Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long Bagian 4
erkumandang suara seorang tua dan lemah tak
bertenaga, "Sayangku, jangan lari sembarangan
di luar, lebih baik bermain dalam rumah saja."
Seusai berkata, tali itu segera ditarik kembali
dan monyet itu pun langsung berseret balik ke
dalam gua. Kembali terdengar suara roda besi sedang
berputar. Tak selang berapa saat kemudian, hutan itu
sudah hening kembali, seakan-akan belum pernah
terjadi sesuatu di tempat itu.
Tangan itu putih memucat, tapi telapak
tangannya terasa dingin membeku.
Golok berwarna hitam pekat masih berada
dalam genggaman tangan yang dingin dan kaku
itu. Saat ini bukan saja telapak tangan Pho Angsoat
telah basah oleh keringat dingin, bahkan
jidatnya juga telah dibasahi oleh keringat, kini dia
benar-benar sudah tertekan oleh hawa pedang
lawan hingga susah untuk bernapas.
Sepasang tangan Tui hong siu masih terkulai
lurus ke bawah, kakinya sama sekali tak
bergerak, namun seluruh jagad raya seolah sudah
tercekam dalam keseriusan, udara terasa makin
berat. Dengus napas Pho Ang-soat makin memburu
dan kasar, dia sadar posisinya saat itu sangat
gawat, tak mungkin baginya untuk bertahan lebih
lama lagi. Tapi dia sama sekali tak mampu bergerak,
sekalipun bisa juga percuma, sebab begitu ia
bergerak, kematian pasti akan tiba.
Bagaimana kalau tidak bergerak" Tidak
bergerak pun sama saja hasilnya, tetap mati.
Yap Kay dan So Ming-ming telah berada dalam
perjalanan menuju ke kota Lhasa.
Siang baru saja menjelang, matahari
memancarkan cahayanya yang amat terik.
Sejauh mata memandang hanya lautan pasir
berwarna kuning yang menyelimuti seluruh jagad.
Bumi begitu tak berperasaan, gersang, sepi,
ganas, dingin yang menggigilkan, panas yang
menyengat... namun sekalipun bumi tak
berperasaan, ada pula bagian lain yang
menyenangkan, persis seperti kehidupan
manusia. Dalam perjalanan hidup, manusia seringkah
harus menghadapi kendala dan masalah yang
tidak berkenan, masalah yang susah diurai, susah
dicerna. Akan tetapi kehidupan manusia tetap
menawan, tetap menarik untuk dijalani.
Yap Kay berjalan bersanding So Ming-ming
melewati gurun nan gersang, sejauh mata
memandang hanya terik matahari menyinari
jagad. "Setelah berjalan satu jam lagi, kita akan tiba
di suatu tempat," ujar So Ming-ming.
"Tiba dimana" Kebun monyet?"
"Bukan, kita akan tiba di Sumbatan leher."
"Sumbatan leher?"
"Sebuah tempat yang harus dilewati bila ingin
menuju ke kota Lhasa," So Ming-ming
menerangkan sambil menerawang ke tempat
jauh, "konon ditempat itulah berbagai setan dan
iblis sering berkeliaran."
"Oya?"
"Semua orang Tibet yang hendak melalui
Sumbatan leher, selalu jalan berombongan,
bahkan sepanjang jalan harus menyebar Gincoa
(uang untuk orang mati)."
"Kenapa?"
"Untuk menyuap setan iblis itu."
"Tak kusangka, ternyata setan iblis pun perlu
sogokan duit," seru Yap Kay sambil tertawa.
Perlahan-lahan So Ming-ming menarik
pandangan matanya, sambil berpaling ia
bertanya, "Jalan atau tidak?"
"Apa itu jalan atau tidak?"
"Kalau jalan terus berarti kita harus menunggu
di sini, menunggu sampai ada orang baru
melanjutkan perjalanan dengan berombongan."
"Kalau tidak dilanjutkan, berarti kita balik ke
kota?" tanya Yap Kay lagi.
"Benar."
Yap Kay tidak langsung menanggapi
pertanyaan itu, dia alihkan pandangan matanya,
memandang rentetan pegunungan yang
terbentang di depan mata, sampai lama
kemudian baru ia menjawab, "Jalan!"
"Sungguh?"
"Sungguh."
"Baik, kalau begitu kita dirikan tenda di sini,
menunggu sampai tibanya rombongan lain."
"Tidak, sekarang juga kita berangkat,"
perlahan Yap Kay berkata.
"Berangkat sekarang juga" Hanya kita berdua?"
tanya So Ming-ming tertegun.
Yap Kay tidak menjawab, dia hanya manggutmanggut.
"Selama ini belum pernah ada orang berani
melewati Sumbatan leher hanya berdua seperti
kita sekarang," So Ming-ming menerangkan.
"Tapi mulai sekarang ada," tukas Yap Kay
sambil tertawa, "bukankah segala sesuatu harus
dimulai dari yang pertama" Biarlah kita yang
memulai, masakah kau tidak gembira dengan
kejadian seperti ini?"
"Mantap, mantap setengah mati!"
Belum selesai perkataan itu diucapkan, dia
sudah mengikuti Yap Kay berangkat menuju ke
Sumbatan leher.
Sebenarnya dalam hati setiap orang pasti
terdapat "sumbatan", suatu sumbatan yang sulit
ditembus. Bila kau ingin menembus sumbatan itu, maka
kau pasti akan melukai juga perasaan orang lain.
Bila dalam hati terdapat sumbatan, orang itu
pasti akan merasa amat sedih. Tapi bila orang itu
berada dalam sumbatan, dia tak bakal merasa
sedih lagi. Orang yang sedang sedih seringkali ingin mati,
tapi orang yang sudah mati tak bakal sedih lagi.
Hanya orang mati yang tak akan merasa sedih.
Udara terasa membeku, seluruh angkasa
diliputi keseriusan dan ketegangan yang luar
biasa. Semua benda, semua kehidupan di alam jagad
seakan-akan telah berhenti bergerak, berhenti
bernapas. Tui hong siu tidak bergerak, terlebih Pho Angsoat.
Namun terlepas apa pun yang sedang
berlangsung di alam jagad, bumi tetap
berputar.... Hanya saja gerak putaran dilakukan lambat,
lambat sekali, itulah sebabnya tempat yang
semula tidak terjangkau cahaya, lambat-laun
tersinar juga semuanya.
Deretan pegunungan menjulang tinggi ke
angkasa, tebing yang terjal berdiri tegak lurus,
hanya sebuah jalan sempit yang terbentang di
antara bebatuan yang tajam.
Yap Kay dan So Ming-ming telah tiba di lembah
curam Sumbatan leher itu.
Batu cadas yang tajam menjulang ke angkasa
bagaikan taring serigala yang siap menerkam
mereka, siapa pun yang tiba di tempat semacam
itu, sedikit banyak pasti akan bergidik, detak
jantung mereka pasti akan berdebar keras.
Yap Kay merasa debar jantungnya berdetak
lebih cepat ketimbang biasanya, begitu keras
hingga So Ming-ming pun mendengar suara detak
jant ungnya itu.
Maka sambil tertawa geli tegurnya, "Akhirnya
kau tahu juga di sini sebenarnya tak ada setan
iblis atau siluman apa pun, tapi orang lain tak
bakal berani melalui tempat ini seorang diri."
Bila musuh bersembunyi di sekitar sana dan
menyerangmu secara tiba-tiba di saat kau sedang
lewat, maka tak ayal lagi kau pasti akan
tersumbat dan tercekik mampus di situ, ibarat
ada tali gantungan yang menjirat lehermu.
Menyumbat leher, memutus napas dan
menggantung tubuhmu hingga mati, itulah arti
sebenarnya dari Sumbatan leher.
Yap Kay memperhatikan sekejap sekeliling
sana, lalu sahutnya sambil tertawa, "Harus
kuakui, tempat ini memang merupakan jebakan
terbagus untuk membunuh orang, untung
kedatangan kita di sini tak diketahui siapa pun
sehingga...."
Belum selesai kata-katanya, peluh dingin telah
membasahi telapak tangannya.
Sebab secara tiba-tiba ia merasa di tempat itu
ternyata masih hadir orang lain, orang lain yang
sedang bersembunyi di balik kegelapan, orang
yang sedang menjebaknya.
Cahaya matahari memancar masuk ke dalam
kamar, membuat seluruh ruangan terasa terang
benderang. Ketika cahaya matahari menyoroti permukaan
lantai, secercah sinar segera memantul ke
wajahnya, menyilaukan matanya, saat seperti
itulah merupakan saat yang kritis, saat yang bisa
mencabut nyawanya.
Tapi hingga kini, mengapa dia masih belum
bergerak" Hawa pedang tak berwujud Tui hong
siu yang membungkus seluruh tubuhnya
membuat dia nyaris tak mampu bergerak, apalagi
mencabut golok.
Bila golok tidak dapat dicabut, bagaimana
mungkin melawan musuh"
Cahaya matahari mulai menyinari pinggang Pho
Ang-soat, menyinari pula golok hitam pekat
dalam genggamannya.
Pada saat itulah tiba-tiba Pho Ang-soat
melakukan satu tindakan yang selama hidup
belum pernah dilakukan, satu perbuatan yang
mimpi pun belum pernah terpikirkan sebelumnya.
Sekonyong-konyong dia lempar golok yang
selama hidup tak pernah terlepas dari tangannya
itu ke balik cahaya matahari.
Golok yang tak pernah meninggalkan tangan
Pho Ang-soat pada akhirnya meninggalkan
dirinya. Begitu golok terlepas dari genggaman, Tui hong
siu pun tertawa, tubuhnya pun bergerak cepat.
Sepasang tangannya yang selama ini terkulai
lurus ke bawah, terkulai dalam keadaan kosong,
tahu-tahu sudah bertambah dengan dua bilah
pedang. Dua bilah pedang yang sangat kecil,
panjangnya hanya satu kaki delapan inci, satu di
tangan kiri dan yang lain di tangan kanan.
Dua gulung cahaya pedang berkelebat,
meluncur dari arah yang berlawanan.
Sekilas cahaya melesat ke udara menghantam
golok yang terlepas dari tangan Pho Ang-soat,
sementara kilasan cahaya yang lain menusuk
tenggorokannya.
Biarpun dua kilatan cahaya pedang itu melesat
bukan pada saat yang bersamaan, namun
keduanya tiba pada sasaran hampir bersamaan
waktu. Satu menyerang golok di udara, satu lagi
mengancam tenggorokan Pho Ang-soat.
Kini keadaannya sangat berbahaya, dia sudah
berada dalam posisi yang mirip dengan sumbatan
leher, sumbatan kematian.
Bab 4. SENYUMAN SI IKAN MAS
Akhirnya Yap Kay melihat seorang misterius
dan aneh muncul dari atas dinding tebing yang
curam. Dari balik tebing curam yang menjulang ke
angkasa, dari balik awan putih yang menyelimuti
permukaan muncul seseorang.
Sekilas pandang dia mirip dengan seorang
perempuan, rambutnya panjang berkibar
terhembus angin, gaun panjangnya berwarna
kuning berkibar tiada hentinya, persis seperti ikan
mas yang sedang berenang dalam air.
Dengan pandangan ngeri bercampur curiga Yap
Kay dan So Ming-ming mengawasi orang di atas
tebing itu. Dia manusia atau setan" Atau mungkin
siluman iblis seperti dalam dongeng"
Biarpun panas matahari menyengat badan, So
Ming-ming justru merasakan hawa dingin yang
menggidikkan merasuk ke dalam tulang sumsum,
tanpa sadar dia menggenggam kencang tangan
Yap Kay.
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yap Kay sama sekali tak bergerak, tangannya
balas menggenggam tangan So Ming-ming.
Di tempat yang begitu curam, berbahaya dan
asing bagi mereka, tiba-tiba saja dari balik tebing
muncul seseorang. Terlepas siapakah orang itu,
asal dia melancarkan serangan, maka dapat
dipastikan Yap Kay berdua tak punya kemampuan
menangkis apalagi mempertahankan diri, sebab
keadaan mereka saat ini bagaikan seekor ular
yang tertangkap pada bagian tujuh inci di
belakang kepalanya.
Seluruh otot hijau di jidat Yap Kay telah
merongkol, otot-otot hijau itu berdenyut keras,
setiap kali menghadapi situasi yang sangat gawat,
dia selalu menunjukkan keadaan seperti ini.
Biarpun pandangan matanya masih mengawasi
orang di atas tebing, namun otaknya sama sekali
tak berhenti berpikir, dia berusaha memeras otak
mencari cara terbaik untuk menanggulangi
keadaan ini. Belum sampai ditemukan cara terbaik, tiba-tiba
orang itu telah merentang tangan dan melompat
ke atas batu sambil berteriak, "Ming-ming, aku
rindu padamu!"
Suara teriakannya begitu riang dan lantang,
sama sekali tidak mirip suara setan iblis atau
siluman, terutama orangnya, bukan saja tak
seseram setan, ternyata dia adalah seorang nona
cilik yang cantik dan lincah.
Setelah melalui Sumbatan leher, di depan mata
terbentang sebuah padang rumput yang luas dan
subur. Tempat itu sudah tak jauh dari Lhasa, kota
suci. Di tempat itulah si Ikan mas mendirikan
tendanya sebagai tempat bermalam.
Kim-hi, si Ikan mas tak lain adalah nona yang
barusan muncul di tebing curam, dia memang ke
sana untuk menyambut kedatangan So Mingming.
"Sebenarnya aku ingin menakut-nakutimu,"
dengan suara nyaring seperti suara keliningan
Kim-hi berseru, "namun aku pun tak ingin kau
mati ketakutan."
Yap Kay tertawa tergelak, belum pernah dia
jumpai gadis seriang dan selincah ini.
Sebetulnya perempuan ini tidak termasuk
cantik yang sempurna, batang hidungnya sedikit
bengkok, tapi alis matanya sangat indah,
kerlingan matanya memukau dan kulitnya putih
mulus seperti salju.
Yap Kay mulai tahu, ternyata nona itu sangat
gemar tertawa dan So Ming-ming senang
membetot batang hidungnya.
Kini So Ming-ming sedang membetot batang
hidungnya. "Kau telah berjanji padaku kali ini tak bakal
kelayapan semau hati, kenapa bisa muncul di
sini?" tegurnya.
Kim-hi tidak menjawab, ternyata dia berusaha
menghindari pertanyaan itu.
"Kenapa kau selalu membetot batang
hidungku?" Kim-hi balik bertanya, "apakah kau
baru puas bila model hidungku pesek seperti
kepunyaanmu?"
Kontan saja Yap Kay tertawa terbahak-bahak.
Tiba-tiba Kim-hi berpaling, tegurnya sambil
menatap tajam pemuda itu, "Siapakah dia?"
"Aku bernama Yap Kay, yap artinya daun, kay
artinya terbuka."
"Yap Kay?" Kim-hi tertawa cekikikan, "kalau
kau punya adik laki-laki, dia pasti bernama Yap
Kwan." "Sayang harapanmu tak bakal terwujud, karena
aku adalah anak tunggal."
Kembali Kim-hi menatap Yap Kay beberapa
saat lamanya, lalu katanya, "Aku paling suka
orang yang senang tertawa, sekarang agaknya
aku mulai sedikit menyukaimu."
Tiba-tiba ia menghampiri Yap Kay dan
memeluknya erat-erat, memeluk mesra seperti
waktu dia memeluk So Ming-ming tadi, malahan
mengecup jidatnya berulang kali.
"Sahabat enci Ming-ming berarti sahabatku
juga," kata Kim-hi, "orang yang dia sukai pun aku
akan menyukai juga."
Paras muka Yap Kay tidak menjadi merah,
sebab paras muka Kim-hi pun tidak memerah.
Ketika dia memeluk pemuda itu, semuanya
dilakukan dengan leluasa, terbuka, bebas dan
tidak mengada-ada, begitu polos dan tulus seperti
ikan mas yang sedang berenang di akuarium.
Yap Kay pun bukan termasuk lelaki pemogor,
dia jarang bisa menyimpan rahasia hatinya
apalagi menyimpan luapan perasaan.
"Aku pun menyukaimu," sahutnya," benarbenar
menyukaimu."
Di saat mereka berdua saling bertatap sambil
tertawa, So Ming-ming yang berdiri di samping
meski ikut tertawa, namun dari balik matanya
tiba-tiba muncul secercah perasaan menyesal.
Menyesal" Mengapa dia mesti menyesal"
Apakah dia menyesal karena telah mengajak Yap
Kay datang ke Lhasa"
Dua kilatan cahaya pedang, yang satu melesat
menghantam golok di tengah udara sementara
yang lain menyambar tenggorokan Pho Ang-soat.
Akhirnya pedang Tui hong siu dilolos dari
sarungnya, senjata yang digunakan ternyata
pedang yang biasa digunakan perempuan.
Bersamaan di saat Pho Ang-soat
melempar goloknya ke udara, dengan satu
gerakan cepat tangan kanannya merogoh ke
dalam saku dan mengeluarkan bungkusan
mutiara yang dititipkan Loh Loh-san padanya
menjelang ajalnya tadi.
Waktu itu ujung pedang Tui hong siu sudah
berada tiga inci dari tenggorokannya, dengan satu
gerakan cepat Pho Ang-soat mundur selangkah
kemudian menggunakan bungkusan mutiara yang
berada di tangan kanannya menyongsong
datangnya ujung pedang itu.
"Trang!", diiringi suara benturan nyaring,
butiran mutiara pun berhamburan ke lantai.
Tusukan pedangnya yang pertama berhasil
merontokkan golok, sementara tusukan yang
kedua menghamburkan mutiara kemana-mana.
Begitu mutiara bertebaran di lantai, hawa
membunuh yang membeku di ruangan pun
seketika mencair.
Sepasang tangan Tui hong siu kembali terkulai
ke bawah, kedua bilah pedang kecil itu pun sudah
lenyap dari pandangan mata, sikapnya sekarang
tak jauh berbeda dengan sebelum melancarkan
serangan tadi, hanya bedanya, hawa membunuh
yang menyesakkan napas kini sudah lenyap.
Hanya saja kerutan mukanya tampak jauh lebih
tua, semangat, sikap maupun penampilannya kini
sama sekali telah berubah.
Serangan pedang seorang jagoan, terkadang
seperti uang, dalam beberapa hal nyaris
mempunyai kesamaan.
Bagi seorang jago pedang, ada tidaknya
pedang dalam genggaman sama seperti
seseorang memegang uang atau tidak, seringkah
dapat mengubah jalan hidupnya.
Bila seorang jago pedang tak berpedang, sama
seperti orang tak berduit, seperti sebuah karung
goni yang tak berisi, lemas, loyo dan tak punya
kemampuan. Pho Ang-soat tidak bergerak, dia hanya berdiri
kaku di situ sambil memandang Tui hong siu
dengan dingin. Tui hong siu tidak memandang ke arahnya lagi,
sinar matanya seakan terhenti di tubuh Pho Angsoat,
seperti juga sedang memandang ke tempat
jauh. Begitulah, kedua orang itu pun berdiri saling
berhadapan tanpa bergerak.
Sampai lama kemudian akhirnya Tui hong siu
buka suara lebih dahulu, tanyanya, "Darimana
kau bisa tahu kalau aku menggunakan dua bilah
pedang?" Pho Ang-soat mengalihkan pandangannya pada
kedua tangan lawan, ujarnya, "Biasanya orang
hanya meninggalkan kulit keras bekas pedang di
tangan kanan, sedang kau... pada kedua
tanganmu punya tanda itu."
"Oleh sebab itu kau sengaja melempar golokmu
untuk memancing pedangku yang sebelah?"
"Ya, rasanya hanya bisa dilakukan dengan cara
begitu," sahut Pho Ang-soat hambar, "sekalipun
kau hanya memiliki sebilah pedang pun, aku tak
yakin bisa menghadapinya."
Dia bicara sejujurnya, sebab sebelum Tui hong
siu datang kemari, dia telah menghimpun semua
semangat, tenaga dan kekuatannya hingga
mencapai puncaknya, sekalipun Pho Ang-soat
berhasil mencabut golok begitu bertemu, dia
tetap sulit menjebol pertahanannya.
Dengan sorot matanya yang nampak jauh lebih
tua ia menatap Pho Ang-soat sekejap, ternyata
suaranya juga terdengar jauh lebih parau dan
tua. "Bagus, bagus sekali...." gumam Tui hong siu,
"rupanya kau memang punya alasan kuat untuk
meraih kemenangan."
"Cayhe berhasil menang karena memakai akal,
biarpun berhasil lolos dari sergapan pedang
Cianpwe, bukan berarti aku berhasil meraih
kemenangan, buat apa Cianpwe...."
"Kau tak perlu bicara lagi!"
Tui hong siu hanya mengawasi pemuda itu
tanpa berkedip, sampai lama kemudian, ia tetap
tak mengucapkan kata-kata. Mendadak dia balik
tubuh dan beranjak pergi dengan langkah lebar.
Mengawasi tubuhnya yang makin jauh, Pho
Ang-soat menggeleng kepala sambil bergumam,
"Cianpwe ini memang hebat, kehebatannya
memang lain daripada yang lain."
Biarpun ucapan itu diutarakan sangat pelan,
namun secara tiba-tiba Tui hong siu kembali
berpaling memandang ke arahnya, tapi kemudian
dia menghela napas panjang.
"Menang tapi tak angkuh, rendah hati penuh
sopan-santun, biar sedikit dingin dan ketus pun
apa salahnya?"
Selesai berkata, Tui hong siu melanjutkan
langkahnya berlalu dari situ.
Matahari amat terik, udara begitu panas
membuat rerumputan yang tumbuh di dalam
kebun hangus terbakar dan layu.
Pho Ang-soat mengumpulkan kembali mutiara
yang tersebar di lantai dan dimasukkan ke dalam
kantungnya, kemudian dia berjalan keluar kamar,
menuju kebun bunga dan menelusuri beranda.
Di ujung beranda lamat-lamat terlihat sesosok
bayangan putih berdiri di balik keremangan,
begitu remang hingga seakan ada dan tiada.
Pho Ang-soat berjalan sangat lamban,
selangkah demi selangkah berjalan menuju ke
arahnya. Pek Ih-ling mengawasinya dengan pandangan
ragu, dia seakan sedang mengawasi tempat maya
di kejauhan, selain perasaan murung yang tipis,
wajahnya dihiasi pula dengan perasaan kesal dan
tidak berdaya. Pho Ang-soat menghentikan langkah setelah
tiba di hadapannya, lalu dengan pandangan mata
dingin dia balas menatap gadis itu.
Begitulah mereka berdua saling berhadapan,
saling berpandangan sampai lama sekali.
"Tak kusangka kau berhasil mengungguli Tui
hong siu," dengan suara lirih Pek Ih-ling berbisik.
"Dia sama sekali tidak kalah, dia telah
kehilangan hawa napsu membunuh untuk
menghabisi nyawaku."
"Berarti kau tahu pagi ini dia bakal datang
untuk membunuhmu?"
"Betul, aku dapat merasakannya."
"Kalau begitu seharusnya kau pun tahu aku
bakal menyuruh dia pergi membunuhmu?"
kembali Pek Ih-ling menambahkan.
Kali ini Pho Ang-soat tidak menjawab, dia
hanya mengawasi gadis itu dengan mulut
membungkam, lewat sesaat kemudian baru dia
angsurkan bungkusan berisi mutiara itu
kepadanya. "Bungkusan itu diambil Loh Loh-san agar bisa
memancing rasa simpatikmu, semoga kau
menerimanya dengan baik," kata Pho Ang-soat.
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pek Ih-ling menerima bungkusan itu, lalu
sambil menatap wajah Pho Ang-soat katanya lagi,
"Bagaimana dengan kau" Apakah kau sama sekali
tidak menaruh hati kepadaku?"
Menaruh hati" Menaruh perasaan cinta"
Buru-buru Pho Ang-soat menghindari
pertanyaan itu, cepat dia mengalihkan
pembicaraan, "Aku rasa kau tentu sudah tahu Loh
Loh-sap telah mati?"
Loh Loh-san tahu dalam kamar Be Hong-ling
terdapat sekantong mutiara, tentu saja hal ini
dikarenakan Pek Ih-ling sengaja membocorkan
rahasia ini kepadanya.
Tentu saja Pek Ih-ling pun tahu semalam Pho
Ang-soat pasti akan mendatangi kamar Be Hongling
menanti kedatangan sang pembunuh.
Tentu saja perempuan itu pun sadar, begitu
Loh Loh-san muncul di situ, dia pasti akan
menemui ajalnya.
Karena di ujung golok Pho Ang-soat hanya
kematian saja yang ada.
Kalau bukan musuh yang mati, berarti diri
sendiri yang mampus.
Panasnya udara di kebun bunga tidak membuat
beranda itu jadi lebih sejuk, suasana yang
remang-remang serasa berada di sebuah
perjalanan menuju neraka.
"Hanya cinta yang paling suci di dunia ini," kata
Pho Ang-soat dengan hambar, "mungkin kau
kelewat muda hingga tak tahu betapa
berharganya perasaan cinta, tatkala kau telah
memperoleh berbagai pengalaman, maka kau
bakal tahu arti cinta yang sesungguhnya."
Selesai berkata ia segera beranjak pergi
meninggalkan tempat itu, meninggalkan Pek Ihling
yang masih berdiri termangu di situ.
Seandainya kau dapat melihat lebih seksama,
maka akan kau lihat butiran air mata sedang
membasahi pipi perempuan itu.
"Kau keliru besar," bisik Pek Ih-ling sambil
mengawasi bayangan punggung Pho Ang-soat
yang makin menjauh, "biarpun hanya cinta yang
paling suci di dunia ini, namun cinta pula yang
dapat membuat orang merasa tersiksa dan
menderita."
Di kala air mata membanjiri wajah Pek Ih-ling,
sebuah tangan yang kuat tapi penuh keriput
perlahan-lahan memegang bahunya.
Pek Ih-ling tidak berpaling, karena dia tahu
tangan siapa yang sedang memegang bahunya.
Raut muka Be Khong-cun pun dipenuhi banyak
kerutan, kerutan yang tergores di wajahnya
seakan menyimpan penderitaan, perjuangan serta
mara-bahaya yang pernah dialaminya, seakan
sedang memberitahu orang lain, jangan harap
kau bisa merobohkan dirinya dalam masalah apa
pun, bahkan termasuk menyuruhnya pergi
beristirahat. Biarpun begitu, sorot matanya tetap datar dan
hambar, sedikit pun tidak disertai cahaya mata
yang tajam menggidikkan, kini sepasang matanya
sedang mengawasi Pek Ih-ling.
Biarpun datar namun tersisip pula perasaan
pedih, kasihan, tak berdaya serta serba salah,
tanpa mengucapkan sepatah kata pun Be Khongcun
mengawasi Pek Ih-ling.
Tampaknya si nona tak ingin membiarkan
kepedihan dalam keheningan itu berlarut, maka
cepat bisiknya, "Salahkah aku?"
"Kau tidak salah," jawab Be Khong-cun, "yang
salah adalah takdir!"
Sesudah menghela napas panjang, terusnya,
"Sepuluh tahun telah lewat, kau belum dapat
melupakannya?"
"Melupakan?" Pek Ih-ling tertawa pilu,
"mungkinkah melupakan persoalan ini?"
Penderitaan dan kepedihan yang terbesar,
terdalam dan terkuno bagi umat manusia adalah
sukar melupakan.
Tapi apa pula yang bisa diperbuat sekalipun
sukar dilupakan" Menenggak obat untuk
mengakhiri hidup" Terjerumus dalam kehidupan
yang penuh kemurungan"
Begitu pula keadaan Pek Ih-ling sekarang. Ia
tak dapat meloloskan diri dari tekanan batin
seperti itu. Dinding benteng yang tersusun dari batu cadas
membentang dari istana Potala hingga bukit
Cagopoli, pintu gerbang kota berada di bawah
pagoda, konon dalam pagoda itu tersimpan tulang
belulang Buddha serta banyak dongeng indah
yang penuh misteri.
Sesudah melewati pintu berbentuk bulat, kuil
Ta-cau-si muncul di sisi kanan Yap Kay.
Bangunan istana tingginya mencapai empat
puluh kaki dengan luas seratus dua puluh kaki,
bangunan itu berdiri kokoh dengan dinding
sepanjang tebing karang.
Yap Kay mengawasi semua bangunan itu
dengan terkesima, mimpi pun dia tak menyangka
istana Potala begitu indah dan megah bagaikan
berada di nirwana saja.
"Indah bukan?"
"Ah, pemandangan seperti ini tak bisa
diwujudkan hanya dengan kata indah saja," sahut
Yap Kay. Sambil menunjuk bangunan kuil kuno yang
megah dan berada di sisi kanannya, So Mingming
menjelaskan, "Kuil itu Ta-cau-si!"
Kuil Ta-cau-si konon didirikan oleh putri Bunseng
Kongcu dari dinasti Tong.
Pada masa itu Tibet masih disebut Turfan,
sementara kota Lhasa masih disebut kota Losi.
Tahun Tin-koan keempat belas pada ahala
Tong, perdana menteri negeri Turfan, Tong-jin,
dengan membawa permata dan uang emas lima
ribu tahil berangkat ke kota Tiang-an dan
membawa pulang keponakan perempuan kaisar,
putri Bun-seng Kongcu, kembali ke negerinya.
Di kemudian hari putri Bun-seng Kongcu
menikah dengan Jin-po generasi ketujuh, Songjin
Gan-po. Sebagai rasa cintanya yang tulus dan untuk
memuji kecantikan wajah istrinya, raja negeri
Turfan ini pun membangun sebuah kuil yang
disebut kuil Ta-cau-si.
Setelah melewati kuil Ta-cau-si, sampailah
mereka di pusat perdagangan yang paling ramai
dan megah di kota Lhasa.
Sama seperti jalan utama di wilayah Kanglam,
ada dua jenis orang yang berlalu-lalang di situ,
yang satu adalah penduduk asli dan yang lain
adalah kaum pendatang.
Menelusuri jalan di pusat perdagangan, Yap Kay
menikmati budaya dan kebiasaan kota Lhasa.
Hampir sepanjang jalan berderet kedai dan
toko yang nyaris berubah jadi hitam karena asap
lampu minyak, selain itu terendus juga bau susu
yang kecut dan kental hingga nyaris membuat
orang susah bernapas.
"Kau menyukai tempat ini?" tanya Kim-hi tibatiba.
Yap Kay mengangguk, dia memang hanya bisa
mengangguk, tak seorang pun yang tak menyukai
tempat ini. "Sebelum ini, apakah kau pernah kemari?"
kembali Kim-hi bertanya.
Yap Kay menggeleng, dulu dia memang tak
pernah kemari, seandainya pernah, tak mungkin
dia pergi meninggalkan tempat ini.
Mendadak Kim-hi menarik tangan Yap Kay,
seakan sedang menarik tangan kekasihnya.
"Ayo, ikut aku, mari kita pergi bermain."
"Bermain dimana?"
"Bermain di tempat yang banyak
permainannya."
Sementara suara tawa si Ikan mas makin
nyaring, paras muka So Ming-ming berubah
semakin tak sedap dipandang.
Beruntung pada saat itulah dari ujung jalan
terdengar seseorang berseru, "Enci Ming-ming,
rupanya kau telah kembali!"
Ketika Yap Kay berpaling, dia lihat ada
segerombolan bocah berusia sebelas-dua belas
tahun sedang berlari mendekat, rombongan itu
ada laki ada pula perempuan, ada yang tinggi
ada yang pendek, ada yang gemuk ada pula yang
kurus, malah ada. seorang di antaranya yang
timpang kakinya.
Yap Kay memang terhitung orang yang suka
anak-anak, melihat kerumunan bocah itu, dia
hanya bisa mengawasi sambil tertawa.
"Enci Ming-ming, kapan kau kembalinya?"
"Enci Ming-ming, begitu lama kau pergi
meninggalkan kami?"
"Enci Ming-ming, selama kau tak di rumah, tak
seorang pun yang mengajak kami bermain."
Mula-mula So Ming-ming mengelus kepala tiap
bocah, kemudian kepada si bocah timpang
sahutnya, "Selama aku tak di rumah, bukankah
masih ada enci Kim-hi!"
"Tapi terkadang enci Kim-hi harus bekerja, dia
tak bisa membawa kami bermain tiap hari," kata
si bocah timpang.
"Kalau aku tidak bekerja, darimana kalian bisa
makan?" teriak Kim-hi sambil tertawa, "wah, baru
ketemu sudah memberi laporan yang bukanbukan...."
"Tidak, kami hanya kangen enci Ming-ming"
seorang bocah perempuan berseru.
"Oh, jadi kalian sudah tidak kangen padaku
lagi?" Kim-hi sengaja cemberut.
Bocah perempuan gendut itu segera memeluk
Kim-hi sambil berseru manja, "Tentu saja kami
pun sangat kangen padamu!" "Kangen atau cuma
ingin gula-gula?"
Menyaksikan serombongan bocah kecil yang
begitu menawan, tak mungkin orang tak akan
tertawa karena senang, begitu juga dengan Yap
Kay. Begitu dia tertawa, perhatian bocah-bocah itu
pun langsung dialihkan ke wajahnya, setiap anak
mementang mata lebar-lebar dan mengawasinya
tanpa berkedip.
"Siapakah dia?" seorang bocah lelaki yang agak
tinggi bertanya kepada So Ming-ming, "apakah
teman laki barumu?"
"Aku bernama Yap Kay."
Sebelum pemuda itu melanjutkan
perkataannya, Kim-hi telah menukas sambil
menerangkan, "Yap dari kata daun dan kay
berarti buka, dia adalah tamu yang dibawa enci
Ming-ming."
Begitu tahu pemuda itu adalah tamu enci Mingming,
beberapa bocah lelaki itu segera maju
menyapa, "Aku bernama Yu Lam, Toako mereka
semua," bocah lelaki agak tinggi itu
menerangkan. "Ngawur, kau dilahirkan belasan hari lebih
lambat ketimbang aku, menangmu cuma
perawakan tubuhmu lebih tinggi," protes bocah
lelaki timpang itu cepat, "aku bernama Siau-hoa,
usiaku paling tua di antara mereka semua."
"Selamat berjumpa anak-anak," Yap Kay
segera menyapa sambil tertawa.
Orang yang gemar bergurau memang paling
mudah bergaul dengan orang lain, melihat
kemurungan bocah-bocah itu telah hilang, So
Ming-ming pun memandang wajah setiap bocah,
lalu bertanya, "Mana Giok-seng" Kenapa aku
tidak melihat Giok-seng?"
Wajah penuh senyuman kawanan bocah itu
seketika lenyap sehabis mendengar pertanyaan
itu, semua orang jadi tenang, senyuman pun
berubah jadi kemurungan, bahkan terselip
perasaan takut yang tebal.
Sementara Yap Kay mulai menduga apa yang
terjadi, terdengar So Ming-ming bertanya lagi,
"Apa yang telah terjadi?"
Setiap bocah hanya saling berpandangan tanpa
menjawab, malah ada pula yang segera
menundukkan kepala mengawasi ujung sepatu
sendiri. "Katakan, apa yang sebenarnya telah terjadi?"
tiba-tiba So Ming-ming berpaling ke arah Kim-hi,
lalu tegurnya, "apa yang sebenarnya telah
terjadi?" "Aku sendiri tidak tahu," jawab Kim-hi sambil
membelalakkan mata, "semalam aku masih
melihat dia main bersama mereka."
Sekali lagi So Ming-ming berpaling ke arah
bocah-bocah itu, mendadak tegurnya kepada
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siau-hoa, "Kalau memang kau adalah Toako
mereka, seharusnya kau yang mewakili mereka
bicara." Siau Hoa berpikir sejenak, kemudian katanya,
"Sejak kemarin dia pergi meninggalkan kami,
hingga kini belum balik."
"Kemana dia?"
"Dia... dia...."
"Apakah dia pergi ke kebun monyet?" Siau Hoa
manggut-manggut.
Berubah hebat paras muka So Mingming,
tegurnya agak gusar, "Bukankah
sudah berulang kali aku katakan, jangan
pergi ke kebun monyet?"
"Sejak kau pergi, kami memang tak pernah
mendekati kebun monyet lagi, siapa sangka
semalam terdengar suara teriakan monyet yang
sangat ramai, kemudian... kemudian Giok-seng
berkata ingin pergi melihat keadaan."
Paras muka So Ming-ming berubah jadi tak
sedap dipandang, sikap yang aneh itu membuat
kawanan bocah itu semakin ketakutan.
Situasi makin tegang, Yap Kay menimpali, "Asal
sudah tahu dia pergi ke kebun monyet, persoalan
akan lebih gampang diselesaikan. Asal kita
mendatangi kebun monyet, bukankah semua
akan beres."
"Tidak ditemukan," Siau-hoa menggeleng.
"Mana mungkin bisa tak ditemukan?"
Jawab So Ming-ming, "Peristiwa semacam ini
sudah berlangsung berulang kali, bocah yang
pergi ke sana tak pernah kembali."
"Sudah berulang kali terjadi?" seru Yap Kay,
"apakah sebelum ini pun ada bocah yang lenyap
dalam kebun monyet?"
So Ming-ming mengangguk.
"Apakah tidak mencoba dicari di dalam kebun
itu?" "Pernah, malah suatu saat kami pernah
menggeledah kebun monyet bersama sekawanan
opas, namun hasilnya sama saja, jangankan
tubuhnya, seutas rambut pun tidak ditemukan."
"Jangan-jangan sudah pergi ke tempat lain?"
"Tidak mungkin, setiap orang yang berani
mendekati kebun monyet, seringkah mereka
lenyap begitu saja." "Termasuk orang dewasa?"
Kembali So Ming-ming mengangguk.
Dalam sebuah kebun yang sangat luas, tinggal
ratusan ekor monyet berbagai jenis serta seorang
kakek, seorang bocah perempuan kecil dan
sepasang suami istri kerdil yang sangat aneh. Hal
semacam ini pun sudah tampak sangat aneh dan
penuh misteri. Tapi yang paling menarik perhatian Yap Kay
adalah terdapatnya sejenis monyet berkepala
manusia dalam kebun itu, yang konon pandai
berbicara. Dan kini dia semakin tertarik lagi karena ada
begitu banyak orang hilang setelah mendekati
tempat itu, ada apa dengan kebun monyet itu"
Tampaknya kebun monyet itu tidak hanya
diliputi misteri, bahkan masih menyimpan banyak
rahasia besar yang tidak diketahui orang lain.
Kalau dibilang benar-benar menyimpan rahasia,
rahasia macam apakah itu" Persoalan inilah yang
paling utama ingin diketahui Yap Kay.
Untuk mengungkap masalah yang aneh dan
rahasia, sudah pasti akan menghadapi banyak
kendala dan hambatan, bahkan terkadang harus
menggunakan nyawa sebagai taruhan, namun
ketegangan selama pelacakan dan penyelidikan,
serta rasa puas dan bangga bila berhasil
mengungkap, jelas merupakan daya tarik yang
luar biasa. Terutama lagi bagi orang seperti Yap Kay.
Kegemaran paling utama dalam hidupnya tak
lain adalah suka mencari ketegangan, suka
mencampuri urusan orang, oleh sebab itu banyak
kesulitan dan masalah yang harus dihadapinya
selama ini. Beruntung sekali dia termasuk orang yang tak
takut menghadapi kesulitan.
Biasanya orang yang senang mencampuri
urusan orang lain adalah orang yang tak kuatir
menghadapi kesulitan.
Setiap orang mempunyai rumah, terlepas
rumah baik atau buruk, terlepas rumah miskin
atau kaya, rumah mewah megah bak istana atau
pun rumah bobrok yang reyot hampir roboh.
Rumah tetap adalah rumah.
Kandang anj ing pun merupakan rumah.
Asal ada rumah berarti kau akan memperoleh
kehangatan. Rumah adalah tempat yang paling tepat
bagimu untuk kabur dari kenyataan, merupakan
tempat yang paling cocok untuk menangis dan
berkeluh kesah di saat kau sedang sedih.
Rumah pun merupakan tempat dimana kau
dapat melakukan perbuatan apa pun. Seperti
umpama merasa gatal di suatu bagian tubuh,
setiap saat kau dapat menggaruknya dengan
sesuka hati. Berada dalam rumah kau tak usah memikirkan
segala pantangan dan larangan.
Tentu saja di saat tak ada orang tua atau orang
luar. Karena setiap orang mempunyai rumah,
tentu saja So Ming-ming pun mempunyai rumah.
Hanya saja mimpi pun Yap Kay tidak
menyangka rumahnya itu macam begini.
Rumah tinggal So Ming-ming berada di kaki
bukit di luar kota Lhasa, mencakup tanah yang
sangat luas, kamarnya saja terdiri dari belasan
buah. Walaupun rumahnya sangat besar, namun
bukan termasuk rumah mewah yang megah,
bukan juga rumah yang reyot dan buruk.
Keempat dinding rumahnya terbuat dari bahan
yang berbeda. Ada ruangan yang terbuat dari kayu,
tanah liat, batu bata, anyaman ijuk, batu
cadas dan ada pula yang terbuat dari
lempengan baja, rotan, bambu dan lain
sebagainya. Yang lebih hebat lagi, ada sebuah kamar di
dalamnya yang menggunakan sederetan pohon
kecil sebagai dinding, dalam kamar seperti itulah
Siau-hoa berdiam.
Ketika Yap Kay tiba di tempat itu dan
menyaksikan bangunan yang begitu antik, untuk
sesaat dia hanya bisa berdiri bodoh.
"Bagaimana?" tanya Siau-hoa yang berada di
sisinya dengan bangga, "rumah kami ini bagus
bukan?" "Bagus, amat bagus," sahut Yap Kay tertawa
getir, "hakikatnya jauh lebih hebat dari istana
kaisar, lebih nyaman dari nirwana."
Setelah tertawa lanjutnya, "Bila rumah mewah
itu dibandingkan rumah kalian, kelihatan rumah
mereka mirip sarang tikus."
Berada dalam kamar, Yap Kay membaringkan
diri di atas sebuah pembaringan yang terbuat dari
selembar papan dan selapis jerami kering.
"Ai, di kolong langit memang tak ada rumah
lain yang lebih hebat dari rumah ini. Pada
hakikatnya rumah ini benar-benar hebat dan luar
biasa." "Mereka adalah gerombolan anak gelandangan
yang tak punya orang tua, bila aku tidak
menampung mereka, jelas bocah-bocah itu bakal
hidup bergelandangan di luar, bahkan mungkin
ada yang mati sakit atau kelaparan."
"Mereka adalah anak-anak yatim piatu yang
pernah hidup melarat dan menderita, ada
sebagian di antaranya yang sejak kecil sudah
belajar berbuat jahat, sejak dini sudah melakukan
berbagai tindak kriminal, bayangkan, bila bocah
ini tumbuh makin dewasa, bukankah akhirnya
mereka akan menjadi sampah masyarakat" Kalau
sampai ada begitu banyak sampah masyarakat,
jelas akan menjadi masalah gawat dalam
kehidupan sosial. Itulah sebabnya aku
berkeputusan mengumpulkan mereka, berusaha
mengajarkan hal positip kepada mereka."
"Sekalipun di kemudian hari belum tentu
mereka menjadi manusia berguna, paling tidak
tak sampai membiarkan mereka menjadi sampah
masyarakat."
Ucapan itu disampaikan So Ming-ming ketika
dalam perjalanan mereka pulang ke rumah, tentu
saja dia pun menjelaskan kepada Yap Kay bahwa
dia maupun Cicinya juga anak yatim piatu.
Dia pun anak yatim piatu, maka baru dia
memahami kepedihan hidup seorang yatim piatu,
karena itu baru dia bersedia menampung anak
yatim piatu. Menyaksikan gerombolan bocah-bocah itu,
memandang rumah dan kamar mereka pula, Yap
Kay merasa terenyuh.
Dalam berbagai hal, bukankah pengembara
sama nasibnya dengan anak yatim piatu"
Mereka sama-sama seperti daun berguguran
terhembus angin, daun yang terapung terbawa
arus, tidak jelas darimana datangnya dan tak
tahu kemana mereka akan pergi, karena mereka
tak lebih hanya tamu yang numpang lewat.
Tamu numpang lewat bukanlah orang yang
kembali. Orang yang kembali bagaikan panah, tamu
yang lewat hanya terombang-ambing.
Suara derap kuda yang bergema adalah
keindahan yang salah.
Aku bukan orang yang kembali, aku hanya
tamu numpang lewat.
Seorang nyonya muda kesepian duduk seorang
diri di bawah keheningan, menunggu kedatangan
orang yang dirindukan dari tempat jauh, hatinya
begitu gundah, begitu kesepian dan pilu.
Dalam keadaan seperti ini, setiap bunyi yang
bergema akan memberikan khayalan dan harapan
yang tiada tara, membuat dia merasa sang
kekasih telah kembali, kerinduan telah berakhir,
kesepian telah berlalu.
Menanti khayalan dan harapan punah,
walaupun rasa pedih tetap muncul di hati, namun
harapan yang sempat muncul sesaat tetap terasa
indah. Para penyair berkata "indah adalah sebuah
kesalahan".
Bila sampai detik terakhir harapan masih juga
belum datang, itulah saatnya untuk benar-benar
berduka. Dalam banyak hal perempuan yang menunggu
kembalinya sang kekasih, mirip juga dengan
pengembara yang terombang-ambing.
Matahari terik telah lewat, malam gelap
menjelang tiba.
Ia duduk di bawah emper rumah, memandang
kejauhan dengan tenang, menyisakan selapis
bianglala di ujung langit serta suara keliningan di
wuwungan rumah.
Yap Kay sedang mengawasi perempuan itu.
Setelah berada di rumah bersama rombongan
anak-anak itu, Yap Kay merasa dalam banyak hal
kehidupan itu penuh ketimpangan, namun di balik
semua itu masih terdapat hal yang menarik dan
indah, karena itu dia pun mengundang anak-anak
untuk makan. Begitu mendengar Yap Kay mengundang
makan, anak-anak pun mengusulkan untuk
berkunjung ke Hong-ling (keliningan).
Oleh karena itulah Yap Kay muncul di Hong-ling
dan menjumpai nyonya muda yang sedang duduk
seorang diri di bawah emper rumah.
Hong-ling adalah sebuah warung makan kecil,
terletak di pinggir kota, tak jauh dari tempat
tinggal anak-anak itu.
Hong-ling terhitung sebuah kedai makan yang
sangat aneh, sebab dari pemilik sampai pelayan,
semuanya dilakukan sang koki seorang diri.
Karena itu tamu yang bersantap di rumah
makan Hong-ling tahu mereka harus mengurus
diri sendiri jika ingin makan di situ.
Kau harus mengambil sumpit sendiri,
mengambil nasi sendiri dan bila selesai bersantap
harus meletakkan bekas mangkuk dan sumpitnya
di tempat yang telah ditentukan, lalu setelah
membayar dengan memasukkan uang ke dalam
sebuah peti, kau boleh pergi dari situ.
Oleh karena semuanya harus ambil sendiri,
orang-orang di seputar sana menyebut rumah
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
makan Hong-ling sebagai rumah makan
swalayan. Tentu saja memasak sayur bukan mesti
dilakukan sendiri. Sejak pagi nyonya muda itu
akan mencuci semua sayur yang ada,
memotongnya, membuat api dan memasaknya
sampai matang. Kalau masakan sudah siap sejak pagi, hingga
sore hari pastilah sudah dingin, kalau hidangan
tidak hangat, siapa pula yang mau membelinya"
Tentu saja perempuan muda itu tahu akan hal
ini, maka di sisi kiri rumah makannya, di atas tiga
buah meja yang berjajar, disediakan enam buah
anglo, di atas anglo tersedia kuali, dalam kuali
ada air serta penutupnya.
Bila kau merasa hidangan telah dingin, maka
hangatkan masakan itu dalam kukusan.
Tempat semacam ini boleh dibilang sangat
aneh, cara makan yang aneh, rumah makan
yang aneh dan nyonya muda yang aneh.
Yap Kay mulai tertarik semua itu.
Bab 5. TERGILA-GILA PADA GOLOK
Teriknya hawa panas belum hilang, dinginnya
udara sudah merasuk ke tulang.
Kau bisa menikmati perubahan iklim ini di luar
perbatasan. Rembulan baru saja muncul di tengah langit,
taburan bintang di langit pun masih bersembunyi
di balik awan tebal, tapi giliran ronda telah tiba.
Menyaksikan rombongan peronda yang baru
digantikan lenyap di balik kegelapan di ujung
jalan sana, Lim Cun menarik baju kulit
kambingnya untuk menutupi tengkuknya yang
kedinginan, lalu dengan sepasang mata tikusnya
yang terkesan sedikit ngeri dan takut, dia mulai
memeriksa kegelapan di seputar sana.
Sebetulnya hari ini adalah giliran Oh Sam yang
bertugas ronda, tapi semalam dia ditemukan
tewas, tewas di jalanan di ujung kota.
Konon kematiannya disebabkan darahnya telah
habis diisap setan pengisap darah.
Begitu teringat setan pengisap darah, tubuh
Lim Cun menggigil makin keras, perasaan ngeri,
takut dan horor yang semakin mengental
terpancar dari sepasang matanya.
Belakangan Ban be tong memang seolah
terselubung di balik kabut teror yang mengerikan
dan menakutkan, banyak orang hilang begitu
saja, banyak yang dijumpai telah tewas tanpa
sebab yang jelas, bahkan setan pengisap darah
yang selama ini hanya muncul dalam dongeng
pun ikut bermunculan. Bayangkan saja, siapa
yang tidak takut menghadapi ancaman teror
seperti ini"
Tak heran mereka yang sedang mendapat
giliran ronda akan menjalankan tugasnya dengan
beban tekanan batin yang berat, selain hatinya
tak tenteram, perasaan ngeri dan seram pun ikut
mencekam. Untung saja hari ini terdapat satu hal yang
agak melegakan, yaitu rembulan pada malam ini
bersinar lebih terang.
Tempat dimana Lim Cun berdiri adalah sebuah
tiang bendera yang besar dan tinggi, di ujung
tiang tergantung sebuah lampion yang sangat
besar. Sinar rembulan yang terang ditambah lampion
besar, membuat kegelapan sedikit terusir dari
sekitar tempat itu, tak heran perasaan Lim Cun
sedikit lebih lega.
Sejak dulu, kegelapan memang selalu dianggap
sebagai sumber kengerian dan teror.
Hawa dingin menyusup ke balik baju Lim Cun
menyertai hembusan angin malam, di tengah
cuaca dingin yang begini membeku, bila gerak
tidak dipertahankan, tak sampai sepeminuman
teh kemudian dijamin tubuhmu akan berubah jadi
gumpalan es. Sambil menggenggam golok panjangnya di
tangan kiri, Lim Cun mulai berlari-lari kecil,
sementara dalam genggaman tangan kanannya
membawa botol arak yang berulang kali diteguk
isinya. Menunggu cairan arak mengalir dalam
perutnya, Lim Cun baru merasakan sedikit
kehangatan. Padahal menurut aturan, waktu
berdinas dilarang minum arak, tapi siapa yang
kuat tidak menenggak arak"
Asal tidak sampai membuat gara-gara, asal
tidak ketahuan atasan, biasanya orang-orang itu
akan menutup mata.
Tatkala isi botol semakin berkurang, perasaan
hangat pun semakin menjalar ke seluruh tubuh,
Lim Cun menghentikan larinya. Mungkin lantaran
pengaruh arak atau mungkin karena malam itu
terasa begitu tenang, perasaan ngeri dan horor
dalam hatinya lambat-laun semakin memudar.
Baru saja Lim Cun bersandar di tiang bendera
karena rasa kantuk, tiba-tiba ia saksikan
seseorang muncul dari balik kegelapan, begitu
lambat gerakan orang itu seolah sudah menyatu
dengan suasana gelap di sekelilingnya.
"Siapa?"
Lim Cun melototkan mata, golok maupun botol
araknya tanpa terasa digenggam makin kencang.
"Siapa" Kata sandi!"
Orang itu tidak menjawab kecuali
memperdengarkan suara tawa yang
menyeramkan, kakinya sama sekali tak bergerak,
namun tubuhnya justru bergerak makin
mendekat. Lim Cun merasa orang itu seolah melayang di
tengah udara, seperti setan penasaran yang
sedang bergentayangan, saking takut dan
ngerinya, tanpa terasa botol arak terlepas dari
genggamannya, sementara golok panjang
walaupun masih tergenggam di tangan kanan,
namun kelihatan gemetar keras bagai ranting
pohon Liu yang meliuk-liuk diterpa angin.
Sepasang mata tikusnya makin kental
memancarkan rasa takut dan ngeri, dengan suara
gemetar teriak Lim Cun lagi, "Si... siapa... siapa
kau?" "Hehehe...."
Suara tawanya begitu menyeramkan bagai
muncul dari neraka, orang itu bergeser makin
dekat. Akhirnya Lim Cun dapat melihat jelas raut
wajah orang itu, ternyata dia bukan lain adalah
Hwi thian ci cu yang telah mati.
Lim Cun semakin ketakutan, sekujur tubuhnya
menggigil keras, saking takutnya ia terkencingkencing
dalam celana. Cahaya rembulan yang terang menyinari wajah
Hwi thian ci cu yang pucat bagai mayat, noda
darah kering masih menempel di ujung bibirnya,
sementara sepasang taring yang putih panjang
bagai mata pisau mencuat keluar dari balik
mulutnya. Lim Cun yang tersohor paling cepat kabur
waktu menghadapi musuh, saat ini merasakan
sepasang kakinya seolah tumbuh akar, biar
tubuhnya menggigil keras namun dia bingung, tak
tahu bagaimana mesti kabur dari situ.
Tahu-tahu sepasang taring putih yang panjang
dan tajam itu sudah menempel di atas
tengkuknya, menyusul kemudian Lim Cun
merasakan sakit yang luar biasa menjalar dari
tengkuk hingga ke seluruh tubuh.
Tapi rasa sakit itu tidak berlangsung lama,
karena nyawanya keburu melayang meninggalkan
raganya. Belum lagi darah dalam tubuhnya habis terisap,
ia sudah mati lebih dulu.
Rupanya Lim Cun mati karena ketakutan.
Begitu gigi taring dicabut dari tengkuk, Hwi
thian ci cu segera memasukkan dua batang
bambu tipis ke bekas gigitannya pada tengkuk
Lim Cun, lalu dengan menggunakan sebuah
kantung air yang besar dia tampung darah yang
mengalir keluar dengan derasnya itu.
Menyaksikan kantong air yang nyaris penuh
dengan darah segar, secercah perasaan gembira
dan bangga melintas di balik mata si laba-laba
terbang ke langit itu.
Tak sampai sepeminuman teh darah sudah
berhenti mengalir dari pipa bambu, Hwi thian ci
cu segera menutup kantung airnya, kemudian
mencabut pipa bambu itu.
Mengawasi Lim Cun yang sudah tergeletak
mampus kehabisan darah, Hwi thian ci cu
menampilkan senyuman penuh kebanggaan.
Ia senang dan bangga, besok pagi suasana di
sekitar sana pasti akan heboh karena mereka
menemukan sesosok mayat yang mati karena
diisap darahnya oleh setan pengisap darah.
Betapa pun panasnya udara, betapa dinginnya
suasana, Pho Ang-soat selalu hanya mengenakan
baju kasar hitamnya ditambah sebuah mantel
kulit yang sudah luntur warnanya.
Dia seolah macan kumbang yang hidup di
tengah belantara luas, mau berubah seburuk
apa pun cuaca di situ, mau terjadi peristiwa apa
pun, dia selalu dapat menyesuaikan diri, dapat
bertahan hidup lebih lanjut.
Pho Ang-soat bukan cuma punya tubuh sekuat
macan kumbang, dia pun memiliki kesensitipan
indra keenam seekor macan kumbang.
Terhadap hawa membunuh dan ancaman
bahaya yang berada di sekelilingnya, dia bisa
menghadapi jauh lebih sigap dan sensitip
ketimbang macan.
Kegelapan malam belum lagi lewat, sisa lentera
makin mengecil dan mendekati padam.
Pho Ang-soat berbaring di tengah kegelapan,
berbaring di atas ranjang yang dingin, biarpun
angin malam di luar jendera terdengar menderu
kencang, namun ia tak peduli, ia mulai merasa
kantuk dan lelah.
Di kala Pho Ang-soat hampir terlelap tidur inilah
mendadak ia mendengar suara yang sangat lirih,
seperti suara lentera yang kehabisan minyak,
seperti lampu yang hampir padam, di tengah deru
angin malam yang kencang, seharusnya suara itu
tak terdengar, apalagi jelas.
Pho Ang-soat tak mendengar suara lain, tiada
yang bisa dilihatnya waktu itu.
Tapi setiap bagian tubuhnya yang punya rasa,
setiap otot yang bisa merasakan, setiap syaraf
perasa yang ada, tiba-tiba mengejang kencang.
Karena ia sudah merasakan hawa membunuh
yang kuat, hawa membunuh yang tak terdengar,
juga tak terlihat....
Hanya manusia yang sudah banyak membunuh
dan senjata yang sering menghabisi nyawa
manusia yang bisa mengeluarkan hawa
membunuh seperti ini.
Hanya manusia semacam Pho Ang-soat yang
dapat merasakan hawa membunuh seperti ini,
biarpun seluruh otot tubuhnya sedang
mengejang, namun sekali meletik, tahu-tahu dia
sudah melompat bangun dari atas ranjang kayu
yang keras dan dingin itu. Tubuhnya melejit
bangun seperti ikan Lehi yang meletik di air, ia
saksikan kilatan cahaya pedang yang berkelebat
menusuk ke arah ranjang dimana ia sedang
berbaring tadi.
Andaikata dia bukan Pho Ang-soat, andaikata
dia tidak memiliki indra keenam bagai macan
kumbang atau tak punya pengalaman untuk
menghadapi kejadian yang menakutkan dan
menyeramkan, andaikata ia tak dapat merasakan
hawa membunuh yang menakutkan itu ....
Dapat dipastikan sekarang badannya sudah
tertembus oleh kilatan cahaya pedang yang
menakutkan itu.
Terlihat cahaya pedang berkelebat, lalu
terdengar suara benturan keras.
Benturan itu bukan berasal dari suara pedang,
yang didengar Pho Ang-soat adalah ujung pedang
yang menembus alas ranjang.
Baru saja suara mendesir, ujung pedang telah
menembus papan pembaringan, tempat dimana
pedang itu menusuk tembus tak lain adalah
jantung Pho Ang-soat sewaktu berbaring tadi.
Tapi kini mata pedang itu bukan menembus
jantung Pho Ang-soat, melainkan hanya menusuk
papan kayu. Terlepas pedang yang digunakan adalah
pedang seperti apa, pedang itu pasti berada di
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangan seseorang, terlepas macam apakah orang
itu, yang pasti orang itu berada di kolong ranjang.
Berada di tengah udara, Pho Ang-soat
menggunakan seluruh otot tubuhnya,
mengerahkan seluruh kekuatannya untuk
berjumpalitan, lalu menerkam ke bawah,
langsung menerkam ke arah dimana dia anggap
sang penyerang berada.
Ternyata dugaannya tidak keliru.
Di bawah kolong ranjang memang bersembunyi
seseorang, ujung pedang ditusukkan dari bawah
langsung tembus ke atas papan kayu, gagang
pedang malah masih berada dalam
genggamannya. Begitu Pho Ang-soat menerjang ke bawah,
orang itu segera melompat bangun, dalam
kegelapan Pho Ang-soat seolah melihat ada
secercah cahaya golok berkelebat dari tangan
orang itu. Padahal saat tubuh Pho Ang-soat meluncur ke
bawah, segenap kekuatan tubuhnya baru saja
digunakan habis, di saat melihat datangnya
cahaya golok itu, tenaga sudah telanjur habis
sedang tenaga baru belum lagi dihimpun.
Tak dapat disangkal orang yang bertugas
membunuh Pho Ang-soat ini adalah jago tangguh
dari sekian banyak jago tangguh, dia sudah
memperhitungkan secara matang Pho Ang-soat
pasti dapat lolos dari serangannya yang pertama,
dia juga sudah perhitungkan Pho Ang-soat bakal
menerjang ke tempat persembunyiannya, tentu
saja dia pun dapat memperhitungkan Pho Angsoat
pasti sadar dia tak mungkin bisa mencabut
pedangnya yang tertancap di dasar ranjang ketika
melihat ia datang menerjang.
Dan yang lebih penting lagi adalah dia sudah
memperhitungkan Pho Ang-soat pasti tak akan
mengira dia masih mempunyai senjata lain.
Bacokan golok inilah yang sesungguhnya
merupakan bacokan yang mematikan.
Jika seseorang masih melambung di udara,
pasti sulit baginya untuk menghindarkan diri.
Dimana cahaya golok berkelebat, sang lawan
pasti akan mati mengenaskan.
Begitu golok diayun, cahaya golok yang tipis
menyinari senyuman sinis yang menghiasi
pembunuh itu, dia tahu mustahil Pho Ang-soat
dapat menghindari bacokan itu, karena dia tak
menyangka. Bila tak mengira, bisa dipastikan sulit baginya
untuk menghindar, bila sulit menghindar maka
dia pun bakal mati.
Ketika si pembunuh sudah bersiap menikmati
indahnya percikan darah segar, sekonyongkonyong
ia mendengar suara, semacam suara
yang amat dikenalnya.
Suara yang hanya bisa dihasilkan ketika golok
sedang membelah angkasa, suara yang
terdengar olehnya adalah suara golok berdesing.
Sewaktu ia mendengar suara golok itu, dia pun
dapat merasakan dinginnya tanah, ia dapat
melihat Pho Ang-soat berdiri di hadapan nya,
berdiri sambil mengawasinya dengan sorot mata
setajam bintang timur di atas langit.
Bagaimana mungkin" Bacokan golok itu
mematikan, bagaimana mungkin Pho Ang-soat
dapat menghindarinya"
Dia masih ingat dengan jelas, seolah
mendengar ada suara golok. Lantas suara golok
siapa itu"
Mustahil suara golok Pho Ang-soat, karena ia
tidak melihatnya mencabut golok, kalau golok
saja belum dicabut, bagaimana mungkin bisa
terdengar suara golok"
Dia ingin menopang badannya sekuat tenaga,
tiba-tiba tangan kanannya seperti hilang rasa,
sampai Pho Ang-soat menyulut lentera dalam
ruangan, baru ia tahu lengan kanan miliknya
telah terkutung.
Apakah waktu dia mendengar suara golok tadi,
pergelangan tangan kanannya sudah terbabat
kutung" Padahal dia hanya mendengar suara,
tidak melihat ada golok, benarkah di dunia ini
terdapat babatan golok yang begitu cepat"
Di bawah cahaya lentera yang redup, Pho Angsoat
menjumpai orang yang barusan
membokongnya adalah seorang asing, kini dia
sedang mengawasi Pho Ang-soat dengan
pandangan ngeri dan takut.
"Kau tak percaya babatan golokku dapat
mengutungi lenganmu?" tegur Pho Ang-soat
hambar. "Aku hanya mendengar suara... suara golok...."
gumam orang itu, "tidak kulihat ada golok... tak
ada golok...."
Dari wajahnya yang mengejang, hal ini bukan
disebabkan rasa sakit dari lukanya, melainkan
karena dia ingin berontak dari kenyataan di depan
mata. Ia tak percaya di dunia ini terdapat sabetan
golok secepat itu, kenyataan justru terpampang di
depan mata. "Siapa kau?" dengan suara dingin Pho Ang-soat
menegur. Dia tidak menjawab, hanya sorot matanya
dialihkan ke atas lengan sendiri yang kutung,
mengawasi tangannya yang masih menggenggam
golok, tiba-tiba perasaan tidak berdaya, pedih
dan sedih campur-aduk menjadi satu.
Di balik perasaan campur-aduk itu, tersisip pula
keinginan untuk pelepasan.
Tanpa terasa Pho Ang-soat mengalihkan
pandangannya ke arah kutungan tangan itu,
begitu melihat kutungan tangan, tiba-tiba waj
ahnya berubah. Tiba-tiba saja dia mengerti mengapa si
pembunuh menampilkan perasaan campur-aduk
begitu melihat kutungan tangan sendiri.
Padahal yang dilihat Pho Ang-soat bukan
kutungan tangan itu, melainkan golok yang
berada dalam genggaman tangan itu.
Sebilah golok melengkung, bagai bulan sabit,
melengkung bagai panc ing.
Biasanya hanya penduduk luar perbatasan yang
menggunakan golok lengkung semacam ini, tapi
sejak tiga tahun berselang, tiba-tiba di daratan
Tionggoan muncul seorang jagoan lihai
bersenjatakan golok lengkung.
Dengan mengandalkan golok lengkungnya itu,
dalam tiga tahun jagoan lihai itu berhasil
membantai lima puluh dua jago lihai dunia
persilatan, termasuk para Ciangbunjin perguruan
terkenal. Hingga kini belum pernah dia terkalahkan,
walau hanya satu kali.
Sekali lagi Pho Ang-soat menatap wajahnya,
lama kemudian baru menegur, "Jadi kau adalah
si golok lengkung A-jit?"
"Benar, akulah si golok lengkung A-jit."
Sekali lagi Pho Ang-soat menatapnya lekatlekat,
ujarnya hambar, "Kau keliru besar." "Aku
keliru?" "Jika kau datang mencariku secara terangterangan,
mungkin kau dapat melihat golok,"
ujar Pho Ang-soat perlahan.
"Dapat melihat golok?"
Kalau perkataan itu diucapkan kemarin,
mungkin A-jit tak bakal percaya, tapi sekarang,
mau tak mau dia harus mempercayainya. Sekali
lagi sorot matanya memancarkan perasaan
campur-aduk. Sekali lagi sorot mata Pho Ang-soat
menyongsong datangnya sikap pelepasan A-jit,
ditatapnya wajah orang itu dengan tenang. Lama
kemudian baru dia menghela napas panjang.
A-jit turut menghela napas pula, lambat-laun
paras muka yang menampilkan perasaan campuraduk
pun lenyap, yang tersisa hanya kegembiraan
dan pelepasan. Lalu dengan tulus dia berbisik,
"Terima kasih."
"Tak perlu sungkan," jawaban Pho Ang-soat
sangat hambar. Mengapa A-jit mengucapkan terima kasih
kepada Pho Ang-soat yang telah membabat
kutung lengannya"
Tentu saja Pho Ang-soat memahami maksud Ajit,
karena itulah dia menjawab "tak perlu
sungkan", sebab dia sendiri pun seorang jago
yang mengandalkan golok.
Terkadang orang yang gila akan golok tidak
jauh berbeda dengan orang yang tergila-gila
karena sang kekasih.
Orang yang sudah terjerumus dalam jaring
cinta, orang yang sudah terbelenggu oleh
benang-benang cinta, bukan saja sulit baginya
untuk melepaskan diri, bahkan kadang ingin mati
pun tidak gampang.
Perasaan pedih yang merasuk hingga ke tulang
sumsum, perasaan lebih baik mati daripada
hidup, mungkin hanya bisa dipahami dan
dirasakan oleh mereka yang tergila-gila pada
golok. Itulah sebabnya terkadang dibutuhkan pedang
kecerdasan untuk memotong benang cinta,
sementara orang yang gila pada golok hanya bisa
memperoleh pelepasan bila sudah mati di ujung
golok. Tak heran A-jit bukan saja tidak mendendam,
bahkan merasa berterima kasih kepada Pho Angsoat
kendatipun ia telah mengutungi tangannya.
Sekuat tenaga A-jit merangkak bangun dengan
sisa tangannya yang masih utuh untuk
menopang, kemudian ujarnya kepada Pho Angsoat,
"Kau tak perlu mengantarku."
"Aku tahu!"
Lama sekali kedua orang itu saling menatap
tanpa bicara, tiba-tiba A-jit membalikkan badan
dan beranjak pergi.
Tatkala baru melangkah keluar pintu,
mendadak Pho Ang-soat buka suara, "Tangan kiri
pun bisa dipakai untuk memegang golok, pada
zaman Siau-li si pisau terbang, ada jago yang
mahir menggunakan pedang dengan tangan
kanan, kemudian tangan kanannya putus, namun
permainan pedang tangan kirinya di kemudian
hari ternyata jauh lebih cepat ketimbang
permainan tangan kanannya."
Yang dimaksud Pho Ang-soat adalah Hing Bubing,
tentu saja A-jit pun tahu, namun dia hanya
berpaling dengan hambar, menjawab dengan tak
bersemangat, "Sudah tiga tahun aku
meninggalkan rumah, di dusun masih ada orang
yang selalu menanti kedatanganku dengan penuh
perasaan cinta, mungkin aku bisa menyiapkan
beberapa hidangan dengan tangan kiri atau
menemaninya meneguk beberapa cawan arak
dengan tangan kiri."
"Bila ada kesempatan, aku pasti akan mencicipi
hidangan hasil masakanmu," janji Pho Ang-soat.
"Aku pasti akan menunggu. Rumahku berada di
luar kota Lhasa, sebuah tempat yang disebut
Hong-ling."
Bab 6. NYONYA MUDA DI BAWAH
KELININGAN Cahaya bintang bertaburan di langit kota
Lhasa, tak jauh berbeda dengan suasana di
wilayah Kanglam.
Nyonya muda itu masih duduk di bawah
keliningan, di bawah pantulan cahaya lentera
sambil memandang ke tempat jauh.
Tempat apakah yang sedang dia lamunkan"
Atau siapa yang sedang dia pikirkan"
Biarpun udara di kota Lhasa pada malam ini
terasa dingin, namun hembusan angin malam
tidak sedingin perbatasan, bahkan masih terasa
hangatnya lelaki kekar dari kota Lhasa.
Angin malam berhembus, menggoyangkan
keliningan pada pohon Siong tua,
menggoyangkan juga keliningan di emperan
rumah. Suara keliningan terdengar sendu dan pedih di
tengah kegelapan malam, bagaikan pengembara
merindukan kampung halamannya.
Padahal cahaya bintang lebih jauh letaknya
daripada kampung halaman, tapi cahaya bintang
terlihat jelas, bagaimana dengan kampung
halaman" Beberapa orang bocah duduk mengelilingi
sebuah meja, setiap orang sedang bersantap
dengan lahapnya, dalam usia semuda bocahTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bocah itu, mereka tak akan mengerti suka
dukanya kehidupan, bagi mereka asal ada
makanan dan kesempatan bermain, biarpun langit
ambruk pun mereka tak peduli.
Dulu Yap Kay pun pernah melewati masa
seperti ini, tapi dengan usianya sekarang, ia
sangat memahami arti dan berharganya sebuah
kehidupan. Memang aneh, mengapa manusia selalu baru
mengerti akan sisi kebaikan bila ia sudah
kehilangan"
Nyonya muda itu masih memandang kejauhan,
Yap Kay sedang memandang nyonya muda itu,
sementara So Ming-ming mengawasi Yap Kay.
Hanya Kim-hi saja yang berkumpul dengan Siauhoa
sekalian. Kalau sorot mata nyonya muda itu bagai orang
yang sedang bermimpi, sorot mata Yap Kay
bagaikan pedagang yang sedang meneliti kwalitas
barang, sedang sorot mata So Ming-ming lebih
jeli dari pantulan cahaya bintang.
"He, mau tidak mendengar sebuah cerita?"
tiba-tiba So Ming-ming menegur.
"Sebuah cerita?" seolah baru tersadar dari
lamunannya, Yap Kay berpaling, "cerita tentang
apa?" "Cerita tentang dia," sahut So Ming-ming
sambil mengalihkan pandangan matanya ke arah
nyonya muda di bawah keliningan.
"Mau!"
"Kalau begitu mari ikut aku!"
Untuk menceritakan tentang si dia, tentu saja
kurang leluasa bila diceritakan di hadapannya,
maka So Ming-ming pun mengajak Yap Kay
menuju ke tepi sebuah air terjun.
Malam ini langit di kota Lhasa terasa jernih dan
indah, ada rembulan, ada pula bintang yang
bertaburan di langit.
Bagaimana suasana di wilayah Kanglam saat
ini" Di bawah cahaya bintang dan rembulan,
semburan air terjun yang menggelegar tampak
bagaikan seutas tali pinggang warna perak yang
memanj ang. Di samping air terjun terdapat sebuah batu
cadas yang sangat besar, So Ming-ming duduk di
atasnya, tentu saja Yap Kay pun duduk di
sampingnya, di samping So Ming-ming.
Dalam suasana yang begitu nyaman dan indah,
di bawah cahaya rembulan yang terang, dilatar
belakangi pemandangan alam yang indah dan
suara air terjun yang lembut, dunia serasa begitu
tenteram, coba kalau mereka berdua adalah
sepasang kekasih, betapa romantisnya suasana
saat itu. "Dia bernama Nava," ujar So Ming-ming
perlahan. Tentu saja Yap Kay tahu, yang dimaksud si dia
adalah nyonya muda di bawah keliningan.
"Nava?"
"Benar," wajah So Ming-ming tiba-tiba berubah
sangat sedih, "bila ingin memahami Nava, kau
harus mendengar dulu sebuah cerita."
Kisah yang dia ceritakan adalah sebuah cerita
yang memilukan hati.
Nava dilahirkan di tebing sebelah utara gunung
Cu mu lang ma, dia adalah seorang wanita paling
hebat dan suci dalam suku Gurkha.
Suatu saat, tatkala dusun suku Gurkha
diserang suku Niko yang ganas dan buas, suku
mereka menderita kekalahan, kekasihnya ditawan
musuh sementara dia sendiri ditangkap oleh
kepala suku Niko.
Lambang suku Niko adalah "merah", "merah"
yang membawa anyir darah, mereka memang
menyukai anyirnya darah dan ceceran darah.
Setelah ditawan, kepala suku Niko ingin
memperkosa Nava, tapi sampai mati perempuan
itu tetap memberikan perlawanan.
Akhirnya kepala suku Niko pun mengancam
akan membunuh kekasihnya bila Nava enggan
menuruti kemauannya.
Nava harus menahan siksaan dan digagahi
kepala suku Niko, karena perkosaan inilah dia
bertekad melakukan balas dendam.
Dengan gigitan dibalas gigitan, dengan darah
dibayar darah, akhirnya ia menemukan
kesempatan baik menyelamatkan sukunya serta
kekasih hatinya yang tertawan.
Tapi sayang dia sendiri harus mengorbankan
nyawanya. Menanti sang kekasih membawa pasukan
Gurkha melakukan penyerbuan ke markas besar
suku Niko, Nava ditemukan telah wafat.
Biarpun sudah meninggal, namun dia masih
memperlihatkan kesetiaannya.
Di dalam genggaman tangannya dia masih
memegang selembar kertas yang ditulisnya
menjelang ajal untuk sang kekasih, sebuah bait
lagu berjudul "Kokang".
"Kokang yang kucinta, kau harus hidup terus,
Kau harus hidup, harus waspada, Setiap saat
harus waspada, Selalu teringat orang-orang yang suka anyirnya
darah, Mereka gemar membunuh.
Jangan kau ampuni bila bertemu,
Usir mereka semua.
Usir sampai ujung samudra,
Usir sampai ujung gurun,
Bangunlah kembali negerimu tercinta,
Biarpun negeri sudah tenggelam, biar sawah
ladang telantar. Asal kau rajin berjuang, negeri
kami pasti berjaya, Sawah ladang kita pasti subur
sentosa". Kekasihnya memang tak pernah
mengecewakan harapannya itu, suku Gurkha
pada umumnya juga tak pernah mengecewakan
dirinya. Negeri tercintanya kembali berjaya, sawah
ladang mereka pun kembali subur sentosa.
Untuk memperingati perjuangan dan
pengorbanannya yang gagah perkasa, jenazah
serta bait syairnya dikubur di bawah pagoda kuil
yang khusus dibangun untuknya, dia telah
menjadi pujaan dan sanjungan setiap orang dari
suku Gurkha. Kisah ini selain penuh heroik, terselip pula kisah
dramatis yang memedihkan hati.
Yap Kay tidak mengucurkan air mata, bila
dalam dada seseorang telah bergelora darah yang
mendidih, bagaimana mungkin air mata bisa
mengucur" "Kalau memang jenazahnya telah terkubur di
bawah pagoda, lantas apa pula hubungannya
dengan Nava yang ini?"
"Nava yang ini mesti tidak berada di bawah
tekanan suku bengis yang haus darah, tapi ada
semacam barang yang berbau anyirnya darah
sedang menghimpit dia serta kekasih hatinya,"
kata So Ming-ming sedih.
"Barang apakah itu?"
"Ternama! Kekasih hatinya sengaja pergi
meninggalkan dia karena dia ingin ternama."
"Oh, maksudmu kekasih hatinya pergi
meninggalkan dia karena ia ingin terjun ke dunia
Kangouw dan mencari nama?"
"Benar," jawaban So Ming-ming seperti orang
sedang mengigau, "itulah sebabnya dia terkurung
di dalam tenda milik kepala suku "nama dan
pahala', membiarkan kesepian dan kesendirian
menyiksa hidupnya, membiarkan waktu dan usia
menteror hidupnya, setiap hari dia harus
menunggu kedatangan kekasih hatinya untuk
menyelamatkan dia dari penderitaan ini."
"Sudah berapa lama" Berapa lama dia terhimpit
dalam kesepian dan kesendirian?"
"Tiga tahun! Si Keliningan menanti
kedatangannya sudah tiga tahun di bawah
pohon siong tua itu."
"Siapa nama kekasihnya?" "A-jit!"
"A-jit?"
Bayangan tubuh seseorang segera terlintas
dalam benak Yap Kay, seorang pemuda dengan
golok lengkung dalam genggamannya, golok
bulan sabit. "Golok lengkung A-jit" Mungkinkah dia?"
gumam Yap Kay tanpa terasa
"Apa kau bilang?"
"Oh, tidak apa-apa," agaknya Yap Kay tak ingin
So Ming-ming tahu tentang orang yang bernama
Golok lengkung A-jit, karena itu segera tanyanya
lagi, "Apakah dia tahu A-jit telah berhasil meraih
nama dan kedudukan dalam dunia persilatan?"
"Ia pernah berkata padaku, sekalipun A-jit
telah mendapat nama besar dalam dunia
persilatan pun, dia tak mungkin balik kemari,"
kata So Ming-ming, "sebab semakin dia ternama
semakin tak berdaya untuk melepaskan semua
itu." "Betul juga perkataannya," Yap Kay tergelak,
"bila kau telah terjun ke dalam dunia persilatan,
berarti selama hidup kau akan terkekang dan tak
bebas, apalagi bila kau sudah ternama, seringkah
masalah akan bermunculan tanpa disangka, yang
membuat kau tak berdaya untuk
menghindarinya."
"Bila seseorang telah ternama, seringkah
muncuh orang lain yang ingin ternama datang
menantangmu berduel, setelah muncul orang
pertama akan menyusul orang kedua, ketiga dan
seterusnya hingga suatu ketika kau berhasil
dikalahkan. Bila kalah bertarung dalam dunia
persilatan sama artinya kau bakal mati."
Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya
perlahan, "Oleh sebab itu Nava berkata pula, bila
A-jit benar-benar kembali, dia pasti akan muncul
menjelang kematiannya."
"Kalau dia sudah tahu begitu akhirnya,
mengapa pula harus menunggu terus?" tanya Yap
Kay. "Sebab dia tergila-gila kepada cintanya," suara
So Ming-ming sumbang, "biarpun tahu bagaimana
akhirnya, namun dia tetap akan menunggu terus.
Orang yang tergila-gila karena cinta seperti orang
yang tergila-gila pada golok, biarpun sudah tahu
pada akhirnya bakal tewas di ujung senjata
orang, dia tetap nekat untuk melakukannya."
"Orang yang hidup dalam dunia persilatan tak
akan punya kebebasan memilih", perkataan itu
memang tepat. Cahaya rembulan menyinari jeram, menyinari
riak di permukaan air dan memantulkan cahaya
bintang yang seolah sedang berkedip.
So Ming-ming duduk termangu, dengan biji
matanya yang sayu dia mengawasi Yap Kay tanpa
berkedip. "Bagaimana dengan kau sendiri"' tanya So
Ming-ming, "apakah kau pun sedang menanti
pertempuran yang tak pernah berakhir" Kenapa
kau tidak mengundurkan diri dari pertikaian dunia
persilatan?"
Yap Kay tidak memandang gadis itu, sorot
matanya dialihkan ke riak air terjun.
"Biarpun orangnya sudah mundur dari dunia
persilatan, akan tetapi namanya masih bergaung
di dunia Kangouw," kata Yap Kay sambil tertawa
getir, "orang yang ingin mencari nama tetap akan
datang mencarimu, biar kau sudah kabur sampai
ke ujung dunia pun, jangan harap bisa melewati
kehidupanmu dengan damai"
So Ming-ming tidak bicara lagi, pikirannya
segera terjerumus dalam lamunan, dia seakan
mencoba mencerna perkataan Yap Kay,
sementara sorot matanya dialihkan ke dasar
kolam yang jernih.
Karena dia tidak bicara, Yap Kay pun tidak
bicara pula, dalam suasana tenang yang begitu
indah buat apa mesti memikirkan masalah budi
dan dendam yang hanya akan merusak suasana"
Sementara Yap Kay masih melamun, terdengar
So Ming-ming berseru, "Coba lihat, benda apa
yang terapung di permukaan sungai?"
Cepat Yap Kay berpaling ke arah sungai.
Setelah diamati sesaat, segera diketahui benda
yang terapung itu adalah sebuah sepatu, sepatu
yang kecil sekali, seperti sepatu seorang bocah
cilik. "Sepatu, seperti sepatu anak-anak," seru Yap
Kay.
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cepat, cepat pungut."
Belum selesai So Ming-ming berteriak, Yap Kay
sudah melesat ke depan, menutul berulang kali di
permukaan sungai dan tahu-tahu sudah balik
kembali ke atas batu. Tangannya menenteng
sepatu kecil itu.
Kalau tadi So Ming-ming ingin secepatnya
memungut sepatu itu, sekarang dia sama sekali
tak berminat menerimanya, hanya mengawasi
sepatu basah yang berada di tangan Yap Kay
dengan sorot mata ngeri, seram dan penuh horor.
Kenapa gadis itu menunjukkan mimik muka
seperti ini" Bukankah sepatu itu hanya sepatu
yang umum dan biasa, mengapa dia harus
menunjukkan mimik takut dan ngeri"
Yap Kay tidak bertanya, bukan berarti dia
enggan mencari tahu, tapi dia yakin So Mingming
pasti akan menjelaskan.
Benar saja, So Ming-ming segera memberi
penjelasan. Setelah mengamati sepatu itu
beberapa saat gadis itu pun berkata, "Baru tiga
bulan berselang aku buatkan sepatu itu untuk
Giok-seng."
Ternyata sepatu itu milik Giok-seng, sementara
bocah itu sudah lenyap sejak semalam, kini hanya
sebelah sepatu yang ditemukan di situ, berarti
telah terjadi sesuatu dengan si bocah.
Yap Kay segera berpaling memandang puncak
tebing darimana air terjun itu berasal, tanyanya
kemudian, "Tempat manakah atas sana?"
"Konon air yang mengalir di sini melewati
kebun monyet," bisik So Ming-ming dengan
perasaan ngeri.
"Kebun monyet?" bisik Yap Kay agak tertegun,
"jadi kebun monyet berada di atas tebing?"
"Benar."
Sepatu itu terjun ke bawah jeram dengan
mengikuti aliran air, kebetulan di atas tebing
terletak kebun monyet, padahal Giok-seng hilang
justru karena pergi mengunjungi kebun monyet,
jelas di balik kebun monyet terdapat rahasia
besar yang tak diketahui orang.
Cahaya pertama sinar fajar baru saja
menembus awan gelap dan menyinari Sumbatan
leher, walaupun langit berangsur mulai terang,
namun permukaan bumi masih remang-remang.
Sumbatan leher di balik keremangan tampak
bagai sebuah lukisan tinta bak, tapi jauh lebih
misterius, aneh dan menakutkan dari kegelapan.
Biarpun mulut luka masih terasa sakit, namun
rasa sakit telah tertutup oleh perasaan gembira
dalam hatinya, sambil mengawasi Sumbatan leher
di balik keremangan, A-jit mulai menampilkan
sekulum senyuman gembira.
Setelah melewati Sumbatan leher dia akan tiba
di Lhasa, sudah tiga tahun ia tinggalkan kota itu,
entah bagaimana keadaannya sekarang"
Apakah puncak atap istana Potala masih
berbentuk bulat" Apakah para pengikut setia
Buddha hidup masih melakukan ritual dengan
sujud dan khusuk" Apakah mereka masih
berdatangan dari tempat jauh, melakukan
penyembahan setiap tiga langkah, bersujud setiap
lima langkah, menggunakan cara yang paling
berat dan penuh derita untuk memperlihatkan
rasa hormat dan ketulusan mereka"
Apakah udara sepanjang jalan dalam kota
masih dipenuhi bau susu ragi yang menyengat
hidung" Bagaimana dengan keliningan yang tergantung
di emper rumah" Apakah masih mendendangkan
suara denting yang merdu" Apakah di bawah
keliningan masih duduk seorang yang menanti
kedatangannya"
Teringat akan perempuan di bawah keliningan,
A-jit ingin sekali memiliki sayap hingga dapat
segera terbang ke sisinya.
Dia masih teringat dengan jelas saat hendak
berpisah dengan dirinya waktu itu, ia tidak ribut,
tidak menangis, tidak protes.
Dia pun tidak menahan kepergiannya, hanya
ucapnya dengan hambar, "Ingatlah, dalam kota
Lhasa masih terdapat keliningan."
"Akan selalu kuingat," A-jit menjawab dengan
penuh keyakinan, "asal impianku terwujud, aku
pasti akan kembali."
A-jit saat itu masih merupakan pemuda dengan
cita-cita setinggi langit, dia sangka mudah
berkelana dalam Bu-lim dan menjadi ternama, dia
begitu yakin impian dan harapannya dapat segera
terwujud. Biarpun akhirnya impian itu benar-benar
terwujud, tapi orangnya telah berubah.
Bukan perasaan hatinya yang berubah, bukan
berubah jadi jahat, tapi berubah jadi takut
urusan, berubah jadi takut pulang, karena setiap
saat dia harus berjaga-jaga menghadapi orang
yang membawa niat sama seperti dirinya dahulu,
datang menantangnya berduel.
Dia kuatir sekembalinya ke rumah,
kehadirannya justru akan menyulitkan kekasih
hatinya. Sekali tak berani pulang, dua kali tak berani
pulang, tiga kali... empat kali... lama kelamaan
dia semakin tak berani pulang.
"Semakin berkelana dalam dunia persilatan
semakin ketakutan", biarpun ucapan ini tidak
tepat seratus persen, namun maknanya sangat j
elas. A-jit sadar, kemungkinan besar selama hidup ia
tak berani pulang, sebab kekalahan dalam dunia
persilatan berarti kematian.
Bagi orang mati, pulang atau tidak sebetulnya
tak masalah. Benar tak bermasalah" Biarpun kau adalah
seorang Tayhiap, seorang Enghiong, mereka tetap
adalah manusia, tak mungkin mereka mandra
guna dan super sakti seperti sering diceritakan
orang, mereka tetap manusia biasa yang butuh
uang untuk hidup, makan dan membeli
kebutuhan. Tanpa pemasukan, mana mungkin punya duit"
Sebagai Tayhiap dan Enghiong Hohan, jelas
mereka tak bisa mencuri, apalagi merampok,
maka muncullah pikiran mereka untuk mencari
pekerjaan rangkap.
Tapi pekerjaan rangkap apa yang paling cocok
dan pas" Tentu saja yang paling mudah dicari
adalah sebagai seorang pembunuh bayaran.
Dalam hal pekerjaan, sebetulnya pekerjaan
yang terhitung paling kuno, paling purba bagi
seorang lelaki adalah pekerjaan sebagai seorang
pembunuh. Bahkan ada orang mengatakan kalau pekerjaan
ini jauh lebih tua dari seorang wanita yang
melahirkan anak.
Penghasilan sebagai seorang pembunuh
bayaran memang sangat besar, tapi pekerjaan ini
merupakan pekerjaan yang tragis, sebab di saat
mereka sedang menjalankan tugas, setiap saat
kemungkinan nyawa sendiri bakal melayang,
semisal berhasil pun mereka harus hidup dalam
pengasingan, harus merahasiakan identitas dan
tempat tinggal.
Malah terkadang sasaran pembunuhan yang
diterima adalah sanak sendiri, bila menghadapi
situasi seperti ini bukan saja mereka tak boleh
ragu menerimanya, alis mata pun tak boleh
berkerut. Sebagai pembunuh bukan saja harus tak
mengenal sanak keluarga, bahkan dia harus
kejam tak berperasaan, tak boleh ada perasaan
iba, tak boleh memiliki perasaan kasih, juga tak
mengenal arti peri kemanusiaan.
Syarat utama sebagai seorang pembunuh
bayaran yang berhasil adalah kejam, telengas dan
berdarah dingin. Yang lebih utama lagi adalah
tidak mengenal lingkungan, tidak punya pribadi.
Tak ada waktu pribadi, tak ada keuntungan
pribadi, tak ada budi dendam pribadi, tak ada
keluarga, tak ada kasih sayang. Semua hal yang
berkaitan dengan pribadi harus disingkirkan jauhjauh.
Yang lebih penting lagi adalah tiada jalan
mundur bagi seorang pembunuh, satu kali
melangkah masuk ke dalam lingkungan pekerjaan
itu, sampai mati pun kau tak dapat pensiun.
Jangan harap kau bisa mengundurkan diri di
saat kau berhasil meraup untung besar, sekalipun
musuh belum tentu bisa menghabisi nyawamu,
bisa jadi teman sejawatmu yang akan datang
membereskan kehidupanmu, mengejarmu hingga
kau tak bisa membocorkan semua rahasiamu lagi.
Hanya semacam manusia yang tak bakal
membocorkan rahasia, yaitu orang mati.
Masih ada satu kemungkinan lagi, yakni bila
orang menganggap kau sudah tidak
mendatangkan ancaman lagi bagi mereka, bila
orang lain sudah menganggapmu cacat dan tak
berguna, mungkin saja mereka akan melepas
dirimu. Persis seperti keadaan A-jit sekarang.
Tangan kanannya sudah kutung, dia sudah
cacat berat, meski masih menyimpan banyak
rahasia besar, namun demi menyelamatkan
nyawa sendiri, tak mungkin dia mau
membocorkan rahasia itu, malah terkadang
berusaha membuang jauh-jauh rahasia itu.
Oleh sebab itulah nasib seperti yang dialami Ajit
sekarang ini beruntung sekali bagi seorang
pembunuh, karena ia pernah mati satu kali.
Orang lain pasti mengira dia sudah tewas di
ujung golok Pho Ang-soat, takkan menyangka
Pho Ang-soat bakal membebaskan dirinya.
Pho Ang-soat memang telah mengutungi
tangannya, tapi dia pun telah mengampuni
nyawanya. Sejak detik itu, dalam dunia persilatan sudah
tidak terdapat lagi manusia yang bernama si
golok lengkung A-jit.
Matahari makin meninggi dan memancarkan
sinarnya ke seluruh jagad, mengusir sisa-sisa
hawa dingin dan kegelapan yang semula
mencekam. Kini Sumbatan leher terlihat semakin jelas,
bentuknya yang curam dan berbahaya pun
nampak semakin kentara, tapi A-jit tidak takut,
dia memang dibesarkan di Lhasa, sudah berapa
ratus kali bermain di seputar wilayah Sumbatan
leher, jangankan merasa takut, bahkan dia tidak
percaya akan adanya dongeng tentang setan iblis.
Tiga tahun sudah ia pergi berkelana,
menyaksikan Sumbatan leher yang sudah lama
ditinggalkan, tiba-tiba muncul perasaan manis di
hati kecilnya, baginya melihat Sumbatan leher
sama seperti melihat rumah kediamannya, tanpa
terasa dia pun mempercepat langkah kakinya.
Tebing tinggi curam menghadang masuknya
cahaya matahari, kini A-jit sudah melewati
bayangan gelap Sumbatan leher, sebentar lagi dia
akan tiba di kota Lhasa.
Saat itulah dia saksikan ada seorang kakek
bungkuk sedang berjalan menelusuri Sumbatan
leher. Kakek itu tua sekali, pada punggungnya yang
bongkok dia menggendong sebuah keranjang
bambu, sementara tangan kanannya membawa
sebuah japitan yang terbuat dari dua bilah
bambu, japitan yang digunakan untuk memungut
sampah dan barang rongsok di sepanjang jalan.
Ternyata kakek itu adalah seorang pengumpul
barang rongsok, seorang pemulung.
Ketika melihat kakek pemulung itu, timbul
perasaan hormat dalam hati kecil A-jit, biar sudah
tua reyot ternyata dia masih pantang menyerah
untuk berjuang mempertahankan hidup, biar usia
telah menggerogoti tubuhnya tapi semangatnya
tetap tinggi. Kakek pemulung itu berjalan dengan kepala
tegak, punggungnya bongkok dan gerak-geriknya
kurang leluasa, namun dia masih tetap mencari
nafkah dengan mengandal kekuatan sendiri.
Apakah dia tak punya anak" Pasti tak punya,
kalau tidak, siapa yang tega membiarkan orang
setua ini bekerja keras mencari nafkah"
Orang tua yang tak sampai dijatuhkan oleh
kenyataan hidup ini pasti memiliki harga diri yang
tinggi, semisal kau bersimpatik padanya dengan
memberi derma, dapat diduga dia bakal marah.
Masih untung A-jit mendapat cara lain, di
samping bisa membantu orang tua itu
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meringankan deritanya, dia pun tak sampai
membuat orang itu tersinggung harga dirinya.
Dari dalam saku A-jit mengeluarkan setumpuk
uang kertas, lalu cepat dibuangnya ke tanah,
setelah itu dengan langkah cepat ia berjalan
melewati si orang tua.
Sepasang mata kakek pemulung itu selalu
mengawasi jalanan, tentu saja dia menemukan
tumpukan uang yang dibuang A-jit.
Menemukan uang yang terjatuh di jalanan tak
bakal menyinggung harga diri dan gengsi si
kakek, tak heran perasaan A-jit merasa lega
bercampur gembira.
Biarpun membantu kebutuhan seorang kakek
bukan terhitung perbuatan yang sangat mulia,
paling tidak bisa membuat perasaan hatinya riang
dan gembira. Hembusan angin di pagi hari terasa segar dan
penuh kehangatan, bukan saja membawa bau
harumnya bunga lembabnya dedaunan, terendus
pula bau kecutnya susu ragi dari kota Lhasa.
A-jit menarik napas dalam-dalam, betapa
dikenalnya udara seperti ini.
Setiap kali setelah minum arak atau terbangun
dari tidur di tengah malam buta, dia selalu
mendambakan bau seperti ini.
Baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba
dari arah belakang terdengar seorang berseru,
"He, anak muda!"
Suara yang tua, serak dan berat, pasti si kakek
pemulung telah menemukan duit yang
dijatuhkan. A-jit berpaling, benar saja, si kakek
sedang berjalan menghampirinya.
"Dasar anak muda, tak tahu berharganya
uang," omel kakek pemulung itu sambil
memperlihatkan tumpukan duit yang ditemukan
itu, "kenapa kau tidak hati-hati" Coba kalau duit
itu sampai dipungut orang, bukankah kau bakal
sedih?" "Ah, bukan milikku," sahut A-jit sambil
menggoyangkan sisa tangan kirinya.
"Bukan milikmu7"
"Bukan," A-jit mengeluarkan setumpuk uang
dari sakunya, "coba lihat, duitku ada di sini. Uang
itu bukan milikku."
"Oh...." kakek pemulung itu mengamati uang
itu sejenak, lalu menghela napas, "aai...!
Ternyata uang sebanyak ini tiada pemiliknya."
"Kau yang menemukan, berarti duit itu
milikmu," seru A-jit cepat, "maaf aku harus
pergi dulu!"
Belum beberapa langkah A-jit berjalan,
mendadak terdengar kakek pemulung itu
mengucapkan perkataan yang sangat aneh.
"Biarpun bayaranku untuk membunuh orang
sangat tinggi, tapi biasanya hanya orang hidup
yang memberi aku uang, tak nyana ternyata kali
ini ada orang mati memberi uang kepadaku."
Bayaran untuk membunuh" Jangan-jangan
kakek pemulung ini pun seorang pembunuh
bayaran" Dengan sigap A-jit berpaling, menatap tajam
kakek pemulung itu, tapi bagaimana pun ia
memperhatikan, kakek pemulung itu sama sekali
tak mirip seorang pembunuh bayaran.
"Kakek tua, apa yang barusan kau katakan"
Bisa diulang sekali lagi?" serunya.
"Boleh saja," jawab kakek pemulung itu sambil
menyeringai, "selama ini hanya orang hidup yang
membayarku untuk membunuh orang, tak
disangka kali ini ada orang mati yang membayar
kepadaku."
"Orang mati yang membayar" Siapa orang mati
itu" Siapa pula yang hendak kau bunuh" Siapa
yang suruh kau membunuh?"
"Kaulah orang mati itu," kakek pemulung
tertawa tergelak, "tadi secara diam-diam kau
buang uang itu ke tanah, takut menyinggung
harga diriku bukan?"
Akhirnya masalah yang paling dikuatirkan A-jit
muncul juga. Tak disangka walaupun Pho Ang-soat
membebaskan dirinya, namun organisasi rahasia
enggan melepas dirinya begitu saja.
"Jadi organisasi yang mengutusmu?" dengan
kewaspadaan penuh A-jit mengawasi kakek
pemulung itu, "bukankah aku sudah menjadi
orang cacat, mau kabur pun susah, mana
mungkin kubocorkan rahasia organisasi" Kenapa
organisasi enggan melepas diriku?"
"Demi Hong-ling (keliningan)."
"Keliningan" Demi biniku?" A-jit semakin
tertegun. "Benar," kembali kakek pemulung itu tertawa,
"jika kau tidak mati, mana mungkin Pho Angsoat
bisa mati?"
Kuatir A-jit tidak mengerti perkataannya itu,
maka si kakek pemulung menjelaskan, "Biarpun
sudah tiga tahun kau meninggalkan rumah, tapi
binimu masih menanti kedatanganmu di rumah
keliningan, biar menunggu sepuluh tahun lagi pun
dia masih tetap akan menanti lebih lanjut, tapi
jika kau sudah mati, maka keadaannya pasti akan
berbeda, binimu pasti akan mengurus layonmu,
lalu berusaha balas dendam atas kematianmu."
Sesudah tertawa senang, kembali kakek
pemulung itu berkata lebih lanjut, "Tentunya kau
pun sangat jelas bukan akan kemampuan binimu,
terlepas siapa orang yang telah membunuhmu,
dia pasti akan mengejarnya hingga ketemu dan
berusaha membunuhnya. Mau sehebat apa pun
jagoan itu, dia tetap mempunyai cara untuk
membunuhnya."
"Kalau kalian sudah tahu keinginan si
Keliningan membalas dendam sangat besar dan
kuat, semakin tak beralasan bagi kalian untuk
membunuhku," seru A-jit.
"Kami yang membunuhmu?" kakek pemulung
menyeringai seram, memperlihatkan suara
tawanya yang sangat aneh, "kau mati di ujung
golok Pho Ang-soat, kamilah yang berusaha
sepenuh tenaga membalas dendam kesumatmu."
Walaupun langit terasa makin lama semakin
panas, namun A-jit justru merasakan hawa dingin
yang mencekam merasuk dari alas kakinya
menyusup hingga ke ubun-ubun, sekarang dia
sudah mengerti tujuan organisasi gelap itu,
rupanya mereka berusaha memfitnah Pho Angsoat,
menjerumuskannya ke dalam lembah hitam
ini. Mereka pasti punya cara agar si Keliningan
mengira dia benar-benar tewas di ujung golok
Pho Ang-soat, asal perempuan itu tahu dia mati di
tangan Pho Ang-soat, dapat dipastikan kehidupan
Pho Ang-soat di masa mendatang tak bakal
tenang. Tak ada orang lain lebih memahami cara
melacak serta cara balas dendam si Keliningan
ketimbang A-jit, biar kau seorang kaisar pun dia
punya cara untuk menyusup ke dalam istana dan
menyeretmu keluar, lalu membantaimu di tengah
hutan belantara.
Dengan pandangan mata yang lembut dan
penuh keramahan kakek pemulung itu
memandang A-jit, tentu saja dengan nada suara
yang lembut pula dia berkata, "Tahukah kau,
senjata apa yang akan kugunakan untuk
membunuhmu?"
"Golok," jawab A-jit, "kau hanya bisa
menggunakan golok."
"Karena Pho Ang-soat menggunakan golok",
kata-kata ini memang tak perlu diucapkan karena
mereka berdua sama-sama paham, sama-sama
mengerti. "Tahukah kau golok macam apa yang
akan kugunakan untuk membunuhmu?" lagilagi
kakek pemulung bertanya. "Golok macam
apa?" "Sebilah golok panjang," sambil tertawa kakek
itu menjelaskan, "bobot senjata itu pun tak boleh
melebihi tujuh belas kati."
Walaupun A-jit belum pernah menyaksikan
golok milik Pho Ang-soat, namun dia pernah
"menangkis" golok itu, karena itu dia pun tahu
ukuran golok yang disebut kakek pemulung
pastilah ukuran serta bobot golok milik Pho Angsoat,
hanya satu hal yang membuatnya tidak
menyangka, kakek pemulung benar-benar
melolos golok itu.
Golok dengan gagang berwarna hitam, golok
dengan mata senjata berwarna hitam, bahkan
seluruh golok itu berwarna hitam pekat.
Begitu hitam warnanya seolah warna jagad
setelah turun hujan di musim dingin, selain gelap
terselip pula semacam cahaya yang aneh, misteri
dan sulit dilukiskan dengan perkataan.
Namun bentuk golok itu sangat biasa, sangat
bersahaja. Benarkah golok semacam ini justru merupakan
golok iblis yang mampu menggidikkan hati orang"
Mengawasi golok dalam genggaman kakek
pemulung itu, selain perasaan ngeri dan seram,
terlintas juga perasaan hormat di wajah A-jit.
Ngeri dan takut, karena ia sadar nyawanya
bakal berakhir pada hari ini.
Mana mungkin ada manusia di dunia ini yang
benar-benar tak takut mati"
Tentu saja rasa hormatnya dikarenakan golok
yang berada dalam genggaman kakek pemulung
itu, sebab bentuk maupun warna senjata itu tak
beda jauh dengan senjata milik Pho Ang-soat.
Bukan golok itu yang dia hormati, tapi dia
sangat kagum dan menghormati Pho Ang-soat.
Menyongsong sinar sang surya, tiba-tiba dari
balik mata golok berwarna hitam yang aneh dan
penuh misteri itu melintas secercah cahaya tajam.
Begitu golok diayun, desingan angin tajam
segera membelah bumi.
Belum habis desingan angin golok bergema,
batok kepala A-jit telah berpisah untuk selamanya
dari tengkuknya.
Dengan lembut dan halus Kakek itu
mengeluarkan selembar kain putih dari dalam
keranjang bambu di punggungnya, dengan
lembut menggosok kering noda darah pada mata
golok, begitu lembut seakan seorang kakek yang
sedang membersihkan mulut cucu
kesayangannya. Batok kepala A-jit menggelinding di atas tanah
berpasir yang panas, sepasang matanya terbuka,
juga tidak menunjukkan kesakitan maupun
penderitaan, malahan pandangan mata itu masih
terselip senyuman, senyuman terhadap kakek
pemulung itu. Karena sedetik menjelang ajalnya dia berhasil
mengetahui satu hal, dia tidak melihat golok Pho
Ang-soat, hanya mendengar suara golok, tapi dia
melihat kakek pemulung itu memungut goloknya,
namun sama sekali tidak mendengar suara golok.
Yang satu hanya mendengar suara golok, yang
lain hanya melihat golok, adakah perbedaan di
balik itu"
Di saat batok kepala A-jit menggelinding di
tanah, keliningan di emper rumah si Keliningan,
jauh di luar kota Lhasa, tiba-tiba berdenting tiada
henti. Bab 7. ONG-LOSIANSING DALAM RUMAH
KRISTAL Bangunan itu terbuat dari batu kristal, dinding
bangunan terdiri dari susunan batu kristal,
bahkan atap rumah pun terbuat dari kristal yang
tembus pandang, di tengah kegelapan malam
yang tak berawan dan tak berangin, dapat terlihat
rembulan yang indah dan kedipan cahaya bintang
dari balik rumah.
Hampir semua benda yang ada dalam
bangunan ini terbuat dari kristal, termasuk meja
dan bangku. Karena pemilik rumah ini sangat menyukai batu
kristal. Setiap orang menyukai batu kristal, tapi
teramat jarang ada orang yang tahan hidup
dalam rumah seperti ini.
Biar indah menarik namun kristal kelewat
dingin, keras dan tak berperasaan, khususnya
bangku yang terbuat dari batu kristal.
Kebanyakan orang lebih suka duduk di atas
bangku beralas kain sutera sambil menikmati
arak anggur dari Persia dalam sebuah gelas
kristal.
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pemilik rumah ini sangat menyukai barang
kristal, jumlah benda kristal yang dimilikinya
mungkin tak terkalahkan di kolong langit.
Dia adalah kakek berambut putih, orang yang
mengenalnya lebih suka menyebut dia sebagai
Ong-losiansing.
Biarpun setiap orang tahu Ong-losiansing
adalah seorang tua, namun tak seorang pun yang
tahu seberapa tua sebenarnya"
Biarpun rambutnya telah beruban bagai perak
berwarna putih, namun masih lebat bagai rambut
pemuda, meski wajahnya dipenuhi keriput namun
masih terpancar kepolosan dan keluguan seorang
anak-anak. Sorot matanya meski dipenuhi cahaya
kecerdasan, namun masih terselip kehangatan
seorang pemuda.
Dari raut mukanya dia tulen seorang kakek
yang ramah dan lembut, sikapnya pun ramah dan
penuh kasih sayang, hanya 'anak buah
rahasianya' yang tahu seberapa ramah dan kasih
sayangnya lelaki tua ini.
Bangku yang terbuat dari batu kristal meski
dingin dan keras, Ong-losiansing justru duduk
dengan begitu nyaman dan santai. Seorang diri
duduk dalam rumah itu, berhadapan dengan
barang- barang yang terbuat dari kristal,
mengamati cahaya pantulan yang gemerlapan,
saat seperti itu merupakan saat paling
menyenangkan bagi dirinya.
Dia senang berada dalam rumah itu seorang
diri, karena dia tak ingin orang lain ikut
menikmati kegembiraannya, seperti dia pun tak
ingin orang lain ikut menikmati keindahan
barang-barang kristalnya.
Oleh karena itulah jarang sekali ada orang
berani memasuki rumahnya, termasuk orang
terdekatnya sekalipun.
Tapi hari ini terjadi pengecualian.
Kadar kemurnian batu kristal sudah jelas lebih
murni ketimbang arak kental dalam cawan
kristalnya, Ong-losiansing selain sangat
memandang tinggi soal minuman, pakaian dan
dandanannya pun sangat diperhatikan. Bahan
bajunya selalu terbuat dari bahan berkualitas
nomor satu, kukunya selalu digunting rapi, dia
paling senang meletakkan sepasang kakinya yang
telanjang dan bersih di atas sebuah meja pendek
yang terbuat dari kristal, saat-saat seperti ini
merupakan saatnya yang paling santai.
Dia hanya minum arak di tempat ini, karena
hanya orang yang paling dipercaya baru
mengetahui tempat itu, khususnya di saat ia
sedang menikmati arak, semakin tiada yang
berani datang mengusiknya.
Namun hari ini, di saat dia siap menikmati arak
cawan ketiga, tiba-tiba terdengar orang mengetuk
pintu, bahkan sebelum ia memberi izin, orang itu
sudah membuka pintu sambil menerjang masuk
ke dalam. Ong-losiansing sangat tak suka, tapi perasaan
itu sama sekali tidak diperlihatkan di wajahnya,
senyuman ramah masih menghiasi ujung
bibirnya. Hal ini bukan dikarenakan orang yang
menerjang masuk adalah bawahannya yang
paling dipercaya, Hok-supek.
Hok-supek dari marga Thio dan aslinya
bernama Thio Hok, orang yang kenal padanya
sering memanggil Hok-supek atau Hok-congkoan
karena tugasnya di rumah Ong-losiansing
memang sebagai Congkoan atau pengurus rumah
tangga. Melihat Thio Hok yang setia kepadanya masuk
ke dalam ruangan, Ong-losiansing meneguk dulu
araknya kemudian baru menegur, "Bagaimana
kalau duduk sebentar menemani aku minum
secawan?" "Tidak, terima kasih."
Dia memang berbeda dengan majikannya, apa
yang dipikir dalam hati segera tercermin di wajah,
dan kini mimik mukanya nampak begitu jelek,
seperti baru saja rumahnya kebakaran.
"Aku tak ingin minum arak dan tak mau
minum," sahut Thio Hok, "kedatanganku bukan
lantaran ingin minum arak."
Sekali lagi Ong-losiansing tertawa, dia suka
pada orang yang suka berterus terang, sekalipun
dia sendiri bukan termasuk jenis manusia seperti
itu, tapi dia amat mengagumi dan menyukai
orang semacam ini, sebab dia beranggapan orang
semacam ini paling mudah dikendalikan.
Oleh karena dia sendiri bukan manusia
semacam ini maka baru dia menjadikan Thio Hok
orang kepercayaannya. Kembali ujarnya, "Lalu
apa tujuan kedatanganmu?"
"Karena satu masalah besar, orang yang
bernama Yap Kay."
"Oya... ?" Ong-losiansing masih saja tertawa
tergelak. "Yap Kay telah tiba di kota Lhasa," kembali Thio
Hok melanjutkan laporannya, "bila dugaanku
tidak salah, dalam satu dua hari mendatang dia
pasti akan berkunjung ke kebun monyet."
"Wah... wah, ternyata memang sebuah urusan
besar," kata Ong-losiansing, lalu sambil menuding
bangku di hadapannya ia melanjutkan, "duduklah
dulu, mari kita bahas masalah ini perlahanlahan."
Kali ini Thio Hok tidak menuruti permintaannya,
dia sama sekali tidak duduk.
"Setibanya di kota Lhasa, Yap Kay pasti mulai
menaruh curiga terhadap kebun monyet," ujar
Thio Hok lebih jauh, "orang ini suka mencampuri
urusan orang, setiap ada masalah yang menarik
perhatian, dia pasti akan melakukan penyelidikan
hingga tuntas."
"Dia memang manusia semacam itu," sekali
lagi Ong-losiansing meneguk secawan araknya,
"menurut pendapatmu, apa yang harus kita
lakukan sekarang?"
"Sekarang juga kita harus memanggil balik
semua jago terbaik yang kita miliki dalam
organisasi," sahut Thio Hok tanpa pikir panj ang.
"Oya?"
"Biarpun Yap Kay susah diladeni, namun
organisasi kita pun memiliki tak sedikit jago
tangguh, jika kita dapat mengundang datang
semua jago yang kita miliki, kemudian
menggempurnya, aku percaya kali ini Yap Kay
pun pasti akan mampus."
Ketika bicara sampai di situ, tak tahan
perasaan bangga terlintas di wajahnya, karena
dia anggap idenya sangat bagus dan dia percaya
ide itu akan mendatangkan hasil yang luar biasa.
Kebanyakan orang pun pasti akan mempunyai
jalan pikiran yang sama dengannya, akan
menerima usul itu, namun Ong-losiansing sama
sekali tidak bereaksi.
Pantulan cahaya kristal gemerlapan, arak
dalam cawan pun berkilauan, mengawasi arak
yang harum itu lama sekali Ong-losiansing
membungkam, tiba-tiba ia mengucapkan satu
perkataan aneh.
"Sudah berapa lama kau bekerja ikut padaku?"
tanyanya. "Dua puluh tahun," meski tidak mengerti
kenapa secara tiba-tiba majikannya mengajukan
pertanyaan itu, Thio Hok menjawab juga dengan
sejujurnya, "Ya, tepat dua puluh tahun."
Tiba-tiba Ong-losiansing mendongakkan kepala,
mengawasi wajah Thio Hok yang jelek namun
polos dan jujur itu, setelah memandang cukup
lama baru dia berkata lagi, "Tidak benar."
"Tidak benar?" Thio Hok melengak, "bagian
mana yang tidak benar?"
"Bukan dua puluh tahun, seharusnya sembilan
belas tahun sebelas bulan, harus menunggu
sampai tanggal dua puluh satu bulan depan baru
genap dua puluh tahun."
Thio Hok menarik napas panjang, timbul
perasaan kagum di wajahnya, dia tahu daya ingat
Ong-losiansing memang sangat bagus, tapi dia
tak mengira kehebatannya sedemikian
mengejutkan. Ong-losiansing menggoyang pelan arak dalam
cawan, cahaya yang terpantul keluar semakin
menyilaukan mata.
"Bagaimana pun juga waktumu bekerja
denganku sudah terhitung sangat lama," ujar
Ong-losiansing lagi, "tentunya kau pun sudah
dapat melihat manusia macam apakah diriku ini."
"Benar."
"Tahukah kau dimana kelebihan yang kumiliki?"
Sementara Thio Hok masih berpikir, Onglosiansing
telah berkata lebih lanjut, "Kelebihanku
yang utama adalah adil dan jujur."
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya
lagi, "Aku harus bersikap dan bertindak secara
adil dan jujur, paling tidak ada tujuh-delapan
ratus orang yang bekerja padaku, bila aku tak adil
dan jujur, bagaimana mungkin orang akan takluk
dan menurut kepadaku?"
Mau tak mau Thio Hok harus mengakui hal ini,
Ong-losiansing memang orang yang adil dan jujur
dalam menghadapi setiap masalah, bahkan dia
amat jelas membedakan mana yang harus
dihukum dan mana yang harus menerima pahala.
Kembali Ong-losiansing bertanya, "Masih ingat
apa yang pernah kukatakan sewaktu kau masuk
ke dalam ruangan tadi?"
Tentu saja Thio Hok masih ingat, "Masih, kau
bilang siapa pun dilarang memasuki pintu
ruangan ini, terlepas siapa pun dirimu."
"Apakah kau terhitung manusia?"
"Ya, aku manusia."
"Sekarang, apakah kau telah masuk kemari?"
"Tapi aku berbeda," sahut Thio
Petualang Asmara 14 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Pendekar Panji Sakti 26
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama