Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen Bagian 3
jek Cufayu sembari mainkan jubahnya dengan
tangan kanannya untuk membantu Cufalan menempur Ki
Hiau-hong sdangkan tangan kiri dipakai menghadapi Kang
Lam. Meski ilmu silat Kang Lam tidak lemah, kalau dibanding
Cufayu masih selisih jauh. Setelah belasan jurus, ia mulai
kewalahan. Ki Hiau-hong sendiri sudah terkena dua kali pukulan. Siu-luimsat-kang yang dilatihnya juga belum mencapai tingkatan
yang bisa digunakan sesuka hatinya, karena itu keadaannya
semakin bertambah buruk. Untuk menjaga diri saja sudah
terasa susah, apalagi hendak membela Kang Lam. Hal ini
sebenarnya, karena salah perhitungannya, apabila begitu maju
tadi segera ia keluarkan Siu-lo-im-sat-kang, sekalipun tidak
menang, paling tidak juga takkan kalah. Tapi kini sudah
terlambat. Berulang kali Kang Lam menggunakan tutukan berat untuk
menyerang tapi selalu luput mengenai sasaran.
"Eh, apa kau hendak pamer ilmu tutukanmu" Baik, biar kau
coba-coba!" tiba-tiba Cufayu tertawa.
Menyusul mana, mendadak ia membentak: "Kena!"
Ia merangsang kedepan Kang Lam sekali pegang, tangan
kanan Kang Lam lantas kena dicengkeram.
Berbareng itu, Kang Lam menyambut juga dengan sekali
tutukan, tapi dia merasa jaring kesakitan sendiri seakan-akan
mengenai batu. Kiranya Cufayu telah kerahkan tenaga
saktinya untuk menutup jalan darahnya.
"Sekarang kau masih berani mengadu jiwa denganku lagi?"
segera Cufayu berolok dan tertawa.
Meski tangan kanan Kang Lam kena dicengkeram musuh,
tapi tangan kirinya masih bisa bergerak. Walaupun ia sudah
tahu ilmu totokannya toh takkan mempan merobohkan musuh
tapi setiap orang disaat kepepet tentu akan berusaha
sebisanya. Begitu pula Kang Lam. Otomatis jari kirinya
menutuk pula dengan ilmu Tiam-hiat andalannya itu.
Diluar dugaan, tutukan ini telah menimbulkan kejadian
aneh. Mendadak Cufayu menjerit keras bagai orang kena arus
listrik yang hebat, dengan tersipu-sipu ia melompat mundur
sambil lepaskan Kang Lam.
"Kenapakah kau"!" tanya Cufalan heran.
Dalam pada itu, Kang Lam yang terlepas dari cengkeraman
musuh itu tepat jatuh dikipatkan samping Cufalan, baru paderi
itu angkat kaki hendak mendepak, tanpa pikir Kang Lam
angkat jarinya terus menutuk hingga tepat mengenai "Yongcoanhiat". dibawah telapak kaki musuh.
Seketika Cufalan merasa telapak kaki itu seperti kena
ditusuk oleh jarum yang tajam, kontan ia menjerit dengan
mengucurkan air mata. Padahal sebelumnya Cufalan juga tahu
ilmu tutukan Kang Lam sangat lihay, ketika ia angkat kaki
mendepak, lebih dulu ia sudah tertutup jalan darahnya.
Sungguh mimpipun tak tersangka olehnya bahwa Kang Lam
memiliki tenaga dalam sehebat itu, sekali tutuk dapat
menembus jalan darah yang telah ditutup itu, bahkan urat
nadinya ikut terluka. Masih untung "Yong-coan-hiat" itu bukan
Kiat-to yang memamatikan, melainkan membikin orang linu
pegal dan mengucurkan air mata saja.
Dan betapa cekatannya Ki Hiau-hong, di saat Cufalan lagi
angkat kaki hendak mendepak Kang Lam tadi, berbareng
iapun lontarkan pukulan kepunggung paderi itu. Begitu bebat
hantaman itu hingga Cufalan berkaok-kaok kesukuan sambil
terguling-guling ditanah.
Setelah telan kekalahan itu, mana berani paderi itu
bertempur lagi, apalagi Cufalan sudah lebih dulu angkat kaki.
Tanpa pikir lagi, begitu merangkak bangun, segera angkat
langkah seribu alias kabur.
Melihar musuh melarikan diri dengan ketakutan, Kang Lam
jadi geli hingga melupakan kesakitan diri sendiri. Ia mendekati
Ki Hiau-hong sambil menggandeng tangannya sambil terbahak
bersama. "Adik cilik, "sungguh terima kasih bantuanmu" kata Ki
Hiau-hong kemudian. "Apabila kau tidak menutuk Yong-coanhiat
nya, pasti aku tak mampu mengalahkan dia".
Biarpun Ki Hiau-hong juga ahli tian-hiat, tetapi kepandaian.
"Pit-hiat" atau menutup jalan darah, susah diketahui dari luar.
Sebab itulah ia hanya tahu Yong-coan-hiat lawan kena ditutuk
Klng Lam, tapi tidak tahu bahwa sebelumnya Cufalan
sebenarnya sudah menutup jalan darahnya, namun toh tetap
mempan oleh tutukan Kang Lam itu.
Maka dengan tertawa, Kang Lam menjawab" "Aah, itu
hanya secara kebetulan saja disebabkan dia terlalu enteng
menilai diriku. Hahahaha, rupanya dia tidak tahu bahwa ilmu
Tiam-hiat-ku ini adalah ajaran Kim-tayhiap, makanya tidak
pandang sebelah mata, dan sekarang dia baru tahu rasa!"
Ternyata Kang Lam sendiripun tidak sadar bahwa
sebenarnya Cufalan sudah menutup Hiat-tonya lebih dulu.
"Ya. bukan saja dia bahkan akupun tidak mengira bahwa
kepandaian itu ternyata sudah sedemikian hebatnya"
"Soal Cufalan hendak mendepak kau hingga keca ditutuk
olehnya, itulah dapat dimengerti. Tapi cufayu itu
kepandaiannya lebih tinggi dari kawannya. tadi ia sudah kena
mencengkeram lenganmu, mengapa mendadak kena dilukai
olehmu?". "Hal itupun salahnya dia sendiri", sahut Kang Lam berseriseri.
"Dia bilang ingin mencoba aku punya Tiam-hiat-hoat, aku
dicengkeramnya begitu saja, ia tidak gunakan ilmu Huh kinchokut-hoat (ilmu membikin otot tulang keseleo), tidak tutuk
pula Hiat-toku. Dengan sendirinya aku tidak mau main
sungkan-sungkan padanya. Haha, sekali tutuk segera Soan-kihiat
didadanya kena dengan tepat!"
Kang Lam memang suka membual kejadian-kejadian yang
meninggikan pamornya. Tentang Soan-ki-hiat Cufalan
ditutuknya itu adalah serangan kedua kalinya. Serangan
pertama, jarinya sendiri sampai kesakitan hampir patah,
dengan sendirinya tak diceritakan olehnya.
Walaupun Hiau-hong heran cara Kang Lam kalahkan Cufayu
agak terlalu mudah dan dirasakan aneh, namun setelah
penjelasan Kang Lam itu, ia merasa masuk di akal juga dan
mau percaya. Ia menjadi tertawa oleh cara cerita Kang Lam
yang lucu, katanya kemudian: "Adik cilik benar-benar seorang
Hok-ciang (panglima berejeki), dimana terdapat kau, dari
bahaya berubah menjadi selamat. Mestinya kalah menjadi
menang. Ai, semula aku masih kuatir bikin susah kau, siapa
duga kau yang telah menolong jiwa kakakmu ini malah.
Haha... sungguh tak tersangka juga bahwa Cufayu itu begitu
sembrono memandang enteng padamu hingga akhirnya
terjungkal ditanganmu... Adik cilik, terimalah hormatku ini!"
"Toako..." lekas-lekas Kang Lam membalas hormat, "tidak
benarlah jika demikian ujarmu. Apabila mengangkat saudara
cuma memandang kepentingan diri sendiri, kalau,
menguntungkan baru datang, jika ada kesukaran lari lebih
dulu. Apa macamnya mengangkat saudara demikian itu"
Apalagi cuma urusan kecil, berulang kali kau membilang
terima kasih padaku, sebaliknya kau sudi menghadapi bahaya
Thian Mo-kaucu untuk menolong putraku. Bagaimana pula aku
menyatakan terima kasihku padamu".
"Hahaha, kau benar-benar seorang yang suka terus terang,
adik cilik!" kata Ki Hiau-hong. Namun aku adalah seorang yang
biasa makan doyan minum, kepergianku ke Ci-lay-san ini
masih diperlukan lindungan rejekimu agar keponakanku itu
dapat ditolong kembali, habis itu, aku ingin minum sepuaspuasnya
pula dengan engkau!"
"Sudah tentu", sahut Kang Lam sungguh-sungguh. "Tapi
kau harus menjadi tamuku dan aku takkan merintangi betapa
banyak kau akan minum!" habis berkata, iapun terbahakbahak.
"Baiklah, sekarang biarlah kita, berpisah di sini, ingat 10
hari kemudian, kau menunggu kabarku di Boan-liong-ting
dikaki gunung Bin-san" pesan Hiau-hong.
"Apakah Toako masih ada pesaan lain" tanya Kang Lam
dengan perasaan berat.
Ki Hiau-hong memikir sejenak, lalu katanya pula: "Adik cilik,
bila kau bertemu dengan Kok Ci-hoa Ci Hoa, sampaikan
salamku kepadanya".
Tapi segera dia geleng-geleng kepala dan menambahkan,
"Tapi, lebih baik jangan. Tak usah sebut-sebut namaku
dihadapannya"
"Aku dapat memahami perasaanmu, Toako. Tapi akupun
kenal jiwa Koh-lihiap" kata Kang Lam. "Pasti akan kuceritakan
padanya tentang cita-cita dan perubahan kelakuanmu dan aku
percaya, demi mengetahui dia mempunyai seorang Suheng
demikian, pasti dia takkan merasa malu, sebaliknya akan
bangga!" "Baiklah", sahut Hiau-hong tertawa, "kutahu untuk
melarang kau bicara, jauh lebih sukar daripada melarang aku
minum arak. Terserahlah cara bagaimana kau hendak katakan
padanya". Begitulah mereka berdua lantas berpisah.
Ditengah jalan, bila Kang Lam mengingat-ingat Kembali
peristiwa tadi, dari kalah tiba-tiba bisa berubah menjadi
menang hingga kedua Hoanceng kena dibikin ngacir, dia
menjadi sangat senang, mirip anak kecil habis melakukan
sesuatu yang menarik. Seorang diri ia menggumam:
"Bagaimana Ki-Toako" Biarpun adik angkatan yang baru kenal
ini tidak kepandaiannya, tapi masih ada gunanya juga
bagimu!" Demikian dia mengguman sendiri sebentar ketika tiba-tiba
dia terkesiap mendadak "He...! tidak betul... tidak betul"
Apanya yang dikatakan tidak betul oleh Kang Lam itu"
Kiranya meski ia suka bicara, gemar omong besar, tapi ia
juga cukup kenal akan diri sendiri. Sehabis lupa daratan saking
senang tadi, mendadak ia teringat akan sikap Ki Hiau-hong
yang ragu-ragu ketika bicara padanya tadi. terutama kata-kata
sang Gi-heng: "Sungguh tidak nyana Cufayu demikian
semberono memandang enteng padamu hingga kena
dikalahkan olehmu"
Maka diam-diam Kang Lam bertanya pada diri sendiri:
"Sebabnya aku bisa menang apa benar karena musuh terlalu
memandang enteng padaku?".
Dalam ilmu silat, Kang Lam sudah mempunyai dasar yang
cukup kuat. maka begitu dia bisa berpikir dengan kepala
dingin, segera dapat dirasakan banyak hal-hal yang
menyangsikan. Teringat olehnya ketika lengan sendiri lena
dicengkeram Cufayu, ia merasa separoh tubuhnya lemas
pegal, tenaga yang mampu dikerahkan hanya tinggal
setengahnya saja. teringat pula olehnya waktu hiat-to Cuyafu
kena ditutuk olehnya dua kali. Tutukan Pertama sangat
berbeda daripada tutukan kedua. Yang pertama jarinya serasa
menutuk batu hingga jari sendiri kesakitan, tapi tutukan kedua
seperti mengenai daging yang empuk saja.
Kemudian teringat pula olehnya ketika Yong-coan-hiat
ditelapak kaki Cufalan kena ditutuknya, sudah terang ia
merasa musuh tutup jalan darahnya, karena itu diam-diam ia
bertanya pada diri sendiri: "Kekuatan Cufalan itu sepadan
dengan Ki Toako, kenapa sesudah Hiat-to ditutupnya, toh
masih bisa dirobohkan olehku" Aiaa, aku hanya suka
menyombongkan diri sendiri, tapi lupa memberitahukan hal itu
pada Ki Toako tadi. Cufalan menutup jalan darahnya, sebagai
orang ketika dengan sendirinya Ki Toako tidak tahu, tapi aku
dapat merasakannya!"
Setelah memperoleh tanda-tanda yang meragukan itu,
segera Kang Lam teringat juga pada, suatu peristiwa dtmasa
10 tahun yang lampau. Tatkala mana dia masih belum
bertunangan dengan Ce Siang-he dalam perjalanannya, ia
lewat dirumah isterinya itu. Kebetulan waktu itu banyak jagojago
lihay dari Sia-pay yang hendak menuntut balas pada
ibunya Ce Siang-he, Nyo-liu-jing. Karena membela
ketidakadilan, ia lantas ikut membantu dan menang beberapa
babak pertandingan hingga melepaskan Nyo-liu-jing dari
kesukaran. Semula Nyo-liu-jing memandang hina Kang Lam
tapi karena peristiwa itu, barulah berubah penilaiannya dan
suka menjodohkan puterinya kepada Kang Lam. Tatkala itu
Kang Lam sendiri dibikin bingung oleh kemenangankemenangannya
itu, kemudian baru ia tahu duduknya perkara,
yaitu atas bantuan Kim Si-ih
Biarpun Kang Lam terkadang suka ketolol-tololan, tapi
orangnya tidaklah dungu. Memikir akan pengalamannya itu,
seketika ia sadar, saking kegirangan, terus saja ia berteriakteriak:
"Kim-tayhiap, Kim-layhiap! Wah, betapa susah aku
Kang Lam mencari engkau, siapa duga kau sudah berada
disini. Marilah, jangan engkau bergurau lagi dengan aku,
lekaslah keluar!"
Padahal disekitarnya hanya ladang sunyi belaka yang ada
melulu suara kumandang Kang Lam sendiri.
Namun ia masih belum putus asa, berulang kali ia
menggembor lagi dan tetap tidak tampak bayangan Kim Si-ih.
Karuan Kang Lam gugup, cepat teriaknya lagi: "Hai! Kimtayhiap,
bukan hanya aku, Hiau-hong juga lagi mencari
engkau. Maukah kau mendengar cerita tentang dia?"
Tetapi tetap tidak ada sesuatu sahutan orang. Diam-Diam
Kang Lam membatin, "Jangan-Jangan orang yang telah
membantu aku itu bukan Kim-tayhiap" Tapi, lantas siapa" Ah,
mustahil bukan dia. Kecuali dia, dijagat ini siapa lagi yang
mempunyai kepandaian sehebat itu?"
Kang Lam cukup kenal watak Kim Si-ie yang aneh, maka.
pikirnya pula: "Ya, mungkin ada alasannya, maka Kim Tayhiap
tidak ingin menemui aku sekarang. Sesudah sampai di Binsan,
pasti aku bisa ketemu dia. Ai, cuma sayang Ki-toako
sudah pergi jauh!"
Meski rada sayang bagi Ki Hiau-hong, namun bila
mengingat tidak lama lagi dirinya bakal bertemu dengan Kim
Si-ie, hati Kang Lam senang tak terkatakan. Segera ia
percepat langkahnya menuju ke Bin-san.
Besoknya diwaktu lohor, Kang Lam sudah sampai dikaki
gunung Bin-san. Disitu terdapat sebuah gardu mengaso yang
dikelilingi pohon-pohon rindang. Di gardu itu ada seorang tua
penjual minuman. Melihat Kang Lam berkeringat, kakek tua
lantas menyapa: "Mampirlah dulu, tuan tamu, mengaso
sebentar melepaskan lelah!"
Memang Kang Lam lagi merasa lapar dan haus. Segera dia
masuk gardu. "Apakah kau menjual arak dan daharan
sekadarnya?"
Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Di pegunungan sunyi demikian, mana bisa aku menjual
makanan begitu?" ujar orang tua itu. "Sebenarnya Siauloji
(orang tua) juga tidak berdagang, cuma beberapa hari sudah
dekat perayaan kelenting Yok-ong-bio diatas gunung ini.
Tetamu yang naik keatas gunung rada banyak. Daripada
menganggur dirumah, Siauloji lantas masak teh disini sekedar
membantu tetamu yang lewat melepaskan dahaga, tentang
pembayaran, aku tidak minta, terserah tuan tamu berapa mau
kasih." Melihat orang tua itu sangat ramah-tamah Kang Lam lantas
duduk dan ajak mengobrol padanya. Tanyanya: "Kutahu diatas
gunung ini ada sebuah kelenting Hian-li-bio, tapi kau bilang
ada lagi sebuah Yok-ong-bio, malah tidak pernah kudengar"
"Yok-ong-bio itu sebenarnya hanya kelenting bobrok saja
yang diperbaiki oleh para petani-petani penanam obat dan
pemburu sekitar sini, sudah tentu tak bisa dibandingkan Hianlikoan", sahut kakek itu. "Cuma saja Hian-li-koan itu juga ada
sedikit hubungannya dengan Yok Ong-bio"
"Hubungan apa?" tanya Kang Lam
"Nikoh yang tinggal di dalam Yok-Ong-bio itu memangnya
berasal dari Hian-li-koan" demikian tutur si kakek. "Obat luka
dari Hian-li-koan terkenal sangat manjur. Dahulu penduduk
disekitar sini kalau ada yang luka digigit binatang, sering minta
obat kesanal Tapi kelenting itu terletak diatas puncak gunung,
orang turun naik tidak mudah, maka Hian-li-koan telah kirim
dua orang Nikoh untuk tinggal di Yok-ong bio dan kamipun
serentak menganggap mereka sebagai pengurus kelenting
itu." "Ha.. ha.. ha.. Yok-ong-yaya (Tuhan Raja Obat) adalah pria,
mana boleh diurus oleh kaum Nikoh?" ujar Kang Lam tertawa.
"Ah, toh bukannya kelenting yang keramat segala, yang
kami pentingkan ialah obatnya yang mujarab, peduli apa dia
pria atau wanita" sahut kakek itu ikut tertawa.
Setelah Kang Lam minum habis semangkok teh dan selagi
hendak membuka kantong ransum, mendadak kakek itu
berkata, "Aku ada sedia cap-bu-pui (gorengan intip nasi), tidak
perlu bayar. Nih.. makanlah, jangan sungkan-sungkan engkoh
cilik". Kang Lam tercengang sejenak, tapi segera tahu maksud
orang tua itu. Nyata karena ter buru-buru menempuh
perjalanan dandanan Kang Lam menjadi koyak-koyak dan
robek setelah bertempur kedua Hoanceng itu, dia disangkanya
seorang yang miskin, maka ditawari makanan sederhana yang
tidak perlu uang. Kang Lam tidak ingin menolak maksud baik
orang tua itu tanpa penjelasan lagi dia terima pemberian Cabipui itu terus dimakan.
"Kau sangat baik, Lo kongkong, bukan saja memberi amal
teh padaku, bahkan memberi pula Ca-bi-pui yang enak ini!"
demikian kata Kang Lam.
Tengah bicara, tiba-tiba tampak sebuah joli kecil mendekati
gardu itu. Joli kecil itu cuma digotong dua orang, tapi masih
baru dengan ukiran-ukiran yang diberi warna emas, indah nan
agung. Kang Lam dan kakek tadi jadi heran.
Setelah berhenti, dari dalam joli tampak melangkah keluar
seorang nyonya yang berdandan mewah. Saking kesima,
orang tua penunggu gardu sampai membelalakkan mata
hingga lupa menyapa.
Kalau melihat perbawa nyonya itu, tentulah keluarga kaum
pembesar. Dan di kaki gunung Bin-san yang sunyi itu bisa
mendapat kunjungan seorang nyonya, itulah selama ini tidak
pernah terjadi, makanya sikakek itu sampai ternganga,
pikirnya: "Apa barangkali dia hendak bersembahyang" Tapi
mustahil, Kelenting bobrok Yok-ong-bio itu bisa mendapatkan
kunjungan nyonya besar begini. Apalagi tidak lazimnya orang
datang kesini dengan menumpang joli?".
Memangnya selama hidupnya orang tua itu belum pernah
melihat joli sebagus itu, apalagi sorang nyonya besar yang
berdandan begitu mewah, penuh hiasan mutiara dan batu
permata, pantas kalau dia terpesona terlongong-longong.
Setelah kedua penggotong joli meletakkan kendaraan
mereka, segeia mereka membentak: "Hai tua bangka, apa kau
sudah gila, kenapa mematung disitu" Hujin datang, kenapa
tidak lekas! menyambut?"
"Ya, ya!" sahut sikakek itu tersipu-sipu dan cepat pergi
menuangkan minuman.
Dengan perlahan-lahan Koanthaythay (nyonya besar) itu
masuk ke gardu itu. Karena heran, dengan sendirinya Kang
lam coba memperhatikan nyonya itu. Tetapi sekali lihat,
seketika ia terperanjat.
Bukanlah Kang Lam kaget karena melihat batu permata
yang dikenakan nyonya pembesar itu, tetapi terkejut karena
melihat di tengah-tengah kedua alis nyonya itu samar-samar
bersemu warna hitam.
Ia pernah mendengar cerita Kim Si-ie bahwa orang yang
tengah alisnya bersemu warna hitam, tentu orang itu pernah
melatih semacam ilmu silat yang keji dan lihay dari aliran Sia
pay. Semakin tinggi ilmu yang diyakinkan itu, semakin tipis
warna hitam iiu, bila sudah mencapai puncaknya
kesempurnaan, maka warna hitam itu susah dilihat lagi,
kecuali kaum ahli. Kini melihat hawa hitam yang samar itu,
Kang Lam menduga ilmu yang diyakinkan nyonya besar itu
paling sedikit sudah mencapai tujuh-delapan bagian.
Diam-diam Kang Lam sangat heran dan ragu-ragu, pikirnya:
"Jangan-jangan Kothay-thay ini adalah satu tokoh dari
golongan Sia-pay" Tapi ini benar-benar susah dipercaya
orang! Ah, boleh jadi dia mempunyai penyakit dalam"
Kabarnya orang yang punya penyakit dalam, terkadang di
tengah alis timbul hawa warna hitam?"
Tengah Kang Lam termangu, mendadak terdengar
bentakan orang: "Anak busuk, lekas enyah!" kiranya kedua
penggotong joli tadi telah mendekati Kang Lam dan
mengusirnya. Karuan Kang Lam gusar, sahutnya: "Aku lagi minum sendiri,
apa aku telah mengganggu kalian?"
"Banyak mulut, tempiling cecongormu!" bentak salah
seorang penggotong joli itu, benar juga, tangannya terus
memukul Kang Lam.
"Sungguh aku tidak pernah melihat orang sewenangwenang
seperti kalian ini!" teriak Kang Lam gusar. Tapi ia
tidak suka berkelahi dengan orang hanya karena urusan
sepele, maka cepat-cepat ia menghindar dengan langkah
Thian-lo-poh-hoat.
"Biang!"
Tahu-Tahu pukulan penggotong joli itu mengenai dengklik
batu yang diduduki oleh kang Lam sehingga remukan batu
muncrat berhamburan.
Terang ilmu yang dipakai itu adalah sebangsa "Hun-guciang"
(pukulan mematikan kerbau) atau "Boh-pi-jiu" (pukulan
penghancur pilar).
Kang Lam terkesiap. Bukanlah dia jeri pada penggotong joli,
biarpun pukulan itu sangat hebat, rasanya belum bisa
menangkan dia. Cuma kalau seorang penggotong joli saja
sudah selihay itu, maka betapa tinggi ilmu si nyonya besar itu
dapatlah dibayangkan. Ilmu pukulan penggotong joli itu telah
dapat membuktikan dugaan Kang Lam, nyonya pembesar itu
pasti bukan sembarangan Koan thaythay, tapi adalah seorang
tokoh lihay dari Sia-pay.
Dalam pada itu karena pukulannya mengenai dingklik batu,
tangan penggotong joli tadi berkaok-kaok kesakitan, hampir
psrgelangan tangannya patah. Melihat itu, kawannya naik
pitam juga, ia ayun kepalan, segera Kang Lam hendak dijotos.
Dibawah keroyokan kedua orang, sekonyong konyong Kang
Lam menyusup kesamping sambil membentak: "Jika kalian
masih menyerang terus, akupun tidak mau sungkan-sungkan
lagi". "Berhenti!" tiba-tiba Koan-thaythay berseru
Kedua penggotong joli itu tertegun, tidak berani
membangkang, dengan rasa di luar dugaan, mereka
memandang sang nyonya besar.
"Sama-Sama orang dalam perjalanan, biarkan dia minum
disini!" ujar nyonya tersenyum.
Maka dengan ogah-ogahan, kedua penggotong ioli itu
terpaksa meninggalkan Kang Lam, kata mereka: "Untung
bagimu, anak busuk! Kenapa kau tidak lekas menghaturkan
terima kasih atas kemurahan hati Thay-thay!"
Namun Kang Lam tidak sudi terima kebaikan itu. Jika benarbenar
bermaksud baik, kenapa sejak mula tidak mencegah
bawahannya berbuat sewenang-wenang, terang kau sengaja
hendak menjajal kepandaianku. Untung aku masih punya
sejurus dua, kalau tidak mustahil kalian mau sudahi begini
saja" Demikian pikirnya. Walaupun masih penasaran, namun
Kang Lam juga tidak ingin banyak urusan dengan orang-orang
demikian. "Sudahlah kalian tak perlu bikin gara-gara lagi, biarkan dia
pergi saja!" demikian kata Koan thay-thay tadi.
Tapi Kang Lam justeru menjengek, ia kebut-kebut baju
sendiri, lalu dengan lagak tuan besar ia sengaja duduk kembali
ketempatnya. "Kau ingin aku pergi, justru aku tidak mau pergi,
kau bisa apa?"
Si kakek tadi sebenarnya sedang menuang teh bagi nyonya
besar, karena ribut-ribut itu, ia menjadi gugup dan baru
sekarang menghatrkan semangkok air teh yang masih hangathangat.
Penggotong joli yang tangannya kesakitan itu rupanya
masih mendongkol. Segera ia gunakan kakek itu sebagai alat
pelampiasnya. Mendadak lengan bajunya mengebut sambil
membentak: "Siapa sudi minum air teh ini" Teh demikian
hanya cocok untuk diminum orang udik!"
Berbareng itu, terdengarlah suara kelonangan, mangkok air
teh itu jatuh keiantai dan pecah berantakan. Teh panas
bercipratan membasahi badan orang tua itu.
Kang Lam menjadi gusar, segera ia melonjak bangun sambil
memaki: "Apa kalian hendak menganiaya orang tua?"
"He, apa kau masih cari gebuk, ya?" bentak kedua
penggotong joli itu, lalu hendak merangsang maju lagi.
Namun nyonya pembesar itu keburu mencegah, serunya:
"Sudahlah! Orang tua itu tidak tahu kalau kita membawa daun
teh sendiri, tak bisa salahkan dia. Eh lohan (orang tua), harap
kau tuangkan sepoci air panas saja. kami ada bawa daun teh
Pek-lo-jun dari tong-ting".
"Baiklah," sahut sikakek cepat dan menuangkan air panas
yang diminta. Habis itu dia dekati Kang Lam, ia mengedipi mata lalu
berkata : "Engkoh cilik, bukankah kau masih harus mendaki
keatas gunung" Hari sudah larut sekarang!"
Kang Lam tercengang sejenak, tapi segera ia paham
maksud orang tua itu. Pikirnya: "Ya, tentu dia kuatir aku
dipukul mereka, maka suruh aku lekas pergi dari sini.
Walaupun sebenarnya aku tidak gentar, tapi tidak enak juga
kalau bikin dia ikut ketakutan."
Watak Kang Lam ialah suka pada kehalusan dan tidak
doyan kekerasan. Meski perangainya ramah namun tidak rela
juga kalau dihina orang. Sebenarnya ia sengaja tidak mau
pergi dari situ, tapi demi melihat sorot mata orang tua itu
menyinarkan rasa memohon, ia menjadi tak tega, ia pikir toh
dirinya memang buru-buru ingin menemui Kok-lihiap, buat apa
cari gara-gara disini lagi.
Berpikir demikian, hati Kang Lam menjadi dingin kembali,
segera ia berbangkit dengan berkata: "Terima kasih atas
peringatan Lotiang, hampir-hampir aku lupakan tempo yang
berharga, terimakasih juga atas pemberian makananmu tadi.
Sedikit uang ini bukan sebagai ganti makanan itu, tapi sekedar
tanda rasa penghargaan harap kau suka terima."
Sembari berkata, ia terus merogoh serenceng uang perak
dan diserahkan pada kakek itu.
"Engkoh cilik, kau hanya minum semangkok teh saja, mana
berani aku terima pembayaranmu sebanyak ini" seru siorang
tua dengan heran.
"Aku sudah katakan bukan uang minum tapi sekedar tanda
terima kasihku, kalau kau tidak terima, itu berarti memandang
hina pada ku", sahut Kang Lam memaksa.
Dan tanpa menunggu jawaban lagi, segera ia gendong
rangsalnya terus melangkah keluar gaidu itu.
Ketika ia berpaling, ia lihat kedua penggotong joli tadi
sedang memandangi dirinya dengan mata terbelalak.
Terdengar seorang lagi berkata: "Tadi kita memaki dia sebagai
kera, siapa duga uangnya begitu banyak!"
"Ah...! paling-paling hanya seorang maling kecil-kecilan,
berhasil mencuri beberapa tahil perak, lantas pamer kepada
orang desa," sahut kawannya.
Diam-diam Kang Lam mendongkol, ia menjengeknya sambil
memaki didalam hati, "Dasar anjing!"
Segera ia menuju ke atas gunung dengan langkah lebar.
Ketika lewat kelenting Yok-ong-bio ditengah gunung, Kang
Lam melihat beberapa orang laki-laki yang berpakaian
compang camping sedang bicara merubungi seorang Nikoh
tua. Laki-laki itu banyak yang pundaknya berdarah dan
sebagainya. Kang Lam menjadi ketarik pula oleh pemandangan itu,
pikirnya: "Kenapa begini kebetulan, apakah mereka kena
digigit harimau hingga pundaknya terluka semua?"
Ia lihat, Nikoh tua itu lagi membagi-bagikan bungkusanbungkusan
kecil obat kepada mereka. Kang Lam mengenali
Nikoh tua itu adalah anak murid Bin-san-pay satu angkatan
dengan Co Kim-ji. Tapi nikoh tua itu lagi pusatkan
perhatiannya memberi amal kepada laki-laki yang terluka itu.
Pakaian Kang Lam terlebih kumal pula dari orang" itu, maka ia
sangka Kang Lam hanya seorang pemburu biasa yang lewat
disitu. Bermula Kang Lam bermaksud masuk kelenteng itu untuk
melihatnya, tapi melihat hari lewat lohor, kalau turuti watak
sendiri yang suka ngobrol, sekali masuk kelenting dan mulai
pentang mulut, bukan mustahil banyak tempo yang akan
terbuang lagi. Maka katanya dalam hati, "Biarlah kutemui Koklihiap
terlebih dahulu. kemudian akan kutanya keterangan
padanya." Kang Lam meneruskan keatas gunung. Kira-Kira Setengah
jam kemudian, jalanan makin terjal sementara itu sekitarnya
sudah sunyi senyap.
Tiba-Tiba ia dengar ada suara tindakan orang dan
belakang, menyusul suara seorang sedangmemaki, "Kurang
Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ajar. kembali ketemu anak keparat ini!"
Waktu Kang Lam menoleh, kiranya nyonya pembesar yang
numpang joli tadi sudah menyusul datang.
Jalan pegunungan terlalu sempit dan terjal, orang biasa
mendaki dengan bertangan kosong juga merasa capek, tapi
kedua penggotong joli itu ternyata bisa berlari secepat
terbang, hanya sekejab saja sudah berada dibelakang Kang
Lam. Dengan menahan rasa dongkol, Kang Lam menyingkir
kepinggir untuk memberi jalan.
Melihat itu, kedua penggotong jeli itu terbahak-bahak. Kata
yang seorang, "Haa... haa... mungkin siaucu ini sudah kenal
lihat, maka sudah kapok"
Tapi seorang lagi menyahut, "Siaucu itu sudah merasa
pernah melihatnya. Eh ya... ingatlah aku! Kejadian di kota Sinan
malam ini, Siaucu itu seperti juga berada disana"
Kang Lam tergerak mendengar itu, pikirnya: "JanganJangan malam kemarin dulu mereka juga mendatangi hotel
dimana aku menginap itu dengan maksud hendak merebut
harta pusaka yang di bawa pemuda she Bun" Mungkin orang
yang datang malam itu terlalu banyak, maka mereka belum
ikut turun tangan, tapi mereka kenal aku dan aku tidak kenal
mereka." Ia coba percepat sedikit langkahnya hingga selalu berjarak
belasan tombak dibelakang joli itu. Ia menjadi heran pula demi
nampak joli itu digotong terus keatas gunung. Semula ia
sangka "koanthaythay" ini hendak sembahyang ke Yok-ong-bio,
tetapi sekarang sudah terang dugaannya salah.
Semakin dipikir Kang Lam semakin heran. Pertama,
"koanthaythay" itu sudah terang seorang berkepandaian
tinggi, kenapa dia mendaki keatas gunung dengan naik joli"
kalau bilang hendak pamer keagungannya, di Bin-san yang
sunyi ini, hendak dipamerkan kepada siapa. Kedua,
penggotong-penggotong joli itu bicara dengan bebasnya,
sama sekali tidak takut, tampaknya hubungan dengan
"koanthaythay" itu bukan antara majikan dengan hambanya.
Jika begitu, ilmu silat mereka toh cukup hebat, kalau
dibanding orang kangouw umumnya boleh dikata jauh lebih
tinggi, lalu mengapa sudi menggotong joli bagi seorang
wanita". Ketiga dan yang paling penting apa tujuan mereka ke
Bin-san ini". Sebab Kang Lam sekali-sekali tidak percaya
kedatangan mereka hanya untuk pesiar saja.
Tiba-Tiba Kang Lam teringat pada obrolan pelayan dihotel
Sin-an tempo hari. Pelayan itu mengatakan bahwa kamar yang
dipakainya itu pernah ditinggali seorang nyonya besar yang
berdandan mewah, sedangkan kamar itu dimasa dulu pernah
juga ditinggali Kim Si-ie dan Le Seng-lam. Jangan-Jangan
nyonya besar, yang dimaksudkan itu adalah Koanthaythay
yang ini" demikian pikirnya. Tapi kalau dia hubungkan kedua
persoalan itu, ia merasa toh tiada sesuai alasan apapun juga.
Begitulah joli itu terus mendaki keatas gunung diikuti Kang
Lain dalam jarak tertentu.
Tidak lama kemudian,mendadak joli itu berhenti, kedua
penggotong menoleh serta memaki kepada Kang Lam dengan
sengit, "Anak keparat kenapa kau selalu mengintil
"koanthaythay" kami?"
Berulang kali dimaki dan didamperat, betapapun sabarnya
Kang lam, Kontan dia balas memaki: "Persetan dengan
koanthay-thaymu segala! Emangnya apakah jalan ini milikmu"
Jika mau bicara siapa yang mengintil". Baik, bukankah kau aku
tadi jalan lebih dulu, kenapa kalian menyusui kemari" Aku
tidak tuduh kalian, sebaliknya aku yang dituduh! Sungguh
dunia terbalik!"
"Anak keparat, kau pinta putar lidah, ya" Apa barang kali
kau sudah bosan hidup?" maki kedua penggotong joli dengan
gusar. "Kalian hendak apa" Apakah ingin membunuh aku?" sahut
Kang Lam dengan gusar.
Tiba-Tiba penggotong joli yang depan tertawa iblis sekali,
katanya dengan seram: "Disini sepi senyap, bereskan saja
bocah itu!"
Nadanya seperti lagi tukar pikiran dengan kawannya mirip
pula sedang mohon persetujuan majukannya.
Dan baru selesai ucapannya, terdngarlah suara
mendenging. Dua panah kecil secepat kilat menyambar ke
arah kang Lam. "Menyerang secara gelap. terhitung orang gagah macam
apa?" bentak Kang Lam. "Huh, juga belum tentu mampu
melukai aku!"
Berbareng ia mainkan ilmu "Tiat-ci-sian-kang" atau ilmu
sakti jentikan jari ajaran Kim Si-ie yang lihay, ia menyentil
cepat hingga kedua panah kecil kena diselentik terpental ke
samping. Tapi pada saat hampir sama, tiba-tiba jidatnya terasa nyes
dingin, menyusul terdengar suara nyaring sekali. Waktu
ditegasi, ia lihat sebuah paku baja sudah menancap dibatang
pohon dibelukangnya. Tak usah ditanya lagi, terang jidatnya
barusan telah terserempet oleh jarum baja itu.
Sungguh kejut Kang Lam bukan kepalang, sudah terang
dilihatnya cuma kedua batang panah tadi yang menyambar
kearahnya, kenapa mendadak bisa bertambah sebuah paku
baja yang entah datang dari mana".
Dan pada saat itulah terdengar suara Koan thay-thay
didalam joli itu berkata: "Sudahlah, kalian jangan bikin onar
lagi. Hayo berangkatlah"
Baru sekarang Kang Lam sadar akan duduknya semua
perkara. Bahwa pembidik paku baja itu adalah si nyonya besar
itu" Dan kalau benar, caranya melepaskah am-gi atau senjata
gelap dari dalam joli. Senjata gelap itu sudah menyamber
sampai didepannya masih belum terasa, maka dapat
dibayangkan ilmu kepandaian si nyonya besar itu benar-benar
lihay dan aneh.
Belum selesai Kang Lam merenung, tiba-tiba telinganya
seolah-olah dibisiki orang: "Hayo berangkat!"
Saat itu kebetulan Koan thay-thay tadi habis mengatakan
"Hayo, berangkatlah" maka kalimat itu seakan-akan
kumandang suara dari nyonya itu. Seketika Kang Lam menjadi
bingung apakah suara yang didengarnya itu memang benar
kumandang suara sinyonya atau suara seorang yang lain.
Kata Kang Lam di dalam hati: "Ya, memang tak perlu juga
cekcok dengan mereka, jiwaku ini masih perlu dipertahankan
untuk menemui Kok-lihiap. Paling penting sekarang harus
menjumpai Kok-lihiap dulu!"
Dengan keputusan seperti itu, ia keluarkan gingkangnya
yang tinggi. untuk manjat ke atas gunung melalui tebingtebing
dijurusan lain, jadi tidak menguntit lagi dibelakang joli
Koan thay-thay tadi. Sayup-Sayup ia masih dengar suara omel
maki kedua penggotong joli tadi.
Kembali hati Kang Lam tergerak: "He, apakah Yauhu
(perempuan siluman ) itu hanya sengaja hendak menggertak
aku" Atau dia sebenarnya ingin mengambil nyawaku, tapi
diam-diam jiwaku dapat ditolong oleh Kim-tayhiap"
Segera Kang Lam percepat langkahnya panjat keatas
melalui jalanan kecil yang lebih dekat, sekaligus tanpa
mengaso, ia sudah berlari sampai didepan Hian-li-koan. Ketika
menoleh kebelakang, joli si nyonya besar tadi masih belum
kelihatan. Setelah tenangkan diri, Kang Lam berpikir pula: "Dengan
pakaianku yang sudah compang camping begini, tidaklah enak
untuk menjumpai Kok-lihiap."
Sebenarnya dia membawa beberapa pasang pakaian serep,
cuma buru-buru menempuh perjalanan hingga selama itu
belum pernah salin. Kini tiian-li-koan sudah didepan mata,
dengan sendirinya ia merasa lega. Maka segera ia menyasup
ke dalam semak-semak rumput untuk tukar pakaian.
Belum lagi Kang Lam selesai mengenakan pakaiannya yang
baru, ia menjadi kaget ketika sekonyong-konyong terdengan
suara seruan seorang bocah, "He!, kokoh, lihatlah ini. Hi.. hi..
ada seorang telanjang pinggulnya bersembunyi di sini"
Menyusul mana segera terdengar pula bentakan seorang
laki-laki yang keras, "Siapa yang sembunyi disitu" Lekas
menggelinding keluar!"
Buru-buru Kang Lam kencangkan celananya dan menyusup
keluar dari semak-semak itu. Ia lihat seorang laki-laki sudah
berdiri dihadapannya dengan mata melotot gusar.
Disampingnya ada pula seorang wanita yang berdiri
membelakangi dirinya. Kecuali itu ada lagi seorang anak
perempuan berusia antara enam-tujuh tahun sedang goresgores
pipinya didepan Kang Lam untuk memalu-maluinya.
Tapi waktu mengenali Kang Lam, segera laki-laki tadi
berseru lagi, "Jadi kau bu... bukankah kau adalah Kang Lam?"
Waktu Kang Lam menegasi, kiranya memang laki-laki itu
sudah dikenalnya, yaitu suhengnya Kok Ci-hoa, Lo Eng-ho.
Kang Lam menjadi jengah hingga merah mukanya, maka
cepat dia memberi penjelasan: "Ooo, kedatanganku yalah
ingin menjumpai Ciangbunjin kalian. Sampai diatas gunung
baru ingat bajuku sudah tak karuan, maka sedang salin
pakaian. Sungguh kurang sopan sekali".
Lo Eng-ho terbahak-bahak, serunya segera: "Sumoay,
marilah sini. Dia bukan orang asing, tapi adalah sobatku, Kang
Lam." Baru sekarang wanita tadi berpaling serta memberi hormat
kepada Kang Lam. Pikirnya dldalam hati: "Kang Lam ini benarbenar
seperti apa yang dikatakan orang. Sudah sebesar ini,
kelakuannya masih dogol begini. Bertamu ke rumah orang,
tapi baru salin pakaian sesudah sampai didepan pintu rumah
orang!" Dan wajahnya yang mengunjuk rasa geli tertahan itu
membikin Kang Lam semakin kikuk.
"Kang Lam", demikian Lo Eng-ho berkata, "Angin apakah
yang meniup engkau kesini" Hayolah, mari kuhantar kau
kedalam!" Tapi bocah perempuan tadi terus berseru, "Tidak. aku tidak
mau bersama-sama dengan lelaki yang pinggulnya telanjang.
Aku ingin petik buah bersama Kokoh ke sana"
Eng-ho tertawa geli lagi, katanya pula: "Anak kecil
sembarangan omong, harap Kang-heng jangan gusar!"
Tapi anak itu masih uring-uringan, katanya pula: "Mana bisa
aku sembarangan omong, tadi aku saksikan sendiri pinggulnya
telanjang di situ!".
Kang Lam sendiri menjadi geli juga, pikirnya dalam hati:
"Masih untung setan cilik ini yang melihat keadaan tadi.
Apabila sampai di lihat juga oleh wanita itu, tentu aku lebih
malu pula".
Begitulah Kang Lam lantas diajak masuk ke dalam Hian-likoan.
Ketika diberitahu kedatangan Kang Lam, Kok Ci-hoa
segera ia menemuinya dikamar baca.
"Aia... Kok-lihiap", demikian seru Kang Lam ketika melihat
Kok Ci-hoa. "Ternyata kau serupa seperti dahulu, sedikitpun
tidak berubah. Sungguh aku sangat girang"
Rupanya semula Kang Lam mengira Kok Ci-hoa sudah cukur
rambut menjadi nikoh, yaitu berhubung patah hati hubungan
cintanya dengan Kam Si-Ie. Tapi kini melihat ia masih pelihara
rambut, Kang Lam menjadi girang sekail. Sebab Kang Lam
masih sangat mengharapkan supaya Kok Ci-hoa dan Kim Si-ie
bisa dipersatukan kembali dan kalau Kok Ci-hoa belum cukur
tambulnya, itu berarti lebih besar pula harapannya itu.
Sebaliknya Kok Ci-hoa tidak tahu maksud pikiran Kang Lam
itu, sebab cakal-bakal Bin-san-pay Tok-pi-sin-ni, adalah
seorang Nikoh (paderi wanita, biksnm). Beliau mendirikan Hian
li-koan pula diatas Bin-san, maka diantara anak murid Bin-sanpay
banyak juga yang menjadi Nikoh didalam kuil itu, tapi Binsanpay terhitung suatu cabang persilatan yang besar. Anak
muridnya yang terdiri dari orang preman juga sangat banyak
dan tersebar dimana-mana tempat. Ada pula suatu bagian ikut
tinggal disekitar kuil situ, disamping menjaga makam Cosu
mereka, berbareng menghindari penguberan pemerintah
Boanjing. Sebab iiulah penghuni Hian-li-koan tidak semuanya terdiri
dari Nikoh. Kok Ci-hoa sendiri memang tidak suka menjadi
Nikoh. Tapi bukan sebab peristiwa dengan Kim Si-ie itulah
maka ia menjadi geli mendengar ucapan Kang Lam yang tak
karuan arahnya itu.
Katanya tertawa, "Kang Lam, sedikitpun kau juga tidak
berubah. Kau masih tetap seperti dulu, suka membanyol. Eh
ya. kabarnya kau sudah menjadi ayah. Sudah berapa besarnya
anakmu" Kenapa tidak kau bawa bermain kemari?"
"Justeru oleh karena urusan kanak-kanak, makanya aku
datang kesini", kata Kang Lam sambil menghela napas.
Kok Ci-hoa melengak, tanyanya heran: "Jadi apakah engkau
ini?" Karena terlalu terburu-buru, Kang Lam tidak sempat
menuturkan dari awal dulu. Lebih dulu ia lantas bertanya:
"Kim-tayhiap pernah datang kesini tidak?"
Cara bicaranya tidak karuan susunannya, belum lagi
menjawab pertanyaan Kok Ci-hoa tahu-tahu malah tanya.
Tentu saja hal ini membuat Kok Ci-hoa melengak lagi, hatinya
berdebar juga demi mendengar Kim Si-ie disinggung. Ia
paksakan tertawa dan berkata "Kang Lam apakah kamu sudah
gendeng". Kenapa bicaramu tak karuan begitu?"
Tapi dengan serius Kang Lam berkata pula, "Jikalau Tayhiap
belum kemari, boleh jadi aku benar-benar sudah gendeng!
Tapi, Kok-lihiap apa benar-benar kau belum bertemu dengan
beliau?". "Tidak," sahut Ci-hoa. "Sejak dia menghantar obat penawar
padaku dahulu, sampat kini aku belum pernah melihatnya."
"Inilah aneh!" seru Kang Lam sambil garuk-garuk kepala.
"jika begitu, orang yang diam-diam membantu aku itu apa
bukan beliau" Dan kalau dia, kenapa tidak kemari". Dia boleh
bergurau dengan aku, tetapi terhadap engkau, selamanya dia
tidak pernah bergurau"
"Kang Lam," kata Ci-hoa dengan muka jengah. "Sebenarnya
apa yang sudah terjadi, coba ceritakanlah yang jelas."
"Sungguh panjang kalau diceritakan," sahut Kang Lam
tertawa getir. "Tapi, terpaksa harus kututurkan dari awal
mula, supaya kau bisa terang duduknya perkara. Puteraku
telah di culik orang, berhubung ingin mencari bantuan Kimtayhiap,
maka aku datang kemari hendak tanya padamu
tentang keadaan beliau"
Lalu ia menceritakan semua apa yang sudah terjadi,
tentang puteranya diculik kedelapan wanita berkedok yang
Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengacau kerumahnya sampai berjumpa dengan Ki Hiau-hong
ditengah jalan. Meski ia buru-buru ingin menghabiskan
ceritanya itu, tapi ia pun tidak lupa memberikan pujian pada Ki
Hiau hong yang telah merampas harta pusaka untuk
membantu kaum miskin, mengembalikan kitab-kitab pusaka
kepada para pemiliknya serta angkat saudara dengan dirinya.
Semuanya dia ceritakan, lalu dia tanya Kok Ci-hoa: "Ki Toako
tidak berani bertemu dengan engkau kesini, tapi entah kau
sudi mengaku dia sebagai Suheng tidak?"
Sebenarnya Kok Ci-hoa sudah anggap segala kejadian yang
lalu sebagai impian beiaka dan tidak ingin mengungkit orangorang
yang ada sangkut paut dengan ayahnya. Tapi kini
setelah mendengar Ki Hiau-hong sadah mengubah
kelakuannya, suka menuju kejalan yang benar, diam-diam ia
ikut bergirang, katanya kemudian: "Ki Hiau-hong bukanlah
anak murid Bin-san-pay, darimana aku mempunyai seorang
Suheng begitu, cuma karena dia adalah Gihengmu,
memandang atas dirimu, kalau bertemu dengan dia, aku akan
memanggil dia sebagai Ki-toako".
Segera Kang Lam menceritakan lagi Pertarungan Ki Hiauhong
dengan kedua hoanceng ikut-ikut terseret dalam
pertempuran dan diam-diam ada orang membantunya dari
samping hingga kedua hoanceng dapat dikalahkan.
Kok Ci-hoa merasa heran juga oleh kejadian itu. "Janganjangan
Kim Si-ie benar-benar telah muncul kembali!" demikian
pikirnya. Menyusul Kang Lam hendak menceritakan pula tentang
seorang nyonya besar yang dijumpainya itu, tapi pada saat.
itulah tiba-tiba datang seorang murid wanita memberitahu:
"Lapor Ciangbun, ada seorang tamu ingin bertemu"
"Tamu macam apa" Kau undang Pek-suheng mewakili aku
melayaninya dulu," kata Ci-hoa.
"Ah, toh aku tidak buru-buru hendak pergi, silahkan kau
menemui tamu dulu, nanti kita bicara pula," ujar Kang Lam
tertawa. "Tamu itu rada luar biasa," tutur murid wanita tadi. "Dia
datang menumpang joli dan menyatakan minta bertemu
sendiri dengan Ciangbun Suci".
"He, bukankah dia seorang nyonya besar yang berdandan
sangat mewah?" seru Kang Lam.
Murid wanita itu terheran-heran, sahutnya: "Entahlah dari
keluarga apa" tapi tampaknya memang seperti seorang
nyonya pembesar. Apakah engkau kenal dia?"
"Tidak", sahut Kang Lam. "Kecuali Gi-heng ku tiada
keluarga bangsawan lagi yang kukenal. Wanita itu dapat
kujumpai ditengah jalan. Kok-lihiap, bila kau menemui dia,
hendaklah waspada, mungkin asal usulnya tidak benar, agak
mencurigakan."
"Darimana kau tahu?" tanya Cie-hoa.
"Boleh kau perhatikan dia. Lihatlah di tengah-tengah alisnya
itu bukankah samar-samar bersemu hawa hitam?" sahut Kang
Lam. Heran juga Kok Ci-hoa. Pikirnya: "Biasanya pihak
pemerintah suka memusuhi golongan ku. Kenapa hari ini ada
seorang nyonya pembesar minta bertemu dengan aku?"
Karena tertarik, iapun tidak sempat tanya Kang Lam lebih
jauh, segera katanya: "Baiklah. tak perduli dia orang Sia-pay
atau Cing-pay, keluarga pembesar atau rakyat jelata biarlah
kutanya dulu maksud kedatangannya!"
Setelah sampai diruangan tamu, dia lihat ditengah pelataran
sudah ada sebuah joli. Dua kuli penggotongnya dengan
bertolak pinggang tampak mengunjuk rasa tidak sabar.
Kok Ci-hoa menyuruh seorang murid wanita menyambut
nyonya besar itu keluar dari joli, sedang kedua penggotong joli
diterima oleh Loh Eng-ho dan Pek Eng-kiat ke ruangan lain.
Kedua penggotong joli itu rupanya kenal kedudukan Loh Engho
dan Pek Eng-kiat. Semula mereka agak mendongkol
karena Kok Ci-hoa lambat menyambut kedatangan mereka,
tapi kini mereka sendiri dilayani sebagai tamu oleh dua murid
Bin-san-pay yang terkenal, mau tak mau mereka menjadi
senang juga. Ketika Kok Ci-hoa memperhatikan tamunya, benar juga ia
lihat nyonya yang gemerlapan dandanannya dengan macammacam
intan permata, di tengah-tengah alisnya lapat-lapat
bersemu warna hitam.
Kok Ci-hoa adalah tokoh aliran Cing-pay, sebenarnya tidak
paham tentang tanda-tanda begitu. Lagi orang yang
meyakinkan semacam ilmu jahat. Untung sebelumnya Kang
Lam telah memperingatkan dia, maka dia bisa berjaga-jaga
sebelumnya. Walaupun kedatangan wanita itu rada mencurigakan,
namun Kok Ci-hoa menyambut secara sopan. Setelah ambil
tempat duduk masing-masing, segera ia bertanya: "Entah
siapa nama hujin yang mulia" Ada keperluan apakah hingga
sudi berkunjung kemari?"
Waktu itu ada seorang murid waniia Bin-san-pay lagi
menyuguhkan teh kehadapan Koan thaythay itu. Maka nyonya
itu memandang sekejap kepada pelayan itu, lalu berkata:
"Kok-lihiap, urusanku ini ingin kubicarakan dengan engkau
berdua saja!"
Kok Ci-hoa rneogkerut kening, pikirnya heran: "Ada urusan
apakah dia ini" Jangan-Jangan kisah Le Seng-lam akan
terulang kembali?"
Tapi segera ia memberi tanda juga dan menyuruhmu murid
wanita tadi keluar, kalau tidak dipanggil, di larang masuk
begitu pula orang lain.
Setelah murid wanita itu menyingkir serta pintu ruangan
ditutup, lalu Kok Ci-hoa bertanya lagi: "Hujin, ada urusan apa,
sekarang bolehlah engkau bicarakan."
Lebih dulu Koanthaythay itu memberi hormat, lalu tuturnya,
"Aku berasal dari keluarga she-Kui. Suamiku Mo Lam-ting, kini
menjabat Holam Thetok"
Thetok adalah gubernur militer. Letak Bin-san itu didalam
wilayah Holam. Mendengar itu, wajah Kok Ci-hoa rada
berobah. segera sahutnya sambil balas hormat: "Ah, maafkan
kiranya adalah Mo-hujin. Aku adalah rakyat kecil diwilayah
kekuasaanmu, sungguh aku merasa gugup dan dan takut atas
kesudian Hujin berkunjung kemari!"
Kata-Kata Kok Ci-hoa ini mengandung nada sindiran. Tapi
berbareng rasa curiganya makin bertambah pula. Apabila apa
yang dikatakan nyonya besar itu sesungguhnya, maka
susahlah dimengerti bahwa seorang nyonya pembesar
kerajaan yang dimuliakan ternyata adalah seorang iblis dari
Sia-pay. Malahan sekarang nyonya besar itu sudi datang ke
Bin-san dengan menumpang joli untuk menemuinya, padahal
dirinya adalah ketua Bin-san-pay yang biasanya dimusuhi
pemerintah kerajaan, bukankah hal ini sangat luar biasa dan
susah dipahami.
Rupanya Mo-hujin itu dapat menerka pikiran Kok Ci-hoa,
dengan tersenyum dia berkata": "Kok-Ciangbun tak usah
sangsi-sangsi. Kedatanganku ini tiada ada maksud jahat
terhadap golonganmu. Cuma ada satu urusan yang perlu
minta bantuan Kok-ciangbun".
"Ah... hujin sukar berkelakar saja". sahut Kok Ci-hoa.
"Padahal suamimu berkuasa, pangkatnya tinggi, urusan apa
yang tak bisa diselesaikan, masakan sampai minta
bantuanku?"
"Dengan terus terang, urusanku ini sama sekali diluar tahu
suamiku," demikian kata Mo hujin. "Maka bila Kok-ciangbun
tidak sudi membantu, aku pasti menyesal selama hidup!"
Melihat orang bicara secara begitu sungguh-sungguh
terpaksa Kok Ci-hoa menjawab: "Baiklah, jika begitu, silahkan
Hujin bicara. Asal tidak mengingkari kebenaran, dimana aku
mampu membantu, pasti akan kulakukan sepenuh tenaga".
Mo-hujin tersenyum likat, katanya pula dengan lirih: "Boleh
jadi urusanku ini justeru jauh berlawanan dengan kebenaran,
cuma Kok-ciangbun adalah seorang bijaksana, sebaliknya
urusanku ini teramat penting pula, maka aku percaya Kokciangbun
takkan mentertawanku dan terpaksa akan bicara
secara terus terang padamu!"
Setelah menghirup teh yang disuguhkan, dengan wajah
bersemu merah, Mo hujin menyambung pula dengan bisikbisik
"Terus terang kuceritakan, pada sebelum aku menikah,
aku telah mempunyai hubungan gelap dengan seorang pelajar
sesama kampungku dan melahirkan sepasang anak kembar,
satu laki-laki dan yang lain perempuan. Sehabis melahirkan,
kuserahkan bayi-bayi itu untuk disembunyikan kepada mak
inang. Tidak lama, atas perintah orang tua, aku terpaksa
menikah, dan kedua anak itu dengan sendirinya tak bisa
kubawa serta, bahkan orang tua juga tidak mengetahui.
Terpaksa aku terima usul mak inang untuk menitipkan kedua
anak kepada seorang puteranya yang bertani dan tinggal
didusun lain. Sang tempo sungguh lewat teramat cepat,
sekejap saja sudah tujuh tahun lalu. Kasih sayang seorang ibu,
tentu Kok-ciangbun dapat menyelami. Bila kuingat darah
dagingku yang berpisahan sampai sekarang ini, sungguh pedih
sekali hatiku."
Kok Ci-hoa masih perawan suci, karuan ia menjadi jengah
juga mendengar cerita itu. Pikirnya "Pantas dia minta aku
singkirkan orang lain. Kiranya dia punya rahasia pribadi
demikian. Tapi rahasianya yang bisa dipuji itu, kepada orang
tua saja tidak mau bercerita, kenapa sekarang aku yang
diberitahu?"
Belum lenyap pikirannya itu, ia dengar Mo-hujin sedang
bertanya padanya, "Kabarnya Kok-lihiap telah memiara satu
anak perempuan piatu, entah hal itu benar tidak?"
Kok Ci-hoa tergetar perasaannya oleh pertanyaan itu telah
menyinggung suatu yang meragukan dirinya selama tiga
tahun ini. Kiranya Kok Ci-hoa memang benar memungut satu anak
perempuan yatim Piatu. Anak piatu ini asal-usulnya sangat
aneh, sampai kini, hal mana masih tetap menjadi teka-teki
baginya. Peristiwa itu terjadi tiga tahun yang lalu.
Suatu hari. Suhengnya Kok Ci-hoa, yaitu ketua Kay-pang,
Ek Tiong-bo, datang berkunjung padanya dengan membawa
seorang anak perempuan serta minta Kok Ci-hoa memiaranya,
bahkan menceritakan padanya suatu kisah yang
mengherankan. Ek Tiong-bo mempunyai seorang sobat yang tak begitu
karib, namanya Khu Giam. Orang ini adalah tuan tanah kecil di
daerah ini Tiong-bo-koan. Paham ilmu silat dan orang baikbaik.
Malahan dimasa mudanya pernah menjalin karangan Lu Liuliang
yang mengkritik keganasan kerajaan Boan-jin serta luas
disebarkan kepada kawan-kawan sepaham. Dari situlan Ek
Tiong-bo berkenalan dengan dia. Kemudian karena
pemerintah menguber-nguber sisa pengikut Lu Liu-liang,
terpaksa Khu Giam pulang kandang dan menjadi hartawan
dikampungnya. EkTiong-bo suka berkelana, pula dalam kedudukannya
sebagai pengemis, dengan sendirinya tidak leluasa
berhubungan dengan Khu Giam. Maka sudah hampir sepuluh
tahun mereka tidak saling berjumpa. Suatu waktu, tiba tiba
Khu Giam minta perantara anak murid Kay-pang
menyampaikan sepucuk surat penting kepada Ek Tiong-bo dan
mengundangnya ketempat tinggalnya untuk merundingkan
sesuatu. Ek Tiong-bo adalah seorang setia kawan, seterimanya surat
itu meski merasa heran, ia penuhi juga undangan itu. Dan
begitu sampai, segera Khu Giam mengundangnya kedalam
kamar kontan terus menyatakan permohonannya: "Aku
mempunyai seorang putri angkat, ayahnya adalah bekas
buruhku, meninggal karena sakit, tinggal seorang putri piatu
ini yang sangat kasihan, kebetulan aku tidak punya anak,
maka telah mengambilnya sebagai anak angkat. Tapi kini aku
sudah tua dan berpenyakitan, mungkin hidupku tidak takkan
lama lagi! Demi hari anak itu, sudikah kau menerima anak
piatu ini?"
Ek Tiong-bo merasa serba sulit, terus terang ia menyatakan
"Selamanya Kay-pang tidak menerima murid wanita, aku
adalah pengemis tua seorang diri pula, sekalipun aku ingin
menganggapnya sebagai anak, untuk membawanya juga,
susah. Untuk bergurau, masakah nanti kalau dia sudah
dewasa juga mesti ikut aku menjadi pengemis wanita" Maka
menurut pendapatku diantara sanak keluarga saudara
mungkin masih ada yang lebih cocok untuk menerimanya, dengan
demikian bukanlah akan jauh lebih baik dari pada
pasrahkan seorang pengemis tua macamku" Apalagi
kesehatan saudara tampaknya masih gagah kuat, kenapa
mengucapkan kata yang alamat tidak baik?"
Melihat Ek Tiong-bo tidak mau terima, Khu Giam menghela
napas, agaknya ada sesuatu yang susah diucapkan. Tapi
iapun tidak memohon pula. Sebelumnya ia sudah siapkan
perjamuan didalam kamar, maka katanya kemudian, "Jika Ekpangcu
merasa sukar menerima, biarlah urusan ini kita
kesampingkan dulu. Sudah lama kita tidak bertemu, marilah
kita makan minum dulu sekedarnya."
Setelah minum beberapa cawan, lalu Khu Beng berkata
pula, "Meski Ek-pangcu tidak sudi menerima puteri angkatku
itu, namun biarlah dia keluar memberi hormat padamu,
tentunya bolehkan?"
Ek Tiong-bo terbahak-bahak, sahutnya: "Kuatirnya
pengemis tua tidak bisa memberi oleh-oleh perkenalan,
jangan-jangan bikin Lengjiankim (puteri tersayang) kurang
senang!" Mendengar orang tidak keberatan, segera Khu Giam
memanggil keluar puterinya.
Kiranya bocah itu baru berumur 3-4 tahun, wajahnya yang
sangat cakap dan bersih, tapi pakaiannya agak aneh, yaitu
memakai sebuah baju kapas kain sutera merah yang kecil
sempit yang cocok untuk dipakai anak umur dua tahunan saja.
Meski anak perempuan itu dasarnya kurus kecil, namun
baginya baju itupun terasa sempit. Pula waktu itu baru
permulaan musim rontok, belum-belum sudah memakai baju
kapas, hal inipun tidak menurut jaman.
Selagi Ek Tiong-bo termenung heran, sementara itu Khu
Giam sudah menuangi cawannya dan berkata pula: "Setelah
pertemuan kita ini, mungkin susah untuk berjumpa lagi. Harap
keringkan secawan ini, ada sesuatu isi hatiku ingin kututurkan
pada Ek-pang-cu"
Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan ragu-ragu Ek Tiong-bo menjawab sambil angkat
cawan. "Persahabatan kita didasarkan atas keluhuran jiwa,
pabila Khu-heng benar-benar ada kesulitan, sudah tentu siaute
tak bisa tinggal diam! Silahkan bicaralah!"
Seketika Khu Giam menjadi senang, dia terbahak-bahak dan
tenggak habis araknya, katanya kemudian: "Memang
demikianlah, aku ingin mendengar dari Ek-pangcu. Seperti
ucapan Pangcu tadi, meski kita bukan sababat karib, tapi aku
cukul kenal Pangcu sebagai seorang yang luhur budi dan
pendekar yang bisa pegang janji! Biarpun banyak sanak
keluargaku yang lain, namun yang bisa dipercaya hanyalah
Pangcu seorang! Puteriku bukan saja asal usulnya harus
dikasihani, mungkin dihari depan masih banyak pula
malapetaka yang akan menimpa dirinya. Kini aku tidak mampu
menjaganya lagi, sebab itu, walaupun tahu permintaanku ini
tidak pantas, namun masih mengharap penimbangan Pangcu
atas persahabatan kita, sudilah menerima anak ini. Bila dia
dapat memperoleh perlindunganmu, dialam baqa juga aku
bisalah tenteram".
Makin lama makin lemah suara Khu Giam hawa hitam
dimukanya semakin tebal, Ek Liong-bo terkejut, ketika melihat
kawan sempoyongan, dia menayangnya dan katanya, "Khu
Beng, kenapakah kau?"
Ek Tiong-bo pahan ilmu pertabiban. ia merasa tubuh orang
sangat panas. Ketika memandang air mukanya, terang kawan
itu terkena racun yang sangat jahat.
"Khu-beng. ada apa, katakanlah, kenapa mesti begini?"
seru Ek Tiong-bo. "Dimana obat penawarnya" Lekas katakan!"
Tapi Khu Giam hanya tuding-tuding anak perempuan itu,
lalu tuding diri sendiri sebagai tanda pesannya yang terakhir,
yalah mohon Ek Tiong-bo suka menjaga baik-baik bocah itu.
Ketika Tiong-bo membanting poci arak, terdengarlah suara
bunyi poci itu pecah remuk serta mencipratkan api, nyata isi
poci itu adalah arak beracun. Kiranya Khu Giam menuang arak
untuk dirinya sendiri dengan poci yang berisi arak beracun,
sebaliknya untuk Ek Tiong-bo diberikan arak biasa dari poci
yang lain. Dengan mengorbanan jiwa untuk memasrahkan anak piatu,
dengan sendirinya Ek Tiong-bo sangat terharu. Saat itu napas
Khu Beng sudah hampir putus. Suhu badannya dari panas
berubah dingin, sekalipun sekarang diberi obat penawar juga
takkan tertolong lagi. Terpaksa Ek Tiong-bo bisik-bisik
ditelinga Khu-heng, "Aku pasti akan rawat baik-baik anak ini.
Adakah pesanmu yang lain, lekas katakan!"
Khu Giam meronta-ronta sekuatnya dan berkata dengan
terputus-putus: "Baju... baju kapas bocah itu adalah.... adalah
pemberian ibunya. Dia masih punya seorang kakak yang
dilahirkan berbareng, kini dipiara oleh.... oleh Yap Kun-san di
Tan-liu-koan, dia juga punya sebuah baju kapas serupa.
Cuma......cuma kainnya dari sutera hijau, bawalah bocah ini
pergi mencari kakaknya. Kedua......kedua baju kapas itu
teramat penting sekali, kau......kau harus..."
"Aku harus apa?" tanya Ek Tiong-bo keras-keras.
Namun bicara sampai disitu, Khu Giam sudah putus
napasnya dan tidak bisa menjawab pertanyaan itu lagi.
Selama hidup Ek Tiong-bo sudah menjelajah Kangouw,
sudah banyak hal-hal luar biasa yang dialaminya. Tetapi tiada
sesuatupun yang lebih aneh daripada kejadian ini. Hal
pertama yang membuat Ek Tiong-bo tidak mengerti adalah
sebab apa Khu Giam rela mati. Kalau bilang dipaksa musuh,
kenapa waktu bertemu tidak minta bantuan. Pula tidak
sedikitpun tidak mengatakan pada saat ajalnya. Kedua asal
usul bocah itu menurut Khu Giam adalah puteri seorang
buruhnya. Tapi dari baju kapas yang dipakai anak perempuan
itu, meski kain sutera baju itu bukan pakaian yang mahal, tapi
jarang terbeli oleh kaum petani. Sebaliknya Khu Giam
memberi pesan, katanya penting sekali baju kapas itu.
Bukankah ini terlalu mengherankan?"
Ek Tiong-bo adalah kawakan Kangouw, dengan sendirinya
dapat menduga anak perempuan itu pasti bukan bocah
sembarangan, Boleh jadi dia yang mengakibatkan Khu Giam
direcoki musuh. Tetapi kalau demikian halnya, mengapa Khu
Giam mengarang ceritanya yang tidak betul itu untuk
menutupi asal-usul bocah itu"
Keluarga Khu Giam hanya mempunyai seorang hamba tua.
Ketika Ek Tiong-bo tanya padanya, hamba itu menjawab tidak
tahu mengapa sang majikan bisa meninggal, cuma beberapa
hari yang lalu pernah terjadi kemalingan. Sejak itu sang
majikan tampak masgul. Dan pagi harinya sang majikan
menyerahkan sepucuk surat padanya dengan pesan boleh
dibuka kalau tuan tamu sudah pergi.
"Jika begitu, lekas kau buka surat itu. Tentu ada pesan
yang dia tinggalkan padamu" kata Ek Tiong-bo cepat.
Waktu hamba itu membuka surat itu, benar juga memang
surat wasiat, tapi isinya hanya pesan hamba tua itu cara
bagaimana membagi harta warisannya, sedang mengenai
sebab kematiannya dan diri anak perempuan itu, sedikitpun
tidak disinggung. Waktu ditanya lagi, hamba itu hanya bisa
menjelaskan bahwa bocah itu dibawa pulang sendiri oleh Khu
Giam pada tiga tahun yang lalu, tentang asal usulnya, sang
majikan sama sekali tidak pernah bercerita. Ditanya lagi
tentang kedatangan maling, hamba itu menyatakan ketika
mendusin, sang maling sudah lari. Karena tidak memperoleh
sesuatu keterangan memuaskan, terpaksa Ek Tiong-bo
berangkat membawa anak perempuan itu dengan penuh
tanda tanya! Akan tetapi, kejadian-kejadian yang aneh masih belum
berakhir. Ketika Tiong-bo mendatangi rumah Yap Kun-san di
Tan-liu-koan menurut apa yang dipesan Khu Giam, yaitu untuk
mencari kakak kandung anak perempuan itu, ternyata
semalam sebelum Tiong-bo datang, Yap Kun-san mendadak
meninggal dan anak laki-laki piaraannya itupun lenyap. Yap
Kun-san juga tokoh Bulim yang terkenal. Dia adalah anak
murid tokoh terkemuka Jing-sia-pay, Nyo Cheng.
Oleh karena merasa, tidak baik membiarkan seorang anak
perempuan ikut berkecimpung di tengah kawanan pengemis,
maka Tiong-bo telah bawa anak perempuan itu ke Bin-san dan
suruh Kok Ci-hoa merawatnya.
Ci-hoa sangat suka pada anak perempuan itu, berbareng
teringat nasib anak perempuan itu yang serupa dirinya juga
yatim piatu yang di piara oleh orang lain. Sebab itulah, tanpa
pikir ia suka sekali menerima bocah itu.
Waktu bocah itu ditanya bernama siapa, jawaban anak
itupun sangat aneh, katanya: "Aku tidak punya nama. Khuyaya
hanya panggil aku Lian-ji. Yaya bilang aku hanya
sementara tinggal dirumahnya. Ia tidak ingin aku ganti nama,
maka akupun tidak she Khu."
"TIDAK punya nama, kan susah memanggil kau," ujar Kok
Ci-hoa... Bolehlah kau ikut aku she Kok, maukah menjadi
anakku?" Rupanya bocah ada jodoh juga dengan Kok Ci-hoa, baru
sekali omong, terus saja dia berlutut menyembah dan
mengakunya sebagai ibu.
Kok Ci-hoa memberi nama Kok Tiong-lian padanya,
maksudnya bunga teratai ditengah lembah, yaitu karena
dahulu Kim Si-ie pernah memperumpamakan dirinya dengan
bunga teratai yang toh putih bersih walaupun tumbuhnya
ditengah-tengah lumpur yang kotor. Ia merasa nasib bocah itu
rada mirip dengan dirinya, maka telah diberinya bernama
demikian. Tapi diam-diam ia berdoa, semoga ayah bunda
kandung anak perempuan yang tak dikenal itu berasal
keluarga baik-baik, semoga nasib bocah itu takkan serupa
dirinya. Disamping itu sebenarnya iapun menaruh sesuatu cita-cita
atas diri bocah itu, yaitu ingin membalas budi ayah angkatnya
-Kok Cing-peng- yang telah membesarkannya itu.
Kok Cing-peng tidak punya keturunan, sebaliknya dirinya
sudah mengambil putusan selama hidup ini takkan kawin,
sebab itulah ia ingin piara anak perempuan ini agar bila kelak
sudah dewasa dan dinikahkan, tentu dapatlah sekedar
menyambung keturunan bagi keluarga Kok.
Den selama beberapa tahun ini, senantiasa ia berkuatir bagi
asal-usul puterinya yang penuh rahasia itu. Sungguh tak
tersangka bahwa hal mana akhirnya muncul juga.
Kini ia sudah berhadapan dengan seorang nyonya gubernur
militer yang agung, sedang Mo-hujin itu habis menceritakan
rahasia pribadinya, serta menanya tentang anak yang
dipungutnya itu.
Karuan Kok Ci-hoa tergetar perasaannya, terpaksa ia
menjawab: "Memang benar aku memiara seorang anak piatu,
entah dan mana Hu-jin mendapat tahu?"
Mo Hujin tampak senang oleh jawaban itu. Dengan suara
pelahan ia berkata: "Berhubung rinduku kepada kedua anak
itu, tempo hari aku pernah kirim orang kepercayaan ke Tiongbokoan dengan maksud mengambil kembali kedua anak itu
untuk ditaruh ditempat yang lebih baik agar anak-anak itu
tidak terlalu menderita di keluarga miskin. Siapa duga putera
mak inang yang kutitipi anak itu sudah mati, orang suruhanku
telah menyelidiki sebisanya, akhirnya dapat diketahui bahwa
sebelum putera mak inang itu mati, lebih dulu kedua anakku
sudah diserahkan pada orang lain lagi. Kepada siapa puteraku
itu diberikan" Sampai sekarang aku masih belum mendapat
kabar. Cuma puteriku dapat diketahui berada dirumahnya Khu
Giam di Tiong-bo-koan, sedang Khu Giam itu telah meninggal
juga pada tiga tahun yang lalu. Menurut keterangan hamba
tua keluarga Khu, pada sebelum meninggal majikannya, anak
perempuanku itu telah dibawa pergi oleh seorang pengemis
tua. Pengemis tua itu adalah Pangcu dari Kaypang selatan Ek
Tiong-bo. Sebagai suatu klik Kangouw yang suka bermusuhan
dengan pemerintah, dengan sendirinya kami suami isteri suka
bicara juga tentang urusan Kaypang, sebab itu sedikit banyak
akupun kenal peraturan kaypang yang selamanya tidak
menerima murid wanita. Apalagi Ek-pangcu adalah seorang
pengemis tua, hidupnya selalu seorang diri. kalau kian kemari
selalu membawa seorang anak perempuan itu tentu tidak
leluasa. Mengingat Ek-pangcu adalah Suhengnya Kokciangbun,
makanya aku menduga boleh jadi anak
perempuanku itu oleh Ek Pangcu telah diserahkan padamu.
Harap Kok-ciangbun jangan kuatir, aku tidak urusan tentang
kalian bermusuhan dengan pemerintah segala, yang kumohon
adalah mendapatkan kembali anakku. Dan kini, karena Kokciangbun
sudah mengaku memiara seorang anak perempuan
pastilah bocah itu adalah darah dagingku sendiri!. Aku pasti
akan membalas budi kebaikan Kok-ciang bun yang telah
merawat anakku itu, dan kini sudilah Kok-ciangbun
menyerahkan kembali anak perempuan itu padaku!"
Apa yang diuraikan Mo-hujin itu satu dan lain ternyata
cocok seperti apa yang diketahui Ek Tiong-bo dari ceritanya
Khu Giam. Diam-Diam Kok Ci-hoa berdingin hati, pikirnya, "Biarpun
pribadi Mo-hujin ini mungkin tidak benar seperti apa yang
diceritakan, tapi tentang diri anak itu, terang tidak perlu
diragukan lagi. Ai, apakah nasib bocah ini memang sudah
ditakdirkan akan serupa dengan diriku?"
Ketika ia pandang sekejap lagi pada Mo-hujin, ia lihat hawa
hitam dhengah alis nyonya itu makin jelas kelihatan kini. Aneh
juga timbul rasa jemunya terhadap tamunya itu, tak terasa
pikirnya pula: "Wanita ini tampaknya tidak beres, tentu
bukannya manusia baik-baik, mana boleh aku membiarkan
Lian-ji dibawa pergi olehnya?"
Agaknya Mo-hujin itu dapat menerka pikiran Kok Ci-hoa,
dengan tersenyum ia berkata: "Apa barang kali Kok-ciangbun
merasa berat ditinggalkan anak itu" Asal sudi diserahkan
kembali hingga berkumpul dengan keluarga sendiri, kami ibu
dan anak pasti akan merasa berterima kasih tak terhingga dan
se kali-kali takkan melupakan budi kebaikanmu. Kelak kalau
anak itu sudah besar, aku tentu suruh dia sering-sering
menyambangi kau."
Hati Kok Ci-hoa menjadi terharu oleh kata-kata orang yang
bersungguh-sungguh itu, pikirnya: "Walaupun dia orang
golongan Sia-pay, kelakuannya tidak benar, tapi apapun ia
adalah ibu kandungnya Lian-ji, mana boleh aku merintangi
pertemuan kembali mereka?"
Maka katanya, "Anak ini pintar dan cerdik. Aku menjadi
benar-benar rada berat ditinggalkan olehnya. Tapi kalau dia
bisa ketemu kembali dengan ibu kandungnya, aku tetap
bergirang baginya. Hujin silakan kau menunggu sebentar"
"Baiklah, silahkan lantas bawa keluar bocah itu". sahut Mohujin.
Dan karena senangnya itu, diantara mata alisnya itu lantas
mengunjuk rasa girangnya yang rada aneh. Entah mengapa,
wajah yang berseri-seri girang itu memberi perasaan lain
dalam hati Kok Ci-hoa. Ia merasa senang tercampur haru
nyonya itu bukan timbul dari lubuk hatinya yang murni, tapi
lebih mirip seorang yang licik penuh muslihat. Dikala orang
demikian hampir mencapai maksud tujuannya, tanpa merasa
akan tertampaklah sikapnya yang lupa daratan itu.
Seketika hati Ci-hoa tergerak. Tiba-Tiba ia menanya: "Tapi
apakah Hujin mempunyai tanda pengenal apa-apa atas diri
anak itu?"
Mo-hujin mengejek, segera ia menjawab, "Tanda pengenal
apa. Ketika anak itu kulahirkan lantas kuserahkan pada mak
inang. Mengenai apakah ada tanda-tanda spesial di badan
mereka, sesungguhnya aku tidak pernah memeriksanya".
"Jika begitu, pantasnya kau ada meninggalkan sesuatu
benda untuk kedua bocah itu agar kelak dipakai sebagai bukti
saling mengenall kembali?" tanya Cie-hoa lagi.
"Kok-ciangbun, kau benar-benar sangat cermat kuatir kalau
aku menipu bocah itu", sahut Mo hujin tertawa. "Tapi untung
juga kau memperingatkan aku, maka aku menjadi ingatlah.
Aku pernah memberi dua baju kapas yang ku jahit sendiri
kepada kedua bocah itu. Baju kapas itu dibuat dari kain satin
(sutera Sociu) pilihan. Aku pernah pesan wanti-wanti kepada
mak inang agar baju-baju kapas itu harus disimpan baik-baik
bagi kedua itu. Dan entah dikala anak itu kau terima apa baju
kapas itu masih ada padanya?"
Perasaan Kok Ci-hoa menjadi berat lagi pikirnya: "Jika
begitu, bocah itu memang benar anaknya!".
Tapi segera ia tanya pula: "Jika demikian, tentunya Hujin
masih ingat juga warna apakah kedua baju kapas itu?".
Mo-hujin memikir sejenak, lalu menjawab: "Yang dipakai,
Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anak laki-laki seperti warna merah dan yang perempuan
seperti warna hijau. Cuma Waktunya sudah terlalu lama,
sudah tidak ingat lagi. Mungkin juga salah omong"
Apa yang dikatakan Mo-hujin itu ternyata terbalik. Hal ini
seketika bikin Kok Ci-hoa menaruh curiga, pikirnya: "Tadi dia
bilang memberi pesan wanti-wanti agar menggunakan kedua
baju kapas sebagai bukti pengenal, mengapa dia sendiri malah
tidak jelas?"
Karena itu, segera dia menanya lebih pelik lagi: '"Soal kecil
saja jika tidak ingat lagi warnanya. Tetapi diatas baju kapas itu
agaknya masih ada apa-apa yang istimewa lagi, entah Hujin
masih ingat tidak?".
Tanpa merasa Mo-hujin mengunjuk sikap gugup jawabnya
kemudian: "Baju kapas tetap kapas, cuma bahannya yang
bagus, ada apanya yang istimewa?"
"Jika benar Hujin sendiri yang menjahit baju-baju itu,
seharusnya Hujin dapat mengingatnya," ujar Ci-hoa dengan
tawar. Misal tentang bentuknya, pakai berapa biji kancing, dan
bahan apa biji kancing itu dan sebagainya. Coba Hujin ingatingat
kembali, mungkin ada sedikit 10 perbedaannya
daripada baju kapas biasa"
Wajah Mo-hujin yang putih itu rada merah-jengah,
sahutnya kurang senang, "Urusan tetek-bengek itu, mana bisa
teringat semua" Berapa biji kancingnya juga Kok-ciangbun
tanyakan, bukankah Kok-ciangbun ini sengaja berkelakar
dengan aku?"
Kok Ci-hoa tersenyum, katanya pula dengan dingin:
"Berapa biji kancing itu adalah benda mestika yang tak
ternilai, menurut orang ahli, biarpun di keraton kaisar juga
belum tentu ada!"
Kiranya diatas baju kapas itu ada tujuh biji kancing, kalau
dilihat sepintas lalu memang tiada sesuatu yang istimewa,
hanya mirip kancing, perunggu biasa saja. Suatu hari, Kok Cihoa
kuatir baju yang disimpan didalam peti itu lama-lama akan
jamur, maka dikeluarkannya untuk dijemur. Tiba-Tiba ia lihat
kancing-kancing itu memancarkan sinar gemilapan ketika kena
sinar matahari. Waktu diteliti, kancing itu entah terbuat dari
logam apa, bukan besi bukan emas. bahkan masih ada
sesuatu yang istimewa. yaitu kalau barang logam umumnya
bila dijemur akhirnya tentu panas, tapibiji-biji kancing itu
ketika dipegang ternyata dingin saja bahkan lebih dingin
rasanya waktu sebelum dijemur. Karena itulah Kok Ci-hoa
tertarik dan heran. Dan sebab itu pula, asal-usul bocah itu
dirasakan penuh rahasia.
Diam-Diam Ci-hoa pernah mengunjukkan baju kapas itu
kepada kaum cianpwee yang banyak pengalamannya,
akhirnya ketika diperlihatkan kepada Kang Lam Ih Un Yap Yaek,
barulah, diketahui asal-usul benda itu.
kiranya biji-biji kancing itu bukan buatan sesuatu logam,
tapi adalah "Thiam-sim-ciok" atau batu pusat bumi, yang
khusus terdapat di pencak tertinggi Kun-lun-san. Biji batu
yang sangat aneh ini jarang sekali terdapat, pula tercampur
diantara batu kerikil biasa, maka sulit sekali ditemukan.
Menurut catatan yang terdapat diatas kitab pusaka pertabiban
Yap Ya-ek, katanya Thiam-sim-ciok itu kalau digilas menjadi
bubuk dan diminum dengan arak khasiatnya akan melebihi
segala macam obat kuat. Akan tetapi Thiam-sim-ciok adalah
obat yang paling gerah pula diseluruh jagat. Minum sedikit
saja bisa membikin orang panas seperti dibakar. Sebab itulah
batu itu merupakah obat yang sangat besar khasiatnya, tapi
juga racun yang sangat jahat. Orang blasa se kali-kali tidak
boleh minum. Hanya orang yang dasar lweekangnya sudah
tinggi, barulah boleh menggunakan obat demikian untuk
memupuk ilmu silat sendiri hingga mencapai tingkat paling
sempurna atau orang yang lwekangnya belum cukup kuat,
tapi kalau bisa mendapatkan semacam obat lain khasiatnya
dapat menahan racun panas dan Thian-sim-ciok itu serta
diminum berbareng, untuk mana khasiatnya sedikitnya akan
menambah kekuatan latihan selama 20 tahun.
Kalau tujuh biji diminum seluruhnya, jadilah orang itu tak
mempan segala serangan dari luar.
Dari itu, Kok Ci-hoa biji-biji kancing itu adalah benda
mestika yang tak ternilai, sesungguhnya sedikitpun tidak
terlalu dibesar-besarkan. Cuma penilaian itu baru ada
harganya bagi orang-orang Bulim, hal ini dengan sendirinya
tak dijelaskan oleh Kok Ci-hoa.
Dan demi mendengar jawaban Ci-hoa tadi, seketika Mohujin
itu tergetar, wajahnya berubah hebat, terus berbangkit.
Katanya dengan marah: "Kok-ciangbun, aku kau pandang
rendah. Apa aku kau kira mengincar benda mestika itu, maka
datang pura-pura mengaku anak itu. Hmm... jika demikian kau
mencurigai aku. Boleh silakan kau tanggalkan kancing baju itu
dan biar aku membawa pulang anak itu melulu"
"Tidak tepatlah ucapan Hujin ini!" sahut Ci-hoa dingin.
"Hujin adalah nyonya pembesar yang diagungkan dan kaya
raya, mana berani aku memandang rendah Hujin dan
menuduh engkau mengincar benda mestika" Lagi pula, bila
bocah itu adalah anakmu, dengan sendirinya biji kancing
diatas baju kapas itu pun milik keluargamu, mana boleh aku
menanggalkannya disini" Bukankah ucapan Hujin itu
memandang rendah padaku, dan bukan aku yang memandang
rendah pada Hujin!"
Nyonya itu tahu salah omong, maka cepat berkata pula:
"Bukan begitu maksudnya. Aku persilahkan Kok-ciangbun
menanggalkan kancing-kancing itu. hanya sekedar sebagai
balas budi kebaikanmu yang telah merawat anak itu sekian
lamanya. Untuk bicara sejujurnya, tatkala itu aku sekenanya
menyuruh tukang pasang beberapa batu permata tinggalan
ayahku diatas kancing itu, bahwa Sebenarnya akupun tidak
tahu bahwa batu permata itu mempunyai nilai sedemikian
tingginya."
Karena nyonya itu mendengar Kok Ci-hoa bilang kancingkancing
adalah benda yang tak ternilai, sudah tentu tidak
pernah terpikir, olehnya bahwa benda itu adalah Thian-simciok
yang hanya terdapat dipuncak Sing-siok-hay di atas Kunlunsan. Ia sangka kalau bukan mutiara mestika, tentu ada
batu permata, tapi mutiara tidak bisa dibingkai menjadi
kancing, maka menduga pastilah batu permata.
Kok Ci-hoa tersenyum dan menjawab pula dengen tawar:
"Sebanyak aku kemukakan biji kancing diatas baju kapas itu,
justeru demi kewaspadaan agar Hujin tidak salah menerima
anak orang lain. Dan kini mungkin harus bikin kecewa harapan
Hujin, sebab bocah itu, aku sudah dapat memastikan bukan
lagi anakmu!"
"Hah! berdasarkan apa kau berani memastikan?", teriak Mahujin
dengan mendelik
"Berdasarkan beberapa biji kancing itu," sahut Ci-hoa
tenang. "Biji kancing itu bukannya batu permata hiasan biasa,
juga bukan di bingkai, tapi adalah semacam batu yang sangat
aneh, harus kaum ahli, baru bisa kenal akan manfaatnya serta
tahu tak ternilai harganya".
Seketika Mo-hujin dibikin terlongong-longong oleh
keterangan itu. pikirnya dalam hati: "Kusangka rahasianya
terdapat didalam baju kapasnya, siapa duga berada pada biji
kancingnya?"
Tengah dia memeras otak hendak mencari kata-kata tepat
untuk menutupi kesalahannya, kembali Kok Ci-hoa
menyambung lagi: "Apa barangkali Hujin masih sangsi" Jika
begitu, silahkan kau mengatakan, seumpama tidak tahu di
mana letak kasiat batu macam begitu, sedikitnya ingat juga
apa warnanya serta apa-apa yang menjadi keistimewaannya".
Kuatir kalau makin omong makin salah, Mo-hujin tidak
berani sembarangan menjawab lagi. segera debat sebisanya:
"Tapi dia diterima oleh Khu Giam dari seorang buruh taninya,
bukan" Hal ini sudah jitu kukatakan, dengan sendirinya dia
adalah anakku. Sedang mengenai beberapa biji kancing baju
itu. boleh jadi Khu Giam menukarnya kemudian, darimana aku
bisa tahu?"
"Buruh tani Khu Giam juga tidak cuma seorang saja dan
bukan mustahil pula anak itu diterima dari petani lain" sahut
Ci-hoa. "Pendek kata bukti tidak ada, mana boleh aku
serahkan bocah itu kepadamu. Dan kaupun tidak perlu
inginkan anak keluarga lain"
Dari malu, Mo-hujin menjadi gusar dia menggebrak meja
dan mendamprat.
"Hujin", sahut Ci-hoa menarik muka juga. "Disini bukan
kantor pemerintah, kau mau marah-marah, silahkan kau
pulang dulu marah-marah ditempatmu". Habis berkata, dia
berbangkit sambll angkat cangkir teh, ini tandanya sang
tetamu dipersilahkan pergi.
Saking gusar, sampai leher Mo-hujin tampak merah, hawa
hitam ditengah alisnya semakin tebal. Dengan suara keras ia
berkata pula: "Jadi kau mengusir aku, Kok-ciangbun?"
"Aku tidak berani", sahut Ci-hoa. Tapi urusan sudah Jelas,
anakmu tidak berada disini dengan sendirinya kelenting kecil
dipegunungan sunyi ini tidak berani lama-lama melayani tamu
agung" "Siapa bilang urusan sudah jelas?", kata Mo-hujin dengan
gusar. "Hmm...! biarpun aku datang seorang diri, hendak
mengusir aku rasanya tidaklah begitu gampang?"
"Bukti tidak cocok, apanya lagi yang kurang jelas
perkaranya?" kata Ci-hoa. "Jika kau sengaja hendak bikin
rusuh dikelenting Hian-li-koan ini, hal ini bukan lagi aku
mempersulit engkau, tapi engkau yang mempersulit aku".
"Hian-li-koan lantas mau apa" Hm!" jengek Mo-hujin.
Sampai disini, betapapun sabarnya Kok Ci-hoa juga naik
darah. Katanya dengan gusar: "Segala apa tidak meninggalkan
kebenaran. Sudah tentu Hian-li-koan tak bisa dibandingkan
kantor gubernuran, tapi kalau kau tidak pakai peraturan, Hianlikoan juga tidak gentar!"
Air muka Mo-hujin menjadi pucat, lalu berubah merah lagi,
agaknya saking gusar terus akan mengamuk, tapi mendadak
menunduk pula, katanya dengan nada yang lain: "Kokciangbun,
kepadamulah aku menaruh kepercayaan maka telah
kuceritakan urusan pribadiku, kau tentu tahu, seumpama aku
bisa mengerahkan pasukan suamiku, juga pasti tidak berani
terang-terangan minta anak itu padamu. Sebab itu janganlah
kau salah sangka aku mengandalkan pengaruh untuk
memaksa kau. Seperti juga apa yang Kok-ciangbun katakan
tadi, segala hal tak terlepas dari kebenaran, maka aku hendak
aku bicara secara menurut aturan dengan engkau"
"Aturan apa yang hendak Hujin katakan aku bersedia
mendengarnya", sahut Kok Ci-hoa.
"Yang kita cekcokan adalah anak itu. Maka sepantasnya kau
memperlihatkannya padaku" demikian kata Mo-hujin.
"Kudengar dari mak inang, katanya dia sangat mirip diriku.
Apabila kulihat anak pungutmu itu tidak mirip aku tentunya
akupun tidak perlu banyak pikiran lagi".
Kata-Kata nyonya itu membuat Kok Ci-hoa tergetar pula,
dia merasa perkara ini menjadi lebih jelas lagi, lebih dapat
dipastikan bahwa Lian-ji yang-dipungutnya itu bukanlah darah
daging wanita ini sebab, wajah Lian-ji yang putih cantik itu
sedikilpun tidak mirip dengan dia.
Sebenarnya sejak mula Kok Ci-hoa sudah curiga wajah anak
itu tidak mirip nyonya yang mengaku sebagai ibunya ini. Kini
mendengar orang minta dibandingkan sendiri, tentu saja
kebetulan baginya segera ia menjawab: "Baiklah jika Hujin
ingin melihat bocah itu, pasti akan kululuskan permintaanmu.
Cuma, kau harus hati-hati memeriksanya dulu, jangan begitu
bertemu lantas mengaku sebagai ibunya."
"Hal ini tidak perlu kau pesan, akupun tidak nanti mengakuaku
anak orang lain" sahut Mo-hujin. Cuma ada sesuatu yang
ingin kumohon pada Kok-ciangbun".
Melihat sikap orang telah berubah sopan, Kok Ci-hoa
menjawabnya dengan ramah pula, "Baiklah, silahkan omong,
bila dapat kulaksanakan, tentu menurut".
"Baju kapas bocah itu adalah buah tanganku sendiri, tapi
menurut Kok-ciangbun, biji kancingnya sudah berlainan, maka
bolehkah akupun diberi melihatnya?" pinta Mo-hujin.
Kok Ci-hoa menjadi kurang senang, sahutnya: "Sudah tentu
baju itupun akan kukeluarkan, agar Hujin tidak tuduh aku
sembarangan mengoceh, memalsukan bukti."
"Ah. Kok-ciangbun jangan berkata demikian" ujar Mo-hujin.
"Aku hanya memohon sekedar pencocokan saja."
Melihat cecongor wanita itu, makin memuakkan, Kok Ci-hoa
semakin curiga kedatangannya pasti mempunyai tujuan
tertentu, tapi pikirnya pula: "Dihadapanku, rasanya diapun
takkan mampu sembarangan berbuat."
Segeia ia memanggil seorang pelayan dan memberi pesan:
"Kau undang jisuso agar membawa Lian-ji kemari, pula baju
kapasnya supaya dibawa keluar sekalian. Baju itu tersimpan di
dalam koperku yang paling bawah itu"
Jisuso atau ipar perguruan kedua, yang dimaksudkan Kok
Ci-hoa adalah isteri ketua Kaypang yang lalu, Tiat Koay-sian,
yaitu Cia In-cin. Sejak sang suami meninggal, Cia In-cin terus
berdiam di Hian-li-koan.
Maka tidak lama, terdengarlah suara seruan seorang anak:
"Mak, tadi aku meiihat seorang telanjang, katanya orang itu
akan menjumpai kau, apakah dia sudah datang kemari?"
Kiranya bocah ini adalah anak perempuan yang dipergoki
Kang Lam. Belum lagi masuk ruangan, bocah itu sudah lantas
ingin ceritakan kejadian yaag menarik itu kepada Kok Ci-hoa.
Segera Ci-hoa menjawabnya, "Jangan sembarangan
omong, lekas menemui tamu, sini !"
"Benar-Benar terjadi mak, kalau tidak percaya boleh tanya
Loh-susiok, diapun melihatnya." seru Kok Tiong-lian pula.
Sambil bicara, baru sekarang ia melangkah masuk
kepekarangan tamu itu.
Tapi begitu pandangannya bertemu dengan sinar muka Mohujin,
seketika si bocah terkesima saking kaget.
Cia In-cin menggandeng tangan bocah itu, ketika mendadak
ia merasa tangan anak itu gemetar, segera ia tahu ada
sesuatu yang aneh, katanya cepat, "Lian-ji, ada apakah
engkau" Lekas memberi hormat dan panggil bibi!"
Dan pada saat itulah Mo-hujin telah melangkah maju
kehadapan Kok Tiong-lian, lalu katanya dengan suara lembut:
"O, anakku, tahukan kau siapa aku?"
Mendadak Kok Tiong-lian berteriak. "Ya! aku tahu engkau
siapa! Aku kenal kau sebagai maling wanita yang datang
malam itu!"
Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kiranya beberapa hari sebelum Khu Giam membunuh diri,
rumahnya pernah kedatangan maling. Tengah malam itu, Khu
Giam mendadak terjaga oleh suara aneh dalam kamarnya.
Waktu itu Kok Tiong-lian baru berumur tiga tahun, karena
sangat sayang pada bocah itu. Khu Giam tidur sekamar
dengan dia dan disediakan suatu ranjang kecil tersendiri.
Ketika terjaga bangun, segera ia melihat suatu bayangan
orang berdiri didepan ranjang anak tersebut. Tangan Orang
itu baru saja diulur seperti akan mencengkeram Kok Tionglian.
Dalam keadaan kejut, tanpa pikir lagi, Khu Giam terus
menghantam dengan pukulan "Kun Goan Pi Lik Ciang" yang
lihay kepunggung maling itu.
Pukulan itu kena dengan telak, terdengar maling itu
bersuara tertahan sekali, lalu melarikan diri keluar jendela.
Waktu Khu Giam mengudak keluar, namun musuh sudah
menghilang. Cuma dari suara tertahan maling yang kecil
melengking itu, agaknya bukan kaum laki-laki. Dan besoknya
Khu Giam lantas merasa isi perutnya kesakitan, baru ia insaf
telah terluka dalam yang parah.
Tentang kejadian didatangi maling, hamba tua Khu Giam
menceritakan pada Ek Tiong-bo. maka Kok Ci-hoa mengetahui
juga. Cuma tidak jelas duduknya perkara, tapi kejadian itu-pun
sangat mencurigakan, sebab sampai ajalnya Khu Giam, tetap
ia tidak mau menceritakan peristiwa itu kepada Ek Tiong-bo.
Kini mendadak rahasia itu terbongkar oleh anak perempuan
itu, katanya Mo Hujin adalah maling yang mendatangi rumah
Khu Giam malam itu, karuan Kok Ci-hoa sangat terkejut. Baru
saja dia ingat pada kejadian itu, dalam sekejap itu pula tibatiba
terdengar Mo-hujin telah berseru dengan suaranya yang
melengking tajam, "Anak baik, jika kau sudah kena aku,
marilah ikut pergi bersama aku saja"
Berbareng itu, orangnya terus menubruk maju, kontan
tangannya mencengkeram ke atas ubun-ubun bocah itu.
Namun Cia In-cin yang berjuluk "Loa-jiu sian-nio" atau Dewi
Bertangan Panas, betapa linaynya dia. Baru saja Mo-hujin
geraki tangannya, sekonyong-konyong sinar putih berkelebat,
pedangnya sudah dilolos untuk menyerang musuh, beberapa
gerakan sekaligus dilontarkan untuk mencecar musuh.
Saat itu Mo-hujin lagi menubruk maju, maka tusukan
pedang Cia In-cin tampaknya kontan akan menembus
dadanya, tapi mendadak terdengar suara jeritan ngeri, belum
lagi Kok Ci-hoa melihat jelas apa yang terjadi, bukannya dada
Mo-hujin tertembus pedang, sebaliknya Loa jiu sian-nio Cia Incin
yang telah menggeletak lebih dulu!.
Sebaliknya Kok Ci-hoa mengundang keluar sang Suso
sebenarnya maksudnya agar menambah seorang pembantu
bila terjadi hal-hal diluar dugaan atas diri si bocah. Siapa duga
baru sekali gebrak, Cia In-cin sudah dirobohkan musuh.
Dalam kuatir bercampur gusarnya, segera Kok Ci-hoa
menubruk maju. Dalam pada itu, sesudah merobohkan Cia In-cin, saat itu
telah jatuh dilantai. Sekilas entah mengapa mendadak Mohujin
merandek. Baju kapas sianak tadi dipegang oleh Cia Incia
hujin dapat melihatnya, terus saja ulur tangan hendak
menyambarnya. Namun saat itu Siang hoa-kiam yang
ditusukkan Kok Ci-hoa sudah memancarkan sinarnya yang
kemilauan dan tahu tahu telah mengancam mukanya.
Selama beberapa tahun ini Kok Ci-hoa giat melatih Hian-likiamhoat, kepandaiannya jauh lebih lihay kalau dibanding Cia
In-cin. Maka tusukan itu sangat cepat lagi kuat, susah sekali
untuk menghindar. Namun Mo-hujin itu benar-benar sangat
hebat, hanya dengan gerakan Hong-thiam-thau, atau Burung
Hong memanggut, ia tunduk kepala sedikit, badan tidak
menggeser sedikitpun, tapi jarinya terus menjentik keatas
"Trang!"
Tepat batang pedang Kok Ci-hoa kena disentilnya. Seketika
Kok Ci-hoa merasa terguncang suatu tenaga kuat, hingga
tangannya panas pedas. Ia terkesiap dan heran, ilmu apakah
yang dilatih wanita itu.
Dalam pada itu, begitu pedang Kok Ci-hoa dijentik pergi,
secepat kilat Mo-hujin itu mencakarnya pula. Hanya sekejap
saja ia sudah menyerang tiga kali beruntun.
Kilau gerak serangan Mo-hujin itu sangat aneh, sudahlah
jelas, yang lebih mengejutkan ialah kedua tangannya yang
tadi halus bersemu merah itu, kini berubah hitam seakan-akan
dipoles tinta. Bahkan sayup-sayup angin pukulannya
membawa bau anyirnya darah yang memuakkan. Untung
Lweekang yang dilatih Kok Ci-hoa sudah mencapai tingkatan
tiada taranya rasa muak itu cepat sudah dapat dilenyapkan,
bahkan dalam sekejap juga kontan iapun balas menyerang
tiga kali hingga Mo-hujin tidak berani mendekat lagi.
Kok Tiong-lian menjadi ketakutan, ia menangis sambil ber
teriak-teriak: "Mak, maling wanita ini hendak mencelakai aku,
lekas kau usir dia!. aku.... aku takut!".
"Aku adalah ibu kandungmu, jangan kau takut" seru Mo
hujin Dan sekali memutar, segera anak itu hendak dicengkeram
pula. Mana bisa Kok Ci-hoa tinggal diam" Begitu pedangnya
berputar, belum wanita itu mendekati sibocah, sinar
pedangnya sudah mengurung rapat jalannya.
Sementara itu Kok Tiong-lian masih menangis, sambil
memaki ngaco belo, "Ibu kandung ku masih lama dibunuh
orang, kau adalah maling yang akan membunuh aku pula. kau
bukan ibuku!"
Tergerak hati Kok Ci-hoa dalam herannya ia terhibur juga.
Inilah untuk pertama kalinya bocah itu mengatakan ibu
kandungnya sudah dibunuh orang. Berbareng ucapannya itu
juga telah menyadarkan Kok Ci-hoa hingga dia lebih yakin lagi
tentang diri Mo-hujin itu sebab seorang ibu kandung
betapapun tidak mungkin mencengkeram anak sendiri
sedemikian rupa. Segera Ci-hoa tertawa dingin, ejeknya:
"Huh! betapa pun tidak kenal malunya perempuan iblis yang
berhati binatang, apa kini kau masih berani memalsukan
sebagai ibu bocah ini".
Gusar sekali Mo-hujin itu dampratnya: "Kok Ci-hoa secara
baik-baik aku datang minta padamu tapi kau berani memaki
aku dengan kata-kata yang kotor. Sekali kau tidak sopan,
jangan salahkan kalau aku tidak sungkan-sungkan lagi! Hah!
Kau berani bermusuhan dengan aku, kau sendirinya yang
bakal sialan!"
"Hmm. biarpun kau adalah nyonya besar, sekarang juga
kau harus enyah" sahut Ci-hoa gusar.
Belum lenyap suaranya, hujin itu bersuit aneh, dengan
melengking seram ia berseru: "'Wahai Kok Ci-hoa, bicara baikbaik
kau tidak menurut, kini Giam-lo-ong (raja akhirat)
mengirim surat panggilan padamu!".
Begitu seram suaranya hingga mirip tukang tenung jahat
yang lagi memanggil roh setan, sekalipun Lwekang Kok Ci-hoa
sudah sangat tinggi, mendengar suara seram Itu, tanpa
terasa agak merinding juga.
Selesai bersuit aneh, segera Mo-hujin kerjakan kedua
tangannya, sepuluh jarinya terpentang dengan membawa bau
amis, bagai anak panah saja jarinya menusuk bergantian
kearah Kok Ci-hoa. Tapi diam-diam Ci-hoa sudah kerahkan
tenaga murni, ia mainkan Hian-li-kiam-hoat. Orang bersama
pedang bagai berubah menjadi suatu gulungan sinar,
badannya tertutup dengan rapat, namun hawa dingin dari
jentikan lawan yang tajam tetap terasa
Dalam sekejab saja, kedua orang sudah saling gebrak
beberapa jurus. Kok Ci-hoa menang dalam hal lwekang dan
ilmu pedang, tapi ilmu jahat yang diyakinkan Mo-hujin itu
aneh luar biasa. Karena itu, sesaat itu menang kalah tak bisa
ditentukan. Sedang Kok Ci-hoa mencurahkan seluruh perhatian untuk
melayani serangan lawan, tiba tiba terdeunar pelayan berseru
diluar: "Lapor Ciangbun, para Susiok menunggu diluar menanti
panggilan!"
Kiranya tadi, berhubung memenuhi permintaan Mo-hujin,
Kok Ci-hoa telah perintahkan siapapun dilarang masuk. Kini
beberapa anak murid tertua Bin-san-pay sudah tidak sabar lagi
menunggu diluar ketika mereka mendengar didalam ruangan
sudah terjadi suara-suara pertempuran, tapi tidak berani
sembarangan masuk.
"Larangan dicabut, biarkan mereka masuk!" sahut Ci-hoa
segera. Dan karena sedikit meleng, kesempatan itu digunakan Mohujin
untuk bersuit pula, mendadak sejalur api hijau mengosos
keluar dari lengan bajunya terus menyambar kemuka Kok Cihoa.
Tapi sekali menyebul, Ci-hoa dapat bikin sinar api itu
terpencar ke berbagai penjuru Mo-hujin rupanya tidak
menduga bahwa "Lwe-keh-cing-gi" atau hawa murni ahli
Lwekang yang dilatih Ci-hoa sudah sedemikian lihaynya. Ia
bersuara heran sekali sambil mundur dua langkah. Namun bau
busuk yang terbawa oleh lelatu api tadi terang terdiri dari
sesuatu obat jahat. Maka ketika menyebul tadi, betapapun Kok
Ci-hoa telah mengisap sedikit hawa busuk itu hingga kepala
terasa pening dan mata berkunang-kunang, hampir tumpahtumpah
pula. Kini karena larangan sudah dicabut, beramai-ramai anak
murid Bin-san-pay terus berlari masuk. Kontan mereka terus
dicekoki oleh bau bacin tadi, keruan mereka megap-megap.
Diantara anak murid Bin-san-pay itu, Lo To-lin berwatak paling
keras, terus saja ia memaki: "Wanita siluman darimanakah,
berani main racun disini?"
Dia adalah murid Co Jin-hu dari Kanglam chit-hiap yang
terkenal itu. Senjata yang dia pakai adalah sebuah Thi-pi-pe
(alat petik mirip gitar), ditengah Thi-pi-pe terpasang "Tau-kuiting"
atau paku penembus tulang yang khusus digunakan
mengincar Hiat-to musuh. Maka begitu Thi-pi-pe bergerak,
kontan tiga buah Tau-kut-ting terus dibidikan.
"Huh, mutiara sebesar beras juga coba-coba mau bersinar?"
dengan dingin Mo-hujin mengejek.
Dan dibawah kurungan sinar pedang Kok Ci-hoa, tanpa
berpaling, tahu-tahu terdengar suara gemerincing tiga kali,
ketiga paku itu tepat mengenai tubuhnya semua. Namun
aneh, mirip mengenai benda logam saja, begitu menyentuh
tubuhnya, paku itu lantas jatuh semua.
"Kok Ci-hoa," Mo-hujin menyindir pula, "boleh sekalian kau
memberi perintah agar semua begundalmu maju semua, agar
aku tidak lagi membereskan mereka satu persatu nanti!"
Ci-hoa menjadi gusar, dampratnya: "Emangnya Bin-san-pay
kami dianggap seperti kantor gubernuran. Kami se kali-kali
takkan mengandalkan orang banyak, tapi kau telah melukai
orang kami. Sebagai Ciangbunjin, tidak bisa kuampuni kau
demikian saja!"
Segera ia memberi perintah: "Lo dan Lim berdua Suheng,
silahkan kalian menolong Cia-suso lebih dulu, periksalah
bagaimana lukanya" Dan kau, Sun-suci, lekas kau bawa Lian-ji
keluar!" Dengan pesannya itu, terang dia akan melayani Mo-hujin
sendirian. Belum lenyap suaranya, mendadak Mo-hujin telah
mencekeram ke mukanya sambil mengejek, "Hmm... kau tidak
bisa mengampuni aku". Lalu mau apa?"
---oo0dw0ooo--Jilid 3 Kok Ci-hoa angkat pedangnya menangkis sambil menjawab:
"Aku tidak perduli, kau apakah nyonya besar atau nyonya
kecil, kau telah melukai orang Bin-san-pay, kau harus berlutut
menyembah minta maaf padaku dan berjanji takkan lagi
menginjak sejengkal pun kesini!"
"Huh besar amat suaramu!" jengek Mo-hujin. "Hm, kau
telah rampas anakku, berani pula main kurang ajar padaku"
Baiklah, kau adalah ketua Bin-san-pay, sekarang aku pakai
peraturan Bulim untuk mengukur kepandaianmu!. Aku tidak
gentar kau memakai Pokiam jika kau menangkan aku, aku
tidak inginkan anak lagi dan segera pergi dan sini. Tapi bila
aku yang menang, kau harus serahkan kembali kepadaku
anakku!" Terhadap wanita itu, Kok Ci-hoa sudah terlalu muak, kalau
bisa ia ingin cepat-cepat mengenyahkannya, maka terus
menjawabnya, "Baik, kuterima usulmu"
Belum habis ucapannya, mendadak ia mundur. Belum lagi
sinar pedang Kok Ci-hoa berputar lagi, kedua tangan Mo-hujin
sudah mengayun berbareng. Tiga buah cinvin baja
menyambar dari tangan kirinya mengarah ke Hiat- to Kok Cihoa,
sedang tangan kanan menimpukkan tiga panah beracun
yang bersinar hijau.
Kok Ci-hoa sangat gusar, ia putar pedangnya dengan rapat,
berbareng sebelah tangannya terus menghantam dengan
tenaga Siau-yan-sia-kang ajaran Lu Si-nio. Seketika ketiga
panah tadi ditolak kembali oleh tenaga pukulannya hingga
meledak menjadi berkeping-keping kecil, sedang dimana sinar
pedangnya menyambar ketiga cincin baja tadipun seketika
terbabat menjadi enam potong besi rongsokan.
"Lihay benar!" seru Mo-hujin. "Tapi hendak melukai aku,
mungkin masih jauh dari mampu!"
Sambil bicara, cepat ia melompat mundur hingga dua kali
tusukan Ci-hoa yang sedang dilontarkan mengenai tempat
kosong. Meski panah beracun tadi sudah hancur, namun sinar hijau
tadi bertebaran kesekeliling situ hingga salah satu dari enam
murid tertua Bin-san-pay, yaitu Lim Sing, tanpa menduga
bajunya kecipratan sinar hijau itu, seketika bajunya terbakar.
Dalam kagetnya cepat Lim Sing merobek bajunya untuk
menghindari kebakaran. Namun begitu, sebagian badannya
sudah terbakar gosong juga, ia menjadi sempoyongan dan
hampir roboh. Kiranya sinar hijau itu adalah api pospor yacg
beracun, makanya begitu lihay.
Diam-Diam Ci-hoa berkuatir melihat tiada habis-habis
senjata keji lawannya itu, cepat ia berseru "Para suheng,
silahkan keluar saja, jagalah dengan penuh waspada kalau ada
begundalnya yang yang datang pula".
Dan diam-diam ia bersyukur juga dirinya telah giat melatih
Siau-yang-sin-kang selama beberapa tahun ini. Kalau tidak,
mungkin dirinya sudah celaka dibawah tangan keji wanita itu
Segera Lo To-lin dan Thia Go memondong keluar Cia In-cin.
Tampak wajah sang Suso itu pucat pasi bersemu kehijauan.
Kaki dan tangannya sedingin es, untung pernapasannya masih
bekerja. Segera Lo To-lin berseru: "Hati-Hatilah Ciangbun,
Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekali-kali jangan kena tersentuh oleh tangan Yauhu
(perempuan siluman) yang berbisa itu!".
"Lekas Ciangbun hajar saja Yauhu itu dan paksa ia
menyerahkan obat penawar untuk Su so," Thia Go ikut
berteriak. "Hahaha!", Mo-hujin itu terbahak-bahak. "Apa kalian
inginkan obat penawaranku untuk menolong kawanmu"
Baiklah, boleh lekas kalian mengaku kalah dulu, agar tidak
membuang tempo lagi!"
"Bagaimana denyut nadinya?" seru Ci-hoa menanya.
"Lemah sekali, tapi belum berhenti!" sahut Lo To-lin.
Ci-hoa lega olah jawaban, serunya pula: "Didalam kotak
kemala dikamarku itu masih ada tiga butir Pek-ling-tan, suruh
pelayan ambilkan dan lekas minumkan Suso dahulu".
Mendengar itu, kembali Mo-hujin terbahak bahak.
"Yauhu!" damperat Kok Ci-hoa gemas sambil menusuk
dengan pedangnya. "Sudah melukai orang, senang, ya"..."
"Kok Ci-hoa", sahut Mo-hujin sembari kebas lengannya
untuk menyampok serangan Ci-hoa, "Aku ketawa karena
rupanya kau sudah kapalan hingga tidak berasa sakit lagi. Apa
kau sudah lupa betapa rasanya waktu kau dilolohi oleh Le
Seng-lam dahulu?".
Ci-hoa terkesiap karena uusannya dahulu di ejek orang
Terdengar Mo-hujin mengikik tawa dan melanjutkan
perkataannya: "Biar kukatakan terus terang, racun yang
terpoles ditanganku tak lain tak bukan adalah racun yang
pernah kau rasakan dari Le Seng-lam dahulu itu. Dan kau
tentu sudah tahu apakah racun dapat ditolong oleh Thian-sanswatlian". Sudah tentu Ci-hoa bertambah kejut oleh ucapan orang itu.
Tapi toh tidak sebingung seperti yang disangka Mo-hujin.
Tentang betapa lihaynya racun yang dimaksudkan itu
memang tidak perlu disangsikan lagi. Dahulu Kok Ci-hoa
pernah terkena racun itu ketika saling gebrak dengan Le Senglam,
tapi berkat pil ramuan dari atau teratai saju dan Thiansan,
yaitu obat pemberian dari Lim-jim-bwe. Biarpun payah,
dapat ia bertahan selama tiga tahun lamanya.
Kini kepandaian Cia In-cin boleh dikata tidak lebih rendah
daripada Kok Ci-hoa, diwaktu dulu itu. Maka setelah terkesiap,
Kok Ci-hoa lega malah. Pikirnya, "Jikalau cuma racun yang
sama saja, sesudah diberi minum Pek-ling-tan yang terbuat
dari Thian-san-swat-lian, maka keselamatan Cia Suso dalam
waktu singkat bolehlah tidak usah dikuatirkan".
Hanya saja yang membikin Ci-hoa terkejut tidak melulu
karena racun yang digunakan musuh itu, tapi adalah
kecurigaannya darimana musuh mahir menggunakan racun
itu" Dan darimana mengetahui pula bahwa racun itu pernah
digunakan mendiang Le Seng-Lam". Sebab setahu Kok Ci-hoa,
dahulu waktu Le Seng-lam meninggal, ia telah serahkan Bakangpit tinggalan Kiauw Pak-beng kepada Kim Si-ie, tapi ada
sejilid Pek-tok-cin-keng atau kitab asli dari beratus resep
racun, yakni kitab yang berasal dari Chit-im-kau, setelah
meninggalnya Le Seng-lam, lantas tak diketahui kemana
perginya kitab itu.
Kini mendengar Mo hujin ini mengangkat tentang Le Senglam,
dengan sendirinya timbul keraguan Kok Ci-hoa, janganjangan
perempuan siluman ini ada sangkut pautnya dengan Le
Seng-lam" Dan jangan-jangan Pek tok cin-keng itu telah
terjatuh ditangan perempuan ini"
Selama hidup Kok Ci-hoa sudah kenyang menelan pil pahit
dari Le Seng-lam, maka begitu mengingat Mo hujin ini
mungkin ada sangkut pautnya dengan Le Seng-lam, seketika
ia menjadi gusar, segera ia mainkan Hian-li-kiam-hoat disertai
Siau-yang-sin-kang sepenuh tenaga ia cecar Mo hujin terlebih
kencang. Meski kepandaian Mo-hujin ini cukup lihay, tapi kalau
dibanding mendiang Le Seng-lam selisihnya masih jauh. Maka
sesudah 30 jurus, Kok Ci-hoa sudah mulai diatas angin.
Pikirnya: "Asal aku waspada terhadap pukulan serta senjata
gelapnya yang baracun, tentu aku akan dapat memaksa dia
menyerahkan obat penawar racunnya."
Sementara itu para murid Bin-san-pay sudah undurkan diri
keluar, hanya Kang Lam yang tetap berdiri diambang pintu
sambil melongok-longok mengikuti pertempuran didalam
ruangan itu. Diam-Diam ia ikut terkejut ketika melihat
kepandaian Mo-hujin yang lihay itu, pikirnya: "Wah, hampir
saja aku celaka. Coba tadi ditengah jalan kalau diam-diam
tiada orang menolong aku, tentu aku sudah mampus dibawah
senjata gelap perempuan siluman ini. Tapi, orang yang diamdiam
menolong aku itu, kalau bukan Kim-tayhiap, lalu
siapakah gerangannya?".
Sembari memikir ia terus mengikuti juga pertarungan di
dalam ruangan dan ketika nampak Kok Ci-hoa berada di atas
angin, saking senangnya ia gembar-gembor lagi, "Itu dia...
ternyata tidak luput dari dugaanku, yauhu ini memang benar
berasal dari aliran jahat. Kok-lihiap, kau harus berikan rasa
sedikit padanya, jangan sembarangan mengampun dia".
Begitulah sesudah bergembar-gembor sejenak, tiba-tiba ia
teringat pula pada satu tokoh yang maha gaib, seketika
perasaannya terkesiap lagi!
Kiranya tokoh yang maha gaib yang tiba-tiba teringat oleh
Kang Lam itu tak lain tak bukan adalah Thian-mo-kaucu yang
sangat lihay itu. Ia lihat ilmu silat yang dimainkan Mo-hujin ini
sangat aneh dan jahat, bahkan diantara berbagai senjata
gelap yang beracun, ada semacam panah berbisa yang dapat
meletuskan asap dan api, yaitu serupa seperti apa yang
pernah Ki Hiau-hong alami dari Thian-mo-kaucu. Maka timbul
seketika suatu pikiran dalam benak Kang Lam: "JanganJangan Mo-hujin ini adalah Thian-mo-kaucu?"
Namun pikirannya lantas berubah pula: "Aaah, tidak, tidak
benar! Menurut cerita Ki-toako, katanya Thian-mo-kaucu itu
meski memakai kedok, tapi tubuhnya tampak langsing
menggiurkan. Berdasarkan pengalamannya, tampaknya usia
kaucu itu baru berusia 20 tahun lebih. Sedangkan Mo-hujin
yang berdandan perlente dengan batu permatanya ini, biarpun
dia bersolek, namun pinggangnya kelihatan rada gemuk.
Ujung matanya juga nampak mulai keriput"
Kang Lam percaya penuh pada pandangan Ki Hiau-hong.
Namun apa yang dilukiskan Ki Hiau-hong atas diri Thian-mokaucu itu juga cuma dugaan saja. Betapapun wajah asli tokoh
aneh itu toh belum pernah dilihatnya. Sebaliknya Mo-hujin
yang sudah setengah umur serta mulai gemuk ini justeru ada
beberapa persamaan dengan Thian-mo-kaucu yang
diceritakan Ki Hiau-hong. Sebab itulah meski Kang Lam
merasa ada hal-hal yang tidak cocok, namun rasa curiganya
tetap tidak hilang.
Selagi Kang Lam belum hilang dari rasa curiganya tiba-tiba
dari luar berlari datang dua orang. Dan baru saja Kang Lam
mengenali orang yang didepan itu adalah Loh Eng-ho, segera
terdengar suara murid Bin-san-pay yang keras berteriak:
"Lapor Ciangbun, asal-usul Yauhu ini sudah dapat kita ketahui
sekarang!"
Sembari tangkis sekali serangan Mo-hujin yang sedang
dilontarkan, segera Ci-hoa menanya, "Macam apakah asalusul
Yauhu ini?".
"Dia adalah salah seorang tokoh penting dari Thian-mo-kau,
bukan mustahil dia Thian-mo-kaucu sendiri!" Segera Pek Eng
Kiat yang berada dibelakang Loh Eng-ho mendahului
menjawab. Dari manakah kedua anak murid Bin-san-pay itu dapat
menyelidiki asal usul Mo-hujin"
Kiranya diantara anak murid Bin-san-pay, Pek Eng-kiat
terhitung paling cerdik dan pintar. Maka tadi Ci-hoa telah
suruh dia bersama Loh Eng-ho pergi melayani kedua
ponggotong joli. Lebih dulu Eng Kiat dan Eng-ho sudah
berunding baik-baik serta mengatur tipu daya seperlunya, lalu
mengundang kedua penggotong joli itu mengobrol tentang
ilmu silat, sengaja mengumpak dan memuji ilmu silat mereka
yang dikatakan luar biasa.
Kedudukan Eng-kiat dan Eng-ho dalam Bin san-pay hanya
dibawahnya Kok Ci-hoa, Ek Tiong-bo dan Thia Go bertiga,
rupanya kedua penggotong-joli itu sudah tahu juga bagaimana
kedudukan kedua tuan rumah yang melayani mereka itu, tentu
saja mereka senang karena mendapat penghormatan yang
pantas, ditambah lagi umpakan-umpakan dan puja puji
setinggi langit dari Eng ho dan Eng-kiat, karuan mereka
menjadi lupa daratan.
Dan sesudah beberapa cawan arak masuk perut mereka,
kemudian Eng-kiat coba menanyakan nam mereka. Semula
kedua penggotong joli itu rada ragu-ragu, tapi akhirnya
dikatakan juga. Kiranya kedua penggotong joli itu adalah dua
Thocu atau pemimpin dari dua perkumpulan kecil kalangan
Bulim didaerah Kanglam.
Segera Eng-kiat dan Eng-bo menyatakan sudah lama
kagum terhadap nama mereka. Dalam hal minum arak, Engkiat
berdua sangat kuat, maka terus menerus mereka melolohi
kedua penggotong joli itu.
Ketika melihat mereka sudah hampir mabuk tiba-tiba Engkiat
gabrukan cawan araknya keatas meja, lalu katanya: "Ada
sedikit pendapatku, entah harus kukatakan atau tidak" Tapi
kalau tak kukatakan, rasaku tidak tahan pula!"
Keadaan kedua penggotong joli itu sudah setengah mabuk,
mendengar ucapan Eng-kiat itu terus saja mereka berteriak:
"Pek tayhiap, meski kita baru berkenalan hari ini, tapi seakanakan
adalah sobat lama. Engkau punya perkataan apa, silakan
bicara terus terang. Jikalau tidak dikatakan itu malah kelihatan
engkau anggap kami sebagai orang luar saja"
Eng-kiat pura-pura merasa serba sulit untuk bicara akhirnya
katanya: "Kedua Hengtay (saudara terhormat) adalah orangorang
suka terus-terang, aku orang she Pek juga tidak suka
main simpan-simpan bila ada sesuatu yang meragukan,
rasanya seperti duri ditenggorokan, kalau tak dimuntahkan
belum puas rasanya. Maka baiklah kukatakan, cuma kalau ada
kesalahan omong harap kedua Hengtay suka memaafkan."
Dengan diumpak dan disebut "Hengtay" terus menerus,
kedua orang itu sudah lupa daratan, tapi betapapun pikiran
sehat mereka belum sama sekali hilang, segera merekapun
menegaskan lagi" "Apa yang diragukan Pek-tayhiap" Jikalau
kami mengetahui, tentu akan kami beritahu."
Agaknya merekapun memperhitungkan boleh jadi Eng-kiat
akan bertanya tentang rahasianya Mo-hujin, maka mereka
atur jalan mundur dahulu, bila benar-benar ditanya, mereka
bisa menolak dan mengatakan tidak tahu.
Tak tersangka, Pek Eng-kiat justeru tidak lantas
menanyakan tentang Mo-hujin, tapi ia menghela napas
gegetun, lalu pandang merekaa engan sinar mata tajam,
katanya: "Yang aku merasa tidak mengerti ialah dengan
kedudukan dan dengan kepandaiannya, Hengtay berdua,
rasanya juga sudah lebih dan cukup untuk disegani orang
Kangouw, tapi mengapa dengan keagungan kedudukan
sebagai Thocu kini terima menghamba pada orang lain.
Apakah disebabkan majikanmu itu adalah seorang nyonya
gubernur, lantas kalian rela menghamba pada kaum ningrat"
Tapi dari nada percakapan Hengtay berdua, rasanya toh
bukan sebangsa manusia-manusia yang suka menjilat dan
mengekor?"
Memangnya kedua penggotong joli itu tidak rela diperbudak
oleh Mo-hujin, kini kena ditusuk lagi oleh ucapan Eag-kiat itu,
seketika muka mereka menjadi merah, dengan gelagapan
mereka menjawab: "Meski.... meski kami tidak tersohor seperti
Pek-tayiiap, namun juga bukan kaum kerucuk dikalangan
Kang-ouw. Jangankan hanya seorang gubernur, biarpun lebih
tinggi pangkatnya juga kami tidak sudi diperbudak olehnya,
soalnya karena... karena..."
"Sudahlah, kalau sulit untuk diceritakan, tak usah
dikatakan," demikian Eng-kiat sengaja memancing. "Sudah
tentu aku tidak akan memandang rendah kedua hengtay
berdua, tapi entahlah bila orang lain..."
Kedua penggotong joli itu tidak tahan lagi, akhirnya mereka
berteriak juga: "Sebabnya kami sudi menjadi kuli bukanlah
karena dia adalah nyonya gubernur. Tapi disebabkan ia telah
memerintah kami dengan tanda Kim-pay (medali emas) dari
Thian-mo-kau, kami baru saja masuk menjadi anggota Thianmokau maka tidak mungkin kami membangkang terhadap
Kim-pay dari agama sendiri."
Pengalaman Eng-kiat cukup luas, dia tahu Thian-mo-kau
meski sangat rahasia tindak tandknya, tapi paling akhir ini
sudah mulai bergerak dikalangan kangouw. Segera ia purapura
terkejut dan berkata: "He, kiranya demikian, maafkan
aku tak tahu. Tapi kabarnya anggota Thian mo-kau adalah
wanita semua. mengapa kini menerima juga anggota lelaki?"
"Memang Thian-mo-kaucu adalah seorarg wanita, tahun
lalu kabarnya bertambah pula seorang Hukaucu (wakil ketua)
lelaki, sebab itulah banyak tokoh-tokoh Kangouw telah masuk
juga menjadi anggota. Oleh karena kami adalah perkumpulan
Kangouw yang kecil, maksud kami menjadi anggota adalah
supaya punya sandaran siapa duga masih, tetap dipandang
hina orang."
Eng-kiat membiarkan mereka ber sungut-sungut dulu,
kemudian menanya. "Apakah Mo-hujin ini adalah Kaucu
kalian?" "Ah... kami hanya Bu-beng-siau-cut (perajurit tak bernama,
kerucuk) didalam
Bukit Pemakan Manusia 21 Puteri Es Seri 5 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Pukulan Naga Sakti 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama