Ceritasilat Novel Online

Pukulan Si Kuda Binal 1

Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long Bagian 1


" Pukulan Si Kuda Binal
Karya: Gu Long Disadur oleh Gan KL
Bagian 1 Sore, menjelang magrib.
Cahaya surya menyinari bendera besar yang berkibar dihembus
angin. Ti-ang bendera hitam legam, demikian pula warna da-sar
bendera, juga hitam, bendera itu bersulam se-kuntum kembang
merah dilingkari lima ekor anjing warna putih.
Itulah Kay-hoa-ngo-coan-ki (bendera lima anjing bu-nga mekar)
yang belakangan mulai cemerlang di kalangan Kangouw.
Ngo-coan-ki atau bendera lima anjing adalah bendera
perusahaan jasa pengawalan.
Tiang-ceng Piaukiok yang berdomisili di Liu-tang bergabung
dengan tiga Piaukiok besar di Tionggoan dan tercakup dalam
satu perusahaan pengawalan yang belum pernah ada selama ini.
Ngo-coan-ki adalah bendera lambang kebesaran me-reka.
Lima ekor anjing lambang lima orang, lima kekuatan.
Pemilik Tiang-ceng Piaukiok bernama Liau-tang Tay-hiap Pek-li Tiang-ceng.
Pemilik Tin-wan Piaukiok bernama Sin-kun-siau-cu-kat Teng Ting-hou.
Pemilik Cin-wi Piaukiok bernama Hok-sing-ko-cau Kui Tang-kin.
Pemilik Wi-kun Piaukiok bernama Giok-pau Kiang Sin.
Orang kelima adalah Cong-piauthau Cin-wi Piaukiok yang bergelar Kian-kun-pit Sebun Seng,
Kian-kun-pit Se-bun Seng terkenal sebagai jago nomor satu dari kalangan Piaukiok di Tionggoan.
Sejak kelompok gabungan lima Piaukiok berdiri, usa-ha Ngo-coan-ki terus berkembang maju
dengan kekuatan yang tiada bandingan, sebaliknya perusahaan pengawalan tanggung atau kecil
lainnya semakin mundur dan akhirnya bangkrut.
Angin berhembus kencang, bendera itu berkibar de-ngan megah.
Disinari cahaya matahari kelihatan mengki-lap.
Terutama kelima ekor anjing putih itu, seperti hidup dan melonjak-lonjak.
Ting Si sedang duduk di bawah sinar surya, menga-wasi bendera besar yang berkibar dari
kejauhan, wajah-nya berseri.
Ting Si adalah pemuda sembarangan, anak bergajul, punya baju baru ia pakai, pakaian lusuh
dan kumal juga dipakai, ada arak ia minum ada hidangan lezat ia makan dengan lahap, kalau lagi
tidak punya uang alias tongpes, meski kelaparan tiga hari tiga malam, ia masih tetap tertawa
lebar, jarang ada orang melihat ia bersungut, cem-berut, berkeluh kesah atau marah.
Ting Si senang tertawa, tertawa sembarangan, see-naknya, kadang tertawa sambil menarik
hidung, tertawa sambil memicingkan mata, juga tertawa seperti gadis kecil, melelet lidah atau
melucu dengan muka setan.
Senyum tawa yang tidak mengandung maksud jahat, apalagi cemoohan sinis.
Kapan saja dimana saja tertawa, tampangnya tidak pernah jelek, wajahnya selalu menarik rasa
simpatik orang lain terhadapnya.
Mereka pasti bilang Ting Si adalah orang yang menyenangkan, laki-laki simpatik, tapi yang
membenci juga tak sedikit, paling tidak ada lima orang, lima ekor anjing.
Siau Ma alias si kuda kecil, kuda kecil yang satu ini bukan seorang di antara kelima orang itu.
Siau Ma bernama Ko Cin, sedang berdiri di belakang Ting Si, bila melihat Ting Si, maka Siau Ma
hampir selalu berdiri di belakangnya.
Siau Ma adalah teman Ting Si, hu-bungan mereka melebihi hubungan seorang ayah terha-dap
anak. Bola matanya terpentang lebar, wajahnya bersungut seperti amat penasaran, mengawasi orang
seperti ingin mengajak berkelahi, setiap saat dia memang siap berke-lahi, maka orang
memanggilnya si Kuda Binal.
Kelihatannya sedang marah, bola matanya melotot mengawasi bendera hitam yang berkibar itu,
tinjunya me-ngepal erat, mulut menggerutu, "Sam-yo-kay-thay, Ngo-kau-kay-hoa, lima anjing
berkembang apa, seperti melihat setan saja, mengapa cucu kura-kura itu tidak dinamakan lima
anjing kentut bersama" Maknya."
Ting Si tersenyum tanpa memberi komentar mende-ngar omelan kawannya.
Sudah sering dia mendengar Siau Ma mengomel, ka-lau tiap mengomel Siau Ma tidak bilang
"Maknya", baru Ting Si akan merasa heran.
"Tapi aku tidak mengerti," Siau Ma melanjutkan sete-lah mencaci.
"Mengapa cucu kura-kura itu tidak mau men-jadi manusia, mereka justru senang menjadi anjing."
Ting Si tersenyum, katanya, "Sejak zaman dulu an-jing adalah teman manusia yang paling setia,
anjing bisa menjaga pintu, menunjukkan jalan."
"Anjing kuning, anjing hitam, anjing kembang atau anjing kurap semua juga anjing, mengapa
mereka justru membandingkan dirinya sebagai anjing putih?""Putih melambangkan kebersihan
dan keagungan, putih itu suci."
"Cuh," Siau Ma meludah dengan gregetan.
"Anjing te-tap anjing, anjing galak karena majikan, anjing menyalak karena menilai rendah
manusia, kapan anjing tidak makan najis, anjing putih anjing hitam sama saja.
"Bukan hanya benci, agaknya Siau Ma amat dendam dan sengit tehadap kelima orang itu,
maklum Siau Ma adalah begal besar, perampok mana yang tidak membenci Po-piau (pengawal
barang), seolah hal ini sudah menjadi kodrat alam.
Siau Ma berkata, "Aku ini begal, perampok, tapi per-buatanku tidak tercela, tidak takut diketahui
orang, Mak-nya, biar mati kelaparan, aku tak sudi menjadi anjing pen-jaga pintu pembesar korup
atau buaya darat, apalagi me-lindungi harta mereka yang tidak halal."
Ting Si menjawab, "Pekerjaan mereka memang patut dicela, tapi kelima orang ini tidak terlalu
bejat, terutama Teng Ting-hou dari Tin-wan Piaukiok."
"Bukankah dia yang menjadi pengawal kereta barang kali ini?" tanya Siau Ma.
"Kurasa memang dia."
"Konon barang kawalannya tidak pernah hilang di ja-lan."
"Sin-kun-siau-cu-kat memang tak bernama kosong."
Siau Ma menyeringai, katanya, "Peduli Siau-cu-kat atau Toa-cu-kat, kali ini pasti terjungkal di
tanganku. "Yang ditunggangi Teng Ting-hou tentu kuda bagus, kalau minum pasti juga arak nomor satu.
Kemahirannya menunggang kuda tak kalah lihai dibanding caranya mi-num arak.
Kaum persilatan mengakui, Teng Ting-hou adalah salah seorang pengawal dari empat
perusahaan penga-walan terbesar di Tionggoan yang senang hidup mewah, menikmati hidup
bebas, otaknya terbuka, cerdik pandai, berdaya tahan dan ulet dalam pekerjaan.
Dialah orang yang mengembangkan usaha gabung-an lima Piaukiok itu, Siau-lim-sin-kun yang
diyakinkannya sudah sembilan puluh persen sempurna, konon kemampu-an Teng Ting-hou
sekarang tidak di bawah Si-toa-tiang-lo (empat sesepuh besar) Siau-lim-si.
Setelah Paukiok gabungan berdiri, nama besarnya makin cemerlang di kalangan Kangouw.
Istrinya cantik dan bijaksana, putra-putrinya pandai dan berbakti, semua ka-um hamba bersikap
baik dan intim kepadanya.
Padahal usianya baru empat puluh empat tahun, menjelang puber kedua bagi setiap laki-laki
yang menjalani kehidupan pe-nuh uji dan gemblengan, saatnya laki-laki berpikir matang dan
sukses mencapai puncaknya.
Laki-laki serba sempur-na seperti dirinya, adakah sesuatu yang membuatnya ge-getun"
Membuatnya menyesal"Ya, ada dua.
Empat Piaukiok besar mengembangkan usaha di wi-layah Tionggoan, Toa-ong Piaukiok adalah
perusahaan pengawalan tertua, namun mereka tidak mau bergabung dalam perkongsian ini.
Ong-lo Thaycu pemilik Toa-ong Piaukiok adalah tua bangka yang kolot lagi kukuh, bahwa-sanya
orang ini mirip batang tombak yang mengkilap dan keras, namun bobotnya justru amat berat.
Setelah Piaukiok gabungan berdiri dan mulai menja-lankan usahanya, dalam tiga bulan sudah
berkembang luas dan membawa hasil yang tidak sedikit, terlihat nyata jerih payah mereka,
dimana Ngo-coan-ki yang berbunga itu tiba, kawanan begal tidak ada yang berani bertindak,
mereka hanya mengawasi iringan kereta itu lewat dengan menghela napas gregetan.
Dua bulan belakangan, barang kawalan Ngo-coan-ki dua kali dirampok orang di tengah jalan,
pengawalan ga-gal, anak buah mereka banyak yang terluka, padahal me-reka Piausu
berkepandaian tinggi dalam perusahaan ga-bungan itu.
Barang yang disikat rampok juga bernilai lak-saan tail, harta yang dimaksud di sini adalah
perhiasan, mutu manikam, berlian atau mutiara yang lebih ringkas dan mudah disimpan atau
dibawa kemana-mana.
Pemililk barang yang besar jumlah maupun nilainya,biasanya mengirim barang lewat
pengawalan, umumnya barang-barang itu tidak halal maka kirim mengirim ini amat dirahasiakan,
tidak jarang mereka yang punya uang ba-nyak menukar dengan barang mestika yang bentuknya
le-bih kecil dan mudah disembunyikan.
Demikian bentuk kawalan Teng Ting-hou yang berni-lai ratusan laksa tail, barang gelap yang
tidak mudah ter-lihat mata.
Dia mengawal belasan kereta yang memuat lima puluh peti uang perak.
Sementara kiriman gelap itu berupa mutiara yang nilainya hampir sama.
Tugas dan tanggung jawab Teng Ting-hou tidak enteng, tapi jago tinju yang lihai ini tidak merasa
berat. Selama menjalankan pengawalan, Teng Ting-hou se-lalu yakin dan percaya pada kemampuan
sendiri, demikian pula untuk mengawal barang gelap kali ini, ia yakin barang kawalannya akan
sampai di tempat tujuan dengan sela-mat.
Maklum jalan yang ditempuh dan tempat dimana ba-rang gelap itu disimpan amat dirahasiakan.
Barang-barang yang digunakan memancing perhati-an kawanan begal, nilai maupun kondisinya
memadai har-ga dirinya untuk mengawal sendiri pengawalan ini.
Kecuali beberapa orang yang tahu, hakikatnya tiada orang lain tahu bahwa di tengah barang
kawalan sebanyak itu ter-sembunyi barang gelap, siapa pun sukar meraba atau tak-kan
menduga dimana barang gelap disembunyikan.
Teng Ting-hou mendongak, sambil memiringkan ke-pala mengawasi bendera besar yang
berkibar yang me-nancap di pinggir kereta terdepan.
Wajahnya tampak ber-seri dan cerah.
Bendera besar yang hitam gelap terbuat dari sutra, tiang bendera terbuat dari baja murni, barang
gelap berupa mutiara yang bernilai ratusan laksa tail perak itu ternyata disimpan dalam tiang
bendera itu. Kecuali lima orang pimpinan perusahaan, tiada orang keenam tahu rahasia ini.
Roda kereta berderak, kuda meringkik, angin meng-hembus kencang dari arah datangnya
cahaya matahari.
Benteng kota Po-ting sudah terlihat jauh di depan sana.
Lo-tio yang bertugas membawa bendera menghela napas lega, setelah berada di kota Po-ting
nanti, berarti tugas mengawal barang selesai.
Terbayang dalam hatinya betapa nikmat hidangan di restoran "Sorga Bahagia" yang punya
simpanan gadis-gadis manis dengan paha yang mulus menggiurkan, hatinya seperti dirambati
ribuan se-mut."
"Bila besok pagi harus berangkat pulang, malam ini aku harus menghibur diri sepuasnya dengan
gadis-gadis itu."
Lo-tio menoleh sambil melirik ke arah temannya, Siau Go, keduanya tersenyum penuh arti, dia
memandang ke depan pula, matanya memicing.
Di saat Lo-tio dibuai bayangan menggiurkan, terjadi musibah tak terduga diiringi suara gemuruh.
Tiba-tiba Lo-tio merasa pandangan gelap, tubuhnya seperti melayang ke dalam jurang, bersama
kuda tunggangannya dia terje-blos ke dalam sebuah lubang besar, demikian pula kereta barang
yang dikawalnya ikut terperosok ke bawah, cela-kanya kereta itu jatuh menindih badannya
hingga ping-gang terjepit, tulang kaki patah, kudanya mampus seketi-ka.
"Tamatlah riwayatku," demikian keluh Lo-tio dalam hati sambil meringkuk dalam lubang, sebelum
menjerit, ra-sa sakit membuatnya semaput.
Pada saat yang sama, pohon-pohon di pinggir jalan serentak bertumbangan, roboh menindih
kereta dan kuda, sudah tentu tak sedikit Piausu yang tertindih di bawahnya.
Barisan yang semula rapi dan berderet lurus itu mendadak porak-poranda, kereta ambruk kuda
binasa. Teng Ting-hou mengeprak kuda hendak menerjang ke depan untuk melindungi kereta dan
merebut bendera, tiba-tiba dari rumpun pohon sebelah kanan melesat tiga ti-tik sinar dingin
mengincar pantat kudanya.
Kuda putih mi-liknya itu adalah kuda pilihan yang terlatih baik dan pan-dai, namun tak kuat
menahan rasa sakit di pantatnya yang tertimpuk senjata rahasia, sambil meringkik kuda itu melonjak
berdiri. Kudanya melonjak karena kesakitan, Teng Ting-hou siap melompat turun, tapi karena kesakitan,
kuda itu melompat ke depan secepat anak anah, melompati da-han pohon yang tumbang sejauh
puluhan tombak.
Teng Ting-hou berhasil membebaskan kakinya dari belitan pedal perak kudanya, secepat kilat
dia melompat balik ke sana.
Dari belakang pohon, mendadak meluncur seutas tambang panjang menjerat tiang bendera yang
ter-tancap di kereta terdepan dalam lubang besar itu.
"Wut", di tengah suara yang menderu keras, bendera hitam itu berkibar di udara dan meluncur
tinggi oleh sen-dalan tambang panjang, melayang ke balik rumpun pohon.
Teng Ting-hou sempat melambungkan tubuh, namun perasaan hati menjadi perih dan kuatir.
Terdengar para Piausu yang mengawal kereta berteriak, "Lekas lindungi kereta, jangan tertipu
muslihat musuh, tetap di tempat tu-gas kalian.
"Piausu-piausu itu sudah pengalaman, meski malu ka-rena bendera perusahaan hilang, lebih
malu kalau kereta barang tercuri atau dirampas orang, akibatnya tentu lebih fatal, adalah jamak
kalau mereka mengutamakan melin-dungi kereta, baru berusaha merebut bendera.
Mengawasi betapa cekatan anak buahnya bekerja, darah dalam tubuh Teng Ting-hou seperti
hampir tumpah dari mulutnya.
Bayangan orang tampak bergerak di balik rumpun pohon, sayup-sayup seperti ada orang tertawa
riang dan puas.
Sebat sekali Teng Ting-hou melesat miring seperti burung walet menerobos hutan, Ginkangnya
memang ti-dak rendah.
Umumnya murid Siau-lim tidak mengkhusus-kan diri belajar Ginkang, Ginkang juga bukan
keistimewa-an pelajaran silat Siau-lim, tetapi Ginkang Teng Ting-hou termasuk kelas tinggi.
Namun setelah menubruk ke sana, bayangan orang tidak kelihatan.
Di dahan pohon terlihat secarik kertas ku-ning dipaku dengan sebatang jarum, tulisan arang
terpam-pang berbunyi, "Siau-cu-kat (ahli pikir cilik) hari ini berubah menjadi Siau-cu-ko (engkoh
babi cilik), sungguh menye-nangkan, sedaaap!"Senja berubah menjadi petang, sisa cahaya surya
masih sempat mengintip di tegalan yang mulai ditelan ha-limun.
Nan jauh di sana terdengar suara orang tertawa le-bar, dari arah datangnya gelak tawa, samarsamar
terlihat sebuah bendera besar hitam berkibar ditiup angin berge-rak ke arah timur.
Mengepal tinju Teng Ting-hou, dari kejauhan dia me-mandang, dari kejauhan dia mendengar,
agak lama kemu-dian baru menghela napas gegetun, gumamnya sendiri, "Siapakah dia" Siapa
punya kemampuan sebesar ini?"" " "Bendera berkibar, kembang merah itu seperti mekar
semarak di antara lima ekor anjing yang galak dan gagah.
Dengan sebelah tangan Siau Ma mengangkat tinggi bendera besar itu, sebelah kakinya
berdiritegak di pung-gung kuda, berdiri kokoh semantap gunung, bagai pemain akrobat yang
beraksi di tengah arena.
Kuda itu kuda pi-lihan, kuda bagus yang terlatih, larinya cepat bagai panah meluncur ke depan.
Siau Ma mendongak sambil tertawa puas, serunya lantang, "Hari ini Siau-cu-kat berubah menjadi
Siau-cu-ko, maknya, sungguh menyenangkan, sedaaap."
Belum lenyap suara gelak tawa Siau Ma, dari bawah perut kuda mendadak menyelonong keluar
sebuah tangan mencengkeram tumit kakinya terus disendal ke pinggir.
Tubuh Siau Ma terlempar ke pinggir dengan bersalto dua kali di udara, "Bluk" pantatnya
berdentam di tanah, ben-dera di tangan entah kabur kemana.
Ternyata bendera itu berpindah ke tangan Ting Si, la-ri kuda menjadi lambat, Ting Si bertengger
di punggung kuda sambil tertawa geli mengawasi temannya.
Siau Ma mengusap hidung, katanya dengan tertawa getir, "Toako, apa-apaan, kau
mempermainkanku?" Ting Si tersenyum, katanya, "Hanya sebuah peringat-an untukmu, jangan
karena puas lantas lupa diri."
Siau Ma melompat berdiri sambil membersihkan pan-tatnya, kepalanya tertunduk, ingin marah
tapi tidak berani, mimiknya lucu seperti ingin menangis, mirip kuda kecil yang binal, tapi lebih
mirip keledai cilik yang harus dika-sihani.
"Kau ingin menangis?" tanya Ting SiSiau Ma cemberut, tidak bersuara.
"Orang yang menangis tidak akan diberi arak," goda Ting Si tertawa.
Siau Ma menggigit bibir, akhirnya bertanya, "Kalau tidak menangis?""Kalau tidak menangis boleh
ikut ke Po-ting, kita mi-num sepuasnya."
"Boleh minum berapa cawan?" "Hari ini kuberi kelonggaran, boleh minum sepuluh kati."
Siau Ma berjingkrak senang, sambil memeluk kaki ia berjumpalitan tiga kali, tubuhnya melejit ke
udara lalu ber-salto tiga kali.
Tangan Ting Si terulur untuk menangkap le-ngannya.
Kejap lain kedua orang ini sudah mencongklang kuda ke arah timur, terdengar gelak tawa
mereka yang riang gembira, di punggung kuda mereka saling dorong dan ber-desakan, sambil
tertawa lebar mereka berpelukan.
Kuda gagah itu dibedal kencang, gelak tawa mereka juga makin lirih dan jauh hingga tidak
terdengar lagi, na-mun bendera besar itu masih berkibar ditiup angin.
Sinar surya remang-remang menyinari bendera hitam, tabir ma-lam mulai menyelimuti jagad
raya. Bendera besar hitam itupun ditelan kegelapan.
Malam gelap. Pelita dinyalakan.
Di dalam kamar yang besar itu tercium bau daging panggang dan arak wangi.
Belandar rumah itu cukup ting-gi, bendera Ngo-coan-kay-hoa tampak tertancap terbalik di atas
belandar, bendera tampak melambai-lambai.
Padahal bendera itu berada di bawah atap, di dalam kamar yang tertutup, lalu darimana
datangnya angin" Ter-nyata angin bertiup dari mulut Siau Ma.
Dia mendongak sambil setengah rebah di kursi, setiap menghirup seteguk arak, dia
menghembus sekali, bendera melambai tertiup angin dari mulutnya, sudah setengah jam Siau
Ma berma-in-main demikian, arak sudah habis satu guci.
Ting Si juga minum arak, duduk di depannya, me-nonton setengah jam lamanya, akhirnya
tertawa, katanya, "Latihan pernapasanmu sudah cukup hebat."


Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hembusan angin dari mulut Siau Ma memang cukup padat dan kuat, tenaganya juga besar,
namun di hadapan Ting Si, Siau Ma tidak berani mengumbar adatnya yang binal.
Ternyata bendera itu sudah berganti tiang bambu yang lebih pendek, sementara tiang bendera
yang asli ter-buat dari kuningan tergeletak di atas meja.
Ting Si mengelus tiang bendera itu dengan lembut, tiang bendera mengkilap itu sehalus sutra,
mengkilap ge-lap dan mulus, mendadak dia bertanya, "Tahukah kau apa yang tersimpan di
dalam tiang bendera ini?"Siau Ma menggeleng kepala.
Ting Si berkata, "Kau juga tidak mengerti mengapa aku menyuruhmu merebut tiang bendera
ini?"Siau Ma menggeleng kepala pula.
Maklum tak sem-pat bicara, karena mulutnya sedang meniup dan meniup.
Ting Si menghela napas.
Katanya pula, "Bisa kau hentikan ulahmu itu, gunakan otakmu untuk berpikir."
"Bisa saja," sahut Siau Ma sambil menegakkan tu-buh, dia berhenti meniup ke atas.
"Toako, soal apa yang harus kupikirkan?" tanyanya mengusap hidung.
"Setiap persoalan boleh kau pikir, setelah paham bo-leh kau kerjakan."
"Buat apa aku berpikir, Toako menyuruhku melaku-kan apa, segera kukerjakan, beres."
Ting Si mengawasinya sejenak, mendadak raut wa-jahnya membeku, bila hatinya terharu,
begitulah mimik mukanya, ia tak bisa tertawa lagi.
Siau Ma mengawasi tiang bendera di atas meja, bola matanya berkedip beberapa kali, lalu
berkata, "Aku tidak habis mengerti.."
"Hal apa yang tidak kau mengerti?" "Tiang bendera ini biasa saja, tidak berbeda dengan tiang
bendera kebanyakan, sama besar dan ukurannya, aku tidak tahu, betapa banyak nilai mestika
yang bisa disembunyikan di dalamnya."
Ting Si tertawa, sikapnya wajar, pelahan ia memutar bola baja di pucuk tiang bendera, ketika
tiang bendera itu diangkat terbalik, menggelindinglah tujuh puluh dua butir mutiara sebesar
kelengkeng, semua bersinar, bentuknya sama, besarnya pun sama, dengan rentetan suara yang
ramai, tujuh puluh dua butir mutiara itu berjatuhan dan menggelinding di atas meja.
Siau Ma terbelalak.
Siau Ma bukan manusia yang melihat duit lantas merah matanya, namun menghadapi mutiara
besar sebanyak itu, dia menjublek kaku seperti kehilangan sukma.
Maklum Siau Ma belum pernah melihat mutiara sebesar, sebagus, seindah dan semolek ini.
Yang membuat Siau Ma heran, kaget dan haru bukan nilai dari mutiara besar sebanyak itu, tapi
pesona karena keindahan yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Ting Si menjemput sebutir mutiara, sorot matanya ju-ga menampilkan rasa haru, gumamnya,
"Untuk mencari mutiara sebesar ini mungkin tidak sukar, tapi tujuh puluh dua butir yang sama?"
Dia menghela napas lalu me-nyambung, "Meski Tam To seorang kejam, bertangan ga-pah, dia
memiliki kemampuan yang tak dimiliki orang lain."
"Tam To?" Siau Ma menegas.
"Maksudmu Tam To pembesar anjing yang suka menguliti orang itu?""Ehm, siapa lagi kalau
bukan dia?""Jadi mutiara sebanyak ini dia beli sebagai kado un-tuk menyogok tulang
punggungnya yang merayakan ulang tahun di kotaraja?" mendadak mata Siau Ma membulat,
berjingkrak gusar sambil menggebrak meja, serunya ge-mas, "Kura-kura tua, sudah lama aku
ingin mengganyang-nya, makanya Teng Ting-hou yang menepuk dada seba-gai ksatria ternyata
mau menjadi antek anjing kura-kura itu."
Ting Si berkata dengan tawar, "Sebagai pengawal barang hanya dua jenis manusia dalam
pandangan mere-ka. Pertama adalah langganan, kedua adalah perampok alias begal. Rampok
harus diganyang, langganan selalu benar dan harus dilindungi."
Siau Ma marah, "Umpama langganan itu kura-kura atau kuntilanak, apa mereka benar?""Peduli
rampok itu jenis apa dan apa tujuannya me-rampok, dalam anggapan mereka, rampok harus
diga-nyang dan diberantas," mimik wajah Ting Si mengulum se-nyum, tapi sorot matanya
menampilkan rasa gusar dan duka.
Tiada orang menjuluki pemuda yang satu ini sebagai Ting Si kecil yang suka marah, tapi sebagai
manusia bi-asa, dia pun pemuda yang suka marah dan mengumbar adat bila tidak kuasa
menahan emosi, ingin menumpas dan memberantas kejahatan dan kejadian tidak adil di du-nia
ini. Demikianlah anak muda, generasi mendatang, beta-pa indah dan muluk cita-cita atau keinginan
mereka, beta-pa indah kehidupan ini.
Ting Si menjemput sebutir mutiara lagi, katanya, "Me-nurut pendapatmu, berapa nilai mutiara
ini?" "Apa mutiara ini tulen?" "Aku tidak tahu."
Ada sementara orang tidak punya angan-angan un-tuk memiliki uang, tidak mampu menilai
sesuatu benda, Siau Ma adalah pemuda sederhana yang suka berpikir se-cara sederhana pula.
"Seratus laksa tail perak."
"Apa, seratus laksa tail perak?"Ting Si mengangguk, katanya, "Ya, tetapi kalau kita jual mutiara
ini, nilainya harus dipotong empat puluh per-sen."
"Apa perlu buru-buru menjualnya?""Bukan saja harus segera dijual, malah harus terima uang
kontan." "Lho, mengapa?" "Tujuh saudara keluarga Soa di Loan-ciok-kang mati di tangan orang-orang
Ngo-coan-ki, janda dan anak yatim mereka cukup banyak jumlahnya, kini mereka hidup sengsara.
Demikian pula saudara-saudara dari Ceng-hong-san di Say-ho, meski patut memperoleh
hukuman yang setim-pal, namun anak bini mereka tidak berdosa, mereka punya hak untuk
mempertahankan hidup, mereka perlu sandang dan pangan, mereka butuh uang.
"Siau Ma tahu dan maklum akan hal ini.
Memang tidak sedikit jumlah anak yatim piatu di kalangan Kangouw.
Ke-cuali Ting Si, adakah manusia lain yang memikirkan nasib mereka"Siau Ma mengedipkan
mata, katanya, "Seratus laksa tail perak kalau harus dikorting empat puluh persen, bu-kankah
jumlahnya tinggal enam puluh laksa tail perak sa-ja?"Ting Si menghela napas, katanya
memanggut, "Ter-nyata kau juga pandai menghitung."
"Uang perak sebanyak enam puluh laksa tail, kalau diangkut sepeti demi sepeti, setengah hari
juga takkan ha-bis, tokoh mana di dunia persilatan yang sekaligus mampu membayar kontan
sebanyak itu" Apalagi membeli barang tidak halal?" Ting Si tidak segera menjawab, dia
menenggak habis araknya, lalu menggares sekerat daging, katanya kalem, "Kota Po-ting cukup
besar dan makmur, pusat perdagang-an lagi, Cin-wi Piaukiok bukankah dipusatkan di kota Poting"
Di dalam maupun di luar kota bukan mustahil ada mata kuping mereka."
"Betul, kaki tangan mereka memang banyak dan ter-sebar luas di daerah ini."
"Coba kau pikir, mengapa tidak pergi ke tempat lain, aku justru mengajak kau ke kota Po-ting
ini?" "Ya, aku tidak mengerti."
"Apa betul kau tidak mengerti?" Siau Ma mengusap hidung, katanya tertawa, "Toako sudah
mengerti, mengapa menyuruhku berpikir?" "Karena aku ingin membetot dan mencabut tulangmu,
akan kuobati penyakitmu."
Tiada orang lain yang pa-ham tentang watak dan mendalami jiwa Siau Ma kecuali Ting Si.
Dia tahu persoalan bukan tidak pernah diperhati-kan oleh Siau Ma, namun si Kuda Binal ini
memang malas menggunakan otak.
"Apa kau kenal orang yang bernama Thio Kim-keng?" Kali ini Siau Ma tidak menggeleng kepala.
Maklum ia pernah tinggal di Po-ting, orang yang pernah tinggal di Po-ting, tak mungkin tidak
kenal nama besar Thio Kim-keng.
Thio Kim-keng adalah hartawan nomor satu di kota Po-ting, seorang arif bijaksana dan
dermawan nomor satu di kota kuno ini, kekayaannya mungkin tidak kalah diban-ding kekayaan
negara, sosial dan berjiwa besar.
"Tahukah kau apa modal Thio Kim-keng untuk mem-bangun dinasti keluarga dan memperkaya
dirinya?"Siau Ma menggeleng kepala.
"Ada sementara orang, tidak perlu turun tangan sen-diri, namun hatinya lebih kejam dan jahat
melebihi ular berbisa, barang milik orang hasil dari mempertaruhkan ji-wa raga, dia beli dengan
harga yang ditekan serendah-rendahnya, namun dalam sekejap mata dia jual lagi de-ngan harga
puluhan kali lipat."
"Hm, jadi yang kau maksud adalah Thio Kim-keng tu-kang tadah itu?"Ting Si mengangguk,
katanya, "Thio Kim-keng me-mang tukang tadah."
Siau Ma terlongong "Sebagai tukang tadah, semula memang kecil-kecil-an, tapi sekarang
seleranya lebih besar, jual beli dalam ni-lai kecil tidak terpandang lagi olehnya."
"Jadi kami ke Po-ting untuk menemuinya?" "Ehm, betul."
Mendadak Siau Ma berjingkrak berdiri, serunya ke-ras, "Orang seperti itu hakikatnya bukan
manusia, menga-pa Toako malah mencarinya?" Ting Si belum bersuara, dari luar pintu seorang
su-dah berkata dengan tertawa lebar, "Yang dia cari bukan manusia seperti diriku, tapi uang
perak milikku."
Thio Kim-keng sesuai namanya, perawakan buntak bundar mirip guci, namun bukan guci
sembarang guci, tapi guci emas.
Kepalanya mengenakan mahkota yang terbuat dari emas bertahta mutu manikam, sabuknya
yang besar dan panjang serta lebar juga terbuat dari emas murni, pa-kaiannya jubah
berkembang emas, kesepuluh jarinya me-ngenakan sepuluh bentuk cincin yang berbeda corak
dan ragamnya. Sabuk pinggang yang dikenakan dilapisi emas, maklum perutnya yang gendut tidak kalah besar
dibanding perut seekor kerbau betina yang lagi bunting.
Waktu Siau Ma membuka pintu, orang gendut ini ber-diri tenang dan mantap di ambang pintu,
seolah-olah me-miliki tiga kaki.
Dua orang mengawal di belakangnya, pakaian ketat bersulam kembang di depan dada dengan
pinggiran war-na biru muda, topinya miring, dandanannya mirip Piausu kelas rendah atau pemain
wayang yang biasa main di atas panggung.
"Kau ini yang bernama Thio Kim-keng?" tanya Siau Ma.
Thio Kim-keng balas bertanya, "Apa kau ini yang bernama Kuda Binal itu?"Ternyata tidak kecil
nama Siau Ma Si Kuda Binal di kalangan Kangouw, manusia seperti Thio Kim-keng juga pernah
dengar dan tahu namanya.
Siau Ma melotot, dari perut yang bundar pandangan-nya beralih ke wajahnya, bentaknya bengis,
"Cara bagai-mana aku harus membuktikan bahwa kau ini Thio Kim-keng tulen?"Thio Kim-keng
berkata, "Kau tidak perlu curiga, kecu-ali Thio Kim-keng, siapa yang memiliki badan dengan daging
segumpal ini?"Siau Ma menyeringai dingin, "Dari mana kau mem-peroleh daging segumpal
ini?"Thio Kim-keng tertawa lebar, katanya, "Sudah tentu kuperoleh dari orang-orang seperti
kalian." Waktu tertawa tidak terlihat kulit daging wajahnya bergerak, bukan lan-taran daging di mukanya
terlalu gemuk, tapi karena muka-nya terlalu tebal, hidungnya yang pendek hampir tidak kelihatan.
Saking gemasnya Siau Ma ingin menjotos hidungnya biar pecah atau remuk.
Thio Kim-keng berkata, "Jangan kurang ajar, Toako-mu mengundangku kemari untuk urusan
dagang, jika kau memukulku, berarti kau menampar Toakomu sendiri."
Tinju Siau Ma sudah teracung tinggi, namun batal menjotos.
Thio Kim-keng menarik napas lega, katanya terse-nyum, "Apa kami boleh masuk?""Ingin masuk
boleh, tapi hanya kau seorang saja."
"Kalian dua orang, dalam melakukan jual beli, aku selalu didampingi dua pengawalku ini, jangan
kuatir, aku terbuka dan selalu berlaku adil."
"Kau tidak mendengar apa yang kukatakan?" "Aku mendengar, tapi aku ini manusia, bukankah
kau sendiri yang bilang demikian?" Saking gusarnya Siau Ma berdiri menjublek.
Ting Si justru tertawa riang, dengan tertawa dia menghampiri lalu menarik Siau Ma ke pinggir,
katanya, "Kalau Thio-laupan (juragan Thio) tidak menganggap dirinya manusia, menga-pa kau
marah?" Akhirnya Siau Ma tertawa geli malah, katanya, "Aku hanya heran, mengapa ada
manusia di dunia ini yang tak suka menjadi manusia?" Thio Kim-keng mengawasinya dengan
memicingkan mata, katanya, "Karena zaman sudah berubah, di zaman ini orang sukar menjadi
manusia, peduli mau menjadi babi, kerbau atau anjing, yang pasti jauh lebih mudah daripada
menjadi manusia biasa."
Melihat tujuh puluh dua butir mutiara di atas meja itu, mata Thio Kim-keng yang semula memicing
mendadak terbuka lebar, pelahan dia menghembuskan angin dari mulutnya, "Mutiara ini yang
akan kau jual kepadaku?""Kalau bukan barang mahal atau tulen seperti ini, mana berani kami
membikin susah Thio-laupan kemari?" "Berapa harganya?" "Seratus laksa tail."
"Seratus laksa tail perak?" Siau Ma berjingkrak sambil merenggut baju di depan dada Thio Kimkeng,
bentaknya gusar, "Kau sedang bica-ra atau sedang kentut?" Thio Kim-keng tenang-tenang
saja, wajahnya mengu-lum senyum jenaka, "Aku sedang berdagang, jual beli kan pantas kalau
tawar menawar, kalau harga cocok boleh ba-yar kontan, begitulah cara orang berdagang."
"Aku bukan pedagang," bentak Siau Ma.
"Akulah pedagangnya," ujar Ting Si.
Siau Ma melenggong, pelahan dia melepas tangan lalu mundur.
Ting Si tersenyum, "Kalau Thio-laupan suka mena-war, akan aku layani."
Thio Kim-keng berkata, "Paling banyak aku hanya berani bayar dua puluh laksa saja."
"Sembilan puluh laksa."
"Berat, tiga puluh laksa."
"Masih jauh, delapan puluh laksa."
"Baiklah, kutambah sedikit, empat puluh laksa."
"Jadi, kuserahkan, bayar kontan."
Siau Ma mendelik, Thio Kim-keng juga melongo, tak pernah terbayang dalam benaknya bahwa
hari ini dia akan berhadapan dengan orang yang memandang uang perak seperti besi rongsok,
dengan akurnya jual beli semurah ini, berarti dirinya ketiban rezeki besar.
Ting Si tersenyum, katanya, "Aku ini tahu diri dan gampang merasa puas, tahu diri pasti hidup
senang dan tenteram."
Tujuh puluh dua butir mutiara itu berada di tengah lingkaran empat batang sumpit gading.
Ting Si menjemput salah satu sumpit, mutiara itu lantas menggelinding ke da-lam bumbung tiang
bendera. Thio Kim-keng mengawasi diam, setelah mutiara itu seluruhnya tersimpan baru berkata,
"Tahukah kau, tawar-anku empat puluh laksa tail, empat puluh laksa apa?" "Apakah bukan empat
puluh laksa tail perak?" "Sudah tentu bukan."
"Lalu apa?" "Empat puluh laksa keping tembaga."
Siau Ma mendelik kaget dan gusar, seolah-olah dia tidak kenal manusia buntak bundar seperti
bola ini. Tanpa pikir Ting Si justru menjawab, "Jangankan kau bayar empat puluh laksa keping tembaga,
umpama tidak kau bayar juga kuberikan kepadamu."
Jawaban Ting Si lebih mengejutkan Siau Ma, teriak-nya, "Taoko mau menyerahkan, aku tidak
rela." Ting Si berkata, "Kalau Toako mau menjual, kau pun harus pasrah."
"Mengapa?" pekik Siau Ma, biasanya dia tunduk dan patuh terhadap Ting Si, baru sekarang dia
bertanya "me-ngapa" kepada Ting Si.
Maklum dia heran dan penasaran.
"Kau ingin tanya mengapa aku menjualnya semurah itu?" tanya Ting Si.
"Ya mengapa?" Siau Ma mengulang.
Ting Si menghela napas, katanya, "Karena aku takut dan tidak mau berkelahi."
Melotot bundar bola mata Siau Ma, dengan jarinya dia menuding hidung Thio Kim-keng, "Kau
takut berkelahi dengan orang ini?" Sesaat lamanya Ting Si mengawasi Thio Kim-keng dari kepala
hingga ujung kaki, "Kalau manusia seperti Thio Kim-keng, umpama sekaligus ada delapan ratus
orang ju-ga akan kulayani berkelahi."
"Memangnya kau takut berkelahi dengan siapa?""Kau tidak tahu atau pura-pura pikun?""Aku
melihat apa" Perut buntak ini?"Laki-laki yang berdandan seperti pemain sandiwara di belakang
Thio Kim-keng mendadak tertawa sambil me-ngangkat kepala, "Aku bisa melihatnya."
"Kau?" pekik Siau Ma.
"Maknya, kau melihat apa?""Sedikitnya aku melihat satu hal," ujar orang itu.
"Coba jelaskan," desak Siau Ma.
"Ting Si yang selalu menyenangkan orang memang tidak malu dijuluki Ti-to-sing (kecerdikannya
diumpamakan bintang yang bertaburan di angkasa), tapi Siau Ma si Kuda Binal ternyata adalah
babi dungu."
Siau Ma berjingkrak gusar, makinya sambil menu-ding, "Kau ini barang apa?" "Memangnya kau
belum tahu?" tanya orang itu.
"Aku tahu kau bukan barang atau manusia, kau ada-lah anjing kurap yang dilahirkan maknya."
Orang itu tertawa lebar, sambil tertawa satu persatu dia mencopot jubah ketat, menurunkan topi,
lalu mengu-sap muka dengan jubah kembang yang barusan dia pakai.
Pemain sandiwara yang bertampang jenaka, mendadak berubah menjadi Piaukek besar kelas
satu yang kenama-an di Kangouw.
Kalau dinilai, tokoh kosen Bulim yang setimpal seba-gai Piaukek besar kelas satu, pada zaman
ini tidak lebih sepuluh orang saja, Sin-kun-siau-cu-kat Teng Ting-hou pasti satu di antaranya..
Siau Ma menyeringai, "Jadi kaulah babi cilik yang mungil itu?"Teng Ting-hou tersenyum lebar,
"Agaknya aku salah menilai dirimu, kau bukan saja babi goblok, bukan manu-sia merang, paling
tinggi nilaimu setingkat dengan keledai cilik yang dungu."
Siau Ma sudah bergerak maju, namun sepasang tin-junya ditahan oleh Ting Si.
"Apa betul kau takut berkelahi?" teriak Siau Ma pena-saran.
"Sebetulnya aku takut, tapi harus dibuat sayang, hari ini terpaksa aku harus berkelahi," demikian
ujar Ting Si. "Lalu mengapa kau tarik aku?" "Karena belum tiba saatnya kau berkelahi."
"Tunggu apa lagi?" "Sabar, setelah Sebun Toa-piauthau mencopot pakai-annya, boleh kau
berkelahi."
Orang kedua yang berdiri di belakang Thio Kim-keng terpaksa bersuara dingin, "Bagus, ternyata
kau sudah me-ngenalku."
Ting Si mengawasi bagian menonjol di balik jubah kembang yang membungkus ketat tubuh
orang ini, wa-jahnya mengulum senyum, "Sebetulnya aku tidak menge-nalmu, aku hanya melihat
sepasang Kian-kun-pit di tubuh-mu."
Kian-kun-pit (potlot maya pada) terbuat dari baja mur-ni, sepasang potlot itu terselip miring di
balik jubah Sebun Seng.
Perawakan orang ini mirip sepasang gamannya, ku-rus lencir, panjang dan runcing, sudah
gemblengan hingga lebih keras dari besi yang ditempa ratusan kali.
Di antara lima tokoh Ngo-coan-ki berbunga, dinilai kecerdikan dan daya muslihat serta
pertimbangan yang tepat, Liau-tang Tayhiap Pek-li Tiang-ceng termasuk no-mor satu.
Teng Ting-hou pembuka jalan terang, daya pikir dan tahan ujinya boleh diagulkan nomor satu
dibanding empat rekannya.
Kui Tang-kin juga seorang jenius, tapi tingkah laku dan tutur katanya seperti orang bodoh, yang
dipikir hanyalah Hok-sing-ko-cau (rezeki nomplok) melulu, maka dia merupakan tokoh persilatan
terkaya di Tiong-goan.
Giok-pau Kiang Sin gagah, kuat dan pemberani, tiada la-wan yang pernah ditakuti.
Bicara tentang ilmu silat, jago kosen nomor satu dari kalangan Piaukiok di Tionggoan Kian-kunpit
Sebun Seng adalah orang yang paling ditonjolkan.
Ilmu totok Hiat-to, am-gi (senjata rahasia) dan Bian-kun dari aliran Lwekeh, selama ini belum


Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pernah menemukan tandingan.
Beberapa tahun belakangan ini, jarang ada kaum persilatan yang menantangnya berkelahi.
Tapi Siau Ma yang tidak kenal takut justru ingin men-jajalnya.
Setiap kali ingin berhantam, peduli apa gaman la-wan, kuat atau lemah, Siau Ma tidak pernah
gentar. "Jadi kau ini Sebun Seng?"Sebun Seng memanggut.
"Sekarang sudah saatnya berkelahi, bukan?"Sebun Seng menyeringai dingin.
Siau Ma menepuk tangan, "Katakan dengan cara apa kita berkelahi?""Kukira berkelahi hanya
ada satu cara."
"Cara apa?""Adu tinju sampai lawan roboh terkulai dan tak mam-pu merangkak bangun lagi."
"Bagus," seru Siau Ma.
"Caramu memang mencocoki seleraku.
"Mendadak Ting Si tertawa, "Tapi cara itu justru tidak memenuhi selera Toako."
"Bukan kau yang kutantang," kata Sebun Seng.
"Menurut pengetahuanku, berkelahi ada dua macam. Pertama berkelahi secara pertunjukan,
kedua berkelahi dengan kekerasan."
"Jadi kau ingin berkelahi secara pertunjukan?"Ting Si tersenyum, "Sebun Toa-piauthau punya
kedu-dukan dan terpandang, mamangnya kau ingin berkelahi seperti anjing
berebuttulang?""Baiklah, bagaimana kalau bertanding secara pertunjukan?""Kalau kujelaskan,
kau pasti setUju" "Sebun Seng tertawa dingin, "Menghadapi orang se-pertimu, berkelahi dengan
cara apapun sama saja."
Agak-nya dia amat yakin, selama beberapa tahun Kian-kun-pit di tangannya sudah bertempur
ratusan kali, belum pernah kalah.
Ting Si tertawa, "Baiklah, kita berkelahi dengan cara itu saja."
Seiring dengan kata 'saja', mendadaktinjunya meng-genjot perut Thio Kim-Keng yang gembrot.
Sudah tentu perut Thio Kim-Keng tidak sekeras gentong, kulitnya juga tidak setebal kulit kerbau,
seketika dia menjerit kesakitan, air masam keluardari mulutnya, air mata juga berlomba keluar,
demikian pula air kencing membasahi celana.
Sebun Seng murka, "He, rnengapa kau memukulnya?" "Beginilah caraku bertanding," ucapTing
Si. "Hayolah kau boleh mulai, siapa dapat merobohkan Thio-laupan, dialah yang menang, tapi hanya
boleh menggunakan tinju saja."
Di akhir kata-katanya, kembali tinjunya mendarat di pinggang Thio Kim-keng.
"Mana ada berkelahi cara begini?" seru Sebun Seng.
"Tadi kau bilang, cara apapun yang kuajukan, kau pasti setuju, kalau kau tidak ingin kalah,
hayolah pukul, genjot dia sampai roboh."
Berbareng dengan ucapan "roboh', tinjunya kembali mendarat ditulang rusuk Thio Kim-keng.
Tinju Ting Si memang tidak sekeras batu, pukulannya cukup berat, namun tulang rusuk Thio Kimkeng
patah. Siapa saja meski punya tenaga raksasa, hendak memukul patah tulang yang tersembunyi di balik
daging setebal satu kaki lebih, jelas bukan pekerjaan yang gampang.
Tulang rusuk memang tidak patah, namun celana ba-sah, bau pesing merangsang hidung,
umpama Thio Kim-keng adalah gentong besi, juga tak kuat didera pukulan-pukulan berat seperti
itu. Sebun Seng adalah tokoh besar, sudah tentu ia pan-tang kalah.
Wajahnya kaku dingin, orang sukar meraba perasaan hatinya, tanpa bayangan tidak
menimbulkan su-ara, mendadak tinjunya menggenjot ke depan, tinjunya te-lak menggenjot
pinggang Thio Kim-keng.
Thio Kim-keng meraung keras, tubuhnya ambruk, roboh dengan cepat.
Kelihatan orang ini lebih dungu daripada kerbau, padahal amat licin, sepuluh kali lipat lebih cerdik
dari rase bangkotan.
Sebun Seng menatapThio Kim-keng, "Kau masih kuat merangkak bangun?" Thio Kim-keng
menggeleng, napasnya ngos-ngosan.
Sebun Seng mengangkat kepala, senyum kemenangan menghiasi wajahnya, "Dia tidak mampu
bangun, kau mengaku kalah?"Umpama dua orang bersandiwara, sekongkol menje-bak orang.
Padahal Ting Si dikenal sebagai pemuda cerdik pandai, bagaimana mungkin dia tertipu.
Saking murka, muka Siau Ma merah padam, tidak dinyana justru Ting Si tertawa lebar.
Sebun Seng menegas, "Kau tak mau mengaku kalah?" "Aku mengaku kalah," sahut Ting Si.
"Aku siap mengaku kalah."
"Sudah kalah mengapa masih tertawa?""Karena aku memukul gratis tiga tinju di tubuh kura-kura
gemuk ini, rasa jengkelku sudah terlampiaskan separoh.
"Sudah jelas dia akan kalah tetapi sengaja memukul Thio Kim-keng tiga kali, pantasnya yang
tertipu bukan dirinya, tapi Thio Kim-keng.
Thio-laupan jelas dirugikan da-lam jual beli ini.
Teng Ting-hou menonton di samping sambil berpeluk tangan, ujung muiutnya mengulum senyum
lebar. Siau Ma justru berjingkrak, "Apa betul kau mengaku kalah?""Ya,"sahutTing Si.
"Mengapa?" Siau Ma menegas.
Ting Si tertawa lebar, "Setiap kali bertempur kapan Sebun Seng pernah kalah" Tinju sakti Teng
Ting-hou tiada tandingan, dengan kekuatanmu dan aku, jelas bukan tandingan mereka."
"Tapi bila ada kesempatan meski hanya sekejap, aku akan"."
"Apalagi," tukas Ting Si.
"Seumpama kau dapat me-ngalahkan mereka, manfaat apa yang kau dapatkan, umpama muka
tidak benjut, kepala tidak bocor, akhirnya pasti kehabisan tenaga, memangnya kau kuat
menghadapi ke-royokan orang-orang di luar itu?" Dengan senyum lebar Ting Si meneruskan,
"Oleh karena itu, terpaksa kita harus berupaya biar kalah namun dengan cara terhormat."
Siau Ma menggigit bibir, "Kau mau mengaku kalah, aku justru tidak mau kalah."
Belum habis muiutnya bicara, secepat kilat tinjunya menjotos ke muka Sebun Seng.
Yang diincar adalah hidung Sebun Seng.
Siau Ma merasa muak melihat tampang Sebun Seng yang masam dan dingin.
Tapi baru saja tinjunya menjotos, mendadak bayangan orang berkelebat di depan Sebun Seng,
tahu-tahu seo-rang mengadang di depannya.
Wajah nan cakap, sikap yang sopan dan lembut, kelihatan amat menarik dan simpati.
Tinju Siau Ma yang menjotos ternyata mampu dihen-tikan dan ditarik mundur di tengah jalan,
"Minggir kau, bukan kau yang akan kuhajar."
Pengadang itu adalah Teng Ting-hou, "Sekarang tiba giliranku, mau atau tidak tinjumu akan
kulawan dengan sepasang tinjuku."
Tinju Teng Ting-hou menjotos dulu ba-ru bicara, "Aku tidak biasa memakai senjata, biar tinju
lawan tinju."
Siau Ma adalah saudara Ting Si yang paling baik, sahabat kental, namun wataknya justru
berbeda dengan Ting Si.
Biasanya Siau Ma segan menggunakan otak, memi-kirkan persoalan dengan otak, melihat
gelagat dengan mata dan mendengar persoalan pelik dengan kuping dianggap pekerjaan yang
memusingkan. Siau Ma selalu me-nyelesaikan perkara dengan tinju, apalagi berhadapan dengan lawan yang
tidak pernah memakai senjata, selama ini jarang ketemu lawan yang memiliki tinju sekeras
tinjunya, sayang hari ini dia justru berhadapan dengan Teng Ting-hou.
Teng Ting-hou berjuluk Sin-kun (tinju sakti), di belakang tinju sakti diberi embel-embel Siau-cukat,
betapa hebat kepandaian tinjunya, kecuali bagustentu lihai.
Kenyataan membuktikan, di antara sekian banyak murid preman Siau-lim-pay, ilmu silat Teng
Ting-hou terhitung nomorsatu.
Siau-lim-sin-kun memang mengutamakan pu-kulan keras dengan landasan tenaga raksasa,
kalau ilmu pukdlan ini mengutamakan kelincahan gerak dengan se-rangan yang banyak
kembangannya, taraf kepandaiannya malah menurun.
Oleh karena itu, setiap kali melontarkan jurus serangan, permainannya pasti tulen, sungguhsungguh,
tanpa kembangan.
Umumnya murid Siau-lim-pay senang bermain secara murni dan sejati.
Demikian pula permainan tinju Siau Ma.
Tinjunya cepat lagi deras, serangan telak merobohkan lawan, bila lawan terpukul
berartitujuantercapai, lawan pasti roboh.
Bagaimana resiko serangan itu atas diri sendiri sama sekali tidak terpikir olehnya, hakikatnya dia
tidak pernah menguatirkan keselamatan diri sendiri.
Begitu duajago tinju saling hantam, meja kursi dan isi kamar porak poranda, mangkuk piring,
cawan dan perabot lainnya menjadi korban, suara menjadi gaduh, meja kursi ikut beterbangan.
Paling celaka dan mengenaskan adalah Thio Kim-keng yang menggeletak di lantai, orang lain
dapat menyingkir, dia justru tidak fnampu bergerak, rasa sakit benar-benar membuatnya lunglai,
bernapas pun terasa sesak dadanya.
Orang yang berbaku hantam belum tentu kena pukul-an, laki-laki gembrot yang menggeletak di
lantai ini justru menderita lebih banyak dari dua jago yang berlaga, entah meja kursi, cawan
mangkuk dan piring seperti sengaja mampir ketubuhnya.
Ting Si tertawa lebar, Sebun Seng mengerut kening.
Sebagai Piauthau kenamaan, dia menyesali kelakuan re-kannya, apalagi kepandaiannya tidak
rendah, tidak pantas Teng Ting-hou berkelahi dengan cara kasar seperti ini.
Hakikatnya baku hantam ini tidak mirip pertandingan jago kosen dunia persilatan, tapi lebih mirip
perkelahian bajingan pasar yang berebut hasil curian, atau bajingan yang duel merejDut cinta
perempuan jalanan.
"Blang," mendadak berkumandang suara gedubrakan disertai bentakan keras, dua bayangan
orang menceiat mundur, seorang menabrak tembok, yang lain bersalto di udara, lalu
melorotturun dengan enteng.
Yang menumbuk dinding adalah Teng Ting-hou.
Begitu melorot tumn dia berdiri lemas menggelendot di dinding dengan napas tersengal-sengal.
Siau Ma seba-iknya berdiri tegak tenang, matanya mendelik kepada lawan.
Be-tu!kah si Kuda Binal mampu mengalahkan Sin-kun-siau-cu-katyang sudah terkenal sejak
lama"Sambil tersengal-sengal mendadak Teng Ting-hou bergelaktawa, "Bagus! Sungguh
menyenangkan. Tiga pu-luh tahun, belum pernah aku berhantam sebagus hari ini, hatiku
sungguh riang dan puas."
Lama Siau Ma menatapnya lekat.
"Bagus, orang tua muda, kau memang hebat," demikian desisnya pelahan.
"Kau mengaku kalah?" tanya Teng Ting-hou.
Siau Ma mengertakgigi, bibimya bergerak, namun begitu dia membuka mulut, darah segar
menyembur keluar.
Tapi dia masih berdiri tegak dan kokoh, bola matanya melotot dan bundar, seolah-olah bertekad,
mati pun tidak mau ambruk.
Teng Ting-hou menghela napas gegetun, "Bocah ini kena dua pukulanku, tulang rusuknya patah
tiga, namun masih kuat berdiri tegak, agaknya aku yang harus tunduk kepadanya."
Siau Ma menarik napas sambil menyeka darah di ujung mulutnya, tiga kali dia menarik napas
dalam-dalam untuk menghentikan gejolak darah di rongga dadanya, "Tak perlu kau bermukamuka
di hadapan umum, aku memang bukan tandinganmu."
"Bagus," puji Teng Ting-hou.
"Bukan tandingan lawan bukanlah kejadian yang memalukan, berani mengaku kalah justcu sikap
yang terpuji."
"Tapi akan datang suatu hari aku akan memukulmu roboh dan merangkak di tanah," Siau Ma
mengucapkan sumpahnya sambil mengacungkan tinju.
"Baik, akan kutunggu," ujar Teng Ting-hou.
"Sekarang apa kehendakmu?""Kuminta kalian berangkat bersamaku."
"Boleh, kemana" Hayo berangkat."
Mau pergi lantas berangkat, umpama kepala dipenggal juga Siau Ma tidak mengerut alis, apalagi
hanya pergi?"Apa kalian tidak ingin tahu, kemana aku akan mem-bawa kalian?" tanya Teng Tinghou.
Ting Si tertawa, "Kami sudah berjanji untuk kalian, kemana saja, terjun ke lautan api juga tidak
menjadi soal, buat apa bertanya lagi?"
Bersambung ke 2
Tempat itu adalah penginapan, hotel yang tidak begitu besar, ternyata dikepung rapat oleh
kawanan Piausu dengan panah siapterbidik. Sebuah kereta besarwama hitam berhenti di luar
pintu, sais kereta sudah slap mengayun cambuk bila sang majikan naik kereta. Agaknya pihak
Ngo-coan-ki yakin Ting Si dan Siau Ma takkan melarikan diri di tengah jalan.
SikapTing Si dan Siau Ma tidak mencurigakan, dengan langkah mantap mereka beranjak keluar
langsung naik kereta, seolah-olah diundang Teng Ting-hou yang akan mengajaknya ke pesta.
Sebun Seng bermuka masam, Teng Ting-hou me-ngawasi gerak-gerik Ting Si, setelah mereka
naik kereta dan duduk, kereta segera bergerak, Teng Ting-hou menghela napas lagi, "Bagus
patut dipuji."
"Maksudmu aku patut dipuji?" tanya Ting Si.
Teng Ting-hou mengangguk, "Sebetulnya tidak pernah terpikir olehku, ternyata kau punya
kemampuan luar biasa."
Ting Si tertawa, "Tidak, aku tidak punya kemampuan apa-apa."
"Tapi kau berani menghadapi kenyataan, berani me-ngaku kalah."
"Aku mengaku kalah, aku sadartelah meiakukan kesalahan fatal, tiap kesalahan patut dihukum."
"O, kesalahan apa?"
"Seharusnya aku menduga, kau akan menghubungi Thio Kim-keng."
"Mengapa aku harus menghubunginya?"
"Karena kau tahu aku butuh uang, aku harus menjual mustika itu, orang yang mampu membayar
kontan hanya Thio Kim-keng."
Siau Ma tertawa dingin, "Kura-kura she Thio itu memang anak haram yang sudi menjual ibu
kandungnya sendiri demi mengejar keuntungan lima tail perak."
Teng Ting-hou sependapat, "Ya, betul, dia memang anak haram."
"Dan kau?" Siau Ma melotot.
Teng Ting-hou tertawa, "Yang pasti aku berani beradu tinjudenganmu."
Ternyata Siau Ma sependapat, "Ya, dalam hal ini kau memang lebih tangguh dibanding anak
haram itu."
"Dalam pandanganmu, orang-orang yang mengawa! barang adalah anak haram?"
"Terutama kalian berlima."
"Kalau begitu kau akan bertemu dengan saiah seo-rang diantaranya."
"Siapa?"
"Hok-sing-ko-cau (si rezeki nomplok) Kui Tang-kin."
Usia Kui Tang-kin beium begitu tua seperti yang di-bayangkan orang, baru berusia tiga puluh
lima atau tiga puluh enam. Sekali pandang, orang akan memperhatikan mulutnya. Padahal
mulutnya tidak istimewa, namun rona wajahnya sering berubah mengikuti gerak mulutnya.
Dia pandai melakukan bermacam-macam mimik yang lucu, jenaka, seram, marah, tawa, tangis,
pendeknya dia pandai menunjukkan perubahan wajah yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
Tampang beberapa mimik itu belum tentu enak dipandang, namunjuga tidak menyebalkan,
berani tanggung, selama hidup takkan pernah melihat, terutama mulut laki-laki yang bisa
menampilkan berbagai perubahan yang berbeda danmenarik.
Inilah faktor pertama dari keganjilan yang dimiliki Kui Tang-kin.
Bentuk wajahnya persegi, jenggotnya lebat lagi kasar, namun selalu dicukur kelimis. Kaum
persilatan yang suka memelihara jenggot ratusan kali lebih banyak dibanding mereka yang suka
mencukur jenggot, oleh karena itu, faktor ini boleh dianggap sebagai keganjilannya yang kedua.
Demikian pula bentuk tubuhnya, kelihatan persegi se-perti patung, kaki dan tangan sekujur
badan kecuali perut, tiada bentuk tubuhnya yang bundar. Inilah faktor ketiga dari keganjilan Kui
Tang-kin. Kui Tang-kin adalah simbol pahlawan kalangan Piau-kiok di Tionggoan, cukong besaryang
mengusahakan pertenunan besardi wilayah dua sungai besar, kekayaannya tak habis untuk
makan tujuh turunan, dari kelima serikat kerja yang tergabung dalam Ngo-coan-ki, dia paling
kaya, tapi bentuk tubuh, tampang dan tindak tanduknya tidak mirip cukong. Orang yang tidak
kenal akan menganggap dia sebagai pekerja tampang yang kasar, pekerja kasar biasanya tidak
perlu menggunakan otak.
Padahal otaknya tidak bodoh, kecerdikannya tidak kalah dibanding orang pandai manapun, kalau
orang lain bisa melakukan, dia yakin dapat menyelesaikan dengan baik, janji sudah disetujui,
tidak pernah dipungkiri.
Bila menghadapi persoalan pelik yang tak berkenan di hati, dia akan menyatakan 'tidak setuju'
lebih cepat dari orang lain. Nadanya pun tegas dan mantap, orang lain tidak diberi peluang untuk
berpikir. Umpama saudara atau anak kandung sendiri memohon sesuatu kepadanya, bila tidak
senang, tidak pernah dia memberi pengecualian.
Kui Tang-kin memang mempunyai beberapa segi keganjilan, tapi siapa pun yang berhadapan
dengan dia akan beranggapan bahwa dia seorang bijaksana, seorang jujur, setia kawan.
Bukankah watak laki-laki seperti itu merupakan simbol utama kaum persilatan" Maka seperti juga
mereka yang sukses dalam bidang pekerjaannya, ia pun memiliki ciri kelemahan yang umumnya
dimiliki laki-laki lain, yaitu perempuan.
Di tempat itu tidak ada perempuan, luar dalam Cin-wi Piaukiok tidak ada perempuan. Hal ini
menjadi pedoman hidup dan dasar kerja Kui Tang-kin. Memang perempuan adaiah ciri
kelemahannya, perempuan adalah kegemarannya, bukan pekerjaannya.
Laki-laki kalau tekun bekerja, pantang berdekatan dengan perempuan, inipun salah satu dasar
kerja Kui Tang-kin.
Sejak bertatap muka dengan orang ini, Ting Si men-dapat firasat bahwa laki-laki ini jauh lebih
sukar dihadapi dibanding orang-orang yang pernah dihadapinya.
Mungkin demikian pula perasaan Kui Tang-kin waktu berhadapan dengan pemuda ini, sejak
berhadapan, pan-dangannya penuh selidik.
"Selamat bertemu," Ting Si menyapa lebih dulu.
Kui Tang-kin tertawa, "Kaukah Ting Si yang selalu menyenangkan orang lain?"
"Ya, aku adalah Ting Si."
"Kelihatannya kau memang menarikdan menyenangkan."
Siau Ma mendadak menimbrung, "Kau ini Kui Tang-kin?"
"Ya, aku she Kui," sahut Kui Tang-kin.
"Lho, kau ini kan Lo-ok-ji (bulus tua), mengapa mau menjadi anjing?"
Siau Ma bersikap kurang ajar, tapi Kui Tang-kin tidak marah, "Pertanyaan bagus, patut diberi
persen." Teng Ting-hou tertawa, "Persen apa yang kau berikan?"
"Arak," sahut Kui Tang-kin tegas.
Arak yang bagus, arak keras. Arak bagus biasanya amat keras, Kui Tang-kin adalah pecandu
arak, ukuran Sebun Seng juga besar, kekuatan minum Teng Ting-hou juga tidak asor dibanding
mereka. Tiga cukong perusahaan pengawalan menjamu Ting Si dan Siau Ma minum sepuasnya, padahai


Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ting Si dan Siau Ma pemah membegal barang kawaian Ngo-coan-ki, tapi sikap mereka sekarang
tak ubahnya seperti menjamu teman yang lama tidak bertemu.
Setelah menghabiskan enam cawan arak, mendadak Ting Si meletakkan cawan. "Kalian tentu
sudah menduga," demikian katanya. "Kasus perampasan barang kawalan kalian yang terdahulu
adalah perbuatan kami?"
Teng Ting-hou tertawa, "Setelah kami tahu kau adalah Ting Si yang selalu menyenangkan orang
iain, maka kau pun dipanggil Ting Si si pintar."
Ting Si menjadi rikuh, "Kalian tentu tahu bahwa tindakan kami sengaja ditujukan kepada Ngocoanki?" "Ehm," Teng Ting-hou bersuara dalam mulut sambil memanggut.
Ting Si mengawasi mereka satu persatu, "Apa kalian waras?"
"Tentu, segar bugar," ucap Teng Ting-hou.
"Tidak gila?" tanya Ting Si terbeliak.
"Ah, tidak."
"Kalian waras, tidak gila, dua kali kami merampok barang kawalan kalian, mengapa kalian malah
menjamu kami?"
Kui Tang-kin menatapnya tajam, "Pernahkah kau ditipu orang?"
"Siapa saja pasti pernah ditipu orang, aku kan juga manusia."
"Kapan kau ditipu orang?"
"Kalau tidak salah, waktu aku berusia dua belas."
"Tahun ini berapa usiamu?"
"Duapuluh dua."
"Selama sepuluh tahun ini, pernah kau tertipu lagi?"
"Kurasa tidak pemah."
Kui Tang-kin menatapnya pula, namun mulutnya ter-kancing.
Ting Si balas menatapnya sambil tersenyum, "Sekali ditipu orang kurasa sudah lebih dari cukup."
Mendadak Kui Tang-kin bergelaktawa, "Kalau demi-kian tidak perlu kami beriktiar menipumu."
"Ya, lebih baik terusterang saja."
"Kebetulan, aku memang ingin blak-blakan,"
"Setuju."
"Baiklah, biar kujeiaskan kepadamu, kami mengajak-mu minum, karena kami ingin mencekokimu
sampai mabuk."
"Lho, mengapa?"
"Karena kami ingin mengorek keteranganmu."
"Soal apa?"
"Tentang barang gelap yang kami kawal, padahai segala sesuatunya kami rahasiakan,
umpamanya hari dan waktu berangkat, jalur perjalanan, dimana barang dimuat dan akan dikirim
kemana, para Piausu pengiring pun tidak ada yang tahu."
"O, tentang itu, ya aku mengerti."
"Rahasia ini yakin tidak diketabui orang lain kecuali kami beriima, tapi kenyataannya rahasia ini
bocor, kami ingin tahu darimana kau tahu rahasia ini,"
Ting Si tersenyum.
"Siapa yang membocorkan rahasia itu?" desak Kui Tang-kin.
"Kalian memaksa aku menjeiaskan soal ini?" "Ya, hanya soai itu saja."
"Kalian mengira setelah aku mabuk, aku akan memberi keterangan?"
"Orang mabuk bicara jujur, umumnya orang mabuk lebih gampang diajak bicara."
"Tapi dalam kasus ini, terhadapku kalian menggunakan cara yang salah."
"O?" Kui Tang-kin melenggong.
"Hanya satu hal bisa kuiakukan setelah aku mabuk."
"Apa yang kau lakukan?" desak Kui Tang-kin.
"Tidur," sahut Ting Si menyengir.
Kui Tang-kin tertawa geli, "Cirimu hampir sama de-nganku."
"Ada satu hal yang tidak sarna."
"Apa?"
"Kau tidur memeluk perempuan, sebaliknya memeluk guling pun aku tidak pernah, setiap
menclum bantal di ranjang aku lantas mendengkur seperti babi, suara tambur dan gembreng juga
takkan bisa mernbangunkan aku."
"Karena setelah kau mabuk, bukan saja tidak mengo-ceh atau mengigau, apalagi bicara,
mernbual pun tidak."
"Betul, memang demikian."
"Tapi kami punya akal untuk memaksamu bicara?"
"Akal apa?"
"Caranya sudah kami gunakan."
"Lho,kapan?"
"Masa kau tidak tahu?" . "Kalau orang bicara jujur, blak-blakan denganku, aku pun bicara setulus
hati," Ting Si tersenyum sambil men-puk pundak Kui Tang-kin..
"Tadi kau sudah berterus-terang, kurasa kau sudah mengerti, kalau kau ingin orang jujur
kepadamu, maka kau hams jujur pula kepadanya. Dulu aku tidak mengerti, mengapa nasibmu
selalu baik, rezeki selalu nomplok kepadamu, baru sekarang aku paham, mengapa nasib baik itu
selalu datang kepadamu."
Rezeki memang tidak pernah jatuh dari iangit.
Kui Tang-kin tertawa iebar, "Aku orang kasar, aku tidak mengerti omonganmu yang puitis, tapi
syukurlah aku sudah paham satu hal."
"Kau tahu bahwa aku siap bicara blak-blakan?"
Kui Tang-kin memanggut, "Aku siap mendengarkan."
"Yang membocorkan rahasia ini kepadaku adalah...... orang mati."
Ruang besardalam Cin-wiPiaukiok mendadakmenjadi hening ielap tanpa suara sedikitpun. Kui
Tang-kin, Teng Ting-hou dan Sebun Seng bermuka masam. Mata mereka melotot mengawasi
Ting Si. Ting Si bersikap wajar, tenang, senyumannya me-mang menarik sirnpati orang, Mendadak ia
merasakan, bila Kui Tang-kin tidak tertawa, apalagi kalau sedang marah, tampangnya ternyata
amat menakutkan, amat jelek, seolah-olah berubah menjadi orang lain.
"Kalian minta aku bicara jujur, aku sudah bicara sejujurnya."
Kui Tang-kin menyeringai dingin.
"Semula orang itu belum mati, tapi sekarang sudah menjadi mayat."
"Siapa pembunuhnya?" tanya Teng Ting-hou.
"Aku," sahut Ting Si.
"Dia membocorkan rahasia kami kepadamu, mengapa kau membunuhnya malah?"
"Ya, karena terpaksa."
"Terpaksa bagaimana?" desak Teng Ting-hou.
"Itulah syaratnya untuk aku menerirna rahasia itu."
"Syarat apa yang kau maksud?"
"Begini ceritanya, tiga bulan yang lalu seorang me-ngirim surat kepadaku, dia biiang akan
membocorkan rahasia Ngo-coan-ki kepadaku, syaratnya ialah setelah aku berhasil merampas
barang kalian, aku harus membagi tiga puluh persen dari hasilku kepadanya, kalau aku
menerirna syaratnya, pembawa surat itu harus kubunuh supaya persekongkolan kami tidak
bocor." "Kau terima syaratnya itu?"
Ting Si mengangguk, "Tidak lama kemudian, daiang orang kedua, dia juga mengantar surat
untukku." Teng Ting-hou menyeletuk, "Surat itu membocorkan rahasia barang kawalan kami dari Kay-hong
ke kotaraja?"
"Betul."
"Lalu kau membuat rencana dan berhasil merampok barang kawalan itu?"
"Ya, terpaksa kubunuh juga pembawa surat itu."
"Apakah kau benar-benar membagi tiga puluh persen hasil rampokanmu kepada pemberi rahasia
itu?" "Semula aku keberatan, tidak rela, namun untuk kerja selanjutnya, terpaksa aku menuruti
kemauannya."
"Dengan cara bagaimana kau berikan bagiannya?"
"Setelah kami berhasil, dia menyuruh orang mengirim surat ketiga, dalam surat itu dia memberi
petunjuk dimana aku harus mengantar bagiannya, dia memberi peringatan kepadaku supaya
segera menyingkirdan dilarang-mengin-tip, bila ketahuan aku berbuat curang, selanjutnya dia
tidak akan memberi rencana kerja kepadaku."
"Terpaksa kau t.unduk pada petunjuknya?"
"Ya, terpaksa."
"Sampai detik ini kau tidak tahu siapa dia?"
"Ya, dia laki-Saki atau perempuan, tua atau muda juga tidak tahu."
"Hingga sekarang, bukankah sudah mengirim enam pucuksurat kepadamu?"tanya Kui Tang-kin.
Ting Si mengangguk sambil tertawa, "Agaknya kau pandai menghitung."
"Jadi enam orang pembawa surat itu kau bunuh supaya persekongkolan kalian tidak diketahui
orang?" "Walau bukan aku sendiri yang membunuh mereka, tapi mereka mati lantaran aku."
Kui Tang-kin menoieh ke arah Siau Ma.
Siau Ma menyeringai dingin, "Tak usah kau meiirikku, tak sudi aku membunuh orang-orang
seperti mereka."
Jelilatan mata Teng Ting-hou, "Naga-naganya penulis surat itu amat jelas tentang langkah kerja
dan seluk-beluk kita, kalau tidak salah, gerak-gerik kami berlima juga selalu dalam
pengawasannya."
Ting Si berkata, "Biasanya kami berdua bergelan-dangan tiada tempat tinggal tetap, tapi dimana
pun kami berada, surat itu sampai ke alamatnya."
Teng Ting-hou mengerut kening, sukar menebak siapa tokoh misterius di balik kasus ini"
Sudah tentu Kui Tang-kin dan Sebun Seng juga sukar menebaknya..
Dengan tertawa Ting Si berkata, "Sekian keterangan-ku, banyak arak telah kuhabiskan,
sebetulnya tidak perlu boros......"
"Masih ada satu hal yang kami belum paham,"Teng Ting-hou menukas.
"O,soal apa?"
"Dimana kau kuburkeenam orang itu?"
Ting Si bungkam.
"Dimana pula keenam pucuk surat itu?"
"Suratnya ada di liang kubur bersama mayat-mayat itu."
"Dimana?"
"Kau ingin melrhat mayat-mayat itu?"
Teng Ting-hou tertawa, "Setiap insan persilatan kawakan tentu tahu, orang mati kadang kaia bisa
memberi petunjuk yang tidak mungkin diberikan oieh orang hidup. Dari mayat-mayat itu mungkin
kami bisa menyingkap tabir rahasia ini."
"Kau minta aku menunjukkan tempat itu?"
Bercahaya mata Teng Ting-hou, "Apa kau tidak mau menunjukkan kuburan itu?"
"Siapa bilang aku tidak mau, hanya saja......"
"Hanya bagaimana?"
"Umpama aku mau membawa kalian ke sana, aku justru. kuatir kalian tidak berani ke sana."
Teng Ting-hou tertawa iebar, "Apakah tempat itu sarang nagagua harimau?"
"Bukan sarang naga, tapi betul adaiah gua harimau."
"Maksudmu di tempat itu ada harimau?"
"Bukan saja ada harimau, malah semua harimau lapar."
Teng Ting-hou tertawa lepas, "Ngo-hou-kang mak-sudmu?"
"Betul, kuburan itu di Ngo-hou-kang (Bukit harimau lapar)."
Keadaan rumah itu menjadi sunyi, banyak orang tahu, Ngo-hou-kang adaiah daerah yang
berbahaya, bukit harimau yang menakutkan.
Konon jago-jago kosen dari aliran hitam yang ditakuti kaum persilatan dari utara maupun selatan
dan dua sungai "besar, hampirseluruhnya bermukim di bukit harimau lapar itu. Kabarnya mereka
sudah membentuk serikat gabungan untuk menghadapi Ngo-coan-ki yang berbunga merah itu.
Bila pihak Ngo-coan-ki ada yang meluruk ke sana, berarti babi gemuk masukjagal atau iaron
menubruk api lilin.
Rona muka Sebun Seng jarang menunjukkan perasaan hatinya, namun bote matanya memicing,
ujung matanya kedutan. Sementara Kui Tang-kin berjingkrak berdiri, sambi! menggendong
tangan dia mondar-mandir mengeli-lingi meja. Teng Ting-hou mengangkat cawan menenggak
arak, ternyata cawannya sudah kosong.
Mengawasi ketiga orang ini, Ting Si berkata, "Bila kalian berani ke sana, kapan saja aku siap
menunjukkan ja-lan."
Mendadak Kui Tang-kin tertawa, "Bukan kami tidak berani ke sana, tapi tidak perlu ke sana."
"Tidak perlu?" Ting Si menegas.
"Terhadap orang mati aku tidak punya selera, peduli dia laki atau perempuan, kalau sudah mati
buat apa kami melihatnya?"
"O," Sebun Seng bersuara pendek.
Kui Tang-kin menghampiri serta menepuk pundak re-kannya, "Kau tidak perlu ke sana, tidak
boieh ke sana."
"Mengapa?" tanya Sebun Seng.
"Karena ada tugas besar yang hams Rita kerjakan, tugas ini cukup penting artinya untuk
kelanjutan usaha gabungan kita, besokjuga harusdikerjakan,"dengan kalem Kui Tang-kin
menepuk pundak Sebun Seng. "Perusahaan pengawalanku ini hanya bergantung pada
tenagamu saja, kalau kau pergi, bagaimana aku harus bekerja?"
Mendadak Teng Ting-hou berjingkrak bangun, "Aku bisa pergi, biar aku saja yang ke sana."
* * * * * Bila kaum persilatan menggiring tawanan, umumnya tidak memakai borgol atau rantai, di kaki
mau pun tangan.
Kaum persilatan memiliki aiat yang lebih efektif, yaitu totokan jalan darah yang melumpuhkan.
Menotok jalan darah ada yang berat dan ringan, demikian pu!a Ietak dan posisi jalan darah mana
yang menjadi sasaran, kalau totokan berat dapat membahayakan jiwa, yang ringan hanya
membatasi gerak-geriknya saja. Tapi peduli berat atau ringan, bi!a seorang tertotok Hiat-tonya
(jalan darah), jelas rasanya cukup menderita.
Siau Ma biasa hidup bebas, saat itu ia merasa menderita karena gerak-geriknya dibatasi. Siau
Ma suka cere-wet dan suka memaki, tapi mulutnya tidak mampu bersu-ara, ingin memukul atau
menendang, tapi kaki tangan se-perti dibelenggu, dapat bergerak lamban tapi tidak mampu
mengerahkantenaga. Betapajengkelnya, dada seperti hampir meledak.
Teng Ting-hou mengawasinya dengan tersenyum, "Apa kau tidak pernah ditotok Hiat-tomu?"
Siau Ma mengertak gigi, ingin rasanya dia memukul hancurkepala orang ini, pikimya, "Kura-kura
initahu aku tidak bisa bicara, dia justru menggodaku."
Teng Ting-hou menggoda pula, "Kurasa mernang demikian, kelihatannya kau menderita, berang
lagi, tapi kalau sudah biasa, perasaanmu akan tonggar dan lebih segar."
Ingin rasanya Siau Ma menggigit hidung orang biarputus. Terhadap sesuatu yang baik atau
buruk, mernang tiada jeleknya kita membiasakan diri, namun apa yang diaiami Siau Ma
sekarang, sekali juga sudah terlalu banyak.
"Sebun Seng yang menotok Hiat-to kalian, ilmu me-notok Hiat-ho yang diyakinkan berbeda
dengan ilmu totok perguruan lain, orang lain jangan harap dapat membebaskan totokannya,"
Teng Ting-hou mengoceh dengan tertawa. "Untung aku bukan orang lain, kebetulan aku ini murid
Siau-lim-pay."
Murid Siau-lim diajari agama yang mengutamakan bijaksana, weias asih dan arif terhadap
sesama, menghadapi segaia persoalan harus berpedoman menolong sesama dari penderitaan
hidup. Ilmu totok Siau-lim memang tidak lihai, namun murid Siau-lim banyak yang menguasai
ilmu totok perguruan atau aiiran lain."
Maklum Siau-lim-pay adalah puncak persilatan di seluruh jagad.
Teng Ting-hou tertawa, katanya menyengir, "Mungkin kalian tidak percaya bahwa aku bisa
membebaskan totokan Hiat-to kalian, soalnya aku bukan tandingan bila kalian keroyok, kalau
kalian dapat bergerak bebas, salah-salah jiwaku melayang."
Siau Ma tidak percaya, seribu kali atau selaksa kali tak percaya. Tapi di saat ia ingin menggigit
hidung orang, Teng Ting-hou membebaskan Hiat-tonya yang tertotok.
Ting Si tetap diam, tidak bergerak, berdiri tegak mengawasinya. Siau Ma juga tidak bergerak,
orang baru saja membebaskan Hiat-tonya, rasanya rikuh melayangkan tinju ke muka orang. "Apa
yang ingin kau lakukan?" tak tahan dia bertanya.
Tawar suara Teng Ting-hou, "Tidak ingin apa-apa. Seorang diri aku menjadi kesepian, aku ingin
berbicara dengan kalian.
Siau Ma melotot, "Kau tidak takut kami membetot tu langmu"
"Apa kau tega berbuat demikian?"
Siau Ma bungkam.
"Sebagai begal besar kalian tentu pernah membunuh orang, merampas barang milik orang lain.
Tapi aku tahu kalian tidak pernah menjilat ludah sendiri, ingkar janji, tidak kenal budi pantang
kalian lakukan," dengan tersenyum mengawasi Ting Si, lalu menambahkan, "Aku yakin, kau
berjanji aka mengantarku mencari mayat dan surat itu, kau pasti menepa janji."
Siau Ma menatapnya, mendadak dia menghela napas gegetun, gumamnya, "Kelihatannya tua
bangka cilik ini memang pandai bermuka-muka."
Ting Si menimbrung. "Kukira tidak hanya bermuka-muka saja."
Teng Ting-hou tertawa lebar.
Mereka berada di daiam kereta kuda yang disiapkan Kui Tang-kin. Dalam hal makarrdan
berpakaian, Kui Tang-kin tidak ter!a!u royal, kecuali perempuan, yang dia perhatikan hanyalah
kereta kudanya ini, kereta kuda yang dipakai pasti paiing empuk, paling mewab dan nikrriat,
perabot dalam kabin kereta serba mewah dan iengkap.
Sambii bergelaktawaTeng Ting-hou menekan sebuah tombol, terbukalah sebuah pintu rahasia di
sisi tempat duciuk, dari balik pintu rahasia ia mengeluarkan seguci arak. Arak yang
disembunyikan dalam kereta mewah ini, sudah tentu arak yang paiing bagus.
Teng Ting-hou menjentik segel guci yang terbuat dari tanah Nat, begitu sumbat terbuka, bau
harum merangsang hidung.
Siau Ma bertepuk tangan, "He, ini arak Toa-bian dari Lok-ciu." Biasanya si Kuda Blna! tidak
pernah mengguna-kan mata dan kuping, tapi daya cium hidungnya ternyata amat peka dan
manjur, terutama bau arak.
Teng Ting-hou mengacungkan jempol, "Betul, perjalanan jauh dan sunyi, arakdapat
menghllangkan resah, hayo kita minum duacawan."
"Baik," Siau Ma menyambut gembira.
"Tidak baik," ucap Ting Si.
"Mengapa tidak baik?" tanya Teng Ting-hou.


Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Biasanya kalau aku minum arak, orangnya hams, betul, araknya betul, tempatnya juga betul."
"Di daerah pedalaman seperti ini, mana ada tempat untuk memenuhi seleramu?"
"Ada. Di Sin-hoa-jun," sahut Ting Si.
Sin-hoa-jun terletak di kaki gunung di kejauhan sana, tepatnya di depan hutan karma yang
sedang berbuah, di sisi sungai kecii yang jauh terpencil dari rumah penduduk. Di sana tiada
bunga mekar, sekuntum kembang liar pun tiada, namun warung arak itu memang bernama Sinhoajun (kembang mekar di musim semi).
Sin-hoa-jun adalah warung arak kecil, bagian luar di-pagari bambu kuning, dengan pekarangan
tidak luas, bagian dalam terdapat sebuah pintu kecil dengan ruang yang sedang saja, tungku
menyala arak pun selalu panas, yang menghadapi pembeli adalah perempuan bermata kecil
sipit, hidung cilik dengan mulut mungil. Usia perempuan ini tidak muda lagi, dari keriput di
wajahnya, orang dapat menaksir usianya sudah enam puluh lebih.
Dimana saja dapat dilihat perempuan yang berusia enam puluhan. Tapi berbeda dengan
perempuan enam puluhan yang lumpuh, perempuan yang satu ini masih mengenakan pakaian
warna merah dengan hiasan kembang warna ungu, pupur di wajahnya amat tebal, pakai gincu
segala", demikian pula kuku jarinya diwamai, yakin jarang terlihat perempuan setua ini masih
bersolek tak mau kalah dengan gadis remaja masa kini.
Waktu Ting Si melangkah masuk ke pekarangan, perempuan tua ini lantas menyongsong keluar
dengan langkah lembut, seperti kucing aleman menyongsong kedatangan sang majikan, dia
menubrukdan memeluk Ting Si.
Teng Ting-hou berdiri melongo, Ting Si memperkenalkan, "Inilah juragan warung arak ini,
bernama Ang-sin-hoa." Terpaksa Teng Ting-hou tertawa meringis sambil mengangguk.
Mendadak dia tertawa geli, Ting Si yang serba pintar ini, dalam memilih perempuan ternyata
tidak sepintar memilih arak.
Ting Si berkata, "Pernah kau mendengar nama Ang-sin-hoa?" "
"Tidak pernah," sahut Teng Ting-hou. Bukan dia tak pandai berbohong, bukan tidak pernah
berbohong di depan perempuan, dia tidak mau berbohong karena dia menganggap perempuan
ini sudah terlalu tua.
Ting Si tertawa, katanya, "Kau tidak pernah mendengar namanya, mungkin karena dua sebab."
"Dua sebab apa?"
"Jika bukan karena kau terlalujujur, mungkin karena kau terlalu muda.";
"Aku......aku tidak pernah jujur," padahal dia bicarajujur.
Di hadapan perempuan yang satu ini, mendadak dia merasa dirihya seperti masih muda, amat
muda. Selama dua puiuhan tahun ini, baru pertama kali ini dia punya perasaan ganjil ini.
"Kalau kau dilahirkan beberapa tahun iebih dins, kau akan tahu delapan ratus li sekitar Po-ting,
siapakah perempuan yang paling tenar dan dipuja."
Teng Ting-hou hanya menyengir getir. Betapapun dia tidak percaya bahwa nenek di depannya
ini, dahulu adalah perempuan yang rnembikin geger dunia. Perempuan yang dulu kenamaan ini
sedang melirik genit kepadanya, tingkah lakunya masih genit seperti gadis hiburan yang jalang.
Tak tahan, Teng Ting-hou bertanya, "Nona Ang-sin-hoa ini adalah teman lamamu?"
"Belum terhitung teman lama," sahut Ting Si.
"Mungkin kenalan baikmu?"
"Apalagi kenalan baik juga bukan."
"Lalu siapa dia sebenamya?"
"Dia adalah nenekku." .
Teng Ting-hou tertegun.
Kalau Teng Ting-hou sedang duduk di punggung kuda mungkin terjungkal jatuh, kalau dia
sedang minum arak mungkin menyemburdari mulutnya.Tapi keadaannya seperti orang yang
jungkir balik delapan belas kali, perutnya mulas karena minum delapan guci arak.
Ang-sin-hoa memeluk perut, saking geli dia terpingkal-pingkal sambil menungging. Di tengah
tawanya yang bingar dia menuding Teng Ting-hou, katanya, "Siapakah dia?"
"Dia berjuluk Sin-kun-siau-cu-kat," sahut Ting Si.
"O, seorang di antara Ngo-coan-kay-hoa itu?"
"Ya, "sahut Ting si mengangguk.
Mendadak Ang-sin-hoa berhenti tertawa, lalu menarik muka, mendadaktelapaktangan
terbalik"plak"diagampar muka Ting Si, gamparannya cukup keras dan berat.
Ting Si masih juga tertawa.
Kembali Ang-sin-hoa menggamparmukanya yang lain, serunya keras, "Sejak kapan kau anggap
orang macam ini sebagaitemanmu?"
"selamanya belum pernah."
"Jadi dia bukan temanmu?"
"Aku memang bukan temannya."
"Lalu pernah apa kau dengannya?"
"Akutawanannya."
Ang-sin-hoa mengawasinya dari atas ke bawah, dari kaki mengawasi ke kepala, katanya
kemudian, "He, sejak kapan kau menjadi tawanan orang?"
Ting Si menghela napas, katanya dengan tertawa ge-tir, "Manusia pernah lena, kuda juga pernah
terpeleset."
"Hm," Ang-sin-hoa mendengus, mendadak tinjunya menggenjot perut, makinya gusar, "Kau kurakura
kecil ini memang tidak berguna."
Ting Si hanya meringis saja.
"Kau sudah menjadi tawanannya, untuk apa kau ke-mari?"
"Mau minum arak."
"Enyah dari sini."
"Aku mengundangtamusupayaarakmu laris, umparna benar kau adalah nenekku, tak pantas kau
mengusirku."
"Justru karena kau adalah cucuku, maka ku usir kau."
"Mengapa?" tanya Ting-Si.
Ang-si-hoa meiirik sejenak ke daiam, serunya, "Kusuruh enyah, lebih baik lekas kau pergi dari
sini." Berputar bola mata Ting Si, katanya, "Apakah di daiam ada seorang yang tak boleh kuhadapi?"
"Bukan orang," ujarAng-sin-hoa.
"Bukan orang" Memangnya binatang?"
"Seorang pun tiada di daiam."
"Lalu ada apa di daiam?"
"Sebatang tombak."
"Tombak" Sebatang tombak apa?"
"Pa-ong-jio (raja tombak raksasa)."
Pa-ong, kekuatannya dapat menjungkir sungai mem-balik gunung. Jio atau tombak adalah nenek
moyang ber-bagai jenissenjatasejakzamandahulu. Tombak mempunyai berbagaijenisdan ragam, adaAng-ing-jio, kau-coan-jio, ada tombak panjang,
tombak pendek, sepasang tombak, ada juga tombak berantai. Tapi tombak yang satu ini adalah
rajanya tombak.
Panjang Pa-ong-jio ada satu tombak tiga kaki tujuh dim, beratnya tujuh puluh tiga Rati setengah.
Ujung Pa-ong-jio terbuat dari baja murni, demikian pula gagang tombak juga terbikin dari baja.
Kal.au ujung tombak raksasa ini menusuk badan manusia, jiwanya pasti melayang, umpama
gagang tombak memukul orang, lawan juga pasti terluka muntah darah.
Kaum persilatan yang biasa mengembara di kalang-an Kangouw, jarangmelihat sendiri Pa-ongjio
ini. Tapi setiap insan persilatan tahu, ada tujuh jenis senjata yang paling menakutkan dan
ganas di dunia ini, satu di antaranya adalah Pa-ong-jio. Satu-satunya Pa-ong-jio tia-da keduanya
di dunia ini. Sekarang Pa-ong-jio tergeletak di atas meja di depan Ting Si.
Sin-hoa-jun adalah warung arak kecil, memberi peia-yanan dengan semboyan kalau belum
mabuk tidak akan pulang, tempatnya temyata tidak kecil. Tiga meja di dekat dinding sana sudah
dijajar rangkap memanjang, di atasnya dilapisi taplak beludru merah dengan bantal bundar
bersulam, di sekeliling meja ditaburi bunga.
Tombak besar panjang setombak tiga kaki tujuh dim itu menggeletakseperti pajangan di atas
meja, seperti patung berhala yang dipuja orang layaknya.
Ujung tombak tampak berkilat, runcing dan tajam, na-mun bentuk lekuk pinggirnya begitu halus
dan lembut, gagang tombak yang seialu bersih kelihatan mengkilap ber-cahaya, menimbulkan
perasaan takjub dan segan tetapi hormat seperti bidadari cantikyang bangga dan sombong,
bermalas-malasan di sana siap dipuja dan disembah oleh manusia.
Ting Si maju menghampiri, dirabanya taplak meja beludru dengan bantalan yang empuk,
diciumnya kembang yang bertaburan, lalu menghela napas pelahan, gumam-nya, "Tombak ini
seperti hidup lebih nikmat dibanding ma-nusia umumnya."
Ang-sin-hoa meiotot kepadanya, katanya dingin, "Ke-nyataan tombak ini lebih berguna dibanding
kebanyakan orang."
Ting Si mengangkat kelopak matanya, katanya getir, "Maksudmu tombak ini lebih berguna
ketimbang aku?"
"Huh," Ang-sin-hoa mendengus.
"Dapatkah dia memijat punggungmu, bisa menyuguh secawan teh pagi untukmu?" Ting Si
tertawa. Walau masih merenggut, akhirnya Ang-sin-hoatertawa pula.
Di saat dia tertawa, sepasang bola matanya berkelap-kelip seperti sinar pelita di tengah halimun
pegunungan, mendadak berubah terang dan muda hingga orang sukar membayangkan,
bagaimana bisa terjadi perubahan gaib ini. Dalam waktu sekejap, Teng Ting-hou hampir lupa
bahwa nenek berbaju kembang merah ini adalah perempuan berusia enampuluh.
Ting Si menepuk gagang tombak yang mengkilap itu, katanya, "Betapapun nikmat dan senang
hidupmu, aku tidak akan iri." Dia berputar balik ke meja menuang arak ke cawannya, sekali
tenggak dia habiskan, lalu dengan tersenyum berkata, "Betapapun kau tak bisa berdiri, menuang
arak dan minim sendiri."
MendadakAng-sin-hoa menghela napas, katanya, "Oleh karena itu, dia tidak akan melakukan
perbuatan yang lebih goblok dibanding babi yang paling dungu sekalipun."
"Maksudmu kau telah melakukan perbuatan yang lebih dungu dari babi?"
"Pernah kuperingatkan kepadamu, supaya kau tidak masuk kemari."
"Sekarang aku sudah masuk, tiada peristiwa apapun terjadi di sini."
Kembali Ang-sin-hoa menghela napas, katanya, "Sekarang memang belum terjadi apa-apa,
tetapi kelak kau akan menyesal."
"Mengapa?" tanya Ting Si.
Ang-sin-hoa mengisi cawannya, sekali tenggak ia pun habiskan, cara dan kecepatannya minum
tidak kalah dibandingkan Ting Si. Sekaiigus dia menghabiskan tiga cawan, lalu bertanya,
"Tahukah kau siapa pemilik tombak ini?"
"Aku pernah mendengar."
"Pemilik Pa-ong-jio she Ong, yaitu pemilik To-ong Piaukiok yang bergelar It-jio-king-thian Ong
Ban-bu. Konon tabiat orang ini keras dan kukuh, pedasnya seperti jahe, melebihi lombok, walau
gabungan Piaukioktelah berdiri, lima orang tergabung dalam kongsi itu, namun dia tak mau
bergabung, bilang tidak mau tetap tidak sudi, malah tak segan dia bertengkar dengan teman
iamanya, Pek~li Tiang-ceng."
Mendadak Teng Ting-hou menghela napas, dari samping dia rnenimbrung," Ya, dia menggebrak
meja, mengusir Pek-li Tiang-ceng enyah dari rumahnya."
Ting Si tertawa, katanya, "Betapa buruk watak. Ong-lothau, memang sudah terkenal di seluruh
jagad, namun sikap dan tindakannya dalam persoalan ini memang benar, aku salut."
"Tapi kau keliru," ujar Ang-sin-hoa.
"Aku keliru" Dalam ha! apa aku keliru?" tanya Ting Si.
"Kau salah ucap."
"Memangnya tombak ini bukan milik Ong Ban-bu?"
"Dulu memang miliknya."
"Sekarang bukan?"
Ang-sin-hoa menuang arak lagi, agaknya dia ingin menyumbat mulutnya dengan arak. Seolaholah
dia ingin menyembunyikan suatu rahasia yang pantang diketahui orang lain"
Setiap orang punya hak mempertahankan rahasianyc sendiri, asal rahasia ini tidak merugikan
khalayak ramai, siappun tiada hak memaksa membeberkan rahasia itu.
Sejak Ting Si masih kecil, Ang-sin-hoa selalu berpesat kepadanya tentang dasar kehidupan ini.
Sekarang dia tidal berani bertanya lagi.
Tapi Teng Ting-hou tak tahan, dia bertanya, "Mengapa tombak ini berada di sini?"
Ang-sin-hoa meliriknya sekali, katanya dingin, "Karena pemiliknya akan segera kemari."
"Kemari" Kemari untuk apa?"
"Memangnya untuk apa kau kemari?"
"Aku datang mencari arak."
Ang-sin-hoa menjengek dingin, "Kalau kau boleh mencari arak, memangnya orang lain tidak
boleh?" Teng Ting-hou menatapnya sejenak, mendadak dia tertawa. Entah mengapa mendadak timbul
kesan dalam benaknya bahwa watak nenek ini bukan saja mirip, malah merupakan pasangan
setimpal dengan Ong-lothau itu. Tersimpul dalam benaknya, kalau nenek ini tidak mau
mernbicarakan sesuatu, meski baginda raja memaksanya juga dia akan tetap bungkam. Maka
terpaksa dia duduk di-amdan minum arak.
Setelah mereka duduk, baru mereka sadar, selama ini Siau Ma tidak pernah ikut bicara. Ternyata
Siau Ma sedang sibuk menghirup arak. Seguci arak yang baru dibuka hampir habis dia minum,
kini sorot matanya sudah tampak pudar.
Pelahan Teng Ting-hou berkata, "Bisakah kau mem-bujuknya supaya tidak minum lagi, jangan
minum sampai mabuk?"
"Tidak bisa," sahut Ting Si.
"Kau senang temanmu mabuk?" desakTeng Ting-hou.
"Tidak senang."
"Mengapa tidak kau cegah?"
"Di waktu dia sadar, bila kularang dia minum, dia pa-tuh dan pantang minum, tapi sekarang......"
di.a mengawasi Siau
Ma, lalu tertawa getir, katanya pula, "Raja yang berkuasa pun jangan harap bisa meiarangnya."
Teng Ting-hou menghela napas sambii tertawa meringis. Sungguh dia tidak mengerti, mengapa
berhadapan dengan orang-orang yang berani melanggar larangan raja.
Guci kedua juga sudah habis, isi guci arak sudah ber-pindah ke perut mereka, Ang-sin-hoa
bertolak pinggang, mengawasi dari samping, katanya, "Tombaksudah kalian lihat, arak juga
sudah puas kalian minum, sekarang tiba saatnya kalian pergi."
"Kau mengusirku?" tanya Ting Si.
Dingin nada Ang-sin-hoa, "Memangnya kau ingin menyaksikan Siau Ma mabuk dan bergulingan
di sini?" Sebelum Ting Si membuka suara, Teng Ting-hou sudah berdiri, katanya tertawa, "Kami memang
hams berangkat, kalau minum terlalu banyak, mungkin aku pun akan mabuk dan bergulingan di
tanah." Baru saja dia mengulur tangan menarik Siau Ma, mendadak masuk tujuh delapan belas orang.
Dari dandanan mereka, orang tahu bukan saja mereka biasa hidup dalam dunia persilatan,
pengalaman pun tidak cetek. Begitu masuk pintu, orang-orang itu bertanya, "Duel sudah dimulai
belum?" Terbeliak mata Ang-sin-hoa, tanyanya gusar, "Duel apa?"
Seorang iaki-laki gede bergolok tebal berkata, "Kim-jio-gin-so Ji-samya, hari ini akan berduel
melawan Pa-ong~jio di sini, memangnya kau tidak tahu?"
Ang-sin-hoa melotot gusar kepada pembicara ini, sebelum dia bicara, orang lain sudah berteriak,
"He, tombak ini pasti Pa-ong-jioitu."
"Kalau tombaknya masih di sini, pasti kita belum ter-lambat."
"Kabarnya arak warung ini cukup baik, hayolah kita minum beberapa cawan, menghabiskan
waktu sambii me-nonton keramaian."
"Apapun yang terjadi, duel sengit ini tak boleh kita abaikan, umparna harus menunggu tiga hari
tiga malam juga tidakmenjadisoal."
Teng Ting-hou mengawasiTing Si, Ting Si menatapTeng Ting-hou, akhirnya kedua orang ini
duduk pula di tempatnya.
Sambil bertolak pinggang Ang-sin-hoa menghampiri, mendadak dia menghela napas, katanya,
"Gelagatnya kalian harus berangkatsaat ini."
Ting Si tertawa, katanya, "Umparna kau mengusir ka-mi sekarang, kami pun takkan pergi."
"Betul, dihajardengan pecut juga tidak mau pergi," ujar Teng Ting-hou tertawa.
Ang-sin-hoa melotot kepada Teng Ting-hou, lalu melirik padaTing Si, mendadak dia tertawa,
"Terusterang sa-ja, kalau aku menjadi kalian, dibacok golok juga aku tidak mau pergi." Akhirnya
dia duduksemeja dengan mereka, gumamnya, "Tapi aku tidak mengerti; para kurcaci sebanyak
itu, bagaimana mereka tahu akan persoalan di sini?"
Orang-orang yang masuktadi sudah mulai minum arak. Bila belasan lelaki sudah getol minum
arak, umparna berdiri di pinggirnya juga tidak akan menarikperhatian mereka.
Sekilas Ting Si melirik ke arah mereka, katanya, "Ku-rasa mereka sengaja dipanggil Kim-jio-ji
kemari." "O, alasanmu?" tanya Ang-sin-hoa.
"Orang yang berani mengajak Pa-ong-jio berduel, pe-duli kalah atau menang, dia patut dipuji,
aku salut kepa-danya. Sepatutnya kalau Kim-jio-ji mengundang beberapa.teman untuk menonton
dan memberi semangat padanya, dari mulut orang-orang itulah dia perlu menguarkan
keberaniannya ke seluruh dunia.."
"Oleh karena itu aku heran," ujar Teng Ting-hou.
"Soal apa yang membuatmu heran?"
"Aku tak habis mengerti, sekarang Kim-jio-ji bernyali besar, berani menantang Pa-ong-jio berduel
di sini?" "Mungkin nyaiinya memang besar, mungkin beberapa tahun ini mendadak dia memperoleh sejilid
Bu-kang-pit-kip (pedoman ajaran silat kelas tinggi), berhasil meyakinkan ilmu tombak tunggal
yang tiada tandingan."
Teng Ting-hou tertawa, katanya, "Kukira terlalu banyak kau membaca legenda para pendekar di
zaman dulu, darimana datangnya Bu-kang-pit-kip, kau kira dapat dite-mukan dengan mudah"
Mengapa setua ini belum pernah aku mendengar seorang menemukan Bu-kang-pit-kip."
Ting Si tertawa geli, ujarnya, "Ya, aku pun tak pernah mendengar."
Kedua orang ini tertawa bersama, namun berhenti bersama pula, karena sorot mata mereka
tertuju keluarpintu, pandangan mereka melotot besar.
Dua joli berhenti di luar pintu.
Dua joli baru dengan pajangan yang indah dan bagus. Namun betapapun bagus dan mewah joli
itu, pasti tak enak dipandang lama-lama, yang mereka pandang adalah dua orang.
Dua orang yang baru turun dari joli, yang pasti adalah perempuan, yang cantik dan nikmat
dipandang.

Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

* * * * Di atas meja ditaruh sepoci teh dan sepoci arak.
Dua perempuan yang turun dari joli tadi kini sudah duduk dalam warung itu, seorang minum teh,
yang lain minum arak.
Yang minum arak adalah gadis pendiam yang ayu je-lita, lemah lembut dan pemalu, bila
dipandang dua kali oleh lelaki, wajahnya lantas jengah. Ada sementara perempuan mirip barang
antik, hanya boleh dipandang dan dinikmati dari jauh, serta dipuji pelahan, bila disentuh
atau diraba secara gegabah, dia bisa pecah dan hancur. Demi-kian pula gadis yang satu ini, dia
termasukjenis barang antik yang boleh dipandang tidak boleh dipegang.
Gadis yang minum teh kelihatannya juga pendiam, juga cantik, malah lebih ayu dan rupawan
dibanding temannya. Tapi kecantikannya termasukjenis lain. Kalautemannya itu ibarat cahaya
rembulan, maka kecantikannya laksana sinar matahari, begitu cantik hingga tiap lelaki yang
memandangnya akan merasa panas dan gerah tubuhnya, begitu jelita gadis ini hingga orang
yang melihat berdetakjantungnya.
Pakaian mereka serba putih, bersih laksana salju, bu-kan saja tidak berdandan juga tidak merias
diri, apalagi mengenakan perhiasan.
Kalau gadis yang minum arak wajahnya kelihatan pu-cat, wajah gadis yang minum teh justru
tampak bersemu merah.
Seluruh laki-laki yang ada dalam ruang itu sedang melotot ke arah mereka. Demikian pula Ting
Si juga tidak terkecuali.
Teng Ting-hou menghela napas, gumamnya, "Tak heran banyak perempuan berpendapat, mata
laki-laki di kolong iangit pantas dicolok biar buta."
Ting Si tertawa, katanya, "Yang benar, perempuan yang berkata demikian, senang kalau lelaki
mengawasinya."
"Agaknya kau paham jiwa perempuan?" ejekTeng Ting-hou.
"Lelaki yang beranggapan dirinya paham perempuan, kalau dia bukan orang gila, pasti seorang
dungu," demikian ujarTingSi.
"Jadi kau bukan gila juga tidak dungu."
"Ya."
Teng Ting-hou menoleh ke sana mengawasi kedua gadis itu, mendadak dia tertawa.
"Mengapa kau tertawa?" tanya Ting Si.
"Aku geli meiihat mereka," sahut Teng Ting-hou, laiu dia merendahkan suaranya, "Kedua gadis
itu berbeda, yang minum arak seperti minum teh."
Ting Si tertawa lebar. Mereka bicara dengan suara lirih, tapi gelaktawa mereka amat keras.
Gadis yang minum teh menunduk makin rendah, gadis yang minum arak malah mengangkat
kepala dan melotot ke arah mereka. Susah orang melukiskan keindahan matanya.
Melihat gadis itu melotot kepadanya, Ting Si merasa sekujur badan menjadi panas, jantung
berdetak keras.
Tahun ini Ting Si berusia 22, tidak sedikit perempuan yang pernah dilihatnya, namun belum
pernah dia mempu-nyai perasaan ganjil. Lekas dia menenggak habis araknya.
Sekarang Siau Ma justru tidak minum lagi. Orang banyak mengawasi kedua gadis itu, namun
yang terpandang hanya satu wajah di antaranya. Karena ditatap selekat itu oleh Siau Ma, wajah
gadis yang minum teh kelihatan jengah dan malu-malu kucing.
Setiap lelaki senang mengawasi perempuan, jarang ada lelaki yang memandang perempuan
seperti Siau Ma sekarang. Siau Ma bukan hanya memandang tapi juga mengawasi dengan
penuh perhatian, seolah sedang mengawasi bidadari yang pernah diimpikan waktu kecil, seperti
sedang mengawasi kekasih yang sudah lama dirindukan, kekasih yang sudah lama tidak
bertemu. Bagaimana perasaan seorang gadis bila ditatap dan diawasi sedemikian rupa oleh seorang lakilaki
cakap dan ganteng, laki-laki gagah dan tampan"
Laki-laki gede yang menyanding golok tebal dan duduk di sebelah sana mendadak berdiri,
dengan cengar-cengir menghampiri serta mengadang di depan Siau Ma.
Karena pandangan terhalang, Siau Ma mengangkat kepala, melotot kepadanya.
Dengan menyengir lelaki gede ini mengawasi Siau Ma, dari sorot matanya orang akan tahu
bahwa laki-iaki gede ini sudah mabuk, katanya, "Kau tidak mengenalku?"Telunjuknya menuding
hidung sendiri.
Siau Ma menggeleng kepala.
Lelaki gede berkata, "Aku she Kwe, bernama Thong."
"Aku tidak perriah kenal Kwe Thong," ujar Siau Ma.
"Aku juga tidak mengenalmu," jengek lelaki gede itu.
"Untuk apa kau kemari?" tanya Siau Ma.
"Untukmelihatmu," ujar Kwe Thong.
"Melihatku?" tanya Siau Ma.
Kwe Thong tertawa, katanya, "Belum pernah aku melihat laki-laki mata keranjang sepertimu,
memandang pe-rempuan seperti melihat setan, melihat tampangmu, ingin kutahu apakah kau
pernah kena sakit syaraf?"
Di sana teman-temannya tertawa riuh.
Sebaliknya Ting Si mengheia napas. Kwe Thong sengaja rnencari gara-gara,
tidaksadardengansiapa dia berhadapan, maka berani bertingkah.
Kwe Thong tertawa lebar, tawa senang, puas dan bangga. Laki-laki kalau bisa rnenghinadan
mempermainkan laki-laki lain di depan perempuan, pasti merasa bangga, menganggap dirinya
luar biasa, dirinya adalah jagoan. Perempuan itu akan tertarik dan simpatik padanya. Lantaran
itu, banyak perempuan berpendapat umumnya lelaki bodoh dan menggelikan.
Kwe Thong masih tertawa lebar, belum puas tertawa, mendadak dia merasa, mukanya
berkembang, badannya mencelat terbang. Terbang tiga empat tombak, melayang di atas kepala
kedua gadis itu, "Blang", jatuh di atas mejanya sendiri, kebetulan di atas meja dihidangkan
kepala babi panggang yang masih panas, pantatnya tepat menindihnya, hingga gepeng dan
hancur. Bentuk mukanya beru-bah lebih jelek dibanding kepala babi panggang itu.
Tiada yang melihat jelas mengapa tubuhnya mendadak mencelat terbang, tiada yang melihat
bagaimana Siau Ma turun tangan. Siau Ma masih berdiri terlongong di tempatnya, duduk seperti
bocah pikun mengawasi gadis yang minum teh itu.
Cukup lama teman-teman Kwe Thong menjublek dan terkesima, akhirnya serempak mereka
berjingkrak berdiri, ada yang menggulung lengan baju, mencabutsenjata, ada pula yang
mengepaltinju, "Bocah ini berani memukul orang, hayo colok matanya biar buta." Belasan orang mencaci-maki,
ada yang mendorong kursi membalikkan meja, siap mengerubut.
Tiada yang mencegah atau merintangi mereka.
Siau Ma sadar, masih ada orang lain di dunia ini, tetapi ternyata Ang-sin-hoa menghilang entah
kemana. Sejak gadis jelita itu masuk ke warungnya, bayangan nenek pesolek itu lantas lenyap
tak keruan paran.
Ting Si menghela napas, tanyanya pada Teng Ting-hau, "Kau ingin berkelahi tidak?"
"Tidak," sahut TengTing-hou. .
"Sayang sekali, gelagatnya kita hams berkelahi," kata Ting Si.
"Wut", suara menjadi ribut, sebelum orang-orang itu menerjang tiba, empat buah mangkuk
terbang melayang. Sebelum.fing Si turun tangan, mendadak terdengar suara "ting, ting, ting" tiga
kali, tiga mangkuk terpukul pecah dan hancurditengah udara.
Pecahan mangkuk bersama tiga bjji Am-gi (senjata rahasia) yang memukul jatuh ketiga mangkuk
itu berham-buran di tanah, ternyata tiga biji garu perak yang mengkilap.
"He, Kim-jio-gin-so Ji-samya datang," entah siapa yang berteriak.
Seorang laki-laki setengah baya berperawakan kurus tinggi berkepala panjang, dengan tulang
pipi menonjol, hidung bengkok seperti paruh kakaktua, namun sikap dan dandanannya tampak
angkuh dan perlente, sambil menggendong tangan, beranjak lebar ke dalam, sikapnya yang
kereng memang membuat orang keder.
Dua laki-laki kekarberpakaian ketat, memikul buntalan panjang berdiri di belakangnya. Bobot
buntalan kain panjang itu tampaknya amat berat, yang dibuntal jelas adalah Kim-jio atau tombak
emas miliknya. Orang-orang kasar itu sudah siap mengganyang Siau Ma, meiihat kedatangan laki-laki ini, semua
berdiri diam, tidak berani membuat keributan lagi.
Sudah lama Kim-jio-ji mengangkat nama, ketenarannya amat luas dan disegani, apalagi di
wilayah kekuasaannya, dengan sebatang tombak emas itu, bersama sekantong garu perak,
entah berapa jago kosen berilmu tinggi jatuh di tangannya, selama malang melintang belum pernah
ketemu tandingan.
Dalam pandangan orang-orang Kangouw yang kasar itu, Kim-jio-ji adalah tokoh yang dihormati
dan ditakuti. "Setelah Ji-samya datang, kejadian ini lebih mudah diselesaikan."
Kim-jio-ji menarik muka, katanya dingin, "Kejadian apa" Kalian kemari mau meiihat aku berduel"
Atau kalian yang akan berkelahi buat kutonton?"
Seorang pemuda bertubuh kekar berteriak, "Kami tidak ingin berkelahi, tapi kami tidak akan
berpeluk tangan menyaksikan Kwe-lotoa dihina orang." Pemuda ini bernama Coh Hou, putra
saudara Kwe Thong, melihat Kwe Thong dihajar orang, dia amat penasaran.
"Apakah kau ingin menuntut balas sakit hati Kwe Thong?" tanya Kim-jio-ji.
Bersambung ke bagian 3
Coh Hou mengepal tinju, katanya, "Ya, sakit hati ini harus kubalas."
"Kalau begitu kau cari saja orang berpakaian biru tua yang duduk di sana itu," Kim-jio-ji
menganjurkan. Coh Hou berkata, "Bukan dia yang main pukul, mengapa kita harus membuat perhitungan
dengan dia?"
Tawar suara Kim-jio-ji, "Kalau kalian ingin mampus, lebih baik lekas mati, bila kalian cari perkara
padanya, kutanggung kalian akan mati lebih cepat."
Tersirap darah Coh Hou, tanyanya, "Siapakah dia?"
Kim-jio-ji menyeringai dingin, "Dia bukan orang luar biasa, dia hanya seorang Piausu, pelindung
barang hantaran, namanya Teng Ting-hou."
Berubah rona muka Coh Hou. Demikian pula air muka belasan orang itupun menjadi pucat.
Betapa tenar dan cemerlang nama julukan Sin-kun-siau-cu-kat, sudah tentu mereka pernah
mengenal atau mendengarnya.
Beberapa tahun belakangan, nama besar Kay-hoa-ngo-coan-ki benar-benar menggetar dunia
persilatan, kekuatan mereka berkembang dan melebar makin luas, kalau ada orang berani
mengusik mereka, berarti menepuk lalat di kepala harimau. Maka kawanan orang-orang Kangouw
yang kasar berangasan, petingkah dan menepuk dada tadi, kini kuncup nyalinya, semua
berdiri lesu seperti balon yang kehabisan angin.
Jangan kata menoleh, melirik pun tidak, Kim-jio-ji tak menghiraukan mereka lagi, dia maju
beberapa langkah menjura kepadaTeng Ting-hou.
Teng Ting-hou berkata, "Sekali berpisah, sekian tahun telah berlalu, sungguh tak nyana Ji-heng
masih ingat padaku, hanya saja bila kelak ada orang ingin mati, jangan Ji-heng suruh mereka
mencariku." Dengan tersenyum dia menambahkan, "Aku berani tanggung, bila seorang ingin
lekas mati, daripada mencariku, lebih baik mencari dan minta tolong kepada dua saudara ini."
"Siapakah kedua saudara ini......." tanya Kim-jio-ji.
"Aku she Ting, bernama Si," Ting Si memperkenalkan diri.
Beberapa kali Kim-jio-ji mengawasinya dengan cermat, tanyanya, "Jadi kau inilah Ting Si yang
menyenangkan orang itu."
Ting Si tertawa lebar, katanya, "Kadang kaia juga di namakan Ting Si yang menyebalkan."
"Kalau betul saudara adalan Ting Si, maka saudara ini tentu Siau Ma alias si Kuda Binal,"
sembari bicara dia menoleh ke arah Siau Ma, ternyata Siau Ma tidak peduli kepadanya.
Kecuali gadis yang minum teh itu, hakikatnya Siau Ma tidak peduii kepada orang lain.
Seketika masam rona muka Kim-jio-ji.
Segera Teng Ting-hou berkata, "Kabarnya Ji-heng akan berduel dengan Pa-ong-jio di sini?"
"Bukan aku yang menantang dia, tapi aku yang diundang kemari," sahut Kim-jio-ji.
Teng Ting-hou mengerut kening, katanya, "Dia menantangmu?"
Kim-jio-ji tertawa dingin, katanya, "Teng-heng mung-kin berpendapat aku tidak setimpal
melawannya, aku tahu bukan tandingannya, tapi kalau dia menantangku, apakah aku harus
menyerah tanpa bertanding?"
Rona mukanya menampilkan mimik ganjil, lalu melanjutkan, "Se
Petualang Asmara 10 Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Pendekar Pemetik Harpa 21

Cari Blog Ini