Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L Bagian 9
at bersama, mana dia mau tinggal diam, ke ujung langit pun kita akan
diuber." "Sungguh bodoh engkau ini," ujar Le-hui. "Kita kan dapat
kabur sejauh-jauhnya, ke mana dia akan mencari kita?"
Tampaknya lelaki itu masih ragu, "Tapi kukira ... kukira ...
urusan ini harus kupikirkan dulu."
"Tidak perlu banyak pikir, kalau mau, sekarang juga kita
angkat kaki!" kata Le-hui.
"Wah, ini ... ini ...."
"Kenapa" Kau tidak ingin meninggalkan Wi Ki-tiu" Atau
memang tidak suka padaku?"
"O, ti ... tidak ...." lelaki itu gelagapan.
"Kalau tidak, mengapa kau sangsi dan perlu pikir apa lagi?"
ujar Le-hui. "Ingin kukatakan padamu, setelah engkau
berhubungan denganku, bila diketahui Wi Ki-tiu, mungkin ...."
"Baik, baik, boleh kita angkat kaki," cepat lelaki itu menukas.
"Cuma, bagaimana kalau berangkat dua hari lagi."
"Tidak bisa, bukan mustahil Wi Ki-tiu bisa putar balik
mendadak, biarlah malam ini juga kita angkat kaki."
"Ai, kenapa terburu-buru amat?" ujar lelaki itu.
"Betapa pun kuingin lekas meninggalkan tempat seperti
neraka ini," kata Le-hui.
"Jika begitu, biarlah kukembali ke kamar dan berbenah
seperlunya, hendaknya kau pun bersiap-siap," kata lelaki itu.
"Baik, kutunggu di sini," ujar Le-hui.
Sampai di sini, Thian-tik tahu orang itu selekasnya akan
keluar, cepat ia menyurut mundur dan sembunyi di suatu
pojokan yang gelap.
Benarlah, selang sejenak, pintu kamar dibuka perlahan,
seorang berbaju hijau menyelinap keluar dengan tingkah
serupa maling khawatir kepergok.
Dia ternyata satu di antara ketujuh jago pengawal Liong-coanceng,
yaitu Kim Soh-bun.
Setelah celingukan kian-kemari dan melihat sekelilingnya tidak
ada orang, cepat orang itu berlari keluar wisma tamu.
Sun Thian-tik bersembunyi tanpa bergerak, diam-diam ia
merasa geli, pikirnya, "Sungguh sangat kebetulan, aku tidak
perlu turun tangan lagi ...."
Sedang berpikir, dilihatnya Long-giok muncul dari pengkolan
serambi sana, ia tahu si nona ingin melihatnya sudah berhasil
atau tidak, segera ia menongol dan memberi tanda padanya
sambil mendesis, "Ssst, di sini ...."
Long-giok merasa bingung melihat Thian-tik sembunyi di situ,
cepat ia lari ke sini dan bertanya dengan suara tertahan,
"Kenapa engkau tidak turun tangan?"
"Tidak perlu lagi, sebentar juga dia akan minggat bersama
Kim Soh-bun," tutur Thian-tik dengan suara lirih.
"Kenapa bisa begitu?" tanya Long-giok dengan tidak mengerti.
"Begitu kusampai di luar kamarnya lantas kudengar suara
seorang lelaki sedang bicara di dalam kamar ...." lalu Sun
Thian-tik menceritakan apa yang didengar dan dilihatnya tadi.
"Hm, dasar perempuan bejat," jengek Long-giok. "Tadinya
kukira dia benar-benar setia kepada Wi Ki-tiu, tak tahunya dia
juga seekor kucing rakus."
"Dalam hal ini, kukira kau tidak dapat mengejek dia," ujar
Thian-tik dengan tertawa. "Sebab dia serupa denganmu, tidak
suka kepada seorang kakek loyo yang tidak mampu apa-apa
meski banyak duitnya."
"Lantas, apakah Kim Soh-bun berjanji akan membawa
minggat dia?" tanya Long-giok.
"Ya, makanya kita tidak perlu turun tangan lagi," jawab Thiantik.
"Sebentar bila mereka sudah pergi barulah kita bertindak
menurut rencana."
"Jika begitu, biar kuberi tahukan kepada Liong-hiap," kata
Long-giok. "Dia merasa khawatir akan dirimu karena sekian
lama engkau berangkat dan belum lagi kembali."
Habis bicara ia terus berlari pergi.
Tidak lama kemudian ia sudah kembali dengan membawa
Liong It-hiong.
Baru saja mereka bertiga berjongkok di tempat gelap itu
segera terlihat Kim Soh-bun masuk lagi ke halaman situ, pada
bahunya menyandang sebuah ransel, melihat gelagatnya dia
memang benar-benar hendak minggat bersama Le-hui.
Terlihat dia menuju ke kamar Le-hui, setiba di luar kamar,
perlahan ia mengetuk tiga kali, segera pintu kamar dibuka dan
Le-hui muncul dengan dandanan yang siap untuk berangkat.
"Apakah tidak dilihat orang?" terdengar Le-hui bertanya
dengan suara tertahan.
"Tidak," Kim Soh-bun menggeleng.
"Penjagaan kan sangat ketat?" tanya Le-hui pula.
"Tidak apa, yang dinas jaga malam ini adalah Oh Jing-peng,
asal tidak dilihat dia, centeng yang lain pasti tidak berani
menegur kita," ujar Kim Soh-bun.
"Sekarang Oh Jing-peng berada di mana?" tanya Le-hui.
"Agaknya sedang mengontrol di sebelah kiri perkampungan
sana, mari kita keluar melalui sebelah kanan, pasti aman,"
ajak Kim Soh-bun.
Segera Le-hui mendahului melangkah, katanya, "Baik, mari
berangkat!"
Kim Soh-bun memandang ransel yang dibawa Le-hui,
tanyanya dengan tertawa, "Apa saja yang kau bawa?"
"Beberapa potong baju, ada lagi beberapa barang berharga
pemberian Wi Ki-tiu," tutur Le-hui.
"Jika demikian, jadi sesungguhnya sudah lama engkau siapsiap
meninggalkan Cengcu?" kata Kim Soh-bun dengan
tersenyum. "Memang," jawab Le-hui. "Pagi tadi waktu ia tanya padaku
mau keluar untuk menemani Long-giok atau tidak, kupikir
inilah kesempatan baik yang sukar dicari, maka diam-diam
kubawa keluar sekalian barang simpananku ini."
"Kira-kira berharga berapa?" tanya Kim Soh-bun pula.
"Jika diuangkan, sedikitnya bernilai satu laksa tahil perak,
sedikitnya cukup untuk hidup nikmat selama beberapa tahun
bagi kita."
"Baiklah, ayo cepat," ajak Kim Soh-bun, tampaknya dia sangat
senang. Begitulah kedua orang lantas mengeluyur keluar wisma tamu
itu melalui pintu belakang dan menghindari pos pengawas
rahasia, akhirnya dapatlah mereka kabur meninggalkan Liongcoanceng. Sun Thian-tik, Long-giok, dan Liong It-hiong bersembunyi pula
sekian lama di tempat gelap, ditaksir Le-hui berdua tentu
sudah meninggalkan Liong-coan-ceng dengan selamat barulah
mereka menyusup masuk ke kamar Le-hui.
"Tampaknya orang she Kim itu bukan manusia baik-baik," ujar
Long-giok, "kukira nasib Le-hui akhirnya pasti sengsara jika
mengikuti kemauan orang she Kim itu."
"Betul, keparat itu seperti sangat memerhatikan harta benda
yang dibawa Le-hui," kata Thian-tik. "Tampaknya dia memang
tidak mengandung niat baik."
"Bagi Le-hui boleh diibaratkan orang yang kelaparan terpaksa
tidak dapat memilih makanan," kata It-hiong dengan tertawa.
"Sungguh aku ikut penasaran bagi Wi Ki-tiu. Percuma dia
menguasai harta sebesar ini, kenyataannya tidak pernah
mendapatkan kesetiaan perempuannya."
Long-giok melototinya sekejap, omelnya, "Sengaja kau caci
maki diriku ya?"
"O, tidak, bukan," cepat It-hiong menyangkal. "Maksudku, bila
seorang lelaki ingin disukai orang perempuan, maka selain
kekayaan masih perlu tersedia barang lain."
"Tapi sebabnya kuingin meninggalkan dia, dasar
pertimbanganku adalah karena perbuatannya yang melampaui
batas, sebab kami tidak dipandangnya sebagai manusia," kata
Long-giok. "Sudahlah, bekerja lebih dulu," kata Thian-tik. "Adakah alat
tulis di sini?"
"Kukira ada, akan kucari," ujar Long-giok.
Ia mencari sebentar, akhirnya dari sebuah laci dapat
ditemukan alat tulis lengkap, segera ia menuang air pada
tatakan tinta dan mulai menggosok tinta bak.
Melihat tinta sudah siap, Sun Thian-tik tanya Liong It-hiong,
"Cara bagaimana menulisnya?"
"Apakah Le-hui pandai membaca?" tanya It-hiong.
"Tidak terlalu pandai," tutur Long-giok.
"Jika begitu, tulis saja yang sederhana, jangan pakai bahasa
tinggi, supaya mudah dipahami mereka," ujar It-hiong.
"Coba kau katakan, akan kutuliskan," sela Long-giok.
"Baik," kata It-hiong. "Lebih dulu kau tulis saja tiga huruf: Wi
Ki-tiu." Long-giok menurut, ia tulis ketiga huruf itu di atas sehelai
kertas putih, lalu berucap, "Lalu ...."
"Tulis saja," kata It-hiong. "Setelah kupertimbangkan, aku
merasa tidak dapat menghabiskan masa mudaku di tanganmu,
maka kuputuskan untuk minggat bersama Kim Soh-bun,
berbareng itu kami membawa pergi juga Hui Giok-koan, sebab
ia bilang bila kami mau menyelamatkan jiwanya, dia mau
memberikan lima laksa tahil perak padaku. Menyesal sekali
terpaksa harus mengkhianatimu, harap maaf."
Long-giok menulis semuanya seperti apa yang disebut Liong
It-hiong itu, akhirnya bertanya. "Lantas apa lagi?"
"Sudah cukup," ujar It-hiong dengan tertawa. "Beri saja nama
Le-hui sebagai tanda tulisannya."
Kembali Long-giok membubuhi nama Le-hui sebagai penulis
surat itu, katanya dengan tertawa, "Wi Ki-tiu kenal tulisan Lehui,
jika surat ini dibacanya tentu dia tahu akulah yang
menulis." "Tidak menjadi soal," ujar It-hiong. "Surat ini sengaja supaya
dibaca oleh Lokoankeh dan bukan ditujukan kepada Wi Ki-tiu."
"Jika Lokoankeh tahu cara buka-tutup Cui-ci-kiong, setelah
membaca surat ini tentu segera ia akan masuk ke Cui-ci-kiong
untuk memeriksa keadaan di sana," tutur Sun Thian-tik.
"Bilamana dia tidak masuk ke Cui-ci-kiong akan terbukti
bahwa dia memang benar tidak paham buka-tutup istana
kristal itu."
"Lalu bagaimana bila benar dia memang tidak tahu cara
membuka Cui-ci-kiong?" tanya Long-giok.
"Jika betul begitu, biarlah kita mencari akal lain lagi," kata Ithiong.
"Sekarang boleh kau pergi melapor kepada Lokoankeh
tentang minggatnya Le-hui."
"Kalian akan sembunyi di mana?" tanya Long-giok.
"Biarlah kami sembunyi di tempat tadi saja," kata It-hiong.
Long-giok mengangguk, ia taruh surat yang baru ditulisnya itu
di atas meja, lalu keluar kamar menuju wisma tamu.
Langsung ia menuju ke halaman dalam sana, sampai di luar
sebuah kamar segera ia mengetuk pintu sambil berteriak,
"Lokoankeh, Lokoankeh!"
Terdengar bunyi keriang-keriut tempat tidur di dalam kamar,
lalu suara Lokoankeh bertanya, "Siapa itu?"
"Aku, Long-giok, lekas buka pintu, Lokoankeh!"
Buru-buru Lokoankeh memakai baju dan turun dari tempat
tidurnya untuk membuka pintu kamar, tanyanya dengan
heran, "Ada urusan apa?"
Long-giok berlagak gugup, serunya, "Wah, celaka! Lekas
Lokoankeh memeriksa ke sana!"
Sembari bicara ia tarik tangan orang tua itu terus diajak lari ke
wisma tamu. Tentu saja Lokoankeh merasa bingung, tanyanya,
"Sesungguhnya ada urusan apa?"
Sambil menyeretnya berlari Long-giok menjawab, "Le-hui
minggat bersama orang!"
Lokoankeh terkejut, serunya, "Hah ... dia minggat bersama
orang" Minggat bersama siapa?"
"Kim Soh-bun!" jawab Long-giok.
"Hah, masa?" Lokoankeh melengak. "Tadi sebelum tidur masih
sempat kulihat Kim Soh-bun di luar sana."
"Tapi benar-benar dia telah minggat bersama Le-hui," kata
Long-giok. "Lantaran tidak dapat tidur, ingin kujenguk dia,
siapa tahu begitu kumasuk ke kamarnya, keadaan kosong
melompong, hanya di atas meja kulihat ada sehelai surat ...."
"Apa yang ditulisnya di situ?" tanya Lokoankeh cepat.
"Silakan Lokoankeh membacanya sendiri nanti," ujar Longgiok.
Ia tarik orang tua itu masuk ke wisma dengan tergesa-gesa,
sampai di kamar Le-hui, ia tunjuk surat di atas meja dan
berkata, "Nah, lihat, itulah surat yang ditinggalkannya."
Lokoankeh mengambil surat itu dan dibaca, seketika air
mukanya berubah hebat, serunya sambil mengentak kaki,
"Wah, celaka!"
"Lekas suruh para jago pengawal mengejar mereka, bisa jadi
mereka belum terlalu jauh," kata Long-giok.
Tangan Lokoankeh tampak gemetar, ucapnya dengan
khawatir, "Wah, sungguh berani mereka, Hui Giok-koan juga
dibawa lari mereka, urusan bisa runyam!"
"Makanya jangan tertunda-tunda lagi, lekas suruh Liap-wisu
dan lain-lain mengejar mereka, juga perlu lekas periksa
keadaan Cui-ci-kiong, mungkin Lik-cu berlima juga mengalami
nasib malang dikerjai mereka," seru Long-giok.
"Betul," kata Lokoankeh. "Boleh kau tunggu di sini, segera
kukembali kemari."
Habis berkata ia terus berlari pergi.
Melihat orang tua itu sudah pergi, Long-giok tersenyum, ia
duduk di dalam kamar dan menunggu dengan tenang.
Selang tak lama, terdengar suara orang lari di luar kamar,
nyata Lokoankeh sudah kembali.
Cepat Long-giok berbangkit dan tanya, "Bagaimana?"
"Sudah kuminta Liap-wisu dan lain-lain mengejar mereka,"
tutur Lokoankeh. "Semoga mereka dapat tersusul dan dibawa
kembali ke sini."
"Kan sekarang hendaknya kita coba periksa keadaan di Cui-cikiong,"
usul Long-giok. "Sungguh sangat kukhawatirkan nasib
Lik-cu berlima, bisa jadi mereka telah dibunuh perempuan
bejat Le-hui dan gendaknya itu."
Lokoankeh mengangguk, "Baiklah, alat tutup-bukanya terletak
di kamar Cengcu, boleh kau ikut padaku."
Long-giok lantas ikut orang tua itu keluar kamar dan buruburu
meninggalkan wisma tamu, sampai di luar kamar Wi Kitiu,
Lokoankeh mengeluarkan kunci untuk membuka gembok,
lalu membuka pintu.
Di dalam kamar tidak ada lampu, keadaan sangat gelap.
"Gelap amat, apakah tidak perlu memasang lampu?" tanya
Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Long-giok. Tidak perlu ...." kata Lokoankeh.
Ia mendekati sebuah lemari buku, entah di mana ia meraba,
lalu terdengar serentetan suara krak-krek, lemari buku itu
bergeser perlahan dan tertampaklah sebuah pintu rahasia.
Kiranya lemari buku itu sendiri merupakan daun pintu, cara
merancangnya sungguh sangat bagus.
Lokoankeh masuk ke dalam, entah di mana ia meraba dan
menekan lagi beberapa kali, lalu keluar dan berkata pula,
"Sudah, cukup!"
"Kita masuk dari mana?" tanya Long-giok.
Lokoankeh menekan tombol sehingga lemari buku itu bergeser
ke tempat semula, lalu menjawab, "Masuk dari sini juga bisa,
tapi harus menembus beberapa tempat yang terpasang
pesawat rahasia, maka kukira masuk melalui wisma tamu saja
lebih leluasa."
Habis berkata ia terus lari keluar diikuti Long-giok, mereka
berlari kembali ke wisma tamu.
Setelah berada di kamar sendiri, Lokoankeh mendahului
menuju ke sebelah kanan tempat tidur, ia mengetuk tiga kali
di dinding kamar, kontan dinding itu bergerak membuka ke
atas dengan perlahan.
Tanpa menunggu dinding itu terbuka seluruhnya, segera
Lokoankeh menyusup ke sana.
Cepat Long-giok menyusul ke situ, serunya mendadak,
"Lokoankeh!"
Orang tua itu melengak, jawabnya sambil berhenti dan
menoleh, "Ada apa?"
Baru selesai kata "apa" terucap, tahu-tahu hiat-to bagian
dadanya sudah tertutuk oleh Long-giok, kontan ia jatuh
terjengkang dan tidak sadarkan diri.
Baru saja ia hendak keluar untuk memanggil Sun Thian-tik dan
Liong It-hiong, ternyata kedua orang itu sudah mendahului
masuk ke kamarnya, dengan tertawa Long-giok lantas
berseru, "Lekas kemari, sudah berhasil kurobohkan dia!"
"Kau bunuh dia?" tanya Sun Thian-tik dengan tertawa.
"Tidak, hanya kututuk hiat-to pingsannya, hendaknya kau
seret keluar," kata Long-giok.
Segera Sun Thian-tik menyusup ke lorong rahasia dan
menyeret keluar Lokoankeh serta didorong ke kolong ranjang,
katanya, "Baiklah, sekarang lekas kita turun ke sana."
Ketiga orang lantas menuruni tangga batu lorong rahasia itu,
tetap Long-giok yang menjadi petunjuk jalan, sepanjang jalan
ia membuka beberapa pintu rahasia dan akhirnya masuk ke
dalam kamar yang biasa dipakai Long-giok.
Kamar ini sudah pernah dimasuki sekali oleh Sun Thian-tik dan
Liong It-hiong, maka keindahan pepajangan di dalam kamar
tidak lagi mengherankan mereka, dengan suara tertahan Ithiong
lantas berkata, "Saat ini sudah menjelang tengah
malam, mungkin mereka sudah sama tidur."
"Tidak tentu," kata Long-giok. "Kami bertujuh sudah lama
berdiam di Cui-ci-kiong ini, sudah terbiasa hidup tanpa
perbedaan siang atau malam, sering kami siang tidur dan
malam bekerja."
"Di antara kalian bertujuh, ilmu silat siapa yang paling tinggi?"
tanya Sun Thian-tik.
"Lik-cu," tutur Long-giok. "Aku dan Le-hui kira-kira sama kuat,
selebihnya seperti Hiang-kun, Hi-moay, dan lain-lain tidak
masuk hitungan, hanya bisa main beberapa jurus yang tidak
ada artinya."
"Jika begitu kita tidak perlu khawatir lagi," ujar Thian-tik.
"Ayolah kita masuk saja."
Sembari bicara ia terus membuka pintu batu yang menembus
ke Cui-ci-kiong itu.
Begitu pintu terbuka, di mana mata memandang tertampaklah
pemandangan kolam renang berbentuk bundar istana kristal
yang menakjubkan, kelihatan Lik-cu berlima sedang berendam
di tengah kolam dengan telanjang bulat.
Dengan tenang mereka berendam di dalam air kolam yang
jernih sehingga tubuh mereka yang putih bersih laksana salju
terlihat jelas, tapi ketika mereka mengetahui kemunculan Sun
Thian-tik bertiga secara mendadak, seketika mereka gugup
dan ribut, semuanya menjerit kaget dengan kelabakan.
Sun Thian-tik berkeplok tertawa, katanya, "Jangan takut, para
Nona, kami tidak bermaksud jahat kepada kalian."
Lik-cu menghambur-hamburkan air kepadanya sambil
berteriak, "Keluar! Keluar semua!"
Thian-tik menyurut mundur dua langkah sambil tertawa,
"Hahaha! Ada apa" Memangnya kalian malu segala"!
Sudahlah, kan semalam kau pun bertelanjang bulat ketika
menghajar Hui Giok-koan dengan cambuk?"
"Cengcu, lekas kemari!" teriak Lik-cu. "Long-giok makan dalam
bela luar, dia membawa musuh ke sini!"
"Jangan berteriak lagi, tidak ada gunanya," ucap Thian-tik
dengan tertawa. "Saat ini sedikitnya Wi Ki-tiu sudah berada
beberapa ratus li jauhnya, mana mungkin suaramu didengar
olehnya." Air muka Lik-cu berubah menjadi pucat sekali, ia berpaling dan
membentak Long-giok, "Sungguh terlalu engkau ini, Longgiok.
Betapa sayang Cengcu kepadamu, tapi kau malah
membawa musuh masuk ke Cui-ci-kiong ini, apakah kau ...."
Dengan tenang Long-giok menjawab dengan tertawa, "Enci
Lik-cu, soalnya aku sudah terlalu bosan dengan kehidupan
gelap di Cui-ci-kiong ini, sebab itulah sudah kuputuskan untuk
meninggalkan Wi Ki-tiu, hal ini kan tidak membikin susah dan
merugikanmu, buat apa kau marah-marah padaku?"
"Jika kau mau pergi boleh lekas pergi, mengapa kau bawa
orang luar masuk ke sini?" teriak Lik-cu dengan gusar.
"Sun-tayhiap dan Liong-hiap ingin membawa serta Hui Giokkoan,
sedangkan aku sudah rela ikut Sun-tayhiap, maka ...."
"Apa katamu" Kalian hendak membawa lari Hui Giok-koan"!"
teriak Lik-cu. "Betul," jawab Long-giok dengan tersenyum.
Mata Lik-cu mendelik, teriaknya dengan bengis, "Barangkali
kau sudah bosan hidup, maka ...."
"Tidak, justru aku ingin hidup lebih lama dengan bahagia,"
potong Long-giok. "Masa kau sudah lupa betapa luas dan
indahnya dunia di luar" Kalau ingin hidup bahagia harus
meninggalkan neraka seperti ini. Sedangkan membawa pergi
Hui Giok-koan akan dapat mendatangkan kekayaan bagiku
...." "Hm, jangan mimpi," jengek Lik-cu. "Bila Cengcu pulang,
mustahil kulitmu takkan dibesetnya"!"
Long-giok terkikik sambil sebelah tangan merangkul bahu Sun
Thian-tik, ucapnya, "Jangan kau gertak aku dengan nama Wi
Ki-tiu, tiada setitik pun dia mampu menandingi Sun-tayhiap
ini, apa yang ingin dia lakukan terhadapku masih harus
permisi dulu kepada Sun-tayhiap ini. Betul tidak, Kakakku
sayang"!"
"Betul," jawab Sun Thian-tik dengan mengangguk dan
tertawa. "Orang lain tidak berani kukatakan, kalau cuma Wi
Ki-tiu saja, hah, tidak nanti aku takut."
"Jika betul engkau tidak takut, mengapa kalian baru masuk ke
sini untuk mengganggu kami pada waktu Cengcu pergi?" kata
Lik-cu. "Bilakah kami mengganggu kalian?" jawab Thian-tik. "Kalian
boleh terus mandi sepuasmu, tidak nanti kami mengganggu
seujung bulu roma kalian."
Sampai di sini ia berpaling dan tanya Long-giok, "Hui Giokkoan
terkurung di kamar mana?"
Long-giok menuding ke depan dan menjawab, "Di kamar
rahasia sana, akan kubawamu ke sana."
Sun Thian-tik lantas berkata kepada Liong It-hiong, "Lionglaute,
hendaknya engkau tinggal di sini dan mengawasi
mereka, akan kutolong keluar orang she Hui itu."
It-hiong mengangguk, jawabnya dengan tertawa, "Baik,
silakan pergi."
Thian-tik dan Long-giok lantas mengitar kolam mandi itu
menuju ke sebuah pintu kamar yang terletak di seberang
sana. Sekejap kemudian mereka sudah menghilang di balik
pintu itu. Lik-cu dan keempat kawannya hanya menyaksikan mereka
masuk ke sana untuk menolong Hui Giok-koan tanpa bisa
bertindak apa-apa, maklum, mereka telanjang bulat, mereka
tidak berani keluar dari kolam mandi.
Meski watak Liong It-hiong bengal dan sudah biasa main
perempuan, tapi menghadapi lima gadis cantik telanjang bulat
demikian, tidak urung merasa kikuk juga, maka ia berlagak
mendongak dan tidak berani banyak memandang mereka.
"Hei, bolehkah kami naik ke situ dan memakai baju?" tanya
Lik-cu tiba-tiba.
"Tidak, tidak boleh!" jawab It-hiong sambil tetap menengadah.
"Hm, cara kalian ini sungguh terlalu kotor," omel Lik-cu.
"Masa kotor" Kan kami tidak pernah memaksa kalian
membuka baju dan tindakan lain?" jawab It-hiong dengan
tertawa. "Hm, memangnya kau kira tanpa baju kami tidak berani naik
ke atas?" jengek Lik-cu.
"Jika kalian tidak takut malu, dengan sendirinya boleh kalian
naik ke sini," ujar It-hiong. "Cuma ingin kuperingatkan kalian,
aku Liong It-hiong bukanlah lelaki yang mudah kasihan
kepada orang perempuan."
"Maksudmu, bila kami naik atas lantas akan kau bunuh?"
tanya Lik-cu. "Ya, sangat mungkin," jawab It-hiong.
"Aku justru tidak percaya," ucap Lik-cu. "Ayo para kawan, mari
kita naik ke sana dan coba menempurnya."
Habis bicara serentak ia mendahului berdiri.
Tentu saja Liong It-hiong terkejut, cepat ia melolos pedang
pandak Siau-hi-jong, bentaknya, "Berhenti! Barang siapa
berani naik ke sini, segera kuberi sekali tusukan."
Melihat sikapnya yang bengis, Lik-cu terkikik-kikik, serunya,
"Coba lihat, para kawan, dia ketakutan!"
Sembari bicara, dengan tubuh telanjang ia terus melangkah
maju dan menuju ke tepi kolam.
Serentak Hiang-kun dan Hui-hong berempat juga berdiri dan
mendekati tepi kolam dengan langkah berlenggok.
Melihat beberapa sosok tubuh yang mulus menggiurkan itu,
mata Liong It-hiong serasa berkunang-kunang, napas pun
terengah, sekuatnya ia ayun pedang pandak dan berteriak,
"Bagus, boleh kalian coba naik kemari! Jangan kalian kira
orang she Liong ini lelaki sopan, bicara terus terang, sejak
kecil aku sudah biasa menghadapi orang perempuan dari
berbagai kalangan!"
Lik-cu mulai melangkah ke atas kolam mandi dan tetap maju
ke depan sembari mengeluarkan suara tertawa nyaring, "Hihi,
bagus sekali jika begitu, aku menjadi ingin belajar kenal
denganmu!"
Sementara itu keempat kawannya juga sudah melangkah
keluar kolam dan berdiri menjadi satu baris sehingga mirip
pintu angin daging hidup, serentak mereka mendesak maju ke
arah Liong It-hiong.
Sesungguhnya Liong It-hiong tidak sampai hati mencederai
mereka, tanpa terasa ia menyurut mundur sembari berkaokkaok,
"Berhenti, jangan coba-coba maju lagi! Awas, pedangku
ini tidak kenal ampun kepada siapa pun!"
Namun Lik-cu seakan-akan sudah nekat, dengan tersenyum ia
malah mendesak maju, ucapnya dengan tertawa, "Silakan
turun tangan saja, hamba memang tidak ingin hidup lagi."
It-hiong menyurut mundur lagi dua tindak, punggungnya
sudah mepet dinding, sudah menghadapi jalan buntu, keruan
ia menjadi gugup, "Berhenti, coba dengarkan dulu!"
Lik-cu lantas berhenti, katanya dengan tersenyum, "Apa yang
hendak kau katakan?"
Padahal tidak ada sesuatu yang hendak dibicarakan Liong Ithiong,
tujuannya cuma untuk mengulur waktu saja, melihat
orang berhenti melangkah, segera ia simpan kembali
pedangnya dan berkata, "Selamanya kita tidak punya
permusuhan apa pun, tidak boleh kubunuh kalian, cuma kalian
sungguh terlalu tidak tahu diri, biarlah kuberi tahu rasa
kepada kalian "cakar naga" ini!"
Baru lenyap suaranya, serentak kesepuluh jarinya terpentang
terus mencakar ke depan.
Melihat orang menyimpan kembali pedangnya, Lik-cu mengira
anak muda itu tidak jadi pakai kekerasan lagi, sebab itulah
cakaran Liong It-hiong itu sangat di luar dugaannya. Dalam
keadaan gugup tak terpikir olehnya cara bagaimana harus
mengelak atau menangkis, terpaksa ia sambut sebisanya
dengan kedua tangan.
Namun gerak tangan Liong It-hiong sungguh secepat kilat,
sekali cengkeram seketika kedua gumpal daging kenyal alias
buah dada Lik-cu terpegang, menyusul sebelah kakinya
menjegal, kontan Lik-cu disengkelit jatuh terguling, kedua jari
Liong It-hiong lantas menutuk pula hiat-to kelumpuhan Lik-cu
tertutuk dan tidak bisa berkutik lagi.
"Hehe, bagaimana sekarang?" ejek It-hiong dengan terkekeh.
"Kan sudah kukatakan aku sudah terbiasa menghadapi
perempuan dari berbagai kalangan, tapi kau tetap tidak mau
percaya." Lalu ia berpaling dan menatap keempat nona lain dengan
sikap garang, bentaknya, "Nah, siapa lagi yang ingin cobacoba
maju pula?"
Kepandaian Hiang-kun berempat memang lebih rendah,
mereka hanya mengikuti setiap tindakan Lik-cu saja, sekarang
Lik-cu kena dirobohkan orang dan tidak bisa berkutik, seketika
mereka merasa jeri dan sama menyurut mundur dengan
ketakutan. "Ayo, semuanya masuk kembali ke dalam kolam," bentak Ithiong
mendadak. Sambil menjerit kaget keempat nona itu sama melompat ke
dalam kolam dan meringkuk menjadi satu, tidak ada lagi yang
berani berceloteh.
Lalu It-hiong menjengek terhadap Lik-cu yang menggeletak di
lantai, "Hm, di antara kalian bertujuh, kau ini terhitung paling
nakal, kukira perlu kuhajar adat sedikit padamu."
Muka Lik-cu tampak merah padam dan tidak berani bersuara.
It-hiong lantas melolos pedang pandak pula, katanya, "Biarlah
kupotong saja rambutmu dulu ...."
"Wah, jangan!" teriak Lik-cu gugup dan memohon. "Harap
ampun, jangan memotong rambutku."
Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jika begitu kupotong hidungmu saja," kata It-hiong.
"Oo, jangan, juga jangan potong hidungku!" ratap Lik-cu.
"Hm, lantas, kau minta bagian mana yang kupotong?" jengek
It-hiong. "Jangan ... jangan potong mana pun," pinta Lik-cu dengan
suara gemetar. "Hm, masa begitu enak"!" jengek It-hiong pula.
"Kutanggung takkan memusuhi kalian lagi," kata Lik-cu.
"Dan mau menurut masuk lagi ke kolam mandi?" It-hiong
menegas. Lik-cu mengiakan.
Selagi It-hiong hendak membuka hiat-to orang, tiba-tiba
terlihat Long-giok keluar sendiri dari kamar sana, segera ia
tanya padanya, "Bagaimana?"
"Kedua kaki orang she Hui itu terbelenggu, tanpa kunci sukar
untuk dibuka," tutur Long-giok. "Maka Sun-tayhiap
menyuruhku tanya Lik-cu di mana kunci belenggu itu
disimpan."
"Kuncinya dibawa Cengcu sendiri," kata Lik-cu.
Mendadak It-hiong meraih rambut Lik-cu dan berlagak hendak
memotongnya, tanyanya, "Coba katakan sekali lagi, kunci
disimpan di mana?"
Lik-cu tampak gugup, jawabnya, "Betul, hamba tidak dusta.
Kunci memang benar selalu dibawa sendiri oleh Wi Ki-tiu, ia
khawatir terjadi sesuatu, tidak pernah ia serahkan kunci
kepada orang lain."
Melihat sikapnya yang ketakutan itu, It-hiong percaya orang
tidak berani dusta, segera ia memberikan pedang pandak
Siau-hi-jong kepada Long-giok, katanya, "Pedang ini dapat
memotong besi serupa memotong sayur, coba kau bawa
kepada Sun-tayhiap."
Long-giok menerima pedang kecil itu dan putar balik ke kamar
rahasia sana. It-hiong lantas berjongkok di samping Lik-cu, ucapnya dengan
tertawa, "Usiamu masih muda, wajahmu cantik, mengapa kau
tidak mencari seorang suami baik-baik, tapi selalu ikut Wi Kitiu
di sini?" Mulut Lik-cu menjengkit dan menjawab, "Habis tidak ada lelaki
yang menghendaki diriku."
"Ah, masa?" kata It-hiong dengan tertawa. "Nona secantik
bidadari seperti dirimu ini jika tidak ada yang mau, maka lelaki
di seluruh dunia ini jangan harap lagi akan menemukan
perempuan yang cocok."
Mendadak Lik-cu memberikan lirikan yang bisa bikin semaput
setiap lelaki, katanya, "Jika engkau sudi padaku, kurela ikut
pergi bersamamu."
"Wah, tidak bisa, sebab aku sendiri sudah punya pacar," sahut
It-hiong dengan tergelak.
"Dia tentu lebih cantik daripadaku, bukan?" tanya Lik-cu
dengan kecewa. "Selisih tidak banyak, antara kalian boleh dikatakan setali tiga
uang alias sama kuat, sukar dibedakan mana yang lebih
cantik," kata It-hiong.
"Siapa namanya?" tanya Lik-cu pula.
"Wah, maaf, tidak dapat kukatakan padamu."
"Jika engkau sudi menerimaku, biarpun menjadi budakmu
juga aku rela, mau?"
"Sayang, aku tidak punya rezeki sebesar itu untuk menerima
budak semacam dirimu," jawab It-hiong sambil menggeleng.
"Ya sudahlah kalau tidak sudi," ucap Lik-cu sedih. "Dan
sekarang bolehkah kau buka hiat-to hamba?"
It-hiong mengangguk, ditepuknya perlahan hiat-to
kelumpuhan si nona, lalu berdiri dan menyurut mundur dua
tindak, katanya sambil memberi tanda, "Nah, lekas masuk lagi
ke dalam kolam."
Lik-cu tidak berani membangkang, segera ia merangkak
masuk lagi ke dalam kolam mandi.
Pada saat itulah terlihat Sun Thian-tik dan Long-giok telah
keluar dari kamar rahasia tadi dengan membawa Hui Giokkoan.
Kini Hui Giok-koan sudah berpakaian, cuma keadaannya agak
loyo, serupa orang yang habis sakit keras, untuk berjalan saja
kelihatan susah.
Begitu melihat Lik-cu yang berendam di kolam, seketika mata
Hui Giok-koan menjadi merah serupa melihat musuh
bebuyutan saja, langsung ia hendak terjun ke dalam kolam
untuk menghajar nona itu.
Namun Sun Thian-tik keburu menariknya sambil berkata, "Hei,
kau mau apa?"
Hui Giok-koan mendeliki Lik-cu, ucapnya dengan penuh rasa
dendam, "Perempuan hina ini kemarin telah menghajarku
hingga setengah mati, sekarang harus kubikin perhitungan
dengan dia."
"Ah, dia kan cuma melaksanakan tugas atas perintah saja,"
kata Thian-tik dengan tertawa. "Jika kau ingin membalas
dendam, seharusnya kau cari Wi Ki-tiu."
"Hm, tentu saja akan kucari Wi Ki-tiu untuk menuntut balas,"
jengek Hui Giok-koan. "Tapi perempuan hina yang berhati
berbisa itu tidak dapat kuampuni."
Sun Thian-tik memeganginya erat-erat, ucapnya dengan
tertawa, "Sudahlah, seorang lelaki gagah tidak nanti berkelahi
dengan orang perempuan. Lebih baik kau temui dulu sahabat
lama." Sembari bicara ia seret Hui Giok-koan mendekati Liong ItKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
hiong. "Selamat berjumpa pula, Hui-cecu," sapa It-hiong dengan
tertawa. Hui Giok-koan kelihatan kikuk, katanya sambil menyengir,
"Konon engkau pun ikut berusaha menyelamatkan jiwaku."
"Ah, hanya menyumbang tenaga sekadarnya," jawab It-hiong.
"Tidak perlu dijelaskan lagi, tujuanmu pasti terletak pada
kotak pusaka itu?"
"Memang betul," kata It-hiong.
"Jika begitu lekas kau pergi ke Cong-beng-to, kalau tidak tentu
akan kedahuluan Wi Ki-tiu," kata Giok-koan.
"Haha, janganlah bercanda lagi," ucap It-hiong dengan
tertawa. "Kutahu tidak nanti kau sembunyikan kotak itu di
Cong-beng-to, lantaran itulah kami menyelamatkanmu dari
tempat Wi Ki-tiu ini ...."
"Tapi benar-benar kusembunyikan kotak itu di Cong-beng-to,"
kata Giok-koan.
It-hiong tertawa dan tidak berbantah lagi dengan dia, ia
berpaling dan berkata terhadap Thian-tik, "Sun-tayhiap,
marilah kita berangkat."
Sun Thian-tik mengembalikan pedang pandak tadi, katanya,
"Baik, lebih dulu kita tinggalkan Liong-coan-ceng, kalau ada
persoalan boleh diurus belakang."
Mereka tidak peduli lagi kepada kelima nona yang masih
berendam di kolam renang itu, Hui Giok-koan digusur keluar
dari istana kristal itu dan kembali ke ruangan depan wisma
tamu itu melalui lorong rahasia.
Lebih dulu Long-giok memeriksa keluar, lalu masuk lagi dan
berkata, "Di luar sangat tenang, mungkin ketujuh jago
pengawal itu belum pulang."
Mendadak Sun Thian-tik menutuk hiat-to kelumpuhan Hui
Giok-koan, lalu orang dipanggulnya, katanya, "Ayo
berangkat!"
Mereka bertiga terus keluar dari wisma itu, mereka tidak lagi
main sembunyi melainkan berlari dan melompat secara
terang-terangan menuju ke luar kampung.
Seketika terdengarlah suara bende ditabuh dan teriakan orang
di sana-sini, "Tangkap maling! Itu dia! Jangan sampai lolos!"
Meski riuh ramai suara teriakan dan bunyi bende di sana sini,
namun semua itu rupanya cuma untuk menakut-nakuti saja,
sampai sekian lama tetap tidak kelihatan bayangan seorang
pun yang muncul.
Melihat gelagatnya, karena ketujuh jago andalan Wi Ki-tiu itu
belum pulang, di dalam kampung sekarang tiada seorang pun
yang sanggup merintangi penyatron, sebab itulah tiada
seorang pun berani menampakkan diri.
Begitulah Thian-tik bertiga dapat kabur dari Liong-coan-ceng
tanpa rintangan apa pun, langsung mereka kembali ke kota.
It-hiong sudah membuka kamar di sebuah hotel, kudanya juga
dititipkan di sana, maka dengan persetujuan Sun Thian-tik
mereka memutuskan istirahat dulu ke kamar hotel, habis itu
baru akan bertindak lebih lanjut.
Sementara sudah lewat tengah malam, suasana kota sudah
sunyi senyap, ketika sampai di luar hotel, tertampak seorang
pelayan sedang mengantuk bersandar meja kasir. It-hiong
memberi isyarat kepada Thian-tik, dengan langkah berjinjitjinjit
ia mendahului masuk ke dalam.
Lalu Sun Thian-tik dan Long-giok ikut masuk dengan perlahan,
pelayan itu masih tidur dan terlena.
Mereka terus masuk ke belakang dan masuk ke kamar Ithiong,
Thian-tik menaruh Hui Giok-koan di atas ranjang,
katanya dengan tertawa, "Nah, sekarang boleh
membangunkan pelayan tadi."
It-hiong mengangguk, ia keluar lagi ke depan dan mendorong
si pelayan sambil memanggil perlahan, "Siaujiko (kakak
pelayan), bangun, lekas bangun!"
Pelayan melonjak bangun dengan kaget, serunya, "Hahh,
kiranya Kongcu sudah pulang" Mengapa pergi sekian
lamanya?" "Kupergi mencari kawan," jawab It-hiong, "dan baru saja
pulang bersama ketiga sahabatku. Apakah kau dapat
menyiapkan sedikit makanan bagi kami" Sudah seharian kami
tidak makan apa-apa."
"Bagaimana kalau bakmi kuah saja, sederhana dan cepat,"
tanya pelayan. "Baiklah," It-hiong setuju. "Boleh segera diantar ke kamarku."
"Ya, ya, akan kuantar secepatnya," jawab si pelayan.
Lalu It-hiong kembali ke kamarnya, setelah pintu kamar
dirapatkan, dengan tertawa ia berkata, "Sudah kuminta
pelayan membuatkan bakmi, sehabis makan bolehlah kita
berangkat."
"Ke mana?" tanya Thian-tik dengan tersenyum.
"Ke mana lagi, tentu saja pergi mengambil kotak itu!"
"Kau tahu tempat sembunyi kotak pusaka itu?" tanya Thiantik.
It-hiong menuding Hui Giok-koan yang menggeletak di tempat
tidur, katanya, "Kan dapat tanya dia"!"
"Sudah kau tetapkan akan membagi rezeki kotak itu
bersamaku?" tanya Thian-tik pula.
It-hiong menggeleng kepala, jawabnya, "Tidak, setelah
menemukan kotak itu, boleh kita mencari suatu cara untuk
menentukan kalah-menang lagi untuk memastikan kotak itu
milik siapa."
"Boleh juga," kata Thian-tik.
"Tidak, kurang baik," tukas Long-giok mendadak.
"Kenapa kurang baik?" Thian-tik melengak.
"Hamba mempunyai suatu cara yang terlebih baik," kata Longgiok.
"Coba jelaskan," kata Thian-tik.
"Begini menurut pendapatku," tutur Long-giok. "Jangan lagi
kau pikirkan kotak pusaka apa segala, hendaknya segera kau
bawa pergi diriku, marilah kita membangun sebuah rumah
tangga dan hidup aman tenteram tanpa pusing terhadap
urusan apa pun."
"Wah, mana boleh jadi?" Thian-tik melenggong. "Aku sudah
bersusah payah, sekarang kotak pusaka itu sudah di depan
mata, mana boleh kutinggalkan begitu saja."
"Kotak itu adalah barang sial," kata Long-giok, "barang siapa
mendapatkannya segera akan tertimpa malang, maka jangan
kau taksir barang itu lagi."
Agaknya Sun Thian-tik tidak menduga Long-giok dapat bicara
seperti ini, mau tak mau timbul penilaian lain terhadap si
nona, jawabnya dengan tertawa, "Kau pikir aku harus
melepaskan kotak itu?"
"Ya, harta benda kan tidak lebih berharga daripada nyawa,"
Long-giok mengangguk. "Hamba tidak peduli apakah engkau
kaya atau miskin, yang penting bila engkau benar-benar hidup
bersamaku dengan setulus hati, maka kita jangan lagi
memikirkan kotak itu dan lekas pergi dari tempat banyak
perkara ini."
"Eh, apakah engkau tidak bercanda?" tanya Thian-tik, mau tak
mau hati tergelitik juga.
"Tidak," jawab Long-giok serius.
Thian-tik garuk-garuk kepala, katanya, "Biasanya kita tahu
orang perempuan paling kemaruk harta, tak tersangka engkau
justru cuma suka pada orangnya tanpa pikirkan harta benda,
sungguh aneh bin ajaib."
"Sama sekali tidak aneh," kata Long-giok. "Harta benda sudah
banyak kulihat, aku sudah bosan, sedikit pun tidak
mengherankanku."
"Tapi ... tapi demi untuk mendapatkan kotak pusaka itu,
selama hampir setengah tahun ini aku berusaha dengan susah
payah, sekarang kau minta kulepas tangan begitu saja, kan
terlampau penasaran."
"Tidak, sedikit pun tidak perlu penasaran," ucap Long-giok.
"Oo"!" Thian-tik merasa bingung.
"Umpamanya, jika engkau memang menyukaiku, maka
bolehlah kukatakan, meski engkau kehilangan kotak pusaka,
tapi kan mendapatkan diriku."
"Hehe, maksudmu hilang ini dapat itu?" Thian-tik tertawa.
"Memangnya bukan begitu?" jawab Long-giok dengan tertawa
manis. Sun Thian-tik lantas berpaling dan tanya Liong It-hiong,
"Liong-laute, bagaimana menurut pendapatmu?"
"Aku tidak tahu, itu kan urusan pribadimu dan harus
ditentukan olehmu sendiri," jawab It-hiong tertawa.
Sun Thian-tik berpikir sejenak, akhirnya ia mengentak kaki dan
berseru, "Ya, sudahlah, dasar aku yang sebal, ketanggor
seorang perempuan yang tidak kemaruk duit .... Ayo
berangkat!"
Cepat It-hiong berseru, "Nanti dulu, Sun-tayhiap, makan
bakmi dulu!"
"Kotak pusaka saja aku tak mau, untuk apa makan bakmi
segala," kata Thian-tik dengan tertawa. "Ayo, berangkat!"
Segera ia tarik Long-giok dan diajak melangkah pergi.
"Tunggu sebentar," teriak It-hiong. "Sun-tayhiap melupakan
sesuatu." Sun Thian-tik sudah menyeret Long-giok sampai di luar kamar,
Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengar ucapan itu, ia merandek, tanyanya sambil
menoleh, "Melupakan apa?"
Liong It-hiong melolos pedang pandak Siau-hi-jong dan
disodorkan kepada Sun Thian-tik, katanya, "Ini milikmu, ambil
kembali saja!"
Thian-tik melenggong, katanya kemudian, "Eh, apa
maksudmu?"
It-hiong serahkan pedang itu pada tangan Sun Thian-tik,
katanya, "Barang ini asalnya memang kepunyaanmu, bukan?"
"Namun ...." Sun Thian-tik tampak sangsi.
"Tidak perlu ragu lagi," kata It-hiong. "Bukan barangmu
memang tidak perlu kau ambil, tapi pedang ini milikmu, boleh
kau bawa pergi saja."
Akhirnya Sun Thian-tik tertawa, katanya, "Baik, kau ini
memang anak muda yang baik, kalau ada jodoh kelak kita
pasti bertemu lagi."
Habis berucap segera ia melangkah pergi dengan menarik
Long-giok. Tidak lama sesudah mereka berangkat, pelayan datang
dengan membawa satu panci bakmi kuah, ia taruh panci di
atas meja, lalu tanya It-hiong, "Suami-istri yang baru saja
berangkat itukah sahabat Kongcu?"
"Betul," It-hiong mengangguk.
"Mengapa terburu-buru, bakmi belum dimakan sudah lantas
berangkat?"
"Mereka bilang tidak lapar," ujar It-hiong dengan tersenyum.
Pelayan memandang Hui Giok-koan yang meringkuk di tempat
tidur, tanyanya dengan terperanjat, "Hei, kenapa sahabat
Kongcu ini?"
"O, dia tidak enak badan, masuk angin," jawab It-hiong.
Pelayan tidak berani banyak bertanya lagi, ia menyiapkan
sumpit dan mangkuk dan alat makan seperlunya, lalu
mengundurkan diri.
It-hiong menutup pintu kamar, lalu mendekati tempat tidur, ia
tepuk hiat-to Hui Giok-koan dan berkata, "Mari makan bakmi."
Perlahan Hui Giok-koan bangun duduk, katanya dengan
tersenyum licik, "Engkau tidak khawatir aku akan kabur?"
"Kau tidak perlu kabur," jawab It-hiong dengan tertawa. "Bila
kau tidak rela mengaku kalah, habis makan bakmi boleh kita
berkelahi lagi, jika aku kalah, aku berjanji selamanya takkan
minta kotak pusaka padamu."
"Hm, jangan engkau terlampau percaya kepada
kemampuanmu sendiri," jengek Hui Giok-koan.
"Aku memang sangat percaya atas kemampuanku sendiri,"
jawab It-hiong. "Kalau tidak percaya boleh kita coba-coba."
Hui Giok-koan tidak bicara pula, ia turun dari tempat tidur dan
duduk di depan meja, ia ambil mangkuk untuk mengisi bakmi
dan dimakan dengan lahap.
Liong It-hiong juga duduk dan makan, keduanya tidak bicara
lagi. Sembari makan, otak Hui Giok-koan terus bekerja, setelah
berpikir sejenak, tiba-tiba ia menghela napas dan berkata,
"Baiklah, sekarang akan kukatakan di mana kusembunyikan
kotak itu, yaitu di ...."
Mendadak It-hiong menggoyang tangan dan memotong
ucapannya, "Jangan, tidak perlu kau katakan."
Hui Giok-koan melengak, "Masa engkau tidak inginkan kotak
itu lagi?"
"Bukan begitu," kata It-hiong.
"Habis ....."
"Soalnya aku tidak ingin menjadi Wi Ki-tiu kedua," sela Ithiong
dengan tersenyum, "sebab kalau kau mau menyerahkan
kotak itu dengan setulus hati, tentu akan kau bawaku ke sana.
Maka sekarang tidak perlu kau sebutkan tempat sembunyi
kotak itu."
Air muka Hui Giok-koan agak berubah, ucapnya sambil
menyengir, "Buset, pintar juga kau ini!"
"Terima kasih atas pujianmu," sahut It-hiong tertawa.
Kembali Hui Giok-koan menghela napas, katanya, "Ai,
sungguh aku tidak mengerti, mengapa engkau berkeras ingin
mendapatkan kotak pusaka itu?"
"Sama sekali tidak ada maksudku hendak mengangkangi kotak
itu sebagai milikku," jawab It-hiong. "Soalnya harus
kulaksanakan pesan Si Hin yang minta kubawa kotak itu ke
Cap-pek-pan-nia."
"Ai, engkau terlalu bodoh." ujar Giok-koan.
It-hiong mengangkat pundak, jawabnya, "Aku memang suka
berbuat hal-hal yang bodoh, banyak urusan di dunia ini kalau
tidak dikerjakan oleh orang bodoh akan terasa kurang
sempurna."
"Bahwa engkau melaksanakan tugas sesuai pesan orang, hal
ini memang pantas dipuji," kata Giok-koan. "Tapi perlu kau
ketahui kotak pusaka itu bukanlah barang milik gembong dari
Cap-pek-pan-nia itu, sebab Si Hin juga merampasnya dari
orang lain dan hendak membawanya pulang untuk
dipersembahkan kepada gembong itu."
"Lantas milik siapakah kotak itu?" tanya It-hiong.
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 15 "Terus terang aku sendiri tidak jelas," jawab Hui Giok-koan.
"Ada orang bilang kotak itu asalnya milik Toako kami, sebab
itu aku merasa berhak mendapatkannya".
"Toako yang kau maksudkan itu apakah mendiang Eng-jiauong
Oh Kiam-lam?" tanya It-hiong.
Hui Giok-koan mengangguk, "Ya, kau tahu dia adalah kakak
angkat kami yang dahulu terkenal Lok-lim-jit-coat (ketujuh
jago top dunia bandit), beliau adalah pemimpin besar ke 72
sarang bandit ketujuh propinsi daerah Selatan. Harta benda
yang dikumpulkannya selama ini sukar dihitung. Namun ketika
kami mengadakan inventarisasi harta kekayaannya sesudah
beliau meinggal, ternyata sisa kekayaannya tinggal tidak
seberapa lagi dan entah kemana larinya ?".
"Menurut perkiraan kalian ada berapa harta kekayaannya ?"
tanya It-hiong.
"Sedikitnya ada seribu laksa tahil perak," tutur Giok-koan.
It-hiong menghela napas, katanya, "Wah sungguh suatu
jumlah yang sangat memikat. Lalu, kalian mencurigai dia
menyembunyikan harta kekayaannya, begitu?"
"Ya, meski dia mengangkat saudara dengan kami, tatapi dia
memperlakukan kami tidak begitu baik. Kau tahu wataknya
sangat keras, pemberang, segala urusan diputus dan ditindak
sendiri. Sebab itulah diantara kami bersaudara; biasanya cuma
kelihatan cocok diluar tapi renggang didalam. Mungkin ia juga
kuatir kami akan mengincar harta bendanya, maka diam-diam
ia menyembunyikannya dulu harta kekayaannya dan akhirnya
dibinasakan orang".
"Apakah kalian tahu siapa yang membunuhnya ?", tanya Ithiong.
Giok-koan menggeleng, "Entah tidak tahu. Setiap tahun dia
pasti meninggalkan markas untuk beberapa bulan lamanya.
Pada suatu hari dia pergi lagi, kami tidak tahu kemana
perginya. Selang lebih sebulan, tiba-tiba kami menerima
kabar, katanya dia terbunuh diluar kota Tiang-an".".
"Dan kalian menyusul ke tempat kejadian itu?" tanya It-hiong.
"Ya, sudah kami lihat sendiri." Giok-koan mengangguk.
"Bagaimana keadaannya ?" tanya It-hiong pula.
"Waktu kami sampai ditempat kejadian, pihak pemerintah
sudah keburu menguburnya," tutur Giok-koan. "Demi untuk
mengetahui sebab-musabab kematiannya, kami membongkar
kuburannya dan memeriksa jenazahnya. Waktu itu mayatnya
sudah mulai membusuk, tapi kami masih dapat menemukan
sebab kematiannya, yaitu pada dadanya terdapat sebuah
bekas telapak tangan. Jelas dia mati terkena pukulan tenaga
dalam yang amat kuat sehingga menggetarkan rusak
jantungnya".
"Tokoh dunia persilatan jaman ini rasanya sangat sedikit yang
mampu membunuh dia," ujar It-hiong.
"Bukan cuman sedikit saja, bahkan boleh dikatakan tidak
ada,"kata Giok-koan. "Dia punya Eng-jiau-kang sudah terlatih
hingga mencapai tingkatan yang sempurna, meski kami
bertujuh bergabung juga tidak mampu melawannya".
"Tadi kau bilang setiap tahun dia pasti meninggalkan rumah
untuk beberapa bulan lamanya, bilamana kalian dapat
menemukan tempat yang selalu didatanginya itu mungkin
akan dapat pula tahu sebab musabab serta siapa
pembunuhnya".
"Ya, sudah kami usust, namun sama sekali tidak menemukan
sesuatu." Tutur Giok-koan.
"Urusan ini sungguh sangat aneh," kata It-hiong. "Mungkinkah
dia mempunyai simpanan orang perempuan disuatu tempat".
"Kamipun sama berpikir begitu, cuman tidak ada setitik
indikasi yang kami temukan," kata Giok-koan.
"Kemudian, siapakah yang menyiarkan berita tentang kotak
pusaka itu adalah milik Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam "," tanya Ithiong.
"Hal itu didengar Pok Yang-thian ketika pada suatu hari makan
disuatu restoran, ceritanya harta kekayaan Oh-toako kami
disembunyikan didalam sebuah peti wasiat, dan peti wasiat itu
berada dibawah penjagaan seorang kakek yang bernama Be si
buta. Setelah mendengar berita itu, segera Pok Yang-thian
pulang dan memberitahu kepada kami. Setelah kami selidiki,
diketahui Be si buta itu tinggal di kaki gunung Ban-yang, dia
terhitung sanak saudara Oh-toako kami. Segera kami
berangkat ke Ban-yang-san untuk mencari Be buta, tapi setiba
disana, kami menemukan Be buta sudah mati dirumahnya,
tubuhnya luka terbacok, sudah mati satu-dua hari
sebelumnya".
"Wah jika begitu, jadi kotak itu memang benar milik Oh-toako
kalian "," tanya It-hiong seperti melengak.
"Betul," jawab Giok-koan, "Terbunuhnya Be buta
membuktikan Oh-toako kami memang pernah menyerahkan
sebuah peti wasiat di bawah penjagaannya. Dan pada
sebelum kami tiba di rumah Be buta, lebih dulu sudah ada
orang mendahului datang dan membunuhnya serta membawa
lari peti wasiat tersebut".
"Orang yang membunuh Be buta itu mungkinkah Si Hin","
tanya It-hiong.
"Entah, kamipun tidak tahu," jawab Giok-koan. "Malahan kami
juga tidak berani apakah peti yang sedang kita perebutkan ini
adalah peti wasiat yang diserahkan Oh-toako kepada Be buta
itu, cuma, bila ternyata ada sebuah peti wasiat muncul didunia
persilatan dan menjadi sasaran perebutan orang banyak,
dengan sendirinya kami juga ingin mendapatkannya untuk
memperjelas duduknya perkara".
Tapi diantara kalian Lok-lim-lit-coat masing-masing juga
mempunyai pikiran serakah dan ingin mencaplok sendirian peti
wasiat itu, betul tidak ?" tanya It-hiong dengan tersenyum
ejek. "Betul," jawab Giok-koan sambil menyengir. "Kami bertujuh
sudah berpisah dan menempuh jalannya sendiri dan
menguasai wilayah masing-masing".
"Setelah kaudapatkan peti itu, apakah pernah kaubuka dan
periksa isinya ?"tanya It-hiong pula.
"Belum," Giok-koan menggeleng. "Kau tahu sendiri, peti itu
terbuat dengan sangat bagus dan kukuh, samasekali aku tidak
tahu dan tidak sanggup membukanya. Kudengar pula peti itu
terpasang obat peledak yang berbahaya, maka tidak berani
kubukanya secara paksa, kalau meledak kan aku bisa celaka
sendiri". "Lantas bagaimana tindakanmu selanjutnya ?", tanya It-hiong.
"Kudengar gembong yang menguasai Cap-pek-pan-nia yang
tidak diketahui namanya itu paham cara membuka peti wasiat
itu, maka ada maksudku hendak kesana untuk menemui dia."
Tutur Giok-koan. "Kemarin dulu kulewat disini dan mendengar
Wi Ki-tiu hendak merayakan ulang tahunnya yang ke-60,
kugunakan kesempatan ini untuk mengucapkan selamat
kepadanya, tak tersangka dia juga sudah tahu kudapatkan
peti wasiat itu dan diam-diam mengatur tipu muslihat untuk
menjebakku".
"Apakah tidak kaupikirkan bahwa semua ini sangat mungkin
cuman sebuah tipuan belaka ?", tanya It-hiong.
"Tipuan bagaimana/", tanya Giok-koan.
"Mungkin ada orang mengharapkan kalian Lok-lim-jit-coat
saling membunuh, sebab itulah dia sengaja mengatur tipu
muslihat dengan menggunakan sebuah peti sebagai umpan,
supaya kalian saling berebut dan saling genjot, ia sendiri
hanya menonton dengan santai. Bilaman kalian bertujuh
sudah sama bonyok, barulah ia muncul untuk mengeduk
keuntungan yang tinggal diambil saja".
Mata Hui Giok-koan terbelalak, tanyanya: "Jika betul begitu,
lantas siapakah gerangan yang mengatur tipu muslihat itu ?".
"Kupikir sangat mungkin adalah gembong misterius yang
bercokol di Cap-pek-pan-nia itu", ujar It-hiong. "Ia bermaksud
merajai dunia Lok-lim daerah Selatan, namun kekuatannya
belum mampu menaklukkan ke 72 sarang kalian, sebab itulah
ia sengaja mengatur tipuan ini agar kalian saling membunuh
lantaran berebut sebuah peti kosong.
Muka Hui Giok-koan menjadi merah, ia merasa malu,
katanya,"Jika betul begitu, maka maksud tujuannya boleh
dikatakan sudah tercapai".
"Betul, sebab kamu sudah membunuh saudara angkatmu
sendiri, si In-tiong-yan Pok Yang-thian," kata It-hiong dengan
tertawa. Tampaknya Hui Giok-koan merasa malu hati, ia menunduk
dan tidak bersuara lagi.
Perlahan It-hiong berucap pula, "Cuman kalau sekarang kamu
mau insaf masih keburu. Kuharap kauberikan peti itu
kepadaku, biar kuantar dan menemui gembong iblis di Cappekpan-nia itu, bukan mustahil dapat kubongkar tipu
muslihatnya secara tuntas".
Giok-koan termenung sejenak, katanya kemudian," Tapi bila
kotak itu memang betul tersimpan harta karun Oh-toako kami
dan engkau berikan kepada pihak sana, kan runyam ?".
"Tidak bisa," ujar It-hiong dengan tertawa. "Tentu aku
mempunyai cara yang aman, kujamin dia takkan mendapatkan
apa-apa". "Baik, akan kubawamu untuk mengambil peti itu," kata Giokkoan
dengan ikhlas. "Peti itu kusembunyikan tidak jauh dari
sini". It-hiong menaruh mangkuk dan sumpitnya, ia mendekati
jendela dan melongok keluar, katanya kemudian," Hari sudah
Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hampir fajar, bagaimana kalau sekarang juga kita berangkat
?". "Baik," jawab Giok-koan.
Segera Liong It-hiong memanggil pelayan, selesai membayar
rekening segera mereka meninggalkan hotel.
Melihat tenaga Hui Giok-koan belum pulih seluruhnya, It-hiong
memberikan kuda sendiri padanya, ia sendiri berjalan kaki
mengintil dari belakang.
Hui Giok-koan melarikan kuda keluar kota dan menuju ke
Barat. Tidak lama kemudian mereka sudah sampai di tempat sepi
diluar kota, Hui Giok-koan berpaling kebelakang, setelah
memandang sejenak, tiba-tiba ia mendesis,"Ssstt, rasanya ada
orang membuntuti kita".
"Dia tentulah saudara angkatmu sendiri, yaitu Kim-ci-pa Song
Goan-po atau mungkin juga Kim-kong Taysu dan Koh-ting
Tojin," ujar It-hiong dengan tertawa.
Air muka Hui Giok-koan berubah, katanya ,"Jika Song-siko
masih mudah dihadapi, tapi kalau Kim-kong Taisu dan Kohting
Tojin, tentu urusan bisa gawat".
"Jangan kuatir, biar kita mencari akal untuk melepaskan diri
dari penguntitan mereka,"ujar It-hiong.
Kembali Hui Giok-koan menoleh kebelakang lalu bertanya."Apa
akalmu ?".
"Marilah lebih dulu kita berlari sebentar," kata It-hiong.
Habis berkata ia terus menabok pantat kuda sambil
membentak. Kuda itu terus membedal dengan cepat kedepan.
It-hiong juga lantas mengejar dengan kencang, mereka terus
berlari kedepan secepat terbang, hanya sebentar saja
beberapa li sudah dilalui.
Berualgn Hui Giok-koan menoleh, tiba-tiba ia mendesis lagi,
"Ssst, betul juga, memang ada orang membuntuti kita, seperti
dua orang".
"Kau kenal siapa mereka?" tanya It-hiong.
"Tidak jelas, hanya terlihat dua sosok bayangan berkelebat
menghilang dikejauhan," tutur Giok-koan.
"Marilah kita melepaskan diri dari penguntitan mereka," ujar
It-hiong. "Kau lihat didepan sana jalanan agak berliku,
disebelah kanan jalan adalah hutan lebat, lihat jelas tidak ?".
Giok-koan memandang ke depan, jawabnya mengangguk,"
Ya, kulihat".
"Begitu kita memasuki jalan beriku itu, segera kau lompat
turun dari kuda dan menyusup ke dalam hutan, biarkan kuda
tetap berlari kedepan," tutur It-hiong. "Nah, kau paham
maksudku ?".
"Baik," jawab Giok-koan. "Kuharap mereka dapat kita tipu".
Segera ia membedal kudanya terlebih cepat menuju kejalan
berliku itu. It-hiong tetap mengintil kencang dari belakang dan baru saja
mereka mencapai jalan berliku itu, serentak Giok-koan
membelokkan kudanya menyusur hutan ditepi jalan, habis itu
mendadak ia meraih dahan pohon yang melintang diatasnya,
seketika kuda itu lari kedepan tanpa penunggang, sedangkan
Giok-koan terus melompat keatas pohon.
It-hiong masih sempat mendepak pantat kuda itu, karena
kaget dan kesakitan, kuda itu membedal kesetanan kedepan.
It-hiong sendiri terus menyusup kedalam hutan dan
bersembunyi. Hui Giok-koan juga sembunyi diatas pohon tanpa bergerak.
Terdengar detak lari kuda yang semakin menjauh.
Sejenak kemudian tertampaklah dua sosok bayangan melayan
lewat secepat terbang, hanya sekejap saja lantas menghilang
didepan sana. Meski cuman sekilas saja, namau Liong It-hiong yang
bersembunyi didalam hutan sudah dapat melihat jelas mereka
bukan Kim-kong Taisu dan Koh-ting Tojin, juga bukan Kim-cipa
Song Goan-po. Tentu saja ia terkejut dan heran, pikirnya "Wah, tampaknya
yang mengincar peti wasiat ini tidak sedikit jumlahnya".
Setelah kedua pengejar tadi menghilang dikejauhan, barulah
Hui Giok-koan melompat turun dari pohon, desisnya, "Ayo
lekas berangkat, kita menuju ke Utara!".
Setelah berlari-lari satu-dua li jauhnya kearah Utara, kemudian
mereka berhenti disuatu tempat sepi dikaki gunung.
Lantaran tenaganya belum pulih seluruhnya dan tadi
mengalami lari cepat sekian jauhnya, Hui Giok-koan merasa
kepayahan, segera ia duduk mengaso disitu sambil
mengembus napas, serunya," Mendingan kedua penguntit itu
dapat kita tinggalkan".
It-hiong juga duduk mengaso, tanyanya," Siapakah mereka
tadi ?". "Mereka juga saudara angkatku, Tok-gan-bu-siang Ong Siauho
dan si tembong Seng It-hong," tutur Hui Giok-koan.
It-hiong tertawa, katanya," Ada satu hal sampai saat ini belum
lagi dapat kupahami".
"Hal apa ?" tanya Giok-koan.
"Tempo hari kami membunuh Pok Yang-thian diluar kota
Kimleng dan membawa lari kotak itu. Kejadian itu cuma dilihat
olehku dan Pang Bun-hiong," ucap It-hiong. "Padahal kita
tidak pernah menyiarkan kejadian itu, mengapa ada orang
sebanyak ini mengetahui kotak pusaka jatuh ditanganmu dan
beramai-ramai membuntutimu ?".
Dengan air muka bingung Giok-koan mengangguk, katanya,
"Ya, aku sendiri tidak mengerti, memang sangat aneh?"".
Dengan senyum sinis It-hiong berucap pula,"Sebab itulah,
kuyakin pasti ada satu orang yang senantiasa mengawasi
kotak itu, kemana perginya itu selalu orang itupun mengikuti
kesitu, bahkan menyampaikan berita kepada orang lain yang
sedang mengincar kotak".
Kening Giok-koan berkernyit, ucapnya," Jika demikian jadi
terlebih terbukti bahwa semua ini memang cuma tipuan
belaka, semuanya telah dapat kau terka dengan tepat".
"Cuma biarpun kotak itu memang kosong, juga tetap akan
kubawa pergi ke Cap-pek-pan-nia, ingin kutemui gembong
iblis yang misterius itu," kata It-hiong.
Giok-koan menengok sekelilingnya, lalu mendesis,"Jika
sekarang juga kau mau, segara dapat kugali kotak itu
untukmu". "Kau tanam kotak itu disini ?", It-hiong menegaskan.
"Ya, kupendam dibawah pohon yang terletak kira-kira tiga
tombak dibelakangku," tutur Giok-koan
It-hiong memandang kearah yang dimaksud; katanya, "Jika
begitu, ayolah lekas kau gali saja".
Segera Hui Giok-koan beranjak menuju kedalam hutan. Ithiong
ikut juga kesana. Setibanya dibawah sebatang pohon
tua yang tinggi besar, Giok-koan berhenti dan bertanya,
"Apakah kau bawa senjata seperti belati dan sebagainya ?".
It-hiong melolos belati yang tersembunyi dibalik baju dan
disodorkan kepadanya, katanya dengan tertawa, "Senjataku
sekarang tersisa belati ini saja, hendaknya kau gunakan
dengan baik-baik, jangan sampai patah".
Giok-koan terima belati itu, segera ia berjongkok dibawah
pohon dan mulai menggali.
Dengan cepat sekali sudahsatu-dua kaki dalamnya liang
galiannya; lalu diangkut keluar sebuah kotak besi berbentuk
persegi. Melihat bentuk kotak yang tidak sama itu, It-hiong
melenggong katanya, "Hei, bukan kotak ini !".
"Tidak salah lagi," ujar Giok-koan dengan tertawa. "Memang
kubeli kotak ini dan menyembunyikan kotak semula
didalamnya"."
Belum lanjut ucapannya, mendadak terdengar suara
mendesing nyaring dua kali menyambar dari kanan-kiri dalam
hutan. Dari suaranya yang mendenging tajam itu, jelas ada orang
menyambitkan dua macam am-gi atau senjata rahasia.
It-hiong terkejut, cepat ia menjatuhkan diri dan
menggelundung kesana sehingga am-gi yang menyambar dari
belakang itu dapat dihindarkan.
"Crak", terlihat cahaya putih berkelebat, sebilah pisau tepat
menancap di batang pohon.
Adapun am-gi yang menyambar kearah Hui Giok-koan itu
adalah sebatang panah kecil, begitu cepat dan jitu sambaran
panah itu sehingga Hui Giok-koan tidak sempat mengelak,
dengan tepat punggungnya tertancap panah, ia menjerit dan
jatuh terguling.
Pada saat itu juga dua sosok bayangan orang melompat
keluar dari kanan-kiri dalam hutan, yang seorang menerjang
kearah Liong It-hiong, seorang lagi menubruk Hui Giok-koan.
Langsung ia rebut kotak besi yang masih dipegang Giok-koan.
Yang hendak rmerebut kotak itu adalah seorang kakek berbaju
kuning, bagian pelipis kanan terdapat sebuah uci-uci besar
dan berwarna merah.
Yang menerjang Liong It-hiong itu adalah seorang lelaki
setengah umur, ia membawa golok; begitu menubruk maju
langsung ia membacok kepala It-hiong.
Cepat It-hiong berguling lagi kesamping, berbareng ia raup
segenggam tanah terus dihamburkan kemuka lawan sambil
membentak, "Awas jimatku".
Lelaki setengah baya itu tidak menduga akan akan kejadian
ini, mukanya tertawur tanah sehingga berkaok-kaok kesakitan,
ia kucek-kucek matanya yang kelilipan, tapi ia menjadi
semakin beringas, segera ia angkat golok dan menebas lagi
kepinggang It-hiong.
Pada saat itulah tiba-tiba si kakek beruci-uci berseru, "Ayolah
kita pergi saja, kerbau !!".
Mendengar itu cepat lelaki itu menarik kembali goloknya dan
melompat mundur, lalu ikut si kakek kabur keluar hutan.
Waktu It-hiong melompat bangun, dilihatnya kotak yang
dipegang Hui Giok-koan tadi sudah hilang, ia tahu tentu
dibawa lari si kakek baju kuning tadi. Keruan ia kuatir dan
gusar, bentaknya, "Jangan lari!!".
Segera ia bermaksud mengejar kesana, namun Hui Giok-koan
keburu berseru padanya: "Jangan dikejar !". Sehabis berucap
demikian , kepala Hui Giok-koan lantas terkulai lemas ketanah.
Tampaknya luka pada punggungnya yang terkena panah itu
sangat parah, sudah tidak jauh lagi dari ajalnya.
Watak Liong It-hiong berbudi, ia tidak tega meninggalkan
orang begitu saja, terpaksa ia urungkan maksud mengejar
musuh dan coba memeriksa dulu keadaan luka Hui Giok-koan,
tanyanya:"Bagaimana perasaanmu ?".
Muka Hui Giok-koan berkerut-kerut menahan sakit, ucapnya:
"Aku tidak". Tidak tahan lagi".
Panah yang menancap di punggung kiri Hui Giok-koan itu
kelihatan sangat dalam, agaknya melukai juga jantungnya. Ithiong
tahu orang sukar diselamatkan, diam-diam ia gegetun,
ia coba tanya pula, "Apakah kau kenal mereka ?".
Mendadak darah segar merembes keluar dari mulut Hui Giokkoan,
sorot matanyapun mulai guram, ucapnya dengan
terputus-putus: "Yang tua itu ialah" ialah Ang-liu-soh (si
kakek uci-uci merah) Ban Sam".Ban Sam-hian dan lelaki"
lelaki setengah baya itu adalah anak buahnya".
It-hiong menggigit bibir, katanya, "Keparat ! Sergapan mereka
sungguh cepat sekali serupa angin lesus saja sehingga sukar
ditahan !".
Mulut Hui Giok-koan terbuka, wajahnya menampilkan
senyuman sebelum ajal, ucapnya, "Aku membu" membunuh
Pok Yang-thian, pantas juga" pantas juga aku mati di tangan
Ban Sam-hian". .cuma"cuma kalau dia menyangka sudah
berhasil mendapatkan kotak pusaka, jelas dia agak"agak
kekanak-kanakan".
"Apa maksudmu ?",tanya It-hiong melenggong.
Giok-koan tersenyum, katanya, "Aku hampir" hampir mati,
maka tidak perlu kudustaimu lagi. Kotak itu" kotak itu
kusembunyikan di" di Jit-hian-tiam, disamping kelenteng
Kwa-te-bio ada" ada sebuah sumur, kumasukkan kotak itu
kedalam sumur, boleh" boleh kau ambil saja dari sana".
Habis berucap, senyumnya lenyap dan napaspun putus.
Sampai sekian lama Liong It-hiong termangu-mangu, lalu
tertampil senyum kecut, gumamnya, "Hm, orang ini sungguh
banyak tipu akalnya, lebih dulu dia sengaja menanam sebuah
kotak palsu untuk menipu orang...".
Tapi orang sudah mati, betapapun ia tidak dapat marah lagi
kepadanya. Segera ia menggali sebuah liang dibawah pohon
dan mengubur mayat Hui Giok-koan. Dilihatnya fajar sudah
menyingsing segera ia putar balik kearah datangnya tadi"..
---ooo000ooo--Disuatu petang hari musim panas, dikota Gi-hin yang terletak
ditepi danau Thay kelihatan ada sebuah kereta kuda yang
megah. Kereta kuda ini masuk kota dari pintu gerbang Barat dan
berhenti didepan hotel "Thay-oh-khek-can" yang terbesar
dikota ini. Sekali pandang saja pelayan hotel yang sudah berpengalaman
itu segera tahu kedatangan tamu yang berkantung tebal,
maka cepat mereka menyambut keluar.
Dan begitu pitu kereta terbuka, seorang pemuda ganteng
mendahului melompat turun. Dia tak lain tak bukan Pang Bunhiong
adanya. Dengan senyum yang dibuat-buat pelayan memberi hormat
dan bertanya, "Kongcuya ini apakah cuma singgah saja atau
ingin bermalam ?".
Pang Bun-hiong memandang kepintu hotel dan berkata,
"Apakah ada kamar yang bersih ?"
"Ada, ada !!" cepat pelayan menjawab.
"Jika begitu, kami minta dua kamar yang satu untuk tinggal
pengendara kereta ini"." Bun-hiong menuding Siang Po-hok
yang menjadi kusir itu, lalu berkata pula dengan tertawa
kedalam kereta, "Silahkan keluar, istriku !".
Dibawah dukungan Bun-hiong, pelahan turunlah seorang
perempuan cantik.
Dia bukan lain daripada Kiau-kiau yang mengaku sebagai "si
molek berbisa" itu.
Pada dasarnya dia memang sangat cantik, ditambah lagi
sekarang memakai baju yang mentereng, siapapun yang
melihatnya pasti menyangka dia seorang nyonya terhormat
dari keluarga bangsawan.
Eberapa pelayan itupun sama silau menghadapi wanita
anggun deimikian, mereka sama memberi hormat dengan
menunduk.
Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ayolah menunjukkan jalannya," seru Bun-hiong.
Pelayan mengiakan dan membawa mereka kedalam hotel.
Dihalaman belakang hotel tersedia kamar kelas utama yang
tenang, pelayan membuka sebuah kamar menyilakan mereka
masuk, habis itu lantas membawakan air minum dan
memberikan servis yang menyenangkan.
Kiau-kiau merasa terganggu oleh hilir mudik kawanan pelayan
itu, katanya, "Bun-hiong, suruh mereka keluar saja".
Segera Buh-hiong memberi tanda dan berkata: "Ayo, keluar
saja kalian, tanpa dipanggil jangan masuk kemari."
Beberapa pelayan itu sama mengiakan dan mengundurkan
diri. Didalam kamar kini tinggal mereka berdua saja, Kiau-kiau
melempar tubuhnya ditempat tidur, dengan lemah ia
mengeluh, "Oo, menumpang kereta selama 20-an hari,
sungguh capek sekali".
Bun-hiong duduk disampingnya, dipijatnya punggung si cantik,
katanya dengan tertawa: "Akhirnya sampai juga ditempat
tujuan, bolehlah engkau mengaso dua-tiga hari".
"Tidak kita mengaso sebentar saja dan segera berangkat lagi,"
kata Kiau-kiau.
"Ah, buat apa terburu-buru ?",kata Bun-hiong.
"Oh Beng-ai berada dalam cengkeraman Kiu-bwe-hou
Kongsun Siau-hui dan setiap saat jiwanya bisa melayan,
urusan segawat ini masa tidak membuat gelisah?".
"Jika Kongsun Siau-hui hendak mencelakai Oh Beng-ai,
biarpun ia mempunyai nyawa serep sepuluh juga sudah lama
amblas", ujar Bun-hiong. "Dan bila ia tidak bermaksud
membunuhnya, biar kita kesana beberapa hari lagi juga masih
keburu". "Kau tahu apa?", omel Kiau-kiau dengan mendongkol. "Yang
kukuatirkan adalah Oh Beng-ai akan dinodai rase jahat itu.
Betapapun dia kan masih perawan ting-ting, bila kesuciannya
dilanggar, sungguh lebih gawat daripada dia terbunuh saja".
"Ya, aku tahu", ujar Bun-hiong dengan tertawa. "Tapi sudah
lebih sebulan dia berada dalam cengkeraman Kongsun Siauhui,
apakah kau kira Kongsun Siau-hui akan bersikap ramah
padanya. Huh, kukira bukan mustahil sudah". ".
"Sudah, cukup!", sela Kiau-kiau. "Jangan banyak omong halhal
yang menyinggung perasaanku. Bilamana Kongsung Siauhui
sampai mengganggu seujung bulu romanya, hmm", lihat
saja kalau tidak kubeset kulitnya".
Pang Bun-hiong tertawa, dipencetnya pelahan dagu si cantik,
katanya: "Sungguh aneh, mengapa perasaanmu terhadap
perempuan lebih mesra daripada terhadap orang lelaki ?".
"Tidak perlu banyak omong", kata Kiau-kiau.
"Kita sudah berkumpul lebih 20 hari, namun sampai sekarang
aku masih belum paham akan dirimu".
"Ini membuktikan engkau adalah seorang tolol besar", ujar
Kiau-kiau. Bun-hiong tertawa: "Apakah dapat kau beritahukan padaku
maksud tujuanmu yang sebenarnya hendak menolong Oh
Beng-ai ?".
"Kan tidak jelek Oh Kiam-lam terhadapku dan aku ingin
membalas kebaikannya, inilah maksud tujuanku yang
sebenarnya".
"Aku tidak percaya", ucap Bun-hiong dengan tersenyum.
Mendadak Kiau-kiau membalik tubuh dan menghadapinya
sambil mendamperat: "Jadi kau anggap ada maksud tujuan
tertentu sebabnya aku hendak menolong Oh Beng-ai?".
Bun-hiong mengangkat pundak: "Aku tidak tahu, makanya aku
tanya padamu".
Kiau-kiau melototinya sekejap: "Hmm", makin lama kamu
semakin ceriwis, aku tidak suka kepada lelaki yang bawel. Jika
kamu banyak omong lagi seperti ini bisa segera kusuruh kau
enyah !". "Ha ha ha, jika kausuruh aku enyah, pasti segera aku akan
enyah, aku ini memang orang yang tahu diri", seru Bun-hiong
dengan tertawa.
"Baik, sekarang juga enyah!", kata Kiau-kiau.
"Apa betul ?", Bun-hiong menegas.
"Betul!".
"Kau kira dengan kecantikanmu akan dapat menaklukkan Kiubwehou Kongsun-hui?".
"Ya, kenapa tidak?", jawab Kiau-kiau. "Jika kamu ikut
disampingku tentu akan mengganggu urusan malah".
"Baiklah, jika begitu. Terpaksa aku angkat kaki saja", ucap
Bun-hiong sambil berbangkit.
"Ya, pergi saja", tukas Kiau-kiau.
Bun-hiong menunduk dan mencium sekali dipipi si cantik,
katanya dengan tertawa: "Jika begitu, selamat tinggal !.
Terima kasih atas kebaikan dan kenikmatan yang kauberikan
padaku selama likuran hari ini. Semoga kelak masih diberikan
kesempatan untuk bertemu lagi denganmu".
Habis berkata ia lantas membalik dan menuju ke pintu kamar.
"Tunggu sebentar", kata Kiau-kiau.
Bun-hiong membalik tubuh pula, tanyanya dengan tertawa:
"Apakah masih ada sesuatu yang perlu kukerjakan bagimu ?".
"Jika kamu perlu uang, dapat kuberi sedikit, apakah kau mau
?", tanya Kiau-kiau dengan tertawa.
Bun-Hiong menggeleng, "Tidak, tidak perlu. Terima kasih atas
maksud baikmu. Diriku ini tidak dijual".
Dalam keadaan demikian, Kiau-kiau berbalik merasa berat
untuk ditinggal pergi malah, katanya segera: "Jika begitu,
boleh kau pergi lagi mencari aku di Hoai-giok-san,
kedatanganmu akan tetap kusambut dengan gembira".
"Baik", jawab Bun-hiong. "Apabila aku tidak mendapatkan
perempuan lain pasti aku akan kesana dan mencarimu lagi".
Kiau-kiau menjadi marah, ia tanggalkan sepatu dan
dilemparkan kearah Bun-hiong sambil menjerit: "Keparat,
kamu pantas mampus!. Memangnya kau anggap aku ini
perempuan macam apa ?".
Bun-hiong mengegos untuk menghindari sepatu yang
menyambar kepalanya, ia tergelak dan memberi salam, lalu
membuka pintu kamar dan keluar.
Ia tidak bilang kepada pelaya kemana dirinya akan pergi, juga
tidak pamit kepada Siang Po-hok yang menjadi kusir, langsung
ia meninggalkan hotel itu.
Berkumpul selama lebih 20 hari dengan perempuan cantik itu,
kini ia sudah tahu dia adalah seorang perempuan judes dan
cerewet atau bawel, maka tadi ia sengaja membuatnya marah
untuk memancing datanya pengusiran.
Sebabnya ia bertindak demikian adalah karena ia ingin
mendahului ke Ma-cik-san ditepi Thay-oh untuk memberitahu
Tui-beng-poan-koan To Po-sit agar siap menghadapinya.
Bahwa Tui-beng-poan-koan To Po-sit menyuruh dia
menyiarkan isyu tentang Oh Beng-ai diculik oleh Kiu-bew-hou
Kongsun Siau-hui dan dibawa ke Ma-cik-san di Thay-oh,
tujuannya tentulah ingin memancing dan menawan seseorang.
Sebab itulah Bun-hiong yakin Tui-beng-poan-koan tentu sudah
mengatur perangkap di Ma-cik-san, sedangkan Kiau-kiau
sangat mungkin adalah sasaran yang hendak ditangkap To Posit,
maka ia merasa perlu mendahului menyampaikan berita
itu. Begitulah ia berlari cepat sekian lamanya, akhirnya sampailah
ditepi Barat danau besar itu. Ia mencari tempat berkumpulnya
perahu nelayan ditepi danau. Dilihatnya ada beberapa orang
sedang mengobrol iseng disitu. Ia mendekati mereka dan
memberi salam, lalu bertanya: "Numpang tanya saudara, ada
urusan ingin kupergi ke Ma-cik-san, apakah dapat kusewa
perahu disini ?".
Seorang nelayan tua mengamat-amatinya beberapa kejap, lalu
balas bertanya: "Untuk apa adik ini mau pergi ke Ma-cik-san?".
"Kudengar pemandangan pegunungan itu sangat indah
permai, maka ingin kucoba pesiar kesana", jawab Bun-hiong.
"Bilamana nanti keindahannya memang tidak tercela, ada
maksudku akan membangun rumah disana untuk belajar".
Nelayan tua itu tertawa geli, katanya" "Masa adik ini belum
tahu berita yang tersiar?".
"Berita apa?", tanya Bun-hiong.
"Di Ma-cik-san sudah lama ada orang bertempat tinggal disitu,
malahan orang itu memiara seekor harimau untuk menjaga
gunung itu sehingga tidak ada orang yang berani kesana",
tutur si nelayan tua.
"Oo, apakah Lotiang tahu siapakah yang bermukim disana ?".
"Entah, aku tidak tahu, tidak ada orang yang pernah
melihatnya", si nelayan tua menggelengkan kepala.
"Kukatakan terus terang saja, orang itu adalah pamanku",
kata Bun-hiong dengan tertawa. "Beliau sendiri yang
menyuruhku belajar saja ketempatnya yang indah dan tenang
itu, maka tentang harimau itu juga tidak perlu kutakuti".
"Oo, kiranya orang itu adalah paman adik sendiri", si nelayan
tua bersuara heran. "Dan mengapa pamanmu itu sengaja
piara harimau buas ?".
"Harimau itu dipiaranya sejak kecil. Sebenarnya tidak
sembarang menggigit orang", jawab Bun-hiong.
"Tapi beberapa bulan yang lalu ada seorang mati tergigit
harimau itu".
"Ahh, masa terjadi begitu ?", Bun-hiong bersuara kaget.
"Memang betul terjadi", kata si nelayan tua sambil
mengangguk. Bun-hiong memperlihatkan rasa menyesal, ucapnya: "Wah,
sungguh malang. Kejadian ini pasti akan kutanyakan kepada
pamanku. Jika betul harimau itu suka mengganggu manusia,
maka binatang itu tidak dapat dipiara lagi. Ai, pepatah bilang
piara harimau hanya mendatangkan maut, tampaknya
memang tepat".
Ia berhenti sejenak, lalu tanya mereka: "Siapa diantara kalian
yang mau mengantarku ke Ma-cik-san dengan perahunya ?".
Tidak ada seorangpun menyatakan mau.
Bun-hiong mengeluarkan sepotong perak, katanya: "Akan
kubayar lima tahil perak ini, cukup sekali jalan saja; asal ada
yang mau". ".
"Biarlah kuantar tuan kesana", sambung si nelayan tua tadi.
Tidak lama kemudian Bun-hiong sudah berada diatas perahu
si nelayan tua dan meluncur ke Ma-cik-san yang terletak
ditengah danau.
Bun-hiong duduk termenung di haluan perahu menghadapi
kerlip air danau yang tenang, pemandangan danau dengan
gunungnya yang indah.
"Kongcu", tiba-tiba si nelayan tua berkata. "Apakah boleh
kutahu nama pamanmu yang mulia itu?".
"Watak pamanku sangat aneh, dia tidak suka bergaul dengan
orang" ".
"Beliau tinggal sendirian di Ma-cik-san sana ?", tanya pula si
nelayan. "Ya", Bun-hiong mengangguk.
"Ada orang bercerita, katanya beliau mahir ilmu silat, apakah
betul ?". "Ehm, paman pernah belajar".
"Pernah ada orang diam-diam mengunjungi Ma-cik-san dan
melihat pamanmu naik harimau berkeliaran di pegunungan
sana. Orang sama menyangka beliau adalah Toapekong,
semuanya ketakutan dan cepat berlutut dan menyembah
padanya". Bun-hiong tertawa: "Kenapa menyangka paman sebagai
Toapekong?".
"Sebab hanya Toapekong saja yang dapat naik harimau!",
tutur si nelayan tua.
"Ha ha ha, bukan. Paman bukan Toapekong", kata Bun-hiong
dengan terbahak. "Paman memang gemar naik harimau,
bilamana iseng beliau suka naik binatang itu dan berkeluyuran
kian kemari sekedar mencari hiburan saja".
"Sekarang penduduk di sekitar sini sama menyebut pamanmu
sebagai Losancu (penguasa gunung tua), semuanya
menghormat dan juga segan padanya, siapapun tidak berani
lagi mengunjungi Ma-cik-san".
Bun-hiong hanya tertawa saja tanpa menanggapi, namun
dalam hati sangat heran. Pikirnya, "Sungguh aneh, To Po-sit
adalah seorang jujur dan lurus, kenapa dia sengaja berlagak
begitu untuk menakuti orang ". Jika alasannya supaya tidak
ada orang mengganggu ketenangannya kan juga tidak perlu
piara harimau buas segala. Harimau hanya dapat mengganas
terhadap orang biasa, terhadap jago persilatan sama sekali
tidak ada gunanya".
Pada saat itulah si nelayan tua menuding jauh kedepan,
katanya: "Lihat, itulah Ma-cik-san!".
Waktu Bun-hiong memandang kesana, tertampak permukaan
danau dikejauhan sana muncul barisan lereng gunung, ia coba
tanya: "Berapa lama lagi baru sampai disana ?".
"Mungkin perlu satu jam lagi", tutur si nelayan.
Bun-hiong memandang cuaca, katanya: "Tampaknya sang
surya sudah hampir terbenam".
"Ya, setibanya di Ma-cik-san nanti mungkin juga waktunya
matahari terbenam", ujar si nelayan tua.
Benar juga, pada waktu matahari menghilang di ufuk Barat,
saat itu juga perahu mereka tepat sampai di tempat tujuan.
Bagian Barat lereng pegunungan itu banyak tebing yang terjal
dan banyak pula gua batu. Lubang gua berbentuk bundar
serupa telapak kaki kuda, maka gunung itu mendapat nama
Ma-cik-san atau gunung telapak kaki kuda. Sudah tentu
apapun namanya hanya berdasarkan dongeng saja.
Setelah perahu menepi, Bun-hiong membayar sewa dan
mengucapkan terima kasih kepada nelayan tua, lalu melompat
ke daratan dan berlari cepat keatas gunung.
Setelah mendaki sebagian tebing curam, yang terlihat didepan
adalah hutan yang rimbun sehingga seolah-olah tertutup
rapat, suasana seram menakutkan.
Namun kepandaian Bun-hiong tinggi dan nyalinya besar. Ia
yakin perjalanannya ini pasti tak akan berbahaya baginya,
maka sama sekali ia tidak kuatir, langsung is menyusur hutan.
Ia tidak tahu sesungguhnya dibagian mana Tui-beng-poankoan
To Po-sit bertempat tinggal, tapi karena ia anggap Maciksan ini tidak luas, seharusnya tidak sulit untuk menemukan
tempat tinggal orang.
Siapa tahu, meski sudah cukup lama ia mencari kian kemari,
yang terlihat olehnya tetap hutan lebat belaka dan sukar
dijajaki serupa lautan, sama sekali tidak tertampak sebidang
tanah kosong apapun.
Mau-tak-mau hati Bun-hiong mulai kebat-kebit, pikirnya:
Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Buset!. Kenapa hutan ini sedemikian luasnya?".
Begitulah ia terus menerobos hutan sekian lama lagi dan tetap
belum mencapai ujungnya. Ia merasa seperti masuk ketempat
yang menyesatkan, tentu saja ia was-was.
Ia coba berhenti dan membatin: "Jangan-jangan hutan ini
memang sebuah tempat yang bisa menyesatkan"!".
Baru saja timbul pikiran demikian, sekonyong-konyong dalam
hutan yang berdekatan bergema auman keras.
Itulah auman harimau !.
Keruan Bun-hiong terkejut, ia menoleh dan memandang
kearah suara, namun tidak terlihat bayangan harimau. Tentu
saja ia merasa tidak aman, ia coba bersuara: "Toh-locianpwe,
caihe Pang Bun-hiong adanya, mohon Locianpwe sudi tampil
bertemu". Ia bicara dengan suara keras sehingga dapat berkumandang
jauh. Siapa tahu baru saja lenyap suaranya, mendadak terdengar
suara meraung keras, dari dalam hutan melompat keluar
seekor harimau loreng dan langsung menerkamnya.
Harimau itu sebesari kerbau, kelihatan sangat buas.
Melihat keganasan harimau itu, berdiri bulu roma Pang Bunhiong.
"Jangan kurang ajar1", bentaknya sambil melompat jauh
kesamping. Karena menubruk tempat kosong, kebuasan harimau itu tidak
berkurang, sekali ekor melingkar, ia putar tubuh dan kembali
menerkam lagi. Cepat Bun-hiong meloncat keatas dan hinggap diatas dahan
pohon yang bercabang, teriaknya: "Binatang kurang ajar!.
Mana boleh sembarang kau ganggu manusia ". Masa kamu
tidak tahu aku ini sahabat majikanmu "!".
Pada hakikatnya harimau itu tidak tahu apa yang diucapkan
Bun-hiong. Agaknya dia sangat marah karena mangsanya
melompat keatas pohon. Beberapa kali harimau itupun
melompat keatas, akhirnya rupanya tahu sukar mencapai
tempat Bun-hiong terpaksa ia berhenti meloncat dan
berbaring dibawah pohon sambil melototi Bun-hiong dan
mengaum. "Ayo pergi, panggil kemari majikanmu", bentak Bun-hiong
sambil mengangkat tangan.
Namun si harimau tidak menghiraukannya dan tetap
mengawasi dia. "Binatang yang tidak tahu adat", maki Bun-hiong. "Kalau tidak
mengingat majikanmu, tentu sekali hantam kumampuskanmu
!". Harimau itu tetap diam saja.
Bun-hiong pikir bila bertahan terus cara begini bukanlah jalan
keluar yang baik. Kembali ia memaki: "Binatang kurang ajar,
barangkali kamu tidak pernah ketemu orang pandai, biar
sekarang kau lihat kelihaianku !".
Ia patahkan satu potong ranting kecil, dengan gerak
menimpuk senjata rahasia ia sambitkan ranting kayu itu ke
batok kepala harimau.
Kencang sekali sambaran ranting kayu itu, "plok", dengan
tepat batok kepala harimau tertimpuk.
Kungfu Pang Bun-hiong sudah mencapai tingkat tinggi,
biarpun sehelai daun yang dilemparkannya juga cukup kuat
untuk mencelakai orang. Untuk membunuh harimau dengan
lemparan kayu inipun dapat dilaksanakannya, cuma dia tidak
berniat membunuhnya, maka sambitannya itu tidak terlalu
keras. Walaupun begitu toh harimau itu sudah kesakitan sehingga
melonjak kaget dan menyurut mundur sambil meraung-raung
seakan-akan sedang memaki dan menantang Bun-hiong bila
berani ayolah turun kemari.
Kembali Bun-hiong memotong setangkai ranting dan
disambitkan pula, sekali ini tepat mengenai hidung harimau.
Karena kesakitan, binatang itu mengerang sambil menyurut
mundur lagi, lalu bergaya hendak menubruk.
"Memangnya kau berani " Sekali ini hendak kutimpuk matamu
!", kata Bun-hiong dengan tertawa.
Sembari bicara kembali ia memotes setangkai ranting pula.
Namun harimau itu rupanya sudah kapok. Melihat Bun-hiong
hendak menimpuknya lagi, sambil meraung cepat ia putar
haluan dan ngacir.
Tujuan Bun-hiong justru hendak membuat harimau itu lari
agar dia dapat menguntitnya. Maka begitu begitu harimau itu
kabur, segera ia melompat turun dan mengejar dengan
kencang. Harimau itu sudah takut padanya, ketika mengetahui Bunhiong
mengejarnya, larinya semakin cepat. Ia menyelinap kian
kemari ditengah hutan lebat dan lari pontang-panting.
Sambil mengejar Bun-hiong mengeluarkan suara galak pula
untuk menggertaknya. Setelah mengejar sekian lama, harimau
itu menyusup masuk kebalik semak-semak lebat, lalu
menghilang. Bun-hiong tidak berani mengejar kesitu. Ia coba melompat
keatas pohon dan memandang kesekitarnya.
Sekali pandang terlihatlah sebuah rumah yang tidak terlalu
besar, tapi juga tidak kecil.
Kiranya beberapa tombak lagi kedepan sana sudah sampai di
ujung hutan lebat itu. Terlihat diluar hutan adalah sebidang
tanah landai dengan rumput halus hijau, ditengah lapangan
rumput berdiri sebuah gedung megah dengan halaman yang
luas. Disekeliling gedung itu diberi pagar bambu dan ditanami
berbagai macam bunga yang aneh, suasana tenang dan
pemandangan indah.
Bun-hiong yakin inilah tempat kediaman "Losancu" To Po-sit.
Segera ia melompat turun dan berlari ke rumah itu.
Setibanya diluar pintu pagar bambu, terlihat didepan pintu ada
pigura yang bertuliskan tiga huruf, To-kong-loh" atau villa
megah. Ditepi pintu terdapat pula sebuah papan kecil dengan
tulisan "dilarang mauk tanpa izin" dan dibawahnya tertulis
"Hormat Kongsun Siau-hui".
Diam-diam Bun-hiong tertawa geli, ia pikir tulisan ini adalah
perbuatan Toh Po-sit yang sengaja digunakan untuk
memancing orang yang hendak dijebaknya, kalau tidak kan
tidak perlu namanya ditulis disitu.
Ia coba mengetuk pintu sambil berteriak: "Toh-locianpwe,
silakan buka pintu, aku Pang Bun-hiong!".
Namun keadaan rumah itu tetap sunyi senyap, tidak terlihat
seorangpun yang menjawab atau muncul.
Bun-hiong sangat heran, sukar dimengerti mengapa bisa
begini. Ia pandang tulisan "dilarang masuk" yang terpampang
disamping pintu itu, pikirnya, "Mungkin ia sedang keluar
karena ada urusan, maka dipasang papan ini. Padahal
kedatanganku berkepentingan baginya, tentunya aku boleh
masuk saja kesitu".
Didalam pintu adalah jalan terbuat dari balok batu, kedua
samping jalan banyak pot bunga diatas rak. Setelah melintasi
jalan batu tersebut, sampai disebuah ruangan tamu yang
terbuka. Sementara hari sudah gelap, namun didalam ruangan tidak
ada penerangan, tampaknya penghuninya memang tidak
berada dirumah.
Bun-hiong berhenti sejenak diluar ruangan dan coba
memandang kedalam. Tertampak pepajangan ruang tamu
yang sangat serasi, perabotannya terbuat dari kayu cendana
wangi. Bagian dalam melintang sebuah meja besar dan
disambung dengan sebuah meja lain yang memanjang keluar.
Kedua samping meja ada enam kursi diseling dengan meja
kecil diantara kursi dan kursi.
Ditengah ruangan tidak terdapat meja pemujaan melainkan
tergantung sebuah lukisan lambang panjang umur dan
dikanan-kiri meja panjang melintang itu terdapat dua vas
bunga. Masih kelihatan segar bunga didalam vas.
Ditengah ruangan terdapat sebuah lampu gantung, lampu
kaca berukir bunga. Meskipun lampu tidak menyala, kacanya
kelihatan cemerlang dan indah.
Bun-hiong tidak berani sembarangan masuk, ia berseru
dengan lantang: "Toh-locianpwe, apakah engkau di rumah "!".
Tetap tidak ada suara jawaban.
Bun-hiong ragu sejenak. Kemudian ia melangkah ketengah
ruangan, dilihatnya disebelah kanan ada sebuah pintu tembus,
ia coba melongok keluar pintu, tapi karena hari sudah gelap
sehingga tidak terlihat apapun.
Ia mendekati meja panjang dan mencari geretan api,
dinyalakannya lampu gantung itu.
Setelah lampu menyala, ia coba melongok lagi kebagian
dalam. Sekarang terlihat jelas disitu ada sebuah jalan
samping, yaitu yang menyusur serambi ke belakang.
Kembali ia berteriak lagi dan tetap tidak kelihatan orang
muncul. Segera ia menyusuri serambi, pada kamar serambi
pertama ia coba mengetuk pintunya.
Sekali ketuk, tahu-tahu pintu kamar terbuka sendiri. Didalam
kamar juga tidak ada penerangan, namun lamat-lamat
kelihatan sebuah tempat tidur dengan perabotan yang
sederhana, hanya sebuah meja, kelambu tertutup rapat,
didepan tempat tidur ada sepasang sepatu kain.
Nyata sekali diatas ranjang ada orang tidur.
Hal ini sangat diluar dugaan Bun-hiong, cepat ia menyurut
mundur dan memberi hormat, serunya: "Toh-locianpwe,
apakah engkau disini ?".
Tidak ada suara ditempat tidur, seperti orang tidur itu sudah
mati. Sangsi dan heran, Bun-hiong kembali ia berteriak: "Tohlocianpwe,
engkau disitu ?"\
Teap tiada sesuatu reaksi apapun.
Kening Bun-hiong berkernyit, pikirnya, "Sungguh aneh.
Didepan ranjang ada sepatu, jelas ada orangnya. Mengapa
tidak terjaga bangun ?".
Ia merasakan keganjilan, tapi yang terpikir olehnya adalah
orang ditempat tidur itu mungkin mati mendadak. Maka ia
coba mendekati tempat tidur.
Begitu mendekat, mendadak dirasakan semacam hawa
kematian yang membuatnya merinding.
Mungkinkah Tui-beng-poan-koan Toh Po-sit mendadak mati
sakit ditempat tidur "
Tidak, tidak mungkin terjadi kebetulan seperti itu!.
Ia tenangkan diri, lalu menyingkap kelambu. Baru saja
tersingkap sedikit, seketika ia menjerit kaget.
Ternyata ditempat tidur menggeletak sesosok jerangkong.
Jerangkong putih yang utuh.
Jerangkong putih ini duduk tegak diatas tempat tidur, sungguh
kaget Bun-hiong tak terkatakan, serentak ia menyurut mundur
dua-tiga tindak.
Waktu melangkah mundur itulah sekonyong-konyong kaki
terasa menginjak tempat kosong, seluruh orangnya terus
kejeblos kebawah.
Pada saat menginjak tempat kosong itu, sekilas benaknya
timbul pikiran telah menginjak papan putar, namun sudah
kasip dan sukar menghindar lagi. Tanpa kuasa ia kejeblos
kedalam sebuah gua yang gelap gulita.
Setelah anjlok enam-tujuh tombak dalamnya, barulah sampai
permukaan tanah.
Kejadian yang mendadak dan diluar dugaan ini membuatnya
kaget dan tidak sempat mengerahkan tenaga sehingga kepala
terbentur dan pusing tujuh keliling, matapun berkunangkunang.
Sampai sekian lama barulah pikiran jernihnya pulih
kembali. Waktu ia memandang keatas, papan putar tadi sudah merapat
seperti semula dan tiada setitik lubang lagi. Keadaan gelap
gulita, jari sendiripun tidak kelihatan.
Setelah termangu-mangu sejenak barulah ia berdiri pelahan.
Ia coba meraba kedepan, sesudah maju dua-tiga tindak baru
teraba dinding batu yang dingin dan keras. Ia merambat lagi
kekiri, setelah membelok diujung dinding, akhirnya terasa
sebuah pintu beruji besi.
Terali besi sangat kuat, besarnya hampir sebulatan lengan
manusia. Ia pegang dua potong terali besi itu dan
diguncangkan sekuatnya, namun tidak bergeming sama sekali.
Ia tahu terali besi itu sangat kuat dan sukar dijebol oleh
tenaga manusia.
Seketika hati Bun-hiong tertekan, pikirnya, "Wah, celaka!.
Sekali ini aku benar-benar menjadi kura-kura didalam
tempurung orang !".
Ia coba merambat lagi kekiri terali, kembali teraba dinding
batu, maka tahulah dia bahwa dirinya terkurung didalam
kamar penjara seluas setombak persegi, iapun maklum
bilamana tidak mendapatkan pertolongan dari luar, betapapun
sukar lolos dari penjara maut ini.
Ia cemas dan bingung juga, sukar dimengerti mengapa Tuibengpoan-koan Toh Po-sit sengaja memperlakukan dia cara
demikian. Sekarang ia tahu jerangkong yang duduk ditempat
tidur itu hanya semacam perangkap yang sengaja dipasang
Toh Po-sit, bila orang melihat jerangkong secara mendadak,
tentu kaget dan tanpa terasa menyurut mundur, dengan
begitu pasti akan menginjak papan putar dan kejeblos
kebawah. Tapi ia sudah berulang kali menyatakan siapa dirinya,
mengapa Toh Po-sit masih memperlakukan dia cara demikian"
Apakah mungkin yang memasang perangkap ini bukan Tuibengpoan-koan Toh Po-sit .
Karena pikiran ini seketika ia paham duduknya perkara. Tanpa
terasa is bergumam, "Aha betul, tuan rumahnya pasti bukan
Toh-locianpwe, makanya dia tidak gubris teriakanku?"
Lalu teringat olehnya nama yang terpampang dipapan pada
pintu pagar itu, ia terkesiap dan berseru: "Wah, jangan-jangan
tuan rumah disini ialah Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui ?".
Tapi bilamana betul tuan rumahnya ialah Kongsun Siau-hui,
apa maksud tujuan Toh Po-sit yang menyuruhnya menyiarkan
berita bohong tentang diculiknya Oh Beng-ai oleh gembong
iblis itu ke Ma-cik-sa sini "
Tidak perlu disangsikan lagi maksud tujuan Toh Po-sit adalah
untuk memancing dan menawan seseorang, tapi mengapa
perangkapnya diatur ditempat kediaman Kongsun Siau-hui ini
" Apakah mungkin dia dan Kongsun Sian-hui adalah satu
komplotan "
Akan tetapi jelas tidak, karena Toh Po-sit dan Kongsun Siauhui
adalah dua jenis manusia yang berbeda, tidak mungkin
Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka bersekongkol untuk menghadapi orang lain.
Jika begitu, sekarang hanya ada sebuah penjelasan, yaitu
maksud tujuan Toh Po-sit bukan untuk menawan seorang
melainkan sengaja memancing seorang untuk mencari
Kongsun Siau-hui dan maksudnya mungkin supaya terjadi
perang tanding antara mereka atau ada maksud lain.
Ia merasa rekaan ini rada masuk di akal, sebab itulah ia mulai
merasakan posisi sendiri sangat berbahaya, sebab kalau tuan
rumahnya betul Kongsun Siau-hui, maka dirinya sudah
menjadi musuh yang telah mengganggunya.
Kongsun Siau-hui adalah tokoh yang terkenal kejam, tentu dia
tak akan bersikap ramah terhadap musuh yang
menyatroninya. Lantas bagaimana baiknya "
Baru saja ia berpikir bagaimana baiknya, tiba-tiba dari luar
terali besi sana ada cahaya lampu.
Itu dia, Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui sudah datang.
Terdengar suara "srak-srek:, suara langkah orang yang
semakin dekat. Mendadak cahaya lampu terang benderang.
Seketika Bun-hiong merasa bagai menatap cahaya matahari
yang menyilaukan, hampir sukar mata terpentang, sebab
itulah seketika tak jelas siapa pendatang ini.
Terdengar orang itu mengeluarkan suara tertawa terkekeh
aneh yang menusuk perasaan, habis itu berucap sekata demi
sekata; "Hei, siaucu, namamu Pang Bun-hiong ya ?".
Bun-hiong mengalingi matanya dengan tangan, tanyanya
dengan terkesiap: "Siapakah engkau?".
"Apakah kamu buta-huruf?", jawab orang itu dengan terkekeh.
"Oo, jadi engkau benar Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui ?",
Bun-hiong menegas.
"Betul," kata orang itu.
"Wah, sungguh tak tersangka". ".
"Toh-locianpwe yang kau panggil berulang itu siapa ?", tanya
Kongsun Siau-hui.
"Mohon engkau menyingkirkan dulu lampumu, boleh "{", pinta
Bun-hiong. Kongsun Siau-hui lantas gantung lampu yang dipegangnya itu
di dinding. Karena itu cahaya lampu lantas bergeser dan
orangnya dapat terlihat jelas sekarang.
Usianya antara 67-69 tahun, perawakannya tinggi kurus,
mukanya terasa dingin dan seram, rambutnya semampir
dipundak dan memakai baju hitam, sekilas pandang serupa
hantu yang mengerikan.
Diam-diam Bun-hiong menarik napas dingin, ia memberi
hormat dan berkata: "Sungguh sangat beruntung dapat
berjumpa dengan tokoh kosen dunia persilatan jaman kini".
Kongsun Siau-hui tersenyum tak acuh, tanyanya pula: "Coba
jawab, siapakah Toh-locianpwe yang kaupanggil berulangulang
itu ?". "Toh Thian-lau namanya ", jawab Bun-hiong.
"Siapa itu Toh Thian-lau ?", tanya Kongsun Siau-hui pula.
"Seorang tabib terkenal, orang memberi julukan Kui-ih (tabib
setan) padanya, sebab penyakit aneh dan betapa parahnya,
asalkan diberi obat olehnya seketika akan sembuh".
"Aneh mengapa belum pernah kudengar nama seperti ini ?",
ujar Kongsun Siau-hui sambil menyeringai.
"Dia bukan tokoh dunia persilatan", kata Bun-hiong.
"Oo, ia tinggal di Ma-cik-san sini ?", tanya Kiu-bwe-hou.
"Aku diberitahu orang, katanya dia pindah dan berdiam di Maciksan, tapi tampaknya aku tertipu, sungguh runyam !".
Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui menyeringai, katanya pula:
"Siapa yang bilang padamu bahwa Kui-ih Toh Thian-lau pindah
kesini ?".
"Hiat-pit-siucai Hui Giok-koan", kata Bun-hiong.
"O, kiranya dia. Darimana dia tahu aku mengasingkan diri
disini ?".
"Ia tidak bilang Locianpwe mengasingkan diri disini, ia cuma
bilang Kui-ih Toh Thian-lau pindah dan berdiam disini.
Kongsun Siau-hui mengangguk, tanyanya pula: "Untuk apa
kaucari Toh Thian-lau?".
"Hendak kuminta tolong agar dia mengobati penyakit istri
sahabatku", tutur Bun-hiong.
"Siapakah sahabatmu itu?", kembali Kongsun Siau-hui
bertanya. "Liong It-hiong", jawab Bun-hiong.
"Istrinya menderita sakit apa ?".
"Sakit cemburu !".
Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui tertawa: "Hah, dia singa betina
yang sok cemburu !".
"Ya, asalkan sahabatku itu memandang sekejab perempuan
lain, seketika istrinya ribut tidak berhenti", tutur Bun-hiong.
"Pernah satu kali sahabatku mengadakan pesta perjamuan
untuk menghormati kawan, pesta dimeriahkan dengan musik
dan nyanyi. Tapi istrinya membawa pentung dan mengobrakabrik
pesta itu, bahkan memukul mati penyanyinya.
"Karena tidak tahan gangguan istri yang cemburu itu,
sahabatku minta nasehat padaku. Kutahu Kui-ih Toh Thian-lau
mempunyai obat mujarab yang dapat menyembuhkan
perempuan cemburu, maka sengaja aku datang kemari
mencarinya. Siapa tahu keterangan Hui Giok-koan ternyata
tidak benar sehingga perjalananku ini cuma sia-sia belaka".
"Tapi perjalananmu ini tidaklah sia-sia, sebab akupun mahir
mengobati penyakit cemburu", ujar Kiu-bwe-hoa dengan
tertawa. "Hah, apa betul ?", Bun-hiong menegas dengan berlagak
girang. "Tentu saja betul", kata Kiu-bwe-hou. "Ada beberapa resepku
yang cespleng untuk menyembuhkan penyakit cemburu".
"Wah bagus sekali", seru Bun-hiong bersemangat. "Dapatkan
Locianpwe memberikan padaku resep mujarab itu ?".
"Boleh. Nah, silahkan dengarkan dengan cermat?", lebih dulu
Kongsun Siau-hui berdehem untuk membersihkan
kerongkongan, lalu menyambung: "Pertama, sup daging
merpati, dimakan si perempuan tiap tengah malam, maka rasa
cemburunya akan hilang. Kedua bungkus katak buduk dengan
kain bekas datang bulan si perempuan dan ditanam didepan
kamar, maka rasa cemburunya akan lenyap atau"..".
Bun-hiong berlagak mengingat baik-baik beberapa resep yang
diuraikan orang, katanya: "Wah, beberapa resep Locianpwe
itu tampaknya sangat mujarab, cuman agak sulit
dilaksanakan?"
"Bila beberapa resep ini tidak manjur, masih ada satu resepku
yang kutanggung cespleng seratus prosen", kata Kiu-bwe-hou
dengan tertawa.
"Apa resepnya ?", tanya Bun-hiong.
"Resep ini namanya potong dan habis perkara", tutur Kiu-bwehou.
"Caranya adalah dengan membawa sebilah golok, pada
waktu si perempuan lagi tidur nyenyak, sekali bacok penggal
kepalanya dan rasa cemburunya lantas hilang sama sekali".
"Ha ha ha", Bun-hiong tergelak. "Meski resep terakhir ini
sangat manjur, cuman obatnya terlampau keras, kukira tidak
cocok digunakan".
"Ya, maka lebih baik menggunakan resep yang kukatakan
tadi", ujar Kiu-bwe-hou.
"Terima kasih atas petunjuk Locianpwe, tentu akan
kusampaikan resepmu tadi kepada sahabatku biar
dicobanya?"
"Cuma saya, mungkin sahabatmu itu tidak sempat lagi
menyembuhkan penyakit cemburu istrinya", tukas Kiu-bwehou.
"Kenapa bisa begitu ?" Bun-hiong melengak.
"Coba jawab, apa yang tertulis dipapan pintu tadi sudah
kaubaca tidak ?".
"Ya, kubaca", Bun-hiong mengangguk. "Cuma?"
"Jika begitu biar kukatakan padamu", potong Kiu-bwe-hou
dengan tertawa: "Barang siapa berani sembarangan
menerobos masuk kesini tanpa izinku, semuanya harus mati
disini". Habis berkata ia tanggalkan lentera tadi dan hendak
melangkah pergi.
"Nanti dulu, Locianpwe", seru Bun-hiong.
"Kau mau bicara apa lagi ?", tanya Kiu-bwe-hou dengan
tertawa. "Peraturan Locianpwe itu terasa agak terlampau keras,
seharusnya diperlonggar sedikit", ujar Bun-hiong.
Kiu-bwe-hou meraba janggutnya, katanya perlahan: "Dengan
sendirinya dapat kuperlonggar sedikit, cuma hal itu harus
tunggu sampai kamu mau bicara terus-terang siapa itu Tohlocianpwe
yang kau sebut-sebut itu dan maksud tujuan
kedatanganmu kesini".
Sampai disini ia terus melangkah pergi.
Cahaya lampu dari terang berubah menjadi guram dan
akhirnya lenyap.
Kembali Bun-hiong terkurung dikamar penjara yang gelap
gulita. Dengan lesu ia duduk dikaki dinding dan bergumam,
"Tua bangka ini sungguh tidak malu sebagai seekor rase tua,
tampaknya aku sudah ditakdirkan akan mati disini?"
Ia tahu hanya ada satu jalan mungkin dapat terhindar dari
kematian, yaitu tunduk kepada kehendak Kiu-bwe-hou dan
bicara terus terang segalanya tentang maksud kedatangannya
adalah ingin mencari Tui-beng-poan-koan Toh Po-sit, sebab
atas perintah Toh Po-sit dirinya menyiarkan desas-desus
tentang diculiknya adik perempuan Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam
oleh Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui"
Tapi mana boleh dia mengaku terus terang "
Jika ia bicara terus terang, apakah bukan berarti
menggagalkan rencana Toh Po-sit ".
Padahal dengan susah payah barulah Toh Po-sit berhasil
mengatur rencana ini, mana boleh dirinya merusaknya "
Tidak boleh!. Mutlak tidak boleh bicara terus terang.
Begitulah ia lantas berdiri dengan bersemangat, ia mendongak
keatas, pikirnya, "Mungkin dapat keluar melalu atas sana.
Biarlah coba kupanjat keatas".
Begitu ambil keputusan, segera ia gunakan ilmu cecak
merayap dan merambat keatas.
Kira-kira enam-tujuh tombak tingginya, sebelah tangannya
sudah dapat meraba papan putas diatas. Dengan jari tangan
kiri ia cengkeram celah dinding untuk menahan tubuhnya,
lalau dengan tangan kanan ia pukul papan putar dibagian
atas. Tenaga pukulannya tidak lemah, papa kayu setebal beberapa
senti saja dapat dihantamnya hancur, tapi sekarang ia sudah
memukul sekuatnya beberapa kali, dirasakan papan putar itu
sekeras batu, sedikitpun tidak bergeming.
Kenapa bisa begitu". Jangan-jangan papan putar itu terbuat
dari besi "
Ia coba menggores papan itu dengan kuku, ternyata benar
papan putar itu memang terbuat dari besi. Hal ini membuat
semangatnya gembos, segera ia kendurkan cengkeraman jari
kiri dan merosot turun kebawah.
Sekarang ia merasa hanya ada satu jalan saja baginya, yaitu
menunggu ajal. Ia duduk dikaki dinding lagi dengan lesu.
Diam-diam ia sesalkan nasib sendiri yang jelek sehingga
kebentur Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui yang sialan ini.
Kemudian teringat juga akan Coa-kat-bijin alias Kiau-kiau,
mendadak terbangkit semangatnya. Pikirnya, "Aha, betul tidak
lama lagi iapun akan kemari, bisa jadi dia memang dapat
menjatuhkan Kongsun Siau-hui dengan pikatan kecantikannya.
Bila betul demikian ada harapan bagiku untuk hidup".
Pada saat sedang berpikir itulah, tiba-tiba dari atas
berkumandang suara orang memanggil perlahan: " Kongsun
Siau-hui". Kongsun Siau-hui?".
Jelas itulah suara orang perempuan.
Bun-hiong sangat girang, serentak ia berdiri, pikirnya: "Itu dia,
memang betul dia sudah datang!".
"Kongsun Siau-hui". Kongsun Siau-hui" engkau dimana ?",
terdengar suara Kiau-kiau sedang memanggil, agaknya dia
sudah memasuki ruangan besar itu sehingga suaranya
terdengar jelas.
Tiba-tiba Bun-hiong mendapatkan pikiran lain untuk cepat
meloloskan diri, segera ia merayap lagi keatas dan menunggu
kesempatan. Cara meloloskan diri yang terpikir oleh Bun-hiong adalah kalau
Kongsun Siau-hui tidak muncul untuk bertemu dengan Kiaukiau,
tentu sebentar lagi sangat mungkin Kiau-kiau akan
mengikuti caranya tadi, membuka kelambu dan kaget, lalu
kejeblos kebawah.
Jika terjadi demikian, maka pada saat Kiau-kiau kejeblos dan
papan putar terbalik, peluang itu akan digunakannya untuk
menerobos keluar.
Sebab itulah pada waktu ia merambat sampai di ujung dinding
segera ia kumpulkan tenaga pada kedua kakinya dan
menunggu datangnya kesempatan baik.
"Hei, Kongsun Siau-hui, engkau ada disini atau tidak ?",
terdengar suara Kiau-kiau sudah berada didalam kamar atas.
Bun-hiong mendengarkan dengan cermat, terdengar suara
kaki Kiau-kiau berhenti didepan tempat tidur. Tanpa terasa
hati Bun-hiong ikut berdebar.
Ia tahu bila pada saat itu dirinya bersuara memperingatkan,
Kiau-kiau diatas pasti dapat terhindar dari bahaya kejeblos.
Tapi ia tidak mau berbuat demikian, sebab ia tahu Kiau-kiau
adalah perempuan yang tidak dapat dipercaya. Pada waktu ia
tidak sanggup melawan Kiu-bwe-hou, yang dipikirnya tentu
cuma menyelamatkan diri sendiri dan pasti tidak mau
menyerempet bahaya menolongnya. Sebab itulah ia
mengambil keputusan akan meloloskan diri lebih dulu,
kemudian baru berdaya menolong perempuan itu dari
ancaman bahaya.
"Kongsun Siau-hui, kaukah disitu?" terdengar suara Kiau-kiau
memanggil pula, suar
Pendekar Riang 5 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Kuda Putih 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama