Ceritasilat Novel Online

Pukulan Si Kuda Binal 3

Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long Bagian 3


in juga pasti dia."
"Mungkin ada bagiannya sedikit."
"Nah, yakinlah bahwa dia tahu siapa yang membocorkan rahasia itu."
Teng Ting-hou berjingkrak berdiri, lalu menarik Ting Si, katanya dengan tersenyum lebar, "Kalau
begitu, hayo kita berangkat."
Ting Si malah merebahkan diri, katanya dengan tersenyum lebar, "Jangan lupa sekarang aku
sudah memiliki kereta, mengapa harus jalan kaki?"
Tatkala mereka tiba di kebun keluarga Hi, Hi Kiu Thayya sedang menggendong tangan mondarmandir
di lapangan latihan yang luas.
Selama hidup sampai usia setua sekarang, ada tiga hal yang selalu membuatnya bangga,
lapangan latihan ini adalah salah satu kebanggaannya..
Sejak pensiun, mengundurkan diri dari persilatan, di tempat itu dia berhasil membimbing
angkatan muda yang berprestrasi tinggi, puluhan bahkan ratusan pemuda pemudi di sekitar
kampung halamannya menjadi tunas-tunas muda yang berbadan tegap, sehat lagi kekar.
Sayang isteri tercinta sudah lama meninggal, putri tunggalnya sudah menikah dan tinggal di lain
kota, lapangan latihan ini kini menjadi satu-satunya tempat yang dapat menghibur diri, tempat
yang menjadi tumpuan harapan masa depan.
Mentari tepat tepat di atas kepala, tengah hari nan panas.
Tengah hari pada tanggal enam bulan tujuh.
Lapangan luas yang ditaburi pasir halus ditimpa cahaya matahari tampak gemerdep, mengkilap
seperti kepalanya yang plontos, kulit muka memerah gosong, menjadi pemandangan menyolok
dibanding kemilau senjata yang diletakkan berjajar dipinggir lapangan.
Meski sudah lanjut usia, orang tua ini tetap sehat, gagah lagi kuat, penampilannya juga
berwibawa, dari gerak-gerik, sikap dan tutur katanya, orang sukar menebak berapa usianya
sekarang, umumnya lelaki seusia dirinya sudah banyak yang loyo, kalau tidak gemuk karena
hidup makmur, tentu berpenyakitan.
Secara diam-diam Ting Si dan Teng Ting-hou memperhatikannya dengan cermat. Dalam hati
diam-diam mereka mengharap kelak dalam usia setinggi orang ini, dirinya masih juga dikaruniai
badan segar bugar.
Sambil menggoyang kipas lempitnya, Hi Kiu mengajak Ting Si dan Teng Ting-hou berjalan
mengitari lapangan, rona mukanya menarapilkan rasa puas dan bangga, tanyanya, "Lapangan
ini, bagaimana menurut kalian?"
"Bagus, bagus sekali," puji Teng Ting-hou, bukan basa-basi tapi pujian menurut hati nurani.
Hi Kiutertawa lebar, "Umpama lapangan ini kurang baik, tapi cukup luas dan lebar, tiga ratus
orang sekaligus dapat berkumpul di tempat ini."
Teng Ting-hou maklum, mereka bertiga berjalan pelahan mengelilingi lapangan, kira-kira
setanakan nasi iamanya.
"Kalau seorang kupungut biaya 10 tail, tiga ribu berarti tiga laksa, orang lain kerja mati-matian, di
sini mereka cepat kaya."
"Sepertinya Cianpwe sudah tahu akan hal itu?" tanya Teng Ting-hou.
Hi Kiu bergelaktawa, "Mereka kira aku tidak tahu, dengan mengagulkanku dan mengumpak
padaku, lantas diriku boleh diperalat begitu, padahal biar sudah tua aku belum pikun."
Teng Ting-hou memancing, "Kurasa Cianpwe punya maksud lain?"
Hi Kiu tertawa senang, "Kalian lihat tempatku besar, megah lagi mewah, padahal dalamnya
kosong, sering aku tombok karena pengeluarannya teramat besar."
"Ya, aku dengar, anak dari keluarga miskin yang latihan di sini, bukan saja gratis, makan minum
juga tersedia cuma-cuma, tak jarang engkau juga membantu keperluan keluarga mereka."
HI Kiu memanggut, sorot matanya menampilkan rona nakal, "Ya, pengeluaran tiap bulan
memang teramat besar. Tapi kalau aku bisa dapat tiga laksa tail, kondisiku seperti sekarang bisa
bertahan lagi tiga lima tahun."
Teng Ting-hou tertawa. Kini lebih jelas akan maksud tujuan Hi Kiu, orang tua ini tidak segan
untuk hitam mencaplok hitam.
Dengan tatapan tajam Hi Kiu mengawasi dua pemuda di depannya, dengan tertawa ia bertanya,
"Kalian tentu datang dari jauh, entah siapa nama kalian" Maaf, mungkin penyambutanku kurang
normal" "Tidak, cukup baik," sahut Teng Ting-hou.
Hi Kiu tertawa lebar, "Yang benar, aku sudah menebak siapa kalian sebenarnya."
"Cianpwe mengenal kami?" tanya Teng Ting-hou.
"Tuan pasti Sin-kun-siau-cu-kat Teng Ting-hou, betul?"
Teng Ting-hou melongo, "Darimana Cianpwe tahu?"
"Anak muda yang baru berusia tiga puluhan, kecuali Sin-kun-siau-cu-kat, mana ada yang punya
pamor sebagus ini?" sorot matanya kembali menampilkan rona nakal dan licik. "Apalagi,
beberapa tahun lalu, aku pernah melihat wajahmu, kalau tidak, tentu tak bisa aku mengenalmu."
Teng Ting-hou hanya menyengir. Kini ia merasakan sifat jenaka orang tua ini, bukan saja tidak
menyebalkan, rasanya malah patut menjadi sahabat.
Hi Kiu berputar menghadapi Ting Si. "Anak muda ini," katanya tegas. "Masih asing rasanya."
"Cayhe she Ting," sahut. Ting Si tersenyum. "Ting Si."
"Oho, Ting Si si cerdik pandai itu?" seru Hi Kiu.
"Cianpwe suka berkelakar," sahut Ting Si.
Dari atas ke bawah Ting Si dipandangnya dengan cermat. "Bagus," puji Hi Kiu. "Memang pandai,
simpatik dan menyenangkan."
D.i tengah senyum lebarnya, mendadak tangannya bergerak menyerang, lima jarinya
terkembang, secepat kilat mencengkeram pergelangan tangan Ting Si. Gerak tipunya ini adalah
ilmu pukulan yang ia banggakan sejak muda dulu, yaitu Sha-cap-lak-lok-tay-kim-na-jiu.
Gerakannya bukan saja sigap dan cekatan, tapi tepat lagi kencang, mengandung perubahan isi
kosong yang banyak ragamnya.
Setelah pergelangan tangan tercengkeram, Ting Si baru beraksi, hanya sedikit membalik
pergelangan tangan, entah bagaimana tangannya meluncur lepas selicin belut.
Hi Kiu si tua keladi seketika berubah rona mukanya. Selama tiga puluh tahun belakangan, belum
pernah ada tokoh silat segagah apapun yang lolos dari cengkeraman jari bajanya.
Mengawasi jari jemari sendiri Hi Kiu tertawa lebar, "Bagus, ksatria memang muncul dari angkatan
muda, kurasa aku memang sudah tua."
Ting Si tersenyum lebar, "Aku yakin sepasang tangan Ciangpwe belum tua, usia tua jiwa masih
muda," Hi Kiu tergelak, menepuk pundak Ting Si, "Anak bagus, kapan jika berhasil merampas barang,
jangan lupa sisakan padaku, antar kemari, aku butuh duit......"
"Bukankah kemarin Cianpwe sudah untung tiga laksa tail?"
"Ah, siapa bilang, satu tail pun aku tidak untung."
"Duel antara Jit-goat-siang-jio melawan Pa-ong-jio. Apa tidak ada penonton yang datang?"
"Yang datang banyak, tapi duel batal."
"Mengapa?"
"Karena Ong-toasiocia tidak datang."
Ting Si melenggong.
Teng Ting-hou bertanya, "Lalu orang-orang gagah dari Ngo-ho.u-kang?" . .
"Mereka mendengar Ong-toasiocia berduel dengan Kim-jio-ji, lalu beramai-ramai memburu
datang ke Sin-hoa-jun."
Teng Ting-hou membungkuk badan, "Mohon pamit."
"Kalian juga akan pergi ke Sin-hoa-jun?" tanya Hi Kiu.
Teng Ting-hou mengangguk.
Untuk ketiga kalinya sorot mata orang tua ini menampilkan rona nakal lagi licik, "Setiba di sana,
jangan lupa sampaikan salamku kepada Ang-sin-hoa si kembang harum. Katakan aku belum
menganggapnya tua, sampai sekarang aku masih tetap menunggu kedatangannya."
* * * * * Kereta itu berlari kencang, Hi Kiu berdiri di luar pintu, dengan senyum lebar melambai tangan
memberi salam selamat jalan.
"Sebetulnya dulu aku pernah melihatnya," demikian ucap Teng Ting-hou. "Cuma malas aku
bercengkerama dengannya."
"Mengapa?" tanya Ting Si.
"Selama ini kuanggap orang itu bebal, angkuh dan menyebalkan.tak nyana......."
"Tak nyana adalah seekor rase tua."
"Ya, seekor rase tua yang menyenangkan."
Ting Si mengangkat kedua kakinya, selonjor di antara tempat duduk didepannya yang kosong,
mendadak seorang diri ia tertawa, makin keras, malah terpingkal-pingkal.
"Hal apa yang membuatmu geli?"
"Mendadak kuingat satu kejadian yang lucu menggelikan."
"Kejadian apa?"
"Kalau aku bisa menjodohkan bangkotan tua itu dengan Ang-sin-hoa, bukankah kejadian ini patut
dibuat senang?"
"Kalau kau mampu merujuk perjodohan dua orang ini, akan kutraktir lima ratus meja perjamuan
untukmu." "Ah, yang benar," seru Ting Si menegakkan badan.
"Kalau nenek.tua itu betul pergi mencari si tua bangkotan itu, anggaplah aku yang kalah."
"Setuju."
"Baik, aku juga setuju," seru Teng Ting-hou, mestinya dalam hati ia maklum, Ting Si mampu
memancing pertemuan kedua orang tua itu, Teng Ting-hou memang rela kalah. Karena selama
ini belum pemah melihat 'anak muda' seperti Hi Kiu dan Ang-sin-hoa yang sudah bangkotan.
Orang tua seperti mereka, berapa pun usianya, hati nuraninya akan tetap 'muda' sepanjang
masa. Maka adalah hak dan kewajiban mereka untuk menikmati hidup tenteram, bahagia dan
senang. Hakikatnya dalam hati kedua pemuda ini memang mengharap kedua orang tua itu dapat
rukun dan bahagia di hari tua. Teng Ting-hou maklum, di dunia ini kalau ada orang yang mampu
membakar amarah cewek tua bawel unluk melabrak si rase tua, orang itu bukan lain pasti Ting
Si. * * * * * Mendadak Ang-sin-hoa berjingkrak dari kursi rotan, lompatannya hampir satu tombak tingginya,
waktu badannya meluncur turun, tangannya sudah meraih baju-Ting Si, teriaknya keras, "Apa"
Apa katamu?"
Ting Si menyengir tawa, "Bukan aku yang bilang, aku meniru ucapan si rase tua itu."
Melotot bola mata Ang-sin-hoa, "Betul dia bilang aku takut padanya" Tak berani masuk ke
kebunnya." Dengan sikap penasaran seperti ingin membela Ang-sin-hoa, suaranya meninggi,
"Lebih menjengkelkan, berulangkali dia bilang selama. ini kau ingin menjadi bininya, tapi dia
tolak." Ang-sin-hoa berjingkrak pula, "Coba jelaskan, dia yang tidak mau atau aku yang menolak dia?"
"Ya, tentu kau yang menolak dia," seru Ting Si.
"Berapa duit kau bertaruh dengannya?" tanya Ang-sin-hoa.
"Aku tidak bertaruh."
"Lho, mengapa?"
Ting Si menghela napas, "Karena aku mengerti urusan yang tiada bukti tanpa saksi begini,
selamanya tidak mungkin dibikin jelas, maka kubiarkan saja dia menghibur diri, yang pasti aku
sendiri tidak dirugikan."
Ang-sin-hoa mendelik, mendadak tangannya melayang menggampar pipi Ting Si, sekali raih ia
banting sebuah poci arak, lalu menerjang keluar seperti kucing kesakitan karena ekornya terinjak.
Ting Si meraba pipi yang merah kena gambar, mulut menggumam, "Kurasakan, kali ini dia betul
marah." "Kau melihat dia marah?" tanya Teng Ting-hou.
"Ya, aku yakin dia marah, hampir seratus kali aku kena gamparannya, tapi gamparan kali ini
paling keras."
"Hanya karena menggampar lebih keras, bukti bahwa dia menaruh hati pada rase tua itu.
Maklum dengan usianya yang sudah renta, kan malu kalau naik tandu pengantin."
"Komentarmu tepat," seru Ting Si. "Patut diberi hadiah."
Teng Ting-hou menghela napas, "Awalnya kuanggap cara yang kau gunakan tidak manjur,
kenyataan akalmu sungguh jitu."
"Jadi kau menyesal telah bertaruh denganku?"
Teng Ting-hou menyeringai, "Kau kira aku sudah kalah dalam pertaruhan?"
"Kau kira belum kalah?"
"Kau tahu dan bisa buktikan kalau cewek pesolek.itu meluruk ke kebun Hi Kiu?"
"Sudah tentu aku tahu."
"Bekal tidak bawa, tanpa pesan tiada duit, mana berani dia pergi?"
"Ya, kalau tidak mau pergi, dibakar rumahnya pun ia akan tetap duduk di dalam sampai mampus
hangus." Sejak tadi Siau Ma setengah duduk di pinggir ranjang, tiba-tiba ia menimbrung, "Kalau cewek tua
itu ingin pergi ke suatu tempat, umpama harus telanjang pun dia langsung berangkat."
"Rupanya kau sudah kenal betul tabiatnya," ujar Teng Ting-hou menahan geli.
"Betul. Dia tahu kalau aku tidak mau istirahat dalam tempo yang lama meski lukaku membusuk
dan berulat sekalipun," demikian gerutu Siau Ma, padahal sekujur badannya terbalut perban,
kondisinya mirip kado yang dibungkus rapi siap dikirim kepada sang kekasih.
Teng Ting-hou tertawa lebar, "Untung selama ini kau tunduk dan patuh padanya, kalau lukamu
betul busuk dan keluar belatung, rasanya lebih tersiksa daripada dipaksa tidur di ranjang."
Mengawasi Siau Ma yang terbungkus perban, sorot mata Ting Si seperti kolektor barang antik
menikmati benda kuno, tapi sikapnya tampak serius, lalu dengan sikap aneh mendadak bertanya,
"Gak Ling dan Ban Thong, mengapa belum tiba disini?"
Siau Ma heran, "Apa mereka juga akan datang?"
Ting Si mengangguk pelahan, pandangannya menjelajah sekitarnya, mirip anjing pelacak
memburu buronannya.
"Apa yang kau cari?" tanya Siau Ma.
"Rase," sahut Ting Si.
Siau Ma bergelak tawa.tapi karena lukanya terasa sakit, tawanya ditahan, mimik mukanya
menjadi lucu. "Ada rase di dalam rumah ini?" tanya Teng Ting-hou.
"Mungkin," sahut Ting Si.
"Bukankah rase tua berada di kebun keluarga Hi," kata Teng Ting-hou.
"Rase muda mungkin ada di sini," sahut Ting Si.
"Rasejantan atau betina?" tanya Teng Ting-hou.
"Sudah tentu betina."
Teng Ting-hou tertawa lebar.
"Brak, krompiang", pada saat itulah suara gaduh berkumandang, seperti seorang sekaligus
membanting piring, mangkukdan cawan.
Kamar ini adalah kamar tidur pribadi Ang-sin-hoa, bagian depan adalah kedai dimana ia menjual
arak. Siau Ma mengerut alis, "Mungkin pelayan berlaku ceroboh, membuat tamu marah......" Pelayan
yang dimaksud adalah lelaki tua setengah tuli yang sudah renta, kalau ada kesempatan sering
mencuri arak. "Blarr, klontang", suara gaduh kembali berkumandang di bagian luar, poci arak, piring dan
mangkuk kembali dibanting hancur.
Teng Ting-hou mengerut kening, "Tabiat tamu ini kelihatannya memang buruk."
"Ya, tabiat Gak-lotoa biasanya memang berangasan, entah apakah dia yang datang?"
Belum habis bicara, Ting Si mendahului menerjang keluar. Teng Ting-hou menyusul di
belakangnya. Mengawasi dua rekannya menerobos keluar pintu, Siau Ma hanya mengawasi, tiba-tiba
menghela napas lega, seperti bebas dari himpitan yang berat.
Kejap lain seorang terdengar berkata di luar pintu, "Lho, kau ternyata belum pergi?"
Suaranya serak rendah, yang bicara adalah Jit-gwat-siang-jio Gak Ling adanya.
Seorang yang lain ikut berkata, "Saking gelisah kami hampir sakit karena menunggumu, ternyata
malah bersembunyi di sini minum arak."
Suara orang ini melengking tinggi, berbeda jauh dengan suara Gak Ling, siapa iagi kalau bukan,
Hwe-tan-ping Tan Cun.
Bila Hwe-tan-ping dan Lik-te-hun-kim berkumpul ibarat bayangan mengikuti bentuknya, mereka
berada di sini, maka Tio Tay-ping pasti juga ada di tempat itu.
"Mana Ban Thong?"
Itulah suara Ting Si.
Ban Thong bernyali kecil, senang berkumpul dan tak mau ketinggalan, kalau tiga serangkai itu
sudah datang, tak mungkin dia mau ditinggal.
"Kau mencarinya?" tanya Gak Ling.
"Ya," sahut Ting Si.
Dingin suara Gak Ling, "Agaknya dia juga ingin mencarimu."
"Sekarang dia dimana?" tanya Ting Si.
"Tak jauh, di sekitar sini," sahut Tan Cun.
"Kapan ada waktu, kami siap mengantarmu mencarinya," ujarTio Tay-ping.
Nada bicara tiga orang ini kedengaran ganjil, seperti menyembunyikan rahasia, entah ada
muslihat apa. Betulkah mereka bermaksud jahat terhadap Ting Si"
Siau Ma mengerut kening, dengan susah payah akhirnya ia merangkak berdiri, dari belakang
sebuah tangan menahan pundaknya.
Jelas di rumah itu tiada orang lain, darimana datangnya tangan orang ini" Mungkin keluar dari
lemari pakaian di belakangnya"
Kelihatannya Siau Ma tahu kalau dalam lemari pakaian di kamar itu bersembunyi seorang, maka
sedikitpun ia tidak merasa heran atau kaget, malah dengan suara lirih berkata, "Lekas sembunyi,
sebentar mereka pasti kembali."
"Tak mungkin," suara orang itu juga lirih, kepalanya dekat di pinggir telinga Siau Ma. "Ting Si
ingin mencari Ban Thong, pasti pergi bersama mereka."
"Umpama benar mau mencari orang," ucap Siau Ma. "Pasti balik dulu memberitahu kepadaku."
"Kurasa tidak mungkin," kata orang itu.
"Mengapa tidak mungkin?" tanya Siau Ma.
"Karena dia takut orang lain ikut masuk kemari, dia tak ingin orang lain melihat keadaanmu
sekarang."
Belum Siau Ma menjawab, suara tinggi di luar berkata dengan nada tinggi, "Baiklah."
"Kereta kuda di luar itu apakah milikmu?" tanya Gak Ling.
"Ya, pemberian seorang teman," sahut Ting Si.
"Wah, teman barumu berkantong tebal, makanya kami dilupakan," Tan Cun menyindir dengan
nada dingin. "Punya teman berkantong tebal kan menguntungkan," sela Tio Tay-ping. "Sedikit banyak kita


Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa pamer."
Sindir menyindir antar teman sudah jamak, yang pasti mereka pergi bersama Ting Si. Ternyata
tiga orang itu tiada yang bertanya siapa Teng Ting-hou. Nama besar Sin-kun-siau-cu-kat
memang terkenal, tapi kawanan begal atau para perampok jarang mengenalnya, apalagi pernah
bertemu, tidak banyak jumlahnya.
Langkah orang banyak lekas sekali pergi jauh, di luar kini hanya pelayan tua tuli lagi renta itu,
terdengar ia bergumam seorang diri, "Kawanan berandal seperti mereka memang suka
bertingkah, piring mangkuk dibanting seenaknya, memangnya tidak beli" Kurcaci, dirodok."
Kejap lain suara kereta bergerak, ringkik kuda makin jauh.
Siau Ma menggenggam kencang tangan halus yang menahan pundaknya, sepertinya mereka tak
mau berpisah, segan berpisah.
Tujuh orang duduk dalam kabin kereta rasanya masih longgar, tapi Teng Ting-hou terdesak di
pojok. Karena dua orang yang duduk di sisinya bertubuh tambun, kepala besar, terutama yang
bergaman kampak, pahanya segede pohon, bobotnya pasti lebih berat dari tubuh Tan Cun.
Dapat diduga bahwa orang ini pasti Tay-lik-sin. Kelihatannya Teng Ting-hou sudah tertidur,
padahal diam-diam ia mengamati orang-orang dalam kereta. Terutama Gak Ling, seorang kalau
diagulkan sebagai 'Lo-toa', atau ketua, tentu ada sebabnya.
Perawakan Gak-lotoa memang tidak tinggi gede, tapi pundaknya lebar, perutnya tidak gendut,
maka pinggangnya kencang, kaki tangan tumbuh normal namun bertenaga, tiap kali
menggerakkan tangan, kulit daging di balik bajunya kelihatan menonjol dan bergerak turun naik.
Wajahnya kaku, kulit badan coklat legam, alls tebal, hidung besar, matanya justru sipit, bola
matanya berkilau. Pandangan matanya penuh selidik lagi berwibawa, begitu naik kereta tak
pernah beruiah, namun sikapnya kelihatan selalu siaga, siap adu pukulan dan tendangan dengan
musuh. Bukan saja buas lagi beringas, kelihatan orang ini punya kekuatan luar biasa. Teng Tinghou
memperhatikan tom-bak di tangan orang. Telapak tangannya lebar, jarijemari besar lagi
kasar. Sejakdudukdi kereta, dua tangan ditaruh di atas lutut, kecuali jari kelingking, kuku jarijarinya
dipotong rapi, setelah diperhatikan baru terlihat kukunya pendek karena selalu digigit dan
digigit. "Lahirnya orang ini dingin kaku, hatinya amat tenang dan tabah," demikian penilaian Teng Tinghou,
ia tahu seorang yang selalu menggigit kuku pasti punya pikiran ruwet, hati gundah dan tidak
tenteram. Sepasang tombak matahari dan rembulan ternyata tidak berada di tangannya, dua tombak itu
dibungkus kantong sutra dihawa seorang yang menjadi pengikutnya. Pembawa tombak ini juga
seorang lelaki berbadan kekar, tampangnya kelihatan lebih garang dari Tay-lik-sin, orang ini
duduk di depan Gak Ling, dengan rajin memegang sepasang tombak, kepala menunduk,
pandangan matanya tidak pernah beraiih ke tempat lain.
Yang bernama Tan Cun ternyata lelaki bertubuh kurus kecil, tampangnya mirip pedagang keliling
yang kurang makan dan selalu kehabisan modal. Tak usah tertawa, orang melihatnya seperti
tertawa. Ting Si duduk di tengah diapit empat orang, pandangan mereka tak lepas dari gerak-gerik Ting
Si. Teng Ting-hou yang duduk di sebelahnya malah tidak diperhatikan.
Ting Si merasa tidak periu memperkenalkan mereka. Dengan senyum lebar ia berkata, "Kalian
bukan ingin ke Sin-hoa-jun untuk minum arak, bukan?"
Gak Ling menarik muka, "Kalau bukan ingin minum arak" Memangnya ingin kencan dengan
nenek tua bangka itu?"
Ingin minum arak, tiada arak, jelas amarah bangkit, hati jengkel.
Dengan tertawa Ting Si membuka tutup sebuah peti di bawah tempat duduk, dari kotak kayu ia
keluarkan seguci arak, setelah tutup guci dibuka, bau arak semerbak.
"Arak bagus," Tan Cun bersorak senang.
"Ting cilik memang makin royal,"seruTioTay-ping. "Arak simpanannya dari Kanglam, seguci
sepuluh tail perak, luar biasa."
Tan Cun tertawa, "Siapa tahu arak ini pemberian entah Siocia darimana yang menaksir
padanya." "Peduli amat arak ini darimana," suara Tay-lik-sin yang serak basah. "Yang pasti dia mau
keluarkan seguci untuk kita minum, sudahlah, tak usah menyindimya."
"Betui," seru Gak Ling. "Hayo minum." Guci direbut, arak dituang ke dalam mulut dengan lahap.
Tan Cun menghela napas, "Araksebagus ini kapan bisa kita nikmati, Ban Thong pasti tak bisa
mencicipi, bocah itu tak punya rezeki."
"Betul," kata Ting Si. "Aku sedang heran, mengapa hari ini dia tidak bersama kalian?"
"Waktu berangkat, dia masih tidur," Tan Cun menjelaskan.
"Dimana?"
"Di kelenteng Nikoh tak jauh di depan sana," Tan Cun menjelaskan.
"Kelenteng Nikoh?" tanya Ting Si heran. "Mengapa tidur di kelenteng Nikoh?"
"Sebab Nikoh di kelenteng itu muda-muda, satu lebih cantikdari yang lain.."
"Nikoh juga dijadikan sasaran?" tanya Ting Si dengan menatap tajam muka Tan Cun.
"Memangnya kau lupa apa julukannya?" desis Tan Cun. "Bu-khong-put-jip tiada lubang yang
tidak masuk, seorang mungkin salah memilih nama, tapi julukan pasti tepat dan tidak akan
salah." Di antara lebatnya pepohonan di kejauhan sana tampak wuwungan sebuah kelenteng, cepat
sekali kereta sudah berada di halaman depan kelenteng, tiga huruf berukir emas, 'Kwan-im-am',
jelas kelenteng ini mengutamakan pemujaan Dewi Kwan Im.
Bila melanglang buana, dimana pun berada, di setiap pelosok pasti menemukan kuil Kwan Im
yang dinamakan Kwan-im-am, demikian pula dimana saja bisa ditemukan kedai arak yang
bernama Sin-hoa-jun.
Yang membuka pintu Kwan-im-am seorang Nikoh, tapi Nikoh yang membuka pintu bukan lagi
muda apalagi jelita, karena Nikoh yang satu ini kelihatan lebih tua dibanding Ang-sin-hoa.
Maklum, seorang dewi rembulan, kalau usianya sudah kepala tujuh, pasti tidak cantik lagi.
Sekilas Ting Si melirik ke arah Tan Cun, lalu tertawa. Tan Cun juga tertawa, suaranya
direndahkan, "Aku bilang yang satu lebih muda dari yang lain, yang muda lebih cantik dari yang
tua, yang satu ini paling tua paling jelek, maka tugasnya membuka pintu."
"Yang paling muda macam apa?" tanya Ting Si.
"Yang paling muda tentu berada di kamar bersama Ban Thong."
"Sekarang masih di sana?"
Wajahnya menampilkan mimik lucu, "Umpama ada orang mengusirnya dengan pukulan sapu,
aku yakin dia tidak mau pergi."
Setelah menelusuri lorong panjang, kini mereka berada di pekarangan belakang, di sana tumbuh
pohon beringin besar lagi rindang, di bawah pohon besar itu sebuah kamar keci! tertutup rapat
pintunya, keadaan di sini sunyi lelap.
"Apa Ban Thong ada di sini?"
"Ya, pasti."
"Kukira dia masih tidur nyenyak, seperti tak sadarkan diri saja."
"Ya, mirip orang mati."
Nikoh pengantar itu berjalan paling depan, pelahan ia mengetuk pintu, di balik pintu muncul
seorang Nikoh dengan dua telapak tangan terangkap di depan dada, pelahan ia beranjak keluar.
Nikoh yang baru keluar memang lebih muda, paling sedikit delapan tahun Lebih muda dari Nikoh
pembuka pintu. Tapi Nikoh pembuka pintu usianya mungkin sudah Lebih tujuh puluh tahun.
"Nikoh ini yang paling muda?" tanya Ting Si.
"Kelihatannya dia yang paling muda," sahut Tan Cun menyengir.
Ting Si tertawa lucu
Tan Cun menjelaskan, "Kauanggap usianya sudah tua, tidak demikian buat Ban Thong."
"Lho, begitu?"
"Bagi Ban Thong, tua muda tiada beda, yang penting perempuan."
"Aneh?"
"Karena......." Tan Cun tidak rnelanjutkan omongannya, karena Ting Si sudah melihat Ban Thong.
Ban Thong sudah mati.
* * * * * Cahaya dalam gubuk guram, sebuah peti mati ditaruh di bawah jendela, Ban Thong rebah dalam
peti mati. Baju yang dipakai, jubah warna biru dari kain sutra. Baju sutra masih kelihatan bersih,
tiada noda darah, badan juga tidak teriuka, tapi jiwanya melayang, mati cukup lama, kulit
mukanya tampak kering menguning, raganya sudah kaku dingin.
Ting Si menarik napas panjang, katanya, "Kapan dia menghembuskan napas terakhir?"
"Kemarin malam," Gak Ling menjawab.
"Mati karena apa?" tanya Ting Si.
"Kau sendiri tidak bisa melihatnya?"
"Ya, aku tidak tahu."
Gak Ling menyeringai dingin, "Coba kau periksa dengan teliti lalu perhatikan dengan seksama."
Tan Cun menimbrung, "Coba kau buka pakaiannya dan periksa badannya."
Ting Si bimbang sejenak, lalu mendorong daun jendela. Cahaya terang menyinari mayat dalam
peti mati. Tampak oleh Ting Si, jubah di depan dada Ban Thong wamanya berubah dari wam.a
aslinya yang biru tua, warna menguning mirip daun kering di musim kemarau yang rontok, layu
dan membusuk. "Masih belum kau temukan penyebab kematiannya?" tanya Gak Ling dingin.
Ting Si menggeieng kepala.
Sambil tertawa dingin tangan Gak Ling mendadak bergerak, menyusul segulung angin kencang
menerpa, jubah biru di depan dada Ban Thong seperti diterjang angin terbang berhamburan,
tampak dadanya yang kuning kering seperti dicap oleh besi yang membara, itulah luka pukuian
yang mematikan. Luka itu berwarna merah gosong, tiada darah, kulitnya juga tidak pecah atau
mengelupas. Ting Si menarik napas panjang, "Kelihatannya ini pukuian tinju."
"Syukur kau sudah melihat jelas," jengek Gak Ling dingin.
"Sekaii pukul mematikan," demikian ucap Ting Si. "Luar biasa pukuian tinju orang ini."
"Tenaga besartak berguna," sela Tan Cun sinis. "Pukuian ini dilandasi kepandaian khusus yang
hebat." Ting Si mengangguk tanda setuju.
"Kau pernah melihat ilmu pukuian apa itu?" tanya Tan Cun. "
"Menurutmu?" Ting Si ragu-ragu.
"Pukuian tinju dari goiongan mana saja, yang sekaii pukul mematikan, bekas pukulannya tidak
akan menjadi merah gosong."
"Ya,betul,"ujarTingSi.
"Di kolong langit, hanya ada satu pukuian terkecuali," Tan Cun berlagak.
"Pukuian macam apa?" tanya Ting Si sinis..
"Siau-lim-sin-kun (pukuian sakti Siau-lim)," desis Tan Cun sambil menatapTing Si. "Tanpa
dijelaskan, kuyakin kau pasti tahu." Lalu Tan Cun menambahkan dengan suara dingin, "Coba
kau periksa lebih teliti, apakah tulang dada Ban Thong patah?"'
"Tidak perlu kuperiksa, tulang dada Ban Thong tidak patah," sahut Ting Si.
"Badannya terluka?"
"Juga tidak."
"Seorang terpukul mati, tulang tidak patah, kulit badan tidak luka, coba jelaskan, pukulan apa
yang digunakan pembunuh itu?"
"Siau-lim-sin-kun," sahut Ting Si pelahan.
"Banyak orang pernah meyakinkan Siau-lim-sin-kun, berapa banyak yang mampu melatih diri
hingga tingkat setinggi itu?"
"Ya, hanya beberapa gelintir saja."
"Berapa yang kau maksud?"
"Mungkin......kurasa kurang dari lima orang."
"Siau-lim Hong-tiang jelas termasuk seorang di antaranya."
Ting Si memanggut.
"Ciangbunjin Siau-lim sekte selatan, juga termasuk di antaranya."
Ting Si memanggut lagi.
"Dua Tiang-lo pelindung kuil Siong-san Siau-lim termasuk tidak?"
"Ya, masuk hitungan."
"Ada seorang lagi, siapa menurut pendapatmu?"
Ting Si bungkam.
Mendadak Tan Cun bergelak tertawa, pelahan badannya berputar ke arah Teng Ting-hou.
"Persoalan ini tidak kutanya kepadanya, aku tahu kau lebih jelas dari dia."
"Lebih jelas tentang apa?" tanya Teng Ting-hou..
"Kau tahu, kecuali empat Hwesio yang kusebut tadi, masih ada seorang lagi, siapa dia?"
"Mengapa aku harus tahu?" Teng Ting-hou balas bertanya.
Tan Cun menyengir lebar, "Karena kau adalah orang kelima itu."
Tio Tay-ping menyela, "Kecuali keempat padri agung Siau-lim itu, orang yang memiliki pukulan
setaraf ini, jelas adalah Sin-kun-bu-tek Teng Ting-hou."
Tan Cun memanggut, "Karena itu kita menarik kesimpulan, bahwa pembunuh Ban Thong tak lain
adalah Teng Ting-hou."
Gak Ling menatap muka Ting Si, suaranya rendah, "Sekarang ingin kutanya kepadamu,
bukankah temanmu ini bernama Teng Ting-hou?"
Ting Si menghela napas gegetun, suaranya getir, "Tanya langsung kepadanya, dia jauh lebih
tahu dariku."
"Ada satu hal aku justru tidak tahu," ucap Teng Ting-hou.
"Coba katakan," sahut Gak Ling.
"Mengapa aku harus membunuh Ban Thong?"
"Justru kami yang harus bertanya kepadamu."
''Aku tidak bisa menjawab."
"Aku pun tidak bisa memberi keterangan."
Teng Ting-hou menyeringai pahit, "Aku tidak habis mengerti, aku tidak punya alasan, mengapa
harus membunuhnya."
"Tetapi kau sudah membunuhnya, maka kau harus mampus," Gak Ling mengancam dengan
mengepal tinju.
Teng Ting-hou bersikap tenang, "Mengapa tidak kau pikir, mungkin bukan aku yang
membunuhnya?"
"Tidak pernah, tidak perlu," jengek Gak Ling.
Teng Ting-hou menghela napas, "Rupanya kau orang dungu yang tidak tahu aturan?"
"Kalau aku selalu pakai aturan, entah berapa kali aku mampus di tangan orang lain," Gak Ling
berputar ke arah Ting Si, pertanyaannya bernada tinggi, "Bukankah seiama ini aku
memandangmu sebagai saudaraku sendiri?"
Ting Si mengangguk kepala.
"Kalau kau minum arak, selalu kubagi separoh untukmu. Bila dalam kantongku ada sepuluh tail
perak, tentu kubagi lima tail perak untukmu, betul tidak?"
Ting Si mengangguk lagi.
Gak Ling melotot beringas, semprotnya, "Lalu sekarang kau berpihak kepada siapa" Coba
katakan." Ting Si rnenghela napas, ia tahu Gak Ling sudah memberi garis pilihan kepadanya. Kalau bukan
lawan tentu kawan, kalau bukan kau yang mampus, biaraku yang mati.
Manusia yang punya pekerjaan seperti mereka, mirip hewan yang hidup di tanah tegalan, selalu
memiliki semboyan hidup yang khas dan sederhana.
Gak Ling tertawa dingin, "Kalau kau ingin berpihak kepada musuh, banfulah dia membunuhku,
aku tidak akan menyalahkanmu, aku tahu tidak sedikit di dunia ini manusia yang menjual teman
karib sendiri demi kesenangan hidupnya, aku yakin bukan hanya kau saja yang pernah berbuat
demikian."
Ting Si menatap Gak Ling sesaat lamanya, lalu berpaling ke arah Teng Ting-hou, "Apakah begini
saja, kami iantas membunuhnya?"
"Kalau dia berani kemari, tentu dia berani mati," sahut Gak Ling tegas.
"Mengapa kalian tidak memberi kesempatan padanya untuk membela diri, biarlah dia
menjelaskan?"
"Sejak kecil kau bergaul dengan kita, kapan kita pernah memberi kesempatan kepada lawan,
peluang sedikitpun tidak akan kami berikan."
"Ya, aku tahu, karena kesempatan membela diri sering kali dimanfaatkan untuk melarikan diri."
"Tepat, agaknya kau belum pikun," jengek Gak Ling.
"Hanya saja, bagaimana kalau kita keliru membunuh orang yang tidak bersalah?"
"Tidakjarang kita salah membunuh, bukan sekali ini kau membunuh orang?"
"Oleh karena itu, bila terfitnah dalam kasus ini, apa Iantas dia menerima kematiannya?"
"Tidak salah."
Ting Si tertawa lebar, dia berputar ke arah Teng Ting-hou, suaranya tenang dan kalem,
"Gelagatnya, kau harus menyerah, menerima kematianmu."
Teng Ting-hou hanya tertawa getir.
"Sayang kau meyakinkan pukulan sakti Siau-lim-pay, lebih baik kalau kau tidak bernama Teng
Ting-hou."
"Hanya karena kebetulan, maka aku harus disalahkan?"
"Ya, salah besar."
"Maka aku harus mati di tangan mereka?"
"Cara apa yang kau pilih untuk berangkat ke alam baka?"
"Bagaimana menurut pendapatmu?"
Ting Si tertawa, "Menurut pendapatku, lebih baik kau beli bantal besar lalu benturkan kepalamu
biar pecah dan mampus seketika." Sebelum habis mulutnya bicara, mendadak ia turun tangan,
dengan pinggir telapak tangannya menebas leher Teng Ting-hou.
Itulah serangan mematikan, cara yang digunakan untuk menyerang ternyata mirip binatang buas,
ganas, keji, dan telak, lawan tidak diberi kesempatan bertindak. Menyapa lalu turun tangan,
dalam pandangan orang-orang seperti Gak Ling, cara ini sudah terlalu basi, permainan anakanak,
lucu dan terlalu rendah.
Kalau bukan kau yang mati, biar aku yang mampus. Setiap orang hanya mati sekali. Betapa
cepat dan telak serangan yang dilancarkan Ting Si, ternyata Teng Ting-hou tak sampai berkelit.
Telapak tangan Ting Si sudah hampir menyentuh leher Teng Ting-hou, sorot mata Gak Ling
sudah memantulkan rasa puas dan lega.
Bila suatu perkara dibereskan secara cepat dan mudah, jauh di luar dugaan, peduli kasus apa
saja, bila dapat menyelesaikannya dengan cara yang tepat dan benar, tentu perkara itu dapat
dibereskan dengan mudah dan lancar.
Di saat Gak Ling merasa puas melihat tindakan Ting Si, telapak tangan Ting Si mendadak
berputar arah, kelima jarinya ditarik mundur, berbareng sikutnya menyodok ke belakang, dengan
telak Hiat-to di tengah tulang rusuk Gak Ling disodoknya. Sergapan yang sigap lagi tepat, Gak
Ling tidak pernah siaga atau sempat melawan, badannya langsung roboh tak berkutik.
Pengawal Gak Ling yang raksasa itu menggerung murka, badannya yang segede kerbau itu


Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerjang maju seperti banteng mengamuk, sekali gentak ia robek kantong pembungkus tombak
sambil merangsek dengan raungan keras. Sementara Tan Gun dan Tio Tay-ping tanpa janji
sudah melesat ke arah pintu hendak melarikan diri.
Sayang sekali gerak-gerik mereka tidak selincah lawannya, Ting Si dan Teng Ting-hou bergerak
mendahului mereka, apalagi kepandaian mereka memang lebih tinggi, hanya tujuh jurus saja,
empat orang itu sudah dibereskan seluruhnya.
Teng Ting-hou menarik napas panjang, senyum terkulum di ujung mulutnya, "Agaknya aku tidak
salah menilai dirimu."
"Kau tahu kalau aku tidak akan membunuhmu?"
Teng Ting-hou memanggut.
"Kalau kau salah menilai diriku?"
"Kalau penilaianku salah, tentu sekarang aku sudah mampus."
"Ya, aku kagum kepadamu, kau memang tabah." Gak Ling menggeletak di tanah, Hiat-tonya
tertotok, badannya tidak berkutik, namun bola matanya melotot gusar menatap mereka, sorot
matanya memancarkan rasa dendam dan benci.
Ting Si tersenyum lebar, "Tak usah kau marah, bukan hanya aku seorang, banyak orang yang
menjual kawan untuk kepentingan sendiri."
"Ya, betul, juga bukan yang terakhir," Teng Ting-hou berolok-olok.
"Kalian harus paham," demikian kata Ting Si kepada Gak Ling dan kawan-kawannya yang
bergelimpangan di tanah. "Terpaksa aku harus berbuat demikian, karena aku tahu, Sin-kun-siaucukat Teng Tng-hou bukan pembunuh Ban Thong, sejak kemarin sore dia berada di
sampingku."
Teng Ting-hou menimbrung, "Memang aku pernah meyakinkan Siau-lim-sin-kun, tetapi aku tidak
punya ilmu membagi tubuh, dari tempat jauh membunuh orang di sini." "Sungguh sayang kalian
tidak mau mendengar dan percaya penjelasanku, apa boleh buat terpaksa kalian istirahat di sini.
Setelah aku berhasil melacak pembunuh Ban Thong, akan kubawa arak bagus untuk minta maaf
dan pengampunan kepada kalian," Ting Si merasa risi ditatap sorot mata yang melotot gusar
seperti itu, maka habis bicara ia tarik Teng Ting-hou meninggalkan tempat itu.
"Sekarang kita kemana?" tanya Teng Ting-hou setelah berada di luar.
"Mencari orang."
"Mencari Nikoh (biarawati) maksudmu?"
Tawar suara Ting Si, "Biasanya seleraku tinggi terhadap Nikoh, peduli Nikoh gede atau cilik, tua
atau muda, sama saja."
* * * * * Kedua Nikoh tadi masih berdiri di pekarangan, melihat mereka keluar, bergegas kedua Nikoh ini
menyingkir, tapi sudah terlambat. Sekali lompat Ting Si sudah berada di belakang mereka, sekali
raih ia tangkap mereka satu tangan satu orang.
Nikoh yang lebih tua menjadi lemas dan pucat saking kaget dan takut, suaranya gemetar,
"Usiaku sudah tujuh puluh tiga, kau......mengajak dia, usianya lebih muda, lebih pantas."
Ting Si tertawa lebar, "Ternyata Nikoh juga mau menjual Nikoh."
"Nikoh juga manusia, malahan perempuan," dengan senyum lebarTeng Ting-hou menepuk
pundak Nikoh muda. "Kau tidak usah takut, orang ini tidak akan melakukan perbuatan
menakutkan, paling banyak hanya......"
Kuatir orang bicara tak senonoh, lekas Ting Si menukas, "Paling banyak aku hanya tanya
beberapa patah kata kepadamu."
Akhirnya Nikoh yang lebih muda ini mengangkat kepala melirik sekejap pada Ting Si, siapa pun
sukar meraba, apa arti lirikannya, lega, beruntung atau kecewa"
Ting Si pura-pura tidak memperhatikan, setelah batuk dua kali, lalu menarik muka, suaranya
kaku, "Kapan orang dalam rumah itu kemari?"
"Kemarin tengah malam," sahut Nikoh yang lebih muda.
"Berapa orang yang kemari?"
Nikoh itu mengangkat kelima jari tangannya, jari-jarinya tampak gemetar.
Ting Si berkata, "Empat orang hidup dan satu mayat?"
"Tidak, lima orang hidup," sahut Nikoh yang muda itu.
Nikoh usia lanjut menambahkan, "Tapi waktu mereka keluar, kulihat hanya empat orang saja."
Bersinar bola mata Ting Si, "Jadi masih ada seorang lagi, dimana dia?"
"Entahlah," sahut Nikoh tua.
"Apa betul kau tidak tahu?" gertak Ting Si.
"Aku tahu, semalam mereka pergi ke Tok-te-bio yang berada di belakang sana," sahut Nikoh tua.
"Siapa yang tinggal di sana?" tanya Ting Si.
"Tiada orang tinggal di sana, hanya ada sebuah kamar di bawah tanah," Nikoh tua
menerangkan.. Bersinar bola mata Teng Ting-hou, "Apa kau tahu, siapa orang yang tidak ikut keluar itu?"
Ting Si berkata, "Pasti Siau-so-cin So Siau-poh."
"Orang macam apa dia?" tanya Teng Ting-hou.
"Seorang cerewet," sahut Ting Si. "Kalau kau ingin dia menyimpan rahasia, cara satu-satunya
hanyalah......"
"Membunuhnya?" sambung Teng Ting-hou.
Ting Si tertawa, "Tapi kalau kau saudara iparnya, lalu apa yang kau lakukan terhadapnya?"
"Sudah tentu aku tidak akan membunuhnya, membunuh dia berarti membuat adik sendiri
menjadi janda."
"Karena itu kau tidak membunuhnya?"
"Ya, terpaksa hanya menyekapnya di kamar bawah tanah."
"Siau-cu-kat memang tidak malu diagulkan sebagai Siau-cu-kat (si cerdik pandai)."
"Tapi Siau-cu-kat bukan saudara iparnya."
"Ya, tapi Gak Ling adalah saudara iparnya."
Teng Ting-hou menghela napas, "Jika adik Gak Ling atau bininya berwatak seperti engkohnya,
maka So Siau-poh pasti tidak bisa hidup tenteram, lebih baik mati saja daripada tersiksa."
Ting Si mengerut alis, "Kau bukan iparnya, pembunuh itu jelas juga bukan."
"Oleh karena itu, setiap saat mungkin saja dia dibunuh supaya tidak cerewet."
"Jika kita masih ingin mendapat keterangan dari So Siau-poh, lekas berangkat ke To-te-bio di
belakang sana."
Mengapa To-ie-bio dibangun di belakang Ni-koh-am" Mengapa pula dalam To-te-bio ada kamar
bawah tanah"
Mata Ting Si menyelidik, dengan seksama ia meneliti keadaan sekitarnya, tidak ketinggalan
papan batu di bawah altar pun diperiksanya, mulutnya menggumam pula, "Ni-koh-am ini dahulu
dihuni seorang Nikoh muda cantik yang cabul, untuk melampiaskan nafsunya sengaja
membangun To-te-bio ini."
* * * * * Bersambung ke 6
"Mengapa harus membangun To-te-bio?" "Dalam Ni-koh-am jelas tak leluasa bermain cinta
dengan lelaki, mungkin dia jeri berbuat mesum di tempat suci, tapi lain di sini, kecuali sepi dan
tersembunyi, jelas lebih leluasa untuk berbuat apa saja."
Teng Ting-hou tersenyum, "Sengaja atau tidak agaknya tidak dapat mengelabuimu."
Ting Si tidak sungkan, "Memang tidak sedikit persoalan yang kuketahui."
"Tentu kau juga tahu bahwa kau memilki ciri khusus, ciri yang dapat membuatmu bernasib jelek."
"Ciri apa, aku tidak tahu."
"Cirimu yang terbesar adalah otakmu terlalu pandai," Teng Ting-hou berolok-olok, dengan
senyum lebardia menepuk pundak Ting Si, "Perlu kuperingatkan padamu, apa salahnya kalau
kau belajar kepada kura-kura tua itu. Suatu ketika kau boleh pura-pura pikun, supaya orang lain
menganggap kau ini bodoh. Jika sudah demikian, kau akan sadar dan menemukan sesuatu yang
belum pernah kau bayangkan sebelum ini, yaitu dunia ternyata jauh lebih menyenangkan, lebih
mengesankan dari apa yang sudah kau saksikan sekarang."
* * * * * Dalam To-te-bio memang ada kamar bawah tanah, letaknya tepat di bawah altar, di atas altar
ada sebuah patung Dewa Bumi kecil dipuja dan disembahyangi.
Mereka membongkar papan batu sebesar meja bundar yang menutupi sebuah lubang segi
empat, lalu satu persatu melangkah ke bawah, udara lembab dan apek, terasa merangsang
hidung, mereka merunduk sambil memicingkan mata dan menekan hidung.
Setelah beberapa saat berada di kamar bawah tanah itu, pelahan mereka membuka lebarmata,
pandangan pertama yang terlihat adalah sebuah ranjang. Luas kamar di bawah tanah ini sedang
saja, kalau tak mau dibilang kecil, tapi ranjangnya cukup besar, hampir seluas ruangan, terhitung
ranjang nomor satu dengan kasurempukdan kelambu yang mewah, kamar ini tidak kalah
dibanding kamarpengantin putri keluarga kaya, hanya sayang sudah lama kamar ini tidak terawat
dan ditempati orang, di depan ranjang ada sebuah meja dan dua buah kursi.
Melihat keadaan kamar ini, Teng Ting-hou membatin, "Dugaan bocah ini ternyata tidak keliru."
Dua hal memang sesuai dugaan Ting Si. Dalam kamar bawah tanah ini memang betul ada
sebuah ranjang, di atas ranjang betul seorang meringkuk dan orang ini betul adalah So Siau-poh.
Seperti bakcang, sekujur badan So Siau-poh terikat kencang tambang sebesar ibu jari, kedua
tangannya terte-likung, matanya terpejam seperti tidur pulas, padahal waktu Ting Si berdua turun
ke bawah menimbulkan suara cukup keras, patutnya orang ini mendengar kedatangan mereka,
tapi kenyataan dia tetap memejamkan mata. "Begitu pulas dia tidur, seperti mayat saja." ,"Ya,
miripsekali."
Mencelos hati Ting Si, mendadak dia maju sambil mengulurtangan mencengkeram urat nadi di
pergelangan tangan So Siau-poh yang tertelikung di belakang.
Mendadak kepala So Siau-poh bergerak, matanya terbuka sambil tersenyum lebar.
Ting Si menghela napas lega, geleng-geleng kepala sambil senyum getir, "Apa kau kira
permainanmu menyenangkan?"
"Entah sudah berapa kali kau berbohong, kalau hari ini aku dapat membuatmu gugup, lega dan
impaslah sakit hatiku seiama ini," demikian olok So Siau-poh riang.
"Agaknya kau tidak gugup?" tanya Ting Si.
"Soalnya aku tahu, aku tidak akan mati di sini," ujar So Siau-poh tenang.
"Karena Gak Ling kakak iparmu dan kau suami adiknya, begitu?"
Kuncup senyum So Siau-poh, desisnya penuh ke-bencian, "Justru karena aku punya iparseperti
dirinya, maka aku tertimpa malang seperti ini."
"Jadi saudara iparmu itu yang menyekapmu di sini?"
"Yang membelenggu aku juga dia."
Ting Si tertawa geli, sindirnya, "Apa di luar kau punya simpanan perempuan, atau kepergok
iparmu waktu kau berada di sarang pelacur, maka dia merasa perlu mewakili adiknya menghajar
adat kepadamu?"
"Memang kau tidak tahu kalau adiknya itu perempuan histeris, tulang sumsum lututku hampir
habis diisap olehnya, mana aku masih punya tenaga untuk jajan di luar."
"Kalau tidak, tanpa suatu alasan, mengapa dia memperlakukan dirimu begini rupa?"
"Hanya setan yang tahu," So Siau-poh menggerutu penasaran.
Ting Si mengedipkan mata, mendadak dia tertawa dingin, "Aku tahu, karena kau yang
membunuh Ban Thong."
"Kentut busuk," teriak So Siau-poh, mendadak dia beringas, "Waktu Ban Thong terbunuh, aku
ada di dapur mencuri semangkuk sop buntut, begitu mendengar teriakannya baru aku lari
keluar." "Lalu?" desak Ting Si.
"Aku terlambat, bagaimana bentuk atau bayangan pembunuh itu tidak terlihat lagi olehku."
Bercahaya mata Ting Si, "Pembunuh yang merenggut jiwa Ban Thong maksudmu?"
"Ya, pembunuh yang menerjang keluar jendela kamar Ban Thong."
"Kau tidak melihat bentuk tubuhnya secara persis, tapi bayangannya tentu sempat tertangkap
oleh lensa matamu, betul tidak?"
"Ya, hanya samar-samarsaja,"sahut So Siau-poh.
"Bagaimana perawakan pembunuh itu?"
"Perawakannya tinggi, Ginkangnya amat hebat, hanya berkelebat sekali di depanku lantas
lenyap tak keruan parannya.."
Berkilat mata Ting Si, dia menuding Teng Ting-hou, "Seingatmu apakah perawakannya mirip
dia?" Dari kepala pandangan So Siau-poh turun ke kaki Teng Ting-hou, katanya sesaat kemudian,
"Sedikitpun tidak mirip, perawakan orang itu lebih tinggi kira-kira setengah kepala."
Ting Si menatap So Siau-poh, Teng Ting-hou juga balas mengawasi Ting Si, katanya kemudian,
"Kiang Sin dan Pek-li Tiang-ceng berperawakan tinggi."
"Sayang sekali," demikian kata Ting Si. "Kedua orang ini tidak patut dicurigai, karena yang
seorang ada di Koan-gwa, yang lain sedang sakit hampir mati."
Bola mata Teng Ting-hou juga kemilau, katanya setelah menepekur sesaat, "Orang yang ada di
Koan-gwa kan bisa pulang, demikian pula orang juga bisa pura-pura sakit parah atau sekarat."
So Siau-poh mengawasi mereka, tanyanya heran, "Soal apa lagi yang kalian bicarakan?"
Ting Si tertawa, katanya, "Mengapa kau makin bodoh, kalau kau tidak tahu apa maksud
pembicaraan kami, memangnya keuntungan orang lain yang diberikan padamu juga tidak kau
rasakan?" "Siapa memberi keuntungan kepadaku?" tanya So Siau-poh.
"Siapa lagi kalau bukan saudara iparmu."
So Siau-poh meronta sambil berteriak, "Keparat itu membuatku begini, memangnya aku harus
berterima kasih dan berhutang budi kepadanya malah?"
"Kau memang patut berterima kasih kepadanya, cukup setimpal kalau dia mau membunuhmu."
So Siau-poh berjingkat. "Mengapa?" serunya terbelalak.
"Apa betul kau tidak tahu" Atau pura-pura pikun?"
"Sungguh aku bingung, aku tidak tahu apa yang kau maksud."
"Mengapa tidak lekas keluar bertanya kepadanya."
"Dimana dia sekarang?"
"Di luar, sedang mendampingi sesosok mayat dan tidur dengan dua Nikoh tua."
* * * * * Magrib telah tiba. Keadaan pekarangan mulai gelap dan lembab, ternyata pelita juga tidak
terpasang dalam rumah.
Memang orang mati takkan peduii gelap atau terang, apakah dalam rumah harus ada lampu"
Kalau seorang tertotok Hiat-tonya, umpama dia ingin melihat cahaya lampu juga takkan mampu
berbuat apa-apa.
So Siau-poh menggumam, "Agaknya saudara iparku itu sedang dimabuk cinta, lampu juga lupa
dinyalakan."
Ting Si tersenyum, "Tidurnya pulas mirip orang mati."
Begitu mulutnya mengucap "orang mati". Mendadak jantungnya melonjak, bagai kelinci yang
kaget, tiba-tiba Ting Si melompat ke depan, menerjang ke pintu. Kejap lain, keadaannya juga
mirip orang mati, Ting Si berdiri kaku, sekujur tubuhnya basah oleh keringat dingin, bulu kuduk
berdiri. Ternyata tiada seorang pun yang masih hidup di rumah itu. Sepasang Jit-gwat-siang-jio
(sepasang tombak matahari dan rembulan) yang terbuat dari baja murni milik Gak Ling, ternyata
patah menjadi empat, sepotong menancap di peti mati, dua potong menancap di atas belandar,
sepotong lagi menancap di dada pemiliknya, namun kutungan ujung tombak itu bukan penyebab
kematiannya, karena dadanya terpukul remuk hingga menimbulkan luka dalam yang amat parah,
luka dalam oleh pukulan Siau-lim-sin-kun. Luka bekas pukulan Tay-lik-kim-kong-ciang juga
demikian. Tan Cun dan Tio Tay-ping mati oleh tusukan pedang, sebilah pedang lencir tipis dan sempit.
Luka-luka di tengah aiis mereka lebarnya hanya tujuh mili. Kaum persilatan tahu, hanya muridmurid
Kiam-lam saja yang menggunakan pedang sempit dan tipis, lebarnya juga hanya satu senti
dua mili saja, makin ke ujung makin sempit. Makin sempit batang pedang, umumnya lebih sukar
diyakinkan, kecuaii aliran Kiam-lam, kaum persilatan jarang menggunakan pedang sesempit itu.
Mengawasi mayat Gak Ling dan Ngo-hou, Teng Ting-hou menyengir kecut, "Tampaknya kedua
orang ini juga menjadi korban pukulan tinjuku."
Ting Si bungkam, dengan penuh perhatian ia mengawasi luka kecil di tengah kedua alis Tan Cun
dan Tio Tay-ping.
Teng Ting-hou mendekatinya, "Siapakah pembunuh kedua orang ini?"
"Aku," sahut Ting Si pendek.
"Engkau?"Teng Ting-hou melongo.
Ting Si tertawa, mendadak ia berputar, begitu berdiri tegak, tahu-tahu tangannya sudah
memegang sebatang pedang pendak berkilau, pedang dengan panjang satu kaki tiga dim, lebar
batang pedang itu hanya tujuh mili.
Setelah melihat pedang pendak milik Ting Si, baru Teng Ting-hou meneliti luka-luka di jidat Tan
Cun dan Tio Tay-ping, akhirnya ia paham duduknya perkara, "Keparat itu membunuh orangorang
ini untuk menyegel mulutnya, tapi kami berdua yang dijadikan kambing hitam."
"Ya, tidak kecil resiko yang harus kita pikul dalam kasus ini."
"Ban Thong dibunuhnya lebih dulu, !alu akulah yang difitnah, dengan maksud supaya kau
membalas dendam kepadaku."
"Maka kau pun dijerumuskan dalam kasus pembunuhan ini."
"Ya, betapa pun kencang Gak Ling menguasai mulutnya, setelah mati tentu takkan
membocorkan rahasia."
"Betul, karena itu, mulut Gak Ling juga harus disegel."
"Pergaulan Gak Ling amat luas, temannya banyak tersebar di berbagai penjuru, yang setia
terhadapnya tidak terhitung jumlahnya, kalau mereka tahu kaulah yang membunuh Gak Ling,
pasti mereka akan menuntut balas padamu."
"Kalau mereka memusuhi diriku, pasti juga mengincar jiwamu."
Tiba-tiba Ting Si menghela napas, "Di sini kamu seperti anjing berebut tulang, saling cakar dan
gigit, sementara pembunuh itu berpeluk tangan menonton dari tempat gelap, biia ada
kesempatan akan memungut keuntungan pula." ,
Sejak masuk ke rumah ini, So Siau-poh berdiri terkesima di pojok sana, sekarang ia tidak tahan
menekan perasaan, "Siapakah pembunuh yang kalian bicarakan?"
"Seorang jenius. Seorang berbakat yang luar biasa," ujar Ting Si.
"Jenius atau berbakat bagaimana?"tanya So Siau-poh tidak mengerti.
"Dia pandai meniru gaya tulisan orang lain, lihai menjiplak llmu silat orang lain, bukan saja mahir
menggunakan Siu-tiong-kiam milikku ini, fernyata Siau-lim-sin-kun yang diyakinkan juga lihai,
coba katakan, apakah orang ini tidak patut dianggap jenius?"
So Siau-poh menghela napas, katanya dengan gegetun, "Pembunuh itu memang jenius kurcaci,
pembunuh berbakat." Seperti ingat sesuatu, mendadak ia bertanya. "Mana Siau Ma?"
"Kami sedang mencarinya," sahut Ting Si.
"Kami"Apa maksudmu?"tanya So Siau-poh.
"Maksudku kau harus ikut kami mencarinya," Ting Si menegaskan.
"Aku tidak mau ikut," bantah So Siau-poh. "Aku harus mengubur jenazah Gak Ling dan kawankawan,
jelek-jelek dia adalah saudara iparku."


Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak bisa, tidak ada waktu lagi," tegas suara Ting Si.
So Siau-poh tertegun. 'Tidak bisa?" teriaknya penasaran.
"Ya, sejak sekarang, kemana aku pergi kau harus ikut," Ting Si menepuk pundak So S;au-poh,
laiu berkata lagi dengan tersenyum, "Mulai saat ini, kami menjadi saudara kandung yang tidak
boleh berpisah lagi."
"He, apa kau tidak salah?" teriak So Siau-poh terbelalak. "Aku bukan anak kecil, juga bukan
perempuan yang selalu harus meladenimu."
"Anggaplah kau ini anak kecil yang lemah lembut, aku tertarik padamu."
"Mengapa aku harus seialu ikut dirimu?"
"Karena jiwamu harus dilindungi."
"Kau melindungiku?"
"Orang lain mampus tujuh kali aku boleh tidak peduli, hanya kau yang tidak boleh mati meski
hanya sekali saja?"
Lama So Siau-poh menatapnya, lalu menghela napas panjang, "Umpama kau membayangi
diriku, kumohon jangan kau terlalu dekat denganku."
"Mengapa?" tanya Ting Si.
"Isteriku pasti cemburu kepadamu," sahut So Siau-poh sambil mengedip mata..
* * * * * Mereka yang pernah ke Sin-hoa-jun pasti tahu dan kenal Lo-khu, tapi tiada orang tahu asal
usulnya. Orang tua yang sudah loyo dimakan usia, pemalas dan tidak mau mencari uang,
kerjanya minum arak melulu. Banyak orang tahu bagaimana watak Ong-sin-hoa, bila di
rumahnya ada Iaki-laki tua pemalas seperti Lo-khu ini, bukan saja tidak mengusirnya, Ang-sinhoa
malah meladeninya seperti suami sendiri, memberi makan minum. Celakanya, bila iaki-laki
kerempeng ini mabuk, Ang-sin-hoa tidak terpandang lagi olehnya, duduktegak menepuk dada,
seolah dirinya pahlawan gagah, mulutnya mengomei panjang pendek, bahwa dirinya terpaksa
tinggal di warung arak ini untuk menyembunyikan nama dan asal-usulnya, tidak mau turut
campur persoaian duniapersilatan.
Konon Iaki-laki tua ini pemah meyakinkan llmu silat, pemah menjadi tentara, berperang di medan
laga. Bila mabuk dia berkaok-kaok memberi perintah dan membentak bawahan serta
menggebrak meja, sebagaimana seorang jenderal layaknya.
Saat itu Lo-khu memang sedang berlagak seperti panglima besar. Sebaliknya Ting Si berdiri di
depannya bak seorang tentara, anak buahnya yang keroco.
Sudah satu jam lebih Ting Si berada di warung itu, sikap orang tua ini tetap acuh tak acuh,
seenaknya saja tangannya menudingnya sambil berkata keras, "Duduk!"
Kalau jenderal ada perintah, anak buah harus patuh, maka Ting Si pun duduk.
Lo-khu menuding poci arak di depannya, "Minum!" Suaranya sumbang dan pendek.
Maka Ting Si pun minum. Dia memang perlu minum, harus minum, syukur dapat minum delapan
puluh atau seratus cawan, dia kuatir dirinya bisa gila karena marah.
Waktu Ting Si bertiga tiba di Sin-hoa-jun, Siau Ma sudah pergi, bayangannya sudah tidak
kelihatan, perban yang membungkus tubuhnya tertumpuk di pinggir ranjang. Melihat sikap
panglima besar Lo-khu itu, Ting Si tahu bertanya kepada orang yang lagi mabuk ini juga takkan
mendapat jawaban. Tapi keadaan mendesak maka dia bertanya, "Siau Ma dimana?"
"Apa kuda kecil (Siau Ma)?" panglima besar ini terlongong sesaat lamanya, pandangan kosong
lurus ke depan, "Kuda-kuda dikerahkan ke medan perang, kuda besar atau kuda kecil semua
dikerahkan untuk perang."
Mendadak Lo-khu menggebrak meja, teriaknya lantang, "Nan dengarkan, tambur perang sudah
berdentam, tulang belulang manusia bertumpuk bagai gunung, darah mengalir seperti sungai,
aku justru duduk di sini minum arak, sungguh memalukan, sungguh memalukan."
Teng Ting-hou dan So Siau-poh melongo sejak tadi, hati merasa geli dan ingin tertawa, tapi tak
bisa tertawa. Sebaliknya Ting Si sudah biasa menyaksikan tingkah lakunya yang aneh dan lucu
seperti orang edan.
Mendadak Lo-khu berjingkrak gusar, matanya melotot ke arah mereka, wajahnya beringas,
"Kalian mendapat gaji negara, makan budi pemerintah, masih muda dan gagah kuat, tidak lekas
ke medan laga mendarma baktikan tenagamu untuk nusa dan bangsa, untuk apa kalian berdiri di
sini?" "Situasi amat genting dan gawat, kita sudah kaiah tenaga dan perbekalan habis, senjata juga
tidak iengkap, kita kemari untuk mencari bantuan," demikian Ting Si menyeletuk dari pinggir.
"Mencari bantuan apa?" tanya Lo-khu.
"Ada tentara yang merawat luka-lukanya di garis belakang. Luka-lukanya sekarang tentu sudah
sembuh, maka dia harus ditarik ke garis depan lagi," ujar Ting Si.
Lo-khu menepekur sesaat lamanya, akhirnya dia memanggut, "Betul, masuk akal, seorang lakilaki
asal dia masih bisa bernapas, maka dia harus mempertaruhkan jiwa raganya di medan
perang." Ting Si menghela napas, "Sayang sekali, tentara yang luka itu sudah menghilang entah
kemana?" Lo-khu terpekur lagi sekian lama, seperti sedang mengingat, akhirnya dia berjingkrak girang,
"Apakah wakil panglima yang kau maksud?"
"Ya, betul," seru Ting Si bertepuk tangan. "Dia sudah berangkat bersama Nio Ang-giok."
"NioAng-giok?"
"Memangnya kau tidak kenal Nio Ang-giok?" panglima besar kerempeng ini kelihatan marah.
"Meski perempuan dia sungguh gagah perkasa, entah betapa hebat dan kuat dibanding kalian
yang penakut ini, apa kalian tidak malu?" Makin bicara emosinya ma"kin membara, mendadak ia
menyambar cawan arak terus dilempar ke arah Ting Si, untung Ting Si sudah siaga dan
menyingkir sebelum kena timpuk.
Gerak-gerik Teng Ting-hou dan So Siau-poh juga tidak lambat, sekali lompat mereka sudah
berlari keluar pintu. Setelah berada di luar, taktahan lagi mereka menahan geli, terpingkal-pingkal
sampai memeluk perut.
Tapi rona muka Ting Si mirip tukang kredit tidak berhasil menagih hutang dari tiga ratus
langganannya, wajahnya kaku membesi.
So Siau-poh melihat keganjilan rona mukanya. "Mengapa kau marah" Marah kepada siapa?"
tanyanya. "Kepada NioAng-giok tentunya," ujar Teng Ting-hou..
So Siau-poh membantah, "Ting Si kan bukan Han Si-tiong (panglima besar di zaman Gak Hui),
umpama benar NioAng-giok (isteri Han Si-tiong) minggat bersama Siau Ma, apa alasannya
marah-marah?"
"Tapi NioAng-giok yang satu ini bukan bini Han Si-tiong."
"O, memangnya siapa dia?"
"Siapa lagi kalau bukan genduk Ong-toasiocia."
So Siau-poh keheranan, "Ong-toasiocia pewaris Pa-ong-jio itu?"
Teng Ting-hou memanggut, "Dia tidak suka kepada Ong-toasiocia, sudah selayaknya dia juga
tak senang Nio Ang-giok."
"Tapi kenyataan Siau Ma minggat bersama NioAng-giok."
"Makanya dia marah."
"Siau Ma mencintai perempuan itu, mengapa dia tidak senang" Mengapa dia harus marah?"
"Lho, masa kau tidak tahu, sejak dilahirkan, bocah ini memang suka mencampuri unjsan orang
lain." Kereta kuda masih menunggu di luar. Sais kereta adalah seorang pemuda yang dipanggil Siaushoatang, walau " wataknya buruk, tapi kalau bekerja tidak pernah lalai, sejak datang tadi dia
masih setia dan sabar menunggu di kereta, setengah langkah saja tidak pernah meninggalkan
keretanya. "Sekarang kita harus kemana?" tanya So Siau-poh.
Ting Si tetap merengut. Mendadak dia turun tangan, sekali renggut dia menjinjing sais kereta itu
dan diseretnya turun. Bukan tanpa alasan Ting Si bertindak secara kasar begitu.
Setelah Ting Si turun tangan baru Teng Ting-hou sadar dan meiihat jelas perbedaannya, sais
kereta-yang satu ini ternyata bukan Siau-shoa-tang yang tadi.
"Siapa kau?" bentak Ting Si.
"Aku bernama Toa-the, seorang kusir kereta"
"Siau-shoa-tang dimana?"
"Setelah kuberi tiga ratus tail perak, dia masuk kota, mungkin sekarang sedang memeluk
perempuan "
Ting Si menyeringai, "Kau menggantikan dia menjadi kusir, membayarnya tiga ratus tail lagi,
memangnya kau ini bapaknya?"
"Yang terang, tiga ratus tail perak itu bukan milikku, aku hanya menjalankan tugas saja."
"Siapa yang memberi duit kepadamu?"
"Aku disuruh Han-ciangkui pemilik Cong-goan-lau di kota, tugasku mengundang kalian ke Conggoanlau untuk makan minum."
Ting Si melirik ke arah So Siau-poh. Yang dilirik segera bersuara, "Aku tidak kenal Han-ciangkui."
Ting Si menoleh ke arah Teng Ting-hou. Teng Ting-hou berkata, "Aku hanya tahu ada dua orang
she Han, yaitu Han Si-tong dan Han Sin."
Tanpa bicara sepatah kata pun, Ting Si melepaskan Toa-the terus naik kereta.
"Apa betul kita akan ke Cong-goan-lau?"
"Ya, ke Cong-goan-lau."
Setiba di Cong-goan-lau, rona muka Ting Si berubah pula. Mimik mukanya seperti ketiban
sekerat daging dari langit yang tepat mengenai hidungnya, sungguh mimpi pun mereka tidak
menduga, orang yang mengundang mereka dengan merogoh tiga ratus tail perak, tak lain tak
bukan adalah Ong-toasiocia yang dua hari lalu pernah menghujani anak panah kepada mereka.
Hari ini Ong-toasiocia berganti rupa dan gaya, berubah watak, bukan nona galak yang matanya
tumbuh di atas kepala, bukan nona pingitan yang menganggap laki-laki di dunia ini kura-kura.
Juga bukan perempuan yang suka meluruk kemana-mana dengan tombak besi menantang duel
orang.. Hanya pakaiannya saja yang tidak berubah, pakaian serba putih yang anggun, bukan pakaian
model ketat peranti berkelahi, tapi berpakaian secara luwes, dengan gaun panjang baju longgar,
terbuat dari kain sari dan sutra, ringan dan lembut, ikat pinggang warna jingga yang
memperlihatkan betapa ramping tubuhnya.
Wajahnya tidak bersolek, tidak disentuh bahan-bahan rias, tapi hanya dilapisi pupur tipis yang
harum, bola matanya yang bundar jeli tidak lagi memancarkan cahaya tajam membuat laki-laki
mengkirik, bila bola matanya mengawasi orang, wajahnya selalu mengulum senyum lembut dan
ra-mah. Perempuan memang harus mirip perempuan. Setiap perempuan pandai harus tahu, kalau ingin
menundukkan lelaki, jangan menggunakan tombak, tapi gunakan senyum yang menggiurkan,
senyum yang memikat adalah senjata ampuh setiap perempuan. Demikian halnya dengan Ongtoasiocia
sekarang, gagal menundukkan lelaki dengan ujung tombak warisan bapaknya, kini dia
menyiapkan pula senjatanya yang ampuh, yaitu senyum lebar yang manis, ramah dan anggun,
entah siapa yang hendak dia tundukkan"
Teng Ting-hou menatap lekat. Mendadak terbersit di relung hatinya, bahwa Ong-toasiocia
sekarang kelihatan lebih cantik dari yang pernah ia bayangkan dulu, gadis ini memang pintar dan
cerdik. Oleh karena itu, bila dia menoleh ke arah Ting Si, mimiknya mirip orang menonton ikan
yang sudah hampir terpancing.
Sebaliknya sikap Ting Si justru mirip kucing yang mendadak terinjak ekornya, dengan muka dan
suara kaku ia menegur, "O, kiranya kau?"
Dengan senyum anggun Ong-toasiocia menganggukkan kepala.
Dingin suara Ting Si, "Kalau Ong-toasiocia ingin mengundang kami, dimana saja boleh menggali
lubang untuk menjebak kami, mengapa harus membuang ongkos segala?"
Ramah dan lembut suara Ong-toasiocia, "Justru lantaran kejadian tempo hari, hatiku merasa
kurang enak, maka hari ini sengaja kuundang kalian untuk minta maaf. Akan kujelaskan
mengapa aku terpaksa bertindak sejauh itu."
"Soal apa yang akan kau jelaskan?" tanya Ting Si kaku.
Ong-toasiocia tidak menjawab langsung pertanyaan Ting Si, pelahan ia menyingsing lengan baju,
dengan jari jemarinya yang runcing panjang, ia mengangkat poci arak lalu mengisi cawan So
Siau-poh, "Tuan ini adalah......."
"Aku yang rendah she So, bernama Siau-poh."
"O, jadi tuan adalah Siau-so-cin dari Ngo-hou-kang"
"Betul, aku yang rendah memang Siau-so-cin."
"Hari itu aku tidak bisa hadir di rumah keluarga Hi, sesungguhnya memang ada kesulitan pribadi
yang tidak bisa kujelaskan, harap dimaafkan."
So Siau-poh tertawa, "Kaiau aku berperan sebagai dirimu, aku pun takkan datang."
"Lho, kenapa?"
"Perempuan cantik selembut Ong-toasiocia, buat apa main senjata dengan lelaki kasar seperti
kami, cukup Ong-toasiocia tersenyum manis dan bicara dengan lembut, aku berani bertaruh,
sembilan di antara sepuluh lelaki yang menghadapimu akan bertekuk lutut di hadapanmu."
Ong-toasiocia tertawa sambil menutup mulut dengan lengan bajunya, "So-siansing pandai bicara,
tidak malu dijuluki Siau-so-cin."
Ting Si menyeletuk dingin, "Kalau dia tidak pandai bicara, Ji-siocia dari keluarga Gak mana
mungkin kecantol dan mau menjadi isterinya?"
Berputar bola mata Ong-toasiocia, "Sejak lama kudengar bahwa nona Gak adalah wanita cantik
yang terkenal di Kangouw."
So Siau-poh menghela napas, "Ya, tapi dia juga terkenal sebagai macan betina."
"Kalau demikian," ucap Ong-toasiocia.
"Kuanjurkan lekas So-siansing pulang saja. Jangan biarkan isterimu mengharap-harap dan
menunggu terlalu lama di rumah." Dengan tertawa lebar ia mengangkat cawan lalu meneguk
habis isinya, "Setelah kuhaturkan secawan arak ini, kuharap So-siansing segera pulang." Walau lembut dan
ramah sikapnya bicara, bagi orang yang berpikiran normal tentu merasa secara tidak langsung
nona jelita ini tengah mengusir orang dengan halus.
So Siau-poh bukan orang bodoh, otaknya juga encer, tidak linglung. Sekilas ia menatap Ongtoasiocia
lalu melirik ke arah Ting Si, katanya dengan tawa getir, "Sebetulnya aku sudah kangen
pada isteriku, sayang aku tidak boleh pulang."
"Sekarang orang itu sudah berubah sikap, kau boleh pulang," ujar Ting Si kalem.
So Siau-poh mengedip mata, "Mengapa dia berubah sikap?"
"Karena dia ingin mendengar penjelasan Ong-toasio-cia."
So Slau-poh menenggak habis araknya, begitu cawan diletakkan di meja, segera ia angkat
langkah dari tempat itu.
"Man kita pergi bersama," mendadak Teng Ting-hou ikut berdiri.
"Kau?" So Siau-poh heran.
Teng Ting-hou tertawa, "Di rumah ada seekor macan betina sedang menunggu aku, apa tidak
pantas kalau aku segera pulang?"
"Tidak betul," tiba tiba Ting Si menyeletuk.
"Lho, mengapa tidak betul?" tanya Teng Ting-hou.
"Kau dan aku terbelenggu oleh tambang panjang, jika ikatan tambang itu terlepas, kau atau aku
jangan harap bisa keluar dari sini."
Teng Ting-hou meninggikan suara berkata sambil bertolak pinggang, "Pembunuh berbakat yang
membunuh Ban Thong itu mirip diriku tidak?"
"Sedikitpun tidak mirip," sahut So Siau-poh. "Bukankah perawakannya lebih tinggi dariku?" tanya
Teng Ting-hou. "Ya, Lebih tinggi setengah kepala."
"Apa kau tidak salah lihat?"
"Yakin tidak. Mataku belum lamur."
Pelahan-TengTing-hou duduk lagi di kursinya.
"Sekarang apa aku boleh pergi?" tanya So Siau-poh. Teng Ting-hou memanggut, "Boleh, tapi
kau harus hati-hati menjaga dirimu."
So Siau-poh tertawa, "Ya, kepalaku hanya satu, jiwaku juga tidak rangkap, jelas aku akan
berlaku hati-hati, aku ingin hidup seribu tahun." Waktu melangkah keluar dada dibusungkan,
seperti tawanan yang lama disekap di penjara, setelah bebas, hati menjadi riang, enteng dan
lega, seolah-olah tidak kuatir dibokong seorang dari belakang.
Sambil memicingkan mata Ting Si memperhatikan gerak-geriknya yang melangkah keluar, bola
matanya makin membelalak, sorot matanya menampilkan mimik aneh, seperti ingin cepat
mengejarnya. Sayang saat itu Ong-toasiocia sudah mulai bicara sehingga terpaksa tetap duduk
di kursinya. "Aku yakin kau pasti merasa heran, mengapa aku ingin tahu dimana kau berada pada tanggal 13
bulan 5 yang lalu, betul tidak?"
"Ya, aku tidak mengerti.."
"Kau tidak mengerti, mengapa aku mengusut perkara di tanggal itu?"
"Ya, coba jelaskan."
"Tanggal 13 adalah hari yang istimewa," Ong-toasio-cia mengangkat cawan araknya, sebelum
minum pelahan dia meletakkan pula cawannya, bola matanya yang jeli dan bening mendadak
berubah guram seperti berselaput. Cukup lama baru Ong-toasiocia melanjutkan, "Ayahku
meninggal pada tanggal 13, mati secara mengenaskan, kematiannya yang aneh dan amat
mencurigakan."
"Aneh dan mencurigakan bagaimana?" Teng Ting-hou bertanya.
"Pada zaman dulu hingga sekarang, tombak adalah senjata panjang, gaman seorang panglima
perang di medan laga, senjata ampuh dan lihai untuk bertempur jarak jauh di atas kuda. Tokoh
silat yang bersenjata tombak di kalangan Kangouw tidak banyak jumlahnya, apalagi yang
terkenal sebagai tokoh kosen yang tidak terkalahkan, boleh dikata jarang sekali."
Teng Ting-hou sependapat, "Menurut apa yang aku tahu, ada tiga belas jago kosen yang
terkenal di Bulim bersenjata tombak panjang."
"Di antara tiga beias jago kosen itu, iimu tombak ayahku termasuk urutan keberapa?"
"Nomor satu" sahut Teng Ting-hou tanpa pikir, bukan memuji dan bukan tanpa alasan ia berkata
demikian, "Selama tiga puluh tahun, jago siiat yang bersenjata tombak di Kangouw, belum ada
yang mampu mengalahkan dia."
"Kenyataannya ayah mati di ujung tombak lawan."
Teng Ting-hou melongo, agak lama baru dia menghela napas, "Mati di bawah tombak siapa?"
"Entah, aku tidak tahu," sahut Ong-toasiocia, dia mengangkat cawan, tapi diletakkan lagi, jarijarinya
tampak gemetar. "Malam itu sudah larut, biasanya aku tidur pagi-pagi, waktu
mendengarjeritan ngeri beliau ditengah malam, aku terjaga dengan kaget dan gelagapan."
"Waktu kau memburu ke kamar ayahmu, pembunuh itu sudah tidak kelihatan?" tanya Teng Tinghou.
Sesaat Ong-toasiocia menggigit bibir, "Aku sempat melihat sesosok bayangan melompat keluar
dari jendela belakang kamar buku ayah."
"Apakah perawakan bayangan itu tinggi?" tanya Teng Ting-hou pula.
Mata Ong-toasiocia berkedip-kedip, sesaat bimbang, akhirnya mengangguk kepala, "Ginkangnya
amat tinggi."


Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maka kau tidak mengejarnya?"
"Ginkangku belum sempuma, umpama kukejar juga tidak akan kecandak, apalagi aku harus
menolong ayah."
"Waktu itu, gejala apa yang mencurigakan?"
Ong-toasiocia menunduk sambil berpikir, "Waktu aku masuk kamar buku, ayah sudah rebah
dalam genangan darah......" Wajahnya menjadi pucat, bola matanya terbelalak, memancarkan
rasa kaget saat membayangkan sesuatu yang mengerikan. Terbayang olehnya keadaan sang
ayah pada waktu itu, matanya melotot gusar, heran dan kaget, seperti tidak percaya bahwa
dirinya mati di ujung tombak lawan, orang yang sudah dikenalnya dengan baik.
"Tombak emas ayah tergeletak di lantai, sementara kedua tangannya memegang kutungan
tombak yang berlepotan darah, darah yang masih segar."
"Apakah kutungan tombak itu masih kau simpan?"
Pelahan Ong-toasiocia mengeluarkan sebuah bungkusan kecil panjang dari lengan bajunya,
dengan kalem ia membuka bungkusan kain putih itu. Tombak mengkilap itu terbuat dari baja
murni, tapi gagang tombak terbuat dari rotan biasa, bagian yang putus tidak rata, agaknya begitu
tombak menusukdi badannya yang fatal, baru terpegang oleh sang korban, waktu terjadi adu
kekuatan karena saling betot, gagang tombak menjadi patah.
Teng Ting-hou mengerut kening. Tombak itu bermutu rendah, tiada sesuatu yang istimewa pada
kutungan tombak ini, tombak seperti itu dapat dibeli di setiap toko senjata dimana saja.
"Sejak umur delapan aku mulai belajar ilmu tombak, orang-orang yang meyakinkan ilmu tombak
dalam Piau-kiok kami juga tidak sedikit, tapi dari ujung tombak yang patah ini, kami tidak berhasil
menemukan bahan untuk membuat penyelidikan."
"Dengan Pa-ong-jio peninggalan ayahmu, kau menantang duel tokoh-tokoh siiat kosen yang
bersenjata tombak, maksudmu ingin tahu ilmu tombak siapa yang lebih tinggi dari kemampuan
ayahmu?" Ong-toasiocia menunduk sambil menghela napas, "Akhirnya aku sadar, cara yang kutempuh
tidak baik, maklum aku sudah kehabisan akal, aku tidak tahu dengan cara apa aku harus
menemukan jejak musuh."
"Setelah kau menyaksikan permainan Ting Si, kau curiga dialah pembunuh ayahmu. Maka kau
mengancam dan minta keterangannya, dimana dirinya berada pada tanggal 13 bulan 5 yang
lalu?" Makin rendah kepala Ong-toasiocia menunduk, mulutnya terkancing.
Teng Ting-hou menghela napas, "llmu tombaknya rnemang tinggi, aku berani bertaruh jago
kosen yang bersenjata tombak di Bulim sekarang, jarang ada yang bisa mengalahkannya, aku
juga berani tanggung bukan dia yang membunuh ayahmu."
"Aku sudah tahu, maka......maka aku......."
"Biasanya ayahmu tidur setelah larut malam?" mendadak Ting Si menukas.
Ong-toasiocia menggeleng kepala, "Ayah berpegang teguh pada tata kehidupan, pagi-pagi
sudah bangun, naik ranjang sebelum jam delapan malam."
"Apa betul peristiwa itu terjadi setelah larut malam?"
"Waktu itu sudah lewat kentongan ketiga."
"Biasanya tidur pagi-pagi, tapi malam itu justru tidur hingga Iarut malam. Untuk apa dia berada di
kamar buku?"
Ong-toasiocia mengerut kening, agaknya hal ini tidak pernah terpikir olehnya, "Ya, sekarang baru
aku ingat, malam itu beliau kelihatan berbeda dari biasanya."
"Seorang tua yang sudah biasa tidur sore dan bangun pagi-pagi, mengapa harus melanggar
kebiasaan?"
Ong-toasiocia mengangkat kepala mengawasi, bola matanya memancarkan sinar terang.
"Apa bukan lantaran dia tahu malam itu dirinya akan kedatangan tamu, maka dia menunggu di
kamar buku?"
"Waktu aku masuk ke kamar buku, memang ada dua pasang sumpit dan dua cawan, sekedar
hidangan ringan di atas meja."
"Kau seperti melihat" Atau melihat secara nyata?"
"Waktu itu aku bingung, gugup dan takut, keadaan kamar buku tidak sempat kuperhatikan," sahut
Ong-toa-siocia.
Ting Si menghela napas panjang, cawan arak diambil lalu pelahan menghirup isinya hingga
habis. Mendadak ia bertanya, "Pa-ong-jio milik ayahmu, apakah selalu disimpan di kamar buku?"
"Ya, selalu disana."
"Jadi bukan lantaran ada tamu, maka dia menyiapkan senjatanya di sana?"
"Ya, begitulah."
"Tapi dia menyiapkan hidangan dan arak."
Tiba-tiba Ong-toasiocia berdiri, "Sekarang kuingat, malam itu waktu aku masuk ke kamar buku,
memang betul ada sepasang sumpit dan dua cawan di atas meja."
"Tadi kau bilang tidak memperhatikan keadaan kamar buku, sekarang kau bilang mendadak
ingat?" "Semula aku memang tak memperhatikan, belakangan pembantu ayah ada yang mencekoki aku
secawan arak waktu hampir semaput. Dalam keadaan seperti itu sudah tentu aku tidak
memperhatikan keadaan."
Ting Si menepekur sesaat lamanya, suasana hening. "Berapa luas kamar buku itu?" tanya Ting
Si kemudian. "Besarsih tidak, kira-kira empat kali lima meter."
"Umpama kamar buku itu amat luas, kalau ada orang berhantam dengan tombak panjang di
sana, keadaan tentu porak poranda, perabot tentu tidak sedikit yang hancur."
"Akan tetapi......"
"Waktu kau masuk kamar, piring, mangkuk, poci dan sumpit serta cawan masih rapi di atas
meja?" "Betul," tegas jawaban Ong-toasiocia.
"Ujung tombak ini hanya kutungan saja, gagang tombak mungkin setombak lebih panjangnya,
tapi juga mungkin hanya satu dua kaki saja."
"Oleh karena itu......"
"Pembunuh ayahmu belum tentu seorang kosen yang bersenjata tombak, apalagi terkenai, tapi
aku yakin pembunuh itu pasti kenalan atau sahabat ayahmu."
Ong-toasiocia menunduk diam, sesaat dia mengangkat kepala pula serta mengawasi pemuda di
depannya ini. Matanya seperti jnelihat anak kecil mungil yang menyenangkan.
"Karena yang datang adalah sahabat baik, ayahmu menyiapkan hidangan untuk menyamuut
kedatangannya dan menunggu di kamar buku, pembunuh itu mendapat kesempatan
mengeluarkan tombak yang sudah disiapkan lalu menusuk ayahmu di tempat fatal. Lantaran
ayahmu tidak menduga dan tiada kesempatan membela diri atau melawan, maka hidangan di
atas meja sedikitpun tidak te.sentuh," demikian Ting Si membuat kesimpulan, pelahan ia
menghirup araknya, tenggorokannya sudah gatal hingga suaranya berubah tawar, "Itu hanya
sekedar pendapatku yang bodoh, apa yang kupikir belum tentu benar."
Ong-toasiocia masih menatapnya hingga lama, lambat-laun sinar matanya memancar cahaya
yang sukar dilukiskan, mirip gadis remaja yang baru pertama kali mengenakan perhiasan dan
bercermin di depan kaca.
Teng Ting-hou tertawa, "Sekarang kau mengerti bukan, mengapa dia memperoleh julukan Ting
Si yang pintar'."
Tanpa bicara Ong-toasiocia bangkit dari tempat duduknya. Tanpa terasa keadaan di luar menjadi
gelap, sinar bintang berkelap-kelip di angkasa, demikianlah sepasang bola mata Ong-toasiocia,
mirip bintang kejora. Angin berhembus kencang dari puncak gunung di kejauhan, langit remangremang,
puncak gunung itu hanya kelihatan bentuknya yang hitam raksasa berjongkok di tempat
gelap. Pelahan menuju ke jendela, matanya menatap jauh ke puncak gunung yang gelap itu, akhirnya
dia menghela napas panjang, "Tadi aku bilang tanggal 13 bulan 5 adalah hari istimewa, bukan
hanya lantaran pada hari itu ayahku mati terbunuh."
"Masih ada keistimewaan lain di hari itu?" tanya Teng Ting-hou.
"Biasanya ayah amat memperhatikan kesehatan dirinya, jarang minum arak tidak pernah
menghisap rokok, tapi setiap tahun pada tanggal dan bulan itu, seorang diri dia minum arak dan
menghisap rokok untuk menghilangkan kerisauan hatinya hingga larut malam."
"Tidak pernah kau tanya, mengapa beliau berbuat demikian?" tanya Teng Ting-hou.
"Sudah tentu pernah aku bertanya kepada beliau," sahut Ong-toasiocia.
"Bagaimana jawabnya?"
"Waktu pertama aku bertanya, beliau menjadi gusar, aku didamprat dan diberi peringatan supaya
selanjutnya tidak mencampuri urusan orang tua. Belakangan beliau malah menjelaskan
kepadaku."
"Menjelaskan apa?"
"Menurut adat kebiasaan penduduk Binglam, tanggal 13 bulan 5 adalah hari ulang tahun Thian-te
dan Thian-houw (raja langit dan permaisurinya), hari itu, setiap keluarga pasti bersembahyang,
bagi yang punya duit mengundang sanak saudara mengadakan pesta dengan harapan tahun
depan mereka akan mengeruk keuntungan yang lebih besar."
"Setahuku ayahmu bukan kelahiran Binglam," ujar Teng Ting-hou.
"Tapi almarhumah ibuku kelahiran Bing-lam. Di waktu mudanya, kalau tidak salah, cukup lama
ayah menetap di daerah itu."
"Mengapa tidak pernah kudengar tentang ini?"
"Hal ini memang dirahasiakan, jarang diceritakan kepada siapa pun."
"Tapi......"
"Yang lebih aneh, setiap tahun bila tiba tanggal dan bulan itu, perangai beliau tentu berubah
jelek, pemarah dan suka mengomel, biasanya setiap hari beliau latihan tombak, tapi hari itu
kelihatan menjadi malas, sejak pagi bangun tidur hingga larut malam mengeram diri di kamar
bukunya." "Apa kau tidak tahu untuk apa seharian beliau mengeram diri dalam kamar buku?"
"Berapa kali aku mengintip, kulihat beliau selalu duduk melamun, suatu ketika kulihat beliau
menggambar sebuah lukisan."
"Lukisan apa yang digambar?"
"Setelah lukisannya selesai, kelihatan dia akan menyobek atau membakar lukisan itu, tapi
setelah dipandang pula beberapa kali, sikapnya berubah seperti merasa sayang, maka dia
gulung lukisan itu, disimpan di belakang lemari, dimana ada lemari rahasia lapis dua."
"Kau pernah melihat gambar lukisan itu?"
"Ya, pernah, menurut pendapatku, tidak ada sesuatu yang istimewa pada gambar itu, gambar itu
melukiskan sebuah pemandangan gunung dan sungai, ada mega putih terapung di pinggang
gunung nan hijau permai, panorama yang amat indah."
Mendadak Ting Si menyeletuk, "Apakah lukisan itu masih ada?"
"Sudah hilang."
Ting Si mengerut alis, sikapnya seperti amat kecewa.
"Setelah ayah meninggal, aku pernah membuka lapisan lemari rahasia itu, barang yang
tersimpan di sana masih utuh, tiada yang hilang, kecuali lukisan itu. Padahal gambar itu tidak
berharga sepeser pun, tapi orang justru mengambil lukisan itu."
"Jadi kau tidak tahu siapa yang mengambii lukisan itu?" tanya Ting Si pula.
Ong-toasiocia menggeleng kepaia, "Secara seksama pernah aku memeriksa lukisan itu di luar
tahu ayah. Waktu kecil aku pernah belajar menggambar."
Bercahaya pula sinar mata Ting Si, "Sekarang dapatkah kau menjiplak lukisan itu persis
aslinya?" "Mungkin aku bisa menjiplaknya sekarang," ujar Ong-toasiocia, lekas sekali dari pemilik restoran
ia mendapatkan alat-alat dan kertas gambar, meski bukan ahli temyata Ong-toasiocia mahir
menggambar, goresan kuasnya cukup kuat dan tajam.
Langit biru mega putih, di bawah mega terdapat sebuah lereng gunung yang menghijau, lapatlapat
seperti keiihatan ujung sebuah bangunan berloteng. Setelah meletakkan kuas dan
mengeringkan tinta, beberapa kejap Ong-toasiocia memperhatikan hasil karyanya, wajahnya
kelihatan amat puas.
"Beginilah bentuk lukisan itu, umpama tidak persis seratus persen, delapan puluh hingga
sembilan puluh persen kuyakin cukup memadai."
Hanya sekejap Ting Si mengawasi gambar itu lalu melongo ke arah lain, suaranya tawar,
"Gambar ini memang tidak istimewa, pemandangan gunung dan air seperti ini, di kolong langit
entah berapa banyaknya."
"Tapi lukisan ini dibubuhi beberapa huruf yang istimewa."
"Apa bunyi tulisan itu?" tanya Teng Ting-hou.
Ong-toasiocia mengangkat potlot tinta lalu menulis beberapa huruf di ujung atas kanan gambar.
"Tanggal 13 bulan 5, menyingkir jauh dari naga hijau."
Ceng-liong adalah naga hijau. Melihat kedua huruf ini, rona muka Teng Ting-hou mendadak
berubah jelek, seperti melihat momok yang menakutkan.
Pelahan Ong-toasiocia meletakkan alat tulisnya lalu berputar menghadapinya, matanya menatap
tajam, namun suaranya kalem dan lembut, "Waktu ayah masih hidup, beliau sering bilang bahwa
di antara teman-temannya, Sin-kun-siau-cu-kat memiiiki pengetahuan paling luas."
Teng Ting-hou tertawa meringis, bibirnya menghijau, tawa yang dipaksakan.
Ong-toasiocia berkata pula, "Aku tahu beliau tidak pernah membual, maka......"
Tiba-tiba Teng Ting-hou menghela napas, "Soal apa yang ingin kau tanyakan padaku?"
"Kau tahu tentang Ceng-liong-hwe?" tanya Ong-toasiocia.
Teng Ting-hou berjingkat, agaknya tidak menduga dirinya bakal ditanya tentang hai ini.
Ceng-liong-hwe, sudah tentu Teng Ting-hou tahu apa itu Cang-liong-hwe. Tapi setiap kali
telinganya mendengar nama golongan yang satu ini, seperti ada ribuan ular kecil merayap
ditengkuknya. Ong-toasiocia menatapnya, katanya pelahan, "Aku yakin kau tahu. Konon, selama tiga ratus
tahun ini, Ceng-liong-hwe merupakan golongan paling ditakuti di kalangan Kangouw."
Teng Ting-hou tidak menyangkal, juga tidak berani menyangkal. Bahwa Ceng-liong-hwe
merupakan momok atau dedemit yang menakutkan di kalangan Kangouw memang kenyataan.
Tiada orang tahu bagaimana asal-usul golongan Ceng-liong-hwe dan kapan berdirinya, selama
ratusan tahun, jarang ada orang luar tahu, siapa yang menjadi ketua atau memegang tampuk
pimpinan golongan itu selama beberapa generasi. Orang hanya tahu, betapa kejam dan telengas
tindakan mereka, tiada golongan atau aliran silat manapun yang bisa menandinginya.
Ong-toasiocia berkata lebih lanjut, "Konon markas cabang Ceng-liong-hwe secara rahasia
tersebar luas ke seluruh pelosok dunia, begitu banyak hingga seluruhnya berjumlah tiga ratus
enam puluh lima cabang.."
"Wah, banyak benar."
"Setahun bukankah juga genap tiga ratus enam puluh lima hari" Maka Ceng-liong-hwe
menggunakan tanggal dan bulan sebagai kode rahasia untuk mengadakan hubungan satu
dengan yang lain. Tanggal 13 bulan 5 mungkin adalah salah satu markas cabang mereka juga."
"Jadi kau berpendapat, kematian ayahmu ada sangkut-pautnya dengan gerakan Ceng-lionghwe?"
"Beliau sudah lanjut usia, tapi mata kupingnya masih normal. Hari itu, waktu aku mengintip, aku
yakin beliau juga tahu, tapi diam dan pura-pura tidak tahu."
"Jadi kau beranggapan bahwa lukisan itu sengaja ditujukan kepadamu?" .
"Ya, mungkin sekali."
"Lalu apa tujuannya?"
"Mungkin waktu beliau berada di Bing-lam, pernah bermusuhan dengan pihak Ceng-liong-hwe,
dia tahu suatu saat Ceng-liong-hwe akan mengutus orang mencari dirinya, maka beliau
menggunakan cara itu untuk memberi peringatan kepadaku."
"Tapi......."
"Waktu masih hidup beliau tidak mau menjelaskan kepadaku," demikian Ong-toasiocia menukas.
"Beliau kuatir aku tersangkut perkara ini. Maka beliau meninggalkan pesan secara tidak langsung
lewat lukisan ini, supaya aku tahu orang yang membunuhnya adalah pimpinan cabang markas
Ceng-liong-hWe yang menggunakan kode 13 bulan 5 itu, sementara markas besar golongan
rahasia itu dibangun di atas lereng gunung hijau ini."
Teng Ting-hou menghela napas panjang, "Umpama benar dugaanmu, tidak pantas dia
melupakan huruf-huruf di bawah itu."
Menyingkir jauh dari Ceng-liong (naga hijau)..
Ong-toasiocra menggenggam erat kedua tangannya, air matanya berkaca-kaca di pelupuk mata,
"Aku tahu betapa menakutkan Ceng-liong-hwe itu, tapi aku bertekad, apapun yang terjadi aku
harus menuntut balas kematian ayahku."
"Kau punya kekuatan dan kemampuan menuntut balas?"
"Tekadku sudah bulat, apapun yang terjadi aku harus berusaha," dengan gemas ia menyeka air
mata. "Aku gegetun, mengapa aku tidak tahu dimana letak lereng gunung hijau seperti yang
terlukis dalam gambar itu."
"Memangnya persoalan lain sudah kau ketahui?"
"Paling tidak aku sudah tahu siapa pemimpin markas cabang dengan kode tanggal 13 bulan 5
itu." "Siapa dia?" tanya Teng Ting-hou mengepal tinju, perasaannya mulai tegang.
Ong-toasiocia tak langsung menjawab, suaranya pelan, "Orang itu adalah sahabat ayah, malam
itu ayah sengaja menunggu kedatangannya." Habis bicara matanya menatap Ting Si, "Banyak
persoalan belum pernah kupikirkan, tapi dari kata-katamu tadi, banyak yang kusimpulkan, banyak
yang kupikirkan."
Suara Ting Si tetap tawar, "Tapi sudah kutandaskan, pemikiranku belum tentu benar."
Ong-toasiocia tertawa getir, mendadak ia bertanya, "Apa kau tahu mengapa aku tidak menepati
janji ke rumah keluarga Hi untuk berduel?"
Dingin dan penuh nada sindiran perkataan Ting Si, "Kalau Toasiocia bilang tidak mau pergi ya
tidak pergi, buat apa pakai alasan segala."
"Tapi memang ada alasannya," seperti tidak merasakan sindiran Ting Si, Ong-toasiocia tidak
marah, lalu melanjutkan, "Pagi itu, ditengah jalan, aku melihat seorang."
"Hm, dijalan raya banyak orang. Kalau kau melihat setan baru mengherankan," demikian jengek
Ting Si kaku. "Tapi terhadap orang yang satu ini, mimpi pun aku tidak menduga bakal melihatnya di tengah
jalan." "O, bagaimana kejadiannya?"
"Waktu itu masih pagi, cuaca remang-remang, dia mengenakan kedok muka, aku yakin dia tidak
menyangka kalau aku mengenalinya. Tapi aku berlaku amat hati-hati."
"Mengapa?" tanya Ting Si.
"Waktu itu aku sudah menduga, ayah mati di tangannya, kalau dia tahu aku mengenalinya,
mungkin aku pun sudah dibunuhnya."
"Karena ketakutan, maka janji berduel itu pun segan kau tepati?"
Merah mata Ong-toasiocia hampir menangis, katanya kemudian, "Waktu itu, aku belum yakin
seratus persen dugaanku benar."
"Tapi sekarang?"
"Setelah mendengar uraianmu, mendadak aku ingat, di malam kematian ayah, orang yang


Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditunggu ayah di kamar buku tentu dia."
"Jadi sekarang kau yakin dugaanmu benar?"
"Sekarang aku yakin."
"Tapi kau tidak berani berterus terang, siapa dia sebenarnya?"
"Soalnya...... umpama kujelaskan, kalian pasti tidak percaya."
"Kalau begitu, lebih baik tidak usah dijelaskan," ujar Ting Si, dia isi cawan araknya lalu minum
sendiri, sikapnya seolah-olah tidak peduli dan tidak ingin tahu kelanjutan perkara ini.
Bersambung ke 7
Ong-toasiocia berkata, "Di kamar itu tercium bau obat waktu aku memburu ke kamar buku ayah,
bau obat serupa itu tercium pula olehku waktu melihatnya di tengah jalan."
Betapa pedas sindiran dan dingin sikap Ting Si terhadapnya, ternyata Ong-toasiocia tidak marah
dan masih dapat menguasai emosi. "Kemarin pagi waktu aku melihatnya, kebetulan dia baru
menggunakan obatnya itu, dari kejauhan aku sudah mencium bau obat yang khas itu, maka tak
usah melihat jelas wajahnya, aku sudah tahu siapa dia." Lebih lanjut dia berkata, "Lantaran
penyakitnya yang sudah menahun itu, deru napasnya amat berbeda dengan orang biasa, asal
dua kali kau mendengar pernapasannya dengan seksama, lain kali bila bertemu atau
mendengarnya, pasti kau dapat mengenalinya."
Teng Ting-hou tidak membuka mulut, tapi mimik mukanya menunjukkan bahwa apa yang
diuraikan Ong-toasiocia memang benar. Sungguh tak pernah terpikir dalam benaknya, gadisjelita
yang aleman dan pingitan ini ternyata cukup cerdik dan teliti.
Ong-toasiocia menatapnya, katanya, "Rurasa kalau kau pernah bertemu dia, kau pasti
mengenalnya."
Teng Ting-hou hanya menganggukkan kepala.
"Dari tanggal 13 bulan 5 sampai tanggal 1 bulan 7 ada empat puluh hari. Dalam jangka waktu itu
orang bisa bertoiak balik ke Koan-gwa, menunggu kau pergi menjemputnya."
"Tapi tahun ini......"
"Aku tahu, dua bulan yang lalu dia keluar perbatasan, tapi jangka waktu selama itu, cukup untuk
pulang pergi secara diam-diam."
Teng Ting-hou menarik napas panjang, "Uraianmu bukan tidak masuk akal, tapi kau melupakan
satu hal."
"Aku melupakan apa?"
"Hubungan Pek-li Tiang-ceng dengan ayahmu amat intim, apa alasannya membunuh ayahmu?"
"Karena ayah menolak anjurannya dan mengusirnya, itu dianggap tak memberi muka padanya,
maka dia membenci dan dendam terhadap ayah, atau mungkin karena dia Tho-cu atau pimpinan
cabang Ceng-liong-hwe dengan kode tanggal 13 bulan 5 itu, tak segan dia turun tangan secara
keji." "Jadi kau yakin bahwa dia pembunuh ayahmu?" Tergenggam erat kedua tangan Ong-toasiocia,
suaranya mendesis geram, "Tidak ada alasan aku mencurigai orang lain kecuali dia."
"Tapi alasanmu lemah. Ingat, kau tak punya bukti." "Karena itu aku harus mencari bukti." Lalu
Ong-toasiocia menambahkan, "untuk mendapatkan bukti, aku harus menemukan Pek-li Tiangceng,
hanya dialah bukti hidup satu-satunya."
"Kau tahu dimana dia sekarang?" "Pasti di lereng hijau seperti yang terlukis dalam gambar itu."
"Kau tahu dimana letak lereng hijau itu?"
"Aku tak tahu," Ong-toasiocia menghela napas. "Apalagi, umpama aku bisa menemukan tempat
itu dan berhasil menemui Pek-li Tiang-ceng, jelas aku bukan tandingannya, maka......"
"Maka kau mencari teman atau pembantu."
"Ya, pembantu yang berguna, gagah lagi berani."
"Kau ingin mengajakku?" Teng Ting-hou bertanya.
"Tidak," jawaban Ong-toasiocia tegas lagi cekak, gadis ini memang periang dan jujur.
Teng Ting-hou menyengir tawa yang dipaksakan. Kasus ini amat ruwet, lebih baik kalau dirinya
tidak tersangkut, tapi entah mengapa, lubuk hatinya amat kecewa setelah mendengar jawaban
Ong-toasiocia, kecewa karena merasa disepelekan.
"Ilmu silat Pek-li Tiang-ceng amat tinggi, laksana rase tua yang licik dan licin."
"Karena itu, kau harus mendapat pembantu yang memiliki llmu silat tinggi dan lebih lihai dari PekIi Tiang-ceng, malah pembantumu itu harus lebih licin dibanding rase tua itu."
Ong-toasiocia menganggukkan kepala, tapi matanya menatap Ting Si.
Ting Si sedang santai menikmati araknya, bahwasanya seperti tidak mendengar percakapan
mereka. Teng Ting-hou meliriknya sekali, lalu berkata dengan tertawa, "Apalagi orang ini pandai purapura
dingin." Mendadak Ong-toasiocia berdiri sambil mengangkat cawan ke hadapan Ting Si, "Setelah terjadi
beberapa kasus itu, aku tahu kau takkan mau membantuku, tapi demi keadilan dan kebenaran,
aku betui-betul mengharap bantuanmu, aku yakin kau tidak akan menolak permintaanku."
"Aku harus menerima permintaan apa?" tanya Ting Si.
"Bantulah aku mencari Pek-li Tiang-ceng, membongkar kasus ini."
Ting Si tertawa, tiba-tiba ia tertawa lucu, bukan tawa ramah atau simpati, juga bukan tawa yang
memikat dan menarik. Sebaliknya tawanya mirip sebatang cundrik yang runcing dan tajam..
Ong-toasiocia menggenggam cawan araknya dengan gemetar, berdiri kaku, bibirnya hampir
pecah tergigit. Ting Si berkata tegas, "Kau bukan orang bodoh, kuharap kau tahu satu hal."
"Katakan."
"Sesuatu kejadian yang disaksikan dengan mata kepaia kita sendiri belum tentu benar, apalagi
hanya berdasar penciuman hidung, penyelidikanmu yang dangkal begini, kau berani menuduh
seorang sebagai pembunuh, kecuali kau, aku yakin tidak ada orang lain di dunia ini yang berani
bertindak selancang itu."
Arak dalam cawan yang dipegang Ong-toasiocia tercecer keluar, suaranya gagap, "Kau......tidak
percaya kepadaku?"
"Aku hanya percaya kepada diriku sendiri."
"Mengapa tidak kau selidiki duduk perkara yang sebenarnya."
"Karena jiwa ragaku hanya satu, aku belum ingin mati, mengorbankan jiwa ragaku kepada orang
lain, mati secara konyol, apalagi menyerahkan jiwaku padamu," sambil bicara ia berdiri, merogoh
kantong lalu menaruh sekeping uang perak di atas meja, "Aku minum tujuh cawan, ini uang untuk
membayar arak, aku tidak mau berhutang kepada siapa pun." Habis bicara ia putar tubuh lalu
melangkah keluar tanpa menoleh lagi.
Membesi hijau muka Ong-toasiocia, sekali renggut ia rain uang perak di atas meja, gelagatnya
hendak ia timpukkan ke arah hidung Ting Si. Tapi tangannya mendadak terhenti di udara,
sejenak kemudian pelahan diturunkan, dengan kalem ia masukkan uang pe/ak itu ke kantongnya
sendiri, lekas sekali wajah yang membesi hijau berubah menjadi merah jengah dan dihiasi
senyum manis. Sesaat Teng Ting-hou menjublek mengawasi gadis ini, tanyanya kemudian, "Kau tidak marah
kepadanya?"
"Mengapa harus marah?" Ong-toasiocia balas bertanya.
"Mengapa tidak marah?"
"Pek-li Tiang-ceng adalah manusia yang menakutkan, Ceng-liong-hwe lebih menakutkan lagi.
Bila aku minta dia melakukan sesuatu yang membahayakan jiwanya, adalah pantas kalau dia
mempertimbangkan untung ruginya."
"Tapi sikapnya sudah gamblang, dia tidak mempertimbangkan, tapi menolak secara tegas."
"Biar sekarang dia menolak permintaanku, aku yakin akan datang saatnya dia akan
menerimanya."
"Kauyakin?"
Bercahaya bola mata Ong-toasiocia, "Sudan tentu aku yakin, aku tahu dia suka padaku."
"An, masa kau tahu?"
"Ya, aku tahu karena aku perempuan, hanya perempuan yang tahu dan merasakan adanya likuliku
cinta dan asmara."
Teng Ting-hou tertawa lebar, "Kalau soal cinta lelaki juga bisa merasakan, bahkan
menikmatinya." Di tengah gelak tawanya, Teng Ting-hou berlari keluar menyusul Ting Si.
Ting Si bertanya, "Kau merasakan apa?"
"Kalau di depan ada lubang besar, umpama kau berusaha menghindar, cepat atau lambat,
akhirnya kau pasti kecemplung juga."
Ting Si menarik muka, suaranya ketus, "Anggapanmu keliru."
"Keliru" Memangnya......."
"Bukan aku yang kecemplung, tapi kau sendiri."
Kereta kuda itu masih ada di luar pintu, tapi kusir kereta sudah tidak kelihatan batang hidungnya.
Ting Si melompat naik dan duduk di tempat kusir, mencabut cemeti yang tertancap di pinggir
ternpat duduk, "Tar", cemeti terayun dan menggelegar di udara. Terpaksa Teng Ting-hou ikut
melompat ke atas, duduk di sebelahnya.
Sebagai anak gelandangan Ting Si pandai mengendalikan kereta tapi tidak pernah terbayang
dalarn benaknya, di saat menjadi sais kereta, Ting Si mirip anak kecil yang kebelet masuk WC.
Kereta itu dibedal kencang, langsung keiuar kota, "Sekarang kita hendak kemana?"
"Cari tempat untuk tidur."
"Di luar kota ada tempat untuk tidur?"
"Kabin kereta ini sudah cukup iuas untuk tidur dua orang."
Teng Ting-hou menghela napas, dia enggan bicara lebih banyak. Ada sementara orang, sejak
dilahirkan seperti sudah dibekali bakat, hingga orang lain selalu lengket padanya, Ting Si adalah
manusia jenis ini. Kalau bertemu dengan manusia sejenis Ting Si, maka harus menemaninya
tidur di atas kereta. Setelah tiba di luar kota, lari kereta dibedal lebih kencang. Ting Si merengut
kaku, maka Teng Ting-hou juga bungkam seribu basa, perasaan mereka tertekan, banyak
persoalan seperti membelit benak rnereka.
Akhirnya Ting Si buka suara lebih dulu, "Mengapa kau tidak bicara?"
"Sedang kupikir......"
"Pikir apa?"
"Kabarnya golongan hitam sedang menghimpun kekuatan untuk mendirikan golongan gabungan,
tujuan rnereka untuk menghadapi Ngo-hoa-coan-ki."
"Ya, betul, pernah kudengar."
"Setelah Gak Ling meninggal, gerakan rnereka pasti dipercepat."
"Betul."
"Kalau gabungan dari golongan hitam ini bentrok dengan pihak kita, dunia pasti geger."
"Ya, kalau kijing rebutan makan dengan bangau, nelayan yang akan untung"
"Tapi untuk menjadi nelayan, kurasa bukan pekerjaan yang mudah"
"Ya, memang sukar."
"Menurutrhu, siapa yang setimpal dan mampu menjadi nelayan?" .
"Ceng-liong-hwe." - Teng Ting-hou menghela napas, "Ya, hanya Ceng-liong-hwe."
Bercahaya mata Ting Si, "Bukankah kau ingin bilang, hanya Pek-li Tiang-ceng saja yang setimpal
menyulut api di atassumbu?" ,
Teng Ting-hou mengheia napas, jawabannya tidak langsung, "Kalau sumbu itu sampai menyala,
pasti timbul kebakaran besar. Pihak mana pun akan terjilat api dan menjadi gundul rambut
kepalanya, kecuali......"
"Kecuali kita berhasil menyelidik siapa pembunuh jenius itu?" demikian tukas Ting Si.
Teng Ting-hou mengangguk kepala, "Aku berpendapat pembunuh Ong-lothaycu juga adalah
pembunuh Ban Thong dan Gak Ling berempat."
"Ya, pengkhianat yang menjual rahasia Ngo-coan-ki juga pasti dia."
"Kematian Ong-iothaucu agaknya ada sangkut-pautnya dengan peristiwa ini. Secara tegas dia
menolak ajakan berserikat dalam Piaukok gabungan kita, tentu dia punya alasan untuk menoiak
ajakan itu, dan itu merupakan rahasia yang tidak diketahui orang."
"itu perkiraanmu, bukan buah pikiranku."
"Aku orang keroco, pikiran orang keroco tiada gunanya dan tiada sangkut pautnya dengan kasus
ini." "Aku bilang ada sangkut pautnya."
"Ah, apa iya?"
Teng Ting-hou menatapnya, "Aku tahu, kau menyembunyikan banyak rahasia da!arn hatimu, jika
rahasia itu tidak kau beberkan, peristiwa itu tidak akan menjadi terang, kasus ini tidak akan
terbongkar hingga ajaimu." Lama kelamaan tatapan matanya setajam gurdi yang mengancam
hulu hati Ting Si.
Ting Si tertawa. Bukan tawa sinis setajam gurdi, tapi tawa ramah dan simpatik yang menarik
kesan baik orang lain. Kalau gurdi terbentur gurdi tentu menimbulkan percik-an api. Tapi
menghadapi senyum ramah yang mengesankan, betapapun tajam sang gurdi juga takkan kuat
menusuknya. Teng Ting-hou juga tersenyum, mendadak dia merubah haluan. "Kau tahu tidak, dimana letak
dirimu yang menyenangkan?"
Ting Si menggeleng kepala.
"Dari ujung rambut sampai telapak kakimu, yang menarik hanya bola matamu."
Ting Si segera mengucek mata.
Teng Ting-hou bertanya pula, "Tahukah kau, mengapa matamu kelihatan indah dan
menyenangkan?"
"Coba jelaskan."
"Karena matamu tidak pandai berbohong. Tidak sepandai mulutmu yang pintar membual, bila
mulutmu membual, maka mimik dan rona matamu kelihatan janggal, istimewa dan aneh."
"Kau pernah menyaksikan perubahan rona mataku?"
"Sedikitnya ada tiga atau empat kali aku melihatnya."
"Tiga atau empat kali, wah cukup banyak."
"Setiap kali aku m
Amanat Marga 12 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Bukit Pemakan Manusia 7

Cari Blog Ini