Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L Bagian 8
an-jangan di tengah perjalanan ada orang akan menolongmu, kan bisa
runyam." "Tidak ada orang yang mau turun tangan menolongku," kata
Giok-koan. "Ah, sukar diramalkan, saat ini tidak sedikit orang yang sedang
mengincar kotak pusaka itu," ujar Wi Ki-tiu.
"Boleh kau bawaku pergi secara diam-diam, kan tidak akan
diketahui orang luar?" kata Giok-koan. "Andaikan diketahui
satu-dua orang, dengan kehebatan Kungfumu masakah
khawatir tidak dapat menghadapinya?"
"Tidak, aku tak mau mengambil risiko begitu," ujar Wi Ki-tiu
sambil menggeleng. "Lebih baik kau katakan saja tempatnya,
biar kupergi mengambilnya sendiri."
Hui Giok-koan tersenyum getir, "Jika engkau berkeras
demikian, apa yang dapat kukatakan lagi?"
"Jadi tidak mau kau katakan?" Wi Ki-tiu menegas dengan sorot
mata tajam. "Apa boleh buat, bila perlu boleh kau bunuh aku saja," jawab
Hui Giok-koan tegas.
"Hm, tidak seenak itu," jengek Wi Ki-tiu. "Apakah kau tahu
apa tindakan keji selanjutnya yang akan kulaksanakan?"
"Terserah padamu," jawab Giok-koan dengan nekat.
"Baik. Lik-cu, lepaskan dia keluar!" seru Wi Ki-tiu.
Lik-cu mengiakan dengan tertawa, lalu mendekati dinding
sana serta menekan sekali pada dinding itu.
Seketika dinding itu berputar dan terbuka sebuah pintu
rahasia, Lik-cu melangkah masuk ke sana, tidak lama
kemudian ia putar balik lagi.
Tapi di belakangnya ternyata ikut merayap keluar seekor
buaya raksasa yang kelihatan sangat menakutkan.
Liong It-hiong menarik napas dingin, pikirnya dengan kaget,
"Buset! Ternyata dia memiara seekor buaya sebesar ini di Cuicikiong ini!"
Setelah memandu keluar buaya besar itu, Lik-cu lantas
memegang lagi cambuknya dan disabetkan ke udara, "tarrr",
cambuk berbunyi nyaring.
Agaknya buaya itu sudah terlatih baik, seketika ia berhenti di
tempat tanpa bergerak lagi.
Dengan tertawa Wi Ki-tiu berkata, "Buaya piaraanku ini sudah
beberapa hari tidak kuberi makan, tentu dia sedang kelaparan
sekali," kata Wi Ki-tiu dengan tertawa.
Muka Hui Giok-koan tampak pucat pasi, jelas sangat
ketakutan. Segera Wi Ki-tiu menyambung lagi, "Tapi buaya ini juga sudah
lama terlatih dengan baik, jika kuperintahkan dia menggigit
sekali, tidak nanti dia menggigit dua kali. Bila kusuruh dia
menggigit pahamu, tidak mungkin dia menggigit tanganmu.
Nah, Lik-cu, pertunjukkan kepadanya!"
Rupanya Lik-cu sudah biasa menjadi pawang buaya, segera ia
angkat cambuknya dan berbunyi "tar-tar" dua kali.
Seketika buaya itu menggelinding satu kali di lantai.
"Tar-tarr", cambuk berbunyi lagi dan kontan buaya berguling
pula satu kali.
"Tar-tar-tarrr", cambuk berbunyi tiga kali, mendadak buaya itu
menengadah dan membuka mulutnya lebar-lebar dengan
lagak buas hendak mencaplok mangsanya.
Keruan Hui Giok-koan ketakutan setengah hati, sukma pun
seakan-akan terbang meninggalkan raganya, sekujur badan
sama bergemetar hebat.
"Hahahaha!" Ki-tiu tertawa senang. "Nah, coba pikirkan lagi.
Jika engkau tetap bandel dan tidak mau mengaku, segera
akan kuberi perintah!"
Meski ketakutan dan keringat dingin memenuhi jidatnya,
namun Hui Giok-koan tetap diam saja.
Wi Ki-tiu menarik muka, bentaknya mendadak, "Baik, suruh
ganyang dulu anunya!"
"Tar-tar-tar-tarrr", kontan Lik-cu membunyikan cambuknya
empat kali. Seketika kepala buaya terangkat lebih tinggi dan hampir
mencapai selangkangan Hui Giok-koan, jika moncongnya
terjulur lagi sedikit ke atas, alat vital Hui Giok-koan pasti akan
diganyang mentah-mentah.
Saking ketakutan akhirnya Hui Giok-koan berteriak, "Ya,
sudahlah! Akan kukatakan, lekas mengenyahkan dia!"
"Sekarang dia tidak akan menggigitmu sebelum kuberi
perintah lebih lanjut," ucap Wi Ki-tiu. "Nah, coba katakan
lekas!" "Setelah kukatakan harus segera kau bebaskan kupergi," kata
Hui Giok-koan. "Hah, masih pakai tawar-menawar segala"!" jengek Wi Ki-tiu.
"Tidak, tidak bisa. Jika sembarangan kau sebut suatu tempat
dan aku tertipu kian kemari secara sia-sia, kan runyam. Maka
harus menunggu setelah benar kudapatkan kotak hitam itu
barulah akan kubebaskan dirimu."
Dengan mendongkol Hui Giok-koan berkata, "Tempat
simpanan kotak itu sangat jauh letaknya, pergi pulang dari sini
diperlukan waktu setengah bulan, memangnya akan kau
gantung diriku selama setengah bulan?"
"Tidak, takkan terjadi demikian, dapat kukurung dirimu di
suatu kamar rahasia," kata Wi Ki-tiu tertawa.
"Bilamana kotak itu sudah kau dapatkan dan nanti kau ingkar
janji tidak mau membebaskan diriku, engkau ini adalah anak
haram piaraan biang anjing, jadi"!" tanya Giok-koan.
"Boleh, jadi!" jawab Wi Ki-tiu sambil bergelak tertawa.
"Kotak pusaka itu kusembunyikan di bawah Jian-swe-siong
(cemara seribu tahun) di Cong-beng-to, boleh kau ambil ke
sana," tutur Giok-koan akhirnya.
"Kutahu Cong-beng-to, tapi Jian-swe-siong itu barang macam
apa?" tanya Wi Ki-tiu.
"Namanya Jian-swe-siong, dengan sendirinya menandakan
pohon cemara yang teramat tua, setiap orang yang tinggal di
pulau Cong-beng itu sama tahu di mana letak pohon raksasa
itu," jawab Giok-koan.
"Kotak itu kau tanam di bawah pohon?" Wi Ki-tiu menegas.
"Tidak, kusembunyikan di dalam lubang batang pohon," tutur
Giok-koan. "Tidak sampai ditemukan orang lain?" tanya Wi Ki-tiu.
"Tidak mungkin," kata Giok-koan. "Tempat itu dekat pantai,
sekeliling pohon adalah batu karang belaka, suatu tempat
yang jarang didatangi manusia."
"Keteranganmu ini tidak dusta?" tanya pula Wi Ki-tiu.
"Jiwaku berada dalam cengkeramanmu, apa gunanya
berdusta?"
"Baik, apabila kotak hitam itu tidak kutemukan, nanti akan
kusuruh buaya ini makan dagingmu sehari sepotong," jengek
Wi Ki-tiu. "Kapan engkau akan berangkat?" tanya Giok-koan tiba-tiba.
"Tunggu nanti setelah Sun Thian-tik pergi," jawab Ki-tiu.
Mendengar sampai di sini, cepat Liong It-hiong memberi tanda
agar Sun Thian-tik merapatkan pintu dan membisikinya, "Suntayhiap,
lekas kau bawa Long-giok kembali ke kamarmu."
Thian-tik melengak, tanyanya lirih, "Untuk apa lagi
membawanya kembali ke kamar" Kan sekarang juga dapat
kita angkat kaki dari sini?"
"Tidak, kita takkan pergi sekarang, harus tinggal sementara
dulu di sini untuk menolong orang," desis It-hiong.
Tentu saja Sun Thian-tik heran dan bingung, "Apa artinya ini?"
"Jangan tanya dulu, sebentar akan kujelaskan," kata It-hiong.
"Sekarang lekas kau bawa dia kembali ke kamar, sangat
mungkin Wi Ki-tiu akan mendatangi kamarmu untuk
memeriksa gerak-gerikmu."
Meski penuh diliputi rasa sangsi, tahu juga Sun Thian-tik
bahwa tujuan It-hiong tetap tinggal di situ untuk menolong
Hui Giok-koan pasti mempunyai alasan yang kuat. Maka ia
tidak berani ayal lagi, cepat ia memondong Long-giok dan
membisikinya, "Jangan khawatir, jantung hati, biarlah kita
kembali dulu ke kamarku di wisma tamu tadi."
Dengan bingung Long-giok bertanya dengan lirih, "Sebab apa"
Kan Hui Giok-koan sudah mengaku tempat sembunyi kotak
pusaka itu, dapatlah kau bawaku pergi dari sini!"
Thian-tik membawa si nona menuju ke pintu rahasia tadi,
sembari memencet tombol ia menjawab, "Dengan sendirinya
akan kubawamu kabur, cuma tidak sekarang, apa alasannya
biar sebentar lagi akan kukatakan padamu."
Waktu pintu terbuka, cepat ia membawa Long-giok berlari
melalui lorong di depan sana.
Segera It-hiong ikut keluar dan menutup kembali pintu rahasia
itu serta ikut lari masuk ke lorong.
Hanya sebentar saja mereka bertiga sudah berada kembali di
kamar wisma tamu.
It-hiong memeriksa keadaan dalam kamar, dilihatnya cuma di
kolong ranjang saja dapat bersembunyi, ia lantas berkata
kepada mereka berdua, "Lekas kalian naik ke tempat tidur dan
pura-pura tidur, aku pun akan sembunyi di kolong ranjang.
Sebentar kalau Wi Ki-tiu sudah memeriksa kemari barulah kita
bicara lagi."
Habis bicara ia terus menyusup ke kolong tempat tidur.
Sun Thian-tik dan Long-giok juga tahu Wi Ki-tiu pasti akan
datang mengontrol mereka, cepat mereka membuka baju dan
berlagak tidur habis "bekerja berat".
Long-giok merasa tidak mengerti, dengan suara lirih ia coba
tanya, "Mengapa kalian tidak sekarang juga membawa lari
diriku?" "Tidak," bisik Sun Thian-tik, "Kawanku bilang harus tinggal
dulu di sini untuk menolong Hui Giok-koan."
"Untuk apa menolong dia?" tanya Long-giok tidak paham.
"Aku pun tidak tahu," ujar Thian-tik. "Cuma dia pasti
mempunyai alasan yang kuat, sebentar urusan pasti akan
dibereskan olehnya."
Perlahan ia menepuk bahu si nona dan berkata pula, "Jangan
khawatir, pasti akan kubawamu meninggalkan tempat ini.
Cuma sebentar kalau Wi Ki-tiu datang kemari hendaknya kau
bantu main sandiwara dengan baik, jangan memperlihatkan
sesuatu tanda mencurigakan, kalau tidak ...."
Long-giok tersenyum, "Kalau tidak aku akan kau bunuh,
begitu bukan?"
Dengan serius Thian-tik menjawab, "Betul. Bila engkau berhati
tulus padaku, pasti akan kubawamu melepaskan diri dari
cengkeraman iblis tua itu. Tapi kalau engkau cuma pura-pura
saja dan cinta palsu, tentu aku pun tidak segan bertindak
keras padamu."
"Engkau jangan khawatir, hamba benar-benar ingin melarikan
diri dari sini dan ikut padamu selama hidup," jawab Long-giok
mantap. "Tadi aku mengintip cara bagaimana Wi Ki-tiu memperlakukan
kawan-kawanmu di kolam mandi, caranya itu memang kotor
dan sadis, pantas kau ingin minggat dari sini."
"Dahulu dia memang tangkas dan agresif, tapi akhir-akhir ini
sudah keropos serupa kayu dimakan rayap, sebab itulah ... ai,
kalau kuceritakan sungguh sangat menggemaskan. Pendek
kata dia bukan lagi manusia melainkan tiada ubahnya serupa
hewan." Mendadak Sun Thian-tik mendesis, "Sst, jangan bicara lagi,
mungkin dia datang!"
Baru selesai ucapannya, benar juga lantas terdengar suara
pintu kamar diketuk orang dari luar.
Cepat Thian-tik menyingkap kelambu dan berseru, "Siapa itu?"
"Aku!" ternyata benar suara Wi Ki-tiu.
Segera Thian-tik melompat turun dan membukakan pintu,
sapanya dengan hormat, "Ah, rupanya Wi-cengcu belum
tidur?" Wi Ki-tiu melongok ke dalam kamar, melihat kelambu
setengah tersingkap, ia tertawa d berkata, "Ya, aku belum
tidur. Habis pulang dan mengontrol keadaan seluruh
kampung." "Apakah menemukan jejak musuh?" tanya Sun Thian-tik.
"Tidak ada," jawab Wi Ki-tiu dengan menggeleng. "Kukira
sudah lari ketakutan oleh suara bende tadi."
Lalu ia menuding Long-giok yang tergolek tempat tidur,
tanyanya dengan suara tertahan, "Bagaimana dia" Lumayan
bukan?" "Ya," jawab Sun Thian-tik dengan cengar-cengir. "Tak
kusangka di Liong-coan-ceng terdapat cewek secantik itu.
Sungguh tidak percuma kunjunganku ini, banyak terima kasih
atas pelayananmu."
Wi Ki-tiu memperlihatkan senyum kikuk, katanya, "Jika Suntayhiap
cocok dengan dia, apa salahnya tinggal lagi beberapa
hari di sini."
"Wah, tidak, jangan, aku masih banyak pekerjaan, besok juga
ingin mohon diri," cepat Thian-tik menjawab.
Wi Ki-tiu juga tidak menahannya, katanya dengan tertawa,
"Jika begitu silakan tidur lagi, maaf jika kuganggu
keasyikanmu. Sampai bertemu besok!"
"Sampai bertemu!" jawab Sun Thian-tik sambil memberi
hormat. Dengan tersenyum Wi Ki-tiu lantas tinggal pergi.
Setelah menutup pintu kembali, Thian-tik coba mendengarkan
dengan cermat, demi mendengar tingkah tuan rumah sudah
keluar wisma tamu barulah ia putar balik ke depan tempat
tidur, ucapnya sambil melongok ke kolong ranjang, "Sudah
aman, bolehlah kau keluar!"
It-hiong merangkak keluar dari tempat sembunyinya, ucapnya
dengan tertawa, "Eh, bila engkau tidak keberatan, bagaimana
kalau kita bertiga bicara saja di tempat tidur?"
Setelah menonton mandi telanjang kelima cewek ayu tadi,
sebenarnya nafsu berahi Sun Thian-tik jadi terbakar sehingga
sangat ingin bergumul lagi dengan Long-giok, maka ucapan
Liong It-hiong itu membuatnya kurang senang, tanyanya,
"Apakah kita akan bicara sampai pagi?"
"O, tidak, tentu saja tidak," ujar It-hiong dengan tertawa.
"Begitu selesai kita berunding, segera kuangkat kaki."
Karena janji ini barulah Sun Thian-tik mengangguk, katanya
dengan tertawa, "Baiklah, cuma jangan bicara terlampau
lama, sebab aku sudah mengantuk dari ingin istirahat."
Begitulah mereka lantas naik ke tempat tidur dan duduk,
kelambu diturunkan pula.
Long-giok sendiri tidak merasa kikuk, katanya, "Sub-toaya,
sekarang engkau kan boleh membuka Hiat-toku?"
"Tidak, belum bisa," jawab Sun Thian-tik. "Bukan karena aku
Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak percaya kepadamu, soalnya kita masih berada di sarang
naga dan gua harimau yang berbahaya ini, terpaksa kita harus
bertindak lebih hati-hati."
Lalu ia berpaling terhadap Liong It-hiong dan berkata pula,
"Mengapa hendak kau selamatkan Hui Giok-koan?"
"Sebab dia dusta, kotak pusaka itu pasti tidak
disembunyikannya di Cong-beng-to," kata It-hiong.
Thian-tik melengak, "Dari mana kau tahu?"
"Hal ini kutaksir menurut waktu perjalanannya," tutur It-hiong.
"Tempo hari setelah dia berhasil merampas kotak pusaka itu,
sampai sekarang baru sepuluh hari. Jika dia membawa kotak
itu ke Cong-beng-to, sedikitnya dia perlu buang waktu tigaempat
hari lebih banyak baru bisa sampai di sini. Sebab itulah
pengakuannya kotak pusaka disembunyikan di Cong-beng-to
pasti tidak betul."
Baru sekarang Sun Thian-tik paham maksud Liong It-hiong,
katanya, "Hah, dia ternyata berani berdusta, apa dia tidak
takut pada buaya tadi?"
"Ia sengaja menipu Wi Ki-tiu meninggalkan
perkampungannya, habis itu baru berdaya melarikan diri,
dengan waktu setengah bulan mungkin ia yakin pasti akan
mampu meloloskan diri."
"Wi Ki-tiu adalah manusia licik dan licin, masakah dia sama
sekali tidak menaruh curiga akan muslihat Hui Giok-koan ini?"
kata Thian-tik.
Ia sendiri yakin Hui Giok-koan takkan mampu kabur dari
Liong-coan-ceng, dengan sendirinya dia tidak perlu sangsi.
"Dan sekarang cara bagaimana akan kau tolong dia?" tanya
Sun Thian-tik. Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 13 Liong It-hiong tidak segera menjawab, ia menoleh dan
berkata kepada Long-giok, "Nona Giok, dengan setulus hati
kuharap engkau benar-benar akan kembali ke jalan yang baik,
bilamana kau rusak rencana kerjaku, andaikan Sun-tayhiap
mau mengampunimu juga aku tidak dapat memberi ampun."
"Hamba tidak pernah menyatakan hendak meninggalkan
kejahatan dan kembali ke jalan yang baik, aku cuma ingin
lekas meninggalkan tempat ini untuk seterusnya hidup
bersama Sun-tayhiap," jawab Long-giok.
"Walaupun tingkah Wi Ki-tiu berbeda dengan orang biasa, tapi
kekayaannya jarang ada bandingannya, pula tidak jelek dia
memperlakukan dirimu, mengapa kau ingin meninggalkan
dia?" tanya It-hiong pula.
"Memangnya kau kira orang perempuan akan puas asalkan
mendapatkan suami yang kaya?" kata Long-giok. "Biarlah
kukatakan terus terang, Wi Ki-tiu sudah tua lagi buruk rupa,
selamanya tidak pernah membuatku puas, masa kupikirkan
harta kekayaannya saja?"
Ia berhenti sejenak sambil melirik Sun Thian-tik sekejap, lalu
menyambung dengan tertawa, "Hamba cuma suka kepada
orangnya. Sun-tayhiap menyenangkanku, makanya kurela ikut
dia." Sun Thian-tik merasa berjaya, dengan tertawa ia berkata,
"Terima kasih atas pujianmu, selama ini orang she Sun tidak
pernah mendapatkan penghargaan orang perempuan, mereka
sama menganggap aku miskin dan kotor, tidak ada yang mau
menjadi istriku."
"Engkau tidak miskin," kata Long-giok. "Soal kotor, asalkan
kuanggap hatimu tidak kotor kan cukup."
"Baik," sela It-hiong. "Sekarang Sun-tayhiap sudah mau
padamu, maka seterusnya engkau tidak boleh berhati cabang,
dengan sendirinya juga tidak boleh mengkhianati kami berdua,
tahu?" Long-giok mengiakan.
"Nah, sekarang akan kujelaskan rencanaku," tutur It-hiong.
"Esok pagi hendaknya Sun-tayhiap mohon diri kepada Wi Kitiu,
pura-pura meninggalkan Tengciu agar Wi Ki-tiu berangkat
ke Cong-beng-to tanpa khawatir ...."
***** Begitulah esok paginya sewaktu Long-giok masih tidur
nyenyak, Sun Thian-tik lantas bangun dan keluar, ia tanya
kepada seorang centeng, "Apakah Cengcu kalian sudah
bangun?" "Belum," jawab centeng itu dengan hormat. "Semalam Cengcu
tidur sangat terlambat, mungkin sebentar lagi baru akan
bangun." "Di manakah Lokoankeh?" tanya Thian-tik.
"Kalau Lokoankeh sudah bangun pagi-pagi," tutur si centeng.
"Bolehkah tolong panggil dia ke sini, aku ada urusan," kata
Thian-tik. Centeng itu mengiakan terus melangkah pergi.
Tidak lama kemudian Lokoankeh sudah muncul, dengan
tertawa ia memberi hormat dan berkata kepada Sun Thian-tik,
"Wah, pagi benar Sun-tayhiap bangun, apakah ada urusan
penting?" "Ya, ada sedikit urusan dan harus segera mohon diri," jawab
Thian-tik, "Konon Cengcu belum bangun, maka ...."
"Sun-tayhiap kan belum sarapan pagi, mana boleh berangkat
begini saja, silakan makan dulu baru berangkat," kata
Lokoankeh. "Tidak usah," ujar Sun Thian-tik. "Aku tidak biasa sarapan
pagi, pula aku memang ada urusan harus segera berangkat.
Nanti kalau Cengcu bangun, tolong sampaikan tentang
keberangkatanku ini, katakan aku tidak sempat mohon diri
dan sampaikan terima kasihku atas segala pelayanan beliau
yang baik ini."
"Tidak, jangan," kata Lokoankeh, "jika Sun-tayhiap terburuburu
hendak berangkat, biarlah hamba laporkan saja kepada
Cengcu." Habis bicara segera ia masuk ke dalam untuk lapor.
Tidak lama kemudian Kui-sui-poa. Wi Ki-tiu tampak keluar
dengan wajah kelihatan baru bangun tidur, begitu masuk
ruang tamu segera ia menegur, "Ai, Sun-tayhiap, mengapa
pagi-pagi begini engkau akan berangkat" Jangan-jangan
karena ladenan Long-giok kurang memuaskanmu?"
"Ah, mana," jawab Sun Thian-tik dengan tersenyum. "Dia
telah memberi servis dengan sangat memuaskan, soalnya aku
memang ada urusan dan harus cepat-cepat kuselesaikan,
biarlah lain kali saja kudatang lagi," jawab Sun Thian-tik.
"Sun-tayhiap hendak menyelesaikan urusan penting apa?"
tanya Wi Ki-tiu.
"Aku telah berjanji untuk bertemu di suatu tempat dengan
seorang sahabat," tutur Thian-tik. "Jika tidak lekas
kuberangkat mungkin akan terlambat."
"Jika begitu, berangkatlah setelah sarapan pagi," ujar Wi KiKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
tiu. "Jangan sungkan, Wi-cengcu," kata Thian-tik. "Aku pun tidak
biasa makan pagi .... Ah, ya, sebentar bila Hui Giok-koan
bangun, harap Cengcu sampaikan padanya bahwa aku sudah
berangkat lebih dulu."
"Baiklah, akan kusampaikan padanya," jawab Wi Ki-tiu. "Bila
kiranya Sun-tayhiap akan pesiar lagi ke Tengciu sini?"
"Begitu ada waktu luang pasti kudatang lagi," kata Thian-tik
dengan tertawa. "Selain itu, bilamana Cengcu memerlukan
tenagaku, silakan mengirim kabar saja, bahwasanya Cengcu
telah memberi pelayanan sebaik ini kepadaku, adalah pantas
bilamana kubalas."
"Ah, kenapa Sun-tayhiap bicara seperti ini, serupa baru saja
kenal," ujar Wi Ki-tiu sambil tergelak. "Sungguh kunjungan
Sun-tayhiap ini merupakan suatu kehormatan besar bagiku,
selanjutnya, persahabatan kita sudah jelas tambah kekal,
kenapa mesti sungkan dan rendah hati."
Sun Thian-tik menengadah dan terbahak-bahak, lalu memberi
hormat dan berkata, "Jika demikian, biarlah sekarang juga
kumohon diri."
Wi Ki-tiu terus mengantarnya hingga keluar kampung, lalu
memberi pesan pula, "Selanjutnya bila Sun-tayhiap ada waktu
luang hendaknya suka mampir kemari, mungkin tidak lengkap
persediaan perkampungan kami ini, tapi kalau daging pesut
pasti tidak pernah absen."
"Oya, pasti datang, pasti datang!" seru Thian-tik dengan
tertawa. "Di tempat Anda tidak cuma daging pesut saja sangat
enak dimakan, juga di sini banyak nona cantik yang memikat."
"Haha, asal tahu saja!" Wi Ki-tiu terbahak. "Maaf, tidak antar
lebih jauh."
"Sampai bertemu!" seru Thian-tik sambil memberi salam.
Wi Ki-tiu memandangi kepergian orang hingga jauh barulah
masuk kembali ke kampung. Tertampil rasa senang pada
wajahnya, ucapnya dengan bergumam, "Hm, semula kukira
dia datang dengan tujuan tertentu, rupanya cuma ingin cari
kesenangan saja ...."
"Dia sudah pergi, Cengcu?" tanya Lokoankeh sambil
menyongsong sang Cengcu.
"Ehm, sudah pergi," Wi Ki-tiu mengangguk.
"Sekarang Loya (tuan besar) tentu tidak perlu khawatir lagi,"
ujar Lokoankeh dengan tertawa.
Wi Ki-tiu lantas menuju ke wisma tamu, sambil berjalan ia
berkata, "Ya, sekarang boleh kau berbenah seperlunya bagiku,
sehabis menyamar segera aku akan berangkat."
Lokoankeh mengiakan dan balik ke rumah induk.
"Eh, nanti dulu," seru Wi Ki-tiu mendadak.
"Loya ada pesan apa lagi?" tanya Lokoankeh.
"Pada waktu aku pergi nanti, hendaknya kau awasi dengan
lebih hati-hati, pada waktu malam seluruh kampung tidak
boleh memadamkan lampu, pos penjagaan juga tidak boleh
dihapus, bila ketemu orang pejalan malam menyusup kemari,
harus gunakan cara lama dengan membunyikan bende dan
berteriak maling, dengan demikian musuh dapat digertak lari."
Lokoankeh mengiakan.
"Ada lagi, sesudah kupergi, Cui-ci-kiong harus ditutup, siapa
pun dilarang rasuk," pesan Wi Ki-tiu pula.
"Bagaimana dengan Lik-cu dan lain-lain?" tanya Lokoankeh.
"Mereka menjaga Hui Giok-koan di dalam sana, di situ sudah
tersedia perbekalan yang cukup, maka tidak perlu kau urus
mereka," kata Wi Ki-tiu.
"Baik, dan apakah Loya juga sudah pesan kepada mereka
dilarang keluar Cui-ci-kiong?" tanya Lokoankeh.
"Setelah Cui-ci-kiong kututup, segenap jalan keluar sudah
buntu, biarpun mereka ingin keluar juga tidak dapat lagi."
"Betul, hamba jadi lupa kepada kehebatan pesawat rahasia
yang terdapat di dalam istana kristal itu ...." Lokoankeh
tertawa senang.
"Baiklah, sekarang boleh kau pergi," kata Ki-tiu.
Sementara itu Wi Ki-tiu sudah sampai di depan wisma tamu, ia
masuk ke situ, mendatangi kamar yang semalam dipakai oleh
Sun Thian-tik, ia mendorong pintu dan melangkah ke dalam.
"Siapa itu?" terdengar suara Long-giok tanya dari balik
kelambu dengan kemalas-malasan serupa orang yang terjaga
dari tidurnya. Wi Ki-tiu mendekati tempat tidur dan menyingkap kain
kelambu, ucapnya dengan tertawa, "Long-giok, bangunlah!"
Melihat Wi Ki-tiu, cepat Long-giok bangun duduk dan berseru,
"Oo, Loya ...."
"Semalam tentu sangat menyenangkan bukan?" tanya Wi Kitiu
dengan tertawa.
Dengan malu-malu Long-giok menjawab, "Kalau Loya sudah
tidak suka lagi padaku, maka diriku diberikan untuk permainan
orang lain, apa yang dapat hamba katakan pula?"
"Bukan begitu maksudku," kata Wi-Ki-tiu. "Engkau adalah
orang yang paling kusayangi, akhir-akhir ini kulihat engkau
suka murung, maka sengaja kuberi kesempatan untuk ganti
cita rasa lain, supaya kau pun dapat bermain dengan senang."
Long-giok menjawab dengan lagak sedih, "Hamba cuma suka
kepada Loya seorang, tapi tanpa iri sedikit pun Loya
memberikan hamba kepada orang lain, ini menandakan Loya
sudah bosan padaku."
Wi Ki-tiu duduk di tepi tempat tidur, katanya sambil tepuktepuk
bahu si nona dan berkata dengan tertawa, "Salah,
bukan begitu, justru aku sangat suka padamu, lantaran akhirakhir
ini kesehatanku kurang baik, kukhawatir kau kurang
puas, maka kuberi kesempatan padamu, sudah tentu masih
ada alasan lain, yaitu supaya engkau mengawasi Sun Thiantik.
Nah, semalam dia tidak pernah meninggalkan kamar,
bukan?" "Ya, tidak," jawab Long-giok. "Dan sekarang ke mana
perginya?"
"Sudah angkat kaki," kata Wi Ki-tiu.
"Angkat kaki?" Long-giok melengak.
"Ya, dia sudah pergi. Ia bilang ada janji pertemuan dengan
orang, harus segera pergi ke sana."
"Hm, dia benar-benar menganggap diriku sebagai pelacur
belaka, mau pergi saja tanpa pamit sama sekali," jengek Longgiok
dengan tidak senang.
"Mungkin dilihatnya kau masih tidur dan tidak mau
membangunkanmu," kata Wi Ki-tiu dengan tertawa. "Eh, apa
saja yang dibicarakannya denganmu semalam?"
"Banyak yang dia bicarakan, cuma semuanya tidak ada yang
penting, ia terus-menerus membual tentang kehebatan
pribadinya. Hm, biasanya gentong kosong memang nyaring
bunyinya, kukira paling-paling dia juga cuma begitu saja,
masa Loya begitu jeri padanya?"
"Tidak, dia memang tokoh yang sukar direcoki," ujar Wi Ki-tiu,
"Kalau bicara tentang ilmu silat, tentu saja aku tidak gentar
padanya. Tapi dia banyak tipu muslihatnya, segala permainan
dapat dilakukannya, sebab itulah harus berjaga-jaga segala
kemungkinan tingkah ulahnya."
"Dan sekarang tentunya sudah terbukti kedatangannya bukan
tertuju kepada Loya?"
"Ya," jawab Ki-tiu.
"Dan bagaimana dengan Hui Giok-koan?" tanya Long-giok
pula. "Semalam Lik-cu telah menawannya ke dalam Cui-ci-kiong, dia
sudah dikompes dan akhirnya mengaku tempat dia
menyembunyikan kotak pusaka itu."
"Disembunyikannya di mana?" tanya Long-giok dengan girang.
"Di Ngo-tay-san," tutur Ki-tiu.
"Dan Loya sudah membunuhnya?" tanya Long-giok pula.
Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak," Ki-tiu menggeleng. "Sebelum kotak pusaka itu
kudapatkan tidak boleh kubunuh dia, akan kukurung dia di
kamar rahasia nomor sembilan."
"Sesungguhnya apa isi kotak pusaka itu?" tanya Long-giok.
"Biarlah kelak saja akan kuberi tahukan padamu," ujar Wi Kitiu
dengan tersenyum.
"Dan kapan Loya akan mengambil kotak pusaka itu?"
"Sebentar segera kuberangkat."
"Apakah boleh hamba ikut pergi bersama Loya?" tanya Longgiok.
"Tidak, hendaknya kalian tinggal saja di Cui-ci-kiong untuk
menjaga Hui Giok-koan," jawab Wi Ki-tiu.
"Bilakah Loya akan pulang?"
"Paling cepat setengah bulan lagi."
"Wah, apabila ada orang menyusup ke sini dan membawa lari
Hui Giok-koan, lantas bagaimana?" tanya Long-giok.
"Tidak, tidak mungkin terjadi," ujar Wi Ki-tiu, "Sudah
kuputuskan akan memblokir Cui-ci-kiong dengan ketat, siapa
pun jangan harap akan masuk ke sana."
"Hah, memblokir Cui-ci-kiong, menutupnya dengan rapat?"
Long-giok menegas dengan melengak.
"Betul," jawab Ki-tiu.
"Wah, dengan demikian bukankah kami akan hidup di dalam
Cui-ci-kiong selama setengah bulan takkan melihat sinar
matahari?" kata Long-giok dengan mulut menjengkit.
"Betul, cuma kau pun jangan sedih, hanya setengah bulan
saja, dalam sekejap pun akan lalu."
"Tidak mau," Long-giok berlagak manja, "hamba tidak mau.
Berdiam selama setengah bulan di situ, bisa mati kesal."
"Ai, sabarlah sedikit," bujuk Ki-tiu. "Nanti setelah kupulang
dengan membawa kotak pusaka itu, kau minta barang apa
pun pasti akan kubelikan."
"Tidak, hamba tidak menghendaki apa pun," kata Long-giok.
"Hamba cuma tidak ingin berdiam selama setengah bulan di
Cui-ci-kiong .... Ai Loya, mohon engkau perbolehkan kutinggal
di sini saja."
Wi Ki-tiu berkerut kening, "Masa kau tidak ingin berkumpul
dengan Lik-cu dan lain-lain?"
"Tidak, sudah lebih setahun hamba tinggal di Cui-ci-kiong,
mendingan biasanya didampingi oleh Loya," kata Long-giok.
"Tapi sekarang, bila Loya pergi, sungguh hamba tidak tahan
berdiam di sana, makanya kumohon tinggal di sini saja agar
dapat menghirup udara segar."
"Jika kau tidak turun ke sana, nanti kalau Cui-ci-kiong kututup,
bila kau ingin turun ke sana harus menunggu lagi setengah
bulan," ujar Wi Ki-tiu.
"Baiklah, tidak menjadi soal," kata Long-giok.
Wi Ki-tiu mengawasi si nona, tiba-tiba ia tersenyum dan
berkata, "Apakah ada niatmu meninggalkanku pada waktu aku
tidak di rumah.?"
"Ah, sama sekali hamba tidak punya niat begitu," jawab Longgiok.
"Jika Loya khawatir hamba berubah pikiran, bolehlah
Loya mengurung hamba saja di sini."
"Terkurung di sini, apakah akan lebih enak daripada tinggal di
Cui-ci-kiong?"
"Begitulah menurut pikiran hamba, sesungguhnya hamba
tidak ingin lagi hidup di tempat yang tidak pernah melihat
sinar matahari itu, mohon Loya kasihan padaku."
Wi Ki-tiu termenung sejenak, katanya kemudian, "Jika benar
kau tidak suka lagi tinggal di Cui-ci-kiong, bolehlah kusuruh
Lik-cu kemari untuk menemanimu ...."
"Jangan Lik-cu, panggil Le-hui saja, biasanya hamba lebih
cocok berkumpul dengan dia," pinta Long-giok.
"Boleh juga," Ki-tiu manggut-manggut. "Akan kutanyai dia
apakah dia mau naik ke sini untuk menemanimu."
Bicara sampai di sini ia lantas berbangkit.
"Jika Le-hui mau, tolong Loya suruh dia membawa sekalian
pakaian dan barang lain milik hamba ke sini," pinta Long-giok.
Wi Ki-tiu mengangguk, lalu dia mendekati dinding di kanan
tempat tidur dan mengetuk pintu rahasia, lalu masuk ke sana.
Long-giok menaksir orang sudah sampai di bawah Cui-ci-kiong
barulah dia melongok kolong ranjang dan mendesis, "Lionghiap,
dia bilang akan memblokir Cui-ci-kiong, wah, sungguh
kabar tidak enak."
Kiranya Liong It-hiong masih sembunyi di kolong ranjang,
dengan sendirinya ia dapat mengikuti seluruh percakapan
antara Wi Ki-tiu dan Long-giok.
Setelah melangkah keluar kolong tempat tidur, It-hiong
bertanya dengan perlahan, "Apa yang disebut memblokir Cuicikiong, sesungguhnya bagaimana jadinya?"
"Kau tahu, berbagai jalan keluar-masuk Cui-ci-kiong
dikendalikan oleh sebuah pesawat sentral, asalkan pesawat
sentral itu ditutupnya, orang luar lantas tidak dapat masuk ke
sana dan orang di dalam pun tidak mampu keluar."
"Di mana letak pesawat sentral itu?" tanya It-hiong.
"Entah, aku pun tidak tahu. Kecuali dia sendiri, mungkin tidak
diketahui oleh orang kedua."
"Mengapa kau minta dia memperbolehkan kau tinggal di sini?"
"Sebab dia menyatakan hendak memblokir Cui-ci-kiong,
terpaksa hamba mengajukan permintaan demikian, kalau
tidak, jelas aku tidak mampu membantu kalian."
"Apakah takkan menimbulkan curiganya atas permintaanmu
itu?" "Kuharap tidak," kata Long-giok.
"Apakah engkau tidak punya akal untuk menyelidiki di mana
letak pesawat sentral yang mengatur semua jalan keluarmasuk
itu?" "Tidak, tidak bisa," jawab Long-giok. "Pada waktu dia
memblokir Cui-ci-kiong pasti tidak mengizinkan orang lain
mendampingi dia."
"Tadi dia telah membohongimu, apakah kau tahu?" kata Ithiong.
"Membohongiku apa?" tanya Long-giok bingung.
"Waktu kau tanya dia di mana Hui Giok-koan
menyembunyikan kotak pusaka, dia kan menjawab Ngo-taysan,
begitu bukan?"
"Ya, maksudmu sesungguhnya tidak disembunyikan di Ngotaysan?" Long-giok menegas.
"Ehmm," It-hiong mengangguk.
Long-giok menghela napas perlahan, "Makanya, dari sini pun
terbukti bahwa sama sekali dia tidak menganggap diriku
sebagai orang kepercayaannya."
"Dia pasti mempunyai beberapa orang kepercayaan, apakah
kau tahu siapa-siapa mereka?" tanya It-hiong.
"Ada tujuh orang jago pengawalnya yang setia, seluruhnya
adalah anak buahnya sejak dulu," tutur Long-giok, "Cuma
orang yang paling dipercayanya adalah Lokoankeh yang
bernama Eng Tiong-jin itu. Setiap urusan penting selalu
diserahkan kepada Eng Tiong-jin untuk menyelesaikannya."
"Jika begitu, sangat mungkin Eng Tiong-jin tahu di mana letak
pesawat sentral itu," kata It-hiong.
"Ya, mungkin, tapi Eng Tiong-jin tidak pernah belajar ilmu
silat," kata Long-giok.
"Terkadang, memercayai seorang yang tidak paham ilmu silat
akan jauh lebih dapat diandalkan daripada memercayai
seorang yang mahir ilmu silat," ujar It-hiong.
"Dia menyanggupi akan memanggil Le-hui ke sini untuk
menemaniku," kata Long-giok. "Nanti kalau dia sudah
berangkat apakah boleh kuceritakan segalanya kepada Lehui?"
"Wah, jangan," kata It-hiong. "Mungkin dia rada curiga
terhadap permintaanmu, dan karena itu bisa jadi dia memberi
perintah kepada Le-hui untuk mengawasi gerak-gerikmu,
maka jangan sekali-kali kau ceritakan sesuatu kepadanya."
"Tapi kalau dia menemaniku di sini, cara bagaimana hamba
dapat membantu kalian" Cara bagaimana pula untuk kabur
dari Liong-coan-ceng sini?"
"Tunggu saja kalau malam nanti Sun-tayhiap datang, akan
kami rundingkan suatu akal untuk menghadapi dia, untuk
sementara ini hendaknya sabar dulu dan jangan
memperlihatkan sesuatu yang mencurigakan."
"Baiklah," bata Long-giok. "Engkau lapar tidak?"
"Lapar sedikit, tapi tidak menjadi soal, nanti kalau Wi Ki-tiu
sudah pergi baru kau cari kesempatan untuk mengambilkan
makanan bagiku."
"Mungkin selekasnya dia akan naik ke sini lagi, lekas kau
sembunyi." kata si nona.
It-hiong mengangguk dan segera merangkak masuk lagi dan
sembunyi di kolong ranjang.
Benar juga, tidak lama kemudian pintu rahasia tadi perlahan
naik ke atas dan terbuka, Wi Ki-tiu muncul bersama Le-hui,
salah seorang di antara ketujuh nona cantik.
Segera Long-giok turun dari tempat tidur dan menegur, "Lehui,
kau bawah sekalian pakaianku atau tidak?"
"Ini, di sini semua," jawab Le-hui dengan tertawa sambil
menyodorkan sebuah bungkusan.
"Terima kasih," kata Long-giok.
"Ai, saudara sendiri, pakai terima kasih apa segala?" ucap Lehui
dengan tertawa.
"Nah, sekarang tentu kau senang, bukan?" tanya Wi Ki-tiu.
"Ya, terima kasih, Loya," jawab Long-giok sambil memberi
hormat. "Sekarang kalian berdua boleh tinggal di wisma tamu ini, kalau
tidak ada urusan boleh saja jalan-jalan di dalam kampung, tapi
dilarang keluar kampung, tahu?" pesan Wi Ki-tiu.
"Tahu, Loya," jawab Long-giok dengan lembut.
"Selama aku tidak di rumah, kalian menghendaki apa boleh
minta saja kepada Lokoankeh, sebentar akan kuberi pesan
kepadanya."
"Baiklah, apakah sekarang juga Loya akan berangkat?" tanya
Long-giok. "Aku mau kembali ke kamar untuk menyamar, habis itu akan
berangkat melalui belakang kampung, kalian tidak perlu lagi
mengantar," kata Ki-tiu.
Le-hui mendekat dan menciumnya sekali, ucapnya dengan
tertawa, "Selamat jalan Loya, lekas pergi dan cepat pulang."
Wi Ki-tiu terbahak-bahak, "Tentu, tentu, hahaha! Kutahu
kawanan budak seperti kalian ini tidak tahan kesepian, mana
kala aku tidak lekas pulang, wah, bisa jadi kalian akan
menyeleweng."
Long-giok juga memberi ciuman perpisahan sambil meraba
pipi dan mengelus jenggot Wi Ki-tiu, ucapnya dengan
tersenyum manis, "Loya jangan khawatir, dalam hati kami
hanya ada engkau seorang!"
Wi Ki-tiu terbahak-bahak senang dan tinggal pergi.
***** Segera Le-hui menutup pintu kamar, ia membalik dan
memandang Long-giok sampai sekian lama, lalu bertanya, "Di
sini semalam engkau melayani Sun Thian-tik?"
Muka Long-giok menjadi merah, jawabnya sambil
mengangguk, "Ya."
"Bagaimana rasanya?" tanya Le-hui pula.
"Cis," semprot Long-giok dengan melotot. "Untuk apa kau
tanya hal ini" Tidak malu!"
"Alaa, malu apa?" ujar Le-hui dengan tertawa. "Sekarang Loya
sudah pergi, apa alangannya kau katakan padaku."
"Tidak, takkan kukatakan," jawab Long-giok.
"Tidak kau katakan takkan kutemanimu di sini," Le-hui
berlagak ngambek terus hendak tinggal pergi.
Cepat Long-giok menariknya, ucapnya dengan tertawa, "Baik,
baik, akan kuceritakan."
Lalu ia mendekap telinga Le-hui dan membisikinya,
diuraikannya apa yang dialaminya semalam.
Sembari mendengarkan Le-hui tertawa terkikik-kikik, juga
heran dan kagum sekali, akhirnya ia menegas, "Apa betul?"
Long-giok tertawa, "Hubungan kita berdua sangat karib, untuk
apa kubohongimu?"
Tampaknya Le-hui sangat terpikat, ucapnya, "Sungguh
nasibmu sangat baik."
"Tidak baik," kata Long-giok dengan tertawa sambil
menggeleng. "Tidak baik?" Le-hui melenggong.
"Ya," jawab Long-giok. "Tanpa sayang sedikit pun dia
menyerahkan diriku untuk dibuat mainan orang lain, ini
menandakan dia tidak suka lagi padaku," tutur Long-giok.
"Selain itu, setelah pengalaman ini, bilamana aku bergaul lagi
dengan dia tentu akan merasa cemplang."
"Memang betul," tukas Le-hui dengan tertawa. "Ibaratnya
orang bila pernah minum arak, lalu minum air tawar, tentu
akan dirasakan cemplang."
"Makanya kubilang tidak baik," kata Long-giok.
"Namun aku tetap kagum akan keberuntunganmu," ujar Lehui.
"Jika kau mau, kelak bila ada kesempatan tentu akan kuminta
dia menugaskan dirimu," kata Long-giok.
Le-hui tertawa, ia coba ganti pokok pembicaraan, "Kenapa kau
minta dia mengizinkan kau tinggal di sini?"
"Bila turun ke Cui-ci-kiong, kukhawatir akan ditertawai oleh
kalian," jawab Long-giok.
"Ah, jangan kau dusta, bahwa engkau tidak mau masuk lagi
ke Cui-ci-kiong tentu ada alasan lain," kata Le-hui.
"Memang ada suatu alasan lagi," tutur Long-giok, "yaitu, dia
kan mau pergi selama setengah bulan, bahkan dia bilang
hendak memblokir Cui-ci-kiong. Jika terjadi demikian, coba
pikir, kita kan serupa orang mati saja dikubur hidup-hidup di
bawah tanah. Bilamana terjadi sesuatu di luaran dan dia
takkan pulang untuk selamanya, kita kan benar-benar akan
terkubur di situ?"
Le-hui menampilkan rasa menyadari duduknya perkara, "Ah,
kiranya begitu, aku tidak berpikir sampai ke situ. Memang
betul, apabila dia mampus di luaran, kita pun jangan harap
lagi akan keluar dari Cui-ci-kiong."
"Semula dia bilang hendak menyuruh Lik-cu untuk
menemaniku di sini," tutur Long-giok pula. "Tapi aku menolak,
kukatakan lebih cocok denganmu dan kuminta dia
menyuruhmu ke atas untuk menemaniku."
"Wah, sungguh aku sangat beruntung," seru Le-hui dengan
gembira. "Bilamana dia benar tidak pulang lagi, itu sama
halnya engkau yang menyelamatkan jiwaku."
"Ya, tatkala mana kau harus terima kasih padaku," kata Longgiok
dengan tertawa.
Le-hui coba mendekati jendela dan melongok ke luar, lalu
berpaling dan mendesis, "Long-giok, ada satu gagasanku,
entah boleh, kukatakan kepadamu atau tidak?"
Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Urusan apa, katakan saja," jawab Long-giok.
Le-hui menariknya untuk duduk di tepi ranjang, lalu berkata,
"Kau tahu, terhadap kehidupan di Cui-ci-kiong itu aku sudah
merasa bosan, selama ini kuharapkan akan tiba ketika baik
untuk melepaskan diri dari cengkeramannya. Nanti kalau dia
sudah pergi, bagaimana kalau kita mencari kesempatan untuk
minggat saja?"
"Wah, jangan!" jawab Long-giok.
"Kenapa?" tanya Le-hui.
"Setiap manusia harus punya perasaan dan tahu budi
kebaikan," ujar Long-giok. "Meski dia sudah tua dan loyo,
biasanya hanya nafsu besar dan tenaga kurang, tapi selama
ini dia tidak jelek terhadap kita, mana boleh kita tinggalkan dia
begini saja."
"Akan tetapi, kita kan harus berpikir juga bagi diri kita sendiri,"
kata Le-hui. "Kita masih muda, masih panjang hari depan kita,
masa kita akan ikut dia selamanya?"
"Apa pun juga aku tidak setuju meninggalkan dia," ucap Longgiok
dengan tegas. "Jika mau pergi, biarlah kita tunggu
sampai dia mati."
"Wah, bisa jadi dia akan hidup lagi 20 tahun atau 30 tahun,
waktu itu kita pun sudah keriput dan ubanan, siapa yang mau
kepada kita?" kata Le-hui.
"Pendek kata, betapa pun aku tidak setuju meninggalkan dia,"
ucap Long-giok sambil menggeleng kepala.
Melihat tekad kawannya begitu teguh, Le-hui merasa kurang
senang, ucapnya, "Baik, tidak mau ya sudah, namun engkau
jangan menyesal ...."
Ia terus berbangkit dan berkata pula, "Entah sekarang Cui-cikiong
sudah ditutupnya atau belum?"
"Kan mudah saja untuk mengetahuinya, coba ketuk pintu
rahasianya," kata Long-giok.
Segera Le-hui mendekati kanan tempat tidur dan mengetuk
tiga kali pada dindingnya, ternyata pintu rahasia itu tidak
terpentang lagi seperti biasanya.
"Ya, benar, sudah tertutup," katanya.
"Mungkin segera dia akan berangkat," ucap Long-giok.
"Coba kupergi melihatnya," kata Le-hui, lalu ia membuka pintu
kamar dan keluar.
Long-giok ikut keluar, dilihatnya Le-hui sudah keluar wisma,
cepat ia putar balik ke kamar dan berjongkok, katanya kepada
Liong It-hiong yang mendekam di kolong ranjang, "He, lekas
keluar, biar hamba membawamu sembunyi di kamar sebelah,
tidak boleh di sini."
It-hiong juga menyadari tidak mungkin bersembunyi terus di
kolong ranjang, cepat ia merangkak keluar, katanya dengan
tertawa, "Dia benar-benar sangat baik denganmu?"
"Hanya agak cocok saja di antara kami berdua," jawab Longgiok.
"Engkau sangat pintar, tadi engkau tidak setuju untuk minggat
bersama dia," kata It-hiong, dengan tersenyum.
"Kutahu dia sengaja menjajaki jalan pikiranku atas suruhan Wi
Ki-tiu," ujar Long-giok, "Saat ini mungkin dia sedang memberi
laporan kepadanya."
"Ya, bila Wi Ki-tiu mendengar engkau tidak mau minggat, rasa
curiganya padamu tentu akan lenyap."
Long-giok mengangguk, katanya, "Ayo, lekas ikut padaku."
Ia mendekati pintu kamar dan coba melongok keluar, setelah
jelas wisma ini tidak ada orang lain, ia menggapai kepada
Liong It-hiong terus melangkah cepat ke kamar sebelah.
Cepat It-hiong ikut keluar ke sana.
Setiba di kamar sebelah, Long-giok menolak pintu kamar
sambil mendesis, "Lekas masuk, dengan sembunyi di kamar ini
mungkin takkan ketahuan, dan bila ada kesempatan tentu
akan kuantarkan makanan kepadamu."
Liong It-hiong menyelinap ke dalam kamar, dilihatnya keadaan
kamar ini lebih buruk daripada kamar tadi, ia tahu kamar ini
jarang digunakan, tanpa pikir ia berjongkok terus menyusup
ke kolong ranjang.
Long-giok menutup kembali pintu kamar dan kembali ke
kamar tadi, ia mulai cuci muka dan berdandan, gerak-geriknya
sangat tenang. Tidak lama kemudian tampak Le-hui sudah kembali.
"Dia sudah pergi," katanya dengan tertawa.
"Apakah dia jadi menyamar?" tanya Long-giok.
"Ya, dia menyamar sebagai saudagar," tutur Le-hui.
"Kuharap kotak pusaka itu dapat ditemukannya dengan
lancar," ujar Long-giok.
"Apakah ia pernah memberitahukan padamu apa isi kotak
itu?" tanya Le-hui.
"Tidak pernah," jawab Long-giok. "Tapi dapat diduga isi kotak
pasti benda mestika yang sukar dinilai harganya, kalau tidak
masakah dia berani menyatakan akan menukarnya dengan
Liong-coan-ceng ini."
"Ai, orang she Hui itu sungguh harus dikasihani ...." kata Lehui.
"Apakah dia dikurung di kamar rahasia nomor sembilan?"
"Ya, dia ditelanjangi sehingga tidak tertinggal sehelai benang
pun, kaki dibelenggu lagi."
"Mengapa tidak membiarkan dia mengenakan pakaian?"
"Dalam keadaan telanjang bulat, supaya dia tidak berani
berusaha melarikan diri," tutur Le-hui dengan tertawa.
"Wah, sungguh keterlaluan," kata Long-giok.
"Memang, dalam keadaan telanjang bulat begitu, Lik-cu dan
lain-lain mungkin akan terangsang, tapi mereka hanya dapat
memandangnya dan tidak dapat memegangnya."
Mendadak pintu diketuk orang.
"Siapa itu?" tanya Le-hui.
"Hamba," terdengar suara Lokoankeh Eng Tiong-jin.
"Masuk saja," seru Le-hui.
Segera Lokoankeh menolak pintu dan masuk dengan tertawa,
ia tanya, "Kedua nona bermaksud dahar di mana?"
"Biarlah kami makan di sini saja," jawab Le-hui sambil
memandang Long-giok sekejap.
"Baiklah, segera hamba akan menyuruh orang mengantar ke
sini," kata Lokoankeh.
Habis berucap ia lantas mengundurkan diri.
Pada saat itulah, tiba-tiba dari mulut kampung berkumandang
suara ribut-ribut.
"He, ada apa?" seru Long-giok melengak.
"Mari kita coba melihatnya," ajak Le-hui.
Kedua orang lantas keluar kamar, sampai di luar wisma,
terlihat di depan kampung sana ada beberapa centeng
mengerumuni satu orang dan sedang bertengkar.
Usia orang itu antara 57-58 tahun, muka bulat, kepala gundul,
berbaju kulit macan tutul. Kiranya si kakek berbaju kulit
macan alias Kim-ci-pa Song Goan-po yang semalam gagal
menyelundup ke Liong-coan-ceng itu.
Rupanya dia telah ganti haluan, tidak mau masuk kampung
secara gelap-gelapan melainkan dilakukannya secara terangKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
terangan dan menyatakan hendak bertemu dengan Wi Ki-tiu,
akan tetapi kawanan centeng itu tidak mengizinkan dia masuk,
maka terjadi keributan.
Tentu saja Song Goan-po sangat mendongkol, dengan bengis
ia meraung, "Keparat, lekas laporkan kepada Cengcu kalian,
katakan Kim-ci-pa Song Goan-po ingin bertemu, kalau rewel
lagi segera akan kuterjang masuk saja!"
Salah seorang centeng menjawab dengan ketus, "Hari ini
Cengcu kami tidak menerima tamu, hal ini sudah kukatakan
sejak tadi, apakah kupingmu tuli"!"
Song Goan-po menjadi murka, bentaknya, "Dirodok, bicara
secara halus kalian tidak mau terima, boleh kalian coba saja
mau apa?" Sembari bicara ia terus melangkah ke depan.
Beberapa centeng itu juga murka, serentak mereka
mengadang di depan orang dan mendorong sambil
membentak, "Enyah!"
Siapa tahu meski tangan mereka dapat menolak dada Song
Goan-po, namun tidak dapat menahan langkah maju kakek
gundul itu, sebaliknya mereka malah tergetar oleh Lwekang
Song Goan-po yang lihai, semuanya terpental serupa layanglayang
putus benang dan jatuh tersungkur dua-tiga tombak
jauhnya. Song Goan-po tertawa keras dan langsung menuju ke tengah
kampung. Segera dilihatnya lagi dua orang centeng dengan membawa
toya memburu tiba, sambil mengacungkan toya masingmasing
segera mereka membentak, "Enyah, pergi! Kalau
berani sembarangan menerobos lagi, sekali kemplang bisa
kami mampuskan kau tua bangka ini!"
Namun Song Goan-po anggap tidak mendengar dan melihat
saja, ia masih terus melangkah ke depan.
Melihat sikap orang yang kepala batu itu, kedua centeng
menjadi gusar, toya mereka serentak bekerja, yang seorang
mengemplang batok kepala Song Goan-po, yang lain
menyerampang kedua kakinya.
Dari gaya serangan mereka, jelas kedua centeng ini sudah
pernah belajar Kungfu.
Akan tetapi Song Goan-po tetap anggap seperti tidak melihat
dan mendengar, sebaliknya ia songsong serangan mereka.
Maka terdengarlah suara "brak-krek" dua kali, kedua toya
tepat kena sasarannya, yang satu mengenai kepala dan yang
lain mengenai kaki.
Namun kepala Song Goan-po yang gundul itu tetap halus
kelimis, tidak merah, tanpa benjut, kedua kakinya juga tidak
patah, yang patah sebaliknya kedua toya.
Sungguh luar biasa, serupa kepala tembaga dan tulang baja
saja, sedikit pun tidak cedera.
Baru sekarang air muka kedua centeng itu berubah pucat,
lekas mereka membuang sisa toya patah itu terus
mengeluarkan belati, namun seketika mereka tidak berani
menyerang lagi, mereka hanya bergaya siap tempur sambil
menyurut mundur berulang-ulang.
"Berhenti, jangan maju lagi!" bentak mereka dengan lagak
garang sambil menyeringai. "Jika maju selangkah lagi terpaksa
kami tidak sungkan lagi padamu!"
Song Goan-po tertawa ejek, dengan bersitegang leher ia
malah memapak ke depan.
Kedua centeng itu seperti binatang yang kepepet di jalan
buntu, sembari menyurut mundur mereka berteriak-teriak,
"Keparat, apa benar kau sudah bosan hidup"!"
"Kukira kalian inilah yang sudah bosan hidup," ucap Song
Goan-po. Mendadak kedua tangan meraih ke depan, sekaligus ia
cengkeram pergelangan tangan kedua centeng itu.
"Tahan!" tiba-tiba suara orang menghardik berkumandang dari
halaman sana. Mestinya Song Goan-po hendak memuntir patah pergelangan
tangan kedua centeng, demi mendengar suara bentakan itu,
ia urung bertindak dan coba berpaling, tertampaklah tujuh
orang kakek berbaju ringkas muncul dari halaman sana. Ia
tahu ketujuh orang ini tentu tokoh menonjol di Liong-coanceng
ini, segera ia dorong dan lepaskan kedua centeng itu
hingga mereka tersuruk jatuh.
"Hahaha, kukira Liong-coan-ceng tidak ada orang lain lagi,
rupanya baru sekarang muncul seluruhnya," seru Song Goanpo
dengan tergelak.
Ketujuh kakek berdandan ringkas itu adalah ketujuh jago
pengawal Wi Ki-tiu, masing-masing bernama Liap Siong-giam,
Ciang Su-liong, Oh Jing-peng, Uh Lam-san, Song Kim-hu, Kim
Soh-bun dan Thio Lok-tong, semuanya adalah bekas bandit
yang terkenal masa lalu.
Dengan sendirinya mereka kenal siapa Song Goan-po alias si
macan tutul. Sebagai kepala rombongan, setelah berhadapan
segera Liap Siong-giam berkata sambil memberi hormat, "Aha,
kukira siapa, kiranya Song-toatankeh adanya. Maaf jika kami
terlambat menyambut kedatanganmu."
Meski sungkan nada ucapannya, namun sikap mereka tidaklah
ramah, seperti tidak gentar terhadap Song Goan-po.
Sejenak Song Goan-po menatap Liap Siong-giam, katanya
kemudian dengan tergelak, "Aha, bilamana aku tidak salah
ingat, Anda ini mungkin adalah Liap-cecu Liap Siong-giam?"
Liap Siong-giam tersenyum hambar, ucapnya, "Wah, sungguh
beruntung sekali bahwa Song-toatangkeh ternyata masih ingat
kepada diriku."
Song Goan-po memandang lagi keenam orang lainnya, lalu
menyambung lagi dengan tertawa, "Wah, yang enam ini orang
she Song tidak kenal semuanya, apakah Liap-cecu sudi
memperkenalkannya kepadaku?"
Segera Liap Siong-giam memperkenalkan kawannya satu per
satu kepada Song Goan-po, kemudian ia memberi salam lagi
dan berkata, "Maaf jika ingin kutanya, ada petunjuk apakah
kiranya atas kunjungan Song-toatangkeh ke tempat kami ini?"
"Soalnya kudengar Wi-cengcu berulang tahun yang ke-60,
maka sengaja kudatang kemari untuk mengucapkan selamat,"
tutur Song Goan-po. "Tak tersangka kawanan centeng kalian
serupa mata anjing yang suka menghina orang miskin, mereka
tidak mau melaporkan atas kedatanganku, karena terpaksa,
aku lantas masuk sendiri saja ke sini."
Liap Siong-giam tersenyum, "Bila kedatangan Songtoatangkeh
benar untuk mengucapkan selamat kepada
Cengcu, tentu saja centeng di sini akan melapor dan memberi
pelayanan sebaiknya. Kukhawatir bukan mustahil kedatangan
Song-toatankeh ini mempunyai tujuan tertentu."
"Selain mengucapkan selamat kepada Wi-cengcu,
kedatanganku memang ada maksud lain lagi dan bukan
hendak melancong, yaitu minta orang kepada Cengcu kalian,"
jawab Song Goan-po.
"Dan sekarang pesta ulang tahun Cengcu sudah lewat," kata
Liap Siong-giam.
"Jika begitu, apakah aku tidak dapat bertemu lagi dengan Wicengcu?"
tanya Song Goan-po alias si kakek berbaju kulit
macan tutul. "Soalnya sepanjang hari kemarin Cengcu terlalu sibuk
melayani tamu sehingga terlampau lelah, terpaksa untuk
beberapa hari beliau tidak mau terima tamu," tutur Liap Sionggiam.
"Bila Song-toatangkeh benar ada urusan, silakan bicara
saja denganku, kukira sama saja."
"Baik, kedatanganku adalah untuk minta dia menyerahkan
satu orang kepadaku," kata Song Goan-po.
"Seorang siapa?" tanya Liap Siong-giam.
Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saudara angkatku, Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan.
"Hah, kukira Song-toatangkeh ada salah informasi," ucap Liap
Siong-giam dengan tertawa, "saudaramu Hui Giok-koan tidak
pernah datang ke tempat kami ini, mengapa Song-toatangkeh
mencarinya kemari dan minta orangnya kepada kami?"
"Hm, kemarin dia hadir di sini dan mengucapkan selamat
kepada Wi-cengcu, sejak itu tidak pernah terlihat dia
meninggalkan perkampungan ini, lantas ke mana perginya
kalau tidak berada di sini?" jengek Song Goan-po.
Liap Siong-giam berlagak pilon, jawabnya, "Ah, masa
saudaramu kemarin juga hadir dan mengucapkan selamat
kepada Cengcu?"
"Sudahlah, tidak perlu berlagak bodoh," jengek Song Goan-po
dengan menarik muka.
"Kemarin tetamu yang berkunjung kemari berjumlah limaenam
ratus orang, kami benar-benar tidak ingat lagi apakah
saudaramu pun hadir," ujar Liap Siong-giam. "Cuma, bila betul
kemarin saudaramu berkunjung kemari, tentunya juga siang
kemarin dia sudah pergi."
"Tidak, dia tidak meninggalkan perkampungan kalian ini, dia
masih tinggal di sini," ucap Song Goan-po tegas.
Liap Siong-giam terkekeh, "Wah, Song-toatangkeh kan tidak
melihat sendiri, mengapa berani memastikan saudaramu
masih berada di sini?"
"Aku justru melihatnya sendiri," kata Song Goan-po.
"Apakah kemarin Song-toatangkeh juga berkunjung kemari?"
tanya Liap Siong-giam.
"Betul, malahan kujual seekor pesut kepada kalian," jawab
Song Goan-po. Berubah air muka Liap Siong-giam, dengan muka masam ia
menjengek, "Hm, kiranya kakek yang menjual pesut kemarin
itu ialah dirimu ...."
"Nah, apa abamu sekarang?" jengek Song Goan-po sambil
menyeringai. "Ada, ingin kutanya, untuk urusan apa sampai Songtoatangkeh
perlu menyamar sebagai nelayan dan berlagak
menjual pesut segala?" jawab Liap Siong-giam.
"Ingin kulihat apakah saudara angkatku itu berada di sini atau
tidak?" "O, bila waktu itu Song-toatangkeh sudah melihat saudara
angkatmu, mengapa tidak kau bawa pergi dia, tapi perlu
menunggu sampai sekarang, sesudah dia pergi baru kau
datang kemari untuk minta orang kepada kami?" tanya Liap
Siong-giam dengan ketus.
"Waktu itu dia sedang menyampaikan selamat kepada Cengcu
kalian, demi sopan-santun kan tidak pantas kubikin ribut di
sini dan membawanya pergi?"
"Dan sekarang dia tidak berada lagi di sini, sebaliknya Songtoatangkeh
sengaja minta orangnya kepada kami, apakah ini
bukan sengaja hendak mencari perkara?"
Song Goan-po tertawa keras, katanya, "Soalnya terletak
bahwa dia belum lagi meninggalkan tempat kalian ini, yang
benar, dia telah kejeblos dalam kurungan kalian."
"Dan ini pun dilihat dengan mata kepala sendiri oleh Songtoatangkeh?"
jengek Liap Siong-giam.
"Tidak," jawab Song Goan-po perlahan. "Tapi kutahu jelas,
tidak pernah dia meninggalkan tempat kalian ini, dan itu
berarti dia pasti masih berada di sini."
"Tidak ada," kata Liap Siong-giam sambil menggeleng kepala.
Tertampil rasa gusar pada wajah Song Goan-po, katanya,
"Liap Siong-giam, belum sesuai bagimu untuk bicara
denganku. Hendaknya lekas panggil keluar Wi-cengcu kalian!"
"Maaf, Cengcu kami tidak menerima tamu," sahut Liap Sionggiam
tidak kurang ketusnya.
"Tidak menerima tamu?" Song Goan-po menegas dengan
menyeringai. "Hm, kukira yang benar dia tidak berada di sini
lagi. Dia sudah memaksa saudara angkatku itu mengaku di
mana kotak pusaka itu disembunyikan dan sekarang dia telah
berangkat pergi mengambil kotak pusaka itu, betul tidak?"
"Huh, omong kosong, tampaknya kau memang sengaja
mencari perkara, memangnya Song-toatangkeh mengira
Liong-coan-ceng kami ini boleh sembarangan diganggu?"
jawab Liap Siong-giam dengan aseran.
"Bebaskan saudara angkatku itu dan segera kuangkat kaki dari
sini, kalau tidak, terpaksa aku akan coba-coba belajar kenal
dengan kalian," kata Song Goan-po.
"Kalau Song-toatangkeh sedemikian meremehkan kami,
terpaksa kami tunggu apa yang akan kau lakukan," jawab Liap
Siong-giam dengan ketus.
"Baik, lihat pukulan!" teriak Song Goan-po.
Dan begitu menyatakan pukul kontan ia pun menubruk maju
terus menghantam.
Angin pukulannya menderu, gerakannya cepat, nyata cukup
lihai. Liap Siong-giam tahu ilmu pukulan orang tidak boleh
diremehkan, sama sekali ia tidak berani gegabah, maka begitu
melihat orang bergerak cepat ia mengegos ke samping,
berbareng sebelah tangan juga terangkat terus menebas
pundak lawan. Kungfu andalan Liap Siong-giam adalah Hong-lui-kun atau
ilmu pukulan angin dan petir, tebasan yang dilancarkan ini
bernama "Jit-loh-hong-sing" atau matahari tenggelam angin
bertiup, tenaga tebasannya cukup mengejutkan.
Namun Song Goan-po tidak gentar, sambil mengeluarkan
suara bentakan yang menggelegar, cepat ia berputar, tangan
kiri menangkis dan tangan kanan menghantam pula ke
pinggang-orang dengan jurus "Tan-hong-tiau-yang" atau
burung hong menyembah matahari.
"Bagus!" bentak Liap Siong-giam.
Dengan tangan kiri menahan ke bawah, ia balas menebas
lengan kanan lawan, berbareng dua jari tangan kanan
bermaksud mencolok kedua mata Song Goan-po.
"Bagus!" teriak Song Goan-po. Sambil mendoyong ke
belakang, sebelah kaki terus menendang sehingga tebasan
dan serangan jari Liap Siong-giam terpatahkan.
Agaknya Song Goan-po aslinya jebolan perguruan Siau-lim-si,
sebab tendangannya tadi gaya Kungfu Siau-lim, malahan ia
terus mendesak maju, sebentar menghantam dan lain saat
menendang lagi.
Setelah menangkis beberapa kali, lambat laun Liap Siong-giam
merasa kewalahan, tanpa terasa ia berteriak kepada kawankawannya,
"Hebat juga musuh kita, ayolah maju semua!"
Mendengar seruan Liap Siong-giam yang minta dibantu itu,
tiga di antara keenam kawannya yang menonton di samping
itu serentak menubruk maju, seketika Song Goan-po
terkepung di tengah dan dikerubut.
Namun Song Goan-po tidak gentar sedikit pun, ia malah
terbahak-babak keras, serunya, "Haha, bagus sekali! Mengapa
yang lain tidak maju saja sekalian" Biasanya aku memang
suka bertarung secara serabutan, makin banyak yang maju
makin baik."
Ketiga orang lagi yang tidak ikut mengerubut adalah Song
Kim-ho, Kim Soh-bun dan Thio Lok-tong, mereka hanya
berjaga saja di samping, sebab mereka cukup paham,
bilamana tujuh orang mengeroyok satu orang, akibatnya akan
serupa satu porsi capcay di atas meja dikerubut sekawanan
pelahap yang mengelilingi meja makan, bukannya teratur dan
semua mendapat bagian, sebaliknya malah akan kacau-balau
dan terjadi perebutan.
Tapi kalau empat orang mengeroyok satu orang, inilah posisi
yang paling ideal.
Ketiga orang yang baru ikut mengerubut itu ialah Ciang Suliong,
Oh Jing-peng dan Uh Lam-san, ketiganya sama
bersenjata. Yang digunakan Ciang Su-liong adalah tombak
berkait, Oh Jing-peng memakai golok besar bergelang,
sedangkan Uh Lam-san memakai pedang panjang.
Tiga macam senjata ditambah lagi kedua tangan kosong Liap
Siong-giam, tentu saja daya tempur mereka menjadi lain,
dengan cepat dapatlah mereka di atas angin dan Song Goanpo
terkepung rapat di tengah.
Walaupun terdesak di bawah angin, namun Song Goan-po
tetap bertempur dengan penuh semangat, kedua tangan dan
kedua kaki bekerja silih berganti, makin lama makin perkasa.
Pada waktu itu di luar wisma tamu sana berdiri Long-giok dan
Le-hui menonton dari jauh, melihat ketangkasan Song Goanpo,
diam-diam-mereka terkejut dan heran.
Le-hui menghela napas, katanya, "Tua bangka gundul ini
sungguh sangat lihai, sesungguhnya siapakah dia?"
"Bukankah tadi dia menyebut namanya sebagai Kim-ci-pa
Song Goan-po?" kata Long-giok.
"Song-goan-po (mengantar emas), hihi, lucu juga namanya,"
kata Le-hui dengan tertawa geli.
"Yang benar dia she Song, namanya Goan-po," tutur Longgiok.
"Song sama dengan dinasti Song dan bukan song antar."
"Eh, bagaimana kalau kita menonton lebih dekat ke sana?"
saja Le-hui. "Baiklah," jawab Long-giok.
Keduanya lantas melangkah maju ke tengah halaman dan
berhenti dalam jarak beberapa tombak dari kalangan
pertempuran. Dalam pertarungan sengit, tiba-tiba Song Goan-po melihat
munculnya dua gadis jelita, ia terkesiap dan heran. Dasar
lelaki, meski sudah tua dan gundul kelimis, rupanya dia juga
lelaki bangor, asal melihat perempuan cantik lantas tergelitik
hatinya. "Wah, cantik benar kedua nona ini!" demikian tanpa terasa ia
bersorak memuji. "Mereka ini bini siapa ...."
Belum lanjut ucapannya, "blang", tahu-tahu punggung kena
digebuk sekali oleh Liap Siong-giam.
Tidak ringan pukulan ini, seketika ia sempoyongan dan
menyuruk ke depan.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Ciang Su-liong,
tombaknya bekerja cepat dan kena menusuk di pantat Song
Goan-po, kontan pantatnya berbunga.
Song Goan-po menjerit, ia masih hendak melawan, akan
tetapi tidak kuat lagi dan segera roboh.
Pedang Uh Lam-san terangkat dan bermaksud membinasakan
lawan itu. Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar
suara bentakan menggelegar berkumandang dari pintu
gerbang perkampungan sana, "Tahan dulu!"
Terpaksa Uh Lam-san menahan pedangnya, sebab ia khawatir
yang berteriak itu adalah kawan sendiri, bilamana Song Goanpo
dibunuhnya tentu kurang enak terhadap maksud baik
kawan. Waktu mereka berpaling, tertampaklah seorang Hwesio dan
seorang Tosu sedang berlari datang secepat terbang. Lantaran
tidak kenal siapa kedua pendatang ini, air muka mereka sama
berubah. Kiranya Hwesio dan Tosu yang datang ini tak-lain-tak-bukan
ialah Kim-kong Taysu dan Koh-ting Tojin.
Hanya sekejap saja mereka sudah sampai di tengah halaman
dan berhenti di situ, Kim-kong Taysu mendahului memberi
hormat dan bersuara, "Omitohud! Thian Maha Pengasih,
hendaknya para Sicu janganlah main bunuh!"
Meski Liap Siong-giam dan kawan-kawannya tidak kenal siapa
Koh-ting dan Kim-kong, tapi melihat kecepatan Ginkang
mereka, tentu saja dapat diduga mereka pasti bukan tokoh
sembarangan, maka dia tidak berani kurang adat, cepat ia
balas menghormat dan menyapa, "Numpang tanya siapakah
gelaran Taysu dan Totiang" Ada keperluan apa kiranya
berkunjung ke tempat kami ini?"
Dengan tangan kiri memegang tongkat pertapa, tangan kanan
Kim-kong Taysu terangkat di depan dada sebagai tanda
hormat, lalu menjawab, "Pinceng bergelar Kim-kong."
"Dan pinto bergelar Koh-ting." sambung Koh-ting Tojin.
Manusia itu dihormati karena namanya, pohon besar dari
bayangannya. Demi mendengar kedua pendatang ini adalah
Kim-kong Taysu dan Koh-ting Tojin yang namanya gilanggemilang
di dunia persilatan zaman ini, kembali air muka Liap
Siong-giam dan lain-lain sama berubah, diam-diam mereka
mulai merasakan gelagat tidak enak.
Sedapatnya Liap Siong-giam menenangkan diri, katanya
dengan ramah, "Ah, kiranya kedua tokoh kosen dunia
persilatan yang termasyhur. Maaf, kami tidak tahu akan
kunjungan Taysu dan Totiang sehingga tidak ada
penyambutan yang layak, sekali lagi mohon maaf."
Koh-ting Tojin tertawa lantang, katanya, "Ah, jangan sungkan.
Apakah kalian bertujuh ini ketujuh jago andalan Wi-cengcu?"
"Ah, Totiang terlampau memuji," jawab Liap Siong-giam.
"Numpang tanya, ada keperluan apakah Totiang dan Taysu
berkunjung kemari?"
"Oo, kami mendengar Wi-cengcu berulang tahun, maka
sengaja berkunjung kemari untuk mengucapkan selamat,"
jawab Koh-ting Tojin. "Tak terduga terjadi sedikit urusan di
tengah jalan sehingga tidak keburu tiba pada saat yang tepat,
sungguh kami sangat menyesal."
Perasaan Liap Siong-giam agak lega demi mendengar
kedatangan kedua orang ini hanya ingin mengucapkan
selamat kepada sang Cengcu, cepat ia menjawab dengan
tertawa, "Ah, terima kasih atas maksud baik Totiang dan
Taysu, silakan duduk di dalam saja!"
"Apakah Wi-cengcu berada di rumah?" tanya Kim-kong Taysu.
Liap Siong-giam ragu sejenak, akhirnya menjawab, "Wah,
maaf, karena ada urusan, kebetulan Cengcu sedang keluar,
mungkin perlu beberapa hari lagi baru dapat pulang."
"Aha, bagus!" teriak Song Goan-po mendadak. "Ternyata tidak
salah dugaanku, dia pasti sudah mendapatkan pengakuan
saudara angkatku, maka ... aduhh!"
Belum lanjut ucapannya mendadak ia menjerit kesakitan.
Rupanya Ciang Su-liong tidak membiarkan dia meneruskan
ucapannya dan mendadak menusuk pahanya dengan tombak,
kontan dia menjerit sehingga perkataannya terputus.
Pandangan Kim-kong Taysu beralih ke wajah Song Goan-po,
ia tersenyum dan berkata, "Sicu ini jangan-jangan ialah Kimcipa Song Goan-po yang menjagoi dunia Lok-lim daerah
selatan itu?"
"Betul," jawab Song Goan-po.
Kim-kong Taysu berlagak tidak mengerti dan bertanya, "Baru
saja-Sicu bilang apa" Kenapa dengan saudara angkatmu?"
"Saudara angkatku Hui Giok-koan kemarin juga hadir ke sini
Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk menyampaikan selamat ulang tahun kepada Wi Ki-tiu,"
tutur Song Goan-po. "Siapa tahu Wi Ki-tiu telah timbul pikiran
jahat, dia telah ... aduhh!"
Kembali ucapannya terputus dan menjerit kesakitan, rupanya
Ciang Su-liong telah menusuknya pula sekali.
Kening Kim-kong Taysu bekernyit, ia pandang Ciang Su-liong
dan berkata, "Sicu ini, bagaimana kalau membiarkan dia
selesaikan keterangannya?"
"Taysu jangan percaya kepada ocehannya," kata Ciang Suliong.
"Tentang Hui-cecu, kemarin dia memang benar pernah
datang untuk mengucapkan selamat kepada Cengcu, tapi
kemudian dia pergi lagi seperti tetamu yang lain, tapi
sekarang tua bangka ini berani menuduh kami menahan Huicecu
di sini, sungguh terlalu, jelas dia sengaja hendak cari
perkara saja."
"Ai, sudahlah," bujuk Kim-kong Taysu. "Kata pepatah,
permusuhan sebaiknya dihapus daripada dipererat. Hendaknya
kedua pihak kalian bicara dengan lebih jelas, biarlah kujadi
juru damai bagi kalian. Nah, Song-sicu, silakan kau bicara
lebih dulu."
Dengan menahan rasa sakit pada pantat dan pahanya, Song
Goan-po berdiri dan berkata, "Terus terang, saudara angkatku
itu akhir-akhir ini mendapatkan sebuah kotak, dengan
membawa kotak itu hendak menuju ke suatu tempat dan
tempo hari sampai di Tengciu sini. Kebetulan didengarnya Wi
Ki-tiu mengadakan pesta ulang tahun, lantaran dia juga kenal
cukup baik dengan Wi Ki-tiu, maka sengaja menyiapkan kado
berharga dan datang mengucapkan selamat kepada sahabat
lama. "Siapa tahu, entah dari mana Wi Ki-tiu mendapat berita bahwa
saudara angkatku itu menemukan sebuah kotak pusaka, maka
sehabis pesta ulang tahun usai, dengan pura-pura kangen
dengan sahabat lama, saudara angkatku itu ditahan untuk
tinggal beberapa hari lagi di sini.
"Kutunggu saudara angkatku itu di luar kampung selama
sehari semalam dan tetap tidak melihat dia keluar, terpaksa
pagi tadi kudatang kemari untuk minta keterangan, tapi
mereka malah menjawab saudara angkatku itu sudah pergi.
Namun kutahu jelas dia belum lagi meninggalkan kampung ini,
bilamana dia tidak dibunuh oleh Wi Ki-tiu, tentu dia dikurung
di sini untuk dipaksa menyerahkan kotak pusaka yang
dimaksud itu."
Kim-kong Taysu lantas tanya pula, "Dan apa isi kotak yang
dimaksudkan itu?"
Dengan tergegap Song Goan-po menjawab, "Oo, isinya cuma
sedikit ... sedikit barang berharga."
"Kau lihat dengan mata kepala sendiri saudara angkatmu itu
ke sini untuk menyampaikan selamat kepada tuan rumah?"
tanya Kim-kong Taysu pula.
"Betul," jawab Song Goan-po tegas sambil mengangguk.
"Dan seusai pesta ulang tahun, kau yakin bahwa dia memang
tidak pernah meninggalkan tempat ini?"
"Betul, sebab aku sengaja menyamar sebagai seorang nelayan
dengan membawa pesut untuk dijual ke sini, kulihat sendiri
dia berada bersama dengan Wi-Ki-tiu dan Sun Thian-tik."
Mencorong sinar mata Kim-kong Taysu, ia menegas, "O, kau
bilang Kiong-su-sing Sun Thian-tik juga berada di sini?"
"Betul, tidak keliru lagi," jawab Song Goan-po. "Cuma dia
sudah pergi sekarang."
Kim-kong Taysu manggut-manggut, lalu berkata kepada Liap
Siong-giam, "Bagaimana pembelaan Liap-sicu terhadap
tuduhan Song-sicu tadi?"
"Hendaknya Taysu jangan percaya kepada ocehannya yang
asal bunyi," kata Liap Siong-giam. "Tentang kotak Hui-cecu
itu, andaikan penuh berisi intan permata juga takkan
terpandang oleh Cengcu kami, sama sekali tidak ada alasan
bagi Cengcu kami untuk merampas kotaknya itu."
"Habis, ke mana perginya Wi-cengcu sekarang?" tanya Kimkong
Taysu. "Cengcu memang ada urusan dan sedang keluar, ke mana
perginya, bawahan seperti kami ini tentu saja tidak tahu,
sebab beliau tidak memberi pesan apa-apa."
"Dia baru saja berulang tahun kemarin, dan hari ini juga dia
lantas pergi keluar kampung, kalau tidak ada urusan penting
masa dia perlu pergi dengan terburu-buru begitu?" ujar Kimkong
Taysu. "Urusan penting apa pun kepergian Cengcu kami mutlak tidak
ada sangkut-pautnya dengan Hui-cecu," jawab Liap Sionggiam.
"Sebab Cengcu kami kan sudah lama cuci tangan dan
mengundurkan diri dari dunia persilatan."
"Bilakah Wi-cengcu meninggalkan kampung?" tanya Kim-kong
Taysu. "Kira-kira setengah jam yang lalu," jawab Liap Siong-giam.
"Apakah keluar melalui pintu gerbang depan?" tanya Kim-kong
Taysu pula. "Betul," sahut Siong-giam.
Kim-kong Taysu tertawa mengakak, "Haha, keterangan Liapsicu
ini jelas tidak benar. Terus terang, kami berdua sudah
ada satu jam tiba di luar kampung, selama itu kami tidak
melihat Wi-cengcu keluar dari kampung."
Muka Liap Siong-giam menjadi merah, ucapnya dengan
terkekeh, "Hehe, jika Taysu berdua sudah tiba di sini sekian
lama, mengapa tidak sejak tadi masuk kemari?"
"Soalnya waktu masih pagi, kami menaksir Wi-cengcu belum
bangun tidur, maka tidak berani langsung masuk dan
mengganggu," jawab Kim-kong Taysu.
"Ah, Taysu terlampau sungkan tampaknya," ujar Liap Sionggiam.
"Padahal dengan kedudukan Taysu dan Totiang berdua,
biarpun kalian datang di tengah malam juga akan disambut
Cengcu dengan segala hormat. Sebabnya kalian tidak segera
masuk ke sini kukira ada sebab lain bukan?"
Tiba-tiba Koh-ting Tojin menyambung, "Hendaknya Liap-sicu
jangan dulu mengusut maksud kedatangan Kim-kong Taysu
dan diriku. Sekarang fakta sudah nyata, jelas Wi-cengcu tidak
pernah keluar, tapi Liap-sicu berkeras menyatakan Wi-cengcu
keluar melalui pintu gerbang depan, sesungguhnya apa
maksudmu?"
Liap Siong-giam tertawa, katanya, "Haha, padahal Cengcu
kami suka keluar melalui pintu gerbang depan atau pintu
belakang kan sama saja, sebab ini kan rumahnya, siapa pun
tidak berhak mengurusnya."
"Tentu saja," ujar Koh-ting Tojin. "Tapi kalau bukan sengaja
hendak menghindari mata-telinga orang, tentu tidak ada
alasan untuk keluar melalui pintu belakang. Maka dari sini
dapat diketahui tuduhan Song-sicu tadi memang bukan omong
kosong belaka, terang Wi-cengcu memang telah menyandera
Hui-cecu dan memaksanya menyerahkan kotak pusaka."
"Hm, kedatangan Totiang kemari ini sesungguhnya ingin
menyampaikan selamat kepada Cengcu kami atau ada maksud
lain?" jengek Liap Siong-giam.
"Hahaha!" Koh-ting Tojin tergelak. "Soal apa maksud
kedatanganku ini tidak penting, yang jelas manusia harus
dapat membedakan antara yang benar dan salah, bilamana
kupandang tidak benar, betapa pun aku ingin ikut campur."
"Cengcu kami tidak di rumah, jika Totiang ingin ikut campur
urusan tetek bengek, tunggu saja nanti kalau Cengcu kami
sudah pulang boleh Totiang datang lagi."
"Hehe, menurut perkiraanku, Wi-cengcu tentu masih berada di
dalam kampung," kata Koh-ting dengan tertawa. "Maka lebih
baik silakan kalian mengundangnya keluar saja untuk
menerima ucapan selamat kami."
"Hm, kalau Totiang tidak percaya, boleh juga silakan masuk
untuk mencarinya," jengek Liap Siong-giam.
Koh-ting Tojin lantas berpaling dan berkata kepada Kim-kong
Taysu dengan tertawa, "Toasuhu, dia menyuruh kita coba
mencarinya ke dalam kampung, bagaimana kalau kita terima
dan coba kita mencarinya?"
Mendadak Kim-kong Taysu menuding Long-giok dan Le-hui
yang berdiri di dekat sana, tanyanya kepada Liap Siong-giam,
"Siapakah kedua nona itu?"
"O, mereka itu nona yang tinggal di dalam kampung kami,"
jawab Liap Siong-giam.
"Ada hubungan apa antara mereka dengan Wi-cengcu?" tanya
Kim-kong pula. "Ah, famili biasa," tutur Siong-giam.
"Famili dekat atau jauh?"
"Famili ya famili, untuk apa Taysu bertanya sedemikian jelas?"
Kim-kong Taysu tertawa, katanya, "Soalnya kudengar kabar
bahwa Wi-cengcu punya banyak simpanan, sangat mungkin
mereka adalah perempuan Wi-cengcu."
"Bukan," jawab Liap Siong-giam. Lalu ia menoleh ke sana dan
memberi tanda kepada Long-giok dan Le-hui, serunya, "Kedua
nona silakan pulang ke kamar saja, tidak boleh kalian ...."
Kesempatan itu mendadak digunakan Kim-kong Taysu untuk
menubruk maju, sekali tangan kanan meraih, langsung kuduk
Liap Siong-giam dicengkeramnya.
Keruan Ciang Su-liong terkejut, teriaknya, "Awas, Liap-toako!"
Pada saat yang sama Liap Siong-giam juga mendengar angin
dahsyat menyambar dari belakang, segera ia angkat sikut kiri
untuk melindungi dada, sambil berputar berbareng telapak
tangan kanan menolak ke depan.
Meski reaksinya tidak lambat, toh tetap agak kasip, baru saja
tangan menolak ke depan, kuduk tahu-tahu sudah kena
dicengkeram musuh.
Keruan Ciang Su-liong dan kelima kawannya terkejut, serentak
mereka memburu maju hendak menolong, tapi Kim-kong
Taysu lantas meraung, "Berhenti semua! Barang siapa berani
melangkah maju segera kumampuskan dia!"
Sembari membentak terus saja Liap Siong-giam diangkatnya.
Padahal hanya bagian kuduk Liap Siong-giam saja yang
dipegangnya, namun Kim-kong Taysu dapat mengangkatnya
di atas kepala, serupa mengangkat sepotong barang yang
enteng saja. Kiranya pada saat kuduk Liap Siong-giam kena
dicengkeramnya, secepat kilat ia tutuk sekalian Hiat-to
kelumpuhan orang dengan tongkatnya, sebab itulah Liap
Siong-giam sama sekali tak bisa berkutik.
Melihat kawannya sama sekali berada di bawah cengkeraman
musuh, Ciang Su-liong berenam menjadi jeri dan tak berani
sembarangan bertindak lagi, terpaksa mereka hanya
mengelilingi Kim-kong Taysu dan siap tempur.
Kim-kong Taysu terbahak-bahak, sama sekali ia tidak
menghiraukan keenam orang yang mengepungnya, ia malah
berkata kepada Koh-ting Tojin, "Koh-ting Toheng, dengan
caraku ini kan jauh lebih cepat hasilnya daripada menggeledah
seluruh perkampungan ini, betul tidak?"
"Betul, betul!" jawab Koh-ting Tojin dengan tertawa.
Kim-kong Taysu lantas mendongak dan berkata kepada Liap
Siong-giam yang terangkat tinggi itu, "Liap-sicu, paling baik
katakan terus terang saja, sesungguhnya Wi-cengcu berada di
rumah atau tidak?"
Sudah berpuluh tahun Liap Siong-giam berkecimpung di dunia
Kangouw bersama Wi Ki-tiu dan belum pernah kecundang,
apa lagi dibekuk dan dipermainkan orang seperti sekarang ini,
keruan ia sangat kejut, gugup dan juga malu.
Namun dia pantang menyerah, kontan ia mencaci maki,
"Bangsat tua gundul, jika gagah perkasa, boleh kau bunuh
saja diriku. Jika kau pikir aku dapat dipaksa untuk bicara, huh,
mimpi di siang bolong!"
"Apa betul?" jengek Kim-kong Taysu dengan terkekeh,
berbareng ia tambahi tenaga pada cengkeramannya.
Seketika tulang leher Liap Siong-giam berbunyi keriang-keriut,
rasanya seperti mau remuk, saking kesakitan kembali ia
menjerit pula seperti babi hendak disembelih.
Kim-kong Taysu mengendurkan cengkeramannya, lalu
bertanya lagi, "Nah, mengaku atau tidak?"
Liap Siong-giam sempat berganti napas, tapi ia tidak kapok,
kembali ia meraung lagi, "Mengaku apa" Kau bangsat gundul,
maknya dirodok ... aduhhh!"
Ia menjerit lagi ketika cengkeraman Kim-kong Taysu
diperkeras sehingga kelima jari hampir ambles ke lehernya.
"Benar-benar tidak mau mengaku?" ancam Kim-kong Taysu.
Namun Liap Siong-giam sudah tidak sanggup bersuara lagi.
Mendadak Kim-kong melemparkan Liap Siong-giam yang tak
bisa berkutik itu kepada Koh-ting Tojin sambil berseru, "Kohting
Toheng, boleh juga kau pun memberi sedikit tahu rasa
kepadanya."
Sekali raih, kedua kaki Liap Siong-giam kena ditangkap Kohting
Tojin, katanya dengan terbahak-bahak, "Hahaha, baik
sekali, boleh kau lihat caraku!
Sembari bicara ia pentang kedua kaki Liap Siong-giam dan
ditarik. Kontan, Liap Siong-giam merasa selangkangan seakan-akan
robek, tanpa terasa ia menjerit dan melolong.
Tentu saja Ciang Su-liong berenam terperanjat sekali, sambil
membentak serentak mereka menerjang maju.
Tapi Kim-kong Taysu lantas putar tongkatnya untuk
mengalangi Ciang Su-liong, Oh Jing-peng dan Uh Lam-san
bertiga, serunya dengan tertawa, "Eh, kalian ingin berkelahi"
Boleh, biar kumain-main dengan kalian!"
Dalam keadaan begini, mau tak mau Ciang Su-liong bertiga
terpaksa harus bergebrak dengan Hwesio tua itu. Maka
terjadilah pertempuran sengit tiga lawan satu.
Song Kim-hu, Kim Soh-bun dan Thio Lok-tong bertiga juga
sudah menerjang ke depan Koh-ting Tojin, tapi mereka tidak
berani segera menyerang, sebab saat itu tubuh Liap Sionggiam
lagi terangkat oleh Koh-ting dengan kedua kaki
terpegang dan dipentang seakan-akan hendak dibeset.
Mereka menjadi khawatir jika menerjang maju begitu saja,
bisa jadi Liap Siong-giam akan benar-benar terbeset menjadi
dua. Karena itulah mereka lantas berhenti di tempat dan
saling pandang dengan cemas.
Tiba-tiba Kim Soh-bun mendapat akal, cepat ia melompat ke
depan Song Goan-po, sekali kaki menyapu, Song Goan-po
yang sudah terluka itu diserampang hingga roboh terjungkal,
lalu dengan pedang ia mengancam di leher orang sambil
membentak bengis, "Ayo, lepaskan kawanku, kalau tidak,
sekali tusuk kumampuskan orang she Song ini!"
Rupanya ia mengira Koh-ting dan Kim-kong berdua adalah
sekomplotan dengan Song Goan-po, maka ia menirukan cara
Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang dengan main ancam, Song Goan-po hendak dibunuhnya
sebagai syarat untuk memaksa Koh-ting Tojin membebaskan
Liap Siong-giam.
Tak terduga Koh-ting Tojin sama sekali tidak menghiraukan
mati-hidup Song Goan-po, melihat ujung pedang mengancam
di leher orang, ia malah mengakak dan berkata, "Hah, bagus
sekali! Ayo kita berlomba cepat, kita turun tangan berbareng,
kau bunuh orang she Song itu dan kubinasakan orang she
Liap ini!"
Seraya bicara, kedua tangan membentang lebih lebar lagi,
kedua kaki dibesetnya terlebih keras sehingga tubuh Liap
Siong-giam serasa mau robek.
Keruan Liap Siong-giam menjerit lagi kesakitan dan melolong
seperti serigala lapar.
Seketika Kim Soh-bun merasa bingung malah dan tidak tahu
apa yang harus diperbuat lagi.
Dalam pada itu Kim-kong Taysu yang dikerubut Ciang Su-liong
bertiga sudah berada di atas angin, tongkatnya berputar
cepat, menyerampang dan mengemplang dengan dahsyatnya
sehingga Ciang Su-liong bertiga hanya mampu menangkis dan
tidak sanggup balas menyerang.
Melihat keadaan demikian, Le-hui tahu ketujuh jago pengawal
Liong-coan-ceng pasti bukan tandingan Koh-ting Tojin dan
Kim-kong Taysu, ia menjadi khawatir, cepat katanya kepada
Long-giok, "Wah, bagaimana baiknya" Bagaimana kalau kita
ikut maju dan membantu mereka?"
Namun Long-giok justru berharap semoga ketujuh orang itu
mati seluruhnya, hal ini akan kebetulan baginya, maka ia
menggeleng kepala dan menjawab, "Jangan, kalau kita ikut
maju, paling-paling juga cuma antar nyawa percuma ...."
"Akan tetapi, kita kan tidak boleh berpeluk tangan belaka"!"
ucap Le-hui. "Jangan gelisah." ujar Long-giok. "Mereka orang beragama,
kuyakin mereka takkan sembarangan membunuh orang."
Namun Le-hui tidak sependapat, sebab dilihatnya serangan
Kim-kong Taysu sedemikian lihai tanpa kenal ampun, katanya,
"Tidak, coba kau lihat betapa buas Hwesio tua itu, kukira dia
takkan memberi ampun kepada Ciong Su-liong bertiga,
marilah lekas kita maju membantu mereka!"
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 14 "Sabar dulu, tunggu lagi sebentar," ujar Long-giok.
"Hei, engkau ini bagaimana Long-giok"!" tanya Le-hui,
tampaknya kurang senang.
"Aku kenapa?" ujar Long-giok.
"Engkau seperti ... seperti sudah berubah," kata Le-hui.
"Berubah bagaimana?" ucap Long-giok dengan tertawa. "Ah,
sudahlah, jangan omong kosong, masa aku bisa berubah?"
"Tampaknya engkau sama sekali tidak lagi memerhatikan
keamanan perkampungan kita ini, bukankah itu menandakan
engkau sudah berubah?" ujar Le-hui.
Long-giok tersenyum hambar, "Kita tidak lebih cuma
perempuan yang dibuat permainan Wi Ki-tiu saja, urusan
keamanan Liong-coan-ceng bukanlah tugas kita, buat apa kita
mesti ikut maju untuk mengantar nyawa belaka?"
"Sarang yang tumpah tidak ada telur yang selamat, bila
ketujuh jago pengawal itu tamat riwayatnya, apakah kita
dapat menyelamatkan diri?" ujar Le-hui.
"Dapat," kata Long-giok. "Maksud tujuan Kim-kong Taysu dan
Koh-ting Tojin itu jelas cuma urusan kotak pusaka saja dan
takkan sembarangan membunuh orang."
Dalam pada itu Le-hui melihat Ciang Su-liong bertiga sudah
mulai kelabakan tercecar oleh Kim-kong Taysu, ia tambah
khawatir, katanya dengan mendongkol, "Sudahlah, jika
engkau tidak mau maju, biarlah kubantu mereka."
Sembari bicara ia terus hendak menerjang ke sana.
Tapi Long-giok keburu menariknya, katanya dengan tertawa,
"Eh, sabar dulu, apa susahnya jika ingin menyelamatkan
mereka ...."
"Apa katamu?" tanya Le-hui melengak.
"Begini, lihat saja caraku," kata Long-giok dengan tertawa.
Lalu ia gandeng Le-hui dan melangkah ke sana dengan gaya
berlenggang, serunya merdu, "Eh, harap Taysu ini suka
berhenti dulu, dengarkan perkataanku!"
Benar juga, Kim-kong Taysu lantas berhenti menyerang,
tanyanya dengan tertawa, "Ada petunjuk apa, Lisicu?"
Long-giok tertawa manis, katanya, "Perbolehkan
kuperkenalkan diri dulu, namaku Long-giok, perempuannya
Wi-cengcu."
"Haha, Wi Ki-tiu memiliki perempuan secantik dirimu, sungguh
beruntung sekali dia," ujar Kim-kong Taysu dengan tertawa.
"Kedatangan Taysu berdua ingin bertemu dengan Wi-cengcu,
bukan?" tanya Long-giok.
"Betul," Kim-kong Taysu mengangguk.
"Tapi sayang, dia memang benar tidak berada di dalam
kampung," kata Long-giok.
"Apa betul?" Kim-kong Taysu menegas dengan tertawa,
tampaknya kurang percaya.
"Kukira Taysu berdua perlu lebih mengenal pribadi Wicengcu,"
ujar Long-giok. "Beliau sama sekali bukanlah tokoh
yang suka sembunyi kepala kelihatan ekor, bilamana dia
berada di rumah, mana mungkin dia mengizinkan kalian
berbuat sesukamu, betul tidak?"
"Hahaha, betul juga ucapanmu," seru Kim-kong dengan
tergelak. "Jika dia berada di rumah, saat ini kukira dia sudah
keluar." "Nah, makanya kubilang dia memang betul tidak di rumah,
sejak pagi tadi dia keluar melalui pintu belakang," kata Longgiok.
"Pergi sendirian?" Kim-kong Taysu menegas.
"Tidak, dia pergi dengan membawa Hiat-pit-siucay," tutur
Long-giok. "Semalam Hui Giok-koan sudah kena dikerjai, WiKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
cengcu telah memaksa dia mengaku tempat penyimpanan
kotak pusaka dan pagi tadi lantas membawanya berangkat
untuk mengambil kotak."
"Dirodok, betul kan dugaanku"!" teriak Song Goan-po. "Sudah
jelas orang she Wi itu berniat jahat, tapi kalian kawanan
budak piaraan biang anjing ini masih juga menyangkal!"
"Tutup mulutmu, Song Goan-po!" bentak Kim-kong Taysu.
"Sekarang mereka sudah mengaku saudara angkat telah
disandera, untuk apa gembar-gembor lagi?"
Tampaknya Song Goan-po sangat jeri terhadap Kim-kong
Taysu, seketika ia tidak berani bersuara lagi.
Lalu Kim-kong Taysu berpaling dan tanya Long-giok, "Lantas,
menurut pengakuan Hui Giok-koan, di mana dia
menyembunyikan kotak itu?"
"Cong-beng-to," tutur Long-giok.
"Apa betul?" Kim-kong Taysu menegas dengan tersenyum.
"Mungkin dusta," kata Long-giok. "Sebab pada waktu Wicengcu
mengompes Hui Giok-koan tidak disaksikan oleh orang
ketiga. Waktu kutanya dia pagi tadi juga cuma keterangan
demikian saja yang dikatakan padaku, sebab itulah aku pun
tidak tahu keterangan ini benar atau dusta."
"Kau anggap dia mendustaimu?" tanya Kim-kong Taysu.
"Mungkin saja, tapi bisa jadi juga benar keterangannya," ujar
Long-giok. "Jika kalian ingin menemui dia, boleh kalian
mencarinya ke Cong-beng-to, kalau tidak bertemu di sana
boleh putar balik lagi ke sini."
Kim-kong Taysu memandangnya sejenak dengan tertawa, lalu
bertanya lagi, "Mengapa tanpa ditanya kau beri keterangan
sebanyak ini?"
Long-giok menuding Liap Siong-giam yang terangkat tinggi
oleh Koh-ting Tojin, katanya, "Demi menolong dia."
"Kau tidak takut akan dijatuhi hukuman oleh Wi Ki-tiu?" tanya
Kim-kong. "Demi menolong orang, tidak dapat kupikirkan lagi sejauh itu,"
sahut Long-giok.
Kim-kong Taysu termenung sejenak, lalu berkata kepada Kohting,
"Bagaimana menurut pendapat Toheng?"
"Selama hidupku paling tidak percaya kepada ucapan orang
perempuan," kata Koh-ting Tojin dengan tertawa. "Cuma
sekarang terpaksa kupercaya satu kali."
"Ya, ucapannya juga betul," ujar Kim-kong Taysu. "Kita boleh
menyusul ke Cong-beng-to, bila tidak menemukan dia segera
kita putar balik ke sini, toh penghuninya dapat lari, rumahnya
tetap sukar kabur."
Koh-ting Tojin melemparkan Liap Siong-giam, katanya dengan
tertawa, "Aha, betul, marilah kita berangkat!"
Sekali loncat, langsung ia melayang keluar.
Cepat Kim-kong Taysu ikut melayang lewat di atas kepala
orang banyak dan menyusul kencang di belakang Koh-ting
Tojin menuju ke luar pintu.
Keruan Song Goan-po kelabakan, cepat ia memburu ke sana
sambil berteriak-teriak, "Tunggu, harap kalian tunggu padaku,
aku pun ikut pergi!"
Pantatnya tadi kena diserang oleh Ciang Su-liong sehingga
babak-belur, untuk berjalan saja sebenarnya sukar, tapi
sekarang karena Kim-kong Taysu dan Koh-ting Tojin pergi
begitu saja, dengan sendirinya ia tidak berani tertinggal di
situ, terpaksa ia mengejar ke sana dengan terincang-incut
sambil menahan rasa sakit.
Pertarungan sengit tadi kini telah berakhir, Ciong Su-liong
berenam berdiri melenggong sekian lamanya barulah
berusaha membuka hiat-to Liap Siong-giam yang tertutuk.
Serupa seekor ayam aduan yang telah keok, dengan lemas
lesu Liap Siong-giam berkata, "Bedebah, kita benar-benar
terjungkal habis-habisan, bila Cengcu pulang, cara bagaimana
kita akan memberi pertanggungjawaban?"
"Kedua tua bangka tadi adalah tokoh kelas wahid dunia
persilatan zaman ini, biarpun Cengcu sendiri berada di rumah
juga belum tentu mampu melawannya," kata Ciong Su-liong.
"Apalagi kita telah mengadakan perlawanan mati-matian dan
tidak pernah menyerah, kuyakin Cengcu pasti takkan
menyalahkan kita."
Liap Siong-giam berpaling ke arah Long-giok, tanyanya, "Nona
Long-giok, tadi kau bilang Cengcu pergi ke Cong-beng-to,
apakah betul keteranganmu ini?"
"Dengan sendirinya tidak benar," jawab Long-giok dengan
tertawa. "Hamba sendiri tidak tahu Cengcu hendak pergi ke
mana, hamba cuma memberi alasan sekenanya saja."
Mendadak Le-hui menyambung dengan dingin, "Engkau tidak
bicara sekenanya, Cengcu kita memang betul pergi ke Congbengto." "Tidak, tidak betul," bantah Long-giok. "Cengcu mengatakan
padaku, tempat tujuannya adalah Ngo-tay-san."
"Tapi Cengcu kita memang benar pergi ke Cong-beng-to,"
jengek Le-hui, "sebab Hui Giok-koan mengaku kotak
pusakanya disembunyikan di Cong-beng-to."
"Oo, apa betul?" Long-giok berlagak kaget. "Semalam waktu
Cengcu mengompes Hui Giok-koan memang aku tidak ikut
menyaksikan, ketika kutanya Cengcu pagi tadi, beliau bilang
padaku mau pergi ke Ngo-tay-san."
"Hm, engkau diam-diam pernah menyusup ke Cui-ci-kiong dan
mencuri dengar pengakuan Hui Giok-koan tersebut," jengek
Le-hui mendadak.
"Omong kosong," jawab Long-giok dengan gusar. "Semalam
hamba mendapat perintah menemani Sun-tayhiap, buat apa
hamba menyusup ke Cui-ci-kiong" Pula umpama kutahu
Cengcu hendak pergi ke Cong-beng-to juga tidak nanti kuberi
tahukan terus terang kepada orang luar, memangnya kau kira
aku bersekongkol dengan musuh?"
"Memang," seru Le-hui, "kau memang bersekongkol dengan
musuh luar. Pagi tadi sebelum Cengcu berangkat aku dipesan
di luar tahu orang lain agar menaruh perhatian terhadap
gerak-gerikmu, katanya pikiranmu telah bercabang, sekarang
sengaja kau beri tahukan kepada musuh tentang jejak
perjalanan Cengcu, ini membuktikan bahwa kau memang
bersekongkol dengan musuh. Nah, Liap-wisu, hendaknya lekas
kau tangkap dia!"
Liap Siong-giam tampak melenggong bingung dan tidak turun
tangan. "Ayo lekas," teriak Le-hui, "itulah pesan Cengcu, kata beliau
bila menemukan sesuatu tanda pengkhianatannya harus
segera membekuknya dan akan diputus urusannya bila
Cengcu pulang."
"Hm, sungguh kebetulan sekali, Cengcu juga memberi pesan
begitu kepadaku, katanya akhir-akhir ini gerak-gerikmu sangat
mencurigakan, maka hamba disuruh mengawasi tindak
tandukmu," jengek Long-giok. "Sekarang terbukti kau sengaja
mengadu domba, jelas kau memang berniat jahat. Nah, Liapwisu,
lekas kau bekuk dia!"
"Ngaco-belo!" teriak Le-hui dengan wajah pucat.
Long-giok mencibir dan berkata, "Hm, kau sendiri ngaco-belo!
Tujuanku tadi justru ingin menyelamatkan jiwa Liap-wisu,
maka sengaja sembarangan mengarang sebuah nama tempat
untuk menipu Kim-kong dan Koh-ting agar lekas pergi dari
sini, tapi hal ini berbalik kau tuduh sebagai bersekongkol
dengan musuh luar, jelas maksudmu hendak mengadu domba
dan mencari perkara. Hm, tampaknya dugaan Cengcu
memang tidak keliru, kau memang sudah berubah sama
sekali!" Saking gemas Le-hui mengentak kaki dan berteriak,
"Perempuan bejat yang tidak tahu malu, berani kau putar balik
urusan, biar kucekik mampus dirimu!"
Sembari bicara terus saja ia menubruk maju dan mencakar.
Tentu saja Long-giok tidak mau mengalah, tangan kiri
menangkis, kontan tangan kanan balas menghantam muka
lawan. Begitulah kedua betina itu lantas saling labrak dengan sengit.
Liap Siong-giam bertujuh tidak dapat membedakan
sesungguhnya siapa di antara kedua nona itu yang
bersekongkol dengan musuh, sebab itulah mereka serbasalah
untuk membantu salah seorang, mereka sama gelisah dan
bingung serta berteriak, "Berhenti, berhenti semua, bicaralah
dengan baik!"
Namun Long-giok dan Le-hui anggap tidak mendengar,
perkelahian mereka bertambah sengit, keduanya sama ingin
membinasakan lawan dengan segera.
Dasar perempuan, lambat laun cara bertempur mereka tidak
Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi menurut peraturan jago silat, tapi berubah menjadi
perempuan kampungan, keduanya saling jambak rambut dan
mencakar muka serta menarik baju ....
Tidak lama kemudian kedua orang sudah babak belur dengan
baju robek dan rambut semrawut, dada terbuka dan paha
kelihatan. Ciong Su-liong jadi rikuh sendiri melihat keadaan kedua betina
itu, ia melompat maju untuk memisah mereka sambil
membentak, "Berhenti, jangan berkelahi lagi!"
Baju atas Le-hui terobek sehingga dadanya setengah
tersingkap, keadaannya agak runyam, ia tuding Long-giok dan
memaki dengan napas terengah, "Perempuan hina, lihat saja
nanti, bila Cengcu pulang berarti pula tiba ajalmu!"
Habis itu ia mengentak kaki terus berlari ke wisma tamu sana.
Long-giok menutupi pahanya dengan gaunnya yang robek,
lalu balas memaki, "Sundal busuk, kalau berani janganlah lari,
ayolah kita tentukan siapa yang akan mampus!"
Pada saat itulah mendadak Lokoankeh muncul di situ, ucapnya
dengan tertawa, "Sudahlah kalian sudah cukup berkelahi dan
saling caci maki, sekarang bolehlah pulang ke kamar masingmasing
untuk istirahat."
Seketika Long-giok mewek-mewek, katanya, "Silakan
Lokoankeh memberi keadilan, hamba hendak menolong Liapwisu
dan sengaja menyebut sesuatu nama tempat, tapi si
perempuan hina Le-hui itu berani memfitnahku, katanya
hamba bersekongkol dengan musuh, coba siapa yang terima
dituduh demikian?"
"Ah, sudahlah, itu cuma salah paham saja, setelah jelas
persoalannya anggaplah selesai dan jangan bicara lagi," kata
Lokoankeh dengan tertawa.
Namun Long-giok masih penasaran, katanya, "Hamba tidak
mau tinggal bersama lagi dengan dia, harap Lokoankeh
mengantarku kembali ke Cui-ci-kiong saja."
"Wah, mana bisa," jawab Lokoankeh sambil menggeleng.
"Cui-ci-kiong sudah tertutup rapat, tidak dapat lagi masuk ke
sana." "Masa engkau tak dapat membukanya?" tanya Long-giok.
"Tidak, tidak bisa," kembali Lokoankeh menggeleng kepala.
"Sebab apa?" tanya Long-giok.
"Sebab aku pun tidak tahu di mana letak alat tutup-bukanya,"
kata Lokoankeh.
"Wah, lantas siapa yang tahu?"
"Hanya Cengcu sendiri yang tahu."
Long-giok berpaling dan tanya Liap Siong-giam, "Liap-wisu,
apakah engkau tahu?"
Liap Siong-giam menggeleng sambil tersenyum getir, "Maaf,
malahan bagaimana bentuk Cui-ci-kiong saja sampai saat ini
aku tidak tahu."
Long-giok berlagak gemas, ucapnya dengan manja, "Jika
begitu, suruh dia pindah, aku tidak sudi tinggal sekamar
dengan dia."
"Untuk ini bisa kuatur," kata Lokoankeh. "Kamar kosong di
wisma tamu itu sangat banyak, biarlah kalian tinggal terpisah
saja." Malam sudah tiba, cahaya lampu di Liong-coan-ceng terang
benderang serupa siang, peronda mondar-mandir terus
berkeliling menyusuri pagar tembok tanpa berhenti,
tampaknya biarpun seekor tikus saja yang menyusup ke dalam
perkampungan juga pasti akan kepergok.
Tapi belum lagi tengah malam Kiong-su-sing Sun Thian-tik
sudah berada di wisma tamu Liong-coan-ceng.
Ia mengenakan baju centeng Liong-coan-ceng dan membawa
bende, dengan lagak peronda ia masuk ke wisma itu. Setiba di
luar kamar Long-giok, ia mengetuk pintu.
Saat itu Long-giok sedang bicara dengan Liong It-hiong dari
balik dinding, ia terkejut demi mendengar suara ketukan pintu,
cepat ia tanya, "Siapa"!"
"Aku!" jawab Thian-tik dengan suara tertahan.
Mengenali suara Sun Thian-tik itu, cepat Long-giok
membukakan pintu, desisnya. "Cepat masuk!"
Dengan senyum dikulum Sun Thian-tik menyusup ke dalam
kamar. Setelah merapatkan pintu kamar, Long-giok melihat dandanan
Sun Thian-tik itu, ucapnya dengan kejut dan girang, "Apakah
kedatanganmu tidak kepergok orang?"
"Ada," tutur Thian-tik. "Beberapa kali aku dipergoki orang,
malahan dua kali di antaranya aku diajak bicara."
"Dari mana timbul gagasanmu untuk menyamar sebagai
peronda?" tanya Long-giok dengan tertawa geli.
Perlahan Thian-tik menaruh bende dan angkat pundak,
jawabnya, "Kecuali cara ini tiada jalan lain lagi untuk
menyusup ke dalam perkampungan ini."
Segera ia menarik Long-giok dan dipeluknya, diciumnya mesra
sekali pada pipinya, lalu bertanya, "Dan di mana Liong Ithiong?"
Long-giok menuding sebelah dinding, jawabnya lirih, "Di
kamar sebelah, baru saja aku berunding dengan dia
bagaimana tindakan selanjutnya, tak terduga engkau lantas
muncul." Ia membawa Thian-tik ke samping kanan tempat tidur dan
berjongkok, ia tuding sebuah liang kecil di pojok dinding, dari
liang itulah dia mengadakan pembicaraan dengan Liong Ithiong.
"Liong-hiap, ini Sun-tayhiap sudah datang!" seru Long-giok.
"Ya, sudah kudengar," jawab Liong It-hiong di kamar sebelah.
Sun Thian-tik tertawa, katanya, "Liong It-hiong, bikin susah
padamu ya!"
"Ah, tidak apa-apa," kata It-hiong.
"Pagi tadi aku bersembunyi di dalam hutan di belakang
kampung," tutur Sun Thian-tik, "kulihat Wi Ki-tiu menyamar
sebagai saudagar dan diam-diam mengeloyor keluar kampung
melalui pintu belakang, telah kukuntit dia sekian jauhnya, lalu
kuputar balik ke sini, sekarang sangat mungkin dia sudah
berada beberapa ratus li jauhnya, marilah kita boleh mulai
beraksi." "Tapi Wi Ki-tiu telah menutup Cui-ci-kiong, konon selain dia
tiada orang lain yang mampu membuka istana kristal di bawah
tanah itu," kata It-hiong.
"Kukira ada satu orang dapat membuka Cui-ci-kiong," ujar
Thian-tik. "Siapa?" tanya It-hiong.
"Lokoankeh," kata Thian-tik.
"Menurut Nona Long-giok, siang tadi dia sudah coba tanya
kepadanya, Lokoankeh itu menyatakan tidak tahu cara bukatutup
Cui-ci-kiong itu."
"Ya, tentu saja ia tidak mau bicara terus terang kepada
sembarangan orang," ujar Thian-tik dengan tertawa.
"Jika begitu, umpamakan dia paham cara buka-tutup Cui-cikiong,
lalu cara bagaimana kita akan bertindak?" tanya Ithiong.
"Dapat kita menculik dia ke sini dan memaksa dia
membukakan pintu Cui-ci-kiong."
"Wah, cara ini kurang baik," ujar It-hiong. "Tampaknya dia
sangat setia terhadap Wi Ki-tiu, bilamana dia tidak mau
mengaku biarpun dibunuh sekalipun, kan juga tidak ada
untungnya bagi kita. Maka sebaiknya kita mencari akal untuk
memancingnya agar secara sukarela dia mau membuka Cui-cikiong."
"Jika ingin memancing dia membukakan Cui-ci-kiong tanpa
dipaksa, kukira ada satu cara," kata Thian-tik, "yaitu dibikin
seakan-akan di dalam Cui-ci-kiong terjadi sesuatu, tentu dia
akan membuka pintu istana itu untuk memeriksanya. Tapi
dengan cara bagaimana supaya dia mengira telah terjadi
sesuatu di dalam Cui-ci-kiong?"
"Aku ada akal," kata It-hiong. "Cuma tidak tahu dapat
dilaksanakan atau tidak."
"Coba uraikan," pinta Thian-tik.
"Di dalam wisma ini masih tinggal seorang nona bernama Lehui,"
tutur It-hiong. "Ia sengaja dikirim oleh Wi Ki-tiu untuk
menemani Nona Long-giok, sekarang dia tinggal di kamar
nomor tiga serambi barat ...."
Sun Thian-tik melengak, tukasnya, "Jika dia disuruh menemani
Long-giok mengapa mereka tidak tinggal bersama?"
"Sebab siang tadi telah terjadi perkara, boleh kau minta Nona
Long-giok menceritakan apa yang terjadi siang tadi," kata Ithiong.
"Memangnya apa yang terjadi?" segera Thian-tik berpaling
dan tanya Long-giok.
Maka berceritalah Long-giok tentang datangnya Song Goanpo,
Koh-ting Tojin, dan Kim-kong Taysu serta dilabraknya
ketujuh jago andalan Liong-coan-ceng itu.
"Oo, bisa terjadi demikian," ucap Thian-tik dengan kening
bekernyit. "Jika dia menuduh kau bersekongkol dengan musuh
luar, maka mutlak kau tidak dapat tinggal lagi di sini."
"Hamba memang tidak ingin tinggal lagi di sini, sekarang
justru ingin kutahu apakah engkau sudi membawa pergi diriku
atau tidak?" kata Long-giok.
Sun Thian-tik tertawa sambil menepuk bahu si nona, katanya,
"Jangan khawatir, jika aku tidak mau membawa kabur dirimu,
tentu malam ini aku tidak datang lagi ke sini."
Lalu ia bicara terhadap Liong It-hiong di kamar sebelah, "Eh,
tadi kau bilang ada akal, coba jelaskan akalmu itu?"
Liong It-hiong lantas menguraikan rencananya.
Thian-tik manggut-manggut, ucapnya dengan tertawa, "Ehm,
tidak jelek akalmu ini, aku setuju."
Segera ia berbangkit, diambil lagi bende tadi lalu membuka
pintu kamar, ia melongok keluar, setelah yakin tidak ada
orang di luar barulah ia menyelinap keluar dan menuju ke
kamar di serambi barat.
Setelah membelok ke ujung serambi, sampailah dia di deretan
kamar sebelah barat, dilihatnya ada cahaya lampu di kamar
nomor tiga, ia tahu itulah kamar tempat tinggal Le-hui, segera
ia mengetuk pintu.
Tapi ketika tangan hampir menyentuh pintu mendadak ia
urungkan maksudnya.
Sebab pada saat itu juga didengarnya di dalam kamar Le-hui
ada suara orang lelaki.
Meski suara sangat lirih, tapi dapat didengarnya dengan jelas,
kalimat pertama yang didengarnya berbunyi demikian, "Coba
katakan terus terang, bagaimana diriku dibandingkan
Cengcu?" Nadanya seperti dua orang yang sedang kelonan dan lagi
begituan. Lalu terdengar Le-hui mengomel, "Cis, tidak tahu malu."
Terdengar si lelaki tertawa bangor dan berucap pula, "Jika
tidak kau katakan, biarlah kupergi saja."
"Pergi ya pergi, memangnya kutahan"!" demikian terdengar
Le-hui mengomel pula.
"Baik, kupergi sekarang .... Eh, untuk apa mengganduli
diriku?" lelaki itu bersuara dengan tertawa.
Agaknya Le-hui memukulnya satu kali sambil terkikik,
"Sudahlah, macam-macam saja engkau ini memangnya kau
minta kubilang apa?"
"Katakan, bagaimana aku dibandingkan Cengcu?" ujar si lelaki.
Kembali Le-hui seperti memukulnya sekali lagi sambil
mengomel, "Cis, begituan saja masa disebut-sebut, sudah
tentu engkau lebih perkasa!"
Agaknya lelaki itu sangat senang, terdengar tertawanya
mengakak. "Ssst, jangan keras-keras, bila didengar Long-giok kan bisa
celaka," cepat Le-hui mendesis.
"Jangan khawatir, siang tadi ia berkelahi denganmu, sekarang
tidak nanti dia mencarimu."
"Bukan mustahil dia mengintip gerak-gerikku," kata Le-hui.
"Tidak, saat ini mungkin dia juga lagi sibuk seperti dirimu,
sedang curi makan, mana ada waktu untuk mengintip dirimu
segala?" "Sungguh menggemaskan, dia memang benar bersekongkol
dengan musuh luar, tapi kalian justru tidak percaya," kata Lehui.
"Tanpa sesuatu bukti, kan tidak enak menangkapnya begitu
saja," ujar si lelaki.
Le-hui berpikir sejenak, lalu berkata pula, "Cuma, mungkin ...
ai, tidak perlu lagi kita membicarakan dia. Sekarang ingin
kutanya padamu, apakah engkau benar-benar suka padaku?"
"Mengapa tidak" Masa perlu kukatakan lagi?" jawab si lelaki.
"Lantaran rindu padamu, setiap hari aku tidak dapat tidur
nyenyak, makan pun tidak nafsu, sungguh susah."
"Jika begitu, ayolah kita minggat saja!"
"Hah, minggat?" lelaki itu seperti terperanjat. "Minggat ke
mana?" "Mana pun jadi," ujar Le-hui. "Pendek kata, kita kawin dan
minggat dari sini untuk hidup layak di tempat lain."
Agaknya lelaki itu menjadi ragu, katanya dengan gelagapan,
"Wah, ini ... ini ...."
"Ini apa?" desak Le-hui. "Masa kau takut" Huh, pengecut!
Memangnya kau dapat ikut Wi Ki-tiu selama hidup" Kebaikan
apa yang diberikannya kepadamu?"
"Tapi bilamana Cengcu mengetahui kita mingg
Bara Naga 10 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bukit Pemakan Manusia 17
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama