Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung Bagian 1
RAHASIA MO-KAU KAUCU
The Flying Eagle in the Ninth Month
Jiu Yue Ying Fei
Karya: Khu Lung - Diceritakan oleh: Gan K.H.
Ebook oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://cerita-silat.co.cc/ http://ebook-dewikz.com
Jilid-1 Hujan salju berlarut panjang, pagi itu udara tampak
cerah, namun hawa tetap dingin, salju bertumpuk tebal dan mengeras menjadi es. Jalan raya itu masih sepi belum
kelihatan orang berjalan, setiap pintu dan jendela rumah-rumah sepanjang jalan raya ini masih tertutup, alam
semesta seakan-akan diliputi keheningan yang menegangkan serta bau membunuh.
Dengan mengenakan mantel kulit rase tebal, Tong Thongsan duduk di atas kursi besar yang dilembari kulit harimau di ujung jalan raya, matanya memandang lurus ke jalan raya di hadapannya nan sunyi beku, dalam hati dia bersorak
gembira. Dia amat puas karena perintahnya dilaksanakan dengan baik.
Jalan raya ini tertutup untuk penduduk, kini dia jadikan sebagai medan laga, dalam jangka setengah jam, dia sudah siap mencuci tumpukan salju yang mengeras itu dengan
cucuran darah Lo Toh dari Sek-ek.
Detik-detik yang ditunggu menjelang datang, jika ada
orang, perduli siapa dia beranjak di jalan raya ini, maka orang itu harus dibunuh, meski hanya kakinya saja yang menginjak jalan raya ini, maka kaki itu harus dipotong.
Kota ini miliknya, siapapun jangan harap bercokol di
tanah kekuasaannya, demikian pula Lo Toh dari Sek-ek pun.
Kecuali Wi-pat-tay-ya, siapapun jangan harap bisa
menghalangi kemauannya.
Puluhan laki-laki tegap berpakaian ketat siap-siaga,
berdiri jajar di belakangnya, tangan lurus, muka beringas diliputi hawa membunuh. Di kanan kiri Tong Thong-san
terdapat dua kursi besar pula. Seorang pemuda bermuka
pucat, bersifat congkak dan dingin, duduk bermalas-malasan di kursi kiri, tubuhnya berselimut kulit bulu panjang warna kelabu, harganya ribuan tahil emas, jari kelingkingnya menggantol sebilah pedang panjang yang dihiasi jamrut dan permata kemilau, bersarung hitam, pedang di obat-abitkan.
Pemuda ini merasa tugas yang harus dia selesaikan
terlalu membosankan, karena dia merasa kurang setimpal turun tangan terhadap lawan sejenis Lo Toh dari Sek-ek ini.
Orang di sebelah kanan berusia lebih muda, dengan
sebatang Yan-ling-to yang kemilau, dia sibuk membersihkan kuku jarinya. Kelihatan dia pura-pura tenang, namun
wajahnya yang menampilkan watak kanak-kanak kelihatan
merah lantaran tegang dan emosi.
Tong Thong-san memahami perasaan pemuda ini. Waktu
pertama kali dia menjalankan tugas yang diperintahkan Wi-pat-tay-ya dulu, demikian pula keadaannya. Tapi dia tahu kalau pemuda ini berjajar nomor dua belas di antara Cap-sha-thay-po dalam perguruan Wi-pat-tay-ya. Yan-ling-to yang selalu dibawanya itu pasti takkan mengecewakan orang.
Memang Cap-sha-thay-po asuhan Wi-pat-tay-ya selama
ini belum pernah mengecewakan orang.
ooo)dw(ooo Tiba-tiba seekor anjing kurus berlari mencawat ekor dari ujung lorong di bawah tembok sana melintas jalan raya.
Pemuda bermuka tahi lalat mengawasi anjing yang berlari di jalan itu, wajahnya menampilkan mimik aneh, pelan-pelan tangan kiri merogoh ke saku, mendadak tangannya terayun ke depan. Sinar putih pelan berkelebat secepat kilat, tahu-tahu anjing itu mampus terpantek di jalan raya. Sebilah golok pendek kecil menembus tenggorokannya, darahnya
mengalir membasahi salju, kelihatan merah menyolok.
Menyala semangat Tong Thong-san, dia berseru memuji:
"Bagus, cepat benar Cap Ji-te turun tangan."
Pemuda itu amat puas akan buah karyanya, katanya
angkuh: "Tong Lo-toa sudah memberi perintah, perduli manusia atau anjing, asal keluyuran di jalan raya ini, aku Toan Cap-ji pasti akan merenggut jiwanya."
Tong Thong-san mendongak tertawa gelak-gelak,
serunya: "Ada Sin Su-te dan Cap Ji-long yang gagah perkasa di sini, jangan hanya seorang Lo Toh saja, umpama sekaligus datang sepuluh, kitapun tak perlu takut."
Sin-su justru menanggapi dengan sikap dingin: "Hari ini tiada giliranku turun tangan.". Pedang yang kontal-kantil di ujung jari kelingkingnya tiba-tiba berhenti, demikian pula gelak tawa Tong Thong-san sirap seketika.
Dari ujung jalan sebelah sana, muncul serombongan orang dengan melangkah cepat mendatangi. Jumlahnya tiga
puluhan orang, semua mengenakan seragam hitam, baju
pendek celana kencang, kakinya mengenakan sepatu tinggi, langkah mereka berderap serempak di atas salju. Yang
terdepan adalah seorang laki-laki bermata besar beralis tebal, kulit mukanya gosong dan tebal serta ulet. Dia inilah laki-laki gagah nomor satu dari Sek-ek, Toa-gan (Si Mata Besar) Lo Toh.
Melihat orang ini, kulit muka Tong Thong-san mengejang dan kedutan, kelopak matanya mengerut bergetar. Seorang pemuda berpedang tiba-tiba lari ke belakangnya, berdiri tegak memegang gagang pedang. Maka terdengarlah pedang golok terlolos serta busur dan anak panah yang siap
dibidikkan. Suasana menjadi tegang, kecuali suara langkah yang makin dekat, alam semesta ini seolah-olah sudah beku dan lengang.
Lekas sekali rombongan serba hitam itu sudah dekat,
sekonyong-konyong sebuah pintu kecil sempit di pinggir jalan sana menjeblak, empat belas orang berpakaian serba putih beruntun keluar, menyongsong kedatangan Lo Toh dari Sek-ek, satu diantaranya tampil bicara dengan suara pelan, entah apa yang dibicarakan, tapi Lo Toh berdiri tegak tanpa bergerak, juga tidak memberi reaksi.
Kejap lain rombongan serba putih ini menghampiri Tong
Thong-san. Baru sekarang Tong Thong-san sempat
perhatikan orang ini mengenakan pakaian tipis dari kaci putih. Di punggung mereka menggendong tikar, tangannya menjinjing pentung, semua mengenakan sepatu rumput.
Hawa sedingin ini, tapi orang-orang ini tidak kelihatan kedinginan, padahal kaki tangan mereka sudah merah biru karena hampir beku, raut muka mereka sudah membesi
hijau pucat seperti mayat hidup, kelihatannya seram
menakutkan. Waktu mereka tiba di pinggir bangkai anjing, malah
seorang berjongkok menurunkan gulungan tikar serta
menggulung bangkai anjing di dalamnya serta diikatnya
kencang di ujung tongkatnya, lalu tersipu mengejar kawan-kawannya.
Air muka Toan-cap-ji sudah berubah, tangan kirinya
merogoh ke dalam baju, dia siap menimpukkan golok
pendeknya pula. Namun Tong Thong-san mencegah dengan
kerlingan mata, katanya menekan suara: "Kelihatannya orang-orang ini agak aneh, lebih baik kita cari tahu dulu maksud kedatangan mereka".
Toan-cap-ji tertawa dingin, jengeknya: "Umpama benar mereka aneh, setelah menjadi mayat tentu tak aneh lagi."
meski mulut membantah, namun dia urung turun tangan.
Maka berserulah Tong Thong-san dengan suara rendah:
"Tong Yang!."
Pemuda seragam ketat menyoren pedang di belakangnya
segera mengiakan.
"Sebentar kau maju dan jajal kepandaian mereka, kalau kurang beres, harus segera mundur, jangan lama-lama
melayani mereka".
Bercahaya biji mata Tong Yang, sahutnya: "Tecu
mengerti."
Tampak laki-laki baju putih yang tampil bicara tadi
mengulap tangan, rombongan itu segera berhenti setombak jauhnya. Laki-laki ini bermuka lonjong seperti muka kuda, mukanya penuh berewok, berkulit ungu, ke dua biji matanya sipit panjang, tulang pipinya tinggi, mulutnya besar dan lebar seperti hampir mencapai kupingnya, dan dandanannya tidak beda dengan rombongan lain, tapi sekilas pandang orang sudah tahu bahwa dia adalah pemimpin rombongan ini.
Dengan tatapan tajam Tong Thong-san awasi muka orang,
mendadak bertanya: "Siapa nama besar tuan?"
"Bak Pek.", sahut orang itu.
"Datang dari mana?"
"Dari Ceng-seng"
"Untuk apa kemari?"
"Semoga pertumpahan darah dapat dicegah dan damailah abadi", sahut Bak Pek dingin.
Mendadak Tong Thong-san terloroh-loroh, serunya: "Jadi saudara hendak memisah perkelahian?"
"Begitulah maksud baik kami"
"Memangnya kau mampu dan setimpal jadi pemisah?"
Muka Bak Pek tidak menampilkan perasaan apa-apa,
agaknya dia ogah bicara lagi.
Tong Yang sebaliknya sudah amat gatal, segera ia maju
ke depan, bentaknya bengis: "Mau memisah gampang, kau tanya dulu pedang di tanganku ini mau dipisah tidak?".
"Sreng...", tiba-tiba tangannya terbalik, pedang sudah terlolos dari serangkanya.
Jangan kata meladeni, melirikpun Bak Pek tidak
kepadanya, dari belakangnya tampil seorang anak laki-laki serba putih bertubuh kecil, usia orang ini baru empat lima belas tahun, jadi masih bocah. Keruan Tong Yang mengerut alis, tanyanya: "Kau, setan cilik ini mau apa-apa?"
Muka bocah baju putih dingin kaku tidak berperasaan,
sahutnya tawar: "Mau tanya apakah pedangmu mau dipisah tidak?"
"Kau yang mau tanya?", Tong Yang gusar.
"Kau pakai pedang", ujar bocah baju putih, "kebetulan akupun pakai pedang."
Mendadak Tong Yang terbahak-bahak seperti orang gila,
serunya: "Bagus, biar ku singkirkan kau lebih dulu, bicara belakangan.", di tengah gelak tawanya, tahu-tahu pedangnya
menusuk ke depan laksana ular beracun memagut, yang
diincar ulu hati bocah baju putih.
Bocah baju putih pentang kedua tangannya, dari dalam
pentung pendek, dia mencabut sebilah pedang tipis sempit.
Tampak jelas oleh Tong Yang tusukan pedang dengan tipu Tok-coa-toh-sin (ular beracun menjulurkan lidah) secara telak menusuk ulu hati orang, namun bocah ini tidak berkelit atau menangkis, matanyapun tidak berkesip. "Cras...", pedang di tangan Tong Yang menghujam ke ulu hatinya.
Darah segar muncrat beterbangan, namun saat itu juga
pedang di tangan si bocah baju putih bergerak dengan tipu yang sama. "Bles...", dengan telak menusuk di ulu hati Tong Yang.
Sekonyong-konyong seluruh gerakan berhenti, deru
napasnyapun tertahan. Gebrakan ini berlangsung amat cepat pula. Air muka hadirin berubah hebat, sungguh mereka
tidak percaya akan akhir dari pertempuran ini. Bagai air mancur darah masih bercucuran membasahi salju.
Muka si bocah baju putih tetap kaku dingin tak berubah, namun kedua biji matanya melotot keluar seperti mata ikan mas, menatap ke arah Tong Yang, sorot matanya
melontarkan ejekan menghina dan mencemoohkan.
Sebaliknya kulit muka Tong Yang kelihatan tegang,
berkerut-kerut seperti orang menahan sakit, sorot matanya menampilkan rasa heran, marah dan takut. Sampai ajal dia tidak percaya, dalam dunia ini ada bocah senekad ini, berani mati tanpa berkesip. Lebih tak nyana bahwa kejadian tragis ini justru menimpa dirinya. Sudah tentu matipun dia
penasaran. Keduanya masih beradu pandang, lambat laun sorot mata
kedua orang makin pudar, kosong dan tak bercahaya lagi, lalu keduanya terjungkal roboh.
Seorang laki-laki baju putih muncul dari rombongan
belakang, dia turunkan gulungan tikar, lalu dibungkusnya mayat bocah itu serta diikat dengan tali panjang serta digantung di ujung tongkatnya, pelan-pelan dia balik ke dalam barisannya. Muka orang ini tetap dingin dan kaku seperti temannya yang membereskan bangkai anjing tadi.
ooo)dw(ooo Angin kencang tiba-tiba menghembus datang dari
kejauhan, hawa terasa lebih dingin. Tapi semua laki-laki yang berdiri di belakang Tong Thong-san mencucurkan
keringat dingin, telapak tanganpun basah kuyup.
Bak Pek menatap Tong Thong-san, katanya tawar:
"Apakah tuan sudah mau damai?"
Toan-cap-ji tiba-tiba melompat ke depan, bentaknya
bengis: "Kau tanya dulu golokku......."
Seorang laki-laki baju putih kembali tampil dari belakang Bak Pek, katanya: "Biar aku yang tanya."
"Kaupun menggunakan golok?", tanya Toan-cap-ji.
"Benar", sahut laki-laki baju putih. Begitu tangannya terkembang, dari tongkat pendeknya dia keluarkan sebilah golok.
Baru sekarang Toan-cap-ji sempat perhatikan, tongkat
pendek yang mereka bawa beraneka bentuknya, ada yang
lebar, tipis, ada yang bundar atau gepeng, jelas di dalamnya
menyimpan berbagai senjata yang berlainan. Kalau lawan menggunakan pedang, mereka menghadapi dengan pedang,
demikian pula kalau musuh pakai golok, merekapun gunakan golok.
Toan-cap-ji tertawa dingin, jengeknya: "Baik, kau lihat golokku ini", tubuhnya bergerak setengah lingkar, tahu-tahu Yan-ling-to menyambar dengan suara menderu kencang
membabat ke pundak kiri laki-laki baju putih. Ternyata laki-laki baju putih tidak berkelit tidak menghindar, golok di tangannya berbareng bergerak dengan jurus Li-pik-hoa-san (berdiri membelah gunung Hoa-san), goloknyapun membabat pundak kiri Toan-cap-ji.
Tapi tingkat kepandaian Toan-cap-ji lebih tinggi dari
Tong Yang, kelihatannya jurus serangannya sudah
dilancarkan sepenuhnya, namun laksana kuda berhenti di ambang jurang, badan berputar kaki menggeser sekaligus tajam goloknya ikut berputar balik, dari gerak delapan penjuru yang mengandung serangan golok, mendadak
berubah terbalik memukul genta mas, sinar goloknya yang kemilau laksana bianglala membelah dada laki-laki baju putih. Tak nyana laki-laki baju putihpun laksana
menghentikan kuda di ambang jurang, dari gerakan delapan penjuru mengandung serangan, golok berubah terbalik
memukul genta mas. Walau gerakannya sedikit terlambat, tapi jikalau Toan-cap-ji tidak lekas merubah gerakannya, umpama dia membelah lawannya, jiwa sendiripun takkan
selamat. Kalau laki-laki baju putih tidak hiraukan mati hidupnya, dia justru masih ingin hidup. Waktu melancarkan
serangannya ini, sebelumnya sudah siaga menghadapi segala
perubahan. Mendadak mulutnya bersiul nyaring, kedua
tangan terkembang dan menggetar, badannya melambung ke tengah udara, waktu menukik turun, goloknya membacok
leher laki-laki baju putih dari kiri. Kali ini dia menyerang dari atas, jelas kedudukannya lebih menguntungkan, seluruh badan laki-laki baju putih sudah terkurung di dalam sinar goloknya, bukan saja tak mampu merubah permainan, untuk menyelamatkan diripun tak mungkin lagi. Tapi orang baju putih memang tidak mau berkelit. Di kala golok Toan-cap-ji membabat leher, golok lawanpun menusuk lambung Toan-cap-ji.
Golok tiga kaki itu amblas seluruhnya, tinggal gagangnya yang masih terpegang. Keruan Toan-cap-ji memekik bagai guntur menggelegar, badannya yang kekar meluncur tegak bagai roket yang meninggalkan landasan setinggi dua
tombak. Darah segar muncrat bagaikan hujan lebat,
membasahi sekujur badan laki-laki baju putih. Mukanya
tetap dingin kaku tak berperasaan. Setelah Toan-cap-ji terbanting jatuh dari tengah udara, baru dia ikut terjungkal roboh.
Keruan berubah hebat muka Tong Thong-san, bergegas
dia melompat bangun, bentaknya beringas: "Ilmu silat macam apa itu?".
"Memangnya ini bukan ilmu silat", sahut Bak Pek tawar.
"Lalu terhitung apa?"
"Hanya sebagai peringatan belaka."
"Peringatan?"
"Peringatan ini memberitahu kepada kita, jikalau kau bertekad membunuh orang, orangpun akan membunuhmu"
Sin Su tertawa dingin: "Kukira belum tentu", jengeknya.
Dia tetap menggantol ujung pedangnya dengan jari
kelingking, pelan-pelan dia maju sehingga ujung pedangnya terseret di atas salju, mengeluarkan suara gemerincing.
Raut mukanya yang pucat seperti bercahaya, demikian pula sorot matanya bersinar tajam, katanya dingin: "Jikalau aku ingin membunuh, jangan harap kau bisa membunuhku."
"Kukira belum tentu." seorang laki-laki baju putih lain tampil ke depan. Habis bicara orang itu sudah berada di depan Sin Su, gerak-geriknya lincah dan cekatan.
"Belum tentu"," Sin Su menegas.
"Betapapun ketat dan ganasnya ilmu pedang, pasti dapat dipatahkan."
"Tapi ilmu pedang pembunuh takkan ada orang yang bisa mematahkan."
"Ada semacam orang."
"Orang macam apa"."
"Orang yang tidak takut mati."
"Jadi kau ini orang yang tidak takut mati"."
"Apa senangnya hidup, kenapa harus takut mati"."
"Jadi kau hidup hanya untuk mati"."
"Ya, mungkin demikian."
"Kalau demikian, biarlah ku tamatkan riwayatmu.".
Pedang tiba-tiba keluar dari serangka, dalam sekejap
beruntun menusuk tujuh kali. Deru angin seperti bambu
pecah. Sinar pedang bagaikan kilat. Tampak udara diliputi bintik-bintik kemilau yang bertebaran, sehingga orang sukar membedakan dan menentukan posisi yang akan di arah.
Laki-laki baju putih tidak ingin berdebat, maka dia tidak menghindar, dia berdiri diam di tempatnya tanpa
bergeming, menunggu dengan tenang. Memang dia sudah
siap gugur, perduli dari arah mana pedang lawan menusuk dirinya, dia tidak perduli lagi.
Tujuh kali Sin Su melancarkan tusukan, laki-laki baju
putih bergerakpun tidak, gerak pedang Sin Su amat cepat dan tangkas, sekali menyerang terus ditarik balik, tujuh kali tusukan pedang hanya serangan gertak sambel belaka,
mendadak kaki bergerak di permukaan salju, tahu-tahu
bayangan sudah meluncur ke belakang laki-laki baju putih.
Sebelumnya sudah dia perhitungkan, kedudukan mematikan lawan amat menguntungkan dirinya, jelas betapapun lihay seorang tokoh silat, takkan mungkin turun tangan pada
sudut yang mematikan.
Untuk membunuh lawan, maka sedikit kesempatanpun
pantang memberi peluang kepadanya sehingga diri sendiri yang terbunuh malah. Maka tusukan gertak sambel terakhir menjadi tusukan yang sesungguhnya, sinar pedang laksana kilat menusuk ke punggung laki-laki baju putih.
Terdengar "Cras...." ujung pedang yang tajam itu berbunyi masuk ke dalam kulit daging. Sin Su merasakan ujung pedang amblas menyentuh tulang di badan lawan. Tapi pada saat itu pula, dia melihat tusukan pedangnya tidak
amblas di punggung orang, namun menusuk dada. Karena
pada saat tusukan hampir mengenai sasaran, tiba-tiba laki-laki baju putih membalikkan badan, dengan dadanya dia
sambut tusukan pedang Sin Su.
Takkan ada orang menduga kejadian ini, siapapun takkan mau menggunakan badan sendiri untuk menahan tusukan
pedang. Tapi kenyataan laki-laki baju putih ini pakai badan sendiri sebagai tameng. Keruan berubah muka Sin Su,
sekuatnya dia menarik pedang, sayang ujung pedang terjepit di sela-sela tulang iga lawan dengan kencang. Waktu dia menarik pedangnya, pedang laki-laki baju putih juga sudah menusuk dirinya tanpa bersuara sedikitpun, tak ubahnya seperti seorang gadis yang gemulai lembut menancapkan
sekuntum kembang mekar ke dalam botol, maka pedang itu amblas ke dadanya.
Rasa sakit tidak terasakan lagi olehnya, hanya dadanya tiba-tiba dingin, kejap lain sekujur badan menjadi dingin kaku.
ooo)dw(ooo Bagai kelopak kembang merah berhamburan darah
muncrat dari luka-luka mereka. Berdiri berhadapan, kau pandang aku, aku pandang kau. Laki-laki baju putih tidak mengunjuk perasaan apa-apa, sebaliknya muka Sin Su
berkerut kaget dan ketakutan. Walau ilmu pedangnya jauh-jauh lebih tinggi, meski serangannya jauh lebih lihay dari Tong Yang, namun akhirnya gugur bersama.
Babak ini berakhir begitu saja. Tong Thong-san
berjingkrak berdiri, namun selekasnya dia meloso jatuh duduk pula dengan lemas, selebar mukanya pucat pias. Bukan
dia tidak pernah melihat orang dibunuh, tapi selamanya tak pernah terpikir olehnya, membunuh orang ternyata begini ganas dan mengenaskan, begitu menakutkan. Membunuh dan dibunuh sama-sama keji dan menakutkan.
Bak Pek menatapnya lekat-lekat, katanya dingin: "Jikalau kau ingin membunuh orang, orang lainpun akan membunuhmu pula, pelajaran ini tentu sudah dapat kau insyafi sekarang."
Pelan-pelan Tong Thong-san manggut-manggut, sepatah
katapun tak bicara, karena tiada yang perlu dia katakan.
"Oleh karena itu, kaupun harus mengerti," demikian ujar Bak Pek lebih lanjut, "membunuh dan dibunuh sama-sama menderita."
Tong Thong-san percaya dan mengakui, menghadapi
kenyataan ini terpaksa dia harus percaya.
"Lalu kenapa kamu masih ingin membunuh orang?", tanya Bak Pek.
Terkepal kencang tinju Tong Thong-san, katanya tibatiba: "Aku hanya ingin tahu, kalian bertindak demikian apa maksudnya?"
"Tiada maksud apa-apa!"
"Apakah Lo Toh yang memanggil kalian kemari?"
"Bukan, aku tidak kenal kau, akupun tidak kenal Lo Toh"
"Tapi, kalian tidak segan-segan berkorban bagi mereka"
"Bukan, kami rela gugur demi kepentingannya, kita mau mati, supaya orang lain hidup", dipandangnya mayat-mayat yang bergelimpangan, lalu berkata pula: "Ketiga orang ini memang sudah mati, tapi puluhan jiwa orang lain akan
bertahan hidup lantaran kematian mereka, apalagi
sebetulnya mereka tak perlu mati."
Tong Thong-san menatapnya dengan kaget, katanya: "Apa benar kalian dari Ceng-seng?"
"Kau tidak percaya?"
Tong Thong-san memang tak percaya, dia menduga
orang-orang ini datang dari neraka. Tidaklah pantas dalam dunia fana ini ada manusia seperti mereka.
"Kau sudah terima?"
"Terima apa?"
"Merobah banjir darah menjadi damai tentram."
Mendadak Tong Thong-san menghela napas, katanya:
"Sayang sekali umpama aku mau terima toh tak berguna."
"Kenapa?"
"Karena masih ada seorang lain yang tak mau terima."
"Siapa?"
"Wi-pat-tay-ya."
"Boleh kau suruh dia mencari aku."
"Kemana mencarimu?"
Sorot mata Bak Pek yang dingin terjun ke tempat jauh,
lama sekali baru dia berkata pelan-pelan: "Di dalam kota Tiang-an, kembang Bwe di dalam Leng-hiang-wan, tentu
sekarang sudah mekar........"
ooo)dw(ooo Jikalau hati Wi-pat-tay-ya sedang riang, selalu mengulum senyum, menepuk pundakmu, mengucapkan kata-kata lucu
yang dia anggap jenaka dan menyenangkan. Tapi bila dia sedang marah, diapun berubah seperti orang-orang marah lainnya. Raut mukanya yang bersemu merah bercahaya,
mendadak berubah bengis laksana singa yang kelaparan.
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sorot matanya mencorong buas, berubah sekasar dan seliar singa yang mengamuk setiap waktu, dia bisa mencakar orang yang membuatnya murka, dikoyak dan disayat-sayat hancur lebur, lalu ditelannya bulat-bulat.
Sekarang dia sedang marah.
Tong Thong-san berdiri di depannya dengan mengerut
alis. Orang gagah dari Bu-lim yang menjagoi belahan dunia ini sekarang berdiri tak ubahnya seperti anak kambing
berhadapan dengan harimau, bernapaspun ketakutan.
Biji mata Wi-pat-tay-ya yang beringas merah berdarah
tengah mendelik kepadanya, katanya dengan kertak gigi:
"Katamu bedebah yang dipelihara lonte itu bernama Ban Pek?"
Tong Thong-san mengiakan dengan menunduk.
"Katamu dia datang dari Ceng-seng?"
Kembali Tong Thong-san mengiakan, suaranya lirih.
"Kecuali itu, kau tidak tahu apa-apa?"
Semakin rendah kepala Tong Thong-san, kembali dia
mengiakan. Wi-pat-tay-ya menggerung seperti singa murka,
dampratnya: "Bedebah yang dipelihara lonte itu membunuh
dua muridku, namun asal-usulnya saja kau tidak
mengetahuinya, masih ada muka kau kemari menemui aku,
kenapa tidak kau mampus saja!"
Mendadak dia melompat berdiri dari kursi menerjang
maju, sekali raih dia renggut baju di depan Tong Thong-san, sekali tarik pula pakaiannya dia robek menjadi dua. Di susul telapak tangannya melayang pulang pergi, dia tampar muka Tong Thong-san bolak-balik tujuh delapan belas kali. Darah sudah meleleh dari ujung mulut Tong Thong-san, tapi
kelihatannya dia tidak merasa sakit, juga tidak merasa marah atau penasaran, sebaliknya mengunjuk mimik senang dan tentram lega. Karena dia tahu bila Wi-pat-tay-ya
menghajarnya dengan kejam, memakinya semakin garang, itu pertanda bahwa orang menganggapnya sebagai orang
sendiri, dan itu berarti pula bahwa jiwanya dipungut
kembali. Sebaliknya bila sikap Wi-pat-tay-ya sopan santun dan lemah lembut kepadamu, jangan harap jiwamu dapat
bertahan hari ini.
Setelah tamparan pulang-pergi, Wi-pat-tay-ya masih
menambahkan sekali tendang lagi pada perutnya, sehingga dia menungging kesakitan, namun Tong Thong-san sedikitpun tidak mengeluh atau berani banyak tingkah, padahal darah bercucuran dari mulut dan hidungnya, keringat dingin
gemerobyos membuatnya tele-tele.
Akhirnya Wi-pat-tay-ya menghela napas, serunya murka
sambil mendelik: "Tahukah kau, Siau-su-cu (maksudnya Sin Su) dan lain-lain kuperintahkan untuk bantu kau membunuh orang?"
"Aku tahu", tersipu-sipu Tong Thong-san menjawab.
"Kini mereka justru terbunuh orang, dan kau masih segar bugar berlompatan kehadapanku. Kau ini terhitung barang apa?"
"Aku ke sini bukan barang, tapi aku harus kembali ke sini."
"Kau bedebah, kau berani kembali" Memangnya kau tidak bisa mencawat ekor lari ke tempat jauh, supaya aku orang tua tidak marah melihat congormu?"
"Aku juga tahu kau orang tua pasti marah, oleh karena itu terserah kau orang tua, mau hajar atau mau bunuh, aku tidak akan banyak komentar, tapi jikalau aku harus
mengkhianati kau orang tua atau melarikan diri, matipun aku tidak sudi."
Lama Wi-pat-tay-ya mendelik, mendadak tertawa
terbahak-bahak, serunya: "Bagus, punya pambek!.", lalu diulur kedua tangannya memeluk pundak Tong Thong-san,
katanya lantang: "Coba kalian lihat, inilah putraku yang sejati, kalian harus belajar dan meniru padanya, memangnya kenapa harus takut berbuat salah" Memangnya nenek-moyang siapa yang tidak pernah berbuat salah selama
hidupnya, sampai aku Wi Thian-bing juga pernah berbuat salah, apalagi orang lain."
Begitu dia tertawa, perasaan tertekan puluhan orang
yang hadir dalam ruang pendopo itu menjadi lega dan
longgar. Berkata Wi Thian-bing: "Diantara kalin siapa yang tahu barang apa sebenarnya bedebah yang bernama Ban Pek
itu?". Jelas ucapannya ditujukan kepada seluruh hadirin, namun sorot matanya hanya menatap ke muka seorang saja.
Orang ini bermuka putih, dua jalur jenggot kambing
menghias dagunya, kelihatannya sopan santun, lemah lembut dan ramah tamah pula. Orang yang tidak mengenalnya,
takkan tahu bahwa pemuda pelajar ini ternyata adalah
tokoh penting yang paling lihay di antara sekian banyak murid-murid Wi-pat-tay-ya, golongan hitam atau aliran
putih ketakutan bila mendengar nama julukannya Thi-cui-cu Han Tin.
Pemuda pelajar ini memang mirip Thi-cui-cu (bor besi), betapapun keras kerangka milikmu, dia tetap bisa
mengebormu sampai bolong. Tapi selintas pandang orang
akan mengira dia seorang supel, suka bersahabat dan
bersikap lembut, wajahnya selalu dihiasi senyum manis yang tentram damai, namun bicarapun kalem dan tenang serta
mantap. Setelah pasti tiada orang lain yang menjawab pertanyaan ini, baru dia bersuara pelan-pelan: "Beberapa tahun yang lalu, terdapat satu keluarga she Bak. Karena menghindari bencana, maka mereka lari dan menyembunyikan diri ke
Ceng-seng-san. Bak Pek adalah salah satu anggota keluarga she Bak itu."
Wi Thian-bing tertawa pula, matanya mengerling ke
empat penjuru, katanya tertawa gelak-gelak: "Memangnya sering kukatakan, kejadian dalam dunia ini tiada yang tidak diketahui bocah ini."
Han Tin tersenyum, ujarnya: "Tapi aku tidak tahu di tempat mana mereka menyembunyikan diri di Ceng-seng-san itu, selama beberapa tahun ini, belum pernah ada orang yang menemukan tempat persembunyian mereka, namun setiap
tiga atau lima tahun, mereka pasti keluar sekali
berombongan."
"Untuk apa mereka keluar?", tanya Wi Thian-bing.
"Mencampuri urusan orang lain.", sahut Han Tin.
Seketika Wi Thian-bing menarik muka, selamanya dia
paling benci pada orang yang suka usil mencampuri urusan orang lain.
"Mereka dipaksa mencampuri urusan orang lain,"
demikian Han Tin melanjutkan uraiannya. "Karena mereka mengagulkan sebagai keturunan Bak Ti. Anak murid keluarga Bak turun temurun tidak diperbolehkan menjadi pertapa
yang mengasingkan diri hanya mengurus diri sendiri belaka."
Berkerut alis Wi Thian-bing, katanya: "Barang apa pula Bak Ti itu?"
"Bak Ti bukan barang, diapun seorang manusia," sahut Han Tin tawar.
Wi Thian-bing malah tertawa mendengar penjelasan itu,
seperti kebanyakan orang yang dipanggil tay-ya (tuan
besar), ada kalanya diapun senang bila ada orang mendebat dan membantah omongannya.
Han Tin berkata lebih lanjut: "Bak Ti adalah Bak Cu, keluarga Bak memangnya sering mempersulit generasi
mendatang, sampaipun jiwa seseorang takkan gentar
menghadapi kobaran api atau lautan golok, oleh karena itu keturunan keluarga Bak dilarang menjadi orang pengasingan, tapi mereka diharuskan menjadi Gi-su (manusia berani
mati)." Han Tin tertawa, sahutnya: "Gi-su ada terbagi beberapa macam. Ada semacam Gi-su, apa yang dilakukan kelihatan gagah perwira, tapi Bak Pek bergerak secara sembunyi-sembunyi, agaknya dia mempunyai maksud tertentu."
"Jadi, kau golongkan Bak Pek pada Gi-su macam ini?"
"Kelihatannya begitu."
"Gi-su semacam ini gampang dihadapi."
"Dihadapi bagaimana?"
"Bunuh satu kurang satu."
"Mereka tak boleh dibunuh"
"Kenapa tidak boleh dibunuh?"
"Seperti Kuncu (sosiawan), peduli Gi-su itu tulen atau palsu, dia tak boleh dibunuh."
Wi Thian-bing tertawa tergelak-gelak, katanya: "Benar, jikalau kau membunuh mereka, pasti ada orang mengatakan kau ini seorang yang tak berbudi, tidak kenal cinta kasih dan tidak tahu diri."
"Oleh karena itu mereka tidak boleh dibunuh."
"Memang tidak boleh, siapa bilang hendak membunuh mereka, biar kubunuh dia lebih dulu."
"Apa lagi bukan kerja gampang untuk memberantas
mereka" "Memang bedebah itu boleh juga"
"Sosok dari orang-orang itu mungkin tidak menakutkan, yang harus ditakuti adalah jago-jago berani mati yang
dipimpinnya itu."
"Jago-jago berani mati" Apa maksudnya?", tanya Wi Thian-bing tidak mengerti.
"Maksudnya bahwa orang-orang itu setiap waktu siap berkorban demi kepentingannya."
"Memangnya mereka tidak ingin hidup?"
"Orang yang tidak pikirkan mati hidup sendiri justru merupakan musuh yang paling menakutkan. Ilmu silat yang berani mati adalah ilmu silat yang paling menakutkan pula."
Wi Thian-bing diam saja, dia menunggu penjelasan lebih lanjut.
"Karena sekali tabas kau membunuhnya, diapun akan membunuhmu dengan sekali tabasan pula."
Agaknya Wi Thian-bing kurang puas akan penjelasan ini, alisnya berkerut.
Lekas Han Tin menambahkan: "Walau kau lebih cepat turun tangan dari dia, tapi dikala kau membunuhnya, dia masih sempat membalas membunuhmu, karena begitu
golokmu membacok, hakikatnya dia tidak berkelit, juga
tidak berusaha menghindar, oleh karena itu pada saat
golokmu membacok badannya, dia masih punya waktu untuk membunuhmu."
Tiba-tiba Wi Thian-bing maju mendekat, dengan keras
dia tepuk pundak orang, katanya: "Uraian bagus! Uraian masuk di akal."
Han Tin mengawasinya saja tanpa bersuara, sekilas
pandang, dia sudah mengerti maksudnya.
Kalau bukan musuh yang harus diberantas, maka dia
termasuk kawan sendiri, harus dirangkul. Ini bukan saja merupakan prinsip bagi Wi Thian-bing, sejak jaman dahulu kala, seluruh keluarga besar atau pentolan Bu-lim berkuasa mempunyai prinsip yang seperti ini. Bagi orang-orang
seperti mereka, prinsip ini jelas jitu dan tak terkalahkan.
"Tong Lotoa pernah bilang," Han Tin berkata lebih lanjut,
"mereka hendak pergi ke kota Tiang-an."
Wi Thian-bing manggut-manggut, katanya: "Kabarnya Leng-hiang-wan adalah sebuah tempat bagus, sejak lama aku sudah ingin berkunjung ke sana."
"Leng-hiang-wan merupakan sebidang tanah luas
beberapa hektar, di dalam taman tertanam laksaan pucuk kembang Bwe, sekarang sedang musimnya kembang Bwe
mekar, karena itu...... '
"Oleh karena itu bagaimana?", Wi Thian-bing menegas.
"Kalau Bak Pek bisa berada di sana, kenapa kita tidak bisa ke sana pula?"
"Sudah tentu kita harus ke sana."
"Kalau mau ke sana, lebih baik seluruh tempat itu kita sewa dan monopoli sendiri."
"Akal bagus."
"Begitu Bak Pek ke sana, kita mengundangnya secara sopan, biar dia saksikan orang macam apa sebenarnya Wipat-tay-ya, jikalau dia bukan orang pikun, selanjutnya tentu takkan berani bertingkah di hadapan kita."
"Apakah dia orang pikun?"
"Tentunya bukan....."
Wi Thian-bing tepuk tangan sambil tertawa gelak-gelak, serunya: "Bagus, akal bagus."
ooo)dw(ooo Tong Thong-san bersama Han Tin beranjak di serambi
panjang yang sunyi sepi itu, memangnya sudah lama mereka sebagai teman kental, namun sudah beberapa tahun ini tak pernah bertemu lagi karena kesibukan tugas masing-masing.
Tiba-tiba Tong Thong-san menghentikan langkahnya,
katanya sambil menatap Han Tin: "Ada sebuah hal aku selalu merasa heran."
"Soal apa"," tanya Han Tin.
"Kenapa setiap patah kata yang kau ucapkan Lo-ya-cu selalu anggap akal bagus?"
Han Tin tertawa, ujarnya: "Karena hal itu merupakan maksud tujuannya pula. Aku hanya mewakilkan dia
mengemukakan di hadapan umum saja."
"Kalau benar memang maksudnya sendiri, kenapa harus kau yang mengutarakan?"
"Sudah berapa lama kau bekerja bagi Lo-ya-cu?"
"Sudah puluhan tahun."
"Menurut pendapatmu, orang macam apa dia
sebenarnya?"
Tong Thong-san ragu-ragu, akhirnya balas bertanya:
"Menurut pendapatmu sendiri?"
"Kukira kau tentu anggap dia seorang kasar, ceroboh, ugal-ugalan, seorang yang selamanya tidak pernah
menggunakan otak."
"Memangnya dia bukan manusia seperti yang kau
lukiskan?", tanya Tong Thong-san.
"Dulu sewaktu Tiong-goan-pat-kiat menjagoi dunia, semua orang beranggapan Lau-sam adalah orang yang paling cerdik pandai, Li jit-ya adalah orang yang paling lihay, dan Wi pat-ya adalah orang yang paling gegabah dan sembrono."
"Pernah juga kudengar cerita ini."
Han Tin tertawa, katanya: "Tapi Lau-sam yang paling cerdik pandai dan Li jit-ya yang paling lihay sudah
almarhum, justru Wi pat-ya yang berangasan masih hidup segar bugar."
Tiba-tiba Tong Thong-san tertawa, mendadak dia
mengerti kemana juntrungan kata-kata Han Tin.
Hanya seorang yang pandai berpura-pura sembrono,
berangasan dan gegabah saja, justru merupakan orang yang paling cerdik dan lihay.
Tiba-tiba Tong Thong-san menghela napas, katanya:
"Sayangnya pura-pura gegabah juga bukan suatu hal yang gampang dilakukan."
"Memangnya sulit, kecuali kau seorang pemain sandiwara yang ulung."
"Agaknya kau justru tak pandai berpura-pura dan
bermuka-muka."
"Umpama sekarang aku benar-benar berpura-pura bodoh, aku tetap bisa melakukannya."
"Kenapa...?"
"Karena seorang gegabah selalu didampingi seorang cerdik pandai, peranan yang kulakukan sekarang adalah
tokoh cerdik, pandai dan lihay itu."
"Oleh karena itu, setiap patah kata yang kau ucapkan, Lo-ya-cu selalu anggap akal bagus."
"Oleh karena itu, yang dibenci orang tetap adalah kau pula, bukan Lo-ya-cu."
Han Tin manggut-manggut, ujarnya: "Oleh karena itu sekarang kau harus sadar, kenapa seorang cerdik pandai biasanya lebih cepat mati."
Tong Thong-san tiba-tiba tertawa, katanya: "Tapi masih ada semacam orang yang mati lebih cepat dari orang-orang cerdik dan lihay."
"Orang macam apa?"
"Orang-orang yang melawan Lo-ya-cu."
Han Tin tertawa, ujarnya: "Oleh karena itu aku selalu bersimpati kepada orang-orang seperti itu, untuk
mempertahankan hidup memangnya suatu hal yang teramat
sulit bagi mereka."
ooo)dw(ooo Pang Lak tengah melintasi gang kecil sempit yang
dipenuhi tumpukan salju, dari kejauhan sudah kelihatan kembang-kembang Bwe yang sedang mekar semarak di
dalam Leng-hiang-wan.
"Pergi kau ke Tiang-an, borong seluruh Leng-hiang-wan, tamu-tamu yang semula sudah menetap di sana usir semua, peduli mati atau hidup, semua harus keluar dari sana."
Itulah perintah Wi pat-ya, perintah yang paling khas dari Wi pat-ya.
Bila kau di utus melaksanakan tugas, maka kau harus
menunaikan tugas itu dengan baik dan sukses, tak boleh gagal. Cara apa dan bagaimana kau bekerja boleh kau
halalkan, dia tidak peduli kesulitan apa yang kau hadapi dalam menyelesaikan tugasmu, dia lebih tak mau ambil tahu.
Seluruh kesulitan harus kau atasi sendiri, jikalau kau tak kuat mengatasinya, maka kau tidak setimpal menjadi murid Wi pat-ya.
Sekarang Pang Lak sedang menunaikan tugas yang
dibebankan pada dirinya. Biasanya dia seorang yang paling teliti dan cermat di dalam menjalankan tugas apapun.
Setelah keluar dari gang sempit ini, tibalah dia di muka pintu kamar salah satu dari Leng-hiang-wan. Pengurus yang piket biasanya berada di dalam kamar ini, diam-diam dia berdoa semoga pengurus yang piket sekarang adalah
seorang pandai yang tahu diri dan bisa melihat gelagat.
Semua cerdik pandai tahu bahwa perintah atau permintaan Wi pat-ya tidak boleh di tolak.
ooo)dw(ooo Orang yang piket dalam Leng-hiang-wan hari ini adalah
seorang laki-laki berusia tiga puluhan lebih, agaknya
memang tidak begitu pintar, namun jelas tidak bodoh.
"Cayhe Nyo Kan, terserah Kongcu hendak menikmati
kembang atau mau minum arak, atau ingin dolan beberapa hari di sini, silahkan memberi perintah saja." demikian pengurus yang piket memperkenalkan diri serta menyambut kedatangan Pang Lak.
Jawaban Pang Lak pendek, tegas dan langsung: "Kita akan borong seluruh taman ini"
Nyo Kan melengak, merasa amat di luar dugaan, namun
dia tetap tersenyum, katanya: "Di sini seluruhnya ada dua puluh satu pekarangan, empat belas bangunan gedung
berloteng, tujuh aula, dua puluh delapan kamar kembang, dua ratusan kamar tamu, apa Kongcu ingin memborongnya
semua?" "Begitulah maksudku." ujar Pang Lak.
Sekilas Nyo Kan termenung dan bimbang, katanya:
"Berapa banyak orang yang hendak di undang Kongcu?"
"Umpama seorang yang ku undang, tetap akan kuborong seluruhnya."
Seketika Nyo Kan unjuk rasa tidak senang, katanya
dengan sikap menjadi dingin: "Itu tergantung orang macam apa yang hendak berkunjung kemari."
"Yang akan datang adalah Wi pat-ya."
Tersirap jantung Nyo Kan, serunya: "Wi pat-ya, Wi-pat-tay-ya dari Po-ting-hu?"
Pang Lak manggut-manggut, hatinya amat puas dan
bangga, betapapun ketenarannya dan kebesaran nama Wi
pat-ya cukup menggetarkan nyali orang, tak sedikit orang yang mengenalnya.
Mengawasinya, tiba-tiba sorot mata Nyo Kan mengunjuk
senyuman yang licik dan licin, katanya: "Perintah Wi pat-ya sebetulnya Cayhe tidak berani membangkang,
hanya.......barusan datang juga seorang tamu yang berkata hendak memborong seluruh taman ini, malah dia berani
membayar tarip tinggi seribu tahil perak seharinya. Cayhe belum berani menerimanya, sekarang jikalau aku menerima permintaan Kongcu, cara bagaimana aku harus memberi
pertanggungan jawab kepada orang itu?"
Berkerut alis Pang lak, tanyanya: "Dimana sekarang orang itu?"
Nyo Kan tidak menjawab dengan mulut, namun sorot
matanya lewat pundaknya tertuju ke arah jauh di
belakangnya. Waktu Pang Lak putar badan, maka dilihatnya seraut wajah yang hijau bersemu putih, seraut wajah yang tidak menunjukkan sedikit perasaanpun.
Seseorang tengah berdiri di belakangnya memojok di
kamar sana, badannya mengenakan pakaian serba putih yang terbuat dari kaci tipis, di punggungnya menggendong
segulung tikar, tangannya memegang tongkat pendek.
Waktu Pang Lak masuk tadi tidak melihat orang ini, kini orang inipun seperti tidak melihat kehadirannya, sepasang biji matanya yang dingin bening sedikitpun tidak
menampilkan perasaan apa-apa, seolah-olah menatap ke
tempat nan jauh.
Seolah-olah semua manusia, segala urusan dalam dunia
ini, tiada satupun yang terpandang dalam matanya, yang diperhatikan agaknya hanya udara kosong di tempat nan
jauh dan tidak menentu itu, hanya di sana baru dia benar-benar berhasil mendapatkan suatu tempat yang tenang dan tentram.
Hanya sekilas Pang Lak melihatnya, terus putar badan
lagi. Dia sudah tahu siapa laki-laki jubah putih ini, maka dia tidak perlu mengawasinya secermat mungkin, diapun tidak ingin bicara sama dia.
Sorot mata Nyo Kan masih memancarkan tawa hina dan
mencemooh. Tiba-tiba Pang Lak berkata: "Kau sedang berdagang, bukan?"
"Memangnya Cayhe berdagang." sahut Nyo Kan.
"Lalu apa tujuan orang berdagang"."
"Tentunya mencari untung."
"Baik, aku berani membayar seribu lima ratus tahil perak sehari, disamping kuberi seribu tahil untuk persenmu
sendiri.", demikian Pang Lak main diplomasi. Dia tahu bicara dengan seorang pedagang jauh lebih gampang daripada
seorang yang tidak perdulikan mati hidup jiwanya sendiri.
Selama bertahun-tahun bekerja bagi Wi-pat-ya, dia sudah berpengalaman untuk cara bagaimana memberi keputusan
dan memilih jalan yang terbaik dalam menempuh keberanian kerjanya.
Nyo Kan ternyata ketarik dan mulai bimbang. Tiba-tiba
terdengar laki-laki jubah putih bersuara: "Akupun menawar seribu lima ratus tahil ditambah ini."
Terasa oleh Pang Lak dari belakang ada sejalur angin
menyambar seperti tabasan golok dingin, tak tahan dia
berpaling ke belakang. Ternyata laki-laki jubah putih sudah melolos sebilah golok pendek dari tongkatnya, sekali
gerakan membalik tahu-tahu golok pendek itu mengiris
sekerat daging di pahanya sendiri. Pelan-pelan dia taruh kulit daging hasil irisannya itu di atas meja. Darah
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bercucuran, namun air mukanya tetap dingin beku, agaknya sedikitpun tidak merasa sakit.
Pang Lak mengawasinya, terasa ujung matanya bergidik.
Lama sekali baru dia berkata dengan kalem: "Tarip setinggi ini akupun mampu membayarnya."
Sekilas sinar mata dingin laki-laki jubah putih mengerling kepadanya, lalu memandang canang ke depan nan jauh.
Pelan-pelan Pang Lak keluarkan sebilah pisau, diapun
mengiris sekerat daging di pahanya sendiri. Dia mengiris pelan-pelan, amat hati-hati dan teliti. Perduli apapun yang dia kerjakan, biasanya memang teliti dan seksama.
Bahwa kulit daging sendiri diiris tentunya sakit bukan buatan, namun perintah Wi-pat-ya jikalau tidak terlaksana, maka siksaan yang dia alami jauh lebih menderita. Agaknya putusan dan jalan yang dia tempuh memang tepat atau
mungkin memang dia tiada kesempatan atau tiada peluang main pilih segala.
Dua kerat daging paha yang berlepotan darah ditaruh di atas meja. Jantung Nyo Kan sudah berdegup, seluruh badan merasa lemas.
Sekilas laki-laki jubah putih melirik kepada Pang Lak, tiba-tiba golok pendeknya berkelebat, tahu-tahu dia tabas sebuah kupingnya sendiri.
Terasa oleh Pang Lak lengannya sendiri sudah kaku dan
gemetar. Dia pernah memotong kuping orang, waktu itu dia merasa senang dan terhibur meski dia tahu caranya itu agak keji, tapi memotong kuping sendiri merupakan suatu hal yang lain.
Sebetulnya dia bisa main pisaunya untuk bunuh laki-laki jubah putih ini, namun peringatan Han Tin selalu terngiang di dalam benaknya. 'Walau kau turun tangan cepat, namun di kalau kau berhasil membunuhnya, diapun masih sempat
membalas membunuhmu.' Setiap orang yang cermat dan
hati-hati selalu sayang pada jiwa raganya sendiri dan Pang Lak adalah orang yang paling teliti. Pelan-pelan dia angkat kepalanya, lalu dipotongnya sebelah kupingnya, gerak-geriknya pelan-pelan dan hati-hati.
Pundak laki-laki jubah putih sudah berlepotan darah,
sorot matanya yang semula kosong tak berperasaan, kini tiba-tiba menampilkan rasa senang nan buas, seolah-olah dia sendiri yang memotong kuping Pang Lak ini.
Dua kuping yang terpotong terletak di atas tanah. Nyo
Kan sudah tak kuasa berdiri lagi.
Mengawasi darah segar yang bertetesan dari kuping Pang Lak, laki-laki jubah putih berkata dingin: "Apakah kau masih berani menawar setinggi ini?", mendadak dia ayunkan golok pendeknya pula, membacok pergelangan tangan kirinya. Hati Pang Lak serasa ikut terayun mengikuti samberan golok
orang. Pada saat itu mendadak terasa angin menghembus lalu,
hembusan angin yang membawa serangkum bau wangi aneh.
Disusul ujung matanya lantas melihat bayangan seorang.
Seorang perempuan. Terkesima mata Pang Lak, belum
pernah dia melihat perempuan secantik ini selama hidupnya.
Bayangan orang melayang tiba, seolah-olah dibawa
hembusan angin lalu.
Waktu laki-laki jubah putih melihat gadis ini, tahu-tahu dia merasa sikut tangan kanannya yang memegang golok
tersanggah oleh lengan orang. Orang tengah tersenyum
manis kepadanya, tawa nan hangat dan genit, demikian pula suaranya merdu dan manis mesra.
"Golok membacok daging orang rasanya sakit sekali."
"Ini bukan kulit dagingmu," jengek laki-laki jubah putih.
Gadis cantik itu berkata lembut: "Walau bukan badanku sendiri, hatikupun ikut sakit!". Jari-jarinya nan runcing halus tiba-tiba mengebas seperti seorang kekasih yang
memetik sekuntum kembang dari vas kembang. Sekonyongkonyong laki-laki jubah putih merasa golok di tangannya sudah berpindah ke tangan orang. Golok cepat yang terbikin dari baja murni, tipis dan tajam luar biasa.
Jari-jarinya begitu runcing dan lembut, hanya sekali
potes dan telikung seperti gadis ayu memetik kembang,
terdengar "Pletak...!", golok cepat tipis terbuat dari baja murni itu tahu-tahu sudah dia tekan putus dengan enteng.
"Apalagi tempat ini sudah kuborong seluruhnya, buat apa kalian masih bersitegang di sini?" demikian katanya lebih lanjut.
Sembari bicara tahu-tahu potongan ujung golok yang
terbuat dari baja murni itu dia jepit dengan dua jari terus diangsurkan ke mulutnya, pelan-pelan dikunyah terus
ditelannya mentah-mentah. Maka tampak wajahnya nan
cantik seketika menampilkan rasa senang dan puas, seolah-olah baru saja dia mengulum dan menikmati sebutir gula-gula yang enak sekali.
Pang Lak melenggong. Hampir dia tidak berani akan
penglihatan matanya sendiri, sampaipun sorot mata laki-laki jubah putihpun menyorotkan rasa kaget dan ketakutan.
Mana mungkin dalam dunia ini terjadi peristiwa seaneh ini, ilmu silat atau Lweekang yang menakutkan" Memangnya dia tidak takut, besi baja yang tajam itu mengkoyak isi
perutnya".
Kembali gadis ayu itu memotes sekeping golok baja itu
serta dimasukkan ke mulut pula terus ditelan, katanya
perlahan sambil menghela napas: "Golokmu ini memang bagus, bukan saja terbuat dari baja murni yang berkwalitet tinggi, gemblengannya cukup matang, jauh lebih enak dan lezat dari golok yang kumakan kemarin."
"Setiap hari kau makan golok?", tak tahan Pang lak bertanya.
"Makanku tidak banyak, setiap hari hanya tiga batang, ketahuilah pedang dan golok mirip pula ikan dan daging, kalau terlalu banyak kau makan, perutmu bisa mules dan mangsur-mangsur."
Pang Lak mengawasinya dengan mendelong, jarang dia
bersikap linglung di hadapan gadis secantik ini, namun
sekarang agaknya tidak kuasa menguasai perasaannya
sendiri. Gadis cantik itu belum mengawasi dirinya, katanya pula:
"Sebaliknya pisau di tanganmu itu rasanya tentu tidak enak lagi."
"Kenapa?", tanya Pang Lak.
Gadis itu tertawa cekikikan, katanya tawar: "Dengan pisau itu sudah terlalu banyak orang yang kau bunuh, bau anyirnya darah sudah terlalu tebal."
Sekilas laki-laki baju putih melirik kepada si gadis, tiba-tiba dia putar badan lalu melangkah pergi dengan cepat. Dia tidak takut mati, namun jikalau suruh dia memotong golok baja dan menelannya bulat-bulat, jelas dia takkan mampu melakukannya. Takkan ada dalam dunia ini yang bisa
melakukannya, bahwasanya kejadian ini memang luar biasa.
Kembali gadis itu tertawa, katanya: "Agaknya dia tidak ingin rebutan dengan aku, lalu kau....?"
Pang Lak tak bersuara, hakekatnya dia tidak bisa
berbicara lagi.
"Seorang laki-laki sejati, perduli apapun yang dia perebutkan dengan perempuan, umpama akhirnya menang,
juga tidak boleh dibanggakan, coba katakan benar tidak?"
Akhirnya Pang Lak menghela napas, katanya: "Harap tanya siapakah nama besar nona yang harum, supaya Cayhe kembali bisa membuat laporan."
Gadis itu menghela napas, katanya: "Akupun hanya
seorang suruhan, tiada gunanya kau tanya namaku."
Gadis secantik bak bidadari ini, berkepandaian silat
tinggi lagi, kiranya hanyalah budak atau pelayan orang.
Memangnya orang macam apa pula majikannya".
"Boleh kau kembali dan beritahu kepada Wi-pat-ya, katakan bahwa tempat ini sudah diborong seluruhnya oleh Lam-hay-nio-cu. Jikalau dia orang tua ada waktu, boleh silahkan kemari untuk bermain beberapa hari."
"Lam-hay-nio-cu.", mulut Pang Lak mendesis.
Gadis ayu itu manggut-manggut, katanya: "Lam-hay-nio-cu adalah majikanku, pulanglah dan laporkan kepada Wi-pat-ya, dia pasti tahu."
ooo)dw(ooo Di kala Wi-pat-ya marah dan senang bagaikan langit dan bumi perbedaannya dan ini sudah terlalu sering disaksikan oleh banyak orang. Namun selama ini belum pernah mereka melihat Wi-pat-ya sedemikian tegang, begitu keheranan dan kuatir, sampai kulit mukanya yang selalu bercahaya itu berubah membesi hijau.
"Lam-hay-nio-cu. Apakah benar dia belum mati?" kedua jari-jarinya terkepal, suaranyapun mengandung rasa heran dan tegang, malah seolah-olah mengandung rasa ketakutan dan ngeri.
Tiada orang yang berani berisik meski hanya helaan
napas panjang. Tiada yang menduga bahwa masih ada
seseorang dalam dunia ini yang masih mampu membuat Wipat-ya takut dan bersitegang leher begitu rupa.
Melotot biji mata Wi Thian-bing, serunya: "Apakah kalian tahu orang macam apa sebenarnya Lam-hay-nio-cu itu"."
Pertanyaan ditujukan kepada seluruh hadirin, namun
matanya dengan tajam menatap Han Tin. Tapi kali ini Han Tin diam saja tak kuasa menjawab. Keruan Wi Thian-bing gusar serta menghampirinya dan merenggut bajunya,
bentaknya beringas: "Lam-hay-nio-cu pun tidak kau ketahui"
Memangnya apa pula yang kau ketahui"."
Muka Han Tin tiba-tiba berubah tidak menunjukkan
perasaan seperti muka orang-orang jubah putih itu,
sepasang matanyapun seperti memandang ke tempat jauh.
Lama Wi Thian-bing menatapnya lekat-lekat, rasa
gusarnya pelan-pelan mereda, jari-jarinya yang merenggut baju orang mulai mengendor dan lepas. Mendadak dia
menghela napas panjang, katanya: "Memang tak bisa salahkan kau, usiamu masih amat muda, di kala Lam-hay-nio-cu hidup digdaya malang melintang di dunia ini, mungkin kau belum dilahirkan." tiba-tiba dia membusungkan dadanya pula, suaranya lebih keras: "Tapi aku justru pernah melihatnya. Dalam kolong langit ini, yang pernah melihat wajah aslinya mungkin kecuali aku Wi Thian-bing, pasti takkan ada orang kedua." kulit mukanya kembali merah bercahaya, bisa melihat wajah asli Lam-hay-nio-cu seolah-olah merupakan kebanggaan terbesar selama hidupnya.
Dalam hati semua hadirin tengah bertanya-tanya:
"Siapakah sebenarnya Lam-hay-nio-cu" Bagaimana pula tampang mukanya?". Sudah tentu tiada orang yang berani mengutarakan hal ini, di hadapan Wi-pat-ya semua orang hanya boleh menjawab, dilarang mengajukan pertanyaan,
Wi-pat-ya tidak suka berhadapan dengan orang ceriwis.
Tiba-tiba Wi Thian-bing berkata pula lebih keras: "Lam-hay-nio-cu adalah Jian-bin-koan-im (Koan-im seribu muka), itu berarti dia punya seribu tangan, seribu pasang mata dan punya seribu muka." Mendadak dia bertanya kepada Pang Lak: "Perempuan yang kau temui itu bagaimana pula tampangnya?"
"Gadis itu kelihatannya cukup lumayan."
"Cukup lumayan atau teramat cantik?"
"Ya, cantik sekali." Sahut Pang Lak tertunduk.
"Berapa usianya menurut taksiranmu?"
Semakin rendah kepala Pang Lak, dia mendadak
menyadari bahwa dirinya ternyata tidak dapat menaksir
berapa usia gadis itu sebenarnya. Waktu pertama kali dia melihatnya, terasa meski gadis itu masih muda belia, tapi sedikitpun sudah berusia enam likuran. Tapi belakangan setelah berhadapan langsung dan bicara, terasa pula orang adalah nona cilik seusia empat lima belasan. Tapi waktu dia menegasi dua kali pandang pula, dilihatnya di ujung mata orang seperti sudah berkeriput, jadi usianya sekitar tiga puluhan lebih!. Kini setelah dipikir dan dibayangkan, dengan kepandaian memutus golok dan menelan golok tajam itu,
jikalau membekal latihan Lweekang selama empat lima
puluhan tahun secara tekun dan giat, masakah dia memiliki kekebalan ilmu yang begitu tinggi".
Wi Thian-bing berkata: "Kau tidak bisa menaksir berapa usianya?"
Dari menunduk Pang Lak membungkuk badan malah,
mulutnya terkancing.
Mendadak Wi Thian-bing tepuk tangan, serunya: "Gadis itu sendiri mustahil adalah Jian-bin-koan-im."
Tak tahan Pang Lak bersuara: "Jikalau sudah ada tiga empat puluhan tahun dia mengasingkan diri, bukankah
sekarang dia sudah patut menjadi nenek renta?".
Wi Thian-bing tertawa dingin, katanya: "Waktu dia berusia tujuh belasan, pernah ada orang menganggapnya
seorang nenek tua, dua tiga puluh tahun kemudian, ada
orang mengatakan dia seorang nona mungil yang lincah
malah." (Bersambung ke Jilid-2)
Jilid: 2 Pang Lak terkesima, sungguh dia tidak habis mengerti.
"Orang ini bisa merobah dirinya dalam berbagai rupa dan bentuk, siapapun di antara orang-orang yang pernah kau lihat, bukan mustahil adalah samarannya. Konon pernah
suatu ketika, Po-hoat Taysu dari Siauw-lim-pay berkhotbah di puncak Thay-san, di antara pendengar khotbah itu ada beberapa adalah teman tua Po-hoat Taysu sendiri, dua hari dua malam, kemudian setelah khotbah itu berakhir,
mendadak datang pula seorang Po-hoat Taysu yang lain,
maka banyak orang baru sadar bahwa Po-hoat Taysu yang
memberi khotbah terdahulu ternyata adalah samaran Lamhay-nio-cu."
Peristiwa ini laksana dongeng belaka, hampir tiada yang mau percaya, namun semua pendengar toh sudah tahu juga bahwa Wi-pat-ya selamanya tidak pernah bohong.
"Siapapun bila dia pernah melihat wajah asli dari Lam-hay-nio-cu, maka dia pasti menemui ajalnya, oleh karena itu di kala kebesaran namanya memuncak dulu, toh tiada
seorangpun yang pernah tahu, orang macam apakah dia
sebenarnya, hanya aku yang tahu..... hanya aku saja yang tahu......"
Suaranya semakin rendah lirih, wajahnya tiba-tiba
membayangkan mimik yang aneh sekali, lama sekali baru dia berkata pula pelan-pelan: "Kepandaian menyambit dan menyambut senjata rahasia serta Siau-kiau-kim-na-jiu pada waktu itu sudah tiada bandingannya sejak dahulu kala.
Sayang sekali di saat-saat namanya menjulang tinggi,
mendadak dia justru menghilang, tiada orang yang tahu
kenapa dia tiba-tiba menghilang dan pergi kemana. Selama tiga puluhan tahun ini, sudah tiada orang yang pernah
menyinggung namanya lagi di kalangan Kang-ouw, sampai
akupun sudah tidak pernah mendengarnya lagi."
Semua saling beradu pandang, tiada orang yang berani
bicara. Semua orang sudah sama-sama menerka di dalam
hati bahwa di antara Wi-pat-ya dengan Lam-hay-nio-cu
pasti mempunyai sesuatu hubungan, pasti mempunyai
sangkut paut yang misterius dan tidak diketahui orang luar.
Tapi hati semua orang terlebih heran dan ketarik pula, bahwa Lam-hay-nio-cu sudah menghilang selama tiga
puluhan tahun, kenapa sekarang mendadak muncul".
Entah berapa lama kemudian, tiba-tiba Wi Thian-bing
berseru lantang: "Lo Mo, kau kemari!"
Seorang pemuda bertubuh tinggi tegap dan gagah
berpakaian hijau bermantel bulu beranjak keluar sambil
mengiakan. Pakaiannya serba mewah dan perlente,
potongannya bagus dan cocok benar dengan perawakan
badannya, seraut wajahnya yang elok, tidak tertawa namun orang sudah merasa simpatik seperti dia sedang tersenyum, kelihatannya tipe laki-laki yang paling disenangi oleh kaum hawa yang genit, hanya kedua biji matanya kelihatan sedikit merah melepuh, naga-naganya sering kurang tidur. Apakah setiap pemuda yang sering dipuja-puja gadis-gadis remaja memang sering kurang tidur". Pemuda ini adalah salah satu dari Cap-sha-thay-po, murid-murid kesayangan Wi-pat-ya digelari Hun-long-kun Sebun Cap-sha.
Sepasang mata Wi Thian-bing setajam golok tengah
menatapnya lekat-lekat, lama sekali baru dia bersuara
dingin: "Malam Tiong-chiu bulan delapan yang lalu, bukankah kau ada berkenalan dengan seorang kawan yang bernama
Lim Thing?"
Kelihatan Sebun Cap-sha rada kaget, namun akhirnya dia menunduk sambil mengiakan.
"Sejak kau keluntang-keluntung dengan anak keparat piaraan lonte itu, dalam bulan-bulan belakangan ini, apa saja yang pernah kau lakukan"."
Selebar muka Sebun Cap-sha tiba-tiba merah malu,
mulutnya terkancing tak bisa menjawab.
Wi Thian-bing tertawa dingin, katanya pula: "Aku tahu kau takkan berani buka bacot. Baik, Han Tin, kau wakilkan dia bicara."
Tanpa pikir Han Tin segera buka suara pelan-pelan:
"Tanggal dua puluh bulan delapan malam, mereka pergi ke gudang uang, pinjam tiga laksa tahil perak. Tanggal tiga
puluh bulan delapan, kembali mereka pinjam dalam jumlah yang sama."
Wi Thian-bing tertawa dingin, katanya sinis: "Sepuluh hari menghabiskan tiga laksa tahil, kedua kurcaci ini
ternyata amat royal merogoh kantong."
Han Tin berkata lebih lanjut: "Tanggal enam bulan sembilan malam, karena terlalu banyak tenggak air kata-kata, di kala mabuk mereka bertengkar dengan murid Kun-lun-pay dari Kwan-gwa, walau waktu itu mereka mengalah, tapi setelah Kun-lun sam-hiap itu tahu asal-usul mereka, malam itu juga mereka melarikan diri, mereka lantas
mengejar sejauh delapan puluh li, akhirnya Kun-lun sam-hiap mereka bunuh semuanya."
Wi Thian-bing menyela dengan dingin: "Agaknya murid Kun-lun-pay sejak kematian Liong Tojin, satu generasi lebih payah dari generasi yang lain."
Han Tin berkata: "Setelah mereka membunuh ke tiga orang itu, selera mereka makin berkobar, di saat mabuk itulah mereka menerjang masuk ke Giok-keh-ceng, di sana mereka menggusur sepasang cewek kembar yang baru
berusia empat belasan untuk menemani mereka tidur sehari semalam."
Sampai di sini Han Tin bercerita, sorot mata Sebun Cap-sha sudah mengunjuk rasa belas kasihan, tak henti-hentinya dia memberi isyarat kedipan mata kepada Han Tin,
maksudnya supaya Han Tin berhenti saja.
Tapi Han Tin tidak gubris dan anggap tidak melihat
isyaratnya, katanya lebih lanjut: "Sejak itu, nyali mereka semakin besar, tanggal tiga puluh bulan sembilan itu...."
Sebelum cerita Han Tin berakhir Sebun Cap-sha sudah
menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kaku di depan
Wi-pat-ya, lalu ditariknya baju di depan dadanya sampai robek, ratapnya: "Tecu memang berdosa, kau orang tua bunuh aku saja."
Melotot biji mata Wi Thian-bing, lama sekali matanya
tidak berkesip, mendadak dia tertawa gelak-gelak, serunya:
"Bagus, patut dipelihara, seorang laki-laki berani berbuat, berani bertanggung jawab, membunuh beberapa orang yang tidak becus, main-main dengan nona-nona cilik yang tidak genah, trondolo..... memangnya terhitung dosa apa?"
Saking kaget mendengar ucapan Wi-pat-ya, Sebun Capsha sampai kesima, tanyanya melongo: "Kau orang tua tidak menyalahkan aku"."
"Kesalahan apa yang harus kutimpakan kepadamu"
Jikalau kedua nona cilik itu tidak menyukai kau, memangnya mereka tidak bisa membenturkan kepala bunuh diri, kenapa sampai suka menemani tidur sehari semalam" Kalau memang mencintai kau, memangnya siapa yang bisa perduli"
Memangnya jamak seorang gadis jatuh cinta kepada pemuda tampan, sampai raja langitpun tak kuasa mencampuri."
Tak tertahan Sebun Cap-sha tertawa katanya: "Lapor kepada kau orang tua, beberapa hari yang lalu secara diam-diam mereka malah kemari mencariku."
Wi Thian-bing tertawa gelak-gelak, serunya: "Laki-laki hidup dalam dunia harus punya nyali untuk membunuh orang, punya daya memelet nona cilik, kalau tidak, lebih baik mampus saja."
Gelak tawanya mendadak berhenti, katanya melotot
kepada Sebun Cap-sha: "Walau aku tidak menyalahkan kau, lalu tahukah kau kenapa aku menyuruh kau keluar?"
"Tidak tahu", sahut Sebun Cap-sha.
Mendadak Wi Thian-bing layangkan kakinya menendang
sampai orang mencelat setombak lebih, sebelum Sebun Cap-sha sempat merangkak bangun, dia sudah jambak rambutnya serta menariknya ke atas, sebelah tangan yang lain segera bekerja pergi datang menampar mukanya sekeras-kerasnya, baru dia bertanya: "Tahukah kau kenapa aku memukulmu?"
"Tidak tahu," sahut Sebun Cap-sha ketakutan sambil menahan sakit. Memang dia tidak tahu sampai matanya
terbelalak keheranan.
Bentak Wi Thian-bing bengis: "Laki-laki sejati main bunuh, main bakar, tidak menjadi soal, tapi jikalau siapa sebenarnya teman karibnya sendiri tidak diketahui asal-usulnya, sungguh kau kurcaci ditambah bedebah, dicacah hancur seratus bacokanpun masih kurang."
Baru saja berakhir kata-katanya, tiba-tiba sesosok
bayangan berkelebat, tahu-tahu sudah berdiri disamping Sebun Cap-sha. Dua tiga puluh pasang mata yang hadir
dalam pendopo besar ini seluruhnya tumplek mengawasi ke arah orang yang baru datang, tiada yang tahu dari jurusan mana orang meluncur turun.
Di bawah penerangan cahaya lilin, tampak orang ini
berwajah putih bersih, perawakannya tinggi rada kurus, tampangnya lumayan, sikapnya sopan santun, tindak-tanduknya seperti membawa gerak-gerik malu-malu seperti nona-nona pingitan. Tapi tiba-tiba saja dia muncul, kaki
menyentuh lantai tanpa bersuara, betapa tinggi Ginkangnya, jelas di antara Cap-sha-thay-po tiada yang kuasa
menandinginya. Begitu berdiri tegak, langsung dia menjura, katanya memperkenalkan diri:" Wanpwe Ting Ling, sengaja kemari menghadap Wi-pat-ya."
Melotot bundar biji mata Wi Thian-bing, bentaknya
bengis: "Berani kau kemari?"
"Tidak berani tidak Wanpwe harus kemari." sahut Ting Ling.
Mendadak Wi Thian-bing terloroh-loroh serunya: "Bagus, boleh dipelihara, aku orang tua justru suka anak-anak muda yang punya pambek dan pemberani." Sebun Cap-sha dia lepaskan, lalu katanya: "Kau keparat ini sekarang sudah mengerti belum, Lim Thing adalah Ting Ling, kau bisa
bersahabat dengan teman seperti ini, terhitung besar
keberuntunganmu."
Dengan kesima Sebun Cap-sha mengawasi temannya yang
satu ini. Setiap hadirin memang sedang perhatikan
temannya ini. Nama Ting Ling memang sering mereka
dengar, namun tiada orang yang pernah menduga, bahwa
pemuda lemah lembut dan bergaya malu-malu seperti nona pingitan ini, kiranya adalah tokoh silat kosen dari generasi muda di Bu-lim, terutama ilmu Ginkang-nya tertinggi, yaitu Hong-long-kun Ting Ling.
Kecuali Han Tin dan Wi-pat-ya, memang tiada seorangpun yang pernah menduga, namun selebar muka Ting Ling malah merah seperti kepiting direbus.
Kata Wi Thian-bing: "Kuhajar kurcaci ini memang hendak kupancing kau keluar!."
"Entah Cianpwe ada petunjuk apa?", tanya Ting Ling dengan muka merah.
"Ada sebuah tugas ingin aku minta kau wakili aku, memangnya tugas ini hanya kau saja yang bisa
melaksanakan." sikapnya tiba-tiba menjadi amat serius, katanya lebih lanjut: "Tapi bukan maksudku kau pergi mengantar jiwa, oleh karena itu sebelumnya aku ingin
saksikan dulu sampai di mana tingkat ilmu Ginkang-mu"."
Ting Ling tetap berdiri di tempatnya, pundaknya tidak
bergeming, lengan tidak terangkat, seolah ujung jarinyapun tidak bergerak. Tapi pada saat itu juga, badannya tiba-tiba mencelat terbang laksana burung walet, bagai angin lesus pula, tahu-tahu melesat terbang seperti hembusan angin lalu di atas kepala hadirin.
Di kala kesiur angin lesus itu putar balik tahu-tahu Ting Ling sudah berdiri di tempatnya semula, di tangannya sudah menenteng sebuah lampion besar. Lampion merah ini semula tergantung di pucuk tiang bambu di luar ruangan, tingginya ada tiga tombak lebih, dari tempatnya berdiri jaraknya ada enam tombak, tapi orang melesat terbang pulang pergi
dengan cepat, enteng dan napaspun tidak memburu.
Wi Thian-bing tepuk tangan seraya tertawa gelak-gelak:
"Bagus, orang sering bilang bahwa tingkat kepandaian Ginkang Hong-long-kun katanya boleh sejajar di dalam
urutan lima tokoh kosen jaman ini. Hari ini setelah
kusaksikan sendiri, memang tidak bernama kosong." dengan keras tangannya menepuk pundak Ting Ling, katanya pula:
"Dengan bekal Ginkang-mu ini, kau boleh pergi menunaikan tugas."
"Pergi kemana?", tanya Ting Ling.
"Pergilah ke Leng-hiang-wan, periksalah apakah Lam-hay-nio-cu sebetulnya tulen atau palsu!."
Mendadak pucat raut muka Ting Ling.
"Kau tahu akan Lam-hay-nio-cu?" tanya Wi Thian-bing.
Ting Ling manggut-manggut.
"Kaupun tahu kelihayannya?"
Kembali Ting Ling manggut-manggut.
Wi Thian-bing menatapnya pula sekian lamanya, tiba-tiba bertanya: "Siapa dan orang apa gurumu?"
Ting Ling ragu-ragu seperti serba sulit, mendadak dia
melangkah maju, dia melangkah mendekat serta
mengucapkan dua patah kata yang amat lirih di pinggir
telinga Wi-pat-ya.
Seketika berubah muka Wi Thian-bing, katanya: "Tak heran kalau kaupun tahu dulu dalam pertempuran di Thian-san, gurumu juga pernah mendapat petunjuknya yang luar biasa."
"Guru sering bilang, Ginkang dan Am-gi (senjata rahasia) Lam-hay-nio-cu tiada tandingannya di seluruh jagat.
Wanpwe kuatir malam ini......."
"Kau kuatir sekali pergi takkan bisa kembali?" sela Wi Thian-bing.
Merah muka Ting Ling, katanya: "Wanpwe tidak berani terlalu mengagulkan diri, namun sedikit banyak masih
mempunyai sedikit pertimbangan akan hal ini."
"Tapi ada sebuah hal yang masih belum kau ketahui."
"Mohon petunjuk."
"Untuk merawat dan mempertahankan badaniahnya
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
supaya tidak menjadi tua, Lam-hay-nio-cu ada meyakinkan semacam lwekang dari aliran sesat yang aneh, tapi entah mengapa, latihannya belum sempurna, oleh karena itu, setiap hari tepat pada jam 12 malam, hawa murninya mendadak
sering nyeleweng, paling cepat setengah jam, seluruh
badannya pasti kaku mengejang, tanpa bergerak."
Ting Ling mendengar dengan seksama.
"Tapi jejaknya selalu amat terahasia, saat-saat hawa murninya sesat itu hanya terjadi pada saat yang pendek saja, oleh karena itu mesti ada orang tahu akan ciri satu-satunya ini, tiada orang yang berani mencarinya." lalu dengan suara pelan dia menambahkan: "Sekarang kita sudah tahu dalam beberapa hari ini dia jelas berada di Leng-hiang-wan. Ginkang-mu begini tinggi, asal kau bisa menemukan tempat latihan Lwekang-nya, nah...... pada tengah malam itulah kau boleh mencari akal untuk masuk membongkar
kedoknya...."
"Kedoknya?" tak tahan Ting Ling bertanya, "kedok apa"."
"Biasanya dia selalu mengenakan kedok, karena sebelum dia merias dan berdandan, biasanya tak pernah menghadapi siapapun dengan muka aslinya."
Ting Ling berkata: "Kalau tiada orang melihat muka aslinya, walau Wanpwe berhasil membuka kedok dan melihat wajah aslinya, tetap aku tidak tahu tulen atau palsu?"
"Aku pernah melihat muka aslinya, pada mukanya
terdapat suatu tanda yang luar biasa, asal kau melihat tanda khas ini, pasti kau mengenalnya."
"Tanda apa?" tanya Ting Ling.
Kini giliran Wi Thian-bing yang mendekat tempelkan
mulut ke telinga orang, membisikkan dua patah kata.
Berubah muka Ting Ling, lama dia terlongong dan serba
susah, akhirnya dia coba-coba mencari tahu: "Bahwa Cianpwe pernah melihat muka aslinya, tentunya adalah
teman baiknya, kenapa tidak Cianpwe sendiri yang ke sana menengok asli palsunya?"
Tiba-tiba terunjuk rasa gusar pada muka Wi Thian-bing, katanya marah-marah: "Kusuruh kau pergi, kau harus pergi, urusan lain kau tidak usah peduli!."
Ting Ling tidak banyak bicara lagi, di kala Wi-pat-ya
mengamuk, tiada orang yang berani bersuara. Dengan
mendelik Wi Thian-bing bertanya bengis: "Kau mau pergi tidak?"
Ting Ling menghela napas, katanya: "Bahwa Wanpwe
sudah tahu akan rahasia ini, tidak inginpun terpaksa harus pergi."
Kembali Wi Thian-bing tertawa gelak-gelak, serunya:
"Bagus, kau memang seorang pintar, aku orang tua biasanya suka orang-orang pintar." dengan keras dia tepuk pundak Ting Ling, katanya pula: "Asal kau mau pergi, peduli ada urusan lain apa saja, aku boleh memberikan kepadamu."
Tiba-tiba Ting Ling tertawa, katanya: "Sekarang Wanpwe hanya mohon Cianpwe suka mengijinkan sebuah
permintaanku."
"Permintaan apa?"
"Wanpwe ingin memukul seseorang."
"Siapa yang ingin kau pukul?" tanya Wi Thian-bing.
Han Tin segera menjawab di sebelah sana: "Aku!"
Benar juga Ting Ling sudah putar badan pelan-pelan
melangkah mendekati ke depan Han Tin, katanya tersenyum:
"Benar, memang aku ingin memukulmu." senyumannya masih begitu lembut dan halus, seperti orang malu-malu, tapi tangannya tiba-tiba terayun, sekali dia hantam hidung Han Tin, kontan Han Tin terhantam terbang ke belakang
beberapa kaki jauhnya.
Ting Ling menjura kepada Wi-pat-ya, katanya tersenyum:
"Segera Wanpwe pergi ke Leng-hiang-wan, dalam waktu lima hari pasti ada khabarnya." habis kata-katanya, orangnya sudah menghilang.
Wi Thian-bing menghela napas, mulutnya seperti
mengigau: "Anak-anak muda generasi mendatang, jauh lebih celaka di banding generasi kita, sungguh suatu kenyataan yang mengenaskan......"
ooo)dw(ooo Malam dingin. Dari pojok tembok tinggi di sana, tiba-tiba muncul
bayangan orang yang berjalan dengan langkah pelan, wajah yang semula tampan kelihatan peyot dan bengap membiru,
dia bukan lain adalah Sebun Cap-sha yang baru dihajar
gurunya, pemuda bangor yang suka main perempuan ini
agaknya belum kapok, secara diam-diam dia keluyuran lagi.
Setiba di luar gang sempit, ternyata sebuah kereta antik yang bercat hitam sudah menunggunya, begitu dia muncul, sais kereta lantas larikan keretanya berhenti di
sampingnya. Begitu pintu kereta terbuka, dia langsung
melompat masuk, sebuah cangkir penuh arak sudah
menunggunya di dalam kereta. Secangkir arak merah
simpanan puluhan tahun yang harum wangi dan hangat.
Dalam kereta sudah menunggu pula dua gadis belia yang
molek laksana kembang mekar. Kelihatannya sang Taci
seperti bayangan adiknya, sang adik walau genit dan
merangsang, namun sang Taci lebih menimbulkan gairah
seorang laki-laki.
Seorang pemuda bermantel bulu memegang cangkir mas
sedang malas-malasan di dalam pelukan sang Taci, segera dia dorong sang adik kepada Sebun Cap-sha, katanya
tertawa: "Bocah ini baru dihajar, lekas kau menghiburnya."
Sang adik dengan lahap menciumi muka Sebun cap-sha
yang melepuh membiru.
Kereta segera dikaburkan ke arah Tiang-an.
Deru angin malam sedingin es setajam pisau. Hari sudah jauh malam, namun di dalam kereta terasa hangat dan
nyaman seperti di musim semi.
Setelah menenggak habis araknya, baru Sebun Cap-sha
berpaling kepada pemuda bermantel bulu, katanya: "Kau tahu aku akan kemari?"
Pemuda itu sudah tentu Ting Ling adanya, keadaannya
jauh berbeda dengan Ting Ling yang tadi. Tadi sikapnya sopan-santun, lemah-lembut dan malu-malu, kini adalah
pemuda bangor hidung belang yang romantis.
Dengan ujung matanya dia mengerling kepada Sebun Capsha, katanya dengan bermalas-malasan: "Sudah tentu aku tahu, kunyuk tua itu kalau tidak suruh kau menunggu
kabarku, siapa lagi yang diutus kemari?"
Sebun Cap-sha tertawa: "Kalau kau anggap dirimu berani, kenapa tidak di hadapan tua bangka itu kau membuka
kedoknya yang munafik, serta memakinya keparat" Kenapa kau menjadi kura-kura yang terima ditusuk hidungmu?"
"Karena aku kuatir dan kasihan melihat cucu kura-kura macammu ini dihajarnya lagi sampai mukamu hancur."
Kedua gadis kembar yang jelita itu cekikikan. Usia
mereka memang belum banyak namun potongan dan
perawakan mereka memang menggiurkan. Seorang picakpun
dapat merasakan bahwa mereka bukan anak-anak lagi.
Sebun Cap-sha tertawa pula, katanya: "Bagaimanapun juga, pukulanmu menghajar Han Tin tadi menyenangkan dan melampiaskan penasaranku."
"Sebetulnya aku tidak patut menghajarnya."
"Kenapa?"
"Karena dia penyambung keparat tua itu, dia hanya boneka hidupnya saja," terunjuk senyuman sinis pada ujung bibirnya, katanya lebih lanjut: "Keparat itu sebetulnya adalah rase tua yang licik dan licin, tapi berkedok harimau
yang galak, dia bisa mengelabui dan membuat gentar nyali orang lain, jangan harap dia bisa mendustai aku."
"Tak heran, bapak mengatakan kau lihai, ternyata
memang tidak meleset pandangannya."
"Generasi muda sebaya kita, siapa tidak lihay jangan harap bisa berkecimpung di dunia Kang-ouw, namun yang
benar-benar lihay mungkin belum dia hadapi secara nyata."
"Memangnya masih ada tokoh kosen siapa lagi dalam dunia Kang-ouw yang melebihi kau?" tanya Sebun Cap-sha.
"Orang seperti diriku sedikitpun masih ada puluhan banyaknya, cucu kura-kura seperti kalian setiap harinya selalu sembunyi dalam celana bapakmu itu, betapa tinggi dan luas dunia di luar lingkunganmu, bayangannyapun tidak bisa kalian raba," setelah tertawa dingin lalu Ting Ling melanjutkan: "Menurut hematku kalian tidak setimpal dijuluki Cap-sha-thay-po, kalian makan terlalu kenyang, hingga kepala selalu berat dan pusing tujuh keliling, kentut bapak juga kalian katakan harum."
Bukan saja tidak marah oleh olok-olok orang, Sebun Cap-sha malah menghela napas, katanya getir: "Belakangan ini mereka memang makan terlalu kenyang, hidupnya terlalu
mewah dan foya-foya, begitu menghadapi persoalan, dua
orang lantas mati secara konyol."
"Dalam pandanganmu, peristiwa itu merupakan kejadian besar?" tanya Ting Ling.
"Walau tidak besar, juga bukan kecil, sedikitnya bapak sudah siap turun tangan sendiri."
"O, Wi Thian-bing hendak keluar kandang?"
"Justru karena dia siap turun tangan, maka kau diundang untuk mencari kabar ke Leng-hiang-wan."
"Kau kira dia benar-benar hendak menghadapi Bak Pek, baru meluruk ke Leng-hiang-wan?"
"Memangnya bukan?"
"Umpama Bak Pek membuat onar, aku berani bertaruh dia tetap akan meluruk ke Leng-hiang-wan."
Bercahaya sorot mata Sebun Cap-sha: "Jadi kalau dia tidak mencarimu, dia tetap akan mencari tahu jejak Lam-hay-nio-cu?"
"Sedikitpun tidak salah."
"Untuk apa mereka meluruk ke Leng-hiang-wan?"
"Lantaran urusan lain, urusan itulah boleh dikata besar."
"Apakah lantaran urusan besar ini pula sampai Lam-hay-nio-cu meluruk datang?"
"Agaknya kau sudah tambah maju dan cerdik otakmu."
"Bukan saja urusan ini memancing bapak keluar kandang, malah Lam-hay-nio-cu yang sudah menghilang tiga puluh
tahun keluar kandang pula, agaknya persoalan ini cukup genting."
"Kecuali orang-orang yang sudah kalian ketahui,"
demikian Ting Ling lebih lanjut, "Menurut apa yang ku tahu, dalam jangka lima hari, sedikitnya ada enam tujuh orang yang akan meluruk ke Leng-hiang-wan juga."
"Orang-orang apa saja mereka itu?"
"Sudah tentu orang-orang yang sudah punya kepandaian tinggi."
"Mereka sudah tahu bahwa bapak siap turun tangan?"
"Usia orang-orang ini memang belum tua, tapi belum tentu mereka memandang sebelah mata bapak tuamu itu."
Sebun Cap-sha tertawa dipaksakan, katanya: "Bapak bukan orang yang gampang dihadapi lho!".
"Tapi tokoh-tokoh kosen dari generasi muda di kalangan Kang-ouw, hanya beberapa orang saja yang memandang
dirinya, seperti juga dia tidak memandang sebelah mata anak-anak muda itu."
Tak tahan Sebun Cap-sha bertanya: "Apapun yang
terjadi, pengalaman anak muda memang kurang matang."
"Pengalaman bukan kunci untuk menentukan kalah menang di dalam sesuatu persoalan."
"O, lalu apa kuncinya?"
"Menurut apa yang kukatakan, orang-orang yang berani meluruk ke Leng-hiang-wan jelas tiada seorangpun yang ilmu silatnya lebih rendah dari Wi Thian-bing, terutama satu diantaranya......"
"Kau maksudmu!"
"Sudah tentu aku punya ambisi, tapi setelah aku tahu orang ini juga datang, aku sudah siap menjadi penonton saja di luar gelanggang."
"Jadi kaupun tunduk lahir batin terhadapnya?" tanya Sebun Cap-sha mengerut alis.
Ting Ling menghela napas, katanya: "Tadi sudah kubilang, aku punya kepandaian meramal sesuatu yang bakal terjadi."
Agaknya Sebun Cap-sha merasa uring-uringan, katanya:
"Siapakah sebetulnya orang itu?"
Pelan-pelan Ting Ling minum habis secangkir arak, lalu berkata kalem: "Pernahkah kau mendengar Siau-li Tham-hoa?"
Tersirap darah Sebun Cap-sha, saking kaget dia
berjingkat dan hampir saja cangkir di tangannya terlepas jatuh. "Siau-li si pisau terbang"," serunya terkesima.
Nama Siau-li atau Li si pisau terbang seolah-olah
mempunyai daya hipnotis yang menyedot sukma orang.
"Pisau terbang Siau-li juga mau datang?" teriak Sebun Cap-sha.
"Jikalau pisau terbang Siau-li juga datang, bapak kalian dan Jian-bin-koan-im pasti sudah melarikan diri dan
sembunyi di tempat yang jauh."
Sebun Cap-sha menghela napas lega, katanya: "Aku tahu sudah sekian tahun Siau-li si pisau terbang tidak
mencampuri urusan Kang-ouw, malah ada orang bilang, dia seperti pendekar besar Sim Long dan lain-lain, pergi ke pulau dewata di luar lautan, hidup bahagia dan menjadi dewa yang hidup bebas."
"Orang yang kumaksud walau bukan Siau-li si pisau terbang, namun dia punya hubungan yang amat erat dengan Siau-li si pisau terbang."
"Hubungan erat apa?"
"Di kolong langit ini hanya dia satu-satunya yang pernah mendapat warisan murni dari Siau-li si pisau terbang."
Tegang hati Sebun Cap-sha dibuatnya, katanya: "Tapi kenapa selama ini tak pernah terdengar di Kang-ouw ada murid Siau-li si pisau terbang?"
"Karena dia tidak mengangkat guru secara resmi dengan Siau-li si pisau terbang, hubungan erat dengan Siau-li si pisau terbang baru belakangan ini saja diketahui khalayak ramai."
"Kenapa kami belum tahu juga?" tanya Sebun Cap-sha.
"Karena kalian makan terlalu kenyang."
Sebun Cap-sha tertawa kecut, tanyanya: "Siapakah nama orang itu?"
Kembali Ting Ling menghirup araknya pelan-pelan,
setelah habis satu cangkir baru pelan-pelan dia menjawab:
"Dia she Yap, bernama Kay".
Yap Kay. Sebun Cap-sha menepekur diam, matanya memancarkan
cahaya terang, agaknya dia sudah berkeputusan untuk
mengukir nama ini di dalam sanubarinya.
Berkata Ting Ling: "Yap Kay memang luar biasa, namun anak-anak muda yang lain itupun bukan kepalang
menakutkan," tiba-tiba dia tertawa seraya menambahkan:
"Kau adalah Hun-long-kun dan aku adalah Hong-long-kun, tahukah kau masih berapa banyak lagi Long-kun yang lain?"
Sebun Cap-sha manggut-manggut, katanya: "Aku tahu masih ada Bek-long-kun, Thi-long-kun, kalau tak salah masih ada Kui-long-kun."
"Kali ini kau akan bertemu dengan mereka, hanya perlu kau ingat bila kau benar-benar sudah berhadapan dengan mereka, mungkin kau bisa menyesal."
"Menyesal?" Sebun Cap-sha menegas tidak mengerti.
Tiba-tiba terpancar aneh dari sorot mata Ting Ling,
katanya pelan-pelan: "Karena siapa saja melihat orang-orang ini, akibatnya tentu amat menyedihkan, oleh karena itu, lebih baik kalau kau tidak berhadapan dengan mereka."
ooo)dw(ooo Malam gelap. Malam tanpa awan tak berbintang.
Kereta itu berhenti di belakang Leng-hiang-wan bagian
gudang rumput, seolah-olah gudang rumput untuk rangsum kuda ini memang dibangun khusus untuk menunggu
kedatangan mereka. Sementara kedua gadis kembar itu
sudah meringkuk di pojok mendengkur lelap dalam mimpi.
Mengawasi badan sang adik yang sudah kelihatan montok
dan padat, tak tahan Sebun Cap-sha menghela napas,
katanya: "Malam ini, apa kita istirahat di sini saja?"
Ting Ling manggut-manggut, katanya menengadah: "Kalau sudah tidak tahan, boleh kau anggap mataku picak saja."
Sebun Cap-sha menyengir, katanya: "Aku sih tidak begitu ketagihan, cuma aku heran kenapa hari ini kau kelihatan alim?"
"Malam ini aku punya janji."
"Ada janji" Janji dengan siapa?"
"Sudah tentu janji dengan seorang gadis."
"Bagaimana perawakannya, montok dan cantik?" tanya Sebun Cap-sha.
"Cantiknya luar biasa." sahut Ting Ling sambil tertawa penuh arti.
"Memangnya kau pergi seorang diri" Kau tinggal aku sendirian?"
"Kau mau ikut juga boleh."
"Nah, kan begitu, memangnya aku tahu kau bukan kawan yang kemaruk paras ayu lantas melupakan teman baik."
"Namun perlu kujelaskan lebih dulu, kepergian kami kali ini bukan mustahil takkan kembali dengan nyawa masih
hidup." Tersirap darah Sebun Cap-sha, tanyanya: "Siapakah yang ada janji dengan kau?"
"Jian-bin-koan-im alias Lam-hay-nio-cu"
Sebun Cap-sha melongo.
Dengan ujung matanya Ting Ling meliriknya, katanya:
"Kau ingin ikut tidak?"
Jawaban Sebun Cap-sha pendek dan tegas: "Tidak saja."
namun tak tertahan dia bertanya: "Benarkah malam ini kau hendak menepati janjinya?"
"Aku sendiri memang sudah tidak sabar ingin melihat orang macam apa sebenarnya Lam-hay-nio-cu yang pernah
membalikkan dunia itu?"
"Lalu apa pula yang kau tunggu di sini?"
"Menunggu seseorang."
"Menunggu siapa?"
Tiba-tiba kusir kereta di luar menjentik jari tiga kali.
Mata Ting Ling seketika bersinar: "Nah, itu dia datang."
katanya. ooo)dw(ooo Sebun Cap-sha membuka pintu kereta, maka dilihatnya
seorang laki-laki bermantel rumput tengah mendatangi,
bertopi rumput lebar pula. Tangannya memegang sebatang galah bambu panjang tiga tombak, setiap kali galah menutul tanah, orangnya lantas melompat lima tombak jauhnya
dengan ringan hingga di luar gubuk rumput.
"Bagaimana Ginkang-nya menurut pandanganmu?" tanya Ting Ling.
Sebun Cap-sha tertawa getir, sahutnya: "Orang-orang di sini agaknya memang lihay semua."
Saat mana orang itu sudah mencopot mantel rumputnya,
lalu dicantelkan di atas saka, katanya dengan tersenyum:
"Aku bukan pamer Ginkang, soalnya aku tidak ingin meninggalkan jejak di permukaan salju."
"Bagus, sikap kerjamu memang teliti." kata Ting Ling.
"Karena aku masih ingin hidup beberapa tahun lagi." ujar orang itu.
Pelan-pelan dia menghampiri, sembari menanggalkan topi rumputnya. Baru sekarang Sebun Cap-sha melihat jelas,
laki-laki ini berusia tiga puluhan, di samping mengenakan
jubah biru, bagian luarnya memakai pula kain hangat dari kulit rase, tindak-tanduknya mirip seorang pedagang, namun sepasang matanya berkilat, selalu menampilkan senyuman sinis yang licin.
Ting Ling tersenyum, katanya: "Inilah pengurus besar Leng-hiang-wan Nyo-toa-cong-koan Nyo Kan."
Nyo Kan mengawasi Sebun Cap-sha, katanya: "Dia
tentunya Cap-sha Kang-ouw murid Wi pat-ya, beruntung
bertemu di sini."
Sebun Cap-sha melongo mengawasi orang, tanyanya: "Kau kan Nyo Kan yang dilihat oleh Lak-ko tempo hari."
"Ya, Nyo Kan hanya satu."
Sebun Cap-sha tertawa kecut, katanya: "Dia bilang kau seorang pedagang yang bernyali kecil, agaknya dia memang sering makan kenyang."
Berkata Nyo Kan tawar: "Memang, aku pedagang yang tidak bernyali, dia tidak salah lihat."
"Tapi akulah yang salah lihat," sela Ting Ling.
"Lho!"
"Semula aku kira kau ini adalah Hwi Hou (Rase Terbang) Nyo Thian."
Nyo Kan mengerut kening. Sebun Cap-sha tersirap
darahnya. Nama Hwi Hou Nyo Thian pernah dia dengar.
Sebetulnya jarang kaum persilatan yang tidak kenal
namanya, asalnya dia seorang begal tunggal malang
melintang selama puluhan tahun di Kang-ouw, hanya dia
seorang yang mempunyai latihan ilmu lemas paling lihay sepuluh tahun belakangan ini.
Khabarnya meski kau membelenggunya dengan kacip besi,
lalu mengikat sekujur badannya dengan otot sapi, dikurung di dalam penjara yang hanya ada jendela kecil saja, dia masih bisa melarikan diri.
Bahwa orang selihay itu berada di Leng-hiang-wan dan
menjadi pengurusnya malah, sudah tentu takkan mungkin
kalau tidak mempunyai tujuan tertentu. Dan tujuan yang diincarnya itu, tentu bukan suatu pekerjaan ringan.
Tiba-tiba Sebun Cap-sha merasa urusan ini semakin aneh dan menarik, namun semakin tegang menakutkan.
Agaknya Ting Ling menyadari bahwa mulutnya terlalu
cerewet, lekas dia mengalihkan pokok pembicaraan,
tanyanya: "Apakah Lam-hay-nio-cu sudah datang?"
"Baru saja tiba," sahut Nyo Kan manggut.
"Kau sudah melihatnya?"
Nyo Kan geleng-geleng, sahutnya: "Aku hanya melihat beberapa kacung dan babu-babu saja."
"Berapa jumlah mereka seluruhnya?"
"Tiga puluh tujuh!"
"Perempuan yang bisa makan golok itu ada diantaranya mereka?"
Nyo Kan manggut-manggut, sahutnya: "Dia dipanggil Thi Koh, kelihatannya dialah yang menjadi pemimpin
rombongan."
"Jangan lupa kaupun seorang pengurus, agaknya kalian memang jodoh yang setimpal!"
Nyo Kan menarik muka, tak bersuara. Agaknya dia
memang laki-laki yang tak suka berkelakar.
Ting Ling batuk-batuk, tanyanya: "Mereka tinggal di pekarangan yang mana?"
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Menetap di Thing-siu-lau."
"Masih berapa lama untuk menunggu sampai tengah
malam?" ujar Ting Ling.
"Kurang dari setengah jam, di dalam ada tukang ronda yang menabuh kentongan, begitu masuk kau akan segera
mendengarnya."
Bercahaya mata Ting Ling, katanya: "Agaknya
menghabiskan secangkir arak lagi, aku boleh lantas
berangkat."
Nyo Kan mengawasinya, lama sekali tiba-tiba dia
bersuara: "Kali ini kita kerja sama, karena aku
membutuhkan kau dan kaupun membutuhkan aku."
Ting Ling tertawa, ujarnya: "Memangnya kita setimpal untuk kerja sama?"
"Tawar tanggapan Nyo Kan, ujarnya: "Tapi kita bukan teman sejati, untuk satu hal ini kau harus selalu
mengingatnya." Tanpa menunggu Ting Ling bersuara, dia sudah putar badan mengenakan topi rumputnya pula, tangan meraih baju rumput, galahnya menutul ringan, tahu-tahu bayangannya sudah melayang lima tombak jauhnya, kejap
lain bayangannya sudah menghilang di tempat gelap.
Mengantar bayangan orang, Ting Ling mengulum senyum,
katanya: "Gerakan bagus, memang tidak malu dia dijuluki rase terbang."
"Apa benar dia itu rase terbang Nyo Thian?" tanya Sebun Cap-sha.
"Rase terbang hanya satu orang," sahut Ting Ling menghela napas, lalu menambahkan dengan tertawa getir:
"Untung hanya ada seorang saja."
ooo)dw(ooo Ting Ling siap-siap mengencangkan pakaiannya yang serba hitam dan ketat, namun dia tidak sempat menghabiskan
araknya yang terakhir, sorot matanya berkilau, lenyap
senyum tawa yang biasa menghias wajahnya. Dalam waktu
singkat, seolah-olah dia berubah menjadi orang lain. Kini dia bukan lagi pemuda bajul yang suka keluyuran, sikapnya
tampak prihatin dan tabah, kelihatannya amat menakutkan.
Dengan nanar Sebun Cap-sha mengawasi temannya yang
satu ini, matanya menampilkan mimik yang aneh, seperti kagum juga kepingin, namun seperti merasa jelus dan
cemburu pula. Ting Ling berkata: "Lebih baik kalau kau menungguku di sini, dalam waktu satu jam aku pasti kembali."
Tiba-tiba Sebun Cap-sha tertawa, katanya: "Bagaimana kalau kau tidak kembali?"
Ting Ling tertawa, ujarnya tawar: "Kalau begitu kedua cewek itu milikmu, bukankah kau sudah punya angan-angan demikian"." belum habis bicara, badannya sudah melesat keluar, seperti walet hitam yang terbang di malam gelap,
belum lenyap suaranya, bayangannya sudah ditelan
kegelapan entah kemana.
Sebun Cap-sha duduk melamun seorang diri, lama dia
tidak bergerak. Sebetulnya dia beranggapan bahwa ilmu
silatnya tidak asor di banding jago silat kenamaan di kang-ouw, baru sekarang dia menyadari bahwa pikirannya
meleset. Kenyataan pemuda tingkatannya sekarang jauh
lebih menakutkan dari apa yang pernah dia bayangkan.
Tanpa sadar tangannya terangkat mengelus muka sendiri
yang masih bengap, sorot matanya seketika mengunjukkan derita yang mengetuk sanubarinya.
Sang kakak sebetulnya sudah mendengkur, tiba-tiba
membalik badan terus memeluk pahanya. Sebun Cap-sha
tidak bergerak. Sang kakak bukan miliknya, hanya
adiknyalah yang menjadi kawan mesumnya. Tak nyana sang kakak menggigit pahanya dengan gregetan, sudah tentu
sakitnya bukan main. Tapi derita yang terunjuk pada sorot mata Sebun Cap-sha tiba-tiba sirna. Disadari olehnya, untuk mengalahkan seseorang bukan hanya mengandalkan
kepandaian silat. Tiba-tiba senyuman manis menghias
wajahnya, dengan senyum lebar, dia tenggak habis arak yang ditinggalkan Ting Ling tadi, dan.........
ooo)dw(ooo Yang terdengar di Thing-siu-lau bukan deru ombak di
lautan, tapi deru bambu. Di dalam Leng-hiang-wan kecuali ditanam laksaan pucuk kembang Bwe, juga terdapat ratusan pucuk cemara dan ribuan pucuk bambu yang lebat. Di luar Thing-siu-lau itulah hutan bambu laksana lautan lebatnya.
Ting Ling mendekam di tempat gelap di luar hutan bambu.
Pelan-pelan dia membuka sebuah kantong kulit yang semula diikat di pinggangnya, dari dalam kantong dia mengeluarkan sebuah bumbung semprotan.
Di dalam bumbung semprotan di isi minyak kental warna
hitam, hasil barter dengan para gembala di tapal batas Tibet dengan garam. Pelan-pelan dia putar dulu tutup bagian ujung bambu itu, kebetulan ada angin menghembus, pelan-pelan ia mulai semprotkan minyak hitam dalam bumbung
secara teliti dan rata. Maka semburan minyak yang merata halus itu laksana kabut hitam terhembus angin menyiram ke arah Thing-siu-lau. Gerakannya pelan dan hati-hati, dia simpan bumbung semprotan itu, lalu mengeluarkan puluhan butir pelor sebesar buah kelengkeng, dengan kekuatan dua jarinya dia jentik satu persatu pelor-pelor ini ke atap rumah di seberang sana.
Sekonyong-konyong terdengar "Blup...!" seluruh atap Thing-siu-lau tiba-tiba menjadi lautan api, kobaran api yang menyala setinggi tiga tombak.
Kebetulan dari kejauhan terdengar suara kentongan,
ternyata tepat pada jam 24.00 tengah malam. Tapi suara kentongan di telan suara jerit kaget orang-orang di
sekitarnya. "Api! Kebakaran!" puluhan orang berlari ke luar dari Thing-siu-lau, kobaran api amat ganas dan mengamuk makin besar, seorang yang tenang dan tabahpun takkan berpeluk tangan.
Di saat gawat dan ribut itulah Ting Ling sudah
menyelundup masuk seenteng asap ke sebuah kamar dari
jendela di belakang loteng. Langsung menembus ke sebuah ruang kecil yang dipajang amat serasi, suasana tenang sunyi tak kelihatan bayangan orang.
Mendadak Ting Ling berteriak keras: "Api! Ada
kebakaran!". Tiada orang keluar dan tiada reaksi. Sigap sekali Ting Ling dorong pintu menerjang masuk ke kamar sebelah, soalnya dia belum tahu di kamar mana Lam-hay-nio-cu meyakinkan ilmunya, maka gerak-geriknya harus cepat dan tangkas. Maklum, dia harus mengadu untung dan nasib.
ooo)dw(ooo Ternyata nasibnya tidak jelek, daun pintu ketiga
ternyata diganjel dari dalam, segera dia keluarkan golok terus menyungkil dari luar. Kiranya kamar ini adalah ruang pemujaan. Asap mengepul wangi dari tempat pembakaran
dupa, sehingga suasana ruang pemujaan ini bertambah
hikmat, mengandung kekuatan magis.
Sekilas pandang Ting Ling tidak mendapatkan bayangan
orang di sini. Tapi Ting Ling yang cerdik tidak habis pikir, sebuah ruang pemujaan yang berpalang dari dalam masa
tanpa penghuni, maka tanpa banyak pikir segera dia segera menerjang masuk, sekali raih langsung dia tarik kain gordyn bagian belakang tempat pemujaan. Seketika dia berdiri
menjublek. Di belakang gordyn ada empat orang. Empat orang yang
mengenakan jubah hijau panjang dari sutra, rambut
kepalanya tersanggul di atas kepala, mengenakan topeng yang terbuat dari ukiran kayu cendana. Dandanan ke empat orang ini sama, duduk bersimpuh tidak bergerak, sinar api yang berkobar-kobar di luar loteng menyinari muka mereka
yang menyeringai sadis, menambah suasana jauh lebih seram dan menggiriskan.
Ke empat orang ini mungkin Lam-hay-nio-cu, padahal
Lam-hay-nio-cu hanya ada satu. Ting Ling insyaf kesempatan baik tak terulangi lagi, maka dia berkeputusan untuk
menyerempet bahaya. Sigap dia menubruk maju, merenggut topeng orang terdekat.
Di belakang topeng adalah seraut wajah halus putih ayu molek, bulu matanya yang panjang dengan alis melengkung laksana bulan sabit menaungi matanya yang meram. Siapapun akan tahu gadis ayu ini belum genap dua puluh tahun, Lam-hay-nio-cu tidak mungkin semuda ini.
Ting Ling menarik topeng kedua, ternyata orang ini laki-laki, mukanya kasar pula. Lam-hay-nio-cu terang bukan laki-laki. Orang ke tiga kelihatan masih muda, namun ujung
matanya dihiasi keriput seperti ekor ikan. Sedang orang ke empat adalah nenek tua yang peyot dan penuh keriput.
Kembali Ting Ling menjublek. Belum berhasil menemukan
wajah yang ingin dia lihat, padahal dia tak boleh terlalu lama di tempat ini. Begitu putar tubuh, cepat sekali badannya mencelat, sekilas ujung matanya sempat melihat tangan
laki-laki penuh brewok itu bergerak. Tahu gelagat jelek, sigap sekali reaksinya, tapi luar biasa cepat orang ini turun tangan. Baru saja tangan orang bergerak, tahu-tahu
pinggangnya dirangsang rasa sakit seperti ditusuk jarum besar. Kontan badannya tersungkur jatuh.
ooo)dw(ooo Ruang pemujaan itu tetap hening, asap dupa masih
mengepul menjadikan ruang itu harum semerbak
membangkitkan semangat orang. Kobaran api di luar sudah padam sewaktu Ting Ling membuka mata, didapati dirinya berpakaian perempuan, saking terkejut, tangan segera
terulur meraba kepala, ternyata rambutnya sekarang sudah berubah, tersanggul dengan mode yang paling digemari kaum remaja jaman itu, pakai tusuk kundai dan perhiasan segala.
Hong-long-kun Ting Ling sejak berusia tujuh belas sudah berkelana di Kang-ouw, dalam tiga tahun, namanya sudah menjulang tinggi dan disegani oleh kaum muda persilatan.
Kaum persilatan tahu, Ginkang-nya amat tinggi, dia cerdik pandai, tapi juga luar biasa tabah dan beraninya. Tapi kali ini dia sendiri berjingkrak kaget. Sayang dia tak mampu bergerak karena bagian bawah pinggangnya lemah lunglai tak mampu bergerak. Seketika hatinya lemas, badanpun
berkeringat dingin.
Di tempat pemujaan bercokol tinggi Koan-im Posat,
tangannya memegangi sebatang dahan pohon Liu yang
piranti menolong umat manusia. Patung Koan-im Posat
sedang mengawasi dirinya dengan tersenyum penuh arti. Di tengah kepulan asap dupa yang semakin tebal, senyumnya itu terasa aneh dan menyembunyikan maksud-maksud tertentu.
Tiba-tiba terasa oleh Ting Ling raut muka Koan-im Posat itu mirip pinang di belah dua dengan wajah gadis ayu di
belakang topeng tadi. Apakah gadis ayu tadi Lam-hay-nio-cu"
Tapi orang yang meringkus dirinya adalah laki-laki
brewok kasar itu, semula dia menduga Lam-hay-nio-cu
menyamar laki-laki muka kasar, tapi sekarang dia bingung dan tak habis mengerti, sampai berpikirpun tak berani
membayangkan lagi. Dia takut bila hal itu terlalu dipikirkan, bukan mustahil dirinya jadi gila.
Untunglah pada saat itu ruang pemujaan itu pelan-pelan membuka, seseorang beranjak masuk sambil mengulum
senyum aneh yang misterius, mirip Koan-im Posat di atas pemujaan itu.
Ting Ling celingukan, dari wajah Koan-im Posat di atas pemujaan lalu berpaling mengawasi orang yang baru masuk ini, tiba-tiba dia menghela napas, matanya terpejam. Wajah gadis jelita ini ternyata mirip wajah Koan-im Posat. Dia tidak ingin melihatnya lebih lama, kuatir jadi gila. Sayang sekali meski dia sudah pejamkan mata, tak urung dia sudah hampir gila dibuatnya.
Sementara itu gadis jelita sudah beranjak ke depannya, katanya tiba-tiba: "Hari ini elok benar sisiran sanggulmu, siapakah yang menyisirnya?"
Tak tahan Ting Ling melotot padanya, katanya:
"Memangnya aku ingin tanya kau siapa yang mendandan dan menyanggul rambutku?"
Kelihatan gadis itu melengak heran, tanyanya: "Masa kau sendiri tidak tahu?"
"Darimana aku bisa tahu?"
"Masakah sedikitpun tidak teringat olehmu?"
Ting Ling tertawa getir, sahutnya: "Bagaimana aku bisa ingat, perasaan aku tidak punya, umpama kau pukul pecah kepalaku, tetap tak bisa menebak siapakah orang yang
menyulap diriku menjadi perempuan."
Semakin kaget dan heran gadis jelita ini, katanya: "Apa"
Kau tuduh kami yang mendandani kau jadi begini" Masa kau lupa bahwa sebetulnya kau memang perempuan?"
Tak tahan Ting Ling berteriak: "Siapa bilang aku
perempuan?"
Gadis itu melongo dan mengawasi dengan terbelalak,
mimiknya mirip gadis yang berhadapan dengan orang gila.
Tak tahan Ting Ling berkata pula: "Kalau kau mengatakan aku mirip perempuan, tentu kau gila."
Gadis itu menghela napas, ujarnya: "Bukan aku yang gila, tapi kau!" tiba-tiba dia berpaling dan berseru: "He...., lekas kemari dan lihatlah, kenapa Ting-siau-moay berubah
menjadi begini?"
Ting-siau-moay" Hong-long-kun Ting Ling tiba-tiba
berubah menjadi Ting-siau-moay" Ingin Ting Ling tertawa, namun kulit mukanya kaku, ingin menangis diperaspun air mata tidak keluar.
Tampak dari luar beranjak masuk lima perempuan, satu di antaranya nyonya pertengahan umur yang tadi bertopeng.
Ternyata dia inilah Thi Koh, karena gadis di depannya
sedang memanggilnya.
"Thi Koh, lekas kemari dan lihatlah, tadi Ting-siau-moay masih baik-baik saja, kenapa sekarang berubah.....berubah begini?"
Thi Koh mengamati Ting Ling katanya tersenyum:
"Bukankah selintas pandang dia masih baik" Malah
rambutnya disisir lebih elok dari biasanya."
"Tapi.......", gadis itu ragu-ragu, "Dia tidak mengakui bahwa dirinya seorang perempuan."
Sedapat mungkin Ting Ling berusaha mengekang diri, dia insyaf keadaan seperti sekarang, dirinya harus berkepala dingin dan tabah hati. Tapi tak tahan dia tetap membantah:
"Memangnya aku bukan perempuan?"
Tiba-tiba Thi-koh menghela napas, katanya: "Aku dapat memahami perasaanmu, adakalanya aku sendiripun
mengharap aku ini bukan perempuan, di dalam dunia,
perempuan memang sering dirugikan."
Ting Ling menghela napas, katanya: "Sebetulnya aku tidak menentang perempuan, tapi sejak dilahirkan kodrat menentukan aku adalah laki-laki, barusan aku masih seorang laki-laki." Sesungguhnya dia sudah menekan perasaan dan bersabar untuk mengendalikan diri.
Maka Thi Koh menampilkan rasa heran dan tak mengerti,
tiba-tiba dia berpaling tanya kepada yang lain: "Sejak kapan kalian kenal Ting-siau-moay?"
"Sudah dua tiga bulan." sahut perempuan-perempuan itu bersama.
"Apa dia laki-laki, atau perempuan?"
"Sudah tentu perempuan," sahut orang-orang sambil cekikikan, "kalau Ting-siau-moay laki-laki, kita bisa celaka tidur sekamar dengan dia."
Terasa oleh Ting Ling kulit mukanya menghijau kaku,
namun dia tetap bersabar, katanya: "Sayang sekali aku bukan Ting-siau-moay yang kalian kenal."
Dengan mengulum senyum Thi Koh bertanya: "Lalu siapa kau ini?"
"Aku she Ting, bernama Ling."
"Aku tahu kau bernama Ting Hung-pin."
"Bukan Ting Hun-pin, tapi Ting Ling."
"Bukan Ting Ling, tapi Ting Hun-pin. Kenapa namamu sendiri sudah kau lupakan?"
Gadis yang mirip Koan-im Posat tiba-tiba tertawa,
katanya: "Untung suara bicaranya belum berubah, siapapun bisa mendengar bila dia memang perempuan tulen."
Ting Ling tertawa dingin, jengeknya: "Siapapun bisa membedakan bahwa aku adalah lela....." suaranya tiba-tiba berhenti, keringat dingin gemerobyos. Tiba-tiba disadarinya bahwa suaranya memang berubah, berubah nyaring
melengking, mirip suara perempuan. Apa benar aku tibatiba-tiba berubah jadi perempuan" Rasa takut merangsang hatinya.
Dia coba menggerakkan setiap jengkal kulit daging
badannya, sayang selewat pinggang ke bawah, ternyata kaku dan pati rasa. Ingin ulur tangan meraba ke bagian itunyapun sungkan, maklum di hadapan sekian banyak perempuan, tak berani dia bertindak kasar dan melakukan rabaan yang
memalukan. Thi Koh tetap mengawasinya, sorot matanya menampilkan
rasa iba dan simpatik, katanya lembut: "Belakangan ini hatimu kurang enak, terlalu banyak minum lagi, tak heran kalau kau melupakan diri sendiri, apalagi kejadian masa lalu memangnya sudah tidak ingin kau pikirkan lagi."
Terpaksa Ting Ling bungkam dan mendengarkan saja.
"Tapi kita bisa memberi peringatan kepadamu, kejadian masa lalu amat menyedihkan, tapi kalau semua itu sudah terlupakan, terhadap dirimu takkan membawa manfaat."
Akhirnya Ting Ling menghela napas, ujarnya: "Baik, silahkan kau bicara, aku sedang mendengarkan."
"Kau bernama Ting Hun-pin," ujar Thi Koh lebih lanjut,
"seorang gadis cantik dan jelita, semula kau punya seorang kekasih atau pujaan hati yang baik sekali, tapi kalian bertengkar karena seseorang, maka kau berusaha bunuh
diri terjun ke laut, untung Sim Koh menolong jiwamu."
Gadis yang senyumannya seperti Koan-im Posat ternyata
bernama Sim Koh, dia segera menyambung: "Untung aku cepat menarikmu, kalau tidak, hari itu kau sudah
kecemplung ke laut."
Ting Ling kertak gigi, tanpa bersuara. Mendadak dia amat takut dan ngeri mendengar suaranya sendiri.
"Kekasihmu itu she Yap, bernama Kay, dia......." Thi Koh mengoceh.
Yap Kay. Mendengar nama ini, serasa meledak jantung
Ting Ling. Sekonyong-konyong segala sesuatu menjadi
terang baginya. Dia insyaf bahwa dirinya jatuh oleh tipu daya keji, misterius dan lihay. Jelasnya tipu daya atau muslihat ini sebetulnya dipersiapkan untuk menghadapi Yap kay, namun dirinyalah yang menjadi kambing hitamnya tanpa dia sadari sebelumnya.
Apa yang diocehkan Thi Koh, bahwasanya tidak
didengarnya lagi, dia memusatkan sekuat daya pikirnya. Dia
harus berusaha lolos dari belenggu tipu daya yang
mengekang dan melibatkan dirinya, tapi dia tahu hal ini bukan mustahil, namun sulit sekali.
Sang waktu rasanya sudah berselang lama, namun ocehan
Thi Koh masih juga belum berhenti. Karena ceritanya
diulang beberapa kali, seperti hendak paksakan Ting Ling menerima dan mengingat peristiwa yang menimpa dirinya.
"Kekasihmu itu bernama Yap Kay, dia putra Tong-cu Sin-to-tong yang masih muda belia, tapi belakangan dia
diberikan kepada keluarga Yap."
"Sementara ayahmu bernama Ting Jun-hong, bibimu
bernama Ting Pek-hun, semula adalah musuh besar keluarga Yap, tapi belakangan Yap Kay berhasil menghapus
permusuhan kedua keluarga ini, hubungan cinta kalian justru makin erat dan mendalam."
"Sebelum ketemu dia kau sudah bersumpah tak mau
kawin, demikian pula dia takkan mempersunting gadis lain kecuali kau, tapi tahu-tahu muncullah seorang gadis jelita yang bernama Siangkwan Siau-sian."
"Gadis yang bernama Siangkwan Siau-sian ini khabarnya adalah putri dari Kim-cie Pangcu Siangkwan Kim-hong yang pernah menggetarkan Kang-ouw itu. Dia dilahirkan oleh Lim Sian-ji perempuan tercantik pada masa dulu yang tiada
bandingannya. Memang kecantikan Lim Sian-ji melebihi
bidadari, tapi kerjanya justru menjebloskan laki-laki ke dalam neraka. Maka anak yang dilahirkanpun mengikuti jejak ibunya, jahat, kotor dan sadis. Hubunganmu pecah dengan Yap Kay gara-gara dia, maka jangan kau lupakan peristiwa ini. Sekali-kali jangan melupakannya."
Ting Ling mendengar orang mengucapkan sekali dan
diulang sekali hingga berulang kali, tiba-tiba disadari bukan saja pikiran sendiri tidak bisa tentram, malah seperti terkekang dan terkendali oleh ocehan orang. Sekonyong-konyong timbul dalam benaknya kebencian yang luar biasa di dalam sanubarinya terhadap gadis yang bernama Siangkwan Siau-sian. Hampir saja dia sudah mengakui bahwa dirinya memang benar Ting Hung-pin adanya, mengakui bahwa
dirinya memang perempuan.
Asap dupa terus mengepul memenuhi udara hingga ruang
pemujaan itu semakin gerah, asap dupa mengikuti keluar masuk pernapasannya, merangsang otaknya. Lama-kelamaan dia menjadi tak kuasa kendalikan diri dan tak punya daya pikir untuk membedakan salah benar dan baik atau buruk.
Thi Koh terus mengawasinya, raut mukanya menampilkan
senyum sinis yang aneh, pelan-pelan dia berkata pula: "Kau bernama Ting Hun-pin, gadis remaja yang amat cantik
sekali, kau......."
Mendadak dengan sisa tenaganya Ting Ling gigit bibirnya sekeras-kerasnya, rasa sakit seketika menyadarkan
otaknya. Kontan dia menggerung keras: "Tak usah omong lagi, aku sudah tahu apa maksudmu."
"Apa benar kau sudah mengerti?" tanya Thi Koh tersenyum.
"Tentunya aku mirip dengan Ting Hun-pin, oleh karena itu kalian hendak memperalat aku untuk mencelakai Yap Kay."
"Lho, kau memang Ting Hun-pin."
Ting Ling tertawa dingin: "Sebetulnya kau tak perlu membuang tenaga, apa yang kalian ingin aku lakukan, akan kulakukan dengan baik."
"Oh, apa benar?"
"Benar! Tapi kalianpun harus berjanji untuk melakukan beberapa persoalanku."
"Silahkan berkata."
"Pertama aku menuntut penjelasanmu, secara kebetulan saja kalian menemukan wajahku seperti Ting Hun-pin, lalu mengatur tipu daya ini" Atau memang sejak semula kalian sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi aku?"
Thi Koh tidak bersuara.
"Dan selanjutnya kalian harus membuka tutukan Hiatto-ku, beri kesempatan aku bertemu dengan Lam-hay-nio-cu.
Setelah usaha ini berhasil, aku minta bagian satu prosen."
Tiba-tiba Thi Koh tertawa, katanya: "Sejak tadi Lam-hay-nio-cu sudah berada di sini, masakah kau tidak
melihatnya?"
"Dimana dia?"
Sebuah suara yang merdu nyaring berkata ka
Pukulan Naga Sakti 22 Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Pendekar Laknat 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama