Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long Bagian 2
orang jago yang bergaman
tombak, bila dia mati di bawah Pa-ong-jio, bukankah hidupnya takkan sia-sia" Kurasa mati pun
patut dibuat bangga."
"Bagus," seru Ting Si mengacungkan jempol. "Kau memang gagah."
Kim-jio-ji menatapnya lekat, pandangannya penuh selidik, lama kelamaan sinar matanya yang
dingin berubah hangat, katanya pelahan, "Jago silat yang berkecimpung di kalangan Kangouw,
adalah pantas kalau dia mati oleh golok, pedang atau tombak, mayatnya cukup dibungkus tikar,
dikebumikan ala kadarnya."
Ting Si tersenyum, katanya pelahan, "Kelak bila aku mati, beruntung kalau ada orang mau
membungkus mayatku dengan tikar. Untuk melakukan sesuatu yang menyenangkan banyak
orang, umpama mayatku dibuang ke selokan untuk umpan anjing liar, di alam baka aku tidak
akan mengomel." Mimik mukanya masih tersenyum, namun rasa duka terbayang dalam sinar
matanya. Gadis yang minum arak menoleh dan melirik ke arahnya, kerling matanya ternyata berubah
lembut dan hangat.
Giliran Kim-jio-ji yang mengacungkan jempol, kata-nya, "Bagus, ksatria yang patut dipuji."
"Agaknya kau datang lebih dini dari lawanmu, mengapa tidak dudukdan minum dua cawan," Ting
Si mengajak minum.
Kim-jio-ji berkata, "Kedatanganku justru tidak dini lagi, aku terlambat setengah jam, karena......"
Kembali wajahnya menampilkan perasaan ganjil, setelah menghela napas dia melanjutkan,
"Karena masih ada beberapa pesanku yang terakhir perlu kubereskan, aku datang bersih, pergi
pun harus bersih.."
Seorang kalau tahu dirinya akan mati, namun dia tetap menepati janji, keberaniannya takkan
diselami dan dipahami oleh mereka yang hidup mewah. Syukur masih hidup, kalau mati dengan
leher dihiasi lubang sebesar mulut cawan. Memangnya kematian begini patut dibuat takut"
Wajah Ting Si juga menampilkan perasaan ganjil, lama kemudian baru dia bertanya, "Mana Paongjio?" "Entah, aku tidak tahu."
"Kau bermusuhan dengannya?"
"Tidak."
"Sebelum ini pernah kau melihatnya?"
"Selamanya aku tidak kenal dia."
"Tapi dia justru menantangmu duel."
"Mungkin karena aku bergaman tombak."
"Kecuali dia, memangnya orang lain dilarang menggunakan tombak?"
"Bergaman tombak boleh, tapi tidak boleh terkenal."
Sorot mata Ting Si membayangkan kemarahan, kejadian ganjil dan tidak adil di dunia ini, paling
getol dia memberantas dan menumpasnya.
Kim-jio-ji berkata pula, "Aku heran, kalau dia berani menantangku kemari, mengapa sampai
sekarang belum muncul?"
Belum habis dia bicara, suara dingin berkata di belakangnya, "Sejak tadi aku sudah menunggu di
sini." Nada suara yang dingin, namun nyaring dan merdu, enak didengar. Yang bicara ternyata
seorang perempuan.
Bergegas Kim-jio-ji membalik badan, pandangannya bentrok dengan sepasang bola mata yang
mempercepat detak jantung setiap laki-laki, sepasang mata jeli dan bening mengawasi dirinya.
Tangannya memegang cawan arak, tangan yang putih halus seperti tidak bertulang. Mungkinkah
tangan yang halus dan lembut ini mampu mengangkat Pa-ong-jio yang beratnya tujuh puluh tiga
setengah kati"
Kim-jio-ji mengerut alis, katanya, "Kuharap nona tidak berkelakar denganku?"
Gadis yang minum arak itu menarik muka, wajahnya dingin seperti dilapisi salju. Jelas dia tidak
berkelakar. Sejenak Kim-jio-ji mengawasi tombak besi yang tergeletak di atas meja itu, katanya, "Apakah
kau......"
Gadis yang minum arak segera menukas perkataannya, "Aku inilah Pa-ong-jio."
Gadis jelita inikah Pa-ong-jio" Padahal tombak itu panjang satu tombak tiga kaki lebih, satu kali
lipat lebih panjang dibanding tinggi badannya, beratnya tujuh puluh tiga kati, jelas lebih berat
dibanding bobot badannya. Apa benar dia Pa-ong-jio"
Kim-jio-ji tidak percaya, Ting Si tidak percaya, Teng Ting-hou juga tidak percaya, siapa pun pasti
tak percaya. Tapi mereka terpaksa harus percaya.
Kim-jio-ji memancing, "Nona she apa?"
"She Ong."
"Nama harummu?"
"Ong-toasiocia."
Kim-jio-ji tertawa, katanya, "Kurasa itu bukan nama aslimu?"
Masam muka gadis yang minum arak, katanya, "Tak usah kau tahu nama asliku, cukup ingat Paongjio Ong-toasiocia tujuh huruf saja."
"Tujuh huruf memang mudah diingat."
"Umpama sekarang kau tidak ingat, kelak kau pasti akan mengukirdalam hatimu."
"O" Apa iya?"
"Bila lehermu bolong oleh tusukan tombak, yakin kau takkan melupakannya,"
"Kau menantang aku berduel, apakah agar aku ingat ketujuh huruf itu?"
"Bukan hanya supaya kau ingat, kaum persilatan biar tahu, bahwa Pa-ong-jio belum
putusturunan."
"Maha Ong-loyacu?"
Ong-toasiocia menggigit bibir, wajahnya tampak pucat, agaknya dia menekan emosi, cukup lama
kemudian baru dia berkata, "Ayahku sudah meninggal, beliau tidak punya anak lelaki, akulah
pewarisnya." Suaranya mirip orang berpekik.
Ucapannya bukan untuk didengar orang-orang dalam warung kecil itu, dia berteriak, berpekik
karena dia ingin arwah ayahnya yang ada di alam baka mendengar suaranya. Akan dia buktikan
bahwa anak perempuan tidak kalah atau lebih lemah dibanding anak laki-laki. Hari ini, di warung
kecil ini, dia hendak membuktikan bahwa dirinya bukan perempuan lemah.
Apa betu It-jio-khing-thian Ong Ban-bu sudah me-ninggal"
Tokoh besar yang berwatak lebih keras dari batu, mengapa mendadak mati"
Teng Ting-hou menghela napas, lalu berkata, "Selama ini kudengar ayahmu sehat walafiat,
mengapa mendadak meninggal?"
"Kau tidak usah turut campur," jengek Ong-toasiocia melotot.
Teng Ting-hou tertawa menyengir, katanya, "Cayhe Teng Ting-hou, aku adalah teman karib
ayahmu." "Aku tahu kau kenal beliau, tapi kau bukan temannya, waktu beliau meninggal, seorang teman
pun dia tidak punya." Bola matanya yang jeli indah mendadak beriinang air mata, hatinya
dirundung kesedihan, penasaran yang sukar dijelaskan kepada orang lain. Mengapa demikian"
Mungkin kematian ayahnya tidak tenteram" Mati penasaran"
Mendadak Ting Si berkata, "Setelah Ong-loyacu meninggal, agaknya nona merasa perlu
mengangkat nama menegakkan wibawa, nona tentu punya alasan untuk mengajak Ji-samya
berduel." "O, ada siapa lagi?"
"Mulai hari ini, aku akan terus melangkah ke depan, setiap insan persilatan yang bersenjata
tombak akan kuajak duel."
Ting Si menyengir, katanya, "Kalau nona kalah?"
Tanpa pikir Ong-toasiocia menjawab lantang, "Biar aku mati disini."
"Hanya untuk mengejar nama kosong, Ong-toasiocia tidak segan mempertaruhkan jiwa, apa
tidak sia-sia mempertaruhkannya dengan cara begini?"
Ong-toasiocia melotot gusar, serunya, "Aku senang berbuat demikian, peduli amat denganmu."
Mendadak dia memutar tubuh beranjak ke sana mengangkat Pa-ong-jio dari meja.
Sepuluh jari tangannya yang runcing halus dan putih selembut salju, seperti tidak bertulang. Tapi
tombak besar dan panjang berat itu dengan mudah diraih dan dijinjingnya. Bukan saja gerakgeriknya
lincah dan wajar, gayanya indah, gemulai lagi.
"Bagus," tanpa terasa Kim-jio~ji memuji.
"Hayo keluar," seru Ong-toasiocia. Sekali menggeliat pinggang, segera dia mendahului beranjak
keluar.. Sejenak Kim-jio-ji mengawasi punggung orang beranjak ke pekarangan, lalu menghela napas
panjang. "Menurut pendapatmu, bagaimana kemampuannya?" Tanya Ting Si.
"Baik sekali," sahut Kim-jio-ji.
"Kau yakin dapat mengalahkannya?"
Kim-jio-ji menghela napas, katanya, "Aku hanya menyesal."
"Soal apa yang membuatmu menyesal?"
"Tak perlu aku buru-buru memberi pesan terakhir kepada keluargaku."
Cahaya mentari terang benderang. Begitu mereka keluar, orang lain ikut keluar. Dalam rumah
tinggal empat orang.
Siau Ma masih duduk kaku dan melamun di tempat-nya. Gadis yang minum ten masih
menundukkan kepala, mukanya tampak merah jengah, seperti lupa di dunia ini masih ada orang
lain. Di belakang pjntu Teng Ting-hou menarik tangan Ting Si, katanya, "Tabiat Ong-lothau memang
buruk, namun jiwanya tidak jahat."
"Aku tahu," ucap Ting Si.
"Apapun juga dia adalah temanku, sahabat lamaku."
"Aku tahu."
"Oleh karena itu......"
"Maka kau tidak akan berpeluk tangan menyaksikan putrinya mati di sini."
Teng Ting-hou memanggut, katanya setelah menghela napas, "Ong-toasiocia bukan tandingan
Kim-jio-ji. Aku tahu taraf kepandaian Kim-jio-ji, bukan saja luas pengalaman, latihannya juga
sudah matang."
"Kurasa Ong-toasiocia juga tidak lemah."
"Tapi dia masih muda, masih hijau."
"Kau kira bila kalah dia pasti mati?"
"Aku memahami watak Ong-lothau, watak Ong-toa-siocia meniru ayahnya."
"Ya, aku mengerti," ujarTing Siiertawa.
"Kau mengerti apa?" tanya Teng Ting-hou.
"Kau ingin membantunya, betapapun tangguh Kim-jio-ji, dia bukan tandingan Sin-kun-siau-cukat."
Teng Ting-hou tertawa kecut, katanya, "Duel kali ini secara terbuka, orang luar jelas tak boleh
turut campur" Menuruti watak Ong-toasiocia yang kaku, mati pun tidak rela orang lain
membantunya."
"Jadi kau akan membantu secara diam-diam, membokong Kim-jio-ji namun tidak melukainya?"
"Aku takkan berbuat demikian, karena......"
"Karena seorang yang punya kedudukan seperti dirimu, melakukan perbuatan apapun harus hatihati,
setiap langkahmu pantang mendatangkan cemoohan orang lain."
"Memang banyak segi-segi yang kukuatirkan, tetapi kau......"
"Kau ingin aku membokong Kim-jio-ji, begitu?"
"Maksudku demikian, karena......"
"Karena aku begal, rampok kecil yang tidak berarti, perbuatan kotor dan hina sekalipun berani
kulakukan."
"Terserah bagaimana pendapatmu, yang terang bila kau membantuku, kelakaku pun
membantumu."
Ting Si mengawasinya, rona mukanya masih mengulum senyum yang khas, senyum yang
menarik dan menawan hati, katanya pelahan, "Kuharap kau maklum akan dua hal."
"Coba jelaskan."
"Pertama, kalau aku meiakukan sesuatu, aku tidak mengharap imbalan orang lain. Kedua, walau
aku perampok, tapi perbuatan kotor tak sudi kulakukan, biar kepalaku dipenggal juga tidak sudi
kulakukan." Dengan tersenyum dia membalik badan melangkah lebar ke pekarangan.
Teng Ting-hou menjublek di tempat, cukup lama dia diam mematung, seolah sedang mencerna
kata-kata yang diucapkan Ting Si tadi. Mendadak dia sadar, banyak temannya yang menepuk
dada menganggap dirinya jago, pendekar besar atau Piausu terkenal, banyak segi kebaikan tak
mungkin unggul dibanding rampok cilik ini.
Dalam rumah itu tinggal dua orang saja.
Gadis yang minum teh itu mengangkat kepala pelahan, dia celingukan sejenak, lalu berdiri,
dengan langkah gopoh mendekati Siau Ma, suaranya setengah berteriak, "Siau Ma.." Suaranya
wajar, mantap, seperti sejak ribuan tahun yang lalu sudah kenal dan intim dengan Siau Ma,
seolah-olah sudah ribuan kali dia memanggil nama ini.
Ternyata Siau Ma tidak kaget. Biar seratus gadis cantik yang tidak dikenal berlari ke hadapannya,
memanggil namanya, dia anggap kejadian itu jamak dan lumrah, kejadian yang wajar. Kedua
orang ini tidak merasa asing terhadap lawan jenisnya, mereka begitu akrab.
Gadis yang minum teh berkata, "Kudengar orang memanggil Siau Ma, maka aku pun
memanggilmu Siau Ma."
Siau Ma menatapnya, katanya, "Aku bernama Ma Cin, siapa namamu?"
Gadis itu.menjawab, "Aku bernama Toh Yok-lin, engkohku memanggil aku Siau Lin, kau boleh
memanggilku Siau Lin." Biasanya dia penakut dan pemalu, sebesar ini belum pernah ada pria
yang dikenalnya, Entah mengapa dia berani menatap Siau Ma.
Apakah itu perasaan cinta" Yang terang perasaan itu sesuatu yang gaib, sesuatu yang ganjil dan
aneh, banyak ikatan perasaan antara dua insan yang serba ganjil dan tak mungkin dijelaskan
dengan kata-kata. Sukar bagi manusia untuk menyelami dan meresapi perasaan ini, ada
kalanya, sukar dipahami.
"Siau Lin......Siau Lin......Siau Lin......" pelahan Siau Ma mengulang namanya, pelahan pula
mengulur tangan menggenggam tangan Siau Lin.
Jari jemari yang halus runcing, lembut laksana tidak bertulang tampak gemetar digenggam
telapak tangan yang kekar kuat itu, tapi dia tidak berusaha menarik atau melepas tangannya.
Siau Ma merasa dirinya seperti di alam mimpi, suaranya mendengung berkumandang seperti di
alam gaib, "Aku hidup sebatangkara, sebelum mengenalmu, aku hanya punya seorang teman."
"Aku juga hanya punya seorang teman?"
"Siapa?"
"Ong Seng-lan," ucap Siau Lin. "Hubungan kami melebihi kakak dan adik, kalau bukan dia yang
mendampingi aku, mungkin aku sudah......"
Siau Ma tidak membiarkan dia meneruskan ucapannya, pelahan dia berkata, "Aku tahu
maksudmu." Dia mengerti, tiada orang yang lebih mengerti dibanding Siau Ma. Karena demikian
pula hubungan lahir batinnya dengan Ting si, seperti juga hubungan Siau Lin dengan Ong Senglan,
hampir sama. "Aku ingin mohon bantuanmu untuk melakukan sesuatu," pinta Siau Lin.
"Boleh, jelaskan saja."
"Kuminta sudilah kau menolongnya."
"Menolong temanmu?"
Siau Lin mengangguk, katanya, "Orang lain bilang dia bukan tandingan Kim-jio-ji, tapi dia
pantang kalah dalam duel ini."
"Kau minta aku membantunya mengalahkan Kim-jio-ji?"
"Terserah dengan cara apa, demi diriku kuharap kau menolongnya." Dia menggenggam kencang
tangan Siau Ma. "Aku tahu kau mampu dan mau melakukan."
Kejap lain mereka beranjak keluar, tangan bergandeng tangan.
Tadi tempat ini diliputi suasana riang dan damai, sekarang menjadi sunyi dan hampa. Kehidupan
manusia di maya pada memang tiada yang abadi, tiada yang tidak pernah berubah, demikian
pula tiada kesenangan yang tidak berubah menjadi duka cita.
Ang-sin-hoa muncul dari belakang, dengan pandangan getirdia mengantar bayangan muda mudi
ini, setelah menghela napas dia menggumam, "Aku rela kalian saling melibatkan diri dalam
asmara, sama-sama serius mencari kesulitan, aku tahu......"
Ada sementara orang memang mirip paku dan besi sembrani bila bertemu satu dengan yang lain
akan lengket menjadi satu, tarik menarik takkan lepas. Demikian keadaan Siau Ma dan Siau Lin.
Begitukah Ting Si dengan Ong-toa siocia"
Setelah menghela napas Ang-sin-hoa menggumam pula, "Siau Ma bakal celaka, kelak Ting Si
juga bakal celaka, Akulah yang salah, seharusnya aku mencegah pertemuan ini, aku sudah
tahu......"
Cahaya surya benderang. Tombak panjang mengkilap gemerdep ditimpa sinar surya. Cuaca
cerah, langit biru dengan gumpaian mega putih menghias cakrawala, bunga mekardi atas payapaya,
kumbang dan kupu-kupu menari di rumpun kembang, angin sepoi-sepoi menyebar bibit
kehidupan. Memang sekarang lagi musim bibit bersemi dan tumbuh subur, di musim seperti ini, tiada
manusia yang memikirkan kematian. Sayang sekali kematian tak bisa dihindarkan.
Pelan Kim-jio-ji membuka buntalan kain yang membungkus tombak emasnya, sementara
matanya menatap lawannya. Benaknya membayangkan 'kematian'. Jarang ada manusia yang
meresapi 'kematian' dibanding dia, karena beberapa kali dia pernah mendekati kematian, makna
kematian seperti sudah mengintai dirinya. Kalau bukan aku yang mati, kaulah yang gugur. Itulah
prinsip hidupnya menghadapi kematian. Prinsip yang mudah dilakukan tapi kejam, manusia tidak
diberi peluang untuk memilih.
Dua puluh tahun setejah berkecimpung di dunia persilatan, manusia mana pun akan tergembleng
menjadi seorang kejam dan culas. Demikian pula keadaan Kim-jio-ji, oleh karena itu dia masih
hidup sampai sekarang.
Kini musuh yang dihadapi masih muda, tegakah dirinya melihat gadis jelita ini terbunuh di ujung
tombaknya"
Kalau bukan dia yang mati, akulah yang gugur.
Dia pantang kalah, memangnya aku tak boleh menang"
Kim-jio-ji menghela napas, dari dalam kantong kain dia melolos tombak emasnya.
Cahaya emas menguning gemerdep menyilaukan mata. Selama dua puluh tahun, entah berapa
jiwa manusia menjadi korban tusukan tombak emasnya.
Tombak itu panjang dan runcing, bagian yang runcing tajam, gagang tombak rata dan mulus,
tanpa lekukan, kalau dipegang akan menimbulkan perasaan giris dan buas, sejahat binatang liar
atau ular berbisa.
"Tombak bagus," Ting Si memuji.
Teng Ting-hou sependapat, katanya, "Ya, tombak bagus."
"Kalau Pa-ong-jio dianggap singa atau harimaunya tombak, maka tombak emas ini patut
dianggap ular beracun diantara tombak sejenis."
Teng Ting-hou berkata, "Kaum persilatan menamakan tombak emas ini tombak ular."
"Konon tombak ini dibuat dari campuran emas murni dengan besi baja, ringan dan lincah
Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dibanding tombak besi umumnya, gagang tombaknya bisa ditekuk sesuka hati pemiliknya," Ting
Si menjelaskan.
"Oleh karena itu ilmu tombak yang dimainkan Kim-jio-ji mempunyai ciri khas sendiri, jauh
berbeda dengan ilmu tombak umumnya."
"Ya, aku pernah mendengar, ilmu tombak yang dia yakinkan dinamakan Coa-jek (patukan ular),
ilmu tombak warisan keluarganya ada seratus delapan jurus, belakangan Kim-jio-ji mehambah
empat puluh satu gerakan, lalu berubah menjadi tombak ular seratus empat puluh sembilan
tusukan." "Bagaimana dengan Pa-ong-jio?" tanya Ting Si.
"Pa-ong-jio hanya ada tiga belas jurus," sahut Teng Ting-hou.
Ting Si tertawa, katanya, "llmu yang berguna dan manjur, sejurus juga sudah cukup."
Mendadak Teng Ting-hou menghela napas, katanya, "Sayang kau tidak pernah menyaksikan
waktu Ong Ban-bu mengembangkan Pa-ong-cay-sha-jek, betapa besarwibawa dan kekuatannya,
kalau Pa-ong-jio berada di tangannya. Perbawanya memang pantas dinamakan Pa-ong-jio."
Ting Si tidak memberi tanggapan lagi, karena saat itu due! sudah dimulai.
Pekarangan yang benderang oleh sinar mendadak seperti menjadi guram oleh hawa membunuh.
Dua tombak sudah kenyang bertempur, sama-sama gaman sakti yang telah membunuh banyak
manusia, sehingga tombak itu membawa hawa yang membuat suasana menjadi seram.
Begitulah jiwa raga Kim-jio-ji, seperti juga tombak di tangannya, runcing tajam, keras dan kuat
lagi ganas. Sejak tadi matanya menatap lawan, dua tangan memeluk dada, tombak emas
dipegang miring ke bawah. Itulah gaya permulaan ilmu golok yang menyatakan sikap hormat
kepada lawan, sekaligus memperlihatkan sikap kagum dan penghargaan tinggi terhadap Pa-ongjio.
Ong-toasiocia memeluk tombak besar tegak di tanah, dalam hal gaya jelas dia bukan tandingan
Kim-jio-ji. Duel antara dua jago kosen, menghormati musuh berarti menghargai diri sendiri.
Ujung muiut Kim-jio-ji mengulum senyum sinis, namun tetap berlaku hormat, katanya dengan
nada kereng, "Waktu Ong-loyacu masih hidup, cayhe tidak sempat mohon petunjuk, patah
tumbuh hilang berganti, orangnya mati tombaknya masih ada, terimalah sembah hormatku."
Kaki kiri setengah ditekuk, dia betul-betul memberi hormat.
Ong-toasiocia hanya mengangguk kepala saja, suaranya tawar, "Aku mencarimu untuk membuat
perkara, tak usah kau berlaku sungkan kepadaku."
Kim-jio-ji menarik muka, katanya, "Aku memberi hormat kepada tombak itu, bukan kau."
Ong-toasiocia tertawa dingin, katanya, "Selanjutnya kau harus ingat Pa-ong-jio adalah milikku,
aku adalah Pa-ong-jio."
Kim-jio-ji juga berkata dingin, "Dalam pandanganku, setelah Ong-loyacu mangkat, Pa-ong-jio
juga harus sudah lenyap dari muka bums."
"Kau tidak melihat tombak di tanganku ini?" teriak Ong-toasiocia gusar.
"Ong-toasiocia memang memegang tombak, tombak besi yang besar mengkilap."
Ong-toasiocia menggigit bibir, dia berusaha menguasai emosi. Dia tahu duel antara jago kosen,
bila emosi tidak terkendali, dirinya bisa melakukan kekeliruan yang fatal akibatnya.
Kim-jio-ji menatapnya tajam, katanya pula, "Sebelum Cayhe kemari, Cayhe sudah memberi
pesan terakhir kepada keluargaku."
"Bagus sekali."
"Ong-toasiocia, apa kau juga sudah berpesan kepada orang lain untuk mengurus jazatmu bila
kau mati nanti?"
Merah padam wajah Ong-toasiocia, katanya keras, "Kalau aku mati di sini, ada orang yang akan
mengurus mayatku."
"Siapa?"
"Kau tak usah tahu," teriak Ong-toasiocia, sekali melintir pergelangan tangan, tombak besar
panjang satu tombak tiga kaki itu ditarik dengan lincah sekencang kitiran menimbulkan deru
angin kencang, rumput, kembang yang ada di paya-paya seperti disapu angin puyuh, dahannya
meliuk ke bawah seperti menunduk.
Tapi Kim-jio-ji tidak menunduk, sebat sekali dia bergerak, tahu-tahu tubuhnya menyelinap
selincah belut ke lingkaran sinar tombak yang menyambar.
Ting Si menghela napas, katanya, "Tampaknya Ong-toasiocia masih hijau, belum
berpengalaman, seharusnya dia tahu Ji-samya sengaja memancing amarahnya."
Teng Ting-hou tertawa, katanya, "Mungkin langkah Ji-samya yang keliru."
"Mengapa keliru?"
"Pa-ong-jio biasanya dimainkan laki-laki, permainannya perlu dilandasi kekuatan raksasa, tapi
Ong-toasiocia adalah gadis muda yang lemah, titik keiemahannya terletak pada kelemahannya
itu." Ting Si sependapat.
"Tapi setelah dia dibakar emosi, keadaan sudah berbeda."
"O.ya."
"Aku berani bertaruh, warisan watak bapaknya jauh lebih berat dibanding warisan ilmu tombak
leluhurnya."
Sekejap percakapan mereka, Ong-toasiocia sudah melancarkan tiga puluh jurus serangan
dengan Pa-ong-jio. Walau permainan tombaknya hanya terdiri tiga belas jurus, tapi begitu
permainan berkembang, kuncinya berada di tombak, manfaatnya justru mengikuti gerak
perubahan dan kembangan yang tak habis-habisnya.
Ditengah perubahan jurus permainan, meski tombaknya tidak selincah dan seenteng patukan
ular, namun deru angin tusukan tombak yang tajam justru dapat menambal kekurangan gerak
perubahan itu. Siapa pun takkan percaya kalau tidak menyaksikan, gadis yang lemah lembut ini mampu
mengembangkan permainan ilmu tombak seganas dan sekeras itu, tombak besar dan berat itu
diputar lincah dan enteng.
Tombak panjang adalah gaman utama jendral peranc zaman dulu, berduel di punggung kuda
dengan musuh da lam jarak jauh, kalau digunakan bertanding silat, di tengal arena seperti ini,
tombak ini terlalu panjang dan berat. Akar tetapi, permainan tombak Ong-toasiocia sekaligus
menamba kelemahan ini. Entah ujung tombak, gagang tombak atai badan tombak, bagian mana
saja mampu membuat lawar mampus, dimana angin tombak melanda, lawan sukai mendekati
dirinya. Tiga puluh jurus Pa-ong-jio menyerang Kim-jio-ji hanya balas menyerang enam jurus.
Ting Si mengerut kening, katanya, "Kelihatannya Ji-samya sedang menunggu kesempatan
sambil menguras tenaga lawan."
Teng Ting-hou tertawa, katanya, "Kalau Ji-samya berpikir demikian, kembali dia keliru."
"Mengapa keliru?"
"Bobot Pa-ong-jio memang berat, bila permainan sudah dikembangkan, tombak berat itu
menimbulkan arus tenaga besar yang tersembunyi, dia dapat meminjam arus tenaga itu, tenaga
sendiri tidak perlu banyak atau besar, asal dia mahir menguasai permainan.
Hal ini seperti kereta dorong, di saat kereta mulai bergerak ke depan, kereta berat itu membawa
arus tenaga yang besar, pendorong kereta akhirnya merasa dirinya ditarik oleh kereta itu..
"Justru karena bobot tombak itu berat, tenaga yang dikerahkan juga harus besar, untuk bermain
lincah jelas sukar, tapi pihak yang bertahan atau menangkis serangan juga harus memiliki tenaga
lebih besar." Dengan tertawa Teng Ting-hou melanjutkan, "Banyak orang punya pengertian yang
sama dengan Kim-jio-ji, menunggu " kesempatan untuk memancing di air keruh, maka akhirnya
dikalahkan Pa-ong-jio, faktor yang sukar diselami ini, kalau akhirnya Ong-lothaucu
tidak memberi tahu kepadaku, aku pun tak mengerti."
"Yang tahu rahasia yang besar artinya ini, sudah tentu tidak banyak jumlahnya."
"Kecuali aku dengan Pek-li Tiang-ceng, kurasa Ong-lothaucu tidak pernah memberitahu kepada
orang lain."
"Karena kalian adalah temannya?"
"Temannya memang tidak banyak."
"Dia temanmu, aku bukan, mengapa rahasia ini kau beritahu kepadaku?"
Teng Ting-hou tertawa penuh arti, katanya, "Karena aku suka memberitahu kepadamu."
Ting Si tertawa.
Sementara itu Ong-toasiocia sudah menyerang tujuh puluh jurus, maju selangkah juga sukar, bila
tombak lawan melintang, maka rangsekannya tertolak mundur. Akhirnya Kim-jio-ji sadar tombak
yang menakutkan bukan pada ujungnya yang runcing, tapi setiap jengkal tombak itu menakutkan
untuk membunuh.
Hadirin menyaksikan dia terdesak di bawah angin. Hanya satu orang tidak tahu.
Sekonyong-konyong seorang membentak keras, dengan tangan kosong orang ini menerjang
kedalam lingkaran sinar tombak yang seru itu. Orang ini adalah Siau Ma. Siau Ma sudah mabuk.
Kalau masih segar, tentu dia bisa melihat gelagat, sadar bahwa sambaran tombak yang berlaga
itu amat berbahaya, mampu menamatkan jiwa orang. Bocah ini memang mirip Kuda Binal, kuda
mengamuk, lebih tepat kalau dikatakan kuda cilik yang berani mati. Sambii menerjang dia
mengangkat kedua tangan seraya berteriak, "Berhenti! Lekas berhenti!"
Tenggelam perasaan Ting Si. Dia tahu Ong-toasiocia pasti tak mau berhenti, gerak tombaknya
tidak mungkin berhenti, arus tenaga yang timbul karena Pa-ong-jio hakikatnya tidak terkendali
lagi olehnya. Di bawah tekanan besar, sudah selayaknya kalau Kim-jio-ji juga menguras seluruh
tenaganya. Seorang jago silat jika sudah mengerahkan setakar tenaganya, serangan dilontarkan,
jarang ada yang mampu menariknya balik.
Pada saat yang sama, dua ujung tombak berlomba menusuk ke tubuh Siau Ma. Seperti bola
yang dilempar pegas, mendadak tubuh Siau Ma mencelat mumbul ke udara, darah segar
berhamburan. Kedua batang tombak itu belum juga berhenti, Mereka tidak mampu mengendalikan diri, tak bisa
berhenti, tombak siapa berhenti tombak lawan akan menusuk telak, akibatnya jiwa melayang.
Sudah tentu kedua orang ini tak berani menyerempet bahaya, tidak mau mempertaruhkan jiwa
sendiri. "Orang gila. Mengapa mau bunuh diri?" di tengah jeritan orang banyak, tubuh Siau Ma melayang
ke udara dan dibiarkan terbanting jatuh. Untung tubuh Siau Ma melayang jauh keluar lingkaran,
kalau jatuh lagi ke tengah arena, jiwanya pasti melayang.
Pada saat gawat itulah, dari paya-paya kembang di pinggir rumpun bambu, meluncur seutas
tambang membelit pinggang Siau Ma. Tampak tambang panjang itu menyendal ke atas, tubuh
Siau Ma ikut terangkat naik lebih tinggi lalu ditarik turun ke sana. Tubuhnya tidak melayang ke
tengah arena pertempuran, tapi jatuh dalam pelukan Ting Si.
Darah segar mengalir deras, saking kesakitan Siau Ma meringkuk, wajahnya berkerut, tubuhnya
basah oleh keringat dingin. Tapi sorot matanya tidak menampilkan rasa sakit, tapi menampilkan
rasa senang, puasdan bahagia.
Sebaliknya Ting Si membanting kaki, "Mengapa kau lakukan perbuatan bodoh ini?"
Siau Ma tidak menjawab. Walau berada dalam pelukan Ting Si, sorot matanya menatap orang
lain. "Siau Lin...... Siau Lin.......Siau Lin......" walau kesakitan dan tidak mampu mengeluarkan
suara, namun hatinya berteriak memanggil nama kecil itu.
Air mata meleleh di pipi Siau Lin, entah air mata kesedihan, pilu atau haru dan terima kasih.
Akhirnya Ting Si melihatnya juga, katanya, "Karena dia" Dia menyuruhmu bertindak sebodoh
ini?" Siau Ma memanggut, lalu menggeleng kepala pula. Jelas dia rela melakukan, kalau tidak rela,
tidak ada orang yang bisa memaksanya.
Entah kekuatan apa yang dimiliki gadis ini, ia mampu mengendalikan Siau Ma untuk melakukan
perbuatan bodoh itu" Arak keluar menjadi keringat dan darah, setelah mabuk hilang, pikiran
jernih, setelah sadar rasa sakit justru menyiksa dirinya, lebih hebat dan sukar ditahan.
Kalau bisa semaput, penderitaannyatentu lebih ringan. Tapi Siau Ma meronta dan berusaha
kedua matanya tidak terpejam. Dia ingin menyaksikan akhir pertarungan ini.
Siau Lin menatapnya, dia merasakan betapa Siau Ma menderita, betapa besar limpahan rasa
kasihnya, tak tahan dia menahan perasaan sendiri, memburu maju, di bawah tatapan puluhan
pasang mata dia menubruk tubuh Siau Ma. Sungguh mimpi pun tak pernah terpikir oleh Siau Lin,
bahwa dirinya mempunyai nyali sebesar ini, berani melakukan perbuatan manantang maut itu.
Dalam sekejap, boleh dikata dia tidak peduli segalanya.
Ting Si menurunkan Siau Ma, merebahkan di atas tanah berumput hijau yang subur bak
permadani, biar mereka berpelukan, biar mereka menangis dan melimpahkan isi hatinya,
pernyataan hati tanpa diungkapkan dengan kata-kata.
Air mata bercucuran menetes di muka Siau Ma, tetes air mata itu, seolah mengandung khasiat
ajaib, memiliki kekuatan iblis. Seakan derita Siau Ma menjadi ringan, tiba-tiba dia berkata,
"Apakah kau juga menganggap aku berbuat bodoh?"
Siau Lin mengangguk, tapi menggeleng pula.
Siau Ma tertawa dipaksakan, katanya, "Aku harus bertindak demikian, aku tak punya cara lain."
"Aku tahu......" Siau Ma tak kuasa meneruskan perkataannya, mendadak tangisnya pecah, air
mata tak terbendung lagi.
"Mengapa kau menangis" Apa mereka belum berhenti berkelahi?"
"Belum."
"Temanmu tidak mati?"
"Tidak.".
"Bukankah aku sudah melakukan apa yang kau ingin aku lakukan?"
"I......ya."
Siau Ma menarik napas lega, dia tertawa puas, katanya, "Kalau begitu boleh kau beritahu kepada
kawan kita, bahwa perbuatanku tidak salah, tidak bodoh." Di tengah senyumnya dia
memejamkan mata. Akhirnya dia pingsan.
Pemuda ini menderita namun lega serta terhibur hatinya, Ting Si juga meresapi perasaannya.
Siau Ma adalah temannya, saudaranya pula, ibarat ayahnya.
Angin masih menghembus, cahaya surya tidak menjadi suram karenanya, dua batang tombak itu
masih berlaga dengan sengit di tengah sambaran sinarnya yang gemerdep.
Pelahan Ting Si membalik badan, pelahan pula dia menghampiri arena pertempuran sengit yang
tak kenal kasihan terhadap siapa saja yang berani maju.
"He, apa yang kau lakukan?" teriak Teng Ting-hou kaget.
Ting Si tertawa, langkahnya tidak berhenti..
Teng Ting-hou berseru, "Apa kau ingin melakukan ; perbuatan bodoh?"
Ting Si tertawa. Tiada orang bisa menyelami hubungan lahir batin Ting Si dan Siau Ma, Teng
Ting-hou pun tidak bisa.
Mendadak tubuhnya mencelat bagai terbang, seperti yang dilakukan Siau Ma tadi, dia terjun ke
tengah dua tombak yang lagi berlaga. Seolah-olah lupa jago lihai manapun bisa mampus didera
tusukan tombak runcing itu, arwahnya bisa melayang seketika.
Desir tajam yang ditimbulkan ujung tombak terasa dingin mengiris kulit. Ada orang tahu,
perasaan sesuatu yang teramat dingin dan teramat pahas adalah sama bagi setiap manusia,
kalau tidak mau dikatakan mirip.
Ting Si juga tahu. Begitu terjun ke tengah dua tombak yang berlaga, seolah dirinya terjun ke
dalam tungku. Perasaan Teng Ting-hou menjadibeku.sebeku air yang menetes di permukaan salju. Betapapun
Ting Si tak boleh mati. Dia harus menunjukkan dimana enam mayat dan enam pucuk surat itu
berada, dia bersumpah akan menemukan pengkhianat yang membocorkan rahasia itu.
Akan tetapi Teng Ting-hou juga tahu, Ong-toasiocia dan Kim-jio-ji takkan berhenti dan tidak bisa
berhenti. Terpaksa dengan mendelong dia mengawasi Ting Si terjun ke dalam tungku yang
membara, dia saksikan Ting Si terlempar ke udara oleh ujung tombak yang merobek badannya.
Maka terdengar bentakan nyaring dan keluhan rendah, sebuah benda mencelat ke udara. Yang
terlempar ternyata bukan Ting Si, tapi tombak emas Kim-jio-ji.
Duel antara dua jago kosen, mati pun pantang gaman di tangan terlepas, bagaimana mungkin
tombak emas Kim-jio-ji terlepas dari pegangannya. Ternyata Kim-jio-ji sendiri tidak tahu
bagaimana hal itu terjadi.
Sekejap sebelum tombak emasnya terpental lepas dari tangannya, Kim-jio-ji melihat dan
sekaligus merasakan seorang terjun ke tengah putaran tombaknya dan tombak Ong-toasiocia,
maka dua ujung tombak sekaligus menusuk ke badan orang ini. Tusukan tombak yang tidak
mungkin dihentikan.
Pada detik gawat itulah, dengan tangkas orang itu membuang diri sambil berputar, tahu-tahu
tubuhnya menerobos ke bawah ujung tombak, sebelah tangan memegang tombak, tangan yang
lain merogoh dan menggentak pelahan pinggangnya.
Kim-jio-ji sempoyongan delapan kaki seperti ditumbuk kuda, tombak di tangannya terpental
lepas. Kim-jio-ji hanya mengawasi dengan terbelalak, separoh badannya terasa linu kesemutan,
tenaga tak mampu dikerahkan.
Selama dua puluhan tahun, pertempuran besar kecil sudah ratusan kali dialami, selama itu belum
pernah kalah, apalagi kalah sefatal ini. Mimpi pun tidak pernah terpikir olehnya ada orang mampu
membuat tombaknya lepas hanya segebrak saja, tak terduga pula bahwa orang yang mampu
melucuti senjatanya adalah Ting Si.
Dengan tombak emas di tangan, dalam sekejap Ting Si melancarkan tiga jurus serangan, cepat,
ganas dan tepat. Berubah pucat wajah Kim jio-ji, tiga jurus serangan yang dilancarkan Ting Si itu
adaiah jurus Coa-jek (patuk ular) dari ilmu tombak tunggal yang dimilikinya.
Dengan jurus yang sama Ting Si menghadapi Pa-ong-jio dengan leluasa. Padahal dirinya sudah
melancarkan seluruh jurus Coa-jek yang terkenal culas dan keji itu, tapi susah dikembangkan,
gerakannya terbendung dan selalu patah di tengah jalan, hakikatnya sukar mengembangkan
wibawa ilmu tombaknya yang sejati.
Ting Si hanya melancarkan tiga jurus dan mampu mematahkan permainan Pa-ong-jio, mendadak
ujung tombak menyendal ke atas disertai hardikan nyaring, "Lepas."
"Wut", Pa-ong-jio yang beratnya tujuh puluh tiga kati itu disonteknya mumbul ke udara dengan
deru angin kencang.
Ong-toa siocia sempoyongan mundur delapan langkah.
Sigap sekali Ting Si melejit ke udara laiu bersalto sekali, dengan sebelah tangan dia menangkap
Pa-ong-jio, sementara tangan yang lain melemparkan tombak emas, ke arah Ji-sam.
Terpaksa Ji-sam mengulur tangan menangkap tombak sendiri. Ketika tombak sudah terpegang
baru dia sadar, tubuhnya tidak kesemutan lagi, tenaga telah pulih seperti sedia kala.
Ting Si mengawasinya dengan tersenyum.
$ Kim-jio-ji mengertak gigi, pergelangan tangan berputar, mendadak tombaknya mematuk, dalam
sekejap dia menyerang tiga jurus. Tiga jurus yang barusan digunakan Ting Si untuk mematahkan
permainan Pa-ong-jio, yaitu Tok-coa-jut-hiat (ular beracun keluarlubang), Ban-coa-toh-sin (ular
melingkar menjulurkan lidah) dan Coa-bwe-jio (tombak buntut ular), tiga jurus Coa-jek yang
paling ganas dan mematikan.
Sedikitnya sudah tiga puluh tahun Kim-jio-ji mengembangkan diri dalam permainan ilmu
tombaknya, dia yakin tiga jurus yang dilancarkan ini tidak kalah lihai dan mahir dibanding
permainan Ting Si. Kalau dengan tiga jurus yang sama Ting Si mampu menyelinap ke lubang Paongjio yang terlemah, mengapa dirinya tidak" Tapi kenyataan dia tidak mampu. Begitu tiga jurus
tombak itu dilancarkan seketika dia sadar bahwa diri-nya sudah terbelenggu oleh kekuatan
besar. Kalau tombaknya ganas laksana ular beracun, maka Pa-ong-jio di tangan Ting Si
adalah batu raksasa yang laksaan kati beratnya. Batu besar dan berat ini menindih kepala
sang ular hingga tak mampu berkutik lagi.
Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terdengar Ting Si menghardik lantang, "Lepas!"
Segulung tenaga bak air bah melanda tak terbendung, Kim-jio-ji hampir tak bisa bernapas oleh
kekuatan yang menindih ini, sekujur tubuh seperti tertindih gepeng, tahu-tahu tombak di
tangannya lepas dari pegangannya. Hanya dalam beberapa kejap, dua kali tombaknya lepas,
dua kali dilucuti lawan.
Sinar gemerdep meluncur di angkasa, "Jlep", tombak itu menancap tak jauh di samping Ji Sam..
Dia tidak bergerak, tidak buka suara.
Pa-ong-jio juga menancap di samping Ong-toasiocia, gagang tombak bergetar mengeluarkan
suara mendengung.. Ong-toasiocia juga tidak bergerak, tidak bersuara, wajahnya yang semula
pucat tampak merah padam, bibir yang semula merah justru kelihatan pucat.
Dengan tertawa Ting Si mengawasi Ong-toasiocia lalu menoleh mengawasi Ji Sam, "Dengan
ilmu tombak yang kalian miliki sekarang, apalagi yang harus diperebutkan" Ingin menang atau
ingin menjadi juara?" demikian kata Ting Si.
Dengan Coa-jek Kim-jio-ji dia mengalahkan Pa-ong-jio, dengan Pa-ong-jio milik Ong-toasiocia dia
mengalahkan Kim-jio-ji. Ini kenyataan. Setiap hadirin melihat kenyataan ini, mengapa dia harus
banyak bicara lagi" Maka Ting Si hanya tertawa, tawa lembut, ramah dan bersahabat, tawa yang
menyejukkan hati, yang menarik simpati orang.
Tapi Ong-toasiocia justru menganggap tawa itu bagai bisa ular, lebih jahat dari ular, lebih runcing
dari jarum. Bola matanya yang jeli bening itu tampak berkaca-kaca. Mendadak dia membanting
kaki, Pa-ong-jio dicabutnya lalu berlari pergi sambil menyeret tombaknya, sekali tarik dia
menyeret Toh Yok-lin.
Toh Yok-iin mandah saja diseret. Dia tidak ingin pergi, tapi tak berani menolak, tak berani
meronta, beberapa langkah kemudian, dia menoleh ke belakang. Ketika dia melengos, air mata
meleleh di pipinya.
Kim-jio-ji masih menjublek, melongo mengawasi tombak di depannya. Tombak ini adalah simbol
kebesarannya, simbol kebanggaan jiwa raganya, tapi sekarang, tombak ini telah mendatangkan
hina dan aib. Rona mukanya tidak memperlihatkan perasaan apa-apa, bagaimana rasa hatinya,
hanya dia saja yang tahu.
Derita dan duka lara, seperti juga payudara perempuan, bukan untuk dipertontonkan kepada
orang lain. Makin besar derita, makin harus disembunyikan. Bukankah demikian pula dengan
payudara" Mendadak Kim-jio-ji tertawa, pelahan dia mengangkat kepala berhadapan dengan Ting Si,
katanya, "Banyak terima kasih padamu."
"Terima kasih kepadaku" Mengapa terima kasih kepadaku?"
"Karena kau telah membantu aku menyelesaikan persoalan pelik."
"Persoalan pelik apa?"
Pandangan Kim-jio-ji tertuju ke pegunungan hijau nan jauh di sana, sorot matanya tampak lembut
dan hangat, suaranya kalem, "Di bawah gunung sana aku membeli beberapa petak sawah,
kubangun petak rumah, di belakang rumah ada ratusan pucuk bambu, di depan rumah kutanam
puluhan pohon sakura, di tengah lekuk liku hutan bambu dan sakura, terdapat aliran sungai kecil
yang bening airnya.."
"Tempat bagus," puji Ting Si.
"Aku sudah membuat rencana setelah cuci tangan dan mengasingkan diri, di sana aku akan
hidup tenteram dan bersahaja menghabiskan hari tuaku."
"Tekad yang bagus, patut dipuji," ujarTing Si.
Kim-jio-ji menghela napas, katanya, "Sayang sekali nama kosong membuat orang sengsara,
selama ini aku susah mengambil keputusan, entah sampai kapan aku bisa menurunkan beban
berat ini."
Ting Si juga menghela napas, ujamya, "Nama kosong membuat orang sengsara, memangnya
berapa gelintir manusia di dunia ini yang bisa menurunkan beban tak kelihatan itu?"
"Untung aku bertemu denganmu, karena kau, aku berkeputusan, aku bertekad."
"Bertekad menurunkan beban itu?"
Kim-jio-ji menganggukkan kepala.
"Tekadmu baik, kapan kau akan menurunkan bebanmu?"
"Sekarang juga," Kim-jio-ji tertawa, tertawa riang dan enteng, tawa gembira, sekarang dia sudah
menurunkan beban, membuang nama kosong. Dia tidak punya tekad atau keinginan
memperebutkan nama dan kemenangan, dia tidak rela mempertaruhkan jiwa hanya untuk
merebut nama kosong, mengadu jiwa dengan orang lain.
Untuk membuka bundel tidak mudah, pantas kalau dia merasa enteng dan gembira. Apa betul
hatinya lapang dan sudah membuka seluruh bundel itu" Apakah dia tidak merasa hambar,
getirdan kehilangan" Sudah tentu hanya dia yang tahu, dia sendiri yang meresapi.
"Kalau ada tempo, boleh kau ke sana mencariku."
"Baik, akan kucatat dalam hati, di belakang rumah ada pohon bambu, di depan rumah ada pohon
sakura." "Dalam rumah ada arak."
"Baiklah, selama hayat masih di kandung badan, kelak aku pasti datang."
"Bagus, selama aku masih hidup, aku menunggu kedatanganmu."
Kim-jio-ji betul-betul tenang lahir batin, kelitiatan bebas dan merdeka. Seprang meski kalah, kalau
kalah secara jantan, pergi dengan bebas, apa salahnya kalah" Kemana pun diaboleh pergi"
Sang surya belum terbenam, bayangan Kim-jio-ji sudah tidak kelihatan lagi.
Mendadak Teng Ting-hou menghela napas, ujarnya, "Kelihatannya orang itu termasuk orang
gagah, laki-laki sejati."
"Ya, dia patut disebut pendekar."
"Agaknya menilai orang adalah keahlianmu,"
"Ya, aku memang ahli dalam bidang ini."
"Aku pun pandai membereskan persoalan pelik yang tak bisa diselesaikan orang lain."
"Aku pun dapat menyelesaikan persoalan pelik itu."
"Terus terang aku tidak tahu bagaimana melerai duel Kim-jio-ji dengan Ong-toasiocia, tetapi kau
berhasil menghentikan duel mereka."
"Caraku selalu manjur."
"Peduli caramu itu betul atau salah" Baik atau buruk, yang benar memang manjur."
"Oleh karena itu orang memanggilku Ting Si si cerdik pandai."
Teng Ting-hou tertawa.
"Tahukah kau, diriku ini masih memiliki kebaikan lain yang lebih besar?"
Teng Ting-hou menggeleng kepala.
"Kebaikanku yang paling besar, yaitu tidak setia kawan."
"Tidak setia kawan?"
"Teman baik satu-satunya yang selama ini mendam-pingiku sekarang sedang rebah di.tanah,
aku membiarkan orang yang menusuknya pergi, malah mengobrol tidak habis-habisnya
denganmu."
* * * * * Siau Ma rebah di atas ranjang. Ranjang Ang-sin-hoa tentunya.
Orang gemuk suka tidur di ranjang yang keras, demikian pula anak-anak muda, suka tidur di
ranjang yang keras juga. Ang-sin-hoa tidak gemuk, usianya sudah lanjut, maka ranjangnya
empuk, lagi besar.
Ang-sin-hoa menghela napas, katanya, "Setelah aku berusia tujuh puluh tahun, baru biasa tidur
seorang diri."
Teng Ting-hou bertanya, "Tahun ini kau sudah berusia tujuh puluh?"
Ang-sin-hoa melotot, katanya, "Siapa bilang usiaku tujuh puluh, tahun ini aku baru berusia enam
puluh tujuh."
Teng Ting-hou ingin tertawa, namun tidak berani tertawa, karena melihat Siau Ma membuka
mata. Begitu membuka matanya, segera Siau Ma bertanya, "Mana Siau Lin?"
"Siau Lin?"
"Siau Lin adalah gadis yang kau lihat tadi."
Ting Si mengawasinya, mimik mukanya tampak dingin, mimik tawa tak terbayang di wajahnya.
Siau Ma berkata pula, "Dia adalah gadis yang baik, gadis yang ayu."
Ting Si diam saja.
"Dia penurut, gadis jujur dan setia."
Ting Si tetap diam.
"Aku tahu dan merasakan, dia baik terhadapku."
Tawar suara Ting Si, "Kau terluka parah lantaran dia, tapi dia justru tinggal pergi."
Siau Ma menggigit bibir, agak lama kemudian bam berkata pelahan, "Dia pergi, tentu ada
alasan." "Dia punya alasan untuk tinggal di sini."
"Kau......apakah kau tidak suka kepadanya?"
"Aku hanya ingin memberi peringatan kepadamu."
Siau Ma mendengarkan:
"Dia sudah pergi, kelak kau tidak akan bertemu lagi dengannya, maka......"
"Maka bagaimana?"
"Lebih baik kau lupakan dia."
Gemeratak gigi Siau Ma, lama dia diam saja, mendadak dengan keras dia meninju sisi ranjang,
katanya keras, "Lupakan, ya lupakan, memangnya urusan sepele begini harus dibuat pikiran,
maknya." Ting Si tersenyum, katanya, "Aku sedarig heran, mengapa kau tidak memaki 'maknya', kukira
kura-kura cilik sepertimu ini sudah berubah sifat."
Siau Ma tertawa, dengan meronta berusaha duduk.
"Apa yang hendak kau lakukan?"tanya Ting Si.
"Aku ikut kau."
"Kau bisa ikut aku?"
"Selama aku masih bemapas, kemanapun kura-kura tua pergi, umpama harus merangkak juga
aku harus ikut."
Ting Si tertawa lebar, serunya, "Bagus, mau ikut juga boleh."
Ang-sin-hoa mengawasinya dengan tersenyum geli, katanya, "Kalian kura-kura cilik ini memang
teman baik, maknya, teman baik yang setia kawan, maknya." Belum habis berbicara mendadak
dia berjingkrak sambil melayangkan telapak tangannya, "plak", dengan keras dia gampar pipi
Ting Si. Ting Si tertegun.
Bersambung ke bagian 4
Sambil bertolak pinggang Ang-sin-hoa menuding dan memaki, "Mengapa tidak kau periksa
lukanya, memangnya kau ingin melihat kakinya cacad, merangkak di belakangmu seperti kurakura?"
Ting Si hanya menyengir getir.
Ang-sin-hoa menuding hidungnya, serunya gemas, "Kalau kau ingin enyah, lekas enyah, lebih
cepat lebih baik, tapi kura-kura ini harus tetap di atas ranjang, biar aku yang merawat lukalukanya,
siapa berani membawa dia pergi, akan kupatahkan kedua kakinya."
"Tapi aku......"Ting Si gelagapan.
"Kau mengapa?" tukas Ang-sin-hoa. "Kau enyah tidak?" Tangannya bergerak lagi.
Ting Si kapok, lekas dia berlari keluar sambil tertawa, ujamya, "Baiklah, aku enyah, segera aku
pergi." Keruan Siau Ma gugup, teriaknya, "He, kau tidak mau membawaku?" Belum habis dia bicara,
pipinya juga kena tarn pa ran keras.
"Setan, jangan memanggilnya?" bentak Ang-sin-hoa melotot. "Apa perlu kujahit mulutmu?"
Dengan menyengir Siau Ma menggeleng, ujarnya "Tidak, aku tidak mau."
"Nah, tidurlah, jangan banyak bertingkah, kalau cere-wet biar kujahit mulutmu."
Siau Ma merebahkan diri tak berani bersuara lagi. Di hadapan Ang-sin-hoa, si Kuda Binal
menjadi anak kambing yangjinak.
"Masih tidak lekas enyah" Ingin kuserampang kaki-mu?" dia menyambarsapu dan memburu ke
arah Ting Si. Ting Si lari ke pekarangan, segera naik kereta yang menunggudi pinggirsana, setelah duduk di
atas kereta, lega rasanya, katanya tertawa getir, "Nenek tua itu terlalu galak."
Teng Ting-hou ikut mengeluyur keluar, ia pun menghela napas, katanya, "Ya, galak setengah
mati." "Pernah kau melihat nenek segalak itu?"
"Tidak, belum pernah."
"Belum pernah aku melihat yang kedua."
"Apa betul kau takut kepadanya."
"Ah, pura-purasaja."
Teng Ting-hou tertawa lebar, katanya, "Agaknya dia bukan nenekmu sesungguhnya."
"Memang bukan."
"Jadiapamu......"
"Waktu aku lapar, hanya dia yang memberi nasi kepadaku, bila pakaianku robek, dia yang
menjahit dan menambalnya, bila aku dihajar orang, terluka, dia yang merawatku, asal aku ingat
kepadanya, derita akan kulupakan sama sekali."
"Bila kau kemari, kau akan mendapat perawatannya."
Ting Si mengangguk, katanya tersenyum, "Sayang usianya sudah tua, kalau masih muda pasti
kuambil jadi biniku."
Sekian lama Teng Ting-hou menatapnya, mendadak bertanya, "Apa betul kau tak pernah berpikir
untuk mencari jodoh?"
"Memangnya kau ingin menjadi comblangnya?"
"Aku punya pitihan, dia adalah pasanganmu yang setimpal."
"Siapa?"
"Ong-toasiocia."
Mendadak sirna tawa Ting Si, katanya dengan muka muram, "Kalau kau suka dia, mengapa tidak
kau saja yang kawin dengannya."
Teng Ting-hou tertawa, katanya, "Bukan aku tidak pernah berpikir, sayang usiaku sudah tua
apalagi di rumah aku sudah memelihara seekor macan betioa yang galak."
Wajah Ting Si membeku, jengeknya, "Lucu, lucu, mengapa kau makin lama berubah makin lucu."
"Karena......" belum habis dia bicara, terjadi goncangan keras disertai suara gemuruh, kereta
besar yang mereka naiki, termasuk kudanya terperosok ke dalam lubang besar.
Ting Si maiah tertawa lebar, tertawa geli.
Ternyata Teng Ting-hou juga tetap duduk ditempatnya, tanpa bergerak, sikapnya wajar, tidak
kaget atau heran, tenang-tenang saja.
Ting Si berkata dengan tertawa, "Menjebak kuda masuk lubang adalah salah satu keahlianku,
siapa nyana orang lain juga menggunakah cara ini untuk menjebakku."
"Darimana kau tahu perangkap ini ditujukan kepadamu?" tanya Teng Ting-hou.
Ting Si menyengir, katanya, "Aku tahu, karena inilah yang dinamakan karma."
Di luar, seorang mengetuk atap kereta dengan keras, katanya lantang, "Hayo keluar, juragan ada
urusan ingin bicara dengan kalian."
Ting Si menoleh ke arah Teng Ting-hou, katanya, "Apa kau tahu, didaerah ini ada juragan
besar?" Teng Ting-hou berkata, "Tempat ini tidakjauh dari Loan-ciok-kang, wilayah kekuasaanmu,
pantasnya kau lebih jelas dariku."
"Menurut hematku, daerah ini, juragan paling besar hanya kau seorang."
Orang di luar itu berkoar lebih keras, mendesak mereka keluar, atap kereta hampir jebol dipukul
pentung. "Kau mau keluar atau tidak?" tanya Ting Si.
"Tidak keluar, apa bisa?" Teng Ting-hou balas bertanya.
"Tidak bisa.."
Teng Ting-hou tertawa getir, katanya, "Ya, kurasa memang tidak bisa."
Ting Si mendorong pintu kereta, katanya, "Silakan."
"Kau dulu silakan, kau kan tamuku."
"Tapl usiamu lebih tua, selama hidup aku paling hormat kepada orang yang lebih tua."
"Sejak kapan kau berubah sungkan."
"Tadi kudengar di luar ada suara gendewa yang siap membidikkan panah, maka aku
berkeputusan untuk bersikap ramah kepadamu."
Teng Ting-hou tertawa, sudah tentu ia pun mendengar gendewa ditarik siap dibidikkan.
Kereta dikepung, panah siap membidik, bila mereka keluar dari kereta, badan akan terpanah
seperti landak. Tapi mereka masih berkelakar dan tertawa wajar, tertawa riang.
Teng Ting-hou berkata, "Setelah aku keluar, bila badanku terbidik panah, bagaimana
denganmu?"
"Aku akan menjadi kura-kura saja, bersembunyi dalam kereta, umpama mereka menyembah
padaku seperti mereka menyembah kakek moyangnya, aku tetap takkan keluar."
Teng Ting-hou tergelak-gelak, serunya, "Bagus, akal bagus."
"Jangan lupa, aku ini Ting Si yang terkenal cerdik pandai, akal yang kupikir pasti karya terbesar
dan terbaik."
Di tengah gelak tawanya, Teng Ting-hou melangkah keluar, cukup lama dia berdiri di luar,
ternyata badannya tidak kurang sesuatu apa, tetap segar bugar.
Seorang berdiri di hadapannya, di tempat yang lebih tinggi, dari dalam kereta hanya terlihat
sepasang kaki saja. Sepasang kaki yang halus dan jenjang, kaki yang dibung-kus kaos kaki putih
dengan sepatu sulam burung walet, sepasang kaki perempuan.
Laki-laki jelas tak memiliki kaki perempuan, apakah juragan besar itu seorang perempuan"
Dari dalam kereta Ting Si bertanya lantang, "Bagaimana keadaan di luar?"
"Cuaca cerah ceria, tidak dingin juga tidak terlalu panas," sahut Teng Ting-hou.
"Kalau begitu, aku tidak akan keluar."
"Lho, mengapa?"
"Aku taktahan hidup di udara seperti itu, bila aku berada di luar, aku bisa jadi gila."
"Tapi cuaca mulai berubah, mega mendung, kelihatannya akan hujan."
"Kau takut kehujanan?"
"Takut sekali."
"Tapi sekarang hujan belum turun."
"Maksudmu aku harus berdiri di luar menunggu hujan?"
Teng Ting-hou menghela napas, tertawa getir mengawasi juragan besar yang berdiri didepannya,
katanya, "Agaknya bocah ini bertekad tidak mau keluar."
Toa-laupan atau juragan besar menyeringai, "Mau atau tidak, dia harus keluar."
"Kau punya akal untuk memaksanya keluar?"
"Kalau tidak mau keluar, akan kubakar kereta ini."
Teng Ting-hou bertepuk tangan, katanya menghela napas, "Aku tahu, kalau di dunia ini ada
orang yang dapat menghadapi Ting Si, orang itu adalah Ong-toasiocia."
Juragan besar itu ternyata Ong-toasiocia.
Empat laki-laki berdiri di belakangnya, memanggui po (tombak), deiapan laki-laki lain berkeliling
Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membentang busur siap membidik dengan panah.
Toh Yok-hn tampak duduk di bawah pohon di kejauhan sana, duduk menyisir rambut dengan
sebuah sisir besar terbuat dari tanduk kerbau.
Ong-toasiocia berkata dingin, "Orang-orang ini adalah petugas Piaukiok kami, kalau kusuruh
mereka menyulut api, mereka akan membakar kereta, kalau kuberi aba-aba, panah mereka akan
minta korban, aku tidak main gertak."
"Ya, aku tahu," sah'ut Teng Ting-hou.
"Lekas kau suruh bocah she Ting itu menggelundung keluar," desak Ong-toasiocia.
"Bagaimana setelah keluar?" tanya Teng Ting-hou.
"Dia harus menjawab pertanyaanku secara jujur, aku pasti tidak akan mencari perkara padanya."
"Baiklah, biar aku masuk dan berunding dengannya," demikian ucap Teng Ting-Hou. Baru saja
dia membungkuk hendak menyelinap ke dalam kereta, atap kereta mendadak jebol dengan
suaranya yang keras, seperti diseruduk banteng atap kereta belong. Bayangan seorang tampak
menerobos keluar, gerak-geriknya cepat dan tangkas, kekuatannya mampu membuat tubuhnya
terbang tiga tornbak tingginya. Tapi paling tinggi dia hanya melesat tiga kaki saja.
Di atas lubang besarternyata ditutup jaring ikan yang besardan ulet.
Teng Ting-hou menghela napas gegetun, katanya, "Kan sudah kubilang, bila berhadapan dengan
Ong-toasio-cia, kau akan masuk ke dalam jaring perangkapnya."
Ting Si menarik muka, sambil duduk di atas kereta dia berkata dingin, "Aneh dan lucu, kau
kelihatannya makin lucu saja." Menghadapi persoalan pelik sekalipun biasanya dia tetap tertawa
wajar, tapi sekarang dia tidak bisa tertawa. Entah karena apa, setiap kali bertemu atau
berhadapan dengan Ong-toasiocia, dia tidak bisa tertawa lagi.
Ong-toasiocia tidak tertawa, ia cemberut, katanya, "Meski hanya delapan busur yang siap
membidik, namun sekali kau bergelak, mereka mampu membidikkan lima puluh enam batang
panah ketubuhmu."
Ting Si tidak bergerak. Dia tahu delapan orang itu adalah ahli panah yang tak boleh dianggap
enteng. Ong-toasiocia menjengek, "He, mengapa kau tidak bergerak?"
"Karena aku sedang menunggu," sahut Ting Si.
"Menunggu apa?" Ong-toasiocia menegas.
"Kutunggu pertanyaan apa yang hendak kau ajukan kepadaku?"
Ong-toasiocia menggigit bibir, bila tegang dia selalu menggigit bibir. Persoalan apa yang hendak
dia tanyakan kepada Ting Si" Mengapa harus setegang itu"
Teng Ting-hou tidak habis mengerti.
Akhirnya Ong-toasiocia bersuara dingin, "Sudah banyak urusan kau selesaikan dengan kurang
ajar, memandang muka Teng Ting-hou, aku malas membuat perhitungan denganmu. Tapi ada
satu hal ingin aku bertanya kepa-damu supaya jelas duduk persoalannya."
"Boleh kau tanyakan," ucap Ting Si.
Rona muka Ong-toasiocia mendadak berubah hijau kelam, kedua jari tangannya saling remas,
dia menggigit bibir, setelah gejolak hatinya tenang baru dia bertanya, "Pada tanggal tiga belas
bulan lima yang lalu, kau berada dimana?"
"Tanggal tiga belas bulan lima tahun ini maksudmu?" tanya Ting Si.
"Betul, tanggal tiga belas bulan lima yang lalu."
"Kau membuang tenaga dan pikiran, menggali lubang besar ini, tujuanmu hanya untuk
mengajukan pertanyaan ini kepadaku?"
"Betul, soal itu ingin kutanya kepadamu, kuharap kau tahu diri, jawablah sejujurnya."
Tampaknya dia bukan saja tegang, tetapi juga haru dan sedih, saking emosi suaranya pun
gemetar. Tanggal tiga belas bulan lima, dimanakah Ting Si" Ada sangkut-paut apa dengannya" Mengapa
sikapnya setegang itu" Teng Ting-hou makin bingung.
Ting Si juga heran, mendadak dia menghela napas, katanya, "Untung yang kau tanyakan adalah
tanggal tiga belas bulan lima, agaknya nasibku masih mujur."
"Mengapa?" tanya Ong-toasiocia.
"Kalau kau tanya tanggal lain, sudah kulupakan, aku tak bisa memberi penjelasan."
"Tapi kejadian tanggal tiga belas bulan lima itu, kau tidak bisa melupakannya?"
Ting Si memanggut, ujarnya, "Ya, hari itu aku mela-kukan sesuatu yang menggembirakan hati."
"Sesuatu apa yang kau lakukan?" sepasang tangan Ong-toasiocia saling genggam, sekujur
badan bergetar.
Ting Si malah menoleh, tanyanya kepada Teng Ting-hou, "Kau tahu tidak, apa yang kulakukan
pada tanggal 13 bulan 5?"
Teng Ting-hou tertawa getir, ujarnya, "Sudah tentu aku tahu, aku tahu jelas sekali."
"Apa yang telah dia lakukan hari itu?" bentak Ong-toasiocia dengan nada tinggi.
"Dia membegal barang kawalan kita," sahut Teng Ting-hou.
"Jelas tidak, dimana dia turun tangan?"
"Di sekitar Thay-goan."
"Kau tidak salah ingat?"
"Kejadian lain mungkin bisa kulupakan, tapi peristiwa yang satu ini, sampai mati juga takkan
lupa." "Mengapa?" desak Ong-toasiocia.
"Sedikitnya aku punya seratus tiga puluh lima ribu alasan."
Ong-toasiocia melenggong, tidak paham.
Teng Ting-hou tertawa getir, katanya, "Karena kasus itu, aku harus membayar ganti rugi seratus
tiga puluh lima ribu tail perak, setiap tail perak cukup membuatku ingat peristiwa ini."
102 Ong-toasiocia tak bisa bicara, mimik wajahnya kelihatan merasa lega, tapi juga seperti kecewa.
"Ada persoalan lain yang ingin kau ajukan lagi?" tanya Ting Si.
"Sudah tentu ada," sahut Ong-toasiocia.
"Masih ada?" Ting Si heran.
"Jawab pertanyaanku. Aku berduel dengan orang she Ji, apa sangkut pautnya dengan kalian"
Berdasar apa kalian mencampuri urusanku?"
"Kalau tidak salah tadi kau bilang, tidak akan membicarakan persoalan lain denganku."
"Sekarang aku justru ingin tahu."
"Siau Ma hendak membantumu," ujar Ting Si.
"Membantu aku?"
"Dia takut kalau kau kalah dan mati."
Ong-toasiocia gusar, serunya, "Memangnya dia tidak tahu dalam dua puluh jurus aku mampu
merobohkan Ji Sam?"
"Dia memang tidaktahu."
"Memangnya dia orang buta?"
"Bila matanya melihat jelas sesuatu, mana mungkin dia beraggapan bahwa nona Toh lemah
lembut dan aleman, malah bersikap baik terhadapnya?"
"Peduli amat gadis macam apa dia, kau tak perlu mengurus."
"Memang aku tidak mau mengurus."
"Sampaikan kepada bocah she Ma itu, dia harus menyingkir jauh, selama hidupnya jangan
sampai kami melihatnya lagi."
"Akan kusampaikan kepadanya."
"Umpama laki-lakii di dunia ini mampus seluruhnya, akan kutentang Siau Lin kawin dengannya."
"Terima kasih, banyak terima kasih."
Ong-toasiocia menggigit bibir, matanya melotot gusar, katanya, "Cukup sampai di sini, sekarang
kau boleh turun dan berlutut."
"Apa" Berlutut?" Ting Si menegas.
"Bukan saja harus berlutut, kau harus menyembah tiga kali kepadaku."
"Mengapa aku harus berlutut dan menyembah kepadamu?"
"Karena aku yang memberi perintah."
"Karena orang-orangmu pandai membidik panah beruntun begitu?"
"Memangnya kau ingin mencobanya?"
Ting Si tertawa. Ada beberapa macam gaya tertawa Ting Si, yang terang tertawanya sekarang
membuat orang merasa dongkol atau benci.
"Ong-toa-sio-cia melotot, dengusnya, "Kau memandang rendah panah berantai mereka?"
TawarsuaraTing Si, "Bahwasanya panah berantai kalian panjang atau pendek" Runcing atau
bundar" Aku kan belum pernah menjajal atau merasakan."
"Jadi kau ingin menjajal dan merasakan?"
"Ya, ingin sekali."
"Sebetulnya aku tak ingin membuatmu pendek umur, setelah mampus jangan kau salahkan aku."
"Jangan kuatir, aku pasti tidak mati," mendadak Ting Si berdiri, dengan kedua tangannya dia tarik
kanan sendal kiri, kedua tangan terus digentak seperti orang menyobek kain. Jala ikan itu kokoh
kuat, ikan hiu puntakkan lolos bila terjaring, hanya sekali sendal ternyata jebol dan bolong oleh
gentakan tangan Ting Si.
Berubah air muka Ong-toasiocia, serunya sengit, "Jangan biarkan dia pergi, tahan dia." Begitu
aba-aba dikeluarkan, delapan gendewa segera menjepret beruntun, tiap gendewa membidikkan
tujuh batang panah, ujung panah yang runcing mendesing memecah udara, anak panan
berhamburan seperti laron terbang menerjang api.
Tangan Ting Si laksana burung gereja yang senang makan laron. Sebatang panah membidik
datang, dia sambut sebatang, sepuluh batang menerjang bersama, diatangkap sepuluh batang,
dalam sekejap lima puluh enam batang panah telah berada di tangannya.
Kejap lain lima puluh enam batang panah itu laksana seutas benang meluncur dari tangannya,
semua menancap di atas pohon besar tak jauh di samping Toh Yok-lin.
Mendadak Ting Si menghardik, "Putus."
Lima puluh enam batang panah yang menancap di pohon satu demi satu rontok berhamburan,
tinggal mata panahnya saja yang kemilau masih menancap di dahan pohon.
Ting Si bertepuk tangan, katanya tersenyum, "Kurasa panah berantai apa, babi pun takkan mati
terpanah."
Membesi hijau muka Ong-toasiocia, bibirnya gemetar, suaranya tertelan dalam tenggorokan.
Ting Si bertepuk tangan lagi, katanya riang, "Aku tetap berada di sini, karena aku ingin
mendengar persoalan yang ingin kau tanyakan padaku, panah berantai seperti tadi ada ribuan
juga jangan harap dapat merintangi langkahku, mau pergi boleh pergi, siapa dapat merintangiku."
Ong-toasiocia menggigit bibir, desisnya geram, "Bagus, memang bagus."
"Sekarang kau masih menyuruhku berlutut dan menyembah?"
"Sekarang apa kehendakmu?"
"Kau bisa membaca tidak?"
Ong-toasiocia menatapnya lekat, seolah ingin mengetuk bolong dua lubang dijidat orang.
"Kalau kau kenal huruf dan pandai membaca, kenapa kau tak menoleh dan memeriksa dengan
seksama?" Terpaksa Ong-toasiocia membalik badan pelahan, dilihatnya lima puluh batang panah yang
ditimpuknya di atas pohon itu berbaris menjadi dua huruf yang berbunyi, "Selamat bertemu."
Gaya dan gerak apakah yang dilakukan Ting Si tadi" Tenaga apa pula yang dia gunakan"
Pelahan Ong-toa-siocia menarik napas panjang, badannya kaku dan tak mampu membalik lagi.
Sungguh dia kehabisan akal, bagaimana harus menghadapi Ting Si"
"Kau tahu apa arti kedua huruf itu?" tanya Ting Si.
Ong-toasiocia membanting kaki, sambil melengos segera dia hengkang dari tempat itu.
Ting Si berkata dingin, "Aku bilang selamat bertemu, sebenarnya aku harap selama hidup kita
jangan bertemu lagi."
Gng-toasiocia tetap menggigit bibir, dia melompat ke punggung seekor kuda lalu dibedal dengan
kencang. Terdengar suara berkumandang dari kejauhan, "Siapa yang ingin bertemu denganmu,
maka dia adalah kura-kura."
Hari menjelang magrib, sang surya masih memancarkan cahayanya yang kekuning-kuningan.
Ting Si dan Teng Ting-hou sedang beranjak di bawah sinar surya itu, keringat sudah membasahi
sekujur badan, pakaian lengket dengan badan mereka.
Kereta mereka rusak, kuda juga patah kakinya, kusir kereta disuruh pulang oleh Teng Ting-hou
setelah diberi sangu, terpaksa mereka berjalan kaki.
Jalan raya lengang, sebuah kereta kosong pun tiada yang lewat.
Setelah menghela napas Teng Ting-hou mengeluh, "Cahaya surya menjelang magrib indah
cemerlang, terutama sinar surya di musim panas, aku selalu senang me-nikmatinya."
"Tapi sekarang kau tahu, meski di bawah pancaran sinar surya yang paling cemerlang sekalipun,
bila harus menempuh perjalanan jauh dengan kedua kaki, rasanya tentu cukup menyiksa."
Teng Ting-hou menyeka keringat, sambil tertawa getir, "Ya, memang tersiksa."
Ting Si memandang jauh ke depan, boia matanya membayangkan rona gelap, katanya pelahan,
"Kalau kau keluyuran dengan kedua kakimu sendiri, pasti akan kau temukan banyak kejadian
yang sebelumnya tak pernah terbayang."
"Ah, apa benar?"
"Sebetulnya ingin kubawa kau ke Loan-ciok-kang un-tuk merasakan sendiri."
"Loan-ciok-kang?"
"Di sana ada puluhan perempuan dan anak-anak, setiap hari bekerja keras memeras keringat,
namun tiap kali makan tidak pernah kenyang."
"Lho, mengapa?"
"Sehafusnya kau tahu mengapa mereka tak pernah makan kenyang," dingin suara Ting Si.
"Maksudmu mereka adalah para janda dan anak yatim dari keluarga Soa bersaudara?"
"Lantaran mereka membegal barang hantaran yang dilindungi Ngo-coan-ki, maka mereka mati
dengan konyol, para janda dan anak yatim itu dari keiuarga Soa, maka pantas dan patut mereka
bekerja beratdan kelaparan, orang-orang persilatan jelas takkan ada yang simpatik terhadap
nasib mereka, siapa yang mau menampilkan diri demi kesejahteraan hidup mereka."
Akhirnya Teng Ting-hou mengerti juga, katanya kecut, "Jadi kau membegal barang hantaran kita
untuk membebaskan mereka dari penderitaan?"
"Memangnya mereka bukan manusia?" jengek Ting Si.
"Apakah kau tidak bisa menggunakan cara lain untuk membantu mereka?"
"Cara apa yang harus kugunakan" Apa anak-anak itu bisa diangkat menjadi Piausu" Sementara
janda-janda muda itu menerima tamu, mengtiibur laki-laki hidung belang?"
Terkancing mulut Teng Ting-hou.
Ting Si juga tidak bersuara lagi, mereka terus beranjak ke depan, pelan langkah mereka, masingmasing
seperti dirundung banyak persoalan.
Apa yang telah dilakukannya pantas menurut anggapan mereka, tapi sekarang mereka pun
bingung dan susah membedakan, siapa benar dan pihak mana yang salah" Mungkin di tengah
perbedaan antara betul dan salah itu, sukar ditemukan garis yang tegas.
Di saat mentari hampir tenggelam, derap lari kuda berkumandang di kejauhan, kejap lain tiga
ekor kuda berlari kencang lewat di samping mereka.
Ketiga penunggang kuda mengayun cemetinya bersama, "Tar", sambil membusungkan dada,
mereka mencongklang kuda lebih kencang, hakikatnya tidak menghiraukan kedua orang yang
lagi menempuh perjalanan dan menyingkir di pinggir jalan saat mereka lewat.
Melihat ketiga orang penunggang kuda itu, mendadak Teng Ting-hou tertawa, katanya," Tahukah
kau siapa ketiga orang itu?"
"Mereka adalah Piausu kelas tiga dari Piaukiok Kui Tang-king, dalam keadaan biasa begitu
melihat aku, pada jarak tiga tombak, mereka sudah membungkuk setengah badan."
Ting Si tertawa, katanya, "Sayang, sekarang kau sedang bernasib jelek."
Begitulah kehidupan manusia, seorang ada kalanya senang, puas dan bahagia, tapi ada kalanya
ketiban sial, bemasib jelek, tiada perbedaan apakah dia seorang raja atau rakyat jelata, laki atau
perempuan, setiap manusia pasti punya giliran yang sama.
Teng Ting-hou tertawa, ujarnya, "Oleh karena itu sedikitpun aku tidak marah."
Setelah ketiga ekor kuda itu pergi jauh, di tengah kepulan debu yang membubung tinggi di udara,
melayang secarik kertas tepat jatuh di depan mereka.
Ting Si sudah melangkah pergi, mendadak dia putar balik serta memungut kertas itu, sorot
matanya memancarkan cahaya.
Teng Ting-hou berkata, "Kertas itu jatuh dari badan mereka.."
"Ya, benar," sahut Ting Si.
"Coba kuperiksa," ucap Teng Ting-hou, tapi hanya sekilas dia memandang tulisan di atas kertas
itu, rona mukanya lantas mengunjuk mimik lucu, huruf hitam itu menyolok pandangan, "Duel
Siang-jio-kek melawan Pa-ong-jio."
Lebih lanjut dia membaca, "Jit-gwat-siang-jio (sepasang tombak rembulan dan matahari) Gak.
Tombak matahari berat 20 kati, panjang 4 kaki 5 dim, tombak rembulan berat 17,5 kati, panjang 3
kaki 9 dim. Pa-ong-jio Ong, panjang 1 tombak 3 kaki 7 dim, berat 73 kati.
Waktu duel tanggal 5 bulan 7, tepat lohor.
Tempat di pekarangan keluarga Hi terletak di karesidenan Tang-yang.
Wasit Hi-kiu Thayya. Saksi Hwe-tan-ping Tan Cun dan Lip-te-hun-kim Tio Tay-ping.
Juri Siau-so-cin So Siau-poh. Pengawas gelanggang Tay-lik-kim-kong Ong Hou dan Siau-sianling
Ban Thong. Banjirilah! Saksikanlah! Ditanggung ramai, seru dan tegang.
Harga karcis setiap orang 10 tail perak."
Melihat baris terakhir, Teng Ting-hou tertawa geli.
Ting Si memang sudah tertawa sejak tadi.
Teng Ting-hou menggeleng kepala, katanya, "Apa artinya duel tokoh Bulim" Kalau begini tak
ubahnya penjual koyo yang mengamen di tengah alun-alun."
"He, benar, bukankah Ban Thong kelahiran penjual koyo kulit anjing."
"O, apa betul?"
"Dia malah punya julukan lain, Bu-khong-put-jip (tanpa lubang takkan masuk), setiap kali ada
kesempatan mendapat uang, pasti tidak diabaikan, kukira ini ulahnya pula untuk menggaruk
uang sebanyak mungkin."
"Agaknya kau sudah kenal?"tanya Teng Ting-hou. "Nama-nama yang tercantum di sini, aku
kenal seluruhnya."
' "O, begitu?"
"Yang betul-betul harimau di atas Ngo-hou-kang (bukit harimau lapar) sebetulnya hanya ada dua
ekor, sisanya yang lain, kalau bukan kucing tentu tikus, seorang pun tiada yang pandai membuat
lubang." "Maksudmu mereka adalah orang-orang Ngo-hou-kang?" "Di antara sekian banyak orang ini,
hanya Jit-gwat-siang-jio Gak Ling saja yang boleh dianggap seekor harimau," demikian Ting Si
menjelaskan. "Aku pernah mendengar nama orang ini, dengan kedudukannya, mengapa dia membiarkan Siausianling melakukan perbuatan brutal begini?"
"Ban Thong memang seekor kucing, dia boleh dianggap rase juga, bukankah harimau sering
dibuat bingung oleh tingkah si rase?"
"Tapi bagaimana dengan Hi Kiu......"
"Hi Kiu terhitung iaki-laki, tapi kalau orang menyanjung puji serta menjilat pantatnya, otaknya
Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan tumpul dan bebal."
"Ya, Siau-so-cin adalah orang yang pandai menyanjung puji dan menjilat pantat orang!"
"Memang tugasnya menyambut tamu yang datang ! Ngo-hou-kang, Tan Gun, Tio Tay-ping dan
aku juga terin tugasdan mendapat bagian rata, demikian puia Ong Hou tukang pukul, padahal
kalau kau membeset kulit merek takkan menemukan sesuatu dalam badan mereka."
"Kelihatannya kau amat sebal dan kurang senang te hadap mereka?" tanya Teng Ting-hou.. Ting
Si diam, dia tidak menyangkai. "Padahal kau pun terhitung warga Ngo-hou-kang," des Teng Tinghou.
Ting Si tertawa, ujarnya, "Rase belum tentu sena bergaul dengan rase, demikian pula tikus atau
kucing, t lum tentu suka dengan tikus atau kucing."
Teng Ting-hou menatapnya, tanyanya, "Jadi kau juga tikus?"
"Kalau aku tikus, bukankah kau menjadi anjing ya suka mencampuri urusan orang lain?"
Teng Ting-hou tertawa, tawa getir. Anjing menangk tikus tugas yang semestinya dia lakukan.
Baru sekarang Teng Ting-hou sadar, dirinya memang terlalu banyak mencampuri urusan orang
lain. "Betul, persoalan inipun seharusnya patut aku tahu," dia remas selebaran itu lalu dibuang.
"Duel antara sepasang tombak melawan tombak tunggal atau harimau jantan melawan macan
betina tiada sangkut pautnya denganku."
"Ada sangkut pautnya," kata Ting Si tegas. "Ada?" Teng Ting-hou berjingkat. "Ngo-hou-kang
bukan tempat setiap orang boleh keluar masuk seenaknya sendiri, dari pos terdepan sampai
belakang gunung, seluruhnya ada tiga puluh enam pos jaga dan delapan belas kelompok
peronda, terus terang aku tidak yakin dapat membawamu ke sana."
"Apakah sekarang kau sudah yakin dapat membawaku ke sana?" tanya Teng Ting-hou.
Ting Si memanggut, katanya tertawa, "Harimau akan turun gunung duel dengan macan betina,
maka kawanan rase, kucing atau tikus tentu tak mau ketinggalan, semua pasti ingin menonton
keramaian."
Bercahaya mata Teng Ting-hou, katanya, "Oleh karena itu, pada tanggal 5 bulan 7 nanti,
penjagaan di Ngo-hou-kang pasti tidak seketat dan sekeras biasanya."
"Ya, pasti."
"Mumpung ada kesempatan, maka saat itu kita menyelundup ke atas gunung."
"Sedikitpun tidak salah."
"Siapa pun tak nyana Ong-toasiocia meiakukan sesuatu kebaikan untuk kita berdua."
Mendadak Ting Si bersikap serius, katanya dingin, "Sayang sekali peristiwa ini justru tidak
membawa kebaikan atau manfaat untuk dirinya."
"Kau kira dia bukan tandingan Gak Ling?" tanya Teng Ting-hou
"Jelas, dia bukan tandingannya," Ting Si berkuatir, katanya lebih lanjut, "Kalau dia tahu diri,
pantasnya dia sadar dirinya belum setimpal menantang duel Gak Ling."
"Aku tak mengerti, mengapa dia justru mencari jago-jago tombak kosen yang punya nama di
Bulim?" "Kau tidak tahu, aku paham."
"Kau paham" Paham apa" Coba jelaskan, mengapa dia berbuat demikian?"
"Karena dia gila."
Mau tidak mau Teng Ting-hou ikut merasakan juga, katanya, "Ya, umpama dia belum gila
mungkin otaknya sudah sinting."
"Jika kau bertemu macan betina gila, apa yang akan kau lakukan?"
"Aku akan menyingkiratau bersembunyi ketempatjauh." "Tepat, cara yang bagus."
* * * * * * Bila Ting Si sudah memperhitungkan langkah kerjanya, jarang meleset tugas yang
dilaksanakannya. Oleh karena itu dia diberi julukan Ting Si yang cerdik.
Dia yakin tanggal 5 bulan 7 penjagaan atau pertananan yang biasanya keras dan ketat di Ngohoukang akan kendor dan kosong, mereka naik dari jalan gunung yang berlika-liku di belakang
gunung, sepanjang jalan mereka tidak menemukan rintangan apapun. Maklum jarang ada orang
tahu adanya jalan rahasia ini.
Jalan gunung yang kecil berliku-liku di lereng dan di semak-semak rumput di tengah pepohonan
itu, bagi yang belum pernah mengenalnya pasti akan kesasardan takkan kenal jalan. Karena di
belakang lereng gunung, adatanah pekuburan yang sudah lama telantar.
"Orang yang menjadi pelindung barang (Popiau), ta hu bahwa Po-piau sering atau banyak yang
mati di tangan para penjahat alias perampok, di luar tahu mereka, kawanan perampok pun tidak
sedikit yang mati di tangan pelindung barang."
Teng Ting-hou diam saja, mulutnya bungkam. Meng-hadapi tanah kuburan di lereng bukit ini,
tanpa terasa dia bertanya dalam hati, "Apa benar seluruh kawanan perampok itu pantas
mendapat ganjaran mati?"
"Mayat-mayat yang dikebumikan di sini, seluruhnya perampok atau begal, maka tidak pantas aku
mengebumikan keenam orang itu di sini."
"Karena mereka bukan perampok atau begal?"
"Karena mereka lebih hina, lebih kotor dari perampok, lebih tidak tahu malu dari begal, yang pasti
perampok atau begal tidak mau menjual kawan sendiri."
"Jadi kau beranggapan kami dijual kawan sendiri?"
"Kecuali kau, siapa lagi yang tahu rahasia pemberangkatan barang hantaran gelap itu?"
"Masih ada empat orang."
"Pek-li Tiang-ceng, Kui Tang-kin, Kiang Sin dan Se-bun Seng."
"Betul, memang mereka."
"Bukankah mereka temanmu?"
"Jika kau menduga seorang di antara keempat orang itu adalah pengkhianat, terus terang aku
tidark percaya."
"Kalau bukan keempat orang ini, pasti ada seorang yang lain."
"Siapakah seorang lain itu?"
"Siapa lagi, engkau!"
Teng Ting-hou menyengir. Yang tahu rahasia ini memang hanya mereka berlima, tiada orang
keenam. Mulut bicara, ternyata tangan Ting Si tidak menganggur, kalau ucapannya bernada menyindir,
tangannya memegang cangkul. Cangkul bekerja lebih cepat dari lidahnya sendiri.
Enam peti mati sudah dibongkar keluar seluruhnya dari liang lahat. Setiap peti mati berisi satu
mayat. Dengan lengan bajunya Ting Si menyeka keringat, katanya, "Mengapa tidak lekas kau buka dan
periksa satu persatu?"
Teng Ting-hou juga sibuk menyeka keringat dengan lengan bajunya, keringatnya lebih banyak
dari Ting Si, tubuhnya basah kuyup.
"Apa kau tidak berani melihat mayat?" desak Ting Si.
"Mengapa tidak berani?"
"Karena kau takut aku menemukan pengkhianat itu, mungkin dia adalah temanmu yang paling
baik." Teng Ting-hou menghela napas, ujarnya, "Aku agak takut, karena aku, aku......" Dia tidak
melanjutkan. Peti pertama sudah dibuka, dia berdiri tertegun. Dengan mendelong dia mengawasi mayat di
dalam peti mati, mayat dalam peti mati seperti balas menatap dirinya dengan melotot.
"Kau kenal orang ini?" tanya Ting Si.
Teng Ting-hou memanggut, sahutnya, "Orang ini she Ci, pembantu terpercaya dari Tin-wi
Piaukiok."
"Bukankah Tin-wi Piaukiok milik Kui Tang-kin?"
"Ya, betul."
"Apakah kau taktahu bahwa Piaukioknya kehilangan orang?"
Teng Ting-hou menggeleng kepala.
Peti kedua sudah terbuka. Teng Ting-hou tertegun pula, "Orang ini bernama Ah Bong."
"Siapa itu Ah Bong?" ,.
"Tukang kebon di rumahku."
"Kau pun tidak tahu kalau tukang kebonmu lenyap?" kata Ting Si tertawa getir.
Orang ketiga adalah kusir kereta Tiang-ceng Piau-kiok. Orang keempat adalah koki keluarga
Kiang, orang kelima adalah kuli panggul Wi-khing, orang keenam tukang memandikan kuda milik
Sebun Seng. "Kau sudah menyaksikan keenam mayat ini, semua kau kenal baik."
"Ehm, betul."
"Sayang sekali, sia-sia kau meluruk kemari untuk menyaksikan mereka, kenyataan
kedatanganmu kemari tiada gunanya."
"Tapi untung masih ada enam pucuk surat."
"Apa betul enam pucuk surat ini tulisan satu orang?"
"Ehm, aku yakin."
"Kau kenal gaya tulisan siapa?"
"Ehm, begitulah." Bercahaya mata Ting Si.
Mendadak Teng Ting-hou tertawa, tawa yang aneh, katanya, "Gaya tulisan orang ini, bukan saja
berubah bagus, malah ada beberapa goresan kelihatan aneh, umpama orang lain ingin meniru
atau menjiplak, sukar untuk mempelajarinya." "Siapakah orang itu?" tanya Ting Si. Makin lucu
mimik tawa Teng Ting-hou, pelahan dia mengulur jari telunjuk menuding hidung sendiri, katanya
tegas, "Orang itu adalah aku."
"Jadi kau penulis surat ini?" Ting Si ingin berteriak, tetapi suaranya tidak keluar, ingin terpingkaipingkal
tapi tidak bisa tertawa. Maklum kasus ini tidak menggelikan, sedikitpun tidak lucu.
Sebetulnya kasus ini dapat menyebabkan orang geli, hingga mencucurkan air mata dan keluar
ingus. Demikian keadaan Teng Ting-hou, mimik tawanya tidak lebih bagus dibanding seorang berwajah
sedih. Ting Si menatapnya, dari atas ke bawah, dari bawah ke atas, berulang kali dia mengawasi orang,
mendadak dia bertanya, "Apa kau bisa menjual dirimu sendiri?"
"Tidak, tidak bisa."
"Apakah keenam pucuk surat ini kau yang menulis?"
"Tentu bukan."
Tanpa bicara lagi, Ting Si memutar badan lalu beranjak pergi. Terpaksa Teng Ting-hou mengikut
di belakangnya. Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, pakaian mereka sudah basah dan
lengket oleh keringat. Akhirnya Ting Si menghela napas panjang, katanya, "Sebetulnya
perjalanan jauh dan jerih-payah kali ini, bukan sama sekali tidak membawa hasil."
"O, lalu apa hasilnya?"
"Paling sedikit aku memperoleh satu pelajaran."
"Pelajaran apa?"
"Lain kali kalau disuruh menempuh perjalanan jauh dalam cuaca seperti ini, mencari mayat orang
di tempat jauh, aku akan......"
"Kau akan menendang dan menggebahnya pergi?"
"Aku bukan keledai, juga bukan kuda kecil, aku tidak mau ditendang, juga belum pemah
menendang orang."
"Lalu kau mau apa?"
"Aku akan memberi sesuatu kepadanya."
"Setelah dia menyiksamu dalam perjalanan jauh di bawah terik matahari, kau akan memberi
hadiah kepadanya?"
Ting Si memanggut.
"Barang apa yang akan kau berikan kepadanya?"
"Menyerahkan seorang kepadanya."
"Seorang?" Teng Ting-hou menjerit heran.
"Ya,"sahut Ting Si. "Seorang perempuan yang dia puja, tapi mulutnya tak berani menyatakan
cinta." "Perempuan yang kau maksudkan Ong-toasiocia."
"Betul," Ting Si bertepuk tangan lucu. "Sedikitpun tidak salah."
"Karena Ong-toasiocia sudah gila."
Ting Si tertawa, katanya, "Orang ini menyuruh aku bekerja begini, mungkin otaknya ada cirinya,
kalau yang seorang sinting yang lain gila, bukankah mereka pasangan yang serasi?"
Teng Ting-hou bergelaktawa, serunya, "Orang yang kau maksud adalah aku?"
Sengaja Ting Si menghela napas, katanya, "Bila kau sudah mengaku, yah, apa boleh buat."
"Umpama mulutku tidak bicara, kau sudah tahu aku kasmaran padanya."
"Jawaban tepat."
"Tapi aku masih menguatirkan satu hal."
"Satu hal apa?"
"Kalau benar ada orang yang menyerahkan Ong-toasiocia kepadaku, kau sendiri bagaimana?"
Ting Si menarik muka, katanya merengut, "Jangan kuatir, perempuan di dunia belum mampus
seluruhnya, aku pasti tidak akan menjadi Hwesio, aku tidak suka makan sayuran."
"Sayuran mungkin tidak suka, tapi cuka kan pernah makan sedikit" (maksudnya cemburu)."
Ting Si melirik kepadanya, katanya, "Aku heran akan satu hal?"
"Soal apa?"
"Mengapa kaum Bulim tiada orang memanggil kau Lo-teng sang jenaka?"
Waktu mereka turun gunung, juga tidak kepergok seorang pun, Ngo-hou-kang biasa ditakuti
orang, hari ini kosong dan sepi tanpa penjagaan, mirip daerah wisata, dimana orang boleh
bertamasya sesuka hati.
Sayangnya, bertamasya di daerah ini akan percuma dan membuang waktu serta tenaga belaka.
"Kecuali pelajaran seperti yang kau katakan," kata Teng Ting-hou. "Coba katakan, apakah masih
ada hasil yang lain?"
"Masih ada rasa penasaran dan mendongkol, Iebih celaka lagi badan kita bau keringat dan
kotor." "Kalau demikian," ujarTeng Ting-hou. "Sekarang aku masih dapat memperoleh pelajaran lain
lagi." "Pelajaran apa?" tanya Ting Si.
"Kelak bila kau mendengar orang bicara, lebih baik kau perhatikan, jangan mendengar separoh."
Ting.Si tidak mengerti.
"Tadi aku bilang gaya tulisanku jarang ada orang bisa meniru, kan tidak kubilang orang lain pasti
dan yakin takkan mampu menjiplaknya."
Bercahaya sinar mata Ting Si.
"Soalnya aku sudah tahu ada seorang yang mampu dan pandai meniru atau menjiplak gaya
tulisanku, hampir aku sendiri tak bisa membedakan jiplakannya."
"Siapakah orang ini?"
"Siapa lagi jika bukan Kui-toa laupan Kui Tang-king."
"Ha, dia?" Ting Si tertawa lebar.
"Lahirnya orang ini kelihatan linglung atau bodoh, sikapnya jujur dan bajik, padahal dia pandai
menggunakan otak, aku pun pernah ditipunya."
"Ha, kau pernah tertipunya?" Ting Si geli.
"Suatu ketika dia meniru gaya tulisanku, perempuan-perempuan yang pernah kukenal diundang
ke rumahku. Begitu aku masuk pintu, kulihat ada tujuh atau delapan pu-luh perempuan dengan
berbagai corak ragam dandanan yang serba molek berkumpul di ruang tamu rumahku, biniku
marah-marah hingga lehernya hampir kaku, selama tiga bulan tidak mau bicara denganku."
Ting Si menahan geli, katanya, "Mengapa dia berkelakar dan menggodamu sedemikian rupa?"
Teng Ting-hou berkata gemas, "Kura-kura tua selama hidup memang suka mempermainkan
orang, sejak dilahirkan suka melihat orang lain menderita dan susah."
Tak tahan lagi Ting Si tertawa lebar, katanya, "Tapi kenyataan perempuan yang kau kenal terlalu
banyak." Teng Ting-hou juga tak kuat menahan geli, katanya, "Bukan saja banyak, jenisnya juga beraneka
ragam, diantara mereka ada juga perempuan yang biasa menghibur orang, tak sedikit pula
wanita-wanita pandai di bidang sastra, mereka tiada yang bisa membedakan tulisanku, dari
peristiwa ini membuktikan bahwa gaya tiruannya hakikatnya bisa mengaburkan keaslianku
sendiri." "Oleh karena itu meski dia membikin kau rikuh dan runyam, tapi kenyataan dia pun telah
membantumu."
"Ya, membantu aku dalam dua hal."
"O?" "Karena ulahnya aku bisa hidup tenteram tiga bulan, tak pernah mendengar omelan, gerutu atau
caci maki macan betina yang galak itu."
"Ya, bantuannya amat besar artinya," berkilat bola mata Ting Si, katanya lebih lanjut, "Dalam
perkongsian kalian itu, ada berapa orang yang menjadi juragan?"
"Empat setengah," sahut Teng Ting-hou..
"He, he, empat setengah?"
"Modal kita digabung dalam jumlah yang rata, hasil keuntungan dibagi rata menjadi sembilan,
Pek-li Tiang-ceng, Kui Tang-king, Kiang Sin dan aku masing-masing mendapat dua bagian,
sementara Sebun Seng hanya dapat satu bagian."
"Oleh karena itu dalam perusahaan ini, Kui Tang-king juga termasuk salah satu juragan."
"Ya, betul. Dia memang berhak."
"Mengapa dia mau menjual diri sendiri?"
Teng Ting-hou menepekur sejenak, lalu berkata, "Setiap kita melindungi barang hantaran yang
nilainya selaksa tail perak, kita hanya memasang tarif tiga ribu tail perak."
"Dipotong pengeluaran dan lain-lain, sisanya kira-kira seribu tail lebih sedikit, maka hasil
pembagiannya hanya sekitar tiga ratusan tail perak saja," demikian Teng Ting-hou menjelaskan
lebih lanjut. "Tapi setelah aku berhasil merampas barang hantaran kali ini, umpama hasilnya tidak
sepenuhnya, dia tetap memperoleh selaksa tail perak," demikian ujar Ting Si.
"Bagaimanapun juga selaksa tail kan jauh lebih banyak dari tiga ratus tail perak, kan masih lebih
menguntungkan. Aku percaya dia bisa menghitung, beberapa tahun belakangan ini, dia sudah
termasuk salah seorang terkaya di Bulim, kekayaan yang dimilikinya itu jelas tak mungkin jatuh
sendiri dari atas langit."
"Dia pernah bilang, apapun dia tidak takut, uang jelas dia tidak takut kebanyakan, demikian pula
perempuan, makin banyak makin baik."
"Aku juga tidak takut," ucapTing Si tertawa.
"Aku malah agak takut," ujar Teng Ting-hou..
"Takut apa?" tanya Ting Si.
"Kasus ini sukar ditemukan bukti yang nyata, aku kuatir dia tetap ingkar, aku tidak mampu
memaksa dia bicara jujur."
"Aku punya akal."
"Akal apa?"
"Pukul dulu supaya dua gigi depannya rontok, baru pelintir sebelah kupingnya biar copot."
"Kedengarannya caramu mudah dilaksanakan."
"Memang akal bagus, aku jamin pasti manjur."
Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kapan harus bertindak?"
"Sekarangjuga."
"Siapa yang turun tangan?"
Berkedip bola mata Ting Si, tanyanya, "Bagaimana ilmu silat kura-kura tua itu?"
"Tidak terhitung baik, tapi sedikit lebih baik dibanding Kim-jio-ji."
"Lebifj baik sedikit, berapa sedikit yang kau maksud?"
"Sedikit yang kumaksud adalah, biladia menggunakan jari tangannya menotok, Kim-jio-ji akan
rebah tak berkutik."
Kini Ting Si betul-betul tak bisa tertawa.
Tejig Ting-hou berkata pula, "Konon dia juga meyakinkan ilmu kebal sejenis Cap-sha-thay-po,
namun latihannya belum matang, suatu ketika pernah aku menyaksikan seorang membacok tiga
kali di punggungnya, ternyata dia tidak tahan."
"Kalau tidak tahan bagaimana?"
"Dia merebut golok orang itu, sekaligus membabat tubuh orang itu menjadi delapan potong."
"Selanjutnya?"
"Kami minum arak di rumah makan mutiara."
"Kena tiga bacokan golok masih bisa minum arak?"
"Minumnya tidak banyak, dia ikut karena ingin menyuruh Siau tin-cu menggaruk dirinya."
"Menggaruk" Menggaruk bagian apa?"
"Sudan tentu menggaruk punggungnya."
Sesaat lamanya Ting Si melenggong, mendadak dia tertawa, "Aku tahu."
"Kau tahu apa?"
"Aku tahu siapa yang harus turun tangan."
"Siapa?"
"Engkau."
Naik gunung mudah, turun gunung tentu tidak sukar. Sebelum matahari terbenam, mereka sudah
berada di kaki gunung. Di bawah gunung ada sebuah jalan kecil, drpinggir jalan ada pohon
besar, di bawah pohon besar ini berhenti sebuah kereta, kusir kereta adalah anak muda,
telanjang dada, berjongkok di sana sambil menggoyang goyang topi rumputnya berjemur diri di
bawah sinar matahari.
Angin menghembus membawa bau arak yang harum, itulah Cu-yap-ceng.yang paling enak. Di
sekitar sini tiada rumah penduduk, tempat satu-satunya yang menyimpan arak adalah kereta
besar itu. Anak itu berjongkok di luar, arak yang harum itu dia biarkan tertiup angin.
Ting Si menghela napas, mendadak dia sadar tidak sedikit jumlah manusia di dunia ini yang tidak
normal. Teng Ting-hou mengawasinya, tanyanya,"Kau ingin minum arak, tidak?"
"Tidak," sahut Ting Si tegas.
Teng Ting-hou melengak heran, tanyanya, "Mengapa?"
"Karena aku perampok, tapi belum pernah aku merebut arak orang lain."
"Kita kan bisa membelinya."
"Aku ingin beli, kedai arak macam apapun pernah ku-lihat, tapi belum pernah kulihat kedai arak
dalam kereta."
"Dulu belum pernah lihat, sekarang sudah kau saksi-kan."
Memang Ting Si sudah melihat.
Anak muda yang menjadi sais kereta itu mendadak berdiri, dari belakang kereta dia menarik
keluar selembar kain hijau, di atas kain tertulis beberapa huruf, "Cu-yap-ceng kelas satu, sedia
daging sapi rebus."
Kalau di dunia masih ada sesuatu yang dapat mem-bangkitkan rasa senang Ting Si dan Teng
Ting-hou, hanya arak dan daging sapi saja yang memenuhi selera mereka.
"Kura-kura tua itu memang sukar dilayani, mungkin sebelum aku berhasil menjewer copot
kupingnya, kuping-ku sendiri yang dia robek."
"Oleh karena itu sekarang kau mulai masgul dan ku-atir," goda Ting Si.
"Karena masgul aku harus minum untuk menghilangkan rasa kuatir."
"Akal bagus," seru Ting Si.
Dengan langkah lebar mereka menghampiri kereta.
"Hidangkan sepuluh kati daging sapi dan dua puluh kati arak."
"Baik," sahut anak muda itu. Mulut menjawab, tetapi anak muda itu malah berjongkok, topi
rumput bergoyang mengibas-ibas badannya.
Mereka menunggu dan mengawasinya mendelong sekian saat, ternyata bocah itu tetap
berjongkok dengan santai, seolah-olah segan berdiri lagi..
Tak tahan Ting Si bertanya, "Apakah arak dan daging sapimu bisa berjalan sendiri?"
"Mana bisa," sahut anak muda itu. Tanpa menggerakkan kepala dia berkata pula, "Daging dan
arak tidak bisa jalan, tapi kalian kan bisa jalan."
Ting Si tertawa.
Anak muda itu berkata, "Aku hanya menjual arak, tidak menjual tenaga, maka......"
"Maka kami harus mengambil sendiri kalau ingin minum dan gegares daging sapi."
"Setelah mengambil dan makan kenyang, boleh kau membayar kepadaku."
* * * * * Kereta itu tidak baru lagi, tapi pintu dan jendela dipasangi kerai bambu yang rapat, ketika mereka
tiba di depan kereta, bau arak makin merangsang hidung.
"Keliatannya bocah itu biasa saja, tapi arak yang dia jual ternyata bermutu tinggi."
"Ya, asal arak bagus, yang lain boleh tidak usah menuntut terlalu tinggi."
Teng Ting-hou beranjak lebih dulu, pelahan dia menyingkap kerai, seketika dia berdiri menjublek.
Ting Si di belakangnya, waktu dia melongok ke kabin kereta, seketika dia pun menjublek.
Seorang tampak duduk santai, nyaman dan segar di dalam kabin, tangannya memegang
mangkuk arak besar, mulutnya terbuka lebar, dengan senyum lebar dia mengawasi mereka.
Bentuk mulut orang ini sungguh beraneka ragam banyaknya. Orang dalam kereta ini ternyata
bukan lain adajah Hok-sing-ko-cau Kui Tang-king adanya.
Kabin kereta ini luas dan lebar, dilembari kasur empuk, sudah tentu segar dan nyaman..
Ting Si dan Teng Ting-hou berdiri kaku, orang itu mengawasi mereka, sekejap tersenyurn sambil
membuka lebar mulutnya, kejap lain mulutnya terkancing, namun wajahnya masih dihiasi senyum
lebar, akhirnya dia berkata, "Kura-kura yang kalian bicarakan tadi siapa?"
"Kalau menurut dugaanmu siapa?" Teng Ting-hou balas bertanya.
"Sepertinya aku," sahut Kui Tang-king.
"Tepat," ujar Teng Ting-hou.
"Kau siap merobek kupingku?"
"Pukul mulut merontokkan dua gigi dulu baru merobek telinga," Teng Ting-hou melucu.
Kui Tang-ting menghela napas, katanya, "Kalian mau minum dan makan daging sampai mabuk,
baru merontokkan gigi dan menyobek telingaku?"
Teng Ting-hou melirik kepada Ting Si. Ting Si menjawab, "Betul."
Maka mereka makan minum, sedikit minum tapi banyak makan, tiga porsi daging sapi yang
disuguhkan sekejap saja telah berpindah ke dalam perut.
Kui Tang-king menghela napas, katanya, "Kapan kalian akan turun tangan?"
"Setelah kau membaca enam pucuk surat ini," ujarTeng Ting-hou, lalu dia mengeluarkan enam
pucuk surat. Kui Tang-king hanya membaca sepucuk surat lalu berkata, "Surat ini jelas bukan engkau yang
menulis." "Jelas bukan."
"Kalau bukan engkau yang menulis, maka dugaanmu pasti aku yang menulis."
"Kau mengaku?"
Kui Tang-king menghela napas, ujarnya, "Kelihatannya kalau aku tak mengaku, keadaan akan
menjadi onar."
"Siapa bilang kau harus mengaku?" sela Ting Si.
"Tidak usah mengaku maksudmu?"
Bersambung ke bagian 5
"Sebetulnya kau tidak perlu mengaku, karena......"
"Karena keenam pucuk surat ini kenyataan memang bukan kau yang menulis," Teng Ting-hou
menambahkan. Kui Tang-king malah bersikap heran, seperti di luar dugaan, katanya, "Darimana kalian tahu
kalau bukan aku yang menulis?"
"Orang-orang yang tinggal di Ngo-hou-kang, kalau bukan perampok besar, tentu begal kecil,
entah berapa orang yang saling bermusuhan di sana," ucap Ting Si.
Teng Ting-hou berkata, "Umpama betul orang-orang itu ingin berduel di bawah gunung, tak
pantas mereka menyebarluaskan berita itu dengan membuang selebaran dimana-mana,
sehingga khalayak ramai tahu."
Ting Si berkata, "Umpama mereka tidak takut ditangkap opas, juga harus berhati-hati terhadap
musuh yang menuntut balas, jejak mereka amat dirahasiakan."
"Kali ini mereka justru menyebar selebaran secara terbuka, seolah takut orang lain tak tahu
adanya duel itu."
"Coba kau terka, kenapa mereka berbuat demikan?"
Kui Tang-king berkata, "Aku bukan Ting Si yang cerdik, mana bisa menebak."
"Aku juga bukan Ting Si yang cerdik, tapi aku melihat adanya titik terang," demikian sanggah
Teng Ting-hou. "O" Coba kau jelaskan," ucap Kui Tang-king.
"Mereka berbuat begini, sengaja memberi peluang," demikian kata Teng Ting-hou. "Supaya kami
leluasa naik ke Ngo-hou-kang membaca enam pucuk surat ini."
Kui Tang-king berkata, "Kau sudah melihat keenam surat ini bukan tulisanmu, maka pasti curiga
terhadapku."
"Oleh karena itu aku akan menggenjot mulutmu dan merobek telingamu."
"Jika demikian, umpama aku menyangkal, siapa mau percaya."
Ting Si menimbrung, "Pengkhianat yang sesungguhnya akan menonton dari pinggir sambil
bertepuk tangan."
Kui Tang-king tidak paham, katanya, "Orang-orang gagah di Ngo-hou-kang, mengapa mau
melakukan tugas itu untuk si pengkhianat?"
Ting Si menjawab, "Pengkhianatan orang ini terhadap kalian berarti keuntungan atau ada
manfaatnya bagi mereka."
"Dan kau?" tanya Kui Tang-king. "Kau tidak tahu adanya kasus ini?"
Ting Si tertawa, katanya, "Ting Si yang cerdik, ada kalanya berlaku ceroboh, demikian pula kali
ini, tanpa sadar aku diperalat orang lain."
Kui Tang-king tertawa, katanya, "Untung kau tidak ceroboh, tidak bodoh."
Teng Ting-hou berkata, "Oleh karena itu mulutmu tidak kugenjot, telingamu juga tidak putus."
Kui Tang-king menatapnya lekat, katanya tandas, "Bukankah kita sudah berteman beberapa
tahun?" "Ya, sudah banyak tahun," sahut Teng Ting-hou.
"Sekarang kita tetap kawan sejawat."
"Tidak salah."
Kui Tang-king menuding Ting Si, katanya, "Bukankah bocah ini perampok yang membegal
barang yang kita bekuk itu?"
Dengan tersenyum Teng Ting-hou mengangguk.
Kui Tang-king menghela napas, katanya tertawa kecut, "Tapi kelihatannya kalian adalah sahabat
baik, kedudukanku justru terbalik seolah aku ini begal yang tertangkap."
Ting Si tertawa, katanya, "Kau pasti bukan begal."
"O,bukan?"
"Umpama kau adalah begal, pasti begal besar."
"Mengapa?""
"Begal kecil takut orang lain bilang dia gegabah atau bodoh, maka dia akan berusaha berbuat
pintar. Sebaliknya begal besar takut kalau orang lain bilang dia pintar, maka dia senang purapura
bodoh, hebatnya dia bermain secara lihai dan mirip sekali,"
Kui Tang-king tertawa lebar, katanya, "Ting Si memang menyenangkan, kau memang Ting Si
yang dapat menghibur hati orang." Sambil tertawa dia berdiri, menepuk pundak Ting Si, "Kereta
kuda ini kuberikan padamu, demikian pula arak dan isi kereta ini."
"Mengapa kau berikan padaku?"
"Setiap habis minum arak, aku senang memberi barang kepada orang, aku pun suka
terhadapmu."
"Dan kau sendiri?"
"Kalau sudah jelas aku tidak tersangkut atau dicurigai dalam kasus ini, lebih baik aku menyingkir
saja, kalian cari gara-gara, aku bisa pusing tujuh keliling," demikian kata Kui Tang-king. "Kalau
aku bukan pengkhianat, juga bukan Lo-teng, lalu siapa orang yang bersekongkol dengan pihak
Ngo-hou-kang" Bagaimana bisa tahu permohonan kalian?" Setelah menggeleng kepala, sambil
tertawa dia menyambung, "Semua persoalan memusingkan kepala, aku juga sering gegabah,
malas dan bodoh, menghadapi persoalan yang memusingkan kepala, biasanya aku menyingkir
paling dulu."
Dia benar-benar hengkang dari tempat itu.
Ting Si mengawasi Teng Ting-hou, Teng Ting-hou balas menatap Ting Si, kedua orang ini saling
pandang, tak bisa menahannya.
Setelah melompat dari kereta, mendadak Kui Tang-king menoieh, katanya, "Ada satu persoalan
ingin aku tanyakan padamu."
"Soal apa?" tanya Ting Si.
"Kalian sudah mencurigai aku sebagai pengkhianat, mengapa mendadak berubah haluan?"
Ting Si tertawa, sahutnya, "Karena aku suka melihat moncongmu."
Kui Tang-king menatapnya, meraba mulut sendiri, lalu menggumam, "Alasanmu memang bagus,
moncongku ini memang bagus." Dalam mengucap beberapa patah kata itu, mulutnya
menggunakan empat mimik yang berbeda, lalu berlenggang pergi sambil terbahak-bahak. Pergi
meninggalkan setumpuk pertanyaan yang memusingkan kepala Teng Ting-hou dan Ting Si.
Teng Ting-hou menghela napas, katanya tertawa getir, "Rezeki orang ini memang besar, ada
sementara orang sejak dilahirkan selalu ketiban rezeki, tapi ada sementara orang yang harus
hidup memeras otak."
"O, beg itu?"
"Persoalan sudah kau temukan, sekarang tak bisa tidak kau harus memeras otak, meski
kepalamu menjadi pusing."
Ting Si setuju dengan pendapat ini.
"Yang tahu kami datang ke Ngo-hou-kang, kecuali kami berdua, hanya Pek-li Tiang-ceng, Kiang
Sin, dan Se-bun Seng."
"Betul."
"Menurutku, Sebun Seng adalah orang yang paling patut dicurigai."
"Karena dia mendengar langsung rencana kita."
"Ya, karena dalam sembilan bagian keuntungan, dia hanya dapat satu bagian saja," demikian
jawab Teng Ting-hou.
"Tetapi mereka justru diperalat Kui Tang-king untuk mengawal barangnya."
"Nah, karena itu aku pusing kepala."
"Lalu bagaimana dengan Pek-li Tiang-ceng?"
"Dua bulan lalu dia sudah pulang ke Kwan-tiong."
"Yang patut dicurigai sekarang hanya Giok-pau Kiang Sin."
"Kenyataan hanya dia saja yang patut dicurigai, tapi ketahuilah dia sudah enam bu!an berbaring
di ranjang, sakitnya parah, jangan kata berjalan, duduk saja tidak bisa," dengan tawa getir Teng
Ting-hou melanjutkan. "Konon sakit kotor, keluarganya merahasiakan hal ini, siapa pun dilarang
membocorkan rahasia ini."
Ting Si meienggong, "Dari ucapanmu ini bisa ditarik kesimpulan, tiada seorang pun yang patut
dicurigai."
"Ya, maka kepalaku lebih pusing."
"Biar kuajarkan satu cara kepadamu," demikian kata Ting Si dengan senyum penuh arti.
"Kutanggung kepalamu takkan pusing lagi."
Bangkit semangat Teng Ting-hou, "Cara apa?"
"Persoalan tidak bisa kau pecahkan, mengapa tidak kau tanyakan kepada orang lain?"
Teng Ting-hou melirik sekilas, gumamnya dongkol, "Kukira cara apa."
"Ya, cara sederhana, tapi cara ini amat tepat,"
"Persoalan begini, pada siapa aku harus bertanya?"
"Tanyalah pada Bu-kheng-put-jip Ban Thong."
Bercahaya bola mata Teng Ting-hou.
"Duel yang terjadi di kebun keluarga Hi disebarkan secara besar-besaran, siapa lagi kalau bukan
dia yang mengatur, orang yang bersekongkol dengan golonganmu, kuyak
Amarah Pedang Bunga Iblis 8 Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Kisah Sepasang Rajawali 20
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama