Ceritasilat Novel Online

Manusia Yang Bisa Menghilang 3

Manusia Yang Bisa Menghilang Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Bagian 3


tih Lwekang sejenis yoga, dia dapat menahan napas terlebih lama daripada orang lain, maka dia bertahan sedapatnya.
Namun betapa kuat dia tahan napas, akhirnya sesak juga, waktu dia mulai merasakan tidak tahan lagi, tiba-tiba dilihatnya di dalam kolam telah bertambah satu orang.
Padahal sejauh itu sama sekali tiada terjadi sesuatu di permukaan air, juga tidak terdengar suara barang kecemplung ke dalam air, orang ini jelas tidak terjun dari atas. Lalu darimanakah orang ini muncul"
Siau-hong bersembunyi di balik sepotong batu karang, orang ini tidak melihatnya, tampaknya sama sekali tidak menyangka di dalam kolam terdapat orang lain, maka tanpa curiga ia terus berenang dan mendadak menjembul ke atas, gerakannya cepat, gayanya indah, jelas seorang perenang mahir.
Tapi Liok Siau-hong juga tahu asalkan kepala orang itu menongol ke permukaan air, maka celakalah dia.
Benar juga, begitu gelombang air tersiak, dari atas lantas berkumandang suara jeritan, perenang mahir yang lincah dan gesit ini mendadak kaku, jelas karena lehernya terjirat oleh tali pancing.
Liok Siau-hong tidak sempat bersimpati kepada orang malang ini, segera dia selulup ke arah munculnya orang tadi. Benarlah ditemukan sebuah lubang yang cukup diterobos tubuh seorang. Di atas lubang itu ada sepotong batu yang saat itu sedang bergeser ke bawah dengan perlahan. Apabila papan batu itu menutup, lubang itu segera takkan kelihatan lagi.
Sesungguhnya tempat apakah lubang gua ini" Mengapa dibuat sedemikian rahasia" Apakah di dalam gua masih ada orang lagi"
Siau-hong tidak sempat memikirkannya, sekuat tenaga ia berenang ke sana, cepat ia menyusup ke dalam lubang, terdengar "krek" sekali, papan batu itu menutup lubang itu dengan rapat.
Keadaan di dalam gua gelap gulita, sampai tangan sendiri pun tidak kelihatan.
Semula Siau-hong mengira dirinya telah menemukan jalan selamat, siapa tahu meski dia sudah keluar dari kubangan naga, tapi jadinya masuk neraka.
Baru sekarang dia merasa menyesal, cuma sayang, menyesal pun sudah terlambat.
Meski dalam neraka ini tidak terdapat bara yang bisa membakar, namun sekelilingnya air belaka, kemana pun Liok Siau-hong berenang selalu menumbuk dinding, sampai tempat istirahat untuk mengganti napas saja sukar dicari, jika begini terus menerus gelagatnya dia bisa mati kelelap di dalam air.
Selagi dia kelabakan setengah mati, mendadak di atas terdengar bunyi "krek", segara tertampak cahaya terang, tampak sebuah pintu terbuka.
Sekalipun pintu ini benar menuju ke neraka juga tak dipedulikan lagi oleh Liok Siau-hong. Segera ia mefoncat ke atas. Ternyata di situ adalah sebuah lorong batu, tempatnya kering tanpa air setetes pun.
Meski lorong bawah tanah ini sangat seram, tapi bagi Siau-hong sekarang tiada ubahnya seperti berada di surga.
Apa yang dialaminya semalam ini sungguh seperti mimpi saja, orang mati yang dilihatnya ternyata hidup, orang yang disangka hidup ternyata orang mati, orang sungguhan ternyata patung, yang disangkanya patung justru manusia tulen.
Sungguh Siau-hong sudah pusing tujuh keliling dan sekarang dia dapat menghela napas lega.
Ternyata ada penerangan di lorong ini, namun tak kelihatan orangnya.
Ia memeras kering bajunya, lalu mulai melangkah ke depan, ia tidak peduli akan sampai dimana, ia pasrah nasib.
Pada ujung lorong ini ada sebuah pintu besar. Ternyata tidak tergembok. Ia coba mengetuk pintu, tidak ada jawaban.
Segera ia mendorong pintu dan masuk ke situ, di dalam adalah sebuah ruangan batu yang sangat luas penuh tertimbun aneka macam ukuran patung Buddha dan bokhi, ikan kayu, kentungan kecil yang berbentuk ikan.
Seketika Siau-hong melongo.
Di tempat rahasia begini ternyata cuma dibuat gudang penyimpanan bokhi dan patung Buddha, kalau diceritakan siapa yang mau percaya"
Yang lebih sukar dipercaya adalah bokhi dan patung Buddha ini adalah bekas muatan kapal si rase tua itu, barang muatan ini sudah pernah dilihatnya, sesudah kapal karam, mengapa bokhi dan patung bisa datang ke sini"
Siau-hong menghela napas panjang, diam-diam ia memperingatkan dirinya sendiri lebih baik lekas pergi saja, semakm jauh semakin baik, anggap saja tidak pernah datang ke tempat ini dan anggap juga seperti tidak pernah melihat gudang bokhi ini.
Dia sudah dapat merasakan di dalam bokhi dan patung ini pasti tersembunyi sesuatu rahasia maha besar.
Mestinya dia dapat berdaya untuk hidup, tapi bila orang lalu mengetahui rahasia gudang bokhi telah dibongkar, tentu mereka takkan memberi kesempatan hidup lagi bagi Liok Siau-hong.
Jalan pikirannya memang tepat, cuma sayang sekarang dia tidak ada jalan keluar lagi, apalagi rasa ingin tahunya juga berkobar, jika dia disuruh pergi begitu saja betapapun dia tidak rela.
Sesungguhnya rahasia apa di dalam bokhi dan patung itu"
Ia tahu ikan kayu itu berperut kosong, ia pernah menjemput beberapa buah di pesisir dan semuanya telah dibelahnya menjadi dua, dijadikan mangkuk dan gayung.
Jika orang waras tidak nanti mau mengumpulkan bokhi ini Biarpun semua kejadian aneh yang dialami Liok Siau-hong semalam ini dijumlah menjadi satu juga tidak lebih aneh daripada kejadian sekarang ini.
Yang lebih aneh lagi, ternyata Siau-hong juga kenal orang ini.
Orang ini juga seorang pengusaha perusahaan pengawalan, bahkan sejarahnya terlebih tua daripada Suto Kang, namanya juga labih cemerlang, dia adalah Kat Tong, pemimpin besar Tay-Tong-piaukiok dan bejuluk Tay-lik-sin-eng (si rajawali sakti bertenaga raksasa).
Eng-jiau-kang atau ilmu cakar elang keluarga Ong di Hoaylam selamanya tidak diajarkan kepada orang luar. Tapi Kat Tong ini harus dikecualikan. Sebab dia adalah anak angkat Eng-jiau-ong angkatan ketiga, juga menantu kesayangan keluarga Ong, orangnya jujur dan lugas, cara bekerjanya sangat disiplin, pada umur 18 dia masuk Tay-tong-piaukiok, umur 31 sudah naik pangkat menjadi pemimpin umum. Order pengawalan yang diterimanya belum pernah terjadi kericuhan apapun. Ada orang lebih suka membayar sekali lipat asalkan Kat Tong tampil mengawal sendiri.
Sungguh mimpi pun tak terduga oleh Liok Siau-hong bahwa tokoh semacam ini bisa bersembunyi di dalam patung Buddha.
Kat Tong juga tidak kurang kagetnya demi melihat Siau-hong, bibirnya tampak bergerak-gerak, tampaknya seperti banyak yang hendak dibicarakannya, cuma badan lemas dan tenaga habis, bibir juga kering, sehingga tidak sepatah kata pun dapat diucapkannya.
Liok Siau-hong juga ingin bertanya macam-macam urusan kepadanya. Seorang disembunyikan di dalam patung tentu saja jauh lebih aneh daripada orang disembunyikan di dalam peti. Apakah kedua hal ini dilakukan oleh satu orang yang sama" Dan apa maksud tujuannya"
Semua tanda tanya ini tidak sempat dikemukakan oleh Liok Siau-hong, sebab Kat Tong sudah dalam keadaan lemas lunglai.
Meski cukup dengan semangkuk kuah daging yang bergizi dan berkalori sudah dapat memulihkan tenaganya, namun di tempat dan waktu seperti ini kemana akan bisa mendapatkan semangkuk kuah daging"
Sampai lama Siau-hong tercengang memandangi Kat Tong, diam-diam terbayang pula sesuatu hal yang menakutkan.
Di dalam gudang ini ada ratusan patung Buddha, jika dalam setiap patung itu tersembunyi satu orang, lantas bagaimana"
Soal ini sungguh tidak berani dipikirkan Liok Siau-hong, juga tidak punya keberanian lagi untuk memeriksa patung kedua.
Pada saat itulah di dalam lorong tiba-tiba bergema suara langkah orang yang sangat perlahan. Seketika jantung Siau-hong berdetak.
Siapakah pendatang ini"
Waktu ia masuk tadi dalam keadaan basah kuyup, bekasnya di lorong jelas belum kering, maka siapa pun yang datang pasti akan mengetahui di sini telah kedatangan tamu tidak diundang. Bagi Ho-siangsi tentu saja tahu siapa tamu yang tidak diundang ini.
Apabila orang ini berani masuk ke sini, dengan sendirinya yakin sanggup menghadapi siapa pun.
Siau-hong menghela napas, ia sengaja berduduk dan menunggunya.
Suara langkah kaki itu semakin dekat, seorang muncul dengan membawa satu panci kuah daging yang masih mengepul. Yang datang ini ternyata si genit kuah daging.
Kuah daging di dalam panci masih sangat panas, namun muka si kuah daging yang membawa panci itu tampak dingin tanpa emosi.
Dia sekarang seperti tidak kenal Liok Siau-hong, hakikatnya seperti tidak tahu di ruangan ini terdapat seorang Liok Siau-hong. Perlahan ia melangkah tiba, panci kuah daging ditaruhnya di lantai, lalu mengambil sebuah senduk panjang untuk menyenduk kuah, perlahan kuah itu dituang ke mulut sebuah patung.
Patung Buddha buatan kayu ternyata juga suka minum kuah daging. Sungguh aneh bin ajaib.
Si genit bergumam, "Kuah daging sangat lezat, juga bergizi, minumlah dengan baik dan engkau dapat hidup lebih lama."
Sehabis satu senduk kuah daging dituang ke mulut patung itu, dari dalam patung lantas mengeluarkan suara keluhan nikmat yang sangat perlahan.
"Kutahu engkau masih ingin minum lagi, namun kuah ini cuma ada sepanci dan tepat satu orang hanya kebagian satu senduk, sampai Mi-lik-hud yang gandut juga cuma terbagi satu senduk saja," demikian kata si genit.
Hati Siau-hong terasa tenggelam.
Satu orang hanya kebagian satu senduk kuah, memangnya di dalam setiap patung itu tersembunyi satu orang"
Sekarang dapat dilihatnya bahwa mulut orang hidup di dalam patung itu tepat berada di balik mulut patung Buddha, maka selain dapat minum kuah juga dapat bernapas.
Bahwa orang-orang ini dapat bertahan hidup sampai sekarang, jelas berkat pemberian sesenduk kuah daging setiap hari.
Sekujur badan mereka tertutup rapat di dalam patung sehingga satu jam saja tidak dapat bergerak, setiap hari mereka hanya mendapat rangsum satu senduk kuah daging.
Kehidupan begini telah mereka lalui selama 30-40 hari, teringat kepada penderitaan mereka, sungguh Siau-hong tidak tahan lagi, mendadak ia melompat maju, ia turun tangan secepat kilat.
Sungguh ia ingin mengurung si kuah daging ke dalam patung Buddha, agar dia juga merasakan bagaimana penderitaan orang. Dengan sendirinya Eng-gan Lau-jit tidak rela, ia mencari keterangan lagi apakah orang-orang di pelabuhan itu tidak melihat seorang yang beralis empat.
Dengan sendirinya banyak orang yang melihat, bahkan ingat dengan baik.
Orang yang berkumis serupa dengan alisnya tidak banyak, biasanya Liok Siau-hong juga sangat mudah menimbulkan kesan bagi orang lain.
"Orang itu juga menumpang kapal juragan kami!" demikian info yang diberikan. "Kapal yang karam itu."
Jadi hasil penyelidikan ketiga kelompok itu tetap tidak mendatangkan sesuatu keterangan yang menarik. Para Piausu dan harta pengawalan 35 juta itu tetap hilang seperti kecemplung ke laut.
Batas waktu tujuh hari dalam sekejap saja sudah berlalu, semua orang hanya saling pandang saja dan tak berdaya.
"Aku ada akal," kata Eng-gan Lau-jit tiba-tiba.
"Akal apa?" tanya orang banyak.
Lau-jit berbangkit, dipandangnya pilar batu di luar ruangan pendopo, lalu berkata, "Boleh kita bunuh diri dengan menumbukkan kepala pada pilar itu!"
-00- Waktu Liok Siau-hong keluar dari ruangan rahasia si kakek cilik, saat itu adalah pagi hari tanggal delapan bulan keenam.
Cuaca cerah dan hawa sejuk, cahaya mentari gilang-gemilang, angin laut meniup tiada hentinya.
Siau-hong tidak muncul dari jalan semula, maka dia tidak lewat di tempat yang penuh tertumpuk bokhi dan patung Buddha itu, juga tidak perlu menyelam dan menerobos kolam lagi.
Lubang keluar dari lorong bawah tanah ini terletak di dekat jembatan lekuk sembilan. Sesudah keluar, baru teringat olehnya tadi lupa bertanya kepada si kakek bilamana dirinya mau tidur harus tidur dimana.
Agaknya si kakek mengangap soal ini dapat diurus sendiri oleh Liok Siau-hong, maka tidak perlu dipertanyakan. Tak tahunya soal tidur serupa halnya makan, sama-sama urusan penting dalam kehidupan setiap manusia.
Yang diharapkan Siau-hong sekarang adalah mencari Gak Yang. Andaikan Gak Yang tak dapat memberikan tempat tidur baginya, sedikitnya dapat membawanya ke tempat mandi itu.
Sarang emas atau sarang perak tetap tidak lebih baik daripada sarangnya sendiri, apalagi di sana masih menunggu seorang sahabatnya yang senantiasa tertawa.
Teringat kepada sahabat lama itu, tiba-tiba Siau-hong ingat sesuatu lagi, "Di dalam perut gendut sahabat lama itu apakah juga tersimpan satu orang" Kalau tidak diberi minum kuah daging, apakah orang-orang itu sekarang sudah mati?"
Teringat pada soal ini, Liok Siau-hong tambah ingin lekas pulang.
Bahwa dia juga rindu rumah, sampai dia sendiri merasa geli. Cuma sayang, dia tidak menemukan Gak Yang, sebaliknya melihat Samon.
Bunga mekar semarak beraneka warna dan tambah indah kelihatannya di bawah cahaya mentari yang cemerlang.
Samon berdiri di tengah semak bunga, mengenakan jubah ringan, mukanya tidak bersolek, namun bunga di sekitarnya seakan-akan guram dibandingkan kecantikannya.
Dia berdiri begitu saja di tengah semak bunga, tanpa bergerak, juga tidak bersuara.
Tanpa tertahan Siau-hong mendekatinya.
Mendadak Samon membalik tubuh dan melangkah pergi, tanpa terasa Liok Siau-hong juga ikut melangkah ke sana, menyusuri jalan berbatu diapit tetumbuhan bunga pada kedua sisinya, di depan sana kelihatan sebuah rumah kecil mungil.
Ke rumah itulah Samon masuk, tidak perlu disangsikan lagi rumah inilah tempat kediamannya.
Tiba-tiba Liok Siau-hong jadi teringat kepada Yu-leng-san-ceng, perkampungan arwah halus itu.
Tampaknya tempat ini sangat mirip dengan Yu-leng-san-ceng, tapi realitanya berbeda, pengalaman Liok Siau-hong juga berlainan.
Ketika pergi ke Yu-leng-san-ceng, sebelumnya Liok Siau-hong sudah siap siaga, sebab sudah diketahuinya tempat macam apakah itu.
Setiap penghuni Yu-leng-san-ceng rata-rata sudah pernah 'mati' satu kali, lalu ganti nama dan menyembunyikan diri. Sebaliknya orang di sini memang orang tidak bernama.
Meski Lau-to-pacu seorang tokoh yang hebat, tapi kakek kecil ini terlebih seorang tokoh yang tak ada bandingannya, kepintarannya hampir sukar diukur, dibandingkan kakek ini Lau-to-pacu tidak lebih cuma sebuah parit di samping sungai.
Pintu rumah kecil itu masih terbuka, sunyi senyap di dalam.
Akhirnya Liok Siau-hong, tidak tahan dan masuk ke situ, Samon berdiri di samping pintu segera daun pintu dirapatkannya, Siau-hong terus dipeluknya.
Bibirnya terasa panas, tubuhnya bagai membara....
-00- Waktu Siau-hong mendusin, sementara itu sudah dekat magrib.
Samon tampak berdiri membelakanginya di depan jendela, perawakannya yang ramping dengan pinggulnya yang padat, kedua kakinya panjang lurus. Sampai terkesima Siau-hong memandangi potongan tubuh yang mempesona itu.
Yang baru terjadi serasa mimpi yang mustahil dan juga manis, sukar untuk dimengerti mengapa si dia bisa memperlakukannya secara begini.
Ia ingin bangun berduduk, lalu mendekat dan merangkulnya lagi, tapi kaki dan tangan terasa lemas, bergerak saja malas.
Samon tidak berpaling, tapi mengetahui Siau-hong sudah mendusin, tiba-tiba ia bertanya satu hal yang aneh, "Engkau yang membunuh Hui-thian-giok-hou?"
Dalam keadaan begini dan di tempat seperti ini, siapa pun takkan menyangka Samon bisa mengajukan pertanyaan demikian.
Hui-thian-giok-hou kejam lagi licin, dalam pertempuran di kasino 'pancing perak' itu hampir saja Liok Siau-hong terbunuh olehnya.
"Kau kenal dia?" Siau-hong balas bertanya.
Selang agak lama barulah si dia menjawab dengan perlahan, "Nama aslinya Kang Giok-hui dan nama aslinya Kang Samon."
Siau-hong terkejut, "Jadi kalian kakak dan adik?"
Samon membenarkan.
Seketika hati Siau-hong tertekan, tiba-tiba dipahamihya sebab apa Samon memperlakukannya cara begini. Kiranya dia hendak membalas dendam bagi kakaknya.
Akan tetepi Samon tidak yakin akan mampu menundukkan Liok Siau-hong, terpaksa digunakannya senjata orang perempuan yang paling primitif. Dan biasanya senjata ini sangat efektif.
Sekarang juga anggota badan Liok Siau-hong terasa lemas lunglai, mungkin waktu dibuai impian indah tadi dia kena dikerjai.
Terpaksa di dalam hati Siau-hong menghibur dirinya sendiri, "Bahwa aku dapat hidup sampai sekarang sudah terhitung mujur, bila dapat mati pula di tangan orang perempuan seperti ini, apa pula yang perlu kusesalkan?"
Bilamana pikiran seorang bisa terbuka, sebenarnya di dunia ini tidak ada sesuatu urusan yang perlu dirisaukan.
Mendadak Siau-hong tertawa, katanya, "Meski aku tak membunuhnya secara langsung, tapi dia memang mati karena aku. Jika aku diberi kesempatan lagi, bisa jadi aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri."
Samon termenung hingga lama, katanya kemudian dengan perlahan, "Tidak cuma satu kali saja pernah aku bersumpah bahwa barang siapa membunuh dia, aku rela menyerahkan tubuhku sebagai tanda terima kasihku. Sebab tiada cara lain bagiku untuk menyatakan rasa terima kasihku."
Suaranya penuh rasa duka dan juga dendam.
Keruan Siau-hong terkejut, "Memangnya sebab apa?"
Tubuh Samon tampak agak gemetar, "Sebab meski dia kakakku, tapi dia juga menghancurkan seluruh kehidupanku."
Siau-hong tidak bertanya lagi. Ia mengerti apa yang dimaksudkannya. Orang semacam Hui-thian-giok-hou itu, perbuatan yang rendah dan kotor betapapun dapat dilakukannya.
Tanpa berpaling Samon berucap pula, "Apa yang sudah kujanjikan kepada diriku sendiri sudah kupenuhi dan sekarang kau pun boleh pergi."
"Aku tidak mau pergi," kata Siau-hong.
Serentak Samon membalik tubuh, wajahnya kelihatan pucat, air matanya juga belum kering, matanya yang indah itu lantaran gusar memancarkan cahaya tajam, jengeknya, "Apa pula yang kau kehendaki" Kau minta satu kali lagi?"
Ucapannya ini juga setajam sembilu.
Siau-hong tahu jika sekarang juga dirinya pergi, selanjutnya jika bertemu lagi pasti akan serupa orang tidak kenal, bila dia merangkulnya lagi, biarpun orang tidak menolak, tapi kesempatan bertemu lagi kelak mungkin akan hilang, sebaliknya jika tidak pergi dan juga tidak memeluknya, rasanya tidak sanggup berdiam pula di sini.
Seketika ia jadi bingung dan melenggong.
Samon memandangnya, sinar matanya perlahan berubah lembut.
Jika Siau-hong lelaki tulen sebagaimana dikisahkan orang, umpama sekarang dia tidak pergi, kesempatan ini pasti akan digunakannya untuk memeluk si dia.
Toh antara mereka sudah ada hubungan khusus, peduli apakah kelak akan bertemu lagi atau tidak"
Rupanya Samon dapat melihat ciri Siau-hong yang berhati lemah dan penuh perasaan halus, namun dia tetap menyuruhnya pergi.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar orang berteriak di luar, "Kiu-siauya sudah pulang, Kiu-siauya sudah pulang!"
Seketika timbul perubahan air muka Samon, serupa seorang anak kecil yang berbuat salah mendadak kepergok orang tua.
Siau-hong tertawa, katanya, "Boleh kau pergi dulu, selekasnya aku pun akan pergi. Apa yang terjadi hari ini pasti akan kulupakan dengan cepat."
Dia lagi tertawa, cuma siapa pun dapat melihat tertawa yang dipaksakan.
Samon ternyata tidak pergi, sebaliknya ia terus berduduk di tepi tempat tidur.
"Kau minta kupergi dulu?" tanya Siau-hong.
"Tidak, engkau tidak perlu lagi pergi."
"Kau ...." Siau-hong melenggong.
Air muka Samon tambah aneh, ucapnya, "Apa yang kuperbuat tidak takut diketahui orang lain, terserah padamu ingin mengendon berapa lama di sini, pasti tidak kuusir dirimu."
Siau-hong memandangnya, perlahan ia pegang tangan si dia, lalu ia turun dari tempat tidur, mengenakan baju, tiba-tiba ia berkata pula dengan tertawa, "Ada semacam barang hendak kuberikan padamu, entah kau sudi menerimanya tidak?"
"Apa yang hendak kau berikan padaku?"
"Kelewang pispot!" kata Siau-hong.
Samon memandangnya, matanya yang indah menampilkan rasa tersenyum, akhirnya dia benar tertawa.
Sejauh ini Siau-hong tidak pernah melihat Samon tertawa, memang khas tertawanya, serupa sungai es yang cair mendadak, seperti musim semi di bumi raya ini, seperti bunga baru mekar di alam yang cerah.
Siau-hong juga tertawa. Keduanya tertawa bersama entah berapa lama mereka tertawa, ketika tiba-tiba dua butir air mata menitik membasahi pipi si dia yang pucat itu.
Mendadak ia pun berdiri, sekuatnya ia tarik tangan Siau-hong dan berkata, "Engkau jangan pergi!"
"Sebab apa?" suara Siau-hong kedengaran agak parau.
"Sebab ... sebab aku minta engkau jangan pergi," kembali Samon memeluk erat Liok Siau-hong, bibirnya terasa dingin, namun lemas dan harum.
Sekali ini mereka tidak dibakar oleh hawa nafsu birahi, tapi semacam perasaan hangat dan lembut serupa sutera.
Dahulu pernah seorang cendekia mengucapkan kata-kata yang sukar dilupakan orang, yaitu: Persahabatan harus dipupuk, cinta justru timbul secara mendadak. Keakraban harus tahan uji sang waktu, tapi cinta terkadang terjadi dalam sekejap.
Sungguh sekejap yang bahagia, sekejap yang cemerlang, sekejap yang indah.
Inilah sekejap yang abadi.
Entah pintu tidak dipalang atau karena jendela tidak ditutup, seorang melayang masuk seringan awan, lalu melayang keluar pula.
Mereka tidak melihat dia, juga tidak merasakan ada orang datang dan pergi lagi. Tetapi mereka dapat melihat sekuntum bunga.
Sekuntum bunga es.
Padahal sekarang adalah musim panas, bunga ini terbuat dari es, kelopak bunga yang bening tembus pandang belum lagi mulai cair.
Di tempat betapa jauhnya baru ada es musim dingin yang tersimpan dengan baik" Diperlukan betapa susah payahnya untuk membawa bunga es ini ke sini"
Meski cuma sekuntum kecil bunga es, namun siapa yang dapat menilai harganya" Siapa pula yang dapat merasakan betapa cinta kasih yang terkandung di dalam bunga es ini"
Kecuali Kiu-kongcu yang serupa naga sakti yang sukar terlihat itu siapa pula yang dapat melakukan hal ini"
Dia tahu selama ini Samon tidak suka kepada segala macam "harta benda". Ia tahu si dia takut panas, sedangkan di pulau lautan selatan ini sepanjang tahun tidak pernah terlihat salju, apalagi es.
Sebab itulah dia sengaja membawa pulang bunga es ini, akan diberikannya langsung kepada orang yang dicintainya.
Akan tetapi ketika dia datang, dilihatnya si dia berada dalam pelukan orang lain, terpaksa ia tinggalkan bunga es ini dan pergi lagi secara diam-diam.
Memandangi bunga es ini, seperti timbul semacam rasa pedih dalam hati Liok Siau-hong, entah karena orang lain atau karena diri sendiri.
Ia tidak memandang perubahan air muka Samon, ia tidak berani melihatnya. Akan tetapi dia tidak tahan untuk tidak bertanya, "Apakah dia?"
Samon mengangguk perlahan, mukanya yang pucat tak memperlihatkan sesuatu perasaan.
"Sesungguhnya dia orang macam apa?" tanya Siau-hong.
"Untuk apa kita mesti membicarakan orang lain" Kenapa tidak kau bicara tentang dirimu sendiri?" jawab Samon hambar.
Ia membetulkan kancing baju Siau-hong, lalu tersenyum manis, katanya, "Di belakang ada sebuah dapur kecil, biarlah kuolah beberapa macam santapan bagimu. Di almari juga ada arak, nanti kita minum dua-tiga cawan."
Siau-hong memandangnya, bukan saja melihat tertawanya, juga melihat betapa perasaan si dia terhadapnya.
Hampir meledak perasaan Siau-hong karena terlalu dirangsang emosi, hampir saja ia merangkulnya lagi.
Pada saat itulah di luar tiba-tiba ada orang mengetuk pintu, lalu seorang berkata dengan perlahan, "Hamba Siau Giok ada perintah Kiu-siauya, nona Man diminta pergi bersantap."
Seketika lenyap tawa Samon yang menghiasi mukanya, jengeknya, "Aku tidak pergi, tidak ada waktu."
Pesuruh bernama Siau Giok itu tidak lantas pergi, dia mohon pula, "Jika nona Man tidak hadir, tentu hamba akan didamprat Kiu-siauya."
Mendadak Samon memburu ke sana dan membuka pintu, teriaknya, "Masakah tidak kau lihat di tempatku ada tamu?"
Siau Giok menengadah dan memandang Liok Siau-hong dengan terkejut.
"Tentunya kau lihat sekarang, mestinya dia juga sudah melihatnya, jika benar dia mengundangku makan, mengapa tadi tidak dikatakannya sendiri padaku?" kata Samon dengan menarik muka.
Siau Giok tidak berani bicara pula, dengan menunduk ia mengeluyur pergi. Sebelum pergi dia sempat melirik pada Siau-hong sekejap, jelas kelihatan kejut dan heran, seperti tidak pernah menyangka di dalam kamar nona Man bisa terdapat lelaki lain.
Akan tetapi tindak-tanduk Samon memang benar tidak takut dilihat orang dan juga tidak kuatir diketahui orang. Bilamana dia sudah bertekad berbuat sesuatu, apa yang dipikir dan dipandang orang tidak dipedulikannya lagi.
Setelah pintu dirapatkan kembali, mendadak Samon membalik tubuh dan bertanya kepada Liok Siau-hong, "Dapatkah kau tunggu di sini, kukeluar sebentar dan segera ku kembali lagi."
Siau-hong mengangguk.
Si nona memang pantas pergi, betapapun mereka sudah menjalin kasih sekian tahun, apalagi orang juga baru pulang dari tempat jauh.
Rupanya Samon dapat menyelami jalan pikiran Siau-hong, katanya pula, "Kepergianku bukan untuk makan, tetapi ada berbagai urusan harus kubicarakan dengan dia."
Dengan cepat ia mengenakan baju dan mengambil bunga es yang belum lagi cair, ia melangkah keluar, lalu berpaling dan berpesan, "Harus kau tunggu aku di sini."
Dari almari Siau-hong mendapatkan arak, dia duduk sendirian, tapi minum arak pun tidak bernafsu lagi.
Ia merasa hampa, merasa kesepian di rumah yang kecil dan indah ini, rasanya dia ingin bertanya dirinya sendiri, "Sesungguhnya aku ini orang macam apa" Apa yang kulakukan ini bukankah membikin susah orang lain dan juga membikin celaka diri sendiri?"
Meski si kakek kecil telah menyatakan berbuat apapun boleh sesukanya, yang benar nasibnya sudah seluruhnya berada dalam genggaman dan dikendalikan orang, sekarang kekuatan untuk membela diri sendiri saja tidak ada, apalagi hendak melindungi si dia"
Tapi sekarang si dia pasti sudah terjeblos ke dalam kesukaran, Kiu-kongcu yang dipuja itu pasti mempunyai hak menentukan nasib orang lain di tempat ini.
Siau-hong ingin pergi saja, dia berdiri, tapi lantas berduduk lagi. Baru saja dia menuang secawan arak dan mau diminum, tiba-tiba seorang menegur dengan tertawa, "Minum arak sendirian sangat tidak ada artinya, mengapa tidak kau tuangkan secawan pula bagiku?"
Suaranya terdengar sangat manis, sangat merdu. Jelas itulah suara si kuah daging alias si tawon.
Meski sudah sekian lama tidak terdengar suara tertawanya, tapi suara tertawanya masih dikenal baik oleh Siau-hong.
Sambil tertawa si kuah daging lantas melangkah masuk, senyumnya sangat manis, mukanya bercahaya, waktu tertawa memang jauh lebih memikat daripada waktu tidak tertawa.
Siau-hong hanya memandangnya sekejap dengan dingin, katanya hambar, "Mulai kapan kau kenal diriku lagi?"
"Biarpun terbakar menjadi abu juga tetap kukenal dirimu, cuma kalau ada orang lain, tentunya aku tidak dapat terlalu mesra denganmu bukan?"
Cawan arak yang dipegang Siau-hong terus dirampasnya, segera ia duduk di atas pahanya, lalu berkata pula dengan lembut, "Tapi sekarang bolehlah kita bermesraan, cara bagaimana mesranya boleh terserah padamu."
"Kiukomu sudah pulang, mengapa tidak kau dampingi dia minum arak?" tanya Siau-hong. Si kuah daging tertawa, "Masa kau cemburu" Kau tahu dia apaku" Dia adalah kakak kandungku."
Hal ini jelas juga di luar dugaan Liok Siau-hong, ia coba bertanya pula, "Sesungguhnya dia orang macam apa?"
Pertanyaan ini sudah pernah diajukannya kepada Lau-sit Hwe-sio dan juga kepada Samon, tapi mereka tidak menjelaskan.
Perlahan si kuah daging menghela napas, "Sesungguhnya aku pun tidak dapat menjelaskan dia orang macam apa?"
"Apa sebabnya?" tanya Siau-hong.
"Sebab dia ini sebenarnya sangat ruwet dan sangat aneh, sampai ayahku juga bilang dia adalah seorang jenius yang luar biasa."
Bicara tentang orang ini, seketika matanya bercahaya, tuturnya pula, "Terkadang dia kelihatan sangat bodoh, sering tersesat jalan, bahkan arah kanan kiri pun tidak dapat membedakan. Jika kau tanya dia seratus orang mati tujuh belas tersisa berapa" Bisa jadi dia akan langsung mencari seratus orang, lalu dibunuhnya tujuh belas orang, habis itu baru dihitung sisanya, dengan begitu barulah dia bisa memberi jawaban."
Ia berhenti sejenak, lalu menyambung, "Akan tetapi betapa sulitnya semacam kungfu dapat dipahaminya dalam waktu singkat, betapa ketat penjagaan sesuatu tempat, dia dapat pergi datang dengan bebas. Apa yang kau pikir sebelum kau katakan sudah diketahuinya lebih dulu. Bila engkau minta dia membunuh seorang, betapapun orang itu bersembunyi di tempat yang terahasia atau terjaga ketat, pasti akan dilaksanakannya dengan baik."
"Pasti berhasil?" Siau-hong menegas.
Si genit tertawa, "Mungkin engkau tidak percaya, tapi Lau-sit Hwesio pasti percaya."
"Mereka pernah bergebrak?"
"Kungfu yang dimiliki Lau-sit Hwesio itu pada hakikatnya tidak mampu menandingi tiga jurus serangannya."
Siau-hong tidak bicara lagi. Ia tahu ucapan si genit bukan bualan belaka, waktu Lau-sit Hwesio dikeluarkan dari peti memang disaksikannya juga.
"Dia tidak suka berjudi, tidak minum arak, hal-hal yang digemari orang lelaki tidak ada yang disukainya," sambung si genit lagi.
"Kecuali membunuh orang, apa pula yang dilakukannya?" jengek Siau-hong.
"Bila tidak ada pekerjaan, dia suka berduduk melamun di tepi laut," tutur si genit. "Terkadang dua-tiga hari dia tidak bicara sepatah kata pun. Pernah satu kali dia duduk tiga hari di pantai, tidak makan apapun, juga tidak minum setetes air pun."
"Bisa jadi diam-diam ia makan beberapa ekor ikan dan tidak kalian lihat," ujar Siau-hong.
"Mungkin engkau tidak percaya lagi, namun kesabaran dan ketahanannya memang sukar dilakukan oleh siapa pun, dia malah sanggup mengendon sehari semalam di dasar laut."
"Memangnya dia ikan dan dapat bernapas di dalam laut?"
"Dia memang seperti tidak perlu bernapas. Pernah sekali ayah sangat marah padanya dan memasukkan dia ke dalam peti terus ditanam di bawah tanah selama empat-lima hari, kemudian orang lain merasa tidak tega dan diam-diam peti digali keluar, begitu peti terbuka ...." si genit memandang Siau-hong, lalu bertanya, "Coba kau terka, bagaimana jadinya dia?"
"Jadi mayat, mungkin selama ini dia memang mayat hidup," jengek Siau-hong.
Si genit tertawa, "Dia tetap segar bugar, ia berdiri dan kebut-kebut bajunya, lalu melangkah pergi."
Biarpun di mulut Siau-hong mengejek, tapi di dalam hati sesungguhnya kagum luar biasa terhadap orang ini.
Ia tahu apa yang diuraikan si genit bukan dongeng belaka, seorang kalau dapat menguasai ilmu yoga dengan baik memang dapat melakukan hal-hal yang sukar dibayangkan orang.
Ia sendiri pernah menyaksikan seorang fakir Hindu diikat dan dimasukkan ke dalam peti besi dan ditenggelamkan ke dalam air, tiga hari kemudian fakir itu dapat keluar sendiri dari peti itu dalam keadaan segar bugar.
"Meski dia aneh, bahkan nyentrik, tapi setiap orang menyukai dia," tutur pula si genit. "Sebab dia sering bekerja bagi orang lain tanpa mengharapkan balas jasa apapun. Terhadap harta benda lebih-lebih tidak terpikir olehnya, asalkan kau minta padanya, apa yang dia miliki pasti akan diberikan padamu. Anak perempuan umumnya juga tergila-gila padanya, cuma sayang, kecuali bakal ensoku itu, belum pernah dia jatuh hati kepada perempuan lain."
"Bakal ensomu (kakak ipar) itu siapa?" tanya Siau-hong.
"Ialah perempuan yang baru saja berpelukan denganmu itu!"
Siau-hong melenggong, sampai agak lama barulah ia bertanya lagi, "Mereka sudah bertunangan?"
Si kuah daging mengangguk, "Coba kau tebak, darimana kakakku menyelamatkan dia?"
Siau-hong mengeleng, ia tak mau menerka.
"Dari rumah pelacuran!" si kuah daging menghela napas, lalu menyambung, "waktu itu dia baru saja dijual ke rumah pelacuran itu oleh kakaknya sendiri. Jika tidak ditolong oleh kakakku, entah bagaimana jadinya sekarang dia."
Perut Siau-hong terasa mual dan hampir saja tumpah.
"Begitu baik kakak terhadap dia, sedikitnya dia memperlihatkan sikap tanda terima kasih, tapi dia selalu membikin jengkel kakak malah. Lelaki seperti kakakku itu ternyata bisa menyukai orang perempuan semacam dia, coba katakan, aneh atau tidak?"
"Tidak aneh," jawab Siau-hong.
Si genit memandangnya dengan terbelalak.
"Sesungguhnya dia memang seorang anak perempuan yang menyenangkan, paling sedikit dia takkan membicarakan keburukan orang di luar tahunya."
Kembali si kuah daging menghela napas, "Ah, kiranya kau pun suka padanya. Ini menjadi rada repot. Semula kukira engkau hanya ingin pulang, maka diam-diam telah kusiapkan sebuah perahu."
"Apa katamu?" Siau-hong menegas.
"Jika kau suka padanya, tentu juga kau ingin tetap tinggal di sini, lalu apa yang perlu kukatakan?"
Perlahan si kuah daging lantas berbangkit dan hendak pergi.
Cepat Siau-hong menariknya dan berseru "Ben ... benar telah kau sediakan sebuah perahu bagiku?"
"Kenapa meski heran, itu kan cuma sebuah perahu biasa, kalau untuk memuat dua-tiga puluh orang saja pasti dapat berlayar dengan aman."
"Dimana perahunya?" tanya Siau-hong.
"Jika engkau tidak jadi pergi, buat apa bertanya?"
"Aku...."
"Bila kau suka padanya, kenapa mesti pergi?"
Ia melepaskan tangannya dari pegangan Siau-hong, lalu menjengek, "Aku pergi saja agar orang lain tidak cemburu bila pulang kemari."
Siau-hong merasa kecut dan getir, melihat si genit hampir keluar pintu, tanpa terasa ia memburu maju dan menariknya lagi.
Si genit menarik muka, "Seorang lelaki, mau tinggal boleh tinggal, mau pergi boleh pergi, kenapa mesti main tarik menarik segala?"
"Baik, kuikut pergi bersamamu!"
Baru habis berucap, waktu ia menengadah, segera dilihatnya Samon berada di luar dan sedang memandangnya.
Malam sudah larut, suasana remang-remang. Dia berdiri diam di tengah semak bunga, mukanya yang pucat seakan-akan tembus pandang, matanya yang indah penuh rasa duka.
Waktu Siau-hong melihat dia, segera dia menunduk, ia masuk ke rumah sendiri melalui samping mereka, sama sekali ia tidak memandang Siau-hong lagi. Juga sama sekali tidak bicara.
Apa yang dapat diucapkan Liok Siau-hong"
Si kuah daging memandang mereka, lalu berkata, "Katanya mau pergi, kenapa tidak lekas berangkat!"
Mendadak Siau-hong berlari ke sana dan menarik tangan Samon, serunya, "Ayo berangkat, kubawa serta engkau berangkat!"
Samon berdiri membelakangi dia dan tidak menoleh, tetapi Siau-hong dapat merasakan tubuhnya sedang gemetar, mendadak Samon berucap dengan dingin, "Pergilah lekas, besok juga aku akan ... akan menikah, aku memang tidak dapat bertemu lagi denganmu."


Manusia Yang Bisa Menghilang Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tangan Siau-hong seketika dingin, sampai sekian lama baru dilepaskan tangan si dia, mendadak ia bergelak tertawa, teriaknya, "Haha, inilah peristiwa bahagia. Selamat! Selamat! Cuma sayang aku tidak sempat minum arak pernikahan kalian."
Dia mengeluarkan seluruh uang kertas yang berada padanya dan ditaruh di atas meja, katanya, "Ini sedikit tanda mata, anggaplah sebagai sumbanganku atas pernikahan kalian!"
"Terima kasih," ucap Samon.
Sungguh sangat lucu, hanya terima kasih. Seorang yang baru saja menyerahkan segalanya kepadamu sekarang justru mengucapkan terima kasih atas sumbanganmu pada pesta nikahnya.
Namun Liok Siau-hong hanya angkat pundak, ia ikut si kuah daging ke pantai, sekali ini si genit tidak berdusta padanya. Di situ memang betul sudah ada sebuah perahu dengan enam-tujuh orang kelasi.
Si kuah daging menarik tangannya dan berkata, "Apakah kau tahu sebab apa kubiarkan kau pergi?"
"Kutahu?" jawab Siau-hong.
"Sesungguhnya kau tahu atau tidak tahu?"
"Tahu, tapi juga tidak tahu."
Si genit menghela napas, "Sebenarnya kutahu."
"Kau tahu apa?" tanya Siau-hong.
"Kutahu hatimu sangat sedih, tapi bila engkau tetap tinggal di sini, pada suatu hari kelak engkau pasti akan mati di tangan Kiu-koku."
"Ya, kutahu!" kata Siau-hong.
"Setiba di tempat tujuan, berilah sedikit persen kepada para kelasi, mereka adalah orang-orang yang dapat dipercaya."
"Kutahu," kata Siau-honAngin laut mendesir hangat dan agak lembab, ombak perlahan mendampar pantai. Napas mereka tidak sehangat dan selembut desir angin laut.
Napas mereka agak memburu, terengah, serupa jantung mereka yang berdetak keras.
"Mengapa engkau berdusta dan mengapa engkau memaksa kepergianku?"
"Sebab ingin kuuji dirimu, namun kuyakin engkau pasti akan kembali."
Semua itu tidak ditanyakan mereka, juga tidak perlu dijawab. Semua itu tidak perlu penjelasan lagi.
Yang dilakukan mereka sekarang adalah jawaban yang paling baik, berada di antara kekasih yang dicintainya, dengan hati yang murni selamanya tidak ada penjelasan yang lebih baik daripada ini.
Gubuk kecil ini adalah istana mereka, di dalam istana mereka hanya ada damai, hanya ada cinta.
Segala macam kekasaran dan keburukan di dunia ini seakan-akan sudah berjarak sangat jauh dengan mereka.
Akan tetapi mereka keliru.
Pada saat itu juga istana mereka, istana cinta, mendadak ambruk dan menjatuhi tubuh mereka.
Liok Siau-hong tidak bergerak, Samon juga tidak.
Mereka tetap berpelukan dengan erat, seakan-akan biarpun langit ambruk dan menindihi tubuh mereka juga tidak dihiraukan, sebab mereka sudah mendapatkan apa yang diharapkan selama hidup ini, yaitu cinta, cinta yang murni.
Mereka telah saling mengisi bagi kepuasan masing-masing.
Bahkan mereka tidak mendengar suara di luar, bukannya tidak mendengar sungguh-sungguh, melainkan mereka memang tak ingin mendengarkan.
Suara ini memang paling tidak suka didengar mereka. Bagi mereka, hampir tidak ada sesuatu suara di dunia ini terlebih menusuk telinga daripada suara ejekan si kuah daging alias si tawon. Dan sekarang suara yang berkumandang itu justru suara tertawa dingin si kuah daging.
Bukan cuma tertawa dingin saja, si kuah daging juga sedang bicara. Apa yang diucapkannya terlebih tajam dan menusuk telinga daripada suara tertawa dinginnya, bahkan dia juga bertepuk tangan dan bersorak, "Nah, bagus, bagus sekali, apabila kungfu kalian ada setengahnya permainan kalian tadi, pasti tak ada seorang pun sanggup bertahan."
Akhirnya Liok Siau-hong menghela napas dan disingkirkannya rumput yang menutupi wajahnya. Terlihat si kuah daging sedang memandangnya dengan sorot mata yang penuh rasa benci dan dengki.
"Engkau baik?" sapa Siau-hong.
"Aku tidak baik," jawab si kuah daging ketus.
"Jawaban yang jujur, engkau ini memang terlalu tidak baik," ujar Siau-hong dengan tertawa.
Dari tertawa dingin mendadak si kuah daging tertawa genit, katanya, "Aku cuma minta kau bicara sepatah kata saja berdasarkan hati nuranimu."
"Bicara apa?"
"Dalam hal begituan, aku lebih baik atau dia?"
"Kalian tidak dapat dibanding-bandingkan."
"Sebab apa?"
"Sebab cara berbuat begituan ada dua macam."
"Dua macam apa?"
"Yang semacam ialah manusia, satu lagi adalah binatang."
Tertawa genit si kuah daging berubah kembali menjadi dingin, "Jika manusianya mati lalu bagaimana?"
"Aku masih ingat ucapan seorang bahwa seribu orang mati juga tidak dapat membandingi seekor anjing betina hidup."
bab 13 "Yang bicara begitu pastilah seorang maha pintar."
"Apakah kau ini manusia atau anjing betina, rasanya aku belum jelas benar. Aku cuma tahu satu hal."
"Satu hal apa?"
"Kutahu kita masih hidup, paling sedikit sekarang masih hidup."
"Dapat hidup berapa lama lagi?"
"Asalkan dapat hidup lagi satu jam jauh lebih baik daripada kau hidup seribu tahun."
"Kau salah!" kata si kuah daging mendadak.
"Oo?" Siau-hong melengak.
"Bisa jadi kalian masih dapat hidup satu setengah hari lagi."
"Oo!?" Siau-hong merasa tidak mengerti.
"Pulau ini sangat besar," kata si kuah. "Menurut perkiraan kami, sedikitnya ada sekian ribu dan sekian ratus tempat yang dapat digunakan bersembunyi."
"Dan" ...."
"Asalkan kalian dapat bersembunyi lebih dari satu setengah hari, mungkin juga kalian dapat hidup lagi satu setengah abad," tiba-tiba si kuah daging menjengek, "Cuma sayang, kalian pasti tidak dapat bersembunyi."
"Sebab apa?" tanya Siau-hong.
"Sebab sekalipun kalian adalah dua ekor semut, dalam waktu setengah jam saja, dia pasti dapat menemukan dan memites mati kalian."
"Kau atau dia?" Siau-hong menegas.
"Dia!"
"Kiukomu itu?"
"Ya!" sorot mata si kuah daging menampilkan rasa bangga dan sombong, "Bahkan dia bersedia memberi waktu setengah jam lebih dulu bagi kalian."
"Cara bagaimana memberinya?"
"Mulai saat ini, selama setengah jam dia pasti takkan memburu kalian!"
"Pasti, mutlak pasti?"
"Setiap patah katanya adalah serupa paku yang dipukulkan di dinding, satu paku satu titik dan tidak lebih."
"Aku menjadi percaya juga padanya!"
"Umpama engkau tidak percaya, orang yang tidur, di sampingmu itu tentunya percaya," mendadak suara si kuah daging berubah lembut. "Sebab sebelum ini rasanya dia juga pernah tidur di samping Kiukoku."
Siau-hong tetap tenang dan tidak merasa tersinggung. Bilamana cinta itu memang murni yang didasari saling percaya, tidak sesuatu hal lagi di dunia ini yang dapat menggoyahkan pikiran mereka.
Tapi kalau dikatakan sama sekali Liok Siau-hong tidak marah, hal ini juga tidak betul. Sedikitnya air mukanya rada berubah juga.
Si kuah daging tampak sedang tertawa.
"Inikah kata-kata yang sengaja hendak kau bicarakan padaku?" tanya Siau-hong.
Si kuah daging mengangguk.
"Baik, sudah kudengar seluruhnya."
"Sudah kau dengar seluruhnya setiap kata?"
"Ya."
"Apakah kau mau bertaruh denganku?"
"Bertaruh apa?" tanya Siau-hong.
"Aku berani bertaruh dalam waktu tiga jam Kiuko pasti dapat menemukan dirimu."
"Lalu akan memites mati diriku seperti dia memites semut?"
"Tepat!" kata si kuah daging.
-00- Desir angin laut masih lembut, napas mereka juga tetap lembut, namun perasaan mereka sekarang sudah berbeda.
Pedang Kiong Kiu (nama Kiu-siauya) dan caranya membunuh orang, tentu cukup diketahui dengan jelas oleh Samon.
Akan tetapi yang dipikirnya sekarang bukanlah urusan ini, yang lagi direnungkan adalah apa yang diucapkan si kuah daging tadi, "Dalam permainan begituan, aku lebih baik atau dia?"
Dalam keadaan demikian bisa juga dia cemburu.
Padahal hal ini juga tidak perlu diherankan. Dalam keadaan dan dimana pun juga, untuk merenggut jiwa seorang perempuan bukanlah pekerjaan sulit, tapi jika kau minta seorang perempuan jangan cemburu, maka engkau lagi mimpi belaka.
Liok Siau-hong juga dirundung pikiran. Yang dipikirnya bukan pedang Kiong Kiu, soal mati hidup selamanya tidak membebani pikirannya. Memang juga sudah beberapa kali dia hampir mati.
"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Samon tiba-tiba.
"Memikirkan dirimu?" jawab Siau-hong.
"Diriku?"
"Ya, kupikir apakah engkau cemburu atau tidak?"
"Mengapa aku cemburu?"
"Sebab ada alasanmu untuk cemburu."
"Karena engkau benar-benar pernah tidur bersama dia?"
"Tidak cuma dia, banyak anak perempuan yang pernah tidur denganku, dia cuma satu di antaranya, kau pun...."
Siau-hong sengaja berhenti, maka Samon lantas menukasnya, "Aku juga cuma salah satu di antaranya?"
Siau-hong tidak membenarkan, tetapi juga tiada maksud menyangkal sama sekali.
Samon menatapnya hingga lama, lalu berkata pula, "Mengapa tidak kau tanya padaku apakah benar pernah tidur bersama Kiong Kiu?"
"Tidak perlu kutanya," jawab Siau-hong.
"Sebab tidak kau hiraukan soal ini?"
Bukan saja tidak menyangkal, bahkan Siau-hong lantas mengangguk.
Kembali Samon menatapnya sekian lama, tiba-tiba ia menghela napas dan berkata, "Jika kau kira aku belum memahami maksudmu, maka jelas kau salah sangka."
"Kau tahu apa maksudku?"
"Kau sengaja membuat kupergi dengan marah," kata Samon, "Kau kira asalkan kutinggalkan dirimu, tentu aku dapat hidup lagi satu setengah abad?"
Siau-hong diam saja, tidak menyangkal juga tidak membenarkan.
"Cuma sayang, kau lupa sesuatu!"
Siau-hong tidak bertanya dan Samon lantas meneruskan, "Seorang perempuan biarpun benar dapat hidup lagi satu setengah abad juga tidak banyak artinya."
"Kan paling tidak jauh lebih banyak berarti daripada cuma hidup satu setengah hari"!"
"Itu kan jalan pikiranmu?" ujar Samon.
"Habis bagaimana jalan pikiranmu?"
"Asalkan dapat berkumpul denganmu, biarpun cuma hidup satu jam lagi juga puas hatiku."
Mendadak Siau-hong melompat bangun, ditariknya tangan Samon dan berseru, "Mari kita berangkat!"
Di balik pesisir yang landai sana adalah batu karang yang tinggi besar dan hutan yang lebat.
Di tempat seperti ini, seekor kelinci saja sangat mudah menghindarkan pengejaran seekor anjing pemburu.
Tapi Liok Siau-hong bukan kelinci, dia selain memiliki kecerdikan dan kegesitan serupa kelinci, juga punya kelicinan serupa rase dan ketangkasan dan kesetiaan seperti anjing.
Dia sendiri memang juga seorang pemburu. Teknik mencari hidup di tengah hutan atau rawa-rawa, dia jauh lebih paham daripada kebanyakan orang. Cuma dengan setangkai kayu saja dalam sekejap ia sanggup membuat sebuah perangkap pembunuh orang.
Di tempat seperti ini, jika dia ingin menghindari pengejaran seorang sebenarnya bukan pekerjaan yang sulit.
Akan tetapi orang itu sungguh bukan orang!
Yang dimaksudkan Samon dengan sendirinya ialah Kiong Kiu.
"Dia boleh dikatakan seekor ular berbisa, seekor rase, seorang"
"Sesungguhnya dia itu apa?" tanya Siau-hong dengan tenangnya.
"Kiu, iblis."
"Ada yang bilang dia adalah gabungan dari sembilan macam barang."
"Kesembilan macam barang apa?"
"Upas ular berbisa, hati rase, es dari kutub utara, batu padas dari pegunungan Tian, ketangkasan singa, kekejaman serigala, ketekunan unta, kecerdasan manusia, lalu ditambah lagi dengan sukma setan dari neraka."
Meski Siau-hong kelihatan lagi tertawa, tapi jelas tertawa yang tidak enak.
"Di pulau ini memang benar banyak terdapat tempat bersembunyi yang terahasia."
"Berapa banyak yang kau ketahui?"
"Kalau lima ribu tempat saja kukira lebih."
"Dan berapa banyak yang diketahuinya?"
"Setiap tempat pasti diketahuinya. Apa yang kuketahui juga diketahuinya, tempat yang tidak kuketahui juga tidak diketahuinya. Dimana pun kita bersembunyi pasti dapat ditemukan olehnya."
Siau-hong termenung, mendadak ia tertawa.
Samon tidak heran, ia tahu di dunia ini memang ada semacam orang yang dimana pun dan kapan saja, selalu bisa tertawa. Jenis orang inilah yang disukainya.
Akan tetapi tertawa Liok Siau-hong itu sungguh terlalu riang, maka ia coba bertanya, "Apa yang kau tertawakan?"
"Kuingat kepada sesuatu yang menarik," jawab Siau-hong.
"Urusan apa yang kau rasakan menarik sekarang?"
"Kita dapat bersembunyi pada suatu tempat yang menyenangkan."
"Betapapun tempat yang menyenangkan itu, asalkan ditemukan dia, segera akan berubah menjadi tidak menyenangkan."
"Kujamin tempat itu pasti tak dapat ditemukan oleh dia."
"Tempat apa itu?"
"Di dalam kulit telur!" kata Siau-hong.
Samon mendongkol, dalam keadaan begini sesungguhnya tidak boleh Siau-hong bergu-rau.
Bukan cuma tertawa saja, sorot mata Siau-hong juga mencorong.
Dengan gemas Samon berkata, "Hanya telur saja yang terisi di dalam kulit telur, mungkin termasuk telur busuk macam dirimu ini."
"Kau lupakan sesuatu pula," ujar Siau-hong dengan tertawa.
"Oo?" Samon merasa bingung..
"Hanya kalau ada telur baru ada kulit telur."
Samon tidak paham.
"Kau tahu siapa telur paling busuk di sini?"
"Bukan dirimu?" Samon menegas.
Siau-hong menggeleng, "Mana aku dapat dibandingkan dia, paling banyak aku cuma gabungan dari enam atau tujuh macam barang saja."
"Kau maksudkan Kiong Kiu?"
"Ya, siapa lagi?" kata Siau-hong. "Lantaran dia adalah telur busuk paling besar di sini, dengan sendirinya kulit telurnya juga paling besar, barang siapa dapat bersembunyi ke dalam kulit telurnya pasti akan aman sentosa."
Seketika mencorong juga sinar mata Samon. Akhirnya ia paham juga maksud Liok Siau-hong.
Bahwa Kiong Kiu akan keluar untuk mencari mereka, dengan sendirinya rumahnya akan kosong, jika mereka dapat bersembunyi di tempat Kiong Kiu, jelas akan sangat aman, sebab siapa pun takkan menyangka mereka berani bersembunyi di situ, termasuk juga Kiong Kiu sendiri juga takkan menyangka.
Tempat sembunyi yang tidak pernah tersangka oleh siapa pun jelas adalah tempat yang palihg aman.
"Tinggal satu soal saja bagi kita, yaitu cara bagaimana supaya kita dapat menyusup ke tempatnya sana," ujar Samon.
Dengan sendirinya Liok Siau-hong juga tahu soal ini sangat penting, namun dia yakin pasti ada jalannya. Baginya, di dunia ini pada hakikatnya tidak ada sesuatu urusan yang mutlak tak dapat dilakukannya.
"Apakah soal ini dapat kau pecahkan?" tanya Samon.
"Tentunya kau tahu dimana letak kulit telur itu?"
Samon mengangguk.
"Jika begitu berarti soal ini sudah terpecahkan."
"Memangnya kau kira kita dapat masuk ke sana secara terang-terangan dan tidak akan dilihat orang lain?"
"Kita tidak perlu masuk ke sana secara terang-terangan, malahan satu langkah pun kita tidak perlu berjalan."
"Satu langkah pun tak perlu berjalan?" Samon menegas. "Memangnya kita akan terbang ke sana dengan berubah menjadi lalat?"
"Aku tidak mau berubah, ingin berubah juga tidak mau berubah menjadi lalat," Siau-hong tertawa, lalu menyambung, "Cara terbang lalat terlalu melelahkan. Aku ingin masuk ke sana dalam keadaan berbaring dengan santai."
Samon memandangnya dengan terbelalak serupa anak kecil yang asyik mendengarkan orang mendongeng.
"Kutahu dalam hatimu pasti tidak percaya," kata Siau-hong pula dengan tertawa. "Tapi dapat kujamin, untuk persoalan ini tidak perlu kau risaukan"
"Memangnya ada hal lain yang pantas kau risaukan?" tanya Samon.
"Ada, cuma satu hal!"
"Coba jelaskan."
"Aku cuma mempunyai akal untuk bersembunyi ke sana, tapi tidak mempunyai akal untuk keluar lagi dari sana."
"Jadi kau kuatir biarpun kita dapat bersembunyi lebih dari satu setengah hari, akhirnya dia tetap akan menemukan kita?"
"Ya, tatkala mana bila dia mau membunuh kita...."
"Untuk ini tidak perlu kau kuatir," potong Samon.
"Sebab apa?" tanya Siau-hong.
"Sebab satu setengah hari kemudian dia sudah tidak berada lagi di sini?"
"Dia akan pergi?"
"Ya, mau tak mau harus pergi!"
"Sebab apa?"
"Sebab di luar sana masih ada sesuatu urusan penting yang harus dilaksanakan olehnya."
Siau-hong termenung, katanya kemudian, "Kecuali pekerjaan membunuh orang, urusan apa pula yang harus dikerjakannya?"
"Memang tidak ada," sahut Samon.
"Sekali ini, siapa yang akan dibunuhnya?" tanya Siau-hong.
"Orang yang berharga untuk dibunuh olehnya tentu saja seorang yang hebat."
"Siapakah dia?"
"Entah!"
Bisa jadi Samon memang tidak tahu, atau mungkin tahu tapi tidak mau memberitahukannya.
Apapun juga Liok Siau-hong tidak bertanya pula. Ia tak menghendaki perempuan mana pun demi membelanya mesti mengkhianati kekasihnya yang dulu.
Samon memandangnya, tanyanya kemudian "Dan sekarang kau ingin berubah barang apa agar dapat masuk ke sana?"
"Menurut pendapatmu bagaimana?"
"Kukira, hanya orang mati saja yang dapat berbaring dengan santai untuk masuk ke rumah Kiong Kiu."
Siau-hong tertawa, "Kembali kau lupakan sesuatu."
"Oo!?" Samon melangak.
"Barang mati kan sangat banyak, tidak cuma manusia mati saja," ujar Siau-hong.
Tanpa kehidupan berarti mati.
Pohon dapat hidup, tapi kalau sudah dipotong dan digeraji menjadi papan serta dijadikan, peti, barang itu sama dengan mati. Jadi peti juga barang mati.
-00- Di jalan pegunungan yang sepi dan berliku ada sepuluh lelaki kekar menggotong lima buah peti besar. Tampaknya peti sangat berat, terbukti dari para kuli itu kelihatan kepayahan.
Lebih-lebih peti yang terakhir, kedua orang yang menggotongnya sudah mandi keringat dan tertinggal cukup jauh.
Untunglah pada waktu hampir masuk mulut lembah, segera mereka melihat Samon. Serupa angin saja tahu-tahu si nona sudah muncul dan menghadang di depan mereka sambil menegur, "Kalian kenal diriku tidak?"
Dengan sendirinya mereka kenal. Setiap orang yang masuk ke lembah pegunungan itu pasti pernah melirik satu-dua kejap kepadanya. Hanya melirik saja secara sembunyi, sebab semua orang tahu bilamana Kiu-siauya mengetahui ada orang memandang Samon, seketika Kiu-siauya bisa marah. Dan tidak ada orang berani membikin marah sang Kiu-siauya.
Dengan kepala tertunduk kedua kuli itu menjawab, "Adakah sesuatu pesan nona Samon?"
"Aku tidak, tapi Kiu-siauya ada pesan," jawab Samon.
Kedua lelaki itu berdiri, dengan hormat dan siap mendengarkan. Setiap pesan atau perintah sang Kiu-siauya harus didengarnya dengan baik.
"Dia sengaja mengutus diriku kemari untuk menyuruh kalian mengantarkan peti ini ke kamarnya," kata Samon.
Meski sebelum ini perintah yang mereka terima tidak berlangsung cara begini, namun mereka tidak curiga, juga tak berani membangkang. Setiap orang tahu apa yang diucapkan nona Samon tidak ada bedanya dengan apa yang diikatakan Kiu-siauya.
Samon berkata pula, "Kiu-siauya suka pada kebersihan, maka sebaiknya kalian ke sungai dan cuci dulu sebersihnya kaki dan tangan kalian."
Tidak jauh dari situ ada sebuah sungai kecil, cepat mereka berlari ke sana dan cepat pula berlari kembali Iagi. Peti masih terletak di tengah jalan, tapi nona Samon sudah tidak kelihatan.
Meski orangnya sudah pergi, namun apa yang diperintahkannya tetap berlaku.
Kemana perginya Samon.
Di luar tahu kedua kuli penggotong peti itu dia sudah menyusup ke dalam peti.
Di dalam peti gelap gulita, tapi aman tenteram. Perlahan peti telah ditaruh di dalam kamar.
Keadaan di luar peti penuh diliputi bahaya, namun kedua orang saling berpelukan dengan mesranya di dalam peti. Entah bagaimana rasanya sukar untuk dijelaskan, di dunia ini mungkin sangat sedikit orang yang dapat mengalami perasaan seperti ini. Namun Liok Siau-hong bisa, Samon juga. Sebab sekarang juga mereka saling berdekapan di dalam peti dengan mulut terkancing oleh mulut.
Pada waktu mereka dapat membuka mulut, Samon tidak tahan lagi, segera ia bertanya, "Darimana kau tahu ada peti yang segera akan diangkut kemari?"
"Dapat kulihat dia seorang yang mengutamakan gengsi, juga suka memikat hati orang dengan hadiah," tutur Siau-hong. "Sebelum orangnya tiba, lebih dulu dia telah mengirimkan beberapa peti hadiah, apalagi sesudah orangnya tiba di rumah?"
"Dia baru pulang kemarin, cara bagaimana kau tahu petinya baru akan tiba hari ini?"
"Orang-orang yang ikut dalam perjalanan dengan dia sekian lamanya, semua orang tentu sudah kesal dan ingin mencari pelampiasan, maka begitu kapal berlalu, segera semua kelasi naik ke darat, umpama tidak mencari perempuan pasti juga ingin minum sepuasnya. Kalau sudah mabuk, paginya pasti tidak dapat bangun dengan cepat."
"O, jadi sudah kau perhitungkan petinya baru akan diantar kemari pada waktu begini?"
Siau-hong tertawa, "Tentu juga main untung-untungan."
"Dan ternyata nasibmu lagi mujur, atau mungkin juga perhitunganmu biasanya memang sangat tepat."
Orang yang dapat menerka sesuatu dengan tepat biasanya memang bernasib mujur juga. Sebab hanya orang yang dapat memperhitungkan sesuatu dengan tepat dapat menggunakan setiap kesempatan yang ada.
Dan kesempatan itu sendiri ialah kemujuran yang tidak boleh dilewatkan.
Dengan suara terlebih lembut Samon berkata pula, "Dan sudah kau perhitungkan juga kuli penggotong peti belum mengetahui persoalan diriku, maka mereka pasti tunduk kepada perintahku?"
Hal ini tentu saja sudah diperhitungkan Liok Siau-hong dengan tepat. Jika urusan ini tidak disiarkan sendiri oleh Kiong Kiu, siapa pula yang berani menyiarkannya.
Seorang lelaki yang angkuh dan tinggi hati bilamana dia dikhianati oleh perempuan yang dicintainya, betapapun hal ini pasti takkan diceritakannya kepada orang lain. Dia lebih suka orang lain mengira dia yang meninggalkan perempuan itu, lebih suka orang lain menganggap dia yang tidak setia.
Bahkan dia lebih suka mati daripada orang lain mengetahui penderitaan dan rasa malunya dan terhina.
Liok Siau-hong cukup maklum perasaan demikian, sebab ia sendiri juga lelaki jenis ini.
Maka Samon bertanya pula, "Tapi darimana kau tahu petinya akan diantar ke sini dengan selamat tanpa ditanyai orang di tengah jalan?"
"Sebab dapat kulihat orang yang tinggal di sini tidak suka ikut campur urusan, lebih-lebih urusan tetek-bengek begini!"
Samon menghela napas, "Pandanganmu memang tepat, orang yang tinggal di sini, untuk setiap pekerjaan apapun harus ada imbalannya."
Jika waktu peti diantar kemari tidak ada yang menegur, sesudah itu tentu saja terlebih tidak ada orang yang memperhatikannya.
Dan kalau Kiong Kiu lagi memburu mereka di luar sana, saat ini tentunya tidak akan pulang.
Peti sudah dibuat sebuah celah kecil, mereka masih tetap berdekapan erat di dalam peti. Mereka tidak mau terburu-buru keluar.
"Bila aku mati, tentu raja akhirat akan bertanya padaku pada inkarnasi yang akan datang mau menjadi apa?"
"Kau pasti ingin menjadi ayam kecil."
"Haha, jawaban yang tepat," ucap Siau-hong dengan tertawa.
Peti ini memang sangat mirip kulit telur, berada di dalam kulit telur akan terasa aman, hangat dan manis.
"Kuyakin waktu anak ayam mau menetas, tentu mereka tidak mau cepat-cepat keluar dari kulit telur," kata Siau-hong.
"Sebab apa?" tanya Samon.
"Sebab mereka tahu, sesudah keluar tentu tumbuh menjadi ayam dewasa dan menjadi ayam panggang, ayam rebus, ayam tim dan sebagainya."
-00- Menjelang petang dari 'kulit telur' itu akhirnya menetas dua ekor anak ayam. Yang seekor jantan dan seekor lagi betina.
Tempat tinggal Kiu-siauya tentu saja tidak serupa kulit telur. Kamarnya terpanjang indah, alat perabotnya serba mewah, cahaya senja masih menyinari daun jendelanya yang putih.
"Pada waktu dia tidak di rumah, mungkinkah ada orang menerobos kemari?" tanya Siau-hong.
"Pasti tidak ada," ujar Samon.
Selama ini belum pernah ada siapa pun yang berani menerobos ke tempat tinggal Kiu-siauya, bahkan bapaknya juga tidak.


Manusia Yang Bisa Menghilang Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Biasanya Kiu-siauya suka menyendiri, tapi juga tinggi hati. "Sebab itulah dia suka bercermin," tutur Samon.
"Sebab apa?" tanya Siau-hong.
"Sebab satu-satunya orang yang benar-benar disukai olehnya ialah dirinya sendiri."
Di dalam kamar memang ada sebuah cermin besar, tertampak jelas dibuat oleh seorang ahli cermin, dibuat dari perunggu hijau dan tergosok mengkilap (zaman dahulu belum ada cermin kaca).
Untuk membuat cermin sebesar dan seindah ini diperlukan sepasang tangan yang trampil dan mantap.
"Inilah cermin karyanya sendiri, ia anggap inilah cermin paling bagus nomor satu di dunia," tutur Samon.
Di samping cermin tergantung sebilah pedang, batang pedang sempit panjang, berbentuk antik.
"Inilah pedangnya!"
Pada waktu dia pergi membunuh orang, pedangnya ternyata ditinggalnya di rumah. Nyata untuk membunuh orang dia tidak perlu memakai pedang lagi.
Perlahan Siau-hong meraba sarung pedang dengan jarinya, ucapnya, "Kutahu masih ada satu orang, ilmu pedangnya juga sudah terlatih hingga taraf 'tanpa pedang'."
"Sebun Jui-soat?" tanya Samon.
"Kau pun tahu dia?"
Dengan hambar Samon menjawab, "Aku tahu taraf 'tanpa pedang' belum lagi mencapai puncaknya ilmu pedang yang paling tinggi."
"Oo"!" heran juga Siau-hong.
"Jika yang dilatih adalah ilmu pedang, kenapa mesti mempersoalkan berpedang atau tak berpedang?"
Belum lagi Siau-hong menanggapi, mendadak terdengar di bawah tempat tidur ada orang berkeplok.
Suara keplokan tangan sangat perlahan, tapi jauh lebih mengejutkan orang daripada bunyi geledek.
Waktu Siau-hong berpaling, dilihatnya sebuah kepala gundul menongol dari kolong ranjang.
"Lau-sit Hwesio!"
Baru saja Siau-hong sempat bersuara, tahu-tahu sinar pedang berkelebat, kuduk Lau-sit Hwesio sudah dipalangi sebilah pedang panjang mengkilat.
Cepat amat gerak pedangnya!
Pedang yang tergantung di samping cermin besar itu sudah terlolos dari sarungnya, sudah terpegang oleh Samon, betapa cepat cara turun tangannya membuat Liok Siau-hong terkejut juga.
Tentu saja Lau-sit Hwesio terlebih kaget daripada Siau-hong, mukanya sampai pucat, cepat ia berseru sambil menyengir, "Padahal tanpa turun tangan juga Hwesio tahu nona adalah ahli pedang perempuan nomor satu di dunia."
"Hm, kau tahu?" jengek Samon.
"Biarpun Hwesio tidak pernah makan daging babi, sedikitnya pernah melihat cara babi berjalan," ujar Lau-sit Hwesio. "Setelah mendengar uraian nona tadi, sungguh Hwesio kagum dan takluk lahir batin."
"Hah, kiranya Hwesio alim juga suka menjilat pantat," seru Siau-hong dengan tertawa.
"Hwesio tidak menjilat pantat, Hwesio selalu bicara jujur."
Samon tidak tertawa, katanya dengan menarik muka, "Cuma sayang biasanya nona tidak suka mendengar kata-kata jujur."
"Nona suka mendengarkan apa?" tanya Lau-sit Hwesio.
"Nona suka mendengar ucapan menjilat!"
Mata Lau-sit berkedip-kedip, "Meski Hwesio tidak dapat menjilat, tapi pekerjaan lain banyak yang kupahami."
"Kau paham apa lagi?" tanya Samon.
"Umpamanya menjadi comblang dan mencarikan jodoh bagi orang, semua ini adalah keahlian Hwesio."
"Kau mau menjadi comblang dan mencarikan jodoh bagi siapa?"
"Bagi dua ekor anak ayam, yang satu jantan dan yang lain betina."
Akhirnya Samon tertawa juga.
Pada saat dia tertawa itulah selicin belut Lau-sit Hwesio meluncur keluar di bawah pedang si nona, dan begitu melompat bangAngin laut mendesir hangat dan agak lembab, ombak perlahan mendampar pantai. Napas mereka tidak sehangat dan selembut desir angin laut.
Napas mereka agak memburu, terengah, serupa jantung mereka yang berdetak keras.
"Mengapa engkau berdusta dan mengapa engkau memaksa kepergianku?"
"Sebab ingin kuuji dirimu, namun kuyakin engkau pasti akan kembali."
Semua itu tidak ditanyakan mereka, juga tidak perlu dijawab. Semua itu tidak perlu penjelasan lagi.
Yang dilakukan mereka sekarang adalah jawaban yang paling baik, berada di antara kekasih yang dicintainya, dengan hati yang murni selamanya tidak ada penjelasan yang lebih baik daripada ini.
Gubuk kecil ini adalah istana mereka, di dalam istana mereka hanya ada damai, hanya ada cinta.
Segala macam kekasaran dan keburukan di dunia ini seakan-akan sudah berjarak sangat jauh dengan mereka.
Akan tetapi mereka keliru.
Pada saat itu juga istana mereka, istana cinta, mendadak ambruk dan menjatuhi tubuh mereka.
Liok Siau-hong tidak bergerak, Samon juga tidak.
Mereka tetap berpelukan dengan erat, seakan-akan biarpun langit ambruk dan menindihi tubuh mereka juga tidak dihiraukan, sebab mereka sudah mendapatkan apa yang diharapkan selama hidup ini, yaitu cinta, cinta yang murni.
Mereka telah saling mengisi bagi kepuasan masing-masing.
Bahkan mereka tidak mendengar suara di luar, bukannya tidak mendengar sungguh-sungguh, melainkan mereka memang tak ingin mendengarkan.
Suara ini memang paling tidak suka didengar mereka. Bagi mereka, hampir tidak ada sesuatu suara di dunia ini terlebih menusuk telinga daripada suara ejekan si kuah daging alias si tawon. Dan sekarang suara yang berkumandang itu justru suara tertawa dingin si kuah daging.
Bukan cuma tertawa dingin saja, si kuah daging juga sedang bicara. Apa yang diucapkannya terlebih tajam dan menusuk telinga daripada suara tertawa dinginnya, bahkan dia juga bertepuk tangan dan bersorak, "Nah, bagus, bagus sekali, apabila kungfu kalian ada setengahnya permainan kalian tadi, pasti tak ada seorang pun sanggup bertahan."
Akhirnya Liok Siau-hong menghela napas dan disingkirkannya rumput yang menutupi wajahnya. Terlihat si kuah daging sedang memandangnya dengan sorot mata yang penuh rasa benci dan dengki.
"Engkau baik?" sapa Siau-hong.
"Aku tidak baik," jawab si kuah daging ketus.
"Jawaban yang jujur, engkau ini memang terlalu tidak baik," ujar Siau-hong dengan tertawa.
Dari tertawa dingin mendadak si kuah daging tertawa genit, katanya, "Aku cuma minta kau bicara sepatah kata saja berdasarkan hati nuranimu."
"Bicara apa?"
"Dalam hal begituan, aku lebih baik atau dia?"
"Kalian tidak dapat dibanding-bandingkan."
"Sebab apa?"
"Sebab cara berbuat begituan ada dua macam."
"Dua macam apa?"
"Yang semacam ialah manusia, satu lagi adalah binatang."
Tertawa genit si kuah daging berubah kembali menjadi dingin, "Jika manusianya mati lalu bagaimana?"
"Aku masih ingat ucapan seorang bahwa seribu orang mati juga tidak dapat membandingi seekor anjing betina hidup."
"Yang bicara begitu pastilah seorang maha pintar."
"Apakah kau ini manusia atau anjing betina, rasanya aku belum jelas benar. Aku cuma tahu satu hal."
"Satu hal apa?"
"Kutahu kita masih hidup, paling sedikit sekarang masih hidup."
"Dapat hidup berapa lama lagi?"
"Asalkan dapat hidup lagi satu jam jauh lebih baik daripada kau hidup seribu tahun."
"Kau salah!" kata si kuah daging mendadak.
"Oo?" Siau-hong melengak.
"Bisa jadi kalian masih dapat hidup satu setengah hari lagi."
"Oo!?" Siau-hong merasa tidak mengerti.
"Pulau ini sangat besar," kata si kuah. "Menurut perkiraan kami, sedikitnya ada sekian ribu dan sekian ratus tempat yang dapat digunakan bersembunyi."
"Dan" ...."
"Asalkan kalian dapat bersembunyi lebih dari satu setengah hari, mungkin juga kalian dapat hidup lagi satu setengah abad," tiba-tiba si kuah daging menjengek, "Cuma sayang, kalian pasti tidak dapat bersembunyi."
"Sebab apa?" tanya Siau-hong.
"Sebab sekalipun kalian adalah dua ekor semut, dalam waktu setengah jam saja, dia pasti dapat menemukan dan memites mati kalian."
"Kau atau dia?" Siau-hong menegas.
"Dia!"
"Kiukomu itu?"
"Ya!" sorot mata si kuah daging menampilkan rasa bangga dan sombong, "Bahkan dia bersedia memberi waktu setengah jam lebih dulu bagi kalian."
"Cara bagaimana memberinya?"
"Mulai saat ini, selama setengah jam dia pasti takkan memburu kalian!"
"Pasti, mutlak pasti?"
"Setiap patah katanya adalah serupa paku yang dipukulkan di dinding, satu paku satu titik dan tidak lebih."
"Aku menjadi percaya juga padanya!"
"Umpama engkau tidak percaya, orang yang tidur, di sampingmu itu tentunya percaya," mendadak suara si kuah daging berubah lembut. "Sebab sebelum ini rasanya dia juga pernah tidur di samping Kiukoku."
Siau-hong tetap tenang dan tidak merasa tersinggung. Bilamana cinta itu memang murni yang didasari saling percaya, tidak sesuatu hal lagi di dunia ini yang dapat menggoyahkan pikiran mereka.
Tapi kalau dikatakan sama sekali Liok Siau-hong tidak marah, hal ini juga tidak betul. Sedikitnya air mukanya rada berubah juga.
Si kuah daging tampak sedang tertawa.
"Inikah kata-kata yang sengaja hendak kau bicarakan padaku?" tanya Siau-hong.
Si kuah daging mengangguk.
"Baik, sudah kudengar seluruhnya."
"Sudah kau dengar seluruhnya setiap kata?"
"Ya."
"Apakah kau mau bertaruh denganku?"
"Bertaruh apa?" tanya Siau-hong.
"Aku berani bertaruh dalam waktu tiga jam Kiuko pasti dapat menemukan dirimu."
"Lalu akan memites mati diriku seperti dia memites semut?"
"Tepat!" kata si kuah daging.
-00- Desir angin laut masih lembut, napas mereka juga tetap lembut, namun perasaan mereka sekarang sudah berbeda.
Pedang Kiong Kiu (nama Kiu-siauya) dan caranya membunuh orang, tentu cukup diketahui dengan jelas oleh Samon.
Akan tetapi yang dipikirnya sekarang bukanlah urusan ini, yang lagi direnungkan adalah apa yang diucapkan si kuah daging tadi, "Dalam permainan begituan, aku lebih baik atau dia?"
Dalam keadaan demikian bisa juga dia cemburu.
Padahal hal ini juga tidak perlu diherankan. Dalam keadaan dan dimana pun juga, untuk merenggut jiwa seorang perempuan bukanlah pekerjaan sulit, tapi jika kau minta seorang perempuan jangan cemburu, maka engkau lagi mimpi belaka.
Liok Siau-hong juga dirundung pikiran. Yang dipikirnya bukan pedang Kiong Kiu, soal mati hidup selamanya tidak membebani pikirannya. Memang juga sudah beberapa kali dia hampir mati.
"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Samon tiba-tiba.
"Memikirkan dirimu?" jawab Siau-hong.
"Diriku?"
"Ya, kupikir apakah engkau cemburu atau tidak?"
"Mengapa aku cemburu?"
"Sebab ada alasanmu untuk cemburu."
"Karena engkau benar-benar pernah tidur bersama dia?"
"Tidak cuma dia, banyak anak perempuan yang pernah tidur denganku, dia cuma satu di antaranya, kau pun...."
Siau-hong sengaja berhenti, maka Samon lantas menukasnya, "Aku juga cuma salah satu di antaranya?"
Siau-hong tidak membenarkan, tetapi juga tiada maksud menyangkal sama sekali.
Samon menatapnya hingga lama, lalu berkata pula, "Mengapa tidak kau tanya padaku apakah benar pernah tidur bersama Kiong Kiu?"
"Tidak perlu kutanya," jawab Siau-hong.
"Sebab tidak kau hiraukan soal ini?"
Bukan saja tidak menyangkal, bahkan Siau-hong lantas mengangguk.
Kembali Samon menatapnya sekian lama, tiba-tiba ia menghela napas dan berkata, "Jika kau kira aku belum memahami maksudmu, maka jelas kau salah sangka."
"Kau tahu apa maksudku?"
"Kau sengaja membuat kupergi dengan marah," kata Samon, "Kau kira asalkan kutinggalkan dirimu, tentu aku dapat hidup lagi satu setengah abad?"
Siau-hong diam saja, tidak menyangkal juga tidak membenarkan.
"Cuma sayang, kau lupa sesuatu!"
Siau-hong tidak bertanya dan Samon lantas meneruskan, "Seorang perempuan biarpun benar dapat hidup lagi satu setengah abad juga tidak banyak artinya."
"Kan paling tidak jauh lebih banyak berarti daripada cuma hidup satu setengah hari"!"
"Itu kan jalan pikiranmu?" ujar Samon.
"Habis bagaimana jalan pikiranmu?"
"Asalkan dapat berkumpul denganmu, biarpun cuma hidup satu jam lagi juga puas hatiku."
Mendadak Siau-hong melompat bangun, ditariknya tangan Samon dan berseru, "Mari kita berangkat!"
Di balik pesisir yang landai sana adalah batu karang yang tinggi besar dan hutan yang lebat.
Di tempat seperti ini, seekor kelinci saja sangat mudah menghindarkan pengejaran seekor anjing pemburu.
Tapi Liok Siau-hong bukan kelinci, dia selain memiliki kecerdikan dan kegesitan serupa kelinci, juga punya kelicinan serupa rase dan ketangkasan dan kesetiaan seperti anjing.
Dia sendiri memang juga seorang pemburu. Teknik mencari hidup di tengah hutan atau rawa-rawa, dia jauh lebih paham daripada kebanyakan orang. Cuma dengan setangkai kayu saja dalam sekejap ia sanggup membuat sebuah perangkap pembunuh orang.
Di tempat seperti ini, jika dia ingin menghindari pengejaran seorang sebenarnya bukan pekerjaan yang sulit.
Akan tetapi orang itu sungguh bukan orang!
Yang dimaksudkan Samon dengan sendirinya ialah Kiong Kiu.
"Dia boleh dikatakan seekor ular berbisa, seekor rase, seorang"
"Sesungguhnya dia itu apa?" tanya Siau-hong dengan tenangnya.
"Kiu, iblis."
"Ada yang bilang dia adalah gabungan dari sembilan macam barang."
"Kesembilan macam barang apa?"
"Upas ular berbisa, hati rase, es dari kutub utara, batu padas dari pegunungan Tian, ketangkasan singa, kekejaman serigala, ketekunan unta, kecerdasan manusia, lalu ditambah lagi dengan sukma setan dari neraka."
Meski Siau-hong kelihatan lagi tertawa, tapi jelas tertawa yang tidak enak.
"Di pulau ini memang benar banyak terdapat tempat bersembunyi yang terahasia."
"Berapa banyak yang kau ketahui?"
"Kalau lima ribu tempat saja kukira lebih."
"Dan berapa banyak yang diketahuinya?"
"Setiap tempat pasti diketahuinya. Apa yang kuketahui juga diketahuinya, tempat yang tidak kuketahui juga tidak diketahuinya. Dimana pun kita bersembunyi pasti dapat ditemukan olehnya."
Siau-hong termenung, mendadak ia tertawa.
Samon tidak heran, ia tahu di dunia ini memang ada semacam orang yang dimana pun dan kapan saja, selalu bisa tertawa. Jenis orang inilah yang disukainya.
Akan tetapi tertawa Liok Siau-hong itu sungguh terlalu riang, maka ia coba bertanya, "Apa yang kau tertawakan?"
"Kuingat kepada sesuatu yang menarik," jawab Siau-hong.
"Urusan apa yang kau rasakan menarik sekarang?"
"Kita dapat bersembunyi pada suatu tempat yang menyenangkan."
"Betapapun tempat yang menyenangkan itu, asalkan ditemukan dia, segera akan berubah menjadi tidak menyenangkan."
"Kujamin tempat itu pasti tak dapat ditemukan oleh dia."
"Tempat apa itu?"
"Di dalam kulit telur!" kata Siau-hong.
Samon mendongkol, dalam keadaan begini sesungguhnya tidak boleh Siau-hong bergu-rau.
Bukan cuma tertawa saja, sorot mata Siau-hong juga mencorong.
Dengan gemas Samon berkata, "Hanya telur saja yang terisi di dalam kulit telur, mungkin termasuk telur busuk macam dirimu ini."
"Kau lupakan sesuatu pula," ujar Siau-hong dengan tertawa.
"Oo?" Samon merasa bingung..
"Hanya kalau ada telur baru ada kulit telur."
Samon tidak paham.
"Kau tahu siapa telur paling busuk di sini?"
"Bukan dirimu?" Samon menegas.
Siau-hong menggeleng, "Mana aku dapat dibandingkan dia, paling banyak aku cuma gabungan dari enam atau tujuh macam barang saja."
"Kau maksudkan Kiong Kiu?"
"Ya, siapa lagi?" kata Siau-hong. "Lantaran dia adalah telur busuk paling besar di sini, dengan sendirinya kulit telurnya juga paling besar, barang siapa dapat bersembunyi ke dalam kulit telurnya pasti akan aman sentosa."
Seketika mencorong juga sinar mata Samon. Akhirnya ia paham juga maksud Liok Siau-hong.
Bahwa Kiong Kiu akan keluar untuk mencari mereka, dengan sendirinya rumahnya akan kosong, jika mereka dapat bersembunyi di tempat Kiong Kiu, jelas akan sangat aman, sebab siapa pun takkan menyangka mereka berani bersembunyi di situ, termasuk juga Kiong Kiu sendiri juga takkan menyangka.
Tempat sembunyi yang tidak pernah tersangka oleh siapa pun jelas adalah tempat yang palihg aman.
"Tinggal satu soal saja bagi kita, yaitu cara bagaimana supaya kita dapat menyusup ke tempatnya sana," ujar Samon.
Dengan sendirinya Liok Siau-hong juga tahu soal ini sangat penting, namun dia yakin pasti ada jalannya. Baginya, di dunia ini pada hakikatnya tidak ada sesuatu urusan yang mutlak tak dapat dilakukannya.
"Apakah soal ini dapat kau pecahkan?" tanya Samon.
"Tentunya kau tahu dimana letak kulit telur itu?"
Samon mengangguk.
"Jika begitu berarti soal ini sudah terpecahkan."
"Memangnya kau kira kita dapat masuk ke sana secara terang-terangan dan tidak akan dilihat orang lain?"
"Kita tidak perlu masuk ke sana secara terang-terangan, malahan satu langkah pun kita tidak perlu berjalan."
"Satu langkah pun tak perlu berjalan?" Samon menegas. "Memangnya kita akan terbang ke sana dengan berubah menjadi lalat?"
"Aku tidak mau berubah, ingin berubah juga tidak mau berubah menjadi lalat," Siau-hong tertawa, lalu menyambung, "Cara terbang lalat terlalu melelahkan. Aku ingin masuk ke sana dalam keadaan berbaring dengan santai."
Samon memandangnya dengan terbelalak serupa anak kecil yang asyik mendengarkan orang mendongeng.
"Kutahu dalam hatimu pasti tidak percaya," kata Siau-hong pula dengan tertawa. "Tapi dapat kujamin, untuk persoalan ini tidak perlu kau risaukan"
"Memangnya ada hal lain yang pantas kau risaukan?" tanya Samon.
"Ada, cuma satu hal!"
"Coba jelaskan."
"Aku cuma mempunyai akal untuk bersembunyi ke sana, tapi tidak mempunyai akal untuk keluar lagi dari sana."
"Jadi kau kuatir biarpun kita dapat bersembunyi lebih dari satu setengah hari, akhirnya dia tetap akan menemukan kita?"
"Ya, tatkala mana bila dia mau membunuh kita...."
"Untuk ini tidak perlu kau kuatir," potong Samon.
"Sebab apa?" tanya Siau-hong.
"Sebab satu setengah hari kemudian dia sudah tidak berada lagi di sini?"
"Dia akan pergi?"
"Ya, mau tak mau harus pergi!"
"Sebab apa?"
"Sebab di luar sana masih ada sesuatu urusan penting yang harus dilaksanakan olehnya."
Siau-hong termenung, katanya kemudian, "Kecuali pekerjaan membunuh orang, urusan apa pula yang harus dikerjakannya?"
"Memang tidak ada," sahut Samon.
"Sekali ini, siapa yang akan dibunuhnya?" tanya Siau-hong.
"Orang yang berharga untuk dibunuh olehnya tentu saja seorang yang hebat."
"Siapakah dia?"
"Entah!"
Bisa jadi Samon memang tidak tahu, atau mungkin tahu tapi tidak mau memberitahukannya.
Apapun juga Liok Siau-hong tidak bertanya pula. Ia tak menghendaki perempuan mana pun demi membelanya mesti mengkhianati kekasihnya yang dulu.
Samon memandangnya, tanyanya kemudian "Dan sekarang kau ingin berubah barang apa agar dapat masuk ke sana?"
"Menurut pendapatmu bagaimana?"
"Kukira, hanya orang mati saja yang dapat berbaring dengan santai untuk masuk ke rumah Kiong Kiu."
Siau-hong tertawa, "Kembali kau lupakan sesuatu."
"Oo!?" Samon melangak.
"Barang mati kan sangat banyak, tidak cuma manusia mati saja," ujar Siau-hong.
Tanpa kehidupan berarti mati.
Pohon dapat hidup, tapi kalau sudah dipotong dan digeraji menjadi papan serta dijadikan, peti, barang itu sama dengan mati. Jadi peti juga barang mati.
-00- Di jalan pegunungan yang sepi dan berliku ada sepuluh lelaki kekar menggotong lima buah peti besar. Tampaknya peti sangat berat, terbukti dari para kuli itu kelihatan kepayahan.
Lebih-lebih peti yang terakhir, kedua orang yang menggotongnya sudah mandi keringat dan tertinggal cukup jauh.
Untunglah pada waktu hampir masuk mulut lembah, segera mereka melihat Samon. Serupa angin saja tahu-tahu si nona sudah muncul dan menghadang di depan mereka sambil menegur, "Kalian kenal diriku tidak?"
Dengan sendirinya mereka kenal. Setiap orang yang masuk ke lembah pegunungan itu pasti pernah melirik satu-dua kejap kepadanya. Hanya melirik saja secara sembunyi, sebab semua orang tahu bilamana Kiu-siauya mengetahui ada orang memandang Samon, seketika Kiu-siauya bisa marah. Dan tidak ada orang berani membikin marah sang Kiu-siauya.
Dengan kepala tertunduk kedua kuli itu menjawab, "Adakah sesuatu pesan nona Samon?"
"Aku tidak, tapi Kiu-siauya ada pesan," jawab Samon.
Kedua lelaki itu berdiri, dengan hormat dan siap mendengarkan. Setiap pesan atau perintah sang Kiu-siauya harus didengarnya dengan baik.
"Dia sengaja mengutus diriku kemari untuk menyuruh kalian mengantarkan peti ini ke kamarnya," kata Samon.
Meski sebelum ini perintah yang mereka terima tidak berlangsung cara begini, namun mereka tidak curiga, juga tak berani membangkang. Setiap orang tahu apa yang diucapkan nona Samon tidak ada bedanya dengan apa yang diikatakan Kiu-siauya.
Samon berkata pula, "Kiu-siauya suka pada kebersihan, maka sebaiknya kalian ke sungai dan cuci dulu sebersihnya kaki dan tangan kalian."
Tidak jauh dari situ ada sebuah sungai kecil, cepat mereka berlari ke sana dan cepat pula berlari kembali Iagi. Peti masih terletak di tengah jalan, tapi nona Samon sudah tidak kelihatan.
Meski orangnya sudah pergi, namun apa yang diperintahkannya tetap berlaku.
Kemana perginya Samon.
Di luar tahu kedua kuli penggotong peti itu dia sudah menyusup ke dalam peti.
Di dalam peti gelap gulita, tapi aman tenteram. Perlahan peti telah ditaruh di dalam kamar.
Keadaan di luar peti penuh diliputi bahaya, namun kedua orang saling berpelukan dengan mesranya di dalam peti. Entah bagaimana rasanya sukar untuk dijelaskan, di dunia ini mungkin sangat sedikit orang yang dapat mengalami perasaan seperti ini. Namun Liok Siau-hong bisa, Samon juga. Sebab sekarang juga mereka saling berdekapan di dalam peti dengan mulut terkancing oleh mulut.
Pada waktu mereka dapat membuka mulut, Samon tidak tahan lagi, segera ia bertanya, "Darimana kau tahu ada peti yang segera akan diangkut kemari?"
"Dapat kulihat dia seorang yang mengutamakan gengsi, juga suka memikat hati orang dengan hadiah," tutur Siau-hong. "Sebelum orangnya tiba, lebih dulu dia telah mengirimkan beberapa peti hadiah, apalagi sesudah orangnya tiba di rumah?"
"Dia baru pulang kemarin, cara bagaimana kau tahu petinya baru akan tiba hari ini?"
"Orang-orang yang ikut dalam perjalanan dengan dia sekian lamanya, semua orang tentu sudah kesal dan ingin mencari pelampiasan, maka begitu kapal berlalu, segera semua kelasi naik ke darat, umpama tidak mencari perempuan pasti juga ingin minum sepuasnya. Kalau sudah mabuk, paginya pasti tidak dapat bangun dengan cepat."
"O, jadi sudah kau perhitungkan petinya baru akan diantar kemari pada waktu begini?"
Siau-hong tertawa, "Tentu juga main untung-untungan."
"Dan ternyata nasibmu lagi mujur, atau mungkin juga perhitunganmu biasanya memang sangat tepat."
Orang yang dapat menerka sesuatu dengan tepat biasanya memang bernasib mujur juga. Sebab hanya orang yang dapat memperhitungkan sesuatu dengan tepat dapat menggunakan setiap kesempatan yang ada.
Dan kesempatan itu sendiri ialah kemujuran yang tidak boleh dilewatkan.
Dengan suara terlebih lembut Samon berkata pula, "Dan sudah kau perhitungkan juga kuli penggotong peti belum mengetahui persoalan diriku, maka mereka pasti tunduk kepada perintahku?"
Hal ini tentu saja sudah diperhitungkan Liok Siau-hong dengan tepat. Jika urusan ini tidak disiarkan sendiri oleh Kiong Kiu, siapa pula yang berani menyiarkannya.
Seorang lelaki yang angkuh dan tinggi hati bilamana dia dikhianati oleh perempuan yang dicintainya, betapapun hal ini pasti takkan diceritakannya kepada orang lain. Dia lebih suka orang lain mengira dia yang meninggalkan perempuan itu, lebih suka orang lain menganggap dia yang tidak setia.


Manusia Yang Bisa Menghilang Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bahkan dia lebih suka mati daripada orang lain mengetahui penderitaan dan rasa malunya dan terhina.
Liok Siau-hong cukup maklum perasaan demikian, sebab ia sendiri juga lelaki jenis ini.
Maka Samon bertanya pula, "Tapi darimana kau tahu petinya akan diantar ke sini dengan selamat tanpa ditanyai orang di tengah jalan?"
"Sebab dapat kulihat orang yang tinggal di sini tidak suka ikut campur urusan, lebih-lebih urusan tetek-bengek begini!"
Samon menghela napas, "Pandanganmu memang tepat, orang yang tinggal di sini, untuk setiap pekerjaan apapun harus ada imbalannya."
Jika waktu peti diantar kemari tidak ada yang menegur, sesudah itu tentu saja terlebih tidak ada orang yang memperhatikannya.
Dan kalau Kiong Kiu lagi memburu mereka di luar sana, saat ini tentunya tidak akan pulang.
Peti sudah dibuat sebuah celah kecil, mereka masih tetap berdekapan erat di dalam peti. Mereka tidak mau terburu-buru keluar.
"Bila aku mati, tentu raja akhirat akan bertanya padaku pada inkarnasi yang akan datang mau menjadi apa?"
"Kau pasti ingin menjadi ayam kecil."
"Haha, jawaban yang tepat," ucap Siau-hong dengan tertawa.
Peti ini memang sangat mirip kulit telur, berada di dalam kulit telur akan terasa aman, hangat dan manis.
"Kuyakin waktu anak ayam mau menetas, tentu mereka tidak mau cepat-cepat keluar dari kulit telur," kata Siau-hong.
"Sebab apa?" tanya Samon.
"Sebab mereka tahu, sesudah keluar tentu tumbuh menjadi ayam dewasa dan menjadi ayam panggang, ayam rebus, ayam tim dan sebagainya."
-00- Menjelang petang dari 'kulit telur' itu akhirnya menetas dua ekor anak ayam. Yang seekor jantan dan seekor lagi betina.
Tempat tinggal Kiu-siauya tentu saja tidak serupa kulit telur. Kamarnya terpanjang indah, alat perabotnya serba mewah, cahaya senja masih menyinari daun jendelanya yang putih.
"Pada waktu dia tidak di rumah, mungkinkah ada orang menerobos kemari?" tanya Siau-hong.
"Pasti tidak ada," ujar Samon.
Selama ini belum pernah ada siapa pun yang berani menerobos ke tempat tinggal Kiu-siauya, bahkan bapaknya juga tidak.
Biasanya Kiu-siauya suka menyendiri, tapi juga tinggi hati. "Sebab itulah dia suka bercermin," tutur Samon.
"Sebab apa?" tanya Siau-hong.
"Sebab satu-satunya orang yang benar-benar disukai olehnya ialah dirinya sendiri."
Di dalam kamar memang ada sebuah cermin besar, tertampak jelas dibuat oleh seorang ahli cermin, dibuat dari perunggu hijau dan tergosok mengkilap (zaman dahulu belum ada cermin kaca).
Untuk membuat cermin sebesar dan seindah ini diperlukan sepasang tangan yang trampil dan mantap.
"Inilah cermin karyanya sendiri, ia anggap inilah cermin paling bagus nomor satu di dunia," tutur Samon.
Di samping cermin tergantung sebilah pedang, batang pedang sempit panjang, berbentuk antik.
"Inilah pedangnya!"
Pada waktu dia pergi membunuh orang, pedangnya ternyata ditinggalnya di rumah. Nyata untuk membunuh orang dia tidak perlu memakai pedang lagi.
Perlahan Siau-hong meraba sarung pedang dengan jarinya, ucapnya, "Kutahu masih ada satu orang, ilmu pedangnya juga sudah terlatih hingga taraf 'tanpa pedang'."
"Sebun Jui-soat?" tanya Samon.
"Kau pun tahu dia?"
Dengan hambar Samon menjawab, "Aku tahu taraf 'tanpa pedang' belum lagi mencapai puncaknya ilmu pedang yang paling tinggi."
"Oo"!" heran juga Siau-hong.
"Jika yang dilatih adalah ilmu pedang, kenapa mesti mempersoalkan berpedang atau tak berpedang?"
Belum lagi Siau-hong menanggapi, mendadak terdengar di bawah tempat tidur ada orang berkeplok.
Suara keplokan tangan sangat perlahan, tapi jauh lebih mengejutkan orang daripada bunyi geledek.
Waktu Siau-hong berpaling, dilihatnya sebuah kepala gundul menongol dari kolong ranjang.
"Lau-sit Hwesio!"
Baru saja Siau-hong sempat bersuara, tahu-tahu sinar pedang berkelebat, kuduk Lau-sit Hwesio sudah dipalangi sebilah pedang panjang mengkilat.
Cepat amat gerak pedangnya!
Pedang yang tergantung di samping cermin besar itu sudah terlolos dari sarungnya, sudah terpegang oleh Samon, betapa cepat cara turun tangannya membuat Liok Siau-hong terkejut juga.
Tentu saja Lau-sit Hwesio terlebih kaget daripada Siau-hong, mukanya sampai pucat, cepat ia berseru sambil menyengir, "Padahal tanpa turun tangan juga Hwesio tahu nona adalah ahli pedang perempuan nomor satu di dunia."
"Hm, kau tahu?" jengek Samon.
"Biarpun Hwesio tidak pernah makan daging babi, sedikitnya pernah melihat cara babi berjalan," ujar Lau-sit Hwesio. "Setelah mendengar uraian nona tadi, sungguh Hwesio kagum dan takluk lahir batin."
"Hah, kiranya Hwesio alim juga suka menjilat pantat," seru Siau-hong dengan tertawa.
"Hwesio tidak menjilat pantat, Hwesio selalu bicara jujur."
Samon tidak tertawa, katanya dengan menarik muka, "Cuma sayang biasanya nona tidak suka mendengar kata-kata jujur."
"Nona suka mendengarkan apa?" tanya Lau-sit Hwesio.
"Nona suka mendengar ucapan menjilat!"
Mata Lau-sit berkedip-kedip, "Meski Hwesio tidak dapat menjilat, tapi pekerjaan lain banyak yang kupahami."
"Kau paham apa lagi?" tanya Samon.
"Umpamanya menjadi comblang dan mencarikan jodoh bagi orang, semua ini adalah keahlian Hwesio."
"Kau mau menjadi comblang dan mencarikan jodoh bagi siapa?"
"Bagi dua ekor anak ayam, yang satu jantan dan yang lain betina."
Akhirnya Samon tertawa juga.
Pada saat dia tertawa itulah selicin belut Lau-sit Hwesio meluncur keluar di bawah pedang si nona, dan begitu melompat bangun segera sembunyi di belakang Liok Siau-hong, katanya, "Kau si ayam jantan kecil ini kalau tidak mau mengawini ayam betina kecil itu, aku Hwesio orang pertama yang keberatan."
"Siapa bilang aku tidak mau?" tanya Siau-hong.
"Benar kau mau?" Lau-sit menegas.
Siau-hong tidak menghiraukannya, ia pandang Samon dengan tenang.
"Cring", pedang Samon terjatuh, kedua orang mendadak berangkulan menjadi satu.
Lau-sit Hwesio memandangi mereka dengan menyengir, seperti tertawa juga segerti mau menangis, ia berkomat-kamit, "Mengapa Hwesio tidak mau menjadi ayam jantan, tapi Hwesio justru suka menjadi Hwesio"!"
Di dalam rumah ternyata tidak ada arak, setetes saja tidak ada.
Lau-sit Hwesio menghela napas gegetun, "Di rumah seorang lelaki kalau tidak tersedia setetes arak pun, lalu terhitung lelaki macam apakah orang ini"
"Orang yang tidak minum arak sama sekali bukan lelaki!" kata Siau-hong.
"Umpama dia sendiri tidak suka minum, sepantasnya dia menyediakan sedikit untuk menyuguh tetamunya," ujar Lau sit Hwesio.
"Apakah Hwesio juga ingin minum arak?" tanya Samon.
"Cuma ingin minum setetes saja!"
"Arak macam apa?"
"Arak bahagia kalian!"
Samon tersenyum, Siau-hong juga tertawa. Tiba-tiba mereka merasa Hwesio ini memang jujur dan menyenangkan.
"Sebenarnya tidak tersedia arak juga sama saja," kata Lau-sit Hwesio pula, "asalkan Hwesio menelan air liur sendiri, kan dapat dianggap seperti sudah minum arak pernikahan kalian."
Habis bicara dia benar-benar menelan air liur sendiri, lalu menyambung, "Nih, sudah kuminum arak bahagia kalian, mau tidak mau kalian harus kawin sekarang?"
Samon berpaling dan bertanya pada Liok Siau-hong, "Bagaimana, boleh menolak atau tidak?"
"Tidak boleh!" jawab Siau-hong.
Kedua orang lantas saling dekap lagi menjadi satu.
Kembali Lau-sit Hwesio menyengir seperti mau menangis, ucapnya, "Cara perbuatan kalian ini, apakah sengaja hendak memancing supaya Hwesio hidup kembali lagi ke dunia ramai?"
-00- Sudah jauh malam.
Di dalam rumah ada lampu, tapi tidak dinyalakan, juga tidak boleh dinyalakan.
Siau-hong tidak menghiraukan, Samon juga tidak ambil pusing, kalau ada cinta sejati, biarpun tanpa bulan dan bintang juga tidak menjadi soal, kenapa meski memikirkan cahaya lampu.
Tentu saja Lau-sit Hwesio juga tidak peduli. Kebetulan malah baginya supaya tidak melihat sesuatu, sebab di dalam rumah memang sangat gelap dan tidak terlihat apapun.
"Apa yang sedang kalian lakukan?" tanya Lau-sit Hwesio tiba-tiba.
"Tidak melakukan apa-apa!" jawab Siau-hong.
"Apakah mulutmu ada peluang?" tanya Lau-sit pula.
"Ada!" Samon mendahului menjawab.
"Jika ada peluang, dapatkah bicara dengan Hwesio, mengobrol iseng?"
"Dapat," jawab Samon.
"Mengapa Hwesio bisa bersembunyi di kolong tempat tidur?" tanya Siau-hong tiba-tiba.
"Sebab Hwesio tahu, yang mempunyai kamar itu meski tidak suka minum arak, tapi suka minum cuka (artinya cemburu)!"
"Ehm, Hwesio memang tidak bodoh!"
"Hwesio justru amat pintar," tukas Samon.
"Sebaliknya anak ayam yang terlalu tidak pintar," kata Lau-sit Hwesio.
"Dalam hal apa tidak pintar?" tanya Siau-hong.
"Anak ayam mestinya dapat menyuruh kedua orang dogol itu menggotong peti ini kembali ke atas kapal, dengan begitu dalam beberapa hari saja kedua ekor anak ayam kan dapat pulang ke rumah?"
Siau-hong melenggong, Samon juga terkesima. Segera mereka merasakan apa yang diuraikan si Hwesio memang merupakan kesempatan yang paling baik untuk memnggalkan tempat ini.
Tapi urusan sudah telanjur, sekali kehilangan kesempatan, kesempatan itu takkan datang lagi.
Lau-sit Hwesio menghela napas, katanya pula, "Dua ekor anak ayam dan seekor keledai gundul (kata olok-olok bagi Hwesio), jika semuanya mati di sini, rasanya akan ...."
Mendadak ucapannya terhenti. Liok Siau-hong juga lantas melompat bangun, Samon tidak bergerak, namun jantungnya berdebar keras.
Kiranya mereka mendengar ada suara langkah orang di luar, langkah kaki beberapa orang, dari suaranya jelas sedang menuju ke kamar ini.
Ada cahaya lampu menembus celah pintu, makin lama makin terang.
Cepat Siau-hong melompat ke sana dan menyingkap tutup peti, desisnya, "Lekas bersembunyi lagi!"
Ketika Samon sudah masuk ke dalam peti, barulah Siau-hong sendiri bersembunyi juga di dalam peti dan perlahan menurunkan tutup peti. Pada saat itulah pintu pun terbuka.
Didengarnya suara pintu menguak dan suara orang melangkah masuk, seluruhnya ada lima orang.
Orang pertama yang bicara adalah seorang perempuan, nadanya sangat galak, "Siapa yang menyuruh kalian menggotong peti ini ke sini?"
Hati Siau-hong berdetak. Dapat dikenalinya suara Siau Giok.
Ia percaya pribadi Siau Giok tidak jahat, tapi pertanyaannya itu sungguh konyol.
"Atas perintah nona Mon!"
Yang menjawab adalah satu di antara kedua kuli penggotong peti tadi.
"Nona Mon?" jengek Siau Giok, "Kalian tunduk kepada perintah Kiu-siauya atau tunduk kepada nona Mon?"
Tidak ada yang berani menjawab.
"Apakah kalian tidak tahu nona Mon bukan lagi tunangan Kiu-siauya?" suara Siau Giok bertambah galak.
Hati Liok Siau-hong juga tambah tenggelam. Sungguh ia tidak paham, urusan ini jelas tidak diketahui siapa pun, mengapa budak cilik ini dapat mengetahuinya" Padahal budak cilik ini baru saja lolos dari kematian, kenapa mesti ikut campur lagi urusan orang lain"
Sungguh kalau bisa Liok Siau-hong ingin menjahit mulut budak cilik itu.
"Bawa pergi!" terdengar Siau Giok berteriak. "Lekas gotong pergi lagi peti ini!"
"Gotong kemana?"
"Asalnya darimana, gotong kembali ke sana!"
Setelah mendengar ucapan terakhir ini segera Liok Siau-hong menyadari prasangkanya yang salah.
Mulut yang mungil dan menyenangkan itu mana boleh dijahit, bahkan kalau bisa ia ingin menciumnya dengan mesra.
Peti itu berasal dari kapal, dengan sendirinya akan digotong kembali ke atas kapal. Berapa jam lagi kapal itu akan berlayar pula, maka peti ini tentu akan ikut terangkut juga.
Jika begitu, beberapa hari lagi kedua ekor anak ayam pun dapat pulang ke rumah!
Saking gembiranya hampir saja Liok Siau-hong bersorak, "Hidup Siau Giok!"
Sampai di sini barulah dimengerti bahwa apa yang dilakukan Siau Giok itu adalah membantu mereka. Budak cilik yang cerdik ini pasti sudah tahu mereka bersembunyi di dalam peti.
Sungguh hati Siau-hong sangat gembira dan berterima kasih, ia percaya perasaan Samon pasti juga begitu. Ia ingin menggenggam tangan si nona. Meski di dalam peti sangat gelap, umpama salah pegang juga tidak menjadi soal.
Siapa tahu dia benar-benar salah pegang, bahkan salah besar dan konyol, sebab yang terpegang olehnya adalah sebuah kepala gundul.
Yang bersembunyi di dalam peti bersama dia ini ternyata bukan Samon melainkan Lau-sit Hwesio, sungguh Siau-hong ingin berteriak.
Cuma sayang, begitu tangannya meraba kepala gundul, serentak tangan Lau-sit Hwesio juga bekerja, sekaligus ia tutuk tiga tempat Hiat-tonya yang membuatnya tak bisa bersuara dan tak bisa bergerak.
T A M A T Pendekar Super Sakti 2 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Bangau Putih 15

Cari Blog Ini