Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L Bagian 6
ti juga ada hubungan erat dengan Oh Beng-ay,
kalau tidak tentu Tui-beng-poan-koan takkan menggunakan
Oh Beng-ay sebagai umpan untuk memancingnya keluar.
Lantas siapakah gerangan orang yang hendak dipancingnya
itu" Sebab apa pula Tui-beng-poan-koan hendak menangkapnya"
Pang Bun-hiong tidak sanggup memecahkan berbagai
pertanyaan ini, ia cuma tahu tindakan Tui-beng-poan-koan To
Po-sit ini pasti tidak keliru, sebab ia sangat kagum dan hormat
kepadanya, ia yakin To Po-sit, adalah orang yang berdiri di sisi
"kebenaran", apa yang diaturnya itu adalah semacam
gempuran terhadap yang "jahat", jika dirinya dapat ikut serta
dalam usaha membongkar perkara ini rasanya sangat besar
artinya. Karena pikiran ini, ia merasa sangat gembira. Ia larikan
kudanya dengan santai, menjelang magrib barulah ia sampai
di kota Yugoan, ia berputar sekeliling di dalam kota dan tidak
ditemukan seorang persilatan pun, akhirnya ia mencari sebuah
hotel untuk bermalam.
Esok paginya ia melanjutkan lagi perjalanan ke selatan.
Lewat tengah hari ia sampai di suatu tanah ladang yang luas,
sejauh mata memandang tidak tampak sesuatu apa pun, dia
berkepandaian tinggi dan bernyali besar, keadaan begitu tidak
menjadi soal baginya, malahan sembari berjalan ia sambil
berdendang. Kira-kira beberapa puluh li lagi, sampailah ia di suatu hutan
lebat yang kelihatan seram, hutan yang terletak di kaki
gunung. Sedang mengayun langkah dengan santai, mendadak dari
dalam hutan lebat itu ada suara suitan, menyusul lantas
melompat keluar dua orang lelaki kekar.
Wajah kedua lelaki kekar ini tampak bengis menakutkan, dada
terbuka dan perut rada buncit, keduanya sama membawa
golok mengilat, sekali pandang saja segera orang tahu mereka
pasti kawanan begal.
Begitu melompat ke tengah jalan, segera mereka bersikap
garang untuk menakut-nakuti, bentaknya, "Berhenti! Ingin
hidup atau minta mati" Jika ingin hidup lekas serahkan harta
bendamu." Bun-hiong menahan kudanya, jawabnya dengan tertawa, "Eh,
kedua Hohan (orang gagah) jangan marah, biarlah kuberikan
semua harta yang kubawa."
Sembari bicara ia lantas menanggalkan ransel yang dibawanya
terus dilemparkan kepada mereka.
Padahal isi ransel itu cuma beberapa potong baju saja dan
tidak ada harta benda segala, bobotnya tidak lebih dari
sepuluh kati. Akan tetapi Bun-hiong melemparkannya dengan mengerahkan
tenaga dalam, keruan hal ini membuat salah seorang lelaki itu
kewalahan, begitu dia menangkap ransel itu dengan kedua
tangannya, kontan ia merasakan seperti menangkap benda
berbobot ribuan kati, seketika sebelah lengannya keseleo,
malahan ransel itu terus menumbuk dadanya dengan keras,
"brak", tulang iga patah dua-tiga serupa digenjot oleh benda
beribu kati beratnya.
Belum lagi orang itu tempat menjerit tahu-tahu sudah roboh
terjungkal dan tak bernyawa lagi.
Keruan kawannya terperanjat dan juga ketakutan setengah
mati seperti melihat setan, ia menjerit terus membalik tubuh
dan kabur terbirit-birit.
Dengan sendirinya Bun-hiong tidak tinggal diam, ia
membentak, "Jangan lari!"
Sebelah tangan terayun, setitik cahaya perak segera
menyambar ke punggung lelaki kekar yang sedang merat itu.
Yang disambitkan Bun-hiong sekali ini adalah sepotong uang
perak, namun benda kecil ini sudah tidak sanggup lagi
diterima oleh lelaki kekar itu, ingin menghindar saja tidak bisa,
ia pun menjerit dan roboh terguling.
Cuma ia tidak mati, lukanya juga tidak parah, namun sakitnya
membuatnya meringis dan mengerang.
Bun-hiong terus melompat maju, kepala orang itu diinjaknya,
ditanyainya dengan tertawa, "Nah, apakah sekarang kau minta
harta benda lagi dariku?"
"O, tidak, tidak lagi," seru lelaki kekar itu. "Ampun Tuan!"
"Kalian ini kaum begal atau anak buah kawanan bandit di atas
gunung ini?" tanya Bun-hiong.
"Kami hanya anak buah yang melaksanakan tugas saja," kata
orang itu. "Kami ditugaskan memungut biaya jalan di sini,
mohon ampun!"
"Tempat apakah ini?" tanya Bun-hiong.
"Hoay-giok-san," jawab orang itu.
"Apakah sarang kalian berada di atas gunung ini?" tanya Bunhiong
pula. "Betul," jawab orang itu gemetar.
"Siapa pemimpin kalian?"
"Jik-hoat-kui (si setan berambut pirang) Pit Tiang-siu," tutur
orang itu. "Seluruhnya ada berapa orang yang bersarang di atas
gunung?" "Cuma seratus lebih."
Bun-hiong menarik kakinya yang menginjak kepala orang itu,
katanya, "Bangun!"
Lelaki itu hanya merangkak dan tidak berani bangun, ia
memohon dengan ketakutan, "Mohon ampun, Toaya, mata
hamba lamur sehingga tidak kenal kegagahan Toaya, lain kali
pasti tidak berani lagi."
"Tidak kubunuhmu, boleh lekas bangun!" kata Bun-hiong.
Tentu saja orang itu kegirangan, cepat ia menyembah dan
mengucapkan terima kasih atas pengampunan Bun-hiong, lalu
merangkak bangun.
Bun-hiong menunjuk mayat orang pertama tadi, katanya,
"Lemparkan dia ke dalam hutan sana."
Dengan sendirinya orang itu tidak berani membangkang,
cepat ia mengangkat jenazah kawannya dan diusung ke dalam
hutan. Sambil menuntun kudanya Bun-hiong ikut masuk ke dalam
hutan. Melihat orang mengikutinya, lelaki itu sangat takut, baru
beberapa langkah ia lantas berhenti dan bertanya, "Dilempar
... dilempar ke mana?"
"Terserah, di mana pun boleh," ucap Bun-hiong. "Asalkan
agak jauh dari jalan umum, supaya baunya tidak terendus
orang lalu."
Orang itu berjalan pula beberapa langkah, lalu menaruh mayat
kawannya di bawah pohon, katanya dengan tergegap, "Biarlah
kutaruh, di ... di sini saja, be ... besok akan kudatang lagi
dengan ... dengan membawa cangkul untuk ... untuk menggali
liang kubur baginya."
"Baiklah," kata Bun-hiong. "Eh, siapa namamu, hah?"
"Hamba bernama Kiau Si," jawab orang itu dengan hormat.
Bun-hiong menyodorkan tali kendali kudanya dan berkata,
"Bawakan kudaku!"
Orang itu merasa bingung dan sangsi, dengan gelagapan ia
tanya, "Maksud ... maksud Toaya hendak ...."
"Bertamu ke sarang kalian di atas gunung," tukas Bun-hiong
dengan tertawa.
Lelaki itu terperanjat, "Hahh, masa Toaya bermaksud
mengubrak-abrik Thian-eng-ceh (sarang elang langit) kami?"
"Tidak pasti," ujar Bun-hiong dengan tersenyum. "Asalkan
Cecu kalian cukup ramah tamah kepadaku, dengan sendirinya
takkan kuganggu. Nah, ayolah berangkat!"
Orang itu tidak berani membantah, terpaksa ia terima tali
kendali kuda dan menuntunnya menuju ke atas gunung.
Bun-hiong ikut dari belakang sambil memandang kian kemari,
pemandangan pegunungan ini ternyata cukup indah.
"Apakah jauh?" tanyanya kemudian. "Makan waktu berapa
lama?" "Ah, tidak jauh, tidak sampai setengah jam akan tiba di atas,"
jawab orang itu.
"Kecuali Jik-hoat-kui Pit Tiang-siu, apakah masih ada tokoh
lain yang menonjol di sarang kalian?" tanya Bun-hiong.
"Masih ada lagi istri Cecu kami, namanya Hoa Sam-nio
berjuluk Oh-bi-kui (mawar hitam) dan Jicecu (wakil pemimpin)
Tok-pi-kau (kera tangan satu) Kiong Tay-goan."
"Apakah kalian sering melakukan pembegalan?" tanya Bunhiong
pula. "O, tidak," cepat orang itu menjawab, "hanya pada waktu
kekurangan perbekalan saja barulah kami turun dari gunung
untuk minta bantuan kepada penduduk di sekitar sini, pula
kami selama ini tidak pernah membunuh orang."
"Hm, omong kosong," jengek Bun-hiong dengan tertawa.
"Betul, hamba tidak bohong," orang itu berusaha meyakinkan
Bun-hiong. "Jika kaum bandit umumnya suka bertindak kejam,
Thian-eng-ceh kami justru tergolong penyamun yang
memerhatikan perikemanusiaan. Kami tidak main bunuh, tidak
suka membakar rumah, sebaliknya kami malah sering
menolong orang miskin."
"Haha, kaum bandit suka menolong orang miskin" Wah,
sungguh berita besar," ucap Bun-hiong dengan tertawa ejek.
"Tapi ... tapi memang begitulah," orang itu bertutur lagi,
"seperti hamba, bulan yang lalu pernah kubantu seorang
nenek sengsara dengan 20 tahil perak dan ...."
"Ah, sudahlah, kalau sudah kukatakan takkan kubunuhmu
tentu kutepati janjiku, tidak perlu mengoceh macam-macam
urusan untuk minta belas kasihanku," kata Bun-hiong.
Orang itu serupa kena ditampar mukanya, ia tidak berani
nyanyap lagi. Dengan menuntun kuda ia terus mendaki ke atas gunung,
tidak lama kemudian sampailah di kaki sebuah puncak, ia
tuding ke atas puncak dan berkata, "Itu, di sana letak Thianengceh kami."
"Oo, terus saja ke atas," kata Bun-hiong.
Orang itu mengiakan, lalu mendahului menuju ke atas puncak
melalui sebuah jalan tanjakan.
Jalan ini lebarnya cuma empat-lima kaki, satu meter lebih,
melingkar dan berbelok menjulur ke atas puncak. Pepohonan
yang berbaris di kedua tepi jalan serupa pagar sehingga
menambah keindahan pemandangan.
Belum seberapa jauh, mendadak lelaki itu menoleh dan
bertanya, "Mohon tanya, siapakah nama Toaya yang mulai?"
"Untuk apa kau tanya namaku?" jawab Bun-hiong kurang
senang. "Maklumlah, bilamana naik lagi ke atas harus melalui belasan
pos penjagaan," tutu orang itu, "Kalau kita tidak
memberitahukan nama, sebelum tiba di tempat penjagaan
akan segera dihujani anak panah."
"Aku tidak takut dipanah," ujar Bun-hiong dengan tertawa.
"Tentu saja Toaya tidak takut, tapi hamba bisa mati konyol,"
ujar orang itu sambil menyengir. "Bilamana mereka melihat
hamba membawa kemari orang yang tidak dikenal, tentu
hamba akan dipanah mati sekaligus."
"Baiklah," kota Bun-hiong dengan tertawa. "Bila ditanya
mereka nanti, katakan saja Hou-hiap Pang Bun-hiong datang
bertamu ke sini."
Orang itu tampak terperanjat, serunya, "Hah, jadi Anda ini
Hou-hiap yang termasyhur di dunia persilatan itu?"
Bun-hiong manggut-manggut.
Orang itu menarik napas dingin, katanya, "Pantas Anda
sedemikian lihai, kiranya engkau adalah Hou-hiap Pang Bunhiong
yang termasyhur."
Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong dari balik hutan
sana ada orang berteriak menegur, "Hai, Kiau Si, siapa itu
yang datang bersamamu?"
Hanya terdengar suaranya dan tidak kelihatan orang yang
bicara, nyata penegur itu bersembunyi di suatu tempat yang
tertutup rapat.
Cepat Kiau Si berhenti melangkah dan menjawab, "O, yang
kubawa ini ialah Hou-hiap Pang Bun-hiong, beliau ingin
bertemu dengan Cecu kita."
Pengintai yang tidak kelihatan itu bertanya pula, "Apa maksud
kedatangannya?"
"Tidak ... tidak bermaksud jahat," jawab Kiau Si.
"Baiklah, boleh naik ke atas," seru pengintai tersembunyi itu.
Setelah mendapat izin barulah Kiau Si berani beranjak lagi ke
atas. Selanjutnya masih melalui lagi lima pos penjaga yang tidak
kelihatan, sesudah ditegur lagi baru boleh melanjutkan
perjalanan, setelah melintasi pinggang puncak gunung lantas
tidak ada pos jaga lagi.
"Tadi kau bilang sepanjang jalan ada belasan pos penjagaan,
kenapa hanya enam pos saja yang menegurmu?" tanya Bunhiong.
"Ya, ini menandakan Cecu kami sudah menerima laporan,
maka telah memberi perintah agar engkau diizinkan naik ke
atas, sebab itulah pos jaga lain tidak perlu memeriksa dan
bertanya lagi."
"O, kiranya begitu."
Dan setelah melingkar lagi beberapa kali, sampailah mereka di
puncak gunung. Puncak gunung ini sangat luas, sepanjang mata memandang
terlihat di luar sarang bandit itu dilingkari pagar kayu yang
tinggi, setiap kayu pagar itu panjang dan besar dan ujung atas
pagar kayu itu dibuat runcing.
Bangunan pintu gerbangnya juga kelihatan kukuh dan megah,
bentuknya serupa loteng benteng. Kedua sayap pintunya
terbuat dari besi dan di atas pintu bergantung sebuah pigura
besar dengan tulisan "Thian-eng-ceh".
Karena pagar kayu itu sangat tinggi sehingga tidak kelihatan
keadaan di balik sarang bandit itu.
Meski keadaan sarang bandit itu tidak terlihat, namun
beberapa gembongnya menurut perkiraan Bun-hiong sudah
muncul. Mereka terdiri dari dua lelaki dan seorang perempuan,
ketiganya berdiri berjajar di atas panggung gerbang.
Lelaki yang berdiri di tengah itu berusia mendekati 50-an,
rambutnya berwarna merah kekuning-kuningan, mukanya
jelek dan bengis serupa setan, jelas dia inilah kepala
banditnya yang bernama Pit Tiang-siu dan berjuluk Jik-hoatkui
alias setan berambut pirang.
Perempuan yang berdiri di sebelah kanannya berusia 30 tahun
lebih, warna kulitnya kehitam-hitaman, kelihatan cantik manis,
Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
agaknya dia inilah istri Pit Tiang-siu yang bernama Hoa Samnio
dan berjuluk Oh-bi-kui atau si mawar hitam.
Dan yang berdiri di sisi kiri adalah seorang lelaki berumur 40an, mukanya kurus tirus, kedua matanya kecil, lengan baju kiri
tampak kosong dan berkibar tertiup angin, jelas lengan kirinya
buntung, tidak perlu dijelaskan lagi dia ini pasti wakil Pit
Tiang-siu yang bernama Kiong Tay-goan dan berjuluk Tok-pikau
alias si kera berlengan satu.
Mereka bertiga berdiri berjajar di atas panggung pintu
gerbang, serupa panglima perang yang siap menghadapi
pertempuran. Kiau Si terus mendekati panggung gerbang, lalu bertekuk lutut
dan menyembah, serunya, "Lapor Cecu, inilah Hou-hiap Pang
Bun-hiong, dia ... dia ...."
Sama sekali Jik-hoat-kui Pit Tiang-siu tidak menghiraukan Kiau
Si, kedua matanya yang besar itu menatap Pang Bun-hiong
dengan mencorong, tercetus suaranya yang aneh serupa
serigala menyalak, "Apakah benar Anda ini Hou-hiap Pang
Bun-hiong?"
Suaranya melengking tajam dan menusuk telinga, sedikit pun
tidak berbau suara manusia.
Bun-hiong mengepal kedua tangan sebagai tanda hormat,
jawabnya dengan tersenyum, "Aku ini memang Pang Bunhiong
adanya!" Dengan sikap pongah Jik-hoat-kui Pit Tiang-siu bertanya,
"Lantas ada keperluan apa kau cari diriku?"
"Ah, tiada lain, ingin kuminta maaf kepada Pit-cecu," jawab
Bun-hiong dengan tersenyum.
"Minta maaf?" Pit Tiang-siu terkekeh. "Hehe, memangnya apa
artinya?" "Begini," tutur Bun-hiong. "Tadi waktu kulalu di kaki gunung,
mendadak dua anak buah kalian muncul hendak membegalku,
karena tidak kuketahui mereka adalah anak buah Pit-cecu,
seranganku agak keras sedikit sehingga salah seorang di
antaranya telanjur kupukul mati. Hatiku merasa tidak
tenteram, maka kudatang minta maaf ke sini."
Jik-hoat-kui Pit Tiang-siu tertawa lebar sehingga kelihatan
kedua baris giginya yang serupa taring, suara tertawanya juga
melengking seram, katanya, "Hehe, kukira engkau tidak perlu
sungkan, ada keperluan apa hendaknya bicara terus terang
saja." "Sama sekali tidak ada maksudku hendak bermusuhan dengan
Pit-cecu," kata Bun-hiong pula. "Apabila Pit-cecu dapat
menerima permintaan maafku, maka bolehlah kita bersahabat,
hanya begitu saja dan tidak ada lain."
Tentu saja Jik-hoat-kui tidak percaya, ia tertawa dingin,
"Hehe, baiklah, kuterima permintaan maafmu, sekarang
bolehlah kau turun ke bawah gunung."
"Eh, masa Pit-cecu memandang rendah diriku sedemikian
rupa?" tanya Bun-hiong dengan tertawa.
Tersembul nafsu membunuh pada wajah Jik-hoat-kui,
jengeknya, "Hm, memangnya apa kehendakmu?"
"Bilamana Pit-cecu benar menganggap aku ini seorang
sahabat, seharusnya kan menyilakan aku mampir dan duduk
sebentar di tempatmu ini," ujar Bun-hiong.
"Hahaha!" mendadak Jik-hoat-kui terbahak. "Bicara kian
kemari sekian lamanya, kiranya kedatanganmu memang
bukan untuk minta maaf segala."
"Ai, rupanya Pit-cecu telah salah paham," kata Bun-hiong.
"Kan sudah kukatakan, sama sekali tiada maksudku hendak
bermusuhan dengan kalian, asal saja kalian tidak
memandangku sebagai musuh, maka kujamin pasti takkan
mengganggu sebatang rumput pun di tempat kalian ini."
"Jika begitu, untuk apa kau minta masuk ke tempatku?" tanya
Jik-hoat-kui. "Ada dua maksud tujuanku," jawab Bun-hiong. "Pertama,
seperti sudah kukatakan, ingin kuminta maaf kepada Pit-cecu.
Kedua, ingin kuganggu beberapa cawan arak kepada Pit-cecu.
Bicara terus terang, sudah seharian aku menempuh perjalanan
dan sama sekali belum makan apa pun, saat ini perutku lagi
kelaparan."
"Dan tidak ada maksud lain?" Jik-hoat-kui menegas sambil
menatap tajam. "Ya, sama sekali tidak ada," jawab Bun-hiong.
"Kalau dusta!" Jik-hoat-kui menegas.
"Jika begitu, anggaplah diriku ini manusia rendah yang tidak
dapat dipercaya," ucap Bun-hiong.
Jik-hoat-kui kelihatan masih ragu, ia berpaling dan tanya sang
istri, si mawar hitam Hoa Sam-nio, "Bagaimana istriku, biarkan
dia masuk atau tidak?"
Oh-bi-kui Hoa Sam-nio tertawa mengikik, jawabnya, "Hihi,
sudah tentu, kan semua orang di empat penjuru lautan ini
adalah saudara, jika Pang-siauhiap sudah menyatakan tidak
ada permusuhan dengan kita, sepantasnya kita memenuhi
kewajiban sebagai tuan rumah."
Suaranya nyaring merdu dan enak didengar, penuh daya
pikat. Agaknya Jik-hoat-kui Pit Tiang-siu selalu menuruti setiap
perkataan sang istri, segera ia berseru, "Hai, anak-anak, lekas
buka pintu dan menyambut tamu!"
Habis berkata mereka terus turun dari panggung.
Dengan gembira Bun-hiong lantas melangkah ke dalam tanpa
gentar sedikit pun.
Jik-hoat-kui menyongsongnya dan mengucapkan "mari", lalu
membalik tubuh dan mendahului menuju ke markasnya.
Kompleks perumahan sarang bandit ini seluruhnya meliputi
50-60 buah rumah, di bagian tengah ada tanah lapang yang
luas, lebih ke depan lagi adalah sebuah bangunan besar
serupa istana. Sesudah Bun-hiong ikut mereka melintasi lapangan luas itu
barulah terlihat jelas gedung besar itu adalah ruang pendopo
markas besar sarang bandit ini.
Jik-hoat-kui bertiga menyilakan Bun-hiong masuk ke ruang
pendopo, lalu saling memberi hormat dan ambil tempat
duduk, segera seorang anak buah menyuguhkan air teh.
Bun-hiong bersikap gagah berani, tanpa gentar kalau-kalau di
dalam teh diberi racun, sekali minum ia habiskan isi cangkir.
Oh-bi-kui Hoa Sam-nio tertawa mengikik, katanya, "Hihi,
tabah benar Pang-siauhiap ini, engkau tidak takut di dalam teh
ditaruhi racun?"
"Hahaha, takut apa?" seru Bun-hiong dengan terbahak.
"Kutahu kalian bukanlah orang rendah yang suka meracun
orang, kenapa kutakut"
"Bagus, melulu berdasarkan ucapan Pang-siauhiap ini saja
sudah pantas kami anggap dirimu sebagai sahabat," kata Ohbikui dengan tertawa. Lalu ia berpaling kepada Jik-hoat-kui
dan berkata pula, "Eh, suamiku, lekas beri perintah, suruh
menyiapkan satu meja perjamuan, kita harus memberi
selamat datang kepada Pang-siauhiap."
Jik-hoat-kui Pit Tiang-siu mengiakan, segera ia berteriak,
"Mana orangnya"!"
Serentak seorang anak buahnya berlari masuk dan memberi
hormat, "Hamba siap!"
"Nah, lekas sediakan satu meja perjamuan yang paling
lengkap," seru Jik-hoat-kui alias si setan rambut merah.
Anak buahnya mengiakan dan cepat mengundurkan diri.
"Ai, Pit-cecu terlampau menghormati diriku," kata Bun-hiong
dengan tertawa. "Sebenarnya aku cuma ingin mengisi perut
sekadarnya saja, makan seadanya sudah cukup."
"Mana boleh," kata Jik-hoat-kui. "Pang-siauhiap adalah tokoh
dunia persilatan yang termasyhur, hari ini engkau sudi
berkunjung ke tempat kami, inilah suatu kehormatan besar
bagi Thian-eng-ceh kami, mana boleh kami sambut secara
sembarangan?"
Pang Bun-hiong tertawa, lalu ia berpaling dan memberi
hormat kepada Kiong Tay-goan, katanya, "Dan yang ini
tentunya Jicecu Kiong-tayhiap adanya?"
Tok-pi-kau Kiong Tay-goan, si kera berlengan satu, membalas
hormat, ucapnya dengan suaranya yang aneh, "Terima kasih,
selanjutnya masih berharap Pang-siauhiap suka sering
memberi petunjuk."
Selagi bicara, kedua matanya terus berkedip-kedip, lagaknya
serupa benar seekor kera.
Bun-hiong lantas memberi hormat pula kepada Jik-hoat-kui
dan berkata, "Secara sembrono tadi kusalah pukul mati
seorang saudara kira, untuk itu kuharap Pit-cecu suka
memaafkan."
"Ah, tidak menjadi soal," jawab Jik-hoat-kui. "Mereka sendiri
yang buta melek, Pang-siauhiap yang termasyhur juga tidak
dikenalnya, pantas juga dia mampus di tangan Pang-siauhiap."
Ia berhenti sejenak, lalu bertanya, "Eh, hari ini Pang-siauhiap
lalu di pegunungan kami ini, entah Pang-siauhiap hendak
menuju ke mana?"
"O, karena iseng, maka ingin kupesiar ke daerah selatan,
tempat tujuan tertentu sih tidak ada," jawab Bun-hiong.
"Wah, suasana dunia persilatan di daerah selatan beberapa
tahun terakhir ini agak kurang tenang," ujar Jik-hoat-kui.
"O, kenapa bisa begitu?" tanya Bun-hiong.
"Soalnya sejak Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam dibunuh orang di
luar kota Tiang-an, beberapa saudara angkatnya lantas saling
bertengkar sendiri sebab masing-masing tidak mau tunduk di
bawah perintah yang lain, akhirnya terpecah belah dan setiap
orang menduduki suatu pangkalan sendiri-sendiri, lebih dari
itu malahan mereka tetap cekcok saja mengenai daerah
kekuasaannya, bahkan sering terjadi pertengkaran dengan
kekerasan."
"Oo, masa sampai terjadi sejauh itu?" ujar Bun-hiong.
"Memang betul," bata Jik-hoat-kui. "Jarak tempat kami ini
terlebih jauh daripada pangkalan mereka, maka selama ini
tidak sampai terlibat dalam persengketaan mereka. Namun
belum lama ini Ang-liu-soh Ban Sam-hian telah mengutus
orangnya ke sini dan minta kami menggabungkan diri dan
tunduk di bawah perintahnya."
"Lantas bagaimana, Pit-cecu menerima permintaannya?" tanya
Bun-hiong. "Ai, apa boleh buat, umpama menolak juga tidak bisa," kata
Jik-hoat-kui dengan menghela napas. "Kekuatan kami
seluruhnya cuma seratus jiwa letih, betapa pun bukan
tandingan mereka, bila kami tolak, mungkin segera akan
tertimpa malapetaka."
"Tadinya tempat kalian ini berada di bawah perintah siapa!"
tanya Bun-hiong pula.
"Sebelum Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam terbunuh, setiap tahun
kami selalu memberi upeti lima ribu tahil perak kepadanya
sehingga praktiknya kami berada di bawah perlindungannya,"
tutur Jik-hoat-kui. "Sesudah dia mati, kami mengira sudah
bebas, siapa tahu Ang-liu-soh Ban Sam-hian toh tidak mau
melepaskan diri kami."
"Kabarnya pada waktu hidupnya Oh Kiam-lam membawahi 72
sarang berandal daerah selatan, sekarang ke-72 sarang
berandal itu telah dibagi-bagi, di bawah pengaruh Ang-liu-soh
Ban Sam-hian bertujuh."
"Betul, memang begitu. Konon kekuatan Ban Sam-hian
terhitung paling besar, seorang diri menguasai 17 sarang, jika
ditambah lagi Thian-eng-ceh kami akan jadilah 18 pangkalan."
"Dan bagaimana dengan saudara-saudara angkatnya yang
lain?" tanya Bun-hiong.
"Cian-in-jiu Loh Bok-kong menguasai 13 sarang, In-tiong-yan
Pokyang Thian memerintah sepuluh sarang, Kim-ci-pa Song
Goan-po juga sepuluh, Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan cuma
menguasai sembilan tempat, sedangkan Tok-gan-bu-siang
Ong Siang menduduki tujuh tempat dan si tembong Seng Ithong
cuma mendapatkan lima."
"In-tiong-yan Pokyang Thian sudah terbunuh oleh Hiat-pitsiucay
Hui Giok-koan, selanjutnya kesepuluh pangkalan yang
dikuasainya mungkin akan jatuh ke tangan Hui Giok-koan."
Jik-hoat-kui terkejut, "Hah, kau bilang Pokyang Thian telah
dibunuh oleh Hui Giok-koan?"
"Betul," Bun-hiong mengangguk.
"Aneh," ucap Jik-hoat-kui dengan heran, "mengapa tidak
kudengar berita ini?"
"Hal ini baru terjadi belum lama berselang, kusaksikan sendiri
dengan Liong-hiap Liong It-hiong," tutur Bun-hiong.
"Sesungguhnya apa yang terjadi" Mengapa saling bunuh di
antara mereka?" tanya Jik-hoat-kui.
"Lantaran berebut sebuah kotak hitam," tutur Bun-hiong.
"Apakah Pit-cecu tidak pernah dengar peristiwa mengenai
kotak hitam itu?"
"Tidak pernah, kotak hitam macam apa?" tanya Jik-hoat-kui.
Selagi Bun-hiong hendak menjelaskan, tiba-tiba datang dua
anak buah memberitahukan bahwa meja perjamuan sudah
siap. Segera Jik-hoat-kui berdiri dan berkata, "Mari kita makanminum
sambil melanjutkan pembicaraan."
Maka mereka berempat lantas meninggalkan ruang pendopo
dan menuju ke ruang makan yang terpajang dengan indah,
terlihat satu meja penuh hidangan sudah siap, di samping
berdiri dua pelayan perempuan sehingga suasana serupa di
rumah orang hartawan.
Kini Jik-hoat-kui sudah tidak punya rasa permusuhan lagi
terhadap Pang Bun-hiong, dengan ramah ia menyilakan Bunhiong
duduk di tempat paling terhormat. Di bawah layanan
kedua gadis pelayan mereka berempat lantas makan minum
sambil mengobrol.
Setelah minum dua tiga cawan arak, Oh-bi-kui Hoa Sam-nio
membuka pembicaraan, "Pang-siauhiap, tadi kau bilang
mereka saling berebut kotak hitam, sesungguhnya barang
macam apakah kotak hitam itu?"
"Yaitu sebuah peti hitam yang terbuat dengan sangat bagus,
apa isi peti itu tidak kuketahui," tutur Bun-hiong.
"Persoalannya dimulai diri seorang yang bernama Si Hin ...."
Begitulah lantas diuraikannya secara ringkas sejak Liong Ithiong
mendapat pesan dari Si Hin yang sekarat itu, cuma
urusan yang menyangkut Oh Beng-ay tidak diceritakannya,
sebab tujuannya menyebarkan isu, dengan sendirinya kejadian
yang sebenarnya tidak diucapkannya.
Jik-hoat-kui terheran-heran setelah mendengar kisah itu,
katanya, "Wah, jika begitu, isi peti hitam itu pasti benda
mestika yang sangat berharga, kalau tidak masakah sampai
menimbulkan incaran orang sebanyak itu?"
Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, memang begitulah," kata Bun-hiong.
"Belum lama berselang memang kudengar juga bahwa akhirakhir
ini di daerah utara muncul seorang tokoh misterius,
katanya hanya dalam waktu beberapa bulan saja tokoh
misterius ini sudah menguasai dunia Lok-lim (rimba hijau,
istilah lain bagi kaum bandit) dan jadilah dia pemimpin besar
36 sarang bandit di lima provinsi daerah utara. Cuma belum
diketahui siapa tokoh misterius itu, masa bisa begitu lihai?"
"Betul, sekarang dia bercokol di Cap-pek-pan-nia," tukas Bunhiong.
"Tampaknya dalam waktu tidak lama lagi semua orang
akan tahu siapa gerangannya. Seorang gembong dunia Loklim
yang begitu hebat tidak ada alasan menyembunyikan she
dan namanya."
"Ya, betul," Jik-hoat-kui mengangguk.
"Apakah kotak hitam itu milik tokoh misterius itu?" tanya si
mawar hitam Hoa Sam-nio.
"Kukira bukan, jika miliknya, mustahil sampai jatuh di dunia
Kangouw?" ujar Bun-hiong. "Maka menurut pendapatku, kotak
itu hanya barang yang dikehendakinya, atau dengan lain
perkataan, kotak itu dirampas oleh Si Hin dari tangan
seseorang dan hendak diantar ke Cap-pek-pan-nia, namun di
tengah jalan ia kepergok dan kotak itu hendak dirampas
orang, dia tidak mampu melawannya dan terluka parah,
terpaksa ia serahkan peti itu kepada Liong It-hiong dan minta
dia mengantar peti itu ke Cap-pek-pan-nia."
"Dan sekarang apakah Liong-hiap benar-benar hendak
mengantarkan peti itu ke Cap-pek-pan-nia?" tanya Jik-hoatkui.
"Betul," jawab Bun-hiong. "Cuma sekarang kotak hitam itu
telah jatuh ke tangan Hiat-pit-siucay sehingga dia gagal
memenuhi permintaan Si Hin."
"Ah, kupaham sekarang," ucap Jik-hoat-kui tiba-tiba dengan
tertawa. "O, Pit-cecu paham apa?" tanya Bun-hiong dengan melengak.
"Kedatangan Pang-siauhiap ini bermaksud membantu Lionghiap
menemukan kembali kotak hitam itu, begitu bukan?"
tanya Jik-hoat-kui dengan tertawa.
Bun-hiong pikir umpama menyangkal juga takkan dipercaya,
maka ia mengangguk dan berkata, "Betul, apabila Pit-cecu
tahu di mana beradanya Hiat-pit-siucay, mohon suka
memberitahukan padaku."
"Konon sembilan pangkalan di daerah Anhui dan Ohlam kini
telah dikuasai oleh Hui Giok-koan, jika Pang-siauhiap hendak
mencarinya boleh ke tempat-tempat itu, tentu akan
menemukan dia."
"Dia bercokol di pegunungan mana?" tanya Bun-hiong.
"Aku pun tidak terlalu jelas, sangat mungkin dia berdiam di
Hek-liong-ceh, sebab di antara kesembilan pangkalan yang
didudukinya, Hek-liong-ceh terhitung yang terbesar."
Bun-hiong mengangguk, "Bagus, jika begitu segera kupergi ke
Hek-liong-ceh, banyak terima kasih atas petunjuk Pit-cecu."
"Ah, soal kecil," ujar Jik-hoat-kui, "Cuma kuharap jangan
Pang-siauhiap bilang akulah yang memberi info ini, sebab aku
tidak berani berurusan dengan dia."
"Tidak, Pit-cecu jangan khawatir," kata Bun-hiong tertawa.
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 10 Jik-hoat-kui menggeleng kepala dan menghela napas,
katanya, "Sungguh tidak nyana begitu Oh-bengcu mati,
beberapa saudara angkatnya lantas saling berebut kekuasaan
sehingga tercerai-berai begini, sungguh menyedihkan ...."
"Apakah Pit-cecu tahu Oh Kiam-lam mati di tangan siapa?"
tanya Bun-hiong.
"Tidak tahu," jawab Jik-hoat-kui. "Pernah juga kupikir mungkin
perbuatan Ang-liu-soh Ban Sam-hian bertujuh, tapi setelah
kurenungkan lagi rasanya tidak mungkin, sebab mereka
bertujuh selama ini cuma akur di luar dan retak di dalam, tidak
nanti mereka bergabung untuk membereskan Oh Kiam-lam.
Pula tidak mungkin dilakukan oleh satu-dua orang di antara
mereka, sebab Kungfu Oh Kiam-lam mahatinggi, kalau cuma
satu-dua orang saja tidak mungkin dapat membunuhnya."
"Mungkinkah perbuatan tokoh misterius dari Cap-pek-pan-nia
itu?" tanya Bun-hiong.
Jik-hoat-kui mengangguk, "Mungkin saja, cuma jika dia sudah
membunuh Oh Kiam-lam, kenapa dia tidak menggantikan
kedudukannya, tapi justru lari ke daerah utara untuk mencari
pengaruh di sana?"
"Ya, ini memang janggal," kata Bun-hiong. Ia angkat cawan
bersama mereka bertiga, habis minum ia menyambung pula,
"Apakah Pit-cecu tahu Oh Kiam-lam mempunyai seorang adik
perempuan, namanya Oh Beng-ay?"
"Tahu," jawab Jik-hoat-kui. "Beberapa tahun yang lalu ketika
kuantar upeti ke Kiu-liong-san pernah melihatnya sekali, waktu
itu dia masih anak dara kecil, entah bagaimana keadaannya
sekarang!"
"Pernahkah dia belajar ilmu silat!" tanya Bun-hiong.
"Wah, hal ini aku kurang jelas." jawab Jik-hoat-kui.
Bun-hiong menghela napas, "Dia sangat kasihan, konon
setelah kakaknya mati, Ban Sam-hian dan lain-lain tidak mau
menerimanya dan mengusirnya pergi, karena hidupnya
sengsara, terpaksa ia terjerumus ke dunia pelacuran."
"Masa begitu?" ucap Jik-hoat-kui dengan heran. "Wah, Ban
Sam-hias dan lain-lain juga keterlaluan, apa sulitnya memberi
makan kepada seorang nona, masa tega mengusirnya
segala?" "Memang begitulah kejadiannya, dari sini pun terbukti bahwa
Ban Sam-hian dan sekomplotannya itu adalah makhluk
berdarah dingin."
"Sekarang nona Oh itu menjadi pelacur di mana?" tanya Jikhoatkui. "Semula tinggal di Lau-jun-ih kota Kim-tan, kemudian pindah
ke Boan-wan-jun di Kim-leng, cuma beberapa-hari yang lalu
dia telah diculik oleh Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui."
"Hah, apa katamu?" seru Jik-hoat-kui kaget. "Kau bilang dia
diculik Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui?"
"Ya, kejadian itu kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri,
hari itu kebetulan kupesiar juga ke Boan-wan-jun ...."
Begitulah ia lantas menguraikan cerita yang sengaja
dikarangnya itu.
Jik-hoat-kui menghela napas gegetun, ucapnya, "Ai, jelas nona
Oh itu pasti akan celaka. Sayang, nona secantik itu harus
jatuh ke dalam cengkeraman iblis cabul itu, sungguh tragis."
"Konon antara Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui dan Oh Kiamlam
ada permusuhan yang sangat mendalam, apa betul?"
tanya Bun-hiong.
"Betul," jawab Jik-hoat-kui. "Belasan tahun yang lalu Kongsun
Siau-hui sebenarnya gembong dunia penjahat di daerah
selatan, kemudian Oh Kiam-lam semakin menonjol dan
keduanya bersaing, mereka telah bertarung sengit selama tiga
hari tiga malam, akhirnya Oh Kiam-lam dapat
mengalahkannya dan permusuhan mereka dengan sendirinya
tambah dalam."
Baru sekarang Bun-hiong tahu seluk-beluk permusuhan Oh
Kiam-lam dengan Kongsun Siau-hui, katanya, "Jika begitu,
Kongsun Siau-hui juga salah, kalau dia mau menuntut balas
seharusnya sasarannya ialah Oh Kiam-lam, mana boleh
melampiaskan dendamnya terhadap adik perempuan musuh
yang sudah mati itu."
"Memang betul juga," tukas Jik-hoat-kui. "Tindakan ini jelas
kurang kesatria."
"Sayang aku bukan tandingan Kongsun Siau-hui, kalau tidak
pasti akan kutolong nona Oh dari cengkeraman iblis itu," ujar
Bun-hiong. "Apakah Pang-siauhiap tahu tempat kediaman Kiu-bwe-hou?"
tanya Jik-hoat-kui.
"Tahu," tutur Bun-hiong, "pada waktu nona Oh diculik, diamdiam
pernah kubuntuti dia."
"Oo, di mana tempat tinggalnya?" tanya Jik-hoat-kui pula.
"Wah, maaf, untuk ini tidak dapat kuberi tahukan," jawab
Bun-hiong dengan menyesal.
"Memangnya kenapa" Jik-hoat-kui menegas dengan
melengak. "Sebab aku tidak ingin merecoki dia," kata Bun-hiong.
"Hanya menyebut tempat tinggalnya kan tidak berarti
merecoki dia?" ujar Jik-hoat-kui.
"Tidak, tidak berani kukatakan," kata Bun-hiong pula. "Sebab
setelah kuberi tahukan kepada Pit-cecu, bukan mustahil
engkau akan menyiarkan juga berita ini, tatkala mana tentu
ada orang yang akan coba-coba menyelidiki sarang Kiu-bwehou,
dan bilamana diusutnya lebih lanjut, akhirnya tentu akan
ketahuan akulah yang menyiarkan tempat kediamannya itu.
Maka lebih selamat tidak kukatakan saja."
Tiba-tiba Oh-bi-kui alias si mawar hitam tertawa mengikik,
"Hihi, mengapa Pang-siauhiap menjadi begini takut kepada
Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui?"
"Semua orang tahu dia memang tokoh yang disegani, dan
Cayhe sendiri tahu bukan tandingannya, dengan sendirinya
kujeri padanya," Bun-hiong dengan menyengir.
"Padahal menurut pendapatku, seharusnya Pang-siauhiap
harus membela keadilan dari berani menyelamatkan nona Oh
dari cengkeraman si rase ekor sembilan itu," ujar si mawar
hitam dengan tertawa.
Bun-hiong menggeleng, jawabnya, "Tidak, tidak mau, dia
bukan pacarku, juga bukan sanak kadangku, buat apa aku
mencari penyakit sendiri?"
Mendadak Tok-pi-kau Kiong Tay-goan, si kera berlengan satu
berseru, "Kuharap Pang-siauhiap suka memberitahukan
tempat tinggal Kiu-bwe-hou, kami berjanji takkan menyiarkan
bahwa berita ini berasal dari Pang-siauhiap."
Tapi Bun-hiong sengaja menggeleng-geleng kepala lagi,
katanya, "Tidak, sukar untuk menerima jaminan demikian."
"Haha, jadi Pang-siauhiap tidak percaya kepada kami bertiga?"
tanya Tok-pi-kau Kiong Tay-goan dengan tertawa.
Tiba-tiba Bun-hiong balas tanya, "Apakah Kiong-jicecu sendiri
bermaksud menolong nona Oh?"
Si kera berlengan satu Kiong Tay-goan mengangguk, katanya,
"Betul, sebab Oh Kiam-lam pernah menyelamatkan jiwaku,
maka ingin kupergi menolong adik perempuannya untuk
membalas budi yang kuutang padanya."
"Tidak, tidak bisa," jawab Bun-hiong. "Aku tidak boleh
membikin susah Kiong-jicecu meski engkau ingin mengantar
nyawa." "Betul juga," sambung Jik-hoat-kui mendadak. "Saudaraku
yang baik, kukira urusan menolong nona Oh mutlak tidak
dapat dilaksanakan hanya dengan kemampuanmu. Pula nona
Oh sudah sekian lama diculik oleh Kiu-bwe-hou, sangat
mungkin dia sudah dibunuh oleh rase ekor sembilan yang
kejam itu."
"Untuk ini kukira belum tentu," tukas Bun-hiong. "Kiu-bwe-hou
adalah iblis penggemar perempuan yang terkenal, kuyakin dia
takkan begitu saja membunuh nona Oh. Cuma ucapan Pitcecu
juga betul, urusan ini mutlak tidak dapat dilaksanakan
oleh Kiong-jicecu seorang, maka lebih baik engkau jangan ikut
campur urusan ini."
Mendadak Tok-pi-kau Kiong Tay-goan berteriak, "Mendingan
aku tidak tahu urusan ini, sekali sudah tahu, betapa pun
hatiku takkan tenteram jika tidak kuselamatkan nona Oh ...."
"Apakah Kiong-jicecu tahu nona Oh itu mempunyai sanak
famili?" tanya Bun-hiong.
"Mungkin saja dia mempunyai sanak famili, cuma aku sendiri
tidak tahu jelas," jawab Kiong Tay-goan.
"Bila betul tentang diculiknya nona Oh oleh Kiu-bwe-hou,
menurut pendapat Kiong-jicecu, siapakah kiranya orang
pertama yang akan pergi menolongnya?" tanya Bun-hiong.
Kiong Tay-goan berpikir sejenak, katanya kemudian,
"Setahuku, yang berhubungan paling erat dengan nona Oh
adalah Cay-keh-hujin (si nyonya kawin lagi) Lau Sam-koh,
kalau dia mendengar berita diculiknya nona Oh, sangat
mungkin dia orang pertama yang ingin menolong nona Oh."
"Ada hubungan apakah antara Cay-keh-hujin Lau Sam-koh
dengan nona Oh?" tanya Bun-hiong pula.
Si kera lengan satu menjawab. "Si nyonya yang suka kawincerai
itu adalah Suci (kakak perempuan seperguruan) Oh
Kiam-lam, konon ada hubungan erat antara sesama saudara
seperguruan mereka."
Bun-hiong manggut-manggut, pikirnya, "Orang yang ingin
ditangkap Tui-beng-poan-koan apakah mungkin ialah Cay-kehhujin
Lau Sam-koh ini?"
Setelah dipikir lagi, ia merasa hal ini memang mungkin, segera
ia tanya lagi, "Apa Kiong-jicecu tahu di mana tempat tinggal
Cay-keh-hujin Lau Sam-koh?"
"Entah, aku tidak tahu," jawab si kera lengan satu sambil
menggeleng. "Dia sering berganti suami sehingga sukar
diketahui sekarang dia tinggal di mana."
"Eh, kalau Pang-siauhiap ingin bertemu dengan Cay-keh-hujin
Lau Sam-koh, rasanya dapat kuberi petunjuk suatu tempat,"
sela si mawar hitam Hoa Sam-nio tiba-tiba.
"Aha, bagus," seru Bun-hiong girang. "Dia tinggal di mana
sekarang?"
Dengan tertawa si mawar hitam bertutur, "Dia berjuluk si
nyonya suka kawin, jadi entah sudah berapa kali dia telah
kawin-cerai. Setahuku, selama tiga tahun terakhir ini dia
sudah berganti suami tiga kali. Tahun yang lalu suaminya
adalah seorang tukang nujum bernama Thi-kau-siang-su Ih
Cek-tong, paling akhir kabarnya dia akan cerai dan menikah
lagi dengan Hoan-yang-tio-ong Siau It-ho, si kakek tukang
mancing di danau Hoan-yang-oh. Maka kuyakin bila engkau
pergi ke danau tersebut pasti dapat menemukan dia."
Pang Bun-hiong sendiri sudah sering juga mendengar cerita
tentang si kakek tukang kail dari Hoan-yang-oh itu,
diketahuinya sebagai seorang tokoh kelas tinggi dunia
persilatan yang alim, maka cerita si mawar hitam bahwa kakek
alim itu mungkin akan mengawini Lau Sam-koh, tentu saja ia
heran dan ragu, tanyanya, "Apakah benar Siau It-ho akan
mengambil perempuan semacam Lau Sam-koh sebagai istri?"
Oh-bi-kui Hoa Sam-nio menjawab, "Jika dinilai dari pribadi
Siau It-ho dan cara hidupnya sehari-hari, dia memang tidak
mungkin menikahi Lau Sam-koh, namun manusia pada
umumnya tambah tua tambah linglung, bisa jadi kakek tukang
mancing itu, juga sedang keblinger dan bukan mustahil dia
Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
benar-benar akan mengawini perempuan yang suka kawincerai
itu." "Baik," kata Bun-hiong, "dari sini ke Hoan-yang-oh jaraknya
tidak terlalu jauh, biarlah segera kupergi ke sana untuk
mencarinya."
Mereka terus makan-minum dan mengobrol lagi ke timur dan
ke barat. Mendadak Jik-hoat-kui berkata dengan tertawa. "PangKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
siauhiap, sudah lama kudengar Kungfumu lain daripada yang
lain, apakah sudi memperlihatkan sejurus-dua agar
menambah pengalaman kami?"
Bun-hiong tahu apa yang diminta tuan rumah itu adalah
"peraturan" bagi seorang yang berani bertamu ke atas
gunung, jika dirinya tidak memperlihatkan satu-dua jurus dan
menaklukkan mereka dengan Kungfu sejati, akibatnya tentu
akan sulit baginya untuk meninggalkan gunung dengan begitu
saja. Segera ia mengangguk, katanya dengan tertawa, "Baik, aku
menurut saja. Cuma apa yang kupahami hanya sedikit
kepandaian tak berarti dan mungkin tidak berharga untuk
dipertontonkan di depan orang banyak, untuk itu kuharap Pitcecu
suka memberi petunjuk."
"Ah jangan rendah hati," kata Jik-hoat-kui dengan tertawa.
"Sekarang hendak kuperlihatkan sedikit kepandaian tak
berarti, habis itu akan kumainkan semacam Ginkang untuk
minta petunjuk kepada kalian," ucap Bun-hiong. Lalu ia
berpaling dan berkata kepada seorang pelayan gadis cilik di
belakangnya, "Nona ini, silakan ke belakang dan bubutkan
sebatang rumput bagi permainanku nanti."
Pelayan itu mengiakan terus melangkah pergi.
Tidak lama kemudian ia datang kembali dengan membawa
sebatang rumput yang panjangnya antara tujuh dim. Bunhiong
menerimanya dengan ucapan terima kasih, lalu ia ambil
sebuah mangkuk kosong yang tersedia di meja, ia berdiri,
katanya dengan tertawa, "Nah, harap kalian melihat dengan
jelas, sekarang juga kupertunjukkan permainan jelek ini."
Habis berkata, ia mengerahkan tenaga pada tangan kanan,
rumput yang lemas itu dibuat tegak lurus menghadap ke
udara. Dengan tenaga dalam membuat rumput yang lemas itu
menjadi tegak lurus ke atas, hal ini dapat dilakukan oleh siapa
pun yang mempunyai sedikit dasar Lwekang, maka Jik-hoatkui
bertiga tidak merasa heran.
Menyusul Bun-hiong lantas melemparkan mangkuk kosong ke
atas dan dengan gesit ia gunakan ujung rumput yang
menegak itu untuk menahan pantat mangkuk, kemudian
digoyangkan beberapa kali dengan perlahan, maka
berputarlah mangkuk kosong itu dengan menggunakan batang
rumput itu sebagai sumbu penahan.
Kepandaian ini agak istimewa, tapi juga bukan Kungfu kelas
wahid, maka Jik-hoat-kui bertiga tetap tidak memperlihatkan
rasa kejut dan kagum.
Bun-hiong lantas berjalan mondar-mandir di ruangan sambil
membawa mangkuk kosong berputar yang disangga batang
rumput itu, setelah berputar lagi sekian lama mangkuk itu,
mendadak ia memasang kuda-kuda dengan kuat lalu
membentak, "Pecah!"
"Prak", tahu-tahu mangkuk kosong itu hancur berantakan
serupa meledak di udara. Kejadian ini baru membuat air muka
Jik-hoat-kui bertiga sama berubah.
Memang tidak sulit kepandaian menyangga sebuah mangkuk
kosong dengan sebatang rumput, tapi untuk menyalurkan
tenaga dalam melalui batang rumput dan menghancurkan
mangkuk itu, hal ini diperlukan Lwekang mendalam. Untuk ini
Jik-hoat-kui bertiga merasa belum mencapai setaraf itu, sebab
itulah mereka merasa kagum dan takluk kepada Pang Bunhiong.
Begitulah tanpa terasa ketiga orang lantas berkeplok dan
bersorak memuji.
"Ah, permainan jelek, terima kasih atas pujian kalian," seru
Bun-hiong dengan tertawa. "Sekarang silakan kalian ke luar
sana, biar kumainkan lagi sejurus Ginkang untuk menambah
kegembiraan kalian."
Habis bicara ia lantas mendahului melangkah keluar.
Jik-hoat-kui bertiga menduga Ginkang yang akan
dipertunjukkan anak muda itu pasti terlebih hebat dan lain
daripada yang lain, maka beramai-ramai mereka lantas ikut ke
luar. Bun-hiong langsung menuju ke tengah lapangan, katanya,
"Nah, bolehlah di sini saja."
Segera ia meraba pinggangnya, "sret", pedang dilolosnya.
Tercengang juga Jik-hoat-kui melihat anak muda itu
menghunus pedang, tanyanya, "Pang-siauhiap, engkau bilang
hendak mempertunjukkan Ginkang kenapa pakai pedang?"
Ia merasa bukan tandingan Pang Bun-hiong bilamana harus
bertanding dengan dia, maka berdebar juga hatinya ketika
melihat orang melolos senjata.
Dengan tertawa Bun-hiong menjawab, "Betul, memang
hendak kupertunjukkan Ginkang, Ginkang yang akan
kumainkan ini bernama "Tah-kiam-heng" (meluncur dengan
menginjak pedang)."
Baru habis ucapannya mendadak ia putar pedangnya terus
dilemparkan sekuatnya.
Seketika pedang itu berubah selarik cahaya perak dan terbang
meluncur cepat ke depan. Menyusul Bun-hiong lantas bersuit
panjang, secepat terbang tubuhnya mengapung ke atas dan
memburu ke arah meluncurnya pedang, kedua kaki tepat
menginjak pada batang pedang dan membiarkan dirinya
dibawa terbang ke depan oleh pedang meluncur itu.
Seketika Jik-hoat-kui bertiga melongo dan terbelalak serupa
melihat dewa pedang turun dari langit, semuanya terkesima.
Dengan menumpang pedang meluncur itu hingga mencapai
enam-tujuh tombak jauhnya barulah daya luncur pedang itu
menurun dan tepat sampai di depan gerbang sana.
Kuda Bun-hiong kebetulan tertambat di situ, segera ia tangkap
kembali pedangnya dan dimasukkan ke dalam sarung pedang,
lalu melepas tambatan kuda terus mencemplak ke atas
kudanya sambil berseru dengan tertawa, "Pit-cecu, terima
kasih banyak atas pelayananmu, kumohon diri sekarang!"
Sekali kuda berjingkrak, serentak membedal ke depan secepat
terbang .... Petang esok harinya dia sudah berada di tepi danau Hoanyangoh. Danau Hoan yang terhitung juga danau raksasa, luasnya cuma
di bawah Thay-oh, wilayahnya meliputi belasan kabupaten, di
tengah danau terdapat beberapa pulau kecil, pemandangan
indah permai, danau ini pun banyak menghasilkan ikan hingga
banyak kaum nelayan mengandalkan ikan danau sebagai mata
pencarian. Tempat yang dituju Bun-hiong di tepi danau itu bernama Lohsingoh, ia tidak tahu di mana tempat tinggal si kakek tukang
kail Siau It-ho, ketika dilihatnya di tepi danau berlabuh sebuah
perahu nelayan dan di atas perahu ada seorang kakek sedang
menjala ikan, segera ia mendekatinya dan menyapa.
Kakek itu berpaling dan bertanya, "Saudara ini ada urusan
apa?" "Cayhe ingin mencari Hoan-yang-tio-ong Siau It-ho, Siaulocianpwe,
apakah Lotiang (bapak tua) mengetahui di mana
tempat tinggalnya?" kata Bun-hiong.
"Oo," kakek itu bersuara sambil menuding ke arah utara, "Itu,
dia sedang mancing tidak jauh di tepi danau sana, yaitu kakek
yang memakai sebuah caping lebar, sekali pandang saja lantas
tahu." "Terima kasih," kata Bun-hiong sambil memberi hormat, lalu ia
menyusur tepi danau dengan menuntun kudanya.
Tidak jauh ia berjalan, benar juga dilihatnya di tepi danau, di
atas sepotong papan apung berjongkok seorang kakek yang
memakai sebuah caping lebar dan sedang mancing, tapi di
sampingnya ada pula duduk seorang kakek lain yang asyik
mengobrol dengan dia.
Kakek kedua itu memegang sebuah buli-buli arak dan sedang
membujuk si kakek tukang mancing agar mau minum,
katanya, "Ayolah, minum sedikit, takut apa?"
"Tidak, tidak boleh," si kakek tukang mancing menggeleng
kepala. "Bisa celaka kalau sampai bau arak tercium olehnya."
"Haha, ini kan gampang, asalkan kau pulang agak lambat,
tentu akan hilang baunya dan takkan diketahuinya," ujar si
kakek kedua dengan tertawa.
"Hm, mana kau tahu" Hidungnya tajam serupa hidung anjing,
segala macam bau dapat diendusnya dengan tepat," kata si
tukang mancing.
"Ai, sungguh aku ikut penasaran bagimu," ujar si kakek
dengan menyesal, "agaknya pada penjelmaan yang lalu
engkau telah utang padanya, maka ...."
"Ah, semuanya gara-garaku sendiri, akulah yang linglung dan
salah sasaran, ini namanya cari penyakit sendiri, tak dapat
menyalahkan orang lain," ujar si kakek tukang mancing.
"Kenapa tidak kau ceraikan dia saja?" tanya si kakek.
"Wah, tidak, tidak bisa lagi, sekarang aku sudah kecantol dia,
serupa lalat melengket pada air gula, biarpun digebah juga tak
mau pergi," ucap si kakek tukang mancing dengan
menggeleng kepala.
Si kakek kedua minum lagi seceguk araknya dan berkata pula,
"Dia tidak mau pergi, boleh engkau sendiri yang angkat kaki."
"Memangnya aku bisa pergi ke mana?" ujar si tukang mancing
dengan tersenyum getir.
"Ke mana pun jadi, nanti kalau dia sudah pergi juga barulah
engkau pulang."
"Tidak, tidak bisa jadi," kembali si tukang mancing
menggeleng. "Ke mana pun kupergi pasti akan ditemukan
olehnya. Bilamana ingin berpisah dengan dia hanya ada suatu
cara ...."
"Cara apa?" tanya kawannya.
"Bu ... bunuh dia," ujar Si tukang mancing.
"Kau berani?" tanya si kakek kawannya dengan tertawa.
"Justru aku tidak berani," kata si tukang mancing dengan
menghela napas. "Dirodok, selama hidupku gagah perkasa,
siapa tahu sesudah tua justru kebentur pada setan iblis ini,
sungguh aku tersiksa sehingga ingin mati tidak bisa, minta
hidup juga sukar."
Mendadak ia seperti teringat sesuatu yang menggembirakan,
seketika terkilas secercah cahaya terang pada wajahnya,
dengan girang ia berkata, "Hei, kawan, apakah engkau pernah
mimpi?" "Mimpi?" kawannya menegas dengan melenggong. "Tentu
saja pernah, beberapa hari yang lalu aku pun bermimpi, mimpi
yang menyenangkan, mimpi menemukan sepotong emas
murni, tentu saja aku sangat gembira, segera kulari pulang,
siapa tahu karena terburu nafsu, kakiku kesandung dan jatuh
tersungkur, seketika lantakan emas itu lenyap, karena
cemasku segera kusadar dan barulah tahu sedang bermimpi."
"Haha, aku pun mendapat mimpi, tapi mimpiku jauh lebih baik
daripada mimpimu," tutur si kakek tukang mancing.
"Oo, mimpi bagus apa" Mimpi telah kau bunuh si dia?" tanya
kawannya dengan tertawa.
"Bukan, kumimpi bertemu dengan seorang nona secantik
bidadari, diri membujukku kabur meninggalkan dia ...."
Belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong dari balik
sepotong batu karang sana bergema suara orang meraung
murka, "Ah, bagus, tua bangka yang tidak mau mampus,
berani kau mimpi segala di luar tahu nyonya besar!"
Di tengah suara teriakan murka yang menggelegar itu segera
melompat keluar seorang nenek.
Usia nenek ini kurang lebih 60-an, tubuh gemuk besar,
mukanya bulat, biarpun sudah tua, tapi kedua pipi berpupur
tebal, bahkan alisnya dilukis hingga panjang lentik, baju yang
dipakainya juga sangat bagus, cuma lantaran tidak seimbang
dengan usianya sehingga tampaknya menjadi serbakonyol
malah. Ia melompat keluar sambil berjingkrak dan meraung murka
serupa malaikat maut yang hendak mencaplok mangsanya,
bagi orang penakut memang bisa ciut nyalinya.
Si kakek yang asyik minum arak itu ketakutan, sekali lompat ia
terjun ke dalam danau dan kabur dengan menyelam ke dalam
air. Sedangkan si kakek tukang mancing hanya duduk diam saja
namun tangan yang memegang alat pancing tampak
bergemetar. Dengan marah-marah si nenek mendekati kakek tukang
mancing, sebelah kakinya terus menginjak di punggung si
kakek sambil membentak, "Ayo, bicara, tua bangka! Lekas
bicara tua bangka yang tidak tahu malu, kenapa berani mimpi
di luar tahuku dan ingin minggat dengan perempuan lain"!"
Si kakek kelihatan gugup, jawabnya, "Ai, sabar, istriku, jangan
marah dulu, lain kali ... lain kali aku takkan mimpi lagi."
Dengan bertolak pinggang si nenek menjengek, "Hm, lekas
kau bicara terus terang, bilakah engkau mimpi bergendak
dengan perempuan lain?"
"O, aku ti ... tidak," jawab si kakek dengan gelagapan, "aku
hanya ... bercanda saja dengan si setan air Nyo tua, kami
cuma omong iseng belaka."
"Keparat! Bedebah!" damprat si nenek dengan alis menegak.
"Masih berani bohong" Ayo, lekas mengaku terus terang!"
Si kakek melihat Pang Bun-hiong berdiri tidak jauh di sebelah
sana, ia menjadi kikuk, lekas ia memohon dengan suara lirih,
"Ah, istriku, jangan ... jangan marah dulu, bicaralah perlahan
sedikit, kan malu didengar orang!"
"Hm, masa kau tahu malu segala?" teriak si nenek. "Aku tidak
urus malu atau tidak, pendek kata, kalau tidak bicara terus
terang sekali hantam akan kumampuskan kau."
Si kakek kelihatan serbasusah, cepat ia menjawab, "Baik, baik,
akan kukatakan terus terang .... Hal itu terjadi ... terjadi pada
kemarin dulu ketika aku tidur ... tidur siang ...."
"Kurang ajar! Dasar tua bangka," damprat pula si nenek,
"pada waktu siang bolong selagi nyonya besar sadar dengan
baik toh kau berani bermimpi main gila dengan perempuan
lain, apalagi kalau waktu malam hari ketika nyonya besar
sedang tidur, wah, kan tambah berani kau?"
"Aduuh, itu kan cuma mimpi saja," ujar si kakek. "Mimpi kan
khayal belaka dan tidak terjadi sungguhan, buat apa istriku
Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mesti marah-marah begini?"
Kontan si nenek mencak-mencak lagi, dampratnya, "Keparat!
Khayalan apa katamu" Bilamana siang kau berani bermimpi
begitu, jelas hal itu akibat pikiranmu memang menyeleweng.
Ya, kutahu, hatimu sudah berubah, nyonya besar tidak kau
pikir lagi, begitu bukan?"
"O, tidak, jangan marah dulu, dengarkan ceritaku," kata si
kakek. "Meski kumimpi seorang perempuan, tapi aku tidak
terpikat olehnya. Dia memang membujukku agar minggat
bersama dia, tapi aku menolaknya, bahkan kudamprat dia
habis-habisan."
"Apa betul?" si nenek menegas.
"Betul, aku tidak bohong." jawab si kakek. "Kumaki dia
perempuan tidak tahu malu, kubilang engkau ini siluman dari
mana, berani berusaha memikat diriku" Hendaknya maklum,
aku dan Lau Sam-koh adalah suami-istri saling mencintai sejak
dari tiga kali penjelmaan dulu, berdasarkan apa kau berani
memecah belah cinta kasih kami suami-istri" Dirodok, lekas
enyah dari sini, kalau tidak, sekali hantam kumampuskanmu!
Dia menjadi ketakutan dan lari terbirit-birit."
"Oo, apa betul?" tanya si nenek, tampaknya dari marah dia
menjadi senang.
"Betul, pasti betul," kata si kakek.
"Baik, jika begitu, biar nyonya besar mengampunimu sekali
ini," ujar si nenek dengan tertawa. "Tapi lain kali bila kau
berani sembarang mimpi lagi di luar tahuku, awas, bisa
kubinasakanmu."
"Tidak, pasti tidak lagi," ucap si kakek berulang-ulang.
Tiba-tiba si nenek mengangkat keranjang ikan si kakek dan
diperiksa, katanya, "Sudah berhasil mengail berapa ekor?"
"Wah, hari ini kurang mujur, ikan sama tidak mau terpancing,
hanya dapat tiga ekor saja," tutur si kakek dengan menyesal.
Kembali si nenek merasa kurang senang, teriaknya, "Dasar tua
bangka! Kan sudah sering kukatakan padamu, menangkap
ikan harus pakai jala. Orang lain sekali jaring lantas dapat
beberapa puluh, bahkan ratusan ekor, tapi engkau hanya
sekali pancing satu ekor, itu pun menunggu sampai setengah
harian. Huh, macam apa kerja cara begini" Kubilang, mulai
besok harus kau ganti cara menangkap ikan dengan jala."
"Wah, tidak bisa," jawab si kakek sambil menggoyang kepala.
"Urusan lain dapat kusanggupi, hanya urusan ini saja, biarpun
kau bunuh diriku juga tak bisa kuterima. Adalah hobiku
memancing ikan, aku tidak suka menjala ikan."
"Sialan, memangnya kau kira apa kerjamu?" damprat si nenek
dengan gusar. "Kau kira hanya untuk iseng sebagai hobi saja"
Keparat, masa kau lupa kau perlu membiayai rumah tangga?"
"Biaya rumah tangga kan juga sudah cukup, asalkan setiap
hari berhasil kupancing dua-tiga ekor ikan kan sudah cukup
kita makan?" kata si kakek.
"Apa katamu" Cukup kita makan?" teriak si nenek melengking.
"Memangnya kebutuhan orang hidup hanya makan saja"
Nyonya besar kan perlu uang untuk beli pupur, jika kuminta
kau bilang tidak punya uang. Kalau kuminta uang untuk beli
baju, kau jawab tidak punya duit. Padahal, coba lihat orang
lain, mau apa pun pasti ada, sebaliknya engkau tidak punya
apa-apa." Sampai di sini mendadak ia menangis, sambil membuang
ingus ia berseru pula, "O, dasar nasibku memang sengsara.
Padahal lelaki di dunia ini sekian banyak kenapa aku justru
kawin dengan tua bangka yang pemalas dan tidak bisa cari
duit ...."
Mendadak tercetus dari mulut si kakek, "Bilamana kau anggap
aku miskin, boleh saja kau kawin lagi dengan orang lain."
"Apa katamu" Coba katakan sekali lagi!" teriak si nenek
dengan murka. "Jahanam yang tidak punya Liangsim
(perasaan bajik), sungguh sialan kawin denganmu, belum ada
setengah tahun menikah aku sudah akan kau campakkan,
begitu bukan" Hm, hm, tidak bisa, urusan tidak segampang
itu. Mau kupergi juga boleh asalkan memenuhi syarat."
"Apa syaratmu?" tanya si kakek, tampaknya menjadi nekat
juga. "Duit!" ucap si nenek sambil tiga jarinya bergerak tanda fulus.
"Berapa kau minta?" tanya pula si kakek.
"Selaksa tahil," kata si nenek. "Asal kau bayar satu laksa tahil
perak dan segera aku angkat kaki."
"Buset!" seru si kakek, habis ini ia terus jatuh telentang di atas
papan apung serupa orang mati.
Si nenek mengentak kaki, teriaknya, "Ayo bangun, tidak perlu
berlagak mati!"
Kakek tukang mancing itu menghela napas, katanya, "Boleh
kau pulang dulu, aku masih ingin mengail ikan, bisa jadi
Tuhan Maha Pengasih kasihan padaku dan memberkahiku
dapat mengail selaksa tahil perak."
"Tidak perlu lagi, ayolah ikut pulang saja, nanti kita bikin
perhitungan di rumah," teriak si nenek.
Agaknya si kakek tidak berani pulang, ia masih terus rebah
saja tak mau bangun.
"Hm, memangnya apa maksudmu ini?" bentak si nenek
dengan mendelik. "Ingin mati saja di sini?"
Menyaksikan semua itu, Bun-hiong merasakan bukan lagi
lelucon, ia lantas mendekati mereka dan menyapa dengan
hormat, "Salam, Toanio ini."
Si nenek hanya meliriknya sekejap, jawabnya dingin, "Kau
mau apa?" Bun-hiong mengeluarkan sepotong uang perak yang berbobot
lebih sepuluh tahil, katanya, "Baru saja kutemukan uang perak
ini di sekitar sini, mungkin uang perak Toanio yang hilang?"
Dasar mata duitan, melihat uang perak itu, seketika wajah si
nenek berseri, tanpa permisi uang perak itu terus disambarnya
sambal berseru, "Aha, betul, betul! Memang uangku yang baru
saja hilang, aku lagi kelabakan mencarinya, ternyata
ditemukan oleh Engkoh cilik ini. Ai, sungguh anak yang jujur,
terima kasih ya!"
"O, jangan sungkan," jawab Bun-hiong dengan tertawa.
Serentak si kakek merangkak bangun dan berkata, "Eh, nanti
dulu! Kataku istriku yang baik, bilakah engkau kehilangan
uang perak sejumlah itu ...."
Si nenek mengentak kaki dengan keras, bentaknya dengan
gusar, "Keparat, lebih baik kau tutup mulut. Uang perak ini
memang milikku yang hilang."
Kakek itu menghela napas, katanya sambil memandang Bunhiong,
"Adik cilik, untuk urusan apa kau datang ke sini?"
"Cayhe Pang Bun-hiong," tutur Bun-hiong sambil memberi
hormat. "Konon di tepi danau Hoan-yang ini berdiam seorang
Bu-lim-cianpwe (angkatan tua dunia persilatan) yang bernama
Hoan-yang-tio-ong Siau It-ho, maka sengaja kudatang
berkunjung padanya."
Habis bicara ia menjura lagi dengan sangat hormat.
"Aku sendiri Siau It-ho adanya," jawab si kakek dengan muka
merah. "Ada urusan apa adik cilik mencariku?"
Bun-hiong berlagak kegirangan, katanya, "Aha, kiranya
engkau inilah Siau-locianpwe, sungguh sangat beruntung
dapat bertemu di sini."
Habis berkata kembali ia memberi hormat.
Siau It-ho alias si kakek tukang mancing dari danau Hoanyang
itu menghela napas, katanya, "Aku ini bukan Bu-limcianpwe
apa segala, justru orang tua yang paling tidak
berguna di dunia ini ialah diriku. Bilamana adik cilik ini tidak
ada urusan, silakan pulang saja."
Bun-hiong anggap tidak mendengar, ia berpaling kepada si
nenek dan berkata, "Jika demikian, Toanio ini tentulah Lau
Sam-koh Lau-toanio yang termasyhur itu?"
Cay-keh-hujin Lau Sam-koh alias si nyonya suka kawin itu
tertawa, jawabnya, "Betul, aku inilah Lau Sam-koh."
"Bagus sekali," Bun-hiong tertawa. "Ada sesuatu berita ingin
kusampaikan kepada Lau-toanio, yaitu ... eh, kabarnya Lautoanio
adalah Suci si raja cakar elang Oh Kiam-lam, betul?"
"Ya, memang begitulah," sahut Lau Sam-koh.
"Tentang terbunuhnya Eng-jiau-ong, apakah Toanio sudah
tahu?" tanya Bun-hiong.
"Tahu, dia sudah mati empat-lima tahun yang lalu," ujar SamKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
koh dengan mengangguk. "Mestinya aku ingin berziarah ke
makamnya, tapi bilamana ingat waktu hidupnya dia terlampau
kikir terhadapku, sungguh aku sangat menyesal dan urung
mengunjunginya."
"Oo, apakah waktu hidupnya Eng-jiau-ong memperlakukan
Toanio kurang baik?" tanya Bun-hiong.
"Masa tidak," jawab Sam-koh. "Dia menjadi pimpinan
kalangan Lok-lim ketujuh provinsi daerah selatan, harta
bendanya bertumpuk setinggi gunung, tapi pelitnya bukan
main. Pernah satu kali keuanganku agak seret, kudatang
padanya untuk pinjam sedikit, siapa tahu dia sama sekali tidak
mau memberi pinjaman, apalagi kasih percuma. Coba, apa
tidak bikin mendongkol orang?"
"Wah, jika demikian, memang betul Eng-jiau-ong agak
keterlaluan, masa sama sekali tidak ingat hubungan baik
antara sesama saudara seperguruan?" kata Bun-hiong.
Tiba-tiba si kakek tukang mancing menimbrung, "Eh, adik cilik,
jangan percaya pada keterangan sepihak saja. Manusia yang
tamak tentu saja dibenci oleh siapa pun, setahuku ...."
"Memangnya kenapa"!" bentak Lau Sam-koh mendadak
dengan mendelik.
Seketika Siau It-ho mengkeret, ia angkat pundak dan tidak
berani bersuara lagi.
Bun-hiong berdehem perlahan, katanya dengan tertawa,
"Meskipun Eng-jiau-ong kurang baik, tapi adik perempuannya
si Oh Beng-ay kan tidak berdosa, betul tidak?"
"Ah, dia juga bukan nona yang baik," ucap Lau Sam-koh.
"Setiap kali kudatang mencari Oh Kiam-lam, selalu dia acuh
tak acuh terhadapku, jelas dia memandang rendah padaku."
Sampai di sini Bun-hiong mulai merasakan dugaan sendiri
jelas meleset, nyata orang yang diincar dan hendak ditangkap
Tui-beng-poan-koan bukanlah Cay-keh-hujin Lau Sam-koh ini.
Sebab Lau Sam-koh ternyata tidak mempunyai hubungan baik
dengan Oh Kiam-lam dan adik perempuannya, tidak mungkin
Tui-beng-poan-koan menggunakan Oh Beng-ay sebagai
umpan untuk memancingnya.
Tapi mengingat jauh-jauh ia sudah datang kemari, kan juga
tambah baik bilamana desas-desus disebarkan sekalian
kepadanya. Maka ia lantas berkata, "Keadaan nona Oh itu sekarang sangat
harus dikasihani, apakah Toanio tidak ingin menolongnya?"
Menjengkit mulut Lau Sam-koh, ucapnya, "Huh, mana dia palu
dikasihani" Dia menjual badan di Liu-jun-ih di Kim-tan, setiap
bulan beribu tahil perak pendapatannya, hidupnya jauh lebih
senang daripadaku."
"Tapi sekarang dia mengalami apes dan diculik oleh Kiu-bwehou
Kongsun Siau-hui, jiwanya terancam bahaya," tutur Bunhiong.
"Oo, masa dia diculik oleh Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui?"
melengak juga Lau Sam-koh.
"Ya, memang betul," kata Bun-hiong.
"Bagus, itu namanya kualat kontan," seru Sam-koh. "Nyata
Tuhan memang adil dan selalu memberi ganjaran setimpal
terhadap orang yang tak berbudi."
Mendengar ucapan ini Bun-hiong tambah yakin dugaannya
telah salah sasaran, tapi ia coba tanya lagi, "Jadi Toanio sama
sekali tidak mau menolongnya?"
"Hm, aku justru berharap dia lekas mampus, untuk apa
kutolong dia?" kata Sam-koh.
"Apakah Toanio tahu dia masih mempunyai sanak keluarga
lain?" tanya Bun-hiong.
"Tidak ada lagi, mereka kakak beradik sama sekali tidak
mempunyai sanak famili, seorang saja tidak ada."
"Wah, sungguh malang ...." Bun-hiong menghela napas
perlahan. "Pendek kata, jika kedatanganmu hanya ingin minta kutolong
dia, maka jangan kau harap lagi," kata Sam-koh.
Tiba-tiba teringat oleh Bun-hiong bahwa maksud dan tujuan
Tui-beng-poan-koan menyuruhnya menyebarkan berita
bohong tentang Oh Beng-ay diculik oleh Kiu-bwe-hou Kongsun
Siau-hui, jika tujuannya untuk menjebak seseorang, maka
orang ini sangat mungkin ialah Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui
sendiri. Maka ia coba ganti pokok persoalan dan bertanya, "Ingin
kunumpang tanya lagi satu hal, apakah Toanio tahu di mana
tempat tinggal Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui?"
"Tidak tahu," jawab Sam-koh.
Bun-hiong lantas tanya Siau It-ho, "Apakah Siau-locianpwe
tahu?" "Aku pun tidak tahu," jawab si kakek tukang mancing. "Sudah
lama sekali Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui menghilang dari
dunia persilatan, sangat sedikit orang yang tahu tempat
sembunyinya."
Bun-hiong merasa tidak ada gunanya tinggal lebih lama di sini,
segera ia memberi salam kepada mereka dan berkata, "Jika
demikian, biarlah Cayhe mohon diri saja."
Ia lantas mencemplak ke atas kudanya dan meneruskan
perjalanan lagi yang tidak jelas tempat tujuannya ....
Selanjutnya setiap kali bertemu dengan orang persilatan selalu
dia menyiarkan berita tentang diculiknya Oh Beng-ay oleh Kiubwehou Kongsun Siau-hui. Tapi bisa jadi nama Kiu-bwe-hou
terlampau disegani, meski ada orang menaruh simpati
terhadap nasib jelek Oh Beng-ay, tapi tidak ada orang yang
berani menyatakan hendak menolongnya. Dengan sendirinya
terlebih tidak ada orang yang berani mendesak Bun-hiong
agar memberitahukan di mana tempat tinggal Kiu-bwe-hou.
Ia terus melanjutkan perjalanan hingga pegunungan Cui-wihong
di selatan Ohlam, di sini urusannya baru ada
perkembangan. Cui-wi-hong adalah salah satu tempat tamasya yang cukup
terkenal di daerah ini, waktu Bun-hiong melarikan kudanya
lewat kaki gunung, tiba-tiba dilihatnya seorang setengah umur
berdandan sebagai kaum budak muncul dari dalam hutan di
kaki gunung. Orang ini seperti sengaja menanti kedatangan Pang Bunhiong,
ia mengadang di tengah jalan dan memberi hormat
sambil menegur, "Apakah pendatang ini Hou-hiap Pang Bunhiong
adanya?" Bun-hiong menahan lari kudanya, ditatapnya orang itu
Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sejenak, lalu balas tanya, "Siapakah saudara?"
"O, hamba she Siang bernama Po-hok," jawab orang setengah
baya itu. "Atas perintah majikan, hamba disuruh mengundang
Pang-siauhiap agar sudi mampir sebentar ke perkampungan
kami." "Siapakah majikanmu?" tanya Bun-hiong.
"Setelah bertemu tentu Pang-siauhiap akan tahu sendiri."
"Masa tidak dapat kau jelaskan sekarang?" kata Bun-hiong
dengan tertawa.
"Biarpun kujelaskan sekarang juga Pang-siauhiap takkan
paham urusannya," ujar orang itu.
Bun-hiong coba tanya lagi, "Di mana letak perkampungan
kalian?" "Di lereng gunung ini," tutur orang itu.
"Baiklah, coba tunjukkan jalannya," jawab Bun-hiong tanpa
sangsi. Orang itu lantas membalik dan mendahului menuju ke lereng
bukit sana. Dengan tetap naik kuda Bun-hiong mengikuti jejak
orang. Sejak meninggalkan Bok-kan-san tempo hari belum pernah
ditemuinya suatu urusan yang sekiranya menarik, maka sudah
sekian lama ia merasa kecewa dan kesal, maka urusan yang
ditemuinya sekarang cukup menarik baginya, tanpa pikir ia
lantas ikut orang untuk menemui majikannya. Meski ia pun
menyadari kepergiannya ini ada kemungkinan akan
menghadapi bahaya, tapi Bun-hiong memang seorang
petualang yang suka menyerempet bahaya, semakin aneh dan
berbahaya sesuatu urusan, semakin menarik untuk
dikerjakannya. Orang itu membawanya melintasi lereng bukit, sepanjang
jalan tidak buka mulut lagi.
Setelah menyusuri hutan yang lebat dan melintasi tanjakan
yang terjal, akhirnya mereka sampai di suatu lereng bukit
yang sunyi dan indah. Di atas lereng bukit tampak ada
bangunan yang berderet-deret luas.
Perumahan itu dilingkari pepohonan yang rindang, anehnya di
depan perumahan itu ada sebuah kolam yang indah dengan
airnya yang tenang dan jernih serupa cermin.
Orang setengah baya ini membawa Bun-hiong masuk ke
kompleks perumahan, tertampak bangunan sangat megah,
serupa rumah kaum hartawan atau bangsawan.
Cuma di dalam perumahan yang megah dan luas ini suasana
sunyi senyap, tidak terlihat bayangan orang kedua.
Diam-diam Bun-hiong menarik napas, pikirnya, "Sungguh
megah perumahan di sini, melihat gelagatnya pemilik
perumahan ini pasti seorang tokoh luar biasa, tapi mengapa
tidak kelihatan bayangan seorang pun?"
Secara naluri ia mulai waspada.
Setelah berada di tengah perumahan, tampak terlebih jelas
setiap bangunan megah itu juga dipajang dengan sangat
mewah, bahkan setiap perabotnya seperti sengaja dirancang
secara serasi, semuanya serbabagus.
Orang itu membawa kuda Bun-hiong dan ditambat di samping
sana, lalu membawanya lagi masuk ke suatu halaman dan
akhirnya tiba di depan sebuah gedung berloteng yang megah.
Ruangan gedung itu terlebih mentereng, setiap alat
perabotannya tergosok dengan mengilat, semuanya serbaantik
dan bernilai tinggi, dapat dibayangkan tuan rumah pasti orang
kaya raya yang sukar dilukiskan.
Orang tadi berhenti di ruang tamu, katanya sambil
menghormat, "Silakan Pang-siauhiap duduk dulu, hamba akan
masuk melaporkan kedatanganmu."
Bun-hiong mengangguk dan duduk, ia pandang segala
sesuatu yang luar biasa di dalam ruangan, dengan heran ia
membatin, "Biasanya kusangka ayahku sudah cukup kaya
raya, tapi kalau dibandingkan Cengcu di sini jelas seperti si
kerdil dibanding raksasa."
Dalam pada itu orang tadi telah masuk ke ruang dalam
dengan menyingkap tirai. Terdengar suaranya lagi berkata di
dalam, "Lapor Hujin (nyonya), Hou-hiap Pang Bun-hiong
sudah hamba undang kemari."
"Silakan dia masuk," sahut seorang. Suaranya nyaring merdu.
Seketika Bun-hiong melengak, pikirnya, "Buset, sang cengcu
ternyata seorang perempuan"!"
Tentu saja ia tambah bingung.
Dilihatnya orang setengah baya tadi muncul kembali dan
berkata kepadanya dengan tertawa, "Majikan perempuan kami
berada di ruang dalam, silakan Pang-siauhiap masuk saja."
"Dan di mana majikan lelaki kalian?" tanya Bun-hiong sambil
berdiri. "Di sini tidak ada majikan lelaki," jawab orang tadi.
"Hah, tidak ada majikan lelaki?" Bun-hiong menegas dengan
melenggong. "Betul," orang itu tersenyum. "Silakan masuk saja, majikan
perempuan kami takkan membikin susah padamu."
Habis bicara ia memberi hormat pula, lalu tinggal pergi.
Keruan Bun-hiong kebingungan, sampai sekian lama ia berdiri
di situ dengan sangsi. Akhirnya ia mendekati pintu yang
bertirai itu dan melangkah ke dalam.
Ternyata di balik pintu bertirai ini adalah sebuah kamar anak
gadis yang indah, semua peralatannya terlebih mewah dan
bagus, ada sebuah meja berukir bercat merah yang masih
baru, kelambu warna tipis dan tergantung di kedua sisi
dengan cantolan perunggu putih. Tepian kelambu atas adalah
kain bersulam bunga merah, selain itu ada lagi hiasan dua
buah mainan berbentuk keranjang bunga yang tergantung di
samping kelambu.
Kecuali itu, seluruh barang yang terlihat, baik meja kursi,
lemari dan sebagainya, semuanya benda berukir antik yang
sukar dinilai. Di dinding bergantung lukisan kuno dan seni tulis
yang bagus. Tampaknya majikan perempuan di sini bukan
saja pandai menikmati kehidupan ini, bahkan juga seorang
terpelajar. Akan tetapi nyonya rumah itu ternyata tidak terlihat di dalam
kamar. Kamar ini kosong melompong.
Bun-hiong jadi melenggong pula, ia coba tanya, "Hei, Cayhe
Pang Bun-hiong berada di sini, di manakah tuan rumahnya?"
"Aku berada di sini," terdengar suara orang menjawab.
Suaranya merdu sedap didengar, dan berkumandang dari balik
daun pintu sebelah lain.
Kembali Bun-hiong tercengang, katanya, "Hujin ingin bertemu
denganku, kenapa tidak keluar kemari saja?"
Nyonya rumah itu berteriak dari dalam, "Silakan masuk saja ke
sini, pintu tidak terkunci."
Bun-hiong merasakan sangat mungkin terdapat perangkap di
sini, tapi dia memang seorang petualang yang suka
menyerempet bahaya, terutama bahayanya orang perempuan,
segera ia mendekat ke sana, ia coba mendorong daun pintu
itu. Dengan enteng daun pintu lantas terpentang, sekali pandang,
tanpa terasa ia terperanjat.
Nyonya rumah ini ternyata sangat cantik!
Usianya baru 25-26 tahunan, rambutnya tersanggul tinggi,
mukanya bulat telur dengan pipi kemerahan, alis panjang
lentik, mata besar jernih, sungguh sukar dilukiskan cantiknya,
siapa pun pasti akan kesengsem melihat kecantikannya.
Akan tetapi yang membuat Bun-hiong terperanjat bukan
kecantikannya melainkan setengah badannya bagian atas
yang telanjang itulah, setengah badannya bagian bawah
terendam di dalam sebuah bak besar berwarna emas.
Rupanya nyonya rumah ini sedang mandi.
Setengah badan bagian atas tampak putih bersih serupa salju,
dadanya yang bernas kelihatan samar-samar tergenang air,
sungguh cantik dan memikat dan membuat orang lupa
daratan. Pang Bun-hiong sampai melongo menyaksikan adegan
mendebarkan ini.
Sudah banyak perempuan yang dikenalnya, namun belum
pernah melihat perempuan cantik dan sexy serupa ini.
Sungguh ia ingin menubruk ke sana tanpa peduli risiko apa
pun, meski semua ini suatu perangkap juga tak diragukannya,
cukup sekali saja mendapatkan si dia, mati pun dia rela.
Akan tetapi dia hanya berdiri diam saja, hanya
memandangnya dengan kesima tanpa bergerak.
Perempuan itu ternyata tidak canggung-canggung, perlahan ia
main air mandi di dalam bak, mulutnya yang mungil dan bibir
kemerahan mengeluarkan suara mengikik nyaring, sapanya,
"Pang Bun-hiong, selamat datang!"
"Ya, selamat nona!" jawab Bun-hiong dengan tersenyum,
tanpa terasa mukanya menjadi merah sendiri.
"Setiap hari pada waktu begini aku mesti mandi dan
berdandan sehingga tak dapat meladenimu dengan baik," ujar
perempuan itu dengan lagak menggiurkan.
"Ah, tidak apa-apa, jangan sungkan," kata Bun-hiong tertawa.
"Silakan selesaikan mandimu."
Mata si cantik yang jeli itu memantulkan cahaya terang yang
memikat, katanya dengan tertawa, "Sungguh aku merasa
senang dan bahagia dapat mengundangmu ke sini."
"Ah, dapat bertemu dengan nona, sungguh bahagia dan suatu
kehormatan bagiku," seru Bun-hiong.
"Sudah lama kudengar nama kebesaran Hou-hiap," ucap
perempuan itu. "Setelah bertemu hari ini, nyata memang tidak
bernama kosong."
Bun-hiong tertawa dan menegas, "Maksud nona mengenai
urusan apa?"
"Gagah, cakap, romantis," kata si perempuan.
"Haha, terima kasih atas pujian nona," seru Bun-hiong
tertawa. "Tapi kalau dibandingkan nona, aku ini tidak lebih
cuma seorang lelaki kasar belaka."
"Tidak, engkau memang berbeda daripada kebanyakan lelaki
umumnya." "Ah, masa?"
"Betul," kata perempuan itu. "Lelaki lain bilamana melihatku
dalam keadaan begini, tentu akan berlagak gugup dan
kelabakan, tapi engkau ternyata tidak."
"Hal ini memang betul," jawab Bun-hiong. "Soalnya aku
memang suka memandang orang perempuan, terlebih
perempuan mahacantik dan sukar dicari. Setiap kesempatan
yang terbuka bagiku biasanya tidak kusia-siakan."
Perempuan itu tertawa cekikikan, katanya, "Ranjang orang
perempuan juga kuburan bagi kaum pahlawan, apakah
engkau tidak takut?"
"Begitulah kata orang, tapi sejak dulu kala hingga kini, berapa
banyak pahlawan yang tahan pikatan?" ujar Bun-hiong dengan
tersenyum. "Hah, pikiranmu ternyata cukup terbuka," ucap perempuan
itu. "Eh, di tempat tidurku ada sepotong bajuku, tolong
ambilkan untukku."
"Baik," jawab Bun-hiong.
Ia putar balik ke depan tempat tidur dan mengambil baju yang
dimaksud, padahal itu bukan baju melainkan sepotong daster
terbuat dari sutra tipis warna jambon. Ia masuk lagi ke kamar
mandi, tanyanya, "Taruh di mana?"
"Bawa sini," kata perempuan itu sambil menjulurkan
tangannya yang putih halus.
Bun-hiong mendekati bak emas itu dan menyodorkan baju
tipis itu. Sesudah baju diterima si dia, Bun-hiong coba menyelentik
perlahan bak warna emas itu, seketika ia berseru kaget, "Hah,
ternyata emas tulen."
"Memangnya kau sangka tembaga?" tukas perempuan itu
dengan tertawa.
"Wah, biarpun permaisuri raja juga akan iri padamu," ujar
Bun-hiong. "Huh, aku justru tidak kepingin menjadi permaisuri segala,"
mata si perempuan. "Orang yang mau menjadi permaisuri
atau selir raja sungguh harus dikasihani, dia tidak tahu di
dunia ini masih banyak lelaki yang jauh lebih menyenangkan
daripada raja."
"Bilamana ucapanmu ini didengar oleh raja, tentu dia akan
melongo," kata Bun-hiong dengan bergelak.
"Baiklah, sekarang silakan kau putar ke sana," pinta
perempuan itu. Bun-hiong menatap bagian dada orang sambil menjilat bibir,
"Apakah tidak perlu kubantumu?"
"Tidak perlu, aku dapat bangun sendiri, bahwa orang perlu
dipegang segala, itu cuma pura-pura saja."
Tanpa bicara lagi Bun-hiong lantas membalik tubuh.
Perempuan itu berdiri dari bak mandi, diambilnya sepotong
handuk di tepi bak untuk mengusap tubuhnya yang basah,
lalu daster tipis itu dikenakannya, katanya kemudian, "Baiklah,
sekarang boleh menghadap ke sini."
Waktu Bun-hiong membalik tubuh lagi, tertampak tubuh si dia
yang samar-samar tertutup daster tipis itu padat dan putih
mulus, garis tubuhnya yang menggiurkan serta bagian
tertentu yang serupa ... sungguh membuat jantungnya
berdebar keras.
Perempuan itu tertawa, katanya, "Marilah kita duduk di
kamar." Segera ia mendahului melangkah ke kamar tidurnya dengan
berlenggak-lenggok.
Bun-hiong ikut ke situ, tentu saja ia terangsang, katanya,
"Sedemikian luas perumahan nona ini, tapi tidak tampak
penghuni yang lain, apakah semuanya bersembunyi?"
"Tidak, jangan khawatir," kata si dia. "Di perumahan ini
seluruhnya cuma ada tiga orang. Yang pertama ialah diriku,
orang kedua adalah Siang Po-hok, budak yang membawamu
kemari tadi, orang ketiga adalah si pelayan cilik, Jiu-goat."
Sambil bicara perempuan itu duduk di tepi pembaringan.
"Masa di sini tidak ada tuan rumah?" tanya Bun-hiong.
"Ada, tapi sudah mati."
"Oo, dia itu apamu?"
Perempuan itu berdiri dan menuju ke depan meja rias dan
mulai menyisir rambut sambil menjawab, "Suamiku."
"Wah, punya istri secantik ini, tapi tidak dapat menikmati
hidup bahagia, sungguh kasihan," kata Bun-hiong.
"Dia juga sudah cukup hidup nikmat," ujar si perempuan
dengan tertawa.
"Siapa namanya?" tanya Bun-hiong.
"Ah, sudahlah, sekarang jangan kita bicara tentang dia," ujar
Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
si dia. "Kalau begitu, marilah kita bicara dirimu saja," kata Bun-hiong
dengan tertawa. "Apakah boleh kutahu she dan namamu yang
harum?" "Kau ingin tahu?" perempuan itu menegas. "Diriku ini memang
secantik bidadari, tapi hatiku berbisa melebihi ular dan
kalajengking, maka bolehlah kau sebut diriku sebagai Coa-katbijin
(si bidadari ular dan kalajengking) saja."
Bun-hiong merasa tertarik oleh keterangan orang, katanya
dengan tertawa, "Aku tidak takut pada Coa-kat-bijin, aku
justru takut pada Siang Po-hok dan si pelayan Jiu-goat yang
belum kulihat."
Perempuan itu alias Coa-kat-bijin tertawa, "Jangan takut,
tanpa panggilanku, tidak nanti Jiu-goat berani masuk ke sini,
apalagi Siang Po-hok, dia seorang kasim (kebiri), terhadap
orang perempuan dia cuma nafsu besar tenaga kurang."
"Dan ada keperluan apa engkau mengundangku ke sini?"
tanya Bun-hiong.
Coa-kat-bijin diam saja, entah tidak dengar atau sengaja tidak
menjawab. Maka Bun-hiong tanya pula, "Dari mana kau tahu aku akan
lalu di sini?"
"Kudengar dari orang," kata Coa-kat-bijin.
"Siapa yang bilang padamu?" desak Bun-hiong.
Coa-kat-bijin menaruh sisirnya, lalu berpaling dan tertawa
mengikik, katanya, "Hihi, sekarang jangan tanya hal-hal
demikian, mau?"
Bun-hiong menuju ke sana dan menutup pintu, lalu mendekati
si dia, desisnya dengan tertawa, "Aku tidak ingin menjadi
kekasihmu selamanya, tapi kalau cuma tinggal semalam saja
di sini tentu saja boleh."
Habis berkata si dia lantas dipondongnya dan dibawa ke
tempat tidur ....
***** Tidak terjadi sesuatu yang menakutkan atau menyusahkan
Pang Bun-hiong.
Apa yang terjadi ini sungguh suatu kejutan menyenangkan
baginya. Tapi Bun-hiong tahu, kecuali untuk menghilangkan "dahaga",
pasti si dia masih mempunyai maksud tujuan tertentu.
Begitulah dengan santai ia duduk bersandar di tepi ranjang
sambil minum sup sarang burung yang diantarkan Jiu-goat, ia
tanya dengan tersenyum, "Apakah engkau sering berbuat
begini?" Coa-kat-bijin menggelendot di sampingnya, jawabnya dengan
mata terpejam, "Tidak, tidak sering ...."
"Masa!" kata Bun-hiong.
"Betul," desis si cantik. "Soalnya lelaki yang muda dan gagah
cakap kan tidak banyak."
"Masa tidak punya kenalan lama?"
"Tidak, aku tidak suka main pacar-pacaran, terlalu cemplang
rasanya." "Orang yang pernah berkenalan denganmu tidak lagi datang
mencarimu?"
"Tidak, cukup sekali saja dan tidak pernah datang lagi," tutur
Coa-kat-bijin. "Sebab sudah kuperingatkan mereka dilarang
datang, bila datang lagi pasti kubunuh mereka, maka tidak
ada yang berani kemari lagi."
"Mana tidak pernah terjadi ada yang datang pula?" tanya Bunhiong
dengan tertawa geli.
"Ada juga."
"Oo, lantas benar kau bunuh dia?"
Si cantik meraba dada sendiri yang montok dan memikat itu,
ucapnya perlahan, "Ya, berturut-turut kubunuh tujuh orang
sampai sekarang."
Diam-diam Bun-hiong merasa ngeri, tanyanya pula,
"Sebenarnya sebab apa engkau membunuh mereka?"
"Hanya ada satu sebab," tutur Coa-kat-bijin alias si cantik
berbisa. "Yaitu, aku cuma suka kepada orang lelaki, tapi tidak
kenal cinta."
"Wah, jika begitu, bila kudatang lagi kelak, lantas
bagaimana?" tanya Bun-hiong.
"Sama juga," ucap si cantik sambil menggigit perlahan ujung
telinga anak muda itu dengan napasnya yang khas. "Kau pun
akan kubunuh terkecuali kedatanganmu nanti atas
persetujuanku."
"Tapi aku takkan datang lagi," ucap Bun-hiong dengan tak
acuh. "Kutahu, sudah banyak perempuan yang pernah kau kenal,
bukan?" "Ya, memang."
"Bagaimana menurut pendapatmu diriku dibandingkan
perempuan lain?"
"Jauh lebih merangsang."
Si cantik tersenyum, "Jika begitu, jadi engkau memang suka
kepada perempuan yang genit dan sexy?"
"Dulu tidak suka, tapi sekarang aku mulai suka," jawab Bunhiong.
"Apakah kau tahu seorang yang bernama Liong-hiap
Liong It-hiong?"
"Ya, tahu, cuma sayang belum pernah bertemu dengan dia,"
jawab Coa-kat-bijin.
"Dia sahabatku, dia yang memberitahukan padaku bahwa
makin genit seorang perempuan makin menyenangkan,
sekarang aku percaya."
"Wah, menurut ceritamu ini, dia pasti seorang lelaki yang
sangat menarik."
"Betul, dia memang sangat menarik."
"Maukah kau ajak dia ke sini dan perkenalkan padaku?"
"Baik, bila ada kesempatan pasti akan kubawa dia ke sini."
"Bilamana dia dapat memuaskanku, sesuai kebiasaanku, akan
kubayar dia. Tapi jika cuma potongannya saja sedap
dipandang tapi tidak enak dimakan, sesuai peraturan pula
akan kubunuh dia."
Bun-hiong berjingkat kaget, serunya, "Hah, terhadap lelaki
yang tidak dapat memuaskan seleramu tentu akan kau
bunuh?" "Betul," jawab Coa-kat-bijin tertawa. "Nah, kau takut tidak?"
Bergidik juga Bun-hiong, katanya, "Wah, untung aku tidak
membuatmu kecewa, apakah tadi aku dapat menunaikan
tugas dan memenuhi kehendakmu?"
Coa-kat-bijin mengecup pipinya sekali, katanya, "Engkau
sangat tangkas, aku puas dan berterima kasih."
Bun-hiong menaruh mangkuk sarang burung, lalu merangkul
pinggang si dia yang telanjang itu, digelitiknya perlahan dan
bertanya dengan tertawa, "Kapan akan kau enyahkan diriku?"
Si cantik ternyata takut geli, dipegangnya tangan Bun-hiong
yang nakal itu, jawabnya dengan mengikik tawa, "Pergilah
besok." "Jika begitu, jadi betul aku boleh tinggal satu malam di sini!"
Si cantik mengangguk, "Ya, makanya perlu kau sayangi waktu
semalam ini, sedetik berharga seribu tahil emas, betul tidak?"
"Bicara tentang nilai emas aku jadi ingin tanya padamu," ucap
Bun-hiong dengan tertawa. "Mengapa suamimu sedemikian
kaya raya!"
"Sebab dia seorang kepala bandit," jawab Coa-kat-bijin. "Harta
warisan yang ditinggalkannya kepadaku biarpun kugunakan
untuk foya-foya juga takkan habis tujuh turunan."
Tergerak hati Bun-hiong, cepat ia tanya, "Sesungguhnya siapa
suamimu!" "Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam," jawab Coa-kat-bijin.
Mata Bun-hiong terbelalak, "Aha, kiranya engkau istri Engjiauong Oh Kiam-lam"!"
"Aku bukan istrinya yang sah," tutur Coa-kat-bijin.
"Sesungguhnya aku cuma salah seorang perempuan
simpanannya saja."
Seketika terkilas semacam pikiran Bun-hiong, ia menduga
sangat mungkin orang yang diincar Tui-beng-poan-koan ialah
perempuan cantik berbisa ini, segera ia tanya, "Kudengar Oh
Kiam-lam sudah dibunuh orang, sesungguhnya siapakah
pembunuhnya?"
"Entah, aku pun tidak tahu," perlahan Coa-kat-bijin
menggeleng. "Konon dia terbunuh sehabis merampok uang pemerintah
sejumlah sejuta tahil perak, kau tahu hal ini?" tanya Bun-hiong
pula. "Tahu," jawab si cantik hambar.
"Dan satu juta tahil perak itu diberikan seluruhnya
kepadamu?"
Si cantik menggeleng, "Tidak, cuma uang yang
ditinggalkannya untukku memang sangat banyak. Kau tahu
dia memang seorang kaya, kutaksir kekayaannya tidak kurang
dari tiga juta tahil perak."
"Dan setelah dia mati, jatuh kepada siapa kekayaannya itu?"
tanya Bun-hiong.
"Entah, tidak diketahui ke mana perginya harta warisannya."
"Mengapa bisa begitu?" tanya Bun-hiong tercengang.
"Memang begitulah keadaan yang sebenarnya, tidak ada
seorang pun tahu di mana beradanya harta bendanya
sebanyak itu, termasuk ketujuh saudara angkatnya," tutur
Coa-kat-bijin tegas.
"Sungguh aneh, masa dia sengaja menyembunyikan harta
kekayaannya itu?" ujar Bun-hiong.
"Juga mungkin dirampas oleh orang yang membunuhnya itu,"
tukas Coa-kat-bijin.
"Apakah Ang-liu-soh Ban Sam-hian bertujuh tidak
mencurigaimu?"
Si cantik tertawa, "Jika mereka mengetahui Oh Kiam-lam
mempunyai simpanan serupa diriku tentu saja mereka akan
mencurigaiku dan yakin harta kekayaan Oh Kiam-lam telah
diserahkan padaku."
"Sama sekali mereka tidak tahu akan dirimu?" heran juga Bunhiong.
"Ya, tidak tahu," jawab Coa-kat-bijin. "Setiap setengah tahun
baru Oh Kiam-lam datang kemari satu kali untuk tetirah."
"Engkau memberi keterangan ini kepadaku, tidak khawatir
akan kusampaikan kepada Ang-liu-soh Ban Sam-hian
bertujuh?"
"Tidak, sebab kuyakin engkau takkan berbuat demikian,"
jawab si cantik dengan tertawa.
"Betul, tak mungkin kulakukan hal ini, cuma, mengapa kau
ceritakan hal-hal ini kepadaku?" tanya Bun-hiong pula dengan
tertawa. "Sebab ingin kubalas budi kebaikan Oh Kiam-lam terhadapku,"
jawab Coa-kat-bijin. "Maka ada niatku hendak menolong Oh
Beng-ay." "O, berita mengenai diculiknya Oh Beng-ay oleh Kiu-bwe-hou
Kongsun Siau-hui juga sudah kau dengar?" tanya Bun-hiong.
Coa-kat-bijin mengangguk, "Ya, kudengar engkau pernah
membuntuti Kiu-bwe-hou dan mengetahui tempat tinggalnya."
"Betul, kutahu sarang rase ekor sembilan itu, tapi tidak dapat
kuberi tahukan padamu," jawab Bun-hiong.
"O, apakah kau khawatir jiwaku akan melayang di tangan Kiubwehou?" "Betul, bisa jadi engkau berkepandaian tinggi, tapi Kongsun
Siau-hui adalah iblis tua yang sudah termasyhur sejak puluhan
tahun lalu, engkau mutlak bukan tandingannya."
"Aku tidak perlu langsung bergebrak dengan dia, aku
mempunyai cara sendiri untuk menyelamatkan nona Oh."
"Maksudmu, dengan mengorbankan kecantikanmu?" tanya
Bun-hiong. "Betul," si cantik tertawa. "Kudengar Kiu-bwe-hou adalah iblis
penggemar orang perempuan, maka aku ingin belajar kenal
dengan dia."
"Wah, tidak boleh jadi," Bun-hiong menggeleng kepala. "Jika
engkau berhubungan baik dengan dia, itu sama dengan
setangkai bunga segar ditancapkan di atas seonggok tahi
kerbau." "Hihihi," si cantik terkikik. "Aku ini bukan bunga segar, palingpaling
aku cuma setangkai bunga mawar yang berduri. Nah,
mau beri tahukan padaku sarang Kiu-bwe-hou?"
"Tidak, tidak boleh," berulang Bun-hiong menggeleng kepala.
Mendadak dari bawah selimut Coa-kat-bijin melolos keluar
sebilah belati mengilat dan mengancam di tenggorokan Bunhiong,
tanyanya dengan tertawa, "Benar tidak?"
Suara tertawanya merdu menyenangkan, tapi membuat orang
mengirik juga. Sama sekali Bun-hiong tidak menduga si cantik
menyembunyikan senjata tajam di tempat tidur, seketika ia
tidak sempat mengelak, keruan ia tidak bisa berkutik, dengan
melotot ia menjawab, "Wah, nanti dulu, sabar! Kasih sayang
semalam sebagai suami-istri tak terlupakan selama seratus
hari. Masa engkau sampai hati memperlakukan diriku cara
begini?" "Di dunia ini banyak sekali orang lelaki, berkurang dengan
dirimu seorang rasanya tidak membawa kerugian apa pun
bagiku," sembari bicara si cantik terus mendorong sedikit
belatinya, ancamnya dengan tertawa, "Nah, mau bicara
tidak?" "Baik, baik, akan kukatakan," cepat Bun-hiong menjawab, tapi
mendadak sebelah tangannya meraih ke atas dan tepat
mencengkeram pergelangan tangan si cantik yang memegang
belati itu, ketika ia remas sekuatnya, kontan Coa-kat-bijin
menjerit, belati pun jatuh ke lantai.
Menyusul tangan Bun-hiong yang lain juga mencengkeram
tangan lain si cantik, bahkan tubuhnya terus ditindihkan di
atas badan orang, katanya dengan tergelak, "Haha, biar
kukatakan padamu, selamanya aku tidak suka diancam orang
...." Mereka masih dalam keadaan telanjang bulat, keruan posisi
mereka sekarang menjadi serupa siluman yang sedang
bergumul. Karena urat nadi tangan tergenggam, sukar pagi Coa-kat-bijin
untuk mengeluarkan tenaga, di samping gugup ia pun cemas,
kontan ia mencaci maki, "Keparat! Jahanam!"
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 11 "Jika berani sembarangan memaki lagi bisa segera
kupotong hidungmu!" Bun-hiong balas mengancam dengan
tertawa. "Lepaskan!" teriak Coa-kat-bijin.
Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sebentar akan kulepaskan, sekarang aku ingin tahu dulu
namamu, coba katakan?" ucap Bun-hiong.
"Mati pun takkan kukatakan padamu," jawab si cantik dengan
geregetan. "Jika kau beri tahukan namamu, aku pun akan
memberitahukan padamu tempat tinggal Kiu-bwe-hou, mau?"
"Untuk apa kau tanya namaku?" teriak si cantik dengan gusar.
"Sebab aku sangat tertarik oleh perempuan seperti dirimu ini."
Mendadak lunak pendirian si cantik, katanya, "Baik, akan
kukatakan padamu, aku bernama Wan Kiau-kiau."
"Benar hendak kau tolong nona Oh?" tanya Bun-hiong.
Wan Kiau-kiau mengiakan.
"Terdorong oleh rasa simpatimu atau ada maksud tujuan
lain?" "Karena simpatiku, akan kubawa dia kemari untuk tinggal
bersamaku."
"Baik," kata Bun-hiong. "Kiu-bwe-hou berdiam di Ma-cik-san di
Thay-oh, nona Oh juga berada di sana."
Habis berucap ia lantas lepaskan tangan si nona.
"Enyah, sampai sesak napas kau tindih diriku!" seru Kiau-kiau
dengan napas tersengal.
Bun-hiong angkat tubuh, katanya dengan tertawa, "Ingin
kunasihatimu, jika benar karena simpatimu dan ingin
menolong nona Oh, maka sebaiknya jangan kau pergi ke
sana." "Sebab apa?" tanya Kiau-kiau dengan terbelalak.
"Bagaimana pribadi Kiu-bwe-hou tentu sudah kau ketahui
dengan jelas, permusuhannya dengan Oh Kiam-lam sangat
mendalam, bilamana dia tahu engkau adalah bekas piaraan
Oh Kiam-lam, tentu dia takkan mengampunimu."
"Aku tidak takut," kata Kiau-kiau. "Dengan parasku ini,
kuyakin tiada seorang lelaki pun takkan bertekuk lutut
padaku." Bun-hiong tertawa, katanya, "Bagaimana kalau kugantikan
dirimu pergi menolongnya?"
"Hm, engkau punya keberanian itu?" jengek Kiau-kiau.
"Semula tidak ada, tapi sekarang ada," jawab Bun-hiong.
"Mengadu jiwa demi perempuan cantik serupa dirimu kukira
cukup berharga."
Kiau-kiau tertawa, tanyanya, "Engkau bicara sesungguhnya?"
"Ya, kenapa tidak?" Bun-hiong mengangguk dengan
tersenyum. "Baik, kita pergi bersama," tukas Wan Kiau-kiau.
"Tidak, engkau tinggal saja di sini, biar kupergi sendirian."
"Tidak, betapa pun aku harus ikut pergi," kata Kiau-kiau tegas.
"Jika benar kau khawatir aku akan dicelakai Kiu-bwe-hou,
nanti setiba di Thay-oh biarlah kutinggal di tepi danau itu dan
tidak ikut mendaki Ma-cik-san."
"Jika begitu, buat apa ikut pergi?" ujar Bun-hiong.
"Sesudah nona Oh kau selamatkan, kan dapat kubawa dia ke
sini sehingga engkau tidak perlu lagi menempuh perjalanan
jauh kemari."
Sesungguhnya Bun-hiong memang tidak benar bermaksud
menyuruhnya tinggal di sini, maka ia lantas mengangguk
setuju, "Baik, cuma engkau harus berjanji aku masih boleh
datang lagi mencarimu."
Kiau-kiau meliriknya sekejap dengan tertawa, "Hm, tuman,
ya" "Ya, habis engkau sangat memikat," jawab Bun-hiong dengan
cengar-cengir. "Dari sini ke Thay-oh kira-kira makan waktu berapa lama?"
tanya si nona. "Bergantung cara bagaimana engkau menempuhnya, jika
menunggang kuda, paling lama setengah bulan," jawab Bunhiong.
"Wah, aku tidak suka menunggang kuda," ujar Kiau-kiau.
"Bagaimana kalau menumpang kereta saja?"
"Jika begitu diperlukan waktu 20-an hari," tutur Bun-hiong.
Kiau-kiau tersenyum menggiurkan, katanya, "Kalau begitu,
selanjutnya kita akan berada bersama selama 20-an hari,
keenakan bagimu, apa pula yang kau harapkan?"
Bun-hiong tertawa, "Kapan kita akan berangkat?"
"Besok," ucap si nona.
"Engkau mempunyai kereta"
"Ada."
"Jika begitu, pakai keretamu, aku keluar kuda, tapi siapa yang
akan menjadi kusir?" kata Bun-hiong.
"Siang Po-hok," tukas Kiau-kiau.
"Jiu Goat akan menjaga rumah sebesar ini sendirian, engkau
tidak khawatir?"
"Tidak menjadi soal, Kungfu Jiu Goat tidak lemah, kalau orang
persilatan biasa saja sanggup dihadapinya," ujar Kiau-kiau.
"Pula, terus terang kuberi tahukan padamu, di segenap
pelosok perkampunganku ini penuh terpasang alat perangkap,
orang biasa tidak dapat sembarangan masuk ke sini."
"Tadi bukankah aku sudah masuk kemari?" ujar Bun-hiong.
"Itu lantaran Siang Po-hok membawamu kemari, kalau tidak,
sampai tua pun engkau jangan harap akan mencapai tempat
tinggalku ini."
Bun-hiong tidak bicara lagi, tapi tangannya lantas beraksi pula
.... ***** Esok paginya mereka benar lantas berangkat dengan
menumpang kereta kuda, menuju ke utara.
Sementara itu Liong It-hiong juga sudah sampai di kota
Tengciu. Tengciu adalah kota pantai, suatu kota yang terkenal dengan
makanan laut, sedangkan pesut juga salah satu hidangan lezat
di kota ini, banyak orang yang berdatangan hanya khusus
ingin mencicipi daging pesut.
Dengan sendirinya kedatangan Liong It-hiong ke Tengciu ini
bukan untuk makan pesut melainkan karena mengusut dan
hendak menangkap Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan, sebab
menurut catatan dalam kitab Tui-beng-poan-koan To Po-sit
mengenai tokoh-tokoh dunia persilatan, perangai Hui Giokkoan
tercatat sebagai gemar makan ikan pesut, setelah
berhasil membawa lari kotak hitam itu, sangat mungkin dia
datang ke Tengciu untuk makan-minum sepuasnya.
Namun Tengciu juga bukan kota yang kecil, bila benar Hui
Giok-koan datang ke sini, lantas di mana dia akan memondok"
Sukar bagi It-hiong untuk mencari tahu apakah Hui Giok-koan
mempunyai kenalan di kota ini, sebab itulah dia cuma
memperkirakan Hui Giok-koan memondok di suatu hotel di
dalam kota, dan untuk menemukan dia harus didatangi dua
tempat, yaitu di hotel atau di restoran.
Setelah dipikir It-hiong memutuskan akan mulai mencarinya
dari hotel ke hotel.
Dari orang di pinggir jalan dapat diketahuinya bahwa di kota
ini seluruhnya ada tiga buah hotel besar, yang pertama
bernama In-hay-khek-can, kedua Sian-ci-lan-can dan ketiga:
Kah-pin-koh-can. Langsung ia menuju ke In-hay-khek-can.
Tidak lama sampailah dia di depan hotel tersebut.
Melihat kedatangan tamu, cepat pelayan menyambutnya
dengan tertawa, katanya sambil memberi hormat, "Apakah
Tuan tamu ingin bermalam?"
Lebih dulu It-hiong memberi tip sepotong perak receh,
katanya, "Tidak, aku ingin mencari seorang teman, entah dia
tinggal di sini atau tidak?"
Karena mendapat persen, dengan senang si pelayan
menjawab, "Ya, ya, numpang tanya siapa nama teman Tuan
itu" "Namanya Hui Giok-koan," tutur It-hiong.
"Hui Giok-koan," si pelayan mengulang nama itu sambil
berpikir. "Oo ... rasanya di tempat kami tidak terdapat tamu
bernama demikian ...."
"Coba kau periksa daftar tamu di kantor," pinta It-hiong.
Pelayan mengiakan terus menuju ke dalam hotel untuk tanya
kasir di belakang meja, lalu keluar lagi dan memberi
keterangan kepada It-hiong, "Maaf, Tuan tamu, di sini tidak
terdapat tamu yang Tuan cari."
It-hiong termenung sejenak, katanya kemudian, "Mungkin dia
menggunakan nama samaran. Dia berusia antara 37-38 tahun,
perawakannya agak lebih kurus sedikit daripadaku, juga lebih
pendek sedikit. Wajahnya terhitung cakap, tampaknya rada
menakutkan, sikapnya angkuh dan dingin."
Pelayan berpikir lagi sejenak, lalu bertanya, "O, apakah dia
selalu membawa senjata berbentuk potlot?"
"Aha, betul, betul dia, apakah dia masih tinggal di hotel
kalian?" seru Bun-hiong dengan girang.
"Wah, sayang, dia sudah berangkat kemarin," tutur si pelayan.
"O, sudah berangkat"!" sungguh It-hiong sangat kecewa.
"Betul, dia tinggal dua hari di sini dan baru kemarin siang
berangkat."
"Apakah dia tidak menyatakan hendak menuju ke mana?"
tanya It-hiong pula.
"Tidak, cuma sangat mungkin dia belum meninggalkan kota
ini, sebab pagi kemarin dia menyuruh hampa membelikan
sejumlah kado, katanya hendak mengucapkan selamat ulang
tahun kepada seorang kawannya."
"Apakah dia tidak menjelaskan siapa nama kawannya?" tanya
It-hiong cepat.
"Wah, tidak," jawab si pelayan.
"Berdasarkan apa kau bilang dia belum meninggalkan kota
ini?" tanya It-hiong.
"Sebab dia menunggang kuda, juga tidak menyewa kereta dan
pergi begitu saja dengan membawa kado yang hamba belikan
itu, tampaknya dia tidak siap untuk menempuh perjalanan
jauh." It-hiong manggut-manggut, "Baik, terima kasih atas
keteranganmu."
"Terima kasih kembali," jawab si pelayan.
It-hiong lantas naik lagi kudanya dan menyusuri jalan raya
sembari berpikir, "Kedudukan Hui Giok-koan di kalangan hitam
tidak terhitung rendah, jika dia benar akan memberi selamat
ulang tahun kepada seorang kawannya, orang yang dimaksud
tentu tokoh yang punya nama. Biarlah kucari tahu dulu,
adakah tokoh dunia persilatan terkenal di kota ini?"
Untuk mencari keterangan tokoh dunia persilatan hanya ada
dua tempat, yaitu rumah perguruan silat atau perusahaan
pengawalan (Piaukiok).
Begitulah It-hiong mengambil keputusan akan mencari
keterangan ke tempat-tempat tersebut.
Tapi meski dia sudah melintasi beberapa jalan besar di kota ini
tetap belum ditemukan sesuatu Bu-koan (perguruan silat) atau
Piaukiok. Ia turun dari kudanya dan coba tanya seorang kakek penjual
kurma, dari orang tua inilah diketahuinya di kota Tengciu tidak
terdapat rumah perguruan silat atau perusahaan pengawalan.
Ia coba tanya pula, "Jika begitu, numpang tanya lagi, apakah
di kota ini atau sekitarnya tidak terdapat seorang tokoh yang
berilmu silat tinggi?"
"Wah, aku tidak tahu," jawab si kakek sambil geleng kepala.
Maksud It-hiong hendak tinggal pergi, tiba-tiba teringat lagi
sesuatu, ia coba tanya pula. "Apakah bapak tahu di daerah
mana di kota ini dapat membeli ikan pesut?"
"Beli saja di rumah makan atau di pasar," jawab si kakek.
"Maksudku, di mana dapat membeli pesut hidup?" kata Bunhiong.
Orang tua menuding ke arah timur, katanya, "Di luar kota
sana ada sebuah sungai besar bernama Lau-kong-ho, di sana
biasanya terjadi jual-beli pesut hidup, silakan Kongcu mencari
saja ke sana."
It-hiong mengucapkan terima kasih dan segera melarikan
kudanya ke gerbang timur kota.
1a menduga harapan tipis untuk dapat menemukan Hui Giokkoan,
tapi mengingat sudah berada di kota ini, betapa pun
harus berusaha mencari lagi. Jika Hui Giok-koan mempunyai
kegemaran makan ikan pesut, terpaksa ia mencarinya ke
tempat yang biasa terdapat pesut.
Langsung ia menuju keluar kota mengikuti jalan raya, tidak
lama kemudian, benar juga terlihat sebuah sungai, tertampak
di kedua sisi tanggul sungai ada belasan rumah penduduk, ia
pikir orang-orang ini tentu kaum nelayan yang biasa
menangkap ikan dan pecut, segera ia datangi rumah-rumah
penduduk itu. Baru sampai di depan rumah-rumah itu, terdengar di tepi
sungai sana ada orang berteriak, "Aha, bagus, akhirnya
berhasil menangkap seekor!"
Karena teriakan itu, serentak banyak orang berlari ke sana
sembari berteriak senang, "Wah, besar amat pesut ini. Ai, Malotia,
mujur benar nasibmu, pesut ini sedikitnya laku terjual
dua tahil perak."
Meski It-hiong pernah juga makan daging pesut, tapi belum
pernah melihat bagaimana bentuk pesut hidup, segera ia
melarikan kudanya ke sana.
Setiba di tepi sungai, ia turun dari kudanya dan ikut berjubel
di tengah kerumunan orang banyak, dilihatnya seekor pesut
telah diseret ke tepi sungai, panjang pesut itu hampir satu
meter, tubuhnya bulat, bagian perut melembung, bentuknya
jelek. Akan tetapi Ma-lotia atau bapak Ma yang menangkapnya
kelihatan kegirangan serupa menemukan benda mestika.
"Ayo, lekas, bawa pesut ini ke tempat Wi-cengcu," seru
seorang. "Wah, jangan, sudah terlambat," tukas seorang lagi.
"Terlambat katamu?" tanya seorang lain.
"Ya, sekarang kan sudah lewat tengah hari?" ucap orang
kedua tadi. "O, maksudmu sudah lewat waktunya perjamuan tengah
hari?" "Betul."
"Wah, benar juga. Sungguh sayang. Bilamana tertangkap dua
jam yang lalu tentu keburu dijual kepada Wi-cengcu."
"Tidak menjadi soal, boleh dijual saja kepada restoran di kota,
tetap mendatangkan rezeki."
"Hei, Ma-lotia, hendak kau jual ke mana?" demikian tanya
seorang penduduk.
"Kupikir akan kujual kepada Wi-cengcu saja," uc
Bara Naga 15 Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemetik Harpa 20
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama