong!"
Dua orang di antara Kang-lam Sam-eng menengok ke arah wanita berpakaian putih yang muncul tiba-tiba itu dan mereka berbareng berseru keras penuh kekagetan dan keheranan, "Sumoi....!"
Gak Liat memandang dengan mata terbelalak, dan sinar matanya membayangkan rasa ngeri dan cemas. Han Han segera mengenal wanita itu sebagai wanita yang dahulu menjadi orang ke tiga dari Kang-lam Sam-eng, yaitu Bhok Khim yang dahulu diperkosa Gak Liat dan kemudian untuk kedua kalinya ia melihat wanita itu membobol dinding kelenteng Siauw-lim-si, keluar dari kamar penyiksa diri dan membawa seorang anak laki-laki. Jantung Han Han berdebar keras dan perasaannya terguncang penuh ketegangan.
Orang-orang lain yang berada di situ, termasuk Nirahai, terheran-heran dan tidak tahu siapa gerangan wanita yang wajahnya masih cantik akan tetapi rambutnya riap-riapan pakaiannya kusut dan wajahnya membayangkan kemarahan dan kelihatan beringas sekali itu.
"Kau.... kau.... murid Siauw-lim-pai itu....!" Gak Liat akhirnya teringat dan di luar kesadarannya ia berteriak.
"Kakek keparat, manusia iblis Gak Liat. Benar, akulah Bhok Khim dan aku datang untuk merenggut nyawamu!" Setelah berkata demikian, Bhok Khim sudah menyerang dengan hebatnya, menubruk dan kedua tangannya mencengkeram seperti seekor harimau mengamuk. Namun dari gerakannya itu menyambar hawa yang amat kuat sehingga Gak Liat sendiri sampai menjadi kaget. Cepat-cepat kakek ini mengelak dengan lompatan ke kiri, namun dengan kecepatan yang amat luar biasa, Bhok Khim sudah mendorongkan kedua tangannya ke kanan dan.... tubuh Gak Liat terjengkang lalu terguling sampai lima kali. Dia meloncat kaget sekali, akan tetapi merasa lega bahwa dia tidak terluka sungguhpun harus ia akui bahwa tenaga dorongan wanita ini hebat bukan main!
Melihat pertandingan yang sedang dimulai ini, Puteri Nirahai kini mengerti siapa adanya wanita itu, maka ia berseru nyaring, "Pertandingan antara dua orang yang mempunyai dendam pribadi, harap yang lain tidak mencampuri!"
Seruan ini menenangkan suasana dan kini semua orang menonton dua orang yang sudah mulai bertanding dengan hebatnya. Diam-diam Han Han yang menyaksikan pertandingan itu terkejut dan kagum sekali. Gerakan Bhok Khim amat aneh dan terutama sekali hawa yang menyambar keluar dari kedua tangannya amat kuat, anginnya mengeluarkan suara bercuitan seperti pedang yang digerakkan dengan tenaga sin-kang kuat. Tahulah dia bahwa wanita itu di dalam kamar penyiksa diri telah dapat mencuri ilmu yang diajarkan oleh kakek sakti Kian Ti Hosiang kepada Siauw Lam Hwesio, pelayannya. Ilmu inilah yang agaknya dimaksudkan oleh Kian Ti Hosiang, akan tetapi menyaksikan betapa ilmu itu kini amat ganas dan liar, dia dapat menduga bahwa wanita ini tentu mempelajarinya secura keliru sehingga menyeleweng. Namun, melihat hebatnya gerakan Bhok Khim, dapat diduga betapa hebatnya ilmu yang dicuri oleh wanita itu dari balik dinding kamar penyiksa diri.
Berkali-kali Gak Liat roboh terguling akan tetapi karena dia memiliki kekebalan luar biasa, maka pukulan hawa aneh itu hanya membuat ia roboh bergulingan, sama sekali tidak melukainya. Melihat ini, Han Han merasa sayang sekali dan ia dapat menduga bahwa wanita itu ternyata hanya mewarisi "kulit" dari ilmu itu, masih kehilangan inti sarinya, karena kalau sudah mengenal "isinya", agaknya ilmu yang hebat itu pasti tidak akan dapat tertahan oleh Gak Liat.
Agaknya Gak Liat yang jauh lebih matang pengalamannya dalam hal pertandingan ilmu silat, juga dapat mengerti akan hal itu. Tiba-tiba ia tertawa bergelak dan kini ia mengimbangi serangan-serangan Bhok Khim yang ganas dan liar itu dengan pukulan-pukulan Hwi-yang Sin-ciang sambit menggulingkan diri.
"Celaka....!" Han Han berseru dalam hatinya. Ia memang sudah tahu bahwa serangan Bhok Khim itu tidak akan ada artinya kalau lawannya bergulingan seperti itu dan kini biarpun memukul sambil menggulingkan diri, Hwi-yang Sin-ciang dari Setan Botak itu tidak berkurang kedahsyatannya!
Benar saja, setelah Gak Liat membalas serangan dengan bergulingan dan memukul secara bertubi-tubi, Bhok Khim terkejut sekali dan ketika ia agak terlambat mengelak, pinggangnya kena serempet pukulan panas itu dan ia menjerit, roboh terguling dan pakaiannya robek di bagian pinggang!
"Ha-ha-ha!" Gak Liat tertawa bergelak akan tetapi ia menghentikan ketawanya dengan tiba-tiba karena ternyata Bhok Khim sudah meloncat bangun kembali sambil menubruknya dan mengeluarkan suara melengking nyaring seperti kuntilanak! Gak Liat masih berusaha membuang diri ke samping sambil memukul dengan telapak tangannya. Akan tetapi Bhok Khim sudah mendahuluinya, menangkap kedua tangannya, pada pergelangan tangan dan gerakan tubrukannya yang kuat itu membuat Gak Liat roboh terlentang, ditindih oleh Bhok Khim!
Kedua orang itu bergulingan, bergumul di atas rumput dan karena bergumul dengan kacau, saling membetot bersitegang melepaskan dan mempertahankan tangan yang dicengkeram, maka tubuh mereka saling tindih sehingga kelihatan seperti kedua orang laki-laki dan wanita itu sedang bermain asmara dan bersendau-gurau sambil bergumul. Namun, semua yang hadir mengerti bahwa pertandingan itu merupakan pertandingan mati-matian, siapa yang kalah tentu tewas, maka mereka memandang dengan hati penuh ketegangan.
Memang hebat dan menegangkan pertandingan yang kini tidak lagi memakai teori ilmu silat itu. Cengkeraman jari-jari tangan Bhok Khim pada kedua pergelangan tangan Gak Liat benar-benar kuat, seolah-olah jari-jari tangannya sudah terbenam ke dalam lengan kakek itu. Biarpun ia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, tetap saja kesepuluh jari tangan Bhok Khim itu tidak dapat terlepas dari tangan Gak Liat, seolah-olah menjadi sepuluh ekor lintah yang menghisap darahnya! Gak Liat mulai menjadi gugup dan juga marah bukan main. Kalau dia dikalahkan dengan ilmu silat yang lebih tinggi, dia tidak akan penasaran. Akan tetapi dikalahkan dengan cara wanita berkelahi, mencengkeram dan mencakar, benar-benar amat memalukan! Lebih celaka lagi, kini wanita gila itu mulai berusaha untuk menggigit tenggorokannya! Dalam keadaan seperti itu, Gak Liat menjadi makin malu dan bingung. Ia kembali meronta dan menendangkan kakinya agar tubuh yang menindihnya itu terlepas, akan tetapi kini Bhok Khim sudah mengaitkan kedua kakinya yang panjang dan berkulit halus itu ke pinggang Gak Liat dan tiba-tiba mukanya menunduk ke arah tenggorokan! Dilihat sepintas lalu, seolah-olah wanita cantik yang kini rambutnya terlepas dan awut-awutan menyembunyikan mukanya itu hendak mencium Gak Liat!
Terdengar lengking yang serak seperti srigala disusul teriakan Gak Liat karena tenggorokannya telah tergigit oleh Bhok Khim! Hal ini hanya dapat terjadi karena gelora nafsu berahi yang timbul di dalam hati kakek itu. Pergumulan itu, bau keringat dan rambut Bhok Khim, membangkitkan nafsu berahi di hati Gak Liat sehingga ia sejenak terpesona dan kehilangan kewaspadaan, maka terlambat ia menyadari bahwa wanita itu bukan hendak mencium bibirnya seperti yang dikhayalkannya dalam buaian nafsu, melainkan menggigit tenggorokannya. Rasa nyeri yang hebat membuat Gak Liat marah sekali. Biarpun tangannya masih dicengkeram, namun ia mengerahkan tenaga memukul sehingga tangan Bhok Khim yang mencengkeram terbawa dengan keras sekaii dan pukulan Hwi-yang Sin-ciang bersarang di dada wanita itu!
Pukulan ini hebat bukan main dan tokoh lain yang tinggi kepandaiannya pun kiranya akan tewas seketika menerima pukulan maut ini. Akan tetapi di dalam diri Bhok Khim terdapat hawa aneh yang timbul sebagai akibat dari mempelajari ilmu tinggi yang keliru dan biarpun pukulan itu membuat dadanya seperti remuk akan tetapi tidak membuat ia tewas dan dalam kenyeriannya ia memperkuat gigitannya sampai gigi-giginya menembus kulit daging dan mengoyak urat besar!
"Desss!" Sekali lagi Gak Liat memukul sekuatnya dan tubuh Bhok Khim terkulai dengan dada berubah hitam dan hangus, akan tetapi tubuh Gak Liat sendiri berkelojotan dalam sekarat karena urat lehernya putus dan lehernya koyak-koyak, matanya mendelik dan dari leher itu keluar suara mengerikan seperti seekor babi disembelih, dibarengi darah yang mengucur seperti pancuran air!
Setelah tubuh Gak Liat yang berkelojotan itu menegang lalu terkulai, barulah semua orang menghela napas dengan muka pucat saking tegang dan ngerinya menyaksikan pertandingan hebat yang mengakibatkan matinya Bhok Khim dan Gak Liat. Akan tetapi, benar-benar hebat wanita itu. Terdengar ia mengeluh dan tubuhnya bergerak perlahan, tangannya lemah menggapai ke arah Khu Cen Tiam dan Liem Sian.
"Suheng.... suheng.... harap suheng.... rawat...., anakku...." terdengar suaranya lemah. Suara yang terdengar aneh, seperti suara yang datangnya dari lubang kubur. Memang aneh sekali melihat tubuh yang sudah menerima dua kali pukulan Hwi-yang Sin-ciang dan yang sudah hangus menghitam itu masih dapat mengeluarkan suara!
"Kami bukan suhengmu!" Khu Cen Tiam membentak, jijik dan marah. "Anakmu adalah anak haram, anak iblis, dan engkau sendiri sudah menjadi iblis betina!" Memang Khu Cen Tiam dan Liem Sian yang dahulunya amat mencinta Bhok Khim, menjadi benci ketika mendengar betapa dalam kamar penyiksa diri itu sumoi mereka telah menjadi gila dan melahirkan anak. Kini menyaksikan sepak terjang Bhok Khim, mereka menjadi makin benci karena biarpun Bhok Khim berhasil membunuh Gak Liat, akan tetapi caranya berkelahi tadi amat memalukan, tidak patut dilakukan seorang murid Siauw-lim-pai! Karena itu, mereka tidak mau mengakui Bhok Khim yang dianggap mencemarkan nama besar Siauw-lim-pai.
"Kami bukan suhengmu dan engkau bukan murid Siauw-lim-pai lagi!" Liem Sian ikut membentak.
"Suheng.... tolong.... anak.... ku...." Bhok Khim masih mencoba untuk mohon kepada bekas kedua suhengnya sambil mengerahkan seluruh tenaga terakhir.
"Ibils betina!" Khu Cen Tiam dan Liem Sian menggerakkan senjata mereka hendak membunuh bekas sumoi itu karena kalau dibiarkan bicara terus, mereka takut kalau ketahuan rahasianya dan akan menjadi bahan penghinaan dan pencemoohan para tokoh kang-ouw terhadap Siauw-lim-pai.
"Tring-tringgg....!" Cambuk besi dan toya kuningan itu terlempar diikuti tubuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu terlempar sampai empat meter dan terbanting ke atas tanah. Han Han telah berdiri di situ dengan kening dikerutkan, memandang marah kepada dua orang itu.
"Pesan seorang yang akan mati adalah pesan keramat, apalagi kalian adalah bekas suhengnya, betapa kejinya hati kalian!" bentak Han Han tanpa mempedulikan siapa pun dan ia lalu berlutut dekat tubuh Bhok Khim.
"Toanio, biar siauwte yang akan menolong dan merawat puteramu. Di mana dia"
Bhok Khim membelalakkan matanya, memandang Han Han dan agaknya ia mengenal pemuda ini. "Kau.... dua kali kau menolongku.... ahhh.... terima kasih.... anakku.... kuserahkan padamu.... kasihan dia.... tidak berdosa.... dia.... dia.... aaahhhhh.... dia berada...."
"Di mana" Di mana puteramu, Toanio...." Han Han bertanya, mengguncang pundak itu. Bhok Khim sudah meramkan matanya, bibirnya berbisik lemah dan lirih sekali sehingga terpaksa Han Han mendekatkan telinganya sambil mengerahkan tenaga saktinya untuk menangkap kata-kata terakhir yang hampir tidak terdengar itu. Bagaikan hembusan napas yang lemah, suara itu memasuki telinga Han Han bersama dengan napas terakhir Bhok Khim mengucapkan jawaban yang hanya terdengar oleh telinga Han Han sendiri. Han Han bangkit berdiri dan melihat betapa Khu Cen Tiam dan Liem Sian sudah mengangkat jenazah Ceng To Hwesio dan pergi dari tempat itu tanpa mempedulikan mayat Bhok Khim.
Sementara itu, semua orang memandang pemuda buntung itu penuh takjub, terutama mereka yang belum mengenalnya. Adapun mereka yang telah mengenalnya memandang Han Han dengan hati gentar karena mereka itu sudah melihat atau mendengar akan kesaktian pemuda buntung itu. Terutama sekali Nirahai memandang Han Han dengan sinar mata tajam, menyembunyikan kekagumannya. Pemuda itu agaknya telah lama berada di situ akan tetapi tidak seorang pun, juga dia sendiri tidak, yang mengetahui kebadiran pemtida itu. Padahal di situ terdapat banyak orang sakti. Hal ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya pemuda buntung yang menjadi kakak angkat Lulu yang mengatakan bahwa hanya Han Han inilah yang patut menjadi jodohnya! Teringat akan ini, tanpa dapat dicegah lagi merahlah kedua pipi Nirahai. Dara ini merasa jengah sendiri dan untuk menutupi debar jantungnya, ia segera berkata dengan suara dingin.
"Setelah dibebaskan subo, apa keperluanmu datang ke sini"
Han Han mengangkat muka lalu berbalik dan memandang puteri itu, kemudian menjawab tenang, "Engkau telah menawan adikku Lulu, maka aku datang untuk bertanya ke mana perginya adikku itu."
Kedua alis yang kecil panjang hitam itu berkerut, lalu terdengar suara Nirahai jengkel, "Apa kaukira aku menyembunyikan Lulu"
"Aku tidak mengira atau menyangka apa-apa, hanya aku bertanya ke mana perginya Lulu" Han Han bertanya, tetap tenang biarpun semua orang yang berada di situ memperhatikan dia bercakap-cakap dengan puteri itu. Sinar matanya tajam dan tidak membayangkan sesuatu, sungguhpun kini setelah berdiri dekat dan memandang wajah gadis itu dengan jelas, ia mendapat kenyataan betapa wajah puteri itu benar-benar amat cantik seperti bidadari.
"Aku tidak tahu ke mana perginya. Dia melarikan diri dari tempat tahanan ketika murid-murid In-kok-san datang menyerbu. Dia benar sumoiku, akan tetapi dia mengecewakan hatiku, maka aku tidak mau tahu lagi ke mana dia pergi."
Ucapan ini melemaskan hati Han Han, karena dia percaya bahwa puteri itu memang benar tidak tahu. Akan tetapi ucapan yang mengandung penyesalan itu pun menyinggung hati Ma-bin Lo-mo karena murid-murid In-kok-san adalah murid-muridnya! Maka ia lalu berseru marah, "Murid-murid In-kok-san adalah murid-muridku yang murtad! Manusia-manusia tidak kenal budi, lupa betapa semenjak kecil dengan susah payah aku mengajar mereka. Terkutuk, akan kubunuh mereka seorang demi seorang!"
Tidak ada yang berani mencampuri urusan Ma-bin Lo-mo dengan murid-muridnya, akan tetapi Han Han menjadi panas hatinya. Ia tahu betapa murid-murid In-kok-san itu masih memiliki kegagahan dan sifat-sifat yang jauh lebih baik daripada watak Iblis Muka Kuda ini, maka ia menengok kepada Ma-bin Lo-mo dan berkata.
"Ma-bin Lo-mo, ucapanmu ini sebenarnya tak perlu kaukeluarkan di depan para orang gagah! Engkaulah yang terkutuk dan murtad, setelah apa yang kaulakukan terhadap orang tua dan keluarga para murid In-kok-san!"
Seketika wajah Ma-bin Lo-mo menjadi pucat. Sedikit pun ia tidak pernah mengira bahwa pemuda buntung yang amat lihai itu telah mengetahui rahasianya. Ia hanya memandang dengan mata melotot tanpa dapat menjawab. Han Han juga tidak mempedulikannya lagi lalu berkata, tidak ditujukan kepada siapapun juga.
"Suara yang mengajak damai adalah suara hati yang murni, akan tetapi manusia sudah terlalu dibungkus kepalsuan, maka sayanglah kalau suara damai itu menyembunyikan sesuatu yang jauh daripada mendatangkan kedamaian di hati sesama manusia." Setelah berkata demikian, sekali lagi ia mengerling ke arah Puteri Nirahai lalu tubuhnya berkelebat, sekali mencelat lenyaplah tubuhnya, membuat semua orang bengong memandang.
"Pemuda Super Sakti!" terdengar orang-orang berbisik kagum. Nirahai juga kagum sekali. Dia dapat melihat bayangan pemuda itu meloncat-loncat cepat sekali seperti kilat menyambar dan dalam beberapa loncatan saja sudah amat jauh dari tempat itu. Ia kagum dan juga penasaran ingin sekali ia mencoba kepandaian pemuda buntung yang amat terkenal bahkan kini dijuluki pemuda Super Sakti itu!
Pertemuan itu ditutup dengan janji para tokoh kang-ouw dan wakil-wakil perkumpulan untuk mencuci tangan tidak mencampuri perang, bahkan berjanji akan menarik semua murid dari Se-cuan. Puteri Nirahai menjadi lega sekali dan menganggap bahwa tugas dan usahanya berhasil baik sekali. Akan tetapi dalam perjalanan meninggalkan tempat itu, wajah Han Han tidak pernah lenyap dari depan matanya. Ia kagum, dan juga penasaran, belum puas hatinya kalau betum dapat berhadapan sebagai lawan dengan pemuda buntung itu. Akan tetapi, berkali-kali Nirahai mencela hatinya sendiri yang tak pernah dapat melupakan Han Han. Dia masih mempunyai banyak kewajiban yang harus diseleseikan, harus cepat pulang ke kota raja memberi laporan kemudian ke perbatasan Se-cuan untuk memimpin sendiri pasukan yang mengepung daerah pemberontak itu.
*** Harus diakui kecerdikan Puteri Nirahai dan para pimpinan tinggi Kerajaan Mancu yang selain pandai berperang, dapat memimpin pasukan-pasukan yang berani mati, tahan uji dan berdisiplin tunduk terhadap pimpinan, juga pandai pula bersiasat. Siasat yang dilakukannya di puncak Tai-hang-san, mengundang para tokoh kang-ouw termasuk para pimpinan partai-partai persilatan, mengajak damai dengan mengemukakan pandangan-pandangan dan filsafat-filsafat yang mengesankan, benar-benar telah berhasil baik sekali. Berbondong-bondong orang-orang kang-ouw yang gagah perkasa dan para murid persilatan besar yang tadinya dengan mati-matian membantu perjuangan Se-cuan dalam menghadapi barisan Mancu, mengundurkan diri dan keluar dari Se-cuan memenuhi perintah ketua-ketua dan guru-guru mereka. Sudah tentu saja hal ini membuat Se-cuan menjadi lemah sungguhpun Bu Sam Kwi yang berambisi besar itu tetap mempertahankan kedudukannya dan mengerahkan seluruh pasukan dan penduduk untuk mempertahankan Se-cuan dari tangan pemerintah Mancu.
Pengunduran para orang gagah dari Se-cuan itu bukan tidak diperhatikan oleh fihak pimpinan pasukan Mancu yang tak pernah meninggalkan perbatasan. Sebaliknya dari itu malah, mereka ini mempergunakan kesempatan setelah orang-orang gagah itu keluar, lalu pasukan-pasukan terdepan mengadakan serbuan-serbuan kecil untuk mengacau pertahanan musuh. Yang paling aktip dalam pengecauan-pengacauan di perbatasan ini adalah Ouwyang-kongcu sendiri, putera Pangeran Ouwyang Cin Kok yang memimpin pasukan istimewa untuk menyerbu daerah-daerah yang kini tidak lagi diperkuat oleh orang-orang kang-ouw, melakukan pengrusakan, pembakaran secara kejam, membiarkan pasukannya membunuh, merampok, memperkosa dan membakari rumah. Memang hal ini disengaja untuk mengacaukan pertahanan musuh dan di samping itu, Ouwyang Seng mendapat kesempatan pula untuk melampiaskan nafsu-nafsunya dan memilih wanita-wanita tercantik untuk dirinya sendiri. Apalagi pada waktu Puteri Nirahai meninggalkan daerah perbatasan untuk kembali ke kota raja dan menghadiri pertemuan di Tai-hang-san, Ouwyang Seng seperti seekor kuda tanpa kendali. Kalau ada puteri itu yang ia harapkan untuk menjadi jodohnya, harapan yang bukan saja terdorong oleh kecantikan dara itu yang membuat ia tergila-gila, akan tetapi juga sebagai mantu kaisar tentu saja derajatnya menjadi naik dan ia akan mendapat kedudukan yang tinggi, pemuda bangsawan itu menjadi "alim" dan bersikap seperti seorang pemuda yang baik.
Han Han yang meninggalkan puncak In-kok-san, melakukan perjalanan cepat sekali ke Se-cuan. Ketika ia meninggalkan puncak, di tengah jalan di kaki gunung itu, ia melihat dua orang murid Siauw-lim-pai, Khu Cen Tiam dan Liem Sian, membakar jenazah Ceng To Hwesio untuk diperabukan dan dibawa abunya ke Siauw-lim-si, dan ketika ia mengintai, ia mendengar percakapan antara dua orang tokoh Siauw-lim-pai ini. Kiranya kedua orang tokoh Siauw-lim-pai ini tidak mau menerima uluran tangan Puteri Nirahai yang mengajak damai. Mereka berbantahan. Liem Sian mengatakan bahwa mendiang Ceng To Hwesio sudah menerima perdamaian itu, akan tetapi Khu Cen Tiam membantah, mengatakan bahwa kini hwesio itu telah tewas sehingga perjanjian itu juga dapat dibatalkan. Akhirnya mereka berdua bersepakat untuk pergi ke Se-cuan dan membakar hati para saudara mereka yang berjuang di sana untuk lebih memperhebat perlawanan mereka!
Mendengar ini, tentu saja hati Han Han menjadi khawatir sekali. Terutama ia ingat akan Lauw Sin Lian, puteri mendiang Lauw-pangcu yang telah menjadi murid Siauw-lim Chit-kiam sehingga gadis itu pun kini menjadi tokoh Siauw-lim-pai dan kalau Sin Lian terkena hasutan kedua orang yang mendendam ini, berarti gadis itu akan terus berjuang melawan pemerintah Mancu. Han Han bukan hanya mengkhawatirkan keselamatan bekas sucinya itu, akan tetapi terutama sekali ia menjaga jangan sampai tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, terutama Sin Lian, mengingkari atau melanggar janji yang telah diucapkan Ceng To Hwesio, seorang tokoh besar Siauw-lim-pai. Karena inilah dia bergegas mendahului dua orang Siauw-lim-pai itu menuju ke Se-cuan untuk memberi tahu kepada Sin Lian akan perjanjian yang diadakan di puncak In-kok-san.
Han Han sama sekali tidak tahu bahwa kedatangannya di perbatasan Se-cuan itu telah diketahui oleh Ouwyang Seng yang sudah mengatur rencana bersama Toat-beng Cui-sian-li dan Ma-bin Lo-mo. Iblis Muka Kuda ini amat khawatir mendapat kenyataan bahwa Han Han telah mengetahui rahasianya yang busuk terhadap para muridnya, maka ia hendak mengerahkan segala siasat dan kepandaiannya untuk membunuh pemuda buntung itu. Juga Toat-beng Ciu-sian-li yang melihat betapa kini Han Han menjadi seorang yang berilmu tinggi, khawatir kalau-kalau pemuda itu kelak akan mencelakakannya sebagai balas dendam karena dialah yang menyebabkan pemuda itu kehilangan sebelah kakinya. Adalah wajar kalau nenek ini pun ingin sekali membunuh Han Han agar hatinya tidak akan gelisah lagi. Ouwyang Seng memang membenci Han Han, maka tentu saja dia menjadi gembira untuk bersekutu dengan dua orang lihai ini dan menjebak Han Han. Hanya ia merasa sayang sekali mendengar akan kematian gurunya, karena kalau ada bantuan Gak Liat, tentu kedudukan mereka lebih kuat lagi.
Ketika sampai di perbatasan, segera Han Han mendengar dari mulut para pengungsi akan keganasan pasukan yang dipimpin Ouwyang-kongcu. Mendengar ini, Han Han menjadi marah. Semenjak kecil ia sudah mengenal Ouwyang Seng sebagai seorang yang sombong dan berwatak jahat. Kini mendengar akan sepak-terjang putera pangeran yang penuh kekejaman, membakari dusun-dusun dan melakukan hal-hal di luar prikemanusiaan, Han Han tak dapat menahan kesabaran hatinya lagi. Dia tidak ingin melibatkan diri dengan perang, akan tetapi apa yang dilakukan Ouwyang Seng sama sekali tidak ada hubungannya dengan perang, melainkan pengumbaran hawa nafsu jahat. Kalau Ouwyang Seng dan pasukannya menggempur dan menghancurkan pasukan Se-cuan, dia tidak akan peduli, itu adalah perang namanya. Akan tetapi membakari dusun, membunuhi orang yang tidak melakukan perlawanan, memperkosa wanita yang lemah, apakah ini dapat dikatakan siasat perang" Tidak, ia harus mencari dan mengenyahkan pemuda bangsawan yang jahat itu, karena kalau tidak segera dibasmi orang seperti itu tentu keganasan dan kejahatannya akan makin merajalela dan menimbulkan banyak korban manusia yang tidak berdosa.
Pagi-pagi sekali Han Han telah tiba di perkemahan pasukan yang dipimpin Ouwyang Seng di lereng gunung. Ia langsung memasuki daerah yang dikuasai pasukan ini dan merasa heran melihat keadaan yang sunyi, tidak nampak penjagaan ketat. Bahkan ada beberapa orang perajurit Mancu yang rebah malang-melintang tidur mendengkur dalam keadaan mabuk! Pasukan macam begini disohorkan sebagai pasukan yang istimewa" Diam-diam Han Han memandang rendah, akan tetapi tetap bersikap waspada karena ia telah mengenal siasat-siasat yang amat berbahaya dari para pasukan Mancu ini. Berindap-indap ia memasuki daerah itu dan meneliti perkemahan. Di dalam beberapa buah kemah ia mendengar isak tangis wanita diseling kekeh ketawanya laki-laki mabuk. Tentu para perwira pasukan sedang melakukan perbuatan biadab terhadap wanita-wanita tawanan, pikirnya. Akan tetapi tujuan Han Han mencari Ouwyang Seng dan ia menduga bahwa tentu pemuda bangsawan itu berada di dalam kemah yang paling besar. Akhirnya, ia melihat sebuah kemah yang besar berwarna kuning, berada di tengah-tengah perkemahan dan dengan gerakan ringan sekali Han Han bergerak mendekat. Tentu kemah besar itulah yang ditempati Ouwyang Seng, pikirnya. Sama sekali Han Han tidak tahu bahwa keadaan yang sunyi itu, adanya penjaga-penjaga mabuk, memang disengaja oleh Ouwyang Seng, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li yang berusaha menjebaknya. Pasukan disingkirkan, memasang barisan pendam mengurung perkemahan, dan kini tiga pasang mata mengikuti gerak-gerik Han Han dari tempat persembunyian di belakang kemah besar. Keadaan Han Han seperti seekor harimau yang makin lama makin mendekati jebakan, diintai oleh pemburu-pemburu dengan hati berdebar tegang.
Sesosok bayangan berkelebat di depan kemah besar. Biarpun cuaca seperti itu masih belum terang benar, akan tetapi mata Han Han terbelalak lebar ketika ia melihat bayangan itu. Lulu! Tak salah lagi! Bayangan itu berdiri depan kemah membelakanginya, akan tetapi bentuk tubuh, bentuk tata rambut, dan dagu meruncing yang tampak sedikit dari samping, cara berpakaian, jelas bahwa gadis itu tentu adiknya! Akan tetapi hanya sebentar saja ia dapat memandang penuh selidik dan dengan hati berdebar girang karena gadis itu kini telah melompat ke dalam kemah melalui pintu kemah yang diterobosnya. Ah, betapa lancangnya Lulu, pikir Han Han kaget. Dan tiba-tiba terdengar jerit melengking dari dalam kemah itu, jerit Lulu yang menggetarkan jantungnya. Seperti kilat menyambar, Han Han sudah meloncat dari tempat persembunyiannya dan dengan tiga kali berjungkir-balik di udara tubuhnya langsung menukik ke bawah dan menerobos memasuki perkemahan yang terkoyak oleh putaran tongkatnya!
Dari atas tubuh Han Han menyambar ke bawah, matanya tajam mencari dan siap untuk langsung menolong Lulu, akan tetapi di sebelah dalam kemah itu kosong! Ketika kaki tunggalnya turun ke atas lantai, tiba-tiba lantai itu amblas ke bawah membuat tubuhnya ikut terjeblos ke bawah dengan cepat sekali! Han Han terkejut, maklum bahwa dia memasuki perangkap yang memang sengaja diatur dan dipasang lawan. Cepat ia mengerahkan tenaga pada kaki tunggal dan tongkatnya, tubuhnya siap mencelat ke atas. Akan tetapi pada saat itu, sebongkah batu besar sekali telah jatuh menimpa ke dalam lubang jebakan, dengan kekuatan ribuan kati menimpa ke arah tubuhnya!
"Celaka....!" Han Han maklum bahwa untuk meloncat ke luar tidak mungkin lagi, maka ia sudah siap dengan kedua tangannya untuk menerima batu besar yang menimpanya. Pada saat itu, ia masih dapat melihat berkelebatnya dua bayangan di luar lubang, hanya sekilas pandang saja ia mengenal mereka sebagai Lauw Sin Lian dan Tan Hian Ceng! Bahkan terdengar suara jeritan Sin Lian.
"Han Han....! Awas....!" Akan tetapi bayangan itu segera lenyap tertutup batu yang sudah menimpanya, batu yang besarnya persis memenuhi lubang di mana ia terjeblos.
Sambil mengerahkan sin-kang kepada sepasang lengannya, Han Han mengangkat kedua tangan ke atas setelah menggigit tongkatnya, dengan telapak tangan menghadap ke atas, lalu menerima batu yang berat itu, membiarkan tubuhnya agak merendah lalu mengayun tubuh dan kedua lengan ke atas. Ia harus mengerahkan seluruh tenaga karena tidak ada ruang lagi untuk mengayun batu itu agar daya luncurnya tersalur kembali ke atas. Dadanya terasa sesak dan tahulah ia bahwa tak mungkin ia bertahan terus dalam keadaan seperti itu, menyangga batu yang luar biasa beratnya. Kalau kedua lengannya dan sebuah kakinya tidak kuat, ia akan terhimpit dan tubuhnya akan hancur tertimpa batu. Bahaya yang mengancam keselamatannya sendiri tidaklah begitu menyiksa baginya kalau dibandingkan kekhawatirannya akan keselamatan Lulu, Sin Lian dan Hian Ceng di atas sana. Bukankah tadi terdengar Lulu menjerit begitu mengerikan" Dan Sin Lian bersama Hian Ceng tentu akan terancam musuh yang keji dan kuat. Ia narus dapat cepat menyelamatkan diri sendiri terlebih dulu, kalau tidak, tentu tiga orang gadis itu terancam bahaya hebat. Mulailah Han Han mencurahkan pikiran kepada diri sendiri. Bagaimana ia dapat membebaskan diri dari tindihan batu berat itu" Ia berusaha mendorong batu ke pinggir dan merasa betapa dinding sebelah kiri hanya tanah biasa, namun tentu saja tidak mungkin mendorong batu sebesar itu ke dalam tanah padat! Tenaganya mulai berkurang dan dadanya terasa makin sesak. Jalan satu-satunya adalah menghindarkan diri tertimpa batu dan membiarkan batu itu turun ke dasar lubang. Akan tetapi dia harus dapat mencari ruangan untuk tubuhnya agar tidak terhimpit.
Setelah berpikir dan memperhitungkan masak-masak, Han Han hanya tahu akan sebuah cara yang harus ditempuhnya. Kalau berhasil, ada harapan selamat, kalau gagal, paling-paling hanya tewas. Akan tetapi kalau dia tewas, bagaimana dengan Lulu, Sin Lian, dan Hian Ceng" Tidak! Dia tidak boleh tewas dalam saat seperti itu karena dia dibutuhkan tiga orang gadis yang terancam bahaya.
Han Han mengerahkan seluruh tenaga, mendorong batu dari bawah sehingga batu itu mepet di dinding, kemudian ia menggeser kedua tangannya yang menyangga itu ke pinggir batu sampai tubuhnya mengenai dinding. Jauh lebih berat mendorong batu mepet pada dinding dan menahannya agar tidak jatuh daripada ketika menyangga tadi. Sampai berbunyi tulang-tulang tubuhnya dan dia hampir tidak kuat lagi. Han Han memejamkan mata, memanggil semua daya kemauannya, mengumpulkan seluruh tenaga sin-kangnya, kemudian ia menggunakan tubuh belakangnya mendesak dinding sambil tetap mempertahankan batu agar tidak menimpanya. Tanah dinding itu mulai melesak dan tubuhnya mulai amblas di dinding. Sekali lagi ia mendorong sekuat tenaga dan kini tubuhnya sudah sama sekali melesak ke dalam tanah dinding dan batu itu meluncur jatuh ke dasar lubang!
Tubuh pemuda itu telah terhindar dari bahaya terhimpit, akan tetapi ia masih belum bebas dari ancaman maut karena kini tubuhnya melesak ke dinding tanah dan karena batu itu lebih tinggi dari tubuhnya, dia tertutup dan tidak ada hawa udara untuk bernapas! Selain ini, juga Han Han muntahkan darah segar akibat pengerahan tenaga yang berlebihan ketika ia menggunakan tenaga untuk memaksa tubuhnya memasuki dinding tanah tadi. Pemuda ini cepat menggerakkan tongkatnya menggali ke atas, terpaksa menahan napasnya dan hal ini membutuhkan pengerah sin-kang sehingga dari kedua ujung bibirnya menetes-netes darah segar! Betapapun juga, Han Han yang ingin cepat-cepat bebas untuk menolong Lulu, Sin Lian dan Hian Ceng, tidak mau menyerah kalah dan berusaha terus menggali tanah di atasnya, dekat batu. Ia menggali sambil menundukkan muka menahan napas karena kalau ia menengadah, tentu matanya akan terserang tanah yang berguguran dihujam tongkatnya.
Mengapa Lauw Sin Lian dan Tan Hian Ceng dapat berada di perkemahan itu" Seperti diketahui, dua orang dara perkasa ini adalah dua orang pejuang yang gigih menentang pemerintah Mancu semenjak dahulu dan mereka menggabungkan diri dengan kekuatan penentang penjajah yang berpusat di Se-cuan.
Setelah penyerbuan tentara Mancu berkurang, bahkan hampir terhenti sama sekali, Hian Ceng yang tadinya berjuang di perbatasan timur dan selatan, mengunjungi Cung-king dan bertemu dengan Sin Lian untuk menanyakan perihal Han Han yang selalu menjadi kenangan. Kedua orang gadis ini bercakap-cakap, saling menceritakan pengalamannya, akan tetapi tentu saja menyembunyikan perasaan hati masing-masing terhadap Han Han. Ketika Hian Ceng bertanya tentang Han Han, dengan hati sedih Sin Lian menceritakan bahwa Han Han telah mengundurkan diri dan pergi dari Se-cuan untuk mencari adiknya. Hian Ceng juga menyatakan penyesalannya betapa usahanya mencari Lulu sia-sia, dan diam-diam Hian Ceng memaki-maki Lulu yang dianggapnya seorang adik yang tak tahu diri dan hanya menyusahkan saja. Akan tetapi karena ia kini tahu bahwa Lulu adik angkat Sin Lian, tentu saja dia tidak berani mengeluarkan makiannya dengan kata-kata.
Seperti para pejuang suka rela yang lain, yang datang jauh-jauh ke Se-cuan untuk membantu perjuangan, berperang menentang pasukan Mancu kedua orang perkasa ini pun menjadi kesal hatinya ketika fihak musuh menghentikan serbuan dan jarang sekali terjadi pertempuran. Mercka menganggur dan kesal, maka seperti para pejuang lainnya, mereka juga lalu pergi menjelajah seluruh Se-cuan, dan dengan Hian Ceng sebagai petunjuk jalan, Sin Lian terhibur hatinya melakukan perjalanan di sepanjang perbatasan Se-cuan dengan propinsi-propinsi lain yang telah dikuasai musuh. Ketika sedang melakukan perjalanan inilah kedua orang dara perkasa itu mendengar tentang sepak-terjang Ouwyang Seng bersama pasukan istimewanya. Sin Lian menjadi marah sekali mendengar penuturan para pengungsi yang menceritakan segala kekejaman Ouwyang Seng dan pasukannya.
"Si bedebah! Semenjak kecil dia memang sudah jahat! Orang macam itu harus dienyahkan dari muka bumi!" Sin Lian berkata sambil mengepal tinjunya.
"Siapakah panglima musuh kejam yang bernama Ouwyang Seng itu, Enci Lian" tanya Hian Ceng heran melihat sikap Sin Lian yang seolah-olah sudah mengenal panglima yang dikabarkan kejam oleh para pengungsi itu.
"Dia adalah putera Pangeran Ouwyang Cin Kok, murid Setan Botak Gak Liat dan dia...."
Wajah Hian Ceng berubah merah sekali, matanya bersinar-sinar. "Aihhh! Kiranya si keparat laknat itukah" Mari kita berangkat mencarinya dan aku ingin menyayat-nyayat tubuhnya dengan pedangku, Enci Lian!"
Kini Sin Lian yang memandang terbelalak. "Mengapa engkau membenci dia pula, Adik Ceng"
Hian Ceng cemberut dan matanya menyinarkan kemarahan, "Kalau tidak ada Han-twako yang menolongku, tentu aku sudah menjadi korban kebiadaban Kongcu hidungbabi itu!"
"Lho, kaumaksudkan hidung belang, bukan"
"Hidung belang saja masih mending, dia hidung babi dan belang pula!" Hian Ceng bersungut-sungut lalu menceritakan pengalamannya ketika ia ditawan Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan, betapa ia hampir saja diperkosa oleh Ouwyang Seng kalau saja tidak muncul Han Han yang menolongnya.
Demikianlah setelah kedua orang gadis itu membicarakan Ouwyang Seng dengan hati penuh kebencian mereka berdua lalu menyelidiki perkemahan pasukan istimewa yang dipimpin Ouwyang Seng. Kebetulan sekali bahwa pada malam hari mereka menyelundup ke daerah perkemahan, Ouwyang Seng bersama dua orang pembantunya yang lihai, yaitu Toat-beng Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo, telah mengatur jebakan bagi Han Han sehingga daerah itu sengaja tidak dijaga ketat dan dengan kepandaian mereka, dua orang gadis itu berhasil menyelinap masuk dan melakukan pengintaian di dekat kamar besar yang berwarna kuning. Dari tempat persembunyian mereka, mereka melihat kesibukan Ouwyang Seng dan dua orang datuk kaum sesat sedang mengatur jebakan di dalam kemah. Melihat Ouwyang Seng, naik darah Hian Ceng dan gadis ini sudah ingin menyerbu dengan nekat. Akan tetapi Sin Lian memegang lengannya dan memberi isyarat supaya temannya itu tidak terburu nafsu.
"Toat-beng Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo itu lihai sekali," bisiknya, "Tak mungkin kita dapat mengalahkan mereka. Kita menanti kesempatan baik...."
Akan tetapi, sampai malam berganti pagi, pemuda bangsawan yang mereka incar itu selalu bersama nenek dan kakek sakti itu sehingga mereka berdua tidak berani turun tangan. Akan tetapi Sin Lian curiga menyaksikan gerak-gerik mereka, bahkan menjadi heran melihat munculnya seorang gadis yang gerak-geriknya gesit akan tetapi yang melihat pakaian dan tata rambutnya mengingatkan ia akan adik angkatnya, Lulu. Gadis itu jelas bukan Lulu, akan tetapi mengapa gadis itu seolah-olah menjadi saudara kembar Lulu dengan pakaian, tata rambut, dan gerak-gerik yang serupa benar" Dalam keheranannya, Sin Lian menjadi makin curiga dan mengambil keputusan untuk menanti dan mengintai terus.
Dia dan Hian Ceng sama sekali tidak tahu bahwa pagi hari itu Han Han telah muncul pula dalam penyelidikannya, mengintai tak jauh dari semak-semak di mana mereka bersembunyi. Mereka hanya melihat gadis yang seperti Lulu itu tiba-tiba tampak berkelebat di depan kemah, lalu meloncat ke dalam kemah disusul suara jeritan nyaring. Peristiwa ini masih membuat mereka berdua terheran-heran, akan tetapi ketika mereka melihat Han Han meloncat dan berjungkir-balik di udara, kemudian menyerbu ke dalam kemah barulah mereka terkejut dan Sin Lian yang cerdik lantas dapat menduga bahwa mereka semua itu telah mengatur jebakan untuk Han Han.
"Han-twako....!" Hian Ceng berbisik ketika ia mengenal tubuh yang meloncat tinggi itu.
"Celaka, dia terjebak. Mari....!" Sin Lian sudah mendahului Hian Ceng dan kedua orang gadis itu cepat meloncat dan lari ke tenda kuning, menguakkan pintu tenda. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka bahwa kemah iru kosong dan kini terdapat lubang besar. Han Han berada di dasar lubang dan sebongkah batu besar menimpa turun! Mereka hanya dapat berteriak tak mampu menolong dan dalam beberapa detik saja batu itu telah menutupi lubang dan mereka tidak tahu apa yang terjadi dengar Han Han.
"Ha-ha-ha-ha! Memasang perangkap untuk seekor harimau ganas, yang didapat bukan hanya harimau, akan tetapi juga dua ekor domba yang berdaging lunak. Ini namanya untung besar, ha-ha-ha!"
Sin Lian dan Hian Ceng mencebut pedang dan meloncat keluar dari dalam kemah itu. Kiranya Ouwyang Seng yang mengejek mereka telah berdiri di situ bersama Toat-beng Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo! Hian Ceng adalah seorang gadis yang memiliki keberanian luar biasa. Biarpun ia maklum bahwa kepandaian Ouwyang Seng amat hebat, namun melihat pemuda bangsawan yang dibencinva ini, dia sudah tidak dapat menahan sabar lagi dan sambil memaki ia sudah menerjang dengan tusukan pedangnya.
Ouwyang Seng tertawa mengejek. Betapapun cepat gerakan Hian Ceng, namun dia lebih cepat lagi mengelak sambil tertawa-tawa mengejek. Hian Ceng menjadi makin marah dan terus menyerang secara bertubi-tubi yang selalu mengenai tempat kosong, bahkan dia mendesak dan mengejar terus ketika Ouwyang Seng sambil melompat memancing gadis itu menjauhi kawannya.
Adapun Sin Lian yang tahu bahwa kakek dan nenek yang berdiri tenang itu jauh lebih berbahaya dan lihai, membiarkan Hian Ceng menyerang Ouwyang Seng, sedangkan dia tanpa banyak cakap lagi lalu menggerakkan pedangnya dan mainkan Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam yang hebat, menyerang Ma-bin Lo-mo. Kakek ini mendengus dan tentu saja dia dapat menghindarkan serangan Sin Lian hanya dengan mengibaskan ujung lengan bajunya yang mengandung tenaga sin-kang amat kuat membuat pedang yang menyerang itu menyeleweng. Namun Sin Lian tidak menjadi gentar dan terus melanjutkan penyerangannya dengan gerakan cepat sekali, mainkan jurus-jurus dari Chit-seng-sin-kiam sehingga pedangnya berubah menjadi gulungan sinar terang dan mengeluarkan bunyi berdesing-desing.
"Hemmm, kiam-sut (ilmu pedang) yang bagus!" Ma-bin Lo-mo memuji sambil mengelak, dan dia tidak ingin cepat-cepat merobohkan gadis ini karena dia tertarik oleh pedang itu, hendak menyaksikannya lebih dulu.
"Hi-hik, ilmu pedang yang dasarnya adalah Ilmu Silat Siauw-lim-pai. Tentu inilah Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam yang terkenal itu, ciptaan Siauw-lim Chit-kiam! Si Setan Botak Gak Liat pernah memuji-muji ilmu pedang ini kepadaku!" kata Toat-beng Ciu-sian-li sambil minum arak dari gucinya, matanya menyipit memperhatikan gerakan ilmu pedang yang dimainkan Sin Lian.
Sin Liat menjadi terkejut sekali, akan tetapi ia hanya dapat memperhebat serangannya secara nekat. Kecemasannya memuncak ketika ia mendengar Hian Ceng mengeluh dan dengan kerling matanya ia melihat Hian Ceng sudah ditawan oleh Ouwyang Seng, dipegang kedua pergelangan tangannya dan dipanggul oleh Ouwyang Seng yang membawanya memasuki sebuah kemah sambil tertawa-tawa. Kedua kaki Hian Ceng menendang-nendang dan mulutnya memaki-maki, akan tetapi ia tidak dapat terlepas. Kemarahan membuat Sin Lian makin nekat dan penyerangannya makin hebat. Akan tetapi makin hebat dia menyerang, hal ini agaknya membuat Ma-bin Lo-mo yang selalu mengelak atau menangkis dan nenek yang menonton sambil minum arak itu makin gembira!
Betapapun Hian Ceng meronta-ronta dan memaki-maki, dia tidak berdaya menghadapi Ouwyang Seng yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi dari padanya. Akhirnya dara yang biasanya riang gembira ini tertotok dan hanya dapat mengeluh dan menangisi nasibnya yang malang. Di dalam tenda itu terjadilah perkosaan yang keji, perbuatan kejam dan ganas yang hanya akan dapat dilakukan oleh seorang manusia yang sudah menjadi buta oleh nafsu dan sudah bukan manusia lagi, melainkan iblis sendiri yang menguasainya!
"Ha-ha-ha-ha, dahulu engkau terlepas dari tanganku, sekarang akhirnya engkau menyerah dan menjadi milikku. Siapa yang akan menolongmu, manis" Ouwyang Seng manusia biadab itu mengejek sambil tertawa memandang korbannya yang terengah-engah seperti hendak pecah dadanya, air matanya bercucuran dan keadaannya amat mengenaskan.
"Ha-ha, aku takkan membunuhmu, manis. Sayang kalau dibunuh, aku belum bosan padamu. Nanti kutemani lagi, aku hendak melihat temanmu itu dan...."
"Ouwyang Seng manusia binatang!" Tiba-tiba Ouwyang Seng terbelalak kaget ketika tiba-tiba muncul Han Han di depannya! Bagaimanakah pemuda buntung yang sudah terjebak dan terhimpit batu besar itu tiba-tiba bisa muncul di depannya" Setannyakah ini"
Tentu saja bukan! Yang muncul itu adalah Han Han. Setelah dengan susah payah menggali dinding tanah di atasnya, akhirnya Han Han berhasil membuka lubang di sebelah atas batu yang menutup setengah lubang sumur itu dan ia cepat meloncat ke atas. Terlalu lama ia tertutup tadi dan ia sungguh cemas akan nasib Lulu, Sin Lian dan Hian Ceng. Ia mengharap mudah-mudahan tidak terlambat, maka cepat ia meloncat keluar dari kemah palsu itu, tidak mempedulikan rasa sesak dan sakit di dalam dadanya. Ketika ia tiba di luar kemah, ia melihat Sin Lian menyerang Ma-bin Lo-mo dengan pedangnya. Kakek itu seperti seekor kucing mempermainkan tikus, tidak membalas, hanya menangkis dan mengelak sambil berulang-ulang memuji keindahan ilmu pedang yang dimainkan Sin Lian.
Adapun Sin Lian yang melihat munculnya Han Han, cepat menjerit, "Han Han! Cepat kautolong Hian Ceng di kemah itu!"
Han Han melihat keadaan Sin Lian memang belum terancam, maka ia berkelebat cepat ke arah kemah dan mendengar suara ketawa Ouwyang Seng. Begitu ia menerobos memasuki tenda dan melihat keadaan Hian Ceng, hatinya seperti diremas rasanya. Dia telah terlambat! Sekali lirik saja Hian Ceng, maka kemarahannya membuat wajah Han Han menjadi beringas, sepasang matanya terbelalak seperti mengeluarkan api ketika ia menatap wajah Ouwyang Seng. Apalagi darah yang tadi keluar dari ujung-ujung bibirnya masih belum dibersihkan, rambutnya masih kotor dengan tanah dan riap-riapan, wajah Han Han pada saat itu seperti wajah maut sendiri! Ouwyang Seng gemetar. Wajahnya pucat dan ia terbelalak, meraba gagang pedang dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya masih berusaha mengancingkan bajunya yang baru saja ia pakai kembali.
"Ouwyang Seng.... kau bukan manusia.... kau.... iblis.... tidak berhak hidup lagi setelah apa yang kaulakukan terhadap Hian Ceng....!" Han Han bicara dengan bisik-bisik parau, akan tetapi bagi telinga Ouwyang Seng terdengar makin menyeramkan dan lebih menakutkan daripada kalau pemuda buntung itu berteriak-teriak. Namun pemuda bangsawan ini teringat bahwa di luar terdapat dua orang pembantunya yang sakti, maka hatinya menjadi besar dan ia berseru, "Ji-wi Locianpwe lekas ke sini! Si Buntung di sini!" Akan tetapi ia cepat mengelebatkan pedangnya ketika melihat tubuh Han Han bergerak ke depan menerjangnya. Cepat bukan main gerakan Han Han yang sedang marah ini sehingga Ouwyang Seng secara ngawur saja menyambut berkelebatnya tubuh Han Han itu dengan sabetan pedangnya. Pemuda bangsawan ini mengeluarkan jerit kesakitan, pedangnya terlepas jatuh ke atas lantai karena pergelangan tangan kanannya patah tulangnya ketika bertemu dengan tongkat, kemudian ia terbanting roboh kena disambar tamparan telapak tangan kiri Han Han yang amat kuat. Pemuda itu mengerang kesakitan, berusaha bangkit akan tetapi roboh lagi karena tamparan itu membuat dua buah tulang iganya remuk!
Sambil menahan sedu-sedan yang naik ke lehernya dari dalam dada menyaksikan keadaan tubuh Hian Ceng yang masih telanjang bulat, Han Han cepat menggunakan jari tangan kanannya membebaskan totokan Hian Ceng. Gadis itu menjerit dan menangis sedih, meloncat bangun, terhuyung dan menyambar pedang Ouwyang Seng yang terlepas tadi. Han Han hanya dapat memandang dengan hati hancur, kemudian malah menundukkan mukanya, tidak kuat lebih lagi memandang tubuh yang masih telanjang bulat itu. Hian Ceng mengeluarkan pekik mengerikan, pedang di tangannya berkelebat dan putuslah leher Ouwyang Seng disambar pedangnya sendiri. Gadis itu masih terus membacoki mayat Ouwyang Seng sampai menjadi puluhan potong, darah berhamburan memenuhi ruangan dan lantai, kemudian Hian Ceng menggerakkan tangan yang memegang pedang ke arah lehernya sendiri!
Seperti digerakkan sesuatu yang aneh, Han Han mengangkat muka memandang dan wajahnya menjadi pucat, mulutnya berseru, "Ceng-moi....!" Ia menubruk maju, namun kembali untuk kedua kalinya ia terlambat. Pedang itu telah menyambar leher sampai hampir putus! Han Han terisak merangkul Hian Ceng, lalu berlutut menyangga punggung dan leher yang terluka hebat. Hian Ceng membuka matanya yang masih berlinangan air mata akan tetapi bibirnya tersenyum! Han Han merasa seperti jantungnya ditarik-tarik, sakit sekali rasanya menyaksikan betapa sinar mata gadis itu sama benar dengan sinar mata mendiang Soan Li ketika berangkat mati dalam pelukannya.
"Ceng-moi.... Ceng"moi....!" Han Han berbisik dan mendekap tubuh itu, tidak peduli betapa darah gadis itu yang mengucur keluar dari leher membasahi seluruh bajunya. Air matanya sendiri menetes-netes ke muka Hian Ceng yang kini memperlebar senyumnya dan makin memucat wajahnya. Beberapa detik kemudian Hian Ceng tewas dalam pelukan Han Han dengan mulut masih setengah terbuka, tersenyum!
Kekejangan terakhir yang disusul kelemasan tubuh yang dipeluknya, membuat Han Han merintih, lalu perlahan-lahan ia merebahkan tubuh Hian Ceng ke atas lantai, menarik selimut yang berada di atas pembaringan, menutup jenazah itu dengan selimut, kemudian ia terisak dan meloncat keluar karena teringat akan keselamatan Sin Lian yang menghadapi lawan tangguh.
"Sin Lian....!" Lengking ini hebat sekali keluar dari mulut Han Han ketika tubuhnya mencelat jauh ke depan, ke arah pertandingan itu. Lengking yang keluar mengandung kemarahan memuncak, kecemasan mendalam dan kedukaan yang mengguncang seluruh perasaan hati Han Han. Dapat dibayangkan betapa marah dan kaget hatinya ketika ia melihat Ma-bin Lo-mo berhasil melibat ujung pedang Sin Lian dengan ujung lengan bajunya, dan dengan pengerahan Swat-im Sin-ciang yang amat kuat, Iblis Muka Kuda ini dengan tiba-tiba membalikkan pedang itu dengan kuatnya sehingga pedang di tangan Sin Lian itu membalik dan menusuk dada dara itu sampai tembus! Sin Lian terhuyung-huyung dan matanya terbelalak memandang gagang pedangnya sendiri di depan dada.
Han Han yang mencelat dengan kecepatan seperti sinar menyambar itu telah menukik ke arah Ma-bin Lo-mo dan menggerakkan tongkatnya menusuk dada kakek itu, sedang tangannya ia pukulkan ke arah kepala Toat-beng Ciu-sian-li!
"Prakkk! Desss....!" Tongkat di tangan Han Han patah-patah bertemu dengan golok melengkung di tangan Ma-bin Lo-mo, tangan kanannya terbentur dengan lengan Toat-beng Ciu-sian-li yang menangkis pukulannya tadi. Kakek dan nenek itu mengeluarkan seruan kaget dan muka mereka menjadi pucat ketika tubuh mereka terlempar ke belakang dan terbanting ke tanah, akan tetapi mereka bergulingan dan sudah meloncat bangun kembali. Han Han yang sudah terluka sebelah dalamnya ketika ia menghabiskan tenaga mengangkat batu, kini menggunakan serangan dahsyat yang bertemu dengan sin-kang kedua lawannya yang kuat pula, maka tongkatnya patah-patah dan biarpun ia tidak terlempar, namun ujung mulutnya kembali mengucurkan darah segar. Han Han tidak mempedulikan dirinya sendiri dan berloncatan ke dekat Sin Lian. Gadis itu masih berdiri, tubuhnya bergoyang-goyang dan kini ia mengeluh.
"Han Han.... ohhhhh, Han Han...." Gadis itu juga mengucurkan darah dari mulutnya dan tubuhnya tentu roboh kalau Han Han tidak cepat menyambarnya, memeluk dan memondongnya lalu dibawa berloncatan ke bawah pohon. Dengan menyandarkan punggung di pohon dan memondong tubuh Sin Lian, Han Han menangis.
"Sin Lian.... aduh Sin Lian.... kau.... kau ampunkan aku, Sin Lian....! Aku terlambat menyelamatkanmu...."
Akan tetapi Sin Lian tersenyum sehingga tampak aneh sekali. Dalam keadaan seperti itu, dengan wajah yang makin pucat sehingga darah yang mengalir ke pipinya kelihatan amat merah, pedangnya menancap di ulu hati, gadis ini masih dapat tersenyum! Perlahan-lahan lengan kiri Sin Lian yang tergantung itu diangkat dengan lemah, kemudian jari-jari tangan gadis itu mengusap air mata Han Han mengusap darah di pinggir mulut, membelai rambut yang riap-riapan itu dan dibereskannya ke belakang, mulutnya berbisik-bisik.
"Han Han.... ohhh, Han Han.... aku rela.... aku senang mati.... dalam pelukanmu....! Han Han.... kau.... kau menangisi aku...."
Han Han merasa jantungnya seperti diremas-remas. Baru saja menghadapi kematian Hian Ceng yang masih melukai hatinya, kini ia memeluk tubuh Sin Lian yang sedang menghadapi kematian pula! Kepalanya menjadi pening, air matanya menetes-netes dan melihat betapa sepasang mata itu memandangnya penuh harap, naik sedu-sedan di kerongkongannya dan tak kuasa ia mengeluarkan suara, maka ia hanya mengangguk-angguk dan terisak membenamkan mukanya di leher yang berkulit putih halus itu. Ia merasa betapa leher itu berdenyut-denyut dan merasa betapa jari-jari tangan halus itu membelai rambutnya, dengan mesra mendorong mukanya sehingga terpaksa ia mengangkat muka memandang wajah yang makin melayu.
"Han.... Han.... aku.... cinta padamu...., aku rela mati.... kau tolong Hian Ceng.... dia.... gadis baik yang mencintamu pula.... selamat tinggal...." Kepala Sin Lian terkulai ke belakang.
"Sin Lian.... aduhhh, Sin Lian....!" Han Han tak kuasa menahan kesedihannya yang datang bertumpuk-tumpuk, pukulan batin yang datang bertubi-tubi dan ia menangis, mengguguk dan kalau dia tidak bersandar pada batang pohon, tentu ia sudah roboh karena seluruh tubuhnya menggigil.
Melihat keadaan pemuda yang menangis dan agaknya tidak ingat apa-apa lagi itu, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li melihat kesempatan baik. Mereka memang merasa jerih menghadapi pemuda buntung yang amat sakti itu, akan tetapi kini mereka melihat kesempatan untuk menerjangnya. Akan tetapi tiba-tiba Toat-beng Ciu-sian-li berbisik, "Celaka.... bocah pengacau itu datang....!" Telunjuknya menuding dan Ma-bin Lo-mo yang memegang golok menoleh.
"Kak Han Han....!" Lulu datang berlari seperti terbang cepatnya. Dari jauh ia sudah melihat keadaan Han Han yang memondong mayat seorang gadis yang belum ia kenal siapa.
"Han-twako....!" Ia menjerit lagi melihat Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng mempercepat larinya, bahkan kini berloncatan jauh sehingga tiba di depan Han Han.
Han Han tersentak kaget. Seperti baru bangun dari mimpi ia teringat dan sedetik hatinya lega dan girang mendapat kenyataan bahwa adiknya selamat, akan tetapi segera timbul kemarahan dan penyesalannya. Ia memandang Lulu melalui air matanya, mukanya pucat seperti mayat.
Kini Lulu membelalakkan mata memandang mayat gadis yang masih dipondong kakaknya itu, lalu menjerit, "Enci Lian....! Dia kenapa...." Ia merenggut tubuh itu dari kedua lengan Han Han, diletakkannya di atas tanah, diguncang-guncangnya pundak Sin Lian.
"Enci Lian....! Ooohhhh, dia.... dia.... kenapa...." Mati....! Enci Lian mati....!" Lulu memeluk mayat itu dan menangis tersedu-sedu. Kemudian ia mengangkat muka memandang Han Han yang masih berdiri bersandar pada batang pohon, melihat muka yang pucat dan basah air mata itu, melihat pakaian di bagian dada dan perut penuh darah, melihat darah di ujung mulut, segera ia meloncat bangun memeluk kakaknya.
"Han-koko....! Kau.... kau kenapa...." Kau terluka...." Hatinya penuh kekhawatiran, suaranya menggetar.
"Ah, Lulu anak nakal....!" Han Han merangkul adiknya. "Ke mana saja engkau pergi" Sungguh mendatangkan banyak kedukaan di hatiku. Lulu, aku girang melihat engkau selamat dan sehat. Sekarang pergilah, adikku. Pergilah tinggalkan aku, jangan dekat-dekat di sini, berbahaya sekali. Pergilah mencari Sin Kiat, dia seorang yang baik sekali dan amat cinta kepadamu. Pergilah tinggalkan aku bersama mayat Sin Lian....!"
"Koko! Apa kau bilang" Aku tidak mau meninggalkan engkau lagi! Engkau sendiri mau apa"
"Aku akan mengadu nyawa dengan dua iblis itu!"
"Tapi engkau terluka! Jangan khawatir, ada Lulu di sini. Tidak ada seorang pun iblis yang akan berani mengganggumu!"
"Lulu, adikku sayang, satu-satunya orang yang kukasihi di dunia ini....! Adikku, pergilah, aku rela mati asal engkau selamat dan bahagia. Sin Lian.... dia.... demi cintanya kepadaku.... dia telah berkorban untuk kakakmu ini.... dia berkorban nyawa dalam usahanya menolongku. Tidak bolehkah aku menemaninya mati untuk membalas budinya"
"Tidak!" Dan tiba-tiba Lulu membalikkan tubuh menghadapi Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li lalu menundingkan telunjuknya. "Hemmm, kalian dua orang tua bangka yang melukai kakakku dan membunuh enciku, ya" Aku tidak akan mengampunimu!"
"Lulu, jangan....! Jangan mencampuri urusan ini!" Han Han yang mengkhawatirkan keselamatan Lulu, cepat menubruk dan menyambar lengan adiknya, ditarik ke belakang. "Akulah lawan mereka....!"
Han Han hendak menyerbu, akan tetapi begitu ia mengerahkan sin-kang untuk meloncat, ia mengeluh dan tubuhnya roboh terguling, pingsan di samping mayat Sin Lian.
"Koko....! Han-koko....! Jangan engkau mati.... jangan tinggalkan aku, Kak Han Han....!" Lulu menjadi bingung dan menangis sambil memeluki dada Han Han, mengguncang-guncang pundaknya, tidak peduli lagi akan keadaan sekitarnya. Akan tetapi Han Han tidak bergerak, mukanya pucat seperti mayat.
Baru Lulu sadar ketika sebuah tangan halus namun kuat memegang dan mengguncangkan pundaknya. Ia mengangkat mukanya dari dada Han Han, menoleh dan melihat Nirahai telah berdiri di situ, dengan wajah lembut akan tetapi angkuh, sedangkan tempat itu telah dikurung oleh banyak pasukan Mancu.
Lulu meloncat bangun, mencabut pedangnya dan melintangkan pedang di depan dada sambil berkata, "Suci! Aku bersumpah, disaksikan bumi dan langit bahwa kalau engkau datang hendak mencelakai Han-koko, aku tidak sudi menjadi sumoimu lagi dan aku akan melawanmu sampai mati di depan kakimu!"
Nirahai tersenyum, kagum menyaksikan kesetiaan dan cinta kasih sumoinya terhadap Han Han. Dia datang dan sudah mendengar akan semua yang terjadi di situ, melihat tubuh Ouwyang Seng yang hancur lebur di dalam kemah di samping jenazah Hian Ceng yang masih telanjang, ia dapat menduga apa yang terjadi, mendengar pula betapa Han Han berhasil lolos dari himpitan batu besar yang membuatnya kagum bukan main. Kini melihat sumoinya, ia diam-diam menjadi kagum dan terharu. Ketika melihat sikap Lulu, ia tersenyum menggeleng kepala dan berkata, "Sumoi, simpanlah pedangmu. Aku tidak akan membunuh kakakmu. Pula, kalau engkau melawan aku, apakah kaukira dengan cara itu engkau akan dapat melindungi kakakmu" Sama dengan membunuh diri."
"Aku tidak takut mati! Aku bangga mati membela Han-koko, aku bahagia kalau mati bersama kakakku!"
Nirahai memperlebar senyumnya. "Mengapa bicara tentang mati kalau masih hidup" Aku tidak akan membunuh kalian, akan tetapi karena dia membunuh Ouwyang-kongcu, aku harus menawannya. Engkau boleh ikut dan merawatnya. Lihat, dia terluka hebat di sebelah dalam tubuhnya, kalau tidak mendapat perawatanmu, dia bisa mati."
Mendengar ini, Lulu menyimpan pedangnya dan menubruk Han Han lagi, penuh kekhawatiran.
"Biarlah dia digotong ke dalam dan kau boleh merawatnya, akan tetapi kalian adalah orang-orang tawananku," kata Nirahai dan terpaksa Lulu menyerah karena memang ia tidak ingin nekat membiarkan kakaknya mati dan dia sendiri melawan sampai mati kalau memang masih ada jalan untuk menghindari kematian. Dia sudah mengenal Nirahai dan tahu sedalam-dalamnya bahwa sucinya itu pada hakekatnya bukan seorang kejam, malah sebaliknya. Nirahai adalah seorang dara yang berbudi mulia dan lemah lembut, hanya terlalu "matang" mengurus tugas dan membantu pemerintah.
Han Han dan Lulu dimasukkan dalam tahanan yang khusus dibuat di daerah perbatasan. Dalam sebuah kamar yang cukup kuat dan besar, dengan dua pembaringan yang baik dan perlengkapan secukupnya, akan tetapi kamar itu terbuat dari tembok tebal dengan pintu bertirai besi yang masih dijaga oleh para penjaga di luar pintu. Lulu dibiarkan merawat Han Han, bahkan Nirahai mengirim obat-obatan yang dimasak sendiri oleh Lulu di dalam kamar, juga apa saja yang dibutuhkan Lulu dapat diminta melalui penjaga. Namanya saja mereka menjadi tahanan, akan tetapi mereka diperlakukan sebagai tamu-tamu agung!
*** Sampai sebulan lamanya Han Han berada di dalam kamar tahanan bersama adiknya. Ia telah sehat kembali dan diam-diam mereka berdua berterima kasih kepada Nirahai, terutama sekali ketika mereka bertanya tentang kedua jenazah Hian Ceng dan Sin Lian, dijawab bahwa jenazah kedua orang gadis itu telah dimakamkan sepantasnya oleh Nirahai, bukan disia-siakan seperti mayat-mayat musuh.
"Kini pemerintah tidak lagi memusuhi para orang gagah. Dua orang dara perkasa itu adalah orang-orang gagah yang patut dihormati. Makam mereka terawat baik dan diberi nisan sehingga akan dapat dicari dan dikenal semua orang, terutama keluarga mereka." demikian Nirahai menyampaikan pesan melalui seorang perwira. Anehnya, semenjak kedua orang kakak beradik itu ditahan, Nirahai tidak pernah menengok.
"Lulu, kini aku telah sehat kembali. Kita masing-masing telah mendengar semua pengalaman dan menurut pendapatku, kita berdua telah salah jalan yang biang keladinya ditimbulkan oleh perpisahan kita. Kalau kita dahulu tidak berpisah, tak mungkin engkau sampai terlibat dalam urusan perang, demikian pula aku. Semenjak kecil kita sudah sadar bahwa permusuhan tak boleh dibesar-besarkan. Engkau keturunan Mancu, dan aku seorang pribumi, namun kita telah menjadi kakak beradik. Engkau kehilangan orang tua yang dibunuh para pejuang, aku kehilangan orang tua yang dibunuh perwira-perwira Mancu, namun kau tidak mendendam kepada bangsaku dan aku tidak mendendam kepada bangsamu. Mengapa kita sampai terlibat sehingga kita menjadi bentrok sendiri" Ahhh, adikku sayang, aku telah bersikap terlalu kepadamu, maukah engkau memaafkan aku, Lulu"
Lulu menangis lalu berlutut di depan Han Han yang duduk di atas pembaringannya, menangisi kaki yang buntung. "Ahh, Han-koko, jangan kau bicara begitu. Akulah yang mohon ampun kepadamu, Koko. Aku adikmu yang nakal, yang selalu tidak menurut kata-katamu, menimbulkan banyak kesengsaraan padamu. Kakimu.... ah, kakimu sampai buntung sebelah.... Koko.... aku akan rela kalau boleh mengganti kakimu yang buntung....!" Lulu memeluk kaki buntung yang tinggal paha saja itu, dan menangis terisak-isak.
Tiba-tiba Han Han tertawa. "Ha-ha-ha, bocah lucu!" Ia mengangkat tubuh Lulu sehingga gadis itu bangkit berdiri di depan Han Han yang masih duduk dan memeluk pinggang adiknya dengan kedua lengan, sedangkan kedua lengan Lulu merangkul pundak kakaknya. Lulu juga tertawa, apalagi ketika Han Han berkata, "Bocah lucu! Aneh sekali. Andaikata engkau bisa memberikan kakimu dan dapat dipasang di tubuhku, tentu kaki darimu lebih pendek, kakiku pendek sebelah, malah buruk sekali, kalau jalan terpincang-pincang.... ha-ha-ha!"
Keduanya tertawa akan tetapi Lulu melihat betapa kakaknya itu biarpun mulutnya tertawa, matanya menitikkan air mata. Tahulah ia bahwa kakaknya itu terharu dan hanya memaksa diri tertawa untuk menghiburnya, maka ia merangkul leher dan menangis juga. Keduanya lalu bertangisan!
"Han-koko.... dadamu berdebar-debar kencang....!" Tiba-tiba Lulu berkata sambil melepaskan rangkulannya. Han Han terpaksa tersenyum. Adiknya ini tetap nakal seperti dulu, jujur polos blak-blakan tanpa tedeng aling-aling kalau bicara. Tanpa disadari, ucapan Lulu menikam ulu hatinya dan membuatnya sadar. Ketika berpelukan tadi, rasa haru yang aneh, rasa bahagia yang luar biasa seolah-olah ia memeluk surga dan membuat jantungnya berdebar keras. Wajahnya menjadi merah sekali dan cepat ia berkata.
"Lulu adikku yang terkasih, engkau tahu betapa kasih sayangku kepadamu. Kebahagiaanku bersembunyi di balik kebahagiaanmu, adikku. Aku baru akan merasa lega dan senang kalau engkau sudah ada yang melindungi, ada yang mencintamu sampai selama hidupmu. Karena itu, engkau harus mentaati kehendakku, Lulu. Engkau akan kubawa pergi mencari Sin Kiat, karena aku hendak menjodohkan engkau dengan dia. Sin Kiat adalah seorang pemuda yang baik, tampan, gagah perkasa, dan dia amat mencintamu."
Lulu mengerutkan keningnya dan tidak menjawab sampai lama. Kemudian ia menarik napas panjang, mengangkat muka yang tadi ditundukkan, memandang wajah kakaknya dan berkata, "Aku sudah tahu bahwa dia mencintaku Koko, dan aku tahu pula bahwa dia seorang yang amat baik dan gagah perkasa."
"Ha....! Kalau begitu kiranya diam-diam engkau telah jatuh cinta kepadanya, bukan"
Akan tetapi Lulu tidak tertawa atau tersenyum malu, bahkan masih cemberut ddn alisnya berkerut. Ia menggeleng kepala dan menghela napas panjang sebelum menjawab lirih, "Aku tidak tahu apakah aku cinta padanya, Koko. Memang aku suka kepadanya dan kagum, akan tetapi cinta" Ah, aku tidak tahu....! Koko, aku.... aku tidak mau dikawinkan dengan siapa pun juga!"
Han Han melengak kaget, "Eh! Mengapa" Apakah engkau sudah mempunyai pilihan lain" Bocah nakal, kalau memang engkau mencinta seorang pemuda lain, asal dia itu benar orang baik-baik, kakakmu tidak akan memutuskan cintamu."
Lulu menggelengkan kepalanya pula. "Pendeknya aku tidak mau menikah, Koko."
"Engkau harus mau!"
"Tidak mau!"
Kembali kakak beradik ini beradu pandang, sama-sama membelalak lebar penuh kekerasan hati, Han Han yang lebih dulu menghalau kemarahannya dan ia menarik napas panjang.
"Ah, sungguh aku yang tidak tahu diri. Ada hak apakah aku hendak memaksamu" Aku hanya seorang kakak angkat. Maafkanlah, Lulu, aku selalu lupa bahwa aku tidak berhak atas dirimu, akan tetapi semua itu kulakukan di luar kesadaranku, seolah-olah engkau adalah adik kandungku, aku.... aku hanya ingin melihat engkau bahagia.... hatiku selalu akan menjadi risau dan sengsara, selalu cemas memikirkan engkau kalau engkau belum menjadi isteri seorang yang dapat kupercaya penuh."
Kekerasan Lulu pun luluh dan ia merangkul kakaknya. "Koko bukan...., bukan seperti yang kausangka, bukan sekali-kali aku hendak merendahkan permintaanmu dan tidak suka mematuhi perintahmu. Tidak, Koko. Engkau pun merupakan pengganti orang tuaku, dan aku telah berkali-kali membikin susah hatimu, Koko, aku ingin sekali dapat menyenangkan hatimu, aku amat kasihan kepadamu dan aku.... aku...." Lulu terisak menangis.
Besar sekali rasa hati Han Han ketika ia mengelus-elus rambut panjang hitam dan berbau harum itu. "Lulu, adikku yang manis, yang cantik jelita...."
Tiba-tiba Lulu melepaskan rangkulannya, menatap tajam dan bertanya, "Han-koko, benarkah engkau menganggap aku manis dan cantik jelita"
Han Han tersenyum, memandang wajah adiknya itu. Setelah lama tidak berkumpul, kini melihat wajah itu begitu dekatnya, makin nyatalah kecantikan adiknya, kecantikan Nirahai, dengan bentuk-bentuk yang sama, terutama sekali sepasang matanya.
"Engkau cantik manis, adikku. Terutama sekali sepasang matamu, seperti sepasang bintang di angkasa bercahaya, seperti sepasang mata seekor burung hong, dan.... dan.... juga mulutmu...." Ia terhenti, merasa terlanjur dalam pujiannya.
"Aaahhhhh, lanjutkan, Koko, bagaimana dengan mulutku" Lulu bertanya, cemberut dan timbul kembali sifat manjanya seperti ketika ia berada di Pulau Es dahulu.
Terpaksa Han Han melanjutkan sambil memandang mulut adiknya, sepasang bibir yang garis pinggirnya jelas seperti dilukis, yang berkulit tipis merah dan selalu basah, berdaging penuh, kalau tersenyum terbuka sedikit tampak ujung gigi seperti mutiara berbaris rapi menyembunyikan lidah kecil merah yang selalu bergerak-gerak dalam gua kemerahan itu. "Mulutmu.... hemmm.... seperti telaga madu, menjadi sumber kemanisan yang tiada habisnya."
Mata yang lebar itu berseri-seri dan Lulu kembali merangkul lalu mencium pipi kakaknya seperti dulu sering kali dilakukannya ketika mereka berdua masih tinggal di Pulau Es. "Terima kasih, Koko, terima kasih! Engkau semulia-mulianya manusia bagiku, engkau satu-satunya manusia yang paling kucinta di dunia ini!"
Han Han kembali menggunakan kemauannya untuk menekan debaran aneh pada jantungnya, lalu ia memegang kedua pundak Lulu, didorongkan dan dipandangnya wajah adiknya. "Lulu adikku, aku hanya mempunyai satu tujuan, yaitu melihat engkau bahagia. Karena itu, engkau hendak kuajak mencari Sin Kiat. Kenapa engkau menolak"
"Koko, kalau aku dijodohkan deng
Bentrok Rimba Persilatan 4 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Bentrok Rimba Persilatan 7

Cari Blog Ini