Ceritasilat Novel Online

Manusia Yang Bisa Menghilang 1

Manusia Yang Bisa Menghilang Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Bagian 1


"Manusia yang bisa menghilang
Pendekar 4 Alis
Seri 8 Oleh : Khu Lung
Disadur Oleh : Gan KL
Bab 1 Terjadi kejutan yang luar biasa. Dalam semalam, 103 jago pilihan dunia persilatan dan harta benda bernilai 35 juta tahil perak telah hilang secara misterius.
Pengaruh daripada peristiwa ini bukan hanya menyangkut mati-hidup dan jaya atau runtuhnya 13 buah perusahaan pengawalan paling terkemuka di daerah Tionggoan, sedikitnya ada sekian puluh tokoh terkemuka dunia Kangouw juga akan runtuh, baik nama baik maupun harta kekayaan dan juga anggota keluarga.
Sesungguhnya apa yang terjadi pada malam naas itu"
Yang tahu rahasia itu di seluruh dunia ini cuma ada satu orang saja yaitu Jui Sing.
Apabila Jui Sing mengetahui dirinya kini telah berubah menjadi orang sedemikian penting dan diperlukan, dia pasti akan merasa hidupnya ini tidak dilewatkannya dengan percuma.
Akan tetapi dia tidak tahu, sebab sudah tiga hari penuh dia pingsan, sama sekali tidak sadar.
Padahal ke-103 jago pengawal terkemuka itu tergolong jago pilihan dari beberapa Piaukiok atau perusahaan pengawalan terkemuka itu, mereka mengawal bersama satu partai harta yang bernilai paling besar dalam sejarah perusahaan pengawalan, tempat tujuannya adalah luar perbatasan (tembok besar) melalui pegunungan Thay-heng, akan tetapi di suatu kota kecil di kaki gunung itu seluruhnya telah lenyap, baik orangnya maupun harta benda yang dikawalnya.
Jui Sing hanya seorang Tang-cu-jiu, seorang pengawal yang bertugas berteriak di depan barisan, dia termasuk. petugas Kun-eng-piaukiok, salah satu perusahaan yang ikut dalam pengawalan besar ini, hanya Jui Sing saja satu-satunya anggota pengawal yang diketemukan masih hidup.
Menurut keterangan Him Thian-kian, kepala regu penyelidik yang dibentuk secara darurat sehari setelah peristiwa itu terjadi, katanya Jui Sing diketemukan di dalam sebuah liang di sebuah hotel setempat dalam keadaan kempas-kempis dan tak sadarkan diri.
Menurut Yap Sing-su, tabib ternama yang ikut dalam regu penyelidik itu. katanya pada tubuh Jui Sing seluruhnya ditemukan enam luka golok, jatuh pingsan lantaran terlalu banyak mengeluarkan darah, untung lukanya tidak mengenai bagian yang mematikan, asalkan mencari suatu tempat tenang dan merawatnya beberapa hari pasti dapat sembuh dan sadar kembali.
Menurut keterangan Eng-bak Lau-jit, atau si ketujuh bermata elang, salah seorang pimpinan regu penyelidik, katanya Jui Sing sekarang sudah dikirim ke suatu tempat yang aman untuk dirawat, tanpa izin khusus siapa pun dilarang menjenguknya.
Him Thian-kian adalah seorang pendekar terkenal di daerah Tionggoan, juga adik ibu Suto Kang, Congpiauthau atau pemimpin umum Kun-eng-piaukiok, terkenal jujur dan berbudi luhur, selama ini cukup dihormati dan disegani setiap orang Kangouw.
Sedangkan Yap Sing-su adalah satu-satunya murid keluarga preman Thi-koh Taysu dari Siau-lim-si, juga terkenal sebagai salah seorang tabib ternama di antara empat tabib sakti dunia Kangouw, betapa tinggi ilmu pengobatannya sudah tidak perlu disangsikan lagi.
Adapun Eng-bak Lau-jit adalah pemimpin umum dari Cap-ji-lian-goan-bu atau ke-12 pelabuhan besar di sepanjang Tiangkang, kekuatannya besar, pengaruhnya luas, baik di kalangan putih maupun golongan hitam terdapat juga anggota atau anak buahnya. Di antara para jago pengawal yang hilang sekali ini sebagian besar pernah juga menjadi pengikutnya.
Yang paling penting adalah pemilik harta benda yang dikawal mereka ini bukan sembarangan orang melainkan pihak kerajaan, jika hilang begitu saja dan tidak dapat ditemukan kembali, maka segenap perusahaan pengawalan dan para penjaminnya harus bertanggung jawab, bahkan pangeran Thay-peng-ong yang menyerahkan pekerjaan itu kepada mereka juga tidak terlepas dari tanggung jawab.
Dengan sendirinya para penjamin itu adalah tokoh-tokoh dunia Kangouw ternama, jadi hampir semua tokoh berbagai perguruan dan sindikat pasti ada orang yang tersangkut di dalam kasus ini.
Jui Sing diketemukan sehari sebelum Toan-yang, yaitu tanggal lima bulan lima, kini sudah tanggal delapan, jadi sudah empat hari yang lalu.
Menurut laporan Thia-cecu, gembong ketiga gabungan ke-12 pelabuhan besar, semalam Jui Sing sudah mendusin satu kali, sempat minum setengah mangkuk kuah jinsom dan buang air satu kali, sesudah diberi pengobatan barulah tidur lagi.
Juga bini muda kesayangan Eng-bak Lau-jit yang bernama Siau Ang-cu memberi laporan bahwa kotoran yang dibuang Jui Sing sudah tidak berdarah lagi, mulai pagi tadi sudah dapat minta minum dan tertawa kepadaku.
Thia Tiong dan Siau Ang-cu adalah orang kepercayaan Eng-bak Lau-jit, hanya mereka saja yang diperbolehkan mendekati Jui Sing.
Ditinjau dari keadaan luka Jui Sing, meski sekarang dia belum boleh banyak bergerak, tapi perkara ini jauh lebih penting daripada keadaan lukanya, asalkan dia sudah dapat bicara, seharusnya tidak perlu menunggu lagi.
Sebab itulah segenap orang yang bersangkutan dengan kasus ini kini sudah berkumpul di markas besar Cap-ji-lian-goan-oh, bahkan putra pangeran Thay-peng-ong juga hadir dengan membawa barisan pengawalnya.
Betapapun sekarang Jui Sing tidak boleh mati. Sesungguhnya tempat macam apakah markas Cap-ji-lian-goan-oh itu" Hampir tidak ada orang Kangouw yang dapat memahaminya secara tepat, dia bukan cuma sebuah tempat saja, tapi juga sebuah sindikat yang teramat besar.
Pengaruh dan kekuatan sindikat ini sangat luas, tersebar diberbagai tempat, juga terdiri dari macam-macam unsur, baik golongan hitam maupun kalangan putih, namun mereka tetap dapat memegang sebuah prinsip, yaitu, "Tidak berbuat hal-hal yang jahat, tidak mendesak orang yang lagi kepepet, tidak menganiaya tua dan muda, anak dan perempuan, tidak membikin susah orang miskin, orang sakit, yatim piatu dan kaum janda."
Mungkin karena prinsip yang mereka pegang teguh itulah, maka sampai sekarang sindikat mereka tetap berdiri, dihormati dan disegani.
Cap-ji-lian-goan-oh dengan sendirinya terdiri dari dua belas markas, dipandang dari luar, pangkalan mereka ini tiada bedanya seperti perkampungan umumnya, padahal penjagaan mereka sangat ketat dan keras, organisasinya rapi, tanpa membawa tanda pengenal dan mengucapkan kode rahasia, siapa pun sukar keluar masuk di wilayah kekuasaan mereka ini.
Tempat kediaman Eng-bak Lau-jit juga disebut Eng-bak atau Mata elang. Segala operasional Cap-ji-liang-goan-oh langsung dikomandokan dari pusat pimpinan Eng-bak ini.
Pada waktu lohor hari Toan-yang, Jui Sing lantas dibawa masuk ke ruangan rahasia Eng-bak, untuk masuk ke ruangan rahasia khusus di markas besar itu harus melalui lima pintu besi yang dijaga ketat, orang yang boleh masuk keluar dengan bebas hanya Thia Tiong dan Siau Ang-cu.
Dan sekarang juga mereka berdua yang menemani Jui Sing di ruangan itu. Thia Tiong adalah seorang tua yang jujur dan hati-hati, juga sedikit paham ilmu pengobatan, sedangkan Siau Ang-cu seorang perempuan yang lemah lembut dan cerdik, sangat cermat menghadapi sesuatu.
Dinding ruangan rahasia itu terbuat dari balok batu besar, di luar pintu besi setiap hari pada waktu tertentu selalu berganti penjaga, pintu besi diberi gembok besar. Kecuali kunci yang dipegang sendiri oleh Eng-bak Lau-jit dan Siau Ang-cu, tiada orang lain lagi yang dapat membukanya.
Terhadap penjagaan sekuat ini, sampai putra pangeran Thay-peng-ong pun marasa puas, dia memberi komentar, "Memang betul ucapanmu, lalat saja tidak dapat masuk ke tempat ini."
Akan tetapi ketika mereka menembus kelima deret pintu besi dan masuk ke ruangan rahasia itu, ditemukan Jui Sing ternyata sudah mati. Bahkan Siau Ang-cu dan Thia Tiong juga mati semua.
Pada tubuh mereka tidak terdapat luka, juga tidak ada bekas darah, tapi mayat mereka sudah dingin dan kaku.
Menurut kesimpulan Yap Sing-su, kematian mereka sedikitnya sudah hampir satu jam, terbunuh oleh golok cepat yang amat tipis dan tajam, sekali tikam lantas mati. Lantaran mata golok terlalu lipis, gerakannya cepat, maka luka tikamannya saja tidak kelihatan.
Luka yang mematikan itu terletak di bagian dada, tepat di bawah daun paru-paru, begitu pisau tipis itu menikam ke dalam rongga dada, seketika darah membanjir ke rongga dada, sebab itulah darah tidak sempat mengalir keluar.
bab 2 Sungguh tikaman yang jitu dan cepat. Hal ini menandakan si pembunuh bukan cuma mahir menggunakan pisau, bahkan juga kenyang pengalaman.
Padahal penjaga ruang rahasia itu rata-rata adalah anak buah Eng-bak Lau-jit yang terpercaya, sedikitnya sudah belasan tahun ikut dia dan sangat setia padanya.
Mereka berani bersumpah dalam waktu dua jam terakhir itu kecuali nyonya Siau dan Thia-cecu, jelas tidak ada orang ketiga yang masuk keluar ruangan rahasia itu.
Regu penjaga di situ seluruhnya 38 orang, dengan sendirinya keterangan 36 orang yang sama tidak mungkin karangan belaka.
Lantas cara bagaimana si pembunuh masuk ke situ"
"Hm, jika menurut keterangan ini, memangnya pembunuh itu orang yang dapat menghilang"!" demikian putera pangeran Thay-peng-ong menjengek.
Setiba kembali di ruangan pendopo, semua orang tampak lesu, terutama Eng-bak Lau-jit, dia kelihatan sangat sedih dan letih.
Mestinya dia penuh daya hidup, seorang yang kelihatan masih sangat muda, tapi dalam sekejap ini dia seperti sudah banyak bertambah tua.
Cara bagaimana masuknya si pembunuh ke ruang rahasia itu" Tentu saja di dunia ini tidak ada manusia yang dapat menghilang.
Sungguh ia tidak habis mengerti. Juga tidak ada orang lain yang tahu mengapa bisa terjadi begitu"
Semua orang cuma tahu satu hal, yakni bilamana harta pengawalan 35 juta tahil perak itu tidak diketemukan kembali, maka mereka wajib memberi ganti rugi.
Dengan sendirinya hal ini akan membikin mereka bangkrut habis-habisan, bahkan sampai bangkrut habis-habisan juga belum cukup untuk memenuhi ganti rugi itu. Tapi dengan kedudukan dan nama baik mereka, tentu juga mereka tidak dapat mengelakkan tanggungjawab.
Untung putra pangeran Thay-peng-ong seorang yang bijaksana, dia memberi batas waktu 40 hari untuk menemukan kembali harta pengawalan itu, kalau tidak ... ya, tahu sendiri.
Dia tidak memberi keterangan lebih lanjut, sebab apa akibatnya, tentu semua orang cukup maklum.
Habis memberi pesan tadi putra pangeran lantas pergi dengan barisan pengawalnya. Apapun juga, batas waktu 40 hari itu tidaklah pendek. Cuma sayang, sejauh ini tiada ditemukan sesuatu petunjuk atas persoalan ini.
Eng-bak Lau-jit menjadi kelabakan, sebentar berdiri, segera berduduk lagi, lalu berdiri pula.
Him Thian-kian juga mandi keringat dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Padahal orang-orang ini tergolong tokoh Bu-lim setempat, biasanya banyak tipu akalnya dan dapat mengatur pekerjaan dengan lancar, tapi sekarang mereka benar-benar bingung dan tak berdaya.
"Kejadian ini bukan yang pertama kalinya," tiba-tiba Yap Sing-su bicara.
Semua orang tidak paham arti ucapannya ini, maka mereka ingin penjelasannya lebih lanjut.
"Akhir bulan yang lalu, Cui-siang-hui melakukan inspeksi rutin di perairan Tiangkang, mendadak diketemukan mati di tengah sungai. Aku pun diundang oleh anak buahnya untuk ikut memeriksa sebab musabab kematiannya."
"Apakah sebab kematiannya juga serupa dengan Jui Sing?" segera Him Thian-kian bertanya.
Yap Sing-su mengangguk, "Ya, pada tubuhnya juga sama sekali tidak ditemukan tanda luka, sampai tiga hari penuh kuperiksa mayatnya baru kutemukan luka pada dadanya yang menembus ke paru-paru, juga sekali tertikam lantas mati."
"Dia tertikam di dalam air?" tanya Him Thian-kian pula.
"Betul," Jawab Yap Sing-su.
Air muka Him Thian-kian bertambah prihatin. Ia tahu kemahiran berenang Cui-siang-hui terkenal sebagai nomor satu di dunia, kalau si pembunuh mampu sekali tikam membunuhnya di dalam air, maka kungfu si pembunuh di dalam air dengan sendirinya harus lebih tinggi daripada Cui-siang-hui.
Dia termenung sampai lama, katanya kemudian, "Aku juga teringat akan satu hal."
"Hal apa?" tanya Ong Ik, seorang putra keluarga hartawan daerah Wilam yang terkenal dengan Eng-jiau-kang atau tenaga cakar elang.
"Pada permulaan tahun ini, ketika Locengcu (kepala kampung tua) Thi-kiam-san-ceng di Siong-yang sedang berlatih pedang di ruang latihannya, orang tua itu juga mati secara mendadak dan sampai sekarang belum diketahui sebab musabab kematiannya."
Dia berhenti sejenak dan menghela napas panjang, lalu menyambung, "Baru sekarang terpikir olehku, sangat mungkin dia juga terbunuh oleh seorang pembunuh yang sama."
Ilmu pedang keluarga Kwe di Siongyang terkenal sangat lihai, ilmu pedang yang tidak diajarkan kepada orang luar selain anak keturunan sendiri, pada waktu Kwe-locengcu sedang berlatih jelas dilarang orang luar mengintipnya.
Ruang latihannya juga dibangun dengan sangat kuat ibarat dinding tembaga dan tembok besi, siapa pun sukar masuk ke situ. Apalagi ilmu pedang Kwe-locengcu sedemikian hebatnya, bila dia sedang berlatih, hakikatnya selangkah pun orang luar tidak dapat mendekatinya.
Dahi Yap Sing-su bekernyit, "Jika benar dia terbunuh pada waktu sedang berlatih pedang, maka pisau pembunuh itu sungguh teramat menakutkan."
Mendadak Eng-bak Lau-jit mendengus, "Hm, jika begitu, apakah kita harus berduduk saja di sini dan menunggu dia membunuh kita pula satu per satu."
Tidak ada orang mendebatnya. Maklumlah, jika isteri muda kesayangan terbunuh, perasaannya tentu tidak baik dan setiap saat emosi bisa berkobar.
Dengan kedua tinju terkepal erat dan urat hijau menonjol di dahi, Eng-bak Lau-jit berteriak pula, "Biarpun pembunuh itu punya tiga kepala dan enam tangan serta benar-benar bisa menghilang juga akan kucari dia hingga ketemu."
Akan tetapi cara bagaimana akan mencarinya" Omong memang gampang!
Sesudah berunding secara masak-masak, akhirnya semuanya sepakat dan diputuskan tiga langkah dasar.
Semua peserta dibagi menjadi tiga kelompok dan melaksanakan tugas masing-masing.
Kelompok pertama dipimpin oleh Him Thian-kian dan kembali ke kota kecil di kaki gunung Thay-heng itu untuk memeriksa hotel tempat bermain para Piausu yang hilang itu, agar diselidiki apakah di situ masih ada sesuatu bekas yang mencurigakan.
Paling baik jika setiap penduduk setempat dimintai keterangan apakah beberapa hari sebelum paristiwa itu terjadi pernah kedatangan orang asing ke situ"
Kelompok kedua di bawah pimpinan Yap Sing-su dan bertugas menyelidiki siapa si pembunuh. Mereka sudah mengumpulkan nama segenap jago persilatan yang ahli menggunakan golok atau pisau, Yang paling penting, mereka harus mencari tahu antara pagi sampai siang hari Toan-yang orang yang bersangkutan itu berada dimana.
Kelompok ketiga dipimpin Ong Ik untuk mencari dana ke berbagai tempat, harus berdaya mengumpulkan hingga berjumlah 35 juta tahil perak.
Ketiga urusan ini sama tidak mudah dilaksanakan, dengan sendirinya semua orang juga ingin tahu apa yang akan dikerjakan oleh Eng-bak Lau-jit sendiri.
"Engkau sendiri akan kemana?"
"Akan kupergi mencari Liok Siau-hong."
"Liok Siau-hong yang beralis empat itu?"
Eng-bak Lau-jit mengangguk, "Ya, jika di dunia ini ada orang yang dapat menemukan si pembunuh bagi kita, maka orang itu pasti Liok Siau-hong adanya."
Setelah kasus Yu-leng-san-ceng atau perkampungan hantu tempo hari, dia sudah percaya penuh terhadap kecerdasan dan kemampuan Liok Siau-hong.
"Konon orang ini Seorang petualang yang suka mengembara dan tiada tempat tinggal tertentu, lalu kemana akan kau cari dia?"
"Dimana ada bakcang yang paling enak, ke situ akan kucari dia."
bab 3 Meski kecil usianya, tapi pengalamannya terhadap lelaki jelas tidak sedikit, tiba-tiba tertampil senyum profesionalnya, dengan dua jarinya yang tidak terlalu jelek ia comot sepotong daging dan dijejalkan ke mulut anak muda itu.
Segera Siau-hong tahu urusan bisa runyam, memperlakukan anak muda itu dengan cara yang biasa digunakan terhadap lelaki lain jelas akan mendatangkan petaka baginya.
Benar juga, baru saja timbul pikiran Siau-hong ini, tahu-tahu satu talam daging itu telah menguruk di atas mukanya. Daging masih panas, airnya menetes pada dadanya yang menjembul itu, keruan perempuan itu kelabakan karena dada keselomot.
Seketika terdengar orang bergelak tertawa dan teriakan kaget, sedangkan anak perempuan itu lantas menangis.
Pemuda itu tetap duduk di tempatnya dengan dingin, melirik sekejap saja tidak.
Dua lelaki kekar yang mukanya panuh kadas segera berlari tiba, tampaknya bermaksud membela anak perempuan itu.
Segera Siau-hong tahu urusan bisa lebih runyam lagi. Benarlah, sejenak kemudian, kedua lelaki kekar itu lantas mencelat seperti dua ekor gajah laut, yang satu menerobos keluar jendela dan terbanting di sana, seorang lain melayang ke arah meja Liok Siau-hong.
Terpaksa Siau-hong menjulurkan sebelah tangannya, dengan enteng ia tolak lelaki itu keluar jendela.
Akhirnya pemuda itu berpaling melototi Siau-hong sekejap.
Siau-hong tersenyum, baru saja dia bermaksud mendekatinya untuk makan minum bersama, tahu-tahu anak muda itu menarik muka dan kembali mengupas telur lagi.
Biasanya Liok Siau-hong sangat gampang bersahabat dengan orang tapi menghadapi anak muda itu serupa menghadapi dinding, samasekali tidak mendapatkan reaksi yang semestinya.
Tidak perlu disangsikan lagi Liok Siau-hong juga seorang lelaki yang menimbulkan minat anak perempuan, maka baru saja dia mengambil tempat duduk, segera dua anak perempuan yang berdandan sangat menyolok mendekatinya, bau harum yang berlebihan atau lebih tepat dikatakan bau tengik, membuatnya hampir tumpah.
Cuma dalam hal demikian biasanya Liok Siau-hong memang seorang gentleman, dan seorang gentleman tidak suka membikin sirik hati perempuan. Cuma dia juga tidak dapat minum arak sambil membau tengik mereka yang memuakkan itu, namun Siau-hong mempunyai caranya sendiri, dengan diplomatis ia bertanya, "Siapakah nona cilik tadi?"
"Nona cilik di sini sedikitnya ada beberapa puluh orang, darimana kutahu siapa yang kau maksudkan?"
"Yaitu nona yang mukanya tersiram kuah daging tadi."
Sesudah diberi tip sekadarnya, maka dua perempuan yang berbau tengik itu dapat ditukar dengan nona cilik yang mukanya disiram kuah daging.
Mukanya sekarang tentu saja sudah bersih, tapi juga tidak ada senyuman lagi, terhadap lelaki yang berkumis mirip alis ini tampaknya dia tidak terlalu berminat.
Untung minat Siau-hong juga tidak terletak pada nona cilik ini, sesudah bercakap dua-tiga kalimat yang tidak menarik, akhirnya Siau-hong bicara pada urusan yang menarik, "Siapakah anak muda yang suka makan telur rebus itu?"
Kiranya menurut catatan pada buku tamu hotel, pemuda itu bernama Gak Yang.
"Kuharap dia mati keselak telur," demikian kesimpulan terakhir anak perempuan ini terhadap pemuda itu.
Cuma sayang, sementara ini pemuda itu tak mati keselak, sebab terlihat telur saja tidak dimakan lagi, dia malah sudah berdiri dan mau pergi.
Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar suara mendesing dari luar jendela, satu baris terdiri dari sembilan anak panah langsung menyambar ke punggung anak muda itu. Desing kencang dan keras, jelas sangat kuat tenaga bidikan anak panah yang berhamburan itu.
Siau-hong sedang minum arak, cepat jarinya menjentik, cawan arak segera menyambar ke sana, mendadak cawan arak hancur menjadi beberapa keping dan semuanya dapat membentur anak panah, "Tring-tring", ada tujuh anak panah terbentur jatuh ke lantai.
Sisa dua anak panah yang lain dengan sendirinya tidak dapat melukai anak muda itu, hampir pada saat yang sama Liok Siau-hong juga melayang keluar. Akan tetapi di luar sunyi senyap, tiada kelihatan bayangan seorang pun. Waktu dia menerobos kembali ke dalam, pemuda Gak Yang juga sudah menghilang.
"Dia sudah kembali ke kamarnya untuk tidur, setiap hari dia selalu tidur sangat dini," tutur si nona cilik yang tersiram kuah daging tadi, tampaknya minatnya terhadap Liok Siau-hong mendadak bertambah besar.
Anak perempuan manakah yang tidak memuja sang pahlawan"
Dia memandang Siau-hong dengan mesra, mendadak ia bertanya dengan perlahan, "Apakah kau mau makan daging?"
Siau-hong tertawa, ia pun mendesis, "Aku pun ingin tidur."
Beberapa kamar di belakang terlebih buruk lagi, akan tetapi orang yang datang ke situ ternyata tidak memusingkan soal tempat.
Si nona cilik menarik tangan Siau-hong dan berkata, "Nenek bilang, untuk merebut hati seorang lelaki, jalan yang paling tepat adalah menembus dulu perutnya."
Dia menghela napas, lalu menyambung, "Tapi kalian berdua ternyata sama sekali tidak berminat pada makan."
"Sebab aku takut gemuk," jawab Siau-hong.
Mereka berhenti di depan sebuah kamar, tapi si nona tidak lantas mendorong pintu.
"Kenapa kita tidak masuk saja?" tanya Siau-hong.
"Di dalam masih ada orang, perlu kutunggu lagi sebentar," tutur si nona dengan mencibir, "Huh, lelaki semacam itu serupa anjing kelaparan saja, cara makannya main lahap saja, segera dia akan keluar."
Rasanya tidak enak berbaring di tempat tidur yang baru saja digunakan anjing kelaparan. Mestinya Liok Siau-hong hendak mencari alasan untuk mengeluyur pergi, tapi ketika si nona cilik mengatakan Gak Yang justru tinggal di kamar sebelah, seketika berubah pendirian Siau-hong.
Jelas dia sangat menaruh perhatian terhadap anak muda itu, bentuk pemuda itu hampir serupa dirinya waktu masih muda, satu-satunya yang tidak sama adalah Siau-hong tidak pernah menguruk muka anak perempuan dengan daging.
Benarlah, dengan cepat pintu kamar itu lantas terbuka, seorang lelaki kekar serupa gorila melangkah keluar dengan membawa seorang anak perempuan serupa ayam.
Anehnya anak ayam kelihatan masih segar dan lincah, sebaliknya si gorila kelihatan lemas.
Kedua anak perempuan saling memicingkan mata dengan tertawa cekikikan.
"Eh. kedua garis di atas bibirmu ini sesungguhnya alis atau kumis?" tanya si anak ayam kepada Liok Siau-hong, tampaknya dia sangat ingin merabanya.
Tapi segera Siau-hong menolak tangannya ke samping.
Mendadak terdengar suara "blang" yang keras, pintu kamar sebelah terpentang, menyusul lantas "bluk", ada sepotong benda dibanting ke tanah dengan keras, ternyata seekor ular berbisa.
Kedua anak perempuan itu menjerit dan lari ketakutan, cepat Siau-hong melompat ke sana, dilihatnya Gak Yang berdiri di depan pintu dengan muka agak pucat.
Rupanya selimut baru saja tersingkap dan ular itu sempat dicekiknya dari kolong selimut terus dibanting keluar.
Nyata sudah lima kali ada orang mengincar anak muda she Gak itu.
Siau-hong menghela napas gegetun, "Sesungguhnya engkau telah berbuat apa" Karena kau rebut periuk nasi orang atau melarikan bini orang?"
Gak Yang hanya memandangnya dengan dingin sambil tetap menghadang di pintu, agaknya sengaja merintangi supaya Siau-hong tidak dapat masuk ke situ.
Siau-hong juga menghadang di depan pintu agar anak muda ini tidak dapat menutup pintu, katanya, "Orang mengincar jiwamu, mengapa sedikitpun tidak kau hiraukan?"
Namun Gak Yang tetap memandangnya dengan dingin tanpa bersuara.
"Masa kau pun tidak ingin tahu siapakah yang menyergap dirimu?" kata Siau-hong pula.
"Aku cuma memikirkan sesuatu," kata Gak Yang tiba-tiba.
"Bila ada orang suka ikut campur urusanku, maka ingin kubikin dia selanjutnya tidak sanggup ikut campur urusan orang lain lagi."
Mendadak tangannya bergerak, seperti hendak memotong leher Liok Siau-hong, tapi tahu tahu tangannya memutar ke atas, jarinya terus menutuk tengah alis.
Terpaksa Siau-hong menghindar, baru saja ia menyurut mundur, "blang", segera pintu kamar tertutup.
Menyusul lantas terdengar suara "blang" pula di dalam, agaknya daun jendela juga sudah ditutup oleh Gak Yang.
Sampai sekian lama Siau-hong berdiri terkesima di luar, mendadak ia membalik tubuh, dicomotnya bangkai ular tadi, diperiksanya di bawah lentera di serambi sana sampai sekian lama, kemudian bangkai ular itu dibuangnya.
Leher ular itu remuk, jelas terpencet oleh dua jari tangan. Ular itu jenis ular berbisa, kulitnya ulet dan kuat, pisau biasa saja sukar memotongnya putus sekaligus.
Nyata kungfu kedua jari anak muda itu ternyata tidak selisih banyak dengan tenaga jari Liok Siau-hong.
Siau-hong menyengir sendiri, "Untung umurnya sudah 20 kurang lebih, kalau tidak, bisa jadi orang akan mengira dia anakku."
Kalau dilihat dari tenaga jarinya, sampai dia sendiri pun akan mengira anak muda itu adalah anaknya.
-00- Malam bertambah larut, suasana sunyi. Tadi ada orang mengetuk pintu di luar, Liok Siau-hong sengaja berlagak sudah tidur. Sampai lama baru didengarnya si nona cilik yang hot itu mendepak pintu dengan gemas dan mengomel, "Huh, tampaknya kedua orang ini memang orang mampus semua!" Lalu terdengar suara langkahnya yang semakin menjauh. Kini di luar hanya terdengar suara ombak mendebur dan suara mendengkur orang lelaki di kamar seberang sana, dari kamar sebelah kiri terdengar suara napas terengah orang perempuan. Sebaliknya kamar Gak Yang tidak terdengar sesuatu suara apapun.
Pemuda ini bukan cuma kungfunya saja sangat tinggi, cara bergeraknya juga aneh, bahkan perangainya terlebih aneh.
Sesungguhnya darimana asal-usulnya" Mengapa ada sekian banyak orang yang ingin membunuhnya"
Timbul rasa ingin tahu Liok Siau-hong sehingga tidur saja sukar. Orang yang sukar tidur biasanya mudah merasa lapar. Karena itulah mendadak Liok Siau-hong merasa sangat lapar.
Meski sudah larut malam, tapi di tempat ini masih dapat mencari makanan. Segera ia hendak kaluar, siapa tahu pintu digembok dari luar oleh si nona cilik yang kecewa itu.
Untung masih ada jandela. Maka sekali melayang saja dia sudah keluar dari kamarnya.
Bulan setengah bulat menghias di tengah cakrawala dengan sinarnya yang cukup terang.
Tiba-tiba Siau-hong melihat di luar jendela kamar Gak Yang, berjongkok satu orang dengan tangan memegang sejenis benda tiup dan sedang meniupkan hawa ke dalam kamar anak muda itu.
Sejak berumur belasan tahun Liok Siau-hong sudah berkecimpung di dunia Kangouw, dengan sendirinya ia tahu benda yang dipegang orang itu adalah alat tiup asap bius yang biasanya cuma digunakan kaum pencuri rendahan.
Ketika tiba-tiba mengetahui ada orang, seketika orang itupun berpaling sehingga cahaya bulan tepat menyinari mukanya dengan jelas.
Itulah seraut wajah yang lonjong dan sempit, muka kuda, tapi dihiasi sebuah hidung yang sangat besar dan membetet, setiap orang yang pernah melihatnya sekejap pasti sukar melupakannya. Sekali melompat segera Siau-hong menubruk ke sana. Siapa tahu reaksi orang itu sangat capat, Ginkangnya juga sangat tinggi, sekali pentang kedua tangannya, seperti burung saja ia melayang lewat rumah sana.
Seorang maling rendahan mana bisa menguasai Ginkang setinggi itu"
Siau-hong tidak sempat memikirkannya, yang dikuatirkannya sekarang adalah Gak Yang, apakah pemuda itu telah pingsan terbius"
Gak Yang ternyata tidak mengalami sesuatu. Waktu dia turun ke bawah, dilihatnya jendela mendadak terbuka, Gak Yang berdiri di depan jendela dan sedang memandangnya dengan dingin.
bab 4 Bahwasanya ada orang meniupkan obat bius ke dalam kamarnya dan anak muda itu masih dapat bersabar, setelah malingnya kabur baru dia membuka jendela, sungguh Siau-hong tidak habis mengerti sebenarnya orang macam apakah anak muda ini.
Mendadak Gak Yang menjengek, "Hm, sungguh aku tidak mengerti sebenarnya engkau ini orang macam apa" Masakah tengah malam buta tidak tidur, sebaliknya main lompat ke sana-sini?"
"Ya, sebab aku telah salah makan obat," jawab Siau-hong dengan menyengir.
Malam mi belum berlalu, kesulitan Liok Siau-hong juga belum berlalu.
Waktu dia kembali ke dalam kamarnya, diketahuinya si nona cilik yang disiram kuah daging itu sudah menunggunya di tempat tidur.
"Engkau salah makan obat apa" Obat kuat?" tanya si nona sambil melototi Siau-hong; "Andaikan kau salah makan obat kuat, yang harus kau cari kan diriku, mengapa kau cari orang lelaki" Apa barangkali ada penyakit kelainan pada dirimu?"
"Penyakitku tidak cuma semacam," ujar Siau-hong dengan tersenyum getir.
"Oo, engkau masih ada penyakit lain?"
"Ya, panyakit lapar!"
"Penyakit macam ini tidak terlalu gawat, kebetulan ada obatku yang khusus dapat menyembuhkan penyakitmu ini. Umpama bak-pau panas berlapis sosis lalu sebotol arak putih yang sudah direndam di dalam air laut, bagaimana seleramu terhadap makanan dan minuman ini?"
"Wah, kukira di dunia ini sukar lagi mencari obat lapar sebaik ini," ujar Siau-hong dengan gegetun.
-00- Karena minum terlalu banyak dan tidur terlalu sedikit, waktu mendusin Siau-hong merasakan perut kembung dan kepala sakit seperti mau pecah.
Sebelum lohor, ruangan di depan tidak terdapat orang, ruang yang baru saja disapu tampaknya serupa sebuah kuali yang habis dicuci, meski minyak dan hangus sudah tercuci bersih, tapi tampaknya bertambah jelek dan rusak.
Dia berusaha mendapatkan sepoci air panas untuk menyeduh teh, baru saja minum satu-dua teguk, dilihatnya Gak Yang dan seorang lain lagi masuk ke situ di bawah cahaya sinar matahari yang cerah.
Kedua orang asyik bicara, Gak Yang kelihatan gembira, bicaranya menjadi banyak juga.
Lucunya orang yang menggembirakan dia ini bukan lain daripada si muka kuda yang semalam hendak membiusnya dengan asap tiup itu. Siau-hong kenal betul pada muka kuda demikian.
Seketika Siau-hong melongo sendiri.
Yang berpenyakit sesungguhnya siapa" Sungguh tidak pernah dilihatnya ada orang mempunyai kelainan yang lebih hebat daripada pemuda ini.
Melihat Siau-hong, seketika Gak Yang menarik muka lagi. Kedua orang itu bicara pula beberapa kalimat, lalu Gak Yang mendekati Siau-hong terus duduk di depannya.
Tentu saja Siau-hong menjadi kikuk dan tercengang, ia coba bertanya, "Apakah orang itu sahabatmu?"
Yang dimaksud dengan sendirinya si muka kuda, sekarang sedang menuju ke barat menyusur pantai, jalannya sangat cepat, seperti kuatir disusul oleh Siau-hong.
"Dia bukan sahabatku," demikian Gak Yang menjawab.
Siau-hong merasa lega, betapapun anak muda ini masih dapat membedakan baik dan buruk, masih tahu antara bajik dan jahat, masih mengerti siapa kawan dan bukan.
"Dia Toakoku," tiba-tiba Gak Yang menambahkan.
Kembali Siau-hong melenggong. Selagi hendak ditanyai apa yang dilakukan oleh Toakonya semalam, rupanya Gak Yang tidak mau lagi bicara mengenai si muka kuda, tiba-tiba ia balas bertanya, "Apakah kau pun akan berlayar?"
Siau-hong mengangguk.
"Kau pun akan menumpang kapal si rase tua itu"
Kembali Siau-hong mengangguk, baru sekarang ia tahu anak muda ini juga penumpang kapal itu.
Gak Yang lantas menarik muka dan mendengus, "Kukira lebih baik kau ganti kapal lain saja."
"Sebab apa?" tanya Siau-hong.
"Sebab aku sudah membayar 500 tahil perak, kapal itu sudah kucarter," tutur Gak Yang.
Siau-hong menyengir, "Sebenarnya aku ingin ganti kapal, cuma sayang, aku juga sudah bayar 500 tahil perak untuk mencarter kapal itu."
Air muka Gak Yang berubah. Belum lagi dia bicara pula, mendadak si rase tua yang mabuk semalam muncul di situ.
Segera Gak Yang menegur si rase tua mengapa bisa terjadi sebuah kapal dicarterkan kepada dua orang.
Bagi si rase tua, urusan demikian sesungguhnya sangat sederhana, "Kapalku kan sangat besar, biarpun bertambah seorang penumpang juga takkan membuatnya tenggelam. Sedangkan kalian berdua sama-sama ingin berlayar selekasnya."
Lalu dengan tangannya yang kapalan itu dia tepuk-tepuk pula bahu anak muda itu dan berkata, "Tambah orang kan tambah ramai di atas kapal nanti, apalagi kalau dapat berlayar bersama satu kapal, senasib setanggungan, kan amal yang sukar dicari. Tapi bila engkau mau ganti kapal, boleh juga kukembalikan uangmu, namun paling banyak cuma dapat kukembalikan 400 tahil."
Sama sekali Gak Yang tidak bicara, segera ia melengos dan tinggal pergi.
Si rase tua memicingkan mata dan memandang Siau-hong, tanyanya, "Bagaimana?"
Siau-hong hanya menggeleng kepala saja tanpa komentar. Si rase tua lantas bergelak tertawa.
Waktu lohor, selagi Siau-hong hendak mengisi perut, tiba-tiba Gak Yang datang mencarinya dan menyodorkan sebungkus barang ke depannya sambil berkata, "Inilah 500 tahil perak, anggap ganti rugiku kepadamu dan kau harus ganti kapal."
Nyata dia lebih suka memberikan 500 tahil perak kepada Liok Siau-hong daripada cuma rugi seratus tahil dan menerima pengembalian 400 tahil dari si rase tua.
Memangnya apa sebabnya"
Dengan tidak mengerti Siau-hong bertanya, "Apakah kau harus menumpang kapal si rase tua dan tetap tidak memperbolehkan aku menumpang?"
"Ya," sahut Gak Yang tegas,
"Sebab apa?" tanya Siau-hong.
"Sebab aku tidak suka kepada orang yang suka ikut campur urusan."
Siau-hong menatapnya sejenak, dengan dua jari dia dorong kembali bungkusan itu ke depan Gak Yang.
Berubah air muka Gak Yang, "Engkau tidak mau?"
Jawaban Siau-hong juga sangat tegas, "Ya!"
"Sebab apa?" tanya Gak Yang.
Siau-hong tertawa, katanya tiba-tiba, "Sebab kapal itu kan cukup besar, tambah seorang penumpang pun takkan membuatnya tenggelam!"
Gak Yang mendelik, tiba-tiba sorot matanya menampilkan semacam perasaan aneh, ia menegas, "Kau takkan menyesal?"
"Selama hidupku ini tidak pernah menyesal satu kali pun," jawab Siau-hong dengan hambar.
Cara bekerja Liok Siau-hong memang tidak kenal menyesal, tapi sekali ini bukan mustahil dia bisa menyesal. Cuma terjadinya dengan sendirinya akan lama sekali.
Dari siang hingga malam dilewatkan dengan sangat mengesalkan, segala sesuatu terasa hambar. Sehari suntuk, satu-satunya hal yang menggembirakan adalah si rase tua mendadak mengumumkan, "Muatan sudah beres, besok pagi kapal akan berangkat."
Pagi-pagi keesokannya sebelum fajar menyingsing Liok Siau-hong sudah bangun. Si genit yang tersiram kuah daging itu semalaman tidak mencarinya, hal ini rada di luar dugaannya.
Meski semalam Siau-hong tidak tidur dengan baik, tapi kepalanya tidak sakit lagi, sebaliknya penuh semangat dan bergairah.
Samudra raya yang luas dan megah, pemandangan indah di lautan lepas yang misterius itu sedang menantikan untuk dijelajahinya.
Setelah mengalami berbagai peristiwa berbahaya dan menakutkan serta ruwet itu, dia masih hidup segar bugar, bahkan boleh dikata sudah terlepas dari segala macam kesukaran.
Sekarang terkabul juga cita-citanya, dia mulai berlayar.
Negeri kepulauan Okinawa itu sesungguhnya tempat macam apa" Apakah bedahya antara penduduk kepulauan itu dengan orang Tionggoan" Apa betul mereka adalah keturunan dari ke 500 muda-mudi yang dibawa Ji Hok, seorang utusan Cin-si-ong (kaisar Cin) yang ditugaskan mencari obat mujizat panjang umur.
Konon anak perempuan yang dibawanya ke sana itu rata-rata gadis cantik pilihan, lemah-Iembut dan pandai melayani kaum lelaki, bilamana sang suami mau keluar rumah, selalu isteri berlutut mengantar kepergian sang suami di depan pintu. Waktu suami pulang, si isteri akan menyembah di depan rumah dan membukakan sepatu.
Bilamana terbayang hal-hal itu, Liok Siau-hong tambah bergairah sehingga segala kesedihan terlupakan seluruhnya.
Sebuah dunia baru sedang menantikan dia untuk mengembangkannya, suatu hidup baru segera akan mulai.
Hari belum lagi terang, tapi ketika dia membuka pintu dan keluar, dilihatnya Gak Yang sudah berada di pantai laut dan tampaknya sedang melamun.
Sesungguhnya ada persoalan apa yang menekan perasaan pemuda itu" Kenapa dia perlu berlayar"
Waktu sang surya mulai memancarkan cahayanya, permukaan laut menjadi gilang-gemilang berwarna keemasan.
Mendadak Gak Yang membalik tubuh dan perlahan melangkah ke sana menyusur tepi pantai.
Mestinya Liok Siau-hong hendak menyusulnya, tapi setelah berpikir ia urungkan maksudnya.
Toh mereka masih harus berlayar bersama satu kapal, kesempatan selanjutnya masih sangat banyak.
Di tengah semilir angin pagi seolah-olah mengandung bau harum kaldu daging.
Tanpa terasa tersembul senyuman pada ujung mulut Liok Siau-hong. Sebelum naik kapal, asalkan dapat minum kaldu daging yang masih hangat, sungguh menyenangkan juga.
Gan Yang masih terus menyusur pantai ke depan, debur ombak telah membasahi sepatunya, juga membasahi kaki celananya. Tapi dia seperti tidak merasakannya.
Perasaannya memang lagi bimbang, dia seperti terlebih bergairah dan lebih tegang daripada Liok Siau-hong.
Pelayaran sekali ini terlebih besar mengubah hidupnya. Semalam hampir saja ia membatalkan pelayaran ini dan hendak pulang ke rumah untuk menjadi seorang anak yang berbakti dan menikmati kehidupan mewah duniawi. Asalkan dia menurut, apapun yang dikehendakinya pasti akan terkabul.
Sayang yang diinginkan bukanlah kenikmatan hidup mewah melainkan semacam kehidupan yang bebas merdeka secara mutlak, kebebasan mutlak harkat manusia.
Bila teringat kepada sang ibu yang bijaksana dan berbudi halus dan merana selama hidup itu, waktu bangun tidur pagi tadi air mata masih mengembeng di kelopak matanya.
Akan tetapi sekarang segalanya sudah terlambat. Ia bertekad takkan mengingat lagi hal yang sukar berubah ini. Waktu ia menengadah, dilihatnya Oh Sing lagi menunggunya di bawah batu karang sana.


Manusia Yang Bisa Menghilang Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oh Sing dengan mukanya yang lonjong seperti muka kuda itu juga kelihatan bersemangat. Waktu melihat pemuda ini mendekatinya, timbul perasaan puas dan bangganya.
Inilah pemuda yang pintar, cerdas, teguh, tapi selalu berpikiran dingin, masih ada pula semacam kemampuan yang mendekati binatang liar, semacam kepandaian khas yang dapat mencium sesuatu bahaya atau malapetaka sebelum terjadi.
Ia tahu pemuda ini dapat dijadikan pembantu yang sempurna tanpa cacat, hal ini tentu sangat berharga baginya, juga bagi kawan-kawannya.
bab 5 Pemuda zaman sekarang semakin lama semakin suka kehidupan nikmat, yang dapat dilatih menjadi seorang petugas ahli sudah tidak banyak lagi.
Dengan sorot mata memuji ia lihat pemuda itu mendekat, lalu menyapa, "Tidurmu semalam baik tidak?"
"Tidak baik, aku tidak dapat tidur," jawab Gak Yang.
Dia bicara sejujurnya, di depan sang Toako ini biasanya dia bicara dengan jujur. Kebanyakan orang hanya berlaku jujur terhadap orang yang dihormatinya.
Terhadap hal ini jelas Oh Sing juga sangat puas, katanya pula, "Orang yang beralis empat itu apakah masih mencari perkara kepadamu?"
"Tidak," jawab Gak Yang.
"Sebenarnya tidak perlu kau hiraukan dia, pada hakikatnya dia seorang yang tidak berarti," ujar si muka kuda alias Oh Sing.
"Ya, kutahu," kata Gak Yang.
Mungkin baru pertama kali ini bagi pandangan orang Liok Siau-hong dianggap sebagai seorang yang tidak berarti.
Oh Sing lantas mengeluarkan sepucuk surat yang tertutup rapat dan diserahkan kepada Gak Yang, "Inilah petunjuk terakhir sebelum kau naik kapal, setelah kau laksanakan segera pula kau boleh naik."
Gak Yang menerima surat itu dan dibukanya, hanya membaca sekejap saja, wajahnya yang cakap tiba-tiba menampilkan rasa takut, kedua tangannya juga mulai gemetar.
"Apa yang harus kau lakukan menurut petunjuk itu?" tanya Oh Sing.
Gak Yang tidak menjawab, selang agak lama, perlahan pulih ketenangannya, lalu surat dan sampulnya dirobeknya hingga hancur terus dimasukkan ke dalam mulut dan dikunyah, lalu ditelan bulat-bulat.
Sorot mata Oh Sing kembali menampilkan rasa memuji, setiap petunjuk hanya ditujukan kepada seorang saja, kecuali orang ini sendiri tentu tidak boleh diketahui orang ketiga. Dalam hal ini jelas juga telah dilaksanakan Gak Yang dengan baik.
"Sekali ini engkau diharuskan berbuat apa?" kembali Oh Sing bertanya.
Gak Yang menatapnya, sampai lama baru dia berucap sekata demi sekata, "Aku diharuskan membunuh kau!"
Kulit muta Oh Sing mendadak berkerut-kerut serupa orang yang mendadak dicambuk dengan keras, ucapnya dengan rada gemetar, "Bahwa engkau dapat mencapai sukses seperti sekarang, siapa yang membantumu?"
"Engkau!" jawab Gak Yang.
"Tapi hendak kau bunuh diriku"!"
Sorot mata Gak Yang penuh menampilkan rasa pedih, tapi suaranya tetap dingin dan tenang, "Aku tidak ingin membunuhmu, tapi juga tidak boleh tidak membunuhmu."
"Toh tidak diketahui orang lain, apakah engkau tidak dapat melawan perintah satu kali saja?"
"Tidak dapat," jawab Gak Yang .
Oh Sing memandangnya, sorot matanya berubah setajam sembilu, ucapnya pula dengan perlahan, "Jika demikian, seharusnya jangan kau katakan padaku."
"Memangnya kenapa?"
"Jika kau cari kesempatan untuk menyergap diriku mungkin akan berhasil, sekarang setelah kutahu, yang akan mati ialah dirimu."
Mulut Gak Yang terkancing, bibirnya yang tipis jelas menunjukkan kekejamannya, mendadak ia melompat bangun segesit harimau kumbang.
Ia tahu cara turun tangan lawan jauh lebih keji daripadanya, terpaksa ia harus bertempur dari jarak dekat, harus mengatasi lawan dengan tenaga fisik.
Jelas Oh Sing tidak pernah memikirkan hal ini, sebab pertarungan di antara dua jago kelas tinggi mestinya tidak menggunakan cara demikian. Ketika dia mengetahui apa yang terjadi, tahu-tahu Gak Yang sudah menubruk tiba, kedua orang lantas jatuh terguling dan terperosot ke dalam laut.
Napas Oh Sing terengah, usianya jauh lebih tua daripada Gak Yang, tenaganya jelas selisih banyak, gerak-geriknya juga tidak selincah anak muda ini. Waktu ia ingin mencekik leher lawan, mendadak sikut Gak Yang menyodok iganya, berbareng telapak tangan menabas lehernya, menyusul terus menindih tubuhnya dan menjotos pula batang hidungnya.
Belum lagi jotosan Gak Yang mengenai sasarannya, mendadak Oh Sing berteriak, "Nanti dulu, coba lihat lagi petunjuk lain yang kubawa."
Gak Yang rada sangsi, tapi jotosannya tetap diteruskan, ketika muka Oh Sing sudah berlumuran darah dan tidak sanggup melawan lagi, barulah dia ambil sepucuk surat lain dari dalam baju Oh Sing, dengan tetap menunggangi tubuh lawan ia merobek surat itu dan dibacanya.
Segera berubah lagi air muka Gak Yang, perlahan ia berdiri, air mukanya entah menunjukkan rasa gembira atau berduka.
Oh Sing juga meronta bangun, ucapnya dengan terengah, "Ini hanya untuk menguji dirimu, ingin kutahu apakah engkau mutlak akan tunduk kepada perintah yang diberikan padamu."
Mukanya berlepotan darah, hidungnya juga pecah sehingga wajahnya tambah menakutkan. Tapi dia masih tertawa, katanya pula, "Sekarang engkau sudah lulus ujian, engkau sudah memenuhi syarat. Nah, lekas naik kapal."
Segera Gak Yang membalik tubuh dan melangkah ke depan. Waktu dia membalik tubuh, sorot matanya kembali berkaca-kaca, namun sedapatnya ia menahan air mata yang hampir menetes itu. Dia bersumpah pasti takkan mencucurkan air mata lagi.
Semua ini adalah pilihannya sendiri, dia tidak boleh menyesal, juga tidak perlu berduka.
Baginya 'emosi' sudah berubah menjadi sesuatu yang mahal dan juga berbahaya, bisa merenggut jiwanya. Betapapun dia harus tetap hidup. Jika ada orang yang harus mati, yang mati itu pasti orang lain.
Waktu berlayar berubah lagi pada petang harinya, sebab separtai muatan lain belum lagi selesai.
Para kelasi yang sudah siap melaksanakan tugas itu kembali mulai berjudi lagi dan minum arak atau main perempuan, kesempatan terakhir sebelum berlayar itu mereka gunakan sebaik-baiknya untuk bergembira, habis itu mereka harus melakukan kehidupan sengsara pula yang lama. Dan bagaimana kehidupan pelaut tentu sudah sama diketahui, terutama kehidupan seks.
Perut Liok Siau-hong sudah mulai kosong, selagi dia ingin mencari hiburan, tiba-tiba dilihatnya Gak Yang yang bajunya robek dan berlepotan darah itu datang dari tepi pantai sana.
Mengapa dia berubah menjadi begini" Apa yang dilakukan tadi" Apakah bertempur dengan orang" Dengan siapa" Apakah Toa-konya yang bermuka kuda itu"
Sekali ini Liok Siau-hong dapat menahan diri dan tidak bertanya, bahkan juga tidak memperlihatkan rada kejut atau heran, seperti tidak pernah melihat sesuatu.
Gak Yang sedang mencari air minum. Barang siapa kalau habis menelan dua sampul dan kertas surat pasti perlu minum.
Di atas bangku di dalam rumah sana ada ceret air, tempat itu memang biasa tersedia air minum, cuma jarang digunakan orang, sebab kebanyakan pendatang lebih suka minum arak.
Ceret air ini dibawakan ke sini oleh seorang nelayan tua bermata satu dan belum pernah diminum orang. Sekarang kebetulan Gak Yang perlu seceret air ini, tanpa mencari cangkir lagi, ceret itu diangkat, corong menghadap mulut terus dituang begitu saja.
Seorang kalau habis bertempur sengit, baik jasmani maupun rohani pasti berada dalam kaadaan loyo, kewaspadaan terhadap segala apapun tentu juga kendur, apalagi ia mengira keselamatan sendiri mutlak tidak menjadi soal.
Sebaliknya tiba-tiba teringat sesuatu oleh Liok Siau-hong, si nelayan tua bermata satu itu selama dua hari ini tidak pernah terlihat minum air, mengapa sekarang bisa mendadak membawakan seceret air minum"
Pikiran ini membikin Liok Siau-hong memperhatikan lagi suatu hal lain.
Di sarang rase ini yang suka minum air cuma pemuda she Gak itu saja, caranya minum air mestinya tidak perlu ditonton, tapi sekarang si nelayan tua bermata satu justru lagi meliriknya secara diam-diam, tampaknya dia berharap selekasnya pemuda itu menghabiskan isi ceret itu.
Corong ceret sudah terarah tepat di mulut Gak Yang, tapi sebelum air tertuang, mendadak Liok Siau-hong menjentikkan jarinya, sepotong uang perak menyambar dan "tring", corong ceret tepat tersambit. Corong tertimpuk peyot dan melencong.
Gak Yang merasa tangan tergetar, ceret juga jatuh ke lantai, air tumpah, tangannya juga terciprat beberapa tetes air, ia coba menciumnya dan air mukanya seketika berubah.
Tanpa bertanya juga Liok Siau-hong tahu di dalam air pasti beracun.
Dilihatnya si nelayan tua sedang membalik tubuh dan diam-diam hendak mengeluyur pergi, cepat Siau-hong melompat ke sana.
Segera nelayan tua itu menghantam ke belakang, cepat dan keras juga pukulannya, cuma sayang, yang menjadi lawannya ialah Liok Siau-hong.
Dengan gerak terlebih cepat, Siau-hong sempat menelikung lengannya, tangan yang lain terus mengangkatnya dan didorong ke depan Gak Yang.
"Inilah orang yang kau perlukan," kata Siau-hong.
Gak Yang memandangnya seperti tidak paham apa maksudnya, lalu menjengek, "Untuk apa orang ini?"
"Masa engkau tidak ingin menanyai dia atas suruhan siapa hendak mencelakaimu?"
"Tanpa bertanya juga kutahu siapa yang ingin mencelakaiku."
"Memangnya siapa?" tanya Siau-hong.
"Kau!" jawab Gak Yang.
Siau-hong jadi melenggong sendiri.
"Aku ingin minum air, tapi sengaja kau pukul jatuh ceret air, memangnya siapa kalau bukan engkau yang hendak membikin susah padaku?"
Perlahan nelayan tua itu berdiri dan berkata, "Bukan saja kau bikin susah dia, juga bikin celaka diriku. Lenganku ini hampir kau puntir patah, harus kau ganti rugi padaku."
Tiba-tiba Siau-hong tertawa, "Baik, kuberi ganti rugi sepotong uang perak, anggaplah kuberikan padamu untuk minum arak."
Si nelayan tua ternyata tidak sungkan-sungkan, segera ia pungut uang perak yang jatuh di lantai itu terus angkat kaki, sama sekali tidak lagi memandang Gak Yang.
bab 6 Gak Yang juga tak memandangnya, sebaliknya melototi Liok Siau-hong, katanya tiba-tiba, "Dapatkah kau bantu diriku?" "Katakan saja," jawab Siau-hong.
"Sukalah engkau menjauhi diriku, makin jauh makin baik," kata Gak Yang.
Sampai sekian lama Gak Yang duduk sendirian di situ, Liok Siau-hong sudah pergi jauh, sesungguhnya memang sudah tidak kelihatan lagi bayangannya. Manusia yang suka ikut campur urusan orang lain itu entah sedang mengurus apalagi"
Dengan sendirinya si nelayan tua tadi juga sudah menghilang entah kemana. Teringat kepada nelayan itu, mendadak Gak Yang melompat bangun dan menerjang keluar.
Dia harus mencegah tindakan Liok Siau-hong supaya tidak menanyai nelayan tua itu.
Dugaannya memang tidak salah, Liok Siau-hong memang sedang mencari si nelayan tua, malahan mereka berdua dapat menemukan dia hampir pada saat yang sama.
Sebab mendadak mereka mendengar jeritan di tepi pantai sana. Waktu mereka memburu ke sana, si nelayan tua yang selamanya hidup di lautan itu ternyata sudah mati terbenam.
Yang mahir berenang mati tenggelam, setiap orang bisa mati terbenam di dalam air.
Namun nelayan tua ini jelas hendak pergi minum arak, mengapa tanpa sesuatu sebab bisa terjun ke laut dengan pakaian rapi"
Liok Siau-hong memandang Gak Yang, anak muda itu pun memandang Liok Siau-hong. Tiba-tiba di kejauhan ada orang berteriak, "Kapal akan berangkat! Kapal akan berangkat!" "Angkat jangkar!" "Pasang layar!" "Berangkat!"
Teriakan lantang sahut menyahut di sana-sini, kapal laut rase tua itu akhirnya meninggalkan pantai pada waktu senja itu.
Tampaknya sarat juga muatan kapal itu. Memang satu-satunya kelemahan rase adalah rakus, makanya mudah terjebak oleh kaum pemburu.
Agaknya si rase tua juga tidak terhindar dari sifat rakus.
Liok Siau-hong juga sangat ingin membekuk rase tua itu untuk ditanyai sesungguhnya barang apa saja yang termuat di dalam kapal, apakah takkan berbahaya membawa muatan seberat itu"
Belum lagi dia dapat membekuk si rase tua, hampir saja ia menumbuk si kuah daging. Pada waktu dia masuk ke kabin yang pintunya setengah terbuka itu, kebetulan si genit kuah daging lagi melangkah keluar.
Liok Siau-hong memandangnya dengan terkejut, "Hei, mengapa kau pun berada di kapal ini?"
Mata si genit berkedip-kedip, "Sebab kalian sudah berada semua di sini."
"Kami naik kapal dan kau pun naik ke sini?" Siau-hong menegas.
Tapi si genit balas bertanya malah, "Coba jawab, di atas kapal ini bukankah kalian juga harus makan nasi?"
Tentu saja harus. Setiap orang hidup, berada dimana pun tetap harus makan nasi, dan untuk bisa makan nasi harus ada orang menanak nasi.
Maka si genit lantas menuding hidungnya sendiri dan menambahkan, "Nah, aku inilah tukang menanak nasi, bukan saja menanak nasi, juga memasak daging."
"Mulai kapan kau ganti pekerjaan?" tanya Siau-hong.
Si genit tertawa manis, ucapnya, "Semula aku memang tukang menanak nasi (babu), hanya terkadang punya sambilan pekerjaan lain."
-00- Kabin utama seluruhnya ada delapan kamar, daun pintu yang berukir dihiasi pegangan pintu perunggu sehingga kelihatan teriebih indah dan mewah.
"Konon yang menumpang kapal ini kebanyakan adalah orang yang berkedudukan tinggi," ucap si genit.
Siau-hong menghela napas sambil menyengir, "Ini dapat kubayangkan, kalau tidak, siapa sanggup membayar kepada si rase tua."
Si genit meliriknya sekejap, "Kau pun orang berkedudukan bukan?"
"Tidak!" jawab Siau-hong.
"Engkau banyak uang?"
"Juga tidak. Sesudah membayar kepada si rase tua, aku hampir bangkrut seluruhnya."
Apa yang diucapkannya memang sejujurnya. Maka si genit tertawa pula, "Tidak punya uang juga tidak menjadi soal. Jika sekali tempo kau salah makan obat, boleh juga sekali tempo kuganti profesi lagi."
Siau-hong hanya menggeleng dan menghela napas, sungguh tidak terpikir olehnya anak perempuan semacam ini bisa menanak nasi.
Si genit lantas menuding kamar kabin ketiga di sebelah kiri, katanya, "Itulah, kamarmu. Si brengsek yang cuma makan telur melulu itu tinggal di kamar pertama sebelah kanan."
"Apakah aku dapat ganti kamar yang lain?"
"Tidak dapat!"
"Sebab apa?"
"Sebab semua kamar sudah penuh terisi."
Seketika Siau-hong berteriak, "Apa katamu" Si rase tua membujukku agar mencarter kapalnya, tapi sekarang setiap kamar kabin penuh terisi orang?"
Si genit menjawab dengan tak acuh, "Kedelapan kamar di sini semuanya terisi, 16 kamar di bawah juga penuh. Biasanya si rase tua memang suka ramai, makfn banyak orang semakin menyenangkan dia."
Dengan tertawa ia menambahkan pula, "Cuma yang tinggal di atas adalah penumpang kelas utama, si rase tua malah sengaja memberi pesan agar kubuatkan makanan enak bagi kalian. Malam ini kau ingin makan apa?"
"Aku ingin makan daging rase panggang, panggang rase tua sampai empuk tulang belulangnya," kata Siau-hong.
Meski tidak ada rase panggang pada makan malam, namun hidangannya cukup banyak dan lezat, si genit ternyata benar pandai masak.
"Nenek bilang, untuk memikat hati lelaki harus menembus dulu perutnya, setiap anak perempuan yang pandai masak kebanyakan mendapatkan suami yang baik."
Waktu si genit mengemukakan dalil ini, kebanyakan penumpang sama tertawa. Hanya Liok Siau-hong saja yang tidak tertawa. Sungguh ia tidak habis mengerti darimana si rase tua mendapatkan penumpang-penumpang kelas utama ini, rata-rata menjemukan.
Sejauh itu Gak Yang juga tidak muncul lagi, begitu masuk kamar kabin lantas tidak pernah keluar pula.
Menunggu sampai larut malam dan suasana sunyi, Liok Siau-hong berduduk sendirian di atas dek dan memandangi air laut, jagat raya ini seolah-olah cuma tersisa dia sendiri saja. Dalam keadaan begini, barulah ia merasa bebas merdeka.
'Menyendiri' terkadang juga semacam kenikmatan, cuma sering juga membikin orang teringat kepada hal-hal yang mestinya tidak perlu teringat.
Terlalu banyak mengenangkan hal yang menyedihkan bisa membuat orang lekas tua, sering juga mengubah pribadi seseorang.
Syukurlah Liok Siau-hong tidak berubah terlalu banyak. Dia masih tetap bergairah, tetap bersemangat, terkadang malahan sangat bodoh, namun juga sering pintar luar biasa. Terhadap urusannya sendiri hampir tidak terpikir, sebaliknya suka ikut campur urusan orang lain.
Orang macam apakah Gak Yang itu"
Bahan pakaiannya sangat baik, jahitannya juga model mutakhir, uang tampaknya tidak menjadi soal, dengan begitu saja ia membayar 500 tahil.
Meski tangannya kelihatan panjang dan kuat, tapi jelas tidak mirip orang yang biasa bekerja kasar, gerak-geriknya berwibawa, seperti orang lain ditakdirkan harus menurut perintahnya.
Ditinjau dari hal-hal ini, seharusnya dia terlahir di keluarga terpandang, tapi dia justru kelewat pintar, terlalu dingin, putra keluarga terhormat biasanya tidak demikian.
Berulang-ulang ia disergap orang dan hampir mematikan dia, tetapi dia sendiri sedikit pun tidak mau ambil pusing, juga tidak mau mengusut.
Sudah jelas si nelayan tua bermata satu itu bermaksud meracun mati dia, tapi dia sengaja berlagak tidak tahu.
Apakah disebabkan dia sedang buron hingga sudah tahu siapa yang akan dihadapinya.
Tapi dia juga tidak menutupi jejaknya sendiri, tidak mirip seorang yang sedang buron.
Dia berbalik seperti sengaja menghindari Liok Siau-hong, dengan tegas tidak mau menumpang kapal yang sama dengan Liok Siau-hong. Padahal sama sekali Liok Siau-hong tidak bermaksud membikin susah padanya, melainkan cuma ingin bersahabat saja dengan dia.
Semua tanda tanya ini sukar dimengerti oleh Liok Siau-hong.
Selagi dia termenung, mendadak terdengar deru angin keras, sepotong papan sedang mengepruknya dari atas, menyusul terdengar pula angin tajam menyerampang dari samping, kembali sebatang pengayuh menyapu pinggangnya.
Waktu itu dia duduk di atas pagar dek, satu-satunya jalan selamat hanya terjun ke bawah. Dan di bawah sana adalah laut.
Ketika dia mendengar lagi suara "plung" yang keras, tahu-tahu ia sudah berada di dalam laut. Air laut sangat dingin, juga sangat asin.
bab 7 Dia mendepakkan kaki di dalam air dan bermaksud melompat ke atas, betapapun dia harus berusaha memegangi badan kapal. Tapi dari atas pengayuh yang panjang itu menghantam pula serabutan.
Cukup tinggi dek kapal itu dari permukaan air, dia tidak dapat melihat orang di atas, sebaliknya dari pantulan kerlip bintang orang di atas dapat melihatnya.
Siau-hong menyurut mundur supaya tidak kena pukul pengayuh, sedangkan kapal masih terus laju ke depan, jarak antara dia dengan kapal itu makin lama makin jauh, sekalipun dia dapat melayang di permukaan air juga sukar lagi menyusul ke sana, umpama sementara ini dia takkan mati tenggelam, rasanya juga takkan tahan lama, bilamana matahari terbit tentu dia akan terbenam.
Liok Siau-hong yang biasanya serba pintar dan dapat mengatasi segala macam kesulitan apapun, masakah akan mati terbenam begitu saja"
Dengan sendirinya dia takkan mati terbenam semudah itu. Seorang kalau jatuh ke dalam laut juga tidak mutlak pasti akan mati.
Dalam waktu singkat sudah terpikir olehnya beberapa macam cara untuk melalui bahaya yang mengancam ini.
Sedapatnya ia mengendurkan sekujur badan agar terapung di permukaan laut, asalkan malam ini dapat dilalui, esok pagi sangat mungkin akan bertemu dengan kapal yang berlayar, jarak dari sini dengan pantai tidak terlalu jauh, juga di garis pelayaran umum.
Harus berusaha menangkap ikan, darah dan daging ikan dapat menambah tenaga.
Semua ini belum pasti berhasil, tapi dia harus mencobanya, asalkan ada setitik harapan harus dicoba.
Ia percaya daya tahan dan kemampuan gerak perubahan diri sendiri terlebih kuat daripada orang lain. Yang paling penting, dia mempunyai semacam tekad mencari hidup yang tidak kenal menyerah, bisa jadi lantaran tekad yang keras inilah membuatnya beberapa kali lolos dari bahaya dan dapat hidup sampai sekarang. Dan dia masih akan hidup terus.
Siapa tahu belum lagi dia menggunakan cara yang terpikir olehnya itu, dari atas terdengar lagi suara "brak" yang keras, ada sesuatu terperosot dari dek kapal, kiranya sebuah sekoci penolong.
Agaknya orang yang menyerangnya supaya jatuh ke laut itu tidak ingin dia mati di dalam laut melainkan cuma sengaja mendesaknya supaya kecebur saja.
Kecuali Gak Yang, jelas tidak ada orang yang mau berbuat demikian.
Sekoci jatuh dari tempat ketinggian dan ternyata tidak terbalik, nyata orang yang membuang sekoci ke bawah itu dapat menggunakan tenaganya dengan tepat dan efektif.
Waktu Liok Siau-hong naik ke atas sekoci itu, dia tambah yakin yang membuang sekoci pasti Gak Yang adanya, sebab dalam sekoci terdapat satu ceret air, belasan biji telur rebus, ada pula sebuah bungkusan yang amat berat, itulah bungkusan 500 tahil perak yang disodorkan Gak Yang kepadanya tempo hari.
Perbuatan anak muda itu sungguh sangat istimewa, sama sekali dia tidak menyembunyikan setiap tindakannya, bahkan seperti sengaja hendak memberitahukan kepada Liok Siau-hong, "Betapapun aku melarang kau menumpang kapal ini, kau bisa apa?"
Siau-hong menghela napas, tanpa terasa ia pun tertawa, ia suka kepada anak muda ini, juga suka kepada perbuatannya, tapi tampaknya sekarang mungkin sekali dia takkan melihatnya lagi untuk selamanya.
Samudra raya seluas ini, sekeliling tiada tertampak ujungnya, apakah dia harus menyusul kapal laut si rase tua sekuatnya atau mundur teratur ke arah datangnya tadi"
Dengan sendirinya dia tak mau mengejar dengan mati-matian. Kapal mereka baru berlayar tiga-empat jam, jika mau mendayung sekuatnya, ditambah lagi sedikit kemujuran, pada waktu fajar tiba mungkin dia sudah dapat minum arak lagi di sarang rase.
Cuma sayang, dia lupa dua hal. Pada waktu kapal mulai berlayar mendapat angin buritan, sedang dia harus mendayung sekoci, betapapun tenaga mendayung tak dapat menandingi layar berkembang mendapat angin. Selain itu akhir-akhir ini kemujurannya juga tidak terlalu baik.
Sebelum sang surya terbit, kedua lengan Siau-hong sudah terasa kemang, kaku dan pegal, karena terlalu banyak mengeluarkan tenaga untuk mendayung. Pekerjaan yang tampaknya mudah dan sederhana, bilamana dipraktekkan ternyata jauh lebih berat daripada pekerjaan lain.
Ia lantas minum air dalam ceret dan makan beberapa biji telur rebus. Mulut masih terasa pahit, ia ingin berbaring dan istirahat sebentar. Siapa tahu, begitu rebah lantas terpulas.
Waktu dia mendusin, terasa sinar matahari sangat menyilaukan, sang surya ternyata sudah berada di tengah angkasa, seceret air yang lebih berharga daripada emas itu ternyata tumpah terdepak kakinya waktu tidur dan airnya sudah kering terjemur.
Bibir Siau-hong juga pecah terjemur, sejauh mata memandang hanya air laut belaka, laut bergandeng langit dan langit bertaut dengan laut, sama sekali tidak terlihat bayangan daratan.
Tapi dia dapat melihat setitik bayangan layar, bahkan jelas sedang melaju ke arah sini. Dia hampir saja berjingkrak dan berjumpalitan di atas sekoci ini untuk merayakannya. Mungkin seorang pengemis mendadak putus lotere hadiah pertama juga tidak segirang dia sekarang.
Datangnya kapal itu sangat cepat, tiba-tiba diketahuinya kapal ini seperti sudah sangat dikenalnya, di haluan kapal tampak berdiri satu orang yang kelihatan juga sudah sangat dikenalnya, ternyata si rase tua adanya.
Si rase tua juga mempunyai mata yang jeli, dari jauh ia sudah melambai-lambaikan tangannya sambil berteriak-teriak. Jarak antara kapal dan sekoci juga semakin dekat, sampai kerut pada wajahnya juga sudah kelihatan.
Mendadak Siau-hong merasa wajah si rase tua yang kempot itu terlebih menyenangkan daripada seorang nona cantik. Hampir saja ia tidak tahan dan ingin bergerak, tapi dia dapat menahan perasaannya dan pura-pura berbaring di dalam sekoci dengan lagak sangat santai.
Sebaliknya si rase tua lantas berteriak, "Aha, sudah kami cari dirimu kian-kemari, untuk apa engkau mengeluyur sendirian sampai ke sini?"
Dengan santai Siau-hong menjawab, "Aku bosan dengan hidangan yang diolah si genit, maka kupancing ikan untuk ganti menu."
"Berapa ekor ikan dapat kau pancing?" tanya si rase tua dengan melengak.
"Ikan belum berhasil kupancing, tapi dapat memancing seekor rase tua," kata Siau-hong dengan tertawa, lalu ia bertanya, "Jelas-jelas kalian sudah berlayar, untuk apa lagi putar kembali?"
Si rase tua juga tertawa, tertawa licik serupa rase tulen, "Aku pun kembali ke sini untuk memancing ikan."
"Masa di lautan sana tidak ada ikan?"
"Meski ada ikan, tapi tidak ada seekor pun yang mau membayar 500 tahil perak kepadaku."
"Tapi ikan yang di sini juga tidak mau bayar lagi, kan sebelumnya sudah kubayar."
"Sebelumnya lain dengan sekarang," ujar si rase tua. "Sebelum ini kau sendiri yang mau menumpang kapalku dan tidak pernah kudorong kau ke laut. Sebab itulah bila sekarang kau mau menumpang lagi kapalku, harus membayar pula 500 tahil."
"Wah, alangkah kejamnya kau ini," teriak Siau-hong.
Si rase tua bergelak tertawa.
Dengan sendirinya dia tidak putar kembali ke sini untuk memancing ikan. Soalnya muatan kapalnya terlalu sarat sehingga lupa mengisi air minum. Di tengah lautan bebas, biarpun rase tua yang paling cerdik juga sukar mencari setetes air minum pun. Maka terpaksa mereka harus putar balik untuk mengisi air.
Mungkin inilah yang disebut nasib Liok Siau-hong seperti sudah ditakdirkan harus berlayar dengan kapal ini.
Sesungguhnya ini nasib baik atau buruk"
Kapal sudah menepi, Liok Siau-hong dan si rase tua berdiri di haluan kapal. apapun yang terjadi, bisa melihat daratan lagi tentu akan senang.
Jauh berdiri di samping batu karang seorang sedang memandang ke sini, mukanya yang lonjong seperti kuda itu menampilkan semacam perasaan heran dan kejut.
Siau-hong pura-pura tidak tahu, dia turun kapal dari sisi lain, orang yang berdiri di samping batu karang itu sedang memperhatikan gerak-gerik di atas kapal sehingga tidak memperhatikan dia.
Siau-hong mengitari ke sana dan diam-diam mendekati si muka kuda, lalu mendadak menegur, "Kau baik!"
Ia mengira orang ini pasti akan terperanjat, siapa tahu orang cuma berkedip saja, sorot matanya tetap menatapnya dengan dingin dan tenang, sahutnya, "Kau baik!"
Saraf orang ini seperti saraf baja.
Siau-hong berbalik tidak enak hati, katanya pula, "Apakah engkau lagi heran mengapa kami putar balik lagi?" Oh Sing tidak menyangkal.
"Kami kembali ke sini untuk mencari kau," kata Siau-hong pula.
"Untuk apa mencariku?" tanya Oh Sing. "Sebab barang yang kau kirim itu terlalu berat, kami kuatir kapal akan tenggelam, terpaksa putar balik untuk mengembalikannya kepadamu."
Siau-hong sengaja menebak-nebak saja, ingin menguji bagaimana reaksi orang.
Siapa tahu Oh Sing tetap tenang saja, berkedip saja tidak, jengeknya, "Barang kiriman itu bukan milikku, kapal itupun bukan milikmu, urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan kita, untuk apa kau cari diriku?"
Nyata tebakan Siau-hong tadi telah mengenai dinding batu. Tapi dia belum putus asa, ia coba bertanya pula, "Jika barang bukan milikmu, untuk apa kau datang ke sini, sengaja kemari untuk meniup asap bius terhadap saudaramu?"
Oh Sing menatapnya dengan sorot mata setajam pisau, mendadak tubuhnya melejit ke atas, terus membalik badan di udara seperti burung, lalu menerjun ke dalam air serupa ikan, dalam sekejap ia menggunakan tiga macam gerak tubuh yang tidak sama, "plung", dia terjun ke dalam laut. Nyata Ginkangnya tidak di bawah Sukong Ti-sing, maling sakti yang termashur.
bab 8 Siapa pun kalau menguasai Ginkang setinggi ini pasti bukan sembarangan orang.
Siau-hong memandangi gelombang ombak yang naik turun itu, hatinya juga timbul berpuluh pertanyaan. Waktu ia berpaling, dilihatnya sorot mata Gak Yang juga sedang menatapnya dengan tajam.
Ia terus mendekatinya dan menegur dengan tersenyum, "Aneh bukan, kembali kita bertemu."
"Yang kuherankan adalah sepuluh biji telur rebus saja tidak dapat kau habiskan," jawab Gak Yang dengan dingin.
"Lain kali jika hendak kau dorong aku ke laut sebaiknya kau ingat satu hal," ujar Siau-hong dengan tertawa.
"Hal apa?" tanya Gak Yang.
"Aku tidak suka minum air putih dan makan telur rebus, aku gemar minum arak dan makan daging."
"Tapi lain kali bilamana kau jatuh lagi ke laut mungkin cuma sesuatu saja yang dapat kau makan."
"Sesuatu apa?" tanya Siau-hong.
"Dagingmu sendiri," jawab Gak Yang.
Siau-hong tertawa.
Pada saat itulah di pantai ada orang menjerit kaget, sesosok tubuh terdampar ke pantai oleh ombak, jelas seorang mati.
Cepat mereka memburu ke sana, segera diketahuinya orang yang mati ini adalah teman yang baru saja terjun ke laut itu.
Sungguh aneh, Ginkangnya begitu tinggi, tapi mengapa lama sekali tidak tahan menyelam, hanya sebentar saja lantas mati terbenam.
"Orang ini bukan mati terbenam," ucap nelayan yang menemukan may at ini. "Sebab perutnya tidak kemasukan air."
Namun pada sekujur badannya juga tidak ditemukan sesuatu tanda luka apapun.
"Kematiannya mirip si nelayan bermata satu," kata Siau-hong sambil berpaling ke arah Gak Yang.
Tapi anak muda itu sudah melangkah ke sana dengan kepala tertunduk, jelas sangat berduka dan juga sangat lelah.
Untuk membunuh Oh Sing bukanlah pekerjaan gampang. Yang membunuhnya dengan sendirinya bukan Gak Yang.
Di sekitar sini pasti masih ada seorang pembunuh yang menakutkan, dengan cara yang sama dia telah membunuh Oh Sing dan nelayan tua bermata satu itu.
Di antara kedua orang itu hanya ada satu persamaan, yaitu mereka sama-sama pernah menyergap Gak Yang. Apakah hal inilah yang mendatangkan kematian bagi mereka"
Jika demikian, lantas ada hubungan apa antara si pembunuh ini dengan Gak Yang"
Siau-hong menghela napas, ia tidak mau berpikir lagi, yang diharapkannya sekarang hanya mandi sepuasnya.
Siapa pun kalau terendam di dalam laut pasti ingin mandi, apakah dia habis membunuh orang atau tidak, tak ada bedanya.
Tempat mandi sangat sederhana, yaitu tiga barak yang dibuat dari beberapa potong papan kayu rongsokan, jika ada yang mau menOrang yang tinggal di surga dunia seperti ini tentunya bukan pembunuh.
Yang jelas, di pulau ini pasti juga ada penghuninya, cuma siapa pun takkan menyahgka bahwa orang pertama yang akan dilihat Liok Siau-hong di pulau ini justru Gak Yang adanya.
Gak Yang bukan saja tidak mati, bahkan pakaiannya tampak perlente, wajahnya cerah, tampaknya jauh lebih gembira daripada sebelumnya.
Di bawah lereng sana rumput menghijau bagai permadani, terdapat sebuah jalan kecil berbatu, Gak Yang berdiri di situ dan sedang menatap Siau-hong dengan dingin.
Begitu melihat dia seketika Siau-hong melonjak kaget serupa melihat setan, teriaknya, "Hai, kenapa engkau berada di sini?"
"Kalau tidak berada di sini mau berada dimana?" jengek Gak Yang.
"Waktu kapal tenggelam, kemana kau pergi" Kenapa tidak kutemukan dirimu?" tanya Siau-hong.
"Waktu kapal tenggelam, kemana kau pergi" Kenapa tidak kutemukan dirimu?" jawab Gak Yang.
Jawabnya ternyata sama dengan pertanyaan Liok Siau-hong. Pada waktu kapal tenggelam, untuk sekian lama Liok Siau-hong memang tidak lantas mengambang ke atas.
Terpaksa Siau-hong bertanya urusan lain, "Siapa yang menyelamatkanmu?"
"Siapa yang menyelamatkanmu?" Gak Yang tetap menirukan.
"Selama ini engkau berada dimana?"
Gak Yang tetap menirukan pertanyaan Siau-hong itu, satu kata pun tidak berbeda.
Siau-hong tertawa. Sebaliknya Gak Yang tidak tertawa.
Setelah lolos dari bencana dan bertemu kembali, seharusnya mereka bergembira, tapi Gak Yang ternyata tidak kelihatan senang, sebaliknya sikapnya seolah-olah mengharapkan Liok Siau-hong mati saja akan lebih baik baginya.
Untung Siau-hong tidak menghiraukan sikap orang, dia kenal anak muda ini memang agak nyentrik.
"Apakah engkau memang hendak datang ke sini dan sama sekali tidak bermaksud ke kepulauan timur sana" Namun darimana kau tahu kapal si rase tua akan mengalami bencana di tempat tertentu dan cara bagaimana pula kau sampai di sini?"
Beberapa pertanyaan ini umpama diajukan kepada Gak Yang juga pasti takkan mendapatkan jawaban, maka Siau-hong pun tidak mau mengutarakannya. Yang dipertanyakannya sekarang cuma satu hal, "Orang macam apakah yang tinggal di sini" Apakah si rase tua dan si genit juga berada di sini?"
"Urusan ini tidak perlu kau tanya," jawab Gak Yang dengan dingin.
"Jika aku sudah datang kemari, mana boleh tidak kutanya?" ujar Siau-hong.
"Bila perlu boleh kau pergi lagi melalui jalan kedatanganmu semula, saat ini masih keburu," kata Gak Yang.
"Biarpun aku dibunuh juga aku tidak mau pergi," jawab Siau-hong dengan tertawa.
Seketika Gak Yang menarik muka, "Jika begitu biar kubunuh dirimu!"
Segera ia angkat tangan kanan, telapak tangan kiri membuat satu lingkaran miring dan telapak tangan kanan terus memotong kuduk kiri Liok Siau-hong.
Jurus serangannya sangat aneh, cepat lagi ganas, hanya dalam waktu 30 hari yang singkat ini kungfunya ternyata mendapat kemajuan pesat.
Ilmu silat memang tidak datang secara kebetulan, tapi harus dilatih dengan tekun. Tapi kemajuannya yang teramat cepat sungguh ajaib. Dan melulu satu jurus saja Liok Siau-hong hampir dibuat kelabakan.
Selama hidup Liok Siau-hong entah berapa banyak berhadapan dengan lawan tangguh, boleh dikata kenyang pengalaman tempur, tapi jarang menemui lawan yang lebih tangguh daripada anak muda ini. Jurus serangan yang aneh ini ternyata tidak pernah dilihatnya sebelum ini. Cepat ia melompat mundur.
Gak Yang tidak mendesak lebih lanjut, jengeknya, "Lekas kembali ke sana, takkan kubunuh dirimu."
"Biarpun kau bunuh diriku juga aku tidak mau kembali ke sana," jawab Siau-hong.
"Kau tidak menyesal?"
"Kan sudah pernah kukatakan, selama hidupku ini tidak pernah menyesal."
Gak Yang mendengus, kembali dia menyerang lagi. Tapi segera diketahuinya kungfu Liok Siau-hong juga jauh lebih hebat daripada apa yang disangkanya. Betapapun dia menyerang dengan jurus aneh, ujung baju lawan saja tidak dapat menyentuhnya. Terkadang sudah jelas serangannya akan kena sasarannya, siapa tahu sekali berkelit segera Siau-hong dapat mengelak.
Siau-hong sendiri juga beberapa kali jelas dapat merobohkan Gak Yang, tapi dia tidak meneruskan serangannya, tampaknya dia sengaja hendak mencobanya untuk mengetahui asal-usul aliran kungfu orang, seakan-akan juga tidak bermaksud melukainya.
Gak Yang seperti sama sekali tidak mau mengerti, serangannya bertambah ganas dan cepat.
ng berkunjung kemari, masakah kau sambut dia dengan cara demikian?"


Manusia Yang Bisa Menghilang Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di ujung jalan sana penuh tetumbuhan bunga, seorang tampak berdiri di tengah semak bunga dengan kedua tangan tergendong di punggung, mukanya bulat, kepalanya sudah setengah botak, senyumnya kelihatan ramah, kalau pakaiannya tidak mewah, bisa jadi orang akan mengiranya sebagai tukang kebun.
Begitu melihat orang ini, seketika Gak Yang berhenti menyerang dan menyurut mundur, kedua samping jalan juga tetumbuhan bunga, ia mundur ke belakang semak-semak bunga, dan sekali melompat, tahu-tahu sudah menghilang.
Kakek kepala botak dan kelihatan ramah itu lantas mendekati Siau-hong dengan perlahan, tegurnya dengan tersenyum, "Anak muda biasanya memang kurang tahu adat, mohon Anda sudi memaafkannya."
"Tidak apa-apa, kami sebenarnya adalah kenalan lama," ujar Siau-hong.
"Aha, bagus, sahabat lama bertemu kembali. Sungguh sangat menyenangkan, sebentar pasti akan kuadakan perjamuan bagi kalian," ucap si kakek sambil berkeplok gembira. "Biasanya di pegunungan yang sepi ini jarang kedatangan tamu, asal ada sedikit urusan yang dapat dirayakan, tentu kami tidak sia-siakan kesempatan ini. Apalagi pertemuan kembali antara sahabat bukanlah urusan kecil."
Dia bicara dengan sewajarnya, jelas nada seorang yang hidup aman tenteram dan penuh kepuasan, sungguh sangat mengagumkan bagi telinga Liok Siau-hong yang sudah biasa hidup di tengah pergolakan dunia Kangouw.
Si kakek lantas bertanya pula, "Bolehkah kutanya siapa nama Anda yang mulia?"
Segera Siau-hong memperkenalkan namanya. Di depan kakek yang ramah ini merasa takkan merasa waswas atau curiga.
"Ah, kiranya Liok-kongcu," ujar si kakek sambil manggut-manggut. "Sudah lama kukagumi namamu."
Meski di mulut dia bilang kagum, padahal sama sekali ia tidak memperlihatkan sikap hormat.
Sejak muda Liok Siau-hong sudah termashur, namun bagi pendengaran kakek kecil itu tiada ubahnya serupa si A dan si B di tepi jalan, hal ini tidak pernah dialami oleh Liok Siau-hong.
Begitulah si kakek lantas berkata pula dengan tertawa, "Kebetulan hari ini di tempat kami ada suatu upacara kecil, entah tuan tamu sudi hadir atau tidak?"
Tentu saja Siau-hong mau, cuma dia bertanya juga. "Ada upacara apa dan merayakan urusan apa?"
"Hari ini adalah hari untuk pertama kalinya putriku dapat makan sendiri, sebab itulah beramai-ramai kami berkumpul dan bersantap sekali lagi makanan yang pernah dimakan putriku dahulu."
Jika urusan tetek-bengek begini juga perlu dirayakan, sungguh urusan yang harus dirayakan di dunia ini akan terlalu banyak.
Meski dalam hati berpikir begitu, namun di mulut tak diucapkan Liok Siau-hong, dia cuma berharap yang dimakan putri orang waktu itu bukanlah bubur sungsum. Sebab sudah sekian lama dia tidak pernah makan enak, ia perlu hidangan yang lezat.
Didengarnya si kakek lagi berkata dengan tertawa, "Dalam hati Liok-kongcu tentu merasa geli untuk apa urusan tetek-bengek begini harus dirayakan, kan terlalu banyak urusan lain di dunia ini akan dirayakan juga. Yang menggembirakan adalah soal hidangannya, sejak kecil putriku ini gemar makan, maka untuk pertama kalinya dia dapat makan sendiri, yang diminta adalah soal hidangan langkap sayur mayur dan arak."
Meski dia dapat menyebutkan tepat apa yang dipikirkan Liok Siau-hong, namun Liok Siau-hong tidak merasa heran. Jalan pikirannya adalah perasaan umum, siapa pun dapat mempunyai jalan pikiran seperti dia.
Si kakek berucap pula dengan tertawa, "Sudah sangat lama di sini tidak kedatangan tamu dari luar, hari ini tiba-tiba dihadiri Liok-kongcu, tampaknya nasib putriku lagi mujur."
"Bilamana nanti hidangan sudah kusikat habis, baru kalian tahu kehadiranku tidak membawa kemujuran," ujar Siau-hong dengan tertawa.
Si kakek terbahak, ia memberi hormat dan menyilakan tamu berjalan ke sana.
"Tuan rumah sangat menyenangkan, tapi bila nama tuan ramah yang mulia saja tidak kuketahui, bukankah aku akan dianggap sebagai tamu kurang ajar?" ujar Siau-hong dengan tertawa.
"O, aku she Go dan bernama Beng," kata si kakek.
Habis menyusuri semak-semak bunga, di depan kembali ada semak-semak bunga lebat. Di sekelilingnya menghijau permai, udara cerah. Ada kolam teratai di depan dengan jembatan kecil berlekuk sembilan, di tengah kolam ada gardu terapung.
Waktu mereka tiba di situ, di tengah gardu hadir belasan orang, ada yang berduduk, ada yang berdiri. Usianya juga tidak sama, ada tua, ada muda. Jenis kelamin juga berbeda, ada lelaki, ada perempuan. Dandanan masing-masing juga berlainan, ada yang memakai baju mentereng model kuno, ada yang berjubah longgar dan cuma dilampirkan sekenanya saja.
Semuanya kalihatan santai dan gembira, segala macam duka nestapa duniawi seolah-olah sudah terbuang jauh.
Inilah kehidupan manusia yang sejati, inilah yang benar-benar dapat menikmati kehidupan manusia. Diam-diam Liok Siau-hong merasa kagum dan juga terharu.
"Di sini acara bebas, tidak pakai adat istiadat, hendaknya Liok-kongcu juga tidak perlu sungkan," kata si kakek kecil tadi.
"Jika semuanya tidak pakai adat istiadat, kenapa aku dipanggil Liok-kongcu"!" ujar Siau-hong.
Si kakek tertawa, ditariknya tangan Siau-hong dan diajak menyebrang jembatan berlekuk sembilan itu.
Seorang lelaki setengah umur berkopiah emas berdandan pembesar zaman kerajaan Tong, dengan ikat pinggang kemala putih dan membawa cawan arak mendekati mereka dengan langkah bergoyang sampan, setelah menyerahkan cawan arak kepada Liok Siau-hong, dengan berlenggang dia menyingkir lagi.
"Dia she Ho," si kakek memberitahu, "dia suka minum arak, maka suka mengaku sebagai Ho Ti-ciang, itu penyair zaman Tong."
"Pantas dia sudah kelihatan agak mabuk," kata Siau-hong dengan tertawa.
Sembari bicara matanya tertuju ke arah seorang perempuan. Jika ada perempuan yang dapat menarik perhatian Liok Siau-hong, perempuan itu pasti tidak jelek dipandang.
Mungkin perawakannya agak terlalu tinggi, namun potongan yang semampai cukup serasi dengan garis tubuhnya yang menimbulkan semacam daya tarik yang kuat, raut wajahnya kelihatan cerah, sepasang matanya yang gemerdep mirip mata kucing itu menunjukkan dingin dan tegasnya, tapi juga cerdas, namun juga membawa semacam perasaan kemalasan yang sukar diuraikan, seakan-akan sudah bosan terhadap kehidupan ini.
Sekarang perempuan ini telah meninggalkan rombongan orang di gardu air sana dan menyongsong mereka berdua. Belum lagi mendekat kerongkongan Liok Siau-hong sudah terasa kering, terasa hawa panas membakar di dalam perut.
Tampaknya dia juga memandang Siau-hong sekejap, sorot matanya yang serupa mata kucing itu menampilkan senyum menghina. Habis itu ia lantas berpaling dan memandangi kakek kecil sambil perlahan menjulurkan tangan.
"Kembali kalah ludes lagi?" tanya si kakek sambil menghela napas.
bab 9 Perempuan tinggi itu mengangguk, rambutnya yang hitam panjang bergoyang serupa ombak dalam kegelapan malam. "Mau berapa lagi?" tanya pula si kakek. Si dia memperlihatkan lima jari tangannya yang panjang dan kuat itu, menunjukkan kekerasan hatinya.
"Kapan akan kau bayar kembali padaku?" "Lain kali," jawab si dia.
"Baik," kata si kakek, "gunakan perhiasanmu sebagai jaminan, waktu kau bayar kembali nanti baru kuhitung rentenya."
Tanpa pikir si dia setuju, dengan dua jari ia lolos sehelai uang kertas dari tangan si kakek, tanpa menoleh lagi ia kembali ke sana, sama sekali tidak melirik pula kepada Liok Siau-hong.
Sebaliknya si kakek lagi tersenyum terhadap Liok Siau-hong, ucapnya, "Di tempat kami sini tidak ada sesuatu peraturan, namun semua orang dapat patuh kepada suatu prinsip."
Pandangan Siau-hong masih melekat pada bayangan punggung si dia, sekenanya ia bertanya, "Prinsip apa?"
"Cari makan dengan tenaga masing-masing," tutur si kakek. Lalu ia menambahkan, "Di sini terdapat arak yang paling bagus di dunia ini dan koki kelas satu, segala macam kenikmatan di sini tergolong kelas tinggi, akan tetapi biayanya juga sangat besar, orang yang tidak mampu mencari uang sangat sulit hidup di sini."
Pandangan Siau-hong telah berpindah dari bayangan si dia, tiba-tiba teringat olehnya kekayaan satu-satunya yang ada pada dirinya sekarang cuma sebilah golok yang dipermak dari pispot perunggu itu.
Si kakek kecil tertawa dan berkata pula, "Dengan sendirinya hari ini engkau adalah tamu, asalkan engkau tidak ikut berjudi dengan mereka, sepeser pun tidak perlu kau keluarkan."
Hari ini dia dipandang sebagai tamu, esok lantas bagaimana" Tiba-tiba Siau-hong bertanya, "Mereka berjudi apa?" "Dadu," tutur si kakek. "Mereka bertaruh dengan cepat. dan gembira."
"Boleh aku menonton?" tanya Siau-hong. "Tentu saja boleh. Cuma kalau kau mau berjudi, kau perlu berhati-hati terhadap Samon."
Samon, sungguh nama yang aneh.
"Samon" Orang yang pinjam duit padamu tadi?" tanya Siau-hong.
"Ya," si kakek tertawa. "Dia cepat kalah, menangnya juga cepat. Sedikit lengah, bisa jadi manusianya ikut kalah disikat olehnya."
Siau-hong tertawa juga, jika orangnya sampai kalah kepada anak perempuan itu, rasanya tidak jelek juga. Cuma, tentu saja Siau-hong tetap berharap akan menang.
Di atas meja penuh bertumpuk emas intan dan uang kertas, di depan Samon bertumpuk paling banyak, begitu Siau-hong menuju ke sini Samon lantas menang.
Cara pertaruhan mereka memang sangat sederhana dan menyenangkan, mereka berjudi melempar dadu, tiga biji dadu dilemparkan secara bergiliran, siapa yang terbesar jumlah titik ketiga biji dadu itulah yang menang.
Sekaligus Samon melempar lima kali dengan angka besar, keruan wajahnya berseri dan mata bersinar.
Yang kalah besar adalah si bandar, seorang lelaki yang mulai gemuk, seorang yang tidak luar biasa, namun teramat tenang, meski kalah lima kali secara berturut-turut dalam jumlah besar tetap tersenyum saja, sebutir keringat pun tidak kelihatan pada jidatnya.
Pertaruhan mereka jauh lebih besar daripada dugaan Siau-hong semula, namun cara bermain mereka tidak terlalu mahir, tidak pakai akal, juga tidak pintar main tipu, bagi orang yang sedikit mahir teknik main saja pasti akan menang bilamana ikut berjudi di sini.
Tangan Liok Siau-hong menjadi gatal juga.
Beberapa tahun terakhir ini dia tidak pernah berjudi. Padahal dia seorang penjudi ulung, pada waktu berumur enam atau tujuh tahun dia sudah pintar main dadu.
Sampai berumur belasan, segala macam main tipu penjudi umumnya sudah dikuasainya dengan baik. Apakah dadu diberi timah, dadu berlapis air raksa, di bawah mangkuk diberi besi sembrani dan dadunya terbuat dari besi atau cara nakal yang lain, semua ini bagi Liok Siau-hong bukan apa-apa lagi.
Dadu yang benda mati itu bila sudah berada di tangan Liok Siau-hong segera akan berubah menjadi hidup, bahkan sangat penurut. Bila dia menghendaki biji merah, tidak nanti dadu memperlihatkan titik hitam.
Judi serupa halnya arak, bagi kaum petualang bukan lagi cuma semacam alat pelampias saja, tapi juga salah satu sumber rezeki mereka.
Akhir-akhir ini Siau-hong tidak berjudi, hal ini bukan lantaran dia sudah menang terlalu banyak dan orang lain tidak berani bertaruh lagi dengan dia, soalnya ia sendiri yang merasa bosan, dirasakan judi sudah tidak merangsang lagi baginya.
Dengan sendirinya dia tidak perlu menggunakan cara ini untuk membiayai hidupnya, makanya dia dapat mencari rangsangan lain yang lebih besar dan lebih memenuhi selera.
Tapi keadaan sekarang berbeda, dia ingin tinggal di sini, maka dia harus menguasai kepandaian mencari untung sebesarnya. Dan kesempatan satu-satunya untuk mencari untung besar baginya sekarang terletak pada ketiga biji dadu itu.
Dalam pada itu bandar telah memegang ketiga biji dadu dan sedang berteriak, "Ayo pasang, cepat pasang! Makin banyak makin baik, tanpa limit!"
Mendadak Siau-hong berkata, "Aku taruh lima ratus tahil!" Meski dia tidak memiliki 500 tahil perak, namun dia yakin pasti takkan kalah.
Cuma sayang, orang menyangsikan bonafiditasnya, si bandar meliriknya sekejap dan berkata, "Kau pasang 500 tahil, mana uang-nya?"
"Memang belum kukeluarkan," jawab Siau-hong. "Menurut peraturan kami di sini, setiap pasangan harus ada wujudnya baru bisa dianggap," kata si bandar.
Terpaksa Liok Siau-hong menyerahkan golok buatan dari pispot itu.
"Dengan golok rongsokan ini hendak kau gunakan sebagai pasangan 500 tahil?" tanya si bandar pula.
"Ehm," Siau-hong mengangguk.
"Kukira golokmu ini tidak laku lima tahil."
"Engkau tidak dapat menilainya, sebab engkau tidak pernah melihat golok semacam ini."
"Memangnya golok ini sangat istimewa?"
"Wah, sangat istimewa," kata Siau-hong.
"Dimana letak keistimewaannya?"
"Golok ini dibuat dari sebuah pispot."
la sendiri tidak tahan untuk tidak tertawa, namun orang lain ternyata tidak tertawa.
Keenam orang yang sedang bertaruh ini, baik usia, jenis kelamin dan kedudukan masing-masing tidak sama, tapi ada satu persamaan di antara mereka, yaitu semuanya kaku dan dingin luar biasa, tertawa saja enggan.
Semuanya memandang Siau-hong dengan dingin serupa sedang menonton seorang badut.
Dalam keadaan kikuk begini, Siau-hong menjadi serba salah, ingin menyimpan kembali goloknya juga susah.
Selagi bingung, tiba-tiba sebuah tangan mendorong 500 tahil perak ke depannya, goloknya lantas diambil.
Tangan itu sangat indah, jarinya panjang kuat, agak mirip jari tangan orang lelaki, namun lebih lentik dan indah.
Siau-hong menghela napas lega, ia pandang si dia dengan sorot mata terima kasih, ucapnya. "Akhirnya ada juga orang yang kenal barang berkualitas baik."
Tidak terduga Samon lantas berkata dengan ketus pula, "Jika kukenal barang baik tentu aku tak akan meminjamkan 500 tahil ini kepadamu."
Dia bicara dengan air muka tetap kaku tanpa emosi, sambungnya pula, "Sebabnya kuberi pinjam padamu hanya lantaran engkau seperti membawakan rezeki bagiku, sekali ini aku pun bertaruh sangat banyak, sebab itulah aku tidak ingin kau pergi."
Kaum penjudi adalah orang yang cuma melihat kenyataan saja, hanya yang menguntungkan mereka barulah cocok baginya. Tampaknya si dia ini seorang model penjudi sejati.
Mendadak terdengar si bandar berteriak tahan, "Makan semua!"
Berbareng dadu yang digenggamnya lantas dilemparkan ke dalam mangkuk, dua biji dadu langsung menunjukkan titik enam, yang satu masih terus menggelinding. Si bandar berteriak "enam", sebaliknya para petaruh berteriak "satu".
Hanya Liok Siau-hong saja yang tahu biji dadu itu pasti akan memperlihatkan titik tiga. Sebab pada saat itu kedua jarinya telah memegang permukaan meja, biasanya ia cukup yakin kepada kemampuan jari sendiri.
Sesungguhnya dia memang menghendaki si bandar kalah sedikit, sebab orang itu kelihatan berkantung cukup tebal.
Waktu dadu berhenti, ternyata benar titik tiga.
Angka ini sudah cukup besar, lemparan dua petaruh yang lain ternyata tidak sanggup lebih besar daripada tiga, bahkan ketika giliran Samon, angkanya terlebih kecil lagi, cuma satu.
Tampaknya Samon tidak tahan kalah, sampai perhiasannya juga sudah digadaikan.
Kemudian giliran Siau-hong melempar dadu, ia cukup yakin pada jari sendiri, jarinya sanggup menjepit mata pedang yang sedang menyambar ke arahnya, dengan sendirinya tidak menjadi soal untuk membuat dadu berhenti pada titik yang dikehendakinya.
Sekarang dadu sudah dipegangnya, dia hanya ingin sepasang titik tiga, lalu yang lain titik empat. Dengan titik empat berarti di "atas titik tiga, kemenangan cukup tipis dan pas sehingga takkan mencurigakan orang lain.
Dengan sendirinya ia tidak perlu bantuan orang lain, meski sudah lama dia tidak berjudi, tapi ia yakin ketiga biji dadu itu masih mau turut perintahnya.
"Tring" dadu terlempar ke dalam mangkuk, biji pertama yang berhenti menunjukkan angka tiga dadu kedua juga titik tiga, dengan sendirinya dadu ketiga akan titik empat.
Siau-hong memandangi dadu ketiga yang masih menggelinding itu serupa orang tua memandangi anak yang penurut. Sekarang sudah dapat terlihat titik empat yang merah semarak di atas dadu, walaupun belum berhenti sama sekali, namun jelas 500 tahil perak sudah menggapai-gapai di depan mata.
Siapa tahu, pada detik terakhir sebelum dadu berhenti, mendadak dadu itu meloncat dan waktu berhenti lantas menunjukkan titik dua.
Keruan Siau-hong melongo. Sungguh mimpi pun tak terpikir olehnya di meja judi ini masih ada jago tersembunyi, bisa jadi jauh lebih mahir daripadanya.
Samon memandangnya sekejap dengan dingin, ucapnya, "Maaf kau bawakan sedikit rezeki bagiku, tapi rezekimu sendiri ternyata kurang baik."
Yang memainkan dadu itu jelas bukan Samon, semula dia juga sudah kalah, kedatangan Siau-hong yang membuatnya menang kembali.
Dalam pada itu si bandar lagi menyapu semua pasangan ke depannya.
Tadi si bandar jelas sudah kalah, bahkan tidak sedikit jumlah kekalahannya, jika dia dapat mengendalikan titik dadu lemparannya tentu dia tak bisa kalah.
Lantas siapa jago judi tersembunyi itu" Yang lain juga tidak kelihatan memiliki kemahiran luar biasa ini, sungguh Siau-hong tidak tahu siapakah dia"
Siau-hong tadi serupa si gagu dicekoki brotowali, terasa pahit, tapi tidak dapat bicara.
Kalau main lagi satu kali dia pasti dapat mengetahuinya, asalkan waspada sedikit, dia pasti takkan kalah. Betapapun dia tetap yakin atas kemampuan sendiri. Cuma sayang, dia sudah kehabisan modal, kepada siapa pula dia dapat meminjam"
Si kakek kecil yang ramah itu mendadak juga menghilang, seakan sebelumnya sudah tahu bakal diminta pinjam oleh Liok Siau-hong.
Mendadak salah seorang pencuri yang masih muda dan juga berkumis berkata dengan tertawa, "Kita sama-sama berkumis, biarlah kita berkawan."
Dia ternyata sangat simpatik dan segera menyodorkan sehelai uang kertas 500 tahil perak.
Siau-hong menjadi girang, selagi dia hendak menerimanya, tiba-tiba si kumis menarik kembali tangannya dan bertanya, "Mana goloknya?"
"Golok apa?" tanya Siau-hong.
"Golok seperti tadi?" kata si kumis, maksudnya, tak ada golok, tak ada uang.
Siau-hong hanya menyengir saja, ucapnya, "Golok seperti tadi mungkin di seluruh dunia tidak ada keduanya."
Si kumis menghela napas dan menyusupkan uang kertasnya ke bawah tumpukan harta bendanya.
Dalam pada itu si bandar telah melemparkan lagi dadunya, angka yang kedua ternyata satu-dua-tiga, angka terkecil. Bandar membayar seluruh pasangan.
Siau-hong menggeleng kepala dan mulut terasa pahit. Selagi dia hendak mencari arak, begitu berpaling segera dilihatnya si kakek kecil tadi berdiri di tepi meja yang penuh hidangan dan lagi memandangnya dengan tersenyum.
Di atas meja terdapat macam-macam jenis arak, Liok Siau-hong memilih sebotol Tiok-yap-cing, dituangnya sendiri dan diminumnya sendiri, ia sengaja tidak menghiraukan si kakek.
"Bagaimana, ada hoki tidak?" tanya si kakek. "Boleh juga," jawab Siau-hong hambar, "cuma, mestinya menang ternyata tidak jadi menang, seharusnya tidak kalah justru kalah."
Si kakek menghela napas, "Di dunia ini memang banyak kejadian demikian. Bila terlalu yakin menghadapi sesuatu urusan, biasanya menjadi lengah malah. Sebab itulah mestinya menang jadi kalah akhirnya. Tapi kalau ada kesempatan kedua kalinya pasti akan dapat menguasai keadaan."
Hal ini memang cocok seperti apa yang dipikirkan Liok Siau-hong seketika matanya terbeliak, "Jika kau mau menanam modal bagiku, kalau menang kita bagi dua sama rata."
"Bila kalah?" tanya si kecil.
"Kalau kalah akan kuganti," jawab Siau-hong.
"Cara bagaimana memberi ganti" Dengan golokmu buatan dari pispot itu" Cuma sayang, golok itu sekarang pun bukan milikmu lagi."
"Apapun juga, kuyakin pasti takkan kalah. Jika kau pinjamkan padaku selaksa tahil, selesai berjudi pasti akan kubayar kembali selaksa lima ribu tahil."
Sebenarnya Liok Siau-hong bukan setan judi yang ngawur, ada penjudi yang menjual bini untuk modal judi bilamana sudah mata gelap. Soalnya sekarang Liok Siau-hong merasa penasaran, apalagi cuma selaksa tahil perak, baginya jumlah ini belum terhitung apa-apa. Biasanya Siau-hong menghamburkan uang seperti menebarkan pasir, sama sekali tidak pakai takaran.
Anehnya, orang semacam ini juga paling gampang mencari pinjaman, sampai-sampai si kakek cilik ini juga terbujuk meski dengan agak ragu, akhirnya ia berkata, "Baik, akan kuberi pinjam selaksa tahil, tetapi bagaimana bila engkau tidak mampu membayar kembali?"
"Jika begitu, biarlah kubayar dengan diriku ini," kata Siau-hong.
Si kakek tidak banyak bicara lagi, kontan dia memberi sehelai uang kertas (sejenis cek zaman kini) selaksa tahil.
Siau-hong sangat girang, "Jangan kuatir pasti takkan kubikin menyesal dirimu."
Si kakek menghela napas, "Aku justru kuatir engkau sendiri akan menyesal."
Waktu Siau-hong kembali ke meja judi sana, si bandar ternyata belum ganti orang. Malahan seperginya Liok Siau-hong, dia telah menang berapa kali.
Sebaliknya Samon kelihatan tambah sebal, hampir saja kalah ludes lagi. Melihat Liok Siau-hong datang kembali, wajahnya yang dingin itu menampilkan senyuman, katanya, "Tentu si tua telah meminjami modal padamu, ia percaya padamu?"
"Yang dipercayanya bukanlah pribadiku ini, dia cuma percaya sekali ini aku pasti lebih mujur daripada tadi," ucap Siau-hong dengan tertawa.
"Aku pun berharap kau dapat angin baik sehingga dapat menebus kembali golokmu ini," ujar Samon. "Kubeli 500 tahil darimu, hendak kujual lima tahil saja tidak ada yang mau."
Sementara itu si bandar sedang berkaok-kaok menyuruh para petaruh lekas pasang.
Senyuman Dewa Pedang 4 Raja Naga 7 Bintang Karya Khu Lung Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 17

Cari Blog Ini