Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Bagian 17
ranya adalah seorang kakek berbaju hitam dan segera melompat turut, dari dalam kereta berbareng juga melompat keluar seorang tua dengan menyandang sepasang senjata Poan-koan-pit di punggung, mereka lari ke depan Thian-ongpangcu dan sama menyembah sambil berucap, "Hamba Tong Pin dan Soa Goat menyampaikan sembah bakti kepada Pangcu."
Demi mendengar Tong Pin menyebut "Lu Yan-sin" sebagai Pangcu, seketika muka Coa Ji berubah pucat serupa mayat dan melongo.
Thian-ong-pangcu tidak ambil pusing terhadap Coa Ji yang kaget setengah mati itu, ia hanya bicara terhadap Tong Pin dan Soa Goan-hiong "Perlihatkan Thian-ong-hu!"
Cepat Tong Pin berdua mengeluarkan Thian ong-hu dan dipersembahkan, "Mohon pangcu memeriksanya!"
Thian-ong-pangcu hanya memandang sekali Thian-ong-hu yang dipegang mereka itu tanpa menerimanya, lalu berkata, "Baiklah, simpan kembali!"
Setelah Tong Pin berdua menyimpan kembali Thian-ong-hu, segera Thian-ong-pangcu bertanya pula,
"Bagaimana keadaan di sana?"
"Semuanya baik," jawab Tong Pin dengan hormat.
"Apa tidak terjadi sesuatu yang tak terduga!" tanya lagi Thian-ong-pangcu.
"Tidak ada, segalanya berjalan lancar," tutur Ok-poan-koan Tong Pin.
Thian-ong-pangcu manggut-manggut, lalu menuding Coa Ji dan bertanya, "Katanya Coa Ji ini adalah adik seperguruanmu?"
"Betul, biasanya dia dapat bekerja giat dan cepat, mohon Pangcu memberi bantuan seperlunya,"
jawab Tong Pjn sambil memandang Coa Ji sekejap.
Dengan tertawa Thian-ong-pangcu menjawab, "Setiap busu pang kita, asalkan bekerja giat dan cepat, melaksanakan tugas dengan setia, dengan sendirinya akan kuberi kebaikan dan kenaikan pangkat yang wajar sebaliknya kalau cuma lahirnya saja tunduk, tapi dalam batin membangkang malahan di belakangku suka berolok-olok terhadap pribadiku, maka sulitlah bagiku untuk mengangkatnya ke atas."
Air muka Tong Pin berubah pucat, tanyanya gugup, "Apakah suteku ini telah berbuat sesuatu kesalahan?"
"Boleh kautanya sendiri padanya," jengek Thian-ong-pangcu.
Segera Tong Pin tanya Coa Ji dengan suara agak gemetar, "Sute, apa yang telah kau lakukan"
Dengan gemetar mendadak Coa Ji berlutut dan menyembah terhadap Thian-ong-pangcu, katanya,
"Ooh, hamba sungguh punya mata tapi buta, dosa hamba sungguh harus dihukum mati seribu kali, mohon... mohon Pangcu sudi mengampuni hamba satu kali ini, selanjutnya hamba pasti tidak berani sembarangan mengoceh lagi dan hamba bersumpah akan mengabdi dengan setia terhadap pang kita..."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Mendadak Thian-ong-pangcu memotong, "Baik, dapat kuampuni satu kali kematianmu..."
Girang Coa Ji seperti putus lotere, beruIang ia menyembah dan berucap, "Banyak terima kasih atas budi kebaikan Pangcu, beribu terima kasih..."
Tiba-tiba Thian-ong-pangcu tergelak, "Hahaha, namun kau sendiri bilang dosamu harus dihukum mati seribu kali, sekarang aku cuma mengampuni kematianmu satu kali saja, lalu cara bagaimana menyelesaikan akan hukuman mati yang masih 999 kali?"
Coa Ji melenggong, segera air muka tambah pucat lagi, kembali ia menyembah tanpa berhenti dan memohon, "Mohon belas kasihan Pangcu, sungguh hamba memang suka banyak omong, sekali bicara laatas menerocos serupa kentut, padahal..."
Thian-ong-pangcu tidak mau mendengar lagi lebih lanjut, ia berpaling dan berkata kepada Tong Pin,
"Nah, Tong-busu, jika kujatuhkan hukuman sesuai peraturan pang kita, bagaimana dengan pendapatmu?"
"Hamba tidak ada pendapat lain," jawab Tong Pin dengan menunduk takut "Jika suteku berbuat salah, mohon Pangcu memberi hukuman setimpal sesuai peraturan pang kita,"
"Dia adalah busu pang kita, namun dia justru menilai diriku selaku pangcu dengan segala kejelekan, katanya aku tidak pandai menggunakan tenaga pembantu, katanya dia tidak sudi menjadi busu boneka selamanya, katanya bila tiba saatnya dia akan kabur meninggalkan Pang kita, waktu kuberitahu bahwa aku mengemban tugas hendak mencabut nyawa Tong Pin yang tidak setia terhadap Pang kita, ia menjadi takut dan segera menyatakan bersedia membantu membunuhmu."
"Coba, manusia yang takut mati dan tamak hidup, orang yang tidak setia dan tidak berbudi seperti ini, menurut pendapatmu cara bagaimana harus membereskan dia?"
"Pantas dihukum mati," jawab Tong Pin, "Nah, mengingat dia itu sutemu, maka boleh kau suruh dia membereskan diri sendiri," ucap Thian-ong-pangcu.
Segera Tong Pin berpaling dan membekuk terhadap Coa Ji, "Dengar tidak keputusan pangcu Sute?"
Muka Coa Ji seketika berubah pucat serupa kertas, ia mengangguk tanda menurut. segera ia merogoh pinggang dan mengeluarkan sebilah belati, ujung belati mengarah hulu hati sendiri seperti siap membunuh diri, mendadak ia berteriak keras sekali, ujung belati membalik terus menikam ke perut Thian-ong-pangcu.
Itulah perbuatan nekat antara hidup atau mati, asalkan sergapannya berhasil, maka ada harapannya untuk menyambung hidup.
Akan tetapi Ok-poan-koan Tong Pin yang terdiri di sebelahnya sudah siap siaga, begitu nampak ujung belatinya membalik, serentak ia maju menendang sambil membentak, "Kau mau apa?"
Tujuan Coa Ji dengan tindakan nekat itu adalah berharap akan mencari hidup, sama sekali ia tidak menduga suheng sendiri akan merintanginya, maka baru saja belatinya terjulur setengah jalan, lebih dulu kepalanya sudah kena tendangan Tong Pin.
"Plak," kontan kepala pecah dan otak berhamburan, sambil menjerit ngeri kontan ia terjungkal, setelah berkelojotan beberapa kali, lalu putus nyawanya.
Habis menendang mati sutenya, Tong Pin masih kuatir sang Pangcu belum puas, cepat ia berlutut dan menyembah, "Ampun Pangcu jika suteku ini berani berbuat khianat!"
Thian-ong-pangcu tertawa, katanya, "Bangunlah! Dia bukan kamu dan kamu bukan dia, urusannya tidak ada sangkut-pautnya denganmu silahkan kau tanam mayatnya dan segera kita berangkat"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Tidak perlu ditanam, dibuang saja!" Tong Pin sambil berbangkit Lalu ia angkat jenazah Coa Ji dan dibawa ke tepi jalan sana serta dilemparkannya ke tengah semak belukar, kemudian putar balik."
Thian-ong-pangcu mendekati kereta dan berkata kepada Boh-to dan Kiam-eng, "Silakan kalian turun, kita harus ganti kereta!"
Boh-to dan Kiam-eng menurut saja dan berganti menumpang kereta yang dibawa kemari oleh Sia Goan-hiong tadi setelah Thian-ong-pangcu juga sudah di atas kereta, ia keluarkan dua potong kain hitam dan berkata, "Maaf, demi keamanan, mulai sekarang terpaksa kututup mata kalian."
"Apa artinya ini?" protes Boh-to dengan mendongkol.
"Artinya tempat yang hendak kita tuju itu tidak boleh diketahui oleh kalian," kata Thian ong-pangcu.
"Aku kan bukan orang persilatan, apa salahnya biarpun kutahu tempat tujuan kita?" ujar Boh-to Siangjin.
"Betapapun kukuatir kelak akan kau bocorkan tempat yang kita datangi nanti," sahut Thian-ongpangcu.
"Sicu tidak perlu kuatir, tidak nanti kuberitahukan tempat itu kepada siapa pun," kata Boh-to tegas.
"Tidak, lebih baik tetap kututup saja mata kalian" kata Thian-ong-pangcu.
"Apakah begini caranya Sicu memperlakukan tamu"
"Ya, jika Siangjin ingin pulang ke Tai-hin-si dengan hidup, mau-tak-mau mata kalian harus ditutup."
"Baiklah, memangnya kami ini tawananmu, apa dayaku?" kata Boh-to menyesal.
Tanpa omong lagi segera Thian ong pangcu menutup mata Boh to dan Kiam-eng dengan kedua potong kasa hitam, Ialu menyuruh Sia Goan-hiong melarikan keretanya, sedangkan Tong Pin mengintil dari belakang dengan mengendarai kereta yang dibawa Coa Ji tadi.
Perjalanan kedua kereta itu berlanjut dari tengah malam hingga pagi, setelah berhenti tidak lama di suatu tempat yang sepi, lalu meneruskan lagi perjalanan, sebentar belok ke timur, Ialu putar ke barat sehingga Boh-to Siangjin dan Kiam-eng yang berada dalam kereta tidak tahu berada di mana.
Dua hari kemudian, kereta sampai di suatu tempat, dengan dipapah Tong Pin dan Soa Goan-hiong, Boh-to dan Kiam eng dipindahkan lagi ke suatu kapal dan entah berlayar menuju ke mana.
Kira-kira setengah hari kapal berlayar, kembali Boh-to dan Kiam-eng dibawa mendarat dan berganti menumpang tandu serta digotong ke tempat yang tidak jelas.
Akan tetapi pada saat itu juga Kiam-eng pun tahu sudah tiba di "markas besar" Thian-ong-pang.
Benar juga, tidak lama mereka menumpang tandu, berhentilah mereka dan dibawa masuk ke sebuah rumah, Mereka didudukkan di kursi, lalu terdengar Thian-ong-pangcu berkata, "Baiklah, sekarang boleh buka penutup mata mereka!"
Karena dikerundung selama dua hari dua malam, pada waktu kain hitam dibuka, seketika Boh-to dia Kiam-eng merasa silau dan sukar memandang. SeIang agak lama barulah daya pandang mereka pulih seperti biasa.
Waktu mereka mengamati sekitarnya, ternyata mereka berada di dalam sebuah kamar tulis yang dipajang sangat indah, Mereka sama merasa heran karena tak terduga.
Maklumlah, semula mereka mengira Thian-ong-pangcu pasti akan memasukkan meraka ke kamar tahaanan, sekaraag tempat mereka berada ternyata sebuah kamar tulis indah, dengan sendirinya mereka heran dan terkejut.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Mereka coba mendekati jendela dan memandang keluar, terlihat di luar kamar adalah sebuah taman bunga yang kecil indah dikitari pagar bambu sekeliling, di tengah taman ada kolam dan gardu pemandangan segala, tanaman teratur rajin indah, terasa menyenangkan sekali.
"Seterusnya apakah kami akan tinggal di kamar ini?" Boh-to coba tanya Thian-ong-pangcu.
"Betul, sampai Siangjin selesai menerjemahkannya," sahut Thian-ong~pangcu.
"Jika begitu, bolehkan pulihkan wajahku yang dulu."
"Tentu saja boleh, silakan mengaso sebentar, segera kuperintahkan mencuci muka kalian."
"Maaf jika kutanya lagi, apakah tempat ini merupakan pangkalan pusat pang kalian?"
"Siangjin tidak perlu urus hal ini, cukup satu hal saja perlu Siangjin ingat, pada waktu istirahat kalian boleh bergerak bebas di taman, namun dilarang keras keluar taman barang selangkah pun."
"Mengapa dilarang melangkah keluar taman?" tanya Boh-to Siangjin.
"Alasannya sama seperti kututup mata kalian."
"Baiklah, sekarang yang paling kuharapkan adalah mencuci badan..."
Thian ong-pangcu mengangguk setuju, ia memberi tanda kepada Tong Pin dan Soa Goan-hiong, ketiganya lantas mengundurkan diri.
Kiam-eng memandangi mereka keluar taman, lalu tersenyum senyuman gembira dan akhirnya tidak tertahan ngikik tawanya.
"Apa yang kau tertawakan, Ngo-liau?" tanya Boh-to heran.
Kiam-eng mendekati padri tua itu dan berbisik lirih, "Apakah Siangjin tahu tempat apakah ini!"
"Tldak tahu," jawab Boh-to.
"Tempat ini adalah sebuah pulau kecil yang terletak di tengah danau Tongling, sudah dua kali pernah kudatang kemari" tutur Kiam-eng tersenyum.
"Ooh, jadi kita berada di tengah sebuah pulau kecil?" Boh-to menegas dengan heran.
"Betul, bukan saja pernah dua kali kudatang ke pulau ini, bahkan kamar ini pun pernah kumasuki."
"Lantas, apakah nama pulau kecil ini?"
"Li-hun-to!"
"Li-hun-to" Ehmm... rasanya pernah kudengar nama pulau ini..."
"Pemilik pulau ini sebenarnya seorang perempuan buta, namanya Liehun-nionio Leng Jing-jing!"
"Ahh, jadi Li-hun-nionio yang memiara ribuan perempuan cacat itu?" Boh to menegas.
"Betul," Kiam-eng mengangguk.
"Sekarang dia berada di sini atau tidak?"
"Tidak ada, sudah sejak beberapa bulan yang lalu Thian-ong-pangcu mengutus ketiga utusannya ke sini untuk memaksa dia menggabungkan diri dengan Thian-ong-pang, tapi tidak digubris olehnya. Maka ketiga duta itu lantas melakukan penyerbuan ke pulau ini. Waktu itu aku baru saja pulang dari wilayah Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
selatan dan bermaksud menceritakan pengalaman perjalananku mencari kota emas itu, ada maksudku hendak memberi bantuan padanya untuk melawan kawanan penyerbu, namun wataknya ternyata sangat keras, dia menolak bantuanku, akibatnya banyak anak buahnya terbunuh akhirnya tetap kubantu dia lolos dari bahaya maut dengan meledakkan sebuah granat berasap."
"Ribuan perempuan cacat yang dikumpulkannya itu juga terbunuh?"
"Tidak, pada waktu dia menerima surat tantangan ketiga duta Thian-ong-pang, semua perempuan cacat itu lantas dipindahkan ke Moko san, Maka yang terbunuh waktu diserbu musuh hanya para perempuan yang menguasai ilmu silat."
"Oh, sudah lama juga kudengar Li-hun-to adalah sorganya kaum perempuan cacat, ternyata Thian-ong-pangcu tega melakukan perbuatan ganas terhadap kaum wanita yang tidak berdosa ini. sungguh perbuatan keji dan menggemaskan."
"Waktu itu aku pun tidak mengerti sebab apa mengincar Li-hun-to, baru sekarang kupaham maksud tujuan meraka menduduki pulau ini."
"Memangnya apa tujuannya?" tanya Boh-to.
"Menduduki pulau ini untuk dijadikan markas pusat Thian-ong-pang mereka!"
"Oya....".
"Kita lihat, Li-hun-to ini dikelilingi danau, posisinya sangat strategis untuk dipertahankan, sebab itulah pulau itu terpilih untuk dijadikan markas pusat mereka."
"Oh, kiranya begitu, sepanjang jalan Thian ong-pangcu mengerudungi mata kita, maksudnya agar kita tidak tahu ke mana hendak dibawa, Tak terduga akhirnya sampai di tempat yang sudah ku kenal.
Bisa jadi ini melambangkan riwayatnya sudah hampir tamat."
"Memang betul, yang paling menggelikan adalah kita justru ditaruh di kamar ini....".Kata Kiam eng lagi.
"Kamar ini kenapa?"
"lni kan bekas kamar tidur Li-hun nionio Leng Jing-jing, waktu itu justru dari kamar inilah kubawa Lihun-nionio lolos dari pulau ini."
"Ah, maksudmu ada jalan rahasia di kamar ini?" Boh-to melengak.
"Betul, cuma orang Thian-ong-pang sudah merombak kamar ini, entah waktu merombak jalan rahasia itu ditemukan mereka atau tidak?"
Bicara sampai di sini, Kiam-eng coba melongok keluar karnar, melihat keadaan sepi, lalu ia mendekati sebuah almari pakaian dinding di pojok sana, ia buka piatu elmari lalu memutar sepotong kayu gantungan baju, beberapa kali diputar, terdengarlah suara berkeriut, pelahan dinding yang terletak di balik almari lantas bergerak menurun sehingga terlihatlah sebuah jalan bawah tanah yang gelap gulita.
Melihat itu, Boh-to terkejut dan bergirang, sahutnya, "Omitohud! Tampaknya jiwa kita belum ditakdirkan harus tamat di sini!"
Kiam-eng juga sangat girang, segera ia putar lagi kayu gantungan baju sehingga pintu rahasia itu merapat kembali seperti semula, lalu pintu almari ditutup katanya dengan gembira, "Thian-Ong-pangcu pasti tidak tahu di dalam kamar ini ada jalan rahasia, maka kita masih ditaruh di sini. Haha, sungguh Thian memang tidak pernah membuat buntu bagi umatnya."
"Jalan bawah tanah ini menembus ke mana?" tanya Boh-to Siangjin.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Ke tepi pantai, keluar dari lorong adalah danau," tutur Kiam-eng.
"Jika begitu, bila tidak ada kapal, tetap kita sukar kabur dari pulau ini."
"Untuk ini kita dapat berusaha nanti. Asalkan Thian-ong-pangcu tidak tahu jalan rahasia ini menembus kemana, tentu kita masih sempat berdaya."
Selagi Boh-to hendak bicara lagi, tiba-tiba Kiam-eng mendengar ada orang melangkah datang, cepat ia memberi tanda diam sambil mendesis, "Sst ada orang datang!"
Tidak lama, muncul empat lelaki berbaju ringkas dengan membawa dua ember penuh air panas dan beberapa alat mandi setelah masuk kesana peralatan itu ditaruh di situ, seorang di antaranya mengeluarkan sepotong garam kristal dan ditaruh di meja, katanya, "Pangcu bilang dengan garam ini dapat membersihkan hiasan pada wajah kalian, boleh kalian cuci sendiri saja."
"Baiklah, terima kasih." kata Kiam-eng.
Ke empat orang itu memberi hormat dan segera mengundurkan diri.
Setelah menutup pintu kamar dan merapatkan tabir jendela, Kiam-eng dan Boh-to membuka baju untuk mandi.
Hanya sebentar saja keduanya sudah pulih pada wajah semula. Dengan sendirinya Su Kiam eng kembali pada wajah si hwesio cilik "Ngo Iiau"
Kemudian ke empat lelaki tadi datang kembali menyingkirkan peralatan, tidak lama pula dua lelaki datang membawakan makanan selesai menaruh makanan di meja, seorang diantaranya berkata, "Pangcu bilang, perjalanan jauh tentu membuat kalian lelah, selesai bersantap boleh silakan istirahat bebas, Besok pangcu akan datang menemui kalian."
Habis bicara mereka terus tinggal pergi, "Dengan sendirinya Boh-to dan Kiam-eng berpikir dan tanpa terasa bergumam "Ehm, rasanya boleh coba kuselidiki walaupun harus menyerempet bahaya..."
"Menyelidiki apa?" tanya Boh-to Siangjin. "Ooh, maksudku mencari Wi-ho Lojin dan Ih Keh-ki," jawab Kiam-eng.
"Kau kira mereka juga terkurung di Li-hun-to ini?" tanya Boh-to.
"Betul, juga ke-180 patung emas itu, kukira berada semua di pulau ini."
"Maksudmu hendak keluar untuk menyelidikinya?"
"Ya, bagaimana pendapat Siangjin?"
"Kukira, Thian-ong-pangcu pasti menaruh penjaga di luar untuk mengawasi kita, bila Siau-sicu keluar, mungkin akan kepergok..."
"Betul juga, cuma Thian-ong-pangcu kan tidak tahu aku ini samaran Su Kiam-eng, maka pengawasannya terhadap kita mungkin tidak seketat dugaan kita, Asalkan aku berlaku lebih hati-hati, mungkin dapat menghindari pengawasan penjaga."
"Tujuanmu kan terletak pada kitab pusaka ilmu pedang, sekarang nasksh ilmu pedang belum selesai kuterjemahkan, bilamana asal-usulmu ketahuan, kan berarti tamat segalanya".
"Yang kupertimbangkan justru hal ini," ujar Kiam-eng." Namun dengan susah payah barulah kita sampai di sini, bila kesempatan baik iai tidak kugunakan uatuk menyelidik kan berarti sia-sia perjalanan ini, Pula kalau urusan kitab pusaka dibandingkan dengan Wi ho Lojin, jelas kurasa lebih penting menolong dulu manusianya..."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Ya, menolong orang memang penting, Bila kelak yang dapat membantu Siausicu menumpas kawanan iblis mungkin juga berdasarkan ilmu pedang sakti ini."
"Benar, cuma sayang bangsat tua itu tidak mau menyerahkan seluruh ke-178 potong medali itu kepada Siangjin, bila sisa ke-144 potong itu mau dia serahkan padamu, tentu urusan akan mudah diselesaikan."
"Tempat ini adalah daerah kekuasaannya, bisa jadi besok juga dia akan menyerahkan sisa ke-144
potong medali itu kepadaku," ucap Boh-to dengan tersenyum.
Kiam-eng merasa hal itu memang bukan mustahil, maka katanya dengan tertawa, "Betul, jika benar dia serahkan seluruh sisa medali emas pada Sianjin, lebih dulu akan kuapalkan seluruh isi kitab pusaka itu, habis itu baru kupergi menyelidiki keadaan pulau ini, bila dapat menemukan Wi-ho Lojin dan nona Ih, langsung aku berusaha menolong mereka dan kubawa kemari untuk kemudian bersama-sama melarikan diri melalui jalan rahasia di sini".
"Omitohud!" ucap Boh-to, "Biarpun perhitungan Siausicu itu terlampau muluk-muluk, bisa jadi Budha akan memberkahimu sehingga usahamu berhasil."
Selesai bersantap, keadaan di luar sudah mulai remang-remang magrib, karena ingin tahu keadaan taman di luar itu, segera Kiam-eng keluar Boh-to Siangjin dan berjalan-jalan di sekeliling taman.
Taman itu hanya dikelilingi pagar bambu, sebab itulah keadaan di luar taman dapat terlihat dengan jelas. Ternyata perumahan di luar taman tidak banyak berbeda dengan keadaan beberapa bulan yang lalu.
Satu-satunya yang tidak sama adalah diberbagai jalan dan halaman dijaga oleh orang bersenjata yang cukup ketat, suasana terasa kereng dan seram.
Diam-diam Kiam-eng mendengus melihat keadaan begitu, setelah berada kembali dalam kamar, Boh-to berkata dengan lirih, "Sudah kau lihat sebanyak itu penjaga di mana-mana, cara bagaimana kamu dapat menyusup keluar?"
"Tidak menjadi soal, tidaklah sulit untuk menghindari pengawasan kawanan penjaga ini," ujar Kiam-eng." Yang sulit adalah tidak diketahui Wi-ho Lojin dan dan nona Ih apakah terkurung di pulau ini" Dan kalau terkurung di sini, maka disekap di kamar mana?"
"Kaubilang pernah dua kali datang ke pulau ini, masakah tidak dapat kau raba tempat yang sangat mungkin menjadi tempat tahanan mereka?" seru Boh-to.
"Meski pernah dua kali kudatang kemari, namun tidak pernah tinggal lama di sini sehingga sukar bagiku untuk meraba dimana mereka di tahan."
"Sesungguhnya berapa luasnya Li hun-to ini?"
"Dibilang besar memang tidak besar, dikatakan kecil juga tidak kecil. Yang jelas perumahan di pulau ini kira-kira ada 300 buah."
"Ya, memang tidak mudah untuk menemukan tmpat tahanan mereka di antara ke-300 buah kamar itu, menurut pendapatku, untuk sementara ini, lebih baik dibatalkan dulu keinginan Siau-sicu akan menyelidiki keadaan pulau ini."
"Baiklah, biar kita tidur nyenyak semalaman, segala urusan tunggu sampai besok saja," kata Kiam-eng.
Di dalam kasar ada dua tempat tidur, tanpa pusing lagi mereka lantas buka baju dan tidur.
Untuk pertama kalinya mereka mendapatkan tempat tidur yang baik sejak mereka jatuh dalam cengkeraman Thian-ong-pangcu, sebab itulah hanya sebentar saja mereka rebah dan segera terpulas.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Akan tetapi mungkin tidur mereka terlampau dini sehingga ketika Kiam-eng mendusin, ia coba melongok keluar jendela, ternyata saat itu baru tengah malam.
Ia merasa cukup segar dan bersemangat sehingga tidak merasa mengantuk lagi, timbul suatu pikirannya, ia coba mendekati Boh-to Siangjin, terlihat padri tua itu pun mendusin, dengan suara tertahan ia tanya," Siangjin juga mendusin!"
"Ya, saat ini seperti baru tengah malam bukan?" jawab Boh-to.
"Memang, masih cukup lama tibanya pagi," kata Kiam eng.
"Jika begitu, ayolah tidur lagi."
"Tidak, tecu tidak dapat tidur pula."
Boh-to bangun duduk, katanya," Jika demikian, di bawah rak buku kulihat ada papan catur bagaimana kalau kita main catur untuk membuang waktu."
"Tidak, kuingin turun untuk melihat keadaan," ujar Kiam-eng.
"Turun melihat keadaan apa!?"
"Maksudku ingin masuk ke jalan bawah tanah sana untuk menyelidiki keadaan di sana," sahut Kiam-eng sambil menunjuk almari, "Bisa jadi Thian-ong-pang sudah menemukan jalan rahasia itu dan jalan tembusnya sudah disumbat"
"Ya, boleh juga coba kau periksa keadaan di situ," Boh-to mengangguk setuju. "Akan tetapi, bilamana kau masuk ke situ, lalu mendadak mereka datang lantas bagaimana?"
"Pada saat tengah malam begini kukira takkan terjadi," ujar Kiam-eng. "Apabila mereka datang, janganlah Siangjin membuka pintu begitu saja melainkan dengan suara keras kau tanya dulu apa keperluan kedatangan mereka, dengan demikian tentu suara Siangjin dapat kudengar di bawah sana dan cepat kukeluar lagi ke sini."
"Baiklah, silakan Siausicu lekas turun ke sana"
Su Kiam-eng lantas melompat ke depan almari dia pelahan membuka piatu almari, diputarnya tangkai gantungan baju, takala pintu rahasia terbuka, cepat ia melangkah turun ke bawah.
Jalan di bawah tanah gelap gulita, jari sendiri pun tidak terlihat. ia keluarkan geretan api sekedar penerangan dan maju ke depan.
Ia ingat di tengah jalan rahsia itu ada sebuah kamar yang cukup luas, di langit kamar terpasang sebutir mutiara mestika yang bercahaya, di depan kamar dirintangi sebuah pintu besi, harus menembus pintu besi itu baru dapat mencapai tepi pantai.
Ia juga ingat waktu masuk ke situ bersama Li-hun-nionio dahulu, pernah dia culik juga ketiga busu Thian-ong-pang dan dibawa ke kamar rahasia itu, di situlah kemudian Li-hun-nionio membunuh mereka.
Ai, bilamana ketiga sosok mayat mana menggeletak di sana, tentu baunya tak terperikan.
Benar juga, baru saja ia melangkah lebih maju lagi, segera tercium bau mayat yang busuk, Untung bau busuk mayat itu tidak terlampau bacin sebagaimana bayangannya.
Sebaliknya bau mayat itu pun seakan-akan memberi petunjuk baik padanya, yaitu menandakan pihak Thian-ong-pang belum lagi mengetahui adanya jalan rahasia ini, kalau tidak tentu mayat itu sudah disingkirkan dan kamar rahasia itu di bersihkan.
Setelah yakin jalan rahasia ini belum diketahui musuh, ia tambah semangat, dengan penuh gairah ia melangkah ke depan dengan cepat, maka cuma sebentar saja ia sudah sampai di kamar rahasia itu.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Siapa tahu, baru saja sebelah kakinya selangkah masuk kamar rahasia itu, sekonyong-konyong bagian pinggang terasa kesemutan. kontan sekujur badan tak bisa berkutik dan langsung roboh terkapar Ia tahu terperangkap, akan tetapi tidak tahu siapakah yang menyergapnya itu, sebab mutiara mestika yang bercahaya terang dan terbingkai di langit-langit kamar itu sudah hilang dan keadaan kamar gelap gulita.
Selagi ia bermaksud bersuara untuk menegur, terasa sebuah tangan yang dingin terjulur tiba dan mencengkeram kuduknya, menyusul hiat-to bisu pun tertutuk sehingga ingin berteriak pun tidak mampu Iagi.
Kemudian lawan mengangkatnya bagai mencengkeram anak ayam saja sambil tertawa terkekeh lagi, terdengar orang mengomel, "Huh, akhirnya berhasil kutangkap seekor, agaknya malam ini nyonya besar dapat mencicipi bagaimana lezatnya hati manusia panggang."
Dari suaranya Kiam-eng dapat menduga pihak lawan adalah seorang perempuan setengah baya.
Rada heran juga Kiam-eng setelah mengetahui pihak lawan adalah seorang perempuan, Tapi demi mendengar orang menyatakan ketidak merasakan enaknya hati manusia panggang, mau-tak-mau ia mengkirik juga dan kuatir.
"Wah. celaka! Rupanya siluman pemakan manusia yang kupergoki ini."
Cuma, apa pun dia belum lagi khilap, ia tahu, pihak lawan sama sekali bukanlah setan atau siluman, malahan ia dapat memastikan lawan pasti seorang anak buah Li hun-nionio yang tidak sempat kabur dari pulau ini dan terpaksa sembunyi di lorong bawah tanah ini. Bahwa orang bermaksud makan hati manusia, alasannya mungkin ada dua.
Pertama, karena sulit mendapatkan makanan, dalam keadaan lapar apa pun tentu akan disantapnya, Kedua, bisa jadi saking bencinya terhadap pihak Thian-ong pang, maka setiap musuh yang tertangkap ingin dilalapnya sekadar melampiaskan rasa dendamnya.
Akan tetapi, meski sudah tahu siapa pihak lawan, namun hati Kiam-eng tetap tidak tenang, sebab hiat-to kelumpuhan dan hiat-to bisu tertutuk, selain tidak bisa bergerak juga tidak sanggup berbicara sehingga sulit baginya untuk menerangkan siapa dirinya, karena itu dia tetap sukar terhindar dari nasib menjadi santapan lezat orang.
Betapa dia berharap lawan akan membuka hiat-to bisunya, asalkan dia dapat bersuara, begitu lawan tahu siapa dirinya, seketika dia akan bebas dari bahaya, Akan tetapi terlampau kecil harapannya hiat-to bisunya akan dibuka oleh lawan, sebab pada hakikatnya orang menyangkanya pasti anak buah Thian-ong pang.
Yang dipikir Iawan sekarang hanya ada satu, yaitu membuat tawanan tidak dapat lolos dan juga tidak mampu berteriak minta toIong, dengan begitu dapatlah dia menikmati hati manusia panggang yang lezat.
Berpikir demikian, diam-diam Kiam-eng menyesal, pikirnya, "Ah, sudahlah! Mungkin indah suratan nasibku harus berakhir secara begini..."
Selagi menyesali nasib sendiri, tiba-tiba Kiam-eng merasa tubuhnya dilemparkan orang, "bluk", rupanya dia telah dilemparkan ke pojok dinding kamar.
Menyusul terdengar pihak lawan lagi berguman, "Mengapa cuma turun satu orang ini saja" jangan jangan keparat ini baru saja menemukan lorong rahasia ini dan belum sempat melapor kepada atasannya lantas turun lebih dulu ke sini?"
Sejenak kemudian mendadak cahaya terang berkelebat. Rupanya pihak lawan telah mengetik api untuk menyalakan lentera minyak di situ.
Ketika lentera menyala sehingga Kiam-eng dapat melihat jelas wajah pihak lawan, tanpa terasa ia bsrterlak, "Ah, kiranya engkau!"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Akan tetapi teriakannya tidak mengeluarkan suara, sebab pada saat itu lidahnya kaku kelu.
Kiranya orang perempuan yang menyatakan ingin mencicipi rasanya hati manusia panggang itu tak-Iain-tak-bukan adalah Li-hun-nionio Leng Jing-jing.
Dengan sendirinya Leng Jing-jing tidak tahu tawanannya itu adalah Su Kiam-eng pula. "Dia seorang buta total, maka ia pua tidak tahu tawarannya itu berbentuk seorang hwesio cilik, Selagi menyalakan lentera, lalu ia mengeluarkan sebilah belati dan mendekati Kiam-eng, ia berjongkok di depan anak muda itu sambil terkekeh, tanyanya kemudian, "Nah, sudah kau lihat jelas tidak" Kau kenal siapa nyonya besar bukan?"
Dia bertanya begitu tanpa mengharapkan jawaban dari tawanannya, maka segera ia menyambung lagi dengan tertawa, "Haha, bisa jadi kau tidak tahu siapa nyonya besarmu ini. Biarlah ku-beritahu, nyonya besar adalah pemilik Li-hunto ini, aku inilah Li-hun-nionio Leng Jing-jing"!"
Pada waktu lawan menyalakan lentera, timbul juga rasa girang Kiam-eng, sebab ia perkirakan bila pihak lawan melihat dirinya adalah seorang "hwesio cilik", tentu orang akan heran dan sangat mungkin akan membuka hiat-to blsuaya uatuk diraiotai keterangan.
Akan tetapi setelah tahu jelas pihak Iawan adalah Li-hun-nionio, seketika juga ia menyadari keadaan bisa runyam, sebab Leng Jing jing itu seorang buta, pada hakekatnya orang takkan tahu dia seorang
"hwesio cilik" sehingga tidak mungkin tertarik untuk menanyainya. Padahal dinyalakannya lentera minyak itu sebenarnya tidak perlu bagi seorang buta namun Leng Jing-jing mungkin sengaja hendak membuat tawanannya melihat jelas siapa dia sekadar untuk melampiaskan kepuasan batin saja.
Kiam-eng menyadari bilamana malam ini dirinya tidak sempat bicara, maka dia pasti akan mati di tangan Li-hun-nionio, sebab itulah ia sangat gelisah, dalam hati ia menjerit, "Wahai Leng-tocu! Apabila engkau tidak tanya sejelasnya siapa diriku dan segera membunuhku, maka engkau pasti akan menyesal selama hidup!"
Namun sama sekali Li-hun-nionio tidak dengar jeritan hati Su Kiam-eng, sebaliknya tertampak air muka nyonya buta itu mulai beringas, dengan terkekeh ia berkata pula, "Nah, tentu kamu tidak menyangka nyonya besar dapat menyusup kembali ke pulau ini bukan" Hehehe, biar kuberitahu, semula kukira tidak mudah untuk menuntut batas kepada Thian-ong-pang kalian. Akan tetapi kemudian kupikir maksud tujuan penyerbuan kalian ke Li-hun-to ini bukanlah ingin menaklukkan nyonya besar, juga bukan ingin memaksa aku membayar uang pelindung. Tetapi kalian menduduki Li-hun-to tidak lain ingin menjadikan pulau ini sebagai pusat perkumpulan Thian-ong-pang kalian.
Sebab itulah segera aku menyusup pulang kemari, inilah kesempatan baik bagiku untuk menuntut balas, Nyonyamu ingin melalap kalian satu persatu, bilamana Thian-ong-pangcu dan ketiga duta kepercayaanmu itu mengetahui anak buahnya menghilang berturut-turut, tentu mereka akan mencari dan menyelidiki seluruh pelosok pulau ini, dan akhirnya pasti juga akan menemukan lorong rahasia ini.
Tatkala itu akan tibalah saat runtuhnya Thian-ong-pang kalian, hehehe..."
Senang dan juga ngeri hati Su Kiam-eng mendengar uraian tersebut, berulang ia berteriak dalam hati, "Sungguh jalan pikiran bagus! Akan tetapi Leng-tocu, aku adalah Su Kiam-eng dan bukan orang Thian-ong-pang..."
Terlihat Li-hun-nionio berhenti sejenak, lalu mendengus pula, "Hehe, sekarang akan kukorek hatimu untuk kumakan, bila kau anggap caraku ini terlampau kejam, maka kamu harus menyalahkan pangcu kalian dan ketiga dutanya, sebab tanpa alasan mereka membunuhi sekian banyak anak buahku, bahkan membuat ribuan anak perempuan cacat kehilangan tempat berteduh..."
Bicara sampai di sini, sebilah tangannya lantas meraba ke arah Su Kiam-eng. Maksudnya hendak merobek dada baju tawananya untuk kemudian dada orang akan ditubles dengan belati.
Tapi lantaran kedua matanya buta, sebelah tangannya itu tidak berhasil meraih dada baju Su Kiam-eng, sebaliknya kena meraba kepalanya yang gundul.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Keruan Lang Jing-jing terkejut dan heran, serunya, "Hah, mengapa kepala gundul" Apakah kau anak kecil?"
Tersembul rasa sangsinya, ia coba meraba sekujur tubuh Su Kiam-eng, akhirnya dia berseru kaget,
"Hah, aneh, jangan-jangan kamu seorang hwesio"!"
Girang sekali Kiam-eng, teriaknya dalam hati, "Betul memang betul! Ayolah lekas membuka hiat-to bisuku dan menanyai aku!"
Tetapi Li-hun-nionio tidak membuka hiat-to bisunya melainkan cuma termenung dengan miringkan kepala, sejenak kemudian, mendadak ujung belatinya mengacung ke hulu hati Su Kiam-eng sambil mendengus, "Huh, orang beragama ternyata juga masuk komplotan Thian-ong-pang, ini membuktikan kamu pasti sampah masyarakat kaum agana budha. Nah, lekas mengatakan kamu berasal dari perguruan mana"!"
Karena sampai sekian lama belum mendapatkan jawaban, barulah teringat oleh Leng Jing-jing bahwa hiat-to bisu orang tertutuk olehnya, segera ia menutuk lagi untuk membuka hiat-to bisu Kiam-eng, lalu bertanya pula, "Nah, lekas katakan, kamu ini berasal dari perguruan atau aliran mana?"
Begitu hiat-to bisu terbuka, hal ini sama saja menemukan kembali jiwanya bagi Su Kiam-eng, tanpa terasa ia menghela napas lega yang panjang lalu berseru, "Aiii, Leng-tocu, hampir saja jiwaku, melayang ditanganmu!"
"Hei, jangan mimpi! Memangnya kaukira nyonya besar dapat mengampuni jiwamu?" teriak Leng Jing-jing.
Kiam-eng tertawa, "Haha, bilamana Leng-tocu tahu siapa aku ini, tentu engkau akan berkeringat dingin!"
"Huh, peduli apakah kamu ini hwesio setan atau ketua Siau-ilas-pai sekalipun, sekali kamu sudah masuk Thian-ong-pang, tetap berani kubinasakan dirimu!" jawab Leng Jing-jing tegas.
"Aii, sampai sejauh ini masakah Leng-tecu belum lagi mengenali suaraku?" tanya Su Kiam-eng.
"Peduli siapa kamu, yang pasti selamanya nyonya basar tidak sudi berkenalan dengan hwesio.
"Aku ini kan Su Kiam-eng adanya, Leng-tocu!" seru anak muda itu.
Seketika Li-hun nionio Leng Jing-jing melenggong, ucapnya dengan bingung, "Apa katamu?"
"Aku ini Su Kiam-eng, Leng-tocu!" kata Kiam-eng pula dengan tertawa. "Apabila Leng-tocu tidak percaya, biarlah kusebutkan tiga orang saksi."
"Tiga . . . tiga saksi siapa?" tanya Leng Jing-jing dengan suara agak gemetar.
"Pertama Pui Piu, kedua Ban Hui-siu, ketiga Tang Jian-sik, bau busuk mayat mereka masih memenuhi seluruh ruangan ini," tutur Kiam-eng.
Cepat Leng Jing-jing menarik kembali belatinya, tanpa terasa ia rangkul Su Kiam-eng, teriaknya dengan kejut dan girang, "Oo, Su Kiam-eng! Mengapa kamu bisa datang kemari"!"
"Sudilah Leng-tocu membuka dulu hiat-to keiumpuhanku?" pinta Kiam-eng.
Cepat Leng Ling-jing memenuhi permintaan anak muda itu sembari berkata, "Terima kasih terhadap langit dan bumi, untung aku tidak telanjur membuat kesalahan besar. Cuma, sungguh sukar dimengerti, mengapa Su-siauhiap bisa berubah menjadi hwesio kepala gundul?"
Kiam-eng bangun dan duduk, jawabnya dengan tertawa," Kalau aku tidak menjadi hwesio, tentu aku takkan sampai di sini."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Ai, janganlah jual mahal, lekas ceritakan cara bagaimana kau datang ke pulau ini?" tanya Leng Jing-jing tidak sabar.
"Panjang sekali jika kuceritakan," kata Kiam-eng," Bagaimana kalau kita kembali dulu ke lorong rahasia sana barulah nanti kuceritakan sejelasnya."
"Bukankah lebih aman bila kau ceritakan di sini?" ujar Leng Jing jing heran.
"Tidak, biarlah kita bicara di sana saja," kata Kiam-eng sambil berbangkit, "Supaya aku dapat segera masuk lagi ke kamar tidur sana bila keburu ada ada orang datang, dengan demikian penyamaranku dapatlah tetap dipertahankan."
Sembari bicara ia terus mendahului melangkah ke ujung lorong sana.
Li-hun nionio menyusulnya dari belakang sembari bertanya pula, "Apakah Su-siauhiap tidur di kamar tulis itu?"
"Betul, sekamar denganku ada lagi Boh-to Siangjin dari Tai-hin-si di kota Tiang-an."
"Hahh, cara bagaimana kalian datang ke pulau ini?" tanya Leng Jing-jing.
"BermuIa daripada Thian-ong-pangcu mengundang Boh-to Siangjin dari Tai-hin-si untuk menerjemahkan kitab pusaka yang tersembunyi dalam medali emas yang ditemukan pada ke-180 patung emas itu. Sudah kuduga akan tindakannya itu, maka lebih dulu kutemui Boh-to Siangjin untuk mengatur siasat, akhirnya kucukur rambut menjadi hwesio cilik pelayan Boh-to Siangjin dan bergelar Ngo liau..."
"Aha, bagus sekali! Su siauhiap sungguh hebat, setiap lubang selalu kaususupi. Dan sekarang Boh-to Siangjin itu sudah mulai bekerja baginya?"
"Betul, lebih dulu kami ditempatkan di suatu biara kuno, kemudian Thian-ong-pangcu mengetahui kemunculan Sam-bi-sin-ong yang sedang menguntitnya, lalu dia menggunakan akal mengelabuhi musuh, kami dibawa lagi ke sini. Ketika tiba di sini menjelang magrib. Sebelum tiba di sini, lebih dulu mata kami dikerudungi Thian-ong-pangcu. Akan tetapi setiba di pulau ini segera ku-kenali Li hun-to milik Leng-tocu ini, Yang lucu ini."
Chapter 28. Rahasia 180 Patung Mas
Yang lucu adalah kami ditempatkan di kamar tulis Leng tocu pula, Kutahu dia belum lagi menemukan jalan rahasia ini, maka pada tengah malam sunyi ini sengaja kuturun kemari untuk menyelidiki keadaaa, tak tersangka di sini juga aku dikerjai Leng-tocu dan hampir saja mati konyol, untung tadi Leng-tocu sempat meraba kepalaku yang gundul, kalau tidak, wah, tidak berani kubayangkan apa yang akan terjadi..."
"Sudah setengah bulan kusembunyi di lorong rahasia ini, selama itu tidak pernah memergoki seorang pun, baru tadi kurasakan ada orang turun kemari, siapa sangka yang kubekuk justru adalah Su-siauhiap sendiri."
Setelah berhenti sejenak, kemudian Leng Jing-jing menyambung, "Su-siauhiap menyamar sebagai hwesio cilik dan menjadi pelayan Boh-to Sianjin, apakah tujuanmu hendak mencuri kitab putaka ilmu padang itu?"
"Betul, di antara ke-180 jurus ilmu pedang itu sudah berhasil kuapalkan 34 jurus," tutur Kiam eng.
"Apakah ilmu pedang itu sedemikian lihai?" tanya Boh-to
"Ya, dibandingkan ilmu pedang Kiam-ong dan guruku, rasanya berlipat kali lebih lihai," tutur Kiam-eng.
"Meski diri Su-siauhiap mencuri ilmu pedang sakti itu sangat bagus, namun Thian-ong-pangcu kan juga dapat menguasainya dengan cara yang sama?" kata Boh-to pula.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Tidak, yang akan diperolehnya tidak lebih hanya kitab pusaka yang sudah susut kualitasnya, tidak nanti dia berhasil melatihnya dengan baik," ucap Kiam-eng tertawa.
Li-hun nionio tahu apa yang dimaksudkan kitab yang susut kualitasnya, ia tertawa dan berkata,"
Apakah dia takkan curiga?"
"la pun pernah sangsi Boh-to Siangjin ada main, tapi lantaran tidak menemukan bukti, maka sekarang dia tidak curiga lagi."
Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tengah bicara sampailah mereka di ujung lorong bawah tanah itu, Koam-eng coba melongok kamar di atas, keadaan terasa sunyi dan aman, maka ia muncul kembali beberapa tindak mendekati," Masih ada dua jam menjelang fajar, mungkin Thian-ong-pang cu takkan datang kemari."
"Jika begitu, kita dapat bicara tanpa kuatir," ucap Li-hun nionio Leng-jing." Nah, harap Su-siauhiap bercerita dulu, sesungguhnya orang macam apakah Thian -ong-pangcu itu?"
"Sungguh memalukan, sampai detik ini pun hanya kuketahui dia adalah si orang berkedok dan berbaju hijau yang mengaku sebagai Raja Rimba serta yakin dia adalah si pengganas yang membunuh ke-18 tokoh persilatan di Hwe-Iiong kok dahulu itu."
"ltu berarti Jian-lian-hok-leng yang kaubawa pulang dari hutan purba di daerah selatan itu belum dapat memulihkan daya ingatan In Ang-bi?"
"Tidak, justru daya ingatan nona In kini sudah pulih kembali."
"Oo, jika begitu, apakah dia dapat menyebut siapa si pengganas itu?"
"Ya, ia menyaksikan sendiri si pengganas membunuhi ke 18 tokoh persilatan itu secara keji, cuma si pengganas yang dia sebut itu ternyata bukan lain daripada tokoh utama dunia persilatan jaman ini, yaitu Kiam-ong Ciongli Cin."
"Hah, Kiam ong Ciongli Cin! Mana bisa jadi"!"
"BetuI, kami pun menganggap tidak mungkin Kiam-ong Ciongli Cin, sebab itulah guruku dan It sik-sin-kai serta nona In dan diriku berempat lantas berangkat ke Pek-ho san-ceng untuk menemui Kiam-ong..."
Begitulah ia lantas bercerita apa yang terjadi setelah bertemu dengan Ciongli Cin.
Tentu saja Leng Jing jing melongo heran, katanya: "Sungguh aneh, jika demikian, jadi Kian-ong Ciongli Cin sebenarnya sudah sama mengetahui siapa si pengganas itu tapi apa sebabnya dli menyimpan rahasia itu selama ini?"
"Tidak saja dia simpan rahasia itu, bahkan dia menyatakan bersimpati terhadap si pengganas. Sebab itulah guruku menyangsikan kemungkinan si pangganas itu adalah sute Ciongli Cin, yaitu Hia-thian-kisu Lo Cing-yang."
"Oh, Ciongli Cio mempunyai seorang sute bernama Lo Cing-yang?"
"Betul, cuma menurut cerita Kiam-ong sendiri, sutenya sudah dibunuhnya 30 tahun yang lalu."
"Apa pula artinya itu" jika Hia-thian-kisu Lo Cing-yang sudah dibunuh Ciongli Cin, mengapa pula gurumu menyangsikan si pengganas adalah orang yang sudah mati itu!"
"Yang dimaksud terbunuh adalah Ciongli Cia memukul sutenya hingga terjerumus ke dalam jurang yang tak terkira dalamnya bisa jadi Lo Cing-yang tidak terbanting mati di jurang itu."
"Lantas, mengapa Ciongli Cin sampai tega membunuh sute sendiri?"
"Konon prilaku Lo Cing-yang itu sangat buruk, berjiwa sempit, dengki dan sombong, sedikit urusan lantas main bunuh, Suatu kali dia membunuh anak murid Siau-lim-pai sehingga tokoh Siau lim-pai sama Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
datang mencarinya. Saking marahnya Ciongli Cin memukul sutenya hingga terjatuh ke dalam jurang.
Mungkin Lo Cing-yang tidak mati terbanting dan Ciongli Cin menyangka sutenya itu terbanting hancur lebur di dalam jurang, karena merasa menyesal telah membunuh sute sendiri sehingga timbul rasa berdosa, Kemudian diketahuinya Lo Cing-yang tidak mati, dengan sendirinya timbul pula semacam perasaan lega dan bersyukur.
"Kemudian ia pun merahasiakan tentang belum matinya Lo Cing-yang, namun benci Lo Ging-yang kepadanya justru merasuk tulang, maka dia sengaja memalsukan identitas Kiam-Ong Ciongli Cin untuk membunuh ke-18 tokoh persilatan agar orang persilatan umumnya mencari perkara padanya, sebaliknya karena Ciongli Cin tidak sampai hati untuk kedua kalinya membunuh Lo Gin-yang, maka sedapatnya ia tahan perasaan atas muslihat keji sang sute."
"Akan tetapi, bila Lo Ging-yang sengaja memfitnah Ciongli Cin, mengapa dia tidak menyiarkan tentang keganasan yang diperbuat Ciongli Cin terhadap ke-18 tokoh itu?"
"Bisa jadi lebih dulu Ciongli Cin sudah mengetahui perbuatan sang sute, maka sebelum muslihat keji itu di siarkan oleh Lo Ging-yang, sang sute itu lantas ditawan olehnya dan mungkin disekap di sesuatu tempat."
"Dan akhirnya mengapa sutenya dilepaskan lagi?" tanya Li-hun-nionio.
"Wah, hal ini pun sukar kuterka," kata Kiam-eng. "Pada masa masa Lo Ging-yang disekap, mungkin dia pernah menyatakan rasa penyesalan nya kepada Ciongli Cin. Kemudian ketika Ciongli Cin mendengar berita tentang maksud guruku hendak mencari Jian-lian-hok-leng untuk menyembuhkan penyakit linglung nona In, kuatir kalau pulihnya daya ingat nona In akan berarti dapat membocorkan rahasia pembunuhan ke-18 tokoh persilatan maka dia berunding dengan Le Ging yang dan membebaskannya, menyuruhnya berusaha sekuatnya untuk merintangi usaha kami mencari Jian lian-hok leng.
"Ketika usaha merintangi mereka gagal dan Ciongli Cin mendapat kunjungan rombongan guruku, ada maksudnya akan menceritakan duduk perkara yang sebenarnya, sebaliknya oleh karena Lo Ging yang sudah berhasil merebut segala benda mestika kota emas, pula sudah berhasil membentuk organisasi kuat Thian ong-pang, ia tidak mau asal-usulnya sebagai Hian-thian-kisu diketahui orang, maka secara kejam ia membunuh sekalian sang suheng."
"Cara menganalisa Su-siauhiap ini sangat masuk akal, tampaknya orang yang mengaku sebagai Thian-ong-pangcu itu pasti Hin-thian-kisu adanya," ujar Leng Jing-jing.
"ltu cuma dugaanku saja, benar atau tidak masih harus dibuktikan bilamana Thian-ong-pangcu sudah kita tangkap."
"Adakah akal Su-siauhiap untuk menangkapnya?" tanya Leng Jing-jing,.
"Tidak ada, penyamaranku sebagai hwesio cilik ini sekarang, tujuanku hanya hanya ingin mencari kitab pusaka dan menolong Wi-ho Lojin sama nona Ih, sejauh ini pun aku belum sempat mengadakan kontak dengan rombongan guruku, maka sampai saat ini belum ditetapkan akal cara menumpas musuh."
"Mengapa wi-ho Lojin sampai ditawan musuh?" tanya Leng Jing-jing.
"Kejadian itu berlansung setelah kupulang dari selatan dengan membawa Jing-lian hok Ieng, sebelum musuh sempat memperalat nona Ih untuk memaksa aku menyerahkan Jian-lian-hok-leng, sekaligus mereka lantas menawan Wi-ho Lojin, Dengan kedua sandera itulah mereka hendak memaksa aku menuruti kehendak mereka.
Namun guruku tidak dapat diancam dengan cara kotor begitu, akhirnya mereka pun tidak segera membunuh Wi-ho Lojin dan nona Ih, maka dapat kuduga mereka pasti dikurung di pulau ini."
"Seumpama benar mereka terkurung di pulau ini, namun kekuatan musuh jauh di atas kita, jika ingin menolong mereka rasanya terlampau sulit," ujar Leng Jing-jing.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Betul, maka jalan paiing baik sekarang, terpaksa menunggu datangnya rombongan guruku, setelah bergabung barulah kita mulai bertindak."
"Cara bagaimana kamu akan mengadakan kontak dengan gurumu!" tanya Leng Jing-jing.
"Pada waktu berangkat kemari, di tengah jalan pernah kuselamatkan jiwa Hoat-keng Taisu dari Siau-lim-si, diam-diam telah kusodorkan secarik kertas kepadanya dan minta dia meneruskan penguntitan kepada kami, bilamana sudah diketahui di masa rombongan Thian-ong-pangcu tinggal, barulah kuminta dia pergi ke Hanyang untuk menyampaikan berita kepada guruku, Cuma waktu itu Hoat-keng Taisu sendiri terluka parah. apakah kemudian dia sanggup membuntuti kami atau tidak?"
"Jika Hoat-keng Taisu mengetahui kalian berada di sini dan cepat menyampaikan kabar kepada gurumu, kira-kira dalam berapa hari baru rombongan gurumu sanggup menyusul kemari?"
"Tempat ini dengan Hanyang berjarak tidak terlalu jauh, kukira dalam waktu setengah bulan dapat menyusul kemari."
"Jika begitu, bolehlah coba kita menunggu bilamana rombongan gurumu sudah sampai di sini barulah beramai-ramai kita bertindak dan sekaligus menjaring mereka seluruhnya."
"Leng tocu pernah bilang akan pergi ke Mo-ko-san, mengapa kemudian putar balik ke sisi?" tanya Kiam-eng.
"Aku sudah sampai di sana, kemudian kurasakan sebabnya Thian-ong-pangcu menyerbu Li-hun-to kami ini tujuannya pasti bukan lantaran kami tidak mau membayar uang pelindung yang cuma satu laksa tahil perak itu, juga pasti bukan sengaja hendak memaksakan supaya kami menyerah padanya melainkan ingin menduduki Li-hun-to ini untuk menjadi pangkalan utama Thian-ong-pang mereka.
Sebab pulau ini sangat strategis, sekeliling pulau adalan laut, sungguh suatu tempat yang sulit dicari, Sebab itulah diam-diam aku pulang kemari, dan ternyata tidak meleset dugaanku, setiba di sini segera kutemukan banyak orang Thian-ong-pang bekerja di sini."
"Cara bagaimana Leng-tosu menyusup pulang kesini?" tanya Kiam-eng.
"Aku menggunakan sepotong balok kayu dan meluncur pulang ke sini, karena di tengah malam buta sehingga tidak kepergok musuh. Pula setiba di pantai segera kuterobos ke dalam lorong rahasia di bawah tanah, maka sampai detik ini belum lagi diketahui musuh."
"Pernahkah Leng-tocu keluar dari tempat sembunyi ini untuk menyelidiki keadaan lawan?" tanya Kiam-eng pula.
"Tidak pernah, Mataku buta, tentu tidak menguntungkan, musuh dapat melihat diriku, sebaliknya aku tidak dapat melihat siapa pun, Maka sejauh ini aku habya sembunyi di sini, kupikir bila nanti Thian-Ong-pangcu sudah pindah ke sini aku akan berdaya memancingnya supaya menemukan pintu rahasia jalan di bawah tanah ini, dan bila dia masuk ke sini, dengan sebisanya akan kubinasakan dia."
"Selama setengah bulan ini apa yang dimakan Leng-tocu?" tanya Kiam-eng.
"Ikan, ikan mentah," tutur Leng Jing-jing tertawa, "Di dekat mulut gua sana terdapat banyak ikan dan udang segar."
"O, kiranya begitu. Kemarin waktu kusampai di pulau ini, kulihat bangunan di sini tidak mengalami perubahan, jika Wi-ho Lojin dan nona Ih terkurung di sini, menurut Leng-tocu kemungkinan mereka akan ditahan di ruang mana?"
"Hm, apakah kau hendak keluar untuk menyelidiki keadaan musuh?" tanya Leng Jing-jing kuatir.
"Betul, meski Thian-ong-pangcu memberi pesan agar kami jangan keluar dari taman, namun aku sangat ingin melihat keadaan di luar sana."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Bukankah sangat berbahaya?" ujar Leng Jing-jing.
"Kuyakin dapat mengatasi keadaan bahaya apa pun," kata Kiam-eng tertawa.
"Tempat kurungan mereka sangat mungkin berada di sebuah kamar bawah tanah," tutur Leng Jing-jing." Kamar bawah tanah itu terletak dibelakang ruang tamu. jika kamu dapat memasuki ruang tamu, di belakang ruang tamu itu ada sebuah kamar kecil cat merah, setelah memasuki kamar merah itu, bukalah pintu besi di situ akan langsung mencapai ruang bawah tanah itu, Cuma ingin kuberi nasihat, akan lebih baik janganlah menyerempat bahaya. Tunggu saja kedatangan gurumu barulah kita turun tangan."
"Cara bagaimana membuka pintu besi di kamar tanah itu" tanya Kiam eng.
"Pada pintu itu ada sebuah pegangan bulat, putar ke kanan tiga kali, lalu putar lagi tiga kali ke kiri dan didorong."
Kiam-eng mengingatnya dengan baik, lalu berkata pula dengan tertawa, "Leng tocu, dahulu pernah kukatakan padamu, bilamana ke 180 patung emas itu pasti kudapatkan, maka seluruhnya akan kusumbangkan kepadamu sebagai dana sosial bagi ribuan wanita cacat yang kaurawat itu. Sekarang segalanya terjadi dengan sangat kebetulan, seperti sudah ditakdirkan harus terjadi begitu!, sangat mungkin Thian-Ong-pangcu sudah mengangkut ke 180 patung emas itu ke puIau kalian."
"Yang kuharapkan sekarang adalah ingiin membunuh Thian-ong-pangcu itu untuk membalas dendam kematian ratusan anak buahku yang dibunuh olehnya, lalu menata kembali Li-hun-to ini agar segenap wanita cacat yang berjumlah ribuan itu dapat hidup layak. Soal patung emas sebanyak itu, syukur kalau benar bisa kudapatkan kalau tidak juga tidak menjadi soal."
"Apakah Leng-tocu mau menemui Boh-to siangjin di kamar tulis sana?"
"Tidak perlulah, bilamana kepergok kan bisa...."
Belum lanjut ucapanya, sekonyong-konyong terdengar suara suara pintu kamar di atas diketuk orang.
Bergetar hati Leng Jing-jing, cepat ia mendesis," Lekas naik ke atas, mungkin Thian-ong-pangcu yang datang!"
Kiam-eng tidak berani ayal, cepat ia melompat ke balik almari yang yang berbatasan dengan jalan rahasia itu, dengan gesit ia melangkah keluar, sembari merapatkan pintu almati sambil bertanya, "Siapa itu?"
Sementara itu Boh-to SlangjIn yang berbaring di tempat tidur itu pun sudah bangkit duduk, ia sangka perbuatan Su Kiam-eng masuk ke lorong rahasia itu telah diketahui lawan, maka sikapnya agak tegang dan kuatir.
Cepat Kiam-eng memberi tanda agar jangan kuatir, lalu ia berseru pula, "siapa itu yang mengetuk pintu?"
Terdengar suara Thian-ong-pangcu menjawab di luar," Aku, lekas buka pintu!"
Segera Kiam-eng membuka pintu, dengan lagak mata sepat karena terjaga bangun ia tanya." Fajar kan belum tiba, Pangcu?"
Thian-ong-pangcu melangkah ke dalam kamar, dipandangnya Boh-to, katanya dengan tertawa,"
Maaf jika akhirnya tidur Siangjin terganggu."
Boh-to turun dari tempat tidur dan menjawab," Tidak apa, Entah ada urusan apa sedini ini Pangcu berkunjung kemari?"
Thian-ong-pangcu duduk di bangku, ucapnya dengan tersenyum misterius, "lngin kuberitahukan sesuatu berita kepadamu. Yaitu tadi anak buahku berhasil menangkap seorang mata-mata musuh di tepi pantai."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Ooh, berhasil menangkap seorang mata-mata?" Boh-to menegas dengan tercengang.
"Betul untuk dia pernah Siangjin mintakan ampun baginya, dan di luar kebiasaanku juga telah kuampuni dia. Akan tetapi rupanya dia memang sudah bosan hidup dan kembali menyusuI kemari."
"Ooh, apakah yang dimaksudkan Sicu ialah Hoat-keng Taisu?" tanya Boh-to dengan melenggong.
"Habis siapa lagi?" jengek Thian-ong-pangcu "Tampaknya hadiah pukulanku tempo hari tidak cukup berbobot baginya, maka dia masih terus membuntuti kita, Satu jam yang lalu, dengan menyewa perahu dia menyusul kemari, Si tukang perahu justru adalah anak buahku. Karena melihat gerak gerik keledai gundul itu mencurigakan, maka dia sengaja menenggelamkan perahu dan menawannya."
Dengan kening bekernyit Boh-to bertanya, "Lantas cara bagaimana Sicu hendak menyelesaikan dia?"
Thian-ong-pangcu memandang Kiam-eng sekejap, lalu menjawab, "Cara bagaimana menyelesaikan dia, urusan ini biarlah dibicarakan nanto. Yang perlu kuberitahukan adalah setelah anak buahku berhasil menawan dia, dari tubuhnya dapat digeledah secarik surat yang ditulis tangan orang..." Bicara sampai di sini, ia tidak melanjutkan melainkan menatap Su Kiam-eng dengan sorot mata yang tajam, air mukanya pun berubah beringas.
Hulu hati Su Kiam-eng serasa digodam dengan keras, namun ia tahu inilah saat mati hidup baginya, maka sebisanya ia bersikap tenang, seperti tidak ada sesuatu ia bertanya, "Eh, apakah yang tertulis pada surat itu!"
"Haha, meski surat itu sudah basah terkena air, namun masih terbaca dengan jelas," jengek Thian-Ong-pangcu.
Namun Kiam-eng dapat menduga setelah terkena air, tentu surat yang dituilsnya itu pasti sudah kumal dan sulit dibaca lagi, Mungkin hanya satu-dua huruf secara remang-remang masih dapat terbaca sehingga timbul rasa curiganya terhadap dia dan sekarang sengaja datang hendak menjajakinya." Maka hatinya bertambah mantap dan tidak gugup lagi, dengan tertawa ia berkata," Ah, Sicu sungguh pandai berkisah, pakai tahan harga segala, toIonglah jelaskan apakah yang tertulis pada surat itu?"
"Artinya menyuruh keledai gundul itu menguntit kami, lalu mengundang bala bantuan untuk menyerang pang kani," ucap Thian-ong-pangcu geram.
"Jadi maksud Sicu menyangsikan surat itu ditulis olehku?" tanya Boh-to.
"Tidak," Thian-ong-pangcu menggeleng sambil memandang Kiam eng." Sebab kutahu Siangjin sama sekali tidak menyentuh keledai gundul itu..."
"Oya, aku yang menyentuh dia," tukas Kiam eng." Wah, jangan jangan lantas diriku yang dicurigai Sicu?"
"Hehe, surat itu menyuruh dia tetap membuntuti kami, nada surat itu seperti bukan ditulis orang luar melainkan serupa komplotan sendiri," jengek Thian-ong-pangcu. "Hehe, Ngo-liau, usiamu masih muda belia, tapi caramu bekerja ternyata boleh juga."
Dengan tenang Kiam-eng menjawab dengan tertawa," Terima kasih atas pujian Sicu, Cuma, bilamana Sicu mencurigai diriku, Bagaimana jika kuajukan suatu pendapat, entah Sicu bisa menerima atau tidak?"
"Coba katakan." ucap Thian-ong pangcu.
"Umpama Sicu menghadapkan Hoat-keng Taisu ke sini untuk di tanyai secara langsung, apabila Hoat-keng Taisu mengaku bahwa surat itu benar diterima dariku, maka aku pun tidak perlu menyangkal dan terima dihukum secara apa pun oleh Sicu."
"Bagus, memang begitulah maksudku," kata Thian-ong-pangcu.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Lalu ia berpaling dan berteriak ke luar kamar "Coba bawa kemari keledai gundul tua itu!"
Terdengar suara orang mengiakan, lalu muncul Tong Pia dan Soa Goan-hiong sama memegang lengan Hoat-keng Taisu dan digusur masuk.
Muka Hoat-keng tampak pucat pasi, sekujur badan basah kuyup, melihat gelagatnya sudah kenyang minum air danau dan baru saja siuman.
Sesudah dibawa ke dalam kamar, Hoat-keng memandang sekejap terhadap Boh-to dan Kiam-eng berdua, lalu menunduk tanpa bersuara apa pun.
"Thian-ong-pangcu berdiri dan mendekati Hoat-keng, ia tunjuk Boh to dan Kiam-eng sambil mendengus, "ltu, biar kuperkenalkan padamu, itulah Boh-to Siangjin dari Tai-hin-si di Tiang-an dan yang itu adalah Ngo-liau, pendamping Siang-jin. Mereka dan aku bertiga beberapa hari yang lalu menumpang kereta dalam perjalanan jauh di wilayah Hantiong dalam penyamaran sebagai Lu Yan-sia, Ong Ji dan Khong Cmg-lin.
Tempo hari kamu salah sangka Ngo-liau ini sebagai Kong Cing lin. Pada waktu kamu terluka dan dia mengangkatmu ke dalam kereta, diam-diam dia menaruh secarik kertas dalam bajumu, betul tidak?"
Hoat-keng diam saja seperti tidak mendengar apa yang dikatakan orang, dia tutup mulut tanpa bersuara.
"Coba dengarkan lagi, asal kamu mengaku terus terang, untuk kedua kalinya jiwamu akan kuampuni pula," ucap Thian-ong-pangcu.
Pelahan Hoat-keng mengangkat kepala dengan tersenyum pedih ia menegas, "Apa betul?"
"Kenapa tidak" Kujamin pasti betul," kata Thian ong-pangcu, "Nah, lekas mengaku terus terang saja."
Pandangan Hoat-keng beralih ke arah Su Kiam-eng, seperti berguman ia tanya," Dia... bukankah Siau-bia-hoa Koan Cing-lin?"
"BetuI, wajahnya yang asli adalah seperti sekarang ini?" kembali Thian-ong-pangcu mengangguk.
Melihat Hoat-keng Taisu bermaksud memberi pengakuan, tentu saja Kiam-eng agak cemas, pikirnya," Wah, celaka! Tampaknya Hoat-keng ini juga takut mati, maka tamatlah riwayatku."
Meski dalam hati sangat tegang, namun lahirnya dia tetap berlagak tenang, malahan ia dengan berkata kepada Hoat-keng, "Omitohud! Tempo hari yang menyamar sebagai Kong Cing-lin memang betul diriku. Coba Taisu ingat-ingat kembali, apakah pernah kuberikan secarik surat padamu?"
Hoat-keag Taisu termenung sejenak, tiba-tiba ia berpaling dan berkata pula kepada Thian-ongpangcu, "Harap Sicu mengulangi satu kali lagi, apabila kubicara terus terang, pasti Sicu akan membebaskan diriku?"
"Betul, tidak nanti aku mengingkari janji," jawab Thian-ong-pangcu.
"Jika begitu, baiklah kukatakan urus terang," ucap Hoat-keng. "Dari... dari dia, sama sekali tidak pernah kuterima sesuatu apa pnn."
Tadinya Kiam-eng mengira Hoat-keng akan mengaku sejujurnya, hatinya berdebar keras, siapa tahu Hoat-keng justru bicara kebalikannya, tentu ia menghela napas lega, ucapnya dengan tertawa cerah,
"Wah, demikian jawaban Taisu, tentu hal ini akan sangat mengecewakan Sicu ini!"
Thian-ong-pangcu mendengus dengan pandangan tajam ia menegas, "Benar dia tidak tengah menjejalkan secarik surat ke dalam bajumu?"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Tidak," jawab Hoat-keng. "Tentunya Sicu tahu orang beragama tidak nanti berdusta."
"Jika begitu, siapa yang memberikan surat yang terdapat dalam bajumu itu?"
"Surat yang kutulis sendiri," jawab Hoat-keng "Hehe, kan aneh, kau tulis surat dan menyuruh dirimu sendiri meneruskan penguntitan, begitu?" Thian-ong-pangcu menegas.
"Tidak, soalnya kutulis surat itu untuk menitipkan kepada seseorang agar disampaikan ke Siau-limsi, tapi lantaran tidak mendapatkan seorang kenalan, maka belum sempat terkirim."
"Ooh, apa betul begitu?" jengek Thian-ong-pangcu sangsi.
"Betul," jawab Hoat-keng "Sebab Kon Cing-Im yang kulihat waktu itu tidak diketahui apakah Kong Cing-lin tulen atau bukan, dan lantaran aku sudah bersumpah akan membunuh bangsat itu, maka meski terluka parah, setelah hiat-to yang tertutuk lancar kembali, tetap kuteruskan penguntilan kepada kalian.
Dan supaya orang Siau-limsi mengetahui jejakku, maka kusiapkan surat ini dengan harapan akan mengirimkannya ke Siau-lim-si.
Di luar dugaan sepanjang jalan tiada seorang kenalan pun yang kutemui, maka surat yang kutulis itu tetap tersimpan padaku."
Karena penjelasan Hoat-keug terasa beralasan dan masuk di akal, maka rasa sangsi Thian ongpangcu terhadap "Ngo-liau" juga muiai berkurang, segera ia memberi tanda kepada Tong Pin dan berkata, "Baiklah, Tong-busu, boIeh kau bawa dia pergi dari sini dan bebaskan dia."
0k-poan-koan Tong Pin mengiakan dan segera hendak menggusur pergi Hoat-keng Taisu.
Tiba-tiba Boh-to Siangjin berseru, "Eh, nanti dulu ada yang ingin kukatakan!"
Thian-ong pangcu memberi tanda agar Tong Pin jangan pergi duIu, ia tanya Boh-to, "Siangjin ingin bicara apa?"
"Sicu bilang hendak membebaskan Hoat-keng Taisu, kukuatir takkan terjadi dengan sesungguhnya,"
kata Boh to. "Mengapa Siangjin merasa kuatir?" tanya Thian-ong pangcu.
"Maklum, aku tidak ingin menyaksikan seorang padri saleh terbunuh begitu saja," jawab Boh to.
"Maka bila Sicu masih menghendaki tenaga bantuanku kuminta untuk sementara ini Hoat keng Taisu dikurung dahulu, nanti setelah uiai pekerjaanku menerjemahkan yang Sicu minta barulah dia pergi bersamaku."
"Dan bagaimana kalau kutolak permintaan taisu?" ucap Thian-Ong-pangcu.
"Apa yang kuminta ini adalah soal kecil yang dapat Sicu penuhi dengan mudah, jika sedikit permintaan ini saja tidak dikabulkan, wah, sungguh aku akan sangat kecewa." ujar Boh-to Siangjin."
Agar padri tua itu mau bekerja dengan sungguh hati baginya, betapapun Thian-ong pangcu tidak berani terlampau bertindak keras terhadapnya, juga segala permintaannya sedapatnya dipenuhi, maka sekarang ia pun menyadari bila permintaan orang ditoIak, itu berarti menandakan dirinya memang bermaksud membunuh Hoat-keng. Jikalau sampai Boh-to nekat dan tidak mau menerjemahkan kitab pusaka dengan baik, itu berarti suatu kerugian besar baginya.
Setelah ditimbang lagi, akhirnya itu mengangguk dia menjawab, "Baiklah, memang ada maksudku untuk membebaskan dia pulang ke Siau-lim -si, karena Siangjin merasa curiga, terpaksa untuk sementara ini tetap kutahan dia."
"Selain itu, kuminta setiap berselang satu hari hendaknya Sicu memperlihatkan dia kepadaku, sebab kalau tidak kulihat dia, tetap kucuriga dia telah dibunuh olehmu," kata Boh-to.
"Baik, baik, kuturuti semua permintaanmu" ucap Thian-ong-pangcu kewalahan Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Dan sekarang, kalau Sicu sudah tidak mencurigai Ngo-liau lagi, bolehkah kami melanjutkan beristirahat?" tanya Boh-to.
Thian-ong-pangcu memberi tanda silakan, lalu ia memberi isyarat kepada Tong Pin dan Sou Gan-hiong untuk meninggalkan kamar itu.
Kiam-eng menutup pintu dengan baik, lalu pasang telinga mendengarkan sejenak, sesudah yakin Thian-ong-pangcu bertiga telah meninggalkan taman dengan membawa Hoat-keng Taisu barulah ia berpaling dan menjulur lidah terhadap Boh-to Siangjin, ucapnya lirih, "Wah, hampir saja urusan bisa runyam!"
"Jika Hoat-keng Taisu sudah tertangkap musuh, lalu cara bagaimana kita akan mengadakan kontak dengan gurumu?" tanya Boh-to.
"Tidak menjadi soal." kata Kiam-eng. "Sekarang kita sudah bertambah seorang kawan, biarlah kita mencari jalan keluar yang baik."
"Kau kira Hoat-keng Taisu masih dapat membantu kita?" tanya Boh-to deagaa tersenyum getir.
Kiam-eng mendekati orang dan berbisik di tepi telinganya, "Tidak, yang kumaksudkan bertambah seorang kawan bukanlah Hoat-keng Taisu melainkan Li-hun-nionio Leng Jing-jing."
"Hahh, Li-hun-nionio Leng Jing-jing" Di mana dia?" tanya Boh-lo bingung.
"Kiam eng menunjuk balik almari pakaian, ucapnya, "Ya, dia berada di sana. Sudah lama Li hun-nionio menyusup pulang ke pulau ini, sekarang dia bersembunyi di lorong bawah tanah sana."
"Oh, bisa terjadi demikian. Untuk apa dia sembunyi di lorong bawah tanah sana!" tauya Boh-to Siangjin.
"Menanti kesempatan baik untuk menyergap musuh," tutur Kiam-eng. "Menurut pikirannya, ia yakin cepat atau lambat Thian ong-pangcu pasti akan menemui lorong bawah tanah rahasia ini..."
Lalu ia pun bercerita pengalamannya bertemu dengan Li-hua-nionio Leng Jing jing di lorong bawah tanah itu.
Boh-to Siangjin melongo heran oleh kejadian tersebut, katanya, "Seorang perempuan buta seperti dia ternyata mampu menyusup pulang ke pulau ini tanpa bantuan siapa pun, sungguh keberanian dan kecekatannya sukar untuk dicari bandingannya di dunia ini."
"Silakan Siangjin tidur lagi, tecu ingin turun lagi ke sana untuk bicara dengan dia" ujar Kiam-eng.
Habis berkata, ia coba melongok ke luar jendela dan keadaan sunyi tenang, lalu ia melompat ka depan almari pakaian, pelahan ia tarik tangkai pintu hingga terbuka, segera pula ia melangkah ke dalam sana.
Li-hun-nionio berada di dekat lorong bawah tanah itu, begitu mendengar suara langkah orang, dengan suara tertahan ia lantas menegur, "Apakah Su-siauhiap adanya?"
"Betul," jawab Kiam-eng. "Apa yang terjadi tadi di atas apakah sudah terdengar oleh Leng-tocu?"
"Ya, dapat kudengar," jawab Li-hun-nionio, "Hoat-keng Taisu itu sungguh bodoh sekali sehingga sampai tertangkap oleh anak buah keparat Thian-ong-pangcu itu."
"Tentu tidak dapat menyalahkan dia," ujar Kiam-eng. "Soalnya ia tidak tahu bahwa Tong-ting-oh sudah menjadi wilayah pengaruh Thian-ong-pangcu, mungkin juga dia tidak mahir berenang, maka dengan mudah dia terperangkap."
"Dan sekarang apa yang hendak kau lakukan?" tanya Li-hun-nionio.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Kupikir, melulu tenaga kita berdua, jelas bukan tandingan Thian-ong-pang, maka kita harus berusaha mengadakan kontak dengan rombongan guruku."
"Jika begitu, biarlah aku saja yang menyampaikan kabar kepadanya," kata Leng Jing-jing.
"Tidak bisa jadi," ujar Kiam-eng. "Pandangan Leng-tocu terganggu, cara bagaimana engkau sanggup lolos dari danau luas ini?"
Li-hun-nionio tertawa, katanya," Coba jawab, setengah bulan yang lalu, cara bagaimana aku menyeberangi danau ini untuk menyusup kemari?"
"Hal ini boleh dikatakan nasib Leng-tocu lagi mujur, namun kemujuran kan tidak akan selalu ada,"
kata Kiam-eng. "Betul juga ucapanmu, namun sesuatu pekerjaan kalau tidak menyerempet bahaya sedikit, siapa lagi yang dapat menyampaikan berita kepada gurumu?"
"Aku mengemban tugas melindungi Boh-to Siangjin, kalau tidak niscaya aku dapat melaksanakan pekerjaan ini..."
"Hari ini baru tanggal muda, bulan belum lagi terang, aku dapat dapat menggunakan balok kayu itu untuk menyeberang ke sana seperti waktu kudatang kemari, kukira takkan terjadi sesuatu alangan. Yang menjadi alangan rasanya justru mengenai di mana beradanya gurumu, Menurut ceritamu tadi, tempo hari pernah kau-minta bantuan Sam-bi-sin-ong untuk menyampaikan kabar kepada gurumu di Hanyang, dan sekarang rombongan gurumu mungkin sudah tidak berada di Hanyang lagi."
"Memang," ucap Kiam-eng dengan kening bekernyit." Menurut perhitungan waktu, saat ini rombongan guruku mungkin sedang dalam perjalanan menuju ke Le-san untuk mencari kami jika Leng-tocu hendak mencari mereka mungkin sangat sulit.."
"Dari sini ke Le-san kira-kira memerlukan perjalanan setengah bulan, setiba di sana mungkin rombongan gurumu sudah meninggalkan pegunungan itu," kata Leng Jing-jing.
"Betul," Kiam-eng mengangguk setuju." Cuma jarak Hanyang ke Ls-san lebih jauh daripada berangkat dari sini, Jika Leng-tocu dapat mencapai Le-san lebih cepat tiga hari kukira masih sempat menemui mereka."
"Wah, untuk mencapai Le-san dalam waktu 12 atau 13 hari rasanya sangat sulit," Leng Jing-jing menggeleng kepaIa.
"Jika begitu, apabila Leng-tocu benar mau pergi ke sana, maka tinggal satu cara saja," kata Kiam-eng "Sebab kuyakin rombongan guruku keberangkatan rombongan guruku dari Hanyang pasti belum lebih dari tiga hari, Berdasarkan perhitungan ini, saat ini paling banter mereka baru sampai di sekitar Ciong-siang-koan. Dan kalau malam ini Leng-tocu dapat lolos dari Tong ting-oh ini dan meneruskan perjalanan dengan kecepatan penuh sehingga dalam lima hari dapat sampai di Sianyang, maka bukan mustahil Leng-tocu akan dapat memergoki mereka di sana."
"Apakah Siangyang merupakan tempat yang pasti akan dilalui mereka?" Leng Jing-jing menegas.
"Menurut perhitungan secara umum seyogyanya mereka lewat di sana." kata Kiam-eng.
"Baiklah, jika begitu aku akan menuju ke Siangyang secepatnya untuk menunggu mereka di sana,"
ucap Leng Jing-jing." Akan tetapi, biIamana tidak bertemu dengan mereka, lalu bagaimana?"
"Leng-tocu dapat mencari orang Kai-pang dan minta bantuan mereka," ujar Kiam-eng." Anggota Kai-pang tersebar di seluruh kolong langit ini, mereka pun dapat menggunakan merpati pos untuk mencari keterangan di mana beradanya Pangcu mereka, Asalkan jejak It-sik-sin-kai diketahui, maka guruku pasti juga akan diketemukan."
"Ehm, cukup beralasan," Leng Jing-jing mengangguk, "Jika dapat kutemui rombongan gurumu segera kubawa mereka menyusul kembali kesini. Setiba di sini tentu akan kuberitahukan padamu dengan Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
menirukan bunyi tikus. Cuma selama menunggu kedatanganku hendaknya Su-siauhiap jangan sembarangan bertindak supaya tidak membuat runyam urusan."
Kiam-eng mengangguk "Baiklah, hendaknya Leng-tocu juga hati-hati, saat ini di mana-mana terdapat begundal Thian-Ong-pang..."
Setelah kedua orang bicara lagi pengalaman masing-masing selama berpisah, sementara itu fajar sudah hampir tiba, lalu Kiam-eng meninggalkan lorong bawah tanah untuk tidur lagi.
Pikirnya, belum lama setelah sarapan dan Thian-ong-pangcu lantas datang.
Dengan ramah ia berkata kepada Boh-to Siangjin dengan tertawa, "Semalam telah banyak mengganggu ketenangan Siangjin, sungguh tidak pantas. Apakah Siangjin dapat tidur dengan baik?"
"Tidak, sulit tidur," jawab Boh-to.
"Wah, jika begitu, apakah hari ini Siangjin dapat bekerja dengan bersemangat?" tanya Thian-ongpangcu.
Boh-to tahu sekarang harus berusaha mengulur waktu sebisanya agar rombongan Lok Cing hui sempat menyusul kemari maka dengan tertawa ia menjawab, "Sudah sekian hari bekerja keras, semalam juga kurang tidur, memang semangat terasa lesu, Bilamana Sicu sudi memberi cuti satu hari untuk istirahat, sungguh aku akan sangat berterima kasih."
Thian-ong pangcu termenung sejenak, katanya kemudian, "Baiklah, hari ini Siangjin tidak perlu bekerja, tapi mulai besok, setiap hari engkau harus menerjemahkan sepuluh potong medali emas itu.
Kuharap sisa ke-144 potong medali emas itu dapat digarap seluruhnya dalam waktu setengah bulan."
"Pekerjaan menerjemah tampaknya saja ringan, yang benar sangat makan tenaga dan pikiran," ujar Boh-to." Apalagi Sicu minta kuterjemahkan secara cepat dan terburu-buru, jangan-jangan nanti akan banyak kesalahan."
"Asalkan Siangjin tidak sengaja menerjemahkan secara salah, kuyakin takkan terjadi kesalahan,"
kata Thian-ong-pangcu.
"Wah, tampaknya sicu belum lagi percaya penuh padaku," ucap Boh to dengan tersenyum kecut.
"Kenal orangnya, tahu wajahnya, tidak tahu hatinya. Bilamana Siangjin minta dipercaya sepenuhnya, untuk itu masih diperlukan waktu yang panjang," kata Thian-ong-pangcu.
"Ya, apa boleh buat, memang antar manusia biasanya sukar untuk bisa saling mengerti, jika Sicu tidak percaya kepadaku, apa yang dapat kukatakan lagi?"
Thian-ong pangcu seperti tidak mau banyak bicara, ia berbangkit dan berkata," Baiklah, sekarang silakan Siangjin istirahat dengan santai, aku tidak mengganggu lagi."
Habis bicara, ia memberi salam terus tinggal pergi.
Melihat orang sudah keluar taman, segera Kiam-eng berkata kepada Boh-to," Mari kita bicara secara mendalam."
"Baik, boleh berlagak main catur," jawab Boh-to Siangjin.
"Kiam-eng lantas memindahkan meja catur yang terletak di bawah rak buku itu, setelah dipasang dan keduanya duduk berhadapan, mulailah mereka main catur.
Untuk langkah-langkah pembukaan, keduanya sama tidak banyak pikir, maka sembari menaruh biji catur Boh-to bertanya," Bagaimana baiknya dengan batas waktu setengah yang dia berikan agar ke 144
potong medali emas itu selesai kuterjemahkan."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Rombongan guruku mungkin dapat menyusuI tiba dalam waktu setengah bulan," ujar Kiam eng,
"Akan tetapi hal ini pun sukar dijamin kepastiannya. Maka kita sendiri harus berusaha mengulur tempo, betapapun kita harus dapat menunda sehingga sebulan atau lebih kalau bisa."
"Cara bagaimana mengulurnya?" tanya Boh-to.
"Terkadang, misalnya Siangjin boleh pilh alasan badan kurang sehat, kepala pusing atau badan meriang dan sebagainya jika dia tidak memberi kesempatan istirahat kepada Siangjin, maka Siangjin boleh sengaja bilang sakit keras sekalian."
"Haha, betul juga ini merupakan suatu langkah catur yang tepat!" kata Boh-to dengan tertawa.
Sambil menaruh biji caturnya Kiam eng berkata, "Oh langkah ini juga tidak jelek, boleh silakan Siangjin peras pikiran dengan lebih cermat."
Boh-to memperhatikan langkah catur yang dilakukan Kiam-eng itu dan berpikir sebentar, pujinya kemudian, "Ya, ternyata langkah yang lihai, Tak tersangka Siausicu pun mahir main catur...
Begitulah seharian mereka hanya main catur untuk melewatkan waktu senggang, Oleh karena kekuatan catur kedua orang seimbang, maka keduanya terkadang kalah dan terkadang menang, makin lama pun makin keranjingan sehingga tanpa terasa sehari penuh telah dilalui.
Selesai bersantap malam, Boh-to Siangjin dan Kiam-eng main catur lagi dua-tiga babak, melihat sudah cukup malam, keduanya baru mapan tidur.
Lewat tengah malam, diam-diam Kiam-eng bangun, ia membuka pintu almari dan memutar tangkai pintu rahasia, lalu menyusup ke bawab.
Li-hun-nionio sedang menunggu tidak jauh di ujung lorong, mendengar suara datangnya Su Kiam-eng, segera ia menegur. "Sebelum Su-siauhiap datang kemari, sama sekali tidak kurasakan kesepian bersembunyi di sini, tapi sekarang sungguh aku merasa sehari seakan-akan setahun lamanya..."
"Apakah sekarang juga Leng-tocu hendak berangkat?" tanya Kiam-eng.
"Adakah pesan Su-tiauhiap yang perlu kusampaikan kepada gurumu?" tanya Leng Jing-jing.
"Keadaan di sini kukira Leng-tocu sudah paham, maka bila bertemu dengan guruku, diharapkan beliau mengajak bala bantuan beberapa orang lebih banyak."
Lihun-nionio mengeluarkan tiga buah Yan-mo-tan, granat tabir asap, katanya," Harap Su-siauhiap terima ini, bilamana terjadi hal-hal yang gawat, boleh digunakan untuk meloloskan diri."
Dengan ucapan terima kasih Su Kiam-eng menerima ketiga biji granat itu.
Segera Leng Jing jing melangkah ke ujung lorong sana diikuti Su Kiam-eng.
"Biarlah ku antar Leng-tocu sampai di lubang keluar sana," kata Kiam-eng.
"Engkau tidak kuatir mendadak keparat itu datang ke kamar kalian?" ujar Li-hun-nionio Leng Jing jing.
"Kukira tidak," ujar Kiam eng. "Dia minta Boh-to Siangjin menerjemahkan kitab pusaka itu, tidak nanti berani mengganggu ketenangan di tengah malam buta."
Begitu sembari bicara sambil berjalan, Tidak lama kemudian sampailah mereka di mulut gua. Terlihat di mulut gua sana air danau mendampar-dampar dan menerbitkan suara gemersik, di permukaan air mengapung sepotong balok kayu besar.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Apakah kayu balok isi yang digunakan Leng-tocu untuk menyeberangi danau kian kemari?" tanya Kiam-eng.
"Betul," jawab Leng Jing-jing. "Bila kudengar ada suara kapal lalu, cepat kusembunyi di balik kayu semuanya berjalan dengan lancar."
"Sebelum fajar tiba apakah Leng-tocu dapat mencapai pantai danau di seberang sana?" tanya Kiam-eng pula.
"Dapat, asalkan mendapatkan angin buritan, dalam waktu satu jam dapat mencapai pantai danau sana," jawab Leng Jing-jing.
Habis berkata, langsung ia melangkah ke tengah air, ia dorong balok raksasa itu ke lubang keluar, ketika air mencapai sebatas dada, ia angkat tangan memberi salam kepada Kiam-eng, lalu selulup ke dalam air, balok kayu itu didorong meluncur ke tengah danau dan hanya sebentar saja lantas lenyap.
Diam-diam Kiam-eng berdoa semoga Thian memberkahi Leng Jing-jing agar mencapai pantai danau dengan selamat dan berhasil menemui gurunya sehingga kawanan iblis tertumpas dan dunia persilatan mendapatkan ketenangan..."
Selesai berdoa, dengan langkah cepat Kiam-eng lari kembali ke kamar.
Setiba di kamar, keadaan ternyata aman tanpa terjadi apa pun. Pelahan Boh-to Siangjin menyingkap kain kelambu dan bertanya dengan lirih, "Dia sudah berangkat?"
"Sudah, baru saja," jawab Kiam-eng.
Pelahan Boh-to Siangjin menyebut budha dan berdoa, "Semoga Budha memberkati dia mencapai tempat tujuan dengan selamat."
Paginya sehabis sarapan, kembali Thian-ong-pangcu datang lagi, Ia pandang air muka Boh-to Siangjin yang kelihatan cukup segar, katanya dengan tertawa,
"Bagaimana, hari ini Siangjin dapat mulai bekerja lagi bukan?"
"BoIeh, silakan Sicu menyerahkan mendali emas," kata Boh-to.
Thian ong-pangcu mengeluarkan sepuluh potong medali emas dan ditaruh di meja, ucapnya, "Ke sepuluh mendali emas itu rasanya sudah cukup, harap menjelang magrib nanti Siangjin dapat menyelesaikan terjemahannya."
"Biarlah kukerjakan sedapatnya" ucap Boh-to.
"Nah, aku tidak mengganggu lagi, silahkan bekerja!" kata Thian-ong-pangcu sambil meIangkah.
"Eh, nanti dulu," seru Boh-to mendadak "Kuharap Sicu jangan melupakan janjimu!"
"Janji apa?" tanya Thian-ong-pangcu dengan melengak.
"Kan sudah kukatakan, setiap berselang sehari ingin kulihat Hoat-keng Taisu itu, maka kuharap hari ini dia diperlihatkan padaku," pinta Boh-to.
"Oya baiklah segera kuperintahkan orang membawa Hoat-keng ke sini," kata Thian-ong-pangcu dengan tertawa. "Cuma kuharap janganlah Siangjin bicara dengan dia, jika Siangjin bicara dengan dia, maka selanjutnya takkan dapat bertemu lagi dengan dia."
Habis berkata segera ia tinggal pergi.
Kiam-eng lantas mulai membentang kertas dan menggosok tinta untuk meladeni Boh-to Siangjin yang akan menerjemahkan kitab pusaka dari medali emas itu.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Baru saja selesai dia menggosok tinta, tiba-tiba terlihat Tong Pin dan Soa Goan-hiong menggusur Hoat-keng Taisu memasuki taman bunga itu.
Setiba di depan kamar mereka lalu berhenti, terdengar Tong Pin berseru di luar, "Silakan Siangjin melihatnya, Hoat-keng Taisu dalam keadaan baik-baik bukan"!"
Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Boh-toh Siangjin mengangguk, katanya dengan tertawa, "Ya, sangat bagus, Terima kasih! Pangcu kalian melarang kubicara dengan dia, terpaksa aku hanya memandangnya saja tanpa bicara."
Kalau Boh-to tidak mengajak bicara pada Hoat keng, kesempatan baik ini justu tidak disia-siakan oleh Su Kiam-eng, dengan kepala menunduk ia coba tanya dengan ilmu gelombang suara,
"Hoat-keng Taisu, apakah engkau dapat menjawab dengan mengirim gelombang suara?"
Hoat-keng tampak melenggong ketika mendengar bisikan suara lembut serupa bunyi nyamuk itu, tapi segera ia tahu suara itu datangnya dari Su Kiam-eng, ia berpaling ke kanan dan ke kiri untk isemandang Tong Pin dan Soa Goan-hiong di sebelahnya, dengan berpaling ke kanan dan kiri itulah sebagai tanda dia dapat mendengar suara Kiam-eng.
Cukup cerdik Kiam-eng, ia tahu orang mendengar apa yang dikatakannya, kembali ia mendesis," Ya, Taisu menang tidak leluasa untuk bersuara sekarang, maka harap ditulis saja tempat tahananmu dan keadaan penjaganya, boleh kau-bawa tulisanmu esok lusa dan buang saja di tanah pada waktu engkau digusur kembali ke sana."
Hoat-keng berkedip-kedip sebagai tanda mengerti.
Dengan sendirinya Tong Pin dan Soa Goan-hiong tidak tahu terjadinya komunikasi secara diam antara Kiara eng si "Ngo liau" dengan Hoat-keng Taisu. Mereka merasa geli melihat Boh-to Siangjin hanya memandangi Hoat-keng Taisu dengan membisu, maka dengan tertawa mereka tanya," Siangjin sudah cukup memandangnya tidak" Bila sudah cukup, biarlah kami membawanya pergi."
"Baiklah, boleh kalian membawanya kembali," Boh-to berlagak menyesal.
Segera Tong Pin berdua menggiring Hoat-keng keluar rumah, Sesudah mereka pergi jauh barulah Boh-to berkata kepada Kiam eng, "Konon di antara kalian yang mahir kungfu tinggi dapat bicara dengan gelombang suara segala, adakah hal itu kau lakukan tadi dengan Hoat-keng Taisu?"
"Ya, sudah," jawab Kiam-eng." Cuma lantaran musuh berjaga di sebelahnya, Hoat-keng Taisu tidak berani menjawab, maka kuminta agar Hoat keng Taisu memberitahukan tempat tahanan dia, keadaan penjaga secara tertulis saja dan dibawa kemari hati lusa, bilamana dia dibawa ke sini lagi."
Boh-to mengangguk setuju, lalu duduk di depan meja dan mengambil sepotong medali emas, katanya," Baiklah, sekarang biar kumulai bekerja!"
Sehari suntuk, sampai magrib hanya tujuh patung medali emas itu yang dapat diselesaikan terjemahannya. Thian-ong-pangcu agak kurang puas, tapi lantaran tidak ada tanda kesengajaan Boh-to Siangjin, maka ia cuma mengomel beberapa kata saja, lalu tinggal pergi dengan membawa tujuh potong medali beserta tujuh helai naskah terjemahannya.
Dengan sendirinya yang dibawanya pergi adalah naskah terjemahan yang telah" dikerjai", yang mendapatkan barang tulen adalah Su Kiam-eng.
Esok paginya, kembali Thian-ong-pangcu datang dengan membawa tujuh potong medali emas, yang ikut datang bersamanya adalah si duta perak nomor satu dan nomor dua, lalu si padang emas Sih Hou, pedang perak Kua Eng-sing serta pedang baja Ku Taihong bertiga.
Tanpa bicara mereka menyaksikan Boh-to Siangjin menerjemahkan tuIisan Hindu kuno pada medali emas itu, tidak lama rombongan Thian-ong-pangcu itu pun pergi.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Setelah jelas keenam orang itu sudah lenyap di luar taman barulah Boh-to tanya Kiam-eng dengan suara tertahan, "siapakah pengikut Thian-ong-pangcu itu?"
"Yang berdiri di sebelah kirinya adalah si duta nomor satu dan nomor dua, sedang ketiga orang yang di sebelah kanan adalah tiga pedang emas perak baja", orang-orang ini pun pernah ikut berjaga di pagoda Le-san tempo hari, semuanya adalah murid Thian-ong pangcu."
"Pagi-pagi mereka ikut datang menyaksikan cara bekerjaku, entah apa maksudnya?" kata Boh-to Siangjin.
"Mungkin tidak ada maksud tertentu," ujar Kiam-eng. "Tempo hari mereka membawa Ngo-liau palsu dan Siangjln palsu pergi ke Congkoap, bisa jadi baru kemarin mereka pulang lagi, maka pagi hari ini juga ikut kemari untuk melihat Siangjin."
"Sekian banyak begundal mereka, bilamana rombongan gurumu dapat datang kemari, mungkin juga sangat sulit untuk mengalahkan mereka," ujar Boh-to kuatir.
"Ya, memang," Kiam-eng menghela napas, "Harapan kita sekarang, rombongan guruku datang kemari dengan membawa bala bantuan yang lebih banyak."
"Apakah ada kemungkinan gurumu akan mengajak bala bantuan?" tanya Bo to.
"Ada," Kiam-ong mengangguk. "Suhu pernah menyatakan, bilamana sarang Thian-ong-pangcu sudah diketahui dengan jelas, maka beliau akan mengundang para ketua berbagai aliran dan perguruan untuk bersama-sama menghadapinya."
"Biia benar terjadi begitu barulah ada harapun akan menumpas Thian-ong pang," kata Boh-to Siangjin. "Nah, hendaknya gosok tinta ini sediklt lebih kental.
Sehari ini Boh to dapat menerjemahkan satu potong medali lebih banyak daripada kemarin, seluruhnya dia menyerahkan isi kitab delapan medali. Tampaknya Thian-Ong-pangcu mulai merasa puas dan memperlihatkan tanda suka dengan prestasi yang dicapai Boh-to ini.
Esok hari ketiga, kembali Ok-poan-koan Tong Pin dan Hek-kau-liong Soa Gan-hiong menggusur datang Hoat-keng Taisu untuk diperlihatkan kepada Boh-to Siangjin.
Karena merasa sudah cukup banyak menerjemahkan kitab pusaka yang diminta Thian-ong-pangcu, Boh-to yakin biarpun dirinya mengajak bicara Hoat-keng beberapa patah kata rasanya juga takkan menimbulkan amarah Thian ong-pangcu, maka ia coba bertanya, "Hoat-keng Taisu apakah mereka membikin susah dirimu?"
"Tidak, cukup baik keadaanku..." Jawab Hoat-keng.
Melihat terjadi tanya jawab di antara mereka, cepat Ok-poan-koan Teng Pin menyela," Eh, hendaknya Siangjin jangan melupakan perintah Pangcu kami, engkau hanya diperboIehkan memandang dan dilarang bicara, apalagi bertanya."
Boh-to tertawa, ucapnya," Kutanya keadaan memangnya kenapa" Masa Sicu sedemikian kikir"!"
Muka Tong Pin menjadi merah, katanya dengan menyengir," Ai, kami kan cuma melaksanakan tugas dan menjalankan saja untuk melarang Siangjin bicara dengan dia, bila Siangjin ingin bicara dengan dia, sebelumnya perlu minta izin kepada pangcu kami."
Boh-to Sianjin memperlihatkan rasa tidak sabar untuk banyak bicara, ia memberi tanda dan berseru.
"Ya, sudahlah, boleh kalian membawanya pergi, kan sudah kupandang dia."
Segera Tong Pin dan Soa Goan-hong menggiring Hoat-keng Taisu keluar taman, Pada waktu Hoat keng putar tubuh, Boh-to dan Kiam-eng sama melihat ada secuil kain putih jatuh dari baju Hoat-keng Taisu.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Hati Kiam-eng dan Boh-to sama tegang sekali, sebab meski hal itu tidak diketahui oleh Tong Pin dan Soa Goan-hiong, namun bilamana mereka menoleh sengaja atau tidak, kain putih kecil yang jatuh di lantai itu pasti akan dilihat mereka.
Untung, sejauh itu Ok-poan-koan Tong Pin serta Hek-Kay-hiong Soa Goan-hiong tidak berpaling, langsung mereka membawa Hoat-keng taisu.
Cepat Kiam-eng memburu maju dan memungut kain putih itu, ia celingukan kian kemari dan jelas tidak terlibat orang lain barulah ia masuk kamar dan merapatkan pintu.
"Apa yang tertulis di situ!" tanya Boh-to Siangjin tidak sabar.
Kiam-eng membentang kain putih itu di atas meja, ternyata yang tertulis di situ jelas adalah huruf berdarah, bunyinya.
"Aku ditahan di sebuah kamar merah di bawah tanah persis terletak di belakang ruang pendopo.
Kamar itu berpintu besi, putarlah tangkai pintu lima kali ke kanan dan putar tiga kali ke kiri, dengan sendirinya pintu besi akan terbuka. Turun ke bawah dan akan tiba di ruang bawah tanah.
Ada dua kamar di sini, yang sekarang denganku ada Wi-ho Lojin dan kamar lain terkurung Ih Kih-ki.
Ruang di bawah tanah itu hanya dijaga satu orang, Hanya untuk memasuki ruang pendopo itu yang mungkin agak sulit, maka Wi-ho Lojin minta kuberitahukan kepada Siausicu agar lebih dulu berusaha mengirim kabar kepada gurumu agar cepat datang membantu, bila gurumu sudah tiba barulah turun tangan bersama. Entah bagaimana pendapat Siausucu, harap balas esok lusa."
Hampir saja Kiam eng melompat-lompat saking gembiranya, katanya, "Wah, sungguh bagus sekali!
Ternyata tepat seperti dugaanku, Wi-ho Lojin dan nona Ih memang benar terkurung di sini."
Dengan prihatin Boh-to Siangjin berkata, "Namun apa yang dikatakan Wi-losicu juga tidak salah, handaknya menunggu setibanya rombongan gurumu barulah dapat bertindak menurut gelagat."
Akan tetapi Su Kiam eng justru sangat ingin bertemu dengan Ih Keh-ki selekasnya, maka dia sangat bersemangat hendak mendahului bertindak, katanya, "Jalan dari sini menuju ke ruang pendopo itu sudah sangat apel bagiku, mungkin dapat ku selidiki keadaan di sana pada malam hari."
"Namun bila sampai jejakmu kepergok musuh, maka segala apa pun akan tamat." ujar Boh-to Siangjin. "Makanya kuharap Siausicu bersabar barang beberapa hari lagi."
Kiam eng tertawa, katanya, "Siangjin jangan kuatir, bilamana tidak ada akal bagus padaku mutlak aku tidak berani menyerempet bahaya."
Boh-to manggut-manggut dan tidak bicara lagi, ia angkat pensil dan mulai bekerja pula.
Kiam-eng menyembunyikan kain putih itu di tempat yang sukar ditemukan, ia pun mulai menggosok tinta sembari mengepalkan naskah kitab pusaka yang diterjemahkan padri tua itu.
Lewat lohor tiba-tiba Kiam-eng berkata kepada Boh-to, Siangjin bagaimana kalau hasil terjemahanmu kau kurangi satu atau dua potong?"
"Memangnya Siau sicu mempunyai rencana apa?" tanya Boh-to.
"Tidak ada rencana apa-apa," jawab Kiam-eng. "Cuma kupikir, apabila kita bertekad menunggu kedatangan rombongan guruku, maka sebisanya kita harus main ulur waktu, betul tidak?"
"Kemarin dulu dapat kuterjemahkan tujuh potong medali, kemarin delapan potong, jika hasil pekerjaanku hari ini terlampau sedikit, cara bagaimana harus kuberi alasan kepadanya?" ujar Boh to Siangjin.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Ya, bisa juga Siangjin berlagak sakit kepala, dengan demikian tentu dia takkan mengetahui!" kata Kiam-eng.
Boh to Siangjin menaruh penanya, katanya dengan tertawa, "Betul juga, kepalaku memang terasa agak pusing..."
Menjelang magrib, ketika tiba waktunya Boh-to Siangjin harus beristirahat, kembali Thian-ongpangcu muncul pula untuk mengambil naskah terjemahan.
Ia berkerut kening ketika dilihatnya hasil terjemahan hanya lima halaman, tegurnya," Apa yang kaukerjakan hari ini, masa cuma sekian?"
Boh-to Siangjin memijat pelipis dan menjawab, "Petang hari ini kepalaku terasa pusing maka hasilnya kurang memadai."
Thian-ong-panggcu mengawasi air muka orang katanya, "Mengapa Siangjin sampai kepala pusing?"
"Mungkin terlampau banyak memeras otak," sahut Boh to dengan tersenyum getir. "Sudah lama aku tidak pernah bekerja seberat ini, rasanya lelah sekali."
"Apakah Siangjin merasa terlampau pusing?" tanya Thian ong-pangcu.
"Terlampau pusing sih tidak, cuma tidak tahan duduk terlalu lama, mendingan kalau berbaring," kata Boh-to.
"Baiklah, jika begitu silahkan istirahat sebanyaknya, sehabis bersantap malam hendaknya jangan main catur lagi melainkan lekas tidur saja."
"Ya, semoga besok dapat kuselesaikan pekerjaaku lebih banyak bagiku. Terus terang, sesungguhnya aku pun ingin lekas pulang ke Tai-hin-si"
Malamnya, setelah makan, Boh to tetap main catur dengan Kiam-eng, hanya main dua-tiga babak saja mereka lantas tidur.
Lewat tengah malam, diam-diam Kiam-eng bangun lagi, ia coba membuka kelambu tempat tidur Boh-to Siangjin, dilihatnya padri tua itu tidur dengan nyenyak, ia mengguncangkan pelahan sambil mendesis," Siangjin! Siangjin!"
Boh-to terjaga bangun, tanyanya: "Ada urusan apa?"
"Tidak ada apa-apa, aku ingin keluar Iagi." bisik Kiam-eng.
Boh-to agak kuatir, "Apakah Siausicu tidak merasa terlampau bahaya?"
"Sudah lima hari kita berada di sini," kawanan penjaga yang bertugas mengawasi kita itu mungkin sudah capek juga dan mengendur, maka kuyakin perbuatanku takkan diketahui oleh mereka."
"Maksudmu hendak menyusup ke ruang bawah tanah sana untuk menemui Wi-ho Lojin dan nona Ih?" tanya Boh-to Siangjin.
Chapter 29. Rahasia 180 Patung Mas
Kiam-eng mengangguk, "Betul, mungkin belasan hari lagi baru rombongan guruku akan sampai di sini, sungguh aku tidak sabar lagi untuk menunggu sekian lama, maka ingin kupergi ke sana untuk bertemu dulu dengan mereka."
Namun Boh-to Siangjin tetap merasa kuatir, ucapnya. "Kukira di ruang pendopo sana pasti terdapat banyak anak buah Thian-ong-pangcu, maksudmu hendak menyusup ke sana tentu tidak mudah dan pasti akan kepergok, maka lebih baik janganlah kau pergi ke sana.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Siangjin tidak tahu, ada sementara urusan yang tampaknya tidak mudah terlaksana, tapi bilamana dikerjakan dengan sungguh-sungguh, terkadang segalanya akan berubah lancar dan tidak ada kesulitan apa pun."
"Apakah kau dapat yakin pasti akan berhasil seratus persen?" tanya Bah-to.
"Dengan sendirinya tidak sebab itulah kuperlu juga bantuan Siangjin."
"Bantuanku" Cara bagaimana dapat kubantu!" Boh-to melengak.
"Dapat, yaitu bila tocu sudah pergi dari sini, hendaknya Siangjin mulai memperhatikan keadaan apabila diketahui jejakku kepergok musuh, Siangjin dapat pura-pura berteriak sakit perut dan bilang kepada mereka bahwa kepergianku itu adalah atas suruhanmu untuk memanggil Thian-ong pangcu."
"Tapi bila Siausicu tertangkap selagi sudah menyusup ke ruang bawah taa&h, lalu apa alasanku?"
ujar Boh-to. "Boleh diatur begini, jika nanti Siangjin melihat tecu dibawa kembali ke sini dan aku sengaja ribut-ribut dengan mereka, itu menandakan tecu dipergoki mereka sebelum menyusup ke ruang bawah tanah.
Dengan begitu siangjin boleh berlagak sakit perut dengan alasan seperti tadi, Apabila tecu kembali dengan bungkam, itu tandanya tecu kepergok setelah masuk ke ruang bawah tanah! Tatkala itu Siangjin pun tidak perlu berlagak sakit perut segala melainkan katakan saja tidak tahu menahu akan kelakuanku itu."
"Apakah Thian-ong-pangcu mau percaya?" tanya Boh-to Siangjin.
"Umpama tidak percaya juga tidak menjadi soal, "ujar Kiam-eng. "Yang jelas, sebelum seluruh naskah terjemahan kitab pusaka usai, tidak nanti Siangjin dicelakai olehnya."
Melihat tekat anak muda itu sudah bulat, terpaksa Boh-to mengangguk setuju.
"Baiklah. Setelah bertemu dengan Wi-ho Lo-jin dan nona Ih, apakah akan kau selamatkan mereka?"
"Tidak, segala sesuatu akan kulakukan menurut keadaan nanti," jawab Kiam-eng. Nah, aku pergi dulu."
Ia mendekati pintu dan pelahan membukanya, ia menoleh dahulu keluar, terlihat seorang penjaga sedang kencing dibalik pagar bambu sana, cepat ia menyelinap keluar dan menyusup ke tengah semak bunga di taman.
Setelah mengalami pengamatan secara cermat selama lima hari, ia tahu penjaga di luar taman itu seluruhnya ada tiga orang. Setiap satu jam berganti kelompok penjaga, jaraknya dengan waktu ganti penjaga sekarang masih ada seperempat jam, maka ia akan menunggu bilamana kawanan penjaga sibuk bertukar tugas barulah kesempatan itu akan digunakan untuk menyusup keluar taman.
"Benar juga, tidak lama kemudian terlihatlah tiga penjaga baru datang hendak alih tugas dengan kawannya.
Ketika penjaga yang akan diganti sangat senang, mereka menyongsong kelompok pengganti itu dan menyapa dengan tertawa, "Silahkan melaksanakan tugas dengan baik, segera kami akan pergi tidur"
Pada saat itulah tanpa ayal Kiam-eng lantas merunduk ke tepi pagar bambu, dengan ringan ia melompat lewat pagar dan melayang secepat tebang ke arah sebuah rumah.
Setiba di bawah emper, melihat sekitar tidak ada orang, dengan lagak tuan besar segera ia menuju ke sebuah bangunan megah. Rupanya bangunan megah yang dituju adalah ruang pendopo Li-hun-to.
Agaknya penjagaan di Li-hun-to sangat ketat, baru belasan langkah Kiam-eng menuju ke sana segera terlihat dua peronda mendatang dari depan, cepat Kiam-eng menyelinap ke tempat gelap setelah kedua peronda itu lalu barulah ia meneruskan perjalanan ke depan.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Tak terduga, baru beberapa langkah, sekonyong-konyong dari pojok rumah berkelebat ke luar seorang, lengan Kiam-eng sempat terpegang dan ditegur, "Hwesio ciilk, untuk apa tengah malam buta kamu keluyuran kemari?"
Kiam-eng terkejut, ia lihat lawan adalah seorang tua bermuka buruk, ia tahu orang adalah begundal Thian-Ong-pang, sedapatnya ia bersikap tenang dan menjawab, "Engkau ini busu Thian-ong-pang bukan?"
Si kakek bermuka buruk melengak juga melihat ketenangan Kiam-eng yang tak gentar itu, jawabnya sambil berkedip-kedip, "Betul, memangnya kenapa?"
"Aha, bagus sekali!" seru Kiam-eng dengan lagak gembira. "Mari, ingin kuberitahukan suatu rahasia padamu!"
Sembari bicara ia pun menarik si kakek ke pojok yang gelap sana.
Tentu saja si kakek muka buruk merasa bingung, ia coba tanya pula, "Rahasia apa yang hendak kau beritahukan padaku?"
Melihat sekeliling tidak ada orang, dengan berlagak penuh rahasia ia mendesis, "Rahasia ini tidak boleh didengar orang lain", harap engkau mendekatkan telingamu, akan kubisiki langsung."
Dengan sendirinya timbul rasa ingin tahu si kakek muka buruk, tanpa sangsi ia miringkan kepala dan mendekatkan telinga ke mulut Kiam-eng dan berkata, "Silahkan bicara, rahasia apa?"
Kiam eng sengaja bisik-bisik halus di telinga orang, "Rahasia yang ingin kuberitahukan padamu adalah... ajalmu sudah tiba!"
Begitu kata "tiba" terucapkan, langsung kedua jarinya menutuk buta hati lawan sekuatnya.
Kontan kakak muka buruk mendelik kaku dan pelahan roboh terkapar.
Namun Kiam-eng keburu meraih tubuh orang sehingga tidak sampai roboh, ia seret korbannya ke pojok rumah dan dibiarkan bersandar dinding lalu tinggal pergi.
Akan tetapi sebelum melangkah jauh, tiba-tiba timbul suatu pikirannya, "Ah, dengan akal ini akan jauh lebih aman daripada masuk ke sana secara diam-diam."
Segera ia putar balik dan mengangkat mayat si kakek muka buruk, ia terus menuju ke sebuah rumah batu kecil menyusuri emper rumah yang gelap, Pintu dan jendela rumah kecil itu terbuka, sekali pandang saja dapat diketahui pasti tidak ada penghuninya melainkan sebuah gudang penaruh barang peralatan.
Kiam-eng membawa mayat si kakek ke dalam gudang itu, ia taruh mayat orang di lantai, ia coba meraba bagian leher mayat, ditemuinya bahwa si kakek muka buruk isi memang benar memakai kedok kulit yang amat tipis. Tentu saja Kiam eng sangat girang, dengan sangat hati-hati ia lepaskan kedok tipis orang, lalu dipakainya sendiri.
Ternyata kakek yang memakai kedok itu wajah aslinya terlebih tua daripada wajah berkedok, malahan Kiam-eng mengenali dia sebagai salah seorang budak tua Ciongli Cin.
Kiam-eng merasa heran dan tidak mengerti, ia pikir sekitar Ciongli Cin terdapat sekian banyak yang berhati buruk, pantas dia tertimpa bencana.
Selesai memakai kedok tipis, menyusul Kiam eng mencopot lagi pakaian dan sepatu si kakek untuk dipakai, selesai menyamar baruIah ia melangkah keluar gudang dan menuju ke ruang pendopo sana.
Hanya sebentar saja sudah tiba di depan pintu pendopo, Terlihat di situ berdiri dua penjaga itu dengan golok terhunus, ketika melihat kedatangan "si kakek muka buruk", kedua penjaga itu serupa menghadapi atasan langsung, dengan sikap tegang mereka berdiri tegak hormat.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Dari sikap tegak hormat kedua penjaga itu Kiam eng tahu kedudukan "sendiri" tidak rendah, maka ia sengaja berlagak angkuh dan melangkah masuk ruang pendopo, dua busu setengah umur sedang main catur, melihat datangnya si kakek, mereka pun seperti melihat atasan dan serentak berdiri tegak memberi hormat dan menyapa, "Congsunling tiba!"
Mendengar sebutan "Congsunling" (pengawas-umum) itu barulah Kiam-eng tahu kedudukan sendiri sekarang adalah seorang cukup berkuasa untuk memberi perintah.
Tentu saja hati Kiam eng sangat girang, dengan angkuh ia hanya balas mengangguk sekedarnya dan menjawab dengan menirukan suara si kakek muka buruk, "Teruskan main catur kalian, biar kumasuk ke sana!"
Sembari bicara, langsung ia masuk ke belakang, Setiba di ruang belakang dengan cepat dapat ditemukan kamar warna merah.
Di depan pinfu kamar tampak seorang penjaga duduk di bangku dan lagi mengantuk, Pelahan Kiam-eng mendekat dan menepuk bahu orang. Tentu saja penjaga itu terjaga bangun. Melihat sang komandan datang mengontrol, ia terkejut dan melonjak bangun dengan suara gemetar, "Go Cang... Congsunling datang, maaf jika hamba agak... agak lengah dan... dan mengantuk..."
Dengan lagak sang komandan Kiam-eng berkata, "Tidak perlu takut, tidak ada maksudku hendak menghukum dirimu, cuma saja kau tahu bahwa mengantuk pada waktu dinas, bilamana kebetulan kedatangan musuh, tentu akibatnya dapat kau-bayangkan."
Berulang busu itu mengiakan dan menyatakan tidak berani lengah lagi.
"Sekarang coba buka pintu, ingin kuperiksa ke dalam," kata Kiam-eng ketus.
Cepat itu busu membuka pintu, dan menyilakan sang komandan masuk.
Dengan lagak angkuh Kiam eng melangkah ke dalam, dilihatnya di dalam kamar memang betul ada lagi sebuah pintu besi, ia mendekat dan pegang engkol pintu, diputarnya ke kanan dan ke kiri beberapa kali, maka terdengarlah suara keriat-keriut, pelahan pintu besi itu terbuka dengan sendirinya.
Di balik pintu adalah undak-undakan batu yang menjurus ke bawah tanah, ada sebuah lorong pendek, di sisi lorong sebelah kanan ada dua buah pintu lagi, jelas itulah pintu kamar tahanan bawah tanah.
Di lorong itu juga ada seorang penjaga sedang meronda kian kemari, melihat kemunculan sang komandan, cepat ia memberi hormat dan menyapa.
Kiam-eng menuruni undakan batu itu dan berkata. "Boleh kau keluar sebentar, ada urusan hendak kubicarakan dengan mereka."
Busu itu mengiakan dan segera meninggalkan kamar merah itu.
Setelah mendekati salah satu pintu, Kiam-eng melihat di daun pintu ada sebuah jendela kecil, ia coba melongok ke daIam, terlihat di kamar tahanan itu ada dua buah ranjang yang berbaring di situ jelas Wi-ho Lojin dan Hoat-keng Taisu.
Yang tersebut duluan mungkin sudah terkurung terlampau lama maka wajah tampak kurus dan pucat.
Segera Kiam-eng memanggilnya dengan gelombang suara, "Param Wi, paman Wi bangunlah!."
Sebenarnya Wi-ho Lojin tidak tidur benar, begitu mendengar bisikan suara itu, serentak ia pentang mata dan bangun duduk.
Pelahan Kiam eng mengetuk jendela kecil pada daun pintu itu, kembali ia mendesis, "Paman Wi, inilah aku adanya, Su Kiam-eng!"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Melihat wajah pada lubang jendela, Wi-ho Lojin terperanjat dan berseru, "Hah, kamu...." Kiam-eng kuatir orang tua itu menyebut namanya, cepat ia memotong, "Ya wanpwe telah membunuh Congsunling di taman sengaja menyamar dia untuk masuk kemari."
Kejut dan juga girang Wi-ho Lojin, cepat ia turun dari tempat tidur dan mendekati jendela itu, desisnya, "Ai, berani amat kamu ini tidakkah terlampau berbahaya?"
Kiam-eng tersebut, "Sebenarnya wanpwe mau masuk ke sini secara diam-diam, tak terduga kepergok diruang tamu sana oleh Congsunling, untung dia menilai rendah akan kemampuanku maka dapat kusergap dengan mudah dan kubunuh. Sekarang wanpwe menyamar sebagai Congsunling dan takkan menemui bahaya,"
Kejut dan juga girang Wi ho Lojin, ia coba tanya pula, "Menurut cerita Hoat-keng Taisu, katanya kamu menyaru sebagai hwesio cilik dan ikut mendampingi Boh-to Sianjin."
"Betul, wanpwe sedang berusaha mencuri kitab pusaka, semua ini sesuai dengan rencana kami semula," tutur Kiam eng.
"Lalu apakah Jian-lian-hok-leng yang kau bawa pulang itu telah berhasil memulihkan penyakit Iinglung nona ln?" tanya Wi-ho Lojin.
"Ya, sudah berhasil," jawab Kiam-eng.
"Apakah dia tahu siapa pengganas yang membunuh ke-18 tokoh besar dunia persilatan dahulu itu?"
"Tahu, malahan dia masih ingat benar wajah asli si penganas, akan tetapi..."
"Waktunya sangat mendesak, lekas kaukatakan!" desak Wi-ho Lojin.
"Dia melihat jelas si pengganas itu tak-Iain-tak-bukan ialah Kiam-ong Ciongli Cin!"
"Hahh! Mengapa bisa dia" Kiam-ong Ciongli Cin, katamu?"
"Betul, Semula kami pun tidak ada yang percaya bahwa Kiam-ong Ciongli Cin adalah si pengganas yang membunuh ke 18 tokoh besar itu, maka guruku, It-sik-sin-kai, nona ia dan wanpwe berempat lantas berangkat menuju ke Pek-ho-san-ceng..."
Begitu ia ceritakan pula
Bukit Pemakan Manusia 6 Pendekar Sejagat Seri Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Dendam Iblis Seribu Wajah 20
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama