isa terlahir anak
dara ini" Merekalah pemuda gagah perkasa dan nona gagah
putih bersih, tidak nanti sebelumnya pernikahannya
dilangsungkan, mereka sudah terlebih dahulu main gila... tidak
nanti!" Masih ada satu lagi, yang menambah keheranannya Kui
Ciang. Menyebut-nyebut ayahnya itu, Leng Song tak berduka
luar biasa. Kalau dia tahu bencana yang merampas jiwa
ayahnya itu, tak nanti dia tak minta bantuannya untuk mencari
balas untuk ayahnya itu.
"Mungkinkah ibunya belum menuturkan pada dia tentang
nasib ayahnya itu?" ia berpikir terlebih jauh. "Dia telah menjadi
dewasa begini, kenapa ibunya masih merahasiakannya?"
Tak dapat Kui Ciang memecahkan keragu-raguannya itu,
bahkan sebaliknya, ia menjadi semakin heran.
Leng Song pun heran melihat sikap diam dari Kui Ciang itu,
hanya selagi ia hendak berbicara, orang telah mendahuluinya.
"Sekarang ini ibumu berada di mana?" tanya Toan Tayhiap.
Nona itu tidak segera menjawab, ia agak bersangsi. "Dulu hari
itu aku sering ada bersama ayah dan ibumu," Kui Ciang kata
pula. "Kitalah sahabat-sahabat kekal."
"Ibu memang pernah membicarakan urusan
persahabatannya dengan pehu," si nona kata akhirnya. "Hanya
sekarang ini setelah hidup menyembunyi banyak tahun, ibu tak
memikir pula untuk bertemu dengan sahabat-sahabatnya. Ibu
meminta aku menyampaikan hormatnya kepada pehu serta
mohon sukalah pehu memaafkannya."
Kui Ciang heran sekali. Maka bertambahlah keheranannya.
Katanya di dalam hati, "Kenapa Soat Bwe tak mau menemui
sekalipun aku" Mungkinkah karena kecelakaannya dulu itu dia
menjadi tawar, hati, sampai pun sakit hati suaminya dia tak
memikir untuk membalasnya?"
Kui Ciang tahu tak perlu dia menanyakan terlebih jauh
tentang ibu orang. Hanya sebentar, ia menukar haluan. Ia
tanya, "Katanya kau berniat membinasakan Se-gak Sin Liong
Hong-hu Siong, entah buat urusan apakah itu?"
"Ibu membilangi aku dialah hantu kepala yang tak ada
kejahatan yang tak diperbuatnya!" menjawab si nona. "Maka
itu aku dipesan untuk membinasakannya guna menyingkirkan
satu bencana dunia Kang Ouw!"
Keterangan ini bersamaan saja dengan keterangannya ketika
baru-baru ini si nona berikan kepada Lam Ce In, cuma
sekarang dia tidak membawa-bawa urusan yang menyangkut
dirinya sendiri.
Kui Ciang berpikir.
"Apa yang ibumu bilang tidak salah, Hong-hu Siong memang
orang busuk," kata ia, "Maka kalau kita menyingkirkan dia
untuk keselamatan dunia Kang Ouw, itulah tugas kita kaum
pembela keadilan. Tapi Hong-hu Siong itu gagah luar biasa,
ilmu silatnya tinggi sekali, kau seorang diri, aku kuatir kau
bukanlah lawan setimpal dari dia. Jikalau ada tempat untuk
bantuanku, suka sekali aku membantu padamu, hanya
sekarang belum dapat. Sekarang ini di hadapanku ada suatu
urusan sangat penting, yang harus diselesaikan. Apakah tak
lebih baik kau sekarang turut aku pergi ke Touw Ke Ce" Kau
tunggu sampai kesehatanku sudah pulih seluruhnya dan aku
juga telah selesai dengan urusan yang aku sebutkan ini, nanti
aku temani kau mencari Hong-hu Siong!"
"Terima kasih atas kebaikan pehu," berkata si nona. "Hanya
ibu memesan aku bahwa lebih baik aku menyingkirkan dia
dengan tenagaku sendiri, tak usah aku mohon bantuan lain
orang. Pehu, urusan yang kau hendak selesaikan itu telah aku
ketahui. Nyonya Su telalj memesan beberapa kata-katanya
untuk disampaikan kepada pehu..."
Kui Ciang terkejut.
"Jadi malam itu kau benar-benar telah menyateroni istana An
Lok San?" ia tanya.
He Leng Song tertawa.
"Tidak!" sahurnya. "Aku hanya pergi ke gedungnya Sie
Siong. Bangsat she Sie itu tergila-gila dengan kecantikan
Nyonya Su, untuk itu dia telah minta si nyonya dari An Lok
San!" Kui Ciang gusar sekali hingga ia mengayun tangannya
menghajar kereta. "Kurang ajar!" teriaknya. "Jikalau aku tidak dapat membalas
sakit hatinya Su Toako dan Su Toaso, aku sumpah tak mau
menjadi orang!"
Habis mengumbar napsu amarahnya itu, Kui Ciang menjadi
reda sendirinya. Ia berbalik menjadi berduka.
"Su Toaso dari keluarga sastrawan yang terhormat, mana
dapat dia menerima kehidupan semacam itu?" katanya.
"Perihal itu pehu tak usah buat kuatir," Leng Song memberi
penjelasan. "Ie Tiap-ku itu sudah ketahui Sie Siong berniat
jahat terhadap * dirinya, dia mendahului merusak mukanya.
Maka itu meski benar dia sekarang berada di tempat
berbahaya, kesucian dirinya dapat terjamin."
Lebih jelas Leng Song tuturkan apa yang terjadi malam itu di
gedung Sie Siong sebagaimana yang ia saksikan sendiri.
Kui Ciang, Ce In dan Mo Lek menggoyang-goyang kepala
dan menarik napas, masgul, berduka dan kagum. Bahkan Ce In
sambil menunjuki jempolnya, memuji, "Pasangan gagah dan
terhormat itu membuatnya orang kagum!"
"Nona He, barusan kau memanggil apa pada Nyonya Su?"
Kui Ciang menegasi.
"Ie-ie," menerangkan Nona He. "Ibuku ialah kakak misannya.
Namanya Tiap, maka itu aku memanggilnya Ie Tiap."
"Dengan begitu kamu jadinya bersanak dekat," kata Kui
Ciang. "Dulu-dulu aku tidak mengetahuinya. Karena ini kau
tentunya telah menerima pesan ibumu untuk menolongi ieiemu
itu bukan?"
"Bukan," sahut Leng Song. "Sudah lama ibu hidup
menyendiri, telah putus segala hubungannya dengan pihak
luar, hanya benar sekalian keluar, aku dipesan untuk menyerepi
kabar tentang Ie-ie Tiap itu. Aku telah tiba di dusun dimana
pehu tinggal bersama-sama Su Cinsu, setelah menyelidiki
barulah aku ketahui peristiwa yang sebenarnya. Memang,
setelah bertemu dengan ie-ie, aku hendak menolongnya
menyingkir dari tempat berbahaya itu. Sayangnya ie-ie tidak
mau ditolongi."
Kui Ciang heran hingga ia tercengang.
"Bagaimana, dia tak sudi pergi dari tempat berbahaya itu?"
tanyanya. "Benar! Bagaimana juga aku bicara, ie-ie tak dapat dibujuk!"
Kui Ciang heran tak kepalang.
"Sungguh gelap pikiran!" ia ngoceh seorang diri. Ia
mengerutkan alisnya. Lalu ia kata, "Su Toaso wanita sejati, dia
mengambil keputusan begitu, pasti dia telah mempunyai
rencananya! Apakah ada lain pesannya lagi kepada kau untuk
disampaikan padaku?"
"Ie-ie ada menyebut urusan kamu berdua keluarga yang
telah berjanji berbesan satu dengan lain," kata Leng Song. "Ieie
membilangi aku, karena kedudukannya itu, ia tak tahu
bagaimana nanti jadinya kelak di kemudian hari, maka itu ie-ie
kata, umpama kata putera pehu sudah dewasa, apabila ada
jodohnya yang cocok, ie-ie menganjurkan pehu bolehlah
menikahkannya."
Kui Ciang menghela napas.
"Dalam kedudukannya sebagai itu, dia masih memperhatikan
anakku," katanya, berduka. "Sungguh dia baik sekali. Tapi tak
perduli apa jadinya dengan dia dan puterinya itu, jodohnya
anak-anak kita itu tak nanti aku putuskan!"
Ia berdiam sebentar, lantas ia menambahkan, "Nona He,
jikalau kau tidak mempunyai lain urusan, marilah kita berangkat
bersama! Hari akan lekas sore, kita harus berangkat sekarang,
supaya sebentar kita tak gagal mendapatkan pondokan."
Leng Song berdiam, ia nampak bersangsi.
"Terima kasih, pehu," katanya sesaat kemudian. "Aku masih
mempunyai sedikit urusan lagi, tak dapat aku berangkat
bersama. Touw Ke Ce cuma kira duaratus lie dari sini, baiklah
lagi beberapa hari aku berkunjung ke sana."
Mendengar begitu, Kui Ciang tidak berani memaksa.
Maka kedua pihak lantas berpisahan.
Kui Ciang mengawasi orang berlalu dengan menunggang
kudanya, di dalam hatinya timbul pelbagai ingatan, halnya diilu
hari ia bersahabat dengan orang tuanya nona gagah ini...
********* VIII JLje In mengendarai kereta keledai melakukan
perjalanannya, selang dua hari tiba sudah ia di kaki gunung Hui
Houw San di wilayah kota Yu-ciu. Hui Houw San berarti Gunung
Harimau Terbang, nama gunung itu cocok dengan gelaran
kelima saudara Touw, yaitu Touw-ke Ngo Houw, atau Lima
Harimau Keluarga Touw. Macamnya gunung mirip lima ekor .
harimau lagi menongkrong, keletakannya berbahaya seperti
biasanya gunung lainnya.
Sampai itu waktu, Toan Kui Ciang telah sembuh seluruhnya.
Itulah berkat setiap hari tiga kali ia makan obat pulung. Ketika
itu sudah lewat tujuh hari. Bahkan sekarang tenaganya
bertambah melebihkan sebelum ia terluka itu.
Ia menyangka Ce In memberikan ia makan obatnya Mo Keng
Lojin, karena tidak diberitahukan, tak tahu ia bahwa obat ialah
obatnya Se-gak Sin Liong Hong-hu Siong, si Naga Sakti dari Segak,
gunung Hoa San.
Selagi kereta memasuki jalan gunung, di mulut gunung
mereka sudah dipapak Touw Leng Ciok, yang dari siang-siang
telah memperoleh kabar. Sembari tertawa nyaring ketua Hui
Houw Sein itu kata, "Kau menantu dari Keluarga Touw,
sekarangkau dapat diminta datang! Sudah sepuluh tahun kau
pergi, tak pernah kau memberi warta sedikit jua!"
Toan Kui Ciang datang membantui Keluarga Touw bukan
disebabkan keinginannya sendiri, sekarang dia telah datang,
mau atau tidak ia mesti bicara ramah dengan sang toaku,
iparnya yang paling tua itu, begitu pun dengan Leng Hu.
Begitulah atas penyambutan Leng Ciok itu, ia menghaturkan
maafnya, karena ia sudah datang terlambat. Kemudian ia
menanyakan jelas duduknya pertempuran sekalian ipar itu
melawan Ceng Ceng Jie.
Leng Ciok mengasih lihat tangan kirinya.
"Syukur semua jerijiku ini tidak terpapas habis!" katanya
tertawa. "Meski begitu, kami toh kena dirobohkan!"
Yang hilang ialah dua jeriji. Melihat itu, hati Kui Ciang
berdenyut. "Kebetulan kau datang sekarang, moayhu!" kata Leng Hu.
"Janji waktu yang diberikan Ong Pek Thong bersama Ceng
Ceng Jie tinggal empat hari lagi. Sebenarnya adik Sian dan
yang lainnya berkuatir menantikanmu, kuatir terjadi sesuatu di
tengah jalan, syukur kau telah tiba dengan tidak kurang suatu
apa!" "Justeru di tengah jalan telah terjadi sesuatu!" berkata Kui
Ciang, tertawa. "Syukur ada saudara Lam Pat ini yang
menolong melindungi, jikalau tidak, tak dapat aku nanti
menemui Ceng Ceng Jie..."
Ia lantas mengajar kenal Ce In dengan sekalian iparnya.
Baru sekarang Touw Leng Ciok semua ketahui, kawan
iparnya itu ialah Lam Ce In atau Lam Pat yang tersohor, maka
itu, mereka menjadi sangat girang. Kata Leng Hu, "Dengan
adanya kamu berdua suami isteri dan dibantu Lam Tayhiap,
kita tak usah kuatirkan lagi Ceng Ceng Jie!"
Lam Ce In tertawa.
"Aku datang untuk menonton keramaian saja, aku tak berarti
apa-apa!" katanya.
Selagi bicara itu tibalah mereka di muka perbentengan
dimana mereka lantas disambut oleh Touw Sian Nio dan tiga
saudara lainnya.
Belum sebulan Kui Ciang berpisah dari isterinya tetapi
pertemuan ini membuat mereka girang berbareng terharu.
Itulah sebab ia seperti sudah mati hidup pula.
Sian Nio juga berduka mendengar kebinasaannya Su It Jie,
sang besan, serta Nyonya Su dan anaknya tak dapat ditolongi.
Tanpa merasa, ia mengucurkan airmata.
"Sekarang ini kamu bantulah dulu kami," berkata Touw Leng
Ciong. "Setelah kita berhasil mengalahkan Ceng Ceng Jie, kami
semua nanti turut kamu pergi mencari An Lok San serta Sie
Siong semua, guna membuat perhitungan! Kita sudah
berkumpul sekarang, baik kita tidak omong lagi hal yang
mendatangkan kedukaan!" -.
"Moayhu," tanya Leng Hu, "Kau bilang di tengah jalan kau
bertemu begal, apakah di antaranya ada satu begal muda yang
bersenjatakan kipas besi peranti menotok jalan darah?"
Kui Ciang heran.
"Bagaimana kau ketahui itu?" ia balik menanya.
"Kami pun telah bertemu dengannya di tengah jalan!" sahut
Leng Hu tertawa. "Bocah itu liehay sekali, jikalau bukan Liokmoay
ada beserta, aku bukan tandiangan dia itu!"
Kui Ciang lantas menoleh kepada isterihya. Dari sinar
matanya, nyata ia seperti menyesali dan merasa berkasihan. Ia
seperti mau membilang, "Bukankah kau baru habis melahirkan
anak" Bukankah tak selayaknya kau menggunai terlalu banyak
tenaga" Mana dapat kau melakukan pertempuran?"
Meski begitu, suami ini ketahui baik sekali untuk membantu
saudaranya, isteri itu tidak dapat tidak turun tangan. Dengan
sinar matanya itu ia menunjuki-berapa besar ia menyintai sang
isteri. Touw Leng Hu dapat membade hati iparnya itu. Dia tertawa
lebar. "Liok-moay, suamimu begini menyayangi kau, pantas juga
kau hampir melupai rumah orang tuamu!" katanya. Kemudian
ia berpaling pada iparnya, untuk menambahkan, "Moayhu, kau
jangan kuatir. Sama sekali adikku tidak menempur musuh itu,
bahkan ia pun tak berkisar dari keretanya. Ia cuma
mengandalkan panahnya dengan apa ia memukul mundur
kepada musuh! Anak muda itu liehay sekali, sesudah dihajar
tiga kali, baru dia mundur!"
Ilmu panah pelurunya Touw Sian Nio belum pernah
dipertunjuki semenjak ia menikah dengan Toan Kui Ciang,
sampai Kui Ciang sendiri belum tahu sampai dimana liehaynya,
maka itu mendengar keterangan iparnya itu, suami ini kaget
berbareng girang, ia girang sekali.
Touw Leng Hu tertawa.
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Semasa hidupnya ayah dahulu," ia kata, "Ayah sudah
berlaku berat sebelah! Semua kepandaian yang berarti dari
ayah telah diwariskan kepada Liok-moay! Dialah si burung
Hong-hong Keluarga Touw, dan kami kelima Harimau tak dapat
melawan sekor Hong-hong!"
"Koko, kau berlelucon terhadapku!" kata Sian nio tertawa
"Bagaimana dengan ilmu tameng Kun Goan Pay kau yang
terdiri dari liga puluh enam jurus itu" Ilmu itu tak dapat aku
pelajarkan!"
"Sudah! Sudah!" Leng Ciok menyela sama tengah. "Kalau
kamu bicara terus-terusan, tak lebih tak kurang, kamu main
memuji satu pada lain! Apakah itu tak akan membikin orang
tertawa sampai giginya copot f"
"Memang juga begal muda itu liehay sekali!" Lam Ce In turut
bicara. "Dia dapat menyambuti tiga buah peluru dari enso, aku
juga kagum terhadapnya!"
Demikian orang memuji ilmu panah peluru Sian Nio, akan
tetapi Nyonya Kui Ciang sendiri tidak girang karenanya, bahkan
ia nampak berduka, akan tetapi orang menyangka ia
merendahkan diri.
Cuma Kui Ciang yang mengenal baik hati isterinya, ia tahu
isterinya berduka benar-benar. Rupanya ada sesuatu yang
membuat isteri itu bersusah hati. Ia melainkan belum tahu,
urusan apa itu. Karena itu, hatinya menjadi tidak tenang.
"Tahukah kamu siapa pembegal muda itu?" kemudian Leng
Ciok tanya. "Baru dua hari yang lalu aku mendapat tahu
tentangnya."
"Apakah dia sebawahannya Ong Pek Thong?" Kui Ciang
tanya. "Bukan melainkan orang sebawahan, bahkan puteranya!"
sahut Leng Hu. "Kabarnya Ong Pek Thong mempunyai cuma seorang anak
laki-laki dan seorang anak perempuan," kata Leng Ciok, "Dan
katanya pula semenjak masih kecil mereka itu sudah diperintah
berguru pada lain orang. Anak laki-lakinya itu baru saja pulang
dari perguruan."
Mendengar itu, hati Kui Ciang bercekat. Kalau si pemuda
sudah liehay, setahu bagaimana keliehayan dari guru anak
muda itu. "Jangan-jangan bentrokan ini bakal jadi meluas," pikirnya.
"Bagaimana nanti akhirnya" Kapankah aku bakal dapat
menjauhkan diriku?"
Kui Ciang lantas disambut dengan sebuah jamuan. Ce In dan
Mo Lek turut hadir bersama. Habis bersantap, baru ia dapat
bertemu dengan leluasa dengan isterinya di dalam kamar
mereka. "Engko Ciang," kata Sian Nio sambil menarik napas, "Kau
datang untuk membantu saudara-saudaraku, buat itu aku
sangat faersyukur, hanya aku kuatir, urusan keluargaku ini
bakal merembet-rembet kau..."
"Mulanya memang aku tidak niat datang ke mari," Kui Ciang
bilang, "Akan tetapi aku telah berjanji dengan kakakmu, maka
urusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan kau sendiri. Kita
menjadi suami isteri, mengapa kau bicara begini?"
"Engko, coba kau lihat dulu surat ini," kata Sian Nio,
perlahan sekali. Dan ia menyerahkan sepucuk surat.
Kui Ciang menyambuti, untuk dibuka dan dibeber. Surat itu
ditujukan kepada Touw Sian Nio sendiri. Nyonya itu diberi
nasehat untuk membujuki suaminya jangan campur urusan
Keluarga Touw itu.
Katanya itulah untuk melindungi nama baik dari Kui Ciang,
supaya kedua pihak tidak sampai bentrok hingga ada
kemungkinan dua dua roboh dan celaka. Surat itu tidak
memakai nama dari si pengirim.
"Dari mana datangnya ini?" tanya Kui Ciang setelah ia
berdiam sejenak. "Diantarnya kemari kira-kira jam tiga semalam," sahut Sian
nio. "Ketika itu aku lagi tidur nyenyak. Mendadak aku
mendengar satu suara di dalam kamar. 'Aku berlompat bangun.
Nyata orang sudah berlalu,hanya di bantal kepalaku, aku
mendapatkan surat ini. Kau lihat di belakangnya
Kui Ciang menurut. Ia membalik surat itu. Ia melihat hurufhuruf
yang ditulis cepat, suatu tanda surat itu baru ditulis
setibanya orang di dalam kamar.
Bunyinya ialah, "Aku mengambil tusuk kundai sebagai
peringat.m saja! Besok suamimu bakal tiba di sini, maka itu,
bakal terjadi mara bahaya atau keberuntungan, semua itu
terserah kepada kamu suami isteri berdua1 Baik-baiklah kamu
menimbangnya!"
Kui Ciang terperanjat.
"Apa...... apakah kau kehilangan tusuk kundai kemala itu?" ia
tanya isterinya.
"Bukannya tusuk kundai kemala naga-nagaan yang menjadi
landa mata," sahut sang isteri. "Itulah tusuk kundai kemala
yang aku biasa pakai setiap hari."
Kui Ciang menghela napas.
"Bagus!" katanya. "Kalau yang lenyap ialah tusuk kundai
naga nagaan itu, malu kita terhadap Su Toako. Apakah kakakkakakmu
ketahui urusan surat dan tusuk kundai kemala itu?"
"Aku belum memberitahukan mereka. Mereka sangat
mengharap harap kedatanganmu, engko, mereka sebagai
mengharapi mendung di waktu musim kering, jikalau mereka
mendapat tahu, pasti mereka bakal bersusah hati. Pasti sulit
untuk mereka, mereka menahan kau atau tidak..."
Sian Nio berhenti sebentar, baru ia menambahkan, "Surat ini
membilang kau bakal tiba hari ini, mulanya aku ragu-ragu
mempercayainya Maka itu aku terus berdiam saja menunggui kau. Aku pikir
untuk nanti berdamai dengan kau, engko. Sekarang,
bagaimana pikiranmu?"
Diluar dugaan, Kui Ciang berkata gagah, "Kita suami isteri,
mana dapat kita digertak orang" Seperti aku sudah bilang,
sebenarnya aku tidak ingin terlibat dalam urusan Jalan Hitam
ini, akan tetapi dengan adanya surat ini, sekarang aku
mengambil keputusan untuk berdiam di sini, aku bersedia
menempur Ceng Ceng Jie dan Khong Khong Jie!"
"Kalau begitu, kau benar!" berkata isteri itu. "Aku duga inilah
suratnya Khong Khong Jie! Katanya dia menjadi kakak
seperguruan dari Ceng Ceng Jie dan sangat kesohor
kepandaiannya sebagai pencuri, di kolong langit ini tanpa
lawan..." "Aku juga pernah dengar perihal dia. Sekarang terbukti
liehaynya itu. Meski begitu, kita jangan takut, cukup asal kita
berlaku waspada."
Sian Nio berani seperti suaminya itu.
"Dengan kau berada di sisiku, walaupun ada musuh yang
terlebih liehay, aku tidak takut," katanya, perlahan tapi tetap.
"Kau belum lihat anak kita, pergilah kau melihatnya! Tahukah
kau hari ini hari apa" Hari ini justeru hari ulangnya satu bulan!"
Kamarnya Sian Nio ini bertetangga dengan sebuah kamar
lain yang dipakai untuk bayinya. Leng Ciok pun menyediakan
dua orang bujang perempuan guna mengurus anak itu. Maka
juga, buat melihat anaknya, Kui Ciang mesti pergi ke kamar
yang satunya itu. Kebetulan anaknya lagi tidur nyenyak.
"Anak kita sehat sekali," kata Sian Nio. "Selama satu bulan
ini, belum pernah ada alamatnya dia menderita penyakit
sesuatu. Aku tidak tahu bagaimana wajah tunangannya..."
Menyebut tunangan anaknya, Sian Nio dan suaminya ingat
Keluarga Su, dengan lantas mereka jadi berduka.
Malam itu, suami isteri itu bicara lebih banyak pula. Masingmasing
menjelaskan pengalamannya sendiri sejak mereka
berpisah kira satu bulan itu. Sampai jam lima masih mereka
belum tidur. Justeru itu mendadak mereka mendengar satu
suara dan melihat sesuatu yang putih menyambar masuk dari
mulut jendela! Suami isteri itu selamanya waspada. Dengan sebat sekali
Sian nio sudah menyerang dengan seraup jarum rahasianya,
sedang Kui Ciang dengan pedang terhunus menyusul berlompat
keluar, terus naik ke atas genteng.
Sian Nio pandai menggunai senjata rahasia, lebih-lebih jarum
rahasia bwe-hoa-ciam dan panah peluru kim kong sin-tan,
maka sungguh diluar dugaannya, jarum rahasianya itu tidak
memberi hasil apa-apa, tak ada suaranya sama sekali, suatu
tanda orang tak terlukakan sekalipun dengan sebatang
jarumnya. Di atas genteng, Kui Ciang tidak melihat apa-apa. Ketika
memandang ke sekitarnya, ia mendapatkan suasana sunyi,
benteng Touw Ke Ce sedang tidur pulas, kecuali di depan dan
di belakang dengan tentu-* tentu terdengar suara si orangorang
ronda. Ia heran, ia menjadi penasaran. Ia lantas mengempos
tenaga dalamnya, guna mengasih dengar suara dengan "Toan
Im Jip Bit," ilmu meminjam suara halus tetapi jauh
terdengarnya. Ia tanya, "Kalau kau mempunyai nyali untuk datang ke mari,
kenapa kau tidak mempunyai nyali untuk membuat
pertemuan?"
Suara itu tidak mendapat penyahutan, ada juga selang
sejenak, dari jauh terdengar suara "Hm!" beberapa kali, suara
tertawa dingin, yang disusuli dengan ini kata-kata, "Tak usahlah
kau terlalu keburu napsu...!" Suara itu pun halus, tetapi
orangnya tak nampak. Menurut dugaan Kui Ciang, orang yang
berbicara itu sudah meninggalkan benteng Touw Ke Ce kira
satu lie jauhnya!
Dengan cepat Sian Nio menyusul suaminya, berdiri di
belakang suaminya itu.
"Dia tak dapat disusul lagi!" kata suami itu, menyeringai.
"Ilmu ringan tubuh dia jauh melebihkan kepandaian kita
berdua!" "Dia bukan cuma liehay ilmu ringan rubuhnya," kata sang
isteri. "Coba kau lihat..."
"Apa?" tanya Kui Ciang, heran.
"Kau lihat!" kata sang isteri, "Apakah kau mendapatkan
sebatang jarum juga di tanah atau di atas genteng ini"
Teranglah dia telah menyambuti seraup jarum rahasiaku itu!
Entah ilmu apa itu yang dia telah gunakan..."
Kui Ciang menginsafi kata-kata isterinya itu.
"Karena kita tidak dapat menyusul dia, mari kita kembali ke
dalam," ia mengajak. "Kita lihat dia mengantar apa lagi untuk
kita......"
Sian Nio menurut, maka keduanya lompat turun dari
genteng, terus masuk ke kamar mereka.
Benar-benar mereka memperoleh sesuatu.
Di meja kecil di kepala pembaringan ada tertancap sebatang
golok liu-yap-too, ujungnya golok menusuk sehelai kertas.
Karena lemasnya golok, ujungnya masih terus bergoyang
perlahan. Itulah benda tadi yang berwarna putih mengkilap.
"Inilah permainan mengirim surat dengan perantaraan
golok!" kata Kui Ciang tertawa. Ia tidak takut atau berkecil hati.
"Dia menyangka dengan begini dia dapat menggertak mundur
padaku. Dia salah lihat!"
"Coba lihat dulu apa dia tulis!" sang isteri menganjuri.
Kui Ciang mencabut golok itu, mengambil kertasnya. Ia
membaca, "Lebih dahulu adat kehormatan, kemudian baru
mengangkat senjata! Dengan mengirim surat golok ini, aku
memberi tempo tiga hari kepadamu, supaya kau lekas
meninggalkan gunung ini!"
Di belakang itu ada tambahannya lagi, yang berbunyi,
"Jikalau kau memandang ringan pemberian ingat ini, maka aku
akan mengambil sesuatu yang kamu paling hargakan! Setelah
itu nanti kau bakal berduka dan menyesal seumur hidup kamu!"
Kui Ciang tertawa.
"Yang kami paling hargakan ialah jiwa kami!" katanya,
memandang enteng. "Kelihatannya dia orang liehay dan
terhormat, kenapa dia menggunai cara hina ini untuk
menggertak orang?"
"Ya, inilah aneh!" kata Sian Nio. "Inilah yang membuat aku
heran!" Tiba-tiba Kui Ciang pun sadar. Memang aneh perbuatan
orang itu. Bukankah dia liehay" Buat apa dia berbuat begini"
Kenapa dia seperti jeri terhadap keluarga Touw" Bukankah,
kalau mereka bertempur, belum tahu siapa yang bakal menang
atau kalah" Kenapa kau terus-terusan dfberi ingat dan digertak
itu" Ketika itu terdengar suara tindakan ramai mendatangi.
Tempo Kui Ciang membuka pintu kamar, buat melihat, ia
mendapatkan Touw Leng Ciok datang bersama-sama Leng Hu
dan Leng Cek serta Lam Ce In dan Tiat Mo Lek. Mereka
datangnya tanpa janji terlebih dulu. Itulah sebab mereka telah
mendapat dengar suara dan gerak-geriknya Kui Ciang dan
isterinya. Kui Ciang lantas memberi lihat surat ancaman itu.
Muka Leng Ciok lantas berubah, terus ia berkata seorang
diri, "Inilah pasti perbuatan Khong Khong Jie. Kabarnya dialah
kakak seperguruan Ceng Ceng Jie dan sekarang dia datang
guna mendukung adik seperguruannya itu!"
Touw Leng Hu menjadi pemimpin Rimba Hijau di wilayah
Utara tetapi mendengar disebutnya nama Khong Khong Jie, air
mukanya lantas menjadi berubah. Itu menandakan bahwa
Khong Khong Jie benar-benar bukan sembarang orang.
Sebenarnya Khong Khong Jie muncul dalam dunia Sungai
Telaga baru beberapa tahun saja.
Toan Kui Ciang tertawa. Dia kata, "Toako, aku telah
memberikan . janjiku kepadamu, meski mesti mati, aku tidak
bakal menyesal. Aku tidak ambil mumat dia Ceng Ceng Jie atau
Khong Khong Jie, akan aku tempur mereka itu! Aku mau lihat
Khong Khong Jie orang macam apa di dalam tempo tiga hari
dia bisa mengambil kepala di batang leherku ini!"
Kui Ciang menganggap kata-kata surat ancaman itu
mengenai "barang yang paling dihargakan" adalah batok
kepalanya. Dengan perlahan Touw Leng Hu mendapat pulang
ketenangan dirinya. "Kui Ciang!" katanya tertawa pada iparnya itu, "Setelah
menyembunyikan diri sepuluh tahun, semangatmu gagah tak
kurang daripada dulu hari itu! Baiklah! Kau tidak takut, apapula
kami Touw Ke Ngo Houw, kami bukan bangsa takut mampus!
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Segera aku menitahkan semua tauwbak membikin penjagaan
keras selama tiga hari ini! Siang dan malam kita mesti
waspada! Kita berjumlah besar, di sini juga ada Lam Tayhiap,
kenapa kita mesti takut pada Khong Khong Jie?"
Kata-kata jago Touw Ke Ce Ini dibuktikan dengan titahnya
yang diberikan kepada orang-orangnya, untuk semua
melakukan penjagaan dengan berhati-hati.
Toan Kui Ciang dan isterinya tidak berdiam saja, mereka
juga bergantian membantu melakukan pengawasan. Dalam
suasana tegang itu mereka berhasil tiga hari dan dua malam
tanpa terjadi sesuatu. Maka di malam ketiga, malam terakhir,
orang membuat penjagaan istimewa. Di mana-mana api
dipasang terang-terang dan semua orang seperti lupa tidur.
Sekalipun yang tidak bertugas, matanya turut tak dipejamkan.
Pada kira jam tiga maka di ujung barat laut perbentengan
telah terdengar satu suara nyaring jelas, "Khong Khong Jie
datang!" Toan Kui Ciang bersama isterinya berada di dalam kamar
ketika mereka mendapat dengar seruan itu. Touw Sian Nio
lantas menyambar busurnya, untuk pergi keluar, tetapi
suaminya mencegah.
Segera juga terdengar seruan serupa, yang datangnya dari
ujung timur laut.
"Khong Khong Jie datang!"
Beruntun empat kali suara itu mendengung, setiap kalinya di
ujung penjuru perbentengan.
Toan Kui Ciang terkejut juga. Hebat pihak lawan itu.
"Hm! Hm! Hm!" demikian ia lantas mendengar suara, yang
datangnya dari luar kamarnya. Ia mengenali baik, itulah suara
yang ia dengar pada beberapa malam yang lalu. Ia lantas
beseru dengan pedang di tangan, ia lompat keluar.
Justeru itu terdengar teriakannya Touw Sian Nio, "Celaka!,"
disusul dengan jeritan bayi yang menangis kaget, disusul pula
dengan teriakan bujang dan babu pengasuh yang berisik dan
kacau. Satu bayangan tubuh yang hitam pun mencelat naik ke atas
genteng di belakang kamar, terus kabur ke arah barat. Saking
pesatnya, dalam sekejapan bayangan itu sudah melalui belasan
rumah. Kui Ciang mimpi pun tidak bahwa Khong Khong Jie
mengarah bayinya, ia kaget bukan main, ia lantas lari mengejar
sekeras bisa, hingga dengan cepat ia telah meninggalkan
orang-orang di sebelah belakangnya.
Bagaikan angin, ia lari terus sampai di tepian gunung. Di
depan matanya ia melihat sesosok tubuh yang hitam, hanya di
lain saat, benda hitam itu lenyap walaupun rembulan bercahaya
guram hingga mestinya ia masih bisa mendapat lihat!
Touw Sian Nio, yang menyusul, heran melihat sikap
suaminya itu, tanpa menanya lagi, ia dapat menduga kepada
hal buruk. Setelah menikah sepuluh tahun lebih, baru sekarang
mereka memperoleh putera, bisa dimengerti bahwa luar biasa
kesayangan mereka terhadap anak mereka.
Maka itu, ia berdiam mengawasi suaminya, yang pun
menjublak mengawasi padanya. Keduanya ruwet pikirannya
hingga mereka tak tahu harus mengucapkan apa.
Baru selang sejenak, Toan Kui Ciang dapat juga menguasai
harinya. Sang isteri sebaliknya tak dapat menahan keluarnya
airmatanya. Tak lama tibalah Touw Leng Ciok beramai. Melihat
saudaranya sekalian, tak sanggup Sian Nio bertahan lagi, ia
lantas menangis, sembari menangis, ia kata, "Toako,
keponakanmu hilang...!"
Mukanya Leng Ciok menjadi merah. Ia jengah sekali.
"Liok-moay, kau sabar," kata ia, membujuk adik yang nomor
enam itu. "Mari kita pulang dulu untuk berdamai terlebih
jauh..." Kui Ciang setuju, maka pulanglah mereka ke benteng.
Leng Ciok memanggil kumpul semua saudaranya, bersamasama
mereka berapat di dalam kamar rahasia.
Keluarga Touw menjadi keluarga Rimba Hijau yang
berkenamaan selama puluhan tahun, kali ini walaupun mereka
berjaga-jaga keras, benteng mereka masih dapat didatangi
Khong Khong Jie, yang dapat masuk dengan merdeka, yang
merdeka juga mengambil barang apa yang disukainya, tentu
sekali mereka gusar dan malu sekali. Itulah hinaan besar untuk
mereka! Baru-baru ini mereka dipermainkan Ceng Ceng Jie, sekarang
lebih hebat lagi! Mana dapat mereka diam saja"
Lima saudara Touw itu gusar semua, dalam murkanya,
pikiran mereka pun kacau. Lantas ada yang menyarankan surat
tantangan terhadap Khong Khong Jie atau menyerbu ke rumah
Ong Pek Thong, guna membekuk semua anggauta
keluarganya, supaya orang-orang tawanan itu dapat dipakai
sebagai bahan pertukaran.
"Khong Khong Jie tak ketahuan tempat kediamannya,
kemana kita menyampaikan surat tantangan untuknya?" kata
Leng Ciok. "Kalau kita minta perantaraannya Ong Pek Thong
atau Ceng Ceng Jie, pasti itu bakal mendatangkan tertawaan
orang!" Di dalam Rimba Persilatan ada aturan, surat tantangan mesti
disampaikan langsung kepada orang yang tersangkut sendiri,
kalau orang memakai perantara, itu menyatakan si penantang
tidak punya guna, lebih lagi kalau si perantara justeru
sahabatnya musuh. Keluarga Touw pemimpin Rimba Hijau, tak
dapat keluarga itu berbuat demikian.
Kata Leng Ciok kemudian, "Kalau begitu tidak ada lain jalan
daripada kita serbu Keluarga Ong untuk membekuk semua
anggautanya."
Toan Kui Ciang bangun berdiri.
"Seorang laki-laki mesti berbuat secara laki-laki juga!" kata
dia nyaring. "Khong Khong Jie menggunai cara rendah yang
busuk sekali, mana dapat kita menelad perbuatan buruknya
itu?" Touw Leng Ciok menghela napas.
"Begini tak dapat, begitu tak dapat, paling baik kita mengaku
kalah saja..." kata dia lesu. "Liok-moay, baiklah besok kamu
suami isteri pergi turun gunung, tak usah kau turut pula kami di
dalam air keruh ini... Kami hendak menyatakan kepada Ong
Pek Thong dan Ceng Ceng Jie bahwa kami sudah kalah dan
suka menyerah, lalu kami akan menyerahkan benteng kami ini
kepada mereka! Teranglah Khong Khong Jie menculik puteramu
sebab dia menghendaki kamu suami isteri mengundurkan diri,
jangan kamu campur urusan kami di sini. Jikalau kamu sudah
mundur, buat apa dia dengan anak kamu" Maka itu, tentu dia
bakal menyerahkannya pulang..."
Ketika itu Toan Kui Ciang mendapat satu pikiran. Ia ingat
besok ada hari perjanjian pertemuan di antara Ceng Ceng Jie
dan Touw Leng Ciok, itu artinya, besok Ceng Ceng Jie bakal
datang. Maka ia lantas kata nyaring, "Toaku, kau keliru! Dengan kau
berbuat demikian bukan cuma nama Keluarga Touw menjadi
runtuh, aku si orang she Toan sendiri bakal tidak mempunyai
muka lagi untuk ditaruh dalam dunia Kang Ouw! Besok Ceng
Ceng Jie bakal datang, nanti aku tempur dia. Mungkin aku
bukan tandingannya tetapi aku mengharapi kemenangan, andai
kata aku berhasil, Khong Khong Jie tentulah bakal muncul
sendirinya. Maka itu waktu kami berdua saudara akan
menempur mati-matian kepadanya!"
Inilah yang diharap Leng Ciok dengan kata-katanya barusan.
Ia ingin kata-kata itu keluar sendiri dari mulutnya sang ipar.
Karena itu, ia lantas kata, "Moayhu termashur sekali, maaf, aku
kesalahan omong! Memang benar, seorang laki-laki lebih baik
terbinasa daripada terhina! Perkara telah menjadi begini rupa,
baik, mari kita mengadu }iwa kita! Mungkin sekali besok Khong
Khong Jie datang bersama adik seperguruannya!"
Sampai disitu rapat mereka, semua lantas keluar untuk
masing-masing beristirahat.
Toan Kui Ciang dan isterinya mencoba menyingkirkan
kedukaan mereka. Besok mereka akan menghadapi lawan
tangguh, maka keduanya lantas duduk bersemedhi, guna
mengumpul tenaga.
Kapan sang besok muncul, dari masih pagi sekali orang
sudah bangun tidur. Semua lantas merasa hati masing-masing
tegang sendirinya. Mereka sudah lantas siap sedia menanti
tibanya rombongan Ceng Ceng Jie.
Sampai siang, Ceng Ceng Jie belum juga datang. Orang
heran, orang membicarakannya, menduga-duga! Lawan datang
atau tidak" Kenapa lawan terlambat"
Tepat tengah hari, selagi orang menanti-nanti, mereka
mendengar tiga kali suara panah nyaring. Itulah tanda tangan
Rimba Hijau. Benar saja, habis itu terlihat masuknya seorang
tauwbak, yang terus berkata, "Ceng Ceng Jie sudah datang! Dia
minta bicara kepada cecu semua! Sekarang dia lagi menantikan
di depan gunung!"
Lima saudara Touw sudah lantas menjemput senjatanya
masing-masing, dengan cepat mereka bertindak keluar.
Kui Ciang mengikuti bersama isterinya dan Ce In serta Mo
Lek. Sebagai tetamu, atau setengah tetamu, mereka mesti
berjalan belakangan. Sampai di lapangan di luar, di sana cuma
nampak satu orang yang romannya mirip kunyuk.
"Dialah Ceng Ceng Jie..." Tiat Mo Lek membisiki Kui Ciang.
Janji kali ini janji di antara Ong Pek Thong dan Touw Leng Ciok,
guna suatu keputusan orang bertempur atau menakluk, benar
pihak Ong Pek Thong mengajukan surat yang terbubuhkan
tanda tangannya berdua Ceng Ceng Jie, sebenarnya dialah
orang yang bersangkutan.
Seharusnya Ong Pek Thong muncul bersama sejumlah
orangnya. Maka itu aneh sekarang cuma Ceng Ceng Jie
seorang yang nampak. Karena orang heran, kembali hati
mereka dibikin tambah tegang.
Touw Leng Ciok dongkol sekali. Segera ia maju
menghampirkan. "Mana Ong Cecu?" dia tanya singkat,
suaranya kaku. Ceng Ceng Jie menjawab sambil tertawa,
"Apakah kau sudah rampung menulis surat pernyataan
taklukmu atau belum" Kalau sudah, mari serahkan padaku,
untuk aku bawa pulang, buat diserahkan lebih jauh pada Ong
Cecu! Setelah Ong Cecu menerima surat menaklukmu itu, pasti
dia akan datang sendiri kemari!"
Leng Ciok gusar bukan main. Dialah pemimpin suatu
rombongan Rimba Hijau, dia mendongkol sekali, hatinya panas.
Tapi dia dapat tertawa bergelak.
"Sekarang kau bicara urusan itu, apakah itu bukan masih
terlalu pagi?" dia tanya, sabar. "Kalau Ong Cecu tidak datang,
baiklah, urusan kedua pihak boleh ditunda dulu! Di sini ada
seorang sahabat yang ingin membuat perhitungan denganmu!"
Tanpa menanti lagi, Toan Kui Ciang bertindak ke depan. Ia
menghadapi Ceng Ceng Jie, untuk terus berkata dengan tawar,
"Bukankah kejadian semalam itu perbuatan kakak
seperguruanmu?"
Ceng Ceng Jie tertawa.
"Kejadian apakah itu?" ia tanya.
"Hm! Apakah kau tak takut menjadi malu kalau aku
menyebutkannya?" tanya Kui Ciang. "Jikalau kamu hendak
mencoba aku si orang she Toan, aku bersedia meluluskannya!
Kenapa kamu mesti menculik anakku yang baru berumur satu
bulan" Perbuatan itu perbuatan orang gagah dari golongan
manakah?" Ceng Ceng Jie tertawa terbahak.
"Kiranya kau bicara dari kejadian tersebut itu?" dia
mengulangi. "Benar! Itulah perbuatan kakak seperguruanku!
Kakak seperguruanku menyayangi namamu yang besar, tak
ingin ia narnamu itu rusak hingga dirimu turut bercelaka, dari
itu dengan maksud baiknya, dia sudah berulang kali memberi
nasehat padamu, tetapi siapa suruh kau tidak mau mendengar
kata?" "Fui!" Kui Ciang berludah. "Maksud baik demikian macam ini
cuma dapat diucapkan oleh seorang manusia hina dina!
Baiklah, kita jangan bicara saja! Mana saudaramu itu, suruh dia
datang menemui aku!"
"Awas!" kata Ceng Ceng Jie, suaranya dalam. "Kalau lagi
sekali kau caci kakak seperguruanku itu, nanti aku tidak mau
berlaku sungkan lagi kepadamu! Jangan kau berjumawa
dengan namamu yang terkenal sebagai tayhiap, seorang jago
besar, sebenarnya kakakku tak melihat, barang sebelah mata
juga! Masih terlalu pagi untuk kau menemui kakak
seperguruanku itu! Sebelum menemui dia, baik kau ketemukan
dulu pedangku ini! Bagaimana, kau maju seorang diri atau
kamu semua maju berbareng?"
---ooo0dw0ooo--Jilid 8 Baru kata-kata itu habis diucapkan, atau Kui Ciang telah
menghunus pedangnya, diturut oleh penantangnya.
"Kamu menculik anakku, urusan ini tidak mengenai mereka
ini!" kata Kui Ciang, dingin. "Kamu berdua datang untuk Toan
Kui Ciang seorang, aku bersiap sendiri menemui kamu! Maka
itu, tak perduli kau datang sendiri, atau kau datang bersama
kakak seperguruanmu, si orang she Toan akan melayani kamu
sendiri saja!"
"Sungguh mulut besar!" Ceng Ceng Jie tertawa. "Tak kecewa
kau dipanggil tayhiap! Tapi anakmu itu bukan anakmu sendori,
dari itu aku masih memikir untuk belajar kenal dengan
pelurunya isterimu!"
Sian Nio mendongkol, dia lantas menjawab, "Peluruku tak
dipakai menghajar seorang rendah yang tak bernama! Sebentar
setelah kau dapat mengalahkan pedang suamiku, baru kau
bicara pula!"
Nyonya Toan bicara dengan tenang, tetapi nadanya keras.
Ceng Ceng Jie bersiul panjang dan nyaring, terus dia tertawa
lebar. Dia pun menyentil pedangnya.
"Baiklah, mari kita main-main!" katanya. "Kau menjadi
separuh tuan rumah, Toan Tayhiap, sebagai tetamu tak dapat
aku berlaku kurang ajar, maka kau mulailah! Silahkan!"
Toan Kui Ciang sangat jemu tetapi sebagai seorang tayhiap,
ia mau memegang tinggi martabatnya. Ia benar lantas
menyerang akan tetapi Cuma separuh, sebagai gertak.
"Bagus, ya!" bentak Ceng Ceng Jie mendongkol. "Bukankah
kau tak memandang mata padaku?"
Habis berkata, dengan luar biasa sebarnya, ia lantas
menikam. Ia pun menindak di tengah, tiong-kiong, suatu tanda
ia menantang sangat.
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kui Ciang gusar sekali. Ia tidak bergeming. Ketika pedang
lawan tiba, mendadak ia menapas. Itulah jurus "Kim Peng Tian
Cie" atau "Garuda emas mementang sayap".
Melihat perlawanan Kui Ciang, pihaknya pada bersorak
memuji, bukan karena orang she Toan menang, hanya cara
bersilatnya yang sempurna itu. Suara nyaring sekali lantas
terdengar, orang pun melihat muncratnya lelatu api.
Justeru itu tubuh Ceng Ceng Jie mencelat tinggi, dari atas ke
bawah, dia membacok hebat ke arah punggung lawannya, di
jalan darah Hong-hu.
Kui Ciang memutar tubuh sangat cepat, sembari mutai,
pedangnya berkelebat, maka untuk kedua kalinya senjata
mereka bentrok pula.
Ceng Ceng Jie berlompat mundur tiga tindak.
Kui" Ciang menyerang sambil mengajukan diri, karena musuh
maju, ia maju dua tindak. Hampir-hampir ia tak dapat menahan
tubuhnya. Itulah hebat. Benar mereka baru bertempur dua jurus tetapi
setiap serangan itu berbahaya bukan main. Siapa lambat sedikit
saja, pasti dia akan jadi kurban pedang.
"Benar-benar Toan Tayhiap liehay!" kata Ceng Ceng Jie.
Toan Kui Ciang berdiam, di dalam hati, ia jengah sendirinya.
Di dalam satu-dua gebrakan, tak dapat ia mengenali musuh
bersilat dengan ilmu silat partai mana.
Ceng Ceng Jie itu, habis memuji, sudah lantas menyerang
pula. Sekarang keduanya sama-sama berlaku waspada, mata
dibuka tajam, kaki tangan bergerak cepat dan lincah
Beginilah peristiwa itu, tepat kedua pedang bentrok, tepat
tiba peluru-pelurunya Touw Sian Nio. Kim-wan itu berat, Sian
Nio pun menggunai tenaga sepenuhnya. Si nyonya menarik
busurnya sampai menjadi bundar sekali. Maka hebat
menyambarnya sekalian pelurunya itu, mirip dengan hebatnya
jarum bwe-hoa-ciam.
Ceng Ceng Jie liehay, ia masih dapat menyambut ketiga
peluru itu. Sayangnya dia sekarang lagi menyerang Kui Ciang
dengan perhatian dan tenaga sepenuhnya. Tentu sekali dia
menjadi sangat repot. Kendati begitu, dia masih dapat
mementil balik dua buah peluru.
Adalah perluru yang ketiga, yang mengenai belakang
pedangnya. Tanpa dapat dipertahankan pedangnya itu tak lurus
lagi arahnya, akan tetapi, justeru dia meleset tak dapat melukai
Toan Kui Ciang, ujung pedang Kui Ciang sebaliknya
membuatnya terluka.
Semua orang terperanjat, mereka sampai melengak, semua
menahan napas. Sampai Ceng Ceng Jie sudah lenyap, masih
mereka tinggal menjublak. Barulah paling belakang Tiat Mo Lek
berseru dengan pujiannya, "Bagus!"
Maka semua orang sadar, lantas semuanya turut bersoraksorai.
Touw Leng Ciok maju, untuk memberi selamat kepada
iparnya, akan tetapi Toan Kui Ciang tetap tak bergembira
seperti semula, tak ada tanda-tandanya bahwa ia girang
dengan kemenangan.
Itulah sebab semenjak ia muncul dalam dunia Kang Ouw,
inilah yang pertama kali ia bertempur dengan mendapat
bantuan orang, tak perduli pembatu itu ialah isterinya. Ia
beranggapan kemenangannya bukan kemenangan dengan
kementerengan, sedang kaburnya Ceng Ceng Jie tak dapat
terkejar olehnya...
Touw Leng Hu kata sambil tertawa, "Moayhu berhasil
melukai Ceng Ceng Jie, itu berarti penasaran kita telah
terlampiaskan. Sayangnya ialah dia masih dapat lolos...!"
Touw Sian Nio sebaliknya menghela napas. Kata ia, "Meski
kita menang, dia tapinya dapat kabur, maka itu, kepada siapa
kita minta pulung anak kita?"
"Sudah Liok-moay, jangan kau bersusah hati!" Touw Leng
ijiok menghibur. "Kecuali Khong Khong Jie dan Ong Pek Thong
suka menyerah, tak nanti mereka dapat tak memunculkan diri.
Sekarang mari kita pulang dulu untuk minum arak
kemenangan!"
Di dalam benteng orang lekas sekali dapat menyajikan
barang hidangan. Sambil tertawa nyaring, Touw Leng Ciok
kata, "Baru sepuluh tahun kita berpisah, Kui Ciang, ilmu
pedangmu maju pesat sekali! Khong Khong Jie dapat terlebih
liehay daripada Ceng Ceng Jie, tak nanti dia dapat melawan
kamu suami isteri!"
Tiat Mo Lek, dengan roman duka, turut berkata, "Khong
Khong Jie beberapa kali menggertak kouwthio, rupanya dia
telah mendapat lihat gelagat, rupanya dia merasa dialah
bukannya lawan kouwthio! Sekarang, setelah pertempuran ini,
aku kuatir dia tidak berani datang pula ke mari..."
Dua orang itu bicara secara bertentangan satu dengan lain.
Touw Leng Ciok hendak membesarkan hati Kui Ciang, Mo Lek
sebaliknya menunjuki kedukaannya dengan cara lain. Dia kuatir
kalau Khong Khong Jie tidak muncul, sukar untuk mendapatkan
pulang anak Kui Ciang.
Toan Kui Ciang menggeleng kepala, ia kata, "Mo Lek, tidak
dapat kau memandang enteng musuh secara demikian, seperti
caramu ini!"
Justeru itu mendadak Touw Leng Hu berseru, "Eh, apakah
itu?" Tuan rumah ini berseru sambil matanya mengawasi ke
penglari, maka semua orang lainnya, yang terperanjat, turut
memandangnya ke arah itu.
Di atas penglari ada sesuatu yang tergantung.
Tanpa ayal lagi, Touw Leng Ciok menimpuk d?Eii)",an huitoo,
golok terbangnya, membikin gantungan itu putus dan
barangnya jatuh, sedan)* Touw Leng Ciok bergerak
menyambutinya. Itulah sebuah kotak kecil.
Sebagai ahli, Leng Ciok sudah lantas mendapat tahu kotak
itu tanpa pesawat rahasia, maka itu terus ia membuka
tutupnya. Maka ia mendapatkan di dalam kotak itu sehelai
kartu nama terbuat dari sehelai kertas merah.
Touw Sian Nio duduk di sisi kakaknya, dia melihat tegas,
lantas dia berseru heran, "Inilah kartu namanya Khong Khong
Jie!" Touw-ke Ngo-houw " Lima Harimau Keluarga Touw " saling
mengawasi, semuanya tercengang. Di waktu siang terang
benderang, dan di muka orang banyak, Khong Khong Jie dapat
menggantung kotak kartu namanya itu di atas penglari dalam
ruang mereka berkumpul! Bukankah itu sangat luar biasa"
Selang sesaat, Touw Leng Ciok dapat menenangkan hatinya.
Lantas dia berseru, "Khong Khong Jie! Kau sudah datang,
kenapa kau tidak berani perlihatkan mukamu" Kenapa kau main
bersembunyi seperti lakukanya hantu" Apakah caramu ini cara
seorang laki-laki?"
Belum lagi berhenti teguran itu, di antara mereka sudah
terdengar tertawa berkakak yang nyaring, dan belum lagi sirap
tertawa itu, di antara mereka terlihat berkelebatnya sesosok
tubuh, yang seperti burung melayang, lantas tiba di muka meja
perjamuan itu. Orang itu juga terus berkata nyaring, "Sudah lama aku
datang ke mari! Apakah kamu semua buta mata kamu?"
Serentak semua hadirin bergerak bangun, dengan serentak
juga mereka menghunus senjata mereka. Kecuali Toan Kui
Ciang dan Lam Ce In, yang dapat menguasai dirinya masingmasing.
Karena bangunnya itu secara demikian, meja itu
terbentur, mangkuk dan cangkir terbalik tumpah isinya.
"Bagaimana, hai?" Khong Khong Jie berseru. Dia tertawa
nyaring pula. "Apakah kamu semua mau main keroyok?" *
Namanya Khong Khong Jie sudah terkenal selama beberapa
tahun yang paling belakang ini, akan tetapi di antara sekalian
tamu itu, baru sekarang mereka melihat orang punya potongan
tubuh dan wajah. Dialah orang dengan tubuh yang luar biasa.
Dia tinggi tak sampai lima kaki, sedang wajahnya ialah wajah
kebocah-bocahan, kepalanya gede. Selagi bicara itu, dia
menggeraki tangan dan kakinya, tingkah polahnya sangat
jumawa. Selagi semua orang mengawasi, Kui Ciang mengajukan diri.
"Kecewa kepandaian kau yang liehay ini!" ia kata. "Kenapa
kau lakukan perbuatan seperti seorang pancalongok" Walaupun
berlipat kali kegagahan kau ini, tak dapat kau berlaku jumawa
begini!" "Kau sebaliknya, kecewa kau mendapat julukan tayhiap!"
Khong Khong Jie membaliki. Dia tertawa mengejek, "Kenapa
dengan tidak membedakan hitam atau putih kau membelai
segala penjahat besar Rimba Hijau" Apakah perbuatan kau ini
juga dapat dibuat menjadi kebanggaanmu ?"
Toan Kui Ciang melengak.
Touw Leng Ciok gusar sekali.
"Apakah Ong Pek Thong bukannya penjahat besar Rimba
Hijau?" dia tanya. "Dia juga tak jauh banyak terlebih baik
daripada kami! Kenapa kau juga menjadi tukang pukulnya itu?"
Khong Khong Jie tertawa lebar.
"Pertama-tama aku bukannya seorang tayhiap!" dia
menjawab. "Ong Pek Thong bersahabat denganku, maka itu
aku membantunya. Kedua, bicara dari hal kelakukan Rimba
Hijau, Ong Pek Thong kalah daripada tingkah kamu! Bukankah
perkara di Se Ke Chung perbuatan kamu" Sudah kamu hitam
makan hitam, kenapa juga membinasakan keluarga itu ayah
berikut anaknya" Ketika itu musim penyakit menular, kamu
justeru merampas obat-obatan itu, kamu menumpuknya!
Dengan begitu kamu menyebabkan kematiannya entah berapa
banyak jiwa! Kamu tahu atau tidak" Apakah kamu ingin supaya
aku membebernya satu demi satu semua perbuatan kamu"
Atau untuk berlaku adil, kau bicara dari keburukan Keluarga
Ong, lantas aku pun bicara kebusukan dari Keluarga Touw,
supaya dengan begitu Toan Tayhiap dapat menimbang!. Nanti
kamu boleh lihat, di antara kamu berdua, siapa yang perbuatan
jahatnya terlebih banyak! Bagaimana?"
Dua keluarga Ong dan Touw sama-sama keluarga penjahat
yang sudah "turun temurun," selama beberapa puluh tahun ini.
Keluarga Touw jauh terlebih berpengaruh daripada Keluarga
Ong, maka bicara dari hal usaha mereka, sudah tentu lebih
banyak perbuatannya Keluarga Touw
Di mata kaum Rimba Hijau, semua perbuatan itu lumrah
saja. Di matanya Khong Khong Jie, itu lain lagi. Khong Khong
Jie menganggap perbuatan Touw Leng Ciok kepada sesama
kaum Rimba Hijau berlebihan, sebab dia suka membasmi
sampai di akar-akarnya, meski sebenarnya, yang dibasmi ialah
sesama Lvimba Hijau yang menjadi musuh-musuhnya, kalau
kaum saudagar, tidak ada yang diganggu jiwanya
Meski demikian, mendengar kata-kata Khong Khong Jie itu,
Toan Kui Ciang telah mesti mengeluarkan keringat dingin.
Ketika dulu hari Kui Ciang menikah dengan Touw Sian Nio,
tak lama dia mengajak isterinya pindah ke lain tempat, selama
sepuluh tahun, tak sudi dia mempunyai perhubungan lagi
dengan Keluarga Touw, keluarga isterinya itu.
Sebab dari itu ialah dia tak sudi ikut-ikutan sekalian iparnya
melanjuti pekerjaan mereka tanpa modal itu. Karenanya,
selama sepuluh tahun, dia tak tahu lagi segala perbuatan ipariparnya
itu. Sekarang dia mendengar Khong Khong Jie membeber
rahasia itu, dia kaget sekali. Dia kata dalam hatinya, "Benar aku
tolol! Kenapa aku campur urusan air keruh ini?"
"Brak!" demikian terdengar suara nyaring pada meja, sebab
Touw Leng Ciok menggepraknya.
"Kami melakukan usaha kami, mana dapat kami tidak
merampas dan tidak melukai orang?" dia tanya, bengis. "Meski
benar kami merampas obat dengan mana kami mencari
untung, itu bukannya pekerjaan yang dilakukan tanpa
memperbahayakan jiwa kami! Kau bocah, kau tidak tahu aturan
kami kaum Jalan Hitam, maka itu kau baiklah jangan omong
banyak lagi!"
Touw Leng Hu juga turut bicara. Dia kata, "Kau
menyebutkan Keluarga Ong itu! Keluarga itu berkongkol
dengan sebawahannya An Lok San, dia meminjam tenaga
hamba negeri mencelakai sesama kaum Rimba Hijau! Itulah
perbuatan yang terlebih rendah lagi! Jikalau kau hendak bicara
memakai aturan, kita mesti pakai aturan Rimba Hijau! Mari kita
undang berkumpul semua jago Rimba Hijau, untuk mereka
yang menimbangnya!"
Khong Khong Jie tertawa.
"Aku tak mempunyai kebanyakan tempo!" kata dia.
"Jikalau begitu, jangan kau banyak omong lagi!" bentak
Touw Leng Ciok. "Baik kita menggunai aturan Rimba Hijau,
siapa yang menang dialah yang lebih kuat!"
Khong Khong Jie melirik.
"Toan Tayhiap!" dia tanya. "Kau bukan orang Jalan Hitam,
bagaimana pendapat kau?"
Semua persaudaraan Touw, berikut Touw Sian Nio,
mengawasi Toan Kui Ciang.
Orang she Toan itu bersangsi sebentar, baru ia menjawab
perlahan, "Perselisihan Rimba Hijau, tak aku perdulikan, tetapi
kau telah memuli! Anakku, kau menghina aku, maka tak dapat
tidak, aku mesti menempurmu!"
Kembali Khong Khong Jie tertawa lebar.
"Inilah kata-katamu yang aku harap-harap!" kata dia. "Aku
tahu sebelumnya kau dapat menempur aku, sulit untuk kau
membereskan soalmu dengan sanak keluargamu ini.
Dia berhenti sebentar, lantas dia menambahkan, "Baik! Mari
kila tetapkan kata-kata kita! Jikalau kau kalah, tidak dapat kau
mencampur lalui lagi urusan dua keluarga Ong dan Touw ini!
Jikalau aku yang kalah, lvgitu juga dengan aku! Setelah kita
bertanding itu, tidak perduli siapa kalah dan siapa menang,
akan aku mengembalikan anakmu! Aku anggap syarat kita ini
pantas sekali, maka itu, bagaimana pikiran kau?"
Khong Khong Jie, terutama Ong Pek Thong, ingin sekali
mendesak Toan Kui Ciang tak mencampuri urusan
persengketaan kedua keluarga bukan disebabkan mereka takut
terhadap Toan Kui Ciang pribadi. Yang mereka kuatirkan ialah
Kui Ciang itu tersohor dan banyak sahabat atau kenalannya,
mereka takut sahabat-sahabat itu nanti dalang membantui.
Kalau itu sampai terjadi, bagaimana mereka bisa melawan"
Toan Kui Ciang setuju dengan usul Khong Khong Jie. "Aku
setuju dengan kau!" kata ia. "Silahkan hunus pedangmu I Mari
kita mencari keputusan!"
"Tunggu sebentar!" kata Khong Khong Jie. Dia berpaling
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pada Touw Leng Ciok. Dia kata, "Aku dan Toan Tayhiap
berurusan menurut t ara kaum Rimba Persilatan! Bagaimana
dengan pihak kamu" Apakah kita menuruti aturan Rimba
Hijau?" "Kau bersendirian di sini, habis aku mesti bicara dengan
siapa?" kata Leng Ciok tawar. Ini artinya, jikalau mereka toh
hendak bicara menurii! Aturan kaum Rimba Hijau, di situ Ong
Pek Thong mesti hadir.
Nama Khong Khong Jie telah melewati nama Ong Pek Thong
akan tetapi namanya itu baru berimbang dengan nama Touw
Leng Ciok, karena itu, dengan derajat seimbang, Khong Khong
Jie belum dapat mewakilkan
Pek Thong. Leng Ciok mau memegang martabatnya, maka ia
hendak bicara sendiri dengan Ong Pek Thong.
"Inilah mudah!" berkata Khong Khong Jie, yang nampak tak
jadi kurang senang. Mendadak ia bersiul nyaring dan lama.
Belum lama berhenti siulan itu maka dari arah luar terdengar
sambutan nyaring yang berbunyi, "Ong Pek Thong dari Yan San
datang mengunjungi Touw Cecu!"
Ong Pek Thong dan Khong Khong Jie telah berjanji matang,
begitu Khong Khong Jie dan Touw Leng Ciok selesai bicara atas
isyarat, ia mesti muncul. Ia datang tepat sekali, maka juga,
begitu siulan terdengar, begitu ia menjawab dan muncul di
muka benteng. Leng Ciok terperanjat hingga air mukanya berubah. Ia dapat
lekas menenangkan diri, lantas ia memberikan perintahnya,
"Buka pintu benteng! Undang Ong Cecu masuk! Jangan
bersikap kurang hormat!"
Segera juga terlihat bertindak masuknya seorang berusia
enam puluh tahun, wajahnya bercahaya merah, tangannya
menuntun seorang nona yang umurnya baru enam atau
tujuhbelas tahun.
Nona itu melihat ke kiri dan kanan, agaknya dia sangat
gembira. Begitu dia berseru, "Eh paman! Kamu masih belum
mulai mengadu pedang?"
Khong Khong Jie tertawa.
"Pamanmu lagi menantikan tibanya ayahmu!" dia menjawab.
"Kenapa Cuma kau yang datang" Mana kakakmu?" Nona itu
tertawa manis. "Aku sengaja datang untuk menyaksikan keramaian!"
sahutnya. "Kakak kedatangan tetamu! Maka biarlah aku yang
menonton sendiri!"
Hati Lam Ce In bercekat. Tahulah ia sekarang pemuda
berbaju kuning yang itu hari memegat kereta ialah putera Ong
Pek Thdng ini. Ia lantas menduga-duga, "Tetamu siapa yang
mesti dilayani putera Ong Pek Thong itu" Apakah dia bukannya
He Leng Song?"
Ia ingat Nona He sebab hari itu ia melihat sikap si nona
terhadap si anak muda luar biasa sekali, menyaksikan itu, ia
merasa kurang enak.
Sekarang ia mendengar suaranya nona ini, keraslah
dugaannya itu. Ia heran. Mendengar keterangan orang itu,
harinya menjadi tidak tenteram. Sebisa-bisanya ia
menenteramkannya. Kata ia, "Aku perduli apa tetamunya itu
Nona He atau bukan?"
Ketika itu terdengar suaranya Ong Pek Thong, "Anak Yan,
kenapa kau sembrono sekali" Lekas kau memberi hormat
kepada Touw Pehu kau itu! Ah bocah ini, aku yang
menyebabkannya menjadi manja begini! Touw Toako, aku
minta sukalah memaafkannya!"
Touw Leng Ciok tertawa.
"Di antara saudara sendiri buat apa kita omong begini
sungkan!" katanya. "Baiklah kita segera membicarakan urusan
perdagangan kita hari ini!"
Ong Pek Thong mengawasi.
"Bukankah itu telah kamu bicarakan matang?" dia tanya.
"Kita * menurut aturan Rimba Hijau saja. Aku tak dapat
mengatakan lainnya lagi."
Leng Ciok lantas berkata, membaca di luar kepala, "Yang
menang menjadi jago! Yang mati perkaranya tak ditarik
panjang! Yang kalah mesti mundur dari dunia Rimba Hijau
dengan sebawahannya semua mengikuti pimpinan yang baru,
tetapi yang tak sudi mengikut, dia dapat membubarkan dirinya
sendiri, Cuma dia tak dapat hidup pula sebagai orang Jalan
Hitam!" "Setuju!" kata Ong Pek Thong. "Aturan ini kau ingat baik
sekali, Touw Toako! Kita memakai aturan ini! Hanya, Touw
Toako, buat guna kau, suka aku memberi nasehat..."
"Ong Toako, kau mempunyai nasehat berharga apa?" Touw
Leng Ciok tanya. "Aku yang muda senang sekali
mendengarnya!"
Demikian kedua kepala begal itu, mereka saling
membahasakan saudara satu dengan lain, hingga siapa yang
tak ketahui duduknya hal, tak nanti menyangka bahwa mereka
sebenarnya bermusuh mati-matian, bahwa segera juga mereka
bakal bertempur untuk mati atau hidup!
"Aku hendak bicara tentang pertempuran kita!" kata Ong Pek
Thong. "Bukankah kita memakai aturan Rimba Hijau" Aku
kuatir kaulah yang bakal menjadi pihak yang rugi! Ingat bahwa
kita adalah sahabat-sahabat dari beberapa puluh tahun! Jikalau
kita salah tangan, aku pasti bakal merasa tak enak hati! Maka
itu, aku pikir, baiklah kau mengundurkan diri saja, untuk mana
cukup asal kau membuat suatu surat perjanjian untukku..."
Nasihat itu berarti nasehat Touw Leng Ciok menyerah kalah
dan mengajukan surat pernyataan menakluk, habis mana Leng
Ciok mesti mengundurkan diri, supaya dia tak usah bercelaka
karena kalah bertanding.
Mendengar itu, Leng Ciok menjadi mendongkol sekali. Maka
ia tertawa terbahak-bahak.
"Terima kasih untuk kebaikan hatimu ini, Ong Toako!" kata
ia. "Aku juga justeru mempunyai semacam pikiran untuk
dipakai memberi nasehat pada toako! Toako datang dari
tempat yang jauh, apabila lacur kau menampak kerugian,
apabila ada terjadi sesuatu atas dirimu, pasti aku akan sangat
bersusah hati!"
Kata-kata Touw Leng Ciok ini berarti bahwa sebagai tuan
rumah, ia berjumlah banyak dan bakal berbuat sebisanya guna
merebut kemenangan, sedang di pihak Ong Pek Thong, mereka
Cuma bertiga berikut anak daranya itu.
Ong Pek Thong menyambut nasehat itu dengan tertawa.
"Jikalau saudara Touw tak dapat menerima nasehatku, tak
bisa lain, terpaksa aku mesti mengiringi dan menemanimu!"
kata dia. "Baiklah, kedua pihak sudah bicara jelas, siapa mati
siapa hidup, dia paserah kepada Thian Yang Maha Kuasa! Jadi
tak usahlah ada yang bersusah hati nanti! Baik! Baik! Sekarang
mari kita mulai dengan mengadu pedang! Inilah pertandingan
yang sukar disaksikan selama seratus tahun!"
Khong Khong Ji lantas menggapai.
"Toan Tayhiap, mereka sudah selesai bicara!" katanya.
"Sekarang tinggal urusan kita! Cuma tadi masih ada sepatah
kata yang aku belum sempat ucapkan. Sudah lama aku
mendengar Nyonya Toan adalah jago wanita, karena itu apakah
dapat kita sekalian memakai aturan Rimba Hijau supaya
nyonyamu turut maju bersama?"
Perkataannya Khong Khong Jie ini berarti, disamping ia
menantang Touw Sian Nio, itu pun bermaksud, umpama kata
Kui Ciang kalah, maka Sian Nio harus tak mencampur tahu
lebih jauh urusan keluarga Touw, keluarganya itu. "
Kui Ciang mengerutkan alis. Ia berpaling kepada isterinya.^
"Baiklah!" katanya. "Kalau sebentar aku gagal, kau boleh
turut maju!" Toan Kui Ciang menginsafi liehaynya Khong Khong Jie, ia
percaya dalam pertandingan pedang ini ia tidak mempunyai
harapan. Bukankah melawan Ceng Ceng Jie saja sudah sulit
untuknya" Maka itu ia pikir, baiklah isterinya turut turun
tangan. Berterang terlebih baik daripada cara diam-diam.
Sian Nio mengerti, ia mengangguk. 1
"Toan Tayhiap!" Khong Khong Jie berkata pula, "Ketika tadi
kau melayani sute-ku, aku lihat kau suka mengalah
terhadapnya, maka itu sekarang, suka aku yang mengalah,
supaya kaulah yang menyerang terlebih dahulu!"
Kui Ciang terkejut juga. Dengan begitu menjadi ternyata,
tadi Khong Khong Jie telah menyaksikan pertempurannya
melawan Ceng Ceng Jie. Tapi ia tidak berayal. Ia lantas
menghunus pedangnya.
"Silahkan keluarkan pedangmu," ia mengundang.
Sejak tadi Khong Khong Jie muncul dengan kedua tangannya
kosong, tetapi sebab ia menantang mengadu pedang, Kui Ciang
menyangka orang membekal joan-kiam, pedang lunak, yang
biasa disimpan melilit di pinggang.
Siapa tahu, atas undangannya itu, Khong Khong Jie kata
tawar, "Toan Tayhiap, aku minta tak usah sungkan-sungkan!
Kali ini kaulah yang turun tangan lebih dulu, silahkan kau
mulai!" Kui Ciang menjadi gusar sekali.
"Jadi kau hendak melawan pedangku dengan tangan
kosong?" kata dia keras. "Kalau begitu, biar bagaimana pun,
aku si orang she Toan tak dapat melayani kau!"
Khong Khong Jie tertawa.
"Maaf! Maaf!" katanya. "Toan Tayhiap menjadi ahli pedang
berkenamaan di jaman ini, mana berani aku melayani kau
dengan tangan kosong" Akan tetapi setiap orang mempunyai
senjatanya masing-masing yang istimewa, dari itu, tayhiap, tak
usahlah kau banyak usil! Sekarang ini sudah tidak siang lagi,
aku minta silahkan kau lekas mulai!"
Dalam mendongkolnya, Kui Ciang kata di dalam hari, "Ingin
aku lihat bagaimana kau mencabut pedangmu!"
Lantas ia menyerang dengan tipu silat "Burung walet
menggaris pasir," mencari dada lawan itu. Begitu sinar putih
berkelebat, begitu ujung pedang tiba pada sasarannya.
Semua hadirin terperanjat. Semestinya Khong Khong Jie tak
mempunyai ketika lagi akan akan menghunus pedangnya,
pedang yang tak tahu di mana disimpannya, sebab tergantung
di pinggang tidak, terlibat tidak juga. Bahkan ada orang-orang
yang punggungnya mengeluarkan keringat dingin!
Justeru orang terperanjat itu, justeru orang mendengar
tertawanya Khong Khong Jie, yang terus berkata nyaring,
"Kehormatan mesti saling balas, ada pergi ada datang! Aku pun
hendak menggunai senjataku!"
Sebat luar biasa, pahlawannya Ong Pek Thong ini membalik
tangannya yang kanan, maka itu terdengarlah satu suara
nyaring, dari beradunya pedang, atas mana Toan Kui Ciang
terpaksa mesti mundur tiga tindak, sedang tubuhnya
terhuyung, sebisanya dia mencoba mempertahankannya.
Baru sekaranglah orang melihat di tangan Khong Khong Jie
ada senjatanya, sebilah pedang yang sangat pendek, yang lebih
pendek daripada pisau belati yang umum. Senjata itu
disembunyikan di dalam tangan baju, mata liehay dari Kui
Ciang sampai tak melihatnya, baru setelah diserang, senjata itu
dikeluarkan dipakai menangkis, demikian hebat, hingga
bentrokan membuat si penyerang yang terpental mundur
sendirinya. Tangkisan juga dilakukan disaat ujung pedang
hampir mengenai dada.
Pedang Khong Khong Jie itu bersinar biru, tajamnya luar
biasa. Pedang Kui Ciang pedang mustika, akan tetapi sekarang,
bentrok dengan pedang lawan, pedang itu gompal sedikit,
hingga dia menjadi terkejut.
Menyusul bentrokan itu, selagi tubuh Kui Ciang belum berdiri
tegak, tubuh Khong Khong Jie sudah melesat maju. Ia hendak
membalas menyerang, kehendak itu diwujudkan segera.
Pedangnya yang tajam itu sudah lantas berkelebat di muka
lawannya. Kui Ciang bukan musuh ringan walaupun barusan ia telah
terpental mundur, kendati belum sempat memasang kudakuda,
ia dapat mundur setindak, untuk mengelit diri. Setelah
mana, tak kalah sebarnya, ia menyerang pula dengan tipu silat
"Lie Kong memanah batu". Hanyalah ini serangan menabas
lengan lawan, maka juga itu menyerupai serangan untuk
memecah tikaman lawan. ^
Khong Khong Jie memuji, "Hebat! Pantaslah orang
memperoleh gelaran tayhiap!"
Ia lantas menarik pulang lengannya, tubuhnya terus
berlompat ke samping kiri, dengan begitu sembari berlompat
itu, ia juga dapat meneruskan menyerang pula, mengarah jalan
darah jie-khie di iga lawan.
Orang semua kagum. Itulah serangan saling balas yang
dahsyat sekali. Kui Ciang kena terdesak, umpama kata ia "sukar bernapas".
Ia mundur tetapi ia tidak menjadi gugup, gerakan pedangnya
tidak menjadi kalut, karena mana ia dapat membela diri sambil
menyerang juga. Cuma ia mesti main mundur.
Kalangan persilatan mengenal kata-kata "Satu dim pendek,
satu dim bahaya". Inilah tepat bagi Khong Khong Jie, yang
pedangnya sangat pendek itu. Meski pedangnya istimewa, ia
toh dapat mendesak lawannya, seorang tayhiap.
Pertempuran berlanjut terus. Sinar kedua pedang berkilauan,
bergeraknya sangat cepat. Kui Ciang terus terdesak tetapi tetap
tak menjadi kacau.
Lam Ce In yang gagah berdebaran hatinya menyaksikan
pertempuran itu.
"Jikalau Toan Tayhiap tidak sangat tabah hati, tentulah
siang-siang ia telah kena dipecundangi..." ia pikir.
Ketika Kui Ciang menempur Ceng Ceng Jie, selama setengah
jam belum pernah ia mundur satu tindak juga, akan tetapi kali
ini menghadapi Khong Khong Jie, suheng atau kakak
seperguruan Ceng Ceng Jie, dengan lantas ia dipaksa mundur,
bahkan tubuhnya terpelanting terhuyung, dari situ orang bisa
menerka liehaynya Khong Khong Jie. Maka juga orang
mengawasi pertempuran dengan hati tegang.
Kui Ciang mesti mundur atau berkelit ke kiri dan kanan. Tak
juga ia dapat lolos dari serangan bertubi-tubi dari lawannya.
Pedang pendek Khong Khong Jie bergerak sangat cepat dan
liehay, selalu mengancam di depan, kiri atau kanan, menabas
atau menikam. Touw Sian Nio memasang mata, akhirnya ia menyiapkan
senjata rahasianya.
Dalam hal kepandaian menggunai senjata rahasia, Sian Nio
sudah mencapai puncak kemahiran. Ia dapat menyerang
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berbareng dengan dua-dua tangannya, tangan yang kanan
dengan tujuh biji kim-wan atau "Peluru emas," tangan yang kiri
dengan seraup bwe-hoa-ciam, jarum mirip bunga Bwe.
Demikian, apabila si nyonya telah melihat saatnya, tanpa
ayal lagi ia melakukan serangannya yang berbahaya itu. Tujuh
kim-wan mencari tujuh jalan darah lawan dan seraup jarum
menuju langsung ke muka.
Karena jarak mereka berdua dekat, dapat dimengerti lebih
hebatnya lagi serangan itu.
" Orang terkejut. Umumnya mereka menganggap Khong
Khong Jie terancam bahaya hebat. Paling juga dia dapat
menyingkir dari peluru, tidak dari jarum rahasia.
Atas serangan itu, Khong Khong Jie berseru, "Senjata rahasia
yang liehay!" Segera pedangnya berkelebat dan tubuhnya mencelat.
Segera terdengar suara nyaring dari beradunya senjata-senjata
tajam berulang-ulang, disusul dengan jeritan, "Aduh!" tiga kali
yang datang dari sisi gelanggang pertempuran.
Tujuh Kim-wan kena tersampok mental.
Touw Leng Ciok kaget. Dengan tameng kim-pay, ia
menyampok sebuah peluru yang meletik ke arahnya. Touw
Leng Hu dan Touw Leng Cek, yang berada di kiri dan kanannya
tidak terluka, tetapi adik mereka yang nomor lima, Touw Leng
Tam, terkena tulang keringnya. Dua kurban lainnya, ialah dua
tauw-bak, yang terhajar embun-embunannya.
Habis menyelamatkan diri, Khong Khong Jie tertawa.
"Jarum juga ingin aku kembalikan pada kamu!" katanya,
yang lantas menggeraki pedangnya.
Untuk herannya semua orang, seraup jarum bwe-hoa-ciam
berkumpul menjadi satu di ujung pedang pendek, seperti juga
ujung pedang itu ada besi beraninya. Ketika pedang dikibaskan,
semua jarum itu buyar hancur, terbang seperti bunga rontok.
Touw Sian Nio gagah dan tabah tapi toh dia kaget sekali,
hingga mukanya menjadi pucat. Tak ia sangka musuh demikian
liehay. Habis itu, Khong Khong Jie berseru pula, "Toan Hujin, aku
telah belajar kenal dengan pelbagai senjata rahasiamu, maka
sekarang masih ada ilmu golokmu Yu-sin Pat-kwa-too! Aku kira
toh kau tak berkeberatari untuk memberi pelajaran itu padaku!"
Selagi berkata itu, Khong Khong Jie tidak berdiam saja, terus
ia menempur Kui Ciang, terus ia mendesak mundur lawannya
itu, sampai Kui Ciang mundur lagi tiga tindak.
Touw Sian Nio menyambuti, "Baiklah, kami berdua suami
isteri akan melayani kau!"
Lantas ia mengeluarkan sepasang golok tipis dan lemas, liuyaptoo, untuk lompat menyerang. Goloknya itu satu panjang,
satu lagi pendek.
Sian Nio sangat disayang ayahnya, ia pun cerdas dan rajin,
maka ia berhasil mewariskan semua kepandaian ayahnya itu,
dan ilmu golok Pat-kwa itu, Yu-sin Pat-kwa-too, merupakan
salah satu yang istimewa.
Khong Khong Jie ketahui tentang ilmu golok itu, dengan
berani ia menantangnya.
Sinar golok lantas berkeredepan mengurung lawan,
membantui Kui Ciang. Tubuhnya Sian Nio pun sebat sekali
mengimbangi bergeraknya golok itu. Maka celakalah kalau
orang kalah gesit melayaninya.
Dengan majunya isterinya, semangat Kui Ciang bertambah,
pedangnya lantas bergerak lebih hebat. Ia terdesak tapi tetap
ia tak dibikin kelabakan, ia dapat berlaku tabah dan sebat.
Segera juga Khong Khong Jie tak dapat mendesak lebih jauh
pada Kui Ciang. Dia mesti memecah perhatian, guna berjagajaga
dari kedua goloknya Sian Nio.
Kui Ciang berbesar hati tetapi berbareng ia merasa malu
sendirinya. Di dalam hatinya ia mengeluh, "Aku malu..."
Itulah sebab, sebagai tayhiap, seorang jago, ia mesti
menempur musuh dengan main keroyok! Sudah begitu, musuh
pun tetap tangguh!
Touw Leng Ciok senang melihat suami isteri itu telah turun
bersama menghalang Khong Khong Jie, akan tetapi lega
hatinya tidak lama atau mendadak ia menjadi terperanjat.
Itulah sebab dengan tiba-tiba Khong Khong Jie berseru
nyaring, sambil berseru, dia merubah siasat berkelahinya, dia
terus melakukan serangan pembalasan. Begitu hebat dia
mempergunakan pedang pendeknya, Kui Ciang dan isterinya
seperti terkurung sinar pedang.
Khong Khong Jie berlompatan gesit ke pelbagai penjuru
guna mengurung sepasang suami isteri itu.
Disampingnya pandai itu, Khong Khong Jie cerdas sekali.
Didalam tempo yang pendek ia telah memperhatikan ilmu golok
Sian Nio, habis mana, ia melakukan serangan membalasnya itu,
hingga ia segera menjadi si penyerang pula.
Ilmu golok Touw Sian Nio membutuhkan kelincahan tubuh,
supaya ia dapat bergerak dengan merdeka dan gesit ke empat
penjuru. Hal ini dapat diterka Khong Khong Jie, lantas Khong
Khong Jie mengatasinya.
Khong Khong Jie dapat melakukan itu karena ia menang
unggul dalam ilmu ringan tubuh. Bahkan selain Sian Nio,
pedang Kui Ciang turut kena dikekang oleh kesehatannya itu.
Di antara para hadirin, kecuali Lam Ce In dan Touw Leng
Ciok, tak ada yang lantas melihat perubahan itu. Di mata biasa,
mereka itu bertiga saling menyerang sama hebatnya. Orang
umumnya merasa tegang sendiri karena kehebatan
pertempuran itu.
"Inilah berbahaya," pikir Leng Ciok setelah ia menyaksikan
pula sekian lama. Ia tidak mau menanti ketika lagi, tanpa pikir banyak-banyak,
ia lantas bertindak. Mulanya ia melirik kepada saudarasaudaranya
dan mengedipi mata, habis itu ia berseru, "Ong
Cecu, mari kita membantu meramaikan!"
Lalu ia memutar kim-paynya dan tanpa menanti jawabannya
Ong Pek Thong, ia lompat menyerang saingan itu, yang diarah
batok kepalanya!.
Menyusuli gerakan kakaknya itu, Touw Leng Hu mengulur
tangannya yang panjang menyerang pada Ong Yan Ie!
Touw Leng Ciok menjadi tertua dari Touw-ke Ngo-houw "
Lima Harimau Keluarga Touw, dia pun menjadi pemimpin
Rimba Hijau, kepandaiannya dapat dimengerti, dia tak dapat
dipandang ringan, akan tetapi diserang hebat si nona, meski
dia tidak lantas terlukakan, dia toh terdesak mundur berulangulang.
Menampak demikian Touw Leng Hu lantas berseru, tak
menghiraukan balutan lukanya, ia maju sambil memutar
goloknya, guna menyerang nona itu.
Touw Leng Sin bersama Touw Leng Cek dan Touw Leng Tam
telah menurut buat, mereka juga menghunus senjatanya
masing-masing, serentak mereka maju mengepung puterinya
Ong Pek Thong. Ong Yan Ie benar-benar bernyali besar, bukannya dia
mundur atau berkuatir, dia justeru tertawa nyaring. Kata dia
dengan gembira, "Akan aku menemani beberapa paman Touw
ini main-main! Ayah, kau duduk saja menonton keramaian!"
Sembari berkata begitu, dia bekerja terus.
Dengan gerakan "Menunjuk langit menggaris bumi," Nona
Ong menikam Touw Leng Sin di kirinya, lalu ke kanan, dia
menabas kepada Touw Leng Tam.
Leng Tam masih dibalut kakinya, tulang keringnya bekas
dihajar peluru emas nyasar dari Sian Nio, karena itu
gerakannya tak sebat lagi, justeru itu si nona menyerang
dengan cepat luar biasa, segera dia menjerit keras dan
tubuhnya roboh terguling. Ujung pedang si nona berhasil
menabas dengkulnya.
Dengan robohnya ini satu penyerang, pengepungan menjadi
meninggalkan sebuah lowongan kosong.
Ong Pek Thong bertindak keluar, dengan angkuh dia duduk
di tengah-tengah Cie Gie Thia, ruang rapat. Itulah "Kursi
Kebesarannya" Touw Leng Ciok, kursi yang memakai alas kulit
harimau. Sembari duduk itu dia .tertawa terbahak-bahak, terus
dia berkata nyaring, "Inilah dia anak kerbau yang tak takut
harimau! Baiklah, ayahmu akan menonton keramaian ini! Anak
Yan, berhati-hatilah!"
Kui Ciang melihat kelima Harimau maju tanpa menghiraukan
lagi kehormatan Rimba Persilatan, ia menjadi masgul dan
menyesal, tidak ayal lagi ia mengibaskan pedangnya, untuk
lompat keluar kalangan, untuk terus berkata nyaring, "Khong
Khong Jie, aku menyerah kalah! Sian Nio, mari kita pergi!"
Sebenarnya, kalau mereka bertarung terus, suami isteri ini
masih dapat bertahan sekian lama, tetapi keadaan membikin
tayhiap itu putus asa. Maka ia mengambil keputusan itu tanpa
memperdulikan ia bakal ditertawakan orang atau tidak...
Hati Sian Nio gentar. Inilah ia tidak sangka. Tentu sekali, ia
lantas menjadi bingung. Ia harus turut suaminya itu atau tetap
membelai kakak-kakaknya"
Kelima kakak itu lagi menghadapi saat mati hidup!
Sebaliknya ia melihat suaminya sudah bertindak di ambang
pintu! Kalau ia tidak ikut suaminya itu maka putuslah cinta
kasih suami isteri yang sudah berjalan sepuluh tahun itu!
Mereka tentu akan berpisah buat selama-lamanya...
Khong Khong Jie tertawa terbahak. Dia menyimpan
pedangnya ke dalam sarungnya.
"Terima kasih yang kau suka mengalah!" katanya nyaring.
"Di dalam tempo tiga bulan, akan aku menantikan di kuil Ceng
Hong Koan di gunung Giok Sie San di kota Liang-ciu!
Sembarang waktu kamu suami isteri yang mulia dapat datang
untuk mengambil pulang anak kamu!"
Touw Sian Nio melengak. Dia memang telah keluar kata,
kalau dia kalah, dia tak bakal memperdulikan lagi urusan kakakTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
kakaknya, sekarang suaranya Khong Khong Jie memberi ingat
dan menyadarkan dia pada janjinya itu.
Dialah wanita jantan, dia menjunjung kehormatan dan
kepercayaan, tak dapat dia melanggar itu. Maka itu, setelah
berdiam sejenak, tak perduli hatinya nyeri, dia lantas
menyimpan sepasang goloknya, dengan tindakan limbung, dia
menyusul suaminya ke pintu. Dia berkepala pusing, matanya
berkunang-kunang. Sudah begitu, dia pun tak berani menoleh
untuk memandang lagi pada saudara-saudaranya.
Kui Ciang melihat isterinya terhuyung, ia lompat untuk
memegangi, maka dengan separuh dipepayang, Sian Nio turut
suaminya meninggalkan gelanggang, buat lari turun dari
gunung. Khong Khong Jie membiarkan orang berlalu, sambil tertawa
dia kata pada Ong Pek Thong, "Ong Toako, sekarang pun
datang ketikaku untuk menonton keramaian! Ha, ha! Bagus,
bagus, keponakanku!" Dia menyerukan Yan Ie, "Bagus ilmu
pedangmu! Aku lihat, tak usah sampai lagi sepuluh tahun, dia
pasti bakal menyandak ilmu pedangku!"
"Saudara, kau terlalu mengangkat tinggi, kau terlalu memuji
bocah itu!" menyambut Ong Pek Thong, tertawa. "Sebagai
paman, seharusnya saja kau mendidik lebih jauh kepada
keponakanmu itu!"
"Baik!" seru Khong Khong Jie, yang memberi janjinya. "Anak
ini Cuma kurang latihannya! Nah, lihatlah itu, jurus itu mestinya
dikendorkan sedikit, dia mesti menanti sampai lawan
menyerang, baru dia menabas lengannya! Nah, itu pun terlalu
ke kanan! Oh, lekas, lekas gunai jurus "Bintang melayanglayang"!
Ah, sayang, sayang!"
Khong Khong Jie bersama Ong Pek Thong duduk
berhadapan, berbicara dengan asyik, seperti juga di sisi mereka
tidak ada or^ng lain, sedang sebenarnya di dekat mereka
orang lagi bertempur maty-matian. Mereka menganggap
pertempuran itu bagaikan permainan. Si nona, dengan
mendapat pelbagai petunjuk dari samping, berkelahi semakin
hebat. Sebenarnya, persaudaraan Touw, dengan lima lawan satu,
masih berkelebihan tenaga untuk mengalahkan si nona, tak
perduli mereka kekurangan Touw Leng Kam dan Touw Leng Hu
yang, karena memandang enteng kepada musuh, sudah kutung
sebelah tangannya, hingga mereka berempat memiliki tinggal
tujuh buah lengannya, hanya sayang setelah berlalunya Toan
Kui Ciang suami isteri, orang-orang Touw Ke Ce telah
kehilangan semangatnya.
Kempat saudara itu, dengan beradanya Khong Khong Jie,
telah gentar hatinya, apapula jago itu tak hentinya memberi
petunjuk pada nona lawannya.
Touw Leng Ciok berkuatir dan bergusar sekali, hingga ia
menjadi nekad, sambil mengertak gigi, dengan sepasang paynya
ia melakukan serangan mati-matian, untuk mati bersama
dengan musuhnya. Ia menerjang berikut tubuhnya yang
ditubrukkan. Ia bertubuh tinggi dan besar, berikut pay-nya itu,
ia bagaikan bukit roboh...
Melihat cara menyerang hebat itu, Khong Khong Jie berkata,
"Hok-te Keng-liong-kiam!"
Si nona sudah lantas menjatuhkan dirinya, begitu jatuh,
pedangnya menyambar.
Dengan satu suara keras, kaki kiri Touw Leng Ciok sebatas
dengkul kena terbabat putus. Liehay sekali si nona
melaksanakan petunjuk itu, petunjuk tipu silat pedang "Naga
mendekam". Habis itu si nona berlompat bangun dengan
gerakan "Le-hie Ta-teng" atau "Ikan gabus meletik". Berbareng
dengan bangun berdiri itu, selagi lawannya kaget dan
kesakitan, ia menendang terlepas sebatang golok lawannya itu.
Sembari tertawa, ia tanya ayahnya, "Ayah, biarkan mulut
hidup atau jangan?"
Itulah pertanyaan yang berarti musuh harus dibiarkan hidup
atau tidak... Belum sempat Ong Pek Thong menjawab puterinya itu,
Touw Leng Ciok sudah berteriak terhadapnya, "Ong Pek Thong,
meskipun aku menjadi hantu, akan aku balas sakit hati ini! Tak
Nanti aku memohon ampun!"
Habis berseru itu, mendadak dengan pay-nya " kim-pay " ia
menghajar kepalanya sendiri!
Maka pecahlah kepala jago Touw Ke Ce Ini, tubuhnya
terguling, nyawanya terbang melayang...
Tiat Mo Lek menyaksikan ayah angkat itu terbinasa, hatinya
terasakan hancur. Maka ia pun menjadi nekad. Dengan lantas
ia mencabut goloknya, untuk maju menerjang, guna
membunuh si nona.
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hanya baru sebelah kakinya bertindak atau sebelah
lengannya menjadi kaku sendirinya, terus disusul dengan lunak
lemas seluruh tubuhnya, hingga ia mesti berdiam saja tak
dapat bergerak.
Ketika ia menoleh, karena ia tahu orang telah totok padanya,
ia melihat Lam Ce In lagi mencekal lengannya yang kaku itu
dan Ce In terus berbisik padanya, "Mo Lek, sekali-kali jangan
kau turun tangan!"
Baru setelah itu terdengar jawaban Ong Pek Thong kepada
anaknya, "Melepas harimau mudah, menangkapnya sukar,
maka itu karena lima Harimau dari Touw Ke Ce tak takluk pada
kami Keluarga Ong, haruslah membabat rumput berikut
akarnya, satu juga tak dapat ampun!"
"Baik ayah, aku turut perintah!" berseru si nona dengan
penyahutannya tanda mengerti, terus dia menghadapi Touw
Leng Ciok, untuk berkata sambil tertawa manis, "Paman Touw,
aku telah menerima perintah ayahku, hari ini ingin aku memberi
selamat jalan kepadamu!"
Kata-kata itu ditutup dengan satu tabasan, maka Leng Ciok
roboh tanpa ampun pula.
Matanya Touw Leng Hu menjadi merah, dalam gusarnya itu,
ia berlompat kepada si nona. Nona itu sebaliknya sangat
waspada dan gesit, ia mendahului menyambut dengan
tikamannya ke ulu hati di mana pedangnya nancap!
Touw Leng Sin menjadi nekad. Didalam ilmu silat, dia Cuma
dibawahan kakak tuanya. Dia berteriak, "Ong Pek Thong, akan
aku adu jiwaku denganmu!"
Tanpa menanti si nona menerjang kepadanya, dia lompat
kepada Ong Pek Thong, guna menghajarnya dengan
tongkatnya. Si nona sebaliknya sudah lantas bergerak, guna
menyusul padanya. Sebat sekali nona itu mencabut pedangnya
dan berlompat. Ong Pek Thong sendiri tertawa berkakak dan menjawab,
"Touw Lao-jie, aku masih ingin hidup beberapa tahun lagi! Baik
kau berangkat terlebih dulu supaya kau dapat berkumpul
bersama saudara-saudaramu!"
Touw Leng Sin tidak menjawab ejekan itu, tongkatnya sudah
turun ke arah musuh, atau mendadak punggungnya terasa
dingin dan sakit, karena pedang si nona sudah nancap di
punggungnya itu!
Lam Ce In menyaksikan kejadian itu, ia anggap si nona
terlalu telengas, maka juga meski ia sudah menyatakan tidak
campur urusan kedua keluarga itu, ia panas hatinya, ia gusar
sekali. Ketika itu di dalam ruang itu ada belasan tauwbak Touw Ke
Ce, semuanya pengikut-pengikut lama Keluarga Touw, mereka
semua setia kepada pemimpin mereka, maka dari itu,"semua
mata mereka menjadi merah, tanpa perdulikan apa lagi,
mereka maju menyerang nona itu.
Si nona menyambut belasan penyerangnya. Ia menunjuki
kelincahannya. Bagaikan cecapung memain di air atau kupukupu
beterbangan di antara bunga, ia berputaran disekitar
lawan-lawannya, atau nyeplos molos di sisi mereka itu.
Setiap ia menyerang, ia mengarah bagian-bagian anggauta
yang berbahaya, maka selang sekian lama, sudah tujuh atau
delapan musuh yang roboh terluka.
Ong Pek Thong mengerutkan alis memandang pertempuran
macam itu, kata dia, "Touw Lao-toa memerintahkan orangorang
semacam ini maju menjual jiwa untuknya, sungguh tak
kecewa dia menjadi kepala Rimba Hijau, dia menyebabkan
orang kagum terhadapnya! Dengan begini bolehlah dia nanti
mati dengan mata meram!"
Ce In mengertak gigi, ia menahan diri sebisa-bisa. Ia kata
berulang-ulang dalam hatinya, "Tak dapat aku turut terlibat
dalam arus mata air ini! Tak dapat aku turut terlibat dalam arus
mata air ini! Sekalipun untuk Tiat Mo Lek, tidak dapat aku kena
terlibat arus mata air ini!"
Lantas ia menarik tangannya Mo Lek, buat diajak pergi dari
tempat yang keruh itu.
Tiba-tiba satu sinar pedang berkelebat dan seorang nona
menegur bengis, "Mau pergi kemana?"
Pedang itu menyambar dengan satu tipu silat yang
berbahaya kepada Lam Pat.
Ce In berkeliat, dengan mengangkat tangannya, ia menekan
pedang itu. Si nona terperanjat hingga dia melengak. Dia merasakan
telapakannya panas akibat tekanan atau tolakan itu. Ketika ini
digunai Ce In mengajak Mo Lek berjalan terus.
"Kau siapa?" si nona membentak setelah dia sadar. Kembali
dia menyerang dengan pedangnya yang liehay itu. Kali ini dia
menggunai tikaman "Bianglala putih menutupi matahari".
Karena Ce In sudah lewat, dia menikam punggung orang she
Lam itu. Ce In ketahui datangnya serangan, ia menangkis ke
belakang. Orang segera mendengar suara saling susul, "Sret!" dan
"Tiang!"
Itulah suara dari robeknya baju Ce In dan mentalnya pedang
si nona. Tangkisan Ce In sedikit terlambat tapi toh masih
mengenai sasarannya.
Si nona terkejut. Pedangnya tersampok hampir terlepas. Tapi
ia tidak menjadi takut, bahkan tanpa bersangsi ia lompat lebih
jauh, guna melewati Ce In berdua, guna menghadang pula.
Ia tertawa dan kata, "Aku tidak sangka paman Touw dapat
menyembunyikan seorang yang liehay! Beritahukan namamu,
lantas kita mencoba-coba pula!"
Ce In menghela napas dalam hatinya. Ia pikir, "Dia masih
begini muda tetapi dia sudah telengas sekali, aku kuatir
dibelakang hari dunia Rimba Persilatan bakal tambah dengan
satu hantu baru..."
"Eh, kenapa kau tidak mau bicara?" si nona menegur
kembali sambil tertawa. "Apakah kau jeri terhadap paman
Khong Khong Jie itu" Kalau benar begitu, jangan kau kuatir!
Aku tak usah dibantu dia! Sebenarnya siapakah kau?"
Ce In melintangi pedang di depan dadanya.
"Aku Lam Ce In dari Gui-ciu!" sahutnya. "Aku mengantarkan
Toan Tayhiap datang ke mari, aku bukan bala bantuan yang
diundang Keluarga Touw! Aku juga tidak memikir mencampuri
keruwetan kamu kedua keluarga. Jikalau nona berkukuh
hendak memberi pengajaran kepadaku, nah, terpaksa aku si
orang she In akan menemani juga padamu!"
Mendengar itu, Ong Pek Thong sudah lantas berlompat
bangun sambil berseru. Dia pun kata, "Oh, kiranya Lam
Tayhiap! Anak Yan, jangan kurang ajar!"
Tapi si nona menanya, "Jadinya kaulah yang telah melukai
kakakku" Ayah...!"
Dia seperti memohon ayahnya mengijinkannya turun tangan
Ong Pek Thong mendengar panggilan "Ayah" itu, ia
mengasih dengar suaranya yang bengis, "Anak Yan, kau
kembali! Jangan rewel!"
Ia lantas bangun, untuk lekas memberi hormat pada Ce In.
Ia kata, "Kemarin ini anakku tak tahu apa-apa, dia telah berlaku
kurang hormat kepada kau, tayhiap, untuk itu aku minta
sukalah kau memberi maaf."
Sikap itu halus dan hormat, beda dengan sikapnya
menghadapi Keluarga Touw. Mau atau tidak, Ce In menjadi
heran. Dalam dunia Kang Ouw, "Muka" adalah soal paling penting.
Maka disana ada pepatah, "Orang menghormati orang satu
tombak". Maka itu Ce In, walaupun ia tak puas, ia mesti
membalas hormatnya Pek Thong.
Ia kata, "Aku si orang she Lam tak ketahui pemuda itu ialah
putera Ong Cecu, aku menyesal, harap maaf!"
Ia hanya hening sejenak, lantas ia menambahkan, "Aku
datang bersama Toan Tayhiap, aku harus pergi bersama dia,
karena itu apakah cecu dapat mengijinkan aku berlalu?"
Ong Pek Thong tertawa.
"Karena Lam Tayhiap bukan orang Touw Ke Ce, sudah tentu
kau * tidak mempunyai sangkutan dengan urusan kita ini,"
katanya. "Mana aku berani menahan tayhiap?"
Ce In luas pergaulannya, tak kalah dengan terkenalnya Toan
Kui Ciang, sedang gurunya, Mo Keng Lojin, menjadi satu di
antara Bu Lim Sam Lo, Tiga Tertua Rimba Persilatan, yang ilmu
silatnya tak tahu orang dimana batasnya.
Ong Pek Thong ketahui itu, maka Pek Thong suka memberi
muka. Ia mengangguk.
"Kalau begitu, terima kasih!" kata Ce In.
Ia lantas menarik tangannya Tiat Mo Lek, buat diajak pergi
bersama. "Aku minta anak muda ini ditinggalkan!" mendadak Pek
Thong bilang. Ce Lam terkejut.
"Dia juga bukan orang Touw Ke Ce!" ia kata cepat.
"Bukankah dia yang bernama Mo Lek, anaknya Tiat Kun
Lun?" Pek Thong tanya. "Aku dengar kabar dia menjadi besar di
rumah Keluarga Touw."
"Tidak salah, dia memang menjadi besar di Touw Ke Ce,"
sahut Ce Lam. "Meski demikian, dia bukannya murid keluarga
Touw. Aku minta sukalah cecu melepaskannya."
Buat guna Tiat Mo Lek, inilah yang pertama kali Ce In minta
kebijaksanaan orang.
Tiat Mo Lek telah ditotok urat gagunya oleh Ce In, tidak
dapat dia bicara, meski demikian, matanya masih melek, maka
itu dia mengawasi Ong Pek Thong dengan sorot mata yang
bengis. Ong Pek Thong tertawa tawar.
"Lam Tayhiap," katanya, "Setelah kau ketahui asal-usul dia,
mustahil kau tidak ketahui juga bahwa dialah anak angkat dari
Touw Lao-toa" Karena itu terang dia menjadi anggauta
Keluarga Touw."
"Bocah itu bernyali sangat besar!" Khong Khong Jie campur
bicara. Ia bicara dengan Ong Pek Thong. "Kau lihat bagaimana
dia memandang kau dengan sinar matanya gusar! Rupanya dia
membenci kau sampai di dalam sumsumnya!"
"Hm!" Pek Thong mengasih dengar ejekannya.
"Coba dengar apa kata dia!" kata Khong Khong Jie pula.
Terus dia menyentil dengan dua jeriji tangannya, memetilkan
sebuah thie-lian-cie atau biji teratai besi dengan apa dia
menotok bebas pada Tiat Mo Lek.
Tiat Mo Lek memang gusar sekali, maka juga begitu dia
bebas, begitu dia membentak, "Ong Pek Thong, jikalau kau
takut aku menuntut balas nanti, sekarang lekas kau bunuh
aku!" Ce In kuatir anak itu menerjang, ia mencekal keras
tangannya. "Ong Toako, bocah ini benar-benar pandai bicara!" kata
Khong Khong Jie pula. "Jikalau kau tidak membiarkannya dia
pergi, benar-benar kelihatannya kau jeri terhadapnya."
Ong Pek Thong habis daya. Dia mengulapkan tangannya.
"Baik, kau pergilah!" katanya. "Akan aku menunggu kau
untuk kau nanti mencari balas!"
Ce In lantas tarik tangan bocah itu buat diajak berlalu dari
pintu benteng. Dimana-mana di atas gunung ia melihat banyak
liauwlo, yaitu tentara Touw Ke Ce. Merekalah semua liauwlo
yang tak sudi menakluk pada pihak Ong, mereka pada pergi
mencari jalan hidup sendiri.
Dengan terus memegangi tangan Mo Lek, Ce In berlari-lari
sampai belasan lie. Mereka meninggalkan jauh kawanan liauwlo
di belakang mereka, tetapi mereka tidak dapat melihat Toan
Kui Ciang. Akhirnya Mo Lek berhenti lari, di terus menangis.
Ce In tahu orang sangat bergusar dan berduka, ia
membiarkan, baru setelah lewat sekian lama, ia kata sabar,
"Ayah angkatmu sekeluarga, semua orang-orang yang
hidupnya di ujung golok, maka juga, kalau bukan mereka yang
membunuh orang, orang lain yang membunuhnya. Karena itu
kau harus dapat mengerti dan membuka pikiranmu hingga
lapang." ---ooo0dw0ooo--Jilid 9 "Meski demikian, tak selayaknya mereka terbinasa di
tangannya si bangsat tua Ong Pek Thong ayah dan anak!"
berkata Mo Lek sengit. "Kau lihat kekejaman mereka hari ini!
Jikalau mereka menjadi kepala Rimba Hijau, pasti mereka bakal
jauh terlebih kejam daripada ayah angkatku itu!" Ce In
menghela napas.
"Di dalam Rimba Hijau itu, ada berapa banyak orang yang
dapat dibilang hiap-too?" ia tanya.
Ia menyebut "Hiap-Too" atau penjahat budiman.
"Ayahmu terhitung satu di antaranya, juga Koay Ma Yauw
dari kota Thong-ciu. Yang lain-lainnya sulit untuk
membilangnya. Aku beri ingat kepada kau baiklah peristiwa hari
ini kau anggap sebagai satu impian jahat saja, setelah kau
sadar, habislah sudah. Dan sejak hari ini kau juga baik jangan
hidup pula di dalam Rimba Hijau!"
"Ayah angkatku melepas budi merawat dan mendidik, aku
sepuluh tahun lamanya," jawab Mo Lek, "Dapatkah karenanya
sakit hati ini tak usah dibalas?"
Ce In tahu orang masih panas hati, mengertilah ia nasehat
lebih jauh tak ada faedahnya, maka ia kata, "Jikalau kau
berniat mencari balas maka sudah selayaknya kau lebih-lebih
menyayangi dirimu! Barusan Ong Pek Thong melepaskan kau
bukan karena hatinya yang baik, dari itu baiklah kau lekas-lekas
menyingkir jauh dari sini."
Mo Lek, yang tadinya berduduk, berjingkrak bangun. Ia
menepas kering air matanya.
"Paman Lam, banyak yang kau ucapkan barusan, cuma ada
beberapa kata-kata yang masuk dalam otakku!" kata ia. "Aku
biasa omong terus terang, kau tidak gusar padaku, bukan?"
Mendengar itu, di dalam hatinya Ce In menghela napas dan
pikir, "Ini macam sakit hati dan balas membalas dunia Rimba
Hijau, sampai kapan sampai diakhirnya?"
Ia menjawab, "Kau berhati besar dan keras, itulah sifatnya
seorang gagah! Tapi keras itu mudah patah, dari itu, kekerasan
mesti dipakai pada tempatnya. Ah...! Aku tahu, kata-kataku ini
sekarang ini pasti kau tak dapat terima, dari itu baiklah kita
tunggu sampai beberapa tahun lagi, umpama kata kita dapat
bertemu pula, itu waktu barulah aku mau bicara secara
perlahan-lahan dengan kau. Sekarang mari kita cari dulu
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Paman Touw-mu itu!"
Mo Lek menurut, ia mengikut.
Jalan selintasan, mereka berpapasan dengan satu pasukan
liauwlo yang mengibarkan bendera dengan sulaman huruf
"Ong" dan di muka barisan itu nampak puteranya Ong Pek
Thong duduk di atas kudanya dengan romannya sangat puas,
cuma mukanya bengkak bengap, rupanya dia bekas habis
berkelahi. Sebenarnya pemuda itu datang bersama barisannya guna
merampas Touw Ke Ce, barusan di tengah jalan dia bertemu
Toan Kui Ciang suami isteri, oleh Touw Sian Nio dia diberi
persen sebutir peluru panah, siapa tahu sekarang ini dia
berpapasan pula dengan Lam Ce In dan Tiat Mo Lek.
Dia menjadi terperanjat. Dalam herannya dia berpikir,
"Bagaimana Khong Khong Jie" Kenapa mereka semua dibiarkan
lolos?" Tauwbak yang berada paling depan melihat Mo Lek, yang dia
kenali, dia majukan kudanya untuk menghampirkan, guna
menangkap anak muda itu.
Mo Lek gusar, ia pun maju sambil membentak.
"Jangan!" teriak Ce In, yang hendak mencegah.
Tapi si tauwbak sudah tiba dan sudah lantas menyerang
dengan tombaknya, atas mana Mo Lek tangkap senjatanya itu,
terus ditarik, maka robohlah dia. Terus Mo Lek mengayun
tombak orang, yang ia dapat rampas itu, kalau tidak ada
cegahan Ce In, mungkin tubuhnya sudah tertancap di tanah
tertusuk tombaknya itu sendiri.
Ce In segera menyerukan si pemimpin pasukan berandal itu,
"Ong Siauw-cecu, kau mau apa" Apakah kau ingin bertanding
pula dengan aku si orang she Lam?"
Anak muda itu, yang berseragam kuning, melihat Ce In
berdua, lantas tertawa lebar. ^
Mo Lek gusar. "Jangan jumawa!" dia membentak. "Kamu juga cuma
mengandal pada Khong Khong Jie!"
Anak muda itu tidak meladeni bicara.
"Bukankah ayahku yang melepaskan kamu?" dia tanya.
Dia menanya begitu karena dia melihat dandanan Ce In dan
Mo Lek berdua rapih dan bersih, tak ada tanda-tandanya
mereka terluka. Kalau mereka itu menempur Khong Khong Jie,
tidak nanti mereka dapat mundur dengan tubuh utuh.
Mukanya Ce In merah. "Kalau benar, bagaimana?" ia tanya. "Apakah kau tidak puas
dan hendak menahan kami?"
Pemuda berbaju kuning itu tertawa.
"Aku panglima pecundang, tak dapat aku bicara dari hal
kegagahan," sahutnya terus terang, tetapi nada kejumawaan.
"Tapi kamu juga jangan berlagak gagah di depanku! Karena
ayahku sudah melepaskan, membiarkan kamu turun gunung,
maka kamu silahkan pergilah!"
Pemuda itu menggeraki leng-kie, bendera titahnya, maka
barisannya lantas bergerak membuka jalan ke kiri dan kanan.
Lam Ce In benci anak muda ini. Rasa benci itu mulai sejak
pertama kali ia menemuinya. Sekarang ia mendengar suara
orang, ia menyaksikan lagak tengiknya itu, ia gusar sekali.
Hampir ia umbar amarahnya tatkala ia ingat, "Baru saja aku
nasehati Mo Lek jangan sembrono, kenapa kau melupai itu?"
Maka ia lantas mengendalikan diri. Dengan menuntun tangan
Mo Lek, ia lantas berjalan pergi.
Mereka terus berjalan cepat. Selang belasan lie, mata Ce In
yang tajam melihat dua orang di bawahnya sebuah pohon
besar. Bahkan ia mengenali Toan Kui Ciang beserta isteri.
"Toako! Toako!" ia lantas memanggil. "Siauwte bersama Mo
Lek di sini!" Kui Ciang menyahuti, suaranya tapi dalam.
Touw Sian Nio berdiam saja, sinar matanya guram. Ia baru
seperti orang mendusin ketika Mo Lek, yang lari ke arahnya,
sudah lantas menangis. Tubuhnya terus menggigil, bergemetar
keras. "Bagaimana?" tanya dia. "Mereka... mereka..."
Mo Lek menangis pula.
"Gie-hu telah menutup mata!" ia memberitahukan kematian
ayah angkatnya. "Kempat paman juga mati semuanya...! Kouwkouw,
kau... kau..."
Tubuh Sian Nio menggigil pula. Ia tahu Mo Lek minta ia
menuntut balas. "Apakah Khong Khong Jie yang menurunkan tangan jahat?"
ia tanya. "Bukan," sahut si bocah cepat. "Dialah anak perempuannya
Ong Pek Thong! Budak celaka itu jauh terlebih ganas dari
Khong Khong Jie! Kouw-kouw, kau..."
Mata Sian Nio berdiam, sinarnya dingin. Mo Lek melihat itu,
dia berdiam. Diluar dugaan, Sian Nio tidak menangis. Tapi sikapnya itu
membuktikan bahwa hatinya karam, bahwa ia berduka melebihi
daripada ia menangis menggerung-gerung.
Hanya lewat sekian lama, dia ngoceh sendiri, "Bagaimana
dapat aku bertemu sekalian kakakku itu di alam baka..." Kui
Ciang... Kui Ciang..."
"Sian Nio," menyahut sang suami, berduka bukan main,
"Didalam lain urusan aku selalu bersedia untukmu, hanya
didalam ini urusan, tak dapat aku berbuat apa-apa."
Sepasang suami isteri ini telah mengenal baik diri masingmasing.
Kui Ciang tahu apa yang dipikir dan dikehendaki
isterinya, tetapi Sian Nio juga insaf, buat guna janjinya dengan
Khong Khong Jie, tidak dapat suami itu menuntut balas guna
kelima saudaranya itu.
Tiba-tiba Sian Nio mengangkat kepalanya.
"Engko!" ia memanggil suaminya. "Seumurku ini sekarang
aku cuma mau minta satu hal kepadamu. Inilah hal yang kau
pasti dapat lakukan."
"Apakah itu, adikku?"
"Selama di desa kau membuka rumah perguruan silat, kau
sebenarnya belum pernah menerima seorang murid yang sah,"
berkata isteri itu, "Maka sekarang aku mau minta kau
menerima dan mengarlgkat Mo Lek menjadi ahli warismu. Mo
Lek, apakah kau suka mengangkat kouwthio sebagai gurumu?"
Pertanyaan yang belakangan ini ditujukan kepada si bocah
she Tiat. Dua-dua Kui Ciang dan Mo Lek melengak. Hanya sebentar,
keduanya lantas dapat menerka hatinya Sian Nio.
Mo Lek sudah lantas menjatuhkan diri, berlutut di depan Kui
Ciang, untuk mengangguk-angguk. Ia mau menjalankan aturan
besar mengangkat guru. Untuk itu, ia mesti berlutut tiga kali
dan mengangguk sembilan kali.
Ia baru mengangguk satu kali ketika tiba-tiba; "Tahan dulu!"
kata Kui Ciang, yang terus mengasih bangun bocah itu.
"Bagaimana?" tanya Sian Nio heran. "Apakah kau tak sudi
terima dia menjadi muridmu?"
"Aku memikir untuk kebaikannya," menjawab Kui Ciang.
"Seharusnya dia mencari seorang guru yang jauh terlebih liehay
daripada aku."
"Kouwthio," berkata Mo Lek, "Kalau aku dapat mewariskan
ilmu pedangmu, aku sudah merasa puas." Kui Ciang tertawa
sedih. "Meski kau dapat mewariskan semua kepandaianku, kau
masih tidak dapat melawan Khong Khong Jie," ia kata. "Buat
apakah itu?"
"Tetapi," berkata Mo Lek, "Kalau itu dipakai melawan
Keluarga Ong ayah dan anak masih berlebihan. Aku percaya
Khong Khong Jie tidak bakal selamanya menjadi pelindung
keluarga itu!"
Kui Ciang dan isterinya sudah berjanji kepada Khong Khong
Jie untuk selanjutnya tidak campur lagi urusan kedua keluarga
Touw dan Ong, karena itu Sian Nio menghendaki Kui Ciang
menerima Mo Lek sebagai murid.
Ia mengharap bocah ini guna pembalasan sakit hati
keluarganya itu. Kui Ciang tidak mau campur urusan itu tetapi
di satu pihak ia berat terhadap isterinya, kedua ia pun
menyayangi si bocah yang bakatnya baik sekali. Maka ia mau
memikirkan suatu jalan sama tengah.
Sembari memegangi si bocah, Kui Ciang kata pada Ce In,
"Saudara Lam, kau ingin minta kau membawa Mo Lek ke Sui
Yang supaya dia dapat berguru kepada gurumu. Aku pun minta
kau sampaikan kepada gurumu itu supaya ia membuat
kecualian dengan menerima bocah ini."
"Semasa hidupnya Tiat Cecu, ia bersahabat rapat dengan
guruku," kata Ce In. "Guruku juga pernah memesan aku
mendengar-dengar kabar perihal Mo Lek. Maka itu, aku
percaya, permintaan kau ini bakal kesampaian."
Kui Ciang lantas kata pada Mo Lek, "Mo Lek, kita sudah
berdiam bersama sekian lama, kali ini kita bakal berpisahan,
benar atau tidak dapat menerima kau sebagai murid, akan
tetapi dapat aku menghadiahkan kau suatu persenan yang
tidak berarti, ini hanya cukup buat menandakan hati kami
suami isteri."
Berkata begitu, tayhiap ini menyerahkan kitab ilmu
pedangnya seraya ia menambahkan, "Inilah kitab pedang
warisan keluargaku yang aku tambahkan dengan ilmu pedang
lainnya yang aku telah kumpul selama dua puluh tahun, kau
ambillah. Telah aku ajarkan kau pelbagai keterangan penting
mengenai ilmu pedang, maka asal memahamkannya lebih jauh,
kau bakal memperoleh kemajuan pesat. Kau berbakat baik, kau
tidak akan nampak kesulitan."
Bocah itu kaget.
"Kouwthio!" katanya. "Ini... ini... mana dapat! Mana bisa aku
menerima warisan ilmu pedang keluargamu?"
"Tidak apa!" Kui Ciang mengasih keterangan. "Untukku, aku
sudah hafal di luar kepala isinya kitab ini, sedang sekarang ini
anakku masih terlalu kecil. Sekarang kau bawalah kitabku ini. Di
belakang hari, apabila anakku berhasil lolos dari bahaya dan dia
dapat berumur dewasa, kau dapat cari dia untuk
memulanginya. Untuk itu, tempomu masih banyak..."
"Anak tolol..." Sian Nio membujuk, "Di saat seperti ini buat
apa kau berkukuh pula" Kouwthio tidak mau terima kau sebagai
murid karena dia mau mengatur terlebih sempurna. Kau
terimalah, kalau nanti kau dapat belajar dengan baik, aku pun
sangat berterima kasih padamu."
Matanya Mo Lek menjadi basah dan merah, ia menyambuti
kitab itu, habis mana ia paykui terus hingga tiga kali. Itulah
tanda ia diterima sebagai separuh murid.
"Jangan kuatir, kouthio," kata ia, yang memberi janjinya,
"Tidak nanti Mo Lek mensia-siakan harapan kouwthio dan
kouw-kouw!"
Baru sekarang, Sian Nio mengasih lihat wajah yang se'dikit
terang, hingga ia dapat bersenyum. Katanya, "Kalau dia
berhasil mendapatkan pelajaran ilmu dalam dari Mo Keng Lojin
dan dia berhasil juga meyakinkan kitab ilmu pedang ini, taruh
kata belum tentu dia dapat mengalahkan Khong Khong Jie,
sedikitnya dia dapat adu jiwanya!"
"Saudara Lam," kemudian kata Kui Ciang pada Ce In,
"Selanjutnya aku serahkan Mo Lek kepadamu, aku harap kau
suka terus membantunya. Kau telah membatu aku, budimu
sangat besar, tak dapat aku lupakan itu. Di sini kita berpisahan
sekarang, aku harap kau baik-baik di jalan!"
Lam Ce In terharu, apapula ketika mereka berempat, dalam
dua rombongan, saling memberi hormat dan berpisahan. Kui
Ciang dan isterinya menuju ke Giok Sie San, Liang Ciu, buat
meminta pulang anak mereka.
IX 'T je Tn berdua Mo Lek tetap melakukan perjalanan cepat.
Orang she Lam itu kuatir Ong Pek Thong nanti merubah pikiran
dan mengirim orang untuk menyusul Mo Lek, itulah berbahaya.
Selang belasan lie, setelah cuaca mulai sore, mereka mampir
di sebuah warung teh di tepi jalanan, untuk dahar dan minum
sambil sekalian beristirahat.
Warung teh itu warung merangkap rumah makan. Ketika
masuk, mereka melihat di situ sudah ada dua orang yang
bertubuh besar, sedang di depan pekarangan ditambat dua
ekor kuda. "Kuda itu bukan sembarang kuda!" Mo Lek kata perlahan.
Meski begitu, dua orang itu dapat mendengar, keduanya
lantas menoleh. Lantas dua-duanya menjadi kaget, bahkan
yang satu sampai mengeluarkan seruan tertahan.
Mo Lek dan Ce In pun heran.
Dua orang itu dua opsirnya An Lok San hanya sekarang
mereka dandan sebagai rakyat jelata. Ce In kenali yang berseru
itu sebagai Thio Tiong Cie, satu di antara empat jagonya An
Lok San. Ia tidak kenal temannya, malam itu ia telah
menempurnya. Dalam pertempuran di istananya An Lok San dimana dengan
golok mustikanya ia melukai belasan Busu, Ce In telah
membuatnya dua orang ini seperti "pecah nyali," tidak heran
kalau sekarang, bertemu di sini, mereka itu kaget tidak terkira.
Thio Tiong Cie lantas berbangkit, untuk menghampirkan.
"Oh, Lam Tayhiap!" dia menyapa seraya membWri
hotmat. "Tayhiap baik?"
"Tak terluka tak terbinasa, kenapa aku tidak baik?" sahut Ce
In. "Kamu berdua juga baik, bukan?"
Kawannya Tiong Cie itu, pada malam itu, telah kena
dilukakan, sekarang ini lukanya itu baru saja sembuh, maka itu
dia likat sendirinya. Dia paksa bangun, untuk memberi hormat.
"Terima kasih tayhiap, aku baik-baik saja!" katanya.
"Malam itu 'kami bekerja karena kami menjalankan titah,"
kata pula Thio Tiong Cie, "Karena itu harap tayhiap suka
memaafkan kami!"
Ce In bersenyum, ia mengulapkan tangannya..
"Tidak apa!" sahutnya. "Silahkan duduk dan dahar terus!"
Mo Lek sebaliknya memandang mendelik kepada dua orang
itu. "Eh, kamu telah menyalin pakaian!" tegurnya. "Kamu tentu
hendak bekerja diam-diam untuk melakukan lagi suatu
kebusukan!"
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saudara kecil bergurau!" kata Thio Tiong Cie tertawa,
sedang air mukanya berubah saking kaget. "Kami dapat tugas
baru untuk melakukan penyelidikan, maka itu kami dandan
begini rupa. Ah, sudah bukan siang " lagi, kami perlu lekas
berangkat! Maaf, maaf, tak dapat kami menemani lebih lama
pula...!" "Tunggu sebentar!" kata Mo Lek. "Perkara apakah itu?"
"Perkara kecil, tak berarti," Tiong Cie menjawab, cepat. "Cuma
perkara dua dusun bertempur satu pada lain..."
"Sudah, Mo Lek," kata Ce In. "Kita jangan usilan! Biarkan
mereka pergi!" Ketika itu, kedua orang itu sudah keluar dan naik atas kuda
mereka, kata-katanya Ce In seperti pengampunan besar, maka
segera mereka mengaburkan kuda mereka masing-masing.
"Hm!" kata Mo Lek, masih penasaran. "Lagak mereka
mencurigai, pasti mereka bakal melakukan suatu yang busuk.
Mustahil perkara perkelahian desa dengan desa menyebabkan
merekalah yang diutus mengurusnya?"
"Kau benar, urusan memang mencurigai," kata Ce In. "Tapi
kita mana kebanyakan tempo untuk segala urusan di luaran
itu?" Mo Lek berdiam.
Ketika itu tukang warung, yang usianya sudah lanjut,
menghampirkan Ce In berdua. Dia memberi hormat. Dia kaget
mendengar orang menyebut "Lam Tayhiap".
Ce In minta arak dan daging.
"Apakah warungmu ini maju?" dia tanya.
"Terima kasih!" sahut tuan rumah. "Syukurlah dalam
beberapa hari ini banyak sekali tetamu yang berlalu lintas di
sini!" Mendengar itu, hati Ce In tergerak. "Tetamu-tetamu
macam apakah itu?" Mo Lek tanya.
Kembali tuan rumah tertawa.
"Kalau tidak salah, tuan-tuan juga orang-orang Kang Ouw!"
sahutnya. "Maaf, tuan-tuan, kami cuma berdagang," kami tidak
memperdulikan hal ihwalnya para tetamu. Hanya dekat di sana
ada bukit Hui Houw San serta para pemimpinnya sering
singgah di sini..."
Selagi tuan rumah ini bicara itu ada datang lagi dua
penunggang kuda, mereka itu tidak turun, mereka cuma
melemparkan uang, buat minta dua cangkir teh, yang mereka
minum sambil duduk terus di atas kuda mereka, setelah mana
mereka berlalu dengan cepat.
"Dua orang itu seperti aku kenali rupanya," kata Mo Lek
perlahan, "Sayang aku tak ingat lagi dimana pernah aku
melihat mereka."
Touw Ke Ce bany
Istana Pulau Es 8 Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Pendekar Sadis 18