Ceritasilat Novel Online

Ksatria Negeri Salju 4

Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko Bagian 4


lebih jauh. Bu Kong Taisu makin terpaku pada pertandingan sehingga, tak menyadari
bahwa sejak beberapa saat yang lalu, Sim Beng Tosu sudah menjauhinya untuk
mendekati nenek muka pucat. Tanpa sepengetahuannya, tosu itu menempelkan
kedua telapak tangannya ke punggung si nenek. Entah pikiran apa yang
berkelebat di otak tosu itu. Yang jelas begitu menerima tubuh Liu Siang, jika ada orang memperhatikan pasti akan kaget. Wajah tosu itu kelihatan memerah,
dengan nafas yang bergelombang dan tangan gemetar. Beberapa saat kemudian
nenek itu seperti sudah pulih dari lukanya.
Gerakan Sam Tiauw dan lawannya makin cepat sehingga sukar di kuti
pandangan mata lagi. Ditambah lagi asap hitam yang makin tebal keluar dari
tangan Pek Houw makin mngaburkan pandangan. Namun perlahan asap itu
terlihat makin meminggir terkena gelombang hawa pukulan Sam Tiauw. Terlihat
bahwa tingkatan Sam Tiauw masih satu level di atas Pek Houw. Tetapi yang
mengejukan Sam Tiauw adalah pukulan kakek kate yang terasa dingin, hanya
selisih sedikit dengan kemampuannya.
Bu Kong Taisu masih terpaku dengan mata yang berbinar-binar, tapi tiba-tiba
binar itu berubah ketika sekonyong-konyong terdengar bunyi desingan senjata
rahasia yang dilontarkan dalam jarak dekat.
"Wuss....wusss....wuss......!"
"Ayaa......" seru Bu Kong Taisu.
"Prak..prakk....auuughh....dess!" bunyi desingan senjata rahasia itu mengakhiri pertandingan antara keduanya. Lebih dari lima senjata rahasia dilontarkan
secara menggelap oleh nenek muka pucat untuk menyerang Sam Tiauw. Bu
Kong Taisu hanya mampu menangkis tiga diantaranya, yang satu tidak
mengenai sasaran sedang yang satunya lagi mengenai punggung Sam Tiauw.
Sam Tiauw bukannya tidak sadar kalau dibokong tetapi karena ia sedang
konsentrasi menghadapi serangan Pek Houw maka senjata rahasia berupa
karang yang diasah hingga runcing amblas ke dalam punggungnya. Seketika itu
juga ia tak mampu menggerakkan tangan, dan akibatnya dua pukulan dan satu
tendangan Pek Houw mengenai dada dan perutnya. Akibatnya tubuhnya
terlontar satu tombak dan roboh terguling.
"Lari i!" seru Sim Beng Tosu, sambil menggendong Liu Siang.
"Berhenti hoi! Tunggu! Pengecut!" Bu Kong Taisu berteriak-teriak dengan suara mengguntur sambil lari mengejar lawan. Mereka berlima tanpa mengindahkan
seruan biksu itu tetap saja tunggang langgang melarikan diri dari arena, menuju dinding bukit yang ada guanya. Houw ko (harimau jantan) yang sudah terluka
lari paling belakangan. Ia tak mampu menahan serangan pukulan jarak jauh Bu
Kong Taisu. Akibatnya tubuhnya roboh terguling dan menghembuskan nafas
terakhir. Bu Kong Taisupun terkejut dengan akibat serangan yang
ditimbulkannya.
"Omitohud, semoga budha mengampuni hamba yang kesalahan tangan
memukul lelaki ini hingga mati" kata Bu Kong Taisu dengan wajah sedih.
Dengan pengecut Pek Bin Hek Mau Kwi bo, Pek Houw dan Hek in Siang Houw
yang tinggal betinanya saja, lari terbirit-birit meninggalkan anak buah yang telah terkapar. Betapa malangnya nasib anak buah yang ditinggalkan, padahal mereka berempatlah yang telah berkorban untuk menyelamatkan mereka. Merekalah
yang telah berkhianat mengeluarkan kakek kate dan nenek muka pucat itu. Bu
Kong Taisu terus mengejar, namun ketika mendekati dinding kedua kakek dan
nenek itu menghadang, dan tanpa komando menyerang secara bersamaan.
Serangan keduanya sungguh dasyat bukan kepalang. Sedang serangan satu
orang saja sudah sedemikian hebatnya.
"Dugg.......plakk..."
Bu Kong Taisu menangkis serangan mendadak ini, namun tangkisannya tidak
cukup untuk membendung benturan tenaga yang sangat dasyat. Akibatnya
tubuhnya terdorong satu tombak, dan bergoyang-goyang. Kesempatan ini
digunakan oleh kedua lawannya untuk mendaki dinding tebing. Ketiga memasuki
gua itu Houw nio meraba-raba dinding dan mendapati tempat yang merupakan
kunci pintu goa.
"Suhu...ini dia, disini letak kuncinya, cepat gunakan tenaga es yang sudah suhu latih itu!" kata Houw nio. Kakek kate itu mencoba menuruti usul muridnya.
berkali-kali ia mencoba namun tetap gagal. Yang lainpun secara bergantian ikut mencoba, baik menekan-nekan sampai berusaha mendobrakknya. Namun
sampai yang kesekian kalinya masih tetap gagal, akhirnya mereka beristirahat.
"Gimana baiknya?" tanya Sim Beng Tosu.
"Apakah kita paksa saja orang-orang tibet itu untuk mengaku?" tanya nenek
muka pucat. "Ahh..percuma, pasti mereka tidak akan mau," jawab Pek Houw.
"Bagaimana kalau kita tawarkan kesembuhan gadis ini," seru nenek itu perlahan.
"Eh, iya..he..he..heh....Sim Beng Toyu, apakah maksudmu membawa gadis ini?"
tanya kakek kate itu dengan mulut menyeringai dan mata memandang curiga.
"Tidak..tidak sebaiknya kita kembali ke sana, mereka pasti sudah tak mau
mengampuni kita, dan hmmm kalian jangan bercuriga seperti itulah, kita semua bernasib sama di sini," jawab Sim Beng Tosu.
"Huhh...siapa percaya omongan tosu tengik seperti kamu, bukankah kamu
menghendaki gadis itu, heh jangan harap ya! Selama nenek muka cantik ini tak memberikan obat penawar jangan harap ia bisa bangun lagi," cibir nenek muka
pucat itu. "Toa nio dalam keadaan seperti ini masih perlukan omongan seperti itu" Jika
tidak karena aku bantu apakah kiranya kita bisa lolos dari tiga burung hantu itu?" balas Sim Beng Tosu tak kalah sengit.
"Sudah..sudah....cukup! Keadaan kita masih belum aman. Kita harus memikirkan cara keluar dari neraka ini," lerai Pek Houw.
"Aha, eh...Houw Nio, apakah kamu mengamati apa saja yang dilakukan oleh
mereka kalau sudah sampai gua ini?" tanya Sim Beng Tosu
"Mana aku tahu, aku hanya melihat dari kejauhan, hanya saja sepertinya mereka cepat sekali gerakannya," jawab Houw Nio yang menjadi mata-mata mengawasi
bagaimana cara Kiu Tiauw Kwi keluar. Houw Nio lama sekali untuk bisa
mengintip gerakan mereka, dari kejauhan. Biasanya mereka keluar fajar.
Meskipun keadaan masih belum terlalu terang. Namun karena terbiasa maka
Houw Nio tidak lagi mengandalkan kemampuan penglihatan saja, tapi juga
kemampuan pendengaran.
"Apakah kau melihat mereka mencuci tangan , atau mengambil air?"
"Aahh iya benar, lapat-lapat aku mendengar gemericik air tanda ia cuci tangan."
"Ho..ho...kalau begitu aku kira-kira tahu!"
"Tahu apa" Eh katakan apa yang kau ketahui tosu busuk!"
"Sabar...sabar..dulu, aku masih mengira-ngira, tapi kalau benar pendapatku, apa balasan untuk ide cermerlangku" Toanio berjanjilah memberi obat untuk bocah
ini!" "Huh siapa sudi! Bocah apanya, susunya aja udah nonjol gitu! Sapa yang tak
tahu otak mesummu tosu palsu," jengek nenek muka pucat.
"Ya sudah kalau memang begitu, mungkin nasib kita harus mati kedinginan di
sini," balas Sim Beng Tosu enteng.
"Eh Sim Beng toyu, tunggu dulu jangan pundung, Kwi bo apa salahnya kalau
kamu memberikan sedikit obat penawarnya" Yang penting kita bisa lolos, hanya saja kalau memang idenya ternyata sampah, kita sate rame-rame tosu cobul
ini!" ancam Pek Houw.
"Baiklah, menurutku kunci pintu itu harus dibuka dengan kekuatan hawa im
yang mampu membentuk air ini menjadi kunci tiruan, nah Pek Houw cianpwe
pasti bisa melakukannya."
"Benarkan, aku akan coba!"
Benar saja, ketika Pek Houw mencoba-coba setelah beberapa kali akhirnya bisa juga pintu itu terbuka, namun gua itu terus naik dan berujung buntu. Luar biasa sekali memang pintu keluar ini, hanya mereka yang menguasai ilmu es saja yang bisa membukanya, bahkan Kiu Tiauw Kwi ke enam ke bawahpun belum bisa
melakukannya. Lama sekali mereka mencari-cari tombol rahasia, namun tak
ketemu. Baru setelah hampir putus asa mereka bisa mendorong batu.
Terbebaslah mereka dari lembah delapan rembulan. Dan inilah awal malapetaka
yang menimpa lembah keramat ini. Dengan kepandaian mereka meskipun
menghadapi serangan binatang berbisa dan rawa-rawa berbahaya tidak banyak
masalah yang mereka temui. Hanya sedikit masalah yang dihadapi Houw Nio
ketika kakinya menginjak jebakan yang membuat satu kakinya terluka sehingga
terpaksi dipotong sebatas lutut. Pek Bin Hek Mau Kwi bo menepati janjinya
memberi obat, sehingga perlahan keadaan Liu Siang membaik. Karena masih
belum tahu tujuan, dan belum berani kembali ke Kong Thong Pay, Sim Beng
Tosu masih terus mengikuti mereka. Maka keadaan Liu Siangpun tidak
mendapatkan gangguan yang berarti karena Hek Mau Kwi bo tak sudi melihat
tosu itu memperkosa anak gadis. Karenanya sampai di gerbang Hek in Pang, di
puncak bukit awan hitam keadaan Liu Siang masih aman, namun keadaannya
masih lemah dan selalu dalam keadaan tertotok.
Puncak awan hitam adalah puncak sebuah bukit yang terletak di sebelah selatan sungai Yang tse kiang. Dari sungai itu perjalanan dapat ditempuh sekitar
setengah hari berkuda. Dinamakan awan hitam, karena awan yang memayungi
bukit ini adalah awan mendung yang berwarna gelap keabu-abuan, dengan
posisi menujulang di dekat sungai besar, awan yang berasal dari penguapan
sungai mudah sekali berarak ke bukit ini.
Di puncak awan hitam inilah, berdiri perkumpulan yang menamakan diri
perkumpulan awan hitam (Hek in Pang). Perkumpulan ini didirikan oleh suheng
dari Pek Houw, yang berjuluk Hek in Lo kwi. Anggota perkumpulan ini tidak
terlalu banyak hanya sekitar empat puluhan. Mereka tinggal di sekitar markas utama, membentuk perkampungan kecil.
Ketika sampai di pintu gerbang, dengan gaya pongah, Pek Houw membentak
penjaga, "Heh kunyuk buka pintu untuk kakek gurumu, dan berlututlah seratus
kali menyambut kedatangan kami!"
Dua orang penjaga itu terkejut melihat kedatangan seorang kakek aneh yang
hanya bercawat, di ringi seorang nenek yang mukanya putih pucat, tosu yang
membopong seorang gadis. Meskipun paham bahwa yang datang bukan orang
sembarangan, namun dua orang penjaga ini tak mau percaya begitu saja kalau
kakek kakek kate ini kakek guru mereka.
"Siapa kalian! Katakan nama dan keperluan, kami tidak melayani pengemis,"
balas salah satu penjaga dengan muka tak kalah garang.
"Ho...ho...ho...belum kenal kakek gurumu rupanya, neh kenalkan. Blughh.....!
Praakkkk.....! Kompraang!"
Hanya dengan menghentakkan kakinya akibatnya dasyat. Dua orang penjaga itu
terlontar hingga menubruk pintu, bahkan pintu itupun jebol dibuatnya. Pek
Houwpun terkejut melihat hasil yang diluar dugaannya. Tak disangkanya tenaga yang hanya setengahnya mampu mendorong sedemikian hebatnya.
Maka gemparlah perkumpulan ini, hingga langsung membuat seorang
perempuan setengah baya yang sepertinya menjadi pimpinan mereka dan kakek
tua berwajah seperti monyet keluar ke halaman depan. Betapa herannya
perempuan setengah baya yang memiliki codet di pipi melihat siapa yang
datang. Empat orang yang tiba itu pakaiannya sudah sangat kumal dan
kulitnyapun kehitam-hitaman dan berdebu, serta wajahnya yang menunjukkan
kelelahan lahir batin, bahkan salah satu di antaranya hanya berpakaian kain
cawat. Kakek muka monyet itupun terkejut demi mengenali kakek kate yang
baru datang yang bukan lain adalah Pek Houw dan disertai tiga orang yang
salah satunya adalah sumoynya.
Dengan mata melirik ke kanan dan ke kiri Pek Houw tidak melihat Hek in Loco, murid tertua suhengnya. Ia tidak mengenali perempuan setengah baya yang
merupakan murid dari Hek in Loco, tapi ia mengenali kakek muka monyet yang
tak lain adalah Hoan bin Kwi ong, kawan lama. Apakah yang telah terjadi di Hek in Pang"
*** Telah lama kita tidak mengikuti perjalanan bibi Tiong Gi yang mengaku bernama
Ciu Hong, atau yang aslinya Cu Hoa Nionio. Setelah ditinggalkan Tiong Gi, Cu Hoa berusaha mencari anak pungutnya itu, namun berbulan-bulan mencari ia
tak mendapatkan titik temu, akhirnya ia memutuskan untuk mencari Hoan bin
Kwi ong, kakek muka monyet yang ahli mengubah atau menyamar bentuk
muka. Aneh memang untuk mendandani orang lain ia adalah ahlinya, tapi
dirinya sendiri memiliki wajah yang berbulu agak tebal mirip monyet. Kebetulan pada saat yang bersamaan Hoan bin Kwi ong mendapatkan tugas untuk
menakhlukkan Hek in Pang, maka seketika itu kehadiran Cu Hoa bagai pucuk
dicinta ulam tiba. Iapun bersedia terlibat dalam drama pelenyapan Hek in Loco, ketua Hek in Pang. Drama itu berjalan mulus, mereka berdua datang untuk
mengajak kerjasama, namun saat pesta, Cu Hoa menaburkan racun ke minuman
Hek in Loco. Hek in Loco sebenarnya tidaklah semudah itu ditakhlukkan, racun saja tidak mungkin membunuhnya karena ia sendiri mahir menggunakan racun,
tapi menghadapi keroyokan mereka berdua, ia tak mampu melawan, akhirnya
iapun tewas. Kejadian ini tidak banyak diketahui oleh anak murid Hek in Pang, karena pestanya hanya dihadiri oleh beberapa orang murid saja. Penyebab
kematian kemudian dirahasiakan oleh Cu Hoa, dan ia bersama dengan Hoan bin
Kwi Ong berhasil menguasai Hek in Pang.
"Ahaa, kiranya Pek Houw sicu yang datang, kionghi, selamat datang, selamat
bergabung kembali dengan Hek in Pang, Cu Hoa Pangcu cepatlah beri ucapan
selamat datang kepada kakek paman gurumu. Dan kau sumoy, syukurlah kau
telah kembali, kami bertahun-tahun mencari jejakmu tapi tak seorangpun
pernah menemukan!"
"Kwi ong suheng, apakah kau bicara dalam keadaan sehat" Sedangkan dulu
ketika aku masih selalu mendampingimu engkau sering acuhkan aku, benarkah
kau pernah menyuruh anak buahmu mencariku, huh laki-laki mulut buaya?"
Di dunia hitam dialog memang beda dengan dunia para pendekar yang penuh
dengan tata kerama dan sopan santun. Mereka yang terbiasa berdekatan
dengan orang-orang kasar memang sering berbicara lebih blak-blakan. Tapi
ucapan seperti ini tidak membuat panas hati Hoan bin Kwi Ong, karena memang
ucapan itu banyak benarnya. Dan iapun tahu belaka kalau dulu sumoy-nya
pernah ada hati sama dirinya.
Adapun Cu Hoa, ia menjadi terkejut sekali mendengar disebutnya nama-nama
ini, waktu masih muda ia hanya mengenal namanya saja, bahwa gurunya masih
memiliki seorang susiok kiranya inilah orangnya yang datang. Dengan agak
berdebar-debar ia menyampaikan juga ucapan selamat datang sambil
membungkuk, sedangkan semua anak murid langsung berlutut, "Taecu Cu Hoa
mengaturkan ucapan selamat datang kepada yang mulia susiokcouw, semoga
susiokcouw selalu panjang umur!"
"Benarkah kau pimpinan baru Hek in Pang, maka Ciok Seng, dan adik-adiknya?"
tanya Pek Houw sambil mengirimkan serangkum pukulan dari telapak
tangannya. Serangkum angin pukulan menghantam Cu Hoa, ia dapat merasakan desakan
tenaga yang sangat hebat sehingga membuat tubuhnya terhuyung. Untung di
belakangnya Hoan bin Kwi Ong cepat memberi bantuan, sehingga ia tidak
terdorong lebih jauh.
"Susiokcouw, suhu Hek in Loco telah meninggal karena sakit, sedangkan susiok-susiok yang lain sudah lama meninggal karena permusuhan dengan Yu Liang
Pay, jika susiokcouw ingin memberikan petunjuk bagi taecu, taecu akan
melaksanakan petunjuk susiokcouw," jawab Cu Hoa.
"Ah kau mengecewakan jadi pangcu dari Hek in Pang, coba kalau Houw nio
sudah sembuh ingin sekali aku melihat bagaimana kemampuan kalian. Eh Ce
Ting, sebagai orang luar, apakah hubunganmu dengan peristiwa ini?" dengan
lantang Pek Houw langsung saja bertanya blak-blakan tanpa tedeng aling-aling.
Hoan bin Kwi Ong tersenyum saja melihat sodokan pertanyaan seperti ini, ia
sudah hafal sekali tabiat dari kakek kate ini.
"He..he..he....Pek Houw sicu kulihat semakin tua kau semakin gagah, tentu saja sebagai tamu aku tidak berani turut campur masalah tuan rumah, tapi harap kau ketahui sekarang Cu Hoa ini menjadi muridku, jadi aku tidak bisa dikatakan lagi sebagai orang luar, meskipun aku hadir di sini sebagai tamu," jawab Hoan bin Kwi Ong tenang, dan bergaya orang sekolahan. Memang kontras sekali dengan
bentuk tubuh dan wajahnya, gaya bicara Hoan bin Kwi Ong sangat halus. Pada
masa mudanya, ia memang seorang perias, sehingga lebih sering berhubungan
dengan wanita yang jadi pelanggannya. Aneh memang meski tampangnya
seperti genderuwo tapi lagaknya yang lembut sangat menawan para pelanggan.
"Huh, sudah jelas belangnya! Kaulah dalang semua peristiwa ini, hayo aku ingin sekali mencoba kelihaianmu merias wajahku, tunjukkan padaku kelihaianmu,"
seru Pek Houw sambil ancang-ancang mulai serangan.
"Ahh kiranya Pek Houw sicu masih berjiwa muda, baiklah pantang bagi Hoan bin Kwi Ong untuk menolak tantangan. Tapi tunggu dulu, apa kira-kira taruhannya, sicu?"
Bab 11. Terbongkarnya lembah delapan rembulan
"Hemm..benar...tidak seru kalau tanpa taruhan, hayo gini saja kalau kau kalah kau harus ceritakan semua peristiwa yang terjadi dan bagaimana sikapku nanti tergantung dari jawabanmu," jawab Pek Houw.
"Bagaimana kalau aku yang menang sicu?"
"Ah tidak mungkin! Tapi hmmm...apa maumu" Apakah aku harus hengkang dari
sini, okey tak masalah, kalah lawan Hoan bin Kwi ong cukup wajar jika
memaksaku pergi dari sini."
"Ah kau keliru sicu, aku justru ingin mengajakmu kerjasama, jadi bisa kita
sepakati taruhannya?"
"Kerjasama" Dalam hal apa?"
"Dalam banyak hal, tapi yang paling penting dalam mewujudkan cita-cita besar."
"Ah sesukamulah, kalau aku kalah sudah sepantasnya menuruti kemauan yang
menang, hayo kamu pake senjata apa tangan kosong?"
"Hmmm, tentu saja aku akan disebut pengecut kalau tidak berani menghadapi
pukulan awan hitam, mari sicu tidak perlu sungkan, aku akan lawan pukulanmu
dengan ilmu-ilmuku yang lama maupun yang baru.
"Hayo kau keluarkanlah tapak kelabang andalan perguruan kalian atau tapak
yang lainnya."
Serangan demi seranganpun mulai dilancarkan kedua belah pihak. Luar biasa
sekali hasil dari gempuran-gempuran awal. Lantai yang mereka injakpun sudah
melesak ke dalam. Dari tangan Pek Houw keluar asap hitam yang sangat tebal.
Pukulan demi pukulan yang dilancarkan juga membawa kesiuran angin yang
berhawa dingin menusuk tulang. Sebaliknya Hoan bin Kwi Ong juga melayani
serangan lawan dengan mengeluarkan ilmu-ilmu lama seperti pukulan tapak
kelabang khas perguruan mereka. Telapak tangannya berubah memerah seperti
bara, digabungkan dengan ilmu barunya yang dinamai Hwee kauw sin kun (silat
sakti kera api). Dengan gabungan kedua ilmu ini, keganasan sifat pukulan tapak kelabang menjadi lebih buas lagi. Tangannya bergerak cepat, bahkan kadang-kadang bisa mulur ke depan sehingga membuat gerakan Pek Houw yang kate
seperti hanya berputar-putar di tempat. Para penontonpun yang melihat mulai
pening mengikuti gerakan yang sangat cepat itu. Arena pertarungan juga
menjadi makin lebar. Namun meskipun bertubuh kate orang keliru kalau menilai Pek Houw lebih lemah, karena bagi orang yang telah menguasai ilmu secara
sempurna jarak tetap bisa diatasi dengan kecepatan. Dengan gerakan memutari
ia sering bisa mencuri setengah atau satu jurus pukulan.
"Ce Ting coba tahan pukulanku ini, awan hitam membongkar gerbang!
Hiaaatt........!
"Pek Houw, awas serangan balikku kera api membakar langit! Hiaatt......!
Pek Houw bergerak bagai terbang ke depan. Kedua tapak tangannya terbuka,
asap hitam yang keluar dari kedua lengannya seolah membungkus tubuhnya,
hingga seakan-akan awan sungguhan yang bergerak. Hawa dingin yang keluar
dari tapak tangan itu sungguh menggiriskan. Sedangkan Kwi Ong menggerakkan
kedua tangannya seperti kitiran, lengannya memerah, dari tapak tangannya
keluar serangkum hawa yang panas luar biasa. Dua hawa pukulan yang
mengandung hawa sakti yang berlawanan sifat bertemu di udara, seperti awan


Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hitam menerpa baling-baling berwarna merah.
"Cessssssss......bluarrrr!"
Terdengar bunyi mirip logam panas yang dicelup ke dalam air es, diringi suara benturan keras. Pukulan dari tangan Pek Houw yang bersifat im bertemu dengan pukulan Kwi Ong yang bersifat panas, akibatnya Pek Houw terdorong satu
langkah ke belakang, sedangkan Kwi Ong terpental lima langkah. Dadanya
terasa agak nyeri, meskipun terluka namun tidak terlalu parah.
"He he heh...Hek in Pek Houw makin tua makin gagah, aku mengaku
menyerah."
"Hmmm kalau bukan sobat lama tentu aku tidak bermurah kepadamu Kwi Ong,
hayo sesuai janjimu coba ceritakan apa ....!"
Belum selesai Pek Houw bicara sekonyong-konyong terdengat teriakan Sim Beng
Tosu, "Hei i kemana anak gadis itu" Celaka ia melarikan diri."
Suasana mencari riuh rendah ketika Sim Beng Tosu berusaha mencari kesanakemari. Akhirnya Cu Hoa dengan nada membentak menyuruh beberapa anak
buahnya membantu mencari anak gadis yang telah melarikan diri. Pek Houw,
Kwi Ong dan Kwi bo hanya mengomel dan menyumpah serapah atas kebodohon
tosu cabul itu.
Ketika Sim Beng tiba diluar, terlihat ada tiga anak buah awan hitam yang
tergeletak pingsan di halaman belakang. Makin yakinlah ia Liu Siang telah
berhasil melarikan diri. Dan memang dugaan Sim Beng Tosu tidaklah keliru.
Pada saat ia asik mengikuti pertandingan, dengan perlahan-lahan, Liu Siang bisa meloloskan diri. Sebenarnya sudah sejak diturunkan dari pondongan totokannya telah terbebaskan, namun ia bersabar menanti saat-saat yang paling tepat.
Maka ketika Sim Beng Tosu terlena, ia dengan merangkak berhasil keluar dari
kerumunan penonton dan segera melarikan diri menuju ke arah belakang. Di
luar ia dihadang oleh tiga orang penjaga, namun kalau hanya menghadapi
kroco-kroco begitu dengan enteng Liu Siang berhasil memberikan hadiah bogem
mentah kepada ketiganya, hingga semua roboh tak sadarkan diri. Liu Siang terus melarikan diri menjauhi bukit itu. Ia berusaha lari ke arah utara, namun karena bingung menentukan arah yang tepat ia justru lari ke arah barat laut.
Karena tawanannya lolos maka Pek Houw menyuruh Cu Hoa untuk menyebarkan
informasi mengenai lembah delapan rembulan, tempat persembunyian orangorang tibet yang berjuluk burung hantu dari gunung salju besar. Gosip inilah yang akhirnya tersebar ke seantero dunia persilatan hingga terdengar kelompok tengkorak hitam. Pek Houw memang sengaja melakukan itu agar tengkorak
hitam turun gunung, ia memang tahu permusuhan tujuh turunan dua laskar ini.
*** Begitu kelompok ini mendengar berita, langsung saja mereka bergerak menuju
sumber berita, dan setelah memperoleh informasi yang dibutuhkan, segeralah
mereka menyerbu ke lembah.
Beruntung saat itu di lembah empat dari Kiu Tiauw Kwi telah kembali ke markas, dua orang yang baru datang dari negeri salju masing-masing membawa seorang
remaja yang akan mereka didik. Betapa sedih dan gusarnya keempat tetua ini
demi mendengar cerita pengkhianatan di lembah yang menyebabkan lolosnya
tawanan, yang berarti cerita mengenai lembah akan dikenal oleh semua orang
termasuk kelompok tengkorak hitam. Lebih sedih lagi karena Sam Tiauw kini
menjadi orang cacat yang sudah tidak bisa lagi bersilat. Karena keadaan genting It Tiauw memerintahkan Si Tiauw dan Go Tiauw untuk mencari bantuan kepada
nenek besar dari Tai Swat san untuk mencari suhu mereka dan Liu Siang.
Sekalian mereka membawa dua remaja untuk dikembalikan ke asalnya, karena
suasana telah berubah. Adapun It Tiauw, Ji Tiauw, Cit Tiauw dan Pat Tiauw
tetap berdiam di lembah. Keempat kakek ini rata-rata sudah berusia di atas
enam puluh tahun, hanya Pat Tiauw yang bertubuh paling berisi di antara
mereka yang berusia lima puluh lima tahun. Dia pula yang paling khawatir
mendapat serangan musuh.
Waktu itu musim dingin telah tiba, keadaan di lembah benar-benar terasa dingin menusuk tulang. Kabut dari pagi menyelimuti lembah itu. Di depan istana kapur, lima orang pendekar yang namanya pernah harum di negeri salju duduk bersila
mengelilingi api unggun. Mereka sedang mendiskusikan masalah yang sedang
mereka hadapi. "Suheng, apa tidak sebaiknya kita tinggalkan saja lembah, dan mencari suhu?"
tanya Pat Tiauw pada suheng pertamanya.
"Hmmm...aku khawatir ketika suhu datang, lembah dalam keadaan kosong,
bagaimana kalau kemudian lembah diduduki oleh pihak musuh" Sebaiknya kita
disini saja!"
"Benar, kalaupun kalian meninggalkan lembah ini aku tetap akan tinggal di sini,"
timpal Sam Tiauw.
"Bagaimana kalau musuh datang, sedangkan kita disini hanya berlima, itupun
keadaan sam suheng seperti ini" bantah Pat Tiauw.
Belum selesai mereka berdiskusi, sekonyong-konyong terdengar suara ketawa
bergema di lembah. Keempat tetua menjadi terkesiap, dari getaran suara yang
terkirim mereka bisa menduga bahwa musuh yang datang adalah lawan-lawan
yang berat. "Ha..ha...ha..benar kami telah datang!"
Benar saja, dari balik keremangan kabut dari atas tiba-tiba mereka melihat
delapan titik melayang turun ke bawah. Ketika dekat titik itu terlihat yang
berbentuk seperti payung itu membawa delapan orang berjubah hitam. Jubah
mereka berkibar-kibar terkena angin. Begitu kaki mereka menyentuh tanah
tampaklah semuanya bertopeng. Topeng tengkorak berwarna hitam.
"He..he...heh, aku tidak melihat Yung Ci, apakah dia masih bersembunyi di balik selimut. Ayo Yung Ci keluarlah!" seru salah seorang bertopeng itu dengan suara menggelegar.
Sungguh kedatangan musuh besar yang berkekuatan hampir penuh. Delapan
orang adalah jumlah terbesar yang pernah keluar dari markas tengkorak hitam.
It Tiauw dan keempat sutenya benar-benar terperanjat melihat kedatangan
mereka. "Tengkorak hitam...." desis Pat Tiauw dengan wajah pucat. Di antara sembilan burung hantu gunung salju besar memang dia yang paling mudah panik.
Tapi bukan sifat mereka takut menghadapi musuh dalam keadaan
bagaimanapun. Dengan sikap gagah mereka berdiri menyambut kedatangan
musuh-musuh yang siap bertempur.
"Tengkorak hitam! Ketahuilah kami di sini hanya berlima, tak tahu apa maksud kedatangan kalian" Kalian telah mengusir kami dari kampung halaman. Kini kami telah hidup tenang di lembah ini, apakah kalian masih belum puas?"
"Ha..ha..ha...masih perlukah diperdebatkan lagi dendam yang telah berakar
selama tujuh turunan, apakah kalian telah lupa belasan tahun silam kalian telah bunuhi saudara-saudara kami, bahkan sampai sekarangpun suhu belum
kembali!" balas orang yang paling pendek di antara mereka. Dan jika orang
memicingkan mata melihat tulisan di jubah bagian dada kanan, ia akan tahu
tengkorak nomer berapa yang berbicara. Tengkorak hitam adalah laskar yang
berjumlah tiga belas, mula-mula dibentuk oleh Wan Cun Ming, iblis tengkorak
emas. Karena tengkorak emas sudah puluhan tahun lenyap, maka mereka
tinggal dua belas. Pada belasan tahun silam, keduabelas tengkorak hitam
bertanding dengan dua belas ksatria salju. Hasilnya enam dari dua belas
tengkorak hitam tewas, sedangkan dari pihak ksatria salju hanya dua. Sisa enam orang dari tengkorak hitam itupun kemudian ditinggalkan oleh tengkorak nomer satu, atau pimpinan mereka, sehingga mereka tinggal lima. Kelimanya
selanjutnya merekrut anggota baru dan mendidiknya. Kini kekuatan mereka
telah kembali pulih bersebelas, tinggal menunggu ketua mereka dan tengkorak
emas, si iblis. Dengan hanya menyisakan tiga orang lagi di markas, berarti
memang kepergian mereka bukan main-main.
"Hemm...penjajah selalu punya alasan untuk meneror pejuang. Jangan kira kami takut atau akan mundur selangkahpun menghadapi kalian! Jangankan hanya
berdelapan, sekalipun bertiga belas, tak sedikitpun kami gentar!" balas It Tiauw dengan suara tak kalah bergemanya.
"Ha..ha...ha...belasan tahun kalian menyembunyikan ekor, di lembah dingin
seperti ini, masih tak bermalu mengaku pemberani, huh kalau hari ini aku tidak bisa sate kalian semua, biarlah selamanya aku tak kan menginjakkan kaki lagi ke sini."
"Siapa takut menghadapi kroco-kroco seperti kalian, sedangkan suhu kalian aja terbirit-birit meninggalkan gelanggang!" jawab Ji Tiauw.
"Keparat, suhu kami tidak lari, tapi memperdalam kepandaian, awas kelak kalau beliau datang......kawan-kawan bentuk formasi badai meteor!"
Secara teratur empat orang kemudian membentuk formasi setengah lingkaran
dan tiba-tiba empat yang lainnya menaiki pundak kawannya dan langsung
melepaskan puluhan senjata rahasia. Senjata yang dilemparkan memang hanya
sebuah besi pipih berbentuk tengkorak seukuran jempol tangan. Namun di
tangan mereka senjata-senjata itu bisa berubah menjadi hujan badai bintang
jauh, yang merah membara saking panasnya.
"Wuss..wuss...wuss...wuss...wuss...wuss...wuss...wuss...wuss...cring..cring...crin g.. cring..cring...cring.. cring..cring...cring..augh...!"
Puluhan senjata-senjata rahasia meluncur dari tangan keempat tengkorak hitam penyerang yang berada di atas pundah kawannya, bagaikan hujan meteor,
secepat kilat keempat Tiauw Kwi meloloskan pedang dan memutarnya sebagai
bentuk pertahanana. Namun karena saking terpakunya pada serangan pada diri
masing-masing, mereka lupa pada Sam Tiauw yang hanya bisa duduk di kursi,
tiga senjata rahasia yang luput dari kedua sutenya langsung menyelonong
mengenai dirinya, tanpa kuasa menangkisnya, meskipun sebilah pedang ada di
tangan. "Awas lindungi sam sute!" teriak It Tiauw sambil melirik sutenya. Sayang
teriakannya telah terlambat. Tiga buah piauw telah menembusi dada dan
perutnya. Jangankan tubuh manusia, sedangkan pohon maupun batupun
berlubang tertembusi senjata ini. Panas yang ditimbulkan juga menyebabkan
rumput-rumput kering menjadi terbakar.
Kemarahan menyelimuti rona muka It Tiauw, dengan penuh keberanian ia
kemudian nekad melompat tinggi untuk menyerang salah satu dari
penyerangnya. Beberapa butir senjata milik mereka yang sempat di tangkapnya
dilepaskan kembali saat ia terbang. Tiga buah piauwpun meluncur cepat dari
tangannya mengarah ke sosok yang berada di bawah. Serangan balik ini
sungguh tak pernah diduga sebelumnya, sehingga dua orang diantaranya
tertembusi oleh piauw mereka sendiri. Sungguh seperti kata pepatah: senjata
makan tuan! Dua orang yang tertembusi pahanya oleh senjata rahasia jatuh tersungkur,
sehingga sosok yang disungginya ikut kerepotan. Namun mereka tak kalah
sigap. Dengan secepat kilat tengkorak nomer dua telah meloloskan senjata dan menangkis serangan It Tiauw. Selanjutnya terjadilah pertempuran perang
campuh yang sangat hebat. Semuanya menggunakan senjata. Namun berbeda
dengan senjata orang kebanyakan, senjata tengkorak hitam berbentuk seperti
tulang lengan, dengan ujungnya berupa mata tombak.
Enam manusia bertopeng tengkorak mengepung empat orang Tiauw Kwi.
Suasana pertarungan mirip peperangan. Karena dua anggotanya terluka
sehingga tinggal berenam merekapun tidak bisa membentuk pola penyerangan
dalam barisan. Bunyi denting bertemunya logam terdengar sangat nyaring dan
bergema hingga ke desa-desa sekitar, orang-orangpun kemudian menaiki bukit
di sebelah timur lembah untuk melihat apa yang terjadi. Namun karena kabut
mereka tidak bisa melihat apa-apa.
Dari tingkatan kepandaian, empat Tiauw Kwi sebenarnya seimbang dengan
empat dari tengkorak hitam, karena tingkatan empat tengkorak hitam ini urut
dari nomor dua sampai nomor lima, sedangkan empat tenaga tambahan yang
juga memakai topeng adalah anggota baru. It Tiauw sebenarnya sedikit lebih
tinggi kepandaiannya dari tengkorak nomor dua, Ji Tiauw seimbang dengan
tengkorak nomor tiga namun Cit Tiauw dan Pat Tiauw lebih rendah dari si nomor empat dan nomor lima. Belasan tahun yang silam mereka kelihaian orang-orang
tengkorak hitam belumlah seperti sekarang ini. Makanya hal ini sungguh
mengejutkan hati It Tiauw.
Karena di kepung oleh enam orang, perlahan-lahan kedudukan mereka menjadi
terdesak. Lingkaran pedang mereka semakin lama semakin sempit. Dari pihak
lawanpun selain memainkan senjata mereka juga mengirimkan ilmu pukulan
yang mengandung hawa tenaga yang sangat dasyat. Hawa panas yang keluar
telah membakar semak-semak dan bunga di sekitar mereka. Namun sebisa
mungkin mereka tetap memberikan perlawanan yang kokoh. Dengan
menggunakan ilmu pedang cahaya salju (Swat kong kiam hoat) yang memang
memiliki daya tahan sangat luar biasa, sampai puluhan jurus mereka mampu
bertahan. Ilmu pedang ini memang cocok untuk pertahanan. Swat kong kiam
hoat aslinya diciptakan oleh Lau Cin Shan, terdiri dari lima puluh jurus, namun jurus yang diajarkan kepada istrinya hanya sampai ke tiga puluh. Dua puluh
jurus sisanya baru selesai dituliskan pada saat-saat istirahat dalam perang. Pada saat dalam perjalanan menuju ke rumah isterinya, tiba-tiba berkelebat
kekhawatiran bahwa ilmunya kelak akan disalah gunakan orang. Itulah sebabnya maka ia menyimpan dua puluh jurus terakhir di suatu tempat. Padahal jika saja Yung Ci mendapatkan jurus-jurus terakhir itu, seorang diripun ia sanggup
mengalahkan kekuatan dua belas tengkorak hitam saat ini.
Tiba-tiba It Tiauw merubah gerakan pedang, tubuhnya seolah-olah rubuh ke
depan dengan posisi telentang. Dalam posisi miring ia mengirimkan dua kali
tusukan ke kanan dan ke kiri, sedangkan tangannya sekuat tenaga melancarkan
pukulan tapak es ke salah satu kaki penyerangnya.
"Haiyaa.....aduhhh!" terdengar teriakan dari salah seorang penyerangnya yang kakinya telah retak terkena pukulan. Namun sebaliknya posisi It Tiauw yang
rebah juga sangat rawan serangan tendangan lawan. Akibatnya "Bresss!"
sebuah tendangan mengenai lengan kirinya. Namun secepat kilat pedang di
tangan kanannya meluncur kedepan, menyerempet dada lawan. Serangan ini
membuat lubang terbuka, sehingga ketiga sutenya bisa terbebas dari kurungan.
Secepat kilat mereka kemudian melompat sambil menarik tangan It Tiauw. Pada
saat itu, It Tiauw mendengar suara lembut dari kejauhan, "It Tiauw bawalah
sute-sutemu lari dari lembah ini, nenek besarmu telah bertemu dua orang
sutemu dan menolong Liu Siang. Aku tunggu di tepi sungai."
Meskipun sudah lama tidak pernah mendengar suara ini, namun It Tiauw masih
belum lupa siapa pengirimnya. Dengan segera iapun memerintahkan sutenya
untuk lari ke dalam istana. Dengan nekat ketiga sutenya melancarkan serangan-serangan dasyat ke arah kepungan lawan. Serangan yang dilakukan
menyebabkan mereka melupakan pertahanan sehingga satu dua tusukanpun
mengenai tubuh mereka. Namun beruntung, melemahnya kepungan
menyebabkan mereka bisa lolos dan lari ke dalam istana. Tak lupa It Tiauw
meskipun dalam keadaan kepayahan masih sempat menyambar tubuh Sam
Tiauw. Ia bertekad untuk menyimpan mayat sutenya di dalam istana.
Ketika empat orang tengkorak hitam hendak mengejar, pimpinan mereka
melarang, "Jangan kejar!"
Namun terlambat, dua orang sudah keburu masuk istana. Dan tepat di ruang
tamu tiba-tiba saja lantai yang mereka injak terbuka, dan mereka terjatuh ke dalam penjara bawah tanah.
"Hei dasar tolol! Berbahaya sekali memasuki istana yang telah berisi jebakan!"
"Suheng, dua orang sute terjatuh! Bagaimana kita dapat menolongnya?"
"Sudah kukatakan jangan kejar, kalian tetap kejar juga. Kita tunggu saja dulu sebentar!"
Tengkorak nomor dua kemudian duduk bersila, dengan sikap mematung. Ia
mengerahkan segenap kemampuan pendengarannya yang memang terlatih baik.
Betapa terkejutnya ia demi menyadari ada gerakan-gerakan halus di bawah.
"Hmm apakah mereka lari keluar lewat lorong rahasia?" bisik tengkorak nomor
dua. Memang benar dugaan tengkorak nomor dua ini. Melalui lorong yang
menghubungkan mereka ke sungai, keempat Tiauw Kwi ini berjalan perlahan
menuju ke arah sungai. Begitu sampai di ujung lorong itu mereka kemudian
menggeser batu penutup lorong rahasia. Lorong inilah yang menghubungkan
istana dengan sungai. Di sungai kecil yang airnya deras itu terdapat tiang
pelontar. Dari dalam istana mereka berempat sudah mempersiapkan keranjang.
Sesampainya di mulut lorong, dengan bergegas mereka mengambil tongkat
pelontar itu, memasang keranjang dan menaikinya. Sebenarnya keranjang itu
hanya mampu menampung dua orang, namun karena keterpaksaan mereka
mengisinya berempat. Karena tertindas suara gemericik air sungai kegiatan
mereka tak terdengan oleh tengkorak nomor dua. Namun jangan dikira dia
kehilangan kewaspadaan. Mata yang mencorong dibalik topeng itu bergerak liar ke sana ke mari. Tangannya sudah mengepal keping-keping senjata rahasia.
Maka begitu pelontar itu bergerak, dengan kecepatan seperti iblis, tangan
tengkorak nomor dua mengibaskan pelor-pelor senjata rahasia.
"Wusss....wusss....wuss.......cring....cring.....cepp.....aaachh....!
Lima keping senjata rahasia berbentuk tengkorak melaju dengan kecepatan
yang luar biasa, dua diantaranya berhasil ditangkis oleh pedang Ji Tiauw, dua lagi dapat mereka hindari, namun satu keping berhasil mengenai pundak kiri Cit Tiauw. Luka yang ditimbulkan sebenarnya tidak terlalu membahayakan,
meskipun terkenal mengandung racun maut, tetapi bagian lengan tidaklah
terlalu berbahaya. Namun gerakan refleks tangan kanan menutup pundak kiri
membuat keranjang kecil yang penuh sesak itu oleng, akibatnya ia terlempar
dari keranjang. Pat Tiauw yang secepat kilat menjulurkan tangannya meskipun
berhasil menangkap baju, namun tiba-tiba lengannya kesemutan dan akhirnya
iapun melepas Cit Tiauw.
"Suheeeenggg....."
"Selamat tinggal saudaraku, jaga diri kalian baik-baik!" dalam keadaan melayang di udara Cit Tiauw masih sempat mengucapkan kata perpisahan yang
menggores di hati mereka, sehingga Pat Tiauw harus meneteskan air mata.
Dalam waktu sekejab ujung tiang pelontar itupun sudah membentur dahan
pohon yang cukup tinggi dan tepat pada saat terlontar, ketiganyapun
menjejakkan kaki mereka mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan
tubuh ginkang. Jarak antara pohon yang menjadi as pelontar dengan ujung
dinding sebenarnya ada puluhan tombak, namun bagi mereka yang memiliki
kemampuan ginkang tingkat tinggi, masih mampu melayang ke arah semak di
sekitar air terjun.
"Wesssss..." ketiga orang itupun terlontar ke arah barat ke dekat air terjun.
Sayang karena oleng dan kelebihan beban, posisi lontaran mereka tidak tepat.
Mestinya mereka dapat mendarat dengan aman di semak-semak sebelah kiri air
terjun, namun karena oleng posisinya justru tepat ke arah air terjun. Dalam
posisi masih melayang di udara, begitu menyadari posisi mereka tidak akan
sampai di ujung tebing, It Tiauw mendorongkan serangkum tenaga sekuatnya
ke arah dua orang sutenya. Ji Tiauw dan Pat Tiauwpun terlontar ke atas, dan
mendarat dengan selamat di atas rerumputan di atas tebing, namun sebagai
akibat dari gerakan ini tubuh It Tiauw meluncur ke arah air terjun dan terjatuh ke bawah bersama kucuran air. Tubuhnyapun ikut terjatuh ke dalam danau kecil di bawah air terjum.
"It suheeeeng......" teriakan Pat Tiauw dari atas tebing bergema ke seluruh
lembah. Seruan yang sungguh mengharukan, karena seakan-akan perpisahan itu
terjadi untuk selama-lamanya. Dengan sesenggukan Pat Tiauw tidak bisa
menutup-tutupi kesedihannya. Bagaimana dia tidak merasa sedih kalau kematian suhengnya adalah demi menyelamatkan jiwanya.
"Tidak perlu ditangisi, kelahiran, jodoh dan kematian sudah tercatat dalam
suratan takdir, jika Thian belum menghendaki saudara-saudara mati, mautpun
masih enggan menjemputnya!" tiba-tiba terdengar bisikan lembut di telinga
mereka, dan sesaat kemudian dari balik semak-semak bermunculan Si Tiauw, Go
Tiauw, Liu Siang dan seorang nenek berwajah teduh menyunggingkan senyum
yang ramah luar biasa. matanya bening teduh, wajahnya agak bulat, meskipun
sudah berumur lebih dari tujuh puluh tahun, namun masih terlihat bugar.
"Nenek besar?"
"Lau Ceng, aku yakin Lau Keng bisa menjaga diri. Sekarang sebaiknya kita cegat saja mereka di jalan keluar yang biasa kalian lalui, ayo tunjukkan kepadaku
tempat itu!" kata nenek itu dengan penuh semangat. Maka merekapun bergegas
menuju ke tepi hutan rawa bangkai.
Siapakah nenek yang disebut nenek besar itu" Nenek ini bernama Wei Sian,


Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

datuk negeri salju, yang juga suci dari Yung Ci. Berbeda dengan Yung Ci, nenek Wei Sian tidak mau meninggalkan kampung halamannya. Meskipun di sana ia
harus menelan mentah penghinaan yang dialami oleh warganya. Hanya di
kampungnya saja wilayah yang cukup aman dari gangguan laskar negari. Laskar
negari adalah laskar penjajah bentukan Sung, sebenarnya laskar ini adalah
bekas prajurit masa 5 dinasti dan 10 kerajaan. Karena di wilayah Sung mereka sering berulah maka mereka kemudian disatukan oleh kaisar Sung waktu itu
yaitu Sung Tai Cu, dan ditugaskan di wilayah-wilayah sempadan, termasuk di
negeri salju. Laskar ini kemudian makin menggila karena mendapat dukungan
dari laskar tengkorak hitam. Karena ia wanita, maka ia tidak terlalu khawatir karena ia bukan target dari laskar tengkorak hitam. Ketika ia dihubungi oleh Si Tiauw dan Go Tiauw, ia sudah merasakan ada hal yang tidak beres di tempat
persembunyian Yung Ci dan murid-muridnya. Makanya begitu diminta iapun
segera berangkat mengikuti mereka. Tujuan mereka yang pertama-tama adalah
mencari Liu Siang. Beruntung mereka karena nenek yang masih tampak
bersemangat itu, memiliki kepekaan bathin yang bahkan melampaui kemampuan
sutenya. Berbeda dengan Yung Ci dulu, nenek Wei Sian justru mengajak Si
Tiauw dan Go Tiauw melakukan perjalanan dengan berkuda melalui kota-kota.
Dan benar saja di pinggiran kota Chon King, mereka bisa menemukan Liu Siang, pada saat yang tepat. Saat itu Liu Siang sedang bertempur dengan beberapa
pengemis bersabuk hitam. Bagimanakah Liu Siang sampai bisa di pinggiran kota itu dan bertempur dengan pengemis sabuk hitam. Marilah kita ikuti perjalanan Liu Siang melarikan diri dari puncak awan hitam.
*** Setelah bisa meloloskan diri dari puncak awan hitam Liu Siang berusaha lari ke
arah utara, namun karena bingung menentukan arah yang tepat ia justru lari ke arah barat laut. Suatu ketika ia bertemu dengan rombongan petani yang akan
menjual hasil panennya ke kota, maka di kutilah rombongan itu. Waktu ia
bertanya-tanya ke mereka, tak satupun yang mengenal kampung Lim Kee Cung,
bahkan kota Hong Ji juga tidak mereka kenal. Maklum sebagai petani mereka
jarang bepergian dan awam terhadap nama-nama kota. Akhirnya Liu Siang
menerima saran mereka, agar ia mengikuti rombongan menuju ke kota Chon
King. Perjalanan yang mereka tempuh tiga hari. Ketika sampai di kota ini,
bingunglah Liu Siang dengan suasana kota yang sangat ramai. Jalanan di kota
sangat lebar, orang berlalu lalang dengan bergegas tak mempedulikan orang
lain. Banyak gedung-gedung yang besar berjejeran di sepanjang jalanan yang
besar. Ada pula taman-taman kota yang sangat indah. Tanpa bekal uang
sepeserpun bagaimana ia dapat bertahan hidup di kota. Tiba-tiba ada kakek tua yang berpakaian sederhana mengulungkan sekeping uang kepadanya.
"Eh, apa ini?" kata Liu Siang, namun ia cepat sadar dengan keadaannya,
badannya dekil sekali, bajunya compang-camping, bahkan mungkin lebih kumal
dari yang dipakai pengemis di kota itu. "Pasti kakek itu menyangka aku seorang pengemis" pikirnya. "Ah tidak apa-apa, biarlah untuk sementara aku pura-pura aja jadi pengemis, biar untuk beberapa waktu aku bisa bertahan di sini. Benar saja, ternyata menjadi pengemis di kota ini sangat enak, baru sebentar saja, ia sudah dapat mengumpulkan beberapa keping uang. Namun hal yang aneh, tidak
semua orang menderma dengan iklas, banyak juga diantaranya yang
mengeluarkan uang dengan penuh keterpaksaan, sambil menatap Liu Siang
dengan pandangan penuh kebencian. Liu Siang tak tahu mengapa demikian.
Baru ia sedikit menyadari ketika ia bertemu dengan pengemis-pengemis lain
yang semuanya menggunakan satu penanda, sabuk berwarna hitam. Suatu pagi
ia mendengar suara ribut-ribut di sebuah kedai. Liu Siangpun tertarik untuk
mengikuti apa yang terjadi. Ia kemudian mengawasi kedai dari kejauhan. Di
warung makan itu, ia melihat ada dua lelaki berpakaian pengemis berumur tiga puluhan sedang adu mulut dengan pemilik warung.
"Heh, A Sam, berani kau ya sekarang melawan kami! Apa yang kamu andalkan"
Keponakanmu yang baru pulang dari sekolah silat?" bentak pengemis pertama.
Lelaki pemilik warung yang bernama A Sam itu terlihat ketakutan, tubuh yang
gembul itu bergoyang-goyang gemetaran di bentak-bentak oleh dua orang
pengemis. Namun ia tetap membantah meskipun dengan terbata-bata, "Bu
buukan tuan, hari ini masih pagi, aku belum dapat untung sedikitpun, apa yang harus kukasihkan pada kalian!"
"Cuh, pemilik warung pelit! Daging tubuhmu saja segede itu, sini biar aku
keratnya sekilo aja!" jengek pengemis kedua.
Atau oooo... aku tahu sejak datang jembel buntung busuk itu kau jadi berani
sama kami. Baik, kau lihat saja, aku akan seret jembel itu ke sini!" timpal
pengemis pertama.
"Bug...bug....Aduhh!" dua buah bogem mentah bersarang di perut A Sam. Iapun
mengaduh kesakitan.
Liu Siang mengikuti percakapan mereka dengan hati penasaran sekali, mengapa
pengemis meminta sumbangan dengan cara memaksa, persis perbuatan
preman. Apakah semua pengemis di kota itu telah menjadi preman" "Aku harus
beri pelajaran pada mereka!" pikir Liu Siang. Namun sebelum ia bertindak
terlintas di benaknya untuk menyelidiki dulu keadaan pengemis sabuk hitam ini.
"Aku ikuti saja mereka! Aku ingin tahu apa yang akan mereka kerjakan."
Ketika pengemis itu berjalan melewati depan gedung tempat sembunyi Liu
Siang, di bawah sebuah pohon tiba-tiba salah seorang mengaduh, "Tuk...aduhh!
Apa ini, kenapa tiba-tiba ada dahan disini!" teriaknya sambil meringis
memegangi kakinya yang terantuk sebuah dahan. Terantuk sebenarnya perkara
sepele bagi pesilat, namun karena tidak mengerahkan lweekang karena tidak
menyadari, pengemis itupun kesakitan. Kemudian ditendangnya dahan itu keraskeras ke arah pohon sehingga menjadi hancur berkeping-keping. Liu Siang
hanya tersenyum-senyum nakal penuh rasa kemenangan. "Sukurin, tahu rasa
kamu sekarang!" katanya dalam hati. Rupanya tanpa sepengetahuan mereka liu
Siang memasang benang pada dahan itu, dan dialah yang menarik benangnya,
tanpa diketahui oleh kedua pengemis itu.
Dua orang pengmis itu kemudian pergi ke sebuah gedung tua di pinggiran kota, gedung itu dari luar tampak sepi. Liu Siang mengawasi dari atas sebuah pohon yang sangat rindang. Setelah sepeminuman teh ia melihat dua orang pengemis
itu keluar lagi bersama lima pengemis lain yang lebih tua dan dandanannya lebih keren. Gayanya juga lebih berwibawa. Mereka kemudian berjalan bergegas
menuju ke sebuah tempat. Rupaya yang dituju adalah sebuah jembatan.
Jembatan itu termasuk jembatan yang cukup besar karena sungai yang mengalir
di bawahnya adalah sungai Yang tse kiang. Pada masa itu di kota Chon King
baru ada dua jembatan yang dibangun di atas sungai Yang tse. Dan jembatan
yang mereka tuju adalah salah satu dari jembatan itu. Mereka tidak melintas
jembatan namun justru menuruninya. Dari kejauhan Liu Siang melihat mereka
bertujuh mendatangi seorang jembel tua yang sedang duduk terpekur di bawah
jembatan. Jembel itu mengenakan caping yang sudah banyak berlubang.
Kepalanya terbenam di antara kedua lututnya. Tangannya memegang sebuah
tongkat butut. Ketika ketujuh orang pengemis sabuk hitam mendatanginya ia
mendongakkan kepala. Mereka datang-datang langsung menyemburkan
umpatan-umpatan kotor sedangkan jembel berpakaian kumal itu cengar-cengir
saja. Liu Siang tidak bisa mendengar apa perkataan mereka, karena terlalu jauh.
Tapi, tahu-tahu mereka terlibat sebuah perkelahian. Perkelahian satu dilawan tujuh memang tidak imbang, tapi yang membuat Liu Siang tertarik adalah
gerakan jembel yang ternyata berlengan tunggal, sangat hebat. Tongkat di
tangannya bergerak sangat lincah mengikuti pola jurus-jurus yang teratur.
Tongkat itu bergerak berputaran seperti kitiran, ketujuh lawannyapun dibuat
kerepotan. Namun karena mereka bergerak secara keroyokan, sedikit demi
sedikit mereka kemudian mampu menekan si jembel berlengan tunggal. Setelah
lima puluh jurus lebih, terlihat si jembel tua mulai kepayahan. Beberapa kali tongkat lawan mengenai tubuhnya. Pada saat keadaannya sudah sangat kritis,
datanglah bantuan. Sebuah ranting menangkis serangan tongkat lawan, dan
terus menyerang mengacaukan barisan penyerang. Kiranya yang datang adalah
seorang gadis muda berpakaian compang-camping. Begitu datang ia langsung
berteriak lantang, "Perampok-perampok tak tahu diri! Rasakan ini derma dari
nonamu!" Ranting di tangan Liu Siang digerakkan dengan cepat menggunakan jurus-jurus
ilmu pedang cahaya salju. Sebenarnya ilmu ini cocok dipakai menggunakan
pedang, namun senjata lain semisal tongkat juga bisa digerakkan menurut ilmu ini, tentu saja dengan kembangan-kembangan yang menyesuaiakan bentuk
tongkat. Gerakan ketujuh pengemis menjadi kacau balau, beberapa bahkan kemudian
mengaduh-aduh kesakitan karena tulang keringnya kena pukulan. Dua orang
bahkan sudah tertotok tak sanggup bergerak. Liu Siang menyerang mereka
dengan seenaknya, ketujuh pengemis itu tentu saja bukan lawannya. Pengemis
yang berkumis tebal yang menjadi pimpinan rombongan kemudian berteriak,
"Nona kecil, katakan siapa namamu, kenapa engkau berani-beraninya
mencampuri urusan kelompok pengemis sabuk hitam!"
Ia mengira nona itu akan lari terbirit-birit mendengan disebutnya nama
pengemis sabuk hitam, tapi siapa sangka dengan nada mencibir si gadis kecil itu justru mengejek mereka "Kalian ini perampok muka tembok, mengaku-aku
pengemis, hari ini nonamu bersedia mengampuni jiwa anjingmu, tapi lain kali, awas. Jangan salahkan aku Sin Tung Bi Liu (Liu cantik bertongkat sakti) kalau menurunkan tangan keras!" bentaknya sambil menusukkan tongkat ke ulu hati
pengemis berkumis tebal itu. Serangan tongkat bisa dihindari tapi pukulan
susulan tangan kirinya yang mengandung hawa dingin tak kuasa ditangkis.
"Desss.....! Ayaaaa...."
Akibatnya lawan terdorong sampai dua tombak, namun tidak terjatuh, karena
Liu Siang hanya menggunakan setengah bagian tenaganya.
"Nona Sin Tung Bi Liu, kali ini kami mengalah, tapi tunggu saja pembalasan
kami!" katanya penuh rasa gusar.
"Paman kau tidak apa-apa?" tanya Liu Siang mendekati jembel tua itu. Orang itu penuh berewok, rambutnya yang sebagian besar telah memutih panjang terurai
sampai diatas pundak, bajunya compang-camping tak keruan hingga lebih mirip
orang gila. Tangan kirinya buntung. Umurnya sulit ditaksir, tapi dari kerut
wajahnya jelas ia sudah kakek-kakek. Ia hanya nyengir saja menunjukkan
giginya yang sebagian sudah ompong.
"Anak baik...anak baik......pergilah jangan mencari perkara di sini!" ujarnya.
Meskipun bekas pukulan di tangannya terlihat memar, tapi sepertinya tidak
dirasakan. "Kek, aku tahu engkau dimusuhi oleh mereka, jumlah mereka pasti banyak
sekali, sebaiknya engkau juga pergi dari sini kek!" bujuk Liu Siang. Kini ia ganti penggilan menjadi kek, karena ternyata jembel itu sudah tua.
"Ah biarlah, aku disini saja, aku tak peduli mereka mau berbuat apa, aku sudah tak punya apa-apa lagi yang perlu kukhawatirkan."
"Kalau kakek tidak pergi aku juga tak mau pergi!"
"Eh kenapa begitu!"
"Karena aku mengkhawatirkan keselamatan kakek!"
"Tapi aku tak kenal kamu dan kau tak kenal aku, kenapa kau khawatirkan aku?"
"Sekarang engkau mengenalku Sin Tung Bi Liu, dan aku mengenalmu It Jiu
Lokay!" "It Jiu Lokay....nama yang bagus.....nama yang bagus, horee.....!" kata kakek itu sambil berjingkrak-jingkrak. Liu Siang memandang dengan tatap heran. Kakek
ini kadang bicara seperti orang bia sa, kadang seperti orang tak waras.
"Dari mana asal kakek" Apakah kakek asli orang sini?"
"Aku" Siapa aku, dari mana aku, akupun tak tahu, perlukah itu?"
Kakek itu kemudian bergumam seorang diri, dengan kata-kata yang sulit
dimengerti. Liu Siangpun menggerakkan pundaknya ke atas, dan pergi
meninggalkan kakek jembel itu. Belum sampai sepuluh tombak dari jembatan, di sebuah lapang rumput, empat pengemis telah menantinya. Salah seorang
dikenalnya sebagai pengemis kumis tebal yang barusan mengeroyok jembel
lengan satu. Yang tiga lagi berumur di atas lima puluhan. Wajahnya lebih
berwibawa dibandingkan yang sebelumnya.
"Susiok, itulah nona yang membantu jembel lengan buntung," lapor pengemis
kumis tebal. Ketika pengemis itu memandang heran, tak disangka bahwa nona
yang bisa mengalahkan tujuh pengemis tingkat dua hanyalah seorang gadis
dekil berbaju compang-camping.
"Nona siapakah, dan dari perguruan mana, jangan sampai kami kesalahan
tangan memusuhi orang muda!" tanya pengemis yang paling tua berjenggot
putih dengan nada merendahkan.
"Huh, pengemis tua, aku berjuluk Sin Tung Bi Liu, aku tidak membawa-bawa
nama suhuku, aku hanya membela orang tua lemah dari keroyakan anak buah
kalian. Tak tahu kalau memang perkumpulan pengemis sabuk hitam adalah
perkumpulan pengecut yang beraninya main keroyokan," balas Liu Siang dengan
nada mengejek tak mau kalah.
Wajah ketiga pengemis tua itu seketika berubah memerah, tanda amarah sudah
menguasai hati mereka. Tak mereka nyana ada seorang gadis muda berani
menghina mereka, di wilayah mereka sendiri. "Anak setan! Siapapun dirimu aku bersumpah akan merobek mulut busukmu!" bentak pengemis yang berdiri di
samping kiri pengemis tua berjenggot putih. Secepat kilat ia mengirimkan
pukulan jarak jauh.
Bab 12. Penyelamatan Liu Siang
Meski jarak antaranya dengan nona baju kumal itu ada lima tombak, tapi kalau terkena pohon berukuran tubuh manusiapun akan roboh terhempas. Tapi siapa
kira nona itu berani memapaki pukulan jarak jauhnya dengan tangkisan yang tak kalah kuatnya.
"Bresss"
Hawa tangkisan itu bahkan masih terasa sampai membuat rambut keempat
pengemis itu berkibar.
"Hmmm kiranya kau ada sedikit kepandaian hingga berani menghadapi kami,
baiklah jangan salahkan Chon King Sam Sinkay kalau hari ini terpaksa kami
turunkan tangan kejam padamu! Kepung!" perintah pengemis jenggot putih.
Dengan gerakan gesit ketiga pengemis sakti itu mengelilingi Liu Siang. Tongkat di tangan mereka bergantian bergerak menyerang secara teratur. Liu Siang
masih terlalu muda dan baru saja terjun di dunia ramai sehingga tidak terlalu paham kalau mereka menggunakan gerakan-gerakan teratur dari sam-kak-tin
(Barisan Segi Tiga) sehingga mereka itu bergerak saling bantu, seolah-olah tiga pengemis lihai itu dikendalikan oleh sebuah pikiran dan perasaan.
Setiap ia menangkis satu pukulan, belum sempat ia menggerakkan tangan untuk
membalas serangan, sudah datang serangan susulan secara bertubi-tubi.
Mulailah ia menggerakkan ranting di tangannya dengan gerakan cepat sekali. Liu Siang mulai terdesak. Terpaksa gadis muda ini mengerahkan seluruh
kepandaiannya untuk menjaga diri. Hal yang mengherankan tiga pengemis tua
ini, sampai sepuluh jurus mereka masih belum bisa mengenali gerakan tongkat
Liu Siang. Yang mereka tahu hanyalah bahwa gerakan tongkat Liu Siang berasal dari barat. Menurut penilaian, kalau melawan salah seorang dari mereka ia tidak akan kalah. Tapi karena mereka langsung maju bersamaan maka kehebatan
mereka menjadi berlipat-lipat. Keroyokan mereka benar-benar teratur, sehingga Liu Siang menjadi kerepotan. Gadis itu kini memutar ranting di tangannya
dengan memegang senjata itu bagian tengah sehingga kedua ujung tongkat
menyambar-nyambar dan ujungnya berubah menjadi banyak saking cepatnya
gerakannya. Kalau hanya mengandalkan senjatanya untuk menangkis hujan
serangan itu saja, tentu dia tidak kuat bertahan lama, maka ia pun mengerahkan ginkangnya yang luar biasa untuk berloncatan kesana ke mari, mengelak dan
menangkis. Gerakan Liu Siang amat ringannya, dia laksana seekor capung yang
dikejar-kejar hendak ditangkap oleh tiga orang anak-anak.
Untunglah tiba-tiba datang bantuan. "Nona aku membantumu!" seru jembel tua
berlengan tunggal, sambil masuk ke kalangan. Tongkat di tangannya langsung
bergerak memutar dengan cepat. Pengemis kumis tebal yang menjaga
pertandingan tak kuasa mencegahnya. Ia hanya berteriak-teriak melarang, tapi tak tahu harus berbuat apa, ia jelas tidak berani mengganggu ketiga susiok
mereka. "Tak..tak....tak.....haiyaa.......tahan....Thai-kek sin-tung hoat, bukankah itu ilmu tongkat dari Kun-lun pay" Apakah hubunganmu dengan Kun-lun pay?" tanya
pengemis tua berjenggot putih itu. Mereka bertigapun menghentikan gerakan.
Liu Siangpun terkejut mendengar ucapan pimpinan Chon King Sam Sinkay ini. Ia yang masih muda belum banyak mengenali gerakan-gerakan silat lawan.
"Kun-lun pay?"" Aku sepertinya pernah mendengar kata itu, tapi aku tak perlu membawa-bawa nama itu, aku tak peduli dengan perkumpulan apapun!"
"Hmm.. begitu, baiklah kami tidak bermaksud jahat kepada kalian, tapi jangan kalian kira kalian boleh seenaknya mengganggu kelompok kami. Kalau kalian
mau berlutut dan meminta ampun, kami akan maafkan, dan biarkan kalian pergi
dari sini," ujar pengemis tua itu.
"Emang kalau kami menghendaki pergi dari sini, kalian bisa apa?" balas Liu
Siang tak mau kalah.
"Lihatlah, sekeliling kalian, kami masih mau bermurah memberi kesempatan
kepada kalian untuk menyadari kekeliruan," jawab pengemis tua itu.
Liu Siang melirik ke sekeliling, dan terkejut menyadari bahwa lapangan itu telah dikepung sedikitnya tiga puluh orang. Namun bukan Liu Siang kalau mudah
digertak begitu saja. Dengan mengemposkan semangat ia kembali memusatkan
konsentrasi untuk melawan tiga pengemis lihai ini.
"Hiyaaaatt...tak...tak...tak......." Kembali serangan demi serangan mereka
lancarkan. Kali ini serangan ketiga pengemis sudah tidak lagi serangan biasa, tapi serangan-serangan maut. Beberapa kali pukulan mengenai tubuh mereka
berdua. Tak ada ruang untuk meloloskan diri, darah mengucur dari beberapa
luka di tubuh mereka. Setelah bertahan seratus jurus mereka berduapun
mengalami kelelahan. Gerakan Liu Siangpun sudah mulai lemah. Keadaan jembel
tua lengan tunggal justru lebih parah, sekujur tubuhnya sudah lebam-lebam.
Pada saat yang kritis inilah datang nenek besar dan dua Tiauw Kwi.
"Hentikan.....! teriak nenek besar dengan mengerahkan khikang Sai cu hokang
tingkat tinggi sekali. Lengkingan yang mengandung tenaga getaran yang kuat
luas biasa ini bagai gelombangnya air bah yang menghanyutkan apa saja
didepannya. Akibatnya sungguh dasyat, pengemis-pengemis tingkat rendah
yang ilmunya cetek langsung roboh dan bahkan masih terdorong oleh
gelombang serangan satu tombak. Pengemis tingkat kedua seperti kumis tebal
terdorong tiga langkah, tubuh mereka bergetar hebat. Sedangkan tiga pengemis lihai ikut terkejut dan jantungnya tergetar luar biasa.
"Sreeeeerrr......."dengan tenaga menyedot dari jarak lima tombak nenek ini
menarik tubuh Liu Siang dan jembel tua itu. Dan dengan kecepatan luar biasa
dia sudah memanggul Liu Siang dan menyerahkan jembel tua itu kepada dua
orang Tiauw Kwi. Si Tiauw langsung menggandeng jembel tua dan bergegas
mereka berlari meninggalkan lapangan itu. Setelah berada di luar kota, barulah mereka mengobati luka-luka Liu Siang dan jembel tua. Karena tidak mengalami
luka dalam maupun luka racun, hanya dalam sehari keadaan mereka telah pulih.
Pengemis jembel lengan tunggal karena "tidak bisa diajak bicara" dibiarkan pergi begitu saja. Selanjutnya mereka berempat bergerak cepat menuju lembah.
Begitulah cerita pertemuan Liu Siang dengan nenek besar. Saat itu juga nenek besar sudah berminat mengambil Liu Siang menjadi muridnya. Sebenarnya
apakah yang terjadi di perkumpulan pengemis sabuk hitam pusat" Mengapa
mereka seperti kehilangan sifat kependekaran" Kelak akan diceritakan kejadian di perkumpulan itu.
*** Kita kembali ikuti perjalanan nenek besar Wei Sian, empat Tiauw Kwi dan Liu
Siang mencegat musuh di hutan rawa bangkai. Seperti dugaan nenek besar, It
Tiauw tidak dibunuh oleh tengkorak hitam, mereka sadar pelontar yang dipakai meloloskan diri hanya bisa dipakai sekali, dan mereka memang membutuhkan It
Tiauw untuk keluar dari tempat itu. It Tiauwpun dibantu kesembuhannya.
"Aku berjanji membawa kalian keluar, tapi aku harus dalam keadaan sembuh,
dan memiliki sinkang penuh,"kata It Tiauw. Karena itulah maka ia bisa ikut
keluar dalam keadaan selamat. Betapa terperanjatnya tengkorak hitam yang kini tinggal tujuh orang, karena seorang anggota tewas terkena jebakan di rawa
bangkai, begitu keluar hutan langsung disambut mereka berenam. It Tiauw yang masih dalam keadaan terikat ditarik dan ditodong senjata oleh tengkorak nomor dua. Bentuk tubuh tengkorak nomor dua yang pendek menguntungkannya
bersembunyi di balik It Tiauw. Namun dengan secepat kilat nenek besar
melancarkan serangan khikang Sai cu hokang.
"Lepaaaskaaaaan.............!" lengkingan yang mengandung tenaga getaran yang kuat luar biasa ini gelombangnya seperti air bah menghanyutkan apa saja yang didepannya.
Namun sayang yang diserang adalah anggota tengkorak hitam yang memiliki
tingkat kelihaian tak disebelah bawah Tiauw Kwi. Lengkingan ini tak akan
banyak pengaruhnya jika tidak di kuti pukulan lanjutan. Dari jarak empat tombak nenek ini melepaskan sebuah pukulan jarak jauh yang sangat kuat. Pukulan
yang dilakukan dua kali, yang pertama tendangan jarak jauh ke arah lutut It
Tiauw, tendangan ini bersifat lemas, sehingga It Tiauw hanya merasa kesakitan dan secara refleks berlutut, pada saat yang singkat ini pukulan Wei Sian yang kedua segera menyusul diarahkan ke dada lawan yang terbuka.
"Wusss...desss....." tengkorak nomor duapun terjengkang terkena pukulan ini.
Senjatanya terlepas. It Tiauwpun terbebas.


Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hebatnya, tengkorak nomor dua dalam keadaan terjengkang masih sempat
melontarkan senjata rahasia. Tapi It Tiauw dan nenek besar yang jadi sasaran bukanlah orang lemah. Dengan mengibaskan tangan ke belakang senjata-senjata itupun runtuh. Berbeda dengan It Tiauw, nenek besar menangkapi
senjata-senjata yang dilontarkan dan dilontarkan balik saat tengkorak nomor
dua bangkit kembali. Saudara-saudaranya sontak menangkisi semua senjata
rahasia itu. Gagal dengan serangan itu, nenek besar langsung maju melakukan
serangan ke mereka. Tubuhnya melenting ke atas dengan kecepatan sulit di kuti pandangan mata. Gerakan tubuh dan pusaran tenaga yang dihasilkan seakan
menjepit posisi mereka dan menutup pintu keluar bagi ketujuh tengkorak hitam itu.
"Desss....dess....des......dess........" empat kali menendang, empat kali itu pula tendangan nenek ini mengenai dada empat tengkorak hitam. Meskipun sebagian
berhasil menangkis, tapi tangkisan yang sia-sia karena tendangan yang
mengandung sinkang sekuat tenaga gajah bagai tendangan gajah Ting ting
(gajah di legenda see yu) akan menghempaskan apa saja. Batu karangpun
hancur terkena tendangan ini. Karena inilah tendangan ini bernama tendangan
kaki gajah dan cocok sekali dengan bentuk tubuh nenek besar yang gempal.
Namun pada tendangan kelima yang mengarah pada tengkorak nomor dua,
sekonyong-konyong berhembus angin pukulan bersifat panas yang luar biasa
hebatnya. "Bresss...cesssss......."
Benturan dua tenaga mukjizat menimbulkan bunyi yang sangat keras, bagai bara diguyur air. Akibatnya Wei Sian terpelanting, dan hampir saja terjatuh kalau saja tidak segera berpoksai. Hatinya mencelos menyadari munculnya lawan yang
sungguh lihai luar biasa. Adapun lawan yang datang, seorang lelaki berjubah
hitam dan juga bertopeng tengkorak juga terdorong empat langkah lebih, tanda bahwa tenaga mereka seimbang.
"Ha..ha...hah...rupanya tokoh-tokoh puncak gunung salju besar sudah
bermunculan, betapa menggembirakan kek..kek..kek....," gumam sosok
berjubah hitam bertudung itu.
"Suhuuu........!" teriak tengkorak dua dan tiga. Kiranya yang datang adalah
tengkorak nomor satu, atau pimpinan kelompok tengkorak. Meskipun
kegembiraan di wajah orang-orang bertopeng tengkorak itu tak terlihat karena tertutup topeng, namun binar di sorot mata mereka menunjukkan suasana ini.
Seketika mereka berteriak-teriak penuh semangat, seperti suporter sepak bola.
Wajah nenek besar berubah pucat, tetapi ketegaran hatinya mengatasi
perasaan. "Hemmm kiranya Kui bin pangcu sudah muncul dari persembunyian, pasti akan
membawa keberanian yang lebih baik," ucapan ini sangat dalam menyindir
tengkorak yang baru muncul ini.
"Nenek gembrot ketahuilah belasan tahun silam aku memang mengalah pada
kalian, tapi perlu kalian ketahui keturunan murni ksatria sudah tinggal kenangan, tinggal dua lelaki she Yung itu saja yang masih membangkang. Tapi apalah
artinya" Kalian tidak punya kesempatan lagi, seratus tahun setelah kematian
sucouw kami sebagai pertemuan terakhir kita tinggal empat tahun lagi, dan
keturunan ketujuh nenek moyang kamilah yang akan menjagoi pertemuan nanti
ha..ha...ha...ha," ucap sosok bertopeng tengkorak itu, yang berjubah lebar dan bertanda pada dadanya, satu setrip yang bermakna satu.
"Hmmm, jadi kamukah pelakunya" Ketahuilah orang-orang bertopeng yang tak
punya rasa malu, sejak dulu nenek moyang kami adalah pendekar-pendekar
berjiwa ksatria, tak pernah terbersit ketakutan di hati kami melawan kalian, ketahilah kalau belasan tahun yang lalu pasukan Yung Ci tak sanggup
membasmi seluruh binatang berjiwa kerdil seperti kalian, kini biarlah aku yang akan menyelesaikannya!"
"Tua bangka keparat! Nyawa sudah diujung tanduk masih bermulut besar, hayo
majulah kalau memang punya keberanian, tidak perlu menunggu bambu
bumbung berbunga, sekarang juga bersiaplah menerima pembalasan kami!"
"Baguuss...hayo majulah! Ingin kulihat kemajuan yang telah kau yakini pangcu!"
Perdebatan makin lama makin panas. Kedua kelompok kemudian sama-sama
bersiap, senjata sudah ditangan. Suasana makin menegangkan. Di pihak
tengkorak hitam jumlah personilnya lebih banyak, namun pria bertopeng yang
baru datang sepertinya punya perhitungan lain. Meski pihaknya berjumlah lebih banyak, tapi selisih satu tidaklah sangat menguntungkan. Lagi pula sasaran
utama mereka bukan nenek itu melainkan Yung Ci. Kalau sampai dia kehilangan
anak buah di sini tentu pihaknya yang menderita banyak kerugian.
"Ha..ha..ha..nenek bau tanah, hari ini kamu bermurah hati mengampuni kalian, biarlah lain kali kita bertemu lagi, ayo kita pergi!"
Dengan tergopoh-gopoh semua anak buah tengkorak hitam lalu pergi menuruni
perbukitan, dan menghilang di tikungan. Tujuan mereka jelas, mencari Yung Ci.
Sementara itu, rombongan nenek besar kemudian juga dibagi dua. Tiauw Kwi
ditugaskan untuk mencari Yung Ci sedangkan nenek besar langsung membawa
Liu Siang ke gunung salju besar.
*** Kita kembali ke perjalanan Tiong Gi dan rombongan Yung Ci Tianglo" Marilah
kita ikuti perkembangan kejadian yang menimpa mereka. Setelah mereka
dikepung oleh delapan orang musuh, terjadilah adu mulut di antara dua kubu.
"Ketahuilah oleh kalian, saat itu kami berjumlah dua belas, karena topeng emas belum muncul. Pangcu kami memang sengaja mengalah kepada kalian. Kini
pemimpin kami telah kembali dan berhasil menemukan topeng emas.
Ha..ha...ha..kehancuran kalian hanya tinggal tunggu waktu saja!" ujar lelaki bertopeng yang bertubuh pendek, yang merupakan tengkorak nomor dua.
Siapakah yang dimaksud dengan topeng emas"
Pada masa berjayanya Wan Cu Ting, si iblis tengkorak emas, ia membongkar
kuburan nenek moyangnya dan mengambil tengkorak nenek moyang yang
dikalahkan oleh Lau Cin Shan puluhan tahun sebelumnya. Tengkorak itu
kemudian ditatah menjadi topeng, berbeda dengan topeng-topeng yang lainnya
yang dipakai anggota tengkorak hitam, topeng yang dibuat sendiri oleh Wan Cu Ting ini bagian luarnya dilapisi emas. Dengan menggunakan topeng inilah ia
memimpin anak buahnya membumi hanguskan negeri salju, bahkan kelima
ksatria salju tewas di tangannya. Karena topengnya maka ia mendapat julukan
iblis topeng emas. Setelah ia mati topeng itupun tak tahu rimbanya, dan tidak ada ketua penggantinya yang mencoba memahat topeng baru yang berlapis
emas. Topeng itu seolah-olah topeng yang keramat bagi kelompok ini. Ada yang bilang bahwa topeng itu dikuburkan bersama dengan jasad Wan Cu Ting, namun
ketika kuburannya dibongkar topeng itu tak ditemukan. Bertahun-tahun
kemudian topeng emas menjadi legenda di laskar tengkorak hitam, orang yang
menemukannya dipercaya akan memiliki kekuatan sebagaimana kekuatan
pembuatnya, karena diyakini ilmu rahasia si iblis topeng emas dituliskan di
topeng itu. "Hmmm...kita lihat saja nanti apakah memang topeng emas kalian memiliki
harga setinggi sepuhannya!" jawab Yung Ci Tianglo tak mau kalah.
"Yung Ci, bersiaplah menerima serangan kami."
Begitu selesai berkata-kata keempat sosok bertopeng tengkorak ini
mengeluarkan seruan, "Formasi badai meteor!"
Secara teratur empat orang kemudian membentuk formasi setengah lingkaran
dan tiba-tiba empat yang lainnya menaiki pundak kawannya dan langsung
melepaskan puluhan senjata rahasia. Senjata yang dilemparkan memang hanya
sebuah besi pipih berbentuk tengkorak seukuran jempol tangan. Namun di
tangan mereka senjata-senjata itu bisa berubah menjadi hujan badai bintang
jauh, yang merah membara saking panasnya.
"Wuss..wuss...wuss...wuss...wuss...wuss...wuss...wuss...wuss...cring..cring...crin g.. cring..cring...cring.. cring..cring...cring..augh...!"
Puluhan senjata-senjata rahasia meluncur dari tangan keempat tengkorak hitam penyerang yang berada di atas pundah kawannya, bagaikan hujan meteor,
secepat kilat Yung Ci dan ketiga muridnya meloloskan pedang dan memutarnya
sebagai bentuk pertahanan. Tiong Gi menyambut serangan hujan senjata
rahasia dengan memutar pedangnya, ia terkejut sekali mendapati tenaga
luncuran senjata itu yang sedemikian kuat dan panasnya. Hebat sekali putaran pedang di tangan Yung Ci, karena pentalan senjata itu belik menyerang ke
pengirimnya. Seorang bahkan telah terkena, meskipun sudah memakai baju
pelapis yang tebal namun tetap saja mereka terluka. Satu pasang penembak
roboh. "Formasi delapan tulang!" komando tengkorak nomor dua. Tiba-tiba orang yang
tadinya dipundak meloncat ke depan dan lantas duduk bersila, sedang orang
yang tak bertopeng yang sebelumnya ada di posisi bawah juga duduk bersila
dibelakang masing-masing pasangannya dan menempelkan kedua telapak
tangan. Mereka yang didepan masing-masing kemudian mengambil dua buah
tulang dari balik jubahnya, tulang yang berwarna kehijau-hijauan. Begitu
diloloskan tulang itu seperti dilontarkan ke arah kubu Yung Ci dan Tiong Gi.
"Wusss....wuss.. wuss...wuss...wuss...wuss...wuss...wuss...wuss!"
"Haiyaaa........Tiong Gi mundurlah!"
Tiong Gi awalnya tidak mengetahui apa artinya perintah dari suhunya, namun ia kemudian sadar bahwa ternyata sepasang tulang itu bukan dilontarkan begitu
saja, melainkan dikendalikan dengan tenaga dari jarak jauh. Luar biasa sekali cara penyerangan seperti ini. Awalnya Tiong Gi berusaha melawan dengan
memapaki tulang-tulang ini memakai pedangnya. Namun ia dibentak oleh
suhunya, "Awas tulang beracun!"
Namun terlambat, meskipun Tiong Gi berhasil mundur tapi serangan tulang itu
terpaksa ditangkis, "Cringgg......cri inggg......cringg......!" Tiga kali Tiong Gi menangkis serangan, akibatnya memang tulang-tulang itu terpental satu dua
tombak, namun benturan senjata telah menyebabkan bubuk racun yang
menempel di tulang runtuh dan beterbangan, bahkan sebagian terhisap oleh
Tiong Gi tanpa ia sadari.
Berbeda dengan Tiong Gi, Yung Ci dan kedua Tiauw Kwi begitu melihat
musuhnya meloloskan tulang juga ikut duduk bersila dan melontarkan pedang
kedepan. Pada jarak tengah-tengah di antara dua kubu, pedang dan tulang
bertemu, dan terjadilah pertarungan senjata diudara yang sungguh ajaib.
Pedang dan tulang belulang berputaran diudara dan sesekali berbenturan
menimbulkan percikan api dan bunyi dentingan yang sangat keras. Masih di
posisi itu pula terjadi gerakan-gerakan menangkis dan menyerang, seolah-olah senjata itu digerakkan hantu yang sedang bertempur. Sebenarnya bukan hantu
yang bertempur melainkan gerakan tenaga dalam yang sudah mencapai
tingkatan sedemikian tingginyalah yang mampu menggerakkan senjata secara
sedemikian anehnya. Ini dapat dilihat dari gerakan tangan dari dua kubu yang menari-nari di depan dada. Kadang-kadang posisi tapak tangan mendorong,
kadang-kadang memutar. Tiong Gi yang melihatpun ikut meleletkan lidahnya,
tanda kekaguman yang luar biasa. Ia terus mundur hingga posisinya tak
terjangkau lagi. Adapun pertandingan tiga pasang mula-mula terlihat seimbang, namun beberapa saat kemudian terlihat posisi pedang Yung Ci mampu
mendesak tulang-tulang yang mengerubutinya. Sementara itu tulang yang
semula menyerang Tiong Gi ditarik dan diarahkan untuk mengeroyok pedang
Yung Ci. Berkebalikan dengan pedang Yung Ci, pedang kedua Tiauw Kwi makin
terdesak, gerakan tangan mereka juga makin berat, sementara kepala mereka
mengepul uap putih, tanda mereka telah melakukan pengerahan tenaga yang
sangat besar, makin lama pedang makin dekat ke arah mereka berdua. Hingga
akhirnya hampir berbarengan, mereka meloncat kebelakang sambil menarik
pedangnya. "Hai ittt.......clap"
"Wesss.......wess........wess......wess.......!" berbarengan dengan mundurnya dua orang ini, dari kubu tengkorak hitam juga menarik tulang-tulang mereka,
kemudian semuanya berdiri. Berbeda dengan keadaan kubu Yung Ci yang
terlihat sangat kelelahan tampak dari butiran-butiran keringat yang membasahi tubuh ketiganya, kubu musuh tidak tampak menunjukkan kelelahan itu. Hal ini
bisa dimaklumi karena mereka ibaratnya menyatukan dua tenaga, karena setiap
penyerang didukung oleh orang di belakangnya yang menyalurkan hawa sinkang
ke penyerang, sehingga menambah kekuatan dan pertahanan mereka.
"Formasi gelombang kerangka, seraaaannnggg.....!
Serempak mereka kemudian menyerang, senjata yang dipakaipun berubah. Kini
mereka menggunakan tulang yang ujungnya dipasang logam seperti tombak
yang runcing. "Cri ng...cri ing....cri ng.....cri ng.....!"
Delapan orang bergerak dalam barisan yang rapi. Yung Ci merasa tidak habis
pikir, bagaimana mereka sekarang bisa memiliki kelihaian sehebat ini. Bunyi
denting bertemunya logam terdengar sangat nyaring dan bergema.
Dari tingkatan kepandaian, dulu seorang diripun Yung Ci mampu menghadapi
empat tengkorak hitam. Tapi hanya sekitar sebulan berselang sejak pangcu
tengkorak hitam kembali dari pertapaannya, bahkan golongan preman yang
tidak bertopengpun telah memiliki kelihaian yang tidak kalah dengan mereka
yang bertopeng sebelum mendapat didikan dari pangcu mereka. Hati Yung Ci
makin miris memikirkan nasib Liu Siang, itulah yang menyebabkan keadaan kubu Yung Ci terdesak hebat. Adapun bagi Tiong Gi, ini adalah pengalaman
pertandingan pertamanya secara sungguh-sungguh. Biasanya ia berlatih secara
satu lawan satu, dan ia bisa mengembangkan jurus-jurus ilmu silatnya secara
mantap, kuat, teratur dan sesuai dengan teori. Kini menghadapi keadaan
pertarungan model keroyokan seperti ini, sungguh ia kemudian merasa seperti
bersilat diluar pakem. Tapi justru pengalaman bertanding seperti inilah yang akan menentukan kematangan ilmu silat seseorang. Dari bertanding secara
sungguh-sungguh inilah akan diperoleh cara bersilat yang senyatanya. Sebagai tenaga paling muda, dan sebelumnya ia hanya menunggu saja, Tiong Gi paling
bersemangat di antara keempatnya. Pedangnya berputar-putar dengan bunyi
yang mengaung dasyat, yang dihadapinya adalah dua orang laskar preman yang
tidak bertopeng. Beberapa kali pedangnya berbenturan dengan senjata lawan,
dan Tiong Gi patut berbangga karena dalam hal lweekang, ia tidak kalah dengan lawannya, malah masih menang satu lapis. Namun dalam hal pengalaman
bertanding memang jauh, sehingga sejauh ini ia sudah hampir enam kali
tergores, meski hanya goresan ringan. Adapun lawannya meskipun masingmasing hanya terkena satu tusukan namun luka yang ditusukkan oleh Tiong Gi
cukup dalam. Berbeda Tiong Gi, keadaan Yung Ci sudah amat payah, gerakan
pedangnya meskipun masih jauh lebih kuat dibandingkan gerakan Tiong Gi,
namaun sudah lemah dibandingkan kemampuannya yang sebenarnya, beban
pikiran membuat konsentrasinya sering buyar, maka tak mengherankan jika
sudah ada empat tusukan yang mengenai tubuhnya, darah sudah banyak
bercucuran dari luka. Keadaan dua Tiauw Ki sungguh paling parah. Desakandesakan lawan membuat pertahanan mereka kacau, apalagi lawan mereka yaitu
tengkorak nomor lima dan nomor enam memiliki tingkatan sedikit diatas mereka, dengan masing-masing kadang-kadang dibantu seorang anggota preman, maka
posisi Tiauw Kwi sangat terjepit. Melihat posisi ini sepertinya mereka tidak akan bertahan lebih dari sepuluh jurus lagi, namun disaat yang sangat kritis itu tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan, dan munculah bantuan ke dalam kalangan.
Terdapat lebih dari enam orang berbaju putih, bersenjata bambu yang ujungnya runcing berwarna putih. Memasuki kalangan dan menyerang tengkorak hitam,
meskipun dari gerakan maupun kekuatan senjatanya masih dibawah Tiong Gi,
namun bantuan ini mampu membuat buyar kepungan mereka, dan kekuatan
barisan menjadi pudar, akhirnya menyadari posisinya sudah tidak
menguntungkan secara tiba-tiba terdengar bunyi ledakan disusul keluarnya asap yang pekat. Semua orang kemudian langsung menyingkir, dan ketika asap itu
mulai menipis ditiup angin, orang-orang tengkorak hitam sudah tidak tampak
lagi banyangannya. Orang-orang berbaju putih ini kemudian membawa masuk
mereka ke kuil dan merawat ketiga tetua ini. Hampir seharian penuh mereka
bertarung, dan baru sore hari selesai.
Siapakah mereka yang membantu rombongan Yung Ci ini" Pembaca pasti bisa
menebaknya, ya memang benar mereka dari kelompok bambu putih.
Rombongan ini dipimpin oleh pria berumur lima puluh tahunan, memakai rompi
warna cokelat muda, bernama Tik Coan Kok. Mereka beristirahat sampai malam
tiba. Ketika malam sudah tiba orang-orang berbaju putih inilah yang
mempersiapkan ruangan dan makan malam. Tiong Gi berangkat tidur duluan.
"Aku menyampaikan terima kasih atas bantuan kalian, bagaimana kalian bisa
kebetulan lewat di sini" Yung Ci mengucapkan kata pembukaan perbincangan
mereka. "Locianpwe, kami mendapat tugas dari pangcu untuk menyelidiki masalah peta
harta karun Lau Cin Shan. Menurut khabar, peta ketiga Lau Cin Shan sudah
ditemukan, namun kini keberadaannya belum diketahui dengan pasti, ada
dugaan setelah mendapatkan peta, mereka lari ke timur, kemudian ke utara,
dan kini hendak ke selatan, namun kami sudah seminggu kehilangan jejak,
apakah locianpwe pernah berjumpa dengan rombongan mereka?" tanya Coan
Kok bersemangat.
Yung Ci tidak menanggapi pertanyaan Coan Kok, ia hanya menggeleng pendek,
sepertinya ia tidak pernah tertarik dengan rebutan warisan meskipun ia merasa lebih berhak atas warisan itu.
"Locianpwe, beberapa waktu terakhir ini pangcu sering membicarakan
locianpwe, sepertinya beliau ingin kembali mengajak locianpwe untuk bersedia tinggal bersama pangcu di Siang Yang."
"Rupanya ia masih ingat diriku. Dan pangcu kalianpun tahu belaka apa
jawabanku."
"Ahh, sampai kapan locianpwe bersikap seperti ini, apakah locianpwe masih
belum bisa memaafkan pangcu."
"Yaachh ini memang salahku, barangkali aku memang terlalu keras mendidiknya, sehingga hasilnya justru banyak yang diabaikan, hhhh......" gumam Yung Ci
dengan wajah yang berkerut-kerut. Ia menarik nafas panjang dan kemudian
terbatuk-batuk. Beban bathin yang dideritanya seakan himpitan batu yang
sangat berat. "Sebenarnya aku tidak ingin membicarakan lagi masalahnya, tapi biarlah kalian juga perlu ketahui, biarlah hari ini aku akan bicara blak-blakan kepada kalian.
Yung Lu sebenarnya anak baik, tapi memang agak bandel, aku sering
membandingkannya dengan Yung Ceng kakaknya, mungkin ini kesalahanku.
Karena kakaknya meninggal dalam usia muda, aku seakan menuntut ia bisa
seperti kakaknya. Tapi penentangan demi penentangan selalu saja dilakukannya.
Aku memintanya untuk menikahi Shu Kiok Nio tapi ia menolaknya, kemudian ia
justru memilih orang Han. Anehnya meskipun sudah menikah sesuai pilihannya,
kenapa ia mesti mengganggu isteri orang. Aku memintanya menyelesaikan
masalahnya dengan bijak ia selalu saja abaikan nasihat orang tua, hhhh....,
katakan saja kepada Yung Lu, kalau ia mau berpisah dari golongan hitam, mau
menyelesaikan masalah keluarganya, mau meninggalkan segala macam racun,
aku bersedia tinggal lagi bersamanya."
"Yung Lu Pangcu sudah berusaha untuk mengurangi jumlah dan peran mereka,
namun pada kenyataannya hal itu tidaklah mudah" timpal orang kedua.
"Anak memang tidak jauh dari watak orang tuanya. Kepala batu!" bisik Yung Ci.
"Hmm..begitu tahu locianpwe ada di sini orang-orang tengkorak hitam itu pasti akan kembali lagi, kalau kita bisa bersatu tentu kekuatan kita berlipat-lipat" ujar orang ketiga.
"Apakah kalian kira aku takut" Biarpun seluruh pasukan mereka kerahkan untuk tangkap aku, aku tidak sedikitpun bergeming. Seorang ksatria pantang untuk lari dari gelanggang ketika musuh sudah datang."
"Tapi locianpwe, bukankah para pendekar selalu mengajarkan bahwa dalam
posisi terdesak tindakan bertahan bukanlah tindakan ksatria tapi tindakan
bodoh. Bagaimana locianpwe menyikapi ajaran seperti ini," sergah orang ketiga.
"Mereka yang masih muda, mereka yang masih panjang harapan hidupnya,
mereka yang masih layak dibebani tugas yang berat, harus memegang ajaran
seperti itu, tapi tidak bagiku. Aku sudah mendidik pangcu kalian, aku sudah
menyambungkan satu pasangan ksatria, aku sudah membesarkan anak yang
dulu kutemukan, dan aku sudah menemukan orang yang akan melanjutkan
tugas hidupku. Kalau aku boleh memilih aku ingin kembali ke sana. Tapi,
ahh..keparat-keparat itu sungguh menjemukan!" ujar Guru Wong bergetar,
getaran yang menular ke tangannya. Tanpa disadari ujung patung yang
dipegangi sudah beberpa serpihan yang diremasnya menjadi bubuk.
"Apakah pemuda itu yang locianpwe maksud" Siapakah pemuda itu sebenarnya,
locianpwe?"


Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku sendiri tidak mengetahui latar belakang kehidupannya, tapi aku yakin ia berhati baik, dan ia sangat berbakat. Ia seperti Yung Ceng, bahkan bakat-bakatnya melebihi semua putra dan muridku. Permata yang perlu diasah."
Pagi harinya rombongan dari bambu putihpun berpamitan.
"Baiklah locianpwe, kami enam pasukan sayap perkumpulan Bambu Putih mohon
pamit. Kalau urusan kami sudah selesai kami akan kembali ke markas untuk
melaporkan ke pangcu, mohon pamit, semoga locianpwe baik-baik jaga diri."
Setelah rombongan bambu putih berlalu, sebagian hati Yung Cipun berlalu.
Betapa rindunya ia terhadap puteranya. Seringkali ia merindukan kehidupan
keluarga yang tenang, damai dan bahagia. Punya anak-anak yang berhasil,
menimang cucu dan mendidiknya ilmu silat dan ilmu surat. Bayangan-bayangan
yang indah tentang kehidupan berkeluarga. Betapa bahagianya. Bahagia"
Benarkah anggapan seperti itu" Seringkali kita punya anggapan kalau cita-cita berhasil kita akan bahagia. Benarkah anggapan bahwa dalam masa tua
berkumpul dengan anak cucu, tinggal di rumah yang megah, hidup selalu
dilayani oleh orang-orang dekat akan menjamin kebahagiaan itu" Dan haruskah
selalu lengkap" Benarkah selalu seperti itu" Jawabannya akan sangat tergantung banyak hal. Jika mau meresapi, dari harapan-harapan yang dicita-citakan,
bukankah Yung Ci sudah memiliki banyak hal, murid-murid yang setia, yang siap setia melayaninya, memiliki rumah yang megah di lembah delapan rembulan,
mempunyai murid muda yang berbakat, kurang apa lagi" Kenapa ia masih terus
berobsesi anak-anaknya bisa kembali, dan ia bisa mendapatkan cucunya yang
berdarah ksatria murni"
*** Perjalanan mereka menuju lembah agak tersendat karena kedua Tiauw Kwi yang
menderita luka yang perlu banyak istirahat. Karena ingin cepat, maka Yung Ci akhirnya memutuskan untuk menggunakan perjalanan lewat sungai Yang tse.
Perjalanan memerlukan waktu hampir lima hari. Mereka berempat memasuki
lembah dengan penuh gopoh. Betapa kaget dan sedihnya, Yung Ci mendapati
dua mayat muridnya Sam Tiauw dan Cit Tiauw. Tapi ia menjadi agak tenang
ketika mendapati pesan yang ditulis It Tiauw yang berbunyi "Liu Siang
diselamatkan nenek besar, Pat Tiauw selamat, jika mayatku tak ditemukan di
lembah ini, akupun masih ada harapan selamat".
Setelah menyelenggarakan ritual penguburan, Yung Ci memutuskan untuk
tinggal dulu di lembah sampai kedua Tiauw Kwi pulih kesehatannya. Namun
harapannya sepertinya sulit terwujud karena justru keadaan dua Tiauw Kwi itu makin memburuk. Luka-luka mereka serasa sulit sekali disembuhkan, bahkan di
beberapa bagian menjadi borok. Adapun Tiong Gi yang sempat menghirup
bubuk racun pada tulang hijau tengkorak hitam juga sering mengeluhkan sakit
kepala. Bab 13. Sun Ciak Kun, si guci obat
Akhirnya Yung Ci memutuskan untuk membawa mereka ke raja obat sahabatnya
di daerah timur, Sun Ciak Kun, yang diberi julukan si guci obat. Diberi julukan seperti itu karena Sun Ciak Kun selain memiliki keahlian sebagai ahli obat juga ahli membuat keramik, terutama guci. Sun Ciak Kun bukanlah orang
sembarangan. Di rimba persilatan ia adalah tokoh sakti sekaliber pendekar bukit merak, pendekar Siauw Lim, Pek Mau Lokay dan Kun-lun sam-lojin. Ia adalah
murid preman dari Siauw Lim satu generasi di atas ketua Siauw Lim yang
sekarang, Bu Sim Siansu dan masih merupakan susiok dari Bu Sian Taisu. Dulu
bersama dengan Thian Ho Taisu, guru Bu Sian Taisu, ia berguru pada Goan Kin
Taisu. Goan Kin Taisu merupakan ahli obat nomor satu di Siauw Lim, bahkan
saat itu barangkali merupakan ahli obat nomor satu di dunia. Dulu ia pernah
merawat salah satu ksatria salju yang terluka berat karena pukulan kejam Wan Cun Ming. Karena itulah maka Sun Ciak Kun juga memiliki keahlian pengobatan
yang tinggi. Persahabatan gurunya dengan para ksatria salju juga diturunkan
kepadanya, sehingga ia juga dekat dengan Shu Hwang Ti, guru Yung Ci dan Wei
Sian, yang hidup di pengasingan.
Namun demikian ketika masih muda namanya kalah terkenal dibandingkan
dengan pendekar Siauw Lim yang bersama-sama pendekar bukit merak
menjagoi rimba persilatan di Tionggoan tengah dan utara. Lagi pula ia termasuk yang jarang bermusuhan dengan kaum liok lim. Sebagai raja obat, ia lebih
banyak bersikap netral, siapapun membutuhkan pertolongan ia siap membantu.
Namun kepada para muridnya yang pendekar ia menekankan supaya mereka
bersikap sebagai pendekar yang menegakkan kebenaran dan keadilan.
Sun Ciak Kun tinggal di kota Hang Chao daerah Kang Lam, yaitu sebelah selatan muara sungai Yang Tse Kiang. Perjalanan dari kota Hong Jie, bisa semingguan.
Sadar keadaannya diawasi terus oleh lawan yang sedang mengincar, Yung Ci
sengaja menyamar sebagai pedagang. Mereka berangkat waktu fajar, dan
menyewa jasa Piauw Kiok. Perjalanan mereka cukup lancar meskipun boleh
dibilang lama, dan melelahkan. Satu dua kali mereka mendapat gangguan dari
gerombolan bajak sungai Yang tse Tiat-sim heng-kang pang, namun gangguan
seperti mereka bagaikan lalat mendekati api.
Tepat seminggu kemudian sampailah mereka di wilayah Kang Lam. Wilayah
Kang Lam sangat terkenal dengan pemandangan alam yang khas daerah hilir.
Hamparan bumi di daerah ini sebagian besar adalah tanah-tanah datar.
Bentangan sawah yang sangat luas, pohon-pohon bambu yang daunnya tidak
pernah berguguran, lahan-lahan murbei yang menghijau, danau yang tenang,
peternak yang menggembalakan bebeknya, nelayan yang menjala ikan di sungai
adalah pemandangan yang khas di daerah ini. Sungguh suatu wisata pedesaan
yang mengesankan. Tiong Gi yang selama ini selalu melihat bukit-bukit, dan
gunung-gunung yang hutannya lebat, kini dibuat terpesona dengan keindahan
alam Kang Lam. Rumah Sun Ciak Kun berada di perkampungan yang cukup padat, rumahnya
besar dengan halaman yang sangat luas karena dipakai untuk menjemur
keramik. Di rumah yang besar itu juga digunakan sebagai bengkel membuat
keramik. Saat itu usaha keramik dilakukan oleh cucu luar Sun Ciak Kun yang
bernama Gu Soan Ceng. Gu Soan Ceng adalah seorang lelaki berumuran lima
puluh tahunan. Badannya subur, gayanya seperti tauke yang biasa berdagang.
Dialah satu-satunya cucu yang berbakat bisnis. Meskipun belajar ilmu silat tapi bakatnya tidak terlalu baik, sehingga tidak terlalu lihai. Tapi keahlian dagangnya sangat bagus, sehingga dialah yang memajukan usaha keramik kakeknya. Dialah
yang menyambut kedatangan rombongan Yung Ci. Memang inilah salah satu
kelebihan Soan Ceng. Ia selalu menyambut sendiri tamu relasi bisnis atau yang berusia di atas usianya.
"Hayaa"..cuwi loya sepertinya datang dari jauh, ada keperluan apakah?"
"Kong cu, benarkah ini rumah Sun Ciak Kun" Lohu ingin menemui beliau," jawab Yung Ci ramah.
Wajah Soan Ceng kemudian berubah serius. Dan kemudian menggandeng
keempatnya ke gedung balian belakang. Di suatu ruang pembuatan keramik,
mereka melihat seorang tua yang tubuhnya kurus sekali lebih kurus
dibandingkan Yung Ci, rambutnya jarang-jarang berwarna putih semua, namun
wajahnya cerah. Ia tampak sedang sibuk membuat suatu guci dari tanah liat.
Kedua tangannya dengan sangat lentur membentuk tanah liat, anehnya alas
pembuat guci yang terbuat dari kayu itu bergerak terus tanpa sekalipun tangan orang itu menyentuhnya. Begitu masuk, tanpa menoleh ia langsung berkata ke
keramik yang dibuatnya, seperti berpantun.
"Wahai guci, tahukah kamu bedanya mendidik anak dengan membuat keramik?"
Yung Ci tampak tercekat dan kemudian terdiam. Tiong Gi dan kedua Tiauw Kwi
juga ikut terdiam. Seperti sudah biasa dengan gaya kakeknya, Soan Ceng
langsung saja meninggalkan mereka, tanpa berusaha mengenalkan. Kakek itu
langsung melanjutkan ucapannya, "Mereka sama-sama membutuhkan
kelembutan dan kelenturan tangan, tapi anak bukanlah tanah liat yang mudah
dibentuk sesuai kehendak hati, guci" katanya kemudian menoleh.
"Ah...rupanya ada tamu yang berkunjung ke rumah kita, guci,!"
"Kami yang mestinya minta maaf, saya Yung Ci dan murid-murid mohon
menghadap kepada locianpwe Sun Ciak Kun," ucap Yung Ci.
"Ah, rupanya Yung sicu yang datang, kelihatannya engkau sakit sekali sicu"
Coba saya periksa!"
"Bukan siauw-te locianpwe, tapi murid-murid siauw-te ini!"
"Hmmm...lagi-lagi tengkorak hitam bukan" Mari...mari ke kamar sebelah!"
"Tapi kali ini racun yang mereka gunakanberbeda, racunnya memiliki sifat
serangan yang lama, dengan cara membusukkan luka luar!"
"Aku tahu, coba aku periksa!"
Ciak Kun lantas memegang tangan Tiauw Kwi bergantian, dan melihat lukanya.
Ia kemudian mengangguk-angguk.
"Darah kalian keracunan, sehingga tidak mampu membeku, obatnya gampang,
kita sembuhkan dulu lukanya, baru kemudian kita obati penyebabnya. Saya akan tuliskan resep, muridku yang nanti akan tangani!"
Ciak Kun lantas memanggil pembantunya, dan meminta untuk mengantarkan ke
Kang Lam Yok Ong, muridnya. Kemudian ia meminta Yung Ci untuk diperiksa,
tapi lagi-lagi Yung Ci menyodorkan muridnya yang tinggal Tiong Gi yang ada.
Kembali Ciak Kun memegang tangan pasiennya, dan kali ini dia menggelenggeleng. Yung Ci menjadi terkejut, "Apakah penyakitnya berbahaya" Locianpwe
bisa mengobati bukan?"
Ciak Kun kemudian tersenyum memamerkan gusinya yang sudah ompong. "Aku
menggeleng bukan untuk penyakit anak ini, sicu, tapi penyakit siculah yang aku khawatirkan. Murid-muridmu tidak perlu dikhawatirkan, lukanya tidak terlalu sulit disembuhkan."
Yung Ci terperanjat, tapi tidak habis mengerti apa maksud orang tua itu.
Matanya menatap lekat-lekat orang tua yang sudah berusia lebih dari seratus
tahun itu memohon penjelasan. Ciak Kun menyuruh Tiong Gi membuka baju
kemudian duduk bersila membelakanginya. Kemudian tangannya dengan
terampil melakukan beberapa totokan, kemudian mengambil dua jarum yang
satu ditusukkan ke bagian leher Kie-kut-hiat dan lain pada Sin-to-hiat pada
punggung. Sambil bekerja kemudian ia melanjutkan kata-katanya, "Muridmuridmu sungguh sangat berbakat sicu. Sayang sungguh sayang,
kepandaiannya tidak bertambah banyak sejak kau mengurungkan diri di lembah
itu. Sepertinya kau sangat bernafsu untuk mendapatkan keturunan seorang
ksatria. Berapa tahun kau habiskan untuk melakukan pencarian sia-sia itu sicu?"
Yung Ci sungguh bagai disengat lebah, tak disangkanya Ciak Kun tahu belaka
peristiwa yang dialaminya, padahal ia sudah sedemikian rapi menyimpan rahasia tempat tinggal maupun tugas-tugas yang diembankan kepada murid-muridnya.
"Bagaimana sampai dia tahu" pikirnya. Agaknya Yung Ci masih memandang
ringan kemampuan Ciak Kun. Ada dua hal yang tidak dia duga, yang pertama
dia mengira Ciak Kun tidak memiliki kemampuan menebak pikiran orang. Yang
kedua ia mengira Ciak Kun tidak tahu peristiwa-peristiwa di bu lim. Perkiraan pertamanya tidaklah meleset. Tapi Yung Ci memandang rendah jika menyangka
Ciak Kun tidak tahu peristiwa di bu lim. Cucu-cucu muridnya yang mahir silat masih aktif di dunia persilatan, meskipun namanya tidak pernah terkenal di
rimba persilatan. Yang kedua, iapun masih aktif mengikuti omongan-omongan
kaum persilatan di kedai-kedai yang terkenal sebagai kedai-kedainya kaum
persilatan di Kang Lam. Tiga hari sekali pasti ia menyempatkan untuk
mengunjungi kedai-kedai itu sekedar mengurut sang juragan, atau mengajaknya
minum teh bikinannya. Ia sangat hafal penyakit tukang kedai yang kebanyakan
bertubuh gembul kebanyakan menyimpan lemak. Karena sifat seperti inilah
maka ia sangat dikenal oleh penduduk Kang Lam, siapa tak kenal dengan Guci
Obat dari Kang Lam, Sun Ciak Kun. Orang tua yang aneh, meskipun sudah
berpredikat sebagai guru besar ilmu pengobatan, tapi masih suka berkeliaran
seperti sinshe keliling. Tapi justru karena sifat inilah maka murid-muridnya berhasil mengembangkan kemampuan pengobatan. Ia membiarkan penyakit-penyakit berat ditangani oleh murid-muridnya. Hanya orang-orang yang sangat
dikenalnya saja, yang masih mau dilayani sendiri. Itupun terkadang masih
dilimpahkan ke muridnya.
"Darimana locianpwe tahu itu semua" Sungguh aneh, lembah delapan rembulan
belasan tahun siauw-te rahasiakan. Dan tak seorangpun tahu, aku menyuruh
murid-muridku mencari keturunan ksatria salju.
"Ha..ha...ha, aku tidaklah seperti katak yang mengurung diri dalam tempurung sicu! Karena kenyataan kehidupan bisa aku terima dengan lapang, seperti
samudera yang siap selalu menerima limpahan air dari manapun. Jangan kau
kira aku tidak tahu bahwa kalian mempercayai kalau ksatria salju titisan salah satu dari 5 ksatria salju ratusan tahun silam akan muncul menjadi dewa
penyelamat. Apa kau kira aku tidak tahu kau memaksa-maksa anakmu Yung Lu
untuk menikahi Shu Kiok Nio agar kau bisa mendapatkan seorang keturunan
berdarah murni?"
"Pengetahuan locianpwe tentang sejarah kami sangatlah dalam, sungguh siauwte tidak pernah menyangka. Tapi harus siauw-te akui memang benar belaka
bahwa siauw-te mempercayai pandangan seperti itu. Apakah menurut locianpwe
pandangan kami salah, tolong tunjukkan di mana salahnya?"
"Pandangan seperti itu memang tidak bisa disalahkan, tapi kau keliru memahami sicu. Darah ksatria tidaklah harus diturunkan secara alamiah melalui perkawinan, tapi harus diwariskan melalui pembentukkan watak, kepribadian, dak
kependekaran. Engkau belasan tahun menjadi ksatria berdarah murni, tapi
mengabaikan murid-muridmu sendiri bahkan telah mengabaikan pendidikan bagi
anak-anak naga. Sekarang aku tanya kepadamu sicu, apakah Lau Sen Bu bukan
berdarah ksatria murni" Tapi kenapa ia tidak mewarisi watak nenek
moyangnya?"
Mata Yung Ci terbeliak, nafasnya seakan berhenti di ngatkan seperti ini.
Kemudian ia menunduk dan bergumam pelan sekali, "Ya, memang ia berdarah
murni, jika tidak, tak mungkin aku sudi jadi besannya."
"Sicu, kalau Lau Shu Han saja bisa memiliki keturunan seperti Lau Sen Bu,
apakah tidak mungkin Lau Sen Bu memiliki keturunan seperti dirinya?"
"Tapi coba bandingkan dengan murid-murid sicu. Sicu punya berapa murid"
Berapakah murid sicu yang tidak mewarisi sifat ksatria seperti yang sicu
harapkan" Di Siauw Lim juga ada murid yang menyimpang, tapi dibandingkan
dengan ribuan biksu dan pendekar yang pernah dihasilkan, jumlah yang
menyimpang tentu sangat sedikit. Itulah pentingnya pendidikan sicu, aahh maaf, lohu lupa sedang berhadapan dengan seorang guru."
Tiba-tiba wajah Yung Ci yang semula keruh, dan sering menunduk menjadi
cerah, pandangan mata seakan berbinar. Semangatnya pulih, kembali. Tiba-tiba ia berlutut.
"Taecu kini paham! Terima kasih atas wejangan suhu yang sangat bermakna
ini." Ciak Kun kemudian memegang pundak Yung Ci, dan menariknya sehingga ia
bangun kembali, "Sicu, tidak ada manusia yang sempurna, justru karena itulah maka para nabi dan orang suci selalu menjadi guru dan penasihat bagi semesta, dan itulah inti ajaran yang harus kita petik, bahwa selama darah masih mengalir, manusia tetap berpeluang berbuat salah, oleh karena itu jangan segan-segan
meminta maaf dan untuk saling menasihati."
"Siauw-te kini paham, aahh ternyata siauw-te banyak bersalah kepada anakanak dan murid-murid sendiri. Mulai hari ini siauw-te akan lebih memperhatikan kemajuan mereka."
Tiong Gi yang ikut mendengar percakapan ini, meskipun materinya untuk orangorang dewasa, tapi ia mencoba untuk meresapi banyak hal. Ia seakan-akan
menemukan kepercayaan pada dirinya. Ia selama ini selalu memandang rendah
diri sendiri, karena ia tidak ketahuan keturunan siapa. Ia tidak terlalu
menghargai bakat-bakat yang dipunyai, padahal pentingnya pendidikan
bukankah untuk mengembangkan bakat-bakat itu. "Ahh aku harus berguru pada
kakek tua ini," pikirnya.
Dua hari Tiong Gi berada di rumah itu, dia diberi keleluasaan untuk jalan-jalan keluar. Anak-anak Soan Ceng kebanyakan sudah menikah dan memiliki usaha
sendiri-sendiri. Hanya satu orang saja, seorang wanita yang mengikuti jejak
ayahnya berbisnis keramik. Ia sudah berusia dua puluh tiga tahun, punya anak satu, masih bayi. Hanya keluarga inilah yang menempati rumah, sehingga rumah itu terasa sepi sekali. Ketika suhunya menjenguk Tiauw kwi di rumah murid Ciak Kun, Tiong Gi mendapat kesempatan untuk melihat cara membuat keramik dan
melukisnya. "Locianpwe, bolehkah aku belajar membuat dan melukis keramik padamu?"
Ciak Kun menatap balik Tiong Gi, "Anak baik, benarkah kau sungguh-sungguh
ingin belajar" Apakah engkau tidak mau kembali ke suhumu?"
"Ah bukan begitu maksudku, aku hanya belajar sementara, nanti tentu saja aku akan kembali pada suhu."
Ciak Kun tersenyum, ia kemudian mengambil tanah liat dan menyerahkan ke
Tiong Gi. "Ikuti caraku!"
Asik sekali Tiong Gi belajar membuat keramik, sehingga tak sadar ketika Yung Ci sudah kembali. Yung Ci melihatnya dengan mengangguk-anggukkan kepala.
Pada hari yang ketiga luka Tiauw Kwi sudah mengering, dan tinggal terapi obat dalam saja. Maka Yung Ci hendak berpamitan. Tiba-tiba Tiong Gi berkata, "Suhu ijinkanlah aku tinggal di sini barang sebulan dua bulan, aku ingin belajar
membuat keramik pada Ciak Kun locianpwe!"
Yung Ci menatap muridnya, agak kurang percaya. Ia sebenarnya ingin mengajak
pulang murid-muridnya, ia ingin berkonsentrasi mendidik mereka. Lama ia tidak menjawab sampai Ciak Kun duluan yang menanggapi, "Yung Ci, tidak usah
khawatir, sebaiknya memang kau berkonsentrasi mendidik Tiauw Kwi, biarlah
untuk sementara ia disini."
Yung Ci tersenyum, kemudian merekapun berpamitan. Mulai hari itu, Tiong Gi
belajar pada Ciak Kun. Sungguh beruntung sekali nasib Tiong Gi, bisa belajar dari tokoh persilatan sekaliber Ciak Kun. Dari orang tua itu Tiong Gi bahkan bukan hanya belajar membuat keramik, melukis keramik sampai belajar
menjualnya. Tetapi ia juga diajari suatu ilmu tingkat tinggi yang pertama adalah Kiu Yang Sin Ciang. Kiu Yang Sin Ciang adalah ilmu kembangan Ciak Kun sendiri yang merupakan ilmu pukulan bersifat keras. Ilmu ini bersumber dari Kiu Yang Cin Keng yang di Siauw Lim sendiri tidak banyak pendeta maupun pendekar
yang mampu menguasai. Berbeda dengan ilmu-ilmu yang dipelajari oleh Tiong
Gi dari Yung Ci, yang kebanyakan bersifat im, Kiu Yang Cin Keng bersifat keras dan panas. Yang hebat dari ilmu ini adalah sifatnya yang mampu
menghancurkan bagian dalam tanpa merusak bagian luar. Ilmu yang tergolong
langka dan sulit sekali dipelajari karena harus memadukan kemampuan
lweekang, sinkang, dan khikang. Hal ini karena cara kerja dari pukulan ini adalah kekuatan "yang" yang harus dihantarkan melalui sebuah getaran atau
gelombang dan terkendali jarak dan arahnya. Kekuatan "yang" tersebut baru
bisa dikuasai jika seseorang memiliki hawa sinkang yang sangat tinggi. Getaran atau gelombang yang membawanya harus dikuasai dengan penguasaan tenaga
khikang. Dengan ilmu ini meskipun lawan yang dihadapi menggunakan tameng
baja yang sangat tebal, atau baju jirah yang tahan pedang, pukulan yang
dilancarkannya tetap mampu menembus penghalang tersebut. Karena dalam
penggunaannya ilmu ini sangat menguras tenaga maka Ciak Kun sendiri jarang
menggunakan. Ilmu yang kedua yang diajarkan Ciak Kun adalah I-kiong-hoanhiat yaitu ilmu memindahkan jalan darah. Ilmu ini sangat berguna untuk
menghindarkan dari totokan lawan.
Pada satu minggu pertama mula-mula memang Tiong Gi diajarkan cara
membuat keramik seperti cara yang umum dipakai orang, tapi kemudian Ciak
Kun mengajarkan, teknik membuat air dalam guci dingin dengan memberi
penghalang pada guci tersebut. Ciak Kun, mengetahui ilmu yang dimiliki oleh
Tiong Gi bersifat Im, oleh karena ia ingin mengajarkan prinsip terlebih dahulu maka pertama yang diajarkan adalah teknik penggunaannya. Apalagi dalam hal
khikang, Tiong Gi sudah cukup maju, berkat latihan Sai cu hokang, maka ia tidak terlalu kesulitan, melatihnya.
Pada minggu ketiga, Ciak Kun, mulai mengajarkan teknik pernafasan untuk
menguasai hawa yang. Dengan menjalankan pernapasan menurut peraturan
yang sudah ditetapkan, Tiong Gi diharuskan membangkitkan Cin kie (Hawa
murni) yang hangat dari tantian mengalir keberbagai jalan darah dan kemudian kembali dan berkumpul pula sekitar tantian. Pengaliran "Hawa murni" dari tantian ketantian merupakan satu putaran dan putaran itu diulang dan di ulang lagi, secara terus menerus. Sesudah selesai satu putaran, mestinya orang yang berlatih lantas saja merasa seluruh tubuhnya nyaman luar biasa. Namun karena Tiong Gi sebelumnya hanya melatih hawa im, maka latihan ini terasa sangat
menyiksa baginya, beberapa kali ia merasa tubuhnya panas dingin, namun kini
ia tidak mau mengeluh, baginya keyakinan akan diri sendiri dan guru diatas rasa sakit itu. Maka setelah dua minggu terus menerus mempelajarinya akhirnya
iapun mampu memanaskan air dalam guci meskipun terhalang.
Pada minggu keenam Ciak Kun mengajarkan teknik mengatur kekuaran pukulan.
Ia mencontohkan cara penggunaan ilmu itu dengan menata tujuh guci besar
yang berisi air. Guci-guci itu ditata secara teratur dalam satu garis, kemudian ia melancarkan pukulan dari dapan pangkal barisan guci itu. Hawa pukulan yang
dilepaskan mampu memanaskan air dalam guci nomor lima, namun air di guci
paling depan maupun guci nomor empat tiak terpengaruh oleh hawa ini. Mulamula Tiong Gi belajar tiga guci, lama-lama menjadi lima. Dan pada minggu ke
delapan, Tiong Gi sudah mahir memanaskan air dalam guci yang terhalang
delapan guci di depannya. Pada akhir pelajaran ini, Ciak Kun mengatakan,
"Tiong Gi, jika kau sudah mahir maka kau bukan saja mampu mendidihkan air,
tapi juga mampu membakar guci seperti ini." Ciak Kun lalu memeragakan cara
membakar guci-guci itu urut dari ujung yan terjauh sampai pangkal yang


Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdekat. "Bahkan bisa merusak seperti ini," lanjut Ciak Kun sambil
memeragakan cara menghancurkan guci-guci itu dengan urutan sama persis
dengan sebelumnya. "Aku sudah mengajarkan dasar-dasarnya, selanjutnya kau
harus mempelajari sendiri!" katanya mengakhiri pelajaran Kiu Yang Sin Ciang.
Pada minggu kesepuluh, Tiong Gi mulai belajar ilmu memindahkan jalan darah.
Latihan ini tidak terlalu sulit namun butuh kesabaran dan pemahaman yang
lengkap mengenai jalan-jalan darah.
Baru pada minggu kedua belas Tiong Gi belajar ilmu seni melukis guci dan
keramik. Pada bulan keempat sampai bulan kedua belas, Tiong Gi dengan
sungguh-sungguh dan tak kenal lelah mematangkan ilmu-ilmunya. Baik murid
maupun guru berlatih dengan penuh semangat, Ciak Kun sendiri merasa sangat
beruntung menjelang akhir hayatnya ada murid yang mampu mewarisi
kepandaiannya. Belasan murid-muridnya terdahulu tak satupun yang sanggup
mempelajari ilmu Kiu Yang Sin Ciang. Selain itu ilmu membuat dan melukis guci dipelajari dengan sangat mudah oleh Tiong Gi, membuat Ciak Kun sangat
kagum. Obyek-obyek yang dilukis Tiong Gi bahkan jauh lebih indah dan lebih
beragam dibandingkan yang pernah dilukis oleh Ciak Kun sendiri, membuatnya
sering menggeleng-gelengkan kepala. Akhirnya setelah setahun tinggal di Kang Lam barulah Tiong Gi dipanggil oleh Ciak Kun ke ruang pribadinya.
"Tiong Gi, sudah setahunan kau tinggal di sini, dibandingkan dengan rencana
semula, waktu setahun sudah lebih dari cukup dan teori dari pelajaran yang
kuberikan juga sudah cukup kau pahami, tinggal melatihnya saja. Karena itu
sudah saatnya kau merantau meluaskan pengetahuan Tiong Gi. Meskipun
usiamu masih muda, tapi pengalaman di dunia perlu dicari sejak muda. Dan aku mempunyai tugas untukmu." Ciak Kun berhenti sebentar menarik nafas.
"Tugas apakah itu suhu?"
"Dua hari yang lalu tanpa kau ketahui karena barangkali kau sangat sibuk,
datang tiga utusan dari Siauw Lim Pay. Mereka adalah Bu Sian Taisu dan dua
orang murid ketua yang sekarang," papar Ciak Kun memulai ceritanya.
Selanjutnya Ciak Kun menggambarkan yang terjadi seperti kisah dibawah.
Tiga orang utusan Siauw Lim itu meminta bantuan Ciak Kun untuk mencari
penyelesaian kemelut yang dihadapi Siauw Lim.
"Dua tiga tahun berselang Siauw Lim menghadapi ujian yang berat, susiok.
Masalah ini dimulai dari kejadian aneh di Kuil Kong-sim Liok Si. Kuil kecil di kota Yi Chang, di tepi sungai Yang tse kiang itu suatu ketika diambil alih oleh pihak-pihak perusuh. Kong Sim hosiang, murid siauw ceng, ditemukan meninggal.
Kemudian kuil Siauw Lim Si cabang selatan yang berpusat di Wu Han
mengirimkan tujuh utusan. Namun kemudian utusan ini hanya kembali seorang,
dan menceritakan bahwa saudara-saudaranya yang lain telah dibunuh oleh para
pengemis sabuk hitam. Adapun kematian Kong Sim hosiang cukup anehnya, dari
lukanya terlihat ada bekas-bekas pukulan dari tongkat Kun-lun (sudah
diceritakan pada bab 6). Kemudian dikirim dua kelompok utusan ke Yi Chang
yang siauw ceng sendiri yang memimpin, bersama empat orang sute. Dan
utusan ke Kun-lun. Belakangan utusan ke Kun-lun tidak pernah kembali. Siauw
ceng coba selidiki kebenaran cerita biksu yang masih hidup. Ketika kami selidiki di kuil Kong-sim Liok Si itu, ternyata penghuni baru kuil mengaku mengurusi kuil karena kuil kosong, dan menyatakan bahwa peristiwa kerusuhan di kuil itu
didalangi oleh pengemis sabuk hitam. Maka kemudian kami coba selidiki markas pengemis sabuk hitam malam-malam, dan benar kami mendapati seorang biksu
murid terpenjara di situ dalam keadaan mengenaskan. Namun belum sempat
kami membebaskan, seperti sudah tahu kehadiran kami, tiba-tiba kami
dikepung. Kami sudah mencoba bicara baik-baik tidak diterima akhirnya
terjadilah pertarungan mati-matian, dua diantara sute kami tewas, kami bertiga beruntung bisa meloloskan diri. Dari pihak musuhpun ada belasan yang roboh,
beberapa diantaranya kami yakini tewas. Karena masalah tidak bisa kami
selesaikan maka Siauw Lim memutuskan untuk mengirimkan utusan yang jauh
lebih besar, utusan dibagi menjadi dua, yang satu dikirim ke markas pengemis sabu
Rajawali Hitam 4 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Rajawali Hitam 9

Cari Blog Ini