Ceritasilat Novel Online

Rahasia Mo-kau Kaucu 6

Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung Bagian 6


ak ketinggalan dia minum beberapa cangkir.
Setelah kenyang dia ajak Kwe Ting ngelencer di jalan
raya yang paling ramai di seluruh kota Tiang-an, di toko kelontong dia membeli pupur gincu dan beberapa potong
pakaian yang berwarna-warni amat menyolok, demikian pula perhiasan-perhiasan elok yang tidak terlalu mahal harganya.
Memang gadis-gadis jelita biasa suka membeli barangbarang seperti itu. Tapi di dalam keadaannya sekarang dia
masih punya selera membeli barang-barang itu, rasanya
rada janggal juga.
Kini dia kelihatan tenang dan pendiam, hanya seorang
yang diam-diam sudah berkeputusan dengan tekadnya yang teguh, baru bisa berubah begitu tenang pendiam. Tekad apa pula yang sudah dia putuskan dalam sanubarinya"
Semakin tebal rasa kuatir dan takut dalam relung hati
Kwe Ting, tapi dia bisa mengikuti langkah orang kemanapun dia pergi, sepatah katapun dia tidak bersuara. Betapapun orang belum melaksanakan apa yang sudah menjadi
keputusan dalam benaknya.
Tanpa merasa karena putar kayun tanpa tujuan itu, tahutahu mereka menuju ke Pat-hong Piau-kiok. Tiba-tiba Ting Hun-pin serahkan buntalan besar kecil dari barang-barang keperluannya kepada Kwe Ting. Dengan langkah lebar segera dia melangkah masuk. Para piausu yang kebetulan ada di depan pintu sama mengawasinya dengan mendelong kaget,
tiada orang yang berani maju merintangi dirinya, karena mereka merasakan adanya perubahan yang mendadak pada
gadis satu ini, begitu cepat dan menakutkan perubahan ini.
Perempuan yang tadi baru saja dirundung sedih, haru dan emosi, kini berubah begini tenang dan pendiam, siapapun takkan bisa membayangkan keluar-biasaan ini, sampaipun Toh Tong yang melihatnya amat terperanjat, tanyanya:
"Untuk apa kau datang kemari lagi?"
"Aku minta kau suka memberitahu kepada Giok-siau dan Lu Di, jikalau mereka masih ingin mencari Siangkwan Siau-sian, jikalau masih ingin mendapatkan Pit-kip (Buku silat)
dan harta terpendam itu, suruhlah besok tengah hari
menunggu kedatanganku di hotel Hong-ping."
"Aku........cara bagaimana aku bisa menemukan mereka?"
"Carilah akal dan usahakan sampai ketemu, kalau tidak ketemu, tumbukkan kepalamu ke dinding sampai pecah dan mampus." suara Ting Hun-pin tenang dan mantap, ujung mulut malah mengulum senyum. Senyum yang jauh lebih
menakutkan daripada mimik muka apapun.
Sepatah katapun Toh Tong tidak berani bersuit lagi.
Ting Hun-pin melangkah keluar pula dengan langkah
gemulai wajar, tak lupa dia mampir di warung makan minta semangkok mie ti-te (kaki babi) dan minum sedikit arak, katanya dengan tersenyum: "Hari ini selera makanku besar sekali, ya!"
Mengawasi senyum tawa orang, Kwe Ting hanya melongo
saja, sepatah katapun dia tidak bersuara.
Tatkala itu malam sudah larut, mereka melangkah di
tengah kegelapan yang sudah terasa dingin. Pelan-pelan mereka kembali ke hotel kecil itu, pulang ke kamar kecil yang lembab itu.
"Aku mau tidur!" kata Ting Hun-pin.
Kwe Ting diam saja, lalu dia manggut.
Baru saja dia bergerak hendak keluar, tiba-tiba Ting
Hun-pin tertawa, katanya: "Kau tidak usah keluar, ranjang ini cukup besar berkelebihan untuk tidur dua orang."
Kwe Ting tertegun.
Tapi Ting Hun-pin sudah menarik kemul ke bawah,
katanya: "Kau tidur di sebelah dalam, aku tidur di bagian luar." suaranya tetap tenang wajar dan halus seperti seorang ibu yang menganjurkan putranya tidur.
Bahwasanya Kwe Ting tidak bisa menolak, terpaksa dia
merangkak naik dan merebahkan diri dengan badan kaku,
badan mepet dinding tak berani bergerak.
Ting Hun-pin juga naik ke ranjang, katanya tersenyum:
"Malam ini mungkin aku bermimpi buruk sekali, kuharap kau tidak menjadi kaget dan berjingkat kaget."
Kwe Ting menggerakkan kepala mengangguk. Kecuali
mengangguk, sedikitpun dia tidak berani bergeming.
Tiba-tiba Ting Hun-pin menghela napas, mulutnya
mengoceh: "Tahukah kau, selamanya belum pernah aku tidur seranjang dengan laki-laki lain, semula aku yakin selama hidupku ini takkan tidur seranjang dengan laki-laki lain."
suaranya semakin rendah lirih, sesaat kemudian ternyata dia sudah pulas.
Malam sunyi dan tenang.
Pernapasan Ting Hun-pin enteng perlahan seringan
hembusan angin lalu di musim semi yang sepoi-sepoi.
Kwe Ting pun amat penat, sangat mengantuk, diapun ingin tidur sebentar.
Tapi bagaimana dia bisa pulas. Selama hidup belum
pernah dia mengalami kekalutan pikiran seperti saat ini, banyak persoalan yang dia pikirkan, semua gejolak di rongga dadanya sehingga hatinya tidak bisa tentram.
Mimpipun tak pernah terpikir dalam benaknya bahwa
malam ini dirinya bakal tidur seranjang dengan Ting Hun-pin, mimpipun tak pernah terbayang olehnya di waktu dia tidur dengan seorang gadis belia, keadaannya bisa
sedemikian runyam. Dia adalah laki-laki sejati, laki-laki yang baru menanjak dewasa dan besar napsu birahinya. Dia
pernah main perempuan, di dalam bidang ini, sikapnya tidak begitu serius seperti lahirnya sekarang ini.
Kini perempuan yang tidur di sampingnya justru adalah
gadis yang dia idam-idamkan dan selalu dia jumpai di dalam impian. Sejak pertama kali dia melihatnya, timbul suatu perasaan mendalam di relung hatinya yang tidak mungkin dia sadari dan tidak bisa dia jelaskan sendiri. Akan tetapi sekarang sedikitpun dia tidak punya angan-angan nyeleweng, tiada keinginan main, tiada napsu bergaul, hanya ketakutan dan sedih serta pilu yang menggejolak di benaknya.
Kini dia sudah tahu apa yang akan dilakukan Ting Hun-pin setelah dia bertekat dan berkeputusan. Hanya perempuan yang sudah berkeputusan dan bertekat untuk mati saja
yang bisa berubah sedemikian tenang dan pendiam.
Tapi dalam hati Kwe Ting diam-diam sudah berkeputusan.
Sekali-kali dia tidak akan berpeluk tangan membiarkan Ting Hun-pin mati. Asal gadis idamannya ini tetap bertahan
hidup, apapun akibatnya dan apapun yang harus dia lakukan, dia akan bekerja secara sukarela.
Malam semakin larut, deru angin malam menderu-deru di
luar jendela. Tiba-tiba didapatinya badan Ting Hun-pin mulai gemetar, tak henti-hentinya gemetar, malah semakin keras, merintih
dan tersedu-sedu. Sinar bintang menyorot masuk dari
lubang jendela, menyoroti mukanya, air mata sudah
membasahi selebar mukanya.
Hati Kwe Ting pun seperti ditusuk sembilu, hampir tak
tertahan lagi dia hendak membalik badan serta memeluknya kencang-kencang. Ingin dia bilang di dalam kehidupan dunia fana ini masih banyak sesuatu yang patut dia kenang dan senangi, betapapun berat dan parahnya luka-luka, akhirnya kan sembuh dan merapat pula walau perlahan-lahan. Akan tetapi dia tak berani berbuat demikian. Terpaksa dia hanya temani orang mengucurkan air mata. Setelah air matanya kering, baru dia tidur pulas.
Tak lama kemudian tahu-tahu sekujur badannya mulai
gemetar, semakin keras dan tidak berhenti. Waktu Kwe
Ting membuka kelopak matanya, tiba-tiba didapatinya Ting Hun-pin sedang mengawasi mukanya, sorot matanya diliputi kepedihan, simpati, kasihan serta rawan dan risau. Rasa terima kasih yang berkelebihan dan tidak mungkin
dinyatakan dengan perkataan, atau tak mungkin di balas selama hayat masih di kandung badannya.
ooo)dw(ooo Waktu Kwe Ting bangun, hari sudah terang tanah. Ting
Hun-pin sudah ganti pakaian, mengenakan baju baru yang semalam baru dibelinya, duduk di depan kaca, orang tengah berdandan merias diri. Gerak-geriknya sedemikian gemulai dan elok mempesonakan, di tingkah sinar matahari yang
menyorot masuk dari luar jendela, kelihatan wajahnya cerah cemerlang, sampaipun kamar kecil yang gelap lembab ini masanya menjadi semarak karena perubahannya ini.
Hampir gila Kwe Ting dibuatnya. Jikalau ini rumahnya,
jikalau Ting Hun-pin adalah bininya, begitu dia bangun, lantas melihat istrinya tercinta yang jelita sedang
berdandan menyanding cermin, tentulah tiada sesuatu
kehidupan di dunia ini yang lebih bahagia dari hidupnya.
Kembali dia rasakan hatinya seperti ditusuk sembilu. Dia tidak berpikir lebih lanjut. Dia tahu bahwa semua cemerlang dan semarak yang terjadi dalam sekejap ini tidak lebih hanyalah merupakan pertanda lebih mendekatnya ajal
jiwanya. Kematian itu sendiri ada kalanya memang terasa indah.
"Kau sudah bangun?", tiba-tiba Ting Hun-pin berkata.
Kwe Ting manggut-manggut, dia berduduk, katanya
dipaksakan tertawa: "Tidurku tentu seperti orang mati."
"Kau memang harus tidur sepuasnya." suara Ting Hun-pin halus merdu, "aku tahu sudah beberapa hari kau tidak tidur."
"Jam berapa sekarang?" tanya Kwe Ting.
"Kalau tak salah sudah dekat lohor."
Seperti batu tenggelam di dalam rasa hati Kwe Ting.
Tiba-tiba Ting Hun-pin berdiri seperti peragawati saja, dia mendekat ke pinggir ranjang lalu berputar dan bergaya di depannya, katanya tersenyum: "Coba katakan,
dandananku cantik serasi tidak?" dengan dandanannya yang luar biasa ini, dia memang teramat cantik.
Kelihatannya tak ubah seperti burung merak yang sedang mementang sayap, bersolek di hadapan para penontonnya.
Mungkin karena baru sampai detik ini, dia baru boleh di bilang sebagai perempuan yang benar-benar sudah dewasa, betul-betul masak dalam kehidupan.
Kecantikan yang luar biasa ini menambah perih dan derita batin Kwe Ting.
Ting Hun-pin menatapnya, tanyanya: "Kenapa kau tidak bersuara" Apa yang sedang kau pikirkan?"
Kwe Ting tidak menjawab pertanyaannya, lama dia
mengawasinya mendelong, tanyanya tiba-tiba: "Kau mau berangkat?"
"Aku......aku hanya mau ngelencer di luar saja"
"Untuk menemui Giok-siau atau Lu Di?"
"Kau tahu, cepat atau lambat, akhirnya aku pasti akan berhadapan dengan mereka."
"Aku sendiri entah kapan pasti juga berhadapan dengan mereka."
"Kau hendak mengiringi aku?"
"Kau tidak sudi kuiringi?"
"Kenapa aku tidak mau" Lebih baik kalau kau sudi
mengiringi aku."
Kwe Ting melenggong. Semula tak terpikir olehnya bahwa Ting Hun-pin mau mengajak dirinya. 'Ini urusanku, kau tidak perlu ikut campur.'. Kata-kata orang masih segar dalam ingatannya, tak nyana hari ini orang sudah berubah haluan.
Ting Hun-pin tersenyum manis, katanya: "Kalau mau pergi, lekaslah bangun, cuci muka dan ganti pakaian, airnya
sudah ku sediakan untukmu." Di pojok kamar memang sudah tersedia sebaskom air.
Bergegas Kwe Ting lompat turun dari ranjang, sorot
matanya bercahaya terang dan senang, terasa sekujur
badannya diliputi kekuatan yang berkobar-kobar.
Dia tahu Giok-siau dan Lu Di adalah musuh tangguh yang amat berbahaya, tapi dia tidak perduli lagi. Siapa yang akan menjadi korban di dalam duel yang akan datang sudah tidak menjadi perhatiannya lagi. Yang penting bagi dirinya, bahwa Ting Hun-pin sekarang sudah kembali hidup dan berjiwa.
Tiba-tiba timbul pula keyakinan dalam benaknya bahwa
bukan mustahil di dalam duel nanti dia masih mempunyai setitik harapan. Kini bukan saja badannya diliputi kekuatan, diapun dilandasi keyakinan dan percaya akan kemampuan
sendiri. Kwe Ting membungkuk badan dengan kedua tangan dia
mendulang air untuk mencuci muka, air yang dingin, laksana tajam pisau yang mengiris mukanya, sehingga semangatnya terbangkit, lebih sadar dan lebih gairah.
Ting Hun-pin datang mendekat di belakangnya, katanya
lembut: "Kau tak perlu tergesa-gesa, mereka toh akan menunggu kita."
Kwe Ting tertawa, sahutnya: "Benar! Biar mereka
menunggu sedikit lama juga tidak jadi soal, aku......." belum berakhir dia bicara, tiba-tiba terasa sesuatu memukul Hiatto yang terletak di belakang punggungnya. Seketika dia tersungkur jatuh.
Terdengar Ting Hun-pin berkata setelah menghela napas:
"Tidak bisa tidak aku harus lakukan ini, aku tak bisa membiarkan kau jadi korban karena aku, kuharap kau suka memaafkan aku."
Kwe Ting bisa mendengar perkataannya, namun dia tidak
bisa bicara, tidak bisa bergerak, maka dia hanya mendelong saja membiarkan Ting Hun-pin membopong badannya
direbahkan di atas ranjang.
Berdiri di pinggir ranjang Ting Hun-pin mengawasinya,
sorot matanya penuh iba, kasihan, haru, terima kasih dan bergairah pula.
"Maksud hatimu terhadapku, seluruhnya ku maklumi, orang macam apa kau sebenarnya, akupun sudah mengerti, sayang sekali...........sayang kita bertemu setelah terlambat."
Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan Ting Hun-pin
kepada Kwe Ting.
Mengawasi bayangan orang yang keluar pintu, sungguh
remuk redam hati Kwe Ting. Dia tahu seumur hidupnya dia tidak akan bisa melihatnya lagi. Maklumlah, memang banyak cara untuk perempuan menghadapi laki-laki, namun lawan yang harus dia hadapi adalah musuh yang benar-benar lihay, berbahaya dan menakutkan.
Umpama kata dia kuasa merobohkan musuh-musuhynya,
diapun sudah berkeputusan takkan kembali lagi, karena
keputusannya adalah gugur di medan laga. Sejak dia
membunuh Yap Kay, derita dan penyesalan hatinya hanya
bisa diobati dan dibebaskan oleh kematian.
Dia sudah berkeputusan menebus dosanya dengan mati,
gugur di medan laga demi menuntut balas sakit hati
kekasihnya. ooo)dw(ooo Lohor. Hotel Hong-ping.
Waktu Ting Hun-pin melangkah masuk, cahaya matahari
kebetulan sedang menyinari papan nama yang bercat kuning emas itu.
Kali ini dia tidak membawa kelinting pencabut nyawa,
tidak membawa senjata apapun. Senjata yang hendak dia
gunakan hari ini adalah tekad dan keputusan, keberanian serta kecerdikan dan kesucian arwahnya. Untuk semua ini dia cukup yakin dan percaya pada kemampuannya. Entah
berapa banyak laki-laki yang pernah terjungkal oleh senjata ampuh kaum perempuan ini.
Dia memang perempuan belia yang cantik sekali, apalagi hari ini dia sengaja berdandan dan bersolek, sudah tentu bertambah luar biasa ayunya. Tiada mata laki-laki yang tidak melotot waktu melihat dirinya melangkah masuk.
Beraneka ragam pula mimik mereka, ada yang terpesona,
ada yang jalang, ada pula yang bernapsu seperti hendak menelannya bulat-bulat. Hanya Ciangkui tua itu saja yang berhati bajik dan bijaksana, mengunjuk rasa kuatir dan prihatin, seolah-olah dia sudah merasakan firasat jelek, bahwa hari ini elmaut akan menimpa diri gadis molek ini.
Begitu Ting Hun-pin masuk, Ciangkui bergegas
memapaknya maju, katanya dengan tertawa meringis:
"Apakah ini nona Ting?"
"Ya, aku!"
"Tamu nona Ting sudah menunggu di pekarangan belakang sejak tadi."
Giok-siau dan Lu Di benar-benar datang.
Tiba-tiba terasa oleh Ting Hun-pin jantungnya mulai
berdetak lebih keras. Walau dia sudah berkeputusan untuk ajal, namun dia tidak bisa mengendalikan ketegangan
hatinya. Sudah tentu dia cukup mengerti, bahwa kedua
orang ini terlalu bahaya dan menakutkan.
"Hanya dua orang saja yang datang?", tanyanya.
Ciangkui manggut-manggut, tiba-tiba dia merendahkan
suara berbisik: "Kalau nona tiada urusan penting, kuanjurkan lebih baik nona lekas pulang saja."
"Kau sudah tahu, aku yang mengundang mereka, kenapa suruh aku pulang?"
"Karena...." tak kuasa dia utarakan kekuatiran hatinya, akhirnya dia menghela napas.
Dengan tersenyum Ting Hun-pin sudah berjalan masuk,
bukannya dia tidak tahu akan maksud baik pemilik hotel, tapi tiada pilihan lain untuk dia tempuh. Umpama dia tahu ular beracun yang paling jahat tengah menunggu
kedatangannya, mau tidak mau dia harus menghadapi juga.
Tumpukan salju dan kotoran daun-daun di pekarangan
belakang baru saja di sapu bersih, tanah kelihatan licin mengkilap.
"Kedua tamu itu menunggu di ruang dalam." pelayan yang menunjuk jalan memberitahu, lalu diam-diam dia
mengundurkan diri. Agaknya dia sudah mendapat firasat
juga, perempuan itu hari ini tidak main-main.
Pintu ruang belakang itu terbentang lebar, tiada orang bicara, tapi kedengaran suara orang tertawa. Memang Giok-siau dan Lu Di orang-orang yang tidak suka bicara atau berkelakar. Mereka tertawa bila mereka berkeinginan
hendak membunuh orang, atau musuh sudah terkapar di
bawah kaki mereka.
Sebentar Ting Hun-pin tenangkan hati, mukanya
mengulum senyuman manis, lalu dengan langkah gemulai yang indah mempesonakan dia melangkah masuk. Dua orang yang menunggu dirinya di dalam rumah ternyata memang Giok-siau dan Lu Di.
Dalam rumah ada cahaya matahari, namun siapapun yang
masuk kemari, seketika akan merasakan seolah-olah dirinya memasuki gudang es.
Giok-siau duduk di kursi yang dekat dengan pintu, kalau dia mau duduk, selalu memilih kursi yang paling nyaman diduduki. Pakaiannya masih begitu perlente, kelihatannya masih begitu agung, besar suci dan tiada tandingannya.
Walau dalam rumah masih ada seseorang yang lain, namun seakan-akan dia tidak tahu akan kehadiran orang itu.
Bahwasanya dia memang tidak pandang orang lain.
Lu Di sebaliknya tengah mengawasinya, mimik mukanya
seperti pelancong yang adem-ayem dan acuh tak acuh
sedang berdiri di luar kerangkeng menonton seekor singa tua yang sedang unjuk tampang dan kegarangan. Muka yang pucat menampilkan sikap hina, dingin, merendahkan dan
mencemooh karena dia tahu walau singa ini kelihatan gagah garang, namun giginya sudah ompong, cakar-cakarnya sudah puntul, sudah bukan ancaman serius terhadap dirinya.
Pakaiannya sederhana, dalam rumah ada pula kursi-kursi lain yang enak dan nyaman diduduki, namun dia rela berdiri saja.
Ting Hun-pin berdiri di ambang pintu, satu persatu
matanya mengerling kepada mereka dengan senyuman yang
menggiurkan. Kedua orang yang dihadapinya ini merupakan dua tokoh silat yang berlawanan. Sekilas pandang saja Ting Hun-pin lantas merasakan kedua orang ini tak mungkin hidup berdampingan secara damai.
"Aku she Ting," ujar Ting Hun-pin tersenyum manis sembari melangkah maju, "bernama Hun-pin."
"Aku mengenalmu," dingin suara Giok-siau Tojin.
"Apakah kalian masing-masing juga sudah kenal?", tanya Ting Hun-pin tetap tersenyum.
Sombong sikap Giok-siau, katanya: "Dia harus tahu siapa aku ini!", jari-jarinya mengelus seruling pualam putih di tangannya, "dia harus kenal serulingku ini."
Ting Hun-pin tertawa pula, katanya: "Apakah setiap orang pasti kenal serulingmu ini" Kalau tidak dia harus mati?", matanya mengerling ke arah Lu Di.
Muka Lu Di sedikitpun tidak menunjukkan perasaan apaapa. Agaknya dia bukan laki-laki yang gampang tersinggung.
Berputar biji mata Ting Hun-pin, katanya berseri:
"Sungguh aku tidak nyana, Lu Kongcu pun sudi datang, aku........."
"Kau harus menduganya." tukas Lu Di tiba-tiba.
"Kenapa?"
"Pit-kip dan harta karun peninggalan Siangkwan Kim-hong, memangnya siapa yang tidak ingin mengangkanginya?"
"Jadi Lu Kongcu juga ingin mengangkanginya?"
"Aku hanya manusia biasa."
"Sayang Lu Kongcu tidak gampang untuk mendapatkan rahasia dari harta karun itu." ujar Ting Hun-pin manggut-manggut, "tapi aku tahu, hanya aku saja yang tahu.
Sebetulnya aku tidak ingin membeber rahasia ini, namun sekarang aku dipaksa untuk mengatakannya."
"Kenapa?"
Ting Hun-pin menghela napas, tawanya kelihatan rada
sedih, katanya: "Karena sekarang Yap Kay sudah mati, mengandal tenagaku seorang, jelas takkan mampu
melindungi harta karun itu."
"Maka kau mengundang kami kemari." ujar Lu Di.
"Setelah ku timang-timang, orang-orang gagah di kolong langit ini, rasanya tiada yang bisa mengungkuli kalian berdua."
Kalau Lu Di mendengarkan tanpa menunjuk perubahan
sikap, Giok-siau malah tertawa dingin.
"Hari ini ku undang kalian kemari, "demikian kata Ting Hun-pin lebih lanjut, "maksudku hendak memberitahu rahasia itu kepada kalian, karena................."
"Kau tidak usah beritahu kepadaku," tiba-tiba Lu Di menukas kata-katanya.
"Kenapa?"
"Karena aku tidak ingin tahu!"
Ting Hun-pin melongo, senyuman mukanya menjadi kaku.
"Tapi aku tahu akan satu hal," ujar Lu Di.
"Hal apa?" tanya Ting Hun-pin.
"Jikalau ada dua orang sekaligus tahu akan rahasia ini, mungkin hanya satu saja yang bisa keluar dengan nyawa
masih hidup."
Ting Hun-pin sudah tidak bisa tertawa lagi.
Kini ganti Lu Di yang tertawa, katanya: "Harta karun itu memang menarik hatiku, tapi aku tidak mau lantaran
memperebutkan harta itu sampai berduel dengan Tang-hay-giok-siau."
Tiba-tiba Giok-siau manggut-manggut, ujarnya: "Agaknya kau orang pintar."
Dingin suara Lu Di, tanyanya: "Totiang juga sudah tahu akan maksudnya?"
"Dia tidak secerdik dirimu."
"Tapi dia tidak bodoh, malah begini ayu jelita."
"Dia memang suka mengagulkan diri, aku justru tidak suka perempuan yang ngepinter."
"Perempuan mana dalam dunia ini yang tidak suka
mengagulkan diri?"
Tiba-tiba Giok-siau menatap mukanya, tanyanya dingin:
"Memangnya apa yang kau ingin tanyakan?"
"Aku hanya memberi peringatan kepada Totiang,
perempuan seperti ini tidak banyak jumlahnya dalam dunia ini."
Tanpa terasa Giok-siau mengawasi Ting Hun-pin dua kali, sorot matanya menunjukkan kekagumannya, tiba-tiba dia
menghela napas, mulutnya mengguman: "Sayang..........
sungguh sayang......"
"Apanya yang sayang?", tanya Lu Di.


Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebatang pedang kalau sudah gumpil, kau bisa
mengetahui tidak?"
Lu Di manggut-manggut.
"Gadis ini sudah gumpil, sudah tidak asli lagi."
"Kau bisa melihatnya?"
Lu Di tahu akan maksud Giok-siau, hubungan Ting Hun-pin dengan Yap Kay memang sudah bukan rahasia lagi. Dia
sering dengar Kwe Siong-yang yang selamanya tidak mau
pakai pedang yang sudah gumpil, demikian pula Giok-siau tidak mau main dengan perempuan yang sudah dikerjai laki-laki. Matanya masih mengawasi Giok-siau, namun dia tidak
bertanya lagi, hanya sorot matanya masih menampilkan
senyuman mencemooh.
"Kau belum mengerti?" tanya Giok-siau.
"Aku hanya heran."
"Apa yang kau herankan?"
"Aku heran kenapa kau memilih kuris yang kau duduki itu?"
"Tentunya kau juga tahu, hanya kursi ini yang paling enak di duduki dalam rumah ini."
"Sudah tentu kau tahu, tapi akupun tahu, entah berapa banyak orang yang dulu pernah menduduki kursi itu."
Tiba-tiba dia mengakhiri percakapan ini, dengan langkah lebar dia beranjak keluar lewat samping Ting Hun-pin.
Hati Ting Hun-pin mencelos, darah dalam tubuhnya
seakan-akan menjadi dingin, badannya kaku membesi.
Giok-siau tengah mengamati-amati dirinya, seperti
seseorang yang sedang memilih sesuatu barang yang hendak dibelinya. Seolah-olah sorot mata sudah tembus pakaiannya, menikmati potongan badannya. Ting Hun-pin seperti dirinya sedang berdiri telanjang bulat di hadapan orang.
Bukan hanya kali ini dirinya pernah dipandang begitu rupa oleh laki-laki, namun kali ini sungguh tak kuat lagi dia menekan perasaannya. Tiba-tiba dia putar badan terus
berlari keluar. Dia tidak takut mati, namun dia cukup tahu, banyak kejadian yang lebih menakutkan dalam dunia ini
daripada mati. Tak nyana baru saja dia memutar badan, tahu-tahu daun
pintu sudah tertutup, Giok-siau sudah berdiri di
hadapannya, berdiri menggendong tangan menghadang
jalannya, tetap dengan sorot mata yang jalang mengawasi dirinya.
Ting Hun-pin mengepal kencang jari-jari tangannya,
kakinya menyurut mundur selangkah demi selangkah,
mundur ke kursi yang tadi diduduki orang, lalu dia duduk, katanya tiba-tiba: "Aku...... aku tahu kau pasti tidak akan menyentuh aku. Memang aku sudah tidak asli lagi, malah sudah terlalu besar gumpilan badanku."
Giok-siau tertawa senang, katanya tersenyum: "Semula kukira kau sudah dewasa, karena apa yang ingin kau
kerjakan hari ini adalah kerja orang besar, baru sekarang aku tahu, kau memang masih kanak-kanak."
Selamanya Ting Hun-pin tidak mau mengakui bahwa
dirinya masih kanak-kanak, terutama di hadapan Yap Kay, dia lebih tidak mau mengakui, tapi sekarang mau tidak mau dia harus mengakui.
"Tahukah kau" Kanak-kanak hendak mengerjakan urusan besar, terlalu berbahaya." ujar Giok-siau.
Ting Hun-pin memberanikan diri, katanya: "Aku belum melihat adanya bahaya di hadapanku."
Giok-siau tertawa ujarnya: "Karena kau tahu aku tidak mau menyentuhmu?"
Ingin Ting Hun-pin tertawa paksa, namun dia tidak bisa tertawa, dengan keras dia gigit bibir dan manggut-manggut.
"Sebetulnya aku memang tidak sudi menyentuh
perempuan yang sudah pernah ditiduri laki-laki, tapi
kepadamu aku boleh melanggar kebiasaanku ini."
Ting Hun-pin duduk kaku, ujung jari kaki dan tangan
seperti tidak bisa bergerak, demikian pula lidahnya terasa kaku, seraut mukanya sudah pucat pasi.
Terasa oleh Ting Hun-pin sorot mata orang seakan-akan
menampilkan daya sedot yang aneh. Bukan saja menyedot
daya pandangnya, malah seluruh pikiran dan semangatnyapun tersedot kencang. Dia ingin meronta, ingin lari atau
menyingkir, namun dia hanya bisa duduk mematung dan
mendelong balas menatap mata orang. Biji mata orang seakan-akan berkobar seperti api setan.
Menghadapi sepasang mata ini, akhirnya Ting Hun-pin
menyadari kejadian tempo hari yang menimpa dirinya. Kerja apa pula yang harus dia kerjakan menurut kemauan orang"
Mungkinkah lebih menakutkan". Dia sudah kerahkan seluruh tenaga dan semangatnya untuk meronta, keringat dingin
sudah gemerobyos membasahi seluruh badannya, namun dia tidak berhasil membebaskan diri dari belenggu ini, api setan yang terpancar dari biji mata Giok-siau seakan-akan sudah membakar habis sisa tenaganya. Terpaksa dia harus
menyerah dan tunduk akan segala kehendak orang. Apapun yang Giok-siau inginkan atas dirinya, dia tidak akan bisa menolak atau menentangnya.
Pada saat itulah 'Blang......!' daun pintu tiba-tiba
diterjang orang, seseorang tampak berdiri tegak laksana tombak di luar pintu.
Giok-siau amat kaget, bentaknya seraya membalik badan:
"Siapa?"
"Siong-yang Kwe Ting!"
Kwe Ting. Akhirnya dia menyusul datang tepat pada
waktunya. Bagaimana dia bisa kemari" Siapakah yang membuka
tutukan Hiat-to nya" Apakah Siangkwan Siau-sian atau Lu Di"
Sudah tentu mereka tahu, asal Kwe Ting meluruk kemari, maka di antara Giok-siau dan Kwe Ting pasti akan terjadi duel yang sengit, hanya seorang saja yang bisa hidup dan meninggalkan tempat ini.
Sang surya hanya muncul sebentar saja, kembali dia
sudah menyembunyikan diri di balik gumpalan awan tebal, hawa dingin kembali mencekam alam semesta. Angin dingin setajam golok.
Kwe Ting dan Giok-siau sama-sama berdiri berhadapan
dihembus angin dingin setajam golok itu. Hati mereka sama tahu, satu diantara mereka harus ada yang roboh. Siapapun yang ingin keluar dari pekarangan ini, hanya ada satu jalan, lewat melangkahi mayat lawannya.
Pedang Kwe Ting sudah berada di tangannya, pedang yang legam mulus dengan cahaya mengkilap gelap, namun
membawakan hawa membunuh yang tebal dan lebih tajam
dari hembusan angin dingin. Pedang itu sendiri tak ubahnya seperti badan dan jazadnya.
Giok-siau sebaliknya putih mentah mengkilap terang.
Kedua orang inipun merupakan pertentangan yang menyolok.
Kwe Ting mengawasi seruling di tangan Giok-siau, dia
berusaha menghindari pandangan mata orang.
Bara setan dalam biji mata Giok-siau menyala lebih
terang, tiba-tiba dia bertanya: "Jadi kau inilah ahli waris dari Kwe Siong-yang?"
Kwe Ting mengiyakan.
"Dua puluh tahun yang lalu, aku sudah punya maksud untuk menjajal kepandaian Kwe Siong-yang, sayang sekali dia sudah mampus."
"Aku masih hidup."
"Kau terhitung barang apa" Siong-yang-thi-kiam di dalam buku daftar senjata tercantum nomor 4, sebaliknya pedang di tanganmu ini sepeserpun tak berharga. Bahwasanya kau tidak setimpal pakai pedang ini."
Kwe Ting menutup rapat mulutnya, dia berusaha menekan
hawa amarah dan emosinya. Kemarahan ada kalanya
merupakan kekuatan juga, tapi duel di antara dua tokoh kosen, kemarahan bisa menjadikan bibit bencana yang jahat dan beracun, lebih jahat dari bisa yang manapun.
Giok-siau menatapnya, katanya pelan-pelan: "Khabarnya kaupun bersahabat baik dengan Yap Kay?"
Kwe Ting diam saja untuk mengakui.
Giok-siau berkata pula dingin: "Kawan macam apakah di antara kalian sebenarnya?"
"Kawan adalah kawan, kawan sejati hanya satu macam."
"Tapi hubungan kawan kalian kelihatannya rada luar biasa, rada janggal."
"Apanya yang janggal?"
"Setelah Yap Kay mampus, ternyata cepat sekali kau sudah bersedia menampani bininya ini. Bukankah jarang ada teman seperti dirimu?"
Terasa bara membakar dada dan tak tertahan lagi
mendadak Kwe Ting angkat kepala.
Giok-siau tengah menatapnya lekat-lekat. Sorot matanya seketika tersedot, seperti besi sembrani yang menyedot besi umumnya.
Sejak tadi Ting Hun-pin duduk di kursi dengan napas
tersengal-sengal, saat mana dia bangkit berdiri menuju ke pintu. Di lihatnya mata Giok-siau yang bentrok dengan
pandangan Kwe Ting, seketika tersirap darahnya. Cepat
atau lambat, kekuatan, semangat dan daya pikir Kwe Ting akan terbakar habis oleh bara api yang menyala dari biji mata Giok-siau. Sekali-kali dia tidak bisa berpeluk tangan mengikuti langkah Kwe Ting yang bakal kejeblos jurang yang dalam. Sayang hati ada maksud, apa daya tenaga tidak
mencukupi. Dalam saat-saat yang kritis ini, tidak mungkin dia
memberi peringatan kepada Kwe Ting. Sekali perhatiannya terpecah, itu berarti menambah cepat kematiannya.
Angin semakin kencang dan hawa semakin dingin, di
tengah-tengah kegelapan mendung ini bunga salju sebentar pasti akan bertebaran. Di kala kembang salju berjatuhan, mungkin pula darah akan muncrat. Tentunya darah Kwe Ting yang akan muncrat. Sebetulnya tidak perlu dia mengadu jiwa dengan Giok-siau, sebetulnya dia bisa hidup sehat, tentram
dan senang. Kenapa sekarang dia menempuh jalan terakhir ini.
Di saat air mata Ting Hun-pin hampir menetes, tiba-tiba di dengarnya Giok-siau bersuara: "Lempar pedangmu, berlutut!", suaranya seperti mengandung daya kekuatan yang aneh sekali. Suatu perintah yang tidak mungkin
ditentang. Jari-jari tangan Kwe Ting yang memegangi pedang sudah
goyah, tangannya gemetar, mengikuti gejolak perasaannya.
Berkata pula Giok-siau pelan-pelan: "Buat apa kau meronta" Kenapa harus menderita" Asal kau lepaskan
tanganmu, semua deritamu akan lenyap seketika."
Orang mati sudah tentu akan merasakan derita. Asal dia lepas tangan, maka jiwanya bakal melayang. Otot hijau di punggung tangan Kwe Ting sudah merongkol keluar kini
lambat-lambat mulai pudar, demikian pula tenaganya mulai mengendor.
Bercahaya terang sorot mata Giok-siau, jari-jari
tangannya yang memegang serulingpun mulai mengendor.
Duel ini sudah akan berakhir, dia tidak perlu turun tangan, tidak perlu pakai kekerasan. Beberapa tahun belakangan ini dia sudah jarang berduel dengan kekuatan dan bergerak
sengit melawan setiap musuhnya. Dia sudah mempelajari
suatu cara yang lebih mudah, tanpa banyak membuang
tenaga, dengan gampang lawan dirobohkan. Hal ini membuat dia berubah semakin congkak, namun juga semakin malas.
Setelah biasa lewat jalan dekat, tentu tak mau jalan jauh.
Jalan dekat biasanya bukan jalan yang normal, jalan yang betul.
Kali ini tanpa disadarinya akhirnya Giok-siau melangkah maju juga.
Pedang di tangan Kwe Ting kelihatannya sudah hampir
jatuh, namun sekonyong-konyong pegangannya kembali
mengencang, di mana sinar pedang berkelebat tahu-tahu
melesat terbang ke depan.
Ilmu pedang Siong-yang-thi-kiam memang bukan
mengkhususkan diri pada perubahan dan variasi, demikian pula ilmu pedang Kwe Ting. Jikalau dia tidak yakin dan percaya akan kekuatannya, dia tidak akan turun tangan.
Sekali dia menusuk pedang, serangannya harus berhasil dan musuhpun harus mati. Gampang, cepat, telak dan nyata
serta berhasil. Di situlah letak kemurnian dan intisari ilmu Siong-yang-thi-kiam.
Serangan pedangnya ini bukan menusuk ke tenggorokan.
Luas dada jauh lebih besar dari leher, lebih gampang diincar dan lebih besar kemungkinan berhasil. Duel tokoh kosen, sekali salah langkah, meski hanya kesalahan yang tak
berarti, mungkin saja merupakan kesalahan yang
mengakibatkan kematian bagi jiwanya sendiri.
Seluruh kekuatan dan semangat Giok-siau, dia pusatkan
pada kedua biji matanya, dia sangka dirinya sudah
menguasai situasi, sayang sekali dia tidak menyadari, bahwa kedua biji matanya bukannya alat senjata yang ampuh.
Betapapun menakutkan biji mata orang, jelas takkan
mungkin kuat melawan tusukan pedang yang hebat laksana sambaran kilat. Di kala dia mengayun seruling pualamnya, ujung pedang sudah menyelinap tembus dari bawah
serulingnya dan menusuk amblas ke dadanya.
Kembang salju mulai beterbangan di angkasa, darahpun
muncrat. Tapi bukan darah Kwe Ting, tapi darah yang
muncrat dari dada Giok-siau, darah yang merah, menyolok segar.
Kulit mukanya seketika meringkal, biji matanya hampir
mencopot, namun bara api di dalam biji matanya sudah
lenyap tak berbekas. Walau dada sudah berlubang, namun dia belum roboh, matanya masih menatap Kwe Ting, dengan beringas tiba-tiba dia bersuara, suaranya serak: "Kau bernama Kwe Ting?"
Kwe Ting manggut-manggut, sahutnya tenang: "Ya! Ting artinya tenang."
"Kau memang amat tenang, aku memandang rendah
dirimu." "Tapi aku tidak memandang rendah kau, sudah ku
rencanakan cara yang baik untuk menghadapimu."
"Cara yang kau gunakanpun baik sekali!"
"Cara yang kau pakai justru salah besar."
Giok-siau bersuara heran tak mengerti.
"Dengan bekal ilmu silatmu, seharusnya tidak perlu kau menggunakan cara dari aliran sesat ini menghadapiku."
Pandangan Giok-siau yang kosong hampa mengawasi
tempat jauh. Katanya pelan-pelan: "Memang sebetulnya aku boleh tidak usah menggunakannya, hanya seseorang, kalau berhasil mempelajari cara yang gampang untuk mencapai
kemenangan, cara yang tidak membuang tenaga.......", kata-katanya kalem dan penuh penyesalan. Baru sekarang dia
mengerti, kemenangan selamanya tidak pernah dicapai
untung-untungan, untuk menang mempertaruhkan
imbalannya. Mendadak Giok-siau berteriak: "Cabut pedangmu! Biar aku roboh, biar aku mati!"
Ujung pedang masih menancap di dalam dadanya, dia
mulai batuk-batuk semakin keras dengan napas yang
tersengal-sengal. Kalau pedang belum tercabut, mungkin jiwanya masih bisa diperpanjang barang sekejap, tapi dia kini malah minta lekas mati.
Kwe Ting berkata: "Kau......masih ada pesan apa lagi?"
"Tiada, sepatah katapun tidak."
"Baik, mangkatlah dengan lega hati, aku pasti mengurus jenasahmu dengan baik.", ujar Kwe Ting menghela napas.
Akhirnya dia mencabut pedangnya. Waktu mencabut
pedang, sikutnya harus tertekuk mundur, secara langsung bagian dadanya lantas terbuka tanpa penjagaan yang kuat.
Sekonyong-konyong, 'ting....' dari batang seruling pualam di tangan Giok-siau melesat keluar tiga bintik sinar terang, menancap di dada Kwe Ting.
Kontan Kwe Ting terjengkang roboh ke belakang.
Giok-siau malah masih berdiri, napasnya makin memburu, serunya gelak-gelak: "Sekarang aku boleh mati dengan lega hati, karena aku tahu sebentar kaupun akan mengikuti
jejakku.", akhirnya dia roboh juga, roboh di genangan darahnya. Kembang salju tengah berjatuhan, jatuh di atas mukanya yang pucat.
ooo)dw(ooo Ting Hun-pin duduk di bawah lampu, termangu-mangu
mengawasi Kwe Ting yang rebah tak bergerak di ranjang.
Mata yang tajam terpejam, mukanya putih seperti kapur, kalau napas tidak berdengus pelan-pelan, kelihatannya
sudah seperti orang mati.
Dia masih hidup karena senjata rahasia yang disimpan di dalam seruling Giok-siau tidak beracun. Batu pualam
memang selalu putih bersih dan murni. Kalau jiwa Giok-siau sudah berubah, namun seruling pualamnya tidak pernah
berubah. Pualam itu tetap abadi.
Tapi betapapun senjata rahasia itu disambitkan dari
jarak yang amat dekat. Batang paku pualam itu hampir
memutus urat nadi Kwe Ting yang menembus ke jantungnya.
Bahwa dia masih bertahan hidup sampai sekarang memang
merupakan suatu keajaiban.
Entah berapa lamanya Ting Hun-pin duduk termangu di
ujung ranjang, air matanya sudah kering, entah berapa kali sudah dia bercucuran air mata.
Tiba-tiba terdengar bunyi petasan berenteng yang
memecah kesunyian malam di luar. Petasan berbunyi
menandakan tahun lama akan berselang, tahun baru bakal mendatangkan garapan baru. Tapi menghadapi Kwe Ting
yang sekarat, harapan apa yang bisa dia peroleh"
Suara petasan mengejutkan Kwe Ting, tiba-tiba dia
membuka mata, seolah-olah hendak bertanya: "Suara apakah itu?", namun bibirnya tak bisa bergerak.
Ting Hun-pin bisa meraba isi hatinya. Dengan paksa dia unjuk senyum, katanya: "Besok sudah tahun baru, di luar orang lepas petasan."
Dengan mendelong Kwe Ting mengawasi tabir malam di
luar jendela. Besar harapannya bisa melihat sinar surya, namun apa pula yang dapat dia lakukan" Tiba-tiba dia batuk keras tak henti-hentinya.
"Kau mau minum kuah hangat?" tanya Ting Hun-pin lembut, "malam ini mereka tentu ada sedia kuah ayam."
Sekuatnya Kwe Ting geleng-geleng, lalu dia pandang Ting Hun-pin, lekat-lekat tercetus juga suara dari mulutnya:
"Kau pergilah!"
"Kau......ingin aku meninggalkan kau?"
"Aku tahu ajalku sudah dekat, buat apa kau
menemaniku?" kata Kwe Ting dengan syahdu.
Ting Hun-pin gigit bibir, dia tahan air matanya supaya tidak menetes keluar, katanya: "Kalau kau kira kau sudah dekat ajal, maka kau terlalu menyia-nyiakan harapanku."
"Kenapa?"
"Karena aku.......aku sudah siap menikah dengan kau, kau tega membiarkan aku jadi janda?"
Muka Kwe Ting yang pucat bersemu merah: "Apa benar?"
"Sudah tentu benar!", ujar Ting Hun-pin, "kapan saja kita bisa menikah."
Asal dapat mempertahankan kehidupan Kwe Ting, apapun
yang harus dia lakukan, dia akan bekerja suka rela.
"Besok adalah hari baik, kita tidak perlu tunggu lagi."
"Tapi aku............."
"Maka kau harus bertahan hidup, harus!"
Sejak hari pertama dia berkenalan dengan Yap Kay, tak
pernah terpikir di dalam benak Ting Hun-pin akhir dirinya akan kawin dengan orang lain. Tapi besok malam..........
ooo)dw(ooo Loteng itu bercat merah, jendela merah, lilin merah, kain gordyn merah, semuanya serba merah.
Siangkwan Siau-sian tertawa manis, katanya mengawasi
Yap Kay: "Coba katakan, mirip tidak kamar pengantin?"
"Tidak!", sahut Yap Kay pendek.
Seketika cemberut bibir Siangkwan Siau-sian.
"Dalam hal apa tidak sama" Apa kau tidak mirip
pengantin?"
Pakaiannyapun baru, merah lagi.
"Kau memang mirip pengantin, tapi aku tidak."
Sebetulnya diapun mengenakan pakaian baru.
"Kenapa kau tidak bercermin dahulu?"
"Tidak perlu bercermin, aku sudah bisa memandang
diriku sendiri, malah jelas sekali.", ujar Yap Kay, "derita selama hidupku ini justru karena selamanya aku bisa
memandang diriku sendiri dengan jelas." tiba-tiba dia berdiri mendorong jendela.
Suasana di luar ramai tentram, setiap rumah
bertempelan kertas warna-warni yang bertuliskan syairsyair memuji keindahan tahun baru, memujikan bahagia dan mendapat berkah, lekas kaya, banyak anak.
Anak-anak menutup kuping melepas petasan, mereka
berpakaian serba baru.
Agaknya Siangkwan Siau-sian sengaja mengatur semua
ini, dia harap suasana tahun baru yang ramai dan damai, dapat memberikan kesan dan kehidupan baru bagi Yap Kay.
Beberapa hari ini orang selalu murung.
"Kau suka tahun baru?" tanya Siangkwan Siau-sian.
Yap Kay memandang ke tempat jauh. Suasana senja mulai
gelap tak ubahnya seperti hari-hari biasa yang telah lampau.
"Agaknya selama ini aku tidak pernah bertahun baru."
"Kenapa?"
Tampak hambar, mendelu dan kesunyian di sorot mata
Yap Kay, lama sekali baru dia berkata pelan-pelan: "Kau harus tahu, dalam dunia ini ada semacam orang yang
selamanya tidak pernah bertahun baru."
"Orang macam apa?"
"Orang yang tidak punya keluarga, tidak punya rumah."
Tiba-tiba Siangkwan Siau-sian menghela napas, katanya:
"Sebetulnya aku.............. selama ini akupun tak pernah bertahun baru. Tentunya kau tahu orang macam apa ibuku sebenarnya, tapi takkan kau ketahui betapa hidupnya


Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setelah usia tua, di kala orang lain bertahun baru, dia selalu memelukku, diam-diam menangis di dalam kemul."
Tak terasa Yap Kay menghela napas panjang.
"Kau juga tahu, kita sama-sama orang senasib, kenapa sikapmu begitu dingin kepadaku?"
"Itulah lantaran kau sudah berubah."
Siangkwan Siau-sian maju mendekati, katanya
menggelendot: "Menurut anggapanmu, sekarang aku berubah menjadi perempuan apa?"
Yap Kay diam saja, dia tidak memberi komentar.
Selamanya dia tidak suka mengeritik orang lain
dihadapannya sehingga orang sedih karenanya.
Siangkwan Siau-sian tiba-tiba tertawa dingin, katanya:
"Jikalau kau kira aku berubah seperti.............. seperti dia, kau salah!"
Yap Kay tahu siapa yang dimaksud dengan dia. Memang
semula dia kira Siangkwan Siau-sian sudah berubah
mencontoh sepak terjang ibunya, Lim Sian-ji yang centil, cabul dan berhati keji, malah Siangkwan Siau-sian yang sekarang jauh lebih menakutkan.
Tiba-tiba Siangkwan Siau-sian menariknya serta
memutar badan orang, serunya: "Pandanglah aku, ada omongan yang ingin kutanya kepadamu"
"Kau boleh tanya!"
"Kalau kukatakan bahwa selama hidupku belum pernah ada laki-laki yang menyentuhku, kau percaya tidak?"
Yap Kay tidak menjawab, tidak bisa menjawab.
"Jikalau kau menyangka terhadap laki-laki lain sikapku sama dengan terhadap sikapmu, kau semakin salah duga!"
"Kau.......kenapa kau bersikap demikian terhadapku?"
Siangkwan Siau-sian menggigit bibir katanya:
"Memangnya hatimu belum tahu" Kenapa harus bertanya lagi?"
Tiba-tiba Yap Kay tertawa, katanya: "Malam ini hari yang baik menjelang tahun baru, kenapa kita membicarakan hal-hal yang kurang menyenangkan?"
"Karena aku bicara atau tidak terhadapmu, kau tetap murung saja." tanpa memberi kesempatan Yap Kay
menyanggah, lekas dia menambahkan: "Karena aku tahu sanubarimu selalu merindukan Ting Hun-pin."
(Bersambung ke Jilid-12)
Jilid-12 Yap Kay tidak bisa menyangkal, katanya dengan tertawa
getir: "Bukan hanya sehari aku mengenalnya, dia memang gadis yang baik, terhadap aku, diapun kelewat baik."
"Memangnya aku tidak baik terhadapmu?"
Yap Kay diam saja, dengan menggendong tangan dia
berjalan mondar-mandir.
Tiba-tiba didengarnya suara aneh seperti sempritan yang terbuat dari tembaga kumandang di tengah udara.
Seekor burung dara terbang mendatangi dari kejauhan,
hinggap di wuwungan rumah seberang, bulunya hitam legam, kelihatannya seperti burung elang.
Belum pernah Yap Kay melihat burung dara seperti ini,
tak tahan dia menghentikan langkahnya, sesaat mengamati
dengan seksama. Waktu dia menoleh pula, baru dilihatnya sorot mata Siangkwan Siau-sian bersinar terang.
Tiba-tiba Siangkwan Siau-sian keluarkan sebuah
sempritan kecil dari kantong bajunya lalu ditiupnya sekali.
Aneh sekali, burung dara itu segera terbang masuk hinggap di atas telapak tangannya, cakarnya seperti baja, paruhnya seperti tombak, biji matanya merah berkilat-kilat,
kelihatannya mirip benar dengan garuda yang gagah dan
garang. Burung piaraan siapakah"
Lapat-lapat Yap Kay merasakan majikan dari burung dara itu tentu seorang yang menakutkan pula.
Pada kaki kanan burung dara terikat sebuah bumbung
besi, Siangkwan Siau-sian segera mengambilnya, dari
dalamnya dia melolos keluar secarik kertas yang penuh
bertuliskan huruf-huruf kecil. Siangkwan Siau-sian
mendekati lampu lalu membacanya dengan seksama berulang kali. Begitu asyik dia baca surat sungguh besar
perhatiannya pada apa yang tertulis dalam surat itu
sehingga kehadiran Yap Kay pun seperti sudah dilupakan.
Yap Kay malah mengawasinya, cahaya lampu menyinari
muka orang, muka orang yang semu merah, berubah pucat, sikapnya serius dan tegang seperti tertekan perasaannya.
Dalam sekejap ini seakan-akan ia menjadi orang lain,
menjadi Siangkwan Kim-hong. Agaknya surat itu amat
rahasia, sangat penting.
Yap Kay tidak ingin mencari tahu rahasia orang lain,
namun burung dara itu tengah mengawasi dirinya dengan
pandangan tajam waspada. Waktu dia mendekat mengulur
tangan hendak mengelus bulunya, tiba-tiba burung dara itu pentang sayap sambil mematuk tangannya.
Yap Kay menghela napas, katanya mengguman: "Burung dara segalak ini, jarang di dapat di kolong langit ini."
Siangkwan Siau-sian tiba-tiba angkat kepala dengan
tertawa, katanya: "Burung dara jenis seperti ini memang jarang didapat, menurut apa yang ku tahu, di kolong langit ini hanya ada seekor saja. Memang untuk memelihara burung dara ini amat sukar, orang yang mampu dan kuat
memeliharanya dalam dunia ini takkan lebih dari 3 orang."
"Kenapa?", tanya Yap Kay heran.
"Tahukah kau makanan apa yang biasa dimakan burung dara ini?", tanya Siangkwan Siau-sian.
Yap Kay geleng-geleng tidak mengerti.
"Memang aku tahu, kau pasti tidak akan menduganya."
Yap Kay tertawa dipaksakan, ujarnya: "Yang dimakan memangnya daging manusia?"
Siangkwan Siau-sian tertawa, tanpa menjawab dia malah
tepuk tangan seraya berseru: "Siau-cui!"
Seorang nona cilik yang tertawa manis dengan lesung
pipit yang elok berlari keluar sembari mengiyakan.
"Mana pisaumu?", tanya Siangkwan Siau-sian.
Siau-cui segera merogoh keluar sebuah pisau
melengkung, gagangnya dihiasi jamrut kecil-kecil.
"Bagus! Sekarang kau boleh menyuapi dia makan."
Siangkwan Siau-sian memberi aba-aba.
Siau-cui segera membuka baju, dari badannya dia
mengiris sekerat kulit dagingnya dengan pisau melengkung itu. Saking kesakitan, muka menjadi pucat dan keringat dingin gemerobyos, namun dia masih unjuk senyuman manis.
Burung dara itu segera terbang menyamber daging itu
dengan paruhnya, terus terbang keluar jendela.
Yap Kay terbelalak, serunya: "Makanannya benar-benar daging manusia?"
"Bukan saja daging manusia, malah harus daging segar yang baru diiris dari badan seorang gadis cantik."
Yap Kay jadi mual dan perutnya seperti dipelintir saking jijik dan ngeri.
"Tahukah kau darimana datangnya burung dara ini?", tanya Siangkwan Siau-sian, lanjutnya: "Dia terbang dari tempat yang ribuan li jauhnya, malah membawa berita yang amat penting, umpama dagingku sendiri yang harus diiris untuk makanannya, akupun rela."
"Berita apa yang dibawanya?"
"Berita dari Mo Kau!"
"Jadi majikan burung dara ini adalah Mo Kau Kaucu?"
"Bukan Kaucu, namun seorang Kongcu (tuan putri), Kongcu yang cantik sekali."
"Bagaimana dia bisa saling berhubungan dengan kau?"
"Karena diapun manusia, asal manusia, aku pasti punya cara untuk membeli hatinya," ujar Siangkwan Siau-sian menghela napas, "mungkin hanya kau saja yang terkecuali."
"Apa dia berani menjual rahasia Mo Kau kepadamu?", tanya Yap Kay.
Siangkwan Siau-sian menghela napas, ujarnya: "Sayang sedikit sekali rahasia yang dia ketahui."
"Apa saja yang dia ketahui?"
"Dia hanya tahu, tiga di antara Su-thoa-thian-ong Mo Kau kini sudah berada di Tiang-an, namun dia tidak tahu samaran apa yang mereka pakai di sana."
"Diapun tidak tahu nama dari ketiga orang ini?"
"Tahupun tiada gunanya, siapapun setelah masuk anggota Mo Kau, seluruh jiwa raga dan harta benda miliknya harus dia persembahkan untuk Mo Kau, jangan hanya nama belaka, tak berguna lagi."
"Maka dia hanya tahu nama-nama yang mereka pakai di dalam Mo Kau."
Siangkwan Siau-sian manggut-manggut, ujarnya: "Nama-nama Su-thoa-thian-ong dari Mo Kau semuanya aneh-aneh.
Yang pertama bernama Sialpu, kedua bernama Tolka, ketiga bernama Putala, ke empat bernama Panjapana. Nama-nama
ini diambil dari bahasa Tibet kuno."
Maksud dari Sialpu melambangkan kecerdikan yang luar
biasa, Tolka melambangkan kekuasaan yang besar, Putala adalah sebuah puncak tunggal, sedangkan Panjapana adalah malaikat asmara, malaikat yang suka melampiaskan hawa
napsu. "Sekarang, kecuali Tolka Thian-ong seorang yang masih berada di Mo-san, tiga Thian-ong yang lain kini sudah
berada di Tiang-an."
"Berita ini dapat dipercaya?"
"Pasti boleh dipercaya."
"Kau sendiri tidak tahu siapa kiranya mereka itu?"
"Aku hanya ingat satu orang, Panjapana Thian-ong
kemungkinan besar adalah Giok-siau."
"Bisakah kau memancing keterangan dua orang yang lain dari Giok-siau?"
"Tidak mungkin," sahut Siangkwan Siau-sian geleng-geleng, "andaikata punya cara untuk mengompas keterangan dari berbagai orang, hanya satu macam orang saja yang
terkecuali."
"Orang mati maksudmu?", tanya Yap Kay.
Siangkwan Siau-sian manggut-manggut.
"Cara bagaimana dia mati?"
"Ada orang yang membunuhnya."
"Siapa yang mampu membunuh Tang-hay-giok-siau?"
"Dalam kota Tiang-an sekarang bukan hanya seorang yang bisa membunuhnya."
Yap Kay menepekur, katanya kemudian dengan menghela
napas: "Baru sepuluhan hari aku di sini, namun kota Tiang-an sudah banyak kejadian pula."
"Kau....apakah kau ingin pergi dari sini?"
"Luka-lukaku sudah sembuh."
"Begitu luka-lukamu sembuh, lalu kau hendak pergi?", terpancar rasa pilu pada sorot matanya.
Yap Kay menyingkir dari tatapan orang, katanya: "Cepat atau lambat, aku harus pergi juga."
"Kapan kau hendak pergi?"
"Besok....!" Yap Kay tertawa kecut, "kalau besok aku pergi, kau bisa memberi selamat tahun baru kepada yang hendak pergi?"
Siangkwan Siau-sian gigit bibir, tiba-tiba dia tertawa, katanya: "Kecuali memberi selamat tahun baru, kau malah bisa menghadiri sebuah jamuan pernikahan."
"Jamuan pernikahan siapa?"
"Sudah tentu temanmu, seorang teman yang amat baik kepadamu."
ooo)dw(ooo Akhirnya Yap Kay pergi juga. Ternyata Siangkwan Siausian tidak menahannya lagi, cuma dia gandeng dan peluk lengannya terus mengantar sampai di luar, sampai di ujung jalan.
Siapapun yang melihat sikap mesra mereka pasti
menduga mereka adalah pasangan setimpal. Tapi apakah
sebetulnya mereka memang kekasih" Atau teman biasa"
Atau musuh besar" Mungkin mereka sendiri sekarang belum bisa membedakan.
Sebelum berpisah, tiba-tiba Yap Kay berkata: "Sudah lama kupikirkan, namun tak bisa kusimpulkan juga, siapakah sebenarnya Sialpu dan Putala itu?"
"Kalau tidak bisa kau simpulkan, kenapa kau pikiri?" ujar Siangkwan Siau-sian tertawa rawan.
"Aku tidak bisa tidak harus memikirkannya."
"Kenapa manusia sering memikirkan persoalan yang
semestinya tidak perlu dia risaukan?"
Yap Kay tidak berani menjawab, memang dia tidak bisa
menjawab. Cukup lama mereka berdiam diri, akhirnya tak tahan lagi Yap Kay berkata: "Kuduga Sialpu Thian-ong pasti seorang cerdik cendekia, sementara Putala seorang yang tinggi hati dan congkak."
"Nama-nama yang diambil oleh Mo Kau tentunya tanpa beralasan."
"Menurut pandanganmu, siapa kiranya yang paling cerdik pandai di kota Tiang-an?"
"Kaulah...." sahut Siangkwan Siau-sian, "orang yang benar-benar pintar biasanya kelihatan seperti orang
linglung. Tidak sedikit orang-orang yang linglung di dalam kota Tiang-an sekarang ini."
"Lalu siapa kiranya menurut pendapatmu orang yang paling tinggi hati?"
"Kau."
"Aku lagi?"
Tawar suara Siangkwan Siau-sian: "Hanya orang yang congkak, baru tega menolak uluran cinta murni dan suci orang lain."
Sudah tentu 'orang lain' yang dia maksud adalah dirinya sendiri.
Yap Kay berpaling, memandang mega di ujung langit sana dengan mendelong.
"Kecuali kau...," ujar Siangkwan Siau-sian, "mungkin masih ada satu dua orang lagi."
"Siapa?"
"Lu Di, Kwe Ting."
"Tentunya mereka tidak mungkin adalah orang-orang Mo Kau." kata Yap Kay.
"Apakah karena kau kira mereka dari keluarga baik-baik, maka tidak mungkin masuk Mo Kau?"
"Aku hanya merasakan mereka tidak sesat dan sejahat seperti murid-murid Mo Kau umumnya."
"Apapun yang terjadi, Sialpu dan Putala berada di kota Tiang-an. Mungkin mereka adalah dua orang yang paling
tidak kau duga karena jejak mereka selamanya memang
sukar dijajagi dan bisa diraba oleh orang-orang lain, justru di situlah letak paling sesat dari orang-orang Mo Kau itu."
Yap Kay menghela napas, dia unjuk rasa kuatir. Bila tidak terpaksa betul-betul, murid-murid Mo Kau tidak akan mau menunjukkan bekas-bekas dan asal-usul dirinya. Seringkali setelah orang mati, baru bisa kelihatan kedok asli mereka.
Lalu apakah tujuan dan apa maksud mereka datang ke
Tiang-an" Apakah Siangkwan Siau-sian atau Yap Kay yang akan dihadapinya"
Dengan tertawa paksa Yap Kay berkata: "Asal mereka benar-benar sudah di Tiang-an, cepat atau lambat aku pasti akan bisa menemukan jejak mereka."
"Tapi, hari ini kau belum bisa mulai pencarianmu."
"Kenapa?"
"Karena hari ini kau harus hadir dalam perjamuan
pernikahan temanmu di hotel Hong-ping," terpancar tawa yang menusuk perasaan pada sorot matanya, "karena jikalau kau tidak ke sana, banyak orang akan berduka."
Tapi Yap Kay tidak menuju ke hotel Hong-ping. Sampai
hari menjelang maghrib, dia tetap belum muncul di hotel Hong-ping.
ooo)dw(ooo Tanggal satu tahun baru. Lewat lohor. Cuaca hari ini
ternyata sangat baik, langit membiru gumpalan mega putih berlalu, cahaya matahari cerah cemerlang, alam semesta kembali diliputi kecerahan pada musim semi yang mulai
mendatang. Muka Kwe Ting jauh lebih segar. Ting Hun-pin tengah
menyuapi kuah tim ayam dengan sendok. Mereka jarang
bicara, tidak tahu persoalan apa yang perlu dan harus
mereka bicarakan. Entah hati mereka syukur" Manis madu"
Atau kecut getir"
Kwe Ting menundukkan kepala mengawasi kuah di dalam
mangkok, katanya: "Bukankah kolesom yang kau seduh ini amat mahal?"
Ting Hun-pin manggut-manggut.
"Apa kita mampu membelinya?"
"Tidak mampu."
"Lalu dari mana........"
"Terpaksa aku mengebon kepada pemilik hotel. Kupikir hari ini pasti banyak orang yang akan mengirim kado kemari.
Tiang-an kota sebesar ini, pasti banyak orang yang ingin hadir melihat kita, minum arak bahagia kita. Kukira mereka bukan orang-orang kikir yang tak sudi mengeduk kantong."
Kwe Ting ragu-ragu, katanya: "Sudah banyak orang yang tahu akan pernikahan kita?"
Ting Hun-pin manggut-manggut, katanya: "Makanya
kusuruh Ciangkui menyiapkan dua puluh meja perjamuan."
Tak tertahan Kwe Ting angkat kepala mengawasinya,
entah senang atau berduka"
"Sebetulnya kau tak usah berbuat demikian, aku......"
Ting Hun-pin segera pegang tangannya sebelum orang
habis bicara, tukasnya lembut: "Asal kau bangkitkan semangatmu, lekas menyembuhkan luka-lukamu, jangan kau biarkan aku jadi janda muda."
Akhirnya Kwe Ting tertawa, tawa yang kecut, namun
menampilkan juga sedikit manis mesra. Apapun yang akan terjadi dia sudah berkeputusan untuk menjaga dan
melindungi gadis belia yang dia cintai ini seumur hidupnya,
dan karena adanya tekad ini, maka dia tidak akan gampang mati oleh luka-lukanya.
Pada saat itulah Ciangkui tiba-tiba bersuara di luar pintu:
"Nona Ting, sudah saatnya kau perlu berdandan, sudah kucari orang untuk bantu Kwe Kongcu mandi dan ganti
pakaian." Ting Hun-pin tepuk tangan Kwe Ting, lalu dia dorong
pintu berjalan keluar. Berhadapan dengan orang tua yang baik hati ini, dia menghela napas, katanya: "Kau memang orang baik!"
Ia membangkitkan semangat, tertawa dipaksakan, lalu
bertanya: "Sekarang sudah ada orang mengirim kado?"
Ciangkui tertawa, sahutnya: "Yang memberi kado banyak jumlahnya aku sudah catat semua kado yang diterima. Apa nona Ting ingin memeriksanya?"
Ting Hun-pin memang ingin melihatnya. Sudah diduganya
pasti banyak orang-orang aneh yang mengirimkan kado yang aneh dan luar biasa pula. Banyak urusan yang dipikirkan oleh Ting Hun-pin, namun tak terpikir sedikitpun olehnya bahwa orang pertama yang mengirim kado kepadanya ternyata
adalah Hwi-hou (Rase Terbang) Nyo Thian. Di dalam buku catatan, namanya tercantum nomor satu.
Nyo Thian: 4 macam kado. Sepasang kembang mutiara,
sepasang gelang kumala (jade), seperangkat tutup kepala dengan perhiasannya, empat puluh keping emas kuno murni, jumlah seluruhnya 400 tail.
Emas kuno maksudnya adalah bahwa kadonya itu dia kirim mewakili Kim-ci-pang, yaitu mewakili Siangkwan Siau-sian.
Terkepal kencang jari-jari Ting Hun-pin, dalam hati dia tertawa dingin. Dia harap nanti malam Siangkwan Siau-sian datang dalam perjamuan pernikahannya.
Lu Di ternyata juga mengirim kado, bersama Toh Tong
pemilik Pat-hong Piau-kiok. Kecuali 4 macam kado, terdapat pula sebotol obat mujarab untuk menyembuhkan luka-luka.
Tak terasa Ting Hun-pin tertawa dingin pula, dia sudah berkeputusan untuk tidak menggunakan obat ini, perduli maksud Lu Di baik, dia tetap tidak akan menyerempet
bahaya. Masih banyak lagi nama-nama lain seperti sudah dikenal oleh Ting Hun-pin, orang-orang itu agaknya adalah kenalan kental dari keluarga Ting. Dia terus urutkan nama-nama orang yang tercantum di dalam catatan itu, akhirnya dia temukan lagi sebuah nama yang di luar dugaan, Cui Giok-tin.
Ternyata dia belum mati. Selama ini kenapa dia tidak
pernah muncul" Apakah diapun sudah tahu kabar kematian Yap Kay"
Dari samping Ciangkui tertawa, katanya: "Sungguh tak terpikir olehku bahwa di kota Tiang-an ini, nona ternyata punya kenalan begini banyak, nanti malam pestanya tentu amat ramai."
Memang pernikahan mereka sudah menggemparkan
seluruh kota Tiang-an.
Baru sekarang tiba-tiba Ting Hun-pin mendadak
menyadari bahwa dirinya ternyata juga seorang yang
terkenal, tapi apakah lantaran Yap Kay"
Waktu dia melihat nama terakhir, seketika hatinya
mencelos. Lamkiong Long: Sebuah pigura (lukisan).
Dia tahu nama ini, juga kenal orangnya. Di dalam setiap keluarga besar persilatan, selalu terdapat satu dua orang yang terlalu jahat dan kejam. Lamkiong Long adalah salah seorang yang paling menakutkan dari keluarga besar
persilatan Lamkiong ini. Sebagai begal besar yang telengas, nama Lamkiong Long amat ditakuti sebagai murid keluarga yang murtad, tapi dia adalah paman Lamkiong Wan yang
pernah dikalahkan oleh Kwe Ting itu.
Tiba-tiba Ting Hun-pin bertanya: "Kau sudah melihat lukisan yang dikirim kemari belum?"
Ciangkui geleng-geleng, katanya: "Kalau nona ingin memeriksanya, sekarang juga akan kubawa keluar."
Sudah tentu Ting Hun-pin ingin melihatnya.
Waktu gulungan lukisan itu dibuka, tampak dalam lukisan menggambarkan dua orang. Seorang memegang pedang
panjang yang berlepotan darah berdiri di depan sepasang lilin merah. Pakaian dan pedang yang dilukiskan dalam
gambar ini amat jelas menyolok, namun mukanya serba putih kosong. Orang ini tanpa muka. Seorang yang lain sudah
roboh menggeletak di bawah ujung pedang, pakaian yang
dipakainya jelas adalah dandanan mempelai pria.
Berubah air muka Ting Hun-pin. Maksud Lamkiong Long
sudah jelas sekali, dia kemari hendak menuntut balas bagi keponakannya Lamkiong Wan. Nanti malam Kwe Ting hendak dibunuh dengan pedang di tengah perjamuan pernikahannya.


Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kwe Ting sudah terluka parah, jelas takkan mampu dan kuat melawan lagi.
Ciangkui juga merasakan ketakutannya, lekas dia gulung lagi gambar itu.
Tiba-tiba terdengar di luar ada orang berseru: "Apakah hotel Hong-ping di sini?"
Yang mengajukan pertanyaan adalah laki-laki yang
setengah baya berjubah kuning, berambut panjang, jubah kuningnya yang mengkilap hanya menutupi lutut. Kalau
jubahnya kuning emas, sebaliknya mukanya pucat seram tak berperasaan. Seorang ini sudah cukup aneh dan menarik
perhatian orang banyak, lebih aneh lagi di belakangnya masih ada tiga orang, dandanan dan sikap mereka mirip satu sama lain.
Ciangkui merinding dibuatnya, terpaksa dia unjuk senyum meringis dan menjawab gemetar: "Betul! Hotel kami memang bernama Hong-ping."
"Jadi pernikahan Kwe Ting, Kwe Kongcu dan Ting Hun-pin, Ting Kohnio adalah di sini?" tanya laki-laki jubah kuning itu.
"Benar, memang di sini." sahut Ciangkui sambil melirik Ting Hun-pin. Dilihatnya muka orang mengunjuk keheranan, namun tidak memberi reaksi, terpaksa Ciangkui bertanya:
"Apakah tuan-tuan hendak mencari Kwe Kongcu?"
"Tidak!", sahut laki-laki jubah kuning.
"Mengantar kado tentunya?"
"Juga tidak."
"Tanpa memberi juga boleh ikut perjamuan. Silahkan kalian duduk sambil menikmati teh."
"Kami tidak minum teh, juga bukan mau ikut perjamuan."
kata laki-laki jubah kuning.
Ting Hun-pin tiba-tiba tertawa, katanya: "Mungkinkah kalian hendak melihat pengantin perempuan?"
Laki-laki jubah kuning melirik dingin kepadanya, katanya:
"Kau inikah mempelai perempuan?"
Ting Hun-pin manggut-manggut, ujarnya: "Maka jikalau kalian ingin menyaksikan sekarang boleh melihat sepuas hati kalian."
Laki-laki jubah kuning malah mendelikkan mata, katanya:
"Yang kami ingin lihat juga bukan pengantin."
"Lalu apa yang ingin kalian lihat?"
"Ingin kami saksikan apakah malam nanti ada orang berani kemari mencari onar?"
"Kalau ada?"
"Tidak boleh ada, juga takkan ada."
"Kenapa?"
"Karena kami mendapat perintah untuk menjaga
keamanan di sini, melindungi mempelai berdua masuk ke
dalam kamar pengantin."
"Kalau ada kalian lantas takkan ada orang berani mencari onar?"
"Kalau ada satu, kota Tiang-an malam ini akan
ketambahan satu orang mati."
"Kalau ada seratus orang yang datang, kota Tiang-an ini akan ketambahan seratus orang mati?"
"Seratus empat lebih banyak."
Kata-kata ini sudah jelas menandakan walau mereka
berempat bukan tandingan seratus orang, namun merekapun jangan harap bisa pulang dengan tetap hidup.
Ting Hun-pin menghela napas, tanyanya: "Atas perintah siapa kalian bertugas di sini" Apa kalian dari Kim-ci-pang?"
Sepatah katapun tak bicara lagi, muka laki-laki jubah
kuning malah membesi keren. Satu persatu mereka
melangkah masuk ke ruang perjamuan. Di sana mereka
berpencar ke empat penjuru, masing-masing menduduki satu sudut, berdiri tegak tanpa bergerak.
Ciangkui menghela napas seraya mengelus dada.
Belum lagi dia bicara, tiba-tiba di luar terdengar ada orang bertanya pula: "Apakah di sini hotel Hong-ping?"
Yang datang kali ini ternyata seorang pengemis dengan
rambut awut-awutan dan pakaian bersih penuh tambalan. Di punggungnya menggendong karung yang sudah butut dan
berlobang-lobang. Tentunya dia bukan mengantar kado.
Pengemis di dunia ini biasanya minta sekedar uang atau beras, tiada pengemis yang memberi kado.
Ciangkui mengerut kening, katanya: "Terlalu pagi kau datang, sekarang belum saatnya minta sedekah di sini."
Pengemis itu malah tertawa dingin, katanya: "Darimana ku tahu kalau aku mendadak minta sedekah?"
"O, bukan minta-minta?" Ciangkui melengak.
"Andaikan kau berikan hotelmu ini kepadaku, belum tentu aku sudi menerimanya."
Sombong benar kata-kata pengemis ini.
"Lalu untuk apa kau kemari" Mau ikut perjamuan?"
"Tidak! Aku mengantar kado."
"Mana kadonya?"
"Di sini!", ujar pengemis serta menurunkan karungnya terus ditaruh di atas meja.
Belasan butir mutiara sebesar kelengkeng seketika
bergelindingan keluar dari dalam karung.
Ciangkui tertegun. Ting Hun-pin kaget.
Belasan butir mutiara ini, harganya sudah tidak ternilai, jarang dilihatnya mutiara sebesar itu. Tak nyana barang-barang yang berada di dalam karung bukan hanya belasan mutiara itu saja, masih terdapat jamrut mata kucing dan batu-batu permata lainnya yang tidak diketahui jumlahnya.
Mulut Ciangkui terbuka lebar, mimpipun tak pernah
diduganya bahwa pengemis rudin ini mengirim kado barang-barang antik sebanyak ini.
"Barang-barang ini semua dihaturkan kepada nona Ting untuk menambah pesalin. Harap diterima!".
Habis bicara, sekali badan berputar, tahu-tahu dia sudah mencelat ke jalan raya, kecepatan gerak badannya jarang terlihat di kalangan Kang-ouw.
Ting Hun-pin hendak menghadangnya, namun sudah
terlambat. Waktu dia memburu ke luar, orang hilir mudik di jalan raya, bayangan pengemis itu sudah tidak kelihatan lagi.
Siapakah dia sebetulnya" Kenapa memberi kado semahal
itu" "Nah, ini ada kartu namanya." seru Ciangkui.
Di dalam kartu nama yang merah besar itu, sebelah kanan atas bertuliskan 'Pernikahan Kwe Kongcu dan Ting Kohnio'.
Di tengah pujian muluk-muluk, bagian bawah kiri tertanda hormat dari Sialpu, Tolka, Putala dan Panjapana.
Ting Hun-pin termangu.
"Nona Ting tidak kenal ke empat orang ini?", tanya Ciangkui.
"Bukan saja tidak kenal, nama-nama aneh inipun belum pernah kudengar."
"Bagaimanapun juga dia mengirim kado, tentu bermaksud baik."
Ting Hun-pin menghela napas, belum dia buka suara, di
luar sudah ada orang tanya pula: "Apakah di sini hotel Hong-ping?"
Pertanyaan yang sama, namun yang datang beruntun ini
justru berlainan satu sama lain. Dua terdahulu sudah
termasuk orang-orang aneh, yang ketiga inipun aneh sekali.
Waktu itu hawa cukup dingin, namun orang ini hanya
mengenakan baju biru tipis kepalanya mengenakan topi
tinggi yang bentuknya aneh, kulit mukanya kuning seperti malam, jenggot kambing yang jarang-jarang kelihatannya
seperti orang yang baru sembuh dari penyakit lama, namun orang justru tidak takut dingin. Tangan kiri pegang payung, tangan kanan menenteng peti, kalau payung itu sudah luntur warnanya, peti itu justru mengkilap bersih, entah terbuat dari bahan apa, yang terang peti ini tentu amat berharga dan luar biasa, karena gagang cekalannya dihiasi batu
kemala disepuh emas. Kalau pakaiannya amat minim, namun sikapnya amat sombong, biji matanya terbeliak ke atas, katanya dingin: "Apakah di sini ada orang she Kwe yang hendak melangsungkan perkawinan?"
Ciangkui manggut-manggut, tanyanya: sambil mengawasi
peti di tangan orang: "Tuan hendak mengantar kado?"
"Bukan!"
"Untuk memberi doa restu?"
"Juga bukan."
Ciangkui meringis, dia segan bertanya lagi.
Tiba-tiba Ting Hun-pin menyeletuk: "Kau adalah
Lamkiong Long?"
Laki-laki itu tertawa dingin, katanya: "Lamkiong Long terhitung barang apa?"
Ting Hun-pin menghela napas lega, katanya berseri: "Dia memang bukan barang"
"Aku ini barang!"
Ting Hun-pin melenggong, jarang dan belum pernah dia
melihat atau dengar ada orang mengatakan diri sendiri
adalah barang, bukan manusia.
Laki-laki itu menarik muka, katanya: "Kenapa tidak kau tanya, aku ini barang apa?"
"Memang aku ingin mengerti."
"Aku ini kadonya."
Terbelalak mata Ting Hun-pin, orang ini benar-benar
mirip makhluk aneh. Tidak sedikit makhluk aneh yang
pernah dilihatnya, namun sebuah kado yang bisa bicara dan berjalan, baru kali ini seumur hidupnya mendengar dan
membuktikan. "Kau inikah Ting Hun-pin?" tanya laki-laki itu, "hari ini adalah hari pernikahanmu?"
Ting Hun-pin manggut-manggut.
"Oleh karena itu ada orang mengantarku sebagai kado.
Kau sudah tahu?"
Ting Hun-pin masih tidak mengerti, tanyanya: "Maksudmu ada orang memberikan kau kepadaku sebagai kadonya?"
Laki-laki itu menghela napas lega, katanya: "Akhirnya kau paham juga."
Ting Hun-pin geleng-geleng, katanya: "Untuk apa kado seperti dirimu ini?"
"Sudah tentu amat berguna," sahut laki-laki itu, "aku bisa menolong jiwa orang."
"Menolong jiwa siapa?"
"Menolong jiwa suamimu."
"Kau bisa menolongnya?"
"Kalau aku tidak bisa menolongnya, pasti takkan ada orang kedua dalam dunia ini yang bisa menolongnya."
Ting Hun-pin menatapnya, mengawasi dandanan orang
aneh, kulit mukanya yang kuning, melihat payung dan peti di kedua tangan orang. Tiba-tiba terunjuk cahaya terang dari berkobarnya semangat kesenangan pada roman mukanya.
"Aku bukan diberikan untuk ditonton, aku tidak suka ditatap perempuan." ujar laki-laki itu.
Bersinar muka Ting Hun-pin, katanya: "Aku sudah tahu siapa kau sebenarnya."
"Aku siapa?"
"Kau she Kek, kau adalah Ban-po-siang (Peti berlaksa pusaka), Kan-kun-san (Payung sengkala) Kek Pin yang tidak bisa di urus oleh Giam-lo-ong."
"Kau pernah melihat Kek Pin?" tanya laki-laki itu.
"Aku belum pernah melihatnya, namun sering aku dengar Yap Kay membicarakan dirinya," demikian kata Ting Hun-pin,
"katanya sejak kecil Kek Pin sering berpenyakitan, dan lai tiada orang yang mampu menyembuhkan penyakitnya, maka
dia berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya sendiri.
Belakangan dia menjadi seorang tabib hebat nomor satu di seluruh kolong langit, sampaipun Giam-lo-ong, si raja akhirat tak kuasa mengurusmu, karena orang matipun dapat kau
hidupkan kembali."
Laki-laki itu tiba-tiba tertawa, jengeknya: "Yap Kay itu terhitung barang apa?"
"Dia bukan barang, dia adalah temanmu, aku tahu........."
mendadak dia menubruk maju memegang kencang lengan
orang itu, katanya dengan napas memburu: "Apakah Yap Kay suruh kau kemari, apakah dia belum mati?"
"Kau salah mengenal orang."
"Tidak akan salah"
"Kau ini pengantin, kau harus menggandeng suamimu, kenapa menarik-narik aku?", kata-kata laki-laki ini mengandung arti rangkap, secara tidak langsung dia
menyatakan, kalau kau sudah bertekad hendak menikah
dengan Kwe Ting, tidak perlu kau menarikku, tidak pantas lagi mencari Yap Kay.
Jari Ting Hun-pin pelan-pelan mengendor, terjulur turun, kepalapun menunduk, katanya rawan: "Mungkin benar, aku salah mengenalimu."
"Tapi aku tidak salah."
"Kau....kau hendak menemui Kwe Ting?"
Laki-laki itu manggut-manggut, katanya: "Kalau kau tidak ingin jadi janda, lekaslah kau bawa aku kepadanya."
Batu-batu permata tadi masih berada di atas meja, laki-laki ini tidak tertarik sedikitpun. Waktu angin dingin menghembus masuk dari luar pintu, kartu nama warna merah itu tertiup jatuh dan kebetulan hampir terinjak di bawah kakinya, dia tidak memungutnya hanya menunduk melihat
tulisan di atas kartu nama itu. Seketika mukanya
menunjukkan mimik yang aneh, tiba-tiba dia bertanya:
"Siapa yang mengantar kemari?"
"Seorang pengemis!", sahut Ting Hun-pin.
"Pengemis macam apa?" tanya laki-laki itu.
"Pengemis yang berusia belum terlalu tua, selalu
mendelikkan mata, kalau bicara seolah-olah hendak ajak orang berkelahi." demikian Ciangkui menerangkan.
Ingat sesuatu Ting Hun-pin menambahkan: "Gerak-gerik badannya lincah dan gesit, agak aneh juga."
"Apanya yang aneh?"
"Di waktu badannya berputar, mirip benar dengan
gangsingan."
Laki-laki itu menepekur dengan muka membesi, katanya
tiba-tiba: "Di dalam kado perhiasan ini apakah terdapat sebuah lencana kemala yang menggambarkan empat siluman iblis?"
Memang ada. Lekas sekali Ciangkui menemukannya.
Memang lencana kemala itu diukir empat malaikat iblis, seorang mengangkat sebuah batu bundar besar dan tebal, seorang memegang tongkat kebesaran kekuasaan, seorang
menyungging puncak gunung dan seorang lagi telapak
tangannya menyanggah perempuan telanjang bulat.
Mengawasi gambar-gambar ukiran di atas lencana ini,
memicing berkerut kelopak mata laki-laki ini.
Tak tahan Ting Hun-pin bertanya: "Kau tahu siapa ke empat orang ini?"
Laki-laki itu tidak menjawab, hanya mulutnya
menyungging senyuman dingin.
ooo)dw(ooo Kwe Ting ternyata sudah bisa berdiri. Kehebatan ilmu
pengobatan laki-laki itu memang luar biasa. Tak heran bila Giam-lo-ong, si raja akhiratpun kewalahan menghadapinya.
Tapi waktu Ting Hun-pin hendak menyatakan terima
kasihnya, tahu-tahu orang sudah tiada entah kemana. Sudah tentu Ting Hun-pin takkan bisa mencarinya. Dia sudah
mengenakan pakaian pengantin, perias yang diundang
Ciangkui sedang sibuk merias dirinya.
Di luar sudah mulai ramai, agaknya tamu-tamu yang
datang bukan main banyaknya, di antara mereka entah
adakah kenalan baiknya" Nyo Thian dan Lu Di entah datang juga" Sedikitpun Ting Hun-pin tidak tahu.
Musik mulai kumandang di ruang depan menyambut
keluarnya mempelai perempuan untuk sembahyang pada
langit dan bumi, pengantin pria malah sudah menunggu. Tapi Ting Hun-pin tetap tidak bergerak meski pengiring
pengantin sudah mendesaknya berulang kali.
Apakah Kek Pin menghilang untuk mencari Yap Kay"
Apakah Yap Kay belum mati" Hatinya seperti diiris-iris.
Ting Hun-pin menekan gejolak hatinya, sekarang dia pantang mengucurkan air mata. Hal ini memang dia lakukan atas
kesadaran dan kerelaannya sendiri.
Kwe Ting adalah laki-laki baik, seorang laki-laki sejati, cintanya mungkin jauh lebih besar dan murni dibanding cinta Yap Kay terhadapnya. Selama ini sikap Yap Kay kadang
panas kadang dingin, acuh tak acuh seperti orang munafik.
Apalagi Kwe Ting pernah menolong jiwanya. Demi membalas budi kebaikan orang dia rela kawin sama orang, hal ini bukan terjadi pada dirinya sendiri.
Demikian dia menghibur dan membujuk dirinya sendiri,
namun tak urung dalam hati dia tetap bertanya: "Apakah tindakanku ini benar atau salah?" Soal ini selamanya takkan ada orang yang bisa menjawab.
Suara musik semakin cepat, beberapa kali orang di luar berdiri masuk mendesak supaya mempelai perempuan lekas keluar. Akhirnya Ting Hun-pin berdiri, seolah-olah dia harus kerahkan setaker tenaganya untuk bangkit berdiri.
Pengiringnya segera menutup mukanya dengan selembar
sapu tangan merah, dua orang memapahnya, pelan-pelan
berjalan keluar.
Lewat serambi panjang menuju ke pekarangan terus
masuk ke ruang upacara, ruang perjamuan. Suara di sini amat ramai dan ribut, berbagai suara campur aduk.
Dengan pikiran kalut akhirnya Ting Hun-pin bersanding di samping Kwe Ting.
Terdengar protokol upacara sudah mulai berseru lantang:
"Hormat pertama kepada langit dan bumi."
Baru saja para pengiring hendak memapahnya berlutut,
tiba-tiba terdengar suara jeritan kaget, disusul suara lambaian pakaian yang menderu ke depannya. Apakah
Lamkiong Long" Seketika terbayang oleh Ting Hun-pin
gambar lukisan itu.
Tanpa hiraukan segalanya, tiba-tiba dia angkat tangan
menyingkap kain merah penutup mukanya. Segera dia
melihat satu orang laki-laki berpakaian hitam menyoren pedang, mukanya pucat memutih, seperti setan gentayangan yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Orang ini berdiri
tegak dihadapannya, tangannya menjinjing sebuah kotak
persegi dari kayu cendana.
Laki-laki baju kuning yang berjaga di empat jurusan
sudah siap merubung, muka Kwe Ting pun sudah berubah.
Ting Hun-pin menjengek dingin: "Lamkiong Long, aku tahu kau memang pasti datang."
Laki-laki baju hitam geleng-geleng, katanya: "Aku bukan Lamkiong Long!."
"Kau bukan" Kau siapa?" tanya Ting Hun-pin.
"Aku mengantar kado."
"Kenapa sampai sekarang baru di antar kemari?"
"Walaupun agak terlambat, namun lebih mending
daripada tidak ku antar."
Mengawasi kotak cendana di tangan orang, Ting Hun-pin
bertanya: "Itukah kado yang kau antar?"
Laki-laki baju hitam manggut-manggut, sebelah tangan
mengangkat kotak kayu, tangan yang lain membuka
tutupnya. Dua pengiring pengantin yang berdiri di samping Ting
Hun-pin mendadak menjerit keras, terus jatuh semaput.
Ting Hun-pin sudah melihat jelas barang apa yang berada di dalam kotak kayu itu. Kado yang dibawa laki-laki baju hitam ini ternyata adalah batok kepala yang berlepotan darah.
Batok kepala siapakah"
Seketika pucat muka Ting Hun-pin.
Laki-laki baju hitam menatapnya, katanya tawar: "Kalau kau kira kado yang ku antar ini mengandung maksud jahat, maka kau salah."
Ting Hun-pin menyeringai dingin: "Memangnya kau
bermaksud baik?"
"Bukan saja bermaksud baik, malah aku tanggung, tamu-tamu yang hadir hari ini, pasti takkan ada yang memberikan kado lebih berharga dari kadoku ini." ujar laki-laki baju hitam, lalu dia menuding batok kepala dalam kotaknya itu,
"karena kalau orang ini tidak mampus, mungkin kalian berdua takkan bisa menikmati malam pertama dari pernikahan
kalian malam ini dengan tentram."
"Siapakah orang ini?"
"Orang yang hendak memenggal kepala kalian."
"Lamkiong Long maksudmu?" jerit Ting Hun-pin.
"Benar! Dia adanya."
"Lalu, kau siapa?"
"Sebetulnya akupun masih Lamkiong Long."
"Sekarang?"
"Sekarang aku adalah tamu yang sudah memberikan kado dan ingin menikmati makan minum dalam perjamuan kawin
ini." Di dalam ruang perjamuan ini penuh sesak berjubel-jubel banyak orang berbagai ragam dan corak, di antara
gerombolan orang banyak, tiba-tiba kumandang sebuah
suara nyaring menusuk pendengaran berkata: "Datang ikut
perjamuan dengan mengenakan kedok muka, ku kira kau
takkan leluasa makan minum."
Muka laki-laki baju hitam tetap tidak mengunjuk
perubahan mimiknya, namun kedua biji matanya memicing


Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beringas, bentaknya bengis: "Siapa itu?"
Suara itu berkata dingin: "Selamanya kau tidak akan tahu siapa aku, sebaliknya aku tahu jelas kau justru adalah Lamkiong Long."
Sekonyong-konyong laki-laki baju hitam turun tangan,
kotak kayu bersama batok kepala itu dia keprukkan ke atas kepala Ting Hun-pin, pedang yang dipanggulnya sudah
terlolos keluar, sinar pedang berkelebat tahu-tahu menusuk ke dada Kwe Ting.
Perubahan ini teramat cepat, namun serangan tusukan
pedangnya itu lebih cepat lagi. Bahwa Kwe Ting bisa berdiri sudah terlalu dipaksakan, mana mungkin bisa meluputkan diri dari tusukan pedang yang hebat ini.
Ting Hun-pin pun hanya melongo saja mengawasi. Siapa
yang takkan terkesima bila batok kepala orang yang
berlepotan darah tahu-tahu dikeprukkan ke atas kepalamu.
Waktu dia berkelit, ujung pedang orang sudah terpaut
satu kaki di depan dada Kwe Ting. Andaikata dia membekal kelinting mautnya yang lihay, itupun belum tentu sempat memberi pertolongan, apalagi sebagai seorang pengantin, sudah tentu dia pantang membawa senjata tajam. Keadaan demikian gawat, hampir tiada orang di sekitarnya yang
mampu memberikan pertolongan.
Pada detik-detik yang kritis itulah mendadak selarik
sinar pisau berkelebat. Sinar pisau yang kemilau lebih cepat menyambar daripada kilat, lebih cemerlang dari sambaran geledek, seakan-akan melesat masuk dari arah jendela
sebelah kiri. Begitu sinar pisau berkelebat, badan Ting Hun-pin segera melejit ke sana, dia tinggalkan para tamu yang penuh sesak memenuhi ruang perjamuan, meninggalkan Kwe Ting yang
terancam tusukan pedang, meninggalkan segalanya.
Soalnya dia yakin benar bahwa sambaran sinar pisau itu pasti berhasil menolong jiwa Kwe Ting. Orang baju hitam itu pasti dapat dipukul mundur, kalau tidak pasti binasa, atau terluka. Itulah pisau lambang pertolongan. Tak terhitung banyaknya jiwa manusia yang tertolong oleh pisau ini. Dia tahu jelas hanya satu orang dalam dunia ini yang bisa
menimpukkan pisau terbang seperti itu. Hanya satu orang.
Dia tidak bisa tinggal diam membiarkan orang ini pergi begitu saja, umpama dia harus mati, diapun harus
melihatnya penghabisan kali.
ooo)dw(ooo Malam sudah larut. Hanya beberapa bintang yang
tersebar di cakrawala masih memancarkan sinarnya yang
guram. Lapat-lapat di kejauhan tampak sesosok bayangan orang
berkelebat. Segera Ting Hun-pin tancap gas mengejar dengan
setaker tenaga dan seluruh kecepatan larinya, namun orang itu lebih cepat lagi. Baru saja dia menerobos keluar jendela, bayangan orang itu sudah puluhan tombak jauhnya. Tapi dia
tidak putus asa, dia tahu dirinya takkan bisa mengejarnya, namun dia tetap mengudak. Dia sudah kerahkan seluruh
tenaganya. Cepat sekali dia sudah kehilangan jejak orang yang
dikejarnya, hanya tabir malam yang menyambut
kedatangannya. Di ujung jalan melintang sana ada sebuah biara pemujaan, di sana masih kelihatan sebuah pelita
menyala. Mendadak dia menghentikan langkah di depan
biara serta berteriak sekeras-kerasnya: "Yap Kay, aku tahu kaulah! Aku tahu kau belum pergi jauh! Kau pasti mendengar suaraku!"
Malam nan gelap sunyi senyap tak terdengar suara
apapun, hanya bunyi daun pohon saja yang keresekan di
hembus angin lalu.
"Perduli kau sudi tidak keluar menemui aku, kau harus mendengar habis apa yang ingin kulimpahkan."
Dengan gigit bibir, dia menahan air mata.
"Aku tak pernah berbuat salah terhadapmu, jikalau kau tidak sudi menemui aku, akupun tidak menyalahkan kau,
tapi....... tapi boleh mati di hadapanmu."
Mendadak sekuat tenaga dia sobek pakaiannya,
terpampanglah dadanya yang montok kenyal dihembus angin malam nan dingin. Badannya gemetar karena kedinginan dan menahan emosi.
"Aku tahu mungkin kau tidak percaya kepadaku lagi, aku tahu............. tapi kali ini, aku ingin mati di hadapanmu."
Diulurkannya tangannya yang gemetar, dan dari atas
sanggul kepalanya, dia meraih sebuah tusuk kondai. Dengan
mengerahkan seluruh tenaganya, dia tusukkan tusuk kondai ke ulu hatinya sendiri. Dia benar-benar ingin mati.
Tusuk kondai emas itu sudah menusuk dadanya, darah
sudah muncrat keluar.
Pada saat itulah dari kegelapan sana tiba-tiba menubruk keluar sesosok bayangan seenteng asap secepat kilat
menangkap tangannya. 'Ting...' tusuk kondai itu jatuh
berkerontangan. Darah segar nan merah menyolok mengalir membasahi dadanya yang halus putih. Akhirnya dia
berhadapan dengan laki-laki yang selalu dia impi-impikan, sampai matipun takkan bisa dia lupakan. Akhirnya dia
berhadapan dengan Yap Kay.
Sinar bintang yang pudar menyinari muka Yap Kay yang
tak banyak berubah, sorot matanya masih cemerlang, ujung mulutnya masih menyungging senyum manis. Tapi jikalau kau menegasi lebih lanjut, sorot matanya bersinar karena
berkaca-kaca air mata. Walau dia masih tersenyum, namun senyum nan syahdu, senyuman rawan dan pilu.
"Tak perlu kau berbuat demikian," katanya pelan dan lembut, "kenapa kau harus menyakiti badanmu sendiri."
Ting Hun-pin mendelong, mengawasinya dengan
termangu-mangu, badannya lunglai.
Agaknya Yap Kay pun tengah menekan emosinya, katanya
tertekan: "Aku tahu kau tidak bersalah terhadapku, akulah yang bersalah."
"Aku........."
"Apapun tak perlu kau katakan lagi, apapun yang terjadi aku sudah tahu seluruhnya."
"Kau........kau benar-benar tahu?"
"Kalau aku jadi kau, akupun pasti berbuat demikian. Kwe Ting adalah pemuda yang punya masa depan, seorang yang baik, sudah tentu kau tidak akan berpeluk tangan melihat dia mati karena dirimu."
"Tapi aku............"
Ting Hun-pin tak kuasa meneruskan ucapannya, air
matanya bercucuran deras.
"Kau adalah gadis bajik, bijaksana, kau tahu hanya berbuat demikian, baru kau bisa mempertahankan jiwa Kwe Ting." Yap Kay menghela napas, "seseorang bila dia sendiri sudah tidak ingin hidup, tiada tabib lihay di dunia ini yang bisa menolongnya, demikian pula Kek Pin takkan bisa
mengobatinya."
Dia memang memahami Kwe Ting, lebih menyelami jiwa
Ting Hun-pin. Tiada sesuatu dalam dunia ini yang bernilai lebih tinggi daripada simpati dan memahami jiwa orang lain.
Seperti bocah yang kesedihan mendengar wejangan
orang tuanya, saking haru Ting Hun-pin mendekap dada Yap Kay, pecahlah tangisnya yang tergerung-gerung.
Yap Kay dia saja. Dia tatap orang menangis sepuas hati.
Menangis merupakan pelampiasan. Biarlah rasa haru, sedih dan penasaran hatinya lenyap tak berbekas mengikuti
cucuran air matanya.
Entah berapa lamanya, isak tangis kepedihan akhirnya
berakhir, baru pelan-pelan Yap Kay mendorongnya: "Kau harus segera kembali."
"Kau suruh aku kembali" Kembali kemana?"
"Kembali ke tempat semula," bujuk Yap Kay, "mereka tentu menunggumu dengan gelisah."
Tiba-tiba bergidik dingin badan Ting Hun-pin, katanya:
"Kau.........kau ingin aku pulang menikah dengan Kwe Ting?"
"Kau tidak bisa meninggalkan dia begitu saja." Yap Kay mengeraskan hatinya, "kaupun harus tahu, jikalau kau tinggal pergi begini saja, dia pasti takkan bertahan hidup lebih lama."
Tidak bisa tidak Ting Hun-pin harus mengakui, bahwa
Kwe Ting kuat bertahan hidup sejauh itu adalah lantaran dirinya.
Jantung Yap Kay seperti mengejang, katanya: "Jikalau Kwe Ting benar-benar mati, bukan saja aku takkan bisa
mengampuni kau, kau sendiri selamanya pasti tidak akan memaafkan dirimu."
Sampai di sini dia tidak bicara lagi, dia tahu Ting Hun-pin pasti maklum maksud hatinya.
Ting Hun-pin tunduk kepala, lama sekali baru dia
bersuara pilu: "Kalau aku kembali, lalu kau?"
"Aku akan tetap bertahan hidup," Yap Kay tertawa dipaksakan, "kau tahu aku biasanya cukup tangguh."
"Apakah selanjutnya kita takkan bisa bertemu lagi?"
"Sudah tentu masih bisa bertemu," ujar Yap Kay.
Padahal jantungnya seperti ditusuk pisau. Pertama kali ini dia berbohong kepada orang, namun terpaksa dia harus
berkata demikian.
"Setelah peristiwa ini, kita tetap akan bertemu lagi."
Tiba-tiba Ting Hun-pin angkat kepala menatapnya,
katanya: "Baik! Aku terima permintaanmu. Aku akan pulang, tapi kau harus berjanji satu hal kepadaku."
"Coba katakan!"
"Kalau urusan sudah selesai, aku tetap tak bisa
menemukan kau, maka kau harus memberitahu kepadaku, di mana kau berada!"
Yap Kay menyingkir dari tatapan orang, katanya:
"Setelah tahu urusan menjadi lampau, tak perlu kau mencariku, aku akan menemui kalian."
"Jikalau aku bisa menyelesaikan semua persoalan dengan baik, Kwe Ting bisa hidup sehat dan tenteram, kau akan mencariku?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Apakah yang kau katakan memang benar, kau tidak akan menipu aku?"
"Tidak!"
Hancur hati Yap Kay. Dia bicara tidak jujur, namun Ting Hun-pin percaya kepadanya. Tapi sebagai laki-laki sejati, jikalau didesak oleh keadaan dan dipandang mana perlu, dia pasti akan rela mengorbankan diri sendiri demi kebahagiaan hidup orang lain.
Ting Hun-pin berkeputusan: "Baik! Sekarang juga aku pulang. Aku percaya kepadamu."
"Aku......kelak pasti akan mencarimu."
Ting Hun-pin manggut-manggut. Pelan-pelan dia membalik badan, seolah-olah dia tidak berani memandangnya lagi
meski hanya sekali saja. Dia kuatir hatinya bisa berubah, dengan tekanan perasaan hatinya, dia kerahkan tenaga
untuk mengatakan selamat perpisahan: "Kau pergilah!"
ooo)dw(ooo Yap Kay sudah pergi. Diapun tidak banyak bicara, dengan sisa tenaganya dia baru berhasil menekan emosinya. Angin dingin laksana pisau menyongsong badannya. Lama sekali dia berlari-lari. Tiba-tiba dia membungkuk badannya terus
muntah-muntah tak henti-hentinya.
Dalam pada itu, Ting Hun-pin juga sedang muntahmuntah, seluruh isi perutnyapun tumpah habis. Tapi dia sudah bertekad jika Yap Kay belum mati, maka diapun
takkan menikah dengan orang lain. Bagaimanapun
keadaannya, dia pasti takkan menikah dengan orang lain, umpama dia harus mati, dia tidak akan kawin dengan laki-laki lain kecuali Yap Kay.
Dia sudah berkeputusan untuk kembali menemui Kwe
Ting, menjelaskan duduk persoalan, akan dia beritahu
perasaan hatinya, penderitaan batinnya kepada Kwe Ting.
Jikalau Kwe Ting seorang jantan, dia pasti dapat menyelami hatinya, maka dia harus dan akan berdiri sendiri, bertahan hidup. Dia yakin Kwe Ting betul-betul jantan, untuk ini dia yakin dan percaya akan usahanya pasti berhasil.
ooo)dw(ooo Ruang perjamuan di dalam hotel Hong-ping masih terang
benderang disinari api lilin, suara seruling masih kedengaran mengalun halus.
Laki-laki baju hitam pasti sudah lari, Kwe Ting masih
hidup, hadirin pasti sudah menunggu dirinya.
Begitu lompat turun dari wuwungan langsung Ting Hun-pin ke ruang perjamuan. Tapi tiba-tiba dia berdiri kaku, terasa sekujur badan menjadi dingin membeku seperti tiba-tiba dia kejeblos ke jurang yang dalamnya ribuan tombak dan gelap gulita, seperti dirinya tiba-tiba terjatuh ke dalam neraka.
Keadaan ruang perjamuan yang ramai penuh sesak tadi,
kini begitu menakutkan, jauh lebih mengerikan dari keadaan di neraka. Kalau di neraka api menyala-nyala, asap apipun menyala merah seperti darah, demikian pula ruang pemujaan ini sekarangpun diliputi warna merah, tapi bukan lilin yang merah, bukan pakaian orang yang merah, tapi darah segar dan kental yang merah. Orang-orang yang mengunjungi
perkawinannya sudah roboh semua, bergelimpangan di
antara ceceran darah. Dalam ruang besar pemujaan ini
tinggal seorang saja yang masih hidup, seseorang yang
sedang meniup seruling.
Muka peniup seruling ini sudah pucat tak berdarah,
matanya kaku mendelong, badannyapun mengejang, namun
mulutnya masih meniup seruling. Agaknya dia masih hidup, namun sudah kehilangan sukma. Tiada orang bisa melukiskan bagaimana perasaan Ting Hun-pin mendengar irama seruling ini, malah orangpun takkan bisa membayangkannya.
Kwe Ting sudah tak bisa mendengar penjelasannya,
mendengar keluhan batinnya, diapun rebah di antara
ceceran darah, roboh berjajar dengan laki-laki baju hitam itu, demikian pula Ciangkui yang baik hati itu.
Ting Hun-pin tidak tega memandangnya lagi, hanya warna merah melulu yang terpancang di depan matanya, tiada
pandangan lain yang bisa dilihatnya.
Siapakah yang turun tangan sekeji ini" Apa pula
tujuannya"
Dia sudah tak mampu memikirkan persoalan ini, tiba-tiba dia meloso jatuh, semaput.
ooo)dw(ooo Di kala Ting Hun-pin membuka mata pula, pertama-tama
yang terlihat oleh matanya adalah peti kayu yang mengkilap dan terukir indah itu, Ban-po-siang (Peti berlaksa pusaka).
Laki-laki tua bertopi tinggi berbaju kasar itu tengah
berdiri di pinggir ranjang, menatapnya tajam, sorot matanya diliputi rasa pilu dan kasihan.
Ting Hun-pin hendak meronta bangun, tapi Kek Pin lekas menekan pundaknya supaya dia berbaring lagi. Ting Hun-pin tahu orang tua inilah yang menolong dirinya, akan
tetapi..............
"Mana Kwe Ting" Kau tidak menolongnya?"
Kek Pin menggeleng dengan sedih katanya setelah
menghela napas panjang: "Aku terlambat datang."
Ting Hun-pin mendadak berteriak: "Kau datang
terlambat"..... Kenapa kau harus minggat?"
"Karena aku harus lekas-lekas mencari orang."
"Untuk apa kau mencari orang" Kenapa?", suara Ting Hun-pin memekik kalap. Agaknya dia tak kuasa menahan
emosinya, segalanya berantakan dan dia hampir hancur
lebur. Setelah perasaannya rada tenang, baru Kek Pin berkata
dengan nada tertekan: "Karena aku harus mencari orang untuk menguasai dan mencegah peristiwa ini terjadi."
"Jadi sebelumnya kau sudah tahu bila peristiwa ini akan terjadi?"
"Setelah melihat bungkusan perhiasan permata dan
melihat nama ke empat orang itu, aku segera tahu siapa mereka."
"Kau tahu siapa saja mereka itu?"
Kek Pin manggut-manggut.
"Siapakah mereka sebenarnya?"
"Su-thoa-thian-ong dari Mo Kau."
Ting Hun-pin rebah pula dengan lemas seperti kepalanya di palu godam, bergerakpun tidak.
Berkata Kek Pin pelan-pelan: "Waktu itu tidak ku beber, hal ini lantaran aku kuatir setelah kalian tahu akan hal ini, bisa takut, gugup dan panik, aku tidak ingin mempengaruhi suasana gembira dari pernikahan kalian."
Pernikahan-pernikahan apakah jadinya. Ingin Ting Hunpin berjingkrak pula, ingin berteriak, namun sedikitpun dia tidak punya tenaga.
"Dan lagi, akupun sudah melihat empat orang jubah kuning emas itu, kukira dengan adanya Kim-ci-pang yang mencampuri urusan ini, umpama benar Su-thoa-thian-ong
dari Mo Kau pun akan bertindak ragu-ragu dan melihat
gelagat." Namun lekas sekali Kek Pin menambahkan dengan
menghela napas: "Tapi tak terpikir olehku kejadian ini berubah di tengah jalan."
"Apakah kau kira Yap Kay akan melindungi kita secara diam-diam?"
Kek Pin manggut-manggut membenarkan.
"Maka kau tidak menduga bahwa Yap Kay akan lari pergi, tak mengira bahwa aku mengejarnya," suara Ting Hun-pin amat lemah. Jazatnya seakan-akan sudah kosong
melompong. Kata Kek Pin: "Seharusnya aku bisa menduga dia akan tinggal pergi, karena dia tidak melihat lencana batu kemala itu, juga tidak tahu adanya perhiasan-perhiasan itu."
"Apakah kado perhiasan itu mempunyai maksud-maksud tertentu?" tanya Ting Hun-pin.
"Ada saja."
"Apa maksudnya?"
"Perhiasan yang mereka antar itu pertanda untuk
membeli jiwa."
"Membeli jiwa?" seru Ting Hun-pin mengkirik.
"Su-thoa-thian-ong dari Mo Kau biasanya jarang turun tangan membunuh orang."
"Kenapa?"
"Karena mereka percaya adanya inkarnasi (penitisan kembali), roh-roh yang sudah berada di neraka akan
menjelma pula ke badan manusia, maka selama hidup mereka tidak mau berhutang jiwa. Oleh karena itu, sebelum mereka turun tangan membunuh orang, mereka mengeluarkan
imbalannya sebagai pembelian jiwa orang-orang yang hendak dibunuhnya."
"Darimana pula kau tahu, kalau aku pergi, Yap Kay pun pergi?" tanya Ting Hun-pin.
"Ada orang yang memberitahu kepadaku."
"Siapa?"
"Orang yang meniup seruling itu."
"Dia saksikan sendiri peristiwa ini?" tanya Ting Hun-pin bergidik seram.
"Sejak mula sampai berakhir disampaikannya dengan jelas, kalau tidak kebetulan dia kebentur aku, mungkin seumur hidupnya dia akan menjadi linglung yang tak berguna lagi."
Siapapun menyaksikan tragedi yang menyeramkan ini,
orang pasti akan ketakutan dan jatuh sakit.
"Diapun melihat muka asli dari Su-thoa-thian-ong itu?"
tanya Ting Hun-pin.
"Tidak!"
"Kenapa tidak?"
"Karena setiap kali melaksanakan dendam pembunuhnya, Su-thoa-thian-ong selalu mengenakan topeng malaikat iblis."
"Membalas dendam" Sakit hati siapa yang mereka
balas?" "Giok-siau!", sahut Kek Pin, "bukankah Giok-siau mati di tangan Kwe Ting?"
(Bersambung ke Jilid-13)
Jilid-13 "Giok-siau adalah salah satu dari Su-thoa-thian-ong itu?"
"Dialah yang dijuluki Panjapana, Thian-ong asmara, raja langit yang cabul."
Terkepal kencang jari-jari Ting Hun-pin, namun badannya masih gemetar keras, katanya: "Kwe Ting membunuh Giok-siau karena hendak menolong aku."
"Aku tahu!"
"Kalau aku tidak mengejar keluar, Yap Kay pun tidak akan pergi." ujar Ting Hun-pin menangis pula.
"Kalau Yap Kay tidak pergi, tragedi ini mungkin tidak akan terjadi."
Kek Pin geleng-geleng kepala, katanya: "Jangan kau menyalahkan diri sendiri, semua ini memang sudah dalam rencana mereka."
Ting Hun-pin tidak mengerti.
"Laki-laki baju hitam itu bukan Lamkiong Long, aku kenal Lamkiong Long."
"Lalu siapa dia kalau bukan Lamkiong Long?" tanya Ting Hun-pin kaget.
"Diapun orang dari Mo Kau."
"Dia muncul mendadak, memang bermaksud memancing
Yap Kay turun tangan?"
"Mereka memang sudah memperhitungkan dengan
cermat, bahwa Yap Kay pasti akan menolong jiwa Kwe Ting, merekapun sudah menduga begitu jejak Yap Kay kelihatan, kau pasti akan mengejarnya keluar."
Sudah tentu merekapun sudah memperkirakan, bila Ting
Hun-pin keluar, Yap Kay pasti menyingkir.
"Memang, sebelum Su-thoa-thian-ong menunjukkan
aksinya, sebelumnya mereka sudah mengadakan persiapan
dengan rencana yang rapi dan sempurna, oleh karena itu begitu mereka turun tangan, jarang gagal."
"Kalau demikian orang yang sengaja membongkar kedok muslihat laki-laki baju hitam itu sengaja mengatakan dia adalah Lamkiong Long, kemungkinan adalah salah satu Su-thoa-thian-ong."
"Ya, mungkin sekali!", ujar Kek Pin, tiba-tiba dia bertanya: "Kau bisa tidak membedakan suaranya?"
Ting Hun-pin tidak bisa membedakan.
"Kurasa suara orang itu runcing dan tajam seperti jarum menusuk kuping."
"Masa kau tidak bisa membedakan dia laki-laki atau perempuan?"
"Jelas laki-laki."
"Seseorang bicara mengeluarkan suara dari
tenggorokan," demikian kata Kek Pin, "laki-laki setelah
tumbuh dewasa, suaranya akan menjadi kasar dan berat,
oleh karena itu suara laki-laki biasanya lebih rendah, berat dan kasar serak."


Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ting Hun-pin tidak tahu akan seluk beluk ini, belum
pernah dia mendengar akan hal-hal seperti ini, tapi dia percaya sepenuhnya. Karena dia tahu Kek Pin adalah seorang tabib sakti yang tiada bandingannya di kolong langit,
mengenai ilmu tubuh manusia sudah tentu dia jauh lebih tahu dari orang biasa. Apalagi dia pernah dengar, bahwa di dalam Mo Kau ada semacam ilmu, yang dapat merubah suara tenggorokan orang mengecil dan melengking tajam, berubah dari suara aslinya.
"Oleh karena itu, laki-laki yang normal, suara
pembicaraannya tak menjadi tajam merinding, kecuali........."
"Kecuali dia bicara menggunakan suara palsu yang ditekan dari tenggorokan."
Kek Pin manggut-manggut, "Coba kau pikirkan lagi, kenapa dia harus bicara dengan suara palsu?"
"Karena dia kuatir aku mengenali suaranya?"
"Karena aku pasti pernah melihatnya, pernah mendengar suaranya."
"Di antara orang-orang yang hadir memberi selamat pernikahan itu, ada berapa orang yang pernah kau lihat atau kau kenal sebelumnya?"
Ting Hun-pin tidak tahu.
"Yang terang aku tidak punya kesempatan untuk meneliti mereka." katanya gigit bibir, "orang-orang yang sempat kulihat sekarang sudah terbunuh semua."
Tak tahan Kek Pin mengepal kedua tinjunya. Setiap
langkah kerja Mo Kau yang sudah direncanakan, bukan saja amat teliti dan cermat, merekapun menggunakan cara yang keji.
"Tapi mereka masih meninggalkan sebuah sumber
penyelidikan untuk kita." ujar Kek Pin setelah termenung sebentar.
"Sumber penyelidikan apa?"
"Orang utama yang pegang peranan di dalam
melaksanakan kerja ini pasti hadir juga di dalam ruang perjamuan itu."
"Ya, pasti ada!", Ting Hun-pin memperkuat keyakinan ini.
"Orang yang waktu itu berada di ruang perjamuan dan kini masih hidup, maka dia itulah orangnya, atau biang keladi dari pembunuhan besar-besaran ini. Bukan mustahil
pembunuhnya adalah Su-thoa-thian-ong."
Bercahaya biji mata Ting Hun-pin, "Oleh karena itu bila kita bisa menyelidiki siapa saja orang-orang yang hadir di dalam ruang perjamuan, berhasil menemukan siapa-siapa
yang sekarang masih hidup, maka kita akan segera tahu siapa sebetulnya Su-thoa-thian-ong itu."
Kek Pin manggut-manggut, namun sorot matanya tidak
bercahaya, karena dia tahu persoalan ini bukan urusan yang gampang diselesaikan, untuk melaksanakan sungguh teramat sukar.
"Sayang sekali kita tidak tahu siapa saja tamu yang hadir di dalam ruang perjamuan dan tidak tahu siapa kiranya yang sekarang masih hidup."
"Paling tidak sekarang kita bisa mencari tahu lebih dulu, siapa-siapa saja yang pernah mengirim kado" Lalu siapa saja yang sudah meninggal."
Sekarang berkilat biji mata Kek Pin.
"Nama-nama dan kado yang kita terima ada catatannya di dalam buku daftar tamu."
"Lalu dimanakah buku catatan itu?"
"Tentunya masih berada di dalam hotel Hong-ping."
"Cuaca belum terang, mayat-mayat itu pasti masih
berada di ruang perjamuan."
"Tempat apa ini, di mana letaknya?"
"Suatu tempat yang tidak jauh dari hotel Hong-ping."
Ting Hun-pin segera berjingkrak bangun, serunya: "Apa lagi yang kita tunggu?"
Mengawasi orang, sorot mata Kek Pin menunjuk
kekuatiran, pukulan batin yang dialami gadis ini bertubi-tubi dan teramat berat, kalau kini kembali pula ke tempat
pembunuhan yang seram itu, melihat mayat-mayat dan
darah yang berceceran, kemungkinan bisa menjadi gila.
Ingin dia membujuknya supaya istirahat, namun belum
sempat dia buka bicara, Ting Hun-pin sudah menerjang
keluar. Gadis ini ternyata jauh lebih kuat dan keras dari apa yang dia kira semula.
ooo)dw(ooo Ruang perjamuan itu sudah kosong melompong, tanpa
seorangpun, sesosok mayatpun tiada lagi.
Kekuatiran Kek Pin atas Ting Hun-pin ternyata
berkelebihan, baru saja dia tiba di hotel Hong-ping, lantas didapatinya seluruh mayat-mayat yang bergelimpangan itu sudah diangkut bersih. Hotel sebesar itu sudah kosong
tanpa dihuni seorangpun, demikian pula kado-kado itu sudah lenyap seluruhnya, sudah tentu buku catatan itupun sudah lenyap.
Ting Hun-pin menjublek di pinggir pintu. Malam sudah
berlarut, mereka belum lama meninggalkan tempat ini,
tindak tanduk pihak Ma Kau sungguh teramat cepat dan
menakutkan. Tiba-tiba Kek Pin bertanya: "Kado pertama yang dikirim Su-thoa-thian-ong itu, bukankah berada di kamar kasir
juga?" Ting Hun-pin manggut-manggut.
"Kalau demikian yang mengadakan pembersihan ini pasti bukan kawanan Mo Kau."
"Darimana kau bisa berkesimpulan demikian?"
"Karena permata itu mereka kirim kemari untuk membeli jiwa para korban, jiwa-jiwa para korban sudah mereka beli, tak mungkin permata itu mereka ambil kembali."
"Oleh karena itu mayat-mayat itu pasti bukan mereka yang menyingkirkan."
"Pasti bukan kerja orang-orang Mo Kau."
"Lalu siapa kalau bukan mereka" Kecuali mereka, siapa pula yang punya kecepatan kerja?"
Untuk menguras semua kado dan mayat-mayat itu
bukanlah suatu kerja enteng dan gampang. Apalagi apa
gunanya mereka mengangkut mayat-mayat itu" Ting Hun-pin tidak habis mengerti. Kek Pin pun tidak mengerti.
Angin malam menghembus dari luar jendela, tiba-tiba
Ting Hun-pin bergidik kedinginan. Sayup-sayup didengarnya irama seruling yang mengalun, terbawa angin lalu. Suara seruling yang merdu menyedihkan.
Seketika teringat oleh Ting Hun-pin akan peniup seruling yang bermuka pucat kaku itu. Tak tertahan dia bertanya:
"Tadi kau tidak membawanya menyingkir?"
Kek Pin geleng-geleng.
"Kenapa dia tetap tinggal di sini?" ujar Ting Hun-pin, "apa pula yang dilihatnya?"
Kek Pin dan Ting Hun-pin serentak menerobos keluar
jendela, mereka tahu hanya peniup seruling ini saja yang mungkin bisa menjawab pertanyaan mereka. Mereka harus
menemukan peniup seruling ini.
ooo)dw(ooo Tiada orang. Orang mati atau orang hidup sudah tiada
lagi. Kemanakah peniup seruling itu"
Suara seruling seperti kumandang terbawa hembusan
angin, kedengarannya dekat sekali, namun tahu-tahu seperti berada di tempat jauh. Waktu mereka di dalam rumah,
suara seruling itu sudah terdengar di luar tembok.
Tabir malam di luar tembok amat gelap pekat. Mereka
melompati pagar tembok yang penuh dilumuri salju. Di
tengah kegelapan malam yang tak berujung pangkal, tampak hanya setitik sinar pelita yang kelap-kelip seperti api setan.
Di bawah pelita samar-samar seperti ada sesosok bayangan orang tengah meniup seruling.
Siapa orang itu" Apakah peniup seruling tadi" Kenapa
seorang diri meniup seruling di bawah pelita gantung"
Mungkinkah sengaja menunggu mereka" Malam seseram ini, dia masih seorang diri berada di tempat ini, apa pula
tujuannya" Semua pertanyaan ini hanya dia seorang yang bisa menjawabnya.
Pelita itu tergantung pada sebatang dahan pohon yang
kering, kontal-kantil dihembus angin lalu.
Masih segar dalam ingatan Ting Hun-pin, lampion ini
semula tergantung di luar pintu hotel Hong-ping untuk
menyambut kedatangan para tamu. Tapi dia belum melihat jelas orang itu.
Ingin dia memburu ke sana, namun Kek Pin segera
menariknya, terasakan olehnya telapak tangan orang tua ini dingin berkeringat.
Seseorang yang mulai menanjak tua usianya, semakin
mendekati kematian, kenapa nyalinya semakin kecil" Kenapa semakin takut mati"
Dengan kertak gigi Ting Hun-pin berkata menekan
suaranya: "Kau pulanglah dulu ke hotel, biar aku saja yang memeriksanya ke sana."
Kek Pin menghela napas. Dia tahu orang salah paham akan maksudnya, bukan dia menguatirkan keselamatan dirinya, namun dia menguatirkan keselamatan jiwa Ting Hun-pin
malah. "Aku sudah berusia lanjut, tiada yang perlu kutakuti, hanya............."
"Aku tahu maksudmu," tukas Ting Hun-pin, "tapi aku harus kesana."
Suara seruling tiba-tiba terputus dan berhenti.
Di kegelapan tiba-tiba terdengar seseorang berkata
dingin: "Aku tahu kalian sedang mencariku, kenapa tidak lekas kalian kemari?"
Suara itu tajam meruncing dari ujung jarum sampai
rasanya menusuk kuping.
Basah telapak tangan Ting Hun-pin oleh keringat dingin.
Dia pernah mendengar suara ini, meski hanya sekali,
selamanya dia tidak akan melupakannya. Apakah dia ini salah satu dari Su-thoa-thian-ong dari Mo Kau"
Berubah muka Kek Pin, tanyanya dengan suara lirih:
"Siapakah kau sebetulnya?"
Seseorang tertawa dingin di bawah lampu, katanya:
"Kenapa tidak kau kemari untuk menyaksikan siapa aku sebenarnya?"
Ting Hun-pin memang hendak maju mendekat, walau tahu
bahayanya besar, mungkin jiwa bisa melayang juga tidak terpikir lagi olehnya, dia tetap akan melihat dengan mata kepalanya sendiri.
Tapi Kek Pin tetap menggenggam erat tangannya, katanya lebih dulu: "Cepat atau lambat aku akhirnya akan tahu siapa dia, aku tidak perlu tergesa-gesa."
"Tapi aku perlu segera tahu." sela Ting Hun-pin.
Mendadak dia membalik badan menumbuk ke belakang
serta menyodok dengan sikutnya ke tulang rusuk Kek Pin, dan tahu-tahu dia sudah menubruk ke sana.
Tak nyana lampu itu tiba-tiba padam. Alam semesta
menjadi gelap Pendekar Sadis 3 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Jodoh Rajawali 4

Cari Blog Ini