Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long Bagian 3
sanya lelaki ini tidak
gampang emosi, tidak mudah melimpahkan perasaannya di
hadapan orang lain. Sekarang usianya sudah lanjut, seorang
yang sudah lanjut usia bila kasmaran terhadap gadis muda,
sering kali berani melakukan sesuatu yang berbahaya.
Tapi Siau Ma tidak peduli, ia tidak mau mencampuri urusan
orang. Maklum sebagai pemuda yang sudah meresapi
pahitnya cinta, dia cukup tahu cara bagaimana menghargai
dan menghormati perasaan orang lain, peduli perasaan
macam apa, asal sesungguhnya maka dia patut dihargai,
harus dihormati.
* * * * * Hiang-hiang digotong ke dalam rumah, dibaringkan di
kamar yang apek baunya. Keadaannya masih gawat, belum
sadar. Cen Cu dan Cen Cen pantasnya bantu merawat dan
menjaganya, tapi mereka justru mendahului masuk kamar dan
tidur pulas. Thio-gongcu tidak bisa tidur, dengan telaten dan tekun ia
menunggu dan duduk di ujung ranjang, dengan harap-harap
cemas ia mengawasi wajah Hiang-hiang yang kelabu.
Pasien dalam tandu masih tetap dalam tandu, tandu itu
langsung digotong masuk ke dalam kamar terbesar di sebelah
timur. Lan Lan berkata, "Adikku tidak boleh turun dari tandu,
karena badannya tidak boleh kena angin."
Padahal kamar itu meski besar, kalau ditutup rapat pasti
tidak ada angin.
Baru saja kepala Siau Ma mencium bantal, mendadak ia
berjingkrak berdiri pula. Mendadak ia sadar banyak persoalan
mengganjal dalam hatinya, ia perlu mencari teman untuk
membicarakan beberapa kejanggalan itu.
Thio-gongcu yang lagi merawat cewek jelas tidak punya
minat untuk mengobrol. Maka Siau Ma mencari Siang Bu-gi.
Tukang pikul tandu bermalam di gudang rumput yang
terletak di belakang rumah, beberapa orang tinggal di satu
kamar, kamar yang dikelilingi papan kropos dan kotor,
berdebu dan bergelegasi, dipan kayu cukup panjang dan
lebar, dilembari tikar butut yang banyak tambalannya.
Siang Bu-gi tidur telentang dengan kedua telapak tangan
sebagai bantal, matanya mengawasi Siau Ma tanpa berkedip.
Ia tahu Siau Ma punya urusan maka mencari dirinya, tapi
kalau orang tidak bicara ia tidak mau bertanya.
Siau Ma tampak bimbang, dengan resah ia duduk di kursi
dekat dipan, akhirnya ia bersuara, "Aku menyeretmu ke dalam
lumpur." Siang Bu-gi bersuara dingin, "Menyeret orang ke dalam
lumpur memang kemampuanmu yang paling khas."
Siau Ma tertawa getir, "Aku tahu kau tidak menyesal, tidak
menyalahkan aku. Tapi aku justru menyesal."
"Kapan kau bisa menyesal?" jengek Siang Bu-gi.
Siau Ma manggut-manggut, "Kita sudah terjeblos dalam
lumpur, padahal apa tugas dan yang telah kita lakukan aku
tidak tahu."
"Bukankah kita melindungi pasien dalam tandu?"
"Tapi orang macam apa pasien itu" Kenapa tidak pernah
muncul" Apa memang tidak boleh kena angin" Atau karena
malu dilihat orang?" setelah menghela napas, Siau Ma
menambahkan, "Mau tidak mau aku curiga, apa betul orang
dalam tandu itu sakit?"
Siang Bu-gi menatapnya, "Sejak kapan kau curiga?"
"Baru saja," ujar Siau Ma.
"Barusan?"
"Ya, waktu kau bertarung dengan Pok Can tadi, aku seperti
melihat bayangan orang berkelebat di belakang tandu."
"Orang macam apa yang kau lihat?" tanya Siang Bu-gi.
"Aku tidak melihat jelas," sahut Siau Ma kesal.
"Mau masuk atau keluar tandu?"
"Sukar aku mengatakan."
"Sejak kapan matamu lamur?"
"Kedua mataku tak kalah dibanding ketajaman matamu,
soalnya gerak bayangan itu teramat cepat, gerak-geriknya
mirip setan."
"Mungkin yang kau lihat memang setan."
"Oleh karena itu, aku ingin melihatnya lagi."
"Kau ingin membuktikan bahwa pasien yang ada dalam
tandu betul adalah manusia?"
"Sekarang sudah larut malam, semua sudah tidur, hanya
Lan Lan seorang mungkin berjaga di sana."
"Umpama cewek itu di sana, cara bagaimana kau akan
menyingkirkan dia?"
"Cara apapun dapat kugunakan, kalau perlu pakai
kekerasan, yang penting kita singkap dahulu tandu itu dan
lihat siapa yang ada di dalamnya."
Siang Bu-gi menatapnya lagi sekian lama, "Sekarang juga
kau ingin membuktikan?"
"Kalau bukan sekarang memangnya tunggu kapan lagi?"
omel Siau Ma. Selincah tupai Siang Bu-gi mendadak mencelat berdiri,
"Bagus! Watakmu ini memang sesuai seleraku."
* * * * * Seluruhnya ada delapan kamar di hotel Damai itu, kamar
yang terbesar berada di sebelah timur, ada jendela di tiga
arah angin. Saat itu jendela tertutup seluruhnya, tertutup rapat, setiap
lubang atau celah-celah dinding papan di tempel kertas
supaya tiada angin yang masuk.
Perlahan Siau Ma mengetuk jendela dari luar, setelah
mengetuk beberapa kali dan ditunggu sekian lama, keadaan
tetap sepi tiada reaksi apa-apa.
Siang Bu-gi memungut sebatang dahan kering, ujung
dahan kecil itu dia basahi dengan ludah lalu dimasukkan ke
celah-celah untuk mencopot segel kertas di sebelah dalam.
Kalau kertas basah, bila jendela terbuka tentu tidak
menimbulkan suara berisik, setelah palang jendela berhasil
mereka singkirkan, tangkas sekali mereka melompat masuk.
Orang macam Siang Bu-gi sudah sekian puluh tahun berkelana
di Kangouw, ada-ada saja akalnya, orang tidak tahu bahwa
kamarnya digerayangi tamu tak diundang. Maklum Siau Ma
dan Siang Bu-gi memang bukan Kuncu.
Kamar ini masih dalam keadaan rapi dan bersih, ada kasur
dengan seprei yang bersih dan selimut tebal. Tapi ranjang
besar ini jelas belum ditiduri orang. Lan Lan tidak berada di
kamar ini, tandu itu menggeletak di tengah kamar, dalam
tandu tidak ada suara apa-apa.
Siang Bu-gi melirik ke arah Siau Ma, Siau Ma juga tengah
mengawasinya, serempak mereka melompat maju ke kanan
kiri, secepat kilat pula tangan mereka meraih lalu menyingkap
kerai tandu. Lalu kedua orang ini berdiri menjublek, kaki
tangan menjadi kaku dingin.
Ternyata tandu itu kosong, bayangan seorang pun tidak
kelihatan. Mereka bertempur, berjuang mengadu jiwa, yang mereka
lindungi hanya tandu kosong. Betapa penasaran dan keki hati
mereka. Kalau benar sejak awal tiada orang dalam tandu, lalu
darimana datangnya suara batuk"
Umpama benar ada orang sakit dalam tandu ini, sekarang
berada di sana?"
Membeku wajah Siang Bu-gi, desisnya geram, "Bayangan
yang kau lihat tadi apakah bukan setan?"
Siau Ma mengepal tinju, mulutnya pun mendesis gusar,
"Kita dikibuli setan perempuan itu."
"Lan Lan maksudmu?" tanya Siang Bu-gi.
"Ya, tapi bukan perempuan, lebih tepat dinamakan setan
perempuan," Siang Bu-gi diam, seolah-olah sependapat
dengan apa yang dikatakan Siau Ma.
"Menurut pendapatmu, apa tujuannya berbuat demikian?"
"Aku tidak dapat menerkanya."
"Ya, memang sukar dimengerti maksudnya."
"Hayolah balik dan tidur, pura-pura tidak tahu akan
kejadian ini."
Suatu ketika setan akan menunjukkan bentuk aslinya.
Demikian pula siluman, akhirnya akan memperlihatkan
ekornya. Mereka mencari kertas lalu menempel pula celah-celah
pintu dan jendela, demikian pula lubang di atas kertas jendela,
lalu diam-diam mereka meninggalkan tempat itu kembali ke
kamar masing-masing.
Setiap kali melakukan kerja seperti panca-longok begitu,
mereka selalu hati-hati, mereka bukan Kuncu, juga bukan
orang baik. Syukur keadaan di luar sunyi senyap, tiada bayangan
orang, dengan merunduk Siau Ma meringankan langkah
menyelinap masuk ke dalam kamarnya. Tapi baru saja hendak
menutup pintu, mendadak ia berdiri tertegun.
Seseorang berada dalam kamarnya, tidur di atas
ranjangnya. Dipan yang semula hanya dilembari tikar bobrok dan butut
entah sejak kapan ditukar dengan selimut kapas yang masih
baru dan bersih, wangi lagi.
Lan Lan telentang di atas selimut mengawasi dirinya.
Tubuh yang montok dan padat itu ternyata tidak ditutup
selembar benang sedikitpun, tidur dengan gaya merangsang
lagi. Pakaiannya tertumpuk di ujung ranjang. Kerlingan
matanya tampak redup tapi jalang, yang pasti keadaannya
membangkitkan rangsangan jantan seorang laki-laki normal.
Setelah tertegun sejenak, Siau Ma anggap di kamar itu
tiada orang lain kecuali dirinya, bergegas ia menutup pintu lalu
mencopot pakaian dan melompat ke atas ranjang.
Lan Lan langsung memeluknya hangat, kerlingan matanya
memabukkan, dengan napas terengah ia berbisik, "Barusan
kau kemana?"
"Tadi aku minum terlalu banyak," demikian ucap Siau Ma.
"Perut kenyang dan mulas, terpaksa harus kubuang sebagian
baru merasa segar."
"Lalu apa salahnya kalau kau keluarkan sedikit lagi
bersamaku," desis Lan Lan lalu melumat bibirnya penuh nafsu.
Siau Ma tidak memberi reaksi, katanya sesaat kemudian,
"Kau tidak tidur di kamarmu sendiri, kenapa berada di sini?"
"Seorang diri aku tidak bisa tidur," sahut Lan Lan.
"Kalau berduaan aku tidak bisa tidur malah."
"Agaknya kau sedang marah" Marah kepada siapa?"
Siau Ma diam saja.
"Apa kau takut Siang Bu-gi mengelupas kulitmu?"
Siau Ma tetap diam.
"Tadi Siang Bu-gi bilang laki-laki tidak boleh menyentuh
perempuan, tapi tak melarang menggoda laki-laki, oleh karena
itu ...." tawanya genit dan merangsang, makin menggiurkan,
"Sekarang aku menggoda dan merayumu." Agaknya cewek ini
sudah ketagihan.
Siau Ma adalah pemuda jantan yang berdarah panas,
nafsunya juga sudah memuncak, maka kedua tangannya tidak
tinggal diam, meremas dan menggelitik dengan nakal. Bibir
Lan Lan makin panas, napasnya juga ngos-ngosan,
rintihannya justru mengobarkan birahi Siau Ma, dengan
kencang ia peluk tubuh yang mulus ini, payudaranya yang
kenyal padat seperti pegas menekan dadanya, kini ganti dia
yang melumat bibir Lan Lan.
Ditipu orang memang kejadian yang kurang
menyenangkan, kalau tidak mau dikata penasaran. Sekarang
tiba saatnya Siau Ma menuntut balas, melampiaskan
penasarannya. Berbeda cara menuntut balas kaum persilatan yang
menggunakan pedang atau golok, luar biasa adalah cara yang
digunakan Siau Ma, meski ia memacu dengan gencar, kerja
secara keras, memeras keringat, mengundang dengus napas
yang menderu seperti kereta yang sarat muatan di tanjakan,
tapi Siau Ma tidak kenal lelah.
Bibir Lan Lan yang semula panas menjadi dingin, deru
panas yang ngos-ngosan berubah menjadi rintihan, rintihan
yang mengundang birahi laki-laki. Lan Lan memang cewek
muda yang sudah matang, bagai buah yang sudah ranum,
tubuhnya yang semampai dengan payudara yang montok
kenyal adalah idaman tiap laki-laki. Cewek ini memang
memiliki syarat-syarat utama bagi perempuan yang dapat
memuaskan lawan jenisnya. Kalau dinilai keseluruhan,
sebetulnya ia memiliki segala kebutuhan yang diperlukan oleh
setiap laki-laki, malah miliknya jauh lebih istimewa, takkan
pernah habis atau rusak meski sering dipakai.
Beberapa kali terjadi perubahan pada suhu badan dan
bibirnya, panas dingin, dingin panas lagi.
Akhirnya napas Siau Ma menderu seperti babi yang akan
disembelih. Rintihan Lan Lan juga menjadi keluhan panjang,
keluhan nikmat.
Setelah badai mereda, mereka pun bermandi keringat,
dengan napas masih tersengal Lan Lan berkata lirih, "Tak
heran orang bilang kau sebagai keledai jantan, kenyataan
memang demikian."
Perkataan ini harus dinilai kasar, apalagi diucapkan
seorang perempuan, tapi dalam suasana dan keadaan seperti
itu, diucapkan perempuan yang betul-betul puas dan nikmat,
makna ucapan itu menambah romantis, menambah
rangsangan birahi Siau Ma lagi.
Tapi Siau Ma sudah luluh, sudah lunglai. Maklum selama ini
kondisinya kurang prima, untung Lan Lan tidak menjual
dirinya. Padahal Lan Lan menerima barter yang diinginkan
Long-kun-cu. Demikian halnya dalam main cinta, seratus
persen dia memberi dan seratus persen menuntut. Maka yang
terpikir dalam benak Siau Ma, kesannya terhadap cewek yang
satu ini hanyalah kebaikannya, manfaatnya di saat dia
memacu tenaga mencapai klimaksnya tadi.
Kamar itu menjadi tenang dan damai, rasa tegang dan
suasana romantis sudah mengendor, di saat seperti itulah
gampang timbul kembali nafsu birahi yang memadu keinginan
laki dan perempuan.
Mendadak Siau Ma bersuara, "Kenapa tandu di kamar itu
kosong?" Setelah melontarkan pertanyaan, Siau Ma amat menyesal,
tapi pernyataan sudah dilontarkan, dijilat kembali juga tidak
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mungkin lagi. Di luar dugaan, Lan Lan tidak kaget atau heran mendengar
pertanyaannya, dia malah membalas bertanya, "Apa kau ingin
berjumpa dengan adikku?"
"Sayang aku tidak boleh melihatnya," ucap Siau Ma
menghela napas gegetun.
"Soalnya dia memang tidak berada di tandu yang kau lihat
tadi," demikian kata Lan Lan dengan senyum penuh arti.
Agaknya dia sudah tahu apa yang dilakukan Siau Ma dan
Siang Bu-gi di kamarnya tadi"
"Sekarang dimana adikmu?"
"Dalam tandu di kamarku. Sakitnya cukup parah, terpaksa
aku harus hati-hati merawat dan menjaga kesehatannya."
Siau Ma menyeringai dingin.
"Kau tidak percaya?" Lan Lan penasaran.
Siau Ma tetap bersikap dingin.
Mendadak Lan Lan berjingkrak bangun. "Hayo ikut aku,"
serunya, "kuajak kau melihatnya."
* * * * * Peduli setan perempuan atau siluman perempuan,
kenyataan Lan Lan menariknya ke kamar dimana tandu itu
berada. Tandu yang berada di kamar Lan Lan adalah tandu yang
selalu dinaikinya selama perjalanan. Kalau tandu yang tadi
kosong, tandu yang ini ternyata memang berisi orang.
Perlahan, dengan laku hati-hati seperti takut membuat
kaget orang yang sedang tidur, Lan Lan menyingkap kerai lalu
membuka gorden. Siau Ma lantas melihat orang setengah
rebah di dalam tandu.
Bulan sembilan adalah hari yang panas, hawa tidak pernah
dingin meski berada di pegunungan.
Tandu itu dilapisi kulit harimau, umpama hari itu hawa
amat dingin, bila orang tidur dalam tandu dengan dilapisi kulit
harimau, tentu akan merasa hangat dan nyaman.
Tetapi orang dalam tandu sedang gemetar karena
kedinginan. Orang ini masih muda, namun wajahnya pucat
pias, seperti manusia yang kehabisan darah, keringat juga
tidak mengucur keluar, meski sekujur tubuh dibungkus selimut
tebal, badannya tampak gemetaran.
Siapa pun tahu meski hanya melihatnya sekilas, usia orang
ini masih muda, baru belasan tahun, tapi rambut dan alisnya
sudah rontok, deru napasnya lemah kalau tidak mau dikata
kempas-kempis. Melihat keadaan pemuda ini, orang akan
maklum bahwa dia sedang sakit cukup parah dan gawat.
Kini Siau Ma sudah melihatnya, ia pun maklum akan
keadaannya. Ketika berhadapan dengan pemuda penyakitan ini, mimik
Siau Ma mirip lelaki yang ketahuan mencuri bini orang,
anehnya orang itu masih menganggap dirinya sebagai sahabat
baik. "Inilah adikku," Lan Lan memperkenalkan. "Dia bernama
Lan Ki-hun."
Mengawasi wajah yang pucat pias, Siau Ma tertawa,
namun kulit mukanya terasa kaku dan tebal.
Lan Lan berkata ke dalam tandu, "Inilah Siau Ma yang
melindungi kita dengan mempertaruhkan jiwa raganya."
Perlahan terbuka mata Lan Ki-hun, sorot matanya
mengandung rasa terima kasih, perlahan ia keluarkan sebelah
tangan lalu diulur ke depan, lekas Siau Ma menjabat
tangannya dengan kencang. "Terima kasih atas bantuanmu,"
suaranya lemah lagi lirih, seperti bisikan nyamuk. Demikian
pula tangannya kurus putih lagi dingin, warna kulitnya mirip
tangan orang yang sudah mati.
Setelah menggenggam tangan orang, perasaan Siau Ma
makin tertekan, makin mendelu, mulutnya sudah terbuka
namun sepatah kata pun tak kuasa diucapkan.
Pasien atau pemuda bernama Lan Ki-hun ini batuk-batuk,
makin lama batuknya makin keras, makin gencar ia batuk,
napasnya makin tersengal-sengal, akhirnya air mata pun
meleleh keluar.
Menyaksikan keadaan yang menyedihkan ini, air mata Siau
Ma hampir ikut menetes, syukur Siau Ma dapat melontarkan
beberapa patah kata, "Kau ... jagalah dirimu."
Setelah batuknya reda, dengan napas masih memburu Lan
Ki-hun tersenyum kaku, mulut ingin bicara namun mata malah
terpejam. Perlahan Lan Lan menurunkan gorden dan kerai, lalu Siau
Ma mendahului keluar kamar, ingin rasanya mencari lubang
untuk menyembunyikan diri.
Waktu Lan Lan keluar, bola matanya masih kelihatan
merah. Mendadak Siau Ma berkata, "Aku bukan keledai, lebih
benar aku ini babi dungu."
"Kau bukan babi," ucap Lan Lan dengan suara lembut.
"Tidak, aku memang babi."
Lan Lan tersenyum lebar, "Kau tidak gembrot, tidak
pendek, laki-Iaki jantan segagah kau mana mungkin menjadi
babi." "Aku ini babi kurus, babi jangkung," ucap Siau Ma sambil
mengangkat tangan, agaknya ia siap menggampar muka
sendiri dua kali.
Tapi Lan Lan memegang tangannya, perlahan ia
menjatuhkan kepala di dada Siau Ma, katanya lembut, "Aku
tahu perasaanmu, aku sendiri juga amat sedih, tapi ...."
Kepalanya mendongak, matanya menatap halus, "Asal kita
bisa melindunginya dan selamat sampai di tempat tujuan, kita
akan ...."
Siau Ma menukas dengan suara lantang, "Kalau aku tak
mampu menunaikan tugas, aku akan tumbukkan kepalaku di
atas batu biar mampus."
Tangan Lan Lan mengelus pipinya, bibirnya juga
mengecup bibir Siau Ma. Mendadak Siau Ma sadar, dirasakan
tangan gadis ini dingin, demikian pula bibirnya, tubuhnya
gemetar. Sekarang keadaan berbeda, tidak seperti tadi waktu
dirasuk gejolak nafsu, kenapa tangan dan bibirnya menjadi
dingin" "Kau sedang marah?" tanya Siau Ma.
"Ehm," Lan Lan hanya mendengus.
"Marah kepadaku?" Siau Ma menegas.
"Aku memang marah, tapi bukan marah kepadamu."
"Marah kepada siapa?"
"Aku sudah pesan wanti-wanti, mereka harus berjaga di
sini, tapi bayangan mereka tidak kelihatan."
Siau Ma maklum apa yang dimaksud, dalam kamar hanya
Lan Ki-hun sendirian dalam tandu, Cen Cen dan Cen Cu yang
ditugaskan mendampinginya tidak kelihatan batang
hidungnya. Di saat seperti ini seharusnya mereka tidak boleh
meninggalkan tugas.
"Umpama ada urusan penting juga tidak boleh keluar duaduanya."
"Mungkin hanya keluar sebentar, nanti juga mereka
kembali," demikian bujuk Siau Ma.
Kenyataan kakak beradik itu tidak pernah kembali lagi.
Seluruh pelosok hotel Damai sudah mereka geledah, namun
bayangan mereka tidak ditemukan. Celakanya bukan hanya
dua kakak beradik ini yang hilang, Lo-bi juga tidak keruan
parannya, entah minggat kemana.
* * * * * Tanggal 14 bulan 9. Tepat lohor. Cuaca cerah, awan
bergantung di angkasa.
Waktu terus berlalu, mentari pun merambat ke barat. Sinar
surya masih memancarkan cahaya kemuning di balik gunung
di kejauhan sana, menyorot masuk lewat jendela, menyinari
wajah Siang Bu-gi yang pucat pasi dan dingin.
Thio-gongcu berdiri termangu di ambang jendela. Siau Ma
dan Lan Lan duduk dalam rumah, mereka sedang melamun.
Dengan penuh kesabaran mereka masih menunggu,
menunggu berita Lo-bi dan Cen Cu serta adiknya Cen Cen,
namun sejak pagi buta mereka menunggu hingga sekarang,
kabar berita atau bayangan mereka tidak kunjung tiba.
Akhirnya Siang Bu-gi memecah kesunyian, "Aku sudah
bilang kurcaci itu bukan manusia."
Siau Ma tertawa getir, "Tapi aku berani tanggung, Cen Cen
dan Cen Cu pergi bukan karena hasutannya. Malah bukan
mustahil dia mengejar atau melindungi mereka."
"Berdasar apa kau bilang demikian?" tanya Siang Bu-gi.
"Lo-bi bukan laki-laki iseng yang sudi berbuat kotor," Siau
Ma berdiri namun duduk kembali di tempatnya, mendadak ia
balas bertanya, "Masih kau ingat gadis cantik berpaha jenjang
itu?" Sudah tentu Siang Bu-gi ingat. Paha mulus dan sebagus itu
tidak setiap lelaki dapat melihatnya sembarang waktu, bila ada
kesempatan. biar lelaki tulen, laki-laki normal, siapa pun sukar
membendung hasrat untuk melihatnya.
Siau Ma berkata pula, "Masih kau ingat apa yang
dikatakannya" Asal kita mau mencari, setiap saat mereka akan
menyambut kedatangan kita."
Waktu gadis cantik itu memberi pernyataan, kebetulan
angin berhembus kencang sehingga pakaiannya yang terbelah
tinggi di bagian bawah tersingkap, pahanya yang jenjang
mulus terpampang di depan mata orang banyak, seolah-olah
menyatakan secara terbuka bahwa dirinya dengan senang
menyambut kedatangan setiap lelaki yang ingin merasakan
kemulusan tubuhnya.
Lan Lan menghela napas, "Perempuan itu mungkin
jelmaan siluman iblis. Jika aku seorang laki-laki, mungkin
hatiku tak kuat menahan gelora keinginan untuk mencarinya."
Dia masih ingat dan dapat membayangkan bagaimana
rona dan mimik muka Lo-bi waktu melihat sepasang paha
jenjang yang indah itu, dia juga masih ingat apa yang
diucapkan gadis jelita yang terbuka dadanya itu kepada Cen
Cen dan Cen Cu kakak beradik.
Mereka tidak suka main kekerasan kalau tidak terpaksa
atau bila tidak dipancing kemarahannya, akan tetapi daya tarik
yang menyesatkan dengan cara yang paling liar justru jauh
lebih menakutkan dibanding cara kekerasan yang paling sadis
sekalipun. Siau Ma menghela napas, katahya gegetun, "Seharusnya
aku maklum dan tahu, bahwa gadis semuda mereka takkan
kuat menahan gejolak hati oleh daya pikat liar yang
menyesatkan itu."
"Aku hanya tahu yang satu saja," ucap Siang Bu-gi.
"Yang satu apa?" tanya Siau Ma.
"Kehadiran mereka di sini tidak menambah jumlah,
kepergian mereka juga tidak mengurangi tenaga dan kekuatan
kita. Lalu apa pula yang harus ditunggu."
"Maksudmu kita harus meninggalkan mereka, tak peduli
mati hidup mereka?"
"Memangnya kau ingin mencari mereka?"
"Ya, ingin sekali," tegas suara Siau Ma.
"Tugas kita belum selesai, kita harus lewat gunung
bukan?" Siau Ma menarik napas sambil memejamkan mata,
mulutnya bungkam.
Tengah mereka bersitegang leher, mendadak seorang
gadis belia beranjak masuk dengan tertawa cekikikan,
langkahnya gontai dan lunglai, bukan mabuk karena minum
arak, keadaannya lebih mirip orang yang terbius. Gadis ini
masih muda, baru belasan tahun, wajahnya bulat telur, cantik
juga, pakaiannya dari karung rami segiempat dan hanya
dibuat lubang di tengah dan kanan kiri untuk kepala dan
kedua tangan, bagian lubang di tengah tampak sobek turun ke
bawah hampir mencapai perut, separohh bagian dada sebelah
kanan dari baju karung rami yang dipakainya kelihatan
berlepotan darah, darah segar yang masih menetes di lantai.
Gadis ini seperti tidak merasa sakit sedikitpun, wajahnya
berseri tawa dan riang, seolah badannya tidak terluka
sedikitpun. Sambil melambaikan tangan, gadis ini menyapa ramah
kepada semua orang yang ada di rumah itu, senyum yang
menggiurkan dengan tingkah laku yang lucu dan jenaka,
seperti bertemu dengan teman lama saja, sikap dan tingkah
lakunya jelas menunjukkan bahwa gadis ini tidak bermaksud
jahat terhadap siapa pun.
Diam-diam Siau Ma menghela napas. Gadis ini adalah
serigala betina, serigala yang masih muda, serigala betina
yang sudah kehilangan kesadaran dan daya pikir yang normal,
katakanlah gadis ini sudah terbius dan tenggelam dalam dunia
khayalnya. Bab 11 Wajah gadis ayu ini kelihatan membengkak, sorot matanya
yang bening mengundang rasa hambar dan tak habis
mengerti. Mendadak dia menghampiri dan langsung duduk di
pangkuan Siau Ma, tangan merangkul leher, tangan yang lain
mengelus pipinya, mulutnya bernyanyi kecil seperti amat
sayang terhadap benda kesenangannya, desisnya kemudian,
"Wajahmu tampan, aku suka laki-laki tampan, laki-laki gagah
dan kekar, aku senang ... aku suka ...."
Siau Ma diam saja dan hanya mengawasi, tak mendorong
atau balas memegangnya. Seorang kalau berani
mengutarakan isi hatinya, maka dia pasti tidak bermaksud
jahat. Lalu Siau Ma bertanya dengan nada iba, "Kau terluka?"
Darah yang berkelepotan di baju karung masih basah,
belum kering seluruhnya, namun gadis ini menggeleng kepala,
sahutnya, "Aku tidak terluka, aku tidak apa-apa."
"Tapi darah ini datang darimana?" tanya Siau Ma sambil
menuding dadanya.
Gadis itu tertawa, suaranya lembut, "Ini bukan darah, ini
air tetek, air susuku. Aku memberi air susu kepada si upik."
Sembari bicara dia menyingkap belahan lubang lehernya
hingga dada yang berlepotan darah terpampang di depan
mata Siau Ma. Dalam masa akil baliq seusia gadis ini, payudara anak
perempuan masih membukit kencang dan tegak, tapi Siau Ma
hanya melihat separoh payudara di sebelah kanan, meski
payudara di sebelah kiri masih utuh.
Seketika dingin kaki tangan Siau Ma.
Melihat mimik dan sikap Siau Ma, gadis itu cekikikan geli.
Padahal betapa sakit dan derita yang dirasakan seseorang
yang kehilangan separoh payudara sebelah kanannya, tetapi
gadis ini masih bisa tertawa riang, seolah-olah tidak merasa
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apa-apa. "Coba kau terka," demikian tanyanya dengan nada lucu,
"kemana susuku yang separoh ini?"
Sudah tentu Siau Ma tidak bisa menerka, tidak mau
menerka, ia hanya menggeleng kepala.
"Dimakan oleh Hoatsu," kata si gadis dengan riang dan
bangga, "dia adalah anak mestikaku, dia paling suka makan
daging dan menerima susuku, aku suka memberi susuku
kepadanya."
Jari-jari Siau Ma yang kaku menahan perutnya, hampir
saja dia muntah.
Di Long-san ada Thaubak bernama Hoatsu, seorang
pendeta, Hwesio tidak pernah makan daging hewan, entah
daging babi, sapi, ayam, anjing atau kambing.
Hoatsu yang satu ini hanya makan daging manusia.
Perut Lan Lan juga mual, mendahului rekan-rekannya ia
menumpahkan isi perutnya.
Payudara sebelah kiri gadis ini masih utuh dan kelihatan
membungkit tegak, mendadak gadis itu mendorong
payudaranya ke mulut Siau Ma, katanya lembut, "Aku pun
suka kepadamu, kau adalah anak kesayanganku yang kedua,
aku ingin memberi susuku kepadamu."
Siau Ma menghela napas, mendadak ia angkat tangan
menepuk tengkuknya. Gadis itu menjadi lemas dan kelengar.
Pelan-pelan Siau Ma memapahnya lalu membaringkan
tubuhnya di lantai di sebelah meja pinggir sana, lalu katanya
dengan menyengir, "Sebetulnya tidak pantas aku berbuat
begini kepadanya, tapi tiada cara lain untuk mengurangi
penderitaannya."
Untuk menghilangkan derita, cara yang paling manjur
adalah cara yang digunakan Siau Ma atas gadis itu, cara
langsung yang cespleng.
Tak lama kemudian juragan Jik muncul dari belakang,
mengawasi gadis yang menggeletak di lantai, mendadak dia
menghela napas panjang, gumamnya, "Gadis cantik lagi sehat,
kenapa manusia mau makan daun."
Siau Ma melengak, tanyanya tidak mengerti "Apa" Makan
daun" Maksudmu gadis ini suka makan daun."
"Ya, makan banyak sekali. Serakus kambing yang
kelaparan," sahut juragan Jik.
Siau Ma lebih heran, "Dalam keadaan kepepet, manusia
mau makan apa saja yang bisa dimakan, tapi dalam keadaan
segar bugar orang makan daun...."
"Tapi daun yang dimakan bukan daun sembarang daun."
"Daun apa yang dimakannya?"
"Daun beracun yang menuntut imbalan jiwa raga yang
memakannya," demikian penjelasan juragan Jik dengan nada
gegetun. "Di belakang gunung sini ada tumbuh sejenis pohon
yang dinamakan ganja, siapa setelah makan daun ganja dia
akan menjadi sinting, pikirannya tidak normal, tingkah lakunya
juga serba salah, seperti...."
"Seperti orang sinting atau mabuk arak begitu?"
"Sebetulnya lebih menakutkan dibanding orang mabuk
arak, orang mabuk arak masih punya ingatan tiga puluh
persen, tiga puluh persen sadar, tapi orang yang makan daun
ganja, bukan saja menjadi sinting, malah tidak sadar bahwa
dirinya masih ada di dunia fana, tidak tahu apa-apa, tapi
perbuatan apapun dapat ia lakukan."
"Maksudmu seorang yang makan daun itu akan selalu
kecanduan?" tanya Siau Ma.
Juragan Jik manggut-manggut, katanya ngeri, "Konon
kalau sehari tidak makan daun ganja, mereka tidak bisa hidup
senang, maka saban hari harus makan, makin makan makin
celaka." "Siapa yang kau maksud dengan mereka?" tanya Siau Ma.
"Yang kumaksud dengan mereka adalah kaum muda yang
hidup di pegunungan ini, anak-anak besar yang menganggap
segala sesuatu di dunia ini tidak mencocoki selera, terhadap
siapa dan apapun yang ada di sekelilingnya, mereka merasa
sebal dan sial."
Untuk menghilangkan keresahan dan lari dari tujuan hidup
selayaknya, mereka makan ganja, setelah sinting baru mereka
bebas dari tekanan dan beban hidup, mereka hanya menuntut
kesenangan. Siau Ma paham, menyelami keadaan dan jiwa mereka.
Maklum Siau Ma juga pernah meresapi betapa resahnya
seorang hidup dalam kebingungan, risau lagi sengsara,
terkekang serta menderita dan tak mampu melimpahkan
penasaran hatinya. Semua perasaan itu hanya dimiliki anakanak
muda yang tidak diberi tuntutan hidup yang wajar,
lingkungan hidup yang sempit menjadikan mereka hidup
nyentrik. Tapi lingkungan hidup Siau Ma lebih luas, maka ia
tidak pernah lari dari kenyataan hidup. Karena dia tahu, lari
dari kenyataan bukan cara terbagus untuk menyelesaikan
persoalan, hanya kerja berat, rajin lagi tekun, penuh
semangat pengabdian dan tanggung jawab, berjuang
mempertahankan hidup, seorang baru bisa membuang rasa
resah, menyingkirkan kesengsaraan.
Perlahan Siau Ma berjongkok menutup baju karung si gadis
di bagian dada yang tersingkap. Teringat kepada Hoatsu yang
suka makan daging manusia, terbayang betapa keji dan
nelangsanya manusia yang satu ini, kejahatan sadis ini perlu
ditumpas dengan ganjaran yang setimpal. Kaki tangan Siau
Ma berkeringat dingin.
Sambil berdiri mendadak Siau Ma bertanya, "Kau pernah
melihat Hoatsu?" Matanya mengawasi juragan Jik.
"Ehm, sudah tentu pernah melihatnya," sahut juragan Jik.
"Apa betul dia makan daging manusia?"
"Kalau punya anak, mungkin daging anak sendiri juga
dimakannya."
Siau Ma mendesis geram, nadanya penuh kebencian,
"Manusia seperti ini masih dibiarkan hidup, sungguh aneh dan
luar biasa."
"Di sini, di Long-san tidak ada yang aneh dan luar biasa."
"Jika anak gadis atau binimu diganyang dagingnya, tentu
kau akan heran dan penasaran, kenapa manusia kejam seperti
dirinya tidak lekas mampus saja."
"Umpama benar anak gadis atau biniku digares habis oleh
Hoatsu, bukan saja aku tidak menuntut balas, malah akan
menyingkir ke tempat jauh untuk menonton apa yang dia
lakukan," lalu dengan tertawa getir juragan Jik meneruskan,
"karena aku tidak ingin dagingku juga dimakan olehnya."
Siau Ma tidak sempat bertanya lagi karena dilihatnya dari
luar beranjak masuk seorang tua dengan langkah lambat.
Seorang tua yang kelihatan kereng dan mengenakan kopiah
bambu lebar sebesar baskom, jubah hitam yang gombrong
dan panjang membungkus tubuhnya sampai menyentuh
tanah. Jenggotnya panjang memutih menyentuh dada, siapa
pun yang berhadapan dengan orang tua ini akan menaruh
hormat padanya.
Juragan Jik menyambut kedatangan orang tua ini dengan
laku hormat dan tersipu, sambil munduk-munduk ia menarik
sebuah kursi di pojokan sana, lalu berkata dengan mengunjuk
tawa ramah, "Silakan duduk."
"Terima kasih," sahut orang tua itu mengangguk.
"Hari ini kau orang tua masih ingin minum ten?" tanya
juragan Jik. "Benar," sahut si orang tua, suaranya kalem lagi damai,
gerak-geriknya berwibawa dan hati-hati, siapa pun yang
melihat orang tua ini, dalam hatinya akan merasa salut dan
hormat. Demikian pula Siau Ma, dia pun tidak terkecuali. Tak
pernah terbayang sebelumnya oleh Siau Ma bahwa di Longsan
sini ada orang tua yang bersikap kereng dan berwibawa
seperti orang tua ini. Diam-diam Siau Ma berdoa agar orang
tua ini tidak melihat gadis yang menggeletak di lantai di
belakang meja itu.
Syukur orang tua ini memang tidak memperhatikan
keadaan sekelilingnya. Dia duduk tegak dan rapi, matanya
tidak pernah melirik ke sana atau ke sini, hakikatnya tidak
pernah melihat orang lain, seolah-olah hanya dia sendiri yang
berada di tempat itu.
Juragan Jik bertanya lagi masih sambil munduk, "Kau
orang tua ingin minum Hiang-pi atau Liong-kin dari Hokkian?"
"Terserah apa saja yang kau siapkan, cuma seduhkan teh
itu lebih kental dari biasanya, hari ini aku sudah kenyang dan
puas," dengan suara lega ia melanjutkan, "tiap kali melihat
gadis-gadis belia yang montok, seleraku menjadi tinggi, aku
makan lebih banyak dari biasanya. Daging nona cilik memang
empuk, enak lagi gurih, dan yang penting daging muda
menambah sehat badanku."
Berubah air muka Siau Ma, jari-jari tangannya mengepal
keras dan dingin.
Meski tempat duduknya tidak jauh, tapi orang tua ini
melirik pun tidak ke arah Siau Ma, sikapnya tetap kereng
berwibawa, dengan sebelah tangan dia membuka ikatan tali di
bawah dagunya, lalu mencopot kopiah bambu di atas
kepalanya. Siau Ma melihat kepala orang tua ini gundul
kelimis. Kini orang tua ini kelihatan mirip padri kosen yang
mendalam ajaran agama yang dianutnya.
Mendadak Siau Ma berdiri lalu menghampiri, setelah
menarik kursi, lalu duduk di depan orang tua itu, tanyanya,
"Kau mau minum arak?"
Orang tua itu menggeleng kepala.
"Konon orang yang suka makan daging manusia harus
banyak minum arak, kalau tidak, perut bisa mulas," demikian
olok Siau Ma. "Sudah setua ini usiaku, belum pernah perutku sakit,"
sahut orang tua itu kalem.
"Sebentar lagi mungkin perutmu akan sakit," ucap Siau Ma
menyeringai. Perlahan orang tua ini mengangkat kepala memandang
Siau Ma sejenak, lalu geleng kepala, ujarnya, "Sayang, sayang
sekali." "Apa yang dibuat sayang?" tanya Siau Ma.
"Sayang hari ini aku sudah banyak makan, perutku sudah
kenyang." "Kalau belum kenyang apa kau ingin mencicipi dagingku?"
"Tidak perlu dicicipi, sebagai seorang ahli, sekali pandang
aku sudah tahu dagingmu pasti lezat," lalu ia menjelaskan
lebih lanjut, "daging manusia dibagi beberapa jenis, dagingmu
adalah jenis yang paling baik."
Siau Ma tertawa, tertawa lebar.
Juragan Jik keluar sambil membawa sepoci wedang teh
yang wangi dan kental, asap putih mengepul dari mulut poci
yang tegak melengkung ke depan.
Mendadak Siau Ma bertanya kepada juragan Jik, "Apa
betul di tempat ini belum pernah ada orang berkelahi?"
Juragan Jik mengangguk, sahutnya, "Ya, sekalipun belum
pernah ada."
"Bagus sekali," lenyap suara Siau Ma, meja kayu di
depannya mendadak mencelat ke atas dan meluncur keluar
rumah, berbareng tinju kirinya menggenjot hidung sang
Hoatsu. Hoatsu tertawa dingin, telapak tangannya yang kurus
seperti ranting kering melambai, kuku jari panjang yang
semula melingkar itu mendadak mulur laksana pisau mengiris
urat nadi Siau Ma di pergelangan tangannya. Tak nyana, kali
ini Siau Ma membarengi dengan tinju kanan yang menggenjot
perut. Jotosan Siau Ma dilontarkan secara gamblang, tanpa
tipu tidak memakai akal, namun serangannya memang lihai,
gerak tinjunya sangat menakjubkan, tinju Siau Ma memang
teramat cepat. "Bluk", begitu tinju menghantam perut, suaranya seperti
kayu memukul tambur pecah, menyusul terdengar suara
"Krak", kursi di bawah pantat sang Hoatsu mendadak hancur.
Tapi orangnya masih bergaya duduk terapung di udara.
Seakan kekuatan tinju Siau Ma menghajar hancur kursi yang
diduduki orang tua ini, bukan menggenjot perutnya.
Siang Bu-gi mengerut kening, ia maklum orang tua atau
Hoatsu telengas ini menggunakan ilmu meminjam tenaga
memunahkan pukulan lawan, jarang ada dalam Bu-lim jago
silat yang mampu meyakinkan ilmu setara orang tua atau
Hoatsu ini. Siau Ma tidak peduli bagaimana akibat pukulannya, tidak
mau tahu ilmu apa yang digunakan lawan, dengan mendelik
dia berkata, "Perutmu sakit tidak?"
Dingin suara Hoatsu, "Perutku tidak pernah sakit."
"Bagus," belum lenyap suaranya, sepasang tinju Siau Ma
bergerak lagi, yang diincar tetap hidungnya. Gerak tangan
Hoatsu juga tidak lambat, kuku jarinya yang panjang dan
runcing setajam pisau menusuk tenggorokan Siau Ma. Hoatsu
balas menyerang dengan harapan dapat menghalau atau
mematahkan tinju Siau Ma, maka serangan balasan mengincar
leher yang cukup vital di tubuh manusia, sebelum melukai
atau merobohkan lawan, Siau Ma dipaksa untuk
menyelamatkan diri lebih dulu.
Siau Ma memang nekat, bukan saja tidak berusaha
menolong diri sendiri, hakikatnya tak peduli apakah serangan
kuku lawan bisa menamatkan jiwanya. Yang penting tinjunya
menjotos remuk muka lawan, maka tinju kanannya tetap
menggenjot perut lawan. Padahal kuku jari si Hoatsu yang
panjang runcing tinggal setengah senti menusuk lehernya,
sayang sekali tinju Siau Ma sudah mendahului mengenai
perutnya. Tinju Siau Ma bergerak laksana kilat, nyalinya teramat
besar. Bila dia ingin memukul perut seseorang, maka
sasarannya harus kena, lawan harus roboh setelah kena
jotosannya, mati hidup diri sendiri tidak pernah dipikirkan.
Mesti perutnya kena dua kali jotosan, Hoatsu tetap tidak
bergeming dari tempatnya, pantatnya masih bergantung di
udara, nyata kuda-kuda kedua kakinya memang hebat sekali.
Namun mukanya kelihatan berubah sedikit, kukunya yang
panjang kembali melingkar di ujung jarinya. Ternyata jotosan
kedua Siau Ma di perutnya telah membuat pertahanan tenaga
dalamnya di pusat dada, buyar tanpa terbendung lagi, laksana
tanggul yang jebol diterjang air bah. Tanpa landasan tenaga
dalam, kuku jarinya itu tidak berfungsi sama sekali.
"Bagaimana" Perutmu mulai sakit bukan?" ejek Siau Ma
sinis.
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hoatsu menggeleng kepala.
Siau Ma menyeringai dingin, "Kalau perutmu tidak sakit,
kenapa mukamu berubah, kenapa tidak mampu bicara?"
Pelan-pelan Hoatsu menarik napas panjang, mendadak
tubuhnya mencelat ke udara, berbareng telapak tangan
berbalik memenggal leher Siau Ma, sementara dua kakinya
menendang perut dan dadanya. Tipu ganas tipu telengas,
gerak-geriknya aneh, waktu bergerak, sekujur badan bagai
bergoyang, jubah longgar yang membungkus badannya juga
bergetar, wajahnya beringas mirip siluman iblis kelaparan.
Sayang sebelum serangannya kena sasaran, tinju Siau Ma
lebih dulu mendarat di perutnya. "Blang" tubuh orang tua ini
mental ke sana dan "Bluk" menumbuk ke dinding, lalu melorot
ke bawah. Siau Ma memburu maju, tinjunya bergerak cepat dan
ganas, sederas hujan ia menghajar hidung dan muka orang,
memukul perut, menggenjot pinggang dan dada. Hoatsu
dihajarnya sampai muntah darah, air liur, isi perut dan air
kuning pun tertuang dari mulutnya. Tapi Siau Ma masih terus
menghajar dan memukul hingga tulang dadanya hampir
remuk, saking kesakitan Hoatsu berguling di tanah, meratap
dan meraung kesakitan.
Untung Siau Ma yang keletihan menghentikan pukulannya.
Lan Lan juga memeluknya dari belakang dan menyeretnya
mundur. Hoatsu menggeletak tak bergerak.
Wajah juragan Jik tampak pucat dan tegang, "Begitu cepat
tinjunya bergerak, bagai kilat saja."
Siau Ma berkata dengan napas tersengal, "Boleh kau
siarkan pada orang-orang di Long-san, bahwa si Kuda Binal
pernah menghajar orang di hotelmu."
Juragan Jik menghela napas, "Hanya di hotel ini kalian bisa
aman, dapat makan kenyang dan tidur lelap tanpa diganggu.
Kenapa kau justru melanggar larangan di tempatku ini?"
"Kalian sendiri yang bikin peraturan, aku orang luar tak
perlu patuh pada larangan itu."
"Apa kau tidak tahu aturan?" tegur juragan Jik.
"Aku punya aturan sendiri."
"Aturan apa?"
"Orang yang patut dihajar harus diganyang, umpama
harus mempertaruhkan jiwa ragaku juga akan kuhajar dulu
bangsat itu," lalu dengan nada dingin Siau Ma menambahkan,
"itulah aturanku, aturanku pasti lebih baik."
"Dalam hal apa aturanmu lebih baik?" tanya juragan Jik.
Siau Ma mengangkat tinjunya, "Selama tinjuku berguna,
dia akan menegakkan aturan, tidak boleh ditawar lagi."
Juragan jik harus menerima kenyataan, siapa pun takkan
bisa membantah, segala aturan di dunia ini, peduli aturan apa,
tidak sedikit yang ditegakkan dengan kerasnya tinju. Tinjuku
lebih keras, maka aturanku pasti lebih baik, itulah hukum
rimba persilatan.
Siau Ma mendelik pada juragan Jik, "Satu hal perlu aku
tegaskan kepadamu."
Juragan Jik mendengarkan.
"Hanya aku yang melanggar aturan, orang lain tiada
sangkut pautnya, oleh karena itu, di saat mereka istirahat di
sini, kalau ada orang berani mempersulit mereka, aku akan
membuat perhitungan denganmu," lalu dengan muka
membesi menambahkan, "aku yakin kau tidak akan
melupakan peringatan ini."
Siau Ma tahu juragan Jik takkan berani alpa, tinjunya
merupakan jamiman.
Mendadak Lan Lan bertanya, "Kami istirahat di sini, lalu
engkau?" "Lo-bi adalah sahabatku, Cen Cen dan Cen Cu juga baik
terhadapku."
"Kau akan mencari mereka?"
Mengawasi gadis yang menggeletak di lantai, Siau Ma
berkata sedih, "Aku tidak akan membiarkan mereka tinggal di
sini makan daun!"
"Tapi tenagamu amat kami butuhkan!"
"Saat ini kalian tidak perlu bantuan orang lain, kalau kalian
tetap tinggal di sini akan aman sementara, apalagi kalian
memang perlu istirahat."
"Bukankah kau juga harus istirahat?"
"Kondisiku masih baik," ujar Siau Ma, "kalau ada teman
hendak terjun ke lautan api, asal masih bisa menariknya,
peduli apapun yang harus kulakukan, tidak kupikirkan lagi."
"Apakah itupun aturanmu?"
"Ya, aturan yang tidak boleh diubah."
"Umpama jiwamu harus menjadi korban karena aturan itu,
tetap tidak kau langgar aturanmu itu?"
"Ya, mati pun tidak akan kulanggar."
Tiba-tiba juragan Jik muncul lagi, sepoci arak ditaruh di
depan Siau Ma, "Silakan minum."
Melihat arak, Siau Ma tertawa lebar, "Kau ingin jual
arakmu kepadaku?"
"Untuk satu poci arak ini kau boleh minum tanpa bayar,
gratis!" "Sejak kapan kau mau mentraktir tamumu?"
"Mulai saat ini, aku hanya mentraktir tamu seperti dirimu."
"Orang macam apa aku ini?"
"Orang yang punya aturan, aturan yang ditegakkan
sendiri," lalu ia tuang arak secangkir penuh untuk Siau Ma.
"Orang seperti dirimu sudah makin jarang di dunia ini, maka
dengan senang hati aku mentraktirmu."
Siau Ma tertawa lebar, cangkir diangkat, arak pun pindah
ke dalam perut, "Sayang, hari ini kau harus mentraktirku dua
kali." "Lho, kenapa?"
"Sebelum mentari terbenam, aku pasti kembali, umpama
harus merangkak juga aku akan pulang ke sini."
Lan Lan menggigit bibir. "Pulang untuk minum araknya?"
tanyanya dengan mendelu.
Siau Ma menatapnya, "Pulang untuk melaksanakan tugas
yang pernah kujanjikan kepadamu."
Mendadak Siang Bu-gi menyeletuk, "Kalau kau mampus
bagaimana?"
"Lebih baik kalau mampus."
"Lebih baik bagaimana?" tanya Lan lan.
"Betapapun ganas dan buas seekor serigala takkan berani
melawan setan penasaran, di waktu hidup, aku laki-laki jalang,
setelah mampus aku akan jadi setan liar," lalu dengan
tersenyum Siau Ma menambahkan, "kalau setan liar
melindungi kalian lewat gunung, apa pula yang harus kalian
kuatirkan?"
Lan Lan ingin tertawa, tapi kulit mukanya terasa kaku
tebal, lalu ia mengisi secangkir arak untuk Siau Ma, "Sebelum
matahari terbenam, kau yakin dapat menemukan kawanan
serigala itu?"
"Aku tidak yakin, tidak punya pegangan, tapi ada orang
yang dapat menunjukkan tempat itu."
Lan Lan mengawasi gadis yang semaput itu, "Gadis ini
maksudmu?"
"Ya, aku punya akal untuk membuatnya sadar," ujar Siau
Ma. Lan Lan menghela napas, "Lukanya tidak ringan, kalau
sadar tentu amat menderita."
"Derita itu justru akan membuatnya selalu sadar."
Derita memang bisa menjernihkan otak manusia. Setiap
orang yang mengarungi kehidupan pasti pernah menderita,
dan siapa pun tak mungkin menghindarinya. Jikalau manusia
bisa selalu ingat hal ini, maka orang dapat bertahan hidup,
hidup lebih tabah, hidup lebih senang gembira. Lambatlaun
orang akan sadar, hanya manusia sadar yang dapat meresapi
penderitaan hidupnya, maka hidup itu akan ada artinya, hidup
itu bermakna, maka harga dirinya pun harus dihormati.
* * * * * Air mengalir dari atas gunung, Siau Ma cemplungkan gadis
itu ke dalam air gunung yang bening dan dingin.
Luka irisan di payudara gadis itu tidak ringan. Air dingin
merasuk ke dalam tubuh, membuat luka-luka itu perih sekali,
rasa sakit memang susah ditahan, tapi rasa sakit itu akan
membuatnya sadar.
Gadis itu meronta-ronta dalam air, berusaha berdiri,
tangannya menggapai-gapai, mirip ikan yang terbidik tusukan
tombak, namun ikan tidak bisa bersuara, sebaliknya gadis itu
menjerit-jerit, ratapannya amat menyedihkan.
Siau Ma diam menyaksikan dan mendengar derita gadis
ini, bukan karena tega dan tabah menyaksikan keadaan yang
mengenaskan ini. Tapi Siau Ma beranggapan, gadis ini harus
dicuci jiwa raganya, bukan dicuci dengan air dingin, tapi dicuci
dengan penderitaan, dicuci dengan rasa sakit yang luar biasa.
Emas dibakar baru bisa memperlihatkan kemurniannya,
burung Hong harus mandi di dalam api baru akan
memperlihatkan bulunya yang indah dan semarak.
Lama kelamaan gadis itu menjadi lemas, tidak meronta
juga tidak merintih lagi, dengan tenang dia biarkan tubuhnya
terapung di permukaan air, dengan napas tersengal-sengal ia
membuka mata dan menengadah, maka ia melihat Siau Ma,
sorot matanya tampak jernih, gadis ini sudah sadar.
Waktu lupa daratan karena pengaruh daun, mungkin gadis
ini menjadi jalang dan cabul, setelah sadar, dia tidak lebih
hanya gadis cilik yang tidak tahu apa-apa, gadis kesepian
yang mendambakan pertolongan. Melihat Siau Ma duduk
tenang mengawasi dirinya di pinggir kolam, sikap dan mimik
gadis ini tampak malu, kaget dan bingung.
Gadis cabul atau perempuan jalang takkan memperlihatkan
sikap dan mimik begitu. Hanya gadis cabul dan perempuan
jalang yang berani berdiri dan bertolak pinggang tanpa
mengenakan benang selembar pun di badannya.
Setelah gadis itu tenang, Siau Ma tersenyum ramah. "Aku
she Ma," ia memperkenalkan diri, "orang memanggil aku Siau
Ma." Dengan melenggong gadis itu mengawasinya sesaat
lamanya, "Aku tidak mengenalmu!"
"Ah, masa ya" Tadi kau mengajakku bermain, kenapa
secepat ini kau lupa."
Gadis itu mengawasinya lagi beberapa saat, lalu
mengawasi keadaan sendiri, lapat-lapat masih teringat
olehnya apa yang telah dialaminya tadi. Seorang yang terjaga
dari mimpi buruk, takkan lekas melupakan makna dari
impiannya. Gadis itu termenung, agaknya susah dia membedakan
kenyataan dalam mimpi atau keadaan yang dihadapinya
sekarang. Maklum gadis ini sudah lama terbenam dalam
mimpi buruk itu.
Siau Ma maklum dan meresapi perasaannya, "Apa kau
ingin berdiri" Atau masih takut?"
Mendadak gadis itu melompat dari dalam air, menubruk ke
arah Siau Ma, jari-jarinya seperti ingin mencekik leher dan
mencolok mata Siau Ma. Tapi sekali gebrak, urat nadi gadis itu
telah tergenggam kencang olehnya, seketika gadis itu menjadi
lumpuh, tak mampu berkutik lagi. Dengan baju luarnya, Siau
Ma membungkus tubuhnya, perlahan memeluknya penuh
kasih sayang. Gadis cilik itu mengertak gigi, desisnya geram, "Akan
kubunuh kau, cepat atau lambat pasti kubunuh kau."
Siau Ma berkata, "Sebetulnya kau tidak ingin
membunuhku, kau tidak membenciku, tapi kau membenci
dirimu sendiri." Sambil bicara Siau Ma tersenyum lembut,
senyum simpatik.
Tapi setiap patah kata yang dia ucapkan setajam jarum
menusuk perasaannya, "Aku tahu sekarang kau sudah
menyesal, sudah bertobat, kau terperosok ke jurang nista itu
hanya untuk mengejar kesenangan, mencari gembira dan
ingin bebas, tapi di sana kau mendapatkan derita dan
penyesalan."
Siau Ma saksikan mimik orang yang tersiksa lahir batin,
kata-katanya pedas setajam sembilu menusuk ulu hati, "Di
kala kau sadar, kau akan selalu membenci diri sendiri, oleh
karena itu kau berusaha menyiksa diri, menebus dosa yang
pernah kau lakukan, tapi mungkin kau lupa atau tidak sadar,
apa yang sudah kau lakukan justru tidak bermanfaat bagi
orang lain, lebih celaka lagi, tidak berguna untuk dirimu
sendiri." Kata-kata yang tajam seruncing jarum menusuk
sanubarinya hingga membuka bundel dalam hatinya. Hal ini
dirasakan dan diresapi juga oleh Siau Ma.
Tubuh gadis itu berguncang, air mata pun bercucuran,
terisak dengan sedih. Seorang kalau masih bisa mencucurkan
air mata, maka dia masih bisa ditolong.
Dengan penuh kasih sayang Siau Ma membelai rambutnya,
"Untung kau masih muda, masa depanmu masih terbentang
lebar, kesempatan masih menunggumu untuk membina diri ke
jalan benar, menjadi manusia lumrah yang hidup tenteram
sentosa." Mendadak gadis itu menengadah, dengan air mata
berlinang ia menatap Siau Ma, mimiknya seperti orang yang
hanyut di sungai berarus deras berhasil meraih sebatang balok
yang terapung di permukaan air.
"Apa betul aku masih sempat menolong diriku?"
"Ya, betul," sahut Siau Ma tegas.
* * * * * Air gunung itu jernih kembali, air kolam terus mengalir silih
berganti. Menyusuri arus sungai di bawah petunjuk gadis cilik itu,
Siau Ma menuju ke pedalaman.
"Air gunung ini bersumber dari sebuah danau," demikian
kata gadis cilik itu, "namanya danau Surya."
"O, jadi di danau itulah kalian mengadakan upacara
persembahan kepada sang surya?" tanya Siau Ma.
Gadis itu memanggut, "Setiap pagi di kala sang surya
terbit, cahayanya menyinari permukaan danau." Sorot
matanya membayangkan khayal yang indah, "Maka air danau
menjadi cemerlang. Beramai-ramai kami terjun ke dalam
danau tanpa menggunakan selembar benang, laki perempuan
tidak berbeda, seolah-olah kita dipeluk atau direnggut oleh
sang surya yang hangat dan damai." Suaranya seperti igauan
di alam mimpi yang penuh khayal, bukan merayu juga tidak
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengandung maksud jahat.
"Biasanya kita mengadakan persembahan di kala sang
surya terbit, kami berdoa semoga persembahan kami tetap
abadi, kami tidak akan melupakan pujaan kami kepadanya."
"Dengan cara apa kalian mengadakan persembahan?"
tanya Siau Ma. "Biasanya kami hanya menggunakan untaian bunga warnawarni,"
gadis itu bercerita dengan suara lembut. "Rangkaian
bunga yang segar yang kami petik dari pegunungan nan jauh
di sana." "Lalu kapan yang kau anggap bukan hari biasa?"
"Setiap tanggal 15 tiap bulan kami mengadakan upacara
khusus." "Dengan apa kalian mengadakan upacara khusus."
"Dengan awak kami sendiri," si gadis menerangkan lebih
jauh. "Tiap tanggal 15 kami akan mempersembahkan jiwa
raga kami kepada sang surya."
Siau Ma belum mengerti, "Cara bagaimana upacara
persembahan dilakukan?"
"Kami memilih seorang pemuda yang paling gagah dan
perkasa di antara kita, dia kita lambangkan sebagai malaikat
surya, setiap gadis di sini ingin mempersembahkan dirinya
kepada malaikat surya ini. Biasanya upacara ini berlangsung
sehari penuh, setelah sang surya turun di balik gunung baru
upacara usai." Lalu dengan suara lebih kalem gadis itu
melanjutkan, "Terakhir kali kami buat persembahan itu mati di
bawah pancaran sinar surya yang terakhir kali menyorot di
balik gunung itu." Kini suaranya datar tapi mengesankan,
seperti sedang berkisah tentang dongeng yang indah.
Bab 12 Sebaliknya perut Siau Ma mengejang setelah mendengar
ceritanya, isi perut bergolak, hampir saja tumpah-tumpah.
"Apakah pemuda itu juga rela dijadikan korban?"
"Wah, sudah tentu rela," sahut gadis itu, "Di dunia ini tiada
kematian yang dibanggakan seperti cara itu, mati secara suci."
Mendadak suaranya berubah duka nestapa, "Sayang sekali
kesempatanku terbuang percuma."
"Kau?" pekik Siau Ma. "Dirimu juga jadi persembahan?"
"Pada hari upacara, setiap pemuda yang hadir akan
mencari gadis pasangannya, memilih gadis yang dipujanya
untuk dijadikan malaikat perempuan."
"Lalu tiap pemuda yang hadir akan ... akan ...." sukar Siau
Ma menemukan ungkapan yang tepat untuk menjelaskan
kejadian brutal itu.
"Setiap pemuda akan berusaha menyemburkan benih
keturunannya ke tubuhnya. Bagi kami benih laki-laki jauh lebih
berharga daripada darah, adalah jamak kalau setiap orang
mempersembahkan miliknya yang paling berharga untuk
disampaikan kepada sang surya."
Tinju Siau Ma mengepal kencang. Nalurinya mendadak
menangkap adanya suatu kekuasaan atau katakanlah seorang
yang berikhtiar jahat menguasai atau mengendalikan anakanak
muda yang keblinger itu. Justru karena para pemuda itu
mendambakan hidup bebas, hidup senang dan merdeka dalam
alam khayal yang tak pernah tercapai, lalu orang ini melansir
peritiwa kotor dan sesat sebagai kedok indah untuk mencpai
keinginannya. Kini sudah jelas, bukan hanya badaniah anak-anak muda
ini saja yang terinjak-injak, dirusak dan disiksa, batin mereka
pun dilukai, dikuasai dan pikiran juga dikelabui oleh suasana
yang memabukkan.
Berkerutuk jari-jari Siau Ma saking kencang menggenggam
gemas, ingin rasanya menjotos ringsek hidung orang jahat
yang berkedok sebagai duta sang surya itu.
Gadis itu bercerita lebih lanjut, "Besok lusa adalah tanggal
15, malaikat perempuan yang mereka pilih untuk
persembahan bulan ini sebetulnya adalah aku."
"Lalu bagaimana sekarang?"
"Aku dicampakkan karena mereka ganti memilih
pendatang baru," demikian tutur gadis itu dengan suara
sendu, jelas hatinya mendelu, "Gadis yang terpilih itu adalah
perempuan asing yang baru datang dari tempat jauh."
"Karena itu kau amat penasaran, sedih, marah dan
masgul, maka kau makan daun sebanyak-banyaknya, kau
ingin melupakan kejadian yang memalukan dan menyedihkan
ini." Gadis itu menunduk diam, diam adalah pengakuan.
Mendadak Siau Ma tertawa, tertawa besar.
Gadis itu menatapnya kaget, "Kenapa kamu tertawa?"
"Aku merasa lucu, kejadian ini amat jenaka."
"Kejadian apa yang lucu?"
"Peristiwa yang menimpa dirimu."
"Maksudmu aku yang lucu?"
"Seorang yang mesti menjadi korban, mendadak menjadi
sadar dan tidak jadi berkorban sia-sia. Bahwa dirinya batal
menjadi korban konyol, umumnya orang akan merasa senang
dan lega, sebaliknya engkau justru amat sedih." Lalu dengan
menggeleng kepala ia menambahkan, "Selama hidupku belum
pernah aku mendengar atau menyaksikan kejadian selucu ini."
"Soalnya ada yang tidak kau ketahui."
"Soal apa yang tidak kuketahui."
"Kau tidak tahu apa makna kehidupan yang sejati."
"O, jadi kalau engkau meninggal, menjadi korban secara
penasaran, di luar kesadaran lagi, coba jelaskan apa makna
dari kehidupanmu?"
Gadis itu menghela napas, "Kejadian itu boleh dianggap
ajaib, suatu yang ... ya katakanlah penuh magis, sukar aku
memberi penjelasan."
"Kau tahu siapa gerangan yang dapat menjelaskan?" Siau
Ma memancing. "Ya, ada seorang dapat memberi penjelasan," ucap si gadis
dengan sorot mata bercahaya, "Hanya seorang saja, karena
hanya dia yang menuntun kami ke alam hidup abadi."
Tinju Siau Ma terangkat ke atas kepala, dia menekan
emosi, mengendalikan gelora amarah yang membakar dada.
Dia memancing lebih jauh, "Siapakah dia?"
"Dia bukan lain ialah duta sang surya, malaikat lelaki,
dialah yang menjadi pimpinan upacara persembahan itu."
"Dapat aku bertemu dengannya?"
"Kau ingin bertemu dengannya?"
"Ya, ingin sekali."
"Apa benar kau tulus ingin menjadi anggota kita" Menjadi
pemuja malaikat surga."
"Ehm, aku ingin menjadi pengikutmu."
"Kalau begitu sekarang akan kubawa kau ke sana."
Siau Ma berjingkrak, "Ayolah, sekarang juga berangkat."
Tabir malam masih lama, mentari masih bercokol di
cakrawala, teriknya masih terasa seperti bara yang membakar
kulit. * * * * * "Setiap hari kala senja, waktu mentari menjelang kembali
ke peraduannya, cahaya terakhir selalu kemilau di permukaan
danau." "Jadi saat itu kalian juga mengadakan upacara?"
"Ehm, menyenangkan sekali."
"Yang memimpin upacara juga malaikat surya itu?"
"Biasanya memang demikian."
Siau Ma mengawasi jari-jari tangannya yang terkepal,
gumamnya, "Kuharap hari ini juga ada upacara seperti
biasanya."
* * * * * Cahaya mentari menerangi langit, menerangi jagat raya,
menyinari permukaan danau. Di bawah pancaran cahaya sang
surya, permukaan danau yang tenang itu kelihatan seperti
bara yang sedang menyala benderang.
Di tengah danau terapung sebuah kapal. Kapal yang kecil,
di atas kapal penuh bertumpuk bunga segar, bunga warnawarni
yang harum semerbak, bunga-bunga segar yang dipetik
dari atas gunung.
Di pinggir danau ada satu orang. Seorang yang berpakaian
serba kuning mirip robot yang dibuat dari emas murni, jubah
panjang kuning emas, dengan mahkota yang serba mengkilap
pula, demikian pula topeng menutup mukanya juga terbuat
dari emas murni.
Sendirian robot kuning ini berdiri di bawah cahaya sang
surya, mentari hampir tenggelam, tampak betapa angker,
gagah, semarak dan agung keadaannya.
Siau Ma melihat orang ini, melihat robot kuning itu. Siau
Ma sudah berada di pinggir danau, berada di tempat tujuan,
dia meluruk datang dengan sepasang tinju yang terkepal sejak
tadi, dalam pandangannya tidak nampak ada keangkeran dan
keagungan dari robot kuning itu. Dia hanya melihat kesesatan,
munafik dan kejahatan.
Tak jarang terjadi di dunia ini, adanya peristiwa kotor yang
memalukan, sering kali terselubung di balik keagungan yang
indah. Sambil mengepal tinju Siau Ma maju menghampiri.
"Kaukah duta malaikat surya?" tanyanya berang dan gemas.
Duta kuning itu manggut-manggut.
Siau Ma menuding hidung sendiri, "Kau tahu siapa aku?"
Duta itu manggut pula, lalu bicara, "Aku tahu siapa
engkau, aku sedang menunggumu." Suaranya sinis tidak
simpatik, tidak sehangat cahaya sang surya, namun membawa
daya magis yang menyesatkan, robot kuning ini melanjutkan,
"Kalau kau benar-benar tulus memujaku, aku akan
menerimamu, akan kutuntun engkau pergi ke surga, ke alam
hidup abadi."
"Maksudmu mati adalah abadi?"
"Ya, ada kalanya mati diartikan hidup abadi."
"Kalau demikian kenapa tidak kau saja yang mampus?"
sembari bicara Siau Ma menerjang sambil menjotos dengan
sepasang tinjunya, menjotos hidung orang. Umpama dia tahu
hidung orang ini terbuat dari tembaga atau emas murni juga
tetap akan digenjotnya sampai penyok, memukulnya hingga
ringsek atau hancur luluh.
Berapa banyak hidung orang pernah dipukulnya sampai
ringsek, Siau Ma sendiri tidak ingat. Dia hanya ingat setiap kali
tinjunya menggenjot, jarang ada musuh yang mampu
menyelamatkan hidungnya, jadi tidak pernah ada lawan yang
luput dari serangannya, umpama tidak mengenai hidung,
paling tidak mata atau gigi lawan pasti dibuatnya cacat dan
memar. Padahal gerak jotosannya sederhana saja, tidak
mengandung perubahan yang lihai, juga bukan tipu atau jurus
yang menyesatkan, kelihaian jotosan Siau Ma hanya bisa
dinilai dengan satu kata 'Cepat'.
Cepat sekali, kecepatan tinjunya memang patut membuat
ciut nyali setiap lawan yang berhadapan dengannya, begitu
cepat tinjunya bekerja, lawan sukar menghindar meski melihat
jelas tinju Siau Ma menjotos tiba, namun sukar dielakkan dan
tidak bisa ditangkis atau dipatahkan. Kecepatan gerak tinjunya
sukar diukur. Tui-hong-to (golok pengejar angin) Ting-ki, tokoh yang
terkenal dengan golok kilatnya di kalangan Kangow. Konon di
saat golok kilatnya bergerak, mampu membelah lalat atau
nyamuk yang terbang di udara.
Suatu ketika Ting Ki menantang Siau Ma berduel, dia ingin
membelah tubuh Siau Ma menjadi dua potong dengan golok
pengejar anginnya. Kenyataan goloknya memang sudah
menyentuh leher Siau Ma, tapi bukan leher Siau Ma yang
putus, sebaliknya hidungnya ringsek oleh tinju Siau Ma.
Kecepatan tinju Siau Ma mungkin belum mampu
menandingi kecepatan pisau terbang Li Sin-hoan, seratus kali
Li Sin-hoan menimpukkan pisaunya seratus kali kena, belum
pernah pisau terbang itu gagal menunaikan tugas, kalau tidak
yakin berhasil, Li Sin-hoan tidak akan menyambitkan pisaunya,
tapi begitu pisau itu disambitkan, lawan pasti roboh binasa,
hanya sekali sambit saja.
Meski belum seratus persen menyamai kecepatan pisau
terbang Li Sin-hoan, sedikitnya sudah mencapai sembilan
puluh lima persen. Kalau ada orang iseng mau menghitung
dan membandingkan pisau terbang dengan tinju kilat Siau Ma,
rekor yang dicapai Siau Ma mungkin sudah mencapai sembilan
puluh sembilan persen, berarti dalam seratus kali menyerang,
hanya sekali tinju Siau Ma gagal merobohkan lawan.
Menakjubkan adalah kejadian sore hari ini, sungguh luar
biasa bahwa tinju Siau Ma kali ini gagal menunaikan tugasnya.
Begitu tinjunya bergerak, duta malaikat surya segera
melayang mundur seenteng daun segesit tupai.
Dalam jangka setengah hari, tepatnya belum cukup enam
jam, sudah dua kali tinju Siau Ma tidak manjur lagi, gagal
merobohkan lawannya. Sungguh kejadian ini belum pernah
dialaminya. Mendadak Siau Ma sadar bahwa Ginkang dan
gerak-gerik duta surya setingkat lebih tinggi dibanding Longkuncu. Duta itu bertolak pinggang mengawasi dirinya, lalu berkata
dengan santai, "Kau luput memukulku!"
"Ya, sekali luput, masih ada pukulan kedua dan
seterusnya."
"Jadi kau masih ingin mencoba?"
"Selama hidungmu masih utuh, selama tinjuku masih bisa
bergerak, pukulanku tidak akan berhenti, serangan takkan
putus," Siau Ma siap menerjang lagi.
"Tunggu dulu," mendadak duta surya berteriak.
"Tunggu apalagi?" jengek Siau Ma.
"Tunggu sebentar, akan kuperlihatkan seorang
kepadamu."
"Siapa yang akan kuperlihatkan kepadaku?"
"Yang pasti orang ini amat elok dipandang, aku tanggung
kau ingin melihatnya," demikian ucap sang duta, nadanya
tandas penuh keyakinan.
Mau tidak mau tergerak hati Siau Ma, agaknya dia
terpengaruh oleh ucapannya.
Duta itu berkata pula, "Setelah melihatnya, jikalau kau
masih ingin memukul hancur hidungku, aku pasti tidak balas
menyerang."
Siau Ma tidak percaya, namun hatinya lebih tertarik, maka
ia bertanya, "Siapa sebetulnya orang itu?"
"Keadaannya sekarang sudah bukan manusia lagi."
"Bukan manusia" Memangnya jadi apa dia?"
"Sekarang dia menjadi malaikat perempuan."
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hari itu setiap pemuda yang hadir dalam upacara akan
memilih pasangan yang dipujanya untuk dijadikan malaikat
perempuan sebagai pelampias napsunya.
Malaikat perempuan yang mereka pilih ternyata adalah
perempuan asing yang datang dari lain tempat.
Jari-jari Siau Ma mengendor, tangannya jadi lemas, lutut
pun goyah, tiba-tiba tinjunya mengepal. Firasat jelek
mendadak menggelitik sanubarinya, tak tahan ia bertanya,
"Dimana dia sekarang?"
Duta itu berputar dan menoleh ke sana, tangannya
menuding kapal kecil di tengah danau yang ditaburi kembang
itu, "Di sana itulah."
Sang surya hampir terbenam. Di saat hampir terbenam
dan belum terbenam itulah, terasa merupakan saat-saat yang
paling indah, paling menakjubkan.
Kapal kembang itu tampak semarak di bawah pancaran
sinar surya, kelihatannya seperti di alam mimpi yang indah.
Namun mimpi indah itu mendadak berubah menjadi mimpi
buruk, mimpi terkutuk.
* * * * * Dari atas geladak yang penuh bertaburan kembang segar
itu, perlahan muncul bayangan seorang, lebih tepat kalau
dikata berdiri pelan-pelan. Yang muncul seorang gadis cantik,
gadis rupawan yang bugil alias telanjang bulat.
Rambutnya yang hitam panjang terurai mayang laksana
sutera, kulit badannya halus mulus laksana sutra. Payudaranya
membukit tegak, mungil lagi kencang dan menggiurkan,
pinggangnya ramping, pahanya lurus jenjang dan bersih.
Gadis seperti ini merupakan idaman setiap lelaki, gadis
yang selalu dirindukan setiap perjaka, seorang gadis yang
hanya dapat ditemukan di alam mimpi.
Sebaliknya bagi Siau Ma pertemuan ini merupakan
pertemuan buruk, mimpi buruk, semua serba buruk.
Betapa pahit getir dan sedih hatinya. Betapa manis madu
pengalaman masa lalu" Kenangan yang tak terlupakan
sepanjang masa. Betapa senang dan riang mereka
berkumpul" Betapa sepi dan pilu perpisahan itu"
Untuk siapa selama ini Siau Ma menyiksa diri, kasmaran
dan pesimis"
Siau Lin. Dia menderita dan sedih karena siapa"
Karena Siau Lin.
Siau Ma menjadi gelandangan, berkelana ke ujung langit
sekali pun, siapa yang dicarinya"
Siapa lagi kalau bukan Siau Lin.
Dimanakah Siau Lin sekarang"
Ternyata Siau Lin ada di sini.
Gadis yang berdiri di tengah tumpukan kembang, gadis
yang bugil di atas kapal itu, gadis yang akan dipersembahkan
kepada malaikat surya, tidak lain tidak bukan adalah Siau Lin
yang selama ini dia cari, selama ini dia rindukan, Siau Lin yang
tidak pernah lepas dari benaknya.
* * * * * Tangan Siau Ma berkeringat, sekujur badan menjadi
dingin. Dalam keadaan seperti ini, entah marah atau murka" Sedih
atau menderita" Apapun bukan. Hatinya kosong, menjadi
hampa, sukma maupun darahnya, seolah tersedot habis.
Hanya orang yang pernah mengalami pukulan lahir batin,
hanya yang pernah meresapi penderitaan hidup yang dapat
memahami perasaan Siau Ma waktu itu.
Bagaimana dengan Siau Lin" Seolah-olah gadis ini tidak
punya perasaan. Berdiri kaku, berdiri linglung di tengah
taburan kembang, sukma dan darahnya seperti tersedot
musnah dari raganya.
Siau Lin juga mengawasi Siau Ma, pandangan sayu,
hambar, pandangan yang tidak kenal orang yang ada di
depannya. Mendadak Siau Ma menggembor, menggembor dengan
segenap tenaganya, berteriak dengan segala tenaganya,
berteriak dengan kilap dan histeris.
"Siau Lin ... Siau Lin ...."
Siau Lin tidak mendengar, Siau Lin sudah bukan Siau Lin
yang semula, gadis telanjang ini sudah bukan Siau Lin, gadis
bugil ini sudah siap dipersembahkan kepada malaikat surya.
Siau Ma memburu ke depan, lalu terjun ke dalam danau.
Tiada orang mencegah, tiada yang merintangi. Kapal
kembang itu juga bergerak pergi, Siau Ma berpacu dengan
sekuat tenaga, Siau Ma berenang ke sana, kapal kembang itu
melaju makin jauh dan akhirnya tidak kelihatan.
Kapal kembang itu mirip bunga dalam mimpi, kabut di
tengah hembusan angina lalu, atau rembulan dalam air, hanya
bias dilihat tapi tak mugkin dipegang.
* * * * * Sang surya telah terbenam.
Entah sejak kapan tahu-tahu tabir malam sudah
menyelimuti jagat raya, gunung nan jauh di sana kelihatan
dalam bentuk yang samar-samar, air danau yang mengalun
tenang juga tenggelam dalam kegelapan.
Duta malaikat surya yang serba kuning mengkilap di
bawah pancaran sinar surya tadi, sudah berubah menjadir
setitik hitam di kejauhan. Padahal dia masih berdiri di sana,
berdiri di pinggir danau, pandangan dan sikap dingin tak acuh
mengawasi Siau Ma. Siau Ma meronta-ronta dalam air,
berjerih payah mengerjar kapal itu, jeritannya berubah
menjadi lolong panjang yang mengundang gema tak berarti,
kapal itu berubah menjadi bayangan dalam khayal meski
dikejar dengan mempertaruhkan jiwa juga tak ada artinya lagi.
Waktu terus berlalu, malam makin gelap. Air danau makin
dingin. Mendadak Siau Ma merasa hatinya sakit seperti ditusuk
sembilu, begitu keras tusukan ini hingga kaki tangannya
menjadi lemas, rasa sakit itu merasuk ke tulang sumsumnya,
tubuhnya makin mengendap ke bawah, tenggelam di air
danau yang dingin.
* * * * * Di sini tiada air, yang ada hanya api. Api yang berkobar,
jago merah sedang menyala benderang. Lidah api menjilat
udara tak pernah padam, begitu benderang cahaya api yang
menyala itu hingga orang sukar membuka mata karena silau.
Akhirnya Siau Ma membuka matanya. Di tengah kobaran
api, muncul bayangan seorang, lidah api yang berkobar-kobar
itu mirip kembang semarak, bayangan itu masih di tengah
taburan kembang yang semerbak.
"Siau Lin" Siau Lin?"
Ada hasrat Siau Ma menubruk ke sana, menerjang dalam
kobaran api. Kenapa laron suka menerkam api" Apakah laron bodoh"
Atau karena laron hanya mengejar cahaya benderang" Mesti
berkorban jiwa, tapi laron ingin memperoleh sinar harapan"
Demikian halnya dengan Siau Ma, besar hasratnya
menerkam ke sana, namun tubuhnya terasa lunglai, tidak bisa
bergerak. Untung matanya masih terbuka, bisa melihat dan
mendengar. Orang pertama yang dilihat olehnya bukan lain
adalah Lo-bi. Lo-bi berdiri di pinggir api unggun itu, dengan cengarcengir
mengawasi dirinya.
Entah karena lidah api yang menjilat-jilat atau karena
pandangannya yang kabur, yang pasti Lo-bi terlihat olehnya
serkarang, rasanya sudah berbeda dengan Lo-bi yang dahulu,
Lo-bi sahabatnya yang dikenal baik itu. Lo-bi yang dahulu
meski berkulit tebal, walau seorang pemalas, seorang yang
tidak tahu artinya malu, tapi kelihatannya dia masih mirip
manusia, manusia lumrah seperti manusia pada umumnya,
perawakan gagah, wajah pun genah dan wajar sebagaimana
laki-laki umumnya.
Seroang jika hidupnya tidak keruan, mana mampu
menyamar sebagai Sin-kun-siau-cu-kat Teng Ting-hou, mana
mungkin menggasak makanan orang secara gratis alias tidak
bayar, mana mungkin jual lagak dan main tipu"
Tetapi Lo-bi yang satu ini rasanya sudah berubah, berubah
menjadi sinting. Tujuh bagian gila, tiga bagian linglung.
Waktu mudanya dulu Lo-bi adalah laki-laki perlente, tak
mau mengenakan pakaian sembarangan yang tidak memenuhi
seleranya. Apalagi dalam kehidupan bermasyarakat yang
hanya menitik beratkan pada pakaian, tidak menghargai orang
ini, maka syarat utama bagi seorang yang ahli menipu orang,
pakaian adalah modal utama, pakaian adalah modal murah
tapi membawa hasil besar.
Tapi Lo-bi sekarang hanya berpakaian pendek dengan baju
kutang saja, serba kotor dan jorok lagi. Siau Ma melotot
geram, ingin rasanya melakukan sesuatu, menjotos penyok
hidung orang ini, sayang sekali, mengepal tinju pun jarinya
tidak mampu bergerak.
Lo-bi yang cengar-cengir itu mendadak menuding hidung
sendiri, lalu bertanya dengan nada jenaka, "Bagaimana
menurut pendapatmu tentang diriku sekarang?"
Siau Ma menjawab dengan dengusan hidung.
Lo-bi tertawa, "Jangan khawatir, keadaanku sekarang baik
dan segar, malah selama hidup belum pernah aku menikmati
hidup senang dan sebaik sekarang." Waktu tertawa mimiknya
kelihatan linglung, "Sejak berada di sini, baru aku tahu, baru
aku sadar, bahwa kehidupan yang hampir setengah abad dulu,
hakikatnya tiada artinya, hambar dan sia-sia belaka."
"Enyah kau!" hardik Siau Ma gusar.
"He, kau suruh aku enyah" Baiklah aku enyah saja," ucap
Lo-bi sambil menjatuhkan diri terus menggelundung pergi.
Tampak oleh Siu Ma setelah menggelinding beberapa
meter jauhnya, Lo-bi merangkak mirip anjing, pergi dengan
merangkak. Tidak keruan perasaan Siau Ma. Peduli apapun
yang telah terjadi, jelek-jelek Lo-bi adalah temannya, sahabat
yang pernah sehidup semati. Dalam keadaannya seperti itu
masihkah dia dianggap sebagai manusia"
Namun pikiran Siau Ma terganggu oleh bayangan Siau Lin,
terbayang dalam benaknya adegan apa yang akan dialami
gadis pujaannya itu, Siau Ma lebih sedih, menangis dalam
batin, hatinya remuk redam.
Namun Siau Ma tidak menangis, tidak mencucurkan air
mata, tidak berteriak histeris. Dia juga melihat duta malaikat
surya muncul di pinggir api unggun, bertolak pinggang sambil
mengawasi dirinya dengan sikap dan pandangan menghina,
"Sekarang ada dua jalan dapat kau pilih salah satu."
Karena tidak mampu bergerak, terpaksa Siau Ma
mendengarkan saja.
Lebih jauh duta itu berkata, "Masih kuberi kesempatan
padamu untuk menjadi pemujaku setulus hati, sebaliknya
kalau kau ingin mampus, sekarang juga bisa kulakukan."
Siau Ma putus asa, ingin mati. Dalam keadaan seperti ini
dirinya jelas tidak mampu menolong Lo-bi, apalagi
membebaskan Siau Lin dari cengkraman tangan iblis ini,
saking gregetan, ingin rasanya terjun saja ke dalam api, biar
jiwa dan raganya terbakar habis menjadi abu.
Untunglah pada saat-saat kritis itu, terkiang nasehat Ting
Si sahabatnya itu.
Ting Si adalah temannya juga, teman akrab yang melebihi
saudara kandung. Olehnya maupun orang banyak, Ting Si
dipandang sebagai si cerdik pandai. Ting Si pernah bilang
kepadanya, "Mati, bukan cara terbaik untuk menyelesaikan
persoalan, hanya manusia lemah atau orang rendah budi yang
membereskan dengan kematian. Selama masih hidup, masih
punya tekad dan kemauan, ada semangat dan berani
berjuang, persoalan apapun meski pelik dan rumit, tentu
dapat diatasi dengan cara yang sederhana malah."
Terbayang oleh Siau Ma wajah Ting Si mendadak muncul
di tengah kobaran api unggun, wajah yang tertawa penuh
harap dan cerah, tawa yang mengundang simpati, senyum
Ting Si selalu menarik perhatian orang, tawanya selalu
menambah semangat dan mengobarkan keberanian.
Siau Ma mendesis perlahan, "Aku belum ingin mati."
"Kalau begitu kau harus pahami satu hal," duta itu
menegas. Siau Ma mendengarkan.
"Jiwa ragamu kini tergenggam di tanganku, jiwamu
menjadi milikku."
"Aku mengerti."
"Lalu dengan apa kau akan membarter jiwa ragamu?"
"Apa yang kau inginkan?"
"Lan Lan."
Siau Ma melengak, "Kau ingin memilikinya?"
"Ya, ingin sekali."
"Lalu bagaimana dengan pasien dalam tandu itu?"
"Dialah tujuanku yang utama."
Tenggelam perasaan Siau Ma. Dia bukan orang cerdik
pandai, namun dia paham kemana maksud tujuan si duta,
"Maksudmu menukar Siau Lin dengan Lan Lan?"
Duta tidak menyangkal, "Bila kau dan kawan-kawanmu
berada di pihakku, mereka tidak akan lolos dari tanganku."
Siau Ma tidak segera menjawab, bukan menyetujui usul
orang. Dia harus mengambil sikap untuk menarik kesan
supaya lawan tidak menaruh curiga. Agak lama kemudian baru
ia memancing dengan pertanyaan, "Kalau kau ingin aku
melakukan sesuatu, tentu kau akan membebaskan aku lebih
dulu?" "Ya, sudah tentu," sahut si duta.
Berdetak jantung Siau Ma, "Kau percaya kepadaku?"
"Aku percaya sepenuhnya."
Berdebur keras jantung Siau Ma, "Menurut anggapanmu
apakah aku ini manusia yang rela menjual kawan sendiri?"
"Ya, aku tahu Kuda Binal bukan manusia macam demikian.
Tapi mereka bukan temanmu, bukan keluarga atau sanak
kadangmu. Hanya Lo-bi adalah sahabatmu, demikian pula Siau
Lin sudah menjadi milikmu." Dengan santai sang duta berkata
lebih lanjut, "Aku percaya, untuk membela dan
menyelamatkan Siau Lin, kau rela mengorbankan mereka."
Perasaan Siau Ma mulai tenggelam lagi.
"Oleh karena itu, cukup kau berjanji lantas kubebaskan
kau. Tanggal 15 sebelum menyingsing fajar, jika kau tidak
membawa mereka kemari, maka Siau Lin ..." sang duta tidak
melanjutkan perkataannya, persoalan sudah jelas maka ia
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak perlu banyak bicara.
Siau Ma tidak ingin mendengar ucapan yang menyakiti
hatinya, mendadak ia bertanya, "Ada satu hal aku tidak
mengerti."
"Kau boleh tanya."
"Bukankah aku yang kalian benci?"
Duta itu diam, tidak menyangkal, diam itu adalah jawaban.
"Orang dalam tandu itu adalah seorang asing yang sedang
sakit, karena sakit keras, dia perlu cari pengobatan di gunung
sebelah sana."
"Ehm, memang demikian."
"Tapi lantaran aku, kalian menbebaskan dia yang sedang
sakit itu, kenapa pasien itu lebih penting dibanding diriku?"
"Karena pasien itu lebih berharga dibanding engkau,"
cekak lagi tandas jawaban sang duta.
"Berapa duit harganya?" tanya Siau Ma.
"Nilai harganya cukup besar, betapa besarnya, mimpi pun
kau takkan menduganya."
Siau Ma bungkam. Rasanya ingin tumpah, dilihatnya Lo-bi
sedang merangkak maju menghampiri, mirip anjing yang
munduk-munduk di bawah kaki sang majikan lalu mencium
kaki sang duta.
Sungguh Siau Ma tidak habis mengerti, kenapa manusia
berubah secepat ini, dalam sehari saja terjadi perubahan yang
begitu mengerikan.
"Kau harus berterima kasih kepadaku," demikian ucap si
duta. "Aku tidak memaksa kau makan rumput, tapi kuberi obat
jenis lain padamu."
Bab 13 Dingin jari-jari Siau Ma. "Obat apa?" tanyanya.
"Yang terang obat itu adalah racun."
"Tapi racun juga banyak jenisnya."
Tawar suara sang duta, "Tanggal 15 menjelang fajar
engkau harus sudah berada di sini, atau kau akan merasakan
racun apa yang sudah kutaruh dalam tubuhmu."
* * * * * Tanggal 13 bulan 9. Malam sudah larut, kabut pun makin
tebal. Cahaya lampu masih menyala di balik jendela hotel Damai,
di luar kabut amat tebal, dari kejauhan, cahaya lampu mirip
sinar rembulan yang redup.
Suasana sepi, tiada orang lain dalam hotel itu, hanya
terdengar suara tik-tak-tik-tak dari suipoa pemilik hotel yang
sedang sibuk menghitung keuntungan hari ini, hari yang
menggembirakan. Maklum selama membuka hotel dan selama
hotel ini dibuka, belum pernah juragan yang satu ini merasa
dirugikan, meski belum tentu satu minggu ada tamu yang
menginap di hotelnya, tapi hari ini hotelnya laris, keuntungan
hari ini jumlahnya lebih besar dibanding setengah tahun
biasanya. Dengan langkah gopoh Siau Ma menerobos ke dalam
rumah, tanyanya lantang, "Mana mereka?"
Juragan Jik yang lagi asyik menghitung keuntungan itu
tidak kaget, juga tidak heran, menoleh pun tidak.
"Siapa?" ia balas bertanya, tetap asyik dengan alat
hitungnya. "Teman-temanku itu," sahut Siau Ma keki.
"Mereka sudah pergi."
"Kenapa mereka pergi?"
"Kenapa mereka pergi aku tidak tahu, yang pasti rekening
hotel sudah dilunasi, cukup lama mereka berangkat, katanya
harus buru-buru menempuh perjalanan."
Siau Ma menjublek. Bukan ia ingin menjual kawan, bahwa
ia kembali sesuai janji karena memerlukan bantuan tenaga.
Maklum dalam keadaan kepepet dan terdesak seperti Siau Ma,
apalagi biasanya dia jarang menggunakan otak, maka setelah
tersudut begini, dia kehabisan akal, kecuali mengulur waktu
dan berunding dengan teman, tiada jalan lain yang bisa dia
tempuh. Cukup lama kemudian baru juragan Jik mengangkat kepala
dan memandangnya sekejap, "Kau tidak menyusul mereka?"
"Kau tahu ke arah mana mereka pergi?"
"Aku tidak tahu," sahut juragan Jik menutup buku
catatannya, setelah menghela napas, ia berkata, "Aku tidak
peduli kemana mereka pergi, aku hanya tahu mereka menuju
jalan kematian, umpama kau menyusul mereka juga tiada
gunanya." Siau Ma menggerung gusar, dengan melotot tiba-tiba ia
renggut baju di dada orang, lalu menyeretnya keluar dari balik
meja kasir. Juragan Jik pucat ketakutan, badannya menggigil, tapi
masih tertawa dipaksakan, "Aku bicara sejujurnya."
Siau Ma maklum apa yang dikatakan memang benar,
karena orang bicara jujur maka hatinya mendelu, keki hingga
emosinya berkobar, sekarang Siau Ma tidak bisa menipu diri
sendiri. Sebetulnya ia segan menjual orang lain,
mengorbankan orang lain demi keselamatan dan keutuhan
Siau Lin, tapi ia pun pantang kehilangan Siau Lin, tidak boleh
berpeluk tangan melihat Siau Lin berkorban percuma.
Menghadapi jalan buntu begini, makin keruh pikiran Siau
Ma, kini tiada orang bisa membantu dirinya menyelesaikan
persoalan pelik ini, lalu apa gunanya menyusul mereka"
Juragan Jik memperhatikan perubahan rona mukanya, lalu
katanya memancing, "Aku maklum kau menghadapi kesulitan,
kecuali pelik persoalan ini juga menyudutkan dirimu."
Pucat muka Siau Ma.
Lekas Juragan Jik berkata pula, "Jelek-jelek kita sudah jadi
sahabat, apa salahnya kubantu mengatasi kesulitanmu ini, di
Long-san, siapa pun jika menghadapi kesulitan, jarang ada
orang mampu membantunya."
"Kukira masih ada seorang membantuku," mendadak Siau
Ma bersuara. "Siapa?" tanya juragan Jik.
"Orang yang paling berkuasa di Long-san."
Juragan Jik tertawa kaku, "Ya, hanya sepatah kata
diucapkan Cu Ngo Thay-ya, segala persoalan dapat
dibereskan, sayang sekali..."
"Sayang aku tidak dapat menemukan dia?"
"Bukan hanya tidak bisa bertemu dengan dia, yang pasti
tidak ada orang bisa bertemu dengan dia."
"Aku yakin ada seorang tahu dimana kini dia berada."
"Siapa?"
"Siapa lagi kecuali engkau!"
Pucat muka juragan Jik, kemudian berubah hijau kelam,
"Bukan aku, benar, aku tidak tahu ...."
"Tunjukkan tempat tinggalnya, aku berjanji tidak akan
membuatmu celaka, Cu Ngo Thay-ya juga tidak akan
menyalahkan engkau, karena aku akan mengantar kado
kepadanya."
"Mengantar kado" Kado apa?"
"Sepasang tinjuku," sahut Siau Ma sambil mengacungkan
tinju di hidung juragan Jik. "Kalau kau tidak mengantarku,
sepasang tinjuku ini biar kuberikan kepadamu."
Juragan Jik tidak kena gertak, membusung dada malah,
"Umpama engkau bunuh, aku tidak mau membawamu."
"Aku tidak akan membunuhmu, orang mampus mana bisa
menunjukkan jalan, tapi kalau hanya hidung ringsek kan
masih bisajalan dan dapat menunjukkan tempatnya."
Keringat dingin menghias ujung hidung juragan Jik,
katanya dengan cemberut, "Orang yang hidungnya ringsek
juga takkan menemukan beliau."
"Bagaimana jika sebelah matanya dicolok keluar?" desis
Siau Ma. "Wah, itu ... itu ...."
"Mungkin mata buta sebelah juga tidak jadi soal, tapi lakilaki
hanya ada satu yang tidak boleh hilang, karena hanya
itulah modal utama setiap laki-laki tulen, hanya dengan itunya
dia dapat menunjukan kejantanannya."
Bercucuran keringat di jidat juragan Jik, badan pun basah
oleh keringat dingin, mulutnya megap-megap tidak mampu
bicara. Dia ingin hidup normal, ingin menjadi pejantan di atas
ranjang, alat vital adalah benda yang tidak boleh kurang.
"Sekarang apakah sudah kau ingat dimana kira-kira aku
dapat bertemu dengan beliau?" desak Siau Ma.
Juragan Jik tergagap, "Sudah, sudah ingat, tapi lepaskan
dulu cekalanmu supaya aku dapat mengingat-ingat dengan
lega." "Berapa lama kamu mengingat?" tanya Siau Ma.
Sebelum juragan Jik buka suara, seorang sudah berkata di
luar pintu dengan suara hambar, "Tiga tahun juga dia tidak
akan bisa mengingatnya lagi."
Yang bicara adalah suara perempuan, namun berbeda
dengan suara perempuan umumnya, suara perempuan yang
satu ini gede dan rendah lagi berat, yang luar biasa adalah
sepasang kaki perempuan yang satu ini gede sekali, lebih
besar dari kaki laki-laki yang paling besar.
Setiap manusia punya kaki, demikian pula perempuan,
namun kaki juga beraneka ragam bentuknya, ada yang elok,
tapi ada juga yang jelek, ada yang halus juga tidak sedikit
yang kasar, terutama kaki kaum petani yang setiap hari kerja
di sawah ladang, bukan saja jelek, bentuknya mirip wortel
yang sudah kering kepanasan.
Ajaib adalah sepasang kaki perempuan yang satu ini,
bentuknya mirip dua buah kapal, kalau dia tidak memakai
sepatu, umpama tidak tahan muat orang menyebrang sungai,
sedikitnya dapat dibuat ayunan tidur seorang bocah.
Jika orang belum pernah melihat perempuan yang satu ini,
orang pasti bilang mimpi pun tidak mengira kalau di dunia ini
ada sepasang kaki perempuan segede itu. Celakanya kaki
segede itu justru tumbuh di badan seorang perempuan.
Kini Siau Ma menyaksikan sendiri, meski sudah
menyaksikan sepasang kaki perempuan segede itu, namun dia
masih kucek-kucek mata segala, seperti tidak percaya apa
yang dilihat matanya.
Maklum, perempuan yang gede kakinya ini bukan lain
adalah Liu Kim-lian atau Liu-toaga, Liu si kaki gede.
Kenyataan bukan hanya sepasang kaki Liu Kim-lian saja
yang gede, mulutnya juga besar dan lebar, bibirnya tebal
seperti mulut ikan gurami, matanya yang bundar besar
mengawasi Siau Ma dengan mendelik, seolah-olah Siau Ma
ingin ditelannya bulat-bulat.
Melihat kaki, mulut dan tampang serta perawakan
perempuan yang satu ini, Siau Ma ingin muntah.
Sambil bertolak pinggang, berlagak nyonya besar Liu Kimlian
mengawasi Siau Ma, dari kepala sampai ujung jari,
seakan-akan sedang memilih telur bebek, beberapa kejap
kemudian ia bersuara pula, "Kalau kamu ingin bertemu
dengan Cu Ngo Thay-ya, hanya ada satu orang dapat
mengajakmu ke sana."
"Siapa?" tanya Siau Ma.
Liu Kim-lian mengangkat tangan, jarinya yang gede seperti
lobak menuding hidung sendiri yang berbentuk terong. "Aku!"
katanya tegas. Diam-diam Siau Ma mengeluh, namun ia bertanya, "Kau
mau membawaku?"
"Tapi kamu harus menerima satu syaratku," ucap Liu Kimlian.
"Apa syaratnya?"
"Tiang-tui telah kalian bunuh, maka selanjutnya kau harus
jadi lakiku."
Sekali raih Siau Ma menjinjing juragan Jik, serunya gugup,
"Orang ini pandai bicara, berbadan kuat dan 'burungnya' juga
masih berfungsi, juragan hotel pintar cari duit, kalau dia
menjadi lakimu adalah pilihan yang paling tepat."
Sebelum Siau Ma bicara habis, juragan Jik sudah
menggeleng kepala dan meronta-ronta, "Aku tidak mau, aku
tidak setimpal...."
Siau Ma tidak memberi kesempatan orang banyak bicara,
sekali raih dia samber kain pembersih meja terus dijejalkan ke
mulutnya, "Nah, kuserahkan dia kepadamu kau mau tidak?"
"Aku tidak mau," sahut Liu Kim-lian menjengek.
"Lho, dia juga laki-laki tulen, meski agak tua tapi belum
menikah, lalu laki macam apa yang kau idamkan?"
"Aku menaksir kau," seru Liu Kim-lian, tahu-tahu tubuh
yang genbrot itu menubruk Siau Ma. Bagai puncak gunung
yang mendadak ambruk menindih turun ke bawah.
Jangan kira tubuhnya gembrot dan kaki gede, ternyata
gerak-geriknya enteng lagi lincah, begitu mementang kedua
lengan, seperti elang menubruk kelinci, jari-jarinya mencakar
ke depan. Untung Siau Ma bukan kelinci. Sebelum jari-jari tangan
segede lobak itu meraih tubuhnya, sambil mengendap tubuh,
tinju Siau Ma menjotos tumpukan daging di muka orang
gemuk ini, tumpukan daging bundar yang mirip terong. Peduli
benda apa daging gemuk bundar itu, bila jotosan Siau Ma
memukulnya, siapa pun pasti tak kuat menahannya.
Sayang sekali Siau Ma melupakan satu hal. Dia lupa kecuali
kakinya gede, mulut Liu Kim-lian juga besar dan lebar. Begitu
tinjunya menjotos tiba, Liu Kim-lian membuka mulut, hingga
tinju Siau Ma menerobos masuk ke mulutnya.
* * * * * Siau Ma dijuluki Kuda Binal, maksudnya kuda muda yang
suka mengumbar amarah. Kuda yang suka marah, juga kuda
yang suka berkelahi, demikian halnya dengan Siau Ma,
lantaran sebab yang aneka ragam, dia sering berkelahi
dengan berbagai corak manusia. Oleh karena itu, terhadap
jurus silat dari perguruan atau partai mana pun di dunia ini,
serangan yang aneh dan lucu sekali pun sudah dilihat dan
dihadapinya langsung. Tapi tak pernah terbayang dalam
benaknya bahwa Liu Kim-lian akan menghadapi pukulan
tinjunya dengan akal yang sederhana tapi manjur.
Siau Ma merasa tinjunya menjotos setumpuk tanah liat
yang busuk tapi panas. Celakanya tanah liat ini bergigi tajam,
begitu tinju menyelonong masuk mulut, urat nadinya pun
tergigit kencang. Sebelum Siau Ma mampu berkutik, lengan
sebesar paha itu sudah memeluknya kencang, muka Siau Ma
terbenam di tengah dua gumpal bukit bergantung yang besar
hingga susah bernapas.
Baru sekarang Siau Ma sadar dan mengerti, persoalan apa
yang paling mengerikan dibanding kematian. Dipeluk
perempuan gembrot macam Liu Kim-lian, merupakan
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengalaman yang mengerikan, kejadian yang lebih
menakutkan daripada mati. Apalagi kalau dipaksa menjadi
lakinya, wah, siapa pun takkan berani menanggung akibatnya.
Sayang sekali dalam keadaan seperti ini, ingin mati juga tidak
mungkin lagi. Bila seseorang sedang mengulum benda dalam mulutnya,
apakah orang itu masih bisa tertawa ngakak"
Liu Kim-lian bisa. Loroh tawanya dapat membuat
pendengarnya menguras isi perutnya.
Celakanya lagi, jari-jari Liu Kim-lian segede lobak itu
bergerak nakal, menggerayangi tubuh Siau Ma. Padahal muka
Siau Ma terbenam di tengah gundukan daging kenyal lagi
tebal di dada Liu Kim-lian, walau mata tidak bisa melihat, tapi
dia merasa kalau Liu Kim-lian membopong dirinya ke kamar
terbesar yang kemarin ditempati Lan-Lan, ranjang yang ada di
kamar ini juga nomor satu.
Apa yang akan terjadi setelah Siau Ma dibopong masuk
kamar" Anda dapat membayangkan sendiri. Untung nasib Siau
Ma mujur, kejadian yang lebih fatal tidak menimpa dirinya,
karena begitu melangkah masuk kamar, Liu Kim-lian terus
roboh, bukan roboh di atas ranjang tapi ambruk di lantai.
Bagai segunduk tanah berbukit yang mendadak longsor,
berbareng darah juga menyemprot dari urat nadi besar di
belakang lehernya, menyiprat dinding, muncrat di atas
ranjang. Fisik perempuan gembrot ini memang kuat luar biasa,
meski sudah terluka parah dan ambruk di lantai, tapi dia
masih kuat meronta dan siap menubruk dengan raungannya
yang keras, tapi sebelum sempat berdiri, ulu hatinya kembali
terbacok bolong, bacokan yang parah dan fatal akibatnya.
Seperti diketahui, Siau Ma dipeluk kencang, kedua tangan
pun tidak mampu digerakkan, apalagi tidak memegang
senjata. Lalu siapa penyergap dan pembunuh Liu Kim-lian
alias si kaki gede ini"
Siau Ma gelagapan, kaget oleh kejadian yang tidak terduga
ini. "Akulah yang membunuhnya," orang itu berkata kalem,
tangannya memegang sebilah benda lebar. Pisau besar dan
lebar itu biasanya untuk merajang sayur di dapur. Hanya
dengan pisau dapur mampu membunuh Liu Kim-lian, macam
apakah pembunuh ini" Liu Kim-lian bukan jago lemah,
kepandaiannya amat tinggi, tidak mudah seseorang
menyerangnya roboh meski dengan menyergapnya, kalau
orang itu tidak dicurigai atau sudah dikenalnya baik. Dan
hanya seorang yang sudah dikenal baik, yang tidak diduga
akan membokong saja yang mampu merobohkannya dari
jarak dekat, apalagi Liu Kim-lian sudah kebelet, sudah
dirangsang nafsu setelah memperoleh mangsa yang akan
dapat melampiaskan birahinya. Maka pedagang atau pemilik
hotel yang dianggap tidak berbahaya itu dengan mudah
berhasil membokongnya.
Darah masih menetes di ujung pisau dapur itu. Pisau masih
berada di tangan juragan Jik.
Siau Ma mengawasi pisau itu, mengawasi tangan juragan
Jik. Sejak berada di hotel ini, sudah beberapa kali Siau Ma
berhadapan dengan juragan hotel ini, namun hanya wajah
orang yang selalu ia perhatikan, mimik tawa yang ramah serta
tutur kata yang lemah lembut, pandai menarik perhatian dan
simpati orang, tidak heran kalau berdagang di Long-san yang
liar dan jarang dikunjungi orang luar ini, dia masih dapat
bertahan hidup tanpa kekurangan.
Kali ini Siau Ma hanya memperhatikan tangan juragan Jik,
tangan kanannya, tangan kanan yang satu ini berbeda dengan
tangan orang kebanyakan, tangan kanan juragan Jik memiliki
tujuh jari. Jari yang lima memegang kencang gagang golok,
lima jari yang bentuknya sama dengan jari-jari manusia
lainnya, tapi di punggung ibu jarinya itu tumbuh lagi dua jari
lain yang bentuknya lebih kecil dan bundar, jadi mirip dahan
pohon yang bercabang.
Siau Ma menarik napas lega, "Ternyata kau adanya."
"Ya, aku," ucap juragan Jik pendek.
* * * * * Tanggal 13 bulan 9, hari sudah larut malam, kentongan
keempat sudah lewat.
Kabut amat tebal.
Di tengah kabut tebal itu, Siau Ma berjalan berendeng
dengan juragan Jik. Kabut begitu tebal, dalam jarak tertentu
mereka tidak bisa melihat keadaan sekelilingnya, maka Siau
Ma takut ketinggalan, secara ketat ia mengikuti langkah
juragan Jik yang menunjukkan jalan. Apalagi Siau Ma merasa
pedagang yang memiliki hotel ini agak misterius, kiblatnya
susah diduga. Setelah sekian jauh mereka berjalan tanpa bicara, akhirnya
juragan Jik buka suara, "Tahukah kau persoalan apa yang
paling sial kualami selama hidup?"
"Sial karena nenek itu?"
Juragan Jik menghela napas panjang, lalu berkata dengan
gegetun, "Ya, tapi nasibku menjadi baik lantaran aku
mengenalnya."
"Lho, kok lucu?"
"Tanpa bantuannya, mungkin sekarang aku berdagang di
akhirat." "Maka kau ingin membalas budi kepadanya."
"Ya, dan karena itu sampai sekarang aku masih hidup."
Kalau tadi Siau Ma benar-benar dipaksa menjadi lakinya
Liu Kim-lian, kecuali menumbukkan kepalanya ke dinding
hingga pecah, apa pula yang dapat ia lakukan" Walau dalam
hati Siau Ma amat berterima kasih atas pertolongan orang,
namun lahirnya dia tetap bersikap angkuh, tidak mau
mengucap terima kasih.
Maka Siau Ma bertanya, "Jalan kemana yang sedang kita
tempuh sekarang?"
"Terserah jalan apa yang kau inginkan?"
"Terserah kepadaku?"
"Kalau jalanmu benar, arahnya tepat, jalan itu akan
merupakan jalan hidup yang dapat kau tempuh di Long-san."
"Kalau aku salah jalan?"
"Maka kau akan terjun ke akhirat bersamaku, selaksa
tahun juga takkan bisa menitis lagi."
Siau Ma maklum arti ucapan juragan Jik, tapi bertanya lagi,
"Kecuali raja akhirat, siapa lagi yang bisa menyeret aku ke
neraka." "Masih ada satu raja, raja yang berkuasa di Long-san,"
sudah jelas dan gamblang maksud ucapan juragan Jik, namun
Siau Ma ingin tahu lebih jelas, "Siapakah raja yang berkuasa di
sini?" "Raja gunung serigala," sahut juragan Jik, waktu bicara
nadanya menaruh rasa hormat dan segan, "Kecuali raja
akhirat, di daerah Long-san kekuasaannya lebih besar
dibanding raja akhirat."
* * * * * Setiap jalan tentu ada ujung dan pangkalnya. Ujung jalan
ini ternyata berada di puncak gunung. Kabut tebal di bawah
kaki, bila Siau Ma mendongak ke atas, yang terlihat adalah
langit biru, sang surya sedang memancarkan cahayanya di
ufuk timur. Cahaya benderang menyinari jagat raya.
Berdebar jantung Siau Ma, "Tanggal berapa hari ini?"
"Tanggal empat belas," sahut juragan Jik.
Siau Ma menengadah, "Tempat apa di depan itu?"
"Itulah istana raja gunung serigala."
Kini Siau Ma sudah percaya juragan Jik, seratus persen
akan bantuannya, tapi apa yang dia lihat di depan sana,
hakikatnya tidak mirip istana raja atau keraton segala.
Di puncak gunung setinggi ini, ternyata juga tumbuh aneka
ragam jenis kembang. Kembang kecil-kecil yang berwarnawarni,
kelompok demi kelompok, berjajar dan berpetak-petak
membelakangi pagar bambu, di balik pagar bambu yang rapat
dan tinggi itu kelihatan ada bangunan gubuk kayu.
Seorang tua yang timpang dan bungkuk, dengan rambut,
jenggot dan alis yang sudah ubanan tengah sibuk menyapu di
halaman, menyapu kelopak kembang yang rontok di jalanan
kecil itu. Saat itu musimnya bunga berguguran, jalan kecil berliku
itu berbatu krikil, tapi juga penuh ditaburi kelopak-kelopak
bunga, Siau Ma berdua beranjak di tengah taburan bungabunga
yang rontok itu terus maju ke depan. Dalam jarak
belasan tombak, juragan Jik sudah menghentikan langkah, lalu
menjura, katanya pada Siau Ma, "Sampai di sini aku
mengantar kau."
"Apa di tempat ini aku dapat bertemu dengan beliau?"
tanya Siau Ma. "Juga belum tentu," sahut juragan Jik, lalu dengan
menyengir tawa dia menambahkan, "Di dunia tiada sesuatu
persoalan yang mutlak dapat dibereskan, mutlak berhasil dan
sukses, aku sudah bekerja sekuat tenaga membantumu,
apakah kau dapat bertemu dengan beliau, tergantung
peruntunganmu."
Siau Ma memaksakan diri untuk tertawa, "Aku mengerti,
kalau aku tidak berhasil menemui beliau, mungkin di sinilah
tempat kuburku."
Angin menghembus lalu membawa harumnya bau
kembang dan dedaunan yang mengering. Di bawah langit
terbentang gunung-gemunung yang menghijau permai. Kalau
seseorang mati dan dapat dikebumikan di tempat seindah ini,
maka kedatangannya di sini tidak terhitung percuma.
Tapi bagaimana dengan Siau Lin"
Juragan Jik menatap sesaat lamanya, lalu dengan
merendahkan suara ia berbisik, "Satu hal perlu kubocorkan
rahasia ini padamu."
Siau Ma pasang kuping, siap mendengar penuh perhatian.
"Kalau ingin berjumpa dengan Cu Ngo Thay-ya,
bersikaplah hormat, sopan dan mengalah kepada orang tua
bungkuk yang lagi menyapu kembang itu."
Siau Ma mengangguk tanpa bicara, ia jabat tangan juragan
Jik serta menggenggamnya erat. Tangan kanan juragan Jik
yang berjari tujuh itu terasa dingin dan berkeringat.
"Kudoakan kau akan berhasil," demikian kata juragan Jik
lirih. "Semoga bertambah maju usahamu."
Kakek tua itu terus menyapu, bekerja penuh perhatian,
tidak peduli keadaan sekelilingnya, tidak pernah mengangkat
kepala atau menoleh.
Dengan langkah lebar Siau Ma menghampirinya, lalu
menjura hormat, sapanya, "Selamat bertemu pak tua, aku
yang rendah Siau Ma, kedatanganku mohon bertemu dengan
Cu Ngo Thay-ya."
Kakek bungkuk itu tetap asyik bekerja, menyapu penuh
perhatian, entah tuli atau sengaja pura-pura tidak mendengar.
"Aku datang dengan maksud baik, jelasnya mengantar
kado," demikian Siau Ma menjelaskan.
Orang itu tetap tidak peduli, sapu di tangannya terus
bergerak, sesaat kemudian mendadak ia bersuara kereng,
"Bicaralah dengan berlutut lalu masuklah dengan merangkak."
Siau Ma tak berani melalaikan pesan juragan Jik, meski
dongkol ia berlaku sabar dan ramah terhadap orang tua
bungkuk ini. Kalau menuruti adat Siau Ma biasanya, orang tua
ini sudah dihajarnya sampai sekarat, tapi kali ini ia masih bisa
berlaku tenang dan wajar. "Siapa yang kau suruh berlutut?"
tanyanya melengak.
"Kecuali dirimu, masih ada orang lain di sini?" tanya orang
tua itu. Mendadak Siau Ma meraung gusar, "Kentut makmu
busuk." Siau Ma sudah siap menerjang ke dalam tanpa peduli
akibatnya, tinjunya sudah teracung di atas kepala.
Tak terduga kakek tua beruban dan bungkuk itu mendadak
tertawa geli malah, perlahan mengangkat kepala, sorot
matanya yang redup seperti amat lelah, sesaat ia mengawasi
dengan pandangan seperti menertawakan pula.
Sudah tentu Siau Ma tidak tega menggerakkan tinjunya,
sesaat ia berdiri tertegun.
Orang tua itu menekuk jari seperti menghitung, "Sudah
lima puluh tahun aku tidak pernah mendengar orang bilang
'kentut makmu busuk', kini kudengar dari mulutmu, apa tidak
pantas aku merasa geli dan lucu."
Jengah muka Siau Ma. Usia orang tua ini pantas menjadi
kakeknya, terhadap orang tua memang tidak pantas dirinya
berlaku kasar dan kurang ajar.
Orang tua itu berkata pula, "Masuklah lurus lalu belok ke
kiri, di sana kau akan dihadang sebuah pintu, ketuklah tiga
kali lalu dorong daun pintu dan masuklah." Habis bicara orang
tua ini menggerakkan sapu dan bekerja lagi dengan asyik.
Padahal pohon kembang di sini amat banyak dan luas, di
musim rontok begini, sapu di sini rontok di sana, sehari penuh
bekerja juga takkan disapunya habis kelopak-kelopak
kembang itu. Ingin Siau Ma bicara lebih jauh, namun sepatah kata pun
tidak terucapkan olehnya. Sesuai petunjuk orang tua, ia
menyusuri pagar bambu dan masuk ke dalam, ketika ia
menoleh lagi ke belakang, bayangan orang tua itu sudah tidak
kelihatan. Pintu kecil yang dimaksud ternyata berada di tengah
kerumunan kembang juga. Siau Ma mengetuk tiga kali lalu
mendorong daun pintu dan melangkah masuk.
Gubuk kayu ini tidak besar dipandang dari luar, namun
keadaannya amat bersih dan terawat baik, begitu berada
dalam gubuk, terlihat oleh Siau Ma seorang duduk di bawah
jendela membelakangi dirinya, tampaknya orang ini sedang
asyik memperhatikan segulung lukisan.
Setelah menjura hormat, Siau Ma menyapa, "Cu Ngo Thayya?"
Orang itu diam saja, tidak mengaku juga tidak
menyangkal, sesaat kemudian malah balas bertanya, "Untuk
apa kau ke sini?"
"Mengantar kado," sahut Siau Ma.
"Kado" Macam apa kadomu?"
"Ini, sepasang tinju."
"Tinjumu?"
"Betul."
"Apa gunanya sepasang tinju itu?"
"Tinju untuk memukul orang, menghajar orang yang harus
dipukul."
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Setiap manusia punya tinju, tinju siapa saja dapat
memukul orang, kenapa aku harus menggunakan tinjumu?"
"Tinju bukan sembarang tinju, pukulan juga pukulan luar
biasa, pukulanku lebih tepat dan telak dibanding pukulan
orang lain."
"Baiklah, aku ingin membuktikan, boleh kau pukul dua kali
kepadaku."
"Baik," sahut Siau Ma, tanpa pikir ia melompat maju lalu
melayangkan tinjunya, terlebih dulu Siau Ma melompat ke
muka orang lalu membalik dan menggenjot hidung orang.
Bukan Siau Ma suka memukul hidung orang, soalnya orang
ini membelakangi dirinya, dia tidak mau menyerang orang dari
belakang. Setelah lompat ke depan orang, lalu melontarkan
serangan, sudah tentu gerak-geriknya agak lamban.
Pukulan Siau Ma luput. Begitu tinju Siau Ma menjotos,
tubuh orang itu melambung tinggi ke atas lalu melayang turun
beberapa meter ke sana dengan enteng.
"He, kau?" teriak Siau Ma kaget. Dia kenal orang tua ini
bukan Cu Ngo Thay-ya, tapi Pok Can, serigala tua Pok Can.
Pok Can mengawasinya dengan pandangan ramah dan
geli, "Kau tidak pernah menyerang orang dari belakang?"
"Ya, tidak pernah."
"Bagus, laki-laki jantan," puji Pok Can sambil angkat
jempol, mendadak ia menuding daun pintu di belakangnya,
"Ketuklah lima kali, dorong daun pintu lalu melangkah masuk."
Bentuk bangunan di belakang pintu lebih lebar
memanjang. Di pojok rumah ada sebuah dipan rendah, di atas
dipan tidur miring seorang, dia juga membelakangi pintu,
entah sedang tidur atau hanya bermalas-malasan saja.
Siau Ma menjura baru menyapa, "Cu Ngo Thay-ya?"
"Bukan," orang itu bersuara pendek.
"Siapa kau?" tanya Siau Ma.
"Seorang yang ingin dihajar."
"Jadi kalau aku ingin bertemu dengan Cu Ngo Thay-ya,
aku harus menghajarmu dulu?"
"Betul," orang itu tetap berbaring miring membelakangi
Siau Ma. "Terserah tempat mana di tubuhku yang kau incar,
boleh pukul sesuka hatimu."
"Baik," seru Siau Ma, dengan mengepal tinju ia menerjang.
Sebetulnya Siau Ma dapat memukul punggung atau tengkuk
orang, entah pinggang atau pantat juga bisa. Di setiap
sasaran itu Hiat-to atau urat nadi yang berbahaya di tubuh
manusia, dengan berbaring miring begitu, tempat-tempat
penting itu terbuka lebar, bila terkena jotosannya, tanggung
orang ini tak bisa bangun lagi.
Tapi tempat-tempat itu bukan sasaran utama Siau Ma. Kali
ini Siau Ma memukul dinding, tembok di depan orang yang
berbaring ini. Begitu tinjunya menjotos, dinding yang terbuat
dari papan itu menjadi bolong dan tembus, pecahan kayu
muncrat dan membalik mengincar muka orang yang berbaring
itu. Terpaksa orang ini melompat menyingkir, setangkas tupai
tubuhnya melejit ke atas lalu terapung di udara. Siau Ma juga
menjejak kaki melompat ke atas, di tengah udara, pukulan
dilontarkan menghajar muka orang. Yang diincar kali ini bukan
hidung, maklum dalam keadaan terapung dan susah
mengerahkan tenaga, Siau Ma tidak yakin genjotannya dapat
menghajar hidung orang dengan telak, tapi wajah orang
merupakan sasaran yang gampang diincar, jadi sekenanya
saja asal muka orang dapat dipukulnya penyok.
Posisi orang itu juga amat kritis karena tubuhnya juga
terapung di udara, jadi susah berkelit juga kehabisan tenaga,
maka "Blang" tubuhnya terpukul mencelat dan "Blum"
menumbuk dinding.
Bab 14 Dinding yang sudah terpukul bolong oleh tinju Siau Ma
menjadi ambruk oleh tumbukan badan orang itu, sementara
tubuh orang itu masih meluncur ke balik sana. Begitu kaki
menutul lantai, sigap sekali Siau Ma menerobos ke balik
dinding. Ruang di sebelah ternyata jauh lebih luas.
Seorang tampak duduk angker di belakang meja besar
dalam jarak yang cukup jauh, rambut kepala orang tampak
sudah beruban, sesaat Siau Ma berdiri diam memperhatikan,
ternyata orang yang duduk di belakang meja bukan lain
adalah orang tua bungkuk yang tadi menyapu kembang di
kebun. Sementara itu, orang yang kena jotosannya dan mencelat
masuk ke sini, sudah melompat bangun lalu berlari keluar
lewat dinding yang ambruk itu.
Orang tua penyapu kembang tertawa lucu, "Agaknya dia
rikuh menemuimu."
"Kenapa?" tanya Siau Ma.
"Tadi dia membual, selama kau tidak memukul orang dari
belakang, jangan harap dapat memukul dirinya, padahal dia
cukup siaga dan waspada." Sorot mata orang tua ini
bertambah terang, "Kau tidak menyergapnya dari belakang,
kau patut dipuji."
"Soalnya dia juga tidak ingkar janji," ucap Siau Ma.
Orang tua penyapu kembang melenggong, namun ia
mengerti apa maksud Siau Ma.
"Tadi dia bilang ingin dihajar, aku sudah menghajarnya."
Orang tua penyapu kembang bergelak tawa, "Bocah
bagus, bukan saja pemberani, kau juga lucu."
"Aku bocah bagus, lalu kau ini apa?"
"Aku adalah orang tua."
Siau Ma menatapnya tajam, "Orang tua saja atau Lo-thayya?"
"Lho, orang tua kan dipanggil Lo-thay-ya?"
Bersinar mata Siau Ma, "Jadi engkau ini Cu Ngo Thay-ya"
Orang tua penyapu kembang tidak bicara, ia hanya
tertawa saja. Siau Ma tak bicara lagi, mendadak ia melompat, tinjunya
menjotos hidung kakek penyapu kembang ini. Siau Ma tidak
mau kehilangan harga diri, dia pantang menyerang orang dari
belakang, tapi waktu melancarkan serangan, ia tidak memberi
peringatan lebih dulu. Dia memang berharap orang tua
penyapu kembang ini tidak siaga, tidak waspada menghadapi
tinjunya. Berkelahi seperti yang digunakan Siau Ma, tidak pantas
dilakukan orang gagah, apalagi seorang pendekar,
tindakannya boleh dianggap tidak tahu malu. Tapi Siau Ma
ingin menjajal sampai dimana kemampuan orang tua ini.
Biasanya menghadapi jotosan sederhana secepat kilat ini,
tokoh lihai mana pun sukar menangkis atau berkelit, apalagi
orang tua ini duduk membelakangi dinding, hakikatnya tiada
jalan mundur untuk menyingkir.
Siau Ma terlalu yakin, setiap kali tinjunya menjotos pasti
berhasil menghajar hidung orang, di luar dugaan, jotosan kali
ini luput. Di saat tinjunya bergerak, tubuh kakek penyapu
kembang tahu-tahu mumbul ke atas dinding, gerak-geriknya
enteng lagi tangkas, seringan kapas yang tertiup angin,
dengan ringan tubuhnya melayang ke atas dan lengket di atas
dinding, sambil tersenyum lebar ia mengawasi Siau Ma.
Siau Ma berdiri melongo, lalu mundur beberapa langkah, ia
meraih kursi, lalu duduk dengan tenang.
"Bagaimana?" tanya kakek penyapu kembang.
"Bagus sekali," puji Siau Ma.
"Siapa yang bagus?"
"Kau bagus dan aku jelek."
"Dalam hal apa kau jelek?"
"Seranganku tidak baik dan tidak terpuji, tidak bedanya
aku menyergap orang dari belakang."
"Tapi kau turun tangan juga."
"Ya, aku ingin menjajalmu."
"Lalu apa hasilnya?"
"Jarang aku luput memukul orang, tapi hari ini tiga kali aku
gagal merobohkan lawan."
"O" Lalu?"
"Pertama aku luput memukul Un Liang-giok, kedua luput
juga memukul duta malaikat surya, dan ketiga luput
memukulmu."
"Kedua orang yang kau sebut duluan memang jago kosen
yang jarang ada tandingannya di Long-san."
"Tapi dibanding engkau orang tua, mereka masih jauh
ketinggalan."
"Ah, masa iya?"
"Sejak kedatanganku di Long-san, hanya kaulah jago
terkosen yang pernah kuhadapi."
"O..."
"Padahal tinjuku amat terpuji."
"Ya, amat terpuji."
"Aku juga berani adu jiwa."
"Ehm, dapat kurasakan."
"Maka kalau kau mau menerima dua tinjuku ini, tinju ini
akan berguna bagimu."
"Ya, tinju itu memang berguna."
"Mau kau menerima tinjuku?"
"Aku ingin menerima, sayang tinjumu bukan kau serahkan
kepadaku."
"Akan kuserahkan kepada Cu Ngo Thay-ya."
"Betul, tadi sudah kau jelaskan."
"Kau adalah Cu Ngo Thay-ya, Cu Ngo Thay-ya adalah kau."
Orang tua penyapu kembang tertawa lebar.
Pada saat itulah dari belakang rumah mendadak bergema
bunyi tambur. Kakek penyapu kembang tertawa, "Kali ini kau keliru
melihat orang, tapi Cu Ngo Thay-ya bersedia menerima
kedatanganmu."
Siau Ma tertegun.
"Masih ada satu hal perlu kau perhatikan."
Siau Ma mengangguk, dia mendengarkan.
"Aku bukan jago terkosen di Long-san, belum pernah ada
peluang bagiku turun tangan di hadapan Cu Ngo Thay-ya."
Siau Ma tidak percaya bahwa ada orang lain memiliki
kungfu lebih hebat dibanding kakek penyapu kembang, tapi
kakek ini tidak mungkin membohongi dirinya, maka ia harus
percaya. Orang tua penyapu kembang berkata, "Di hadapan beliau
jangan kau gegabah atau kurangajar, kalau kau abaikan
peringatanku, jiwamu akan melayang percuma di tangannya."
Kakek ini bicara serius, dengan tekanan suara tegas, tapi ia
tertawa sebelum melanjutkan perkataannya, "Di kolong langit,
orang yang pernah melihat wajah aslinya tidak banyak, maka
setelah kau masuk ke sana, peduli bisa bertahan hidup atau
akhirnya gugur, tidak sia-sia kedatanganmu."
Di belakang masih ada sebuah pintu. Begitu suara tambur
berbunyi, daun pintu yang besar dan lebar itu pelan-pelan
terbuka. Siau Ma berdiri melenggong di luar pintu.
Di hadapannya terbentang sebuah pendopo yang lebarnya
tujuh kaki, panjang dua puluh tombak, waktu Siau Ma
memasuki pagar bambu tadi, tidak pernah terbayang
sebelumnya bahwa di dalam beberapa petak rumah kayu ini,
ada kamar-kamar dan pendopo yang luas dan besar seperti
ini. Pendopo ini kosong melompong, tiada satu pun benda
yang menggeletak di sana, lantainya mengkilap, dinding pun
berkapur bersih, di ujung pendopo yang jauhnya dua puluhan
tombak itu terdapat sebuah pintu dengan kerai mutiara yang
menjuntai turun menyentuh lantai menyenkat pendopo ini
dengan sebuah kamar lain, di kamar yang berbentuk segi
empat ini terdapat sebuah meja besar dengan sebuah kursi
kebesaran yang berlapis kulit harimau, seorang duduk
bertengger di kursi besar dan tinggi itu menghadap keluar,
jarak cukup jauh, teraling oleh kerai mutiara lagi, Siau Ma
tidak dapat melihat jelas bentuk wajah orang ini.
Siau Ma hanya melihat bentuk bayangan seseorang,
sampai pakaian dan topi yang dipakai juga tidak jelas, namun
terasa oleh Siau Ma, hawa dan wibawa orang ini, terasa
adanya keangkeran di tubuh orang ini, bagai hawa pedang
yang mampu membunuh orang.
Pintu di belakang Siau Ma tahu-tahu sudah tertutup, kakek
penyapu kembang berada di luar pintu.
Baru saja Siau Ma bergerak hendak maju ke depan,
mendadak terdengar bentakan nyaring, "Berhenti!" Suara
perpaduan orang banyak yang berkumandang dari belakang
dinding di empat penjuru pendopo panjang itu.
Siau Ma berdarah panas, tapi demi Siau Lin di sini, ia tidak
berani berlaku gegabah, maka ia batal beranjak maju.
Sembilan jiwa orang tergenggam di tangan orang yang
berkuasa di gunung ini, orang yang duduk di balik kerai
mutiara itu, sudah tentu Siau Ma tidak berani mengumbar
adat. Begitu suara bentakan itu lenyap, suasana pendopo
kembali sunyi dan sepi, Siau Ma juga tidak berani bergerak,
agak lama kemudian lapat-lapat terdengar suara lirih di balik
kerai. Lalu berkumandanglah suara serak tapi kereng, "Kau tahu
siapa aku?"
Siau Ma mengiakan. Siau Ma menduga kecuali Cu Ngo
Thay-ya, siapa punya perbawa dan kekuasaan sebesar ini di
Long-san" Siapa berani bercokol di tempat yang angker itu.
"Kau ingin bertemu denganku?" tanya Cu Ngo Thay-ya.
Siau Ma mengiakan lagi.
"Kau she Ma?"
"Ya."
"Si Kuda Binal yang suka mengumbar amarah?"
"Betul."
"Apa betul kau bersama Ting Si mengobrak-abrik lalu
menghancurkan Ngo-kian-kay-hoa, gabungan lima Piaukiok
terbesar di Tionggoan itu?"
"Betul."
"Bagus, silakan duduk."
Dinding di sebelah kiri mendadak bergerak dan muncul
sebuah pintu. Dua laki-laki bertubuh gede seperti raksasa
beranjak keluar dengan menggotong sebuah kursi besar dan
berat beralas kulit harimau, yang aneh adalah bentuk dan
perawakan dua orang raksasa ini, kepalanya botak, pakai
anting-anting gelang emas di kuping kanan dan kiri.
"Duduklah," ujar Cu Ngo Thay-ya pula setelah kedua
raksasa itu meletakkan kursi di belakang Siau Ma.
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siau Ma duduk, sementara dua laki-laki gede itu berdiri di
kanan kirinya sambil memeluk dada. Agaknya mereka
diperintah untuk berjaga-jaga di pendopo ini, sedang pintu di
dinding kiri sudah tertutup rapat pula tanpa kelihatan
bekasnya. "Ngo-kian-kay-hoa mala
Golok Halilintar 9 Raja Naga 7 Bintang Karya Khu Lung Naga Naga Kecil 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama