Ceritasilat Novel Online

Romantika Sebilah Pedang 7

Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long Bagian 7


uat begitu!"
seru Tay Thian, "Begitu tangannya digunakan untuk
menangkis, maka ikat pinggangku langsung menotok
jalan darah giok-ji-hiat di payudaranya."
"Jadi kau benar-benar menotok jalan darah di
payudaranya?"
"Tentu saja, toch aku tidak menggunakan jari
tanganku."
Nyoo Cing menghela napas panjang.
"Aai, aku benar benar Tidak habis mengerti, kenapa
disaat saat terakhir kau selalu berhasil mendapatkan
cara yang amat jitu, dan cara jitu itu selalu berhasil
mengubah posisimu yang berbahaya menjadi selamat?"
Kemudian setelah menatapnya tajam, tambahnya,
"Sebetulnya hal ini karena kemampuanmu yang hebat,
atau karena nasibmu yang selalu baik?"
Setelah berhasil menaklukkan gadis itu, Tay Thian
berpaling ke arah Ui sauya. Saat itu Ing Bu-ok sedang
melepaskan tusukan pedangnya yang ke sebelas.
"Aku datang membantu!" segera serunya.
Tay Thian mulai bergerak mendekati Ui sauya.
"Hati hati dengan lengan baju kirinya!" Ui sauya
memperingatkan.
"Bagus," Ing Bu-ok tertawa terbahak-bahak, "Lebih
baik kalian berdua maju bersama, ketimbang aku mesti
membuang waktu lagi."
Untuk kesekian kalinya cahaya tajam berkelebat di
udara, mata pedang berputar arah, dengan
membentuk sebuah lembayung dia melancarkan
serangan pedangnya yang kedua belas.
Diantara berkelebatnya cahaya aneh, Ui sauya
merasa sinar aneh itu seakan melintas diatas alis
matanya, tapi seolah melayang nun jauh di sana.
Sementara Tay Thian yang menyaksikan serangan
kedua belas dari Ing Bu-ok itu segera mengernyitkan alis
matanya, perasaan sangsi sempat melintas dibalik
matanya, dia merasa jurus serangan itu seakan sangat
dikenalnya, tapi seakan pula sangat asing. Hanya
melintas sekejap, tahu-tahu cahaya aneh itu kembali
hilang lenyap tidak berbekas.
Ui sauya mengernyitkan dahinya, dia dapat melihat
serangan yang ketiga belas diam-diam telah meluncur
tiba, tapi sekali lagi dia dibikin bodoh. Selama hidup
belum pernah dia saksikan gerak serangan yang begitu
bodoh, seperti seorang bocah yang sedang belajar
berjalan, benar-benar kaku dan lamban.
Ui sauya tidak habis mengerti, mengapa Ing Bu-ok
bisa menggunakan jurus serangan semacam ini untuk
melancarkan serangan kepadanya.
Berbeda sekali dengan reaksi dari Tay Thian, belum
selesai Ing Bu-ok melancarkan serangannya yang ketiga
belas, sekonyong-konyong tubuhnya melambung ke
tengah udara, kemudian kakinya menendang Ui sauya
hingga mencelat ke belakang.
Reaksi yang dilakukan Tay Thian boleh dibilang amat
cepat, namun tidak urung bahunya terbabat juga
hingga muncul sebuah mulut luka yang memanjang.
..... Tusukan yang tampak begitu bodoh, mengapa
justru susah bagi Ui sauya untuk menghindarinya" Ui
sauya sendiri pun tidak habis mengerti, dia hanya bisa
berdiri melongo.
Andaikata Tay Thian tidak menendangnya hingga
mencelat ke belakang, mungkin saat ini
tenggorokannya sudah bertambah dengan sebuah
lubang besar. Sambil melompat bangun, Ui sauya
mengawasi Ing Bu-ok dengan wajah tercengang, mata
terbelalak. "Ilmu pedang apaan itu?" serunya.
Ing Bu-ok tertawa dingin, butiran darah masih
menetes dari ujung pedangnya.
?"Jurus itu adalah Toh-mia-cap-sa-kiam (tiga belas
jurus ilmu pedang pembetot sukma)" seru Tay Thian,
"Itulah Toh-mia-cap-sa-kiam milik Yan Capsa dulu!"
"Toh-mia-cap-sa-kiam" Sungguh?" seru Ui sauya.
"Apakah pingin dicoba sekali lagi?" jengek Ing Bu-ok
dengan wajah mengejek.
"Baik!" jawab Ui sauya dengan wajah serius, "Tapi aku
ingin melihat jurus pedang yang ke lima belas."
"Hmmm, pedang ketiga belas pun sudah nyaris
merenggut nyawamu, kau masih ingin menyaksikan
pedang ke lima belas?"
"Benarkah pedang ke lima belas tiada tandingannya
di kolong langit?"
"Belum tentu," sela Tay Thian, "Di dunia ini tidak akan
ada yang tiada tandingan."
"Sekalipun tidak sampai tiada tandingan, untuk
membunuh kalian berdua mah lebih dari cukup."
Ketika menyelesaikan perkataannya itu, dari balik
mata Ing Bu-ok segera terpancar keluar selapis hawa
pembunuhan yang menggidikkan hati.
Selapis hawa pembunuhan yang Cuma bisa
dipancarkan dari seorang tokoh maha sakti setara
dengan Yan Capsa.
Angin berhembus lewat, entah menerobos masuk
melalui celah yang mana, tapi suasana di dalam rumah
bambu itu tiba tiba saja berubah jadi amat dingin. Ing
Bu-ok beserta pedangnya sudah mulai melakukan
gerakan, kembali sebuah gerakan yang sangat lambat
tapi disertai gaya yang teramat indah, gerakan yang
begitu bebas leluasa seperti hembusan angin.
Ketika angin berhembus lewat, siapa yang mampu
membendungnya" Siapa pula yang bisa menduga
datang dari arah manakah hembusan angin itu"
Kelopak mata Ui sauya mulai menyusut kencang.
Gerakan pedang Ing Bu-ok teramat lambat, menusuk ke
muka dengan gerakan yang lambat sekali.
Yang paling tidak masuk diakal arah arah sasaran dari
tusukan itu, sebab disaat tusukan dilancarkan, tiba-tiba
saja terjadi sebuah perubahan yang tidak masuk diakal.
Pada saat itulah mendadak Tay Thian menggaet
sebuah bangku bambu dengan kakinya, kemudian
tangan kanannya mencekal kaki bangku sementara
tangan kirinya membacok, bangku bambu itu segera
hancur hingga tersisa sebatang kaki bangku nya saja.
Dengan bambu sebagai pengganti pedang Tay Thian
melancarkan sebuah tusukan ke depan, menyambar
dari bawah menuju ke atas.
Sebuah tusukan yang sederhana ternyata
menghasilkan sebuah akibat yang luar biasa, tusukan itu
dengan tepat telah menjebol kehebatan dati tusukan ke
empat belas Ing Bu-ok. Kali ini Ing Bu-ok betul betul
terkesiap. Ternyata gerak serangan yang digunakan Tay Thian
saat ini persis sama seperti gerak serangan yang pernah
digunakan Sam sauya, Cia Siau-hong untuk
mematahkan ketiga belas jurus pedang dari Yan Capsa.
Tapi sayang jurus serangan telah dilancarkan Ing Buok,
dalam keadaan demikian mustahil baginya untuk
mengubah gerak serangannya lagi, tampaknya dia
segera akan tertusuk oleh pedang bambu ditangan Tay
Thian. Ing Bu-ok tidak mati.
Meskipun jurus serangannya berhasil dipatahkan,
walaupun tusukan lawan jelas ditujukan bagian
tubuhnya yang mematikan, namun setelah tusukan
lawan datang, tiba-tiba saja gerak serangan yang
dilancarkan Ing Bu-ok kembali terjadi perubahan yang
sangat besar. Semacam perubahan yang bahkan dia sendiripun
tidak menyangka, perubahan yang bahkan dia
sendiripun tidak mungkin bisa ciptakan.
......Perubahan tersebut merupakan perkembangan
dari perubahan yang muncul secara otomatis pada
gerak serangannya itu.
Seperti air terjun yang mengalir dari puncak gunung,
sewaktu air mengalir ke bawah, jelas kau akan melihat
ruang yang kosong, tapi ketika kau masukkan tanganmu
ke balik ruang kosong itu, ternyata air sudah memenuhi
seluruh ruang kosong tersebut.
"Tiing...!" suara dentingan nyaring bergema
memecahkan keheningan.
Pedang bambu itu patah, patah menjadi beribu
kepingan, sementara tubuh Tay Thian terpental mundur
ke belakang. Perubahan yang muncul rupanya membuat Ing Bu-ok
sendiripun terperanjat, terkesiap bahkan terperangah,
dia seakan sudah lupa kalau disisi tubuhnya masih ada
Ui sauya yang sedang melancarkan serangan.
Tatkala bacokan Ui sauya tepat menghajar diatas
tenggorokannya, tiada rasa sakit yang terlintas diatas
wajahnya, juga tidak nampak rasa ngeri atau takut,
yang tampak hanya semacam hawa dingin yang susah
diurai dengan ucapan.
Semacam hawa dingin yang begitu membeku,
seperti bongkahan salju abadi yang tertanam didasar
bumi yang membeku.
Kemudian, ketika tubuhnya hampir menyentuh
permukaan tanah, tiba-tiba saja wajahnya kembali
terlintas perubahan baru. Semacam perubahan yang
menunjukkan kalau secara tiba-tiba dia berhasil
memahami akan sesuatu.
Menjelang ajalnya, sekulum senyuman masih sempat
menghiasi ujung bibir Ing Bu-ok.
Menjelang ajalnya, Ing Bu-ok baru paham bahwa
pedang ke lima belas dari tiga belas pedang pembetot
sukma milik Yan Capsa sesungguhnya tidak mungkin bisa
dipatahkan oleh siapa pun.
Tidak seorangpun!
Bahkan Sam sauya Cia Siau-hong pun tidak mampu.
Siapa pun yang ingin mematahkan serangan tersebut,
dia harus rela menyerahkan selembar nyawanya.
BAB 6 Rahasia Rumah Perdamaian.
Sejak jaman dulu, orang yang melakukan pekerjaan
sebagai pencuri selalu melakukan aksinya ditengah
malam buta. Sebab disaat malam, banyak orang sudah
mengendorkan pikirannya, sudah malas untuk berpikir
maupun bereaksi, saat orang terlelap tidur dan saat
kegelapan menyelimuti seluruh angkasa.
Bila kau sudah mengenakan seperangkat baju yahengi, sudah mengenakan sepasang sepatu dengan
sol yang tebal, lalu dengan gerakan enteng tanpa suara
melakukan "kegiatan maksiat", biasanya tingkat
keberhasilanmu sangat besar.
Tentu saja tingkat keberhasilan yang tinggi hanya
berlaku untuk wilayah yang "biasa".
Bila kau harus menyatroni sebuah tempat yang
'istimewa', bila kau harus melacak 'rahasia' yang sangat
penting dan bila kau hanya menggunakan cara yang
'biasa', maka hasil yang kau peroleh pun seringkah...
kegagalan! Bukan hanya kegagalan, bahkan terka- dan g harus
disertai dengan kematian.
Cong Hoa bukan manusia 'biasa', oleh sebab itu dia
tak pernah menggunakan cara yang 'biasa'.
Diwaktu siang hari, Pesanggrahan pengobatan Coansinie-khek amat ramai suasananya dengan suara orang
berbicara dan manusia yang berlalu lalang.
Semakin banyak manusia yang berlalu lalang,
semakin hidup suasananya, Cong Hoa selalu menyukai
suasana seperti ini, berdiri di ruang tengah, dengan
wajah riang dia nikmati pelbagai mimik muka yang
melintas dihadapannya.
Pelbagai macam manusia berkumpul di
pesanggrahan itu, ada yang datang untuk menjenguk
orang sakit, ada yang datang menjenguk teman, ada
yang datang untuk mencari teman kongkouw, ada
yang datang untuk mencari kesempatan menggaet
perempuan, bahkan ada pula yang datang khusus
untuk mempraktekkan kecepatan tangannya
memindah barang milik orang ke dalam saku sendiri.
Entah dia tua, muda, laki, perempuan, orang kaya
maupun pengemis, kedatangan mereka semua karena
punya satu tujuan.
Begitu juga Cong Hoa saat ini, kedatangannya pun
karena punya tujuan.
Tujuannya adalah memasuki rumah perdamaian di
dalam pesanggrahan pengobatan itu.
Rumah perdamaian adalah ruangan tempat
menyimpan orang mati, disitulah dia ingin menyelidiki
apa sebabnya hanya peti mati kosong yang dikubur.
Cong Hoa percaya, bila ingin menyingkap tabir
rahasia tersebut maka dia harus mendatangi rumah
perdamaian. Dia lebih percaya kalau Pesanggrahan Coan-sin-iekhek
menyimpan sebuah rahasia yang luar biasa dan
penjagaan yang dilakukan diseputar rumah perdamaian
pasti sangat ketat.
Bila dia datang dimalam hari, sama artinya dengan
mencari mati buat diri sendiri.
Hanya disaat siang hari, disaat banyak orang berlalu
lalang maka penjagaan diseputar sana baru sedikit
agak kendor. ..... Siapa yang berani melakukan aksi 'rahasia' disaat
siang hari, disaat banyak orang berlalu lalang"
Banyak orang berlalu lalang berarti sebuah kamuflase
yang hebat, dan siang hari merupakan saat yang
sangat tepat. Itulah sebabnya Cong Hoa mendatangi


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pesanggrahan Coan-sin-ie-khek disiang hari yang ramai.
Dia tahu Nyoo Cing masih menginap disitu, tapi dia
tidak ingin pergi menjumpainya.
"Daripada bertemu, lebih baik tidak usah berjumpa."
Sebelum kasus hilangnya Cong Hui-miat terungkap,
dia tidak ingin bertemu dengannya., bukannya tidak
ingin, tapi dia merasa sungkan untuk bertemu.
Mengikuti arus manusia Cong Hoa berjalan dari ruang
utama menuju ke beranda samping, kemudian diapun
menelusuri setiap jalan yang dijumpai dengan berlagak
menikmati keindahan disitu.
Masih untung sepanjang perjalanan dia tidak bertemu
dengan orang yang dikenalnya
Cong Hoa memang tidak terburu buru mencapai
tempat tujuannya.
Ketika mendekati rumah perdamaian, arus manusia
bertambah jarang, suara hiruk pikuk pun mulai
berkurang. Sejauh mata memandang, sekeliling rumah
perdamaian seolah dilapisi oleh suasana yang
menyeramkan, asap hijau tampak mengepul keluar
melalui jendela ruangan dan perlahan lahan menyebar
di udara. Saat ini waktu menunjukkan tengah hari.
Inilah saat makan siang bagi sebagian besar pegawai
pesanggrahan, orang yang tersisa pun tinggal sedikit
dan kebanyakan sedang berkumpul sambil kongkouw.
Ketika tidak banyak orang yang memperhatikan,
Cong Hoa segera menyelinap masuk ke dalam rumah
perdamaian. Di dalam rumah perdamaian terdapat tujuh buah
meja altar berbentuk memanjang, tiga diantaranya
sudah berisi jenasah.
Tiga jenasah dengan enam batang hio.
Asap hijau muncul dari ujung hio yang menyala,
menyiarkan bau harum ke seluruh ruangan.
Cong Hoa mulai mengendus bau yang aneh, bau
harumnya hio bercampur dengan hawa "kematian".
Cong Hoa mencoba untuk memeriksa ketiga jenasah
itu, ternyata tidak seorangpun yang dikenal, dengan
sigap dia segera menengok ke sekeliling tempat itu.
Tidak ada suara, tidak ada orang lain.
Cong Hoa tersenyum puas, dia mulai meggelar
aksinya untuk mencapai tujuan kedatangannya kali ini.
Tidak ditemukan apa-apa, sama sekali tidak
ditemukan apa-apa!
Rumah perdamaian masih tetap sangat damai, tidak
ditemukan suatu tempat pun yang tidak damai.
Dengan perasaan tidak puas Cong Hoa mulai
memeriksa sekeliling tempat itu.
Tidak mungkin! Rahasia tersebut pasti berada disini!
Cong Hoa yakin, bila ingin menyingkap tabir rahasia
tentang peti mati kosong, dia harus melakukan
penyelidikan di tempat ini, sebab disinilah dia akan
peroleh jawaban.
Tapi aneh, mengapa dia tak berhasil menemukan
apa-apa" Mungkinkah pemeriksaannya kurang teliti"
Mustahil. Rahasia itu pasti berada disini, untuk kesekian kalinya
Cong Hoa melakukan pelacakan dengan seksama.
Tidak ditemukan apa-apa, sama sekali tidak
ditemukan hal yang mencurigakan. Kenapa"
Jelas rahasia tersebut berada disini, mengapa justru
tidak berhasil ditemukan"
Dengan sedih Cong Hoa duduk diatas meja altar
yang kosong, apakah dugaannya keliru" Mungkinkah di
tempat ini memang tidak ada rahasia apa-apa"
Kalau memang begitu, apa sebabnya semua peti
mati yang dikubur dipuncak bukit hanya peti mati
kosong" Atau mungkin si penggotong peti mati yang
berulah" Atau mungkin setelah peti mati itu terkubur, muncul
orang lain yang mencuri mayat-mayat tersebit"
Tapi buat apa mereka curi mayat-mayat itu"
Mendadak pintu dibuka orang...
Disaat pintu belum terbuka, Cong Hoa segera
berjumpalitan menyembunyikan diri di bawah meja
panjang itu. Pintu segera terbuka dan muncullah seorang kakek
yang sudah rentan.
Dia membawa enam batang hio, setelah
merapatkan kembali pintu ruangan, selangkah demi
selangkah dia mendekati jenasah itu dan masing-masing
menancapkan tiga batang hio dibawah kakinya.
Cong Hoa tidak sempat melihat wajahnya, dia hanya
bisa melihat kakinya.
Orang itu mengenakan sepasang sepatu kain hitam
yang sudah lusuh dan kuno, tidak mengenakan kaus
kaki. Permukaan sol sepatunya dipenuhi lumpur tapi
betisnya terlihat amat bersih dan mulus.
Seorang kakek yang sudah rentan, mengapa bisa
memiliki sepasang betis yang begitu bersih dan mulus"
Biasanya hanya orang kaya yang hidup makmur,
hidup berlebihan dan mengerti merawat diri baru akan
memiliki sepasang betis semulus, sebersih dan seputih itu.
Aneh, mengapa kakek ini memiliki sepasang kaki
semacam itu"
Cong Hoa merasa sangat tertarik, tampaknya dia
memang tidak salah datang.
Kakek rentan itu berdiri cukup lama didepan meja
jenasah, sorot matanya yang semula sayu lambat laun
mulai bersinar tajam, sinar kecerdasan.
Kemudian punggungnya yang semula bungkuk,
potongan tubuhnya yang semula rentan dan lemah kini
berubah jadi segar dan kuat, bahkan sama sekali tidak
ditemukan lagi jej ak ketuaannya.
Senyuman mulai menghiasi wajahnya, tiba-tiba dia
menggerakkan tangan kanannya melakukan gerakan
berputar di udara ke arah diding berukiran
dihadapannya. Jarak dari tempat dia berdiri hingga dinding
dihadapannya paling tidak mencapai dua depa lebih,
tapi dengan sangat mudahnya dia berhasil memencet
tombol yang berada diujung hidung ukiran tersebut.
Jelas inilah ilmu Li-khong-ta-hiat (memukul jalan darah
dari udara) yang sudah lama punah dari dunia
persilatan. Belum sempat Cong Hoa berpikir lebih jauh, tiba-tiba
terdengar suara aneh dari bawah tanah menyusul
kemudian permukaan tanah yang diijaknya itu bergerak
tenggelam ke bawah.
Mula mula suasana sangat gelap, tapi setelah suara
aneh itu berhenti, suasana pun berubah jadi terang
benderang. Setelah yakin tak ada orang lain disekeliling tempat
itu, Cong Hoa baru perlahan lahan menongol keluar,
mula-mula dia saksikan sebuah meja panjang yang
persis seperti meja tempat menyimpan jenasah, meja itu
diberi alas kain putih.
Disampingnya terdapat sebuah meja kecil, diatas
meja terletak berbagai bentuk pisau kecil, berapa
diantaranya pernah disaksikann Cong Hoa dan dia pun
pernah 'mencicipi'nya.
...... Diatas sungai ditengah hutan bunga bwee, diatas
sebuah sampan kecil, seorang kakek dengan tiga belas
bilah pisau kecilnya yang berbentuk aneh pernah
mengobati luka beracunnya.
Pada meja kecil yang lain terletak berapa puluh buah
botol, ada yang berisi cairan ada pula yang berisi
bubuk, tampaknya sebangsa obat obatan.
Cong Hoa mencoba memperhatikan bagian lain, dia
merasa tempat itu semuanya bersih dan teratur, bahkan
terasa dingin, sepi dan dipenuhi bau obat obatan.
Apa kegunaan ruangan ini" Mengapa harus
dibangun dibawah rumah perdamaian" Mengapa disitu
tersimpan pelbagai benda yang aneh" Apa gunanya
benda-benda itu" Siapa pula kakek rentan yang
menjaga rumah perdamaian itu"
Baru saja Cong Hoa akan bangkit berdiri, mendadak
terdengar lagi suara mencicit yang aneh, buru-buru dia
sembunyikan diri lagi.
Tidak lama kemudian dari atas dinding disisi kiri
muncul kembali sebuah pintu rahasia, dari balik pintu
muncul seseorang yang mengenakan jubah panjang
berwarna putih.
Orang itu mengenakan topi yang terbuat dari kain
putih, topi yang membungkus seluruh rambutnya,
bagian hidung dan mulutpun tertutup selapis kain putih
bahkan tangannya mengenakan sarung tangan yang
tembus pandang, satu-satunya yang bisa dilihat Cong
Hoa hanya bagian matanya.
Orang itu mempunyai mata yang sangat besar,
sangat bulat dan amat berkilauan, pancaran sinar
matanya menunjukkan kecerdasan dan kesewenangan,
perawakan tubuhnya tinggi besar mencapai dua meter
lebih, tidak gemuk pun tidak kurus.
Dia memiliki sepasang tangan yang kuat lagi
bertenaga, jari tangannya panjang panjang, jelas dia
sangat memperhatikan soal perawatan kuku. Biasanya
orang yang memiliki jari tangan seperti ini tentu jagoan
dalam melepaskan senjata rahasia.
Gerak-geriknya pun lincah dan cekatan, setiap
langkahnya sama sekali tidak menimbulkan suara, ini
menunjukkan kalau ilmu meringankan tubuh yang dimiliki
pun sangat hebat.
Tanpa mengeluarkan banyak tenaga ia sudah
menggeser jenasah itu diatas meja panjang yang
berlapiskan besi putih, kemudian dengan cepat
melepaskan semua pakaian yang dikenakan.
Dari meja dia mengambil sebuah botol berisi cairan,
menuang sedikit ke perut mayat itu lalu menggosokkan
hingga merata. Mula-mula dia mengambil sebilah pisau kecil, Cong
Hoa tahu apa kegunaan pisau itu yakni untuk mengerat
kulit tubuh, bentuknya panjang lagi pipih, ukurannya
sembilan inci. Dengan amat cekatan dia mulai
membelah dada dan perut mayat kemudian dengan
menggunakan sebilah pisau berbentuk gergaji, dia
mulai memisahkan ruas tulang belulangnya.
Cong Hoa berusaha menahan napas, dia tidak ingin
suara napasnya sampai kedengaran orang itu, apalagi
suasana dalam ruangan amat hening, sedemikian
heningnya cenderung menakutkan. Apalagi
pemandangan yang terpampang dihadapannya saat
ini merupakan satu kejadian yang cukup mendirikan
bulu roma. Begitulah, dengan tenang dia saksikan orang itu
membelah tubuh mayat, mengeluarkan isi perutnya,
memasukkan ke dalam kotak, kemudian menaburkan
sejenis bubuk ke dalam rongga tubuh mayat yang telah
kosong itu. Ketika menganggap sudah cukup memuaskan, dia
baru mengambil sebatang jarum lalu menjahit luka yang
menganga itu satu per satu, menurut hitungan Cong
Hoa, paling tidak dia butuh tujuh puluh dua jahitan untuk
merapatkan seluruh mulut luka itu.
Selesai dengan pekerjaaannya dia berjalan ke depan
sebuah lentera, memutar tombol rahasia yang ada
disitu, dari balik dinding segera muncul sebuah almari.
Dari dalam almari itu dia mengeluarkan segulung kain
lalu membalut mayat itu dari kaki hingga ke ujung
kepalanya, tidak lama kemudian seluruh tubuh mayat itu
sudah terbalut seperti bacang.
Setelah itu dia masukkan mummi itu ke dalam sebuah
kotak dan diberi tanggal dan kode:
"Tujuh puluh enam, bulan sepuluh tanggal sembilan."
Setelah memandang kotak berisi mayat itu dengan
perasaan puas, diapun berseru, "Inilah yang disebut
mummi!" "Dengan siapa dia berbicara?" Pikir Cong Hoa,
"Apakah dia sudah tahu kalau dalam ruangan masih
ada orang lain?"
"Tadi yang kau saksikan adalah cara membuat
mummi," orang itu berbicara sambil membelakangi
tempat dimana Cong Hoa bersembunyi, "Bagus tidak?"
"Bagus, bagus sekali," akhirnya Cong Hoa bangkit
berdiri sambil bertepuk tangan dan tertawa, "Caramu
berpraktek sungguh luar biasa!"
"Terima kasih," perlahan-lahan orang itu membalikkan
tubuhnya, berhadapan dengan Cong Hoa.
"Seandainya kau masuk ke lak-san-bun, dapat
dipastikan akan menjadi opas nomor wahid," dia
berkata sambil tertawa, "Terbukti tempat yang begini
rahasia pun berhasil kau temukan."
"Bukan aku yang temukan, tapi kau yang
membawaku kemari!"
"Kenapa kau bisa menaruh curiga kalau persoalan
muncul di rumah kedamaian?"
"Tanah kuburan, kuburan dipuncak bukit sebelah
belakang sana."
"Maksudmu peti mati kosong?"
"Betul!"
"Aah, tidak nyana peti mati kosong itu malah menjadi
titik terangmu," dia menghela napas.
"Andaikata kau tambahkan batu cadas didalam peti
mati itu hingga bobotnya bertambah, mungkin tidak
secepat ini kecurigaanku sampai ke alamat
pesanggrahan pengobatan Coan-sin-ie-khek."
"Kau mengerti tehnik pembuatan mummi, berarti
kaulah pelaku kasus berdarah yang menimpa Cong


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Poan-long di kota Say-cu-tin pada dua puluh tahun
berselang?" seru Cong Hoa sambil menatapnya tajam.
"Memangnya orang yang pandai membuat babi
panggang, dia pasti seorang tukang jagal babi?" orang
itu balik bertanya sambil tertawa.
"Dua puluh tahun berselang, Cong Poan-long dengan
membawa rahasia tentang Mummi pergi menghadap
pemerintah, tapi baru melalui perbatasan dan tiba di
kota Say-cu-tin, dia sudah mati dibunuh orang,
pembunuhnya pastilah orang yang telah merampas
rahasia mummi itu."
"Diapun seorang pengkhianat penjual negara yang
sedang dicari pemerintah," orang itu menambahkan.
"Darimana kau bisa tahu?"
"Kalau tehnik untuk menciptakan mummi pun sudah
aku kuasai, masa persoalan ini tidak kuketahui?"
jawabnya sambil tertawa.
Dengan tatapan tajam Cong Hoa mengawasi
sepasang matanya yang muncul dari balik kain putih itu.
"Aneh, kenapa aku merasa seperti amat kenal
dengan sepasang matamu itu," kata Cong Hoa,
"Mungkinkah pernah kujumpai diwajah orang lain?"
Berkilat sepasang mata orang itu, menyusul kemudian
dia sengaja berlagak tertawa keras.
"Semua benda yang ada di alam semesta sumbernya
tetap satu, apa anehnya kalau terjadi kemiripan,"
katanya. "Aaah salah, bukan mirip," kata Cong Hoa yakin,
"Aku pasti pernah bersua denganmu, bahkan bersua
dalam setengah bulan terakhir."
Sekilas perasaan takut melintas dari balik matanya
yang bulat besar. Apa yang dia takutkan, kuatir Cong
Hoa berhasil mengenali identitasnya"
Semua rahasia yang ada dalam ruangan telah
diketahui Cong Hoa, apakah dia akan membiarkan
Cong Hoa pergi meninggalkan tempat itu dalam
keadaan selamat"
Jangan-jangan dia adalah Hong Coan-sin" Tapi kalau
dilihat dari perawakannya, dia tidak mirip Hong Coansin.
Kalau dia bukan Hong Coan-sin, mengapa dalam
ruang rahasia ini terdapat begitu banyak rahasia"
Mengapa ruang rahasia bisa berada disini dan
mengapa dia muncul disitu" Apakah sedang membuat
mummi" Kalau dia bukan Hong Coan-sin, lalu apa hubungan
antara mereka berdua"
Hari ini dia sengaja muncul disitu, menciptakan
mummi yang diberi kode "tujuh puluh enam",
tampaknya kesemua ini memang sengaja dia lakukan
untuk diperlihatkan kepada Cong Hoa, lalu apa
alasannya melakukan hal ini"
Kalau dilihat dari gelagatnya, dia seakan tidak berniat
membunuh Cong Hoa, lalu apa alasannya berbuat
begitu" Dia tidak segan mengorbankan rahasia ini, berarti dia
pasti sedang melindungi rahasia lain yangjauh lebih
besar. Lalu apakah rahasia yang lebih besar itu"
"Kau pasti dapat melihat bahwa aku tidak mengerti
ilmu silat," dia berkata sambil menatap Cong Hoa.
"Aku pun dapat mengenali bahwa kau pasti
seseorang yang kukenal," sambung Cong Hoa,
"Sekalipun kau telah berusaha untuk mengubah logat
suara mu."
Perasaan takut, ngeri semakin tebal menyelimuti
wajahnya. "Tentu saja aku pun tahu kalau kau tidak pandai
bersilat," ujar Cong Hoa lagi hambar, "Itulah sebabnya
aku keheranan, kenapa dia suruh kau melakukan ini
semua, sebenarnya apa tujuannya?"
"Dia" Siapakah dia?"
"Dia adalah orang yang mengajarkan ilmu
pembuatan mummi kepadamu," Cong Hoa
menatapnya makin tajam, "Dia pula orang yang
menyuruh kau datang kemari untuk membocorkan
rahasia yang ada disini."
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Dia pasti
mempunyai tujuan tertentu, tahukah kau?"
"Dari... darimana aku bisa tahu?"
"Aku percaya kalau kau tidak tahu, tapi mengapa dia
tidak segan mengorbankan rahasia yang ada disini?"
ujar Cong Hoa sambil mengamati sekeliling tempat itu.
Cong Hoa mulai meraba pisau kecil yang dipakai
untuk operasi, kemudian mendekati kotak yang
digunakan untuk menyimpan mummi, dia seakan
sedang melakukan pemeriksaan yang seksama.
Padahal apa yang dia lakukan bukan berniat untuk
mencari tahu, tapi ingin manfaatkan kesempatan itu
untuk mempertim-bangkan pelbagai persoalan.
"Ketika sebuah rahasia sudah tidak mungkin
dirahasiakan lagi, cara terbaik apa yang harus
dilakukan?" tanya Cong Hoa kemudian.
"Dibuka secara umum," jawab orang itu, "Kalau
memang sudah bukan rahasia lagi, kenapa tidak
diumumkan saja?"
"Caramu memang termasuk salah satu cara, tapi
bukan termasuk yang terbaik."
"Lalu cara apa yang terbaik?"
"Memusnahkannya!"
"Memusnahkannya?"
"Betul, asal rahasia itu dimusnahkan maka rahasia
tersebut akan tetap menjadi rahasia," gumam Cong
Hoa, "Persoalannya sekarang, mengapa dia tidak
mendahulu aku datang kemari dan memusnahkan
rahasia ini" Apakah lantaran kedatanganku kelewat
cepat sehingga dia tidak sempat memusnahkannya"
Atau..." Mendadak paras muka Cong Hoa berubah hebat,
serunya tertahan, "Aduh celaka!"
Dia mendongak keatas lalu melompat dan meraba
dinding diatas ruangan itu.
Orang itu berdiri kebingungan, dia seakan tidak
mengerti mengapa gadis tersebut bertingkah aneh.
Setelah melompat turun kembali, Cong Hoa pun
bertepuk tangan sambil bergumam, "Ooh, rupanya
begitu." "Apanya yang begitu?"
"Ditempat ini, kecuali altar panjang yang
membawaku turun ke bawah serta pintu rahasia yang
kau lewati, apakah masih ada jalan keluar lainnya?"
"Tidak ada," jawab orang itu makin kebingungan,
"Buat apa kau menanyakan soal ini?"
"Cara apa yang paling baik untuk memusnahkan
sebuah rahasia?"
"Dibakar!"
Begitu ucapan tersebut diutarakan, paras muka orang
itu kontan berubah hebat.
"Apakah jalan menuju ke atas sudah..."
"Benar, malah kobaran api sudah semakin
membesar."
Tiba-tiba orang itu membalikkan tubuh dan lari
menuju ke pintu rahasia diatas dinding.
"Percuma!" seru Cong Hoa segera, "Jalan itu pasti
sudah tersumbat mati!"
Benar saja, pintu rahasia itu sudah tidak bisa dibuka.
Dengan wajah ketakutan orang itu mundur kembali
lalu menengok ke arah Cong Hoa dengan perasaan
gelisah. "Bagaimana sekarang?" serunya.
"Diberi kecap lalu didinginkan!" sahut Cong Hoa
sambil tertawa getir.
Sekarang dia benar benar berharap bisa
"didinginkan", seandainya saat ini turun hujan deras,
bisajadi Cong Hoa berdua akan tertolong.
Tapi dia tahu, tidak mungkin nasibnya semujur itu.
Setelah "dia" berniat akan memusnahkan rahasia ini,
sudah pasti api yang dilepas tidak akan secepat itu
padamnya, bisa jadi sebagai bahan bakarnya dia
pergunakan "minyak hitam" yang dihasilkan di wilayah
Biau. Teringat akan "minyak hitam", tiba-tiba sekulum
senyuman kembali menghiasi wajah Cong Hoa.
"Dalam keadaan begini kau masih bisa tertawa?"
tegur orang itu.
"Coba tebak, barusan aku teringat dengan siapa?"
tanya Cong Hoa sambil tertawa.
"Sun Go-khong!" sahut orang itu jengkel, "Kecuali Sun
Go-khong yang memiliki ilmu 72 perubahan, siapa yang
bisa menolong kita?"
"Meskipun orang itu tidak memiliki ilmu 72 berubah,
tapi kisah pengalamannya mungkin bisa selamatkan kita
berdua." "Siapa" Siapa orang itu" Bagaimana kisahnya?"
"Coh Liu-hiang!"
"Coh Liu-hiang?"
"Benar, ketika Coh Liu-hiang melacak ke pulau
kelelawar, dia pun pernah diserang dengan api sewaktu
berada ditengah lautan."
Orang itu tidak komentar, dia mendengarkan dengan
seksama. "Waktu itu semua orang yang ada di kapal sudah
panik, sebab sejauh mata memandang hanya lautan
api yang ada, tidak satu bagian tempat pun yang bisa
digunakan untuk meloloskan diri, saat itulah coh Liuhiang
beritahu kepada semua orang, bila ingin tetap
hidup, melompatlah ke dalam api."
Setelah tarik napas, kembali lanjutnya, "Semua orang
mengira Coh Liu-hiang sudah edan, tapi menanti dia
sudah terjun ke dalam lautan api, semua orang baru
tahu kalau Coh Liu-hiang memang tidak malu disebut
Coh Liu-hiang!"
"Kenapa?"
"Sebab api hanya membakar diatas permukaan air
sementara dibawahnya tetap air, satu-satunya cara
untuk meloloskan diri waktu itu hanyalah terjun ke dalam
api." "Sayang kita saat ini tidak berada di lautan, dibawah
api pun tidak ada air, yang ada hanya kita berdua."
"Sekalipun dibawah tidak ada air, diatas kita toch
ada api." Orang itu tidak mengerti apa maksud dari perkataan
Cong Hoa. "Dulu dengan beraninya Coh Liu-hiang melompat ke
dalam api, sekarang kita pun harus menirunya,"
katanya. "Dengan gagah berani kita terjun ke dalam api."
"Betul, asal terjun ke api ditanggung kita akan
menjadi manusia panggang!"
"Saat ini kobaran api diatas pasti amat besar, tentu
ada banyak orang sedang berusaha untuk
memadamkan api, maka begitu kita muncul diatas,
larilah menuju ke arah kerumunan orang banyak."
"Andaikata kita gagal mencapai kerumunan orang
banyak?" "Berarti kita hanya bisa berjumpa dua puluh tahun
kemudian."
"Tampaknya hanya ada jalan ini saja buat kita."
"Terletak di mana tombol rahasia untuk
menggerakkan meja altar panjang ini?" tanya Cong
Hoa kemudian. Dia tidak menjawab dengan perkataan tapi dengan
perbuatan, tangannya segera menarik tombol yang
berada sebuah lampu diatas dinding ruangan.
Diiringi suara gemericit nyaring, meja altar itu mulai
bergerak naik ke atas.
Dengan cepat Cong Hoa melompat ke atas meja
seraya berseru, "Cepat, cepat naik kemari!"
Ketika orang itu berhasil naik keatas meja, altar
panjang itu sudah hampir mencapai atap ruangan.
Semakin mendekati ke atas permukaan tanah, udara
terasa semakin panas.
Tiba-tiba atap bangunan membelah jadi dua, berapa
batang kayu yang membara seketika ambruk dan
longsor ke bawah.
Cong Hoa sudah mulai mengendus bau hangus
bekas terbakar yang sangat tajam.
Benar saja, kobaran api yang membara diatas
permukaan tanah sangat besar, orang yang
berkerumun disekitar tempat itu pun sangat banyak.
Setelah menyaksikan kerumunan orang yang sedang
menolong api, Cong Hoa baru menyadari kalau dia
telah salah memperhitungkan satu hal.
Semakin banyak orang berkerumun, kobaran api di
tempat itu pasti sangat besar, karena orang yang
berusaha memadamkan api pasti akan mulai bekerja
dari titik api yang terbesar, kobaran api begitu besar dan
dahsyat, bagaimana mungkin manusia bisa
melampauinya"
Baru saja Cong Hoa berusaha mencegah orang itu
agar lari menuju ke arah kerumunan orang banyak,
orang itu sudah melompat keluar dan langsung lari
menerjang ke arah tempat dimana api sedang
membakar dengan hebatnya.
"Bahaya!" pekik Cong Hoa keras keras.
Terlambat, orang itu sudah lari menuju ke tengah
jilatan api yang membara.
Orang ini benar-benar sangat penurut, ternyata dia
benar benar lari menuju ke tempat kerumunan orang
paling banyak. Andaikata orang itu sampai mati terbakar, jelas


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kejadian ini merupakan kesalahannya.
Bila dia tidak menganjurkan kepadanya untuk lari
menuju ke arah kerumunan orang banyak, secara naluri,
seharusnya dia akan lari menuju ke tempat dimana
jilatan api paling kecil.
Kesalahan yang Dia lakukan kali ini betul betul
merupakan sebuah kesalahan yang fatal.
Cong Hoa tidak ingin menyaksikan orang itu mati
terbakar, tidak boleh dan tidak harus terjadi, sekonyongkonyong
dia melejit ke tengah udara, kemudian melesat
ke arah tempat dimana jilatan api berkobar paling
besar. BAGIAN - 4. Jurus pedang ke lima belas.
BAB 1. Rahasia Pesanggrahan Coan-sin-ie-khek.
Cong Hoa memang manusia macam begitu.
Demi melakukan sebuah pekerjaan yang dia anggap
harus dilakukan dan dia rela melakukannya, maka gadis
itu tidak pernah akan memikirkan akibatnya. Sekalipun
ada golok yang dipalangkan diatas tengkuknya, tidak
nanti dia akan berubah pikiran.
Mungkin manusia semacam ini dianggap sedikit
goblok, tapi bisa kah kau mungkir bahwa diapun
terhitung seseorang yang menawan"
Api menjilat dengan dahsyatnya, sekalipun ada
seekor gajah raksasa yang lari masuk pun dalam waktu
singkat akan terbakar hangus, apalagi hanya seorang
manusia" Dalam hal ini bukannya Cong Hoa tidak memikirkan,
hanya saja dia terlambat berpikir ke situ, karena "orang"
itu begitu penurut dan lari menuju kearah yang
dianjurkan, bagaimana mungkin dia hanya berpeluk
tangan saja"
Kobaran api begitu dahsyat, bisa jadi baru
melangkah masuk, tubuh mereka sudah terbakar jadi
abu, tapi bagaimana pun dia tetap nekad akan
memasukinya. Menanti kobaran api berhasil dipadamkan, dia tetap
tidak berhasil menemukan "dia" diantara reruntuhan
dan puing yang hangus.
Yang tersisa di tempat kejadian hanya kayu arang
dan abu bekas kebakaran, tidak dijumpai tulang
belulang manusia.
Jangan lagi tulang belulang manusia, bahkan
bangkai semut yang "kecil" pun tidak dijumpai satu pun.
Cong Hoa sudah enam kali melakukan penelusuran,
sudah enam kali membongkar sisa puing yang
berserakan ditempat itu, sekali demi sekali, dia mencari
terus, gagal yang pertama dilanjutkan pencarian yang
kedua. Hasilnya" Tetap tidak ditemukan apa-apa.
Bagaimana mungkin bisa begitu"
Dengan jelas sekali dia saksikan orang itu lari menuju
ke tengah kobaran api, kenapa tidak berhasil ditemukan
jenasahnya" Sekalipun dia sudah mati terbakar, paling
tidak tentu akan ditemukan sisa-sisa tulang belulangnya.
Tidak ditemukan apa-apa. Sama sekali tidak
ditemukan apa-apa.
Cong Hoa gelengkan kepalanya berulang kali,
mengawasi sisa puing yang berserakan, mimik mukanya
saat ini seperti seseorang yang baru saja melihat setan,
dia hanya mengawasi ke tengah arena dengan
pandangan mendelong.
Kemana larinya orang itu" Dengan mata kepala
sendiri dia saksikan orang itu lari menuju ke tengah
kobaran api, kemudian diapun segera menyusul dari
belakangnya, kenapa tidak dijumpai jenasahnya"
Kenapa bisa muncul kejadian seperti ini" Kemana
kaburnya orang itu" Sebenarnya dia sudah "tiba" di
mana" Atau mungkin kobaran api yang membara kelewat
dahsyat sehingga tulang belulangnya pun ikut terbakar
hingga jadi abu"
Sewaktu Cong Hoa berhasil lolos dari jilatan api tadi,
pakaian yang dikenakan sudah terbakar hingga tidak
berbentuk, bahkan kulit tubuhnya lamat-lamat terasa
sakit, tentu saja sebagian rambutnya ikut terbakar
hangus. Tapi orang itu, kenapa dia bisa hilang lenyap tidak
berbekas" Mungkin pertanyaan ini tidak akan bisa dijawab oleh
siapa pun. Satu-satunya orang yang bisa menjawab pertanyaan
tersebut mungkin hanya "dia" seorang.
Tapi dimanakah 'ia' sekarang"
Suasana di arena kejadian amat kalut, suara manusia
hiruk pikuk, namun Cong Hoa bagaikan puncak bukit
karang yang bersalju abadi, berdiri tidak bergerak,
walaupun sepasang matanya tertuju ke tengah puing
dan memandangnya tanpa berkedip, namun sorot
matanya justru sedang memandang ke tempat
kejauhan sana. Sungguh keji perbuatan orang itu, sadar kalau
rahasianya sudah tidak bisa dipertahankan lagi, kuatir
kalau sudah tidak punya cukup waktu untuk
melaksanakan operasi pemusnahan, ternyata dia tidak
segan untuk mengirim seorang jagoannya untuk
memancing perhatian Cong Hoa, agar dia punya waktu
untuk melepaskan kobaran api.
Bukan saja dia ingin memusnahkan rahasianya,
membantai Cong Hoa, bahkan keselamatan orang
kepercayaannya pun ikut dikorbankan.
Abu bekas kebakaran yang berwarna hitam
meninggalkan jelaga di mana-mana, abu yang
beterbangan terhembus angin melayang di udara
bagaikan asap putih...
Selewat tengah hari terlihat awan tipis mulai
terhimpun jadi gumpalan mega, tampaknya sore nanti
ada kemungkinan turun salju.
Suara hiruk pikuk masih menggema memecahkan
keheningan, masing-masing orang sedang
membanggakan kehebatan sendiri ketika menolong api
tadi, tidak seorangpun yang memperhatikan kehadiran
Cong Hoa di tempat itu.
Tiba-tiba Cong Hoa merasa ada sepasang mata
diantara kerumunan orang banyak sedang mengawasi
tengkukya dengan sorot mata yang setajam sembilu,
dengan cepat dia berpaling, namun tidak berhasil
menemukan pemilik dari sepasang mata yang tajam itu.
Sorot mata yang tajam bagai mata golok, manusia
yang kabur bagai kabut tebal.
Siapakah pemilik sorot mata setajam sembilu itu"
Diakah pelaku pembakaran ini"
Cong Hoa mulai melakukan pelacakan, mulai
melakukan pencarian, dia berharap bisa menemukan
pemilik sorot mata yang tajam itu. Tapi sejauh mata
memandang, hampir sebagian besar yang hadir adalah
pegawai dari pesanggrahan ditambah mereka yang
rasa ingin tahunya besar.
Mungkinkah pemilik sepasang mata tajam itu
bersembunyi dibalik kerumunan orang banyak"
Tidak ada. Cong Hoa yakin orang itu sudah tidak ada.
Mungkin 'dia' sudah pergi dari situ.
Baru saja Cong Hoa akan melakukan pencarian ke
arah lain, mendadak ekor matanya menangkap sesosok
bayangan manusia yang terasa amat dikenalnya.
Dengan cepat dia membalikkan tubuh, lalu dia pun
menyaksikan ada tujuh-delapan orang sedang bersiapsiap
meninggalkan tempat itu.
Ketika dia mencoba memperhatikan dengan lebih
seksama, ternyata dari ke tujuh-delapan orang itu tidak
dijumpai bayangan manusia yang amat dikenalnya itu,
tapi dia dapat merasakan bahwa gerak-gerik berapa
orang itu ada yang tidak benar, hanya saja dia tidak
bisa menjelaskan dimana letak ketidak benaran itu.
Tiga orang yang berada dipaling depan dapat
segera dikenali sebagai pegawai dari pesanggrahan
pengobatan, mereka mengenakan pakaian seragam
berwarna putih, kendatipun wajahnya diliputi
kemurungan, namun tidak bisa menutupi perasaan
hatinya yang gembira karena menyaksikan bencana itu.
Berikutnya adalah seorang kakek berusia setengah
abad lebih, walaupun tubuhnya sedang bergerak
meninggalkan tempat itu namun pikirannya seakan
masih tertinggal di arena kebakaran, berulang kali dia
berpaling untuk menengok ke arah tempat kejadian,
wajahnya nampak sangat murung.
Menyusul dibelakang kakek setengah umur itu adalah
dua orang wanita, mereka mengenakan jubah panjang
berwarna hijau, diantara kerumunan orang banyak,
suara kedua orang inilah yang kedengaran paling besar.
Dibelakangnya lagi adalah seorang lelaki yang
gemuknya bukan kepalang, setiap berjalan satu
langkah, dia segera berhenti sejenak untuk mengatur
napasnya yang ngos-ngosan.
Menurut perkiraan Cong Hoa, paling tidak orang itu
berbobot dua ratusan kati lebih, mana gemuk,
perawakan tubuhnya pendek lagi sehingga sekilas
pandang bentuknya mirip sekali dengan segumpal bola
daging. Caranya berjalan sangat lucu, seperti seekor
gayah yang sedang dilatih berjalan.
Cong Hoa tidak tahan untuk tertawa, tapi dengan
cepat senyumannya membeku, caranya berjalan, betul,
caranya berjalan, dia segera menyadari bahwa hal
yang tidak beres pada ke tujuh delapan orang itu
adalah cara mereka sewaktu berjalan.
Dia merasa bahwa paling tidak ada satu orang
diantara rombongan itu yang caranya berjalan tidak
seperti cara jalan orang pada umumnya, dia
berpendapat, tidak seharusnya dalam keadaan seperti
ini orang tersebut berjalan dengan cara begitu,
semestinya dia berjalan dengan cara berjalan yang
'normal'. Sekali lagi Cong Hoa memperhatikan rombongan
orang itu. Tiga orang pegawai pesanggrahan
berjalan dengan ringan dan gembiranya. Si kakek
setengah umur berjalan sambil tiada hentinya berpaling.
Lalu kedua orang perempuan yang berjalan sambil
ngoceh tiada habisnya dan terakhir si bola daging yang
berjalan seperti gajah melangkah.
Semuanya normal, semuanya tidak ada yang aneh.
Cong Hoa mulai meraba ujung hidung sendiri, disaat
itulah mendadak dia berhasil menemukan sesuatu hal
yang amat 'normal'.
Ternyata kakek setengah umur yang tiada hentinya
berpaling itu dalam waktu singkat telah berhasil
melampaui tiga orang yang berada didepannya,
bahkan dengan cepat telah berbelok ke sebilah jalan
kecil. Bagaimana mungkin seorang kakek setengah umur
seperti itu bisa berjalan jauh lebih cepat ketimbang tiga
orang pemuda yang masih kuat" Bahkan berhasil
melampauinya"
Disamping itu, caranya berjalan pun sangat aneh,
kaki kanannya melangkah dulu kemudian kaki kirinya
baru diseret maju ke depan.
Benar, ternyata cara berjalan kakek setengah umur ini
yang membuatnya merasa ada sesuatu yang tidak
beres, ketika berjalan masuk ke jalan kecil yang lain
itulah mestinya dia telah menggunakan cara
berjalannya yang 'normal'.
Sebelum hari ini, rasanya dulu dia sudah pernah
menyaksikan cara berjalan seperti ini.
Orang itu tidak lain adalah seseorang yang
mempunyai bekas luka bacokan diantara alis matanya,
orang yang mengajaknya menuju ke kota Say-cu-tin.
Cong Hui-miat! Cong Hoa mulai tertawa, dia segera melakukan
pengejaran, kali ini dia tidak ingin kehilangan jejaknya
lagi. Menanti Cong Hoa menyusul sampai dijalan setapak
itu, si kakek setengah baya itu sudah berjalan keluar dari
pesanggrahan pengobatan Coan-sin-ie-khek.
Saat itu dia sudah berjalan ditengah daun kering
yang berguguran di akhir musin gugur.
Cong Hoa segera menjejakkan kakinya dan
melambung ke udara, kemudian dalam berapa kali
lompatan ia sudah menyusul di belakangnya.
Keluar dari pesanggrahan Coan-sin-ie-khek, Cong
Hoa mempercepat gerakan tubuhnya, tidak selang
berapa saat kemudian dari kejauhan dia sudah saksikan
bayangan punggung kakek setengah umur itu.
Ketika berjalan tadi kakek itu nampak sangat bebal
dan lamban, tapi begitu menggunakan ilmu
meringankan tubuhnya, kecepatan geraknya benarbenar
luar biasa dan tidak malu disebut seorang jago
kelas satu. Sudah seperminum teh berlalu, namun selisih jarak
diantara mereka berdua masih tetap bertahan pada
posisi semula. Setelah melewati punggung bukit, jalan semakin
menurun, dibawah kaki bukit itu terdapat sebuah dusun.
Jalanan ditempat itu pasti banyak orang berlalu lalang,
berarti tidak mungkin bagi mereka untuk menggunakan
ilmu meringankan tubuh lagi.
Jarak dengan dusun itu makin mendekat, tidak heran
kalau suasana pun bertambah ramai, kini dikiri kanan
jalan bukan saja banyak orang berlalu lalang bahkan
mulai muncul penjual kaki lima yang mendirikan tenda


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disepanjang jalan.
Begitu memasuki dusun, seperti yang diduga Cong
Hoa tadi, kakek setengah umur itu tidak berani berlarian
dengan ilmu meringankan tubuhnya lagi, cara berjalan
yang bebal dan bodoh pun kembali muncul didepan
mata. Sekarang Cong Hoa berani memastikan kalau kakek
setengah umur itu tidak lain adalah Cong Hui-miat,
walaupun caranya berjalan sangat bodoh dan bebal
namun cepat sekali gerakannya, seandainya Cong Hoa
harus meniru caranya berjalan, mungkin selama hidup
jangan harap bisa menyusulnya, maka terpaksa dia
mulai berlarian.
Sekalipun berlarian ditengah jalan gampang
memancing perhatian orang banyak, paling tidak jauh
lebih mendingan dari pada berlarian dengan
menggunakan ilmu meringankan tubuh.
Ketika dia mulai lari, selisih jarak diantara mereka
berdua pun makin lama semakin bertambah pendek,
ketika hampir saja berhasil menyusul, mendadak kakek
setengah umur itu berpaling seraya berteriak keras,
"Rampok! Rampok! Ada perampok wanita ingin
merampas uang peti matiku!"
Teriakan itu segera menarik perhatian banyak orang,
caci maki segera bergema disana sini, Cong Hoa pun
menjadi pusat perhatian orang banyak, sementara
kakek setengah umur itu segera berlagak gemetaran
dengan muka pucat, malah sudah ada berapa orang
pemuda yang datang memayangnya.
Sekarang, biar Cong Hoa menceburkan diri ke dalam
samudra pun tidak akan bisa mencuci bersih tuduhan
itu, ditengah hari bolong apalagi ditengah jalan raya
ternyata seorang gadis muda ingin merampok uang beli
peti mati milik seorang kakek setengah umur, siapa pun
pasti akan menyingsingkan lengan baju untuk memberi
pertolongan. Tiba-tiba saja Cong Hoa ingin tertawa, pekerjaan
macam apapun pernah dia kerjakan tapi belum pernah
jadi perampok, apa mau dibilang justru berulang kali dia
dituduh sebagai perampok, pertama dituduh Ui sauya
dan sekarang oleh si kakek celaka, yang jelas adalah
penyaruan dari Cong Hui-miat ini.
"Betul, aku memang akan merampas uangmu!" tibatiba
Cong Hoa berseru lantang, wajahnya menunjukkan
rasa gusar yang luar biasa, "Aku memang ingin
merampas modalmu untuk membeli peti mati, aku ingin
menyaksikan kau mampus tanpa liang kubur. Suamiku
sudah berbaik hati dengan menampungmu dirumah
kami, melihat usiamu yang sudah tua, luntang lantung
tidak punya tempat pemondokan, kau bisa tinggal
dirumah kami secara bebas, tapi kau... siapa tahu kau
manusia berhati binatang, menggunakan kesempatan
disaat suamiku pergi, kau telah melolohku dengan arak,
lalu ketika aku mabuk, kau... kau..."
Bicara sampai disini Cong Hoa pun berlagak
sesenggukan hingga tidak sanggup melanjutkan
perkataannya. Tidak ampun lagi, caci maki dan kata umpatan
segera berganti sasaran, hampir semua orang yang ada
disitu mulai memaki maki kakek setengah umur itu.
Perbuatan apa lagi yang bisa lebih bejad daripada
usaha seorang kakek hidung belang merogol gadis
muda, kerumunan orang banyak pun selangkah demi
selangkah menghampiri kakek itu.
Diam-diam Cong Hoa melirik sambil tertawa girang,
ingin mencelakai aku" Hmm! Sekarang rasain
pembalasanku! Selangkah demi selangkah kakek setengah umur itu
mundur ke belakang, sementara kepungan orang
banyak semakin merapat.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seseorang
berseru keras, "Salah sasaran, salah sasaran, semuanya
salah besar, hari itu sewaktu kau mabuk, dia tidak
berbuat kurangajar kepadamu, justru dia datang
mencariku dan minta aku pulang untuk merawatmu,
mana mungkin dia telah melakukan perbuatan tidak
senonoh?" Desakan semua orang pun seketika berhenti, tanpa
terasa mereka berpaling.
Begitu mendengar teriakan itu, Cong Hoa segera tahu
siapa yang telah datang, diam-diam dia menyumpah
didalam hati, kalau mau datang kenapa justru datang
disaat ini"
Ui sauya dengan wajah penuh senyuman munculkan
diri dari kerumunan orang banyak.
"Aku tahu, kau pasti akan salah paham kepadanya,"
ternyata dia masih bermain sandiwara, "Aaai ....biniku,
kalau ada urusan mari kita bicarakan dirumah saja."
Kurangajar! Berani amat dia menyebutnya sebagai
'bini', untuk sesaat Cong Hoa tidak tahu haruskah marah
atau tertawa"
Ketika para penonton mendengar kalau urusan
hanya salah paham, merekapun segera membubarkan
diri. Baru saja Cong Hoa hendak menghalangi kakek itu
agar tidak melarikan diri, tahu-tahu Ui sauya telah
menarik tangannya.
"Lepaskan aku!"
Dengan gelisah Cong Hoa meronta, berusaha
melepaskan diri, siapa tahu Ui sauya memegangnya
kuat kuat, malah sambil tertawa ujarnya, "Biniku, jangan
marah lagi....."
"Kalau kau tidak lepas tangan, aku benar benar akan
marah!" seru Cong Hoa sambil menarik muka.
"Baik, lepas, lepas......"
Dia benar benar lepas tangan, tapi sewaktu Cong
Hoa berpaling lagi, dia sudah kehilangan jejak kakek
setengah umur itu.
Sinar senja di musim gugur meski tidak secantik sinar
matahari di musim panas, namun memiliki pula sebuah
keindahan yang khas.
Cong Hoa sedang duduk termangu ditepi jendela
sambil memandang cahaya senja dikejauhan sana.
"Menurut kau, orang itu adalah Cong Hui-miat?"
tanya Ui sauya.
"Mungkiin!"
"Kau yakin?" tanya Tay Thian pula.
Diluar jendela ada angin, didalam ruangan ada api,
diatas api terdapat tuingku, diatas tungku terdapat kuali,
di dalam kuali terdapat hidangan Huo-ko yang lezat.
Sambil menghirup kuah, Tay Thian mengamati wajah
Cong Hoa. Perlahan-lahan dia berpaling, mengambil cawan
dimeja dan meneguk habis isi cawannya, kemudian
baru berkata, "Kemarin pagi aku datang ke kuburan Lo
Kay-sian..."
Secara ringkas Cong Hoa menceritakan semua kisah
yang dialaminya kemarin pagi, ketika menyinggung soal
proses pembuatan mummi yang disaksikan diruang
bawah tanah, tiba-tiba Ui sauya menghela napas
panjang. "Aaai! Sungguh tidak disangka di dunia ini benarbenar
terdapat kemampuan seperti ini," katanya setelah
meneguk secawan arak, "Setelah mati dan menjalani
berbagai proses, benarkah suatu ketika nanti mereka
akan hidup kembali?"
"Di dunia ini memang terdapat banyak orang pintar,
ilmu pertabiban pun kian hari kian bertambah maju,
siapa tahu suatu ketika nanti benar benar bisa terwujud
kejadian seperti itu," kata Tay Thian.
Arak dengan cepat telah habis diteguk, A-kit si
pelayan dari Cin-cun-wan dengan cepat menyuguhkan
kembali dua botol arak Tiok-yap-cing.
Secara ringkas Cong Hoa melanjutkan kembali
kisahnya hingga bagaimana dia lolos dari api kebakaran
yang amat dahsyat itu.
"Aku tidak berhasil menemukan jenasahnya meski
sudah kucari kemana-mana," demikian dia berkata,
"Sementara aku masih murung dan masgul, tiba-tiba
kujumpai diapun hadir di arena kejadian."
"Dia" Apakah kau maksudkan si kakek rentan yang
kau kejar itu?" tanya Tay Thian.
"Dan orang itu kau maksud sebagai Cong Hui-miat?"
sambung Ui sauya pula.
"Sebetulnya aku tidak berani terlalu yakin, tapi
caranya berjalan telah meninggalkan kesan yang
kelewat dalam bagiku, kaki kanannya selalu melangkah
lebih dulu kemudian baru disusul kaki kirinya secara
terlahan-lahan."
"Cara berjalan Cong Hui-miat memang sedikit agak
aneh," kata Tay Thian kemudian, "Tapi kau tidak bisa
menuduhnya sebagai Cong Hui-miat hanya lantaran
caranya berjalan."
"Bila tidak ada sesuatu yang tidak beres, kenapa dia
langsung kabur setelah bertemu aku?"
"Mungkin dia benar-benar mengira kau adalah
perampok!" sela Ui sauya sambil tertawa, "Bukankah
barusan dia menuduhmu sebagai rampok perempuan?"
"Aku malah mengira aku adalah seorang Thaykam!"
sela Cong Hoa jengkel.
"Sekalipun tadi aku sempat memanggilmu sebagai
bini, toch tidak perlu kau sumpahi aku jadi seorang
kasim." "Coba kalau tidak kau halangi tadi, sekarang kita
sudah tahu malaikat dari manakah dia itu."
"Belum tentu," ujar Tay Thian, "Bila dia benar-benar
seperti apa yang kau katakan, hebat ilmu meringankan
tubuhnya, biar Ui sauya tidak munculpun, dia pasti masih
mempunyai cara lain untuk meloloskan diri."
"Sekalipun dia bukan Cong Hui-miat, paling tidak pasti
ada hubungannya dengan rahasia mummi."
Tay Thian tidak bicara lagi, dia hanya termenung
sambil putar otak, sementara Ui sauya meneguk arak
tiada hentinya.
Angin berhembus lewat menggoyangkan pohon
waru yang tumbuh ditepi jalan, berapa lembar daun
berguguran dan terbang melayang dimainkan angin.
Mendadak Tay Thian berkerut kening menyusul
tangan kirinya diayunkan ke depan, "Pryaaang!" sebuah
mangkuk kuah sudah terbanting hancur diatas lantai,
kuah yang tumpah pun mengalir membasahi seluruh
permukaan tanah.
Dengan tertegun Ui sauya mengawasi mangkuk yang
pecah itu, kemudian menengok pula ke arah Tay Thian.
"Hey" tegurnya, "Kalau kau memang jemu melihat
tampangku, aku bisa pindah ke meja lain."
Cong Hoa pun tidak habis mengerti, dia tidak tahu
mengapa secara tiba-tiba Tay Thian bersikap begitu,
baru saja dia ingin bertanya, tampak peluh dingin telah
bercucuran membasahi wajah Tay Thian, darah meleleh
diujung bibirnya yang digigit kuat-kuat bahkan tubuhnya
mulai gemetar keras.
"Hey, kenapa kau?" serunya.
Tay Thian tidak menjawab, sepasang matanya
mengawasi hidangan yang ada diatas tungku api tanpa
berkedip. "Dalam kuah ada racunnya?" kembali Cong Hoa
bertanya. Tay Thian mengangguk kaku.
Berhubung waktu itu udara sangat dingin, begitu
hidangan mulai mendidih, Tay Thian dan Ui sauya segera
menghabiskan dua mangkuk kuah, sementara Cong
Hoa tidak ikut minum kuah itu lantaran sejak kecil dia
memang tidak terbiasa minum panas-panas, maka dia
membiarkan kuah dalam mangkuknya dingin terlebih
dulu. Tidak disangka justru karena kebiasaan tersebut, hal
ini malah selamatkan dirinya.
Cong Hoa tidak membuang waktu lagi, dengan
cepat dia totok tiga buah jalan darah penting di tubuh
Tay Thian, kemudian menotok pula berapa buah jalan
darah ditubuh Ui sauya.
"Gunakan tenaga dalam untuk mendesak keluar
racun, paling baik lagi kalau bisa disalurkan lewat ujung
jari!" seru Cong Hoa kemudian.
"Percuma, tidak ada gunanya!" suara itu tiba-tiba
muncul dari belakang meja kasir.
Sambil tertawa terkekeh A-kit si pelayan rumah makan
sudah muncul sambil mengunci pintu depan.
Waktu itu adalah saat beristirahat rumah makan itu,
maka dalam ruangan yang luas hanya tinggal Cong
Hoa bertiga. "Racun itu bernama Sau-li-cing (asmara seorang
gadis), biar tabib Hoa Tuo lahir kembali pun jangan
harap bisa memunahkan pengaruh racunnya," kata Akit
lagi. "Sau-li-cing?"
"Benar, begitu racun itu masuk ke dalam tubuh maka
rasanya seperti berada dalam pelukan sang kekasih,
begitu hangat, lembut dan mesra, siapa pun enggan
untuk melepaskan diri dari keadaan itu."
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya,
"Bayangkan saja, siapa sih orang di dunia ini yang bisa
melayani pelukan mesra seorang kekasih?"
"Sungguh dahsyat pengaruh dari pelukan kekasih ini,"
keluh Tay Thian sambil tertawa getir, pandangan
matanya memancarkan penderitaan yang hebat.
"Benar, pelukan mesra sang kekasih benar benar bikin
orang tidak tahan," sambung Ui sauya sambil tertawa
getir pula, "Aku bersumpah tidak akan berani bercinta


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi dikemudian hari..."
Hingga tahun ini paling tidak usia Ui sauya sudah
melampaui tiga puluhan tahun, walaupun dia sudah
puluhan tahun berkelana dalam dunia persilatan, meski
sudah banyak kejadian besar yang dia lakukan, namun
belum pernah ada seorang manusiapun yang
menyaksikan dia berpacaran atau bercinta.
Cong Hoa memandang ke arahnya dengan wajah
murung, untuk sesaat dia tidak tahu apa yang harus
dilakukan. A-kit pun sedang mengawasi mereka, tentu
saja memandang dengan senyuman dikulum, senyum
kebanggaan. "Racun ini meski tidak sampai mematikan, paling tidak
dalam satu jam mendatang kau tidak akan bisa
menggunakan tenaga dalammu lagi," suara A-kit
kedengaran semakin bangga.
Cong Hoa mulai tertawa dingin.
"Sekalipun mereka sudah keracunan, tapi aku toch
tidak ikut minum," katanya.
"Kau" Biarpun kau habiskan sebaskon kuah, racun
tersebut tidak nanti akan berpengaruh bagimu, kapan
kau pernah menyaksikan seorang gadis berbaring
dalam pelukan gadis lain?"
Kemudian setelah tertawa, lanjutnya, "Aku pun telah
mencampurkan sejenis obat khusus untukmu."
"Oya?"
"Bahkan obat ini memiliki sebuah ciri khas yang
sangat aneh."
"Apa keanehannya?"
"Obat itu memang khusus dirancang untuk para setan
arak," ujar A-kit sambil mengawasi guci arak
dihadapannya, "Jika racun itu dicampurkan ke dalam
benda lain maka sama sekali tidak ada reaksinya, tapi
kalau dicampurkan ke dalam arak, keadaannya akan
berbeda sekali."
"Bagaimana bedanya?"
"Semakin keras arak itu semakin berkasiat racun
tersebut, karena itu aku menyebutnya sebagai arak
tua." "Arak tua" Bagus, bagus sekali!" Cong Hoa tertawa
tergelak, "Justru arak tua yang makin diminum makin
nikmat." "Aku senang kalau kaupun bisa menikmati arak tua
itu, sehingga tidak menyia-nyiakan pengorbananku."
"Apakah arak tua sama dengan arak sau-li-cing?"
"Tentu saja, meski tidak semesra pengaruh arak cinta
seorang gadis, arak tua pun memiliki ke istimewaan yang
berbeda." "Dengan susah payah kau carikan dua arak bagus,
memang tujuannya agar kami bisa mencicipi?" peluh
mulai membasahi ujung hidung Cong Hoa.
"Orang bilang kuda jempolan untuk enghiong, arak
wangi untuk jagoan, memangnya aku salah?"
"Aku tidak menyangka caramu menyamar jadi
pelayan sangat hebat," kata Cong Hoa sambil
gelengkan kepalanya berulang kali.
A-kit tidak marah, dia malah tertawa.
"Aku tidak perlu menyamar, karena sejak dulu aku
memang seorang pelayan, jauh sebelum menjadi
anggota Cing Liong Hwee aku memang sudah pelayan,
justru yang kupelajari sekarang adalah bagaimana
memanfaatkan peranku sebagai seorang pelayan."
"Ucapan yang bagus, pantas didenda tiga cawan
arak!" seru Ui sauya tiba-tiba sambil meneguk lagi tiga
cawan arak. "Kalau toh identitasmu sudah tersimpan sangat rapi,
mengapa kau bongkar rahasiamu hari ini?" tanya Tay
Thian pula, "Memangnya kau ingin naik pangkat jadi
seorang ciangkwee?"
"Kau kira aku tidak tahu apa tujuan kedatangan
kalian hari ini?" ujar A-kit hambar, "Ketika pertama kali
Hoa siocia curiga kepadaku, waktu dia takut aku
diperalat orang, takut aku dibunuh orang untuk
menghilangkan saksi, menanti terjadi peristiwa di hutan
bunga bwee, ketika kait perpisahan direbut orang,
kalian tentu mulai curiga pasti ada yang membocorkan
rahasia ini."
Setelah menatap Tay Thian sekejap, lanjutnya,
"Sewaktu kau mendatangi rumah bambu, tentu saja kau
curiga kalau Ing Bu-ok besar kemungkinan adalah
anggota perkumpulan naga hijau, menanti hal ini
berhasil kau buktikan, kaupun pasti menduga tentu
masih ada orang lain yang bekerja sama dengan Ing Buok,
dan siapakah orang itu?"
Sambil tertawa A-kit mengawasi mereka bertiga.
"Setelah dipertimbangkan berulang kali, akhirnya
hanya aku orang yang paling dicurigai," kata A-kit
sambil menuding hidung sendiri, "Sekalipun kelihatannya
sejak awal hingga akhir aku sama sekali tidak terlibat,
tapi kalau ditelaah kembali, kelihatannya aku memang
sedikit tersangkut."
"Kau keliru, seandainya sampai sekarang kau tetap
menyaru jadi cucu kura kura, kami malah sama sekali
tidak menaruh curiga kepadamu," ujar Cong Hoa.
"Betul!" Ui sauya menambahkan, "Curiga urusan
curiga, kalau tanpa bukti, kami toh tidak mungkin
menuduh orang secara sembarangan."
"Sebenarnya aku sendiripun kurang setuju untuk
membongkar identitasku pada saat ini, sayang ada
seseorang yang tidak setuju," kata A-kit tetap tertawa.
"Siapa?"
"Aku!" suara itu muncul dari anak tangga, disusul
suara langkah manusia yang naik ke atas loteng.
Suara langkah yang tetap, mantap dan penuh
bertenaga. Entah sejak kapan kegelapan malam telah menjelang
tiba. Seluruh ruangan rumah makan Cong-cun-wan telah
bermandikan cahaya lentera.
Dengan mata terbelalak lebar Cong Hoa, Tay Thian
dan Ui sauya mengawasi orang yang sedang berjalan
naik ke atas loteng.
Mimik muka ketiga orang itu menunjukkan perubahan
yang berbeda, ada yang tercengang, terperangah,
ada pula yang kaget, seakan tidak percaya.
Ternyata orang yang berdiri di mulut tangga tertawa
sangat lebar, tertawa sangat menawan.
"Ternyata kau!" seru Tay Thian sambil menghela
napas. "Tentu saja aku, kecuali aku, siapa lagi didunia saat ini
yang memiliki begitu banyak resep dari tabib Hua Tuo?"
"Jadi kau juga yang memusnahkan semua rahasia
pembuatan mummi yang berada di ruang bawah
tanah?" tanya Cong Hoa.
"Benar."
"Siapakah si setan pengganti yang kau utus kemarin"
Apakah diapun ikut mati terbakar?"
"Siapakah dia sudah bukan urusan penting lagi," kata
orang itu dengan suara yang ramah, "Bukankah aku
yang menjadi incaran kalian semua?"
Ui sauya menghela napas panjang, selanya, "Kau
memiliki kedudukan yang bagus, status yang terhormat,
mengapa rela menurunkan derajat sendiri dengan
menjadi begundal orang lain?"
Orang itu tidak menjawab, terhadap pertanyaan
sebangsa itu dia memang selalu menolak untuk
menjawab, dia hanya tertawa.
"Padahal pesanggrahan Coan-sin-ie-khek sudah
dianggap sebagai tempat keramat, tempat yang
disegani dan dihormati setiap umat persilatan, bahkan
nama besar Hong Coan-sin pun sudah amat termashur
dikolong langit, kenapa kau tidak segan untuk
menghancurkannya?" kata Tay Thian pula.
Ternyata orang itu tidak lain adalah Hong Coan-sin.
Hong Coan-sin hanya tertawa, dengan langkah yang
amat santai dia berjalan ke dalam ruangan, sementara
sorot matanya memandang ke arah Tay Thian.
"Sejak kapan kau mulai curiga kepada-ku?" tanya
dia. "Sepintar lalu orang mengira kematian Lo Kay-sian
disebabkan terkena kait perpisahan, padahal kau
seharusnya mengerti juga, dia bukan mati karena
terhajar kait perpisahan, dia mati karena terkena sejenis
racun yang membuatnya tidak sanggup mengerahkan
tenaga dalamnya."
"Yaa, racun Sau-li-cing!"
"Waktu itu aku tidak tahu apa namanya, tapi secara
lamat-lamat bisa kuduga kalau racun itu sebangsa
bubuk Ngo-ma-san yang bisa membuat orang mati
rasa," kata Tay Thian, "Bila bubuk Ngo-ma-san yang
hebat pun berhasil ditemukan orang, rasanya tidak sulit
untuk membuat racun sebangsa sau-li-cing."
"Oleh sebab itu kau mulai mencurigai aku?"
"Belum, aku belum menaruh curiga kepadamu," Tay
Thian menggeleng, "Kemudian aku tiba di rumah
bambu, minum arak yang sudah dicampuri opium
sehingga muncul khayalan tentang burung kakak tua
berdarah, beruntung waktu itu Ui sauya muncul tepat
waktu dan selamatkan jiwaku."
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Tapi yang
membuat aku sangat terkejut adalah ternyata Ing Bu-ok
dapat menggunakan ilmu pedang toh-mia-cap-sakiam."
"Menunggu kau bertemu dengan Cong Hoa dan
mengetahui masalah peti mati kosong dan ruang
bawah tanah, kemudian bila kalian rangkai semua
persoalan menjadi satu, memangnya saat itu aku bisa
menyangkal lagi?" kata Hong Coan-sin dengan nada
hambar. "Tahukah kau, selama ini aku selalu
menghormatimu?" kata Tay Thian, "Bukan saja
menghormati kehebatan ilmu pertabibanmu, akupun
menghormati kau sebagai seorang kuncu sejati,
mengapa kau justru melakukan perbuatan terkutuk
macam ini?"
"Bergabung dengan perkumpulan Cing Liong Hwee
bukan perbuatan yang terkutuk," kata A-kit sambil
tertawa, "Perkumpulan naga hijau..."
"Hmm, manusia macam kau pun bisa bergabung
dengan perkumpulan Cing Liong Hwee?" tidak tahan
Cong Hoa berseru.
Hong Coan-sin termenung sejenak, lewat berapa saat
kemudian dia baru menghela napas panjang.
"Oleh karena aku adalah manusia semacam ini,
maka baru bergabung dengan perkumpulan mokau,"
sahutnya. "Berarti kau masuk atas dasar suka rela?" tanya Ui
sauya. "Benar."
"Aku benar-benar tidak habis mengerti," gumam
Cong Hoa seraya menggeleng, "Aku benar-benar tidak
habis mengerti."
"Mungkin kau tidak mengerti lantaran kau sama sekali
tidak tahu manusia macam apakah dirimu ini."
Tiada perubahan apapun diatas wajah Hong Coansin,
tapi kelopak matanya justru menyusut kencang,
sekilas perasaan apa boleh buat terlintas di wajahnya.
"Sekalipun begitu, paling tidak aku masih percaya
kalau kau bukan seorang siaujin berhati telengas seperti
anggota perkumpulan Cing Liong Hwee lainnya," kata
Tay Thian. Untuk kesekian kalinya Hong Coan-sin termenung,
setelah itu perlahan-lahan dia baru berkata, "Aku
belajar ilmu pertabiban memang bertujuan untuk
menolong orang, sebab aku mendapat tahu, dari
sepuluh orang tabib yang ada didunia ini, sembilan
setengah diantaranya hanya manusia goblok."
"Ehmm, dalam hal ini aku sangat setuju," Ui sauya
manggut-manggut.
"Tapi kemudian, aku belajar ilmu pertabiban sudah
bukan untuk menolong orang."
"Lalu untuk apa?"
"Terakhir aku belajar ilmu pertabiban karena aku
sudah sama sekali keranjingan, kesetanan."
.... Dalam melakukan pekerjaan apa pun, bila sudah
keranjingan, dia gampang kesetanan.
"Maka kaupun bergabung dengan perkumpulan
Cing Liong Hwee?" tanya Ui sauya.
"Perkumpulan Cing Liong Hwee tidak lebih hanya
sebuah organisasi pembunuh," kata Cong Hoa, "Aku
tidak habis mengerti, apa hubungannya dengan ilmu
pertabiban?"
"Aku mengerti," ujar Tay Thian, "Meskipun dalam
perkumpulan Cing Liong Hwee banyak terdapat tehnik
membunuh yang sangat menakutkan, namun terdapat
juga banyak resep rahasia untuk mengobati orang,
seperti misalnya obat campuran opium yang kuteguk di
rumah bambu tempo hari, bila digunakan pada jalan
yang benar, khususnya bila dipakai untuk mengobati
penyakit, seringkali kasiatnya jauh diluar dugaan."
...Air bisa membuat sampan mengambang, dapat
pula membuat sampan tenggelam.
"Bila kau menggunakan untuk hal yang positip, serbuk
Bi-suang pun bisa menjadi obat penyembuh yang
mustajab," kata Hong Coan-sin cepat.
"Bi-suang" Bukankah benda itu sangat beracun" Bisa
dipakai untuk mengobati apa?" tanya Cong Hoa tidak
habis mengerti.
"Pernah dengar sistim pengobatan dengan racun
melawan racun?"
"Benar."


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah, itulah kegunaannya."
Sekujur badan Cong Hoa sudah mulai gemetar tiada
hentinya. Entah karena udara semakin dingin" Atau karena
reaksi 'arak tua'. Kelopak matannya terasa semakin
berat dan ingin dipejamkan, tapi perasaan hatinya
tetap meronta, dia tetap meronta dan berusaha
membuka matanya kembali, dia seakan melihat Hong
Coan-sin sedang tertawa, diapun seolah mendengar Ui
sauya sedang bertanya, "Berarti kau bergabung dengan
perkumpulan Cing Liong Hwee karena ingin belajar ilmu
pertabiban?"
"Benar."
"Kalau memang untuk mengobati orang, kenapa
masih membunuh orang?"
"Terkadang untuk membunuh, terkadang untuk
menolong."
Sewaktu mendengar perkataan itu, kulit mata Cong
Hoa sudah terasa sangat berat, kemudian dia tidak
mendengar suara apa-apa lagi.
Pada saat itulah dia terbayang kembali sorot mata Ui
sauya yang seakan sedang dirundung kekesalan.
Bubur kedele dari Nona hitam.
Ruangan itu dominan berwarna putih, Nyoo Cing
berbaring ditengah warna putih. Dinding yang putih, tirai
jendela yang putih, seprei yang putih, tapi kegelapan
pekat berada diluar jendela. Sedemikian hitamnya
hingga membuat perasaan hati remuk redam.
Walaupun sepasang mata Nyoo Cing sedang
mengawasi kegelapan malam diluar jendela, namun
sinar matanya entah sudah berpetualangan hingga ke
mana" Nun jauh didepan sana terlihat awan sedang
bergerak, ditengah hembusan angin lamat-lamat
terdengar suara auman anjing yang saling bersahutan.
Malam, mengapa selalu mendatangkan kesepian"
Mendatangkan kesedihan"
Malam ini bintang bertaburan di angkasa, rembulan
bersinar tanpa suara, suasana tercekam dalam
keheningan yang luar biasa. Keheningan yang
membuat perasaan hati orang berbuai mabuk. Sinar
mata masih melayang kian kemari, namun telinga nya
mulai bergerak.
Malam sangat hening, oleh sebab itu suara langkah
kaki yang ringan selalu memancing perhatian khusus.
BAB 2. Suara langkah itu ringan lagi pendek pendek, jelas
suara langkah kaki seorang wanita.
Belum terdengar suara ketukan pintu, dengan
kemalas-malasan Nyoo Cing telah berseru, "Masuklah!"
Suara langkah kaki itu seketika terhenti, tampaknya si
pendatang merasa amat terkejut. Akhirnya pintu dibuka
orang dan masuklah seorang wanita yang amat cantik,
amat lembut dan amat manis.
"Ayah, kau belum tidur?" ternyata wanita yang
barusan muncul adalah Hoa U-gi.
"Ingin tidur, hanya malam ini kelewat hening,
keheningan membuat aku pingin minum arak," jawab
Nyoo Cing masih memandang keluar jendela.
"Boleh minum arak?"
"Semua tabib pasti berkata, seorang pasien tidak
boleh minum arak," Nyoo Cing membalikkan tubuh dan
menyahut sambil tertawa, "Menurutmu, bolehkah aku
minum arak?"
"Kalau ayah ingin minum, siapa yang mampu
menghalangi?" Hoa U-gi turut tertawa.
Mendengar perkataan itu, diatas wajah Nyoo Cing
segera tampil suatu perasaan apa boleh buat yang
sukar dilukiskan dengan kata, ujarnya sambil tertawa
getir, "Semua orang sukses, seringkali tidak dapat
mendengar kata hati yang sesungguhnya."
Tentu saja Hoa U-gi mengerti apa maksud
perkataannya itu, namun dia hanya tertawa. Biarpun
wajahnya dipenuhi senyuman namun dibalik matanya
sama sekali tidak ada niat tersenyum, tertawa semacam
ini jauh lebih menggidikkan hati ketimbang sama sekali
tidak tertawa. Malam semakin hening, angin berhembus makin
dingin, diujung musim gugur, tiada bintang yang
berbicara di udara.
"Aneh, hari ini Tay suya tidak berada disini, juga tidak
balik ke istana, sebenarnya dia pergi kemana?" tanya
Hoa U-gi. "Kesebuah tempat, sebuah tempat yang amat jauh,
sebuah tempat yang sangat dekat," jawab Nyoo Cing.
"Sangat jauh" Amat dekat" Apa maksud perkataan
ini?" "Tempat yang dia kunjungi boleh dibilang sangat
dekat, tapi bisa juga dibilang amat jauh," kata Nyoo
Cing sambil menatap wajahnya, "Ini mah tergantung
kejadian apa yang sedang dihadapinya?"
..... Bila nasibnya buruk berarti dia mati, kalau mati
berarti pergi ke suatu tempat yang sangat jauh. Bila
bertemu jebakan hingga nasibnya kurang beruntung
dan ditangkap, dia pasti berada dekat dari situ.
Hoa U-gi mengawasi kerutan diatas wajah Nyoo Cing,
tidak berjumpa selama berapa hari, dia merasa kerutan
diwajah ayahnya bertambah banyak, bahkan
bertambah dalam.
"Aku sama sekali tidak menguatirkan keselamatan Tay
suya, apa yang bisa kuperbuat?" setelah mengawasi
kakinya yang masih dijepit dengan papan, lanjutnya,
"Aku hanya seorang pasien, kakiku sedang diikat
dengan papan yang menyiksaku setengah mati, mau
bergerak pun sama sekali tidak mampu, biarpun berhasil
menemukan dia, apa yang bisa kuperbuat"
Membantunya" Biar punya keinginan berbuat
begitupun tidak punya kekuatan."
"Ayah sudah memangku jabatan banyak tahun, kau
pasti masih mempunyai orang kepercayaan," ujar Hoa
U-gi seakan sangat menguatirkan keselamatan Tay
Thian, "Apakah perlu kuberitahu kepada mereka, agar
orang-orang itu pergi mencari Tay suya?"
"Darimana kau bisa tahu kalau aku masih memiliki
orang kepercayaan?" tanya Nyoo Cing sambil
menatapnya tajam.
"Sejak dulu, tidak seorang jenderal pun yang tidak
memiliki orang kepercayaan," Hoa U-gi tertawa,
"Sekalipun tidak pernah digunakan sepanjang masa
hidupnya, paling tidak pasti sudah mempersiapkan jauh
sebelumnya."
Nyoo Cing tertawa.
"Biarpun saat ini masih selisih jauh menjelang fajar
menyingsing, namun masa gelap akhirnya pasti akan
berlalu dan hari terang pasti akan muncul juga," Nyoo
Cing mengalihkan pandangannya ke luar jendela,
"Disaat menjelang fajar, ketika hawa dingin masih
menyelimuti udara pagi, bisa menikmati semangkuk
bubur kedele memang merupakan satu kenikmatan
yang luar biasa."
"Ayah ingin minum bubuk kelede?"
"Sudah cukup lama aku tidak menikmati bubur
kedele dari nona hitam."
"Bubur kedele nona hitam?" seru Hoa U-gi, "Maksud
ayah, bubur kedele asin yang dijual di kedai bubur
asin?" "Benar."
"Konon resep mereka diwariskan secara turun
menurun?" "Itulah sebabnya dagangan mereka sangat laris,
biasanya sebelum fajar menyingsing, dagangan mereka
sudah habis terjual."
"Baik, kalau begitu aku akan ke sana dan
membelikan semangkuk untuk ayah."
"Bila dia sudah selesai membungkus bubur itu,
terimalah dengan tangan kiri kemudian kembalikan
kepadanya lagi dengan tangan kanan," kata Nyoo
Cing, "Katakan, kau ingin minum semangkuk dulu disitu."
Berbinar sepasang mata Hoa U-gi setelah mendengar
perkataan itu. "Dia pasti akan bertanya kepadamu, mau
menggunakan mangkuk apa," ujar Nyoo Cing lebih
jauh, "Maka jawab saja sembarang mangkuk asal bukan
mangkuk yang sudah gumpil."
"Hanya begitu?"
"Benar."
"Apakah kata-kata itu merupakan kode rahasia untuk
berhubungan" Jadi si nona hitam adalah orang
kepercayaan ayah?" desak Hoa U-gi lebih jauh.
Nyoo Cing mengangguk tanda membenarkan.
"Apakah perlu disampaikan suatu berita?"
"Tidak perlu, tidak usah bicara apapun!"
"Baik, aku tahu!"
Kabut tebal berwarna putih muncul dari tengah hutan
diatas bukit, menguap ke udara dari permukaan tanah
yang lembab, sementara asap putih mengepul dari atas
kuali. Si nona hitam baru saja membuka penutup kuali dan
mengambil semangkuk bubur kedele, setelah diberi
sedikit bumbu maka semangkuk bubur kedele asin dari
nona hitam sudah dihidangkan didepan tamu yang
antri. Saat itu fajar belum menyingsing, tapi didalam kedai
nya sudah ada enam tujuh orang tamu yang sedang
antri. Nona hitam sedikitpun tidak hitam, bukan saja tidak
berwarna hitam, kulit tubuhnya justru kelihatan sangat
merah, semerah gadis perawan yang baru pertama kali
bertemu kekasihnya, warna merah yang menghiasi pipi
mereka. Usianya seputar dua puluh lima, enam tahunan,
mukanya bulat, alis matanya melengkung bagai bulan,
biji matanya hitam berkilat bagaikan rembulan yang
muncul sehabis hujan deras, hidungnya kecil mancung,
bibirnya bagai buah delima merekah.
Diapun memiliki sepasang kaki yang mulus, ramping
dan halus, ditambah celana hitamnya yang ketat,
membuat nona itu nampak sangat menawan.
Biarpun sepasang tangannya sudah terbiasa bekerja
keras, namun jari jemarinya masih tampak mulus,
ramping dan indah, selembut tahu yang baru diangkat
dari dalam kuali.
Sewaktu Hoa U-gi tiba disitu, tujuh delapan buah meja
yang tersedia dalam kedai sudah ditempati belasan
orang, setiap tamu asyik menikmati bubur kedele dan
seakan saling tidak mengenal.
"Selamat pagi!" sapa nona hitam sambil tertawa,
"Pagi amat nona sudah sampai disini?"
"Katanya kalau datang terlambat, tidak akan
kebagian bubur," sahut Hoa U-gi sambil tertawa pula.
"Maklumlah, mulai memilih kedele, mencuci,
menumbuk hingga memasak, semuanya kulakukan
sendiri, jadi yaa beginilah..."
"Tapi akibatnya semua pembeli jadi sengsara, sebab
harus datang lebih awal," Hoa U-gi seakan sedang
mengomel. Sementara kedua orang itu saling berbincang,
belasan tamu lainnya seakan tidak mendengar, mereka
semua masih asyik menikmati bubur kedelenya sehingga
tidak berminat untuk memperhatikan urusan lain.
"Tolong siapkan dua mangkuk bubur, aku akan
membawanya pulang," kata Hoa U-gi sambil
menyodorkan mangkuk yang dibawanya.
"Baik."
Ketika bubur itu telah siap dan diserahkan kepada
Hoa U-gi, gadis itu segera menerimanya dengan tangan
kiri lalu mengem-balikan kepada nona hitam itu dengan
tangan kanannya.
"Lebih baik aku menikmati semangkuk dulu disini."
"Oya?" berkilat sepasang mata nona hitam, "Mau
memakai mangkuk apa?"
"Sembarang, asal bukan mangkuk yang gumpil."
Hoa U-gi telah melaksanakan semua tugasnya sesuai
dengan perintah Nyoo Cing. Dan seharusnya persoalan
pun sudah selesai sampai disitu.
Siapa tahu baru saja menerima kembali mangkuk
berisi bubur dari tangan Hoa U-gi, mendadak terlihat
nona hitam mengernyitkan dahinya, mangkuk berisi
bubur panas yang berada ditangannya tahu-tahu
sudah dilemparkan ke arah sebuah meja ditengah
ruangan, meja yang ditempati tiga orang tamu.
Bubur panas itu segera meluncur ke udara dan
menyiram ke wajah tiga orang itu.
Dengan cekatan ketiga orang itu berjumpalitan lalu
menyingkir ke samping, berbarengan dengan gerakan
itu, tiba-tiba sisa tamu yang lain telah melompat
bangun, dalam genggaman mereka pun sudah
bertambah dengan belasan macam senjata tajam.
Pedang, golok, kapak, senjata rahasia, ruyung, poankoanpit, hampir semua jenis senjata tajam ditujukan ke
tubuh nona hitam.
Dengan amat cekatan nona hitam menyambar
kualinya kemudian melesat ke atas udara dengan
menjebol atap rumah, kemudian dengan satu gerakan
yang indah dia berdiri diatas wuwungan rumah.
Baru saja tubuhnya berdiri tegak, mendadak dari
hadapan wuwungan rumah meluncur datang sebaris
anak panah, nona hitam segera membungkukkan tubuh
sambil melayang turun ke tengah jalanan.


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seorang pemuda bersenjata sepasang kapak segera
menyongsong kedatangannya, bagaikan putaran roda
pedati sepasang senjatanya membacok tubuh gadis itu
berulang kali. Dari balik kegelapan terlintas sekilas cahaya darah,
disusul percikan darah segar berhamburan ke mana
mana. Tahu-tahu pemuda bersenjata kapak itu sudah roboh
terkapar ke tanah, darah masih bercucuran membasahi
wajahnya, perasaan kaget, tercengang, ngeri
bercampur aduk diwajahnya, seakan hingga saat
ajalnya dia masih belum percaya kalau nona hitam bisa
menghabisi nyawanya.
Ditengah hujan darah, kembali ada empat orang
muncul dari balik warung, dengan membagi diri jadi dua
arah, satu rombongan menyerang tubuh bagian atas
nona hitam itu sementara rombongan yang lain
membabat bagian bawah tubuhnya. Orang ke lima
yang kemudian munculkan diri bersenjatakan sebuah
ruyung panjang, senjatanya bagaikan seekor ular
berbisa langsung melilit ke arah pinggangnya.
"Pletakk..!" dengan cepat ruyung itu melilit
dipinggang nona hitam, sementara senjata tajam yang
berada ditangan ke empat orang lainnya sudah berada
tidak sampai satu inci dari tubuh nona itu.
Semua peristiwa berlangsung dalam waktu sekejap,
belum sempat Hoa U-gi melihat jelas apa yang terjadi,
tahu-tahu ruyung itu sudah melilit dipinggang nona
hitam disusul kemudian senjata ditangan ke empat
orang itu sudah dibacokkan ke atas tubuihnya.
BAB 3. Ti Cing-ling yang berada di rumah batu.
Sebuah rumah batu, sebuah meja batu, dua buah
bangku batu, sebuah lentera, sebuah anglo tembaga,
sepoci arak, sebuah cawan kristal, sebuah mangkuk
kristal, seorang manusia.
Anglo berada diatas meja batu, diatas anglo sedang
memasak semangkuk bubur teratai, bau harum
semerbak memenuhi seluruh ruangan berbatu itu. Si
manusia duduk ditepi lentera.
Dia mengenakan pakaian serba putih, bersih tidak
berdebu, wajahnya pucat, bersih namun selalu
membawa mimik muka senyum tidak senyum yang
dingin menggidikkan hati.
Diatas lantai berlapiskan sebuah permadani bulu
domba yag didatangkan dari negeri Persia.
Ti Cing-ling dengan mengenakan jubah panjang
berwarna putih, bertelanjang kaki, duduk bersila
didepan meja batu, duduk diatas permadani berbulu
domba dan perlahan-lahan menikmati arak anggurnya
yang memenuhi cawan kristal.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang perlahan
bergema dari luar pintu, disusul pintu ruangan dibuka
dan seorang perempuan berbaju putih bagai sesosok
sukma gentayangan berjalan masuk ke dalam ruangan.
Ti Cing-ling sengaja tidak memandang ke arahnya, dia
masih menikmati arak anggurnya dengan santai.
Perempuan berbaju putih itu langsung duduk
dihadapannya, dia menuang sendiri secawan arak
anggur lalu memandang kearah lelaki dihadapannya
dengan tenang. Lama sekali mereka duduk saling berhadapan, saling
minum arak tanpa berbincang.
Lama, lama kemudian, akhirnya Ti Cing-ling
mendongakkan kepalanya memandang ke arah
perempuan itu. "Rupanya kau" Kau sudah datang?"
"Tentu saja aku, tentu saja aku yang dating!"
"Tapi seingatku, seharusnya kau sudah datang
semenjak setengah jam berselang?"
?"Setengah jam berselang semestinya aku sudah
duduk disini, tapi si kura-kura tua itu bukan manusia
sederhana, aku mesti bertindak lebih hati-hati, berputar
dulu ke tempat lain sebelum datang kemari."
Ti Cing-ling menatapnya lekat-lekat.
"Sejak kau datang kemari dulu, sampai sekarang
sudah selisih berapa lama?"
"Tiga belas tahun."
"Tiga belas tahun lewat sembilan bulan tujuh hari!" Ti
Cing-ling segera mengkoreksi, "Ketika kau datang
selamatkan jiwaku, hari itu adalah bulan dua belas
tanggal dua puluh sembilan, sementara hari ini adalah
bulan sepuluh tanggal tujuh."
Kembali ditatapnya perempuan itu lekat lekat,
terusnya, "Itu berarti sudah lewat tiga belas tahun
sembilan bulan tujuh hari."
"Sungguh cepat waktu berlalu," perempuan itu
menghela napas panjang.
"Dalam tiga belas tahun ini, nyamankah hidupmu?"
"Sangat tenang," sahut perempuan itu setelah
menghirup seteguk araknya.
"Apakah kura-kura tua itu seringkah munculkan diri?"
"Tidak, tapi jauh lebih menakutkan dari pada dia
muncul dihadapanku," suara perempuan itu
kedengaran agak gemetar.
"Oya?"
"Bila dia munculkan diri, kau akan tahu kalau dia
berada dihadapanmu, tapi kalau tidak muncul, maka
setiap waktu setiap saat kau seolah olah merasa kalau
dia berada disekelilingmu."
Setelah meneguk secawan arak, lanjutnya,
"Perasaanku waktu itu seperti berada ditengah hutan
lewat, meskipun tidak menjumpai binatang apapun
yang berbahaya, namun setiap mengayunkan langkah,
kau selalu harus waspada, siap menghadapi terkaman
dari binatang buas."
Dengan tenang Ti Cing-ling menyuap bubur bunga
teratainya, diapun mengambilkan semangkuk untuk
perempuan itu. "Kapan janjimu dengan kura-kura tua itu?" dia
bertanya. "Dua puluh tahun lebih satu bulan."
"Dua puluh tahun lebih satu bulan?" dengan
termangu Ti Cing-ling mengawasi asap yang mengepul
dari kuali, "Mengapa bukan dua puluh tahun, mengapa
bulan dua puluh satu tahun tapi justru dua puluh tahun
lewat satu bulan?"
Setelah menyuap lagi sesendok bubur, lanjutnya,
"Mengapa harus dilampaui selama satu bulan?"
"Mungkin saja dia merasa lebih asyik dengan
ditambah satu bulan."
"Tidak, pasti ada maksud tertentu," ujar Ti Cing-ling,
"Aku sangat memahami watak kura-kura tua itu, belum
pernah dia melakukan pekerjaan yang tidak bermakna."
"Mungkin saja tujuannya agar kita selalu menaruh
perasaan sangsi, curiga dan ragu."
"Moga moga saja begitu," kata Ti Cing-ling setelah
berpikir sejenak, "Cara kerja kura-kura tua ini selalu lebih
aneh ketimbang cara kerja Siau gongcu, ilmu silatnya
juga sukar ditebak, betul-betul membuat kepala pusing."
"Sudah lama dia tidak mencampuri urusan dunia
persilatan lagi, mengapa justru menaruh perhatian yang
berlebihan terhadap Nyoo Cing?"
"Sebab ayahnya Nyoo Cing, Nyoo Heng adalah satusatunya
sobat kental dia," Ti Cing-ling menerangkan
setelah menghirup seteguk arak anggur.
"Kalau memang ingin membantu Nyoo Cing, kenapa
tidak dilakukan terus terang?"
"Sebab dia tidak berharap Nyoo Cing menjadi
seseorang yang tidak punya pendirian dan selalu
tergantung pada orang lain, dia ingin Nyoo Cing
menjadi Nyoo Heng kedua."
Ditatapnya perempuan berbaju putih itu sekejap,
kemudian sambil tersenyum kembali Ti Cing-ling
melanjutkan, "Kalau bukan begini, buat apa dia paksa
kau untuk menepati sumpah janjimu selama dua puluh
tahun" Kalau bukan karena begini, kau sudah mati sejak
dua puluh tahun berselang."
"Dia suruh aku menepati sumpahku bertahan selama
dua puluh tahun lebih satu bulan, bukankah tujuannya
agar Nyoo Cing membunuh aku dengan tangannya
sendiri?" kata perempuan berbaju putih itu hambar.
"Rasanya memang begitu."
Mendadak dari balik mata perempuan berbaju putih
itu terpancar sebuah perubahan yang tidak terlukis
dengan perkataan, semacam rasa benci, dendam,
murung, kesal, sedih dan perasaan apa boleh buat yang
bercampur aduk.
"Kalau bukan begini, rasanya kau pun sudah mampus
sejak dua puluh tahun berselang?" sindir perempuan
berbaju putih itu sambil tertawa, tertawa dingin.
"Tapi paling tidak alasannya tidak membunuhku
sedikit berbeda dengan alasanmu."
"Dibagian mana yang berbeda?"
"Dia pasti akan memberi sebuah kesempatan
kepada Nyoo Cing, sebuah kesempatan yang benarbenar
adil, dia menginginkan Nyoo Cing dengan
menggunakan kekuatan sendiri untuk berduel
melawanku."
Setelah tertawa, kembali terusnya, "Kalau bukan
begitu, ketika tiga belas tahun berselang kau
mengingkar janji dengan secara diam-diam datang
menolongku, bagaimana mungkin kau bisa lolos dari
incaran serta pengamatannya?"
"Dia telah memberi sebuah kesempatan yang adil
kepada Nyoo Cing untuk berduel, bagaimana dengan
kau" Tampaknya kau tidak memberi kesempatan
kepada Nyoo Cing untuk berduel secara adil?" kata
perempuan berbaju putih itu.
"Ada, disaat duel itu berlangsung, aku pasti akan
memberi kesempatan yang adil untuk Nyoo Cing," kata
Ti Cing-ling sambil tersenyum, "Tapi sebelum duel itu
berlangsung, kita harus tergantung pada kemampuan
masing-masing."
"Tapi cara kerjamu kelewat keji, kelewat sadis, mulamula
kau hantar putrinya agar bertemu dengannya,
agar tumbuh perasaan kasih diantara mereka berdua,
bila rasa kasih sudah tumbuh, perasaan orang akan
bertambah lembek, kemudian setiap saat kau berusaha
menciptakan ancaman bahaya kepada putrinya, agar
dia merasakan tekanan batin yang berat."
Ti Cing-ling hanya mendengarkan, sama sekali tidak
komentar. "Tekanan batin bisa menimbulkan kekosongan pikiran,
pikiran yang kosong akan membuatnya sangat
tergantung pada orang kepercayaannya, saat itulah
kau akan menyingkirkan orang kepercayaannya satu
demi satu, agar dia hidup sendirian lagi."
Dengan sorot mata yang tajam perempuan berbaju
putih itu mengawasinya lekat-lekat, kemudian katanya
lagi, "Bila keadaan ini dibiarkan berkembang terus,
maka ketika tiba saatnya untuk berduel, kau pun bisa
meraih kemenangan tanpa harus bertarung."
Ti Cing-ling balas menatapnya.
"Apakah kau tidak berharap aku menang" Apakah
kau berharap aku kalah?" serunya.
Menghadapi pertanyaan ini, untuk sesaat perempuan
berbaju putih itu tidak sanggup menjawab, dia
sendiripun tidak jelas, seharusnya mengharapkan Nyoo
Cing menang atau kalah.
Tapi sejujurnya, dia memang berharap Nyoo Cing
kalah, tapi tidak berharap Nyoo Cing mati.
"Tampaknya posisi Nyoo Cing saat ini sudah sendiri,
apa langkahmu berikut?" tanya perempuan berbaju
putih itu. "Langkah berikut tentu saja merupakan langkah
terpenting," kata Ti Cing-ling, "Aku akan membuat
pertahanan terakhirnya ikut runtuh."
"Pertahanan terakhir?" tanya perempuan berbaju
putih, "Apa pertahanan yang terakhirnya?"
"Perasaan, hubungan kekeluargaan."
"Perasaan" Hubungan kekeluargaan?"
"Benar, hubungan kekeluargaan, kita bisa
manfaatkan putrinya Hoa U-gi, sementara perasaannya
tentu kita hadapi dengan orang yang paling dicintai."
Perasaan bangga terpancar dari balik mata Ti Cingling,
sinar penuh kesadisan.
"Aku akan mengirim sebuah benda milik perempuan
yang paling dicintai kepadanya."
Bagi seorang pasien, pekerjaan yang paling
membuat mereka tidak leluasa adalah kencing dan
buang air, apalagi bagi Nyoo Cing yang patah tulang
kakinya. Mulai dari pinggang hingga ke bawah tubuhnya
dijepit dengan papan kayu, membuat dia sama sekali
tidak mampu bergerak, jangan lagi untuk membalikkan
tubuh. Untung sekali bukan saja pesanggrahan pengobatan
Coan-sin-ie-khek memiliki tehnik pengobatan yang
hebat, pelayanan mereka pun terhitung top.
Apalagi untuk seorang tokoh macam Nyoo Cing,
tentu saja ada orang khusus yang melayani semua
kebutuhannya. Diujung ranjang dekat dinding terdapat seutas tali, tali
itu dihubungkan melalui jendela luar langsung ke ruang
istirahat para petugas pesanggrahan, tali itu
dihubungkan pula dengan sebuah keleningan.
Bila pasien butuh pelayanan, cukup menarik tali itu
maka petugas segera akan muncul untuk memberikan
pelayanannya.

Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baru saja Nyoo Cing akan menarik tali, seorang gadis
cantik sudah muncul didalam ruangan sambil bertanya,
"Ongya, ada urusan apa?"
"Aku merasa ruangan ini sumpek, bisa kau buka daun
jendela disebelah sana?"
"Tentu saja," jawab gadis itu cepat.
Tidak lama sepeninggal gadis itu, Nyoo Cing menarik
napas panjang kemudian berbisik, "Sekarang kau boleh
masuk, sudah seharian aku menunggu kedatanganmu."
Padahal suasana waktu itu hening, tiada suara
langkah, tiada suara ketukan pintu, darimana dia tahu
kalau ada orang yang datang"
Pintu segera dibuka, kemudian terdengar seseorang
berkata, "Darimana kau tahu kalau aku sudah datang?"
"Sebab bubur kedele buatan nona hitam selalu
harum dan sedap."
"Ooh, rupanya ayah sudah mengendus baunya!" seru
Hoa U-gi sambil menghampiri pembaringan, "Pagi tadi
sehabis membeli bubur, aku masih ada sedikit urusan
maka baru sekarang datang kemari."
"Tidak apa-apa," sahut Nyoo Cing sambil membuka
matanya dan memandang dia sekejap.
"Ayah mau mencicipinya semangkuk?"
"Baik, bubur kedele buatan nona hitam ini pasti
istimewa rasanya."
Ketika mengucapkan kata "istimewa", Nyoo Cing
seakan sengaja menandaskannya.
Tapi Hoa U-gi seperti tidak menyadari akan hal itu,
dengan riangnya dia mengambil semangkuk bubur
kemudian dihidangkan didepan Nyoo Cing.
"Mau aku suapi?"
"Tidak usah, biar aku sendiri. Kalau tiduran terus,
tulangku bisa kaku semua."
Nyoo Cing mencoba setengah terduduk, lalu sambil
menerima mangkuk bubur dari tangan Hoa U-gi,
katanya lagi, "Hmm, baunya memang harum, tidak
heran kalau dagangannya laris sekali, tiap kali ke
sana, semua meja nya nyaris ditempati belasan orang
tamu." Hoa U-gi tampak mengernyitkan alis matanya, tapi
Nyoo Cing berlagak tidak melihat, dia hanya
mengawasi bubur dalam genggamannya dengan
termangu. "Cepat diminum, mumpung masih hangat," bujuk
Hoa U-gi lagi. "Baik."
Dengan penuh riang gembira Nyoo Cing menyuapi
bubur itu dan menghabiskan isi mangkuknya.
"U-gi!" mendadak Nyoo Cing berseru, "Tiba-tiba aku
teringat akan satu hal, boleh minta tolong kepadamu?"
"Tentu saja, urusan apa?"
"Malam ini aku belum minum obat, maukah kau pergi
mengambilkan untukku?"'
"Aku segera pergi."
Sebelum meninggalkan pintu ruangan, kembali Hoa
U-gi berpesan, "Kau harus minum bubur itu sampai
habis." "Jangan kuatir, sewaktu kau datang nanti, tanggung
tidak setetespun yang ketinggalan," sahut Nyoo Cing
sambil tertawa.
Tapi begitu Hoa U-gi lenyap dari pandangan,
senyuman yang semula menghiasi wajah Nyoo Cing pun
seketika lenyap tidak berbekas, dengan pandangan
serius diawasinya bubur itu.
Angin malam diawal musim dingin terasa
menggigilkan tubuh.
Mendadak Nyoo Cing menekan perutnya kuat-kuat,
kemudian dia pentang mulutnya dan menyemburkan
semua isi perutnya keluar jendela, segulung cairan
yang ternyata bubur yang baru diteguknya, segera
menyembur ke arah kebun.
Berbareng dengan perbuatannya itu, mangkuk
ditangan kanannya segera dilontarkan keluar jendela,
seakan terdapat sepasang tangan tidak berwujud yang
menyunggih mangkuk itu, benda tadi meluncur persis
disamping semburan buburnya tadi.
Dari balik pepohonan tampak seakan ada sesosok
bayangan manusia menyambut mangkuk itu dan
menuang seluruh sisa bubur ke tanah kemudian
melempar balik mangkuk kosong itu ke dalam ruangan
Baru saja Nyoo Cing menyambut kembali mangkuk
kosongnya, dari luar sudah terdengar seseorang
mengetuk pintu.
"Masuk!"
Hoa U-gi muncul didalam ruangan, begitu masuk,
matanya seakan melirik dulu ke arah mangkuk kosong
ditangan Nyoo Cing, setelah itu sambil tertawa baru
ujarnya, "Menurut mereka, bila kau tidak bisa tidur
malam nanti, obat itu baru diminum, kalau tidak, tidak
usah!" "Oya" Tapi aku rasa malam ini tidurku pasti sangat
nyenyak, apalagi setelah menghabiskan semangkuk
bubur." Bicara sampai disitu tiba-tiba Nyoo Cing mulai
menggeliat dan matanya tampak sangat mengantuk.
"Kenapa tiba-tiba kau mengantuk?" kembali Hoa U-gi
menegur. "Mungkin lantaran capek!"
"Kalau begitu cepat tidurlah," Hoa U-gi
membantunya berbaring lalu dengan nada riang
bisiknya, "Besok, kau ingin aku bawakan apa?"
"Besok.....bawakan bunga saja......" kelopak mata
Nyoo Cing terlihat bertambah berat.
"Baik."
Hari itu tanggal lima belas, persis bulan sedang
purnama. Cahaya rembulan yang lembut bagai belaian tangan
seorang gadis yang sedang mengelus wajah Nyoo Cing.
Semenjak Hoa U-gi meninggalkan tempat itu, dia
tertidur terus tanpa bergerak sedikitpun.
Daun jendela masih dibiarkan terbuka, ditengah
hembusan angin malam yang sejuk terlihat sesosok
bayangan manusia berkelebat lewat.
Sesosok bayangan tubuh yang ramping, lembut tapi
cekatan. Bayangan itu melesat masuk ke dalam ruangan
melalui jendela yang terbuka, dia mengenakan baju Yahengie berwarna hitam pekat, berdiri didepan
pembaringan bagai sukma gentayangan, dari balik
sorot matanya yang bening terpancar hawa
pembunuhan yang tebal.
Ketika Nyoo Cing menggerakkan tangannya, dengan
cepat bayangan hitam itu menempekan tubuhnya
rapat-rapat diatas dinding, mengawasi gerak-gerik lelaki
itu sambil menahan napas.
Agaknya dalam tidurnya Nyoo Cing merasa
kedinginan, sebab tangannya yang bergerak hanya
menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, dia sama
sekali tidak mendusin, apalagi mengetahui kalau ada
orang sedang menghampirinya bahkan dengan
membawa hawa napsu membunuh.
Perlahan-lahan orang berbaju hitam itu
menghembuskan napas panjang, sekali lagi dia
bergerak menghampiri ranjang, sorot matanya yang
penuh napsu membunuh mengawasi Nyoo Cing tanpa
berkedip. Tangannya mulai diayunkan ke tengah udara,
tampak jelas sebilah pedang pendek sudah terhunus
keluar. Sebilah pedang dengan pita merah digagangnya,
sebilah pedang milik seorang wanita.
Mata pedang yang memancarkan sinar kehijauan,
ibarat sorot mata setan iblis yang menyeramkan.
Angin malam berhembus makin dingin, hawa pedang
terasa semakin menggidikkan hati.
Sorot mata manusia berbaju hitam itu kembali
memancarkan hawa pembunuhan yang dingin
membeku... Mendadak... "Criiing!" pedang pendek itu sudah
dihujamkan ke bawah, menembusi selimut dan menusuk
ke tubuh Nyoo Cing.
"Craaap!" ketika pedang itu menembusi tubuh,
bergema suara yang aneh.
Suara itu mirip suara senjata rahasia yang menembusi
balok kayu, suara benturan yang tidak semestinya
bergema pada keadaan seperti ini.
Dengan perasaan tercengang orang berbaju hitam
itu menatap ke arah Nyoo Cing, tampak lelaki itu sudah
membuka matanya kembali, bahkan sedang
mengawasinya sambil tertawa, tidak nampak
penderitaan yang melintas diwajahnya karena tertusuk
pedang. Manusia berbaju hitam itu mengernyitkan dahinya,
baru saja akan mencabut pedangnya, sekonyongkonyong
Nyoo Cing berkata, "Jangan keras-keras, kau
bisa merobek selimutku!"
Ternyata Nyoo Cing membantu orang berbaju hitam
itu untuk mencabut keluar pedangnya.
Diujung pedang tidak nampak noda darah, dengan
terperangah orang berbaju hitam itu mengawasi ke
arah lawannya. "Sasaran yang kau tusuk tadi adalah jalan darah sanmahiat di lambungku," ujar Nyoo Cing kemudian, "Bila
jalan darah ini sampai tertusuk, maka sama seperti
tertusuk tepat di jantung, aku pasti akan mampus
seketika, bukan begitu?"
"Memangnya kau sudah menguasai ilmu
mengalihkan posisi jalan darah?" tanya orang berbaju
hitam itu keheranan.
"Sebenarnya aku ingin mempelajari ilmu tersebut,
sayang hingga hari ini aku belum berhasil menemukan
kitab rahasianya."
"Tapi tusukanku tadi..." perasaan tercengang semakin
terpancar dari wajah orang itu.
"Kau merasa heran bukan, kenapa aku belum mati
walaupun jalan darah san-ma-hiat ku sudah tertusuk?"
tanya Nyoo Cing sambil tertawa.
Orang berbaju hitam itu mengangguk, dia
mengawasi lubang diatas selimut itu tanpa berkedip.
"Bila keheranan, kenapa tidak kau periksa sendiri"
Singkap selimut itu, kau akan menjadi jelas dengan
sendirinya."
Orang berbaju hitam itu sudah menggerakkan
tangannya tapi dengan cepat ditarik kembali, seakan
takut dibalik selimut ada ular berbisanya, dia mundur
selangkah kemudian menyingkap selimut itu dengan
ujung pedang. Begitu selimut tersingkap, orang berbaju hitam itu
makin terperangah. Ternyata bagian tubuh Nyoo Cing
sebatas dada ke bawah sama sekali tidak tampak,
begitu selimut terbuka maka terlihatlah sebatang kayu
balok tergeletak disitu, sementara tubuh bagian perut
dan kaki Nyoo Cing tidak terlihat.
Bagaimana mungkin bisa begini" Ke mana larinya
separuh badan lelaki itu"
Tanpa separuh bagian tubuhnya, mana mungkin ia
bisa hidup"
Tiba-tiba Nyoo Cing tertawa tergelak.
"Apa yang terlihat di depan mata belum tentu
semuanya benar, mengerti kata-kata ini?" ujarnya.
"Tapi tubuh bagian bawahmu?" suara orang berbaju
hitam itu mulai gemetar.
"Kenapa kau tidak berjongkok untuk melihat bagian
bawah ranjang ini"' kata Nyoo Cing sambil menuding ke
bawah. Orang itu sedikit agak ragu, tapi akhirnya dia
berjongkok juga. Apa yang kemudian terlihat
membuatnya tertawa terpingkal-pingkal.
Nyoo Cing ikut tertawa, kedua orang itu tertawa amat
keras, seakan sedang amat gembira.
Ternyata separuh tubuh Nyoo Cing yang tidak terlihat
itu berada dibawah ranjang.
Separuh tubuh bagian atas tetap diatas ranjang,
sedang separuh tubuh bagian bawah berada dibawah
ranjang, tidak heran kalau tubuhnya sama sekali tidak
nampak. "Nyoo Cing memang tidak malu disebut Nyoo Cing!"
akhirnya orang berbaju hitam itu berseru.
Nyoo Cing tidak bicara apa-apa, dia hanya
menghela napas panjang.
Orang berbaju hitam itu masih tertawa.
Dia sangat kagum atas kecerdikan Nyoo Cing, tidak
disangka dengan cara yang unik dia berhasil
menghindari usaha pembunuhan yang dilakukan orang.
Kini Nyoo Cing sudah duduk kembali diatas ranjang,
duduk bersila diujung pembaringan.
Menyaksikan gerakan yang dilakukan Nyoo Cing,
orang berbaju hitam itu segera menghentikan gelak
tertawanya, dengan pandangan terkejut dia awasi
sepasang kaki lawan tanpa berkedip.
"Bu...bukankah kakimu sudah terluka" Bukankah
kakimu diikat dengan papan" Kenapa bisa bergerak
bebas sekarang?" tanyanya.
"Orang meng
Harpa Iblis Jari Sakti 14 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Pukulan Naga Sakti 26

Cari Blog Ini