Ceritasilat Novel Online

Pendekar Super Sakti 23

Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo Bagian 23


an orang lain, apakah aku harus ikut dengan suamiku"
"Tentu saja!"
"Dan engkau akan meninggalkan aku"
"Hemmm.... sudah semestinya begitu, adikku."
"Kalau begitu aku tidak mau! Aku tidak mau!" Lulu menangis lagi.
Han Han memejamkan mata, menguatkan hatinya dan bertanya dengan suara tegas, "Kenapa, Lulu"
"Karena aku tidak mau berpisah lagi darimu, Koko! Aku selamanya tidak mau berpisah dari sampingmu!" Tangisnya mengguguk.
Kembali perasaan aneh sekali menikam hati Han Han, perasaan bahagia dan senang luar biasa. Tidak! Ini gila! Dia harus melawan perasaan ini. Dia ini adikku! Adikku, pikirnya.
Ia memaksa diri tertawa. "Ha-ha, engkau bocah nakal! Masa engkau akan ikut kakakmu ini sampai kita menjadi kakek dan nenek"
"Biar! Aku akan senang sekali, Koko. Biar aku tidak pernah kawin, aku akan ikut denganmu sampai mati!"
Han Han mengeraskan hatinya, mendorong tubuh Lulu dan memandang tajam wajah yang basah air mata itu. "Lulu, tidak boleh! Apakah engkau akan membikin hati kakakmu ini sengsara selamanya" Engkau adikku, dan seorang adik yang baik akan mentaati kakaknya. Adikku Lulu, tidak maukah engkau menyenangkan hati kakakmu dengan mentaati permintaanku" Engkau akan hidup bahagia bersama Sin Kiat, aku yakin akan hal ini. Dia seorang yang amat baik. Lulu, sekali lagi kuminta, penuhilah permintaanku ini!"
Sampai lama mereka saling pandang, dan akhirnya, dengan suara berat Lulu berkata lirih, "Han-koko.... kalau hal itu berarti kebahagiaanmu.... aku.... baiklah, aku menurut." Dia lalu membenamkan muka di dada Han Han sambil menangis.
Han Han mendiamkan saja, membiarkan adiknya menangis. Setelah tangis adiknya mereda, ia lalu berkata, "Marilah kita menemui Nirahai. Kita minta dibebaskan, kalau dia berkemauan baik, tentu permintaan kita dia pehuhi. Kalau tidak, terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!" Tanpa menanti jawaban adiknya, Han Han menggandeng tangan Lulu, diajak meloncat ke pintu yang tertutup dengan terali besi. Dia sudah mempunyai sebatang tongkat kayu yang diberikan oleh penjaga atas permintaan Lulu.
"Koko, pintunya kuat sekali dan di luar ada penjaga-penjaga....!"
"Ssstttt, kau ikutlah saja," kata Han Han yang menggunakan tongkatnya mengetuk-ngetuk pintu dan ketika para penjaga yang enam orang jumlahnya itu menengok, ia berkata, "Harap kalian suka membuka pintu ini, kami hendak menghadap Puteri Nirahai!"
"Ah, kami tidak berani! Kami diharuskan menjaga di sini dan tidak membolehkan kalian berdua keluar dari pintu!" Komandan jaga membantah dan enam orang itu sudah meraba gagang senjata golok mereka untuk menjaga segala kemungkinan.
Han Han tersenyum. "Kalau begitu, aku akan keluar sendiri!" katanya dan sekali tangan kanannya bergerak, terdengar suara keras dan pintu kamar itu jebol berikut jeruji-jeruji besinya, terlepas dari tembok! Enam orang penjaga itu menerjang maju, akan tetapi Han Han mengelebatkan tongkatnya dan robohlah mereka dalam keadaan lemas tertotok! Sambil menggandeng tangan adiknya, tenang-tenang saja Han Han meninggalkan tempat itu, keluar dari rumah tahanan untuk mencari Nirahai.
Para penjaga yang berada di luar menjadi kaget sekali dan mengurung. Han Han dan Lulu berdiri tegak, kemudian gadis itu berseru, "Apakah kalian sudah bosan hidup hendak menghalangi aku" Aku hendak mencari Suci Nirahai, kalian mau apa"
Para perajurit Mancu sudah tahu bahwa gadis ini adalah adik seperguruan Puteri Nirahai, maka mereka tidak berani turun tangan mengganggu. Apalagi, di sudut hati mereka, para perajurit yang sudah mendengar akan kesaktian Han Han yang dijuluki Pendekar Super Sakti, merasa jerih terhadap pemuda berkaki satu itu. Kini mereka hanya dapat memandang, kemudian mengikuti dari belakang ketika Han Han dan Lulu berjalan menuju ke sebuah kemah besar yang berwarna merah, kemah yang ditinggali Puteri Nirahai. Berbeda dengan perkemahan yang dijadikan tempat tinggal para pahglima dan perwira yang selalu dijaga perajurit, di depan kemah merah ini tidak nampak penjaga. Nirahai memang seorang puteri yang tidak mau bersikap sebagai seorang pembesar tinggi yang gila hormat, ia tetap sederhana dan dia lebih condong hidup dan bersikap sebagai seorang kang-ouw yang mengandalkan diri sendiri dan hidup bebas tidak terikat banyak peraturan yang membosankan.
Di depan kemah merah itu, para perajurit bergerombol dan hanya memandang ketika melihat Han Han dan Lulu dengan tenangnya memasuki kemah. Selain para perajurit ini tidak berani mengganggu Lulu dan jerih terhadap Han Han, juga mereka telah mendapat peringatan keras dari Puteri Nirahai untuk tidak melakukan pertempuran selama sang puteri menjalankan siasat perdamaian dengan para pejuang, bahkan tidak boleh menyerbu ke Se-cuan melewati perbatasan sebelum ada perintah. Sisa pasukan istimewa yang tadinya dipimpin Ouwyang Seng, oleh sang puteri telah disuruh tangkap semua dan dikirim ke penjara besar untuk menerima hukuman!
Akan tetapi ketika mereka tiba di depan pintu ruangan dalam, Han Han dan Lulu berhenti karena mendengar suara lantang dari Nirahai yang terdengar marah.
"Tidak bisa! Biarpun Ouwyang-kongcu telah terbunuh, akan tetapi Pangeran Ouwyang Cin Kok masih tidak berhak untuk memerintahkan kepadaku mengirim kepala pembunuhnya! Dia kira siapakah dia itu yang bisa menjatuhkan perintah seperti itu kepadaku" Di daerah perang, di perbatasan ini, akulah yang berkuasa. Aku yang mewakili Ayahanda Kaisar dan semua orang tawanan adalah tanggung jawabku dan hanya aku seorang yang dapat menjatuhkan keputusan hukumannya! Tidak, aku tidak akan dan belum menjatuhkan hukuman mati kepada Suma Han dan aku tidak akan mengirimkan kepalanya kepada Pangeran Ouwyang Cin Kok seperti dimintanya! Ji-wi Locianpwe tahu bahwa kita sedang menjalankan politik perdamaian dengan kaum pejuang, sedangkan Suma Han tidak melakukan pelanggaran apa-apa. Pembunuhan yang dilakukannya terhadap Ouwyang-kongcu adalah urusan pribadi dan ji-wi cukup maklum apa yang menjadi sebabnya!"
Han Han dan Lulu mendengarkan dengan hati berdebar. Kemudian mereka mendengar suara Ma-bin Lo-mo penuh desakan dan penyesalan, "Mengapa Paduka menolak permintaan Pangeran Ouwyang Cin Kok" Bukankah pemuda buntung itu telah menimbulkan banyak kekacauan" Dan apakah Paduka lupa bahwa dahulu Paduka telah direncanakan untuk menjadi jodoh mendiang Ouwyang-kongcu! Dengan demikian, Ouwyang-kongcu menjadi tunangan Paduka. Setelah tunangan Paduka terbunuh secara keji, apakah Paduka tidak merasa terhina dan merasa sakit hati terhadap pemuda buntung itu"
"Hi-hi-hik, Ma-bin Lo-mo, engkau ini sudah tua namun masih bodoh!" Terdengar suara Toat-beng Ciu-sian-li diseling suara berkerincingnya rantai gelang penghias kedua telinganya. "Apakah tidak depat menjenguk isi hati orang muda" Biarpun kakinya buntung sebelah, hati wanita muda yang manakah tidak akan tertarik" Dan kalau mau bicara tentang hati wanita, dari puteri sampai jembel pun tiada bedanya. Hi-hik!"
Tiba-tiba terdengar suara Nirahai penuh kemarahan, "Ji-wi adalah orang tua yang selalu membawa kotoran dalam hati dan pikiran ji-wi! Lekas ji-wi pergi dari sini, karena aku dapat melupakan bahwa ji-wi pernah membantu kami dan kalau aku turun tangan, apakah ji-wi kira aku tidak mampu membunuh kalian"
"Puteri Nirahai, akulah musuh dan lawan mereka! Haiii, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li, aku Suma Ham menantang kalian dan kutunggu di depan kemah, keluarlah kalau kalian berani!" Han Han berseru keras, menggandeng tangan adiknya dan keluar dari dalam kemah itu. Para perajurit memandang mereka ini dengan mata terbelalak. Mereka semua tidak tahu harus berbuat apa, maka hanya mengurung tempat itu sambil menanti perintah Puteri Nirahai.
Tak lama kemudian muncullah Nirahai, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li dari dalam kemah. Melihat para perajurit, Nirahai lalu melambaikan tangan dan berkata, suaranya berwibawa, "Semua perajurit mundur, boleh menonton dalam lingkaran yang lebar, paling dekat sepuluh meter!"
Para perajurit lalu mundur dan karena semua ingin menonton dan mendengar, mereka lalu membentuk lingkaran mengelilingi tempat itu. Bahkan para perajurit lainnya yang mendengar lalu berdatangan sehingga tempat itu penuh oleh lingkaran perajurit-perajurit Mancu.
"Siapa yang mengeluarkan kalian" Puteri Nirahai bertanya dengan keren sambil memandang Lulu.
"Suci, akulah yang memaksa keluar," kata Lulu.
"Bukan! Akulah yang menjebol pintu karena para perjaga tidak mau membukanya. Kami hendak bicara denganmu, Puteri Nirahai. Akan tetapi mendengar suara dua orang tua bangka jahat ini, biarlah kutunda dulu pembicaraan kita dan sekarang aku menantang Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li untuk bertanding denganku!"
"Hemmm.... di puncak Tai-hang-san sudah kuputuskan bahwa kini kami mengadakan perdamaian dengan orang-orang kang-ouw. Apakah engkau menjadi wakil pemberontak Bu Sam Kwi dan menantang pembantu-pembantu pemerintah" Nirahai bertanya.
Han Han menjawab tegas. "Sama sekali bukan. Aku dan adikku Lulu sekarang tidak sudi mencampuri perang. Aku menantang Ma-bin Lo-mo karena urusan pribadi, karena ingin membalaskan dendam puluhan orang anak murid In-kok-san yang orang tuanya telah dibunuhnya semua oleh Iblis Muka Kuda ini dan untuk membalaskan dendam terhadap kematian Lauw Sin Lian! Aku pun menantang Toat-beng Ciu-sian-li, karena berkali-kali dia hendak membunuhku, bahkan yang terakhir aku tentu telah mati dibunuhnya kalau tidak muncul Kim Cu sehingga hanya sebelah kakiku yang buntung. Aku tantang mereka berdua sebagai musuh pribadi!"
Di dalam lubuk hatinya, semenjak dua orang iblis tua itu muncul sebagai utusan Pangeran Ouwyang Cin Kok untuk minta kepala Han Han sebagai hukuman atas kematian Ouwyang Seng, Nirahai sudah mengambil keputusan untuk mengenyahkan dua orang itu. Dan ketika Han Han datang bersama Lulu, dia pun sudah tahu maka dia sengaja bicara keras. Kemudian, tantangan Han Han terhadap dua orang itu menggirangkan hatinya, maka puteri cerdik ini tidak mengusir para perajurit, bahkan memperkenankan mereka menonton agar mereka mendengar dan menjadi saksi atas pertandingan yang memang ia harapkan ini. Ia tahu bahwa Han Han telah sembuh dan bahwa pemuda itu amat sakti, tentu sanggup menandingi mereka berdua. Maka kini dengan aksi mengangkat pundak ia berkata.
"Pemerintah tidak akan mencampuri urusan dendam pribadi, bahkan selalu akan menjadi saksi. Terserah tanggapan Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li atas tantangan Suma Han, kami tidak mencampurinya, hanya ingin melihat pertandingan yang adil dan sah!"
Dua orang datuk kaum sesat itu diam-diam merasa jerih terhadap Han Han, akan tetapi untuk menolak tantangan, tentu saja mereka merasa malu. Pula, mereka adalah dua orang tokoh besar, masa harus melarikan diri terhadap tantangan seorang pemuda yang buntung sebelah kakinya" Biarpun kini tidak ada tokoh kang-ouw yang menyaksikan, bahkan kedua orang pendeta yang menjadi utusan Pangeran Kiu juga telah kembali ke Se-cuan, namun ada ratusan orang perajurit Mancu menjadi penonton. Akan tetapi, Toat-beng Ciu-sian-li masih berusaha untuk menghindarkan pertandingan dan berkata.
"Suma Han, engkau sekarang mengakui sebagai keturunan Suma! Jai-hwa-sian Suma Hoat adalah Kakekmu! Lupakah engkau bahwa aku adalah isteri Kakek Buyutmu Suma Kiat" Aku adalah Nenek Buyutmu sendiri! Hayo berlutut memberi hormat atas kekurangajaranmu menantangku!"
Akan tetapi Han Han tertawa mengejek. "Tidak kusangkal bahwa aku menyesal sekali, adalah keturunan keluarga Suma yang jahat seperti keluarga iblis itu! Engkau adalah seorang di antara selir-selir Suma Kiat yang tentu banyak jumlahnya, entah selir yang syah ataukah selir gelap-gelapan! Akan tetapi aku tidak akan mengakuimu, bahkan andaikata Kakekku yang berjuluk Jai-hwa-sian itu masih hidup, kalau mengingat akan kejahatannya, dia akan kutantang pula! Toat-beng Ciu-sian-li, aku ulangi lagi tantanganku kepadamu, bukan sekali-kali sebagai nenek buyut, melainkan sebagai seorang datuk kaum sesat yang telah menumpuk dosa. Ataukah kau tidak berani melawan bekas muridmu sendiri yang telah kaubuntungi kakinya" Dan engkau, Ma-bin Lo-mo, apakah engkau telah berubah menjadi pengecut, lebih pengecut daripada perbuatanmu membunuhi keluarga para murid In-kok-san"
Kemarahan dua orang tokoh tua itu memuncak dan biarpun mereka maklum akan kesaktian Han Han, namun keduanya juga memiliki kepandaian yang sudah amat tinggi tingkatnya. Toat-beng Ciu-sian-li memekik dan begitu tangannya bergerak, tiga sinar terang menyambar ke arah dahi, dada dan pusar Han Han. Itulah senjata gelap gelang yang ia lolos dari rantai gelang di telinganya.
"Lulu, mundur!" Han Han berteriak.
Lulu meloncat ke dekat Nirahai dan Han Han menggerakkan tangannya, dengan hawa pukulan sin-kang yang kuat sekali ia membuat tiga buah gelang itu menyeleweng dan menghilang ke dalam tanah di depan kakinya!
"Wuuuttt, tring-tring-tranggggg....!" Toat-beng Ciu-sian-li sudah menerjang maju dan sekaligus kedua anting-anting rantai gelang rambutnya yang panjang dan kedua tangannya sudah bergerak melakukan penyerangan secara berbareng.
"Singgg.... ngiuuukkkkk....!" Ma-bin Lo-mo juga sudah menerjang maju, golok melengkung di tangan kanan menjadi gulungan sinar, tangan kirinya memukul dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang!
"Cuat-cuattt....!" Tubuh Han Han mencelat seperti kilat dan telah lolos dari kepungan serangan yang amat hebat itu. Tubuhnya bergerak-gerak dengan loncatan aneh sehingga pandang mata Ma-bin Lo-mo dan Ciu-sian-li menjadi kabur. Mereka harus membelalakkan mata bergerak cepat dan bersikap waspada.
"Heiiiii! Mengapa main keroyok" Ini tidak adil!" Nirahai berseru. Biarpun ia tidak khawatir melihat pengeroyokan atas diri Han Han, namun sebagai saksi dan juri, dia harus mencela agar tidak dianggap berat sebelah.
"Terima kasih, Puteri. Biarlah mereka mengeroyok, memang selama hidupnya orang-orang seperti mereka ini hanya mengandalkan kemenangan dengan kecurangan!" Han Han mengejek.
Kedua orang itu menjadi makin marah, akan tetapi tentu saja mereka menulikan telinga terhadap ejekan-ejekan ini karena maklum bahwa kalau maju seorang demi seorang, tentu mereka akan celaka. Tanpa menjawab, mereka telah mengirim serangan secara bertubi-tubi. Han Han tetap mainkan ilmu Silat Soan-hong-lui-kun yang amat hebat, tubuhnya lenyap dan hanya tampak berkelebatnya bayangannya yang saking cepat gerakannya sampai seolah-olah berubah menjadi banyak itu. Dia hanya mengelak dengan loncatan-loncatan ke sana-sini sehingga tampaknya seperti dua orang anak-anak yang canggung mengejar dan berusaha untuk memukul seekor lalat yang amat cekatan.
Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee adalah seorang ahli bermain golok melengkung, dan tenaganya Swat-im Sin-ciang amat kuatnya, bahkan lebih kuat daripada tenaga sin-kang Setan Botak, lebih kuat pula dari tenaga sin-kang Toat-beng Ciu-sian-li. Akan tetapi nenek itu jauh lebih berbahaya karena biarpun sin-kangnya tidak sekuat Ma-bin Lo-mo, namun dalam hal ilmu silat, Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat lebih lihai dan banyak sekali macam ilmunya. Nenek ini puluhan tahun lamanya berkecimpung di dunia kaum sesat, mempelajari bermacam ilmu dan sebagai selir terkasih Suma Kiat, dia menuruni pula ilmu-ilmu aneh dan mengerikan dari suaminya itu. Dia ahli mempergunakan rambutnya sebagai senjata. Biar rambutnya sudah banyak ubannya, namun masih panjang dan rambut yang halus ini berbahaya sekali, dapat melibat senjata lawan, dapat menjerat leher, dan bahkan dapat pula menjadi keras menegang dan digunakan sebagai alat penotok jalan darah! Senjata rantai gelang yang tergantung di kedua telinganya juga merupakan senjata yang ampuh sekali, karena selain sukar diduga gerakannya karena digerakkan bukan dengan tangan melainkan dengan gerakan kepala, menjadi imbangan yang membingungkan bagi lawan dengan gerakan penyerangan rambut. Ditambah lagi dengan kuku-kuku jari tangannya yang beracun, telapak tangannya yang mengandung hawa pukulan Toat-beng-tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa) yang biarpun tidak sekuat Swat-im Sin-ciang, namun mengandung hawa beracun yang jahat sekali!
Han Han yang sudah beberapa kali bertanding melawan dua orang ini, tahu bahwa dikeroyok dua orang ini sama dengan dikeroyok sedikitnya sepuluh orang. Yang paling berbahaya baginya adalah si nenek yang sambil menyerang menyembunyikan anting-antingnya, suaranya berkerincingan mengacaukan perhatian bahkan bagi para pendengar yang tidak memiliki sin-kang kuat, dapat menggetarkan jantungnya. Baiknya para perajurit menonton dari jarak jauh sehingga getaran suara itu hanya membuat mereka menutupi telinga karena amat tidak enak didengar, seperti orang mendengar suara kaleng digurat-gurat. Maka, kini setelah berloncatan ke sana-sini dan gerakan ilmu gerak kilat pada kaki tunggalnya sudah lancar, mulailah ia membalas dengan serangan tongkat yang ia mainkan dengan gerakan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut, sedangkan tangan kirinya ia pukulkan dengan sin-kang yang berubah-ubah, kadang-kadang ia menggunakan inti tenaga Hwi-yang Sin-ciang, kadang-kadang ia menghadapi pukulan Ma-bin Lo-mo dengan tenaga yang sama, yaitu Swat-im Sin-ciang, namun jauh lebih kuat!
Kini mulailah Han Han menggunakan ilmunya Soan-hong-lui-kun yang memungkinkan ia berloncatan cepat menjauhi Toat-beng Ciu-sian-li dan mendesak Ma-bin Lo-mo! Toat-beng Ciu-sian-li maklum bahwa Han Han hendak merobohkan dulu murid keponakannya, maka berteriak-teriak dan mengejar terus. Namun gerakannya jauh kalah cepat oleh Han Han sehingga bagi para penonton yang tidak dapat mengikuti dengan pandangan mata biasa mereka seperti perajurit-perajurit Mancu itu, yang kelihatan hanya berkelebatan tubuh Han Han dan Ma-bin Lo-mo yang sibuk menangkis dengan goloknya, dan melihat nenek itu berlari-lari memutari tubuh Ma-bin Lo-mo sambil berteriak-teriak memaki seperti orang gila!
Ma-bin Lo-mo mempertahankan diri sekuatnya. Ketika melihat tongkat menyambar, ia mengerakkan tenaga mengayun goloknya menangkis, dan tangan kirinya sudah menghantam ke arah bayangan Han Han dengan Swat-im Sin-ciang. Saat inilah yang dinanti-nantikan oleh Han Han. Tongkatnya ia pukulkan dengan kuat, dan tangan kanannya menyambut pukulan itu dengan tenaga Im-kang pula yang jauh lebih kuat. Dua senjata bertemu di udara, tepat pada saat dua telapak tangan mereka bertemu.
"Krakkk! Desss....!" Golok patah menjadi tiga dan tubuh Ma-bin Lo-mo menggigil, kemudian ia terhuyung mundur, dari telinga, mata, hidung dan mulut juga dari lubang-lubang di bawah tubuh, mengucur darah dan akhirnya roboh dengan napas putus. Tubuhnya berubah membiru dan kaku seperti sebatang kayu karena tubuh itu sudah membeku!
"Becah setan....!" Toat-beng Ciu-sian-li memaki menutupi rasa gentarnya, semua senjatanya yang ampuh, rambut, sepasang rantai gelang dan kedua tangannya menyerang kalang-kabut.
Ketika Han Han menggunakan tongkatnya menangkis, sepasang rantai gelang yang panjang dan pendek itu bergerak seperti dua ekor ular, tahu-tahu telah melibat-libat pada tongkat itu dan mendadak nenek itu menggerakkan kepalanya. Dua helai rantai gelang itu membetot ke kanan kiri. Han Han terkejut karena benar-benar amat kuat tarikan dua rantai gelang itu. Dia pun mengerahkan tenaga membetot.
"Krekkk-krekkk-kraaakkkkk!"
"Aihhhhh....!" Nenek itu menjerit. Tongkat Han Han patah-patah menjadi tiga potong, akan tetapi dua helai rantai gelang itu pun copot dari kedua telinga Si Nenek, merobek bagian bawah daun telinga di mana rantai itu tergantung! Nyerinya begitu hebat bagi seorang nenek yang demikian sakti, akan tetapi rasa kaget dan malu membuat ia menjadi marah dan nekat. Kepalanya bergerak dan rambutnya sudah membelit leher Han Han.
Pemuda ini tak sempat mengelak, rambut itu seperti hidup, tahu-tahu telah membelit dan mencekik leher. Otomatis kedua tangannya ia gerakkan ke leher untuk melepaskan libatan dan menarik putus rambut itu, akan tetapi pada saat itu, Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat sudah menggerakkan kedua tangannya yang berkuku panjang, yang kiri mencengkeram ke arah ulu hati, sedangkan yang kanan mencengkeram ke bawah pusar Han Han untuk meremas hancur anggauta kelaminnya!
"Koko, awas....!" Tak tertahankan lagi Lulu yang menyaksikan gerakan nekat dan curang itu berseru. Nirahai menonton dengan sepasang mata tak pernah berkedip dan hatinya menjadi tegang, namun ia tetap waspada untuk mencegah kalau-kalau Lulu yang sudah tak enak berdiri sejak tadi itu turun tangan membantu kakaknya.
Han Han sekarang bukanlah seperti Han Han dahulu ketika baru keluar dari Pulau Es. Setelah menerima gemblengan dari Khu Siauw Bwee, dia telah menguasai ilmu silat tinggi dan memiliki kewaspadaan seorang ahli. Dia tidak akan patut disebut orang sebagai Pendekar Super Sakti kalau dia tidak melihat gerakan kedua tangan nenek itu. Dari gerakan pundak saja ia sudah mengetahui lebih dulu sebelum kedua tangan nenek itu menerkam tubuhnya. Ia membiarkan lehernya tercekik, mengerahkan tenaga untuk melindungi leher sehingga cekikan tidak menghalangi pernapasannya, berbareng secepat kilat ia menggerakkan kedua tangan menerima kedua tangan nenek itu sehingga dua pasang telapak tangan bertemu. Nenek itu terus mencengkeram kedua tangan Han Han sambil mengerahkan tenaga Toat-beng-tok-ciang. Akan tetapi Han Han tidak menolak, malah pemuda ini pun mengerahkan sin-kang, yang kiri mengerahkan inti Swat-im Sin-ciang, yang kanan mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang!
Dua orang itu berdiri tegak, rambut nenek itu mencekik leher, kedua pasang tangan mereka saling cengkeram dan terjadilah adu tenaga yang amat menegangkan bagi Lulu dan Nirahai. Mereka berdua maklum bahwa Han Han dan nenek itu mengadu tenaga sakti yang amat berbahaya.
Kini tangan kiri nenek itu yang bertemu tangan kanan Han Han yang mengepulkan asap dan kuku-kukunya yang panjang hangus, sedangkan tangan kanannya menggigil. Muka nenek itu sebentar pucat sebentar merah, napasnya terengah-engah dan ia berkata parau.
"Aku Nenek Buyutmu.... Nenek Buyutmu....!" dan dari kedua mata nenek itu bercucuran air mata!
Han Han merasa muak, juga kasihan. Air mata hanya dapat dikeluarkan dari hati yang baik! Hanya orang yang berduka, orang yang menyesali perbuatannya, orang yang kalah dan tertekan batinnya saja yang akan dapat mengucurkan air mata. Dan tak dapat disangkal lagi, menangis sama dengan berdoa, karena hanya orang yang menangis saja yang mendekatkan hatinya dengan Tuhan!
"Pergilah!" seru Han Han dan ia mengerahkan semua tenaganya, mendorong dan tubuh nenek itu terlempar dibarengi jeritnya yang menyayat hati. Rambutnya masih melibat leher Han Han karena dalam saat terakhir itu, nenek ini masih tidak mau melepaskan niatnya membunuh Han Han, maka masih melakukan perlawanan. Kalau saja dia mengaku kalah dan tidak melakukan perlawanan dengan seluruh tenaga, agaknya ia akan terlempar saja dan masih selamat. Akan tetapi ia melawan, maka selain rambut kepalanya coplok dan tertinggal semua di leher Han Han, juga tenaga yang ia kerahkan di kedua tangannya membalik dan menghantam isi dadanya sendiri. Ia terbanting dengan kepala tak berambut lagi, kedua telinga robek, dan tubuhnya hangus sebelah. Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat tewas dalam keadaan yang lebih mengerikan daripada kematian Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee!
Lulu berlari menghampiri kakaknya dan memeluk pundak Han Han yang melepaskan libatan rambut dan membuang rambut itu dengan helaan napas panjang. Kemudian ia melepaskan pelukan Lulu dan menengok ke kiri. Juga Lulu mendengar suara ribut-ribut di antara para perajurit. Nirahai sendiri pun memandang ke jurusan itu dan wajahnya berubah, keningnya berkerut.
"Katanya diadakan perdamaian, kenapa hendak menghadap Puteri Nirahai saja kalian ribut-ribut hendak menggunakan kekerasan" Terdengar suara lantang di antara hiruk-pikuk suara para perajurit.
"Sin Kiat....!" Han Han berseru girang.
"Biarkan mereka menghadap!" perintah Puteri Nirahai. Para perajurit mundur dan membuka jalan, membiarkan serombongan orang muda memasuki tempat itu. Mereka terdiri dari belasan orang muda, Sin Kiat berjalan di depan dan orang-orang muda lainnya adalah murid-murid In-kok-san, empat orang gadis dan belasan orang pemuda yang kesemuanya bersikap gagah. Han Han melihat di antara mereka para murid In-kok-san ada yang pernah menyerang Nirahai dalam jolinya.
Melihat Han Han dan Lulu, Sin Kiat berteriak girang dan lari menghampiri. Akan tetapi ketika melihat Puteri Nirahai berdiri di situ, Sin Kiat lalu menghadap puteri itu dan berkata gagah, "Aku bernama Wan Sin Kiat dan kawan-kawan ini adalah murid-murid In-kok-san. Kami mendengar keributan yang terjadi di sini, mendengar bahwa sahabat-sababatku Han Han dan Nona Lulu tertawan, maka kami datang untuk mengajukan protes. Pemerintah mengumumkan perdamaian akan tetapi mengapa sahabat-sahabatku ditawan"
Sementara itu, para murid In-kok-san memandang mayat-mayat Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li dengan mata terbelalak, bahkan empat orang gadis itu menangis, bukan karena duka melainkan karena terharu melihat betapa musuh besar mereka, Ma-bin Lo-mo bekas guru yang ternyata menjadi pembunuh keluarga mereka, kini telah menggeletak tak bernyawa.
Puteri Nirahai tersenyum dan memandang dengan sinar mata dingin. "Apa yang terjadi di sini bukanlah urusan perang, melainkan urusan pribadi. Dan kalian melihat sendiri, kedua orang yang kaumaksudkan itu tidak lagi menjadi tawanan kami. Bahkan kami memberi kebebasan kepada Suma Han untuk bertanding melawan dua orang musuhnya tanpa campur tangan dari kami!"
Lega hati Sin Kiat mendengar ini dan ia menghampiri Han Han, memegang tangan sahabatnya itu dan memandang penuh kagum, kemudian menoleh kepada Lulu dengan sinar mata penuh kebahagiaan dapat bertemu kembali dengan Lulu, penuh kemesraan sehingga wajah Lulu berubah merah sekali.
"Suma Han! Engkau sudah merobohkan dua orang musuhmu, dan kalau Lulu Sumoi mau pergi, silakan. Kalau engkau hendak pergi, aku pun tidak akan menghalangi, hanya di sini aku menantang engkau untuk berpibu mengadu kepandaian denganku pada malam nanti, tepat tengah malam, di puncak Gunung Cengger Ayam di sebelah utara itu. Aku akan menanti di sana dan kalau engkau tidak datang, aku hanya akan menganggap engkau sebagai seorang laki-laki sombong yang hanya berani melawan orang-orang lemah, juga seorang pengecut besar!"
"Nirahai....!" Han Han terkejut dan menyebut nama itu tanpa disadarinya. Akan tetapi, sambil mengebutkan lengan bajunya, Nirahai sudah membalikkan tubuh dan pergi memasuki kemahnya.
Lulu menarik tangan Han Han dan pergilah orang muda itu dari tempat itu. Dua orang murid In-kok-san mengangkat jenazah Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li sambil berkata, "Mereka ini orang-orang jahat di waktu hidup mereka, akan tetapi ini adalah jenazah-jenazah manusia dan mengingat bahwa kami pernah menerima gemblengan mereka, kami akan memakamkan jenazah mereka sebagaimana mestinya."
Han Han menjadi terharu dan memandang kagum. Para perajurit tidak ada yang berani menghalangi rombongan ini keluar dari daerah perbatasan. Setelah murid-murid In-kok-san membawa pergi dua jenazah itu, hanya tinggal Han Han, Lulu dan Sin Kiat yang duduk di dalam hutan. Han Han menceritakan pengalamannya bersama Lulu, sedangkan Sin Kiat juga menceritakan betapa dia menari-cari Han Han dan kemudian kebetulan sekali mendengar bahwa Sin Lian dan Hian Ceng tewas dalam penyerbuan mereka ke perkemahan Ouwyang Seng, mendengar pula berita mengejutkan bahwa Ouwyang Seng juga terbunuh dan Han Han ditawan bersama Lulu. Maka dengan nekat ia lalu menyusul, bertemu dengan rombongan murid In-kok-san yang kesemuanya merupakan teman-teman seperjuangan dan yang ikut pula bersamanya karena pada waktu itu perang telah dihentikan.
Setelah mereka menceritakan perjalanan masing-masing, Han Han lalu bertanya sambil memandang Sin Kiat dengan sinar mata tajam penuh selidik, "Sin Kiat, engkau adalah sahabatku terbaik, sahabat semenjak kita kecil. Katakanlah sejujurnya, di depan adikku, apakah engkau setulus hatimu mencinta Lulu"
Wajah Sin Kiat menjadi merah, dan Lulu yang kedua pipinya menjadi merah pula menunduk, jari-jari tangan kirinya mencabuti rumput di dekat kakinya, jantungnya berdebar. Setelah mendengar keputusan Han Han dalam kamar tahanan, begitu Sin Kiat muncul, ia amat memperhatikan pemuda itu dan memang pemuda ini tak dapat dicela, gagah perkasa dan tampan, sikapnya pun menyenangkan. "Han Han, seorang laki-laki sejati tidak akan mempermainkan cinta kasih. Aku telah menyatakan kepada Adik Lulu tentang cinta kasihku kepadanya. Aku bersumpah, disaksikan bumi dan langit bahwa aku mencinta Adik Lulu sepenuh hatiku, mencinta dengan jiwa ragaku!"
Lega hati Han Han mendengar ini. "Dan engkau berjanji akan melindunginya seperti engkau melindungi dirimu sendiri"
"Lebih dari itu! Kalau aku diberi kehormatan besar itu, aku akan mendahulukan keselamatan dan kepentingannya. Aku rela berkorban nyawa untuk melindunginya!"
Han Han menoleh kepada Lulu yang makin menunduk, memegang tangan adiknya dan berkata, "Nah, engkau mendengar sendiri, Lulu. Engkau tidak akan menyesal selama hidupmu. Maka sekarang jawablah terus terang saja, aku menjadi saksinya. Apakah engkau bersedia kalau dijodohkan dengan Sin Kiat"
Sepasang mata yang indah dan lebar itu terangkat, memandang Han Han dan dua butir air mata jatuh berderai di atas kedua pipinya, bibirnya gemetar ketika ia berkata lirih, "Kalau itu yang kaukehendaki...."
"Memang aku menghendaki engkau berjodoh dengan Sin Kiat, adikku. Akan tetapi tentu saja aku tidak akan memaksamu kalau engkau tidak setuju. Jawablah. Maukah engkau menjadi jodoh Wan Sin Kiat"
Lulu menunduk dan menganggukkan kepalanya. Gerakan ini membuat dua butir air mata baru jatuh lagi. Sin Kiat hampir tidak dapat percaya akan mata dan telinganya sendiri. Mau rasanya ia menari-nari saking girangnya, akan tetapi tentu saja ia merasa malu, hanya jantungnya yang berdebar-debar menari-nari di dalam rongga dadanya.
"Sin Kiat, engkau telah melihat sendiri. Adikku sudah sepatutnya menjadi ratu rumah tangga. Sekarang harap engkau suka mengajak Lulu pergi dan mempersiapkan acara pernikahan. Siapakah yang akan menjadi walimu dan di mana kiranya upacara itu akan dilaksanakan"
"Aku sudah mengambil keputusan untuk mohon kepada suhu agar suka menjadi waliku, adapun tempatnya, kurasa paling baik di rumah Tan-piauwsu."
"Hemmm.... di Pek-eng-piauwkiok" Di kota Kwan-leng"
"Benar, aku tidak mempunyai keluarga, dan Tan-piauwsu adalah orang yang amat baik, kuanggap keluarga sendiri."
"Baiklah. Kau berangkatlah bersama Lulu ke Kwan-teng, buatlah persiapan upacara pernikahan. Tiga bulan lagi semenjak hari ini, aku akan menyusul ke sana."
Lulu tiba-tiba mengangkat muka dan berkata, "Koko, kenapa begitu" Kenapa engkau tidak sekalian pergi bersama kami" Engkau hendak pergi ke mana"
"Masih ada urusan yang harus kuselesaikan, Moi-moi. Pertama-tama, malam ini aku harus memenuhi tantangan pibu dari Puteri Nirahai."
"Aihhhhh....! Aku.... aku ikut denganmu, Koko! Puteri Nirahai adalah suciku, dan engkau adalah kakakku. Kini kalian hendak mengadu kepandaian. Suci amat sakti, Koko, bagaimana kalau.... kalau.... ahh, aku hendak menjadi saksi!"
"Tidak boleh, Lulu. Dia mengajak pibu di tengah malam di puncak Gunung Cengger Ayam, hal ini berarti bahwa dia tidak akan membawa teman dan tidak menghendaki saksi. Mungkin dia merasa malu kalau-kalau akan kalah. Tenangkanlah hatimu, aku akan berusaha mencapai kemenangan tanpa harus membunuhnya. Kau berangkatlah sekarang juga bersama Sin Kiat dan tunggu kedatanganku di Kwan-teng tiga bulan lagi."
Wajah Lulu menjadi pucat dan ia terisak menangis. "Bagaimana kalau.... kalau engkau tidak datang, Koko" Kita baru saja bertemu dan berkumpul dan.... dan.... engkau sudah menyuruhku pergi.... aku tidak ingin berpisah denganmu."
Han Han merasa jantungnya perih, akan tetapi ia memaksa diri tersenyum dan memegang pundak adiknya. "Aku pasti akan datang, Lulu. Tidak ada peristiwa yang lebih penting bagiku melebihi upacara pernikahanmu, melihat engkau berbahagia. Hanya kematian saja yang akan mampu menggagalkan kedatanganku tiga bulan mendatang di Kwan-teng, akan tetapi andaikata demikian, aku pun akan puas karena percaya bahwa di sampingmu ada Sin Kiat yang akan membela dan melindungimu dengan sepenuh jiwa raganya. Berangkatlah, Lulu dan kau sudah berjanji akan menjadi adik yang baik, yang mentaati permintaan kakaknya, bukan"
"Koko....!" Lulu menubruk dan karena Han Han sudah bangkit berdiri, ia merangkul kaki tunggal itu sambil menangis. Berat sekali rasa hatinya untuk pergi meninggalkan Han Han. Hampir saja Han Han tidak dapat menahan keharuan hatinya dan kalau ia sampai balas memeluk adiknya, tentu dia akan membiarkan adiknya ikut dia dan kelak bersama-sama ke Kwan-teng. Akan tetapi ia mengeraskan hatinya, lalu berkata kepada Sin Kiat yang memandang penuh keharuan dan bingung apa yang harus ia lakukan.
"Sin Kiat, lekas kauajak Lulu pergi, hari sudah hampir gelap, jangan sampai kalian kemalaman di jalan dan di hutan."
Sin Kiat menghampiri Lulu, memegang lengan gadis itu dengan mesra dan hati-hati, mengangkatnya bangun dan berkata halus, "Marilah, Moi-moi. Kakakmu memang benar, dan sepatutnya kalau kita mentaati apa yang dikehendakinya. Tiga bulan lagi dia akan menyusul kita di Kwan-teng. Dia bukantah orang yang tidak menepati janjinya, Moi-moi. Marilah!" Sin Kiat menarik dengan halus dan terpaksa Lulu menurut, akan tetapi gadis itu terisak-isak dan sambil berjalan digandeng Sin Kiat, ia menoleh memandang ke arah kakaknya yang berdiri tegak sambil tersenyum, malah Han Han melambaikan tangan, berkatat "Selamat jalan, Lulu adikku. Selamat berpisah sampai jumpa kembali. Jangan kau nakal, ya"
Tiba-tiba Lulu merenggutkan lengannya terlepas dari gandengan Sin Kiat, lari menghampiri Han Han, merangkul leher dan mencium pipi Han Han sambil tersedu-sedu. "Koko.... Koko.... sudah tetapkah keputusanmu...."
Han Han menahan air matanya yang memenuhi pelupuk mata. "Pergilah, adikku sayang. Pergilah, doaku bersamamu...."
Lulu terisak, melepaskan rangkulan lalu lari meninggalkan Han Han. Terpaksa Sin Kiat juga lari dan dari jauh Han Han melihat kedua orang muda itu lari cepat berdampingan. Air matanya tak dapat ia tahan lagi, mengalir turun ke atas kedua pipinya, bersatu dengan air mata Lulu yang membasahi mukanya, matanya tak pernah berkedip sampai bayangan kedua orang itu lenyap.
"Bodoh! Lemah!" Han Han memaki diri sendiri untuk menguatkan hatinya, akan tetapi kaki tunggalnya menjadi lemas dan ia menjatuhkan diri berlutut di tempat itu, merasa kehilangan, merasa sunyi dan mulutnya berbisik-bisik, "Semoga Tuhan memberkahimu, Lulu adikku tersayang....!"
Han Han termenung dalam keadaan itu, di tempat sunyi, sesunyi hatinya yang terasa kosong. Setelah kegelapan menyelimuti dirinya, barulah ia teringat akan tantangan Nirahai dan ia lalu meloncat bangun, menyambar tongkat yang tadi ia buat dari ranting pohon, dan melesatlah tubuhnya cepat sekali menuju ke gunung kecil Cengger Ayam untuk menghadapi Puteri Nirahai!
*** Puncak bukit kecil itu merupakan padang rumput yang rata dan malam itu amatlah terang di situ karena bulan sedang purnama. Mengertilah Han Han mengapa Puteri Nirahai memilih tempat ini. Memang sunyi dan padang rumput itu luas, leluasa untuk dijadikan tempat bertanding, pula malam itu bulan purnama membuat tempat itu terang benderang seperti sinar matahari pagi.
Dia tiba di puncak menjelang tengah malam. Di tempat yang sunyi ini Han Han duduk di atas rumput, diam-diam merasa heran mengapa Puteri Nirahai menantang dia untuk pibu. Benarkah puteri itu hendak memenuhi janji, datang di tempat yang sunyi ini" Benar-benar aneh watak puteri itu. Mengajak pibu di tempat ini, tanpa saksi. Bagaimana kalau terjadi seperti yang dikhawatirkan Lulu, yaitu seorang di antara mereka roboh, terluka parah atau tewas" Tentu takkan ada seorang pun manusia mengetahui dan akan terlantar! Apa boleh buat! Sebagai seorang gagah, dia harus berani menghadapi kekalahan. Dan puteri itu, ahhh, akan tegakah hatinya untuk melukai Nirahai" Dia harus berani mengaku di dalam hatinya bahwa hatinya amat tertarik oleh kecantikan dara itu, bahkan segala gerak-gerik Nirahai amat menimbulkan gairah hatinya. Dan kini dia akan menghadapi dara itu sebagai lawan! Bagaimana ia harus bersikap" Mengalah" Tidak mungkin! Mengalah terhadap lawan biasa mungkin saja dilakukan, akan tetapi terhadap seorang dara yang memiliki kesaktian luar biasa seperti Nirahai, mengalah berarti menghina dan tentu akan diketahui oleh dara itu!
Tiba-tiba Han Han meloncat berdiri ketika melihat bayangan yang amat cepat dan ringan sehingga tidak menimbulkan suara, berkelebat mendatangi dari depan. Jantungnya berdebar keras. Puteri Nirahai telah berdiri di depannya, cantik jelita seperti dewi bulan turun dari kahyangan, rambutnya yang hitam mengkilap tertimpa cahaya bulan, wajahnya yang jelita seolah-olah diselaput emas, sepasang matanya bersinar-sinar. Puteri ini benar-benar telah menepati janji, datang tepat pada tengah malam dan seorang diri! Betapa gagahnya!
"Bagus, engkau telah menanti di sini" Marilah kita mulai!" Dara itu telah melintangkan pedang payungnya di depan dada.
Terpincang-pincang dibantu tongkatnya Han Han maju tiga langkah menghadapi puteri itu. "Puteri Nirahai, apakah perlunya diadakan pibu ini" Di antara kita tidak ada urusan sesuatu, perlu apa bertanding tanpa sebab yang hanya akan mendatangkan kematian bagi yang kalah dan penyesalan di kemudian hari bagi yang menang"
"Hemmm.... Suma Han, tidak akan mudah bagimu untuk membunuh aku begitu saja seperti yang kaulakukan terhadap Ma-bin Lo-mo dan Ciu-sian-li siang tadi!"
Han Han tersenyum. Puteri ini cantik, lihai, cerdik akan tetapi juga angkuh dan bersikap agung sesuai dengan kedudukannya sebagai puteri kaisar! "Katakanlah aku yang akan kalah dan mati di tanganmu. Apakah kelak engkau tidak akan menyesal telah membunuh orang tanpa sebab dan tanpa dosa"
"Tiada gunanya bersilat lidah. Baiklah kukatakan saja sebabnya agar engkau tidak menjadi penasaran dan menganggap aku gila bertanding! Engkau adalah murid Bibi Guru Khu Siauw Bwee yang telah mewarisi ilmu kepandaiannya yang dahsyat, bukan" Dan aku adalah murid guruku Nenek Maya. Timbullah keinginan hatiku untuk membuktikan siapa yang lebih unggul di antara kita!"
Han Han menghela napas panjang. "Puteri Nirahai, sebenarnya di sudut hatiku, aku amat membenci penggunaan kekerasan. Membenci perkelahian. Selama ini aku hanya dipaksa untuk berkelahi, padahal aku tidak suka untuk bertanding, apalagi dengan engkau yang gagah perkasa dan lihai. Engkau adalah pewaris ilmu-ilmu yang dahsyat dari pendekar-pendekar sakti jaman dahulu, pewaris ilmu-ilmu dari pendekar wanita Mutiara Hitam, menjadi murid Nenek Maya yang maha sakti. Biarlah, tanpa bertanding pun aku sudah mengakui keunggulanmu dan aku mengaku kalah."
"Suma Han, apa kaukira aku ini anak kecil yang dapat kaubujuk dengan kata-kata mengalah seperti diberi kembang gula" Tidak, aku tidak mau menerima alasan seperti itu. Aku menantangmu untuk pibu dan aku hanya akan meniadakan pibu ini kalau engkau mengaku bahwa engkau takut dan pengecut, tidak berani melawanku!"
Wajah Han Han menjadi merah. Ia bukan seorang bodoh dan maklum bahwa sengaja puteri itu menggunakan kata-kata "pengecut" hanya untuk memaksanya. Dia tidak dapat mundur lagi. Bagi seorang gagah, dianggap takut dan pengecut lebih hebat daripada mati.
"Hemm, baiklah. Agaknya engkau sudah bertekad untuk menguji kepandaianku yang tidak seberapa ini. Hanya satu pesan dan permintaanku kepadamu sebelum kita mulai bertanding, Puteri Nirahai."
"Katakanlah, engkau cerewet benar. Apa pesanmu"
Han Han tersenyum. Sikap dara ini, biarpun seorang puteri kaisar yang angkuh, mengingatkan ia akan kegalakan Lulu!
"Kalau aku menang dan kesalahan tangan sampai membuatmu tewas dalam pertandingan ini, aku akan menyesali peristiwa ini selama hidupku, engkau akan selalu terbayang olehku dan hidupku akan selalu dibayangi penyesalan yang hebat. Sebaliknya kalau aku yang tewas, dan agaknya begitulah mengingat akan kesaktianmu, aku pesan kepadamu, sudilah kiranya engkau tiga bulan mendatang ini mengunjungi Kwan-teng, di Pek-eng-piauwkiok dan mewakili aku melaksanakan upacara pernikahan antara adikku Lulu dengan Hoa-san Gi-hiap Wan Sin Kiat. Maukah engkau berjanji"
Puteri itu kelihatan kaget dan termangu-mangu. "Sumoi.... akan.... kawin" Akan tetapi ia sudah menguasai hatinya dan menjawab tenang, "Baiklah, aku berjanji memenuhi pesanmu itu. Mari kita mulai!"
"Aku sudah siap!" kata Han Han, memandang tajam penuh kewaspadaan karena ia maklum bahwa senjata berupa payung itu tidak boleh dipandang ringan.
"Sambut serangan!" Nirahai berseru dan tiba-tiba mata Han Han menjadi gelap karena payung hitam itu terbuka menyembunyikan tubuh Nirahai dan tahu-tahu ujung payung yang runcing itu sudah meluncur ke arah dadanya. Hebat bukan main serangan ini. Han Han kaget dan kagum, akan tetapi cepat mengangkat tongkatnya menangkis dengan putaran pergelangan tangannya.
"Cring-cring-cring....!" Setelah tiga kali menangkis, baru Nirahai menghentikan tusukan bertubi-tubi dan berganti gerakan, payungnya tiba-tiba tertutup dan tangan kirinya menampar dari samping mengarah pelipis Han Han, sedangkan payung yang tertutup itu meluncur dengan totokan ke arah lutut kiri lawan!
Han Han cepat mengelak dan melihat serangan itu disusul dengan serangan-serangan dahsyat sekali secara bertubi-tubi, terpaksa ia lalu bersilat dengan gerak kilat yang membuat tubuhnya seolah-olah menghilang, yaitu Ilmu Silat Soan-hong-lui-kun! Namun dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat dara itu memutar pedang payungnya sambil berputaran, mengarahkan pedang payungnya itu ke atas! Seperti diketahui, ilmunya Soan-hong-lui-kun yang berdasarkan gerak kilat itu selalu menitikberatkan serangan dari atas, menggunakan kesempatan selagi tubuhnya mencelat-celat ke atas yang kecepatannya tak mungkin dapat dicapai orang yang berkaki dua. Akan tetapi kini Nirahai memutar tubuh dan pedangnya sehingga tubuhnya bagian atas seperti diselimuti atau dilindungi benteng baja yang tak mungkin ditembus oleh air hujan sekali pun! Inilah ilmu terbaru yang diajarkan Nenek Maya kepada Nirahai yang khusus diciptakan untuk menghadapi Soan-hong-lui-kun!
Han Han menjadi penasaran juga karena sama sekali dia tidak mendapat kesempatan menyerang kalau menggunakan gerak kilatnya, maka ia meluncur turun dan membalas serangan lawan dengan mainkan tongkatnya, mencampur-adukkan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut dengan gerakan ilmu silat yang ia pelajari dari kitab-kitab di Pulau Es.
Nirahai sama sekali tidak berani memandang rendah. Tadi ketika tubuh Han Han mencelat dan lenyap, ia kaget setengah mati. Cepat ia mainkan ilmu yang diajarkan subonya melindungi tubuhnya bagian atas. Ia maklum bahwa kalau saja dia tidak mempelajari ilmu baru itu, tentu dia akan tak sanggup menghadapi ilmu mencelat-celat seperti itu yang kecepatannya saja sudah membuat pandang matanya kabur, seolah-olah yang dihadapinya bukan manusia melainkan iblis yang pandai menghilang! Kini setelah Han Han menyerangnya dengan tongkat yang dimainkan secara kuat dan cepat, hatinya menjadi tenang dan ia pun menggerakkan pedang payungnya mengimbangi permainan lawan sehingga kedua orang yang sama kuatnya ini bertanding secara hebat dan seru. Berkali-kali terdengar suara nyaring ketika pedang payung bertemu dengan tongkat, dan terdengar bunyi bercuitan atau berdesingan kalau senjata mereka yang menyambar itu dielakkan lawan yang menusuk tempat kosong.
Han Han merasa tidak tega kalau dia menggunakan sin-kangnya yang luar biasa, yang sukar dicari bandingnya di dunia persilatan masa itu. Juga dia merasa bahwa kalau dia menangkan pertandingan mengandalkan tenaga, ia merasa malu sendiri. Dia adalah seorang pria, dan lawannya seorang wanita. Baru pembawaan mereka saja sudah berbeda semenjak lahir, tentu saja pria lebih kuat. Maka dia hanya menggerakkan tenaga sin-kang sedikit saja untuk mengimbangi kekuatan Nirahai.
Akan tetapi, betapa kagetnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa hampir ia kecelik dan celaka karena perasaan sungkan ini. Ketika pedang payung itu untuk kesekian kalinya menyambar, dan ia menangkis dengan tongkat, tiba-tiba tongkatnya melekat pada senjata lawan dan payung itu diputar dengan pengerahan tenaga sin-kang sedemikian kuatnya sehingga tongkatnya ikut pula terputar! Dia memperbesar tenaganya untuk bertahan, namun masih saja tongkatnya terbawa! Kalau dilanjutkan, tentu tongkatnya itu akan patah atau akan terlepas, maka terpaksa ia mengerahkan sin-kangnya. Setelah mengerahkan delapan bagian tenaganya, barulah tongkatnya terlepas!
"Hebat!" Tak terasa lagi Han Han berseru karena kini ternyata olehnya bahwa dalam hal tenaga sin-kang, dara ini sama sekali tidak boleh dipandang rendah, bahkan belum tentu kalah oleh para datuk kaum sesat, malah agaknya sebanding dengan tenaga kedua orang pendeta Lama dari Tibet, berarti hanya selisih sedikit di bawah tenaganya sendiri!
"Sombong! Engkau boleh mengandalkan sin-kangmu!" Nirahai berkata dan wajah Han Han menjadi merah. Menghadapi dara secerdik ini dia harus berhati-hati. Baru jalan pikirannya saja yang tadinya tidak mau mengandalkan sin-kangnya telah dapat diterka tepat oleh Nirahai!Han Han mengerahkan kecepatannya dan masih mainkan tongkatnya dengan Siang-mo Kiam-sut. Dasar dari ilmu pedang ini tentu saja dikenal oleh Nirahai yang telah mewarisi banyak ilmu-ilmu peninggalan Mutiara Hitam. Siang-mo Kiam-sut diciptakan oleh pendekar wanita sakti Mutiara Hitam, akan tetapi tidak pernah dipelajari Nirahai karena memang peninggalan kitabnya tidak ada. Hanya saja, karena Han Han mainkan ilmu pedang ini dengan pencampuran ilmu-ilmu yang dilatihnya di Pulau Es, Nirahai menjadi bingung dan bersikap hati-hati. Pertama-tama dara ini menutup payungnya, mainkan payungnya seperti sebatang pedang dengan ilmu pedang Pat-mo Kiam-hoat yang gerakannya liar dan ganas, sesuai dengan namanya Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis). Hebat bukan main ilmu pedang peninggalan Mutiara Hitam ini, akan tetapi masih belum dapat mendesak Han Han.
Pemuda ini pun merasa jengah dan malu kalau mengalah lagi. Biarpun dia masih tidak mau menggunakan pukulan maut, namun sambil memainkan tongkatnya, ia masih menggunakan tangan kirinya, didorongkan ke depan dari samping atau dari bawah, sehingga hawa yang amat kuat menyambar keluar dari telapak tangannya, kadang-kadang ia menggunakan tenaga hawa panas, kadang-kadang hawa dingin, akan tetapi selalu ia memukul ke arah pangkal bahu, lengan, atau paha. Namun betapa kagumnya ketika dara itu tak sempat mengelak lagi, dara itu pun dapat menangkis dengan kibasan tangan kirinya yang mengeluarkan hawa sin-kang yang hampir sama kuatnya sehingga hawa pukulannya menyeleweng!
Sampai habis semua jurus-jurus dari Pat-mo Kiam-hoat dimainkan Nirahai, namun keadaannya tetap terdesak oleh tongkat Han Han. Gadis ini memang hendak menguji, maka ia lalu mengeluarkan bentakan halus dan tiba-tiba ilmu pedangnya berubah sama sekali, berbeda seperti bumi dengan langit kalau dibandingkan dengan yang tadi. Kalau pedang payungnya tadi bergerak seperti iblis-iblis mengamuk, ganas dan liar, kini gerakannya halus teratur rapi, kelihatannya lambat namun sesungguhnya cepat, kelihatan lemah namun sesungguhnya menyembunyikan kekuatan dahsyat sehingga setiap kali pedang payung itu bergerak, terdengar suara bercuitan panjang! Inilah Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) yang dahulu dicipta sebagai lawan dari Pat-mo Kiam-hoat dan tentu saja lebih kuat dan dahsyat daripada ilmu pedang yang pertama, dan Han Han kagum bukan main karena segera ia terdesak hebat! Namun ia juga mengerahkan seluruh kepandaiannya, terutama sekali mengandalkan gerak kilatnya sehingga dalam kecepatan ia selalu mengetahui dan selalu dapat mengelak atau menangkis sambil membalas dengan hebat sehingga perlahan-lahan ia dapat mengurangi desakan lawan, bahkan setelah lewat seratus jurus lebih, dia kembali telah mendesak puteri itu sehingga perbandingan serangan menjadi tiga dua yaitu dia menyerang tiga kali hanya dapat dibalas dua kali oleh Nirahai.
Kembali dua ratus jurus telah lewat dan pertandingan sudah berjalan kurang lebih empat jam! Sinar bulan makin menyuram tanpa terasa dan tahu-tahu keadaan telah menjadi gelap karena bulan sudah lenyap di balik puncak. Tiba-tiba Han Han meloncat ke belakang dan menghentikan serangannya.
"Cuaca begini gelap, sebaiknya kita menghentikan pertandingan," katanya.
"Sambut seranganku!" Nirahai yang kini hanya mengandalkan ketajaman telinganya sudah menerjang dengan luncuran ujung pedang payungnya.
"Cringgg....!" Han Han menangkis dan kembali pemuda itu meloncat, menggunakan gerak kilat sehingga loncatannya tidak menimbulkan suara dan puteri itu menjadi bingung karena tidak tahu ke mana Han Han menyingkir, sedangkan untuk menggunakan mata sudah tak mungkin lagi saking gelapnya cuaca yang kehilangan sinar bulan sedangkan matahari masih terlalu pagi untuk dapat menggantikan kedudukan bulan.
"Hemmm, Suma Han! Di mana engkau" Apakah engkau melarikan diri" Terpaksa Nirahai bertanya, siap dengan pedang payungnya karena begitu Han Han menjawab, dia akan dapat menyerangnya.
Sunyi tiada jawaban.
"Suma Han, apakah engkau seorang pengecut" Nirahai bertanya lagi, gemas karena merasa dipermainkan. Dia tidak percaya bahwa pemuda yang memiliki kesaktian luar biasa itu melarikan diri.
"Jangan menyerang dulu! Dalam keadaan gelap seperti ini, bagaimana bisa dilakukan pibu secara jujur dan adil" Kita tunggu sampai pagi dan kita boleh melanjutkan pertandingan. Pula, aku lelah sekali, ingin mengaso!"
"Kita masih mempunyai telinga! Awas serangan!" Nirahai meloncat ke depan dan menusukkan senjatanya ke arah datangtiya suara tadi.
"Trakkk!" Nirahai terkejut karena senjatanya menusuk sebuah batu besar. Kiranya pemuda itu bersembunyi di balik batu besar!
Han Han menahan ketawanya dan berkata, "Nirahai, mengapa engkau seperti haus akan darahku" Aku memiliki gerakan kilat yang jika kupergunakan dalam gelap ini, aku akan mudah menyerangmu dari belakang tanpa kauketahui. Akan tetapi aku bukan seorang pengecut curang yang hendak menggunakan kelebihan ini untuk mencapai kemenangan dalam gelap. Kita menanti sampai pagi, kalau tidak mau, terpaksa aku akan pergi saja, tidak mau melayani engkau yang haus darah!"
Nirahai penasaran dan marah sekali, tetapi ia tahu bahwa ucapan pemuda itu memang ada benarnya. Ia menghela napas dan segera duduk bersila di atas rumput, menjawab lirih, "Aku akan menanti sampai sinar matahari pagi menerangi cuaca."
Han Han menjadi lega hatinya. Bertanding melawan seorang yang sakti seperti dara itu di dalam gelap, benar-benar amat berbahaya dan kalau dia menghendaki kemenangan, agaknya dia harus terpaksa merobohkan dara itu yang mungkin akan tewas. Padahal dia sama sekali tidak menghendaki terjadinya hal itu. Sama sekali tidak. Setelah empat ratus jurus lebih bertanding melawan gadis ini, dia merasa makin tertarik, makin kagum dan menaruh hati sayang. Maka ia pun lalu duduk bersila untuk memulihkan tenaganya dan mengatur pernapasannya.
Setelah berhenti bertanding, berhenti menggerakkan tubuh, baru terasa oleh Nirahai betapa lelahnya dia dan betapa dinginnya hawa udara menjelang pagi itu. Dia ingin mengaso dan memulihkan tenaga, maka tidak mau menggunakan tenaga sin-kang untuk melawan hawa dingin. Akan tetapi, dengan demikian ia menderita oleh hawa dingin sehingga mulutnya menggigil dan kedua baris giginya saling beradu.
Han Han adalah seorang yang telah tinggal selama bertahun-tahun di Pulau Es, bahkan melatih sin-kang di sana, maka tentu saja hawa dingin di puncak Bukit Cengger Ayam ini baginya sama sekali tidak terasa dingin. Dia boleh mengaso dan memulihkan tenaga dengan tenang, sama sekali tidak menderita hawa dingin. Akan tetapi telinganya yang berpendengaran tajam itu dapat menangkap suara gigi dara itu yang saling beradu karena menggigil maka timbullah rasa iba di hatinya. Tanpa bicara sesuatu ia lalu pergi mencari kayu, membuat api unggun di dekat Nirahai. Semua ini ia lakukan tanpa bicara karena ia tahu bahwa seorang dengan hati sekeras itu tentu akan tersinggung kalau ia membuka mulut. Ia membuat api unggun, seolah-olah dia sendiri yang membutuhkannya, akan tetapi setelah api unggun itu menyala besar, ia lalu pergi menjauh dan duduk di bawah sebatang pohon, menanti datangnya pagi.
Nirahai menjadi gelisah dan tak dapat bersamadhi sebagaimana mestinya. Jantungnya berdebar-debar keras. Pemuda yang hebat sekali, kepandaiannya benar-benar luar biasa dan sukar dicari keduanya. Dan hatinya begitu mulia. Kalau keadaan tidak segelap itu, tentu ia akan menyembunyikan mukanya yang terasa panas dan tentu merah sekali ketika Han Han membuat api ungggun. Betapa bijaksana pemuda itu yang tidak mau mengeluarkan suara, namun dia bukan orang bodoh yang tidak mengerti betapa pemuda itu sengaja menbuat api unggun untuk dia! Pemuda itu tahu bahwa dia menderita kedinginan maka membuatkan api unggun sehingga kini tubuhnya terasa hangat dan dia tidak terganggu hawa dingin sehingga dapat mengaso dan memulihkan tenaga dengan bersamadhi. Akan tetapi, kini bukan hawa dingin yang mengganggunya, melainkan hatinya yang berdebar keras!
Sinar matahari pagi mulai bercahaya kemerahan, perlahan-lahan akan tetapi pasti sinar itu makin menjadi terang dan mulai mengusir kabut tebal yang menyelimuti puncak bukit kecil itu. Kabut lari membawa serta hawa dingin sehingga permukaan puncak bermandi cahaya matahari dan bumi mengeluarkan hawa yang hangat seolah-olah menyambut dengan hangat mesra kedatangan sinar matahari. Rumput-rumput hijau tegak semua, kehijauan dengan ujung terhias mutiara air embun, seperti perawan-perawan jelita yang muda dan segar sehabis mandi pagi.
"Suma Han, mari kita lanjutkan pertandingan!"
Han Han membuka kedua matanya, sejenak ia mengagumi keindahan cahaya matahari bercumbu dengan daun-daun pohon dan rumput-rumput, kemudian ia menoleh dan memandang kepada Puteri Nirahai yang sudah berdiri tegak dengan pedang payung di tangan. Biarpun hampir semalam bertanding dan sama sekali tidak tidur, dara itu tidak tampak lesu atau kusut, bahkan wajahnva segar kemerahan, hanya rambutnya yang sedikit terurai kusut namun malah menambah kecantikannya yang aseli.
"Suma Han, aku sudah siap! Mari kita lanjutkan!" Nirahai menegur lagi ketika melihat pemuda itu hanya bengong memandang wajahnya.
Han Han menghela napas panjang, lalu bangkit perlahan bersandar pada tongkatnya. Ia bersungut-sungut dan suaranya membayangkan penyesalan hatinya, "Ah, sepagi ini enaknya mandi-mandi lalu minum teh panas menyegarkan tubuh! Akan tetapi engkau sudah mendesakku mengajak bertanding. Nirahai, demikian besarkah rasa sukamu akan berkelahi" Tiada bosan-bosannya setelah setengah malam kita bertanding"
Sepasang alis Nirahai bergerak. "Semalam kita belum selesai bertanding, terhalang kegelapan dan aku pun belum merasa kalah. Mari kita segera melanjutkan untuk menyelesaikan pibu agar diketahui siapa di antara kita yang lebih unggul!"
Han Han mengerti bahwa seorang seperti puteri ini kalau sudah menghendaki sesuatu pasti akan dikejarnya sampai dapat. Dia harus menyelesaikan pertandingan ini, dan dia akan mengalahkan Nirahai untuk menundukkan hati yang keras ini, untuk menundukkan keangkuhannya.
"Baiklah, Nirahai, kalau demikian kehendakmu. Majulah!" Han Han menantang sambil melintangkan tongkatnya di depan dada dan kaki tunggalnya berdiri tegak, sepasang matanya memandang tajam bersinar-sinar.
Ketika tadi bersamadhi, Nirahai memutar otaknya. Dia telah mengeluarkan Pat-mo Kiam-hoat, kemudian malah mainkan Pat-sian Kiam-hoat, namun kedua ilmu pedangnya yang sukar dicari tandingannya itu ternyata tidak mampu mendesak Han Han. Dia sudah mengambil keputusan untuk mengeluarkan seluruh simpanan ilmunya untuk menguji kepandaian pemuda berkaki satu ini. Maka begitu melihat sikap Han Han, ia lalu membentak nyaring dan kedua tangannya bergerak.
"Sambut jarum-jarumku!"
Han Han melihat berkelebatnya sinar-sinar kecil dan mencium bau yang amat harum. Ia kagum dan terkejut. Jarum-jarum yang mengeluarkan bau harum ini amat berbahaya, selain cepat seperti menyambarnya kilat, juga bau yang harum itu memabukkan, dapat menyeret perhatian lawan sehingga kurang cepat menyelamatkan diri, dan mencium baunya yang harum, Han Han dapat menduga bahwa tentu senjata-senjata rahasia yang halus dan paling berbahaya, di antara segala senjata rahasia ini tentulah mengandung racun. Maka ia pun cepat menggerakkan tubuhnya, mencelat ke sana sini. Nirahai terus menggerakkan kedua tangannya, menyambit dengan jarum-jarumnya ke mana pun bayangan Han Han berkelebat. Dan dara ini benar-benar kagum sekali. Jarum-jarumnya memang ia pergunakan untuk menguji sampai di mana kehebatan gin-kang dari pemuda itu, sampai di mana kecepatan gerak kilatnya. Dia sendiri tidak mungkin dapat mengimbangi kecepatan itu dengan gerakan tubuhnya, maka ia menggunakan jarum-jarumnya. Dan ternyata, jarum-jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Harum) yang biasanya sekali lepas tentu mengenai lawan itu, kini tidak ada artinya sama sekali terhadap Han Han. Sampai habis semua jarumnya disambitkan, tidak sebatang pun mengenai Han Han yang terus berloncatan mengerahkan ilmunya Soan-hong-lui-kun! Setelah dara itu tidak menyambit lagi karena jarumnya habis, barulah Han Han meloncat turun di tempat tadi, mukanya biasa saja hanya matanya memandang tajam ke arah Nirahai.
Nirahai yang selain merasa kagum juga merasa penasaran sekali, cepat menerjang maju dengan pedang payungnya. Han Han sudah siap dengan tongkatnya, mulai ia mengelak ke sana-sini untuk melihat dulu sifat-sifat serangan gadis itu. Apakah akan menggunakan ilmu pedang yang telah dimainkan semalam" Akan tetapi ternyata tidak, dan sekali ini permainan pedang payung itu berbeda lagi dengan kedua ilmu pedang yang sudah dimainkan semalam. Jauh lebih aneh dan hebat karena sekarang Nirahai telah membuka payungnya dan mulailah ia mainkan ilmu pedang simpanannya yang paling diandalkan, yaitu Tiat-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Payung Besi) yang merupakan penggabungan dari Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat dan Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat! Payung itu membuka menutup secara tiba-tiba dan terputar merupakan perisai dan menyembunyikan gerakan-gerakan Nirahai. Sehingga datangnya serangan dengan ujung payung meruncing itu sama sekali tidak dapat diduga oleh Han Han. Setelah Nirahai mainkan ilmu pedangnya yang aneh ini, Han Han terkejut sekali dan terdesak hebat! Namun ia dapat menghindarkan bahaya dengan loncatan dan gerak kilatnya.
Sambil mengelak ini ia diam-diam memperhatikan dan merasa kagum karena ilmu yang dimainkan dara ini memang luar biasa sekali, kelihatan kacau-balau namun menyembunyikan jurus-jurus yang mengerikan. Itulah penggabungan dua macam ilmu pedang yang sesungguhnya berlawanan sifatnya!
"Kiam-sut yang aneh!" Han Han berseru dan kini terpaksa ia mengerahkan tenaga pada kedua lengannya sehingga tongkatnya menggetar mengandung hawa Hwi-yang Sin-ciang dan setiap kali menangkis pedang payung, Nirahai merasa betapa seluruh lengannya tergetar hebat dan hampir saja payung itu terlepas dari pegangannya! Ia mengeluarkan suara melengking keras dan memperhebat desakannya. Namun, gerakan Han Han terlampau cepat baginya, apalagi pada saat pemuda itu hampir terkena serangan, tangkisan tongkat pemuda itu membuat Nirahai terhuyung mundur. Tangkisan dengan pengerahan tenaga yang mujijat itu benar-benar terlampau kuat bagi Puteri ini.
Kembali dua ratus jurus lewat dan dengan ilmu gabungan itu, masih juga Han Han tak dapat dirobohkan oleh Nirahai! Dara itu menjadi marah dan penasaran sekali, tiba-tiba ia membentak dan pedang payungnya membuat gerakan serangan yang amat ganas. Senjatanya itu berubah menjadi gulungan sinar melingkar-lingkar yang menutupi jalan keluar Han Han karena sudah mengurung di bagian atas, tidak memberi kesempatan bagi Han Han untuk meloncat ke atas, sedangkan tangan kiri dara itu memukul dengan ilmu pukulan maut Sin-coa-kun-hoat (Ilmu Silat Ulat Sakti)! Bukan main ganas dan dahsyatnya ilmu-ilmu itu sehingga Han Han berseru kaget. Terpaksa ia mengerahkan tenaga pada tongkatnya, menangkis dan dengan tangan kirinya ia mendorong ke arah pukulan lawan.
"Krekkk! Plakkk.... desssss!" Cepat sekali terjadinya. Payung itu patah menjadi dua, telapak tangan kiri mereka bertemu dan.... lambung kiri Han Han dicium ujung sepatu Nirahai yang mengirim tendangan kilat.
Han Han mencelat ke belakang, menyeringai menahan rasa nyeri karena biarpun ia tidak terluka dalam, ujung sepatu yang runcing itu membuat kulit lambungnya lecet! Di lain fihak, Nirahai dengan muka pucat memandang gagang payungnya.
"Maaf, Nirahai. Aku telah kena kautendang, aku mengaku kalah."
Nirahai memandang dengan mata mendelik, akan tetapi bagi Han Han, dara itu tampak makin menarik, mengingatkan ia kepada Lulu kalau sedang ngambek!
"Suma Han, benar bahwa pedang payungku telah patah, akan tetapi aku pun telah berhasil menendangmu, maka jangan kau mentertawakan aku lebih dulu. Aku belum kalah. Mari kita lanjutkan!" Setelah berkata demikian, Nirahai menerjang maju menyerang Han Han.
"Aiiihhhhh....!" Han Han terkejut ketika melihat sinar kuning emas yang menyilaukan mata dan tahu-tahu ada hawa yang mujijat menyambar ke arah dadanya ketika sinar kuning emas itu meluncur dan menusuk dada.
"Tranggggg....!" Ia menangkis dengan tongkatnya dan keduanya terpental mundur.
Han Han memandang dengan mata terbelalak. "Aihhh.... itukah senjata keramat Suling Emas" Ia berseru.
Nirahai tersenyum mengejek, yakin akan keampuhan senjata di tangannya. "Payungku telah kaupatahkan, akan tetapi aku masih memegang suling keramat ini, Suma Han. Hendak kulihat apakah engkau akan dapat mengalahkan senjata keramat ini!"
"Ahhh, Nirahai, mengapa engkau menggunakan senjata keramat itu hanya untuk menguji kepandaianku" Kalau sampai aku tewas, hal itu tidaklah amat penting, akan tetapi kalau senjata keramat itu sampai minum darahku, bukankah hal itu patut disesalkan" Bukankah hal itu berarti engkau mengotorkan senjata keramah itu" Marilah kita hentikan, atau kalau dilanjutkan juga, kita menggunakan kedua tangan kosong!"
"Hemmm, kaukira aku sebodoh itu mudah saja kautipu" Engkau mengandalkan sin-kangmu yang amat kuat, kalau kita bertanding dengan tangan kosong, tentu aku yang kalah. Apakah kau takut menghadapi aku yang bersenjata suling emas"
"Engkau memang nekat! Marilah!" Han Han berkata, jengkel juga melihat desakan dara ini.
"Sambut ini!" Nirahai sudah menerjang cepat dan kini ia mainkan Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat dengan suling emas. Terdengar suara aneh seolah-olah suling itu ditiup, tampak sinar gemerlapan menyilaukan mata dan terbentuklah gulungan sinar kuning emas melingkar-lingkar seperti seekor naga emas beterbangan di angkasa dan bermain-main di dalam sinar matahari pagi!
Perlu diketahui bahwa Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat adalah ilmu pedang yang dahulu dimiliki pendekar sakti Suling Emas, dan memang paling tepat dimainkan dengan senjata keramat ini. Malam tadi Nirahai sudah mainkan Pat-sian Kiam-hoat untuk menyerang Han Han akan tetapi dia tidak berhasil karena dia mainkan ilmu itu dengan pedang payung. Kini setelah ia mainkan ilmu itu dengan suling emas, kehebatannya menjadi berlipat ganda sehingga kembali untuk kesekian kalinya Han Han terdesak hebat. Pemuda ini mengerahkan seluruh kepandaiannya, mengandalkan kecepatannya, akan tetapi ia lebih banyak mengelak dan menangkis daripada menyerang sehingga setelah lewat seratus jurus, sudah dua kali ia dicium ujung suling, yaitu pada pangkal lengan kirinya dan pada pahanya sehingga baju di bagian itu robek dan kulitnya berdarah. Untung bahwa dia memiliki sin-kang yang amat kuat sehingga ia masih dapat bertahan dan tidak roboh. Rasa penasaran membuat dia melakukan perlawanan sekuatnya. Tadinya memang dia tidak suka mengandalkan sin-kangnya untuk mengalahkan Nirahai karena ia khawatir kalau-kalau akan mengakibatkan Nirahai terluka parah atau tewas. Akan tetapi kini melihat desakan Nirahai yang seolah-olah hendak bersikeras membunuhnya, mulailah ia melawan.
Ketika sinar kuning emas yang menyilaukan matanya itu menyambar ke arah dada, ia cepat menggerakkan tongkat di tangan kirinya untuk menangkis dan terus mengerahkan sin-kang sehingga suling itu melekat pada tongkatnya. Nirahai mengeluarkan seruan kaget karena tiba-tiba suling yang dipegangnya itu menjadi panas seperti dibakar, telapak tangannya terasa panas sekali. Maklumlah ia bahwa pemuda itu menggunakan Hwi-yang Sin-ciang. Ia mengerahkan sin-kangnya untuk bertahan sedangkan tangan kirinya ia hantamkan ke perut Han Han dengan ilmu Sin-coa-kun. Akan tetapi Han Han menerima pukulan ini dengan telapak tangan kanannya sambil mengerahkan hawa sakti Hwi-yang Sin-ciang.
"Plakkk!" Kepaian tangan Nirahai menempel pada telapak tangan kanan Han Han dan seketika tubuh dara itu menggigil!
"Lepaskan sulingmu....!" Han Han membentak, suaranya halus karena dia tidak ingin menyinggung perasaan dara itu.
"Tidak!" Nirahai membantah biarpun tangannya yang memegang suling seperti dibakar rasanya dan dari tangan kirinya menjalar hawa dingin yang membuat ia menggigil.
Kedua orang muda itu berdiri seperti arca, saling tidak mau mengalah, akan tetapi juga saling menjaga agar tidak mencelakakan lawan! Kalau Han Han menghendaki, dengan pengerahan tenaga sin-kang sekuatnya, tentu Nirahai akan roboh dan tewas, akan tetapi dia tidak tega melakukan hal ini. Di lain fihak, Nirahai yang kini sudah merasa yakin benar bahwa dia tidak dapat mengalahkan Han Han, diam-diam menjadi kagum sekali dan kini ia membuat ujian terakhir, yaitu ingin melihat apa yang akan dilakukan Han Han. Akan membunuhnya" Ataukah.... seperti yang dia harapkan, pemuda ini menaruh hati sayang kepadanya"
"Memalukan!" Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan tampak dua bayangan berkelebat cepat sekali ke arah dua orang muda itu. Nirahai dan Han Han tiba-tiba merasa tubuh mereka terlempar ke belakang oleh tenaga yang amat dahsyat.
"Subo....!" Nirahai berseru dan menghampiri Nenek Maya, dua titik air mata menetes di pipinya dan mukanya menjadi merah sekali.
"Subo....!" Han Han berlutut di depan Nenek Khu Siauw Bwee.
Akan tetapi kedua orang nenek itu tidak mempedulikan murid mereka, melainkan berdiri tegak saling pandang dengan mata yang sukar dilukiskan. Ada rasa haru, rasa sayang, rasa dendam dan penasaran bercampur aduk menjadi satu pada sinar mata kedua orang nenek sakti itu.
"Suci....!" Akhirnya Nenek Khu Siauw Bwee menegur, suaranya halus dan anehnya, ada rasa iba terkandung di dalam suaranya ini.
"Sumoi....! Syukur.... engkau masih hidup....!" Nenek Maya berkata, suaranya dingin sehingga sukar diduga perasaan apa yang tersembunyi di balik kata-katanya.
Han Han dan Nirahai hanya memandang dengan hati tegang menyaksikan pertemuan antara kedua orang nenek sakti itu.
"Sumoi, jangan kira bahwa muridmu telah dapat menangkan muridku. Jelas kulihat tadi bahwa Nirahai tidak bersungguh-sungguh, kalau dia bersungguh-sungguh, tentu dia sudah dapat membunuh muridmu!"
Nenek Khu Siauw Bwee tersenyum dan dengan suara tenang menjawab, "Suci, tidak terbalikkah wawasanmu itu" Kulihat, Han Han yang mengalah tadi!"
"Tidak bisa. Muridku masih lebih lihai daripada muridmu!" bentak Nenek Maya tidak mau kalah.
Nenek Khu Siauw Bwee yang jelas memiliki watak lebih sabar dan halus, menoleh ke arah Han Han dan bertanya, suaranya keren, "Han Han, mengapa engkau tadi tidak menggunakan seluruh tenagamu di saat terakhir" Mengapa engkau mengalah"
Han Han tidak mau menyinggung hati Nirahai, maka sambil menundukkan muka ia berkata, "Dia terlampau sakti, subo. Teecu memang kalah."
Wajah Nirahai menjadi makin merah mendengar ini dan ia pun menunduk, tidak berani menentang pandang mata Han Han.
"Nirahai, ketika kalian berdua berdiri mengadu tenaga tadi, ada kesempatan baik bagimu. Sekali menendang dengan tendangan sakti ke arah bawah pusarnya, bukankah lawanmu akan kehilangan nyawanya" Mengapa engkau mengalah" Nenek Maya menegur muridnya pula, suaranya galak.
"Maaf, subo. Teecu.... teecu tidak mampu mengalahkannya. Dia terlalu lihai dan teecu memangkalah!"
Han Han mengangkat muka. Nirahai mengangkat muka. Dua pasang sinar mata bertemu pandang, sejenak bertaut, penuh perasaan dan seolah-olah dalam persilangan sinar mata itu terjadi pencurahan seribu kata-kata yang tak terucapkan, membuat keduanya segera menunduk kembali dengan jantung berdebar.
"Hemmm.... bocah-bocah ini saling mengalah, mana bisa diukur siapa di antara ilmu kita yang lebih tinggi" Sumoi, marilah kita lanjutkan sendiri!"
Nenek Khu Siauw Bwee tersenyum mengejek. "Kita lanjutkan pertandingan puluhan tahun yang lalu, suci" Baiklah, tapi ingat, sekarang aku tidak akan suka mengalah lagi kepadamu, suci."
Nenek Maya tertawa dan Han Han harus mengakui bahwa biarpun usianya sudah amat tua, akan tetapi ketika tertawa nenek itu masih mempunyai daya tarik yang luar biasa! "Sumoi, sekarang pun engkau masih takkan dapat mengalahkan aku!"
"Bagus! Kaukira setelah kakiku buntung satu, engkau dapat memandang rendah kepadaku" Nenek Khu Siauw Bwee berkata marah.
"Majulah, Khu Siauw Bwee!"
Nenek Khu Siauw Bwee mengeluarkan suara bentakan halus dan tubuhnya lalu lenyap karena dia sudah mencelat cepat sekali, gerakannya lebih cepat dari Han Han dan bagaikan kilat menyambar, dia sudah menyerang Nenek Maya. Akan tetapi Nenek Maya sudah menggerakkan kedua tangan ke atas dan menyambut serangan sumoinya. Dua lengan bertemu dan Nenek Khu Siauw Bwee mencelat ke atas lagi, terus menyambar-nyambar dari atas dengan hebatnya. Di lain fihak, Nenek Maya yang sudah siap menciptakan ilmu yang khusus untuk menghadapi ilmu nenek kaki tunggal ini, tetap berdiri tegak, hanya memutar tubuh menghadapi ke arah menyambarnya tubuh sumoinya dan selalu dapat menangkis sambil balas memukul. Pertandingan hebat sekali terjadi.
Han Han dan Nirahai yang masih berlutut memandang bengong. Cemas sekali hati mereka, akan tetapi mereka tidak berani mencampuri urusan antara guru-guru mereka yang masih ada hubungan dekat itu, suci dan sumoi! Mereka melihat pertandingan yang lebih hebat daripada pertandingan mereka tadi. Melihat betapa tubuh Nenek Khu Siauw Swee menyambar-nyambar seperti seekor burung garuda, sedangkan Nenek Maya tegak seperti seekor harimau yang siap mencakar di saat sang garuda menyambar ke bawah.
Tiba-tiba Nenek Khu Siauw Bwee yang masih berjungkir-balik di udara cepat sekali itu mengeluarkan lengking nyaring, tubuhnya menerjang dan menukik ke bawah, tangan kirinya mencengkeram ke ubun-ubun Nenek Maya. Nenek Maya menangkap tangan sumoinya itu dan tangan kedua orang nenek yang tidak saling mencengkeram itu bergerak cepat memukul.
"Plak! Plak!"
"Celaka....!" Han Han dan Nirahai berseru hampir berbareng dan dengan muka pucat mereka berdua memandang betapa guru masing-masing terhuyung ke belakang dan muntah darah lalu roboh terguling. Akan tetapi keduanya dapat merangkak bangun, saling pandang dan tiba-tiba Nenek Khu Siauw Bwee berkata lemah.
"Suci, engkau memang hebat!"
"Sumoi, engkau lihai! Pukulanmu mendatangkan maut....!"
"Aku pun takkan dapat hidup lagi, suci. Pukulanmu meremukkan isi dada...."
"Ah, sumoi.... Siauw Bwee.... aku telah berdosa besar padamu. Kasihan sekali engkau, sumoi.... puluhan tahun hidup menderita karena senelah kakimu kubikin buntung.... kaumaafkan aku sumoi...."
"Tidak, Suci Maya.... akulah yang menaruh kasihan kepadamu.... penderitaanku hanya penderitaan lahir, akan tetapi kau.... ah, suheng ternyata mencinta aku seorang dan kau.... kau menderita batin yang hebat...."
"Sumoi....!"
"Suci....!"
Kedua orang nenek itu merangkul saling menghampiri, lalu saling rangkul sambil menangis!
Han Han memandang dengan muka pucat, sedangkan Nirahai memandang dengan air mata bercucuran. Terharu hati Han Han melihat puteri itu menangis. Tadinya, sukar baginya membayangkan Puteri seangkuh dan sekeras itu hatinya mengucurkan air mata!
Setelah bertangis-tangisan dalam menghadapi maut itu, Khu Siauw Bwee berkata, "Suci, apakah engkau melihat apa yang kulihat"
"Maksudmu"
"Murid-murid kita....!" Khu Siauw Bwee berkata.
Maya tersenyum menyeringai menahan rasa sakit di dadanya oleh tamparan tangan sumoinya di punggungnya tadi. Ia mengangguk.
Khu Siauw Bwee menekan dadanya yang tadi terpukul sucinya. "Suci...., kita sudah saling memaafkan.... biarlah kita akhiri pertentangan ini dengan persatuan. Aku mewakili muridku, suci.... mengajukan lamaran kepadamu agar muridmu menjadi jodoh muridku...."
Nenek Maya tertawa terkekeh-kekeh girang akan tetapi ia berhenti tertawa karena dadanya menjadi makin sesak. "Baik.... kuterima pinanganmu.... hi-hi-hik, bagus sekali, memang pantas.... Nirahai menjadi isteri Suma Han....! Eh, sumoi, sayang kita tak dapat menyaksikan...."
"Han Han, engkau mendengar sendiri suci telah menerima pinanganku. Engkau tentu suka menjadi suami Nirahai, bukan"
Jantung Han Han memukul keras, seolah-olah akan pecah dadanya. Ia menoleh ke arah Nirahai yang mukanya juga menjadi pucat. "Subo, teecu.... teecu mana berharga untuk...."
"Jangan bicara tentang berharga atau tidak. Pendeknya, engkau mau atau tidak" Jawab!" Nenek Khu Siauw Bwee berkata sambil menekan dadanya.
Han Han mengangguk dan tidak berani melirik ke arah Nirahai. "Tentu saja...., teecu akan merasa bahagia dan terhormat sekali, teecu mau, subo."
"Hi-hi-hik, itulah jawaban laki-laki! Eh, Nirahai, bagaimana dengan engkau" Maukah engkau menjadi isteri pemuda kaki buntung ini" Engkau pernah mengatakan bahwa engkau hanya mau menjadi isteri seorang pemuda yang dapat mengalahkan engkau. Dan jelas bahwa engkau takkan dapat menangkan Suma Han. Bagaimana"
Nirahai yang biasanya tabah itu, kini menundukkan mukanya yang menjadi merah kembali, jawabnya lirih, "Teccu.... menurut perintah subo."
"Eh, bukan jawaban gagah itu! Engkau mau atau tidak" Jawab!" Sikap Nenek Maya persis seperti sikap Nenek Khu Siauw Bwee tadi.
Nirahai menunduk makin dalam. "Teecu.... teecu mau...."
Dua orang nenek itu tertawa, tertawa bergelak-gelak sambil saling rangkul, dengan dua pasang mata tua mengeluarkan air mata.
"Subo....!"
"Subo....!" Seperti berlumba cepat Han Han dan Nirahai sudah menubruk guru masing-masing dan ternyata bahwa dua orang nenek itu telah tewas sambil berpelukan. Mereka dahulu bermusuhan, akan tetapi dalam ambang maut mereka saling peluk dan tertawa, juga menangis!
Nirahai terisak menangis. Han Han berlutut sambil menunduk duka. Setelah reda tangis Nirahai dan gadis itu dengan mata merah menoleh kepadanya, mereka saling pandang dan Han Han berkata halus lirih.
"Lebih baik kita mengubur jenazah mereka. Di mana sebaiknya dimakamkan"
Nirahai mengangguk, juga menjawab lirih, "Sebaiknya di sini saja. Tempat ini amat baik, bersih dan sunyi."
"Tepat sekali. Memang tempat ini amat baik, bahkan merupakan tempat keramat bagi kita."
Nirahai memandang wajah pemuda itu. "Mengapa begitu"
"Bukankah tempat ini yang mempertemukan kita, bahkan.... yang menjadi saksi perjodohan kita"
Nirahai menjadi merah mukanya. Mereka saling berpandangan, kemudian dara itu berbisik, "Marilah kita menggali tanah untuk makam mereka...."
Han Han meloncat bangun dan pemuda ini merasakan kegembiraan yang luar biasa sekali, yang membuat tangannya terasa ringan ketika ia menggunakan tongkatnya untuk menggali tanah di bawah pohon di pinggir padang rumput. Nirahai mengambil pedang payungnya yang sudah patah, lalu menggunakan ujung payung yang runcing itu untuk menggali sebuah lubang di pinggir lubang yang digali Han Han. Mereka berdua seperti berlumba dan Han Han sengaja mengurangi tenaganya sehingga lubang yang dua buah itu selesai digali dalam waktu berbareng. Karena keduanya merupakan orang-orang yang memiliki tenaga sakti, dalam waktu pendek saja dua buah lubang yang cukup dalam telah tergali.
Dengan penuh khidmat dan tanpa berbicara, mereka lalu mengubur kedua jenazah itu berdampingan, lalu menutup lubang itu dengan tanah galian. Ketika melakukan ini, Nirahai menangis dan Han Han menghiburnya dengan kata-kata halus. Setelah selesai Han Han mencari dua buah batu besar dan kedua orang muda itu kembali seperti berlumba, mengukir permukaan batu nisan dengan ujung tongkat dan ujung payung.
Han Han mengukir huruf-huruf yang berbunyi :
MAKAM NENEK KHU SIAUW BWEE, SUMOI TERCINTA DARI NENEK MAYA.
Adapun ukiran Nirahai berbunyi sebaliknya:
MAKAM NENEK MAYA, SUCI TERCINTA DARI NENEK KHU SIAUW BWEE.
Ukiran Han Han lebih dalam, tanda bahwa tenaganya lebih kuat, akan tetapi ukiran yang dibuat Nirahai lebih halus tulisannya. Kini tanpa bicara kedua orang itu memperbaiki ukiran masing-masing, Nirahai memperhalus ukiran Han Han sebaliknya pemuda itu memperdalam ukiran Nirahai. Setelah selesai, mereka lalu berlutut di depan kedua nisan yang dipasang di depan makam kedua orang nenek sakti itu. Hari telah menjadi malam dan kedua orang itu masih berlutut di depan makam.
Untuk mengusir hawa dingin, Han Han membuat api unggun kemudian duduk menghadapi api unggun, duduk di atas rumput dekat dengan Nirahai. Keduanya merasa canggung, akan tetapi kemudian Han Han menghela napas panjang dan berkata.
"Nirahai, aku merasa seperti mimpi dan masih belum percaya benar bahwa semua ini dapat terjadi. Seorang puteri kaisar seperti engkau, berkedudukan tinggi dan mulia, cantik jelita, berilmu tinggi, mau menjadi calon isteri seorang seperti aku.... yang...."


Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ssttttt, jangan lanjutkan, Han Han. Aku yang merasa heran mengapa engkau mau dijodohkan dengan aku"
Mereka saling pandang dan kini sinar mata mereka saling berusaha menembus dan menjenguk isi hati masing-masing. Sinar api unggun yang bermain di wajah mereka membuat wajah mereka kemerahan dan menyembunyikan warna kedua pipi mereka yang merah sekali.
"Telah lama sekali aku aku jatuh cinta kepadamu, Nirahai. Semenjak aku datang ke Pulau Es...."
"Heee...." Menurut keterangan Lulu, engkau masih kecil, baru berusia belasan tahun ketika kalian datang ke pulau itu....! Betapa mungkin"
"Benar, dan di sanalah, di dalam Istana Pulau Es itu, pertarna kali aku melihatmu, Nirahai, dan sekaligus hatiku telah terpikat.... dan aku telah jatuh cinta!"
Percakapan itu mengusir rasa canggung kedua fihak dan Nirahai tertawa geli.
"Ihhh, kiranya engkau seperti Lulu pula, suka bergurau! Kita baru saling jumpa pertama kali di istana ketika kau datang menyerbu, dan selama hidupku aku tidak pernah datang ke Pulau Es!"
"Memang bukan engkau, Nirahai, melainkan sebuah arca yang amat indah buatannya, seolah-olah hidup. Di sana terdapat tiga buah arca, yang sebuah adalah arca Koai-lojin, yang ke dua arca Subo Khu Siauw Bwee dan yang ke tiga adalah arca Subo Maya, yaitu ketika mereka masih muda. Arca Subo Maya itu serupa benar dengan engkau, Nirahai. Karena itu, begitu aku bertemu denganmu, tentu saja bagiku sama halnya dengan bertemu orang yang arcanya membuat aku tergila-gila itu. Herankah engkau betapa bahagia dan gembiranya rasa hatiku ketika subo menjodohkan aku dengan engkau" Serasa kejatuhan bulan purnama....!"
Pada saat itu, bulan purnama mulai muncul dan otomatis Nirahai memandang bulan. Sinar bulan yang kuning emas membuat wajah dara ini tampak nyata dan amat cantik jelita, sehingga Han Han menahan napas saking kagumnya, kemudian ia memberanikan hati memegang tangan dara itu yang duduk di sampingnya. "Nirahai.... betapa cantik jelita engkau...."
Tangan Nirahai menggigil, akan tetapi dia tidak melepaskan genggaman Han Han, dan ketika ia menoleh, ia tersenyum. Wanita manakah yang takkan berbesar hati penuh kebanggaan kalau dipuji cantik" Apalagi yang memuji adalah seorang pria yang menjadi pilihan hatinya!
"Aku girang sekali mendengar pernyataan isi hatimu, Han Han. Ketahuilah bahwa aku pun merasa beruntung sekali bahwa engkau telah berhasil mengalahkan aku dalam pibu...."
"Engkau tidak kalah! Dan mengapa engkau merasa beruntung kalau kukalahkan"
"Engkau sudah mendengar sendiri kata-kata subo tadi. Memang aku telah bersumpah bahwa aku hanya mau menjadi isteri seorang pria yang mampu mengalahkann aku. Dan aku semenjak mendengar obrolan Lulu tentang dirimu, bahkan bocah nakal itu hendak menjodohkan aku denganmu, semenjak itu, kemudian setelah bertemu, melihatmu dan melihat kegagahanmu, hemmm.... aku akan merasa menyesal sekali andaikata engkau kalah olehku."
Bukan main besar hati Han Han mendengar ini dan kegirangan yang meluap membuat ia menarik lengan dara itu. Nirahai seperti lemas tubuhnya dan membiarkan kepalanya rebah di dada Han Han. Sejenak mereka berdua tidak bergerak, bermandi cahaya bulan yang tersenyum-senyum menyaksikan ulah tingkah dua insan yang mabuk asmara ini. Han Han membelai-belai rambut yang halus dan hitam itu dan Nirahai memejamkan mata, mendengarkan debar jantung di dada Han Han yang baginya seperti bunyi musik yang amat merdu dan indah. Kemudian ia membuka matanya, dan mengangkat pandang matanya ke atas untuk menatap wajah di atasnya itu sehingga sepasang mata itu menjadi lebar sekali dan amat indah seperti mata Lulu!
"Han Han, katakanlah. Mengapa engkau jatuh cinta kepada arca subo di waktu muda yang kaukatakan serupa benar dengan aku itu" Mengapa engkau jatuh cinta kepadaku"
Sampai lama Han Han tidak dapat menjawab, menatap wajah yang tengadah itu seolah-olah hendak mencari jawabnya dari wajah yang jelita itu. Mata itu! Mulut itu! Dan ia teringat akan perasaannya di waktu ia memandang arca di dalam Istana Pulau Es, kemudian seperti menemukan jawabannya, lalu berkata girang.
"Aku tahu! Aku tergila-gila kepadamu, Nirahai, karenapertama-tama karena matamu!"
Nirahai terkekeh dan mendekap mulutnya sendiri dengan tangan, matanya terbelalak lebar, "Karena mataku" Hi-hik! Mataku kenapa"
"Matamu begini indah.... seperti sepasang bintang di langit.... kulihat laut yang bening dalam di situ, menghanyutkan...." jawab Han Han sambil memandang sepasang mata yang amat indah itu, seperti mata Lulu!
"Ihhh, seperti laut yang menghanyutkan" Mengerikan!"
"Tidak! Sama sekali tidak! Aku akan rela dan bahagia sekali kalau mati hanyut di situ, tenggelam dalam lautan kenikmatan yang membayang di dalam matamu. Matamu seperti.... seperti.... bulan kembar....!"
"Hi-hik, kau aneh...." Nirahai memejamkan matanya sehingga "bulan kembar" itu bersembunyi di balik pelupuk dan dilindungi bulu mata yang kini menjadi tebal dan panjang, mendatangkan bayangan-bayangan menggairahkan di atas pipi, membuat Han Han makin terpesona. Kalau terbuka mata itu mempesona, kalau tertutup malah menggairahkan. Bukan main!
"Kau bilang tadi, pertama-tama karena mataku. Adakah yang ke dua" tanya Nirahai tanpa membuka matanya.
"Memang ada, dan aku tidak tahu yang mana yang lebih menarik dan membuat aku tergila-gila. Yang ke dua adalah.... mulutmu, Nirahai!"
Mata itu terbuka kembali, terbelalak dan mengandung senyum terheran-heran.
"Mulutku...." Ada apa dengan mulutku...." suaranya penuh dengan hati yang riang gembira, bangga dan juga geli dan heran.
"Mulutmu.... bibirmu...." Han Han berbisik dan suaranya gemetar, pandang matanya tak pernah dapat melepaskan sepasang bibir yang lunak halus kemerahan itu, yang kini bergerak-gerak seperti menggigil seolah-olah bisikan Han Han merupakan penggeli yang membuat bibir itu tak dapat diam, "entah mengapa, Nirahai.... melihat mulutmu.... bagiku seolah-olah ketika aku kelaparan dahulu melibat buah apel yang masak....! Aku.... aku...." Han Han tidak melanjutkan kata-katanya karena desakan rasa kasih bercampur berahi membuat ia tak kuasa menahan hasrat hatinya, membuat ia seperti tak sadar lagi menunduk, mencium bibir itu, mencium mata itu, lalu mencium bibir kembali, sepenuh rasa kasihnya, semesra-mesranya!
Mula-mula Nirahai tersentak seolah-olah tubuhnya menjadi kaku menegang, kemudian ia menjadi lemas, naik sedu-sedan dari rongga dadanya dan seperti dalam mimpi ia pun tidak sadar bahwa dia telah membalas ciuman pemuda yang sudah menjatuhkan cinta kasihnya itu. Sampai lama mereka saling mendekap berciuman, lupa akan segala. Kemudian, kesadaran datang memasuki pikiran mereka, hampir berbareng dan kedua orang muda yang sejak kecil sudah tergembleng batinnya ini segera sadar dan dapat menguasai rangsangan hati masing-masing lalu menghentikan ciuman dan Nirahai terlena di atas dada yang bidang itu, kedua matanya terpejam, dua titik air mata membasahi bulu matanya yang panjang.
"Ahhh, maafkan aku....!" Han Han berbisik, sekuatnya menahan gelora hatinya yang membuat seluruh tubuh terasa panas menggigil.
"Bukan.... bukan salahmu, Han Han...." Nirahai berbisik dan keduanya terdiam sampai berjam-jam. Han Han yang tiada bosannya menatap wajah di atas dadanya itu mengira Nirahai tertidur maka dia pun tidak bergerak, bersandar pada batang pohon tidak mau mengganggu kekasihnya yang disangkanya pulas. Akan tetapi tiba-tiba Nirahai membuka mata. Mereka berpandangan dan keduanya tersenyum, merasa lega bahwa masing-masing dapat menguasai gelora hati sehingga tidak sampai terjadi yang lebih daripada yang telah mereka lakukan dalam keadaan mabuk dibuai gelora hati muda.
"Nirahai, kekasih pujaan hatiku.... terima kasih...."
Nirahai bangkit dan duduk bersila. Mereka berhadapan, kedua tangan mereka saling berpegangan. "Mengapa, Han Han" Mengapa berterima kasih"
"Engkau seperti membangkitkan kembali aku dari timbunan duka nestapa, seperti hawa murni yang mengembalikan semua kelelahan hidupku, memberi makan kepada jiwa yang kelaparan, seperti tetesan embun segar pada tunas melayu di bumi mengering.... engkau yang begini cantik jelita sudi menyambut cintaku. Nirahai, katakanlah, mengapa engkau yang begini mulia bisa jatuh cinta kepada seorang seperti aku yang bunt...."
Nirahai cepat menggerakkan tangannya dan jari tangan yang halus kecil meruncing itu menutup bibir Han Han, mencegah pemuda itu melanjutkan kata-katanya.
"Aku cinta padamu karena engkau memang tampan dan gagah perkasa, terutama sekali karena engkau dapat mengalahkan aku, dan karena engkau adalah seorang laki-laki yang rendah hati, sederhana, akan tetapi memiliki harga diri yang tinggi, engkau kuat, engkau tahan menderita, engkau tidak pendendam, engkau pandai mengalah dan sabar."
"Terima kasih, Nirahai. Terima kasih!" Han Han memeluknya dan memberi sebuah ciuman lembut di dahi Nirahai.
Sentuhan cluman ini terasa menyentuh jantung, tidak merangsang seperti tadi, akan tetapi terasa demikian lembut dan mendalam seolah-olah dua hati mereka melekat menjadi satu.
Malam terlewat amat cepat bagi kedua orang yang sedang berbahagia ini. Tahu-tahu pagi telah tiba. Nirahai bangkit melepaskan diri dari pelukan Han Han. Sambil tersenyum seperti sang matahari pagi sendiri dia berkata.
"Han Han, sekarang aku harus meninggalkanmu, kalau tidak tentu akan ada pasukan yang mencariku, khawatir kalau-kalau aku tewas dalam pibu melawanmu."
"Engkau dan aku tidak tewas dalam pibu, akan tetapi sama-sama jatuh, jatuh cinta!" Han Han menggoda.
"Wah, entah Lulu yang mencontohmu ataukah engkau yang ketularan!" Nirahai berkata sambil membantu Han Han bangkit berdiri. Akan tetapi ia segera berkata dengan sungguh-sungguh, "Aku harus menyelesaikan tugasku lebih dulu, kemudian aku akan pulang ke kota raja. Urusan jodoh di antara kita yang ditetapkan oleh kedua orang guru dan sudah kita setujui, tak mungkin dapat dilaksanakan tanpa pengetahuan Ayahanda Kaisar. Aku akan menyampaikan urusan kita ini kepada Kaisar. Maka engkau pergilah ke kota raja dalam waktu sebulan ini, menyusulku ke sana."
Kekhawatiran muncul di hati Han Han. Semalam ia lupa sama sekali bahwa dara jelita yang dipeluknya, yang dianggapnya sebagai calon jodohnya, calon isterinya, adalah puteri kaisar! Maka kini, ia melihat nama kaisar sebagai sebuah jurang yang amat lebar, yang mengancam putusnya ikatan di antara mereka.
"Nirahai....!" katanya, suaranya gemetar penuh kegelisahan. "Bagaimana.... kalau.... kalau Kaisar menolak"
Nirahai menggeleng kepala. "Jangan khawatir, jasaku sudah terlalu banyak dan tentu Ayahanda Kaisar tidak akan menghalangi. Andaikata demikian pun, di dalam hatiku engkau adalah suamiku dan tak seorang pun di dunia ini akan dapat menghalangiku!"
"Nirahai....!" Han Han memeluknya dan sejenak mereka berpelukan.
Akhirnya Nirahai melepaskan dirinya. Setelah mengusap dagu Han Han dengan kedua tangannya, ia berkata, "Sudahlah, Han Han. Aku pergi dan kunanti engkau di istana. Sebulan lagi kita bertemu kembali!" Setelah berkata demikian, dara itu meloncat jauh akan tetapi sebelum lari, ia membalikkan tubuh, melambaikan tangan dan tersenyum manis sekali.
Han Han berdiri seperti arca, terpesona dan memandang dara itu berlari sampai lenyap dari pandang matanya. Hatinya penuh rasa suka, penuh harap, akan tetapi juga penuh kekhawatiran. Dia akan menjadi suami Puteri Nirahai! Dia akan menjadi putera mantu Kaisar Mancu! Siapa dapat percaya" Ia merasa seperti dalam mimpi dan tak terasa lagi ia berloncatan mengejar Nirahai! Setelah tampak olehnya bayangan Nirahai yang sudah jauh, barulah ia merasa yakin bahwa dia tidaklah mimpi. Semua peristiwa tadi malam adalah kenyataan, bukan mimpi! Dan masih ada buktinya lagi, yaitu dua buah makam. Dia harus melihat lagi kedua makam itu untuk meyakinkan hatinya bahwa dia tidaklah mimpi.
Akan tetapi ketika ia membalikkan tubuh hendak kembali ke makam, ia terbelalak kaget dan heran melihat seorang kakek tua renta berdiri seperti arca, tegak dengan kedua tangan bersedakap, kepala menunduk, di depan dua makam baru itu! Kakek itu sudah tua sekali, rambutnya yang riap-riapan, jenggotnya yang panjang, kumisnya yang menjuntai ke bawah, alisnya yang panjang sampai ke pipi telah putih semua, tidak ada yang hitam selembar pun. Akan tetapi, kakek tua renta ini tubuhnya masih tegak, tinggi besar dan nampak sehat kuat. Pakaiannya hitam dari kain kasar dengan potongan sederhana sekali, lengan baju pendek di atas siku, kaki celana pendek di bawah lutut dan kedua kakinya telanjang. Kulit lengan dan kakinya putih bersih dan tidak tampak keriput!
Tiba-tiba kakek itu menoleh ke arah Han Han dan pemuda yang tadinya berniat menghampiri kakek itu tersentak kaget dan terpukau di tempatnya. Sinar mata kakek itu mencorong seperti mata harimau di waktu malam dan mengandung pengaruh mujijat yang membuat Han Han merasa kakinya seperti lumpuh! Akan tetapi kakek itu segera membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi dari depan makam, tidak menengok lagi kepada Han Han.
"Locianpwe, harap berhenti dulu....!" Han Han berteriak dan meloncat melakukan pengejaran. Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak mempedulikan, menengok pun tidak dan terus melangkah maju dengan enaknya, akan tetapi, ternyata demikian cepatnya sehingga Han Han yang berloncatan itu tidak mampu mengejarnya!
"Locianpwe, tunggu....!" Han Han berteriak lagi dan kini ia mengerahkan gin-kangnya, mempergunakan ilmunya berlari cepat berdasarkan Ilmu Soan-hong-lui-kun sehingga tubuhnya seolah-olah terbang, berloncatan dengan kecepatan laksana kilat menyambar. Akan tetapi mengejar sampai hari menjadi sore dan akhirnya kakek itu lenyap di antara bangunan-bangunan mungil di dekat sebuah telaga! Timbul keinginan hati Han Han untuk menyelidiki siapa gerangan kakek yang memiliki kepandaian luar biasa itu, maka dia lalu menghampiri dua buah bangunan kecil yang berdiri di kanan kiri telaga.
Hari telah senja dan suasana di sekitar telaga itu sunyi bukan main. Han Han menghampiri bangunan dan ternyata bangunan itu kosong. Ia menyelinap ke samping bangunan, berloncatan perlahan dibantu tongkat yang ia pegang dengan tangan kiri dan ketika ia tiba di pinggir telaga, ia berdiri tertegun melihat kakek yang tadi dikejar-kejarnya itu sedang duduk menongkrong (berjongkok) di atas sebuah batu besar di pinggir telaga, tangan kiri memegang lutut, tangan kanan memegang sebatang tangkai pancing dan matanya termenung memandang ke air telaga. Kakek itu ternyata sedang enak-enak memancing!
"Locianpwe....!" Han Han memanggil. Sungguh aneh sekali, kakek itu tetap berjalan seenaknya, kelihatan perlahan saja, dengan tubuh tegak dan kedua kaki melangkah panjang-panjang, akan tetapi jarak antara dia dan Han Han tidak pernah berubah, masih sejauh tadi.
Han Han merasa seolah-olah dalam mimpi. Ia tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Masa dia tidak mampu mengejar kakek yang hanya berjalan biasa itu" Kalau kakek itu berlari cepat, dia masih tidak penasaran. Akan tetapi kakek itu hanya berjalan biasa, namun tetap saja ia tidak mampu menyusul!
"Locianpwe, teecu hendak bicara, harap suka menunggu dulu!" Untuk ketiga kalinya Han Han berseru keras. Kakek itu menengok sekali lalu berkelebat cepat bukan main, sebentar saja sudah amat jauh dan hanya tampak sebuah titik hitam!
Han Han terkejut. Maklumlah ia bahwa kakek itu adalah seorang yang memiliki kesaktian luar biasa. Dia mengejar terus ke arah titik hitam yang masih tampak bergerak maju. Sehari penuh ia sambil berloncatan mendekat.
Kakek itu menengok dan kembali Han Han terkejut ketika bertemu pandang dengan mata kakek itu. Kakek itu pun menatap wajah Han Han dengan tajam, penuh selidik, kemudian berkata dengan ramah dan wajahnya yang membayangkan ketenangan dan kesabaran luar biasa itu berseri, "Orang muda, mengapa engkau mengejar-ngejar aku"
Han Han berdiri dengan penuh hormat di dekat kakek itu, mengamati wajah itu yang seperti pernah dikenalnya. Kemudian dengan sikap hormat dan suara halus ia berkata.
"Teecu mohon maaf sebanyaknya kalau teecu mengganggu locianpwe dan lancang datang ke tempat ini."
"Tidak mengapa, orang muda. Aku tadi segan menghadapimu karena memang sudah terlalu lama aku mengasingkan diri, menjauhkan diri dari dunia ramai."
Tiba-tiba Han Han teringat dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. "Ah, sekarang teecu ingat. Mohon locianpwe memaafkan. Kiranya locianpwe adalah Koai-lojin....!" Han Han berkata dengan seruan girang. "Locianpwe yang telah menolong teecu ketika teecu hendak dibunuh oleh Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi.... dan.... dan locianpwe adalah Kam Han Ki Locianpwe atau yang terkenal dengan julukan Koai-lojin, penghuni Pulau Es!"
Kakek itu menarik napas panjang. "Bangunlah, Suma Han, dan duduklah di atas batu ini agar kita dapat bicara dengan leluasa."
Girang bukan main hati Han Han. Bertemu dengan kakek ini baginya seperti bertemu dengan seorang guru besarnya sendiri, seperti bertemu dengan dewa! Ia lalu bangkit berdiri dan duduk di dekat kakek yang sedang memancing itu.
"Dugaanmu memang benar, akulah yang disebut Koai-lojin, dahulu penghuni Pulau Es bersama dua orang sumoiku yang telah kaurawat dan makamkan jenazahnya secara baik. Aku bersyukur melihat kebaikanmu, Suma Han." Han Han kagum sekali mendapat kenyataan bahwa kakek ini sudah mengenal namanya, mengenal nama keturunannya. Akan tetapi kakek yang amat sakti ini tentu saja mengetahui segala hal!
"Sungguh berbahagia sekali teecu dapat berjumpa dengan suhu!" Han Han menyebut suhu karena bukankah dia murid Pulau Es, berarti murid kakek ini dan murid kedua orang nenek yang telah tewas"
Kakek itu tersenyum tanpa mengalihkan pandang matanya dari ujung tali pancing yang tenggelam di permukaan air telaga, kemudian ia mengangguk. "Yah, boleh juga engkau menyebut aku suhu setelah engkau mempelajari ilmu-ilmu dari Pulau Es. Dan aku girang sekali melihat sepak terjangmu selama ini. Engkau keturunan keluarga Suma yang banyak melakukan penyelewengan dalam hidup mereka. Dari kakek buyutmu Suma Boan, sampai kakek buyutmu Suma Kiat, dan kakekmu Suma Hoat. Aku gembira melihat sepak terjangmu tidak seperti mereka dan agaknya engkau mewarisi watak yang baik dari kakak nenek buyutmu, yaitu pendekar sakti Suling Emas. Dan aku girang sekali melihat kakimu yang kiri buntung."
Di dalam hatinya, Han Han merasa heran dan tercengang mendengar ini, dan ia teringat akan nasihat hwesio tua renta di Siauw-lim-si, Kian Ti Hosiang yang menasihatkan agar dia membuntungi kaki kirinya! Rasa penasaran agaknya terbayang di wajahnya karena kakek itu tertawa dan menoleh kepadanya sambil berkata.
"Suma Han. Perlu diketahui agar engkau tidak penasaran. Andaikata tidak terjadi seperti sekarang, andaikata kaki kirimu tidak dibuntung orang, agaknya sekarang ini engkau sudah mati."
"Ahhhhh....!" Han Han terkejut bukan main dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak, tidak percaya. "Suhu, mohon petunjuk mengapa begitu" Dahulu pernah Kian Ti Hosiang dari Siauw-lim-si menasihatkan teecu agar teecu membuntungi kaki kiri teecu!"
Kakek itu mengangguk-angguk. "Kian Ti Hosiang kiranya masih berpemandangan awas, sungguh mengagumkan. Ketahuilah, Suma Han, entah bagaimana asal mulanya aku sendiri tidak tahu, akan tetapi berbareng dengan hawa mujijat yang terpancar keluar dari pandang matamu itu, ada sebuah penyakit yang amat jahat mengeram di dalam tubuhmu, yaitu di kakimu yang kiri. Penyakit itu timbul di dalam daging betismu dan menanam akar-akarnya pada urat-urat halus dan jalan darahmu. Tidak ada obat di dunia ini yang dapat membasmi penyakit itu dan jalan satu-satunya hanyalah membuntungi kaki yang dihinggapi penyakit itu. Kalau tidak dibuntungi, akar penyakit itu akan menjalar terus, makin lama makin meluas, dari kdkimu akan naik ke perut, kemudian kalau sudah mencapai jantungmu, darahmu akan habis dihisapnya dan engkau akan mati. Maka sungguh untung sekali bahwa kakimu dibuntungi orang sebelum akar penyakit naik ke perutmu sehingga bersama dengan kakimu yang buntung itu, penyakitnya ikut pula terbuang."
Han Han bergidik ngeri. Kiranya begitukah" Bagaimana timbulnya penyakit itu" Apakah sejak.... sejak ia melihat ibu dan encinya diperkosa orang kemudian ia dibanting ke dinding oleh perwira Mancu"
"Terima kasih atas keterangan suhu. Sungguhpun teecu tak dapat mengerti bagaimana dapat terjadi hal yang seaneh itu, akan tetapi teecu percaya dan setelah kini secara kebetulan Thian memberi berkah kepada teecu dapat berjumpa dengan suhu, teecu mohon petunjuk-petunjuk suhu."
"Hemmm.... petunjuk apalagi yang dapat kuberikan kepadamu" Ilmu kepandaianmu telah cukup setelah engkau menerima warisan Ilmu Song-hong-lui-kun dari Sumoi Khu Siauw Bwee. Hemmm.... dua buah bangunan ini kubuat di sini untuk mereka, kedua orang sumoiku, siapa kira mereka telah mendahuluiku meninggalkan dunia yang keruh oleh perbuatan manusia ini. Tidak ada lagi yang dapat kuberikan kepadamu, Suma Han, hanya obrolan-obrolan kosong yang k
Petualang Asmara 22 Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Pukulan Naga Sakti 5

Cari Blog Ini