Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L Bagian 4
kuda It-hiong dibawa pergi
dan diberi makan, kemudian mengantar Bun-hiong berdua ke
kamar. Hampir semua pegawai hotel kenal Bun-hiong, semuanya
menyapa dengan hormat. Mereka menempati dua kamar kelas
satu, sesudah membersihkan badan baru bersama
meninggalkan hotel.
"Di ujung jalan sana ada sebuah restoran paling terkenal di
kota ini, namanya Kim-boan-lau, boleh kau coba," kata Bunhiong.
"Tapi aku tidak mau makan otak kera," kata It-hiong.
"Jangan khawatir," ujar Bun-hiong tertawa. "Restoran itu
khusus menyajikan masakan Sujwan, tidak menjual otak
kera." "Aha, bagus, aku memang suka makan hidangan Sujwan,
rasanya pedas dan menyenangkan," seru It-hiong.
"Cuma mahal harganya, sekali makan terkadang
menghabiskan beberapa puluh tahil perak," ujar Bun-hiong.
"Tidak menjadi soal, aku yang bayar," kata It-hiong.
"Tidak, makan malam ini adalah giliranku untuk membayar,"
seru Bun-hiong. "Aku ini langganan lama Kim-boan-lau,
malahan dulu pernah kubela mereka mengusir beberapa orang
bicokok yang bikin rusuh di sana, maka mereka tidak berani
menggorok terlalu mahal."
Tengah bicara, tanpa terasa mereka sudah tiba di luar
restoran itu. Benar juga, begitu melihat Pang Bun-hiong, serupa juga
pelayan hotel, segera pelayan restoran menyapa dengan
hormat dan menyilakan mereka naik ke loteng, ke tempat
yang paling terhormat.
Setelah memilih sayuran, lalu Pang Bun-hiong menggoyang
kipas lagi dan berkata, "Habis makan, lebih dulu kita mencari
Giok-nio atau mendatangi Siang-liong-piaukiok?"
"Pergi dulu ke Siang-liong-piaukiok," kata It-hiong. "Kuingin
merampas kembali dulu kotak itu dan mengantarnya ke Cappekpan-san, habis itu baru membereskan urusan Giok-nio
ini." "Jika sudah dapat mengetahui seluk-beluk si kakek baju
kelabu lantas takkan kau cari Giok-nio lagi?" tanya Bun-hiong.
"Sebelum berangkat boleh juga mencarinya dulu, cuma tidak
boleh memperlihatkan sesuatu tanda mencurigakan, agar
tidak menyentuh rumput mengagetkan ular," kata It-hiong.
"Dia tinggal di rumah hiburan mana?"
"Kabarnya di Boan-wan-jun."
"Aku tahu tempat itu, rumah hiburan itu memang bagus, ratarata
cantik nona yang tinggal di situ."
"Buset, tampaknya tidak sedikit nona yang pernah kau kenal."
"Tidak banyak, soalnya aku suka pilih."
"Bagaimana pilihanmu?"
"Harus muda dan cantik, anggun dan bersih, harus yang
masih baru."
"Tolol, nona begituan kan tidak pengalaman, masa baik?"
"Aku justru cocok yang jenis begitu, kau sendiri suka yang
model apa?"
"Aku suka yang genit, makin genit makin baik."
"Hah, ada satu di Boan-wan-jun, namanya Kim-lian, dia
terkenal paling genit, mau kuperkenalkan dia padamu?"
"Boleh sih boleh, cuma kalau jadi ke Boan-wan-jun, yang ingin
kutemui dulu justru Giok-nio ...."
Tengah bicara, hidangan sudah diantar oleh pelayan. Maka
mereka lantas makan minum dengan riangnya.
Sembari makan It-hiong bertanya, "Berapa jauhnya jarak
Siang-liong-piaukiok dari sini?"
"Tidak jauh, ratusan langkah saja dari sini," jawab Bun-hiong.
"Siapa nama Congpiauthaunya?"
"Mereka bersaudara, Lotoa Hang Tiong, Loji Hang Wi, orang
memberi julukan Hang-keh-siang-liong (dua naga keluarga
Hang) kepada mereka. Mereka memang tangkas juga, barang
kawalan mereka tidak pernah hilang."
"Bagaimana hubunganmu dengan mereka?" tanya It-hiong
pula. "Tidak jelek, cuma mereka hidup serupa orang kaya
mendadak, maka aku jarang mencari mereka."
Belum lenyap suaranya, mendadak terdengar suara orang naik
tangga, menyusul seorang lantas berseru dengan lantang,
"Aha, Pang Bun-hiong, kau datang ke Kim-leng sini, kenapa
tidak kau cari kami?"
Bun-hiong merasa girang, segera ia berdiri dan menyapa,
"Aha, baru disinggung segera muncul orangnya. Inilah Hangloji!"
Terlihat dari bawah naik dua orang. Yang di depan berusia 40an, bertubuh kekar, berwajah lebar, kumis menghias bibirnya,
pakaiannya mentereng, tampaknya dia inilah Hang Wi, orang
kedua dari Siang-liong-piaukiok.
Yang ikut di belakangnya adalah seorang muda, mukanya
tidak luar biasa, tampaknya seorang pelajar.
Dengan tersenyum Bun-hiong memberi hormat dan menyapa,
"Baik-baikkah selama ini, Hang-jipiauthau?"
Hang Wi menjabat tangan Bun-hiong dengan akrab sambil
menepuk pundak orang, katanya dengan tergelak, "Haha,
rasanya sudah lebih setengah tahun kita berpisah, sekali ini
angin apakah yang membawamu ke sini?"
"Karena senang, lalu datang kemari," ujar Bun-hiong dengan
tertawa. "Baru saja kulewat di bawah, pelayan bilang padaku akan
kedatanganmu, kuheran mengapa engkau tidak mampir ke
rumah kami?" tanya Hang Wi.
"Siaute juga baru sampai, sesudah makan memang ingin
mengunjungimu," Bun-hiong memberi alasan. Lalu ia
berpaling dan berkata kepada It-hiong, "Ini, kuperkenalkan
kalian. Inilah Hang-loji dari Siang-liong-piaukiok."
"Sudah lama kukagumi nama Anda, beruntung dapat
berjumpa di sini," segera It-hiong memberi hormat.
Lalu Bun-hiong berkata pula kepada Hang Wi, "Inilah Lionghiap
Liong It-hiong yang termasyhur itu."
"Aha, kiranya Liong-hiap adanya," seru Hang Wi sambil
membalas hormat. "Sudah sering kudengar nama Anda dari
kawanku, sungguh bahagia hari ini dapat bertemu."
It-hiong lantas mengucapkan kata-kata merendah diri.
Kemudian Bun-hiong memandang pemuda pelajar itu dan
bertanya, "Hang-heng, saudara ini ...."
"Dia bernama Lu Siau-peng, adik istriku," cepat Hang Wi
memberi tahu. "Dia baru beberapa hari berada di Kim-leng,
karena iseng malam ini, maka kubawa dia melancong keluar.
Ayo Siau-peng, lekas menemui Pang-kongcu dan Liongtayhiap."
Lu Siau-peng itu seperti pemuda yang masih hijau, melihat
orang asing masih kelihatan malu-malu, dengan kikuk ia lantas
memberi hormat kepada Bun-hiong berdua tanpa bersuara.
"Mari silakan duduk dan minum beberapa cawan," sapa Bunhiong
pula. "Hei pelayan, lekas tambah dua pasang sumpit
dan mangkuk piring."
Pelayan mengiakan dan cepat menyiapkan apa yang diminta.
Dengan akrab Bun-hiong menuangkan arak bagi mereka, lalu
ia menuang secawan untuk diri sendiri, katanya, "Mari,
habiskan secawan!"
Sekali tenggak Hang Wi menghabiskan isi cawannya, lalu
berkata sambil memandang Bun-hiong berdua, "Kalian yang
satu Liong-hiap dan yang lain Hou-hiap, kini dalam perjalanan
bersama, sungguh kisah yang menarik bagi dunia persilatan."
"Ah, menarik apa," ujar Bun-hiong tertawa. "Orang bilang
naga bertempur dengan harimau, bilamana naga bertemu
harimau selalu berakibat tidak baik."
"Haha, tidak, tidak bisa," Hang Wi terbahak. "Kalian yang satu
naga langit dan yang lain harimau bumi, sesuai pemeo yang
menyatakan air sumur tidak menggenangi air sungai, tidak
nanti kalian saling bertempur. Jika kalian sama menggunakan
julukan Liong atau Hou, kemungkinan untuk bertarung tentu
akan besar karena satu gunung biasanya memang sukar
dihuni oleh dua harimau sekaligus."
Bun-hiong memandang It-hiong, katanya dengan tertawa,
"Nah, kau dengar, maka perkelahian kita itu biarlah kita hapus
saja." It-hiong hanya tertawa tanpa menjawab.
"Bicara sesungguhnya, kedatangan kalian di Kim-leng ini
apakah ada sesuatu urusan?" tanya Hang Wi.
"Ada, kami memang hendak mencari kalian," jawab Bunhiong.
"Oo, ada petunjuk apa?" tanya Hang Wi.
"Kami ingin mencari keterangan seorang padamu," kata Bunhiong.
"Siapa?" tanya Hang Wi.
Bun-hiong menunjuk It-hiong dan berkata, "Dia mempunyai
semacam barang dan dirampas seorang tua, tapi tidak tahu
nama dan alamat orang tua itu. Kupikir kalian sering kian
kemari di dunia Kangouw, tokoh Bu-lim yang kalian kenal
sangat banyak, mungkin kalian tahu seluk-beluk kakek itu,
maka kuajak dia kemari, untuk minta keterangan padamu."
Hang Wi memandang It-hiong sekejap, tanyanya, "Barang apa
milik Liong-hiap yang dirampas orang?"
"Sebuah kotak," tutur It-hiong. "Itu pun sebenarnya bukan
milikku melainkan barang titipan orang yang minta kukirim ke
Cap-pek-pan-san ...."
"Cap-pek-pan-nia atau Cap-pek-pan-san?" mendadak Hang Wi
memotong. It-hiong melenggong, perlahan timbul rasa kejut dan girang
pada air mukanya, mendadak ia melonjak dan berseru, "Aha,
betul, Cap-pek-pan-nia dan bukan Cap-pek-pan-san, yang
benar Cap-pek-pan-nia (Nia=bukit, San=gunung)."
Bun-hiong ikut bingung, katanya, "Hei, bicaralah yang jelas,
sesungguhnya Cap-pek-pan-nia atau Cap-pek-pan-san?"
"Yang betul adalah Cap-pek-pan-nia," seru It-hiong dengan
bersemangat. "Karena pertanyaan Hang-jiko tadi, seketika
teringat olehku yang tepat adalah Cap-pek-pan-nia."
"Kukira memang begitu," kata Hang Wi tersenyum. "Hanya
Cap-pek-pan-nia yang bisa ada hubungan dengan kawan Bulim,
kalau Cap-pek-pan-san pasti tidak."
"Kenapa bisa begitu!" tanya Bun-hiong.
"Sebab Cap-pek-pan-san hanya sebuah tempat yang terkenal
indah pemandangan alamnya, tidak ada orang persilatan yang
bercokol di pegunungan itu, sebaliknya Cap-pek-pan-nia
menjadi pangkalan orang Kangouw," tutur Hang Wi.
"Kudengar paling akhir ini ada sekawanan orang gagah yang
baru saja menonjol di dunia Kangouw menduduki bukit itu
sebagai pangkalan, pengaruhnya besar dan telah menguasai
kalangan hitam di daerah utara dan menjadi pusat kekuasaan
kaum bandit di lima provinsi utara."
"Siapa pemimpin besarnya?" tanya It-hiong cepat.
"Itu aku tidak tahu," Hang Wi menggeleng. "Jarak Cap-pekpannia dari sini sangat jauh letaknya, tidak pernah kami
mengawal barang lewat sana, maka keadaan di tempat itu
kami hanya tahu sekadarnya saja."
"Jika begitu, tepatnya Cap-pek-pan-nia itu di mana letaknya?"
tanya It-hiong.
"Kira-kira 60 li di sebelah barat laut Tong-hiang di barat
provinsi Kamsiok, di sebelah utaranya adalah gerbang Cihengkoan dari tembok besar, di sebelah baratnya adalah
pegunungan Tay-bo-san dengan lereng gunungnya yang
tinggi berderet, lereng gunungnya berderet delapan belas
diliputi rimba raya yang sukar dijajaki, orang biasa tidak berani
mendekati lereng gunung itu, sebab sangat mungkin akan
kesasar, bahkan banyak sekali binatang buas di sana."
It-hiong menarik napas, katanya kepada Bun-hiong, "Keparat,
jika begitu, orang yang bernama Si Hin itu ternyata kawanan
bandit dari Cap-pek-pan-nia."
"Betul atau tidak, sekarang belum dapat dipastikan, jika dia
memang anggota bandit di pegunungan itu, apakah sekarang
masih hendak kau antar kotak itu ke sana?" tanya Bun-hiong
dengan tertawa.
It-hiong mengangkat pundak, "Tentang ini ... biarlah
kuputuskan nanti kalau kotak sudah kurebut kembali."
"Orang yang bernama Si Hin itu minta Liong-hiap mengantar
sebuah kotak ke Cap-pek-pan-nia, memangnya apa isi kotak
itu?" tanya Hang Wi.
"Aku pun tidak tahu, sesudah kotak hitam itu diserahkan
kepadaku segera ia mengembuskan napas terakhir karena
lukanya yang parah ...." Lalu ia menceritakan secara ringkas
apa yang dialaminya dulu.
Gemerdep sinar mata Hang Wi mendengar cerita yang aneh
ini, katanya kemudian, "Jika demikian, isi kotak itu pasti
sesuatu barang yang sangat berharga, makanya menimbulkan
incaran orang banyak. Lantas bagaimana bentuk orang yang
merampas kotak itu?"
"Seorang kakek berusia 60-an," tutur It-hiong, "perawakannya
kurus, berbaju warna kelabu, membawa senjata ruyung baja
bersegi, Ginkangnya sangat tinggi."
Hang Wi berpikir agak lama, katanya kemudian, "Tokoh Bu-lim
yang memakai senjata ruyung baja kutahu ada beberapa
orang, tapi kakek yang kau maksudkan ini sangat mungkin
adalah In-tiong-yan Pokyang Thian ...."
"Orang macam apakah In-tiong-yan Pokyang Thian itu?" tanya
It-hiong. "Biasanya dia berkeliaran di daerah selatan, seorang bandit
ternama, selain Kungfunya sangat tinggi, Ginkangnya juga
sangat hebat, boleh dikatakan jarang ada bandingannya,"
tutur Hang Wi. "Dia tinggal di mana?" tanya It-hiong.
"Ini aku pun tidak tahu," jawab Hang Wi. "Dia adalah bandit
yang bekerja sendiri dan pergi-datang tidak menentu,
mungkin tidak ada tempat kediaman yang pasti."
"Mana dia tidak punya anak istri?" tanya It-hiong pula.
Hang Wi menggeleng, "Entah, tentang orang ini aku juga
cuma mendengar dari cerita orang saja dan tidak pernah
melihatnya, maka tidak begitu jelas mengenai pribadinya."
"Tidak tahu tempat kediamannya, ke mana akan mencarinya!"
ujar It-hiong dengan kening bekernyit.
"Memang betul, untuk mencari orang ini mungkin sangat
sulit," kata Hang Wi.
It-hiong memandang Bun-hiong, tanyanya, "Bagaimana?"
"Jangan cari dia," kata Bun-hiong.
"Tidak bisa, harus kutemukan dia," kata It-hiong. "Soalnya
bukan melulu urusan kotak itu saja, tapi sebelum kuberi
hajaran kepada budak itu rasanya belum puas hatiku."
"Eh, ya, di kota ini adalah seorang Cia-lotia penjual barang
antik, bisa jadi dia tahu jejak In-tiong-yan Pokyang Thian itu,"
Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kata Hang Wi. Seketika terbangkit semangat It-hiong, tanyanya, "Cara
bagaimana seorang penjual barang antik mengetahui selukbeluk
In-tiong-yan Pokyang Thian?"
"Sebab barang antik yang dibelinya justru berasal dari barang
curian kaum bandit dan perampok, atau dengan lain
perkataan Cia-lotia adalah tukang tadahnya."
"Hah, jika begitu tentu barang rampasan Pokyang Thian itu
akan dijual juga kepada Cia-lotia," seru It-hiong girang.
"Entah, sukar dipastikan," kata Hang Wi. "Cuma kebanyakan
tokoh Kangouw golongan hitam kenal juga pada Cia-lotia,
maka tokoh seperti Pokyang Thian juga sangat mungkin
pernah mengadakan transaksi dengan Cia-lotia."
"Di mana tempat tinggal Cia-lotia?" tanya It-hiong.
"Kutahu, sebentar dapat kubawamu ke sana," kata Bun-hiong.
"Memang tidak sulit jika ingin menemui Cia-lotia," tukas Hang
Wi. "Tapi bila ingin mengorek keterangan dari mulutnya kukira
urusan tidak terlalu mudah. Jelek-jelek orang tua itu juga
berjiwa setia kawan dan tidak sembarangan mengkhianati
sahabat dunia Kangouw."
"Jangan khawatir, aku mempunyai cara sendiri supaya dia
bicara," kata Bun-hiong.
Tahu mereka ada urusan penting, Hang Wi tidak mau banyak
mengganggu lagi, segera ia berdiri dan berkata, "Baiklah,
silakan kalian makan, aku mohon diri dulu."
Cepat It-hiong berkata, "Jangan pergi dulu Hang-jiko, kalian
belum bersantap apa pun, masa lantas pergi begitu saja?"
"Terima kasih." kata Hang Wi dengan tertawa. "Kami sudah
makan di rumah. Kami hanya keluar untuk melancong saja
dengan iparku ini supaya kenal keadaan kota ini, bilamana
Liong-hiap sudi bersahabat denganku, besok bila bertemu lagi
nanti kita minum sepuasnya."
It-hiong tidak menahannya lagi, katanya, "Baiklah, bila sempat
besok boleh kita minum lagi."
Lalu Hang Wi memberi hormat dan mohon diri.
Sesudah rombongan Hang Wi pergi, It-hiong berdua
meneruskan bersantap.
"Kau kira kakek berbaju kelabu itu In-tiong-yan Pokyang Thian
atau bukan?" tanya It-hiong kemudian.
"Mungkin," jawab Bun-hiong.
"Lekas kita makan, segera kita pergi mencari Cia-lotia," kata
It-hiong. Begitulah buru-buru mereka menyelesaikan makanan dan
membayar lalu berangkat.
"Jika dari Cia-lotia tidak mendapatkan sesuatu keterangan,
bagaimana kalau kita terus mencari Giok-nio?" tanya Bunhiong.
"Baiklah," jawab It-hiong.
"Menurut pendapatku tidaklah perlu kau pikirkan urusan
kehilangan kotak, jika kotak itu ada sangkut pautnya dengan
kawanan bandit Cap-pek-pan-nia, maka bisa banyak
mendatangkan persoalan bilamana engkau ikut campur."
"Tapi aku sudah menerima pesan orang mati, sebelum tugas
terlaksana rasanya aku tidak rela," kata It-hiong.
"Sejak mula juga engkau tidak pernah menyanggupi
permintaannya, hanya lantaran mendadak kotak itu
diborgolkan di tanganmu, maka tidak dapat dianggap engkau
menerima pesannya."
"Soal kotak itu dapat kurebut kembali atau tidak adalah
urusan lain, namun betapa pun harus kubekuk kembali si
budak she Ni itu," ucap It-hiong dengan gemas.
Bun-hiong tertawa, "Jika dia jatuh hati padamu, dengan
sendirinya dia akan kembali mencarimu."
"Aku tidak berpikir demikian, aku cuma ingin menghajar dia
untuk melampiaskan rasa dongkolku." kata It-hiong.
Begitulah Bun-hiong lantas membawanya masuk ke sebuah
gang kecil, katanya sambil menunjuk ke depan, "Lihat, toko
barang antik Cia-lotia itu terletak di situ."
Waktu It-hiong memandang ke sana, benar juga tidak jauh di
depan ada sebuah toko, di depan pintu ada dua buah lampu
kerudung bertulisan "barang antik", ia tanya, "Kau kenal dia?"
"Kenal, pernah kubeli barangnya," jawab Bun-hiong.
"Bagus jika begitu, sebentar boleh kau tanyai dia, sebaiknya
pakai alasan bahwa engkau mempunyai urusan penting harus
berunding dengan In-tiong-yan Pokyang Thian dan minta dia
sebagai penghubung."
"Cia-lotia adalah rase tua yang licin, dia tidak mau
sembarangan percaya kepada ocehan orang," kata Bun-hiong.
"Tapi jangan khawatir, boleh kau lihat, aku mempunyai cara
sendiri untuk menghadapi dia."
Tengah bicara mereka sudah sampai di depan toko barang
antik Cia-lotia.
Dipandang dari luar cahaya lampu terang benderang di dalam
toko yang penuh barang antik yang menarik, di dekat pintu
masuk ada sebuah meja kerja, di belakang meja duduk
seorang tua dengan kumis tebal melintang di atas bibir, muka
kelihatan kurus, lagi sibuk main swipoa sehingga menimbulkan
suara tik-tak-tik-tak.
Begitu masuk segera Bun-hiong berseru, "Hai, Cia-lotia, ada
barang bagus tidak?"
Cia-lotia atau kakek Cia mengangkat kepala dan mengenali
Pang Bun-hiong, cepat ia berdiri dan memberi hormat,
katanya. "Aha, kiranya Pang-kongcu. Selamat, selamat!
Silakan duduk!"
Bun-hiong tidak memperkenalkan It-hiong padanya, ia
mendekati meja tulis dan bertanya, "Bagaimana, ramai
bisnismu?"
Cia-lotia berkerut kening, keluhnya, "Wah, sepi! Lebih banyak
beli daripada jual, bisnis ini rasanya makin lama makin sulit."
"Ah, sudahlah, jangan mengoceh di depanku," kata Bun-hiong.
"Orang lain mungkin tidak tahu, tapi aku tahu dengan jelas,
umpama kau beli sekaligus sepuluh potong barang, cukup kau
jual sepotong saja sudah kembali modal. Memangnya siapa
yang tidak tahu engkau ini lintah darat?"
"Ah, masa begitu," Cia-lotia menyengir Lalu ia membelokkan
pokok bicara dan memberi hormat kepada It-hiong, katanya,
"Eh, Kongcu ini tentunya sahabat Pang-kongcu."
"Betul," jawab It-hiong.
"Mohon tanya nama Anda yang mulia?" tanya si tua dengan
tertawa. "Ong It-hiong!"
"O, kiranya Ong-kongcu, selamat bertemu," kata Cia-lotia.
"Nah, bagaimana, ada barang bagus tidak akhir-akhir ini?"
tiba-tiba Bun-hiong menyela.
"Ada, ada," berulang Cia-lotia mengangguk. "Ada sebuah,
sekali pandang saja Pang-kongcu pasti suka. Cuma harganya
agak tinggi ...."
"Jangan banyak omong, lekas keluarkan coba kulihat," sela
Bun-hiong. "Baik, baik, silakan kalian duduk sebentar, segera
kuambilkan," kata si tua sambil melangkah ke ruang belakang.
Tidak lama kemudian dia keluar lagi dengan membawa sebuah
kotak persegi dan lonjong, dengan hati-hati ia taruh kotak itu
di atas meja, katanya dengan tertawa, "Pang-kongcu pasti
tidak dapat menerka barang apakah ini."
"Seharusnya kau tahu aku suka barang apa," kata Bun-hiong.
"Kacau bukan barang kuno, sedikitnya berumur 500 tahun ke
atas, hendaknya jangan kau perlihatkan kepadaku."
"Wah, barang ini tidak cuma berumur 500 tahun, bahkan
kukira sudah lebih seribu tahun," kata Cia-lotia dengan
tertawa. "Masa" Coba buka!" ucap Bun-hiong tak acuh.
Perlahan Cia-lotia membuka kotak itu, terlihat bagian dalam
kotak itu dilapisi beledu merah, setelah kain merah itu
disingkap, tertampaklah sebuah pot bunga kristal yang sangat
indah. Pot bunga itu tingginya lebih satu kaki, bagian mulut melebar
serupa kelopak bunga yang mekar, yang paling bernilai adalah
seluruh tubuh pot berukir indah, biarpun orang awam juga
tahu pot ini pasti benda antik yang sangat berharga.
Bun-hiong lantas mengangkat pot bunga itu dan diamat-amati
sekian lamanya, lalu bertanya, "Barang dari zaman apa?"
Melihat caranya Bun-hiong memegang pot cantik itu diputar
balik seenaknya, si tua menjadi khawatir, serunya dengan
tegang, "Eh, hati-hati Pang-kongcu, jangan sampai jatuh!"
"Wah, melihat keteganganmu ini, tampaknya tidak sedikit
harga pembelianmu, bukan?" tanya Bun-hiong.
"Memang," jawab Cia-lotia. "Pot kristal ini kubeli dengan tiga
ribu tahil perak."
"Berasal dari mana barang ini?" tanya Bun-hiong.
"Istana!" desis Cia-lotia.
"Barang istana tidak seluruhnya benda mestika, tidak perlu
kau gunakan nama istana untuk menggertak orang."
"Tapi asal-usul pot ini sungguh luar biasa, ini barang dari
zaman dinasti Tong," tutur Cia-lotia.
"Memangnya barang Nyo-kuihui?" ucap Bun-hiong dengan
tertawa. Cia-lotia mengangguk, "Ya, tepat sekali tebakanmu, pot ini
memang barang kesayangan Nyo-kuihui."
"Sekarang hendak kau jual dengan harga berapa?" tanya Bunhiong.
"Jika Pang-kongcu mau, biarlah kuhitung murahan sedikit,
bayar saja tiga ribu dua ratus tahil," kata Cia-lotia.
"Wah, terlalu mahal," Bun-hiong menggeleng kepala.
"Tidak, tidak mahal," kata si tua. "Kubeli dengan tiga ribu
tahil, sekarang kuberikan kepada Pang-kongcu dengan tiga
ribu dua ratus, masa dianggap mahal?"
"Kau dusta," kata Bun-hiong, "Benda ini paling banyak kau beli
dengan lima ratus tahil saja, hanya pindah satu tangan saja
kau ingin untung dua ribu lebih, sungguh pintar menyembelih
orang." "Ai, jika demikian ucapan Pang-kongcu jelas jual-beli ini tidak
bisa terlaksana," kata si tua.
Bun-hiong sengaja mengangkat pot itu ke atas dan
membuatnya bergoyang-goyang seperti mau terlepas, katanya
dengan tertawa, "Bagaimana kalau kubayar tujuh ratus tahil
saja?" "Tidak mungkin jadi," kata Cia-lotia. "Masa kudusta, pot ini
memang kubeli dengan tiga ribu tahil, satu peser pun tidak
dapat kurang lagi."
"Jika begitu batal," kata Bun-hiong.
"Silakan pilih yang lain saja, masih ada sedikit barang
simpananku yang lebih kecil ...." sembari bicara si tua terus
hendak mengambil kembali pot itu.
Tapi Pang Bun-hiong sengaja menyurut mundur dan tetap
mempermainkan pot itu seperti hendak jatuh, katanya dengan
tertawa, "Jangan buru-buru, biar kupikir dulu."
"Caramu memegang jangan begitu, bisa jatuh," seru Cia-lotia
khawatir. "Jangan khawatir, takkan pecah," kata Bun-hiong.
"Tidak, harus hati-hati," kata si tua. "Coba lihat mulut pot
yang tipis itu, sedikit terbentur saja pasti pecah, apalagi jatuh.
Dan kalau gempil sedikit saja pasti akan merosot banyak
harganya."
"Tidak akan pecah, jangan khawatir," kata Bun-hiong dengan
tertawa. Melihat cara Bun-hiong memegang pot itu tetap dengan acuh
tak acuh dan bukan mustahil bisa segera pecah berantakan, si
tua menjadi khawatir sehingga dahi berkeringat, serunya,
"Awas, awas!"
"Jangan khawatir," kata Bun-hiong dengan tertawa. "Ingin
kutanya dulu padamu, kecuali pot bunga ini, barang aneh apa
pula yang kau miliki?"
"Ada, ada, masih banyak," sahut si tua. "Biar kusimpan dulu
pot ini, segera kuperlihatkan barang lain."
Habis berkata segera ia hendak mengambil kembali pot bunga
kristal itu. Namun Bun-hiong tetap tidak mau mengembalikannya,
sebaliknya ia angkat pot itu terlebih tinggi, katanya dengan
tertawa, "Aku minta sesuatu padamu, entah kau punya tidak?"
Cia-lotia khawatir pot itu benar-benar akan jatuh, dengan
muka pucat ia berseru, "Kau ... kau minta barang apa?"
"Sebuah kotak!" kata Bun-hiong.
"Sebuah kotak?" Cia-lotia menegas dengan melenggong.
"Kotak apa?"
"Ya, sebuah kotak besi warna hitam, bentuknya serupa peti
besi tempat menyimpan barang berharga, pada peti itu ada
rantai besi dan ujungnya diberi borgol baja."
"Aneh, barang apakah itu?" tanya Cia-lotia dengan terbelalak.
Bun-hiong tidak menjawab, sebaliknya tanya lagi, "Adakah
orang menyerahkan kotak begitu kepadamu"
"Tidak ada," jawab si kakek. "Kotak yang Kongcu katakan itu
apa isinya" Mungkinkah tersimpan sesuatu benda mestika?"
"Tidak perlu kau tanya," kata Bun-hiong. "Jika tidak ada orang
memberikan kotak begitu padamu, maka aku ingin tanya lagi
kabar seorang ...."
"Siapa?" tanya Cia-lotia.
"In-tiong-yan Pokyang Thian," kata Bun-hiong.
"Kongcu hendak mencari dia?" si tua menegas.
Bun-hiong mengangguk, "Ya."
"Sudah lama sekali dia tidak datang kemari," tutur Cia tua.
"Di mana tempat tinggalnya?" tanya Bun-hiong pula.
"Entah," jawab Cia-lotia.
Kembali Bun-hiong menggoyang-goyangkan lagi pot bunga itu
di telapak tangan sehingga seperti mau jatuh, katanya dengan
tertawa, "Benar engkau tidak tahu"!"
Tentu saja Cia-lotia sangat khawatir, "Hei, jangan bergurau,
Pang-kongcu, bisa runyam bila jatuh!"
Bun-hiong tidak peduli urusan pot itu akan jatuh atau tidak,
katanya, "Aku ingin tahu tempat tinggal In-tiong-yan Pokyang
Thian, kukira engkau pasti tahu, maukah kau beri tahukan
padaku?" "Jangan Kongcu bikin susah padaku," kata Cia-lotia sambil
menggeleng. "Sesungguhnya orang macam apa In-tiong-yan
Pokyang Thian itu tentu sudah cukup kau kenal, mana dia
mau memberitahukan alamatnya kepadaku?"
"Jadi benar engkau tidak tahu?" Bun-hiong menegas.
"Benar-benar tidak tahu," jawab Cia-lotia.
Mendadak pot bunga itu seperti mau terlepas dari tangan Bunhiong,
katanya dengan tertawa, "Lihat, pot ini seperti tidak
puas atas jawabanmu, dia hampir saja jatuh terguling!"
Cia tua menjadi kelabakan, dengan sedih ia memohon,
Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ampun Pang-kongcu, kuharap janganlah engkau membikin
susah padaku. Bilamana kutahu alamat In-tiong-yan masa
berani kurahasiakan .... Auuhh!"
Mendadak pot bunga itu terlepas dari tangan Bun-hiong!
Tampaknya segera pot itu akan hancur terbanting, tahu-tahu
tangan Bun-hiong meraih ke bawah dan pot itu dapat
ditangkapnya kembali.
"Coba kutanya sekali lagi .... Kau tahu di mana tempat tinggal
In-tiong-yan Pokyang Thian?" tanya Bun-hiong pula.
Muka Cia-lotia tampak pucat pasi, jawabnya dengan suara
gemetar, "Kongcu, hendak ku ... kutegaskan, bila ... bilamana
kau pecahkan pot ini, tentu ... tentu kuminta ganti rugi."
"Jika aku mengaku memecahkan pot ini, dengan sendirinya
harus kuganti," kata Bun-hiong dengan tertawa. "Tetapi kalau
kubilang kau sendiri yang menjatuhkan pot ini, memangnya
salah siapa?"
Gugup dan cemas Cia tua, serunya, "Wah, jangan ... jangan
...." "Ini, untuk penghabisan kali kutanya," mendadak Bun-hiong
menarik muka. "Kau tahu di mana tempat tinggal In-tiong-yan
Pokyang Thian?"
Kembali Cia-lotia menjawab, "Oo, Thian! Kan sudah
kukatakan, aku benar-benar tidak tahu, lantas apa yang dapat
kukatakan?"
Mendadak Bun-hiong menaruh pot bunga kristal itu di atas
meja. Lalu berkata kepada It-hiong, "Rupanya dia memang
tidak tahu, marilah kita pergi!"
***** Setengah jam kemudian, Liong It-hiong dan Pang Bun-hiong
sudah berada di suatu jalan yang terkenal sebagai kompleks
"lampu merah". Mereka jalan berjajar melalui rumah demi
rumah sambil menilai setiap cewek penghuni rumah hiburan
yang mereka lihat ....
"Tahun yang lalu pernah kudatang ke sini," kata It-hiong.
"Kalau tidak salah di suatu rumah yang bernama Tho-hiang-ih
kupenujui seorang ...."
"Bagaimana bentuknya?" tanya Bun-hiong dengan tertawa.
"Kurang cocok," jawab It-hiong. "Wajahnya sih lumayan, tapi
badannya kerempeng, akhirnya aku tidak jadi bermain."
"Malam ini boleh ikut saja padaku, kujamin pasti pulang
dengan puas," kata Bun-hiong.
"Malam ini aku hanya mencari Giok-nio, yang lain aku tidak
mau," kata It-hiong.
"Setelah bertemu dengan dia, apakah akan kau tidur dengan
dia?" tanya Bun-hiong.
"Lihat keadaan nanti," ujar It-hiong.
"Dengan cara bagaimana akan kau bawa keluar dia?" tanya
Bun-hiong pula.
"Belum terpikir olehku bagaimana caranya," kata It-hiong.
"Biar kuajari suatu cara," ujar Bun-hiong. "Malam ini boleh kau
tidur bersama dia, besok kau ajak dia melancong keluar kota,
pada kesempatan itu dapat kau bawa pergi dia."
"Dia mau ikut keluar kota?" tanya It-hiong tertawa.
"Asalkan tanganmu agak terbuka, rasanya dia pasti tidak
menolak." "Baik, akan kucoba. Adakah tempat pesiar yang baik di luar
kota?" "Ada, Bok-jiu-oh (telaga jangan sedih)," kata Bun-hiong.
"Bagus, biar kuajak dia pesiar ke sana, tapi harus kau bantu,
besok pagi hendaknya kau bawa dulu kudaku dan menunggu
di tepi telaga sana."
"Boleh," jawab Bun-hiong.
Tiba-tiba It-hiong menuding ke depan, "Lihat, itu kan Boanwanjun" .... Ehm, memang hebat!"
Boan-wan-jun memang terhitung rumah pelacuran lebih tinggi
kelasnya dibandingkan rumah hiburan lain yang terdapat di
kompleks ini, tamu yang berkunjung ke sini kebanyakan juga
cukong yang berduit.
"Kukenal germo Boan-wan-jun ini," kata Bun-hiong. "Dia
punya julukan sebagai Cui-coa-yo (si pinggang ular), meski
usianya sudah setengah baya, tapi kalau berjalan, lenggaklenggoknya
bisa bikin semaput orang."
"Wah, tentu sangat genit," kata It-hiong dengan tertawa.
"Ya, memang sangat genit," Bun-hiong mengangguk.
Bicara sampai di sini mereka sudah sampai di depan pintu
Boan-wan-jun. Demi melihat kedatangan dua tamu Kongcu muda dan gagah,
segera seorang calo menyongsong Bun-hiong berdua, sambil
memberi hormat ia menyapa, "Silakan duduk di dalam kedua
Kongcuya, silakan masuk ke dalam."
Lalu dia berteriak juga ke dalam rumah, "Ada tamu?"
Segera ada orang menyahut di dalam, lalu muncul seorang
perempuan setengah umur, melihat gaya berjalannya dengan
pinggulnya yang lenggak-lenggok, jelas dia si germo Boanwanjun yang dimaksudkan Bun-hiong tadi, yaitu si Cui-coayo.
Begitu melangkah ke dalam segera Bun-hiong menegur
dengan tertawa, "Hai, Cui-coa-yo, masih kenal padaku tidak?"
Cui-coa-yo mengamatinya beberapa kejap, serentak ia berseru
girang, "Aduh, kukira siapa, rupanya Pang-kongcu adanya!
Kenapa sudah sekian lama tidak mampir ke sini" Tumben!"
"Sekarang aku kan sudah datang"!" kata Bun-hiong dengan
tertawa. "Silakan duduk, silakan!" kata Cui-coa-yo dengan tertawa.
"Dan Kongcu yang ini ...."
"Dia she Liong, sahabatku," kata Bun-hiong.
Cui-coa-yo memberi hormat dan menyapa, "Oo, Liong-kongcu,
selamat datang!"
"Jangan sungkan," jawab It-hiong.
Cui-coa-yo membawa mereka ke ruangan tamu dan
menyilakan mereka duduk, lalu menyuruh kacung
menyuguhkan teh, kemudian berkata dengan genit, "Sudah
sekian lama Pang Kongcu tidak berkunjung kemari, tentu
karena engkau terpikat oleh nona cantik di tempat lain, betul
tidak?" Bun-hiong tertawa, katanya, "Aku memang terpikat oleh
seorang, cuma sayang dia tidak sudi padaku."
"Ah, masa," ujar Cui-coa-yo dengan tertawa. "Kongcu kan
kaya dan berpengaruh, cakap pula, memangnya nona mana
yang tidak tahu diri"!"
"Dia bukan nona lagi, tapi agak lebih tua sedikit daripada
nona," kata Bun-hiong.
"Ai, Kongcuya yang baik, bilakah engkau mulai ganti selera"
Masa sekarang engkau menyukai yang tua?" seru Cui-coa-yo
dengan tertawa.
"Ya, aku memang tidak menghendaki yang lain, hanya dia,"
kata Bun-hiong.
"Sesungguhnya siapa dia?"
"Kau!" kata Bun-hiong.
Cui-coa-yo melototinya sekejap, ucapnya dengan tertawa,
"Huh, apa-apaan Kongcu ini, datang-datang sudah lantas
menggodaku!"
Lalu ia berpaling dan bertanya kepada Liong It-hiong, "Eh, di
mana tempat kediaman Liong-kongcu ini?"
It-hiong menjawab dengan tersenyum, "Malam ini aku
memondok di Kim-leng-khek-can, besok kupergi lagi entah ke
mana, aku tidak punya tempat kediaman."
"Ai, kalian sungguh pintar berkelakar," kata Cui-coa-yo.
"Bicara yang benar, di tempat kami ini baru saja datang
beberapa barang baru, biarlah kupanggil mereka untuk
menemui kalian."
"Nanti dulu," kata Bun-hiong. "Soalnya kawanku ini sudah
penujui seorang anak buahmu."
"Oo, siapa?" tanya Cui-coa-yo.
"Yang baru datang dari Kim-tan, namanya Giok-nio," kata
Bun-hiong. "O, kiranya dia, apakah Liong-kongcu dan Giok-nio sudah
langganan lama?" tanya Cui-coa-yo dengan tertawa.
"Tidak, kucari dia karena sudah lama kukenal namanya," ujar
It-hiong. "Baiklah, akan kupanggilkan," kata Cui-coa-yo. "Dan engkau
bagaimana, Pang-kongcu?"
"Kau tahu nona jenis mana yang kusukai, maka bolehlah kau
pilihkan satu bagiku," ujar Bun-hiong dengan tertawa.
"Baik, akan kupanggilkan satu yang muda, cakap dan sexy,
tanggung cocok," kata Cui-coa-yo pula, lalu ia beranjak pergi.
Seperginya Cui-coa-yo, Liong It-hiong menggeleng kepala dan
berkata, "Sungguh aku tidak berani percaya bahwa adik
perempuan Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam bisa terjerumus
menjadi pelacur ...."
"Ini menandakan pada masa hidup Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam
tidak mempunyai seorang sahabat sejati," kata Bun-hiong.
It-hiong mengangguk sependapat.
"Bilamana Oh Kiam-lam tahu di alam baka bahwa adik
perempuan sendiri terjerumus di kalangan pelacuran, dia pasti
akan mati sekali lagi saking dongkolnya."
Kembali It-hiong mengangguk, desisnya, "Betul. Cuma jangan
kau sebut Oh Kiam-lam lagi. Lihat, Cui coa-yo sudah
membawanya kemari."
Baru lenyap suaranya, benar juga Cui-coa-yo telah masuk
dengan membawa seorang nona yang cantik.
Usia nona ini belum ada 20, perawakan ramping, wajah dan
potongan tubuh tergolong pilihan.
Begitu membawanya masuk, segera Cui-coa-yo berkata
kepada Pang Bun-hiong, "Ini Pang-kongcu, seorang kongcu
ganteng termasyhur, maka adalah rezekimu dapat meladeni
dia, hendaknya jangan teledor."
Dengan lembut nona itu memberi hormat dan berucap,
"Selamat datang, Pang-kongcu!"
"Untukku?" Bun-hiong menegas dengan melenggong.
"Betul, dia bernama A Sian, termasuk salah seorang anak
penghuni rumah ini yang paling laris, hendaknya Pang-kongcu
juga sayang padanya," tutur Cui-coa-yo dengan tertawa.
"Dan di mana Giok-nio?" tanya Bun-hiong.
"Dia lagi ganti baju, segera datang," jawab Cui-coa-yo.
"Lekas suruh datang kemari," kata Bun-hiong.
Cepat Cui-coa-yo mengiakan, "Baiklah ... A Sian, boleh kau
bawa Pang-kongcu ke kamarmu, biar kupergi mendesak Gioknio."
Habis berkata lekas ia pergi.
A Sian itu memberi hormat lagi kepada Bun-hiong, katanya
dengan malu-malu, "Silakan, Pang-kongcu ...."
Bun-hiong ingin menemui Giok-nio, maka ia memberi tanda
supaya A Sian duduk, katanya dengan tersenyum, "Boleh
duduk dulu, kalau Giok-nio sudah datang nanti kita pergi
bersama." A Sian mengiakan dan duduk di sampingnya.
Tampaknya Bun-hiong cukup puas terhadap A Sian ini, ia coba
tanya dengan tertawa, "Nona asal orang mana?"
"Posia, provinsi Kamsiok," jawab A Sian dengan menunduk.
"O, kiranya nona cantik dari utara, sungguh beruntung dapat
berkenalan di sini," ujar Bun-hiong dengan tertawa.
"Ah, hamba ini ibaratnya bunga sudah layu, sungguh sangat
terima kasih atas kesudian Kongcu terhadap diriku," kata A
Sian dengan suara lemah lembut.
Tanpa terasa It-hiong memuji juga, "Nona ini sungguh
menyenangkan."
"Eh, jangan iri," kata Bun-hiong dengan tergelak. "Kukira nona
Giok-nio itu tentu juga lain daripada yang lain .... Dengarkan,
itu dia sudah datang?"
Baru lenyap suaranya, benar juga Cui-coa-yo telah masuk
dengan membawa "Giok-nio". Ya, dia memang betul Giok-nio,
sesuai namanya, nona seperti kemala.
Perawakannya ramping, kulitnya putih halus, mukanya bulat
telur, alisnya lentik dan matanya jeli, mulutnya mungil,
sikapnya anggun, sungguh sukar dilukiskan betapa cantiknya.
Begitu melihatnya, seketika Bun-hiong dan It-hiong melongo
kaget. Sebaliknya demi melihat mereka, seketika Giok-nio juga
melenggong, serupa mendadak bertemu dengan kakak
kandung sendiri di rumah pelacuran, seketika mukanya merah,
dengan malu sekali segera ia hendak lari.
Tapi Cui-coa-yo keburu menariknya, katanya dengan tertawa,
"Giok-nio, kenapa?"
Malu dan gugup Giok-nio, ia meronta dan bermaksud lari lagi,
serunya, "Lepaskan, lepas .... Aku tidak mau melihat mereka."
Segera It-hiong melompat bangun juga dan berseru, "Aha,
sayangku, kiranya engkau inilah Giok-nio adanya"!"
Sembari bicara ia pun memburu maju dan memegangnya.
Giok-nio meronta sekuatnya dan hampir saja menangis saking
cemasnya, teriaknya, "Ampun ... ampunilah diriku, aku ... aku
...." "Sesungguhnya ada apa?" tanya Cui-coa-yo bingung.
Mendadak It-hiong terbahak-bahak, "Haha, tidak ada apa-apa,
kami memang kenalan lama dan sedang bertengkar,
selekasnya kami dapat akur lagi, boleh kau pergi saja."
Cui-coa-yo bersuara sangsi, tapi dilihatnya Giok-nio tidak
melawan dengan "mati-matian", jelas memang di antara
mereka sudah hubungan erat sebelumnya, maka ditinggalnya
pergi tanpa khawatir lagi.
Dengan terheran-heran Bun-hiong memandang Giok-nio,
sampai sekian lamanya barulah ia berucap dengan tertawa,
"Haha, sungguh lelucon yang tidak lucu, kiranya engkau inilah
Giok-nio."
Agaknya Giok-nio menyadari tidak mungkin lolos dan
menyangkal, maka ia tidak meronta lagi melainkan cuma
menunduk dengan bungkam, tampaknya malu sekali.
Kiranya Giok-nio ini tak-lain-tak bukan adalah Ni Beng-ay yang
berkomplot dengan si kakek berbaju kelabu dan berhasil
menipu kotak hitam dari Liong It-hiong itu.
Sambil memegangnya dengan erat It-hiong bergelak tertawa,
katanya, "Haha, dunia ini sungguh demikian sempit, tak
tersangka dapat bertemu denganmu di sini"!"
Giok-nio alias Ni Beng-ay tetap menunduk saja tanpa bicara.
It-hiong menatapnya sejenak, tiba-tiba ia lepaskan
pegangannya dan berkata, "Ayo, ke kamarmu untuk bicara."
Beng-ay kelihatan ragu sejenak, akhirnya ia membalik tubuh
dan melangkah pergi.
"Bolehkah aku ikut mendengarkan?" tanya Bun-hiong.
"Tidak, kau teruskan pekerjaanmu sendiri," kata It-hiong
sambil ikut pergi bersama Ni Beng-ay.
Beng-ay membawa It-hiong ke belakang, setelah menyusuri
Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
serambi, sampailah di sebuah kamar samping, begitu pintu
kamar didorong, segera It-hiong mendahului menyelinap ke
dalam, lalu Beng-ay ikut masuk.
Setelah merapatkan daun pintu, dengan menunduk seperti
mau menangis Beng-ay berkata, "Aku memang bersalah,
boleh kau damprat atau pukul diriku, tapi janganlah ...."
It-hiong tidak membiarkan lanjut ucapan orang, sekali raih ia
angkat tubuh si nona, ia duduk di bangku, lalu tubuh Beng-ay
ditiarapkan di atas pangkuannya, ucapnya dengan
mendongkol, "Aku pernah bersumpah, bilamana
kutemukanmu akan kupukul dulu pantatmu."
Habis berkata ia terus memukuli pantat Beng-ay dengan
keras. Tentu saja nona itu menjerit kesakitan.
Tapi suara jeritannya tidak mengagetkan orang lain, sebab
seluruh isi rumah Boan-wan-jun lagi tenggelam di tengah
kegembiraan masing-masing, ada yang ramai bergurau dan
ada yang asyik menyanyi serta suara keributan lain, jeritan
seorang nona biasanya tidak akan menarik perhatian orang.
Belasan kali It-hiong memukuli pantat Beng-ay, setelah puas
baru berhenti, nona itu dilemparkannya ke tempat tidur,
katanya, "Nah, tadi kau bilang selain mendamprat dan
memukul, jangan apa?"
Beng-ay meraba pantat sendiri yang kesakitan, katanya
dengan air mata meleleh, "Aku hanya menjual gurau dan tidak
menjual tubuh, hal ini perlu kukatakan lebih dulu."
Bun-hiong sengaja bersikap garang, katanya, "Omong kosong,
aku hanya tahu engkau ini Giok-nio dan bukan Ni Beng-ay,
maka malam ini harus kau tidur bersamaku."
Beng-ay ketakutan dan meringkuk di pojok tempat tidur, ia
memohon belas kasihan, "Jangan, harap ampuni aku, meski
aku telantar di tempat seperti ini, tapi aku masih menghendaki
berumah tangga dengan baik, tubuhku hanya akan
kuserahkan kepada orang yang mau menikahi diriku, kumohon
janganlah kau bikin susah padaku."
"Aku tidak diberi tahu hal-hal demikian oleh Cui-coa-yo,
pokoknya harus tidur bersamaku."
"Jika begitu boleh kau tanya Cui-coa-yo dulu, tentu dia akan
memberi penjelasan padamu," kata Beng-ay.
"Tidak, tidak perlu kutanya," ujar It-hiong. "Aku telah
dibohongimu, harus kau tidur bersamaku satu malam, kalau
tidak rasa gemasku tak terlampias."
"Aku tidak sengaja membohongimu," kata Beng-ay sambil
menangis. "Semua itu dia yang mengaturnya, ia memaksa aku
berbuat begitu, jika tidak kulaksanakan aku akan dibunuhnya,
maka ... maka ...."
Sampai di sini menangislah dia dengan sedih.
"Sekarang dia berada di mana?" tanya It-hiong dengan ketus.
"Entah," jawab Beng-ay.
It-hiong menudingnya dan mengancam, "Jika tidak mengaku
sejujurnya, segera kubelejetimu."
Beng-ay tampak mengkeret ke pojok tempat tidur, katanya
dengan gemetar, "Sung ... sungguh aku tidak tahu. Dia tidak
memberitahukan padaku akan pergi ke mana, cuma esok atau
lusa dia mungkin akan menjengukku lagi."
"Kotak itu sudah dibawa olehnya?" tanya It-hiong.
Beng-ay membenarkan.
"Ada hubungan apa antara dia denganmu?" tanya It-hiong
pula. "Tidak ada sesuatu hubungan," tutur Beng-ay. "Beberapa hari
yang lalu mendadak dia datang kemari mencariku, ia mengaku
sebagai sahabat baik kakakku, katanya hendak menolongku
keluar dari tempat pecomberan ini. Kupercaya pada
ocehannya dan lantas ikut pergi bersama dia."
"Siapa kakakmu?" tanya It-hiong.
"Kakakku ... kakakku ialah kakak," jawab Beng-ay dengan
tergegap. "Baik, coba lanjutkan ceritamu," ucap It-hiong dengan
tertawa. "Sesudah kuikut dia meninggalkan Kim-leng, kemudian baru
dia memberitahukan padaku bahwa dia berniat merampas
kotak hitam yang berada padamu itu, maka aku diminta
membantunya. Semula aku tidak mau, tapi dia lantas
mengancam hendak membunuhku, lantaran itulah terpaksa
aku menerima permintaannya."
"Lalu, apakah dia memberitahukan padamu apa isi kotak
hitam itu?" tanya It-hiong.
"Dia tidak mau memberitahukan padaku," jawab Beng-ay
dengan menggeleng.
"Hendaknya kau bicara terus terang," ancam It-hiong.
"Supaya kau tahu, pada suatu hari pasti akan kubekuk dia,
bilamana terbukti kau dusta, nanti baru kau tahu rasa bila
kubikin kau mati tidak dan hidup pun tidak."
"Aku tidak bohong, semua perkataanku adalah sejujurnya,"
kata Beng-ay. "Jika begitu, sesudah dia merampas kotak itu, mengapa tidak
kau katakan padaku kejadian yang sebenarnya, tapi malah
kabur secara diam-diam."
"Kukhawatir engkau tidak mau mengampuni aku," kata Bengay.
"Sudah kutolong dirimu dan berjanji akan mengantarmu ke
Wanpeng, seharusnya sudah cukup bagimu untuk mengenali
pribadiku ini baik atau busuk, mengapa tidak kau katakan tipu
muslihatnya kepadaku?"
"Berulang dia memperingatkan aku jangan sembarangan
membocorkan tipu akalnya, kalau sampai bocor aku akan
dibunuhnya, makanya aku takut dan tak berani bicara."
"Semula dia mengaku sebagai sahabat kakakmu, mengapa
kau percaya begitu saja?" tanya It-hiong.
"Sebab dia dapat bercerita tentang kisah hidup mendiang
kakakku, makanya kupercaya penuh tanpa sangsi."
"Siapa namanya?" tanya It-hiong.
"Tam Pek-sun."
"Bukan In-tiong-yan Pokyang Thian?"
"Entah aku tidak tahu, mungkin dia memakai nama palsu, tapi
aku tidak tahu apakah dia memang bernama Tam Pek-sun
atau sebenarnya In-tiong-yan segala."
"Dia berjanji besok lusa akan menjengukmu ke sini?" tanya ItKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
hiong. "Betul," jawab Beng-ay.
"Untuk apa?" tanya It-hiong pula.
"Dia berjanji akan memberi uang padaku," tutur si nona.
"Mungkinkah begitu?"
"Bisa juga dusta," ujar Beng-ay. "Tapi bila engkau hendak
menangkapnya, boleh juga tinggal saja satu-dua hari di sini,
tunggu kedatangannya."
It-hiong menatapnya dengan tajam dan tidak bertanya lagi.
Tentu saja Beng-ay merasa kikuk karena dipandang
sedemikian rupa, ucapnya risi, "Apa yang kukatakan adalah
kejadian sebenarnya, hendaknya kau percaya padaku."
It-hiong berdiri dan mondar-mandir di depan tempat tidur,
katanya kemudian dengan tersenyum, "Aku pernah percaya
kepadamu, akibatnya aku tertipu."
Beng-ay menunduk, katanya, "Kejadian tempo hari itu
sungguh aku, merasa sangat malu. Jika rasa gemasmu belum
hilang, boleh kau pukul aku lagi."
It-hiong menggeleng, katanya, "Tidak berguna, memukulmu
lagi juga tak terlampias dongkolku."
"Habis mau apa?" tanya si nona.
It-hiong merandek, katanya dengan tertawa, "Kucium satu
kali?" "Jangan," seru Beng-ay dengan muka merah.
Seketika It-hiong menarik muka, omelnya, "Hm, diajak tidur
tidak mau, minta cium juga kau tolak?"
"Habis cara ... cara bagaimana akan kau cium?" tanya Beng-ay
dengan malu-malu.
"Cium mulut tentunya," kata It-hiong.
Beng-ay menunduk diam, tampaknya tidak ada maksud
menolak lagi. It-hiong lantas duduk di tepi tempat tidur, ucapnya, "Kemari!"
Si nona menggeser maju sedikit.
"Kemari lagi!" kata It-hiong pula.
Kembali Beng-ay menggeser maju lagi setitik.
"Lagi sedikit," kata It-hiong.
Terpaksa Beng-ay menggeser pula.
"Angkat kepalamu," perintah It-hiong.
Beng-ay mendongakkan kepala sedikit dan memejamkan mata
dengan muka merah.
"Angkat lebih tinggi sedikit!" kembali It-hiong memberi
perintah. Sama sekali si nona tidak berani membantah, ia menurut dan
mengangkat mukanya.
Segera It-hiong mendekatkan mulutnya, selagi nona itu
hendak diciumnya, sekonyong-konyong terdengar suara
"blang-blung" yang keras, suara pintu digedor.
Keruan It-hiong kaget, ia berpaling dan membentak, "Siapa
itu?" "Aku!" terdengar suara Pang Bun-hiong menjawab di luar.
Tentu saja It-hiong mendongkol, teriaknya. "Sialan, kau mau
apa?" "Kudatang menonton!" jawab Bun-hiong dengan tertawa.
"Enyah, apa yang akan kau tonton"!" teriak It-hiong.
"Lekas buka, memangnya kau minta kudobrak pintu?" kata
Bun-hiong. It-hiong menjadi marah, dampratnya, "Keparat, jika engkau
sudah puas main, tunggu saja di luar kan bisa?"
"Tidak, aku tidak sabar menunggu lagi," kata Bun-hiong. "Jika
pintu tidak lekas kau buka, segera kudobrak dan kumasuk ke
situ." Tiada jalan lain, terpaksa It-hiong membukakan pintu, dengan
melotot segera ia mendamprat, "Bedebah, kenapa kau ganggu
saat bahagia orang, sungguh celaka kau ini."
"Memangnya kalian lagi upacara kawin?" goda Bun-hiong
dengan tertawa.
"Ya, baru saja kami hendak main, mendadak kau datang,
sungguh keparat," omel It-hiong.
"Ai, waktu masih banyak, kenapa terburu nafsu"!" ujar Bunhiong,
sambil bicara ia terus masuk ke kamar.
Ketika dilihatnya muka Beng-ay ada bekas air mata, hati
merasa tidak tega, ia memandang It-hiong dan bertanya,
"Masa engkau benar menghajar dia?"
"Ehm," It-hiong mengangguk.
"Seorang nona cantik jelita begini masakah kau tega
memukulnya, sungguh kejam dan tidak berperikemanusiaan,"
omel Bun-hiong.
"Kalau tidak kuberi hajar adat, tentu aku akan ditertawakan
dia sebagai orang tolol," kata It-hiong.
Bun-hiong duduk di bangku, tanyanya lagi, "Dan sudah kau
dapatkan keterangannya atau tidak?"
"Sudahlah, jelas sejak tadi engkau sudah mendengarkan di
luar kamar, memangnya kau kira aku tidak tahu, masa masih
pakai tanya lagi?" kata It-hiong dengan tertawa.
Bun-hiong bergelak tertawa, lalu katanya kepada Ni Beng-ay,
"Nona Ni, sungguh tidak patut engkau menipu dia. Sekali
bertemu saja dia lantas jatuh hati padamu, sebaliknya engkau
tega lari meninggalkan dia dan membuat berjingkrak kalap
serupa kebakaran jenggot."
Beng-ay menunduk dan menangis, katanya, "Maaf, kutahu dia
orang baik ...."
"Sesungguhnya siapa namamu yang asli?" tanya Bun-hiong.
"Namaku memang Ni Beng-ay, Giok-nio adalah nama
samaranku," kata si nona.
"Siapa nama kakakmu?" tanya Bun-hiong pula.
"Kakak bernama Ni Lam-hui, sungguh malang sudah
meninggal lima tahun yang lalu," tutur Beng-ay.
"Semula dia bekerja apa?" tanya Bun-hiong.
"Dia bekerja sebagai pegawai perusahaan pengawalan."
"Sesudah kakakmu meninggal baru engkau terjerumus ke
tempat begini?"
Beng-ay mengangguk, katanya dengan menangis sedih, "Ya,
jika kakak tidak mati, tentu aku takkan bernasib begini."
Bun-hiong memperlihatkan rasa simpatinya, katanya dengan
menyesal, "Sungguh kasihan, dan kedua orang tua kalian juga
sudah tidak ada?"
"Ayah dan ibu sudah lama meninggal, pada waktu aku
berumur delapan mereka sudah wafat," tutur Beng-ay, "Sejak
itulah kami bersaudara lantas hidup sengsara, kemudian kakak
menanjak dewasa, lalu bekerja di perusahaan pengawal, tak
terduga dia juga jatuh sakit keras dan akhirnya ...."
Ia tidak sanggup meneruskan lagi dan menangis sedih.
"Jangan menangis, kami sangat simpati kepadamu, jika kau
mau meninggalkan tempat ini, kami bersedia membantumu,"
demikian Bun-hiong menghiburnya.
Beng-ay mendongak dan memandang sekejap kepada Liong
It-hiong, katanya dengan ragu, "Jadi kalian tidak marah lagi
padaku?" Bun-hiong mengangguk, "Tentu saja, engkau kan terpaksa
berbuat begitu, masa menyalahkanmu?"
"Jika begitu barulah lega hatiku," kata Beng-ay.
"Cuma, engkau harus membantunya membekuk bangsat tua
yang bernama Tam Pek-sun itu agar kotak hitam itu dapat
direbutnya kembali," ujar Bun-hiong.
"Baik, jika dia datang besok atau lusa tentu akan kuberi kabar
kepada kalian," kata Beng-ay. "Kalian tinggal di mana?"
"Di Kim-leng-khek-can," jawab Bun-hiong.
"Dari mana kalian tahu aku berada di sini?" tanya Beng-ay.
"Mana kami tahu tempat tinggalmu di sini" Hanya secara
kebetulan saja kami memergokimu di sini," cepat It-hiong
mendahului menjawab. "Soalnya kami mendengar di Boanwanjun ada seorang nona jelita bernama Giok-nio yang
jarang ada bandingannya, maka bersama kami berkunjung
kemari untuk belajar kenal, tak tersangka yang bernama Gioknio
adalah dirimu ini."
"Semula aku berada di Kim-tan," tutur Beng-ay dengan kikuk.
"Baru bulan yang lalu kupindah ke sini, bilamana ada waktu
luang harap Kongcu sering berkunjung kemari."
"Bilamana engkau masih ingin ke Wanpeng untuk mencari
pamanmu, dengan senang hati aku siap menjadi pengawalmu
pula," kata It-hiong.
Beng-ay tersenyum rikuh, katanya, "Sudahlah, jangan
Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diungkat lagi, pada hakikatnya aku tidak punya paman yang
tinggal di Wanpeng segala."
"Karena marah tadi telah kupukulmu, kuharap tidak
mencederaimu," ujar It-hiong dengan tertawa.
"Biar kumati kau pukul juga aku tidak berani menyesali dirimu,
aku memang pantas dipukul."
Tiba-tiba Bun-hiong seperti teringat sesuatu, katanya dengan
tertawa, "Silakan kalian mengobrol, aku hendak mencari A
Sian." Karena diganggu oleh kedatangan Pang Bun-hiong, hasrat Ithiong
untuk mencium Ni Beng-ay sudah berkurang, kembali ia
mondar-mandir lagi di dalam kamar, lalu bertanya, "Engkau
punya kekasih atau tidak?"
"Untuk apa kau tanya urusan ini?" jawab Beng-ay dengan
likat. "Jika kau ingin melepaskan diri dari tempat seperti ini kan
harus mendapatkan jodoh yang cocok?" kata It-hiong.
"Sekarang belum ada," jawab si nona.
"Dua hari lagi ingin kuajak dirimu pesiar ke Bok-jiu-oh, kau
mau tidak?" tanya It-hiong dengan tertawa.
Beng-ay seperti tidak begitu percaya atas kesungguhan ajakan
It-hiong, ia menegas, "Kau bicara serius?"
"Tentu saja serius."
Beng-ay menjadi senang, katanya dengan tertawa, "Baik,
memang sudah lama kuingin pesiar ke Bok-jiu-oh, sungguh
bagus sekali jika dapat didampingi olehmu."
"Cuma, hendaknya engkau membantuku membekuk orang
bernama Tam Pek-sun itu dengan sesungguh hati," kata Ithiong
dengan tertawa.
"Baik, begitu dia datang segera kuberi kabar padamu secara
diam-diam," si nona berjanji.
"Aku percaya sekali lagi padamu, jika kau tipu aku pula, tentu
aku tidak sungkan lagi padamu," kata It-hiong.
Beng-ay mengiakan.
It-hiong lantas mengeluarkan belasan tahil perak dan ditaruh
di atas meja, katanya, "Aku mau pergi sekarang."
"Tidak duduk sebentar lagi?" tanya Beng-ay sambil turun dari
tempat tidur. "Tidak," ucap It-hiong dengan tertawa, "Jika duduk lagi, bisa
jadi akan kucaplok dirimu."
Habis berkata ia lantas membuka pinta dan keluar.
Setiba di halaman, ia tanya seorang pesuruh, "Di mana letak
kamar A Sian!"
Pesuruh menuding sebuah kamar yang berdekatan, katanya,
"Itu, cuma saat ini dia ada tamu."
"Kutahu," kata It-hiong dengan tertawa. "Tamunya adalah
sahabatku, tadi dia telah menggangguku, sekarang akan
kubalas mengacau dia."
Segera ia menuju ke kamar A Sian. Setiba di depan kamar,
segera ia menggedor pintu.
"Siapa"!" terdengar suara A Sian bertanya dari dalam dengan
kaget. "Aku!" jawab It-hiong.
"Kau siapa?" tanya A Sian.
"Buka pintu dulu, ingin kulihat permainan apa yang kalian
lakukan di dalam!" teriak It-hiong.
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 7 "Hei, jangan mengacau!" seru A Sian dengan gugup.
It-hiong coba mendorong pintu sambil berteriak lantang, "Jika
pintu tidak segera kau buka, biar kudobrak saja."
"Hei, jangan!" teriak A Sian di dalam.
It-hiong terbahak-bahak, "Kuhitung sampai tiga, jika tetap
tidak buka pintu segera kudobrak. Nah, satu ... dua ...."
"E-eh, nanti dulu ... nanti dulu!" seru A Sian dengan
kelabakan. Lalu terdengar suara keresak-keresek, suara orang memakai
baju dengan tergesa-gesa, kemudian pintu lantas terkuak,
tertampak rambut A Sian kusut dan baju tidak teratur, muka
merah, begitu melihat Liong It-hiong, ia melengak, serunya,
"Eh, kiranya kau"!"
"Memang betul aku, kalian lagi berbuat apa?" jawab It-hiong
dengan tersenyum.
Dengan melotot A Sian tanya lagi. "Kau cari siapa?"
It-hiong coba memandang ke dalam kamar, selagi ia hendak
bilang mencari Pang Bun-hiong, mendadak dilihatnya lelaki
yang meringkuk di tempat tidur itu ternyata bukan Pang Bunhiong
adanya. Keruan ia melenggong, serunya, "Hah, ke mana dia?"
"Apakah kau cari Pang-kongcu itu?" tanya A Sian.
"Ya, di mana dia?" tanya It-hiong.
Seketika A Sian mencibir, "Dia sudah pergi!"
It-hiong menjadi serbasalah, cepat ia mundur dan berkata, "O,
maaf, kukira dia masih di sini."
Habis berkata cepat ia mengeluyur pergi.
Tentu saja A Sian uring-uringan, sekuatnya ia menggabrukkan
pintu. Setiba di ruang depan, terlihat Pang Bun-hiong asyik
mengobrol dengan Cui-coa-yo, keruan It-hiong berteriak,
"Berengsek, kenapa kau lari ke sini."
"Memangnya ada apa?" tanya Bun-hiong dengan tertawa.
"Kukira engkau masih berada di kamar A Sian, kugedor pintu
kamarnya dan mengacau orang yang lagi asyik," tutur Ithiong.
Bun-hiong tergelak geli sambil berdiri, "Mau berangkat
sekarang?"
"Ya, berangkat," jawab It-hiong.
Bun-hiong lantas berkata dengan tertawa terhadap Cui-coayo,
"Kami hendak pergi sekarang, jangan kau lupa kepada
pesanku tadi."
"Tidak, jangan khawatir," jawab Cut-coa-yo.
Begitulah Bun-hiong dan It-hiong lantas meninggalkan rumah
hiburan itu. "Eh, engkau tidak main dengan A Sian?" tanya It-hiong
sesudah di luar.
"Tidak," jawab Bun-hiong.
"Kenapa, apa dia kurang baik?" tanya It-hiong heran.
"Bukan begitu," kata Bun-hiong.
"Habis kenapa tidak main?" tanya It-hiong pula.
"Demi dirimu," tutur Bun-hiong akhirnya.
"Demi diriku?" It-hiong melengak.
"Ya, demi dirimu," kata Bun-hiong dengan tersenyum. "Coba
jawab, apakah kau kira cerita Giok-nio itu semuanya benar!"
"Tidak," jawab It-hiong. "Dia mengaku bernama Ni Beng-ay
dan kakaknya bernama Ni Lam-hui, semua itu dusta belaka.
Yang benar kakaknya adalah Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam, ini
pasti tidak salah lagi."
"Kenapa tidak kau bongkar saja kebohongannya?" tanya Bunhiong.
It-hiong tersenyum, "Aku masih ingin menangkap si kakek
berbaju kelabu itu, maka aku tidak mau memukul rumput
mengagetkan ular."
Bun-hiong mengangguk, "Ya, betul, dia bilang si kakek
bernama Tam Pek-sun, apakah kau percaya?"
"Tidak, tidak pernah kudengar ada tokoh bernama begitu di
dunia persilatan," ujar It-hiong.
"Betul, aku juga tidak," kata Bun-hiong. "Maka perkataannya
dapat dipastikan bohong belaka. Lalu bagaimana
keputusanmu?"
"Akan kuintai gerak-geriknya secara diam-diam, bisa jadi
dengan cara begini akan dapat kubekuk si kakek baju kelabu,"
tutur It-hiong.
"Untuk mengintainya perlu siang dan malam berbuat begitu,
maka ingin kurundingkan denganmu."
"Tidak perlu berunding, semuanya sudah kuatur dengan baik
bagimu," kata Bun-hiong.
"Ah, rupanya engkau telah memberi pesan kepada Cui-coa-yo
agar diam-diam mengawasi anak buahnya, begitu melihat si
kakek baju kelabu muncul agar segera kita diberi tahu, begitu
bukan?" seru It-hiong girang.
"Betul," Bun-hiong mengangguk.
It-hiong menepuk pundak kawannya itu, serunya dengan
tertawa gembira, "Aha, bagus sekali, engkau ini memang
benar pembantuku yang baik."
Bun-hiong hanya tertawa saja tanpa bersuara.
"Tapi apakah Cui-coa-yo pasti akan menurut kepada
pesanmu?" tanya It-hiong kemudian.
"Pasti menurut," ujar Bun-hiong. "Dia tergolong perempuan
yang cerdik, ia lebih suka bersalah kepada Giok-nio daripada
membikin marah padaku. Ia tahu aku adalah salah seorang
buaya darat di kota Kim-leng ini."
"Apakah Cui-coa-yo pernah melihat kakek berbaju kelabu itu?"
tanya It-hiong.
"Sudah kutanyai dia," tutur Bun-hiong. "Ia bilang beberapa
tahun yang lalu memang ada seorang kakek datang
menemuinya dan meninggalkan lima ratus tahil perak. Lalu
membawa pergi Giok-nio. Menurut alasan si kakek katanya
Giok-nio hendak diajak pesiar beberapa hari. Karena kepergian
Giok-nio tidak membawa harta miliknya, Cui-coa-yo tidak
khawatir dan mengizinkan kepergian mereka."
"Kuyakin kakek yang dimaksud pasti si kakek berbaju kelabu,"
kata It-hiong. Bun-hiong mengangguk, "Ya, Giok-nio bilang satu-dua hari dia
akan datang lagi, kau kira keterangannya dapat dipercaya
atau tidak?"
"Anggap saja benar," kata It-hiong. "Sudah kuajak dia pesiar
ke Bok-jiu-oh dan dia sudah menyanggupi. Sekarang boleh
kita mengintai di sini satu-dua hari, bilamana si kakek baju
kelabu tidak datang barulah kita membawa lari dia."
Lalu ia tepuk pundak Bun-hiong, katanya pula dengan tertawa,
"Kau tahu, dia mengaku hanya menjual tawa dan tidak
menjual tubuh, kau percaya tidak?"
"Sudah pernah katanya Cui-coa-yo, tampaknya memang
begitulah," jawab Bun-hiong. "Melihat gerak-geriknya
tampaknya dia memang masih perawan."
It-hiong mengangkat pundak, "Sungguh lucu, dia tidak
menjual tubuh, sebenarnya tahan harga atau ada alasan lain?"
"Mungkin benar tahan harga dan menanti pembeli yang
cocok," ujar Bun-hiong. "Jika kau ingin main dengan dia,
kukira sedikitnya harus kau tambahi beberapa ribu tahil
perak." "Ia bilang ingin kembali ke jalan yang benar," kata It-hiong.
"Jika begitu, engkau inilah calon yang paling tepat," ujar Bunhiong
dengan tertawa.
It-hiong menggeleng, "Tidak bisa, mendingan hanya mainmain
saja, kalau sungguhan dan menikahi dia, kukira hanya
akan mendatangkan kesulitan saja."
Begitulah di tengah senda gurau mereka kembali ke Kim-lengkhekcan. Esoknya mereka tidak meninggalkan hotel itu melainkan terus
main catur di dalam kamar untuk menunggu berita dari Cuicoayo. Pang Bun-hiong memang benar juga seorang pemain catur
berbakat, kepandaiannya main catur juga sangat tinggi, dia
main empat babak dengan Liang It-hiong dan berakhir dengan
2-2 alias seri.
Ketika hari mendekat magrib, It-hiong tidak sabar lagi,
katanya, "Marilah kita pergi ke Boan-wan-jun saja."
"Jangan tergesa," kata Bun-hiong. "Begitu si kakek baju
kelabu datang, si Cui-coa-yo pasti akan segera mengirim kabar
kepada kita."
Baru selesai ucapannya, mendadak pintu kamar diketuk orang.
Serentak It-hiong melompat bangun untuk membuka pintu,
dilihatnya seorang lelaki setengah umur memberi hormat dan
katanya, "Hamba datang dari Boan-wan-jun, tolong tanya
yang manakah Pang-kongcu?"
"Aku sendiri," jawab Bun-hiong sambil mendekati orang.
Orang itu memberi hormat lagi padanya dan berucap, "Nyonya
juragan kami mengundang Pang-kongcu lekas ke sana,
katanya orang yang hendak ditemui Kongcu itu sekarang
sudah datang."
"Baik, segera kami berangkat ke sana," kata Bun-hiong sambil
memberi sedikit persen lalu menambahkan, "Nah, boleh kau
pulang lebih dulu."
Orang itu mengucapkan terima kasih terus berlalu.
Segera It-hiong mengenakan baju sambil berkata, "Ayo, cepat,
jangan sampai dia kabur lagi."
Bun-hiong juga mengenakan baju, katanya dengan tertawa,
"Giok-nio bilang begitu si kakek datang segera mengirim kabar
padamu, kenapa kita tidak menunggu sebentar lagi, coba
apakah dia jujur atau tidak!"
"Dia dan si kakek jelas satu komplotan, mana dia mau
mengirim kabar padaku," ujar It-hiong. "Sudahlah, jangan
berpikir seperti anak kecil, ayo lekas berangkat."
Sambil bicara segera mereka melangkah keluar.
Tapi baru keluar kamar, tiba-tiba seorang lelaki berlari datang
lagi, segera dikenali orang ini adalah calo Boan-wan-jun.
"Eh, kau cari siapa?" tanya It-hiong.
Calo itu masih kenal padanya, dengan girang ia menjawab,
"Ah, Liong-kongcu, nona Giok-nio menyuruhku mengundang
Kongcu lekas ke sana."
Hal ini sangat di luar dugaan It-hiong, ia berlagak tidak tahu
dan tanya pula, "Ada urusan apa?"
"Nona Giok-nio bilang orang yang ingin ditemui Kongcu itu
sekarang berada di kamarnya," tutur si calo.
"Bagaimana bentuk orang itu?" tanya It-hiong.
"Seorang tua, kurus-kurus kecil, cuma bajunya tidak jelek,"
tutur calo itu. "Hamba masih ingat, dua-tiga hari yang lalu dia
pernah membawa nona Giok keluar pesiar."
It-hiong juga memberi persen beberapa tahil perak padanya,
katanya, "Baik, segera kuberangkat ke sana, kau pulang saja
dulu." Calo itu mengucapkan terima kasih, sebelum berangkat ia
berpaling pula dan berkata, "Oya, masih ada sesuatu lupa
kukatakan ...."
"Urusan apa?" tanya It-hiong.
"Nona Giok-nio memberi pesan bila Kongcu sudah sampai di
Boan-wan-jun, hendaknya Kongcu jangan segera masuk ke
kamarnya, ia bilang hendak mencekoki kakek itu hingga
mabuk, sesudah orang mabuk barulah Kongcu masuk
kamarnya."
Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baik, kutahu," jawab It-hiong tertawa. Sesudah memberi
hormat calo itu lantas berlalu.
It-hiong garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, katanya
kepada Bun-hiong sambil menyengir, "Sungguh di luar
dugaan, ia ternyata menepati janjinya dan mau membantuku
membekuk si kakek baju kelabu."
"Ini menandakan dia mulai jatuh hati padamu," ujar Bunhiong.
"Seorang perempuan kalau sudah menyukai seorang
lelaki, segala apa pun dapat diperbuatnya."
Makin dipikir makin gembira It-hiong, segera ia menarik Bunhiong
dan diajak lari keluar, serunya, "Ayo, lekas berangkat!"
Sekeluarnya hotel, mereka melangkah dengan cepat, tidak
lama kemudian mereka sudah sampai di depan Boan-wan-jun.
Cui-coa-yo sudah menunggu di depan pintu, begitu melihat
Bun-hiong berdua sudah datang segera ia memberi tanda agar
jangan bersuara keras. "Cepat amat kedatangan kalian,"
desisnya. "Dia masih ada?" tanya Bun-hiong.
"Ya, masih berada di kamar Giok-nio," tutur Cui-coa-yo. "Baru
saja Giok-nio pesan hidangan, mungkin akan makan minum
bersama dia."
"Sudah dibawa masuk kamar belum hidangan yang dipesan?"
tanya Bun-hiong.
"Belum," jawab Cui-coa-yo.
"Jika begitu, hendaknya kau bantu kerjai dia, taruh sesuatu di
dalam arak supaya dia cepat mabuk," kata Bun-hiong.
Dengan ragu Cui-coa-yo menjawab, "Wah, jangan Kongcu
berbuat onar di tempatku, kalau sampai terjadi perkara jiwa
manusia, tak berani kutanggung risikonya ...."
"Jangan khawatir," ujar Bun-hiong. "Begitu dia mabuk segera
kami membawanya pergi."
"Sesungguhnya ada perkara apa antara kalian dengan dia?"
tanya Cui-coa-yo.
"Akan kuberi tahukan lain hari saja, sekarang lekas kerjakan
menurut apa yang kukatakan," ucap Bun-hiong.
Cui-coa-yo mengangguk terus menuju ke dalam.
Bun-hiong dan It-hiong juga ikut masuk ke dalam, sampai di
halaman tengah, mereka lantas sembunyi di suatu sudut yang
agak gelap untuk mengintai gerak-gerik yang terjadi di kamar
Giok-nio. "Menurut pendapatmu, ada hubungan apa antara Giok-nio
dengan tua bangka itu?" tanya It-hiong dengan suara lirih.
"Siapa tahu?" jawab Bun-hiong.
"Sungguh ingin kucuri dengar ke sana," ujar It-hiong.
"Jangan terburu nafsu," kata Bun-hiong. "Nanti kalau dia
sudah makan minum baru kita mendekat ke sana."
"Eh, lihat, hidangan sedang diantar ke sana," kata It-hiong.
Memang benar, tertampak seorang pelayan membawa satu
nampan besar makanan dan poci arak menuju ke kamar Gioknio.
"Nona Giok-nio, ini hidangan sudah datang!" seru pelayan dari
luar. Ketika pintu kamar terbuka, yang kelihatan di dalam kamar
memang betul si kakek berbaju kelabu yang merampas kotak
hitam itu. Hari ini dia sudah berganti dandanan dengan memakai baju
biru, tidak lagi membawa senjata, sikapnya kelihatan ramah
tamah, begitu pintu dibuka segera ia menyingkir ke samping
dan berkata, "Masuk saja!"
Pelayan masuk ke dalam kamar dengan membawa hidangan,
sesudah ditaruh di meja, lalu keluar lagi dengan membawa
nampan kosong. "Kalau tidak dipanggil jangan mengganggu," pesan si kakek.
Pelayan mengiakan dan pintu kamar tertutup lagi.
Perlahan It-hiong memaki, "Keparat, tampaknya dia
bermaksud tidak baik terhadap Giok-nio."
"Jangan khawatir, malam ini dia takkan berbuat sesuatu yang
menyusahkan Giok-nio," kata Bun-hiong.
"Apakah sudah kau suruh Cui-coa-yo menaruh sesuatu di
dalam arak?" tanya It-hiong.
"Ya, ditaruhi obat tidur, "kata Bun-hiong.
"Jangan-jangan akan ketahuan?"
"Kukira tidak, kadar obat tidak terlalu berat, hanya
membuatnya pening kepala dan ingin tidur."
"Marilah kita ke sana," ajak It-hiong.
"Baik, kucuri dengar di depan dan engkau mengintip di
belakang dan berjaga agar dia tidak sampai kabur."
It-hiong mengangguk dan mengitar ke samping sana, lalu
merunduk ke bawah jendela di belakang kamar Giok-nio.
Boan-wan-jun memang terhitung tempat pelesir yang laris,
penuh tamu sehingga suasana ramai gaduh, maka betapa
tajam pendengaran orang yang berada dalam kamar juga
takkan mengetahui ada orang mencuri dengar di luar.
Begitu It-hiong baru berjongkok di belakang jendela, segera
terdengar si kakek lagi berkata di dalam kamar, "Mari, kau
pun minum satu cawan."
Terdengar Giok-nio menjawab, "Maaf, hamba tidak dapat
minum arak."
"Ah, masa, minum saja sedikit," kata si kakek.
"Biar kuminum dengan bebas, engkau sendiri yang minum
arak, boleh?" kata Giok-nio.
"Baiklah, mari minum," kata si kakek. Lalu terdengar suara
arak ditenggak.
"Eh, kau tahu untuk apa kudatang sekarang?" tanya si kakek.
"Entah, aku tidak tahu," jawab Giok-nio. "Kudatang
mengucapkan terima kasih."
"Oo"!"
"Engkau telah membantu kudapatkan kotak itu, adalah pantas
aku berterima kasih kepadamu."
"Ah, engkau terlampau sungkan."
"Padahal biarpun engkau membantuku mendapatkan peti itu
juga akan kujaga dirimu, sebab aku adalah sahabat baik
kakakmu." "Oya?"
"Memangnya engkau tidak percaya?"
"Jika benar engkau sahabat baik kakakku, mengapa tempo
hari kau paksa aku berbuat begitu?"
"Demi mendapatkan kotak itu, terpaksa kugunakan akal
demikian."
"Sesungguhnya apa isi kotak itu?"
"Mengenai ini tak dapat kukatakan padamu."
"Sudah kau buka peti itu?"
"Belum, peti itu bukan barang buatan negeri kita, cara
membuatnya sangat teliti dan bagus, belum berhasil kupelajari
cara membukanya."
"Mengapa tidak kau pecahkan saja peti itu."
"Wah, tidak boleh jadi."
"Kenapa tidak boleh?"
"Kabarnya di dalam peti itu berisi obat peledak, bila dibuka
secara paksa, tentu obat pasang di dalamnya akan meletus."
"Ah!" terdengar Giok-nio berseru kaget.
Liong It-hiong yang bersembunyi di bawah jendela juga
tergetar hatinya, pikirnya, "Ya Allah, hampir saja. Kiranya isi
peti itu adalah obat pasang, tempo hari malahan kugunakan
peti itu sebagai senjata, untung obat pasang di dalamnya tidak
sampai tersentuh, kalau tidak tentu sudah tamat riwayatku."
Tengah termenung, didengarnya si kakek baju kelabu lagi
berkata dengan tertawa, "Keteranganku membuatmu sangat
heran dan kejut bukan?"
"Memang," jawab Giok-nio. "Sebab apakah peti itu diisi
dengan obat pasang?"
"Dengan begitu jadi tidak ada orang berani membukanya
secara paksa," tutur si kakek. "Nah, marilah minum lagi sedikit
...." Agaknya Giok-nio mengiringnya minum seceguk, lalu bertanya
pula, "Sesungguhnya peti itu kepunyaan siapa?"
"Wah, tidak dapat kukatakan padamu," ujar si kakek.
"Memangnya apa alangannya kau ceritakan?" ujar Giok-nio.
"Saat ini urusan ini sudah diketahui beberapa tokoh Bu-lim
kelas tinggi, jika kukatakan padamu, lalu kau beri tahukan
pula kepada orang lain, kan tambah banyak orang yang akan
merampas peti hitam itu?"
"Takkan kukatakan lagi kepada orang lain," kata Giok-nio.
Si kakek berdehem, lalu ia alihkan pokok pembicaraan,
"Kedatanganku ini selain hendak mengucapkan terima kasih
padamu, masih ada suatu urusan lagi ingin berunding
denganmu ...."
"Urusan apa?" tanya Giok-nio.
"Ini 50 tahil emas, hendaknya kau terima dulu," kata si kakek.
Agaknya Giok-nio terkesiap, "Ahh, tidak, jangan, tak boleh
kuterima uang sebanyak itu darimu ...."
"Tidak apa, terima saja," ujar si kakek. "Bilamana kau mau
membantu lagi suatu urusanku, setelah berhasil tentu akan
kuberi lagi seratus tahil emas."
"Kau minta kukerja apa?" tanya Giok-nio.
"Tinggalkan Boan-wan-jun dan berangkat ke Cap-pek-pan-nia
denganku."
"Untuk apa ke sana?"
"Bila kau terima permintaanku baru akan kukatakan padamu."
"Wah, ini ...." Giok-nio gelagapan.
"Engkau merasa berat meninggalkan tempat ini?" tanya si
kakek. "Bukan ... bukan begitu maksudku ...."
"Berapa induk semangmu menghendaki uang tebusan bagimu,
akan kubayar padanya," kata si kakek.
"Aku cuma utang beberapa ratus tahil perak saja padanya, bila
aku mau pergi, setelah kubayar utang dan setiap saat dapat
angkat kaki," tutur Giok-nio. "Cuma, betapa pun aku harus
tahu dulu apa yang kau minta kukerjakan, habis itu baru aku
dapat ambil keputusan."
"Urusan yang kuminta kau kerjakan pasti dapat kau
laksanakan dengan baik," ujar si kakek, ia berhenti sejenak,
seperti minum lagi secawan arak lalu menyambung, "Di bukit
Cap-pek-pan-nia itu akhir-akhir ini muncul sekawanan bandit
dan dipimpin oleh seorang tokoh misterius, kekuatan dan
pengaruhnya sangat hebat, siapa nama tokoh misterius itu
pun tidak kuketahui, aku cuma tahu dia tahu cara membuka
peti wasiat ini ...."
"Lalu?" tanya Giok-nio.
"Urusan yang kuminta kau kerjakan hanya supaya engkau
berusaha berkenalan dengan dia, mengingat kecantikanmu
kukira sekali pandang saja dapat membuatnya terpikat. Lalu
engkau pura-pura bergaul baik dengan dia untuk memancing
caranya membuka peti hitam itu."
"Wah, ini ...." Giok-nio merasa ragu.
"Jangan khawatir, kujamin tidak berbahaya," kata si kakek.
Giok-nio diam saja tanpa bicara lagi.
"Bagaimana, mau?" tanya si kakek.
"Akan kupikirkan lagi, sekarang boleh engkau minum arak
saja," jawab Giok-nio dengan tertawa.
Si kakek baju kelabu bersuara senang dan lantas minum arak
lagi. "Kotak yang kau rampas itu sekarang disimpan di mana?"
tanya Giok-nio.
"Di suatu tempat yang sangat aman," jawab si kakek.
"Di mana?" tanya Giok-nio pula.
"Ah, tidak perlu kau tanya."
"Mari, habiskan secawan lagi."
"Wah, tidak mau lagi. Arak ini agak keras, rasa kepalaku rada
pusing." "Kan belum ada tiga cawan kau minum, masa sudah pusing.
Mari habiskan secawan lagi," ajak Giok-nio.
Kembali si kakek menenggak pula satu cawan, lalu tanya,
"Bagaimana, mau tidak mengerjakan apa yang kukatakan
tadi?" "Boleh sih boleh, cuma ... dapatlah engkau memberitahukan
padaku apa isi kotak itu."
"Tidak."
"Jika tidak kau katakan, aku pun tidak sanggup."
"Sebaiknya kau terima permintaanku, kalau tidak terpaksa
kubunuh dirimu," ancam si kakek dengan mendelik.
"Ai, engkau terus-menerus mengaku sebagai sahabat kakakku,
kenapa sedikit-sedikit engkau bilang hendak membunuhku?"
"Hm, memang begitulah kebiasaanku," jengek si kakek.
"Pendek kata, yang menurut padaku hidup, yang
membangkang kubunuh."
Giok-nio tertawa cekikik, katanya, "Ai, kenapa engkau jadi
begini garang?"
"Kutanya sekali lagi, kau mau terima atau tidak?" si kakek
menegas sekata demi sekata.
"Baiklah, cuma ada suatu syaratku," kata Giok-nio. "Bilamana
urusan sudah selesai, aku minta lima ratus tahil emas."
"Wah, jangan terlalu serakah, seratus tahil saja kan sudah
banyak." "Tidak, harus lima ratus tahil baru mau kukerjakan," kata
Giok-nio. Si kakek berpikir sebentar, akhirnya menjawab, "Baiklah,
kuberi lima ratus tahil. Besok hendaknya engkau berbenah
seperlunya, begitu hari gelap segera kubawa dirimu
meninggalkan kota. Sekarang kupergi dulu."
"Eh, engkau tidak minum lagi?" tanya Giok-nio.
"Tidak, aku rada pusing ...." kata si kakek. "Sungguh aneh,
mengapa kekuatanku minum arak hari ini sedemikian jelek."
"Engkau jangan pergi dulu," ujar Giok-nio.
"Mau apa?" tanya si kakek.
"Kuminta engkau mengiringiku minum arak," Giok-nio
berlagak manja.
"Tidak bisa, aku tidak sanggup minum lagi."
"Jika engkau tidak mengiringiku minum, aku pun tidak mau
pergi ke Cap-pek-pan-nia."
"Eh, kenapa kau bicara demikian?" heran juga si kakek.
"Memangnya kau anggap aku dapat berbuat apa-apa
bagimu?" Giok-nio mengiakan dengan tersenyum.
"Ai, jangan bergurau, untuk begituan sudah lama aku tidak
sanggup lagi," kata si kakek.
"Aku cuma minta engkau mengiringiku minum arak, jangan
kau pikir terlalu jauh."
"Kau suka minum arak?" si kakek menegas.
"Ya," jawab Giok-nio.
"Tadi kau bilang tidak sanggup minum arak, mengapa
Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekarang bilang suka?"
"Kalau banyak memang tidak sanggup, jika dua cawan masih
boleh," kata Giok-nio. "Pula, engkau kan baru datang, kalau
sekarang lantas pergi, sebentar aku bisa diomeli induk
semangku."
Si kakek termenung sejenak, katanya kemudian, "Ehm,
baiklah, biar kuiringimu minum dua cawan lagi ...."
"Ayo, minum!"
"Baik."
"Jika kepalamu pusing, silakan mengaso saja di tempat tidur."
"Wah, jangan."
"Lho, kenapa?"
"Aku ... aku tidak ...."
Lalu terdengar suara "bluk", suara robohnya tubuh.
Terdengar Giok-nio menjerit kaget, "Hei, kenapa engkau"
Cuma minum dua cawan saja masa lantas roboh mabuk."
Pang Bun-hiong yang mencuri dengar di luar kamar tahu
waktunya sudah tiba, segera ia mengetuk pintu dan berseru,
"Buka pintu, nona Giok!"
Waktu pintu dibuka Giok-nio, Liong It-hiong juga sudah
mengitar ke depan kamar, segera Bun-hiong menariknya ke
samping, desisnya, "Engkau jangan menampakkan diri dulu.
Dia tidak kenal aku, biar kuantar dia pulang dan engkau
menguntit dari jauh."
It-hiong mengiakan.
Bun-hiong lantas masuk kamar Giok-nio, dilihatnya si kakek
baju kelabu sudah menggeletak di lantai, cuma kesadarannya
belum hilang sama sekali, ia berlagak kaget dan bertanya,
"Hei, kenapa tuan tua ini?"
"Dia mabuk," tutur Giok-nio.
Bun-hiong mengitar ke samping si kakek, ia berjongkok dan
memeriksanya, lalu berkata, "Wah, kenapa mabuk sampai
begini?" "Entah, aku pun tidak tahu, kukira dia kuat minum banyak,
siapa tahu minum tiga-empat cawan lantas roboh mabuk,"
kata Giok-nio. Bun-hiong berlagak susah, ucapannya, "Wah, bagaimana ...."
"Dapatkah kau tolong dia?" tanya Giok-nio.
"Dia tinggal di mana?" kata Bun-hiong.
"Entah, aku juga tidak tahu," sahut si nona.
Bun-hiong tepuk-tepuk pipi si kakek sambil berseru, "Hei,
bung, di mana tempat tinggalmu?"
Kelopak mata si kakek terasa berat sekali untuk dibuka,
sekuatnya ia coba melek, tapi tetap merasa kantuk, namun
setitik kesadarannya yang masih ada memberitahukan
padanya agar jangan tertidur, maka sekuatnya ia
membangkitkan semangat dan menjawab, "Di Ko ... Ko-sing
...." "Hotel Ko-sing maksudmu?" Bun-hiong menegas.
"Ehmm ...." si kakek tidak sanggup bersuara lagi, kepalanya
miring dan akhirnya terpulas juga.
Kembali Bun-hiong menepuk pipinya sambil berteriak, "Hei,
bung, bangun, sadarlah!"
Namun kakek itu sama sekali tidak bergerak lagi serupa babi
mampus. Bun-hiong tersenyum, katanya sambil berpaling, "Nah,
sekarang boleh masuk, Liong It-hiong."
Dengan tersenyum It-hiong masuk ke kamar, katanya, "Dia
sudah tidur?"
Bun-hiong mengiakan dengan tertawa.
"Letak Ko-sing-khek-can seperti di sebelah barat sana," ucap
It-hiong. "Memang betul," jawab Bun-hiong.
"Jika begitu perlu kita sewa sebuah kereta," kata It-hiong
pula. "Baik, akan kusuruh orang menyewakan kereta," ujar Bunhiong
sambil beranjak keluar.
Melihat orang sudah pergi, segera It-hiong merangkul Giok-nio
dan dicium. Muka Giok-nio menjadi merah, dengan kepalan halus ia pukul
It-hiong, omelnya dengan tersenyum genit, "Nah, tidak
genah"!"
"Ini tanda terima kasihku," ucap It-hiong dengan tertawa.
"Kan engkau sudah membantuku membekuk dia."
"Dan sekarang tentunya kau tahu jelas sebabnya
kubohongimu tempo hari adalah karena dipaksa oleh dia?"
"Ya, aku menyesal kemarin telah kupukuli pantatmu," ujar Ithiong.
Semula Giok-nio berlagak tidak mau, tapi sekarang dengan
pasrah ia biarkan dirinya dipeluk anak muda itu, ucapnya
dengan malu-malu, "Karena engkau berjanji akan
mengantarku ke Wanpeng, sungguh aku sangat berterima
kasih, mestinya hendak kukatakan terus terang duduknya
perkara kepadamu, tapi kutakut akan dibunuh olehnya."
Kembali It-hiong menciumnya lagi sekali, katanya dengan
tertawa, "Engkau tidak bersalah, aku tidak marah padamu."
Giok-nio menengadah, dengan tatapan mesra ia berkata pula,
"Sungguh kuharap apa yang terjadi itu benar, kalau benar,
alangkah baiknya."
"Jangan risau, bilamana kau suka pesiar ke Wanpeng, tentu
akan kubawamu ke sana," kata It-hiong.
"Sungguh?" tanya Giok-nio girang.
"Tentu saja sungguh," It-hiong mengangguk.
Saking senangnya Giok-nio merangkulnya erat-erat, katanya,
"Baik, bawalah aku ke sana, lekas membawaku ke sana!"
"Tapi tidak boleh lagi kau bohongi aku," kata It-hiong dengan
tersenyum. "Masa kubohong?" Giok-nio melenggong.
"Bagus kalau tidak," ucap It-hiong. "Nona secantik dirimu ini
memang tidak pantas berdusta, bisa membuat orang
mendongkol."
"Tidak ada yang perlu kudustaimu lagi," seru Giok-nio dengan
gembira. "Selanjutnya asalkan engkau tidak dusta padaku,
maka cukuplah bagiku. Aku rela ... rela ikut padamu selama
hidup." It-hiong hanya tersenyum saja tanpa bicara.
Sorot mata Giok-nio menampilkan rasa memohon, katanya,
"Apakah engkau sudi ... sudi padaku?"
"Aku ... mungkin saja mau padamu, tapi bukan sekarang ...."
"Sebab apa?" tanya Giok-nio.
"Sekarang aku masih mempunyai urusan yang harus
kuselesaikan."
"Urusan apa?" tanya si nona.
"Ada dua urusan," tutur It-hiong. "Pertama, menemukan
kembali peti hitam itu dan mengantarkannya ke Cap-pek-pannia
untuk memenuhi pesan orang mati."
"Dan apa urusan kedua?" tanya Giok-nio.
"Urusan kedua itu sementara tidak dapat kukatakan padamu."
"Masa engkau belum lagi percaya padaku?" Giok-nio menegas.
"Bukan soal percaya padamu atau tidak," jawab It-hiong.
"Sebabnya tidak kukatakan padamu justru kukhawatir akan
membuatmu makan tidak enak dan tidur tidak nyenyak."
"Oo"!" Giok-nio merasa bingung.
Tiba-tiba di luar terdengar suara langkah orang. It-hiong
melepaskan rangkulannya dan berpaling, benar juga terlihat
Pang Bun-hiong sudah kembali, segera ia tanya, "Bagaimana,
sudah siap keretanya?"
"Sudah, ayolah bawa dia ke atas kereta," kata Bun-hiong.
Segera It-hiong mengangkat si kakek baju kelabu, katanya
terhadap Giok-nio dengan tertawa, "Besok kudatang
menjengukmu, jangan kau kabur lagi tanpa pamit."
Dengan malu Giok-nio menjawab, "Tidak, akan kutunggu
kedatanganmu."
Segera It-hiong menggendong si kakek yang tak sadar itu
keluar. Bun-hiong tidak ikut keluar, ia tunggu setelah It-hiong keluar
kamar, segera ia mendekati Giok-nio dan bertanya perlahan
dengan tersenyum, "Dia suka padamu bukan?"
Dengan muka merah Giok-nio menjawab, "Untuk apa Pangkongcu
tanya urusan ini?"
"Sebab kupikir, bilamana dia tidak suka padamu barulah ada
kesempatan bagiku," kata Bun-hiong.
"Cis, engkau juga tidak genah," semprot Giok-nio.
Sambil tergelak Bun-hiong lantas melangkah keluar.
Setiap orang yang berada di Boan-wan-jun sudah biasa
melihat tamu yang mabuk, maki ketika melihat It-hiong
memanggul keluar seorang tua, tidak ada seorang pun merasa
heran, semuanya mengira It-hiong adalah serombongan
dengan si kakek, sama sekali tidak menyangka Liong It-hiong
sedang menculik orang.
Sekeluarnya dari Boan-wan-jun, It-hiong melihat di depan
pintu itu sudah parkir sebuah kereta kuda, ia tahu inilah
kereta yang disewa Bun-hiong, segera ia angkat si kakek ke
dalam kereta. Sejenak kemudian Bun-hiong ikut keluar, ia memberitahukan
kepada sais kereta agar menuju ke hotel Ko-sing, lalu mereka
naik ke dalam kereta.
Perlahan kereta dijalankan meninggalkan Jalan Kembang dan
menuju ke gerbang barat.
"Apakah dia takkan mendusin mendadak?" tanya It-hiong
sambil menatap si kakek baju kelabu yang tidak berkutik itu.
"Tidak," jawab Bun-hiong.
"Apakah yang dikatakannya kepada Giok-nio tadi sudah kau
dengar atau tidak?"
"Sudah."
"Jangan-jangan Giok-nio memang tidak berdosa."
"Sebab apa tua bangka ini mencari dia?" ujar Bun-hiong.
"Maksudku, mengapa dia mencari adik perempuan Eng-jiauong
Oh Kiam-lam?"
"Ya, kukira ini pasti tidak terjadi secara kebetulan," tukas Ithiong.
"Tentu dia tahu Giok-nio adalah adik perempuan Oh
Kiam-lam."
"Betul," kata Bun-hiong.
"Ia ancam Giok-nio agar membantunya merampas peti dariku,
tadi Giok-nio diminta membantunya ke Cap-pek-pan-nia untuk
memancing cara membuka peti itu, kuyakin dia mempunyai
tujuan tertentu."
"Memang begitulah," Bun-hiong mengangguk.
Sambil memandang si kakek yang masih terpulas lelap itu, ItKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
hiong berkata pula dengan tersenyum, "Kau pikir dapatkah dia
menyimpan peti hitam itu di dalam hotel?"
"Entah, biarlah kita coba menggeledahnya dulu," kata Bunhiong.
"Jika tidak ditemukan di hotel, nanti kira membuatnya
sadar, lalu memaksa pengakuannya."
"Sekarang ada suatu soal yang membuatku serbasusah," kata
It-hiong. "Setelah peti kutemukan kembali, harus kuantar dulu
peti itu ke Cap-pek-pan-nia atau membawa Giok-nio dulu
menemui To Po-sit?"
"Ini harus kau putuskan sendiri," ujar Bun-hiong.
"Bolehkah kubawa dia pergi ke Cap-pek-pan-nia?"
"Kecuali kau pun ingin menggunakan dia untuk memancing
cara membuka peti, kalau tidak, lebih baik jangan."
"Aku tidak begitu tertarik oleh isi peti, untuk apa kusuruh dia
memancing cara membuka peti?" ujar It-hiong.
"Jika begitu lebih baik jangan membawa dia ke sana," kata
Bun-hiong. "Kau tahu bila kotak itu kau bawa dalam
perjalanan, sangat mungkin ada orang akan mencegat dan
merampasnya lagi, dapatkah kau terjang kepungan dengan
membawa dia?"
It-hiong menggeleng, "Tidak dapat."
"Jika kau percaya kepadaku, sudah tersedia suatu caraku."
"Coba katakan," ucap It-hiong.
"Boleh kau pergi ke Cap-pek-pan-nia dan kugantikan dirimu
mengantar dia ke tempat Tui-beng-poan-koan To Po-sit."
"Wah, ini ...."
"Bagaimana, khawatir kubawa lari dia?" kata Bun-hiong
dengan tersenyum.
It-hiong menggeleng, "Bukan, kutakut To Po-sit akan merasa
kurang senang, sebab berulang dia pesan padaku agar jangan
membocorkan tempat sembunyinya. Sekarang kedua kakinya
cacat dan tidak mampu menghadapi gerangan musuh."
"Tapi aku bukan musuhnya, tidak nanti kubocorkan tempat
pengasingannya itu," kata Bun-hiong.
"Kutahu engkau takkan berbuat begitu, tapi dia takkan berpikir
demikian."
"Sudahlah, jika kau anggap kurang baik, anggap saja batal."
"Harap beri waktu, akan kupikirkan dulu .... Ah, sudah sampai
di hotel Ko-sing."
Mendadak kereta kuda berhenti. Waktu Bun-hiong melongok
keluar, lalu melompat turun dan berkata, "Ya, sudah sampai.
Boleh kau gendong dia turun."
Ia membayar sewa kereta, dilihatnya It-hiong memanggul si
kakek turun, segera ia mendahului masuk ke hotel Ko-sing.
"Tuan tamu ini apa cari kamar?" tanya seorang pelayan
menyongsong kedatangan mereka.
"Tidak, kami mengantar pulang kawan tua ini," jawab Bunhiong
sambil menuding si kakek yang digendong It-hiong itu,
lalu tanya pula, "Tuan ini tamu hotel kalian bukan?"
Pelayan mendekat dan mengamati sejenak, lalu menjawab
dengan terkejut, "He, betul, dia tamu yang tinggal di kamar
nomor delapan, kenapakah dia?"
"Mabuk," tutur Bun-hiong. "Coba bawa kami ke kamarnya."
Pelayan mengiakan dan membawa mereka masuk ke dalam
hotel, sampai di depan sebuah kamar bagus, pelayan
membuka pintu kamar dan berkata, "Kamar ini."
Bun-hiong mengangguk, "Baiklah, boleh kau pergi saja."
Sesudah pelayan pergi, It-hiong membawa si kakek ke dalam
kamar dan direbahkan di tempat tidur, katanya kepada Bunhiong,
"Tutup pintunya, biar kita geledah kamarnya."
Setelah pintu kamar ditutup, kedua orang lantas sibuk
menggeledah seluruh isi kamar. Tapi meski kamar sudah
diubrak-abrik, yang ditemukan mereka hanya dua macam
barang yakni sebuah ransel dan sepasang ruyung baja.
"Aneh, disimpan ke mana peti hitam itu?" kata It-hiong.
"Mungkin dititipkan pada pengurus hotel, coba akan kutanyai
kuasa hotel," ujar Bun-hiong.
Habis berkata segera ia membuka pintu dan keluar.
Tidak lama kemudian ia kembali lagi ke kamar, katanya sambil
menggeleng, "Menurut keterangan pengurus hotel, katanya
tua bangka ini tidak titip sesuatu barang, juga tidak pernah
Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melihat dia membawa sebuah peti segala."
"Jika begitu, terpaksa harus kita tanyai dia langsung," kata Ithiong.
Ia mendekati tempat tidur, ia tutuk Hiat-to si kakek dan
menyiram mukanya dengan sebaskom air dingin yang tersedia
di dalam kamar.
Obat tidur yang diminum si kakek tidak banyak, setelah
disiram air dingin, seketika juga dia sadar kembali.
Begitu membuka mata, lalu memandang dengan melenggong
Liong It-hiong dan Pang Bun-hiong yang berdiri di depan
tempat tidur, mendadak air mukanya berubah babat, cepat ia
meronta hendak bangun sambil berteriak, "Hei, kau ... Liong
It-hiong"!"
"Betul," It-hiong tersenyum.
Sekali meronta dan tidak mampu bangun, segera si kakek
tahu Hiat-to tertutuk, keruan ia heran dan terkejut, serunya,
"Cara ... cara bagaimana kau datang kemari?"
It-hiong tidak menjawab, sebaliknya ia lolos pedang pandak
Siau-hi-jong dan mengancam di depan hidung orang sambil
berkata, "Ada beberapa soal ingin kutanya dirimu dulu. Coba
jawab, siapa namamu?"
Muka si kakek kelihatan pucat pasi dan tidak menjawab.
"Hm, kukira kau tahu apa artinya ini," jengek It-hiong. "Jika
tidak ingin menderita siksaan badan, sebaiknya kau jawab
dengan terus terang."
"Baik, aku she Tam dan bernama Pek-sun!" jawab si kakek.
"Jika kau bohong, kau adalah anak jadah, begitu?"
Dengan mendongkol si kakek berteriak, "Baik, apa alangannya
kukatakan terus terang. Aku inilah In-tiong-yan Pokyang
Thian." "Itu dia baru benar," ucap It-hiong dengan tertawa. "Berdusta
bukan perbuatan yang terpuji. Seorang lelaki sejati berani
berbuat berani bertanggung jawab. Engkau Pokyang Thian
adalah tokoh yang sudah terkenal sekian lamanya, tindak
tandukmu hendaknya dilakukan secara gagah kesatria."
"Singkirkan pedangmu!" mendadak In-tiong-yan Pokyang
Thian meraung. "Sabar dulu," ucap It-hiong. "Masih ada soal yang lebih
penting ingin kutanya padamu. Nah, coba katakan, di mana
kau sembunyikan peti hitam itu?"
"Tidak tahu," jawab In-tiong-yan Pokyang Thian dengan
ketus. "Maksudmu biarpun mati juga takkan kau serahkan peti itu?"
jengek It-hiong.
Sembari bicara ia pindah ujung pedangnya untuk mengancam
hulu hati orang dan berlagak hendak menikam.
Keruan muka In-tiong-yan Pokyang Thian bertambah pucat,
namun dia tetap bandel, katanya, "Ah, jangan kau main cara
begini, tak dapat kau gertak diriku."
"Betul, jika kubunuh dirimu berarti tidak dapat lagi
menemukan kembali peti itu," kata It-hiong. "Tapi kalau tidak
kau serahkan peti itu, apa pula gunanya kupertahankan
nyawamu?" In-tiong-yan Pokyang Thian hanya mendengus saja tanpa
menjawab. "Jadi engkau sudah bertekad akan melawan mati-matian,
begitu?" tanya It-hiong.
"Betul, silakan turun tangan saja," jawab Pokyang Thian.
Mendadak It-hiong menarik kembali pedangnya malah,
katanya terhadap Pang Bun-hiong, "Wah, tua bangka ini licin
benar, dia ternyata tahu aku tidak berani turun tangan
membunuhnya ...."
"Engkau kan juga tidak harus membunuhnya," ujar Bun-hiong
dengan tersenyum.
"Betul, jika dia tidak dapat digertak, sekarang hanya ada suatu
jalan," It-hiong mengangguk. "Kau tahu apa jalan keluarku
yang lain?"
"Tahu," jawab Bun-hiong.
"Coba katakan."
"Hendak kau potong urat besar pergelangan kakinya, lalu
membawa dia ke Cap-pek-pan-nia dan menyerahkannya
kepada gembong yang bercokol di sana, begitu bukan?"
"Hah, sungguh hebat, engkau serupa cacing pita di dalam
perutku," ujar It-hiong dengan tertawa.
Segera ia membalik tubuh Pokyang Thian dan membiarkan dia
bertiarap, lalu menyingsing kaki celananya dan hendak
memotong urat besar kakinya.
In-tiong-yan Pokyang Thian yakin orang tidak berani
membunuhnya, tapi ia pun tahu untuk memotong urat kakinya
pasti dapat dilakukannya, sebab itulah sikap kepala batunya
seketika berubah lunak, ia menghela napas dan berkata,
"Baiklah, aku menyerah, biarlah kukatakan terus terang."
It-hiong menaruh pedang di atas urat kaki orang, ucapnya
dengan tertawa, "Nah, katakan, di mana kau sembunyikan
peti itu?"
"Setelah kukatakan, cara bagaimana akan kau perlakukan
diriku?" tanya In-tiong-yan Pokyang Thian.
"Begitu menemukan peti itu segera kubebaskan dirimu,"
jawab It-hiong.
"Kau pasti pegang janji?" Pokyang Thian menegas.
"Ya, tidak nanti kujilat kembali," jawab It-hiong.
"Baik," tutur Pokyang Thian. "Peti itu kutanam di suatu
kuburan di luar kota, boleh kalian sewa sebuah kereta, akan
kubawa kalian ke sana."
Segera Bun-hiong mencari kereta lagi, tidak lama kemudian
mereka bertiga lantas berangkat keluar kota dengan
menumpang kereta.
Setelah keluar kota, kereta diarahkan ke suatu jalan kecil yang
berliku dan tidak rata.
"Masih berapa jauh lagi?" tanya It-hiong tidak sabar.
"Tidak jauh lagi, satu-dua li saja akan sampai," sahut Bunhiong
mewakilkan si kakek.
"Dari mana kau tahu?" tanya It-hiong.
"Pernah kudatangi tanah pekuburan itu dahulu," tutur Bunhiong.
"Seorang kawan meninggal, aku mengantar jenazahnya
sampai di tempat kuburan itu."
"Oo," pandangan It-hiong lantas beralih ke wajah Pokyang
Thian, tanyanya dengan tertawa, "Masih ingin kutanya sesuatu
padamu, apakah kau tahu Giok-nio itu adik perempuan siapa?"
"Tahu," jawab Pokyang Thian. "Dia adik perempuan Eng-jiauong
Oh Kiam-lam namanya Oh Lian-bing."
"Mengapa sampai dia terjerumus ke dalam dunia pelacuran?"
tanya It-hiong.
"Kakaknya mati, hidupnya telantar, terpaksa hidup di kalangan
hiburan begitu," ujar Pokyang Thian.
Tiba-tiba Bun-hiong menukas, "Kudengar Oh Kiam-lam masih
mempunyai beberapa orang saudara angkat, mengapa mereka
tidak membantu adik perempuannya?"
"Apakah 'Lok-lim-jit-coat' (tujuh gembong bandit) yang kau
maksudkan?" tanya Pokyang Thian.
"Ya begitulah kira-kira," kata Bun-hiong.
"Aku inilah satu di antara ketujuh orang itu," kata Pokyang
Thian. "Keenam gembong lainnya adalah Ang-liu-soh (si kakek
beruci-uci merah) Ban Sam-hian, Cian-in-jiu (si tangan kilat)
Loh Bok-kong, Kim-ci-pa (si macan tutul) Song Goan-po, Hiatpitsiucay (si sastrawan berpensil berdarah) Hui Giok-koan,
Tok-gan-bu-siang (si setan mata satu) Ong Sian dan Coh-jingbin
(si muka tembong) Sing It-hong."
"Dan Oh Kiam-lam adalah saudara angkat kalian yang tertua?"
Bun-hiong menegas.
"Betul, kami berdelapan pernah melakukan pekerjaan
bersama, kemudian terasa tidak cocok, lalu terpencar dan
bekerja sendiri," tutur Pokyang Thian.
"Mungkin terpencar karena bertengkar dalam hal membagi
rezeki yang tidak rata, begitu bukan?" tanya Bun-hiong
dengan tertawa.
"Boleh juga dikatakan begitu," ujar Pokyang Thian. "Oh Kiamlam
sok menganggap dirinya paling jempolan, kami bertujuh
dipandangnya sebagai anak buah belaka, dengan sendirinya
kami tidak rela diperbudak dan terpaksa berpisah."
"Pekerjaan besar yang dilakukannya dahulu kalian bertujuh
juga ikut serta bukan?" tanya Bun-hiong.
"Maksudmu ...."
"Yaitu waktu merampok satu juta tahil perak dana bantuan
kerajaan kepada daerah Kangsay yang tertimpa musibah
kebanjiran itu, peristiwa itu sungguh menggemparkan seluruh
dunia," ujar Bun-hiong.
"O, tidak, kami tidak ikut dalam perbuatan itu, tatkala mana
kami sudah memisahkan diri dengan dia," jawab Pokyang
Thian. "Apakah lantaran pribadi Oh Kiam-lam memang buruk, maka
kalian tidak mau memberi bantuan kepada Oh Lian-bing!"
tanya Bun-hiong.
"Betul, cuma kemudian baru kami ketahui dia terjerumus ke
dunia pecomberan," kata Pokyang Thian.
"Setelah berhasil merampok dana bantuan pemerintah itu
tidak lama kemudian Oh Kiam-lam diketemukan mati terbunuh
di luar kota Tiang-an, apakah kau tahu siapa pembunuhnya?"
tanya Bun-hiong pula.
"Tidak tahu," jawab Pokyang Thian. "Diam-diam kami juga
mengadakan pengusutan atas diri si pembunuh, tapi selama
ini belum berhasil."
"Setelah Oh Kiam-lam mati, lalu ke mana perginya harta satu
juta tahil perak itu?" tanya It-hiong.
"Dengan sendirinya dibawa lari si pembunuh itu," kata
Pokyang Thian. "Adakah hubungan peti itu dengan urusan perampokan besar
itu?" "Tidak, sama sekali tidak ada hubungan apa pun, kedua
urusan berdiri sendiri," tutur Pokyang Thian.
"Jika begitu apa isi peti itu?" tanya It-hiong lagi.
"Sebelum kujawab ingin kutanya dulu kepadamu," kata
Pokyang Thian. "Sesungguhnya peti itu akan kau kangkangi
sebagai milik sendiri atau akan mengantarnya ke Cap-pekpannia?" "Akan kuantar ke Cap-pek-pan-nia," jawab It-hiong.
"Jika begitu, sebaiknya jangan kau tanya tentang isi peti itu."
"Sebab apa?" It-hiong menegas.
"Sebab kalau kau tahu apa isi peti itu, nanti hatimu pasti juga
akan tertarik dan mungkin timbul hasratmu untuk
mencaploknya sebagai milik sendiri, dan hal ini tentu akan
sangat merugikan nama baikmu."
"Kupercaya kepada ucapanmu," kata It-hiong dengan
tersenyum. "Aku ini memang tidak cukup teguh dengan
pendirian sendiri, mudah terpikat dan terbujuk. Baiklah jika
tidak mau kau katakan."
"Selain itu, biarlah kukatakan terus terang padamu," sambung
Pokyang Thian lagi. "Saat ini orang yang bermaksud
merampas peti itu terlampau banyak. Lantaran mereka tahu
engkau sendiri tidak tahu apa isi peti itu, maka mereka tidak
ingin mencelakai jiwamu, bilamana isi peti sudah kau ketahui,
tentu mereka tidak sungkan-sungkan lagi padamu."
"Betul, cukup beralasan," ujar It-hiong dengan tertawa. "Cuma
ada satu hal rasanya dapat kau beri tahukan padaku, yaitu,
milik siapakah peti itu sesungguhnya?"
"Milik si tokoh misterius di Cap-pek-pan-nia yang menghendaki
peti itu," tutur Pokyang Thian.
"Memangnya siapa dia sebenarnya?" tanya It-hiong pula.
"Entah, aku pun tidak tahu," jawab Pokyang Thian. "Pada
mukanya selalu memakai topang setan, ilmu silatnya sudah
mencapai tingkatan yang sukar diukur, dia pernah
mengalahkan berbagai tokoh Bu-lim kelas tinggi, sekarang
kedudukannya adalah pemimpin besar kaum Lok-lim (rimba
hijau, arti kiasan kawanan bandit), anak buahnya berjumlah
sekian ribu orang, pengaruhnya besar di atas Oh Kiam-lam."
"Si Hin yang menyerahkan kotak hitam kepadaku itu juga anak
buah tokoh misterius itu?" tanya It-hiong.
Pokyang Thian membenarkan.
"Dari tempat lain Si Hin memperoleh kotak itu dan bermaksud
membawanya pulang ke Cap-pek-pan-nia, akhirnya dicegat
musuh dan terluka parah, begitu bukan kisahnya?" tanya Ithiong.
"Betul," jawab Pokyang Thian.
It-hiong angkat pundak, katanya terhadap Pang Bun-hiong,
"Sungguh konyol, memangnya dengan alasan apa harus
kuantar kotak hitam itu ke Cap-pek-pan-nia?"
Bun-hiong tidak menjawab, pandangannya tertuju ke arah
belakang, seperti sedang mengintai sesuatu.
"Apa yang kau pandang?" tanya It-hiong rada tercengang.
"Ingin kulihat adakah orang menguntit kita," jawab Bun-hiong.
Tergetar hati It-hiong, "Memangnya ada tanda kita dikuntit
orang?" Bun-hiong menggeleng, katanya, "Entah, belum dapat
kupastikan ...."
Waktu It-hiong memandang ke belakang kereta, tertampak di
kejauhan sana gelap gulita, tiada terlihat sesuatu apa pun. Ia
coba tanya pula, "Sesungguhnya apa yang kau lihat?"
"Tadi aku seperti melihat berkelebatnya sesosok bayangan,
cuma mungkin juga bayangan seekor anjing liar," ujar Bunhiong.
It-hiong menoleh dan tanya Pokyang Thian, "Apakah ada
orang tahu engkau berhasil merampas kotak hitam itu?"
"Tapi kalau sekarang ada orang membuntuti kita, jelas yang
dituju adalah kalian," ujar Pokyang Thian.
"Oo, apa buktinya?" kata It-hiong.
Pokyang Thian menjengek, "Hm, aku tidak membual, di dunia
persilatan zaman ini orang yang memiliki Ginkang yang
melebihiku dapat dihitung dengan jari. Tempo hari sesudah
kudapatkan kotak itu, memang pernah juga ada orang
mencegat dan bermaksud merampasnya dariku, tapi
semuanya dapat kutinggalkan."
"Namun kotak itu sudah dibawa lari olehmu, untuk apa orang
membuntuti kami?" kata It-hiong.
"Kalian mengetahui aku lari ke Kim-leng sini, bisa jadi
pembicaraan kalian dapat didengar orang, maka mereka pun
menguntit ke sini."
"Tidak, kami tidak tahu engkau lari ke Kim-leng sini, bahwa
hari ini dapat kami membekuk dirimu adalah kejadian di luar
dugaan," tutur It-hiong.
"Di luar dugaan?" Pokyang Thian menegas.
"Ya, bahkan kami juga tidak tahu Giok-nio adalah Ni Beng-ay.
Kemarin kami cari hiburan ke Boan-wan-jun, di luar dugaan di
sana dapat kami temukan Giok-nio ternyata sama dengan Ni
Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beng-ay, dari dia dapat diketahui juga bahwa engkau hendak
menemui dia lagi, maka kami lantas memasang perangkap
untuk membekukmu."
"Oo, kiranya begitu," Pokyang Thian menyengir.
"Makanya jika sekarang ada orang membuntuti kita, maka
yang dikuntit pasti dirimu."
"Jika orang dapat menguntit diriku dari Ko-yu sampai di sini,
maka orang itu pasti tokoh yang luar biasa," kata Pokyang
Thian. Tengah bicara, tahu-tahu kereta sudah berhenti. Kiranya
sudah tiba di tempat tujuan, yaitu sebuah tanah pekuburan.
It-hiong memapahnya melompat keluar, waktu memandang
ke sana, tertampak di depan penuh kuburan, luas juga tanah
pemakaman ini, dari tanah datar terus memanjang hingga
sampai lereng bukit, sedikitnya ada ribuan makam, di sana-sini
terdapat beberapa batang pohon waru, dipandang dalam
kedelapan malam suasana terasa sunyi dan seram.
Bun-hiong membayar sewa kereta dan menyuruhnya pergi,
lalu bertanya kepada Pokyang Thian, "Di mana kau tanam
kotak itu?"
"Di lereng bukit sana," jawab Pokyang Thian.
Segera Bun-hiong mendahului melangkah ke lereng sana.
It-hiong memapah Pokyang Thian mengikut dari belakang,
sembari berjalan ia tidak lupa menoleh untuk mengawasi
belakang, ternyata tidak terlihat ada orang menguntit, tapi ia
tahu pasti ada orang membuntutinya, maka setiap langkahnya
dilakukannya dengan cermat dan penuh waspada.
Tidak lama kemudian mereka sudah sampai di kompleks tanah
makam di lereng bukit.
"Bagaimana, sudah sampai?" tanya Bun-hiong.
"Ya, sudah dekat," jawab Pokyang Thian. "Belok dulu ke
kanan, lalu maju lagi dua ratus langkah akan sampai di tempat
tujuan." Bun-hiong menurut dan membelok ke arah kanan, kira-kira
ratusan langkah lagi ia berhenti dan tanya pula, "Bagaimana,
sudah sampai?"
"Ya, sudah sampai," jawab Pokyang Thian.
It-hiong menurunkan kakek itu dan dibiarkan orang duduk
bersandar sebuah makam, lalu tanya, "Di mana tempatnya?"
Pokyang Thian memandang sebuah makam yang besar
Petualang Asmara 13 Pendekar Kembar Karya Gan K L Dendam Iblis Seribu Wajah 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama