Ceritasilat Novel Online

Romantika Sebilah Pedang 5

Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long Bagian 5


pancar keluar makin lama kian bertambah menebal.
Cong Hoa tidak berani bergerak. Dia sadar, asal
tubuhnya bergerak, pasti ada lubang kelemahan yang
terbuka, samurai pembunuh sang ninja pun segera akan
manfaatkan peluang itu untuk melancarkan
babatannya dan dia pasti akan terbabat mampus.
Dengan tenang mengatasi gerak, inilah teori tingkat
tinggi dari ilmu silat.
"Musuh tidak bergerak, aku tidak bergerak, musuh
bergerak, aku bergerak duluan tidak menyerang berarti
melindungi diri, begitu menyerang sasaran pasti kena!"
Jika ada dua jago tangguh sedang bertarung, maka
menang kalah selalu ditentukan hanya dalam sedetik.
Kabut makin tebal menyelimuti angkasa, angin pun
berhembus kencang, hawa pembunuhan semakin
menyelimuti seluruh arena pertempuran.
Suara air yang mengalir terdengar kian lama kian
bertambah jauh, bahkan sama sekali tidak terdengar, di
alam jagad seolah tinggal dengus napas sang ninja dan
Cong Hoa. Makin lama dengusan napas semakin bertambah
berat. Disaat saling berhadapan dalam keadaan "tenang",
ternyata jauh lebih menakutkan ketimbang saling
berhadapan dalam suasa "membunuh". Karena
"tenang" jauh lebih sulit dilakukan daripada "gerak".
"Gerak" dapat kau saksikan, setiap saat dapat kau
hadapi dan waspadai.
Sebaliknya "tenang" diliputi ketidak tahuan, ancaman
mara bahaya yang bisa muncul setiap saat.
..... Tidak seorangpun dapat menduga, serangan
golok "Eng-hong-it-to-cian" dari sang ninja akan dibabat
dari arah sebelah mana.
Biarpun berada ditengah malam ujung musim gugur
yang sangat dingin, Cong Hoa dapat merasakan butiran
keringat sebesar kacang kedele jatuh bercucuran
membasahi ujung hidungnya.
Sorot mata sang ninja masih saja memancarkan
cahaya siluman yang aneh, bahkan ujung samurainya
sama sekali tidak bergetar.
Pada saat itulah tiba-tiba terasa ada segulung
desingan angin tajam menyergap wajah Cong Hoa.
Sepasang matanya berkedip.
Disaat matanya berkedip, samurai pun mulai
bergerak. Ninja itu membentak nyaring, samurai yang berada
dalam genggamannya secepat kilat membabat ke
bawah. Ayunan itu kelihatan biasa dan sangat sederhana,
tapi cepatnya menakutkan, demikian cepatnya
sehingga tidak meninggalkan kesan bahwa dia sedang
bergerak. Sedemikian cepatnya hingga seakan sama sekali
tidak bergerak.
Babatan samurai itu memang kelihatan sederhana,
namun dibalik kesederhanaan terselip inti sari dari ilmu
silatnya, kecerdasan dalam menghadapi lawan serta
kemampuan tingkat tinggi yang terhimpun dan melebur
menjadi satu. Sepasang mata ninja itu telah berubah jadi merah,
seluruh pakaian yang dikenakan ikut menggelembung
karena himpunan tenaga dalam yang telah disalurkan
hingga pada puncaknya.
Tampaknya dia bertekad akan menghabisi lawannya
dalam bacokan itu, dia sama sekali tidak menyisakan
kekuatannya lagi.
Betulnya bacokan samurai dengan jurus Eng-hong-ittocian merupakan sebuah serangan yang tiada
tandingannya di kolong langit"
Ketika angin serangan menyambar tiba, tubuh Cong
Hoa sudah berbaring sejajar dengan tanah, sementara
peti besi yang berada dalam genggamanya diangkat
ke atas menyongsong datangnya serangan itu.
"Traaang!" percikan bunga api menyebar ke empat
penjuru, ternyata peti besi itu terpapas hingga terbelah
jadi dua. Dengan meletupnya bunga api, hawa pembunuhan
yang menakutkan pun ikut hilang lenyap tidak berbekas.
Ketika peti besi itu terbelah, ujung samurai pun
tampak gumpil sebagian. Dengan sekali jumpalitan
tahu-tahu Cong Hoa sudah menyelinap ke belakang
punggung ninja itu, sepasang tangannya langsung
disodokkan ke muka dan menghajar punggung
lawannya kuat-kuat.
"Duuukkk!" ninja itu tersungkur ke depan sambil
memuntahkan darah segar, tiada rasa sakit atau
penderitaan yang terlintas diwajarinya, orang itu malah
mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahakbahak.
Cong Hoa sama sekali tidak bergerak, ia berdiri
mematung ditempat, tiada perubahan mimik muka
diwajahnya, sementara butiran keringat masih
bercucuran membasahi jidatnya. Noda darah terlihat di
sepasang tangannya, lelehan darah segar masih
menetes melalui sela sela jari tangannya.
Ninja itu bangkit berdiri sambil tertawa nyaring, dia
ambil peti besi yang telah terbelah dua itu. Cong Hoa
masih tidak bergerak, hanya sepasang matanya
mengawasi terus bagaimana ninja itu mengambil peti
besi yang terbelah dari atas tanah.
"Itulah jurus tanpa penyesalan dari perguruan Giho,"
ujar ninja itu sambil tertawa keras, "Yang terkena
pukulan ringan akan mampus dalam satu jam,
sementara kau telah menggunakan tenaga sangat
besar, paling banter usiamu hanya tinggal dua jam."
Cong Hoa masih menggigit bibirnya tanpa
menjawab, namun darah segar nampak meleleh keluar,
air mukanya tetap hambar tiada perubahan.
Tiada penderitaan, tiada rasa sakit, tiada penyesalan,
tiada perasaan, yang ada hanya perasaan dendam.
Sekali lagi ninja itu tertawa keras.
Ditengah gelak tertawa yang nyaring, bayangan
tubuhnya lenyap dibalik kegelapan hutan bunga bwee
yang rimbun. Tentu saja senjata kait perpisahan pun ikut
bersamanya lenyap dari pandangan mata.
Dialam jagad yang hening kini hanya tersisa Cong
Hoa seorang. Titik cahaya terang diujung sungai terasa makin lama
semakin bertambah terang, makin lama semakin
membesar. Suasana tetap hening, kabut tebal masih menyelimuti
seluruh permukaan. Ditengah keheningan itulah, tibatiba
berkumandang suara yang seruling yang lembut.
Angin dingin masih berhembus kencang.
Titik cahaya yang muncul diujung sungai dari balik
kabut, kini sudah bertambah terang. Bukan cahaya
lentera, melainkan cahaya api dari tungku.
Api dalam tungku itu berada diatas sebuah sampan,
dari atas sampan itulah suara seruling berkumandang.
Sebuah sampa kecil, setitik api merah dari tungku
tanah liat. Cahaya api yang berkerdip menyinari wajah
seorang kakek yang duduk bersila diujung perahu.
Dia mengenakan topi caping dengan jas hujan dari
jerami, rambutnya telah beruban, saat itu sang kakek
masih asyik meniup serulingnya.
Irama yang dibawakan terdengar rendah, berat dan
mengenaskan. Ditengah hembusan angin yang dingin, lamat lamat
terendus bau harum semerbak yang menyegarkan, bau
harum itu berasal dari sebuah guci keramik yang ada
diatas tungku api.
Entah air teh atau obat yang sedang dimasak dalam
guci itu" Sebuah sampan, setitik api tungku, seorang kakek,
sebatang seruling.
Irama seruling mengalun makin sendu....
Bagi kakek yang berada di sampan itu, semua
kesedihan, kegembiraan, perjumpaan maupun
perpisahan yang ada dalam perjalanan hidupnya kini
telah lewat bagai awan di angkasa.
Apakah dia merasa sudah mendekati ajalnya"
Mendengar irama seruling itu, Cong Hoa yang sama
sekali tidak tertarik tiba-tiba jadi tertarik, dia
membalikkan tubuh dan menengok ke arah orang tua
yang ada diujung sampan.
"Lotiang yang ada di sampan, dapatkah kau dayung
sampan mu mendekat?"
Irama seruling seketika terhenti.
"Mau apa kau?" kakek itu bertanya.
"Kau seorang diri meniup seruling diujung sampan,
sementara aku seorang diri melongo diatas daratan,
mengapa kita berdua tidak duduk bersama sambil
kongkow" Paling tidak bisa kita usir malam yang sepi ini
bersama sama?"
Kakek itu tidak menjawab, irama seruling kembali
berkumandang sementara sampan pun perlahan-lahan
mendekati daratan.
Air dalam guci keramik mulai mendidih, bau harum
yang lembut semakin menusuk penciuman.
"Ini air teh atau obat?" tanya Cong Hoa setelah
duduk diatas sampan.
"Air teh, juga obat," sahut si kakek hambar.
Kakek itu mengawasi sekejap bunga api yang masih
membakar pepohonan, sebuah perubahan aneh
melintas diatas wajahnya, terdengar dia bergumam,
"Kau masih sangat muda, mungkin belum bisa
memahami makna dari getirnya air teh."
"Aku tahu, kau harus menikmati dulu getirnya air teh
sebelum timbul rasa manis."
Kakek itu mengangkat wajahnya, mengawasi gadis
itu sekejap kemudian tertawa, setiap garis kerutan diatas
wajahnya seolah ikut tertawa.
Kakek itu mengambil guci keramik itu, menuang
secawan lalu katanya, "Bagus sekali, kau boleh
mencicipi satu cawan."
"Dan kau?"
"Aku tidak minum."
"Kenapa?"
"Karena pelbagai macam air teh yang paling getir
pun di dunia ini sudah pernah kucicipi."
Sebuah ucapan yang mengenaskan, tapi sewaktu
diutarakan dari mulutnya, justru kedengaran membawa
aroma yang berbeda.
"Kalau toch tidak minum, buat apa kau memasak air
teh?" "Belum tentu orang yang masak air teh, dia harus
seorang peminum teh."
Banyak sekali kejadian di dunia yang persis seperti
keadaan tersebut, sebagai orang muda tentu saja dia
tidak akan memahami teori tersebut.
Cong Hoa telah menerima cawan berisi penuh
dengan air teh.
Teh itu masih panas, meski cawannya agak besar da
kasar namun tanpa ragu gadis itu meneguknya hingga
habis. Setiap kali sedang minum, baik minum teh maupun
minum arak, dia selalu meneguknya dengan cepat.
Dalam mengerjakan tugas apa pun, dia juga selalu
melakukannya dengan cepat.
Apakah ini disebabkan diapun merasa bahwa
kehidupan sendiri segera akan berakhir"
Kini air teh telah dikeringkan, apakah diapun akan
segera mati"
"Ada sepatah kata ingin kuutarakan," kata Cong Hoa
sambil tertawa, "aku harap kau jangan terperanjat."
"Katakan saja!"
"Aku adalah seseorang yang mendekati ajal!"
"Setiap manusia, begitu dilahirkan maka dia sudah
mulai menunggu saat kematiannya!"
"Aku bersungguh-sungguh!"
"Aku tahu."
"Kau tidak mengusirku turun dari sampan mu?"
"Setelah naik ke atas sampan, kenapa pula harus
kuusir?" jawab kakek itu tenang.
"Tapi setiap saat mungkin aku bakal mati disini, mati
dihadapanmu."
"Aku sudah kenyang melihat manusia dilahirkan di
dunia ini, sudah sering pula melihat manusia mati
meninggalkan dunia ini."
"Kalau aku jadi kau, aku pasti tidak ingin menyaksikan
seorang asing mati diatas perahuku."
"Perkataanmu memang betul!" kata si kakek,
"Sayang kau bukan aku, kaupun tidak bakal mati diatas
perahuku."
"Kenapa?" seru Cong Hoa terperanjat.
"Sebab kau telah bertemu dengan Bu Capsa."
"Bu Capsa" Siapa itu Bu Capsa?" tanya Cong Hoa.
"Aku!"
"Kau?" kembali Cong Hoa berseru, "Berjumpa
dengan kau berarti aku tidak bakal mati?"
"Benar," suara kakek itu dingin lagi hambar, "Setelah
bertemu aku, biar ingin mati pun tidak bakalan bisa
mati." "Kenapa?"
"Karena akupun tidak ingin menyaksikan seorang
asing mati diatas sampan ku."
Begitu mendengar jawaban tersebut, Cong Hoa
segera tertawa.
"Kau anggap aku tidak sanggup selamatkan
jiwamu?" kembali kakek itu bertanya.


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau hanya menyaksikan lukaku," kata Cong Hoa
sambil mengawasi sepasang tangan sendiri, "Tapi tidak
melihat kalau aku sudah keracunan, oleh sebab itu kau
beranggapan dapat selamatkan nyawa ku."
"Oya?"
"Biarpun luka ku hanya luka lecet, tapi racun yang
datang dari tempat kejauhan kini sudah merasuk hingga
ke tulang sumsum."
"Oya?" mimik muka kakek itu tetap hambar.
"Tidak seorang pun sanggup memunahkan racun
dalam tubuhku."
"Tidak seorang pun?"
"Mungkin masih ada satu orang," kata Cong Hoa
sambil mengawasi kejauhan.
"Siapa?"
Cong Hoa tertawa getir, sambil menepuk bajunya
dan bangkit berdiri, ujarnya, "Yang pasti orang itu bukan
kau." "Oleh sebab itu kau ingin pergi?"
"Aku tidak ingin mati diatas perahumu!"
"Kau tidak bakal bisa pergi!"
"Kenapa?"
"Karena kau telah minum secawan teh getirku."
"Teh getir" Kau minta ganti kerugian?"
"Kau tidak bakalan bisa mengganti, tidak mungkin
bisa mengganti..." kakek itu kembali mencukil arang
dibawah tungku nya.
Cong Hoa ingin tertawa namun tidak sanggup, tibatiba
dia merasa jari tangan dan jari kakinya mulai
kesemutan bahkan rasa kesemutan itu lambat laun
menjalar hingga ke seluruh tubuhnya.
"Tahukah kau, air teh apa yang barusan kau minum?"
"Air teh apa?"
"Ngo-ma-san," jawab kakek itu hambar, "ngo yang
artinya lima, Ma yang artinya mati rasa dan San yang
berarti bubuk."
"Ngo-ma-san" Bukankah resep itu berasal dari Tabib
Hoa Tuo" Konon sudah lama resep itu punah dari dunia
ini?" "Tapi ada seseorang yang bertekad akan
menemukan kembali resep langka itu, dia telah
mengorbankan enam belas tahun lamanya sebelum
berhasil menciptakan kembali resep tersebut."
Sewaktu mengucapkan perkataan itu, lamat-lamat
kelihatan sepasang mata kakek itu berkaca-kaca.
"Dan orang tersebut adalah kau?" tanya Cong Hoa.
Kakek itu tidak menjawab, tiba-tiba pancaran sinar
matanya kembali berubah jadi dingin, "Bayangkan
sendiri, sanggupkah kau mengganti air teh seperti ini?"
"Aku tahu, tidak mungkin aku bisa menggantinya,"
sahut Cong Hoa sambil tertawa getir, "Tapi andaikata
sejak awal aku tahu air teh macam apakah itu, tidak
nanti aku akan meminumnya!"
"Tapi sayang sekarang kau telah meneguknya!"
Cong Hoa tidak menjawab, dia hanya tertawa getir.
"Oleh sebab itu, sekarang ke empat anggota
badanmu pasti sudah kaku dan mati rasa, seandainya
aku mengiris kulit badanmu, kau pun tidak akan merasa
sakit." "Benarkah begitu?"
Kakek itu tidak menjawab, perlahan-lahan dia
mengeluarkan sebuah kotak kulit berwarna coklat tua
dari sakunya. Sebuah kotak kulit berbentur lonjong dan pipih,
sekalipun sudah amat kuno namun kelihatan licin dan
bersinar karena kelewat sering dipegang orang.
Perlahan-lahan kakek itu membuka kotak kulit itu, dari
dalam kotak segera terpancar keluar semacam cahaya
terang berwarna hijau muda.
Cahaya tajam dari mata pisau. Tiga belas bilah pisau.
Tiga belas bilah pisau berbentuk aneh, ada yang
berupa kaitan, ada yang berupa gergaji, ada yang
pajang langsing, ada pula yang melengkung bagai
bulan sabit. Dari ketiga belas bilah pisau itu hanya ada satu
kesamaan... mata pisau amat tipis, tipis tapi tajam.
Kakek itu mulai mengawasi ketiga belas bilah
pisaunya, dari balik sorot mata yang sayu tiba tiba
memancar keluar sinar yang lebih tajam dari mata pisau.
"Dengan ketiga belas bilah pisau inilah aku akan
menghadapimu," ujar si kakek dengan wajah serius.
"Pisau itu begitu tipis, bila dipakai untuk mengiris pasti
tidak akan terasa sakit," kata Cong Hoa, dia ingin sekali
tertawa namun senyumannya justru kelihatan kaku.
Obat pemati rasa itu memang menakutkan, kini
sekujur badannya nyaris mati rasa, kecuali matanya bisa
melihat, mulutnya masih bisa berbicara.
Kini dia sedang mengawasi ketiga belas bilah pisau
itu, mau tidak mau dia harus melihatnya.
Arus sungai masih mengalir sangat tenang, api
dibawah tungku kian lama kian bertambah redup,
namun kabut tebal masih menyelimuti seluruh
permukaan. Kakek itu sudah mengambil sebilah pisau yang sempit
lagi panjang, pisau itu panjang sembilan inci dan lebar
enam mili. "Mula-mula aku akan menggunakan pisau ini untuk
menyayat dagingmu!" kata si kakek sambil memegang
tangan gadis itu, "Sebagian daging ditanganmu ini
sudah mulai membusuk."
"Kemudian?"
"Kemudian aku akan menggunakan pisau yang ini
untuk menghadapimu!" kembali si kakek mengambil
sebilah pisau berbentuk kaitan, "Dengan pisau ini akan
kucongkel daging bagian bawah."
"Lalu?"
Si kakek meletidakkan kembali pisau berbentuk kaitan
itu dan memilih pisau jenis lain.
"Setelah itu aku akan menggunakan pisau ini untuk
mengorek tulangmu, mengorek keluar seluruh sisa racun
yang mengendap disitu, mengoreknya hingga tuntas
berikut seakar akarnya."
Kakek itu benar benar membelah daging dilengan
Cong Hoa, mengorek tulangnya dan membersihkan
racun yang tersisa disitu, selama operasi berjalan, gadis
itu sama sekali tidak mengerdipkan matanya, dia malah
mengawasi terus cara kerja si kakek dengan ketiga belas
bilah pisau bedahnya.
"Kujamin kau tidak akan merasakan sakit barang
sedikitpun," kata si kakek sambil menatap wajahnya.
"Lantaran aku sudah minum bubuk Ngo-ma-san?"
Cong Hoa balik bertanya.
"Benar, inilah kasiat utama dari bubuk Ngo-ma-san."
"Kau tahu kalau aku sudah keracunan?"
"Racun jenis ini sangat jahat dan mengerikan, hanya
manusia bejad dari negeri Hu-Siang (Jepang) yang bisa
melakukannya," kata kakek itu sambil mengawasi
tangannya, "Ilmu tanpa penyesalan" Hmmmm, tidak
nyana bangsa kerdil pun bisa memikirkan nama seindah
itu." "Berarti kau sudah tahu kalau aku keracunan?" tegas
Cong Hoa sambil menatap tajam wajah kakek itu,
"Karena sudah tahu, maka kau siapkan cara terbaik ini
untuk menolongku?"
"Benar."
"Darimana kau bisa tahu?"
"Karena aku telah berhutang budi kepada
seseorang."
"Hutang budi" Kepada siapa?"
"Seseorang," sahut si kakek sambil memandang ke
tempat kejauhan, "Seorang sahabat karib yang sudah
tua, tua sekali."
"Siapakah orang itu?"
"Aaai, kalau orang sudah tua, biasanya gampang
kelupaan. Aku pun sudah lupa siapakah orang itu."
Jelas dia sedang berbohong.
Cong Hoa tahu akan hal ini tapi dia enggan
membongkarnya. Dia memang tidak senang memaksa
orang lain melakukan apa yang tidak ingin dilakukan.
"Jadi dia yang memintamu untuk menolong aku?"
tanyanya hambar.
"Benar."
"Kalau aku enggan menerima pertolonganmu?"
Sewaktu mengucapkan perkataan itu, Cong Hoa
sudah merasakan rasa kesemutan yang menakutkan itu
mulai menjalar ke otaknya, ke jantungnya...
"Apa kau ingin mati?" dia mendengar kakek itu
bertanya. "Tidak!" lamat-lamat dia mendengar jawaban
sendiri. Suara terakhir yang terdengar oleh Cong Hoa adalah
suara ujung pisau yang sedang mengorek diatas tulang.
Jelas tulang itu adalah tulang sendiri.
Tapi anehnya, dia sama sekali tidak merasakannya,
sama sekali tidak terasa sakit...
Fajar telah menyingsing, kabut pun sudah membuyar.
Salju yang sudah lama tidak nampak, kini mulai
melayang dan bertaburan di udara.
Malam kemali menjelang. Salju masih turun dengan
derasnya. Diujung putik bunga bwee kini sudah penuh
dilapisi bunga salju.
Entah di pagi hari ataupun di malam hari, kehidupan
manusia selalu akan mengalami satu sisi yang paling
indah. Bila seseorang masih bisa hidup, mengapa pula dia
harus mati"
..... Sejujurnya, siapa sih manusia di dunia ini yang
benar-benar ingin mati"
BAB 4. Irama sendu dari rebab tiga senar.
Sebuah lorong sempit, sebuah warung bakmi, seorang
kakek, sebatang huncwee.
Malam sudah sangat larut, namun salju masih turun
dengan derasnya.
Dalam iklim seperti ini, dalam udara sedingin ini, siapa
yang akan datang membeli bakmi" Kakek Tan sadar
tidak akan ada orang yang mau bersantap malam
dalam suasana begini, dia pun sadar sudah saatnya
mulai bebenah untuk menyimpan sayur asin dan bakmi
yang tersisa, walaupun biasanya dia akan berjualan
hingga fajar. Sebetulnya sudah lama Dia ingin pensiun, namun
setiap kali terbayang sobat-sobat miskinnya yang setiap
hari datang bertandang, dia tetap berjualan hingga
pagi menyingsing.
Bakmi yang dia jual selain enak, harganya murah
sekali bahkan boleh berhutang lagi. Bila suatu hari
secara tiba-tiba kakek Tan berhenti berjualan, bisa jadi
banyak orang akan menahan kelaparan.
Langit begitu dingin, bumi begitu membeku,
penghidupan tiap haripun begitu sengsara dan
menderita, sementara kehidupan paling hanya
berlangsung sekejap, mengapa dia harus berjualan
hingga larut malam" Mengapa Dia tidak tidur lebih
awal" .....Kehidupan seseorang di dunia ini terkadang bukan
hidup demi diri sendiri, banyak orang justru hidup demi
kelangsungan hidup orang lain, sekali kau sudah
memikul beban tersebut maka jangan harap beban itu
bisa kau lepas dengan seenaknya.
Kakek Tan menghela napas dalam hati, dengan ibu
jarinya dia tekan sisa tembakau yang ada didalam
huncwee, kemudian menghisapnya kuat kuat, dia
berusaha untuk menghidupkan kembali percikan api
yang sedang membakar tembakaunya.
Asap tipis perlahan-lahan menyembur keluar dari
lubang hidung kakek Tan.
Warung bakmi itu terletak dalam sebuah lorong persis
di belakang penjara, kebetulan letaknya berada disisi kiri
pintu rumah Lo Kay-sian. Oleh sebab itu terkadang bila
tidak ada urusan penting, Lo Kay-sian kerap duduk
nongkrong di warung kakek Tan sambil minum arak.
Bakmi kecut pedas buatan kakek Tan sangat
membangkitkan selera makan Lo Kay-sian, apalagi di
malam dingin yang begini membeku, bisa menikmati
semangkuk bakmi pedas yang hangat sudah
merupakan satu peristiwa yang paling menyenangkan.
Malam ini, sedari awal Lo Kay-sian sudah bersembunyi
di balik selimut, tapi sudah setengah harian dia bolakbalik
kesana kemari namun belum juga tertidur, hatinya
seakan sedang dililit beribu macam masalah yang tidak
terpecahkan. Akhirnya dia memutuskan untuk nongkrong di warung
bakmi kakek Tan sambil minum berapa cawan arak,
biasanya bila dua orang kakek rentan kumpul
berbareng, waktu akan berlalu tanpa terasa.
Baru tiba di depan warung bakmi, belum sempat Lo
Kay-sian buka suara, dia sudah menyaksikan kakek Tan
sedang memandang wajahnya dengan perasaan kaget
bercampur keheranan.
"Kau sakit?" tegur kakek Tan tercengang.
"Sakit?" Lo Kay-sian melengak, "Tidak!"
"Kalau bukan lagi sakit, biasanya disaat ini kau sudah
tidur dibalik selimutmu, mau apa kau malah nongkrong
di sini?" "Apa lagi kalau bukan kangen dengan arakmu!"
jawab Lo Kay-sian sambil mencari tempat duduk, "Di
udara sedingin ini, keliru besar kalau tidak menenggak
berapa cawan arak."
"Sama seperti biasanya?"


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar."
"Benar, benar..." gumam kakek Tan, "Setiap kali
pesan lima piring sayur asin, sisanya tetap lima piring
sayur asin."
Dia seakan tidak tahu, ada sementara orang ketika
minum arak dia enggan makan sayur, yang dinamakan
sayur biasanya hanya dijadikan pelengkap, sebagai
tontonan. Tingkah lakunya memang seperti orang yang takut
kesepian, padahal didalam rumah tersedia ikan, daging
dan arak kelas satu, tapi dia lebih suka duduk nongkrong
dipinggir jalan sambil menikmati arak murahan.
Yang dia cari memang bukan arak atau hidangan,
dia sedang menikmati manusia yang ada disitu, hawa
dari manusia manusia itu.
Sepiring tahu kering, sepiring kuping babi, sepiring
babi sam-can, sepiring daging sapi asin, sepiring kacang
goreng. Lima macam hidangan sudah berjajar diatas meja,
cawan ada dua, poci arak pun ada dua.
Lo Kay-sian dan kakek Tan duduk saling berhadapan,
masing-masing ditemani sebuah cawan dan sepoci
arak. Dalam cawan penuh dengan arak, arak putih Sau-tocu.
"Sepoci arak didepan meja, hingga kapan mata baru
terpejam?" gumam Lo Kay-sian sambil meneguk
secawan arak. "Menginap diluar rumah, meja sebelah ditemani si
tukang arak," sambung kakek Tan sambil meneguk pula
secawan arak. Lo Kay-sian tertawa, sambil memandang ke tempat
kejauhan kembali gumamnya, "Orang kalau sudah tua,
biasanya jadi cerewet, banyak bicara, padahal mereka
bukannya bawel, yang benar mereka takut akan
kesepian."
Apa yang dia ucapkan memang kenyataan.
Orang tua kalau banyak omongnya, cerewet, bawel,
bukan berarti mereka itu suka bicara, mereka hanya
takut akan kesepian.
"Sepi" sebetulnya hanya sebuah kata yang amat
bersahaya, biasa, amat sederhana, tapi justru
merupakan sebuah kata yang sukar dipahami, susah
dicerna. Orang tua banyak bicara, karena mereka kuatir tidak
bisa bicara. Binatang yang selalu berisik pun karena mereka takut
akan kesepian. "Oleh sebab itu bila usia seseorang makin tua,
bicaranya pasti makin banyak, semakin bawel, bukan
begitu?" ujar kakek Tan.
"Betul, tepat sekali!"
"Padahal kebawelan mereka karena bicara menurut
pengalaman yang pernah dialaminya," kakek Tan
menghela napas.
"Tapi biasanya, generasi muda segan
mendengarkan, mereka segan menuruti nasehat orang
tua." "Itulah sebabnya di dunia ini orang tua dan orang
muda selalu dipisahkan oleh pandangan yang bertolak
belakang."
"Begitu sekarang, begitu juga seribu tahun
mendatang, bahkan mungkin sejuta tahun lagi pun
keadaan tidak akan jauh berbeda."
Gelak tertawa kedua orang itupun bergema
memecahkan keheningan, mengalun dari warung
bakmi lalu meluas ke empat penjuru. Belum putus gelak
tertawa kedua orang itu, tiba tiba diatas wajah mereka
terlintas semacam perubahan mimik muka yang sangat
aneh. ..... Terlepas perubahan mimik muka macam
apakah itu, yang pasti bukan mimik muka orang sedang
gembira. Dari balik kegelapan malam yang sepi bagaikan
liang kubur, tiba-tiba berkumandang irama lagu yang
dipetik dari rebab bersenar tiga, dentingan itu sedih,
rendah, berat dan datang dari kejauhan mengikuti
hembusan angin.
Dalam suasana, saat dan keadaan seperti ini,
dentingan lagu dari rebab bersenar tiga itu seolah
datang dari dalam neraka.
..... Kau pernah mendengar suara yang berasal dari
neraka" Lantas bagaimana pula suara yang datang dari
Nirwana" Belum pernah ada yang mendengar, belum
ada yang tahu. Dapat dipastikan, belum pernah ada yang
mendengar! Bila ada semacam suara sewaktu kau dengar dapat
membuat perasaan hatimu yang paling dalam terjadi
perubahan, balikan dapat membuat seluruh tubuhmu
seolah melebur dan menyatu dalam "irama musik" itu,
orang pasti akan menganggap suara tersebut sebagai
suara yang datang dari Nirwana.
Lo Kay-sian maupun kakek Tan tidak terlebur, mereka
sudah mabuk berat, mabuk didalam alunan musik yang
dipetik dari rebab bersenar tiga itu.
Irama rebab makin lama semakin bertambah dekat,
menyusul kemudian terdengar suara langkah kaki
seseorang. Biarpun lorong itu sempit, sebetulnya tidak terlalu
panjang, dari mulut lorong muncullah seorang kakek
yang membopong sebuah rebab bersenar tiga.
Semestinya dia memiliki perawakan tubuh yang
sangat tinggi, tapi sekarang sudah bongkok dan layu
seperti ebi kering, rambutnya telah beruban, wajahnya
penuh keriput, begitu banyak keriputnya hingga susah
dihitung satu per satu.
Dalam iklim sedingin ini, mau apa dia muncul di lorong
yang serba sempit ini" Mau jajan bakmi" Atau mau
menabuh rebab" Seandainya mau menabuh rebab,
mau didengarkan kepada siapa" Irama yang ditabuh
kelewat memedihkan hati, gampang membuat orang
merasa sedih, gampang membuat orang teringat
kembali kejadian masa lampau...
Lo Kay-sian berdua masih duduk dengan tenang,
mendengarkan dengan seksama.
Irama rebab bersenar tiga semakin sendu, seakan
akan muncul dari mulut seorang dayang yang sudah
lama hidup dalam lingkungan istana, seakan dia sedang
menuturkan seluruh suka duka yang dialaminya
sepanjang masa.
Walaupun dalam kehidupan ada masa masa
gembira, namun hanya sekejap mata semuanya telah
sirna, hanya kepedihan yang berlangsung langgeng,
mengapa kehidupan manusia sangat pendek"
Mengapa dari dulu hingga kini selalu ada manusia yang
berperan sebagai orang jahat"
Manusia mengapa harus berjuang" Mengapa harus
mengalami pelbagai penderitaan" Mengapa hanya
kematian yang bisa mendatangkan ketenteraman"
"Criiing, criiing...!" menyusul kemudian irama rebab
kembali berubah, kini dia mengisahkan tentang betapa
tenteramnya sebuah kematian, betapa indahnya alam
baka, semacam keindahan dan ketenteraman yang
tidak bisa diungkap melalui perkataan, hanya bisa
diutarakan melalui irama lagu.
..... Karena dia sendiri sebetulnya sudah mabuk di
dalam impian indah tentang "kematian".
Tangan malaikat elmaut seolah ikut membantunya
memetik ketiga senar rebab itu, membujuk orang agar
mau melepaskan semua beban, mau berangkat ke
alam kematian untuk mencari ketenteraman yang
abadi. Disana, bukan saja tiada penderitaan, juga tidak perlu
berjuang, tidak perlu bersaing dengan siapa pun. Di
sana tidak ada orang ingin membunuh orang lain, juga
tidak ada orang yang memaksa seseorang untuk pergi
membunuh orang lain.
Irama rebab semacam ini tidak disangkal merupakan
sebuah daya tarik yang susah ditentang, susah dilawan
oleh siapa pun.
Tangan kakek Tan mulai gemetar, pakaian yang
dikenakan mulai basah oleh keringat dingin.
..... Kalau toh kehidupan amat pahit dan penuh
penderitaan, mengapa harus hidup terus"
Malam semakin kelam, irama rebab terdengar
semakin menyayat hati.
Tiada harapan, tiada cahaya terang.
Irama rebab seakan sedang memanggil manggil,
kakek Tan seolah menyaksikan mendiang istrinya sedang
mengawasinya sambil tersenyum, memandangnya dari
"tempat sana".
Kemudian dia mulai menggapai.
Apakah dia sedang membujuk, agar ikut bersamanya
pergi menikmati ketenangan yang penuh keindahan
dan kedamaian itu"
Salju masih turun, irama rebab yang memilukan hati
seakan datang bersama hembusan angin yang
menderu. Irama lagu yang mengalun, persis seperti suara
sapaan, suara panggilan mesra dari orang yang
dicintainya, panggilan yang datang dari tempatjauh.
Dari lubuk hati Lo Kay-sian yang paling dalam mulai
tumbuh reaksi yang aneh, dia merasa seolah seluruh
tubuhnya sudah melebur dan menyatu dengan irama
rebab tersebut.
Janji janji kesetiaan, kejadian kejadian berdarah,
peristiwa pembunuhan, tiba-tiba berubah jadi amat
jauh... jauh sekali.
Lo Kay-sian merasa seluruh otot tubuhnya mengendor,
irama rebab telah menggiringnya menuju ke alam yang
lain, disana tidak ada hawa sesat, tidak ada golok, tidak
ada pembunuhan, tidak ada kekerasan, juga tidak ada
"sumpah setia".
Sorot mata Lo Kay-sian lambat laun memancarkan
cahaya yang membingungkan, sementara tubuhnya
makin lama makin bertambah kendor.
Tapi tangannya masih menggenggam cawan arak,
menggenggamnya kuat kuat. Saking kuatnya menekan,
ibu jarinya telah berubah jadi putih memucat.
Salju turun semakin lebat, irama rebab melantun
makin memilukan hati. Seluruh tubuh kakek Tan sudah
tergeletak lemas, sementara jari tangan Lo Kay-sian
bertambah pucat, bahkan kini mulai gemetar keras.
Mendadak cawan yang digenggam Lo Kay-sian
diayunkan ke udara dan meluncur lewat...
Irama rebab seketika terhenti, senar rebab tiba tiba
putus. Mengapa dia harus melempar cawan untuk
memutuskan tali senar rebab"
Kakek pemetik rebab mendongakkan kepalanya,
mengawasinya dengan pandangan terkesiap.
Begitu irama rebab terhenti, Lo Kay-sian merasa
seluruh tubuhnya seakan terbebas dari belenggu,
keringat dingin masih membasahi jidatnya, wajah yang
pucat pasi kelihatan bagaikan pualam putih ditengah
kegelapan. "Biarpun irama rebabku tidak berkenan dalam
pendengaran anda, ketiga senar itu tidak bersalah,
mengapa kau harus memutusnya?" tegur kakek pemetik
rebab gusar, "Kenapa kau tidak langsung saja
memecah batok kepalaku?"
"Tiga senar tidak bersalah, manusia pun tidak
bersalah," jawab Lo Kay-sian hambar, "Daripada aku
mati, lebih baik senar yang putus."
"Aku tidak mengerti!"
"Kau pasti mengerti, tapi rasanya memang ada
banyak hal yang tidak kau pahami."
Setelah memandang kakek pemetik rebab itu
sekejap, lanjutnya, "Boleh saja kau memberitakan
betapa pendeknya kehidupan manusia, kau boleh
mengajarkan bahwa pada akhirnya manusia bakal
mati, tapi tahukah kau bahwa kematian pun ada
banyak ragamnya."
... Mati ada yang enteng bagai bulu angsa, ada pula
yang berat bagai bukit Thay-san.
"Karena seseorang telah dilahirkan di dunia ini,
sekalipun harus mati, diapun mesti mati dengan
membawa sebuah keberhasilan yang luar biasa,
dengan begitu dia baru bisa mati dengan perasaan
tenang," ucap Lo Kay-sian.
.....Arti yang sesungguhnya dari kehidupan adalah
berjuang terus, asal kau sudah memahami akan makna
ini maka mustahil kehidupanmu tanpa arti.
Kepedihan yang dialami umat manusia, pada
dasarnya merupakan pekerjaan rumah yang harus
diperjuangkan setiap orang untuk mengendalikan dan
mengatasinya. Seluruh tubuh kakek penabuh rebab itu sudah dilapisi
bunga salju, perlahan-lahan ia berjalan menuju ke
warung bakmi, menilik dari raut mukanya yang murung
dapat diketahui betapa sedih dan menderitanya kakek
ini. "Aku hidup hanya untuk menderita," katanya dengan
suara yang kedengaran amat sendu.
"Kalau begitu berusahalah untuk melakukan suatu
pekerjaan yang bermanfaat, dengan melakukan hal itu
maka penderitaanmu akan berkurang, jika tidak kau
lakukan, biar sudah matipun kau tetap akan menderita,"
kata Lo Kay-sian, "Mati bukan berarti bisa menyelesaikan


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semua persoalan, hanya orang bodoh lemah yang tidak
sanggup menghadapi tekanan akan menyelesaikan
persoalannya dengan sebuah kematian."
"Tapi penderitaanku hanya bisa diselesaikan dengan
kematian!" kata kakek penabuh rebab.
"Kenapa?"
"Karena aku..." ucapan kakek itu makin lama makin
bertambah lirih.
Lo Kay-sian sama sekali tidak mendengar apa yang
sedang dia katakan, maka tegurnya, "Hey, kau bicara
apa" Keras sedikit suara mu."
Biarpun bibirnya bergetar namun tidak kedengaran
jelas apa yang sedang diucapkan kakek penabuh
rebab itu, kepalanya makin tertunduk rendah, seolah ia
sedang menahan penderitaan yang luar biasa.
"Bicaralah lebih keras!"
Lo Kay-sian pingin tahu kenapa orang itu harus
menggunakan kematian untuk meng-atasi
penderitaannya, maka terpaksa dia maju lebih
mendekat, menempelkan wajahnya dekat bibir kakek
itu. Kembali teriaknya, "Mengapa hanya kematian yang
bisa membebaskan penderitaanmu?"
"Sebab..." tiba-tiba kakek itu mendongakkan kembali
kepalanya dan tertawa, "Sebab jika kau tidak mati,
akulah yang harus mampus."
Belum selesai perkataan itu diucapkan, kakek
penabuh rebab telah menggunakan rebab bersenar
tiga nya untuk mencekik tengkuk Lo Kay-sian. Perubahan
ini terjadi mendadak dan sama sekali diluar dugaan,
kakek Tan jadi ketakutan setengah mati.
Lo Kay-sian dengan menggunakan sepasang
tangannya berusaha menyingkirkan senar rebab dari
atas tengkuknya, tapi kakek itu menjepit dan
menekannya semakin kuat.
Paras muka Lo Kay-sian telah berusah jadi merah
padam, merah karena kehabisan napas.
Buru buru ia menjejakkan kakinya sambil menekuk
pinggang, dengan sepenuh tenaga dia membalik
badannya melalui samping kepala kakek itu. Begitu
melayang turun ke sisi lain, senar rebab yang melilit
tengkuknya pun ikut mengendor dan terlepas.
Baru saja Lo Kay-sian ingin meraba tengkuknya yang
sakit, kakek tersebut kembali melancarkan serangan
dengan senar senar rebabnya, hanya kali ini dia tidak
mencekik melainkan menusuk dengan senarnya yang
telah menegang bagai paku baja.
Tusukan demi tusukan dilancarkan secara berantai,
dalam waktu singkat dia telah melancarkan lima kali
lima, dua puluh lima buah tusukan ke arah tenggorokan
lawan. Nyaris sulit bagi Lo Kay-sian untuk meloloskan diri dari
serangkaian serangan berantai itu, masih untung dalam
warung bakmi itu berjajar banyak sekali meja dan
bangku yang bisa digunakan untuk menangkis.
Ketika selesai melancarkan tusukan yang kedua puluh
lima, mendadak kakek itu menghentikan serangannya,
mengawasi Lo Kay-sian dengan tenang.
"Bagus, bagus sekali, tidak malu disebut orang
Pendekar kerinduan!" pujinya.
Lo Kay-sian melengak, ditatapnya kakek itu dengan
penuh ragu. "Sri.. .siapa kau?" tegurnya.
Kakek penabuh rebab itu tertawa terbahak-bahak.
"Sebelum malam ini, tidak seorangpun mengenali
aku, mulai besok pagi, orang akan membicarakan
tentang aku," sahutnya.
"Jadi kau khusus datang untuk membunuhku?"
"Betul!" kata kakek itu lagi sambil tertawa, "Kau
adalah rencana pertamaku dari dua belas rencana lain
yang tersisa."
"Kau ada tiga belas rencana" Apa saja ketiga belas
rencana mu itu?"
"Setibanya didepan raja akhirat, dia pasti akan
beritahu kepadamu."
"Baiklah," kata Lo Kay-sian kemudian sambil tertawa,
"Setibanya disana, aku pasti tidak lupa untuk bertanya."
"Sebelum kau mati, akan kuperlihatkan semacam
barang kepadamu."
Dari punggungnya kakek penabuh rebab itu
melepaskan sebuah buntalan. Ternyata di belakang
punggungnya terikat sebuah bungkusan, tadi Lo Kaysian
tidak memperhatikan oleh sebab itu dia tidak
melihatnya. Buntalan itu diletidakkan diatas meja, dengan
senyuman penuh arti perlahan-lahan kakek itu
membuka buntalan tersebut.
"Kujamin setelah menyaksikan benda itu bukan saja
kau tidak akan percaya, bahkan pasti akan terperanjat
setengah mati!" katanya.
"Aku sudah hidup lima-enam puluh tahunan, kalau
mesti terperanjat, mungkin yang bisa membuatku
terperanjat sudah habis."
"Benarkah begitu?"
Akhirnya si kakek membuka buntalan itu, dia
mengambil sesuatu benda dari balik buntalan lalu
mengangkat wajahnya menatap Lo Kay-sian. Perlahan
tangannya diangkat ke udara, sekilas cahaya berkilat
segera meluncur menyusul gerakannya itu.
Tiba-tiba saja Lo Kay-sian berdiri terpaku. Disaat
tangan si kakek meninggalkan buntalan tadi, dia sudah
melihat dengan jelas benda apakah itu, tapi dia masih
berharap matanya yang kabur hingga salah melihat,
menunggu tangan kakek itu sudah terangkat
seluruhnya, mau tidak mau dia harus percaya bahwa
pandangannya tidak keliru, itulah sebabnya dia berdiri
terpaku, terperangah!
Mustahil, bagaimana mungkin benda tersebut bisa
berada ditangannya"
Lo Kay-sian membelalakkan matanya semakin lebar,
dia ingin melihat benda itu dengan lebih seksama.
Ternyata tidak salah.
Dengan perasaan tidak percaya Lo Kay-sian
gelengkan kepalanya berulang kali, gumamnya, "Mana
mungkin" Mana mungkin?"
"Inilah salah satu peralatan utama yang akan
membantuku menyelesaikan ketiga belas rencanaku,"
kata kakek penabuh rebab itu sambil tertawa bangga.
Sebenarnya benda apa yang telah diperlihatkan
kakek penabuh rebab itu hingga membuat Lo Kay-sian
terperangah" Benda apa lagi di kolong langit yang bisa
membuatnya terkejut, keheranan dan tidak percaya"
Sebenarnya bukan suatu benda istimewa yang
berada dalam genggaman kakek penabuh rebab itu,
dia hanya menggenggam sebilah senjata. Sejenis
senjata yang bentuknya agak aneh dan lain daripada
bentuk senjata pada umumnya.
Sebilah senjata yang golok tidak mirip golok, pedang
tidak mirip pedang, meskipun ujungnya melengkung
bagai kaitan namun jelas bukan senjata yang
digunakan untuk menggaet sesuatu.
Lo Kay-sian menatap senjata aneh itu tanpa berkedip,
dengan suara yang gemetar bisiknya, "Kait
perpisahan...!"
BAGIAN - 3 Salah" Salah" Salah"
BAB 1. Kakek penabuh rebab bersenar tiga.
"Kakek penabuh rebab bersenar tiga?"
Ketika Cong Hoa mendengar nama tersebut, Lo Kaysian
sudah mati selama tiga hari.
Sekarang Cong Hoa berdiri disamping tubuh Lo Kaysian.
Tubuh Lo Kay-sian berbaring dalam ruang
"kedamaian" yang ada di pesanggrahan pengobatan
Coan-sin-ie-khek.
Dua batang hio ditancapkan didepan kakinya, asap
tipis mengepul tidak berdaya di udara.
Dengan termangu mangu Cong Hoa berdiri didepan
altar panjang dimana tubuh Lo Kay-sian berbaring,
sudah hampir setengah jam dia berdiri dalam posisi
begitu, garis darah sudah muncul dalam kelopak
matanya, air mata pun sudah hampir tidak terbendung
lagi. Bibirnya sudah penuh noda darah, darah yang
muncul dari luka bekas gigitan sendiri
.....Bukankah menyiksa diri termasuk salah satu cara
untuk melampiaskan kekesalan sendiri"
Lo Kay-sian merupakan korban kedua yang harus
"berpisah" dari sisinya.
Orang pertama adalah Cong Hui-miat, kendatipun
hingga kini dia belum tahu bagaimana nasibnya.
Orang kedua adalah Lo Kay-sian, kendatipun sewaktu
kejadian dia tidak hadir disampingnya, tapi secara moral
dia merasa turut bertanggung jawab. Paling tidak
senjata kait perpisahan direbut musuh dari tangannya.
Bila dia tidak kehilangan senjata kait perpisahan, tidak
mungkin kakek pemetik rebab bisa memaksa Lo Kay-sian
"berpisah dari dunia" dengan senjata kaitan tersebut.
Apa pun yang terjadi, dia akan menagih hutang ini
kepada perkumpulan Cing Liong Hwee.
Tapi sayang para pemimpin perkumpulan Cing Liong
Hwee seperti orang yang punya hutang bermilyar-milyar
tahil banyaknya, sampai hari ini tidak seorangpun berani
tampil didepan umum.
Dengan termangu Cong Hoa mengawasi sepasang
mata Lo Kay-sian yang terpejam rapat.
Mungkin ada seseorang yang bisa membantunya
menemukan Cing Liong Hwee, paling tidak orang itu
masih ada sedikit hubungan dengan organisasi rahasia
itu. Cong Hoa memutuskan akan berhadapan
dengannya, dia tidak akan menghindari dirinya lagi.
Cepat atau lambat bakal berjumpa, mengapa dia
harus selalu menghindar"
"Menghindar" bukan sebuah penyelesaian yang
bijaksana. Bunga bwee yang menghiasi kamar tidur Nyoo Cing
meski sudah ditaruh berapa hari, bunga-bunga itu
tampak masih segar dan indah.
Hingga kini Nyoo Cing masih berbaring diatas
pembaringan, dia belum mampu turun dari ranjang,
namun dibandingkan berapa hari berselang, paras
mukanya tampak jauh lebih segar, jauh lebih bertenaga.
Kini, dia sedang mengawasi wajah Cong Hoa dengan
sorot mata yang penuh semangat.
"Sudah berapa lama kita tidak bertemu?"
"Yaa, masih tersisa lima hari lagi."
Hari ini adalah bulan sepuluh tanggal tujuh, dari batas
waktu lima belas hari masih ada sisa lima hari.
"Kelihatannya daya ingatmu sangat bagus!" puji
Nyoo Cing sambil tertawa getir.
"Mau tidak mau terpaksa harus kuingat terus secara
baik," sahut Cong Hoa, "Orang itu kupinjam dari
tanganmu, aku pula yang menyanggupi batas waktu
lima belas hari."
"Kalau toh sudah kau setujui, sekarang pun masih ada
sisa waktu lima hari, buat apa kau datang lebih awal?"
"Tidak mungkin lagi bagiku untuk tidak dating!"
"Kenapa?"
"Aku tidak pingin jadi kura-kura yang selalu
sembunyikan kepalanya, orang memang hilang
ditanganku, kait perpisahan pun direbut orang dari
tanganku."
Setelah menatap tajam wajah Nyoo Cing, lanjutnya,
"Sekarang terserah keputusanmu!"
"Biarpun tinggal lima hari, lima hari adalah waktu
yang cukup lama, banyak pekerjaan yang masih bisa
dilakukan," sahut Nyoo Cing sambil membuang
pandangan matanya ke tempat kejauhan.
Nun jauh disana, terlihat ada segumpal awan sedang
bergerak pelan.
"Tentang senjata kait perpisahan, aku sama sekali
tidak menyalahkan dirimu," kembali Nyoo Cing
menambahkan, "Perkumpulan Cing Liong Hwee
memang bersumpah akan mendapatkan senjata
tersebut, walau dengan cara apa pun, bila orang lain
yang pergi mengambil, mungkin hasilnya jauh lebih
parah ketimbang kau."
Reaksi yang diperlihatkan Nyoo Cing sama sekali
diluar dugaan Cong Hoa.
Melepaskan narapidana kelas satu merupakan dosa
yang bisa diancam dengan hukuman penggal kepala,
tapi Nyoo Cing seolah tidak acuh.
Kehilangan senjata kait perpisahan pun dia anggap
seperti seorang pendekar pedang yang terpapas kutung
sebuah jari tangannya, biar tidak bisa menggunakan
senjata lagi seumur hidup, namun Nyoo Cing tetap tidak
acuh. Dengan sinar mata tidak percaya Cong Hoa
memandang Nyoo Cing, dia seakan sedang
memandang seekor dinosaurus yang aneh dan langka.
"Sebetulnya kau ini manusia atau bukan?" tanya
Cong Hoa. Nyoo Cing tertawa, berpaling, dengan pandangan
penuh senyuman ditatapnya wajah Cong Hoa, "Kau
heran mengapa reaksiku sama sekali berbeda dari
orang lain?"
"Bukan hanya berbeda, pada hakekatnya reaksimu
bukan reaksi normal dari seorang manusia."
"Lantas apa yang harus kuperbuat hingga memenuhi
kriteria pandanganmu" Apakah menangkapmu"


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menjebloskan kau ke dalam penjara?"
"Paling tidak kau mesti bertanya kepadaku, kemana
larinya Cong Hui-miat, siapa yang telah merebut Kait
perpisahan."
"Tidak perlu!"
"Apa artinya tidak perlu?"
"Tidak perlu artinya aku percaya kepadamu."
"Percaya kepadaku?" tanya Cong Hoa, "Apa yang
dipercayanya?"
"Percaya kau pasti dapat memberi hasil akhir yang
sangat memuaskan," ujar Nyoo Cing sambil tertawa,
"Dengan tabiatmu, sifatmu dan cara kerjamu,
memangnya kau akan biarkan semua kejadian berlalu
dengan begitu saja?"
"Tidak mungkin! Aku bersumpah akan memenggal
kepala naga hijau busuk itu dan memasaknya jadi
kaldu." "Nah, itulah dia! Kalau begitu, cepatl laksanakan!"
"Sayang kepala naga itu tidak ubahnya seperti kurakura,
sepanjang hari hanya menyembunyikan kepalanya
dalam kerangka."
"Konon, jika ingin memaksa si kura-kura
memperlihatkan kepalanya, kau mesti membe-tot
ekornya." "Aku pun tidak berhasil menemukan ekornya," kata
Cong Hoa, "Tidak menemukan ekornya, mana mungkin
bisa dibetot?"
Nyoo Cing tidak menjawab, kembali dia mengalihkan
pandangan matanya keluar jendela. Di halaman luar
ruangannya terlihat ada banyak pasien sedang berjalan
jalan. "Musuh terbesar bagi umat manusia adalah diri
sendiri," ujar Nyoo Cing, "Tapi musuh yang paling
menakutkan adalah sahabat."
Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan lagi
dengan hambar, "Tapi ada sejenis musuh yang paling
menyedihkan dan paling membuat kita tidak berdaya."
"Musuh macam apa itu?"
"Mata-mata."
"Mata-mata?"
"Betul!" kata Nyoo Cing, "Untuk menjadi seorang
mata-mata yang sukses maka syarat pertama adalah
menghilangkan identitas sendiri. Itu berarti kau harus
mengorbankan semua persoalan yang paling bisa
membuat kau bahagia, terkadang kaupun harus bisa
menerima segala macam penghinaan, siksaan dan
cemoohan yang tidak terbayangkan sekalipun, ada
kalanya untuk menyukseskan sebuah tugas, diapun tidak
segan menghabisi nyawa orang yang paling dikasihi."
Kembali Nyoo Cing berhenti, ditatapnya wajah Cong
Hoa lekat lekat, kemudian melanjutkan, "Tahukah kau
mata-mata mana yang selama ini paling mengenaskan
hidupnya?"
"See Si?"
"Betul, dan tahu mata-mata mana yang paling sukses
menjalankan misinya?"
"Siapa?"
"See Si!"
"Dia juga?"
"Benar," ujar Nyoo Cing, "Demi membantu Kou Jian
membangun kembali negerinya, Huan Tay-hu tidak
segan mengirim wanita kesayangannya, See Si menjadi
seorang mata-mata, demi cinta See Si menjalankan
misinya, tahukah kau betapa tersiksa dan menderitanya
penghidupan wanita itu?"
"Aku dapat menyelami penderitaannya."
"Akhirnya Kou Jian berhasil membangun kembali
negerinya, sebenarnya See Si ingin bunuh diri, tapi demi
menenteramkan perasaan hatinya Huan Tay-hu tidak
segan melepaskan jabatannya dengan membawa
wanita itu hidup menyepi di desa kelahirannya."
"Oleh sebab itu See si menjadi mata-mata yang
paling mengenaskan hidupnya, tapi paling berhasil
menjalankan misinya"' kata Cong Hoa.
"Benar."
Sekali lagi Cong Hoa menatap Nyoo Cing.
"Secara tiba-tiba kau menyinggung soal mata-mata,
apakah..."
Nyoo Cing menggoyangkan tangannya mencegah
gadis itu bicara lebih lanjut, dari atas pot bunga
diambilnya sebatang bunga bwee kemudian
ditatapnya dengan termangu.
"Konon bunga sakura yang tumbuh di negeri Husiang,
juga berbunga di musim dingin," kata Nyoo Cing,
"Sekarang adalah musim dingin, sudah pasti bunga
sakura pun sedang mekar-mekarnya."
"Bunga sakura" Negeri Hu-siang (Jepang)?"
Cong Hoa seakan teringat akan sesuatu, berbinar
sepasang matanya, ia nampak sangat gembira.
"Betul, bunga sakura memang berkem-bang di saat
musim salju!" serunya.
Dengan penuh kepuasan Nyoo Cing menatap wajah
gadis itu, katanya, "Asal bunga sakura dari negeri Husiang
dikirim kemari, belum tentu tidak akan berbunga."
Perawakan tubuhnya setinggi enam kaki delapan inci,
kurus kering bagai tongkat bambu, tidak heran kalau
orang menyebutnya Ui si bambu ceking.
Tahun ini berusia tiga puluh delapan tahun, bermarga
Ui bernama Ceng-piau. Dia berada di urutan pertama
sebagai lotoa, dirumah masih punya dua orang adik,
seorang cici dan seorang moay-moay.
Wataknya suka mencari keuntungan kecil, sikapnya
terhadap khalayak ramai terhitung "cukup ramah.".
Bininya dari marga "Hie", terhitung seorang wanita
cantik. Hanya sayang sejak kecil tubuhnya lemah dan
penyakitan, tidak tahan terhadap hembusan angin,
tidak kuat dengan teriknya matahari.
Ilmu silatnya bersumber dari Siau-lim-pay, beragam,
sayang tidak cukup matang.
Resminya dia adalah seorang tauke sebuah toko
kelontong, diapun termasuk "mata-mata" dari Nyoo
Cing dengan kode panggilan "Tiong-ie".
Dalam daftar tiga belas rencana:
Kode panggilan: "Tiong-ie"
Nama dalam daftar perencanaan: Ui Ceng-piau.
Julukan: Ui si bambu ceking. Usia: 38 tahun.
Pekerjaan: tauke toko kelontong.
Ilmu silat: aliran Siau-lim-pay.
Ilmu andalan: ilmu toya Ciang-mo-kun dari Siau-lim.
Batas waktu: 30 hari.
Yang perlu diwaspadai: bini.
Alasan: menjadi mata-mata Nyoo Cing dengan kode
rahasia Tiong-gi.
"Tauke, siapkan dua kati telur!" teriak enso Cho yang
ada dirumah tetanggal memang keras lagi nyaring.
"Segera!" jawab Ui Ceng-piau cepat, "Delapan belas
butir telur, persis dua kati!"
Setelah menerima pembayaran, sembari tertawa
kembali Ui Ceng-piau bertanya, "Enso Cho, memangnya
lagi cia-po (makan bergizi tinggi)?"
"Tidaklah!" enso Cho tertawa cekikikan, "Suamiku
senang makan telur, lagi pula menurut tabib banyak
makan telur bisa menambah tenaga kelakiannya!"
"Waah, kalau engkoh banyak makan telur dan
napsunya tambah kuat, enso Cho yang paling senang!"
"Aaah, salah kau!" goyangan pinggul dan pantat
enso Cho bertambah keras.
Ui Ceng-piau mengawasi goyangan pantat orang
hingga lenyap dari pandangan, kemudian baru
bergumam sambil tertawa getir, "Waah, biar sudah tua,
kelihatannya malah bertambah joss!"
Ui Ceng-piau gelengkan kepalanya berulang kali,
belum lagi memutar tubuh, tiba-tiba matanya
menangkap bayangan seorang kakek sedang berjalan
mendekat dari ujung jalan sana.
Seorang kakek yang seharusnya memiliki perawakan
tubuh yang sangat tinggi, namun karena dimakan usia,
sekarang sudah bongkok dan berkeriput hingga mirip
ebi kering, rambutnya sudah beruban dan wajahnya
penuh keriput. Yang paling mencolok adalah sebuah rebab
bersenar tiga yang berada dalam bopongannya.
Caranya berjalan pun sangat istimewa, mula-mula
kaki kanannya melangkah duluan kemudian kaki kirinya
baru perlahan-lahan menyusul ke muka.
Kakek itu berjalan sangat lambat, tapi anehnya
hanya sekejap kemudian ia sudah tiba di muka pintu
toko kelontong. Sepasang matanya yang sayu
mengawasi Ui Ceng-piau beberapa kejap.
"Lo-sianseng, kau ingin membeli apa?" sapa Ui Cengpiau
sambil tertawa, "Persediaan barang kami lengkap,
silahkan memilih sesuai dengan yang dibutuhkan."
"Aku datang untuk membunuhmu!" ujar si kakek
dengan suara yang lirih tidak bertenaga.
Mula-mula Ui Ceng-piau terperangah, menyusul
kemudian dia tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha... Losianseng memang senang bergurau!"
katanya. Kakek itu menggeleng, ujarnya lagi sambil menghela
napas, "Heran, kenapa setiap kali aku berbicara, orang
selalu tidak mau percaya."
Dari punggungnya kakek itu melepaskan sebuah
buntalan kemudian perlahan-lahan membukanya.
"Bukankah kau bernama Ui Ceng-piau?" tanyanya
kemudian. "Benar!" jawab Ui Ceng-piau sambil tertawa, namun
diam-diam dia sudah mening-katkan kewaspadaannya.
"Bukankah kode rahasiamu Tiong-Ie?"
Senyuman diwajah Ui Ceng-piau kontan membeku,
diawasinya kakek itu dari atas hingga ke bawah.
"Kau adalah Cuang?"
"Aku?" kembali kakek itu tertawa, "Aku tidak lebih
hanya seorang kakek pemetik rebab bersenar tiga."
"Kakek pemetik rebab bersenar tiga?" Ui Ceng-piau
mulai terkesiap, "Jadi kaulah orangnya?"
"Sekarang sudah percaya bukan kalau
kedatanganku untuk membunuhmu?" akhirnya kakek itu
membuka buntalannya.
"Siapa disitu" Ditengah hari bolong sudah ribut mau
membunuh?" seorang perempuan kecil mungil
berwajah cantik menyingkap tirai pintu dan berjalan
keluar. Kemudian sambil menggapai bahu Ui Ceng-piau,
lanjutnya, "Ceng-Piau, keluarga mana yang mau bunuh
ayam untuk cia-po?" kelihatannya dia masih belum
sadar kalau ada gelagat tidak beres, malah sambil
picingkan matanya dan tertawa kembali
menambahkan, "Apakah lo sianseng ini?"
"Enso cilik, aku memang ingin potong ayam untuk ciapo,
tapi nanti, setelah selesai membunuh suamimu,"
jawab si kakek sambil picingkan pula matanya.
Ketika mendengar separuh perkataannya yang
diatas, perempuan itu masih tertawa, tapi begitu selesai
mendengar semua ucapannya, paras muka perempuan
itu telah berubah jadi pucat pias.
"Ceng.... piau, dia... dia... apakah dia... sedang
bergurau?" nada suaranya mulai kedengaran agak
gemetar, gemetar lantaran takut.
"Masuklah dulu, sebentar semua akan beres," bujuk
Ui Ceng-piau. "Baik.... baiklah....."
Dengan tubuh gemetar perlahan-lahan dia mundur
ke belakang, mungkin saking takutnya, kakinyajadi
lemas dan nyaris jatuh tertelungkup, terpaksa dia berdiri
bersandar dimeja sambil mengawasi kakek itu dengan
pandangan penuh ketakutan.
Ui Ceng-piau mengawasi terus buntalan itu tanpa
berkedip, apakah isi buntalan itu adalah kait perpisahan
yang amat menakutkan" Bila senjata ini berada
ditangan Nyoo Cing, mungkin saja semua
kehebatannya akan terpancar keluar, tapi sekarang
benda itu berada ditangan orang lain, apakah dia pun
bisa mengerahkan seluruh kehebatannya"
Diam diam ia mengambil keputusan, terlepas bakal
selamat atau mati, dia ingin menjajal kekuatannya.
Maka diam diam dia menghimpun tenaga dalamnya
dan disalurkan ke ujung jari tangan, dalam waktu singkat
ujung jari itu berubah jadi merah tua.
Kepandaian silat yang paling diandalkan Ui Cengpiau
memang ilmu cakar elang dari Hway-lam.
Orang persilatan tahunya dia mempelajari ilmu toya
penakluk iblis dari Siau-lim-pay, padahal ilmu tersebut
baru dipelajari selama berapa tahun terakhir.
Kepandaian yang sangat diandalkan olehnya adalah
ilmu Eng-jiau-kang, ilmu cakar elang yang maha sakti.
Cakar elang selalu mencengkeram mangsanya
secara jitu, cepat, tepat dan telengas.
Akhirnya kakek itu mencabut keluar kait perpisahan,
kening Ui Ceng-piau pun berkerut makin kencang.
"Inilah kait perpisahan!" kata kakek itu.
"Aku tahu."
"Sekali kait langsung berpisah, sebetulnya untuk
bersua," kata kakek itu lagi dengan suara hambar,
"Meskipun kau bakal berpisah dengan dunia ini, tapi
dengan cepat akan bersua lagi dengan rekan-rekan
lamamu yang sudah berada di alam baka, bukankah
kejadian semacam ini amat menggembirakan hati?"
Ui Ceng-piau tidak bicara lagi, tiba tiba sepasang
tangannya diayunkan ke muka, kiri kanan saling
mendukung melancarkan segulung cakar maut yang


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerikan. Lingkaran cakar yang terbentuk dari kecil makin
mengembang lebar, gulung demi gulung menghimpit
tubuh kakek itu.
Si kakek sama sekali tidak bergerak. Mendadak gaya
serangan Ui Ceng-piau kembali berubah, berubah jadi
amat sederhana. Cakar yang sederhana, langsung
mencekik ke leher kakek itu.
Kembali si kakek tidak bergerak, Cuma senjata kait
perpisahan yang berada dalam genggamannya mulai
beraksi. Begitu kait perpisahan menyambar, lagi-lagi sebuah
perpisahan telah terjadi.
Tiba-tiba percikan darah segar menyembur
membasahi wajah kakek itu, kemudian bagaikan
bunga salju berhamburan ke mana-mana. Sebuah
telapak tangan telah rontok ke tanah, tangan dengan
jari berwarna merah tua.
Tangan kiri Ui Ceng-piau memegangi lengan
kanannya yang masih menyemburkan darah segar,
wajahnya tampak sangsi, dia masih tidak percaya kalau
lengan kanannya telah "berpisah".
Dengan cepat dia mendongakkan kepalanya,
menanti kepalanya terangkat, tiba-tiba dia pun dapat
menyaksikan tengkuk sendiri.
Aneh! Bagaimana mungkin seseorang dapat
menyaksikan bentuk dari tengkuk sendiri" Bukan saja Ui
Ceng-piau dapat menyaksikan tengkuk sendiri, diapun
sempat menyaksikan semburan darah yang memancar
keluar dari tengkuknya itu, kemudian diapun sempat
mendengar jeritan ngeri dari bininya, setelah itu dia tidak
dapat melihat apa-apa lagi, tidak bisa mendengar apaapa
lagi. Kakek itu mengeluarkan selembar saputangan
berwarna putih, perlahan-lahan dia menggosok kait
perpisahan sementara sepasang matanya mengawasi
perempuan di belakang meja tanpa berkedip.
"Sekarang aku sudah siap cia-po," katanya dengan
mata setengah terpicing.
Dengan tubuh gemetar perempuan itu bangkit
berdiri, tubuhnya menggigil keras.
"Aaaaii," kembali kakek itu menghela napas panjang,
"Mestinya, orang seusia ku sudah tidak pantas
melakukan perbuatan semacam ini."
Ditatapnya perempuan itu lekat-lekat, kemudian
tambahnya, "Tapi kecantikanmu benar-benar membuat
aku tidak tahan, kalau tidak kulakukan, rasanya aku
tidak bisa memaafkan diriku sendiri."
Dia simpan kembali senjata kait perpisahan, lalu
dengan wajah kesemsem selangkah demi selangkah
maju menghampiri.
Tampaknya perempuan itu semakin ketakutan,
terdengar dia sedang bergumam, "Satu, dua, tiga......."
Begitu angka ketiga disebut, tiba-tiba kakek itu
menghentikan langkahnya, kening berkerut kencang,
paras mukanya mendadak berubah jadi amat tidak
sedap. Sepasang matanya masih mengawasi perempuan itu
tanpa berkedip.
"Kau..."
Perempuan itu tertawa. Rasa ketakutan, tubuhnya
yang tadi menggigil, tiba-tiba hilang lenyap tidak
berbekas, dengan penuh daya pikat dia bangkit berdiri.
"Tampaknya kau lupa kalau aku bermarga Hie!"
ujarnya merdu. "Hie?" mendadak pancaran sinar ngeri melintas
diwajah kakek itu, "Hie Bijin (perempuan cantik), Hie Bojin
(tidak ada manusia)..?"
"Tepat sekali!" suara tertawa perempuan itu makin
memikat, "Hie Bo-jin..."
"Atasan telah mengingatkan agar aku lebih berhati
hati terhadapmu, aku... rupanya aku telah memandang
ringan kemampuanmu," kata kakek itu kemudian, "Tidak
kusangka ternyata kau adalah putri dari si ratu racun Hie
Ciu-si, ternyata kau adalah Hie Bwee-jin!"
"Belum pernah ada orang yang mampu meloloskan
diri dari racunku," kembali Hie Bwee-jin berkata,
"Sekalipun lotoa dari Cing Liong Hwee dating!"
Dia tertawa makin keras, tertawa makin gembira. Si
kakek sudah kesakitan hingga sepasang kakinya
mengejang keras, perlahan-lahan tubuhnya berjongkok
ke bawah, rasa menyesal, benci, dendam terpancar
dari balik matanya.
Disaat rasa bencinya makin menebal itulah,
mendadak dari balik toko kelontong menyembur keluar
selapis kabut yang sangat tebal.
Dengan cepat kabut itu menyelimuti kakek pemetik
rebab bersenar tiga, menyelimuti juga Hie Bwee-jin.
Kabut itu muncul secara tiba-tiba, buyar pun secara
tiba-tiba. "Aneh benar kabut ini," terdengar Hie Bwee-jin
bergumam keheranan, "Muncul secara tiba-tiba,
hilangpun secara mendadak."
"Kau merasa heran?"
Si kakek yang semula sudah keracunan hingga
terjongkok, mendadak bangkit berdiri lagi, semua rasa
sakit dan tersiksa yang terpancar diwajahnya kini hilang
lenyap tidak berbekas, seolah lenyap bersama
berlalunya gumpalan kabut itu.
"Racun dari si Ratu racun memang susah dihadapi,"
kata si kakek lagi sambil tertawa, "Aaai! Sayangnya,
walaupun ada orang pandai melepaskan racun, tapi
ada pula yang pandai memunahkannya."
Diawasinya perempuan itu dengan senyuman
mengejek, lanjutnya, "Ada sementara orang, bukan saja
pandai memunahkan racun, diapun sanggup
melepaskan racun, percaya kau?"
Hie Bwee-jin tidak menjawab, peluh sebesar kacang
kedele membasahi jidatnya, paras mukanya pun lambat
laun berubah jadi menghitam.
"Orang yang barusan memunahkan racunku tidak
lain adalah liong-tau (ketua) dari Cing Liong Hwee!"
kembali kakek itu berkata, "Dia juga yang telah
meracunimu!"
Seluruh tubuh Hie Bwee-jin telah berubah jadi hitam,
namun sepasang matanya justru bersinar terang.
Seterang batu kristal!
Angin dingin berhembus lewat menggoyang kuntum
bunga diatas ranting. Bunga bergerak, bunga pun
berguguran. Ketika bunga mulai berguguran, bunga pun
akan tumbuh kembali.
Siau-tiap perlahan-lahan bangkit berdiri, dengan
tangannya yang lembut dia petik sebatang bunga.
Bunga bwee. Siau-tiap kelihatan sangat riang, seriang kupu-kupu
yang beterbangan mengelilingi bunga, persoalan yang
selama dua puluh tahun membuat pusing para
pemimpin Cing Liong Hwee, akhirnya berhasil dia
selesaikan secara sukses.
Jelas keberhasilannya merupakan sebuah pahala
besar, bagaimana mungkin dia tidak merasa gembira"
Cong Hoa pun sangat gembira, bagaimana tidak"
Begitu memasuki kebun bunga Soat-lu, dia sudah
menyaksikan orang yang sedang dicarinya... Siau-tiap.
Dengan wajah penuh senyuman dia berdiri di depan
pintu "Soat-lu", mengawasi terus gerak-gerik Siau-tiap,
rasa tercengang bercam-pur kagum terlintas
diwajahnya. Kecantikan Siau-tiap sungguh diluar dugaannya.
Kecantikan wajah Siau-tiap ibarat sekuntum bunga...
bunga... aaah betul! Ibarat sekuntum bunga sakura.
Selembut, seindah dan sehalus bunga sakura.
Hari ini dia mengenakan setelan baju berwarna
kuning dengan sebuah ikat pinggang berwarna merah
menyala, tubuhnya yang semampai kelihatan
bergoyang bagai ranting pohon yang-liu yang
terhembus angin.
Rambutnya yang hitam berkilat sama seperti
senyumannya yang manis, sangat menggetarkan
perasaan siapa pun yang memandangnya, yang lebih
penting lagi, keseluruhan dari nona itu mendatangkan
perasaan nyaman bagi siapa pun.
Cong Hoa mengawasi terus Siau-tiap tanpa berkedip,
diakah orang yang menyergapnya ditengah hutan
bunga bwee, diluar rumah kayu kecil pada malam itu"
Sama-sama berasal dari negeri Hu-siang, bunga
sakura berasal dari negeri Hu-siang! Ninja pun berasal
dari negeri Hu-siang!
Setelah memetik setangkai bunga bwee, dengan
riang gembira Siau-tiap bangkit berdiri, lalu dia pun
menyaksikan Cong Hoa berdiri persis di depan pintu.
Dengan pandangan tercengang Siau-tiap
mengawasi tamu tidak diundang itu, kemudian dia
membalikkan tubuh meski sorot matanya masih
mengawasi terus wajah Cong Hoa.
"Siapa kau?" tegur Siau-tiap kemudian.
"Cong Hoa, Cong yang berarti sembunyi, Hoa yang
berarti bunga."
"Mau apa datang kemari?"
"Menengok kau."
"Menengok aku?" Siau-tiap pura-pura tercengang,
"Apa bagusku untuk ditengok?"
"Banyak sekali," kata Cong Hoa sambil tertawa,
"Wajahmu amat cantik."
"Karena kecantikanku, kau khusus datang
menengokku?"
"Sejujurnya aku ingin sekali menjawab begitu, tapi
sayang kedatanganku lantaran maksud lain."
"Apa tujuanmu?"
"Aku ingin melihat, kau kah orang yang akan
membunuhku di hutan bunga bwee pada berapa hari
berselang?"
"Aku?" Siau-tiap segera tertawa merdu.
"Aneh jika orang itu adalah kau, suara orang itu kasar
dan serak seperti suara babi, tapi terus terang,
perawakan tubuhnya maupun gerak-geriknya, persis
sekali dengan dirimu."
"Sungguh?"
"Betul."
"Jadi kau menganggap aku adalah ninja itu?"
... Ninja" Aneh sekali, padahal dia tidak menyinggung
soal ninja, kenapa begitu buka mulut, dia sudah
menyinggung soal ninja"
Tentu saja Cong Hoa mendengar juga akan hal ini,
dia tahu Siau-tiap telah salah bicara, namun dia sama
sekali tidak menegurnya, yang dilakukan sekarang
hanya tertawa, tertawa puas.
"Bila bunga tidak disirami setiap hari, apakah dia
tetap nampak cantik?" tanya Cong Hoa kemudian.
"Tidak mungkin!"
"Kalau disirami setiap hari?"
"Tergantung apakah kau bersungguh hati atau tidak,
tulus hati atau tidak?"
"Bersungguh hati" Tulus hati" Masa menyirami bunga
pun harus bertulus hati?"
"Benar, dalam melakukan pekerjaan apa pun, tulus
hati merupakan hal pokok yang harus ada."
Setelah berhenti sejenak, ditatapnya wajah Cong
Hoa, kemudian lanjutnya, "Jika kau melakukan semua
pekerjaan secara tulus hati, paling tidak bisa
bertanggung jawabkan pada diri sendiri."
"Aku percaya dengan perkataanmu itu," Cong Hoa
balas menatap tajam Siau-tiap, "Aku selalu melakukan
semua pekerjaan secara sungguh sungguh dan tulus
hati, itulah sebabnya dengan perasaan "tulus" hari ini
aku datang menyambangimu."
"Buat apa menyambangi aku" Memangnya ada
yang bisa kau nikmati?"
"Ada, tubuhmu, wajahmu, gerak-gerikmu, potongan
rambutmu, bedak dan gincumu, sepasang matamu."
Setelah tertawa lebar, tambahnya, "Tapi yang paling
utama adalah ingin melihat ke tulusan hatimu."
"Ketulusan hatiku" Kenapa mesti aku?" tanya Siautiap
tercengang. "Karena kau mempunyai ketulusan hati menjadi
begundal orang," sepatah demi sepatah Cong Hoa
berkata. "Begundal orang?" tampaknya Siau-tiap semakin
tercengang. "Rela diperintah orang, rela tunduk kepada orang,
kalau bukan begundal lantas apa namanya?"
Siau-tiap tidak bicara, dia hanya tertawa, tentu saja
suara tertawanya tidak leluasa karena dia seolah
mendengar bunga bunga yang tumbuh disekelilinginya
pun ikut tertawa.
Hanya Cong Hoa yang tidak tertawa, dia hanya
mengawasi Siau-tiap dengan tenang. Siau-tiap tertawa,
tiba tiba dia menghentikan tertawanya secara
mendadak. Dari balik sepasang matanya yang jeli bagai
cahaya matahari dimusim semi, sekonyong konyong
memancar keluar sinar yang lebih tajam dari mata pisau.
"Nyoo Cing memang tidak malu menjadi Nyoo Cing,"
perkataan Siau-tiap pun setajam mata golok,
"tampaknya sejak aku memasuki istana raja muda, ia
sudah mengetahui identitasku yang sebenarnya."
Cong Hoa tidak menjawab.
"Kalau memang sejak awal sudah mengetahui
rahasiaku, kenapa baru hari ini dia bongkar kedokku?"
Cong Hoa masih tetap tidak menjawab.
"Apakah dia baru merasakan seriusnya permasalahan


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setelah kehilangan senjata kait perpisahan?" kata Siautiap,
"Oleh karena itu kau diminta datang untuk
menanyai aku?"
Cong Hoa tetap tidak menjawab.
"Bila dia suruh kau menanyakan siapa yang telah
merebut kait perpisahan, organisasi macam apakah
Cing Liong Hwee itu dan siapa liong-taunya" Maaf, aku
tidak nanti akan menjawab semua pertanyaan itu."
Walaupun salju tidak sedang turun, langit berwarna
keabu abuan, seluruh jagad pun terlihat keabu-abuan,
pemandangan di dalam Soat-lu bagaikan sebuah
lukisan cat air yang sangat tawar, seolah semua warna
yang ada telah terlebur dalam warna kelabu.
Cong Hoa sendiripun seakan terlebur ke dalam warna
abu-abu, seperti juga baru menetas dari balik gumpalan
berwarna abu abu.
"Kau keliru!" ujarnya kemudian sambil memandang
Siau-tiap dengan hambar.
"Aku keliru" Dimana letak kekeliruanku?"
"Mungkin saja sejak awal Nyoo Cing sudah
mengetahui rahasiamu, tapi belum pernah dia minta
kepadaku untuk membongkar rahasia ini," kata Cong
Hoa dingin, "Sebab dia beranggapan, dari dulu hingga
sekarang, pekerjaan yang paling mengenaskan dan
paling tidak berdaya adalah menjadi seorang matamata."
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya,
"Seorang mata-mata bukan saja tidak memiliki
kebebasan, setiap saat dia perlu mengorbankan diri,
bahkan bila perlu orang yang terdekat pun akan
dikorbankan."
Siau-tiap hanya mendengarkan dengan seksama,
sementara sepasang matanya memancarkan sinar yang
lebih tajam dari sembilu.
"Oleh sebab itu dia selalu memberi kesempatan
kepadamu," lanjut Cong Hoa, "dia selalu memberi
peluang agar kau sadar akan kesalahan dan kembali ke
jalan benar."
Angin dingin di akhir musim gugur berpusing didalam
pesanggrahan salju, mengalir diantara sela sela tubuh
kedua orang itu.
Bunga sedang bergerak, pakaian sedang berkibar,
rambut panjang Siau-tiap pun sedang berkibar, berkibar
seolah ranting pohon liu yang sedang meliuk liuk.
"Dalam kehidupan manusia hanya ada tiga kali
"kesempatan baik", bila kau tidak dapat
memanfaatkannya secara baik dan selalu
melepaskannya dengan begitu saja, maka pada
akhirnya "kesempatan yang paling biasa" pun tidak
akan kau peroleh," ujar Cong Hoa sambil menatap
wajah gadis itu, "Maka dari itu, hari ini akupun akan
memberi sebuah peluang kepadamu."
"Peluang apa?"
"Asalkan dapat merobohkan aku, kau boleh pergi
dari sini."
"Mau pergi, mau tetap tinggal disini, siapa yang
sanggup menghalangi aku?"
"Jadi kau anggap gampang untuk meninggalkan
tempat ini?" jengek Cong Hoa hambar, "kau anggap
Nyoo Cing dan Tay Thian adalah orang mampus?"
Bicara sejujurnya, memang bukan pekerjaan yang
mudah untuk meninggalkan tempat itu.
Siau-tiap mencoba untuk memeriksa sekeliling tempat
itu, dia ingin mencari adakah suatu tempat yang
"menguntungkan" baginya, terakhir pandangan
matanya terhenti disekeliling tembok pembatas.
Agaknya Cong Hoa dapat membaca jalan
pikirannya, dengan suara hambar kembali ujarnya,
"Kujamin diluar dinding pembatas itu paling tidak ada
lima puluh pasang busur, tiga puluh bilah golok dan dua
puluh batang tombak yang sedang menanti
kedatanganmu!"
Siau-tiap berkerut kening, kembali dia mengalihkan
pandangan matanya ke wajah Cong Hoa, tampaknya
ia sedang mencari tahu dari mimik muka gadis itu,
apakah ucapannya bisa dipercaya atau tidak.
"Hanya ada satu cara bila kau ingin meninggalkan
tempat ini dengan selamat," kata Cong Hoa, "kalahkan
aku!" "Kalau aku yang kalah?" tanya Siau-tiap.
"Yang menang jadi raja, yang kalah jadi perampok,"
Cong Hoa tertawa, "Sebagai orang yang asor tentu saja
harus bersikap sebagai orang yang asor!"
"Maksudmu, jika aku kalah maka aku harus
menjawab semua pertanyaanmu?"
"Benar."
"Kalau aku segan menjawab?"
"Aku sendiripun tidak bisa berbuat apa-apa," kata
Cong Hoa hambar, "Tapi aku dengar, paling tidak Tay
Thian mempunyai tujuh puluh macam cara untuk
memaksa orang bicara jujur, entah kau sempat melihat
berapa macam?"
Paras muka Siau-tiap berubah hebat, tentu saja dia
sangat mengerti cara Tay Thian menyiksa orang.
Jagad raya yang semula berwarna keabu abuan,
mendadak berubah jadi gelap.
Entah sejak kapan, awan gelap telah menyelimuti
seluruh angkasa, kelihatannya sebentar lagi akan turun
hujan badai. Melihat perubahan cuaca yang sedang berlangsung,
diam diam Siau-tiap kegirangan. Kepandaian yang
dipelajarinya memang termasuk cara meloloskan diri
dalam situasi seburuk apapun, semakin buruk cuaca
disitu, semakin menguntungkan baginya.
Cong Hoa ikut mendongakkan kepalanya melihat
perubahan cuaca, dia hanya gelengkan kepalanya
sambil menghela napas panjang.
"Kelihatannya Thian lagi lagi memberi kesempatan
kepadamu," ujarnya, "Bila hari ini kau tidak baik-baik
manfaatkan peluang ini, perbuatanmu benar benar
telah menghina Thian."
Siau-tiap tidak menjawab, bunga yang berada
ditangannya digetarkan perlahan, sementara mimik
mukanya menunjukkan perubahan yang aneh. Orang
tidak tahu apakah dia sedang sedih atau gembira.
Dengan tangan kiri memegang bunga, tangan kanan
meraba putik bunga, dalam waktu singkat gadis itu telah
berubah seratus delapan puluh derajat. Dulu Siau-tiap
tidak lebih hanya seorang nona yang cantik, polos dan
suci, sama sekali tidak berbau orang persilatan, tapi
sekarang, dia seakan akan seorang jago pedang yang
sangat berpengalaman.
Perubahan ini mirip sekali dengan sebilah pedang
tajam yang disarungkan dalam sebuah sarung kuno
yang amat jelek, begitu diloloskan keluar, segera
terpancarlah sinar yang berkilauan. Seluruh tubuhnya
seolah memancarkan cahaya terang, cahaya itu
membuat dia tampak lebih berhawa, hawa napsu
membunuh. ..... Memang sangat aneh, mengapa begitu
menggenggam bunga, dia langsung berubah jadi
begitu menakutkan... atau pada dasarnya dia memang
seseorang yang sangat menakutkan"
Bunga bergoyang dimainkan angin, angin berhembus
menembusi tanaman bunga.
Siau-tiap lama sekali menatap bunga yang berada
dalam genggamannya, mendadak dia menggunakan
bunga sebagai pengganti pedang dan melancarkan
sebuah tusukan. Padahal tangkai bunga itu sangat
lembek, mana mungkin bisa digunakan sebagai pedang
untuk melancarkan tusukan"
Tapi begitu Siau-tiap melancarkan tusukan, tangkai
bunga itu seketika berubah, berubah lebih bercahaya,
lebih bernyawa, lebih mengandung hawa pembunuhan.
Tampaknya dia telah menyalurkan segenap kekuatan
yang dimilikinya ke dalam tangkai bunga itu.
Tusukan tersebut tampaknya saja amat ringan, sama
sekali tidak ada perubahan, tapi begitu perubahan
dimulai maka semuanya mengalir selancar alur air di
sungai. Tangkai bunga itu seketika berubah bagai kapak sakti
milik Lu Pan, senjata pena ditangan Kiang Ci, pedang
dalam genggaman Sam sauya, bukan saja bernyawa,
bahkan punya roh, punya hawa pembunuhan.
Dengan gerakan yang ringan dan cepat, dalam
waktu singkat tangkai bunga itu sudah melancarkan
tujuh buah tusukan maut. Semua tusukan tertuju ke
sepasang mata Cong Hoa serta bagian mematikan
lainnya. Cong Hoa hanya merasa ada cahaya terang
berkelebatan didepan mata, semuanya terasa bagai
mengambang di angkasa, perubahan yang terjadi
sudah melampaui kekuatan manusia biasa, nyaris
membuat siapa pun sukar mempercayainya.
Kini, benda yang berada ditangan Siau-tiap sudah
bukan berupa tangkai bunga lagi, tapi sebilah senjata
maut yang bisa mencabut nyawa siapa pun.
Tiba-tiba dia menggetarkan tangkai bungannya, putik
bunga yang ada ditangkai seketika meluncur ke depan
dan mengancam tubuh musuh, perubahan yang terjadi
ini sama sekali diluar dugaan siapa pun. Sebuah jurus
serangan yang sangat mematikan.
Bukan saja jurus serangan itu aneh, ganas, telengas
dan tepat sasaran, bahkan mengarah bagian tubuh
Cong Hoa yang tidak terduga sebelumnya.
Dalam jurus serangan ini selain disertai seluruh inti
kemampuan yang dimiliki, bahkan terkandung pula inti
sari dari ilmu perang yang menakutkan.
Jurus serangan itu sangat menakutkan, sebuah jurus
serangan yang mematikan, dia yakin musuhnya pasti
akan tumbang oleh serangan mautnya ini.
Sayang dugaannya meleset, kecuali Cong Hoa, di
dunia ini memang tidak ada orang kedua yang sanggup
menghindari serangan maut itu, sebab dikolong langit
tidak ada orang kedua yang begitu memahami Siautiap
ketimbang Cong Hoa.
Dia bisa lolos dari ancaman tersebut bukan lantaran
dia sudah memperhitungkan waktu serta tempat
sasaran serangan itu, melainkan karena dia sudah
memperhitungkan bagaimanakah watak Siau-tiap yang
sesungguhnya. .... Dia tahu, semua manusia yang datang dari negeri
Hu-siang, tidak nanti akan melancarkan serangan
secara gagah berani, terus terang dan terbuka.
Dia sudah perhitungkan secara tepat, dibalik jurus
serangan yang digunakan Siau-tiap sekarang pasti
masih tersembunyi jurus serangan lain yang lebih
mematikan. Maka ketika sekilas cahaya terang melintas didepan
matanya, diapun segera pejamkan matanya rapat
rapat. ..... Jika kau tidak menggunakan matamu untuk
melintas, mana mungkin silaunya cahaya bisa
mempengaruhi dirimu.
Begitu memejamkan matanya, Cong Hoa mulai
pasang telinga baik-baik, kemudian dia pun mendengar
suara desiran angin yang sangat lirih.
Waktu itu seluruh bunga telah melesat meninggalkan
tangkai, semua putik bunga telah menyebar ke udara,
beribu ribu helai bunga bagaikan serangan senjata
rahasia mengancam perut Cong Hoa.
Jika waktu itu Cong Hoa tidak pejamkan mata, dia
pasti akan terpengaruh oleh silaunya cahaya, bila
konsentrasinya telah buyar, bagaimana mungkin dia
bisa mendengar serangan mematikan yang justru
tersembunyi di belakang cahaya terang yang
menyilaukan itu"
Bukan begitu saja, ternyata Cong Hoa cukup
mengayunkan sepasang tangannya, beribu helai bunga
yang menyerang bagaikan hujan senjata rahasia itu
tahu-tahu hilang lenyap tidak berbekas.
Walaupun Siau-tiap merasa sangat terperanjat
namun reaksinya cukup cepat, sambil menarik
tangannya memutar pinggul, dia sudah berpusing
bagaikan sebuah gangsingan.
Menanti putaran tubuhnya berhenti, dalam
genggaman Siau-tiap telah bertambah dengan sebilah
pedang samurai yang panjangnya satu kaki delapan
inci. Samurainya diayun ke udara, jurus serangan pun ikut
berubah, berubah jadi lebih kuat, lebih bertenaga,
tanpa perasaan.
Kalau tadi serangan dengan tangkai bunganya ibarat
awan hitam yang menyelimuti seluruh angkasa, dipenuhi
hawa pembunuhan yang menakutkan, maka setelah
samurainya dihunus, keadaannya seperti awan hitam
yang mulai membuyar dan muncul cahaya matahari,
bukan saja hawanya panas menyengat bahkan
memancarkan cahaya emas yang amat menyilaukan
mata. "Sebuah ilmu samurai yang hebat!" puji Cong Hoa
tanpa terasa. Baru selesai kata pujian itu meluncur keluar, lagi-lagi
Siau-tiap melancarkan empat buah bacokan, hampir
semuanya seakan mengandung perubahan yang tidak
terhingga, terkadang seperti melayang, terkadang
seperti melesat, nyaris semua ancamannya ganas dan
telengas. Cong Hoa tidak melancarkan serangan balasan,
diapun tidak menangkis.
Dia bahkan hanya meperhatikan...... seakan seorang


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda yang baru pertama kalinya melihat perempuan
cantik telanjang bulat.
Biarpun ke empat buah serangan itu sangat ganas
dan mematikan, akan tetapi jangan lagi melukai Cong
Hoa, menyentuh pun tidak.
Siau-tiap keheranan, ke empat serangannya itu jelas
sudah diarahkan ke tenggorokan lawan, tapi entah
mengapa semua serangannya itu seolah tergelincir dan
lewat dengan begitu saja, bacokan yang seharusnya
bersarang di dada, apa mau dikata tidak satupun yang
berhasil menyentuh ujung bajunya.
Setiap gerak serangan, setiap perubahan yang
terjadi, seolah olah sudah berada dalam dugaan Cong
Hoa. Tiba tiba Siau-tiap mengubah gaya serangannya, kali
ini dia menyerang dengan sangat lambat, lambat sekali.
Begitu goloknya dibacokkan ke depan dengan
gerakan melambat, Cong Hoa tidak sanggup
menghindarkan diri lagi, bahu kirinya segera tersambar
hingga muncul sebuah mulut luka yang memanjang.
Rupanya gerak serangan yang nampaknya sangat
lambat itu sebenarnya telah mencapai batas
kecepatan yang paling luar biasa, begitu cepatnya
hingga sulit dilukiskan dengan perkataan.
Ketika samurai itu diayunkan ke depan, Cong Hoa
sama sekali tidak bergerak, seluruh gerakan tubuhnya
seakan terhenti secara tiba tiba.
Tampak ayunan samurai yang lambat lagi bebal itu
membacok ke tubuhnya, kemudian seluruh udara pun
seakan memercikkan selapis hujan bunga......
Bunga samurai memenuhi angkasa, bunga darah
memercik di udara. Bunga samurai kembali berputar,
dari lambat berubah jadi cepat, dari bebal berubah jadi
cepat, sekonyong-konyong selapis cahaya bianglala
kembali membias di udara.
Bianglala berwarna tujuh, tujuh buah bacokan
samurai, begitu semarak begitu beraneka warna...
Darah bercucuran dari bahu kirinya, tapi Cong Hoa
tidak ambil perduli, keningnya berkerut, ditatapnya
wajah Siau-tiap setengah ragu.
"Jadi inikah yang disebut ilmu samurai tujuh warna?"
Siau-tiap hanya membungkam, membungkam berarti
mengakui. "Bagus, sebuah ilmu samurai yang hebat!" Cong Hoa
menghela napas panjang, "Hanya sayang, sayang
sekali." "Sayang" Apanya yang sayang?" tidak tahan Siautiap
bertanya. "Sayang kau hanya memiliki satu serangan,
andaikata ada serangan kedua, aku tentu sudah mati."
"Apa mungkin ada serangan yang kedua?"
"Ada, pasti ada," Cong Hoa sedang termenung,
lewat lama kemudian ia baru berkata lebih jauh,
"sebenarnya pada serangan yang kedua lah seluruh inti
sari dari ilmu samurai itu terhimpun."
Seluruh perubahan dan kekuatan yang terkandung
dalam ilmu samurai tujuh warna hanya berhasil melukai
bahu Cong Hoa pada ayunan yang kedua, waktu itu
dia sudah kehabisan tenaga, dalam tangan pun tidak
bersenjata, dalam keadan seperti itu mustahil dia bisa
lolos dari serangan berikut.
Masih untung hujan turun dengan derasnya waktu itu,
air hujan membuat bajunya basah kuyup, membuat
rambutnya ikut basah kuyup.
Ketika cahaya samurai berkelebat, gadis itupun
mengebaskan rambutnya dengan sepenuh tenaga,
dengan kebasan kepalanya, rambut pun ikut
menggulung ke atas, rambut yang basah membuat
ayunan itu jadi bertenaga.
Bila orang biasa yang mengebaskan rambutnya,
tentu saja tidak akan menghasilkan kekuatan apa-apa,
tapi Cong Hoa yang memang secara sengaja
mengebaskan rambutnya segera membuat air hujan
yang membasahi rambutnya itu memercik keluar bagai
rentetan tembakan senapan mesin.
"Criiing, criiiing!" bacokan samurai yang terbentur air
hujan menggaungkan suara dentingan nyaring.
Bukan hanya samurai itu yang terpercik air hujan,
wajah Siau-tiap pun terpercik keras bagaikan diserang
jarum tajam, buru buru dia pentangkan ke lima jari
tangannya untuk melindungi mata, sementar samurai
ditangan kanannya kembali melanjutkan bacokan ke
depan. Sebetulnya sasaran yang dituju adalah tenggorokan
Cong Hoa, tapi Siau-tiap merasa hanya tempat kosong
yang tersentuh, rupanya bacokan itu mengenai sasaran
kosong. Ke mana perginya Cong Hoa"
Ketika bacokan mengenai tempat kosong, Siau-tiap
pun tidak bergerak lagi, sebab ia mendengar suara
tertawa dari Cong Hoa berkumandang dari balik hujan,
suara itu berada di belakang tubuhnya, lebih kurang
dua depa di belakangnya.
"Serangan ketiga yang hebat!"
"Dengan cara apa kau berhasil lolos dari seranganku
ini?" "Karena Thian telah memberi kesempatan
kepadaku."
Siau-tiap membalikkan tubuhnya, dia tahu Cong Hoa
berada di belakang tubuhnya, dia pun dapat
menyaksikan luka memanjang yang menghiasi
tengkuknya, persis seperti sebuah pita merah yang
dikalungkan di leher seorang gadis.
"Seandainya aku sedikit terlambat untuk menghindar,
andaikata tidak ada hujan ini, mungkin tengkuk ku butuh
berapa jahitan untuk menyambungnya kembali."
Kini samurai ditangan Siau-tiap sudah terkulai lemas,
semua keangkerannya sirna, semua hawa
membunuhnya lenyap, yang tersisa hanya kepolosan
wajahnya sebagai seorang gadis muda.
"Aku kalah!" bisiknya.
Suara dari Siau-tiap itu kedengaran tanpa perasaan.
Cong Hoa tidak bicara, dia hanya mengawasi gadis itu
dengan tenang. "Sudah dua puluh tahun aku belajar silat, sudah dua
puluh kali aku bertempur sengit, tapi belum pernah sekali
pun menderita kekalahan," kata Siau-tiap sambil
membuang pandangan matanya ke tempat kejauhan,
"Semula aku mnegira, hujan yang turun sangat deras
akan menguntungkan posisiku, tidak disangka justru kau
yang telah mendapatkan keuntungan itu."
Dengan pandangan mata yang agak cemas dia
menatap wajah Cong Hoa, kemudian tambahnya,
"Sekalipun kau yang berhasil menang, sayang tidak
akan kau peroleh jawaban dari mulutku."
"Kenapa?"
"Sebab kabut segera akan datang!"
Cong Hoa melongo, dia tidak mengerti apa yang
dimaksudkan Siau-tiap dengan perkataan itu.
"Kabut" Kenapa kabut segera akan datang?"
Siau-tiap tidak menjawab, sambil memandang nun
jauh ke depan sana dia berbisik lagi, "Sejak menyadari
kalau aku sudah kalah, tiba-tiba saja aku seperti jadi
memahami akan semua hal."
Setelah tarik napas panjang, terusnya, "Sebetulnya
apa yang telah kita berdua kerjakan dan rencanakan,
tidak lebih hanya merupakan sebiji anak catur yang
sedang dimainkan orang lain."
Cong Hoa masih belum paham.
"Nyoo Cing memang cukup cerdik, tapi pada
akhirnya dia akan sadar kalau langkahnya keliru besar."
Tiba-tiba Siau-tiap mendongakkan kepalanya dan
tertawa kalap, cara tertawanya sama sekali tidak mirip
seperti tertawa seorang nona kecil.
Caranya tertawa pada hakekatnya lebih mirip
tertawa orang gila. Begitu dia mulai tertawa, kabut tebal
pun mulai muncul. Sama seperti suara tertawa itu, kabut
muncul secara tiba tiba dan sama sekali diluar dugaan.
Dengan pandangan terperangah Cong Hoa
mengawasi Siau-tiap, mengawasi kabut tebal yang tibatiba
menyelimuti sekeliling tubuhnya.
Dalam waktu singkat kabut tebal telah menggulung
seluruh tubuh Siau-tiap, sebentar lagi Cong Hoa pun
akan segera tergulung di dalamnya.
Tiba tiba gadis itu mengernyitkan dahinya dengan
wajah berubah hebat, secepat anak panah yang
terlepas dari busurnya dia melejit keluar dari dalam
pesanggrahan salju.
Senyuman Siau-tiap mulai kaku, mulai membeku,
paras mukanya mulai menghitam, makin lama makin
pekat, tapi gelak tertawanya masih bergema di udara.
BAB 2. Bungkusan obat dari Nyoo Cing.
Nama: Siau-tiap.
Usia: 24 tahun.
Tempat lahir: negeri Hu-siang.
Kepandaian andalan: Ninja, ilmu samurai tujuh warna.
Kode rahasia: bulan tiga tanggal tujuh.
Keahlian: bercocok tanam, ikebana.
Lokasi: Seputar istana raja muda, sebagai tukang
kebun Nyoo Cing.
Tinggi badan: lima kaki tiga inci.
Berat badan: delapan puluh empat kati.
Itulah data yang tercatat dalam buku catatan
rahasia Cing Liong Hwee.
Disuatu tempat rahasia yang lain, ternyata tercatat
pula data yang agak berbeda, data itu berbunyi:
Nama: Siau-tiap.
Usia: 24 tahun.
Tempat lahir: negeri Hu-siang.
Kepandaian andalan: Ninja, ilmu samurai tujuh warna.
Kode rahasia: bulan tiga tanggal tujuh.
Tanggal kematian: bulan sepuluh tanggal tujuh.
Pembunuh: Cong Hoa.
Catatan: karena sebab tertentu, akhirnya "utusan
kabut" yang melaksanakan eksekusi terakhir.
"Lagi-lagi obat ini."
"Ini obat lambung, untuk melindungi lambungmu dari
luka," dia membuka bungkusan berisi obat.
"Tapi lambungku tidak bermasalah."
"Darimana kau bisa tahu kalau lambungmu tidak
bermasalah," perempuan itu membantu Nyoo Cing
untuk duduk lebih enak, "Sekalipun lambungmu tidak
bermasalah, diminum pun tidak akan merugikan!"
Bagaikan seorang bocah saja Nyoo Cing minum obat
itu dengan terpaksa, kemudian cepat-cepat minum
seteguk air hangat.
Melihat gaya Nyoo Cing itu, perempuan itu tertawa,
kembali dia mengeluarkan sebuah bungkusan obat
yang bentuknya jauh lebih kecil.
"Bungkusan obat apa lagi itu?"
"Entahlah, bungkusan obat ini baru dibuka resepnya
pada hari ini, mungkin untuk mengobati tulang
belulangmu."
Nyoo Cing kembali meneguk air hangat, kemudian
setelah menarik napas panjang dia memejamkan
matanya. "Belum pernah ada orang takut minum obat
sepertimu," kata perempuan itu sambil tertawa.
Tidak lama sepeninggal perempuan itu, Nyoo Cing
baru membuka matanya kembali, memandang pintu
kamarnya sekejap, ketika yakin pintu sudah tertutup, dia
baru memuntahkan seluruh obat yang baru
ditelannya, membungkus dengan selembar kertas dan
disembunyikan dibawah bantal.
Pada saat itulah kedengaran pintu kamarnya diketuk
orang. "Tok, tok tok tok tok, tok tok!"
Setiap kali mengetuk pintu, Tay Thian selalu
menggunakan irama ketukan tertentu.
"Apa yang dikatakan Hong Coan-sin?" Nyoo Cing
segera mengajukan pertanyaan begitu berjumpa
dengan Tay Thian.
"Sama seperti Tu Bu-heng serta Un-hwee sekalian,"
jawab Tay Thian, "Termasuk keracunan oleh "buah
opium", sari racun menyusup masuk melalui pori kulit dan
detak jantung pun segera terhenti, sebuah cara
kematian yang sama sekali tidak menimbulkan
penderitaan."
"Bagaimana dengan jenasah Siau-tiap?"
"Sudah dikirim ke rumah perdamaian."
Nyoo Cing mulai meraba ujung hidungnya, setiap kali
berjumpa dengan permasalahan yang tidak
terpecahkan, dia akan selalu meraba ujung hidung
sendiri. "Untuk membina seorang kader jagoan macam Siautiap,
bukankah butuh banyak waktu, tenaga dan
uang?" dia bertanya.
"Benar."
"Setelah bersusah payah membina seorang jagoan
macam begini, kenapa secara tiba-tiba perkumpulan
Cing Liong Hwee mematikan peranannya?"
"Rahasia identitasnya sudah terbongkar, dia sudah
tidak memiliki nilai untuk dipergunakan lagi," kata Tay
Thian, "Bagi organisasi semacam Cing Liong Hwee,
sudah pasti dia akan membungkam mulut kadernya
yang sudah tidak berguna."
"Sebetulnya tidak harus bertindak sekeji itu," gumam
Nyoo Cing, "kalau bisa membunuhnya, seharusnya bisa
juga untuk selamatkan dirinya, lagipula Siau-tiap adalah


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang jagoan berbakat yang banyak kegunaannya."
Tay Thian tidak menjawab, rupanya dia sedang
termenung, alis matanya berkerut kencang, keraguan
dan rasa sangsi menyelimuti perasaan hatinya.
..... Sekalipun identitas Siau-tiap sudah terbongkar,
tidak seharusnya gadis itu dibunuh.
..... Hingga detik terakhir, dia sama sekali tidak
membongkar rahasia perkumpulan naga hijau, dia pun
tidak menunjukkan sikap akan berkhianat, kenapa
orang-orang Cing Liong Hwee justru menghabisi
nyawanya" .....Apakah pihak perkumpulan naga hijau tidak
berkemampuan untuk menyelamatkan dirinya dari
dalam istana raja muda" Mustahil, mana mungkin ada
pekerjaan yang tidak mampu mereka laksanakan"
... Kenapa" Kenapa perkumpulan naga hijau harus
membunuh Siau-tiap" Jelas dibalik semua peristiwa ini
masih tersimpan rahasia lain yang tidak diketahui orang.
"Belum pernah pihak perkumpulan naga hijau
melakukan pengorbanan secara percuma, apalagi
manusia macam Siau-tiap merupakan manusia
berbakat yang bisa diandalkan," kata Nyoo Cing,
"sudah pasti mereka berbuat demikian karena mereka
punya alasan yang jelas, pasti mereka mempunyai
maksud tujuan tertentu."
Setelah berpikir sejenak, sesaat kemudian kembali ia
berkata, "Disamping itu, ada satu hal lagi membuat aku
keheranan."
"Soal apa?"
"Ketika masih berkelana dalam dunia persilatan dulu,
apa julukan Lo Kay-sian?"
"Si pendekar pedang kerinduan!"
"Kendatipun sudah dua puluh tahun dia tinggalkan
dunia persilatan, sekalipun orang lain belum tentu
mengetahui taraf kepandaian silat yang dimilikinya, tapi
kita berdua toch tahu sangat jelas," ujar Nyoo Cing,
"Kalau mesti bertarung beneran, belum tentu kita
berdua sanggup merobohkan dirinya dalam lima puluh
gebrakan."
Tay Thian manggut-manggut tanda sependapat.
"Tapi menurut kakek Tan si penjual bakmi, Lo Kay-sian
cepat sekali menemui ajalnya," ujar Nyoo Cing lebih
jauh, "Begitu kakek penabuh rebab bersenar tiga
membuka buntalannya, belum lagi bertarung sebanyak
tiga gebrakan, kepala Lo Kay-sian telah berpisah dari
tengkuknya."
"Bahkan tidak sampai tiga gebrakan."
"Mungkin saja kait perpisahan akan memancarkan
kehebatannya dikala berada ditanganku, bila terjatuh
ke tangan orang lain, paling banter senjata tersebut
hanya sebilah senjata berbentuk aneh, kenapa Lo Kaysian
tidak bisa bertahan lebih dari tiga gebrakan?"
"Mungkin si kakek penabuh rebab bersenar tiga pun
menguasai ilmu silat rahasia mu?"
"Tidak mungkin!" kata Nyoo Cing, "Setelah ayahku
berhasil mempelajari jurus serangan kait perpisahan, dia
telah memusnahkan kitab pusaka tersebut, tidak
mungkin di kolong langit terdapat orang kedua yang
sanggup menggunakan jurus serangan dari kait
perpisahan."
Nyoo Cing mengalihkan pandangan matanya ke luar
jendela, mengawasi rembulan yang ada di angkasa,
lama, lama kemudian ia baru berkata lagi, "Jika masih
ada orang kedua yang mampu menggunakan jurus
serangan tersebut, maka orang itu pastilah dia!"
"Dia?" berbinar sorot mata Tay Thian, "Maksudmu Ti
Cing-ling?"
"Benar!"
"Kakek penabuh rebab bersenar tiga adalah
penyamaran Ti Cing-ling?"
"Rasanya hanya kemungkinan ini yang bisa
menjelaskan kenapa Lo Kay-sian menemui ajalnya
secepat itu."
Kakek penabuh rebab bersenar tiga yang peyot lagi
tua itu adalah si bangsawan ganteng Ti Cing-ling"
Tiba tiba Nyoo Cing bertanya kepada Tay Thian,
"Bukankah Cu congkoan mempunyai seorang saudara
jauh yang sangat mahir dalam masalah obat obatan
dan ramuan obat?"
"Benar," sahut Tay Thian, "Orang itu bernama Cu Hayjing,
berusia tiga puluh dua tahun, bukan saja mahir
dalam masalah obat-obatan dan ramuan, dia pun
sangat ahli dalam soal obat beracun, dia mampu
mengenali dan membedakan setiap jenis racun yang
dijumpai."
"Bagus sekali!"
Nyoo Cing segera mengeluarkan bungkusan berisi
obat yang disembunyikan dibawah bantalnya itu dan
diserahkan ke tangan Tay Thian.
"Suruh Cu Liok berangkat malam ini juga, minta tolong
saudara jauhnya itu untuk melacak apa isi dari bubuk
obat yang ada dalam bungkusan ini."
Setelah berhenti sejenak, kembali lanjutnya, "Suruh Cu
Liok menunggu, begitu peroleh hasil, segera balik untuk
memberi laporan."
"Baik."
"Awas, jangan sampai ada orang ketiga yang tahu."
"Baik."
Sepeninggal Tay Thian, Nyoo Cing baru merasakan
hatinya lega, diapun mulai kantuk dan tidak lama
kemudian sudah terlelap tidur.
Menjelang fajar.
Setitik cahaya terang mulai muncul di ufuk timur,
sebentar lagi langit akan mendusin dari tidurnya, tapi
suasana di dalam kota kecil itu masih amat sepi, para
penghuninya masih terlelap dalam tidur yang nyenyak.
Ketika Cu Liok tiba di kota kecil itu, sudah ada dua
tiga rumah yang dapurnya mulai mengepul asap,
beberapa ekor anjing terlihat bergerombolan disudut
jalan. Rumah saudara jauhnya berada di selatan kota,
dalam sebuah lorong disudut jalan besar.
Didalam lorong itu, sebagian besar bangunan rumah
sudah berdinding batu bata, hanya rumah saudara
jauhnya merupakan satu satunya rumah yang terbuat
dari bambu. Mengawasi bangunan rumah dari bambu itu cu Liok
gelengkan kepalanya berulang kali. Saudara jauhnya ini
pandai dalam semua hal, wataknya pun tidak terhitung
jelek, sayang dia mempunyai sebuah penyakit, tidak
suka tinggal di rumah yang terbuat dari bata.
Dia beranggapan, tinggal dalam rumah berbatu bata
serasa tinggal dalam ruang penjara, bisa
mendatangkan perasaan tertekan, tidak bebas dan
susah napas. Berbeda bila tinggal di rumah bambu, selain tembus
angin, bermanfaat pula bagi kesehatan badan.
Cu Liok masih ingat, dulu sebelum fajar menyingsing,
biasanya Cu Hay-jing sudah mempersiapkan
peralatanya, siap naik ke gunung untuk mencari daun
obat. Kini langit belum terang, pintu rumah bambu pun
masih tertutup rapat, mungkinkah penghuninya belum
bangun dari tidurnya"
Cu Liong mendekati pintu bambu, lalu serunya keras
keras, "Tabib Cu, tabib Cu!"
Seperminum teh kemudian baru kedengaran ada
orang bangun dari tidurnya.
"Siapa disitu" Kenapa datang pagi-pagi" Apakah
terserang angin duduk?"
"Piauko, aku yang datang! Cu Liok!"
Pintu bambu terbuka dan muncul seorang lelaki
setengah umur yang masih terkantuk-kantuk, sambil
mengucak matanya dia awasi Cu Liok sekejap,
kemudian dengan wajah berseri ia baru berseru, "Cu
Liok?" "Benar aku," sahut Cu Liok gembira, "Piauko, sudah
lama kita tidak bersua!"
Masih untung cawan yang ada di rumah piauko
bukan terbuat dari bambu, Cu Liok mengangkat
cawannya dan meneguk satu tegukan teh panas.
"Piaute, kedengarannya hidupmu dalam berapa
tahun terakhir bertambah makmur?"
"Aaah, siapa bilang?" sahut Cu Liok sambil menatap
sekejap wajah kakak misannya, "Tidak seperti kau, Cu
Hay-jing, tabib Cu, anak kecil berusia tiga tahun pun
pasti tahu!"
"Hahahaha... sudah tua..." Cu Hay-jing tertawa
tergelak, "eeh.. ada urusan apa sepagi ini kau datang
mencari aku?"
"Aaah, hanya satu urusan kecil!"
"Ada apa?"
"Dua hari lalu iparmu merasa kepala pusing dan
tubuh lemas, akupun datang ke toko obat It-sim-tong
untuk beli obat, tapi setelah minum obat tersebut
keadaannya bertambah parah."
"Panasnya lebih tinggi?"
"Bukan, dia malah berak-berak!" jawab Cu Liok
cepat, "Tentu saja akupun minta pertanggungan jawab
dengan pihak kamar obat, tapi mereka ngotot bilang
resep obat itu untuk pusing kepala, padahal aku sama
sekali tidak paham soal obat obatan, dalam jengkelnya
tiba-tiba aku teringat dengan piauko."
"Mana obatnya?"
Dari dalam saku Cu Liok segera mengeluarkan
bungkusan obat yang diserahkan Tay Thian kepadanya
itu. Cu Hay-jing menerima bungkusan itu, membukanya
dan mengendus sebentar, kemudian dia ambil sebutir
obat, setelah diremas hancur, dicicipinya diujung lidah.
"Aaah, ini mah campuran daun Ok-put-si-cau
dengan Kau-kan-cay ditambah sedikit rumput
pencegah angin yang dicampur sedikit madu," kata Cu
Hay-jing menjelaskan, "Biasanya dipakai untuk
mengobati tulang retak, tapi ada kasiatnya juga untuk
mengobati sakit kepala atau turunkan panas."
"Sungguh" Tapi kenapa berak terus" Atau... mungkin
obat itu ada racunnya?"
"Semua orang yang tahu tentang obat-obatan pasti
bisa membeli bahan obat semacam ini di rumah obat."
"Berarti sakit perutnya iparmu bukan lantaran obatobatan
ini?" "Bukan."
"Waah, kalau begitu aku telah salah menuduh
orang." Cu Hay-jing tertawa, dia bungkus kembali obat itu
dan diserahkan kepada Cu Liok.
Buru buru Cu Liok menyimpan bungkusan obat tadi,
berpamitan dan perlahan lahan meninggalkan lorong.
Waktu itu fajar baru menyingsing, terlihat ada berapa
orang penduduk kota mulai berlalu lalang. Tanpa
membuang waktu lagi Cu Liok melompat naik ke atas
kudanya, karena terburu-buru dia baru teringat
tangan kirinya masih memegangi bungkusan obat itu,
sambil tertawa dia segera masukkan bungkusan itu ke
dalam saku kemudian baru melarikan kudanya
meninggalkan tempat itu.
Belum berapa kaki dia pergi, mendadak dia seperti
teringat akan sesuatu, tubuhnya kontan jadi kaku,
wajahnya berubah sangat hebat, diawasinya tangan kiri
sendiri dengan tertegun.
Tangan kiri. Sejak kecil Cu Hay-jing sudah gemar memanjat
pohon, suatu hari ketika berusia sepuluh tahun, dia
terjatuh dari atas pohon hingga patah tangan
kanannya. Sejak itu dia hanya bisa melakukan kegiatan sehari
harinya dengan tangan kiri, bahkan sewaktu makan pun
dia harus menggunakan tangan kirinya.
Tapi Cu Liok masih ingat, orang itu mengerjakan
semua hal dengan tangan kanannya, menerima
bungkusan obat, membuka bungkusan, meremuk obat,
semuanya menggunakan tangan kanan.
Mana mungkin Cu Hay-jing bisa melakukan semua
pekerjaannya dengan tangan kanan"
Apakah tangan kanannya sudah sembuh"
Tanpa terasa Cu Liok berpaling dan sekali lagi
menengok ke arah bangunan bambu dalam lorong.
Ketika Cu Liok masuk kembali ke rumah bambu itu,
dia benar benar dibuat bodoh, bukan saja terperangah,
bahkan sorot matanya mengawasi sekeliling ruangan
dengan pandangan orang tolol.
Kursi bambu yang baru saja diduduki, kini hilang tidak
berbekas, yang tersedia kini adalah sebuah bangku
yang terbuat dari kayu.
Cawan air teh yang sebelum meninggalkan ruangan
masih tergeletak di meja, sekarang ditempat yang sama
terletak sebuah vas bunga seruni yang besar.
Bukan Cuma itu saja, pada hakekatnya semua
perabot, semua dekorasi yang ada dalam ruangan itu
sudah berubah sama sekali.
Jangan-jangan dia salah masuk ke rumah orang, atau
sedang bermimpi buruk" Cu Liok dengan perasaan tidak
percaya mencoba meraba bangku kayu itu, dengan
perasaan ragu ragu ia mencoba untuk mendudukinya.
Mana mungkin bisa terjadi hal seperti ini"
Mengapa hanya di dalam waktu singkat, segala
sesuatu yang ada disini telah berubah"
Ke mana perginya Cu Hay-jing"
Sudah kabur ke mana orang itu"


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jangan jangan dia sudah dicelakai orang"
Berpikir sampai disitu, dengan perasaan terkesiap Cu
Liok segera menerjang masuk ke ruang dalam, tapi
kembali dia dibuat tertegun.
Dari dalam kamar muncul seorang gadis muda,
sebetulnya si nona sedang berjalan keluar dengan
wajah berseri, tapi begitu melihat kehadiran Cu Liok,
rasa gembiranya segera berubah jadi ketakutan.
Dengan penuh ketakutan gadis itu mengawasinya,
serunya gemetar, "Si... siapa kau Kenna... kenapa bisa
berada di kamarku" Mau.... mau apa kau?"
"Aku..." dalam keadaan begini Cu Liok tidak tahu
mesti bicara apa, dia hanya berdiri bodoh ditempat,
mengawasi nona itu dengan pandangan goblok.
Agaknya tampang Cu Liok tidak mirip orang jahat,
sesaat kemudian si nona su
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 11 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali 16

Cari Blog Ini