Ceritasilat Novel Online

Kisah Pedang Di Sungai Es 16

Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen Bagian 16


pengalaman Kok Tiong-lian berdua didalam istana. Maka ia menjadi bimbang
sesudah sekian lamanya tiada kelihatan sesuatu gerak-gerik
kedua kawannya itu.
Kira-Kira pukul dua, tiba-tiba dilihatnya diujung timur sana
ada suatu tempat terbakar. Tapi bukan api Coa-yam-cian. Ia
tidak tahu bahwa saat itu Danu Cu-mu sedang bertempur
dengan Thian-mo-kaucu dikamarnya Yap Tiong-siau dan
rumah itu telah terbakar kena granat api yang dilepaskan
Thian-mo-kaucu. Tap; Cu-mu telah dapat menyelamatkan Yap
Tiong-siau hingga dia tidak perlu melepaskan Coa-yam-cian
untuk minta bantuan Kang Hay-thian.
Dan karena tiada melihat tanda-tanda minta bantuan,
dengan sendirinya Kang Hay-thian tidak leluasa buat tinggal
pergi, dengan sabar ia menunggu terus.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba dilihatnya beberapa
bayangan orang berlari kearahnya. Dibawah sinar bulan, dan
dari tempat tinggi memandang kebawah, dengan sendirinya
Kang Hay-thian dapat melihat jelas keempat orang itu ternyata
adalah Bun Ting-bik. Thian-mo-kaucu, Auyang Tiong-ho dan
Auyang Wan. Melihat Auyang Wan juga berada diantara rombongan itu,
hati Hay-thian lantas berdebar-debar. Tentang pengorbanan
Auyang Wan yang telah membelanya dengan mati-matian
ketika dia hendak dibunuh Thian-mo-kaucu dalam keadaan
takbisa berkutik lantaran minum Thran-sim-ciok tempo hari,
semuanya itu pernah diderigar-nya dari Kok Tiong-lian, maka
ia merasa utang budi, sekalipun itu tidak berarti ia mencintai
Auyang Wan, tapi kebaikan itu sudah terukir selamanya dalam
lubuk hatinya. Rombongan Auyang Wan makin lama makin dekat dan hati.
Kang Hay-thian juga tambah berdebar. Lambat-laun suara
perca-kapan keempat orang itupun sayup-sayup terdengar,
mereka seperti sedang ribut mulut.
Terdengar Bun Ting-bik lagi berkata: "Auyang-cinkeh,
hendaklah kau mengambil tindakan yang tegas. Nona Wan
sudah dua kali membiluk keluar dan merusak urusan kita.
Harini membela Yap Tiong-siau pula hingga lolos, coba
katakan, tiara bagaimana nanti harus kita laporkan kepada
Hongsiang?"
"Ya, budak ini masih terlalu muda dan tidak tahu urusan,
sesudah pulang dirumah tentu akan kuberi hajaran pantas,"
sahut Auyang Tiong-ho. "Bun-cinkeh, silakan kau mengingat
hubungan pamili kita sukalah menutupi kejadian tadi
dihadapan Hongsiang, dan segala urusan tentu akan menjadi
beres." "Tapi besok dalam pertemuan Kim-eng-kiong kalau ada
orang tanya padaku mengapa seorang bocah ingusan saja
takbisa membekuknya, padahal orang luar menyohorkan Kim
Si-ih juga bukan tandinganku, lantas kemana mukaku ini harus
kutaruh?" sahut Bun Ting-bik.
"Auyang-siansing," Thian-mo-kaucu ikut bicara dengan
nada dingin, "jarum berbisa puterimu itu untung tidak sampai
membikin jiwaku amblas, utang itu aku boleh tidak pikirkan
lagi. Tapi tugas yang kuterima dari Hong-ek-nio telah
digagalkan oleh puterimu malam ini, kukira urusan selanjutnya
terpaksa harus tergantung kepada puterimu ini."
"Kentut!" damperat Auyang Wan mendadak. "Kepandaian
karian sendiri yang tidak becus hingga kakak Kok Tiong-lian
sempat menolong pergi Yap Tiong-siau, apa sangkut-pautnya
dengan aku?"
Kejut Auyang Tiong-ho tak terhingga, cepat ia membentak:
"Budak setan, kau berani mengoceh lagi, sekali hantam segera
kumampuskan kau. Kaucu, Cinkeh. maafkan, jangan kalian
pikirkan kelakuan anak kecil yang tidak tahu adat ini."
"Hm, puterimu bilang kepandaianku yang tak becus, ya, itu
memang betul," jengek Thian-mo-kaucu "Tapi, waktu itu
bocah she Yap itu sudah hampir dibekuk oleh Bun-hukaucu
dan bila puterimu yang manis itu tidak merintangi mendadak,
tentu sejak tadi bocah she Yap itu sudah menjadi tawanan
kita." "Ya, sudah tentu dia bersalah, harap Kaucu diangan marah,
ter-malah permintaan maafku ini," sahut Auyang Tiong-ho.
Tapi Thian-mo-kaucu telah mengelakkan d:ri, katanya
dengan dingin: "Ah, mana aku berani terima! Auyang-siansing,
kau sendiri adalah seorang tokoh persilatan terkemuka, maka
lebih baik kita bicara secara blak-blakan saja. Tidaklah susah
kalau aku hendak membekuk sibocah Yap Tiong-siau itu, tapi
untuk melawan Kok Tiong-lian kakak beradik memang
kepandaianku masih kurang becus, apa yang dikatakan
puterimu tadi memang benar. Sebab itulah, karena
kepandaianku kurang becus, maka aku perlu minta pinjam
tenaga puterimu."
Keruan Auyang Tiong-ho terkejut, katanya: "Kaucu,
maafkan aku tidak paham apakah maksud ucapanmu itu"
Anak kecil seperti dia bisa berbuat apa, mengapa kau ingin
pinjam tenaganya?"
"Habis, Yap Tiong-siau sekarang sudah termasuk
begundalnya Kok Tiong-lian kakak beradik," sahut Thian-mokaucu,
"puterima sendiri sudah ada budi kepada Yap Tiongsiau
dan pernah membela Kang Hay-thian pula, tentu saja Kok
Tiong-lian juga sangat berterima kasih padanya Makanya,
hehe, aku ingin menahan puterimu d;sini, dengan demikian
mereka tentu dapat dipancing datang lagi. Dan dengan para
kawan yang tidak sedikit jumlahnya didalam istana !ni
masakah kita takdapat membekuk mereka?"
Bun Ting-bik ternyata mempunyai maksud yang sama
seperti Thian-mo-kaucu itu. Dia menaksir kalau bergabung
dengan kepandaian Thian-mo-kaucu, mungkin mereka masih
dapat melawan Kok Tiong-lian kakak beradik, ditambah lagi Le
Hok-sing, kedua saudara Loh dan lain-lain, andaikan Kang
Hay-thian ikut datang juga tidak perlu kuatir lagi. Maka segera
iapun membuka suara: "Benar, apa yang dimaksudkan Kaucu
itu memang tepat. Nah, Auyang-cinkeh. silakan kau pulang
saja dan mohon pinjam dulu puterimu ini."
Seketika air muka Auyang Tiong-ho berubah hebat,
katanya: "Bun-cinkeh, sebenarnya kalian apakan puteriku ini?"
"Tiada apa-apa," sahut Ting-bik dengan dingin. "Kami akan
menyerahkan dia kepada baginda raja, ya, tentu juga tak
terhindar dari sedikit penderitaan."
"Bun-cinkeh," teriak Auyang Tiong-ho, "sesudah budak
besar tu meninggal, sekarang kau tidak pikir lagi hubungan
besanan kita?"
"Auyang-siansing," tiba-tiba Thian-mo-kaucu menyela,
"puterimu yang tertua itu justeru mati karena merindukan Yap
Tiong-siau. kan?"
Saking gusar hingga mata Auyang Tiong-ho mendelik,
teriaknya dengan terengah-engah: "Kau?"" kau terlalu
menghina orang!"
"Tia. Cici meninggal gara-gara perbuatan orang she Bun,
besanan ini perlu apa kita pertahankan lagi" Keluarga Auyang
kita dari Cong-lam-san masa pernah jeri kepada orang?" kata
Auyang Wan tiba-tiba.
"Tepat ucapanmu ini, nona Wan," seru Bun Ting-bik dengan
terbahak-bahak. "Dan sekali hubungan besenan kita sudah
putus, janganlah kau sesalkan lagi padaku."
Habis berkata, sekonyong-konyong ia terus mencengkeram
kepunggung Auyang Wan.
Auyang Wan hanya kenal Pi-lik-ciang dan Lui-sin-cy
ayahnya tiada tandingan didunia. ini, sebaliknya tidak tahu
betapa lihay-nya Bun Ting-bik, maka ia sengaja berusaha agar
ayahnya bertengkar sendiri dengan Bun Ting-bik, dengan
demikian akan gagallah segala usaha keji rombongan Thianmokaucu itu. Tapi Auyang Tiong-ho sendiri cukup kenal
kepandaian Bun Ting-bik, keruan ia mengeluh.
Namun betapapun juga Auyang Tiong-ho adalah suatu
gembong iblis juga, meski tahu takbisa melawan, tapi juga
tidak terima dihina mentah-mentah. Segera ia memapak
dengan sekali pukulan sambil membentak: "Wan-ji, lekas lari
kau!" Selagi Auyang Wan hendak angkat kaki, tiba-tiba terasa
serangkum kekuatan raksasa mencengkeram dari belakang
hingga tanpa kuasa ia tertarik mundur lagi.
Jarak Bun Ting-bik dengan Auyang Wan ada dua-tiga meter
jauhnya, tapi tenaga cengkeraman dari jauh itu benar-benar
mana lihay hingga Auyang Wan takbisa berkutik.
Dan pada saat itulah lantas terdengar suara "blang" sekali,
kedua tangan Bun Ting-bik dan Auyang Tiong-ho telah
beradu. Seketika darah didalam dada Tiong-ho bergolak, isi
perutnya seakan-akan jungkir balik. Selagi Tiong-ho hendak
melontarkan Lui-siu-ci, sementara itu Bun Ting-bik sudah
mendahului menutuk sambil tertawa daq mengejek: "Maaf,
Auyang-cinkeh!"
Dalam pada itu karena rintangan ayahnya hingga Auyang
Wan terlepas dari cengkeraman Bun Ting-bik, segera gadis itu
berlari lagi kedepan.
Tapi Thian-mo-kaucu sudah mengincarnya. "Nona Wan,
marilah kubelajar kenal pula dengan jarummu itu!" Dan
dengan tertawa. tahu-tahu ia sudah melayang sampai didepan
Auyang Wan. Sudah tentu semuanya itu disaksikan dengan jelas oleh
Kang Hay-thian. Semula ia masih ragu-ragu, tapi demi nampak
Auyang Wan benar-benar dalam bahaya, ia takbisa tinggal
diam lagi, sekonyong-konyong ia menggertak sekali sambil
berjumpalitan dan meloncat kebawah.
Datangnya Kang Hay-thian itu benar-benar diluar dugaan,
keruan Auang Wan kegirangan, segera ia berseru: "Hay-ko!"
tapi saat itu juga pergelangan tangannya sudah kena juga
dipegang Thian-mo-kaucu, menyusul Thian-mo-kaucu terus
mengangkatnya keatas untuk memapak serangan Kang Haythian
dari udara itu.
Saat itu bagaikan elang raksasa Kang Hay-thian sedang
menyambar kebawah sambil cengkeram keatas kepala Th"anmokaucu, tapi dasar lawan yang sangat licin. Auyang Wan
telah dipakai sebagai tameng, padahal daya turunnya Kang
Hay-thian dari atas itu sangat cepat dan hebat sekali, jika
cengkeramannya kena, tentu Auyang Wan akan binasa.
Pada saat berbahaya itu, syukur Kang Hay-thian sempat
bertindak, mendadak kedua kakinya menendang kosong
diudara, dengan tenaga pancaran itu tubuhnya mendadak
mengapung kesamping hingga dua-tiga meter jauhnya. lalu
dengan enteng la turun ketanah.
Melihat ada kesempatan, Bun Ting-bik tidak tinggal diam,
pada ketika Kang Hay-thian belum tancap kaki dengan betul,
segera ia menghantamnya sekali.
Kontan Kang Hay-thian membalik tangannya memapak. Ia
merasa tenaga lawan seperti ada dan seperti tak ada,
sebaliknya ia sendiri sampai tergelincir hingga dua tindak.
Tengah Kang Hay-than terkesiap, sekonyong-konyong Bun
Ting-bik membentak lagi, kembali pukulannya dilontarkan
pula. Kiranya Bun Ting-bik memang licik dan lfcin, ia tahu tenaga
dalam Kang Hay-thian pasti bertambah hebat sesudah makan
Thian-sim-ciok, maka sengaja ia memakai akal, ia
menggunakan gaya "mengelak", lebih dulu ia mengelakkan
sebagian tenaga lawan yang hebat itu, habis itu ia lantas balas
menyerang dengan cepat. Dan memangnya ilmu silatnya
sudah tergolong sempurna, ia dapat bertindak menurut
keadaan, maka semula Kang Hay-thian kena diselomoti.
Tapi Lwekang Kang Hay-thian memang sudah kuat
ditambah lagi makan tiga biji Thian-sim-ciok, dalam hal tenaga
benar-benar jauh diluar perhitungan Bun Ting-bik. Waktu
mendadak Kang Hay-thian mengikuti akal licik lawan dan
sekaligus melontarkan serangan balasan, sekonyong-konyong
Bun Ting-bik merasa tenaga lawan bagaikan gugur gunung
dahsyatnya terus menerjang kearahnya. Bahkan susul
menyusul tenaga lain ikut membanjir tiada habis-habis dan
susah dielakkan lagi.
Keruan Bun Ting-bik sangat tcrkejut, lekas-lekas ia tarik
kembali tangannya dan melompat kebelakang, namun
pandangannya menja di gelap, darah segar terus menyembur
keluar dari mulutnya.
Dalam keadaan begitu kalau Kang Hay-thian hendak
menghabiskan nyawa Bun Ting-bik sebenarnya sangat
gampang. tapi saat itu ia buru-buru ingin menolong Auyang
Wan hingga tidak sempat mengurusi Bun Ting-bik lebih jauh.
Waktu itu dengan menggunakan Auyang Wan sebagai
tameng. Thian-mo-kaucu sudah sempat melarikan diri hingga
puluhan meter jauhnya. Auyang Tiong-ho tampak
mengejarnya dari belakang, tapi selalu ketinggalan.
Cepat Hay-thian berteriak: "Kaucu, mengingat kebaikanmu
dahulu aku takkan bikin susah padamu, maka harap kau
lepaskan nona Auyang, kalau tidak, jangan kau salahkan aku
tidak kenal kau lagi!"
"Hay-thian, sesudah memiliki Kok Tiong-lian, buat apa kau
menguber nona Wan lagi?" sahut Thian-mo-kaucu dengan
tertawa. Hay-thian menjadi gusar, sekali meloncat, secepat anak
panah terlepas dari busurnya ia terus melayang kedepan.
"Auyang-cinkeh, hendaklah kau ambil keputusan yang tegas
jika kau masih pikirkan keselamatanmu!" tiba-tiba Bun Tingbik
berseru. Saat tu Kang Hay-thian sedang mengejar kesuatu arah
yang sama dengan Auyang Tiong-he, yaitu menguber Thianmokaucu. Hay-thian mengejar belakangan, tapi dapat
mendahului, ketika itu ia baru saja melampaui didepan Auyang
Tiong-ho, jaraknya dengan Thian-ino-kaucu hanya t:nggal
beberapa meter saja Tak terduga sama sekali Auyang Tiongho
tidak bersuara, tapi jarl nya terus menutuk sekeraskerasnya
dan kena "Ciang-bun-hiat" dipunggung Kang Haythian.
Kiranya setelah mengadu pukulan dan tutukan jari dengan
Bun Ting-bik tadi, Auyang Tiony-ho telah kena tertutuk Hiat-to
halus nya, luka ini tidak kelihatan dan tidak lantas bekerja, tapi
lambat-laun akan membahayakan jiwanya. Sedangkan ilmu
tutukan itu adalah cara tunggal Bun Ting-bik sendiri selain dia.
orang luar susah menolongnya. Sebagai seorang ahli. dengan
sendirinya Auyang Tiong-ho kenal lihaynya lawan, ia pikir demi
jiwanya sendiri, terpaksa mesti korbankan puteri
kesayangannya itu. Apalagi Bun Ting-bik sudah mengeluarkan
ancaman pula, dalam keadaan kepepet terus saja ia


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membokong Kang Hay-thian.
Sudah tentu serangan itu sama sekali diluar dugaan Kang
Hay-thian, ia sangka Auyang Tiong-ho tadi sudah bergebrak
dengan Bun Ting-bik, tentu kini sudah berdiri dipihaknya.
Sungguh tak terduga bahwa mendadak Auyang Tiong-ho bisa
membokongnya malah, dari itu sedikitpun ia tidak siap sedia.
Meski dia memiliki ilmu sakti pelindung badan, tapi Ciang-bunhiat
itu adalah Hiat-to mematikan, tidak urung ia merasa sakit
tidak kepalang hingga banyak pengaruhi tenaga murninya
Masih untung dia habis minum Thian-sim-ciok, kalau tidak,
andaikan tidak mati juga pasti terluka parah. Dan dalam kaget
dan gusaroya, kontan ia lantas balas menghantam
kebelakang. Auyang Tiong-ho sendiri juga sama sekali tidak menduga
bahwa setelah tertutuk Ciang-bun-hiatnya, mendadak Kang
Hay-thian mampu balas menyerang juga Keruan ia kaget dan
tidak sempat menghindar. seketika ia terancam dibawah
pukulan Kang Hay-thian itu. Untung sekilas Hay-thian menoleh
dan dapat melihat air muka Auyang Tiong-ho yang kaget dan
cemas itu. ia menjadi tidak tega, jelek-jelek toh orang adalah
ayahnya Auyang Wan yang lagi hendak ditolong olehnya.
Maka dalam saat yang menentukan mati hidupnya Auyang
Tiong-ho itu, sekonyong-konyong ia sempat menarik kembali
pukulannya hingga jiwa Auyang Tiong-ho tidak jadi melayang.
Tapi sebab itu juga jaraknya dengan Thian-mo-kaucu
menjadi ketinggalan agak jauh. Terpaksa ia menguber lagi
sekuat-nya. Setelah mengitari bukit, baru saja Kang Hay-thian hampir
menyusul, tiba-tiba terdengar suara gerangan keras yang
menusuk telinga, dua ekor binatang aneh berbulu emas tahutahu
menubruk tiba. Itulah kedua ekor Kim mo-soan Menyusul
dibelakang kedua ekor binatang itu adalah seorang pemuda
berambut panjang. Kang Hay-thian kenal pemuda itu dalah Le
Hok-sing yang juga menjabat sebagai Hukaucu dari Thian-mokau.
Hay-thian kenal asal-usul kedua ekor Kim-mo-soan itu
adalah sobat baik gurunya, maka ia tidak ingin mencelakai
mereka. Ketika salah seekor binatang itu menubruk tiba terus
hendak menggigit, terpaksa ia berkelit kesamping dengan
Thian-lo-poh-hoat. Tapi gerak-gerik kedua ekor Kim-mo-saon
itu gesit luar biasa, hampir saja Hay-thian kena dicengkeram
mereka. Dalam pada itu. dengan cepat sekali Le Hok-sing juga
sudah memburu tiba dengan memutar senjata Giok-jio. Haythian
mengkerut kening. sekonyong-konyong ia berjumpalitan
sekali ketika kedua ekor Kim-mo-soan itu menubruk maju
pula, mendadak Hay-thian membentak dengan keras,
berbareng ia menghantam kearah gunung-gunungan
disampingnya hingga pecahan batu bertebaran, walaupun
batu kerikil itu tidak sampai melukai Kim-mo-soan, tapi
mereka-pun bercuit kesakitan terciprat batu-batu kerikil itu.
terpaksa mereka barus melompat menyingkir.
Disana Le Hok sing segera mengayun serijatanya pula,
dikala Kang Hay-thian belum sempat menegak kembali, cepat
Giok-jin lantas menutuk Tapi sekali Hay-thian menyelentik.
"cring". Giok-jio Le Hok-sing itu terjentik kesamping.
sebaliknya Kang Hay-th:an juga merasa tangannya panas
pedas. Ia terkesiap: "Aku sudah mengeluarkan ilmu jari sakti,
tapi takdapat menjatuhkan Giok-jio yang dipegangnya,
masakah kepandaiannya lebih tinggi darpada Bun Ting-bik?" ,
Padahal kepandaiaa Le Hok-sing sebenarnya setingkat
dengan Bun Ting-bik, masing-masing mempunyai,
keunggulannya sendiri-sendiri, tapi kalau bicara tentang
Lwekang, betapapun Bun Ting-bik ada lebih kuat sedikit.
Namun waktu itu Bun Ting-bik sudah payah karena muntah
darah kena getaran pukulan Kang Hay-thian tadi. sebaliknya
Le Hok-sing dapat melawan dengan cekatan, hal ini
disebabkan Kang Hay-thian sendiri juga baru kena dibokong
oleh Auyang Tiong-ho, pula Le Hok-sing bersenjatakan Giokjio
yang merupakan salah sebuah pusaka tinggalan Kau Pakbeng,
benda itu keras lagi antap. maka tenaga jentikan Kang
Hay-thian tadi sebagian besar telah kena ditahan oleh Giok-jio
yang hebat itu.
Pernah Kang Hay-thian mendengar cer"ta dari paman
angkat-nya, yaitu Ki Hiau-hong, bahwa Le Hok-sing ini besar
kemungkinan adalah sanak keluarganya Le Seng-lam.
Sedangkan Le Seng-lam adalah isterinya Kim Si-ih, mengingat
gurunya, dengan sendiri nya Hay-thian segan mencelakai
lawannya itu. Maka ketika ia menyelentik pula, ia hanya
tambahi tenaganya hingga mau-tak-mau Le Hok-sing merasa
lengannya pegal linu.
Le Hok-sing sangat setia kepada Thian-mo-kaucu, biarpun
insaf bukan tandingan Kang Hay-thian, tapi ia masih bertahan
te-i rus takmau lari. Segera ia bersuit menyuruh kedua ekor
Kim-mo-soan mengeroyok maju Karena itu, akhirnya Kang
Hay-thian menjadi kewalahan. Untung Bun Ting-bik terluka
dan dalam waktu singkat belum bisa pulih tenaganya, maka ia
tidak berani maju membantu. Kalau tidak, tentu celakalah
Kang Hay-thian.
Dan sesudah Hay-thian melawan belasan, jurus lagi dengan
sekuat tenaga, dalam pada itu Thian-mo-kaucu sudah lari
semakin jauh hingga hampir lenyap dari pandangan.
Keruan Kang Hay-thian sangat gelisah, pada saat itu juga
kedua ekor Kim-mo-soan sedang menubruk maju pula.
Sekonyong-konyong Hay-thian sedikit berjongkok kebawah,
dan dengan gesit sekali, cakar kedua ekor Kim-mo-soan itu
telah kena cengkeram dipundak Hay-thian.
Le Hok-sing sangat girang dengan. Giok-jionya segera ia
bermaksud menutuk Hiat-to lawan Tak terduga mendadak
terdengar Kang Hay-thian menggertak sekali. tahu-tahu
orangnya meloncat naik keatas. bukannya Kim-mo-soan
berhasil mencengkeramnya, sebaliknya sebelah tangan Kang
Hay-thian masing-masing telah kena cengkeram seekor Kimmosoan terus diangkat keatas diputarnya sekali secepat
angin, lalu kedua Kim-mo-soan dilemparkannya ke-udara.
Kiranya Kang Hay-thian benar-benar dalam keadaan serba
susah, ia tidak ingin mencelakai nyawa kedua ekor Kim-mosoan,
tapi harus pula berusaha menghindarkan keroyokan
mereka. Maka terpaksa ia mengambil risiko dicengkeram
kedua ekor Kim-mo-soan, ia sudah perhitungkan tempat yang
akan dikorbankan itu, ia kerahkan ilmu pelindung badannya,
maka cakar Kim-mo-soan yang tajam itu paling-paling cuma
melukai sedikit kulitnya saja. Sebaliknya pada saat lain Kang
Hay-thian lantas menggunakan Kim-cia-jiu-hoat, secepat kilat
ia pegang tengkuk kedua Kim-mo-som itu, dan sekali dia
angkat keatas, binatang-binatang itupun tak berdaya lagi.
Sesudah makan Thian-sim-ciok, tenaga Kang Hay-thian
sudah luar biasa, maka bobot kedua ekor Kim-mo-son yang
mendekati 300 kati itu baginya mirip kucing saja entengnya
dan terus dilemparkan keudara, begitu keras lemparan itu
hingga kedua ekor Kim-mo-soan Itu jatuh keatas bukit. ,
Tentu saja Le Hok-sing terperanjat, dalam pada itu dengan
cepat luar biasa, tahu-tahu Kang Hay-thian sudah menubruk
maju ke arahnya, dengan tipu "Ji-liong-jio-cu" atau dua ekor
naga berebut mutiara, dua jarinya terus mencolok kedua
matanya. Dalam keadaan gugup, dengan sendirinya Le Hok-sing
angkat Giok-jio buat menangkis. Maka terdengarlah Hay-thian
membentak: "Kena" berbareng kedua jarinya itu memutar
untuk menahan Giok-jio orang, sedangkan tangan lain lantas
menepuk sekali dipundak lawan.
Kontan saja Le Hok-sing lemas pegal dan takbisa berkutik
lagi. Kiranya gerakan Kang Hay-thian hendak mencolok mata
lawan itu hanya tipu pancingan belaka, serangan yang benarbenar
adalah tepukannya itu. Kalau Le Hok-sing tidak gugup
mungkin takkan begitu gampang dirobohkan. Tapi kini Kohcinghiat dipundaknya telah kena ditepuk, untuk bisa bergerak
lagi paling sedikit harus satu jam kemudian.
Beruntun-runtun Kang Hay-thian bertempur tiga babak,
pertama kali melukai Bun Ting-bik, kemudian mengalahkan
Auyang Tiong-ho-dan akhirnya melemparkan kedua ekor Kimmosoan dan meroboh kan Le Hok-sing. Kini ia tiada rintangan
lpgi, namun Thian-mo-kaucu waktu itu sudah menghilang
entah kemana. "Nona Auyang, dimanakah kau?" teriak Hay-thian.
Dari jauh ia dengar suara jeritan tajam Auyang Wan sekali,
rupanya leher nona itu lantas dicekik orang hingga suaranya
berhenti mendadak. Mungkin sudah lantas ditutuk oleh Thianmokaucu. " Namun dengan sedikit suara itu sudah dapat diketahui
arahnya oleh Kang Hay-thian. Segera ia menggunakan
Ginkang yang tinggi untuk menguber kejurusan datangnya
suara itu. Sambil menggondol Auyang Wan, dengan sendirinya Thainmokaucu takbisa lari cepat dan akhirnya dapat disusul Kang
Hay-thinn, jarak mereka makin lama makin dekat. Pikir Haythian;
"Untung dia tidak menyembunyikan diri, asal dia
sembarangan sembunyi disekitar taman ini, tentu aku takkan
dapat menemukan dia.?"
Ia tidak tahu bahwa Thian-mo-kaucu yang licin itu justeru
sengaja hendak memancingnya. Didepan sana banyak
terdapat pepohonan dan tanaman bunga yang aneka macam.
Tapi Kang Hay-thian tidak perhatikan semua itu, tujuannya
ialah menolong orang,
"Hay-thian, aku nasihatkan kau, lebih baik jangan mengejar
terus," tiba-tiba Thian-mo-kaucu menoleh dan berseru dengan
tertawa. "Kau lepaskan nona Auyang dan aku takkan membikin
susah padamu," sahut Hay-thian.
"Baiklah, ini, ambil dia!" kata Thian-mo-kaucu. Dan tiba-tiba
ia ayun tangannya, serangkum asap berbisa terus
menghambur. Namun Hay-thian sudah siap siaga, segera ia menahan
napas terus menghantam dari jauh hingga asap berbisa itu
tersapu bersih oleh tenaga pukulannya.
"Hm, jangan kau kira dapat memusnakan asap berbisa, lalu
bisa menangkan aku," kata Thian-mo-kaucu. "Kau tentu tahu
bahwa aku masih banyak mempunyai alat-alat sakti lain, maka
ingin ku-nasihatkan kau lagi, lebih baik jangan mengejar lebih
jauh!" "Kau mempunyai kepandaian apa, boleh keluarkan
semuanya!" seru Hay-thian dengan gusar.
"Ya, jika kau tidak jeri, boleh coba kau mengejar kemari
kata Thian-m-kaucu dengan tartawa. Dan tahu-tahu ia
menyusup kedalam semak-semak pohon sana sambil
menggondol Auyang Wan.
Kepandaian Kang Hay-thian tinggi nyayinya pun besar, ia
masih terus mengudak dengan kencang. Tiba-Tiba angin
mendesir pelahan dengan membawa bau amis busuk yang
menusuk hidung. Seutas benda warna-warni mirip ular telah
menyambar tiba.
Kontan Hay-thian menyengkeramnya, tapi ternyata bukan
ular tulen, melainkan seutas selendang sutera yang berwarnawarni
mirip ular. Ketika Hay-thian membetot sekuatnya, maka
terdengarlah suara gedebuk sekali, dari atas pohon terjatuh
seorang wanita. Waktu Hay-thian mengamat-amati, lapatlapat
ia seperti kenal wanita ini adalah "Mo-hujin" yang pernah
mengaku sebagai ibunya Kok Tiong-lian di Bin-san dahulu.
Selendang berwarna itu sebenamya berbisa jahat. untung
Hay-thian sudah berjaga-jaga sebelumnya, ia himpun hawa
murni ditela-pak tangannya hingga segala racun takdapat
meresap kedalam kulitnya. Setelah dia buang selendang
berbisa itu, lalu ia mengejek: "Hayolah, kau menyembunyikan
berapa orang disini, boleh suruh mereka keluar semua!"
"Baiklah. kalian boleh turun semua!" seru Thian-mo-kaucu.
"Biarpun kau menyembunyikan suatu pasukan bala bantuan
juga akan kubekuk kau sebelum kau melepaskan nona
Auyang." jengek Hay-thian sembari menubruk maju terus
mencengkeram pula.
Anehnya sehabis seruan Thian-mo-kaucu tadi, didalam
semak-semak pohon itu keadaan sunyi senyap saja hingga
Hay-thian lebih-lebih mengira orang hanya main gertak saja.
Dan tampaknya cengkeramannya itu sudah hampir mengenai
sasarannya, sekonyong-konyong Thian-mo-kaucu berseru
pula: "Awas kau. Kang Hay-thian!" berbareng ia terus
meloncat kesamping sambil lengan bajunya mengebas keraskeras.
Maka bertebaranlah seketika daun bunga rontok disertai
sari bunga yang berhamburan mengenai badan Kang Haythian
Yang pertama-tama dilindungi Kang Hay-thian adalah
kedua mata agar tidak kelilipan bubuk sari bunga, tiba-tiba ia
merasa kaki-tangan, kepala, leher, semuanya terasa gatal
pegal sekali, berbareng itu hidungnya terendus pula bau yang
sangat wangi. ---ooo0dw0ooo--Jilid 13 Kiranya tumbuh-tumbuhan disekitar Kang Hay-thian itu
adalah aneka macam bunga berbisa yang ditanam Thian-mokaucu,
bukan saja bau harum bunga itu dapat membuat orang
hilang ingatan, bahkan bila kulit orang terkena bubuk sari
bunga itu. seketika kulit daging bisa membusuk. Meski KangHay-thian memiliki ilmu pelindung badan, tapi betapapun
hawa murninya tidak sempat disalurkan kcantero tubuhnya
secara merata hingga dimana tenaga sakti pelindung badan itu
agak lemah, disitu lantas terserang hawa berbisa itu. Untung
Kang Hay-thian sekarang bukan lagi Kang Hay-thian yang
dulu, meski terkena sedikit racun juga tidak sampai roboh
pingsan. Dengan menahan napas segera Hay-than menubruk maju
lagi. Tapi karena terhalang oleh serangan racun bunga itu,
jaraknya dengan Thian-mo-kaucu telah bertambah jauh
hingga cengkeramannya ini luput. Dan ketika kakinya
menyentuh tanah, segera ia bermaksud meloncat kedepan
untuk menyerang pula. Tapi mendadak tanah dimana ia
berpijak itu tahu-tahu melekah menjadi sebuah lubang.
Dengan tenaga sentuhan tadi Hay-thian sempat mengenjot
kakinya hingga tubuhnya mengapung keatas.
Tapi Thian-mo-kaucu telah mengebas lengan bajunya
menyampuk sambil membentak: "Turunlah kesitu!"
Sekali jambret dapat Hay-thian pegang lengan baju lawan,
waktu Thian-mo-kaucu menarik sekuatnya, maka terdengarlah


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara "breet" yang panjang, lengan baju itu robek sepotong,
dan karena kehilangan pegangan, kembali tubuh Kang Haythian
merosot kebawah lagi.
Tenaga kebawah Thian-mo-kaucu ditambah tenaga tarikan
Kang Hay-thian sendiri itu sangat keras hingga daya
menurunnya menjadi lebih cepat. Ditanah tadi sudah melekah
suatu lubang besar, sekali Kang Hay-thian terperosot kedalam
lubang itu, susahlah baginya untuk mengapung keatas pula.
Lekas-Lekas ia menyedot napas dalam-dalam, lalu
berjumpalitan sekali untuk menahan daya merosotnya yang
sangat hebat itu, dengan demikian dapatlah ia tancap kakinya
kebawah dengan selamat.
Saat lain, tiba-tiba terdengar pula suara gedebuk yang
keras tidak jauh disampingnya, terang ada orang lain ikut
jatuh juga kedalam lubang besar itu, bahkan jatuhnya
kedengaran lebih keras dari dia. Segera Hay-thian
mencengkeram ketempat suara itu, tapi kena mencengkeram
secomot jarum tajam hingga jarinya terluka dan berdarah.
Selagi Kang Hay-thian hendak mengamat-amati apakah
yang terjadi sebenarnya, tiba-tiba orang itu sudah lari dalam
kegelapan. Didalam lubang itu gelap gulita hingga tidak dapat melihat
sesuatu. Tapi dari suara pernapasan tadi dapat diketahui oleh
Hay-thian bahwa yang menyusul jatuh kedalam lubang itu ada
dua orang. Dengan sendirinya mereka itu adalah Thian-mokaucu
dan Auyang Wan.
Kiranya tenaga betotan Kang Hay-thian tadi telah
menggunakan daya lekat yang keras, meski lengan baju
Thian-mo-kaucu robek sebagian, tapi tenaga lekat itu toh
tetap menariknya ke-depan hingga ikut terperosot kedalam
lubang itu bersama Auyang Wan.
Sesudah sejenak Hay-thian mengumpulkan semangat dan
curahkan pandangannya yang tajam, lambat-laun dalam
kegelapan itu dapat dilihatnya suatu bayangan orang yang
samar-samar. Dengan merayap-rayap Hay-thian berjalan
kedepan dan bayangan orang itu pun sedang bergerak.
"Dimana nona Auyang?" tiba-tiba Hay-thian bertanya.
"Ia tidak mati, jangan kuatir," kata bayangan itu dengan
tertawa. "Tapi mungkin terlalu susah jika kau hendak
ketemukan dia lagi. Nah, sekarang kau sudah kenal
kelihayanku atau tidak?" habis mengucapkan kata-kata itu,
lalu bayangan itu menghilang.
Dari suara Thian-mo-kaucu itu Kang Hay-thian mengetahui
lawan itu sudah terluka, ia menjadi kuatir: "Jika Thian-mokaucu
terluka, mungkin nona Auyang terlebih parah pula lukanya?"
Ia menaksir didalam lubang batu itu pasti ada alat-alat
rahasia dan Thian-mo-kaucu dan Auyang Wan entah
bersembunyi di ruang mana. Segera Hay-thian berkata pula:
"Asal kau melepaskan nona Auyang, aku bersedia memberikan
Siau-hoan-tan untuk menyembuhkan lukamu."
"Terima kasih, lebih baik Siau-hoan-tan kau gunakan untuk
dirimu sendiri saja," sahut Thian-mo-kaucu. "Kau terjatuh
dengan keras, racun yang meresap di badanmu juga tidak
enteng, mungkin Siau-hoan-tan itu tidak dapat
menyelamatkan kau. Bukankah tadi aku sudah menasihatkan
kau jangan mengejar, tapi kau tidak mau menurut, sekarang
jangan kau salahkan aku!"
Suaranya kedengaran tidak jauh, tapi toh tidak kelihatan
bayangannya. Sementara itu Hay-thian merasa jari tangannya
serasa kaku dan susah bergerak, rasa gatal anggota badan
lain juga makin hebat. Baru sekarang ia percaya gertakan
Thian-mo-kaucu tadi memang bukan omong kosong. Terpaksa
ia duduk bersila disitu untuk mengerahkan hawa murni yang
sakti guna menghilangkan racun?"?"
Dalam pada itu Kok Tiong-lian yang menggendong
ibundanya, bersama kedua saudaranya sudah kembali sampai
dibukit tempat berkumpul mereka, saat itu Kang Hay-thian
sudah kejeblos kedalam perangkap musuh, Bun Ting-bik,
Auyang Tiong-ho dan lain-lain juga sudah bersembunyi.
Dengan sendirinya Kok Tiong-lian dan Danu Cu-mu tidak
dapat menemukan bayangan Kang Hay-thian Dengan kuatir
Tiong-lian lantas berteriak: "Hay-thian! Hay-thian! Kau berada
dimana?" Ia habis makan Thian-sim-ciok, Lwekangnya telah
tambah hebat, maka suaranya sangat keras. Tapi toh tiada
terdengar suara sahutan Kang Hay-thian.
Maka Cu-mu telah berkata dengan tertawa: "Kau berteriakteriak,
apakah ingin memancing musuh kesini?"
"Takut apa?" jawa"b Tiong-lian. "Hay-th:an tak kita
temukan, boleh juga kita lantas terjang pula kedalam
keraton." "Dengan kepandaian Kang-suheng yang tinggi itu, bilamana
dia berada didalam keraton tentu dia sudah memberi suara
jawaban," ujar Cu-mu.
"Jadi kau maksudkan dia sudah pergi dari sini" Tapi kita
sudah berjanji untuk berkumpul disini," kata Tiong-lian.
"Boleh jadi karena sesuatu hal yang mendadak hingga dia
mesti meninggalkan tempat ini," ujar Cu-mu
"Dia sudah bertekad akan membantu kita, masakah ada
urusan lain yang lebih penting daripada ini?" kata Tiong-lian.
"Kukuatir telah terjadi apa-apa atas dirnya. Koko. apakah kita
tidak perlu mencarinya dulu?"
Sementara itu fajar sudah menyingsing, sang surya sudah
mengintip diufuk timur. Dipandang dari atas bukit, tertampak
kompleks keraton itu gilang-gemilang dengan genting kacanya
yang mengkilat. Dari sana sini tertampak juga menongol
beberapa orang Bu-su yang mungkin terkejut oleh suara
gemboran Kok Tiong-lian tadi. Tapi mereka rupanya sudah
kapok hingga tidak berani sembarangan keluar lagi.
Maka terdengar Cu-mu berkata: "Untuk mencari Kangsuheng
hingga menjelajah keraton seluas itu mungkin
memakan waktu sangat lama, apalagi dia belum tentu berada
didalam sana. Pula ilmu silat Kang-suheng lebih hebat dari
kita, rasanya tidak nanti dia mengalami sesuatu yang
membahayakan."
"Habis, apa kita mesti tinggal diam saja?" ujar Tiong-lian.
"Aku tidak mengatakan demikian, tapi kukira bukan jalan
yang baik kalau sekarang kita menerjang lagi kesana,
sedangkan kita mesti melindungi ibu," kata Cu-mu.
Dan baru sekarang Tiong-lian merasa dirinya telah terlalu
memikirkan Kang Hay-thian hingga melupakan !bu yang
berada di-gendongannya itu.
Syukurlah Tiong-siau lantas berkata: "Apa yang dikatakan
Jite memang beralasan, jika kita tidak menemukan kembali
Kang-siauhiap, tentu pertemuan di Kim-eng-kiong juga akan
terlambat untuk menghadirinya. Lebih baik kalian tinggalkan
dulu tempat ini, aturlah suatu tempat yang baik bagi ibu. Aku
sendiri akan tinggal sementara lagi disini untuk mencari
kabarnya Kang-siau-hiap. Ilmu silatku sekarang sudah pulih
kembali, apalagi tentang maksud Kan-ong hendak membunuh
aku juga tidak banyak diketahui orang-orang didalam keraton,
maka aku tidak perlu kuatir."
"Apaboleh buat, tiada jalan lain, terpaksa mesti begitu,
harap Toako berlaku hati-hati sedikit," demikian kata Tionglian,
untuk pertama-kalinya ini ia memanggil "Toako" kepada
Yap Tiong-siau.
Alangkah terharunya Tiong-siau, dengan mengembeng air
mata ia berkata: "Ya, kalian juga mesti hati-hati
menyelamatkan Ibu!" dan kuatir kalau air matanya yang tak
tertahankan lagi itu akan dilihat oleh saudara-saudaranya,
maka tanpa menoleh lagi, segera ia tinggal pergi?"?"
Kembali bercerita tentang Kang Hay-thian. Sesudah agak
lama ia mengerahkan tenaga murninya ditempat gelap itu.
akhirnya rasa gatalnya mulai berkurang, tangan dan kaknya
sudah kuat kembali dan pulih daya perasanya.
Dalam pada itu Thian-mo-kaucu dan Auyang Wan rupanya
belum pergi, dalam suasana yang sunyi itu sayup-sayup Haythian
dapat mendengar suara pernapasan mereka. Dari suara
napas mereka yang berat dan memburu itu, agaknya luka
merekapun tidak enteng. Diam-Diam Hay-thian memikir: "Asal
ilmu silatku bisa pulih kembali lebih dulu dar pada Thian-imokautiu,
maka dengan tidak susah-susah aku akan dapat
menolong nona Auynng. Sebaliknya kalau Thian-mo-kaucu
dapat pulih lebih dulu. maka celakalah aku."
Pada saat itulah tiba-tiba didengarnya suara Kok Tiong-l!an
yang sedang berteriak tadi: "Hay-thian! Hay-thian! Kau berada
dimana!" Dengan girang Hay-tban lantas menjawab: "Aku berada disini,
lekas kau kemari!"
Tapi dia menjadi terkejut, sebab suaranya sendiri itu seperti
rintihan orang sakit parah, lemas lagi serak, sedikitpun tidak
bertenaga, hampir-hampir ia tidak percaya kalau itu adalah
suaranya sendiri.
Rupanya dia telah mengerahkan tenaga murni untuk
menolak keluar hawa berbisa dari mulutnya hingga
tenggorokannya ikut terganggu oleh jahatnya racun itu. Dan
dengan sendirinya ia tidak mampu mengeluarkan
kepandaiannya dalam hal "mengirimkan gelombang suara".
Selagi Hay-thian merasa terkejut dan kuatir, tiba-tiba
didengarnya ada suara bentakan-bentakan orang dibarengi
suara tindakan orang banyak.
Kiranya tempat dimana dia berada itu adalah sebuah
jalanan rahasia, jalan rahasia itu tembus keluar keraton dan
ditempat keluar itu dijaga empat orang Bu-su. Meski suara
Kang Hay-thian itu lemah dan serak, tapi telah didengar juga
dan mengejutkan keempat Bu-su itu.
Maka selang sejenak, keempat orang Bu-su itu telah
memburu datang sambil membawa obor, mereka sudah
menemukan tempat sembunyi Kang Hay-thian itu. Keruan
para Bu-su itu terkejut dan tidak berani sembarangan
mendekat. Segera seorang diantaranya menegur: "Hei, siapa
kau" Darimana kau dapat masuk kesini?"
"Melihat dandanan bocah ini terang bukan orang didalam
keraton," ujar kawannya.
Sebaliknya Kang Hay-thian tinggal diam saja tak
menggubris, bahkan membuka matapun tidak.
"Hai, apakah kau tuli atau bisu?" segera Bu-su yang
pertama tadi membentak.
"Bocah ini pura-pura dungu, tentu adalah penjahat," ujar
ka-wannya lagi.
"Peduli dia orang baik atnu jahat, pendek kata dia berani
sembarangan masuk ketempat terlarang ini, maka kita harus
me-nangkapnya," kata Bu-su yang lain lagi.
Karena melihat Kang Hay-thian tidak bergerak, keempat Busu
itu menjadi tabah, segera yang menjadi kepala mereka itu
memberi tanda, serentak mereka menerjang maju.
Hay-thian masih tetap duduk bersila tanpa mendongak atau
menoleh, mendadak sebelah tangannya mencengkeram
hingga pergelangan tangan salah seorang Bu-su itu
terpegang, sekali ia tarik terus disengkelit, tanpa ampun lagi
Bu-su itu mencelat. "bluk", Bu-su itu menumbuk seorang
kawannya hingga kedua orang sama-sama sempoyongan
mundur. Diam-Diam Hay-thian terkejut, masakah dua orang Bu-su
keroco saja tak mampu membanting roboh mereka, nyata
tenaga murni-nya masih belum pulih.
Kalam pada itu kedua Bu-su yang lain tidak berani lagi
menubruk maju, mereka terus melolos senjata, yang seorang
memakai "Liu-sing-tui" (bandul berantai) dan yang lain
sebatang golok. Berbareng mereka terus menimpuk dan
membacok. Terpaksa Kang Hay-thian mengerahkan setitik tenaganya
yang ada keujung jari. sekali ia menjentik diatas bandulan
musuh hingga menceng kesampmg, "trang". tepat bandul itu
menyampuk diatas golok kawannya sendiri hingga terpental
dari cekalan. Segera Kang Hay-thian melompat bangun, selagi ia
bermaksud menangkap salah seorang Bu-su diantaranya,
sekonyong-konyong kedua Bu-su itu sudah roboh, obor
merekapun terlepas dan padam seketika.
"Celaka!" diam-diam Hay-thian mengeluh. Cepat ia
melepaskan ikat pinggangnya terus diputar dengan kencang
dengan kepandaian Thing-hong-pian-gi" (mendengarkan angin
membedakan arah senjata), maka terdengarlah suara "tring"
sekali, agaknya sebatang senjata rahasia yang lembut
sebangsa jarum telah tersampuk jatuh.
Dan kedua Bu-su yang disengkelit pergi tadi baru saja
hendak merangsek maju, tahu-tahu merekapun menjerit, yang
satu kontan roboh terjungkal dan yang lain terhuyung-huyung
hendak menumbuk dinding. Cepat Kang Hay-thian memburu
maju, sekali jambret. ia pegang tengkuk Bu-su itu agar
kepalanya tidak pecah tertumbuk dinding batu, menyusul ia
lantas tutuk "Thian-ki-hiat" di-punggung Bu-su itu.
Untung masih ada sebatang obor yang jatuh dilantai itu
belum lagi sirap, cepat Hay-thian menjemputnya, waktu ia
memeriksa sekitar situ. namun bayangan Thian-mo-kaucu
sudah tidak kelihatan lagi. Agaknya dijalanan rahasia itu masih
terdapat kamar rahasia yang lain hingga sesudah Thian-mokaucu
menyambitkan jarum berbisa itu, lalu orangnya
sembunyi lagi ketempat lain.
Kalau Hay-thian sangat waspada kepada Thian-mo-kaucu,
ternyata sebaliknya iblis wanita itu juga sangat was-was
terhadap Kang Hay-thian. Dia tidak melulu kuatirkan lolosnya
pemuda itu, tapi lebih kuatir kalau tempat-tempat rahasia
dibawah tanah itu akan diketahui Kang Hay-thian hingga
tempat sembunyinya dapat diketemukan pemuda ini.
Thian-mo-kaucu cukup kenal Lwekang Kang Hay-thian yang
amat tinggi, meski keracunan berat, tapi belum tentu dapat
mem-binasakannya. Dan lantaran dia tidak mengetahui
keadaannya Kang Hay-thian, maka ditempat sembunyinya itu
dia tidak berani sembarangan turun tangan untuk menyerang.
Kemudian ketika Kang Hay-thian diterjang keempat Bu-su
den sekaligus pemuda itu telah dapat menyengkelit dua orang
Bu-su diantaranya, maka diam-diam Thian-mo-kaucu terkejut
dan kuatir, ia pikir daripada Bu-su itu akan ditawan oleh
pemuda itu, lebih baik aku mendahului membunuhnya saja.
Begitulah maka mendadak ia lantas menyerang para Bu-su
itu dengan jarum berbisa, berbareng itu iapun menyerang
Kang Hay-thian dengan sebatang jarum agar pemuda itu tidak
sempat memikirkan apa yang telah terjadi dan terpaksa mesti
menangkis dulu sergapan itu.


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Padahal kalau saat itu juga Thian-mo-kau-cu lantas
menerjang keluar untuk menempur Kang Kay-thian, maka
dengan sisa tenaga Kang Hay-thian yang masih ada itu pasti
bukan tandingan iblis wanita itu. Tapi dia tetap jeri kepada
kesaktian Kang Hay-thian hingga tidak berani sembarangan
bertindak. Untunglah Kang Hay-thian dapat menawan seorang Bu-su
itu dan segera ditanyai: "Apakah didalam sini masih ada
tempat rahasia la!n, lekas kau tunjukan!"
Tapi runyam juga, Bu-su itu tidak paham bahasa Han yang
diucapkan Hay-thian, ia sangka pemuda itu menanyakan jalan
keluarnya, maka sambil mengangguk lalu ia membawa Kang
Hay-thian menuju kedepan.
Sepanjang jalan Hay-thian coba memperhatikan keadaan
jalanan dibawah tanah itu. !a lihat kedua sisi dinding halus
licin, sedikitpun tidak kentara ada tanda sesuatu pintu rahasia
dan lain sebagainya.
Makin jauh langkah si Bu-su tampak makin berat, air mukanya
juga makin gelap, yaitu karena terkena jarum berbisa
Thian-mo-kaucu tadi. Untung saat itu sudah dekat dengan
mulut lorong itu, dari luar sudah kelihatan cahaya terang.
Hay-thian tertegun, ia ingin tahu tempat sembunyi Thianmokaucu, tapi Bu-su itu telah meaunjukan jalan keluar
baginya. Selagi ia hendak menanya lagi, tahu-tahu Bu-su itu
sudah roboh tak terkutik lagi.
Setelah memakai tenaga untuk berjalan dan menawan Busu
itu. tenaga Hay-thian menjadi terbuang lag!, ia merasa
lelah. Ia pikir kalau saat itu kedatangan musuh lagi tentu dia
tidak sanggup melawan, mumpung sudah kelihatan jalan
keluar lorong diba-wah tanah, lebih baik lekas melarikan diri
saja. Segera Hay-thian menelan sebutir Siau-hoan-tan pula untuk
menguatkan tenaga, lalu ia berjalan keluar dari lorong itu.
Diluar temyata adalah sebuah tanah hutan yang sunyi.
Sementara itu hari sudah pagi.
Diam-Diam Hay-thian sangat masgul, Auyang Wan tak
berhasil di tolongnya, malahan pertemuan di Kim-eng-Wong
tampaknya juga tak sempat ikut hadir lagi.
Malahan lebih celaka lagi, belum seberapa jauh ia berjalan,
tiba-tiba didengarnya suara auman kedua ekor Kim-mo-soan
yang sudah dikenalnya itu. Waktu ia berpaling, tertampaklah
dua ekor binatang bersama seorang sedang memburu tiba
secepat terbang. Diam-Diam Hay-thian berkuatir dan heran
mengapa Thian-mo kaucu bisa begitu cepat pulih tenaganya,
padahal tadi sudah terang iblis itupun terluka tidak enteng.
Waktu ia perhatikan lagi, kiranya bukan Thian-mo-kaucu
yang datang itu. tap! adalah encinya, yaitu Mo-hujin. Meski
ilmu silat Mo-hujin lebih rendah daripada adik perempuannya,
tapi ia tidak terluka, sudah tentu menjadi lebih susah dilawan.
Dalam pada itu dengan cepat sekali kedua ekor Kim-mosoan
itu sudah menubruk tiba, tapi sekali Kang Hay-thian
mendelik dan berlagak hendak mencengkeram, seketika kedua
ekor Kim-mo-soan itu menjadi jeri dan tidak berani menerjang
maju Rupanya mereka sudah kapok karena pernah dihajar
Kang Hay-thian.
"Ai, anak yang baik, janganlah kau berlagak kereng, aku
tahu kau keracunan sangat berat, apakah kau sudah tidak
sayang lagi pada jiwamu?" demikian Mo-hujin lantas berkata
dengan tertawa. "Marilah anak yang baik, lebih baik kau ikut
aku pulang saja, aku a"kan memberi obat penawar padamu."
Tapi. Kang Hay-thian diam saja, la tunggu orang sudah
dekat, mendada"k ia jemput segenggam batu kerikil terus
dihamburkan dengan gaya "Thian-li-san-hoa" atau bidadari
menyebar bunga.
Sama sekali Mo-hujin tidak menduga bahwa pemuda itu
masih sanggup mentereng dengan senjata gelap,> bahkan
timpukannya sangat jitu, kontan tiga tempat Hiat-to ditubuh
Mo-hujin kena tertimpuk. Tapi wanita itu hanya merasa linu
kesemutan saja dan tidak roboh.
Timpukan Kang Hay-thian itu memang sangat j"tu, tapi
sayang tenaganya lemah hingga Hiat-to yang terkena itu tidak
tembus sampai diakarnya, dengan sendirinya tidak dapat
merobohkannya. Dan karena itulah lantas ketahuan kelemahan Kang Haythian,
girang sekali Mo-hujin, ia tahu pemuda itu tidak perlu
ditakuti lagi, segera ia lepaskan ikat pingggangnya terus
menyabat kearah Kang Hay-thian, ia pikir dengan gampang
pemuda itu akan dapat diringkus dengan ikat pinggang yang
panjang itu. Diluar dugaan Kang Hay-thian terus duduk bersila malah
ditanah, jelek-jelek dia masih dapat menggunakan sisa tenaga
Hou-te-sin-kangnya untuk bertahan. Ia gunakan kepandaian
mengelakkan tenaga serangan lawan yang dipelajarinya dari
Kim Si-ih, maka setiap kali kain ikat pinggang itu menyentuh
badannya, seketika kain selendang yang lemas itu melayang
lewat di sisinya, berulang-ulang Mo-hujin menyerang lagi, tapi
selalu gagal, badan Kang Hay-thian seperti, belut licinnya, kain
ikat pinggangnya itu tidak dapat melilitnya.
"Hm, jangan kau kira tenagaku sudah habis, jika kau berani
mendekat, segera kita boleh hancur bersama, apa kau tidak
kenal Thian-mo kay-te-tay-hoat tinggalan Kiau Pak-beng itu?"
demikian jengek Hay-thian.
Mo-hujin dan Thian-mo-kaucu suka anggap mereka adalah
ahliwarisnya Le Seng-lam, maka agama yang mereka dirikan
disebut "Thian-mo-kau", dan sudah tentu ia kenal betapa
lihaynya "Thian-mo-kay-te-tay-hoat" yang dikatakan Kang
Hay-thian. Ia tahu dahulu Le Seng-lam justeru menggunakan
ilmu sakti itu untuk mengalahkan jago nomor satu didunia ini,
yaitu ketua Thian-san-pay, Teng Hiau-lan.
Sebab itulah Mo-hujin menjadi jeri, ia tidak berani sembarangan
menyerang dan mendesak maju lagi. Terpaksa ia
merbentak-bentak dan memerintahkan kedua ekor Kim-mosoan
itu lekas menyerang.
Walaupun agak takut-takut, terpaksa juga kedua ekor Kimmosoan itu harus menurut perintah, dengan pentang cakar
mereka terus menubruk maju sambil menggerang.
Tapi pada saat berbahaya itulah, tiba-tiba terdengar suara
menderu-deru, suara angin berkesiur disertai suara burung
yang aneh. Sungguh heran, demi mendengar suara itu, seketika kedua
ekor Kim-mo-soan itu ketakutan setengah mati, cepatan saja
mereka mencawat ekor dan melarikan diri.
Waktu Mo-hujin mendongak, dilihatnya diatas udara tibatiba
mengapung tiba segumpal awan hitam, dalam sekejab
saja gumpalan awan itu sudah menurun sampai diatas
kepalanya. Kiranya itu bukan awan, tapi adalah seekor elang raksasa,
itulah rajawali piaraan Hoa-san-ih-un Hoa Thian-hong.
Kedua ekor Kim-mo-soan pernah merasakan betapa
lihaynya rajawali itu, pernah mereka dicengkeram keatas
udara lalu dibanting ketanah, untung tidak mampus. Sudah
tentu mereka menjadi kapok dan lantas lari terbirit-birit
melihat datangnya rajawali sakti itu. Bahkan sedikit terlambat
saja segera salah seekor Kim-mo-soan itu kena dicakar sekali
hingga terluka.
Mo-hujin menjadi gusar, terus saja ia sambitkan segenggam
jarum berbisa keatas udara. Tapi lantas terdengar suara
gemerincing yang ramai, dari atas punggung rajawali itu tibatiba
menyambar segumpal sinar perak hingga jarum berbisa
yang dihamburkan itu terpukul jatuh semua. Kiranya diatas
punggung rajawali itu ada penumpangnya, yaitu seorang gadis
jelita. Ketika rajawali itu mengkeplak sayapnya, terus saja
menyambar kearah Mo-hujin, cepat nyonya itu putar kain
selendangnya untuk membelit cakar rajawali, tapi sekali cakar
binatang itu meronta, kain selendang itu terobek dan tahutahu
rajawali itupun sudah melayang lewat kesana. Begitu
kuat rajawali itu hingga angin yang berjangkit oleh sayapnya
itu membuat Mo-hujin tersentak mundur beberapa langkah.
Syukur saat itu gadis diatas punggung rajawali itupun sudah
mengenali Kang Hay-thian. Dengan heran ia lantas menyapa:
"He, Hay-ko, kenapakah kau?"
Cepat ia perintahkan rajawali itu terbang kembali
kesamping Kang Hay-thian dan turun ketanah dengan
pelarian. Kesempatan itu segera digunakan Mo-hujin untuk
ngacir. Secara kebetulan dapat lolos dari bahaya, sungguh girang
Hay-thian tak terhingga, cepat ia berseru: "Pik-moay, kiranya
kau yang datang" Mengapa kau sampai disini?"
Ia berbangkit dan bermaksud mendekati gadis itu, tapi
segera kepala terasa pusing dan mata berkunang-kunang,
tenaga lenyap, kaki taK berkuasa lagi.
Gadis itu adalah Hoa In-pik, puteri tabib sakti dari Hoa-san,
Hoa Thian-hong. Sebagai puteri tabib sakti, In-pik juga mahir
ilmu pengobatan, sekali lihat saja segera ia tahu Kang Haythian
keracunan hebat. Cepat ia berkata: "Jangan bergerak,
lekas duduklah, biar kuperiksa keadaanmu!"
Dan sesudah memegang nadi pemuda itu, dengan terkejut
In-pik membatin: "Wah, jahat sekali racun yang mengeram
didalam tubuhnya ini, tapi toh denyut nadinya tidak banyak
terganggu, hanya sedikit lebih lemah daripada orang biasa.
Sungguh tak tersangka baru berpisah beberapa bulan saja
Lwekangnya sudah maju lagi sepesat ini. Dan berkat
Lwekangnya yang maha hebat Inilah maka hawa racun tidak
sampai menyerang ke bagian isi perutnya."
Melihat sigadis diam saja, segera Hay-thian bertanya:
"Apakah ada obatnya untuk menghilangkan racun dalam
badanku ini ?"
"Kionghi! Kionghi!" demikian tiba-tiba In-pik memberi salam
selamat malah. "Aneh. Kionghi tentang apa?" tanya Hay-thian keheranheranan.
"Apakah racun dibadanku ini tidak berhalangan?"
"Kau justeru keracunan hebat, cuma Lwekangmu sudah
maju berlipat ganda, maka betapapun jahatnya racun toh
tak dapat mengganggu kau," sahut In-pik. "Namun kalau
melulu mengandalkan penyembuhan dengan Lwekangmu
sendiri harus memakan waktu beberapa hari."
Hay-thian menjadi kecewa. Katanya: "Padahal harini adalah
pertemuan Kim-eng-kiong, jika kesehatanku terganggu, terang
aku takdapat ikut hadir."
"Jangan kuatir, aku sendiri juga memburu kesini untuk
menghadiri pertemuan Kim-eng-kiong," tutur In-pik. "Dengan
Lwekangmu yang hebat sekarang, ditambah bantuanku nanti,
tanpa pengobatan kukira juga dapat menyembuhkan kau
didalam waktu satu-dua jam saja, dan kita masih sempat pergi
bersama ke Kim-eng-kiong."
"Ha. kiranya kau juga hendak hadir kesana, apakah ayahmu
masih tinggal dirumah In-locianpwe" Kesehatan beliau
sudahkah pulih?" tanya Hay-thian.
"Sudah hampir pulih seluruhnya, mestinya beliau akan
datang kesini, tapi aku telah mencegah dan mewakilkan dia.
Tentang ini akan kuceritakan nanti, biarlah sekarang aku
menyembuhkan kau dahulu," sahut In-pik.
Segera ia mengeluarkan sebatang jarum emas. ia tubles
ujung jari tengah Kang Hay-thian hingga mengeluarkan darah,
lalu menusuk pula beberapa tempat Hiat-to penting agar
peredaran darahnya lancar, ketika Kang Hay-thian kerahkan
tenaga dalam-nya. maka dapatlah darah berbisa didalam
tubuhnya ditolak keluar melalui luka diujung jari itu. Tidak
lama kemudian, darah berbisa telah dapat diperas keluar
semua hingga keadaan Kang Hay-thian banyak lebih baik.
"Apakah kau masih ada sisa Pik-leng-tan?" tanya In-pik.
"Masih ada dua butir." sahut Hay-thian.
"Nah. boleh lekas kau minum sebutir dan sisa racun dalam
tubuhmu tentu akan segera lenyap," kata In-pik. "Habis itu
boleh kau melancarkan jalan darahmu dengan Lwekangmu
yang tinggi, selang satu jam lagi pasti kesehatanmu akan pulih
seperti sediakala."
"Disini terlalu dekat dengan keraton, marilah kita mencari
suatu tempat yang sunyi saja." ujar Hay-thian.
Benar juga, sayup-sayup mereka mendengar suara derapan
kaki kuda yang berada tidak jauh sedang mendatang.
"Meski kita tidak takut kepada mereka, tapi lebih baik kita
menyingkir saja," ujar In-pik. Lalu ia menarik Hay-thian keatas
punggung rajawali raksasa itu setelah menjemput lebih dulu
beberapa potong batu. Ketika pasukan musuh mengejar tiba,
segera In-pik menghujani mereka dengan peluru batu.
Memangnya pasukan Kan-osg itu sudah ketakutan melihat
elang raksasa itu. mereka menjadi kalang-kabut pula
diberondong peluru batu oleh Hoa In-pik.
Dengan memuat dua penumpang rajawali itu ternyata
dapat terbang dengan anteng dan cepat. Cuma punggung
rajawali tidak terlalu luas hingga duduk Kang Hay-thian dan
Hoa In-pik terpaksa mesti berdempet-dempetan. Tidak lama
kemudian, hinggaplah burung itu dipuncak gunung yang tinggi
dan tidak perlu kuatir diganggu orang lagi.
"Aku akan mencarikan sedikit makanan bagimu, sekarang
boleh kau menjalankan Lwekangmu untuk menyembuhkan
sendiri," kata In-pik.
Hay-thian menurut, ia duduk bersila dan mengerahkan Lwekangnya,
tiada sampai satu jam, benar juga darah berjalan
lan-car, tenaganya sudah pulih seperti semula.
Sementara itu In-pik telah berhasil memburu seekor kelinci
dan sudah masak dipanggang. Disamping itu In-pik membawa
kembali pula tidak sedikit buah-buah dan sekantong kulit air
jernih. "Wah, benar-benar suatu perjamuan yang lengkap," ujar
Hay-thian dengan tertawa.
Memangnya ia sudah kelaparan, terus saja ia gasak
makanan-makanan itu. Pada kesempatan itulah In-pik lantas
mencerltakan keadaan sesudah mereka berpisah.
Kiranya waktu Hoa Thian-hong merawat lukanya di In-kehceng,
karena dia terkena pukulan berbisa dari Po Lo-hou, pula
kantong obatnya telah dicuri oleh encinya Auyang Wan. yaitu
Auyang Jing, meski dia dapat juga meracik obat dirumah
keluarga In, tapi tentu akan makan waktu lagi serta tidak
selengkap obat-obatan simpanannya sendiri, maka In-pik
lantas cepat pulang kerumah untuk mengambil obat. Rajawali
raksasa itu mestinya ditugaskan menjaga rumah, tapi untuk
memburu tempo, In-pik lantas membawanya serta dan dipakai


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagai alat pengangkut yang cepat.
"Ayah sendiri juga terima undangan pihak Kim-eng-kiong,
pula beliau juga terkenang padamu, maka begitu
kesehatannya agak pulih, segera beliau akan berangkat,
syukur In-pepek dan aku telah mencegahnya dan terpaksa
beliau batalkan maksudnya," demikian tutur In-pik. Berkata
sampai disini, tanpa merasa wajahnya menjadi merah,
maklum, salah satu sebab dia mewakilkan ayahnya datang
kemari sudah tentu juga karena dia terkenang kepada Kang
Hay-thian. Sungguh terima kasih sekali Hay-thian kepada kebaikan
ayah dan anak she Hoa. Entah mengapa, ketika sinar matanya
kebentrok dengan pandangan In-pik, tanpa merasa timbul
semacam perasaan gugup dan tidak tenteram, hal ini
membuatnya bingung sendiri karena tidak tahu apa sebabnya.
"Nah, aku sudah menceritakan keadaan kami, sekarang
giliranmu mencerltakan pengalamanmu selama ini," kata Inpik.
"Pengalamanku terlalu banyak, mungkin tiga-hari-tigamalam
takkan habis kuceritakan," sahut Hay-thian dengan
tertawa. "Baiklah, kau boleh bercerita bagian-bagian yang penting
saja, misalnya apakah Auyang Wan kembali merecoki kau atau
tidak" O, ya, aku lupa katakan padamu bahwa kedua saudara
In sekarang juga sudah sehat kembali, mereka sangat benci
kepada dua orang, yaitu Yap Tiong-siau yang telah melukai
mereka dan Auyang Wan yang berkomplot dengan orang she
Yap itu. Hihi, aku tidak berani memberitahu kepada mereka
bahwa kau mempunyai hubungan baik dengan perempuan
siluman itu."
Terpaksa Hay-thian mesti menjelaskan: "Pik-moay, Auyang
Wan itu bukan orang jahat, kantong obat ayahmu itu bukan
dia yang mencurinya. Dia tidak dapat disamakan dengan
anggota keluarganya yang lain."
In-pik menjadi kurang senang, katanya: "Darimana kau
tahu" Tentu kau sudah bertemu dengan dia?"
"Ya, baru saja aku bertemu dengan dia," sahut Hay-thian.
Lalu iapun menceritakan apa yang terjadi tadi serta kejadran
di-pulau karang dimana Auyang Wan telah menolongnya.
Mendengar itu. rasa benci In-pik kepada Auyang Wan
menjadi berkurang, tapi rasa cemburu menjadi berkobar.
Katanya pula dengan nada. dingin: "Jika demikian, nona
Auyang itu boleh di-kata sangat baik dan berbudi kepadamu."
"Betapa ba"iknya juga tidak nanti lebih baik dan lebih
berbudi daripada kalian ayah dan anak terhadap diriku, untuk
mana tidak nanti aku melupakan," sahut Hay-thian.
In-pik merasa lega, dan air mukanya bersemu merah lagi.
Sudah tentu tak tersangka olehnya bahwa "kebaikan" yang
dikatakan Hay-thian itu sama sekali tidak sama dengan
"kebaikan" yang dia pikirkan.
Segera In-pik menanya lagi: "Bukankah kau hendak
mencari Suhu, ayahmu dan seorang nona Kok" Apakah kau
sudah ketemukan mereka?"
"Sudah, kecuali Suhu saja," sahut Hay-thian.
"Baik-Baikkah ayahmu" Dan baik-baikkah nona Kok?" tanya
sigadis. Lebih dulu ya tanyakan ayah Hay-thain, tapi nadanya
lebih condong ingin tahu keadaan Kok Tiang-lian.
"Baik, semuanya baik-baik," sahut Hay-thian. "Wah,
pengalaman merekapun sangat menarik, biarlah kuceritakan
dengan pelahan-lahan."
"Aku tidak buru-buru ingin tahu, tapi ada seorang lain yang
justeru sangat rindu kepada nona Kok itu," kata In-pik dengan
tertawa. Hay-thian melengak.
Maka In-pik menyambung lagi: "Bukankah In Khing minta
kau sampaikan salamnya kepada nona Kok" Diam-Diam dia
mencintai nona Kok itu, adik perempuannya telah beritahukan
padaku." Perasaan Hay-thian seperti digodam sekali, pikiran yang
baru seja tenang itu kembali berombak lagi. Adegan waktu In
Khing menghantar keberangkatannya dahulu kembali
terbayang lagi olehnya. Ia terkesiap: "Ya, mengapa aku
melupakan pesan In Khing yang dititipkan padaku itu?"
Temyata selama dia berada bersama dengan Kok Tionglian,
belum pernah ia memberitahukan perasaan cintanya In
Khing kepada gadis itu. Dalam hati Hay-thian bertanya dan
mencela diri-nya sendiri: "Benarkah aku lupa" Ah, mana dapat
aku melupakan hal itu" Tapi aku tidak sengaja
menyembunyikan pesan In Kh ng itu, karena waktu itu
perhatian kami harus dicurahkan untuk melawan musuh
dipulau itu. urusan-urusan lain yang tidak penting sudah tentu
tidak kami perhatikan lagi. Tapi hal itu dipandang sangat
penting oleh In Khing, bahkan berulang-ulang ia pesan padaku
ager jangan lupa."
Begitulah perasaan Hay-thian menjadi kusut, bukan
disebabkan dia merasa malu sendiri, tapi adalah karena dia
telah menemukan rahasia lubuk hatinya sendiri: "Ah, masakah
aku bisa lupa" Tapi lebih benar adalah karena aku tidak ingin
Lian-moay mengetahui bahwa masih ada seorang pemuda lain
yang juga jatuh cinta padanya, Ya, memang tidak salah, aku
tidak sengaja menyembunyikan pesan In Khing itu, tapi dalam
lubuk hatiku sesungguhnya aku memang berharap melupakan
pesan itu. Kalau tidak, sudah sekian lamanya aku ketemu Lianmoay,
masakah aku tidak ingat kepada pesan In Khing itu?"
Ada empat nona yang dikenal Kang Hay-thian. Dan
keempat nona itu boleh dikata semuanya jatuh hati padanya.
Dia sendiri juga tidak pernah merenung secara mendalam
sebenarnya nona yang manakah yang dicintanya" Dan baru
sekarang ia mengetahui rahasia perasaannya sendiri, ternyata
cintanya kepada Kok Tiong-lian jauh berbeda daripada
perasaannya kepada ketiga gadis yang lain. Tiba-Tiba ia
merasa pedih pula, diantara ketiga nona yang lain itu, In Bik
belum lama dikenalnya, hal ini tidak menjadi soal, tapi Hoa Inpik
dan Auyang Wan benar-benar sangat baik dan banyak
pengorbanan mereka kepadanya, apakah dapat ia menghapus
mereka dari lubuk hatinya sendiri"
Tengah Hay-thian terombang-ambing oleh gelombang
perasaannya itu, tiba-tiba dari jauh terdengar suara genta
yang nyaring. Waktu Hay-thian menengadah, ia lihat sang
surya sudah lewat lohor. Sebenarnya ia sedang termenungmenung
dam pikiran kusut, tapi mendadak ia disadarkan oleh
suara genta yang berkumandang dari jauh itu.
Cepat ia melompat bangun dan berkata: "He, itu adalah
suara genta Kim-eng-kiong, pertemuan disana sudah dbuka!"
"Kim-eng-kiong itu terletak dimana?" tanya In-pik.
"Digunung sebelah sana.?" sahut Hay-thian.
Puncak kedua gunung itu saling berhadapan, lapat-lapat
kelihatan Kim-eng-kiong yang terletak dipuncak gunung
sebelah sana, kalau berjalan mungkin harus menempuh
beberapa puluh li jauh-nya, tapi In-pik lantas berkata: "Jangan
kuatir, kita dapat minta rajawali sakti menghantar kita
kesana!" Teringat akan segera berjumpa dengan sang ayah, Haythian
menjadi tidak sabar lagi rasanya, kalau bisa sungguh ia
ingin segera terbang sendiri kesana.
Sebaliknya Kang Lam belum tahu kalau puteranya itu sudah
lolos dari bahaya. saat itu dia bersama Teng Keng-thian, Tan
Thian-ih dan Ki Hiau-hong sedang menuju ke Kim-eng-kiong,
sepanjang jalan Ki Hiau-hong suka menghiburnya agar jangan
kuatir, bila nanti ketemu Kim Si-ih, pasti beliau itu akan dapat
menemukan Kang Hay-thian.
Terpaksa Kang Lam kesampingkan rasa kuatirnya itu dan
bersama kawan-kawannya menuju kepertemuan Kim-engkiong.
Tapi tiba-tiba Thian-ih berkata: "Ki-toako, kau sendiri dapat
masuk kesana tanpa permisi, tapi kami harus minta
bantuanmu untuk mencarikan jalan yang baik".
Seperti diketahui, rombongan mereka terdiri dari enam
orang, yaitu terdiri dari Kang Lam, Ki Hiau-hong ditambah Tan
Thian-ih bersama isterinya, Yu Peng, serta Teng Keng-thian
bersama Peng-choan Thian-li. Dan diantara mereka hanya
Teng Keng-thian suami-isteri yang mempunyai kartu
undangan. Maka dengan tertawa Ki Hiau-hong telah menjawab:
"Jangan kuatir, ini soal kecil, lihat saja kepandaianku nanti!"
Waktu itu kira-kira seperempat jam sebelum sidang
pertemuan dibuka, maka arus pengunjungnya sedang
membanjir kearah pintu gerbang Kim-eng-kiong. Maka dengan
mudah saja Ki Hiau-hong mengeluarkan kepandaian "tangan
panjang" diantara orang banyak itu dan benar juga empat
kartu udangan sudah dapat diperolehnya. Maka dengan tidak
susah dapatlah Thian-ih berempat masuk kedalam Kim-engkiong.
Sidang pertemuan itu diadakan diruangan pendopo Kimengikiong yang sangat luas itu. Ditengah ruangan terluang
sebagian tempat, sekelilingnya teratur kursi kira-kira seribu
tempat dan sementara itu sudah hampir terduduk penuh.
Hiau-hong pura-pura mencari tempat duduk, ia mengeliling
ruang sidang itu, tapi tiada dilihat bayangannya Kim Si-ih. Tapi
pada kesempatan berjejal dan desak-mendesak diantara orang
banyak itu dia telah berhasil mencopet barang-barang yang
tidak sedikit. Sejenak kemudian, ditengah suara genta yang nyaring,
tertampak Po-siang Hoatsu tampil kemuka sambil merangkap
tangannya memberi hormat, ia mengucapkon kata-kata
pembukaan: "Banyak terima kasih atas kesudian para hadirin
yang terhormat, jika terdapat sesuatu kekurangan dalam
penyambutan ini. lebih dulu harap dimaafkan Negeri Tiongkok
adalah sumber inspirasi ilmu silat yang tersohor, ha! ini sudah
lama Pinceng sangat kagum. Dan maksud tujuan pertemuan
kali ini ialah berkenalan didalam ilmu silat, saling belajar antar
golongan dan bangsa. Jika diantara hadirin ada yang terplih
sepuluh juara terkemuka dan bila sudah tinggal disini, maka
dengan suka hati raja akan mengangkatnya sebagai penasihat
dengan segala kebesaran, kalau tidak sudi tinggal disini,
baginda raja juga akan memberi tanda mata sepantasnya."
Demikian ia bicara dalam bahasa Han. lalu diulangi lagi
dalam basa daerah India yang paling umum dipergunakan
yaitu bahasa Hin-di. Kemudian juru bahasa menterjemahkan
pidatonya itu kedalam bahasa Nepal dan Persia.
Kiranya yang ikut hadir dalam sidang pertemuan ini meliputi
jago-jago silat dari Tiongkok, India, Nepal dan Persia. Selain
itu ada pula beberapa orang Arab. tapi jumlah mereka cuma
sedikit, pula sebelumnya mereka sudah diberi penjelasan oleh
Po-siang, maka sekarang tidak diterjemahkan kedalam
bahasa mereka. Segera seorang Hwesio Hindu tampil ketengah kalangan,
seru-nya: "Katanya ilmu silat Tiongkok itu dikepalai Siau-limpay,
tapi ilmu Siau-lim-pay itu berasal dari negeri kami. Antara
kedua cabang silat tersebut mempunyai kemajuannya sendirisendiri.
Maka sekarang Siauceng bermaksud belajar kenal
dengan para Suheng dari Siau-lim-si sekadar sebagai tukar
pikiran, boleh kita lihat dua cabang yang berasal dari satu
sumber yang sama ini adakah sesuatu perbedaan yang
nyata?" Cara bicara Hwesio itu sangat ramah kedengarannya, tapi
di-balik ucapannya itu Siau-lim-si seakan-akan dianggapnya
sebagai cabang ilmu silat dari India, jadi diangap lebih rendah
daripada mereka.
Tokoh Siau-lim-pay yang ikut hadir adalah Tay-pi Siansu
yang merupakan kepala dari "Cap-pek-lo-han" (delapanbelas
Budha) di Siau-lim-si.
Tay-pi seorang yang cukup sabar, segera lapun tampil
kemuka dan angkat bicara: "Berkat warisan Tat-mo Cosu,
memang ge-reja kami telah memperoleh tidak sedkit budi
kebaikannya, tapi selama ribuan tahun ini ajaran asli Cosu
boleh dikata sudah terlebur dengan ilmu silat Tiongkok sendiri,
sedikit kepandaian kami ini kalau sekarang ditunjukan
mungkin sudah berubah gaya dan bentuknya, tapi untung
harini dapat bertemu dengan kawan dari sumber asalnya,
untuk mana diharap Taysu suka memberi pe-tunjuk
seperlunya."
Ucapan Tay-pi itu cukup merendah diri, ia tunjukan
pihaknya tidak berani lupa kepada sumber aslinya, tapi juga
menyatakan ilmu silat Siau-lim-pay bukan melulu berasal dari
India. Melihat kedua Hwesio itu bicara dengan ramah-tamah
seperti orang sedang berunding sesuatu, Kang Lam merasa
geli dan penyakitnya yang ceriwis lantas kumat, segera ia
berseru diantara orang banyak: "Peduli apa sumber kali atau
sumur, paling penting hantam saja untuk menentukan siapa
yang unggul dan asor!"
Maka tertawalah orang disekitarnya, merekapun berseru:
"Benar, silakan kedua Toahwesio lekas mengukur tenaga saja
dan jangan berlomba ceramah lagi!"
Rupanya Hwesio India itu paham bahasa Han dan kenal
peraturan Bu-lim di Tiongkok pula. untuk menjaga harga diri,
segera ia berkata: "Kita berasal dari suatu sumber yang sama.
maka tidak perlu sungkan-sungkan, boleh silakan Suheng
lantas memberi pe-tunjuk!"
"Maaf, jika begitu!" kata Tay-pi sambil merangkap
tangannya didepan dada, yaitu suatu gaya pembukaan dari
ilmu pukulan "Tat-mo-kun" yang disebut "Beng-sim-le-hud"
atau dengan hati sujut menghormat kepada Budha.
Dengan merangkap kedua tangan adalah tanda
menghormat pihak lawan tetapi sebenarnya siap sedia untuk
bergerak menurut reaksi lawan. Meski Tay-pi telah bergerak
dulu, tapi sebenarnya toh sipaderi India itu disilakan mulai
menyerang lebih dulu.
Sudah tentu Hwesio India itu kenal akan gaya Tay-pi, ia
pikir biar kuserang kau secara mendadak, tentu kau akan
kelabakan. Segera tangan kirinya pura-pura bergerak, tapi
tahu-tahu kepalannya kanan terus menghantam dari bawah
tangan kiri itu.
Namun kedua tangan Tay-pi tetap terangkap didepan dada,
sekonyong-konyong kedua tangan yang terangkap itu
memotong kedepan, kearah pukulan lawan yang mendatang
itu. Keruan Hwesio India itu kaget, pikirnya: "Eh, kiranya gaya
serangan Beng-sim-le-hud ini adalah begini caranya?"
mendadak tangan kirinya melengkung kesamping dan tahutahu
memutar kembali untuk menghantam iga kiri Tay-pi
Siansu.

Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Padahal semua orang menyaksikan Tay-pi Siansu sudah
mengurung lawannya dibawah pukulannya tadi, siapa duga
mendadak Hwesio India itu lantas dapat balas menyerang,
keruan mereka terheran.
Kiranya Tat-mo Cosu, itu cakal bakal Siau-lim-pay, meski
adalah bangsa India, tapi ilmu silatnya yang sejati baru
sempurna dilatih pada masa tua-nya. Sebab itu, ajaran aslinya
boleh dikata berada di Tiongkok dan bukan di India. Baik
tentang gaya serangan maupun Lwekang, paderi-paderi dari
Siau-lim-si jauh lebih tinggi daripada ajaran Tat-mo-Cosu di
India pada masa muda-nya.
Karena itu, sekali melihat gaya serangan Tay-pi tadi, segera
paderi India itu insaf susah melawannya, maka diantara ilmu
pukulannya telah diikut campurkan dengan ilmu gaib yang
hanya terdapat di India, yaitu Yoga.
Jika ilmu Yoga sudah terlatih sempurna, maka otot daging
dapat mulur mengkeret digerakan sesukanya. Dan paderi
India itu adalah ahli Yoga, meski ilmu pukulan yang dimainkan
adalah Tat-mo-kun-hoat, tapi lengannya mendadak seperti
mulur beberapa senti lebih panjang dan dapat memukul
dengan memutar dari arah yang sama tak terduga oleh Tay-pi
Siansu. Tapi sekonyong-konyong jubah paderi Tay-pi Siansu terus
melembung dan berkibar sebagai layar, maka terdengarlah
suara "bang" sekali, pukulan Hwesio India itu seperti mengenai
kulit tambur, bahkan tangannya terus terbungkus oleh jubah
Tay-pi, keruan ia malu hingga mukanya merah padam, cepat
ia membetot se-kuatnya dan dapatlah terlepas tangannya,
namun tubuhnya toh sampai tergelak hingga berputar sekali.
Tidak sedikit ahli silat yang hadir disitu, diam-diam mereka
sama kagum, pikir mereka: "Ilmu Cam-ih-cap-pek-tiat (jatuh
18 kali bila menyenggol baju) Siau-lim-pay benar-benar sangat
hebat, tidak malu Tay-pi Siansu selaku kepala dari Cap-pek-lohan."
Namun sebaliknya paderi India itu juga tidak tergentak
jatuh, hal ini menandakan Lwekangnya juga mencapai
tingkatan yang tertinggi. Dan dalam keadaan menguntungkan
itu, kalau Tay-pi Siansu mau memberi serangan susulan,
seketika Hwesio India itu pasti akan dirobohkan. Tapi Tay-pi
masih tetap merangkap tangannya didepan dada sambil
berkata: "Silakan Suheng memberi petunjuk yang lebih hebat
lagi!" Kejut dan gusar pula paderi India itu. Mendadak ia
menghantam sambil membentak: "Coba kau sambut Kimkongciang-Iik ini!"
Ruangan Kim-eng-kiong itu dapat memuat ribuan orang,
dengan sendirinya sangat luas tempatnya. Tapi ketika pukulan
paderi India itu dilontarkan, sampai hadirin yang berdiri paling
pojok sana juga merasakan sambaran angin yang keras, maka
dapat dibayangkan betapa dahsyatnya pukulan paderi itu.
Namun Tay-pi juga telah memapaknya dengan pukulan
yang sama, tapi sedikitpun tidak membawa suara atau
sambaran angin, tampaknya seperti tak bertenaga. Siapa duga
air muka paderi India itu lantas berubah hebat, ubun-ubun
kepalanya tampak menguapkan hawa putih.
Kiranya pukulan Kim-kong-ciang-lik itu meski merupakan
ilmu pukulan dahsyat, tapi kalau sudah terlatih hingga
sempurna, maka diantara kedahsyatan itu membawa tenaga
yang lunak pula hingga lawan dikurung dibawah tenaga
pukulan. Kim-kong-ciang itu mestinya adalah ajaran Tat-mo Cosu,
tapi dicabang India ilmu pukulan itu hanya dikembangkan
tentang dahsyatnya pukulan saja, sebaliknya cabang
ajarannya di Tiongkok telah dibaurkan dengan ilmu silat
Tiongkok asli yang mengutamakan kelemasan hingga Kimkongciang yang disempurnakan oleh Siau-lim-pay itu lebih
hebat dari ajaran asli Tat-mo Cosu, dan sudah tentu m mpipun
paderi India itu tak terduga akan hal itu.
Begitulah maka tenaga pukulan Tay-pi tadi bagaikan ombak
yang mendampar-dampar susul menyusul, makin lama makin
hebat dan makin dahsyat. Sebaliknya tenaga pukulan paderi
India itu seakan-akan ditelan dan terlebur kedalam tenaga
pukuian Tay-pi yang kuat tapi lunak itu.
Sampai disini, d"samping terkejut, mau-tidak-mau paderi
India itu merasa kagum juga. Pikirnya: "Sudah terang yang
digunakannya juga Kim-kong-ciang-lik, tapi ternyata sama
sekali berbeda daripada apa yang kupelajari ini, memang aku
masih kalah jauh."
Meski ia sudah kerahkan sepenuh tenaga, tapi masih tidak
sanggup bertahan, tampaknya segera ia bisa terdorong roboh
oleh tenaga pukulan Tay-pi itu, untungnya mendadak Tay-pi
Siansu lantas menarik kembali tangannya, kembali Tay-pi
merangkap kedua tangannya didepan dada dan berkata: "Kita
berasal dari suatu sumber yang sama, masing-masing
mempunyai keunggularmya sendiri-sendiri dan dimana
letaknya sudah dapat kita ketahui bersama, maka tidak perlu
kita bertanding lagi."
Seketika paderi India, itu seperti terhindar dari beban yang
berat. sudah tentu ia terima maksud ba!k Tay-pi itu. Tapi
karena tekanan tenaga Tay-pi yang hebat tadi, biar sudah
terlepas dari serangan toh badannya masih sempoyongan
kebelakang. Dibelakang Po-siang Hoatsu saat itu terdiri tujuh orang
Hwesio, satu diantaranya tiba-tiba tampil kemuka untuk
memayang paderi yang sedang sempoyongan itu dan berkata:
"Sute, mundurlah kau, biar kubelajar kenal dengan Taysu ini."
Para jago silat dari Se-ek (benua barat) cukup kenal Hwesio
yang maju belakangan ini, mereka saling bisik-bisik
membicarakan nya: "Kabamya tujuh orang Hou-hoat-tecu dari
Kim-eng-kong semuanya memiliki ilmu silat yang hebat,
Keroco Taysu ini terhitung nomor tiga diantara ketujuh Houhoattecu itu, jika d"a sudah maju kegelanggang, maka pasti
akan ramailah pertandingan ini."
Sebagai seorang ahli silat, begitu sihwesio yang bernama
Keroco itu bertindak memayang Sutenya tadi segera Tay-pi
tahu bahwa kepandaian Keroco itu jauh lebih tinggi daripada
sang Sute, tapi untuk dapat mematahkan Kim-kong-clangliknya
tadi belum tentu mampu, sebagai seorang ahli silat
masakan si Keroco tidak tahu dan masih ingin bertanding
dengan aku"
Namun sudah terdengar Keroco mulai berkata: "Ilmu silat
ajaran Tat-mo Cosu terlalu luas dan meliputi segala macam,
kedua golongan kita sama-sama memperoleh warisnya dan
beruntung harini dapat berjumpa, biarlah aku belajar kenal
lagi dalam hal permainan senjata dengan Taysu."
Dengan tantangan itu, nyata ia. maksudkan pertandngan
Lwekang tadi sudah dilakukan dengan Sutenya, maka
sekarang boleh ganti bertanding senjata saja.
Tay-pi Siausu sendiri sudah sempurna Lwekangnya, tapi
dalam hal permainan senjata ia jarang berlatih dan selamanya
juga tidak pernah membawa senjata. Dengan sendirinya a
menjadi ragu-ragu.
Syukurlah waktu itu tokoh angkatan tua dari Jingsia-pay.
yaitu Siau Jing-hong sudah lantas tampil kemuka, katanya
dengan suara lantang: "Pertemuan harini adalah perkenalan
dengan ilmu silat, kalau sekarang pertandingan dilakukan
terus diantara sama golongan dan sama sumber seperti kalian
ini, lantas bagaimana hadirin yang lain, apakah mereka
disuruh datang melulu menjadi penonton saja" Pula Tay-pi
Siansu barusan sudah bertanding satu babak, sudah
sepantasnya dia undurkan dir mengaso dulu." Lalu ia berpaling
dan berkata pula kepada Keroco itu: "Aku adalah orang dari
Jing-sia-pay di Tiongkok, ilmu silat golongan kami ini tiada
sesuatu hubungan apa-apa dengan sumber ilmu silat kalian,
nah, marilah kita boleh coba-coba bertanding."
Kiranya Siau Jing-hong rada dongkol kepada kedua paderi
India yang suka menonjolkan namanya Tat-mo Cosu untuk
meninggikan harga diri mereka, sebaliknya memandang
rendah ilmu silat Tiongkok. Maka sengaja ia membalas dengan
kata-kata tajam serta ?neaantangnya secera terang-terangan.
Karena tiada jalan lain, terpaksa Keroco bilang: "Bagus,
boleh juga aku lebih banyak belajar kenal dengan ilmu silat
berbagai golongan dinegeri kalian." segera ia angkat tongkat
bambu hijau yang dipegangnya dengan tangan kanan dan
sebuah kobokan emas ditangan kiri dan berkata pula: "Nah,
senjataku adalah kedua mestika ini, silakan mulai memberi
petunjukl"
Siau Jing-hong lantas melolos Hud-tim (kebut) yang terselip
dibelakang ikat pinggang, lalu ikat pinggang itu dilepas pula,
"creng", mendadak ikat pinggang itu menyendal hingga
melurus. Kiranya ikat pinggang itu adalah sebatang pedang
yang lemas. Jing-hong terbahak-bahak, katanya: "Dislni adalah wilayah
Tiongkok, engkau terhitung tamu kami, orang Tionghoa
selamanya menghormati tamunya, maka aku akan mengalah
tiga jurus padamu."
Sebagai Hou-hoat atau pembela agama dari Kim-eng-kiong,
Keroco sudah biasa berlagak dan sombong, maka ia menjadi
dongkol atas sikap Siau Jing-hong itu, pikirnya: "Kau berani
memandang enteng padaku dan sengaja mengalah tiga jurus
segala, hm, boleh coba kau rasakan betapa kelihayanku!"
Maka iapun tidak mau banyak bicara lagi, sekali tongkat
bambu diangkat, terus saja ia tutuk Hiat-to ditubuh Siau Jinghong.
Tongkat bambu itu menyambar sambil membawa
sambaran angin hingga mirip seekor ular hijau hendak
ieinagui. Diantara hadirin itu banyak terdapat ahli Tiam-hiat,
semuanya terkesiap demi nampak kepandaian Keroco itu,
mereka merasa tidak dapat membandinginya.
Sebaliknya Tay-pi Siansu telah berpikir: "Dia telah gunakan
tongkat bambu sebagai gantinya potlot peranti menutuk,
ternyata memang lebih banyak variasinya dan sudah mencapai
inti pelajaran Tat-mo Cosu yang paling mendalam, meski
belum tentu dapat lebih hebat daripada Siau-lim-si. tapi
tampaknya juga tidak dibawah kami lagi."
Sementara itu segenap Hiat-to ditubuh Siau Jing-hong
seolah-olah terkurung semua dibawah bayangan tongkat si
Keroco, tidak peduli berkelit kearah mana tentu akan kena
tertutuk. Tapi mendadak Siau Jing-hong melangkah maju
malah, jadi tidak berkelit kesampmg atau mundur, bahkan
mendekati Keroco hingga mirip sengaja menyerahkan diri
untuk ditutuk lawan itu.
Tapi aneh, ilmu Tiam-hiat si Keroco basanya tidak pernah
meleset, entah mengapa, sekali ini sudah terang musuh
menyerahkan diri untuk ditutuk, tapi tutukannya itu justeru
luput malah hingga Keroco sendiri merasa bingung.
Dalam pada itu tahu-tahu Siau Jing-hong sudah berada d
depan hidungnya hingga hampir-hampir saling cium dengan
dia, keruan Keroco terkejut. Walaupun Jing-hong sudah
menyatakan akan mengalah tiga jurus padanya. tapi musuh
mendadak berada didepan-nya, mau-tidak-mau ia harus
berjaga-jaga kemungkinan diserang. Tanpa pikir lagi kobokan
emas ditangan kiri terus menengkurap keatas kepala Jinghong.
Namun secepat angin Jing-hong telah menyelinap lewat disisinya.
Sambil menggereng murka, Keroco terus meloncat
keatas, tongkat bambu menyabat dan kobokan emas
mengepruk, sekaligus kedua senjata yang berlainan itu dipakai
menyerang, sungguh harus diakui betapa lihaynya sebagai
seorang Hou-hoat-tecu.
Sebaliknya sekarang Siau Jing-hong lebih aneh lagi, ia tidak
menghindar atau berkelit, tapi dengan tungkak kanan dipakai
sebagai poros, terus saja ia berputar ditempatnya itu mirip
kitiran, maka terdengarlah "trang" sekali, tanpa merasa Keroco
telah ikut berputar dan tongkat bambu memukul diatas
kobokan sendiri hingga mengeluarkan suara.
"Hahahaha, tiga jurus sudah cukup. sekarang akan kubalas
kebaikanmu itu," seru Jing-hong sambil tertawa. Mendadak
pedangnya disendai hingga lempeng, kontan ia terus balas
menusuk sekali.
Kiranya kepandaian yang digunakan Siau Jing-hong tadi
adalah Thian-lo-poh-hoat yang hebat. Thian-lo-poh-hoat itu
asalnya adalah milik Jing-sia-pay, tapi kemudian telah dicuri
oleh Kiau Pak-beng serta ditambah dan digembleng lebih luas
hingga Thian-lo-poh-hoat ajaran Kiau Pak-beng menjadi lebih
hebat daripada Jing-sia-pay. Pada jaman ini orang yang paling
mahir menggunakan Thian-lo-poh-hoat ialah Ki Hiau-hong.
Tapi meski Siau Jing-hong tidak selihay Ki Hiau-hong, kalau
Thian-lo-poh-hoatnya digunakan untuk menghadapi Keroco
sudah tentu lebih daripada cukup.
Sebagaimana diketahui, Siau Jing-hong adalah guru Tan
Thian-ih yang pertama, dengan latihannya yang sudah
berpuluh tahun lamanya, kepandaiannya sesungguhnya tidak
dibawahnya Tay-pi Siansu. Maka tusukan pedang tadi
membawa tenaga yang dah-syat dan ujung senjata itu
mengeluarkan suara mendesis. Ketika Keroco menangkis
dengan kobokan, "trang", seketika tangan Keroco terasa
kesemutan, namun tusukan Siau Jing-hong itu menjadi
tertangkis juga.
Sampai disini Keroco tidak berani memandang ringan
musuh-nya lagi, ia gunakan kobokan emas sebagai tameng, ia
ambil ke-putusan buat bertahan dengan rapat saja, maka
tetap berdiri ditempatnya untuk menangkis dan bertahan, ia
tidak berani sem-barangan menggeser, sebab kuatir terjebak.
Kedua macam senjata Keroco itu memang sudah terlatih
sempurna, kepandaian yang sebenarnya juga tidak dibawah
Jing-hong, maka sekali ia sudah bertahan dengan rapat, dalam
waktu singkat Siau Jing-hong menjadi tak berdaya juga.
Dengan langkah tertentu menurut Pat-kwa, Siau Jing-hong
telah putar pedangnya dengan kencang, ia mengitari Keroco
satu putaran sambil menyerang keatas enam kali, kebawah
enam kali, kekiry enam kali, kekanan enam kali, kedepan
enam kali dan kebelakang enam kali. Sekaligus ia menyerang
6 X 6 = 36 kali. Maka terdengarlah suara mendering nyaring
berulang-ulang, setiap serangan Jing-hong selalu kena
ditangkis oleh kobokan emas Keroco. Bahkan kalau Jing-hong
terlalu mendekat, segera tongkat bambu hijau Keroco itu balas
menutuk dengan cepat dan tepat, untung Thian-lo-poh-hoat
yang dimainkan Jing-hong sudah sedemikian cepatnya hingga
tidak sampai terserang.
Setelah melakukan serangan berantai itu, kini Jing-hong
sudah dapat menjajaki tenaga lawan masih sedikit lebih lemah


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

daripada dirinya sendiri. Tapi lawan memakai kobokan sebagai
tameng, ditambah tongkat bambu yang dapat menutuk
dengan cepat. kerja sama kedua senjata itu sangat rapat
hingga dapat menutupi sedikit kelemahannya itu.
Maka setelah sekian lamanya saling gebrak, keadaan masih
belum kelihatan nyata siapa akan menang atau kalah. Segera
murid pertama Hou-hoat-tecu berseru: "Kalian berdua sama
kuatnya, boleh silakan berhenti saja!"
"Nanti dulu, silakan Toahwesio terima pula seranganku ini!"
kata Jing-hong tiba-tiba. Mendadak ia mengebas kebutnya
hingga bulu kebut kena membelit tongkat bambu Keroco.
Cepat Keroco menyendal sekali hingga ujung kebut itu seakanakan
terlepas, dan bukan mustahil tongkat ilu terus ditutukan
kedepan. untuk mana Siau Jing-hong pasti susah menghindar.
Tak terduga lantas terdengar suara "trang" yang keras,
kobokan emas Keroco telah kena ditusuk tembus oleh pedang
Siau Jing-hong. Sambil terbahak-bahak Jing-hong terus
melompat keatas, sekali berjumpalitan. kemudian tubuhnya
turun kebawah sejauh tiga meter disebelah sana.
Kiranya pengalaman Siau Jing-hong sangat luas, cerdiknya
juga melebihi orang lain. Ia sudah tahu paderi India itu
merasa gentar dan tidak berani sembarangan menggeser
langkah untuk menyerangnya, maka dia telah mendapat suatu
akal baik untuk membobolkan pertahanan musuh walaupun
caranya Ini agak ber-bahaya, yaitu dengan pura-pura
mengebut sebagai pancingan, sedangkan pedang lantas
menusuk dengan sungguh-sungguh.
Kalau Keroco tahu akan tipu Siau Jing-hong itu dan bila dia
lantas mendesak maju untuk menutuk ketika tongkat
bambunya terlilit oleh bulu kebut, maka kedua belah pihak
pasti akan sama-sama terluka. Tapi kini Siau Jing-hong
sedikitpun tidak dirugikan, sedangkan kobokan emas Keroco
telah petiah tertusuk pedang, untuk mana sudah terang
takbisa dipakai bertempur pula, dan dengan sendirinya ia
harus mengaku kalah.
Seorang kalah, dengan sendirinya Hou-hoat-tecu yang lain
juga ikut merosot pamornya, dan selagi mereka hendak
mengajukan jago lain lagi, sekonyong-konyong terdengar
suara ribut-ribut diluar istana.
Seorang penjaga lantas kelihatan masuk melapor: "Diluar
ada empat orang tamu tanpa membawa kartu undangan,
mereka menyatakan kartu undangan entah hilang dimana, tapi
mereka berkeras ingin masuk, boleh atau tidak, mohon
petunjuk Kok-su?"
Kiranya kartu undangan keempat orang yang bikin ribut
itulah yang telah digerayangi Ki Hiau-hong. Mereka baru
mengetahui kehilangan ketika sudah sampai didepan Kim-engkiong
hingga mereka sendiri bingung dimanakah hilangnya
kartu undangan.
Dan sesudah Hou-hoat-tecu pertama menandakan nama
keempat tamu itu kepada penjaga, lalu diteruskannya laporan
itu kepada Po-siang Hoatsu.
Po-siang terbahak-bahak mendengar itu. Kiranya keempat
orang tamu itu dikenal baik oleh Po-siang, bahkan empat kartu
undangan untuk mereka juga ditulis sendiri olehnya. Maka
dengan tertawa ia ta-nya Hou-hoat-tecu itu: "Apakah kau tidak
kenal siapa mereka?"
"Mohon Suhu suka memberi keterangan," sahut muridnya
itu. "Tiga diantara mereka adalah tokoh terkemuka dari agama
Po-lobun (Hindu) dan seorang lagi adalah copet sakti yang
tiada bandingannya dinegeri Thian-tiok, sungguh tidak nyana
begitu dia melangkah keluar negeri lantas kepergok
sekaumnya sendiri dari negeri lain serta kena dikalahkan."
demikian tutur Po-siang dengan tertawa.
Anak muridnya menjadi kuatir, dengan suara berbisik
mereka menanya: "Apakah kita perlu mengusut pencuri kartu
undangan itu?"
"Tidak, kalau sengaja mengundang saja belum tentu kita
mampu mengundangnya kemari," sahut Po-siang. Lalu dengan
suara keras ia berkata kepada para hadlirin: "Entah karya tuan
tamu yang manakah, apakah sekiranya sudi keluar untuk
berkenalan?"
Waktu itu Ki Hiau-hong berduduk d bagian belakang, selagi
ia hendak membuka suara, tiba-tiba didahului suara teriakan
orang: "Pemilik Kim-eng-kiong telah sudi mengampuni maling
keparat itu, tapi kami bersaudara tidak nanti mau mengumpni
dia! Hayo, Ki Hiau-hong, lekas menggelinding keluar!"
Kiranya kedua orang itu adalah Cufalan dan Cufayu, kedua
Hoan-ceng (paderi asing) bersaudara yang pernah
dipermainan Ki Hiau-hong dahulu itu. Mereka adalah saudara
kembar, maka lagak-lagu mereka serupa.
Segera Ki Hiau-hong bergelak tertawa, ia maju kedepan,
lebih dulu ia memberi hormat kepada Po-siang Hoatsu dan
berkata: "Maaf, maafkan!"
Hou-hoat-tecu yang disuruh keluar menyambut keempat
tamu tanpa kartu undangan itu saat mana lewat disamping Ki
Hiau-hong, tanpa merasa ia mengamat-amati Ki Hiau-hong
sambil meng gumam sendiri: "Menilai arang menang tidak
dapat dipandang dari mukanya, kakek royot seperti ini
ternyata memiliki kepandaian setinggi itu, sungguh susah
untuk dipercaya siapapun."
Dia menggerundel dalam basa Hindi, sudah tentu Ki Hiauhong
tidak paham, maka ia hanya menyengir sekali kepada
Hou-hot-tecu itu.
Tak tersangka mendadak Po-siang Hoatsu berseru dalam
bahasa Han: "Ki-siansing, memang aku yang bersalah karena
tidak mengirim kartu undangan padamu, tentang
perbuatanmu mencuri kartu undangan itu aku tidak
meyalahkan kau. Tapi tasbih itu adalah benda hadiahku
kepada muridku itu, harap kau suka mengembalikan!"
Belum lenyap suaranya, mendadak Ki Hiau-hong merasa
tangan-nya kesakitan seperti ditusuk jarum, semula tangannya
mengepal, kini terpaksa harus membuka kepalannya. Maka
terdengarlah suara gemerasak, segandeng biji tasbih telah
jatuh kelantai.
Kiranya Hou-hoat-tecu yang dihadapi Ki Hiau-hong dengan
me-nyengir tadi, tanpa merasa telah kena diselomoti tangan
panjang sicopet sakti itu hingga kalung tasbih yang tergantung
dilehernya tercuri, ditengah orang banyak itu temyata tiada
seorangpun yang tahu kejadian itu kecuali Po-siang Hoatsu.
Keruan Hou-hoat-tecu tadi dan Ki Hiau-hong sama-sama
terkejut. Hou-hoat-tecu terkejut oleh ilmu copet Ki Hiau-hong
yang sakti itu, cepatan saja ia jemput kalung tasbih itu dan
melangkah pergi, betapapun ia tidak berani dekat-dekat lagi
dengan copet sakti itu.
Sebaliknya Ki Hiau-hong terperanjat oleh ilmu sakti Po-siang
Hoatsu, dari jarak sejauh itu dapat mengincar Hiat-to
ditangan-nya dengan jitu. keruan Hiau-hong menjadi kuatir:
"Tampaknya kepandaian raja agama ini tidak dibawahnya Kimtayhiap,
pabila Kim-tayhiang tidak datang, terang tiada
seorangpun yang dapat menandinginya".
Dalam pada itu Cufalan dan Cufayu sudah lantas
membentak: "Ki Hiau-hong, dasar maling, dimana-mana
tanganmu suka gerayangan! ini rasakan kepalan kami!"
"Ala, setali-tiga-uang, apa bedanya antara kita?" demikian
sahut Hiau-hong. "Cuma saja kalian baru masuk menjadi
anggota golongan kita, maka kalian harus banyak belajar lagi
daripada-ku," tengah berkata, berbareng iapun hindarkan
serangan kedua paderi itu.
Namun seorang juri yang ikut mengatur pertandingan
lantas menyela: "Nanti dulu, kalian berdua saudara maju
bersama, apakah Ki-siansing perlu seorang pembantu?"
Hiau-hong tertawa, sahubvya: "Memangnya aku dengan
mereka adalah sekomplotan, kami hanya saling gebrak secara
main-main saja, tidak perlu sungguh-sungguh, biarlah aku
simaling tua ini melayani sendiri kedua maling kecil mereka
ini." Seperti pernah diceritakan, Cufalan dan Cufayu dahulu
pernah berkomplotan dengan Ki Hiau-hong dan menyelundup
ke Siau-lim-si untuk mencuri kitab. Menurut janji, kedua paderi
itu disuruh pasang mata diluar gedung penyimpan kitab, jika
berhasil, mereka bertiga akan membagi hasilnya dengan sama
rata. Diuar dugaan, begitu Ki Hiau-hong masuk kedalam gereja
itu, segera ya kepergok Hwesio-Hwesio penjaga dan akhirnya
d.a herba sil meloloskan diri, sebaliknya Cufalan dan Cufayu
yang tertawan malah. Untung ketua Siau-lim-si, Thong-sian
Siangjin dengan bijaksana telah membebaskan kedua paderi
asing itu, sedang Ki Hiau-hong sendiri waktu melarikan diri"
masih sempat menggondol tiga jilid kitab dan kemudian
dikembalikan pula kepada Tay-pi Siansu dari Siau-lim-si, hal
mana dirasakan oleh Cufalan dan Cufaya seolah-olah dihianati
dan diapusi. Maka mereka dendam kepada Ki Hiau-hong,
setiap kali ketemu tentu memandangnya sebagai musuh, dan
sudah dua kali Hiau-hong lolos dibawah keroyokan mereka.
Tentang kejadian mencuri serta tertawan itu bagi kedua
paderi asing itu dirasakan sebagai sesuatu yang memalukan,
tapi Ki Hiau-hong justeru tidak punya pikiran, begitu, ia malah
berteriak-teriak tentang "maling tua dan maling kecil" apa
segala. Keruan Cufalan dan Cufayu menjadi gusar, tanpa
hiraukan ucapan juri tadi, terus saja mereka merangsak lagi
dari kanan kiri.
"Ai, ai! Lihay juga, ya?" seru Hiau-hong dengan tertawa
ketika pukulan Cufalan tiba lebih dulu Ia mengegos
kesamping. Tak terduga ia menjadi kesasar kedalam
lingkungan tenaga pukulan. Cufayu. Ia terguncang
sempoyongan dan terpental mundur, sedangkan waktu itu
pukulan Cufalan masih terus mendesak dari depan.
Kiranya kedua paderi asing itu cukup kenal Thian-lo-pohhoat
yang lihay dari Ki Hiau-hong, sesudah dua kali
pengalaman dulu, yaitu pertama kali Ki Hiau-bong berhasil
lolos dengan Ginkang yang tinggi dan kedua kalinya berkat
bantuan Kim Si-ih disamping menggunakan Thian-lo-poh-hoat
yang licin, maka sekarang mereka sudah pintar, mereka telah
berhasil meyakinkan satu jurus "Im yang-pat-kwa-ciang",
dikala ketemu musuh, keduanya bisa kerja sama dengan rapat
dengan tenaga pukulan yang berlawanan hingga musuh susah
melepaskan diri dari kepungan mereka.
Begitulah maka waktu Ki Hiau-hong merasa ditumbuk oleh
suatu arus tenaga yang kuat, terpaksa iapun memapak
dengan tenaga pukulannya. Ia baru saja berhasil meyakinkan
"Kim-kong-ciang-lik", meski tidak sehebat Tay-pi. Siansu, tapi
juga tidak dibawah Keroco.
Tak tersangka tenaga lawan mendadak seperti hilang,
sebaliknya tenaga pukulan sendiri toh takdapat diteruskan
kedepan, tapi seperti tertumbuk pada segumpal kapuk yang
lunak dan susah pula ditarik kembali.
Dalam pada itu dengan cepat sekali Cufayu sudah
menyerang juga, tenaga pukulannya sudah menyambar
sampai dibelakang Ki Hiau-hong. Ternyata tenaga pukuln
mereka satu sama lain berlawanan dan dapat berubah
sewaktu-waktu, asal salah seorang diantara mereka dapat
melengket lawannya, maka yang lain segera menghantam
dengan tenaga dahsyat.
Untung Ki Hiau-hong. sudah memiliki Hou-te-sin-kang, tapi
punggungnya yang kena digenjot Cufayu itu juga terasa
kesakitan. Ia menjadi gusar, pikirnya: "Tega benar kalian ini!
Meski aku pernah meninggalkan kalian dahulu, tapi kejadian
itu adalah karena terpaksa dan bukan maksudku hendak
mengangkangi sendiri hasilnya."
Dalam gusarnya Hiau-hong tidak pikir panjang lagi, segera
iapun mengeluarkan dua macam tenaga pukulan yang
berbeda, telapak tangan kanan menghantam kedepan dengan
Siu-lo-im-sat-kang tingkat kedelapan, sedang tangan kiri
memukul kebelakang dengan Tay-seng-pan-yak-ciang-lik.
Kedua macam pukulan itu adalah ilmu kelas satu dalam
pelajaran ilmu silat tinggalan Kau Pak-beng. Keruan seketika
Cufalan tergetar dan menggigil, sedang Cufayu juga kena
didesak mundur.
Dulu Cufalan juga sudah pernah merasakan Siu-lo-im-satkangnya
Ki Hiau-hong, tapi saat itu Hiau-hong baru mencapai
tingkatan ketujuh, belum selihay seperti sekarang. Biasanya
orang sulit mencapai tingkatan kedelapan, tapi kalau tingkatan
ini dapat dilalui, maka tenaganya akan bertambah sekali lipat
daripada t ngkatan ketujuh.
Dalam pertarungan dulu selalu Cufalan lebih unggul , tapi
sekarang ia lantas merasa menggigil dan kaku kena tenaga
pukulan Ki Hiau-hong, karuan ia terkejut. Pikirnya: "Hanya
beberapa tahun tidak ketemu dan tenaga Locat ini sudah maju
sehebat ini, sungguh aneh!"
la tidak tahu bahwa Ki Hiau-hong telah mendapat
petunjuknya Kim Si-ih hingga telah dapat melebur semua
al"iran ilmu silat yang pernah dicuri dan dipelajarinya itu
hingga Lwekangnya sekarang merupakan perpaduan dari
Cing-pay dan Sia-pay, dengan sendirinya Ki Hiau-hong kini
bukan lagi Ki Hiau-hong yang dulu.
Adapun keadaan Cufayu lebih mendingan, sebab Ki Hiauhong
harus mengerahkan Lwekang buat mengeluarkan Siu-loimsat-kang, maka tenaga pukulan Tay-seng-pak-yak-kang
menjadi tidak dapat dilontarkan sepenuh tenaga, maka Cufayu
masih sanggup bertahan dengan sama kuatnya.
Sebaliknya Ki Hiau-hong menjadi tidak tega, jelek-jelek dulu
mereka bertiga pernah sekomplotan. Hiau-hong sendirimerasa
kurang pantas juga telah meninggalkan mereka ketika
tertawan. Maka mendadak ia kendurkan Siu-lo-Im-sat-kang,
Diluar dugaan Cufalan terus mendesak malah hingga kedua
arus tenaga menjadi berlibat kembali, keadaan berubah
menjadi mengadu Lwekang dan siapapun tak dapat berhenti.
Dengan demikian kedua belah pihak menjadi sama susahnya
dan diam-diam sama mengeluh.
Syukur Tay-pi Siansu dapat menyaksikan keadaan itu, tibatiba
ia tampil kemuka, katanya: "Tuan rumah sudah
menyalakan bahwa harini adalah perkenalan belaka dengan
ilmu silat dan tidak perlu mengadu jiwa, kulihat babak ini
boleh dianggap seri saja, kedua pihak sama-sama kuat."
Juri yang mengikuti pertandingan itu menganggut tanda
setuju, tapi tidak berani maju memisah.
Dalam pada itu Tay-pi Siansu masih terus maju kedepan,
kira-kira jaraknya sudah sama diauhnya dengan ketiga orang


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sedang terlibat dalam mengadu lwekang itu, mendadak
ia kebas kedua lengan bajunya, maka terdengarlah suara
angin menyambar, kedua paderi dan Ki Hiau-hong sama-sama
melompat mundur satu tindak hingga tenaga lengketan
mereka terpisah.
Walaupun begitu, Cufalan berdua masih merasa penasaran.
Tapi Tay-pi lantas berkata sambil memberi hormat "Kita dapat
bertemu pula dengan kenalan lama disini, sungguh
menyenangkan sekali. Guruku Thong-sian Siangjin ada pesan
agar memberikan sedikit oleh-oleh kepada Taysu berdua untuk
menghapus permusuhan dahulu yang berarti pula benda ini
kembali kepada pemiliknya, untuk mana harap Taysu berdua
suka menerima dengan baik."
Mendengar, ucapan "benda kembali kepada pemiliknya",
hati Cufalan berdua berdebar hebat, hampir-hampir mereka
tidak percaya kepada telinganya sendiri.
Tapi Tay-pi sudah lantas mengeluarkan suatu bungkusan
dengan kain kuning, diatasnya tertulis titel tiga jilid kitab yang
bersangkutan, yaitu kitab Siau-lim-si yang dulu pernah dicuri
Ki Hiau-hong serta sangat diimpi-impikan oleh Cufalan berdua
itu. Sungguh girang Cufalan berdua tak terhingga, tanpa
membuka juga mereka percaya isinya pasti tulen, segera
mereka menerima nya dengan baik sambil mengucapkan
terima kasih. "Ah, kita adalah sekaum, kenapa mesti sungkan-sungkan,"
kata Tay-pi dengan tertawa. "Kalau mau terima kasih, maka
berterima-kasih kepada Ki-sicu saja."
"Ai, mengapa Taysu mengolok-olok diriku," ujar Hiau-hong
dengan tertawa. "Benar aku pernah pinjam baca ketiga jilid
kitab gereja kalian itu. Tapi sudah lama kukembalikan dan itu
berarti sudah tiada sangkut-pautnya lagi dengan aku. Adapun
dengan senang hati Taysu telah menghadiahkan kitab-kitab itu
kepada mereka, itulah aku tidak berani ikut-ikut menerima
jasanya." "Tapi Ki-sicu telah banyak memberi catatan berguna
didalam kitab hingga banyak manfaatnya bagi perkembangan
beberapa macam ilmu silat itu, hal ini guruku mengatakan Kisicu
tidak saja telah mengembalikan pokoknya, bahkan
membayar rente, kalau dihitung, kamilah yang telah terima
kebaikanmu," demikian kata Tay-pi dengan sungguh-sungguh.
"Guruku mengetahui kau berselisih paham dengan kedua
Taysu ini dan beliau merasa tidak tenteram, maka maksudnya
memberi oleh-oleh ini adalah juga untuk menyelesai kan
percecokan kalian ini sekadar membalas kebaikan Ki-sicu itu."
Cufalan berdua senang sekali mendapat kitab-kitab yang
diharapkan itu, rasa dendam mereka kepada Ki Hiau-hong
lantas hilang sirna, segera merekapun menghaturkan terima
kasih kepada Hiau-hong dan permusuhan mereka selama ini
harus selesai ditengah gelak tawa mereka
Dan sesudah Tay-pi dan kedua paderi Thian-tiok itu kembali
ke tempat duduk masing-masing, saat itulah Hou-hoat-tecu
yang keluar tadi telah membawa masuk tiga paderi Hindu dan
seorang laki-laki bermata siwer (biru) dan berambut pirang
Keempat orang itu adalah korban copet Ki Hiau-hong hingga
mereka dilarang masuk ke Kim-eng-kiong, sudah tentu mereka
merasa dibikin malu dan penuh mendongkol. Dengan mata
melotot ketiga paderi itu memandangi Ki Hiau-hong, cuma
mereka cukup tahu peraturan, maka tidak mau sembarangan
bertindak. Sebaliknya laki-laki berambut pirang itu tidak peduli
peraturan apa segala, sekali melompat, segera ia menghadapi
Ki Hiau-hong sambil berkomat-kamit beberapa kalimat dalam
bahasa India. Melihat gerakan orang cukup gesit, diam-diam Ki Hiau-hong
me-muji, pikirnya: "Sayang dia orang India, kalau tidak, cocok
juga untuk menjadi pembantuku," Segera iapun bertanya:
"Apa yang dia katakan?"
Hou-hoat-tecu tadi memberi penjelasan: "Ini adalah copet
sakti nomor satu dinegeri kami, dia sangat kagum kepada
kepandaian Ki-siansing, maka ingin berkenalan dengan kau!"
"Bagus, bagus! Usaha kita sejenis, kepandaian kita sama
golongan, marilah kita berkenalan!" sahut Hiau-hong dengan
tertawa. Dan sekali kedua orang berjabatan tangan, tiba-tiba
terdengar Sicopet India itu menjerit tertahan sambil meringis.
"Tanganmu kesasar, bukan disini, tapi dompetku tersimpan
di-saku sebelah sana," kata Hiau-hong dengan tertawa.
Waktu semua orang memperhatikan, tertampak tangan kiri
copet India sudah menyelonong kedalam baju Ki Hiau-hong,
tapi seperti terjepit oleh sesuatu hingga susah untuk ditarik
kembali. Sebaliknya tangan kanan Ki Hau-hong masih
berjabatan tangan dengan orang, sedang tangan kiri lurus
bebas tidak memegang sesuatu Semua orang menjadi
bingung, mereka tidak tahu sebab apa tangan copet India itu
takbisa ditarik kembali, melihat sikap nya yang lucu itu hingga
semua orang merasa geli.
Kiranya copet sakti dari India itu merasa penasaran dan
sengaja hendak mengukur kepandaiannya Ki Hiau-hong, maka
disaat mereka berjabatan tangan, sebelah tangannya lantas
hendak merogoh saku Ki Hian-hong. Tapi sial baginya, copet
ketemu copet, tahu-tahu Ki Hiau-hong menggunakan Lwekang
yang hebat hingga perutnya dapat menyedot kencang tangan
sicopet India itu.
Dengan wajah merah jengah copet India itu berkata apaapa
dengan suara pelahan, lalu seorang juru bahasa
disamping berkata: "Dia mengatakan kepandaian Ki-siansing
memang maha hebat, sepuluh kali lebih lihay dari dia, maka
dia merasa kagum dan takluk!"
Sesudah menang, Ki Hiau-bong juga tidak mau terlalu
membikin malu orang, dengan terbahak-bahak ia lantas
pelembungkan perutnya hingga tangan sicopet India itu
terpental lepas. Katanya: "Ke-pandaianmu juga sangat hebat,
marilah kita bersahabat, barang-barang ini kukembalikan
padamu saja!"
Dan ketika ia kebas-kebas lengan bajunya, tahu-tahu dari
lengan baju itu terjatuh macam-macam barang, ada pisau
kecil, ada geraji kecil, obeng kecil dan macam-macam
peralatan yang biasa dibawa seorang pencuri, disamping itu
ada pula beberapa keping mata uang. Kiranya semua barang
itu adalah milik sicopet India yang telah kena dicopet oleh Ki
Hiau-hong tanpa diketahuinya. Keruan saja copet India itu
termangu-mangu kesima, saking kagumnya ia menggumam
sendiri: "Hebat, bagaikan sulapan saja, benar-benar sulapan!"
Disini sicopet India kagum tiada taranya kepada Ki Hiauhong,
disana ketiga paderi Polobun tadi juga terkesiap
terhadap Lwekang Hiau-hong yang hebat itu. Diam-Diam
mereka menaksir kalau mesti bergebrak, rasanya satu-lawansatu
tiada seorangpun diantara mereka yang sanggup
menangkan copet sakti itu. Dari itu, mereka pun tidak berani
bertingkah lagi.
Sementara itu terdengar suara musik penyambutan tamu
bergema pula. Hou-hoat-tecu Kim-eng-kiong telah membawa
masuk lagi dua orang tamu. Tetamu yang disambut dengan
musik sudah tentu lain daripada yang lain.
Waktu semua orang memperhatikan, tertampaklah masuk
seorang lelaki dan seorang wanita. Yang lelaki adalah ketua
Bu-tong-pay, Lui-cin-cu, dan yang wanita adalah ketua Bin-san
pay Kok Ci-hoa.
Po-siang Hoatsu cukup kenal keadaan Bu-lim di Tiongkok.
Bu-tong-pay, Siau-lim-pay, Bin-san-pay dan Go bi pay adalah
empat aliran persilatan terkemuka di Tionggoan, sekarang
ketua dari Bu-tong-pay dan Bin-san-pay telah hadir bersama,
sudah seharusnya menyambutnya dengan segala
kehormatan. Melihat kenalan lama, senang sekali Kang Lam. Tapi ia agak
kecewa juga, pikirnya: "Mengapa Kim-tayhiap tidak kelihatan
ikut datang" Seharusnya dia hadir bersama dengan Kok Cihoa."
Dan belum lagi lenyap suara musik tadi, ditengah para
hadirin sudah terjadi kegemparan.
Kiranya tiga bulan yang lalu ketika untuk pertama kalinya
Kok Ci-hoa menginjak negeri Masar, pernah ia diserang oleh
delapan orang Bu-su dan dua paderi asing. Pada kejadian
itulah Kok Tiong-lan telah digondol lari penyerang-penyerang
itu Dan kedelapan Bu-su dan kedua paderi asing itu kini
justeru dilihatnya ikut hadir dalam Kim-eng-kiong ini.
"Selamat bertemu, selamat bertemu!" demikian Kok Ci-hoa
lantas menyapa para musuh dengan sorot mata yang tajam.
"Sebentar lagi boleh kita belajar kenal lagi!"
Lekas-Lekas Po-siang Hoatsu memberi hormat dan berkata:
"Hendaklah Kok-lihiap jangan marah, tempo hari mereka
hanya melaksanakan perintah raja saja, murdmu itu sekarang
juga baik-baik dalam pelayanan baginda raja, janganlah
kuatir." "Pertemuan yang kau adakan harini adalah mencari kenalan
dengan ilmu silat, bukan?" tiba-tiba Ci-hoa menanya.
"Benar, adakah sesuatu petunjuk Kok-lihiap?" sahut Posiang.
"Baik, maka aku ingin kesepuluh jago lihay itu maju semua,
biar aku belajar kenal lagi dengan kepandaian mereka," sahut
Ci-hoa. Po-siang menjadi kurang senang, katanya: "Mencari
kenalan dengan ilmu silat betapapun lebih pantas kalau
dilakukan dengan satu melawan satu?"?""
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong Im Seng-koh
dari Cit-im-kau berbangkit dan berseru: "Kok-ciangbun adalah
tokoh wanita terkemuka, bagaimana kalau aku yang reyot ini
belajar kenal dulu dengan kau?"
Dan baru Kok Ci-hoa hendak menjawab, tiba-tiba seorang
telah menimbrung dengan suaranya yang dibikin-bikin: "Ai ai!
Kayu baik tidak dibakar untuk tungku yang bobrok, kaki bersih
tidak sudi menginjak tanah pencomberan! Nenek siluman
rendah seperti kau ini hanya cocok bergumul dengan
pengemis kotor seperti aku ini. Kok-lihiap, tidak perlu kau
gubris padanya, biarlah aku nanti belajar kenal dengan
cakarnya yang berbisa itu pada babak berikutnyo."
Pembicara itu adalah Tiong Tiang-thong, itu ketua dari Kaypang
utara. Dahulu Im-Seng-koh pernah telan pil pahit dari
pengemis tua itu, kini urusannya diganggu pula, ia menjadi
murka dan segera menyemprot: "Bagus, pengemis busuk, aku
justeru lagi hendak membikin perhitungan dengan kau. Nah.
boleh keluar sini, sekarang juga kita bikin penyelesaian."
"Hm. kenapa kau tergesa-gesa masuk liang kubur?" jengek
Tong Tiang-thong dengan tertawa. "Pendek kata aku sudah
siap pentang kantong pengemisku ini untuk menantikan
sedekah mu, kau sendiri sediakan dulu apa-apa yang hendak
kau berikan nanti."
Ucapannya itu tetap mengandung maksud untuk bertanding
pada babak berikutnya saja, bahkan bernada sindiran tajam
bahwa toh nanti sudah pasti Im Song-koh akan digulingkan
oleh-nya. "Harap kedua Locianpwe jangan bertengkar dulu, rasanya
takkan terlalu lama untuk menunggu babak berikutnya nanti."
demikian kata Kok Ci-hoa dengan tertawa. Dan mendadak
dengan wajah kereng ia berkata kepada Po-siang. "Aku
pernah dikerubut kesepuluh jago lihay ini, waktu itu mereka
toh tidak kuatir ditertawai orang karena main keroyok, kenapa
sekarang malah merasa malu" Baiklah, jika mereka jeri dan
kuatir aku menuntut balas hingga tidak berani bergebrak
dengan aku, nah, boleh suruh mereka satu. persatu maju
kesini untuk menjura dan minta maaf padaku."
Sudah tentu kedelapan Bu-su itu tidak tahan dihina mentahmentah.
berbareng mereka lantas melompat maju dan
berseru. "Baiklah kau sendiri yang ingin bertempur dengan
kami dan bukan kami yang sengaja main keroyok. Kau adalah
buronan yang hendak ditangkap baginda raja, rasanya
kamipun tidak perlu bicara tentang peraturan Bu-lim dengan
kau." "Dan bukankah masih ada dua orang Toa-hwe-sio, kenapa
tidak maju sekalian?" kata Ci-hoa sambil melirik pada hadirin
dengan sinar matanya yang tajam.
Po-siang menjadi serba salah, segera katanya: "Kokciangbun,
sesudah kau menangkan babak ini. dengan
sendirinya aku akan suruh muridku yang tak beryus itu untuk
minta petunjuk padamu"
Kiranya kedua Hwesio yang ikut mengeroyok Kok Ci-hoa
dahulu itu adalah muridnya Po-siang. Sebagai raja agama,
dengan sendirinya ia harus menjaga nama baik dan mengingat
kedudukan nya, dahulu ia terpaksa meluluskan kepergian
kedua muridnya itu atau permintaan raja, tapi sekarang ia
tidak ingin namanya tercemar lagi.
Kok Ci-hoa tidak mendesak lebih jauh, katanya:
Jodoh Rajawali 24 Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sadis 16

Cari Blog Ini