Ceritasilat Novel Online

Kisah Bangsa Petualang 6

Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen Bagian 6


ak menerima kunjungan tetamu, dari itu
Mo Lek sering melihat banyak orang, cuma karena ia masih
terlalu kecil, ia tak ingat semua, ia melainkan memperhatikan
orang-orang yang menjadi sahabat kekal. Kalau yang datang
orang biasa saja, Leng Ciok tidak memanggil ia keluar buat
menemui. Tak lama datang pula beberapa rombongan tetamu,
kebanyakan yang membekal golok dan menunggang kuda,
tandanya merekalah orang-orang Rimba Hijau. Sebagai dua
yang tadi, mereka minum sebentar, lantas mereka pergi pula.
Hingga tuan rumah cuma melayani di muka pintu.
Akhirnya Ce In menjadi berpikir juga. Ia tanya dirinya
sendiri, kenapa muncul demikian banyak orang, waktu toh
sudah sore, dan mereka itu mau apa...
Lalu ada tetamu yang sikapnya ragu-ragu. Dia berhenti di
depan pintu, dengan bahasa rahasia, dia kata pada kawannya,
"Di depan itu jalan cagak dua! Bagaimana, kita pergi ke gunung
Hui Houw Wan atau ke selat Liong Bin Kok" Kedudukan Touw
Lo-toa sudah tak kokoh lagi, kalau kita tidak terima
undangannya pihak Ong, dibelakang hari kita; bisa dapat
susah..." Muka Mo Lek berubah sendirinya. Ce In melihat itu, ia
menekan tangan orang dan kata, "Dijaman ini ada banyak
sekali tukang jilat! Disaat ini, buat apa kau turuti hatimu?"
Mo Lek menurut, tetapi dia panggil tuan rumah untuk tanya
dimana pernahnya Liong Bin Kok.
"Liong Bin Kok?" tuan rumah baliki. "Buat apakah?" "Ada
sahabatku di sana," jawab si anak muda.
"Oh, begitu! Selat itu terpisah dua puluh lie di barat sini.
Lewat sedikit saja ialah Sam Yang Kong."
Sam Yang Kong yaitu tanjakan di mana Ce In pertama, kali
bertemu si pemuda berpakaian kuning.
Mo Lek mengerutkan alis. Selagi ia mau bicara pula,
telinganya mendengar ringkik kuda di luar warung. Lagi dua
orang tetamu baru tiba. Mereka tidak kesusu seperti
kebanyakan yang tadi, mereka masuk untuk memesan barang
hidangan. Dengan memandang matanya lebar-lebar, Mo Lek
mengawasi mereka itu. Mendadak ia bangun dari kursinya, ia
memapaki mereka, untuk lantas maju merangkul!
Orang itu kaget sekali, akan tetapi setelah ia melihat siapa
yang merangkul padanya, ia menjadi heran.
"Oh, kiranya Tiat Siauw-cecu!" serunya. "Kenapa siauw-cecu
berada di sini?"
"Su Toasiok, aku justeru hendak menanya kau!" kata Mo
Lek. "Kenapa kau berada di sini" Apakah kau mau pergi ke
Liong Bin Kok guna menjumpai dan menghormati pemimpin
yang baru?"
Orang yang dipanggil toasiok itu, paman, bernama Su Ciang.
Dialah sahabat dan kawan sekerja Keluarga Touw. Dialah
congkoan, atau pengurus dari pelbagai markas cabang
Keluarga Touw di wilayah kota Yu Ciu. Orang yang kedua ialah
kawannya, yang bernama Thia Thong,. yang menjadi orang
kepercayaannya Touw Leng Ciok.
"Ah, siauw-cecu, mengapa kau menanya begini?" kata Su
Ciang, masgul. "Mana dapat aku pergi ke Liong Bin Kok" Itu
namanya menyerah dan menakluk! Kami justeru mau pulang ke
Hui Houw San guna menyerep-nyerepi kabar! Siauw-cecu, kau
berada di sini, mungkin, mungkinkah urusan telah jadi rusak?"
Mo Lek berduka dan hatinya panas, tetapi dia kata,
"Sekarang ini benteng Hui Houw Ce telah dimusnahkan
Keluarga Ong! Ayah angkatku bersama kempat paman,
semuanya sudah tidak ada di dalam dunia...!"
Su Ciang kaget hingga ia menjublak.
"Sekarang bukan saatnya berduka!" kata Mo Lek. "Su
Toasiok, jikalau kau tidak sudi menakluk, tidak dapat kau
pulang ke Hui Houw Ce, sebaliknya kau lekas kembali, untuk
memberitahukan semua markas cabang supaya mereka
membubarkan diri masing-masing! Bilangi mereka, selama
Ki\nh lUmi'Mi /'i luitlutf
gunung-gunung masih hijau, maka tak usahlah kita takut
kehabisan kayu bakar! Toasiok mengerti sekarang?"
Su Ciang sadar.
"Ya, aku mengerti," sahutnya.
Lam Ce In mengagumi bocah itu. Pikirnya, "Mo Lek masih
sangat muda tetapi tindakannya ini tepat sekali, dia dapat
melihat jauh! Teranglah dia mengandung cita-cita untuk satu
kali membangun pula usaha Keluarga Touw. Dengan begini
celakalah dunia Rimba Hijau, dunia itu tak bakal mengalami
hari-hari yang tenang..."
Kemudian Mo Lek tanya orang she Su itu, "Keluarga Ong
mengundang pemimpin-pemimpin Rimba Hijau datang ke Liong
Bin Kok, apakah maksudnya" Tahukah kau, toasiok?"
"Sebenarnya juga, aku telah menerima surat undangannya,"
Su Ciang menjawab. "Tadinya Keluarga Ong berkuatir kita nanti
menyateroni benteng mereka, maka itu mereka membangun
benteng yang dapat bergerak, hingga tak tentu markasnya
yang tetap. Baru paling belakang mereka mengambil
kedudukan di lembah Liong Bin Kok itu. Di dalam surat
undangannya itu Keluarga Ong menyebutkan bahwa Hui Houw
Ce telah termusnahkan, maka mereka mengundang orang
datang menghadirkan pesta kemenangan. Pasti sekali semua
orang mengerti, namanya saja undangan, sebenarnya keluarga
itu menghendaki semua orang tunduk di bawah perintahnya!"
"Hm!" Mo Lek mengasih dengar ejekannya.
Dia mendongkol sekali. Dia mengerti sekarang apa perlunya
pihak Ong berpusat di Liong Bin Kok, yaitu untuk memudahkan
aksinya menumpas Hui Houw Ce, bahwa sekarang Ong Pek
Thong lagi berdaya menghapus pelbagai cabang Hui Houw Ce
itu. Tatkala itu matahari sudah doyong ke barat. Su Ciang, dan
Thia Thong tak dahar lama, mereka tidak mempunyai
kegembiraan, maka itu mereka lantas pamitan dari Mo Lek,
untuk berangkat pergi.
Tuan rumah terkejut mendapat tahu bocah itu sebenarnya
siauw-cecu, ketua muda, dari Hui Houw Ce. Dia lantas
menghampiri dan kata, "Oh, oh, kiranya siauw-cecu! Kalau
begitu siauw-cecu, suka aku memberi nasehat supaya lekaslekas
siauw-cecu berlalu dari sini! Tempat ini terpisah dekat
sekali dengan lembah Liong Bin Kok!"
"Kau jangan berkuatir untukku!" kata Mo Lek, dingin. "Aku
memang mau segera berangkat! Tidak nanti aku bikin kau kena
terembet-rembet!"
Ketika itu ada datang lagi dua penunggang kuda, masingmasing
datangnya dari timur dan barat jalan besar. Mereka itu
berbareng tiba di depan warung. Orang yang satu bertubuh
besar dan kekar, yang lainnya orang usia pertengahan, tak
berkumis dan mukanya putih.
Si orang bertubuh besar memberi hormat sambil menyapa
terlebih dulu, "Saudara Thouw, apakah kau hendak pergi ke
Liong Bin Kok?"
Orang usia pertengahan itu tertawa. Dia menjawab, "Oh,
tidak! * Akulah seorang bu beng siauw cut, Ong Pek Thong
mana kenal aku! Aku mau pergi ke dusun Han-chung."
"Saudara Thouw, kau pandai sekali membawa dirimu!" kata
si orang bertubuh besar dan kekar itu.
Inilah sebab si orang she Thouw menyebut dirinya "Bu Beng
Siauw Cut," yang berarti "Serdadu kecil yang tak mempunyai
nama". "Kau sangat berbahagia sebab kau merdeka, seorang diri
kau dapat pergi kemana kau suka, sama sekali tak ada
rintangannya. Sungguh aku kagum terhadapmu! Seharusnya
aku pun pergi ke Han-chung, guna menghaturkan selamat
panjang umur, akan tetapi aku telah membangun pusatku
dalam wilayah Yu Ciu tak dapat lagi aku tidak pergi ke Liong Bin
Kok." Mereka itu bicara dalam bahasa kaum Kang Ouw, Mo Lek
mengerti itu, maka tahulah ia yang si orang bertubuh besar dan
kekar itu seorang cecu, pemimpin rombongan, sedang si muka
putih ialah seorang Yu Hiap, petualang kaum Kang Ouw.
Orang usia pertengahan itu tertawa.
"Kalau begitu, baiklah kita masing-masing membawa diri kita
sendiri!" katanya. "Cuma, saudara Ciu, aku minta sukalah kau
tidak menyebut-nyebut namaku serta Han-chung, untuk tak
menerbitkan sesuatu gara-gara!"
"Aku mengerti!" sahut orang she Ciu itu, yang cuma singgah
untuk mencegluk secangkir teh, lantas dia berangkat pula
dengan cepat. Si orang she Touw dengan sabar menambat kudanya, baru
ia bertindak masuk ke dalam warung. Ia minta arak, untuk
terus diminum. Lam Ce In sudah mau berangkat ketika ia melihat orang she
Touw itu. Ia membatalkan niatnya, terus ia mengawasi. Ketika
itu, orang itu juga menoleh ke arahnya, hingga sinar mata
mereka bentrok.
"Oh, sungguh kebetulan!" kata keduanya hampir berbareng.
"Eh, saudara Lam Pat, mengapa kau berada di sini?" si orang
she Touw tanya.
"Thouw Shako, kenapa kau pun berada di sini?" tanya Ce In.
Demikian mereka saling menanya.
Habis itu Ce In kata pada kawannya, "Mo Lek, mari! Kau
kasih hormat pada ini Paman Thouw! Inilah paman yang dunia
Kang Ouw menyebutnya Kim-kiam Che-long Thouw Pek Eng!"
Memang Pek Eng seorang petualang yang pandai ilmu
pedang serta mengerti ilmu obat-obatan, maka juga dia
mendapat julukannya itu si Pedang Emas (Kim Kiam) dan
Kantung Hijau (Che-long). Yang belakangan ini julukannya
sebagai tabib. Dia merdeka bebas, kegemarannya ialah pesiar atau
merantau. Tak suka dia memamerkan nama. Sebaliknya dia
suka sekali melakukan segala apa yang baik, untuk mana dia
biasa bekerja secara diam-diam. Dia datang atau pergi kemana
dia suka, tak ketentuan, maka itu dia muncul atau menghilang
secara tiba-tiba. Karena ini juga mengenai nama, dia kalah
terkenalnya dengan Lam Pat.
Pertama kali Ce In menemukan Touw Pek Eng yaitu pada
tujuh tahun yang lampau, ketika ia baru mulai muncul dalam
dunia Kang Ouw, maka itu, ia memandang si petualang dan
tabib sebagai cianpwe, orang yang terlebih tua dan tinggi
tingkatnya. Kemudian, sesudah mereka bicara satu dengan lain, ternyata
mereka ada dari tingkat dan derajat yang sama, dari itu,
mereka saling membahasakan saudara.
Ce In berkata pula, memperkenalkan Mo Lek, "Aku baru
turun dari gunung Hui Houw San. Saudara kecil ini ialah
puteranya mendiang Cecu Tiat Kun Lun dari Yan San."
Thouw Pek Eng berdiam, dia berpikir.
"Di sini bukannya tempat kita bicara," kata ia kemudian.
"Mari kita bicara sambil berjalan."
Ia lantas membayar uang araknya, terus ia keluar, untuk
meloloskan tambatan kudanya, guna sambil menuntun
binatang itu berjalan bersama-sama Ce In dan Mo Lek.
Tadi itu, Mo Lek telah memberi hormat pada jago she Thouw
ini. "Sekarang ini sudah malam, saudara Lam, kamu berdua
hendak singgah dimana?" Pek Eng tanya.
"Untuk kita, dimana saja kita sampai," sahut Ce In.
Pek Eng mengangguk.
"Saudara Lam, apakah kau pernah dengar namanya Han
Tam?" tanya dia kemudian.
Ditanya begitu, Ce In terperanjat.
"Apakah saudara Thouw maksudkan Han Lo-cianpwe si ahli
totok yang namanya sangat tersohor?" dia menegaskan.
"Benar! Hari ini hari ulang tahunnya yang ke enam puluh."
"Apa?" tanya Ce In heran. "Apakah ia tinggal di sini?"
"Ya, di tempat terpisah tiga puluh lie," sahut Pek Eng.
"Setujukah kau kalau kita sama-sama pergi memberi selamat
kepadanya?"
"Sebenarnya aku belum pernah bertemu dengan Han Locianpwe,"
Ce In menerangkan. "Yang benar ialah dia dan
guruku kenal baik satu dengan lain."
"Sebetulnya, ada sedikit sekali orang yang ketahui tempat
kediamannya Han Lo-cianpwe itu," Pek Eng menjelaskan. "Aku
tahu sudah banyak tahun dia tidak pernah muncul, tak mau dia
menemui sembarang orang, tetapi kau ini lain, saudara Lam.
Dia pernah memberitahukan aku tentang persahabatannya
dengan gurumu dan dia pernah memuji kau. Karena itulah
maka aku berani mengajak kau mengunjungi dia."
"Jikalau begitu, layak aku pergi memberi selamat padanya"
Ce In bilang. "Tempat tinggalnya itu terpisah berapa jauh dari
Liong Bin Kok?"
"Terpisahnya ialah yang satu di barat, yang lain di selatan,"
Pek Kng mengasih keterangan. "Tempat ini ialah Hoay Sie
Chung, maka ketiga tempat merupakan seperti perapian kaki
tiga. Jaraknya tempat masing-masing kira tiga puluh lie.
Saudara Lam, kau jangan kuatir, meski keletakan dekat,
halangannya tidak ada sama sekali. Han Lo-cianpwe tinggal
menyendiri di sini, sampai pun Keluarga Touw tidak mendapat
tahu, dari itu. Keluarga Ong yang baru datang, tidak nanti dia
mendapat tahu juga."
"Aku bukan jeri terhadap Keluarga Ong," Ce In terangkan,
"Aku hanya tidak ingin nanti merembet-rembet Han Locianpwe,
hingga dia mendapat pusing tidak keruan."
Thouw Pek Eng tertawa.
"Sebaliknya Han Lo-cianpwe bukannya orang takut segala
kepusingan!" katanya. "Sikapnya lo-cianpwe yaitu, kalau tidak
terpaksa, tak sudi dia berurusan dengan orang. Kamu baru
turun dari Hui Houw Ce, mungkin sekali lo-cianpwe ingin
bertemu dengan kamu."
Hati Ce In tergerak. Perkataannya orang she Thouw ini mesti
mengandung arti. Maka ia menerima baik ajakan tanpa
bersangsi lagi. Bahkan ia melekaskan tindakannya.
Dengan begitu, selang setengah jam, tibalah mereka di
sebuah dusun kecil yang berdampingan dengan satu gunung.
Tatkala itu asap telah muncul dari setiap rumah. Thouw Pek
Eng menuju langsung ke rumah Han Tam. Ia menarik gelang
pintu beberapa kali, ia memanggil-manggil tuan rumah sambil
ia perkenalkan dirinya. Ketika kemudian pintu dibuka, yang
membukai Han Tam sendiri, si jago tua.
"Pek Eng, kau datang terlambat!" kata tuan rumah tertawa.


Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pek Eng tidak membilang apa-apa, hanya ia berkata, "Han Locianpwe,
aku telah mengundang untukmu ini dua tuan-tuan!"
Ce In sudah lantas memandang tuan rumah, yang umurnya
sudah enam puluh lebih akan tetapi orangnya masih segar dan
matanya tajam, tak ada tanda-tandanya bahwa dia telah
berusia lanjut. Dia memelihara kumis dan jenggot, yang terbagi
menjadi tiga dan bajunya hijau, hingga dia mirip seorang cerdik
pandai di dalam gambar lukisan.
Ia lantas memberi hormat seraya berkata, "Lam Ce Iri
muridnya Mo Keng Lojin menghaturkan selamat kepada lojinke!"
Han Tam tercengang, lalu dia tertawa terbahak. "Kiranya
kau, Lam Sieheng!" kata dia, girang. "Aku dan gurumu adalah
sahabat-sahabat kekal untuk beberapa puluh tahun, baru hari
ini aku dapat melihat wajahnya murid sahabatku itu, inilah
diluar dugaan! Aku girang sekali! Kau telah sampai di sini,
sieheng, kau anggaplah bahwa kau telah pulang ke rumahmu
sendiri, maka itu, jangan kau menjadi likat atau tak leluasa. Ha,
ha! Sebenarnya angin apakah yang meniup kau hingga di
sini r Mo Lek pun lantas memberi hormatnya sampai dia berlutut
dan mengangguk-angguk.
Tuan rumah memimpin bangun bocah itu. "Saudara kecil ini
toh..." katanya.
"Dialah putera Cecu Tiat Kun Lun dari Yan San," Ce In
memotong, memperkenalkan.
"Dengan Tiat Cecu, aku pun pernah bertemu muka," kata
Han Tam. "Di dalam dunia Rimba Hijau, dialah orang satusatunya
yang aku paling kagumi, maka itu, kamu semua
bukanlah orang-orang luar!"
"Setelah Tiat Cecu meninggal dunia," Ce In mengasih
keterangan, "Touw Leng Ciok mengambil anak ini sebagai anak
pungut, tapi sekarang Keluarga Touw telah musnah, aku
mengajaknya untuk menyingkirkan diri. Kebetulan saja tadi kita
bertemu saudara Thouw, maka itu kami jadi mendapat tahu
hari ini ada hari ulang tahun lo-cianpwe."
Han Tam mendengar keterangan itu tanpa menjadi kaget,
cuma alisnya mengkerut sedikit, suatu tanda ia seperti telah
menduganya. "Kamu datang kebetulan sekali," katanya kemudian.
"Kebetulan sekali di sini pun ada beberapa sahabat. Baru saja
mereka itu bercerita perkara di antara kedua keluarga Ong dan
Touw itu. Nah, mari masuk, kita bicara di dalam."
Han Tam merayakan pesta shejit, yang datang hanya
beberapa sahabat yang pergaulannya paling rapat dengannya,
kecuali Thouw Pek Eng, ada empat lainnya yaitu Sat-sie Siangeng,
dua jago she Sat dari Ceng Hay (Laut Hijau), Liong Chong
Siangjin dari Bek Cek San, serta Sin Cecu dari Kim Ke San. Tiga
yang pertama itu tetamu-tetamu dari tempat yang jauh, dan
satu yang belakang itu asal wilayah Yu Ciu dan dia jago Rimba
Hijau. Semua orang lantas saling memberi hormat, untuk
berkenalan, habis itu masing-masing mengambil tempat
duduknya. Setelah itu, Lam Ce In menuturkan jalannya
pertempuran di antara kedua keluarga Ong dan Touw dengan
kesudahan runtuh dan tumpasnya Keluarga Touw itu.
Orang heran mendengar kabar Toan Kui Ciang dengan isteri
pun roboh di tangannya Khong Khong Jie, sampai mereka
mendelong saling mengawasi.
Lalu terdengar Han Tam menghela napas seraya terus
berkata, romannya berduka, "Khong Khong Jie seorang yang
cerdas luar biasa, kalau begitu sepak terjangnya, kali ini dia
berlaku sembrono sekali..."
"Saudara Han, apakah maksudmu ini?" tanya Liong Chong
Siangjin heran.
"Dia digunai sebagai alat oleh Keluarga Ong, dia tak sadar,"
kata tuan rumah. "Dia menganggap perbuatannya itu tepat
sekali! Bukankah itu namanya sembrono?"
Liong Chong mengerutkan alis, agaknya dia tak puas, dia
berniat menanya pula, atau menentang anggapan tuan
rumahnya itu, tetapi waktu dia melihat matanya Lam Ce In dan
Tiat Mo Lek, dia membatalkan niatnya itu. Dia ingat Tiat Mo Lek
menjadi anak angkat Touw Leng Ciok, tak baik dia bicara terus
urusan Keluarga Touw itu.
Pendeta ini tidak puas terhadap dua-dua Keluarga Ong dan
Keluarga Touw, bahkan kalau dibandingkan, dia lebih tak puas
lagi terhadap Keluarga Touw. Karena itu, dia berpendapat,
"Khong Khong Jie membantu pihak Ong, paling banyak itulah
sikap si kuat membantu si kuat. Semua itu bentrokan di antara
kaum Rimba Hijau, di dalam hal itu, tak dapat orang dari hal
siapa benar dan siapa salah, maka juga tak dapat dibilang soal
sembrono atau tidak..."
"Han Lo-cianpwe," Ce In tanya, "Rupa-rupanya lo-cianpwe
kenal Khong Khong Jie. Benarkah?"
"Bukan melainkan aku kenal padanya," menjawab tuan
rumah. "Ketika dia masih kecil, pernah aku mengempo-empo
padanya!" Sat-sie Siang-eng dan lainnya menjadi heran.
Bahkan Thouw Pek Eng berkata, "Selama beberapa tahun
ini, kaum Kang Ouw telah digemparkan Khong Khong Jie
seperti juga langit ambruk dan bumi gempa, siapa juga tidak
tahu asal-usul dia, siapa sangka Han Lope dan dia justeru
mempunyai hubungan sebagai paman dan keponakan! Dia
demikian liehay, entah siapakah gurunya?"
"Guru dia ialah seorang liehay yang tabiatnya aneh," Han
Tam menerangkan. "Gurunya itu seperti aku, she dan namanya
tak ingin lain orang mendapat tahu. Aku bersahabat
dengannya, itu, maafkan aku, terpaksa kau tak dapat
memberitahukan she dan namanya itu."
Ia hening sejenak, lalu ia menambahkan, "Sayang aku
menerima warta ini terlambat, dan aku pun tak ketahui dimana
tempat beradanya
Khong Khong Jie, karenanya aku menjadi tidak dapat
kesempatan guna mencegah sepak terjangnya itu..."
Lam Ce In hendak membuka mulutnya ketika ia batal. Ia
mendapat dengar satu suara yang perlahan sekali di luar
rumah, seperti ada orang yang datang. Ia sampai melengak.
Tapi suaranya tuan rumah lantas terdengar, "Anak Hun,
apakah kau sudah pulang" Di sini ada beberapa paman,
semuanya bukan orang luar, maka marilah masuk, supaya kau
menemuinya."
Atas perkataan Han Tam itu, di ambang pintu terlihat
masuknya seorang anak perempuan yang baru mulai besar,
umurnya ditaksir baru empat atau lima belas tahun, rambutnya
terjalin menjadi dua buah kuncir, yang ditekuk dan diikat mirip
sepasang kupu-kupu. Roman dia masih kekanak-kanakan.
Ketika dia bertindak masuk, dia lari berjingkrakan. Sembari
tertawa, dia kata, "Ayah, tugas yang kau berikan ini bukan
tugas yang bagus! Hampir aku kepergok, hingga hampir aku
tak dapat meloloskan diri...!"
"Inilah anakku, Cie Hun namanya!" kata Han Tam pada
sekalian tetamunya tanpa ia menghiraukan perkataannya bocah
itu. "Dia baru saja kembali dari lembah Liong Bin Kok."
Ce In heran, di dalam hati ia terkejut.
Setelah itu, tuan rumah kata pada puterinya, "Mari, kau lebih
dulu memberi hormat pada sekalian pamanmu ini!"
Cie Hun, si nona cilik, tidak lantas menjalankan perintah
ayahnya itu. Lebih dulu dia menghadapi Mo Lek, sembari
menunjuk si anak muda, dia tanya ayahnya, "Umur dia sama
dengan umurku, apa aku mesti panggil paman juga padanya?"
"Ha, dasar bocah!" kata Han Tam tertawa. "Inilah salahku
yang tidak lantas memberikan keterangan! Begini, anak! Dua
tetamu ini kau boleh panggil kakak saja. Ini Lam Ce In, murid
kepala dari Mo Keng Lojin. Dan ini Tiat Mo Lek, puteranya
mendiang cecu dari benteng Yan San." Cie Hun nampak girang.
"Lam Toako!" kata dia gembira, "Dunia Kang Ouw menyebut
kau Lam Tayhiap! Sudah lama aku mengagumi nama
besarmu!" Kemudian dia menoleh pada Tiat Mo Lek, untuk meneruskan
berkata, "Juga namamu pernah aku dengar orang
menyebutnya! Kaulah si bintang cilik Siauw Che Kun di dalam
Rimba Hijau, kalau kau bekerja, kau berandalan dan sedikit
telengas! Ya, kau pun telah aku mengaguminya!"
Mukanya Tiat Mo Lek menjadi merah. Dia memang sedang
ruwet pikirannya dan berduka. Maka perkataan bocah wanita
itu membikin dia serba salah, menangis tak dapat, tertawa tak
dapat juga. Dia menjadi sangat jengah.
"Hai, bocah banyak mulut!" Han Tam menegur puterinya itu.
"Kau tidak tahu aturan sekali! Aku lihat, di kolong langit ini tak
ada bocah yang melebihkan kau nakalnya! Hayo lekas, kau
menghaturkan maaf kepada kakakmu ini!"
Lantas si nona, dengan lagak tua bangka, memberi hormat
pada semua tetamunya. Dia kata, "Aku yang kecil tidak tahu
apa-apa, aku telah mengucapkan kata-kata yang salah, aku
mohon supaya kakak memberi maaf padaku!"
Mendengar itu, melihat tingkah orang, semua orang tertawa,
tak terkecuali Mo Lek.
"Nah, kau sudah bergurau cukup atau belum?" tanya Han
Tam pada anaknya. "Sekarang kau boleh bicara dari urusan
tugasmu. Kau dengan Khong Khong Jie atau tidak?"
"Bicara sebenarnya, aku tidak bertemu dengannya," sahut
Cie Hun. "Apa yang aku lihat ialah sekor kera yang besar!"
"Nona Hun," Lam Ce In menyelak, "Apakah nona bukan
maksudkan Ceng Ceng Jie adik seperguruan dari Khong Khong
Jie?" Nona itu tertawa geli.
"Dasar Lam Toako yang sangat pintar!" kata dia, tak likatlikat.
Wajar sekali dia memanggil toako atau kakak kepada Ce
In sekalipun mereka berdua baru berkenalan di detik ini.
"Begitu mendengar aku, Lam Toako lantas saja dapat
mengetahui siapa si kera yang aku maksudkan itu! Tidak salah!
Manusia yang romannya aneh luar biasa itu benarlah Ceng
Ceng Jie!"
Mau atau tidak, semua orang bersenyum.
"Bicara terus!" sang ayah menitah.
"Aku masuk ke dalam lembah Liong Bin Kok kira jam dua,"
Cie Hun melanjuti keterangannya. "Ketika itu di dalam lembah
ramai sekali keadaannya. Semua liauw-Io besar dan kecil,
tengah menenggak arak kegirangan! Ong Pek Thong sendiri
berpesta bersama empat orang lain di
dalam sebuah kamar, mereka terpisah dari orang-orangnya.
Di luar tembok pekarangan tumbuh beberapa pohon hoay,
yang besar dan tinggi melewati tembok, banyak cabangnya,
lebat daunnya, maka aku mendekam di tempat yang lebat itu,
mengintai mereka dengan terang sekali. Aku tidak lihat Khong
Khong Jie di situ, maka itu aku tidak menggunai isyarat rahasia
yang ayah ajari."
"Selainnya Ceng Ceng Jie, siapa itu tiga orang lainnya?" Han
Tam tanya. "Yang satu ialah seorang muda umur lebih kurang dua puluh
tahun, yang romannya sangat mirip dengan Ong Pek Thong,"
sahut si anak. " "Jidat dia itu bengkak dan biru, rupanya dia
bekas orang hajar."
"Oh, dialah Ong Liong Kek, puteranya Ong Pek Thong!" kata
Han Tam. "Lukanya itu bekas dihajar pelurunya kouw-kouwku," Mo Lek
beritahu. "Kouw-kouwmu?" kata Cie Hun. "Oh, tentulah dia Nyonya
Touw Sian Nio isteri dari Toan Tayhiap! Kalau begitu ketika
Keluarga Ong ayah dan anak serta Khong Khong Jie memukul
pecah Hui Houw Ce, kau hadir di sana. Benar, bukan?"
"Jangan nyimpang!" kata Han Tam kepada puterinya,
"Sebentar kau boleh minta Lam Toako-mu itu memberikan
keterangannya. Sekarang lanjuti dulu penuturanmu. Siapa itu
dua orang lainnya lagi?"
"Merekalah orang asih karena mereka bicara dengan lidah
penduduk lain tempat," Cie Hun melanjuti pula. "Orang yang
satu tangan kirinya dikasih turun, dia rupanya bekas terluka
dan belum sembuh..."
Lam Ce In terperanjat.
"Aku tahu dua orang itu!" katanya. "Merekalah Busu-nya An
Lok San. Yang terluka itu tak tahu aku namanya, tetapi luka di
tangan kirinya itu bekas bacokanku. Yang tak terluka itu Thio
Tiong Cie, satu di antara empat jagonya An Lok San."
"Pantas kalau begitu!" kata si nona. "Aku saban-saban
mendengar mereka menyebut-nyebut Thaysu! Ayah, terkaan
ayah tidak meleset. Benarlah Ong Pek Thong si rase tua
mempunyai hubungan erat dengan An Lok San."
Ia berhenti sebentar, untuk sedetik kemudian
menambahkan, "Begitu aku tiba lantas aku melihat Ong Pek
Thong memberi selamat secawan arak kepada si kera gede,
ialah Ceng Ceng Jie, katanya, 'Hari ini kita telah melabrak Hui
Houw Ce, inilah kejadian yang paling membuat aku girang,
sayang kakak seperguruanmu sudah lantas pulang, tak dapat
aku mencegahnya. Maka besok, harian pesta kita, kita
kekurangan dia seorang. Aku menyesal...'
'Begitu memang tabiatnya kakak seperguruanku itu/ kata
Ceng Ceng Jie. 'Dia nampak gemar mencampuri urusan lain
orang hanya setelah urusan selesai, lantas dia mengangkat
kaki, selamanya dia tak menghiraukan jasanya'
Lantas orang yang terluka tangan kirinya itu berkata, 'Thaysu
kami juga sudah lama mengagumi nama besar kakak
seperguruanmu itu. Thaysu ingin mengundangnya, sayang
belum didapat orang perantaraan yang cocok. Entah
bagaimana dengan tuan sendiri, apakah tuan suka membantu"'
Ceng Ceng Jie menggeleng kepala. Tapi dia tertawa.
'Sukar, sukar!' katanya. 'Demikian rupa tabiatnya kakak
seperguruanku itu, maka juga dia tak dapat terkekang hingga
hilang kemerdekaannya. Jangan kata baru Thaysu kamu, biar
pun raja sendiri, tak nanti dia dapat diundang/
Lantas orang, orang she Thio itu, Thio..., Thio..."
"Thio Tiong Cie!" Ce In tambahkan.
"Ya. Lantas Thio Tiong Cie kata pada Ong Pek Thong,
'Dengan begini jadi ternyata Ong Cecu bermuka terang sekali!
Sungguh beruntung Cecu dapat mengundangnya!'
Ong Pek Thong tertawa. Dia kata, 'Aku bersahabat kekal
dengan mendiang ayahnya. Di samping itu pada kira sepuluh
tahun yang lalu Touw Lotoa sudah melakukan suatu perbuatan
tak bagus, ialah dia hitam makan hitam, dia telah


Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membinasakan Se Chungcu sekeluarga di kecamatan Tiauwkoan.
Kebetulan sekali, Se Chungcu itu menjadi sanak tingkat
tertua dari Khong Khong Jie, maka juga begitu aku omong
hendak menyerbu Hui Houw Ce, dia lantas menyatakan suka
memberikan bantuannya!'
Thio Tiong Cie tertawa bergelak. Dia kata memuji, 'Ini pun
bukti dari Ong Cecu bakal berhasil! Di belakang hari pastilah
Thaysu kami bakal mengharap banyak bantuanmu, cecu!'
'Terima kasih, terima kasih,' kata Ong Pek Thong. 'Dalam hal
ini, kita bekerja sama dengan masing-masing memperoleh
untungnya. Aku si orang tua juga pasti bakal mengandal
banyak kepada thaysu kamu itu!'
Kemudian Ong Pek Thong menambahkan kepada Ceng Ceng
Jie, 'Mengenai ini, tak apa kakak seperguruanmu tidak hadir
bersama. Aku pun kuatir dia nanti kurang setuju dengan
tindakan kita ini. Ini pula sebabnya aku tak dari siang-siang
membicarakah dengannya.'
'Tapi Ong Cecu jangan kuatir/ berkata Ceng Ceng Jie, 'Nanti
aku bicara dengannya. Akan aku bicara dengan sabar. Umpama
kata kakak seperguruanku itu tidak setuju, tidak nanti dia
sampai menentang/
Atas itu, Ong Pek Thong mengucap terima kasih. Lagi sekali
dia memberi selamat dengan secawan arak. Lagi-lagi dia
mengutarakan pengharapannya Ceng Ceng Jie nanti berhasil
bicara dan membujuk kakak seperguruannya itu."
Menutur sampai disitu, Han Cie Hun berhenti, untuk
menghirup air tehnya.
Han Tam berpikir, lalu dia kata, perlahan.
"Bukankah barusan aku menyayangkan Khong Khong Jie?"
katanya. "Aku kuatir dia kena orang pergunakan. Inilah
sebabnya kekuatiranku itu. Sudah terang An Lok San
mengandung niat menjadi raja, untuk satu pihak dia membaiki
semua panglima orang suku Ouw di perbatasan, di lain pihak
dia mau berkongkol dengan Ong Pek Thong. Kalau Ong Pek
Thong berhasil menjadi kepala Ikatan Rimba Hijau, dia hendak
dibujuk atau dipancing bekerja sama, untuk digunakan sebagai
alat!" "Oh, begitu pikiran toako!" kata Liong Chong Siangjin. "Aku
tadinya menyangka toako berat sebelah. Sekarang ternyata
Ong Pek Thong itu terlebih busuk dan terlebih jahat dari Touw
Leng Ciok!"
Baru saja ia mengucap begitu, si pendeta sudah lantas
menjadi menyesal. Dengan begitu dia menganggap Keluarga
Touw busuk sekali. Bukankah di situ ada Lam Ce In, orang
yang berpihak kepada Keluarga Touw" Bukankah di situ ada
Tiat Mo Lek, anak angkat salah satu anggauta keluarga itu"
Tapi, Lam Ce In lantas berkata, "Taysu, pertimbanganmu
adil sekali! Sayang yaitu Toan Toako-ku masih belum ketahui
perkara ini. Mengenai perjalanannya ke Hui Houw Ce ini, Toan
Toako menyesal bukan main."
"Anak Hun, bagus sekali penyelidikan kau ini!" kata Han Tam
pada puterinya. "Bagaimana kemudiannya" Ada apa lagi yang
kau dengar?"
"Belakangan?" sahut si anak. "Aku mendengar satu hal yang
sangat diluar dugaan!"
"Bagaimana?" tanya si ayah cepat, "Apakah Ceng Ceng Jie
memergoki kau?"
"Aku tidak tahu siapa yang dia pergoki itu...!" sahut si nona.
"Bagaimana?" Pek Eng tanya, heran. Dia memotong.
"Apakah benar ada orang lain yang nyalinya begitu besar
hingga dia berani menyateroni Liong Bin Kok?"
Sementara itu, Cie Hun sudah bicara terus, "Ketika itu hatiku
berdebaran. Aku mendapatkan cabang pohon bergoyanggoyang,
mengasih dengar suara yang halus. Ceng Ceng Jie
benar liehay. Dia sudah lantas berlompat bangun, sambil
melemparkan cawan araknya, dia berseru, 'Di luar ada orang!'"
"Ceng Ceng Jie memang liehay!" kata Han Tam kaget juga.
"Bagaimana kau bisa meloloskan dirimu" Apakah kau menyebut
nama atau julukanku?"
Anak itu tertawa.
"Ceng Ceng Jie tidak muncul," katanya. "Aku juga tidak
menyebut nama ayah. Peruntunganku bagus sekali, dalam
ancaman bencana itu, aku mendapat keselamatan. Aku ketemu
bintang penolong!"
"Siapa yang telah menolongi kau?" si ayah tanya. Dia
menduga, untuk di dalam lembah Liong Bin Kok, cuma seorang
tua yang liehay yang dapat menolong puterinya itu.
Tetapi Cie Hun, si anak, tertawa.
"Ayah menerka keliru!" kata anak itu. "Bintang penolongku
itu seorang nona yang cantik, dibanding dengan aku, dia tak
lebih tua seberapa."
"Aneh! Siapakah nona itu?" i
"Sabar, ayah! Ayah sabar mendengar ceritaku." Lantas; anak
ini berlagak beraksi seperti tukang cerita yang ulung. "Maka di
itu waktu," dia melanjuti, "Mendadak puteranya Ong Pek Thong
menggoyang-goyangi tangannya. Kata dia perlahan/Itulah
seorang sahabatku! Jangan kuatir. Nanti aku undang dia
masuk!' Aku heran, hingga aku menduga-duga. Aku tanya
diriku, kenapa pemuda itu kenal aku... Aku menduga akulah
yang kena kepergok. Habis berkata, dia sudah lantas lompat ke
atas tembok pekarangan. Justeru itu di sebuah pohon Hoay
muncul si nona cantik.
Rupanya dia, sudah bersembunyi di pohon itu, hanya aku
tidak mendapat tahu. Melihat Ong Liong Kek, nona itu berkata
dingin, 'Ong Kongcu, kiranya kaulah Ong Siauw-cecu! Sungguh
aku kurang hormat, kurang hormat!'
Aku melihat Ong Liong Kek menjadi likat.
'Nona He, bukannya aku mendustakan kau/ katanya. 'Ini...
ini...' Baru aku ketahui nona itu she He.
Dia memotong perkataannya Ong Liong Kek, 'Siapa
kau sebenarnya, tidak ada sangkutannya denganku!' suaranya
dingin. 'Aku cuma hendak menanya kau, apa yang kamu bikin
atas dirinya Toan Pehu-* ku"'
'Yang mana itu Toan Pehu kau"' Liong Kek tanya. 'Dialah
Toan Tayhiap, Toan Kui Ciang!' si nona beritahu." Mendengar
itu, Ce In terperanjat.
"Jikalau begitu nona itu bukan lain daripada He Leng Song..."
katanya di dalam hati. "Ah, benar-benar dia ada hubungan
dengan anaknya Ong Pek Thong itu!"
Cie Hun melanjuti pula penuturannya, "Aku lihat Ong Liong
Kek melengak. Dia kata, 'Oh, kiranya Toan Kui Ciang itu
pamanmu! Mereka... mereka berdua suami isteri...'
Si nona memotong, 'Mereka kenapa"'
Ong Liong Kek menjawab, suaranya agak perlahan, "Mereka
berdua tak dapat melawan Khong Khong Jie, mereka
mengangkat kaki, kabur...'
'Apakah benar begitu"' si nona tegasi.
'Buat apa aku mendustai kau"' Liong Kek jawab. 'Kami
bukannya bangsa berandal yang biasa sembrono membunuh
orang!' 'Mereka itu menyingkir ke mana"' si nona tanya pula.
'Mana aku tahu" Mungkin mereka lari pulang...'
'Baik!' kata si nona nyaring. 'Jikalau aku tidak berhasil
mencari mereka itu, akan aku datang pula kepadamu!'
Habis berkata, nona itu lantas berangkat pergi. Ong Liong
Kek pergi menyusul. Aku menggunai ketika itu buat
mengangkat kaki juga."
Han Tam mengeluarkan napas lega.
"Jikalau begitu, nona she He itu datang ke Liong Bin Kok
untuk mencari Toan Tayhiap," kata ia. "Dia pasti orang
sebangsa golongan kita.
Kenapa kau tidak mau undang dia kemari, untuk kita
memasang omong" Aku tahu ilmu silatnya anak Ong Pek Thong
itu, kalau kau bertempur dengannya, kau tidak akan sanggup
melawannya, sebaliknya dalam ilmu ringan tubuh, dia tak dapat
menandingi kau. Menurut kau, anak, ilmu ringan tubuh nona itu
pasti jauh terlebih mahir daripada kepandaian kau, maka itu
pasti sudah anaknya Ong Pek Thong tak bakal dapat menyusul
dia. Apa mungkin nona itu tak sudi bertemu dengan kau?"
"Ayah menduga tepat," kata Cie Hun. "Memang juga Ong
Liong Kek tidak berhasil menyandaknya. Aku berlalu dari Liong
Bin Kok belum lima lie, aku melihat dia kembali dengan lesu.
Dia tidak dapat melihat aku, dari itu aku pun tidak mau
mengganggunya. Setelah aku berjalan lebih jauh lima atau
enam lie, tiba-tiba aku mendengar suara kelenengan kuda,
yang datang dari sebelah depan. Kiranya dialah si nona she He,
yang sudah kembali. Sekarang dia menunggang sekor kuda
putih. Dia kembali untuk mencari aku."
"Apa kata nona itu?"
"Paling dulu dia tanya aku, aku dari pihak Keluarga Touw
atau bukan. Aku menjawab bukan. Dia pun tanya aku kenal
Toan Tayhiap atau tidak. Aku jawab tidak. Lantas dia tanya
pula, 'Habis, buat urusan apakah kau pergi ke Liong Bin Kok"'
Aku percaya dialah seorang lurus, maka aku tidak niat
mendustakan dia. Begitulah aku menjawab secara terus terang.
Aku membilangi aku hendak mencari Khong Khong Jie. Setelah
itu aku mengundang dia datang ke rumah kita, untuk sedikitnya
tinggal buat satu malam. Aku menjanjikan membantui ia
mencari Toan Tayhiap. Mendengar ajakanku itu, aku lihat air
mukanya berubah dengan mendadak, lalu ia berkata, 'Hm! Aku
tidak sempat!' Dia mengeprak kudanya, dikasih kabur. Aku jadi
kebogehan. Melihat romannya itu, dia rupanya sangat
membenci Khong Khong Jie." ^
Han Tam tertawa.
"Rupanya dia salah mengerti," kata orang tua ini. "Terang
dia rada terburu napsu..."
Sat-sie Siang-eng dan Sin Cecu heran. Mereka orang-orang
Kang Ouw dan pergaulan mereka luas, pendengaran mereka
banyak, akan tetapi mereka tidak pernah ketahui tentang nona
she He itu, karena mana mereka jadi tak dapat menduga si
nona orang macam apa.
Mo Lek ingin campur bicara, akan tetapi ketika ia melihat Ce
In, kawan itu mengedipi mata padanya, maka ia urung bicara.
Tetapi ia heran kenapa paman she Lam itu mencegah ia
membeber halnya Leng Song.
"Sekarang kita biarkan dulu hal nona she He itu," berkata
Han Tam kemudian. "Mari kita bicarakan hasil penyelidikannya
Cie Hun. Terang sudah Ong Pek Thong berkongkol dengan An
Lok San. Inilah suatu kepastian. Bagaimana sekarang kita harus
bertindak?"
Sin Cecu dari benteng Kim Ke San, yang bernama Thian
Hiong, bertabiat keras, dia lantas berkata, "Ong Pek Thong
ingin menjadi kepala Ikatan Rimba Hijau, itulah urusannya
sendiri, tetapi kalau dengan begitu dengan dia mau kita turut
padanya, untuk membantu bangsa Ouw merampas pemerintah,
tak dapat!"
"Hanyalah tentang akal muslihatnya itu," berkata kedua
saudara Sat, "Semua itu tidak atau belum diketahui saudarasaudara
kita dari Rimba Hijau. Aku pikir mesti kita bongkar atau
beber akal muslihat itu, supaya saudara-saudara kita tak usah
kena diakali hingga mereka dapat dituntun hidungnya..."
"Itu benar, tetapi bagaimana caranya?" Thian Hiong tanya.
Thouw Pek Eng, yang sedari tadi berdiam saja, campur
bicara. "Sin Cecu," ia tanya, "Bukankah Ong Pek Thong ada
mengirim surat undangan kepadamu?"
"Benar! Tapi aku tidak takut padanya, aku tidak mau datang
untuk menghadiri pestanya itu!" sahut si jago dari gunung Kim
Ke San. "Menurut aku, lebih baik kau pergi!" kata Pek Eng tertawa.
"Dengan kau pergi itu, kita dapat menjadi pengikutpengikutmu.
Han Lo-cianpwe, bagaimana pikiran lo-cianpwe?"
"Pikiranmu itu baik," sahut Han Tam, "Cuma Ce In dan Mo
Lek, juga dua saudara Sat, sulit pergi ke sana. Mereka semua
dikenali Ong Pek Thong. Dia mana bisa dikelabui matanya?"
"Tentang itu lo-cianpwe tak usah kuatir," Pek Eng berkata.
"Aku yang muda mengerti juga kepandaian menyalin rupa."
Han Tam tertawa.
"Aku cuma tahu laote sebagai tabib pandai, tak tahunya kau
pun pandai ilmu menyamar! Hanya aku berusia begini tua,
mana dapat aku menyaru jadi pengiringnya Sin Cecu?"
Pek Eng tertawa
"Aku dapat membikin lo-cianpwe lebih muda dua puluh
tahun!" katanya. "Cuma sulitnya yaitu jenggot lo-cianpwe mesti
dipotong sedikit supaya menjadi terlebih pendek. Itulah
sayang." Ia berhenti sebentar, terus ia menambahkan, "Buat yang
lainnya, semua mudah, yang paling sukar ialah Liong Chong
Siangjin, sudah tubuhnya tinggi besar luar biasa, kepalanya pun
gundul." "Jikalau begitu, tidak ada jalan lain daripada minta sukalah
Siangjin merendahkan diri menjagai gubuk reyotku ini sekalian
ia menemani anakku," kata Han Tam bersenyum.
"Tidak!" kata Cie Hun. "Aku ingin menyaksikan keramaian
itu!" "Keponakanku, aku lihat, lebih baik kau jangan turut,"
berkata Pek Eng. "Kau masih terlalu kecil, taruh kata kau salin
macammu, umpama kata kau menjadi kacung liauwlo, mungkin
Ong Pek Thong yang licin dapat mengenali penyamaranmu.
Maka itu lebih baik kau tinggal di rumah."
Cie Hun tidak mau mengerti, dia lantas menunjuk Mo Lek.
"Umur dia berimbang dengan umurku, kalau dia dapat pergi,
kenapa aku tidak?" dia membantah.
Han Tam tertawa.
"Coba kau berdiri berendeng dengannya!" kata ayah ini.
"Coba kau lihat, bukankah dia lebih tinggi daripada kau" Kalau
dia menjadi kacungnya Sin Cecu pasti tak ada yang curigai. Kau
lain lagi. Laginya, kalau kau menyamar menjadi laki-laki, kau
lebih mudah dikenalinya."
---ooo0dw0ooo--Jilid 10 "Walau bagaimana, aku mesti pergi!" anak itu membantah.
"Paman Thouw, tolong kau carikan jalan untuk aku dapat
turut!" Orang menjadi kewalahan.
Thouw Pek Eng lantas berpikir.
"Sudah, begini saja!" kata dia kemudian. "Kau baik
menyamar menjadi anak perempuannya Sin Cecu. Masih masuk
di akal kalau Sin Cecu datang menghadiri pesta dengan
mengajak puterinya yarig disayang. Karena kau tidak dikenal,


Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau pun boleh tak usah menyamar lagi."
"Apakah itu tak keterlaluan untukku?" tanya Sin Thian Hiong
tertawa. "Sudah Han Lo-cianpwe menjadi pengiringku, lalu
sekarang puterinya pun diakui sebagai puteriku!"
"Itulah bukannya soal!" Han Tam tertawa. "Bukankah kau
mendapatkan semuanya?"
Liong Chong Siangjin tertawa.
"Kamu semua senang, kamu menghadiri pesta dan melihat
keramaian," katanya. "Aku sendiri, aku mesti menunggu rumah,
kesepian! Sungguh sebal!"
"Semua ini hanya untuk sementara waktu," berkata Pek Eng.
"Sekarang sudah pasti. Saudara Mo Lek, kau menjadi kacung,
dan kita semua, menjadi sebagai tauwbak."
"Menjadi tauwbak boleh juga!" kata Sin Cecu. "Dengan
begitu pihak Ong diberi kehormatan, sampai pun segala
tauwbakku turut datang memberi selamat padanya!"
Sampai disitu, Thouw Pek Eng lantas bekerja. Ia
mengeluarkan obatnya untuk mengubah warna kulit orang,
maka sebentar kemudian terlihat Han Tam menjadi lebih muda
dua puluh tahun, kulit keriputnya pun dapat disamarkan.
Demikian setelah terang tanah, rombongan Sin Cecu ini
berangkat menuju ke Liong Bin Kok, lembah sarangnya Ong
Pek Thong. Han Cie Hun gembira sekali, karena ia telah
kesampaian keinginannya. Cuma Lam Ce In yang berpikir
keras. Ia memikirkan Hee Leng Song.
Untuk kalangan Rimba Hijau di Yu-ciu, nama Sin Thian Hiong
terkenal sekali, la benar-benar bertabiat keras dan angkuh.
Ketika keluarga Touw menduduki benteng Hui Houw Ce
sebagai ketua Ikatan Rimba Hijau, pelbagai Raja Gunung
lainnya datang membajar upeti tahunan, cuma ia yang tidak
menghiraukannya.
Touw Leng Ciok tak senang dengan sikapnya itu tetapi dia
tak bisa berbuat apa-apa, kesatu dia sendiri lagi punya urusan
penting, kedua dia tahu Sin Kee Ce itu tangguh.
Ong Pek Thong tahu sifatnya Thian Hiong, benar ia mengirim
undangan, tetapi ia tidak mengharap banyak tetamunya itu
nanti datang memenuhkan undangannya itu, maka juga tempo
ia menerima kartu nama Thian Hiong, yang datang berkunjung,
ia heran sekali, dengan tergesa-gesa ia menuntun anaknya
keluar buat menyambut sendiri kepada tetamu yang berkepala
besar itu... Setelah kedua pihak saling memberi hormat, Sin Thian Hiong
kata "Ong Cecu berhasil merobohkan dan merampas Hui Houw
Ce, pantaslah kau diberi selamat! Sudah sekian lama Kim Kee
San dibikin tak puas oleh Keluarga Touw, baru sekarang hatiku
lega, karena itu, kaisni semua bersyukur. Karena itu juga maka
sekarang aku datang bersama beberapa saudaraku ini, untuk
menghaturkan selamat!'
Ong Pek Thong berlaku merendah untuk pujian itu, ia pun
mengucap terima kasih.
Sin Thian Hiong bisa sekali bicara. Dia kata pula, datangnya
itu selain buat memberi selamat dan membilang terima kasih,
juga sekalian untuk mohon perlindungan ini Beng-cu, atau
kepala Ikatan Rimba Hijau, yang baru.
Lalu dia tertawa bergelak dan menambahkan, "Cecu tahu,
pesta ini suatu pesta yang langka, jarang ada selama seratus
tahun! Begitulah anak perempuanku ini, yang belum pernah
mengembara, saking gembiranya, turut datang bersama!"
Ong Pek Thong girang bukan main. la belum menjadi Bengcu,
tetapi jago dari Sin Kee Ce sudah mengakuinya. Tapi ia bisa
berpikir, ia sedikit curiga.
Ia kata dalam hatinya, "Kim Kee San berselisih dengan Hui
Houw Ce, aku berhasil menumpas Keluarga Touw, pantaslah
kalau dia senang dan bersyukur kepadaku, pantas juga dia
datang bersama beberapa tauwbaknya memberi selamat
padaku. Sebenarnya kita tidak bersahabat satu dengan lain,
sekarang dia sekalian mengajak puterinya, tidakkah itu
berlebihan" Mungkinkah karena dia hendak mengambil hatiku
maka dia jadi berlaku begini manis budi" Biasanya dialah bukan
tukang mengangkat angkat orang..."
Ketika itu mendadak Ong Liong Kek menghampirkan Tiat Mo
Lek "Saudara kecil ini she apa?" dia tanya.
Diam-diam Sin Thian Hiong terperanjat.
"Dialah kacung pengiringku," dia menjawab lekas. "Dia tidak
tahu aturan, harap Siauw-cecu tidak berkecil hati."
Ia pun mengarang nama palsu untuk pengiring tetironnya
itu. Tiat Mo Lek telah tak dapat menahan rasa hatinya. Waktu
melihat Ong Liong Kek, musuhnya, sinar matanya berubah
tajam sekali " sinar itu sinar bermusuh atau membenci sangat.
Liong Kek melihat itu, dia jadi heran, karena perhatiannya
tertarik, dia jadi mengajukan pertanyaan itu.
Mo Lek cerdik ia insyaf akan kekeliruannya itu, maka ingin ia
membetulkan. "Tong-kee mengajak aku ke mari, aku jadi ingat suatu hal
lama," kata dia.
"Di sini bukan tempat kau bicara, kau mundur!" kata Thian
Hiong, yang kuatir orang banyak bicara.
"Biarkan dia bicara, tak apa," kata Liong Kek.
Mo Lek lantas mengasih lihat roman takut dan ragu-ragu.
"Baiklah, kau boleh bicara!" kata Thian Hiong kemudian,
ajgak terpaksa.
"Aku ingat satu hal," kata Mo Lek. "Bukankah tong-kee
pernah menyuruh aku pergi ke Hui Houw Ce" Ketika itu aku
dimarahi mereka. Sebabnya itulah tong-kee tidak mengirim
bingkisan kepada mereka. Aku telah diikat dan diusir pergi.
Sekarang sebaliknyalah Keluarga Ong. Di sini aku disambut
secara baik. Maka itu aku jadi ingat kejadian dulu hari itu.
Sekarang ini aku jadi girang berbareng mendongkol!"
Ong Liong Kek tertawa lebar. "Oh, kiranya begitu, saudara
kecil!" katanya
Sedang mereka bicara itu, dua orang muncul dari dalam.
Yang satu Ceng ceng Jie, yang lain gadisnya Ong Pek Thong.
Tuan rumah lantas mengajar kenal. Katanya, "Inilah Sin
Cecu dari kim kee San yang namanya sangat terkenal dalam
dunia Rimba Hijau. Ini adalah Ceng Ceng Jie, ahli pedang dunia
Kang Ouw yang kesohor."
"Sudah lama aku mengaguminya!" kata Ceng Ceng Jie,
singkat dan angkuh.
Lantas dengan mata tajam dia menyapu semua tetamunya
itu. Ketika dia melihat Han Tam, dia terkejut di dalam hatinya.
Sebagai ahli silat, dia dapat melihat sinar mata luar biasa dari
jago she Han itu.
Lekas dia menghampirkan dan menanya, "Apakah she mulia
dan nama besar dari cecu ini?"
Han Tan menjawab cepat, "Aku si orang she Han cuma
menjadi serdadu kecil yang tak ada namanya dari Kim Kee
San." Sin Thian Hiong pun berkata, "Han Toako ini menjadi tongkee
kedua di Kim Kee San, dia datang belum lama."
"Syukur, aku girang sekali dengar pertemuan ini!" Ceng Ceng
Jie berkata. la turut bicara. "Ong Toako, muka toako terang sekali hingga
dapat mengundang Han Toako datang ke mari!"
Ia tertawa, terus ia menambahkan, "Aku merasa beruntung
dapat satu sahabat baru!"
Ia lantas mengulur tangannya, untuk berjabatan.
Ong Pek Thong heran hingga ia terperanjat.
Aneh sikap Ceng Ceng Jie. Dia tidak menghormati Sin Thian
Hiong hanya seorang tauw-bak. Maka ia mengawasi saja.
Ceng Ceng Jie hendak menguji tauwbak tetamunya itu, maka
di waktu mereka saling jabat, dia mengerahkan tenaga Siauw
Thian Chee atau "Bintang kecil". Itulah semacam tenaga dalam
yang mahir, mulanya lunak, lalu keras, dengan itu tubuh pihak
sana dapat dibikin menjadi lemas tak berdaya hingga jatuh
terkulai di lantai.
Han Tam bersenyum.
"Terima kasih, maaf!" katanya, sabar.
Ceng Ceng Jie telah mengerahkan tenaganya. Ia menjadi
heran. Ia mendapatkan orang seperti tak bertenaga, toh orang
tak roboh seperti apa yang ia kira. Ia melihat orang bersikap
wajar saja. Dalam herannya ia kata dalam hati, "Tenaga dalam orang ini
sukar ditaksir. Mungkin suheng Khong Khong Jie juga tak
seliehay dia..."
Tengah ia berpikir begitu, si "Kera Besar" ini, seperti katanya
Nona Han Cie Hun, mendadak terkejut. Tiba-tiba ia merasai
nadinya kaku atau lemas sendirinya.
Han Tam jago totok, selagi berjabat tangan itu, dengan
tenaga dalamnya ia menggempur tiga kali pada nadi orang.
Lekas-lekas Ceng Ceng Jie menarik pulang tangannya.
"Han Tongkee liehay sekali!" katanya. "Aku takluk, aku
takluk!" Han Tam pun tak mau memandang enteng, karena orang
dapat bertahan dari serangannya itu.
Ong Pek Thong lantas mengerti bahwa orang diam-diam
sudah mengadu kepandaian. Ia menjadi kaget dan heran, ia
pun berkuatir. Katanya di dalam hati, "Di antara tauwbak-tauwbak Kim Kee
San ada orang begini liehay, jangan-jangan sulit buat aku
menjadi beng-cu..."
Puterinya tuan rumah sebaliknya girang sekali, hingga dia
berjingkrak berlompatan, tangannya ditepuk berulang-ulang,
tanda girangnya.
Dia tertawa dan kata nyaring, "Aku mendapat kawan! Kau ini
namanya siapa?"
Dia tanya Cie Hun.
Ong Pek Thong lantas berkata, "Inilah anak perempuanku,
namanya Yan Ie. Dia paling suka bermain, lari sana dan lari
sini, hingga orang panggil dia Siauw Yan, si Walet Kecil. Dan ini
puterinya Sin Cecu," ia teruskan pada gadisnya. "Nah, pergilah
kau menemaninya!"
Ong Yan Ie alias Siauw Yan tertawa pula.
"Bagus!" dia berkata. "Ayah mengundang semua orang tua,
bagus encie ini menjadi tetamuku! Encie Sin, mari kita memain
di sana!" Keluarga Ong membuat pesta besar-besaran, untuk
tetamunya yang berjumlah besar itu ia dapat menyediakan
tempatnya. Lembah Liong Bin Kok, atau Naga Tidur, yang
tadinya kosong belukar, telah disiapkan dari siang-siang.
Pembangunan dimulai sejak beberapa bulan yang lalu. Kecuali
benteng dan rumah-rumah lainnya untuk semua orang, ialah
sekalian liauwlo, dibuat juga suatu taman yang besar dan luas
beberapa bauw berikut lauwteng atau ranggon serta pelbagai
paseban, semuanya lengkap, bahkan untuk tontonan, telah
diberdirikan dua panggung wayang.
Telah ditetapkan pesta akan dimulai tengah hari tepat, maka
itu selagi masih ada tempo satu jam kira-kira, para tetamu
pada menyenangi diri dengan pesiar di taman atau menonton
wayang, atau duduk berkumpul berkelompok-kelompok untuk
memasang omong. Semua tetamu memperoleh
kemerdekaannya.
Demikian Ong Yan Ie, ia menemani Han Cie Hun. Usia
mereka memang tak berjauhan. Ia berkesan baik terhadap
tamunya yang cantik dan lincah itu. Mereka jalan-jalan sambil
berpegang tangan, melihat-lihat taman yang indah.
Dalam gembiranya, Yan Ie menutur hal diruntuhkannya
benteng Hui Houw Ce dari Keluarga Touw. Cie Hun sebaliknya
tak puas, ia tak gembira seperti semula, maka ia melayani
bicara sekedarnya saja.
"Kawanmu yang she Han itu liehay!" hata Yan Ie, yang
menukar haluan bicara. "Tadi dia dan Ceng Ceng Jie mengadu
kepandaian secara diam-diam. Kau melihat atau tidak, encie?"
"Benarkah begitu?" tanya Cie Hun berlagak pilon.
"Aku tidak tahu..."
Yan Ie tertawa.
"Kita bagaikan sahabat-sahabat kekal, mengapa kau begini
merendahkan diri?" kata dia. "Apakah encie menganggap aku
sebagai orang luar" Tadi mereka itu saling menguji kepandaian,
turut penglihatanku, Han Tongkee kamu itu rupanya menang
unggul. Han Tongkee demikian liehay, ayahmu mesti berada di
sebelah atas dia! Bukankah bapak harimau tak mempunyai
anjing dan panglima gagah tak mempunyai serdadu lemah"
Encie Sin, pasti ilmu silatmu pun mahir sekali!"
"Aku dilahirkan bebal," kata Cie Hun, "Maka itu meski aku
pernah belajar silat beberapa hari, apa yang aku bisa tak dapat
dinamakan kepandaian. Encie Ong, aku minta janganlah kau
menempelkan emas di mukaku..."
Cie Hun tak gembira, ia bicara tawar.
"Aku tidak percaya!" kata Yan Ie tertawa.
Lantas dia menggenggam tangan tetamunya, sengaja dia
mengerahkan tenaganya beberapa bagian. Dia membataskan
diri karena dia kuatir Cie Hun tak sanggup bertahan.
Cie Hun telah mendengar halnya Yan Ie selama menempur
Keluarga Touw sudah berlaku telengas sekali, sekarang ia tak
berkesan manis terhadap nona itu, ia panas hati, ia tak puas.
Karena itu, ketika ia dipaksa diuji ini, diam-diam ia mengibasi
tangan bajunya.
Yan Ie tidak curiga apa-apa ketika tahu-tahu dia tertotok
pada jalan darah jie-khie di pinggangnya dekat iga, tanpa
merasa dia merasa nyeri hingga dia berteriak, "Aduh!"
Berbareng dengan itu, Cie Hun juga menjerit, "Aduh!" dan
tubuhnya mundur kaget sampai enam atau tujuh tindak.
Yan Ie mengutamakan pengerahan tenaga lunak menjadi
keras, maka itu tangannya mencekal mulanya perlahan, lalu
menjadi kuat. Ketika itu kebetulan sekali Ong Liong Kek lewat di dekat
mereka, dia terkejut mendengar saudara dan tetamunya itu
pada menjerit, segera dia menghampirkan adiknya dan
menegur, "Adik, mengapa kau berlaku tak hormat pada tetamu
kita?" Yan Ie menahan sakit, ia kata sembari tertawa, "Kita cuma
lagi main-main! Siapa sangka kau menganggapnya sungguhsungguh,
koko!" Cie Hun pun tertawa sambil menahan nyerinya. Ia kata,
"Encie Ong lagi mengajari aku. Inilah atas permintaanku!"
Ong Liong Kek mengerutkan alis.
"Memang baik kamu saling berlatih," katanya, "Cuma tak
baik sekarang ini, mestinya sebentar setelah pesta bubar. Kalau
taman kosong, bukankah bagus?"


Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ong Liong Kek teliti dan sabar. Ia dapat menduga kedua
nona lagi menguji kepandaian. Sebab itu, timbullah
kecurigaannya. Ong Yan Ie lebih gagah daripada Liong Kek, kakaknya itu,
sekarang dia tak mendapat angin menguji Cie Hun, tentu sekali
sang kakak menjadi heran.
Pikir Liong Kek, "Kawan dan anaknya Sin Thian Hiong begini
liehay, kenapa dulu-dulu dia tak mau menjadi jago Rimba
Persilatan" Kenapa dia justeru menerima menjadi
sebawahannya Keluarga Touw" Dan sekarang, kenapa mereka
sudi tunduk pada Keluarga Ong kami" Tidakkah dalam ini ada
kepalsuannya?"
Karena kecurigaannya ini. Liong Kek lantas pergi mencari
Ceng Ceng Jie, untuk memberitahukan dan berdamai.
Kedua nona berjalan-jalan terus di dalam taman, diam-diam
mereka saling memuji kepandaian masing-masing. Karena itu
juga, mereka - atau lebih benar Nona Ong - tidak berani
menguji terlebih jauh.
"Encie Sin, ilmu totokan mengebutmu ini sangat liehay," kata
Yan Ie tertawa. "Bagaimanakah hubungan encie dengan Losianseng
Han Tam?" Ditanya begitu, Cie Hun terkejut di dalam hati. Pikirnya,
"Sudah lama ayah menyembunyikan diri, kalau bukan orang
Rimba Persilatan kelas satu, tak ada yang kenal ayah. Kenapa
dia ini, yang masih begini muda, mendapat tahu nama ayah?"
Ia pun seorang cerdik, ia tidak mau mengentarakan
kagetnya itu, maka ia sengaja berlagak pilon.
"Orang macam apa Han Tam itu?" ia tanya. "Aku cuma kenal
seorang she Han, ialah Paman Han yang hari ini datang
bersama-sama aku. Siapa itu Lo-sianseng Han Tam" Maaf, aku
tidak tahu."
"Han Tam itu," kata Yan Ie, "Menurut keterangan guruku,
dialah ahli totok nomor satu di kolong langit di jaman ini.
Barusan aku melihat ilmu totok kau, encie, aku jadi ingat Han
Lo-sianseng itu, aku mengira kaulah muridnya."
"Kepandaianku yang tak berarti adalah buah ajarannya
ayahku sendiri," kata Cie Hun bersandiwara terus, "Sekarang
aku bertingkah mempertunjuki di sini, aku malu, aku
mengundang buah tertawa saja! encie, aku justeru mengagumi
kau buat ilmu Bian Ciang serta menutup dirimu itu! Encie,
siapakah guru encie yang terhormat?"
"Tabiat guruku sama dengan tabiat Han Lo-sianseng itu,"
sahut Yan Ie, "Ialah mereka sama-sama tidak menyukai orang
lain, orang ketahui nama mereka, maka itu aku tidak berani
menyebutkan namanya."
Mendengar itu, Cie Hun tahu orang sudah mulai mencurigai
pihaknya, akan tetapi ia tidak takut. Ia turut datang ke mari
justeru karena niatnya untuk mengacau di lembah Liong Bin
Kok ini, guna membanguni naga tidur...
Mereka pesiar terus. Yan Ie mengajak tetamunya pergi ke
tempat wayang. Di antara banyak orang, ia tiba-tiba melihat
seorang pengemis, ia menjadi heran.
"Eh!" serunya, "Mengapa kamu membiarkan pengemis
masuk ke mari" Lekas usir dia pergi!"
Orang-orangnya Keluarga Touw menjadi kaget. Sebenarnya
juga, mereka tak memperhatikan pengemis di antara sekian
banyak tetamunya itu.
"Mana dia" Mana dia?" begitu beberapa hamba menanya.
Dalam tempo yang sangat pendek, pengemis itu sudah
menghilang. Yang paling heran ialah Ong Yan Ie. Maka hendak
ia pergi mencari sendiri. Tapi itu waktu pesuruh ayahnya
sudah datang menyusul memanggil ia dan ia kembali guna
menemani tetamu dalam medan pesta.
Ketika itu tengah hari tepat. Di dalam kamar itu dimanamana
terdengar suara tambur dan gembreng, tanda
mengundang para tetamu menghadiri perjamuan. Masingmasing
mereka segera diundang berduduk.
Ong Pek Thong bersama puterinya menemani Sin Thian
Hiong dan rombongannya Han Cie Hun. Ong Pek Thong diapit
Ceng Ceng Jie di kiri dan seorang tua yang romannya aneh di
sebelah kanan. Han Tam hadir di meja tuan rumah ini.
Lam Ce In bersama Thouw Pek Eng dan rombongan duduk
di sebuah meja lain. Meja ini berdampingan dengan meja
kepala. Diam-diam Ce In memasang mata. Maka ia melihat dua
orangnya An Lok San, yang mengenakan pakaian preman,
duduk di meja lain berdekatan dengan meja mereka. Kawannya
mereka itu berdua ia tak kenal siapa adanya.
Setelah tiga idaran maka si orang tua di kanannya Ong Pek
Thong, menepuk tangan tiga kali. Ia berbangkit memandang
semua tetamunya. Itulah tanda bahwa ia hendak bicara.
Sebenarnya dialah Tie Swie, seorang jago Rimba Hijau yang
namanya cuma dibawahan Touw Leng Ciok dan Ong Pek
Thong, cuma dia menjadi sahabat karib dari Pek Thong. Begitu
dia berdiri, banyak orang tahu apa yang dia bakal ucapkan.
Demikianlah dia angkat bicara, "Orang-orang yang
memangku pangkat ada kepalanya! Kepala itu ialah yang
dipanggil raja! Kita yang menjadi berandal, kita juga
mempunyai pemimpin. Pemimpin kita ialah yang dipanggil
beng-cu! Selama beberapa puluh tahun, yang menjadi beng-cu
kita terus menerus ialah Keluarga Touw. Keluarga itu cuma
tahu mencelakai orang lain, untuk menguntung! diri sendiri,
mereka tak mengenal persaudaraan. Maka mereka mirip si raja
tak bijaksana yang tolol! Aku percaya tuan-tuan yang hadir di
sini, semua pernah diganggu mereka itu. Tapi sekarang ini
Toako Ong Pek Thong telah menolongi kita menyingkirkan
bencana Rimba Hijau itu, Hui Houw Ce telah dilabrak musnah,
maka juga dunia Rimba Hijau gembira sekali. Sekarang selesai
sudah urusan Keluarga Touw. Sekarang muncul soal si
pemimpin. Pemimpin itu perlu. Tanpa pemimpin ada,
seumpama kawanan naga tanpa kepala, dapat terjadi orang
main berebutan, hingga bencana kecelakaannya bertambah
besar. Maka juga kita, kita mirip negara, yang tak boleh ada
satu hari tanpa rajanya. Ya, kita tak boleh ada satu hari tak ada
pemimpin kita. Menurut aku, karena Ong Toako sudah
menolongi kita menyingkirkan si pemimpin yang tak bijaksana
itu, baiklah kita minta saja ia yang menggantikan kedudukan
Keluarga Touw, ialah kita angkat ia menjadi beng-cu kita yang
baru! Bagaimana pendapat tuan-tuan?"
Keluarga Ong sudah berkomplotan, segala apa sudah diatur,
maka lantas ada banyak suara yang menyambut anjuran Tie
Swie, yang menyatakan setuju, sedang mereka yang jeri
terhadap Pek Thong, menurut memberikan suaranya, untuk
mengekor. Kelihatannya sudah pasti Ong Pek Thong bakal diangkat
menjadi Beng-cu ketika Sin Thian Hiong berbangkit.
"Aku ingin bicara!" berkata tetamu ini.
Dalam sekejap saja, suara berisik menjadi sirap.
Tie Swie heran hingga dia melengak.
"Sin Cecu, apakah cecu mempunyai pendapat lain?" ia tanya.
"Aku bukannya tak setuju Ong Toako menjadi beng-cu,
sahut Thian Hiong. "Cuma ada satu hal yang aku masih kurang
mengerti. Untuk itu aku mohon keterangan dari Ong Cecu dan
Tie Cecu."
"Keterangan apa itu yang Sin Cecu minta?" Tie Swie tanya.
"Barusan Tie Cecu bilang, orang berpangkat ada raja yang
menjadi kepalaya," kata Thian Hiong, "Maka itu, kita pun perlu
menunjang seorang pemimpin, untuk dia mempersatukan
perintah, untuk kita menentang pemerintah. Bukankah begitu
maksud ringkas dari Tie Cecu?"
"Ya, begitulah maksudnya!" Tie Swie memberi kepastian.
"Bagus.'" kata Sin Thian Hiong. "Sekarang ingin aku
menanya, kalau begitu maksud kita, kenapa di dalam
pertemuan Rimba Hijau hari ini ada diundang juga
sebawahannya An Lok San" Apakah maksud yang sebenarnya"
Ong Cecu, dapatkah kau memberi penjelasan kepada semua
saudara di sini?"
Ong Pek Thong terkejut, air mukanya berubah. Tapi dia
mesti menebali kulit.
"Dimana ada orangnya An Lok San di sini?" tanya dia sambil
berbangkit berdiri. "Siapakah yang sudah menyiarkan berita
burung" Sin Cecu, aku lihat kau keliru mempercayai obrolan
cerita burung itu?"
Tak menanti suara orang berhenti, Lam Ce In sudah
berbangkit buat terus menunjuk ke meja di sampingnya,
kepada Thio Tiong Cie.
"Inilah orangnya An Lok San, pangkatnya Touw-ut bagian
penyerbu. Dan orang di sisinya itu ialah Busu dari An Lok San!"
Mendengar itu, hadirin menjadi ramai.
Justeru itu mendadak muncul seorang pengemis, yang
berlari-lari mendatangi sambil tertawa geli haha-hihi. Sangat
cepat larinya dia, sebentar saja dia sudah sampai di mejanya
Thio Tiong Cie.
Ong Yan Ie terkejut. Ia mengenali pengemis yang tadi ia
pergoki itu, yang hilang pula dengan cepat.
Pengemis itu menjura kepada Thio Tiong Cie, sembari
tertawa, dia kata, "Pesta ini pesta besar yang sukar
diketemukan pula, maka itu aku si pengemis hendak memohon
persen! Lebih dulu aku minta persen dari tuan pembesar
negeri, habis itu baru dari tuan rumah!"
Salah seorang hadirin, yang bertubuh besar dan gemuk,
sudah lantas membentak, "Pengemis bau, tempat ini tempat
apa" Mana dapat dibiarkan kau mengacau di sini?"
Terus dia mengangkat satu poci arak, untuk dipakai
menimpuk kepala orang!
Hebat serangan itu ke batok kepala. Di dalam pesta Rimba
Hijau semacam ini orang biasa menggunakan cangkir besar
dengan potongan-potongan daging besar juga, maka itu,
tempat araknya pun mesti terbuat dari tembaga atau besi, yang
muat kira lima kati arak. Demikian poci arak yang dipakai si
gemuk, beratnya seperti gembolan!
Akan tetapi si pengemis tertawa berkakak.
"Belum lagi dipersen uang hendak dihadiahkan arak!"
katanya. "Baiklah! Terima kasih!"
Dia mementang mulutnya, untuk menyambuti. Karena dia
dongak, tepat dia kena gigit mulut poci!
Si gemuk kaget, hingga dia menarik pulang poci itu. Apa
celaka, poci itu tak bergeming, tak perduli dia bertubuh besar
dan gemuk dan mestinya besar juga tenaganya.
Justeru itu dua orang yang berduduk bersama Thio Tiong Cie
sudah lantas bangun untuk menyerang si pengemis, atas mana
pengemis itu menggeraki kedua tangannya untuk menyampok.
Maka beradulah tangan mereka dengan keras. Kesudahannya
itu kedua penyerang itu terpelanting mundur, terhuyunghuyung
beberapa tindak, hampir mereka terguling.
"Kie Lojie!" Tie Swie berseru. "Kalau kau tidak melihat muka
pendeta, aku minta kau pandanglah wajah Sang Buddha! Hari
ini hari baik dari Ong Toako, jikalau kau mempunyai suatu
urusan, mari kau bicara dengan tuan rumah, harap jangan kau
mendahului turun tangan!"
Mendengar suaranya Tie Cecu, para hadirin lantas menjadi
heran dan girang, mereka itu gempar.
Di dalam dunia pengemis itu waktu ada tiga pengemis yang
luar biasa, yang namanya sangat tersohor. Yang satu yaitu Seegak
Sin-liong Hong-hu Siong, yang satu lagi ialah Ciu-kay Kie
Tie si Pengemis Pengarakan. Dan pengemis yang ketiga yakni
Hong-kay We Wat si Pengemis Edan.
Mereka bertiga dimalui karena kegagahan mereka. Sekarang
Tie Wie menyebut Kie Lojie, maka pengemis ini ialah Ciu-kay si
Pengemis Pengarakan, tukang menenggak air kata-kata!
Maka itu kagetlah orang-orang pihak Ong, sedang yang
kegirangan adalah mereka dari rombongannya Thouw Pek Eng.
Dalam keadaan kacau itu, rombongan Tiong Cie berbangkit
melupakan satu kurungan. Thouw Pek Eng serta Sat-sie Siang
Eng pun maju, guna mendekati si pengemis jago arak.
Ketika itu Kie Tie sudah menyedot habis isinya poci arak,
kemudian ia membuka mulutnya untuk memuntahkan itu
seperti semprotan atau semburan terhadap mereka yang
mengurungnya. Hebat arak itu, yang turun bagai hujan, siapa
terkena itu, dia merasakan mukanya sakit seperti terhajar
peluru kecil halus.
Kie Tie tertawa, dia mengangkat pundaknya, dia kata
nyaring, "Ong Cecu! Tie Cecu! Lihat oleh kamu! Bukankah itu
mereka yang mulai menyerang lebih dulu" Bagaimana kamu
hendak mempersalahkan aku?"
Lam Ce In lantas maju menerjang Thio Tiong Cie.
Orangnya An Lok San itu terserang matanya oleh arak, itulah
rintangan untuknya. Dalam keadaan biasa, dapat dia melayani
Ce In sampai tiga puluh jurus, sekarang baru satu jurus, dia
sudah kena dicekuk!
Juga orang satunya lagi dari An Lok San sudah lantas
terbekuk Pek Eng.
Beberapa orang semeja, yang menjadi kawan-kawannya
Tiong Cie berdua, mau maju, akan tetapi mereka dihadang Kie
Tie dan Sat-sie Siang Eng.
Kie Tie tertawa nyaring dan kata, "Segera bakal ada
pertunjukan ramai, maka buat apa kamu membikin ribut"
Kenapa kamu tidak mau diam saja menonton pertunjukan yang
menarik hati itu?"
Beberapa orang itu melengak.
Lam Ce In bersama Thouw Pek Eng, dengan masing-masing
membawa orang-orang tangkapannya masing-masing, pergi
naik ke panggung wayang. Itu waktu, pertunjukan wayang
berhenti sendirinya sebab ada keributan tak disangka-sangka
itu. Melihat datangnya dua orang ini, anak-anak wayang, berikut
tukang tetabuannya, pada lari menyingkir ke panggung
belakang. Wajah Ong Pek Thong menjadi merah padam dan pias. Dia
menyambar poci arak dan membantingnya ke tanah keraskeras.
"Tahan!" dia berseru, nyaring.
Justeru itu Han Tam telah menggunai sumpitnya menyambar
poci arak, yang kena terjepit.
"Ong Cecu, sabar!" dia berkata. "Kalau ada bicara, marilah
kita bicara baik-baik, tak usah cecu bergusar! Arak ini arak yang
harum dan sedap sekali, sayang kalau sampai terbuangbuang!"
Ong Pek Thong menggunai tenaga beberapa ratus kati,
maka heran ia Han Tam dapat menjepit poci araknya itu yang
besar dan berat. Melihat itu ia menjadi kaget berbareng gusar
sekali. Ia pun menjadi malu dan jengah, hingga untuk sejenak


Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia jadi membungkam.
Baru kemudian ia berkata dengan suara dalam, "Semua
orang yang hari ini datang ke Liong Bin Kok ini menjadi
sahabat-sahabat baikku, maka itu aku hendak memohon
sahabat-sahabat suka memberi muka padaku! Aku minta, ada
urusan apa juga, baiklah kita bicarakan lain hari!" Mendengar
itu, Han Tam tertawa.
"Ong Cecu, kata-katamu ini dikeluarkan karena kau kurang
pikir sedikit!" kata dia. "Inilah justeru urusan besar! Justeru
sekarang hadir semua saudara dari pelbagai penjuru, justeru
perlu sekarang kita bicarakan urusan ini! Kita perlu bicara jelas
sekarang supaya Ong Cecu tidak sampai kehilangan muka!"
Sin Thian Hiong pun turut bicara.
Kata dia nyaring, "Benar! Justeru sekarang orang banyak
hendak mengangkat kau sebagai beng-cu, sebagai pemimpin
kita, justeru ada orangnya pembesar negeri yang nelusup
masuk di antara kita! Jikalau perkara ini tidak diperiksa terang
sekarang juga, bukankah akan terjadi ada saudara-saudara
yang nanti menyangka kau berkongkol dengan pembesar
negeri! Itulah sangkaan keliru yang berbahaya sekali! Kalau dua
orang itu benar Busu dari An Lok San, mereka pasti bukan
sahabat cecu! Kita mau menjelaskan ini justeru untuk kebaikan
cecu sendiri!"
Ong Pek Thong bungkam, mukanya merah padam. Hebat
kata-katanya Han Tam dan Thian Hiong itu.
Ketika itu Lam Ce In dan Thouw Pek Eng sudah membawa
kedua orang tawanannya ke muka panggung. Di bawah itu
sebaliknya telah berkumpul banyak orang, ialah para hadirin
atau tetamu. Di antara orang banyak itu lantas ada yang menanya, "Kamu
bilang dua orang ini menjadi orang atau Busunya An Lok San!
Untuk itu kamu mempunyai bukti apa?"
"Benar!" lantas ada suara yang menimbrung. "Siapa tahu
kalau mereka ini berdua orang-orang dari Kim Kee San, yang
hendak memfitnah Ong Toako! Maka perlulah ada bukti atau
saksi! Siapa dapat membuktikan mereka benar orang-orangnya
An Lok San?"
Pasti sekali mereka itu ialah orang-orangnya An Lok Sah.
Dan mereka dapat sambutan lagi dari kawan-kawan mereka.
Tentu, di antara meieka itu, walaupun ada yang ketahui siapa
Tiong Cie dan kawannya itu, meieka berlagak pilon.
"Aku dapat memberi bukti!" berseru Kie Tie, yang berada di
antara banyak orang.
Dia bersuara dingin, suaranya tak keras, tetapi tajamnya
menusuk telinga. Maka suaranya itu membungkam suara
berisik orang-orangnya Ong Pek Thong itu.
"Ada bukti apa?" ada juga orang yang bertanya.
"Buktinya ada di tubuh mereka!" Kie Tie menjawab, tertawa.
Lam Ce In disadarkan Kie Tie, ia lantas menggeledah
tubuhnya Thio Tiong Cie. Maka ia dapat menarik keluar Houw
Tauw Kim-pay, yaitu lencana emas berkepala harimau, benda
pertanda kalau An Lok San menitahkan orang atau orang-orang
kepercayaannya pergi bertugas, bahkan dengan itu, pesuruh ini
dapat memberi perintah pada tentara atau pembesar militer
setempat. Di antara orang-orang Rimba Hijau ada yang mengenali kimpay
itu. Karena itu orang-orangnya Ong Pek Thong lantas pada
menutup mulut. "Buat apa kamu datang kemari?" Lam Ce In tanya dua orang
tangkapannya. "Lekas kamu mengasih keterangan!"
Thio Tiong Cie bangsa keras kepala, dia berdiam. Ce In
memencet lengannya, hampir tangannya itu remuk, akan tetapi
dia terus bungkam. Sebaliknya kawannya tak dapat bertahan,
sebab dia disiksa Thouw Pek Eng yang menggunai tipu silat
Hun-kin Co-kut Ciu, hingga tangannya bisa salah urat atau
salah laku, yang mendatangkan jasa nyeri bukan buatan.
Dia tak tahan maka dia menjerit keras, "Aduh!"
"Bicaralah!" bentak Pek Eng. "Kalau tidak, kau bakal merasai
yang terlebih hebat lagi!"
"Baik, hoohan, aku bicara!" kata orang itu. "Akan aku
bicara!" Tepat di itu waktu, Ceng Ceng Jie mengayun
tangannya. Maka dua potong pisau belati melesat melayang!
Han Tam telah memasang mata, ia melihat gerakan orang
itu, ia pun segera menggeraki pula sumpitnya, melesat sebagai
senjata rahasia.
Pisau belati Ceng Ceng Jie itu aneh. Di tengah jalan, kedua
pisau memutar haluan, hingga keduanya tak dapat disusul
kedua batang sumpit. Terus pisau belati itu balik menyambar
ke arah panggung!
Thouw Pek Eng melihat datangnya senjata, ia menangkis
dengan pedangnya, maka sebilah pisau jatuh ke panggung.
Akan tetapi yang kedua lolos, tepat kerongkongnya si Busu
disambar nancap, hingga suara orang lantas saja berhenti!
Han Tam gusar. "Ceng Ceng Jie, mengapa kau membunuh orang untuk
membungkam mulutnya?" ia menegur.
Justeru itu di bawah panggung terdengar suara berisik, lalu
terdengar tegurannya Ong Liong Kek yang tertawa dingin, "Sin
Cecu, bagus benar sepak terjangmu! Tak kusangka, siauw-cecu
dari Hui Houw Ce justeru menjadi pengiringmu!"
Ong Liong Kek berkata benar. Dia telah membongkar
rahasianya Tiat Mo Lek. Karena kecurigaannya, dia lantas
bekerja. Dia menyuruh beberapa orangnya mengatur
perangkap. Tiat Mo Lek tidak menyangka apa-apa, tadi dia pergi ke
bawah panggung menonton wayang. Di sana dia melihat Cio It
Liong dan Cio It Houw kedua saudara. Sebagai seorang
cerdik,dia lantas menyingkir. Dia berjalan dengan cepat sambil
tunduk. Tapi dia memangnya diarah, dia disusul.
Cio It Liong pun menegur, "Tiat Siauw-cecu, kau hendak
pergi kemana?"
Justeru itu beberapa tauwbak muncul. Mereka itu sudah siap
sedia. Mereka membanjur Mo Lek dengan air di dalam tahang.
Itulah hebat. Kalau mereka bertempur, tak mudah dua saudara
Cio memperoleh kemenangan. Sekarang Mo Lek dibanjur,
selagi dia gugup, dia diserang. Maka belum sampai puluhan
jurus, dia sudah kena ditangkap. Celakanya, karena tersiram
air, penyamarannya locot. Dia lantas dikenali.
Bukan main girangnya Ong Pek Thong ketika dia menerima
laporan dari anaknya yang telah lantas datang ke situ itu, guna
menegur Sin Thian Hiong.
Ong Pek Thong pun berseru, "Kamu lihat! Lihat bocah ini!
Dialah anak angkat dari Touw Lotoa! Dialah Tiat Mo Lek! Sin
Thian Hiong membawa dia kemari, apakah maksudnya" Tak
usah aku terangkan lagi, tuan-tuan pastilah sudah mengerti!
Baiklah! Mereka datang untuk membalaskan sakit hatinya
Keluarga Touw! Sekarang mereka mau menunjang ini bocah
bau! Tuan-tuan, sekarang bilanglah terus terang, kamu masih
hendak menunjang bocah ini atau kamu suka turut padaku?"
Sin Thian Hiong tidak takut meski rahasia sudah pecah.
Dia berseru, "Tuan-tuan jangan kasih diri tuan-tuan terjebak
oleh Ong Pek Thong! Baiklah tuan-tuan jangan dibikin
terlibat urusan permusuhan dua keluarga Ong dan Touw!
Urusan permusuhan dua keluarga itu boleh ditunda sampai lain
hari! Sekarang yang mesti dibikin jelas ialah, Ong Pek Thong
sekongkol dengan An Lok San, dia seperti mau membantu
harimau mengganas, sebab dia hendak membantu bangsa Ouw
merampas Tionggoan, negara kita! Tuan-tuan, apakah tuantuan
masih hendak mengekor padanya?"
Mendengar keterangan itu, yang mereka percaya, sebagian
dari para hadirin itu sudah lantas membubarkan diri.
Konco-konconya Ong Pek Thong berjumlah besar, tidak
menanti Sin Thian Hiong bicara habis, ada beberapa
diantaranya yang sudah lompat naik ke atas panggung untuk
menyerang Lam Ce In.
Maka itu kacaulah keadaan, hingga Sin Thian Hiong tak
dapat ketika bicara lebih jauh.
Lam Ce In menghunus golok mustikanya. Ia berdiri belakang
membelakangi dengan Thouw Pek Eng. Dengan siasat ini ia
menangkis musuh.
Dengan lekas panggung telah terkurung tiga lapis orangnya
Ong Pek Thong. Mereka itu terdiri kebanyakan dari penjahatpenjahat
besar Rimba Hijau, umumnya mereka kosen, maka di
dalam tempo yang pendek, tak dapat Ce In berdua memukul
mundur pada mereka.
Thio Tiong Cie dapat kesempatan membebaskan diri,
bukannya dia kabur, dia justeru menerjang. Di antara banyak
kawan, dia menjadi tidak takut.
Di atas panggung orang bertarung, di tanah pun terjadi
pertempuran tak kalah serunya.
Ong Pek Thong hendak berlalu dari medan pesta tapi Han
Tam kata padanya, "Ong Cecu, kejadian ini harus diselesaikan!
Tak dapat kau berlalu dengan begini saja!"
Sembari berkata begitu, orang she Han ini mengulur
tangannya ke pundak orang. Hanya belum lagi ia mencekal,
lantas ia merasakan sambaran angin dingin ke arahnya.
Di luar dugaan, Ceng Ceng Jie telah mengangkat meja, yang
dia pakai merintangi Sin Thian Hiong, yang mau maju. Selagi
berbuat begitu, dia melihat Pek Thong terancam, tidak ayal
lagi, dia lompat menyerang Han Tam. Tak perduli dia bahwa
dengan cara begitu dia main membokong.
Han Tam melihat datangnya bahaya. Ia batal menyerang
terus pada Pek Thong. Ia membalik tubuh buat menangkis
serangan curang itu.
Ceng Ceng Jie membuka kepalannya, atas itu dari tangannya
melesat sesuatu yang berkilau seperti halilintar, menyambar
pada musuh. Itulah pisau belati, bekalnya.
Han Tam berniat menotok lawan itu, tetapi diserang dengan
pisau belati itu, ia mesti membela diri. Ia mengelit tangannya.
Ia sebat sekali, sambil berkelit, seraya mendak, ia meneruskan
menyabet ke bawah, ke arah dengkul penyerangnya itu.
Ceng Ceng Jie awas dan gesit. Dia menolong diri dengan
menggeser kakinya. Dia tak berhenti sampai disitu. Dari
samping dia meluncurkan tangannya yang memegang pisau
belagi, guna menikam dada musuh.
Han Tan mendak untuk terus menjejak tanah, hingga
tubuhnya mencelat naik. Sambil mencelat itu, sebelah kaki
digunakan, diteruskan mendupak lengannya Ceng Ceng Jie,
niatnya buat membikin terlepas pisau belati lawan itu.
Ceng Ceng Jie liehay, ia menyingkirkan tangannya, ia terus
menyerang lagi. Dengan berada di samping, dapat ia mengarah
iga lawannya dimana ada jalan darah jie-khie.
"Bagus!" seru Han Tam.
Dari samping, ia menyampok ke arah pergelangan tangan
lawannya itu. Ceng Ceng Jie lompat berkelit lincah, tetapi ia mengasih
dengar suara nyaring, "Bret!" Ia bebas dari serangan itu.
Sebagai ganti pergelangannya, tangan bajunya yang robek.
Maka hebatlah pertempuran di antara dua jago ini. Ceng
Ceng Jie tak kalah tapi pun Han Tam tak berhasil memperoleh
kemenangan cepat.
Sementara itu Ong Pek Thong telah dapat ketika buat
menjauhkan diri.
Tiat Mo Lek panas sekali, dia menghunus goloknya guna
menyerang saudara-saudara Cio. Ia basah kuyup seperti ayam
tercebur, dia hendak menuntut balas. Belum dia menyerang,
tiba-tiba dia mendengar satu suara nyaring.
"Tiat Siauw-cecu, dengar! Sebenarnya aku memandang
kepada kau! Bukankah kemarin ini paman Khong Khong Jie
telah membiarkan kau hidup terus" Kenapa sekarang kau
datang pula ke mari" Bukankah itu berarti, sorga ada jalannya
kau tak pergikan, kau justeru masuk ke neraka yang tak ada
pintunya!"
Itulah suaranya seorang nona.
Lalu terdengar suaranya Ong Pek Thong, "Anak Yan, buat
apa kau bicara saja dengannya" Ingatlah, membabat rumput
mesti berikut akarnya! Lekas kau bunuh dia."
Tiat Mo Lek tak menghiraukan bahaya. Ia tahu ia bukan
lawan si nona tetapi dalam murkanya ia menyerang nona itu.
Ong Yan Ie mengerutkan alis.
"Apakah benar-benar kau kesusu mau menghadap Raja
Akherat?" tanya dia.
Lantas dia menyerang ke dada si anak muda.
Mo Lek menangkis dengan goloknya. Ia nekad, ia bersedia
mengadu jiwa. Ingin ia mati bersama. Maka ia menggunai ilmu
pedang yang ia baru dapatkan dari Kui Ciang. Ia merangsak
tanpa menghiarukan bencana. Sayang ia belum sempat melatih
mahir ilmu pedangnya itu.
Ilmu pedang mengutamakan kelunakan, ilmu golok
kekerasan, sekarang Mo Lek memindahkan ilmu pedang kepada
goloknya, biar ia bisa menyerang hebat tetapi tetap ia
meninggalkan lowongan atau kekosongan.
Yan Ie lebih liehay, si nona lantas dapat melihat cacad orang
itu. Dengan memutar tubuh, dia berkelit, terus dia maju.
"Awas!" seru puteri gagah dari Ong Pek Thong, yang
pedangnya meluncur cepat.
Mo Lek terkejut, ia berkelit dengan gugup, meski begitu ia
tidak dapat membebaskan diri seluruhnya, bajunya kena
terobek dan ujung pedang menowel kulit dagingnya!
"Celaka aku!" ia berseru dalam hati ketika ia merasai hawa
dingin di iganya. Ia percaya jiwanya bakal melayang, tapi lantas
ia menjadi heran.
Yan Ie tidak menikam terus, pedangnya ditarik pulang.
Kata si nona perlahan, "Nyalimu benar besar! Lekas kau
pergi! Aku beri ampun pada jiwamu!"
Hanya sekejap Mo Lek melengak.
"Siapa kesudian diberi ampun?" serunya.
Mendadak ia membacok!
"Ah!" seru si nona, tetap perlahan. "Tak dapatkah kau tak
omong keras-keras" Hati-hati nanti ayahku mendapat
dengar...!"
Melihat si anak muda demikian berani, Nona Ong menjadi
menyukainya. Syukur itu waktu pertempuran di panggung berisik sekali dan
Ong Pek Thong lagi repot memimpin orang-orangnya
menyerang Sin Thian Hiong semua, maka itu selain tidak ada
yang mendengar juga tak ada yang memperhatikan dua anak
muda ini. Mo Lek telah menjadi seperti kalap. Ia tidak memperdulikan
si nona, ia menyerang pula, beruntun sampai tiga kali. Benarbenar


Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia mau mengadu jiwa.
Yan Ie menjadi gusar.
"Bocah bau, kau tidak dapat melihat salatan!" bentaknya.
Terpaksa ia melayani sekalian membela dirinya. Ia terus
merangsak. Dengan tipu silat "Bidadari melemparkan torak," ia
merapatkan diri, untuk menikam nadi si anak muda, guna
memaksa orang melepaskan goloknya.
Tengah Nona Ong menyerang itu, mendadak ia merasa
angin menyambar di belakangnya. Ia masih muda tetapi
pengalamannya sudah banyak, sedang ia pun muridnya guru
yang pandai. Ia tahu artinya angin itu, ialah anginnya satu
serangan. Dengan sebat ia gunai jeriji kirinya menolak goloknya Mo
Lek, sama sebarnya ia menangkis ke belakang, menghalau
serangan. Tatkala ia menoleh, ia melihat penyerangnya itu Han
Cie Hun. "Oh, kiranya Encie Sin!" Nona Ong kata tertawa. "Bagus!
Bagus! Memang aku ingin mencoba kepandaian encie! Tadi
encie menyimpannya, sekarang mesti dikeluarkan! Supaya aku
dapat membuka mataku!"
"Ah, hantu wanita cilik yang telengas!" Cie Hun mendamprat.
"Hari ini kau tak akan lolos dari keadilan!"
"Benar?" tanya Yan Ie tertawa.
Dia Jenaka dan riang gembira, tak mudah diterka.
"Jikalau aku telengas maka ini sahabat baik siang-siang pasti
sudah lenyap jiwanya! Jikalau kau tidak percaya, kau
tanyakanlah dia!"
Mo Lek sangat mendongkol. Tak sudi ia bicara. Ia maju pula
dan menyerang dengan hebat.
Cie Hun pun maju, dari itu, Yan Ie kena dikepung berdua.
Nona Han menggunai sepasang poan-koan-pit, senjata yang
mirip alat tulis (pit), peranti menotok jalan darah, dengan
begitu ia menggunai kepandaiannya yang menjadi ajaran
ayahnya. Tapi' Yan Ie gagah, tak gampang dia dikalahkan.
Karena adanya Mo Lek, puterinya Ong Pek Thong kalah angin
juga. Di bawah panggung orang bertempur secara kacau itu, di
atas panggung pertempuran tak kalah hebatnya. Dengan
belakang membelakangi, Lam Ce In dan Thouw Pek Eng
menyambut pelbagai penyerangan. Jumlah musuh besar sekali,
walaupun Ce In gagah dan ia telah berhasil merobohkan
beberapa orang, ia dan kawannya masih tak dapat
mengundurkan penyerang-penyerangnya itu.
Kie Tie mencegluk isi buli-buli yang besar, umpama kata
perutnya menjadi gendut, setelah itu dia tertawa terbahakbahak,
dia kata dengan gembira, "Pertempuran ini sangat
menarik hati untuk ditonton! Tak dapat tidak, aku si pengemis
tua mesti membantu meramaikannya! Ha, ha!"
Dia lantas menghampirkan panggung, terus dia mementang
mulutnya, untuk menyemburkan araknya. Bagaikan diserang
hujan deras, beberapa musuh yang berada paling dekat sudah
lantas roboh atau terpelanting.
Hebat serangan arak itu, yang membuat mata perih dan
nyeri serta tubuh nyeri juga. Setiap tetes arak merupakan
seperti peluru. Benar serangan itu tidak segera meminta jiwa,
tetapi orang kelabakan dan kesakitan tak terhingga.
Di antara kawanan penjahat ada seorang she Ciok nama
Sam Seng, dia terkenal kosen, senjatanya ialah cambuk hongliongpian yang berbuku tujuh, ketika itu ia justeru merabuh
kakinya Ce In. Dia menggunai silat "Angin puyuh menyapu
pohon Yang-liu". Karena dia maju ke muka, dia kena tersembur
arak, lantas matanya tak dapat melihat.
Menampak demikian, Ce In berseru, goloknya berkelebat.
Tidak ampun lagi, jago itu roboh. Karena itu, terbukalah satu
lowongan. Tanpa ayal pula, Lam Pat mengajak kawannya
lompat turun dari panggung.
Pembantunya Ong Pek Thong yaitu Tie Swie menyaksikan
perbuatannya Kie Tie itu, ia lantas menegur, "Kie Lojie, kitalah
air sumur yang tidak saling mengganggu dengan air kali,
mengapa sekarang kau mengacau begini rupa" Bukankah
perbuatanmu ini berarti kau sangat tidak memandang mata
kepada tuan rumah?"
Kie Tie tertawa.
"Kamu toh tidak mengundang aku?" dia membaliki. "Karena
kamu -tidak mengundang aku, buat apa aku menjual muka
kamu" Lain dari itu, kau tahu sendiri tabiatku si pengemis tua,
satu kali aku ketagihan arak lantas aku tidak memperdulikan
lagi muka atau bukan muka! Maka mari, mari, mari! Kau tidak
mengundang aku minum arak, aku sendiri suka
mengundangmu minum barang sedikit!"
Dengan lantas Ciu-kay mementang pula mulutnya,
menyembur ke arah Tie Swie.
Bukan main gusarnya si orang she Tie. Dengan lantas ia
melakukan satu serangan "Udara kosong," guna menyampok
balik hujan arak itu, habis mana ia maju, untuk menyerang,
bahkan dengan hebat.
Kie Tie menganggap orang sebagai kenalan lama, ia
menyembur tanpa mengerahkan tenaga dalam, ia cuma mau
main-main, maka itu diluar dugaannya, ia lantas diserang
hebat. Tie Swie itu memang pandai Kim Na Hoat, ilmu menangkap,
untuk mana dia bisa berkelahi rapat. Sudah begitu, dia pun
lantas dibantui beberapa kawannya yang termasuk orang-orang
kosen undangannya Ong Pek Thong. Maka itu, ia terpaksa
mesti bertempur secara sungguh-sungguh.
Lam Ce In membuka jalan untuk dapat mempersatukan diri
dengan Sin Thian Hiong, tengah ia maju itu, tiba-tiba ia
merasakan sambaran angin kepada punggungnya.
Diluar sangkaan, ia telah diserang Ong Liong Kek, puteranya
Ong Pek Thong, yang sekarang mengenalinya, hingga ia mesti
memutar tubuhnya menghalau serangan itu.
Ong Liong Kek tertawa dan kata, "Orang she Lam, kau
terlalu! Bukankah kemarin ayahku berlaku murah hati
membiarkan kau kabur turun gunung, kenapa sekarang kau
datang pula bahkan1 dengan menyamarkan diri" Kau
mengacau, apakah ini perbuatannya 'seorang enghiong atau
hoohan?" "Tutup mulut!" Ce In membentak. "Beranikah kau masih
bicara tentang seorang enghiong atau hoohan denganku"
Kamu ayah dan anak, kamu sudah kesudian menjadi anjinganjingnya
An Lok San!"
Sembari menegur itu, Ce In menyerang.
Ong Liong Kek tidak berani banyak omong lagi, ia melakukan
perlawanan, maka bertarunglah mereka dengan hebat.
Didalam pertarungan kacau itu, yang paling seru ialah
pasangan di antara Ceng Ceng Jie dengan Han Tam. Ceng
Ceng Jie telah mengeluarkan Kim-ceng Tiat-kiam, yaitu pedang
besinya yang istimewa tetapi Han Tam tetap melawan dia
dengan sepasang tangan kosong.
Tangannya itu, baik telapakan mau pun jerijinya, merupakan
seperti dua macam alat senjata, bahkan jari tangannya mirip
dengan Poan-koan-pit, gegaman beroman seperti alat tulis
peranti menotok jalan darah.
Ceng Ceng Jie liehay, dia pun gesit sekali, tetapi sudah
bertempur sekian lama, dia tak dapat berbuat banyak,
pedangnya seperti tak mempan terhadap tangan dari darah dan
daging... Ceng Ceng Jie muncul baru beberapa tahun, Han Tam
sebaliknya mengundurkan diri sudah lama, maka itu ia tidak
tahu bahwa orang yang mengaku sebagai tauwbak dari gunung
Kim Kee San itu seorang jago tua bahkan ahli totok yang
kenamaan, ia menjadi heran.
Setelah bertempur sekian lama, Han Tam lantas mulai
dengan penyerangannya dengan ilmu silat "Hud In Ciu," atau
"Tangan mengebut mega". Serangannya ini merupakan
campuran dari tabasan, tekanan, totokan dan tusukan.
Ceng Ceng Jie repot menangkis atau berkelit, jarang
ketikanya untuk membalas menyerang. Ia gesit dan waspada,
sebat kelitnya, tetapi satu kali dia kena juga ditowel lengannya,
hingga kontan ia merasa kesemutan pada tiga jalan darahnya,
giok-heng, yauw-kong dan kiok-tie. Syukur untuknya, ia telah
menutup jalan darahnya dan totokan tidak keras, ia menjadi tak
usah sampai roboh terguling.
Ketika itu Ong Pek Thong telah memimpin orang-orangnya
mengurung Sin Thian Hiong. Ia menduga orang she Sin itulah
pemimpinnya pihak pengacau pestanya itu, maka ia pun maju
sendiri. Ingin ia dapat menawan hidup-hidup pada Thian Hiong.
Dua saudara Sat, yaitu Sat-sie Siang Eng, bertempur rapat
bersama-sama Thian Hiong, mereka gagah, tetapi dikurung
banyak orang, mereka repot juga, tak dapat mereka
memecahkan kurungan.
Han Tam berkelahi sambil memasang mata keempat
penjuru, dengan lantas ia dapat melihat Thian Hiong terkepung
itu, lantas dengan satu serangan ia paksa Ceng Ceng Jie
mundur, sembari mendesak itu, ia kata, "Dengan memandang
muka suhengmu, aku tidak mau melukai kau, maka mundurlah
kau!" Ceng Ceng Jie terkejut. "Kau siapa, tuan?" ia tanya.
"Kau pulang, untuk tanyakan keterangan suhengmu, nanti
kau ketahui sendiri," sahut Han Tam. "Sekarang aku tak
mempunyai tempo untuk bicara banyak!"
Lalu sambil bersiul nyaring, jago tua ini lompat untuk lari ke
arah Sin Thian Hiong.
Ceng Ceng Jie bingung, ia kata di dalam hati kecilnya, "Tak
perduli apa yang dia bilang benar atau salah, dia katanya kenal
kakak seperguruanku, baik sekarang aku jangan melayani dia
lebih lama pula!"
Tepat itu waktu dua-dua Ong Pek Thong dan Ong Liong Kek,
ayah dan anak, mengasih dengar seruan mereka meminta
bantuan. Ceng Ceng Jie dengar suara orang, seharusnya dia
pergi pada Pek Thong, akan tetapi suaranya Han Tam
membuatnya jeri, ia pergi pada Liong Kek.
Lam Ce In benci sangat pada Liong Kek, ia menyerang
dengan hebat, goloknya dipakai menyerang secara beruntun,
setiap kalinya bertambah hebat. Disamping ia, Thouw Pek Eng
dengan pedangnya menangkis lain-lain musuh.
Selang tiga puluh jurus. Liong Kek lantas terdesak hebat,
dengan terpaksa ia membuka jalan, habis menangkis, ia lompat
mundur untuk lari menyingkir.
Akan tetapi Lam Ce In tidak mau mengerti.
"Kau rasai!" bentaknya, sambil goloknya menyerang dari atas
ke bawah. "Jangan bunuh dia!" teriak Pek Eng, mencegah. "Bekuk
bocah itu hidup-hidup!"
Lam Ce In lantas saja mengerti maksudnya Thouw Pek Eng.
Itulah untuk membekuk puteranya Ong Pek Thong guna
dijadikan orang jaminan.
Ia pikir, "Kelihatannya cuma ada ini satu jalan untuk
membikin Ong Pek Thong membubarkan kurungannya ini!"
Hebat orang she Lam ini, begitu ia berpikir dan setuju, ia
lantas bekerja. Goloknya sudah lantas dikasih bekerja. Hanya
dalam beberapa jurus, kipas besi Ong Liong Kek sudah kena
dikekang. Berbareng dengan itu laur,an kirinya meluncur dalam
tipu silat "Yu Liong Tam Jiauw," atau 'Nay,.' mengulur kuku,"
menyambar ke arah tulang pipa atau tulang selangka lawannya
itu. Ong Liong Kek juga liehay. Dia terdesak, dia melihat
ancaman bahaya. Maka dia berlaku waspada. Ketika disambar
itu, di saat tangan orang hampir tiba pada bajunya, mendadak
dia menjejak tanah untuk lompat berjumpalitan dengan jurus
"Kim Lie Coan Po," atau "Tambra emas meletik menembusi
ombak". Maka bebaslah dia.
Ce In menjadi mendongkol. Dia lompat menyusul dengan
lompatan "Teng In Ciong," atau "Naik di atas mega". Begitu
datang dekat, dia terus membacok.
Sekonyong-konyong ada seorang yang berlompat maju
untuk menghadang. Orang itu gesit sekali. Dia pun sudah
lantas menggunai pedangnya. Maka golok dan pedang beradu
keras sambil memuncratkan lelatu api.
Lantas dia berseru sambil menyapa, "Ilmu golok yang liehay!
Tuan, bukankah kau Lam Pat dari Gui-ciu?"
Orang yang demikian liehay, Ceng Ceng Jie adanya. Tepat
dia menolongi Ong Liong Kek. Karena Ce In terus menyerang,
dia mesti melayani bertempur.
"Tidak salah!" Ce In menjawab. "Lam Pat dari Gui-ciu itulah
aku yang rendah! Kau liehay, tuan, mengapa kau sudi
membantu harimau" Tidakkah kau harus disayangi?"
Ceng Ceng Jie tertawa.
"Di sini bukan tempat bicara!" katanya. "Hari ini juga bukan
saatnya untuk berunding! Kemarin ini di gunung Hui Houw San
tak ada kesempatan untukku menerima pengajaran dari kau,
aku menyesal, maka bagus sekali hari ini kita bertemu pula!
Lebih dulu hendak aku belajar kenal lebih jauh dengan ilmu
golok kau, tuan, kemudian baru aku akan mendengar
nasehatmu! Bagaimana?"
Ong Liong Kek telah dapat memperbaiki kedudukannya,
menenangkan diri. Hanya sebentar, ia menjadi murka. Ia
merasa sangat malu. Maka ia maju pula.
Ia kata nyaring, "Ya! Hari ini, siapa yang menang, dialah
yang kuat! Tak usah melayani dia ngoceh!"
Lalu dia mendahului menyerang.
Ceng Ceng Jie tidak niat dua melawan satu, tak sudi dia
main ngepung, akan tetapi karena sudah terang Liong Kek
bukan lawan dari Lam Pat, terpaksa dia maju juga.
Dia ingat dialah orang undangannya Ong Pek Thong, yang
diundang dengan hadiah luar biasa. Tadi pun ia sudah merasa
tidak enak hati karena adanya Han Tam tak dapat dia
membantui Ong Pek Thong. Sekarang mana dapat dia
membiarkan puteranya Pek Thong mendapat celaka"
Kepandaian Lam Ce In berimbang dengan kepandaiannya
Toan Kui Ciang, seharusnya ia tidak dapat terkalahkan Ceng
Ceng Jie, akan tetapi sekarang keadaannya lain. Sudah sekian
lama ia bertempur, keuletannya menjadi berkurang, sekarang
Ceng Ceng Jie dibantu Ong Liong Kek, yang termasuk tenaga
baru, ia merasa sulit. Belum sampai dua puluh jurus, ia sudah
jatuh di bawah angin.
Thouw Pek Eng juga bertempur terus, dia paksa memukul
mundur beberapa lawannya, habis itu dia memburu kepada Ce
In, lantas berdua mereka bertempur bersama. Dengan begitu
keadaan Lam Pat menjadi tak terlalu berbahaya.


Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hanya sayang, Pek Eng sendiri pun sudah letih, dia tidak bisa
berbuat lebih daripada itu, pihaknya cuma sanggup membela
diri. Tengah keadaan mengancam itu, mendadak ada orang
berseru, "Nona Hee datang!"
Liong Kek mendengar itu, lantas dia tercengang. Tak ayal
lagi dia mencoba berpaling. Maka dia mendapat lihat Hee Leng
Song mendatangi dengan wajahnya bengis. Nona itu bergusar
dengan sepasang alisnya yang lentik bangun berdiri. Seorang
tauwbak maju menyambut padanya, tauwbak itu disampok
mundur. Ia maju terus dengan pedang terhunus.
Lam Ce In heran.
Ceng Ceng Jie cerdik sekali. Justeru lawannya itu menoleh,
justeru dia menyerang hebat, bagaikan kilat pedangnya
menikam Lam Pat.
Justeru itu tibalah Leng Song. Dengan lantas dengan tipu
silat "Peng See Lok Gan," atau "Burung belibis turun di pasir
datar," dengan pedangnya - pedang Ceng Kong Kiam ia
menyerang ke kaki dari saudara seperguruan Khong Khong Jie
itu! Maka berbahayalah dua-dua Lam Ce In yang lengah itu dan
Ceng Ceng Jie yang bernapsu merobohkan musuh. Mereka
berdua sama-sama bergerak dengan sangat cepat.
Ceng Ceng Jie berseru kaget, tubuhnya terus mencelat ke
depan, dengan begitu dia menjadi tertolong dari pedang si
nona. Dengan begitu,
Ce In turut tertolong juga. Ceng Ceng Jie batal meneruskan
menikam padanya.
Ong Liong Kek bingung dan jengah.'
"Nona Hee, apakah benar-benar kau hendak memusuhkan
aku?" dia tanya, ragu-ragu.
"Kau... kau... dengar aku bicara..."
Leng Song memotong, "Segala perbuatan kamu ayah dan
anak, sekarang aku ketahui jelas!" demikian si nona. "Apalagi
yang kau hendak bilang?"
-ooo0dw0ooo- Jilid 11 "Bagaimana?" tanya Liong Kek, bingung. "Jadi di antara kita
sudah tidak ada bicara lagi...?"
"Baik!" seru Nona Hee. "Sekarang aku hendak menanya satu
kali lagi kepadamu! Benar atau tidak kamu telah bikin celaka
pada Toan Tayhiap?"
"Itu?" tanya Liong Kek, heran.
"Tidak!"
"Habis kenapa aku tidak dapat mencari dia?"
"Itu... itu..."
Susah Liong Kek bicara. Mo Lek lantas mendahuluinya.
"Nona Hee, Toan Tayhiap masih hidup!" kata pemuda she
Tiat itu. "Aku tahu tentang tayhiap itu! Mari kita keluar dulu
dari kepungan ini, baru kita bicara!"
"Baik!" menjawab Leng Song, yang percaya orang she Tiat
itu. Lantas ia menoleh pada Liong Kek dan membentak, "Masih
kau tidak mau menyingkir!"
Kata-kata itu dibarengi dengan tabasan pedangnya.
Liong Kek terkejut sekali. Tahu-tahu tangan bajunya sudah
terbabat kutung. Dia terhuyung mundur sampai beberapa
tindak, mukanya pucat pasi. Meski begitu, dia mengulapkan
tangan seraya berseru, "Kasih dia pergi!"
Leng Song tertawa dingin. "Kau boleh lihat!" bentaknya.
Terus ia menikam. Tapi baru di tengah jalan, ia lantas
menahan, untuk diubah dengan lain jurus.
Tak perduli si nona liehay, Ceng Ceng Jie dapat melayani.
Tiga kali dia diserang, lalu empat kali dia membalas. Selama
itu, tak pernah pedang-pedang mereka beradu. Toh
serangannya masing-masing berbahaya, semua mengarah
anggauta-anggauta yang merupakan tempat-tempat kematian.
Selama itu sudah lantas terlihat kepandaian kedua lawan ini.
Ceng Ceng Jie menang gesit sedikit. Si nona menang untuk
pelbagai jurusnya yang luar biasa.
Mau atau tidak, Ceng Ceng Jie menyedot hawa dingin, la
sudah lantas berpikir, "Aku percaya, dengan bekerja sama
suheng Khong Khong Jie, dapat aku malang melintang di
kolong langit ini, siapa tahu dalam Rimba Persilatan ada begini
banyak orang liehay! Tak usah disebut orang she Han itu,
hanya ini nona di depanku! Untuk dapat merebut kemenangan,
rasanya aku mesti menanti sampai seratus jurus dulu..."
Itu waktu Han Tam sudah berhasil memukul mundur
rombongannya Ong Pek Thong, bersama-sama Sin Thian Hiong
ia telah lepas dari kurungan.
Ceng Ceng Jie yang waspada dapat melihat suasana, ia tahu
tak ada harapan lagi, maka ia lantas berkelit dari si nona, terus
dia ajak Ong Liong Kek mengundurkan diri.
Ketika itu Han Cie Hun berseru, "Ayah, itulah nona Hee!"
Han Tam menjawab anaknya, ia kata pada Leng Song,
"Terima kasih Nona Hee sudah membantu kami! Marilah kita
bicara di luar!"
Cie Hun dan Mo Lek masih dikurung Yan Ie serta
persaudaraan Cio, melihat demikian, Leng Song lari kepada
mereka itu sembari kata, "Adikku, malam itu aku keliru
menyangka jelek padamu!"
Ia lantas menyerang membikin mundur Cio It Liong dan Cio
It Houw! Ong Yan Ie gusar, kata ia keras, "Kakakku berlaku baik
kepada kau, kenapa kau pandang kami kakak beradik sebagai
musuh?" Ia berkelit dari serangannya Mo Lek, lantas ia maju
rrienyerang Nona Hee dengan sebelah tangannya yang kosong.
"Lepas tanganmu!" berseru Leng Song.
Berbareng dengan seruannya itu, pedang si nona menusuk
lengannya Yan Ie. Pedangnya itu mendatangkan sorot berkilau.
Ia juga berbareng menyerang dengan tangan kiri yang kosong.
Ia melakukan ini setelah berkelit dari serangan nona she Ong
itu. Yan Ie terkejut, ia kalah sebet. Tiba-tiba ia merasakan
lengannya nyeri seperti tertusuk jarum. Ia menjerit dengan
pedangnya terlepas dan terlempar. Mo Lek lantas membacok
padanya. Syukur ia masih sempat berkelit, terus ia lari ke dalam
rumpun pohon bunga. Ia melihat lengannya, di situ ada tiga
titik merah, darah yang keluar dari lukadi kulit.
"Sayang! Sayang!" kata Mo Lek berulang-ulang
Ia tidak tahu Leng Song berbuat baik, kalau tidak, lengan
Yan Ie mestinya sudah buntung.
Melihat semua kejadian itu, Kie Tie tertawa dan kata, "Tie
Lotoa, semua sahabatku mau pergi, tak enak kalau ketinggalan
cuma kita berdua, dari itu maaf, aku pun tak dapat menemani
kau lebih lama pula!"
Habis berkata, ia memutar tubuhnya, tepat ia dapat menolak
dua penjahat yang mau mengepung padanya, hingga mereka
itu berdua mental ke depan Tie Swie.
Menyaksikan demikian, Tie Swie lantas menyambar kedua
orang itu yang terpelanting ke arahnya. Ia mencekal keras
sampai mereka menjerit-jerit seperti dua ekor babi berkuwingkuwing!
Bukan main mendongkolnya ia, lekas-lekas ia
melepaskan cekalannya, niatnya menyusul lawannya.
Akan tetapi waktu itu Ciu-kay si Pengemis Pengarakan sudah
berkumpul bersama Han Tam semua, berlalu dari medan
pertempuran itu.
Ong Pek Thong menyesal bukan main. Ia pun malu. Diluar
dugaannya, rahasia sekongkolannya dengan An Lok San telah
dibeber di muka umum. Di antara para hadirin ada tetamutetamu
yang. bukan konconya. Karena ini, dari para tetamu itu,
tujuh atau delapan bagian sudah lantas bubar, sedang dari
konconya sendiri ada separuh yang hatinya telah berubah.
Orang tak setuju dia bekerja sama pihak pembesar negeri.
Mendapat kenyataan musuh demikian tangguh, Pek Thong
dan Ceng Ceng Jie juga tidak berani mengejar, mereka cuma
bisa berseru-seru beraksi saja...
-ooo0dw0ooo- Rombongannya Sin Thian Hiong telah lekas meninggalkan
Liong Bin Kok. Han Tam tertawa sendirinya setelah menyaksikan tak ada
musuh yang mengejar.
"Dengan pertempuran ini kita tidak memperoleh
kemenangan tetapi dengan begini kita berhasil memberi
pukulan kepada Ong Pek Thong! Mereka menjadi renggang
satu dengan lain dan kaum Rimba Hijau pun tak bakal kena lagi
didustai mereka!"
Selagi begitu, Kie Swie menghampirkan Hee Leng Song, ia
memandang si nona dengan teliti, ia mengeleng-gelengkan
kepalanya. Lalu katanya sangat kagum, "Sungguh seorang nona yang
elok! Sungguh mirip dengan Leng Liehiap di jamannya liehiap
itu!" Kie Tie mengasih turun buli-bulinya, ia gelogoki itu ke
mulutnya, untuk menenggak air kata-katanya, habis itu ia kata,
"Akulah yang dipanggil Ciu-kay Kie Tie! Nona Hee tentunya
pernah mendengar ibumu menyebut-nyebut aku...!"
"Belum pernah..." sahut si nona.
Pengemis itu ketemu barunya, hingga ia melengak. Lantas ia
tertawa. Mulutnya sudah berkelemik, hendak mengatakan
sesuatu tetapi batal. Sebagai gantinya, untuk menutupi malu, ia
tertawa. Lam Ce In hendak mencegah kejengahan, ia lantas berkata,
"Nona Hee, kau telah membantu banyak kepada kami, untuk
itu aku menghaturkan diperbanyak terima kasih!"
"Kau aneh!" kata si nona. "Kenapa kau repot dengan ucapan
terima kasihmu" Kau telah mengantar melindungi Paman Toanku,
untuk itu aku belum menghaturkan terima kasih padamu!"
Inilah jawaban yang tidak disangka-sangka Ce In. Ia seperti
ketemu pakunya. Ia jengah. Itulah rasa pahit-pahit manis!
Benar Leng Song telah menegur padanya tetapi teguran itu
menyatakan tegas si nona telah memandangnya sebagai orang
sendiri... "Mo Lek," kemudian Nona Hee tanya si anak muda, "Kau'
bilang Paman Toan mau pergi ke kelenting Ceng Hie Koan di
gunung Giok Sie San, kota Liang-ciu, sebenarnya untuk apakah
itu?" Mo Lek telah menerangkan apa yang terjadi di gunung Hui
Houw San, maka ia menambahkan, "Mereka diundang oleh
Khong Khong Jie yang hendak membayar pulang anak mereka."
"Oh, kiranya begitu!" kata si nona. "Kalau begitu,
dibandingkan dengan adik seperguruannya, Khong Khong Jie
masih boleh dibilang bukannya seorang busuk!"
Han Tam campur bicara, ia kata, "Selama beberapa tahun ini
aku belum pernah ketemu dengan Khong Khong Jie akan tetapi
aku menaruh perhatian terhadap sepak terjangnya, aku
mendapat kenyataan dia cuma rada berandalan, yaitu dia suka
menemui lawan yang setimpal dan karena namanya menjadi
terkenal, dia juga tak luput dari kejumawaan, akan tetapi dia
belum pernah melakukan kejahatan. Kali ini perbuatannya itu
disebabkan dia kena dipedayakan Ong Pek Thong ayah dan
anak." Mendengar disebutnya nama Ong Pek Thong dan anak itu,
Leng Song berduka, dia lantas runduk dan tak berkata suatu
apa lagi. "Nona Hee," Ce In bertanya, "Sukakah nona mengasih
keterangan bagaimana caranya maka dahulu hari nona dapat
berkenalan dengan ayah dan anak itu?"
"Tentang itu tidak ada yang aneh!" sahut si nona. "Kita
bertemu di tengah jalan! Adalah umum orang Kang Ouw biasa
merantau dan umum juga kita bertemu dengan orang-orang
yang tidak dikenal. Tentu sekali aku tidak tahu bahwa
merekalah berandal-berandal Rimba Hijau!"
Kembali Ce In "menemui pakunya". Kembali ia merasa pahitpahit
manis. Sebagai orang yang berpengalaman, dapat ia
menerka bahwa tadinya Leng Song berkesan baik terhadap
Ong Liong Kek, bahwa mungkin ada terselip urusan asmara.
Hanya sekarang sirnalah sang asap dan buyarlah sang mega...
"Nona Hee," berkata Han Tam, "Rumahku terpisah dari sini
cuma tiga puluh lie, bagaimana jikalau aku minta nona suka
mampir padaku untuk beristirahat?"
"Terima kasih, Han Lo-cianpwe," menyahut si nona. "Aku
telah mempunyai janji dengan Toan Tayhiap untuk
menjenguknya di gunung Hui Houw San, lantaran ada suatu
urusan, aku telah terlambat beberapa hari. diluar dugaan, Toan
Tayhiap telah mendapatkan peristiwanya itu, sekarang setelah
aku ketahui di mana beradanya ia, hendak aku lekas
menyusulnya ke Giok Sie San!"
Habis berkata, Nona Hee bersiul nyaring dan panjang. Atas
itu segera terlihat seekor kuda putih lari keluar dari dalam
hutan, untuk menghampirkan si nona. Kuda itu dapat lari keras.
Tiat Mo Lek kagum, dia kata, "Kuda ini dilihatnya tidak
menarik perhatian, siapa tahu dia nyata jauh terlebih baik
daripada kuda merah miliknya ayahku dahulu hari!"
Leng Song sudah lantas lompat naik atas kudanya, dengan
merangkap kedua tangannya kepada orang banyak ia meminta
diri, guna segera berangkat menyusul Toan Kui Ciang.
"Nona Hee," kata Ce In tiba-tiba, "Aku hendak bicara lagi
sedikit..."
"Apakah itu?" tanya si nona singkat.
"Mengenai urusan dengan Hong-hu Siong itu," kata Lam Pat.
"Sepulangnya aku, akan aku minta keterangan pada guruku,
mungkin aku akan memperoleh penjelasan, mungkin nanti aku
dapat membantu kau mencari padanya, dari itu tolong nona
meninggalkan alamatmu."
"Arah kepergianku sukar ditentukan," sahut si nona. "Aku
pikir lebih mudah untuk aku yang mencari kau. Maka itu baiklah
setelah aku bertemu dengan Paman Toan, akan aku turut
paman pergi ke Thay-goan guna mencari kau di sana!"
Ce In setuju, bahkan ia gembira sekali.
"Baik!" sahutnya. "Baik, aku nanti menunggui kau di
gedungnya Kwe Thaysiu di kota Kiu-goan."
Nona Hee sudah lantas mengeprak kudanya lari, hingga Ce
In mesti mengawasi kepergiannya itu.
"Paman Lam!" Mo Lek menegur, "Orang telah pergi jauh!
Kelihatannya paman masih hendak membicarakan sesuatu
dengannya, kenapa paman tidak mau lekas-lekas
memanggilnya" Sekarang sudah tak keburu lagi, maka mari kita
pun berangkat."
Mukanya Ce In menjadi merah.


Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Setan cilik, mulut jahil!" tegurnya secara bergurau.
"Urusan dengan Hong-hu Siong?" kata Kie Tie tiba-tiba.
"Bukankah nona itu hendak menuntut balas terhadap Hong-hu
Siong?" "Benar," sahut Mo Lek. "Hanya urusan itu masih menjadi
persoalan. Hong-hu Siong bilang bukannya dia yang membunuh
tetetapi Toan Siokhu menyebut dia..."
"Tunggu dulu, tunggu dulu!" kata Kie Tie pula. "Dia hendak
menuntut balas untuk siapa" Apakah buat ibunya?"
Ce In heran hingga ia mengawasi jago tua itu.
"Mungkinkah lo-cianpwe ketahui perkara itu?" ia tanya.
"Nona itu tidak membilang dia mau melakukan pembalasan
untuk ibunya, dia hanya bilang dia menerima perintah ibunya
untuk menyingkirkan satu orang yang berbahaya untuk dunia
Kang Ouw. Menurut Toan Tayhiap, di malam pernikahan
mereka, kemanten laki-laki yang terbinasa di tangan Hong-hu
Siong ialah Hee Seng To yang menjadi ayahnya si nona. Hanya
tak jelas hubungan perkara itu dengan keluarga si nona
lantaran si nona sendiri tak tahu duduknya hal. Mendengar
keterangan beberapa pihak, cuma-cuma aku menjadi tambah
pusing dibuatnya. Lo-cianpwe suka memberi pen
Kisah Para Pendekar Pulau Es 21 Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Pendekar Panji Sakti 12

Cari Blog Ini