Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung Bagian 8
a itu kau jelas bukan satu di antara Su-thoa-thian-ong Mo Kau.
Orang-orang Mo Kau semuanya tidak kenal cinta kasih."
"Masa, baru sekarang kau menyadari hal ini?"
"Sekarang juga belum terlambat."
"Jadi dulu kau pernah mencurigai aku?"
"Karena hanya sedikit jumlah orang yang setimpal
menjadi Mo Kau Thian-ong."
"Kecuali aku, berapa banyak pula orang di dalam kota Tiang-an ini yang setimpal?"
"Paling hanya empat atau lima saja."
"Pertama sudah tentu adalah Lu Di."
"Tidak salah!"
"Kedua adalah Han Tin."
"Sudah tentu!"
"Dan siapa lagi?"
"Masa kau sudah lupa akan temanmu itu?"
"Nyo Thian?"
"Rase yang tak bisa terbang sudah cukup menakutkan, apalagi rase yang pandai terbang."
"Bukankah dia salah seorang kepercayaanmu?"
"Aku tidak punya orang kepercayaan." ujar Siangkwan Siau-sian, lalu angkat kepala menatap Yap Kay, katanya:
"Orang satu-satunya yang dapat kupercaya hanya kau, sayang sekali......"
"Sayang sekali sebaliknya aku tidak percaya kepadamu, mungkin orang yang tidak bisa kupercaya hanya kau
seorang." "Tapi aku tidak akan menyalahkan kau, akan datang suatu ketika, kau akan tahu bahwa sikapmu salah betul."
Yap Kay tidak membantah, dengan tersenyum dia alihkan
pembicaraan: "Lu Di, Han Tin dan Nyo Thian, jumlahnya baru tiga orang."
"Masih ada satu, diapun kemungkinan sekali."
"Siapa?"
"Seseorang yang baru kemarin tiba di Tiang-an."
"Kau mengenalnya?"
"Tidak kenal!"
"Kau tahu siapa?"
"Tidak tahu."
Yap Kay tertawa pula.
Sikap Siangkwan Siau-sian sebaliknya serius, katanya:
"Tapi aku tahu jelas, dia cukup setimpal untuk menjadi salah satu Thian-ong (Raja langit) dari Mo Kau."
"Kenapa kau berkesimpulan demikian?"
"Karena orang-orang yang kuutus untuk menyelidiki jejak dan asal-usulnya tiada satupun yang pulang memberikan
laporan. Semuanya menghilang."
"Apa maksudnya menghilang."
"Maksudnya menghilang adalah setiap orang yang kuutus keluar, tidak pernah lagi kembali, malah kabar yang
seharusnya dia sampaikan ke cabang-cabang tertentu pun tidak diperoleh, lalu kuutus orang untuk mencarinya, orang-orang yang mencarinya inipun tidak kembali."
"Berapa banyak orang yang telah kau utus untuk tugas ini?"
"Seluruhnya tiga kali, pertama dua orang, kedua empat orang dan ketiga enam orang."
"Jadi jumlah total adalah 12 orang?"
"12 orang jago-jago pilihanku semua, enam yang terakhir itu malah jago-jago top."
"Jago-jagomu semuanya lenyap?"
"Setelah mereka berangkat, lantas lenyap tanpa
meninggalkan bekas, seolah-olah mereka ditelan bumi."
"Umpama mereka itu adalah manusia kayu, mencari
tempat untuk menyembunyikan diri kedua orang itupun
bukan suatu kerja gampang."
"Oleh karena itu, aku berpendapat kemungkinan orang ini jauh lebih menakutkan dari Lu Di dan lain-lain."
Kini sikap Yap Kay pun sungguh-sungguh.
"Sampai detik ini kau masih belum tahu siapa dia
sebenarnya?"
"Aku tahu dia kemari, di dalam cuaca sedingin ini, dia hanya mengenakan pakaian yang tipis, kepalanya malah
ditutupi topi rumput yang lebar besar."
"Masih ada lagi?"
"Sudah habis bahan-bahan yang kuperoleh."
"Masakah darimana dia datang, kaupun tidak tahu?"
"Tidak tahu!", ujar Siangkwan Siau-sian, "justru karena aku tidak tahu, maka kuperintahkan orang mencari tahu."
Yap Kay menghela napas, katanya: "Agaknya ada juga persoalan yang belum kau ketahui."
"Memangnya apa yang kau ketahui bisa lebih banyak dari apa yang ku tahu?"
"Hanya lebih sedikit saja."
"Apa pula yang kau ketahui?"
"Sedikitnya aku sudah punya sumber untuk menyelidiki, aku pasti bisa menemukan Putala."
"Hu-hong-thian-ong maksudmu?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Kau sudah tahu orang macam apa dia sebenarnya?"
"Ilmu telapak tangannya teramat lihay, malah diapun sudah terluka."
Cemerlang biji mata Siangkwan Siau-sian, katanya: "Ilmu yang lihay telapak tangannya adalah Lu Di, namun kurang dimengerti apakah kini dia terluka?"
"Untuk mencari tahu hal ini kurasa tidak sulit."
"Kau ingin mencarinya?"
"Kau menentang?"
Siangkwan Siau-sian geleng-geleng, katanya: "Aku
hanya....."
Yap Kay tertawa, katanya mewakili: "Hanya menguatirkan diriku tahu-tahu menghilang seperti anak buahmu yang
tidak becus bekerja itu."
Siangkwan Siau-sian cekikikan manis, katanya: "Kali ini aku pasti tidak akan berpeluk tangan membiarkan kau
menghilang tanpa bekas, aku....."
Kini Yap Kay tidak meneruskan kata-katanya, tiba-tiba
dia berdiri, katanya: "Oleh karena itu aku ingin segera bergerak mumpung aku belum mabuk."
"Sekarang juga kau ingin pergi?"
"Orang yang harus kucari bukan hanya Lu Di saja, ilmu kepandaian Han Tin dan Nyo Thian pun lihay sekali."
"Jangan lupa laki-laki yang mengenakan topi rumput lebar itu."
"Di mana kira-kira orang ini berada?"
"Tahukah kau di belakang Tay-siang-kok-si masih
terdapat Cap-hong-cu-lim-si?"
"Katanya makanan vegetarian di sana lumayan enaknya."
"Kemarin malam dia menetap di sana."
"Nyo Thian tinggal di mana?"
"Kau hendak mencarinya lebih dulu?"
"Jangan lupa dia adalah teman baikku."
"Kau memang teman lamanya, maka kau harus tahu apa yang menjadi hobby-nya."
"Perempuan?"
"Perempuan macam apa?"
"Janda"
ooo)dw(ooo Jalan raya yang di sini mirip sekali dengan jalan di kota Tiang-an.
"Apakah disinipun ada penjual wedang kacang yang
diusahakan oleh Ong-koahu (Janda Ong)?"
"Janda Ong yang jual wedang tahu di sini adalah
perempuan genit yang romantis juga."
Yap Kay menghela napas, katanya: "Sayang Nyo Thian sudah berada di sana lebih dulu."
"Oleh karena itu tiada gunanya sekarang kau buru-buru ke sana. Kenapa tidak kau mampir dulu ke warung wedang di sebelah sini untuk melihat-lihat dulu?"
"Ada tontonan baik apa yang patut dilihat di dalam warung wedang?"
"Ada sebuah gurdi yang elok sekali."
Dengan tersenyum Yap Kay melangkah masuk, katanya:
"Aku hanya mengharap gurdi yang satu ini tidak mengebor badanku sampai berlubang besar."
Betapapun eloknya gurdi, kalau mengebor badanmu, kau
pasti tidak akan merasakan keelokannya.
Han Tin memang gurdi yang baik, diapun bukan laki-laki yang tampan. Memangnya hidung siapapun kalau sudah
dipukul ringsek menjadi pesek, mukanya tidak akan menjadi tampan lagi. Tapi sikap dan hatinya hari ini kelihatannya cukup senang dan riang. Bukan saja selebar mukanya
mengulum senyum dan air mukanya merah bergairah,
semangatnya pun menyala-nyala. Siapapun akan bisa merasa bahwa Han Tin bukan seorang yang telah terluka berat.
Begitu melihat Yap Kay segera dia bangkit menyambut,
sapanya dengan tertawa: "Silahkan duduk. Bagaimana kalau mencicipi arak di sini dulu?"
Yap Kay geleng-geleng.
"Kau tidak ingin minum arak?"
Yap Kay geleng-geleng kepala pula.
"Jajanan di sinipun lumayan, apa kau tidak ingin mencicipi kue-kue?"
Yap Kay tertawa, katanya: "Sekarang yang ingin kumakan hanya satu, wedang kacang!"
ooo)dw(ooo Ternyata warung wedang janda Ong tidak hanya jual
wedang saja, di sini diapun jual wedang tahu, wedang kacang ijo dan bubur tahu.
Janda Ong adalah seorang perempuan usia semasa, janda
Ong ini masih berparas ayu dan genit. Seorang janda
setengah baya yang masih berparas ayu menjual wedang,
sudah tentu usahanya cukup laris.
Hari ini janda Ong mengenakan seperangkat pakaian
warna hitam ketat dengan kancing berderet putih dari
leher menurun ke samping kanan terus ke pinggang.
Rambutnya yang mengkilap hitam tersisir rapi, dengan
sanggul melambai kendor, menambah kecantikan potongan
mukanya yang bundar telur. Di dalam kulit mukanya yang putih halus kelihatan semua merah, merah di antara putih.
Dasar wanita pandai bersolek, dalam usia setua ini dia kelihatan belum terlalu tua, malah kelihatan genit dan sempurna dari gadis-gadis remaja umumnya. Lebih
menggiurkan lagi sepasang biji matanya yang dinaungi
sepasang alis lentik melengkung seperti bulan sabit, kalau tertawa bibirnya nan tipis merekah seperti delima, seakan-akan laki-laki yang memandangnya pasti bisa tersedot
sukmanya. Kini biji matanya mengerling tajam tengah mengawasi
Yap Kay, katanya berseri tawa: "Wedang tahu tuan ingin dicampuri nyamikan apa?"
"Aku tidak makan wedang tahu."
"Apa wedang tahuku tidak enak?"
"Wedang tahumu enak sekali. Akupun ingin jajal tahu petismu, sayang aku tidak berani."
Semakin genit janda Ong tertawa, katanya: "Laki-laki segede ini kok takut makan tahu, takut pedas?"
"Tahu orang aku berani makan, tapi tahumu aku tidak berani." kata Yap Kay.
Tiba-tiba janda Ong tidak tertawa lagi, katanya dingin:
"Kau kemari mau cari Nyo Thian?"
Jari-jari janda Ong yang runcing dengan kuku panjang
dipolesi warna-warni menuding ke belakang, seolah-olah dia sudah malas melayani Yap Kay.
Memang banyak perempuan yang menyukai laki-laki yang
punya maksud tertentu, menaksir dirinya. Jikalau kau tidak menaksir dirinya, maka diapun tidak akan ketarik kepadamu.
Yap Kay tertawa menghadapi sikap orang, dengan
tersenyum dia melangkah masuk. Tiba-tiba dia berpaling dan berkata: "Sebetulnya nyaliku tidak sekecil yang kau kira."
Janda Ong melirik kepadanya, katanya gigit bibir:
"Kenapa hari ini nyalimu menjadi begitu kecil?"
"Karena aku tidak ingin digigit oleh rase," ujar Yap Kay dengan suara rendah seperti berbisik.
ooo)dw(ooo Kelihatannya Nyo Thian tidak mirip rase yang bisa
menggigit. Manusia liar, jahat segalak binatang buaspun, di kala
sedang mandi, pasti berubah lebih ramah dan lunak.
Nyo Thian sedang mandi. Dia merendam diri di dalam
sebuah baskom besar terbuat dari kayu dengan air panas yang masih mengepul. Sedapat mungkin dia lemaskan dan
luruskan ke empat kaki tangannya. Kelihatannya mirip benar dengan lembu yang malas merendam diri di kubangan. Kulit badannya kelihatan mengkilap merah, seluruh badannya dari atas sampai ke bawah tidak kelihatan bekas-bekas luka
sedikitpun. Tak tertahan akhirnya Yap Kay menghela napas.
Menyongsong kedatangan orang, Nyo Thian menyambut
dengan senyuman, sapanya: "Teman baik bertemu, kenapa kau menghela napas malah?"
"Karena kau tidak terluka."
"Kalau aku terluka, baru kau senang?"
Tiba-tiba Yap Kay tertawa, katanya: "Karena aku ingin makan tahu."
Nyo Thian tertawa besar, serunya: "Aku sedang mandi, bukankah kesempatan baik bagi kau?"
"Kesempatan baik apa?"
"Sekarang terserah apapun yang ingin kau lakukan di luar.
Memangnya aku harus memburu keluar dengan telanjang
bugil begini?"
"Sayang sekali istri teman sendiri tidak boleh
dipermainkan."
"Untuk mempermainkan istri teman, harus tunggu setelah teman itu mampus."
"Sayang sekali kau belum lagi mampus."
"Kalau begitu jadi kita sekarang masih teman?"
"Sebetulnya bukan, sekurangnya bolehlah dianggap
teman." Nyo Thian menatapnya tajam, sorot matanya semakin
cemerlang, setajam pisau, katanya dingin: "Kaupun sudah turun ke air?"
"Kau tidak menduga?"
"Kenapa kaupun turun ke air?"
"Tidak pantas kau bertanya ini kepadaku. Bukankah kau sendiri sedang merendam dalam air?"
"Lantaran aku sudah tidak bisa keluar?"
"Kalau ada orang mau menarikmu keluar?"
"Siapa sudi menarikku?"
"Aku!"
Betul juga segera Yap Kay ulurkan tangannya.
Tapi Nyo Thian tidak menyambut tangannya, katanya
tertawa: "Terlalu dingin hawa di luar, lebih nyaman aku merendam diri di air hangat ini."
"Betapapun panasnya air itu, akhirnya akan jadi dingin juga."
"Kalau demikian, lebih baik kau lekas lari keluar saja."
"Kau sedang bujuk aku" Atau sedang mengusirku?"
"Menurut pendapatmu?"
"Apa kau rasakan orang yang ada di dalam air terlalu banyak dan berdesakan?"
"Mau pergi tidak, terserah! Kau hanya kita termasuk kawan, ada sepatah kata terpaksa harus ku utarakan
kepadamu," ujar Nyo Thian dingin.
"Boleh kau katakan."
"Jangan kau pergi menemui laki-laki yang mengenakan topi rumput itu."
"Kenapa?"
Nyo Thian sudah memejamkan mata, menutup mulut.
Yap Kay bertanya pula: "Darimana kau tahu bila aku hendak mencari dia?"
Nyo Thian tetap tidak bersuara.
Air itu panas sekali, uapnya kemebul seperti kabut saja.
Tiba-tiba Yap Kay tertawa pula, katanya: "Memang lebih baik kau merendam diri dalam air saja, keluar dari air sepanas itu, kau pasti kedinginan."
ooo)dw(ooo Yap Kay sudah pergi.
Nyo Thian tetap pejamkan mata, merendam diri. Setelah
suhu air panas itu menurun dan rada dingin, baru terlihat air mukanya lambat laun menjadi pucat pias, seolah-olah dia benar-benar sudah tidak bertenaga lagi untuk keluar dari tempatnya merendam. Tapi air sudah dingin, tidak bisa
tidak dia harus keluar.
Waktu air mengalir dari pundaknya ternyata air itu
berwarna merah, air bercampur darah. Darimanakah darah itu keluar"
Diam-diam dengan langkah lembut janda Ong berlari
masuk, mengawasinya, sorot matanya penuh diliputi rasa iba dan kasih sayang.
Waktu Nyo Thian berdiri, mukanya yang pucat berkerutkerut saking menahan kesakitan, mulutnya menggerung
menahan sakit, katanya: "Adakah orang bisa menerjang masuk dari luar?"
Janda Ong geleng-geleng, tiba-tiba dia bertanya:
"Sebetulnya bagaimana luka-lukamu" Kenapa takut dilihat orang?"
Nyo Thian kertak gigi, dia tidak menjawab pertanyaan
orang, namun jarinya menjawab ke pundaknya, dari sana dia mencomot turun selapis kulit. Kulit tipis yang berwarna mirip dengan kulit badannya, begitu kulit tipis tercopot, darah dan air nanah segera bercucuran di dadanya.
ooo)dw(ooo Sebuah kereta besar berhenti di ujung jalan.
Siangkwan Siau-sian menggelendot di dinding kereta
sambil menunggu. Waktu dia melihat Yap Kay mendatangi, mukanya yang ditingkah sinar matahari berwarna merah itu kelihatan mekar laksana sekuntum bunga.
Setiap kali kau melihat wajahnya nan cerah, selalu kau akan merasa musim semi sudah menjelang.
Yap Kay menghela napas, karena tiba-tiba dia teringat
akan ucapan orang banyak waktu menilai dan menjuluki Lim Sian-ji, ibunya, perempuan secantik bidadari, namun khusus memancing laki-laki masuk ke neraka. Kalau kata-kata ini
sekarang dilukiskan untuk Siangkwan Siau-sian, apakah
tepat dan cocok"
"Kau sudah menemukan mereka?" tanya Siangkwan Siau-sian dengan senyuman manis.
"Ya!," pendek jawaban Yap Kay.
"Mereka sama-sama tidak terluka?"
"Tidak!," ujar Yap Kay menghela napas, "sedikitnya aku tak bisa melihatnya."
"Oleh karena itu, mereka tidak mungkin adalah Hu-hong si puncak tunggal?"
Yap Kay manggut-manggut. Memang dia tidak melihat
luka-luka Nyo Thian, kulit tipis yang melekat di pundak Nyo Thian, terendam di air kelihatannya seperti daging yang dimasak. Tak pernah pula terpikir olehnya, seorang yang sudah terluka parah kok merendam diri dalam air.
"Namun umpama benar mereka tidak terluka," ujar Siangkwan Siau-sian, "belum membuktikan bahwa mereka bukan orang-orang Mo Kau."
"Benar!"
"Tapi kau sudah siap untuk menyelidiki lebih lanjut?"
"Mereka adalah orang-orangmu, untuk menyelidiki pula adalah urusanmu."
"Maka kau hendak tinggal pergi?"
"Bukankah kau sudah persiapkan sebuah kereta
untukku?"
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siangkwan Siau-sian tertawa, tawa yang syahdu: "Karena aku tahu takkan bisa menahanmu."
Yap Kay lompat naik ke atas kereta, tiba-tiba dia
berkata pula: "Nyo Thian tadi memberi advis kepadaku."
"Apa yang dia katakan?"
"Dia menganjurkan kepadaku supaya jangan pergi
menemui orang bertopi rumput lebar itu."
Siangkwan Siau-sian menghela napas, katanya: "Bujukan orang lain, kenapa selalu tidak kau turuti?"
Yap Kay menutup pintu kereta, namun dia menongolkan
kepalanya keluar dari jendela, katanya tertawa: "Karena aku ini biasanya dihinggapi penyakit."
"Penyakit apa?"
"Penyakit goblok!"
ooo)dw(ooo Lari kereta itu menimbulkan debu yang tinggi di
belakangnya. Cepat sekali laju kereta, sudah hampir jauh, hampir tidak kelihatan lagi.
Roman muka Siangkwan Siau-sian masih mengulum
senyuman mekar yang menggiurkan karena kepala Yap Kay
masih menongol keluar mengawasi dirinya. Dia tertawa
riang, tiba-tiba dia lambaikan sapu tangan yang ada di tangannya.
Di saat dia mengangkat tangan inilah senyumannya tibatiba sirna, mukanya yang merah di tingkah sinar matahari tiba-tiba berubah pucat, mengernyit menahan sakit.
Sayang sekali tatkala itu kereta Yap Kay sudah
membelok di pengkolan gunung sana, tidak kelihatan lagi.
ooo)dw(ooo Di dalam bilangan kelenteng itu, suasana sepi nyaman dan menyegarkan, pekarangan penuh ditumbuhi pohon bambu.
Hutan bambu. Pekarangan yang ditumbuhi hutan bambu
biasanya memang membawakan suasana nyaman, segar dan
tentram. Terutama pada saat magrib, angin lalu menghembus
daun-daun bambu, suaranya kedengarannya mirip deru
gelombang ombak lautan yang mengalun kalem.
Yap Kay tengah mondar-mandir di hutan bambu ini.
"Kalau aku tahu di kota Tiang-an ada tempat sesepi dan nyaman tentram seperti ini, aku pasti akan menetap di sini."
demikian dia bicara seorang diri, "sayang sekali orang-orang yang tahu adanya tempat ini agaknya tidak banyak."
Agaknya dia tidak mengoceh seorang diri, kelihatannya
dia tujukan kata-katanya kepada Goh-cu.
Goh-cu adalah pendeta penerima tamu dari Cap-hong-cutim-si ini. Sesuai dengan namanya, Goh-cu berbadan kurus lencir seperti galah. Walau badannya kurus kering, namun sikapnya amat ramah. Dia sedang tersenyum dan
membantah: "Memang jarang Sicu yang berkunjung kemari, tapi tidak sedikit juga jumlahnya."
Yap Kay tertawa, sejak dari luar sampai di sini matanya melihat ada orang berkunjung ke tempat ini, memasang hio, menaikkan dupa. Demikian pula bilangan luar dan dalam
ruang sembahyang kosong.
"Ke tujuh kamar ini semua diperuntukkan kamar tamu, sebetulnya tidak kosong lagi," demikian pula kata Goh-cu,
"semalam ada beberapa Sicu menetap di sini, mereka adalah orang-orang yang suka keindahan alam dan ketentraman
hidup." "Sekarang di mana mereka?" tanya Yap Kay.
"Kini berada di Tay-siang-kok-si."
"O, jadi mereka semalam baru pergi?"
Goh-cu manggut-manggut, katanya: "Begitu Pek Sicu yang mengenakan topi rumput itu datang, yang lain-lain segera pergi."
"Apakah dia yang mengusirnya?"
"Dia sih tidak mengusir orang, namun begitu dia datang, orang lain tak betah tinggal di sini."
"Lho" Kenapa?"
Goh-cu menghela napas, mukanya yang kurus kering tibatiba menampilkan mimik yang aneh. Dia tidak langsung
menjawab pertanyaan Yap Kay, namun menepekur.
"Marilah ku ajak kau masuk ke kamar, kau akan segera mengerti."
Kamar tidur itu empat dinding kosong memutih, tiada
gambar tiada lukisan. Ternyata tiada meja kursi, juga tiada ranjang. Kamar tidur (biasanya kamar semedi) sebesar ini hanya terdapat dua batang paku, satu di paku di dinding kanan, yang lain di paku dinding kiri.
Tak tertahan Yap Kay tertawa pula, sekarang dia
mengerti, kenapa orang lain tidak betah tinggal di sini lama-lama.
"Agaknya akupun takkan betah tinggal di sini." katanya tersenyum, "aku bukan lalat, juga bukan nyamuk, masakah harus tidur di atas paku"
"Di sini ada dua paku."
"Satu paku atau dua paku apa bedanya?"
"Ada saja bedanya."
"Aku sih tidak bisa membedakan, coba kau katakan di mana bedanya."
"Tapi sebetulnya kau bisa memikirkannya. Dua paku kau bisa untuk mengikat seutas tali."
Yap Kay masih belum mengerti, katanya: "Gunanya tali?"
"Tapi itu bisa untuk gantung pakaian, juga bisa untuk tidur."
"Jadi Pek Sicu yang pakai topi rumput itu kalau malam tidur di atas tali?"
"Malah tali kecil yang lembut sekali."
Yap Kay melongo.
Bila seseorang suka tidur di atas seutas tali, bukan saja watak orang itu aneh, ilmu silatnya tentu aneh dan tinggi.
"Kamar ini semula tidak kosong melompong seperti ini,"
kata Giok-cu lebih lanjut, "bukan saja ada meja kursi dan ranjang, di sinipun banyak cecak."
"Jadi meja kursi dan ranjang dia yang minta di pindah ke lain tempat" Lalu cecak?"
Kembali terunjuk mimik aneh pada muka Goh-cu.
"Cecak itu semuanya dia makan habis."
Kembali Yap Kay melongo.
Memang aneh orang itu, di musim dingin suka pakai topi rumput, suka tidur di atas tali, suka makan cecak pula.
Belum pernah Yap Kay melihat atau bertemu dengan
orang seaneh ini. Tak urung terunjuk mimik seaneh mimik Goh-cu di muka Yap Kay, katanya kemudian dengan tertawa getir: "Agaknya selera makannya tidak terlalu besar, hanya makan beberapa ekor cecak, masakah bisa kenyang?"
"Kecuali cecak, sudah tentu dia masih makan barang-barang lain."
"Makan apa lagi?"
"Para Sicu yang tinggal di sini, begitu makan tiba, biasanya mereka tidak berani keluar kalau tidak ada
keperluan penting, karena disekitar sini banyak ular
berbisa." "O, jadi ular-ular beracun itupun habis dia makan."
"Kecuali ular, masih ada kelabang, ketunggeng
(kalajengking) dan lain-lain."
"Agaknya takaran makannya cukup besar."
"Oleh karena itu aku sudah mulai kuatir akan satu hal."
"Apa pula yang kau kuatirkan?"
"Kalau cecak, ular dan binatang-binatang beracun lainnya sudah habis dia makan, makanan apa pula yang dapat dia makan?"
"Apa kau takut dia bakal makan dirimu?"
Goh-cu menghela napas. Belum sempat dia membuka
suara, tiba-tiba seseorang berkata dingin: "Manusia ada kalanya kumakan juga, namun jarang aku makan Hwesio."
ooo)dw(ooo Entah kapan seseorang yang bertopi rumput lebar berdiri di luar hutan bambu, Di dalam cuaca sedingin ini, ternyata dia hanya mengenakan kain katun tipis warna putih mangkak, bentuk topi rumput di kepala rada aneh, kelihatannya mirip kepis tempat ikan yang dibawa orang mancing. Topi selebar itu dia pakai begitu rendah lagi, hampir seluruh mukanya tertutup tidak kelihatan, hanya kelihatan mulut dan
bibirnya yang tipis kalau tidak bicara tertutup rapat, seolah-olah rangkapan dari bibir pisau.
Tiba-tiba Yap Kay tertawa. Di saat orang lain tidak bisa tertawa, dia malah ingin tertawa, katanya: "Kau jarang makan Hwesio atau tak pernah makan?"
"Biasanya aku hanya makan satu macam manusia." ujar laki-laki bertopi rumput lebar.
"Orang macam apa?"
"Orang yang patut mati."
Yap Kay menyengir getir.
Memang dalam dunia ini ada semacam manusia yang mirip
ular beracun, jikalau kau tidak ingin dilalap olehnya, maka kau harus mencaploknya lebih dulu.
"Tapi orang yang benar-benar patut mampus tidak
banyak." ujar Yap Kay.
"Benar, memang tidak banyak."
"Kalau demikian kenapa tidak kau tiru orang lain, mengganyang makanan yang lebih gampang diperoleh?"
"Kau makan apa?" tanya orang bertopi rumput berbaju putih mangkak.
"Aku suka makan daging babi, juga suka daging sapi, terutama daging sapi yang dipanggang dengan saus tomat, dengan abon sapi juga tidak kurang sedapnya."
Laki-laki baju putih tiba-tiba berkata: "Thio Sam adalah manusia kerdil yang jahat, keji dan telengas. Li Su
sebaliknya seorang Kuncu yang mau kerja giat dan rajin berusaha, berhati jujur polos. Jikalau kau harus memilih satu di antaranya untuk kau bunuh, siapa yang kau bunuh?"
"Sudah tentu Thio Sam."
"Tapi yang kau bunuh sekarang justru Li Su."
"Aku sudah membunuh Li Su?"
Laki-laki baju putih manggut-manggut.
Yap Kay tertawa getir, katanya: "Sayang sekali,
dimanakah dia orang toh aku tidak tahu."
"Seharusnya kau sudah tahu, karena dia sudah berada di dalam perutmu."
Yap Kay tidak mengerti. Ucapan laki-laki baju putih putar balik tiada juntrungannya, sungguh mengherankan.
Kata laki-laki baju putih sambil tertawa dingin: "Ularlah yang beracun, bukan sapi, tapi kau membunuh sapi, setelah kau membunuhnya, malah kau simpan mayatnya ke dalam
perutmu." Kontan terasa kecut dan mual perut Yap Kay, seakanakan dia ingin muntah-muntah.
Memang dalam perutnya masih terdapat daging sapi,
daging yang dia makan tadi siang, tentunya belum hancur oleh karena pencernaan dalam perutnya.
Lain kali bila ada orang menyuguhkan masakan daging sapi lagi, pasti dia sukar untuk menelannya.
Mata laki-laki baju putih menatapnya dari bawah topi:
"Sekarang apa kau sudah paham akan maksudku?"
Yap Kay menghela napas, katanya tertawa getir:
"Kedengarannya ucapanmu memang beralasan dan masuk diakal."
"Memangnya kau belum pernah mendengar pengertian
tentang semua ini?"
"Jangan kata mendengar, berpikirpun belum pernah."
ujar Yap Kay menghela napas. Menyimpan daging sapi di
dalam perut sungguh jenaka dan ganjil juga kedengaran
kata-katanya ini.
"Agaknya walau kau bukan seorang Kuncu yang giat dan rajin bekerja, lugu dan jujur, namun kaupun bukan manusia rendah yang jahat dan telengas."
"Apa kau bisa meramalkan diriku?"
"Justru aku bisa meramalkan keadaan dirimu, maka
sekarang kau masih tetap hidup."
"Dan kau" Kau orang macam apa?"
"Kau tidak bisa meramal diriku!"
Yap Kay tertawa, katanya: "Yang terang kau bukan she Pek. Kau datang dari Cheng-shia." Dengan tatapan tajam Yap Kay menambahkan: "Khabarnya di dalam Ceng-shia-san ada seorang tokoh kosen, namanya Bak Kiu-sing."
"Agaknya tidak sedikit urusan yang kau ketahui." sela laki-laki baju putih dingin.
"Walau tidak terlalu banyak, tapi juga tidak sedikit."
"Sayang sekali, apa yang harus kau ketahui sekarang, kau justru tidak tahu."
"Ah, apa iya?"
"Tahukah kau siapakah Tolka sebenarnya?"
"Ya, memang aku belum tahu."
"Tahukah kau siapakah Putala?"
"Agaknya memang tidak banyak urusan yang kuketahui."
"Kau ingin tidak bertemu dengan mereka?"
"Apa aku bisa bertemu dengan mereka?"
"Asal kau menunggu di sini, kau akan bisa menemuinya."
Bersinar biji mata Yap Kay. Sudah tentu dia rela menunggunya di sini.
"Umpama aku harus menunggu tiga hari tiga malam,
akupun akan menunggunya dengan senang hati."
"Tidak perlu kau menunggu tiga hari tiga malam,
kedatanganmu amat kebetulan."
Terbangkit semangat Yap Kay, katanya: "Apakah hari ini mereka akan datang ke sini?"
"Kalau kau sudah mau menunggu, tak usah banyak tanya, kalau tidak mau menunggu, akupun tidak menahanmu."
Yap Kay segera tutup mulut, tapi matanya malah
dipentang lebar. Memang dia bukan laki-laki cerewet.
Laki-laki baju putih tiba-tiba berkata pula: "Hwesio seharusnya tidak cerewet."
Goh-cu lantas menundukkan kepala.
"Hwesio seperti kau ini sudah terlalu banyak kau pentang bacot."
Maka Goh-cu tutup mulut kencang-kencang, sepatah
katapun dia tidak berani bercuit lagi.
"Seorang Hwesio bukan saja harus tahu kapan dia harus tutup mulut, diapun harus tahu kapan menutup matanya."
Goh-cu segera pejamkan matanya juga, dengan
menggeremet dan tangan menggapai-gapai, dia beranjak
pergi. Tak tahan Yap Kay tertawa, katanya: "Kelihatannya dia memang Hwesio yang tahu diri."
"Hwesio yang benar-benar tidak tahu diri hanya satu."
"Hwesio macam apa itu?"
"Hwesio yang harus mampus."
"Dalam pandanganmu, manusia dalam kolong langit ini agaknya hanya ada dua macam saja."
"Memang hanya ada dua macam, yang harus hidup dan yang harus mati."
"Lalu orang macam apa yang akan datang kemari nanti malam?"
"Mereka termasuk orang yang harus mati."
ooo)dw(ooo Tabir malam sudah menyelimuti jagat raya.
Laki-laki baju putih mengeluarkan sebuah botol kecil
yang terbuat dari kayu, lalu menuang sedikit bubuk warna putih mengkilap seperti perak di atas tanah. Kelihatannya seperti kapur, tapi begitu sinar bintang di langit mulai kelap-kelip, bubuk putih seperti kapur di tanah itupun mulai memancarkan sinar kemilau.
Kata Yap Kay: "Malam nanti apakah kau sudah siap
hendak menelan pekarangan ini, sampai perlu kau
membubuhi merica lebih dulu?"
Laki-laki baju putih menjengek, sentaknya: "Mulutmu terlalu cerewet."
Yap Kay melongo dan bersuara dalam mulut.
"Kaupun terlalu banyak tawa."
"Ya, soalnya aku ada melihat suatu hal."
"Hal apa?"
"Aku bisa merasakan kau bukan manusia yang dingin kejam, ada kalanya kaupun ingin tertawa, namun selalu kau berusaha untuk menahannya."
"Kenapa aku harus menahannya secara paksa?"
"Karena kau ingin supaya orang lain takut kepadamu."
Laki-laki baju putih memutar badan, dia dorong jendela.
Lama sekali baru dia bersuara pula: "Apa pula yang dapat kau lihat?"
"Jikalau kau mengijinkan aku melihat mukamu, aku pasti bisa melihat banyak persoalan."
Laki-laki baju putih tiba-tiba berpaling seraya
mengangkat topi rumputnya.
Sebetulnya muka orang ini tak ubahnya seperti muka
orang lain, namun dia hanya kelebihan sembilan buah bintang di atas jidatnya.
Sembilan bintang warna hitam mengkilap.
ooo)dw(ooo Pada malam musim dingin seperti saat itu, sinar bintang yang menyendiri di atas angkasa raya, biasanya kelihatan lebih menyolok, kelihatannya lebih cemerlang. Tapi bintang-bintang di muka laki-laki baju putih ini rasanya malah lebih dingin, lebih terang.
Ke sembilan bintang ini berderet menggambarkan sebuah
bentuk aneh yang sukar diraba juntrungannya, setiap
bintang-bintang itu seperti melekat kencang di dalam kulit dagingnya.
Yap Kay menghela napas, ujarnya: "Apakah kau sedang menghukum dan menyiksa dirimu sendiri?"
Ternyata laki-laki baju putih manggut-manggut, katanya:
"Setiap orang kan punya dosa."
"Dan kaupun tidak terkecuali?"
"Akupun manusia."
"Apa dosamu?"
"Aku hanya gegetun kenapa aku tidak mampu
memberantas manusia-manusia kerdil, jahat dan kejam."
"Itu belum bisa dianggap berdosa, siksaan yang kau alami kurasa terlalu berat."
"Tapi bila aku berhadapan dengan manusia yang berdosa besar, maka bintang ini merupakan alat senjata yang ampuh untuk merenggut jiwanya."
"Senjata untuk membunuh?"
"Masa kau tidak bisa melihatnya?"
Yap Kay geleng-geleng, katanya tertawa getir:
"Memikirkanpun aku tidak pernah."
Kembali laki-laki baju putih turunkan topinya, katanya dingin: "Tidak banyak orang yang bisa melihat muka asliku ini, terutama yang hidup hanya beberapa gelintir saja."
"Bukankah di atas mukamu semula hanya ada lima buah bintang?", tanya Yap Kay.
Laki-laki baju putih manggut-manggut membenarkan.
"5 buah bintang kenapa sekarang berubah menjadi 9
bintang?" "Karena manusia yang berdosa dalam jagat ini semakin banyak, maka dosaku pun semakin bertumpuk."
"Oleh karena itu Bak Ngo-sing menjadi Bak Kiu-sing."
"Sekarang tiada Bak Ngo-sing, yang ada adalah Bak Kiu-sing."
"Kalau begitu tak heran kalau dia bisa salah duga."
"Dia siapa yang kau maksudkan?"
"Masa kau tidak tahu?"
"Apakah Siangkwan Siau-sian?"
"Kau tahu tentang dirinya?"
Bak Kiu-sing tertawa dingin.
"Kau tahu orang macam apa dia sebenarnya?"
"Orang yang akan kubunuh kali ini semuanya ada tiga."
"Salah satu adalah dia?"
"Semula memang dia satu di antaranya."
"Sekarang?"
"Baru sekarang ku sadari, bahwa manusia yang lebih jahat dan harus diganyang melebihi dia tidak sedikit
jumlahnya."
"Yang harus mati ada berapa orang?"
"Tolka dan Putala."
"Untuk membunuh ke dua orang ini, kukira bukan soal gampang."
"Memangnya aku sudah siap untuk tidak kembali dengan jiwa segar." kata Bak Kiu-sing tegas dan mantap. Lalu pelan-pelan dia melanjutkan: "Bila masih ada satu di antara Su-thoa-thian-ong dari Mo Kau hidup dalam dunia ini, maka aku pasti tidak akan kembali ke Ceng-shia."
"Tapi umpama kau berhasil membunuh yang dua ini, toh masih ada dua yang lain."
"Sudah tiada lagi!"
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lho, kenapa tiada lagi?"
"Panjapana sudah mampus di tangan Kwe Ting."
"Masih ada Sialpu, bukan?"
Tiba-tiba Bak Kiu-sing merogoh keluar sebuah lencana
kemala terus dilempar kepada Yap Kay.
Di atas lencana batu kemala yang mengkilap bening itu
terukir malaikat - iblis yang menjunjung sebuah tongkat batu pertanda kepintaran.
"Itulah tanda pengenal milik Sialpu, di kala dia masih hidup, barang itu pasti digembol di badannya."
"Sekarang kenapa berada di tanganmu?"
"Karena dia sekarang sudah menjadi mayat."
"Kaukah yang membunuhnya?", berjingkat kaget Yap Kay.
Bak Kiu-sing manggut-manggut.
"Di mana kau kesamplok dengan dia?"
"Di luar kota Tiang-an."
"Jadi diapun sudah turun dari gunung iblis?"
"Gunung iblis mereka memangnya berada di dalam
pengembaraan yang tidak menentu tempatnya, di mana
orang-orang mereka berada di situlah letak gunung iblis mereka."
"Oleh karena itu gunung iblis mereka sekarang berada di kota Tiang-an."
"Jikalau mereka belum mampus, di dalam jangka waktu 8x8 sama dengan 9 hari, kota Tiang-an ini akan menjadi kota iblis."
"Hah, kota iblis?"
"Di dalam Mo Kau juga hanya ada dua kelas manusia."
"Apa saja kedua kelas mereka?"
"Kelas pertama adalah murid-murid Mo Kau, kelas ke dua adalah orang-orang yang sudah mampus."
"Untung rahasia mereka sudah kau bongkar dan kau
ketahui." "Bagi aku, hakekatnya tiada sesuatu yang terahasia di dalam dunia ini."
"Agaknya memang tidak sedikit yang kau ketahui?", ujar Yap Kay.
Bak Kiu-sing tidak menyangkal.
"Aku hanya heran, dari mana kau bisa tahu begini banyak, bukankah kau seorang yang lama mengasingkan diri?"
"Kau salah!. Semangat keluarga Bak kita bukan keluar dunia, namun masuk dunia, demi menolong kepentingan orang banyak, murid-murid keturunan keluarga Bak kita takkan segan-segan mengorbankan jiwa raga sendiri untuk
menegakkan kebenaran dengan keberanian nan suci,
bijaksana dan tahu cinta kasih."
Yap Kay mengawasi orang, sorot matanya menampilkan
perasaan hormat. Kelihatannya orang ini dingin kaku dan aneh, yang benar hatinya suci, luhur budi dan bajik. Tiada banyak manusia yang benar-benar sudi berkorban demi
kepentingan orang lain, selamanya Yap Kay paling hormat dan salut terhadap orang-orang macam ini.
Gelap gulita. Kamar itu dipasang pelita.
Biji mata Bak Kiu-sing tetap memancarkan sinar kemilau dari bawah topi rumputnya, namun sulit ditentukan apakah itu sinar matanya atau cahaya bintang-bintang di mukanya.
Dengan menatap Yap Kay tiba-tiba ia berkata: "Sejak lama akupun sudah tahu akan dirimu."
"Tahu apa tentang diriku?"
"Kau she Yap, bernama Kay."
"Benar! Yap daun dan Kay riang."
"Kau selalu periang?"
"Karena aku jarang memikirkan urusan yang membuat hati duka-lara."
"Khabarnya pisau terbangmu sudah boleh diagulkan
nomor satu di seluruh jagat raya"
"Akupun pernah dengar orang bilang demikian, oleh karena itu kesulitan yang selalu melilit diriku juga nomor satu di seluruh dunia."
Memang tiada orang yang bisa menandingi Yap Kay di
dalam menghadapi setiap kesulitan yang selalu merecoki dirinya.
Bak Kiu-sing diam saja. Lama sekali baru dia bersuara
kalem: "Akan datang suatu hari akupun pasti tahu."
"Tahu apa?"
"Apakah benar pisau terbangmu nomor satu di seluruh jagat?"
"Jikalau kau benar-benar ingin tahu, itu berarti kesulitan bertambah satu lagi."
"Apa kau tidak ingin tahu, benarkah bintangku ini bisa membunuh orang?"
"Aku tidak ingin tahu."
"Kenapa?"
"Karena sekarang kita sudah boleh dianggap teman."
"Mungkin kawanmu sudah terlalu banyak."
"Banyak kawan kurasa lebih baik daripada tidak punya teman sama sekali."
"Mungkin lantaran kawan yang kau kenal terlalu banyak, maka kesulitanpun lebih banyak dari orang lain. Karena orang yang benar-benar tidak mempunyai kesulitan pun
hanya ada satu saja."
"Orang mati?" tanya Bak Kiu-sing.
Yap Kay manggut-manggut dengan tersenyum.
Sekonyong-konyong 'Blang....' tembok rendah di
pekarangan diterjang jebol berlubang besar, seseorang
dengan menggendong ke dua tangan di punggung beranjak
masuk pelan-pelan.
(Bersambung ke Jilid-16)
Jilid-16 Bintang masih bercokol di angkasa raya. Sinar bintang
yang pudar menyinari muka orang ini. Muka orang kelihatan memancarkan cahaya hijau. Tiada manusia yang mukanya
bisa memancarkan sinar hijau seperti ini, kecuali dia
mengenakan kedok muka yang terbuat dari tembaga hijau.
Memang orang ini menggunakan topeng tembaga hijau, di
bawah pancaran sinar bintang, kelihatan menyeringai seram dan aneh, menakutkan. Tapi pakaian yang dia kenakan justru jubah sutra panjang yang tersulam indah. Di pinggangnya terselip tiga batang golok melengkung, golok sabit pendek.
Sarung goloknya yang berwarna putih pucat penuh ditaburi mutiara dan berlian.
"Nah, sudah datang, akhirnya datang juga." Yap Kay menghela napas, "dia Tolka atau Putala?"
"Masa kau tidak bisa membedakan?"
Kini Yap Kay sudah melihat jelas, sulaman di atas jubah sutra orang ini melambangkan gada iblis yang berkuasa.
"Dia Tolka?"
"Mungkin dia bukan Tolka."
"Lho, masih bukan?"
"Duplikat Tolka seluruhnya ada tiga."
Apakah yang dimaksud dengan duplikat" Yap Kay tidak
bertanya, kini dia sudah melihat satu.
Begitu angin lalu menghembus datang, sesosok bayangan
orang tampak melayang masuk dari luar tembok, jubah
panjangnya yang tersulam indah itu, dengan topeng yang menyeramkan pula, demikian pula diikat pinggang terselip tiga batang golok sabit yang penuh ditaburi batu-batu
permata. Hampir dalam waktu yang sama, dari belakang hutan
bambu dan dari bawah payon rumah di sebelah samping sana muncul lagi dua orang. Dua orang yang mirip satu sama lain.
Baru sekarang Yap Kay betul-betul melongo. Dia
menjublek sekian lama. Sungguh dia tidak bisa membedakan yang mana satu di antara empat orang ini adalah Tolka yang tulen.
"Umpama kau dapat membunuh tiga duplikatnya, satu yang tulen itu tetap akan bisa melarikan diri." kata Yap Kay.
Bak Kiu-sing tertawa dingin, jengeknya: "Setelah kemari jangan harap mereka bisa pergi."
"Darimana kau tahu bila dia benar-benar datang" Kau bisa membedakannya?"
"Aku tidak bisa membedakannya." Bak Kiu-sing tetap menyeringai dingin, "aku hanya tahu bahwa dia pasti dan tidak bisa tidak harus datang."
"Kenapa"
"Karena aku di sini."
Yap Kay tidak bertanya lebih lanjut, juga tidak bisa
mengajukan pertanyaan lagi. Dia melihat seorang tengah melangkah dengan menginjak sinar bintang.
Bubuk perak toh juga memancarkan sinar. Setiap langkah kakinya, tanah segera meninggalkan bekas telapak kakinya yang cetek.
Hanya mengandal tapak kaki ini apakah bisa membedakan
betulkah dia ini Tolka yang tulen"
Akhirnya Yap Kay menghela napas, betapapun dia tidak
bisa membedakan.
ooo)dw(ooo Tiga orang mondar-mandir dengan menggendong tangan
di pekarangan. Seorang maju mendekat, juga menggendong tangan.
Bukan saja dandanan mereka sama, sampaipun perawakan
badan, gaya dan langkah kaki mereka sama.
Mengandal apa Bak Kiu-sing bisa membedakan mereka"
Tolka akhirnya bersuara: "Ceng-shia Bak Kiu-sing?"
Bak Kiu-sing manggut-manggut.
"Kaukah yang ingin aku kemari?"
Bak Kiu-sing manggut-manggut.
"Sekarang aku sudah datang."
"Menggelindinglah pergi."
"Aku sudah kemari, masakah begitu gampang di suruh pergi."
"Jadi kau ingin mampus di sini?" ancam Bak Kiu-sing.
Jari-jari Tolka sudah menjamah garan sebuah golok
sabitnya. "Sebetulnya tidak setimpal aku turun tangan kepadamu, tapi sekarang............"
"Sekarang kalau kau tidak turun tangan, maka kau akan mati....." kata Tolka.
Di mana sinar golok berkelebat, tahu-tahu goloknya
sudah terlolos dari sarungnya. Golok sabitnya yang putih kemilau itu tahu-tahu sudah bergerak membacok tiga kali dalam waktu secepat kilat.
Bak Kiu-sing tidak bergerak, ujung jarinya tidak
bergeming. Dia sudah melihat bahwa tiga kali bacokan orang ini hanya gertakan belaka. Tahu-tahu pergelangan tangan Tolka terbalik, jurus ke empat, tahu-tahu sudah membacok lagi. Sudah tentu kali ini bukan serangan gertak sambel.
Ujung goloknya memapas sobek ujung topi rumput Bak
Kiu-sing yang lebar, menyerempet turun hanya setengah dim di depan ujung hidung Bak Kiu-sing. Kelihatannya muka Bak Kiu-sing bakal terbelah oleh bacokan ini. Sayang sekali samberan ujung goloknya masih terpaut setengah dim.
Ternyata Bak Kiu-sing tetap tidak turun tangan, tanpa
bergeming, namun dia mengerut alis. Sekonyong-konyong
sebintik sinar bintang melesat terbang memukul ke pundak Tolka. Bukannya Tolka tidak berkelit, namun sinar bintang ini datangnya luar biasa cepat, di luar dugaan lagi.
Begitu dia melihat bintang itu melesat datang, untuk
berkelitpun sudah terlambat. Mendadak dia kertak gigi,
tahu-tahu goloknya berputar balik terus menghunjam ke
perutnya sendiri. Darah muncrat bagai air ledeng, pelan-pelan badannyapun roboh terkapar.
Bak Kiu-sing tetap tidak bergerak, ujung jarinyapun
tidak bergeming, namun sebuah bintang di tengah ke dua alisnya ternyata sudah lenyap. Ternyata tanpa bergerak, senjata rahasia ini sudah bisa ditimpukkan, cukup asal dia mengerut kening, orang yang diincar bakal melayang
jiwanya. Yap Kay menghela napas, katanya: "Ternyata benar
senjata piranti membunuh jiwa manusia."
"Tolka yang satu ini palsu." ujar Bak Kiu-sing.
"Kau bisa membedakan?"
Bak Kiu-sing manggut-manggut, katanya dingin: "Kematian orang inipun hanya pura-pura saja."
"Ya, aku sendiripun bisa melihatnya," ujar Yap Kay, "golok iblis yang bisa menyurut mundur sendiri, bukan hanya sekali ini aku melihatnya, namun setiap kali tiada yang pernah menipuku."
Tawar kata Bak Kiu-sing: "Untuk menipu kau memang tidak gampang."
Tolka yang rebah dengan bercucuran darah ternyata
benar-benar hidup kembali. Mendadak dia melompat bangun seraya mencabut golok yang lain terus menubruk maju. Tapi goloknya yang sudah terayun ke atas kepala itu sempat dia bacokkan, tahu-tahu sebintik bintang melesat terbang pula, telah menancap di tenggorokannya. Kembali dia terpelanting untuk tidak bangun lagi.
Yap Kay tertawa, katanya: "Agaknya kali ini tidak pura-pura lagi."
"Sebetulnya dia tidak perlu mengantar kematian." ujar Bak Kiu-sing.
"Memang tidak setimpal kau turun tangan membunuhnya."
"Tapi aku memang tidak turun tangan."
Memang, ujung jarinyapun tak pernah bergoyang,
siapapun takkan bisa melihat jelas kapan dan cara
bagaimana senjata rahasia bintang ini dia lepaskan, oleh karena itu sudah tentu si korban tak mampu meluputkan
diri. Yap Kay tertawa pula, katanya: "Agaknya yang dikatakan Siangkwan Siau-sian memang tidak salah."
"Apa yang dia katakan?"
"Katanya, kau adalah salah satu dari tiga orang yang paling menakutkan di dunia ini. Malah kau adalah orang yang paling ditakutinya."
Dingin suara Bak Kiu-sing: "Memang, tidak salah
omongannya."
Di pekarangan sana ada tiga orang tertawa dingin, entah siapa. Tiga orang yang sama, semuanya menggendong tangan, berdiri di bawah pancaran sinar bintang.
Sorot mata Bak Kiu-sing setajam golok itu menyapu
pandang ke arah kaki mereka, tiba-tiba tatapnya berhenti pada salah satu di antaranya, katanya dingin: "Tidak usah kau suruh orang lain menjual jiwa bagi dirimu."
"Aku maksudmu?" kata orang itu.
"Ya, kaulah!", jengek Bak Kiu-sing.
Biji matanya bercahaya di bawah topi rumputnya,
demikian pula sorot mata orang itupun bercahaya di balik topeng tembaga hijaunya. Sorot mata ke dua orang bentrok dan beradu sekeras golok dan pedang.
Orang ini tiba-tiba gelak-gelak, nada tawanya lebih dingin dari ujung golok, lebih tajam.
"Bagus! Tajam benar pandangan matamu. Cara bagaimana kau bisa membedakan diriku?"
"Bentuk badan kalian bisa dipalsukan, namun kepandaian di telapak kaki kalian takkan bisa ditiru."
Berapa tinggi kepandaian silatmu dan meninggalkan bekas telapak kaki sesuai dengan tingkat kepandaianmu. Semakin tinggi kepandaiannya, semakin cetek dan samar-samar
bekas telapak kakinya. Dan kenyataan ini tak bisa dipalsukan lagi.
Baru sekarang Yap Kay paham kenapa tadi Bak Kiu-sing
menaburkan bubuk perak di pekarangan.
Tolka pun menghembuskan napas dari mulutnya, katanya:
"Tak nyana terhadap kepandaian ilmu perguruan kita, kaupun begitu hapal."
"Thian-mo-cap-sha-tay-hoat di dalam pandanganku,
hakikatnya tidak berharga sepeserpun." jengek Bak Kiu-sing.
"Baik, baik sekali." ejek Tolka tertawa dingin.
Dia ulapkan tangan, dua orang yang lain segera
mengundurkan diri.
Tiba-tiba terlihat oleh Yap Kay tangan orang laksana
tajamnya golok yang mengkilap di bawah sinar bintang. Jelas bahwa tangannya itu merupakan senjata ampuh yang piranti membunuh orang. Memang sesuatu alat yang bisa untuk
membunuh. Itulah senjata tajam. Senjata tajam yang
menamatkan jiwa.
Setiap orang Mo Kau pasti membedakan senjata tajam
seperti itu yang mampu menamatkan jiwa musuhnya, karena senjata itu sudah bersatu padu dengan jiwa raganya. Paling kau hanya bisa merenggut jiwanya, dan di situlah justru letak yang paling mengerikan dari mereka. Kekuatan jiwa itu, bukankah merupakan kekuatan yang paling menakutkan di dalam dunia ini"
Yap Kay menghela napas. Dia tahu duel akan terjadi ini akhirnya akan merubah nasib banyak insan persilatan di kalangan Kang-ouw menghadapi situasi duel sengit bakal terjadi ini diapun menaruh perhatian besar.
Tapi dia hampir tidak tega untuk menyaksikan lagi,
karena diapun tahu untuk membuat senjata tajam seperti itu, entah berapa keringat, darah dan air mata harus
dikucurkan. Sungguh dia tidak tega menyaksikan kehancuran ini, karena akhir dari duel seru ini jelas adalah suatu kehancuran, antara hidup dan mati.
Sebelum kehancuran terjadi, suasana biasanya memang
tenang tentram. Demikian pula keadaan pekarangan ini amat hening.
Memang hawa membunuh tidak kelihatan, tak bisa diraba
dan tak bisa didengar. Orang yang bisa merasakan adanya
hawa membunuh ini, maka indra dari orang itu sendiri pasti sudah terlalu tajam.
Mendadak Yap Kay rasakan sekujur badannya menjadi
dingin. Rasa dingin yang meresap ke tulang sumsum, laksana pisau kecil meresap ke dalam tubuhnya. Nah, itulah hawa membunuh.
Topi rumput itu sudah koyak, namun tetap bercokol di
atas kepala Bak Kiu-sing. Yap Kay tak bisa melihat mimik muka Bak Kiu-sing, tapi dia bisa melihat jelas sorot mata Tolka.
Kelopak mata Tolka mulai mengerut kecil memicing.
Mendadak dia bersuara: "Kini tinggal aku seorang saja."
Dua orang yang lain memang sudah mengundurkan diri
keluar dari pekarangan ini.
"Tapi pihakmu masih ada dua orang."
"Yang berduel hanya ada satu." Yap Kay mendahului menjawab.
"Walau kau tidak turun tangan, kehadiranmu tetap
merupakan ancaman juga."
"Kenapa?"
"Karena pisaumu!"
"Pisauku tidak untuk membokong orang."
"Namun asal pisau itu ada, itu sudah merupakan ancaman bagi diriku."
"Jadi kau ingin supaya aku menyingkir?"
"Kau tidak boleh menyingkir."
"Kenapa?"
"Kita bertiga sudah kumpul di sini, sedikitnya harus ada dua orang yang mampus di sini."
"Setelah kau membunuh dia lalu hendak membunuh aku?"
"Maka kau tidak boleh menyingkir."
"Memangnya kau ingin aku menyerahkan pisauku dulu lalu menunggu ajal di sini?"
"Aku hanya minta kau menerima dua syaratku."
"Boleh kau sebutkan syaratmu."
"Tadi kau katakan kalian pasti tidak akan turun tangan bersama."
"Benar, tadi kukatakan demikian."
"Apa yang kau katakan, aku percaya, kau memang bukan manusia rendah yang menjilat ludahnya sendiri."
"Terima kasih!"
"Maka jikalau dia masih hidup, pisaumu tidak boleh kau keluarkan."
"Kalau dia mati?"
"Begitu kau melihat sejurus aku berhasil menamatkan jiwanya, kau boleh segera mengeluarkan pisaumu menyerang aku."
"Bagaimana baru boleh dinamakan sejurus berhasil
menamatkan jiwa orang?"
"Asal tanganku berhasil mengenai badannya, itu namanya sejurus berhasil menamatkan dia."
"Asal tanganmu mengenai badannya, maka dia pasti
mampus?" "Tanganku ini adalah senjata ampuh, alat yang bisa membunuh orang dalam satu jurus serangan, baru boleh
dinamakan senjata tajam."
"Sekarang aku mengerti."
"Kau mau terima syarat ini?"
Yap Kay menatapnya lekat-lekat, sorot matanya
menampilkan perasaan aneh, lama sekali baru dia menarik napas dan berkata pelan-pelan: "Baik, kuterima, karena aku pernah hutang budi terhadapmu."
Tolka menatapnya juga, lama kemudian diapun bersuara
kalem: "Kaupun pernah hutang budi terhadapku?"
"Kalau aku, tidak melupakan peristiwa tempo hari itu, tentu kaupun takkan melupakannya."
"Apakah akupun berhutang kepadamu?"
Yap Kay geleng-geleng, katanya: "Oleh karena itu, bila kali ini kau bisa membunuhku, akupun tidak akan
menyalahkan kau."
"Baik sekali, beberapa patah kata-katamu ini aku memang tidak akan melupakan." seru Tolka. Tiba-tiba dia putar badan menghadapi Bak Kiu-sing, katanya dingin: "Hanya orang yang harus mampus pertama kali tetap kau!"
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bak Kiu-sing menyeringai, katanya: "Agaknya kau masih melupakan satu hal. Jikalau aku tidak yakin untuk bisa membunuhmu, masakah aku berani wakilkan dia
mengundangmu kemari."
"Mungkin kau memang ada sedikit keyakinan." ujar Tolka,
"sayang kaupun melupakan satu hal."
"Hal apa yang kulupakan?"
"Tidak seharusnya kau membocorkan rahasiamu sendiri."
"Rahasia apa?"
"Rahasiamu untuk membunuh manusia."
Bak Kiu-sing tertawa dingin, namun tanpa sadar matanya tertuju ke arah mayat yang menggeletak di tanah.
"Seharusnya tidak perlu kau membunuhnya dengan
caramu ini, seharusnya kau gunakan jurus serangan
simpananmu ini menghadapiku."
Tolka gelak-gelak. Siapapun di kala gelak-gelak,
semangatnya tempur pasti mengendor, pertahanan dirinya rada lemah, maka sedikit banyak dia pasti lena. Begitu dia mulai tertawa, Yap Kay lantas merasakan orang menemukan titik kelemahannya, dan kelemahan atau kekosongan ini
berarti kematian.
Di dalam waktu sekejap itu, tiba-tiba Bak Kiu-sing
menubruk maju. Gerak tubuhnya enteng gesit dan lincah
sekali laksana burung walet saja tangkasnya, namun
serangannya justru ganas dan keras laksana paruh burung elang yang tajam dan keras laksana kilat menyambar. Dia sudah mengincar tepat titik kelemahan Tolka.
Tolka masih tertawa, tapi begitu Bak Kiu-sing menubruk maju, titik kelemahannya itu tiba-tiba lenyap pada saat-saat segawat itu, lubang kelemahannya itu secara ajaib sekali tiba-tiba tak kelihatan.
Tahu-tahu tangannya sudah menunggu di sana. Tangan
orang lain adalah tangan biasa, namun tangannya ini adalah senjata ampuh yang mampu membunuh orang.
Begitu menyerang, baru Bak Kiu-sing menyadari sasaran
yang diincarnya bukan lagi titik kelemahan musuh, namun adalah tangan orang yang ampuh.
Tangan Bak Kiu-sing adalah tangan biasa, tiada orang
yang mampu mengadu tangannya secara kekerasan dengan
senjata ampuh lawannya. Ingin Bak Kiu-sing menarik balik jurus serangannya ini, namun sudah tidak keburu lagi,
karena serangannya ini sudah dilandasi seluruh kekuatannya.
Bagitu tangannya mendekati tangan Tolka, seketika
terasa adanya hawa membunuh dingin yang merangsang.
Mirip dengan hawa pedang yang teruar keluar dari ujung pedang.
Tolka tertawa dingin.
Yap Kay malah menghela napas. Diapun tahu, tangan
siapapun bila diadu dengan tangan Tolka, akibatnya pasti suatu tragedi yang mengenaskan. Hampir dia membayangkan betapa mengenaskan keadaan tangan Bak Kiu-sing yang
hancur dan remuk itu.
Maka terdengarlah 'Plok....' telapak tangan ke dua pihak saling bentrok.
Ternyata tangan Bak Kiu-sing tidak hancur.
Di dalam waktu sesingkat itu, kiranya dia berhasil
menarik balik seluruh kekuatan yang dia salurkan ke ujung tangannya. Agaknya latihannya sudah mencapai tingkat yang paling sempurna. Dalam saat genting dengan mudah dia bisa
meritul balik seluruh tenaga yang sudah dia kerahkan
menurut jalan pikirannya, sehingga serangan derasnya itu berubah menjadi tepukan ringan belaka, begitu ringannya hampir mirip telapak tangan orang yang meraba sesuatu.
Rabaan tangan sudah tentu tidak akan bisa melukai orang lain, juga tidak bisa melukai diri sendiri.
Asalkan tenaga yang kau gunakan teramat lemah, umpama
kau mengelus atau meraba pedang yang tajam luar biasapun tidak akan terluka.
Tolka tertegun. Tepukan ringan enteng ini ternyata
betul-betul membuatnya terkejut bukan main seperti
dipukul oleh kekuatan gugur gunung. Selamanya belum
pernah dia menerima pukulan orang seringan ini.
Duel antara dua jago kosen, sering kali ditentukan dalam satu gebrakan saja untuk menentukan siapa menang atau
kalah, karena segebrakan ini mengandung ribuan perubahan, perubahan yang tidak menentu dan aneh.
Letak keanehan dari tepukan tangan Bak Kiu-sing bukan
pada gerak perubahannya yang cepat atau pukulannya
terlalu berat. Hanya sejurus dia mampu menundukkan lawan hanya karena dia turun tangan dengan tepukan ringan.
Yap Kay lagi-lagi menghela napas. Dia anggap apa yang dia saksikan merupakan peristiwa besar dan pengalaman yang takkan terlupakan seumur hidupnya. Baru sekarang dia
benar-benar mengerti perubahan, keanehan, dan intisari suatu ilmu silat. Memang luar biasa sekali, sulit dijajaki dan selamanya takkan ada batasnya.
Di saat-saat Tolka tertegun, meski hanya sekilas saja, tahu-tahu telapak tangan Bak Kiu-sing sudah menyisir naik
menggesek punggung tangannya, tahu-tahu mencengkeram
pergelangan tangannya, kembali hatinya tercekat, namun ia tidak menjadi gugup, sebelah tangannya yang lain tahu-tahu menyelinap balik dari bawah ke atas, dengan keras menabas ke sikut Bak Kiu-sing. Tapi kembali dia melupakan satu hal, bila pergelangan tangan orang, di mana Hiat-to penting badannya tercengkeram oleh musuh, walau kau membekal
tenaga raksasapun takkan mampu dikerahkan lagi.
Yap Kay sudah mendengar suara tulang berkeretekan
remuk, bukan tulang tangan Bak Kiu-sing, tapi tulang tangan Tolka.
Tolka menjerit kaget: "Kau........"
Hanya sepatah kata. 'Kau' itulah kata-kata terakhir dari hidupnya, karena tahu-tahu sebuah bintang sudah berada di tenggorokannya. Sebuah bintang yang dapat merenggut jiwa manusia.
Tiada suara, hening lelap, suara lirihpun tak terdengar, sampai anginpun seperti berhenti.
Tolka roboh di antara genangan darah sendiri, begitu
badannya terkapar di tanah, badannya seketika lantas
seperti mengkeret kering, tak ubahnya karet yang
kepanasan. Peduli dia seorang Eng-hiong, pahlawan gagah perkasa di masa hidupnya ataukah gembong iblis, kini tidak lebih dia hanya mayat yang bergelimang di antara ceceran darahnya belaka.
Orang mati tetap orang mati. Andaikata ada manusia
yang paling ditakuti di jagat ini, setelah dia mati
keadaannya tidak akan berbeda dengan manusia mati
umumnya. Hanya satu yang tidak, yaitu tangannya. Di bawah sinar bintang yang guram, tangannya masih kelihatan mengkilap, seakan-akan sedang menantang dan unjuk kegarangan
terhadap Bak Kiu-sing.
'Walau kau membunuhku, menghancurkan aku, tetap kau
tidak bisa menghancurkan tanganku ini. Sepasang tanganku tetap merupakan senjata terampuh yang tiada tandingannya di seluruh jagat.'
ooo)dw(ooo Tetap tidak menyalakan lampu.
Bak Kiu-sing berdiri di bawah bintang-bintang, berdiri tanpa bergeming. Setelah berduel, walau dia sebagai pihak pemenang, tetap dia akan merasakan kehampaan yang tak
bisa dilimpahkan dengan perasaan atau kata-kata.
Demikianlah keadaannya. Lama sekali baru dia berpaling.
Yap Kay tengah menghampiri.
Bak Kiu-sing mengawasinya, tiba-tiba bertanya: "Kau tidak ingin membuka topengnya?"
"Kukira tak perlulah." ujar Yap Kay menghela napas.
"Kau sudah tahu siapa dia sebenarnya?"
"Aku kenal tangannya itu." ujar Yap Kay.
Tangan yang memancarkan cahaya.
Mengawasi sepasang tangan itu, tak urung Yap Kay
menghela napas pula: "Memang tangannya ini merupakan senjata ampuh yang tiada bandingannya di kolong langit."
Selamanya takkan ada tangan seampuh itu dalam dunia
ini. Bak Kiu-sing berkata tawar: "Sayang sekali betapapun sesuatu alat senjata itu menakutkan, dia sendiri toh tidak mampu membunuh manusia."
Yap Kay mengerti kemana juntrungan kata-kata ini.
Yang membunuh orang memang senjata, tapi yang
membunuh adalah manusia.
"Apakah senjata itu menakutkan?" ujar Bak Kiu-sing,
"yang penting harus dipandang dulu di tangan siapa senjata ampuh itu."
Sudah tentu Yap Kay pun maklum akan lika-liku hal ini.
"Jikalau jurus seranganku tadi sedikit menggunakan tenaga lagi, kemungkinan sekali tanganku sudah dia
hancurkan."
Yap Kay manggut-manggut, katanya: "Ya, mungkin sekali!"
"Tapi seranganku itu terlalu enteng, dan di situlah letak kunci kemenanganku."
"Permainanmu tadi memang hebat dan menakjubkan." puji Yap Kay sambil tertawa getir.
"Kunci kalah menang bagi seorang tokoh kosen dalam menghadapi musuh tangguh ada kalanya justru terletak
pada jurus-jurus permulaannya itu."
Yap Kay diam menepekur, tiba-tiba dia membongkok
badan merenggut topeng yang dipakai di muka Tolka.
"Katanya kau sudah tahu siapa dia, kenapa masih ingin melihat mukanya juga?" tanya Bak Kiu-sing, "orang mati masakah elok dipandang?"
"Tapi aku memang ingin melihatnya. Sebelum dia ajal, apakah diapun tahu akan lika-liku ini?"
Topeng tembaga hijau, kelihatan memancarkan sinar
mengkilap di bawah cahaya bintang nan guram.
Muka Lu Di pun kelihatan membesi hijau, namun sudah
mengkeret berkeriput. Pada sorot matanya yang melotot
keluar, penuh diliputi rasa kaget, takut dan tidak percaya.
Kiranya sampai mati dia tetap tidak percaya akan satu hal.
Suatu hal apa"
Yap Kay berkata sambil menghela napas: "Sampai mati agaknya dia tetap tidak percaya bila kau mampu
membunuhnya."
Bak Kiu-sing menyeringai lebar, katanya dingin: "Justru karena dia tidak percaya, maka dia bisa mati."
"Ada kalanya seseorang memang sulit untuk memahami sesuatu hal sampai dia ajal......."
Masih ada sebuah hal yang masih belum dimengerti oleh
Yap Kay. "Kalau Tolka ternyata adalah Lu Di, lalu siapakah sebenarnya Putala alias Hu-hong-thian-ong itu"
ooo)dw(ooo Mayat sudah digotong pergi, tapi kamar itu masih belum dipasangi lampu.
"Setiap malam, kaupun tidak pernah memasang lampu?"
tanya Yap Kay. "Kenapa harus pasang lampu?" Bak Kiu-sing balas bertanya.
Lucu benar pertanyaan ini sampai Yap Kay melongo
dibuatnya. Katanya kemudian menyengir: "Setiap orang setelah malam tiba, pasti pasang lampu, setelah ada
penerangan baru bisa jelas melihat banyak yang dapat kita lihat."
"Tanpa pasang lampu, aku tetap juga bisa melihat jelas."
jawab Bak Kiu-sing, lanjutnya: "Sembarang waktu kau boleh pergi, aku tidak menahanmu.
Yap Kay tertawa, katanya: "Tapi kau kan juga tidak mengusirku?"
"Aku tidak perlu mengusirmu."
"Tidak perlu?"
"Bila saatnya tiba kau harus pergi, masakah kau akan tinggal di sini?"
"Kira-kira kapan baru tiba saatnya aku harus pergi?"
"Setelah kau menemukan Hu-hong?"
Bercahaya mata Yap Kay, tanyanya: "Kau juga tahu siapa sebenarnya Hu-hong?"
Bak Kiu-sing tidak menjawab, dia malah balas bertanya:
"Selama ini kau mengira Lu Di adalah Hu-hong-thian-ong?"
"Karena dia memang laki-laki yang tinggi hati, congkak dan sombong!"
"Sekarang kau sudah berani memastikan bahwa dia bukan Hu-hong?"
"Hu-hong sudah terluka, sebaliknya Lu Di tidak."
Tadi Yap Kay sudah memeriksa mayat Lu Di dengan
seksama, satu-satunya luka yang mematikan di badan Lu Di adalah serangan telak yang ditinggalkan oleh Bak Kiu-sing.
"Kau yakin benar bahwa Hu-hong sudah terluka?"
"Ada orang dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan."
"Siapa yang menyaksikan dengan mata kepalanya
sendiri?" "Seseorang yang pasti boleh dipercaya."
"Agaknya tidak sedikit orang-orang yang kau percayai."
"Aku tahu, memang itulah ciri khasku, sayang sekali, aku selalu tidak bisa merubahnya."
Bak Kiu-sing tidak bicara lagi. Walau topinya sudah
koyak, namun tetap masih bisa menutupi selebar mukanya, siapapun tetap tidak bisa melihat mimik mukanya, atau
mungkin memang mukanya tidak menunjukkan perubahan
perasaan hatinya"
Tak tahan Yap Kay bertanya: "Kenapa kau masih kenakan juga topimu yang robek?"
"Karena di luar masih ada anjing menyalak."
Yap Kay melengak, ujarnya: "Anjing menyalak di luar, apa sangkut pautnya dengan topi yang kau pakai?"
"Aku pakai tidak topiku, apa pula sangkut pautnya dengan kau?"
Yap Kay tertawa geli. Tiba-tiba dia merasakan
kelihatannya orang ini pendiam atau tidak suka bicara, yang benar dia adalah orang yang pandai bicara, kalau mau bicara, kadang-kadang malah bisa menyumbat mulut orang, sehingga bukan saja orang tidak mampu mendebat, orangpun segan
mengajukan pertanyaan lebih lanjut.
Tapi Yap Kay justru masih punya banyak persoalan yang
perlu dia utarakan, maka dia terpaksa harus bertanya pula.
Sementara Bak Kiu-sing sedang mengikat tali di atas paku.
Betul juga dia lompat di atas tali dan merebahkan diri. Dia benar-benar tidur enak dan nyaman di atas seutas tali. Di kala tidur, dia tetap menggunakan topinya itu.
Karena kamar itu memang kosong melompong, terpaksa
Yap Kay berdiri saja. Sambil lalu dia buka suara ajak
mengobrol: "Khabarnya, Ceng-shia adalah salah satu dari 36
gua dari To-keh (Taoisme). 'Gua langit, bumi bahagia'.
Pemandangannya indah permai luar biasa."
Bak Kiu-sing diam saja.
"Tempat di mana kalian mengasingkan diri, tentu
merupakan taman Firdaus di dalam bilangan dunia lain, entah kapan aku punya rejeki besar bisa berkunjung dan tamasya ke sana."
Bak Kiu-sing tetap tidak perdulikan ocehannya.
"Kabarnya belum pernah dia ada orang luar pernah masuk ke sana, kalianpun selamanya tak pernah berhubungan
dengan dunia luar, namun sekali kau muncul di dunia ramai
ini, langsung kau bisa menemukan Tolka. Kepandaianmu
memang luar biasa."
Bak Kiu-sing pejamkan mata, napasnya menggeros,
seakan-akan sudah pulas.
Namun Yap Kay belum putus asa, tanyanya: "Darimana kau bisa tahu bahwa Tolka adalah Lu Di" Cara bagaimana pula kau bisa menemukan dia?"
Tiba-tiba Bak Kiu-sing membalikkan badan, lompat turun terus beranjak keluar dengan langkah lebar.
Sudah tentu Yap Kay ikut keluar di belakangnya,
tanyanya: "Kau hendak kemana?"
"Mencari sesuatu."
"Apa yang kau cari" Apakah mencari Putala" Kau bisa temukan dia?"
"Barang yang kucari, bila kau mau, boleh aku bagi separo untuk kau."
"Kemana kau hendak mencarinya?"
"Di tempat ini saja."
"Barang apa yang dapat kau temukan di sini?"
Bak Kiu-sing tidak banyak mulut lagi, namun dia merogoh keluar sebuah botol kayu kecil lainnya. Botol itu berisi bubuk atau puyer juga, namun berwarna kuning gelap.
Puyer kuning itu dia taburkan di atas tanah dengan
sebuah lingkaran, namun ada sebagian garis lingkaran yang dia kosongkan. Lalu dia menyingkir ke samping menunggu sambil berpeluk dada.
Yap Kay tidak mengerti, tanyanya: "Apa sih yang kau kerjakan?"
"Aku sedang bikin makanan."
"Bikin makanan?"
"Setiap orang kan harus makan, aku inipun manusia biasa."
Yap Kay ingin bertanya lagi, tapi tiba-tiba dilihatnya di pekarangan luar ada cahaya lampu.
Tampak seorang Hweshio tinggi kurus, tangan kiri
menenteng lampion, tangan kanan menyanggah nampan kayu, dari luar dia melangkah masuk ke pekarangan. Mukanya
masih menunjuk rasa takut, ragu-ragu, ingin maju namun tidak berani. Hwesio ini ternyata Goh-cu.
"Untuk apa kau kemari?" Bak Kiu-sing menegur.
"Aku mengantar barang-barang ini."
"Barang apa?"
Goh-cu acungkan nampan kayu di tangan kanan, katanya:
"Mayatnya sudah kumandikan dan masukkan ke dalam peti.
Inilah barang-barang yang ku keluarkan dari kantong
bajunya, semuanya ada di sini."
"Kau Hweshio ini kiranya jujur juga." jengek Bak Kiu-sing.
Goh-cu tertawa dingin, katanya: "Ada kalanya Hwesio memang ada yang tamak, namun dia tetap tidak akan berani melalap barang-barang milik orang yang sudah mati."
Pelan-pelan dia maju mendekat. Setelah meletakkan
nampan kayu, tersipu-sipu dia berlari keluar.
Hweshio memang selalu takut kesulitan, namun dia tidak suka mencampuri urusan orang lain.
Yap Kay berkata: "Agaknya seseorang, asal sudah
menjadi Hwesio, ingin tidak jujurpun tidak bisa lagi."
"Oleh karena itu, lekaslah kau cukur rambutmu menjadi Hwesio, setelah jadi Hwesio, sedikitnya kau bisa hidup berusia lebih tua."
ooo)dw(ooo Di dalam nampan itu terdapat lima golok sabit, sebuah
lencana kemala, delapan butir mutiara dan sepucuk surat yang sudah terbuka sampulnya.
Di atas lencana itu ada diukir sebuah tongkat kebesaran pertanda kekuasaan. Setiap Su-toa-thian-ong dari Mo Kau pasti membawa sebuah lencana tanda pengenal kedudukan
dan simbol kebesarannya.
Semua itu tidak perlu dibuat heran, yang aneh adalah
sampul suratnya. Surat itu ditulis dengan darah, hanya ada puluhan huruf saja yang kira-kira berbunyi demikian:
TENGAH HARI TANGGAL 3 MASUK TIANG-AN.
BERTEMU DI WAN-PING-BUN. HARAP DITUNGGU.
Dibawah surat tidak ada tanda tangan penulisnya, hanya dilukis sebuah gambar puncak gunung. Puncak tunggal alias Hu-hong.
Yap Kay pelan-pelan menghela napas, katanya: "Pastilah surat-surat Hu-hong yang ditujukan kepada Tolka, dia minta supaya Tolka menunggunya di Wan-ping-bun."
"Besok adalah tanggal 3."
"Apa besok dia betul-betul datang?"
Yap Kay ragu-ragu.
"Sudah tentu datang, dia kan belum tahu bahwa Tolka sekarang sudah ajal."
"Sekarang di mana dia" Apakah di sana tiada tinta bak atau alat lainnya" Kenapa dia menulis surat dengan air darah?"
"Surat darah biasanya mempunyai dua arti." ujar Bak Kiu-sing.
"Dua arti bagaimana?"
"Surat terakhir yang merupakan pesannya sebelum ajal, atau menandakan bahwa keadaannya teramat gawat dan
perlu segera ditolong."
Tiba-tiba Yak Kay tertawa, katanya: "Mungkin lantaran dia terluka, bukankah ada darah yang mengalir dari luka-lukanya?"
"Orang-orang Mo Kau bila menulis surat darah, biasanya tidak pernah pakai darah sendiri."
"Kau kira surat ini tulen?"
"Pasti tidak salah."
"Darimana kau begitu yakin?"
Bak Kiu-sing tutup mulut.
Pada saat itulah dari luar hutan bambu sana tiba-tiba
terdengar suara berisik yang aneh kedengarannya. Suatu suara yang tidak bisa dilukiskan dan tidak enak didengarkan.
Luar biasa. Siapapun yang mendengar suara ini pasti berdiri
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bulu romanya, seram dan giris, malah mungkin ada yang
muntah-muntah pula.
Apa yang dilihat oleh Yap Kay justeru lebih menakutkan lagi dari suara itu. Mendadak dilihatnya entah berapa
banyaknya ular-ular beracun, cecak, kelabang dan binatang-binatang beracun lainnya yang besar kecil tidak merata, ogat-oget merayap masuk dari luar hutan, langsung
memasuki lingkaran bubuk kuning yang dibuat Bak Kiu-sing.
Serasa mual dan mengkeret perut Yap Kay, namun
sedapat mungkin dia bertahan diri, tanyanya: "Inilah makanan yang kau buat?"
Bak Kiu-sing manggut-manggut, gumamnya: "Untuk
makanku seorang sudah cukup, kalau untuk dua orang, jadi kurang banyak."
"Untuk dua orang?" teriak Yap Kay, "siapa lagi yang akan kemari?"
"Tiada orang lagi, biasanya aku jarang mentraktir orang."
"Sekarang hanya kau seorang saja."
"Apa kau bukan manusia?"
Bergidik Yap Kay dibuatnya, katanya menyengir kecut:
"Makanan seenak ini biarlah kau makan sendiri saja. Maaf, aku tidak mengiringi kau."
"Kau tidak sudi ikut menikmati makananku?"
"Aku.....aku masih ada janji, aku akan makan di luar saja.
Setelah kenyang nanti, aku kembali."
Selama hidupnya belum pernah dia digebah lari oleh
orang dengan ketakutan seperti itu, namun sekarang dia lari tidak kalah cepatnya dengan kelinci yang ketakutan.
Bak Kiu-sing tertawa gelak-gelak, katanya:" Kalau di luar kau kurang kenyang, boleh kau kembali makan nyamikan. Aku sediakan dua ekor kelabang yang gemuk-gemuk untuk kau."
Yap Kay sudah lompat keluar dari pagar tembok, tanpa
menoleh lagi dia pergi.
Pertama kali inilah dia mendengar gelak tawa Bak Kiusing dari kejauhan, namun juga yang terakhir.
ooo)dw(ooo Warung nasi itu kecil, namun bersih.
Hari sudah gelap gulita, saat makan sudah lewat sejak
tadi, maka kecuali Yap Kay, warung nasi itu tiada orang lain.
Yap Kay memesan dua macam sayuran dan sepoci arak.
Sebetulnya dia tidak ingin minum arak. Mungkin secangkir arak masuk ke perutnya bisa menimbulkan kenangan
pahitnya dan arak itu akan bercucuran berubah air mata.
Sekarang bukan saatnya berduka, umpama ingin sedih hati, asalkan persoalan yang dihadapi sudah lalu.
Sayang sekali seseorang bila dia berusaha menekan
perasaannya dengan paksa, di kala kau tidak minum arak, kau malah semakin besar hasratmu untuk minum dua tiga
cangkir. "Aku hanya minum dua cangkir saja," demikian dalam batin dia memperingatkan dirinya, tak boleh lebih banyak,
malam masih cukup panjang, besok mungkin merupakan hari-hari yang paling sulit bagi dirinya.
Tapi setelah dua cangkir arak masuk perutnya, lantas dia merasakan banyak persoalan dalam dunia ini hakikatnya
tidak segenting seperti apa yang barusan dia bayangkan.
Oleh karena itu dia menambah dua cangkir lagi.
Mendadak teringat olehnya akan Ting Hun-pin, kalau Ting Hun-pin berada di sini, pasti akan mengiringi dia minum arak juga. Sering mereka berada di warung kecil seperti ini, minum dua cangkir dengan beberapa butir kacang goreng, menikmati malam nan tenang dan damai. Waktu itu dia selalu merasa kehidupan seperti terlalu tawar dan basi, terlalu tenang, namun baru sekarang dia menyadari akan kesalahan dirinya. Baru sekarang dia benar-benar merasakan
menyadari ketenangan itu berarti kebahagiaan.
Kenapa setelah manusia kehilangan kebahagiaan baru
menyadari, apakah kebahagiaan itu sebenarnya"
Angin dingin. Malam semakin larut. Di malam musim dingin nan dingin membeku ini seorang gelandangan yang kesepian, mungkinkah tidak akan mabuk"
Sunyi senyap. Bagi seseorang yang benar-benar sudah
mengecap kebahagiaan, sunyi sepi tidak perlu ditakuti, malah kadang-kadang dianggapnya merupakan suatu
kenikmatan. Tapi setelah kebahagiaan itu lenyap, dia akan mengerti kesepian itu adalah suatu yang amat menakutkan.
Yap Kay tengah merasakan kesakitan seperti ulu hatinya disayat-sayat. Jikalau mendadak dia mendengar jeritan
keras yang mengerikan dari luar, dia pasti bisa mabuk, karena dia sudah tidak bisa mengendalikan diri lagi. Namun
di saat cangkir ke tujuh sudah dia angkat, di tengah
hembusan angin dingin itulah, tiba-tiba kumandang jeritan yang menyayat hati.
Jeritan itu kumandang dari arah Cap-hong-cu-lim-si.
Warung nasi ini terletak di belakang Cap-hong-cu-lim-si.
Begitu jeritan itu kumandang, laksana anak panah segera Yap Kay melesat keluar.
Maka dia melihat dua orang. Dua orang mati, seperti
karung kosong yang dicantelkan di atas pagar, jubah sutra bersulam, dengan topeng tembaga menutup muka. Kedua
mayat itu adalah duplikat Tolka.
Yap Kay menghela napas lega. Bukan dia tidak simpati dan kasihan, tapi terhadap kedua orang ini, memang dia tidak perlu merasa iba.
Mereka sudah pergi" Untuk apa pula kembali" Kalau
mereka kembali, sudah tentu Bak Kiu-sing tidak akan
biarkan mereka hidup. Hal ini tidak perlu dibuat heran dan kaget.
Yap Kay hanya menghela napas saja, namun setelah dia
melihat seorang lagi adalah Bak Kiu-sing, baru dia benar-benar terkejut luar biasa. Sungguh tidak pernah terpikir olehnya, bahwa Bak Kiu-sing kinipun adalah seorang yang sudah melayang jiwanya.
ooo)dw(ooo Tetap tiada penerangan di dalam pekarangan ini.
Bak Kiu-sing rebah di pekarangan yang gelap, badannya
meringkel, menyusut mengecil seperti trenggiling.
Yap Kay benar-benar melongo dan menjublek.
Dia tahu dua orang yang mati di atas tembok itu karena termakan oleh serangan Bak Kiu-sing, namun dia tidak habis mengerti bagaimana Bak Kiu-sing sendiripun bisa mati. Dia pernah saksikan ilmu silat Bak Kiu-sing.
Seorang tokoh silat kalau dia sudah mampu mengerahkan
Lwekang-nya sesuai dengan jalan pikirannya, tidaklah mudah orang bisa membunuhnya. Apalagi Bak Kiu-sing cukup tabah, tenang dan berani, jarang ada orang yang bisa menandingi dia.
Siapakah yang membunuhnya" Siapa pula yang mampu
membunuhnya"
Yap Kay berjongkok memeriksa. Topi rumput masih di
atas kepalanya, namun sekarang dia sudah tidak bisa
merintangi orang menanggalkannya.
Begitu topi orang terangkat, Yap Kay lantas melihat
seraut muka coklat gelap. Kulit mukanya sudah mengkeret berkeriput, berubah dari bentuk asalnya, jelas dia mati lantaran keracunan. Lalu siapakah yang meracuni dia"
Tanpa bergeming Yap Kay berdiri di tempatnya. Angin
dingin setajam pisau menyampok mukanya. Akhirnya dia
mengerti kenapa jiwa Bak Kiu-sing melayang, namun dia
tetap tidak mengerti, kenapa Bak Kiu-sing selalu
mengenakan topi rumputnya ini.
Topi rumput ini tiada keistimewaannya. Demikian pula
muka Bak Kiu-sing, tiada sesuatu yang perlu dirahasiakan dan pantang dilihat oleh Yap Kay, kecuali beberapa buah bintang-bintang di mukanya, diapun seperti manusia awam
lainnya, bersahaja. Cuma kerut mukanya jauh lebih tua dari apa yang dibayangkan Yap Kay.
Seorang biasa dan topi yang biasa pula. Tapi apakah
diantara yang biasa ini ada terselip sesuatu rahasia yang luar biasa"
Pelan-pelan Yap Kay teruskan topi rumput itu menutupi
muka Bak Kiu-sing, katanya seorang diri: "Kenapa kau tidak meniru orang lain yang suka makan daging sapi" Sedikitnya daging sapi tidak akan meracunmu sampai mampus."
ooo)dw(ooo Jenazah Bak Kiu-sing pun sudah diangkut ke belakang
dan dibereskan.
Goh-cu merangkap kedua telapak tangannya di depan
dada, katanya menghela napas: "Cuaca silih berganti tak menentu, manusia selalu dipermainkan rejeki dan elmaut, semogalah sang Buddha maha pengasih melindungi umatnya.
Omitohud."
Mulutnya komat-kamit memanjatkan doa, namun mukanya
sedikitpun tidak menunjukkan duka cita. Agaknya sedikitpun dia tidak simpati akan kematian Bak Kiu-sing.
Yap Kay tertawa, katanya: "Orang beribadah kok
mengutuk orang malah?"
"Siapa yang mengutuk orang?" tanya Goh-cu.
"Siapa lagi, kau!"
"Orang beribadah harus berhati bajik dan ikut berduka bagi kematian umatnya, tapi aku memang tidak merasa duka untuknya."
"Kau Hwesio ini memang cerewet, namun apa yang kau katakan agaknya jujur juga."
"Bicara terus terang, jikalau karena aku ini sudak cerewet, sekarang aku sudah diangkat menjadi ketua di
dalam Tay-siang-kok-si ini."
Yap Kay tertawa. Rasanya bukan saja Hwesio ini tidak
mirip orang beribadah, diapun rada lucu.
Goh-cu tengah membaca mantram pula, mungkin
mendoakan arwah Bak Kiu-sing mendapat tempat di sisi
Thian. Tak tahan akhirnya Yap Kay mengganggu mantramnya:
"Hanya kau seorang saja yang mengurusi sembahyangan?"
"Hwesio yang lain sudah tidur. Tempat ini memang biara pemujaan, tapi orang yang sembahyangan di sini terlalu sedikit. Para Sicu yang sudi kemari, kebanyakan hanya untuk membayar kaul dan makan masakan tidak berjiwa, lihat-lihat pemandangan belaka."
Dengan menghela napas dia menambahkan, "Terus terang, biara di sini tidak ubahnya dengan sebuah rumah penginapan belaka."
Yap Kay tertawa pula, tiba-tiba dia bertanya: "Tahukah kau kenapa dia mati?"
Goh-cu geleng-geleng kepala.
"Lantaran kau cerewet, maka dia mati!"
Berubah muka Goh-cu, katanya menyengir: "Sicu tentu sedang menggoda aku."
"Aku tak pernah berkelakar di hadapan orang mati."
"Apakah Sicu tidak bisa melihatnya, dia mati keracunan."
"Jadi kau bisa melihatnya?"
"Ular-ular yang ada di sini kebanyakan beracun, apalagi masih ada kelabang, kalajengking."
"Ada sementara orang sejak dilahirkan memang sudah berani makan Ngo-tok (Lima racun), betapapun beracunnya ular itu takkan bisa membuatnya mati keracunan."
"Tapi kecuali binatang-binatang beracun yang dia tangkap sendiri, dia tidak pernah makan barang lain."
"Kalau binatang-binatang berbisa itu hasil tangkapannya sendiri, kenapa setelah dimakan membuatnya mati
keracunan malah?"
Goh-cu melongo, gumamnya: "Agaknya kejadian ini
memang rada ganjil."
"Sebetulnya hal ini tidak perlu di buat heran."
Goh-cu tidak mengerti.
"Dia memang mati keracunan oleh binatang-binatang beracun itu, namun lantaran badan binatang beracun itu dilumuri racun lain yang tak kuat ditahannya."
"Lalu siapa yang meracun dia?"
"Dua orang yang mampus di atas tembok itu."
"Lalu apa sangkut pautnya dengan cerewetku?"
"Sudah tentu ada sangkut pautnya. Bila kau tidak
cerewet, orang lain takkan tahu kalau dia biasa makan Ngo-tok."
Memang, jikalau orang lain tidak tahu yang dia makan
hanya Ngo-tok, bagaimana mungkin mereka melumuri jenis racun lain di atas binatang-binatang beracun itu.
Goh-cu kelakep.
"Kedua orang yang menaruh racun ingin membuktikan apakah dia betul-betul keracunan, tak kira sebelum dia ajal, dia masih mampu turun tangan menuntut balas kematiannya sendiri".
Penjelasan ini memang masuk akal.
"Orang seperti dia ini," ujar Yap Kay lebih lanjut,
"siapapun bila bersalah terhadapnya, perduli dia hidup atau sudah mati, tetap tidak akan membiarkan orang hidup."
Goh-cu mengguman: "Di kala hidup adalah manusia galak, setelah mati tentu jadi setan jahat."
"Oleh karena itu kau harus selalu hati-hati," Yap Kay memperingatkan.
Berubah muka Goh-cu, katanya tergagap: "Aku........apa yang harus ku jaga?"
Yap Kay menatapnya, katanya pelan-pelan: "Hati-hatilah bila mendadak dia melompat keluar dari layonnya, memotong lidahmu, supaya selanjutnya kau tidak cerewet lagi."
Semakin buruk muka Goh-cu, tiba-tiba dia putar badan
seraya berkata: "Kepalaku pusing sekali, aku ingin segera tidur saja."
"E, eh, jangan kau pergi!" Yap Kay menahannya.
Kelihatannya Goh-cu amat kaget, tanyanya: "Kenapa?"
"Kalau kau pergi, siapa yang akan menyembahyangkan arwahnya ke alam baka?"
"Dia tidak memerlukan sembahyangan, orang seperti dia terang akan masuk ke neraka."
Sinar lampu minyak kelap-kelip. Ruang sembahyangan itu diliputi suasana seram nan dingin dan menggiriskan. Di tengah keremangan malam di dalam biara itu, seolah-olah ada setan-setan jahat yang gentayangan, tengah menunggu orang untuk memotong lidahnya.
Sekejappun Goh-cu sudah tak berani menunggu lagi,
sampai kayu pemukul Bokhi di tangannyapun lupa diletakkan, cepat-cepat dia putar badan terus lari keluar, waktu tiba di ambang pintu, hampir saja terjerembab jatuh kesandung
palang pintu. Yap Kay mengawasi orang berlari keluar. Sorot matanya
tiba-tiba menunjukkan perasaan aneh. Orang beribadah
lazimnya tidak takut setan, kecuali dia pernah melakukan perbuatan yang menakutkan hatinya sendiri.
Memangnya perbuatan tercela apa yang pernah dia
lakukan" Apa benar dia takut setan" Atau takut lainnya"
ooo)dw(ooo Lima peti mati diplitur baru berderet di tengah ruang sembahyang.
Yap Kay masih belum pergi. Dia tidak takut setan, dia
tidak pernah melakukan perbuatan tercela.
Dia berdiri di tengah hembusan angin lalu, mengawasi ke lima peti, mulutnya mengguman: "Biara ini jarang
mengadakan upacara bagi arwah-arwah yang meninggal,
namun peti-peti mati yang disimpan di sini tidak sedikit jumlahnya. Apakah para Hwesio di sini sebelumnya sudah meramalkan bahwa malam ini akan banyak orang mati di
sini?" Suaranya amat lirih, karena dia tahu semua persoalan ini tiada orang yang bisa mencari jawaban. Memang dia bicara untuk di dengar sendiri.
Pada saat itulah tiba-tiba Goh-cu berlari masuk pula dari luar. Mulutnya terpentang lebar, menjulurkan lidah seakan-akan ingin berteriak, namun suaranya tidak keluar.
Tiba-tiba didapati oleh Yap Kay bukan saja roman
mukanya sudah berubah, warna lidah dan bentuknyapun
sudah berubah, menjadi hitam legam. Jarinya menuding
lidahnya sendiri, seperti mau bicara dengan Yap Kay,.
Namun tidak kuasa bicara.
Yap Kay segera memburu maju, setelah dekat baru
dilihatnya di atas lidahnya itu ada bekas gigitan ular beracun.
Lidahnya berada di dalam mulut, lalu bagaimana cara ular bisa menggigit lidahnya" Apakah di sini benar-benar ada setan jahat yang ingin menyumpal mulutnya"
Tiba-tiba Goh-cu mengeluarkan sepatah kata:
"Pisau......pisau...."
"Kau ingin supaya aku mengiris lidahmu dengan pisauku?"
tanpa merasa Yap Kay merinding sendiri waktu bicara.
Dilihatnya lidah Goh-cu semakin membengkak besar,
napasnyapun semakin memburu, mendadak dia kerahkan
seluruh tenaganya menggigit sekeras-kerasnya. Sepotong lidahnya seketika tergigit putus dan darahpun muncrat.
Darahnyapun sudah berwarna hitam.
Akhirnya Goh-cu mampu menjerit ngeri, tapi tiba-tiba
jeritannya terputus. Pelan-pelan dia tersungkur jatuh.
Sebelum ajal, ternyata dia menggigit putus lidahnya sendiri.
Hweshio yang cerewet ini entah mati atau masih hidup,
selanjutnya tidak akan cerewet lagi.
ooo)dw(ooo Angin semakin dingin.
Yap Kay malah melangkah menyongsong hembusan angin.
Keringat dingin yang membasahi badannya lekas sekali
menjadi butiran es.
Sungguh diapun tak berani lama-lama tinggal di biara itu.
Bukan dia takut kepada setan, tapi biara itu seperti
menyembunyikan sesuatu yang menakutkan.
Sayup-sayup terdengar suara kentongan dari kejauhan.
Kentongan ketiga.
Sudah tidak kelihatan lampu menyala di dalam kota tua
yang sudah kelelap di selimuti tabir malam. Di manapun kau sampai, kegelapan melulu yang menyambut kedatanganmu.
Kalau di musim panas, mungkin di malam selarut ini masih gampang orang mencari tempat untuk mengisi perut dan
memanaskan badan dengan arak keras. Sayang sekali saat itu musim dingin. Mungkin karena kesulitan mencari
minuman, selera Yap Kay bertambah besar. Ingin benar dia minum dua cangkir.
Dengan menghela napas dia keluar dari jalanan itu, dia jadi kebingungan sendiri, entah ke arah mana dia harus pergi, sampaipun tempat untuk tidurpun tiada lagi bagi dirinya.
Pada saat itulah tiba-tiba didengarnya seseorang
berkata sambil tertawa: "Aku tahu suatu tempat di mana kau bisa memperoleh arak. Kau mau ikut tidak?"
Walau ada sinar bintang, namun jalanan tetap gelap.
Orang itu melambaikan lengan bajunya yang tertiup angin beranjak ke depan.
Yap Kay mengintil di belakangnya. Orang di depan itu
tidak pernah berpaling. Yap Kay pun tidak bertanya, diapun tidak memburu dekat. Langkah orang di depan tidak terlalu lebar atau cepat, namun dia cukup hapal akan seluk-beluk jalanan di sini.
Yap Kay mengikuti langkah orang, putar sana, belok sini beberapa kali, arahnya sampai sudah tidak tertentu lagi.
Akhirnya dilihatnya di depan sana dihadang pagar tembok tinggi. Agaknya pekarangan rumah di balik tembok itu amat luas panjang. Sekali mengebaskan lengan baju, dengan
ringan orang itu melayang naik ke pagar tembok.
Bukan saja Ginkang orang ini tinggi, gerak langkah dan gaya badannyapun lincah, indah dan menakjubkan, sampaipun Yap Kay jarang melihat orang yang punya Ginkang setinggi itu.
Keadaan dibalik tembokpun gelap gulita, hembusan angin nan dingin membawa bau wangi yang menyegarkan badan.
Tampak bayangan pohon berjajar, luas dan banyak, di mana-mana tumbuh pohon Bwe melulu.
Setelah Yap Kay melompat ke dalam tembok, baru dia
sadar bahwa tempat itu adalah Leng-hiang-wan yang pernah dia datangi, tempat kenamaan di kota Tiang-an.
Setelah mengalami pertempuran besar yang acak-acakan
serta misterius tempo hari, taman nomer satu di kota
Tiang-an yang biasanya ramai, kini menjadi sepi, tiada jejak manusia. Sinar lampupun tak kelihatan lagi. Hanya hembusan angin lalu saja yang membawa bau wangi. Daun-daun yang gemerisik laksana suara helaan napas.
Siapakah yang menghela napas" Apakah setan-setan
gentayangan yang menjadi korban di dalam taman ini"
Leng-hiang-wan terkenal luas, rumit, dengan jalan-jalan yang simpang siur. Orang yang tak mengenal jalan bisa
tersesat dan tak bisa keluar. Tapi orang di depan itu
seperti hapal betul keadaan di sini. Yap Kay dipaksa ikut putar kayun sekian lamanya.
Setelah melewati sebuah pintu sabit, mereka tiba di
sebuah pekarangan kecil. Di sinipun tiada orang, tiada lampu dan tiada suara.
(Bersambung ke Jilid-17)
Jilid-17 Pintu terpentang lebar.
Orang itu terus maju membuka daun pintu lebih lebar,
terus menyingkir ke samping, katanya: "Silahkan masuk."
Tapi Yap Kay tidak masuk.
"Kau tidak mau masuk?" tanya orang itu.
"Kenapa aku harus masuk?"
"Ada orang menunggumu di dalam."
"Siapa?"
"Setelah kau masuk, kau akan melihatnya sendiri."
"Aku tidak mau masuk." ujar Yap Kay.
"Yang ditunggu adalah kau, bukan aku lho!"
Suaranya kedengaran aneh, mukanya ditutupi kain
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sewarna pakaian yang dipakainya.
Yap Kay menatapnya, tiba-tiba dia tertawa, katanya:
"Kau tahu, bahwa aku mengenalmu, kenapa kau justru main kucing-kucingan"
Kelihatannya orang itu terkejut, teriaknya tertahan:
"Kau.......kau mengenali aku?"
"Kalau aku tidak mengenalmu, bukan saja aku ini orang picak, mungkin orang linglung!"
"Kenapa?" tanya orang itu.
"Kau tidak tahu?"
Makin lirih suara orang itu: "Apakah dalam hatimu sudah ada diriku?"
Yap Kay tidak menjawab. Mimik sorot matanya mendadak
berubah aneh. Perduli apa maksud dari mimiknya ini, paling tidak menyangkal akan kebenaran ini.
Akhirnya orang itu angkat kepala serta menanggalkan
kedoknya. Sinar bintang seketika meningkah roman
mukanya. Di alam setenang itu, di bawah sinar bintangbintang yang guram, wajahnya kelihatan secerah dan
secantik kembang Bwe yang sedang mekar, laksana bidadari dari kahyangan.
Terutama sorot matanya lebih jeli dan elok, namun
seperti menampilkan rasa duka lara, muram dan rawan yang tak bisa dilimpahkan.
Dengan nanar dia menatap Yap Kay, katanya pelan:
"Memang aku harus tahu, kau pasti bisa mengenaliku, karena umpama kau menjadi abu, akupun tetap bisa mengenalimu."
Suaranya ternyata lebih merdu, semerdu kicauan burung
di musim semi, laksana bunyi hembusan angin lalu yang
meniup padang ilalang. Mata nan indah jeli, suara nan merdu mempesonakan, siapa lagi kecuali Siangkwan Siau-sian"
Yap Kay tengah menatapnya, katanya: "Tapi kau justru mengharap aku tidak mengenalimu?"
Siangkwan Siau-sian manggut-manggut.
"Kenapa?" tanya Yap Kay.
Siangkwan Siau-sian ragu-ragu, katanya kemudian:
"Masuklah dulu, kau akan tahu apa sebabnya."
"Kau tidak mau masuk?"
"Aku boleh menunggumu di luar."
"Kenapa harus menunggu di luar?"
"Karena setelah aku masuk, pasti kau mengharap aku menunggu di luar."
Bukan saja tawanya pilu dan sedu, malah rada misterius juga.
Memang Siangkwan Siau-sian adalah gais misterius,
selalu dia melakukan sesuatu yang tak pernah terpikir oleh orang lain.
Yap Kay tidak bertanya pula, karena dia cukup
memahaminya, sesuatu yang tidak mau dia jelaskan,
siapapun takkan bisa memaksa dia menerangkan.
Daun pintu terbuka lebar, hembusan angin berkeriyatkeriyut. Akhirnya dengan langkah pelan-pelan Yap Kay
melangkah ke dalam kegelapan. Kalau di luar ada sinar
bintang, sebaliknya di dalam rumah lebih gelap pekat.
Apapun tak terlihat oleh Yap Kay, sampaipun ke lima jarinya sendiri yang dia dekatkan di depan mata. Namun, kupingnya menangkap dengus pernapasan orang yang lirih sekali.
Kiranya memang di dalam rumah ada orang.
"Siapa?"
Tiada reaksi tak ada jawaban. Malah dengus napas lirih itu seakan-akan berhenti.
Kalau orang itu menunggu Yap Kay di dalam rumah,
kenapa tidak mau menjawab pertanyaannya" Apakah ini
muslihat Siangkwan Siau-sian, ataukah di tempat ini ada perangkap pula" Kalau tidak, waktu orang membawa Yap Kay kemari, kenapa dia tidak menunjukkan muka aslinya" Kenapa menyaru orang lain"
Kalau orang lain mungkin sudah mengundurkan diri, tapi Yap Kay tidak, karena dalam hatinya tiba-tiba dilempar suatu perasaan aneh yang dia sendiripun tidak bisa
menjelaskan. 'Blang' hembusan angin kencang menyebabkan daun pintu berdentam menutup, kini ingin keluarpun dia tidak bisa lagi.
Sudah tentu keadaan dalam rumah menjadi lebih gelap
lagi, namun dengus napas itu kembali terdengar jelas. Tadi dengus napas ini terdengar di sebelah depan, kini berganti tempat di pojok rumah.
Kenapa dia main mundur dan sembunyi atau menyingkir"
Apakah karena dia merasa takut"
Yap Kay telah menabahkan diri, katanya: "Perduli kau siapa, bahwa kau sudah menungguku di sini, tentunya kau sudah tahu siapa aku ini?"
Hening lelap, tetap tiada jawaban.
"Aku bukan manusia jahat yang kejam, oleh karena itu kau boleh tidak usah takut terhadapku."
Sembari bicara kakinya melangkah maju, langkahnya
amat pelan. Sekonyong-konyong sejalur angin dingin menyampuk
datang ke arah mukanya. Matanya seakan-akan tertutup
rapat oleh kain tebal karena saking gelapnya, namun dia tetap bisa merasakan. Hanya samberan angin golok baru
terasa begini dingin. Tapi diapun tidak melihat adanya samberan golok.
Golok yang tidak kelihatan, justru merupakan golok
mematikan bagi jiwa manusia.
Siapakah dia" Kenapa mau membunuh dirinya"
Deru angin golok ini bukan saja dingin, juga kencang.
Sebat sekali Yap Kay berkelit, mendadak secepat kilat
tangannya bergerak mencengkeram pergelangan tangan
orang. Tangan yang dingin.
Sudah tentu diapun tidak melihat tangan itu, namun
diapun bisa merasakannya, maka sekali sambar dia bisa
menangkapnya. Bagi seorang tokoh kosen yang tulen, memang dilandasi
suatu nalar atau perasaan aneh yang sukar dijelaskan, mirip juga dengan reaksi binatang di saat dia menghadapi mara bahaya secara mendadak.
Tangan orang itu terasa gemetar, namun dia tetap tidak mau bersuara.
Tiba-tiba tangan Yap Kay ikut gemetar juga, karena
lapat-lapat dia sudah merasakan siapakah orang yang
tangannya dia pegang, sekaligus dia sudah mencium dengus dan bau badan orang.
Setiap manusia mempunyai bau badannya sendiri yang
khas, demikian pula bau badan orang yang satu ini, selama hidupnya takkan pernah dia lupakan. Matipun tidak akan dia lupakan.
Sekonyong-konyong orang itu meronta sekuat-kuatnya
melepaskan diri terus menyurut mundur ke pojok dinding pula.
Kali ini Yap Kay tidak memburunya, sebetulnya sekujur
badan tengah bergetar seakan-akan badannya mengejang
kaku seperti kayu. Sungguh tak pernah terpikir olehnya bahwa orang ini berada di sini, tak terpikir pula olehnya bahwa dia bakal membunuhnya. Keringat dingin sudah
bercucuran dari atas jidatnya.
"Aku adalah Siau Yap", sedapat mungkin dia menguasai emosinya, "apakah kau tidak mengenal suaraku?"
Tetap tiada jawaban. Suara pernapasan semakin
memburu, seolah-olah dia mulai ketakutan.
Yap Kay kertak gigi, bukan melangkah ke depan, dia
malah menyurut mundur ke arah pintu. Tiba-tiba dia putar badan serta menarik daun pintu sekuatnya. Ternyata sekali tarik, pintu lantas terbuka. Waktu dia menerjang keluar, Siangkwan Siau-sian ternyata masih menunggunya di
pekarangan. Melihat mimik mukanya, sorot matanya menampilkan rasa
kasihan dan prihatin. Lekas dia menyongsong maju seraya bertanya: "Kau sudah tahu siapa yang ada di dalam rumah?"
Yap Kay manggut-manggut. Kedua tangannya terkepal
kencang, katanya: "Kenapa tidak kau sulut pelita?"
"Aku kan tidak berada di dalam rumah."
"Kau bawa ketikan api?"
"Ada"
"Kenapa tidak kau berikan kepadaku sejak tadi?"
Siangkwan Siau-sian tidak menjawab tegurannya, diamdiam dia angsurkan batu ketikan api kepada Yap Kay.
Yap kay segera berlari masuk pula, batu ketikan api
segera dia kerjakan.
Seseorang berdiri melongo di pojok kamar sana. Dia
bukan lain adalah Ting Hun-pin.
Akhirnya Yap Kay berhasil melihatnya, akhirnya
menemukan dia di sini. Tiada orang yang bisa
menggambarkan bagaimana perasaan hatinya saat itu
dengan kata-kata, orangpun takkan pernah membayangkan.
Tapi tiba-tiba Ting Hun-pin berjingkrak dan berteriakteriak seperti orang gila, terus membelakangi cahaya api di tangan Yap Kay: "Api..... api......."
Setelah melihat api, mendadak dia berubah laksana
binatang liar yang terluka dan ketakutan. Sekujur badannya gemetar keras mengkeret. Saking takutnya sampai
wajahnya yang cantik molek itu kini berubah bentuk dan pucat berkeringat. Mulutnya tak henti-hentinya berteriak:
"Api.......kebakaran......."
Dia sudah melihat api, namun tidak melihat Yap Kay,
seakan-akan dia memang sudah tidak kenal Yap Kay lagi.
Api segera padam, kamar kembali menjadi gelap.
Hati Yap Kay pun seketika terselubung di dalam
kegelapan nan tak berujung pangkal.
Entah berapa lama kemudian, secara diam-diam dia
mengundurkan diri pula. Tanpa bersuara dia kembalikan
ketikan api itu kepada Siangkwan Siau-sian.
Siangkwan Siau-sian tertawa getir, katanya: "Apakah sekarang kau sudah mengerti, kenapa tadi aku tidak
memberi ketikan api ini kepadamu?"
Yap Kay diam. "Dia lari keluar dari kobaran api besar itu. Terlalu besar pukulan batin yang menimpa dirinya, namun.....sungguh aku tidak habis pikir, sampai kaupun dia sudah tidak kenal lagi."
Lama Yap Kay diam, akhirnya dia bertanya: "Dimana kau bisa menemukan dia?"
"Di tempat ini juga."
"Kapan kau temukan dia?"
"Begitu lolos dari kobaran api, kukira dia langsung lari kemari, tapi baru malam tadi aku menemukan dia." ujar Siangkwan Siau-sian menunduk, "aku tahu melihat
keadaannya pasti hatimu amat sedih, tapi tidak bisa tidak aku harus membawamu kemari."
"Kau......"
"Semula aku tidak ingin kau tahu, bahwa akulah yang membawamu kemari, karena......karena....."
"Karena apa?"
"Akupun tidak tahu kenapa, mungkin karena aku tidak suka kau merasa haru, terima kasih karena hal ini, atau mungkin karena aku takut."
"Takut" Takut apa?"
Semakin sedih sikap Siangkwan Siau-sian.
"Dia berubah begitu rupa, sedikit banyak akupun punya tanggung jawab, aku takut kau membenciku,
membenciku........ aku lebih takut setelah kau melihatnya, selanjutnya tidak akan menghiraukan aku lagi."
"Tapi kau toh membawaku kemari."
"Oleh karena itulah aku sendiripun tidak tahu, apakah sebetulnya yang kulakukan?"
Di bawah pancaran sinar bintang-bintang, tampak pipinya sudah basah oleh air mata. Siapapun akan dapat merasakan betapa kontras dan derita hatinya.
Yap Kay malah seperti tidak melihat, mendadak dia
melangkah ke tengah pekarangan, beruntun dia lompat
bersalto tiga kali, lalu berdiri tegak laksana tombak, menghirup napas panjang serta membetulkan pakaiannya.
Salju yang bertumpuk di tanah belum cair, entah siapa
yang memetik sekuntum kembang Bwe, jatuh di atas
tumpukan salju. Yap Kay memungutnya serta menancapkan
di atas bajunya, lalu dia beranjak kembali.
Mendadak dia tertawa kepada Siangkwan Siau-sian,
katanya: "Coba terka, apa yang sekarang akan kulakukan?"
Siangkwan Siau-sian mengawasinya sambil melongo kaget.
"Aku ingin cari tempat untuk tidur." ujar Yap Kay tertawa.
"Sekarang kau masih ingin tidur?" tanya Siangkwan Siau-sian semakin terkejut.
Yap Kay manggut-manggut, katanya: "Besok siang masih ada urusan, aku harus memelihara kesehatan, memulihkan tenaga dan semangatku."
"Kau......masih bisa tidur?"
"Kenapa aku tidak bisa tidur?"
"Tapi Ting Hun-pin......?"
"Apapun yang terjadi, sekarang aku sudah menemukan dia. Soal lain boleh diselesaikan belakangan saja."
"Dia begitu rupa, kau tega meninggalkannya?"
"Ada Kim-ci-pang Pangcu yang melindunginya di sini, apa pula yang tidak kulegakan?"
Siangkwan Siau-sian mengawasinya, seolah-olah belum
pernah dia melihat laki-laki macam ini.
Memang jarang ada orang berwatak begini. Siapapun
menghadapi persoalan ini, hatinya pasti berduka dan kuatir, tapi dia cukup jumpalitan tiga kali, mendadak segala
kekuatiran, kerisauan hatinya lenyap tak berbekas lagi.
Siangkwan Siau-sian menghela napas, katanya: "Agaknya walau ada kerisauan hati sebesar gunung, akupun tetap bisa melemparkannya dalam waktu sekejap."
"Memang tiada sesuatu persoalan dalam dunia ini yang perlu dirisaukan."
"Kau memang orang yang punya rejeki."
Yap Kay tidak menyangkal.
"Besok siang, kau ada urusan apa yang perlu
diselesaikan?"
"Aku punya janji."
"Janji apa?"
"Hu-hong dan Tolka sudah berjanji besok akan bertemu di Wan-ping-bun."
"Itukan janji mereka, kau......"
"Sekarang Tolka sudah mampus," tukas Yap Kay, "maka janji ini menjadi aku yang menepatinya."
"Kau ingin gunakan kesempatan ini untuk menemukan Hu-hong?"
Yap Kay manggut-manggut seraya mengiyakan.
"Besok tengah hari, entah berapa banyak orang yang keluar masuk di Wan-ping-bun, darimana kau bisa tahu siapa Hu-hong sebenarnya?"
"Tentu aku punya akal untuk menemukan dia."
"Akal apa?"
"Sekarang aku sendiri belum tahu, tapi tiba saatnya aku pasti bisa menemukan akalku." Yap Kay tersenyum lalu menambahkan, "memangnya tiada sesuatu persoalan dalam dunia ini yang tak bisa diselesaikan, benar tidak?"
Siangkwan Siau-sian mandah tertawa getir.
Sudah tentu banyak tempat di dalam Leng-hiang-wan ini
untuk tidur. Yap Kay ternyata benar-benar melaksanakan kata-katanya, bilang tidur, dia tetap pergi tidur.
Mengawasi orang beranjak pergi, tiba-tiba Siangkwan
Siau-sian berseru lantang: "Kau sendiri tidur, masakah aku harus wakili kau melindungi dia di sini."
Tak tertahan Siangkwan Siau-sian menghela napas pula,
ujarnya seorang diri: "Baru sekarang aku tahu kenapa dia selamanya tidak pernah risau, karena selalu bisa
memberikan kerisauan hatinya kepada orang lain."
Memang itulah kemahiran Yap Kay yang tidak dipunyai
orang lain. Jikalau dia tidak punya kemahiran ini, mungkin sekarang dia sudah menumbukkan kepalanya ke dinding dan mampuslah jiwanya dengan kepala pecah.
ooo)dw(ooo Tanggal 3. Hari masih pagi.
Dengan langkah lebar Yap Kay memasuki pekarangan.
Baju yang dipakainya masih kumal, kotor dan berbau
apek. Sedikitnya sudah beberapa hari tidak ganti pakaian dan tidak dicuci.
Rambutnya awut-awutan, kembang Bwe yang dia
cantelkan di atas bajunyapun sudah layu.
Urusan yang dia hadapi belakangan ini jikalau orang lain yang mengalami pasti takkan hidup lagi.
Akan tetapi waktu dia melangkah ke dalam pekarangan,
kelihatan air mukanya cerah, bersemangat dan semu merah, gairahnya berkobar, seperti orang yang baru saja mendapat anugerah dan pangkat. Tak akan ada orang yang bisa
dibanding sikapnya seperti dia sekarang.
Siangkwan Siau-sian tengah bersandar di jendela,
mengawasi kedatangan orang. Mimik mukanya seperti geli, ingin tertawa atau ingin menangis.
Yap Kay langsung mendekati dengan langkah lebar,
sapanya dengan senyum simpul: "Selamat pagi."
Siangkwan Siau-sian gigit bibir, katanya: "Sekarang sudah tidak pagi lagi."
"Walau tidak pagi, namun masih belum terlambat."
"Agaknya kau bisa tidur dengan nyenyak."
"Wah! Seperti mayat saja dengkurku."
"Sungguh aku tidak habis pikir, kau benar-benar bisa tidur pulas."
"Jikalau aku ingin tidur, umpama langit ambrukpun aku tetap bisa tidur dengan nyenyak."
Ting Hun-pin juga sedang tidur. Diapun tidur nyenyak
sekali, tangannya masih menggenggam golok.
"Kapan dia tidur?" tanya Yap Kay.
"Setelah terang tanah baru dia tidur."
Di atas meja ada sebuah mangkok kuah yang sudah
kosong. "Agaknya barusan dia sudah makan sesuatu makanan."
"Sudah makan semangkok penuh mie ayam. Setelah
kenyang baru dia tidur." ujar Siangkwan Siau-sian, lalu dengan tertawa meringis dia menyambung, "untunglah akhirnya dia mau tidur, kalau tidak aku tidak bisa masuk ke pintu ini."
"Kenapa?"
"Siapapun yang melangkah masuk, goloknya itu lantas menyerang hendak membunuh orang."
"Apapun yang terjadi atas dirinya, setelah dia mau makan, bisa tidur lagi, melegakan juga."
"Sayang sekali aku sendiri malah tidak doyan makan, tidurpun tidak terpejam mataku, sungguh aku tidak
beruntung seperti kalian."
Biji mata Siangkwan Siau-sian berputar, tiba-tiba dia
bertanya: "Kau sudah memikirkan caranya belum?"
"Belum! Aku lagi mulai memikir."
"Kapan kau baru akan memikirkannya?"
"Setelah tiba di pintu kota, baru akan kupikir."
"Agaknya sedikitpun kau tidak merasa gugup?"
"Setelah perahu sampai di dermaga, akan berhenti juga.
Kata-kata ini selalu kupercayai."
"Sekarang apa yang ingin kau lakukan?"
"Ingin makan semangkok mie ayam."
ooo)dw(ooo Cuaca cerah, mentari memancarkan sinarnya semarak
merah bercahaya.
Dengan langkah lebar Yap Kay keluar dari Leng-hiangwan. Kelihatan semangatnya menyala, tekadnya bergairah, tenaganya penuh, karena semangkok besar mie ayam telah masuk ke perutnya. Dia gegares habis semangkok mie itu di dalam Leng-hiang-wan.
Hari ini pagi-pagi benar Siangkwan Siau-sian sudah
suruhan koki bekerja di dapur memasakkan apa saja yang diminta.
Ada uang setanpun bisa diperintah. Kerja apapun yang
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dilakukan Kim-ci-pang, selalu pasti lebih cepat dari kerja orang lain. Demikian pula rasa mie ayam berkaldu itu,
rasanya jauh lebih lezat dan enak daripada mie ayam yang pernah dimakan Yap Kay selama hidupnya.
Bukan lantaran perutnya sudah keroncongan, yang benar
karena koki yang memasak mie ayam itu ternyata dia koki asal dari rumah makan Wa-goan-koan di Hang-ciu yang
sengaja didatangkan oleh Siangkwan Siau-sian,
Perduli tukang kerja apapun di dalam Kim-ci-pang selalu orang-orang pilihan yang paling top dan kelas wahid. Untuk ini pihak Kim-ci-pang tidak perlu mengagulkan diri.
Setelah menghabiskan semangkok mie ayam kaldu itu,
hati Yap Kay malah kurang enak. Semakin dipikir semakin bingung dan tidak habis mengerti, betapa besar kekuatan Kim-ci-pang sebetulnya. Hal ini sulit dia bayangkan dan dia pikirkan.
Setelah berputar kayun dari jalan satu ke jalan lain,
akhirnya Yap Kay tiba di Thay-ping-pui yang ramai. Yap Kay merogoh kantong menghabiskan tiga puluh ketip untuk
membeli sebungkus besar kacang kulit, dan kembali dia
habiskan lima puluh ketip untuk membeli dua batang joran panjang.
Dia sudah belajar dan terbiasa, di saat hatinya tegang, dia menguliti kacang untuk menekan perasaannya. Kalau
tangan punya kerja, betapapun pikiran dan perhatian
seseorang selalu mengendor.
Tapi untuk apa dia membeli joran" Mau mancing"
ooo)dw(ooo Wan-ping-bun terletak di selatan kota.
Setelah melewati Hong-pau-pui dan Thay-hian-pui, maju
tak jauh lagi akan tiba di Wan-ping-bun. Setelah hari
menjelang lohor, entah ada berapa banyak orang yang
mondar-mandir keluar masuk lewat Wan-ping-bun.
Kenyataan apa yang pernah didengarnya memang tidak
akan salah. Di ujung jalan raya Thay-hian-pui selayang mata
memandang luar dalam kota, manusia berjubel-jubel lalu lalang simpang siur, berbagai macam manusia ada.
Kau tetap tidak akan bisa membedakan siapa sebenarnya
Hu-hong itu. Yap Kay juga tidak akan bisa membedakan.
Sebelum bekerja dia masuk ke warung teh dulu
menghabiskan dua poci air teh. Kepada pelayan dia minta seutas tali, lalu minta pula selembar kertas merah. Lalu pinjam alat tulis di meja kasir warung teh itu. Di atas kertas merah itu dia menulis delapan huruf-huruf besar yang berbunyi:
'Dijual dengan harga tinggi, barang dijual kepada pembeli yang mengenal kwalitet barang.'
Walau sudah lama Yap Kay tidak pernah menulis, namun
ke delapan huruf yang ditulisnya kelihatan indah dan
bergaya gagah. Dengan ke dua batang joran panjang yang dibelinya, Yap Kay membentang kertas merah panjang yang dia tulisi, lalu digantung di atas pintu kota. Beruntun dua kali dia
mengawasi hasil karyanya, akhirnya dia manggut-manggut puas.
Tapi barang apakah yang hendak dijual dengan harga
tinggi" Apakah dirinya sendiri"
Sudah tentu Yap Kay tidak akan menjual dirinya sendiri.
Sang surya semakin memuncak tinggi ke tengah
cakrawala. Hari sudah hampir tengah hari.
Tiba-tiba dari dalam kantong bajunya dia keluarkan
sebuah topeng tembaga dengan sekeping lencana batu
kemala. Lalu diikatnya bersama pada seutas tali, serta dia gantung di pucuk joran.
Itulah barang-barang peninggalan Tolka.
Topeng tembaga hijau yang menyeringai seram kelihatan
kemilau di tingkah sinar matahari, demikian pula lencana batu kemala itu, bening mengkilap, elok menyenangkan.
Semua orang yang masuk ke dalam kota tiada yang tidak
mendongak membaca tulisan itu dan melihat ke dua benda aneh itu, namun tiada seorangpun yang maju menanyakan
soal jual beli kedua barang antik ini.
Topeng itu memang terlalu menakutkan, tiada orang yang sudi membeli topeng seseram itu untuk di bawa pulang.
Sudah tentu Yap
Pendekar Pemetik Harpa 28 Golok Halilintar Karya Khu Lung Rahasia 180 Patung Mas 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama